Anda di halaman 1dari 344

MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD (MSY)

DAN APLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PEMANFAATAN


SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO
KABUPATEN BUTON

Oleh :

ALI SUPARDAN

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK

ALI SUPARDAN. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Aplikasinya Pada Kebijakan
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton. Dibimbing oleh John
Haluan, Manuwoto., dan Soepanto Soemokaryo.
Penelitian ini dilakukan di Teluk Lasongko, Pulau Muna, bertujuan untuk merumuskan
kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis MSY di Teluk Lasongko melalui : (1)
analisis peran sektor perikanan laut, (2) analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, (3)
analisis profitability, (4) analisis faktor pembatas , dan (5) analisis SWOT/AHP. Dalam
penelitian ini dipergunakan metode survei. Data primer dihimpun dari wawancara dengan
responden dan observasi langsung lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga
pemerintah dan instansi terkait.
Analisis data menggunakan : Analisis Input-Output untuk menilai peran sektor
perikanan laut, metode Schaefer untuk pendugaan MSY, Linear Goal Programming (LGP)
untuk menghitung besaran faktor pembatas guna pencapaian tujuan, analisis Strength,
Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) dan Analitycal Hierarchy Process (AHP)
untuk perumusan prioritas kebijakan.
Sektor perikanan laut telah memberikan kontribusi dalam pembangunan perekonomian
baik secara nasional maupun regional. Secara nasional sektor ini termasuk sektor prioritas
yang ditunjukan dari nilai Output Multiplier dan Backward Linkage lebih besar dari satu yang
berarti sektor ini mempunyai kemampuan besar untuk menumbuhkan industri hulu dan
hilirnya. Secara regional sektor perikanan laut termasuk pada kategori prioritas pertumbuhan
kedua karena mempunyai kemampuan untuk menarik pertumbuhan output sektor hulunya.
MSY sumberdaya ikan Teluk Lasongko 14.979 ton per tahun. Tingkat
pemanfaatannya telah mencapai 92 %. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan menurut
kelompok jenis ikan yaitu ikan demersal, pelagis kecil, pelagis besar, ikan karang konsumsi
dan ikan berkulit keras masing-masing sebesar 95%, 98%, 80%, 81% dan 95%. Jumlah
tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) adalah 12.000 ton per tahun. Jenis dan jumlah alat
tangkap yang dapat dioperasikan di perairan Teluk Lasongko agar produksi ikan tidak
melebihi nilai JTB yaitu pukat (payang, pukat pantai, pukat cincin, pukat udang) 49 unit,
jaring insang (j.i. hanyut, j.i. lingkar, j.i. tetap, trammel net) 1.260 unit, jaring angkat (bagan
perahu, bagan tancap, serok, jaring angkat lain) 149 unit , pancing (huhate, pancing biasa,
pancing tonda, rawai tetap) 922 unit, perangkap (sero, bubu, alat lain) 388 unit.
Guna pencapaian produksi perikanan sebesar JTB (12.000 ton/tahun) faktor
pembatasnya adalah tenaga kerja, bahan bakar (bensin atau minyak tanah), es dan air tawar.
Dari hasil analisis diketahui bahwa JTB akan dapat dicapai apabila tersedia tenaga kerja
sebanyak 3.132 orang, bensin 3.742 ton/th, minyak tanah 90 ton/th, es 13.000 ton/th dan air
bersih 36.000 ton/th.
Prioritas kebijakan yang sesuai untuk diterapkan dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yaitu : (i) pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal,
(ii) peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah, (iii)
pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan, (iv) pengembangan jaringan
dan informasi pasar ,dan (v) peningkatan sarana dan prasarana.

Kata Kunci : Sumberdaya ikan,, Input-Output, SWOT, AHP, LGP,Kebijakan, Teluk


Lasongko.
ABSTRACT

ALI SUPARDAN. Maximum Sustainable Yield (MSY) Application To The Fishery


Resources Utilization Policy In Lasongko Bay , District of Buton. Under Supervision of
John Haluan, Manuwoto, Soepanto Soemokaryo.
Observation was carried out in Lasongko Bay, Muna Island, which aimed to
formulate fishery resources utilization policy based on MSY In Lasongko Bay through :
(1) an analysis of marine fisheries sector, (2) an analysis of fisheries resources utilization,
(3) profitability analysis ,(4) an analysis of limited factors to reach the goal, and (5)
SWOT/AHP analysis.
The observation applied a survey methodology. Primary data was collected by
interviewing respondence as well as field survey, whereas secondary data was obtained
from various government and related institutions.
Data analysis was conducted by using models, e.g. : Input-Output Analysis to
evaluate contribution of marine fisheries for economic development in district of Buton,
Schaefer Model for estimating the MSY, Linear Goal Programming (LGP) to obtain
degree of optimum achievement, Strength, Weaknesses, Opportunities, and Threats
(SWOT) and Analitycal Hierarchy Process (AHP) to priorizing policy suitable to
optimize the fishery resources utilization in Teluk Lasongko Area.
Marine fisheries sector has a big contribution in national economic development as
well as regional economic development . It is shown that marine fisheries sector is
catagorized as the second priority, because it could pulled out the growth of output sector
in the upstream. In addition, it was wellknown that the end demand of fishery sector
increased by 1 %, will caused an increase in the economic output by 1,3967 %.
MSY of fish resources in Lasongko Bay was 14.979 ton/year. The level of fish
resources utilization as a whole has reach 92 %. The level of utilization by group of fish
namely demersal fish, small pelagic, big pelagic, coral fish consumption and hard skin
fish are 95 %, 98 %, 80 %, 81 % and 95 % respectively. The optimum allocation of the
fishing gear in Lasongko Bay are : purse seine for 49 units, gill net for 1.260 units, lift net
for 149 units, hook for 922, and fish trap 388 units.
To achieve Total Allowable Catch (12.000 ton/year) should be provided limited
factors namely man power 3,132 people, gasoline 3,742 ton/year, carosine 90 ton/year,
ice 13,000 ton/year and water 36,000 ton/year.
To achieve optimum goals of marine fisheries resources in district of Buton
especially in Lasongko Bay, several policies priority should be implemented, i. e. : (i)
optimize fisheries resource utilization, (ii) strengthen both institution and human
resources capacity , (iii) economic development by providing aid and capital access, (iv)
development of market network and information, and (v) infratructure development, such
as fishing port development, supporting infratructure for marketing system,
transportation, electricity and water supply.

Key Words: Fisheries resources, Input-Output, SWOT, AHP, LGP, Policy,


Lasongko Bay.
MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD (MSY)
DAN APLIKASINYA PADA KEBIJAKAN PEMANFAATAN
SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO
KABUPATEN BUTON

Oleh :

ALI SUPARDAN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Disertasi : Maximum Sustainable Yield (MSY) Dan Aplikasinya Pada
Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di
Teluk Lasongko Kabupaten Buton
Nama Mahasiswa : Ali Supardan
Nomor Pokok : C561020104
Program Studi : Teknologi Kelautan
Sub Program Studi : Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Slawi-Tegal Jawa Tengah pada tanggal 23 Oktober 1949.

Ayahanda bernama H. Slamet Suparno dan Ibunda bernama Hj. Suyiah (Siti

Nurjanah). Penulis menikah dengan Hj. Siti Zubaidah, SPd. binti H.Djama’udin pada

tanggal 10 Agustus 1976 di Tanjung Karang Lampung. Penulis dikaruniai 7 anak dan

satu cucu yaitu Nurnizda SPsi, (Hendra Fathoni ST menantu), M. Alhaqurahman

Isa, ST, Hanifan Muslim, Yusuf Ibrahim, M.Fajar Muslim, M.Abdurahman Ihsan,

Mardhiah Fitri, dan Ramazia Muhamad Zahzahan.

Pendidikan Penulis diawali dari Sekolah Taman Kanak-Kanak, Taman Siswo di

Slawi pada tahun 1956, kemudian menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri VI

Slawi pada tahun 1962. Dilanjutkan di SMP Negeri Slawi, lulus pada tahun 1965.

Pendidikan Sekolah Lanjutan Atas di SMA Negeri Slawi lulus pada tahun 1968.

Pendidikan perguruan tinggi ditempuh di Fakultas Perikanan Institut Pertanian

Bogor, dan selesai (S1) pada tahun 1975. Selanjutnya Penulis mendapat tugas

belajar selama 2 tahun di Kasetsart University Bangkok-Thailand dibidang Ekonomi

Pertanian dan memperoleh gelar Master of Sciense (S2) pada tahun 1985. Pendidikan

S3 ditempuh di Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Teknologi Kelautan mulai

tahun 2002.

Riwayat pekerjaan Penulis diawali sejak tahun 1976, yaitu sebagai Calon

Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen

Pertanian. Setahun kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada

kantor yang sama. Jabatan Kepala Seksi Perumusan Komponen, Direktorat Bina
Program, Direktorat Jenderal Perikanan pada periode 1977-1987. Pada tahun 1987-

1990 diangkat sebagai Pj.Kepala Sub Direktorat Identifikasi dan Perumusan.

Kemudian diangkat sebagai Kepala Sub Direktorat Identifikasi dan Perumusan,

Direktorat Jenderal Perikanan pada tahun1990-1993. Pada periode tahun 1993-1994

ditugaskan sebagai Kepala Sub Direktorat Perizinan, Direktorat Bina Usahatani dan

Pengolahan Hasil, Direktorat Jenderal Perikanan. Dari tahun 1994-1996 ditugaskan

sebagai Kepala Sub Direktorat Perusahaan Perikanan, Direktorat Bina Usahatani dan

Pegolahan Hasil, Direktorat Jenderal Perikanan. Kemudian sebagai Kepala Dinas

Perikanan Propinsi Jambi Daerah Tingkat I Jambi 1996-1998. Tugas berikutnya

adalah sebagai Direktur Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil, Direktorat Jenderal

Perikanan 1998-2000; kemudian ditugaskan sebagai Direktur Pelestarian Sumber

Daya Hayati, Direktorat Jenderal Pengawasan dan Perlindungan Laut, Departemen

Eksplorasi Laut dan Perikanan dari Pebruari sampai dengan Juni 2000. Selanjutnya

diangkat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pengawasan dan Perlindungan Laut,

Direktorat Jenderal Pengawasan dan Perlindungan Laut, Departemen Kelautan dan

Perikanan pada tahun 2000 – 2002. Alih tugas berikutnya yaitu sebagai Sekretaris

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan

Perikanan tahun 2002 – 2005. Jabatan terakhir penulis saat ini adalah Sekretaris

Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen

Kelautan dan Perikanan.

Sekolah Penjenjangan yang telah diikuti Penulis yaitu Sekolah Pimpinan

Administrasi Tingkat Madya ( SEPADYA) Departemen Pertanian, di Ciawi-Bogor

pada tanggal 6 Juli – 3 Oktober 1992, dan Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi
Nasional (SESPANAS) Lembaga Administrasi Negara (LAN) di Jakarta pada tanggal

20 Juni – 8 Oktober 1994 .

Tanda Jasa Kehormatan yang Penulis peroleh adalah SATYALANCANA

KARYA SATYA X TAHUN 1995 , SATYALANCANA PEMBANGUNAN Tahun

1999, dan SATYALANCANA KARYA SATYA XX TAHUN 2000.

Pengalaman organisasi Penulis sejak mahasiswa sampai sekarang yaitu

pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Perikanan IPB tahun 1973-1974, Ketua Majelis

Perwakilan Mahasiswa (MPM) IPB tahun 1974-1975, Ketua Badan Pengawas

Koperasi Mina Utama Direktorat Jenderal Perikanan tahun 1998-2000, Pengurus

Yayasan Mujahidin Departemen Pertanian tahun 1998-2000, Ketua Kerokhanian

Islam Ditjen Perikanan tahun 1995-1996, Pengurus KORPRI Departemen Kelautan

dan Perikanan tahun 2003- sekarang, dan Ketua Badan Pengawas Yayasan Mina

Bahari Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2003- sekarang.

Bogor, Mei 2006.

Penulis

Ali Supardan.
SURAT PERNYATAAN TENTANG DISERTASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul : Maximum Sustainable Yield
(MSY) Dan Aplikasinya Pada Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk
Lasongko Kabupaten Buton adalah karya saya sendiri dan belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2006

Ali Supardan
NRP. C561020104
KATA PENGANTAR

Kepada Allah SWT penulis panjatkan puji dan syukur yang tak henti-hentinya
atas segala nikmat dan karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.
Penulisan disertasi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini
merupakan hasil penelitian dengan judul “Maximum Sustainable Yield (MSY) dan
Aplikasinya Pada Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko
Kabupaten Buton ”.
Dalam kesempatan yang baik ini perkenankan penulis menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Bapak- Bapak Komisi Pembimbing yaitu : Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc, Dr.Ir.
Soepanto Soemokaryo, MBA, dan Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., yang telah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
2. Bapak Prof. Ir. H. Widi Agus Pratikto, M.Sc. PhD; Direktur Jenderal Kelautan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, yang telah
memberikan izin belajar dan dorongan kepada penulis untuk mengikuti kuliah
program Doctor sampai selesai.
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB-Bogor beserta staf, Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan beserta staf dan seluruh dosen Sub Program Studi
Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan atas segala bantuan dan
perhatiannya selama penulis mengikuti pendidikan pascasarjana.
4. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton beserta staf yang telah
banyak membantu dalam pengumpulan data dan informasi selama penulis
melakukan penelitian.
5. Seluruh keluarga penulis, istri tersayang Hj. Siti Zubaidah Ali, SPd. binti H.
Djama’udin dan anak-anak tercinta Nurnizda SPsi, Hendra Fathoni ST, M.
Alhaqurahman Isa, ST, Hanifan Muslim, Yusuf Ibrahim, M.Fajar Muslim,
M.Abdurahman Ihsan, Mardhiah Fitri, dan cucunda Ramazia Muhamad Zahzahan

i
Sidiq, atas pengertian dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan
sampai selesai.
6. Serta semua pihak terutama Sdr. Sutomo SPi, MSi dan Sdr. Amin SP yang telah
banyak membantu dalam pengolahan data sehingga dapat mempercepat
diselesaikannya penulisan disertasi ini.
Atas semua kebaikan tersebut penulis doakan semoga Tuhan Yang Maha Esa
membalas dengan pahala berlipat ganda. Amin.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan , oleh sebab itu
masukan-masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan bagi penyempurnaan lebih lanjut.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2006

Ali Supardan

ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x

1 .PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah ................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 7


2.1 Sifat Sumberdaya Ikan ......................................................................... 7
2.2 Permasalahan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan .................................... 20
2.3 Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan .......................................... 28

3 KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................... 52

4 METODOLOGI PENELITIAN ................................................................ 60


4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 60
4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ................................................... 61
4.2.1 Jenis data .................................................................................. 62
4.2.2 Metode perolehan data ............................................................. 62
4.3 Analisis Data ......................................................................................... 63
4.3.1 Analisis model input –output (I-O) ......................................... 63
4.3.2 Analisis potensi sumberdaya ikan .......................................... 67
4.3.3 Analisis fungsi dan faktor pembatas ........................................ 69
4.3.4 Analisis profitability (B/C Ratio) ............................................. 71
4.3.5 Analisis Goal Programming .................................................... 72
4.3.6 Analisis penentuan kebijakan dan program ............................ 76

5 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ..................................... 80


5.1 Kondisi Wilayah di Teluk Lasongko ..................................................... 80
5.1.1 Kependudukan .......................................................................... 81
5.1.2 Pendidikan ................................................................................ 83
5.1.3 Perikanan................................................................................... 85
5.1.4 Ekosistem perairan................................................................. ... 90

iii
Halaman
6 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 96
6.1 Peran Sektor Perikanan ........................................................................ 96
6.2 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teluk Lasongko ................... 102
6.2.1 Status pemanfaatan ikan demersal ............................................. 102
6.2.2 Status pemanfaatan ikan pelagis kecil ...................................... 109
6.2.3 Status pemanfaatan ikan pelagis besar ....................................... 114
6.2.4 Status pemanfaatan ikan karang konsumsi .............................. 117
6.2.5 Status pemanfaatan ikan berkulit keras..................................... 121
6.3 Kelayakan Usaha Perikanan ............................................................... 125
6.3.1 Analisa usaha alat tangkap yang ada di teluk lasongko ............. 126
6.3.2 Analisa usaha alat tangkap untuk pengembangan
di teluk lasongko ........................................................................ 141
6.4 Optimisasi Usaha Penangkapan ........................................................... 143
6.5 Prioritas Kebijakan............................................................................... 148
6.5.1 Hasil SWOT ............................................................................... 148
6.5.2 Hasil AHP .................................................................................. 154

7 KEBIJAKAN DAN PROGRAM ................................................................. 160


7.1 Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pemanfaatan Sumberdaya Ikan .......... 162
7.2 Prioritas Kebijakan dan Program ........................................................ 164
7.2.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal ......................... 164
7.2.2 Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan
kelembagaan pemerintah ........................................................... 177
7.2.3 Pengembangan ekonomi melalui bantuan dan
akses permodalan ....................................................................... 185
7.2.4 Pengembangan jaringan dan informasi pasar ............................ 188
7.2.5 Peningkatan sarana dan prasarana ............................................. 191

8 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 195


8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 195
8.2 Saran .................................................................................................... 199

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 201


LAMPIRAN

iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Parameter Fisika-Kimia di Perairan Teluk Lasongko .................................... 81
2. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan
Tahun 2000 dan 2004..................................................................................... 82
3. Penduduk di Kawasan Teluk Lasongko Menurut Jenis Kelamin
Tahun 2004 .................................................................................................... 82
4. Kepadatan Penduduk di Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan
Tahun 2000 dan 2004..................................................................................... 83
5. Jumlah Penduduk Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan dan Suku
Bangsa Tahun 2000 ....................................................................................... 83
6. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid Taman Kanak-Kanak Menurut
Kecamatan di Kawasan Teluk Lasongko Tahun 2004 .................................. 84
7. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SD Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004 ......................................................................... 84
8. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMP Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004 ......................................................................... 85
9. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMU Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004 ......................................................................... 85
10. Produksi Ikan di Teluk Lasongko 2000-2004 (ton) ...................................... 86
11. Jumlah Perahu, Kapal Penangkap Ikan Menurut Jenisnya Tiap Kecamatan
Tahun 2004 .................................................................................................... 86
12. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Tahun 2000 - 2004 ..................................... 87
13. Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2000 – 2004 ......................... 89
14. Penyebaran dan Luasan Terumbu Karang di Teluk Lasongko .................... 91
15. Keterkaitan Antar Sektor .............................................................................. 98
16. Indeks Koefisien Penyebaran, Kepekaan Penyebaran dan Indeks Prioritas
Pembangunan Sektor Kabupaten Buton ....................................................... 99
17. Multiplier Output .......................................................................................... 100

v
18. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah di Sektor Perikanan Sebesar
10 Persen terhadap Output, Income, NTB dan Penyerapan Tenaga Kerja
di Kabupaten Buton ...................................................................................... 101
19. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap yang Digunakan Untuk Menangkap Ikan
Demersal............................................................. .......................................... 103
20. Catch, Effort dan CPUE Ikan Demersal ...................................................... 104
21. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Demersal ........................... 105
22 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap Ikan Demersal Sampai
Dengan nilai JTB ........................................................................................... 109

23. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap untuk menangkap Ikan Pelagis Kecil.......... 110
24. Produksi (Catch) , Effort dan CPUE Ikan Pelagis Kecil ............................. 110
25. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Pelagis Kecil .............................. 112
26. Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat Ikan Pelagis Kecil .............. 113
27. Jenis Alat Tangkap dan Jumlah Alat Tangkap yang digunakan untuk
Menangkap Ikan Pelagis Besar ..................................................................... 114
28. Catch, Effort dan CPUE Pelagis Besar ........................................................ 114
29. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Pelagis Besar .............................. 116
30 Jumlah Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat
Tangkap Pelagis Besar .................................................................................. 117
31. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap yang digunakan untuk menangkap
Ikan Karang Konsumsi .................................................................................. 118
32. Catch, Effort dan CPUE Karang Konsumsi ............................................... 118
33. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Karang Konsumsi ............... 120
34. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB Ikan
Karang Konsumsi........................................................................................... 121
35. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap digunakan untuk menangkap Ikan
Berkulit Keras ................................................................................................ 122
36. Catch, Effort dan CPUE Ikan Berkulit Keras .............................................. 122
37. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Berkulit Keras .................... 124
38. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB
Ikan Berkulit Keras ....................................................................................... 125

vi
39. B/C Ratio Payang........................................................................................... 126
40. B/C Ratio Pukat Pantai .................................................................................. 126
41. B/C Ratio Purse Seine .................................................................................. 127
42. B/C Ratio Pukat Udang.................................................................................. 128
43. B/C Ratio Gill Net.......................................................................................... 129
44. B/C Ratio Jaring Insang lingkar ..................................................................... 130
45. B/C Ratio Jaring Insang Tetap ....................................................................... 130
46. B/C Ratio Trammel Net ................................................................................. 131
47. B/C Ratio Bagan Perahu ............................................................................... 132
48. B/C Ratio Bagan Tancap ............................................................................... 132
49. B/C Ratio Serok ............................................................................................. 133
50. B/C Ratio Jaring Angkat Lainnya (Ancho) ................................................... 134
51. B/C Ratio Huhate ........................................................................................... 134
52. B/C Ratio Pancing Biasa................................................................................ 135
53. B/C Ratio Pancing Tonda ............................................................................. 136
54. B/C Ratio Rawai Tetap .................................................................................. 137
55. B/C Ratio Sero ............................................................................................... 137
56. B/C Ratio Bubu .............................................................................................. 138
57. B/C Ratio Jermal ............................................................................................ 139
58. B/C Ratio Perangkap Lainnya ....................................................................... 140
59. B/C Ratio Purse Seine 10 GT ....................................................................... 141
60. B/C Ratio Purse Seine 15 GT ........................................................................ 141
61. B/C Ratio Gill Net 15 GT .............................................................................. 142
62. Perhitungan B/C Ratio Rumput Laut ........................................................... 143
63. Analisis SWOT Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
di Teluk Lasongko Kabupaten Buton................................................................ 151
64. Prioritas Aspek-aspek Penentu Kebijakan Utama Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko ........................................................... 156
65. Prioritas Kebijakan Utama Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di kawasan
Teluk Lasongko ............................................................................................. 159

vii
66. Prioritas Program Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Secara Optimal
di Teluk Lasongko ........................................................................................ 165
67. Jumlah Tangkapan Ikan Yang Diperbolehkan (JTB) di Teluk Lasongko .... 167
68. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Dapat Dioperasikan
di Teluk Lasongko ........................................................................................ 168
69. Prioritas Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia
dan Kelembagaan Pemerintah di Kawasan Teluk Lasongko ......................... 179
70. Prioritas Program Pengembangan Ekonomi Melalui Bantuan
dan Akses Permodalan di Kawasan Teluk Lasongko .................................... 185
71. Prioritas Program Pengembangan Jaringan dan Informasi Pasar
di Kawasan Teluk Lasongko .......................................................................... 189
72. Prioritas Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Teluk Lasongko ...... 191

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Fase Perkembangan Sumberdaya Ikan Nir-Kelola ...................................... 13
2. Kurva Pertumbuhan Logistik ...................................................................... 14
3. Kurva Produksi Lestari-Upaya .................................................................... 16
4. Grafik Model Gordon-Schaefer ................................................................... 17
5. Dinamika Stok Ikan yang Dieksploitasi ............................................................ 21
6. Recruitment Overfishing .............................................................................. 23
7. Kondisi Biologically Overfishing ................................................................. 24
8. Kondisi Economically Overfishing ............................................................... 25
9. Kerangka Pikir Penyusunan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Berbasis MSY di Teluk Lasongko ................................................................. 59
10. Lokasi Penelitian............................................................................................ 60
11. Algoritma Permasalahan Kebijakan ............................................................. 77
12. Peta Sebaran Terumbu Karang di Teluk Lasongko ....................................... 93
13. Peta Sebaran Padang Lamun di Teluk Lasongko .......................................... 94
14. Peta Sebaran Mangrove di Teluk Lasongko .................................................. 95
15. Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Demersal 2000-2004 ..................... 104
16. Hubungan Effort dan Fungsi Produksi Ikan Demersal 2000 - 2004 ........... 106
17. Hubungan antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Kecil 2000-2004 ............... 111
18. Fungsi Produksi Ikan Pelagis Kecil 2000 - 2004 ........................................ 112
19. Hubungan antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Besar 2000-2004 .............. 115
20. Fungsi Produksi Ikan Pelagis Besar 2000 – 2004 ......................................... 116
21. Hubungan antara Effort dan Catch Ikan K. Konsumsi 2000-2004 ............... 119
22. Fungsi Produksi Ikan Karang Konsumsi 2000-2004 .................................... 120
23. Hubungan Effort dan CPUE Ikan Berkulit Keras 2000-2004........................ 123
24. Fungsi Produksi Ikan Berkulit Keras ............................................................. 124
25. Ilustrasi Goal Programming Model ............................................................... 144
26. Struktur Hirarki AHP Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko ... 156
27. Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ..................................................... 161

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Peta Indonesia, WPPI, Kabupaten Buton dan Kawasan Teluk Lasongko .... 205
2. Peta Kawasan Lakudo dan sekitarnya, Potensi Perikanan dan Kelautan ...... 206
3. Produksi Per alat Tangkap Tahun 2000 - 2004 ............................................. 207
4. Jumlah Alat Tangkap Tahun 2000 - 2004………………………………….. 208
5. Produktivitas (CPUE) Tahun 2000 - 2004 .................................................... 209
6. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Demersal ............................................... 210
7. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Palagis Kecil ......................................... 211
8. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Palagis Besar ........................................ 211
9. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Karang Komsumsi ................................. 212
10. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Berkulit Keras........................................ 212

11. Perhitungan Effort Optimum ( f opt) dan MSY ............................................. 213


12. Ikan Demersal , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000 ...................... 214
13. Ikan Demersal , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001 ...................... 215
14. Ikan Demersal , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002 ....................... 216
15. Ikan Demersal , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003 ....................... 217
16. Ikan Demersal , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004 ....................... 218
17. Ikan Pelagis Kecil , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000 ... ............ 219
18. Ikan Pelagis Kecil , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001 ................. 220
19. Ikan Pelagis Kecil , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002 .............. 221
20. Ikan Pelagis Kecil , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003 .............. 221
21. Ikan Pelagis Kecil , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004 .............. 222
22. Ikan Pelagis Besar , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000 .............. 222
23. Ikan Pelagis Besar , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001 .............. 223
24. Ikan Pelagis Besar , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002 .............. 223
25. Ikan Pelagis Besar , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003 .............. 224
26. Ikan Pelagis Besar , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004 .............. 224

x
Halaman
27. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000 ..... 225
28. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001 ..... 225
29. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002 ..... 226
30. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003 ..... 226
31. Ikan Karang Komsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004 ...... 227
32. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000 ............ 227
33. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001 ........... 228
34. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002 ............ 228
35. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003 ............ 229
36. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004 ............ 229
37. Koefisien Goal Programming (JTB) .......................................................... 230
38. Koefisien Goal Programming (MSY) ........................................................ 231
39. Jumlah BBM Optimal Berdasarkan JTB .................................................... 232
40. Jumlah ES Optimal Berdasarkan JTB......................................................... 233
41. Penurunan Benefit Akibat Penurunan Kualitas Product ............................. 234
42. Jumlah Tenaga Kerja Optimal Berdasarkan JTB........................................ 235
43. Jumlah Kebutuhan Air Tawar Optimal Berdasarkan JTB .......................... 236
44. Output Goal Programming ......................................................................... 237
45. Analisa Perbandingan Beberapa Alat Penangkapan Ikan .......................... 240
46. Analisa Alat Tangkap ................................................................................. 266
47. Perhitungan Analisis AHP, Analisis Kebijakan Optimisasi Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan di Telik Lasongko Kabupaten Buton ............................. 280
48. Rincian Kegiatan Penelitian Lapangan di Teluk Lasongko
Kabupaten Buton ........................................................................................ 324

xi
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan di laut sebesar 6,4 juta ton per

tahun, terdiri dari ikan pelagis (kelompok ikan yang kehidupannya maupun mencari

makan selalu di badan air- permukaan perairan) besar 1,16 juta ton, pelagis kecil 3,6 juta

ton, demersal (kelompok ikan yang kehidupannya maupun mencari makan selalu di dasar

laut- di dasar perairan) 1,36 juta ton, udang penaeid 0,094 juta ton, lobster 0,004 juta

ton, cumi-cumi 0,028 juta ton, dan ikan karang konsumsi 0,14 juta ton (Direktorat

Jenderal Perikanan Tangkap, 2004).

Berdasarkan pada kondisi geografi dan untuk kepentingan pengelolaan sumber

daya ikan di laut , perairan laut Indonesia dibagi menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan

Perikanan Indonesia (WPPI) yaitu : (1). Selat Malaka, (2). Laut Cina Selatan, (3). Laut

Jawa, (4). Selat Makasar dan Laut Flores, (5). Laut Banda, (6). Laut Arafura, (7). Laut

Seram dan Teluk Tomini, (8). Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (9). Samudera

Hindia. Berdasarkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, diketahui bahwa terdapat

ketidak seimbangan pemanfaatan sumber daya ikan tersebut di masing-masing wilayah

pengelolaan. Di beberapa wilayah perairan laut telah menunjukkan kondisi yang

tangkap lebih (overfishing) seperti Laut Jawa dan Selat Malaka. Dilain pihak di beberapa

perairan lainnya tingkat pemanfaatannya masih rendah seperti di Laut Flores, Laut

Banda, Laut Seram dan Teluk Tomini serta Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Pada

wilayah perairan yang tingkat pemanfaatannya masih rendah seperti di perairan

Indonesia Bagian Timur, perlu diterapkan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang
2

tepat dan benar agar dapat dihasilkan tangkapan ikan yang optimum dengan tetap

menjaga kelestariannya.

Salah satu perairan yang potensi sumberdaya ikannya perlu dikelola secara

optimum adalah di perairan Teluk. Teluk adalah laut yang menjorok ke laut (Bappeda

Kabupaten Buton, 2004). Di Indonesia sebagai negara yang memiliki 17.504 pulau,

mempunyai banyak teluk dan yang baru dapat diidentifikasi 631 teluk ( Pusat Survei

dan Pemetaan Mabes ABRI, 1984) .Salah satu teluk yang dipilih dalam penelitian ini

adalah Teluk Lasongko. Teluk ini terletak dalam WPPI 4, lokasinya di pulau Muna

termasuk wilayah administrasi Kabupaten Buton. Perairan Teluk Lasongko disamping

memiliki sumber daya ikan untuk usaha penangkapan, perairan ini juga memiliki potensi

sumberdaya untuk usaha budidaya laut yang besar seperti budidaya ikan ,rumput laut dan

moluska. Hal ini dimungkinkan karena lautnya yang tenang cocok untuk lahan

budidaya laut.

Sebagai salah satu upaya untuk mempercepat pembangunan Kawasan Timur

Indonesia melalui pemanfaatan potensi sumberdaya ikan, sejak tahun 2002 telah

dilakukan pertemuan-pertemuan yang terdiri dari wakil-wakil dari 11 instansi yang

dikoordinasikan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan untuk bersama-sama

melakukan kegiatan dengan menerapkan prinsip-prinsip keterpaduan dalam mengelola

kawasan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Sebelas instansi dimaksud adalah : (1)

Departemen Kelautan dan Perikanan (Ditjen. Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen.

Perikanan Tangkap, Ditjen. Perikanan Budidaya, Ditjen. Peningkatan Kapasitas

Kelembagaan dan Pemasaran, Badan Riset Kelautan dan Perikanan), (2) Departemen

Permukiman dan Prasarana Wilayah, (3) Departemen Sosial, (4) Departemen Kesehatan,
3

(5) Departemen Pendidikan Nasional,(6) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,

(7) Departemen Perindustrian dan Perdagangan, (8) Departemen Dalam Negeri, (9)

Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, (10) Kementerian

Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), (11) Kementerian Pemberdayaan

Perempuan. Melalui berbagai pertimbangan , hasil pertemuan menetapkan satu lokasi

pembangunan secara terpadu sebagai proyek percontohan. Lokasi dimaksud adalah

Teluk Lasongko di Pulau Muna Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. (Departemen

Kelautan dan Perikanan, 2003).

Beberapa pertimbangan dipilihnya kawasan Teluk Lasongko sebagai lokasi

percontohan pembangunan terpadu adalah: (i) masyarakat yang tinggal disekitarnya

adalah masyarakat campuran penduduk asli P.Muna dengan penduduk pendatang dari

Ambon (sekitar 1.506 orang), dan (ii) perairan Teluk Lasongko merupakan salah satu

aternatif lahan mata pencaharian bagi penduduk tersebut sehingga perlu adanya

kelangsungan usaha yang kondusif bagi terciptanya situasi aman dan damai.

Upaya yang dapat ditempuh adalah memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di

Teluk Lasongko seoptimal mungkin dengan tetap menjaga kelestariannya. Untuk itu

perlu dirumuskan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yang

dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengaturan usaha penangkapan ikan.

1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah

Teluk Lasongko luasnya kurang lebih 13,6 km2 . Oleh penduduk yang tinggal

disekitarnya teluk ini dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya

laut. Usaha penangkapan ikan yang ada adalah skala kecil namun jumlahnya banyak,

sedangkan usaha budidaya laut belum berkembang. Alat tangkap ikan yang digunakan
4

antara lain jaring insang (2.669 unit), bubu (368 unit), pancing biasa (625 unit), pancing

tonda (430 unit), bagan perahu (79 unit) dan bagan tancap (70 unit). Perkembangan

jumlah alat tangkap ikan di Teluk Lasongko sangat pesat, sebaliknya produksi ikan hasil

tangkapan cenderung menurun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk

Lasongko telah mengalami tangkap lebih (overfishing). Widodo ( 2003) menjelaskan

bahwa kejadian tangkap lebih sering dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah

indikator stok seperti : (i) penurunan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort

, cpue), (ii) penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, (iii) penurunan rata-rata

bobot ikan; dan indikator ekosistem, yakni (iv) perubahan pada struktur umur/struktur

ukuran atau (v) perubahan komposisi spesies dalam polulasi. Overfishing atau tangkap

lebih diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan

untuk mempertahankan stok ikan dalam suatu daerah tertentu (Fauzi., 2005). Kondisi

seperti ini perlu segera diatasi melalui pengaturan usaha penangkapan agar disesuaikan

dengan daya dukung sumbernya.

Gejala tangkap lebih telah terjadi di beberapa perairan Indonesia sebagaimana

dinyatakan oleh Nikijuluw (2002), bahwa berdasarkan potensi dan tingkat pemanfaatan

sumberdaya ikan, meskipun ada banyak jenis ikan yang dimiliki Indonesia, secara

nasional dapat dikatakan bahwa peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya ikan

laut sudah berkurang. Jika dipotret per perairan, umumnya dapat dikatakan bahwa

perairan teritorial di kawasan barat Indonesia seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Laut

Flores, dan Laut China Selatan telah mengalami atau menunjukkan gejala tangkap lebih

(overfishing) bagi jenis-jenis ikan yang tinggi nilai ekonominya. Sementara itu, sudah ada
5

indikasi kuat bahwa perairan ZEEI juga telah mengalami tangkap lebih seperti Laut

Arafura di Kawasan timur Indonesia.

Kondisi tangkap lebih di Teluk Lasongko perlu segera diatasi untuk mencegah

kerusakan sumberdaya ikan yang lebih berat lagi. Stok ikan yang pulih kembali akan

meningkatkan pendapatan dari sektor perikanan dan selanjutnya dapat meningkatkan

penghasilan nelayan serta meningkatkan pemasukan uang bagi negara (Widodo,., 2003).

Pernyataan Widodo ini berlaku tidak hanya untuk perairan Teluk Lasongko, namun dapat

berlaku pada semua perairan. Bagi perairan yang sumberdaya ikannya telah pulih

kembali memberikan peluang kepada nelayan setempat untuk meningkatkan hasil

tangkapan ikannya sehingga terbuka peluang bagi nelayan yang bersangkutan

memperoleh tambahan pendapatan dari usahanya. Peningkatan produksi ikan secara

keseluruhan akan membuka peluang peningkatan pendapatan daerah dari hasil retribusi

ikan.

Untuk mengatasi kondisi tangkap lebih diperlukan pengaturan pemanfaatan

sumberdaya ikan. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan antara lain

dengan cara penetapan Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB). Nilai JTB

dapat diperoleh setelah diketahui nilai Maximun Sustainable Yield (MSY), karena JTB

adalah 80 % dari MSY (Nikijuluw, 2002). Mengingat besarnya MSY sumberdaya ikan di

Teluk Lasongko belum diketahui sebelumnya, maka kajian untuk menghasilkan nilai

MSY sumberdaya ikan merupakan kebutuhan yang mendesak. Berdasarkan nilai MSY

inilah kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko dirumuskan.


6

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan pemanfaatan sumberdaya

ikan berbasis MSY di Teluk Lasongko melalui : (1) analisis peran sektor perikanan laut,

(2) analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, (3) analisis profitability, (4) analisis

optimasi pencapaian tujuan (Linear Goal Programming), dan (5) analisis SWOT/AHP.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini hasilnya diharapkan dapat bermanfaat yaitu untuk: (1)

pengembangan ilmu pengetahuan, (2) sebagai dasar penelitian lebih lanjut dibidang

pengelolaan sumberdaya perikanan, (3) sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam

menyusun peraturan usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko, dan (4) sebagai acuan

bagi pelaku bisnis perikanan dalam perencanaan dan implementasi investasi.


7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sifat Sumberdaya Ikan

Secara alami sumberdaya ikan dapat pulih kembali (renewable), artinya apabila

sumberdaya tersebut diambil sebagian, maka sumberdaya yang tertinggal memiliki

kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan jalan berkembang biak. Dengan sifat

ini berarti pula bahwa stok atau populasi ikan tidak boleh dimanfaatkan secara sewenang-

wenang tanpa memperhatikan struktur umur ikan maupun rasio kelamin dari populasi

ikan, karena akan dapat berdampak pada rendah atau lambatnya kemampuan untuk

memulihkan diri, yang pada akhirnya akan mengarah pada kepunahan.

Rosyidi, (2004) menyatakan bahwa dilihat dari sisi ekonomi, barang atau benda di

dunia ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, barang-barang bebas (free goods) dan

barang-barang ekonomi (economic goods). Barang-barang bebas adalah barang-barang

yang tersedia berlimpah-limpah, dan setiap orang dapat memperolehnya dengan bebas

dengan cara yang mudah. Contoh udara, air, sinar matahari. Kedua, barang-barang

ekonomi adalah barang-barang yang ketersediannya jarang atau langka (scare).

Berdasarkan pembagian barang tersebut, sumberdaya ikan termasuk kedalam barang

ekonomi yang jumlahnya terbatas. Untuk memperoleh barang-barang ekonomi itu, orang

terlebih dahulu berkorban dan atau berjuang. Sedikit sekali barang-barang yang memiliki

sifat barang bebas. Hal inilah yang memaksa orang untuk tunduk kepada The Law of

Scarcity (Hukum Kelangkaan), yang berbunyi : untuk mendapatkan barang yang langka,

orang harus mengorbankan sesuatu lebih dahulu. Sumberdaya ikan tidak dapat begitu

saja diambil dan kemudian digunakan, tetapi harus diperoleh dulu melalui suatu upaya

atau pengorbanan.
8

Sumberdaya ikan dapat dikelompokan sebagai sumberdaya pertanian yang akan

menghasilkan suatu produk bila diusahakan dengan menggunakan input produksi seperti

tenaga manusia. Peningkatan jumlah penggunaan input produksi akan dapat

meningkatkan hasil atau output yang pada suatu titik tertentu kenaikan output

tambahannya akan senantiasa kian menjadi kurang. Ricardo (1814) yang diacu dalam

Rosyidi (2004) menemukan hukum The Law of Diminishing Return yang berbunyi :

Apabila input dari sesuatu sumber tertentu ditambah dengan pertambahan yang sama

pada setiap satuan waktu tertentu sedangkan input-input lain tidak berubah jumlahnya,

maka hasil totalnya pun senantiasa meningkat, tetapi sesudah suatu titik tertentu,

kenaikan output tambahannya akan senantiasa kian menjadi berkurang.

Pemanfaatan sumberdaya ikan merupakan kegiatan ekonomi yang dapat

memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu

sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), pengelolaan sumberdaya

ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Rosyidi, (2004)

menyatakan bahwa di dalam aktivitas perekonomian, pemerintah bertugas untuk

mengatur, mengendalikan, serta mengadakan kontrol atas jalannya roda perekonomian,

agar negara bisa maju serta rakyat dapat hidup dengan layak dan damai. Sejalan dengan

itu dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tidak cukup didasarkan pada bidang ilmu biologi

saja, melainkan diperlukan pula penerapan ilmu ekonomi. Reksohadiprodjo, (1998)

mengemukakan ilmu ekonomi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari

tentang alokasi sumberdaya yang terbatas jumlahnya secara efesien dan efektif untuk

memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas. Ilmu ekonomi disebut juga ilmu

memilih, dalam arti mempelajari tentang pilihan yang harus dibuat dari berbagai
9

alternatif tujuan yang bersaingan. Maksudnya jika suatu alternatif telah dipilih, berarti

kita harus mengabaikan/mengorbankan alternatif lainnya. Dengan ilmu ekonomi kita

berusaha untuk memilih alternatif yang paling baik bagi pecapaian tujuan. Mengapa kita

harus mengadakan pilihan secara optimal adalah seperti disebutkan dalam definisi di atas,

yaitu disebabkan terbatasnya jumlah sumber daya yang tersedia. Dengan terbatasnya

sumberdaya ini tidak memungkinkan bagi kita untuk mencapai semua tujuan secara

sekaligus, atau ada sebagian tujuan yang terpaksa dikorbankan.

Pertumbuhan ekonomi agregat sering diinterpretasikan sebagai kenaikan produksi

nasional. Untuk itu kita perlu melihat faktor apa saja yang diperlukan bagi pertumbuhan.

Hal ini bisa dilihat melalui fungsi produksi yang menunjukkan hubungan antara keluaran

(output) dengan jumlah masukan (input), yang dituliskan :

Y = F (TK, K, N, E, T)

Fungsi di atas bisa diartikan output/produksi nasional (Y) selama suatu periode

tergantung pada aliran masukan tenaga kerja (TK), kapital (K), sumberdaya alam (N),

kewiraswataan/entrepreneurship (E) dan teknologi (T). Dari fungsi produksi di atas

sumberdaya alam bersama-sama masukan lainnya menjadi pendorong bagi pertumbuhan

ekonomi. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa jika sumberdaya dilipatkan

penggunannya maka pertumbuhan keluaran/hasil dapat pula ditingkatkan. Sumberdaya

alam yang dimaksud di sini adalah segala macam sumberdaya yang sifatnya heterogen

dan kompleks dan tentunya yang sudah berwujud sumberdaya siap pakai bukan yang

masih tersimpan di alam (Reksohadiprodjo., 1998).

Selanjutnya Reksohadiprodjo. mengemukakan bahwa salah satu kelemahan dari

pengelolaan sumberdaya alam di negara-negara sedang berkembang adalah usaha


10

mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara eksploitasi besar-besaran dari sumber daya

alamnya tanpa memperhatikan akibat sampingan. Akibatnya mereka harus membayar

mahal dengan semakin rusaknya lingkungan. Salah satu masalah yang harus dihadapi

manusia adalah semakin tipisnya persediaan sumberdaya alam. Berarti jika sumberdaya

terus dieksploitasi demi mengejar pertumbuhan dimungkinkan beberapa saat lagi

pertumbuhan akan berhenti, karena habisnya pasok sumberdaya. Bagi mereka yang

optimis, teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi modern dipercaya akan mampu

menangani masalah semakin menipisnya sumberdaya sehingga kemajuan ekonomi dapat

dicapai tanpa henti-hentinya. Pertumbuhan ekonomi tidak ada batasnya karena : (1)

teknologi akan selalu menyediakan pengganti terhadap sumberdaya alam yang semakin

langka; dan (2) kalau sumberdaya telah langka harganya akan tinggi, sehingga akan

mengurangi permintaan dan penggunaannya akan berkurang, dan selanjutnya akan

menimbulkan insentif untuk mencari pengganti.

Reksohadiprodjo, (1998) mengemukakan dalam pengelolaan sumberdaya alam

terdapat isu-isu pokok yaitu :

(1) Sumberdaya alam terbatas ketersediaannya.

(2) Lokasi dari cadangan sumberdaya alam letaknya jauh dari yang memerlukan.

(3) Adanya pergeseran para pengguna dari yang semula memakai sumberdaya alam

yang renewable menjadi semakin tergantung pada sumberdaya alam yang

nonrenewable.

(4) Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak bijaksana/lestari dan berpandangan

jangka pendek.
11

(5) Pengelolaan sumberdaya belum mempertimbangkan lingkungan. Kebanyakan

analisis pertumbuhan ekonomi lebih menekankan pada faktor-faktor teknologi

dan modal dan sedikit yang mengulas tentang peranan lingkungan.

(6) Semakin meningkatnya ketergantungan pada sumberdaya alam kelas rendah.

Dengan habisnya bahan tambang berkadar tinggi, terpaksa menambang bahan

berkadar randah. Bahkan letaknya semakin sulit dijangkau dan memerlukan

energi yang lebih banyak bahkan ada mineral tertentu yang terpaksa diambil

dengan energi 1.000 sampai 10.000 kali lebih banyak dibanding semula dimana

bahan berkadar tinggi masih mudah didapatkan.

(7) Semakin terbatasnya kondisi lingkungan global, contohnya meningkatnya

pencemaran laut dan terbentuknya racun yang menetap pada tanah.

(8) Peranan yang diberikan kepada pasar dan menentukan pengelolaan sumberdaya

alam. Sejarah menunjukkan kekuatan pasar sangat berperan dalam menentukan

kegiatan eksplorasi dan permintaan. Terbukti bahwa inovasi teknologi sebagian

besar dipengaruhi oleh perubahan harga. Pengaturan harga, aturan birokrasi,

berbagai bentuk subsidi menghambat bekerjanya pasar dan menyebabkan

pengelolaan sumberdaya alam tidak optimal.

Reksohadiprodjo, (1998) menambahkan bahwa dalam hal pasok sumberdaya

alam dibedakan istilah stock dan flow. Sumberdaya alam yang tersedia dalam jumlah,

kualitas, tempat dan waktu tertentu disebut stock sumberdaya. Sedangkan flow

merupakan komoditi sumberdaya alam yang dihasilkan dari stock. Stock menunjukkan

apa yang diketahui tersedia untuk penggunaan sampai masa tertentu, sedangkan flow

merupakan indikasi penggunaan saat ini. Jika stock akan berkurang jumlahnya sejumlah
12

yang digunakan oleh manusia, maka flow akan selalu berubah jumlahnya tergantung

penggunaan. Pengetahuan tentang konsep stock sebenarnya akan sangat tergantung dari

teknologi yang tersedia, tinjauan kelayakan ekonomis dan apakah secara kondisi sosial

memang diinginkan seperti jelas tertera dalam pasal 33 UUD 1945. Terdapat satu

macam sumberdaya alam yang disebut common property resources yaitu sumberdaya

alam yang dimiliki bersama. Karena sifatnya yang menjadi milik bersama maka prinsip

siapa cepat dia dapat, menjadi pedoman dari pemakai sumberdaya alam. Oleh karena itu

sumberdaya alam akan cepat habis, kalaupun sumberdaya alam renewable bisa dipastikan

kehancurannya akan mudah pula. Contoh yang paling menarik adalah penangkapan ikan.

Kini bisa kita saksikan semakin menipisnya stock ikan binatang menyusui yang hidup di

laut (khususnya ikan paus dan lumba-lumba). Karena ikan tidak ada yang memiliki,

orang berlomba-lomba menangkapnya lebih dahulu sebelum didahului orang lain.

Common property resources memerlukan manajemen khusus untuk menghindarkannya

dari kehancuran yang terus berlangsung.

Widodo (2003) menjelaskan bahwa sumberdaya ikan merupakan salah satu

sumber daya alam yang mampu pulih namun bukan tidak terbatas. Mereka dapat

mengalami penipisan kelimpahan (abundance) bahkan kemusnahan (collapse) jika

dibiarkan dalam keadaan nir-kelola. Kondisi sumberdaya ikan nir-kelola dapat dilihat

secara grafik sebagai berikut.


13

Gambar 1. Fase Perkembangan Sumberdaya Ikan Nir-Kelola (Widodo, 2003)

Gordon (1954) yang diacu dalam Fauzi (2004) mengemukakan bahwa

sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam

lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya

ikan relatif bersifat terbuka. Gordon juga mengemukakan bahwa tangkap lebih secara

ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol.

Meski banyak sekali bentuk fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent,

salah satu bentuk fungsi yang sederhana dan sering digunakan adalah model

pertumbuhan logistik (logistic growth model). Gambar 2 memperlihatkan fungsi

pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah

daya dukung maksimum lingkungan (carrying capacity).


14

F(x)
Xt

k
K

r1
r
1
r
2
r2

0 1/2K K x
0 t
(a) (b)

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Logistik

Dari persamaan matematis dan gambar di atas terlihat bahwa dalam kondisi

keseimbangan (equilibrium) dimana laju pertumbuhan sama dengan nol ⎛⎜ ∂χ = 0 ⎞⎟ ,


⎝ ∂t ⎠

tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity. Maksimum pertumbuhan akan

terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2). Tingkat ini disebut

juga Maximum Sustainable Yield atau MSY. Pada panel (b) diperlihatkan bagaimana

stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity (K)

tergantung pada tingkat pertumbuhan intrinsik (r), semakin tinggi nilai r (r1 < r2), semakin

cepat carrying capacity dicapai. Pertumbuhan intrinsik adalah pertumbuhan yang

terdapat di dalam komuniti itu sendiri.

Kurva pertumbuhan ikan dibuat dengan asumsi perikanan tidak mengalami

eksploitasi. Model kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor produksi

(tangkap) ke dalam model. Untuk menangkap ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai

sarana. Sarana tersebut merupakan faktor input, yang biasa disebut sebagai upaya atau
15

effort. Meski banyak definisi mengenai pengukuran upaya ini, definisi umum yang bisa

dipahami mengenai upaya adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal,

jaring, alat tangkap dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan.

Fauzi, (2004) mengemukakan bahwa secara teoritis fungsi tersebut mungkin tidak

realistis karena menunjukkan tidak adanya sifat kenaikan hasil yang semakin berkurang

(diminishing return) dari upaya yang merupakan sifat dari fungsi produksi. Implikasinya

jika upaya mengalami penggandaan, produksi juga akan berganda. Demikian pula jika

upaya ditingkatkan seribu kali lipat, produksi juga akan meningkat seribu kali lipat. Hal

ini tentu saja tidak realistis karena dalam jangka pendek stok ikan terbatas, sehingga ada

batasan maksimum dari produksi.

Pengaruh introduksi penangkapan ikan terhadap fungsi pertumbuhan biologi stok

ikan dapat memperlihatkan beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas

penangkapan terhadap stok. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan,

maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h 1 (garis vertikal). Kemudian, jika

upaya dinaikkan sebesar E2, dimana E2>E1, hasil tangkapan akan meningkat sebesar h 2

(h2 > h1 ) . Jika upaya terus dinaikkan, misalnya sebesar E3 (E3 > E2 > E1), akan terlihat

bahwa untuk tingkat upaya dimana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang

lebih besar.

Kurva produksi lestari yang dikenal dengan istilah Yield Effort Curve (Gambar 3)

terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (upaya = 0), produksi juga akan nol.

Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik EMSY akan diperoleh produksi yang maksimum.

Produksi pada titik ini disebut sebagai titik Maximum Sustainable Yield. Karena sifat dari

kurva Yield Effort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya yang terus-menerus
16

setelah melewati titik tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Produksi

akan turun kembali, bahkan mencapai nol, pada titik upaya maksimum (Emax).

Gambar 3. Kurva Produksi Lestari-Upaya

Fauzi, (2004) mengemukakan bahwa dapat ditambahkan faktor ekonomi dengan

memasukkan faktor harga dan biaya. Untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer

ini beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi

tersebut antara lain :

(1) Harga per satuan output (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan

diasumsikan elastis sempurna.

(2) Biaya per satuan upaya (C) dianggap konstan.

(3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species).

(4) Struktur pasar bersifat kompetitif.

(5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pasca

panen dan lain sebagainya).


17

Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas, dan kurva Sustainable Yield-Effort

(SYE), maka dengan mengalikan harga dan produksi lestari diperoleh kurva penerimaan

(TR = ph). Demikian juga, dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya

diperoleh kurva total biaya (TC = cE) yang linier terhadap upaya. Kalau digabungkan,

fungsi penerimaan dan biaya dalam suatu gambar, akan diperoleh kurva sebagaimana

disajikan pada Gambar 3. Pada Gambar 4 dijelaskan pengelolaan perikanan dalan dua

rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka

(open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya EY2, dimana

penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan

hanya menerima biaya opurtunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi

tidak diperoleh.

Gambar 4. Grafik Model Gordon-Schaefer


18

Rente ekonomi sumberdaya (economic rent) dalam hal ini diartikan sebagai

selisih antara total penerimaan dari ekstraksi sumberdaya dengan seluruh biaya yang

dikeluarkan untuk mengekstraksinya. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat

upaya dalam kondisi keseimbangan yang disebut bioeconomic equilibrium of open access

fishery atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka.

Secara intuisi, keseimbangan bioekonomi dapat dijelaskan pada setiap tingkat

upaya lebih rendah dari Eχ (sebelah kiri dari E ∞ ), biaya total melebihi penerimaan total,

sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar dari perikanan (Apollonio, 2002).

Dengan demikian, hanya pada tingkat upaya keseimbangan tercapai, sehingga proses

entry dan exit tidak terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika

seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak ada lagi

insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang

sudah ada. Kondisi ini identik dengan ketidakadaannya hak kepemilikan (property

rights) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak kepemilikan yang bisa

dikuatkan secara hukum (enforceable).

Keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable rent) akan diperoleh

pada tingkat upaya di mana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak

terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering

disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara

ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially optimum).

Jika dibandingkan tingkat upaya pada keseimbangan open access dengan tingkat upaya

optimal secara sosial (E0), akan terlihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya

yang dibutuhkan jauh lebih lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai
19

keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ekonomi, keseimbangan open

access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (misallocation)

karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal dan lain-lain) tersebut bisa

dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah sebetulnya inti

prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic

overfishing. Gordon (1954) yang diacu dalam Fauzi (2004) mengemukakan bahwa

keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit biomas (too

manny boat chasing too few fish). Hal ini terjadi kasena sifat akses yang terbuka,

menjadikan stok sumberdaya akan dieksploitasi sampai titik yang terendah.

Mulyadi (2005) menuliskan bahwa masalah risiko dan ketidakpastian (risk and

uncertainty) terjadi karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi

(open access). Wilayah yang pemanfaatannya tidak terbatas akan cenderung

menimbulkan terjadinya eksploitasi berlebih. Individu yang memiliki akses terbaik

dengan modal dan teknologi, cenderung memperoleh manfaat terbanyak dari tempat itu.

Menghadapi kondisi seperti ini, masyarakat nelayan cenderung mengembangkan pola-

pola adaptasi yang berbeda dan sering kali tidak dipahami oleh masyarakat di luar

komunitasnya untuk menghadapi akibat banyaknya risiko dan kehidupan yang serba tidak

menentu. Selanjutnya Mulyadi (2005) mengemukakan bahwa beberapa stok ikan di

beberapa kawasan perairan sudah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing) terjadi

terutama dikarenakan pengelolaan pembangunan yang selama ini diterapkan kurang

besar. Dengan kata lain, selama ini telah terjadi mis-management pada pembangunan

nasional kita.
20

2.2 Permasalahan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Sumberdaya ikan yang ada di perairan Teluk Lasongko perlu dikelola dengan

sebaik-baiknya agar dapat dimanfaatkan secara optimum bagi kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan secara optimum dalam arti bahwa pemanfaatan sumberdaya yang dapat

memberikan kepuasan kepada generasi sekarang tanpa mengurangi kepuasan yang akan

dinikmati generasi berikutnya. Nikijuluw (2002) memberikan ilustrasi tentang

pentingnya mengelola sumberdaya ikan dengan memodifikasi pepatah tua dari negeri

Cina yaitu : ”Berilah seseorang ikan,dia akan makan sampai kenyang pada hari ini. Ajari

dia memancing, dia dapat makan ikan selama hidupnya. Namun, jika engkau ajari dia

mengelola sumberdaya ikan dan memanfaatkannya dengan bijaksana, dia dan anak

cucunya akan dapat makan ikan selama hidup mereka. Dari pepatah Cina ini dapat

dikatakan bahwa sifat altruistic (memikirkan nasib generasi mendatang) suatu generasi

adalah sangat penting. Jika suatu generasi hanya memikirkan nasibnya sendiri, generasi

tersebut akan memaksimumkan manfaat yang dapat mereka peroleh dari sumberdaya.

Namun, dengan sikap ini, sangat mungkin sumberdaya yang dimanfaatkan akan lenyap

begitu generasi ini lenyap. Jika suatu generasi bersifat altruistik maka sumberdaya yang

ada sekarang tidak akan dimanfaatkan pada tingkat yang maksimum, melainkan pada

tingkat optimum.

Pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan sangat penting disebabkan

sumberdaya ini sangat rentan dan sensitif terhadap banyak perubahan. Kerentanan dan

sensitivitasnya semakin tinggi karena merupakan sumberdaya hayati yang banyak

dipengaruhi perubahan-perubahan eksternal dan internal, yaitu perubahan yang terjadi di

dalam maupun di luar ekosistem. Kesulitan dalam mengalihkan investasi, faktor musim,
21

ketidakpastian (uncertainty) usaha serta resiko yang diambil (risk taker) dalam bentuk

harapan hasil tangkapan yang lebih baik di waktu yang akan datang, maka nelayan akan

terus berusaha dan bila mungkin terus meningkatkan kapasitas penangkapan ikan (Clark

et al., 1985). Bila ini terjadi, penangkapan ikan secara berlebihan (biological overfishing)

terjadi secara bersama dengan kelebihan investasi (economic overfishing) (Nikijuluw et

al., 2000). Dengan demikian jelas bahwa sumberdaya ikan akan mendatangkan manfaat

yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan jika dan hanya jika dimanfaatkan dengan

cara yang baik. Sebagai contoh pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yang

dikelola melalui pengaturan bersama antara Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dapat mempertahankan produksi ikan lemuru

pada tingkat yang optimum (Basuki, 2003).

Widodo dan Nurhuda, 1995, menjelaskan bahwa dinamika suatu stok ikan

dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu rekrutment, pertumbuhan, mortalitas dan

hasil tangkapan. Dinamika stok ini dapat dilihat melalui Gambar 5.

Gambar 5. Dinamika Stok Ikan yang Dieksploitasi (Sumber : Widodo dan Nurhuda, 1995)
22

Stok ikan secara alami akan berkembang biak dan hasil perkembangbiakan dalam

bentuk anak-anak ikan akan menambah jumlah stok ikan yang telah ada atau disebut

rekruitmen (R). Stok ikan tersebut akan tumbuh karena adanya aktivitas makan, atau

disebut pertumbuhan (G). Kemudian stok ikan dimanfaatkan melalui kegiatan

penangkapan dan menghasilkan hasil tangkapan (Y). Disamping itu ikan-ikan secara

alami dapat mengalami kematian karena umur maupun penyakit atau disebut mortalitas

(M). Stok ikan akan dapat dimanfaatkan secara terus menerus apabila senantiasa dapat

dijaga kondisi G + R = Y + M.

Apabila terjadi gangguan keseimbangan karena pengelolaan sumberdaya ikan

tidak dilakukan dengan baik, maka akan terjadi kelebihan penangkapan ikan

(overfishing). Kondisi overfishing dibagi dalam beberapa tipe tergantung pada tingkat

keseriusannya yaitu : recruitment overfishing, bologically overfishing, economically

overfishing dan Malthusian overfishing (Nikijuluw, 2002).

Recruitment overfishing yaitu suatu kondisi stok ikan dimana ikan-ikan muda

(juvenile) ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa

yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dalam hal ini

pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan

dewasa yang tersisa. Kondisi recruitment overfishing secara grafis dapat dilihat pada

Gambar 6.
23

Gambar 6. Recruitment Overfishing

Recruitment Over Fishing terjadi pada saat dilakukannya penambahan jumlah effort dari

E* dengan tingkat produksi pada titik Maximum Sustainable Yield (MSY). Penambahan

jumlah effort ini akan mendorong produksi ikan menjadi menurun, sebagaimana dapat

dilihat melalui Gambar 6.

Biologically overfishing yaitu kondisi penangkapan ikan yang telah mencapai

tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Hal ini berarti ikan yang

ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan

berkelanjutan. Biologically overfishing akan membuat stok sumberdaya ikan menurun

secara drastis dan bahkan dapat membuat kegiatan perikanan berhenti total. Secara grafis

biologically overfishing dapat digambarkan seperti pada Gambar 7.


24

Gambar 7. Kondisi Biologically Overfishing

Economically overfishing yaitu kondisi dimana usaha penangkapan ikan yang ada

beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi. Usaha penangkapan ikan

tumbuh secara berlebihan namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat

hanya pada tingkat suboptimum. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha penangkapan

tidak lagi efisien. Secara grafis kondisi economically overfishing dapat dilihat pada

Gambar 8.
25

Gambar 8 .Kondisi Economically Overfishing

Economically overfishing ini terjadi pada saat dilakukannya penambahan effort

dari E1, dengan tingkat produksi pada level Maximum Economic Yield (MEY).

Penambahan effort ini akan mengakibatkan produksi meningkat sampai titik Maximum

Sustainable Yield (MSY), untuk selanjutnya tingkat produksi akan mengalami penurunan.

Sementara disisi lain, penambahan effort ini juga akan mengakibatkan keuntungan atau

“resources rent” semakin kecil, dan akan mencapai nol pada titik “zero rent”.

Apabila ketiga tipe overfishing tersebut terus terjadi pada suatu perairan, maka

tipe overfishing keempat yaitu Malthusian Overfishing akan dapat terjadi. Malthusian

Overfishing adalah perlombaan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari usaha

penangkapan ikan dengan cara yang salah dan membawa dampak kerugian bagi semua

orang. Teori ini berdasarkan teori Malthus yang mengemukakan bahwa pertumbuhan

penduduk begitu cepat sedangkan pertumbuhan produksi pangan untuk menghidupi

penduduk sangat lambat. Dalam bidang perikanan, dapat diartikan bahwa ada sedikit
26

ikan yang tersedia di laut namun diperebutkan oleh banyak nelayan. Malthusian

overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumberdaya ikan tidak mampu dan

tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh

rakyatnya. Akibatnya setiap nelayan berkompetisi secara bebas. Timbul daya kreasi

setiap orang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dan cepat. Daya kreasi ini

dapat diwujudkan dalam bentuk metode dan teknik menangkap ikan yang cepat dan

efisien secara ekonomi, namun merusak lingkungan. Metode dan teknik tersebut

biasanya dalam bentuk penggunaan bom, dinamit, racun, atau aliran listrik. Mereka

melakukan hal ini dengan pertimbangan jika tidak dilakukan, orang lain yang akan

melakukannya.

Berdasarkan pada teori overfishing tersebut diatas dan hasil perhitungan tingkat

eksploitasi sumberdaya ikan serta hasil perhitungan jumlah alat tangkap ikan yang layak

dioperasikan di perairan Teluk Lasongko, berarti pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk

Lasongko telah mengalami Economically overfishing. Terhadap kondisi perairan yang

demikian perlu segera dilakukan pengelolaan sumberdaya ikan yang sesuai agar tidak

terjadi kerusakan yang lebih parah lagi. Widodo (2003) menyatakan bahwa terhadap

perairan yang telah mengalami tekanan penangkapan ikan yang berlebihan, Pemerintah

harus melakukan pengaturan terhadap besarnya upaya penangkapan. Dengan pengelolaan

yang lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan sumberdaya ikan yang selanjutnya

akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan.

Smith (1981) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) menuliskan dalam salah satu

karya gemilangnya yang berjudul ”Improving Fishing Incomes when resources are

Overfished”, mencoba secara teoritis menggambarkan kegagalan berbagai kebijakan


27

pemerintah. Menurut Smith, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk motorisasi,

subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta

pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasi nelayan dalam jangka pendek memang

akan sedikit terlihat dampak positifnya dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun

dalam jangka panjang, semua kebijakan ini tidak berdampak signifikan. Nelayan tetap

miskin dan terperangkap dalam kemiskinan itu. Menurut Smith, ada dua hal yang harus

dilakukan pemerintah. Pertama, jumlah nelayan harus dikurangi dan sebab itu jumlah

upaya penangkapan yang rasional serta akses terbatas ke sektor perikanan harus

ditetapkan dalam bentuk aturan positif dan kemudian dijalankan dengan konsekwen dan

tanggung jawab. Kedua, mengembangkan pekerjaan suplemen dan alternatif kepada

keluarga nelayan di luar sektor perikanan. Bila jumlah nelayan sudah dikurangi dan

dibatasi pada angka tertentu maka kebijakan-kebijakan lainnya seperti motorisasi, subsidi

BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta

pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasai nelayan akan berdampak positif bagi

peningkatan pendapatan dan pengentasan kemiskinan nelayan.

Nikijuluw (2005) mengemukakan pendapatan nelayan Indonesia yang rendah

karena Malthusian overfishing. Jumlah nelayan harus dibatasi dan ditetapkan pada angka

tertentu. Setelah ditutupnya aksesibilitas ke sektor perikanan maka pemerintah dapat

mengambil kebijakan selanjutnya yang diarahkan pada peningkatan produktivitas,

penentuan daerah penangkapan ikan secara sistem buka tutup, penentuan waktu

penangkapan ikan, penghematan biaya, peningkatan nilai jual nelayan serta penciptaan

kegiatan ekonomi suplemen dan alternatif. Jadi, pembatasan jumlah nelayan di suatu
28

perairan tertentu merupakan kebijakan mutlak yang patut dilakukan pemerintah. Hanya

dengan cara ini, nelayan Indonesia bisa ditingkatkan pendapatannya.

Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama

pemanfaatan sumberdaya ikan adalah untuk :

1). Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan

perbaikan (enhancement).

2). Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan.

3). Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.

2.3 Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Pemanfaatan sumberdaya ikan umumnya didasarkan pada konsep “hasil maksimum

yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep

MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli

biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga

keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum

dalam waktu yang panjang.

Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya

(resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan

memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut.

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan “Maximum Sustainable

Yield” mempunyai kelemahan antara lain : (i) tidak bersifat stabil, karena perkiraan

stock yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok, (ii) tidak

memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen, dan (iii) sulit
29

diterapkan pada kondisi di mana perikanan memiliki ciri ragam jenis (Fauzy, 2004). Di

Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya menggunakan konsep-konsep biologis

dalam pendugaan stok sumberdaya ikannya yaitu dengan menggunakan pendekatan MSY.

Kelebihan dari pendekatan ini adalah diperlukan data yang terbatas, sederhana dalam

analisis, murah serta hasilnya mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu

kebijakan (Ghofar., 2003).

Pada perairan dimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mengalami

overfishing perlu segera diatasi untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan yang

semakin parah. Upaya untuk mengatasi terjadinya overfishing dapat ditempuh dengan

menetapkan jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap atau biasa dikenal dengan istilah

Total Allowable Catch (TAC). Besarnya TAC di Indonesia secara nasional adalah 80%

dari MSY atau sekitar 5 juta ton ikan yang dapat diproduksi per tahun agar kelestarian

sumberdaya ikannya tetap terjaga baik.

Menurut Nikijuluw (2002), ada tiga cara mengimplementasikan pendekatan TAC.

Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan TAC secara

keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan terentu. TAC

tersebut kemudian diumumkan kepada setiap nelayan. Selanjutnya pemerintah sebagai

pemegang otoritas menetapkan aturan pemanfaatan sumberdaya ikan melakukan

pemantauan jumlah ikan yang ditangkap serta memberhentikan penambahan alat tangkap

ikan apabila TAC telah tercapai. Kedua, membagi TAC kepada setiap nelayan, kapal atau

armada. Untuk itu pemerintah sebagai manajer dapat menentukan keberpihakan

kepadanelayan atau jenis kapal ikan tertentu.


30

Sebagai contoh di Norwegia, pemerintah menetapkan persentase TAC tertentu

kepada perikanan skala kecil. Sisa TAC yang belum dibagi kemudian dialokasikan

kepada nelayan pukat cincin skala besar. Dengan cara ini perbedaan pendapatan antar

nelayan dapat diperkecil.

Cara ketiga adalah membatasi kegiatan atau mengurangi efisiensi penangkapan

ikan sedemikian rupa sehingga TAC tidak terlampaui. Cara ini secara ekonomis tidak

efisien dan juga sering tidak akurat dilaksanakan karena kesulitan dalam mengatur

penangkapan ikan serta memprediksi jumlah ikan yang mungkin ditangkap setiap kapal.

Akibatnya cara ini seringkali membuat TAC terlampaui.

Nikijuluw (2005) mengemukakan pentingnya mengelola perikanan secara empiris

dapat ditunjukkan dengan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia pada

saat ini. Yang dimaksudkan tingkat pemanfaatan adalah nisbi antara jumlah yang

ditangkap dengan estimasi potensi sumberdaya. Sederhananya apabila tingkat

pemanfaatan terlalu tinggi, lebih dari 50% dan mendekati 100%, maka sering dikatakan

bahwa sumberdaya sudah tinggi tingkat pemanfaatannya. Tingkat pemanfaatan penuh

atau sumberdaya telah jenuh pemanfaatannya bila prosentase pemanfaatan sudah

mendekati atau pada tingkat 100%. Lebih dari 100% dinamakan dengan tingkat

pemanfaatan lebih, sementara kurang dari 50% disebut dengan tingkat pemanfaatan yang

rendah. Secara nasional, potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) sumberdaya

perikanan diperkirakan 6,4 juta ton per tahun. Potensi ini sebetulnya aman untuk

dieksploitasi. Akan tetapi dengan prinsip kehati-hatian terhadap kelangsungan

sumberdaya, maka potensi itu direduksi menjadi sekitar 5,12 juta ton atau 80% dari

potensi lestari. Angka 5,12 juta ton disebut dengan jumlah tangkapan yang
31

diperbolehkan (JTB). Bila yang menjadi rujukan itu JTB maka sebetulnya pemanfaatan

sumberdaya telah mencapai sekitar 90%. Namun bila yang menjadi rujukan itu adalah

potensi lestari 6,4 juta ton maka tingkat pemanfaatan telah mencapai sekitar 72%. Dari

kedua angka tersebut, tingkat pemanfaatan ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya

perikanan laut Indonesia secara nasional, yang berarti pada seluruh perairan, mencakup

semua jenis ikan, dan berada baik di laut pedalaman, laut wilayah dan Zona Ekonomi

Eksklusif Indonesia (ZEEI) telah mengalami kondisi pemanfaatan yang tinggi, hampir

jenuh. Posisi ini sebetulnya adalah posisi kritis yang berarti bahwa pengelolaan

sumberdaya ikan sudah sangat diperlukan.

Selanjutnya Nikijuluw (2005) menuliskan bahwa menurut Code of Conduct for

Responsible Fisheries (CCRF), pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar,

kebutuhan dunia. Hal ini karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada

perikanan sebagai mata pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan

dunia yang begitu penting itu mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi

dasar atau alasan untuk dikelola pemanfaatannya :

(1) Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh,

tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus

diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami degradasi

karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.

(2) Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh

perkembangan teknologi yang begitu cepat terutama pemanfaatan Geographical

Positioning System (GPS), radar, echosounders, mesin kapal yan lebih kuat dan

besar serta berkembangnya teknologi pengolahan ikan.


32

(3) Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah suatu

resultante dari kegagalan kepemerintahan perikanan (fisheries governance) yang

mencakup di dalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli perikanan serta

pemerintah sebagai suatu lembaga.

Di Indonesia, otoritas pengelolaan adalah pemerintah melalui Menteri yang

bertanggung jawab dalam bidang perikanan. Akan tetapi dalam kerangka otonomi daerah

dan desentralisasi pemerintahan, otoritas dan wewenang tersebut didelegasikan

(desentralisasi) ke daerah (UU 32/2004). Selain itu, pengelolaan perikanan harus

mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta

masyarakat (pasal 6 UU 31/2004). Karena begitu pentingnya kedudukan manusia dalam

memberi arti dan manfaat bagi sumberdaya ikan maka pengelolaan sumberdaya

perikanan (fisheries resource management) pada hakekatnya bukanlah sekedar suatu

upaya atau proses mengelola sumberdaya ikan (managing of fish resources) tetapi

sesungguhnya adalah proses mengelola manusia (managing of fishers) sebagai pengguna,

pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan. Karena mengelola manusia ternyata tidak

lebih mudah dari pada mengelola sumberdaya ikan, maka pengelolaan sumberdaya

perikanan menjadi sulit. Lebih sulit lagi karena ternyata interaksi antara manusia dan

sumberdaya ikan merupakan suatu kondisi yang komplikatif yang menyangkut aspek-

aspek bioteknologi, teknologi, sosial dan ekonomi. Dengan demikian maka pendekatan

sosial ekonomi mendapat tempat yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, di

samping pendekatan bioekologi dan teknologi.

Dahuri (2000) yang diacu dalam Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa kelemahan

dalam pengelolaan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :


33

(1) Permasalahan yang bersifat teknis

Permasalahan pembangunan perikanan di Indonesia yang bersifat teknis meliputi

hal-hal berikut. Pertama, kemampuan kita di dalam memproduksi komoditas

perikanan yang berdaya saing tinggi secara lestari, baik melalui usaha

penangakapan maupun budidaya masih rendah. Hasil tangkapan ikan per-satuan

upaya di laut masih relatif rendah, bersifat fluktuatif atau tak menentu. Kedua,

kemampuan kita memasarkan produk atau komoditas perikanan dengan harga yang

menguntungkan nelayan baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor masih juga

lemah. Harga jual produk-produk perikanan sangat cepat berubah dan sering kali

mengalami market glut, yakni suatu kondisi pasar yang harga jual suatu

komoditasnya menurun drastis ketika pasokan komoditas tersebut melimpah (hasil

tangkapan sedang baik dan harga jual membaik manakala sedang paceklik).

Kondisi ini turut mengakibatkan nelayan terjebak dalam kemiskinan. Ketiga, harga

faktor-faktor produksi relatif mahal dan bersifat fluktuatif.

(2) Permasalahan yang berkaitan dengan kebijakan

Keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga subsistem utamanya, yaitu

1) produksi; 2) pascapanen (penanganan dan pengolahan): dan 3) pemasaran, tetapi

juga oleh subsistem penunjangnya yang meliputi prasarana dan sarana, keuangan,

sumberdaya manusia dan iptek serta hukum dan kelembagaan. Kebijakan

pemerintah di bidang agrobisnis perikanan belum mendukung kemajuan

pembangunan perikanan. Minimal ada tiga kelemahan kebijakan yang mendasar.

Pertama, belum ada kebijakan yang membatasi jumlah (tingkat atau kuota)

penangkapan stok ikan di suatu kawasan perairan. Semua nelayan secara bebas
34

dapat menangkap ikan di suatu wilayah perairan. Akibatnya terjadi overfishing

yang pada gilirannya merugikan usaha perikanan tangkap dan nelayan menjadi

miskin. Kedua, belum ada tata ruang yang mengakomodasi lahan perikanan

sebagai kawasan khusus/tertentu yang mendapat perlindungan dari konservasi dan

bahaya pencemaran. Ketiga, belum ada kebijakan tentang kredit murah dan lunak,

misalnya sekitar sepuluh persen seperti KUT, untuk mendukung usaha perikanan

tangkap, budidaya, ataupun industri pengolahan.

(3) Permasalahan yang berkaitan dengan aspek hukum dan kelembagaan

Instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai diperlukan untuk menerapkan

kebijakan pembangunan perikanan. Menurut para pengamat dan pakar

pembangunan perikanan, implementasi dan penegakan hukum (law enforcement) di

bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak

lingkungan belum cukup membuat perusak menjadi jera atau minimal berpikir

berkali-kali untuk melakukan tindakan perusakan. Sebagai contoh, kerusakan

terumbu karang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat

destruktif, yaitu penggunaan bahan-bahan peledak, bahan beracun dan aktivitas

penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai dan kegiatan

pariwisata yang kurang bertanggung jwab dan sedimentasi akibat meningkatnya

erosi dari lahan atas.

(4) Permasalahan yang berkaitan dengan kondisi ekonomi politik

Meskipun potensi pembangunan perikanan Indonesia sangat besar dan

sumbangannya terhadap perekonomian nasional pun tidak kecil (berupa penyediaan

protein hewani, perolehan devisa, penyerapan tenaga kerja, pengembangan wilayah


35

dan multiplier effects lainnya), tetapi pada kenyataannya perikanan kurang

mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan baik

di kalangan pemerintah maupun swasta.

Dalam hal pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh

pemerintah, menurut Lawson (1984) pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk

kebijakan dalam rangka pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai berikut :

(1). Pembatasan alat tangkap (restriction on gears)

Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari

penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu,

kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi

nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien.

(2). Penutupan musim (closed season)

Penutupan musim penangkapan ikan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya

perikanan, yang umumnya dilakukan di negara dimana sistim penegakan hukumnya

sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan

yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu

species saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington and

Rattig (1983) yang diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk

penutupan musim, yaitu :

¾ Penutupan musim penangkapan ikan pada waktu tertentu, untuk memungkinkan

ikan melakukan aktivitas pemijahan dan berkembang biak.

¾ Penutupan kegiatan penangkapan ikan dengan alasan sumberdaya ikan telah

mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu,
36

dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang

masih tersisa memperbaiki populasinya.

(3). Penutupan area (closed season)

Kebijakan ini pada dasarnya mempunyai pengertian menghentikan kegiatan

penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanent, atau

dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif

sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara

menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat

tangkap tertentu.

(4). Kuota penangkapan

Kuota penangkapan adalah suatu cara yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan

pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan ini pada dasarnya adalah pemberian

hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil

sejumlah ikan tertentu dari perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari

hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada.

Berdasarkan ketentuan ini, instansi pemerintah yang berwenang mengatur

pengelolaan sumberdaya perikanan mengeluarkan hak kepada perusahaan atau

industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk

menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah

ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (Total Allowable Catch), yang dapat dibagi

per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada

hakekatnya juga dapat dialihkan atau ditransfer kepada nelayan lain.


37

(5). Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan

Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau

mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini

dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk

tumbuh, dan bertambah nilai ekonominya serta kemungkinan berproduksi sebelum

ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil

tangkapan dan ukuran individu ikan yang tertangkap.

Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan, menurut

(Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu :

(1) Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya

sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

(2) Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan

kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping

adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.

(3) Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak

berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan

tatanan sosial ekonomi masyarakat.

Pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh masyarakat telah dipraktekan di

beberapa daerah di Indonesia seperti Sasi di Pulau Saparua dan pengelolaan sumberdaya

ikan di Jemluk Bali. Nikijuluw (2004) menjelaskan bahwa penerapan sistem sasi di

Pulau Saparua telah berhasil mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan

sekitar Pulau Saparua dengan tetap mejaga kelestariannya. Pelaksanaan sasi dilakukan

dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu masyarakat desa
38

tidak diizinkan menangkap ikan selama periode waktu terentu di kawasan perairan

tertentu. Periode penutupan penangkapan ikan ini dikenal dengan nama tutup sasi.

Sementara itu periode penangkapan ikan dikenal dengan nama buka sasi.

Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa co-management perikanan dapat dirumuskan

sebagai pengaturan kemitraan kedinasan pemerintah, nelayan, LSM dan stakeholder

lainnya (pedagang ikan, pemilik perahu, para pengusaha dan sebagainya) berbagi

tanggung jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan. Co-management

meliputi berbagai bentuk kemitraan dan tingkat pembagian kekuasaan dan keterpaduan

lokal (informal, tradisional, adat istiadat) dengan sistem manajemen pemerintahan

terpusat ataupun otonomi daerah, sedangkan Community Based Coastal Resource

Management (CBCRM) ialah sentral co-management sebagai proses di mana msyarakat

pantai sendiri diberikan peluang dan tanggung jawab mengatur sumberdaya alam pantai

yang mendaftarkan sendiri kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya.

Turner et al. (1998) mengemukakan bahwa perikanan ke arah masa depan akan

suram jika tanpa disertai pengelolaan yang baik. Pertumbuhan populasi dunia dan

peningkatan produksi perikanan berhubungan dengan peningkatan pendapatan yang

dampaknya dapat meningkatkan permintaan jumlah ikan yang tidak dapat dipenuhi oleh

sumberdaya. Pengelolaan yang lestari dapat diterapkan dengan mengadopsi pendekatan

kehati-hatian (precautionary approach) untuk pengelolaan perikanan dan dapat

mendukung penelitian berikutnya serta dapat digunakan sebagai informasi untuk

mengurangi faktor-faktor ketidakpastian yang mempengaruhi produktivitas.

Selanjutnya untuk jangka panjang yang perlu diperhatikan adalah beberapa persayaratan

untuk mendukung kelestarian lingkungan yang didasarkan pada prinsip ekonomi dengan
39

skala optimal, distribusi hukum yang adil, partisipasi dan legitimasi. Isu utama dalam

meningkatkan resiko lingkungan adalah luasnya distribusi dari resiko, biaya dan manfaat.

Barkin et al. (2000) menuliskan bahwa dalam melestarikan sumberdaya terdapat 3

kriteria utama, yaitu :

(1) Teknologi

Perbedaan secara nasional dijumpai pada teknologi eksploitasi sumberdaya utama

yang ada untuk dapat disubstitusi dengan sumberdaya lainnya. Kasus yang dapat

digunakan adalah adanya perbedaan teknologi terutama perbedaan pada teknologi

penangkapan yang tinggi, dan penggunaan modal yang besar yang dapat menjangkau

daerah penangkapan lebih jauh sehingga dapat memberikan pilihan yang bervariasi

dimana ikan berada dan jenis-jenis ikan apa yang akan ditangkap.

(2) Perbedaan tingkatan pemanfaatan sumberdaya

Ketika suatu negara memanfaatkan sumberdaya untuk lebih dari satu tujuan, negara

tersebut akan mempunyai kesulitan untuk mensubstitusi sumberdaya tersebut.

Sebagai contoh, Canada memperoleh keuntungan dari salmon sport fishery,

sementara United States memanfaatkan perikanan salmon sebagai perikanan

komersil. Untuk mensubstitusi stok tersebut, Canada menemukan alternatif untuk

turis dan nelayan untuk meningkatkan perikanan komersil. Penggunaan sumberdaya

yang berbeda dapat dengan cara mensubsitusi sumberdaya tersebut, dalam kasus

ketika satu negara meningkatkan keuntungan dari salah satu sumberdaya dan negara

lain tidak melakukan hal itu.


40

(3) Perbedaan arah pemanfaatan sumberdaya

Ketika sumberdaya mempunyai arah yang berbeda, kemampuan negara maju untuk

mensubstitusi sumberdaya alam biasanya lebih besar daripada negara-negara yang

kurang maju. Isu-isu lingkungan yang masuk ke dalam kategori ini adalah isu-isu

yang berkaitan dengan udara, perairan dan migrasi spesies ikan.

Peraturan internasional tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO,

1995) telah mulai disiapkan untuk diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek

yaitu :

(1) Aspek pengelolaan perikanan (Fisheries Management).

(2) Aspek operasi penangkapan ikan (Fishing Operations).

(3) Aspek pembangunan akuakultur (Aquaculture Development).

(4) Aspek integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir (Integration of

Fisheries into Coastal Area Management).

(5) Aspek praktek-praktek pasca panen dan perdagangan (Post Harvest Practices and

Trade).

(6) Aspek penelitian perikanan (Fisheries Research).

Pengaturan dan pengendalian sumberdaya perikanan di Indonesia saling berkaitan

antara aspek operasi penangkapan dengan ke-lima aspek lainnya dalam Code of Conduct

for Responsible Fisheries.

Beberapa peraturan umum yang terkandung dalam CCRF (1995) antara lain :

(1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan,

hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap menggunakan

cara-cara yang bertanggungjawab.


41

(2) Pengelolaan perikanan harus mendorong terjaminnya sumberdaya perikanan untuk

generasi sekarang maupun yang akan datang.

(3) Negara harus mencegah penangkapan yang berlebihan (overfishing) dan menjaga

agar upaya penangkapan sesuai dengan kapasitas dari sumber itu sendiri.

(4) Kebijaksanaan konservasi dan pengelolaan perikanan harus berdasarkan bukti

ilmiah yang tersedia, dengan memperhatikan habitat, lingkungan dan faktor sosial

ekonomi.

(5) Negara dan organisasi perikanan regional/sub regional harus mengimplementasikan

”pendekatan kehati-hatian” (precautionary approach) dalam rangka konservasi,

pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya perairan; tidak tersedia data dan informasi

ilmiah yang cukup yang tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda mengambil

keputusan dalam pengelolaan.

(6) Alat penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan agar dikembangkan dalam

rangka menjamin biodiversitas dan menjaga struktur populasi dalam ekosistem

perairan.

(7) Penangkapan dan penanganan pasca panen dan distribusi ikan harus menjamin

kualitas nilai nutrisi ikan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

(8) Perlunya perlindungan terhadap habitat yang kritis dan upaya rehabilitasi.

(9) Negara harus menjamin bahwa kepentingan perikanan diperhatikan dalam rangka

perencanaan pembangunan pantai terintegrasi.

(10) Negara harus menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam

pelaksanaan pengelolaan perikanan.


42

(11) Negara pemberi ijin penangkapan harus menjamin pengawasan yang efektif agar

dapat terlaksananya kode etik ini.

(12) Negara harus bekerja sama dalam tingkat sub regional dan regional dalam rangka

pengelolaan perikanan disesuaikan dengan kemampuannya.

(13) Negara harus menjamin pelaksanaan pengelolaan perikanan yang transparan,

mendorong adanya konsultasi dan partisipasi dari para pengguna sumberdaya

perikanan.

(14) Perdagangan ikan secara internasional harus mengacu kepada prinsip, hak dan

kewajiban yang sudah digariskan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO).

(15) Negara harus bekerja sama untuk menghindari konflik dan harus menghormati

upaya pemecahan konflik.

(16) Negara harus meningkatkan penyuluhan tentang perikanan yangg bertanggungjwab

melalui pendidikan latihan.

(17) Negara harus berupaya agar fasilitas penangkapan dan peralatan lainnya menjamin

keselamatan para pekerja.

(18) Negara harus melindungi hak-hak para nelayan dan para pekerja perikanan yang

terlibat dalam perikanan skala kecil untuk mempertahankan kehidupannya.

(19) Negara harus menempatkan akuakultur sebagai upaya diversifikasi dan menjamin

agar akuakultur tidak mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan.

Pengelolaan perikanan secara khusus di jelaskan pada Pasal 3.1, antara lain :

(1) Negara-negara harus menjamin agar suatu kerangka hukum dan kelembagaan yang

tepat dapat diadopsi untuk mengelola pembangunan kawasan pesisir.


43

(2) Sektor perikanan haruslah merupakan suatu bagian integrasi dari tatanan

pengelolaan kawasan pesisir untuk menjamin agar :

1). Perhatian agar diberikan pada hak dari komunitas penangkapan ikan pesisir dan

praktek yang biasa mereka lakukan sejalan dengan pembangunan lestari

berkelanjutan dan,

2). Sektor perikanan, bersama dengan komunitas penangkapan ikan dikonsultasikan

dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan proyek terkait

perikanan, demikian pula melengkapi masukan sektor perikanan berikut

komunitas penangkapan ikan ke dalam kegiatan non-perikanan yang berkaitan

dengan pengelolaan kawasan pesisir.

(3) Negara-negara harus mengambil ketentuan untuk menetapkan dan menyusun badan

pengelolaan yang efektif pada tingkat-tingkat Pangkalan Pendaratan Ikan atau

Pelabuhan Ikan untuk memastikan :

1). Ketaatan pada hukum peraturan perundang-undangan dan aturan lain yang

mengatur kewajiban suatu Negara berkaitan dengan fasilitas Pelabuhan

Perikanan atau fasilitas Pangkalan Pendaratan Ikan;

2). Ketaatan pada ketentuan konservasi dan pemantauan lingkungan yang telah

diadopsi oleh otoritas yang kompeten pada tingkat nasional demikian pula

ketentuan yang diadopsi atas dasar regional atau subregional;

3). Pengintegrasian dengan para pengguna lain (seperti dalam hal fasilitas yang

biasa untuk kapal penangkap ikan); dan

4). Transparan dalam proses pengambilan keputusan.


44

(4) Dalam menetapkan penugasan suatu badan pengelolaan, otoritas yang kompeten

harus memastikan bahwa badan tersebut :

1) Disediakan dana secukupnya agar berfungsi seperti yang diharapkan;

2) Mewakili seluruh pengguna fasilitas yang beragam;

3) Memungkinkan konsultasi diantara para pengguna yang berbeda;

4) Besarnya fasilitas dan kewajiban badan sesuai dengan tanggungjawab yang

ditugaskan padanya.

(5) Pada tingkat desa, pengelolaan dapat dipercayakan ke pada suatu Pusat Komunitas

Perikanan atau organisasi nelayan setempat. Walaupun fasilitas dan jasa pelayanan

di suatu desa atau kawasan tertentu mungkin sangat sederhana, namun masih

dibutuhkan adanya suatu organisasi pengelola sumberdaya ikan.

(6) Pada tingkat industri, pengelolaan harus dilaksanakan oleh suatu badan yang

ditetapkan dengan baik (swasta, otonomi, kabupaten atau negara) dengan anggota-

anggota diambil dari berbagai unsur pokok pengguna dari pelabuhan khusus

demikian pula komunitas secara luas. Suatu perkecualian pada aturan adalah jika

fasilitas itu dimiliki oleh satu perusahaan. Meskipun demikian, perusahaan itu akan

tetap bertanggungjawab di dalam struktur pengelolaan menyeluruh dalam

pengoperasiannya.

Pemanfaatan sumberdaya ikan untuk diperoleh hasil optimum dan lestari

diperlukan pengaturan dalam bentuk kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat

dan semua pihak terkait. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan publik yang dalam

pelaksanaannya akan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak terkait.

Menurut Friedrich (1969) yang diacu dalam Agustino., (2006) kebijakan publik
45

adalah serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok,

atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-

hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-

kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam

mengatasinya untuk mencapai tujuan tertentu. Agustino (2006) mengemukakan

beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik :

(1) Umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai

maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak.

(2) Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang

dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang terpisah-pisah.

Misalnya, suatu kebijakan tidak hanya meliputi keputusan untuk mengeluarkan

peraturan peraturan tertentu tetapi juga keputusan berikutnya yang berhubungan

dengan penerapan pelaksanaannya.

(3) Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah.

Kebijakan publik memperhatikan apa yang kemudian akan atau dapat terjadi setelah

kebijakan itu diimplementasikan.

(4) Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan

melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu

permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan

pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan.

(5) Kebijakan publik paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan

merupakan tindakan yang bersifat memerintah. Kebijakan publik yang bersifat


46

memerintah kemungkinan besar mempunyai sifat yang memaksa secara sah, yang

mana hal ini tidak dimiliki oleh kebijakan-kebijakan organisasi swasta.

Agustino (2006) menerangkan bahwa sifat kebijakan publik sebagai bagian dari

suatu kegiatan dapat dimengerti secara baik bila dibagi-bagi dalam beberapa kategori,

yaitu : policy demands, policy decisions, policy statements, policy outputs dan policy

outcomes. Dikemukakan walau kebijakan dapat dipandang sebagai solusi dari konflik

yang berkecamuk, tetapi kebijakan publik juga dianggap sebagai penyebab konflik antara

kelompok yang berbeda, yang pribadi dan yang resmi, yang memiliki keinginan dan

kepentingan yang berbeda. Salah satu sumber konflik yang utama, khususnya dalam

masyarakat modern, adalah kegiatan ekonomi. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada lima

bentuk kebijakan publik :

1) Kebijakan Substansial atau Kebijakan Prosedural

Kebijakan substantive meliputi kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, seperti :

pendidikan, kesehatan, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, atau pembayaran

keuntungan bagi kesejahteraan rakyat. Kebijakan substansif pada dasarnya memberi

tekanan pada subject matter dari apa yang dibutuhkan oleh warga. Kebijakan

prosedural, meliputi siapa yang akan melaksanakan atau bagaimana hal tersebut akan

dilaksanakan. Jadi yang membedakan antara Kebijakan Substansif atau Kebijakan

Prosedural adalah dengan melihat konten kebijakan itu sendiri. Apabila isi kebijakan

lebih mengarah pada upaya pengentasan suatu masalah yang tengah dialami oleh

warga masyarakat, maka dapat dipastikan kebijakan tersebut adalah kebijakan

substansif. Tapi ketika konten kebijakan itu hanya menyampaikan siapa yan harus
47

melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan, maka ia termasuk dalam kategori

kebijakan prosedural.

2) Kebijakan Liberal dan Kebijakan Konservatif

Debat dan diskusi mengenai tipologi kebijakan publik yang juga meyita perhatian

adalah pengelompokan antara kebijakan liberal dan kebijakan konservatif.

Membedakan kebijakan liberal dengan kebijakan konservatif melalui pelibatan

pemerintah sebagai aparatur implementor kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu

kebijakan liberal umumnya dibantu atau mempergunakan/melibatkan pemerintah

dalam menuntaskan masalah-masalah perubahan sosial yang dirasakan warga

masyarakat. Sebaliknya, kebijakan konservatif tidak melibatkan atau

mempergunakan pemerintah untuk tujuan tersebut.

3) Kebijakan Distributif, Kebijakan Redistributif, Kebijakan Regulator dan Kebijakan

Self-Regulatory

Kebijakan distributif terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor-

sektor khusus, baik untuk individu, kelompok-kelompok kecil, dan komunitas-

komunitas tertentu. Kebijakan distributif juga memiliki karakteristik yang khas,

termasuk penggunaan dana umum untuk membantu kelompok-kelompok tertentu.

Kegiatan kebijakan distributif bersifat mencari keuntungan dengan tidak bersaing

secara langsung dengan yang lain. Keuntungan meraka tidak merupakan biaya yang

langsung ditarik pada beberapa kelompok khusus, tetapi biaya tersebut dibebankan

pada dana umum, yang diminta pada semua pembayar pajak. Dengan demikian

kebijakan distributif muncul untuk menciptakan pemenang, meskipun secara nyata

seseorang membayar untuk mereka. Kebijakan redistributif termasuk usaha hati-hati


48

yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan,

pendapatan, pemilihan atau hak-hak diantara kelompok-kelopmpok penduduk,

misalnya dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Kebijakan regulator adalah

kebijakan tentang penggunaan pembatasan atau larangan perbuatan atau tindakan

bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya bersifat mengurangi

kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Kebijakan self-

regulatory adalah semacam peraturan kebijakan yang berupaya untuk membatasi atau

mengawasi beberapa bahan atau kelompok. Bagaimanapun juga kebijakan-kebijakan

ini dibedakan dengan kebijakan regulator. Kebijakan self-regulatory biasanya dicari

dan didukung oleh sekelompok aturan sebagai alat untuk melindungi atau

menawarkan kepentingan mereka sendiri.

4) Kebijakan Material dan Kebijakan Simbolis

Kebijakan publik dapat pula dipisahkan ke dalam kebijakan material atau simbolis.

Kebijakan material adalah kebijakan yang berupaya untuk menyediakan sumber

penghasilan yang nyata atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang-orang yang

diuntungkan, atau memberikan kerugian yang sesungguhnya, bagi siapa yang terkena

kerugian. Dalam bahasa yang sederhana, kebijakan material adalah kebijakan yang

memberikan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya, sedangkan

kebijakan simbolis membagikan keuntungan atau kerugian yang mempunyai dampak

kecil pada manusia.

5) Kebijakan Kolektif dan Kebijakan Privat

Kebijakan publik dapat juga dimasukkan dalam ketetapan yang merupakan barang

kolektif (indivisible) atau barang privat (divisible). Yang disebut sebagai barang
49

kolektif adalah kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan bagi keperluan

orang banyak (kolektif). Kebijakan privat adalah kebijakan yang dapat dibagi

menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan dapat dipasarkan.

Charles O’Jones (1996) yang diacu dalam Agustino (2006) ada empat langkah

strategis yang harus diperhatikan dalam menyusun agenda kebijakan, ialah :

(1). Dilihat dari peristiwa itu sendiri

1) Ruang lingkup/scope : Berapa banyak orang yang terkena pengaruh atau

akibat dari peristiwa yang tengah terjadi?

2) Persepsi : Bagaimana pandangan mereka? Berapa banyak orang yang

merasakan konsekuensinya? Apa hasil dari persepsi-persepsi ini?

3) Definisi : Apakah konsekuensi-konsekuensi yang dirasakan dapat disebutkan

sebagai sebuah problem? Apakah problem-problem yang berlainan

didefinisikan oleh orang-orang yang berlainan?

4) Intensitas : berapa banyak orang yang terlibat? Apakah intensitasnya berbeda

diantara mereka yang terlibat?

(2) Organisasi kelompok

1) Jumlah (extent) : Berapa banyak anggota yang terdapat kelompok yang

terdapat? Apakah komitmen kelompok tersebut?

2) Struktur : Apakah hubungan antara anggota dengan pemimpinnya

(Hirarkis/Demokratis)? Apakah terdapat staf-staf yang professional.

3) Kepemimpinan : Bagaimana pemimpinnya dipilih? Berapa besar kekuasaan

yang mereka miliki? Apakah mereka itu agresif ?


50

(3) Kemudahan akses

1) Perwakilan : Apakah mereka yang akan terkena akibat kebijakan telah

terwakili dalam posisi pembuatan kebijakan?

2) Empati : Apakah mereka yang ada dalam posisi pembuat kebijakan mau

berempati (menaruh perhatian) kepada mereka yang terkena dampak

kebijakan?

3) Dukungan : Dapatkah mereka yang akan terkena dampak kebijakan

memperoleh dukungan?

(4) Proses Kebijakan

1) Struktur : Bagaimana hubungan antara pemeran kebijakan dengan mereka

yang terlibat/terkena pengaruh kebijakan tersebut (hirarkis-demokratis-

berdasarkan bergaining)? Apakah syarat-syarat formal dari pembuatan

kebijakan?

2) Daya tanggap (Responsivenes) : Bagaimana tanggapan para pameran

kebijakan terhadap mereka yang terlibat/terkena dampak kebijakan?

Bagaimana nilai/tradisi yang ada dalam menanggapi hal seperti ini?

3) Kepemimpinan : Bagaimana pemimpinnya dipilih? Berapa besar kekuasaan

yang mereka miliki ? Apakah mereka itu agresif?

Selanjutnya Agustino (2006) mengemukakan beberapa faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan publik :

(1). Faktor penentu pemenuhan kebijakan

1) Respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah.


51

2) Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan

3) Adanya sanksi hukum

4) Adanya kepentingan publik

5) Adanya kepentingan pribadi

6) Masalah waktu

(2) Faktor penentu penolakan atau penundaan kebijakan

1) Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem nilai yang ada.

2) Tidak adanya kepastian hukum.

3) Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu organisasi.

4) Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum.


3 KERANGKA PEMIKIRAN

Daerah sekitar Teluk Lasongko berpenduduk campuran yaitu penduduk asli pulau

Muna dan penduduk pendatang dari Ambon. Usaha penangkapan ikan merupakan salah

satu alternatif mata pencahariannya. Usaha penangkapan ikan di perairan Teluk

Lasongko ini perkembangannya pesat dan telah melebihi daya dukung sumberdaya

ikannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan usaha penangkapan di perairan Teluk

Lasongko agar hasilnya dapat optimum dan berkelanjutan.

Secara nasional sektor perikanan tangkap mempunyai arti penting dalam

pembangunan di Indonesia. Pembangunan perikanan tangkap ditujukan untuk : (1)

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, (2) meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia, khususnya nelayan, (3) mengendalikan pemanfaatan sumberdaya

ikan, (4) meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan, (5) menciptakan iklim

yang kondusif bagi pengembangan usaha perikanan tangkap, dan (6) menyediakan bahan

pangan sumber protein hewani dan bahan baku industri serta ekspor (DKP, 2004).

Mengacu pada tujuan pembangunan perikanan tangkap tersebut, maka sumberdaya ikan

yang ada di perairan Teluk Lasongko yang merupakan bagian dari perairan Indonesia

selayaknya dimanfaatkan secara baik dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat.

Hal ini penting untuk mendorong terwujudnya kondisi masyarakat yang damai

mengingat penduduk di wilayah Teluk Lasongko terdiri dari penduduk asli dan penduduk

pendatang dari Ambon.

Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) menyatakan bahwa pembangunan

perikanan tangkap selama ini telah menunjukkan hasil yang nyata yaitu telah

meningkatkan produksi perikanan tangkap rata-rata 5,4 % per tahun selama periode tahun
53

2001-2003, dari 3.966.480 ton pada tahun 2001 menjadi 4.406.200 ton pada tahun 2003.

Demikian pula konsumsi ikan dan ekspor dapat terus ditingkatkan. Hal ini memberi

indikasi bahwa sektor perikanan mempunyai peran dalam pembangunan ekonomi secara

umum. Melalui analisa tabel Input-Output diperoleh gambaran peranan sektor perikanan

dalam perekonomian baik secara nasional maupun regional, yaitu merupakan sektor

prioritas jangka pendek dan menengah. Dari analisa ini dihasilkan bahwa tambahan

investasi di sektor perikanan memberikan dampak positip terhadap kegiatan sektor lain

serta akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Hasil ini memberikan keyakinan

apabila ada tambahan investasi untuk pengembangan perikanan di Teluk Lasongko akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah Teluk Lasongko.

Pengelolaan perikanan tangkap di perairan Indonesia dibagi kedalam sembilan

Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI) yaitu : (1) Selat Malaka, (2) Laut Cina

Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut

Arafura, (7) Laut Seram dan Teluk Tomini, (8) Laut Sulawesi dan Laut Flores, dan (9)

Samudera Hindia, (DKP, 2004). Teluk Lasongko merupakan bagian kecil dari Wilayah

Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI) 4 . Kegiatan usaha penangkapan ikan di Teluk

Lasongko terus berkembang dalam kurun waktu lima tahun terakhir ( 2000-2004).

Jumlah alat tangkap terus bertambah, namun produksi ikan cenderung menurun.

Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari kecamatan disekitar Teluk Lasongko,

sebagai contoh jumlah alat tangkap jenis jaring insang hanyut untuk menangkap ikan-

ikan demersal pada tahun 2001 adalah 549 unit. Produksi hasil tangkapan ikan demersal

pada tahun yang sama adalah 2.411 ton. Pada tahun 2004 jumlah jaring insang hanyut

bertambah menjadi 2.036 unit atau meningkat sebesar 370 % dalam kurun waktu empat
54

tahun atau rata-rata meningkat 93 % per tahun. Sebaliknya pada kurun waktu yang sama

produksi ikan demersal berkurang menjadi 2.212 ton pada tahun 2004 atau menurun rata-

rata 2 % per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan jumlah alat tangkap jaring

insang hanyut telah melebihi dari daya dukung sumberdaya ikannya atau dengan

perkataan lain untuk jenis ikan demersal di Teluk Lasongko telah mengalami kondisi

tangkap lebih (overfishing).

Widodo, 2003., menerangkan bahwa suatu perairan dinilai telah mengalami tangkap

lebih dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok ikan seperti : (i)

penurunan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, cpue) ,(ii) penurunan

hasil tangkapan total yang didaratkan, (iii) penurunan rata-rata bobot ikan; dan indikator

ekosistem, yakni (iv) perubahan pada struktur umur/struktur ukuran atau (v) perubahan

komposisi species dalam populasi.

Melalui kajian potensi sumberdaya ikan di Teluk Lasongko dengan menggunakan

metode Schaefer diketahui nilai MSY . Selanjutnya nilai MSY tersebut dibandingkan

dengan total produksi ikan yang telah dicapai diperoleh hasil tingkat pemanfaatan

sumberdaya ikan di Teluk Lasongko. Hasil perhitungan ini menunjukan bahwa secara

keseluruhan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko telah mendekati tingkat

kejenuhan. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan di Teluk

Lasongko perlu dirumuskan kebijakan pemanfaatannya berbasis nilai MSY agar kedepan

sumberdaya ikan yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Widodo

(2003), menyatakan bahwa terhadap perairan yang telah mengalami tekanan

penangkapan yang berlebihan, harus dilakukan pengaturan terhadap besarnya upaya

penangkapan. Dengan pengelolaan yang lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan


55

sumberdaya ikan yang selanjutnya akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Selain itu

dampak ekonomi dapat pula terjadi terutama dalam peningkatan pendapatan nelayan

maupun pendapatan negara.

Untuk mengetahui kelayakan usaha unit-unit penangkapan yang ada, dianalisa

dengan menggunakan metode Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio). Selanjutnya berdasarkan

faktor pembatas yaitu nilai Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB) dihitung

jumlah unit usaha yang optimal untuk dioperasikan di perairan Teluk Lasongko dengan

menggunakan model Goal Programming.

Penyusunan model kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko

mengacu pada analisis SWOT. Selanjutnya dengan menggunakan metode AHP

dirumuskan prioritas kebijakan yang sesuai untuk penyusunan kebijakan pemanfaatan

sumberdaya ikan berbasis MSY di Teluk Lasongko. Kebijakan pengaturan pemanfaatan

sumberdaya ikan yang berbasis MSY inilah yang diharapkan dapat diterapkan di Teluk

Lasongko agar diperoleh produksi ikan yang optimum dan berkelanjutan.

Smith (1981) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) menuliskan dalam salah satu

karya gemilangnya yang berjudul ”Improving Fishing Incomes when resources are

Overfished”, mencoba secara teoritis menggambarkan kegagalan berbagai kebijakan

pemerintah. Menurut Smith, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bentuk motorisasi,

subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta

pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasi nelayan dalam jangka pendek memang

akan sedikit terlihat dampak positifnya dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun

dalam jangka panjang, semua kebijakan ini tidak berdampak signifikan. Nelayan tetap

miskin dan terperangkap dalam kemiskinan itu. Menurut Smith, ada dua hal yang harus
56

dilakukan pemerintah. Pertama, jumlah nelayan harus dikurangi dan sebab itu jumlah

upaya penangkapan yang rasional serta akses terbatas ke sektor perikanan harus

ditetapkan dalam bentuk aturan positif dan kemudian dijalankan dengan konsekwen dan

tanggung jawab. Kedua, mengembangkan pekerjaan suplemen dan alternatif kepada

keluarga nelayan di luar sektor perikanan. Bila jumlah nelayan sudah dikurangi dan

dibatasi pada angka tertentu maka kebijakan-kebijakan lainnya seperti motorisasi, subsidi

BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasaca panen dan pemasaran serta

pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasai nelayan akan berdampak positif bagi

peningkatan pendapatan dan pengentasan kemiskinan nelayan.

Nikijuluw (2005) mengemukakan pendapatan nelayan Indonesia yang rendah

karena Malthusian overfishing. Jumlah nelayan harus dibatasi dan ditetapkan pada angka

tertentu. Setelah ditutupnya aksesibilitas ke sektor perikanan maka pemerintah dapat

mengambil kebijakan selanjutnya yang diarahkan pada peningkatan produktivitas,

penentuan daerah penangakapan ikan secara sistem buka tutup, penentuan waktu

penangkapan ikan, penghematan biaya, peningkatan nilai jual nelayan serta penciptaan

kegiatan ekonomi suplemen dan alternatif. Jadi, pembatasan jumlah nelayan di suatu

perairan tertentu merupakan kebijakan mutlak yang patut dilakukan pemerintah. Hanya

dengan cara ini, nelayan Indonesia bisa ditingkatkan pendapatannya.

Kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yang akan

diterapkan merupakan kebijakan publik yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh semua

stakeholder yang terlibat dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Dalam hubungan

dengan kebijakan publik, Sutanto (2006) mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk

kebijakan publik :
57

1) Kebijakan Substansial atau Kebijakan Prosedural

Kebijakan substantive meliputi kebijakan yang akan dilakukan pemerintah, seperti :

pendidikan, kesehatan, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, atau pembayaran

keuntungan bagi kesejahteraan rakyat.

2) Kebijakan Liberal dan Kebijakan Konservatif

Kebijakan liberal umumnya dibantu atau mempergunakan/melibatkan pemerintah

dalam menuntaskan masalah-masalah perubahan sosial yang dirasakan warga

masyarakat. Sebaliknya, kebijakan konservatif tidak melibatkan atau

mempergunakan pemerintah untuk tujuan tersebut.

3) Kebijakan Distributif, Kebijakan Redistributif, Kebijakan Regulator dan Kebijakan

Self-Regulatory

Kebijakan distributif terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor-

sektor khusus, baik untuk individu, kelompok-kelompok kecil, dan komunitas-

komunitas tertentu. Kebijakan distributif juga memiliki karakteristik yang khas,

termasuk penggunaan dana umum untuk membantu kelompok-kelompok tertentu.

Kegiatan kebijakan distributif bersifat mencari keuntungan dengan tidak bersaing

secara langsung dengan yang lain. Keuntungan meraka tidak merupakan biaya yang

langsung ditarik pada beberapa kelompok khusus, tetapi biaya tersebut dibebankan

pada dana umum, yang diminta pada semua pembayar pajak. Dengan demikian

kebijakan distributif muncul untuk menciptakan pemenang, meskipun secara nyata

seseorang membayar untuk mereka. Kebijakan redistributif termasuk usaha hati-hati

yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan,

pendapatan, pemilihan atau hak-hak diantara kelompok-kelopmpok penduduk,


58

misalnya dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Kebijakan regulator adalah

kebijakan tentang penggunaan pembatasan atau larangan perbuatan atau tindakan

bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya bersifat mengurangi

kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Kebijakan self-

regulatory adalah semacam peraturan kebijakan yang berupaya untuk membatasi atau

mengawasi beberapa bahan atau kelompok. Bagaimanapun juga kebijakan-kebijakan

ini dibedakan dengan kebijakan regulator. Kebijakan self-regulatory biasanya dicari

dan didukung oleh sekelompok aturan sebagai alat untuk melindungi atau

menawarkan kepentingan mereka sendiri.

4) Kebijakan Material dan Kebijakan Simbolis

Kebijakan publik dapat pula dipisahkan ke dalam kebijakan material atau simbolis.

Kebijakan material adalah kebijakan yang berupaya untuk menyediakan sumber

penghasilan yang nyata atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang-orang yang

diuntungkan, atau memberikan kerugian yang sesungguhnya, bagi siapa yang terkena

kerugian. Dalam bahasa yang sederhana, kebijakan material adalah kebijakan yang

memberikan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya, sedangkan

kebijakan simbolis membagikan keuntungan atau kerugian yang mempunyai dampak

kecil pada manusia.

5) Kebijakan Kolektif dan Kebijakan Privat

Kebijakan publik dapat juga dimasukkan dalam ketetapan yang merupakan barang

kolektif (indivisible) atau barang privat (divisible). Yang disebut sebagai barang

kolektif adalah kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan bagi keperluan
59

orang banyak (kolektif). Kebijakan privat adalah kebijakan yang dapat dibagi

menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan dapat dipasarkan.

Kerangka pikir penyusunan kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis

MSY di Teluk Lasongko dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.

SUMBERDAYA IKAN
- BARANG EKONOMI
- LAW OF SCARCITY
- LAW OF D. RETURN

SDI TELUK LASONGKO


-MASY. ASLI & PENDATANG
-SBG MATA PENC. MASY
-GEJALA OVER FISHING

ANALISIS I-O ANALISIS


POTENSI (MSY)

STATUS TINGKAT
SEKTOR PEMANFAATAN SDI
PRIORITAS (OVERFISHING)

ANALISIS KELAYAKAN USAHA


GOAL PROGRAMMING
SWOT DAN AHP

KEBIJAKAN
PEMANFAATAN SDI
BERBASIS MSY

Gambar 9. Kerangka Pikir Penyusunan Kebijakan Pemanfaatan


Sumberdaya Ikan Berbasis MSY di Teluk Lasongko
4 METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ialah di Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk terbesar yang

terdapat di Kabupaten Buton, dengan luas total sekitar 13,6 km2. Teluk ini terletak di

daratan Pulau Muna bagian timur dengan mulut teluk menghadap ke arah timur. Wilayah

Perairan Teluk Lasongko secara administrasi termasuk kedalam 2 wilayah kecamatan,

yaitu Kecamatan Lakudo dan Kecamatan Mawasangka Timur. Disamping itu ada dua

kecamatan yang berdekatan dengan dua kecamatan yang mengelilingi Teluk Lasongko

yaitu Kecamatan Mawasangka dan Kecamatan GU. Kecamatan Mawasangka Timur

merupakan wilayah pengembangan dari Kecamatan Mawasangka yang dimekarkan pada

tahun 2001. Lokasi penelitian menurut peta dapat dilihat pada Gambar 10. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Pebruari – Juli 2005.

bar 4. Lokenelitian

4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode


P. Buton

sampling. Marzuki (2002) menjelaskan bahwa cara pengumpulan data dengan metode

sampling dilakukan dalam menyelidiki sebagian objek, gejala atau peristiwa; tidak
P. Muna

seluruhnya. Sebagian individu yang diselidiki disebut sampel, sedangkan hasil yang

diperoleh ialah nilai karakteristik perkiraan (estimate value).

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data yang diperoleh langsung, dari sumbernya; diamati dan dicatat, sedangkan

data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya (Marzuki, 2)

Gambar 10. Lokasi Penelitian


61

Data primer diperoleh melalui permintaan keterangan-keterangan kepada pihak

yang memberikan keterangan atau jawaban (responden). Data primer yang diperoleh

berupa jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan melalui quisioner (questionnaire

method). Responden yang menjadi objek pada penelitian ini terdiri dari perwakilan dari

para pelaku yang berkepentingan (stakeholder) di Teluk Lasongko Kabupaten Buton

seperti instansi pemerintah baik pusat maupun daerah (Departemen Kelautan dan

Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda dan lain-lain), LSM lokal, koperasi

perikanan lokal, pengusaha perikanan lokal, dan nelayan.

4.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan metode

sampling. Marzuki (2002) menjelaskan bahwa cara pengumpulan data dengan metode

sampling dilakukan dalam menyelidiki sebagian objek, gejala atau peristiwa; tidak

seluruhnya. Sebagian individu yang diselidiki disebut sampel, sedangkan hasil yang

diperoleh ialah nilai karakteristik perkiraan (estimate value).

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer

adalah data yang diperoleh langsung, dari sumbernya; diamati dan dicatat, sedangkan

data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya (Marzuki,

2002). Data primer diperoleh melalui permintaan keterangan-keterangan kepada pihak

yang memberikan keterangan atau jawaban (responden). Data primer yang diperoleh

berupa jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan melalui kuesioner (questionnaire

method). Responden yang menjadi objek pada penelitian ini terdiri dari perwakilan dari

para pelaku yang berkepentingan (stakeholder) di Teluk Lasongko Kabupaten Buton

seperti instansi pemerintah baik pusat maupun daerah (Departemen Kelautan dan
62

Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda dan lain-lain), LSM lokal, koperasi

perikanan lokal, pengusaha perikanan lokal, dan nelayan.

4.2.1 Jenis data

Jenis data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut :

1). Kondisi dan potensi biofisik sumberdaya hayati Teluk Lasongko Kabupaten Buton

(meliputi Kecamatan Lakudo dan Mawasangka Timur).

2). Usaha perikanan tangkap dan budidaya laut meliputi produksi, harga dan biaya yang

digunakan oleh nelayan di sekitar Teluk Lasongko.

3). Mata pencaharian (penyerapan tenaga kerja) usaha pemanfaatan sumberdaya ikan.

4). Data pengembangan potensi wilayah meliputi pertambangan, pemukiman, sarana dan

prasarana, pariwisata, perikanan, perhubungan.

5). Data institusi/kelembagaan sosial dan pranata sosial.

6). Data sosial ekonomi budaya masyarakat.

4.2.2 Metode perolehan data

1). Data kondisi dan potensi biofisik sumberdaya hayati diperoleh dari laporan tahunan

dan buku statistik Kabupaten Buton selama 5 tahun terakhir.

2). Data usaha perikanan (tangkap dan budidaya laut) diperoleh dari buku statistik

perikanan Kabupaten Buton, buku statistik atau laporan tahunan Kecamatan Lakudo

dan Mawasangka Timur, serta dengan melakukan wawancara dan kuesioner kepada

praktisi usaha perikanan (nelayan, pembudidaya ikan, penyuluh perikanan dan

pencatat data statistik perikanan).

3). Data mata pencaharian (penyerapan tenaga kerja) usaha pemanfaatan sumberdaya

ikan diperoleh dari berbagai sumber dan hasil wawancara.


63

4). Data pengembangan potensi wilayah diperoleh dari laporan pengembangan terpadu

Teluk Lasongko dan berbagai sumber (key person) dengan menggunakan kuisioner

untuk memilih alternatif dan menentukan prioritas kebijakan dalam optimalisasi

pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko.

5). Data institusi/kelembagaan sosial dan pranata sosial diperoleh dari hasil wawancara

dengan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buton, Camat Lakudo,

Camat Mawasangka Timur dan key person lainnya. Selain itu juga didukung dengan

data sekunder dari buku profil Kabupaten Buton.

6). Data sosial ekonomi budaya masyarakat diperoleh dari berbagai sumber dan

wawancara.

4.3 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis model input-

output, analisis potensi sumberdaya ikan (MSY), analisis kelayakan usaha, analisis Goal

Programing, analisis SWOT dan AHP.

4.3.1 Analisis model input-output (I-O)

Analisis Input-output merupakan suatu tehnik perencanaan yang diperkenalkan oleh

Prof. Wassily W. Leontief pada tahun 1951 (Nasution, 1996). Tehnik ini antara lain

digunakan untuk menganalisis keadaan perekonomian wilayah secara komprehensif

dalam suatu periode tertentu dengan melihat keterkaitan antar sektor ekonomi di wilayah

tersebut secara keseluruhan. Model ini memperlihatkan keseimbangan secara

keseluruhan, bukan keseimbangan satu proses produksi saja, dimana sebagian output

suatu kegiatan digunakan sebagai input bagi kegiatan lainnya. Untuk mengurangi
64

kompleksitasnya, model disajikan dalam bentuk tabel yang memberikan informasi

tentang transaksi barang dan jasa antar satuan ekonomi untuk satu periode tertentu.

Dalam penelitian ini, kajian peran sektor perikanan secara nasional didasarkan pada

olahan hasil analisis penentuan sektor prioritas di kelautan dan Perikanan di Indonesia

oleh Resosudarmo et al.(2001). Kajian peran sektor perikanan laut terhadap

perekonomian di tingkat Kabupaten Buton didasarkan pada hasil olahan Tabel Input-

Output Kabupaten Buton tahun 1994. Tabel Input-Output Kabupaten Buton tahun 1994

ini merupakan hasil survey lapangan langsung yang dilaksanakan oleh Kantor Statistik

Kabupaten Buton. Selanjutnya kajian peran sektor perikanan terhadap perekonomian di

wilayah penelitian, didasarkan pada olahan dari buku Produk Domestik Regional Bruto

Kabupaten Buton Tahun 2003 yang merupakan hasil survei langsung di Kabupaten

Buton .

Model I-O menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling

keterkaitan antar satuan kegiatan ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan

dalam bentuk tabel. Isian sepanjang baris menunjukkan alokasi output dan isian menurut

kolom menunjukkan pemakaian input dalam proses produksi (Biro Pusat Statistik, 1995).

Sebagai model kuantitatif, tabel I-O mampu memberi gambaran menyeluruh tentang: (1)

struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing

kegiatan ekonomi di suatu daerah, (2) struktur input antara (intermediate input), yaitu

penggunaan barang dan jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah, (3) struktur

penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam negeri maupun barang-

barang yang berasal dari impor, dan (4) struktur permintaan barang dan jasa, baik
65

permintaan oleh kegiatan produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi

dan ekspor.

Dari analisis I-O dapat diketahui beberapa indikator ekonomi antara lain :

(1) Multiplier pendapatan

Untuk mengetahui perubahan tingkat pendapatan apabila terjadi perubahan pada

permintaan akhir.

(2) Multiplier Nilai Tambah Bruto

Untuk mengetahui berapa besar perubahan pada NTB apabila terjadi perubahan

pada permintaan akhir.

(3) Multiplier Tenaga Kerja

Untuk mengetahui berapa besar perubahan tenaga kerja apabila terjadi

perubahan pada permintaan akhir.

(4) Keterkaitan Sektor Perekonomian

Keterkaitan ekonomi meliputi keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan

keterkaitan ke depan (forward linkages). Backward linkages menunjukkan

hubungan keterkaitan antar sektor dalam pembelian input yang digunakan untuk

proses produksi. Forward linkages menunjukkan hubungan keterkaitan antar

sektor dalam penjualan terhadap total penjualan output yang dihasilkan.

Keterkaitan langsung antara sektor di dalam suatu perekonomian ditunjukkan

oleh koefisien teknis (direct input) sedangkan keterkaitan langsung dan tidak

langsung ditunjukkan oleh elemen matriks kebalikan leontif atau multiplier

output itu sendiri.


66

(5) Keterkaitan Langsung Ke Depan

Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat suatu sektor tertentu

terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara

langsung per unit kenaikan permintaan total. Bila nilainya lebih besar dari satu

menunjukkan bahwa output dan sektor tersebut secara relatief lebih banyak

digunakan oleh sektor-sektor lain sebagai input. Hal ini berarti sektor terebut

dapat menimbulkan derived supply yang besar.

(6) Keterkaitan Langsung Ke Belakang

Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat suatu sektor tertentu

terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara

langsung per unit kenaikan permintaan total, atau suatu sektor menunjukkan

berapa banyak input yang berasal dari produksi berbagai sektor yang dipakai oleh

sektor dalam proses produksi.Bila nilainya lebih besar dari satu menunjukkan

bahwa sektor tersebut memiliki kaitan yang kuat. Artinya banyak mempengaruhi

pertumbuhan sektor-sektor lain dalam derived demand yang ditimbulkan oleh

sektor ini.

(7) Indeks Daya Penyebaran

Daya Penyebaran (DP) memperlihatkan tingkat pengaruh permintaan produk

sektor tertentu terhadap pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Semakin tinggi DP

berarti semakin tinggi pengaruh permintaan sektor tersebut terhadap pertumbuhan

sektor-sektor lainnya.
67

(8) Indeks Derajat Kepekaan

Derajat Kepekaan (DK) adalah tingkat pengaruh permintaan sektor lainnya

terhadap pertumbuhan sektor tertentu. Semakin tinggi DK berarti semakin tinggi

pula pengaruh permintaan sektor-sektor lain terhadap pertumbuhan sektor

tertentu. Dari DP dan DK dapat dihasilkan indek DP dan indek DK yang dapat

digunakan untuk menganalisis dan menentukan sektor-sektor kunci dalam

pembangunan ekonomi suatu wilayah.

4.3.2 Analisis potensi sumberdaya ikan

(1). Standardisasi Alat Tangkap

Standardisasi alat tangkap dalam rangka menghitung potensi sumberdaya ikan

penting dilakukan mengingat Indonesia memiliki multi species dan multi gear. Menurut

Gulland (19983) yang diacu dalam Sultan (2004) bahwa jika di suatu perairan terdapat

berbagai jenis alat (multi gear) maka salah satu alat tangkap dapat dipakai sebagai alat

tangkap standar. Alat tangkap lainnya dapat distandarisasikan terhadap alat tangkap

yang telah dipilih sebagai alat tangkap standar tersebut. Alat tangkap yang dtetapkan

sebagai alat tangkap standar dipilih dari alat tangkap yang mempunyai produktivitas

yang paling tinggi. Alat tangkap tersebut diberi nilai FPI (Fishing Power Index) = 1.

Adapun langkah-langkah menstandarisasi alat tangkap sebagai berikut:

1). Menghitung produktivitas masing-masing alat dengan membagi total produksi

ikan pada tahun ke-n dengan jumlah alat pada tahun ke-n tersebut.

2). Menghitung FPI alat tangkap lain dengan membagi produktivitas (CPUE)

masing-masing alat tangkap tersebut terhadap produktivitas (CPUE) alat yang

paling tinggi (alat tangkap standar) .


68

3). Menghitung FPI masing-masing alat tangkap yang telah distandarisasi dengan

mengalikan jumlah alat tangkap yang ada dengan FPI alat tersebut.

(2). Metode Perhitungan Upaya Tangkap Optimum dan MSY

Upaya tangkap optimum (fopt) dan Maksimum Sustainable Yield (MSY) dapat

dihitung dengan menggunakan persamaan Schaefer. Upaya optimum (fopt) dihitung

dengan menggunakan persamaan fopt = a/2b, Maksimum Sustanaible Yield (MSY)

dihitung dengan perasamaan MSY = a2/4b; dimana a adalah intersep dan b adalah

slope pada persamaan regresi liner.

Persamaan Schaefer ini sering digunakan untuk menghitung MSY dan Upaya

tangkap optimum (fopt) karena perhitungan menggunakan persamaan Schaefer sederhana,

mudah dan hasilnya mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu kebijakan

(Ghofar , 2003).

Langkah-langkah menghitung CPUE dengan menggunakan rumus metode

Schaefer sebagai berikut :

1. Membuat tabel data catch (c) dan upaya tangkap yang telah distandarisasi (Eff)

serta menghitung CPUE.

2. Memasukan nilai CPUE ( Y ) terhadap nilai Effort ( X ) yang bersangkutan dan

menghitung intercept a dan gradien b dengan menggunakan teknik linier berikut:

n (∑XY) – (∑X) (∑Y)


b=
n (∑ (X2)) – (∑X)2

(∑X) (∑X2) – (∑X) (∑XY)


a=
n (∑ (X2)) – (∑X)2
69

3. Menghitung fopt dengan Persamaan fopt = a/2b

4. Menghitung Maximum Sustainable Yield (MSY) dengan persamaan MSY = a2/4b

4.3.3 Analisis fungsi dan faktor pembatas

Produksi adalah penciptaan atau penambahan faedah dari berbagai segi seperti

faedah bentuk, waktu, tempat serta kombinasi faedah-faerdah tersebut.

Faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi, karena faktor produksi

tersebut dikorbankan untuk menghasilkan produksi. Faktor produksi biasanya disebut

input, sedangkan hasil produksi (produk) disebut output. Hubungan antara input dan

output disebut Faktor Relationship (FR). Secara matematis dapat ditulis dengan :

Y = f ( X1, X2, ........ Xi, ...... Xn)

Dimana : Y = produk atau variabel yang dipengaruhi faktor produksi Xi

Xi = Faktor-faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi Y

Dalam proses produksi perikanan tangkap maka Y dapat berupa hasil tangkapan

dan Xi berupa alat penangkap, tenaga kerja, modal dan manajemen. Disamping itu ada

pula faktor-faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan, tingkat keterampilan,

teknologi dan lain sebagainya.

Faktor pembatas dominan pada usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko pada

penelitian ini adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) , es , air tawar dan tenaga kerja.

Hubungan hasil tangkapan (Y) dengan faktor pembatas produksi secara matematis dapat

ditulis sebagai berikut :


70

Y = A + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5

Keterangan :

A = Konstanta (intersep)

X1 = BBM (ltr/bln)

X2 = Air Tawar (ltr/bln)

X3 = Es (kg/bln)

X4 = Orang/Bulan

Berdasarkan data di lapangan, harga satuan faktor – faktor produksi di Teluk

Lasongko adalah sebagai berikut :

− Bensin : Rp 4.500/liter
− Minyak tanah : Rp 3.700/liter
− Es : Rp 300/kg
− Tenaga kerja : Rp 800.000 per bulan
− Air tawar : Rp 4/liter
Setiap pelaku ekonomi mempunyai tujuan untuk mengoptimalkan pencapaian

keuntungan. Pendapatan dan biaya tergantung pada jumlah keluaran yang dihasilkan.

Keuntungan tergantung pada keluaran, dengan persamaan matematis dapat ditulis :

∏ = TR - TC

Keterangan :

∏ = Keuntungan
TR = Total Revenue atau Total Penerimaan
TC = Total Cost atau Total Pengeluaran
Persamaan lainnya yang biasa digunakan untuk menghitung keuntungan adalah:
∏ = TR – TC atau Q.Pq - ( FC + VC)
71

Keterangan :

TR = Total Penerimaan (Total Renevenue)

TC = Biaya Total (Total Cost terdiri : FC + VC); Dimana FC = Fixed Cost, VC =

Variable Cost

Q = Quantity atau Jumlah Hasil Tangkapan

Pq = Price of quantity atau harga ikan hasil tangkapan

4.3.4 Analisis profitability (B/C Ratio)

Untuk mengetahui apakah suatu unit usaha menguntungkan atau tidak, dapat

dianalisis dengan menggunakan metode B/C Ratio.

n
∑ NB+
i =1
Net B/C =
n
∑ NB+
i=1

Dimana :
NB = Net Benefit = Benefit – Cost
B = Benefit yang telah di discount rate (memperhatikan unsur bunga dan
penyusutan)
C = Cost
n = Waktu
i = Discount factor

Jika Net B/C lebih besar dari 1 (satu) berarti usaha tersebut layak untuk

dikerjakan, dan jika lebih kecil dari 1 (satu) berarti tidak layak untuk dikerjakan. Untuk

Net B/C sama dengan 1 (satu) berarti cash in flow sama dengan cash out flows, dalam

present value disebut dengan Break Even Point (BEP), yaitu total cost sama dengan total

benefit.
72

4.3.5 Analisis Goal Programming

Analisis goal programming diterapkan pada masalah-masalah linier dengan

memasukkan berbagai tujuan dalam formulasi modelnya. Setiap tujuan dinyatakan

sebagai suatu goal dan direpsentasikan secara numerik. Goal yang dinyatakan secara

numerik inilah yang dicoba untuk dicapai. Tetapi berbagai goal tidak selalu dapat dicapai

secara bersamaan, penyimpangan (deviasi) dari goal dapat terjadi. Karena dalam

formulasi goal programming, goal dalam numerik untuk setiap tujuan harus ditetapkan

lebih dahulu. Kemudian, solusi yang ingin dicari adalah meminimalkan jumlah

penyimpangan tujuan-tujuan ini terhadap goalnya. Dengan kata lain, fungsi tujuan dalam

goal programming dinyatakan sebagai minimisasi penyimpangan dari fungsi-fungsi

preferensi atau fungsi pencapaian goal.

Untuk menyatakan penyimpangan (deviasi) dalam formulasi modelnya diperlukan

suatu variabel yang disebut variabel deviasi. Variabel deviasi ini menyatakan tingkat

pencapaian goal dalam pengertian kurang tercapai (underchievement of goal) dan

melebihi goal (overchievement of goal). Tingkat underchievement dan overchievement

goal ini tidak mungkin terjadi bersamaan. Oleh karena itu salah satu atau kedua variabel

deviasi ini akan sama dengan nol.

Formulasi model setiap goal dimasukkan dalam kendala, oleh karena itu kendala

goal programming disebut “goal constraints”. Goal constraint ini juga ditulis dalam

variabel deviasi.

Konsepsi tentang berbagai pendekatan dalam formulasi goal programming

tersebut di atas, dapat dilihat sebagai berikut:


73

1). Setiap goal constraint selain mempunyai variabel keputusan, yaitu: Xi ( X1, X2, ......

Xn) juga mempunyai variabel deviasi yang non-negatif, yaitu µ dan ei. Variabel µ

menyatakan penyimpangan yang underachievement dan variabel ei menyatakan

penyimpangan yang overachievement.

2). Fungsi tujuan dalam goal programming adalah minimisasi penyimpangan atau

minimisasi variabel µ atau ei.

3). Untuk meminimalkan penyimpangan underachievement (µi ), formulasi goal

constraint adalah:

gi ( X1, X2, ......, Xn) + µi ≤ bi ; dimana µi ≥ 0

Dengan fungsi tujuan meminimalkan µi

4). Untuk meminimalkan penyimpangan over achievement (ei ), formulasi goal

constraintnya adalah :

gi (X1, X2, ...... Xn) - µi ≥ bi ; dimana µi ≥ 0

Dengan fungsi tujuan meminimalkan ei

5). Untuk meminimalkan penyimpangan underachievement dan overachievement,

formulasi goal constraintnya adalahah:

gi (X1, X2, ..... , Xn) + µi - ei = bi ; dimana µi ≥ 0

Dengan fungsi tujuan meminimalkan µi + ei

6). Untuk menyatakan preferensi atas suatu penyimpangan, dipergunakan faktor

timbangan dalam formulasi fungsi tujuannya. Fungsi tujuan tertimbangan dalam goal

programming ditulis sebagai

∑ Wi. µi + Wi. ei
74

7). Oleh karena salah satu atau kedua variabel deviasi ini µi dan ei sama dengan 0 (nol),

maka goal constaint yang mempunyai variabel deviasi bernilai positif merupakan

kendala aktif.

Pengembangan usaha perikanan tangkap secara umum dapat dilakukan melalui

peningkatan produksi dan produktivitas usaha perikanan. Pengembangn usaha perikanan

merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan usaha perikanan

sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih

baik. Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari

suatu variabel yang nilai kurang kepada suatu nilai yang lebih baik. Dalam penelitian ini

pola pengembangan perikanan tangkap ditentukan dengan mengoptimalkan alokasi

armada penangkapan ikan dan dampaknya terhadap berbagai sasaran melalui pendekatan

goal programming. Sebagai alat bantu analisis data digunakan Program LINDO (Linier

Interactive Descrete Optimizer).

Menurut Muchlis (1993), bahwa dalam goal programming dikenal 2 macam

persamaan, yaitu persamaan fungsi tujuan dan persamaan kendala-kendala tujuan.

Persamaan dalam fungsi tujuan ini ditandai oleh kehadiran variabel deviasional dari

kendala-kendala tujuan yang diminimumkan. Dalam model goal programming dikenal 2

macam variabel deviasional, yaitu: variabel deviasional untuk menampung

penyimpangan (deviasi) hasil penyelesaian di bawah sasaran atau under achievement (µi )

dan variabel deviasional untuk menampung penyimpangan hasil penyelesaian di atas

sasaran atau overachievement (ei). Kehadiran variabel-variabel deviasional di dalam

fungsi kendala tujuan ini akan mengubah makna kendala menjadi sarana untuk

mewujudkan sasaran-sasaran yang dikehendaki.


75

Fungsi Tujuan

Z = ∑ Wi. µi + Wi. ei ; dimana

Wi. µi = Deviasi bawah atau underachievement

Wi. ei = Deviasi atas atau overachievement

Dimana

Wi. µi dan Wi. ei > 0

Terdapat 5 (lima) tujuan optimisasi faktor produksi untuk memanfaatkan MSY di

Kawasan Teluk Lasongko, yaitu:

1). Optimisasi penyediaan minyak tanah

2). Optimisasi penyediaan bensin

3). Optimisasi penyediaan tenaga kerja

4). Optimisasi penyediaan es

5). Optimisasi penyediaan air tawar

Fungsi kendala-kendala dirumuskan sebagai berikut:

a11X1 + a12 X2 + ...... + a1nXn + W1.µ1 - W1.e1 = b1


a21X1 + a22 X2 + ...... + a2nXn + W2.µ1 - W2.e2 = b2
......
......
Am1X1 + am2 X2 + ...... + amnXn + Wm.µm - Wm.em = b2
Dimana :
aij = Parameter fungsi kendala ke-i pada variabel keputusan ke-j
bi = kapasitas / ketersediaan kendala ke-i
Xj = variabel putusan ke-j (alat tangkap ke-j) maksimal j akan diperoleh dari hasil
observasi lapangan
Xj > 0, untuk i = 1, 2, .... m dan j = 1, 2 , ..... n.
76

Dalam penelitian di Teluk Lasongko digunakan Analisis Goal Programming

karena terdapat 5 (lima) tujuan yang ingin diperoleh dalam waktu bersamaan dan telah

ada software LINDO yang dapat memudahkan pengolahan data secara cepat dan akurat.

4.3.6 Analisis penentuan kebijakan dan program

Penentuan strategi optimisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan dengan

menggunakan metode PRA (Participatory Rural Appraisal), yaitu dengan menggali

sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan upaya pengelolaan sumberdaya ikan

di sekitar Teluk Lasongko yang bersumber dari pemerintah, swasta dan masyarakat.

Metode PRA digunakan untuk memperoleh informasi yang berkualitas tentang kondisi

dan pandangan masyarakat serta memiliki orientasi “bottom up” yang kuat, dimana

penekanannya adalah mengidentifikasi pemanfaatan sumberdaya oleh pengguna

sebenarnya (Rietbergen-McCracken, 1998). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan solusi

optimisasi pemanfaatan sumberdaya ikan yang sesuai dengan kemauan stakesholders

perikanan. Berdasarkan hasil pendekatan PRA selanjutnya dilakukan analisis SWOT

(Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) (Rangkuti, 1997). Dalam analisis ini

peneliti menggali informasi dari berbagai unsur pelaku, sehingga ditemukan berbagai

kesimpulan dalam suatu matriks mengenai kekuatan (Strengths), kelemahan

(Weaknesses), Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats) dalam optimisasi

pemanfaatan sumberdaya ikan wilayah tersebut.

Pemilihan alternatif kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu kawasan

menurut Nikijuluw (2002) sebaiknya diterima nelayan; diimplementasi secara gradual;

fleksibel; implementasinya didorong efisiensi dan inovasi; pengetahuan yang sempurna


77

tentang peraturan serta biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti peraturan tersebut; dan

adanya implikasi terhadap tenaga kerja, pengangguran, dan keadilan.

Untuk mendapatkan prioritas kebijakan yang akan dilaksanakan, maka digunakan

AHP. Langkah pertama yang dilakukan dalam AHP adalah menyusun struktur hirarki.

Penyusunan hirarki terhadap permasalahan dan kondisi nyata di tingkat lapangan terlebih

dahulu dilakukan dengan menyusun algoritma sehingga akan memudahkan menyusun

kuesioner serta menganalisisnya ( Gambar 11).

Definisi Masalah dan Penentuan Tujuan

Penyusunan Hirarki : Tujuan,


Besaran, Komponen dan Kriteria.

Matrik Perbandingan Berpasangan


berdasarkan Judgement

Perolehan Judgement sebanyak [n(n-1)/2]

Definisi Masalah dan Penentuan Tujuan

Perhitungan Nilai Eigen Value & Konsistensinya

Perhitungan Eigen Vektor = Bobot

Konsistensi

Gambar 11. Algoritma Permasalahan Kebijakan


78

Metode AHP yang digunakan dalam penentuan prioritas kebijakan di Teluk

Lasongko sebagaimana digambarkan di atas dimulai dengan mendefinisikan dan

menentukan solusi masalah. Permasalahan pada penelitian ini adalah belum adanya

pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan yang baik di Teluk Lasongko Kabupaten

Buton. Faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi pengambilan kebijakan pengaturan

pemanfaatan sumberdaya ikan adalah sebagai berikut: (i) keinginan pemerintah daerah

dan instansi terkait lainnya; (ii) dukungan masyarakat setempat; (iii) dukungan

investasi/swasta; (iv) dukungan pemerintah pusat.

Struktur hierarki dibuat sesuai dengan urutan tujuan kebijakan pengelolaan

sumber daya ikan di Teluk Lasongko yang disusun oleh kriteria-kriteria penentu

berdasarkan strategi-strategi yang diperoleh pada analisis SWOT. Kebijakan-kebijakan

dan program-program yang diperoleh dari hasil analisis SWOT merupakan level bawah

yang didasarkan pada komponen-komponen penyusun yang diperoleh dari hasil

wawancara dengan key person.

Forman (2001) menjelaskan bahwa metode AHP ini dilakukan dengan

memodelkan permasalahan kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bentuk

permasalahan secara bertingkat/berjenjang, kemudian memberikan penilaian secara

kualitatif subyektif terhadap elemen-elemen pada setiap tingkat. Dengan pola penilaian

tersebut, ketelitian hasilnya sangat ditentukan oleh relevansi dan tingkat pemahaman

permasalahan dari penilai. Karena itu penilaian akan lebih berbobot jika dilakukan

secara berkelompok, oleh kelompok individu yang relevan. Sifatnya yang menyeluruh

(tujuan dan kriterianya dapat beragam), akomodatif (mampu menampung aspirasi

berbagai faktor), serta penilaiannya yang tidak saja berdasarkan angka absolut, melainkan
79

juga relatif (menggunakan skala) membuat metode AHP fleksibel, aktual dan handal

untuk dapat dipakai sebagai alat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, atau untuk

mengevaluasi tingkat optimasi dari alternatif yang ada. .

Arahan penulisan penentuan kebijakan pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan

sesuai dengan rekomendasi CCRF yang diarahkan untuk memecahkan persoalan-

persoalan yang sesuai dengan kondisi Teluk Lasongko sebagai berikut (Nikijuluw, 2002):

1) kelebihan kapasitas penangkapan ikan,

2) ketidakseimbangan antara kepentingan berbagai pihak dalam memanfaatkan

sumberdaya,

3) kerusakan habitat, kecenderungan kepunahan jenis ikan tertentu, dan turunnya

keanekaragaman hayati, serta

4) kerusakan dan kemunduran mutu lingkungan.


5 KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.1 Kondisi Wilayah di Teluk Lasongko


Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk terbesar yang terdapat di Kabupaten

Buton, dengan luas total sekitar 13,6 km2 dan luas total daratan wilayah Teluk Lasongko

yang terdiri dari 4 (empat) kecamatan sekitar 887 km2. Teluk ini terletak di daratan Pulau

Muna bagian timur dengan mulut teluk menghadap ke arah timur. Wilayah Perairan

Teluk Lasongko secara administrasi termasuk kedalam 4 wilayah kecamatan, yaitu

Kecamatan Lakudo, Kecamatan Mawasangka Timur, Kecamatan Mawasangka, dan

Kecamatan Gu. Secara administrasi wilayah Teluk Lasongko memiliki batas wilayah :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Muna


- Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Buton
- Sebelah Timur berbatasan dengan Selat buton
- Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Muna

Sebagaimana halnya dengan kondisi umum Pulau Muna yang terpisah dari

daratan Pulau Sulawesi, wilayah pantai Teluk Lasongko memiliki bentuk topografi datar,

bergelombang sampai berbukit. Areal bertopografi datar umum ditemukan di Kelurahan

Lakudo, Waara, Madongka, dan Bungi, sementara desa lainnya didominasi oleh areal

bergelombang sampai berbukit.

Teluk Lasongko seperti halnya dengan wilayah Kabupaten Buton memiliki

jumlah bulan basah yang lebih sedikit dibandingkan bulan kering, dengan curah hujan

rata-rata tiap tahun sangat rendah. Musim hujan biasanya terjadi pada Bulan November

sampai dengan Maret, sedangkan musim kemarau terjadi pada Bulan Agustus sampai

Oktober. Suhu udara maksimum 34° C dan minimum 20° C.


81

Kondisi oceanografi perairan Teluk Lasongko pada sebelah barat dan timur

Kecamatan Lakudo terlindung dari gempuran ombak musim timur (Mei – Agustus) dan

ditumbuhi komunitas lamun dan komunitas terumbu karang. Tipe pasut termasuk

campuran semi diurnal (mixed semidiurnal), dengan tinggi pasang dipermukaan dan

kedalaman 4 meter diselat yang tersempit sekitar 0,2 – 0,8 m/detik. Perairan ini memiliki

kandungan oksigen terlarut yang tinggi sekitar 5,6 – 6,12 ppm dan paparan dasar yang

landai serta kedalaman berkisar antara 30 – 50 meter yang cukup luas yaitu 1200 ha.

Kondisi kualitas air diperairan Teluk Lasongko dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter Fisika-Kimia di Perairan Teluk Lasongko

No. Parameter Satuan Kisaran


1. Ph - 7,75 – 8,16
2. DHL 4400 – 4460
3. Kekeruhan 0–1
4. DO Ppm 5,51 – 8,05
5. Salinitas Ppt 28,10 – 28,60
6. Suhu °C 29,50 – 30,60
Sumber: DKP (2003)

5.1.1 Kependudukan

Laju pertumbuhan penduduk di Teluk Lasongko paling tinggi di Kecamatan

Mawasangka Timur sebesar 4,79%, dan terendah di Kecamatan Lakudo sebesar 2,51%.

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan

jumlah penduduk laki-laki sebanyak 43.030 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk dan

jumlah penduduk menurut jenis kelamin di kawasan Teluk Lasongko disajikan pada

Tabel 2 dan Tabel 3.


82

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan


Tahun 2000 dan 2004

Penduduk
Kecamatan Laju Pertumbuhan Pertahun
2000 2004
(1) (2) (3) (4)

1 Gu 22.590 24.940 2,60


2 Lakudo 21.199 23.329 2,51
3 Mawasangka 26.467 29.305 2,68
4 Mawasangka Timur 6.496 7.740 4,79

Jumlah 76.752 85.314 3,14


Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)

Tabel 3. Penduduk di Kawasan Teluk Lasongko Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004

Jenis Kelamin
Kelompok Umur Laki-Laki + Perempuan
Laki-Laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Gu 12.296 12.644 24.940
Lakudo 12.085 11.244 23.329
Mawasangka 14.422 14.883 29.305
Mawasangka Timur 3.481 4.259 7.740
Jumlah 42.284 43.030 85.314
Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)

Wilayah Kecamatan Gu merupakan wilayah terpadat di kawasan Teluk Lasongko

dengan kepadatan 219 jiwa/km2 dan kepadatan terendah adalah Kecamatan Mawasangka

Timur 61 jiwa/km2. Luas kecamatan dan kepadatan penduduk per kecamatan di Teluk

Lasongko disajikan pada Tabel 4.


83

Tabel 4. Kepadatan Penduduk di Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan


Tahun 2000 dan 2004
Kepadatan
Penduduk (jiwa)
Kecamatan Luas (km2) (jiwa/km2)
2000 2004 2000 2004
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Gu 114,00 22.590 24.940 198 219
2 Lakudo 225,00 21.199 23.329 94 104
3 Mawasangka 421,77 26.467 29.305 63 69
4 Mawasangka Timur 126,23 6.496 7.740 51 61

Jumlah 887,00 76.752 85314 86 96


Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)

Sebagian besar penduduk di Teluk Lasongko merupakan suku bangsa Buton dan

Wakatobi sebanyak 65.676 jiwa disusul oleh suku bangsa Muna sebanyak 9.177 jiwa,

sebagaiman disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan dan Suku Bangsa
Tahun 2000

Buton, Waka- Maro- Bajo


Kecamatan Bugis Muna Lainnya (
tobi Mene (Wajo)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)


1 Gu 22,170 87 0 178 0 155
2 Lakudo 21,087 30 55
3 Mawasangka 22,419 458 0 27 0 297
4 Mawasangka Timur *) - - 39 8,972 778 -

Jumlah 65,676 575 39 9177 778 507


Ket :*) Data masih tergabung dengan kecamatan induk (Mawasangka)
Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)

5.1.2 Pendidikan

Bidang pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting guna melahirkan

insan-insan yang berilmu. Pembangunan di bidang pendidikan di Kabupaten Buton

dititikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia yang cerdas dan memiliki
84

intelektualitas yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan sarana dan

prasarana pendidikan yang memadai.

Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur pelaksanaan pembangunan di

bidang pendidikan disajikan pada Tabel 9 sampai dengan Tabel 12. Pada tabel-tabel

tersebut disajikan data mengenai banyaknya sekolah, guru dan murid dari semua jenjang

pendidikan mulai dari pra sekolah/Taman Kanak-Kanak (TK) sampai SLTA tahun 2004.

Dari tabel ini dapat dilihat rasio antara guru terhadap sekolah, murid terhadap sekolah

dan murid terhadap guru baik TK, SD, SMP dan SMU.

Tabel 6. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid Taman Kanak-Kanak Menurut Kecamatan
di Kawasan Teluk Lasongko Tahun 2004
Rata-Rata
Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/ Murid/ Murid/
Sekolah Sekolah Guru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Gu 5 7 186 1 37 27
2 Lakudo 5 11 222 2 44 20
3 Mawasangka 6 15 253 2 46 17
4 Mawasangka Timur 1 1 44 1 1 44

Jumlah 2004 17 34 705 2 41 20


Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)

Tabel 7. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SD Menurut Kecamatan


di Kawasan TelukLasongko Tahun 2004
Rata-Rata
Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/ Murid/ Murid/
Sekolah Sekolah Guru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Gu 22 157 3.871 7 176 25
2 Lakudo 18 128 3.781 7 210 30
3 Mawasangka 27 172 5.124 6 190 30
4 Mawasangka Timur 8 34 1.036 4 130 30

Jumlah 2004 75 491 13.812 6 184 28


Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)
85

Tabel 8. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMP Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004
Rata-Rata
Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/ Murid/ Murid/
Sekolah Sekolah Guru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Gu 3 53 985 18 328 19
2 Lakudo 4 54 939 14 235 17
3 Mawasangka 2 43 1.004 22 502 23
4 Mawasangka Timur 1 10 170 10 170 17

Jumlah 2004 10 160 3098 16 309 19


Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)

Tabel 9. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMU Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004
Rata-Rata
Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/ Murid/ Murid/
Sekolah Sekolah Guru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Gu 2 48 745 24 373 16
2 Lakudo - - - - - -
3 Mawasangka 1 28 596 28 596 21
4 Mawasangka Timur - - - - - -

Jumlah 2004 3 76 1.341 25 447 17


Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)
5.1.3 Perikanan

Produksi ikan di Teluk Lasongko pada periode tahun 2000-2004 berfluktuasi dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2000 produksi ikan tercatat 12.355 ton, pada tahun 2001

produksi ikan tersebut naik sekitar 15 % menjadi 14.194 ton. Namun pada tahun 2003

produksi turun menjadi 13.172 ton, dan pada dua tahun terakhir periode tersebut

menunjukkan penurunan lagi yaitu dari 14.402 ton pada tahun 2003 menjadi 13.741 ton

pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa produksi ikan hasil tangkapan di perairan

Teluk Lasongko cenderung menurun. Perkembangan produksi ikan di Teluk Lasongko

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel.13


86

Tabel 10. Produksi Ikan di Teluk Lasongko 2000-2004 (ton)


DEMERSAL PELAGIS PELAGIS KARANG BERKULIT
Tahun KECIL BESAR KONSUMSI KERAS JUMLAH

2000 2.082 6.147 3.186 698 242 12.355


2001 2.411 7.622 2.624 976 561 14.194
2002 1.770 6.708 2.801 1.352 541 13.172
2003 2.220 7.241 3.924 227 790 14.402
2004 2.212 7.239 2.900 750 640 13.741
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Buton (diolah).

Dalam hal armada penangkapan ikan, berdasarkan data tahun 2004 jumlah armada

perikanan yang beroperasi di Teluk Lasongko sebanyak 3.293 buah yang terdiri dari

motor tempel 2.722 buah, perahu tanpa motor 533 buah dan kapal motor 38 buah.

Distribusi armada penangkapan menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 11. Jumlah Perahu, Kapal Penangkap Ikan Menurut Jenisnya Tiap
Kecamatan Tahun 2004

Kecamatan Motor tempel Perahu Tanpa Motor Kapal Motor

1 Gu 1.112 104 5
2 Lakudo 583 215 15
3 Mawasangka 662 108 10
4 Mawasangka Timur 365 106 8

Jumlah 2.722 533 38


Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)

Alat tangkap ikan di Teluk Lasongko didominasi oleh alat tangkap sederhana

seperti pancing, jaring insang, bagan dan bubu. Beberapa jenis alat tangkap ikan di

Teluk Lasongko jumlahnya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jaring insang

hanyut yang jumlahnya paling banyak diantara jenis alat tangkap yang ada, pada tahun

2000 baru ada 548 unit, namun pada tahun 2004 jumlahnya meningkat pesat menjadi

2.036 unit. Jenis-jenis alat tangkap ikan yang dioperasikan di Teluk Lasongko dan
87

perkembangan jumlahnya selama periode tahun 2000-2004 selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Tahun 2000 - 2004
Nama Alat Tahun
Tangkap 2000 2001 2002 2003 2004
Payang 19 19 20 20 21
Pukat Pantai 32 31 35 36 37
Pukat Cincin 3 3 3 3 3
Pukat udang 2 2 2 2 2
Jaring Insang Hanyut 548 549 1820 1970 2036
Jaring Insang Lingkar 302 308 309 320 324
Jaring Insang Tetap 458 459 250 276 278
Trammel Net 6 6 12 30 31
Bagan Perahu 62 62 70 73 73
Bagan Tancap 61 61 65 66 66
Serok 14 14 6 5 5
Jaring Angkat Lainnya 16 16 6 5 5
Huhate 3 3 3 3 3
Pancing Biasa 440 437 439 440 443
Pancing Tonda 586 588 583 574 574
Rawai Tetap 45 45 45 45 45
Sero 101 101 28 27 27
Bubu 1345 1345 504 390 365
Jermal 20 20 20 9 8
Perangkap lainnya 69 69 60 130 130

Jenis ikan hasil tangkapan di perairan Teluk Lasongko pada dasarnya dibagi

menjadi 5 kelompok yaitu (i) ikan demersal (ii) ikan pelagis kecil (iii) ikan pelagis

besar (iv) ikan karang konsumsi (v) jenis berkulit keras (rajungan dan udang udangan).

Ikan- ikan demersal yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara lain ikan Pari

(Dasyatis sp), Lencam (Lethrinus sp) dan Biji nangka (Parupeneus indicus). Alat

tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan demersal yaitu jaring insang

(terdiri: jaring insang hanyut, jaring lingkar dan jaring insang tetap); jaring angkat

(terdiri: bagan perahu dan bagan tancap), perangkap dan alat lainnya (terdiri: sero, bubu

dan perangkap). Kelompok ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Teluk
88

Lasongko antara lain ikan ekor kuning (Caesio eritrogaster), layang (Decapterus sp),

selar (Selaroides sp), belanak (Mugil cephalus), julung-julung (Hemirhampus sp),

tembang (Clupea sp), lemuru (Sardinella longiceps), dan kembung (Rastreliger sp).

tembang (Clupea sp). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok

ikan pelagis kecil yaitu pukat (payang, pukat pantai dan pukat cincin) dan pancing

(huhate, pancing biasa dan pancing tonda).

Ikan pelagis besar yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko terdiri dari ikan

cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scombemorus commersoni), tongkol (Euthinus

sp), alu-alu (Sphyraena sp), dan cucut (Charcarias sp). Alat tangkap yang digunakan

untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar di perairan Teluk Lasongko adalah

pancing (huhate, pancing biasa, rawai tetap dan pancing tonda).

Jenis ikan karang konsumsi yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara lain

ikan bambangan (Lutjanus sanguiness), ikan kakap (Lutjanus sp), ikan kerapu

(Epinephalus sp), ikan kurisi (Helocentrum rubrum) dan ikan kuwe (Caranx sp). Alat

tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan-ikan karang adalah jenis

perangkap dan alat lainnya (sero, bubu dan perangkap lainya).

Kelompok ikan berkulit keras terdiri dari rajungan (Portunus sp) dan udang-

udangan (Penaeus sp). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok jenis

ikan berkulit keras ini adalah perangkap yang terdiri atas sero, bubu, jala, perangkap lain

serta jala dan tombak.

Perkembangan jumlah jenis alat tangkap ikan yang beroperasi di perairan Teluk

Lasongko dan produksi ikannya dalam periode tahun 2000-2004 dapat dilihat pada

Tabel 13.
89

Tabel 13. Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2000 – 2004

Nama Alat Tahun Rata-


Tangkap 2000 2001 2002 2003 2004 rata
Payang 1.049,00 671,65 1.130,00 418,27 527,76 759,34
Pukat Pantai 812,30 1.252,00 1.130,00 743,00 742,00 935,86
Pukat Cincin 2.243,09 3.155,33 1.988,00 2.322,80 2.322,00 2.406,24
Pukat udang 693,32 870,00 1.295,00 884,00 782,91 905,05
Jaring Insang Hanyut 50,94 115,79 237,00 245,50 233,99 176,64
Jaring Insang Lingkar 403,26 301,80 200,96 313,00 318,64 307,53
Jaring Insang Tetap 243,94 378,90 634,57 687,19 689,99 526,92
Trammel Net 19,72 25,74 18,30 4,50 6,20 14,89
Bagan Perahu 278,92 234,22 163,46 217,35 220,12 222,81
Bagan Tancap 354,46 332,15 1.125,02 129,05 129,05 413,95
Serok 31,19 30,00 19,00 11,50 13,00 20,94
Jaring Angkat Lainnya 15,68 7,23 3,30 3,10 3,10 6,48
Huhate (Pelagis Besar) 991,05 1.011,00 841,30 862,14 455,32
Huhate (Pelagis Kecil) 560,67 522,15 491,00 295,56 295,56
Rata-Rata 775,86 766,58 666,15 578,85 375,44 632,58
Pancing Biasa (PB) 505,06 107,00 400,15 252,49 640,59 381,06
Pancing Biasa (PK) 349,56 286,00 447,00 809,81 809,81
Rata-Rata 427,31 196,50 423,58 531,15 725,20 460,75
Pancing Tonda (PB) 1.288,98 1.082,00 1.120,66 1.956,37 1.438,59 1.377,32
Pancing Tonda (PK) 19,57 88,55 17,00 380,02 380,02
Rata-Rata 654,28 585,28 568,83 1.168,20 909,31 777,18
Rawai Tetap (PB) 400,89 423,00 439,00 853,21 859,40 595,10
Rawai Tetap (PK) 760,09 576,00 26,00 1.387,48 1.387,48
Rata-Rata 580,49 499,50 232,50 1.120,35 1.123,44 711,26
Sero (Demersal) 262,47 242,30 190,42 227,27 215,43
Sero (Karang Konsumsi) 254,10 361,67 344,47 40,12 252,00 697,32
Sero (Berkulit Keras) 38,33 42,45 309,17 426,82 279,57
Rata-Rata 184,97 215,47 281,35 231,40 249,00 232,44
Bubu (Demersal) 350,00 392,00 112,90 229,00 225,00
Bubu (Karang Koms) 402,00 523,32 703,13 84,60 394,00 606,71
Bubu (Berkulit keras) 30,60 37,31 54,17 114,50 114,50
Rata-Rata 260,87 317,54 290,07 142,70 244,50 251,14
Jermal Demersal 47,60 60,47 5,70 19,00 24,00
Jermal (Karang Konsumsi) 33,81 47,00 298,00 72,00 53,00 147,32
Jermal (Berkulit Keras) 25,00 16,00 10,00 14,00 11,00
Rata-Rata 35,47 41,16 104,57 35,00 29,33 49,11
Perangkap Lainnya (D) 23,43 52,19 24,28 69,84 69,84
Perangkap Lainnya (KK) 18,28 44,03 5,98 30,53 50,54 328,15
Perangkap Lainnya (Kr) 148,39 465,34 167,98 235,09 235,00
Rata-Rata 63,37 187,19 66,08 111,82 118,46 109,38
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Buton (diolah)
90

5.1.4 Ekosistem perairan

Ekosistem perairan yang terdapat di Teluk Lasongko meliputi ekosistem terumbu

karang, padang lamun dan mangrove.

(1).Terumbu Karang

Pada umumnya perairan Teluk Lasongko memiliki terumbu karang bertipe karang

pantai (fringing reef) dan ada pula yang bertipe karang gosong (patch reef) yang terpisah

± 3 km dari pantai dan didominsasi oleh pasir halus. Kondisi terumbu karang di perairan

Teluk Lasongko ini umumnya dalam kondisi baik dan sebagian sudah mengalami

kerusakan akibat aktifitas nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan dengan

menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkunga yaitu menangkap ikan dengan

menggunakan bahan peledak. Pada tahun 2001, daerah penangkapan ikan dengan

penggunaan bahan peledak di Kecamatan Lakudo adalah Waara, Wanepe-Nepa Baru,

Lolibu dan Boneoge dengan estimasi aktivitas 12 kali ledakan per hari atau 1.800 kali

setahun, sementara di Kecamatan Mawasangka Timur jumlah ledakan per hari sekitar 15

kali atau 3.400 kali setahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, 2003). Luas total

terumbu karang di Teluk Lasongko adalah 279,8 ha atau 20 % dari luas perairan Teluk

Lasongko seluas 1.360 ha. Sebaran dari Terumbu karang ini meliputi lokasi Karang

Bawona, Karang Katembe, Karang Bunging Balano, Karang Bunta, Karang Bone

Marangi, Karang Madongka, Karang Bungi. Adapun luasan dari masing-masing lokasi

adalah sebagaimana pada Tabel 14.


91

Tabel 14. Penyebaran dan Luasan Terumbu Karang di Teluk Lasongko

No Nama Lokasi Luas (ha) Tutupan Karang (%)


1 Pasi’ Bawona 122,0 36 – 73,7
2 Pasi’ Katembe 40,2 64,9 – 73,7
3 Pasi’ Bunging Balano 4,4 64,9 – 73,7
4 Pasi’ Bunta 90,9 64,9 – 73,7
5 Pasi’ Bone Marangi 3,6 36
6 Pasi’ Madongka 5 72,34
7 Pasi’ Bungi 9,2 35
Luas Total 279,8
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra (2003)

Setiap lokasi memiliki ciri yang hampir sama yaitu rataan terumbu karangnya

(Reef Flat) berada pada kedalaman antara 3 sampai 5 meter dengan pada bagian

lerengnya (Reef Slope) sangat landai dengan kontur rata. Karang ditemukan rata-rata

pada kedalaman 5 meter hingga 8 meter dan selebihnya adalah pasir dan alga.

Keberadaan alga yang cukup tinggi disebabkan oleh pergerakan arus yang lemah. Hal ini

mengindikasikan terjadinya peroses pemulihan, sehingga alga lebih cepat tumbuh dan

dominan dibanding karang keras (Hard Coral). Dapat dijelaskan pada masing-masing

stasiun adalah sebagai berikut :

Karang Bawono terletak pada 05°25’14,1” LS dan 122°28’55” BT, merupakan tipe

terumbu karang gosong (Patch Reef) dan merupakan daerah penangkapan ikan tradisional

mempunyai presentase penutupan karang dalam kriteria baik (69,98%), dengan dominasi

pada lokasi ini adalah karang lunak (Soft Coral) dengan rataan yang cukup luas pada

kedalaman 7 sampai 8 meter.


92

Karang Katembe (05°24’24,3” LS dan 122°30’19,6” BT), Karang Bunging Balano

(05°21’52,7” LS dan 122°31’36,6 BT) serta Karang Bunta (05°19’58,4” LS dan

122°30’59,5” BT) semuanya merupakan terumbu karang tipe karang pantai (Fringing

Reef) dengan prosentase penutupan karang (64,9% - 73,7%).

Karang Bone Marangi (05°26’32,9” LS dan 122°31’43,4”BT), merupakan terumbu

karang dengan tipe terumbu karang pantai (Fringing Reef) dengan prosentase penutupan

karang sedang (36%) mengarah ke kreteria buruk, mayoritas karang hancur dengan

sedimentasi tinggi.

Karang Madongka (05°25’56,6” LS dan 122°30’42,2” BT) memiliki karang yang cukup

sehat karena lebih beragam dan kehadiran unsur abiotik (pasir) tidak terlalu besar dengan

prosentase penutupan karang hidupnya 72,34% , didominasi kehadiran karang keras

(Stony Coral).

Karang Bungi (05°21’52,3” LS dan 122°29’36,5” BT) prosentase penutupan rendah

(35%) dan selebihnya disusun oleh komponen karang mati serta dominasi oleh komponen

pasir halus (46%).

Sebaran dari Terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 12. dibawah ini :
93

Gambar 12. Peta Sebaran Terumbu Karang di Teluk Lasongko


(Sumber Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tenggara)

(2). Padang Lamun

Padang lamun ditemukan di seluruh zona intertidal Teluk Lasongko yang terdiri

dari 6 macam vegetasi (Enhalus acoroides, Thalasia hemprichii, Cymodocea rotundata,

Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Halodule universis) yang hidup pada

substrat pasir halis dan pasir berlumpur (Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, 2003).

Sebaran dari ekosistem padang lamun di teluk Lasongko mempunyai luas secara

keseluruhan adalah 573,03 ha, yang tumbuh pada bagian dasar perairan bersubstrat pasir

halus, terbagi 5 (lima) kelompok lokasi yakni: bagian Utara teluk dengan luas 183,87 ha,

sebelah Barat seluas 209,89 ha, Timur seluas 130,56 ha, bagian Barat dekat mulut teluk
94

20,15 ha, dan bagian Timur dekat mulut teluk seluas 28,56 ha. Untuk penyebaran padang

lamun dapat dilihat pada Gambar 13 dibawah ini:

SEBARAN PADANG LAMUN


TELUK LASONGKO

Gambar 13. Peta Sebaran Padang Lamun di Teluk Lasongko

(3). Mangrove

Hutan mangrove terdapat di sepanjang pesisir pantai Kecamatan Lakudo dan

Mawasangka Timur seluas 545,52 ha dengan ketebalan bervariasi antara 25 – 300 m yang

tersebar dalam kondisi baik yakni; Di Desa Lolibu dengan luas 25 ha, Kel. Lakudo 25 ha,

Desa Matawine 75 ha, Boneoge 50 ha, Desa Bungi 75 ha, Desa Lasori 5 ha, dan beberapa

tempat yang mempunyai penyebaran rendah adalah kelurahan Waara, Wanepa-nepa,


95

Nepa Makar, Madongka. (Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, 2003). Hutan mangrove

merupakan ekosistem penyangga yang menjadi tempat perlindungan bagi berbagai jenis

larva organisme (spawning ground dan nursery ground) rajungan, kepiting, udang, dan

berbagai jenis ikan. Sebaran dari mangrove dapat dilihat pada Gambar 14 dibawah ini :

SEBARAN MANGROVE
TELUK LASONGKO

5.2.4 Ekosistem Perairan

Ekosistem perairan yang terdapat di Teluk Lasongko meliputi ekosistem terumbu

karang, padang lamun dan mangrove.

A. Terumbu Karang

Pada umumnya perairan Teluk Lasongko memiliki terumbu karang bertipe karang

pantai (fringing reef) dan ada pula yang bertipe karang gosong (patch reef) yang terpisah

Gambar 14. Peta Sebaran Mangrove di Teluk Lasongko


6 HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Peran Sektor Perikanan

Sektor perikanan memiliki arti penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini

ditunjukkan dari perkembangan PDB sektor perikanan yang cukup besar selama

periode tahun 2001-2004 yaitu 14,41 %. PDB sektor perikanan tahun 2005 sampai

dengan triwulan III sebesar Rp.16,06 triliun. Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB

nasional cenderung terus meningkat. Apabila pada tahun 2001 kontribusi tersebut

sekitar 2,19 % selanjutnya pada tahun 2004 meningkat menjadi 2,40 % (

Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).

Pentingnya peranan sektor perikanan terhadap perekonomian baik secara

nasional maupun regional dapat diketahui pula dari hasil analisa Tabel Input-Output.

Analisa terhadap Tabel Input-Output Nasional tahun 1995 oleh Resosudarmo etal,

(2001), menggambarkan bahwa beberapa sektor yang berkaitan dengan bidang

Kelautan dan Perikanan dapat dikategorikan sebagai sektor prioritas jangka pendek

yaitu sektor-sektor yang dampak dari investasi di sektor-sektor terhadap kenaikan total

produksi dan pendapatan masyarakat besar. Disamping itu dari analisa tersebut

dihasilkan sektor kunci yaitu sektor penggerak utama berkembangnya sektor-sektor lain

didalam perekonomian. Hasil analisa Resosudarmo etal, (2001) menyimpulkan bahwa

ada 5 sektor yang termasuk kelompok kelautan dan perikanan mempunyai nilai

Backward Linkage (BL) dan Forward Linkage (FL) lebih besar dari satu, yang berarti

sektor-sektor tersebut mempunyai kemampuan besar untuk menumbuhkan industri

hulu dan hilirnya. Sektor-sektor tersebut adalah Jasa Perdagangan Hasil Perikanan dan
97

Maritim, Penambangan Migas dan Pengilangannya, Jasa Angkutan Laut dan

Penunjangnya, Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya, dan Udang.

Analisa Tabel Input-Output ditingkat kabupaten, didasarkan pada Tabel Input-

Output Kabupaten Buton 1994 dimana terdapat 40 sektor. Dalam analisis I-O disini

difokuskan pada peran sektor perikanan laut. Oleh karena itu dibuat pengelompokan

sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan erat, dari 40 sektor menjadi 12 sektor,

yaitu: 1. Tanaman Pangan, 2. Perkebunan, 3. Peternakan, 4. Kehutanan,5. Perikanan

Darat, 6. Perikanan Laut, 7. Aspal dan Penggalian lainnya, 8. Listrik dan Air bersih, 9.

Industri, 10. Perdagangan, Hotel dan Restoran, 11. Angkutan dan komunikasi, 12.

Bank, Jasa Sosial dan Pemerintahan.

Hasil analisis Tabel I-O Kabupaten Buton 1994 dapat diuraikan sebagai berikut.

1). Keterkaitan Antar Sektor dan Sektor Kunci

Hubungan antar sektor yang dianalisa berupa hubungan ke depan (forward

linkage) dan hubungan ke belakang (backward linkage). Selanjutnya

keterkaitan tersebut dapat dilihat sampai seberapa kuat yang dimiliki oleh

masing-masing sektor dengan menghitung besarnya tingkat keterkaitan ke depan

atau disebut Derajat Kepekaan (DK) dan tingkat keterkaitan ke belakang atau

disebut Daya Penyebaran (DP). Dari DK dan DP dapat dianalisa lebih lanjut

untuk menetukan masing-masing indeknya yaitu Indek Derajat Kepekaan (IDK)

dan Indek Daya Penyebaran (IDP).


98

Hasil pengolahan tabel I-O Kabupaten Buton 1994 yang telah dibuat menjadi 12 sektor

dapat dilihat saling keterkaitannya seperti pada Tabel 15.

Tabel 15. Keterkaitan Antar Sektor


No Sektor Keterkaitan Langsung Keterkaitan Langsung dan
tidak langsung
Ke Depan Ke Belakang Ke Depan Ke Belakang
1 Tanaman Pangan 0.1343 0.0760 1.3126 1.1130
2 Perkebunan 0.0264 0.0818 1.0363 1.1320
3 Peternakan 0.0120 0.0759 1.0170 1.0990
4 Kehutanan 0.0300 0.1420 1.0628 1.2021
5 Perikanan Darat 0.0790 0.2999 1.0874 1.4642
6 Perikanan Laut 0.0855 0.2593 1.1264 1.3967
7 Aspal dan Penggalian Lainnya 0.1303 0.2106 1.3110 1.3452
8 Lisrik dan Air Bersih 0.1575 0.4463 1.1946 1.7654
9 Industri 1.2518 0.5530 2.8432 1.8036
10 Perdagangan, Hotel dan Restroran 0.3414 0.1717 1.5746 1.2636
11 Angkutan dan komunikasi 0.2496 0.4348 1.3852 1.6949
Bank, Jasa Sosial dan
12 Pemerintahan 0.2944 0.0408 1.3909 1.0623
Sumber : Tabel Input-Output Kabupaten Buton 1994, diolah.

Pada Tabel 15 dapat diketahui bahwa untuk sektor perikanan laut nilai

keterkaitan output langsung ke belakang (0.26) dan keterkaitan output langsung dan

tidak langsung ke belakang sektor perikanan laut (1.39) menunjukkan bahwa bila

terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu-satuan pada sektor perikanan laut

maka sektor perikanan laut itu sendiri membutuhkan input dari sektor-sektor lainnya

termasuk sektor perikanan laut itu sendiri sebesar 0.26 satuan untuk keterkaitan

langsung dan sebesar 1.39 satuan untuk keterkaitan langsung dan tidak langsung. Nilai

keterkaitan ke belakang yang besar pada sektor perikanan laut (1,39) menunjukkan

bahwa peningkatan pertumbuhan output di sektor perikanan mempunyai pengaruh yang

relatif besar dalam merangsang pertumbuhan output sektor-sektor lainnya.

Untuk mengetahui peranan sektor perikanan laut dalam perekonomian di

wilayah Kabupaten Buton dapat dilihat pada Tabel 16.


99

Tabel 16.Indeks Koefisien Penyebaran, Kepekaan Penyebaran dan


Indeks Prioritas Pembangunan Sektor Kabupaten Buton

No Sektor Indeks Daya Kategori Indeks Derajat Kategori Prioritas


Penyebaran Kepekaan
1 Tanaman Pangan 0.8173 Rendah 0.9638 Rendah IV
2 Perkebunan 0.8313 Rendah 0.7610 Rendah IV
3 Peternakan 0.8070 Rendah 0.7468 Rendah IV
4 Kehutanan 0.8827 Rendah 0.7804 Rendah IV
5 Perikanan Darat (4) 1.0752 Tinggi 0.7985 Rendah II
6 Perikanan Laut (5) 1.0256 Tinggi 0.8271 Rendah II
7 Aspal dan Penggalian Lainnya 0.9878 Rendah 0.9627 Rendah IV
8 Lisrik dan Air Bersih (2) 1.2963 Tinggi 0.8772 Rendah II
9 Industri (1) 1.3244 Tinggi 2.0878 Tinggi I
10 Perdagangan, Hotel dan Restroran 0.9278 Rendah 1.1562 Tinggi III
11 Angkutan dan komunikasi (3) 1.2446 Tinggi 1.0172 Tinggi I
12 Bank, Jasa Sosial dan Pemerintahan 0.7800 Rendah 1.0214 Tinggi III

Pada Tabel 16 dapat diketahui bahwa di Kabupaten Buton terdapat dua sektor

yang menjadi sektor kunci (kategori prioritas I), yaitu sektor industri dan sektor

angkutan dan komunikasi. Kategori prioritas II ada tiga sektor termasuk sektor

perikanan laut. Dengan demikian sektor perikanan laut dalam pembangunan

perekonomian di wilayah Kabupaten Buton termasuk pada kategori prioritas kedua

karena mempunyai kemampuan untuk menarik pertumbuhan output sektor hulunya.

2). Multiplier Output Sektor Perikanan Laut

Untuk mengetahui sampai berapa jauh dampak kenaikan output sektor

perikanan laut terhadap sektor-sektor lainnya di Kabupaten Buton, dapat dilihat pada

Tabel 17 berikut.
100

Tabel 17. Multiplier Output

Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 1.0209 0.0070 0.0257 0.0077 0.0179 0.0153 0.0164 0.0346 0.1213 0.0117 0.0309 0.0030 1.3126
2 0.0003 1.0041 0.0160 0.0004 0.0010 0.0009 0.0008 0.0018 0.0060 0.0032 0.0016 0.0002 1.0363
3 0.0031 0.0004 1.0025 0.0002 0.0007 0.0006 0.0003 0.0007 0.0015 0.0057 0.0009 0.0004 1.0170
4 0.0011 0.0017 0.0009 1.0025 0.0082 0.0070 0.0035 0.0062 0.0214 0.0044 0.0055 0.0005 1.0628
5 0.0000 0.0001 0.0000 0.0001 1.0845 0.0002 0.0002 0.0003 0.0011 0.0005 0.0004 0.0001 1.0874
6 0.0012 0.0014 0.0005 0.0015 0.0035 1.0757 0.0032 0.0068 0.0239 0.0020 0.0061 0.0006 1.1264
7 0.0048 0.0070 0.0026 0.0077 0.0196 0.0167 1.0527 0.0346 0.1217 0.0100 0.0309 0.0028 1.3110
8 0.0003 0.0004 0.0004 0.0033 0.0025 0.0022 0.0019 1.1636 0.0049 0.0058 0.0069 0.0022 1.1946
9 0.0501 0.0731 0.0268 0.0811 0.1842 0.1575 0.1723 0.3634 1.2773 0.1054 0.3237 0.0284 2.8432
10 0.0167 0.0158 0.0084 0.0192 0.0795 0.0679 0.0312 0.0876 0.1341 1.0352 0.0721 0.0070 1.5746
11 0.0060 0.0078 0.0045 0.0109 0.0306 0.0255 0.0422 0.0369 0.0589 0.0425 1.1149 0.0045 1.3852
12 0.0085 0.0135 0.0107 0.0676 0.0321 0.0273 0.0204 0.0287 0.0313 0.0372 0.1010 1.0126 1.3909
Total 1.1130 1.1320 1.0990 1.2021 1.4642 1.3967 1.3452 1.7654 1.8036 1.2636 1.6949 1.0623 16.3419

Dari Tabel 17 dapat dijelaskan bahwa jika permintaan akhir sektor perikanan

laut meningkat 1,00 persen maka output perekonomian akan meningkat sebesar 1,40

persen, terdiri dari output sektor perikanan laut sendiri sebesar 1,08 persen dan

sumbangan sektor lainnya sebesar 0,32 persen. Atau dengan kata lain bahwa jika terjadi

injeksi sebesar 1 persen di sektor perikanan laut, maka akan berdampak terhadap

peningkatan output perekonomian sebesar 1,40 persen, yang terdiri dari satu persen

merupakan dampak langsung dan 0,40 persen dampak tidak langsung.

Jika permintaan akhir seluruh sektor meningkat sebesar 1 persen maka output

perekonomian akan meningkat sebesar 16,34 persen, yang disumbangkan oleh sektor

perikanan laut sendiri sebesar 1,13 persen dan sumbangan sektor lainnya diluar sektor

perikanan laut sebesar 15,22 persen.


101

3). Dampak Peningkatan Investasi Sektor Perikanan

Dari Tabel I-O dapat dianalisa pula seberapa besar dampak peningkatan

investasi sektor perikanan terhadap sektor-sektor lainnya seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 18 di bawah ini.

Tabel 18. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah di Sektor Perikanan Sebesar


10 Persen terhadap Output, Income, NTB dan Penyerapan Tenaga Kerja
di Kabupaten Buton

No Sektor Injeksi Dampak Terhadap (%)


T
Output Income NTB Kerja
1 Tanaman Pangan 0 0.1533 0.0154 0.1416 0.1115
2 Perkebunan 0 0.0087 0.0021 0.0080 0.0079
3 Peternakan 0 0.0056 0.0007 0.0052 0.0048
4 Kehutanan 0 0.0697 0.0029 0.0598 0.0541
5 Perikanan Darat 0 0.0016 0.0002 0.0011 0.0010
6 Perikanan Laut 10 10.7566 1.4209 7.9674 7.6271
7 Aspal dan Penggalian Lainnya 0 0.1672 0.0217 0.1320 0.0300
8 Lisrik dan Air Bersih 0 0.0223 0.0044 0.0124 0.0002
9 Industri 0 1.5747 0.3151 0.7038 0.2033
Perdagangan, Hotel dan
10 Restroran 0 0.6792 0.1000 0.5626 0.2978
11 Angkutan dan komunikasi 0 0.2546 0.0534 0.1439 0.0797
Bank, Jasa Sosial dan
12 Pemerintahan 0 0.2735 0.2065 0.2623 0.0613

Pada Tabel 18, dapat diketahui bahwa ketika terjadi penambahan investasi

sebesar 10 persen disektor perikanan laut, akan berdampak pada peningkatan output

sebesar 10,76 persen disektor perikanan laut itu sendiri, sedangkan tingkat pendapatan

meningkat hanya sebesar 1,42 persen. Peningkatan akibat penambahan investasi

disektor perikanan laut terhadap nilai tambah bruto dan penyerapan tenaga kerja lebih

besar masing-masing sebesar 7,97 persen dan 7,63 persen untuk sektor perikanan laut

itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan investasi sebesar 10 persen di

sektor perikanan laut akan menciptakan output yang lebih besar dibanding dengan

tingkat pendapatan, nilai tambah bruto dan penyerapan tenaga kerja.


102

Dari hasil analisa Input-Output Nasional dan Kabupaten tersebut diatas,

menunjukkan bahwa sektor perikanan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

secara nasional maupun regional termasuk di daerah Teluk Lasongko.

6.2 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teluk Lasongko

Jenis ikan hasil tangkapan di perairan Teluk Lasongko pada dasarnya dibagi

menjadi 5 kelompok yaitu (i) ikan demersal (ii) ikan pelagis kecil (iii) ikan pelagis

besar (iv) ikan karang konsumsi (v) jenis berkulit keras (rajungan dan udang udangan).

Ikan pelagis kecil terdiri atas ekor kuning (Caesio eritrogaster), layang (Decapterus

sp), selar (Selaroides sp), belanak (Mugil cephalus), julung-julung (Hemirhampus sp),

tembang (Clupea sp), lemuru (Sardinella longiceps), dan kembung (Rastreliger sp).

Ikan pelagis besar terdiri atas Cakalang (Katsuwonus pelamis), Tenggiri (Scombemorus

commersoni), Tongkol (Euthinus sp), Alu alu (Sphyraena sp), cucut (Charcarias sp).

Ikan demersal terdiri atas pari (Dasyatis sp), Lencam (Lethrinus sp), Biji nangka

(Parupeneus indicus). Ikan karang konsumsi terdiri atas kakap (Lutjanus sp), Kerapu

(Epinephelus sp), Bambangan (Lutjanus sanguines), kuwe ( Caranx sp).

6.2.1 Status pemanfaatan ikan demersal


Jenis ikan- ikan demersal yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara

lain ikan Pari (Dasyatis sp), Lencam (Lethrinus sp) dan Biji nangka (Parupeneus

indicus). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan demersal

yaitu jaring insang (terdiri: jaring insang hanyut, jaring ingsang lingkar dan jaring

insang tetap); jaring angkat (terdiri: bagan perahu dan bagan tancap), perangkap dan
103

alat lainnya (terdiri: sero, bubu dan perangkap). Jenis dan jumlah alat tangkap yang

digunakan untuk menangkap ikan demersal dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Digunakan Untuk Menangkap
Ikan Demersal
Kode
Kode Grup Alat Nama Alat 2000 2001 2002 2003 2004
Alat
Jaring Jaring Insang
X2 Insang X21 hanyut 548 549 1.820 1.970 2.036
Jaring Insang
X22 lingkar 302 308 309 320 324
Jaring Insang
X23 tetap 458 459 250 276 278
X24 Trammel Net 6 6 12 30 31
Jaring
X3 Angkat X31 Bagan Perahu 62 62 70 73 73
X32 Bagan Tancap 61 61 65 66 66
X33 Serok 14 14 6 5 5
X34 JA Lain 16 16 6 5 5
X5 Perangkap X51 Sero 101 101 28 27 27
dan Alat X52 Bubu 1345 1345 504 390 365
Perangkap
Lainnya X53 lainnya 69 69 60 130 130
X54 Jermal 20 20 20 9 8

Berdasarkan hasil observasi yang ditampilkan pada Tabel 20 diperoleh bahwa

produksi ikan terendah diperoleh pada tahun 2002 yaitu sebesar 1.770 ton dan produksi

tertinggi diperoleh pada tahun 2001 yaitu sebesar 2.411 ton. Penurunan produksi pada

tahun 2002 diakibatkan tidak dioperasikannya 844 unit bubu dan digantikan dengan

jaring insang hanyut. Penggantian jenis alat tangkap tersebut karena masyarakat

menilai bahwa jaring insang lebih produktif dibandingkan bubu, sehingga mereka lebih

cenderung mengoperasikan jaring insang seperti ditunjukkan pada Tabel 19.

Penambahan produksi pada tahun 2001 disebabkan adanya penambahan effort yang

cukup nyata dari 375 unit pada tahun 2000 menjadi 419 unit pada tahun 2001 karena

CPUE dari jaring insang hanyut, jaring insang tetap, dan bubu meningkat. CPUE bubu
104

meningkat pada tahun 2001 karena jumlah bubu yang dioperasikan berkurang banyak

sehingga produktivitasnya meningkat.

Tabel 20. Catch, Effort dan CPUE Ikan Demersal

Tahun Catch (Ton) Effort(X) (alat) CPUE(Y) Catch/alat

2000 2.082 375 5,5520


2001 2.411 419 5,7542
2002 1.770 158 11,2025
2003 2.220 278 7,9856
2004 2.212 306 7,2288
Rata-rata 2.139 307 7,5446
Intercep ( a ) = 14.3709
Slop (b) = -0.0222
Hubungan Effort dan CPUE f(x) = 14.3709 – 0.0222 x
Fungsi Produksi P( f ) = 14.30709f - 0.2222 f 2
Effort ( f ) optimum = 323 unit alat tangkap
Maksimum Sustainable Yield (MSY) = 2.324 ton per tahun

12
CPUE (Ton/Unit Alat Tangkap

10

6
y = -0,0223x + 14,4
R 2 = 0,9522
4

0
0 100 200 300 400 500
Unit Alat Tangkap

Gambar 15. Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Demersal 2000-2004
105

Hubungan antara Effort dan CPUE diperlihatkan pada persamaan linier Y =

14,4-0,0223X. Intercept persamaan adalah 14,4 sedangkan slope adalah -0,0223. Ini

berarti bahwa jika X=0 atau dengan kata lain tidak ada penambahan upaya maka CPUE

akan bertahan pada angka 14,4 ton/alat tangkap. Kemiringan persamaan adalah

sebesar -0,0223 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY maka

akan terjadi penurunan CPUE sebesar 0,0223 ton/effort standar ikan demersal.

Tabel 21. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Demersal

Tahun Effort ( f ) P(f) = 14.30709f – 0.2222 f2


2002 158 1.706
2003 278 2.260
2004 306 2.297
MSY 323 2.324
2000 375 2.240
2001 419 2.094
106

2.400
MSY

2004
2.300
2000
2003
2.200

2.100
Catch (Ton/Thn)

2001

2.000

1.900

1.800

1.700
2002

1.600

1.500
100 150 200 250 300 350 400 450

Effort

Gambar 16. Hubungan Effort dan Fungsi Produksi Ikan Demersal 2000-2004

Effort untuk mencapai MSY sebesar 323 unit dengan nilai sebesar 2.324

ton/tahun. Jumlah produksi tahun 2004 sebesar 2.212 ton lebih kecil dari MSY (2.324

ton) namun sudah lebih besar dari JTB (1.859 ton).

Status pemanfaatan ikan demersal di Teluk Lasongko adalah effort tahun 2004

sebesar 306 dengan catch sebesar 2.212 ton/tahun. Effort JTB sebesar 258 dengan

catch sebesar 2.139 ton/tahun. Effort dari MSY sebesar 323 dengan catch sebesar

2.324 ton/tahun. Produksi terkecil terjadi pada tahun 2002 ini disebabkan oleh

penurunan effort tahun tersebut. Effort menurun akibat banyak bubu yang tidak

dioperasikan sementara jaring insang meningkat jumlahnya. Menurut hasil wawancara


107

dengan para nelayan di sekitar Kawasan Teluk Lasongko bahwa penurunan effort bagi

bubu terkait dengan penurunan produktivitas dari alat tangkap tersebut.

Jumlah produksi tahun 2004 sebesar 2.212 ton lebih kecil dari MSY (2.324 ton)

namun sudah lebih besar dari JTB (1.859). Kondisi ini masih cukup stabil karena

posisi effort dan catch tahun 2004 dan effort dari JTB masih berada di bawah effort dan

catch dari MSY.

MSY sebesar 2.324 ton/tahun mempunyai nilai keunikan karena dengan

produksi ikan sebesar itu telah memberikan kontribusi pendapatan kepada kurang lebih

4.449 orang nelayan yang tinggal disekitar teluk Lasongko. Apabila harga rata-rata

ikan Rp.5.000,- /Kg; maka dari produksi ikan tersebut dapat memberikan pendapatan

kepada satu orang nelayan sekitar Rp 2.403.900,- per tahun. Dengan penghasilan

sebesar itu, selama ini masyarakat nelayan yang terdiri dari nelayan asli dan nelayan

pendatang dapat hidup tenang dan damai. Suasana tenang dan damai ini perlu terus

dipertahankan. Upaya yang dapat ditempuh adalah menjaga agar hasil tangkapan ikan

nelayan dapat stabil sepanjang tahun. Stabilitas produksi ikan akan dapat dicapai

apabila jumlah ikan yang ditangkap tidak melebihi nilai MSY. Melalui penelitian ini

MSY ikan demersal di Teluk Lasongko tersebut telah diketahui yaitu 2.324 ton per

tahun. Berdasarkan nilai MSY inilah usaha penangkapan yang ada dapat diatur agar

hasil yang selama ini diperoleh dapat tetap dipertahankan dan sumberdaya ikan yang

ada tetap baik. Penulis yakin bahwa dengan wilayah penelitian yang kecil ini, hasil

penelitian akan cepat dan mudah diimplementasikan dan dapat langsung dirasakan

hasilnya oleh masyarakat setempat. Hal ini sekaligus sebagai bentuk kontribusi kecil

penulis dalam mendukung terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan damai.
108

Berdasarkan hasil analisis data nilai MSY sumberdaya ikan demersal sebesar

2.324 ton/tahun. Produksi kelompok jenis ikan ini pada tahun 2004 adalah 2.212 ton.

Hal ini berarti tingkat eksploitasi sumberdaya ikan demersal di Teluk Lasongko sudah

mencapai 95%. Menurut hasil kajian Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003)

pemanfaatan ikan demersal di Wilayah Pengelolaan Perikanan IV (WPP IV) yang

meliputi perairan Teluk Lasongko telah melebihi nilai MSY-nya. Pada tahun 2003

produksi ikan demersal di WPP IV telah mencapai 167.380 ton, sedangkan nilai MSY

adalah 87.200 ton/tahun, yang berarti tingkat pemanfaatan telah mencapai 191,9 %.

Memperhatikan kondisi yang demikian, maka usaha penangkapan ikan demersal

di perairan Teluk Lasongko tidak dapat lagi dikembangkan, tetapi harus dilakukan

pengurangan produksi sebesar 353 ton/tahun atau setara dengan mengurangi alat

tangkap sebesar 1.573 unit dengan proporsi pengurangan seperti pada Tabel 22

Karena MSY ikan demersal sebesar 2.324 ton berarti JTB sebesar 1.859 ton,

sedangkan produksi ikan demersal tahun 2004 sebesar 2.212 ton. Untuk mencapai

produksi optimal berdasarkan JTB maka produksi tahun 2004 harus dikurangi sebesar

353 ton. Untuk mengurangi produksi sebesar 353 ton maka kebijakan yang dilakukan

adalah mengurangi alat tangkap sebesar masing-masing jaring insang sebesar 1.305

unit, jaring insang lingkar sebesar 104 unit dan bubu sebesar 164 unit. Pengurangan

alat tangkap berdasarkan pada (i) alat tangkap tersebut kurang produktif (ii) jumlah

alat tangkap tersebut terlalu banyak, (iii) alat tangkap tersebut tidak ramah lingkungan.
109

Tabel 22. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap untuk Menangkap JTB Ikan Demersal
Kode Nama Alat Produk Alat Kurangi Kurangi Sisa
Kode Grup Alat Alat tivitas 2004 Produksi Alat Alat
Jaring Jaring Insang
X2 Insang X21 hanyut 0,11 2036 150 1.305 731
Jaring Insang
X22 lingkar 0,98 324 102 104 220
X23 Jaring Insang tetap 2,48 278 0 0 278
X24 Trammel Net 0,20 31 0 0 31
Jaring
X3 Angkat X31 Bagan Perahu 3,02 73 0 0 73
X32 Bagan Tancap 1,96 66 0 0 66
X33 Serok 2,60 5 0 0 5
X34 JA Lain 0,62 5 0 0 5
X5 Perangkap X51 Sero 7,98 27 0 0 27
Dan Alat X52 Bubu 0,62 365 101 164 201
Lainnya X53 Jermal 3,00 8 0 0 8
X54 Perangkap lainnya 0,54 130 0 0 130
Jumlah 3.348 353 1.573 1.775

6.2.2 Status pemanfaatan ikan pelagis kecil


Kelompok ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara

lain ikan ekor kuning (Caesio eritrogaster), layang (Decapterus sp), selar (Selaroides

sp), belanak (Mugil cephalus), julung-julung (Hemirhampus sp), tembang (Clupea sp),

lemuru (Sardinella longiceps), dan kembung (Rastreliger sp). tembang (Clupea sp).

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis kecil yaitu

pukat (payang, pukat pantai dan pukat cincin) dan pancing (huhate, pancing biasa dan

pancing tonda) seperti disajikan pada Tabel 23. Catch, effort dan CPUE ikan pelagis

kecil disajikan pada Tabel 24.


110

Tabel 23. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap untuk menangkap Ikan
Pelagis Kecil
Grup Kode
Kode Nama Alat 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat
X1 Pukat X11 Payang 19 19 20 20 21
X12 Pukat Pantai 32 31 35 36 37
X13 Pukat cincin 3 3 3 3 3
X14 Pukat udang 2 2 2 2 2
X4 Pancing X41 Huhate 3 3 3 3 3
X42 Pancing biasa 440 439 439 440 443
Pancing
X43 tonda 586 588 583 574 574
X44 Rawai Tetap 45 45 45 56 56

TOTAL 1.130 1.130 1.130 1.134 1.139

Tabel 24. Catch, Effort dan CPUE Ikan Pelagis Kecil


Catch (Ton) Effort(X) CPUE(Y) Catch/alat
Tahun (alat)
2000 6.147 9 683,0000
2001 7.622 7 1.088,8571
2002 6.708 10 670,8000
2003 7.241 10 724,1000
2004 7.239 10 723,9000
Rata-rata 6.991 9,20 778,1314
Intercep ( a ) = 1.910,6100
Slop (b) = -123.0900
Hubungan Effort dan CPUE = 1.910,61 – 123,09 f
Fungsi Produksi = 1.910,61f - 123,09 f 2
Effort ( f ) optimum = 7,76 unit alat tangkap
Maksimum Sustainable Yield (MSY) = 7.414 ton per tahun
111

1.150

CPUE (Ton/Unit Alat Tangkap) 1.050

950
y = -121,96x + 1900
R2 = 0,8377
850

750

650

550
6 6,5 7 7,5 8 8,5 9 9,5 10 10,5
Unit Alat Tangkap

Gambar 17. Hubungan Antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Kecil 2000-2004

Hubungan antara Effort dan CPUE diperlihatkan pada persamaan linier Y =

1.900-121,96X. Intercept persamaan adalah 1.900 sedangkan slope -121,96. Ini

berarti bahwa jika X=0 atau dengan kata lain tidak ada penambahan upaya maka CPUE

akan bertahan pada angka 1.900 ton/effort standar. Kemiringan persamaan regresi

adalah sebesar -121,96 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY

maka akan terjadi penurunan CPUE sebesar 121,96 ton/ effort standar ikan demersal.

Status pemanfaatan ikan pelagis kecil adalah Effort tahun 2004 sebesar 10

dengan catch sebesar 7.239 ton/tahun. Effort dari MSY sebesar 7,76 dengan MSY

sebesar 7.414. Effort dari JTB sebesar 6,40 dengan catch sebesar 5.931 ton/tahun.

Catch tahun 2004 berada dibawah MSY tetapi sudah berada di atas JTB. Walaupun

catch tahun 2004 berada dibawah MSY namun effort tahun 2004 sudah lebih tinggi dari
112

pada effort MSY. Ini berarti kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di Kawasan

Teluk Lasongko sudah pada titik jenuh.

Seperti diperlihatkan pada Gambar 18 bahwa produksi cenderung menurun

dengan setelah effort melewati 7,76. Titik produksi optimum berada pada posisi effort

sebesar 7,76. untuk itu perlu dilakukan pengurangan alat tangkap agar bisa mencapai

kondisi JTB. Pengurangan alat tangkap diperlihatkan pada Tabel 26.

Tabel 25. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Pelagis Kecil


Tahun Effort ( f ) P(f) = 1.910,61f – 123,09f 2
2001 7 7.343
MSY 7,76 7.414
2000 9 7.225
2002 10 6.797
2003 10 6.797
2004 10 6.797

7.500
MYS
7.400

7.300
2001
2000
Catch (Ton/thn)

7.200

7.100

7.000

6.900

2002, 2003,
6.800 2004

6.700
6 7 8 9 10 11

Effort

Gambar 18. Fungsi Produksi Ikan Pelagis Kecil 2000 - 2004


113

Tabel 26. Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat Ikan Pelagis Kecil
Grup
Kode Kode Nama Alat Produk Alat Kurangi Kurangi Sisa
Alat
Alat Tivitas 2004 Produksi Alat Alat
X1 Pukat X11 Payang 25,13 21 80 3 18
X12 Pukat Pantai 20,05 37 200 10 27
X13 Pukat cincin 774,00 3 774 1 2
X14 Pukat udang 391,46 2 0 2
X4 Pancing X41 Huhate 98,52 3 0 0 3
X42 Pancing biasa 1,83 440 254 139 301
X43 Pancing tonda 0,66 574 0 0 574
X44 Rawai Tetap 30,83 45 0 0 45

Kebijakan pengurangan alat tangkap untuk ikan pelagis kecil dilakukan

berdasarkan alasan (i) Alat tangkap kurang ramah lingkungan, (ii) Over produksi.

Pengurangan alat tangkap dilakukan terhadap pukat cincin, payang, pukat pantai dan

pancing biasa. Pengurangan alat tangkap merupakan dampak dari pengurangan

produksi akibat produksi sudah melampaui JTB. Over produksi di atas JTB pada tahun

2004 sebesar 1.308 ton. Untuk mencapai produksi JTB maka alat tangkap harus

dikurangi sebesar 153 unit .

Dengan status pemanfaatan seperti di atas, berarti bahwa catch pada tahun 2004

sudah mencapai 95% dan catch rata-rata sudah mencapai 92% terhadap MSY. Apabila

dilihat secara keseluruhan di WPP IV, menurut hasil analisis Direktorat Jenderal

Perikanan Tangkap (2003) produksi ikan pelagis kecil di WPP IV sebesar 333.350 ton.

sedangkan MSY sebesar 605.440. Jadi tingkat pemanfaatannya ikan pelagis

berdasarkan MSY sudah mencapai 55,05 %. Ini berarti bahwa status pemanfaatan ikan

pelagis kecil di Kawasan Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada status pemanfaatan

ikan pelagis kecil di WPP IV. Dengan kondisi tersebut di atas maka kebijakan yang

dapat dilakukan adalah mengurangi alat tangkap atau mengarahkan upaya penangkapan

ke WPP-IV.
114

6.2.3 Status pemanfaatan ikan pelagis besar


Ikan pelagis besar yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko terdiri dari ikan

cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scombemorus commersoni), tongkol

(Euthinus sp), alu-alu (Sphyraena sp), dan cucut (Charcarias sp). Alat tangkap yang

digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar di perairan Teluk Lasongko

adalah pancing (huhate, pancing biasa dan pancing tonda). Jenis alat tangkap yang

dipergunakan menangkap ikan pelagis besar ditunjukkan pada Tabel 27, sedangkan

Catch, effort dan CPUE yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar dapat

dilihat pada Tabel 28.

Tabel 27. Jenis Alat Tangkap dan Jumlah Alat Tangkap yang Digunakan
untuk Menangkap Ikan Pelagis Besar
Grup Kode
Kode Nama Alat 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat
X4 Pancing X41 Huhate 3 3 3 3 3
X42 Pancing biasa 440 437 439 440 443
X43 Pancing tonda 586 588 583 574 574
X44 Rawai Tetap 45 45 45 56 56

Tabel 28. Catch, Effort dan CPUE Pelagis Besar


Catch (Ton) Effort(X) CPUE(Y) Catch/alat
Tahun
2000 3.186 10 318,6000
2001 2.624 8 328,0000
2002 2.801 10 280,1000
2003 3.924 14 280,2857
2004 2.900 23 126,0870
Rata-rata 3.087 13 266,6145
Intercep ( a ) = 437,6860
Slop (b) = -13.1590
Hubungan Effort dan CPUE = 437,6860f - 13,1590 f
Fungsi Produksi = 437,69f - 13,16 f 2
Effort ( f ) optimum = 16,63 unit alat tangkap
Maksimum Sustainable Yield (MSY) = 3.639 ton per tahun
115

350

CPUE (Ton/Unit Alat Tangkap


300

250
y = -13,18x + 438
R2 = 0,9379

200

150

100
7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Unit Alat Tangkap

Gambar 19. Hubungan Antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Besar 2000-2004

Hubungan antara Effort dan CPUE diperlihatkan pada persamaan linier Y = 438

-13,18X. Intercept persamaan adalah 438 sedangkan slope adalah -13,18, ini berarti

bahwa jika tidak ada penambahan upaya maka CPUE sebesar 438 ton/effort standar.

Sedangkan kemiringan persamaan adalah sebesar -13,18 artinya jika effort terus

ditambah tanpa memperhatikan MSY maka akan terjadi penurunan produksi sebesar

13,18 ton/effort standar ikan pelagis besar.


116

Tabel 29. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Pelagis Besar


Tahun Effort ( f ) P(f) = 437,69f - 13,16 f 2
2001 8 2.659
2000 10 3.061
2002 10 3.061
2003 14 3.548
MSY 16,63 3.639
2004 23 3.106

3.800
MSY
3.600
2003

3.400
Catch (ton/tahun)

3.200
2000 & 2002 2004
3.000

2.800

2.600
2000

2.400

2.200

2.000
5 10 15 20 25

Effort

Gambar 20. Fungsi Produksi Ikan Pelagis Besar 2000 – 2004

Status pemanfaatan ikan pelagis besar adalah effort pada tahun 2004 sebesar 23

unit dengan jumlah produksi sebesar 2.900 ton/tahun. Effort untuk mencapai MSY

sebesar 16,63 unit dengan produksi sebesar 3.639 ton/tahun. Effort untuk mencapai

JTB sebesar 13,6 unit dengan produksi sebesar 2.911 ton/tahun. Kondisi ini
117

memperlihatkan bahwa pada tahun 2004 produktivitas alat tangkap pelagis besar

menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Dari gambaran tersebut di atas maka usaha penangkapan ikan pelagis besar di

perairan Teluk Lasongko telah mendekati kejenuhan sehingga jumlah armada

penangkapannya tidak dapat dikembangkan lagi. Agar pemanfaatan sumberdaya ikan

pelagis besar dipertahankan pada kondisi JTB, jumlah armada harus dikurangi dan

dialihkan daerah operasinya keluar Teluk Lasongko yaitu ke WPP IV. Kebijakan

lainnya yang dapat dilakukan adalah mengurangi alat tangkap.

Jika dibandingkan dengan status perairan WPP IV (termasuk Teluk Lasongko di

dalamnya) produksi ikan pelagis besar adalah 85.100 ton, sementara itu MSY-nya

sebesar 193.600 ton/tahun. Dengan demikian tingkat pemanfaatannya mencapai 43,95

% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2003). Untuk itu kebijakan yang sesuai adalah

pengembangan usaha penangkapan ikan pelagis besar di Teluk Lasongko diarahkan ke

perairan WPP-IV.

Tabel 30. Jumlah Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat untuk
Ikan Pelagis Besar

Grup Kode Produk Alat Kurangi Kurangi Sisa


Kode Nama Alat
Alat Alat tivitas 2004 Produksi Alat Alat
X4 Pukat X41 Huhate 151,77 3 0 0 3
X42 Pancing biasa 1,45 443 0 0 443
X43 Pancing tonda 2,51 574 11 4 570
X44 Rawai Tetap 19,10 45 0 0 45

6.2.4 Status pemanfaatan ikan karang konsumsi

Jenis Ikan karang konsumsi yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara

lain ikan bambangan (Lutjanus sanguiness), ikan kakap (Lutjanus sp), ikan kerapu

(Epinephalus sp), ikan kurisi (Helocentrum rubrum) dan ikan kuwe (Caranx sp). Alat
118

tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan-ikan karang konsumsi

adalah jenis perangkap dan alat lainnya (sero, bubu dan perangkap lainya). Jenis dan

jumlah alat tangkap untuk menangkap ikan karang konsumsi disajikan pada Tabel 31.

Sedangkan catch, effort dan CPUE yang digunakan menangkap ikan karang konsumsi

disajikan pada pada Tabel 32.

Tabel 31. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap yang digunakan untuk menangkap
Ikan Karang Konsumsi
Grup Kode Nama %
Kode 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 101 101 28 27 27 5
Dan Alat X52 Bubu 1345 1345 504 390 365 69
Lainnya X53 Pengumpul 69 69 60 130 130 25
Alat
X54 Lainnya 20 20 20 9 8 2

Tabel 32. Catch, Effort dan CPUE Karang Konsumsi

Catch (Ton) Effort(X) (alat) CPUE(Y) Catch/alat


Tahun
2000 698 309 2,2589
2001 976 309 3,1586
2002 1.352 131 10,3206
2003 227 146 1,5548
2004 750 161 4,6584
Rata-rata 801 211 4,3903
Intercep ( a ) = 8,5258
Slop (b) = -0.019581
Hubungan Effort dan CPUE = 8,5258 – 0.019581 f
Fungsi Produksi = 8,5258f - 0,01958 f 2
Effort ( f ) optimum = 218 unit alat tangkap
Maksimum Sustainable Yield (MSY) = 928 ton per tahun
Upaya,
119

12

10

CPUE (Ton/Unit Alat Tangkap)


8

6
y = -0,0195x + 8,5
R2 = 0,2512
4

0
0 50 100 150 200 250 300 350
Unit Alat Tangkap

Gambar 21. Hubungan Antara Effort dan Catch Ikan K. Konsumsi 2000-2004

Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Karang Konsumsi diperlihatkan pada

persamaan linier Y = 8,5 -0,0195X. Intercept persamaan adalah 8,5 sedangkan slope

adalah -0,0195, ini berarti bahwa jika tidak ada penambahan upaya maka CPUE

sebesar 8,5 ton/effort standar. Sedangkan kemiringan persamaan adalah sebesar -

0,0195 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY maka akan terjadi

penurunan produksi sebesar 0,0195 ton/effort standar ikan karang konsumsi.


120

Tabel 33. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Karang Konsumsi
Tahun Effort ( f ) P(f) = 8,5258f - 0,01958 f 2
2002 131 781
2003 146 827
2004 161 865
MSY 218 928
2000 309 765
2001 309 765

950 MSY

900
2004

850
2003
Catch (Ton/thn)

800
2002 2000 &
2001
750

700
2000

650

600
100 150 200 250 300 350

Effort

Gambar 22. Fungsi Produksi Ikan Karang Konsumsi 2000-2004

Status pemanfaatan ikan karang konsumsi adalah effort tahun 2004 sebesar 161

unit dengan produksi sebesar 750 ton/tahun. Effort untuk mencapai MSY sebesar 928

ton/tahun adalah 218 unit. Effort untuk mencapai JTB sebesar 742 ton/tahun adalah
121

174,4 unti. Status ini memperlihatkan bahwa catch pada tahun 2004 masih dibawah

MSY maupun JTB .

Penurunan produksi pada tahun 2004 terkait dengan terjadinya pengurangan

bubu karena produktivitas bubu menurun sejak tahun 2002. Dengan berkurangnya

bubu berimplikasi pada pengurangan produksi. Untuk kembali ke kondisi JTB,

produksi ikan karang konsumsi bisa dinaikkan sebesar 51 ton pertahun. Kebijakan

yang diambil menambah alat tangkap seperti diperlihatkan pada Tabel 34.

Tabel 34. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB
Ikan Karang Konsumsi
Kode Produk Alat Tambah Tambah Jlh
Kode Grup Alat Nama Alat
Alat tivitas 2004 Produksi Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 9,33 27 25 3 30
dan Alat X52 Bubu 1,08 365 26 24 389
Lainnya X53 Jermal 6,63 130 0 0 130
X54 P. Lainnya 0,39 9 0 0 9
TOTAL 531 51 27 558

Pada tahun 2003 produksi ikan karang konsumsi di WPP-IV mencapai 24.110

ton, sedangkan MSY sebesar 34.100 ton/tahun (Ditjen Perikanan Tangkap, 2003).

Tingkat pemanfaatan ikan karang konsumsi di WPP IV mencapai 70,7 %, yang berarti

usaha penagkapannya masih dapat dikembangkan.

6.2.5 Status pemanfaatan ikan berkulit keras

Kelompok ikan berkulit keras terdiri dari rajungan (Portunus sp) dan udang-

udangan (Penaeus sp). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok jenis

ikan berkulit keras ini adalah perangkap yang terdiri atas sero, bubu, jala, perangkap

lain serta jala dan tombak. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan
122

berkulit keras seperti diperlihatkan pada Tabel 35 sedangkan Catch, effort dan CPUE

yang digunakan untuk menangkap ikan berkulit keras seperti pada Tabel 36.

Tabel 35. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Digunakan untuk Menangkap
Ikan Berkulit Keras
Grup Kode Nama %
Kode 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 101 101 28 27 27 5
Dan Alat X52 Bubu 1.345 1.345 504 390 365 69
Lainnya X53 Pengumpul 69 69 60 130 130 25
Alat
X54 Lainnya 20 20 20 9 8 2
, Upaya

Tabel 36. Catch, Effort dan CPUE Ikan Berkulit Keras

Tahun Catch (Ton) Effort(X) (alat) CPUE(Y) Catch/alat


2000 242 111 2,1802
2001 561 84 6,6786
2002 541 49 11,0408
2003 790 50 15,8000
2004 640 62 10,3226
Rata-rata
Intercep ( a ) = 22,1054
Slop (b) = -0,181194
Hubungan Effort dan CPUE = 22,1054– 0,181194f
Fungsi Produksi = 22,1054f – 0,181194 f 2
Effort ( f ) optimum = 61 unit alat tangkap
Maksimum Sustainable Yield (MSY) = 674 ton per tahun
123

18

16

14
CPUE (Ton/Unit Alat Tangkap)

12

10

6
y = -0,1811x + 22,1
2
R = 0,8773
4

0
25 35 45 55 65 75 85 95 105 115 125
Unit Alat Tangkap

Gambar 23 Hubungan Effort dan CPUE Ikan Berkulit Keras 2000-2004

Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Karang Konsumsi diperlihatkan pada

persamaan linier Y = 22,1 - 0,1811X. Intercept persamaan adalah 22,1 sedangkan

slope adalah -0,1811, ini berarti bahwa jika tidak ada penambahan upaya maka CPUE

sebesar 8,5 ton/effort standar. Sedangkan kemiringan persamaan adalah sebesar -

0,1811 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY maka akan terjadi

penurunan produksi sebesar 0,1811ton/effort standar ikan berkulit keras.


124

Tabel 37. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Berkulit Keras
Tahun Effort ( f ) P(f) = 22,1054f – 0,181194 f 2
2002 49 648
2003 50 652
MSY 61 674
2004 62 674
2001 84 578
2000 111 221

700 MSY

2003
650
2004
2002
600
2001

550
Catch (Ton/thn)

500

450

400

350

300

250
2000
200
40 50 60 70 80 90 100 110 120

Effort

Gambar 24. Fungsi Produksi Ikan Berkulit Keras

Status pemanfaatan ikan berkulit keras adalah effort tahun 2004 sebesar 62 unit

dengan produksi sebesar 640 ton. Effort untuk mencapai MSY sebesar 674 ton/tahun

adalah 61 unit. Effort untuk mencapai nilai JTB 539 ton/tahun adalah 48,8 unit.

Status ini memperlihatkan bahwa produksi tahun 2004 masih dibawah nilai MSY
125

namun sudah berada di atas nilai JTB walaupun effort tahun 2004 berada di atas effort

MSY. Dengan status pemanfaatan ikan berkulit keras seperti itu maka perlu dilakukan

kebijakan pengurangan alat tangkap untuk menyesuaikan kondisi tahun 2004 terhadap

JTB seperti di sajikan pada Tabel 38.

Tabel 38. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB
Ikan Berkulit Keras
Kode Nama Alat Produk Alat Kurangi Kurangi Sisa
Kode Grup Alat
Alat Tivitas 2004 Produksi Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 10,35 27 51 5 22
Dan Alat X52 Bubu 0,31 365 50 159 206
Lainnya X53 Jermal 1,38 130 0 0 130
X54 P. Lainnya 1,81 9 0 9
TOTAL 531 101 164 367

6.3 Kelayakan Usaha Perikanan


Analisis kelayakan usaha disini dimaksudkan untuk mengetahui apakah unit-

unit usaha penangkapan yang ada di Teluk Lasongko secara finansial menguntungkan

atau tidak. Disamping itu analisis kelayakan usaha juga dilakukan untuk usaha yang

akan dikembangkan dan daerah operasinya diluar perairan Teluk Lasongko. Pada

analisa usaha disini digunakan metode Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) . Hasil analisis

B/C Ratio alat-alat tangkap yang terdapat di Kawasan Teluk Lasongko dapat dilihat

berikut ini dengan rincian perhitungan seperti pada Lampiran 44.

Dalam analisis ini dipergunakan asumsi perubahan 10% karena secara empiris

perubahan harga atau tingkat inflasi dalam keadaan ekonomi normal tidak sampai

melebihi 10 % selama periode satu tahun. Asumsi perubahan 10% ini sering

dipergunakan dalam analisa-analisa ekonomi oleh para ahli.


126

6.3.1 Analisis usaha alat tangkap yang ada di teluk Lasongko

(1). Analisis usaha payang


Hasil Perhitungan diperoleh bahwa B/C ratio payang diperoleh sebagai berikut:

Tabel 39. B/C Ratio Payang


No Uraian Sensitivitas B/C Ratio
(%)
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 2,01
2 Biaya variabel naik 10 1,86
3 Hasil penjualan turun 10 1,81

Analisis B/C ratio terhadap payang menunjukkan bawa B/C Ratio sebesar 2,01.

Ini berarti bahwa dengan Cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost)

sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,01 satuan. Jika terjadi peningkatan

variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk

payang masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,86 dan 1,81.

Fixed cost sebesar Rp 10.995.500 sedangkan variabel cost sebesar Rp

46.590.000,- benefit sebesar Rp 115.860.000 pertahun angka ini cukup besar. Namun

pengaruh variabel cost terhadap benefit lebih besar dari pada fixed cost dengan

perbandingan VC/FC = ± 4,24. Ini berarti bahwa variabel cost memiliki pengaruh

lebih besar dibandingkan fixed cost terhadap benefit.

(2). Analisis usaha pukat pantai


Hasil Perhitungan diperoleh bahwa B/C ratio pukat pantai diperoleh sebagai
berikut:

Tabel 40. B/C Ratio Pukat Pantai


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 1,62
2 Biaya variabel naik 10 1,48
3 Hasil penjualan turun 10 1,46
127

Analisis B/C ratio terhadap pukat pantai sebesar 1,62. Ini berarti bahwa dengan

Cost total ( terdiri atas penyusutan investasi, Variabel Cost dan Fixed Cost) sebesar 1

satuan akan menghasilkan Benefit 1,62 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost

atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk Pukat Pantai masih

layak dengan B/C ratio masing-masing 1,48 dan 1,46.

Fixed cost sebesar Rp 3.304.10.995.500 sedangkan variabel cost sebesar Rp

46.590.000,- benefit sebesar Rp 115.860.000 pertahun cukup besar namun pengaruh

variabel cost terhadap benefit lebih besar dari pada fixed cost terhadap benefit artinya

variabel cost memiliki pengaruh sangat besar dibandingkan fixed cost dengan

perbandingan VC/FC sebesar ± 14,12 kali lipat .

(3). Analisis usaha purse seine


Hasil Perhitungan diperoleh bahwa B/C ratio purse seine diperoleh sebagai
berikut:

Tabel 41. B/C Ratio Purse Seine


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 1,41
2 Biaya variabel naik 10 1,30
3 Hasil penjualan turun 10 1,27

Analisis B/C ratio terhadap purse seine sebesar 1,41. Ini berarti bahwa dengan

Cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan

menghasilkan benefit 1,41 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau

penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk purse seine masih layak

dengan B/C ratio masing-masing 1,30 dan 1,27.


128

Fixed cost sebesar Rp 27.827.867. sedangkan variabel cost sebesar Rp

255.390.620,- benefit sebesar Rp 400.000.000,- pertahun cukup besar namun pengaruh

variabel cost lebih besar dari pada fixed cost artinya variabel cost memiliki pengaruh

cukup besar dibandingkan fixed cost terhadap benefit dengan perbandingan VC/FC = .

± 9,18 kali lipat

(4). Analisis usaha pukat udang


Hasil perhitungan diperoleh bahwa B/C ratio pukat udang diperoleh sebagai
berikut:

Tabel 42. B/C Ratio Pukat Udang


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 2,67
2 Biaya variabel naik 10 2,45
3 Hasil penjualan turun 10 2,40

Analisis B/C ratio terhadap pukat udang sebesar 2,67. Ini berarti bahwa dengan

Cost total (Penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan

menghasilkan Benefit 2,67 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau

penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk pukat udang masih layak

dengan B/C ratio masing-masing 2,45 dan 2,40.

Fixed cost sebesar Rp 110.849.483 sedangkan variabel cost sebesar Rp

907.921.320,- Benefit sebesar Rp 2.751.120.000,- pertahun cukup besar. Pengaruh

variabel cost cukup besar dari pada fixed cost terhadap benefit dengan perbandingan

VC/FC = ± 8,19 artinya variabel cost memiliki pengaruh cukup besar dibandingkan

fixed cost. Penerimaan cukup besar karena harga dari produk yang ditangkap

menggunakan pukat udang cukup mahal.


129

(5). Analisis gill net


Hasil Perhitungan diperoleh bahwa B/C ratio gill net diperoleh sebagai berikut:

Tabel 43. B/C Ratio Gill Net


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 2,27
2 Biaya variabel naik 10 2,14
3 Hasil penjualan turun 10 2,04

Analisis B/C ratio terhadap gill net sebesar 2,27. Ini berarti bahwa dengan cost

total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan

menghasilkan Benefit 2,27 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau

penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk gill net masih layak

dengan B/C ratio masing-masing 2,14 dan 2,04.

Fixed cost sebesar Rp 166.700 sedangkan variabel cost sebesar Rp 120.000,-

benefit sebesar Rp 650.000,-. Benefit pertahun memang sangat kecil tetapi alat ini

dominan di kawasan Teluk Lasongko, maka pengaruhnya terhadap produksi total cukup

signifikan. variabel cost memiliki pengaruh lebih kecil dibandingkan fixed cost

terhadap benefit dengan perbandingan VC/FC=0,72 Ini berarti bahwa usaha gill net

ini pembiayaannya cukup stabil dengan variabel cost lebih kecil dari pada fixed cost.
130

(6). Analisis jaring insang lingkar


Hasil analisis bahwa B/C ratio jaring insang lingkar diperoleh sebagai berikut:

Tabel 44. B/C Ratio Jaring Insang Lingkar


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 1,22
2 Biaya variabel naik 10 1,13
3 Hasil penjualan turun 10 1,09

Analisis B/C ratio terhadap jaring insang lingkar sebesar 1,22. Ini berarti bahwa

dengan cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan

akan menghasilkan benefit 1,22 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau

penurunan hasil tangkapan sebesar 10%, maka B-C ratio untuk jaring insang lingkar

masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,13 dan 1,09.

Fixed cost sebesar Rp 1.071.918, variabel cost sebesar Rp 2.997.060, benefit

sebesar Rp 4.950.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost agak besar terhadap

benefit, artinya variabel cost memiliki pengaruh agak besar dibandingkan fixed cost

dengan perbandingan VC/FC = . ± 2,80.

(7). Analisis jaring insang tetap


Hasil analisis B/C ratio jaring insang tetap diperoleh sebagai berikut :

Tabel 45. B/C Ratio Jaring Insang Tetap


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 1,15
2 Biaya variabel naik 10 1,07
3 Hasil penjualan turun 10 1,03

Analisis B/C ratio terhadap jaring insang tetap sebesar 1,15, ini berarti bahwa

dengan cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan
131

akan menghasilkan benefit 1,15 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau

penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk jaring insang tetap

masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,07 dan 1,03.

Fixed cost sebesar Rp 2.409.339, sedangkan variabel cost sebesar Rp

5.297.800, benefit sebesar Rp 8.850.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed Cost

agak besar terhadap benefit, artinya variabel cost memiliki pengaruh agak besar

dibandingkan fixed cost dengan perbandingan VC/FC = ± 2,20.

(8). Analisis trammel net


Hasil analisis B/C ratio trammel net diperoleh sebagai berikut:

Tabel 46. B/C Ratio Trammel Net


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 1,17
2 Biaya variabel naik 10 1,10
3 Hasil penjualan turun 10 1,06

Analisis B/C ratio terhadap trammel net sebesar 1,17 ini berarti bahwa dengan

cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan

menghasilkan benefit 1,17 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau

penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk trammel net masih layak

dengan B/C ratio masing-masing 1,10 dan 1,06.

Fixed cost sebesar Rp 4.958.400, variabel cost sebesar Rp 3.098.800, benefit

sebesar Rp 9.450.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost hampir sama,

artinya variabel cost dan fixed cost memiliki pengaruh yang hampir sama terhadap

benefit perbandingan VC/FC = . ± 0,7.


132

(9). Analisis usaha bagan perahu

Hasil Perhitungan analisa B/C ratio bagan perahu dapat dilihat pada Tabel 42

berikut.

Tabel 47. B/C Ratio Bagan Perahu


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 3,6
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 3,2
3 Hasil penjualan turun 10 3,3

B/C ratio usaha bagan perahu yang telah ada saat ini menunjukkan bahwa B/C

ratio usaha tersebut adalah 3,6. Ini berarti bahwa dengan cost total (investasi, variabel

cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit sebesar 3,6 satuan.

Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan variabel cost atau

penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B/C ratio untuk usaha bagan perahu ini

masih layak dengan B/C ratio masing-masing 3,2 dan 3,3.

Fixed cost sebesar Rp 254.170, variabel cost sebesar Rp 504.000, Benefit

sebesar Rp 2.700.000 (Lampiran 44). Pengaruh Variabel cost terhadap fixed cost

sedikit lebih besar, artinya variabel cost terhadap fixed cost memiliki pengaruh sedikit

lebih besar terhadap benefit dengan perbandingan VC/FC = . ± 1,98.

(10). Analisis usaha bagan tancap


Hasil analisis B/C ratio usaha bagan tancap dapat dilihat pada Tabel 48 sebagai
berikut:
Tabel 48. B/C Ratio Bagan Tancap
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 2,0
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,9
3 Hasil penjualan turun 10 1,8
133

B/C ratio usaha bagan tancap yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai

B/C ratio usaha tersebut adalah 2,0. Ini berarti bahwa dengan cost total (investasi,

variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2 satuan. Jika

terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-

C ratio untuk bagan tancap masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,9 dan 1,8.

Fixed cost sebesar Rp 154.200, variabel cost sebesar Rp 288.000, benefit

sebesar Rp 900.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sedikit lebih besar,

artinya variabel cost terhadap fixed cost memiliki pengaruh sedikit lebih besar terhadap

benefit dengan perbandingan VC/FC = . ± 1,87

(11). Analisis usaha serok


Hasil analisis B/C ratio usaha serok dapat dilihat pada Tabel 49 sebagai berikut:

Tabel 49. B/C Ratio Serok


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 1,66
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,51
3 Hasil penjualan turun 10 1,49

B/C ratio usaha serok yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C

Ratio usaha tersebut adalah 1,66. Ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan

investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,66

satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)

sebesar 10% maka B/C ratio untuk serok masih layak dengan B/C ratio masing-masing

1,51 dan 1,49.

Fixed cost sebesar Rp 148.611, variabel cost sebesar Rp 4.356.000, benefit

sebesar Rp 7.470.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya
134

pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat besar terhadap

benefit dengan perbandingan VC/FC = . ± 29,31 kali lipat.

(12). Analisis usaha jaring angkat lainnya (ancho)


Hasil analisis B/C ratio jaring angkat lainnya dapat dilihat pada Tabel 50 sebagai
berikut:
Tabel 50. B/C Ratio Jaring Angkat Lainnya (Ancho)
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 1,50
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,38
3 Hasil penjualan turun 10 1,36

B/C ratio usaha jaring angkat lain yang telah ada saat ini menunjukkan bawa

nilai B/C ratio usaha tersebut adalah 1,50, ini berarti bahwa dengan cost total

(penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan

benefit 1,50 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil

tangkapan (benefit) sebesar 10% maka B/C ratio untuk jaring angkat lain masih layak

dengan B/C ratio masing-masing 1,38 dan 1,36.

Fixed cost sebesar Rp 148.611, variabel cost sebesar Rp 67.361, benefit

sebesar Rp 1.200.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya

pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat besar terhadap

benefit dengan perbandingan VC/FC = ± 17,81 kali lipat.

(13). Analisis usaha huhate


Hasil analisis B/C ratio usaha huhate dapat dilihat pada Tabel 51 sebagai berikut:
Tabel 51. B/C Ratio Huhate
No Uraian Sensitivitas (%) B/C Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 2,1
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 2,1
3 Hasil penjualan turun 10 2,0
135

B/C ratio usaha huhate yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C

Ratio usaha tersebut adalah 2,1, ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan

investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,1

satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)

sebesar 10% maka B/C ratio untuk huhate masih layak dengan B/C ratio masing-

masing 2,1 dan 2,0.

fixed cost sebesar Rp 30.354.000, variabel cost sebesar Rp 324.000.000,-

benefit sebesar Rp 735.000.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat

besar, artinya pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat

besar terhadap benefit dengan perbandingan VC/FC = ± 10,67 kali lipat.

(14). Analisis usaha pancing biasa


Hasil analisis B/C ratio usaha pancing biasa dapat dilihat pada Tabel 52 sebagai
berikut:
Tabel 52. B/C Ratio Pancing Biasa
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 1,8
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,6
3 Hasil penjualan turun 10 1,6

B/C ratio usaha pancing biasa yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai

B/C ratio usaha tersebut adalah 1,8, ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan

investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,8

satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)

sebesar 10% maka B/C ratio untuk pancing biasa masih layak dengan B/C ratio

masing-masing 1,6 dan 1,6.


136

fixed cost sebesar Rp 170.278, variabel cost sebesar Rp 1.600.000,- benefit

sebesar Rp 3.150.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya

pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat besar terhadap

benefit dengan perbandingan VC/FC = ± 9,40 kali lipat.

(15). Analisis usaha pancing tonda


Hasil analisis B/C ratio usaha pancing tonda dapat dilihat pada Tabel 53 sebagai
berikut:
Tabel 53. B/C Ratio Pancing Tonda
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 2,0
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,9
3 Hasil penjualan turun 10 1,8

B/C ratio usaha pancing tonda yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai

B/C ratio usaha tersebut adalah 2,0 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan

investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,0

satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)

sebesar 10% maka B/C ratio untuk pancing tonda masih layak dengan B/C ratio

masing-masing 1,9 dan 1,8.

Fixed cost sebesar Rp 123.400, variabel cost sebesar Rp 1.254.000,- benefit

sebesar Rp 2.814.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya

pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh besar terhadap benefit

dengan perbandingan VC/FC = ± 10,16 kali lipat.


137

(16). Analisis usaha rawai tetap


Hasil analisis B/C ratio usaha rawai tetap dapat dilihat pada Tabel 54 sebagai
berikut:
Tabel 54. B/C Ratio Rawai Tetap
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 1,4
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,3
3 Hasil penjualan turun 10 1,3

B/C ratio usaha rawai tetap yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai

B/C ratio usaha tersebut adalah 1,4 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan

investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,4

satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)

sebesar 10% maka B/C ratio untuk pancing tonda masih layak dengan B/C ratio

masing-masing 1,3 dan 1,3.

Fixed cost sebesar Rp 332.778, variabel cost sebesar Rp 3.500.000,- benefit

sebesar Rp 5.533.500. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya

pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh besar terhadap benefit

dengan perbandingan VC/FC = . ± 10,52 kali lipat. Dengan demikian pengaruh

variabel cost terhadap benefit tinggi dibandingkan komponen biaya lainnya.

(17). Analisis usaha sero


Hasil analisis B/C ratio usaha sero dapat dilihat pada Tabel 55 sebagai berikut:
Tabel 55. B/C Ratio Rawai sero
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 2,4
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 2,2
3 Hasil penjualan turun 10 2,2
138

B/C ratio usaha sero yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C ratio

usaha tersebut adalah 2,4 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan investasi,

variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,4 satuan.

Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit) sebesar

10% maka B/C ratio untuk pancing sero masih layak dengan B/C ratio masing-masing

2,2 dan 2,2.

Fixed cost sebesar Rp 3.750.000, variabel cost sebesar Rp 14.600.000,- benefit

sebesar Rp 44.520.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost agak besar, artinya

pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh agak besar terhadap

benefit dengan perbandingan VC/FC = . ± 3,89 kali lipat. Dengan demikian pengaruh

variabel cost terhadap benefit agak besar dibandingkan komponen biaya lainnya.

(18). Analisis usaha bubu


Hasil analisis B/C ratio usaha bubu dapat dilihat pada Tabel 56 sebagai berikut:
Tabel 56. B/C Ratio Bubu
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 1,4
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,3
3 Hasil penjualan turun 10 1,2

B/C ratio usaha bubu yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C ratio

usaha tersebut adalah 1,4 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan investasi,

variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,4 satuan.

Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit) sebesar

10% maka B/C ratio untuk usaha masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,3 dan

1,2.
139

Fixed cost sebesar Rp 166.700, variabel cost sebesar Rp 1.920.000,- benefit

sebesar Rp 2.870.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost besar, artinya

pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh besar terhadap benefit

dengan perbandingan VC/FC = ± 11,52 kali lipat. Dengan demikian pengaruh

variabel cost terhadap benefit besar dibandingkan komponen biaya lainnya.

(19). Analisis usaha jermal


Hasil analisis B/C ratio usaha jermal dapat dilihat pada Tabel 57 sebagai berikut:
Tabel 57. B/C Ratio Jermal
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 1,8
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 1,7
3 Hasil penjualan turun 10 1,6

B/C ratio usaha jermal yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C

ratio usaha tersebut adalah 1,8 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan

investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,8

satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)

sebesar 10% maka B/C ratio untuk usaha masih layak dengan B/C ratio masing-masing

1,7 dan 1,6.

Fixed cost sebesar Rp 3.333.400, variabel cost sebesar Rp 9.600.000,- benefit

sebesar Rp 23.240.000,- . Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost besar, artinya

Pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh agak besar terhadap

benefit dengan perbandingan VC/FC = ± 2,88 kali lipat. Dengan demikian pengaruh

variabel cost terhadap benefit agak besar dibandingkan komponen biaya lainnya.
140

(20). Analisis usaha perangkap lain


Hasil analisis B/C Ratio usaha perangkap lain dapat dilihat pada Tabel 58 sebagai
berikut:
Tabel 58. B/C Ratio perangkap lain
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) ratio
1 Sesuai kondisi Biaya-biaya tetap dan biaya 0 3,7
variabel saat ini
2 Biaya variabel naik 10 3,4
3 Hasil penjualan turun 10 3,3

B/C ratio usaha jermal yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C

ratio usaha tersebut adalah 3,7 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan

investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 3,7

satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)

sebesar 10% maka B/C ratio untuk usaha masih layak dengan B/C ratio masing-masing

3,4 dan 3,3.

Fixed cost sebesar Rp 450.000, variabel cost sebesar Rp 2.040.000,- benefit

sebesar Rp 9.100.000,-. Pengaruh variabel cost lebih besar terhadap benefit

dibandingkan pengaruh fixed cost terhadap benefit dengan perbandingan VC/FC = ±

4,53 kali lipat. Dengan demikian pengaruh variabel cost terhadap benefit cukup besar

dibandingkan komponen fixed cost.


141

6.3.2 Analisis Usaha Alat Tangkap Untuk Pengembangan di Teluk Lasongko

(1). Analisis purse seine 10 GT


Hasil Perhitungan diperoleh bahwa B/C ratio purse seine diperoleh sebagai
berikut:

Tabel 59. B/C Ratio Purse Seine 10 GT


No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat ini 0 2,21
2 Biaya variabel naik 10 2,03
3 Hasil penjualan turun 10 1,33

Analisis B/C ratio terhadap purse seine 10 GT yang akan dikembangkan

menunjukkan bawa B/C ratio sebesar 1,48. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi,

variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,48 satuan.

Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10%

maka B-C ratio untuk purse seine 10 GT masih layak dengan B/C ratio masing-masing

1,35 dan 1,33. Dalam analisa ini dipergunakan asumsi perubahan 10% karena secara

empiris perubahan harga atau tingkat inflasi dalam keadaan ekonomi normal tidak

sampai melebihi 10 % selama periode satu tahun. Asumsi perubahan 10 % ini sering

dipergunakan dalam analisa-analisa ekonomi oleh para ahli.

(2). Analisis usaha purse seine 15 GT


Hasil Perhitungan B/C ratio purse seine 15 GT diperoleh sebagai berikut:
Tabel 60. B/C Ratio Purse Seine 15 GT
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat 0 1,41
ini
2 Biaya variabel naik 10 1,30
3 Hasil penjualan turun 10 1,27
142

Analisis B/C ratio terhadap purse seine 15GT yang akan dikembangkan

menunjukkan bawa B/C ratio sebesar 1,41. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi,

variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,41 satuan.

Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10%

maka B-C ratio untuk purse seine 10GT masih layak dengan B/C ratio masing-masing

1,3 dan 1,27. namun yang menjadi masalah dengan purse seine alat ini memiliki

produktivitas yang sangat tinggi sehingga berdampak pada over eksploitasi sumberdaya

ikan.

(3). Analisis usaha gill net 15 GT


Hasil perhitungan analisis usaha gill net 15 GT diperoleh gambaran sebagai
berikut:
Tabel 61. B/C Ratio Gill Net 15 GT
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat 0 5,2
ini
2 Biaya variabel naik 10 4,3
3 Hasil penjualan turun 10 4,6

Analisis B/C ratio terhadap gill net 15 GT menunjukkan bawa B/C ratio

sebesar 5,2. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi, variabel cost dan fixed cost)

sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 5,2 satuan. Jika terjadi peningkatan

variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B/C ratio untuk gill

net 15GT masih layak dengan B/C ratio masing-masing 4,3 dan 4,6
143

(4). Analisis usaha rumput laut


Hasil Perhitungan B/C ratio rumput laut dapat dilihat pada Tabel 62 berikut.
Tabel 62. Perhitungan B/C Ratio Rumput Laut
No Uraian Sensitivitas B/C
(%) Ratio
1 Sesuai kondisi biaya tetap dan biaya variabel saat 0 1,6
ini
2 Biaya variabel naik 10 1,5
3 Hasil penjualan turun 10 1,4

Analisis B/C ratio terhadap usaha rumput laut yang telah ada saat ini

menunjukkan bawa B/C ratio sebesar 1,6. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi,

variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,6 satuan.

Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10%

maka B-C ratio untuk usaha rumput laut ini masih layak dengan B/C ratio masing-

masing 1,5 dan 1,4

6.4 Optimisasi Usaha Penangkapan

Usaha perikanan dapat mencapai optimal dan berkelanjutan apabila sumber daya

ikan yang tersedia dimanfaatkan sampai pada titik keseimbangan potensi lestari.

Untuk mencapai hal tersebut perlu dioptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada

seperti sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang tersedia dan tidak melebihi

masing-masing kapasitasnya. Pengembangan berarti suatu usaha untuk merubah dari

yang kurang bernilai menjadi sesuatu yang bernilai. Pengembangan dalam kegiatan

perikanan misalnya menambah jumlah tenaga kerja dan faktor-faktor produksi lainnya.

Goal yang akan dicapai ada 4 (empat) yaitu: (1) Mengoptimalkan pemanfaatan

tenaga kerja berdasarkan JYB, (2) mengoptimalkan pemanfaatan BBM (minyak tanah,
144

dan bensin) berdasarkan JTB (3). mengoptimalkan pemanfaatan air tawar berdasarkan

JTB (4) mengoptimalkan pemanfaatan es berdasarkan JTB.

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan JTB dengan 5 (lima) pembatas/constraint,

dibuat model regresi linier dengan 5 (lima) macam tujuan. Model tersebut dikenal

dengan Goal Programming Model.

Kendala/Pembatas ( n = 1,2….7)

-e overachievement

Y n=1..5

underachievement µ
X
X n=1..5
Keterangan:
Y = Tujuan (Goal)
X = Kendala

Gambar 25. Ilustrasi Goal Programming Model

Dalam Goal Programming Model dikenal 2 macam persamaan yaitu: 1).

Persamaan fungsi tujuan dan 2). Persamaan kendala-kendala tujuan. Persamaan

dalam fungsi tujuan ini ditandai oleh variabel deviasional dari kendala-kendala tujuan

yang harus diminimumkan. Ada dua macam variabel deviasional, yaitu: 1). µ (Deviasi

Underachievement) dan 2) e (Deviasi overachievement). Untuk optimisasi tujuan maka


145

kedua variabel ini diupayakan sama dengan nol, atau dengan kata lain e harus di

kurangi ke bawah dengan ditandai oleh minus ( - ) dan µ harus ditarik ke atas sehingga

saat optimal maka e=µ

Model Goal Programming faktor-faktor produksi untuk mengoptimalkan JTB

diuraikan sebagai berikut:

Fungsi Tujuan (Z):


Minimumkan Z = e1 + µ1 + e2 + µ2 + e3 + µ3 + e4 +µ4 + e5 + µ5

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan Tenaga Kerja, BBM, Es, dan Air Baku

maka turunan pertama Fungsi Z harus sama dengan 0 (nol). Artinya turunan pertama

dari Z harus sama dengan nol dengan rumus matematis d f ( Z ) = 0.

1. Mengoptimalkan Nilai Produksi sesuai JTB

Berdasarkan analisis Goal Programming terhadap data lapang diperoleh target

produksi optimal berdasarkan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB) sebesar

Rp 46.886.848.150,- dapat dicapai (lihat ei <= 11.722.690.233). Kondisi ini dapat

dicapai apabila tersedia faktor produksi dalam jimlah terentu (faktor pembatas) yaitu

berupa bensin (Rp 4.500/liter), minyak tanah ( Rp 3.700/liter), air tawar ( Rp 4/liter (=

Rp 4 per kg), es (Rp 300/kg) dan tenaga kerja ( Rp 6.155.167 per orang per tahun) dan

masih bisa dinaikan sampai dengan MSY.

Nilai produksi optimal (dalam rupiah) ini merupakan perkalian produksi sesuai

JTB (Jumlah Tangkap Diperbolehkan) dengan nilai ikan hasil tangkapan.

Berdasarkan hasil olahan data dengan LINDO diperoleh gambaran bahwa produksi

ikan yang masih dapat ditolerir maksimum Rp 11.722.690.233 atau 20% di atas JTB

(lihat ei <= 11.722.690.233).


146

2. Faktor Pembatas BBM Yang Harus Tersedia

Berdasarkan analisis Goal Programming terhadap kebutuhan BBM di Kawasan

Teluk Lasongko diperoleh hasil bahwa untuk memanfaatkan JTB secara optimal

diperlukan 3.742.000 liter bensin /tahun dan 90.072 minyak tanah/tahun (dibulatkan

90.000 liter minyak tanah/tahun).

Suplai bensin saat ini dipenuhi oleh para tengkulak dari kota Bau-Bau. Harga

bensin di sekitar Kawasan Teluk Lasongko berkisar Rp 5.500/liter sedangkan harga

bensin di Kota Bau-bau Rp 4.500/liter. Ini berarti bahwa terdapat margin bagi para

tengkulak bensin sebesar Rp 3.742.396.000 per tahun. Harga minyak tanah di Kawasan

Teluk Lasongko 4.500 per liter sedangkan harga minyak tanah di Kota Bau bau Rp

3.700 per liter. Jika kebutuhan minyak tanah sebanyak 90.072 liter maka terdapat

margin usaha sebesar Rp 72.057.600

Agar margin tersebut dapat dinikmati oleh nelayan di wilayah Teluk Lasongko

maka perlu dibangun Depo Solar/ Minyak dengan kapasitas 3.832.000 liter bensin per

tahun dan 90.072 liter minyak tanah per tahun di kawasan Teluk Lasongko.

3. Faktor Pembatas Es Yang Harus Tersedia

Berdasarkan analisis Goal Programming terhadap kebutuhan Es di Kawasan

Teluk Lasongko diperoleh bahwa untuk memanfaatkan JTB secara optimal diperlukan

11.983.000 kg es (dibulatkan 12.000. ton es per tahun) atau setara dengan Rp

3.600.000.000 per tahun.

Suplai es saat ini dipenuhi dari es yang dibuat dari kulkas rumah tangga. Hal

ini disebabkan karena di kawasan Teluk Lasongko belum tersedia pabrik es.
147

Es yang telah tersedia saat ini terutama diperuntukkan untuk ikan karang

konsumsi. Menurut data yang diperoleh dari lapangan bahwa sekitar 50% ikan karang

konsumsi menggunakan es. Pada tahun 2004 ikan karang konsumsi diproduksi sebesar

750 ton dan setengahnya diberi es, maka jumlah es yang telah tersedia di Kawasan

Teluk Lasongko adalah sebanyak 375.000 kg. Berarti untuk memenuhi kebutuhan es

secara keseluruhan masih diperlukan produksi es sebesar 11.608.000 ton es per tahun

4. Faktor Pembatas Air Tawar Yang Harus Tersedia

Berdasarkan analisis Goal Programming terhadap kebutuhan Air Baku di

Kawasan Teluk Lasongko diperoleh bahwa untuk memanfaatkan JTB secara optimal

diperlukan air baku sebanyak 35.949.000 liter (dibulatkan 36.000.000 liter) atau setara

dengan Rp 144.000.000 (Rp 4/kg air). Kebutuhan air baku untuk kebutuhan nelayan

saat ini masih dapat dipenuhi dari PDAM Lakudo yang berpusat di Desa Lakudo

Kecamatan Lakudo. Kemampuan PDAM saat ini dapat menyediakan air tawar

sebesar 1.500 juta m3 air tawar per tahun. Ini berarti bahwa supply air tawar untuk

kebutuhan nelayan di Kawasan Teluk Lasongko sudah cukup.

5. Faktor Pembatas Tenaga Kerja Yang Harus Tersedia

Berdasarkan analisis Goal Programming bahwa untuk memanfaatkan JTB

diperlukan tenaga kerja sebesar 3.112 orang. (dibulatkan 3.200 orang ). Padahal

tenaga kerja nelayan yang ada saat ini di Kawasan Teluk Lasongko sekitar 4.449

orang. Ini berarti terdapat kelebihan nelayan sebanyak 1.317 orang yang perlu

dialihkan mata pencahariannya ke bidang budidaya laut.


148

6.5 Prioritas Kebijakan

6.5.1 Hasil SWOT

Dalam penelitian ini penentuan strategi pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk

Lasongko digunakan analisis SWOT. Menurut Rangkuti (2003), analisis ini didasarkan

pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Stengths) dan peluang

(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan

(Weaknesses) dan Ancaman (Threats) yang dituangkan dalam bentuk matrik. Hasil

identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang dilakukan melalui penggalian

sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan upaya pengelolaan sumberdaya

ikan di sekitar Teluk Lasongko yang bersumber dari pemerintah (pusat dan daerah),

swasta dan masyarakat serta didukung oleh data sekunder adalah sebagai berikut :

1. Faktor Kekuatan meliputi :

a) Keberadaan sumberdaya ikan

b) Kondisi ekosistem laut (habitat terumbu karang, padang lamun dan hutan

mangrove) di beberapa wilayah masih baik.

c) Adanya dukungan rencana pembangunan secara terpadu dari berbagai instansi

pemerintah.

d) Animo masyarakat untuk melakukan perubahan tinggi.

e) Terjangkau bagi pengawasan dan komunikasi.

2. Faktor Kelemahan meliputi :

a) Sumberdaya ikan yang ada belum dikelola dengan baik.

b) Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan sumberdaya

ikan.
149

c) Pengetahuan masyarakat nelayan dan penguasaan teknologi penangkapan masih

lemah.

d) Terbatasnya sarana dan prasarana pendukung.

e) Penanganan pasca panen (penyimpanan, pengolahan dan pemasaran) ikan masih

rendah.

f) Pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan masih belum memadai.

g) Komitmen investor untuk penanaman modal masih rendah.

h) Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam rencana pembangunan terpadu.

3. Faktor Peluang meliputi :

a) Daerah perluasan penangkapan cukup luas.

b) Kewenangan pengelolaan sumberdaya ikan oleh Pemerintah Daerah dan

masyarakat besar (UU No.32 Tahun 2004).

c) Tingginya dukungan instansi pemerintah dalam rangka pembangunan Teluk

Lasongko..

d) Penerapan teknologi tepat guna.

e) Antusias masyarakat yang tinggi dan bertanggungjawab.

f) Terbukanya pasar produk perikanan.

g) Adanya rencana pembangunan pelabuhan cargo di Wamengkoli (Kecamatan

Lakudo)

4. Faktor Ancaman meliputi :

a) Kebutuhan lahan bagi pemukiman semakin meningkat.

b) Kebutuhan sarana dan prasarana pendukung semakin bertambah.

c) Sistem pemasaran hasil perikanan masih lemah.


150

d) Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak ramah lingkungan

mengakibatkan kerusakan habitat.

e) Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat pesisir terhadap sumberdaya ikan

sebagai sumber pedapatan.

f) Pemanfaatan sumberdaya ikan bersifat terbuka (open access).

g) Peningkatan harga BBM

Berdasarkan faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, disusun formulasi kebijakan

dalam bentuk matrik SWOT sebagaimana digambarkan pada Tabel 63 berikut :


151

Tabel 63. Analisis SWOT Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan


di Teluk Lasongko Kabupaten Buton

Kekuatan (S) Kelemahan (W)


o Potensi sumberdaya ikan cukup besar. o Sumberdaya ikan yang ada belum dikelola dengan baik.
o Kondisi ekosistem laut (habitat o Kurangnya koordinasi antar instansi terkait dalam
terumbu karang, padang lamun dan pengelolaan sumberdaya ikan.
hutan mangrove) di beberapa wilayah o Pengetahuan masyarakat nelayan dan penguasaan teknologi
masih baik. penangkapan masih lemah.
o Adanya dukungan rencana o Terbatasnya sarana dan prasarana pendukung.
pembangunan secara terpadu dari o Penanganan pasca panen (penyimpanan, pengolahan dan
berbagai instansi pemerintah. pemasaran) ikan masih rendah.
o Animo masyarakat untuk melakukan o Pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan masih
perubahan tinggi. belum memadai.
o Terjangkau bagi pengawasan dan o Komitmen investor untuk penanaman modal masih rendah.
komunikasi. o Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam rencana
pengelolaan sumberdaya ikan
Peluang (O) Strategi SO Strategi WO
o Daerah perluasan penangkapan ikan o Peningkatan produksi perikanan o Menjaga kelestarian sumberdaya ikan .
cukup luas. (tangkap dan budidaya laut) o Peningkatan koordinasi antar instanti terkait
o Kewenangan pengelolaan o Pengembangan teknologi dan unit o Pembinaan masyarakat nelayan untuk meningkatkan
sumberdaya ikan oleh Pemda dan usaha perikanan yang sesuai. kualitas SDM
masyarakat besar (UU.No.32/2004) o Pembuatan dan penataan kebijakan o Penguatan sarana prasarana pendukung (transportasi, listrik,
o Tingginya dukungan instansi yang mendukung pengelolaan air, pelabuhan, industri)
pemerintah dalam rangka sumberdaya ikan. o Penguatan kapasitas kelembagaan lokal
pembagunan T.Lasongko. o Peningkatan program-pogram o Introduksi penggunaan teknologi tepat guna
o Penerapan teknologi tepat guna pendampingan yang efektif o Pemberdayaan masyarakat melalui akses permodalan
o Antusias masyarakat yang tinggi
dan bertanggungjawab.
o Terbukanya pasar untuk produk
perikanan.
o Adanya rencana pembangunan
pelabuhan cargo di Wamengkoli
(Kecamatan Lakudo)
o
152

Ancaman (T) Strategi ST Strategi WT


o Kebutuhan lahan bagi pemukiman o Pembuatan peraturan pemanfaatan o Pembangunan sarana dan prasarana pendukung yang
semakin meningkat; sumberdaya ikan. memadai.
o Kebutuhan sarana dan prasarana o Menetapkan wilayah konservasi laut o Pembinaan masyarakat dalam manajemen pemanfaatan,
pendukung semakin bertambah; dan melakukan rehabilitasi ekosistem pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
o Sistem pemasaran hasil terumbu karang dan mangrove o Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pemanfaatan sumberdaya perikanan o Membuka dan mengembangkan kelestarian sumberdaya ikan.
yang lemah; jaringan informasi dan akses
o Kegiatan pemanfaatan sumberdaya pemasaran
perikanan yang tidak ramah
lingkungan mengakibatkan
kerusakan habitat;
o Tingginya tingkat ketergantungan
masyarakat pesisir terhadap
sumberdaya laut;
o Pemanfaatan sumberdaya perikanan
bersifat terbuka (open akses).
o Peningkatan harga BBM
153

Dari tabel tersebut, terdapat 15 strategi kebijakan yang dapat dilakukan dalam

pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yang digolongkan dalam lima kebijakan

utama, yaitu :

1) Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal dan lestari

a) Pengendalian perikanan tangkap.

b) Peningkatan pengelolaan sumberdaya ikan.

c) Pembuatan peraturan pemanfaatan sumberdaya ikan .

d) Menetapkan wilayah konservasi laut dan melakukan rehabilitasi ekosistem

terumbu karang dan mangrove

e) Introduksi penggunaan teknologi tepat guna

2) Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah


a) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengelolaan sumberdaya

ikan.

b) Pembinaan masyarakat dalam , pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.

c) Peningkatan koordinasi antar instanti terkait.

d) Penguatan kapasitas kelembagaan lokal

e) Pembinaan masyarakat nelayan.

3) Pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan

a) Pembentukan pogram pendampingan yang efektif.

b) Pemberdayaan masyarakat melalui akses permodalan

4) Pengembangan jaringan dan informasi pasar

a) Membuka dan mengembangkan jaringan informasi dan akses pemasaran


154

5) Peningkatan sarana dan prasarana pengembangan kawasan

a) Penguatan sarana prasarana pendukung (transportasi, listrik, air, pelabuhan,

industri)

b) Pembangunan sarana dan prasarana untuk kegiatan pemanfaatan, pengolahan dan

pemasaran hasil perikanan yang memadai

6.5.2 Hasil AHP

Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko

menggunakan AHP. Formulasi kebijakan didasarkan pada kebijakan utama hasil analisis

SWOT sebagaimana dijelaskan di atas. Kebijakan utama diperoleh berdasarkan informasi

key person dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha ikan dan nelayan atau

pembudidaya ikan yang meliputi aspek-aspek :

1) Ekologi (kelestarian sumberdaya ikan).

2) Ekonomi (tingkat pendapatan dan produksi ikan),

3) Sosial (tenaga kerja, tingkat pendidikan dan konflik sosial),

4) Teknologi (pengembangan teknologi), dan

5) Hukum (hukum dan kebijakan).

Aspek-aspek ini didasarkan pada kondisi yang ada sekarang di kawasan Teluk

Lasongko yang dirumuskan untuk keperluan penentuan alternatif kebijakan pemanfaatan

sumberdaya ikan di Teluk Lasongko.

Berdasarkan formulasi kebijakan pengelolaan sumber daya ikan di Teluk

Lasongko yang dimulai melalui analisis SWOT, informasi key person, dan pembagian

aspek-aspek pengelolaan, maka diperoleh struktur hirarki sebagaimana ditunjukkan pada

Gambar 26 di bawah ini. Informasi key person yang diperoleh baik melalui wawancara
155

dan pengisian kusioner AHP dilakukan untuk menggali seberapa besar peranan atau

pentingnya masing-masing komponen yang menyusun level di atasnya. Key person yang

terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha ikan dan

nelayan/pembudidaya ikan diarahkan untuk menilai pentingnya antar aspek pengelolaan

sumber daya ikan di Teluk Lasongko, menilai pentingnya antar kebijakan utama yang

disusun dari hasi analisis SWOT berkaitan dengan masing-masing aspek, serta menilai

pentingnya unsur-unsur kebijakan utama berupa prioritas-prioritas program pengelolaan

sumberdaya ikan.

Tujuan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Berbasis MSY


di Teluk Lasongko

Level 1 Pemerintah Pemerintah Pengusaha Nelayan/Pem-


Pelaksana Pusat Daerah Ikan budidaya Ikan

Level 2
Aspek- Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Hukum
Aspek ...

Level 3
Kebijakan Optimal PnkSDM Modal InfoPsr Sarana
Utama

Level 4
Prioritas a b c d a b c d a b c d a b c d a b c d
Program

Gambar 26. Struktur Hirarki AHP Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko
156

Prioritas aspek-aspek penentu kebijakan utama terhadap upaya pengelolaan

sumberdaya ikan di Teluk Lasongko sebagaimana Tabel 64 berikut :

Tabel 64. Prioritas Aspek-Aspek Penentu Kebijakan Utama Pemanfaatan


Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko

Pusat Daerah Pengusaha ikan Nelayan/Pmddyi


No Aspek
Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas
1 Ekologi 0,190 1 0,036 4 0,080 5 0,012 4
2 Ekonomi 0,098 2 0,068 1 0,056 2 0,038 1
3 Sosial 0,052 3 0,068 2 0,018 4 0,022 3
4 Teknologi 0,052 4 0,036 3 0,031 3 0,038 2
5 Hukum 0,031 5 0,020 5 0,104 1 0,012 5

Key person pemerintah pusat menempatkan aspek ekologi sebagai prioritas

pertama dalam pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko. Diikuti oleh

aspek ekonomi pada prioritas kedua, aspek sosial pada prioritas ketiga, aspek teknologi

pada prioritas keempat dan aspek hukum pada prioritas terakhir. Hal ini menunjukkan

bahwa kebijakan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah pusat lebih

mengedepankan pentingnya aspek ekologi untuk kelestarian sumberdaya ikan.

Aspek ekologi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko menjadi

penting karena berdasarkan hasil analisis potensi menunjukkan bahwa tingkat

pemanfaatan sumberdaya ikan telah mencapai 81 % dari MSY. Hal ini berarti

pemanfaatan sumberdaya ikan melalui usaha penangkapan di perairan Teluk Lasongko

perlu dibatasi jangan sampai berkembang terus melebihi daya dukung sumberdayanya.

Widodo (2003) menyatakan bahwa bagi sumberdaya ikan yang telah dimanfaatkan

secara penuh yang ditengarai oleh eksploitasi yang sangat intensif (fully and

overexploited), maka alternatif pengelolaan yang lebih baik adalah akuakultur (budidaya)

dengan teknologi canggih dan rekayasa genetik.


157

Berbeda dengan pemerintah pusat, key person pemerintah daerah lebih

menekankan pada aspek ekonomi dan aspek sosial yang memiliki nilai yang sama

sebagai prioritas utama. Hal ini terkait dengan lahirnya payung hukum Undang-Undang

No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dimana daerah memiliki kewenangan dalam

mengelola wilayahnya. Kewenangan dalam otonomi daerah memiliki arti bahwa daerah

diberikan kewenangan untuk menunjuk dan mengelola wilayahnya. Dalam pengelolaan

perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai oleh pemerintah kabupaten/kota dan 12 mil

laut oleh pemerintah propinsi, sehingga memungkinkan pemerintah daerah Kabupaten

Buton membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko

yang dapat memberi kontribusi nyata terhadap pembangunan di Kabupaten Buton.

Pembangunan perikanan dan kelautan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah

sejalan dengan Simatupang (2001), yang mendefinisikan bahwa kebijakan pembangunan

perikanan dan kelautan sebagai keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan,

mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan dan kelautan guna

mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Kebijakan ini harus dipandang dalam

konteks pembangunan nasional yang tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan

kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat. Ini berarti bahwa

kebijakan pengelolaan perikanan dan kelautan termasuk kedalam kategori kebijakan

publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.

Key person nelayan dan pembudidaya ikan memiliki kesamaan persepsi dengan

kebijakan pemerintah daerah dengan lebih memprioritaskan aspek ekonomi. Namun key

person nelayan dan pembudidaya ikan menempatkan aspek teknologi sebagai prioritas

kedua, dimana pengembangan dan penggunaan teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan


158

terutama teknologi pasca panen sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas

jenis ikan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi di pasar. Pemilihan aspek teknologi

sebagai prioritas penting merupakan sebagai dampak dari semakin sedikitnya hasil

tangkapan nelayan saat ini. Penggunaan teknologi yang disarankan adalah teknologi yang

ramah lingkungan yang mendukung aspek ekologi perairan laut untuk penangkapan ikan

yang berkelanjutan. Arimoto (1999), menerangkan bahwa teknologi penangkapan ikan

ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan,

tidak merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat tangkap kecil, serta

kontribusinya terhadap polusi rendah.

Aspek hukum sangat penting peranannya dalam usaha perikanan, dimana

kepastian hukum, kemudahan legislasi dan jaminan keamanan memberikan angin segar

bagi pengusaha ikan untuk berinvestasi dan menjalankan usahanya. Oleh karena itu,

aspek hukum menjadi prioritas pertama bagi key person pengusaha ikan.

Kriteria-kriteria prioritas dalam pemilihan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan

di Teluk Lasongko, dapat mengacu pada pendapat Nikijuluw (2002), meliputi :

1). Pertama, alternatif pengelolaan harus diterima mayoritas nelayan secara ekonomis,

sosial, budaya, atau politik. Penerimaan nelayan atas suatu hal yang baru yang

berkenaan langsung dengan kehidupan dan mata pencaharian mereka terletak pada

sejauh mana hal yang baru tersebut sudah di sosialisasikan kepada nelayan.

2). Kedua, perlunya suatu pendekatan pengelolaan yang diimplementasikan secara

gradual, agar nelayan secara perlahan dapat menyesuaikan kegiatan perikanannya

dengan hal yang baru. Hal ini juga akan memberi kemudahan kepada pengelola

(pemerintah) untuk melihat dan mengevaluasi dampak negatif yang mungkin timbul.
159

3). Ketiga, pendekatan pengelolaan harus fleksibel dan dapat disesuaikan dengan

perubahan kondisi biologi dan ekonomi. Stok ikan di perairan tropis seperti Indonesia

sangat sulit diprediksi sehingga hasil tangkapan ikan sangat berfluktuasi.

Keterbatasan pengetahuan, pengelola perikanan, pemerintah maupun nelayan,

mengalami kesulitan juga untuk mengetahui interaksi antara jenis ikan yang berbeda

serta perubahan stok jenis ikan tertentu.

4). Keempat, nelayan harus didorong dan dimotivasi untuk melakukan pendekatan

pengelolaan yang baru karena keuntungan insentif ekonomi yang diperolehnya.

5). Kelima, pendekatan pengelolaan yang diambil harus dapat dilaksanakan pengelola

(pemerintah) dengan baik, terutama berkaitan dengan masalah pembiayaan.

6). Keenam, pendekatan pengelolaan harus lebih memberikan keadilan, menyediakan

lapangan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan pendapatan yang lebih baik.

Berdasarkan analisis SWOT di atas, penentuan prioritas kebijakan dalam rangka

pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko disajikan pada Tabel 65.

Tabel 65. Prioritas Kebijakan Utama Pemanfaatan Sumberdaya Ikan


Di kawasan Teluk Lasongko
Uraian/ Pusat Daerah Pengusaha ikan Nelayan/Pmddyi
No
Alternatif Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas Bobot Prioritas
1 Optimal 0,290 1 0,309 1 0,350 1 0,258 1
2 PnkSDM 0,281 2 0,237 2 0,142 4 0,185 3
3 Modal 0,176 3 0,151 4 0,155 3 0,198 2
4 InfoPasar 0,144 4 0,138 5 0,252 2 0,175 5
5 Sarana 0,108 5 0,165 3 0,101 5 0,185 4
Keterangan : Optimal : Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal
PnkSDM : Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah
Modal : Pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan
InfoPasar : Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Sarana : Peningkatan sarana dan prasarana
7. KEBIJAKAN DAN PROGRAM

Sumberdaya ikan merupakan kekayaan alam yang dapat mendatangkan manfaat

bagi manusia secara terus menerus karena sumberdaya ini memiliki sifat dapat pulih

kembali. Nilai manfaat yang dapat diperoleh tergantung kepada bagaimana sumberdaya

ikan tersebut dikelola. Apabila pengelolaannya baik sesuai dengan kaidah-kaidah yang

benar, maka nilai manfaat dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan. Namun

apabila pengelolaannya tidak benar, nilai manfaat yang akan diperoleh pada suatu saat

akan mengalami penurunan bahkan dapat terjadi sumberdaya ikan tersebut tidak memiliki

nilai manfaat sama sekali. Oleh karena itu sumberdaya ikan yang masih baik harus

dikelola dengan baik dan benar agar tetap terjaga kelestariannya, sedangkan sumberdaya

ikan yang telah mengalami kerusakan perlu diperbaiki agar dapat pulih kembali seperti

semula.

Pada dasarnya pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu perairan harus diawali

dengan analisa stok ikan untuk mengetahui besarnya potensi ikan yang ada. Setelah

diketahui besarnya potensi ikan yang ada, kemudian ditetapkan jenis dan jumlah alat

tangkap yang dapat dioperasikan. Selanjutnya perlu dilakukan pengaturan dan

pengawasan dalam pelaksanaannya. Hasil tangkapan berupa produksi ikan yang

selanjutnya diolah dan dipasarkan untuk dikonsumsi oleh konsumen. Untuk

mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan diperlukan daerah perlindungan tempat-

tempat ikan berkembang biak dan tumbuh menjadi besar. Dalam hal ini diperlukan

daerah-daerah konservasi seperti daerah terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun.

Selanjutnya untuk mendukung kegiatan usaha penangkapan diperlukan pelabuhan

perikanan yang meliputi fasilitas dermaga labuh, tempat pelelangan ikan, penyediaan air
161

bersih, penyediaan bahan bakar, dan balai pertemuan nelayan. Disamping itu diperlukan

juga dukungan jalan penghubung untuk transportasi, dukungan komunikasi dan listrik

serta permodalan. Untuk meningkatkan keterampilan para nelayan dan pengembangan

masyarakat pesisir diperlukan pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus keterampilan.

Perkembangan produksi, jumlah dan jenis alat tangkap yang dioperasionalkan serta

jumlah nelayan dicatat dan diolah sebagai data statistik yang digunakan sebagai alat

evaluasi, perencanaan dan penyempurnaan kebijakan selanjutnya.

Secara diagram pemanfaatan sumberdaya ikan dapat digambarkan seperti

berikut:

KONSERVASI
(T.KARANG, SUMBERDAYA IKAN
MANGROVE, (ANALISA STOK)
PADANG LAMUN)

PENGAWASAN
USAHA PENANGKAPAN
(SESUAI DAYA DUKUNG) PELABUHAN DAN
PENGATURAN FASILITAS
PENDUKUNG
(JUMLAH DAN
JENIS ALAT) PRODUKSI IKAN
OPTIMAL ANALISIS DATA

PENGOLAHAN
PEMASARAN

KONSUMEN

Gambar 27. Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan


162

7.1 Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Sumberdaya ikan di Teluk Lasongko merupakan kekayaan alam yang dapat

dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Sebagaimana telah diuraikan

dalam bab terdahulu bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat

dimanfaatkan secara terus menerus karena sumberdaya tersebut memiliki sifat dapat

pulih kembali secara alami apabila pemanfaatannya dilakukan dengan cara-cara yang

benar atau sumberdaya ikan tersebut harus dikelola dengan baik. Oleh karena itu dalam

pemanfatan sumberdaya ikan ini diperlukan visi, misi dan tujuan pengelolaan yang jelas

sebagai pedoman bersama bagi seluruh pihak terkait.

Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir

periode suatu perencanaan. Morrisey (2002), menyatakan bahwa rumusan visi yang baik

adalah singkat, menarik perhatian, mudah diingat, memberi inspirasi dan perlu

dikomunikasikan untuk memastikan bahwa visi itu diingat dan dijadikan inspirasi oleh

stakeholder. Memperhatikan kondisi masyarakat Teluk Lasongko yaitu campuran antara

penduduk asli dan pendatang dari Ambon yang memerlukan kerukunan bermasyarakat

serta kecukupan pendapatan yang berkelanjutan, maka visi pemanfaatan sumberdaya ikan

di perairan Teluk Lasongko dirumuskan sebagai berikut :

“Sumberdaya ikan Teluk Lasongko mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan.”

Makna yang terkandung dalam visi ini adalah sumberdaya ikan di Teluk

Lasongko merupakan sumber mata pencaharian milik bersama, harus dikelola bersama

antara penduduk asli dan pendatang dalam suasana damai. Melalui suasana damai itulah

pemanfaatan sumberdaya ikan akan mendatangkan hasil yang baik yang pada akirnya

dapat meningkatkan kesejahteraan bersama.


163

Selanjutnya agar visi tersebut dapat diwujudkan, diperlukan upaya-upaya yang

rumusannya disebut misi. Rumusan misi didasarkan pada hasil analisis SWOT dan AHP,

yaitu sebagai berikut :

Misi : 1. Menjaga produksi ikan hasil tangkapan sampai pada batas JTB.

2. Pengembangan diversifikasi usaha

3. Pengembangan perekonomian daerah

4. Peningkatan pengelolaan sumberdaya ikan

Selanjutnya ditetapkan tujuan yang akan dicapai dalam memanfaatkan

sumberdaya ikan yang ada. Kegiatan memanfaatkan sumberdaya ikan tidak lain sebagai

kegiatan mata pencaharian untuk memperoleh penghasilan atau pendapatan bagi

pemenuhan kebutuhan hidup. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan ini tentu harus

dapat dilaksanakan secara terus menerus sampai pada generasi mendatang. Oleh karena

itu tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko dirumuskan sebagai berikut :

Tujuan : Meningkatkan pendapatan nelayan khususnya dan masyarakat sekitar


Teluk Lasongko umumnya ..

Setelah tujuan dirumuskan maka ditetapkan sasaran yang akan dicapai untuk

mewujudkan tujuan yang dikehendaki. Sasaran dari pemanfaatan sumberdaya ikan adalah

perolehan hasil tangkapan ikan sampai pada batas JTB.

Apabila sasaran ini dapat dijaga realisasinya, maka sesuai dengan sifat

sumberdaya ikan yang dapat pulih kembali secara alami, sumberdaya ikan di Teluk

Lasongko akan dapat dimanfaatkan sepanjang masa. Sebaliknya apabila realisasi di

lapangan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, maka lambat laun sumberdaya ikan
164

akan mengalami kerusakan dan produktivitasnya akan terus menurun dan pada suatu saat

akan mencapai nol.

Sasaran : Pencapaian produksi ikan hasil tangkapan dari Teluk Lasongko


maksimum sampai batas JTB (13.500 ton/tahun)

Sasaran tersebut akan dapat dicapai apabila faktor-faktor pembatas dapat di

penuhi keberadaannya. Faktor-faktor pembatas dimaksud beserta besarannya adalah

sebagai berikut :

- Bensin : 3.742.000 liter/th

- Minyak Tanah : 90.000 liter/th

- Es : 12.000 ton/th

- Air Bersih : 36.000.000 liter/th

- Tenaga Kerja : 3.200 orang

7.2 Prioritas Kebijakan dan Program

Setelah dirumuskan visi, misi , tujuan dan sasaran pemanfaatan sumberdaya ikan

di perairan Teluk Lasongko, maka untuk pencapaian hal-hal yang telah dirumuskan

tersebut diperlukan kebijakan dan program bagaimana cara pencapaiannya. Kebijakan

dan program yang akan diuraikan disini didasarkan pada hasil-hasil analisis potensi dan

tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, SWOT, AHP, analisis kelayakan usaha dan goal

programming sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab 6.

7.2.1 Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal

Sesuai hasil analisis SWOT prioritas pertama kebijakan pemanfaatan sumberdaya

ikan di Teluk Lasongko adalah pengaturan usaha penangkapan untuk memperoleh hasil

optimum dan lestari. Untuk dapat mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang
165

optimal diperlukan program-program pengaturan jenis dan jumlah alat tangkap yang

diperbolehkan, pengembangan diversifikasi usaha, perlindungan ekosistem, pengaturan

lokasi pemanfaatan, pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan penegakan hukum

sebagaimana hasil analisis AHP pada Tabel 66 berikut.

Tabel 66 . Prioritas Program Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Secara Optimal


di Teluk Lasongko

No Uraian/ Alternatif Bobot Prioritas


1 Pengaturan jenis dan jumlah alat tangkap 0,268 1
2 Pengembangan diversifikasi usaha (budidaya laut) 0,170 2
3 Perlindungan terhadap ekosistem tempat berkembang biak 0,162 3
sumberdaya ikan
4 Pengaturan lokasi usaha penangkapan 0,096 4
5 Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan 0,068 5
6 Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan 0,065 6
sumberdaya ikan

1. Pengaturan Jenis dan Jumlah Alat Tangkap

Dari Tabel 66 diketahui bahwa program prioritas pertama untuk pencapaian

pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal adalah pengaturan jenis dan jumlah alat

tangkap. Berdasarkan hasil analisa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan

Teluk Lasongko diketahui bahwa MSY total adalah 14.979 ton/tahun. Produksi ikan pada

tahun 2004 sebesar 13.741 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan

tersebut telah mencapai 92% . Namun apabila dilihat per kelompok jenis ikan, tingkat

pemanfaatannya bervariasi yaitu untuk ikan demersal 95%, pelagis kecil 98%, pelagis

besar 80%,ikan karang konsumsi 81%, dan ikan berkulit keras 95%. Dalam hal ini

diketahui bahwa tingkat pemanfaatan ikan demersal telah melampaui daya dukung

sumbernya atau telah mengalami tangkap lebih.


166

Menurut kaidah pengelolaan sumberdaya ikan yang baik, jumlah ikan yang dapat

ditangkap (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) adalah 80% dari nilai MSY

sebagaimana yang telah diterapkan dalam kebijakan pegelolaan sumberdaya ikan

nasional di Indonesia. Sejalan dengan kebijakan ini, JTB untuk perairan Teluk Lasongko

yaitu 80% x 14.979 ton = 11.983 ton (dibulatkan 12.000 ton). Berdasarkan nilai JTB ini,

berarti perairan Teluk Lasongko telah mengalami overfishing karena jumlah ikan yang

telah ditangkap pada tahun 2004 sudah mencapai 13.741 ton atau telah melampaui nilai

JTB. Jenis overfishing disini adalah Economically overfishing. Sebagaimana

dijelaskan oleh Nikijuluw (2002) Economically overfishing yaitu kondisi dimana usaha

penangkapan ikan yang ada beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi.

Usaha penangkapan ikan tumbuh secara berlebihan namun hasil tangkapan ikan yang

diperoleh secara agregat hanya pada tingkat suboptimum. Kondisi ini menunjukkan

bahwa usaha penangkapan tidak lagi efisien. Pada kondisi perairan yang telah

mengalami tangkap lebih, Widodo (2003) menyatakan bahwa pemerintah harus

melakukan pengaturan terhadap besarnya upaya penangkapan. Dengan pengelolaan yang

lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan sumberdaya ikan yang selanjutnya akan

meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Oleh karena itu di perairan Teluk Lasongko perlu

segera ditetapkan nilai JTB yang dapat dijadikan acuan bersama semua pihak terkait.

Menurut Nikijuluw (2002), ada tiga cara mengimplementasikan pendekatan JTB.

Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan JTB secara

keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan tertentu. JTB

tersebut kemudian diumumkan kepada setiap nelayan. Selanjutnya pemerintah

melakukan pemantauan jumlah ikan yang ditangkap serta memberhentikan penambahan


167

alat tangkap ikan apabila JTB telah tercapai. Kedua, membagi JTB kepada setiap

nelayan, kapal atau armada. Untuk itu pemerintah sebagai manajer dapat menentukan

keberpihakan pada nelayan atau jenis kapal ikan tertentu. Cara ketiga adalah membatasi

kegiatan atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga JTB

tidak terlampaui.

Memperhatikan hasil analisis tingkat usaha penangkapan yang optimum dimana

jumlah unit penangkapan yang ada ternyata sudah banyak yang berlebih, maka dalam

penelitian ini implementasi penentuan JTB dilakukan dengan cara pertama dan ketiga,

yaitu JTB untuk perairan Teluk Lasongko ditetapkan kemudian diumumkan kepada

nelayan dan masyarakat luas, selanjutnya ditetapkan jenis dan jumlah alat tangkap yang

dapat dioperasikan. Dengan demikian pengaturan usaha penangkapan ikan di perairan

Teluk Lasongko adalah sebagai berikut :

1) Jumlah Tangkapan Ikan Yang Diperbolehkan (JTB) di Perairan Teluk Lasongko

adalah : 12.000 ton/tahun; dengan rincian per kelompok jenis ikan sebagaimana

Tabel 67 berikut.

Tabel 67. Jumlah Tangkapan Ikan Yang Diperbolehkan (JTB) di Teluk Lasongko

No KELOMPOK JTB (TON/TAHUN)


1 Ikan demersal 1.800
2 Ikan pelagis kecil 5.900
3 Ikan pelagis besar 2.900
4 Ikan karang konsumsi 700
5 Ikan berkulit keras 700
Total 12.000
168

2) Jenis dan jumlah alat tangkap yang dapat dioperasikan untuk dapat memproduksi ikan

samapai dengan nilai JTB adalah seperti pada Tabel 68 .

Tabel 68. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Dapat


Dioperasikan di Teluk Lasongko

Jumlah
No Grup Alat Nama Alat Alat

I Pukat Payang 18
Pukat Pantai 27
Pukat Cincin 2
Pukat Udang 2
Sub Total I 49
II Jaring Jaring Insang Hanyut 731
Insang Jaring Insang Lingkar 220
Jaring Insang Tetap 278
Trammel Net 31
Sub Total II 1.260
III Jaring Bagan Perahu 73
Angkat Bagan Tancap 66
Serok 5
Jaring Angkat Lain 5
Sub Total III 149
IV Pancing Huhate 3
Pancing biasa 300
Pancing tonda 574
Rawai tetap 45
Sub Total IV 922
V Perangkap Sero 25
Dan alat Bubu 225
Lainnya Alat lain 130
Sub Total V 388
JUMLAH 2.768
169

2. Pengembangan Diversifikasi Usaha

Prioritas progam kedua adalah pengembangan diversifikasi usaha.

Memperhatikan bahwa usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko tidak lagi dapat

dikembangkan bahkan jumlah unit penangkapan yang ada perlu dikurangi, maka

diversifikasi usaha ke bidang usaha budidaya laut menjadi alternatif usaha yang sesuai

untuk dikembangkan di perairan Teluk Lasongko. Pilihan ini tepat karena perairan

Teluk Lasongko cocok untuk pengembangan budidaya laut dan memiliki pantai

sepanjang 74,37 km. Perairan Teluk Lasongko memiliki sifat fisika kimia yang sesuai

bagi usaha budidaya laut khususnya rumput laut yaitu Ph air 7,75-8,16, suhu berkisar

29,50-30,60 oC, dan salinitas 28,10 – 28,60 Ppt. Jenis budidaya laut yang dapat

dikembangkan di sekitar Pantai Teluk Lasongko meliputi budidaya rumput laut dan

budidaya ikan-ikan karang dalam karamba jaring apung. Pengembangan rumput laut

memiliki potensi yang sangat besar, dengan areal yang potensial untuk pengembangan

seluas 6.862,4 Ha dengan perkiraan produksi dapat mencapai 24.098.040 kg/panen atau

96.392.160 kg/tahun.

Jenis usaha karamba jaring apung yang terdapat di Desa Waara, Boneoge dan

Wanepa-Nepa hanya digunakan untuk tampungan sementara ikan komersial (ikan kerapu

dan ikan karang lainnya) yang berukuran kecil, kemudian dibesarkan sampai pada ukuran

ikan ekonomis sekitar 5-6 ons. Keterbatasan penguasaan teknologi dan permodalan

merupakan kendala bagi nelayan pembudidaya karamba jaring apung. Oleh karena itu

program pendampingan, penerapan teknologi percontohan dan bantuan permodalan

sangat diperlukan.
170

Kegiatan budidaya rumput laut yang dikembangkan di Teluk Lasongko

mempunyai kisaran waktu yang unik yaitu 6 bulan mengalami masa subur dan 6 bulan

mengalami kondisi kurang bagus. Kondisi kurang bagus ini terjadi pada saat musim

timur, karena tingginya tingkat kekeruhan perairan laut akibat angin timur yang

mengaduk air dari dasar ke permukaan laut sehingga mengganggu perkembangan kondisi

rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut yang sudah ada saat ini menggunakan sistem

rakit dan terdapat di Desa Madongka, Waara, Mone, Moko, Wajogu, Lolibu, Inulu,

Wantopi dan Bungi.

Kendala usaha pengembangan budidaya rumput laut di Teluk Lasongko adalah

keterbatasan penguasaan teknologi, besarnya biaya yang dibutuhkan, teknologi pasca

panen dan pemasaran. Untuk mengatasi permasalahan ini alternatif pemecahannya antara

lain ; (1) pembinaan usaha budidaya rumput laut, mulai dari penentuan lokasi, sistem

budidaya, penanganan pasca panen dan bantuan permodalan; (2) penataan dan penguatan

jaringan pasar melalui pembinaan kelompok nelayan pembudidaya rumput laut untuk

pengembangan kemitraan dan peningkatan akses pasar; (3) pembangunan industri

pengolahan rumput laut atau pemberian bantuan sarana teknologi pengolahan untuk

meningkatkan kualitas pasca panen rumput laut sehingga menjadi komoditi yang bernilai

tinggi. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu

dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih

memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk

sekunder dan produk siap makan..

Pengembangan rumput laut di kawasan Teluk Lasongko, sampai saat ini masih

dalam bentuk kering utuh, baik untuk rumput laut penghasil caragenan, agar maupun
171

alginat. Jenis Euchema banyak dibudidayakan dan dijual dalam bentuk makanan seperti

manisan, cendol, sirup dan lain, namun pemasarannya masih terbatas. Untuk itu perlu

diuji cobakan budidaya rumput laut penghasil agar seperti Gracilaria dan Gilidium yang

banyak dibutuhkan untuk memenuhi industri agar-agar baik untuk bentuk tepung, batang

maupun kertas.

Masyarakat sasaran pembinaan usaha budidaya laut adalah masyarakat di Desa

Madongka, Waara, Mone, Moko, Wajogu, Lolibu, Inulu, Wantopi, Boneoge, Wanepa-

Nepa dan Bungi khususnya kepada kelompok nelayan yang sudah terbentuk agar lebih

mudah dalam program kemitraan dengan lembaga ekonomi yang ada. Pembangunan

industri pengolahan rumput laut dengan kapasitas produksi sebesar 96.392.160 kg/tahun

dibutuhkan industri dalam skala besar yang mampu mengemas produksi rumput laut

sebesar 264.088 kg/hari.

Melihat kondisi geografis kawasan Teluk Lasongko dan aksesibilitas dari wilayah

produksi dan menuju wilayah pemasaran, maka lokasi industri pengolahan rumput laut

dibangun di Desa Waara atau Madongka. Pembangunan industri pengolahan rumput laut

meliputi peralatan pengering efektif yang mampu mengeringkan rumput laut selama satu

hari dengan kapasitas 264.088 kg/hari, peralatan mesin ekstrak rumput laut menjadi

bahan makanan jadi, dan peralatan mesin pengepakan.

3. Perlindungan Terhadap Ekosistem Tempat Berkembang Biak Sumberdaya Ikan

Program prioritas ketiga adalah perlindungan terhadap ekosistem tempat

berkembang biak sumberdaya ikan. Fungsi perlindungan terhadap kawasan yang

dimaksud adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan.

termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
172

kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan

keanekaragaman sumberdaya ikan. Ekosistem tempat berkembang biak ikan di kawasan

Teluk Lasongko meliputi mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Mangrove

terdapat di Desa Lolibu, Bungi, Wajogu, Matawine, dan Lakudo seluas 250 Ha. Terumbu

karang terdapat di perairan Desa Karang Bawona dan Karang Katembe. Padang lamun

terdapat di perairan Teluk Lasongko yang berada di perairan intertidal.

Mengingat tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Teluk Lasongko

sudah tinggi, maka perlu adanya pengalihan perhatian kearah perlindungan ekosistem

yang dapat menjaga kelestarian sumbserdaya ikan. Hal ini telah dilakukan oleh

pemerintah Filipina yang mengalihkan fokus pembangunan dari produksi ikan ke proteksi

sumberdaya ikan, konservasi, dan pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan

(Dickson, 2001 dalam Nikijuluw, 2002).

Untuk pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan, perlu

dilakukan penataan ruang wilayah pesisir, pantai dan laut bagi kesesuaian

pemanfaatannya. Penataan ruang dan zona meliputi lokasi yang sesuai bagi konservasi

(zona inti), pemanfaatan (penangkapan ikan, budidaya, dan wisata), serta penyangga.

Potensi ekosistem Teluk Lasongko yang meliputi mangrove seluas 250 hektar, terumbu

karang dalam kondisi baik di beberapa lokasi dan padang lamun yang hampir merata

merupakan modal yang cukup baik bagi berkembang biaknya sumberdaya ikan. Oleh

karena itu, untuk kelestarian ekosistem dan kelangsungan sumberdaya ikan, perlu

dilaksanakan kegiatan pengelolaan konservasi laut meliputi penanaman mangrove (Desa

Waara, Boneoge, Madongka, Matawine, dan Wantopi), rehabilitasi mengrove (Waara dan

Madongka), rehabilitasi terumbu karang (sepanjang perairan pantai Teluk Lasongko,


173

khususnya di Boneoge dan Nepa Mekar), transplantasi terumbu karang (Boneoge dan

Nepa Mekar), pembuatan dan penenggelaman terumbu buatan (Madongka, Inulu dan

Wantopi), pemuliaan jenis ikan dilindungi, dan restocking.

Pelaksanaan kegiatan pengelolaan konservasi laut yang berasaskan pada

pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan sebaiknya

disosialisasikan agar tidak terjadi kesalahan persepsi di masyarakat. Bentuk perhatian

dalam kelestarian sumberdaya ikan seperti pencegahan upaya penangkapan ikan yang

tidak ramah lingkungan dan merusak ekosistem terumbu karang seperti penggunaan

bahan peledak, potas, bius dan bubu ikan karang dan kegiatan penambangan terumbu

karang untuk bahan bangunan.

4. Pengaturan Lokasi Usaha Penangkapan

Pengaturan lokasi yang diperbolehkan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di

kawasan Teluk Lasongko menjadi prioritas keempat. Mengacu pada Surat Keputusan

Menteri Pertanian No.392 tahun 1999, kawasan yang layak untuk perikanan tangkap

terbagi atas 2 (dua) wilayah penangkapan ikan dengan batas ke arah laut diukur dari

permukaan air laut pada surut terendah. Wilayah penangkapan pertama adalah dari mulai

0 sampai 3 mil laut, diperuntukkan bagi nelayan dengan klasifikasi peralatan; alat

penangkap ikan menetap dan alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal

perikanan tanpa motor dan kurang dari 10 meter, yaitu di perairan pantai Teluk

Lasongko. Kawasan ini diperuntukkan bagi penangkapan ikan pelagis kecil, demersal,

benih dan organisme non ikan lainnya.

Wilayah penangkapan kedua adalah 3 sampai 6 mil laut, diperuntukkan bagi

usaha penangkapan dengan klasifikasi alat penangkap ikan tidak menetap yang
174

dimodifikasi; kapal perikanan tanpa motor atau bermotor tempel ukuran kurang dari 12

meter atau kurang dari 5 GT; pukat cincin (purse seine) dengan ukuran kurang dari 1000

meter. Wilayah penangkapan ini adalah luar perairan teluk, tepatnya di bagian selatan

Teluk Lasongko. Kawasan ini diperuntukkan bagi penangkapan ikan pelagis kecil,

pelagis besar dan demersal.

Pada wilayah perairan yang memiliki terumbu karang, jenis alat tangkap bubu

tidak diperbolehkan dipasang diatas karang karena dapat mengakibatkan kerusakan

karang. Pada perairan seperti ini alat tangkap yang paling cocok dioperasikan adalah

jenis pancing untuk menangkap berbagai jenis ikan karang.

5. Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan penting dilakukan.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan yang dianggap sebagai sebuah pendekatan

terbaik dalam pengelolaan sumberdaya ikan, partisipasi masyakarat menjadi prasyarat

pendekatan ini. Masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan, namun sebagai

subjek atau pelaku pembangunan. Model perencanaan top down, dipandang kurang baik,

namun harus dikombinasikan dengan pendekatan bottom up, yang artinya masyarakat

memiliki peran yang sejajar dengan pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan.

Pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilakukan melalui tiga cara (Nikijuluw, 2003)

yaitu : (1) pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat, (2) pengelolaan

sumberdaya ikan oleh pemerintah, dan (3) pengelolaan sumberdaya ikan bersama

masyarakat dan pemerintah (co-manajemen). Pengelolaan sumberdaya ikan berbasis

masyarakat (PSBM) diartikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung

jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya ikannya sendiri
175

dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan, serta

aspirasinya. Dalam pengelolaan ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada

masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menetukan

dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Keunggulan PSBM antara lain : (1)

sesuai aspirasi dan budaya lokal, oleh karena itu pelaksanaannya akan menghasilkan

dampak positif bagi masyarakat lokal, (2) diterima oleh masyarakat lokal, dan (3)

pengawasan dilakukan dengan mudah. Namun demikian PSBM memiliki kelemahan

antara lain : (1) tidak mengatasi masalah interkomunitas, karena PSBM diperuntukan

hanya untuk suatu komunitas lokal, (2) bersifat spesifik lokal, oleh karena itu masalah

yang lebih besar tidak dapat dipecahkan dengan PSBM, (3) mudah dipengaruhi faktor

eksternal, dan (4) sulit mencapai skala ekonomi, karena hanya dianut oleh suatu

masyarakat tertentu di suatu daerah yang sempit sehingga sering tidak ekonomis.

Pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah mengandung kelemahan antara lain :

(1) kegagalan dalam mencegah kelebihan eksploitasi sumberdaya ikan, (2) kesulitan

dalam penegakan hukum, (3) kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan

yang saling bertentangan, (4) administrasi yang tidak efisien, (5) wewenang yang

terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen, dan (6) data dan informasi kerap

kurang benar dan akurat.

Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa masyarakat Teluk Lasongko

mudah diajak berembug dan mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk turut aktif

menjaga kelestarian sumberdaya ikan perairan Teluk Lasongko. Demikian pula para

pamong desa dan aparat pemerintah dari mulai tingkat kecamatan sampai kabupaten

mudah dan senang berkomunikasi dengan masyarakatnya untuk bersama-sama menjaga


176

perairan Teluk Lasongko dari tindakan-tindakan yang dapat merusak sumberdaya ikan.

Oleh kerena itu pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk co-manajemen antara

pemerintah dengan masyarakat tentu cocok diterapkan di Teluk Lasongko.

Dalam pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan bersama masyarakat dan

pemerintah (co-management), ada pembagian tanggung jawab dan wewenang antara

pemerintah dan masyarakat lokal. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab

bersama dalam melakukan seluruh tahapan pengelolaan perikanan. Dalam hal ini

masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama untuk mengatasi permasalahan yang

ada berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Lasongko. Kerjasama

pemerintah dan masyarakat dalam hal pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko

digunakan bentuk koperasi. Bentuk ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada

posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian semua tahapan manajemen sejak

pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dan pemantauan

institusi ko-manajemen berada di kedua pihak. Masyarakat dan pemerintah adalah mitra

yang sama kedudukannya.

6. Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya ikan

Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelanggaran dalam pamanfaatan

sumberdaya ikan seperti penggunaan bahan peledak atau racun sangat diperlukan. Untuk

meningkatkan pengawasan dan pemantauan di kawasan ini perlu didukung dengan

pelaksanaan MCS (Monitoring, Controlling and Surveilance). Nasir (2001) dalam

Nikijuluw (2002) mencatat bahwa keberhasilan Malaysia dalam menjalankan kebijakan

zonasi daerah penangkapan bagi nelayan kecil karena adanya sistem penegakan hukum
177

yang sangat baik dan sungguh-sungguh tanpa pandang bulu. Siapapun yang melanggar

peraturan tersebut pasti dihukum.

Penegakan hukum sebagai proses pencegahan atau penindakan terhadap orang

dan atau badan hukum yang melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan sebagaimana

diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu masyarakat perlu

mengetahui proses perumusan peraturan perundang-undangan mulai dari tahap inisiasi

sampai disyahkan oleh lembaga legislatif. Misalnya bagaimana, kapan dan untuk apa

peraturan perundang-undangan tersebut diterapkan. Masyarakat juga perlu mengetahui

isi dari perundang-undangan, misalnya objek dan lingkup pengaturan serta dampak

pengaturan dalam kehidupan mereka.

Kepastian hukum sangat penting untuk menentukan siapa yang mempunyai akses,

hak memiliki, dan memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemilikan dan penguasaan

sumberdaya dilindungi oleh negara dan diakui oleh stakeholders lainnya. Sehingga setiap

orang atau kelompok dapat melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tanpa

intervensi oleh pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah lain. Bagi dunia

usaha juga yang akan menanamkan investasinya di Teluk Lasongko, kepastian hukum

memberikan jaminan keamanan investasinya dalam jangka panjang serta mengurangi

resiko berusaha. Sedangkan bagi Pemda, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi

dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.

7.2.2 Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah

Pembangunan sumber daya manusia (SDM) pada dasarnya merupakan

pembangunan manusia sebagai subyek (human capital), obyek (human resources), dan

pemanfaat pembangunan. Dimensi pembangunan SDM dapat dilihat dari tiga aspek
178

utama, yaitu kualitas, kuantitas, dan mobilitas penduduk. Kualitas penduduk tercermin

dari tingkat kesejahteraan penduduk, yaitu tingkat kesehatan dan gizi, pendidikan,

produktivitas dan akhlak mulia. Kuantitas penduduk dikaitkan dengan jumlah dan laju

pertumbuhannya. Sedangkan mobilitas penduduk merupakan refleksi dari perpindahan

dan persebaran penduduk yang merespon pembangunan ekonomi wilayah.

Pengembangan kualitas sumberdaya manusia sangat dibutuhkan, terutama jika

dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat setempat di wilayah Teluk Lasongko, dimana;

51,66% tidak/belum tamat SD, 29,68% tamat SD, 10,85% tamat SLTP, 6,82% tamat

SLTA, 0,36% Diploma 1, 0,46% Diploma lll dan 0.16% perguruan tinggi (BPS

Kabupaten Buton, 2001). Selanjutnya apabila dilihat lebih jauh mengenai kualitas

sumberdaya manusia yang terkait langsung dengan pengelolaan sumberdaya ikan

khususnya perikanan tangkap terlihat secara umum masih lemah dari segi pengetahuan

maupun manajeman usahanya.

Pengalaman negara Kamboja yang memberlakukan Undang-Undang Perikanan

tidak dapat diimplementasikan dengan baik dan efektif karena rendahnya kualitas

sumberdaya manusia sebagai alasan utama (Touch, 1995 dalam Nikijuluw, 2002).

Berdasarkan pengalaman tersebut, pengembangan sumberdaya manusia dan kapasitas

kelembagaan pemerintah di Teluk Lasongko dinilai penting dan dapat ditempuh melalui

beberapa kebijakan sebagaimana hasil analisis AHP yang disajikan pada Tabel 69.
179

Tabel 69. Prioritas Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia dan


Kelembagaan Pemerintah di kawasan Teluk Lasongko

No Uraian/ Alternatif Bobot Prioritas


1 Pengembangan alternatif pendidikan informal, pelatihan dan 0,419 1
kewirausahaan
2 Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatan 0,263 2
sumberdaya ikan
3 Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait 0,160 3
4 Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan 0,097 4
sumberdaya ikan
5 Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU 0,062 5

1. Pengembangan Alternatif Pendidikan Informal, Pelatihan dan Kewirausahaan

Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia sangat penting mengingat

sumberdaya manusia merupakan faktor utama penggerak pembangunan. Kebijakan ini

perlu diikuti dengan kebijakan penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah khususnya

yang terkait dengan pengembangan kawasan Teluk Lasongko.

Alternatif program pengembangan sumberdaya manusia di kawasan Teluk

Lasongko yang paling penting adalah pengembangan alternatif pendidikan informal,

pelatihan dan kewirausahaan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas

masyarakat lokal berupa pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku dalam

pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

Program pendidikan informal merupakan layanan pendidikan yang ditujukan

sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka

mendukung pendidikan yang meliputi pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan,

pendidikan keluarga, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lain

yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat secara lebih luas dan

bervariasi. Sejalan dengan itu program ini juga ditujukan untuk mendorong pendidikan
180

informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara

mandiri. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain: (1) menyediakan sarana dan prasarana

pendidikan yang memadai; (2) mengembangkan kurikulum yang disesuaikan dengan

perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi

lingkungan; dan (3) menyediakan bantuan biaya operasional pendidikan bagi keluarga

atau masyarakat tidak mampu.

Untuk masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan atau tidak mampu sekolah,

agar aparat pemerintah daerah, atau dinas terkait bersama-sama masyarakat setempat

mengupayakan adanya pembentukan kelompok-kelompok sebagai sarana belajar

mengajar serta pembelajaran lainnya secara terpadu dalam pengembangan wilayah Teluk

Lasongko yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memperoleh bekal pengetahuan

dan keterampilan serta pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan ekonomi,

kesejahteraan dan pendapatan masyarakat.

Berkaitan dengan pengembangan sumberdaya manusia, penguatan kapasitas

kelembagaan pemerintah harus dilakukan melalui peningkatan kapasitas aparat daerah

melalui pendidikan formal maupun pendidikan informal berupa kursus-kursus singkat

yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, sehingga program

penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan dapat

diimplementasikan dengan baik. Bentuk nyata program ini adalah dengan melakukan

kegiatan peningkatan kualitas karang taruna di desa-desa Teluk Lasongko dan bimbingan

teknis produksi dan pasca produksi.


181

2. Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan

Penyelenggaraan penyuluhan dan pelatihan teknologi kepada masyarakat nelayan

dan pembudidaya ikan di Teluk Lasongko merupakan tanggung jawab bersama instansi

pusat maupun daerah. Aparat pemerintah sebagai fasilitator dalam penggunaan teknologi

yang diterapkan memiliki kapasitas yang memadai, memahami penggunaan teknologi,

dan memiliki kapasitas komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar. Teknologi tepat

guna yang diterapkan disesuaikan dengan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk

Lasongko saat ini namun memberikan efisiensi khususnya dalam penanganan hasil

penangkapan ikan dan budidaya laut seperti alat pemercepat pengeringan ikan teri dan

hasil laut lainnya (rumput laut).

Berdasarkan survey lapangan, di kawasan Teluk Lasongko telah terbentuk

kelembagaan lokal perikanan khususnya di 7 desa/kelurahan yang disurvey terdiri dari 72

kelompok yang terdiri dari masyarakat nelayan penangkap, pemindangan, pengadaan es,

pedagang ikan, dan budidaya laut dengan jumlah 485 orang. Kelembagaan tersebut

memberikan kemudahan bagi fasilitator dalam pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan

teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan.

3. Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait

Kawasan Teluk Lasongko sebagai kawasan percontohan di Kawasan Timur

Indonesia menjadi pusat kegiatan bersama 11 (sebelas) instansi pemerintah pusat dan

didukung oleh pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten. Implementasi

kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi-instansi tersebut harus menggunakan prinsip

keterpaduan, saling mengisi dan selaras, sehingga tidak tumpang tindih. Upaya
182

konsolidasi antar instansi dilaksanakan melalui sinkronisasi program dan kegiatan yang

dilaksanakan sesuai kapasitas, tugas dan fungsi masing-masing instansi terkait.

Sinkronisasi program dan kegiatan di tingkat pemangku tanggung jawab masing-

masing instansi harus didukung oleh aparat pemerintah instansi terkait yang secara

langsung berinteraksi dengan masyarakat di kawasan Teluk Lasongko. Peningkatan

kapasitas kelembagaan pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang berhadapan

langsung diarahkan untuk: (1) Mendorong penyempurnaan peraturan perundangan yang

mengatur penataan pengembangan kawasan melalui penataan kewenangan antara

pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten; (2) Pengembangan

sistem informasi dalam pelayanan publik; (3) Mendorong peningkatan peran lembaga

non pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan baik pada tingkat

pusat, propinsi, dan kabupaten; (4) Sosialisasi program dan kegiatan yang akan

diimplementasikan.

Mengingat pentingnya pengembangan kawasan Teluk Lasongko yang

dilaksanakan secara terpadu khususnya dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan,

maka sosialisasi program dan kegiatan ini sangatlah penting untuk dilaksanakan.

Sosialisasi dilakukan melalui aparat pemerintah daerah secara langsung maupun melalui

perwakilannya di masing-masing desa kepada masyarakat sekitarnya. Tentu saja sebelum

aksi sosialisasi dilaksanakan, perlu adanya kesepakatan bersama antar instansi terkait

untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program kegiatan yang akan dilaksanakan

baik pada taraf kebijakan maupun pelaksana secara kontinyu.


183

4. Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan sumberdaya ikan

Masyarakat di Teluk Lasongko sebagai masyarakat pesisir sebagian besar bekerja

di bidang usaha perikanan baik sebagai nelayan maupun pembudidaya ikan. Sebagai

masyarakat yang tingkat pendidikannya sebagian besar masih rendah, pemahaman

mengenai pentingnya pelestarian sumberdaya ikan untuk pemanfaatan yang keberlanjutan

belum begitu dikuasai. Pemerintah daerah yang diberikan wewenang untuk mengelola

sumberdaya di wilayahnya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32

Tentang Pemerintahan Daerah diharapkan menjadi ujung tombak dalam sosialisasi

peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kelestarian sumberdaya ikan

melalui pengawasan bersama. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan sumberdaya ikan

terutama diarahkan pada upaya-upaya kerusakan lingkungan perairan akibat : (1)

penggunaan bom rakitan yang berakibat pada kerusakan terumbu karang; (2) penggunaan

cyanida oleh penangkap ikan karang; (3) penggunaan trawl; (4) penggunaan jangkar

perahu yang dapat merusak karang ; (5) penambangan karang; dan (6) penebangan

mangrove untuk bahan bakar. Pembinaan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang

merusak lingkungan tersebut perlu terus diupayakan oleh aparat pemerintah daerah

kepada masyarakat Teluk Lasongko. Dalam hal ini kelompok masyarakat pengawas

Teluk Lasongko perlu dirintis pembentukannya yang nantinya dapat didorong menjadi

lembaga swadaya masyarakat dibidang pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan dan

lingkungan hidup.

5. Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU

Di bidang pendidikan, masalah yang dihadapi di Teluk Lasongko adalah masih

rendahnya partisipasi masyarakat mengikuti pendidikan terutama untuk jenjang


184

pendidikan menengah pertama sampai dengan pendidikan tinggi. Gambaran umum

mengenai sarana pendidikan di Kecamatan Lakudo (bagian wilayah Teluk Lasongko)

adalah sebagai berikut : Taman Kanak-Kanak sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 81

orang, SD sebanyak 19 buah dengan daya tampung yang sudah tidak memadai lagi,

terdiri dari 104 ruang kelas dan jumlah rombongan belajar 149 dengan jumlah murid

4.230 orang. SLTP sebanyak 4 buah, terdiri dari 31 ruang kelas dan 32 rombongan

belajar dengan jumlah murid 997 orang.

Sebagian penduduk tidak dapat membayar biaya pendidikan yang dirasakan

masih mahal. Pendidikan juga dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai

tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi.

Kualitas proses belajar mengajar masih belum baik yang antara lain disebabkan oleh

kurangnya tenaga pendidikan baik jumlah maupun kualitasnya dan belum memadainya

ketersediaan fasilitas belajar. Program rehabilitasi sekolah dibutuhkan untuk

memperbaiki kualitas sistem pendidikan yang ada.

Sekolah di kawasan Teluk Lasongko yang perlu direhabilitasi adalah sekolah-

sekolah yang yang secara fisik sudah tidak memiliki tingkat kenyamanan dalam proses

kegiatan belajar mengajar seperti SDN Wanepa-Nepa, SDN Mone, SDN Waara, SDN

Lamena, SDN Waara, SDN Wakuru, SDN Gu, SDN Lakudo, SDN Wongko, dan SMP

Wambuloli. Program ini juga meliputi pembangunan sekolah-sekolah yang sangat

dibutuhkan mengingat tingginya angkatan belajar yang tidak diimbangi dengan

ketersediaan sekolah dengan akses yang lebih dekat, seperti perlunya pembangunan

sekolah setingkat SMP di Mawasangka dan SMU di Mawasangka.


185

7.2.3 Pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan

Salah satu strategi pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko

adalah pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan. Pemerintah perlu

menyediakan fasilitas sarana prasarana yang memadai dengan melibatkan pengusaha dan

masyarakat untuk mendorong investasi.

Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tersedia di kawasan Teluk Lasongko

dilaksanakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Kebijakan pengembangan

ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan dijabarkan ke dalam 4 program, seperti

disajikan pada Tabel 70 .

Tabel 70. Prioritas Program Pengembangan Ekonomi Melalui Bantuan dan Akses
Permodalan di Kawasan Teluk Lasongko

No Uraian/ Alternatif Bobot Prioritas


1 Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi 0,354 1
masyarakat
2 Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen 0,354 2
3 Pengembangan industri kecil 0,161 3
4 Pengembangan mata pencaharian alternatif 0,131 4

1. Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat

Hasil analisis prioritas kebijakan pengembangan ekonomi melalui bantuan dan

akses permodalan di kawasan Teluk Lasongko menunjukkan bahwa program

pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat sebagai prioritas utama.

Ketersediaan modal usaha perikanan, mendapat perhatian tersendiri karena lembaga-

lembaga keuangan pemerintah dan lembaga keuangan non pemerintah masih enggan

memberikan kemudahan permodalan bagi pengembangan usaha perikanan. Jumlah

investor yang secara serius tertarik untuk terjun kedunia bisnis perikanan sedikit.
186

Keengganan investor untuk menggeluti bisnis perikanan, disamping karena kendala

permodalan, juga diakibatkan karena laut “dicitrakan” sebagai bisnis yang berisiko tinggi.

Dukungan permodalan sangat diperlukan bagi para pelaku bisnis perikanan baik

bagi usaha skala kecil, menegah dan besar temasuk koperasi. Dukungan ini dapat

diupayakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan lembaga keuangan. Untuk

mendukung pengembangan usaha penangkapan tentu diperlukan permodalan. Oleh

karena itu perlu diupayakan adanya fasilitas kredit perbankan dengan tingkat bunga wajar

dan prosedur mudah. Dalam hal ini perlu didorong pembentukan koperasi nelayan yang

dapat membantu anggotanya dalam hal pemenuhan kebutuhan modal dan pemasaran

hasil tangkapan. Terhadap nelayan itu sendiri perlu ditingkatkan pengetahuan dan

keterampilannya melalui pelatihan-pelatihan seperti penanganan hasil tangkapan agar

diperoleh kualitas produk yang prima, sehingga secara ekonomi saling menguntungkan.

2. Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen

Alasan pentingnya pengembangan teknologi tepat guna pasca panen bagi

masyarakat Teluk Lasongko adalah: (1) tingkat pengetahuan, penguasaan eterampilan

dan teknologi yang masih rendah; (2) hasil laut dan perikanan masih dikelola secara

tradisional; (3) jenis-jenis produk olah ikan yang diusahakan masih terbatas atau kurang

diversifikasi produk, dimana produk yang diusahakan adalah produk segar didinginkan

kemudian disuplai ke perusahaan tertentu atau pedangan pengumpul; (4) usaha ikan

pindang, ikan kecil, pilet masih sangat terbatas; (5) belum ada pengolahan lebih lanjut

dari rumput laut menjadi produk yang lebih ekonomis seperti lempeng agar-agar atau

tepung karagenan; dan (6) jangkauan pasar yang masih terbatas.


187

Implementasi program ini dapat dilaksanakan melalui : (1) peningkatan mutu

produk melalui pelatihan-pelatihan; (2) pengembangan diversifikasi produk seperti abon

ikan, dendeng ikan, berikut pengemasannya melalui bimbingan teknis, pelatihan dan

bantuan peralatan serta bantuan permodalan melalui bantuan dana ; (3) peningkatan

teknologi pengolahan rumput laut khususnya untuk jenis yang memiliki nilai ekonomis

tinggi, melalui pengenalan, pelatihan dan bantuan peralatan dan bimbingan teknis; (4)

pengembangan kelembagaan usaha bersama; dan (5) mempromosikan produk-produk

hasil olahan ikan melalui pameran-pameran. Teknologi tepat guna pasca panen yang saat

ini dibutuhkan di Teluk Lasongko adalah pengolahan ikan, pengolahan rumput laut, dan

pengolahan rajungan.

3. Pengembangan industri kecil

Usaha kecil dibidang rumput laut yang baru dirintis secara kelompok di wilayah

Teluk Lasongko dalam bentuk sentra sebagai anggota dari koperasi nelayan Artha Bahari.

Dalam pengelolaan usahanya, perlu adanya pendampingan khususnya untuk pelayanan

konsultasi dan perbaikan mutu serta pemanfaatan permodalan. Program pendampingan

dalam usaha kecil di Teluk Lasongko dibutuhkan untuk menjamin usaha secara mandiri.

Pengembangan usaha kecil di Teluk Lasongko dilaksanakan dengan pertimbangan

: (1) menggunakan produk lokal; (2) memanfaatkan waktu luang warga terutama ibu

rumah tangga nelayan; (3) mudah dipasarkan; dan (4) ada nilai tambah ekonomi. Usaha

industri kecil yang dapat dikembangkan antara lain: kerajinan kerang, kerajinan batok

kelapa, makanan dengan bahan baku ikan, dan dodol rumput laut.
188

4. Pengembangan mata pencaharian alternatif

Pengurangan jumlah unit usaha penangkapan ikan dalam rangka menjaga

kelestarian sumberdaya ikan karena pemanfaatannya sudah overexploited sebagaimana

telah dijelaskan di atas, memberikan dampak pada berkurangnya jumlah tenaga kerja

pada usaha perikanan tangkap dan harus beralih pada usaha lainnya. Untuk mengatasi

permasalahan ini perlu dikembangkan mata pencaharian alternatif. Program ini dapat

berjalan melalui kegiatan : (1) identifikasi dan uji coba usaha skala kecil; (2)

memberikan dukungan teknis dibidang keterampilan pengelolaan usaha skala kecil; (3)

menyediakan bantuan permodalan ; dan (4) membantu perluasan jaringan pemasaran.

7.2.4 Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Pengumpulan informasi dan data dasar (base line), merupakan hal yang mutlak

dan utama dilakukan dalam optimisasi pengelolaan suatu kawasan (Sondita, 2000). Data

tersebut berupa kondisi masyarakat, kondisi ekosistem, aktifiktas manusia dan data

permasalahan lingkungan. Selanjutnya Monintja (2000), menyatakan bahwa solusi dari

berbagai permasalahan pengembangan perikanan tangkap di suatu wilayah adalah:

partisipasi masyarakat nelayan dalam perencanaan pengembangan perikanan tangkap;

profesionalisasi usaha penangkapan ikan; penyediaan sistem permodalan khusus

perikanan tangkap. Akses pasar perlu dikembangkan secara terus-menerus baik pasar

lokal, antar pulau maupun ekspor yang dapat menjamin nelayan giat melaksanakan

usahanya.

Kebijakan pengembangan jaringan dan informasi pasar dijabarkan ke dalam 3

program, seperti disajikan pada Tabel 71.


189

Tabel 71. Prioritas Program Pengembangan Jaringan dan Informasi Pasar di Kawasan
Teluk Lasongko

No Uraian/ Alternatif Bobot Prioritas


1 Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi 0,307 1
2 Pembangunan sarana penunjang efektifitas penanaman 0,285 2
modal, peralatan komunikasi dan transportasi
3 Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi dan 0,212 3
teknologi

1. Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi

Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi menurut pandangan

nara sumber terhadap penilaian prioritas kebijakan pengembangan jaringan dan informasi

pasar di Teluk Lasongko menjadi prioritas pertama. Peningkatan investasi melalui

revitalisasi dan penyederhanaan iklim usaha, serta restrukturisasi kelembagaan

penanaman modal. Selain itu dalam rangka memfasilitasi percepatan pertumbuhan

investasi dalam rangka merespon kebutuhan perdagangan secara luas, kawasan Teluk

Lasongko perlu dipertimbangkan menjadi kawasan ekonomi khusus yang memberikan

kemudahan prosedur.

Permasalahan yang dijumpai di lapangan, khususnya budidaya rumput laut, antara

lain adalah masalah pemasaran yang masih terbatas. Selama ini pemasaran telah

dilakukan oleh Koperasi Nelayan Artha Bahari dengan cakupan pemasaran antar pulau

yaitu ke Jawa Timur. Dengan potensi yang tersedia, sangat terbuka peluang untuk

meningkatkan pasar ekspor.

Kebutuhan kegiatan yang diperlukan adalah perluasan pasar baik pasar dalam

negeri maupun ekspor, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
190

yaitu melalui promosi dalam bentuk pameran hasil perikanan dan secara tidak langsung

yaitu melalui kemitraan dengan pengusaha lokal atau nasional.

2. Pembangunan sarana penunjang efektifitas penanaman modal, peralatan

komunikasi dan transportasi

Untuk memudahkan investor dalam menanamkan modalnya, perlu dibangun

sarana penunjang efektifitas penanaman modal khususnya berupa sarana komunikasi dan

transportasi. Bentuk sarana penunjang yang saat ini sudah dibangun adalah pasar di desa

Madongka seluas 900 m2. Kondisi pasar yang belum digunakan secara maksimal ini

dikarenakan berada jauh dari wilayah produksi, pengolahan dan konsumen. Dengan

rencana program pembangunan industri pengolahan rumput laut di Desa Waara dan

Madongka sebagaimana dijelaskan pada program di atas diharapkan pasar yang sudah

ada ini dapat dimanfaatkan dengan baik.

Sarana angkutan darat seperti kendaraan bermotor utamanya mobil sangat penting

terutama dengan adanya pelabuhan Fery Waara yang menghubungkan dengan Kota Bau-

Bau. Dengan terbukanya pelayaran Fery Waara-Bau-Bau yang diikuti dengan perbaikan

kondisi jalan propinsi, akan semakin menambah strategis wilayah Kecamatan Lakudo

dalam pemasaran produk perikanan mengingat semua kendaraan angkutan darat dari dan

ke Kota Bau-Bau – Raha (Ibu kota Kab. Muna) – Kendari (Ibu kota Propinsi Sulawesi

Tenggara) akan melewati kecamatan Lakudo.

3. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi

Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi merupakan salah

satu bentuk modal dalam pemasaran produk perikanan. Kemitraan akan membuka akses
191

masyarakat Teluk Lasongko terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen

yang lebih baik, serta pergaulan bisnis yang lebih luas.

7.2.5 Peningkatan sarana dan prasarana

Lokasi kawasan Teluk Lasongko memiliki tingkat aksesibilitas yang cukup baik

dengan menggunakan transportasi laut dan darat yang berjarak 22 km dari Kota Buton.

Namun demikian dalam rangka pengembangan kawasan Teluk Lasongko sebagai

kawasan pembangunan ekonomi baru, perlu didukung oleh peningkatan sarana dan

prasarana.

Upaya untuk peningkatan sarana dan prasaran pengembangan kawasan Teluk

lasongko, menurut nara sumber terdiri atas 5 program seperti disajikan pada Tabel 72.

Tabel 72. Prioritas Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Teluk Lasongko

No Uraian/ Alternatif Bobot Prioritas


1 Pembangunan pelabuhan perikanan 0,431 1
2 Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran 0,234 2
3 Pembangunan dan penataan sarana transportasi 0,161 3
4 Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih 0,059 4

1. Pembangunan pelabuhan perikanan

Usaha perikanan tangkap di Teluk Lasongko telah menghasilkan ikan hasil

tangkapan sebanyak 13.741 ton pada tahun 2004 atau rata-rata per hari 38 ton. Jumlah

unit usaha perikanan tangkap yang ada lebih dari 4.000 unit. Hal ini menunjukkan bahwa

kegiatan usaha perikanan tangkap di Teluk Lasongko sudah cukup padat. Dilain pihak

belum ada fasilitas tempat pendaratan yang memadai. Oleh karena itu pembangunan

pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan merupakan kebutuhan yang mendesak.

Fasilitas yang perlu dibangun meliputi pembangunan dermaga, tempat pelelangan ikan,
192

pengadaan air bersih dan depo bahan bakar. Tipe pelabuhan yang tepat untuk kawasan

Teluk Lasongko adalah Pelabuhan Perikanan tipe D atau Pangkalan Pendaratan Ikan

(PPI).

PPI yang akan dibangun disesuaikan dengan kondisi usaha perikanan yang ada

serta rencana pengembangan armada perikanan tangkap yang diarahkan pada armada

perikanan 10 – 15 GT. Lokasi yang sesuai untuk pembangunan PPI dimaksud berada di

Desa Waara atau Desa Madongka yang berada pada posisi perairan pantai yang sesuai,

yakni kedalaman >5 meter, jauh dari kegiatan budidaya laut, serta bebas dari perusakan

ekosistem. Persyaratan yang diperhatikan untuk membangun PPI adalah sebagai berikut:

(1) menyediakan fasilitas pendaratan/labuh untuk merapatnya kapal perikanan dan

menyalurkan perbekalan serta penjualan hasil perikanan; (2) minimal luas lahan 5 ha

untuk PPI; dan (3) mengetahui kapasitas dermaga, kapasitas TPI dan kebutuhan

perbekalan melalui data-data dan studi – topografi, bahtymetry, sosial ekonomi dan lain-

lain.

Untuk mendukung usaha perikanan, tentu perlu dibangun dermaga, terutama di

lokasi PPI dan lokasi lainnya yang menjadi konsentrasi labuh nelayan Teluk Lasongko.

Pembangunan dermaga di PPI disesuaikan dengan kondisi alam yang ada, dimana dengan

kedalaman >5 memerlukan dermaga yang lebih kuat dan lebih besar mengingat armada

kapal yang berlabuh berukuran >10 GT. Berbeda dengan dermaga lainnya yang dibangun

di daerah konsentrasi nelayan seperti di Desa Lakudo, Wajogu dan Desa Inulu, dermaga

yang dibangun lebih kecil sesuai dengan armada kapal yang berlabuh.
193

2. Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran

Akses ekonomi usaha perikanan yang juga penting adalah sarana pendukung

sistem pemasaran dan sarana transportasi. Sarana ini diharapkan dapat mendukung aliran

produksi hasil perikanan yang memiliki kualitas baik sehingga bernilai ekonomis tinggi.

Kelancaran arus tranportasi hasil perikanan dari lokasi pelabuhan perikanan ke daerah

konsumen sangat diperlukan. Oleh karena itu perbaikan jalan penghubung dari

pelabuhan perikanan ke jalan raya menuju kota dan pelabuhan umum merupakan

kebutuhan mendesak. Demikian pula perlu dibangun jaringan telekomunikasi yang

lancar dari daerah Teluk Lasongko ke kota lain untuk mendukung pemasaran hasil

perikanan yang ada.

3. Pembangunan dan penataan sarana transportasi

Sarana transportasi yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan pengembangan

pemanfaatan sumberdaya ikan adalah pembangunan jalan penghubung dari jalan utama

yang sudah ada menuju lokasi PPI. Jalan yang dibangun harus didasarkan pada kesesuain

lahan dan kesesuain penggunaan yang dirancang oleh ahli konstruksi dalam program

pembuatan jalan pendukung sarana PPI.

4. Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih

Pembangunan listrik dan ketersediaan air bersih dipandang vital karena terkait

langsung dengan kebutuhan hidup dan kehidupan masyarakat. Sumber air bersih yang

ada di wilayah Teluk Lasongko masih berasal dari mata air dan air hujan yang belum

dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Oleh karena itu pengadaan air bersih

dinilai sangat mendesak. Demikian pula masih ada desa di Kecamatan Mawasangka

Timur yang belum tejangkau aliran listrik dari PLN. Oleh karena itu perluasan jaringan
194

listrik yang dapat menjangkau seluruh daerah di wilayah Teluk Lasongko perlu menjadi

prioritas pembangunannya.

Berdasarkan lima kebijakan utama yang telah diuraikan, dimana masing-masing

kebijakan tersebut memiliki prioritas pelaksanaan program pengelolaan sumber daya ikan

di Teluk Lasongko yang diurut berdasarkan nilai pentingnya oleh key person melalui

kuisioner AHP. Persepsi antar key person untuk penilaian prioritas program diukur

dengan mengambil rataannya sehingga penilaian prioritas program tersebut merupakan

akumulasi dari penilaian oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan

nelayan/pembudidaya ikan sehingga dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan

dan prioritas program pengelolaan sumber daya ikan di Teluk Lasongko.


8 KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

(1) Secara nasional sektor perikanan memiliki arti penting dalam perekonomian.

Hal ini ditunjukkan dari perkembangan PDB sektor perikanan yang cukup besar

selama periode tahun 2001-2004 yaitu 14,41 %. PDB sektor perikanan tahun 2005

sampai dengan triwulan III sebesar Rp.16,06 triliun. Kontribusi sektor perikanan

terhadap PDB nasional cenderung terus meningkat. Apabila pada tahun 2001

kontribusi tersebut sekitar 2,19 % , pada tahun 2004 meningkat menjadi 2,40 %.

Beberapa sektor yang berkaitan dengan bidang Kelautan dan Perikanan dapat

dikatagorikan sebagai sektor prioritas jangka pendek yaitu sektor-sektor yang dampak

dari investasi di sektor-sektor terhadap kenaikan total produksi dan pendapatan

masyarakat besar. Ada 5 sektor yang termasuk kelompok kelautan dan perikanan

mempunyai nilai Backward Linkage (BL) dan Forward Linkage (FL) lebih besar dari

satu, yang berarti sektor-sektor tersebut mempunyai kemampuan besar untuk

menumbuhkan industri hulu dan hilirnya. Sektor-sektor tersebut adalah Jasa

Perdagangan Hasil Perikanan dan Maritim, Penambangan Migas dan Pengilangannya,

Jasa Angkutan Laut dan Penunjangnya, Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya, dan

Udang.

(2) Dalam lingkup Kabupaten Buton, sektor perikanan laut mempunyai nilai

keterkaitan output langsung ke belakang (0.26) dan keterkaitan output langsung dan

tidak langsung ke belakang (1.39). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan

pertumbuhan output di sektor perikanan mempunyai pengaruh yang relatif besar


196

dalam merangsang pertumbuhan output sektor-sektor lainnya. Sektor perikanan laut

dalam pembangunan perekonomian di wilayah Kabupaten Buton termasuk pada

kategori prioritas kedua karena mempunyai kemampuan untuk menarik pertumbuhan

output sektor hulunya. Peningkatan investasi di sektor perikanan laut akan

menciptakan output yang lebih besar.

(3) MSY sumberdaya ikan di Teluk Lasongko telah diketahui yaitu 14.979 ton per

tahun yang berarti nilai JTB adalah sekitar 12.000 ton per tahun. Berdasarkan nilai

JTB tersebut, menunjukkan bahwa kondisi perairan Teluk Lasongko telah mengalami

overfishing yang harus segera diatasi agar tidak terjadi kerusakan yang lebih berat

lagi pada sumberdaya ikan yang ada. Kebijakan yang harus segera diterapkan adalah

menetapkan JTB sebesar 12.000 ton/tahun dan disosialisasikan kepada seluruh

nelayan di Teluk Lasongko. Konsekwensi terhadap penetapan JTB tersebut adalah

perlu segera dilaksanakan pengurangan jumlah alat tangkap yang ada sehingga

tinggal menjadi 2.768 unit dari semula 4.449 unit. Selanjutnya jumlah nelayan yang

ada sekarang yaitu sekitar 4.500 orang perlu dikurangi sebanyak 1.300 sehingga

menjadi tinggal 3.200 orang. Terhadap 1.300 nelayan yang didorong untuk alih

profesi menjadi pembudidaya ikan perlu diadakan pelatihan keterampilan, pemberian

bantuan sarana budidaya dan penyediaan bantuan modal melalui perbankan.

(4) Untuk mempertahankan pencapaian produksi ikan sampai pada JTB, diperlukan

ketersediaan bensin sekitar 10.000 liter/hari , minyak tanah sekitar 200 liter/hari,

air tawar sekitar 113.000 liter/hari dan es sekitar 37,5 ton/hari. Kebutuhan ini akan

sangat bermanfaat bagi nelayan yang bersangkutan apabila dapat dipenuhi oleh

koperasi nelayan setempat. Keuntungan yang diperoleh akan menjadi keuntungan


197

bersama yang pada saatnya akan kembali kepada nelayan melalui pembagian Sisa

Hasil Usaha.

(5) Aktivitas usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko cukup padat dengan rata-

rata jumlah ikan yang didaratkan sekitar 40 ton per hari. Namun demikian fasilitas

pendukung dalam bentuk pelabuhan perikanan dan jalan penghubung belum

memadai. Apabila fasilitas tersebut tidak dapat disediakan maka nilai optimum

sumberdaya ikan yang ada yaitu sekitar Rp 47 milyar setahun tidak akan dapat

dicapai .

(6) Unit-unit usaha penangkapan yang ada di Teluk Lasongko berdasarkan hasil

analisis profitability menunjukkan layak usaha, sehingga masih dapat diteruskan

operasionalnya. Sebagai alternatif pengembangan usaha penangkapan ikan kearah

perairan WPP IV atau lainnya dapat digunakan purse seine 10 GT atau 15 GT, atau

gill net ukuran 15 GT karena unit-unit usaha tersebut mempunyai nilai B/C ratio

lebih besar dari satu atau menguntungkan. Usaha budidaya laut sebagai alternatif

pengganti usaha penangkapan yang telah berlebih di Teluk Lasongko, secara

ekonomi merupakan usaha yang menguntungkan dengan ditunjukkan dari nilai B/C

ratio sebesar 1,6.

(7) Dengan telah diketahuinya nilai MSY sumberdaya ikan di Teluk Lasongko,

maka kebijakan pemanfaatannya adalah sebagai berikut :

Visi : Sumberdaya ikan Teluk Lasongko mewujudkan kedamaian dan


Kesejahteraan

Misi : 1. Menjaga produksi ikan hasil tangkapan sampai pada batas JTB.
2. Pengembangan diversifikasi usaha
3. Pengembangan perekonomian daerah
4. Peningkatan pengelolaan sumberdaya ikan
198

Tujuan : Meningkatkan pendapatan nelayan khususnya dan masyarakat sekitar


Teluk Lasongko umumnya ..
Sasaran : Pencapaian produksi ikan hasil tangkapan dari Teluk Lasongko
maksimum sampai batas JTB (12.000 ton/tahun)
Kebijakan dan Program
Kebijakan dan program yang diperlukan adalah :
1. Pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal

Meliputi program program (1) Pengaturan jenis dan jumlah alat tangkap, (2)

Pengembangan diversifikasi usaha (budidaya laut), (3) Perlindungan terhadap

ekosistem tempat berkembang biak sumberdaya ikan , (4) Pengaturan lokasi usaha

penangkapan, (5) Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan, dan

(6) Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya ikan.

2. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah

Meliputi program-program (1) Pengembangan alternatif pendidikan informal,


pelatihan dan kewirausahaan, (2) Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna
pemanfaatan sumberdaya ikan ,(3) Sinkronisasi program dan kegiatan antar
instansi terkait , (4) Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan
sumberdaya ikan, dan (5) Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU

3. Pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan

Meliputi program-program (1) Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi

masyarakat, (2) Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen, (3)

Pengembangan industri kecil, dan (4) Pengembangan mata pencaharian alternatif.

4. Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Meliputi program-program (1) Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga

investasi, (2) Pembangunan sarana penunjang efektifitas penanaman modal,


199

peralatan komunikasi dan transportasi, dan (3) Peningkatan akses masyarakat

terhadap informasi dan teknologi.

5. Peningkatan sarana dan prasarana

Meliputi program-program (1) Pembangunan pelabuhan perikanan, (2)

Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran, (3) Pembangunan dan

penataan sarana transportasi, dan (4) Pembangunan dan penataan sarana listrik

dan air bersih.

8.2 Saran

(1) Perlu segera ditetapkan peraturan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko.

Peraturan dapat dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buton atau oleh

Kelompok Masyarakat setempat. Dalam hal ini kearifan lokal yang ada yaitu Kantanu

yang berarti waktu atau musim yang diperbolehkan menangkap ikan, dan Meombo yang

berarti larangan bagi semua masyarakat untuk menangkap ikan selama tiga hari, dapat

terus dikembangkan.

(2) Perlu dikembangkan alternatif mata pencaharian bagi nelayan yang bersangkutan.

Salah satu alternatif mata pencaharian yang dinilai cocok dikembangkan di Teluk

Lasongko adalah budidaya rumput laut dan budidaya ikan di laut. Untuk itu perlu

diadakan program pembelian alat tangkap yang harus dikurangi oleh pemerintah pusat

maupun daerah. Alat tangkap yang telah dibeli dijadikan bantuan untuk nelayan di daerah

yang potensi sumberdaya ikannya masih baik seperti di perairan sekitar pulau-pulau kecil

provinsi Maluku dan Irian. Uang hasil penjualan alat tangkap yang diterima oleh nelayan

diarahkan untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut atau ikan bagi nelayan

yang bersangkutan.
200

(3) Perlu segera dibangun pelabuhan perikanan dengan kapasitas minimal 35 ton ikan

per hari yang dilengkapi dengan fasilitas depo bahan bakar, pabrik es dan tangki air

bersih. Kemudian diikuti dengan pembangunan fasilitas pendukung lainnya seperti jalan

penghubung, penyedian listrik, dan penyediaan telekomunikasi. Untuk itu disarankan

kepada Instansi yang tergabung dalam Tim Pembangunan Teluk Lasongko memasukan

program-program tersebut di masing-masing instansinya dan mengupayakan percepatan

implementasinya.

-----as-----
DAFTAR PUSTAKA

Arimoto, T. 1999. Research and Education System of Fishing Technology in Japan. The 3rd
JSPS. International Seminar. Sustainable Fishing Technology in Asia Toward the 21st
Century.

Apollonio, S. 2002. Hierarchical Perpectives on Marine Complexities : Searching for


Systems in the Gulf of Maine. Columbia University Press. New York. 222 p.

Agustino, L. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. CV. Alfabeta. Bandung.

Barkin, J. S. And Elizabeth R. D. 2000. Unilateralism and Multilaterism in International


Fisheries Management. Global Governance, 6 : 15.

Basuki, R., dan Nikijuluw, V. 1996. Komanajemen Sumberdaya antara Pemerintah Desa,
Lembaga Adat adn Masyarakat (Kasus Kawasan Pantai Desa Jungut Batu, Nusa
Penida, Bali). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.II No.1 Tahun 1996. Jakarta.
p 39-54.

BAPPEDA Kabupaten Buton. 2004. Rencana Zonasi Kawasan Marine and Coastal
Management Area (MCMA) Kecamatan GU, Lakudo, Mawasangka Timur dan
Mawasangka (GULAMAS). Bau-Bau.

BPS. 1995. Kerangka Teori Analisis, Tabel Input – Output. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

BPS. 2002. Kabupaten Buton dalam Angka 2002. Biro Pusat Statistik kabupaten Buton.

BPS. 2004. Kabupaten Buton dalam Angka 2004. Biro Pusat Statistik kabupaten Buton.

Clark, R.N., V.V. King, C. Ager, and G. A. Swayze. 1995. Initial Vegetation Species and
Senescence/Stress Indicator Mapping in the San Luis Valley, Colorado Using Imaging
Spectrometer Data. In Airborne Visible/Infrared Imaging Spectrometer (AVIRIS) 1995
Airborne Geoscience Workshop Proceedings: 35-38. Available from
http://makalu.jpl.nasa.gov/docs/workshops/95_docs/11.PDF (1999).

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005 . Rencana Strategis Pembangunan Kelautan Dan
Perikanan Tahun 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Action Plan; Rencana Pembangunan Wilayah
Pesisir Terpadu Lakudo, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
(tidak dipublikasikan)
202

Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara, 2003. Penyusunan Detail Rencana Tata
ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Sulawesi
tenggara.

Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2004.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome, Italy. 41 p.

FAO. 1996. Pedoman Teknis untuk Perikanan Bertanggungjawab. Operasi Penangkapan


Ikan. Diterjemahkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan bersama Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan
Institut Pertanian Bogor, 1999, Fishing Operations. 115 hal.

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.

Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Forman, E. H. 2001. Decision by Objectives – How to Convince Others that You are Right,
World Scientific Press. Washington DC. 402 p

Gordon, H. S. 1954. The Economic Theory of Common Property Resource : The Fishery.
Journal of Political Economy, 62 : 124-142.

Ghofar A. 2003. Pentingnya Bukti-Bukti Imiah dalam Pengambilan Kebijakan Pengelolaan


Sumberdaya Ikan. Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Pusat Riset
Perikanan Tangkap BRKP-DKP. Jakarta.

Lawson. R.M, 1984. Economics of Fisheries Development. Fraces Pinter (Publisher).


London.

Marzuki, 2002. Metodologi Riset. BPFE Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Muchlis, M. 1993. Metode Kuantitatif. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas


Indonesia. Jakarta.

Mulyadi, S. 2005. Ekonomi Kelautan. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Nasution, T. 1996. Analisis dan Penggunaan Model Input – Output dalam Perencanaan. Jurnal
Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Volume 1 tahun 1996. Litbang Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta
Sumber: http://litbang.budpar.go.id/Publikasi/jurnal/ jikp vol-1 1996.

Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. P3R. Jakarta.


203

Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan- Bagaimana dan Kemana Bisnis
Perikanan. PT.Fery Agung Corporation (Feraco). Jakarta.

Rangkuti, F. 1997. Analisa SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Resosudarmo, B. P., Hartono, J., Ahmad, T., Subiman, N.I.L., Olivia dan Noegroho, A. 2001.
Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan dan Perikanan di Indonesia. Jurnal
Pesisir dan Lautan, Volume 4 No.3 Tahun 2002 Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (PKSPL) IPB. Bogor.

Rosyidi,S. 2004. Pengantar Teori Ekonomi . Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro &
Makro. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta 647 hal.

Reksohadiprodjo,S. 1998. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi. BPFE. Yogyakarta.

Rietbergen-MacCracken, J. 1998. Participation and Social Assessment: Tools and Techniques.


International Bank for Reconstruction and Development/Worl Bank. Washington. D.C.
http://www.worldbank.org/poverty/impact/resources/toolkit.pdf.

Schaefer, M. 1954. Some Aspects of the Dynamics of Populations Important to the


Management of Commercial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am. Tropical Tuna
Commission. 1 :27-56.

Simatupang, P. 2001. Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Makalah
pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset
Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Sondita, A. 2000. Pengumpulan Informasi untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir. Bahan


Pelatihan Pelatih dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu. Gelombang II.
PKSPL-IPB. 13-18 November 2000.

Sultan, M. 2004. Pengembangan Perikanan Tangkap di Kawasan Taman Nasional Laut


Takabonerate. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Turner, R. K., Irene L., Nicole B., I. J. Bateman, I. A. Langford and Anne I. M. 1998.
Coastal Management for Sustainable Development : Analysing Environmental and
Socio-Economic changes on the UK Coast. The Geographical Journal, 164 : 13.

Widodo, J dan M. Nurhudah, 1995. Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Sekolah Tinggi


Perikanan. Jakarta.

Widodo, J dan S. Nurhakim, 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.


Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. 28
Oktober s/d 2 November 2002. Hotel Golden Clarion. Jakarta.
204

Widodo, J . 2003. Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Indonesia Tahun 2002. Prosiding
Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset
Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. Jakarta.

Widodo, J . 2003. Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. Jakarta.

----AS----
205

Lampiran 1. Peta Indonesia, WPPI, Kabupaten Buton dan Kawasan Teluk Lasongko
Lampiran 2.
206
207

Lampiran 3. Produksi Per Alat Tangkap Tahun 2000 – 2004

Kode Nama Alat Tahun Rata-


Alat Tangkap 2000 2001 2002 2003 2004 rata
X11 Payang 1.049,00 671,65 1.130,00 418,27 527,76 759,34
X12 Pukat Pantai 812,30 1.252,00 1.130,00 743,00 742,00 935,86
X13 Pukat Cincin 2.243,09 3.155,33 1.988,00 2.322,80 2.322,00 2.406,24
X14 Pukat udang 693,32 870,00 1.295,00 884,00 782,91 905,05
X21 Jaring Insang Hanyut 50,94 115,79 237,00 245,50 233,99 176,64
X22 Jaring Insang Lingkar 403,26 301,80 200,96 313,00 318,64 307,53
X23 Jaring Insang Tetap 243,94 378,90 634,57 687,19 689,99 526,92
X24 Trammel Net 19,72 25,74 18,30 4,50 6,20 14,89
X31 Bagan Perahu 278,92 234,22 163,46 217,35 220,12 222,81
X32 Bagan Tancap 354,46 332,15 1.125,02 129,05 129,05 413,95
X33 Serok 31,19 30,00 19,00 11,50 13,00 20,94
X34 Jaring Angkat Lainnya 15,68 7,23 3,30 3,10 3,10 6,48
X41 Huhate (Pelagis Besar) 991,05 1.011,00 841,30 862,14 455,32
Huhate (Pelagis Kecil) 560,67 522,15 491,00 295,56 295,56
Rata-Rata 775,86 766,58 666,15 578,85 375,44 632,58
X42 Pancing Biasa (PB) 505,06 107,00 400,15 252,49 640,59 381,06
Pancing Biasa (PK) 349,56 286,00 447,00 809,81 809,81
Rata-Rata 427,31 196,50 423,58 531,15 725,20 460,75
X43 Pancing Tonda (PB) 1.288,98 1.082,00 1.120,66 1.956,37 1.438,59 1.377,32
Pancing Tonda (PK) 19,57 88,55 17,00 380,02 380,02
Rata-Rata 654,28 585,28 568,83 1.168,20 909,31 777,18
X44 Rawai Tetap (PB) 400,89 423,00 439,00 853,21 859,40 595,10
Rawai Tetap (PK) 760,09 576,00 26,00 1.387,48 1.387,48
Rata-Rata 580,49 499,50 232,50 1.120,35 1.123,44 711,26
X51 Sero (Demersal) 262,47 242,30 190,42 227,27 215,43
Sero (Karang Konsumsi) 254,10 361,67 344,47 40,12 252,00 697,32
Sero (Berkulit Keras) 38,33 42,45 309,17 426,82 279,57
Rata-Rata 184,97 215,47 281,35 231,40 249,00 232,44
X52 Bubu (Demersal) 350,00 392,00 112,90 229,00 225,00
Bubu (Karang Koms) 402,00 523,32 703,13 84,60 394,00 606,71
Bubu (Berkulit keras) 30,60 37,31 54,17 114,50 114,50
Rata-Rata 260,87 317,54 290,07 142,70 244,50 251,14
X53 Jermal Demersal 47,60 60,47 5,70 19,00 24,00
Jermal (Karang Konsumsi) 33,81 47,00 298,00 72,00 53,00 147,32
Jermal (Berkulit Keras) 25,00 16,00 10,00 14,00 11,00
Rata-Rata 35,47 41,16 104,57 35,00 29,33 49,11
X54 Perangkap Lainnya (D) 23,43 52,19 24,28 69,84 69,84
Perangkap Lainnya (KK) 18,28 44,03 5,98 30,53 50,54 328,15
Perangkap Lainnya (Kr) 148,39 465,34 167,98 235,09 235,00
Rata-Rata 63,37 187,19 66,08 111,82 118,46 109,38
208

Lampiran 4. Jumlah Alat Tangkap Tahun 2000 - 2004

Kode Nama Alat Tahun


Rata-rata
Alat Tangkap 2000 2001 2002 2003 2004
X11 Payang 19 19 20 20 21 19,8
X12 Pukat Pantai 32 31 35 36 37 34,2
X13 Pukat Cincin 3 3 3 3 3 3
X14 Pukat udang 2 2 2 2 2 2
X21 Jaring Insang Hanyut 548 549 1820 1970 2036 1384,6
X22 Jaring Insang Lingkar 302 308 309 320 324 312,6
X23 Jaring Insang Tetap 458 459 250 276 278 344,2
X24 Trammel Net 6 6 12 30 31 17
X31 Bagan Perahu 62 62 70 73 73 68
X32 Bagan Tancap 61 61 65 66 66 63,8
X33 Serok 14 14 6 5 5 8,8
X34 Jaring Angkat Lainnya 16 16 6 5 5 9,6
X41 Huhate 3 3 3 3 3 3
X42 Pancing Biasa 440 437 439 440 443 439,8
X43 Pancing Tonda 586 588 583 574 574 581
X44 Rawai Tetap 45 45 45 45 45 45
X51 Sero 101 101 28 27 27 56,8
X52 Bubu 1345 1345 504 390 365 789,8
X53 Jermal 20 20 20 9 8 15,4
X54 Perangkap lainnya 69 69 60 130 130 91,6
Jumlah 4132 4138 4280 4424 4476
209

Lampiran 5. Produktivitas (CPUE) Tahun 2000 - 2004

PRODUKTIVITAS PER - ALAT TANGKAP PER-TAHUN


Kode Nama Alat Tahun
Rata-rata
Alat Tangkap 2000 2001 2002 2003 2004
X11 Payang (pk) 55,21 35,35 56,50 20,91 25,13 38,62
X12 Pukat Pantai (pk) 25,38 40,39 32,29 20,64 20,05 27,75
X13 Pukat Cincin (pk) 747,70 1.051,78 662,67 774,27 774,00 802,08
X14 Pukat udang (pk) 346,66 435,00 647,50 442,00 391,46 452,52
X21 Jaring Insang Hanyut (d) 0,09 0,21 0,13 0,12 0,11 0,13
X22 Jaring Insang Lingkar (d) 1,34 0,98 0,65 0,98 0,98 0,99
X23 Jaring Insang Tetap (d) 0,53 0,83 2,54 2,49 2,48 1,77
X24 Trammel Net (d) 3,29 4,29 1,53 0,15 0,20 1,89
X31 Bagan Perahu (d) 4,50 3,78 2,34 2,98 3,02 3,32
X32 Bagan Tancap (d) 5,81 5,45 17,31 1,96 1,96 6,49
X33 Serok (d) 2,23 2,14 3,17 2,30 2,60 2,49
X34 Jaring Angkat Lainnya (d) 0,98 0,45 0,55 0,62 0,62 0,64
X41 Huhate (Pelagis Besar) 330,35 337,00 280,43 287,38 151,77 277,39
Huhate (Pelagis Kecil) 186,89 174,05 163,67 98,52 98,52 144,33
Rata-Rata 258,62 255,53 222,05 192,95 125,15 210,86
X42 Pancing Biasa (PB) 1,15 0,24 0,91 0,57 1,45 0,86
Pancing Biasa (PK) 0,79 0,65 1,02 1,84 1,83 1,23
Rata-Rata 0,97 0,45 0,96 1,21 1,64 1,05
X43 Pancing Tonda (PB) 2,20 1,84 1,92 3,41 2,51 2,38
Pancing Tonda (PK) 0,03 0,15 0,03 0,66 0,66 0,31
Rata-Rata 1,12 1,00 0,98 2,04 1,58 1,34
X44 Rawai Tetap (PB) 8,91 9,40 9,76 18,96 19,10 13,22
Rawai Tetap (PK) 16,89 12,80 0,58 30,83 30,83 18,39
Rata-Rata 12,90 11,10 5,17 24,90 24,97 15,81
X51 Sero (Demersal) 2,60 2,40 6,80 8,42 7,98 5,64
Sero (Karang Konsumsi) 2,52 3,58 12,30 1,49 9,33 5,84
Sero (Berkulit Keras) 0,38 0,42 11,04 15,81 10,35 7,60
Rata-Rata 1,83 2,13 10,05 8,57 9,22 6,36
X52 Bubu (Demersal) 0,26 0,29 0,22 0,59 0,62 0,40
Bubu (Karang Koms) 0,30 0,39 1,40 0,22 1,08 0,68
Bubu (Berkulit keras) 0,02 0,03 0,11 0,29 0,31 0,15
Rata-Rata 0,19 0,24 0,58 0,37 0,67 0,41
X53 Jermal Demersal 2,38 3,02 0,29 2,11 3,00 2,16
Jermal (Karang Konsumsi) 1,69 2,35 14,90 8,00 6,63 6,71
Jermal (Berkulit Keras) 1,25 0,80 0,50 1,56 1,38 1,10
Rata-Rata 1,77 2,06 5,23 3,89 3,67 3,32
X54 Perangkap Lainnya (D) 0,34 0,76 0,40 0,54 0,54 0,52
Perangkap Lainnya (KK) 0,26 0,64 0,10 0,23 0,39 0,33
Perangkap Lainnya (Kr) 2,15 6,74 2,80 1,81 1,81 3,06
Rata-Rata 0,92 2,71 1,10 0,86 0,91 1,30
210

Lampiran 6. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Demersal

Kode CPUE FPI Eff CPUE FPI Effor CPUE FPI Eff CPUE FPI Eff CPUE FPI Eff
2001 2002 2003 2004
Kode Grup Alat Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
Jaring
X2 Insang X21 JI hanyut 548 0,09 0,02 8 549 0,21 0,04 21,15 1820 0,13 0,01 14 1970 0,12 0,01 28 2036 0,11 0,01 28
X22 JI lingkar 302 1,34 0,23 70 308 0,98 0,18 55,38 309 0,65 0,04 12 320 0,98 0,12 37 324 0,98 0,12 40
X23 JI tetap 458 0,53 0,09 42 459 0,83 0,15 69,90 250 2,54 0,15 37 276 2,49 0,30 82 278 2,48 0,31 86
X24 Trammel Net 6 3,29 0,57 3 6 4,29 0,79 4,72 12 1,53 0,09 1 30 0,15 0,02 1 31 0,20 0,03 1
Jaring
X3 Angkat X31 Bagan Perahu 62 4,50 0,77 48 62 3,78 0,69 43,00 70 2,34 0,14 9 73 2,98 0,35 26 73 3,02 0,38 28
X32 Bagan Tancap 61 5,81 1,00 61 61 5,45 1,00 61,00 65 17,31 1,00 65 66 1,96 0,23 15 66 1,96 0,25 16
X33 Serok 14 2,23 0,38 5 14 2,14 0,39 5,50 6 3,17 0,18 1 5 2,3 0,27 1 5 2,60 0,33 2
X34 JA Lain 16 0,98 0,17 3 16 0,45 0,08 1,32 6 0,55 0,03 0 5 0,62 0,07 0 5 0,62 0,08 0
X5 Perangkap X51 Sero 101 2,60 0,45 45 101 2,4 0,44 44,48 28 6,8 0,39 11 27 8,42 1,00 27 27 7,98 1,00 27
Dan Alat X52 Bubu 1345 0,26 0,04 60 1345 0,29 0,05 71,57 504 0,22 0,01 6 390 0,59 0,07 27 365 0,62 0,08 28
Perangkap
Lainnya X53 lainnya 69 2,38 0,41 28 69 3,02 0,55 38,23 60 0,29 0,02 1 130 2,11 0,25 33 130 3,00 0,38 49
X54 Jermal 20 0,34 0,06 1 20 0,76 0,14 2,79 20 0,4 0,02 0 9 0,54 0,06 1 8 0,54 0,07 1
Jumlah 3002 0,35 375 3010 0,38 419,05 3150 0,17 158 3.301 0,23 278 3.348 0,25 306
211

Lampiran 7. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Pelagis Kecil

Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std

X11 Payang 19,00 55,21 0,07 1,40 19,00 35,35 0,03 0,64 20,00 56,50 0,09 1,71 20,00 20,91 0,03 0,54 21,00 25,13 0,03 0,68

X12 Pukat Pantai 32,00 25,38 0,03 1,09 31,00 40,39 0,04 1,19 35,00 32,29 0,05 1,71 36,00 20,64 0,03 0,96 37,00 20,05 0,03 0,96

X13 Pukat cincin 3,00 747,70 1,00 3,00 3,00 1.051,78 1,00 3,00 3,00 662,67 1,00 3,00 3,00 774,27 1,00 3,00 3,00 774,00 1,00 3,00

X14 Pukat udang 2,00 346,66 0,46 0,93 2,00 435,00 0,41 0,83 2,00 647,50 0,98 1,95 2,00 442,00 0,57 1,14 2,00 391,46 0,51 1,01

X41 Huhate 3,00 186,89 0,25 0,75 3,00 174,05 0,17 0,50 3,00 163,67 0,25 0,74 3,00 98,52 0,13 0,38 3,00 98,52 0,13 0,38
Pancing
X42 biasa 440,00 0,79 0,00 0,46 439,00 0,65 0,00 0,27 439,00 1,02 0,00 0,68 440,00 1,84 0,00 1,05 443,00 1,83 0,00 1,05
Pancing
X43 tonda 586,00 0,03 0,00 0,02 588,00 0,15 0,00 0,08 583,00 0,03 0,00 0,03 574,00 0,66 0,00 0,49 574,00 0,66 0,00 0,49

X44 Rawai Tetap 45,00 16,89 0,02 1,02 45,00 12,80 0,01 0,55 45,00 0,58 0,00 0,04 56,00 30,83 0,04 2,23 56,00 30,83 0,04 2,23
TOTAL 1.130 0,23 9 1.130 0,21 7 1 0,30 10 1 0,22 10 1 0,22 10

Lampiran 8. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Pelagis Besar

Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
X41 Huhate 3 330,35 1,00 3,00 3 337 1,00 3,00 3 280,43 1,00 3,00 3 287,4 1,00 3,00 3 151,77 1,00 3,00
Pancing
X42 biasa 440 1,15 0,00 1,53 437 0,24 0,00 0,31 439 0,91 0,00 1,42 440 0,57 0,00 0,87 443 1,45 0,01 4,23
Pancing
X43 tonda 586 2,2 0,01 3,90 588 1,84 0,01 3,21 583 1,92 0,01 3,99 574 3,41 0,01 6,81 574 2,51 0,02 9,49
X44 Rawai Tetap 45 8,91 0,03 1,21 45 9,4 0,03 1,26 45 9,76 0,03 1,57 56 18,96 0,07 3,69 56 19,1 0,13 7,05
TOTAL 1074 0,26 10 1073 0,26 7,78 1070 0,26 9,98 1073 0,27 14,38 1076 0,29 23,77
212

Lampiran 9. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Karang Konsumsi

Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
X51 Sero 101 2,52 1,00 101,00 101 2,52 1,00 101,00 28 12,30 0,83 23,11 27 1,49 0,19 5,03 27,00 9,33 1,00 27,00
X52 Bubu 1.345 0,30 0,12 160,12 1.345 0,30 0,12 160,12 504 1,40 0,09 47,36 390 0,22 0,03 10,73 365,00 1,08 0,12 42,25
X53 Jermal 69 1,69 0,67 46,27 69 1,69 0,67 46,27 60 14,90 1,00 60,00 130 8,00 1,00 130,00 130,00 6,63 0,71 92,38
Alat
X54 lainnya 20 0,26 0,10 2,06 20 0,26 0,10 2,06 20 0,10 0,01 0,13 9 0,23 0,03 0,26 8,00 0,39 0,04 0,33
TOTAL 1535 309 1535 309 612 131 556 146 530 161,96

Lampiran 10. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Berkulit Keras

Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
X51 Sero 101 0,38 0,18 17,85 101 0,42 0,06 6,29 28 11,04 1,00 28,00 27 15,81 1,00 27,00 27,00 10,35 1,00 27,00
X52 Bubu 1.345 0,02 0,01 12,51 1.345 0,03 0,00 5,99 504 0,11 0,01 5,02 390 0,29 0,02 7,15 365,00 0,31 0,03 10,93
X53 Jermal 69 2,15 1,00 69,00 69 6,74 1,00 69 60 2,80 0,25 15,22 130 1,81 0,11 14,88 130,00 1,81 0,17 22,73
Alat
X54 lainnya 20 1,25 0,58 11,63 20 0,80 0,12 2,37 20 0,50 0,05 0,91 9 1,56 0,10 0,89 8,00 1,38 0,13 1,07
TOTAL 1535 111 1535 84 612 49 556 50 530 62
213

Lampiran 11. Perhitungan Effort optimum (f opt) dan MSY


Contoh untuk Menghitung Effort Optimal dan MSY Ikan Demersal
Tahun Catch Effort CPUE
Simbol X Y
2000 3.186 10 318,6000
2001 2.624 8 328,0000
2002 2.801 10 280,1000
2003 3.924 14 280,2857
2004 2.900 23 126,0870

1. Menulis Persamaan Regresi Y’ = a + b X’


2. Menghitung Y’ = Rata-rata Y; Y rata-rata dihitung dengan mengetik =average
(baris_kolom Y awal s.d baris_kolom Y akhir pada Excel. Misalnya = average
(F8:F12)
3. Menghitung X’ = Rata-rata X; X rata-rata dihitung dengan mengetik =average
(baris_kolom X awal s.d baris_kolom X akhir pada Excel. Misalnya = average
(E8:E12)
4. Menghitung a dengan mengetik =intercept (F8:F12;E8:F12)
5. Menghitung b dengan mensubsitusi nilai Y’, X’, a pada persamaan Y’ = a + b X’
6. Menghitung fopt dengan Persamaan fopt = a/2b

7. Menghitung Maximum Sustainable Yield (MSY) dengan persamaan MSY = a2/4b


214

Lampiran 12. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
JENIS ALAT TANGKAP

X2 X3 X5
JENIS
KELAS
IKAN

J.Insang Tramel JA Perangkap


JI hanyut Lingkar JI tetap net B.perahu B.tancp Serok Lain sero Jermal Bubu Lainnya

D Sebelah - 0.62 1.39 0.27 1.56 10.68 1.09 0.27 3.97 1.06 1.3 0.27

D Lidah - 0.67 1.40 1.22 - 0.67 1.30 0.63 3.07 0.92 1.36 0.64

D Nomei - 0.93 4.78 0.68 15.60 6.40 2.88 0.68 13.53 0.93 2.88 0.68

D Manyung 5.51 5.69 9.53 0.06 6.71 2.99 6.03 0.06 10.66 2.75 7.32 0.06

D Beloso - 10.76 14.87 0.79 22.44 8.06 14.02 0.79 16.17 2.17 14.72 0.79

D Biji nangka 0.83 48.81 17.83 0.33 43.38 12.77 17.23 0.33 21.41 4.40 23.45 0.33

D Lencam 26.39 232.82 75.04 5.98 34.98 14.63 60.44 5.98 115.76 13.31 177.32 12.89

D Kurisi 1.53 4.55 41.17 0.39 45.74 15.04 39.27 0.39 1.58 0.24 46 0.39

D Pari 11.40 0.84 23.91 2.07 10.66 - 18.28 2.07 30.67 1.60 19.85 2.07

D bawal hitam 0.46 3.13 6.15 0.50 1.59 0.26 4.97 0.50 18.05 0.07 7.93 0.5

D kuro/senangin 0.58 - 3.70 0.15 12.14 6.17 2.92 0.15 0.71 - 2.91 0.15

D Terubuk - 2.12 2.67 0.72 5.97 10.66 1.55 0.26 2.74 2.57 1.55 0.26

D Peperek - 56.21 12.40 5.82 60.69 89.19 10.42 2.82 3.14 13.18 10.42 2.82

D Gerot-2 - 8.65 21.47 0.74 13.32 3.48 19.40 0.75 8.54 2.60 21.73 0.74

D Swanggi 1.86 25.08 3.94 - 1.76 - 2.64 6.10 0.70 5.77

D Tigawaja 2.38 2.38 3.69 - 2.38 0.19 2.02 6.37 1.10 6.12 0.84

JLH PER ALAT 50.94 403.26 243.94 19.72 278.92 181.19 204.46 15.68 262.47 47.60 350.63 23.43

JLH PER GRUP ALAT 717.86 680.25 684.13

Total 2,082

Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
215

Lampiran 13. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
JENIS ALAT TANGKAP

JENIS X2 X3 X5
KELAS
IKAN

JI JI Trammel Bagan Bagan JA Prangkap


hanyut Lingkar JI Tetap Net perahu tancap Serok Lain Sero Jermal Bubu lain

D Sebelah - 1.57 2.32 - - 1.57 - - 5.50 - 2.32 0.01

D Lidah - 1.93 3.89 - - 1.93 - - 3.88 - 3.89 0.01

D Nomei - 3.33 7.06 - - 3.33 - 2.81 24.25 - 4.76 0.13

D Manyung - 7.88 12.00 - 0.59 6.86 - - 12.75 4.16 12.33 5.58

D Beloso - 11.18 20.63 - 38.90 39.25 - - 15.05 4.00 20.67 7.00

D Biji nangka - 70.79 38.20 - 31.02 6.05 - - 30.21 4.18 36.06 5.00

D Lencam 14.00 48.60 104.20 20.00 14.00 48.51 - - 15.70 5.42 116.58 6.00

D Kurisi 19.00 9.91 61.33 - 7.62 5.01 - - 3.84 5.00 68.29 4.00

D pari 30.00 17.30 22.67 - 3.33 16.20 - - 51.43 1.09 17.39 1.67

D bawal hitam 30.00 13.01 8.78 - - 4.11 - 36.55 10.00 6.94 2.24

D kuro/senangin - - 8.50 - 6.79 6.99 - 0.57 15.70 5.15 7.00

D Terubuk - 3.98 3.36 1.29 16.71 40.74 - 1.29 4.28 1.00 2.82 3.00

D Peperek 10.00 76.70 56.33 4.45 74.32 131.68 - 3.13 14.85 4.00 57.23 3.13

D Gerot-gerot 10.00 21.41 20.31 - 35.77 13.79 - - 11.88 3.58 20.53 3.00

D Swanggi - 3.92 2.07 - 5.17 1.42 - - 7.74 1.01 4.38 1.43

D Tigawaja 3.00 10.31 7.24 - - 4.71 - - 3.82 1.33 13.32 3.00

SUB JUMLAH 116.00 301.82 378.90 25.74 234.22 332.15 - 7.23 242.30 60.47 392.66 52.20

JUMLAH PER GRUP 822 841.04 747.62

Total 2,411

Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
216

Lampiran 14. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
JENIS ALAT TANGKAP

KELAS JENIS IKAN X2 X3 X5

JI Trammel Bagan Bagan JA Prangkap


JI hanyut Lingkar JI tetap Net perahu Tancap Serok Lain Sero Jermal Bubu lain

D Sebelah - 0.08 0.12 0.30 - 0.08 1.00 0.20 1.02 1.00 0.23 0.06

D Lidah - 0.08 1.65 1.30 - 0.08 1.00 0.10 0.67 1.00 0.16 0.06

D Nomei - 2.59 22.77 0.70 - 0.23 2.00 0.30 7.98 1.00 5.12 1.11

D Manyung 0.41 8.46 19.10 0.50 2.39 1.21 5.00 0.40 0.96 1.00 2.54 0.41

D Beloso - 9.24 3.99 0.60 30.66 4.90 10.00 0.20 12.79 1.00 1.98 0.29

D Biji nangka 12.83 47.44 60.23 0.30 23.23 0.24 11.00 0.10 12.64 0.20 6.21 0.02

D Lencam 198.64 59.35 361.51 4.00 5.87 3.19 29.00 0.20 99.60 0.20 69.74 11.45

D Kurisi 16.16 7.11 17.85 0.30 19.54 2.38 15.00 0.20 3.36 0.20 7.85 0.27

D pari 4.78 8.38 40.27 2.00 - 0.84 3.00 0.20 23.70 0.10 1.83 5.45

D bawal hitam 1.53 10.01 15.81 0.50 - 0.29 2.00 0.10 10.15 - 1.42 1.70

D kuro/senangin - 0.18 10.63 0.20 3.65 0.18 1.00 0.20 0.10 - 1.62 0.18

D Terubuk - 0.45 12.88 0.60 3.62 5.51 4.00 0.30 1.23 - 1.00 0.33

D Peperek 1.15 38.29 25.29 4.00 59.36 44.73 2.00 0.20 5.07 - 5.21 2.17

D Gerot-gerot 1.72 4.09 15.59 3.00 14.92 0.20 3.00 0.10 7.82 - 3.20 0.75

D Swanggi - 2.60 3.43 - - 0.07 - 0.20 0.71 - 1.83 -

D Tigawaja 0.22 2.60 23.44 - 0.22 0.89 - 0.30 2.62 - 2.97 -

SUB JUMLAH 237.44 200.96 634.57 18.30 163.46 65.02 89.00 3.30 190.42 5.70 112.90 24.28

JUMLAH PER GRUP 1,091.27 345.04 333.29

Total 1,770

Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
217

Lampiran 15. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
JENIS ALAT TANGKAP

JENIS
KELAS X2 X3 X5
IKAN

JI Tramel Bagan Bagan Prangkap


JI hanyut Lingkar JI tetap Net Perahu Tancap Serok JA lain sero Jermal Bubu lain

D Sebelah 10.00 0.23 0.20 0.20 9.00 0.23 2.00 0.10 0.93 1.00 0.84 1.62

D Lidah 10.00 0.14 6.13 1.00 11.00 0.14 1.50 0.20 - 1.00 0.22 0.11

D Nomei 9.00 0.52 36.42 0.60 4.00 0.52 3.00 0.10 - 1.00 32.40 0.30

D Manyung 2.09 16.16 38.01 0.20 1.95 3.33 6.00 0.20 0.45 1.00 1.65 0.45

D Beloso 12.81 56.51 31.36 0.30 1.28 17.19 6.00 0.20 27.92 1.00 3.09 1.28

D Biji nangka 25.54 57.39 56.01 0.20 15.04 1.06 7.00 0.30 11.67 1.00 33.13 0.22

D Lencam 57.32 72.89 47.99 0.40 24.54 6.56 8.00 0.20 113.84 2.00 120.68 21.05

D Kurisi 30.00 24.52 92.02 0.30 12.88 1.18 8.00 0.10 3.47 2.00 19.26 0.53

D Pari 11.81 32.17 79.33 0.40 - 2.77 5.00 0.20 17.77 2.00 2.30 40.54

D bawal hitam 4.80 15.51 31.03 0.70 0.31 1.26 6.00 0.40 12.14 1.00 1.28 2.05

D kuro/senangin 3.07 8.95 47.29 0.20 8.01 0.49 3.00 0.50 1.26 1.00 0.56 0.47

D Terubuk 10.00 0.18 71.78 - 20.00 0.18 3.00 0.20 5.20 2.00 1.68 0.71

D Peperek 32.60 19.03 58.28 - 109.34 42.80 3.00 0.10 22.19 1.00 2.87 0.27

D Gerot-gerot 21.88 2.76 33.56 - - - - 0.10 4.30 1.00 6.07 0.24

D Swanggi 4.54 4.57 0.20 - - 0.10 - 0.10 - 1.00 3.46 -

D Tigawaja - 1.24 57.57 - - 1.24 - 0.10 6.13 - -

SUB JUMLAH 245.46 312.78 687.19 4.50 217.35 79.05 61.50 3.10 227.27 19.00 229.48 69.84

JUMLAH PER GRUP 1,249.92 424.25 545.59

Total 2,220

Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
218

Lampiran 16. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
JENIS ALAT TANGKAP

JENIS
KELAS X2 X3 X5
IKAN

JI Trammel Jerm Prangka


JI hanyut Lingkar Jitetap Net B.perahu B.tancp Serok JA Lain sero al Bubu p lain

D Sebelah 10.00 2.00 3.00 0.20 9.00 0.23 3.00 0.10 0.93 2.00 3.00 1.62

D Lidah 10.00 2.00 6.13 1.00 11.00 0.14 2.00 0.20 1.00 2.00 3.00 0.11

D Nomei 9.00 2.00 36.42 0.60 4.00 0.52 3.00 0.10 1.00 1.00 32.40 0.30

D Manyung 2.09 16.16 38.01 0.50 2.00 3.33 6.00 0.20 0.45 1.00 3.00 0.45

D Beloso 12.81 56.51 31.36 0.50 3.00 17.19 6.00 0.20 27.92 1.00 3.09 1.28
Biji
D nangka 25.54 57.39 56.01 0.50 15.04 1.06 7.00 0.10 11.67 1.00 33.13 0.22

100.0 110.0
D Lencam 57.37 72.89 47.99 0.40 24.54 6.56 8.00 0.30 0 2.00 0 21.05

D Kurisi 30.00 24.52 92.02 0.30 12.88 1.18 8.00 0.20 3.47 2.00 19.26 0.53

D Pari 11.81 32.17 79.33 0.40 1.00 2.77 5.00 0.10 17.77 2.00 2.30 40.54
bawal
D hitam 5.00 15.51 31.03 0.70 0.31 1.26 6.00 0.20 12.14 1.00 1.28 2.05
kuro/sen
D angin 4.00 8.95 47.29 0.40 8.01 0.49 3.00 0.40 1.26 1.00 0.56 0.47

D Terubuk 10.00 0.18 71.78 0.30 20.00 0.18 3.00 0.50 5.20 2.00 1.68 0.71

D Peperek 20.00 19.03 58.28 0.10 109.34 42.80 3.00 0.20 22.19 2.00 2.87 0.27
Gerot-
D gerot 21.88 2.76 33.56 0.10 - - 0.10 4.30 2.00 6.07 0.24

D Swanggi 4.54 4.57 0.20 0.10 - 0.10 0.10 - 2.00 3.46 -

D Tigawaja - 2.00 57.57 0.10 - 1.24 0.10 6.13 - -

215.4 225.1
SUB JUMLAH 234.04 318.64 689.98 6.20 220.12 79.05 63.00 3.10 3 24.00 0 69.84

JUMLAH PER GRUP 1,248.86 428.52 534.37

Total 2,212

Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
219

Lampiran 17. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000

JENIS ALAT TANGKAP

KELAS JENIS IKAN


X1 X4
Pukat Udang
Payang Pukat pantai pukat cincin Rawai Tetap Pancing Biasa Pancing Tarik P.tonda

PK Ekor kuning 17.17 29.20 30.70 - 24.13 32.43 52.48 -

PK Laying 137.93 214.93 118.94 447.05 139.15 55.31 59.91 3.99

PK Selar 98.74 130.29 75.88 268.16 119.31 59.89 91.14 0.66

PK Tetengkek 37.88 43.00 18.05 65.82 43.03 7.20 15.05 2.33

PK Talang-2 16.15 20.44 13.91 20.99 16.15 10.94 9.42 0.76

PK ikan terbang 4.9 4.90 2.46 9.17 7.45 2.45 2.46 -

PK Belanak 19.19 26.84 71.44 9.44 16.74 11.87 38.55 -

PK Julung-2 22.66 47.49 49.34 95.15 24.06 7.88 26.69 -

PK Teri 3.10 18.60 14.92 1.77 1.62 7.08 -

PK Japuh 17.5 31.19 44.41 79.21 25.31 13.48 53.66 6.39

PK Tembang 137.93 214.93 118.94 447.05 139.15 55.31 59.91 3.99

PK Lemuru 98.74 130.29 75.88 268.16 119.31 59.89 91.14 0.66

PK Parang-2 14.38 17.44 15.22 42.14 14.38 4.25 6.51 -

PK Kembung 70.15 135.83 158.53 475.85 70.15 27.05 46.69 0.77

SUB JUMLAH 693.32 1,049.88 812.30 2,243.09 760.09 349.56 560.67 19.57

JUMLAH PER GRUP 4,457.29 1,689.89

Total 6,147.18

Keterangan:
PK = Pelagis Kecil
X1 = Pukat
X4 = Pancing
220

Lampiran 18. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001

Alat Tangkap

KELAS JENIS IKAN X1 X4

Pukat Pancing
Udang Payang Pukat pantai pukat cincin Rawai Tetap Biasa Huhate P.tonda

PK Ekor kuning 60 89.76 80.00 757.53 20.00 30.00 34.43 -

PK Laying 130 128.89 146.00 729.00 100.00 50.00 51.36 20.00

PK Selar 90 134.46 100.00 491.00 111.00 50.00 142.52 38.11

PK Tetengkek 30 21.91 100.00 91.46 40.00 60.00 32.83 0.38

PK Talang-2 40 13.35 90.00 44.47 15.00 11.00 23.44 10.61

PK ikan terbang 20 3.11 55.00 24.17 15.00 15.00 4.10 0.72

PK belanak 40 40.87 87.36 15.00 15.00 12.00 48.70 0.36

PK Julung-2 50 48.89 79.78 129.68 20.00 30.00 35.21 2.02

PK Teri 120 103.00 60.00 236.22 23.00 10.00 - 2.84

PK Japuh 50 14.20 80.00 39.26 25.00 12.00 22.97 -

PK Tembang 50 70.00 75.00 30.00 50.00 1.00 29.14 -

PK Lemuru 70 80.00 44.02 80.00 80.00 1.00 20.97 1.90

PK Parang-2 50 24.40 12.52 113.22 12.00 2.00 12.93 1.66

PK Kembung 70 95.49 222.37 374.32 50.00 2.00 63.55 9.96

SUB JUMLAH 870.00 871.66 1,251.94 3,155.33 576.00 286.00 522.15 88.56

JUMLAH PER GRUP 6,148.92 1,472.71

Total 7,622
221

Lampiran 19. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
Jenis Alat Tangkap

KELAS JENIS IKAN X1 X4

Pukat Udang
Payang Pukat pantai pukat cincin Rawai Tetap Pancing biasa Pancing Tarik P.tonda

PK Ekor kuning 100 66.00 80.00 - 3.00 56.23 38.98 -

PK Laying 130 498.42 159.89 486.33 3.00 83.93 91.76 -

PK Selar 130 63.62 112.97 508.44 10.00 67.54 157.15 3.20

PK Tetengkek 130 51.00 90.00 67.77 10.00 9.74 15.77 4.37

PK Talang-2 120 6.00 95.00 23.13 8.24 7.83 1.61

PK ikan terbang 130 6.00 100.00 0.61 3.32 4.92 1.08

PK Belanak 130 31.75 86.13 10.79 17.45 40.91 1.24

PK Julung-2 70 29.68 60.46 102.07 6.56 26.73 1.16

PK Teri 120 150.24 60.00 - 93.23 - -

PK Japuh 20 2.45 162.33 21.87 1.05 1.37 -

PK Tembang 20 98.82 56.89 201.49 36.23 24.66 4.06

PK Lemuru 80 39.64 56.06 110.39 22.50 15.43 -

PK Parang-2 15 7.62 8.31 33.34 6.03 7.31 -

PK Kembung 100 71.38 212.28 422.19 14.07 45.42 -

SUB JUMLAH 1,295 1,130 1,340 1,988 26 447 491 17

JUMLAH PER GRUP 4,458.59 954.53

Total 5,413.12

Lampiran 20. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
Jenis Alat Tangkap
JENIS
KELAS X1
IKAN X4

Pukat Udang
Payang Pukat pantai pukat cincin Rawai Tetap Pancing Biasa Pancing Tarik P.tonda

PK Ekor kuning 60 30.00 71.83 15.16 85.75 65.37 46.64 100.00

PK Laying 80 66.00 75.75 511.34 349.80 179.38 24.57 112.15

PK Selar 80 65.00 56.69 467.47 167.11 182.81 145.30 118.47

PK Tetengkek 12 4.00 20.67 134.29 36.70 87.82 29.75 25.05

PK Talang-2 10 2.60 10.17 30.53 16.39 3.85 18.41 15.04

PK ikan terbang 12 8.21 - 1.59 78.32 8.81 - -

PK Belanak 50 58.00 24.57 18.77 14.97 51.82 9.36 2.57

PK Julung-2 100 20.00 64.37 113.60 37.54 69.54 7.32 -

PK Teri 100 50.00 - 48.24 175.00 - 3.86

PK Japuh 50 17.79 17.80 49.71 41.91 13.92 - -

PK Tembang 200 32.00 235.73 343.99 148.56 52.96 0.19 -

PK Lemuru 10 18.51 36.90 73.47 42.04 36.90 - -

PK Parang-2 20 25.15 51.56 63.06 10.00 5.41 2.19 1.31

PK Kembung 100 21.00 77.29 451.57 183.38 51.22 11.83 1.57

SUB JUMLAH 884.00 418.26 743.33 2,322.80 1,387.48 809.81 295.56 380.02

JUMLAH PER GRUP 4,368.39 2,872.86

Total 7,241
222

Lampiran 21. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
Jenis Alat Tangkap

KELAS JENIS IKAN


X1 X4

Pukat Udang Pukat Pancing


Payang pantai pukat cincin Rawai Tetap Biasa Pancing Tarik P.tonda

PK Ekor kuning 60.3 30.38 71.83 15.16 85.75 65.37 46.64 100.00

PK Laying 185 80.00 75.00 511.34 349.80 179.38 24.57 112.15

PK Selar 100.4 64.36 56.69 467.47 167.11 182.81 145.30 118.47

PK Tetengkek 5.1 5.26 20.67 134.29 36.70 87.82 29.75 25.05

PK Talang-2 6 6.26 10.17 30.53 16.39 3.85 18.41 15.04

PK ikan terbang 4.11 4.10 - 1.59 78.32 8.81 - -

PK Belanak 30 34.89 24.57 18.77 14.97 51.82 9.36 2.57

PK Julung-2 60 60.84 64.37 113.60 37.54 69.54 7.32 -

PK Teri 100 49.00 - 48.24 175.00 - 3.86

PK Japuh 10 7.79 17.80 49.71 41.91 13.92 - -

PK Tembang 132 100.00 235.73 343.99 148.56 52.96 0.19 -

PK Lemuru 10 8.51 36.90 73.47 42.04 36.90 - -

PK Parang-2 20 15.15 51.56 63.06 10.00 5.41 2.19 1.31

PK Kembung 60 61.22 77.29 451.57 183.38 51.22 11.83 1.57

SUB JUMLAH 782.91 527.76 742.58 2,322.80 1,387.48 809.81 295.56 380.02

JUMLAH PER GRUP 4,376.05 2,872.86

Total 7,249

Keterangan:
PK = Pelagis Kecil X4 = Pancing
X1 = Pukat

Lampiran 22. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
Jenis Alat Tangkap
KELAS JENIS IKAN X4

Rawai Tetap Huhate Pancing Biasa P.tonda


PB cucut 83.16 1.87 27.75 11.03

PB Alu-alu 44.76 49.55 87.70 25.83


PB Sunglir 8.50 10.47 2.91 2.10
PB Tenggiri papan 14.59 2.78 6.09 77.08
PB Tenggiri 79.43 16.67 142.04 433.54
PB Layur 10.66 24.01 5.14 13.88
PB Tuna 104.06 270.77 49.53 140.74
PB Cakalang 14.40 293.99 31.96 246.28
PB Tongkol 41.33 320.95 151.93 338.50
SUB JUMLAH 400.89 991.05 505.06 1,288.98
Total 3,186
223

Lampiran 23. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
Jenis Alat Tangkap
KELAS JENIS IKAN X4
Rawai Tetap Huhate Pancing lain P.tonda

PB cucut 60 25.15 19.30 16.69

PB Alu-alu 42 25.28 64.00 67.11

PB Sunglir 8.7 1.46 0.71 4.14

PB Tenggiri papan 7 7.95 1.54 19.25

PB Tenggiri 80 27.22 6.83 170.56

PB Layur 20 8.44 - 146.32

PB Tuna 101 156.60 10.41 223.06

PB Cakalang 34 584.14 4.63 149.96

PB Tongkol 70 174.84 - 285.39

SUB JUMLAH 423 1,011.09 107.44 1,082.48

Total 2,624

Keterangan:
PB = Pelagis Besar
X4 = Pancing

Lampiran 24 Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
Jenis Alat Tangkap

KELAS JENIS IKAN


X4
Rawai
Tetap Huhate Pncing lain P.tonda
PB cucut 10 16.36 15.89 17.54
PB Alu-alu 10 33.70 41.68 73.05
PB Sunglir 5 0.68 13.46 1.83
PB Tenggiri papan 4 4.17 4.07 56.43
PB Tenggiri 50 14.56 100.45 158.70
PB Layur 60 10.07 - 189.88
PB Tuna 100 165.81 82.01 20.59
PB Cakalang 100 398.53 28.84 136.50
PB Tongkol 100 197.41 113.75 466.13
SUB JUMLAH 439.00 841.30 400.15 1,120.66
Total 2,801
224

Lampiran 25. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
Jenis Alat Tangkap
X4
KELAS JENIS IKAN
Rawai Tetap Huhate Pncing lain P.tonda
PB cucut 125.03 - 60.80 35.38
PB Alu-alu 20.35 8.98 22.48 7.44
PB Sunglir 0.57 3.71 3.26 1.02
PB Tenggiri papan 39.96 8.71 10.53 111.27
PB Tenggiri 243.75 1.28 63.13 365.18
PB Layur 53.42 16.61 3.47 69.91
PB Tuna 242.98 41.61 18.53 234.00
PB Cakalang 36.71 599.22 40.74 363.15
PB Tongkol 90.43 182.03 29.56 769.02
SUB JUMLAH 853.20 862.14 252.49 1,956.37
Total 3,924
Keterangan:
PB = Pelagis Besar
X4 = Pancing
Lampiran 26. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004

Jenis Alat Tangkap


JENIS X4
KELAS
IKAN
Rawai Tetap Huhate Pncing lain P.tonda
PB cucut 20.00 - 5.00 5.00
PB Alu-alu 20.35 8.98 2.40 3.40
PB Sunglir 0.57 3.71 3.26 1.02
Tenggiri
PB papan 39.96 8.71 10.53 11.00
PB Tenggiri 55.00 1.28 33.00 32.00
PB Layur 23.39 14.00 3.47 20.00
PB Tuna 242.98 41.61 18.53 234.00
PB Cakalang 186.71 195.00 40.74 363.00
PB Tongkol 270.43 182.03 29.56 769.02
SUB JUMLAH 859.39 455.32 146.49 1,438.44
Total 2,900
Keterangan:
PB = Pelagis Besar
X4 = Pancing
225

Lampiran 27. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
JENIS ALAT TANGKAP
KELAS JENIS IKAN X5
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 55.05 1.12 80.05 1.24
K Kerapu 29.58 6.37 167.27 1.60
K Kakap 98.53 6.34 96.31 6.77
K Bawal putih 10.81 4.57 12.78 0.60
K Kuwe 60.14 15.41 45.68 8.08
SUB JUMLAH 254.10 33.81 402.09 18.28
Total 698
Keterangan:
K = Karang Konsumsi
X5 = Perangkap

Lampiran 28. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
Jenis Alat Tangkap
KELAS JENIS IKAN X5

Sero Jermal Bubu Prangkap lain


K Bambangan 95.34 4.00 117.20 3.04
K Kerapu 80.11 8.00 223.04 4.75
K Kakap 126.00 10.00 129.85 8.32
K Bawal putih 17.89 15.00 2.16 1.80
K Kuwe 42.34 10.00 51.06 26.12
SUB JUMLAH 361.67 47.00 523.32 44.03
Total 976
226

Lampiran 29. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 95.73 96.00 133.00 2.90
K Kerapu 42.09 15.00 198.90 0.08
K Kakap 135.00 130.00 127.23 1.00
K Bawal putih 8.51 17.00 24.00 1.00
K Kuwe 63.13 40.00 220.00 1.00
SUB JUMLAH 344.47 298.00 703.13 5.98
Total 1,352

Lampiran 30. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 3.00 13.00 24.00 7.78
K Kerapu 10.00 15.00 25.00 3.97
K Kakap 15.00 18.00 14.00 9.67
K Bawal putih 0.12 14.00 2.66 2.12
K Kuwe 12.00 12.00 19.00 7.00
SUB JUMLAH 40.12 72.00 84.66 30.53
Total 227
227

Lampiran 31. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 55.00 10.00 104.12 7.78
K Kerapu 29.00 13.00 156.10 3.97
K Kakap 98.00 13.00 44.52 9.67
K Bawal putih 10.00 5.00 40.00 2.12
K Kuwe 60.00 12.00 49.48 27.02
SUB JUMLAH 252.00 53.00 394.22 50.54
Total 750

Keterangan:
K = Karang Konsumsi
X5 = Perangkap
Lampiran 32. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 2.90 10.00 14.14 40.04
Krus Kepiting 9.45 10.00 3.56 12.44
Udang
Krus barong 0.57 1.00 2.69 41.30
Udang
Krus Windu 16.36 2.00 5.05 43.14
Krus Udang putih 9.06 2.00 5.16 11.47
SUB JUMLAH 38.33 25.00 30.60 148.39
Total 242
228

Lampiran 33. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 11.52 16.00 8.65 166.38
Krus Kepiting 18.47 16.95 26.23
Udang
Krus barong 2.16 4.53 1.94
Udang
Krus Windu 7.76 3.54 198.51
Krus Udang putih 2.53 3.64 72.28
Krus Udang dogol - - -
Krus Kerang darah - - -
SUB JUMLAH 42.45 16.00 37.31 465.34
Total 561

Keterangan:
Krus = Ikan Berkulit Keras
X5 = Perangkap

Lampiran 34. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
Jenis Alat Tangkap
JENIS X5
KELAS
IKAN
sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 86.13 10.00 36.97 101.83
Krus Kepiting 10.70 3.92 21.23
Udang
Krus barong 0.26 0.81 29.59
Udang
Krus Windu 197.94 6.01 6.78
Krus Udang putih 14.14 6.46 8.55
Krus Udang dogol - - -
Kerang
Krus darah - - -
SUB JUMLAH 309.17 10.00 54.17 167.98
Total 541
229

Lampiran 35 Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 120.11 14.00 61.23 125.29
Krus Kepiting 7.12 46.33 20.65
Udang
Krus barong 0.40 - 3.37
Udang
Krus Windu 287.36 6.75 75.77
Krus Udang putih 11.83 0.19 10.00
Udang
Krus dogol - - -
SUB JUMLAH 426.82 14.00 114.50 235.09
Total 790
Keterangan:
Krus = Ikan Berkulit Keras
X5 = Perangkap

Lampiran 36. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 120.11 11.00 61.23 125.29
Krus Kepiting 7.22 46.33 20.65
Udang
Krus barong 0.40 - 3.37
Udang
Krus Windu 140.00 6.75 75.77
Krus Udang putih 11.83 0.19 10.00
Krus Udang dogol - - -
SUB JUMLAH 279.57 11.00 114.50 235.09
Total 640

Keterangan:
Krus = Ikan Berkulit Keras
X5 = Perangkap
230

Lampiran 37. Koefisien Goal Programming (JTB)

Harga Input Produksi - Koefisien Goal JTB (Rp)


Kode
Nama Alat JTB (Kg) Ikan Per Programming
Alat
Kg X1 X2 X3 X4 X5 Y
X11 Payang 668,894 3.000 2.006.680.896
X12 Pukat Pantai 824,392 3.000 2.473.177.070
4.500 4 300
X13 Pukat Cincin 2.119,643 3.000 6.358.929.205
X14 Pukat Udang 797,249 6.000 4.783.491.152
Sub Total X1 4.410,178 15.622.278.323
Jaring Insang
X21 Hanyut 155,604 5.000 778.022.159
Jaring Insang
X22 Lingkar 270,903 5.000 4.500 4 300 1.354.513.657
X23 Jaring Insang Tetap 464,158 5.000 2.320.791.421
X24 Trammel Net 13,118 5.000 65.591.280
Sub Total X2 903,784 4.518.918.516
X31 Bagan Perahu 196,275 3.000 588.825.760
X32 Bagan Tancap 129,748 3.000 389.245.397
3.700 4 300
X33 Serok 92,044 3.000 276.133.473
X34 Jaring Angkat Lain 5,710 3.000 17.129.842
Sub Total X3 423,778 1.271.334.472
X41 Huhate 1.114,462 3.500 3.900.615.440
X42 Pancing biasa 811,737 3.000 2.435.212.351
4.500 4 300
X43 Pancing tonda 1.369,218 2.100 2.875.356.792
X44 Rawa tetap 1.253,079 3.500 4.385.775.970
Sub Total X4 4.548,495 13.596.960.554
X51 Sero 614,262 7.000 4.299.836.948
X52 Bubu 663,670 7.000 4.645.689.564
4 300
X53 Perangkap lainnya 289,063 7.000 2.023.442.525
X54 Jermal 129,770 7.000 908.387.249
Sub Total X5 1.696,765 11.877.356.286
JUMLAH 11.983,000 6.000.000

Liter Liter Liter Kg Orang 46.886.848.150


X1 Bensin
X2 Minyak Tanah
X3 Air Tawar Selisih MSY dengan JTB 11.722.690.233
X4 Es
X5 Tenaga Kerja
231

Lampiran 38. Koefisien Goal Programming (MSY)

Harga Input Produksi - Koefisien Goal MSY (Rp)


Kode
Nama Alat MSY (Kg) Ikan Per Programming
Alat
Kg X1 X2 X3 X4 X5
X11 Payang 836,131 3.000 2.508.392.986
X12 Pukat Pantai 1.030,508 3.000 3.091.522.935
4.500 4 300
X13 Pukat Cincin 2.649,598 3.000 7.948.794.172
X14 Pukat Udang 996,577 6.000 5.979.463.737
Sub Total X1 5.512,814 19.528.173.830
Jaring Insang
972.543.930
X21 Hanyut 194,509 5.000
Jaring Insang
4.500 4 300 1.693.170.331
X22 Lingkar 338,634 5.000
X23 Jaring Insang Tetap 580,208 5.000 2.901.037.694
X24 Trammel Net 16,398 5.000 81.990.468
Sub Total X2 1.129,748 5.648.742.423
X31 Bagan Perahu 245,348 3.000 736.044.485
X32 Bagan Tancap 162,188 3.000 486.564.867
3.700 4 300
X33 Serok 115,058 3.000 345.172.602
X34 Jaring Angkat Lain 7,138 3.000 21.412.660
Sub Total X3 1.589.194.613
X41 Huhate 1.393,100 3.500 4.875.850.678
X42 Pancing biasa 1.014,689 3.000 3.044.066.245
4.500 4 300
X43 Pancing tonda 1.711,550 2.100 3.594.255.979
X44 Rawa tetap 1.566,375 3.500 5.482.311.463
Sub Total X4 16.996.484.364
X51 Sero 767,841 7.000 5.374.885.891
X52 Bubu 829,601 7.000 5.807.208.877
4 300
X53 Perangkap lainnya 361,335 7.000 2.529.345.371
X54 Jermal 162,215 7.000 1.135.503.013
Sub Total X5 14.846.943.153
JUMLAH 14.979,000 6.000.000

Liter Liter Liter Kg Orang 58.609.538.383


X1 Bensin Liter
X2 Minyak Tanah Liter
X3 Air Tawar Liter
X4 Es Kg
X5 Tenaga Kerja Orang
232

Lampiran 39. Jumlah BBM Optimal Berdasarkan JTB

BBM Per Trip


Kode Jumlah Jumlah Jumlah (lt) Jumlah BBM (lt)
Nama Alat
Alat Alat Bln M. M.
Opt Melaut Trip/Bln Bensin Tanah Bensin Tanah
X11 Payang 18 12 12 100 259.200 0
X12 Pukat Pantai 27 12 12 100 388.800 0
X13 Pukat Cincin 2 12 12 250 72.000 0
X14 Pukat Udang 2 12 12 150 43.200 0
Sub Total X1 49 763.200 0
Jaring Insang
X21 Hanyut 731 12 20 5 877.200 0
Jaring Insang
X22 Lingkar 220 12 20 5 264.000 0
X23 Jaring Insang Tetap 278 12 20 5 333.600 0
X24 Trammel Net 31 12 20 5 37.200 0
Sub Total X2 1.260 1.512.000 0
X31 Bagan Perahu 73 12 18 3 3 47.304 47304
X32 Bagan Tancap 66 12 18 3 3 42.768 42768
X33 Serok 5 12 18 0 0
X34 Jaring Angkat Lain 5 12 18 0 0
Sub Total X3 149 90.072 90.072
X41 Huhate 3 12 20 200 144.000 0
X42 Pancing biasa 304 12 20 5 364.800 0
X43 Pancing tonda 570 12 20 5 684.000 0
X44 Rawa tetap 45 12 20 0 0
Sub Total X4 922 1.192.800 0
X51 Sero 25 12 20 2 12.000 0
X52 Bubu 225 12 20 2 108.000 0
X53 Perangkap lainnya 130 12 20 2 62.400 0
X54 Jermal 8 12 20 1 1.920 0
Sub Total X5 388 184.320 0
Total 2.768 0 0 0 0 3.742.392 90.072

Harga Bensin di Lokasi sebesar Rp 5.500 sedangkan harga dasar di Pertamina Bau-bau
seharga Rp 4.500. Harga Minyak tanah di Lokasi sebesar Rp 3.700 sedangkan harga
dasar di Pertamina Bau-bau seharga Rp 4.500 Sehingga ada selisih seperti dalam Tabel
di Bawah ini

No Faktor Pembatas Saat ini Kondisi JTB Selisih Satuan


I BBM 3.814.449.600 Rp
a. Bensin 20.583.156.000 16.840.764.000 3.742.392.000 Rp
b. Minyak Tanah 405.324.000 333.266.400 72.057.600 Rp
233

Lampiran 40. Jumlah ES Optimal Berdasarkan JTB


Kode Total MSY Es Per Kg Ikan Total Es
Nama Alat
Alat (Kg) (Kg) (Kg)
X11 Payang 668.894 1 668.894
X12 Pukat Pantai 824.393 1 824.393
X13 Pukat Cincin 2.119.643 1 2.119.643
X14 Pukat Udang 797.248 1 797.248
Sub Total X1 4.410.178 4.410.178
Jaring Insang
X21 Hanyut 155.604 1 155.604
Jaring Insang
X22 Lingkar 270.903 1 270.903
X23 Jaring Insang Tetap 464.159 1 464.159
X24 Trammel Net 13.118 1 13.118
Sub Total X2 903.784 903.784
X31 Bagan Perahu 196.275 1 196.275
X32 Bagan Tancap 129.748 1 129.748
X33 Serok 92.044 1 92.044
X34 Jaring Angkat Lain 5.710 1 5.710
Sub Total X3 423.777 423.777
X41 Huhate 1.114.462 1 1.114.462
X42 Pancing biasa 811.738 1 811.738
X43 Pancing tonda 1.369.217 1 1.369.217
X44 Rawa tetap 1.253.079 1 1.253.079
Sub Total X4 4.548.496 4.548.496
X51 Sero 614.263 1 614.263
X52 Bubu 663.670 1 663.670
X53 Perangkap lainnya 289.064 1 289.064
X54 Jermal 129.770 1 129.770
Sub Total X5 1.696.766 1 1.696.766
Total 11.983.000 11.983.000
234

Lampiran 41. Penurunan Benefit Akibat Penurunan Kualitas Product

Harga Penerimaan Penerimaan


Kode Tanpa Es dengan ES
Nama Alat JTB (Kg) Ikan Per
Alat
Kg Y
X11 Payang 668,894 3.000 2.006.680.896 2.006.680.896
X12 Pukat Pantai 824,392 3.000 2.473.177.070 2.473.177.070
X13 Pukat Cincin 2.119,643 3.000 6.358.929.205 6.358.929.205
X14 Pukat Udang 797,249 3.000 2.391.745.576 4.783.491.152
Sub Total X1 4.410,178 13.230.532.747 15.622.278.323
Jaring Insang
X21 Hanyut 155,604 2.500 389.011.079 778.022.159
Jaring Insang
X22 Lingkar 270,903 2.500 677.256.829 1.354.513.657
X23 Jaring Insang Tetap 464,158 2.500 1.160.395.710 2.320.791.421
X24 Trammel Net 13,118 2.500 32.795.640 65.591.280
Sub Total X2 903,784 2.259.459.258 4.518.918.516
X31 Bagan Perahu 196,275 3.000 588.825.760 588.825.760
X32 Bagan Tancap 129,748 3.000 389.245.397 389.245.397
X33 Serok 92,044 3.000 276.133.473 276.133.473
X34 Jaring Angkat Lain 5,710 3.000 17.129.842 17.129.842
Sub Total X3 423,778 1.271.334.472 1.271.334.472
X41 Huhate 1.114,462 3.500 3.900.615.440 3.900.615.440
X42 Pancing biasa 811,737 3.000 2.435.212.351 2.435.212.351
X43 Pancing tonda 1.369,218 2.100 2.875.356.792 2.875.356.792
X44 Rawa tetap 1.253,079 3.500 4.385.775.970 4.385.775.970
Sub Total X4 4.548,495 13.596.960.554 13.596.960.554
X51 Sero 614,262 4.000 2.457.049.684 4.299.836.948
X52 Bubu 663,670 4.000 2.654.679.751 4.645.689.564
X53 Perangkap lainnya 289,063 4.000 1.156.252.871 2.023.442.525
X54 Jermal 129,770 4.000 519.078.428 908.387.249
Sub Total X5 1.696,765 6.787.060.735 11.877.356.286
JUMLAH 11.983,000

37.145.347.765 46.886.848.150

Pengurangan Supply ES mengakibatkan pengurangan harga (Bold atas) sehingga terjadi


pengurangan penerimaan sebesar Rp 9.741.500.385
235

Lampiran 42. Jumlah Tenaga Kerja Optimal Berdasarkan JTB

Kode Jumlah Jumlah TK Total


Nama Alat
Alat Alat Opt Per alat TK
X11 Payang 18 2 36
X12 Pukat Pantai 27 2 54
X13 Pukat Cincin 2 6 12
X14 Pukat Udang 2 3 6
Sub Total X1 49 13 108
Jaring Insang
X21 Hanyut 731 1 731
Jaring Insang
X22 Lingkar 220 2 440
X23 Jaring Insang Tetap 278 1 278
X24 Trammel Net 31 1 31
Sub Total X2 1.260 5 1.480
X31 Bagan Perahu 73 2 146
X32 Bagan Tancap 66 1 66
X33 Serok 5 1 5
X34 Jaring Angkat Lain 5 1 5
Sub Total X3 149 5 222
X41 Huhate 3 5 15
X42 Pancing biasa 304 1 304
X43 Pancing tonda 570 1 570
X44 Rawa tetap 45 1 45
Sub Total X4 922 8 934
X51 Sero 25 1 25
X52 Bubu 225 1 225
X53 Perangkap lainnya 130 1 130
X54 Jermal 8 1 8
388 4 388
2.768 3.132
236

Lampiran 43. Jumlah Kebutuhan Air Tawar Optimal Berdasarkan JTB

Air Tawar Per Total Air


Kode Total MSY Kg Ikan Tawar
Nama Alat
Alat
(Kg) (Kg) (Kg)
X11 Payang 668.894 3 2.006.681
X12 Pukat Pantai 824.393 3 2.473.178
X13 Pukat Cincin 2.119.643 3 6.358.929
X14 Pukat Udang 797.248 3 2.391.745
Sub Total X1 4.410.178 13.230.533
X21 Jaring Insang Hanyut 155.604 3 466.812
Jaring Insang
X22 Lingkar 270.903 3 812.709
X23 Jaring Insang Tetap 464.159 3 1.392.476
X24 Trammel Net 13.118 3 39.354
Sub Total X2 903.784 2.711.351
X31 Bagan Perahu 196.275 3 588.825
X32 Bagan Tancap 129.748 3 389.245
X33 Serok 92.044 3 276.133
X34 Jaring Angkat Lain 5.710 3 17.129
Sub Total X3 423.777 1.271.331
X41 Huhate 1.114.462 3 3.343.385
X42 Pancing biasa 811.738 3 2.435.213
X43 Pancing tonda 1.369.217 3 4.107.652
X44 Rawa tetap 1.253.079 3 3.759.238
Sub Total X4 4.548.496 13.645.488
X51 Sero 614.263 3 1.842.788
X52 Bubu 663.670 3 1.991.009
X53 Perangkap lainnya 289.064 3 867.191
X54 Jermal 129.770 3 389.309
Sub Total X5 1.696.766 5.090.297
Total 11.983.000 35.949.000
237

Lampiran 44. Output Goal Programming


LINDO/PC 5.01 (27 JULY 91)

COPYRIGHT (C) 1991 LINDO SYSTEMS INC, CHICAGO, IL.


LICENSED MATERIAL, ALL RIGHTS RESERVED. COPYING
EXCEPT AS AUTHORIZED IS PROHIBITED.

STUDENT VERSION DISTRIBUTED BY SCIENTIFIC PRESS

: min e1+u2+e3+e4+u5+e6+e7+u8
? st
? e1+4500X1+3700X2+4X3+300X4+6000000X5<=58609538383
? u2+X1+X2>=4000000
? e3+X1+X2<=3832464
? e4+X1<=3742392
? u5+X3+X4>=73000000
? e6+0.1667X3+0.5X4<=11983000
? e7+X3<=35949000
? u8+X5>=4449
? e1<=11722690233
? u8>=1317
? X1>=0
? X2>=0
? X3>=0
? X4>=0
? X5>=0
? end

WARNING: PROBLEM IS POORLY SCALED. THE UNITS


OF THE ROWS AND VARIABLES SHOULD BE CHANGED SO
THE COEFFICIENTS COVER A MUCH SMALLER RANGE.
: go
LP OPTIMUM FOUND AT STEP 8

OBJECTIVE FUNCTION VALUE

1) 19440770.

VARIABLE VALUE REDUCED COST


E1 .000000 1.000000
U2 408784.000000 .000000
E3 .000000 2.000000
E4 .000000 1.000000
238

Lanjutan Lampiran 44

U5 19030700.000000 .000000
E6 .000000 3.000000
E7 .000000 1.666600
U8 1317.000000 .000000
X1 3742392.000000 .000000
X2 90072.000000 .000000
X3 35949000.000000 .000000
X4 11983000.000000 .000000
X5 3132.000000 .000000

ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES


2) **************** .000000
--MORE--
3) .000000 -1.000000
4) .000000 1.000000
5) .000000 .000000
6) .000000 -1.000000
7) .000000 2.000000
8) .000000 .666600
9) .000000 .000000
10) **************** .000000
11) .000000 -1.000000
12) 3525768.000000 .000000
13) 90072.000000 .000000
14) 40479000.000000 .000000
15) 13490300.000000 .000000
16) 3132.000000 .000000

NO. ITERATIONS= 8

DO RANGE(SENSITIVITY) ANALYSIS?
?y

RANGES IN WHICH THE BASIS IS UNCHANGED:


OBJ COEFFICIENT RANGES
VARIABLE CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
COEF INCREASE DECREASE
E1 1.000000 INFINITY 1.000000
U2 1.000000 INFINITY 1.000000
E3 1.000000 INFINITY 2.000000
E4 1.000000 INFINITY 1.000000
U5 1.000000 INFINITY 1.000000
E6 1.000000 INFINITY 3.000000
239

Lanjutan Lampiran 44

E7 1.000000 INFINITY 1.666600


U8 1.000000 INFINITY 1.000000
X1 .000000 .000000 INFINITY
X2 .000000 1.000000 .000000
X3 .000000 .666600 INFINITY
X4 .000000 1.000000 1.999400
X5 .000000 1.000000 .000000

RIGHTHAND SIDE RANGES


ROW CURRENT ALLOWABLE ALLOWABLE
RHS INCREASE DECREASE
2**************** INFINITY ****************
3 4000000.000000 INFINITY 408784.000000
--MORE--
4 3591216.000000 408784.000000 65448.000000
5 3525768.000000 65448.000000 3525768.000000
6 73000000.000000 INFINITY 19030700.000000
7 13493000.000000 9515352.000000 6745150.000000
8 40479000.000000 28548910.000000 40479000.000000
9 4449.000000 3186.070000 3196.000000
10**************** INFINITY ****************
11 1317.000000 3196.000000 1282.000000
12 .000000 3525768.000000 INFINITY
13 .000000 65448.000000 INFINITY
14 .000000 40479000.000000 INFINITY
15 .000000 13490300.000000 INFINITY
16 .000000 3196.000000 INFINITY
240

Lampiran 45. Analisa Perbandingan Beberapa alat Penangkapan Ikan

Analisa Perbandingan Ekonomis Perikanan Gill Netter


menurut Skala Usaha / Armada Penangkap

No Uraian Biaya (Rp. 1000,-)


5 GT 10 GT 15 GT
Investasi Modal Tetap
1 Kasko 18.500.000 18.500.000 18.500.000
2 Mesin Utama 20.000.000 30.000.000 55.000.000
3 Peralatan
- Winch 14.400.000 14.400.000 14.400.000
- Kompas 7 SSB 1.500.000 1.500.000 1.500.000
- Api Gill Net 7.500.000 12.000.000 18.000.000

Total 61.900.000 76.400.000 107.400.000


Investasi Modal Kerja Awal
1 Bahan Bakar 887.040 1.330.560 2.439.360
2 Pelumas 200.000 240.000 336.000
3 Air Bersih 25.000 35.000 50.000
4 Ransum 75.000 75.000 75.000
5 Umpan
6 Perawatan 9.285.000 11.460.000 13.860.000
7 Lain-lain 13.105 17.541 959.035
Total
per Trip 10.485.145 13.158.101 17.719.395
Perkiraan Hasil Tangkapan per Trip
Produksi
(Ton) 3.150.000 4.800.000 6.450.000
1 Komersial 3.000.000 4.500.000 6.000.000
2 Ikan Lainnya 150.000 300.000 450.000
Pendapatan Plasma (Rp)
1 Penjualan Hasil
2 Pengeluaran
- Gaji ABK 400.000 600.000 800.000
-
-
-
-
3 Pendapatan Plasma
Tingkat Kelayakan Investasi
1 Breakevent Point (%)
2 Payback Period of Credit (th)
3 Financial Rate of Return (%)
4 Benefit to Cost Ratio
241

Lampiran 45 (lanjutan)

Analisa Perbandingan Ekonomis Perikanan Purse Seine


menurut Skala Usaha / Armada Penangkap
No Uraian Biaya (Rp)
5 GT 15 GT 30 GT
Investasi Modal Tetap
1 Kasko - 200.000.000 250.000.000
2 Mesin Utama - 750.000.000 100.000.000
3 Peralatan
- Alat tangkap - 90.000.000 110.000.000
- Power Block - 6.000.000 8.000.000
- Navigasi - 4.000.000 6.000.000
Total 0 1.050.000.000 474.000.000
Investasi Modal Kerja Awal
1 Bahan Bakar - 2.500.000 3.000.000
2 Pelumas - 400.000 400.000
3 Es - 300.000 350.000
4 Garam - 200.000 250.000
5 Air Bersih - 300.000 350.000
6 Ransum - 1.000.000 1.500.000
7 Umpan - - -
8 Perawatan - 300.000 400.000
9 Lain-lain - 200.000 200.000
Total
per Trip 0 5.200.000 6.450.000
Perkiraan Hasil Tangkapan per Trip
Produksi
(Ton) 0 20 35
1 Komersial - 20 35
2 Ikan Lainnya
Nilai
(Rp) 0 38.000.000 66.500.000
1 Komersial - 38.000.000 66.500.000
2 Ikan Lainnya
Pendapatan Plasma (Rp)
1 Penjualan Hasil
2 Pengeluaran
- Gaji ABK - 8.000.000 13.500.000
-
-
-
3 Pendapatan Plasma
Tingkat Kelayakan Investasi
1 Breakevent Point (%)
2 Payback Period of Credit (th)
3 Financial Rate of Return (%)
4 Benefit to Cost Ratio
242

Lampiran 45 (lanjutan)

Analisa Perbandingan Ekonomis Perikanan Rawai Dasar


menurut Skala Usaha / Armada Penangkap

Biaya (Rp)
No Uraian
5 GT 10 GT 15 GT
Investasi Modal Tetap
1 Kasko 110.000.000 150.000.000 200.000.000
2 Mesin Utama 20.000.000 60.000.000 80.000.000
3 Peralatan
- Alat Tangkap 5.000.000 9.000.000 10.000.000
- Line Hauler - - 2.000.000
- Navigasi - 2.000.000 2.000.000

Total 135.000.000 221.000.000 294.000.000


Investasi Modal Kerja Awal
1 Bahan Bakar 500.000 600.000 80.000
2 Pelumas 50.000 55.000 100.000
3 Air Bersih 40.000 60.000 100.000
4 Ransum 150.000 200.000 300.000
5 Umpan 10.000 50.000 100.000
6 Perawatan 100.000 6.000 7.000
7 Lain-lain 100.000 2.896 3.610
Total
per Trip 950.000 973.896 690.610
Perkiraan Hasil Tangkapan per Trip
Produksi
(Kg) 250 460 570
1 Komersial 50 60 70
2 Ikan Lainnya 200 400 500
Nilai
(Rp) 1.550.000 2.500.000 3.050.000
1 Komersial 750.000 900.000 1.050.000
2 Ikan Lainnya 800.000 1.600.000 2.000.000
Pendapatan Plasma (Rp)
1 Penjualan Hasil
2 Pengeluaran
- Gaji ABK 10.000 11.250 15.000
-
-
-
-
3 Pendapatan Plasma
Tingkat Kelayakan Investasi
1 Breakevent Point (%)
2 Payback Period of Credit (th)
3 Financial Rate of Return (%)
4 Benefit to Cost Ratio
243

Lampiran 45 (Lanjutan)

1. Analisa Usaha Payang

A. KEBUTUHAN MODAL

INVESTASI
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 5 GT) 1 Unit Rp 6.750.000 6.750.000
2 Mesin Utama ( 15 HP ) 1 Unit Rp 8.000.000 8.000.000
3 Mesin/alat Bantu
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
4 Alat tangkap
* Payang 20 Pcs Rp 300.000 6.000.000
MODAL TETAP (Fixed Cost) 22.250.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost)

No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah


1 Bahah baker 300 Lt Rp 2.700 810.000
2 Pelumas mesin 10 Lt Rp 6.000 60.000
3 Perbekalan 25 OH Rp 5.000 125.000
4 Es 25 Kg Rp 300 7.500
5 Air bersih 75 Lt Rp 4 300
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 150.420 150.420
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 11.532 11.532
MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost) 1.164.752
TOTAL KEBUTUHAN MODAL (Total Cost) 23.414.752

B. BENEFIT

No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan


2 Per Tahun 38.620 Kg Rp 3.000 115.860.000

C. BIAYA OPERASIONAL VARIABEL COST

No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah


1 Payang 40 Tp Rp 1.164.752 46.590.088
244

FIXED COST
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 5 Th Rp 6.750.000 1.350.000
* Mesin 5 Th Rp 8.000.000 1.600.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 6.000.000 2.000.000
3 Bunga Kredit 14 % per tahun 3.278.065
4 Asuransi sarana 3 % Rp 22.250.000 667.500
Fixed Cost 10.995.565
Total Cost 57.585.653

D. B/C RATIO

1. B/C ratio sesuai proyeksi 2,01


2. B/C ratio (variabel cost nail 10%) 1,86
3. B/C ratio (Benefit turun 10%) 1,81

2. Analisa Usaha Pukat Pantai

A. KEBUTUHAN MODAL

INVESTASI

No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah


1 Alat tangkap
* Pukat Pantai 20 Pcs Rp 300.000 6.000.000
Modal Tetap (Fixed Cost) 6.000.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost)


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Perbekalan 25 OH Rp 3.000 75.000
2 Es 20.000 Kg Rp 300 6.000.000
5 Air bersih 60.000 Lt Rp 4 240.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 947.250 947.250
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 72.623 72.623
Modal Kerja Awal (Variabel Cost) 7.334.873
245

Lampiran 45 (Lanjutan)

B. BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
2 Per Tahun 27.000 Kg Rp 3.000 81.000.000

C. BIAYA OPERASIONAL

VARIABEL COST
No Uraian Jumlah
1 Pukat Pantai 12 Bln Rp 3.888.702 46.664.424
Biaya Variabel (Variabel Cost) 46.664.424

BIAYA TETAP (FIXED COST)


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Perbekalan 36 Trip Rp 20.000 720.000
2 Penyusutan -
* Alat Tangkap 5 Th Rp 6.000.000 1.200.000
3 Bunga Kredit 14% per tahun 1.384.418
Biaya Tetap (Fixed Cost) 3.304.418
Total Cost 49.968.842

D. B/C RATIO

1. B/C ratio sesuai proyeksi 1,62


2. B/C ratio (variabel cost nail 10%) 1,48
3. B/C ratio (Benefit turun 10%) 1,46

3. Analisa Usaha Purse Seine

A. KEBUTUHAN MODAL
1. Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 15 GT) 1 Unit Rp 18.500.000 18.500.000
2 Mesin Utama ( 24 PK ) 1 Unit Rp 40.000.000 40.000.000
3 Mesin/alat Bantu
* Winch (84 HP ) 1 Unit Rp 1.200.000 1.200.000
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
* Rumpon 1 Unit Rp 4.000.000 4.000.000
4 Alat tangkap
* Purse seine 200 Pcs Rp 100.000 20.000.000
Sub Total Modal Tetap 85.200.000
246

Lampiran 45 (Lanjutan)

2. Modal Awal
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Bahan baker 1.400 Lt Rp 2.700 3.780.000
2 Pelumas mesin 11 Lt Rp 6.000 63.000
3 Ransum 150 OH Rp 3.000 450.000
4 Es 4.000 Kg Rp 300 1.200.000
5 Air bersih 1.000 Lt Rp 4 4.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 824.550 824.550
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 63.216 63.216
Variabel Cost 6.384.766

B. Benefit
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Per Trip 17.500 Kg Rp 2.500 43.750.000
2 Per Tahun 160.000 Kg Rp 2.500 400.000.000

C. BIAYA OPERASIONAL

Variabel Cost
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 6.384.766 255.390.620
Biaya Variabel Per Tahun 255.390.620

Fixed Cost
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Org Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 18.500.000 1.850.000
* Mesin 5 Th Rp 40.000.000 8.000.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
3 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 12.821.867
4 Asuransi sarana 3 % Rp 85.200.000 2.556.000
Fixed Cost 27.827.867
Biaya Total Produksi / Tahun 283.218.487
247

Lampiran 45 (Lanjutan)

D. B/C Ratio
1. Rumus Hitung R/C = TB/TC

Keterangan TB
TC : Total Cost / Biaya Total

2 Hasil Perhitungan B - C Ratio


Sesuai proyeksi 1,41
Biaya variabel naik ( 10 % ) 1,30
Penjualan turun ( 10 % ) 1,27

4. Analisa Usaha Pukat Udang

A. KEBUTUHAN MODAL

Investasi

No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah


1 Kasko ( 50 GT) 1 Unit Rp 94.500.000 94.500.000
2 Mesin Utama ( 250 HP ) 1 Unit Rp 22.000.000 22.000.000
3 Mesin/alat Bantu 9.900.000
* Winch (75 HP ) 1 Unit Rp 8.400.000 8.400.000
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
4 Alat tangkap
* Pukat Udang 280 Pcs Rp 300.000 84.000.000
MODAL TETAP (Fixed Cost) 220.300.000
248

Lampiran 45 (Lanjutan)

Modal Kerja Awal (Variabel Cost)


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Bahan baker 4.000 Lt Rp 2.700 10.800.000
2 Pelumas mesin 120 Lt Rp 6.000 720.000
3 Perbekalan 100 OH Rp 3.000 300.000
4 Es 4.000 Kg Rp 300 1.200.000
5 Air bersih 2.000 Lt Rp 4 8.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 1.954.200 1.954.200
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 149.822 149.822
MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost) 15.132.022
BIAYA TOTAL (Total Cost) 235.432.022

B. BENEFIT

No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan


1 Per Tahun 452.520 Kg Rp 6.000 2.715.120.000

C. BIAYA OPERASIONAL

VARIABEL COST

No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah


1 Pukat Udang 60 Tp Rp 15.132.022 907.921.320
BIAYA VARIABEL (Variabel Cost) 907.921.320

FIXED COST
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Biaya hidup (10 org) 120 Bln Rp 150.000 18.000.000
2 Penyusutan -
* Kasko 5 Th Rp 94.500.000 18.900.000
* Mesin 5 Th Rp 22.000.000 4.400.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 9.900.000 1.980.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 84.000.000 28.000.000
3 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 32.960.483
4 Asuransi sarana 3 % Rp 220.300.000 6.609.000
BIAYA TETAP (Fixed Cost) 110.849.483
BIAYA TOTAL (Total Cost) 1.018.770.803
249

Lampiran 45 (Lanjutan)

D. B/C RATIO

1. B/C ratio sesuai proyeksi 2,67


2. B/C ratio (variabel cost nail 10%) 2,45
3. B/C ratio (Benefit turun 10%) 2,40

5. Analisa Usaha Gill Net


A. KEBUTUHAN MODAL
Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Alat tangkap
* Perahu dan alat tangkap 1 Thn Rp 2.000.000 2.000.000
Sub Total Modal Tetap 2.000.000

Vaviabel Cost
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Biaya operasional 1 Pkt Rp 120.000 120.000
2 Es 130 Kg Rp 300 39.000
3 Air bersih 390 Lt Rp 4 1.560
Vaviabel Cost 160.560

BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Per Tahun 130 Kg Rp 5.000 650.000

Fixed Cost
No Uraian Jumlah
1 Penyusutan 12 Bln 2.000.000 166.667
Biaya Variabel Per Tahun 166.667

Variabel Cost
No Uraian Jumlah
1 Biaya melaut 12 Bln Rp 10.000 120.000
Biaya Variabel 120.000
250

Lampiran 45 (Lanjutan)

1. Rumus Hitung R/C = TB/TC

Keterangan TB
TC : Total Cost / Biaya Total

2 Hasil Perhitungan B - C Ratio


Sesuai proyeksi 2,27
Biaya variabel naik ( 10 % ) 2,14
Penjualan turun ( 10 % ) 2,04

6. Jaring Insang Lingkar


A. KEBUTUHAN MODAL
Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 1 GT) 1 Unit 1.000.000 1.000.000
2 Mesin (2,5 PK) 1 Unit 1.200.000 1.200.000
3 Alat tangkap
* Jaring Insang lingkar 1 Unit Rp 1.000.000 1.000.000
MODAL TETAP (Fixed Cost) 3.200.000
Modal Kerja Awal
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Perbekalan 12 OB Rp 20.000 240.000
2 Es 990 Kg Rp 300 297.000
3 Air bersih 1980 Lt Rp 4 7.920
4 Pemeliharaan sarana ( 10 % ) 54.492 54.492
MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost) 599.412

B. BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Per Tahun 990 Kg Rp 5.000 4.950.000
251

Lampiran 45 (Lanjutan)

C. BIAYA OPERASIONAL
Biaya Variabel (Variabel Cost)
No Uraian Jumlah
1 Jaring Insang Lingkar Rp 599.412 2.997.060
Biaya Variabel Per Tahun 2.997.060
Biaya Tetap (Fixed Cost)
No Uraian Jumlah
1 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 531.918
2 Penyusutan
* Kasko (1 GT) 10 Thn 1.000.000 100.000
* Mesin (2,5 PK) 5 Thn 1.200.000 240.000
* Alat Tangkap 5 Thn 1.000.000 200.000
Fixed Cost 1.071.918
Total Cost 4.068.978

D. B/C RATIO

1. B/C ratio sesuai proyeksi 1,22


2. B/C ratio (variabel cost nail 10%) 1,13
3. B/C ratio (Benefit turun 10%) 1,09

7. Jaring Insang Tetap

A. KEBUTUHAN MODAL
Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Patok Beton 2 Unit 1.500.000 3.000.000
2 Pelampung 30 Unit 200.000 6.000.000
3 Tali Bentang Jaring Tetap 20 Mtr 15.000 300.000
4 Alat tangkap
* Jaring Insang Tetap 1 Unit Rp 4.000.000 4.000.000
INVESTASI 13.300.000
252

Lampiran 45 (Lanjutan)

Modal Kerja Awal


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Perbekalan 24 OH Rp 15.000 360.000
2 Es 1.770 Kg Rp 300 531.000
3 Air bersih 5.310 Lt Rp 4 21.240
4 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 136.836 136.836
5 Lain-lain ( 1,15 % ) 10.491 10.491
Total Modal Kerja Awal 1.059.567

B . BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Produksi Per tahun 1.770 Kg Rp 5.000 8.850.000

C. BIAYA OPERASIONAL

Variabel Cost
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Jaring Insang Tetap 1 unit Rp 5.297.834 5.297.834
Biaya Variabel (Variabel Cost) 5.297.834

Fixed Cost
No Uraian Jumlah
2 Bunga Kredit 14 % per tahun 2.010.339
3 Asuransi sarana 3 % Rp 13.300.000 399.000
Biaya Tetap / Tahun 2.409.339
Biaya Total Produksi / Tahun 7.707.173

D. B/C RATIO

1. B/C ratio sesuai proyeksi 1,15


2. B/C ratio (variabel cost nail 10%) 1,07
3. B/C ratio (Benefit turun 10%) 1,03
253

Lampiran 45 (Lanjutan)

8. Trammel Net

A. MODAL
Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Pemberat Alat 2 Unit 1.500.000 3.000.000
2 Pelampung 20 Unit 200.000 4.000.000
3 Alat bantu trammel net 1 Pkt 2.500.000 2.500.000
4 Alat tangkap
* Trammel Net 1 Unit Rp 2.000.000 2.000.000
Total Investasi 11.500.000

Modal Kerja Awal


Harga
No Uraian Volume Satuan Jumlah
1 Perbekalan 12 OH Rp 15.000 180.000
2 Es 1.890 Kg Rp 300 567.000
3 Air bersih 26.700 Lt Rp 4 106.800
4 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 128.070 128.070
5 Lain-lain ( 1,15 % ) 9.819 9.819
TOTAL KEBUTUHAN MODAL 12.491.689

Variabel dan Fixed cost


No Uraian Jumlah
1 Trammel Net Rp 4.958.444 4.958.444
No Uraian Jumlah
1 Bunga Kredit 14% per tahun 1.748.836
2 Penyusutan
* Alat Pemberat 10 Thn 3.000.000 300.000
* Pelampung 10 Thn 4.000.000 400.000
* Alat Bantu tramel net 10 Thn 2.500.000 250.000
* Alat tangkap 5 Thn 2.000.000 400.000
Biaya Tetap (Fixed Cost) 3.098.836

B. BENEFIT
Nilai
No Uraian Produksi Harga Jual Pjualan
1 Produksi 1.890 Kg Rp 5.000 9.450.000
254

Lampiran 45 (Lanjutan)

C. B/C RATIO

1. B/C ratio sesuai proyeksi 1,17


2. B/C ratio (variabel cost nail 10%) 1,10
3. B/C ratio (Benefit turun 10%) 1,06

9. Analisa Usaha Bagan Tancap

A. MODAL
1. Investasi dan Fixed Cost

Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan


No Uraian Volume Satuan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Kayu 40 Batang 5.000 200.000 24 8.333
2 Tali rotan 20 Gulung 5.000 100.000 24 4.167
3 Tali PE @ 6 mm 5 Kg 20.000 100.000 24 4.167
Tali PE @ 10
4 mm 15 Kg 20.000 300.000 24 12.500
5 Waring 400 M 5.000 2.000.000 24 83.333
Lampu
6 Petromaks 2 Buah 300.000 600.000 24 25.000
7 Sampan 1 Buah 800.000 800.000 48 16.667
Total 4.100.000 154.167

2 Biaya Variabel (VC)

Naik
No Uraian Volume Satuan Biaya Sat Biaya/Trip Biaya/bln 10%
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
1 Bahan bakar 2 Liter 3.000 6.000 108.000
2 Biaya Operasional 180.000 28.800
6.000 288.000 316.800
Total Cost 442.167 Total Cost (VC naik 10%) 470.967
255

Lampiran 45 (Lanjutan)

3 Target Produksi
Total 120 Trip
Nilai produksi 1.080 Kg
Harga Jual 360 Kg x Rp 2.500
Rp = 900.000
4 Penerimaan ( B ) B turun10% 412.050
Penerimaan 900.000
Biaya tetap 154.167
Biaya variabel 288.000
Jumlah pendapatan 457.833

5 B/C Ratio 900.000 B/C (VC Naik 10%) 1,91


= 2,0
442.167 B/C (B turun 10%) 1,93

10. Analisa Usaha Bagan Apung

Investasi + Fixed Cost


1. (FC)

Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan


No Uraian Volume Satuan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Perahu papan 2 Buah 2.000.000 4.000.000 36 111.111
2 Balok kayu 1,5 m3 1.100.000 1.650.000 36 45.833
3 Tali PE @ 6mm 10 Kg 20.000 200.000 36 5.556
4 Lampu petromax 6 Buah 300.000 1.800.000 24 75.000
5 Sampan 1 Buah 800.000 800.000 48 16.667
Total 8.450.000 254.167

2 Biaya Produksi (VC)


No Uraian Volume Satuan Biaya Sat Biaya/Trip Biaya/bln VC naik
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) 10%
1 Bahan baker 6 Liter 3.000 18.000 324.000
2 Perbekalan 1 Trip 10.000 10.000 180.000
28.000 504.000 554.400
Total Biaya ( Rp ) 758.167 Total Cost (VC naik 10%) 808.567
256

Lampiran 45 (Lanjutan)

3 Target Produksi (B)


Nilai produksi
perbulan 1.080 Kg
Harga Jual 1.080 Kg x Rp 2.500
Rp = 2.700.000
4 Pendapatan
Penerimaan 2.700.000
Biaya tetap 254.167
Biaya variabel 504.000
Jumlah pendapatan 1.941.833 B turun 10% 2.430.000

5 B/C Ratio 2.700.000 B (V naik 10%) 3,34


3,6
758.167 B (B turun 10%) 3,21

11. Analisa Usaha Serok


Investasi dan Fixed Cost (Penyusutan)
Biaya Biaya
Estimasi Penyusutan
No Uraian Volume Satuan Satuan Total
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
3
1 Balok kayu 1,5 m 1.100.000 1.650.000 36 45.833
2 Tali PE @ 6mm 20 Kg 20.000 400.000 36 11.111
3 Lampu petromax 6 Buah 300.000 1.800.000 24 75.000
4 Sampan 1 Buah 800.000 800.000 48 16.667
Total 4.650.000 148.611

Biaya Berubah (Variabel Cost)


No Uraian Volume Satuan Biaya/Trip Biaya VC naik
(Rupiah) (Rupiah) 10%
1 Bahan bakar 180 Trip 16.200 2.916.000
2 Perbekalan 180 Trip 8.000 1.440.000
242.000 4.356.000 4.791.600
Total Biaya (Rp) 4.504.611 4.940.211
257

3 Target Produksi (B)


Jumlah Trip 180 Trip
Harga Jual 2.490 Kg x Rp 3.000

Rp 7.470.000 B. Turun 10% 6.723.000


4 Pendapatan
Penerimaan 7.470.000
Biaya tetap 148.611
Biaya variabel 4.356.000
Jumlah pendapatan 2.965.389
5 B/C Ratio 7.470.000 B (VC naik 10%) 1,51
1,66 B (B turun
4.504.611 10%) 1,49

12. Jaring Angkat Lain (Ancho)


Investasi dan Fixed Cost
Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
No Uraian Volume Satuan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Balok kayu 0,5 m3 1.100.000 550.000 36 15.278
2 Tali PE @ 3mm 15 Kg 20.000 300.000 36 8.333
3 Lampu minyak tanah 1 Buah 300.000 300.000 24 12.500
4 Jaring 1 Set 750.000 750.000 24 31.250
Total 1.150.000 67.361

Biaya Berubah (Variabel Cost)


No Uraian Volume Satuan Biaya Sat Biaya/Trip Biaya VC naik
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) 10%

1 Biaya perbekalan 120 Trip 10.000 10.000 1.200.000 -

10.000 1.200.000 1.320.000

Total Biaya ( Rp ) 1.267.361 Total Cost (VC naik 10%) 1.387.361


258

Lampiran 45 (Lanjutan)

3 Benefit
Jumlah Trip 120 Hari
Harga Jual 640 Kg x Rp 3.000
Rp 1.920.000
4 Pendapatan
Penerimaan 1.920.000
Biaya tetap 67.361

Biaya variable 1.200.000

Jumlah pendapatan 652.639 B turun 10% 1.728.000

5 B/C Ratio 1.920.000 B (VC naik 10%) 1,38


= 1,5 B (B turun
1.267.361 10%) 1,36

13. Analisa Usaha Huhate

Investasi dan Fixed Cost


No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
Mata pancing
1 Huhate 20 set 30.000 600.000 36 16.667
2 Tonggak Pancing 10 buah 150.000 1.500.000 36 41.667
3 Perahu (100 GT) 1 buah 200.000.000 200.000.000 60 3.333.333
Mesin Honda 100
4 Pk 1 buah 100.000.000 100.000.000 48 2.083.333
5 Jangkar 1 buah 40.000 40.000 48 833
TOTAL 302.140.000 5.475.833

Biaya Berubaha (Variabel Cost)


Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Biaya per trip Biaya/bln VC
( Rp ) ( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 40 Paket 5.000 200.000 200.000
2 Bahan bakar 800 Kg 5.000 4.000.000 1.000.000
3 Perbekalan (5 org) 120 Trip 2.000.000 240.000.000 20.000.000
21.200.000 23.320.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) 328.815.833 TC 28.795.833
259

Lampiran 45 (Lanjutan)

Benefit
3 Target Produksi ( B )
Trip Total 120 Trip

Harga jual (Rp) 210.000 Kg x Rp 3.500 735.000.000 B turun 10% 661.500.000

4 Pendapatan
Penerimaan 735.000.000
Biaya tetap 5.475.833
Biaya variabel 21.200.000
Jumlah pendapatan 708.324.167

5 B/C Ratio 735.000.000 B (V naik 10%) 2,1


= 2,1
328.815.833 B (B turun 10%) 2,0

14. Analisa Usaha Pancing Biasa

Investasi dan Fixed Cost


Biaya Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
2 Mata pancing Monel no. 5,7 5 set 10.000 50.000 12 4.167
3 Penggulung tali senar 5 buah 5.000 25.000 12 2.083
4 Perahu papan 1 buah 2.500.000 2.500.000 36 69.444
5 Mesin Honda 5,5 Pk 1 buah 4.500.000 4.500.000 48 93.750
6 Jangkar 1 buah 40.000 40.000 48 833
TOTAL 7.115.000 170.278

Biaya Berubaha (Variabel Cost)


Biaya Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan per trip Biaya/Thn VC
( Rp ) ( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 120 Paket 5.000 600.000
2 Bahan baker 200 Liter 5.000 1.000.000
1.600.000 1.760.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya
Produksi) 1.770.278 TC 1.930.278
260

Lampiran 45 (Lanjutan)

3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per bulan 700 Kg
x Rp
Harga jual (Rp) 1.050 Kg 3.000 3.150.000 B turun 10% 2.835.000

4 Pendapatan
Penerimaan 3.150.000
Biaya tetap 170.278
Biaya variabel 1.600.000
Jumlah pendapatan 1.379.722

5 B/C Ratio 3.150.000 = 1,8 B (V naik 10%) 1,6


1.770.278 B (B turun 10%) 1,6

15. Analisa Usaha Pancing Tonda

Investasi dan Fixed Cost


No Uraian Vol Satuan Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 PA Monofilament (senar) 2 Gulung 150.000 300.000 12 25.000
Mata pancing Monel no.
2 5,7 2 set 10.000 20.000 12 1.667
3 Penggulung tali senar 1 buah 5.000 5.000 12 417
4 Perahu papan 1 buah 1.750.000 1.750.000 36 48.611
5 Mesin Honda 5,5 Pk 1 buah 2.250.000 2.250.000 48 46.875
6 Jangkar 1 buah 40.000 40.000 48 833
TOTAL 4.365.000 123.403

Variabel Cost

Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Total Biaya VC
( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 100 Paket 5.000 500.000
2 Perbekalan 100 Trip 7.000 700.000
2 Bahan baker 12 Liter 4.500 54.000
1.254.000 1.379.400
TOTAL COST ( Investasi + Biaya produksi) 1.377.403 TC 1.502.803
261

Lampiran 45 (Lanjutan)

3 Target Produksi ( B )
Total Trip 100 Trip
Harga jual (Rp) 1340 Kg x Rp 2.100 2.814.000 B turun 10% 2.532.600

4 Pendapatan
Penerimaan 2.814.000
Biaya tetap 123.403
Biaya variabel 1.254.000
Jumlah pendapatan 1.436.597

5 B/C Ratio 2.814.000 = 2,0 B (V naik 10%) 1,9


1.377.403 B (B turun 10%) 1,8

16. Analisa Usaha Rawai Tetap

1. Investasi dan Fixed Cost


Biaya Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
2 Mata pancing Monel no. 5,7 200 set 10.000 2.000.000 12 166.667
3 Penggulung tali senar 5 buah 5.000 25.000 12 2.083
4 Perahu papan 1 buah 2.500.000 2.500.000 36 69.444
5 Mesin Honda 5,5 Pk 1 buah 4.500.000 4.500.000 48 93.750
6 Jangkar 1 buah 40.000 40.000 48 833
TOTAL 9.065.000 332.778

2. Biaya Berubah (Variabel Cost)


Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Total Biaya VC
( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 100 Paket 5.000 500.000
2 Perbekalan 100 Trip 20.000 2.000.000
3 Bahan baker 200 Liter 5.000 1.000.000
3.500.000 3.850.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) .832.778 TC 4.182.778
262

Lampiran 45 (Lanjutan)

c. Benefit dan B/C Ratio


3 Target Produksi ( B )
Total Trip 100 Hari
Nilai Produksi Per bulan 700 Kg
Harga jual (Rp) 1581 Kg x Rp 3.500 5.533.500 B turun 10% 4.980.150

4 Pendapatan
Penerimaan 5.533.500
Biaya tetap 332.778
Biaya variabel 3.500.000
Jumlah pendapatan 1.700.722

5 B/C Ratio 5.533.500 = 1,4 B (V naik 10%) 1,3


3.832.778 B (B turun 10%) 1,3

17. Analisa Usaha Sero

Investasi dan Fixed Cost


No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Sero 1 set 15.000.000 15.000.000 12 1.250.000
2 Tali pengikat 1 set 5.000.000 5.000.000 12 416.667
3 Rumah jaga 1 buah 30.000.000 30.000.000 24 1.250.000
4 Papan 1 buah 10.000.000 10.000.000 24 416.667
5 Jaring sayap 1 set 10.000.000 10.000.000 24 416.667
TOTAL 70.000.000 3.750.000

Biaya Berubah (Variabel Cost)


No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Total Cost VC
( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 1 Paket 5.000.000 5.000.000
2 Perbekalan 120 Trip 80.000 9.600.000
16.060.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya
Produksi) 18.350.000 Total Cost 19.810.000
263

Lampiran 45 (Lanjutan)
Benefit dan B/C Ratio
3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per
Tahun 6360 Kg
B turun
Harga jual (Rp) 6.360 Kg x Rp 7.000 44.520.000 10% 40.068.000

4 Pendapatan
Penerimaan 44.520.000
Biaya tetap 3.750.000
Biaya variabel 14.600.000
Jumlah pendapatan 26.170.000

5 B/C Ratio 44.520.000 = 2,4 B (V naik 10%) 2,2


18.350.000 B (B turun 10%) 2,2
18. Bubu
1 Investasi dan Fixed Cost
No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Bambu 1 Set 1.500.000 1.500.000 12 125.000
2 Tali Pengikat 1 Set 500.000 500.000 12 41.667
TOTAL 2.000.000 166.667
2. Variabel cost
No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya per trip Biaya/bln VC
( Rp ) ( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 1 Paket 120.000 120.000
2 Perbekalan 1 Paket 1.800.000 1.800.000
1.920.000 2.112.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) 2.086.667 TC 2.278.667

3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per bulan 6.360 Kg
Harga jual (Rp) 410 Kg x Rp 7.000 2.870.000 B turun 10% 2.583.000

4 Pendapatan
Penerimaan 2.870.000
Biaya tetap 166.667
Biaya variable 1.920.000
Jumlah pendapatan 783.333

5 B/C Ratio 2.870.000 = 1,4 B (V naik 10%) 1,3


2.086.667 B (B turun 10%) 1,2
264

19. Analisa Usaha Jermal

Investasi dan Fixed Cost


Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Bambu air 1 set 15.000.000 15.000.000 12 1.250.000
2 Tali pengikat 1 set 5.000.000 5.000.000 12 416.667
3 Rumah jaga 1 buah 30.000.000 30.000.000 24 1.250.000
4 Papan 1 buah 5.000.000 5.000.000 24 208.333
5 Kayu bulat buat patok 1 set 5.000.000 5.000.000 24 208.333
TOTAL 60.000.000 3.333.333

Biaya Berubah (Variabel Cost)


No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya per trip VC
( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Perbekalan 120 Trip 80.000 9.600.000
10.560.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) 12.933.333 13.893.333

3 Benefit
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per
Tahun 3.320 Kg
Harga jual (Rp) 3.320 Kg x Rp 7.000 23.240.000 B turun 10% 20.916.000
4 Pendapatan
Penerimaan 23.240.000
Biaya tetap 3.333.333
Biaya variabel 9.600.000
Jumlah pendapatan 10.306.667
5 B/C Ratio 23.240.000 = 1,8 B (V naik 10%) 1,7
12.933.333 B (B turun 10%) 1,6
265

Lampiran 45 (Lanjutan)

20. Perangkap Lain (Bubu Ulur)

Investasi dan Fixed Cost


Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
Pembuatan dan
1 Pemasangan 1 Paket 2.500.000 2.500.000 12 208.333
2 Perahu dan Mesin 1 Paket 4.500.000 4.500.000 24 187.500
3 Tali penggantung 1 Set 500.000 500.000 12 41.667
4 Pelampung 1 Set 300.000 300.000 24 12.500
TOTAL 7.500.000 450.000

Biaya Variabel (Variabel Cost)


No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Total Biaya VC
( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 1 Paket 240.000 240.000
2 Perbekalan 1 Paket 1.800.000 1.800.000
2.040.000 2.244.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) 2.490.000 TC 2.694.000

3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per
bulan 6.360 Kg
Harga jual (Rp) 1.300 Kg x Rp 7.000 9.100.000 B turun 10% 8.190.000

4 Pendapatan
Penerimaan 9.100.000
Biaya tetap 450.000
Biaya variabel 2.040.000
Jumlah pendapatan 6.610.000

5 B/C Ratio 9.100.000 = 3,7 B (V naik 10%) 3,4


2.490.000 B (B turun 10%) 3,3
266

Lampiran 46. ANALISA ALAT TANGKAP /USAHA PENGEMBANGAN

1. Usaha Budidaya Rumput Laut

ANALISA USAHA RUMPUT LAUT DENGAN METODE KOMBINASI


(BAMBU - TALI) PER SIKLUS PANEN (40 Hari)
UNTUK LUASAN AREAL 1 HA

1. Biaya tetap ( FC )
No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Bambu 320 Batang 7.500 2.400.000 6 400.000
2 Tali PE 8 mm 160 Kg 20.000 3.200.000 12 266.667
3 Tali PE 5 mm 120 Kg 20.000 2.400.000 12 200.000
4 Tali PE 2 mm 40 Kg 25.000 1.000.000 12 83.333
5 Tali Jangkar 200 G 20.000 4.000.000 18 222.222
6 Jangkar 80 Buah 50.000 4.000.000 30 133.333
7 Keranjang 16 Buah 25.000 400.000 12 33.333
8 Perahu 1 Buah 1.500.000 1.500.000 18 83.333
9 Peralatan kerja 1 Paket 500.000 500.000 6 83.333
1.505.554
2 Biaya Produksi ( VC )
1 Pembuatan sarana 1 Paket 2.000.000 2.000.000 VC naik 10%
2 Pembelian bibit 6500 Kg 2.000 13.000.000
3 Pengikatan bibit 1 Paket 560.000 560.000
4 Pemeliharaan 1 Orang 500.000 500.000
5 Pemanenan 1 Paket 800.000 800.000
6 Bahan baker 30 Liter 4.500 135.000
16.995.000 18.694.500
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) 18.500.554 20.200.054
267

3. Target Produksi ( B )
Lama
Pemeliharaan 40
Berat panen
basah 52.000
Harga jual (Rp) 7.429 x Rp 4.000 29.716.000 B turun 10% 26.744.400

4 Pendapatan
Penerimaan 29.714.286
Biaya tetap 1.505.556
Biaya variabel 16.995.000

Jumlah
pendapatan 11.213.730

5 B/C Ratio 29.716.000 = 1,6 B (V naik 10%) 1,5


18.500.554 B (B turun 10%) 1,4

2. Karamba Jaring Apung


Investasi dan Fixed Cost
No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Jaring Karamba 1 Set 25.000.000 25.000.000 12 2.083.333
2 Pelampung 1 Kg 15.000.000 15.000.000 24 625.000
3 Tali 1 Kg 3.500.000 3.500.000 24 145.833
4 Jangkar 1 Kg 1.000.000 1.000.000 24 41.667
5 Kayu Balok 1 m3 1.000.000 1.000.000 36 27.778
6 Kayu papan 10 Lembar 25.000 250.000 36 6.944
5.750.000 .930.556

Biaya Berubah (Variabel Cost)


1 Tenaga Kerja 24 OB 250.000 6.000.000 VC naik 10%
2 Pakan 300 Kg 10.000 3.000.000
3 Benih Ikan 100 Ekor 10.000 1.000.000
10.000.000 11.000.000
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) 12.930.556 13.930.556
268

Lampiran 46 (Lanjutan)
Benefit dan B/C Ratio
3 Target Produksi
Lama Pemeliharaan 150 hari
Survival x jumlah tebar x berat rata-rata (100 ekor x 0,5 x 5kg/ekor) 250 Kg
Harga jual (Rp) 250 x Rp 70.000,- 17.500.000 B turun 10% 15.750.000

4 Pendapatan
Penerimaan 17.500.000
Biaya tetap 2.930.556
Biaya variabel 12.930.556
Jumlah pendapatan 11.213.730

5 B/C Ratio 17.500.000 = 1,4 B (V naik 10%) 1,3


12.930.556 B (B turun 10%) 1,2
269

Lampiran 46 (Lanjutan)

3. Analisa Usaha Purse Seine 10 GT

A. KEBUTUHAN MODAL

MODAL TETAP (Fixed Cost)


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 10 GT) 1 Unit Rp 13.500.000 13.500.000
2 Mesin Utama ( 46 HP ) 1 Unit Rp 22.000.000 22.000.000
3 Mesin/alat bantu
* Winch (12 HP ) 1 Unit Rp 1.200.000 1.200.000
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
* Rumpon 1 Unit Rp 4.000.000 4.000.000
4 Alat tangkap
* Purse seine 40 Pcs Rp 300.000 12.000.000
Sub Total Modal Tetap 54.200.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost)


Purse Seine
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Bahan Bakan Mesin 1.000 Lt Rp 2.700 2.700.000
2 Pelumas mesin 30 Lt Rp 6.000 180.000
3 Ransum 25 OH Rp 3.000 75.000
4 Es 1000 Kg Rp 300 300.000
5 Air bersih 500 Lt Rp 4 2.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 488.550 488.550
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 37.456 37.456
(Kebutuhan Per Trip) 3.783.006

Sub Total Modal Kerja Awal (Variabel Cost) 3.783.006


TOTAL KEBUTUHAN MODAL (Total Cost) 57.983.006
270

Lampiran 46 (Lanjutan)

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE SKALA 10 GT

B. RENCANA DANA MODAL

MODAL TETAP (Fixed Cost)


No Uraian Jumlah
1 Bantuan Pemerintah -
2 Kredit Bank 54.200.000
Sub Total Modal Tetap 54.200.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost)


a. Purse Seine
No Uraian Jumlah
Bantuan Pemerintah
1 (APBN) -
2 Kredit Bank 3.783.006
(Kebutuhan Per Trip) 3.783.006

C. RENCANA PRODUKSI / PENJUALAN ( Q )

Purse Seine
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan

1 Per Trip 2.500 Kg Rp 2.500 6.250.000

2 Per Tahun 100.000 Kg Rp 2.500 250.000.000


271

Lampiran 46 (Lanjutan)

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE SKALA 10 GT

D. BIAYA OPERASIONAL

BIAYA VARIABEL
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 3.783.006 151.320.220
Biaya Variabel Per Tahun 151.320.220

BIAYA TETAP
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 13.500.000 1.350.000
* Mesin 5 Th Rp 22.000.000 4.400.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
14 tahun per
3 Bunga Kredit tahun 8.117.621
4 Asuransi sarana 3 % Rp
54.200.000 1.626.000
Biaya Tetap / Tahun 18.093.621
Biaya Total Produksi / Tahun 169.413.841
Biaya Per Unit Produk 1.694
ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE (10 GT)

E. ANALISA B - C RATIO

1. Rumus Hitung R/C = TB/TC

Keterangan TB : Total Benefit / Total Penerimaan


TC : Total Cost / Biaya Total

B-C
2 Hasil Perhitungan Ratio
Sesuai proyeksi 1,48
Biaya variabel naik ( 10 % ) 1,35
Penjualan turun ( 10 % ) 1,33
272

Lampiran 46 (Lanjutan)

4. Analisa Usaha Purse Seine 15 GT

A. KEBUTUHAN MODAL

MODAL TETAP (Fixed Cost)


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 15 GT) 1 Unit Rp 18.500.000 18.500.000
2 Mesin Utama ( 55 HP ) 1 Unit Rp 40.000.000 40.000.000
3 Mesin/alat bantu
* Winch (12 HP ) 1 Unit Rp 1.200.000 1.200.000
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
* Rumpon 1 Unit Rp 4.000.000 4.000.000
4 Alat tangkap
* Purse seine 200 M Rp 100.000 20.000.000
Sub Total Modal Tetap 85.200.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel


Cost)
Purse Seine
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Bahan Bakan Mesin 1.400 Lt Rp 2.700 3.780.000
2 Pelumas mesin 10,5 Lt Rp 6.000 63.000
3 Ransum 150 OH Rp 3.000 450.000
4 Es 4000 Kg Rp 300 1.200.000
5 Air bersih 1000 Lt Rp 4 4.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 824.550 824.550
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 63.216 63.216
(Kebutuhan Per Trip) 6.384.766

Sub Total Modal Kerja Awal (Variabel Cost) 6.384.766


TOTAL KEBUTUHAN MODAL (Total Cost) 91.584.766
273

Lampiran 46 (Lanjutan)

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE SKALA 15 GT

A. KEBUTUHAN MODAL

MODAL TETAP (Fixed Cost)


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 15 GT) 1 Unit Rp 18.500.000 18.500.000
2 Mesin Utama ( 55 HP ) 1 Unit Rp 40.000.000 40.000.000
3 Mesin/alat bantu
* Winch (12 HP ) 1 Unit Rp 1.200.000 1.200.000
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
* Rumpon 1 Unit Rp 4.000.000 4.000.000
4 Alat tangkap
* Purse seine 200 M Rp 100.000 20.000.000
Sub Total Modal Tetap 85.200.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel


Cost)
Purse Seine
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Bahan Bakan Mesin 1.400 Lt Rp 2.700 3.780.000
2 Pelumas mesin 10,5 Lt Rp 6.000 63.000
3 Ransum 150 OH Rp 3.000 450.000
4 Es 4000 Kg Rp 300 1.200.000
5 Air bersih 1000 Lt Rp 4 4.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 824.550 824.550
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 63.216 63.216
(Kebutuhan Per Trip) 6.384.766

Sub Total Modal Kerja Awal (Variabel Cost) 6.384.766


TOTAL KEBUTUHAN MODAL (Total Cost) 91.584.766
274

Lampiran 46 (Lanjutan)

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE SKALA 15 GT

B. RENCANA DANA MODAL

MODAL TETAP (Fixed Cost)


No Uraian Jumlah
1 Bantuan Pemerintah -
2 Kredit Bank 85.200.000
Sub Total Modal Tetap 85.200.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost)


a. Purse Seine
No Uraian Jumlah
Bantuan Pemerintah
1 (APBN) -
2 Kredit Bank 6.384.766
(Kebutuhan Per Trip) 6.384.766

C. RENCANA PRODUKSI / PENJUALAN ( Q )

PURSE SEINE
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan

1 Per Trip 4.000 Kg Rp 2.500 10.000.000

2 Per Tahun 160.000 Kg Rp 2.500 400.000.000


275

Lampiran 46 (Lanjutan)

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE SKALA 15 GT

D. BIAYA
OPERASIONAL

BIAYA VARIABEL
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 6.384.766 255.390.620
Biaya Variabel Per Tahun 255.390.620

BIAYA TETAP
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 18.500.000 1.850.000
* Mesin 5 Th Rp 40.000.000 8.000.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
14 tahun per
3 Bunga Kredit tahun 12.821.867
4 Asuransi sarana 3 % Rp 85.200.000 2.556.000
Biaya Tetap / Tahun 27.827.867
Biaya Total Produksi / Tahun 283.218.487
Biaya Per Unit Produk 1.770
276

Lampiran 46 (Lanjutan)

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE SKALA 15 GT


E. ANALISA B - C RATIO
1. Rumus Hitung R/C = TB/TC

Keterangan TB : Total Benefit / Total Penerimaan


TC : Total Cost / Biaya Total

B-C
2 Hasil Perhitungan Ratio
Sesuai proyeksi 1,41
Biaya variabel naik ( 10 % ) 1,30
Penjualan turun ( 10 % ) 1,27

5. Analisa Usaha Gill Net 15 GT

A. KEBUTUHAN MODAL

MODAL TETAP (Fixed Cost)


No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 15 GT) 1 Unit Rp 18.500.000 18.500.000
2 Mesin Utama ( 46 HP ) 1 Unit Rp 40.000.000 40.000.000
3 Mesin/alat bantu
* Winch (12 HP ) 1 Unit Rp 1.200.000 1.200.000
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
* Rumpon 1 Unit Rp -
4 Alat tangkap
* Gill Net 60 Pcs Rp 300.000 18.000.000
Sub Total Modal Tetap 79.200.000
277

Lampiran 46 (Lanjutan)

MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost)


Gill Net
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Bahan Bakan Mesin 1.000 Lt Rp 2.700 2.700.000
2 Pelumas mesin 42 Lt Rp 6.000 252.000
3 Ransum 25 OH Rp 3.000 75.000
4 Es 1000 Kg Rp 300 300.000
5 Air bersih 500 Lt Rp 4 2.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 499.350 499.350
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 38.284 38.284
(Kebutuhan Per Trip) 3.866.634

Sub Total Modal Kerja Awal (Variabel Cost) 3.866.634


TOTAL KEBUTUHAN MODAL (Total Cost) 83.066.634
278

Lampiran 46 (Lanjutan)

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - GILL NETTER SKALA 15 GT

B. RENCANA DANA MODAL

MODAL TETAP (Fixed Cost)


No Uraian Jumlah
1 Bantuan Pemerintah -
2 Kredit Bank 79.200.000
Sub Total Modal Tetap 79.200.000

MODAL KERJA AWAL (Variabel Cost)


a. Purse Seine
No Uraian Jumlah
Bantuan Pemerintah
1 (APBN) -
2 Kredit Bank 3.866.634
(Kebutuhan Per Trip) 3.866.634

C. RENCANA PRODUKSI / PENJUALAN ( Q )

PURSE SEINE
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan

1 Per Trip 4.000 Kg Rp 2.500 10.000.000

2 Per Tahun 160.000 Kg Rp 2.500 400.000.000


279

Lampiran 46 (Lanjutan)

D. BIAYA OPERASIONAL

BIAYA VARIABEL
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 3.866.634 154.665.340
Biaya Variabel Per Tahun 154.665.340

BIAYA TETAP
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 18.500.000 1.850.000
* Mesin 5 Th Rp 40.000.000 8.000.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
3 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 11.629.329
4 Asuransi sarana 3 % Rp 79.200.000 2.376.000
Biaya Tetap / Tahun 26.455.329
Biaya Total Produksi / Tahun 181.120.669
Biaya Per Unit Produk 1.132

ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - GILL NETTER 15 GT

E. ANALISA B - C RATIO

1. Rumus Hitung R/C = TB/TC

Keterangan TB : Total Benefit / Total Penerimaan


TC : Total Cost / Biaya Total

B-C
2 Hasil Perhitungan Ratio
Sesuai proyeksi 2,21
Biaya variabel naik ( 10 % ) 2,03
Penjualan turun ( 10 % ) 1,99
280

Lampiran 47. Perhitungan Analisis AHP, Analisis Kebijakan Optimisasi


Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten
Buton
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO
Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL
Distributive Mode
OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.0
_______________________________________________________________________
_____
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4 LEVEL 5
_______________________________________________________________________
_____
Pusat =.424
Ekologi =.190
PnktSDM =.063
Optimal =.063
Modal =.021
Sarana =.021
InfoPsr =.021
Ekonomi =.098
Modal =.037
Optimal =.022
InfoPsr =.022
PnktSDM =.012
Sarana =.006
Sosial =.052
PnktSDM =.019
Optimal =.011
InfoPsr =.011
Modal =.006
Sarana =.006
Teknolog=.052
Optimal =.024
PnktSDM =.013
Sarana =.007
Modal =.004
InfoPsr =.004
Hukum =.031
PnktSDM =.011
Modal =.006
Sarana =.006
Optimal =.003
InfoPsr =.003
Pemda =.227
Ekonomi =.068
Optimal =.025
Modal =.015
Sarana =.015
PnktSDM =.008
InfoPsr =.005
Sosial =.068
PnktSDM =.024
Modal =.012
Optimal =.012
Sarana =.012
InfoPsr =.007
281

Lampiran 47. (Lanjutan)


Teknolog=.036
Optimal =.012
InfoPsr =.012
PnktSDM =.006
Sarana =.003
Modal =.002
Ekologi =.036
Optimal =.016
PnktSDM =.008
InfoPsr =.006
Modal =.003
Sarana =.003
Hukum =.020
PnktSDM =.007
Optimal =.004
Sarana =.004
Modal =.002
InfoPsr =.002
Usaha =.227
Hukum =.104
Optimal =.043
Modal =.024
InfoPsr =.024
PnktSDM =.009
Sarana =.005
Ekonomi =.056
Optimal =.018
InfoPsr =.018
Sarana =.010
PnktSDM =.006
Modal =.004
Teknolog=.031
Optimal =.014
InfoPsr =.009
PnktSDM =.005
Modal =.002
Sarana =.002
Sosial =.018
PnktSDM =.006
Modal =.003
Optimal =.003
InfoPsr =.003
Sarana =.002
Ekologi =.018
PnktSDM =.007
Sarana =.004
InfoPsr =.004
Modal =.002
Optimal =.002
NelBdi =.122
Ekonomi =.038
Modal =.015
Optimal =.009
Sarana =.005
282

Lampiran 47. (Lanjutan)


InfoPsr =.005
PnktSDM =.003
Teknolog=.038
Optimal =.016
InfoPsr =.010
PnktSDM =.006
Modal =.003
Sarana =.003
Sosial =.022
Sarana =.009
PnktSDM =.005
Modal =.003
Optimal =.003
InfoPsr =.002
Hukum =.012
PnktSDM =.004
Sarana =.002
InfoPsr =.002
Modal =.001
Optimal =.001
Ekologi =.012
PnktSDM =.004
Optimal =.002
Sarana =.002
InfoPsr =.002
Modal =.001
283

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL


Distributive Mode
OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.0

Optimal .304

PnktSDM .228

InfoPsr .171

Modal .168

Sarana .129

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


284

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Ekonomi
Sosial
Pusat Hukum
Teknolog
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Pemda Hukum \ PnktSDM
Teknolog Modal
GOAL Ekologi Optimal
Ekonomi Sarana
Sosial / InfoPsr
Usaha Hukum
Teknolog
Ekologi
Ekonomi
Sosial
NelBdi Hukum
Teknolog
Ekologi

Abbreviation Definition
GOAL
Ekologi Kelestarian SDI, Mutu, Jenis
Ekonomi Tingkat pendapatan, produksi
Hukum Hukum dan Kebijakan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
NelBdi Nelayan dan Pembudidaya Ikan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Pemda Pemerintah Daerah
PnktSDM Peningkatan SDM
Pusat Pemerintah Pusat
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Sosial Tenaga Kerja, Tkt Pendidikan, Konflik sosial
Teknolog Pengembangan Teknologi
Usaha Pengusaha Lokal dan Nasional

Educational Use Only


285

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Node: 0
Compare the relative PREFERENCE with respect to: GOAL

Pemda Usaha NelBdi


Pusat 2.0 2.0 3.0
Pemda 1.0 2.0
Usaha 2.0
Row element is __ times more than column element unless enclosed in ()

Abbreviation Definition
Goal KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK
LASONGKO
Pusat Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi
Pemda Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
Usaha Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans

NelBdi Pelibatan masyarakat dalam prencanaan & pemanfaatn SDI

Pusat .424
Pemda .227
Usaha .227
NelBdi .122

Inconsistency Ratio =0.0

Educational Use Only


286

Lampiran 47. (Lanjutan)

GLOSSARY
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Bijak Dukungan Kebijakan Pemerintah


Ekologi Kelestarian SDI, Mutu, Jenis
Ekonomi Tingkat pendapatan, produksi
Hukum Hukum dan Kebijakan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Lapkerja Membuka kesempatan lapangan kerja
Lembaga Lembaga Masyarakat / NGO
Lestari Kelestarian Sumberdaya Ikan
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
NelBdi Nelayan dan Pembudidaya Ikan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PDPBud Peningkatan Nelayan Pembudidaya Ikan
PDPNel Peningkatan Pendapatan Nelayan Penangkap Ikan
Pemda Pemerintah Daerah
PnktSDM Peningkatan SDM
Pusat Pemerintah Pusat
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Sosial Tenaga Kerja, Tkt Pendidikan, Konflik sosial
Teknolog Pengembangan Teknologi
Usaha Pengusaha Lokal dan Nasional
287

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Pusat


Distributive Mode
_______________________________________________________________________
_____
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4 LEVEL 5
_______________________________________________________________________
_____
Ekologi =.450
PnktSDM =.150
Optimal =.150
Modal =.050
Sarana =.050
InfoPsr =.050
Ekonomi =.232
Modal =.088
Optimal =.051
InfoPsr =.051
PnktSDM =.029
Sarana =.013
Sosial =.123
PnktSDM =.045
Optimal =.025
InfoPsr =.025
Modal =.013
Sarana =.013
Teknolog=.123
Optimal =.056
PnktSDM =.030
Sarana =.017
Modal =.010
InfoPsr =.010
Hukum =.072
PnktSDM =.027
Modal =.015
Sarana =.015
Optimal =.008
InfoPsr =.008
288

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Pusat


Distributive Mode

Optimal .290

PnktSDM .281

Modal .176

InfoPsr .144

Sarana .108

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


289

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekonomi


Distributive Mode

Modal .379

Optimal .219

InfoPsr .219

PnktSDM .127

Sarana .056

Abbreviation Definition
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


290

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Sosial


Distributive Mode

PnktSDM .369

Optimal .206

InfoPsr .206

Modal .109

Sarana .109

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


291

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Hukum


Distributive Mode

PnktSDM .369

Modal .206

Sarana .206

Optimal .109

InfoPsr .109

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


292

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Teknolog


Distributive Mode

Optimal .457

PnktSDM .245

Sarana .138

Modal .080

InfoPsr .080

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


293

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekologi


Distributive Mode

PnktSDM .333

Optimal .333

Modal .111

Sarana .111

InfoPsr .111

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


294

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Pemda


Distributive Mode
_______________________________________________________________________
_____
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4 LEVEL 5
_______________________________________________________________________
_____
Ekonomi =.298
Optimal =.112
Modal =.064
Sarana =.064
PnktSDM =.036
InfoPsr =.022
Sosial =.298
PnktSDM =.104
Modal =.055
Optimal =.055
Sarana =.055
InfoPsr =.029
Teknolog=.158
Optimal =.054
InfoPsr =.052
PnktSDM =.028
Sarana =.015
Modal =.010
Ekologi =.158
Optimal =.070
PnktSDM =.037
InfoPsr =.025
Modal =.013
Sarana =.013
Hukum =.089
PnktSDM =.033
Optimal =.018
Sarana =.018
Modal =.010
InfoPsr =.010
295

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Pemda


Distributive Mode

Optimal .309

PnktSDM .237

Sarana .165

Modal .151

InfoPsr .138

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


296

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekonomi


Distributive Mode

Optimal .376

Modal .215

Sarana .215

PnktSDM .121

InfoPsr .074

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM Peningkatan SDM
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


297

Lampiran 47. (Lanjutan)


KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Sosial


Distributive Mode

PnktSDM .349

Modal .184

Optimal .184

Sarana .184

InfoPsr .098

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


298

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Teknolog


Distributive Mode

Optimal .340

InfoPsr .327

PnktSDM .176

Sarana .094

Modal .063

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan

Educational Use Only


299

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Hukum


Distributive Mode

PnktSDM .369

Optimal .206

Sarana .206

Modal .109

InfoPsr .109

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


300

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekologi


Distributive Mode

Optimal .446

PnktSDM .233

InfoPsr .161

Modal .080

Sarana .080

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


301

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Usaha


Distributive Mode
_______________________________________________________________________
_____
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4 LEVEL 5
_______________________________________________________________________
_____
Hukum =.457
Optimal =.189
Modal =.105
InfoPsr =.105
PnktSDM =.038
Sarana =.022
Ekonomi =.245
Optimal =.078
InfoPsr =.078
Sarana =.045
PnktSDM =.027
Modal =.017
Teknolog=.138
Optimal =.060
InfoPsr =.038
PnktSDM =.020
Modal =.010
Sarana =.010
Sosial =.080
PnktSDM =.028
Modal =.015
Optimal =.015
InfoPsr =.015
Sarana =.008
Ekologi =.080
PnktSDM =.030
Sarana =.016
InfoPsr =.016
Modal =.009
Optimal =.009
302

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Usaha


Distributive Mode

Optimal .350

InfoPsr .252

Modal .155

PnktSDM .142

Sarana .101

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


303

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Sosial


Distributive Mode

PnktSDM .349

Modal .184

Optimal .184

InfoPsr .184

Sarana .098

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


304

Lampiran 47. (Lanjutan)

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN, KASUS TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekonomi


Distributive Mode

Optimal .319

InfoPsr .319

Sarana .184

PnktSDM .109

Modal .068

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan

Educational Use Only


305

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Hukum


Distributive Mode

Optimal .413

Modal .229

InfoPsr .229

PnktSDM .082

Sarana .048

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


306

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Teknolog


Distributive Mode

Optimal .431

InfoPsr .275

PnktSDM .144

Modal .075

Sarana .075

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


307

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekologi


Distributive Mode

PnktSDM .369

Sarana .206

InfoPsr .206

Modal .109

Optimal .109

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari

Educational Use Only


308

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to NelBdi


Distributive Mode
_______________________________________________________________________
_____
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4 LEVEL 5
_______________________________________________________________________
_____
Ekonomi =.313
Modal =.126
Optimal =.077
Sarana =.043
InfoPsr =.043
PnktSDM =.025
Teknolog=.313
Optimal =.130
InfoPsr =.081
PnktSDM =.048
Modal =.027
Sarana =.027
Sosial =.176
Sarana =.076
PnktSDM =.042
Modal =.023
Optimal =.022
InfoPsr =.013
Hukum =.099
PnktSDM =.036
Sarana =.020
InfoPsr =.020
Modal =.011
Optimal =.011
Ekologi =.099
PnktSDM =.034
Optimal =.018
Sarana =.018
InfoPsr =.018
Modal =.010
309

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to NelBdi


Distributive Mode

Optimal .258

Modal .198

PnktSDM .185

Sarana .185

InfoPsr .175

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


310

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekonomi


Distributive Mode

Modal .403

Optimal .244

Sarana .137

InfoPsr .137

PnktSDM .079

Abbreviation Definition
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM

Educational Use Only


311

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Sosial


Distributive Mode

Sarana .432

PnktSDM .237

Modal .133

Optimal .126

InfoPsr .073

Abbreviation Definition
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar

Educational Use Only


312

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Hukum


Distributive Mode

PnktSDM .369

Sarana .206

InfoPsr .206

Modal .109

Optimal .109

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari

Educational Use Only


313

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Teknolog


Distributive Mode

Optimal .415

InfoPsr .257

PnktSDM .153

Modal .088

Sarana .088

Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana

Educational Use Only


314

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Ekologi


Distributive Mode

PnktSDM .349

Optimal .184

Sarana .184

InfoPsr .184

Modal .098

Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan

Educational Use Only


315

Lampiran 47. (Lanjutan)


KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to KEBIJAKAN


Distributive Mode
OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.03
_______________________________________________________________________
_____
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3 LEVEL 4
_______________________________________________________________________
_____
Optimal =.322
AturJns =.100
Budidaya=.079
Lindung =.052
Lokbleh =.038
Libtmsy =.032
Gakhuk =.021
PnktSDM =.273
Informl =.114
LatTptgn=.072
Sinkron =.044
Sadarn =.027
Rehabskl=.017
InfoPsr =.161
KrjsmLbg=.089
SrnPnjg =.039
AkssMsy =.034
Modal =.154
LbgEknm =.055
Tekpasca=.055
IndstKcl=.025
MataAlnt=.020
Sarana =.090
Pelabuha=.039
SisPmsr =.022
Trnsprt =.015
AwasSDI =.010
Listrik =.005
316

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL


Distributive Mode
OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.03

Informl .114

AturJns .100

KrjsmLbg .089

Budidaya .079

LatTptgn .072

LbgEknm .055

Tekpasca .055

Lindung .052

Sinkron .044

Pelabuha .039

SrnPnjg .039

Lokbleh .038

AkssMsy .034

Libtmsy .032

Sadarn .027

IndstKcl .025

SisPmsr .022

Gakhuk .021

MataAlnt .020

Rehabskl .017

Trnsprt .015

AwasSDI .010

Listrik .005

Educational Use Only


317

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Node: 0
Compare the relative PREFERENCE with respect to: GOAL

Modal PnktSDM Sarana InfoPsr


Optimal 2.0 1.0 3.0 3.0
Modal (2.0) 2.0 1.0
PnktSDM 2.0 2.0
Sarana (3.0)
Row element is __ times more than column element unless enclosed in ()

Abbreviation Definition
Goal KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK
LASONGKO
Optimal Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi
Modal Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
PnktSDM Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans

Sarana Pelibatan masyarakat dalam prencanaan & pemanfaatn SDI


InfoPsr Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pmnftan SDI

Optimal .322
Modal .154
PnktSDM .273
Sarana .090
InfoPsr .161

Inconsistency Ratio =0.03

Educational Use Only


318

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO


Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL
Distributive Mode
OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.03

Abbreviation Definition
Informl Pengembangan alternatif pendidikan informal, pelatihan & kwrusaha
AturJns Pengaturan tentang jenis & jml alat/armada tangkap yg diperblhkan
KrjsmLbg Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
Budidaya Pengembangan diversifikasi usaha (budidaya laut)
LatTptgn Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatn SDI
LbgEknm Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat
Tekpasca Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen
Lindung Perlindungan terhadap ekosistem kembang biak SDI
Sinkron Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait
Pelabuha Pembangunan Pelabuhan ikan
SrnPnjg Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans
Lokbleh Pengaturan tentang lokasi yg diperbolehkan memnfaatkn SDI
AkssMsy Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi
Libtmsy Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDI
Sadarn Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan SDI
IndstKcl Pengembangan industri kecil
SisPmsr Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran
Gakhuk Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pmnftan SDI
MataAlnt Pengembangan mata pencaharian alternatif
Rehabskl Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU
Trnsprt Pembangunan dan penataan sarana transportasi
AwasSDI Pengembangan sarana pengawasan pemanfaatan SDI
Listrik Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih

Educational Use Only


319

Lampiran 47. (Lanjutan)

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN, KASUS TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to PnktSDM


Ideal Mode

Informl .419

LatTptgn .263

Sinkron .160

Sadarn .097

Rehabskl .062

Abbreviation Definition
Informl Pengembangan alternatif pendidikan informal, pelatihan & kwrusaha
LatTptgn Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatn SDI
Sinkron Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait
Sadarn Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan SDI
Rehabskl Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU

Educational Use Only


320

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Optimal


Ideal Mode

AturJns .310

Budidaya .245

Lindung .162

Lokbleh .120

Libtmsy .098

Gakhuk .065

Abbreviation Definition
AturJns Pengaturan tentang jenis & jml alat/armada tangkap yg diperblhkan
Budidaya Pengembangan diversifikasi usaha (budidaya laut)
Lindung Perlindungan terhadap ekosistem kembang biak SDI
Lokbleh Pengaturan tentang lokasi yg diperbolehkan memnfaatkn SDI
Libtmsy Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDI
Gakhuk Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pmnftan SDI

Educational Use Only


321

Lampiran 47. (Lanjutan)

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN, KASUS TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Modal


Ideal Mode

LbgEknm .354

Tekpasca .354

IndstKcl .161

MataAlnt .131

Abbreviation Definition
LbgEknm Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat
Tekpasca Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen
IndstKcl Pengembangan industri kecil
MataAlnt Pengembangan mata pencaharian alternatif

Educational Use Only


322

Lampiran 47. (Lanjutan)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to InfoPsr


Ideal Mode

KrjsmLbg .550

SrnPnjg .240

AkssMsy .210

Abbreviation Definition
KrjsmLbg Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
SrnPnjg Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans
AkssMsy Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi

Educational Use Only


323

Lampiran 47. (Lanjutan)

MODEL KEBIJAKAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN, KASUS TELUK LASONGKO

Synthesis of Leaf Nodes with respect to Sarana


Ideal Mode

Pelabuha .431

SisPmsr .243

Trnsprt .161

AwasSDI .106

Listrik .059

Abbreviation Definition
Pelabuha Pembangunan Pelabuhan ikan
SisPmsr Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran
Trnsprt Pembangunan dan penataan sarana transportasi
AwasSDI Pengembangan sarana pengawasan pemanfaatan SDI
Listrik Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih

Educational Use Only


324

Lampiran 48. Rincian Kegiatan Penelitian Lapangan di Teluk Lasongko Kabupaten


Buton
BULAN
NO URAIAN KEGIATAN
PEB MRT APR MEI
1. Persiapan
- Penyusunan Kuisioner
- Koordinasi dengan instansi pemerintah pusat
yang terkait dalam pengembangan Teluk
Lasongko
- Koordinasi dengan Key Person
2. Pelaksanaan di Lapangan
- Koordinasi dengan instansi pemeritah setempat
(Desa, Kecamatan dan Kabupaten)
- Koordinasi dengan lembaga non pemerintah
dan lembaga masyarakat setempat(koperasi
swamitra, lembaga ekonomi masyarakat,
kelompok nelayan)
- Wawancara dengan Key Person
- Pengamatan langsung kondisi ekosistem pesisir
dan laut
- Pengamatan langsung kondisi usaha
penangkapan ikan, budidaya laut dan
pengolahan ikan
- Pengamatan langsung kondisi sosial ekonomi
dan budaya masyarakat
- Pengumpulan data sekunder
3. Pemantauan dan Perbaikan Data

Anda mungkin juga menyukai