Oleh :
ALI SUPARDAN
ALI SUPARDAN. Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Aplikasinya Pada Kebijakan
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko Kabupaten Buton. Dibimbing oleh John
Haluan, Manuwoto., dan Soepanto Soemokaryo.
Penelitian ini dilakukan di Teluk Lasongko, Pulau Muna, bertujuan untuk merumuskan
kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan berbasis MSY di Teluk Lasongko melalui : (1)
analisis peran sektor perikanan laut, (2) analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, (3)
analisis profitability, (4) analisis faktor pembatas , dan (5) analisis SWOT/AHP. Dalam
penelitian ini dipergunakan metode survei. Data primer dihimpun dari wawancara dengan
responden dan observasi langsung lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga
pemerintah dan instansi terkait.
Analisis data menggunakan : Analisis Input-Output untuk menilai peran sektor
perikanan laut, metode Schaefer untuk pendugaan MSY, Linear Goal Programming (LGP)
untuk menghitung besaran faktor pembatas guna pencapaian tujuan, analisis Strength,
Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) dan Analitycal Hierarchy Process (AHP)
untuk perumusan prioritas kebijakan.
Sektor perikanan laut telah memberikan kontribusi dalam pembangunan perekonomian
baik secara nasional maupun regional. Secara nasional sektor ini termasuk sektor prioritas
yang ditunjukan dari nilai Output Multiplier dan Backward Linkage lebih besar dari satu yang
berarti sektor ini mempunyai kemampuan besar untuk menumbuhkan industri hulu dan
hilirnya. Secara regional sektor perikanan laut termasuk pada kategori prioritas pertumbuhan
kedua karena mempunyai kemampuan untuk menarik pertumbuhan output sektor hulunya.
MSY sumberdaya ikan Teluk Lasongko 14.979 ton per tahun. Tingkat
pemanfaatannya telah mencapai 92 %. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan menurut
kelompok jenis ikan yaitu ikan demersal, pelagis kecil, pelagis besar, ikan karang konsumsi
dan ikan berkulit keras masing-masing sebesar 95%, 98%, 80%, 81% dan 95%. Jumlah
tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB) adalah 12.000 ton per tahun. Jenis dan jumlah alat
tangkap yang dapat dioperasikan di perairan Teluk Lasongko agar produksi ikan tidak
melebihi nilai JTB yaitu pukat (payang, pukat pantai, pukat cincin, pukat udang) 49 unit,
jaring insang (j.i. hanyut, j.i. lingkar, j.i. tetap, trammel net) 1.260 unit, jaring angkat (bagan
perahu, bagan tancap, serok, jaring angkat lain) 149 unit , pancing (huhate, pancing biasa,
pancing tonda, rawai tetap) 922 unit, perangkap (sero, bubu, alat lain) 388 unit.
Guna pencapaian produksi perikanan sebesar JTB (12.000 ton/tahun) faktor
pembatasnya adalah tenaga kerja, bahan bakar (bensin atau minyak tanah), es dan air tawar.
Dari hasil analisis diketahui bahwa JTB akan dapat dicapai apabila tersedia tenaga kerja
sebanyak 3.132 orang, bensin 3.742 ton/th, minyak tanah 90 ton/th, es 13.000 ton/th dan air
bersih 36.000 ton/th.
Prioritas kebijakan yang sesuai untuk diterapkan dalam rangka pemanfaatan
sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yaitu : (i) pemanfaatan sumberdaya ikan secara optimal,
(ii) peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan pemerintah, (iii)
pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan, (iv) pengembangan jaringan
dan informasi pasar ,dan (v) peningkatan sarana dan prasarana.
Oleh :
ALI SUPARDAN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
Ayahanda bernama H. Slamet Suparno dan Ibunda bernama Hj. Suyiah (Siti
Nurjanah). Penulis menikah dengan Hj. Siti Zubaidah, SPd. binti H.Djama’udin pada
tanggal 10 Agustus 1976 di Tanjung Karang Lampung. Penulis dikaruniai 7 anak dan
Isa, ST, Hanifan Muslim, Yusuf Ibrahim, M.Fajar Muslim, M.Abdurahman Ihsan,
Slawi pada tahun 1962. Dilanjutkan di SMP Negeri Slawi, lulus pada tahun 1965.
Pendidikan Sekolah Lanjutan Atas di SMA Negeri Slawi lulus pada tahun 1968.
Bogor, dan selesai (S1) pada tahun 1975. Selanjutnya Penulis mendapat tugas
Pertanian dan memperoleh gelar Master of Sciense (S2) pada tahun 1985. Pendidikan
tahun 2002.
Riwayat pekerjaan Penulis diawali sejak tahun 1976, yaitu sebagai Calon
Pertanian. Setahun kemudian diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada
kantor yang sama. Jabatan Kepala Seksi Perumusan Komponen, Direktorat Bina
Program, Direktorat Jenderal Perikanan pada periode 1977-1987. Pada tahun 1987-
ditugaskan sebagai Kepala Sub Direktorat Perizinan, Direktorat Bina Usahatani dan
sebagai Kepala Sub Direktorat Perusahaan Perikanan, Direktorat Bina Usahatani dan
adalah sebagai Direktur Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil, Direktorat Jenderal
Eksplorasi Laut dan Perikanan dari Pebruari sampai dengan Juni 2000. Selanjutnya
Perikanan pada tahun 2000 – 2002. Alih tugas berikutnya yaitu sebagai Sekretaris
Perikanan tahun 2002 – 2005. Jabatan terakhir penulis saat ini adalah Sekretaris
pada tanggal 6 Juli – 3 Oktober 1992, dan Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi
Nasional (SESPANAS) Lembaga Administrasi Negara (LAN) di Jakarta pada tanggal
pengurus Senat Mahasiswa Fakultas Perikanan IPB tahun 1973-1974, Ketua Majelis
dan Perikanan tahun 2003- sekarang, dan Ketua Badan Pengawas Yayasan Mina
Penulis
Ali Supardan.
SURAT PERNYATAAN TENTANG DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul : Maximum Sustainable Yield
(MSY) Dan Aplikasinya Pada Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk
Lasongko Kabupaten Buton adalah karya saya sendiri dan belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Ali Supardan
NRP. C561020104
KATA PENGANTAR
Kepada Allah SWT penulis panjatkan puji dan syukur yang tak henti-hentinya
atas segala nikmat dan karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.
Penulisan disertasi ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini
merupakan hasil penelitian dengan judul “Maximum Sustainable Yield (MSY) dan
Aplikasinya Pada Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko
Kabupaten Buton ”.
Dalam kesempatan yang baik ini perkenankan penulis menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak- Bapak Komisi Pembimbing yaitu : Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc, Dr.Ir.
Soepanto Soemokaryo, MBA, dan Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., yang telah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.
2. Bapak Prof. Ir. H. Widi Agus Pratikto, M.Sc. PhD; Direktur Jenderal Kelautan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, yang telah
memberikan izin belajar dan dorongan kepada penulis untuk mengikuti kuliah
program Doctor sampai selesai.
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB-Bogor beserta staf, Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan beserta staf dan seluruh dosen Sub Program Studi
Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan atas segala bantuan dan
perhatiannya selama penulis mengikuti pendidikan pascasarjana.
4. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton beserta staf yang telah
banyak membantu dalam pengumpulan data dan informasi selama penulis
melakukan penelitian.
5. Seluruh keluarga penulis, istri tersayang Hj. Siti Zubaidah Ali, SPd. binti H.
Djama’udin dan anak-anak tercinta Nurnizda SPsi, Hendra Fathoni ST, M.
Alhaqurahman Isa, ST, Hanifan Muslim, Yusuf Ibrahim, M.Fajar Muslim,
M.Abdurahman Ihsan, Mardhiah Fitri, dan cucunda Ramazia Muhamad Zahzahan
i
Sidiq, atas pengertian dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan
sampai selesai.
6. Serta semua pihak terutama Sdr. Sutomo SPi, MSi dan Sdr. Amin SP yang telah
banyak membantu dalam pengolahan data sehingga dapat mempercepat
diselesaikannya penulisan disertasi ini.
Atas semua kebaikan tersebut penulis doakan semoga Tuhan Yang Maha Esa
membalas dengan pahala berlipat ganda. Amin.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan , oleh sebab itu
masukan-masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan bagi penyempurnaan lebih lanjut.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
Ali Supardan
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
1 .PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah ................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
iii
Halaman
6 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 96
6.1 Peran Sektor Perikanan ........................................................................ 96
6.2 Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teluk Lasongko ................... 102
6.2.1 Status pemanfaatan ikan demersal ............................................. 102
6.2.2 Status pemanfaatan ikan pelagis kecil ...................................... 109
6.2.3 Status pemanfaatan ikan pelagis besar ....................................... 114
6.2.4 Status pemanfaatan ikan karang konsumsi .............................. 117
6.2.5 Status pemanfaatan ikan berkulit keras..................................... 121
6.3 Kelayakan Usaha Perikanan ............................................................... 125
6.3.1 Analisa usaha alat tangkap yang ada di teluk lasongko ............. 126
6.3.2 Analisa usaha alat tangkap untuk pengembangan
di teluk lasongko ........................................................................ 141
6.4 Optimisasi Usaha Penangkapan ........................................................... 143
6.5 Prioritas Kebijakan............................................................................... 148
6.5.1 Hasil SWOT ............................................................................... 148
6.5.2 Hasil AHP .................................................................................. 154
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Parameter Fisika-Kimia di Perairan Teluk Lasongko .................................... 81
2. Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan
Tahun 2000 dan 2004..................................................................................... 82
3. Penduduk di Kawasan Teluk Lasongko Menurut Jenis Kelamin
Tahun 2004 .................................................................................................... 82
4. Kepadatan Penduduk di Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan
Tahun 2000 dan 2004..................................................................................... 83
5. Jumlah Penduduk Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan dan Suku
Bangsa Tahun 2000 ....................................................................................... 83
6. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid Taman Kanak-Kanak Menurut
Kecamatan di Kawasan Teluk Lasongko Tahun 2004 .................................. 84
7. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SD Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004 ......................................................................... 84
8. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMP Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004 ......................................................................... 85
9. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMU Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004 ......................................................................... 85
10. Produksi Ikan di Teluk Lasongko 2000-2004 (ton) ...................................... 86
11. Jumlah Perahu, Kapal Penangkap Ikan Menurut Jenisnya Tiap Kecamatan
Tahun 2004 .................................................................................................... 86
12. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Tahun 2000 - 2004 ..................................... 87
13. Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2000 – 2004 ......................... 89
14. Penyebaran dan Luasan Terumbu Karang di Teluk Lasongko .................... 91
15. Keterkaitan Antar Sektor .............................................................................. 98
16. Indeks Koefisien Penyebaran, Kepekaan Penyebaran dan Indeks Prioritas
Pembangunan Sektor Kabupaten Buton ....................................................... 99
17. Multiplier Output .......................................................................................... 100
v
18. Dampak Peningkatan Pengeluaran Pemerintah di Sektor Perikanan Sebesar
10 Persen terhadap Output, Income, NTB dan Penyerapan Tenaga Kerja
di Kabupaten Buton ...................................................................................... 101
19. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap yang Digunakan Untuk Menangkap Ikan
Demersal............................................................. .......................................... 103
20. Catch, Effort dan CPUE Ikan Demersal ...................................................... 104
21. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Demersal ........................... 105
22 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap Ikan Demersal Sampai
Dengan nilai JTB ........................................................................................... 109
23. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap untuk menangkap Ikan Pelagis Kecil.......... 110
24. Produksi (Catch) , Effort dan CPUE Ikan Pelagis Kecil ............................. 110
25. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Pelagis Kecil .............................. 112
26. Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat Ikan Pelagis Kecil .............. 113
27. Jenis Alat Tangkap dan Jumlah Alat Tangkap yang digunakan untuk
Menangkap Ikan Pelagis Besar ..................................................................... 114
28. Catch, Effort dan CPUE Pelagis Besar ........................................................ 114
29. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Pelagis Besar .............................. 116
30 Jumlah Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat
Tangkap Pelagis Besar .................................................................................. 117
31. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap yang digunakan untuk menangkap
Ikan Karang Konsumsi .................................................................................. 118
32. Catch, Effort dan CPUE Karang Konsumsi ............................................... 118
33. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Karang Konsumsi ............... 120
34. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB Ikan
Karang Konsumsi........................................................................................... 121
35. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap digunakan untuk menangkap Ikan
Berkulit Keras ................................................................................................ 122
36. Catch, Effort dan CPUE Ikan Berkulit Keras .............................................. 122
37. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Berkulit Keras .................... 124
38. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB
Ikan Berkulit Keras ....................................................................................... 125
vi
39. B/C Ratio Payang........................................................................................... 126
40. B/C Ratio Pukat Pantai .................................................................................. 126
41. B/C Ratio Purse Seine .................................................................................. 127
42. B/C Ratio Pukat Udang.................................................................................. 128
43. B/C Ratio Gill Net.......................................................................................... 129
44. B/C Ratio Jaring Insang lingkar ..................................................................... 130
45. B/C Ratio Jaring Insang Tetap ....................................................................... 130
46. B/C Ratio Trammel Net ................................................................................. 131
47. B/C Ratio Bagan Perahu ............................................................................... 132
48. B/C Ratio Bagan Tancap ............................................................................... 132
49. B/C Ratio Serok ............................................................................................. 133
50. B/C Ratio Jaring Angkat Lainnya (Ancho) ................................................... 134
51. B/C Ratio Huhate ........................................................................................... 134
52. B/C Ratio Pancing Biasa................................................................................ 135
53. B/C Ratio Pancing Tonda ............................................................................. 136
54. B/C Ratio Rawai Tetap .................................................................................. 137
55. B/C Ratio Sero ............................................................................................... 137
56. B/C Ratio Bubu .............................................................................................. 138
57. B/C Ratio Jermal ............................................................................................ 139
58. B/C Ratio Perangkap Lainnya ....................................................................... 140
59. B/C Ratio Purse Seine 10 GT ....................................................................... 141
60. B/C Ratio Purse Seine 15 GT ........................................................................ 141
61. B/C Ratio Gill Net 15 GT .............................................................................. 142
62. Perhitungan B/C Ratio Rumput Laut ........................................................... 143
63. Analisis SWOT Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
di Teluk Lasongko Kabupaten Buton................................................................ 151
64. Prioritas Aspek-aspek Penentu Kebijakan Utama Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko ........................................................... 156
65. Prioritas Kebijakan Utama Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di kawasan
Teluk Lasongko ............................................................................................. 159
vii
66. Prioritas Program Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Secara Optimal
di Teluk Lasongko ........................................................................................ 165
67. Jumlah Tangkapan Ikan Yang Diperbolehkan (JTB) di Teluk Lasongko .... 167
68. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Dapat Dioperasikan
di Teluk Lasongko ........................................................................................ 168
69. Prioritas Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia
dan Kelembagaan Pemerintah di Kawasan Teluk Lasongko ......................... 179
70. Prioritas Program Pengembangan Ekonomi Melalui Bantuan
dan Akses Permodalan di Kawasan Teluk Lasongko .................................... 185
71. Prioritas Program Pengembangan Jaringan dan Informasi Pasar
di Kawasan Teluk Lasongko .......................................................................... 189
72. Prioritas Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Teluk Lasongko ...... 191
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Fase Perkembangan Sumberdaya Ikan Nir-Kelola ...................................... 13
2. Kurva Pertumbuhan Logistik ...................................................................... 14
3. Kurva Produksi Lestari-Upaya .................................................................... 16
4. Grafik Model Gordon-Schaefer ................................................................... 17
5. Dinamika Stok Ikan yang Dieksploitasi ............................................................ 21
6. Recruitment Overfishing .............................................................................. 23
7. Kondisi Biologically Overfishing ................................................................. 24
8. Kondisi Economically Overfishing ............................................................... 25
9. Kerangka Pikir Penyusunan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Berbasis MSY di Teluk Lasongko ................................................................. 59
10. Lokasi Penelitian............................................................................................ 60
11. Algoritma Permasalahan Kebijakan ............................................................. 77
12. Peta Sebaran Terumbu Karang di Teluk Lasongko ....................................... 93
13. Peta Sebaran Padang Lamun di Teluk Lasongko .......................................... 94
14. Peta Sebaran Mangrove di Teluk Lasongko .................................................. 95
15. Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Demersal 2000-2004 ..................... 104
16. Hubungan Effort dan Fungsi Produksi Ikan Demersal 2000 - 2004 ........... 106
17. Hubungan antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Kecil 2000-2004 ............... 111
18. Fungsi Produksi Ikan Pelagis Kecil 2000 - 2004 ........................................ 112
19. Hubungan antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Besar 2000-2004 .............. 115
20. Fungsi Produksi Ikan Pelagis Besar 2000 – 2004 ......................................... 116
21. Hubungan antara Effort dan Catch Ikan K. Konsumsi 2000-2004 ............... 119
22. Fungsi Produksi Ikan Karang Konsumsi 2000-2004 .................................... 120
23. Hubungan Effort dan CPUE Ikan Berkulit Keras 2000-2004........................ 123
24. Fungsi Produksi Ikan Berkulit Keras ............................................................. 124
25. Ilustrasi Goal Programming Model ............................................................... 144
26. Struktur Hirarki AHP Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko ... 156
27. Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ..................................................... 161
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Peta Indonesia, WPPI, Kabupaten Buton dan Kawasan Teluk Lasongko .... 205
2. Peta Kawasan Lakudo dan sekitarnya, Potensi Perikanan dan Kelautan ...... 206
3. Produksi Per alat Tangkap Tahun 2000 - 2004 ............................................. 207
4. Jumlah Alat Tangkap Tahun 2000 - 2004………………………………….. 208
5. Produktivitas (CPUE) Tahun 2000 - 2004 .................................................... 209
6. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Demersal ............................................... 210
7. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Palagis Kecil ......................................... 211
8. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Palagis Besar ........................................ 211
9. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Karang Komsumsi ................................. 212
10. Effort Standart Alat Tangkap Ikan Berkulit Keras........................................ 212
x
Halaman
27. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000 ..... 225
28. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001 ..... 225
29. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002 ..... 226
30. Ikan Karang Komsumsi , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003 ..... 226
31. Ikan Karang Komsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004 ...... 227
32. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000 ............ 227
33. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001 ........... 228
34. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002 ............ 228
35. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003 ............ 229
36. Ikan Berkulit Keras , Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004 ............ 229
37. Koefisien Goal Programming (JTB) .......................................................... 230
38. Koefisien Goal Programming (MSY) ........................................................ 231
39. Jumlah BBM Optimal Berdasarkan JTB .................................................... 232
40. Jumlah ES Optimal Berdasarkan JTB......................................................... 233
41. Penurunan Benefit Akibat Penurunan Kualitas Product ............................. 234
42. Jumlah Tenaga Kerja Optimal Berdasarkan JTB........................................ 235
43. Jumlah Kebutuhan Air Tawar Optimal Berdasarkan JTB .......................... 236
44. Output Goal Programming ......................................................................... 237
45. Analisa Perbandingan Beberapa Alat Penangkapan Ikan .......................... 240
46. Analisa Alat Tangkap ................................................................................. 266
47. Perhitungan Analisis AHP, Analisis Kebijakan Optimisasi Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan di Telik Lasongko Kabupaten Buton ............................. 280
48. Rincian Kegiatan Penelitian Lapangan di Teluk Lasongko
Kabupaten Buton ........................................................................................ 324
xi
1
1 PENDAHULUAN
Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan di laut sebesar 6,4 juta ton per
tahun, terdiri dari ikan pelagis (kelompok ikan yang kehidupannya maupun mencari
makan selalu di badan air- permukaan perairan) besar 1,16 juta ton, pelagis kecil 3,6 juta
ton, demersal (kelompok ikan yang kehidupannya maupun mencari makan selalu di dasar
laut- di dasar perairan) 1,36 juta ton, udang penaeid 0,094 juta ton, lobster 0,004 juta
ton, cumi-cumi 0,028 juta ton, dan ikan karang konsumsi 0,14 juta ton (Direktorat
daya ikan di laut , perairan laut Indonesia dibagi menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan
Perikanan Indonesia (WPPI) yaitu : (1). Selat Malaka, (2). Laut Cina Selatan, (3). Laut
Jawa, (4). Selat Makasar dan Laut Flores, (5). Laut Banda, (6). Laut Arafura, (7). Laut
Seram dan Teluk Tomini, (8). Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (9). Samudera
Hindia. Berdasarkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan, diketahui bahwa terdapat
tangkap lebih (overfishing) seperti Laut Jawa dan Selat Malaka. Dilain pihak di beberapa
perairan lainnya tingkat pemanfaatannya masih rendah seperti di Laut Flores, Laut
Banda, Laut Seram dan Teluk Tomini serta Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik. Pada
Indonesia Bagian Timur, perlu diterapkan kebijakan pengelolaan sumber daya ikan yang
2
tepat dan benar agar dapat dihasilkan tangkapan ikan yang optimum dengan tetap
menjaga kelestariannya.
Salah satu perairan yang potensi sumberdaya ikannya perlu dikelola secara
optimum adalah di perairan Teluk. Teluk adalah laut yang menjorok ke laut (Bappeda
Kabupaten Buton, 2004). Di Indonesia sebagai negara yang memiliki 17.504 pulau,
mempunyai banyak teluk dan yang baru dapat diidentifikasi 631 teluk ( Pusat Survei
dan Pemetaan Mabes ABRI, 1984) .Salah satu teluk yang dipilih dalam penelitian ini
adalah Teluk Lasongko. Teluk ini terletak dalam WPPI 4, lokasinya di pulau Muna
memiliki sumber daya ikan untuk usaha penangkapan, perairan ini juga memiliki potensi
sumberdaya untuk usaha budidaya laut yang besar seperti budidaya ikan ,rumput laut dan
moluska. Hal ini dimungkinkan karena lautnya yang tenang cocok untuk lahan
budidaya laut.
Indonesia melalui pemanfaatan potensi sumberdaya ikan, sejak tahun 2002 telah
kawasan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Sebelas instansi dimaksud adalah : (1)
Departemen Kelautan dan Perikanan (Ditjen. Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen.
Kelembagaan dan Pemasaran, Badan Riset Kelautan dan Perikanan), (2) Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, (3) Departemen Sosial, (4) Departemen Kesehatan,
3
(5) Departemen Pendidikan Nasional,(6) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
(7) Departemen Perindustrian dan Perdagangan, (8) Departemen Dalam Negeri, (9)
adalah masyarakat campuran penduduk asli P.Muna dengan penduduk pendatang dari
Ambon (sekitar 1.506 orang), dan (ii) perairan Teluk Lasongko merupakan salah satu
aternatif lahan mata pencaharian bagi penduduk tersebut sehingga perlu adanya
kelangsungan usaha yang kondusif bagi terciptanya situasi aman dan damai.
Upaya yang dapat ditempuh adalah memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada di
Teluk Lasongko seoptimal mungkin dengan tetap menjaga kelestariannya. Untuk itu
Teluk Lasongko luasnya kurang lebih 13,6 km2 . Oleh penduduk yang tinggal
disekitarnya teluk ini dimanfaatkan untuk usaha penangkapan ikan dan usaha budidaya
laut. Usaha penangkapan ikan yang ada adalah skala kecil namun jumlahnya banyak,
sedangkan usaha budidaya laut belum berkembang. Alat tangkap ikan yang digunakan
4
antara lain jaring insang (2.669 unit), bubu (368 unit), pancing biasa (625 unit), pancing
tonda (430 unit), bagan perahu (79 unit) dan bagan tancap (70 unit). Perkembangan
jumlah alat tangkap ikan di Teluk Lasongko sangat pesat, sebaliknya produksi ikan hasil
bahwa kejadian tangkap lebih sering dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah
indikator stok seperti : (i) penurunan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort
, cpue), (ii) penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, (iii) penurunan rata-rata
bobot ikan; dan indikator ekosistem, yakni (iv) perubahan pada struktur umur/struktur
ukuran atau (v) perubahan komposisi spesies dalam polulasi. Overfishing atau tangkap
lebih diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan
untuk mempertahankan stok ikan dalam suatu daerah tertentu (Fauzi., 2005). Kondisi
seperti ini perlu segera diatasi melalui pengaturan usaha penangkapan agar disesuaikan
dinyatakan oleh Nikijuluw (2002), bahwa berdasarkan potensi dan tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan, meskipun ada banyak jenis ikan yang dimiliki Indonesia, secara
laut sudah berkurang. Jika dipotret per perairan, umumnya dapat dikatakan bahwa
perairan teritorial di kawasan barat Indonesia seperti Selat Malaka, Laut Jawa, Laut
Flores, dan Laut China Selatan telah mengalami atau menunjukkan gejala tangkap lebih
(overfishing) bagi jenis-jenis ikan yang tinggi nilai ekonominya. Sementara itu, sudah ada
5
indikasi kuat bahwa perairan ZEEI juga telah mengalami tangkap lebih seperti Laut
Kondisi tangkap lebih di Teluk Lasongko perlu segera diatasi untuk mencegah
kerusakan sumberdaya ikan yang lebih berat lagi. Stok ikan yang pulih kembali akan
penghasilan nelayan serta meningkatkan pemasukan uang bagi negara (Widodo,., 2003).
Pernyataan Widodo ini berlaku tidak hanya untuk perairan Teluk Lasongko, namun dapat
berlaku pada semua perairan. Bagi perairan yang sumberdaya ikannya telah pulih
keseluruhan akan membuka peluang peningkatan pendapatan daerah dari hasil retribusi
ikan.
sumberdaya ikan. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan antara lain
dengan cara penetapan Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB). Nilai JTB
dapat diperoleh setelah diketahui nilai Maximun Sustainable Yield (MSY), karena JTB
adalah 80 % dari MSY (Nikijuluw, 2002). Mengingat besarnya MSY sumberdaya ikan di
Teluk Lasongko belum diketahui sebelumnya, maka kajian untuk menghasilkan nilai
MSY sumberdaya ikan merupakan kebutuhan yang mendesak. Berdasarkan nilai MSY
ikan berbasis MSY di Teluk Lasongko melalui : (1) analisis peran sektor perikanan laut,
(2) analisis tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, (3) analisis profitability, (4) analisis
optimasi pencapaian tujuan (Linear Goal Programming), dan (5) analisis SWOT/AHP.
Dari penelitian ini hasilnya diharapkan dapat bermanfaat yaitu untuk: (1)
pengembangan ilmu pengetahuan, (2) sebagai dasar penelitian lebih lanjut dibidang
pengelolaan sumberdaya perikanan, (3) sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam
menyusun peraturan usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko, dan (4) sebagai acuan
2 TINJAUAN PUSTAKA
Secara alami sumberdaya ikan dapat pulih kembali (renewable), artinya apabila
kemampuan untuk memperbaharui dirinya dengan jalan berkembang biak. Dengan sifat
ini berarti pula bahwa stok atau populasi ikan tidak boleh dimanfaatkan secara sewenang-
wenang tanpa memperhatikan struktur umur ikan maupun rasio kelamin dari populasi
ikan, karena akan dapat berdampak pada rendah atau lambatnya kemampuan untuk
Rosyidi, (2004) menyatakan bahwa dilihat dari sisi ekonomi, barang atau benda di
dunia ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, barang-barang bebas (free goods) dan
yang tersedia berlimpah-limpah, dan setiap orang dapat memperolehnya dengan bebas
dengan cara yang mudah. Contoh udara, air, sinar matahari. Kedua, barang-barang
ekonomi yang jumlahnya terbatas. Untuk memperoleh barang-barang ekonomi itu, orang
terlebih dahulu berkorban dan atau berjuang. Sedikit sekali barang-barang yang memiliki
sifat barang bebas. Hal inilah yang memaksa orang untuk tunduk kepada The Law of
Scarcity (Hukum Kelangkaan), yang berbunyi : untuk mendapatkan barang yang langka,
orang harus mengorbankan sesuatu lebih dahulu. Sumberdaya ikan tidak dapat begitu
saja diambil dan kemudian digunakan, tetapi harus diperoleh dulu melalui suatu upaya
atau pengorbanan.
8
menghasilkan suatu produk bila diusahakan dengan menggunakan input produksi seperti
meningkatkan hasil atau output yang pada suatu titik tertentu kenaikan output
tambahannya akan senantiasa kian menjadi kurang. Ricardo (1814) yang diacu dalam
Rosyidi (2004) menemukan hukum The Law of Diminishing Return yang berbunyi :
Apabila input dari sesuatu sumber tertentu ditambah dengan pertambahan yang sama
pada setiap satuan waktu tertentu sedangkan input-input lain tidak berubah jumlahnya,
maka hasil totalnya pun senantiasa meningkat, tetapi sesudah suatu titik tertentu,
ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati. Rosyidi, (2004)
agar negara bisa maju serta rakyat dapat hidup dengan layak dan damai. Sejalan dengan
itu dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tidak cukup didasarkan pada bidang ilmu biologi
tentang alokasi sumberdaya yang terbatas jumlahnya secara efesien dan efektif untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas. Ilmu ekonomi disebut juga ilmu
memilih, dalam arti mempelajari tentang pilihan yang harus dibuat dari berbagai
9
alternatif tujuan yang bersaingan. Maksudnya jika suatu alternatif telah dipilih, berarti
berusaha untuk memilih alternatif yang paling baik bagi pecapaian tujuan. Mengapa kita
harus mengadakan pilihan secara optimal adalah seperti disebutkan dalam definisi di atas,
yaitu disebabkan terbatasnya jumlah sumber daya yang tersedia. Dengan terbatasnya
sumberdaya ini tidak memungkinkan bagi kita untuk mencapai semua tujuan secara
nasional. Untuk itu kita perlu melihat faktor apa saja yang diperlukan bagi pertumbuhan.
Hal ini bisa dilihat melalui fungsi produksi yang menunjukkan hubungan antara keluaran
Y = F (TK, K, N, E, T)
Fungsi di atas bisa diartikan output/produksi nasional (Y) selama suatu periode
tergantung pada aliran masukan tenaga kerja (TK), kapital (K), sumberdaya alam (N),
ekonomi. Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa jika sumberdaya dilipatkan
alam yang dimaksud di sini adalah segala macam sumberdaya yang sifatnya heterogen
dan kompleks dan tentunya yang sudah berwujud sumberdaya siap pakai bukan yang
mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara eksploitasi besar-besaran dari sumber daya
mahal dengan semakin rusaknya lingkungan. Salah satu masalah yang harus dihadapi
manusia adalah semakin tipisnya persediaan sumberdaya alam. Berarti jika sumberdaya
pertumbuhan akan berhenti, karena habisnya pasok sumberdaya. Bagi mereka yang
optimis, teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi modern dipercaya akan mampu
dicapai tanpa henti-hentinya. Pertumbuhan ekonomi tidak ada batasnya karena : (1)
teknologi akan selalu menyediakan pengganti terhadap sumberdaya alam yang semakin
langka; dan (2) kalau sumberdaya telah langka harganya akan tinggi, sehingga akan
(2) Lokasi dari cadangan sumberdaya alam letaknya jauh dari yang memerlukan.
(3) Adanya pergeseran para pengguna dari yang semula memakai sumberdaya alam
nonrenewable.
jangka pendek.
11
energi yang lebih banyak bahkan ada mineral tertentu yang terpaksa diambil
dengan energi 1.000 sampai 10.000 kali lebih banyak dibanding semula dimana
(8) Peranan yang diberikan kepada pasar dan menentukan pengelolaan sumberdaya
alam dibedakan istilah stock dan flow. Sumberdaya alam yang tersedia dalam jumlah,
kualitas, tempat dan waktu tertentu disebut stock sumberdaya. Sedangkan flow
merupakan komoditi sumberdaya alam yang dihasilkan dari stock. Stock menunjukkan
apa yang diketahui tersedia untuk penggunaan sampai masa tertentu, sedangkan flow
merupakan indikasi penggunaan saat ini. Jika stock akan berkurang jumlahnya sejumlah
12
yang digunakan oleh manusia, maka flow akan selalu berubah jumlahnya tergantung
penggunaan. Pengetahuan tentang konsep stock sebenarnya akan sangat tergantung dari
teknologi yang tersedia, tinjauan kelayakan ekonomis dan apakah secara kondisi sosial
memang diinginkan seperti jelas tertera dalam pasal 33 UUD 1945. Terdapat satu
macam sumberdaya alam yang disebut common property resources yaitu sumberdaya
alam yang dimiliki bersama. Karena sifatnya yang menjadi milik bersama maka prinsip
siapa cepat dia dapat, menjadi pedoman dari pemakai sumberdaya alam. Oleh karena itu
sumberdaya alam akan cepat habis, kalaupun sumberdaya alam renewable bisa dipastikan
kehancurannya akan mudah pula. Contoh yang paling menarik adalah penangkapan ikan.
Kini bisa kita saksikan semakin menipisnya stock ikan binatang menyusui yang hidup di
laut (khususnya ikan paus dan lumba-lumba). Karena ikan tidak ada yang memiliki,
sumber daya alam yang mampu pulih namun bukan tidak terbatas. Mereka dapat
dibiarkan dalam keadaan nir-kelola. Kondisi sumberdaya ikan nir-kelola dapat dilihat
sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam
lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya
ikan relatif bersifat terbuka. Gordon juga mengemukakan bahwa tangkap lebih secara
ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol.
Meski banyak sekali bentuk fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent,
salah satu bentuk fungsi yang sederhana dan sering digunakan adalah model
pertumbuhan logistik serta plot stok terhadap waktu beserta perilaku pencapaian ke arah
F(x)
Xt
k
K
r1
r
1
r
2
r2
0 1/2K K x
0 t
(a) (b)
Dari persamaan matematis dan gambar di atas terlihat bahwa dalam kondisi
tingkat populasi akan sama dengan carrying capacity. Maksimum pertumbuhan akan
terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity tersebut (K/2). Tingkat ini disebut
juga Maximum Sustainable Yield atau MSY. Pada panel (b) diperlihatkan bagaimana
stok akan mencapai keseimbangan maksimum pada tingkat carrying capacity (K)
tergantung pada tingkat pertumbuhan intrinsik (r), semakin tinggi nilai r (r1 < r2), semakin
(tangkap) ke dalam model. Untuk menangkap ikan di suatu perairan dibutuhkan berbagai
sarana. Sarana tersebut merupakan faktor input, yang biasa disebut sebagai upaya atau
15
effort. Meski banyak definisi mengenai pengukuran upaya ini, definisi umum yang bisa
dipahami mengenai upaya adalah indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal,
jaring, alat tangkap dan sebagainya yang dibutuhkan untuk suatu aktivitas penangkapan.
Fauzi, (2004) mengemukakan bahwa secara teoritis fungsi tersebut mungkin tidak
realistis karena menunjukkan tidak adanya sifat kenaikan hasil yang semakin berkurang
(diminishing return) dari upaya yang merupakan sifat dari fungsi produksi. Implikasinya
jika upaya mengalami penggandaan, produksi juga akan berganda. Demikian pula jika
upaya ditingkatkan seribu kali lipat, produksi juga akan meningkat seribu kali lipat. Hal
ini tentu saja tidak realistis karena dalam jangka pendek stok ikan terbatas, sehingga ada
ikan dapat memperlihatkan beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas
penangkapan terhadap stok. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan,
maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h 1 (garis vertikal). Kemudian, jika
upaya dinaikkan sebesar E2, dimana E2>E1, hasil tangkapan akan meningkat sebesar h 2
(h2 > h1 ) . Jika upaya terus dinaikkan, misalnya sebesar E3 (E3 > E2 > E1), akan terlihat
bahwa untuk tingkat upaya dimana E3 > E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang
lebih besar.
Kurva produksi lestari yang dikenal dengan istilah Yield Effort Curve (Gambar 3)
terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (upaya = 0), produksi juga akan nol.
Ketika upaya terus dinaikkan, pada titik EMSY akan diperoleh produksi yang maksimum.
Produksi pada titik ini disebut sebagai titik Maximum Sustainable Yield. Karena sifat dari
kurva Yield Effort yang berbentuk kuadratik, peningkatan upaya yang terus-menerus
16
setelah melewati titik tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Produksi
akan turun kembali, bahkan mencapai nol, pada titik upaya maksimum (Emax).
(1) Harga per satuan output (Rp/kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan
(5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pasca
(SYE), maka dengan mengalikan harga dan produksi lestari diperoleh kurva penerimaan
(TR = ph). Demikian juga, dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya
diperoleh kurva total biaya (TC = cE) yang linier terhadap upaya. Kalau digabungkan,
fungsi penerimaan dan biaya dalam suatu gambar, akan diperoleh kurva sebagaimana
disajikan pada Gambar 3. Pada Gambar 4 dijelaskan pengelolaan perikanan dalan dua
rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka
(open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya EY2, dimana
penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan
hanya menerima biaya opurtunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi
tidak diperoleh.
Rente ekonomi sumberdaya (economic rent) dalam hal ini diartikan sebagai
selisih antara total penerimaan dari ekstraksi sumberdaya dengan seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk mengekstraksinya. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat
upaya dalam kondisi keseimbangan yang disebut bioeconomic equilibrium of open access
upaya lebih rendah dari Eχ (sebelah kiri dari E ∞ ), biaya total melebihi penerimaan total,
sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar dari perikanan (Apollonio, 2002).
Dengan demikian, hanya pada tingkat upaya keseimbangan tercapai, sehingga proses
entry dan exit tidak terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika
seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak ada lagi
insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang
sudah ada. Kondisi ini identik dengan ketidakadaannya hak kepemilikan (property
rights) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak kepemilikan yang bisa
pada tingkat upaya di mana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak
terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering
disebut sebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara
ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially optimum).
Jika dibandingkan tingkat upaya pada keseimbangan open access dengan tingkat upaya
optimal secara sosial (E0), akan terlihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya
yang dibutuhkan jauh lebih lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai
19
keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ekonomi, keseimbangan open
access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (misallocation)
karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal dan lain-lain) tersebut bisa
dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah sebetulnya inti
prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic
overfishing. Gordon (1954) yang diacu dalam Fauzi (2004) mengemukakan bahwa
keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit biomas (too
manny boat chasing too few fish). Hal ini terjadi kasena sifat akses yang terbuka,
Mulyadi (2005) menuliskan bahwa masalah risiko dan ketidakpastian (risk and
uncertainty) terjadi karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi
dengan modal dan teknologi, cenderung memperoleh manfaat terbanyak dari tempat itu.
pola adaptasi yang berbeda dan sering kali tidak dipahami oleh masyarakat di luar
komunitasnya untuk menghadapi akibat banyaknya risiko dan kehidupan yang serba tidak
beberapa kawasan perairan sudah mengalami kondisi tangkap lebih (overfishing) terjadi
besar. Dengan kata lain, selama ini telah terjadi mis-management pada pembangunan
nasional kita.
20
Sumberdaya ikan yang ada di perairan Teluk Lasongko perlu dikelola dengan
Pemanfaatan secara optimum dalam arti bahwa pemanfaatan sumberdaya yang dapat
memberikan kepuasan kepada generasi sekarang tanpa mengurangi kepuasan yang akan
pentingnya mengelola sumberdaya ikan dengan memodifikasi pepatah tua dari negeri
Cina yaitu : ”Berilah seseorang ikan,dia akan makan sampai kenyang pada hari ini. Ajari
dia memancing, dia dapat makan ikan selama hidupnya. Namun, jika engkau ajari dia
mengelola sumberdaya ikan dan memanfaatkannya dengan bijaksana, dia dan anak
cucunya akan dapat makan ikan selama hidup mereka. Dari pepatah Cina ini dapat
dikatakan bahwa sifat altruistic (memikirkan nasib generasi mendatang) suatu generasi
adalah sangat penting. Jika suatu generasi hanya memikirkan nasibnya sendiri, generasi
tersebut akan memaksimumkan manfaat yang dapat mereka peroleh dari sumberdaya.
Namun, dengan sikap ini, sangat mungkin sumberdaya yang dimanfaatkan akan lenyap
begitu generasi ini lenyap. Jika suatu generasi bersifat altruistik maka sumberdaya yang
ada sekarang tidak akan dimanfaatkan pada tingkat yang maksimum, melainkan pada
tingkat optimum.
sumberdaya ini sangat rentan dan sensitif terhadap banyak perubahan. Kerentanan dan
dalam maupun di luar ekosistem. Kesulitan dalam mengalihkan investasi, faktor musim,
21
ketidakpastian (uncertainty) usaha serta resiko yang diambil (risk taker) dalam bentuk
harapan hasil tangkapan yang lebih baik di waktu yang akan datang, maka nelayan akan
terus berusaha dan bila mungkin terus meningkatkan kapasitas penangkapan ikan (Clark
et al., 1985). Bila ini terjadi, penangkapan ikan secara berlebihan (biological overfishing)
al., 2000). Dengan demikian jelas bahwa sumberdaya ikan akan mendatangkan manfaat
yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan jika dan hanya jika dimanfaatkan dengan
cara yang baik. Sebagai contoh pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali yang
dikelola melalui pengaturan bersama antara Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dapat mempertahankan produksi ikan lemuru
Widodo dan Nurhuda, 1995, menjelaskan bahwa dinamika suatu stok ikan
dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu rekrutment, pertumbuhan, mortalitas dan
Gambar 5. Dinamika Stok Ikan yang Dieksploitasi (Sumber : Widodo dan Nurhuda, 1995)
22
Stok ikan secara alami akan berkembang biak dan hasil perkembangbiakan dalam
bentuk anak-anak ikan akan menambah jumlah stok ikan yang telah ada atau disebut
rekruitmen (R). Stok ikan tersebut akan tumbuh karena adanya aktivitas makan, atau
penangkapan dan menghasilkan hasil tangkapan (Y). Disamping itu ikan-ikan secara
alami dapat mengalami kematian karena umur maupun penyakit atau disebut mortalitas
(M). Stok ikan akan dapat dimanfaatkan secara terus menerus apabila senantiasa dapat
dijaga kondisi G + R = Y + M.
tidak dilakukan dengan baik, maka akan terjadi kelebihan penangkapan ikan
(overfishing). Kondisi overfishing dibagi dalam beberapa tipe tergantung pada tingkat
Recruitment overfishing yaitu suatu kondisi stok ikan dimana ikan-ikan muda
(juvenile) ditangkap secara berlebihan sehingga tidak ada pertumbuhan stok ikan dewasa
yang berasal dari ikan dengan kelompok usia yang lebih muda. Dalam hal ini
pertumbuhan stok ikan dewasa hanya terjadi melalui penambahan ukuran berat ikan
dewasa yang tersisa. Kondisi recruitment overfishing secara grafis dapat dilihat pada
Gambar 6.
23
Recruitment Over Fishing terjadi pada saat dilakukannya penambahan jumlah effort dari
E* dengan tingkat produksi pada titik Maximum Sustainable Yield (MSY). Penambahan
jumlah effort ini akan mendorong produksi ikan menjadi menurun, sebagaimana dapat
tahap melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Hal ini berarti ikan yang
ditangkap melebihi kemampuan maksimum stok ikan untuk tumbuh secara alami dan
secara drastis dan bahkan dapat membuat kegiatan perikanan berhenti total. Secara grafis
Economically overfishing yaitu kondisi dimana usaha penangkapan ikan yang ada
tumbuh secara berlebihan namun hasil tangkapan ikan yang diperoleh secara agregat
hanya pada tingkat suboptimum. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha penangkapan
tidak lagi efisien. Secara grafis kondisi economically overfishing dapat dilihat pada
Gambar 8.
25
dari E1, dengan tingkat produksi pada level Maximum Economic Yield (MEY).
Penambahan effort ini akan mengakibatkan produksi meningkat sampai titik Maximum
Sustainable Yield (MSY), untuk selanjutnya tingkat produksi akan mengalami penurunan.
Sementara disisi lain, penambahan effort ini juga akan mengakibatkan keuntungan atau
“resources rent” semakin kecil, dan akan mencapai nol pada titik “zero rent”.
Apabila ketiga tipe overfishing tersebut terus terjadi pada suatu perairan, maka
tipe overfishing keempat yaitu Malthusian Overfishing akan dapat terjadi. Malthusian
penangkapan ikan dengan cara yang salah dan membawa dampak kerugian bagi semua
orang. Teori ini berdasarkan teori Malthus yang mengemukakan bahwa pertumbuhan
penduduk sangat lambat. Dalam bidang perikanan, dapat diartikan bahwa ada sedikit
26
ikan yang tersedia di laut namun diperebutkan oleh banyak nelayan. Malthusian
overfishing terjadi ketika pemerintah sebagai manajer sumberdaya ikan tidak mampu dan
tidak berhasil menata dan mengelola kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh
rakyatnya. Akibatnya setiap nelayan berkompetisi secara bebas. Timbul daya kreasi
setiap orang untuk mendapatkan ikan dalam jumlah banyak dan cepat. Daya kreasi ini
dapat diwujudkan dalam bentuk metode dan teknik menangkap ikan yang cepat dan
efisien secara ekonomi, namun merusak lingkungan. Metode dan teknik tersebut
biasanya dalam bentuk penggunaan bom, dinamit, racun, atau aliran listrik. Mereka
melakukan hal ini dengan pertimbangan jika tidak dilakukan, orang lain yang akan
melakukannya.
Berdasarkan pada teori overfishing tersebut diatas dan hasil perhitungan tingkat
eksploitasi sumberdaya ikan serta hasil perhitungan jumlah alat tangkap ikan yang layak
demikian perlu segera dilakukan pengelolaan sumberdaya ikan yang sesuai agar tidak
terjadi kerusakan yang lebih parah lagi. Widodo (2003) menyatakan bahwa terhadap
perairan yang telah mengalami tekanan penangkapan ikan yang berlebihan, Pemerintah
yang lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan sumberdaya ikan yang selanjutnya
Smith (1981) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) menuliskan dalam salah satu
karya gemilangnya yang berjudul ”Improving Fishing Incomes when resources are
subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta
pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasi nelayan dalam jangka pendek memang
akan sedikit terlihat dampak positifnya dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun
dalam jangka panjang, semua kebijakan ini tidak berdampak signifikan. Nelayan tetap
miskin dan terperangkap dalam kemiskinan itu. Menurut Smith, ada dua hal yang harus
dilakukan pemerintah. Pertama, jumlah nelayan harus dikurangi dan sebab itu jumlah
upaya penangkapan yang rasional serta akses terbatas ke sektor perikanan harus
ditetapkan dalam bentuk aturan positif dan kemudian dijalankan dengan konsekwen dan
keluarga nelayan di luar sektor perikanan. Bila jumlah nelayan sudah dikurangi dan
dibatasi pada angka tertentu maka kebijakan-kebijakan lainnya seperti motorisasi, subsidi
BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta
pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasai nelayan akan berdampak positif bagi
karena Malthusian overfishing. Jumlah nelayan harus dibatasi dan ditetapkan pada angka
penentuan daerah penangkapan ikan secara sistem buka tutup, penentuan waktu
penangkapan ikan, penghematan biaya, peningkatan nilai jual nelayan serta penciptaan
kegiatan ekonomi suplemen dan alternatif. Jadi, pembatasan jumlah nelayan di suatu
28
perairan tertentu merupakan kebijakan mutlak yang patut dilakukan pemerintah. Hanya
Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama
1). Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan
perbaikan (enhancement).
yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan “MSY”. Konsep
MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli
biologi bernama Schaefer pada tahun 1957. Inti dari konsep ini adalah menjaga
keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum
memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut.
Yield” mempunyai kelemahan antara lain : (i) tidak bersifat stabil, karena perkiraan
stock yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok, (ii) tidak
memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen, dan (iii) sulit
29
diterapkan pada kondisi di mana perikanan memiliki ciri ragam jenis (Fauzy, 2004). Di
dalam pendugaan stok sumberdaya ikannya yaitu dengan menggunakan pendekatan MSY.
Kelebihan dari pendekatan ini adalah diperlukan data yang terbatas, sederhana dalam
analisis, murah serta hasilnya mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu
overfishing perlu segera diatasi untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan yang
semakin parah. Upaya untuk mengatasi terjadinya overfishing dapat ditempuh dengan
menetapkan jumlah ikan yang diperbolehkan ditangkap atau biasa dikenal dengan istilah
Total Allowable Catch (TAC). Besarnya TAC di Indonesia secara nasional adalah 80%
dari MSY atau sekitar 5 juta ton ikan yang dapat diproduksi per tahun agar kelestarian
Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan TAC secara
keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan terentu. TAC
pemantauan jumlah ikan yang ditangkap serta memberhentikan penambahan alat tangkap
ikan apabila TAC telah tercapai. Kedua, membagi TAC kepada setiap nelayan, kapal atau
kepada perikanan skala kecil. Sisa TAC yang belum dibagi kemudian dialokasikan
kepada nelayan pukat cincin skala besar. Dengan cara ini perbedaan pendapatan antar
ikan sedemikian rupa sehingga TAC tidak terlampaui. Cara ini secara ekonomis tidak
efisien dan juga sering tidak akurat dilaksanakan karena kesulitan dalam mengatur
penangkapan ikan serta memprediksi jumlah ikan yang mungkin ditangkap setiap kapal.
saat ini. Yang dimaksudkan tingkat pemanfaatan adalah nisbi antara jumlah yang
pemanfaatan terlalu tinggi, lebih dari 50% dan mendekati 100%, maka sering dikatakan
mendekati atau pada tingkat 100%. Lebih dari 100% dinamakan dengan tingkat
pemanfaatan lebih, sementara kurang dari 50% disebut dengan tingkat pemanfaatan yang
perikanan diperkirakan 6,4 juta ton per tahun. Potensi ini sebetulnya aman untuk
sumberdaya, maka potensi itu direduksi menjadi sekitar 5,12 juta ton atau 80% dari
potensi lestari. Angka 5,12 juta ton disebut dengan jumlah tangkapan yang
31
diperbolehkan (JTB). Bila yang menjadi rujukan itu JTB maka sebetulnya pemanfaatan
sumberdaya telah mencapai sekitar 90%. Namun bila yang menjadi rujukan itu adalah
potensi lestari 6,4 juta ton maka tingkat pemanfaatan telah mencapai sekitar 72%. Dari
kedua angka tersebut, tingkat pemanfaatan ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya
perikanan laut Indonesia secara nasional, yang berarti pada seluruh perairan, mencakup
semua jenis ikan, dan berada baik di laut pedalaman, laut wilayah dan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI) telah mengalami kondisi pemanfaatan yang tinggi, hampir
jenuh. Posisi ini sebetulnya adalah posisi kritis yang berarti bahwa pengelolaan
kebutuhan dunia. Hal ini karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada
dunia yang begitu penting itu mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi
(1) Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia telah mengalami tangkap penuh,
tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi di mana sumberdaya itu harus
Positioning System (GPS), radar, echosounders, mesin kapal yan lebih kuat dan
(3) Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah suatu
bertanggung jawab dalam bidang perikanan. Akan tetapi dalam kerangka otonomi daerah
mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan peran serta
memberi arti dan manfaat bagi sumberdaya ikan maka pengelolaan sumberdaya
upaya atau proses mengelola sumberdaya ikan (managing of fish resources) tetapi
pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan. Karena mengelola manusia ternyata tidak
lebih mudah dari pada mengelola sumberdaya ikan, maka pengelolaan sumberdaya
perikanan menjadi sulit. Lebih sulit lagi karena ternyata interaksi antara manusia dan
sumberdaya ikan merupakan suatu kondisi yang komplikatif yang menyangkut aspek-
aspek bioteknologi, teknologi, sosial dan ekonomi. Dengan demikian maka pendekatan
sosial ekonomi mendapat tempat yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, di
Dahuri (2000) yang diacu dalam Mulyadi (2005) menjelaskan bahwa kelemahan
perikanan yang berdaya saing tinggi secara lestari, baik melalui usaha
upaya di laut masih relatif rendah, bersifat fluktuatif atau tak menentu. Kedua,
kemampuan kita memasarkan produk atau komoditas perikanan dengan harga yang
menguntungkan nelayan baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor masih juga
lemah. Harga jual produk-produk perikanan sangat cepat berubah dan sering kali
mengalami market glut, yakni suatu kondisi pasar yang harga jual suatu
tangkapan sedang baik dan harga jual membaik manakala sedang paceklik).
Kondisi ini turut mengakibatkan nelayan terjebak dalam kemiskinan. Ketiga, harga
Keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga subsistem utamanya, yaitu
juga oleh subsistem penunjangnya yang meliputi prasarana dan sarana, keuangan,
Pertama, belum ada kebijakan yang membatasi jumlah (tingkat atau kuota)
penangkapan stok ikan di suatu kawasan perairan. Semua nelayan secara bebas
34
yang pada gilirannya merugikan usaha perikanan tangkap dan nelayan menjadi
miskin. Kedua, belum ada tata ruang yang mengakomodasi lahan perikanan
bahaya pencemaran. Ketiga, belum ada kebijakan tentang kredit murah dan lunak,
misalnya sekitar sepuluh persen seperti KUT, untuk mendukung usaha perikanan
bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak
lingkungan belum cukup membuat perusak menjadi jera atau minimal berpikir
mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan dan pengambilan keputusan baik
Kebijakan ini pada dasarnya ditujukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari
penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak atau destruktif. Disamping itu,
kebijakan ini juga dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi
nelayan yang menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien.
sudah maju. Pelaksanaan pendekatan ini didasarkan pada sifat sumberdaya ikan
yang sangat tergantung pada musim, dan sering kali hanya ditujukan pada satu
species saja dalam kegiatan perikanan yang bersifat multi species. Beddington and
Rattig (1983) yang diacu dalam Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya dua bentuk
mengalami degradasi dan ikan yang ditangkap semakin sedikit. Oleh karena itu,
36
dilakukan kebijakan ini untuk membuka peluang pada sumberdaya ikan yang
penangkapan ikan di suatu perairan. Kebijakan ini dapat bersifat permanent, atau
dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Dampak dari kebijakan ini relatif
sama dengan kebijakan penutupan musim. Dalam hal ini terdapat beberapa negara
menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau alat
tangkap tertentu.
Kuota penangkapan adalah suatu cara yang dapat dilakukan dalam rangka melakukan
hak kepada industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil
sejumlah ikan tertentu dari perairan. Dengan kata lain, kuota adalah alokasi dari
hasil tangkapan yang diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada.
industri bukan saja dalam hal ijin menangkap ikan, akan tetapi juga hak untuk
menangkap ikan dalam jumlah tertentu (kuota). Hak kuota ini dapat berupa jumlah
ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (Total Allowable Catch), yang dapat dibagi
per nelayan, per kapal atau per armada perikanan. Hak kuota tersebut pada
Bentuk kebijakan ini pada hakekatnya lebih ditujukan untuk mencapai atau
mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok ikan. Hal ini
dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan yang masih muda untuk
ikan tersebut ditangkap. Kebijakan ini akan berdampak pada komposisi dari hasil
(1) Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya
(2) Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan
kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang, disamping
adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.
(3) Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak
beberapa daerah di Indonesia seperti Sasi di Pulau Saparua dan pengelolaan sumberdaya
ikan di Jemluk Bali. Nikijuluw (2004) menjelaskan bahwa penerapan sistem sasi di
sekitar Pulau Saparua dengan tetap mejaga kelestariannya. Pelaksanaan sasi dilakukan
dengan cara menutup musim dan daerah penangkapan ikan. Untuk itu masyarakat desa
38
tidak diizinkan menangkap ikan selama periode waktu terentu di kawasan perairan
tertentu. Periode penutupan penangkapan ikan ini dikenal dengan nama tutup sasi.
Sementara itu periode penangkapan ikan dikenal dengan nama buka sasi.
lainnya (pedagang ikan, pemilik perahu, para pengusaha dan sebagainya) berbagi
meliputi berbagai bentuk kemitraan dan tingkat pembagian kekuasaan dan keterpaduan
pantai sendiri diberikan peluang dan tanggung jawab mengatur sumberdaya alam pantai
yang mendaftarkan sendiri kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya.
Turner et al. (1998) mengemukakan bahwa perikanan ke arah masa depan akan
suram jika tanpa disertai pengelolaan yang baik. Pertumbuhan populasi dunia dan
dampaknya dapat meningkatkan permintaan jumlah ikan yang tidak dapat dipenuhi oleh
Selanjutnya untuk jangka panjang yang perlu diperhatikan adalah beberapa persayaratan
untuk mendukung kelestarian lingkungan yang didasarkan pada prinsip ekonomi dengan
39
skala optimal, distribusi hukum yang adil, partisipasi dan legitimasi. Isu utama dalam
meningkatkan resiko lingkungan adalah luasnya distribusi dari resiko, biaya dan manfaat.
(1) Teknologi
yang ada untuk dapat disubstitusi dengan sumberdaya lainnya. Kasus yang dapat
penangkapan yang tinggi, dan penggunaan modal yang besar yang dapat menjangkau
daerah penangkapan lebih jauh sehingga dapat memberikan pilihan yang bervariasi
dimana ikan berada dan jenis-jenis ikan apa yang akan ditangkap.
Ketika suatu negara memanfaatkan sumberdaya untuk lebih dari satu tujuan, negara
yang berbeda dapat dengan cara mensubsitusi sumberdaya tersebut, dalam kasus
ketika satu negara meningkatkan keuntungan dari salah satu sumberdaya dan negara
Ketika sumberdaya mempunyai arah yang berbeda, kemampuan negara maju untuk
kurang maju. Isu-isu lingkungan yang masuk ke dalam kategori ini adalah isu-isu
1995) telah mulai disiapkan untuk diimplementasikan, yang memuat beberapa aspek
yaitu :
(5) Aspek praktek-praktek pasca panen dan perdagangan (Post Harvest Practices and
Trade).
antara aspek operasi penangkapan dengan ke-lima aspek lainnya dalam Code of Conduct
Beberapa peraturan umum yang terkandung dalam CCRF (1995) antara lain :
(1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan,
(3) Negara harus mencegah penangkapan yang berlebihan (overfishing) dan menjaga
agar upaya penangkapan sesuai dengan kapasitas dari sumber itu sendiri.
ilmiah yang tersedia, dengan memperhatikan habitat, lingkungan dan faktor sosial
ekonomi.
pengelolaan dan eksploitasi sumberdaya perairan; tidak tersedia data dan informasi
ilmiah yang cukup yang tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda mengambil
(6) Alat penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan agar dikembangkan dalam
perairan.
(7) Penangkapan dan penanganan pasca panen dan distribusi ikan harus menjamin
kualitas nilai nutrisi ikan dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
(8) Perlunya perlindungan terhadap habitat yang kritis dan upaya rehabilitasi.
(9) Negara harus menjamin bahwa kepentingan perikanan diperhatikan dalam rangka
(11) Negara pemberi ijin penangkapan harus menjamin pengawasan yang efektif agar
(12) Negara harus bekerja sama dalam tingkat sub regional dan regional dalam rangka
perikanan.
(14) Perdagangan ikan secara internasional harus mengacu kepada prinsip, hak dan
(15) Negara harus bekerja sama untuk menghindari konflik dan harus menghormati
(17) Negara harus berupaya agar fasilitas penangkapan dan peralatan lainnya menjamin
(18) Negara harus melindungi hak-hak para nelayan dan para pekerja perikanan yang
(19) Negara harus menempatkan akuakultur sebagai upaya diversifikasi dan menjamin
Pengelolaan perikanan secara khusus di jelaskan pada Pasal 3.1, antara lain :
(1) Negara-negara harus menjamin agar suatu kerangka hukum dan kelembagaan yang
(2) Sektor perikanan haruslah merupakan suatu bagian integrasi dari tatanan
1). Perhatian agar diberikan pada hak dari komunitas penangkapan ikan pesisir dan
berkelanjutan dan,
(3) Negara-negara harus mengambil ketentuan untuk menetapkan dan menyusun badan
1). Ketaatan pada hukum peraturan perundang-undangan dan aturan lain yang
2). Ketaatan pada ketentuan konservasi dan pemantauan lingkungan yang telah
diadopsi oleh otoritas yang kompeten pada tingkat nasional demikian pula
3). Pengintegrasian dengan para pengguna lain (seperti dalam hal fasilitas yang
(4) Dalam menetapkan penugasan suatu badan pengelolaan, otoritas yang kompeten
ditugaskan padanya.
(5) Pada tingkat desa, pengelolaan dapat dipercayakan ke pada suatu Pusat Komunitas
Perikanan atau organisasi nelayan setempat. Walaupun fasilitas dan jasa pelayanan
di suatu desa atau kawasan tertentu mungkin sangat sederhana, namun masih
(6) Pada tingkat industri, pengelolaan harus dilaksanakan oleh suatu badan yang
ditetapkan dengan baik (swasta, otonomi, kabupaten atau negara) dengan anggota-
anggota diambil dari berbagai unsur pokok pengguna dari pelabuhan khusus
demikian pula komunitas secara luas. Suatu perkecualian pada aturan adalah jika
fasilitas itu dimiliki oleh satu perusahaan. Meskipun demikian, perusahaan itu akan
pengoperasiannya.
diperlukan pengaturan dalam bentuk kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakat
dan semua pihak terkait. Kebijakan dimaksud adalah kebijakan publik yang dalam
Menurut Friedrich (1969) yang diacu dalam Agustino., (2006) kebijakan publik
45
(1) Umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai
maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak.
(2) Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang
(3) Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah.
Kebijakan publik memperhatikan apa yang kemudian akan atau dapat terjadi setelah
(4) Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan
(5) Kebijakan publik paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan
memerintah kemungkinan besar mempunyai sifat yang memaksa secara sah, yang
Agustino (2006) menerangkan bahwa sifat kebijakan publik sebagai bagian dari
suatu kegiatan dapat dimengerti secara baik bila dibagi-bagi dalam beberapa kategori,
yaitu : policy demands, policy decisions, policy statements, policy outputs dan policy
outcomes. Dikemukakan walau kebijakan dapat dipandang sebagai solusi dari konflik
yang berkecamuk, tetapi kebijakan publik juga dianggap sebagai penyebab konflik antara
kelompok yang berbeda, yang pribadi dan yang resmi, yang memiliki keinginan dan
kepentingan yang berbeda. Salah satu sumber konflik yang utama, khususnya dalam
masyarakat modern, adalah kegiatan ekonomi. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada lima
pendidikan, kesehatan, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, atau pembayaran
tekanan pada subject matter dari apa yang dibutuhkan oleh warga. Kebijakan
prosedural, meliputi siapa yang akan melaksanakan atau bagaimana hal tersebut akan
Prosedural adalah dengan melihat konten kebijakan itu sendiri. Apabila isi kebijakan
lebih mengarah pada upaya pengentasan suatu masalah yang tengah dialami oleh
substansif. Tapi ketika konten kebijakan itu hanya menyampaikan siapa yan harus
47
kebijakan prosedural.
Debat dan diskusi mengenai tipologi kebijakan publik yang juga meyita perhatian
pemerintah sebagai aparatur implementor kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu
Self-Regulatory
Kebijakan distributif terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor-
secara langsung dengan yang lain. Keuntungan meraka tidak merupakan biaya yang
langsung ditarik pada beberapa kelompok khusus, tetapi biaya tersebut dibebankan
pada dana umum, yang diminta pada semua pembayar pajak. Dengan demikian
yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan,
bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya bersifat mengurangi
kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Kebijakan self-
regulatory adalah semacam peraturan kebijakan yang berupaya untuk membatasi atau
dan didukung oleh sekelompok aturan sebagai alat untuk melindungi atau
Kebijakan publik dapat pula dipisahkan ke dalam kebijakan material atau simbolis.
penghasilan yang nyata atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang-orang yang
diuntungkan, atau memberikan kerugian yang sesungguhnya, bagi siapa yang terkena
kerugian. Dalam bahasa yang sederhana, kebijakan material adalah kebijakan yang
Kebijakan publik dapat juga dimasukkan dalam ketetapan yang merupakan barang
kolektif (indivisible) atau barang privat (divisible). Yang disebut sebagai barang
49
kolektif adalah kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan bagi keperluan
orang banyak (kolektif). Kebijakan privat adalah kebijakan yang dapat dibagi
menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan dapat dipasarkan.
Charles O’Jones (1996) yang diacu dalam Agustino (2006) ada empat langkah
2) Empati : Apakah mereka yang ada dalam posisi pembuat kebijakan mau
kebijakan?
memperoleh dukungan?
kebijakan?
6) Masalah waktu
Daerah sekitar Teluk Lasongko berpenduduk campuran yaitu penduduk asli pulau
Muna dan penduduk pendatang dari Ambon. Usaha penangkapan ikan merupakan salah
Lasongko ini perkembangannya pesat dan telah melebihi daya dukung sumberdaya
ikannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan usaha penangkapan di perairan Teluk
ikan, (4) meningkatkan mutu dan nilai tambah hasil perikanan, (5) menciptakan iklim
yang kondusif bagi pengembangan usaha perikanan tangkap, dan (6) menyediakan bahan
pangan sumber protein hewani dan bahan baku industri serta ekspor (DKP, 2004).
Mengacu pada tujuan pembangunan perikanan tangkap tersebut, maka sumberdaya ikan
yang ada di perairan Teluk Lasongko yang merupakan bagian dari perairan Indonesia
Hal ini penting untuk mendorong terwujudnya kondisi masyarakat yang damai
mengingat penduduk di wilayah Teluk Lasongko terdiri dari penduduk asli dan penduduk
perikanan tangkap selama ini telah menunjukkan hasil yang nyata yaitu telah
meningkatkan produksi perikanan tangkap rata-rata 5,4 % per tahun selama periode tahun
53
2001-2003, dari 3.966.480 ton pada tahun 2001 menjadi 4.406.200 ton pada tahun 2003.
Demikian pula konsumsi ikan dan ekspor dapat terus ditingkatkan. Hal ini memberi
indikasi bahwa sektor perikanan mempunyai peran dalam pembangunan ekonomi secara
umum. Melalui analisa tabel Input-Output diperoleh gambaran peranan sektor perikanan
dalam perekonomian baik secara nasional maupun regional, yaitu merupakan sektor
prioritas jangka pendek dan menengah. Dari analisa ini dihasilkan bahwa tambahan
investasi di sektor perikanan memberikan dampak positip terhadap kegiatan sektor lain
apabila ada tambahan investasi untuk pengembangan perikanan di Teluk Lasongko akan
Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia (WPPI) yaitu : (1) Selat Malaka, (2) Laut Cina
Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut
Arafura, (7) Laut Seram dan Teluk Tomini, (8) Laut Sulawesi dan Laut Flores, dan (9)
Samudera Hindia, (DKP, 2004). Teluk Lasongko merupakan bagian kecil dari Wilayah
Lasongko terus berkembang dalam kurun waktu lima tahun terakhir ( 2000-2004).
Jumlah alat tangkap terus bertambah, namun produksi ikan cenderung menurun.
Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari kecamatan disekitar Teluk Lasongko,
sebagai contoh jumlah alat tangkap jenis jaring insang hanyut untuk menangkap ikan-
ikan demersal pada tahun 2001 adalah 549 unit. Produksi hasil tangkapan ikan demersal
pada tahun yang sama adalah 2.411 ton. Pada tahun 2004 jumlah jaring insang hanyut
bertambah menjadi 2.036 unit atau meningkat sebesar 370 % dalam kurun waktu empat
54
tahun atau rata-rata meningkat 93 % per tahun. Sebaliknya pada kurun waktu yang sama
produksi ikan demersal berkurang menjadi 2.212 ton pada tahun 2004 atau menurun rata-
rata 2 % per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan jumlah alat tangkap jaring
insang hanyut telah melebihi dari daya dukung sumberdaya ikannya atau dengan
perkataan lain untuk jenis ikan demersal di Teluk Lasongko telah mengalami kondisi
Widodo, 2003., menerangkan bahwa suatu perairan dinilai telah mengalami tangkap
lebih dapat dideteksi dengan suatu kombinasi sejumlah indikator stok ikan seperti : (i)
penurunan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, cpue) ,(ii) penurunan
hasil tangkapan total yang didaratkan, (iii) penurunan rata-rata bobot ikan; dan indikator
ekosistem, yakni (iv) perubahan pada struktur umur/struktur ukuran atau (v) perubahan
metode Schaefer diketahui nilai MSY . Selanjutnya nilai MSY tersebut dibandingkan
dengan total produksi ikan yang telah dicapai diperoleh hasil tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan di Teluk Lasongko. Hasil perhitungan ini menunjukan bahwa secara
kejenuhan. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan sumberdaya ikan di Teluk
Lasongko perlu dirumuskan kebijakan pemanfaatannya berbasis nilai MSY agar kedepan
sumberdaya ikan yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Widodo
sumberdaya ikan yang selanjutnya akan meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Selain itu
dampak ekonomi dapat pula terjadi terutama dalam peningkatan pendapatan nelayan
faktor pembatas yaitu nilai Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB) dihitung
jumlah unit usaha yang optimal untuk dioperasikan di perairan Teluk Lasongko dengan
sumberdaya ikan yang berbasis MSY inilah yang diharapkan dapat diterapkan di Teluk
Smith (1981) yang diacu dalam Nikijuluw (2005) menuliskan dalam salah satu
karya gemilangnya yang berjudul ”Improving Fishing Incomes when resources are
subsidi BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasca panen dan pemasaran serta
pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasi nelayan dalam jangka pendek memang
akan sedikit terlihat dampak positifnya dalam bentuk peningkatan pendapatan. Namun
dalam jangka panjang, semua kebijakan ini tidak berdampak signifikan. Nelayan tetap
miskin dan terperangkap dalam kemiskinan itu. Menurut Smith, ada dua hal yang harus
56
dilakukan pemerintah. Pertama, jumlah nelayan harus dikurangi dan sebab itu jumlah
upaya penangkapan yang rasional serta akses terbatas ke sektor perikanan harus
ditetapkan dalam bentuk aturan positif dan kemudian dijalankan dengan konsekwen dan
keluarga nelayan di luar sektor perikanan. Bila jumlah nelayan sudah dikurangi dan
dibatasi pada angka tertentu maka kebijakan-kebijakan lainnya seperti motorisasi, subsidi
BBM, subsidi input, peningkatan teknologi pasaca panen dan pemasaran serta
pemberdayaan koperasi, kelompok dan organisasai nelayan akan berdampak positif bagi
karena Malthusian overfishing. Jumlah nelayan harus dibatasi dan ditetapkan pada angka
penentuan daerah penangakapan ikan secara sistem buka tutup, penentuan waktu
penangkapan ikan, penghematan biaya, peningkatan nilai jual nelayan serta penciptaan
kegiatan ekonomi suplemen dan alternatif. Jadi, pembatasan jumlah nelayan di suatu
perairan tertentu merupakan kebijakan mutlak yang patut dilakukan pemerintah. Hanya
diterapkan merupakan kebijakan publik yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh semua
stakeholder yang terlibat dalam kegiatan usaha penangkapan ikan. Dalam hubungan
dengan kebijakan publik, Sutanto (2006) mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk
kebijakan publik :
57
pendidikan, kesehatan, bantuan bagi usaha kecil dan menengah, atau pembayaran
Self-Regulatory
Kebijakan distributif terdiri dari penyebaran pelayanan atau keuntungan pada sektor-
secara langsung dengan yang lain. Keuntungan meraka tidak merupakan biaya yang
langsung ditarik pada beberapa kelompok khusus, tetapi biaya tersebut dibebankan
pada dana umum, yang diminta pada semua pembayar pajak. Dengan demikian
yang dilakukan oleh pemerintah untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan,
bagi orang atau kelompok orang. Kebijakan ini pada dasarnya bersifat mengurangi
kebebasan seseorang atau sekelompok orang untuk berbuat sesuatu. Kebijakan self-
regulatory adalah semacam peraturan kebijakan yang berupaya untuk membatasi atau
dan didukung oleh sekelompok aturan sebagai alat untuk melindungi atau
Kebijakan publik dapat pula dipisahkan ke dalam kebijakan material atau simbolis.
penghasilan yang nyata atau kekuasaan yang sesungguhnya kepada orang-orang yang
diuntungkan, atau memberikan kerugian yang sesungguhnya, bagi siapa yang terkena
kerugian. Dalam bahasa yang sederhana, kebijakan material adalah kebijakan yang
Kebijakan publik dapat juga dimasukkan dalam ketetapan yang merupakan barang
kolektif (indivisible) atau barang privat (divisible). Yang disebut sebagai barang
kolektif adalah kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan bagi keperluan
59
orang banyak (kolektif). Kebijakan privat adalah kebijakan yang dapat dibagi
menjadi satuan-satuan dan dibiayai untuk pemakai tunggal dan dapat dipasarkan.
SUMBERDAYA IKAN
- BARANG EKONOMI
- LAW OF SCARCITY
- LAW OF D. RETURN
STATUS TINGKAT
SEKTOR PEMANFAATAN SDI
PRIORITAS (OVERFISHING)
KEBIJAKAN
PEMANFAATAN SDI
BERBASIS MSY
Lokasi penelitian ialah di Teluk Lasongko merupakan salah satu teluk terbesar yang
terdapat di Kabupaten Buton, dengan luas total sekitar 13,6 km2. Teluk ini terletak di
daratan Pulau Muna bagian timur dengan mulut teluk menghadap ke arah timur. Wilayah
yaitu Kecamatan Lakudo dan Kecamatan Mawasangka Timur. Disamping itu ada dua
kecamatan yang berdekatan dengan dua kecamatan yang mengelilingi Teluk Lasongko
tahun 2001. Lokasi penelitian menurut peta dapat dilihat pada Gambar 10. Penelitian ini
bar 4. Lokenelitian
sampling. Marzuki (2002) menjelaskan bahwa cara pengumpulan data dengan metode
sampling dilakukan dalam menyelidiki sebagian objek, gejala atau peristiwa; tidak
P. Muna
seluruhnya. Sebagian individu yang diselidiki disebut sampel, sedangkan hasil yang
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh langsung, dari sumbernya; diamati dan dicatat, sedangkan
data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya (Marzuki, 2)
yang memberikan keterangan atau jawaban (responden). Data primer yang diperoleh
method). Responden yang menjadi objek pada penelitian ini terdiri dari perwakilan dari
seperti instansi pemerintah baik pusat maupun daerah (Departemen Kelautan dan
Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda dan lain-lain), LSM lokal, koperasi
sampling. Marzuki (2002) menjelaskan bahwa cara pengumpulan data dengan metode
sampling dilakukan dalam menyelidiki sebagian objek, gejala atau peristiwa; tidak
seluruhnya. Sebagian individu yang diselidiki disebut sampel, sedangkan hasil yang
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh langsung, dari sumbernya; diamati dan dicatat, sedangkan
data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya (Marzuki,
yang memberikan keterangan atau jawaban (responden). Data primer yang diperoleh
method). Responden yang menjadi objek pada penelitian ini terdiri dari perwakilan dari
seperti instansi pemerintah baik pusat maupun daerah (Departemen Kelautan dan
62
Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bappeda dan lain-lain), LSM lokal, koperasi
1). Kondisi dan potensi biofisik sumberdaya hayati Teluk Lasongko Kabupaten Buton
2). Usaha perikanan tangkap dan budidaya laut meliputi produksi, harga dan biaya yang
3). Mata pencaharian (penyerapan tenaga kerja) usaha pemanfaatan sumberdaya ikan.
4). Data pengembangan potensi wilayah meliputi pertambangan, pemukiman, sarana dan
1). Data kondisi dan potensi biofisik sumberdaya hayati diperoleh dari laporan tahunan
2). Data usaha perikanan (tangkap dan budidaya laut) diperoleh dari buku statistik
perikanan Kabupaten Buton, buku statistik atau laporan tahunan Kecamatan Lakudo
dan Mawasangka Timur, serta dengan melakukan wawancara dan kuesioner kepada
3). Data mata pencaharian (penyerapan tenaga kerja) usaha pemanfaatan sumberdaya
4). Data pengembangan potensi wilayah diperoleh dari laporan pengembangan terpadu
Teluk Lasongko dan berbagai sumber (key person) dengan menggunakan kuisioner
5). Data institusi/kelembagaan sosial dan pranata sosial diperoleh dari hasil wawancara
dengan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buton, Camat Lakudo,
Camat Mawasangka Timur dan key person lainnya. Selain itu juga didukung dengan
6). Data sosial ekonomi budaya masyarakat diperoleh dari berbagai sumber dan
wawancara.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis model input-
output, analisis potensi sumberdaya ikan (MSY), analisis kelayakan usaha, analisis Goal
Prof. Wassily W. Leontief pada tahun 1951 (Nasution, 1996). Tehnik ini antara lain
dalam suatu periode tertentu dengan melihat keterkaitan antar sektor ekonomi di wilayah
keseluruhan, bukan keseimbangan satu proses produksi saja, dimana sebagian output
suatu kegiatan digunakan sebagai input bagi kegiatan lainnya. Untuk mengurangi
64
tentang transaksi barang dan jasa antar satuan ekonomi untuk satu periode tertentu.
Dalam penelitian ini, kajian peran sektor perikanan secara nasional didasarkan pada
olahan hasil analisis penentuan sektor prioritas di kelautan dan Perikanan di Indonesia
perekonomian di tingkat Kabupaten Buton didasarkan pada hasil olahan Tabel Input-
Output Kabupaten Buton tahun 1994. Tabel Input-Output Kabupaten Buton tahun 1994
ini merupakan hasil survey lapangan langsung yang dilaksanakan oleh Kantor Statistik
wilayah penelitian, didasarkan pada olahan dari buku Produk Domestik Regional Bruto
Kabupaten Buton Tahun 2003 yang merupakan hasil survei langsung di Kabupaten
Buton .
Model I-O menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling
keterkaitan antar satuan kegiatan ekonomi untuk suatu waktu tertentu yang disajikan
dalam bentuk tabel. Isian sepanjang baris menunjukkan alokasi output dan isian menurut
kolom menunjukkan pemakaian input dalam proses produksi (Biro Pusat Statistik, 1995).
Sebagai model kuantitatif, tabel I-O mampu memberi gambaran menyeluruh tentang: (1)
struktur perekonomian yang mencakup struktur output dan nilai tambah masing-masing
kegiatan ekonomi di suatu daerah, (2) struktur input antara (intermediate input), yaitu
penggunaan barang dan jasa oleh kegiatan produksi di suatu daerah, (3) struktur
penyediaan barang dan jasa baik yang berupa produksi dalam negeri maupun barang-
barang yang berasal dari impor, dan (4) struktur permintaan barang dan jasa, baik
65
permintaan oleh kegiatan produksi maupun permintaan akhir untuk konsumsi, investasi
dan ekspor.
Dari analisis I-O dapat diketahui beberapa indikator ekonomi antara lain :
permintaan akhir.
Untuk mengetahui berapa besar perubahan pada NTB apabila terjadi perubahan
hubungan keterkaitan antar sektor dalam pembelian input yang digunakan untuk
oleh koefisien teknis (direct input) sedangkan keterkaitan langsung dan tidak
langsung per unit kenaikan permintaan total. Bila nilainya lebih besar dari satu
menunjukkan bahwa output dan sektor tersebut secara relatief lebih banyak
digunakan oleh sektor-sektor lain sebagai input. Hal ini berarti sektor terebut
terhadap sektor-sektor yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara
langsung per unit kenaikan permintaan total, atau suatu sektor menunjukkan
berapa banyak input yang berasal dari produksi berbagai sektor yang dipakai oleh
sektor dalam proses produksi.Bila nilainya lebih besar dari satu menunjukkan
bahwa sektor tersebut memiliki kaitan yang kuat. Artinya banyak mempengaruhi
sektor ini.
sektor-sektor lainnya.
67
tertentu. Dari DP dan DK dapat dihasilkan indek DP dan indek DK yang dapat
penting dilakukan mengingat Indonesia memiliki multi species dan multi gear. Menurut
Gulland (19983) yang diacu dalam Sultan (2004) bahwa jika di suatu perairan terdapat
berbagai jenis alat (multi gear) maka salah satu alat tangkap dapat dipakai sebagai alat
tangkap standar. Alat tangkap lainnya dapat distandarisasikan terhadap alat tangkap
yang telah dipilih sebagai alat tangkap standar tersebut. Alat tangkap yang dtetapkan
sebagai alat tangkap standar dipilih dari alat tangkap yang mempunyai produktivitas
yang paling tinggi. Alat tangkap tersebut diberi nilai FPI (Fishing Power Index) = 1.
ikan pada tahun ke-n dengan jumlah alat pada tahun ke-n tersebut.
2). Menghitung FPI alat tangkap lain dengan membagi produktivitas (CPUE)
3). Menghitung FPI masing-masing alat tangkap yang telah distandarisasi dengan
mengalikan jumlah alat tangkap yang ada dengan FPI alat tersebut.
Upaya tangkap optimum (fopt) dan Maksimum Sustainable Yield (MSY) dapat
dihitung dengan perasamaan MSY = a2/4b; dimana a adalah intersep dan b adalah
Persamaan Schaefer ini sering digunakan untuk menghitung MSY dan Upaya
mudah dan hasilnya mudah dimengerti oleh siapa saja termasuk para penentu kebijakan
(Ghofar , 2003).
1. Membuat tabel data catch (c) dan upaya tangkap yang telah distandarisasi (Eff)
Produksi adalah penciptaan atau penambahan faedah dari berbagai segi seperti
Faktor produksi sering disebut dengan korbanan produksi, karena faktor produksi
input, sedangkan hasil produksi (produk) disebut output. Hubungan antara input dan
output disebut Faktor Relationship (FR). Secara matematis dapat ditulis dengan :
Dalam proses produksi perikanan tangkap maka Y dapat berupa hasil tangkapan
dan Xi berupa alat penangkap, tenaga kerja, modal dan manajemen. Disamping itu ada
Faktor pembatas dominan pada usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko pada
penelitian ini adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) , es , air tawar dan tenaga kerja.
Hubungan hasil tangkapan (Y) dengan faktor pembatas produksi secara matematis dapat
Y = A + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + b5 X5
Keterangan :
A = Konstanta (intersep)
X1 = BBM (ltr/bln)
X3 = Es (kg/bln)
X4 = Orang/Bulan
− Bensin : Rp 4.500/liter
− Minyak tanah : Rp 3.700/liter
− Es : Rp 300/kg
− Tenaga kerja : Rp 800.000 per bulan
− Air tawar : Rp 4/liter
Setiap pelaku ekonomi mempunyai tujuan untuk mengoptimalkan pencapaian
keuntungan. Pendapatan dan biaya tergantung pada jumlah keluaran yang dihasilkan.
∏ = TR - TC
Keterangan :
∏ = Keuntungan
TR = Total Revenue atau Total Penerimaan
TC = Total Cost atau Total Pengeluaran
Persamaan lainnya yang biasa digunakan untuk menghitung keuntungan adalah:
∏ = TR – TC atau Q.Pq - ( FC + VC)
71
Keterangan :
Variable Cost
Untuk mengetahui apakah suatu unit usaha menguntungkan atau tidak, dapat
n
∑ NB+
i =1
Net B/C =
n
∑ NB+
i=1
Dimana :
NB = Net Benefit = Benefit – Cost
B = Benefit yang telah di discount rate (memperhatikan unsur bunga dan
penyusutan)
C = Cost
n = Waktu
i = Discount factor
Jika Net B/C lebih besar dari 1 (satu) berarti usaha tersebut layak untuk
dikerjakan, dan jika lebih kecil dari 1 (satu) berarti tidak layak untuk dikerjakan. Untuk
Net B/C sama dengan 1 (satu) berarti cash in flow sama dengan cash out flows, dalam
present value disebut dengan Break Even Point (BEP), yaitu total cost sama dengan total
benefit.
72
sebagai suatu goal dan direpsentasikan secara numerik. Goal yang dinyatakan secara
numerik inilah yang dicoba untuk dicapai. Tetapi berbagai goal tidak selalu dapat dicapai
secara bersamaan, penyimpangan (deviasi) dari goal dapat terjadi. Karena dalam
formulasi goal programming, goal dalam numerik untuk setiap tujuan harus ditetapkan
lebih dahulu. Kemudian, solusi yang ingin dicari adalah meminimalkan jumlah
penyimpangan tujuan-tujuan ini terhadap goalnya. Dengan kata lain, fungsi tujuan dalam
suatu variabel yang disebut variabel deviasi. Variabel deviasi ini menyatakan tingkat
goal ini tidak mungkin terjadi bersamaan. Oleh karena itu salah satu atau kedua variabel
Formulasi model setiap goal dimasukkan dalam kendala, oleh karena itu kendala
goal programming disebut “goal constraints”. Goal constraint ini juga ditulis dalam
variabel deviasi.
1). Setiap goal constraint selain mempunyai variabel keputusan, yaitu: Xi ( X1, X2, ......
Xn) juga mempunyai variabel deviasi yang non-negatif, yaitu µ dan ei. Variabel µ
2). Fungsi tujuan dalam goal programming adalah minimisasi penyimpangan atau
constraint adalah:
constraintnya adalah :
timbangan dalam formulasi fungsi tujuannya. Fungsi tujuan tertimbangan dalam goal
∑ Wi. µi + Wi. ei
74
7). Oleh karena salah satu atau kedua variabel deviasi ini µi dan ei sama dengan 0 (nol),
maka goal constaint yang mempunyai variabel deviasi bernilai positif merupakan
kendala aktif.
merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan usaha perikanan
baik. Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari
suatu variabel yang nilai kurang kepada suatu nilai yang lebih baik. Dalam penelitian ini
armada penangkapan ikan dan dampaknya terhadap berbagai sasaran melalui pendekatan
goal programming. Sebagai alat bantu analisis data digunakan Program LINDO (Linier
Persamaan dalam fungsi tujuan ini ditandai oleh kehadiran variabel deviasional dari
penyimpangan (deviasi) hasil penyelesaian di bawah sasaran atau under achievement (µi )
fungsi kendala tujuan ini akan mengubah makna kendala menjadi sarana untuk
Fungsi Tujuan
Dimana
karena terdapat 5 (lima) tujuan yang ingin diperoleh dalam waktu bersamaan dan telah
ada software LINDO yang dapat memudahkan pengolahan data secara cepat dan akurat.
sebanyak mungkin informasi yang berkaitan dengan upaya pengelolaan sumberdaya ikan
di sekitar Teluk Lasongko yang bersumber dari pemerintah, swasta dan masyarakat.
Metode PRA digunakan untuk memperoleh informasi yang berkualitas tentang kondisi
dan pandangan masyarakat serta memiliki orientasi “bottom up” yang kuat, dimana
(Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats) (Rangkuti, 1997). Dalam analisis ini
peneliti menggali informasi dari berbagai unsur pelaku, sehingga ditemukan berbagai
tentang peraturan serta biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti peraturan tersebut; dan
AHP. Langkah pertama yang dilakukan dalam AHP adalah menyusun struktur hirarki.
Penyusunan hirarki terhadap permasalahan dan kondisi nyata di tingkat lapangan terlebih
Konsistensi
menentukan solusi masalah. Permasalahan pada penelitian ini adalah belum adanya
pemanfaatan sumberdaya ikan adalah sebagai berikut: (i) keinginan pemerintah daerah
dan instansi terkait lainnya; (ii) dukungan masyarakat setempat; (iii) dukungan
sumber daya ikan di Teluk Lasongko yang disusun oleh kriteria-kriteria penentu
dan program-program yang diperoleh dari hasil analisis SWOT merupakan level bawah
kualitatif subyektif terhadap elemen-elemen pada setiap tingkat. Dengan pola penilaian
tersebut, ketelitian hasilnya sangat ditentukan oleh relevansi dan tingkat pemahaman
permasalahan dari penilai. Karena itu penilaian akan lebih berbobot jika dilakukan
secara berkelompok, oleh kelompok individu yang relevan. Sifatnya yang menyeluruh
berbagai faktor), serta penilaiannya yang tidak saja berdasarkan angka absolut, melainkan
79
juga relatif (menggunakan skala) membuat metode AHP fleksibel, aktual dan handal
untuk dapat dipakai sebagai alat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, atau untuk
persoalan yang sesuai dengan kondisi Teluk Lasongko sebagai berikut (Nikijuluw, 2002):
sumberdaya,
Buton, dengan luas total sekitar 13,6 km2 dan luas total daratan wilayah Teluk Lasongko
yang terdiri dari 4 (empat) kecamatan sekitar 887 km2. Teluk ini terletak di daratan Pulau
Muna bagian timur dengan mulut teluk menghadap ke arah timur. Wilayah Perairan
Kecamatan Gu. Secara administrasi wilayah Teluk Lasongko memiliki batas wilayah :
Sebagaimana halnya dengan kondisi umum Pulau Muna yang terpisah dari
daratan Pulau Sulawesi, wilayah pantai Teluk Lasongko memiliki bentuk topografi datar,
Lakudo, Waara, Madongka, dan Bungi, sementara desa lainnya didominasi oleh areal
jumlah bulan basah yang lebih sedikit dibandingkan bulan kering, dengan curah hujan
rata-rata tiap tahun sangat rendah. Musim hujan biasanya terjadi pada Bulan November
sampai dengan Maret, sedangkan musim kemarau terjadi pada Bulan Agustus sampai
Kondisi oceanografi perairan Teluk Lasongko pada sebelah barat dan timur
Kecamatan Lakudo terlindung dari gempuran ombak musim timur (Mei – Agustus) dan
ditumbuhi komunitas lamun dan komunitas terumbu karang. Tipe pasut termasuk
campuran semi diurnal (mixed semidiurnal), dengan tinggi pasang dipermukaan dan
kedalaman 4 meter diselat yang tersempit sekitar 0,2 – 0,8 m/detik. Perairan ini memiliki
kandungan oksigen terlarut yang tinggi sekitar 5,6 – 6,12 ppm dan paparan dasar yang
landai serta kedalaman berkisar antara 30 – 50 meter yang cukup luas yaitu 1200 ha.
Kondisi kualitas air diperairan Teluk Lasongko dapat dilihat pada Tabel 1.
5.1.1 Kependudukan
Mawasangka Timur sebesar 4,79%, dan terendah di Kecamatan Lakudo sebesar 2,51%.
jumlah penduduk laki-laki sebanyak 43.030 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk dan
jumlah penduduk menurut jenis kelamin di kawasan Teluk Lasongko disajikan pada
Penduduk
Kecamatan Laju Pertumbuhan Pertahun
2000 2004
(1) (2) (3) (4)
Tabel 3. Penduduk di Kawasan Teluk Lasongko Menurut Jenis Kelamin Tahun 2004
Jenis Kelamin
Kelompok Umur Laki-Laki + Perempuan
Laki-Laki Perempuan
(1) (2) (3) (4)
Gu 12.296 12.644 24.940
Lakudo 12.085 11.244 23.329
Mawasangka 14.422 14.883 29.305
Mawasangka Timur 3.481 4.259 7.740
Jumlah 42.284 43.030 85.314
Sumber : BPS Kabupaten Buton, 2004 (diolah)
dengan kepadatan 219 jiwa/km2 dan kepadatan terendah adalah Kecamatan Mawasangka
Timur 61 jiwa/km2. Luas kecamatan dan kepadatan penduduk per kecamatan di Teluk
Sebagian besar penduduk di Teluk Lasongko merupakan suku bangsa Buton dan
Wakatobi sebanyak 65.676 jiwa disusul oleh suku bangsa Muna sebanyak 9.177 jiwa,
Tabel 5. Jumlah Penduduk Kawasan Teluk Lasongko Menurut Kecamatan dan Suku Bangsa
Tahun 2000
5.1.2 Pendidikan
dititikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia yang cerdas dan memiliki
84
intelektualitas yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan peningkatan sarana dan
bidang pendidikan disajikan pada Tabel 9 sampai dengan Tabel 12. Pada tabel-tabel
tersebut disajikan data mengenai banyaknya sekolah, guru dan murid dari semua jenjang
pendidikan mulai dari pra sekolah/Taman Kanak-Kanak (TK) sampai SLTA tahun 2004.
Dari tabel ini dapat dilihat rasio antara guru terhadap sekolah, murid terhadap sekolah
dan murid terhadap guru baik TK, SD, SMP dan SMU.
Tabel 6. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid Taman Kanak-Kanak Menurut Kecamatan
di Kawasan Teluk Lasongko Tahun 2004
Rata-Rata
Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/ Murid/ Murid/
Sekolah Sekolah Guru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Gu 5 7 186 1 37 27
2 Lakudo 5 11 222 2 44 20
3 Mawasangka 6 15 253 2 46 17
4 Mawasangka Timur 1 1 44 1 1 44
Tabel 8. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMP Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004
Rata-Rata
Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/ Murid/ Murid/
Sekolah Sekolah Guru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Gu 3 53 985 18 328 19
2 Lakudo 4 54 939 14 235 17
3 Mawasangka 2 43 1.004 22 502 23
4 Mawasangka Timur 1 10 170 10 170 17
Tabel 9. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid SMU Menurut Kecamatan di Kawasan
Teluk Lasongko Tahun 2004
Rata-Rata
Kecamatan Sekolah Guru Murid Guru/ Murid/ Murid/
Sekolah Sekolah Guru
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Gu 2 48 745 24 373 16
2 Lakudo - - - - - -
3 Mawasangka 1 28 596 28 596 21
4 Mawasangka Timur - - - - - -
Produksi ikan di Teluk Lasongko pada periode tahun 2000-2004 berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Pada tahun 2000 produksi ikan tercatat 12.355 ton, pada tahun 2001
produksi ikan tersebut naik sekitar 15 % menjadi 14.194 ton. Namun pada tahun 2003
produksi turun menjadi 13.172 ton, dan pada dua tahun terakhir periode tersebut
menunjukkan penurunan lagi yaitu dari 14.402 ton pada tahun 2003 menjadi 13.741 ton
pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa produksi ikan hasil tangkapan di perairan
Dalam hal armada penangkapan ikan, berdasarkan data tahun 2004 jumlah armada
perikanan yang beroperasi di Teluk Lasongko sebanyak 3.293 buah yang terdiri dari
motor tempel 2.722 buah, perahu tanpa motor 533 buah dan kapal motor 38 buah.
Distribusi armada penangkapan menurut kecamatan dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 11. Jumlah Perahu, Kapal Penangkap Ikan Menurut Jenisnya Tiap
Kecamatan Tahun 2004
1 Gu 1.112 104 5
2 Lakudo 583 215 15
3 Mawasangka 662 108 10
4 Mawasangka Timur 365 106 8
Alat tangkap ikan di Teluk Lasongko didominasi oleh alat tangkap sederhana
seperti pancing, jaring insang, bagan dan bubu. Beberapa jenis alat tangkap ikan di
Teluk Lasongko jumlahnya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Jaring insang
hanyut yang jumlahnya paling banyak diantara jenis alat tangkap yang ada, pada tahun
2000 baru ada 548 unit, namun pada tahun 2004 jumlahnya meningkat pesat menjadi
2.036 unit. Jenis-jenis alat tangkap ikan yang dioperasikan di Teluk Lasongko dan
87
Tabel 12. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Tahun 2000 - 2004
Nama Alat Tahun
Tangkap 2000 2001 2002 2003 2004
Payang 19 19 20 20 21
Pukat Pantai 32 31 35 36 37
Pukat Cincin 3 3 3 3 3
Pukat udang 2 2 2 2 2
Jaring Insang Hanyut 548 549 1820 1970 2036
Jaring Insang Lingkar 302 308 309 320 324
Jaring Insang Tetap 458 459 250 276 278
Trammel Net 6 6 12 30 31
Bagan Perahu 62 62 70 73 73
Bagan Tancap 61 61 65 66 66
Serok 14 14 6 5 5
Jaring Angkat Lainnya 16 16 6 5 5
Huhate 3 3 3 3 3
Pancing Biasa 440 437 439 440 443
Pancing Tonda 586 588 583 574 574
Rawai Tetap 45 45 45 45 45
Sero 101 101 28 27 27
Bubu 1345 1345 504 390 365
Jermal 20 20 20 9 8
Perangkap lainnya 69 69 60 130 130
Jenis ikan hasil tangkapan di perairan Teluk Lasongko pada dasarnya dibagi
menjadi 5 kelompok yaitu (i) ikan demersal (ii) ikan pelagis kecil (iii) ikan pelagis
besar (iv) ikan karang konsumsi (v) jenis berkulit keras (rajungan dan udang udangan).
Ikan- ikan demersal yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara lain ikan Pari
(Dasyatis sp), Lencam (Lethrinus sp) dan Biji nangka (Parupeneus indicus). Alat
tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan demersal yaitu jaring insang
(terdiri: jaring insang hanyut, jaring lingkar dan jaring insang tetap); jaring angkat
(terdiri: bagan perahu dan bagan tancap), perangkap dan alat lainnya (terdiri: sero, bubu
dan perangkap). Kelompok ikan pelagis kecil yang tertangkap di perairan Teluk
88
Lasongko antara lain ikan ekor kuning (Caesio eritrogaster), layang (Decapterus sp),
tembang (Clupea sp), lemuru (Sardinella longiceps), dan kembung (Rastreliger sp).
tembang (Clupea sp). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok
ikan pelagis kecil yaitu pukat (payang, pukat pantai dan pukat cincin) dan pancing
Ikan pelagis besar yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko terdiri dari ikan
sp), alu-alu (Sphyraena sp), dan cucut (Charcarias sp). Alat tangkap yang digunakan
untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar di perairan Teluk Lasongko adalah
Jenis ikan karang konsumsi yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara lain
ikan bambangan (Lutjanus sanguiness), ikan kakap (Lutjanus sp), ikan kerapu
(Epinephalus sp), ikan kurisi (Helocentrum rubrum) dan ikan kuwe (Caranx sp). Alat
tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan-ikan karang adalah jenis
Kelompok ikan berkulit keras terdiri dari rajungan (Portunus sp) dan udang-
udangan (Penaeus sp). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok jenis
ikan berkulit keras ini adalah perangkap yang terdiri atas sero, bubu, jala, perangkap lain
Perkembangan jumlah jenis alat tangkap ikan yang beroperasi di perairan Teluk
Lasongko dan produksi ikannya dalam periode tahun 2000-2004 dapat dilihat pada
Tabel 13.
89
Tabel 13. Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2000 – 2004
(1).Terumbu Karang
Pada umumnya perairan Teluk Lasongko memiliki terumbu karang bertipe karang
pantai (fringing reef) dan ada pula yang bertipe karang gosong (patch reef) yang terpisah
± 3 km dari pantai dan didominsasi oleh pasir halus. Kondisi terumbu karang di perairan
Teluk Lasongko ini umumnya dalam kondisi baik dan sebagian sudah mengalami
kerusakan akibat aktifitas nelayan tradisional yang melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkunga yaitu menangkap ikan dengan
menggunakan bahan peledak. Pada tahun 2001, daerah penangkapan ikan dengan
Lolibu dan Boneoge dengan estimasi aktivitas 12 kali ledakan per hari atau 1.800 kali
setahun, sementara di Kecamatan Mawasangka Timur jumlah ledakan per hari sekitar 15
kali atau 3.400 kali setahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, 2003). Luas total
terumbu karang di Teluk Lasongko adalah 279,8 ha atau 20 % dari luas perairan Teluk
Lasongko seluas 1.360 ha. Sebaran dari Terumbu karang ini meliputi lokasi Karang
Bawona, Karang Katembe, Karang Bunging Balano, Karang Bunta, Karang Bone
Marangi, Karang Madongka, Karang Bungi. Adapun luasan dari masing-masing lokasi
Setiap lokasi memiliki ciri yang hampir sama yaitu rataan terumbu karangnya
(Reef Flat) berada pada kedalaman antara 3 sampai 5 meter dengan pada bagian
lerengnya (Reef Slope) sangat landai dengan kontur rata. Karang ditemukan rata-rata
pada kedalaman 5 meter hingga 8 meter dan selebihnya adalah pasir dan alga.
Keberadaan alga yang cukup tinggi disebabkan oleh pergerakan arus yang lemah. Hal ini
mengindikasikan terjadinya peroses pemulihan, sehingga alga lebih cepat tumbuh dan
dominan dibanding karang keras (Hard Coral). Dapat dijelaskan pada masing-masing
Karang Bawono terletak pada 05°25’14,1” LS dan 122°28’55” BT, merupakan tipe
terumbu karang gosong (Patch Reef) dan merupakan daerah penangkapan ikan tradisional
mempunyai presentase penutupan karang dalam kriteria baik (69,98%), dengan dominasi
pada lokasi ini adalah karang lunak (Soft Coral) dengan rataan yang cukup luas pada
122°30’59,5” BT) semuanya merupakan terumbu karang tipe karang pantai (Fringing
karang dengan tipe terumbu karang pantai (Fringing Reef) dengan prosentase penutupan
karang sedang (36%) mengarah ke kreteria buruk, mayoritas karang hancur dengan
sedimentasi tinggi.
Karang Madongka (05°25’56,6” LS dan 122°30’42,2” BT) memiliki karang yang cukup
sehat karena lebih beragam dan kehadiran unsur abiotik (pasir) tidak terlalu besar dengan
(Stony Coral).
(35%) dan selebihnya disusun oleh komponen karang mati serta dominasi oleh komponen
Sebaran dari Terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 12. dibawah ini :
93
Padang lamun ditemukan di seluruh zona intertidal Teluk Lasongko yang terdiri
Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Halodule universis) yang hidup pada
substrat pasir halis dan pasir berlumpur (Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, 2003).
Sebaran dari ekosistem padang lamun di teluk Lasongko mempunyai luas secara
keseluruhan adalah 573,03 ha, yang tumbuh pada bagian dasar perairan bersubstrat pasir
halus, terbagi 5 (lima) kelompok lokasi yakni: bagian Utara teluk dengan luas 183,87 ha,
sebelah Barat seluas 209,89 ha, Timur seluas 130,56 ha, bagian Barat dekat mulut teluk
94
20,15 ha, dan bagian Timur dekat mulut teluk seluas 28,56 ha. Untuk penyebaran padang
(3). Mangrove
Mawasangka Timur seluas 545,52 ha dengan ketebalan bervariasi antara 25 – 300 m yang
tersebar dalam kondisi baik yakni; Di Desa Lolibu dengan luas 25 ha, Kel. Lakudo 25 ha,
Desa Matawine 75 ha, Boneoge 50 ha, Desa Bungi 75 ha, Desa Lasori 5 ha, dan beberapa
Nepa Makar, Madongka. (Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, 2003). Hutan mangrove
merupakan ekosistem penyangga yang menjadi tempat perlindungan bagi berbagai jenis
larva organisme (spawning ground dan nursery ground) rajungan, kepiting, udang, dan
berbagai jenis ikan. Sebaran dari mangrove dapat dilihat pada Gambar 14 dibawah ini :
SEBARAN MANGROVE
TELUK LASONGKO
A. Terumbu Karang
Pada umumnya perairan Teluk Lasongko memiliki terumbu karang bertipe karang
pantai (fringing reef) dan ada pula yang bertipe karang gosong (patch reef) yang terpisah
Sektor perikanan memiliki arti penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dari perkembangan PDB sektor perikanan yang cukup besar selama
periode tahun 2001-2004 yaitu 14,41 %. PDB sektor perikanan tahun 2005 sampai
dengan triwulan III sebesar Rp.16,06 triliun. Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB
nasional cenderung terus meningkat. Apabila pada tahun 2001 kontribusi tersebut
nasional maupun regional dapat diketahui pula dari hasil analisa Tabel Input-Output.
Analisa terhadap Tabel Input-Output Nasional tahun 1995 oleh Resosudarmo etal,
Kelautan dan Perikanan dapat dikategorikan sebagai sektor prioritas jangka pendek
yaitu sektor-sektor yang dampak dari investasi di sektor-sektor terhadap kenaikan total
produksi dan pendapatan masyarakat besar. Disamping itu dari analisa tersebut
dihasilkan sektor kunci yaitu sektor penggerak utama berkembangnya sektor-sektor lain
ada 5 sektor yang termasuk kelompok kelautan dan perikanan mempunyai nilai
Backward Linkage (BL) dan Forward Linkage (FL) lebih besar dari satu, yang berarti
hulu dan hilirnya. Sektor-sektor tersebut adalah Jasa Perdagangan Hasil Perikanan dan
97
Output Kabupaten Buton 1994 dimana terdapat 40 sektor. Dalam analisis I-O disini
difokuskan pada peran sektor perikanan laut. Oleh karena itu dibuat pengelompokan
Darat, 6. Perikanan Laut, 7. Aspal dan Penggalian lainnya, 8. Listrik dan Air bersih, 9.
Industri, 10. Perdagangan, Hotel dan Restoran, 11. Angkutan dan komunikasi, 12.
Hasil analisis Tabel I-O Kabupaten Buton 1994 dapat diuraikan sebagai berikut.
keterkaitan tersebut dapat dilihat sampai seberapa kuat yang dimiliki oleh
atau disebut Derajat Kepekaan (DK) dan tingkat keterkaitan ke belakang atau
disebut Daya Penyebaran (DP). Dari DK dan DP dapat dianalisa lebih lanjut
Hasil pengolahan tabel I-O Kabupaten Buton 1994 yang telah dibuat menjadi 12 sektor
Pada Tabel 15 dapat diketahui bahwa untuk sektor perikanan laut nilai
keterkaitan output langsung ke belakang (0.26) dan keterkaitan output langsung dan
tidak langsung ke belakang sektor perikanan laut (1.39) menunjukkan bahwa bila
terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu-satuan pada sektor perikanan laut
maka sektor perikanan laut itu sendiri membutuhkan input dari sektor-sektor lainnya
termasuk sektor perikanan laut itu sendiri sebesar 0.26 satuan untuk keterkaitan
langsung dan sebesar 1.39 satuan untuk keterkaitan langsung dan tidak langsung. Nilai
keterkaitan ke belakang yang besar pada sektor perikanan laut (1,39) menunjukkan
Pada Tabel 16 dapat diketahui bahwa di Kabupaten Buton terdapat dua sektor
yang menjadi sektor kunci (kategori prioritas I), yaitu sektor industri dan sektor
angkutan dan komunikasi. Kategori prioritas II ada tiga sektor termasuk sektor
perikanan laut terhadap sektor-sektor lainnya di Kabupaten Buton, dapat dilihat pada
Tabel 17 berikut.
100
Sektor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
1 1.0209 0.0070 0.0257 0.0077 0.0179 0.0153 0.0164 0.0346 0.1213 0.0117 0.0309 0.0030 1.3126
2 0.0003 1.0041 0.0160 0.0004 0.0010 0.0009 0.0008 0.0018 0.0060 0.0032 0.0016 0.0002 1.0363
3 0.0031 0.0004 1.0025 0.0002 0.0007 0.0006 0.0003 0.0007 0.0015 0.0057 0.0009 0.0004 1.0170
4 0.0011 0.0017 0.0009 1.0025 0.0082 0.0070 0.0035 0.0062 0.0214 0.0044 0.0055 0.0005 1.0628
5 0.0000 0.0001 0.0000 0.0001 1.0845 0.0002 0.0002 0.0003 0.0011 0.0005 0.0004 0.0001 1.0874
6 0.0012 0.0014 0.0005 0.0015 0.0035 1.0757 0.0032 0.0068 0.0239 0.0020 0.0061 0.0006 1.1264
7 0.0048 0.0070 0.0026 0.0077 0.0196 0.0167 1.0527 0.0346 0.1217 0.0100 0.0309 0.0028 1.3110
8 0.0003 0.0004 0.0004 0.0033 0.0025 0.0022 0.0019 1.1636 0.0049 0.0058 0.0069 0.0022 1.1946
9 0.0501 0.0731 0.0268 0.0811 0.1842 0.1575 0.1723 0.3634 1.2773 0.1054 0.3237 0.0284 2.8432
10 0.0167 0.0158 0.0084 0.0192 0.0795 0.0679 0.0312 0.0876 0.1341 1.0352 0.0721 0.0070 1.5746
11 0.0060 0.0078 0.0045 0.0109 0.0306 0.0255 0.0422 0.0369 0.0589 0.0425 1.1149 0.0045 1.3852
12 0.0085 0.0135 0.0107 0.0676 0.0321 0.0273 0.0204 0.0287 0.0313 0.0372 0.1010 1.0126 1.3909
Total 1.1130 1.1320 1.0990 1.2021 1.4642 1.3967 1.3452 1.7654 1.8036 1.2636 1.6949 1.0623 16.3419
Dari Tabel 17 dapat dijelaskan bahwa jika permintaan akhir sektor perikanan
laut meningkat 1,00 persen maka output perekonomian akan meningkat sebesar 1,40
persen, terdiri dari output sektor perikanan laut sendiri sebesar 1,08 persen dan
sumbangan sektor lainnya sebesar 0,32 persen. Atau dengan kata lain bahwa jika terjadi
injeksi sebesar 1 persen di sektor perikanan laut, maka akan berdampak terhadap
peningkatan output perekonomian sebesar 1,40 persen, yang terdiri dari satu persen
Jika permintaan akhir seluruh sektor meningkat sebesar 1 persen maka output
perekonomian akan meningkat sebesar 16,34 persen, yang disumbangkan oleh sektor
perikanan laut sendiri sebesar 1,13 persen dan sumbangan sektor lainnya diluar sektor
Dari Tabel I-O dapat dianalisa pula seberapa besar dampak peningkatan
investasi sektor perikanan terhadap sektor-sektor lainnya seperti yang ditunjukkan pada
Pada Tabel 18, dapat diketahui bahwa ketika terjadi penambahan investasi
sebesar 10 persen disektor perikanan laut, akan berdampak pada peningkatan output
sebesar 10,76 persen disektor perikanan laut itu sendiri, sedangkan tingkat pendapatan
disektor perikanan laut terhadap nilai tambah bruto dan penyerapan tenaga kerja lebih
besar masing-masing sebesar 7,97 persen dan 7,63 persen untuk sektor perikanan laut
itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan investasi sebesar 10 persen di
sektor perikanan laut akan menciptakan output yang lebih besar dibanding dengan
Jenis ikan hasil tangkapan di perairan Teluk Lasongko pada dasarnya dibagi
menjadi 5 kelompok yaitu (i) ikan demersal (ii) ikan pelagis kecil (iii) ikan pelagis
besar (iv) ikan karang konsumsi (v) jenis berkulit keras (rajungan dan udang udangan).
Ikan pelagis kecil terdiri atas ekor kuning (Caesio eritrogaster), layang (Decapterus
sp), selar (Selaroides sp), belanak (Mugil cephalus), julung-julung (Hemirhampus sp),
tembang (Clupea sp), lemuru (Sardinella longiceps), dan kembung (Rastreliger sp).
Ikan pelagis besar terdiri atas Cakalang (Katsuwonus pelamis), Tenggiri (Scombemorus
commersoni), Tongkol (Euthinus sp), Alu alu (Sphyraena sp), cucut (Charcarias sp).
Ikan demersal terdiri atas pari (Dasyatis sp), Lencam (Lethrinus sp), Biji nangka
(Parupeneus indicus). Ikan karang konsumsi terdiri atas kakap (Lutjanus sp), Kerapu
lain ikan Pari (Dasyatis sp), Lencam (Lethrinus sp) dan Biji nangka (Parupeneus
indicus). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan demersal
yaitu jaring insang (terdiri: jaring insang hanyut, jaring ingsang lingkar dan jaring
insang tetap); jaring angkat (terdiri: bagan perahu dan bagan tancap), perangkap dan
103
alat lainnya (terdiri: sero, bubu dan perangkap). Jenis dan jumlah alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan demersal dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Yang Digunakan Untuk Menangkap
Ikan Demersal
Kode
Kode Grup Alat Nama Alat 2000 2001 2002 2003 2004
Alat
Jaring Jaring Insang
X2 Insang X21 hanyut 548 549 1.820 1.970 2.036
Jaring Insang
X22 lingkar 302 308 309 320 324
Jaring Insang
X23 tetap 458 459 250 276 278
X24 Trammel Net 6 6 12 30 31
Jaring
X3 Angkat X31 Bagan Perahu 62 62 70 73 73
X32 Bagan Tancap 61 61 65 66 66
X33 Serok 14 14 6 5 5
X34 JA Lain 16 16 6 5 5
X5 Perangkap X51 Sero 101 101 28 27 27
dan Alat X52 Bubu 1345 1345 504 390 365
Perangkap
Lainnya X53 lainnya 69 69 60 130 130
X54 Jermal 20 20 20 9 8
produksi ikan terendah diperoleh pada tahun 2002 yaitu sebesar 1.770 ton dan produksi
tertinggi diperoleh pada tahun 2001 yaitu sebesar 2.411 ton. Penurunan produksi pada
tahun 2002 diakibatkan tidak dioperasikannya 844 unit bubu dan digantikan dengan
jaring insang hanyut. Penggantian jenis alat tangkap tersebut karena masyarakat
menilai bahwa jaring insang lebih produktif dibandingkan bubu, sehingga mereka lebih
Penambahan produksi pada tahun 2001 disebabkan adanya penambahan effort yang
cukup nyata dari 375 unit pada tahun 2000 menjadi 419 unit pada tahun 2001 karena
CPUE dari jaring insang hanyut, jaring insang tetap, dan bubu meningkat. CPUE bubu
104
meningkat pada tahun 2001 karena jumlah bubu yang dioperasikan berkurang banyak
12
CPUE (Ton/Unit Alat Tangkap
10
6
y = -0,0223x + 14,4
R 2 = 0,9522
4
0
0 100 200 300 400 500
Unit Alat Tangkap
Gambar 15. Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Demersal 2000-2004
105
14,4-0,0223X. Intercept persamaan adalah 14,4 sedangkan slope adalah -0,0223. Ini
berarti bahwa jika X=0 atau dengan kata lain tidak ada penambahan upaya maka CPUE
akan bertahan pada angka 14,4 ton/alat tangkap. Kemiringan persamaan adalah
sebesar -0,0223 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY maka
akan terjadi penurunan CPUE sebesar 0,0223 ton/effort standar ikan demersal.
2.400
MSY
2004
2.300
2000
2003
2.200
2.100
Catch (Ton/Thn)
2001
2.000
1.900
1.800
1.700
2002
1.600
1.500
100 150 200 250 300 350 400 450
Effort
Gambar 16. Hubungan Effort dan Fungsi Produksi Ikan Demersal 2000-2004
Effort untuk mencapai MSY sebesar 323 unit dengan nilai sebesar 2.324
ton/tahun. Jumlah produksi tahun 2004 sebesar 2.212 ton lebih kecil dari MSY (2.324
Status pemanfaatan ikan demersal di Teluk Lasongko adalah effort tahun 2004
sebesar 306 dengan catch sebesar 2.212 ton/tahun. Effort JTB sebesar 258 dengan
catch sebesar 2.139 ton/tahun. Effort dari MSY sebesar 323 dengan catch sebesar
2.324 ton/tahun. Produksi terkecil terjadi pada tahun 2002 ini disebabkan oleh
penurunan effort tahun tersebut. Effort menurun akibat banyak bubu yang tidak
dengan para nelayan di sekitar Kawasan Teluk Lasongko bahwa penurunan effort bagi
Jumlah produksi tahun 2004 sebesar 2.212 ton lebih kecil dari MSY (2.324 ton)
namun sudah lebih besar dari JTB (1.859). Kondisi ini masih cukup stabil karena
posisi effort dan catch tahun 2004 dan effort dari JTB masih berada di bawah effort dan
produksi ikan sebesar itu telah memberikan kontribusi pendapatan kepada kurang lebih
4.449 orang nelayan yang tinggal disekitar teluk Lasongko. Apabila harga rata-rata
ikan Rp.5.000,- /Kg; maka dari produksi ikan tersebut dapat memberikan pendapatan
kepada satu orang nelayan sekitar Rp 2.403.900,- per tahun. Dengan penghasilan
sebesar itu, selama ini masyarakat nelayan yang terdiri dari nelayan asli dan nelayan
pendatang dapat hidup tenang dan damai. Suasana tenang dan damai ini perlu terus
dipertahankan. Upaya yang dapat ditempuh adalah menjaga agar hasil tangkapan ikan
nelayan dapat stabil sepanjang tahun. Stabilitas produksi ikan akan dapat dicapai
apabila jumlah ikan yang ditangkap tidak melebihi nilai MSY. Melalui penelitian ini
MSY ikan demersal di Teluk Lasongko tersebut telah diketahui yaitu 2.324 ton per
tahun. Berdasarkan nilai MSY inilah usaha penangkapan yang ada dapat diatur agar
hasil yang selama ini diperoleh dapat tetap dipertahankan dan sumberdaya ikan yang
ada tetap baik. Penulis yakin bahwa dengan wilayah penelitian yang kecil ini, hasil
penelitian akan cepat dan mudah diimplementasikan dan dapat langsung dirasakan
hasilnya oleh masyarakat setempat. Hal ini sekaligus sebagai bentuk kontribusi kecil
penulis dalam mendukung terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan damai.
108
Berdasarkan hasil analisis data nilai MSY sumberdaya ikan demersal sebesar
2.324 ton/tahun. Produksi kelompok jenis ikan ini pada tahun 2004 adalah 2.212 ton.
Hal ini berarti tingkat eksploitasi sumberdaya ikan demersal di Teluk Lasongko sudah
mencapai 95%. Menurut hasil kajian Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003)
meliputi perairan Teluk Lasongko telah melebihi nilai MSY-nya. Pada tahun 2003
produksi ikan demersal di WPP IV telah mencapai 167.380 ton, sedangkan nilai MSY
adalah 87.200 ton/tahun, yang berarti tingkat pemanfaatan telah mencapai 191,9 %.
di perairan Teluk Lasongko tidak dapat lagi dikembangkan, tetapi harus dilakukan
pengurangan produksi sebesar 353 ton/tahun atau setara dengan mengurangi alat
tangkap sebesar 1.573 unit dengan proporsi pengurangan seperti pada Tabel 22
Karena MSY ikan demersal sebesar 2.324 ton berarti JTB sebesar 1.859 ton,
sedangkan produksi ikan demersal tahun 2004 sebesar 2.212 ton. Untuk mencapai
produksi optimal berdasarkan JTB maka produksi tahun 2004 harus dikurangi sebesar
353 ton. Untuk mengurangi produksi sebesar 353 ton maka kebijakan yang dilakukan
adalah mengurangi alat tangkap sebesar masing-masing jaring insang sebesar 1.305
unit, jaring insang lingkar sebesar 104 unit dan bubu sebesar 164 unit. Pengurangan
alat tangkap berdasarkan pada (i) alat tangkap tersebut kurang produktif (ii) jumlah
alat tangkap tersebut terlalu banyak, (iii) alat tangkap tersebut tidak ramah lingkungan.
109
Tabel 22. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap untuk Menangkap JTB Ikan Demersal
Kode Nama Alat Produk Alat Kurangi Kurangi Sisa
Kode Grup Alat Alat tivitas 2004 Produksi Alat Alat
Jaring Jaring Insang
X2 Insang X21 hanyut 0,11 2036 150 1.305 731
Jaring Insang
X22 lingkar 0,98 324 102 104 220
X23 Jaring Insang tetap 2,48 278 0 0 278
X24 Trammel Net 0,20 31 0 0 31
Jaring
X3 Angkat X31 Bagan Perahu 3,02 73 0 0 73
X32 Bagan Tancap 1,96 66 0 0 66
X33 Serok 2,60 5 0 0 5
X34 JA Lain 0,62 5 0 0 5
X5 Perangkap X51 Sero 7,98 27 0 0 27
Dan Alat X52 Bubu 0,62 365 101 164 201
Lainnya X53 Jermal 3,00 8 0 0 8
X54 Perangkap lainnya 0,54 130 0 0 130
Jumlah 3.348 353 1.573 1.775
lain ikan ekor kuning (Caesio eritrogaster), layang (Decapterus sp), selar (Selaroides
sp), belanak (Mugil cephalus), julung-julung (Hemirhampus sp), tembang (Clupea sp),
lemuru (Sardinella longiceps), dan kembung (Rastreliger sp). tembang (Clupea sp).
Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis kecil yaitu
pukat (payang, pukat pantai dan pukat cincin) dan pancing (huhate, pancing biasa dan
pancing tonda) seperti disajikan pada Tabel 23. Catch, effort dan CPUE ikan pelagis
Tabel 23. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap untuk menangkap Ikan
Pelagis Kecil
Grup Kode
Kode Nama Alat 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat
X1 Pukat X11 Payang 19 19 20 20 21
X12 Pukat Pantai 32 31 35 36 37
X13 Pukat cincin 3 3 3 3 3
X14 Pukat udang 2 2 2 2 2
X4 Pancing X41 Huhate 3 3 3 3 3
X42 Pancing biasa 440 439 439 440 443
Pancing
X43 tonda 586 588 583 574 574
X44 Rawai Tetap 45 45 45 56 56
1.150
950
y = -121,96x + 1900
R2 = 0,8377
850
750
650
550
6 6,5 7 7,5 8 8,5 9 9,5 10 10,5
Unit Alat Tangkap
Gambar 17. Hubungan Antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Kecil 2000-2004
berarti bahwa jika X=0 atau dengan kata lain tidak ada penambahan upaya maka CPUE
akan bertahan pada angka 1.900 ton/effort standar. Kemiringan persamaan regresi
adalah sebesar -121,96 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY
maka akan terjadi penurunan CPUE sebesar 121,96 ton/ effort standar ikan demersal.
Status pemanfaatan ikan pelagis kecil adalah Effort tahun 2004 sebesar 10
dengan catch sebesar 7.239 ton/tahun. Effort dari MSY sebesar 7,76 dengan MSY
sebesar 7.414. Effort dari JTB sebesar 6,40 dengan catch sebesar 5.931 ton/tahun.
Catch tahun 2004 berada dibawah MSY tetapi sudah berada di atas JTB. Walaupun
catch tahun 2004 berada dibawah MSY namun effort tahun 2004 sudah lebih tinggi dari
112
pada effort MSY. Ini berarti kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di Kawasan
dengan setelah effort melewati 7,76. Titik produksi optimum berada pada posisi effort
sebesar 7,76. untuk itu perlu dilakukan pengurangan alat tangkap agar bisa mencapai
7.500
MYS
7.400
7.300
2001
2000
Catch (Ton/thn)
7.200
7.100
7.000
6.900
2002, 2003,
6.800 2004
6.700
6 7 8 9 10 11
Effort
Tabel 26. Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat Ikan Pelagis Kecil
Grup
Kode Kode Nama Alat Produk Alat Kurangi Kurangi Sisa
Alat
Alat Tivitas 2004 Produksi Alat Alat
X1 Pukat X11 Payang 25,13 21 80 3 18
X12 Pukat Pantai 20,05 37 200 10 27
X13 Pukat cincin 774,00 3 774 1 2
X14 Pukat udang 391,46 2 0 2
X4 Pancing X41 Huhate 98,52 3 0 0 3
X42 Pancing biasa 1,83 440 254 139 301
X43 Pancing tonda 0,66 574 0 0 574
X44 Rawai Tetap 30,83 45 0 0 45
berdasarkan alasan (i) Alat tangkap kurang ramah lingkungan, (ii) Over produksi.
Pengurangan alat tangkap dilakukan terhadap pukat cincin, payang, pukat pantai dan
produksi akibat produksi sudah melampaui JTB. Over produksi di atas JTB pada tahun
2004 sebesar 1.308 ton. Untuk mencapai produksi JTB maka alat tangkap harus
Dengan status pemanfaatan seperti di atas, berarti bahwa catch pada tahun 2004
sudah mencapai 95% dan catch rata-rata sudah mencapai 92% terhadap MSY. Apabila
dilihat secara keseluruhan di WPP IV, menurut hasil analisis Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap (2003) produksi ikan pelagis kecil di WPP IV sebesar 333.350 ton.
berdasarkan MSY sudah mencapai 55,05 %. Ini berarti bahwa status pemanfaatan ikan
pelagis kecil di Kawasan Teluk Lasongko lebih tinggi dari pada status pemanfaatan
ikan pelagis kecil di WPP IV. Dengan kondisi tersebut di atas maka kebijakan yang
dapat dilakukan adalah mengurangi alat tangkap atau mengarahkan upaya penangkapan
ke WPP-IV.
114
(Euthinus sp), alu-alu (Sphyraena sp), dan cucut (Charcarias sp). Alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar di perairan Teluk Lasongko
adalah pancing (huhate, pancing biasa dan pancing tonda). Jenis alat tangkap yang
dipergunakan menangkap ikan pelagis besar ditunjukkan pada Tabel 27, sedangkan
Catch, effort dan CPUE yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar dapat
Tabel 27. Jenis Alat Tangkap dan Jumlah Alat Tangkap yang Digunakan
untuk Menangkap Ikan Pelagis Besar
Grup Kode
Kode Nama Alat 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat
X4 Pancing X41 Huhate 3 3 3 3 3
X42 Pancing biasa 440 437 439 440 443
X43 Pancing tonda 586 588 583 574 574
X44 Rawai Tetap 45 45 45 56 56
350
250
y = -13,18x + 438
R2 = 0,9379
200
150
100
7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Gambar 19. Hubungan Antara Effort dan Catch Ikan Pelagis Besar 2000-2004
Hubungan antara Effort dan CPUE diperlihatkan pada persamaan linier Y = 438
-13,18X. Intercept persamaan adalah 438 sedangkan slope adalah -13,18, ini berarti
bahwa jika tidak ada penambahan upaya maka CPUE sebesar 438 ton/effort standar.
Sedangkan kemiringan persamaan adalah sebesar -13,18 artinya jika effort terus
ditambah tanpa memperhatikan MSY maka akan terjadi penurunan produksi sebesar
3.800
MSY
3.600
2003
3.400
Catch (ton/tahun)
3.200
2000 & 2002 2004
3.000
2.800
2.600
2000
2.400
2.200
2.000
5 10 15 20 25
Effort
Status pemanfaatan ikan pelagis besar adalah effort pada tahun 2004 sebesar 23
unit dengan jumlah produksi sebesar 2.900 ton/tahun. Effort untuk mencapai MSY
sebesar 16,63 unit dengan produksi sebesar 3.639 ton/tahun. Effort untuk mencapai
JTB sebesar 13,6 unit dengan produksi sebesar 2.911 ton/tahun. Kondisi ini
117
memperlihatkan bahwa pada tahun 2004 produktivitas alat tangkap pelagis besar
Dari gambaran tersebut di atas maka usaha penangkapan ikan pelagis besar di
pelagis besar dipertahankan pada kondisi JTB, jumlah armada harus dikurangi dan
dialihkan daerah operasinya keluar Teluk Lasongko yaitu ke WPP IV. Kebijakan
dalamnya) produksi ikan pelagis besar adalah 85.100 ton, sementara itu MSY-nya
% (Ditjen Perikanan Tangkap, 2003). Untuk itu kebijakan yang sesuai adalah
perairan WPP-IV.
Tabel 30. Jumlah Alat Tangkap Optimal dan Pengurangan Alat untuk
Ikan Pelagis Besar
Jenis Ikan karang konsumsi yang tertangkap di perairan Teluk Lasongko antara
lain ikan bambangan (Lutjanus sanguiness), ikan kakap (Lutjanus sp), ikan kerapu
(Epinephalus sp), ikan kurisi (Helocentrum rubrum) dan ikan kuwe (Caranx sp). Alat
118
adalah jenis perangkap dan alat lainnya (sero, bubu dan perangkap lainya). Jenis dan
jumlah alat tangkap untuk menangkap ikan karang konsumsi disajikan pada Tabel 31.
Sedangkan catch, effort dan CPUE yang digunakan menangkap ikan karang konsumsi
Tabel 31. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap yang digunakan untuk menangkap
Ikan Karang Konsumsi
Grup Kode Nama %
Kode 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 101 101 28 27 27 5
Dan Alat X52 Bubu 1345 1345 504 390 365 69
Lainnya X53 Pengumpul 69 69 60 130 130 25
Alat
X54 Lainnya 20 20 20 9 8 2
12
10
6
y = -0,0195x + 8,5
R2 = 0,2512
4
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Unit Alat Tangkap
Gambar 21. Hubungan Antara Effort dan Catch Ikan K. Konsumsi 2000-2004
Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Karang Konsumsi diperlihatkan pada
persamaan linier Y = 8,5 -0,0195X. Intercept persamaan adalah 8,5 sedangkan slope
adalah -0,0195, ini berarti bahwa jika tidak ada penambahan upaya maka CPUE
0,0195 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY maka akan terjadi
Tabel 33. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Karang Konsumsi
Tahun Effort ( f ) P(f) = 8,5258f - 0,01958 f 2
2002 131 781
2003 146 827
2004 161 865
MSY 218 928
2000 309 765
2001 309 765
950 MSY
900
2004
850
2003
Catch (Ton/thn)
800
2002 2000 &
2001
750
700
2000
650
600
100 150 200 250 300 350
Effort
Status pemanfaatan ikan karang konsumsi adalah effort tahun 2004 sebesar 161
unit dengan produksi sebesar 750 ton/tahun. Effort untuk mencapai MSY sebesar 928
ton/tahun adalah 218 unit. Effort untuk mencapai JTB sebesar 742 ton/tahun adalah
121
174,4 unti. Status ini memperlihatkan bahwa catch pada tahun 2004 masih dibawah
bubu karena produktivitas bubu menurun sejak tahun 2002. Dengan berkurangnya
produksi ikan karang konsumsi bisa dinaikkan sebesar 51 ton pertahun. Kebijakan
yang diambil menambah alat tangkap seperti diperlihatkan pada Tabel 34.
Tabel 34. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB
Ikan Karang Konsumsi
Kode Produk Alat Tambah Tambah Jlh
Kode Grup Alat Nama Alat
Alat tivitas 2004 Produksi Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 9,33 27 25 3 30
dan Alat X52 Bubu 1,08 365 26 24 389
Lainnya X53 Jermal 6,63 130 0 0 130
X54 P. Lainnya 0,39 9 0 0 9
TOTAL 531 51 27 558
Pada tahun 2003 produksi ikan karang konsumsi di WPP-IV mencapai 24.110
ton, sedangkan MSY sebesar 34.100 ton/tahun (Ditjen Perikanan Tangkap, 2003).
Tingkat pemanfaatan ikan karang konsumsi di WPP IV mencapai 70,7 %, yang berarti
Kelompok ikan berkulit keras terdiri dari rajungan (Portunus sp) dan udang-
udangan (Penaeus sp). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kelompok jenis
ikan berkulit keras ini adalah perangkap yang terdiri atas sero, bubu, jala, perangkap
lain serta jala dan tombak. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan
122
berkulit keras seperti diperlihatkan pada Tabel 35 sedangkan Catch, effort dan CPUE
yang digunakan untuk menangkap ikan berkulit keras seperti pada Tabel 36.
Tabel 35. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Digunakan untuk Menangkap
Ikan Berkulit Keras
Grup Kode Nama %
Kode 2000 2001 2002 2003 2004
Alat Alat Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 101 101 28 27 27 5
Dan Alat X52 Bubu 1.345 1.345 504 390 365 69
Lainnya X53 Pengumpul 69 69 60 130 130 25
Alat
X54 Lainnya 20 20 20 9 8 2
, Upaya
18
16
14
CPUE (Ton/Unit Alat Tangkap)
12
10
6
y = -0,1811x + 22,1
2
R = 0,8773
4
0
25 35 45 55 65 75 85 95 105 115 125
Unit Alat Tangkap
Hubungan antara Effort dan CPUE Ikan Karang Konsumsi diperlihatkan pada
slope adalah -0,1811, ini berarti bahwa jika tidak ada penambahan upaya maka CPUE
0,1811 artinya jika effort terus ditambah tanpa memperhatikan MSY maka akan terjadi
Tabel 37. Hubungan Effort dengan Fungsi Produksi Ikan Berkulit Keras
Tahun Effort ( f ) P(f) = 22,1054f – 0,181194 f 2
2002 49 648
2003 50 652
MSY 61 674
2004 62 674
2001 84 578
2000 111 221
700 MSY
2003
650
2004
2002
600
2001
550
Catch (Ton/thn)
500
450
400
350
300
250
2000
200
40 50 60 70 80 90 100 110 120
Effort
Status pemanfaatan ikan berkulit keras adalah effort tahun 2004 sebesar 62 unit
dengan produksi sebesar 640 ton. Effort untuk mencapai MSY sebesar 674 ton/tahun
adalah 61 unit. Effort untuk mencapai nilai JTB 539 ton/tahun adalah 48,8 unit.
Status ini memperlihatkan bahwa produksi tahun 2004 masih dibawah nilai MSY
125
namun sudah berada di atas nilai JTB walaupun effort tahun 2004 berada di atas effort
MSY. Dengan status pemanfaatan ikan berkulit keras seperti itu maka perlu dilakukan
kebijakan pengurangan alat tangkap untuk menyesuaikan kondisi tahun 2004 terhadap
Tabel 38. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Untuk Menangkap JTB
Ikan Berkulit Keras
Kode Nama Alat Produk Alat Kurangi Kurangi Sisa
Kode Grup Alat
Alat Tivitas 2004 Produksi Alat Alat
X5 Perangkap X51 Sero 10,35 27 51 5 22
Dan Alat X52 Bubu 0,31 365 50 159 206
Lainnya X53 Jermal 1,38 130 0 0 130
X54 P. Lainnya 1,81 9 0 9
TOTAL 531 101 164 367
unit usaha penangkapan yang ada di Teluk Lasongko secara finansial menguntungkan
atau tidak. Disamping itu analisis kelayakan usaha juga dilakukan untuk usaha yang
akan dikembangkan dan daerah operasinya diluar perairan Teluk Lasongko. Pada
analisa usaha disini digunakan metode Benefit Cost Ratio (B/C Ratio) . Hasil analisis
B/C Ratio alat-alat tangkap yang terdapat di Kawasan Teluk Lasongko dapat dilihat
Dalam analisis ini dipergunakan asumsi perubahan 10% karena secara empiris
perubahan harga atau tingkat inflasi dalam keadaan ekonomi normal tidak sampai
melebihi 10 % selama periode satu tahun. Asumsi perubahan 10% ini sering
Analisis B/C ratio terhadap payang menunjukkan bawa B/C Ratio sebesar 2,01.
Ini berarti bahwa dengan Cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost)
sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,01 satuan. Jika terjadi peningkatan
variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk
payang masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,86 dan 1,81.
46.590.000,- benefit sebesar Rp 115.860.000 pertahun angka ini cukup besar. Namun
pengaruh variabel cost terhadap benefit lebih besar dari pada fixed cost dengan
perbandingan VC/FC = ± 4,24. Ini berarti bahwa variabel cost memiliki pengaruh
Analisis B/C ratio terhadap pukat pantai sebesar 1,62. Ini berarti bahwa dengan
Cost total ( terdiri atas penyusutan investasi, Variabel Cost dan Fixed Cost) sebesar 1
satuan akan menghasilkan Benefit 1,62 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost
atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk Pukat Pantai masih
variabel cost terhadap benefit lebih besar dari pada fixed cost terhadap benefit artinya
variabel cost memiliki pengaruh sangat besar dibandingkan fixed cost dengan
Analisis B/C ratio terhadap purse seine sebesar 1,41. Ini berarti bahwa dengan
Cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan
menghasilkan benefit 1,41 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau
penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk purse seine masih layak
variabel cost lebih besar dari pada fixed cost artinya variabel cost memiliki pengaruh
cukup besar dibandingkan fixed cost terhadap benefit dengan perbandingan VC/FC = .
Analisis B/C ratio terhadap pukat udang sebesar 2,67. Ini berarti bahwa dengan
Cost total (Penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan
menghasilkan Benefit 2,67 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau
penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk pukat udang masih layak
variabel cost cukup besar dari pada fixed cost terhadap benefit dengan perbandingan
VC/FC = ± 8,19 artinya variabel cost memiliki pengaruh cukup besar dibandingkan
fixed cost. Penerimaan cukup besar karena harga dari produk yang ditangkap
Analisis B/C ratio terhadap gill net sebesar 2,27. Ini berarti bahwa dengan cost
total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan
menghasilkan Benefit 2,27 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau
penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk gill net masih layak
benefit sebesar Rp 650.000,-. Benefit pertahun memang sangat kecil tetapi alat ini
dominan di kawasan Teluk Lasongko, maka pengaruhnya terhadap produksi total cukup
signifikan. variabel cost memiliki pengaruh lebih kecil dibandingkan fixed cost
terhadap benefit dengan perbandingan VC/FC=0,72 Ini berarti bahwa usaha gill net
ini pembiayaannya cukup stabil dengan variabel cost lebih kecil dari pada fixed cost.
130
Analisis B/C ratio terhadap jaring insang lingkar sebesar 1,22. Ini berarti bahwa
dengan cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan
akan menghasilkan benefit 1,22 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau
penurunan hasil tangkapan sebesar 10%, maka B-C ratio untuk jaring insang lingkar
sebesar Rp 4.950.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost agak besar terhadap
benefit, artinya variabel cost memiliki pengaruh agak besar dibandingkan fixed cost
Analisis B/C ratio terhadap jaring insang tetap sebesar 1,15, ini berarti bahwa
dengan cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan
131
akan menghasilkan benefit 1,15 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau
penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk jaring insang tetap
5.297.800, benefit sebesar Rp 8.850.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed Cost
agak besar terhadap benefit, artinya variabel cost memiliki pengaruh agak besar
Analisis B/C ratio terhadap trammel net sebesar 1,17 ini berarti bahwa dengan
cost total (penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan
menghasilkan benefit 1,17 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau
penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-C ratio untuk trammel net masih layak
sebesar Rp 9.450.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost hampir sama,
artinya variabel cost dan fixed cost memiliki pengaruh yang hampir sama terhadap
Hasil Perhitungan analisa B/C ratio bagan perahu dapat dilihat pada Tabel 42
berikut.
B/C ratio usaha bagan perahu yang telah ada saat ini menunjukkan bahwa B/C
ratio usaha tersebut adalah 3,6. Ini berarti bahwa dengan cost total (investasi, variabel
cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit sebesar 3,6 satuan.
Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan variabel cost atau
penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B/C ratio untuk usaha bagan perahu ini
sebesar Rp 2.700.000 (Lampiran 44). Pengaruh Variabel cost terhadap fixed cost
sedikit lebih besar, artinya variabel cost terhadap fixed cost memiliki pengaruh sedikit
B/C ratio usaha bagan tancap yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai
B/C ratio usaha tersebut adalah 2,0. Ini berarti bahwa dengan cost total (investasi,
variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2 satuan. Jika
terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B-
C ratio untuk bagan tancap masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,9 dan 1,8.
sebesar Rp 900.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sedikit lebih besar,
artinya variabel cost terhadap fixed cost memiliki pengaruh sedikit lebih besar terhadap
B/C ratio usaha serok yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C
Ratio usaha tersebut adalah 1,66. Ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan
investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,66
satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)
sebesar 10% maka B/C ratio untuk serok masih layak dengan B/C ratio masing-masing
sebesar Rp 7.470.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya
134
pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat besar terhadap
B/C ratio usaha jaring angkat lain yang telah ada saat ini menunjukkan bawa
nilai B/C ratio usaha tersebut adalah 1,50, ini berarti bahwa dengan cost total
(penyusutan investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan
benefit 1,50 satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil
tangkapan (benefit) sebesar 10% maka B/C ratio untuk jaring angkat lain masih layak
sebesar Rp 1.200.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya
pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat besar terhadap
B/C ratio usaha huhate yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C
Ratio usaha tersebut adalah 2,1, ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan
investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,1
satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)
sebesar 10% maka B/C ratio untuk huhate masih layak dengan B/C ratio masing-
benefit sebesar Rp 735.000.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat
besar, artinya pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat
B/C ratio usaha pancing biasa yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai
B/C ratio usaha tersebut adalah 1,8, ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan
investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,8
satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)
sebesar 10% maka B/C ratio untuk pancing biasa masih layak dengan B/C ratio
sebesar Rp 3.150.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya
pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh sangat besar terhadap
B/C ratio usaha pancing tonda yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai
B/C ratio usaha tersebut adalah 2,0 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan
investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,0
satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)
sebesar 10% maka B/C ratio untuk pancing tonda masih layak dengan B/C ratio
sebesar Rp 2.814.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya
pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh besar terhadap benefit
B/C ratio usaha rawai tetap yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai
B/C ratio usaha tersebut adalah 1,4 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan
investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,4
satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)
sebesar 10% maka B/C ratio untuk pancing tonda masih layak dengan B/C ratio
sebesar Rp 5.533.500. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost sangat besar, artinya
pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh besar terhadap benefit
B/C ratio usaha sero yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C ratio
usaha tersebut adalah 2,4 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan investasi,
variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 2,4 satuan.
Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit) sebesar
10% maka B/C ratio untuk pancing sero masih layak dengan B/C ratio masing-masing
sebesar Rp 44.520.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost agak besar, artinya
pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh agak besar terhadap
benefit dengan perbandingan VC/FC = . ± 3,89 kali lipat. Dengan demikian pengaruh
variabel cost terhadap benefit agak besar dibandingkan komponen biaya lainnya.
B/C ratio usaha bubu yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C ratio
usaha tersebut adalah 1,4 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan investasi,
variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,4 satuan.
Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit) sebesar
10% maka B/C ratio untuk usaha masih layak dengan B/C ratio masing-masing 1,3 dan
1,2.
139
sebesar Rp 2.870.000. Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost besar, artinya
pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh besar terhadap benefit
B/C ratio usaha jermal yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C
ratio usaha tersebut adalah 1,8 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan
investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,8
satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)
sebesar 10% maka B/C ratio untuk usaha masih layak dengan B/C ratio masing-masing
sebesar Rp 23.240.000,- . Pengaruh variabel cost terhadap fixed cost besar, artinya
Pengaruh variabel cost dibanding fixed cost memiliki pengaruh agak besar terhadap
benefit dengan perbandingan VC/FC = ± 2,88 kali lipat. Dengan demikian pengaruh
variabel cost terhadap benefit agak besar dibandingkan komponen biaya lainnya.
140
B/C ratio usaha jermal yang telah ada saat ini menunjukkan bawa nilai B/C
ratio usaha tersebut adalah 3,7 ini berarti bahwa dengan cost total (penyusutan
investasi, variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 3,7
satuan. Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan (benefit)
sebesar 10% maka B/C ratio untuk usaha masih layak dengan B/C ratio masing-masing
4,53 kali lipat. Dengan demikian pengaruh variabel cost terhadap benefit cukup besar
menunjukkan bawa B/C ratio sebesar 1,48. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi,
variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,48 satuan.
Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10%
maka B-C ratio untuk purse seine 10 GT masih layak dengan B/C ratio masing-masing
1,35 dan 1,33. Dalam analisa ini dipergunakan asumsi perubahan 10% karena secara
empiris perubahan harga atau tingkat inflasi dalam keadaan ekonomi normal tidak
sampai melebihi 10 % selama periode satu tahun. Asumsi perubahan 10 % ini sering
Analisis B/C ratio terhadap purse seine 15GT yang akan dikembangkan
menunjukkan bawa B/C ratio sebesar 1,41. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi,
variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,41 satuan.
Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10%
maka B-C ratio untuk purse seine 10GT masih layak dengan B/C ratio masing-masing
1,3 dan 1,27. namun yang menjadi masalah dengan purse seine alat ini memiliki
produktivitas yang sangat tinggi sehingga berdampak pada over eksploitasi sumberdaya
ikan.
Analisis B/C ratio terhadap gill net 15 GT menunjukkan bawa B/C ratio
sebesar 5,2. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi, variabel cost dan fixed cost)
sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 5,2 satuan. Jika terjadi peningkatan
variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10% maka B/C ratio untuk gill
net 15GT masih layak dengan B/C ratio masing-masing 4,3 dan 4,6
143
Analisis B/C ratio terhadap usaha rumput laut yang telah ada saat ini
menunjukkan bawa B/C ratio sebesar 1,6. Ini berarti bahwa dengan cost (investasi,
variabel cost dan fixed cost) sebesar 1 satuan akan menghasilkan benefit 1,6 satuan.
Jika terjadi peningkatan variabel cost atau penurunan hasil tangkapan sebesar 10%
maka B-C ratio untuk usaha rumput laut ini masih layak dengan B/C ratio masing-
Usaha perikanan dapat mencapai optimal dan berkelanjutan apabila sumber daya
ikan yang tersedia dimanfaatkan sampai pada titik keseimbangan potensi lestari.
Untuk mencapai hal tersebut perlu dioptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada
seperti sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang tersedia dan tidak melebihi
yang kurang bernilai menjadi sesuatu yang bernilai. Pengembangan dalam kegiatan
perikanan misalnya menambah jumlah tenaga kerja dan faktor-faktor produksi lainnya.
Goal yang akan dicapai ada 4 (empat) yaitu: (1) Mengoptimalkan pemanfaatan
tenaga kerja berdasarkan JYB, (2) mengoptimalkan pemanfaatan BBM (minyak tanah,
144
dan bensin) berdasarkan JTB (3). mengoptimalkan pemanfaatan air tawar berdasarkan
dibuat model regresi linier dengan 5 (lima) macam tujuan. Model tersebut dikenal
Kendala/Pembatas ( n = 1,2….7)
-e overachievement
Y n=1..5
underachievement µ
X
X n=1..5
Keterangan:
Y = Tujuan (Goal)
X = Kendala
dalam fungsi tujuan ini ditandai oleh variabel deviasional dari kendala-kendala tujuan
yang harus diminimumkan. Ada dua macam variabel deviasional, yaitu: 1). µ (Deviasi
kedua variabel ini diupayakan sama dengan nol, atau dengan kata lain e harus di
kurangi ke bawah dengan ditandai oleh minus ( - ) dan µ harus ditarik ke atas sehingga
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan Tenaga Kerja, BBM, Es, dan Air Baku
maka turunan pertama Fungsi Z harus sama dengan 0 (nol). Artinya turunan pertama
dicapai apabila tersedia faktor produksi dalam jimlah terentu (faktor pembatas) yaitu
berupa bensin (Rp 4.500/liter), minyak tanah ( Rp 3.700/liter), air tawar ( Rp 4/liter (=
Rp 4 per kg), es (Rp 300/kg) dan tenaga kerja ( Rp 6.155.167 per orang per tahun) dan
Nilai produksi optimal (dalam rupiah) ini merupakan perkalian produksi sesuai
Berdasarkan hasil olahan data dengan LINDO diperoleh gambaran bahwa produksi
ikan yang masih dapat ditolerir maksimum Rp 11.722.690.233 atau 20% di atas JTB
Teluk Lasongko diperoleh hasil bahwa untuk memanfaatkan JTB secara optimal
diperlukan 3.742.000 liter bensin /tahun dan 90.072 minyak tanah/tahun (dibulatkan
Suplai bensin saat ini dipenuhi oleh para tengkulak dari kota Bau-Bau. Harga
bensin di Kota Bau-bau Rp 4.500/liter. Ini berarti bahwa terdapat margin bagi para
tengkulak bensin sebesar Rp 3.742.396.000 per tahun. Harga minyak tanah di Kawasan
Teluk Lasongko 4.500 per liter sedangkan harga minyak tanah di Kota Bau bau Rp
3.700 per liter. Jika kebutuhan minyak tanah sebanyak 90.072 liter maka terdapat
Agar margin tersebut dapat dinikmati oleh nelayan di wilayah Teluk Lasongko
maka perlu dibangun Depo Solar/ Minyak dengan kapasitas 3.832.000 liter bensin per
tahun dan 90.072 liter minyak tanah per tahun di kawasan Teluk Lasongko.
Teluk Lasongko diperoleh bahwa untuk memanfaatkan JTB secara optimal diperlukan
Suplai es saat ini dipenuhi dari es yang dibuat dari kulkas rumah tangga. Hal
ini disebabkan karena di kawasan Teluk Lasongko belum tersedia pabrik es.
147
Es yang telah tersedia saat ini terutama diperuntukkan untuk ikan karang
konsumsi. Menurut data yang diperoleh dari lapangan bahwa sekitar 50% ikan karang
konsumsi menggunakan es. Pada tahun 2004 ikan karang konsumsi diproduksi sebesar
750 ton dan setengahnya diberi es, maka jumlah es yang telah tersedia di Kawasan
Teluk Lasongko adalah sebanyak 375.000 kg. Berarti untuk memenuhi kebutuhan es
secara keseluruhan masih diperlukan produksi es sebesar 11.608.000 ton es per tahun
Kawasan Teluk Lasongko diperoleh bahwa untuk memanfaatkan JTB secara optimal
diperlukan air baku sebanyak 35.949.000 liter (dibulatkan 36.000.000 liter) atau setara
dengan Rp 144.000.000 (Rp 4/kg air). Kebutuhan air baku untuk kebutuhan nelayan
saat ini masih dapat dipenuhi dari PDAM Lakudo yang berpusat di Desa Lakudo
Kecamatan Lakudo. Kemampuan PDAM saat ini dapat menyediakan air tawar
sebesar 1.500 juta m3 air tawar per tahun. Ini berarti bahwa supply air tawar untuk
diperlukan tenaga kerja sebesar 3.112 orang. (dibulatkan 3.200 orang ). Padahal
tenaga kerja nelayan yang ada saat ini di Kawasan Teluk Lasongko sekitar 4.449
orang. Ini berarti terdapat kelebihan nelayan sebanyak 1.317 orang yang perlu
Lasongko digunakan analisis SWOT. Menurut Rangkuti (2003), analisis ini didasarkan
(Weaknesses) dan Ancaman (Threats) yang dituangkan dalam bentuk matrik. Hasil
ikan di sekitar Teluk Lasongko yang bersumber dari pemerintah (pusat dan daerah),
swasta dan masyarakat serta didukung oleh data sekunder adalah sebagai berikut :
b) Kondisi ekosistem laut (habitat terumbu karang, padang lamun dan hutan
pemerintah.
ikan.
149
lemah.
rendah.
Lasongko..
Lakudo)
Dari tabel tersebut, terdapat 15 strategi kebijakan yang dapat dilakukan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko yang digolongkan dalam lima kebijakan
utama, yaitu :
ikan.
industri)
menggunakan AHP. Formulasi kebijakan didasarkan pada kebijakan utama hasil analisis
key person dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha ikan dan nelayan atau
Aspek-aspek ini didasarkan pada kondisi yang ada sekarang di kawasan Teluk
Lasongko yang dimulai melalui analisis SWOT, informasi key person, dan pembagian
Gambar 26 di bawah ini. Informasi key person yang diperoleh baik melalui wawancara
155
dan pengisian kusioner AHP dilakukan untuk menggali seberapa besar peranan atau
pentingnya masing-masing komponen yang menyusun level di atasnya. Key person yang
sumber daya ikan di Teluk Lasongko, menilai pentingnya antar kebijakan utama yang
disusun dari hasi analisis SWOT berkaitan dengan masing-masing aspek, serta menilai
sumberdaya ikan.
Level 2
Aspek- Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Hukum
Aspek ...
Level 3
Kebijakan Optimal PnkSDM Modal InfoPsr Sarana
Utama
Level 4
Prioritas a b c d a b c d a b c d a b c d a b c d
Program
Gambar 26. Struktur Hirarki AHP Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Lasongko
156
pertama dalam pengelolaan sumberdaya ikan di kawasan Teluk Lasongko. Diikuti oleh
aspek ekonomi pada prioritas kedua, aspek sosial pada prioritas ketiga, aspek teknologi
pada prioritas keempat dan aspek hukum pada prioritas terakhir. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah pusat lebih
pemanfaatan sumberdaya ikan telah mencapai 81 % dari MSY. Hal ini berarti
perlu dibatasi jangan sampai berkembang terus melebihi daya dukung sumberdayanya.
Widodo (2003) menyatakan bahwa bagi sumberdaya ikan yang telah dimanfaatkan
secara penuh yang ditengarai oleh eksploitasi yang sangat intensif (fully and
overexploited), maka alternatif pengelolaan yang lebih baik adalah akuakultur (budidaya)
menekankan pada aspek ekonomi dan aspek sosial yang memiliki nilai yang sama
sebagai prioritas utama. Hal ini terkait dengan lahirnya payung hukum Undang-Undang
No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dimana daerah memiliki kewenangan dalam
mengelola wilayahnya. Kewenangan dalam otonomi daerah memiliki arti bahwa daerah
perairan laut sejauh 4 mil dari garis pantai oleh pemerintah kabupaten/kota dan 12 mil
Pembangunan perikanan dan kelautan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah
perikanan dan kelautan sebagai keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan,
kesejahteraan nelayan saja tetapi kesejahteraan seluruh rakyat. Ini berarti bahwa
publik, dilakukan oleh pemerintah dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat luas.
Key person nelayan dan pembudidaya ikan memiliki kesamaan persepsi dengan
kebijakan pemerintah daerah dengan lebih memprioritaskan aspek ekonomi. Namun key
person nelayan dan pembudidaya ikan menempatkan aspek teknologi sebagai prioritas
terutama teknologi pasca panen sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas
jenis ikan sehingga memiliki nilai jual yang tinggi di pasar. Pemilihan aspek teknologi
sebagai prioritas penting merupakan sebagai dampak dari semakin sedikitnya hasil
tangkapan nelayan saat ini. Penggunaan teknologi yang disarankan adalah teknologi yang
ramah lingkungan yang mendukung aspek ekologi perairan laut untuk penangkapan ikan
ramah lingkungan adalah suatu alat tangkap yang tidak memberikan dampak lingkungan,
tidak merusak dasar perairan, kemungkinan hilangnya alat tangkap kecil, serta
kepastian hukum, kemudahan legislasi dan jaminan keamanan memberikan angin segar
bagi pengusaha ikan untuk berinvestasi dan menjalankan usahanya. Oleh karena itu,
aspek hukum menjadi prioritas pertama bagi key person pengusaha ikan.
1). Pertama, alternatif pengelolaan harus diterima mayoritas nelayan secara ekonomis,
sosial, budaya, atau politik. Penerimaan nelayan atas suatu hal yang baru yang
berkenaan langsung dengan kehidupan dan mata pencaharian mereka terletak pada
sejauh mana hal yang baru tersebut sudah di sosialisasikan kepada nelayan.
dengan hal yang baru. Hal ini juga akan memberi kemudahan kepada pengelola
(pemerintah) untuk melihat dan mengevaluasi dampak negatif yang mungkin timbul.
159
3). Ketiga, pendekatan pengelolaan harus fleksibel dan dapat disesuaikan dengan
perubahan kondisi biologi dan ekonomi. Stok ikan di perairan tropis seperti Indonesia
mengalami kesulitan juga untuk mengetahui interaksi antara jenis ikan yang berbeda
4). Keempat, nelayan harus didorong dan dimotivasi untuk melakukan pendekatan
5). Kelima, pendekatan pengelolaan yang diambil harus dapat dilaksanakan pengelola
lapangan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan pendapatan yang lebih baik.
bagi manusia secara terus menerus karena sumberdaya ini memiliki sifat dapat pulih
kembali. Nilai manfaat yang dapat diperoleh tergantung kepada bagaimana sumberdaya
ikan tersebut dikelola. Apabila pengelolaannya baik sesuai dengan kaidah-kaidah yang
benar, maka nilai manfaat dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan. Namun
apabila pengelolaannya tidak benar, nilai manfaat yang akan diperoleh pada suatu saat
akan mengalami penurunan bahkan dapat terjadi sumberdaya ikan tersebut tidak memiliki
nilai manfaat sama sekali. Oleh karena itu sumberdaya ikan yang masih baik harus
dikelola dengan baik dan benar agar tetap terjaga kelestariannya, sedangkan sumberdaya
ikan yang telah mengalami kerusakan perlu diperbaiki agar dapat pulih kembali seperti
semula.
Pada dasarnya pemanfaatan sumberdaya ikan pada suatu perairan harus diawali
dengan analisa stok ikan untuk mengetahui besarnya potensi ikan yang ada. Setelah
diketahui besarnya potensi ikan yang ada, kemudian ditetapkan jenis dan jumlah alat
tempat ikan berkembang biak dan tumbuh menjadi besar. Dalam hal ini diperlukan
daerah-daerah konservasi seperti daerah terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun.
perikanan yang meliputi fasilitas dermaga labuh, tempat pelelangan ikan, penyediaan air
161
bersih, penyediaan bahan bakar, dan balai pertemuan nelayan. Disamping itu diperlukan
juga dukungan jalan penghubung untuk transportasi, dukungan komunikasi dan listrik
Perkembangan produksi, jumlah dan jenis alat tangkap yang dioperasionalkan serta
jumlah nelayan dicatat dan diolah sebagai data statistik yang digunakan sebagai alat
berikut:
KONSERVASI
(T.KARANG, SUMBERDAYA IKAN
MANGROVE, (ANALISA STOK)
PADANG LAMUN)
PENGAWASAN
USAHA PENANGKAPAN
(SESUAI DAYA DUKUNG) PELABUHAN DAN
PENGATURAN FASILITAS
PENDUKUNG
(JUMLAH DAN
JENIS ALAT) PRODUKSI IKAN
OPTIMAL ANALISIS DATA
PENGOLAHAN
PEMASARAN
KONSUMEN
dalam bab terdahulu bahwa sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan secara terus menerus karena sumberdaya tersebut memiliki sifat dapat
pulih kembali secara alami apabila pemanfaatannya dilakukan dengan cara-cara yang
benar atau sumberdaya ikan tersebut harus dikelola dengan baik. Oleh karena itu dalam
pemanfatan sumberdaya ikan ini diperlukan visi, misi dan tujuan pengelolaan yang jelas
Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir
periode suatu perencanaan. Morrisey (2002), menyatakan bahwa rumusan visi yang baik
adalah singkat, menarik perhatian, mudah diingat, memberi inspirasi dan perlu
dikomunikasikan untuk memastikan bahwa visi itu diingat dan dijadikan inspirasi oleh
penduduk asli dan pendatang dari Ambon yang memerlukan kerukunan bermasyarakat
serta kecukupan pendapatan yang berkelanjutan, maka visi pemanfaatan sumberdaya ikan
Makna yang terkandung dalam visi ini adalah sumberdaya ikan di Teluk
Lasongko merupakan sumber mata pencaharian milik bersama, harus dikelola bersama
antara penduduk asli dan pendatang dalam suasana damai. Melalui suasana damai itulah
pemanfaatan sumberdaya ikan akan mendatangkan hasil yang baik yang pada akirnya
rumusannya disebut misi. Rumusan misi didasarkan pada hasil analisis SWOT dan AHP,
Misi : 1. Menjaga produksi ikan hasil tangkapan sampai pada batas JTB.
sumberdaya ikan yang ada. Kegiatan memanfaatkan sumberdaya ikan tidak lain sebagai
pemenuhan kebutuhan hidup. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan ini tentu harus
dapat dilaksanakan secara terus menerus sampai pada generasi mendatang. Oleh karena
itu tujuan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko dirumuskan sebagai berikut :
Setelah tujuan dirumuskan maka ditetapkan sasaran yang akan dicapai untuk
mewujudkan tujuan yang dikehendaki. Sasaran dari pemanfaatan sumberdaya ikan adalah
Apabila sasaran ini dapat dijaga realisasinya, maka sesuai dengan sifat
sumberdaya ikan yang dapat pulih kembali secara alami, sumberdaya ikan di Teluk
lapangan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, maka lambat laun sumberdaya ikan
164
akan mengalami kerusakan dan produktivitasnya akan terus menurun dan pada suatu saat
sebagai berikut :
- Es : 12.000 ton/th
Setelah dirumuskan visi, misi , tujuan dan sasaran pemanfaatan sumberdaya ikan
di perairan Teluk Lasongko, maka untuk pencapaian hal-hal yang telah dirumuskan
dan program yang akan diuraikan disini didasarkan pada hasil-hasil analisis potensi dan
tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan, SWOT, AHP, analisis kelayakan usaha dan goal
ikan di Teluk Lasongko adalah pengaturan usaha penangkapan untuk memperoleh hasil
optimum dan lestari. Untuk dapat mewujudkan pemanfaatan sumberdaya ikan yang
165
optimal diperlukan program-program pengaturan jenis dan jumlah alat tangkap yang
pemanfaatan sumberdaya ikan yang optimal adalah pengaturan jenis dan jumlah alat
Teluk Lasongko diketahui bahwa MSY total adalah 14.979 ton/tahun. Produksi ikan pada
tahun 2004 sebesar 13.741 ton. Dengan demikian tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan
tersebut telah mencapai 92% . Namun apabila dilihat per kelompok jenis ikan, tingkat
pemanfaatannya bervariasi yaitu untuk ikan demersal 95%, pelagis kecil 98%, pelagis
besar 80%,ikan karang konsumsi 81%, dan ikan berkulit keras 95%. Dalam hal ini
diketahui bahwa tingkat pemanfaatan ikan demersal telah melampaui daya dukung
Menurut kaidah pengelolaan sumberdaya ikan yang baik, jumlah ikan yang dapat
ditangkap (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) adalah 80% dari nilai MSY
nasional di Indonesia. Sejalan dengan kebijakan ini, JTB untuk perairan Teluk Lasongko
yaitu 80% x 14.979 ton = 11.983 ton (dibulatkan 12.000 ton). Berdasarkan nilai JTB ini,
berarti perairan Teluk Lasongko telah mengalami overfishing karena jumlah ikan yang
telah ditangkap pada tahun 2004 sudah mencapai 13.741 ton atau telah melampaui nilai
dijelaskan oleh Nikijuluw (2002) Economically overfishing yaitu kondisi dimana usaha
penangkapan ikan yang ada beroperasi melebihi potensi maksimumnya secara ekonomi.
Usaha penangkapan ikan tumbuh secara berlebihan namun hasil tangkapan ikan yang
diperoleh secara agregat hanya pada tingkat suboptimum. Kondisi ini menunjukkan
bahwa usaha penangkapan tidak lagi efisien. Pada kondisi perairan yang telah
lebih baik memungkinkan terjadinya pemulihan sumberdaya ikan yang selanjutnya akan
meningkatkan jumlah hasil tangkapan. Oleh karena itu di perairan Teluk Lasongko perlu
segera ditetapkan nilai JTB yang dapat dijadikan acuan bersama semua pihak terkait.
Pertama, paling mudah dan langsung dilakukan adalah menentukan JTB secara
keseluruhan pada skala nasional atas jenis ikan tertentu atau perairan tertentu. JTB
alat tangkap ikan apabila JTB telah tercapai. Kedua, membagi JTB kepada setiap
nelayan, kapal atau armada. Untuk itu pemerintah sebagai manajer dapat menentukan
keberpihakan pada nelayan atau jenis kapal ikan tertentu. Cara ketiga adalah membatasi
kegiatan atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sedemikian rupa sehingga JTB
tidak terlampaui.
jumlah unit penangkapan yang ada ternyata sudah banyak yang berlebih, maka dalam
penelitian ini implementasi penentuan JTB dilakukan dengan cara pertama dan ketiga,
yaitu JTB untuk perairan Teluk Lasongko ditetapkan kemudian diumumkan kepada
nelayan dan masyarakat luas, selanjutnya ditetapkan jenis dan jumlah alat tangkap yang
adalah : 12.000 ton/tahun; dengan rincian per kelompok jenis ikan sebagaimana
Tabel 67 berikut.
Tabel 67. Jumlah Tangkapan Ikan Yang Diperbolehkan (JTB) di Teluk Lasongko
2) Jenis dan jumlah alat tangkap yang dapat dioperasikan untuk dapat memproduksi ikan
Jumlah
No Grup Alat Nama Alat Alat
I Pukat Payang 18
Pukat Pantai 27
Pukat Cincin 2
Pukat Udang 2
Sub Total I 49
II Jaring Jaring Insang Hanyut 731
Insang Jaring Insang Lingkar 220
Jaring Insang Tetap 278
Trammel Net 31
Sub Total II 1.260
III Jaring Bagan Perahu 73
Angkat Bagan Tancap 66
Serok 5
Jaring Angkat Lain 5
Sub Total III 149
IV Pancing Huhate 3
Pancing biasa 300
Pancing tonda 574
Rawai tetap 45
Sub Total IV 922
V Perangkap Sero 25
Dan alat Bubu 225
Lainnya Alat lain 130
Sub Total V 388
JUMLAH 2.768
169
Memperhatikan bahwa usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko tidak lagi dapat
dikembangkan bahkan jumlah unit penangkapan yang ada perlu dikurangi, maka
diversifikasi usaha ke bidang usaha budidaya laut menjadi alternatif usaha yang sesuai
untuk dikembangkan di perairan Teluk Lasongko. Pilihan ini tepat karena perairan
Teluk Lasongko cocok untuk pengembangan budidaya laut dan memiliki pantai
sepanjang 74,37 km. Perairan Teluk Lasongko memiliki sifat fisika kimia yang sesuai
bagi usaha budidaya laut khususnya rumput laut yaitu Ph air 7,75-8,16, suhu berkisar
29,50-30,60 oC, dan salinitas 28,10 – 28,60 Ppt. Jenis budidaya laut yang dapat
dikembangkan di sekitar Pantai Teluk Lasongko meliputi budidaya rumput laut dan
budidaya ikan-ikan karang dalam karamba jaring apung. Pengembangan rumput laut
memiliki potensi yang sangat besar, dengan areal yang potensial untuk pengembangan
seluas 6.862,4 Ha dengan perkiraan produksi dapat mencapai 24.098.040 kg/panen atau
96.392.160 kg/tahun.
Jenis usaha karamba jaring apung yang terdapat di Desa Waara, Boneoge dan
Wanepa-Nepa hanya digunakan untuk tampungan sementara ikan komersial (ikan kerapu
dan ikan karang lainnya) yang berukuran kecil, kemudian dibesarkan sampai pada ukuran
ikan ekonomis sekitar 5-6 ons. Keterbatasan penguasaan teknologi dan permodalan
merupakan kendala bagi nelayan pembudidaya karamba jaring apung. Oleh karena itu
sangat diperlukan.
170
mempunyai kisaran waktu yang unik yaitu 6 bulan mengalami masa subur dan 6 bulan
mengalami kondisi kurang bagus. Kondisi kurang bagus ini terjadi pada saat musim
timur, karena tingginya tingkat kekeruhan perairan laut akibat angin timur yang
mengaduk air dari dasar ke permukaan laut sehingga mengganggu perkembangan kondisi
rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut yang sudah ada saat ini menggunakan sistem
rakit dan terdapat di Desa Madongka, Waara, Mone, Moko, Wajogu, Lolibu, Inulu,
panen dan pemasaran. Untuk mengatasi permasalahan ini alternatif pemecahannya antara
lain ; (1) pembinaan usaha budidaya rumput laut, mulai dari penentuan lokasi, sistem
budidaya, penanganan pasca panen dan bantuan permodalan; (2) penataan dan penguatan
jaringan pasar melalui pembinaan kelompok nelayan pembudidaya rumput laut untuk
pengolahan rumput laut atau pemberian bantuan sarana teknologi pengolahan untuk
meningkatkan kualitas pasca panen rumput laut sehingga menjadi komoditi yang bernilai
tinggi. Dalam penanganan dan pengolahan pasca panen disamping mengantisipasi mutu
dan aspek “food safety” maka perlu dikembangkan jenis olahan yang dapat lebih
memberikan nilai tambah dengan diversifikasi olahan dari produk primer ke produk
Pengembangan rumput laut di kawasan Teluk Lasongko, sampai saat ini masih
dalam bentuk kering utuh, baik untuk rumput laut penghasil caragenan, agar maupun
171
alginat. Jenis Euchema banyak dibudidayakan dan dijual dalam bentuk makanan seperti
manisan, cendol, sirup dan lain, namun pemasarannya masih terbatas. Untuk itu perlu
diuji cobakan budidaya rumput laut penghasil agar seperti Gracilaria dan Gilidium yang
banyak dibutuhkan untuk memenuhi industri agar-agar baik untuk bentuk tepung, batang
maupun kertas.
Madongka, Waara, Mone, Moko, Wajogu, Lolibu, Inulu, Wantopi, Boneoge, Wanepa-
Nepa dan Bungi khususnya kepada kelompok nelayan yang sudah terbentuk agar lebih
mudah dalam program kemitraan dengan lembaga ekonomi yang ada. Pembangunan
industri pengolahan rumput laut dengan kapasitas produksi sebesar 96.392.160 kg/tahun
dibutuhkan industri dalam skala besar yang mampu mengemas produksi rumput laut
Melihat kondisi geografis kawasan Teluk Lasongko dan aksesibilitas dari wilayah
produksi dan menuju wilayah pemasaran, maka lokasi industri pengolahan rumput laut
dibangun di Desa Waara atau Madongka. Pembangunan industri pengolahan rumput laut
meliputi peralatan pengering efektif yang mampu mengeringkan rumput laut selama satu
hari dengan kapasitas 264.088 kg/hari, peralatan mesin ekstrak rumput laut menjadi
termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
172
Teluk Lasongko meliputi mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Mangrove
terdapat di Desa Lolibu, Bungi, Wajogu, Matawine, dan Lakudo seluas 250 Ha. Terumbu
karang terdapat di perairan Desa Karang Bawona dan Karang Katembe. Padang lamun
sudah tinggi, maka perlu adanya pengalihan perhatian kearah perlindungan ekosistem
yang dapat menjaga kelestarian sumbserdaya ikan. Hal ini telah dilakukan oleh
pemerintah Filipina yang mengalihkan fokus pembangunan dari produksi ikan ke proteksi
dilakukan penataan ruang wilayah pesisir, pantai dan laut bagi kesesuaian
pemanfaatannya. Penataan ruang dan zona meliputi lokasi yang sesuai bagi konservasi
(zona inti), pemanfaatan (penangkapan ikan, budidaya, dan wisata), serta penyangga.
Potensi ekosistem Teluk Lasongko yang meliputi mangrove seluas 250 hektar, terumbu
karang dalam kondisi baik di beberapa lokasi dan padang lamun yang hampir merata
merupakan modal yang cukup baik bagi berkembang biaknya sumberdaya ikan. Oleh
karena itu, untuk kelestarian ekosistem dan kelangsungan sumberdaya ikan, perlu
Waara, Boneoge, Madongka, Matawine, dan Wantopi), rehabilitasi mengrove (Waara dan
khususnya di Boneoge dan Nepa Mekar), transplantasi terumbu karang (Boneoge dan
Nepa Mekar), pembuatan dan penenggelaman terumbu buatan (Madongka, Inulu dan
dalam kelestarian sumberdaya ikan seperti pencegahan upaya penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan dan merusak ekosistem terumbu karang seperti penggunaan
bahan peledak, potas, bius dan bubu ikan karang dan kegiatan penambangan terumbu
kawasan Teluk Lasongko menjadi prioritas keempat. Mengacu pada Surat Keputusan
Menteri Pertanian No.392 tahun 1999, kawasan yang layak untuk perikanan tangkap
terbagi atas 2 (dua) wilayah penangkapan ikan dengan batas ke arah laut diukur dari
permukaan air laut pada surut terendah. Wilayah penangkapan pertama adalah dari mulai
0 sampai 3 mil laut, diperuntukkan bagi nelayan dengan klasifikasi peralatan; alat
penangkap ikan menetap dan alat penangkap ikan tidak menetap yang dimodifikasi, kapal
perikanan tanpa motor dan kurang dari 10 meter, yaitu di perairan pantai Teluk
Lasongko. Kawasan ini diperuntukkan bagi penangkapan ikan pelagis kecil, demersal,
usaha penangkapan dengan klasifikasi alat penangkap ikan tidak menetap yang
174
dimodifikasi; kapal perikanan tanpa motor atau bermotor tempel ukuran kurang dari 12
meter atau kurang dari 5 GT; pukat cincin (purse seine) dengan ukuran kurang dari 1000
meter. Wilayah penangkapan ini adalah luar perairan teluk, tepatnya di bagian selatan
Teluk Lasongko. Kawasan ini diperuntukkan bagi penangkapan ikan pelagis kecil,
Pada wilayah perairan yang memiliki terumbu karang, jenis alat tangkap bubu
karang. Pada perairan seperti ini alat tangkap yang paling cocok dioperasikan adalah
pendekatan ini. Masyarakat tidak hanya menjadi objek pembangunan, namun sebagai
subjek atau pelaku pembangunan. Model perencanaan top down, dipandang kurang baik,
namun harus dikombinasikan dengan pendekatan bottom up, yang artinya masyarakat
memiliki peran yang sejajar dengan pemerintah dalam mengelola sumberdaya ikan.
Pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilakukan melalui tiga cara (Nikijuluw, 2003)
sumberdaya ikan oleh pemerintah, dan (3) pengelolaan sumberdaya ikan bersama
jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya ikannya sendiri
175
aspirasinya. Dalam pengelolaan ini menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada
masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menetukan
dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Keunggulan PSBM antara lain : (1)
sesuai aspirasi dan budaya lokal, oleh karena itu pelaksanaannya akan menghasilkan
dampak positif bagi masyarakat lokal, (2) diterima oleh masyarakat lokal, dan (3)
antara lain : (1) tidak mengatasi masalah interkomunitas, karena PSBM diperuntukan
hanya untuk suatu komunitas lokal, (2) bersifat spesifik lokal, oleh karena itu masalah
yang lebih besar tidak dapat dipecahkan dengan PSBM, (3) mudah dipengaruhi faktor
eksternal, dan (4) sulit mencapai skala ekonomi, karena hanya dianut oleh suatu
masyarakat tertentu di suatu daerah yang sempit sehingga sering tidak ekonomis.
(1) kegagalan dalam mencegah kelebihan eksploitasi sumberdaya ikan, (2) kesulitan
dalam penegakan hukum, (3) kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan
yang saling bertentangan, (4) administrasi yang tidak efisien, (5) wewenang yang
terbagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen, dan (6) data dan informasi kerap
mudah diajak berembug dan mereka memiliki kesadaran yang tinggi untuk turut aktif
menjaga kelestarian sumberdaya ikan perairan Teluk Lasongko. Demikian pula para
pamong desa dan aparat pemerintah dari mulai tingkat kecamatan sampai kabupaten
perairan Teluk Lasongko dari tindakan-tindakan yang dapat merusak sumberdaya ikan.
Oleh kerena itu pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk co-manajemen antara
bersama dalam melakukan seluruh tahapan pengelolaan perikanan. Dalam hal ini
masyarakat dan pemerintah saling bekerja sama untuk mengatasi permasalahan yang
pemerintah dan masyarakat dalam hal pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko
digunakan bentuk koperasi. Bentuk ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada
posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian semua tahapan manajemen sejak
institusi ko-manajemen berada di kedua pihak. Masyarakat dan pemerintah adalah mitra
sumberdaya ikan seperti penggunaan bahan peledak atau racun sangat diperlukan. Untuk
zonasi daerah penangkapan bagi nelayan kecil karena adanya sistem penegakan hukum
177
yang sangat baik dan sungguh-sungguh tanpa pandang bulu. Siapapun yang melanggar
dan atau badan hukum yang melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan sebagaimana
sampai disyahkan oleh lembaga legislatif. Misalnya bagaimana, kapan dan untuk apa
isi dari perundang-undangan, misalnya objek dan lingkup pengaturan serta dampak
Kepastian hukum sangat penting untuk menentukan siapa yang mempunyai akses,
sumberdaya dilindungi oleh negara dan diakui oleh stakeholders lainnya. Sehingga setiap
orang atau kelompok dapat melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tanpa
intervensi oleh pihak penguasa atau pengguna sumberdaya dari daerah lain. Bagi dunia
usaha juga yang akan menanamkan investasinya di Teluk Lasongko, kepastian hukum
resiko berusaha. Sedangkan bagi Pemda, kepastian hukum dapat menjamin konsistensi
dan kebijakan pelaksanaan otonomi daerah secara penuh dan bertanggung jawab.
pembangunan manusia sebagai subyek (human capital), obyek (human resources), dan
pemanfaat pembangunan. Dimensi pembangunan SDM dapat dilihat dari tiga aspek
178
utama, yaitu kualitas, kuantitas, dan mobilitas penduduk. Kualitas penduduk tercermin
dari tingkat kesejahteraan penduduk, yaitu tingkat kesehatan dan gizi, pendidikan,
produktivitas dan akhlak mulia. Kuantitas penduduk dikaitkan dengan jumlah dan laju
dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat setempat di wilayah Teluk Lasongko, dimana;
51,66% tidak/belum tamat SD, 29,68% tamat SD, 10,85% tamat SLTP, 6,82% tamat
SLTA, 0,36% Diploma 1, 0,46% Diploma lll dan 0.16% perguruan tinggi (BPS
Kabupaten Buton, 2001). Selanjutnya apabila dilihat lebih jauh mengenai kualitas
khususnya perikanan tangkap terlihat secara umum masih lemah dari segi pengetahuan
tidak dapat diimplementasikan dengan baik dan efektif karena rendahnya kualitas
sumberdaya manusia sebagai alasan utama (Touch, 1995 dalam Nikijuluw, 2002).
kelembagaan pemerintah di Teluk Lasongko dinilai penting dan dapat ditempuh melalui
beberapa kebijakan sebagaimana hasil analisis AHP yang disajikan pada Tabel 69.
179
sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka
pendidikan keluarga, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan lain
yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan masyarakat secara lebih luas dan
bervariasi. Sejalan dengan itu program ini juga ditujukan untuk mendorong pendidikan
180
informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain: (1) menyediakan sarana dan prasarana
perkembangan jaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kondisi
lingkungan; dan (3) menyediakan bantuan biaya operasional pendidikan bagi keluarga
Untuk masyarakat yang tidak mempunyai kesempatan atau tidak mampu sekolah,
agar aparat pemerintah daerah, atau dinas terkait bersama-sama masyarakat setempat
mengajar serta pembelajaran lainnya secara terpadu dalam pengembangan wilayah Teluk
yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, sehingga program
penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatan sumberdaya ikan dapat
diimplementasikan dengan baik. Bentuk nyata program ini adalah dengan melakukan
kegiatan peningkatan kualitas karang taruna di desa-desa Teluk Lasongko dan bimbingan
dan pembudidaya ikan di Teluk Lasongko merupakan tanggung jawab bersama instansi
pusat maupun daerah. Aparat pemerintah sebagai fasilitator dalam penggunaan teknologi
dan memiliki kapasitas komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar. Teknologi tepat
guna yang diterapkan disesuaikan dengan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Lasongko saat ini namun memberikan efisiensi khususnya dalam penanganan hasil
penangkapan ikan dan budidaya laut seperti alat pemercepat pengeringan ikan teri dan
kelompok yang terdiri dari masyarakat nelayan penangkap, pemindangan, pengadaan es,
pedagang ikan, dan budidaya laut dengan jumlah 485 orang. Kelembagaan tersebut
Indonesia menjadi pusat kegiatan bersama 11 (sebelas) instansi pemerintah pusat dan
keterpaduan, saling mengisi dan selaras, sehingga tidak tumpang tindih. Upaya
182
konsolidasi antar instansi dilaksanakan melalui sinkronisasi program dan kegiatan yang
masing instansi harus didukung oleh aparat pemerintah instansi terkait yang secara
sistem informasi dalam pelayanan publik; (3) Mendorong peningkatan peran lembaga
non pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan baik pada tingkat
pusat, propinsi, dan kabupaten; (4) Sosialisasi program dan kegiatan yang akan
diimplementasikan.
maka sosialisasi program dan kegiatan ini sangatlah penting untuk dilaksanakan.
Sosialisasi dilakukan melalui aparat pemerintah daerah secara langsung maupun melalui
aksi sosialisasi dilaksanakan, perlu adanya kesepakatan bersama antar instansi terkait
untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi program kegiatan yang akan dilaksanakan
di bidang usaha perikanan baik sebagai nelayan maupun pembudidaya ikan. Sebagai
belum begitu dikuasai. Pemerintah daerah yang diberikan wewenang untuk mengelola
penggunaan bom rakitan yang berakibat pada kerusakan terumbu karang; (2) penggunaan
cyanida oleh penangkap ikan karang; (3) penggunaan trawl; (4) penggunaan jangkar
perahu yang dapat merusak karang ; (5) penambangan karang; dan (6) penebangan
merusak lingkungan tersebut perlu terus diupayakan oleh aparat pemerintah daerah
kepada masyarakat Teluk Lasongko. Dalam hal ini kelompok masyarakat pengawas
Teluk Lasongko perlu dirintis pembentukannya yang nantinya dapat didorong menjadi
lingkungan hidup.
adalah sebagai berikut : Taman Kanak-Kanak sebanyak 2 buah dengan jumlah murid 81
orang, SD sebanyak 19 buah dengan daya tampung yang sudah tidak memadai lagi,
terdiri dari 104 ruang kelas dan jumlah rombongan belajar 149 dengan jumlah murid
4.230 orang. SLTP sebanyak 4 buah, terdiri dari 31 ruang kelas dan 32 rombongan
masih mahal. Pendidikan juga dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai
tambah bagi masyarakat sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi.
Kualitas proses belajar mengajar masih belum baik yang antara lain disebabkan oleh
kurangnya tenaga pendidikan baik jumlah maupun kualitasnya dan belum memadainya
sekolah yang yang secara fisik sudah tidak memiliki tingkat kenyamanan dalam proses
kegiatan belajar mengajar seperti SDN Wanepa-Nepa, SDN Mone, SDN Waara, SDN
Lamena, SDN Waara, SDN Wakuru, SDN Gu, SDN Lakudo, SDN Wongko, dan SMP
ketersediaan sekolah dengan akses yang lebih dekat, seperti perlunya pembangunan
adalah pengembangan ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan. Pemerintah perlu
menyediakan fasilitas sarana prasarana yang memadai dengan melibatkan pengusaha dan
ekonomi melalui bantuan dan akses permodalan dijabarkan ke dalam 4 program, seperti
Tabel 70. Prioritas Program Pengembangan Ekonomi Melalui Bantuan dan Akses
Permodalan di Kawasan Teluk Lasongko
lembaga keuangan pemerintah dan lembaga keuangan non pemerintah masih enggan
investor yang secara serius tertarik untuk terjun kedunia bisnis perikanan sedikit.
186
permodalan, juga diakibatkan karena laut “dicitrakan” sebagai bisnis yang berisiko tinggi.
Dukungan permodalan sangat diperlukan bagi para pelaku bisnis perikanan baik
bagi usaha skala kecil, menegah dan besar temasuk koperasi. Dukungan ini dapat
diupayakan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan lembaga keuangan. Untuk
karena itu perlu diupayakan adanya fasilitas kredit perbankan dengan tingkat bunga wajar
dan prosedur mudah. Dalam hal ini perlu didorong pembentukan koperasi nelayan yang
dapat membantu anggotanya dalam hal pemenuhan kebutuhan modal dan pemasaran
hasil tangkapan. Terhadap nelayan itu sendiri perlu ditingkatkan pengetahuan dan
diperoleh kualitas produk yang prima, sehingga secara ekonomi saling menguntungkan.
dan teknologi yang masih rendah; (2) hasil laut dan perikanan masih dikelola secara
tradisional; (3) jenis-jenis produk olah ikan yang diusahakan masih terbatas atau kurang
diversifikasi produk, dimana produk yang diusahakan adalah produk segar didinginkan
kemudian disuplai ke perusahaan tertentu atau pedangan pengumpul; (4) usaha ikan
pindang, ikan kecil, pilet masih sangat terbatas; (5) belum ada pengolahan lebih lanjut
dari rumput laut menjadi produk yang lebih ekonomis seperti lempeng agar-agar atau
ikan, dendeng ikan, berikut pengemasannya melalui bimbingan teknis, pelatihan dan
bantuan peralatan serta bantuan permodalan melalui bantuan dana ; (3) peningkatan
teknologi pengolahan rumput laut khususnya untuk jenis yang memiliki nilai ekonomis
tinggi, melalui pengenalan, pelatihan dan bantuan peralatan dan bimbingan teknis; (4)
hasil olahan ikan melalui pameran-pameran. Teknologi tepat guna pasca panen yang saat
ini dibutuhkan di Teluk Lasongko adalah pengolahan ikan, pengolahan rumput laut, dan
pengolahan rajungan.
Usaha kecil dibidang rumput laut yang baru dirintis secara kelompok di wilayah
Teluk Lasongko dalam bentuk sentra sebagai anggota dari koperasi nelayan Artha Bahari.
dalam usaha kecil di Teluk Lasongko dibutuhkan untuk menjamin usaha secara mandiri.
: (1) menggunakan produk lokal; (2) memanfaatkan waktu luang warga terutama ibu
rumah tangga nelayan; (3) mudah dipasarkan; dan (4) ada nilai tambah ekonomi. Usaha
industri kecil yang dapat dikembangkan antara lain: kerajinan kerang, kerajinan batok
kelapa, makanan dengan bahan baku ikan, dan dodol rumput laut.
188
telah dijelaskan di atas, memberikan dampak pada berkurangnya jumlah tenaga kerja
pada usaha perikanan tangkap dan harus beralih pada usaha lainnya. Untuk mengatasi
permasalahan ini perlu dikembangkan mata pencaharian alternatif. Program ini dapat
berjalan melalui kegiatan : (1) identifikasi dan uji coba usaha skala kecil; (2)
memberikan dukungan teknis dibidang keterampilan pengelolaan usaha skala kecil; (3)
Pengumpulan informasi dan data dasar (base line), merupakan hal yang mutlak
dan utama dilakukan dalam optimisasi pengelolaan suatu kawasan (Sondita, 2000). Data
tersebut berupa kondisi masyarakat, kondisi ekosistem, aktifiktas manusia dan data
perikanan tangkap. Akses pasar perlu dikembangkan secara terus-menerus baik pasar
lokal, antar pulau maupun ekspor yang dapat menjamin nelayan giat melaksanakan
usahanya.
Tabel 71. Prioritas Program Pengembangan Jaringan dan Informasi Pasar di Kawasan
Teluk Lasongko
nara sumber terhadap penilaian prioritas kebijakan pengembangan jaringan dan informasi
investasi dalam rangka merespon kebutuhan perdagangan secara luas, kawasan Teluk
kemudahan prosedur.
lain adalah masalah pemasaran yang masih terbatas. Selama ini pemasaran telah
dilakukan oleh Koperasi Nelayan Artha Bahari dengan cakupan pemasaran antar pulau
yaitu ke Jawa Timur. Dengan potensi yang tersedia, sangat terbuka peluang untuk
Kebutuhan kegiatan yang diperlukan adalah perluasan pasar baik pasar dalam
negeri maupun ekspor, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
190
yaitu melalui promosi dalam bentuk pameran hasil perikanan dan secara tidak langsung
sarana penunjang efektifitas penanaman modal khususnya berupa sarana komunikasi dan
transportasi. Bentuk sarana penunjang yang saat ini sudah dibangun adalah pasar di desa
Madongka seluas 900 m2. Kondisi pasar yang belum digunakan secara maksimal ini
dikarenakan berada jauh dari wilayah produksi, pengolahan dan konsumen. Dengan
rencana program pembangunan industri pengolahan rumput laut di Desa Waara dan
Madongka sebagaimana dijelaskan pada program di atas diharapkan pasar yang sudah
Sarana angkutan darat seperti kendaraan bermotor utamanya mobil sangat penting
terutama dengan adanya pelabuhan Fery Waara yang menghubungkan dengan Kota Bau-
Bau. Dengan terbukanya pelayaran Fery Waara-Bau-Bau yang diikuti dengan perbaikan
kondisi jalan propinsi, akan semakin menambah strategis wilayah Kecamatan Lakudo
dalam pemasaran produk perikanan mengingat semua kendaraan angkutan darat dari dan
ke Kota Bau-Bau – Raha (Ibu kota Kab. Muna) – Kendari (Ibu kota Propinsi Sulawesi
satu bentuk modal dalam pemasaran produk perikanan. Kemitraan akan membuka akses
191
Lokasi kawasan Teluk Lasongko memiliki tingkat aksesibilitas yang cukup baik
dengan menggunakan transportasi laut dan darat yang berjarak 22 km dari Kota Buton.
kawasan pembangunan ekonomi baru, perlu didukung oleh peningkatan sarana dan
prasarana.
lasongko, menurut nara sumber terdiri atas 5 program seperti disajikan pada Tabel 72.
Tabel 72. Prioritas Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Teluk Lasongko
tangkapan sebanyak 13.741 ton pada tahun 2004 atau rata-rata per hari 38 ton. Jumlah
unit usaha perikanan tangkap yang ada lebih dari 4.000 unit. Hal ini menunjukkan bahwa
kegiatan usaha perikanan tangkap di Teluk Lasongko sudah cukup padat. Dilain pihak
belum ada fasilitas tempat pendaratan yang memadai. Oleh karena itu pembangunan
pelabuhan perikanan atau tempat pendaratan ikan merupakan kebutuhan yang mendesak.
Fasilitas yang perlu dibangun meliputi pembangunan dermaga, tempat pelelangan ikan,
192
pengadaan air bersih dan depo bahan bakar. Tipe pelabuhan yang tepat untuk kawasan
Teluk Lasongko adalah Pelabuhan Perikanan tipe D atau Pangkalan Pendaratan Ikan
(PPI).
PPI yang akan dibangun disesuaikan dengan kondisi usaha perikanan yang ada
serta rencana pengembangan armada perikanan tangkap yang diarahkan pada armada
perikanan 10 – 15 GT. Lokasi yang sesuai untuk pembangunan PPI dimaksud berada di
Desa Waara atau Desa Madongka yang berada pada posisi perairan pantai yang sesuai,
yakni kedalaman >5 meter, jauh dari kegiatan budidaya laut, serta bebas dari perusakan
ekosistem. Persyaratan yang diperhatikan untuk membangun PPI adalah sebagai berikut:
menyalurkan perbekalan serta penjualan hasil perikanan; (2) minimal luas lahan 5 ha
untuk PPI; dan (3) mengetahui kapasitas dermaga, kapasitas TPI dan kebutuhan
perbekalan melalui data-data dan studi – topografi, bahtymetry, sosial ekonomi dan lain-
lain.
lokasi PPI dan lokasi lainnya yang menjadi konsentrasi labuh nelayan Teluk Lasongko.
Pembangunan dermaga di PPI disesuaikan dengan kondisi alam yang ada, dimana dengan
kedalaman >5 memerlukan dermaga yang lebih kuat dan lebih besar mengingat armada
kapal yang berlabuh berukuran >10 GT. Berbeda dengan dermaga lainnya yang dibangun
di daerah konsentrasi nelayan seperti di Desa Lakudo, Wajogu dan Desa Inulu, dermaga
yang dibangun lebih kecil sesuai dengan armada kapal yang berlabuh.
193
Akses ekonomi usaha perikanan yang juga penting adalah sarana pendukung
sistem pemasaran dan sarana transportasi. Sarana ini diharapkan dapat mendukung aliran
produksi hasil perikanan yang memiliki kualitas baik sehingga bernilai ekonomis tinggi.
Kelancaran arus tranportasi hasil perikanan dari lokasi pelabuhan perikanan ke daerah
konsumen sangat diperlukan. Oleh karena itu perbaikan jalan penghubung dari
pelabuhan perikanan ke jalan raya menuju kota dan pelabuhan umum merupakan
lancar dari daerah Teluk Lasongko ke kota lain untuk mendukung pemasaran hasil
pemanfaatan sumberdaya ikan adalah pembangunan jalan penghubung dari jalan utama
yang sudah ada menuju lokasi PPI. Jalan yang dibangun harus didasarkan pada kesesuain
lahan dan kesesuain penggunaan yang dirancang oleh ahli konstruksi dalam program
Pembangunan listrik dan ketersediaan air bersih dipandang vital karena terkait
langsung dengan kebutuhan hidup dan kehidupan masyarakat. Sumber air bersih yang
ada di wilayah Teluk Lasongko masih berasal dari mata air dan air hujan yang belum
dapat memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat. Oleh karena itu pengadaan air bersih
dinilai sangat mendesak. Demikian pula masih ada desa di Kecamatan Mawasangka
Timur yang belum tejangkau aliran listrik dari PLN. Oleh karena itu perluasan jaringan
194
listrik yang dapat menjangkau seluruh daerah di wilayah Teluk Lasongko perlu menjadi
prioritas pembangunannya.
kebijakan tersebut memiliki prioritas pelaksanaan program pengelolaan sumber daya ikan
di Teluk Lasongko yang diurut berdasarkan nilai pentingnya oleh key person melalui
kuisioner AHP. Persepsi antar key person untuk penilaian prioritas program diukur
8.1 Kesimpulan
(1) Secara nasional sektor perikanan memiliki arti penting dalam perekonomian.
Hal ini ditunjukkan dari perkembangan PDB sektor perikanan yang cukup besar
selama periode tahun 2001-2004 yaitu 14,41 %. PDB sektor perikanan tahun 2005
sampai dengan triwulan III sebesar Rp.16,06 triliun. Kontribusi sektor perikanan
terhadap PDB nasional cenderung terus meningkat. Apabila pada tahun 2001
kontribusi tersebut sekitar 2,19 % , pada tahun 2004 meningkat menjadi 2,40 %.
Beberapa sektor yang berkaitan dengan bidang Kelautan dan Perikanan dapat
dikatagorikan sebagai sektor prioritas jangka pendek yaitu sektor-sektor yang dampak
masyarakat besar. Ada 5 sektor yang termasuk kelompok kelautan dan perikanan
mempunyai nilai Backward Linkage (BL) dan Forward Linkage (FL) lebih besar dari
Jasa Angkutan Laut dan Penunjangnya, Ikan Laut dan Hasil Laut Lainnya, dan
Udang.
(2) Dalam lingkup Kabupaten Buton, sektor perikanan laut mempunyai nilai
keterkaitan output langsung ke belakang (0.26) dan keterkaitan output langsung dan
(3) MSY sumberdaya ikan di Teluk Lasongko telah diketahui yaitu 14.979 ton per
tahun yang berarti nilai JTB adalah sekitar 12.000 ton per tahun. Berdasarkan nilai
JTB tersebut, menunjukkan bahwa kondisi perairan Teluk Lasongko telah mengalami
overfishing yang harus segera diatasi agar tidak terjadi kerusakan yang lebih berat
lagi pada sumberdaya ikan yang ada. Kebijakan yang harus segera diterapkan adalah
perlu segera dilaksanakan pengurangan jumlah alat tangkap yang ada sehingga
tinggal menjadi 2.768 unit dari semula 4.449 unit. Selanjutnya jumlah nelayan yang
ada sekarang yaitu sekitar 4.500 orang perlu dikurangi sebanyak 1.300 sehingga
menjadi tinggal 3.200 orang. Terhadap 1.300 nelayan yang didorong untuk alih
(4) Untuk mempertahankan pencapaian produksi ikan sampai pada JTB, diperlukan
ketersediaan bensin sekitar 10.000 liter/hari , minyak tanah sekitar 200 liter/hari,
air tawar sekitar 113.000 liter/hari dan es sekitar 37,5 ton/hari. Kebutuhan ini akan
sangat bermanfaat bagi nelayan yang bersangkutan apabila dapat dipenuhi oleh
bersama yang pada saatnya akan kembali kepada nelayan melalui pembagian Sisa
Hasil Usaha.
(5) Aktivitas usaha penangkapan ikan di Teluk Lasongko cukup padat dengan rata-
rata jumlah ikan yang didaratkan sekitar 40 ton per hari. Namun demikian fasilitas
memadai. Apabila fasilitas tersebut tidak dapat disediakan maka nilai optimum
sumberdaya ikan yang ada yaitu sekitar Rp 47 milyar setahun tidak akan dapat
dicapai .
(6) Unit-unit usaha penangkapan yang ada di Teluk Lasongko berdasarkan hasil
perairan WPP IV atau lainnya dapat digunakan purse seine 10 GT atau 15 GT, atau
gill net ukuran 15 GT karena unit-unit usaha tersebut mempunyai nilai B/C ratio
lebih besar dari satu atau menguntungkan. Usaha budidaya laut sebagai alternatif
ekonomi merupakan usaha yang menguntungkan dengan ditunjukkan dari nilai B/C
(7) Dengan telah diketahuinya nilai MSY sumberdaya ikan di Teluk Lasongko,
Misi : 1. Menjaga produksi ikan hasil tangkapan sampai pada batas JTB.
2. Pengembangan diversifikasi usaha
3. Pengembangan perekonomian daerah
4. Peningkatan pengelolaan sumberdaya ikan
198
Meliputi program program (1) Pengaturan jenis dan jumlah alat tangkap, (2)
ekosistem tempat berkembang biak sumberdaya ikan , (4) Pengaturan lokasi usaha
penataan sarana transportasi, dan (4) Pembangunan dan penataan sarana listrik
8.2 Saran
(1) Perlu segera ditetapkan peraturan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Lasongko.
Peraturan dapat dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buton atau oleh
Kelompok Masyarakat setempat. Dalam hal ini kearifan lokal yang ada yaitu Kantanu
yang berarti waktu atau musim yang diperbolehkan menangkap ikan, dan Meombo yang
berarti larangan bagi semua masyarakat untuk menangkap ikan selama tiga hari, dapat
terus dikembangkan.
(2) Perlu dikembangkan alternatif mata pencaharian bagi nelayan yang bersangkutan.
Salah satu alternatif mata pencaharian yang dinilai cocok dikembangkan di Teluk
Lasongko adalah budidaya rumput laut dan budidaya ikan di laut. Untuk itu perlu
diadakan program pembelian alat tangkap yang harus dikurangi oleh pemerintah pusat
maupun daerah. Alat tangkap yang telah dibeli dijadikan bantuan untuk nelayan di daerah
yang potensi sumberdaya ikannya masih baik seperti di perairan sekitar pulau-pulau kecil
provinsi Maluku dan Irian. Uang hasil penjualan alat tangkap yang diterima oleh nelayan
diarahkan untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut atau ikan bagi nelayan
yang bersangkutan.
200
(3) Perlu segera dibangun pelabuhan perikanan dengan kapasitas minimal 35 ton ikan
per hari yang dilengkapi dengan fasilitas depo bahan bakar, pabrik es dan tangki air
bersih. Kemudian diikuti dengan pembangunan fasilitas pendukung lainnya seperti jalan
kepada Instansi yang tergabung dalam Tim Pembangunan Teluk Lasongko memasukan
implementasinya.
-----as-----
DAFTAR PUSTAKA
Arimoto, T. 1999. Research and Education System of Fishing Technology in Japan. The 3rd
JSPS. International Seminar. Sustainable Fishing Technology in Asia Toward the 21st
Century.
Basuki, R., dan Nikijuluw, V. 1996. Komanajemen Sumberdaya antara Pemerintah Desa,
Lembaga Adat adn Masyarakat (Kasus Kawasan Pantai Desa Jungut Batu, Nusa
Penida, Bali). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol.II No.1 Tahun 1996. Jakarta.
p 39-54.
BAPPEDA Kabupaten Buton. 2004. Rencana Zonasi Kawasan Marine and Coastal
Management Area (MCMA) Kecamatan GU, Lakudo, Mawasangka Timur dan
Mawasangka (GULAMAS). Bau-Bau.
BPS. 1995. Kerangka Teori Analisis, Tabel Input – Output. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
BPS. 2002. Kabupaten Buton dalam Angka 2002. Biro Pusat Statistik kabupaten Buton.
BPS. 2004. Kabupaten Buton dalam Angka 2004. Biro Pusat Statistik kabupaten Buton.
Clark, R.N., V.V. King, C. Ager, and G. A. Swayze. 1995. Initial Vegetation Species and
Senescence/Stress Indicator Mapping in the San Luis Valley, Colorado Using Imaging
Spectrometer Data. In Airborne Visible/Infrared Imaging Spectrometer (AVIRIS) 1995
Airborne Geoscience Workshop Proceedings: 35-38. Available from
http://makalu.jpl.nasa.gov/docs/workshops/95_docs/11.PDF (1999).
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005 . Rencana Strategis Pembangunan Kelautan Dan
Perikanan Tahun 2005-2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Action Plan; Rencana Pembangunan Wilayah
Pesisir Terpadu Lakudo, Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
(tidak dipublikasikan)
202
Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tenggara, 2003. Penyusunan Detail Rencana Tata
ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Sulawesi
tenggara.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2004. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2004.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal.
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Forman, E. H. 2001. Decision by Objectives – How to Convince Others that You are Right,
World Scientific Press. Washington DC. 402 p
Gordon, H. S. 1954. The Economic Theory of Common Property Resource : The Fishery.
Journal of Political Economy, 62 : 124-142.
Nasution, T. 1996. Analisis dan Penggunaan Model Input – Output dalam Perencanaan. Jurnal
Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Volume 1 tahun 1996. Litbang Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata. Jakarta
Sumber: http://litbang.budpar.go.id/Publikasi/jurnal/ jikp vol-1 1996.
Nikijuluw, V.P.H. 2005. Politik Ekonomi Perikanan- Bagaimana dan Kemana Bisnis
Perikanan. PT.Fery Agung Corporation (Feraco). Jakarta.
Rangkuti, F. 1997. Analisa SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Resosudarmo, B. P., Hartono, J., Ahmad, T., Subiman, N.I.L., Olivia dan Noegroho, A. 2001.
Analisa Penentuan Sektor Prioritas di Kelautan dan Perikanan di Indonesia. Jurnal
Pesisir dan Lautan, Volume 4 No.3 Tahun 2002 Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (PKSPL) IPB. Bogor.
Rosyidi,S. 2004. Pengantar Teori Ekonomi . Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro &
Makro. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta 647 hal.
Reksohadiprodjo,S. 1998. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi. BPFE. Yogyakarta.
Simatupang, P. 2001. Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Makalah
pada Seminar Forum Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset
Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Turner, R. K., Irene L., Nicole B., I. J. Bateman, I. A. Langford and Anne I. M. 1998.
Coastal Management for Sustainable Development : Analysing Environmental and
Socio-Economic changes on the UK Coast. The Geographical Journal, 164 : 13.
Widodo, J . 2003. Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut Indonesia Tahun 2002. Prosiding
Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset
Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. Jakarta.
Widodo, J . 2003. Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. Jakarta.
----AS----
205
Lampiran 1. Peta Indonesia, WPPI, Kabupaten Buton dan Kawasan Teluk Lasongko
Lampiran 2.
206
207
Kode CPUE FPI Eff CPUE FPI Effor CPUE FPI Eff CPUE FPI Eff CPUE FPI Eff
2001 2002 2003 2004
Kode Grup Alat Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
Jaring
X2 Insang X21 JI hanyut 548 0,09 0,02 8 549 0,21 0,04 21,15 1820 0,13 0,01 14 1970 0,12 0,01 28 2036 0,11 0,01 28
X22 JI lingkar 302 1,34 0,23 70 308 0,98 0,18 55,38 309 0,65 0,04 12 320 0,98 0,12 37 324 0,98 0,12 40
X23 JI tetap 458 0,53 0,09 42 459 0,83 0,15 69,90 250 2,54 0,15 37 276 2,49 0,30 82 278 2,48 0,31 86
X24 Trammel Net 6 3,29 0,57 3 6 4,29 0,79 4,72 12 1,53 0,09 1 30 0,15 0,02 1 31 0,20 0,03 1
Jaring
X3 Angkat X31 Bagan Perahu 62 4,50 0,77 48 62 3,78 0,69 43,00 70 2,34 0,14 9 73 2,98 0,35 26 73 3,02 0,38 28
X32 Bagan Tancap 61 5,81 1,00 61 61 5,45 1,00 61,00 65 17,31 1,00 65 66 1,96 0,23 15 66 1,96 0,25 16
X33 Serok 14 2,23 0,38 5 14 2,14 0,39 5,50 6 3,17 0,18 1 5 2,3 0,27 1 5 2,60 0,33 2
X34 JA Lain 16 0,98 0,17 3 16 0,45 0,08 1,32 6 0,55 0,03 0 5 0,62 0,07 0 5 0,62 0,08 0
X5 Perangkap X51 Sero 101 2,60 0,45 45 101 2,4 0,44 44,48 28 6,8 0,39 11 27 8,42 1,00 27 27 7,98 1,00 27
Dan Alat X52 Bubu 1345 0,26 0,04 60 1345 0,29 0,05 71,57 504 0,22 0,01 6 390 0,59 0,07 27 365 0,62 0,08 28
Perangkap
Lainnya X53 lainnya 69 2,38 0,41 28 69 3,02 0,55 38,23 60 0,29 0,02 1 130 2,11 0,25 33 130 3,00 0,38 49
X54 Jermal 20 0,34 0,06 1 20 0,76 0,14 2,79 20 0,4 0,02 0 9 0,54 0,06 1 8 0,54 0,07 1
Jumlah 3002 0,35 375 3010 0,38 419,05 3150 0,17 158 3.301 0,23 278 3.348 0,25 306
211
Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
X11 Payang 19,00 55,21 0,07 1,40 19,00 35,35 0,03 0,64 20,00 56,50 0,09 1,71 20,00 20,91 0,03 0,54 21,00 25,13 0,03 0,68
X12 Pukat Pantai 32,00 25,38 0,03 1,09 31,00 40,39 0,04 1,19 35,00 32,29 0,05 1,71 36,00 20,64 0,03 0,96 37,00 20,05 0,03 0,96
X13 Pukat cincin 3,00 747,70 1,00 3,00 3,00 1.051,78 1,00 3,00 3,00 662,67 1,00 3,00 3,00 774,27 1,00 3,00 3,00 774,00 1,00 3,00
X14 Pukat udang 2,00 346,66 0,46 0,93 2,00 435,00 0,41 0,83 2,00 647,50 0,98 1,95 2,00 442,00 0,57 1,14 2,00 391,46 0,51 1,01
X41 Huhate 3,00 186,89 0,25 0,75 3,00 174,05 0,17 0,50 3,00 163,67 0,25 0,74 3,00 98,52 0,13 0,38 3,00 98,52 0,13 0,38
Pancing
X42 biasa 440,00 0,79 0,00 0,46 439,00 0,65 0,00 0,27 439,00 1,02 0,00 0,68 440,00 1,84 0,00 1,05 443,00 1,83 0,00 1,05
Pancing
X43 tonda 586,00 0,03 0,00 0,02 588,00 0,15 0,00 0,08 583,00 0,03 0,00 0,03 574,00 0,66 0,00 0,49 574,00 0,66 0,00 0,49
X44 Rawai Tetap 45,00 16,89 0,02 1,02 45,00 12,80 0,01 0,55 45,00 0,58 0,00 0,04 56,00 30,83 0,04 2,23 56,00 30,83 0,04 2,23
TOTAL 1.130 0,23 9 1.130 0,21 7 1 0,30 10 1 0,22 10 1 0,22 10
Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
X41 Huhate 3 330,35 1,00 3,00 3 337 1,00 3,00 3 280,43 1,00 3,00 3 287,4 1,00 3,00 3 151,77 1,00 3,00
Pancing
X42 biasa 440 1,15 0,00 1,53 437 0,24 0,00 0,31 439 0,91 0,00 1,42 440 0,57 0,00 0,87 443 1,45 0,01 4,23
Pancing
X43 tonda 586 2,2 0,01 3,90 588 1,84 0,01 3,21 583 1,92 0,01 3,99 574 3,41 0,01 6,81 574 2,51 0,02 9,49
X44 Rawai Tetap 45 8,91 0,03 1,21 45 9,4 0,03 1,26 45 9,76 0,03 1,57 56 18,96 0,07 3,69 56 19,1 0,13 7,05
TOTAL 1074 0,26 10 1073 0,26 7,78 1070 0,26 9,98 1073 0,27 14,38 1076 0,29 23,77
212
Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
X51 Sero 101 2,52 1,00 101,00 101 2,52 1,00 101,00 28 12,30 0,83 23,11 27 1,49 0,19 5,03 27,00 9,33 1,00 27,00
X52 Bubu 1.345 0,30 0,12 160,12 1.345 0,30 0,12 160,12 504 1,40 0,09 47,36 390 0,22 0,03 10,73 365,00 1,08 0,12 42,25
X53 Jermal 69 1,69 0,67 46,27 69 1,69 0,67 46,27 60 14,90 1,00 60,00 130 8,00 1,00 130,00 130,00 6,63 0,71 92,38
Alat
X54 lainnya 20 0,26 0,10 2,06 20 0,26 0,10 2,06 20 0,10 0,01 0,13 9 0,23 0,03 0,26 8,00 0,39 0,04 0,33
TOTAL 1535 309 1535 309 612 131 556 146 530 161,96
Kode CPUE FPI Eff 2001 CPUE FPI Effor 2002 CPUE FPI Eff 2003 CPUE FPI Eff 2004 CPUE FPI Eff
Alat Nama Alat 2000 (Prdvt) 2000 Std 2001 Std (Prdvt) 2002 Std (Prdvt) 2003 Std (Prdvt) 2004 Std
X51 Sero 101 0,38 0,18 17,85 101 0,42 0,06 6,29 28 11,04 1,00 28,00 27 15,81 1,00 27,00 27,00 10,35 1,00 27,00
X52 Bubu 1.345 0,02 0,01 12,51 1.345 0,03 0,00 5,99 504 0,11 0,01 5,02 390 0,29 0,02 7,15 365,00 0,31 0,03 10,93
X53 Jermal 69 2,15 1,00 69,00 69 6,74 1,00 69 60 2,80 0,25 15,22 130 1,81 0,11 14,88 130,00 1,81 0,17 22,73
Alat
X54 lainnya 20 1,25 0,58 11,63 20 0,80 0,12 2,37 20 0,50 0,05 0,91 9 1,56 0,10 0,89 8,00 1,38 0,13 1,07
TOTAL 1535 111 1535 84 612 49 556 50 530 62
213
Lampiran 12. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
JENIS ALAT TANGKAP
X2 X3 X5
JENIS
KELAS
IKAN
D Sebelah - 0.62 1.39 0.27 1.56 10.68 1.09 0.27 3.97 1.06 1.3 0.27
D Lidah - 0.67 1.40 1.22 - 0.67 1.30 0.63 3.07 0.92 1.36 0.64
D Nomei - 0.93 4.78 0.68 15.60 6.40 2.88 0.68 13.53 0.93 2.88 0.68
D Manyung 5.51 5.69 9.53 0.06 6.71 2.99 6.03 0.06 10.66 2.75 7.32 0.06
D Beloso - 10.76 14.87 0.79 22.44 8.06 14.02 0.79 16.17 2.17 14.72 0.79
D Biji nangka 0.83 48.81 17.83 0.33 43.38 12.77 17.23 0.33 21.41 4.40 23.45 0.33
D Lencam 26.39 232.82 75.04 5.98 34.98 14.63 60.44 5.98 115.76 13.31 177.32 12.89
D Kurisi 1.53 4.55 41.17 0.39 45.74 15.04 39.27 0.39 1.58 0.24 46 0.39
D Pari 11.40 0.84 23.91 2.07 10.66 - 18.28 2.07 30.67 1.60 19.85 2.07
D bawal hitam 0.46 3.13 6.15 0.50 1.59 0.26 4.97 0.50 18.05 0.07 7.93 0.5
D kuro/senangin 0.58 - 3.70 0.15 12.14 6.17 2.92 0.15 0.71 - 2.91 0.15
D Terubuk - 2.12 2.67 0.72 5.97 10.66 1.55 0.26 2.74 2.57 1.55 0.26
D Peperek - 56.21 12.40 5.82 60.69 89.19 10.42 2.82 3.14 13.18 10.42 2.82
D Gerot-2 - 8.65 21.47 0.74 13.32 3.48 19.40 0.75 8.54 2.60 21.73 0.74
D Tigawaja 2.38 2.38 3.69 - 2.38 0.19 2.02 6.37 1.10 6.12 0.84
JLH PER ALAT 50.94 403.26 243.94 19.72 278.92 181.19 204.46 15.68 262.47 47.60 350.63 23.43
Total 2,082
Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
215
Lampiran 13. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X2 X3 X5
KELAS
IKAN
D Biji nangka - 70.79 38.20 - 31.02 6.05 - - 30.21 4.18 36.06 5.00
D Lencam 14.00 48.60 104.20 20.00 14.00 48.51 - - 15.70 5.42 116.58 6.00
D Kurisi 19.00 9.91 61.33 - 7.62 5.01 - - 3.84 5.00 68.29 4.00
D pari 30.00 17.30 22.67 - 3.33 16.20 - - 51.43 1.09 17.39 1.67
D bawal hitam 30.00 13.01 8.78 - - 4.11 - 36.55 10.00 6.94 2.24
D Terubuk - 3.98 3.36 1.29 16.71 40.74 - 1.29 4.28 1.00 2.82 3.00
D Peperek 10.00 76.70 56.33 4.45 74.32 131.68 - 3.13 14.85 4.00 57.23 3.13
D Gerot-gerot 10.00 21.41 20.31 - 35.77 13.79 - - 11.88 3.58 20.53 3.00
SUB JUMLAH 116.00 301.82 378.90 25.74 234.22 332.15 - 7.23 242.30 60.47 392.66 52.20
Total 2,411
Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
216
Lampiran 14. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
JENIS ALAT TANGKAP
D Sebelah - 0.08 0.12 0.30 - 0.08 1.00 0.20 1.02 1.00 0.23 0.06
D Lidah - 0.08 1.65 1.30 - 0.08 1.00 0.10 0.67 1.00 0.16 0.06
D Nomei - 2.59 22.77 0.70 - 0.23 2.00 0.30 7.98 1.00 5.12 1.11
D Manyung 0.41 8.46 19.10 0.50 2.39 1.21 5.00 0.40 0.96 1.00 2.54 0.41
D Beloso - 9.24 3.99 0.60 30.66 4.90 10.00 0.20 12.79 1.00 1.98 0.29
D Biji nangka 12.83 47.44 60.23 0.30 23.23 0.24 11.00 0.10 12.64 0.20 6.21 0.02
D Lencam 198.64 59.35 361.51 4.00 5.87 3.19 29.00 0.20 99.60 0.20 69.74 11.45
D Kurisi 16.16 7.11 17.85 0.30 19.54 2.38 15.00 0.20 3.36 0.20 7.85 0.27
D pari 4.78 8.38 40.27 2.00 - 0.84 3.00 0.20 23.70 0.10 1.83 5.45
D bawal hitam 1.53 10.01 15.81 0.50 - 0.29 2.00 0.10 10.15 - 1.42 1.70
D kuro/senangin - 0.18 10.63 0.20 3.65 0.18 1.00 0.20 0.10 - 1.62 0.18
D Terubuk - 0.45 12.88 0.60 3.62 5.51 4.00 0.30 1.23 - 1.00 0.33
D Peperek 1.15 38.29 25.29 4.00 59.36 44.73 2.00 0.20 5.07 - 5.21 2.17
D Gerot-gerot 1.72 4.09 15.59 3.00 14.92 0.20 3.00 0.10 7.82 - 3.20 0.75
SUB JUMLAH 237.44 200.96 634.57 18.30 163.46 65.02 89.00 3.30 190.42 5.70 112.90 24.28
Total 1,770
Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
217
Lampiran 15. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS
KELAS X2 X3 X5
IKAN
D Sebelah 10.00 0.23 0.20 0.20 9.00 0.23 2.00 0.10 0.93 1.00 0.84 1.62
D Lidah 10.00 0.14 6.13 1.00 11.00 0.14 1.50 0.20 - 1.00 0.22 0.11
D Nomei 9.00 0.52 36.42 0.60 4.00 0.52 3.00 0.10 - 1.00 32.40 0.30
D Manyung 2.09 16.16 38.01 0.20 1.95 3.33 6.00 0.20 0.45 1.00 1.65 0.45
D Beloso 12.81 56.51 31.36 0.30 1.28 17.19 6.00 0.20 27.92 1.00 3.09 1.28
D Biji nangka 25.54 57.39 56.01 0.20 15.04 1.06 7.00 0.30 11.67 1.00 33.13 0.22
D Lencam 57.32 72.89 47.99 0.40 24.54 6.56 8.00 0.20 113.84 2.00 120.68 21.05
D Kurisi 30.00 24.52 92.02 0.30 12.88 1.18 8.00 0.10 3.47 2.00 19.26 0.53
D Pari 11.81 32.17 79.33 0.40 - 2.77 5.00 0.20 17.77 2.00 2.30 40.54
D bawal hitam 4.80 15.51 31.03 0.70 0.31 1.26 6.00 0.40 12.14 1.00 1.28 2.05
D kuro/senangin 3.07 8.95 47.29 0.20 8.01 0.49 3.00 0.50 1.26 1.00 0.56 0.47
D Terubuk 10.00 0.18 71.78 - 20.00 0.18 3.00 0.20 5.20 2.00 1.68 0.71
D Peperek 32.60 19.03 58.28 - 109.34 42.80 3.00 0.10 22.19 1.00 2.87 0.27
SUB JUMLAH 245.46 312.78 687.19 4.50 217.35 79.05 61.50 3.10 227.27 19.00 229.48 69.84
Total 2,220
Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
218
Lampiran 16. Ikan Demersal, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS
KELAS X2 X3 X5
IKAN
D Sebelah 10.00 2.00 3.00 0.20 9.00 0.23 3.00 0.10 0.93 2.00 3.00 1.62
D Lidah 10.00 2.00 6.13 1.00 11.00 0.14 2.00 0.20 1.00 2.00 3.00 0.11
D Nomei 9.00 2.00 36.42 0.60 4.00 0.52 3.00 0.10 1.00 1.00 32.40 0.30
D Manyung 2.09 16.16 38.01 0.50 2.00 3.33 6.00 0.20 0.45 1.00 3.00 0.45
D Beloso 12.81 56.51 31.36 0.50 3.00 17.19 6.00 0.20 27.92 1.00 3.09 1.28
Biji
D nangka 25.54 57.39 56.01 0.50 15.04 1.06 7.00 0.10 11.67 1.00 33.13 0.22
100.0 110.0
D Lencam 57.37 72.89 47.99 0.40 24.54 6.56 8.00 0.30 0 2.00 0 21.05
D Kurisi 30.00 24.52 92.02 0.30 12.88 1.18 8.00 0.20 3.47 2.00 19.26 0.53
D Pari 11.81 32.17 79.33 0.40 1.00 2.77 5.00 0.10 17.77 2.00 2.30 40.54
bawal
D hitam 5.00 15.51 31.03 0.70 0.31 1.26 6.00 0.20 12.14 1.00 1.28 2.05
kuro/sen
D angin 4.00 8.95 47.29 0.40 8.01 0.49 3.00 0.40 1.26 1.00 0.56 0.47
D Terubuk 10.00 0.18 71.78 0.30 20.00 0.18 3.00 0.50 5.20 2.00 1.68 0.71
D Peperek 20.00 19.03 58.28 0.10 109.34 42.80 3.00 0.20 22.19 2.00 2.87 0.27
Gerot-
D gerot 21.88 2.76 33.56 0.10 - - 0.10 4.30 2.00 6.07 0.24
215.4 225.1
SUB JUMLAH 234.04 318.64 689.98 6.20 220.12 79.05 63.00 3.10 3 24.00 0 69.84
Total 2,212
Keterangan:
D = Demersal
X2 = Jaring Insang
X3 = Jaring Angkat
X5 = Perangkap dan Alat Lainnya
219
Lampiran 17. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
SUB JUMLAH 693.32 1,049.88 812.30 2,243.09 760.09 349.56 560.67 19.57
Total 6,147.18
Keterangan:
PK = Pelagis Kecil
X1 = Pukat
X4 = Pancing
220
Lampiran 18. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
Alat Tangkap
Pukat Pancing
Udang Payang Pukat pantai pukat cincin Rawai Tetap Biasa Huhate P.tonda
SUB JUMLAH 870.00 871.66 1,251.94 3,155.33 576.00 286.00 522.15 88.56
Total 7,622
221
Lampiran 19. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
Jenis Alat Tangkap
Pukat Udang
Payang Pukat pantai pukat cincin Rawai Tetap Pancing biasa Pancing Tarik P.tonda
Total 5,413.12
Lampiran 20. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
Jenis Alat Tangkap
JENIS
KELAS X1
IKAN X4
Pukat Udang
Payang Pukat pantai pukat cincin Rawai Tetap Pancing Biasa Pancing Tarik P.tonda
SUB JUMLAH 884.00 418.26 743.33 2,322.80 1,387.48 809.81 295.56 380.02
Total 7,241
222
Lampiran 21. Ikan Pelagis Kecil, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
Jenis Alat Tangkap
PK Ekor kuning 60.3 30.38 71.83 15.16 85.75 65.37 46.64 100.00
SUB JUMLAH 782.91 527.76 742.58 2,322.80 1,387.48 809.81 295.56 380.02
Total 7,249
Keterangan:
PK = Pelagis Kecil X4 = Pancing
X1 = Pukat
Lampiran 22. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
Jenis Alat Tangkap
KELAS JENIS IKAN X4
Lampiran 23. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
Jenis Alat Tangkap
KELAS JENIS IKAN X4
Rawai Tetap Huhate Pancing lain P.tonda
Total 2,624
Keterangan:
PB = Pelagis Besar
X4 = Pancing
Lampiran 24 Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
Jenis Alat Tangkap
Lampiran 25. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
Jenis Alat Tangkap
X4
KELAS JENIS IKAN
Rawai Tetap Huhate Pncing lain P.tonda
PB cucut 125.03 - 60.80 35.38
PB Alu-alu 20.35 8.98 22.48 7.44
PB Sunglir 0.57 3.71 3.26 1.02
PB Tenggiri papan 39.96 8.71 10.53 111.27
PB Tenggiri 243.75 1.28 63.13 365.18
PB Layur 53.42 16.61 3.47 69.91
PB Tuna 242.98 41.61 18.53 234.00
PB Cakalang 36.71 599.22 40.74 363.15
PB Tongkol 90.43 182.03 29.56 769.02
SUB JUMLAH 853.20 862.14 252.49 1,956.37
Total 3,924
Keterangan:
PB = Pelagis Besar
X4 = Pancing
Lampiran 26. Ikan Pelagis Besar, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
Lampiran 27. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
JENIS ALAT TANGKAP
KELAS JENIS IKAN X5
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 55.05 1.12 80.05 1.24
K Kerapu 29.58 6.37 167.27 1.60
K Kakap 98.53 6.34 96.31 6.77
K Bawal putih 10.81 4.57 12.78 0.60
K Kuwe 60.14 15.41 45.68 8.08
SUB JUMLAH 254.10 33.81 402.09 18.28
Total 698
Keterangan:
K = Karang Konsumsi
X5 = Perangkap
Lampiran 28. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
Jenis Alat Tangkap
KELAS JENIS IKAN X5
Lampiran 29. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 95.73 96.00 133.00 2.90
K Kerapu 42.09 15.00 198.90 0.08
K Kakap 135.00 130.00 127.23 1.00
K Bawal putih 8.51 17.00 24.00 1.00
K Kuwe 63.13 40.00 220.00 1.00
SUB JUMLAH 344.47 298.00 703.13 5.98
Total 1,352
Lampiran 30. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 3.00 13.00 24.00 7.78
K Kerapu 10.00 15.00 25.00 3.97
K Kakap 15.00 18.00 14.00 9.67
K Bawal putih 0.12 14.00 2.66 2.12
K Kuwe 12.00 12.00 19.00 7.00
SUB JUMLAH 40.12 72.00 84.66 30.53
Total 227
227
Lampiran 31. Ikan Karang Konsumsi, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
K Bambangan 55.00 10.00 104.12 7.78
K Kerapu 29.00 13.00 156.10 3.97
K Kakap 98.00 13.00 44.52 9.67
K Bawal putih 10.00 5.00 40.00 2.12
K Kuwe 60.00 12.00 49.48 27.02
SUB JUMLAH 252.00 53.00 394.22 50.54
Total 750
Keterangan:
K = Karang Konsumsi
X5 = Perangkap
Lampiran 32. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2000
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 2.90 10.00 14.14 40.04
Krus Kepiting 9.45 10.00 3.56 12.44
Udang
Krus barong 0.57 1.00 2.69 41.30
Udang
Krus Windu 16.36 2.00 5.05 43.14
Krus Udang putih 9.06 2.00 5.16 11.47
SUB JUMLAH 38.33 25.00 30.60 148.39
Total 242
228
Lampiran 33. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2001
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 11.52 16.00 8.65 166.38
Krus Kepiting 18.47 16.95 26.23
Udang
Krus barong 2.16 4.53 1.94
Udang
Krus Windu 7.76 3.54 198.51
Krus Udang putih 2.53 3.64 72.28
Krus Udang dogol - - -
Krus Kerang darah - - -
SUB JUMLAH 42.45 16.00 37.31 465.34
Total 561
Keterangan:
Krus = Ikan Berkulit Keras
X5 = Perangkap
Lampiran 34. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2002
Jenis Alat Tangkap
JENIS X5
KELAS
IKAN
sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 86.13 10.00 36.97 101.83
Krus Kepiting 10.70 3.92 21.23
Udang
Krus barong 0.26 0.81 29.59
Udang
Krus Windu 197.94 6.01 6.78
Krus Udang putih 14.14 6.46 8.55
Krus Udang dogol - - -
Kerang
Krus darah - - -
SUB JUMLAH 309.17 10.00 54.17 167.98
Total 541
229
Lampiran 35 Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2003
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 120.11 14.00 61.23 125.29
Krus Kepiting 7.12 46.33 20.65
Udang
Krus barong 0.40 - 3.37
Udang
Krus Windu 287.36 6.75 75.77
Krus Udang putih 11.83 0.19 10.00
Udang
Krus dogol - - -
SUB JUMLAH 426.82 14.00 114.50 235.09
Total 790
Keterangan:
Krus = Ikan Berkulit Keras
X5 = Perangkap
Lampiran 36. Ikan Berkulit Keras, Alat Tangkap dan Produksinya Tahun 2004
JENIS ALAT TANGKAP
JENIS X5
KELAS
IKAN
Sero Jermal Bubu Prangkap lain
Krus Rajungan 120.11 11.00 61.23 125.29
Krus Kepiting 7.22 46.33 20.65
Udang
Krus barong 0.40 - 3.37
Udang
Krus Windu 140.00 6.75 75.77
Krus Udang putih 11.83 0.19 10.00
Krus Udang dogol - - -
SUB JUMLAH 279.57 11.00 114.50 235.09
Total 640
Keterangan:
Krus = Ikan Berkulit Keras
X5 = Perangkap
230
Harga Bensin di Lokasi sebesar Rp 5.500 sedangkan harga dasar di Pertamina Bau-bau
seharga Rp 4.500. Harga Minyak tanah di Lokasi sebesar Rp 3.700 sedangkan harga
dasar di Pertamina Bau-bau seharga Rp 4.500 Sehingga ada selisih seperti dalam Tabel
di Bawah ini
37.145.347.765 46.886.848.150
: min e1+u2+e3+e4+u5+e6+e7+u8
? st
? e1+4500X1+3700X2+4X3+300X4+6000000X5<=58609538383
? u2+X1+X2>=4000000
? e3+X1+X2<=3832464
? e4+X1<=3742392
? u5+X3+X4>=73000000
? e6+0.1667X3+0.5X4<=11983000
? e7+X3<=35949000
? u8+X5>=4449
? e1<=11722690233
? u8>=1317
? X1>=0
? X2>=0
? X3>=0
? X4>=0
? X5>=0
? end
1) 19440770.
Lanjutan Lampiran 44
U5 19030700.000000 .000000
E6 .000000 3.000000
E7 .000000 1.666600
U8 1317.000000 .000000
X1 3742392.000000 .000000
X2 90072.000000 .000000
X3 35949000.000000 .000000
X4 11983000.000000 .000000
X5 3132.000000 .000000
NO. ITERATIONS= 8
DO RANGE(SENSITIVITY) ANALYSIS?
?y
Lanjutan Lampiran 44
Lampiran 45 (lanjutan)
Lampiran 45 (lanjutan)
Biaya (Rp)
No Uraian
5 GT 10 GT 15 GT
Investasi Modal Tetap
1 Kasko 110.000.000 150.000.000 200.000.000
2 Mesin Utama 20.000.000 60.000.000 80.000.000
3 Peralatan
- Alat Tangkap 5.000.000 9.000.000 10.000.000
- Line Hauler - - 2.000.000
- Navigasi - 2.000.000 2.000.000
Lampiran 45 (Lanjutan)
A. KEBUTUHAN MODAL
INVESTASI
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 5 GT) 1 Unit Rp 6.750.000 6.750.000
2 Mesin Utama ( 15 HP ) 1 Unit Rp 8.000.000 8.000.000
3 Mesin/alat Bantu
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
4 Alat tangkap
* Payang 20 Pcs Rp 300.000 6.000.000
MODAL TETAP (Fixed Cost) 22.250.000
B. BENEFIT
FIXED COST
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 5 Th Rp 6.750.000 1.350.000
* Mesin 5 Th Rp 8.000.000 1.600.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 6.000.000 2.000.000
3 Bunga Kredit 14 % per tahun 3.278.065
4 Asuransi sarana 3 % Rp 22.250.000 667.500
Fixed Cost 10.995.565
Total Cost 57.585.653
D. B/C RATIO
A. KEBUTUHAN MODAL
INVESTASI
Lampiran 45 (Lanjutan)
B. BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
2 Per Tahun 27.000 Kg Rp 3.000 81.000.000
C. BIAYA OPERASIONAL
VARIABEL COST
No Uraian Jumlah
1 Pukat Pantai 12 Bln Rp 3.888.702 46.664.424
Biaya Variabel (Variabel Cost) 46.664.424
D. B/C RATIO
A. KEBUTUHAN MODAL
1. Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Kasko ( 15 GT) 1 Unit Rp 18.500.000 18.500.000
2 Mesin Utama ( 24 PK ) 1 Unit Rp 40.000.000 40.000.000
3 Mesin/alat Bantu
* Winch (84 HP ) 1 Unit Rp 1.200.000 1.200.000
* Kompas & SSB 1 Unit Rp 1.500.000 1.500.000
* Rumpon 1 Unit Rp 4.000.000 4.000.000
4 Alat tangkap
* Purse seine 200 Pcs Rp 100.000 20.000.000
Sub Total Modal Tetap 85.200.000
246
Lampiran 45 (Lanjutan)
2. Modal Awal
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Bahan baker 1.400 Lt Rp 2.700 3.780.000
2 Pelumas mesin 11 Lt Rp 6.000 63.000
3 Ransum 150 OH Rp 3.000 450.000
4 Es 4.000 Kg Rp 300 1.200.000
5 Air bersih 1.000 Lt Rp 4 4.000
6 Pemeliharaan sarana ( 15 % ) 824.550 824.550
7 Lain-lain ( 1,15 % ) 63.216 63.216
Variabel Cost 6.384.766
B. Benefit
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Per Trip 17.500 Kg Rp 2.500 43.750.000
2 Per Tahun 160.000 Kg Rp 2.500 400.000.000
C. BIAYA OPERASIONAL
Variabel Cost
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 6.384.766 255.390.620
Biaya Variabel Per Tahun 255.390.620
Fixed Cost
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Org Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 18.500.000 1.850.000
* Mesin 5 Th Rp 40.000.000 8.000.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
3 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 12.821.867
4 Asuransi sarana 3 % Rp 85.200.000 2.556.000
Fixed Cost 27.827.867
Biaya Total Produksi / Tahun 283.218.487
247
Lampiran 45 (Lanjutan)
D. B/C Ratio
1. Rumus Hitung R/C = TB/TC
Keterangan TB
TC : Total Cost / Biaya Total
A. KEBUTUHAN MODAL
Investasi
Lampiran 45 (Lanjutan)
B. BENEFIT
C. BIAYA OPERASIONAL
VARIABEL COST
FIXED COST
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Biaya hidup (10 org) 120 Bln Rp 150.000 18.000.000
2 Penyusutan -
* Kasko 5 Th Rp 94.500.000 18.900.000
* Mesin 5 Th Rp 22.000.000 4.400.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 9.900.000 1.980.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 84.000.000 28.000.000
3 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 32.960.483
4 Asuransi sarana 3 % Rp 220.300.000 6.609.000
BIAYA TETAP (Fixed Cost) 110.849.483
BIAYA TOTAL (Total Cost) 1.018.770.803
249
Lampiran 45 (Lanjutan)
D. B/C RATIO
Vaviabel Cost
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Biaya operasional 1 Pkt Rp 120.000 120.000
2 Es 130 Kg Rp 300 39.000
3 Air bersih 390 Lt Rp 4 1.560
Vaviabel Cost 160.560
BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Per Tahun 130 Kg Rp 5.000 650.000
Fixed Cost
No Uraian Jumlah
1 Penyusutan 12 Bln 2.000.000 166.667
Biaya Variabel Per Tahun 166.667
Variabel Cost
No Uraian Jumlah
1 Biaya melaut 12 Bln Rp 10.000 120.000
Biaya Variabel 120.000
250
Lampiran 45 (Lanjutan)
Keterangan TB
TC : Total Cost / Biaya Total
B. BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Per Tahun 990 Kg Rp 5.000 4.950.000
251
Lampiran 45 (Lanjutan)
C. BIAYA OPERASIONAL
Biaya Variabel (Variabel Cost)
No Uraian Jumlah
1 Jaring Insang Lingkar Rp 599.412 2.997.060
Biaya Variabel Per Tahun 2.997.060
Biaya Tetap (Fixed Cost)
No Uraian Jumlah
1 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 531.918
2 Penyusutan
* Kasko (1 GT) 10 Thn 1.000.000 100.000
* Mesin (2,5 PK) 5 Thn 1.200.000 240.000
* Alat Tangkap 5 Thn 1.000.000 200.000
Fixed Cost 1.071.918
Total Cost 4.068.978
D. B/C RATIO
A. KEBUTUHAN MODAL
Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Patok Beton 2 Unit 1.500.000 3.000.000
2 Pelampung 30 Unit 200.000 6.000.000
3 Tali Bentang Jaring Tetap 20 Mtr 15.000 300.000
4 Alat tangkap
* Jaring Insang Tetap 1 Unit Rp 4.000.000 4.000.000
INVESTASI 13.300.000
252
Lampiran 45 (Lanjutan)
B . BENEFIT
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
1 Produksi Per tahun 1.770 Kg Rp 5.000 8.850.000
C. BIAYA OPERASIONAL
Variabel Cost
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Jaring Insang Tetap 1 unit Rp 5.297.834 5.297.834
Biaya Variabel (Variabel Cost) 5.297.834
Fixed Cost
No Uraian Jumlah
2 Bunga Kredit 14 % per tahun 2.010.339
3 Asuransi sarana 3 % Rp 13.300.000 399.000
Biaya Tetap / Tahun 2.409.339
Biaya Total Produksi / Tahun 7.707.173
D. B/C RATIO
Lampiran 45 (Lanjutan)
8. Trammel Net
A. MODAL
Investasi
No Uraian Volume Harga Satuan Jumlah
1 Pemberat Alat 2 Unit 1.500.000 3.000.000
2 Pelampung 20 Unit 200.000 4.000.000
3 Alat bantu trammel net 1 Pkt 2.500.000 2.500.000
4 Alat tangkap
* Trammel Net 1 Unit Rp 2.000.000 2.000.000
Total Investasi 11.500.000
B. BENEFIT
Nilai
No Uraian Produksi Harga Jual Pjualan
1 Produksi 1.890 Kg Rp 5.000 9.450.000
254
Lampiran 45 (Lanjutan)
C. B/C RATIO
A. MODAL
1. Investasi dan Fixed Cost
Naik
No Uraian Volume Satuan Biaya Sat Biaya/Trip Biaya/bln 10%
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
1 Bahan bakar 2 Liter 3.000 6.000 108.000
2 Biaya Operasional 180.000 28.800
6.000 288.000 316.800
Total Cost 442.167 Total Cost (VC naik 10%) 470.967
255
Lampiran 45 (Lanjutan)
3 Target Produksi
Total 120 Trip
Nilai produksi 1.080 Kg
Harga Jual 360 Kg x Rp 2.500
Rp = 900.000
4 Penerimaan ( B ) B turun10% 412.050
Penerimaan 900.000
Biaya tetap 154.167
Biaya variabel 288.000
Jumlah pendapatan 457.833
Lampiran 45 (Lanjutan)
Lampiran 45 (Lanjutan)
3 Benefit
Jumlah Trip 120 Hari
Harga Jual 640 Kg x Rp 3.000
Rp 1.920.000
4 Pendapatan
Penerimaan 1.920.000
Biaya tetap 67.361
Lampiran 45 (Lanjutan)
Benefit
3 Target Produksi ( B )
Trip Total 120 Trip
4 Pendapatan
Penerimaan 735.000.000
Biaya tetap 5.475.833
Biaya variabel 21.200.000
Jumlah pendapatan 708.324.167
Lampiran 45 (Lanjutan)
3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per bulan 700 Kg
x Rp
Harga jual (Rp) 1.050 Kg 3.000 3.150.000 B turun 10% 2.835.000
4 Pendapatan
Penerimaan 3.150.000
Biaya tetap 170.278
Biaya variabel 1.600.000
Jumlah pendapatan 1.379.722
Variabel Cost
Biaya
No Uraian Volume Satuan Satuan Total Biaya VC
( Rp ) ( Rp ) Naik 10%
1 Umpan 100 Paket 5.000 500.000
2 Perbekalan 100 Trip 7.000 700.000
2 Bahan baker 12 Liter 4.500 54.000
1.254.000 1.379.400
TOTAL COST ( Investasi + Biaya produksi) 1.377.403 TC 1.502.803
261
Lampiran 45 (Lanjutan)
3 Target Produksi ( B )
Total Trip 100 Trip
Harga jual (Rp) 1340 Kg x Rp 2.100 2.814.000 B turun 10% 2.532.600
4 Pendapatan
Penerimaan 2.814.000
Biaya tetap 123.403
Biaya variabel 1.254.000
Jumlah pendapatan 1.436.597
Lampiran 45 (Lanjutan)
4 Pendapatan
Penerimaan 5.533.500
Biaya tetap 332.778
Biaya variabel 3.500.000
Jumlah pendapatan 1.700.722
Lampiran 45 (Lanjutan)
Benefit dan B/C Ratio
3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per
Tahun 6360 Kg
B turun
Harga jual (Rp) 6.360 Kg x Rp 7.000 44.520.000 10% 40.068.000
4 Pendapatan
Penerimaan 44.520.000
Biaya tetap 3.750.000
Biaya variabel 14.600.000
Jumlah pendapatan 26.170.000
3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per bulan 6.360 Kg
Harga jual (Rp) 410 Kg x Rp 7.000 2.870.000 B turun 10% 2.583.000
4 Pendapatan
Penerimaan 2.870.000
Biaya tetap 166.667
Biaya variable 1.920.000
Jumlah pendapatan 783.333
3 Benefit
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per
Tahun 3.320 Kg
Harga jual (Rp) 3.320 Kg x Rp 7.000 23.240.000 B turun 10% 20.916.000
4 Pendapatan
Penerimaan 23.240.000
Biaya tetap 3.333.333
Biaya variabel 9.600.000
Jumlah pendapatan 10.306.667
5 B/C Ratio 23.240.000 = 1,8 B (V naik 10%) 1,7
12.933.333 B (B turun 10%) 1,6
265
Lampiran 45 (Lanjutan)
3 Target Produksi ( B )
Total Trip 120 Trip
Nilai Produksi Per
bulan 6.360 Kg
Harga jual (Rp) 1.300 Kg x Rp 7.000 9.100.000 B turun 10% 8.190.000
4 Pendapatan
Penerimaan 9.100.000
Biaya tetap 450.000
Biaya variabel 2.040.000
Jumlah pendapatan 6.610.000
1. Biaya tetap ( FC )
No Uraian Volume Satuan Biaya Satuan Biaya Total Estimasi Penyusutan
(Rupiah) (Rupiah) (Siklus) (Rupiah)
1 Bambu 320 Batang 7.500 2.400.000 6 400.000
2 Tali PE 8 mm 160 Kg 20.000 3.200.000 12 266.667
3 Tali PE 5 mm 120 Kg 20.000 2.400.000 12 200.000
4 Tali PE 2 mm 40 Kg 25.000 1.000.000 12 83.333
5 Tali Jangkar 200 G 20.000 4.000.000 18 222.222
6 Jangkar 80 Buah 50.000 4.000.000 30 133.333
7 Keranjang 16 Buah 25.000 400.000 12 33.333
8 Perahu 1 Buah 1.500.000 1.500.000 18 83.333
9 Peralatan kerja 1 Paket 500.000 500.000 6 83.333
1.505.554
2 Biaya Produksi ( VC )
1 Pembuatan sarana 1 Paket 2.000.000 2.000.000 VC naik 10%
2 Pembelian bibit 6500 Kg 2.000 13.000.000
3 Pengikatan bibit 1 Paket 560.000 560.000
4 Pemeliharaan 1 Orang 500.000 500.000
5 Pemanenan 1 Paket 800.000 800.000
6 Bahan baker 30 Liter 4.500 135.000
16.995.000 18.694.500
TOTAL COST ( Investasi + Biaya Produksi) 18.500.554 20.200.054
267
3. Target Produksi ( B )
Lama
Pemeliharaan 40
Berat panen
basah 52.000
Harga jual (Rp) 7.429 x Rp 4.000 29.716.000 B turun 10% 26.744.400
4 Pendapatan
Penerimaan 29.714.286
Biaya tetap 1.505.556
Biaya variabel 16.995.000
Jumlah
pendapatan 11.213.730
Lampiran 46 (Lanjutan)
Benefit dan B/C Ratio
3 Target Produksi
Lama Pemeliharaan 150 hari
Survival x jumlah tebar x berat rata-rata (100 ekor x 0,5 x 5kg/ekor) 250 Kg
Harga jual (Rp) 250 x Rp 70.000,- 17.500.000 B turun 10% 15.750.000
4 Pendapatan
Penerimaan 17.500.000
Biaya tetap 2.930.556
Biaya variabel 12.930.556
Jumlah pendapatan 11.213.730
Lampiran 46 (Lanjutan)
A. KEBUTUHAN MODAL
Lampiran 46 (Lanjutan)
Purse Seine
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
Lampiran 46 (Lanjutan)
D. BIAYA OPERASIONAL
BIAYA VARIABEL
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 3.783.006 151.320.220
Biaya Variabel Per Tahun 151.320.220
BIAYA TETAP
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 13.500.000 1.350.000
* Mesin 5 Th Rp 22.000.000 4.400.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
14 tahun per
3 Bunga Kredit tahun 8.117.621
4 Asuransi sarana 3 % Rp
54.200.000 1.626.000
Biaya Tetap / Tahun 18.093.621
Biaya Total Produksi / Tahun 169.413.841
Biaya Per Unit Produk 1.694
ANALISA USAHA PENANGKAPAN IKAN - PURSE SEINE (10 GT)
E. ANALISA B - C RATIO
B-C
2 Hasil Perhitungan Ratio
Sesuai proyeksi 1,48
Biaya variabel naik ( 10 % ) 1,35
Penjualan turun ( 10 % ) 1,33
272
Lampiran 46 (Lanjutan)
A. KEBUTUHAN MODAL
Lampiran 46 (Lanjutan)
A. KEBUTUHAN MODAL
Lampiran 46 (Lanjutan)
PURSE SEINE
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
Lampiran 46 (Lanjutan)
D. BIAYA
OPERASIONAL
BIAYA VARIABEL
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 6.384.766 255.390.620
Biaya Variabel Per Tahun 255.390.620
BIAYA TETAP
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 18.500.000 1.850.000
* Mesin 5 Th Rp 40.000.000 8.000.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
14 tahun per
3 Bunga Kredit tahun 12.821.867
4 Asuransi sarana 3 % Rp 85.200.000 2.556.000
Biaya Tetap / Tahun 27.827.867
Biaya Total Produksi / Tahun 283.218.487
Biaya Per Unit Produk 1.770
276
Lampiran 46 (Lanjutan)
B-C
2 Hasil Perhitungan Ratio
Sesuai proyeksi 1,41
Biaya variabel naik ( 10 % ) 1,30
Penjualan turun ( 10 % ) 1,27
A. KEBUTUHAN MODAL
Lampiran 46 (Lanjutan)
Lampiran 46 (Lanjutan)
PURSE SEINE
No Uraian Produksi Harga Jual Nilai Pjualan
Lampiran 46 (Lanjutan)
D. BIAYA OPERASIONAL
BIAYA VARIABEL
No Uraian Jumlah
1 Purse Seine 40 Tp Rp 3.866.634 154.665.340
Biaya Variabel Per Tahun 154.665.340
BIAYA TETAP
No Uraian Jumlah
1 Biaya hidup 12 Bln Rp 150.000 1.800.000
2 Penyusutan -
* Kasko 10 Th Rp 18.500.000 1.850.000
* Mesin 5 Th Rp 40.000.000 8.000.000
* Alat Bantu 5 Th Rp 1.500.000 300.000
* Alat Tangkap 3 Th Rp 1.500.000 500.000
3 Bunga Kredit 14 tahun per tahun 11.629.329
4 Asuransi sarana 3 % Rp 79.200.000 2.376.000
Biaya Tetap / Tahun 26.455.329
Biaya Total Produksi / Tahun 181.120.669
Biaya Per Unit Produk 1.132
E. ANALISA B - C RATIO
B-C
2 Hasil Perhitungan Ratio
Sesuai proyeksi 2,21
Biaya variabel naik ( 10 % ) 2,03
Penjualan turun ( 10 % ) 1,99
280
Optimal .304
PnktSDM .228
InfoPsr .171
Modal .168
Sarana .129
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Ekonomi
Sosial
Pusat Hukum
Teknolog
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Pemda Hukum \ PnktSDM
Teknolog Modal
GOAL Ekologi Optimal
Ekonomi Sarana
Sosial / InfoPsr
Usaha Hukum
Teknolog
Ekologi
Ekonomi
Sosial
NelBdi Hukum
Teknolog
Ekologi
Abbreviation Definition
GOAL
Ekologi Kelestarian SDI, Mutu, Jenis
Ekonomi Tingkat pendapatan, produksi
Hukum Hukum dan Kebijakan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
NelBdi Nelayan dan Pembudidaya Ikan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Pemda Pemerintah Daerah
PnktSDM Peningkatan SDM
Pusat Pemerintah Pusat
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Sosial Tenaga Kerja, Tkt Pendidikan, Konflik sosial
Teknolog Pengembangan Teknologi
Usaha Pengusaha Lokal dan Nasional
Node: 0
Compare the relative PREFERENCE with respect to: GOAL
Abbreviation Definition
Goal KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK
LASONGKO
Pusat Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi
Pemda Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
Usaha Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans
Pusat .424
Pemda .227
Usaha .227
NelBdi .122
GLOSSARY
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK LASONGKO
Optimal .290
PnktSDM .281
Modal .176
InfoPsr .144
Sarana .108
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal .379
Optimal .219
InfoPsr .219
PnktSDM .127
Sarana .056
Abbreviation Definition
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM .369
Optimal .206
InfoPsr .206
Modal .109
Sarana .109
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM .369
Modal .206
Sarana .206
Optimal .109
InfoPsr .109
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Optimal .457
PnktSDM .245
Sarana .138
Modal .080
InfoPsr .080
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM .333
Optimal .333
Modal .111
Sarana .111
InfoPsr .111
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Optimal .309
PnktSDM .237
Sarana .165
Modal .151
InfoPsr .138
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Optimal .376
Modal .215
Sarana .215
PnktSDM .121
InfoPsr .074
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM Peningkatan SDM
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM .349
Modal .184
Optimal .184
Sarana .184
InfoPsr .098
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Optimal .340
InfoPsr .327
PnktSDM .176
Sarana .094
Modal .063
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
PnktSDM .369
Optimal .206
Sarana .206
Modal .109
InfoPsr .109
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Optimal .446
PnktSDM .233
InfoPsr .161
Modal .080
Sarana .080
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
PnktSDM Peningkatan SDM
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Optimal .350
InfoPsr .252
Modal .155
PnktSDM .142
Sarana .101
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM .349
Modal .184
Optimal .184
InfoPsr .184
Sarana .098
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Optimal .319
InfoPsr .319
Sarana .184
PnktSDM .109
Modal .068
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal .413
Modal .229
InfoPsr .229
PnktSDM .082
Sarana .048
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
Optimal .431
InfoPsr .275
PnktSDM .144
Modal .075
Sarana .075
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM .369
Sarana .206
InfoPsr .206
Modal .109
Optimal .109
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Optimal .258
Modal .198
PnktSDM .185
Sarana .185
InfoPsr .175
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal .403
Optimal .244
Sarana .137
InfoPsr .137
PnktSDM .079
Abbreviation Definition
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana .432
PnktSDM .237
Modal .133
Optimal .126
InfoPsr .073
Abbreviation Definition
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM .369
Sarana .206
InfoPsr .206
Modal .109
Optimal .109
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Optimal .415
InfoPsr .257
PnktSDM .153
Modal .088
Sarana .088
Abbreviation Definition
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
PnktSDM Peningkatan SDM
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
PnktSDM .349
Optimal .184
Sarana .184
InfoPsr .184
Modal .098
Abbreviation Definition
PnktSDM Peningkatan SDM
Optimal Pemanfaatan SDI optimal dan lestari
Sarana Dukungan Sarana dan Prasarana
InfoPsr Pengembangan jaringan dan informasi pasar
Modal Pemberian Bantuan dan Akses Permodalan
Informl .114
AturJns .100
KrjsmLbg .089
Budidaya .079
LatTptgn .072
LbgEknm .055
Tekpasca .055
Lindung .052
Sinkron .044
Pelabuha .039
SrnPnjg .039
Lokbleh .038
AkssMsy .034
Libtmsy .032
Sadarn .027
IndstKcl .025
SisPmsr .022
Gakhuk .021
MataAlnt .020
Rehabskl .017
Trnsprt .015
AwasSDI .010
Listrik .005
Node: 0
Compare the relative PREFERENCE with respect to: GOAL
Abbreviation Definition
Goal KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK
LASONGKO
Optimal Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi
Modal Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
PnktSDM Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans
Optimal .322
Modal .154
PnktSDM .273
Sarana .090
InfoPsr .161
Abbreviation Definition
Informl Pengembangan alternatif pendidikan informal, pelatihan & kwrusaha
AturJns Pengaturan tentang jenis & jml alat/armada tangkap yg diperblhkan
KrjsmLbg Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
Budidaya Pengembangan diversifikasi usaha (budidaya laut)
LatTptgn Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatn SDI
LbgEknm Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat
Tekpasca Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen
Lindung Perlindungan terhadap ekosistem kembang biak SDI
Sinkron Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait
Pelabuha Pembangunan Pelabuhan ikan
SrnPnjg Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans
Lokbleh Pengaturan tentang lokasi yg diperbolehkan memnfaatkn SDI
AkssMsy Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi
Libtmsy Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDI
Sadarn Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan SDI
IndstKcl Pengembangan industri kecil
SisPmsr Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran
Gakhuk Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pmnftan SDI
MataAlnt Pengembangan mata pencaharian alternatif
Rehabskl Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU
Trnsprt Pembangunan dan penataan sarana transportasi
AwasSDI Pengembangan sarana pengawasan pemanfaatan SDI
Listrik Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih
Informl .419
LatTptgn .263
Sinkron .160
Sadarn .097
Rehabskl .062
Abbreviation Definition
Informl Pengembangan alternatif pendidikan informal, pelatihan & kwrusaha
LatTptgn Penyuluhan dan pelatihan teknologi tepat guna pemanfaatn SDI
Sinkron Sinkronisasi program dan kegiatan antar instansi terkait
Sadarn Sosialisasi peningkatan kesadaran terhadap pengawasan SDI
Rehabskl Rehabilitasi sekolah setingkat SD, SMP dan SMU
AturJns .310
Budidaya .245
Lindung .162
Lokbleh .120
Libtmsy .098
Gakhuk .065
Abbreviation Definition
AturJns Pengaturan tentang jenis & jml alat/armada tangkap yg diperblhkan
Budidaya Pengembangan diversifikasi usaha (budidaya laut)
Lindung Perlindungan terhadap ekosistem kembang biak SDI
Lokbleh Pengaturan tentang lokasi yg diperbolehkan memnfaatkn SDI
Libtmsy Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDI
Gakhuk Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pmnftan SDI
LbgEknm .354
Tekpasca .354
IndstKcl .161
MataAlnt .131
Abbreviation Definition
LbgEknm Pengembangan peran lembaga keuangan ekonomi masyarakat
Tekpasca Pengembangan teknologi tepat guna pasca panen
IndstKcl Pengembangan industri kecil
MataAlnt Pengembangan mata pencaharian alternatif
KrjsmLbg .550
SrnPnjg .240
AkssMsy .210
Abbreviation Definition
KrjsmLbg Peningkatan kerjasama dengan berbagai lembaga investasi
SrnPnjg Pembangunan sarana penunjang efektifitas pnnm mdl, alat kom trans
AkssMsy Peningkatan akses masyarakat thd informasi & teknologi
Pelabuha .431
SisPmsr .243
Trnsprt .161
AwasSDI .106
Listrik .059
Abbreviation Definition
Pelabuha Pembangunan Pelabuhan ikan
SisPmsr Pembangunan sarana pendukung sistem pemasaran
Trnsprt Pembangunan dan penataan sarana transportasi
AwasSDI Pengembangan sarana pengawasan pemanfaatan SDI
Listrik Pembangunan dan penataan sarana listrik dan air bersih