OLEH
ABDUL HAMID
B. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengkaji konsep pengelolaan sumberdaya
perikanan berbasis KKL ditinjau dari pendekatan teoritis dan empiris serta aplikasinya
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
II. KONSEP TEORITIS KKL SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN
SUMBERDAYA PERIKANAN
Dalam bahasan konsep teoritis tentang kawasan konservasi laut (KKL) sebagai salah
satu alat pengelolaan sumberdaya perikanan sebagian besar diadopsi dari Gaines et al.,
(2010), khususnya untuk bahasan tentang menentukan lokasi KKL tunggal, ukuran dan
spasial jejaring KKL, Lokasi dan jejejaring KKL, dan perspektif KKL antara fungsi
pengelolaan perikanan dan konservasi.
Tabel 1. Atribut Lintasan Populasi dari Spesies Lokal Antara Pertimbangan Konservasi dan
Perikanan
______________________________________________________________________
Atribut Lintasan Tujuan Pembentukan Suatu KKL
Konservasi Perikanan
_____________________________________________________________________
Persisten Ya Ya
Tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi Ya Tidak
Tinggi daya dukung Ya Ya
Sumber larva Ya Ya
Sudah banyak/dieksploitasi Ya Ya
Mahal untuk panen :
-Perikanan Tujuan: meminimalkan biaya Tidak Ya
-Perikanan Tujuan: memaksimalkan keuntungan Tidak
Memiliki tepi habitat yang berbeda Ya Tidak
______________________________________________________________________
Sumber : Gaines et al. (2010)
Secara de facto melindungi sumberdaya laut, misalnya terumbu karang yang jauh
dan tidak dapat diakses dapat menimbulkan masalah jika menunjukkan kehilangan
biomassa bersih dari waktu ke waktu karena adanya produksi yang keluar kawasan lebih
besar dibandingkan dengan input anggota baru dari yang berasal dari daerah penangkapan
(Kinlan dan Gaines, 2003 dan Siegel, 2003 dalam Gaines et al., 2010). Selanjutnya,
membentukan KKL secara de facto perlindungan laut hanya dapat menambahkan sedikit
kawasan perlindungan baru, karena hanya memiliki pengaruh yang kecil pada kegitan
perikanan tangkap. Bahkan melindungi habitat dari populasi yang relatif tinggi
kepadatannya mungkin tidak efektif untuk memenuhi tujuan konservasi sumberdaya ikan,
karena perlindungan dapat gagal untuk bertahan di tengah kegiatan perikanan tangkap
yang intensif (Gaines et al., 2010). Kunci untuk menghindari jebakan tersebut adalah
mempertimbangkan variasi spasial dan sejarah daerah penangkapan yang terjadi pada
setiap wilayah KKL. Penangkapan yang intensif dapat membuat sisa populasi dengan
kepadatan tinggi, namun tidak persisten karena kondisi habitat lokal terdegradasi dan
perlindungan habitat di wilayah KKL mungkin memerlukan restorasi tambahan untuk
memenuhi tujuan-tujuan konservasi (Halpern et al, 2008; Allison et al., 1998; Hastings
dan Botsford, 1999 dalam Gaines et al., 2010).
Keuntungan KKL yang lebih besar dari sisi konservasi bisa berasal dari perlindungan
sejumlah populasi ikan yang secara inheren terkait dengan habitat di dalam KKL, namun
secara historis telah mengalami overfishing. Sedangkan manfaat ekonomi dari kegiatan
perikanan juga diharapkan dari KKL yang luas sehingga dapat menjadi sumber biomassa
untuk daerah penangkapan melalui spillover ikan dewasa dan/atau ekspor larva (Kellner
et al., 2007; Schnier, 2005 dalam Gaines et al., 2010). Lokasi KKL yang optimal untuk
tujuan pengelolaan perikanan tidak perlu memiliki produktivitas tinggi; daerah dengan
kapasitas produksi yang tinggi dapat lebih menguntungkan sebagai daerah penangkapan
daripada sebagai sumber spillover ikan (Kellner et al., 2007). Melindungi sumber populasi
dapat mengkompensasi untuk produksi yang hilang dari daerah KKL, meskipun hal ini
manfaat potensi perikanan tentu tergantung pada sejarah kehidupan dan demografi spesies
ikan dan tidak akan selalu dapat direalisasikan (Gaines et al., 2010).
Lokasi KKL dalam kaitannya dengan habitat pesisir juga dapat mempengaruhi
efektivitas KKL, kadang-kadang dalam cara yang berbeda untuk konservasi dibandingkan
perspektif ekonomi. Konflik tepi batas KKL dengan sebuah habitat (misalnya, di tepi
terumbu) dapat meningkatkan manfaat konservasi untuk spesies yang melakukan ruaya
dengan membatasi jumlah spillover ke perairan yang tidak terlindungi (Gaines et al., 2010).
Sebaliknya, menempatkan tepi cagar laut di tengah-tengah habitat yang terus menerus
dapat meningkatkan spillover ikan dewasa sehingga hal ini dapat meningkatkan manfaat
KKL pada kegiatan perikanan. Lokasi yang optimal KKL untuk kegiatan perikanan juga
tergantung pada tujuan kegiatan perikanan, yaitu apakah untuk memaksimalkan manfaat
atau meminimalkan biaya. Menempatkan cagar laut dekat titik tepi akses (misalnya,
pelabuhan) dapat memaksimalkan keuntungan dengan meningkatkan nilai dari kegiatan
penangkapan dan meminimalkan biaya transportasi ke tepi KKL (Gaines et al, 2010).
Daerah KKL di dekat pelabuhan sering yang pertama kali dieksploitasi sehingga KKL
seperti ini lebih cocok untuk tujuan konservasi. Sebaliknya, ketika manfaat spillover lebih
diutamakan untuk kegiatan perikanan maka lebih baik lokasi KKL ditempatkan lebih jauh
dari pelabuhan dengan tujuan untuk meminimalkan perpindahan usaha produksi untuk
penangkapan ikan dasar, dan juga meminimalkan peningkatan kegiatan wisata bahari.
C. Ukuran dan Spasial Jejaring KKL
Sampai dengan 31 Desember 2006, ada 4.435 buah telah masuk dalam jejaring KKL
dunia baik yang telah maupun belum mempunyai kekuatan hukum (undang-undang) untuk
tingkat nasional dan lokal, dan diantaranya sekitar 2,35 juta km2 atau 0,65% dari lautan di
dunia dan 1,6% dari keseluruhan KKL berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (Tabel 1),
saat ini dilindungi. Hanya 0,08% dari lautan di dunia, dan 0,2% dari total area dibawah laut
yurisdiksi nasional tidak termasuk. Distribusi KKL global yang baik adalah tidak merata
penyebarannya dalam berbagai skala, dan hanya setengah dari wilayah laut dunia yang
dilindungi sudah merupakan bagian dari jejaring KKL global. Dan sejak 1984 sampai
2006, pertumbuhan luas wilayah KKL global tahunan telah mencapai sebesar 4,6 % setiap
tahun (Wood et al., 2007). Ukuran rata-rata KKL dunia saat ini sekitar 544 km2 sedangkan
berukuran mediannya dengan sekitar 4,6 km2 (Wood et al., 2007). Perbedaan substansial
antara yang berukuran rata-rata (mean) dengan berukuran median utamanya disebabkan
adanya10 KKL terbesar dunia memberikan kontribusi sebesar 68% dari luas KKL global.
Pandangan para ahli awalnya cukup beragam tentang luas KKL yang perlu dibentuk
pada suatu perairan, hal ini tergantung pada kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan dan
tujuan pengelolaan dari KKL. Jika pembentukan KKL bertujuan untuk mengurangi resiko
maka(a) penutupan mencapai 31-70% dari total daerah penangkapan ikan,(b) lebih dari
40% jika merupakan daerah pengelolaan, (c) sangat luas, sehingga populasi
yangtereksploitasi 75% dari yang tidak di-eksploitasi, (d) wilayah perlindungan setara 20%
dan 30% dari total wilayah pengelolaan yang dijamin bertahan terhadap tekanan
penangkapan berlebihan masingmasing selama 20 dan 100 tahun, (e) laut lindung sangat
luas sehingga populasi ikan di atas 20% dari jumlah yang tidak dieksploitasi, (f) sangat luas
sehingga populasinya 70% di atas populasi yang tidak dieksploitasi, (g) sangat luas
sehingga populasi ikan 40% di atas populasi yang tidakdieksploitasi, (h) laut lindung
luasnya 30-50% dari daerah pengelolaan, (i) diantara 20-40% dari daerah pengelolaan…
Jika tujuannya memaksimalkan hasil, daerah-daerah laut yang harusdilindungi kebanyakan
tergantung dari usaha-usaha penangkapan di daerah tangkapan ikan terdekat. Akan tetapi,
untuk kebanyakan perikanan/nelayan, untuk daerah dengan tingkat eksploitasi rendah
daerah perlindungannya sebesar 8%, sebaliknya untuk daerah dengan kegiatan perikanan
intensif daerah perlindungannya sebesar 80% (rata-rata 30-40%, menurut hasil dari 13
penelitian) (Roberts dan Hawkins, 2000). Luas yang optimal untuk KKL adalah antara 15-
25% [dari daerah tangkapan ikan] …. jika intensitas perikanan di daerah sekitarnya tidak
melebihi 40% dari total biomass yang bisa dieksploitasi (Rodwell et al., 2001 dalam Pet
dan Mous, 2003).
Luas jejaring KKL sesuai versi undang-undang California tentang Perlindungan
Kehidupan Laut, lebih disukai ukuran dengan panjang pantai-longshore (20 km) dan jarak
maksimum (50 km) pedoman yang berasal dari pola penyebaran larva dan ikan dewasa
akan menghasilkan wilayah pecahan cagar laut sebesar 29% (Gaines et al., 2010). Target
seperti proporsi untuk KKL akan menurun jika tingkat penangkapan di luar KKL menurun
atau jika cagar laut ditempatkan strategis untuk memaksimalkan manfaat konservasi.
Menariknya, perkiraan ini berasal dari mencari manfaat simultan untuk konservasi dan
kemakmuran perikanan melebihi perkiraan global yang semata-mata didorong oleh target
kepentingan konservasi (misalnya, Konvensi untuk Biologi Keragaman sasaran MPA 10%
pada tahun 2010 dan 20% MPA di 2020) (Wood et al. 2007; Gaines et al., 2010).
Sedangkan ukuran luas KKL menjadi bahan pertimbangan terkait dengan asal dan jarak
penyebaran larva ikan, hal ini seperti disarankan oleh Halpern dan Warner (2003) dan
Shanks et al. ( 2003) dalam Wood et al. (2007) seperti dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Wilayah Laut di Dunia yang Konservasi Berdasarkan Kriteria (a)
Halpern danWarner (2003) dan (b) Shanks et al. (2003) dalam Wood et al. (2007)
_________________________________________________________________________
Ukuran Direkomendasi (km2) % %Luas
_________________________________________________________________________
Luas
10–100a 21 1.4
b
12.5–28,5 8 0.3
Luas Minimum
>3.14b 58 99.7
>10a 35 99.4
>2.5b 33 99.4
Ukuran dan jarak optimal KKL dalam jejaring KKL sangat dipengaruhi oleh skala
spasial pergerakan spesies ikan sasaran. Konsekuensi dari gerakan berbeda secara dramatis
tergantung pada saat terjadi gerakan selama siklus hidup. Ketika ikan dewasa
meninggalkan batas KKL, mereka beresiko menjadi bagian dari perikanan. Namun, ketika
larva meninggalkan KKL, mereka dapat menyebar tanpa risiko tinggi karena ukuran
mereka masih kecil dan tekanan untuk perikanan masih terbatas. Jadi, jika larva sukses
menyebar dalam jejaring KKL, maka mereka dapat tumbuh sampai dewasa dalam kondisi
terlindungi, dan skala gerakan ikan dewasa membatasi efektivitas KKL, dimana strukutur
ikan ukuran dan skala gerakan larva dipengaruhi oleh beberapa dinamika yang terjadi
dalam jejaring KKL (Ganies et al., 2010).
Luas KKL dunia saat ini belum memadai bila dibandingkan dengan total luas
perairan laut dunia yang ada, dan 20-46 % KKL terletak pada wilayah berukuran kecil
dan terisolasi, sehingga hal ini mungkin tidak efektif untuk mendukung keberadaan
populasi organisme laut bila tidak berada dalam jejaring KKL global (Wood et al., 2007).
Setidaknya pada beberapa periaran laut yang luas perlu untuk melindungi spesies yang
melakukan migrasi, misalnya ikan pelagis besar dan mamalia laut, serta mengimbangi
konsentrasi usaha penangkapan di luar KKL (Walters, 2000, Wood et al., 2007). Pada saat
ini kita diketahui kegiatan usaha penangkapan ikan sangat tinggi dan tidak berkurang
jumlahnya walaupun dengan adanya KKL (Pauly et al, 2002).
Model teoritis dampak KKL tunggal terkait dengan dinamika populasi ikan dalam
jejaring KKL menunjukkan bahwa cagar laut ganda dapat memiliki tiga macam pengaruh
terhadap ekosistem laut (Gaines et al., 2010). Pertama, beberapa cagar laut dapat memiliki
efek aditif, yaitu peningkatan ukuran populasi dari seluruh jejaring KKL akan terjadi
kenaikan jumlah yang terlihat pada setiap cagar laut. Kedua, penambahan cagar laut
mungkin memiliki efek menurun jika nilai marjinal perlindungan ekstra menurun sebagai
akibat dari kelebihan daerah yang dilindungi. Jumlah spesies yang dilindungi dalam KKL
ditentukan oleh lokasi yang ditempati, heterogenitas habitat dan luas KKL. Dimana
semakin banyak jumlah spesies dan daerah dilindungi berkurang akan meningkatkan
kepadatan populasi ikan dalam KKL sehingga akan dibutuhkan peningkatkan dua kali lpat
luas daerah cagar laut akan tidak selalu terjadi penggandaan jumlah spesies yang
dilindungi. Demikian pula, jika beberapa lokasi KKL merupakan daerah penampungan
(sink) populasi ikan maka akan berpengaruh pada keturunan generasi masa depan yang
jumlahnya semakin sedikit, terjadi pergeseran daerah yang dilindungi dan daerah
penangkapan menjadi sumber produksi larva yang lebih produktif akibatnya dapat
mengurangi manfaat KKL dari segi konservasi. Dan ketiga, pengaruh beberapa cagar laut
mungkin merupakan suatu perkalian pengaruh dari setiap ekosistem jika sistem cagar laut
secara keseluruhan memiliki manfaat yang lebih dari jumlah manfaat aditif dari setiap
cagar laut tunggal (Gaines et al., 2010).
Untuk mencapai efek perkalian tersebut maka perlu dipertimbangkan pada saat
merancang suatu jejaring KKL (Gaines et al., 2003). KKL tunggal hanya dapat
meningkatkan pertumbuhan populasi di luar areal KKL ketika produksi larva meningkat
melebihi produksi benih sehingga populasi ikan di daerah penangkapan lebih besar.
Namun, jika KKL sumber yang lebih kuat dalam jejaring KKL maka manfaat demografi
populasi yang berasal cagar laut terpisah dapat dikendalikan. Jika setiap cagar laut tunggal
dapat meningkatkan pertumbuhan populasi pada cagar laut lainnya, maka hal ini dapat
berpotensi bersinergi pada populasi hasil sehingga jumlah populasi larva akan meningkat
baik di dalam maupun di luar cagar laut (Sala et al. 2002 dalam Gaines et al., 2010;
Avasthi, 2005). Sinergi Demografis dapat dicapai hanya ketika populasi larva pada KKL
langsung berhubungkan dengan penyebaran jumlah larva yang bergerak antar KKL untuk
mempengaruhi demografi mereka (Gambar 1 B) . Hasil yang diperolah dalam hal ini adalah
strategi jejaring KKL menguntungkan untuk KKL dengan ruang cukup dekat sehingga
sejumlah larva ikan memungkinkan dapat bergerak di antara kedua KKL (Gaines et al.,
2010). Untuk mendapatkan manfaat perikanan yang luar biasa, sejumlah hasil kajian
teoritis dan empiris menunjukkan bahwa kawasan KKL harus dibagi ke dalam jejaring
yang mempunyai ukuran dan jarak yang dapat memaksimalkan efek bersih spillover ikan
dewasa dan ekspor larva dari wilayah KKL ke daerah penangkapan (White, 2009). Desain
KKL dicirikan oleh jumlah cagar laut yang lebih kecil dan meningkatkan jumlah cagar
laut tepi serta mengurangi jarak rata-rata dari daerah penangkapan ke tepi KKL.
Semakin dekat jarak antara KKL dengan daerah penangkapan ikan dapat
meningkatkan hasil perikanan tangkapan karena dapat memaksimalkan ekspor larva dari
cagar laut ke daerah penangkapan, tetapi hanya sampai batas tertentu dimana cagar alut
masih dapat menampung kepadatan biomassa ikan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
larva dengan kepadatan tinggi (Botsford et al., 2009). Cagar laut yang berukuran kecil
dapat membatasi jumlah ikan dewasa yang spillover, sehingga hal ini secara langsung
berpengaruh bagi kegiatan perikanan, namun dapat mendukung kepadatan biomassa ikan
yang dilindungi dalam KKL. Dari perspektif konservasi, KLL yang berukuran lebih besar
selalu disukai, karena hal ini dapat meningkatkan populasi ikan dengan meningkatnya
daerah yang dilindungi dan membatasi jumlah ikan yang spillover karena kemungkinan
larva tetap menetap di dalam KKL dimana mereka dilahirkan (Botsford et al., 2009).
Akibatnya, kan terjadi kefakuman antara keuntungan dari segi konservasi dan manfaat
perikanan, dan hanya dapat dimediasi melalui interaksi dari ukuran dan jumlah ikan, serta
jarak dari cagar laut dalam jejaring KKL. Ringkasan dari uraian tersebut selengkapnya
dapat dilihat pada Gambar 1 seperti berikut ini.
Mengingat variabilitas yang sangat besar dalam skala gerakan ikan dewasa antar
spesies, maka penentuan ukuran KKL masih terjadi kompromi sehingga dapat menciptakan
spesies pemenang dan spesies yang kehilangan. Menggunakan KKL untuk melindungi
stok ikan dewasa peruaya jauh (misalnya, tuna dan ikan pelagis lainnya) mungkin tidak
praktis di kebanyakan pengaturan wilayah pesisir, karena secara politis tidak praktis
menentukan ukuran KKL akan yang dipakai pada spesies ikan peruaya tersebut (Gaines et
al., 2010). Namun, dengan adanya data yang terkait dengan skala pergerakan untuk
berbagai macam spesies ikan menunjukkan bahwa KKL yang berukuran sedang sampai
beberapa puluhan kilometer di sepanjang pantai dan memperluas luar daerah ini untuk
mencakup mendalam terkait gerakan spsesies ikan harus disesuaikan sehingga menampung
gerakan ikan dewasa yang biasanya dekat pantai keragaman spesiesnya tinggi (Botsford et
al., 2009). Selain itu, KKL dengan jarak sedang kemungkinan lebih bermanfaat baik untuk
pengelolaan perikanan maupun untuk tujuan konservasi.
Jarak antar KKL dari puluhan kilometer sampai sekitar seratus kilometer dapat
meningkatkan konservasi dan manfaat perikanan, karena jarak mereka melebihi rata-rata
penyebaran larva yang diperkirakan banyak spesies laut pesisir tanpa mendekati daerah
penangkapan (Botsford et al., 2009). Dalam kasus ini, berarti penyebaran lebih dari
beberapa generasi (penyebaran tidak dalam satu tahun, bisa sangat berbeda) adalah metrik
yang paling kritis, karena penumpukan dan persistensi populasi dalam KKL tergantung
pada penyebaran rata-rata selama beberapa tahun yang akan menghasilkan beberapa kelas
umur (Gaines et al., 2010).
Secara keseluruhan, KKL berukuran sedang dengan jarak sedang paling
memungkinkan untuk mempertahankan populasi ikan dewasa mereka (dan menjadi
persistensi diri) dan untuk menunjukkan konektivitas inter KKL melalui penyebaran larva
(untuk mempromosikan meta population dan meta komunitas ketekunan). Selain itu,
jejaring KKL dapat memaksimalkan ekspor larva ke daerah penangkapan ikan yang
berdekatan, berpotensi mendaptkan hasil yang tinggi dan menguntungkan (Gaines et al.,
2010).
Lokasi KKL penting artinya untuk meningktkan efektivitas jejaring KKL. Dalam
sistem yang terdiri dari beberapa KKL, lokasi strategis setiap KKL memberikan manfaat
dari dampak jejaring kolektif. Meskipun ada sejumlah kriteria dalam penetapan KKL
tunggal untuk mengkonfigurasi beberapa KKL (Tabel 1), namun efek bersih dari sebuah
jejaring KKL yang dirancang secara optimal dapat melebihi jumlah efek masing-masing
KKL (Gaines et al., 2010). Sebagai contoh, jejaring KKL mungkin lebih bermanfaat dari
KKL yang ditempatkan pada daerah dimana semua larva ikan diekspor, sedangkan KKL
tunggal pada tempat seperti itu akan menjadi tidak berkelanjutan. Selain itu, beberapa
konfigurasi mungkin dapat mencapai hasil yang sama, sehingga perlu ditawarkan secara
fleksibilitas bagi pemangku kepentingan dalam memilih desain KKL (Gaines et al., 2010).
Dalam jangka panjang populasi ikan dan keanekaragaman hayati tergantung pada
persistensi jalur penyebaran multi generasi yang melibatkan lokasi KKL sumber (source)
dan KKL penampung (sink) sebagai variabel kerentanan dan ketahanan serta dapat dicapai
melalui jejaring KKL dengan konfigurasi yang berbeda dari yang diinginkan ketika
tujuannya saat ini adalah untuk memaksimalkan konservasi (Botsford et al., 2009).
Misalnya, posisi perwakilan KKL pada beberapa habitat, jenis mekanisme yang sederhana
umumnya dimanfaatkan untuk memaksimalkan tujuan konservasi keanekaragaman hayati
saat ini, misalnya, desain jejaring KKL Great Barrier Reef di Australia dan Channel
Islands di California Utara, mungkin gagal untuk melindungi secara selektif (misalnya,
berisiko rendah) pada daerah tertentu yang dikompromikan sebagai konservasi
keanekaragaman hayati saat ini tetapi dapat meningkatkan tingkat persistensi untuk jangka
panjang (Wood et al., 2007). Redundansi perlindungan habitat dalam KKL juga
mempromosikan persistensi, terutama ketika KKL dikonfigurasi untuk mendukung aliran
gen antara mereka (misalnya, melalui penyebaran larva), meskipun setiap jejaring KKL
memiliki potensi untuk konservasi keanekaragaman hayati laut saat ini ketika proporsi
perlindungan di suatu wilayah adalah tetap (Gaines et al., 2010).
Hasil dan keuntungan perikanan yang diharapkan dapat dimaksimalkan dalam
jejaring KKL pada saat KKL tunggal dikonfigurasi untuk memaksimalkan ekspor larva ke
daerah penangkapan seperti terjadi dengan tapak KKL tunggal, aturan sederhana praktis
adalah untuk melindungi sumber terbesar atau lintasan hulu dan penampungan ikan atau
lintasan hilir. Namun, dalam kasus beberapa KKL, penyebaran larva dapat menghasilkan
beberapa heterogenitas, hampir setara dengan konfigurasi jejaring KKL yang optimal untuk
menampung sumber lintasan dari beberapa kekuatan (Costello dan Polasky, 2008).
Selanjutnya, seperti yang terjadi untuk memaksimalkan konservasi, konfigurasi yang
optimal dari KKL untuk memaksimalkan kemakmuran perikanan dapat mencakup KKL
yang berfungsi sebagai perantara tempat yang menghubungkan KKL lain dalam jejaring.
Terlepas dari jejaring tertentu, pesan mendasar adalah bahwa (i) konfigurasi konektivitas
larva mendorong KKL yang optimal, (ii) kemakmuran perikanan dimaksimalkan ketika
jejaring memaksimalkan secara keseluruhan-bukan KKL individu-larva ekspor ke daerah
penangkapan, dan (iii) heterogen pola konektivitas, lebih spasial semakin besar potensi
meningkatkan kemakmuran perikanan (Botsford et al., 2009). Ini juga penting untuk dicatat
bahwa efektivitas perikanan berbasis jejaring KKL, yaitu, kemampuan untuk
memaksimalkan ekspor larva, tidak hanya bergantung pada konfigurasi KKL tetapi juga
pada yang optimal, regulasi heterogen panen pada daerah penangkapan (Costello dan
Polasky, 2008)
Terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi suatu daerah laut dari
penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besar ukuran, dan biomasa dari jenis
organisme yang dieksploitasi. Wilayah Cagar dan perlindungan laut sering dikatakan hanya
berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya, metode ini sudah berhasil
diterapkan pada berbagai habitat di dalam lingkungan dari kondisi tropis maupun sub-
tropis. Cagar dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global (Roberts dan
Hawkins, 2000). Bukti-bukti yang mereka maksud merupakan hasil penelitian beberapa
ahli yang telah dilakukan pada berbagai perairan dunia, dimana selengkapnya seperti dapat
dilihat pada Tabel 3. Selanjutnya sebuah konsensus yang telah ditandatangani oleh 150 ahli
kelautan dinyatakan bahwa sekarang ini terdapat bukti-bukti ilmiah yang sangat kuat bahwa
KKL dapat melestarikan keanekaragaman hayati dan perikanan, serta mampu menambah
kembali sumberdaya laut (American Association for the Advancement of Science, 2001).
KKL seperti yang telah diamati oleh beberapa peneliti membuktikan bahwa usaha ini
efektif bagi pelestarian sumberdaya hayati dan non-hayati, dan dapat digunakan untuk
meningkatkan produksi perikanan disekitarnya (Agardy 2000; Cote et al., 2001). KKL
merupakan salah satu lokasi yang digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya
perikanan untuk pelestarian plasma nutfah dan peningkatan produksi perikanan (Pet dan
Mous, 2002). Untuk itu diperlukan daerah perlindungan laut yang memenuhi persyaratan
agar dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan sumberdaya ikan dan dapat
mengahasilkan benih secara alami ke daerah sekitarnya. Manfaat KKL adalah sebagai alat
konservasi yang efektif dimana KKL pada skala kecil berpotensi dan dapat memberikan
kontribusi bagi meningkatnya luasan konservasi ekosistem terumbu karang dunia dan KKL
belum lama dibentuk hasilnya sudah dirasakan telah dapat memberikan peranan yang
signifikan terhadap peningkatan produksi dan pelestaian sumberdaya perikanan di perairan
Talise dan Tumbak-Minahasa Sulawesi Utara (Tulungen, 2003).
Biasanya biomasa di dalam cagar laut relatif tiga kali lebih besar dibandingkan
biomasa ikan yang berada di luar daerah cagar laut yang berfungsi sebagai kontrol, tetapi
memebrikan respon sangat besar. Disamping itu kelimpahan dan ukuran rata-rata jenis ikan
target dalam no take zone (inti) atau cagar laut meningkat (Dahlgren, 2004). Ratusan studi
ilmiah yang telah meneliti secara rinci tanggapan ekosistem yang terjadi dalam KKL,
dimana dengan adanya KKL akan memberikan dampak positif terhadap spesies yang
menguntungkan, spesies yang tidak menguntungkan, dan efek cascading melalui jaring
makanan (Gaines et al., 2010).
Tabel 3. Beberapa dampak positif dari KKL terhadap perbaikan kondisi sumberdaya ikan
pada beberapa perairan dunia (Sumber: Diadopasi dari Roberts dan Hawkins
(2000) dari berbagai sumber pustaka)
Nama KKL,
Lokasi dan
Dampak yang Dilaporkan
Lama Tipe Habitat
Pembentukan
(Tahun)
Perlindungan Iklim Subtropis Ikan predator yang sangat umum terdapat di perairan ini yaitu
Laut Leigh, Hangat, Karang Pagrus auratus jumlahnya 6 kali lebih banyak ditemukan di
New Zealand Berbatu daerah perlindungan dibandingkan dengan di luar kawasan,
( 21) Spiny Lobster Jassus edwardsii jumlahnya 1,5 kali lebih
berlimpah dan karapasnya berukuran lebihpanjang. Dalam
waktu 18 tahun, densitas bintang laut di dalam kawasan
menurun dari 4,9 m2 menjadi 1,4 m2, sementara penutupan
bintang laut meningkat di luar kawasan dari 14% menjadi
40% (Babcock, 1999)
Taman Laut Iklim Subtropis, Ikan predator utama yang banyak ditemukan di perairan yaitu
Tacharanus, Pagrus auratus jmulahnya 9 kali lebih banyak didalam
karang berbatu
New Zealand kawasan perlindungan dibandingkan dengan di luar kawasan.
(14) Spiny Lobster Jassus edwardsii densitasnya lebih berlimpah
sebanyak 3,7 kali dengna ukuran karapas 18 mm lebih
panjang (Babcock, 1999)
Kepulauan Terumbu karang Jumlah total penampakkan spesies tidak berbeda antara di
Mayotte, dalam kawasan perlindungan dengan di luar kawasan,
Samudera meskipun demikian jenis karnivora besar yang umum
Hindia (3) ditemukan lebih beragam dan lebih berlimpah di dalam
kawasan perlindungan. Nilai tengah (mean) biomassa dari
spesies komersial di dalam kawasan sebesar 202 g/m 2
sementara di luar kawasan sebesar 79 g/m2 (Babcock, 1999)
Looe Key, Terumbu karang Setelah adanya pelarangan pola perikanan tangkap dengan
Florida-USA tombak, 15 jenis ikan target densitasnya meningkat; kakap
(2) densitasnya meningkat sebanyak 93% dan grunts 439%
(Clark et al, 1989)
Kepulauan Terumbu karang Kerapu, Injil, dan kakap lebih berlimpah dan beragam di
Cousin, dalam kawasan perlindungan dibandingkan dengan di daerah
Seychelles (>15) penangkapan (Jennings, 1998)
Sainte Ann, Terumbu karang Meskipun pada kenyataannya ada beberapa keluarga yang
Seychelles (11) masih memegang hak penangkapan dan perburuan masih
banyak dimiliki, keragaman target spesies dan total biomassa
ikan lebih tinggi di dalam kawasan perlindungan
dibandingkan di daerah yang
banyak dilakukan kegiatan penangkapan. Biomassa pemangsa
tidak meningkat sejalan dengan hilangnya predator karena
penangkapan (Jennings et al, 1995;Jenning et al, 1998).
Perlindungan Rawa sub-tropis Penangkapan eksperimen per unit upaya (jumlah yang
Hewan Liar ditangkap untuk setiap unit upaya tangkap) sebesar 2,6 kali
Kepulauan lebih besar di dalam kawasan perlindungan untuk semua
Merrit, Florida- kombinasi permainan penangkapan, 2,4 kali untuk ikan trout
USA (28) laut bertotol (Cynoscion nebulosus), 6,3 kali untuk ikan Red
Drum (Sciaenops ocellata), 12,8 kali untuk Black
Drum (Pogonius cromis), 5,3 kali ikan Snoops (Centropomus
undecimalis), dan 2,6 kali untuk Ikan Stripe Mullet (Mugil
cephallus). Ikan di kawasan perlindungan berukuran lebih
besar, kelimpahannya lebih besar dan pemancing lebih
memilih untuk penangkapan di daerah perbatasan kawasan
perlindungan (Johnson et al., 1999).
Taman Nasional Terumbu karang Kakap, Injil, dan Kerapu lebih berlimpah di dalam Taman
Laut Kisite, Nasional dan tampaknya sampai tercecer ke daerah
Kenya ( 5) penangkapan. Perlindungan tidak berdampak pada keragaman
spesies (Watson et al. 1996)
Punta El Lacho, Sub-tropis, Jenis siput komersial penting, the Loco (Concholepas
Chilli (2) berbatu, pantai concholepas), densitasnya meningkat dari 5 kali menjadi 14
pasang surut kali dan ukurannya menjadi 2 kali lipat, ukuran badan sejalan
dengan program perlindungan (Castilla dan Duran, 1985).
Perlindungan Terumbu karang Ikan berukuran besar dan mudah perangkap, jumlah dua kali
Laut Barbados lipat lebih berlimpah di daerah perlindungan dan 18 dari 22
(11) spesies ukurannya menjadi lebih besar (Rakitin & Kramer,
1996, Chapman & Kramer, 1999).
Taman Laut dan Padang lamun Densitas rata-rata siput ratu dewasa (Strombus gigas) 15 kali
Tanah Cays tropis lebih tinggi di dalam kawasan dan larva tingkat akhir
Exima, Bahama densitasny 4-17 kali lebih tinggi (Stoner & Ray, 1996)
(36)
Taman Laut dan Terumbu karang Hasil reproduksi kerapu Nassau (Epinephelus striatus) lebih
Tanah Cays banyak 6 kali di dalam kawasan (Sluka et al. 1997)
Exima, Bahama
(10)
Distrik Terumbu karang Ikan-ikan jumlahnya lebih berlimpah sebanyak 63% di area
Konservasi perlindungan dari kegiatan perikanan (Grigg, 1994)
kehidupan laut
Hawaii (?)
Daerah Sub-tropis Penangkapan eksperimen per unit upaya meningkat sampai
perlindungan hangat, karang dengan 5 kali lipat untuk 6 dari 10 spesies komsersial penting
laut (Bennett & Attwood, 1991)
De Hoop, Afrika
Selatan (2)
Taman Laut Terumbu karang Di daerah larang ambil, biomas spesies target lebih dari 2 kali
Saba, Saba, biomassa di daerah penangkapan (Polunin & Roberts, 1993)
Belanda (4)
Perlindungan Terumbu karang Biomassa spesies target di daerah perlindungan ukurannya
Laut pada tingkat rata-rata hampir dua kali lipat daripada di daerah
Hotel Chan (4) penangkapan dan daerah perlindungan memiliki spesies yang
3 kali lebih mudah ditangkap (Roberts & polunin, 1993a,
1993b)
Daerah Terumbu Karang Biomassa total untuk spesies komersial penting lebih dari dua
Perlindungan kali lipatnya dari daerah penangkapan ikan dan daerah
Anse Chastanet perlindungan memiliki jenis-jenis spesies
( 2) yang ditangkap tiga kali lebih mudah dibandingkan di daerah
manapun (Robert & Hawkins, 1997)
Mohammed, Terumbu karang Nilai tengah biomassa ikan lebih besar 1,2 kali pada terumbu
Mesir (15) yang dilindungi, smentara perbedaan diantara 7 spesies target
sangat besar. Individu Kerapu Ekor Sabit (Variola touti)
berukuran tiga kali lebih besar di dalam kawasan (Roberts &
Polunin, 1993a; 1993b)
Taman Nasional Kelimpahan spesies komersial (kerapu, kakap, dan injil)
laut Kisite dan mencapai 10 kali bahkan lebih di dalam kawasan
Daerah perlindungan penuh Taman nasional Laut Kisite dibandingkan
Perlindungan dengan daerah perlindungan laut Mpunguti. Lebih jauh,
Laut Nasional spesies kunci seperti Triggerfish (salah satu pemangsa bintang
Mpunguti, laut) kelimpahannya juga lebih besar di Taman Kisite,
Kenya Kisite sementara itu mangsanya yaitu bintang laut lebih berlimpah di
(20) , dan daerah perlindungan perikanan Mpunguti (Watson &
Mpunguti Ormond, 1994)
(terbuka untuk
penangkapan
tradisional)
Tiga taman Terumbu karang Daerah perlindungi membantu keragaman spesies regional
nasional laut dengan cara melindungi spesies yang tidak dapat hidup di
Kenya: Malindi, daerah perikanan tangkap. Dari 110 spesies yang tercatat di
Watamu, Kisite daerah perlindungan, 52 diantaranya tidak ditemukan di
Malindi (24) daerah penangkapan (McClanahan, 1994).
Taman Nasional Terumbu karang Di dalam kawasan perlindungan terdapat peningkatan
Laut Laguna populasi ikan sebanyak 67%, peningkatan densitas sebanyak
Selatan, New 160%, dan biomassa sebesar 246% tapi ukuran rata-rata ikan
Caledonia (5) dari hampir semua spesies tidak menunjukkan peningkatan
(Wantiez et al. 1997)
Daerah Perairan 18 target spesies berukuran lebih besar di dalam kawasan
Perlindungan subtropis perlindungan (Bell, 1983)
Laut hangat, karang
Banyuls berbatu
Cerbere,
Perancis (6)
Gua Shady, Sub-tropis, Lingcod (Ophiodon elongatus) hampir tiga kali lebih
Kepulauan San karang berbatu berlimpah di daerah perlindungan (Palsson & Pacunski, 1985)
Juan,
Washington,
USA (7)
Taman Bawah Sub-tropis Jumlah telur ikan Rock dan larva yang asli hidup di dalam
Laut Edmond, karang berbatu kawasan jumlahnya lebih besar 55 kali dari yang di luar
Washington, kawasan. Untuk Lingcod (Ophiodon elongates) jumlahnya
USA (27) lebih banyak sebesar 20 kali (Pallson & Pacunski, 1995)
Kepulauan Sub-tropis Densitas bintang laut merah yang bernilai komersial
Anacape dan Hangat, karang (Strongylocentrotus franciscanus) 9 kali lebih besar di dalam
Channel, kawasan dibanding di penangkapan terdekat (Gary Davis quoted in
California- Fujita, 1998)
USA(20)
Taman Karang Berbatu Dari 3 spesies yang dipelajari, satu diantaranya memiliki
Nasionanal kelimpahan 4 kali lebih besar di dalam kawasan dan lainnya
Tsitsikamma, 13 kali lebih besar. Bream (Petrus rupestris) berada pada
Afrika Selatan tingkat rata-rata 2 kali di dalam kawasan. Individu terbesar
(22) untuk semua
spesies ditemukan di dalam kawasan perlindungan dan
ukuran maksimum ikan di kawasan penangkapan semakin
menurun (Buxton & Smale, 1989)
Daerah Terumbu karang Delapan belas bulan setelah penangkapan dimulai lagi di
Perlindungan dalam kawasan, tangkapan per unit upaya menurun sampai
Kepulauan setengahnya dan total panen 54% lebih sedikit dibanding
Sumilon, kawasan penangkapan lainnya (Alcala & Russ, 1990)
Filipina (10)
Daerah Terumbu karang Biomassa pemangsa besar meningkat 8 kali lipat dari dalam
Perlindungan daerah perlindungan. Di dalam kawasan penangkapan
Kepulaun Apo, densitas rata-rata dan kekayaan jenis spesies meningkat (Russ
Filipina (6) & Alcala, 1996a,b)
Kyoto Precture Sub-tropis Proporsi kepiting salju besar jantan (Chionoecetes opilio)
Closure, Jepang berpasir dan meningkat sebanyak 32% di area tertutup (Yamasaki &
(4) berdasar lumpur Kuwahara, 1990)
Daerah Sub-tropis Densitas lobster karang (Jasus rubra) dan ikan terompet
Perlindungan karang berbatu (Latridopsis forsteri) meningkat satu atau dua ordo dari
Kepulauan jumlah yang ada di kawasan perlindungan. Jumlah spesies
Maria, Tasmania ikan, avertebrata dan alga juga bertambah di dalam kawasan,
(6 ) serta densitas
ikan juga meningkat lebih besar dari 33 cm (Edgar & Barret,
1999)
Tabel 4. Beberapa faktor yang mempengaruhi profitabilitas KKL kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan serta deskripsi singkat tentang mekanisme yang mendasari dan implikasi
desain kkl untuk mendukung profitabilitas (Sumber : Diadopsi dari Gaines et al . (2010) dari
berbagai sumber pustaka)
Sebuah survei dari 33 model latihan dengan 57 studi kasus untuk menguji secara
eksplisit dampak KKL terhadap hasil dan/atau keuntungan perikanan yang diharapkan
dapat mengungkapkan bahwa KKL memiliki potensi untuk meningkatkan kemakmuran
perikanan untuk berbagai spesies dan pengaturan ekologi: Sekitar setengah dari studi
menunjukkan hasil perikanan yang lebih tinggi/keuntungan yang diperoleh ketika KKL
merupakan bagian dari strategi pengelolaan (Gaines et al., 2010). Selain itu, ketika KKL
meningkatkan kemakmuran perikanan, manfaat puncak diproyeksikan terjadi ketika
sebanyak setengah total habitat merupakan KKL. Ini diproyeksikan dengan manfaat porsi
cukup besar daerah yang di konservasi untuk mendukung kesimpulan bahwa jejaring KKL
dapat menyediakan konservasi simultan dan pemanfaatan perikanan untuk beberapa spesies
dan lokasi. Menempatkan proporsi KKL yang lebih besar akan memberikan manfaat
konservasi yang lebih besar pula, namun pendapatan hilang karena perpindahan usaha
penangkapan yang dilindungi dari daerah biasanya akan lebih besar daripada keuntungan
dihasilkan oleh KKL (misalnya, melalui larva ekspor). Selanjutnya, bagi kebanyakan
spesies, KKL tidak dapat meningkatkan keuntungan jangka panjang daripada spesise yang
dicapai di bawah pengelolaan yang tidak masuk wilayah KKLatau dapat meningkatkan
euntungan hanya di bawah kondisi terbatas (18). Pada kondisi pengelolaan yang optimal;
terjadi ketika sumberdaya perikanan sedang dieksploitasi (yaitu, pengelolaan belum
optimal) atau ketika lingkungan atau ketidakpastian pengelolaan dipertimbangkan, maka di
set KKL dimanfaatkan untuk perikanan bahkan untuk spesies yang lebih besar (Gaines et
al., 2010).
Pada batas-batas tertentu, KKL hampir selalu meningkatkan biomassa dan
keanekaragaman hayati, dengan meningkatan nilai absolut yang lebih besar (terutama
dalam biomassa) diharapkan untuk melindungi daerah yang lebih besar. Mengingat
ekonomi kendala yang disarankan dari perspektif perikanan, berapa proporsi kawasan
lindung yang berubah menjadi daerah penangkapan cukup untuk mendukung tujuan
konservasi?. Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan penentuan apakah proporsi KKL
melakukan manfaat konservasi mulai menjenuhkan dan apakah saat ini rendah tidak cukup
untuk berkompromi dengan kemakmuran perikanan secara signifikan. Tanpa pengisian
larva dari daerah penangkapan, Gaines et al. (2010) estimasi persistensi dalam KKL (yaitu,
pengisian diri) mensyaratkan bahwa KKL lebih besar dari jarak penyebaran larva berarti
penangkapan spesies, jika KKL dikonfigurasi dalam jejaring KKL yang lebih kecil, maka
jejaring- pengisian lebar dapat dicapai jika KKL kolektif merupakan sepertiga sampai
setengah dari kawasan (region). Walaupun yang diperkirakan ini didasarkan pada asumsi
ekstrim bahwa eksploitasi berlebihan telah mengurangi stok penangkapan lokal untuk
tingkat yang diabaikan pada daerah penangkapan, eksploitasi berlebihan tidak ada dalam
banyak bagian dunia (Gaines et al., 2010), selanjutnya dijelakskan bahwa peningkatan
tekanan nelayan lokal dalam menanggapi untuk perubahan bentuk KKL adalah diharapkan
sebagai fitur pengelolaan yang optimal untuk memaksimalkan kemakmuran perikanan. Hal
serupa berbagai penutupan usia mungkin KKL diperlukan untuk mencapai ujuankonservasi
serta keanekaragaman hayati laut. Akibatnya, dalam menghadapi miskinnya pengelolaan
perikanan, konservatif perkiraan proporsi minimum suatu daerah untuk ditempatkan di
KKL terletak pada sekitar urutan satu-ketiga, nilai nyaman dalam proporsi maksimum
diperkirakan untuk memaksimalkan kemakmuran perikanan untuk sejumlah spesies.
Sebuah angka yang sebanding telah direkomendasikan oleh para ilmuwan yang terlibat
dalam kasus penelitian empiris, dan ini rentang perlindungan konsisten dengan perkiraan
yang berasal dari analisis ukuran jarak KKL minimum dan KKL maksimum seperti yang
dijelaskan di atas (Gaines et al., 2010).
Sintesis dari 33 peer-review publikasi ilmiah yang mewakili 57 penelitian kasus
yang secara eksplisit memeriksa berapa banyak KKL dari kegiatan penangkapan ikan
untuk memaksimalkan hasil perikanan dan/atau keuntungan jangka panjang ditemukan
kesimpulan bahwa (a) sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa hasil perikanan/laba
dimaksimalkan melalui pengelolaan tanpa dibandingkan dengan penggunaan Cagar laut,
dan (b) frekuensi distribusi persentase lahan perikanan yang direkomendasikan untuk
dimasukkan dalam KKL laut pada studi yang ditemukan KKL untuk menjadi bagian dari
hasil/keuntungan memaksimalkan pengelolaan (Gaines et al., 2010).
DAFTAR PUSTAKA