Anda di halaman 1dari 39

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS

KAWASAN KONSERVASI LAUT

OLEH
ABDUL HAMID

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERITAS HALU OLEO
KENDARI, 2016
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1900 –an, stok utama spesies perikanan demersal di Eropa Utara telah
menurun sekitar 80-90% (Christensen et al. 2003 dalam Roberts et al., 2005), akibat
nelayan-nelayan Inggris mengoperasikan steam trawl, serta kegiatan perikanan berkembang
pesat dan ikan menjadi komoditas industri yang diperdagangankan. Sadar akan kerusakan
yang timbul akibat penangkapan yang berlebihan tersebut, para ilmuwan biologi
perikanan mengembangkan model pengelolaan sumberdaya perikanan yang digunakan
sebagai alat pengelolaan sumberdaya perikanan. Model yang dikembangkan tersebut lebih
didasarkan pada aspek biologi ikan dan masih kurang memperhatikan proses ekologi yang
terjadi dalam ekosistem perairan. Model-model pengelolaan sumberdaya perikanan yang
telah diterapkan sebagai alat pengelolaan selama ini selanjutnya disebut sebagai model atau
alat pengelolaan sumberdaya perikanan konvensional.
Model pengelolaan konvesional telah diaplikasikan pada berbagai perairan laut di
dunia dengan tujuan untuk menghambat penurunan stok sumberdaya ikan. Meskipun model
pengelolaan konvesional terus dikembangkan dan mengalami perbaikan serta telah
dihasilkan beberapa alat pengelolaan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan
sumberdaya perikanan, namun belum ada satu alat pengelolaan sumberdaya perikanan
konvensional yang mampu menghambat laju penurunan stok sumberdaya ikan (Roberts et
al., 2005). Setiap alat pengelolaan sumberdaya perikanan konvensional, sebenarnya
memiliki nilai konservasi yang dirancang untuk mempertahankan stok spesies ikan
ekonomi penting sebagai target, tetapi stok ikan ini di seluruh dunia terus mengalami
penurunan, dan hal ini sebagai bukti adanya keterbatasan alat pengelolaan konvensional.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka sejak satu sampai dua dekada terakhir mucul
pemikiran untuk implementasi satu model pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
ekosistem (Nasional Marine Fisheries Service, 1998; Roberts et al., 2005; Scandol et al.,
2005). Dalam pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem, telah memperhitungkan semua
aspek ekologi yang terjadi dalam suatu ekosistem perairan, demikian pula aspek sosial
ekomoni lingkungan di mana ikan dan perikanan yang ada, sehingga dapat mengantisipasi
efek yang mungkin timbul yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan
(Scandol et al., 2005). Namun, pengelolaan berbasis ekosistem juga tidak dapat
menyelesaikan semua rezim yang mendasari masalah terkait dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan yang ada. Absennya kemauan politik untuk menghentikan
penangkapan ikan yang berlebihan, serta kurangnya perlindungan habitat dan berkuranya
kegiatan penelitian untuk dukungan pemantauan program pengelolaan sumberdaya
perikanan, maka pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem juga tidak mungkin bisa
berjalan efektif (Nasional Marine Fisheries Service, 1998) .
Salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis ekosistem adalah
melalui pendekatan pengelolaan kawasan konservasi laut yang selanjutnya disebut KKL.
Pendekatan KKL sebagai alat pengelolaan sumberdaya perikanan dapat mengintegrasikan
antara tujuan konservasi sumberdaya hayati dengan tujuan perikanan secara berkelanjutan
dan dapat tercapai melalui upaya-upaya pelestarian keanekaragaman sumberdaya hayati
laut, khususnya sumberdaya ikan dan sampai saat ini stoknya terus mengalami penurunan
(Pauly et al, 2002; Roberts et al., 2005). Keberadaan KKL dapat mempertahankan proses
ekologi yang berlangsung dalam ekosistem perairan laut, sehingga KKL harus dianggap
sebagai salah satu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Pengelolaan
sumberdaya perikanan dengan pendekatan KKL dapat mencapai banyak hal yang tidak bisa
diselesaikan dengan pendekatan alat pengelolaan konvensional, dan juga diharapkan dapat
melengkapi alat pengelolaan konvensional yang telah ada (Roberts et al., 2005).
Berdasarkan uraian tersebut, maka substansi yang akan dikaji dalam makalah ini
berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis KKL ditinjau dari aspek
pengelolaan sumberdaya perikanan dan juga sebagai lokasi pelestarian keanekragaman
sumberdaya hayati laut yang didasarkan pada pendekatan teoritis dan empiris.
Diharapkan substansi yang dibahas dalam makalah ini dapat memberikan pemahaman
tentang peranan KKL sebagai alat pengelolaan sumberdaya perikanan alternatif untuk
mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan disisi lain dapat
mendukung kelestarian sumberdaya ikan dan organisme laut lainnya.

B. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengkaji konsep pengelolaan sumberdaya
perikanan berbasis KKL ditinjau dari pendekatan teoritis dan empiris serta aplikasinya
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
II. KONSEP TEORITIS KKL SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN
SUMBERDAYA PERIKANAN

Dalam bahasan konsep teoritis tentang kawasan konservasi laut (KKL) sebagai salah
satu alat pengelolaan sumberdaya perikanan sebagian besar diadopsi dari Gaines et al.,
(2010), khususnya untuk bahasan tentang menentukan lokasi KKL tunggal, ukuran dan
spasial jejaring KKL, Lokasi dan jejejaring KKL, dan perspektif KKL antara fungsi
pengelolaan perikanan dan konservasi.

A. Konsep, Fungsi KKL dan Jejaring KKL


Kawasan konservasi laut (KKL) adalah suatu daerah di laut yang ditetapkan untuk
melestarikan sumber daya laut. Di daerah tersebut diatur zona-zona untuk mengatur
kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti
penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut lain dan ekologinya
untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (Committee on the Evaluation, Design, and
Monitoring of Marine Reserves and Protected Areas in the United States dalam Pet dan.
Mous, 2003).
Sampai saat ini keberadaan dan pengelolaan KKL belum terintegrasi antara KKL
satu dengan KKL lainnya. Pada dasarnya diantara beberapa KKL tersebut terdapat suatu
keterkaitan jejaring yang sangat kuat baik dalam aspek ekologis maupun pengelolaan.
Pertimbangan aspek ekologis dan pengelolaan merupakan kriteria dasar pembentukan
jejaring KKL. Dan beberapa alasan dalam membuat jejaring antar KKL diantaranya adalah
untuk: (1) menggambarkan, menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati; (2)
memberikan model pemanfaatan KKL yang mendukung ekosistem setempat; (3) menjaga
atau melindungi tempat biota laut yang dilindungi dari berbagai ancaman; (4) menjaga
keberadaan potensi sumberdaya perikanan laut, serta (5) upaya memperluas dan
meningkatkan ketahanan KKL (Suraji, 2009).
Keterkaitan merupakan kata kunci pengembangan jejaring kawasan konservasi
perairan. Adanya keterkaitan bioekologis merupakan pertimbangan dasar untuk mengelola
beberapa KKL dalam satu sistem pengelolaan bersama untuk mewujudkan KKL yang tahan
(resilient) terhadap ancaman dan dapat berfungsi efektif untuk mendukung perikanan
berkelanjutan (Suraji, 2009). Lebih lanjut, dengan pengelolaan yang konsisten selama
beberapa tahun diharapkan mampu menyokong hasil tangkapan ikan di luar kawasan
konservasi meningkat 40 %.
KKL secara individu maupun jejaring merupakan alat utama dalam melindungi
keanekaragaman hayati perairan laut, dan juga sebagai alat pengelolaan sumberdaya
perikanan (Agardy, 2000; Pauly et al, 2002; Hoffmann, et al., 2008. Dalam setiap KKL,
terdapat satu bagian yang dikenal sebagai zona inti yang berfungsi sebagai "cagar laut,"
dimana zona ini semua bentuk kegiatan termasuk penangkapan ikan di larang (no take
zone). Luas zona inti atau cagar laut dalam sebuah KKL yang berlaku di Indonesia sekitar
10 % dari luas total KKL (Suraji, 2009). Zona inti atau cagar laut dalam sebuah KKL dapat
berfungsi sebagai “Bank Ikan” yang dapat membantu penambahan jumlah ikan di dalam
KKL dan luar KKL yang merupakan daerah penangkapan ikan. Larva dan benih ikan dan
organisme laut lainnya dapat terbawah sampai puluhan bahkan ratusan mil jauhnya dari
lokasinya ditelur atau diteteskan (Hoffmann, et al., 2008). Oleh karena itu keberadaan KKL
tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar KKL tetapi juga kepada
masyarakat maupun terumbu karang yang berada jauh dari KKL (Tulungen, 2003). Jumlah
zona inti atau cagar laut dalam suatu KKL tergantung pada sebaran karakteristik habitat
dan sumberdaya ikan yang dapat menggambarkan keutuhan sebuah KKL.
KKL tidak hanya mengandalkan tingkat perlindungan, tetapi juga dalam desain awal
jejaring untuk meningkatkan stok ikan dan biomassa. Ini akan memastikan bahwa jejaring
KKL adalah termasuk semua spesies, tahap kehidupan dan hubungan ekologis (Friedlander
et al., 2003). Meskipun suatu habitat dapat memfasilitasi pergerakan spillover secara terus
menerus, namun ada kemungkinan terjadi peningkatan spillover spesies tertentu hanya
menuju ke tempat dan terarah tertentu, sehingga desain KKL harus didasarkan pada
perilaku spesies-spesifik termasuk habitat yang berdekatan yang cukup besar untuk
mendukung rentang pergerakan spillover spesies ikan (Kaundra-Arara dan Rose, 2004)
Sebagian besar stok ikan saat ini dieksploitasi melalui kegiatan perikanan tangkap di
laut (Pauly et al. 2002) sehingga dengan adanya cagar laut (tidak mengambil) merupkan
salah satu solusi potensial untuk meningkatkan keberlanjutan jangka panjang dari
sumberdaya ikan dan kegiatan perikanan tangkap. Namun, untuk menjadi berguna sebagai
alat pengelolaan perikanan, zona dalam KKL perlu mempengaruhi nelayan yang berasal
dari luar daerah mereka dengan cara yang positif (Russ, 2002). Dampak positif adanya
KKL terhadap sumberdaya ikan dan kegiatan perikanan dapat meliputi ekspor bersih ikan
dewasa dan pasca larva melalui spillover, dan ekspor bersih dari telur dan larva ikan (Russ,
2002; Dahlgren 2004). Dalam hal spill over ikan dari KKL ke periaran laut sekitarnya
tergantung pada ukuran, dan lokasi dan jejaring KKL.
Perilaku nelayan dan efek dari respon mereka merupakan faktor sangat penting
yang dapat berkontribusi terhadap efektivitas strategi pengelolaan dalam pembentukan
KKL. Namun, KKL memiliki efek signifikan pada biomassa ikan dan penangkap ketika
pelanggaran diizinkan terjadi di seluruh daerah tertutup. Dengan demikian semakin
pentingnya model merinci dinamika nelayan, hanya dapat menghasilkan evaluasi cadangan
laut lebih realistis jika 'perilaku nelayan dan respon potensial bagi keputusan pengelolaan
untuk dimasukkan ke dalam model rangsangan. Oleh karena itu penting untuk memahami
perilaku nelayan dan reaksi terhadap keputusan pengelolaan yang diusulkan saat
mengevaluasi tindakan pengelolaan alternatif (McDonald et al., 2005).

B. Menentukan Lokasi KKL Tunggal


Para ahli percaya bahwa terumbu karang “sumber” merupakan lokasi yang baik untuk
penentuan lokasi KKL daripada terumbu karang “penampung”. Walaupun terumbu karang
“sumber” lebih baik dari pada terumbu karang “penampung”, pada kenyataannya sangat
sulit ditentukan apakah suatu terumbu karang dikategorikan sebagai terumbu karang
‘sumber” atau “penampung”. Apabila suatu kawasan terumbu karang telah ditetapkan
sebagai KKL maka kawasan itu akan menjadi terumbu karang “sumber”, karena dipercaya
dengan melindungi terumbu karang yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi
adalah penting untuk menjaga suatu sistem terumbu karang yang sehat di dalam suatu
kawasan geografis tertentu (Pet dan Mous, 2002).
Sampai saat ini sebagian besar KKL di seluruh dunia masih merupakan KKL tunggal
dan keadaannya terisolasi (Wood et al., 2007). Beberapa kriteria yang dijadikan
pertimbangan untuk pembentukan KKL, dinataranya kriteria lingkungan, ekologi, dan
kriteria sosial ekonomi (Roberts et al. 2003), dimana tujuan utamanya untuk meningkatkan
konservasi biologi. Namun, pembentukan KKL tidak hanya ditujukan untuk konservasi
semata, tetapi masih mempunyai fungsi lain seperti untuk mendukung pengelolaan
perikanan secara berlanjutan (Tabel 1). Dan antara kedua fungsi KKL tersebut tidak perlu
dipertentangkan, tetapi yang menjadi masalah adalah bagimana mengelola KKL secara
optimal sehingga kedua fungsi tersebut dapat tercapai. Karena secara fundamental faktor
biologis dapat meningkatkan konservasi dan juga mendukung kegiatan perikanan secara
keberlanjutan, karena adanya KKL yang terisolasi sebaiknya dapat memiliki populasi
dengan pertumbuhan positif (Gaines et al., 2010).

Tabel 1. Atribut Lintasan Populasi dari Spesies Lokal Antara Pertimbangan Konservasi dan
Perikanan
______________________________________________________________________
Atribut Lintasan Tujuan Pembentukan Suatu KKL
Konservasi Perikanan
_____________________________________________________________________
Persisten Ya Ya
Tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi Ya Tidak
Tinggi daya dukung Ya Ya
Sumber larva Ya Ya
Sudah banyak/dieksploitasi Ya Ya
Mahal untuk panen :
-Perikanan Tujuan: meminimalkan biaya Tidak Ya
-Perikanan Tujuan: memaksimalkan keuntungan Tidak
Memiliki tepi habitat yang berbeda Ya Tidak
______________________________________________________________________
Sumber : Gaines et al. (2010)

Secara de facto melindungi sumberdaya laut, misalnya terumbu karang yang jauh
dan tidak dapat diakses dapat menimbulkan masalah jika menunjukkan kehilangan
biomassa bersih dari waktu ke waktu karena adanya produksi yang keluar kawasan lebih
besar dibandingkan dengan input anggota baru dari yang berasal dari daerah penangkapan
(Kinlan dan Gaines, 2003 dan Siegel, 2003 dalam Gaines et al., 2010). Selanjutnya,
membentukan KKL secara de facto perlindungan laut hanya dapat menambahkan sedikit
kawasan perlindungan baru, karena hanya memiliki pengaruh yang kecil pada kegitan
perikanan tangkap. Bahkan melindungi habitat dari populasi yang relatif tinggi
kepadatannya mungkin tidak efektif untuk memenuhi tujuan konservasi sumberdaya ikan,
karena perlindungan dapat gagal untuk bertahan di tengah kegiatan perikanan tangkap
yang intensif (Gaines et al., 2010). Kunci untuk menghindari jebakan tersebut adalah
mempertimbangkan variasi spasial dan sejarah daerah penangkapan yang terjadi pada
setiap wilayah KKL. Penangkapan yang intensif dapat membuat sisa populasi dengan
kepadatan tinggi, namun tidak persisten karena kondisi habitat lokal terdegradasi dan
perlindungan habitat di wilayah KKL mungkin memerlukan restorasi tambahan untuk
memenuhi tujuan-tujuan konservasi (Halpern et al, 2008; Allison et al., 1998; Hastings
dan Botsford, 1999 dalam Gaines et al., 2010).
Keuntungan KKL yang lebih besar dari sisi konservasi bisa berasal dari perlindungan
sejumlah populasi ikan yang secara inheren terkait dengan habitat di dalam KKL, namun
secara historis telah mengalami overfishing. Sedangkan manfaat ekonomi dari kegiatan
perikanan juga diharapkan dari KKL yang luas sehingga dapat menjadi sumber biomassa
untuk daerah penangkapan melalui spillover ikan dewasa dan/atau ekspor larva (Kellner
et al., 2007; Schnier, 2005 dalam Gaines et al., 2010). Lokasi KKL yang optimal untuk
tujuan pengelolaan perikanan tidak perlu memiliki produktivitas tinggi; daerah dengan
kapasitas produksi yang tinggi dapat lebih menguntungkan sebagai daerah penangkapan
daripada sebagai sumber spillover ikan (Kellner et al., 2007). Melindungi sumber populasi
dapat mengkompensasi untuk produksi yang hilang dari daerah KKL, meskipun hal ini
manfaat potensi perikanan tentu tergantung pada sejarah kehidupan dan demografi spesies
ikan dan tidak akan selalu dapat direalisasikan (Gaines et al., 2010).
Lokasi KKL dalam kaitannya dengan habitat pesisir juga dapat mempengaruhi
efektivitas KKL, kadang-kadang dalam cara yang berbeda untuk konservasi dibandingkan
perspektif ekonomi. Konflik tepi batas KKL dengan sebuah habitat (misalnya, di tepi
terumbu) dapat meningkatkan manfaat konservasi untuk spesies yang melakukan ruaya
dengan membatasi jumlah spillover ke perairan yang tidak terlindungi (Gaines et al., 2010).
Sebaliknya, menempatkan tepi cagar laut di tengah-tengah habitat yang terus menerus
dapat meningkatkan spillover ikan dewasa sehingga hal ini dapat meningkatkan manfaat
KKL pada kegiatan perikanan. Lokasi yang optimal KKL untuk kegiatan perikanan juga
tergantung pada tujuan kegiatan perikanan, yaitu apakah untuk memaksimalkan manfaat
atau meminimalkan biaya. Menempatkan cagar laut dekat titik tepi akses (misalnya,
pelabuhan) dapat memaksimalkan keuntungan dengan meningkatkan nilai dari kegiatan
penangkapan dan meminimalkan biaya transportasi ke tepi KKL (Gaines et al, 2010).
Daerah KKL di dekat pelabuhan sering yang pertama kali dieksploitasi sehingga KKL
seperti ini lebih cocok untuk tujuan konservasi. Sebaliknya, ketika manfaat spillover lebih
diutamakan untuk kegiatan perikanan maka lebih baik lokasi KKL ditempatkan lebih jauh
dari pelabuhan dengan tujuan untuk meminimalkan perpindahan usaha produksi untuk
penangkapan ikan dasar, dan juga meminimalkan peningkatan kegiatan wisata bahari.
C. Ukuran dan Spasial Jejaring KKL
Sampai dengan 31 Desember 2006, ada 4.435 buah telah masuk dalam jejaring KKL
dunia baik yang telah maupun belum mempunyai kekuatan hukum (undang-undang) untuk
tingkat nasional dan lokal, dan diantaranya sekitar 2,35 juta km2 atau 0,65% dari lautan di
dunia dan 1,6% dari keseluruhan KKL berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (Tabel 1),
saat ini dilindungi. Hanya 0,08% dari lautan di dunia, dan 0,2% dari total area dibawah laut
yurisdiksi nasional tidak termasuk. Distribusi KKL global yang baik adalah tidak merata
penyebarannya dalam berbagai skala, dan hanya setengah dari wilayah laut dunia yang
dilindungi sudah merupakan bagian dari jejaring KKL global. Dan sejak 1984 sampai
2006, pertumbuhan luas wilayah KKL global tahunan telah mencapai sebesar 4,6 % setiap
tahun (Wood et al., 2007). Ukuran rata-rata KKL dunia saat ini sekitar 544 km2 sedangkan
berukuran mediannya dengan sekitar 4,6 km2 (Wood et al., 2007). Perbedaan substansial
antara yang berukuran rata-rata (mean) dengan berukuran median utamanya disebabkan
adanya10 KKL terbesar dunia memberikan kontribusi sebesar 68% dari luas KKL global.
Pandangan para ahli awalnya cukup beragam tentang luas KKL yang perlu dibentuk
pada suatu perairan, hal ini tergantung pada kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan dan
tujuan pengelolaan dari KKL. Jika pembentukan KKL bertujuan untuk mengurangi resiko
maka(a) penutupan mencapai 31-70% dari total daerah penangkapan ikan,(b) lebih dari
40% jika merupakan daerah pengelolaan, (c) sangat luas, sehingga populasi
yangtereksploitasi 75% dari yang tidak di-eksploitasi, (d) wilayah perlindungan setara 20%
dan 30% dari total wilayah pengelolaan yang dijamin bertahan terhadap tekanan
penangkapan berlebihan masingmasing selama 20 dan 100 tahun, (e) laut lindung sangat
luas sehingga populasi ikan di atas 20% dari jumlah yang tidak dieksploitasi, (f) sangat luas
sehingga populasinya 70% di atas populasi yang tidak dieksploitasi, (g) sangat luas
sehingga populasi ikan 40% di atas populasi yang tidakdieksploitasi, (h) laut lindung
luasnya 30-50% dari daerah pengelolaan, (i) diantara 20-40% dari daerah pengelolaan…
Jika tujuannya memaksimalkan hasil, daerah-daerah laut yang harusdilindungi kebanyakan
tergantung dari usaha-usaha penangkapan di daerah tangkapan ikan terdekat. Akan tetapi,
untuk kebanyakan perikanan/nelayan, untuk daerah dengan tingkat eksploitasi rendah
daerah perlindungannya sebesar 8%, sebaliknya untuk daerah dengan kegiatan perikanan
intensif daerah perlindungannya sebesar 80% (rata-rata 30-40%, menurut hasil dari 13
penelitian) (Roberts dan Hawkins, 2000). Luas yang optimal untuk KKL adalah antara 15-
25% [dari daerah tangkapan ikan] …. jika intensitas perikanan di daerah sekitarnya tidak
melebihi 40% dari total biomass yang bisa dieksploitasi (Rodwell et al., 2001 dalam Pet
dan Mous, 2003).
Luas jejaring KKL sesuai versi undang-undang California tentang Perlindungan
Kehidupan Laut, lebih disukai ukuran dengan panjang pantai-longshore (20 km) dan jarak
maksimum (50 km) pedoman yang berasal dari pola penyebaran larva dan ikan dewasa
akan menghasilkan wilayah pecahan cagar laut sebesar 29% (Gaines et al., 2010). Target
seperti proporsi untuk KKL akan menurun jika tingkat penangkapan di luar KKL menurun
atau jika cagar laut ditempatkan strategis untuk memaksimalkan manfaat konservasi.
Menariknya, perkiraan ini berasal dari mencari manfaat simultan untuk konservasi dan
kemakmuran perikanan melebihi perkiraan global yang semata-mata didorong oleh target
kepentingan konservasi (misalnya, Konvensi untuk Biologi Keragaman sasaran MPA 10%
pada tahun 2010 dan 20% MPA di 2020) (Wood et al. 2007; Gaines et al., 2010).
Sedangkan ukuran luas KKL menjadi bahan pertimbangan terkait dengan asal dan jarak
penyebaran larva ikan, hal ini seperti disarankan oleh Halpern dan Warner (2003) dan
Shanks et al. ( 2003) dalam Wood et al. (2007) seperti dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Wilayah Laut di Dunia yang Konservasi Berdasarkan Kriteria (a)
Halpern danWarner (2003) dan (b) Shanks et al. (2003) dalam Wood et al. (2007)
_________________________________________________________________________
Ukuran Direkomendasi (km2) % %Luas
_________________________________________________________________________
Luas
10–100a 21 1.4
b
12.5–28,5 8 0.3
Luas Minimum
>3.14b 58 99.7
>10a 35 99.4
>2.5b 33 99.4

Ukuran dan jarak optimal KKL dalam jejaring KKL sangat dipengaruhi oleh skala
spasial pergerakan spesies ikan sasaran. Konsekuensi dari gerakan berbeda secara dramatis
tergantung pada saat terjadi gerakan selama siklus hidup. Ketika ikan dewasa
meninggalkan batas KKL, mereka beresiko menjadi bagian dari perikanan. Namun, ketika
larva meninggalkan KKL, mereka dapat menyebar tanpa risiko tinggi karena ukuran
mereka masih kecil dan tekanan untuk perikanan masih terbatas. Jadi, jika larva sukses
menyebar dalam jejaring KKL, maka mereka dapat tumbuh sampai dewasa dalam kondisi
terlindungi, dan skala gerakan ikan dewasa membatasi efektivitas KKL, dimana strukutur
ikan ukuran dan skala gerakan larva dipengaruhi oleh beberapa dinamika yang terjadi
dalam jejaring KKL (Ganies et al., 2010).
Luas KKL dunia saat ini belum memadai bila dibandingkan dengan total luas
perairan laut dunia yang ada, dan 20-46 % KKL terletak pada wilayah berukuran kecil
dan terisolasi, sehingga hal ini mungkin tidak efektif untuk mendukung keberadaan
populasi organisme laut bila tidak berada dalam jejaring KKL global (Wood et al., 2007).
Setidaknya pada beberapa periaran laut yang luas perlu untuk melindungi spesies yang
melakukan migrasi, misalnya ikan pelagis besar dan mamalia laut, serta mengimbangi
konsentrasi usaha penangkapan di luar KKL (Walters, 2000, Wood et al., 2007). Pada saat
ini kita diketahui kegiatan usaha penangkapan ikan sangat tinggi dan tidak berkurang
jumlahnya walaupun dengan adanya KKL (Pauly et al, 2002).
Model teoritis dampak KKL tunggal terkait dengan dinamika populasi ikan dalam
jejaring KKL menunjukkan bahwa cagar laut ganda dapat memiliki tiga macam pengaruh
terhadap ekosistem laut (Gaines et al., 2010). Pertama, beberapa cagar laut dapat memiliki
efek aditif, yaitu peningkatan ukuran populasi dari seluruh jejaring KKL akan terjadi
kenaikan jumlah yang terlihat pada setiap cagar laut. Kedua, penambahan cagar laut
mungkin memiliki efek menurun jika nilai marjinal perlindungan ekstra menurun sebagai
akibat dari kelebihan daerah yang dilindungi. Jumlah spesies yang dilindungi dalam KKL
ditentukan oleh lokasi yang ditempati, heterogenitas habitat dan luas KKL. Dimana
semakin banyak jumlah spesies dan daerah dilindungi berkurang akan meningkatkan
kepadatan populasi ikan dalam KKL sehingga akan dibutuhkan peningkatkan dua kali lpat
luas daerah cagar laut akan tidak selalu terjadi penggandaan jumlah spesies yang
dilindungi. Demikian pula, jika beberapa lokasi KKL merupakan daerah penampungan
(sink) populasi ikan maka akan berpengaruh pada keturunan generasi masa depan yang
jumlahnya semakin sedikit, terjadi pergeseran daerah yang dilindungi dan daerah
penangkapan menjadi sumber produksi larva yang lebih produktif akibatnya dapat
mengurangi manfaat KKL dari segi konservasi. Dan ketiga, pengaruh beberapa cagar laut
mungkin merupakan suatu perkalian pengaruh dari setiap ekosistem jika sistem cagar laut
secara keseluruhan memiliki manfaat yang lebih dari jumlah manfaat aditif dari setiap
cagar laut tunggal (Gaines et al., 2010).
Untuk mencapai efek perkalian tersebut maka perlu dipertimbangkan pada saat
merancang suatu jejaring KKL (Gaines et al., 2003). KKL tunggal hanya dapat
meningkatkan pertumbuhan populasi di luar areal KKL ketika produksi larva meningkat
melebihi produksi benih sehingga populasi ikan di daerah penangkapan lebih besar.
Namun, jika KKL sumber yang lebih kuat dalam jejaring KKL maka manfaat demografi
populasi yang berasal cagar laut terpisah dapat dikendalikan. Jika setiap cagar laut tunggal
dapat meningkatkan pertumbuhan populasi pada cagar laut lainnya, maka hal ini dapat
berpotensi bersinergi pada populasi hasil sehingga jumlah populasi larva akan meningkat
baik di dalam maupun di luar cagar laut (Sala et al. 2002 dalam Gaines et al., 2010;
Avasthi, 2005). Sinergi Demografis dapat dicapai hanya ketika populasi larva pada KKL
langsung berhubungkan dengan penyebaran jumlah larva yang bergerak antar KKL untuk
mempengaruhi demografi mereka (Gambar 1 B) . Hasil yang diperolah dalam hal ini adalah
strategi jejaring KKL menguntungkan untuk KKL dengan ruang cukup dekat sehingga
sejumlah larva ikan memungkinkan dapat bergerak di antara kedua KKL (Gaines et al.,
2010). Untuk mendapatkan manfaat perikanan yang luar biasa, sejumlah hasil kajian
teoritis dan empiris menunjukkan bahwa kawasan KKL harus dibagi ke dalam jejaring
yang mempunyai ukuran dan jarak yang dapat memaksimalkan efek bersih spillover ikan
dewasa dan ekspor larva dari wilayah KKL ke daerah penangkapan (White, 2009). Desain
KKL dicirikan oleh jumlah cagar laut yang lebih kecil dan meningkatkan jumlah cagar
laut tepi serta mengurangi jarak rata-rata dari daerah penangkapan ke tepi KKL.
Semakin dekat jarak antara KKL dengan daerah penangkapan ikan dapat
meningkatkan hasil perikanan tangkapan karena dapat memaksimalkan ekspor larva dari
cagar laut ke daerah penangkapan, tetapi hanya sampai batas tertentu dimana cagar alut
masih dapat menampung kepadatan biomassa ikan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
larva dengan kepadatan tinggi (Botsford et al., 2009). Cagar laut yang berukuran kecil
dapat membatasi jumlah ikan dewasa yang spillover, sehingga hal ini secara langsung
berpengaruh bagi kegiatan perikanan, namun dapat mendukung kepadatan biomassa ikan
yang dilindungi dalam KKL. Dari perspektif konservasi, KLL yang berukuran lebih besar
selalu disukai, karena hal ini dapat meningkatkan populasi ikan dengan meningkatnya
daerah yang dilindungi dan membatasi jumlah ikan yang spillover karena kemungkinan
larva tetap menetap di dalam KKL dimana mereka dilahirkan (Botsford et al., 2009).
Akibatnya, kan terjadi kefakuman antara keuntungan dari segi konservasi dan manfaat
perikanan, dan hanya dapat dimediasi melalui interaksi dari ukuran dan jumlah ikan, serta
jarak dari cagar laut dalam jejaring KKL. Ringkasan dari uraian tersebut selengkapnya
dapat dilihat pada Gambar 1 seperti berikut ini.

Gambar 1. Konektivitas populasi antara KKL dan lintasan penangkapan di sepanjang


pantai
(A) Ekspor larva dari KKL (panah tebal) mungkin bermanfaat bagi perikanan
tetapi dapat membuat populasi dalam KKL tunggal non-self sustainable. KKL
berkelanjutan dapat dicapai melalui masukan larva dari daerah penangkapan
(panah tipis). Untuk KKL kecil, masukan larva ini mendominasi biologi populasi
KKL. Ketika populasi di luar KLL menurun, populasi dalam KKL juga menurun,
kecuali mereka dapat menerima masukan larva dari KKL lain (panah putus-putus).
Akibatnya, kecuali ada masukan yang signifikan dari lokasi tidak ditangkap,
demografi daerah KKL dan demografi daerah Penangkapan terkait erat, dan
keberhasilan KKL akhirnya akan ditentukan oleh keberhasilan pengaturan
kegiatan perikanan di luar KKL. (B) Jika kedua KKL dengan populasi cukup besar
cukup dekat, terkoneksi dengan KKL asli dapat membantu menstabilkan
populasinya (putus-putus, dua arah panah). (Sumber: Gaines et al., (2010)

Mengingat variabilitas yang sangat besar dalam skala gerakan ikan dewasa antar
spesies, maka penentuan ukuran KKL masih terjadi kompromi sehingga dapat menciptakan
spesies pemenang dan spesies yang kehilangan. Menggunakan KKL untuk melindungi
stok ikan dewasa peruaya jauh (misalnya, tuna dan ikan pelagis lainnya) mungkin tidak
praktis di kebanyakan pengaturan wilayah pesisir, karena secara politis tidak praktis
menentukan ukuran KKL akan yang dipakai pada spesies ikan peruaya tersebut (Gaines et
al., 2010). Namun, dengan adanya data yang terkait dengan skala pergerakan untuk
berbagai macam spesies ikan menunjukkan bahwa KKL yang berukuran sedang sampai
beberapa puluhan kilometer di sepanjang pantai dan memperluas luar daerah ini untuk
mencakup mendalam terkait gerakan spsesies ikan harus disesuaikan sehingga menampung
gerakan ikan dewasa yang biasanya dekat pantai keragaman spesiesnya tinggi (Botsford et
al., 2009). Selain itu, KKL dengan jarak sedang kemungkinan lebih bermanfaat baik untuk
pengelolaan perikanan maupun untuk tujuan konservasi.
Jarak antar KKL dari puluhan kilometer sampai sekitar seratus kilometer dapat
meningkatkan konservasi dan manfaat perikanan, karena jarak mereka melebihi rata-rata
penyebaran larva yang diperkirakan banyak spesies laut pesisir tanpa mendekati daerah
penangkapan (Botsford et al., 2009). Dalam kasus ini, berarti penyebaran lebih dari
beberapa generasi (penyebaran tidak dalam satu tahun, bisa sangat berbeda) adalah metrik
yang paling kritis, karena penumpukan dan persistensi populasi dalam KKL tergantung
pada penyebaran rata-rata selama beberapa tahun yang akan menghasilkan beberapa kelas
umur (Gaines et al., 2010).
Secara keseluruhan, KKL berukuran sedang dengan jarak sedang paling
memungkinkan untuk mempertahankan populasi ikan dewasa mereka (dan menjadi
persistensi diri) dan untuk menunjukkan konektivitas inter KKL melalui penyebaran larva
(untuk mempromosikan meta population dan meta komunitas ketekunan). Selain itu,
jejaring KKL dapat memaksimalkan ekspor larva ke daerah penangkapan ikan yang
berdekatan, berpotensi mendaptkan hasil yang tinggi dan menguntungkan (Gaines et al.,
2010).

D. Lokasi KKL dan Jejaring KKL


Bila dilihat dari tipe ekosistem yang dilindungi yang masuk dalam KKL global,
maka Wood et al. (2007) menemukan ada 5 (lima) jenis ekosistem laut yang dijadikan
sebagai KKL, yaitu estuari, mangrove, padang lamun, terumbu karang dan bentangan laut
(seamount), dimana persentasi tertinggi tipe ekosistem tersebut adalah mangrove dan
menyusul terumbu karang (Gambar 2).
Gambar 2. Perkiraan Habitat laut dilindungi dan tercakup dalam area jejaring KKL
global (Sumber : Wood et al., 2007)

Lokasi KKL penting artinya untuk meningktkan efektivitas jejaring KKL. Dalam
sistem yang terdiri dari beberapa KKL, lokasi strategis setiap KKL memberikan manfaat
dari dampak jejaring kolektif. Meskipun ada sejumlah kriteria dalam penetapan KKL
tunggal untuk mengkonfigurasi beberapa KKL (Tabel 1), namun efek bersih dari sebuah
jejaring KKL yang dirancang secara optimal dapat melebihi jumlah efek masing-masing
KKL (Gaines et al., 2010). Sebagai contoh, jejaring KKL mungkin lebih bermanfaat dari
KKL yang ditempatkan pada daerah dimana semua larva ikan diekspor, sedangkan KKL
tunggal pada tempat seperti itu akan menjadi tidak berkelanjutan. Selain itu, beberapa
konfigurasi mungkin dapat mencapai hasil yang sama, sehingga perlu ditawarkan secara
fleksibilitas bagi pemangku kepentingan dalam memilih desain KKL (Gaines et al., 2010).
Dalam jangka panjang populasi ikan dan keanekaragaman hayati tergantung pada
persistensi jalur penyebaran multi generasi yang melibatkan lokasi KKL sumber (source)
dan KKL penampung (sink) sebagai variabel kerentanan dan ketahanan serta dapat dicapai
melalui jejaring KKL dengan konfigurasi yang berbeda dari yang diinginkan ketika
tujuannya saat ini adalah untuk memaksimalkan konservasi (Botsford et al., 2009).
Misalnya, posisi perwakilan KKL pada beberapa habitat, jenis mekanisme yang sederhana
umumnya dimanfaatkan untuk memaksimalkan tujuan konservasi keanekaragaman hayati
saat ini, misalnya, desain jejaring KKL Great Barrier Reef di Australia dan Channel
Islands di California Utara, mungkin gagal untuk melindungi secara selektif (misalnya,
berisiko rendah) pada daerah tertentu yang dikompromikan sebagai konservasi
keanekaragaman hayati saat ini tetapi dapat meningkatkan tingkat persistensi untuk jangka
panjang (Wood et al., 2007). Redundansi perlindungan habitat dalam KKL juga
mempromosikan persistensi, terutama ketika KKL dikonfigurasi untuk mendukung aliran
gen antara mereka (misalnya, melalui penyebaran larva), meskipun setiap jejaring KKL
memiliki potensi untuk konservasi keanekaragaman hayati laut saat ini ketika proporsi
perlindungan di suatu wilayah adalah tetap (Gaines et al., 2010).
Hasil dan keuntungan perikanan yang diharapkan dapat dimaksimalkan dalam
jejaring KKL pada saat KKL tunggal dikonfigurasi untuk memaksimalkan ekspor larva ke
daerah penangkapan seperti terjadi dengan tapak KKL tunggal, aturan sederhana praktis
adalah untuk melindungi sumber terbesar atau lintasan hulu dan penampungan ikan atau
lintasan hilir. Namun, dalam kasus beberapa KKL, penyebaran larva dapat menghasilkan
beberapa heterogenitas, hampir setara dengan konfigurasi jejaring KKL yang optimal untuk
menampung sumber lintasan dari beberapa kekuatan (Costello dan Polasky, 2008).
Selanjutnya, seperti yang terjadi untuk memaksimalkan konservasi, konfigurasi yang
optimal dari KKL untuk memaksimalkan kemakmuran perikanan dapat mencakup KKL
yang berfungsi sebagai perantara tempat yang menghubungkan KKL lain dalam jejaring.
Terlepas dari jejaring tertentu, pesan mendasar adalah bahwa (i) konfigurasi konektivitas
larva mendorong KKL yang optimal, (ii) kemakmuran perikanan dimaksimalkan ketika
jejaring memaksimalkan secara keseluruhan-bukan KKL individu-larva ekspor ke daerah
penangkapan, dan (iii) heterogen pola konektivitas, lebih spasial semakin besar potensi
meningkatkan kemakmuran perikanan (Botsford et al., 2009). Ini juga penting untuk dicatat
bahwa efektivitas perikanan berbasis jejaring KKL, yaitu, kemampuan untuk
memaksimalkan ekspor larva, tidak hanya bergantung pada konfigurasi KKL tetapi juga
pada yang optimal, regulasi heterogen panen pada daerah penangkapan (Costello dan
Polasky, 2008)

III. BUKTI EMPIRIS PERANAN KKL DALAM DALAM PENINGKATAN


SUMBERDAYA IKAN DAN PENGELOLAANNYA

A. Peningkatan Sumberdaya Ikan

Terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi suatu daerah laut dari
penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besar ukuran, dan biomasa dari jenis
organisme yang dieksploitasi. Wilayah Cagar dan perlindungan laut sering dikatakan hanya
berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya, metode ini sudah berhasil
diterapkan pada berbagai habitat di dalam lingkungan dari kondisi tropis maupun sub-
tropis. Cagar dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global (Roberts dan
Hawkins, 2000). Bukti-bukti yang mereka maksud merupakan hasil penelitian beberapa
ahli yang telah dilakukan pada berbagai perairan dunia, dimana selengkapnya seperti dapat
dilihat pada Tabel 3. Selanjutnya sebuah konsensus yang telah ditandatangani oleh 150 ahli
kelautan dinyatakan bahwa sekarang ini terdapat bukti-bukti ilmiah yang sangat kuat bahwa
KKL dapat melestarikan keanekaragaman hayati dan perikanan, serta mampu menambah
kembali sumberdaya laut (American Association for the Advancement of Science, 2001).
KKL seperti yang telah diamati oleh beberapa peneliti membuktikan bahwa usaha ini
efektif bagi pelestarian sumberdaya hayati dan non-hayati, dan dapat digunakan untuk
meningkatkan produksi perikanan disekitarnya (Agardy 2000; Cote et al., 2001). KKL
merupakan salah satu lokasi yang digunakan dalam upaya pengelolaan sumberdaya
perikanan untuk pelestarian plasma nutfah dan peningkatan produksi perikanan (Pet dan
Mous, 2002). Untuk itu diperlukan daerah perlindungan laut yang memenuhi persyaratan
agar dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan sumberdaya ikan dan dapat
mengahasilkan benih secara alami ke daerah sekitarnya. Manfaat KKL adalah sebagai alat
konservasi yang efektif dimana KKL pada skala kecil berpotensi dan dapat memberikan
kontribusi bagi meningkatnya luasan konservasi ekosistem terumbu karang dunia dan KKL
belum lama dibentuk hasilnya sudah dirasakan telah dapat memberikan peranan yang
signifikan terhadap peningkatan produksi dan pelestaian sumberdaya perikanan di perairan
Talise dan Tumbak-Minahasa Sulawesi Utara (Tulungen, 2003).
Biasanya biomasa di dalam cagar laut relatif tiga kali lebih besar dibandingkan
biomasa ikan yang berada di luar daerah cagar laut yang berfungsi sebagai kontrol, tetapi
memebrikan respon sangat besar. Disamping itu kelimpahan dan ukuran rata-rata jenis ikan
target dalam no take zone (inti) atau cagar laut meningkat (Dahlgren, 2004). Ratusan studi
ilmiah yang telah meneliti secara rinci tanggapan ekosistem yang terjadi dalam KKL,
dimana dengan adanya KKL akan memberikan dampak positif terhadap spesies yang
menguntungkan, spesies yang tidak menguntungkan, dan efek cascading melalui jaring
makanan (Gaines et al., 2010).
Tabel 3. Beberapa dampak positif dari KKL terhadap perbaikan kondisi sumberdaya ikan
pada beberapa perairan dunia (Sumber: Diadopasi dari Roberts dan Hawkins
(2000) dari berbagai sumber pustaka)

Nama KKL,
Lokasi dan
Dampak yang Dilaporkan
Lama Tipe Habitat
Pembentukan
(Tahun)
Perlindungan Iklim Subtropis Ikan predator yang sangat umum terdapat di perairan ini yaitu
Laut Leigh, Hangat, Karang Pagrus auratus jumlahnya 6 kali lebih banyak ditemukan di
New Zealand Berbatu daerah perlindungan dibandingkan dengan di luar kawasan,
( 21) Spiny Lobster Jassus edwardsii jumlahnya 1,5 kali lebih
berlimpah dan karapasnya berukuran lebihpanjang. Dalam
waktu 18 tahun, densitas bintang laut di dalam kawasan
menurun dari 4,9 m2 menjadi 1,4 m2, sementara penutupan
bintang laut meningkat di luar kawasan dari 14% menjadi
40% (Babcock, 1999)
Taman Laut Iklim Subtropis, Ikan predator utama yang banyak ditemukan di perairan yaitu
Tacharanus, Pagrus auratus jmulahnya 9 kali lebih banyak didalam
karang berbatu
New Zealand kawasan perlindungan dibandingkan dengan di luar kawasan.
(14) Spiny Lobster Jassus edwardsii densitasnya lebih berlimpah
sebanyak 3,7 kali dengna ukuran karapas 18 mm lebih
panjang (Babcock, 1999)
Kepulauan Terumbu karang Jumlah total penampakkan spesies tidak berbeda antara di
Mayotte, dalam kawasan perlindungan dengan di luar kawasan,
Samudera meskipun demikian jenis karnivora besar yang umum
Hindia (3) ditemukan lebih beragam dan lebih berlimpah di dalam
kawasan perlindungan. Nilai tengah (mean) biomassa dari
spesies komersial di dalam kawasan sebesar 202 g/m 2
sementara di luar kawasan sebesar 79 g/m2 (Babcock, 1999)
Looe Key, Terumbu karang Setelah adanya pelarangan pola perikanan tangkap dengan
Florida-USA tombak, 15 jenis ikan target densitasnya meningkat; kakap
(2) densitasnya meningkat sebanyak 93% dan grunts 439%
(Clark et al, 1989)
Kepulauan Terumbu karang Kerapu, Injil, dan kakap lebih berlimpah dan beragam di
Cousin, dalam kawasan perlindungan dibandingkan dengan di daerah
Seychelles (>15) penangkapan (Jennings, 1998)
Sainte Ann, Terumbu karang Meskipun pada kenyataannya ada beberapa keluarga yang
Seychelles (11) masih memegang hak penangkapan dan perburuan masih
banyak dimiliki, keragaman target spesies dan total biomassa
ikan lebih tinggi di dalam kawasan perlindungan
dibandingkan di daerah yang
banyak dilakukan kegiatan penangkapan. Biomassa pemangsa
tidak meningkat sejalan dengan hilangnya predator karena
penangkapan (Jennings et al, 1995;Jenning et al, 1998).
Perlindungan Rawa sub-tropis Penangkapan eksperimen per unit upaya (jumlah yang
Hewan Liar ditangkap untuk setiap unit upaya tangkap) sebesar 2,6 kali
Kepulauan lebih besar di dalam kawasan perlindungan untuk semua
Merrit, Florida- kombinasi permainan penangkapan, 2,4 kali untuk ikan trout
USA (28) laut bertotol (Cynoscion nebulosus), 6,3 kali untuk ikan Red
Drum (Sciaenops ocellata), 12,8 kali untuk Black
Drum (Pogonius cromis), 5,3 kali ikan Snoops (Centropomus
undecimalis), dan 2,6 kali untuk Ikan Stripe Mullet (Mugil
cephallus). Ikan di kawasan perlindungan berukuran lebih
besar, kelimpahannya lebih besar dan pemancing lebih
memilih untuk penangkapan di daerah perbatasan kawasan
perlindungan (Johnson et al., 1999).
Taman Nasional Terumbu karang Kakap, Injil, dan Kerapu lebih berlimpah di dalam Taman
Laut Kisite, Nasional dan tampaknya sampai tercecer ke daerah
Kenya ( 5) penangkapan. Perlindungan tidak berdampak pada keragaman
spesies (Watson et al. 1996)
Punta El Lacho, Sub-tropis, Jenis siput komersial penting, the Loco (Concholepas
Chilli (2) berbatu, pantai concholepas), densitasnya meningkat dari 5 kali menjadi 14
pasang surut kali dan ukurannya menjadi 2 kali lipat, ukuran badan sejalan
dengan program perlindungan (Castilla dan Duran, 1985).
Perlindungan Terumbu karang Ikan berukuran besar dan mudah perangkap, jumlah dua kali
Laut Barbados lipat lebih berlimpah di daerah perlindungan dan 18 dari 22
(11) spesies ukurannya menjadi lebih besar (Rakitin & Kramer,
1996, Chapman & Kramer, 1999).
Taman Laut dan Padang lamun Densitas rata-rata siput ratu dewasa (Strombus gigas) 15 kali
Tanah Cays tropis lebih tinggi di dalam kawasan dan larva tingkat akhir
Exima, Bahama densitasny 4-17 kali lebih tinggi (Stoner & Ray, 1996)
(36)
Taman Laut dan Terumbu karang Hasil reproduksi kerapu Nassau (Epinephelus striatus) lebih
Tanah Cays banyak 6 kali di dalam kawasan (Sluka et al. 1997)
Exima, Bahama
(10)
Distrik Terumbu karang Ikan-ikan jumlahnya lebih berlimpah sebanyak 63% di area
Konservasi perlindungan dari kegiatan perikanan (Grigg, 1994)
kehidupan laut
Hawaii (?)
Daerah Sub-tropis Penangkapan eksperimen per unit upaya meningkat sampai
perlindungan hangat, karang dengan 5 kali lipat untuk 6 dari 10 spesies komsersial penting
laut (Bennett & Attwood, 1991)
De Hoop, Afrika
Selatan (2)
Taman Laut Terumbu karang Di daerah larang ambil, biomas spesies target lebih dari 2 kali
Saba, Saba, biomassa di daerah penangkapan (Polunin & Roberts, 1993)
Belanda (4)
Perlindungan Terumbu karang Biomassa spesies target di daerah perlindungan ukurannya
Laut pada tingkat rata-rata hampir dua kali lipat daripada di daerah
Hotel Chan (4) penangkapan dan daerah perlindungan memiliki spesies yang
3 kali lebih mudah ditangkap (Roberts & polunin, 1993a,
1993b)
Daerah Terumbu Karang Biomassa total untuk spesies komersial penting lebih dari dua
Perlindungan kali lipatnya dari daerah penangkapan ikan dan daerah
Anse Chastanet perlindungan memiliki jenis-jenis spesies
( 2) yang ditangkap tiga kali lebih mudah dibandingkan di daerah
manapun (Robert & Hawkins, 1997)
Mohammed, Terumbu karang Nilai tengah biomassa ikan lebih besar 1,2 kali pada terumbu
Mesir (15) yang dilindungi, smentara perbedaan diantara 7 spesies target
sangat besar. Individu Kerapu Ekor Sabit (Variola touti)
berukuran tiga kali lebih besar di dalam kawasan (Roberts &
Polunin, 1993a; 1993b)
Taman Nasional Kelimpahan spesies komersial (kerapu, kakap, dan injil)
laut Kisite dan mencapai 10 kali bahkan lebih di dalam kawasan
Daerah perlindungan penuh Taman nasional Laut Kisite dibandingkan
Perlindungan dengan daerah perlindungan laut Mpunguti. Lebih jauh,
Laut Nasional spesies kunci seperti Triggerfish (salah satu pemangsa bintang
Mpunguti, laut) kelimpahannya juga lebih besar di Taman Kisite,
Kenya Kisite sementara itu mangsanya yaitu bintang laut lebih berlimpah di
(20) , dan daerah perlindungan perikanan Mpunguti (Watson &
Mpunguti Ormond, 1994)
(terbuka untuk
penangkapan
tradisional)
Tiga taman Terumbu karang Daerah perlindungi membantu keragaman spesies regional
nasional laut dengan cara melindungi spesies yang tidak dapat hidup di
Kenya: Malindi, daerah perikanan tangkap. Dari 110 spesies yang tercatat di
Watamu, Kisite daerah perlindungan, 52 diantaranya tidak ditemukan di
Malindi (24) daerah penangkapan (McClanahan, 1994).
Taman Nasional Terumbu karang Di dalam kawasan perlindungan terdapat peningkatan
Laut Laguna populasi ikan sebanyak 67%, peningkatan densitas sebanyak
Selatan, New 160%, dan biomassa sebesar 246% tapi ukuran rata-rata ikan
Caledonia (5) dari hampir semua spesies tidak menunjukkan peningkatan
(Wantiez et al. 1997)
Daerah Perairan 18 target spesies berukuran lebih besar di dalam kawasan
Perlindungan subtropis perlindungan (Bell, 1983)
Laut hangat, karang
Banyuls berbatu
Cerbere,
Perancis (6)
Gua Shady, Sub-tropis, Lingcod (Ophiodon elongatus) hampir tiga kali lebih
Kepulauan San karang berbatu berlimpah di daerah perlindungan (Palsson & Pacunski, 1985)
Juan,
Washington,
USA (7)
Taman Bawah Sub-tropis Jumlah telur ikan Rock dan larva yang asli hidup di dalam
Laut Edmond, karang berbatu kawasan jumlahnya lebih besar 55 kali dari yang di luar
Washington, kawasan. Untuk Lingcod (Ophiodon elongates) jumlahnya
USA (27) lebih banyak sebesar 20 kali (Pallson & Pacunski, 1995)
Kepulauan Sub-tropis Densitas bintang laut merah yang bernilai komersial
Anacape dan Hangat, karang (Strongylocentrotus franciscanus) 9 kali lebih besar di dalam
Channel, kawasan dibanding di penangkapan terdekat (Gary Davis quoted in
California- Fujita, 1998)
USA(20)
Taman Karang Berbatu Dari 3 spesies yang dipelajari, satu diantaranya memiliki
Nasionanal kelimpahan 4 kali lebih besar di dalam kawasan dan lainnya
Tsitsikamma, 13 kali lebih besar. Bream (Petrus rupestris) berada pada
Afrika Selatan tingkat rata-rata 2 kali di dalam kawasan. Individu terbesar
(22) untuk semua
spesies ditemukan di dalam kawasan perlindungan dan
ukuran maksimum ikan di kawasan penangkapan semakin
menurun (Buxton & Smale, 1989)
Daerah Terumbu karang Delapan belas bulan setelah penangkapan dimulai lagi di
Perlindungan dalam kawasan, tangkapan per unit upaya menurun sampai
Kepulauan setengahnya dan total panen 54% lebih sedikit dibanding
Sumilon, kawasan penangkapan lainnya (Alcala & Russ, 1990)
Filipina (10)
Daerah Terumbu karang Biomassa pemangsa besar meningkat 8 kali lipat dari dalam
Perlindungan daerah perlindungan. Di dalam kawasan penangkapan
Kepulaun Apo, densitas rata-rata dan kekayaan jenis spesies meningkat (Russ
Filipina (6) & Alcala, 1996a,b)
Kyoto Precture Sub-tropis Proporsi kepiting salju besar jantan (Chionoecetes opilio)
Closure, Jepang berpasir dan meningkat sebanyak 32% di area tertutup (Yamasaki &
(4) berdasar lumpur Kuwahara, 1990)
Daerah Sub-tropis Densitas lobster karang (Jasus rubra) dan ikan terompet
Perlindungan karang berbatu (Latridopsis forsteri) meningkat satu atau dua ordo dari
Kepulauan jumlah yang ada di kawasan perlindungan. Jumlah spesies
Maria, Tasmania ikan, avertebrata dan alga juga bertambah di dalam kawasan,
(6 ) serta densitas
ikan juga meningkat lebih besar dari 33 cm (Edgar & Barret,
1999)

Keuntungan ekonomis dari perlindungan tempat-tempat pemijahan ikan kerapu.


Dampak dari perlindungan ini sangat jelas bagi pengelola. Pertama, KKL menyediakan
alasan ekonomi bagi perlindungan secara tegas terhadap tempat yang diketahui dan
potensial sebagai tempat-tempat pemijahan. Kedua, di Taman Nasional Komodo (TNK),
tempat-tempat pemijahan tersebut secara nyata mempunyai nilai ekonomi yang setara
dengan nilai rekreasi dari fungsi taman nasional secara keseluruhan. Terakhir, usaha-usaha
perlindungan menyeluruh yang konsisten dengan melindungi daerah penangkapan ikan-
ikan dasar, di mana sebagian besar rumah tangga tergantung pada wilayah di luar lokasi
TNK (Ruitenbeek, 2001 dalam Pet dan Mous, 2002).
Hasil penelitian dengan tujuan untuk melihat perubahan komunitas ikan pada 5
(lima) KKL kecil dan tiga (3) lokasi di luar KKL sebagai kontrol yang telah dilakukan
selama lebih dari 7 (tujuh) tahun di Filipina Tengah ditemukan 53 famili ikan di dalam
KKL, kemudian terdapat perbedaan yang signifikan antara komunitas ikan dalam dan luar
KKL (Gambar 3), namun hanya dua KKL dengan ketat menerapkan larangan penangkapan
ikan (Samoilysa et al., 2007). Selanjutnya di daerah perlindungan laut De Hoop-Afrika
Selatan, setelah dua tahun ditetapkan sebagai daerah perlindungan dapat meningkatkan
hasil tangkapan per satuan upaya eksperimen sampai lima kali lipat untuk enam jenis dari
10 jenis ikan komersial yang tertangkap (Bennet dan Attwood, 1991 dalam Roberts dan
Hawkins, 2000).
Abesamis. al et . (2005) melaporkan adanya bukti yang konsisten bahwa terhadap
keberadaan KKL Pulau Apo Filipina yang telah dilindungi selama 20 tahun lalu, dimana
kepadatan ikan karang, Naso vlamingii di luar KKL tergantung pada spillover (ekspor) dari
KKL (no take zone), dan kepadatan ikan tersebut meningkat tiga kali lipat di dalam zona
tersebut antara tahun 1983 dan 2003. Selanjutkan juga dilaporkan bahwa (1) kepadatan
mendekati suatu asimtot dalam no take zone setelah dilindungi15-20 tahun, (2) ukuran
modal N. vlamingii di dalam zona tersebut meningkat 35-45 cm (panjang total), (3)
kepadatan dan ukuran modal ikan tersebut juga meningkat untuk jarak 200-300 m
(dekat) dari batas luar no teka zone, sebaliknya jarak tetapi yang jauh (300-500 m) tidak
terjadi peningkatan, (4) kepadatan N. vlamingii di dalam zone tersebut 3,7 kali lebih
tinggi daripada di luarnya, dan (5) ukuran rata-rata ikan ini yang ditangkap oleh nelayan
semakin jauh dari luar tapal KKL ukuranya semakin menurun, dimana pada jarak 50 -
100 m di luar batas sebesar 35 cm, dan untuk jarak 250-300 m di luar tapal batas
sebesar 32 cm.
Gambar 3. Kelimpahan ikan tingkat trofik atas di dalam dan luar pada lima KKL serta tiga
lokasi kontrol di Filipina Tengah
Kelimpahan setiap tahun seperti ditunjukkan oleh bar dan sementara
kelimpahan rata-rata dan vasiasinya selama tiga tahun ditunjukkan oleh garis
yang ditumpangkan. Nuansa lebih gelap menunjukkan tingkat perlindungan
yang lebih besar. nd = tidak ada data. (Sumber : Samoilysa et al., 2007)

B. Perspektif KKL Diantara Fungsi Pengelolaan Perikanan dan Lokasi Konservasi


Dalam Jejaring KKL
Ini adalah persepsi umum bahwa konservasi dan perspektif perikanan
mempromosikan secara dramatis yang berbeda, tak terdamaikan perkiraan persentase
optimal dari suatu daerah untuk dilindungi dalam KKL. Bagi kebanyakan spesies,
bagaimanapun, asumsi ini mungkin tidak benar. Meskipun dua tujuan pengelolaan sangat
berbeda dalam cara mereka diukur, keduanya bergantung pada berlimpah dan persistensi
populasi, fitur didukung oleh KKL. Untuk kebanyakan spesies kedua tujuan tersebut
mungkin hampir dimaksimalkan di berbagai tumpang tindih keberadaan KKL. Di bawah
ini kami menyoroti wilayah ini tumpang tindih yang sangat penting untuk meminimalkan
pengorbanan yang terlibat dalam menggunakan Cagar untuk mencapai perikanan dan
tujuan konservasi (Gaines et al. 2010).
Dalam, sintesis ini kita asumsikan penggunaan KKL meskipun terdapat beberapa
ketidakpastian tentang profitabilitas KKL dan pengakuan kita bahwa keuntungan
perikanan sering dipengaruhi oleh banyak faktor saling berinteraksi, seperti karakteristik
dinamika populasi ikan dan pengelolaan perikanan, termasuk desain KKL (Gaines et al.,
2010). Daftar faktor dengan prediksi positif dan negatif masing-masing efek terhadap
keuntungan perikanan seperti dimediasi oleh atribut evaluasi desain KKL disajikan pada
Tabel 4. Model yang berlaku pada KKL, khususnya pengelolaan perikanan biasanya fokus
pada satu atau beberapa faktor-faktor dan selalu (dan dimengerti) membuat sejumlah besar
menyederhanakan demografi, ekologi, asumsi lingkungan, dan sosial ekonomi. Hasilnya
adalah kumpulan hasil, dimana masing-masing terkait dengan satu set asumsi tertentu,
advokasi untuk melawan dan menggunakan KKL untuk pemanfaatan kegiatan perikanan.
Hal ini menujukkan perbedaan yang kuat dari hasil yang bisa memperburuk upaya untuk
menentukan kebijakan pengelolaan KKL yang optimal dan memuaskan baik untuk
konservasi maupun untuk stakeholder perikanan (Gaines et al., 2010).

Tabel 4. Beberapa faktor yang mempengaruhi profitabilitas KKL kaitannya dengan pengelolaan
sumberdaya perikanan serta deskripsi singkat tentang mekanisme yang mendasari dan implikasi
desain kkl untuk mendukung profitabilitas (Sumber : Diadopsi dari Gaines et al . (2010) dari
berbagai sumber pustaka)

Faktor Meningkatkan Mengurangi Profitabilitas Desain Atribut KKL


Profitabilitas KKL KKL
Struktur Ikan lebih tua/lebih besar Kepadatan tergantung Skala jaringan cagar untuk
Umur/ Tahap dalam KKL menghasilkan dinamika stok-rekruitmen memaksimalkan ekspor larva bersih
Dewasa banyak keturunan, sehingga memungkinkan ke daerah-daerah penangkapan.
lebih besar larva ekspor ke KKL untuk meningkatkan
daerah penangkapan. KKL hasil biomassa hanya untuk
meningkatkan biomassa populasi berlebihan
berkontribusi untuk populasi dieksploitasi. KKL umum
yang dipanen dengan sekaligus mengurangi hasil spesies
menyangga evolusi untuk dalam hal biomasa,
penurunan ukuran pada ikan reproduksi atau kematian
matang pertama dengan usia bervariasi.
Faktor Meningkatkan Mengurangi Profitabilitas Desain Atribut KKL
Profitabilitas KKL KKL
Perpindahan/ KKL dapat meningkatkan hasil Spill over ikan dewasa dari Skala KKL lebih besar dari
gerakan ikan jika dikelola benar berukuran KKL home range ukuran ikan dewasa
dewasa relatif terhadap gerakan ikan meningkatkan hasil untuk mendukung penumpukan
dewasa. Untuk penyebaran dan tangkapan hanya pada populasi. Batas tempat habitat
ruaya, KKL jangka panjang seperangkat kondisi terbatas . kontinus yang memungkinkan
dapat peningkatan probabilitas Cagar mungkin tidak efektif spillover. Penggunaan tambahan
hasil dan pemulihan. KKL jika konfigurasinya tidak untuk konservasi ikan pelagis
melindungi tempat asuhan atau memperhitungkan perilaku
tempat pemijahan dapat gerakan ikan dewasa yang
meningkat hasil perikanan tidak bercampur
untuk jenis yang beruaya (nondiffusive)
Rekruitmen KKL dapat meningkatkan KKL meningkatkan hasil KKL sebagai tempat sumber lokasi
tergantung keuntungan perikanan pada hanya pada kondisi antar dan ikan larva sink/ keluar
kepadatan kondisi intra beragam/antar kohor tergantung pada
kohor tergantung pada kepadatan
kepadatan
Pertumbuhan Ikan berkumpul di daerah
tergantung penangkapan dari larva
kepadatan masukan dari KKL dan
pertumbuhan individu
menurun dapat mengurangi
hasil biomassa
Interaksi Dampak negatif tidak
spesies langsung perlindungan
melalui persaingan atau
predasi dapat mengurangi
ukuran populasi adanya
KKL.
Heterogenitas KKL dapat meningkatkan Daerah terlindungi dengan tingkat
spasial keuntungan pada kondisi pertumbuhan rendah tetapi tinggi
ekologis dan /atau daya dukung biomasa bersih yang
heterogenitas spasial ekonomi. dibawah keluar (eksportir).

Degradasi Tinggi tekanan Melindungi habitat sensitif dalam


habitat penangkapan antara KKL KKL. Membatasi
dapat mengurangi hasil praktek-praktek penangkapan
melalui gangguan habitat di tempat lain.
(misalnya, melalui trawl)
Stokastisitas KKL dapat meningkatkan Redundansi pada habitat yang
lingkungan/ hasil dengan menyangga terliput oleh KKL dapat
mengelola ketidakstabilan/ menyediakan penyangga spasial
ketidakpastian ketidakpastian pengelolaan terhadap guncangan sistem
terhadap populasi.
Cadangan dapat
meningkatkan keuntungan
spasial stokastik sumber
daya.
Faktor Meningkatkan Mengurangi Profitabilitas Desain Atribut KKL
Profitabilitas KKL KKL
Tingkah Realokasi usaha Tempat KKL menguntungkan
Laku penangkapan spasial dapat untuk perikanan dekat pelabuhan
Nelayan mengurangi manfaat dan KKL merugikan jauh
positif dari dari pelabuhan.
KKL.
Penegakan Pemantauan dan penegakan Perburuan dapat Membuat desain KKL
Biaya biaya rendah dapat mengurangi atau permanen dan sederhana.
diberikan oleh KKL dengan menghilangkan efek
biaya keunggulan positif dari penyebaran
komparatif. ikan yang dihasilkan
dengan cagar.
Tingkat Meningkatkan tingkat
Ekonomi diskonto
Diskonto mengurangi insentif untuk
melestarikan kepadatan
yang tinggi (dalam KKL)
untuk menghasilkan
keuntungan masa depan.

Sebuah survei dari 33 model latihan dengan 57 studi kasus untuk menguji secara
eksplisit dampak KKL terhadap hasil dan/atau keuntungan perikanan yang diharapkan
dapat mengungkapkan bahwa KKL memiliki potensi untuk meningkatkan kemakmuran
perikanan untuk berbagai spesies dan pengaturan ekologi: Sekitar setengah dari studi
menunjukkan hasil perikanan yang lebih tinggi/keuntungan yang diperoleh ketika KKL
merupakan bagian dari strategi pengelolaan (Gaines et al., 2010). Selain itu, ketika KKL
meningkatkan kemakmuran perikanan, manfaat puncak diproyeksikan terjadi ketika
sebanyak setengah total habitat merupakan KKL. Ini diproyeksikan dengan manfaat porsi
cukup besar daerah yang di konservasi untuk mendukung kesimpulan bahwa jejaring KKL
dapat menyediakan konservasi simultan dan pemanfaatan perikanan untuk beberapa spesies
dan lokasi. Menempatkan proporsi KKL yang lebih besar akan memberikan manfaat
konservasi yang lebih besar pula, namun pendapatan hilang karena perpindahan usaha
penangkapan yang dilindungi dari daerah biasanya akan lebih besar daripada keuntungan
dihasilkan oleh KKL (misalnya, melalui larva ekspor). Selanjutnya, bagi kebanyakan
spesies, KKL tidak dapat meningkatkan keuntungan jangka panjang daripada spesise yang
dicapai di bawah pengelolaan yang tidak masuk wilayah KKLatau dapat meningkatkan
euntungan hanya di bawah kondisi terbatas (18). Pada kondisi pengelolaan yang optimal;
terjadi ketika sumberdaya perikanan sedang dieksploitasi (yaitu, pengelolaan belum
optimal) atau ketika lingkungan atau ketidakpastian pengelolaan dipertimbangkan, maka di
set KKL dimanfaatkan untuk perikanan bahkan untuk spesies yang lebih besar (Gaines et
al., 2010).
Pada batas-batas tertentu, KKL hampir selalu meningkatkan biomassa dan
keanekaragaman hayati, dengan meningkatan nilai absolut yang lebih besar (terutama
dalam biomassa) diharapkan untuk melindungi daerah yang lebih besar. Mengingat
ekonomi kendala yang disarankan dari perspektif perikanan, berapa proporsi kawasan
lindung yang berubah menjadi daerah penangkapan cukup untuk mendukung tujuan
konservasi?. Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan penentuan apakah proporsi KKL
melakukan manfaat konservasi mulai menjenuhkan dan apakah saat ini rendah tidak cukup
untuk berkompromi dengan kemakmuran perikanan secara signifikan. Tanpa pengisian
larva dari daerah penangkapan, Gaines et al. (2010) estimasi persistensi dalam KKL (yaitu,
pengisian diri) mensyaratkan bahwa KKL lebih besar dari jarak penyebaran larva berarti
penangkapan spesies, jika KKL dikonfigurasi dalam jejaring KKL yang lebih kecil, maka
jejaring- pengisian lebar dapat dicapai jika KKL kolektif merupakan sepertiga sampai
setengah dari kawasan (region). Walaupun yang diperkirakan ini didasarkan pada asumsi
ekstrim bahwa eksploitasi berlebihan telah mengurangi stok penangkapan lokal untuk
tingkat yang diabaikan pada daerah penangkapan, eksploitasi berlebihan tidak ada dalam
banyak bagian dunia (Gaines et al., 2010), selanjutnya dijelakskan bahwa peningkatan
tekanan nelayan lokal dalam menanggapi untuk perubahan bentuk KKL adalah diharapkan
sebagai fitur pengelolaan yang optimal untuk memaksimalkan kemakmuran perikanan. Hal
serupa berbagai penutupan usia mungkin KKL diperlukan untuk mencapai ujuankonservasi
serta keanekaragaman hayati laut. Akibatnya, dalam menghadapi miskinnya pengelolaan
perikanan, konservatif perkiraan proporsi minimum suatu daerah untuk ditempatkan di
KKL terletak pada sekitar urutan satu-ketiga, nilai nyaman dalam proporsi maksimum
diperkirakan untuk memaksimalkan kemakmuran perikanan untuk sejumlah spesies.
Sebuah angka yang sebanding telah direkomendasikan oleh para ilmuwan yang terlibat
dalam kasus penelitian empiris, dan ini rentang perlindungan konsisten dengan perkiraan
yang berasal dari analisis ukuran jarak KKL minimum dan KKL maksimum seperti yang
dijelaskan di atas (Gaines et al., 2010).
Sintesis dari 33 peer-review publikasi ilmiah yang mewakili 57 penelitian kasus
yang secara eksplisit memeriksa berapa banyak KKL dari kegiatan penangkapan ikan
untuk memaksimalkan hasil perikanan dan/atau keuntungan jangka panjang ditemukan
kesimpulan bahwa (a) sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa hasil perikanan/laba
dimaksimalkan melalui pengelolaan tanpa dibandingkan dengan penggunaan Cagar laut,
dan (b) frekuensi distribusi persentase lahan perikanan yang direkomendasikan untuk
dimasukkan dalam KKL laut pada studi yang ditemukan KKL untuk menjadi bagian dari
hasil/keuntungan memaksimalkan pengelolaan (Gaines et al., 2010).

IV. KKL SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

A. Pendekatan KKL Diantara Alat Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Lainnya


Beberapa alat pengelolaan sumberdaya perikanan yang telah dikenal ada 13 jenis,
yaitu meliputi total kuota penangkapan yang diizinkan, pencegahan total kuota menangkap
diijinkan, pembatasan ukuran mata jaring, panel jaring persegi, kuota bycatch, ukuran
minimum atau maksimum untuk ikan yang didaratkan, modifikasi alat tangkap untuk
mengurangi bycatch atau kerusakan habitat, pembatasan jumlah kapal, pembatasan waktu
penangkapan, pembatasan spasial penggunaan alat tangkap, pelarangan langsung alat
tangkap, musim penutupan daerah penangkapan, dan sepenuhnya dilindungi dengan KKL
(Roberts et al., 2005). Setiap jenis alat pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangan selengkapnya tertera pada Tabel 5. Pada umumnya alat
pengelolaan sumberdaya perikanan dirancang untuk membatasi ukuran ikan tangkapan dan
jumlah ikan yang akan ditangkap pada suatu stok. Hal ini dilakukan baik melalui desain
alat tangkap, pembatasan daerah penangkapan atau pemabatasan jumlah nelayan yang
menangkap ikan dan pembatasan waktu yang digunakan untuk menangkap ikan. Diantara
alat pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut di atas, KKL merupakan alat pengelolaan
sumberdaya perikanan yang paling tinggi memiliki nilai konservasi dibandingkan dengan
alat pengelolaan lainnya atau alat konvensional (Roberts et al., 2005).
Tabel 5. Alat pengelolaan sumberdaya perikanan, penggunaan dan keterbatasannya dalam untuk
perikanan berkelanjutan dan konservasi. (Tindakan yang ditampilkan adalah tercantum
dalam urutan perkiraan nilai konservasi, meningkat dari atas ke bawah.)
(Sumber : Roberts et al.( 2005)

Alat Pengelolaan Nilai Penggunaan Keterbatasan


Total kuota Meskipun dimaksudkan untuk Spesies-spesifik memiliki persyaratan informasi
penangkapan yang menjaga stok pada atau di atas yang tinggi tidak mempertimbangkan masalah
diizinkan tingkat target yang diinginkan bycatch, membuang, kerusakan habitat oleh alat
dan memberikan perikanan tangkap, atau ancaman untuk spesies tertentu
berkelanjutan, kuota memiliki gagal melindungi genetik atau populasi
banyak kekurangan dan struktur stok
beberapa keuntungan
Pencegahan izin Kuota pencegahan mengenali Spesies-spesifik informasi persyaratan yang
penangkapan total kuota stok yang tinggi mengurangi kemungkinan overshoot
penilaian sering tidak dapat berkelanjutan penangkapan tingkat tidak
diandalkan dan kontrol usaha mempertimbangkan masalah membuang
penangkapan adalah tidak tepat bycatch, kerusakan habitat oleh alat tangkap,
atau ancaman untuk spesies tertentu gagal
melindungi struktur genetik atau populasi
stok
Pembatasan ukuran Dirancang untuk melindungi Alat tangkap dapat ditarik dengan cara yang
mata jaring ikan muda dari penangkapan dekat jala efektif ketika bersih adalah penuh
mana alat tangkap yang sama penangkapan
berbagai ukuran lebar spesies, batas ukuran
mesh kompromi antara perlindungan dan
produksi sesuai untuk spesies terbesar
pengaturan ukuran akan mengorbankan
produktivitas spesies kecil bycatch tetap menjadi
masalah
Panel jaring persegi Dirancang untuk melindungi Tidak bekerja juga ketika bersih adalah penuh
ikan muda dari penangkapan alat tangkap dapat ditarik dengan cara yang
dan untuk meningkatkan mengurangi melarikan diri dari ikan berukuran
melarikan diri dari ikan
berukuran kecil
Kuota bycatch Memberi batasan pada Memerlukan jangkauan pengamat 100% pada
pendaratan untuk satu spesies kapal secara efektif diimplementasikan
berdasarkan tentang kuota mendorong desain dan penggunaan roda alat
bycatch lain / ikan lain tangkap atau penangkapan metode yang
meminimalkan bycatch tanpa semacam ini
penegakan hukum, yang mengukur mendorong
dumping bycatch tangkapan spesies target dapat
diadakan di bawah tingkat yang berkelanjutan
Ukuran minimum atau Ukuran arahan minimal Tidak mencegah ukuran lain spesies sasaran
maksimum untuk ikan berusaha untuk mencegah tertangkap dan dibuang, mungkin dengan
yang didaratkan penangkapan mempertahankan signifikan mortalitas ukuran maksimum arahan
yang lebih besar tua hewan berusaha untuk tidak mencegah bycatch dari
untuk kontribusi mereka spesies non-target mahal ke polisi hewan yang
terhadap reproduksi belum dewasa dan menghindari overfishing
pertumbuhan
Alat Pengelolaan Nilai Penggunaan Keterbatasan
Modifikasi alat untuk Dirancang untuk mengurangi Modifikasi peralatan yang paling mengurangi
mengurangi bycatch kerusakan jaminan yang penangkapan efisiensi sehingga nelayan tidak
atau kerusakan habitat dilakukan oleh perikanan, akan menggunakan kurang merusak alat tangkap
terutama untuk spesies non- kecuali diminta untuk melakukannya oleh
target hukum ada batas praktis untuk pembatasan
kerusakan atau pengurangan bycatch alat
Dapat meningkatkan efisiensi tangkap tidak dapat dirancang yang selektif
pengolahan penangkapan dan dapat penangkapan spesies yang memiliki
pemasaran tangkapan morfologi yang mirip, perilaku dan penggunaan
habitat
Pembatasan jumlah Dirancang untuk membatasi Kapal yang tersisa dapat ditingkatkan untuk
kapal atau skema jumlah kapal dalam perikanan meningkatkan penangkapan daya kapal dapat
pensiun dan mengurangi usaha dioperasikan sepanjang waktu dengan
penangkapan ke tingkat yang beberapa kru tidak membatasi mana kapal dapat
diinginkan beroperasi pengurangan dalam usaha
penangkapan tersebar di seluruh perikanan akan
cukup untuk pemulihan dan perlindungan dari
banyak spesies dan habitat...
Pembatasan waktu Dirancang untuk mengurangi Mana usaha terkonsentrasi ke dalam periode
penangkapan penutupan usaha penangkapan singkat mempertaruhkan keselamatan nelayan
musiman dapat menyebabkan dan banjir pasar, menurunkan harga
'perikanan derby'
Nelayan juga memiliki insentif untuk
Seperti pembatasan pendaratan, meningkatkan penangkapan kekuatan kapal
ukuran ini bertujuan untuk untuk memaksimalkan tangkapan pembatasan
mencegah binatang-binatang 'hari-di-laut' menghindari masalah banjir pasar,
yang tertangkap sama sekali, namun berbagi kelemahan lainnya
bukan dari tertangkap kemudian
dibuang, seperti yang sering
terjadi dengan batas
penangkapan
Pembatasan spasial Dirancang untuk mengurangi Banyak spesies tetap rentan terhadap
penggunaan alat tangkap konflik antar sector industri penangkapan oleh alat tangkap diizinkan
perikanan (misalnya pengguna
tetap danponsel alat tangkap)
dan untuk melindungi daerah-
daerah dimana spesies atau
habitat yang sangat rentan
merugikan dari alat tangkap
tertentu
Bisa mengarahkan usaha
penangkapan ke daerah lain
memiliki potensi yang cukup
besar namun konservasi
biasanya iimplementasikan
hanya untuk mencapai sempit
perikanan tujuan
Pelarangan langsung Dirancang untuk menghilangkan Regulator mungkin enggan untuk melarang alat
alat tangkap penggunaan berkelanjutan atau tangkap langsung karena modal yang sudah
penangkapan alat tangkap merusak diinvestasikan oleh industri perikanan
Alat Pengelolaan Nilai Penggunaan Keterbatasan
Musim penutupan Dirancang untuk melindungi Biasanya spesies-spesifik bisa mengarahkan
daerah penangkapan agregasi spesies sasaran ketika nelayan ke daerah lainspesies dapat mengalami
mereka sangat rentan terhadap peningkatan penangkapan usaha di lain waktu
penangkapan berlebih atau dan tempat
gangguan
Dapat menjadi sarana sangat
efektif untuk mengurangi
penangkapan kematian dan /
atau meningkatkan keberhasilan
pemijahan
Sepenuhnya dilindungi Dirancang untuk melindungi dan Beberapa spesies bergerak/ruaya dapat tetap
dengan KKL engembalikan integritas rentan luar kawasan lindung bisa mengarahkan
ekosistem, memulihkan populasi nelayan ke daerah lain
spesies target, memungkinkan
mereka untuk mengembangkan
diperpanjang, usia alami
struktur, melindungi variabilitas
genetik, menghasilkan lebih
mudah diprediksi enangkap dan
memberikan asuransi terhadap
kegagalan manajemen
Menyediakan tingkat tinggi
manfaat konservasi melampaui
nilai-nilai untuk perikanan

Berdasarkan kajian yang membandingkan efektivitas KKL dan alat pengelolaan


sumberdaya perikanan konvensional, maka diperoleh dua (2) kesimpulan, yaitu (i) bahwa
pengaruh KKL terhadap hasil tangkapan adalah sejalan dengan mengurangi usaha
penangkapan, dan (ii) pengaruh KKL pada hasil per-rekrutmen adalah dapat meningkatkan
umur pada saat ikan tertangkap pertama kali dalam suatu stok (Botsford et al., 2003 dalam
Roberts et al., 2005). KKL dapat dipandang sebagai suatu cara yang berbeda untuk
mencapai tujuan inti dari pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana dengan pendekatan
KKL hasilnya secara kualitatif berbeda dengan pendekatan alat pengelolaan sumebrdaya
perikanan secara konvensional (Roberts et al., 2005; Baelde, 2005). Pendekatan KKL
merupakan alat pengelolaan dengan pendekatan spasial bertujuan untuk membatasi
penangkapan ikan dan memperluas ruang lingkup perlindungan terhadap satu atau
beberapa spesies dari waktu terbatas kepada perlindungan secara penuh sehingga dengan
pendekatan KKL memberikan manfaat secara spasial dapat didefinisikan, dan seperti
ditemukan pada beberapa lokasi dapat meningkatkan struktur umur stok, dimana kedua hal
ini sedikit atau tidak sama sekali ditemukan pada alat pengelolaan perikanan konvensional
(Roberts et al., 2005).
Dalam pendekatan KKL untuk pengelolan sumberdaya perikanan pada beberapa
tempat dapat mengurangi usaha penangkapan sampai tidak ada kegiatan penangkapan,
namun pada tempat lain dapat meningkatkan usaha penangkapan. Pendekatan KKL untuk
pengelolaan sumberdaya perikanan memiliki beberapa keterbatasan, karena pendekatan
KKL untuk melindungi spesies ikan, tetapi hanya melindungi stok secara parsial sehingga
hal ini perlu diperhatikan. Untuk itu, pendekatan KKL dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan perlu didukung atau dilengkapi dengan alat pengelolaan lainnya, khususnya
untuk bagian stok ikan yang berada di daerah terbuka untuk dieksploitasi (Roberts et al,
2005). Pada pengelolaan sumberdaya perikanan di Laut Utara, dimana pendekatan KKL
dikombinasikan dengan pengurangan total jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC)
dapat meningkatkan efektivitas pendekatan KKL (Greenstreet et al., 2009).
Keterbatasan lain pendekatan KKL, pada saat spesies ikan masih berada dalam KKL
akan mendapatkan perlindungan penuh, namun tingkat perlindungan akan menurun dengan
meningkatnya mobilitas ikan, khususnya untuk spesies yang sangat mobile (peruaya), KKL
dapat memberikan perlindungan pada tempat-tempat yang penting dan pada saat terjadi
kerentanan untuk dapat meningkatkan ketersediaan makanan dan mendukung
kelangsungan hidup ikan-ikan. Namun, alat pengelolaan konvensional dibutukan untuk
memberikan banyak perlindungan pada spesies ini jika sudah berada di luar KKL.
Sedangkan untuk spesies ikan yang menetap, dapat dibayangkan KKL untuk menyediakan
daerah perlindungan dalam jumlah yang besar, sehnigga kendala yang dihadapi adalah
pada penempatan KKL akan membutuhkan penerapan pengendalian lain dalam beberapa
kasus (Roberts et al, 2005). Selanjutkanya dikatakan bahwa secara umum, pendekatan
KKL dalam pengelolaan sumberdaya perikanan melengkapi alat pengelolaan yang telah
ada, dan sifatnya tidak bertentangan dengan sebagian besar alat pengelolaan sumberdaya
perikanan yang telah ada. Kemungkinan terjadinya konflik antara pedekatan KKL dengan
alat pengelolaan lainnya hanya pada wilayah tertentu, dimana kegiatan pengelolaan
sumberdaya perikanan didasarkan pada penangkapan ikan secara agregasi bersifat
musiman, dan perlindungan daerah secara agregat akan mencegah aplikasi dari alat
pengelolaan ini (Roberts et al, 2005).

B. Peran KKL Dalam Pengelolan Sumberdaya Perikanan Modern


Pendekatan KKL dan alat pengelolaan perikanan konvensional secara umum
memiliki banyak tujuan yang sama, yaitu melindungi degradasi sumberdaya ikan, tetapi
KKL harus diintegrasikan sebagai alat pengelolaan perikanan karena KKL dapat
mencapai beberapa hal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang tidak
bisa ditemukan pada alat-alat pengelolaan konvensional. Secara legal, tidak ada kegiatan
penangkapan ikan pada sebuah KKL, sehingga tidak ada cara yang legal untuk merusak
perlindungan spesies dan habitat di alam kawasan ini. Ada cara lebih pasti untuk dapat
mengintegrasikan keperhatian pada tingkat ekosistem ke dalam pengelolaan perikanan
daripada melindungi seluruh keutuhan ekosistem. Ada beberapa alat pengelolaan
sumberdaya perikanan yang menawarkan beberapa pilihan untuk mengurangi resiko
pengambilan keputusan di mana pilihan terakhir terletak pada politisi atau perwakilan
industri penangkapan (Okey 2003). Namun, permasalahannya biasanya keputusan yang
diambil kurang mendukung untuk kegiatan perikanan berkelanjutan dan tidak memenuhi
tujuan konservasi.
Konservasi sumberdaya hayati laut yang efektif tidak dapat dicapai adanya KKL.
Hanya KKL dapat melindungi habitat yang baru pulih dari dampak lebih dari rentang
waktu yang sangat lama dan hanya akan memberikan perlindungan yang cukup lengkap
bagi perlindungan spesies yang sangat rentan, seperti habitat padang mearl, padang kerang
kuda (Modiolus modiolus) dan terumbu laut dalam (Hall-Spencer et al. 2001; Fossa et al.
2002 dalam Roberets et al., 2005) dari kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan
trwall Perlindungan spasial dalam KKL menawarkan sarana untuk mempertahankan
populasi spesies yang rentan tanpa mematikan ikan sama sekali. Strategi ini sangat menarik
mengingat potensi kawasan lindung untuk mendukung perikanan di sekitarnnya (Roberts et
al., 2005).
KKL dan penutupan perikanan juga dapat melindungi dikenal poin dari kerentanan
stok di pada tempat-tempat dan waktu tertentu tanpa mencegah penangkapan di tempat
lain. Misalnya, di kebanyakan negara, herring (Clupea harengus) adalah dilindungi
sementara pemijahan di daerah pesisir. Jangka pendek sementara perlindungan semacam ini
sangat penting untuk menghindari kelebihan kematian dan penangkapan untuk melindungi
telur yang baru melahirkan. Seperti tempat dapat dipertimbangkan untuk perlindungan
permanen untuk membayar suite penuh manfaat KKL untuk habitat dan rentan spesies
dengan mencegah semua kerusakan habitat dan perlindungan lengkap dari penangkapan
affording (Roberts et al., 2005; Greenstreet et al., 2009)
Roberts et al., (2005) mengatakan bahwa manajer perikanan tradisional tidak
memikirkan perlindungan habitat. Beberapa model yang mendasari pengelolaan mencakup
hal yang berkaitan dengan habitat, bukan hanya mengasumsikan bahwa habitat akan
mendukung produksi. Hal ini menjadi jelas bahwa bagian dari alasan untuk penurunan
stokbahwa kita menggunakan metode penangkapan ikan yang merusak, menurunkan dan
merusak habitat ikan yang penting (Morgan & Chuenpadgee 2003 dalam Roberts et al.,
2005 ). Kerusakan agunan dari nelayan dapat meningkatkan alami tingkat kematian ikan,
pertumbuhan lambat dan mengurangi reproduksi keberhasilan (Roberts & Sersan 2002).
KKL dapat melindungi integritas struktural produktivitas dan habitat penting untuk
spesies perikanan sehingga membantu mempertahankan perikanan (Chow et al, 1997;.
Auster & Langton 1999 Roberts et al., 2005 ). Kegiatan perikanan dapat mengurangi
struktur umur dari stok ikan dan meninggalkan beberapa kelas umur yang aktif
reproduktif. Langkah-langkah seperti pembatasan ukuran jaring yang digunakan sebagai
alat pengelolaan untuk memungkinkan individu dewasa dapat melarikan diri tetapi ini
biasanya kematangan margin ditetapkan pada ukuran yang lebih rendah. Seperti ikan yang
lebih kecil menghasilkan lebih sedikit keturunan daripada hewan yang lebih besar,
menghapus usia terbesar kelas memiliki dampak besar pada output proporsional stok
reproduksi (Sadovy 1996 dalam Roberts et al., 2005; Dulvy et al.,2004). Selanjutanya
mengambil dari hewan terbesar memberikan tekanan pada intens selektif untuk sebelumnya
reproduksi pada ukuran tubuh lebih kecil, yang memperburuk dampak dari pembatasan
struktur umur (Dulvy et al., 2004). Sebagai contoh, stokplaice (Pleuronectes platessa) di
Laut Utara sekarang dewasa hanya pada setengah ukuran mereka lakukan 50 tahun yang
lalu (Grift et al. 2003 Roberts et al., 2005). Sementara perubahan dalam selektivitas alat
tangkap dapat mengurangi beberapa tekanan seleksi yang merugikan, tidak alat pengelolaan
perikanan selain KKL yang dapat mendorong perkembangan penuh dari alam, struktur usia
diperpanjang spesies ikan. KKL dengan demikian akan banyak kontra efek evolusi yang
tidak diinginkan dari penangkapan , dan membantu mencegah hilangnya sifat yang
diinginkan (Roberts et al., 2005).
Cadangan laut adalah alat pengelolaan sumberdaya perikanan dengan membutuhkan
informasi yang rendah, yang pernah dilaksanakan, memungkinkan perlindungan stok yang
efektif bagi spesies dengan berbagai karakteristik life-history. KKL pertama kali
diimplementasikan untuk alasan pengelolaan perikanan yang dirancang untuk mendukung
penangkapan di tempat yang kompleks, perikanan multi-spesies, di mana metode
penangkapan relatif non-selektif yang banyak digunakan, di mana sumber daya untuk
pengelolaan terbatas, dan di mana kekuatan peraturan lemah (Alcala 1988 dalam Roberts
et al., 2005). Banyak perikanan seluruh dunia, termasuk industri perikanan beriklim sedang
menampilkan karakteristik ini. Nilai-nilai konservasi bersifat universal bahkan habitat air
biru pelagis bisa mendapatkan keuntungan dari perlindungan KKL dari penangkapan ikan.
Kami sekarang telah belajar cukup banyak tentang KKL untuk tahu bahwa mereka
memiliki nilai untuk perikanan di dunia, terlepas dari geografis, politik atau pengaturan
pengelolaan (Roberts et al., 2005).
Akhirnya, KKL dapat melindungi terhadap kegagalan pengelolaan dan dalam hal ini
kita termasuk pengaturan overgenerous, kuota berisiko untuk pengambil keputusan.
Dengan melindungi beberapa fraksi stok dari kegiatan eksploitasi, maka mereka mungkin
dapat untuk mencegah runtuh stok yang akan terelakkan jika ada hanya pemeriksaan
tangkapan yang konvensional. Untuk menyediakan asuransi, peran konservasi alam KKL
harus mapan dan dilindungi legislatif. Hal ini akan membutuhkan kerjasama erat antara
pengelolaan perikanan, pihak konservasi dan nelayan yang menyatakan bahwa di laut
perlu ada KKL. Penghapusan KKL seharusnya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
dari semua pihak tersebut (Roberts et al., 2005).

C. Tantangan Dalam Implementasi KKL


Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan KKL telah secara luas, baik
pada tataran konsep ilmiah maupun pada kebijakan, karena pendekatan ini merupakan
bagian pengelolaan perikanan berbasis ekosistem. Beberapa negara yang telah mengadopsi
pendekatan ini antara lain Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Negara-Negara Uni
Eropa (National Marine Fisheries Service, 1998; Baelde, 2005; Fisheries and Oceans
Canada. 2009). Negara-negara Uni Eropa pada 2008 lalu menyelenggarakan simposium
khusus membahas tentang KKL sebagai alat untuk pengelolaan perikanan dan konservasi
ekosistem laut yang dihadiri oleh 397 ilmuwan kelautan, manajer, dan stakeholder dari 32
negara. Secara keseluruhan, 255 makalah yang disajikan, termasuk 122 presentasi lisan
(Hoffmann dan Pérez-Ruzafa, 2008).
Namun, dalam tataran implementasinya masih banyak ditemukan tantangan dan
hambatan, karena pendekatan KKL dalam pengelolan sumberdaya perikanan masih
terbilang baru sehingga bahan pengetahuan dan pemahaman pengelola perikanan para
ilmuwan masih kurang (National Marine Fisheries Service, 1998). Disamping itu, masih
menghadapi tantangan dari instansi pengelola konservasi keanekaragaman hayati,
perangkat kelembagaan yang dapat mendukung implementasi, dan diperlukan dukungan
dari masyarakat, khususnya nelayan dan industri perikanan (Roberts et al., (2005). Sebagai
contoh, pada saat deklarasi KKL di Australia menghasilkan banyak kebingungan dan
kontroversi antara pemerintah (instansi pengelola konservasi dan instansi perikanan),
industri perikanan dan LSM. Ada perbedaan mendasar antara prinsip-prinsip dan praktek
yang mendasari pelaksanaan KKL dan pengelolaan perikanan (Baelde, 2005).
Selain itu, juga terkait dengan desain jejaring KKL yang masih perlu dipertanyakan
seperti dinyatakan oleh Wood et al. (2007) dan Gaines et al.(2010), sebagai berikut :
(1) Jejaring KKL sedang dirancang atas dasar kondisi biologis dan fisik yang ada saat ini.
Namun, fitur dari ekosistem seringkali sangat digabungkan dengan iklim variabilitas.
Cagar laut tetap dalam tempat, tetapi spesies mereka dirancang untuk manfaat bisa
bergeser secara dramatis dalam distribusi geografis mereka selama dekade mendatang
menghadapi perubahan iklim.
(2) Seperti telah kita bahas, hampir semua penelitian saat ini pada desain jejaring untuk
memenuhi pada fokus tujuan hasil perikanan dan profitabilitas. Namun demikian,
tujuan pengelolaan perikanan banyak yang lainnya yang mungkin diuntungkan oleh
jejaring KKL. Tujuan ini mencakup perkiraan berbagai macam ekosistem pada efek
penangkapan untuk menginformasikan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem,
secara eksplisit spasial penilaian stok, dan menguraikan efek dari penangkapan ikan
berkaitan dengan perubahan iklim dan dampak lainnya. Dapatkah kita secara empiris
menilai apakah harapan teoritis untuk efektifitas jejaring di arena yang sebenarnya
terus bersaing antara konservasi dan pengelolaan perikanan dalam kontes ekosistem
nyata?.
(3) Jejaring KKL memiliki tujuan lain, seperti menjaga alam dan warisan budaya,
pendidikan, dan pengaturan pada penelitian murni, dan tujuan ini mungkin
memerlukan keputusan desain yang berbeda. Akhirnya, efektivitas desain unsur-unsur
yang telah bahas sebagian besar tetap belum teruji, karena jejaring KKL pada skala
geografis yang tepat telah dilaksanakan baru-baru ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abesamis. R. A. and G. R. Russ. 2005. Density-Dependent Spillover From A Marine


Reserve: Long-Term Evidence .Ecol. Applic. 15(5): 1798–1812
Agardy, T., 2000. Effects Of Fisheries On Marine Ecosystem: A Conservationist’s
Perspective. ICES Journal of Marine Science.
American Association for the Advancement of Science. 2001. Press Release Dated
February 2001 From The Annual American Association for the Advancement of
Science (AAAS) Meeting). San Diego- USA.
Alcala. A. C. and G. R. Russ. 2006. No-Take Marine Reserves and Reef Fisheries
Management in the Philippines: A New People Power Revolution. Ambio.. 35 (5):
245-254
Avasthi, A. 2005. Ecosystem management—California tries to connect its scattered marine
reserves. Science 308: 487–488.
Baelde, P. 2005. Interactions between the implementation of marine protected areas and
right-based fisheries management in the Australian Fisheries Management and
Ecology, 12: 9-18
Botsford L.W, et al. 2009. Connectivity, sustainability, and yield: Bridging the gap
between conventional fisheries management and marine protected areas. Rev Fish
Biol Fish 19:69–95.
Costello, C., and S. Polasky. 2008. Optimal harvesting of stochastic spatial resources. J
Environ. Econ Manag. 56:1–18.
Dulvy,N.K., N.V.C. Polunin, A.C. Mill, and N.A.J. Graham. 2004. Size Structural Change
In Lightly Exploited Coral Reef Fish Communities: Evidence For Weak Indirect
Effects. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 61: 466–475. Diakses 21-10-2011
Fisheries and Oceans Canada. 2009. Principles of Ecosystem-based Fisheries
Management.http://www.dfo-mpo.gc.ca/fm-gp/peches-fisheries/fish-ren-peche/sff-
cpd/ ecosys-back-fiche-eng.htm. 25-10-2011
Friedlander,A.M, E.K. Brown,.PL Jokiel, W.R. Smith and K.S .Rodgers. 2003. Effects Of
Habitat, Wave Exposure, And Marine Protected Area Status On Coral Reef Fish
Collection in The Hawaiian Islands. Coral Reefs. 22: 291 -. 395
Gaines S. D, B. Gaylord, J.L. Largier. 2003, Avoiding current oversights in marine reserve
design. Ecol. Appl. 13:S32–S46.
Gaines, S D., C. White, M. H. Carr, and S. R. Palumbid. 2010. Designing Marine Reserve
Networks For Both Conservation and Fisheries Management. PNAS. 107 (43) :
18286–18293
Gell. F. R. and C. M. Roberts. 2003. Benefits Beyond Boundaries: The Fishery Effects Of
Marine Reserves. TRENDS in Ecology and Evolution. 18 (9) : 448-455
Greenstreet, S. P. R., H. M. Fraser, and G. J Piet. 2009. Using MPAs to address regional-
scale ecological objectives in the North Sea: modelling the effects of fishing effort
displacement. – ICES Journal of Marine Science, 66: 90–100.
Hoffmann, E. dan Pérez-Ruzafa, A. 2008. Kawasan Lindung Laut sebagai alat untuk
pengelolaan perikanan dan konservasi ekosistem: Pendahuluan sebuah. - ICES
Journal of Marine Science, 66: 1-5.
Halpern B.S, et al. 2008. A global map of human impact on marine ecosystems. Science,
319 : 948–952.
Pet, J and Mous, P.J, 2002. Kawasan Konservasi Laut dan Manfaatnya Bagi Perikanan
(Diterjemahkan oleh S. Paramita B.U dan Hesti Widodo), The Nature Conservancy –
Southeast Asia Center for Marine Protected Areas, Sanur, Bali, Indonesia
Kaundra-Arara, B. and G.A. Rose 2004. Out-migration of tagged fishes from marine reef
National Parks to fisheries in coastal Kenya. Environ. Biol. Fish. 70: 363 – 372
Kellner J.B, I.Tetreault, S.D. Gaines, R.M. Nisbet. 2007. Fishing the line near marine
reserves in single and multispecies fisheries. Ecol Appl 17:1039–1054.
Lubchenco, J and J. W. Balsiger. 2009. Report to Congress: The State of Science to
Support an Ecosystem Approach to Regional Fishery Management. National Marine
Fisheries Service,hNOAA, Tech. Memo. NMFS F/SPO-96, Silver Spring, MD
McDonald, A.E Punt, B.D Mapstone, F. Paritus and CR Davies. 2005. Effect Sizes and
Fragmentation of Marine Reserves and Fisher Infringement on the Catch and
Biomass Of Reef Fish, Plectropomus Leopardus, on the Great Barrier Reef, Australia.
Fish. Manag. Ecol., 12: 177-188
National Marine Fisheries Service (NMFS). 1999. Ecosystem-based fishery management:
A Report to Congress by the Ecosystem Principles Advisory Panel, 54 p. U.S. Dep.
Commer., NOAA, NMFS, Silver Spring, MD
Tulungen, J.J., 2003. Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Sumberdaya Pesisir
Berbasis Masyarakat Sebagai Salah Satu Model Pengelolaan Perikanan Contoh Kasus
DI Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Makalah Disampaiakan Disemiasi dan
lokakarya praktek-praktek terbaik kegiatan pembangunan perikanan se Sulawesi,
Makassar 17 – 19 Pebruari 2003.
Palumbi, S.R. 2004. Marine reserves and ocean neighborhoods: The spatial scale of marine
populations and their management. Annu Rev Environ Resour 29:31–68.
Pauly, D., V.Christensen., S.G.´ Nette, T. Pitcher, U.R Sumaila, C. Walters. 2002. Towards
sustainability in world fisheries. Nature, 418, 689–695
Roberts, C.M. and J.P. Hawkins. 2000. Fully-Protected Marine Reserves: A Guide. WWF
Endangered Seas Campaign, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037, USA
and Environment Department, University of York, York, YO10 5DD, UK.
Roberts, C.M., S. Andelman, G .Branch, R.H. Bustamante, J.C. Castilla, J Dugan. 2003.
Ecological Criteria For Evaluating Candidate Sites For Marine Reserves. Ecol. Appl.
13: S199–S214.
Roberts, C. M., P J.. Hawkins and F. R. Gell. 2005. The role of marine reserves in
achieving sustainable fisheries Phil. Trans. R. Soc. B. 360, 123-132
Sanchirico, J. N., M. D. Smith, and D W. Lipton. 2006. An Approach to Ecosystem-Based
Fishery Management. Discusion Paper. RFF DP 06-40, 1616 P St. NW
Washington, DC 20036 202-328-5000 www.rff.org 25-10-2011
Samoilysa, M. A., K. M. Martin-Smith, B. G. Gilesc, B. Cabrerad, J. A. Anticamarac, E. O.
Bruniod, A. C.J. Vincentc. 2007. Effectiveness Of Five Small Philippines’ Coral
Reef ReservesFor Fish Populations Depends On Site-Specific Factors,Particularly
Enforcement History. Biol. Conser., 13 6: 584–601
Scandol, J. P., M. G. Holloway, P. J. Gibbs And K.L.Astles. 2005. Ecosystem-Based
Fisheries Management: An Australian Perspective. Aquat. Living Resour. 18, 261–
273
Suraji. 2009. Mengenal Potensi Kawasan Konservasi Perairan (Laut) Daerah. Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II), Direktorat Jenderal
Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta
White. C. 2009. Density dependence and the economic efficacy of marine reserves.
Theoretical Ecology 2: 127–138.
Wood, L. J., L. Fish, J. Laughren and D. Pauly. 2007. Assessing Progress Towards Global
Marine Protection Targets: Shortfalls In Information and Action. Oryx 42(3), 1-12

Anda mungkin juga menyukai