Anda di halaman 1dari 165

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Teluk Palabuhanratu merupakan daerah pengkapan ikan (fishing ground) dan
juga daerah asuhan anak-anak ikan (nursery ground). Lokasi ini masih sangat
potensial sebagai daerah pengasuhan ikan, karena memiliki karakteristik perairan
khas yang mendukung keberadaan larva ikan.
Larva ikan memegang peranan penting terhadap keberadaan sumberdaya ikan
di laut, karena perkembangan awal daur hidup ikan tergantung pada fase larva.
Tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi ikan saja, bahkan kelangsungan hidup dari
spesies ikan akan terancam apabila ikan pada fase larva sudah dieksploitasi. Seperti
diketahui pada tahap awal, daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi
karena kepekaan terhadap predator, keterbatasan makanan, dan juga perubahan
lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Sifat dari sumberdaya ikan sebagai
milik bersama (common property), dapat dimanfaatkan oleh siapa pun (open
access), sehingga mendorong manusia untuk mengeksploitasinya sebanyak mungkin
dengan berbagai cara.
Upaya eksploitasi ikan yang terjadi di daerah teluk ini meliputi kegiatan
menangkap ikan menggunakan perahu motor, bagan, dan tradisi mengambil larva
(nyalawean/ngala impun). Nyalawehan merupakan suatu kegiatan penangkapan ikan
di sekitar muara sungai Teluk Palabuhanratu. Ikan yang ditangkap dari tradisi ini
pada awalnya adalah ikan gobii/impun dalam stadia larva dan juvenil.
Pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif seperti bagan yang dapat menangkap
ikan dari berbagai ukuran termasuk larva dan juvenil ikan. Jika kegiatan
penangkapan larva terjadi secara terus menerus, hal ini dapat menyebabkan
penurunan stok sumberdaya ikan, karena tidak adanya regenerasi atau rekruit ikan
yang masuk ke perairan akibat pada stadia larvanya saja sudah tertangkap dan belum
sempat menjadi dewasa untuk melakukan pemijahan (reproduksi). Seperti diketahui
bahwa keberhasilan faktor reproduksi ini merupakan faktor yang mempengaruhi
keberlangsungan suatu sumberdaya ikan.
2

Faktor penangkapan ikan pada fase larva secara berlebihan merupakan


penyebab menurunnya stok larva yang tentunya akan berkaitan erat dengan
penurunan stok ikan di laut. Apabila pada tahap larva sudah terjadi penangkapan
yang berlebih, maka kedepannya akan berdampak pada stok ikan yang berumur
dewasa menjadi lebih sedikit dan kondisi stok produksi perikanan tangkap akan
menurun (Olii 2003). Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian operasi
penangkapan yang ditargetkan pada larva ikan, mengingat potensi sumberdaya ini
mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan bangsa yang akan datang,
sehingga perlu dikelola secara terpadu untuk dimanfaatkan secara optimal tanpa
menimbulkan kerusakan. Sejauh ini salah satu pendekatan yang diyakini mampu
menerjemahkan konsep pengelolaan tersebut adalah pendekatan konservasi, dimana
aspek pemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari aspek perlindungan dan aspek
pelestarian. Implementasi dari pendekatan konservasi salah satunya dicerminkan
dalam bentuk penetapan kawasan konservasi.

1.2. Rumusan Masalah


Sifat dasar sumberdaya ikan yang milik bersama (common property), dan
pemanfaatannya oleh siapapun (open acces) memudahkan keluar masuknya individu
dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan. Mengingat sumberdaya ikan memiliki
sifat yang terbatas dan mudah rusak, perlu dilakukan pengelolaan yang dapat
menjamin pemanfaatan sumberdaya tersebut berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Keadaan yang sama juga terjadi pada sumberdaya ikan yang telah dewasa,
padahal telah diketahui bahwa larva ikan merupakan awal dari daur hidup ikan,
dimana pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi tidak hanya karena akibat
penangkapan, tetapi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan
seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada
tahap ini pula yang menentukan kelangsungan hidup dari satu spesies maupun
populasi ikan tersebut.
Berdasarkan masalah diatas maka perlu dilakukan kajian untuk menentukan
kawasan konservasi. Untuk memudahkan dalam perencanaan kawasan konservasi
maka diperlukan software Marxan yang dapat membantu dalam membuat skenario
3

kawasan konservasi sebagai upaya awal dalam perlindungan dan pelestarian


sumberdaya sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan dan
bertanggung jawab.

Sumberdaya Pesisir
Palabuhanratu

SD Non hayati Sumberdaya Jasa Lingkungan


ikan

larva Dewasa

Over Exploitasi

Upaya
Perlindungan

Desain kawasan konservasi


(Marxan)

BLM Fitur konservasi Fitur biaya

Hasil

Rancangan 1 Rancangan 2 Rancangan 3

Penetapan
wilayah konservasi

= Hubungan
= Ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Skema kerangka pikir penelitian

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan antara lain :
1. Menentukan variabel sumberdaya pesisir yang berhubungan dengan upaya
perlindungan di perairan Teluk Palabuhanratu
4

2. Memberikan alternatif rancangan kawasan konservasi.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dari adanya penelitian ini adalalah sebagai dasar pertimbangan bagi
pemerintah daerah dalam menentukan kawasan perlindungan laut melalui kajian
pendekatan berbasis spasial ekologi di perairan Teluk Palabuhanratu guna menjaga
keberlanjutan jenis dan kelestarian lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Kawasan Konservasi


Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah kawasan konservasi laut
yang berada dalam wilayah kewenangan pemerintah daerah dan ditetapkan serta
dikelola oleh daerah mulai dari tahap perencanaan, penetapan, pengelolaan serta
monitoring dan evaluasi (DKP 2007). Tujuan penetapan kawasan konservasi adalah
untuk terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistem sehingga
dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang, dan juga sebagai
suatu kawasan untuk pemanfaatan sumberdaya alami bagi kepentingan rekreasi,
wisata pendidikan, penelitian serta bentuk lainnya yang tidak bertentangan dengan
prinsip konservasi. Idealnya kawasan konservasi di integrasikan dengan sistem
pengelolaan pesisir agar terjadi kontrol yang efektif untuk menghambat ancaman
yang berasal dari hulu dan menjaga kualitas air (Done dan Reichelt 1998).
Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaannya dari
pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan
perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai
pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap “biosphere” untuk mendapatkan
keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara
potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang (IUCN 1980 in
Salm 1984).

2.1.1. Landasan hukum


Landasan hukum penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya
peraturan yang menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar
kegiatan tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi
landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain :
a. Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada
Pasal 18 Ayat 3 menyatakan bahwa kewenangan bidang kelautan dan
perikanan bagi daerah Kabupaten yaitu seluas 4 mil laut atau 1/3 dari
wilayah perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksudkan
6

meliputi : eksplorasi, ekploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;


pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah; bantuan
penegakan keamanan dan kelautan negara.
b. Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta
antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
c. Undang-Undang RI No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang
diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis karyawan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada
Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan :
1. Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan
terhadap bencana
2. Potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan;
kondisi ekonomi, sosial, budaya. Politik, hukum, pertahanan keamanan,
lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu
kesatuan; dan
3. Geostrategi, geopolitik dan geoekonomi
d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 tahun 2007 Tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan
Kawasan konservasi perairan yang dinyatakan pada Pasal 1 Ayat 1 adalah
kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk
mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
7

berkelanjutan. Pembagian zonasi menurut pasal 17 ayat 4 terdiri dari zona


inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya.
e. Peraturan Menteri kelautan dan perikanan RI No. 17 tahun 2008 tentang
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu
sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau
dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada pasal 24 dapat
dilaksanakan oleh:
1. Pemerintah untuk kawasan konservasi nasional;
2. Pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan
3. Pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kawasan konservasi
kabupaten/kota.

2.1.2. Sistem zonasi kawasan konservasi laut daerah


Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi
sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai
satu kesatuan ekosistem (DKP 2007)
Sebagai upaya dalam mengakomodasi semua keinginan dan kebutuhan pihak
pengguna kawasan, seperti pengembangan pariwisata, perikanan dan nilai-nilai
konservasi serta kebutuhan suatu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah
hal yang cukup sulit. Kegiatan pemanfaatan di suatu Kawasan Konservasi dapat
sejalan dan selaras dengan konservasi, sepanjang adanya pengelolaan yang baik.
Walau begitu, kerusakan dapat juga terjadi akibat pembangunan sarana fisik di
KKLD.
Hingga saat ini penataan zona kawasan konservasi laut belum optimal karena
kelangkapan data dan informasi dasar dari sumberdaya pesisir yang ada belum
optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan pembagian kawasan
8

atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu perlakuan tertentu di masing-
masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan
peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistim pada setiap bagian
kawasan (Sriyanto 1998 in Ila 2010).
Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku
dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah
dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini dapat
ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi secara
jelas untuk menegaskan batasannya (Laffoley 1995 in Ila 2010).
Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud adalah PP No.60 tahun 2007 tentang
konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
zona pemanfaatan , dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Zonasi tersebut dapat
didefinisikan sebagai berikut :
1. Zona inti merupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila dianggap
masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini
diperuntukkan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b)
penelitian, dan (c) pendidikan.
2. Zona Perikanan Berkelanjutan merupakan zona yang memiliki nilai
konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh pengguna
(nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai potensi untuk
berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona perikanan berkelanjutan
diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b)
penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan. (c) budidaya
ramah lingkungan, (d) pariwisata dan rekreasi, (e) penelitian dan
pengembangan, dan (f) pendidikan.
3. Zona pemanfaatan akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai
pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai dengan tujuan KKLD.
Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi: (a) perlindungan habitat dan populasi
ikan, (b) pariwisata dan rekreasi, (c) penelitian dan pengembangan, dan (d)
pendidikan
9

4. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai
zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona rehabilitas dan
sebagainya.

2.2. Larva Ikan


Iktioplankton berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara)
yang artinya ikan yang masih bersifat palnktonis. Istilah iktioplankton muncul
setelah beberapa ahli mulai membedakannya dengan plankton berdasarkan istilah
ichthyes untuk ikan. Dalam golongan plankton, organisme ini dikategorikan sebagai
meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya
bersifat sebagai plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan
sebagai perenang-perenang yang aktif yang sudah masuk dalam kategori nekton
(Olii 2003). Mengingat pentingnya iktioplankton ini bagi kegiatan perikanan
khususnya konservasi, lokasi penemuan telur dan larva ikan merupakan petunjuk
dimana dan berapa luas daerah pemijahan (spawning ground) jenis ikan tertentu
sebagai informasi dasar dalam menentukan kawasan konservasi.
Mantiri (1995) in Olii (2003) mengatakan bahwa Iktioplankton adalah
organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva, Namun ada juga yang
menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juvenil yang masih
bersifat planktonis. Iktioplankton sebagai tahapan awal perkembangan sejak dari
stadia telur, larva dan juvenil ikan merupakan awal dari daur hidup ikan. Menurut
Nontji (2008) larva ikan yang baru saja menetas umumnya berbentuk transparan,
belum bisa mencari makanan sendiri serta fungsi mulut dan saluran pencernaannya
belum berkembang dengan sempurna. Pada saat seperti itu, larva ikan masih
bergantung pada cadangan makanan yang berupa kuning telur. Pada tahap ini tingkat
mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti
suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada tahap
ini pula yang menentukan kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan
tersebut.
10

2.3. Perancangan Ruang Kajian Marxan


Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling)
dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexsan untuk memenuhi
kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA) (Ball dan
Possingham 2000). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini adalah
permasalahan perencanaan konservasi dalam menentukan daerah konservasi karena
daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga banyak kemungkinan
daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi.
Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan
untuk membantu merancang sebuah kawasan perlingdungan laut. Hal ini karena
Marxan dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi
berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis
(Darmawan dan Darmawan 2007).
Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna baru karena prosesnya
didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba berbagai skenario
perencanaan kawasan yang berbeda dan dapat melihat seperti apa hasilnya, dari hasil
tersebut Perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan (Meerman
2005). Perangkat lunak ini menggunakan algoritma simulated annealing, yang
memiliki cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu literatif improfment, random
backward dan repetition. Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari nilai
cost yang paling rendah. Dengan kombinasi ketiga langkah tersebut, memastikan
bahwa lokasi yang terpilih adalah lokasi yang terendah. Algoritma simulated
anealling menjalankan fungsi obyektif yang merupakan kombinasi sederhana dari
nilai cost terpilih dan nilai penalty untuk yang tidak memenuhi target konservasi
(Ball dan Posingham 2000).

= + × + ( × )

Keterangan :
Cost : Nilai cost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukur i = 1,2,…,n; n
adalah banyaknya satuan perencanaan.
11

BLM : Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatif cost terpilih di
planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif.
Boundary : Batas dari area terpilih/perimeter ke-i
SPF : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i
apabila target tiap spesies tidak terpenuhi
Penalty : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi
pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif

Langkah awal dalam penentuan kawasan konservasi yaitu dengan


mengidentifikasi daerah target sebagai dasar dalam skenario perencanaan yang
hendak dilakukan. Kemudian daerah target dirubah menjadi planing units atau unit
perencanaan. Planing units sendiri adalah blok blok atau petakan petakan lokasi
yang dalam evaluasi marxan sebagai pertimbangan untuk dipilih sebagai solusi
(Loos 2006). Loos (2006) menyatakan bentuk yang dapat digunkan dalam
membentuk planing units dapat berupa segitiga, persegi empat, dan hexagon
(Gambar 2). Bentuk yang paling banyak digunakan untuk analisis Marxan adalah
hexagon karena bentuk yang lebih natural, mendekati bentuk lingkaran dan memiliki
rasio tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Selain itu planing units yang
menggunakan hexagon memiliki keluaran (output) yang lebih halus dibanginkan
dengan bentuk planing units lainnya (Miller et al. 2003). Hexagon juga memiliki
perimeter yang lebih rendah terhadap luasan dibandingkan dengan persegi empat
dengan area yang sama (Warman 2001 in Azhar 2010).
Selain Cost dan SPF, BLM merupakan merupakan salah satu faktor dalam
menentukan fungsi obyektif penentuan kawasan konservasi. BLM (Boundary
Lenght Modifier) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan
perimeter kawasan konservasi. Tinggi rendahnya BLM akan berpengaruh terhadap
perimeter dan area yang muncul dalam solusi (Loos 2006). BLM rendah akan
menghasilkan perimeter yang lebih besar (Gambar 3.a), sedangkan BLM yang
tinggi, areal terpilih akan lebih luas dan terfokus serta memiliki perimeter yang lebih
kecil (Gambar 3.c). Dengan BLM yang kecil, marxan akan terkonsentrasi
meminimalkan planning unit cost, sedangkan BLM yang besar akan memberikan
tekanan pada penurunan Boundary Lenght (Steward dan Possingham 2005).
12

a. b.

c. d.

Gambar 2. Grid unit perencanaan dalam Marxan. (a) bentuk segitiga, (b) bentuk
persegi, (c) bentuk hexagon, (d) bentuk octagons
(Sumber : Loos 2006)

Gambar 3. Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM sedang, c) BLM tinggi


(Sumber: Loos 2006)

Penentuan nilai BLM ini akan bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain.
Nilai BLM dipilih berdasarkan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari
13

analisis yang dilakukan (Possingham et al. 2000). Dengan kata lain tidak ada
parameter yang menentukan nilai BLM, nilai ini ditentukan berdasarkan eksperimen
dan memperhatikan bentang alam hasil dari Marxan untuk menemukan desain yang
diharapkan sehingga memberikan keleluasaan pada perencana kawasan konservasi
dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan.
Hasil terbaik dalam menentukan solusi kawasan konservasi adalah desain yang
terfokus dan mengumpul, karena desain tersebut lebih efeketif, dapat memudahkan
pengelolaan dan juga memudahkan untuk di aplikasikan di lapang dibandingkan
dengan desain solusi yang menyebar. Menurut Diamond (1975) atas dasar teori
biogeografi pulau, ada 7 prinsip desain yang sangat efektif dalam perencanaan
perlindungan, antara lain sebagai berikut

Gambar 4. Prinsip desain kawasan perlindungan


(sumber: Diamond 1975)
14

Menurut Diamond 1975, ada sembilan prinsip desain kawasan perlindungan,


antara lain adalah kawasan perlindungan yang besar lebih baik dibandingkan dengan
kawasan yang lebih kecil dengan bentuk yang sama (Gambar 4a), bentuk yang
mengumpul lebih baik daripada bentuk yang tersebar walaupun dengan ukuran yang
sama (Gambar 4b), bentuk yang menyebar namun berdekatan lebih baik daripada
bentuk yang menyebar berjauhan walau dengan ukuran yang sama (Gambar 4c),
bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang terpisah memanjang
namun tidak berhubungan (Gambar 4d), bentuk yang terpisah namun berhubungan
lebih baik daripada bentuk yang terpisah namun tidak berhubungan (gambar 4e),
bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang menjang berhubungan
(Gambar 4e). Walaupun sebelumnya banyak menghasilkan perdebatan ekologi, yang
dikenal dengan SLOSS (single large or several small reserves) sebagian besar dari
prinsip ini telah diterima sebagai desain jaringan kawasan konservasi pada modern
biogeografi studies for the design of natural preveses dan telah banyak diterapkan
hingga sekarang.
Penerapan Marxan telah digunakan untuk mendukung perancangan kawasan
konservasi laut dan darat di seluruh dunia. Namun Marxan lebih dikenal untuk
digunakan dalam merancang jaringan konservasi pada ekosistem terumbu karang di
daerah tropis dan subtropis (Fernandes et al. 2005). Beberapa zonasi kawasan
konservasi di indonesia telah menggunakan Marxan. Hal ini dilakukan karena
Marxan mempunyai beberapa keunggulan antara lain:
1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program
Arcview, dengan tersedianya ekstensi-ekstensi yang memudahkan
pembuatan planing unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta
otomatisasi pembuatan shapefile hasil perhitungannya
2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat
dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang
sesuai dengan yang diinginkan.
3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis,
sehingga alurnya dapat diikuuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga
15

berbagai faktor, baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam
perhitungan.
4. Bisa mengadopsi penataan zonasi menurut PP No. 60 tahun 2007 dan
Permen No. 17 tahun 2008.
Sebagai software buatan manusia, marxan masih terdapat kekurangan, yaitu
Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara ekologi,
karena marxan mengidentifikasi wilayah hanya berdasarkan biaya terendah. Untuk
mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan (Smith et al. 2009)
yaitu meningkatkan nilai BLM secara bertahap sampai daerah yang terpilih cukup
untuk menjamin tingkat konektivitas yang tinggi, menambah zona inti diantara zona
sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan untuk
mewakili setiap spesies. Sebagai referensi untuk meningkatkan tingkat konektifitas
yang tinggi, tingkat konektivitas dapat dinilai dengan menggunakan model biofisik
yang mampu memperkirakan lintasan larva dari daerah pemijahan ke daerah
pembesaran bagi beberapa spesies yang termasuk sebagai target fitur konservasi
(Van der Molen et al. 2007). Menurut Palumbi (2004) bahwa konektivitas dapat
dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan,
serta daerah jelajah biota tersebut (Tabel 1).

Tabel 1. Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi 2004)


Jarak (km) Dewasa Larva
>1000 Spesies migrasi besar Banyak spesies
100-1000 Ikan pelagis besar Beberapa spesies
10-100 Hampir semua ikan dasar, ikan pelagis Hampir semua ikan, dan
kecil invertebrata
1-10 Ikan dasar kecil, beberapa invertebrata Alga, plankton, beberapa ikan
dasar Invertebrata dasar yang
<1 Species yang menerap, spesies dengan bersosialisasi langsung
karakteristik habitat khusus
III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 yang bertepatan dengan acara
nyalawean di laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana di
Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 5). Data
penelitian yang diambil meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari
data informasi pemanfaatan dan sosial ekonomi masyarakat meliputi daerah
penangkapan ikan dan persepsi masyarakat, sedangkan data sekunder berupa data
spasial jenis dan kelimpahan larva ikan yang diperoleh dari hasil penelitian
sebelumnya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat dan bahan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian.


No. Alat dan Bahan Kegunaan
Sebagai alat untuk mendapatkan data primer
1. Alat tulis, GPS, Peta, Kuisioner dan camera
dari wawancara
Sebagai media untuk menyimpan dan
2. Personal computer, dan microsoft excel
mengeluarkan file dan data
Data primer dan sekunder, meliputi:
Sebagai input data dalam perangkat lunak
3. • Fitur Konservasi
marxan
• Fitur Biaya
5. Peta dasar (basemap) yang sudah didigitasi Sebagai bahan dasar penentuan lokasi
Perangkat lunak Arcview GIS 3.2 beserta
4. Extension tambahan meliputi : Av Tools, Sebagai alat dalam pengolahan data GIS
CLUZ, TNC tool, dan Repeating Shapes
Sebagai alat untuk menyeleksi satuan unit
6. Perangkat lunak Marxan 211 perancangan dan menampilkan skenario
wilayah konservasi
17
Gambar 5. Peta lokasi penelitian di Teluk Palabuhanrat
18

3.3. Pengumpulan Data


Data-data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui observasi lapangan dan melalui hasil wawancara semi
terstruktur dengan pengguna (stakeholder) yang terkait di wilayah tersebut, meliputi
kondisi sumberdaya larva ikan, sosial budaya masyarakat, serta persepsi penilaian
responden terhadap adanya daerah konservasi yang berdampak terhadap pembatasan
pemanfaatan sumberdaya perairan. Sedangkan data sekunder berupa data spasial
jenis dan kelimpahan larva ikan yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan Marxan untuk menganalisa zonasi kawasan konservasi
dengan 2 macam input data yaitu data fitur konservasi dan data fitur biaya (cost).
Fitur konservasi yang mewakili keadaan ekologi yang akan di konservasi,
sedangkan fitur biaya adalah data sosial ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya.

3.3.1. Fitur konservasi


Fitur konservasi merupakan data biofisik yang akan dilindungi, sehingga fitur
ini menjadi suatu acuan ekologi untuk tujuan penentuan kawasan konservasi. Fitur
konservasi dapat berupa ekosistem, spesies, habitat atau komunitas biota laut
lainnnya. Dalam penelitian ini fitur konservasi berupa keanekaragaman sumberdaya
ikan yang masih berupa larva, dan habitat larva ikan yaitu nursery gorund, dan
feeding ground. Data yang digunakan untuk menentukan fitur konservasi adalah
data sekunder tentang distribusi larva yang diperoleh dari penelitian sebelumnya
(Said 2011). Berdasarkan data sekunder, dipilihlah prioritas larva untuk penentuan
kawasan konservasi dengan pertimbangan semakin sedikit keberadaan spesies
tersebut di alam, sehingga dipilih 4 fitur konservasi yang berupa larva antara lain
adalah Anguilla, Congridae, Trichiuridae dan Gobiidae (Lampiran 7). Anguilla yang
merupakan ikan sidat yang sudah terancam keberadaan di alam, Congridae golongan
ikan sidat yang statusnya juga terancam, Trichiuridae sebagai larva ikan layur dan
Gobiidae merupakan ikan impun, kemudian habitat larva feeding ground dan
nursery ground.
19

3.3.2. Fitur biaya


Fitur biaya dalam input marxan berupa data sosial tentang pemanfaatan
sumberdaya dan kawasan, yang meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),
Jalur kapal, Fishing Ground, PLTU serta Wisata dan Hotel. Data tersebut diperoleh
dari pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat
pengguna langsung sumberdaya tersebut.
Penentuan jumlah responden dan teknik pengambilan contoh dalam penelitian
ini dilakukan secara acidental sampling kepada nelayan sekitar. Selain untuk
mengetahui pemanfaatan sumberdaya, pengambilan responden ini juga untuk
mengetahui persepsi mereka mengenai kawasan konservasi sebagai upaya dalam
melalukan perlindungan untuk mencapai sumberdaya yang berkelanjutan.

3.4. Daerah Kajian / Area Of Interest (AOI)


Area of Interest merupakan daerah lingkup kajian dalam penentuan kawasan
konservasi. AOI yang telah ditentukan dibentuk menjadi beberapa Unit
Perencanaan/ Planing Unit dengan satuan Unit Perencanaan heksagonal. Planing
Unit atau Unit Perencanaan (pu) sendiri merupakan blok-blok bangunan dari sistem
konservasi yang Marxan evaluasi dan pilih sebagai bentuk solusi (Loos 2006).
Penentuan daerah kajian (AOI) dan unit perencanaan (pu) merupakan hal penting
dan utama dalam analisis marxan.
Pada penelitian ini, daerah lingkup yang akan dikaji / Area of Interest terletak
pada sekitar laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus, Cimandiri dan
Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat (Gambar 6). Batasan lokasi studi ini didasarkan atas
kewenangan pengelolaan daerah Palabuhanratu untuk mengelola laut, dimana sesuai
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, suatu
kabupaten/kota memiliki kewenangan pengelolaan laut sejauh 4 mil (untuk wilayah
yang berbatasan dengan laut yang luas).
Bentuk yang dapat diadopsi dalam satuan unit perencanaan yaitu segitiga,
persegi empat, dan heksagonal (Loss 2006). Bentuk heksagonal dipilih karena miliki
bentuk yang paling natural dan lebih mendekati lingkaran sehingga memiliki rasio
20
Gambar 6. Area Of Interest (Daerah lingkup yang akan dikaji)
21

tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Artinya satu heksagonal dapat mewakili
daerah terdekat dari setiap sisi-sisi daerah sekelilingnya. Bantuk heksagonal juga
memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan satuan unit perencanaan
lainnya (Miller et al. 1993 in Loss 2006).

3.5. Analisis Zonasi Kawasan Konservasi


Untuk menentukan zona kawasan konservasi, digunakan perangkat lunak
Marxan yang bekerja menggunakan algoritma simulated annealing untuk mencari
nilai cost yang paling rendah dengan menggunakan dua macam input data, yaitu
data fitur konservasi dan data fitur biaya. Fitur konservasi adalah fitur yang
mempunyai indikator mengharuskan daerah tersebut dikonservasi, sedangkan fitur
biaya yang menyebabkan biaya konservasi meningkat. Masing-masing parameter
pada fitur konservasi mempunyai tingkat kepentingan dan kualitas data yang
berbeda-beda, sehingga penalti faktor dendanya (penalty factor) juga berbeda. Salah
satu keunggulan Marxan yaitu dapat diterapkan dengan beberapa skenario
perencanaan, sehingga Perancang dapat memilih skenario terbaik untuk menentukan
kawasan konservasi yang efisien dengan biaya terendah. Analisis marxan
menggunakan algoritma simulated anealing yang dimaksudkan untuk mencari nilai
biaya terendah sebagai kawasan konservasi, hal ini merupakan kombinasi sederhana
dari nilai biaya terpilih dan nilai penalti yang tidak memenuhi target (Ball dan
Posingham 2000). Nilai biaya terendah merupakan solusi terbaik, yang dihitung dari
formula matematika sebagai berikut :

= + × + ( × )

Keterangan :
Cost : Nilai cost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukur i = 1,2,…,n; n
adalah banyaknya satuan perencanaan.
BLM : Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatif cost terpilih di
planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif.
Boundary : Batas dari area terpilih/perimeter ke-i
22

SPF : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i
apabila target tiap spesies tidak terpenuhi
Penalty : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi
pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif

3.5.1. Pembobotan fitur


Penentuan bobot nilai fitur konservasi dan fitur biaya terbilang sangat unik,
penilaian fitur pada penelitian ini berdasarkan tingkat kepentingan data dan kualitas
data. Fitur konservasi dengan bobot tinggi diperhitungkan untuk meningkatkan nilai
cost apabila target konservasi tidak terpenuhi, sedangkan bobot untuk fitur biaya di
perhitungkan untuk tidak terpilih sebagai kawasan konservasi karena kawasan
tersebut sudah termanfaatkan sehingga akan meningkatkan biaya pengelolaan
apabila dialihkan menjadi kawasan konservasi. Penentuan bobot kedua jenis data
fitur ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas data, yang artinya
kualitas data dinilai tinggi jika pengambilan datanya berdasarkan hasil penelitian,
sedangkan kualitas data dinilai rendah jika pengambilan datanya berdasarkan
wawancara. Penentuan nilai faktor denda (penalty) pada tiap fitur konservasi
ditentukan secara subyektif oleh penulis, karena sejauh ini tidak ada aturan khusus
dalam menentukan nilai faktor denda (penalty) pada tiap spesis, namun Ball dan
Possingham (2000) menyarankan menggunakan SPF diatas 1, hal ini dibenarkan
oleh Loos (2006) yang menyatakan bahwa nilai SPF kecil (0.1) mangakibatkan
target tidak terpenuhi.
Data tiap fitur masing-masing dimasukkan dalam satuan perencanaan. Data
konservasi dimasukkan kedalam satuan perencanaan fitur konservasi, demikian juga
dengan fitur biaya, sehingga menghasilkan dua macam data yang bisa dianalisa lebih
lanjut.

• Pembobotan fitur konservasi


Fitur konservasi dipilih dari beberapa larva ikan dan habitat larva ikan. Larva
yang mempunyai pertimbangan utama yang akan di lindungi karena keberadaannya
yang semakin menipis di alam akibat adanya penangkapan yang tidak terkendali,
23

sedangkan habitat larva dipertimbangkan untuk dilindungi karena habitat merupakan


tempat larva ikan hidup dan dapat mempengaruhi keberadaan larva di alam.
Penentuan bobot nilai ditentukan dari tingkat kepentingan data dan kualitas
data. Data atau spesies yang penting untuk dilindungi dinilai dengan tingkat
kepentingan yang tinggi, kulitas data dikatakan tinggi jika data diperoleh dari hasil
penelitian sebelumnya, dan kualitas data dinilai rendah apabila sumber data
diperoleh dari hasil wawancara. Semakin tinggi kepentingan data tesebut dan
semakin tinggi tingkat kualitas data tersebut, maka semakin tinggi bobot nilai
Spesies Penalty Factor (SPF). Berikut merupakan kriteria penentuan nilai faktor
denda (SPF) pada tiap fitur konservasi (Tabel 3).

Tabel 3. Kriteria penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi


Tingkat
Kualitas Data Nilai Skor
Kepentingan
Sangat Tinggi Tinggi 23
Tinggi Tinggi 17
Sedang Tinggi 11
Rendah Tinggi 9
Sangat Rendah Tinggi 7
Sangat Tinggi Rendah 5
Tinggi Rendah 3
Sedang Rendah 2,5
Rendah Rendah 2
Sangat Rendah Rendah 1

Ada 2 macam metode dalam penentuan skor nilai faktor denda (SPF) untuk
fitur konservasi, antara lain adalah penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai
tiap fitur secara linier dan penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai fitur
secara logaritma. Pada penelitan ini nilai faktor denda tiap fitur konservasi
menggunakan peningkatan nilai secara logaritma dengan tujuan semakin penting
fitur konservasi tersebut, semakin tinggi nilai faktor dendanya sehingga tujuan untuk
perlindungan fitur akan tercapai, karena fitur konservasi yang penting mempunyai
nilai lebih tinggi dengan jarak yang berkali lipat lebih jauh dari faktor denda fitur
konservasi lainnya.
24

• Pembobotan fitur biaya


Fitur biaya diperoleh dari data sosial yang berkaitan dengan penduduk serta
pola pemanfaatan sumberdaya kawasan. Data tersebut diperoleh dari pengamatan
langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarat dan nelayan sekitar.
Fitur biaya meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), PLTU, Fishing
Ground, Jalur Kapal serta Wisata dan Hotel,. Biaya unit perencanaan fitur-fitur
tersebut dihitung dari adanya pemanfaatan sumberdaya yang membuat total biaya
akan lebih tinggi. Fitur PPN, PLTU serta Wisata dan Hotel merupakan bangunan
fisik yang sangat jelas diamati di lapangan, dimana jika dihilangkan akan
menyebabkan biaya semakin tinggi, sehingga penentuan nilai masing-masing fitur
ditentukan dengan skor (weighting score) realtif satu sama lain terhadap biaya
pengelolaan suatu kawasan yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat
kepentingan. Tabel 4 merupakan kriteria penentuan nilai skor biaya pada tiap fitur
biaya.

Tabel 4. Kriteria penentuan nilai skor fitur biaya


Tingkat Nilai
Kepentingan Skor
Sangat Tinggi 17
Tinggi 9
Sedang 5
Rendah 3
Sangat Rendah 1

3.5.2. Pengolahan data


Data primer dan sekunder dikelompokkan dan diolah menggunakan bantuan
Microsoft Excel, kemudian dengan bantuan softwere Arcview GIS data diubah
menjadi data spasial, kemudian dengan extension CLUZ pada Arcview GIS, data
dirubah menjadi data yang diperlukan Marxan untuk diolah menjadi hasil kawasan
terpilih. Data yang dikelompokkan (fitur konservasi dan fitur biaya) dalam
menganalisis kawasan konservasi menggunakan marxan dimasukkan dalam
kesatuan perencanaan dengan sistem present/absent (Lampiran 3). Hal ini berarti
jika suatu heksagonal bertumpang susun dengan suatu fitur (konservasi atau cost)
25

maka heksagonal tersebut beratribut present. Jika present maka atributnya sama
dengan 1, jika absent atributnya menjadi 0.
Data konservasi yang sudah dimasukkan disebut data habitat (habitat.shp) dan
data fitur biaya disebut data biaya (cost.shp). Selengkapnya alur file tabuler untuk
input marxan dengan ArcView dan CLUZ ditampilkan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Alur tabuler untuk input Marxan dengan ArcView dan CLUZ

Secara umum proses penyampaian data untuk marxan terfokus pada 3 buah
shapefile yaitu planing units (Pu.shp), abundance (habitat.shp), dan cost (cost.shp).
file tersebut dihasilkan setelah proses pembuatan heksagonal lengkap dengan proses
cropping pada peta daerah yang akan dikaji (AOI). file planing units (Pu.shp),
Abundance (Habitat.shp), dan cost (cost.shp) adalah shapefile heksagon dengan
wujud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya.
Pengelolaan 3 buah shapfile dilakukan dengan bantuan CLUZ akan
menghasilkan 4 buah tabular yaitu Abundance.dat, Target.dat, Unit.dat dan
Bound.dat yang menjadi input Marxan. CLUZ merupakan singkatan dari
Conservation Land Using Zoning adalah tools yang digunakan sebagai extensi
ArcView Gis 3.x untuk menyiapkan data yang akan digunakan sebagai input
marxan.
26

3.5.3. Pengaturan BLM (Boundary length modifier)


BLM merupakan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih dalam marxan. Pada BLM yang rendah, satuan
perencanaan yang terpilih akan menyebar karena marxan akan terkonsentrasi pada
biaya yang rendah, sedangkan pada BLM tinggi, satuan perencanaan terpilih akan
mengelompok, karena marxan akan berusaha untuk menurunkan panjang batas dari
satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham 2005)
Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain (J.A.
Ardon et al. 2003 in Ila 2010). Menurut Possingham et al. (2000) nilai BLM dipilih
bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari
analisis yang dilakukan. Nilai BLM untuk map unit UTM berkisar antara 0-1,
sedang map unit degree berkisar antara 0-10000 (Darmawan dan Barnawi 2007).
Nilai kisaran BLM tersebut sudah dapat memberikan variasi pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih. Karena pada penelitian ini menggunakan map unit
degree, maka untuk menentukan BLM optimum pada penelitian ini digunakan BLM
yang berkisar antara 0-10000, sehingga dipilihlah 7 BLM yang berbeda, antara lain
adalah 10, 100, 250, 500, 1000, 5000 dan 10000.
Berdasarkan nilai BLM yang ditetapkan, tiap BLM tersebut diproses oleh
Marxan sehingga akan menghasilkan output berupa lima buah file yaitu
output1_best, output1_mvbest, output1_sen, output1_ssoln dan output1_sum. File
Output1_sum berisi table tentang nilai cost, panjang garis batas, dan luas area. Nilai
BLM optimal diperoleh dari file output1_sum dengan melihat hubungan antara biaya
dengan panjang batas tepi kawasan atau antara luas area dengan panjang batas tepi
kawasan (Steward dan Possingham 2005).

3.5.4. Pengaturan zonasi


Pengaturan kawasan konservasi dalam marxan dapat dilakukan dengan sistem
zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya
Ikan yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan dan
zona lain yang diatur sesuai kebutuhan dan kondisi setempat. Pembagian zonasi
tersebut, dalam marxan dilakukan dengan membagi frekuensi yang terdapat dalam
27

file output1_ssoln kedalam empat kelas dengan interval yang sama. Dalam file ini
berisi frekuensi suatu daerah akan terpilih menjadi kawasan konservasi berdasarkan
100 kali ulangan. Nilai frekuensi tersebut 51-74 sebagai zona pemanfaatan, 26-50
sebagai zona perikanan berkelanjutan dan 0-25 sebagai zona lainnya.

3.5.5. Penentuan skenario


Skenario zona kawasan konservasi merupakan alternatif solusi yang
ditawarkan untuk merancang desain kawasan konservasi. Dengan perangkat lunak
Marxan, para Perancang dapat mencoba berbagai skenario perencanaan kawasan
yang berbeda dan melihat hasilnya, Dari hasil tersebut Perancang dapat memilih
skenario terbaik untuk perencanaan kawasan konservasi (Ball dan Possingham
2004). Skenario tersebut didapatkan dari hasil perhitungan Marxan berdasarkan
target konservasi yang berbeda-beda yang bertujuan untuk memberikan beberapa
alternatif desain kawasan konservasi sehingga nantinya menjadi pilihan dalam
menetapkan suatu kawasan konservasi yang sesuai karakteristik dan keadaan
lingkungannya. Bedasarkan observasi yang dilakukan terhdap beberapa skenario,
maka ditetapkan 3 skenario dengan 7 BLM dan target yang berbeda, maka proses
tersebut menghasilkan 21 hasil yang berbeda. Berikut merupkan rancangan skenario
berdasarkan taget fitur konservasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skenario kawasan konservasi


skenario 1 skenario 2 skenario 3
fitur konservasi
% target % target % target
1 Anguilla 10 20 40
2 Congridae 10 20 40
3 Trichiuridae 10 20 40
4 Gobiidae 10 13 25
5 Nursery Ground 10 30 40
6 Feeding Ground tepi 8 10 20
7 Feeding Ground tengah 4 7 13
28

Target konservasi dihitung berdasarkan persentase wilayah yang ditetapkan


untuk dikonservasi. Persentase tersebut merupakan persentase dari total luas target
yang menjadi fitur konservasi dalam Area of Interest.

3.5.6. Konektivitas
Karena Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas
secara ekologi, desain kawasan konservasi disesuaikan dengan model biofisik
pergerakan ikan oleh Palumbi (2004), yaitu untuk larva 10-100 km. Untuk
menjamin tingkat konektivitasnya, nilai BLM ditingkatkan secara bertahap sampai
daerah yang terpilih menghasilkan desain dengan tingkat konektivitas yang sesuai,
selain itu, peningkatan konektivitas bisa dengan cara menambah zona inti diantara
zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan
untuk mewakili setiap spesies. Konektivitas sangat penting untuk desain efektif
suatu perencanaan, karena menurut Palumbi, (2004) bahwa konektivitas tersebut
menggambarkan jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan, serta
daerah jelajah biota tersebut, karena hal itu akan mempengaruhi pencapaian target
fitur konservasi (Van der Molen et al. 2007).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu


Teluk Palabuhanratu terletak di Sukabumi Provinsi Jawa Barat dengan luas
wilayah pesisir berdasarkan desa yaitu ± 20.730,87 ha. Teluk ini merupakan salah
satu lokasi penting bagi perikanan tangkap di Indonesia yang memiliki kondisi
geografis yang cukup menunjang yaitu terletak pada posisi 6o 57’-7o 07’ LS dan
106o 22’-106o 33’ BT (Gambar 8). Perairan di Teluk Palabuhanratu merupakan
daerah penangkapan utama bagi nelayan, selain itu perairan ini berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia (Prayitno 2006 in Ambarwati 2008). Secara topografi,
Teluk Palabuhanratu umumnya bertekstur kasar dan terdiri atas dataran
bergelombang, perbukitan, daerah aliran sungai dan pantai. Topografi dasar laut
(bathymetric) perairan Teluk ini tergolong curam, dengan kedalaman berkisar antara
3 meter (di sekitar pantai dan muara) sampai lebih dari 200 meter. Secara geologi
dataran pantai yang berada pada muara Sungai Cimandiri, Sungai Cipalabuan–
Cigangsa, Sungai Citepus, Sungai Sukawayana, Sungai Cimaja, Sungai
Cipawenang, Sungai Cisolok, Sungai Citiis, Sungai Cibangban, Sungai Cihaur dan
Sungai Cibareno serta dikelilingi oleh Gunung Butak, Gunung Cabe, Gunung
Handeuleum, Gunung Gado dan Gunung Habibi. Sedangkan sebelah Utara dan
Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.
Kondisi Teluk Palabuhanratu banyak dipengaruhi oleh kondisi
hodrodinamikan dan oseanografi. Kondisi hidrodinamika perairan teluk sangat
mempengaruhi Musim. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan
arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-
Februari), diantara Musim Timur dan Musim Barat terjadi periode peralihan yang
disebut Musim Peralihan Timur (Maret-April) dan Musim peralihan Barat
(September-Oktober) (Wyrtki 1961 in Anwar 2008). Kondisi oseanografi Samudera
Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar sangat mempengaruhi kondisi di
Teluk Palabuhanratu. Wyrtki (1961) in Anwar (2008) mengemukakan bahwa
keadaan angin di Palabuhanratu sesuai dengan sifat laut dan tercatat kecepatannya
sebesar 1-7.5 cm/dtk pada Bulan September sampai Desember yang bergerak ke
30
Gambar 8. Kondisi Teluk Palabuhanratu
31

arah barat. Pada umumnya arus pantai di Teluk Palabuhanratu memperlihatkan pola
pergerakan arus Barat Daya – Timur Laut dengan rata-rata 0,4 m/det (BLH
Sukabumi 2003). Pasang surut terendah adalah 90 cm dan tertinggi mencapai
tertinggi mencapai 249 cm dengan tunggangan airnya adalah 159 (BLH Kabupaten
Sukabumi 2003). Tinggi gelombang berkisar antara 15 – 65 cm pada jarak 70 – 500
meter dari garis pantai. Selanjutnya dikatakan bahwa perairan Teluk Palabuhanratu
mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat berkisar 29-30oC dan pada
musim timur 26-27oC.
Salinitas di perairan Teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh keadaan musim
dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara. Transpor
massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan turunnya salinitas
perairan pantai Teluk Palabuhanratu. Namun demikian di perairan teluk bagian
tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada musim timur dan musim barat
relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai salinitas rata pada periode
Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing sebesar 32.96‰ dan 32.33‰
(Pariwono et al. 1988).
Daerah pesisir Teluk Palabuhanratu merupakan lokasi yang sangat potensial,
terlihat dari aktivitas yang ada, kegiatan di Teluk Palabuhanratu pada umumnya
merupakan Pariwisata dan nelayan. Aktivitas lain yang ditemukan ada pada Teluk
Palabuhanratu ini yaitu PLTU dan Studi Lapang Kelautan (SLK). Sepanjang pesisir,
banyak ditemukan Hotel dan kawasan wisata. Adanya Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) menjadikan kegiatan perikanan berpusat dan berlabuh di lokasi ini.
Kegiatan tahunan yang terkenal di Teluk Palabuhanratu ini adalah acara
nyalawean yang dilakukan pada waktu bulan tertentu setiap tanggal 25 Hijriah
khususnya bulan Maulud. Nyalawean merupakan tradisi masyarakat di Teluk
Palabuhanratu yaitu aktivitas penangkapan “impun” dengan menggunakan sirib.
Impun merupakan larva-larva ikan yang tertangkap. Saat musimnya, kelimpahan
impun yang tertangkap sangat melimpah. Impun biasanya dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar sebagai sumber pangan atau dijual di TPI. Penangkapan impun
ini dilakukan secara besar-besaran, hal ini terlihat dari semakin banyaknya kapasitas
nelayan yang menangkap. Tidak hanya profesi sebagai nelayan saja yang
32

menangkap, penangkap impun juga berasal dari berbagai daerah. Harganya yang
mahal dan kondisinya yang dianggap masih berlimpah, penangkapan impun menjadi
pemanfaatan yang dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan
keberlanjutannya.

4.1.1. Persepsi masyarakat tentang kawasan konservasi


Berdasarkan hasil dari wawancara dengan penduduk sekitar secara acidental
sampling, pengetahuan masyarakat di Teluk Palabuhanratu mengenai konsep
konservasi dapat digambarkan dalam Gambar 9.

5% tidak tahu tahu

95%

Gambar 9. Persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi

Berdsarkan gambar diatas, terlihat bahwa pengetahuan dari masyarakat sekitar


Teluk Palabuhanratu masih sangat minim tentang kawasan konservasi, terbukti
bahwa hanya 5% penduduk saja yang mengetahui tentang kawasan konservasi. Hal
ini menjadi suatu informasi yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar strategi dalam
pengambilan keputusan untuk menerapkan kawasan konservasi sebagai upaya
menjadikan Teluk Palabuhanratu tetap lestari.
33

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Fitur konservasi


Fitur konservasi merupakan data biofisik yang akan dilindungi sehingga fitur
ini merupakan suatu acuan ekologi untuk tujuan fitur konservasi. Fitur konservasi
dalam penelitian ini antara lain adalah sumberdaya larva dan habiat larva,
sumberdaya larva antara lain adalah Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan
Gobiidae, sedangkan fitur konservasi yang berupa habitat larva antara lain adalah
feeding ground dan nursery ground. Berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas
data, Nilai SPF pada setiap Fitur konservasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai faktor denda pada tiap fitur konservasi


Tingkat Faktor Denda
No. Fitur konservasi Kualitas Data
kepentingan (SPF)
1. Anguilla sp. Sangat Tinggi Tinggi 23
2. Congridae Tinggi Tinggi 17
3. Trichiuridae Sedang Tinggi 11
4. Gobiidae Rendah Tinggi 9
5. Nursery Ground Tinggi Rendah 3
6. Feeding Ground tepi Sedang Rendah 2.5
7. Feeding Ground tengah Rendah Rendah 2

Pemilihan fitur konservasi diatas, dipertimbangkan dari beberapa kegiatan di


daerah pesisir Teluk Palabuhanratu yang dinilai mengancam keanekaragaman hayati
perairan, salah satu kegiatan yaitu penangkapan sumberdaya larva pada tradisi
nyalawehan di Teluk Palabuhanratu. Sumberdaya larva ikan yang dipilih sebagai
fitur konservasi meliputi Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae. Fitur
konservasi ini terpilih berdasarkan pertimbangan nilai ekonomis penting spesies
tersebut dan semakin sedikit kondisinya di alam sehingga apabila dibiarkan, kondisi
tersebut dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian sumberdaya tersebut. Selain
dari sumberdaya larva, fitur konservasi lain adalah parameter berupa ekologi yang
berupa ekosistem, habitat, maupun biofisik lainnya yang ada kaitan erat dengan
34

sumbedaya larva, diantaranya adalah feeding ground (tempat mencari makan) dan
nursery ground (tempat asuhan).

a. Anguilla
Anguilla merupakan jenis ikan sidat yang sudah terancam keberadaan di alam,
ikan ini merupakan ikan ekonomis penting karena tingkat selera terhadap ikan ini
sangat tinggi terutama negara Jepang yang sering menjadi tujuan eskpor ikan ini
untuk makanan olahan unagi. Ikan ini telah dibudidayakan, namun budidaya hanya
bersifat pembesaran saja. Ikan sidat merupakan hewan katadromus yaitu ikan yang
membesar (tumbuh) di perairan tawar dan akan beruaya menuju ke laut dalam
(kedalaman 400 m) ketika akan memijah dan kemudian telurnya menetas di laut
kemudian larvanya terbawa arus menuju pantai dan selanjutnya beruaya menuju
pantai kemudian benih ikan sidat masuk ke sungai-sungai dan membesar hingga
dewasa. Setelah ikan sidat mendekati dewasa akan beruaya kembali menuju laut
untuk memijah (Sasono 2001). Hal ini yang menjadikan ikan sidat sulit untuk
dibudidaya secara keseluruhan, sehingga untuk memenuhi permintaan konsumen
akan ikan ini, perlu adanya penangkapan benih yang ada di alam, karena tingginya
permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi tidak terkendali,
sehingga kondisi ini mengancam kelestarian yang berujung terhadap punahnya ikan
sidat di alam, oleh karena itu ikan sidat menjadi dasar pertimbangan untuk
konservasi yang bertujuan agar dapat menjaga kelestarian dari ikan sidat ini.
Berdasarkan obyektivitas Penulis, ikan ini mempunyai nilai denda (SPF) sebesar 23
yang merupakan nilai denda terbesar diantara fitur konservasi yang lain. Berikut
merupakan peta sebaran letak ikan Anguilla berdasarkan hasil penelitian dari (Said
2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 10).

b. Congridae
Congridae merupakan family ikan sidat yang statusnya juga terancam
kelestariannya, seperti halnya ikan sidat jenis Anguilla, ikan sidat family Congridae
juga merupakan hewan katadromus yang menjadikan ikan ini masih belum bisa
35
Gambar 10. Sebaran fitur konservasi Anguilla di Teluk Palabuhanratu
36

dibudidayakan secara keseluruhan Untuk memenuhi permintaan konsumen, ikan ini


masih dieksploitasi dari alam.
Tingginya permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi
tidak terkendali, sehingga kondisi ini mengancam kelestarian yang berujung
terhadap punahnya ikan sidat di alam. Hal ini yang menjadi pertimbangan ikan sidat
family Congridae masuk dalam fitur konservasi yang dinilai perlu untuk dilindungi
dengan nilai denda (SPF) sebesar 17. Dibandingkan dengan ikan sidat jenis
Anguilla, ikan sidat family Congridae mempunyai minat konsumen yang lebih
sedikit daripada ikan sidat jenis Anguilla. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan
family Congridae berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008)
(gambar 11).

c. Trichiuridae
Trichiuridae merupakan family dari ikan layur. Berdasrkan data sekunder
penelitian dari Furry (2011) dan Rifai (2011), biologi reproduksi ikan layur
mencakup dua famili yaitu Trichiuridae dan Gempylidae, dan jenis yang ditemukan
di lokasi penelitian adalah Lepturacanthus dan Gempylus. Populasi ikan layur
banyak tertangkap pada perairan pantai yang dangkal di sekitar muara sungai
(Badrudin dan Wudianto 2004 in Sharif 2009). Berdasarkan data statistik PPN
Palabuhanratu, ikan layur mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, terbukti dari ikan
layur yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu biasa diekspor ke luar negri untuk
memenuhi kebutuhan dari konsumen. Salah satu jenis yang diekspor adalah dari
jenis Lepturacanthus savala. Karena tingginya akan permintraan ikan layur, ikan ini
ditangkap dengan berbagai macam upaya, yaitu dengan menggunakan payang,
gillnet, bagan, pancing (pancing ulur dan rawai), dan pure seine. Alat tangkap
dominan yang digunakan dalam menangkap ikan layur di Teluk Palabuhanratu
adalah pancing ulur (Anita 2003 in Sharif 2009). Usaha penangkapan yang
berlebihan akan berdampak buruk terhadap kelestarian dari ikan layur ini, oleh
karena itu, ikan layur ini menjadi ikan yang masuk sebagai kategori fitur konservasi
dengan nilai denda (SPF) sebesar 11. Berikut merupakan peta sebaran letak
37
Gambar 11. Sebaran fitur konservasi Congridae di Teluk Palabuhanratu
38

ikan family Trichiuridae berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar
2008) (Gambar 12).

d. Gobiidae
Ikan family Gobiidae merupakan ikan yang sering disebut ikan impun/menga.
Secara umum family Gobiidae ditemukan pada daerah muara sungai sebagai
habitatnya. Hal ini menunjukkan bahwa anggota family tersebut mempunyai
karakteristik untuk beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada, diantaranya adalah
karena tubuhnya dilengkapi dengan cakram pelekat yang termodifikasi dari sirip
perut yang menyatu. Organ ini sangat berperan dalam adaptasinya terhadap arus
yang kuat dengan cara menempelkan tubuhnya ke dasar perairan yang berbatu
(Furry 2011). Sebagian besar ikan dari family Gobiidae terdiri dari jenis
Sicyopterus sp yang merupakan jenis ikan divisi peripheral, yaitu suku-suku yang
anggotanya mempunyai toleransi yang tinggi terhadap salinitas.
Ikan family Gobiidae memiliki sifat migrasi yang berbeda-beda. Ikan
Gobiidae yang tertangkap kemungkinan bersifat amphidromus atau marine migrant.
Pada kelompok amphidromus, ikan melakukan pemijahan di sungai dan melakukan
penetasan di laut, setelah itu, saat juvenil akan kembali lagi ke sungai dan saat
dewasa akan kembali lagi ke sungai. Ketika ikan family Gobiidae yang berfase
juvenil ditemukan, maka diduga bahwa ikan tersebut tersebut sedang melakukan
migrasi ke sungai untuk pembesaran dan pencarian makan. Dugaan kedua adalah
marine migrant. Pada kelompok ini, spesies tersebut memiliki kisaran salinitas yang
luas (euryhaline) yang melakukan pemijahan di laut dan menggunakan daerah
estuari untuk pembesaran juvenil dan dewasa. Saat tertangkap spesies diduga sedang
mencarian makan di muara sebagai feeding ground dan nursery ground. Menurut
Sanches-Velasco et al. (1996) in Nursid (2002) kelompok larva tersebut dalam
hidupnya sangat tergantung pada estuaria. Jenkins dan Boseto (2007) menjelaskan
larva Sicyopterus sp. termasuk jenis ruaya amphidromus yaitu melakukan pemijahan
di sungai dan saat penetasan akan menuju ke laut. Saat ikan pada fase postlarva dan
juvenil, spesies tersebut kembali lagi ke muara sungai untuk mencari makan dan
pembesaran, dan pada saat dewasa spesies tersebut kembali lagi ke laut. Berdarkan
Gambar 12. Sebaran fitur konservasi Trichiuridae di Teluk Palabuhanratu

39
40

penelitan Furry (2011) jenis ikan ini memiliki nilai kepadatan terbesar dibandingkan
dengan nilai kepadatan populasi dari jenis larva dan juvenile lain yang ditemukan di
Teluk Palabuhanratu, walaupun demkian, ikan ini dinilai penting untuk
dikonservasi agar ikan ini tetap lestari keberadaannya, mengingat karakteristik ikan
ini yang masih sangat tergantung terhadap alam, sehingga dinilai sangat rentan
punah apabila tidak ada pembatasan aktivitas penangkapan. Oleh karena itu, ikan
family Gobiidae ini masuk sebagai kategori fitur konservasi dengan nilai denda
(SPF) sebesar 9. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan family Gobiidae
berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 13).

e. Nursery Ground
Nursery Ground merupakan daerah asuhan ikan. Daerah ini merupakan daerah
yang penting terhadap kelangsungan hidup ikan, mengingat beberapa jenis
sumberdaya larva memiliki karakteristik sebagai katadromus, maupun
amphidromus/marine migrant. Katadromus yaitu ikan yang membesar (tumbuh) di
perairan tawar dan akan beruaya menuju ke laut dalam (kedalaman 400 m) ketika
akan memijah dan kemudian telurnya menetas di laut kemudian larvanya terbawa
arus menuju pantai dan selanjutnya beruaya menuju pantai kemudian benih masuk
ke sungai-sungai dan membesar hingga dewasa, setelah mendekati dewasa, akan
beruaya kembali menuju laut untuk memijah, salah satu contoh jenis ikan ini adalah
ikan sidat (Sasono 2001). Sedangkan amphidromus, ikan melakukan pemijahan di
sungai dan melakukan penetasan di laut, setelah itu, saat juvenil akan kembali lagi
ke sungai dan saat dewasa akan kembali lagi ke laut. Muara sungai sendiri
merupakan tempat pertemuan antara air tawar dan air laut atau transisi antara habitat
perairan tawar dan habitat laut, kondisi ini sering disebut sebagai estuari. Habitat
estuari relatif lebih subur (produktif) sehingga habitat ini menjadi daerah asuhan
(nursery ground) yang baik bagi larva udang, ikan dan kerang, bahkan ada jenis-
jenis ikan yang menjadikan estuari sebagai habitat sepanjang hidupnya. Salah satu
estuari adalah muara sungai yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut. Adanya
pasang surut ini akan mempengaruhi bentuk kehidupan biota di daerah tersebut.
Biota yang hidup di daerah ini adalah biota yang mempunyai toleransi yang tinggi
41
Gambar 13. Sebaran fitur konservasi Gobiidae di Teluk Palabuhanratu
42

terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan jumlah jenis sedikit dan
potensi yang tinggi.
Muara sungai adalah daerah yang sangat subur karena mengandung sejumlah
besar zat-zat hara yang berasal dari darat. Kehidupan ini dapat mendukung biota-
biota seperti ikan, udang dan beberapa jenis karang. Kesuburan muara sungai dapat
mengalami penurunan karena daerah ini mudah dicemari aktivitas daratan, sperti
limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga. Penurunan kesuburan ini
dapat mengakibatkan berkurangnya produksi perikanan. Oleh karena itu, nursery
ground dinilai sangat penting untuk mempengaruhi pertimbangan konservasi, yaitu
dengan melibatkan nursery gorund sebagai kategori fitur konservasi dengan nilai
denda (SPF) sebesar 3. Nursery ground yang ditetapkan terletak di tiap muara
sungai dari muara Sungai Cimandiri hingga muara Sungai Citiis. Berikut merupakan
peta nursery ground (gambar 14).

f. Feeding Ground
Feeding ground merupakan tempat larva mencari makan, secara naluri, ikan
mempunyai insting untuk berpindah tempat ke lokasi yang produktifitas primernya
lebih tinggi untuk proses keberlanjutan hidup ikan tersebut, salah satu indikasi
tingginya produktivitas perairan adalah keberadaan fitoplankton yang bisa
ditentukan dengan klorofil. Mesikipun tidak ada batasan pasti dalam penentuan
feeding ground ini, batas penentuan wilayah ini menggunakan hubungan parameter
fisik perairan di Teluk Palabuhanratu yang ada kaitannya dengan klorofil sebagai
penentu keseburan. Beberapa parameter fisika-kimia yang mengontrol dan
mempengaruhi sebaran klorofil-a adalah suhu, cahaya, arus dan nutrient (terutama
nitrat, fosfat, dan silikat) (Nybakken 1992). Pigmen-pigmen lainnya pada tumbuhan
laut digunakan oleh klorofil untuk membantu mengabsorbsi cahaya yang tidak
tertangkap secara maksimal oleh klorofil Pada tingkat intensitas cahaya yang
sedang, laju fotosintesis fitoplankton merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya,
namun di dalam kolom air dekat permukaan air di mana intensitas cahaya tinggi,
43
Gambar 14. Sebaran fitur konservasi Nursery Ground di Teluk Palabuhanratu
44

kebanyakan spesies fitoplankton menunjukkan bahwa fotosintesis dipertahankan


pada suatu tingkat tertentu atau bahkan fotosintesis malah akan menurun (Gambar
15).

Gambar 15. Gambar hubungan klorofil pada permukaan dan kedalam yang berbeda
(Sumber : Nybakken 1992)

Dari referensi diatas, menunjukkan bahwa ada hubungan antara parameter


fisika kedalaman dengan kelimpahan produktivitas primer berupa fitoplankton,
dimana kedalaman tertentu menghasilkan intensitas cahaya yang berbeda, dan
intensitas cahaya berkaitan erat dengan laju fotosintesis dari fitoplankton yang
berimplikasi terhadap kesuburan perairan.
Pentingnya feeding ground terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup
sumberdaya larva, menjadikan feeding ground penting untuk dilibatkan sebagai fitur
konservasi yang bertujuan untuk mempengaruhi pertimbangan konservasi, yaitu
dengan nilai denda (SPF) sebesar 2.5 sebagai feeding ground tepi, dan nilai denda
(SPF) sebesar 2 sebagai feeding ground tengah. Hal ini dibedakan atas dasar
kedalaman, yaitu pada feeding ground tepi antara kedalama 0 m hingga 20 m dan
feeding ground tengah antara 20 m hingga 200 m dengan asumsi kedalaman yang
rendah mempunyai produktifitas yang tinggi karena intensitas cahaya yang masuk
lebih banyak sehingga produktivitas primer lebih tinggi, disamping itu pengaruh
45
Gambar 16. Sebaran fitur konservasi Feeding Ground di Teluk Palabuhanratu
46

nutrient dari muara sungai dan pesisir menjadikan produktivitas primer di tepi lebih
tinggi daripada di tengah. Berikut merupakan peta sebaran feeding ground di Teluk
Palabuhanratu (Gambar 16).

4.2.2. Fitur biaya / Cost


Fitur biaya yang ditentukan pada penelitian ini adalah Pelabuhan perikanan
Nusantara (PPN), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Jalur Kapal, Fishing
Ground serta Wisata dan Hotel. Fitur biaya merupakan pemanfaatan yang berada di
Teluk Palabuhanratu (Gambar 17). Kelima fitur tersebut masuk ke dalam fitur biaya
karena kelimanya memiliki dampak terhadap fitur konservasi yang ditargetkan, yaitu
mempengaruhi keberadaan sumberdaya larva. Berdasarkan kriteria penentuan nilai
skor fitur biaya yang diperoleh dari pertimbangan tingkat kepentingan fitur biaya
tersebut, dibuat skor tiap fitur biaya sebagaimana tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai skor pada tiap fitur biaya


Tingkat
No. Fitur Biaya Nilai skor
kepentingan
1. PLTU Sangat Tinggi 17
2. PPN Tinggi 9
3. Jalur Kapal Sedang 5
4. Wisata dan hotel Rendah 3
5. Fishing Ground Sangat Rendah 1

4.2.3. BLM
Boundary Length Modifier (BLM) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk
membuat batasan perimeter untuk kawasan konservasi. Efek dari pengaturan BLM
dapat terlihat dari fitur yang muncul dalam solusi setelah menjalankan Marxan.
Salah satu file output marxan yaitu output_sum yang memuat data tentang cost,
planing units (luas area) dan boundary lenght (panjang batas tepi). Berikut
merupakan rata-rata dari 21 hasil output marxan yang dicobakan dengan kisaran
BLM dari 10 hingga 10.000 (Lampiran 2).
47
Gambar 17. Fitur Biaya
48

Tabel 8. Perbandingan BLM rata-rata tiap skenario


Panjang
BLM Cost Luas (km2)
Batas (km)
10 186636667 150403 21090
100 186623333 87959 21433
250 187053333 46843 21763
500 189633333 35323 21503
1000 199276667 31270 23318
5000 240573333 27160 21894
10000 251806667 27067 21883

Dari Tabel 8, terlihat bahwa hasil rata-rata dari 21 output marxan


menghasilkan variasi dan kecendrungan yang berbeda pada tiap BLM-nya, yaitu
peningkatan harga (cost) berbanding lurus dengan meningkatnya nilai BLM. Pada
Nilai panjang batas dan luas, kecendrungan nilainya agak berbeda. Nilai panjang
batas semakin menurun dengan meningkatnya nilai BLM. Pada nilai luas yang
dihasilkan oleh 21 ouput marxan, luas semakin meningkat seiring bertambahnya
nilai BLM, namun pada titik tertentu, nilai luas kembali mengalami penurunan.
Kondisi ini digambarkan pada grafik (Gambar 18).

23500 23318

23000
22500
21894 21883
22000 21763
Luas (km2)

21433 21503
21500
21090
21000
20500
20000
19500
10 100 250 500 1000 5000 10000
BLM

Gambar 18. Hubungan antara BLM dan Luas


49

Berdasarkan grafik pada Gambar 18, terlihat bahwa terdapat peningkatan luas
seiring meningkatnya nilai BLM, namun pada nilai BLM 1000 menjadi puncak
peningkatan, setelah itu terlihat kembali penurunan luas pada nilai BLM selanjutnya.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai pada BLM 1000 merupakan solusi yang
mempunyai luas yang paling besar diantara BLM yang lain.

160000 150403

140000
120000
Panjang Batas (km)

100000 87959
80000
60000 46843
35323 31270
40000 27160 27067
20000
0
10 100 250 500 1000 5000 10000
BLM

Gambar 19. Hubungan antara BLM dan panjang batas

Berbeda dengan nilai luas, panjang batas memberikan kecendrungan yang


berbeda (Gambar 19). Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa terdapat
penurunan nilai Panjang batas seiring meningkatnya nilai BLM. hal ini dikarenakan
nilai BLM yang tinggi akan berimplikasi terhadap biaya yang tinggi, karena marxan
menentukan solusi dengan biaya yang terendah, marxan akan mencari solusi dengan
nilai panjang batas yang terkecil, karena solusi yang terfokus dan mengumpul
mempunyai panjang batas yang kecil.
Nilai BLM yang digunakan dalam marxan adalah nilai optimal yang diperoleh
berdasarkan hubungan antara Luas dan panjang batas tepi kawasan yang optimal,
dari grafik hubungan antara BLM dan Panjang batas serta BLM dan Luas, terlihat
bahwa BLM 1000 merupakan BLM optimal, karena pada perbandingan Luas, BLM
1000 merupakan BLM dengan solusi terluas yang dihasilkan, sedangkan pada
50

perbandingan panjang batas, nilai BLM 1000 merupakan nilai dengan panjang batas
yang rendah, disamping itu, dengan memperhatikan prinsip desain kawasan
perlindungan yang efektif, BLM 1000 merupakan desain yang lebih efektif, karena
BLM ini menghasilkan solusi yang luas dengan panjang batas yang kecil (Lampiran
4). Penentuan BLM optimal ini ditentukan untuk meningkatkan efektifitas
perlindungan kawasan, karena kawasan perlindungan akan tidak efektif jika
kawasan dengan panjang batas yang tinggi, sebab kawasan dengan panjang batas
yang tinggi akan menghasilkan solusi yang menyebar pada seluruh bagian kawasan,
hal ini menjadi tidak efisien keadaanya, karena semakin panjang batas kawasan,
semakin besar biaya yang diperlukan bagi pengelolaan, hal ini juga akan berdampak
terhadap penutupan peluang bagi kegiatan lain yang bermanfaat.

4.2.4. Wilayah konservasi


Menentukan target wilayah konservasi merupakan hal yang sangat penting
dalam sistematis perencanaan konservasi, dan sejauh mana sistem konservasi akan
tergantung sangat pada titik referensi ini. Penetapan 3 skenario ini dimaksud untuk
mencari solusi ruang optimum berdasarkan observasi lapang dan analisis simulasi
target konservasi dengan meragamkan fitur konservasi dan fitur biaya yang sudah
ditentukan pada tiap skenario. Karena BLM optimal terdapat pada BLM 1000, maka
desain skenario tiap kawasan konservasi menggunakan BLM 1000 agar ruang yang
dihasilkan seoptimal mungkin. Dari 3 hasil skenario tersebut, maka 3 macam desain
sudah dapat dihasilkan, antara lain adalah sebagai berikut :

Skenario 1
Skenario 1 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya, fitur konservasi antara
lain adalah Anguilla dengan target 10%, Congridae dengan target 10%, Gobiidae
dengan target 10%, Trichiuridae dengan target 10%, nursery ground dengan target
10%, feeding ground tepi dengan target 8% dan feeding ground tengah dengan
target 4%. Sedangkan fitur biaya tersebut antara lain adalah PLTU dengan nilai 17,
PPN dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan
Fishing Ground dengan nilai 1.
51

Berdasrkan hasil dari skenario 1 (Gambar 20), terlihat bahwa rekomendasi


zona konservasi terpilih terpusat, yaitu diantara muara Sungai Citepus dan muara
Sungai Sukawayana dengan perbandingan luas sebesar 3% dari luas total perairan
Teluk Palabuhanratu. Luas rekomendasi zona konservasi sebesar 10.802 km2 dari
total luas kajian perairan di Teluk Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil
evaluasi (target met) yang diperoleh dari proses marxan terpenuhi, yang artinya
target fitur konservasi yang ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk
dilindungi (lampiran 5). Warna merah yang semakin pekat pada kawasan konservasi
menunjukkan kawasan yang direkomendasikan sebagai zona inti, karena
mempunyai frekuensi terpilih lebih banyak daripada yang lain.

Skenario 2
Skenario 2 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya, fitur konservasi antara
lain adalah Anguilla dengan target 20%, Congridae dengan target 20%, Gobiidae
dengan target 13%, Trichiuridae dengan target 20%, nursery ground dengan target
20%, feeding ground tepi dengan target 10% dan feeding ground tengah dengan
target 7%. Sedangkan fitur biayanya antara lain adalah PLTU dengan nilai 17, PPN
dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan
Fishing Ground dengan nilai 1.
Berdasrkan hasil dari skenario 2 (gambar 21), terlihat bahwa rekomendasi
zona konservasi terpilih di satu lokasi terkumpul yang berada memanjang diantara
muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis dengan perbandingan luas sebesar
7% dari luas total perairan Teluk Palabuhanratu. Luas rekomendasi zona konservasi
yang dihasilkan sebesar 29.238 km2 dari total luas kajian perairan di Teluk
Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil evaluasi (target met) yang diperoleh
dari proses marxan terpenuhi, yang artinya target fitur konservasi yang telah
ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk dilindungi (Lampiran 5). Warna
merah yang semakin pekat di zona rekomendasi kawasan konservasi menunjukkan
kawasan tersebut direkomendasikan sebagai zona inti, karena kawasan tersebut
mempunyai frekuensi sering terpilih dibandingkan planing unit yang lain.
52
Gambar 20. Kawasan konservasi pada skenario 1
53
Gambar 21. Kawasan konservasi pada skenario 2
54

Skenario 3
Skenario 3 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya. Fitur konservasi antara
lain adalah Anguilla dengan target 40%, Congridae dengan target 40%, Gobiidae
dengan target 25%, Trichiuridae dengan target 40%, nursery ground dengan target
40%, feeding ground tepi dengan target 20% dan feeding ground tengah dengan
target 13%. Sedangkan fitur biayanya antara lain adalah PLTU dengan nilai 17, PPN
dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan
Fishing Ground dengan nilai 1.
Berdasrkan hasil dari skenario 3 (gambar 22), terlihat bahwa rekomendasi
zona konservasi terpilih di satu lokasi mengumpul yang berada memanjang diantara
muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis dengan perbandingan luas sebesar
7% dari luas total. Luas rekomendasi zona konservasi sebesar 29.914 km2 dari total
luas kajian perairan di Teluk Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil
evaluasi (target met) yang diperoleh dari proses marxan terpenuhi, yang artinya
target fitur konservasi yang telah ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk
dilindungi (Lampiran 5). Warna merah yang semakin pekat pada zona rekomendasi
kawasan konservasi menunjukkan kawasan yang direkomendasikan sebagai zona
inti, karena mempunyai frekuensi terpilih lebih banyak daripada yang lain.

4.3. Pembahasan
Status perairan di pesisir Teluk Palabuhanratu masih merupakan kawasan yang
bisa dimanfaatkan (dapat diambil biotanya). Namun, berbeda jika pemanfaatan
tersebut dilakukan terus menerus tanpa memperhatikan kelestarian yang akan
mengancam keberadaan sumberdaya tersebut. kondisi ini akan berdampak buruk
terhadap stok dan kelestarian sumberdaya ikan di Palabuhanratu, oleh karena itu
perlu adanya pembatasan wilayah larang ambil (kawasan konservasi) yang berguna
sebagai cadangan sumberdaya perairan agar sumberdaya perairan di Teluk
Palabuhanratu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
55
Gambar 22. Kawasan konservasi pada skenario 3
56

Hasil dari ketiga skenario rancangan kawasan konservasi tersebut mempunyai


desain dan hasil yang berbeda-beda, dan setiap desain mempunyai karakteristik yang
berbeda beda pula, sehingga dalam penentuan kawasan konservasi perlu disesuaikan
dengan lingkungan agar dapat diterapkan untuk pengelolaan, karena wilayah
konservasi perlu didasari banyak pertimbangan termasuk bentuk, ukuran wilayah
larang ambil tersebut, dan jejaring konektivitas antar wilayah konservasi (Robert
dan Hawkins 2000). Semakin luas area konservasi, maka semakin banyak populasi
spesies yang terlindungi, namun wilayah konservasi yang luas akan menimbulkan
peluang konflik dalam pengelolaannya karena masyarakat nelayan akan
berpandangan bahwa daerah pemanfaatan penangkapan sudah di monopoli oleh
pemerintah. Gambar 23 menampilkan perbandingan luas daerah yang terpilih pada
tiap skenario.

35000
29237 29914
30000

25000
Luas (km2)

20000 skenario 1
skenario 2
15000
10801 skenario 3
10000

5000

0
skenario

Gambar 23. Perbandingan luas zona kawasan konservasi tiap skenario

Berdasarkan luas, skenario 3 merupakan solusi daerah terpilih terbesar


dibandingkan dengan skenario yang lain, yaitu dengan luas 29.914 km2, sedangkan
luas terpilih yang paling kecil terdapat pada skenario 1 dengan luas 10.801 km2.
57

Semakin luas wilayah kawasan konservasi semakin banyak sumberdaya yang


terlindungi, namun semakin mahal biaya pengelolaannya.
Hasil dari ketiga skenario wilayah yang terpilih, menunjukkan wilayah yang
layak untuk dikonservasi, hal ini dilihat dari bentuk wilayah yang terpilih, ketiga
skenario tersebut mempunyai bentuk yang cenderung hampir sama, yaitu
mengumpul di lokasi muara Sungai Citiis dan Citepus. Muara Sungai Citepus
terpilih karena lokasi tersebut terdapat sumberdaya yang tidak ditemukan di lokasi
Citiis, sehingga kawasan konservasi terpisah pada lokasi Citepus saja. Bentuk yang
mengumpul merupakan bentuk yang ideal untuk desain kawasan konservasi, karena
dengan bentuk yang mengumpul, akan memudahkan pengelolaan dan biaya pun
menjadi rendah. Selain dari bentuk, lokasi ketiga skenario yang terpilih didukung
oleh kedalaman perairan yang < 200 meter, karena kawasan konservasi akan efektif
jika kedalaman perairan tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous 2006 in
Marpaung 2011). Jika dilihat dari kondisi arus di Teluk Palabuhanratu, lokasi Citiis
yang merupakan lokasi terpilih menjadi area kawasan konservasi yang sangat tepat,
yaitu kecepatan arus yang berkisar antara 9,38 – 29,83 cm/det pada saat peralihan
antara pasang dan surut terjadi, arah arus yang ada pada kawasan Ciemas dan
Palabuhanratu mengarah pada kawasan Citiis dengan kecepatan 0,6 m/ det (JODC)
(Hartami 2008) karena arus menentukan kondisi keberadaan larva yang berasal dari
pemijahan induk dari perairan laut dalam yang terletak di tengah laut kemudian
terdorong arus menuju pesisir.
Penentuan kawasan konservasi perlu ditentukan berdasarkan kajian ekologi
dan sosial. Dari ketiga skenario terlihat bahwa peningkatan nilai target dari 10%
menjadi 40% memberi pengaruh terhadap peningkatan luas kawasan konservasi
yang terpilh. Semakin besar target yang ditentukan semakin luas kawasan yang
terpilih, semakin luas kawasan semakin bagus secara ekologi, karena semakin
banyak sumberdaya yang dapat dilindungi. Akan tetapi semakin luas kawasan
konservasi akan menyebabkan biaya pengelolaan menjadi lebih tinggi. Disamping
itu, semakin luas suatu kawasan konservasi, semakin berpeluang terjadinya konflik
antara pemanfaatan dan pengelolah konservasi. Penentuan kawasan konservasi juga
perlu memperhatikan kondisi pemanfatan di lingkungan tersebut. Kawasan dengan
58

lokasi yang sudah termanfaatkan akan berpotensi adanya bentrok antara upaya
perlindungan dan pemanfaatan. Hal ini terlihat dari persepsi masyarakat yang minim
akan pengtahuan tentang kawasan konservasi tersebut, sehingga hal ini akan
mempengaruhi efektifitas pengelolaan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari ketiga rancangan tiap skenario, variabel yang
digunakan dalam menentukan kawasan konservasi antara lain adalah sumberdaya
larva yaitu larva Anguilla, Congridae, Trichiuridae, Gobiidae, serta habitat berupa
feeding ground dan nursery ground. Berdasarkan variabel yang dipilih, dihasilkan tiga
rancangan dari hasil tiga skenario. Dari Ketiga rancangan kawasan konservasi yang
dihasilkan terlihat adanya kecenderungan bahwa muara Sungai Citepus selalu
terpilih pada setiap rancangan. Hal ini membuktikan bahwa lokasi muara Sungai
Citepus merupakan daerah yang perlu dikonservasi.

6.2. Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan di lokasi Teluk Palabuhanratu dengan fitur
konservasi selain sumberdaya larva, sehingga sumberdaya lain yang berkaitan
akan ikut terlindungi.
2. Perlu adanya sosialisasi tentang pengetahuan konservasi ke semua pihak agar
dapat mempertimbangkan zonasi hasil penelitian ini dalam pengelolaan
kawasan konservasi.
PERANCANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH
BERDASARKAN POTENSI LARVA IKAN DI TELUK
PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

MOHAMMAD LUTFI ABRORI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

Perancangan Kawasan Konservasi Laut Daerah Berdasarkan Potensi Larva


Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

Adalah benar merupakan hasil karya saya dibawah bimbingan Agustinus M.


Samosir, dan M. Mukhlis Kamal. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya orang lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka.

Bogor, Desember 2012

Mohammad Lutfi Abrori


C24070037
RINGKASAN

Mohammmad Lutfi Abrori. C24070037. Perancangan Kawasan Konservasi


Laut Daerah Berdasarkan Potensi Larva Ikan di Teluk Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir,
dan M. Mukhlis Kamal.
Teluk Palabuhanratu merupakan daerah pengkapan ikan (fishing ground) dan
tempat asuhan anak ikan (nursery ground). Potensi larva ikan sangat tinggi sehingga
sering menjadi tempat penangkapan larva secara intensif. Larva ikan memegang
peranan penting terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan di laut, Oleh karena itu,
perlu adanya upaya pengelolaan penangkapan larva. Salah satu konsep pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan adalah dengan pendekatan konservasi, dimana aspek
pemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari aspek perlindungan dan aspek pelestarian.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan variabel sumberdaya pesisir yang
berhubungan dengan upaya perlindungan di Perairan Teluk Palabuhanratu,
menentukan daerah konservasi dan memberikan alternatif ruang kawasan
konservasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologis dan sosial dengan program
MARXAN, serta data (primer dan sekunder) sumberdaya larva di Teluk
Palabuhanratu. Data dibagi menjadi fitur konservasi dan fitur biaya. Fitur konservasi
diantaranya yaitu larva Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae, kemudian
habitat berupa Feeding ground dan Nursery ground, sedangkan fitur biaya tersebut
antara lain yaitu PLTU, PPN, Jalur kapal, Fishing ground serta Hotel dan Wisata.
Lokasi penelitian ini yaitu di muara Sungai Cimandiri, Cimaja, Sukawayana,
Citepus dan Citiis.
Penentuan kawasan konservasi ini dibuat menjadi 3 skenario konservasi
dengan varisi target yang berbeda dengan tujuan untuk memberikan beberapa opsi
zona kawasan. Variasi target yang digunakan pada tiap skenario antara lain 10%,
30% dan 40%. Guna merancang desain kawasan konservasi yang efektif dan
mengumpul, tiap skenario diuji dengan 7 macam BLM untuk menentukan yang
paling optimal, antara 10 hingga 10000.
BLM optimum yang digunakan yaitu BLM 1000 karena sudah menghasilkan
desain yang efektif dan mengumpul. Berdasarkan hasil, rancangan pada skenario 1
menghasilkan luas 10.802 km2 dengan perbandingan sebesar 3% dari total perairan
Palabuhanratu yang terletak pada skitar muara Sungai Citepus dan Sukawayana,
rancangan pada skenario 2 menghasilkan luas 29.238 km2 dengan perbandingan
sebesar 7% dari total perairan Palabuhanratu yang terletak memanjang diantara
muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis, dan rancangan pada skenario 3
menghasilkan luas 29.914 km2 dengan perbandingan sebesar 7% dari total perairan
Palabuhanratu yang terletak memanjang pada muara Sungai Citepus hingga Citiis.
Secara keseluruhan, lokasi yang selalu terpilih menjadi kawasan konservasi terletak
pada sekitar muara Sungai Citepus. Ketiga skenario tersebut layak dijadikan
rekomendasi untuk perencanaan Kawasan Konservasi di Teluk Palabuhanratu
Sukabumi Jawa Barat.
Kata kunci : Palabuhanratu, Konservasi, larva ikan
PERANCANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH
BERDASARKAN POTENSI LARVA IKAN DI TELUK
PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

MOHAMMAD LUTFI ABRORI


C24070037

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Perancangan Kawasan Konservasi Laut Daerah


Berdasarkan Potensi Larva Ikan Di Teluk
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
Nama Mahasiswa : Mohammad Lutfi Abrori
Nomor Pokok : C24070037
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing 2

Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc.


NIP: 19611211 198703 1 003 NIP : 13208493

Mengetahui :
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc


NIP: 19660728 199103 1 002

Tanggal Lulus :

ii
PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa ta'ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat mengerjakan skripsi yang
berjudul “Perancangan Kawasan Konservasi Laut Daerah Berdasarkan Potensi
Larva Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”.
Skripsi ini disusun sebagai hasil penelitian dan merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini tidak lupa Penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil selaku dosen
pembimbing pertama, kemudian Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen
pembimbing kedua, kemudian Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku dosen penguji
tamu, kemudian Dr. Majariana Krisanti, S.Pi., M.Si selaku komisi Pendidikan S1
serta Bapak Anton Wijonarno yang telah banyak membantu dalam pemberian
bimbingan, masukan dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan wawasan dan pengetahuan Penulis yang masih minim. Oleh karena itu
Penulis mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun, demi
penyempurnaan di masa yang akan datang sehingga dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan serta
bagi upaya pengelolaan lingkungan perairan dan perikanan khususnya di daerah
Palabuhanratu Sukabumi Jawa Barat.

Bogor, Desember 2012

Penulis

iii
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kehadirat Allâh Ta'âla atas kebaikan dan segala nikmat yang
tercurahkan hingga saat ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak
lupa Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ir. Agustinus M. Samosir, M. Phil selaku pembimbing I
2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku pembimbing II
3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku dosen penguji tamu
4. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi., M.Si selaku komisi pendidikan
5. Bapak Anton Wijonarno atas bantuan dan masukan masukannya yang sangat
membangun wawasan Penulis.
6. Keluarga Penulis Bapak Mohammad Hasyim dan Ibu Purwaning Rayahu W
beserta keluarga besar Penulis yang telah memberikan banyak motivasi dan
dukungan kepada Penulis.
7. Seluruh Staf Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan yang
telah membantu Penulis untuk melancarkan Penulisan skripsi ini.
8. Dr. Ir. Totok Hersterianoto, M.Sc, Bapak Syarif Budiman, Nelayan,
Koresponden penelitian serta Seluruh staf karyawan SLK Palabuhanratu atas
bantuan dan dukungan selama pelaksanaan penelitian di Palabuhanratu,
9. Ananda Listya yang telah memberikan motivasi dan semangat
10. Nasrun Hakim, Arif Rahman, Sandi Setiawandi Eko Setiawan dan Wawan
yang telah membantu dan memberi semngat kepada Penulis selama penelitian
11. Anggi dan aziz yang telah membatu dalam proses wawancara penelitian.
12. Fajar yang telah membantu Penulis pada proses pengolahan data
13. Tim larva : Nina Ratna Furry, Sahrul Rifai Uhid, dan Putri Marini said atas
kerjasama dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini
14. Sahabat-sahabat MSP44 yang selalu membantu baik dalam Penulisan skripsi
maupun kebutuhan dalam proses ketika Penulis masih kuliah.
15. Wisma amigo atas dukungan dan motivasinya setiap hari
Terimakasih kepada beberapa pihak lain yang tidak dapat Penulis sebutkan
satu persatu.

iv
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Situbondo pada tanggal 21 Desember 1988,


merupakan anak terakhir dari ketiga bersaudara dari pasangan
Mohammad Hasyim dan Purwaning Rahayu W. Penulis diterima
sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 2007 di
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan setelah lulus dari SMAN 3 Malang pada tahun 2007.
Selama menjadi mahasiswa Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
Konservasi Sumberdaya Hayati Perairan Pesisir pada tahun ajaran 2010-2011.
Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi diantaranya adalah Oragnisasi
Mahasiswa Daerah Malang (OMDA Malang) sebagai ketua pada tahun ajaran
2008/2009, Himpunan Mahasiswa Jawa Timur (HIMAJATIM) sebagai staff divisi
Eksternal, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) tahun ajaran 2008/2009 sebagai
staff divisi Internal dan Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan
(HIMASPER) sebagai staff pada periode tahun ajaran 2009-2010. Selain aktif di
organisasi, Penulis juga aktif di beberapa kegiatan kepanitiaan. Selama menempuh
perkuliahan, Penulis pernah mengikuti beberapa perlombaan di tingkat nasional,
diantaranya adalah Pekan Kreativitas Mahasiswa bidang penelitian (PKM-P) pada
tahun 2010, I-Step (Intensive Student Technopreneurship Program) pada tahun
2010, Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) pada tahun 2011 dan Pemenang Pre-
Mentoring program dari RAMP Indonesia pada tahun 2011.
Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis
melaksanakan penelitian yang berjudul “Perancangan Kawasan Konservasi Laut
Daerah Berdasarkan Potensi Larva Ikan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat”.

v
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL....................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ x
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 2
1.3. Tujuan ......................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5


2.1. Pengelolaan Kawasan Konservasi .............................................. 5
2.1.1. Landasan hukum ............................................................. 5
2.1.2. Sistem zonasi kawasan konservasi laut daerah ............... 7
2.2. Larva Ikan ................................................................................... 9
2.3. Perancangan Ruang Kajian Marxan............................................ 10

III. METODE PENELITIAN .................................................................. 16


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 16
3.2. Alat dan Bahan............................................................................ 16
3.3. Pengumpulan Data ...................................................................... 18
3.3.1. Fitur konservasi ............................................................... 18
3.3.2. Fitur biaya ....................................................................... 19
3.4. Daerah Kajian / Area Of Interest (AOI)...................................... 19
3.5. Analisis Zonasi Kawasan Konservasi ......................................... 21
3.5.1. Pembobotan fitur ............................................................. 22
3.5.2. Pengolahan data............................................................... 24
3.5.3. Pengaturan BLM (Boundary length modifier) ................ 26
3.5.4. Pengaturan zonasi............................................................ 26
3.5.5. Penentuan skenario.......................................................... 27
3.5.6. Konektivitas .................................................................... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 29


4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu.......................................... 29
4.1.1. Persepsi masyarakat tentang kawasan konservasi........... 32
4.2. Hasil Penelitian ........................................................................... 33
4.2.1. Fitur konservasi ............................................................... 33
4.2.2. Fitur biaya / Cost ............................................................. 46
4.2.3. BLM ................................................................................ 46
4.2.4. Wilayah konservasi ......................................................... 50
vi
4.3. Pembahasan................................................................................. 54

V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 59


6.1. Kesimpulan ................................................................................. 59
6.2. Saran............................................................................................ 59

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 60
LAMPIRAN.................................................................................................. 64

vii
DAFTAR TABEL

Halaman
1. Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi 2004)........................ 15
2. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian. ................................... 16
3. Kriteria penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi................. 23
4. Kriteria penentuan nilai skor fitur biaya................................................. 24
5. Skenario kawasan konservasi ................................................................. 27
6. Nilai faktor denda pada tiap fitur konservasi.......................................... 33
7. Nilai skor pada tiap fitur biaya ............................................................... 46
8. Perbandingan BLM rata-rata tiap skenario............................................. 48

viii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Skema kerangka pikir penelitian ............................................................ 3
2. Grid unit perencanaan dalam Marxan. (a) bentuk segitiga, (b) bentuk
persegi, (c) bentuk hexagon, (d) bentuk octagons .................................. 12
3. Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM sedang, c) BLM tinggi...... 12
4. Prinsip desain kawasan perlindungan..................................................... 13
5. Peta lokasi penelitian di Teluk Palabuhanrat.......................................... 17
6. Area Of Interest (Daerah lingkup yang akan dikaji) .............................. 20
7. Alur tabuler untuk input Marxan dengan ArcView dan CLUZ.............. 25
8. Kondisi Teluk Palabuhanratu ................................................................. 30
9. Persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi ................................ 32
10. Sebaran fitur konservasi Anguilla di Teluk Palabuhanratu .................... 35
11. Sebaran fitur konservasi Congridae di Teluk Palabuhanratu ................. 37
12. Sebaran fitur konservasi Trichiuridae di Teluk Palabuhanratu .............. 39
13. Sebaran fitur konservasi Gobiidae di Teluk Palabuhanratu ................... 41
14. Sebaran fitur konservasi Nursery Ground di Teluk Palabuhanratu........ 43
15. Gambar hubungan klorofil pada permukaan dan kedalam yang
berbeda.................................................................................................... 44
16. Sebaran fitur konservasi Feeding Ground di Teluk Palabuhanratu ....... 45
17. Fitur Biaya .............................................................................................. 47
18. Hubungan antara BLM dan Luas ........................................................... 48
19. Hubungan antara BLM dan panjang batas ............................................. 49
20. Kawasan konservasi pada skenario 1 ..................................................... 52
21. Kawasan konservasi pada skenario 2 ..................................................... 53
22. Kawasan konservasi pada skenario 3 ..................................................... 55
23. Perbandingan luas zona kawasan konservasi tiap skenario.................... 56

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Kuisioner Penelitian ............................................................................... 65
2. Perbandingan tiap skenario BLM ........................................................... 66
3. Data sekunder larva di perairan Teluk Palabuhanratu dalam present
absent (Furry 2011, Said 2011, Rifai 2011) ........................................... 67
4. Perbandingan Hasil desain marxan tiap BLM ........................................ 68
5. Target Konservasi Yang Tercapai .......................................................... 72
6. Dokumentasi kondisi lapang pada saat penelitian berlangsung ............. 74
7. Gambar larva ikan yang terpilih sebagai fitur konservasi ...................... 75

x
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Teluk Palabuhanratu merupakan daerah pengkapan ikan (fishing ground) dan
juga daerah asuhan anak-anak ikan (nursery ground). Lokasi ini masih sangat
potensial sebagai daerah pengasuhan ikan, karena memiliki karakteristik perairan
khas yang mendukung keberadaan larva ikan.
Larva ikan memegang peranan penting terhadap keberadaan sumberdaya ikan
di laut, karena perkembangan awal daur hidup ikan tergantung pada fase larva.
Tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi ikan saja, bahkan kelangsungan hidup dari
spesies ikan akan terancam apabila ikan pada fase larva sudah dieksploitasi. Seperti
diketahui pada tahap awal, daur hidup ikan mempunyai mortalitas yang tinggi
karena kepekaan terhadap predator, keterbatasan makanan, dan juga perubahan
lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Sifat dari sumberdaya ikan sebagai
milik bersama (common property), dapat dimanfaatkan oleh siapa pun (open
access), sehingga mendorong manusia untuk mengeksploitasinya sebanyak mungkin
dengan berbagai cara.
Upaya eksploitasi ikan yang terjadi di daerah teluk ini meliputi kegiatan
menangkap ikan menggunakan perahu motor, bagan, dan tradisi mengambil larva
(nyalawean/ngala impun). Nyalawehan merupakan suatu kegiatan penangkapan ikan
di sekitar muara sungai Teluk Palabuhanratu. Ikan yang ditangkap dari tradisi ini
pada awalnya adalah ikan gobii/impun dalam stadia larva dan juvenil.
Pengoperasian alat tangkap yang tidak selektif seperti bagan yang dapat menangkap
ikan dari berbagai ukuran termasuk larva dan juvenil ikan. Jika kegiatan
penangkapan larva terjadi secara terus menerus, hal ini dapat menyebabkan
penurunan stok sumberdaya ikan, karena tidak adanya regenerasi atau rekruit ikan
yang masuk ke perairan akibat pada stadia larvanya saja sudah tertangkap dan belum
sempat menjadi dewasa untuk melakukan pemijahan (reproduksi). Seperti diketahui
bahwa keberhasilan faktor reproduksi ini merupakan faktor yang mempengaruhi
keberlangsungan suatu sumberdaya ikan.
2

Faktor penangkapan ikan pada fase larva secara berlebihan merupakan


penyebab menurunnya stok larva yang tentunya akan berkaitan erat dengan
penurunan stok ikan di laut. Apabila pada tahap larva sudah terjadi penangkapan
yang berlebih, maka kedepannya akan berdampak pada stok ikan yang berumur
dewasa menjadi lebih sedikit dan kondisi stok produksi perikanan tangkap akan
menurun (Olii 2003). Oleh karena itu, perlu adanya pengendalian operasi
penangkapan yang ditargetkan pada larva ikan, mengingat potensi sumberdaya ini
mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan bangsa yang akan datang,
sehingga perlu dikelola secara terpadu untuk dimanfaatkan secara optimal tanpa
menimbulkan kerusakan. Sejauh ini salah satu pendekatan yang diyakini mampu
menerjemahkan konsep pengelolaan tersebut adalah pendekatan konservasi, dimana
aspek pemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari aspek perlindungan dan aspek
pelestarian. Implementasi dari pendekatan konservasi salah satunya dicerminkan
dalam bentuk penetapan kawasan konservasi.

1.2. Rumusan Masalah


Sifat dasar sumberdaya ikan yang milik bersama (common property), dan
pemanfaatannya oleh siapapun (open acces) memudahkan keluar masuknya individu
dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan. Mengingat sumberdaya ikan memiliki
sifat yang terbatas dan mudah rusak, perlu dilakukan pengelolaan yang dapat
menjamin pemanfaatan sumberdaya tersebut berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Keadaan yang sama juga terjadi pada sumberdaya ikan yang telah dewasa,
padahal telah diketahui bahwa larva ikan merupakan awal dari daur hidup ikan,
dimana pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi tidak hanya karena akibat
penangkapan, tetapi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan
seperti suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada
tahap ini pula yang menentukan kelangsungan hidup dari satu spesies maupun
populasi ikan tersebut.
Berdasarkan masalah diatas maka perlu dilakukan kajian untuk menentukan
kawasan konservasi. Untuk memudahkan dalam perencanaan kawasan konservasi
maka diperlukan software Marxan yang dapat membantu dalam membuat skenario
3

kawasan konservasi sebagai upaya awal dalam perlindungan dan pelestarian


sumberdaya sehingga pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan dan
bertanggung jawab.

Sumberdaya Pesisir
Palabuhanratu

SD Non hayati Sumberdaya Jasa Lingkungan


ikan

larva Dewasa

Over Exploitasi

Upaya
Perlindungan

Desain kawasan konservasi


(Marxan)

BLM Fitur konservasi Fitur biaya

Hasil

Rancangan 1 Rancangan 2 Rancangan 3

Penetapan
wilayah konservasi

= Hubungan
= Ruang lingkup penelitian

Gambar 1. Skema kerangka pikir penelitian

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan antara lain :
1. Menentukan variabel sumberdaya pesisir yang berhubungan dengan upaya
perlindungan di perairan Teluk Palabuhanratu
4

2. Memberikan alternatif rancangan kawasan konservasi.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat dari adanya penelitian ini adalalah sebagai dasar pertimbangan bagi
pemerintah daerah dalam menentukan kawasan perlindungan laut melalui kajian
pendekatan berbasis spasial ekologi di perairan Teluk Palabuhanratu guna menjaga
keberlanjutan jenis dan kelestarian lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Kawasan Konservasi


Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah kawasan konservasi laut
yang berada dalam wilayah kewenangan pemerintah daerah dan ditetapkan serta
dikelola oleh daerah mulai dari tahap perencanaan, penetapan, pengelolaan serta
monitoring dan evaluasi (DKP 2007). Tujuan penetapan kawasan konservasi adalah
untuk terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati laut dan ekosistem sehingga
dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekologis jangka panjang, dan juga sebagai
suatu kawasan untuk pemanfaatan sumberdaya alami bagi kepentingan rekreasi,
wisata pendidikan, penelitian serta bentuk lainnya yang tidak bertentangan dengan
prinsip konservasi. Idealnya kawasan konservasi di integrasikan dengan sistem
pengelolaan pesisir agar terjadi kontrol yang efektif untuk menghambat ancaman
yang berasal dari hulu dan menjaga kualitas air (Done dan Reichelt 1998).
Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaannya dari
pemanfaatan sumberdaya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan
perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai
pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap “biosphere” untuk mendapatkan
keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara
potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang (IUCN 1980 in
Salm 1984).

2.1.1. Landasan hukum


Landasan hukum penetapan dan pengelolaan suatu kawasan perlu adanya
peraturan yang menguatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilakukan agar
kegiatan tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat. Peraturan yang menjadi
landasan hukum bagi pengelolaan kawasan konservasi antara lain :
a. Undang-Undang RI No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada
Pasal 18 Ayat 3 menyatakan bahwa kewenangan bidang kelautan dan
perikanan bagi daerah Kabupaten yaitu seluas 4 mil laut atau 1/3 dari
wilayah perairan propinsi (12 mil). Kewenangan-kewenangan dimaksudkan
6

meliputi : eksplorasi, ekploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;


pengaturan kepentingan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah; bantuan
penegakan keamanan dan kelautan negara.
b. Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
Pasal 1 menyatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan
pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta
antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
c. Undang-Undang RI No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Klasifikasi penataan ruang dijelaskan pada Pasal 4 bahwa penataan ruang
diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah
administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis karyawan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang dijelaskan pada
Pasal 6 ayat (1) bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
memperhatikan :
1. Kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan
terhadap bencana
2. Potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan;
kondisi ekonomi, sosial, budaya. Politik, hukum, pertahanan keamanan,
lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu
kesatuan; dan
3. Geostrategi, geopolitik dan geoekonomi
d. Peraturan Pemerintah RI No. 60 tahun 2007 Tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan
Kawasan konservasi perairan yang dinyatakan pada Pasal 1 Ayat 1 adalah
kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk
mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
7

berkelanjutan. Pembagian zonasi menurut pasal 17 ayat 4 terdiri dari zona


inti; zona perikanan berkelanjutan; zona pemanfaatan; dan zona lainnya.
e. Peraturan Menteri kelautan dan perikanan RI No. 17 tahun 2008 tentang
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kawasan konservasi yang dinyatakan pada Pasal 1 ayat 8 adalah bagian
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu
sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau
dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan.
Kewenangan pengelolaan kawasan yang dimaksud pada pasal 24 dapat
dilaksanakan oleh:
1. Pemerintah untuk kawasan konservasi nasional;
2. Pemerintah daerah provinsi untuk kawasan konservasi provinsi; dan
3. Pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kawasan konservasi
kabupaten/kota.

2.1.2. Sistem zonasi kawasan konservasi laut daerah


Sistem zonasi kawasan konservasi laut adalah suatu bentuk rekayasa teknik
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi
sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai
satu kesatuan ekosistem (DKP 2007)
Sebagai upaya dalam mengakomodasi semua keinginan dan kebutuhan pihak
pengguna kawasan, seperti pengembangan pariwisata, perikanan dan nilai-nilai
konservasi serta kebutuhan suatu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) adalah
hal yang cukup sulit. Kegiatan pemanfaatan di suatu Kawasan Konservasi dapat
sejalan dan selaras dengan konservasi, sepanjang adanya pengelolaan yang baik.
Walau begitu, kerusakan dapat juga terjadi akibat pembangunan sarana fisik di
KKLD.
Hingga saat ini penataan zona kawasan konservasi laut belum optimal karena
kelangkapan data dan informasi dasar dari sumberdaya pesisir yang ada belum
optimal. Penataan zonasi kawasan konservasi laut merupakan pembagian kawasan
8

atas berbagai zona yang mencerminkan adanya suatu perlakuan tertentu di masing-
masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan
peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistim pada setiap bagian
kawasan (Sriyanto 1998 in Ila 2010).
Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku
dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah
dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini dapat
ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi secara
jelas untuk menegaskan batasannya (Laffoley 1995 in Ila 2010).
Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud adalah PP No.60 tahun 2007 tentang
konservasi Sumberdaya Ikan, terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
zona pemanfaatan , dan zona lainnya sesuai dengan keperluan. Zonasi tersebut dapat
didefinisikan sebagai berikut :
1. Zona inti merupakan DPL yang dibentuk oleh masyarakat dan bila dianggap
masih kecil, maka dapat ditambah jumlah dan luasnya. Zona ini
diperuntukkan bagi: (a) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (b)
penelitian, dan (c) pendidikan.
2. Zona Perikanan Berkelanjutan merupakan zona yang memiliki nilai
konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan oleh pengguna
(nelayan dan pembudidaya), dan juga zona yang mempunyai potensi untuk
berbagai pemanfaatan yang ramah lingkungan. Zona perikanan berkelanjutan
diperuntukkan bagi : (a) perlindungan habitat dan populasi ikan, (b)
penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan. (c) budidaya
ramah lingkungan, (d) pariwisata dan rekreasi, (e) penelitian dan
pengembangan, dan (f) pendidikan.
3. Zona pemanfaatan akan ditentukan supaya selaras dengan berbagai
pemanfaatan yang ada dalam kawasan dan sesuai dengan tujuan KKLD.
Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi: (a) perlindungan habitat dan populasi
ikan, (b) pariwisata dan rekreasi, (c) penelitian dan pengembangan, dan (d)
pendidikan
9

4. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
dan zona pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai
zona tertentu antara lain: zona perlindungan, zona rehabilitas dan
sebagainya.

2.2. Larva Ikan


Iktioplankton berasal dari kata ichthyes (ikan) dan plankton (pengembara)
yang artinya ikan yang masih bersifat palnktonis. Istilah iktioplankton muncul
setelah beberapa ahli mulai membedakannya dengan plankton berdasarkan istilah
ichthyes untuk ikan. Dalam golongan plankton, organisme ini dikategorikan sebagai
meroplankton atau plankton sementara, dimana hanya sebagian dari hidupnya
bersifat sebagai plankton. Adapun setelah dewasa mereka menjalani kehidupan
sebagai perenang-perenang yang aktif yang sudah masuk dalam kategori nekton
(Olii 2003). Mengingat pentingnya iktioplankton ini bagi kegiatan perikanan
khususnya konservasi, lokasi penemuan telur dan larva ikan merupakan petunjuk
dimana dan berapa luas daerah pemijahan (spawning ground) jenis ikan tertentu
sebagai informasi dasar dalam menentukan kawasan konservasi.
Mantiri (1995) in Olii (2003) mengatakan bahwa Iktioplankton adalah
organisme ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva, Namun ada juga yang
menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juvenil yang masih
bersifat planktonis. Iktioplankton sebagai tahapan awal perkembangan sejak dari
stadia telur, larva dan juvenil ikan merupakan awal dari daur hidup ikan. Menurut
Nontji (2008) larva ikan yang baru saja menetas umumnya berbentuk transparan,
belum bisa mencari makanan sendiri serta fungsi mulut dan saluran pencernaannya
belum berkembang dengan sempurna. Pada saat seperti itu, larva ikan masih
bergantung pada cadangan makanan yang berupa kuning telur. Pada tahap ini tingkat
mortalitas tinggi karena peka terhadap predator dan perubahan lingkungan seperti
suhu, salinitas bahkan ketersediaan makanan di alam. Dengan demikian pada tahap
ini pula yang menentukan kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan
tersebut.
10

2.3. Perancangan Ruang Kajian Marxan


Marxan (Marine Reserve Design using Spatially Explicit Anealling)
dikembangkan sebagai sebuah produk pengembangan Spexsan untuk memenuhi
kebutuhan Great Barrier Reef Marine Park Authority (GBRMPA) (Ball dan
Possingham 2000). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini adalah
permasalahan perencanaan konservasi dalam menentukan daerah konservasi karena
daerah perencanaan yang berpotensi cukup luas sehingga banyak kemungkinan
daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi.
Perangkat lunak Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan
untuk membantu merancang sebuah kawasan perlingdungan laut. Hal ini karena
Marxan dapat memberikan bantuan dalam menentukan daerah konservasi
berdasarkan data dan skenario perencanaan yang telah disiapkan secara otomatis
(Darmawan dan Darmawan 2007).
Penggunaan Marxan sangat mudah bagi pengguna baru karena prosesnya
didesain secara otomatis sehingga pengguna dapat mencoba berbagai skenario
perencanaan kawasan yang berbeda dan dapat melihat seperti apa hasilnya, dari hasil
tersebut Perencana dapat memilih skenario terbaik untuk perencanaan (Meerman
2005). Perangkat lunak ini menggunakan algoritma simulated annealing, yang
memiliki cara kerja terbagi menjadi 3 bagian, yaitu literatif improfment, random
backward dan repetition. Ketiga langkah algoritma tersebut berfungsi mencari nilai
cost yang paling rendah. Dengan kombinasi ketiga langkah tersebut, memastikan
bahwa lokasi yang terpilih adalah lokasi yang terendah. Algoritma simulated
anealling menjalankan fungsi obyektif yang merupakan kombinasi sederhana dari
nilai cost terpilih dan nilai penalty untuk yang tidak memenuhi target konservasi
(Ball dan Posingham 2000).

= + × + ( × )

Keterangan :
Cost : Nilai cost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukur i = 1,2,…,n; n
adalah banyaknya satuan perencanaan.
11

BLM : Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatif cost terpilih di
planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif.
Boundary : Batas dari area terpilih/perimeter ke-i
SPF : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i
apabila target tiap spesies tidak terpenuhi
Penalty : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi
pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif

Langkah awal dalam penentuan kawasan konservasi yaitu dengan


mengidentifikasi daerah target sebagai dasar dalam skenario perencanaan yang
hendak dilakukan. Kemudian daerah target dirubah menjadi planing units atau unit
perencanaan. Planing units sendiri adalah blok blok atau petakan petakan lokasi
yang dalam evaluasi marxan sebagai pertimbangan untuk dipilih sebagai solusi
(Loos 2006). Loos (2006) menyatakan bentuk yang dapat digunkan dalam
membentuk planing units dapat berupa segitiga, persegi empat, dan hexagon
(Gambar 2). Bentuk yang paling banyak digunakan untuk analisis Marxan adalah
hexagon karena bentuk yang lebih natural, mendekati bentuk lingkaran dan memiliki
rasio tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Selain itu planing units yang
menggunakan hexagon memiliki keluaran (output) yang lebih halus dibanginkan
dengan bentuk planing units lainnya (Miller et al. 2003). Hexagon juga memiliki
perimeter yang lebih rendah terhadap luasan dibandingkan dengan persegi empat
dengan area yang sama (Warman 2001 in Azhar 2010).
Selain Cost dan SPF, BLM merupakan merupakan salah satu faktor dalam
menentukan fungsi obyektif penentuan kawasan konservasi. BLM (Boundary
Lenght Modifier) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk membuat batasan
perimeter kawasan konservasi. Tinggi rendahnya BLM akan berpengaruh terhadap
perimeter dan area yang muncul dalam solusi (Loos 2006). BLM rendah akan
menghasilkan perimeter yang lebih besar (Gambar 3.a), sedangkan BLM yang
tinggi, areal terpilih akan lebih luas dan terfokus serta memiliki perimeter yang lebih
kecil (Gambar 3.c). Dengan BLM yang kecil, marxan akan terkonsentrasi
meminimalkan planning unit cost, sedangkan BLM yang besar akan memberikan
tekanan pada penurunan Boundary Lenght (Steward dan Possingham 2005).
12

a. b.

c. d.

Gambar 2. Grid unit perencanaan dalam Marxan. (a) bentuk segitiga, (b) bentuk
persegi, (c) bentuk hexagon, (d) bentuk octagons
(Sumber : Loos 2006)

Gambar 3. Pengaturan BLM. a) BLM rendah, b) BLM sedang, c) BLM tinggi


(Sumber: Loos 2006)

Penentuan nilai BLM ini akan bervariasi dari suatu daerah dengan daerah lain.
Nilai BLM dipilih berdasarkan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari
13

analisis yang dilakukan (Possingham et al. 2000). Dengan kata lain tidak ada
parameter yang menentukan nilai BLM, nilai ini ditentukan berdasarkan eksperimen
dan memperhatikan bentang alam hasil dari Marxan untuk menemukan desain yang
diharapkan sehingga memberikan keleluasaan pada perencana kawasan konservasi
dalam menentukan hasil terbaik untuk kegiatan pengambilan keputusan.
Hasil terbaik dalam menentukan solusi kawasan konservasi adalah desain yang
terfokus dan mengumpul, karena desain tersebut lebih efeketif, dapat memudahkan
pengelolaan dan juga memudahkan untuk di aplikasikan di lapang dibandingkan
dengan desain solusi yang menyebar. Menurut Diamond (1975) atas dasar teori
biogeografi pulau, ada 7 prinsip desain yang sangat efektif dalam perencanaan
perlindungan, antara lain sebagai berikut

Gambar 4. Prinsip desain kawasan perlindungan


(sumber: Diamond 1975)
14

Menurut Diamond 1975, ada sembilan prinsip desain kawasan perlindungan,


antara lain adalah kawasan perlindungan yang besar lebih baik dibandingkan dengan
kawasan yang lebih kecil dengan bentuk yang sama (Gambar 4a), bentuk yang
mengumpul lebih baik daripada bentuk yang tersebar walaupun dengan ukuran yang
sama (Gambar 4b), bentuk yang menyebar namun berdekatan lebih baik daripada
bentuk yang menyebar berjauhan walau dengan ukuran yang sama (Gambar 4c),
bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang terpisah memanjang
namun tidak berhubungan (Gambar 4d), bentuk yang terpisah namun berhubungan
lebih baik daripada bentuk yang terpisah namun tidak berhubungan (gambar 4e),
bentuk yang mengumpul lebih baik daripada bentuk yang menjang berhubungan
(Gambar 4e). Walaupun sebelumnya banyak menghasilkan perdebatan ekologi, yang
dikenal dengan SLOSS (single large or several small reserves) sebagian besar dari
prinsip ini telah diterima sebagai desain jaringan kawasan konservasi pada modern
biogeografi studies for the design of natural preveses dan telah banyak diterapkan
hingga sekarang.
Penerapan Marxan telah digunakan untuk mendukung perancangan kawasan
konservasi laut dan darat di seluruh dunia. Namun Marxan lebih dikenal untuk
digunakan dalam merancang jaringan konservasi pada ekosistem terumbu karang di
daerah tropis dan subtropis (Fernandes et al. 2005). Beberapa zonasi kawasan
konservasi di indonesia telah menggunakan Marxan. Hal ini dilakukan karena
Marxan mempunyai beberapa keunggulan antara lain:
1. Software MARXAN dapat dengan mudah terintegrasi dengan program
Arcview, dengan tersedianya ekstensi-ekstensi yang memudahkan
pembuatan planing unit, file-file yang diperlukan MARXAN serta
otomatisasi pembuatan shapefile hasil perhitungannya
2. Mempunyai skenario luas dan terbuka, berbagai skenario dapat
dikembangkan agar tercipta sebuah bentuk kawasan konservasi yang
sesuai dengan yang diinginkan.
3. Transparan, seluruh proses dilakukan secara algoritma matematis,
sehingga alurnya dapat diikuuti dalam kerangka ilmiah. Selain itu juga
15

berbagai faktor, baik ekologi maupun sosial dapat menjadi input dalam
perhitungan.
4. Bisa mengadopsi penataan zonasi menurut PP No. 60 tahun 2007 dan
Permen No. 17 tahun 2008.
Sebagai software buatan manusia, marxan masih terdapat kekurangan, yaitu
Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas secara ekologi,
karena marxan mengidentifikasi wilayah hanya berdasarkan biaya terendah. Untuk
mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan (Smith et al. 2009)
yaitu meningkatkan nilai BLM secara bertahap sampai daerah yang terpilih cukup
untuk menjamin tingkat konektivitas yang tinggi, menambah zona inti diantara zona
sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan untuk
mewakili setiap spesies. Sebagai referensi untuk meningkatkan tingkat konektifitas
yang tinggi, tingkat konektivitas dapat dinilai dengan menggunakan model biofisik
yang mampu memperkirakan lintasan larva dari daerah pemijahan ke daerah
pembesaran bagi beberapa spesies yang termasuk sebagai target fitur konservasi
(Van der Molen et al. 2007). Menurut Palumbi (2004) bahwa konektivitas dapat
dilihat dengan mengetahui jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan,
serta daerah jelajah biota tersebut (Tabel 1).

Tabel 1. Perkiraan pergerakan larva dan dewasa (Palumbi 2004)


Jarak (km) Dewasa Larva
>1000 Spesies migrasi besar Banyak spesies
100-1000 Ikan pelagis besar Beberapa spesies
10-100 Hampir semua ikan dasar, ikan pelagis Hampir semua ikan, dan
kecil invertebrata
1-10 Ikan dasar kecil, beberapa invertebrata Alga, plankton, beberapa ikan
dasar Invertebrata dasar yang
<1 Species yang menerap, spesies dengan bersosialisasi langsung
karakteristik habitat khusus
III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 yang bertepatan dengan acara
nyalawean di laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana di
Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 5). Data
penelitian yang diambil meliputi data primer dan sekunder. Data primer terdiri dari
data informasi pemanfaatan dan sosial ekonomi masyarakat meliputi daerah
penangkapan ikan dan persepsi masyarakat, sedangkan data sekunder berupa data
spasial jenis dan kelimpahan larva ikan yang diperoleh dari hasil penelitian
sebelumnya.

3.2. Alat dan Bahan


Alat dan bahan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian.


No. Alat dan Bahan Kegunaan
Sebagai alat untuk mendapatkan data primer
1. Alat tulis, GPS, Peta, Kuisioner dan camera
dari wawancara
Sebagai media untuk menyimpan dan
2. Personal computer, dan microsoft excel
mengeluarkan file dan data
Data primer dan sekunder, meliputi:
Sebagai input data dalam perangkat lunak
3. • Fitur Konservasi
marxan
• Fitur Biaya
5. Peta dasar (basemap) yang sudah didigitasi Sebagai bahan dasar penentuan lokasi
Perangkat lunak Arcview GIS 3.2 beserta
4. Extension tambahan meliputi : Av Tools, Sebagai alat dalam pengolahan data GIS
CLUZ, TNC tool, dan Repeating Shapes
Sebagai alat untuk menyeleksi satuan unit
6. Perangkat lunak Marxan 211 perancangan dan menampilkan skenario
wilayah konservasi
17
Gambar 5. Peta lokasi penelitian di Teluk Palabuhanrat
18

3.3. Pengumpulan Data


Data-data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui observasi lapangan dan melalui hasil wawancara semi
terstruktur dengan pengguna (stakeholder) yang terkait di wilayah tersebut, meliputi
kondisi sumberdaya larva ikan, sosial budaya masyarakat, serta persepsi penilaian
responden terhadap adanya daerah konservasi yang berdampak terhadap pembatasan
pemanfaatan sumberdaya perairan. Sedangkan data sekunder berupa data spasial
jenis dan kelimpahan larva ikan yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan Marxan untuk menganalisa zonasi kawasan konservasi
dengan 2 macam input data yaitu data fitur konservasi dan data fitur biaya (cost).
Fitur konservasi yang mewakili keadaan ekologi yang akan di konservasi,
sedangkan fitur biaya adalah data sosial ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya.

3.3.1. Fitur konservasi


Fitur konservasi merupakan data biofisik yang akan dilindungi, sehingga fitur
ini menjadi suatu acuan ekologi untuk tujuan penentuan kawasan konservasi. Fitur
konservasi dapat berupa ekosistem, spesies, habitat atau komunitas biota laut
lainnnya. Dalam penelitian ini fitur konservasi berupa keanekaragaman sumberdaya
ikan yang masih berupa larva, dan habitat larva ikan yaitu nursery gorund, dan
feeding ground. Data yang digunakan untuk menentukan fitur konservasi adalah
data sekunder tentang distribusi larva yang diperoleh dari penelitian sebelumnya
(Said 2011). Berdasarkan data sekunder, dipilihlah prioritas larva untuk penentuan
kawasan konservasi dengan pertimbangan semakin sedikit keberadaan spesies
tersebut di alam, sehingga dipilih 4 fitur konservasi yang berupa larva antara lain
adalah Anguilla, Congridae, Trichiuridae dan Gobiidae (Lampiran 7). Anguilla yang
merupakan ikan sidat yang sudah terancam keberadaan di alam, Congridae golongan
ikan sidat yang statusnya juga terancam, Trichiuridae sebagai larva ikan layur dan
Gobiidae merupakan ikan impun, kemudian habitat larva feeding ground dan
nursery ground.
19

3.3.2. Fitur biaya


Fitur biaya dalam input marxan berupa data sosial tentang pemanfaatan
sumberdaya dan kawasan, yang meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN),
Jalur kapal, Fishing Ground, PLTU serta Wisata dan Hotel. Data tersebut diperoleh
dari pengamatan langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarakat
pengguna langsung sumberdaya tersebut.
Penentuan jumlah responden dan teknik pengambilan contoh dalam penelitian
ini dilakukan secara acidental sampling kepada nelayan sekitar. Selain untuk
mengetahui pemanfaatan sumberdaya, pengambilan responden ini juga untuk
mengetahui persepsi mereka mengenai kawasan konservasi sebagai upaya dalam
melalukan perlindungan untuk mencapai sumberdaya yang berkelanjutan.

3.4. Daerah Kajian / Area Of Interest (AOI)


Area of Interest merupakan daerah lingkup kajian dalam penentuan kawasan
konservasi. AOI yang telah ditentukan dibentuk menjadi beberapa Unit
Perencanaan/ Planing Unit dengan satuan Unit Perencanaan heksagonal. Planing
Unit atau Unit Perencanaan (pu) sendiri merupakan blok-blok bangunan dari sistem
konservasi yang Marxan evaluasi dan pilih sebagai bentuk solusi (Loos 2006).
Penentuan daerah kajian (AOI) dan unit perencanaan (pu) merupakan hal penting
dan utama dalam analisis marxan.
Pada penelitian ini, daerah lingkup yang akan dikaji / Area of Interest terletak
pada sekitar laut dan muara Sungai Cimaja, Citiis, Citepus, Cimandiri dan
Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat (Gambar 6). Batasan lokasi studi ini didasarkan atas
kewenangan pengelolaan daerah Palabuhanratu untuk mengelola laut, dimana sesuai
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, suatu
kabupaten/kota memiliki kewenangan pengelolaan laut sejauh 4 mil (untuk wilayah
yang berbatasan dengan laut yang luas).
Bentuk yang dapat diadopsi dalam satuan unit perencanaan yaitu segitiga,
persegi empat, dan heksagonal (Loss 2006). Bentuk heksagonal dipilih karena miliki
bentuk yang paling natural dan lebih mendekati lingkaran sehingga memiliki rasio
20
Gambar 6. Area Of Interest (Daerah lingkup yang akan dikaji)
21

tepi yang rendah (Gaselbarcht et al. 2005). Artinya satu heksagonal dapat mewakili
daerah terdekat dari setiap sisi-sisi daerah sekelilingnya. Bantuk heksagonal juga
memiliki keluaran yang lebih halus dibandingkan dengan satuan unit perencanaan
lainnya (Miller et al. 1993 in Loss 2006).

3.5. Analisis Zonasi Kawasan Konservasi


Untuk menentukan zona kawasan konservasi, digunakan perangkat lunak
Marxan yang bekerja menggunakan algoritma simulated annealing untuk mencari
nilai cost yang paling rendah dengan menggunakan dua macam input data, yaitu
data fitur konservasi dan data fitur biaya. Fitur konservasi adalah fitur yang
mempunyai indikator mengharuskan daerah tersebut dikonservasi, sedangkan fitur
biaya yang menyebabkan biaya konservasi meningkat. Masing-masing parameter
pada fitur konservasi mempunyai tingkat kepentingan dan kualitas data yang
berbeda-beda, sehingga penalti faktor dendanya (penalty factor) juga berbeda. Salah
satu keunggulan Marxan yaitu dapat diterapkan dengan beberapa skenario
perencanaan, sehingga Perancang dapat memilih skenario terbaik untuk menentukan
kawasan konservasi yang efisien dengan biaya terendah. Analisis marxan
menggunakan algoritma simulated anealing yang dimaksudkan untuk mencari nilai
biaya terendah sebagai kawasan konservasi, hal ini merupakan kombinasi sederhana
dari nilai biaya terpilih dan nilai penalti yang tidak memenuhi target (Ball dan
Posingham 2000). Nilai biaya terendah merupakan solusi terbaik, yang dihitung dari
formula matematika sebagai berikut :

= + × + ( × )

Keterangan :
Cost : Nilai cost (biaya) yang terpilih di planing unit yang dapat diukur i = 1,2,…,n; n
adalah banyaknya satuan perencanaan.
BLM : Boundary lenght modifier, adalah kontrol penting dari batas relatif cost terpilih di
planing unit. BLM bernilai 0 maka boundary lenght tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif.
Boundary : Batas dari area terpilih/perimeter ke-i
22

SPF : Species penalty factor, yaitu faktor yang mengontrol besarnya nilai penalty ke-i
apabila target tiap spesies tidak terpenuhi
Penalty : Nilai yang ditambahkan dalam fungsi obyektfi untuk setiap target tidak terpenuhi
pada setiap perencanaan ke-i, penalti ini opsional, dapat tidak dimasukkan dalam
fungsi obyektif

3.5.1. Pembobotan fitur


Penentuan bobot nilai fitur konservasi dan fitur biaya terbilang sangat unik,
penilaian fitur pada penelitian ini berdasarkan tingkat kepentingan data dan kualitas
data. Fitur konservasi dengan bobot tinggi diperhitungkan untuk meningkatkan nilai
cost apabila target konservasi tidak terpenuhi, sedangkan bobot untuk fitur biaya di
perhitungkan untuk tidak terpilih sebagai kawasan konservasi karena kawasan
tersebut sudah termanfaatkan sehingga akan meningkatkan biaya pengelolaan
apabila dialihkan menjadi kawasan konservasi. Penentuan bobot kedua jenis data
fitur ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas data, yang artinya
kualitas data dinilai tinggi jika pengambilan datanya berdasarkan hasil penelitian,
sedangkan kualitas data dinilai rendah jika pengambilan datanya berdasarkan
wawancara. Penentuan nilai faktor denda (penalty) pada tiap fitur konservasi
ditentukan secara subyektif oleh penulis, karena sejauh ini tidak ada aturan khusus
dalam menentukan nilai faktor denda (penalty) pada tiap spesis, namun Ball dan
Possingham (2000) menyarankan menggunakan SPF diatas 1, hal ini dibenarkan
oleh Loos (2006) yang menyatakan bahwa nilai SPF kecil (0.1) mangakibatkan
target tidak terpenuhi.
Data tiap fitur masing-masing dimasukkan dalam satuan perencanaan. Data
konservasi dimasukkan kedalam satuan perencanaan fitur konservasi, demikian juga
dengan fitur biaya, sehingga menghasilkan dua macam data yang bisa dianalisa lebih
lanjut.

• Pembobotan fitur konservasi


Fitur konservasi dipilih dari beberapa larva ikan dan habitat larva ikan. Larva
yang mempunyai pertimbangan utama yang akan di lindungi karena keberadaannya
yang semakin menipis di alam akibat adanya penangkapan yang tidak terkendali,
23

sedangkan habitat larva dipertimbangkan untuk dilindungi karena habitat merupakan


tempat larva ikan hidup dan dapat mempengaruhi keberadaan larva di alam.
Penentuan bobot nilai ditentukan dari tingkat kepentingan data dan kualitas
data. Data atau spesies yang penting untuk dilindungi dinilai dengan tingkat
kepentingan yang tinggi, kulitas data dikatakan tinggi jika data diperoleh dari hasil
penelitian sebelumnya, dan kualitas data dinilai rendah apabila sumber data
diperoleh dari hasil wawancara. Semakin tinggi kepentingan data tesebut dan
semakin tinggi tingkat kualitas data tersebut, maka semakin tinggi bobot nilai
Spesies Penalty Factor (SPF). Berikut merupakan kriteria penentuan nilai faktor
denda (SPF) pada tiap fitur konservasi (Tabel 3).

Tabel 3. Kriteria penentuan nilai faktor denda (SPF) fitur konservasi


Tingkat
Kualitas Data Nilai Skor
Kepentingan
Sangat Tinggi Tinggi 23
Tinggi Tinggi 17
Sedang Tinggi 11
Rendah Tinggi 9
Sangat Rendah Tinggi 7
Sangat Tinggi Rendah 5
Tinggi Rendah 3
Sedang Rendah 2,5
Rendah Rendah 2
Sangat Rendah Rendah 1

Ada 2 macam metode dalam penentuan skor nilai faktor denda (SPF) untuk
fitur konservasi, antara lain adalah penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai
tiap fitur secara linier dan penentuan faktor denda dengan peningkatan nilai fitur
secara logaritma. Pada penelitan ini nilai faktor denda tiap fitur konservasi
menggunakan peningkatan nilai secara logaritma dengan tujuan semakin penting
fitur konservasi tersebut, semakin tinggi nilai faktor dendanya sehingga tujuan untuk
perlindungan fitur akan tercapai, karena fitur konservasi yang penting mempunyai
nilai lebih tinggi dengan jarak yang berkali lipat lebih jauh dari faktor denda fitur
konservasi lainnya.
24

• Pembobotan fitur biaya


Fitur biaya diperoleh dari data sosial yang berkaitan dengan penduduk serta
pola pemanfaatan sumberdaya kawasan. Data tersebut diperoleh dari pengamatan
langsung di lapangan dan hasil wawancara dengan masyarat dan nelayan sekitar.
Fitur biaya meliputi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), PLTU, Fishing
Ground, Jalur Kapal serta Wisata dan Hotel,. Biaya unit perencanaan fitur-fitur
tersebut dihitung dari adanya pemanfaatan sumberdaya yang membuat total biaya
akan lebih tinggi. Fitur PPN, PLTU serta Wisata dan Hotel merupakan bangunan
fisik yang sangat jelas diamati di lapangan, dimana jika dihilangkan akan
menyebabkan biaya semakin tinggi, sehingga penentuan nilai masing-masing fitur
ditentukan dengan skor (weighting score) realtif satu sama lain terhadap biaya
pengelolaan suatu kawasan yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat
kepentingan. Tabel 4 merupakan kriteria penentuan nilai skor biaya pada tiap fitur
biaya.

Tabel 4. Kriteria penentuan nilai skor fitur biaya


Tingkat Nilai
Kepentingan Skor
Sangat Tinggi 17
Tinggi 9
Sedang 5
Rendah 3
Sangat Rendah 1

3.5.2. Pengolahan data


Data primer dan sekunder dikelompokkan dan diolah menggunakan bantuan
Microsoft Excel, kemudian dengan bantuan softwere Arcview GIS data diubah
menjadi data spasial, kemudian dengan extension CLUZ pada Arcview GIS, data
dirubah menjadi data yang diperlukan Marxan untuk diolah menjadi hasil kawasan
terpilih. Data yang dikelompokkan (fitur konservasi dan fitur biaya) dalam
menganalisis kawasan konservasi menggunakan marxan dimasukkan dalam
kesatuan perencanaan dengan sistem present/absent (Lampiran 3). Hal ini berarti
jika suatu heksagonal bertumpang susun dengan suatu fitur (konservasi atau cost)
25

maka heksagonal tersebut beratribut present. Jika present maka atributnya sama
dengan 1, jika absent atributnya menjadi 0.
Data konservasi yang sudah dimasukkan disebut data habitat (habitat.shp) dan
data fitur biaya disebut data biaya (cost.shp). Selengkapnya alur file tabuler untuk
input marxan dengan ArcView dan CLUZ ditampilkan dalam Gambar 7.

Gambar 7. Alur tabuler untuk input Marxan dengan ArcView dan CLUZ

Secara umum proses penyampaian data untuk marxan terfokus pada 3 buah
shapefile yaitu planing units (Pu.shp), abundance (habitat.shp), dan cost (cost.shp).
file tersebut dihasilkan setelah proses pembuatan heksagonal lengkap dengan proses
cropping pada peta daerah yang akan dikaji (AOI). file planing units (Pu.shp),
Abundance (Habitat.shp), dan cost (cost.shp) adalah shapefile heksagon dengan
wujud serupa namun berbeda fungsi dan isi tabelnya.
Pengelolaan 3 buah shapfile dilakukan dengan bantuan CLUZ akan
menghasilkan 4 buah tabular yaitu Abundance.dat, Target.dat, Unit.dat dan
Bound.dat yang menjadi input Marxan. CLUZ merupakan singkatan dari
Conservation Land Using Zoning adalah tools yang digunakan sebagai extensi
ArcView Gis 3.x untuk menyiapkan data yang akan digunakan sebagai input
marxan.
26

3.5.3. Pengaturan BLM (Boundary length modifier)


BLM merupakan konstanta yang mengatur tingkat pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih dalam marxan. Pada BLM yang rendah, satuan
perencanaan yang terpilih akan menyebar karena marxan akan terkonsentrasi pada
biaya yang rendah, sedangkan pada BLM tinggi, satuan perencanaan terpilih akan
mengelompok, karena marxan akan berusaha untuk menurunkan panjang batas dari
satuan perencanaan tersebut (Steward dan Possingham 2005)
Penentuan nilai BLM akan bervariasi dari satu daerah ke daerah lain (J.A.
Ardon et al. 2003 in Ila 2010). Menurut Possingham et al. (2000) nilai BLM dipilih
bergantung pada keseluruhan bentang alam dari daerah penelitian, serta tujuan dari
analisis yang dilakukan. Nilai BLM untuk map unit UTM berkisar antara 0-1,
sedang map unit degree berkisar antara 0-10000 (Darmawan dan Barnawi 2007).
Nilai kisaran BLM tersebut sudah dapat memberikan variasi pengelompokan satuan
perencanaan yang terpilih. Karena pada penelitian ini menggunakan map unit
degree, maka untuk menentukan BLM optimum pada penelitian ini digunakan BLM
yang berkisar antara 0-10000, sehingga dipilihlah 7 BLM yang berbeda, antara lain
adalah 10, 100, 250, 500, 1000, 5000 dan 10000.
Berdasarkan nilai BLM yang ditetapkan, tiap BLM tersebut diproses oleh
Marxan sehingga akan menghasilkan output berupa lima buah file yaitu
output1_best, output1_mvbest, output1_sen, output1_ssoln dan output1_sum. File
Output1_sum berisi table tentang nilai cost, panjang garis batas, dan luas area. Nilai
BLM optimal diperoleh dari file output1_sum dengan melihat hubungan antara biaya
dengan panjang batas tepi kawasan atau antara luas area dengan panjang batas tepi
kawasan (Steward dan Possingham 2005).

3.5.4. Pengaturan zonasi


Pengaturan kawasan konservasi dalam marxan dapat dilakukan dengan sistem
zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya
Ikan yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona perikanan berkelanjutan dan
zona lain yang diatur sesuai kebutuhan dan kondisi setempat. Pembagian zonasi
tersebut, dalam marxan dilakukan dengan membagi frekuensi yang terdapat dalam
27

file output1_ssoln kedalam empat kelas dengan interval yang sama. Dalam file ini
berisi frekuensi suatu daerah akan terpilih menjadi kawasan konservasi berdasarkan
100 kali ulangan. Nilai frekuensi tersebut 51-74 sebagai zona pemanfaatan, 26-50
sebagai zona perikanan berkelanjutan dan 0-25 sebagai zona lainnya.

3.5.5. Penentuan skenario


Skenario zona kawasan konservasi merupakan alternatif solusi yang
ditawarkan untuk merancang desain kawasan konservasi. Dengan perangkat lunak
Marxan, para Perancang dapat mencoba berbagai skenario perencanaan kawasan
yang berbeda dan melihat hasilnya, Dari hasil tersebut Perancang dapat memilih
skenario terbaik untuk perencanaan kawasan konservasi (Ball dan Possingham
2004). Skenario tersebut didapatkan dari hasil perhitungan Marxan berdasarkan
target konservasi yang berbeda-beda yang bertujuan untuk memberikan beberapa
alternatif desain kawasan konservasi sehingga nantinya menjadi pilihan dalam
menetapkan suatu kawasan konservasi yang sesuai karakteristik dan keadaan
lingkungannya. Bedasarkan observasi yang dilakukan terhdap beberapa skenario,
maka ditetapkan 3 skenario dengan 7 BLM dan target yang berbeda, maka proses
tersebut menghasilkan 21 hasil yang berbeda. Berikut merupkan rancangan skenario
berdasarkan taget fitur konservasi yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skenario kawasan konservasi


skenario 1 skenario 2 skenario 3
fitur konservasi
% target % target % target
1 Anguilla 10 20 40
2 Congridae 10 20 40
3 Trichiuridae 10 20 40
4 Gobiidae 10 13 25
5 Nursery Ground 10 30 40
6 Feeding Ground tepi 8 10 20
7 Feeding Ground tengah 4 7 13
28

Target konservasi dihitung berdasarkan persentase wilayah yang ditetapkan


untuk dikonservasi. Persentase tersebut merupakan persentase dari total luas target
yang menjadi fitur konservasi dalam Area of Interest.

3.5.6. Konektivitas
Karena Marxan belum bisa menjelaskan secara rinci tentang konektivitas
secara ekologi, desain kawasan konservasi disesuaikan dengan model biofisik
pergerakan ikan oleh Palumbi (2004), yaitu untuk larva 10-100 km. Untuk
menjamin tingkat konektivitasnya, nilai BLM ditingkatkan secara bertahap sampai
daerah yang terpilih menghasilkan desain dengan tingkat konektivitas yang sesuai,
selain itu, peningkatan konektivitas bisa dengan cara menambah zona inti diantara
zona sebelumnya, membagi wilayah perencanaan terhadap target yang ditetapkan
untuk mewakili setiap spesies. Konektivitas sangat penting untuk desain efektif
suatu perencanaan, karena menurut Palumbi, (2004) bahwa konektivitas tersebut
menggambarkan jarak lintasan yang dapat dilalui oleh telur dan larva ikan, serta
daerah jelajah biota tersebut, karena hal itu akan mempengaruhi pencapaian target
fitur konservasi (Van der Molen et al. 2007).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu


Teluk Palabuhanratu terletak di Sukabumi Provinsi Jawa Barat dengan luas
wilayah pesisir berdasarkan desa yaitu ± 20.730,87 ha. Teluk ini merupakan salah
satu lokasi penting bagi perikanan tangkap di Indonesia yang memiliki kondisi
geografis yang cukup menunjang yaitu terletak pada posisi 6o 57’-7o 07’ LS dan
106o 22’-106o 33’ BT (Gambar 8). Perairan di Teluk Palabuhanratu merupakan
daerah penangkapan utama bagi nelayan, selain itu perairan ini berhadapan langsung
dengan Samudera Hindia (Prayitno 2006 in Ambarwati 2008). Secara topografi,
Teluk Palabuhanratu umumnya bertekstur kasar dan terdiri atas dataran
bergelombang, perbukitan, daerah aliran sungai dan pantai. Topografi dasar laut
(bathymetric) perairan Teluk ini tergolong curam, dengan kedalaman berkisar antara
3 meter (di sekitar pantai dan muara) sampai lebih dari 200 meter. Secara geologi
dataran pantai yang berada pada muara Sungai Cimandiri, Sungai Cipalabuan–
Cigangsa, Sungai Citepus, Sungai Sukawayana, Sungai Cimaja, Sungai
Cipawenang, Sungai Cisolok, Sungai Citiis, Sungai Cibangban, Sungai Cihaur dan
Sungai Cibareno serta dikelilingi oleh Gunung Butak, Gunung Cabe, Gunung
Handeuleum, Gunung Gado dan Gunung Habibi. Sedangkan sebelah Utara dan
Selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.
Kondisi Teluk Palabuhanratu banyak dipengaruhi oleh kondisi
hodrodinamikan dan oseanografi. Kondisi hidrodinamika perairan teluk sangat
mempengaruhi Musim. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan
arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-
Februari), diantara Musim Timur dan Musim Barat terjadi periode peralihan yang
disebut Musim Peralihan Timur (Maret-April) dan Musim peralihan Barat
(September-Oktober) (Wyrtki 1961 in Anwar 2008). Kondisi oseanografi Samudera
Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar sangat mempengaruhi kondisi di
Teluk Palabuhanratu. Wyrtki (1961) in Anwar (2008) mengemukakan bahwa
keadaan angin di Palabuhanratu sesuai dengan sifat laut dan tercatat kecepatannya
sebesar 1-7.5 cm/dtk pada Bulan September sampai Desember yang bergerak ke
30
Gambar 8. Kondisi Teluk Palabuhanratu
31

arah barat. Pada umumnya arus pantai di Teluk Palabuhanratu memperlihatkan pola
pergerakan arus Barat Daya – Timur Laut dengan rata-rata 0,4 m/det (BLH
Sukabumi 2003). Pasang surut terendah adalah 90 cm dan tertinggi mencapai
tertinggi mencapai 249 cm dengan tunggangan airnya adalah 159 (BLH Kabupaten
Sukabumi 2003). Tinggi gelombang berkisar antara 15 – 65 cm pada jarak 70 – 500
meter dari garis pantai. Selanjutnya dikatakan bahwa perairan Teluk Palabuhanratu
mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat berkisar 29-30oC dan pada
musim timur 26-27oC.
Salinitas di perairan Teluk Palabuhanratu dipengaruhi oleh keadaan musim
dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara. Transpor
massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan turunnya salinitas
perairan pantai Teluk Palabuhanratu. Namun demikian di perairan teluk bagian
tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada musim timur dan musim barat
relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai salinitas rata pada periode
Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing sebesar 32.96‰ dan 32.33‰
(Pariwono et al. 1988).
Daerah pesisir Teluk Palabuhanratu merupakan lokasi yang sangat potensial,
terlihat dari aktivitas yang ada, kegiatan di Teluk Palabuhanratu pada umumnya
merupakan Pariwisata dan nelayan. Aktivitas lain yang ditemukan ada pada Teluk
Palabuhanratu ini yaitu PLTU dan Studi Lapang Kelautan (SLK). Sepanjang pesisir,
banyak ditemukan Hotel dan kawasan wisata. Adanya Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) menjadikan kegiatan perikanan berpusat dan berlabuh di lokasi ini.
Kegiatan tahunan yang terkenal di Teluk Palabuhanratu ini adalah acara
nyalawean yang dilakukan pada waktu bulan tertentu setiap tanggal 25 Hijriah
khususnya bulan Maulud. Nyalawean merupakan tradisi masyarakat di Teluk
Palabuhanratu yaitu aktivitas penangkapan “impun” dengan menggunakan sirib.
Impun merupakan larva-larva ikan yang tertangkap. Saat musimnya, kelimpahan
impun yang tertangkap sangat melimpah. Impun biasanya dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar sebagai sumber pangan atau dijual di TPI. Penangkapan impun
ini dilakukan secara besar-besaran, hal ini terlihat dari semakin banyaknya kapasitas
nelayan yang menangkap. Tidak hanya profesi sebagai nelayan saja yang
32

menangkap, penangkap impun juga berasal dari berbagai daerah. Harganya yang
mahal dan kondisinya yang dianggap masih berlimpah, penangkapan impun menjadi
pemanfaatan yang dilakukan secara besar-besaran tanpa memperhatikan
keberlanjutannya.

4.1.1. Persepsi masyarakat tentang kawasan konservasi


Berdasarkan hasil dari wawancara dengan penduduk sekitar secara acidental
sampling, pengetahuan masyarakat di Teluk Palabuhanratu mengenai konsep
konservasi dapat digambarkan dalam Gambar 9.

5% tidak tahu tahu

95%

Gambar 9. Persepsi masyarakat terhadap kawasan konservasi

Berdsarkan gambar diatas, terlihat bahwa pengetahuan dari masyarakat sekitar


Teluk Palabuhanratu masih sangat minim tentang kawasan konservasi, terbukti
bahwa hanya 5% penduduk saja yang mengetahui tentang kawasan konservasi. Hal
ini menjadi suatu informasi yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar strategi dalam
pengambilan keputusan untuk menerapkan kawasan konservasi sebagai upaya
menjadikan Teluk Palabuhanratu tetap lestari.
33

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Fitur konservasi


Fitur konservasi merupakan data biofisik yang akan dilindungi sehingga fitur
ini merupakan suatu acuan ekologi untuk tujuan fitur konservasi. Fitur konservasi
dalam penelitian ini antara lain adalah sumberdaya larva dan habiat larva,
sumberdaya larva antara lain adalah Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan
Gobiidae, sedangkan fitur konservasi yang berupa habitat larva antara lain adalah
feeding ground dan nursery ground. Berdasarkan tingkat kepentingan dan kualitas
data, Nilai SPF pada setiap Fitur konservasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai faktor denda pada tiap fitur konservasi


Tingkat Faktor Denda
No. Fitur konservasi Kualitas Data
kepentingan (SPF)
1. Anguilla sp. Sangat Tinggi Tinggi 23
2. Congridae Tinggi Tinggi 17
3. Trichiuridae Sedang Tinggi 11
4. Gobiidae Rendah Tinggi 9
5. Nursery Ground Tinggi Rendah 3
6. Feeding Ground tepi Sedang Rendah 2.5
7. Feeding Ground tengah Rendah Rendah 2

Pemilihan fitur konservasi diatas, dipertimbangkan dari beberapa kegiatan di


daerah pesisir Teluk Palabuhanratu yang dinilai mengancam keanekaragaman hayati
perairan, salah satu kegiatan yaitu penangkapan sumberdaya larva pada tradisi
nyalawehan di Teluk Palabuhanratu. Sumberdaya larva ikan yang dipilih sebagai
fitur konservasi meliputi Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae. Fitur
konservasi ini terpilih berdasarkan pertimbangan nilai ekonomis penting spesies
tersebut dan semakin sedikit kondisinya di alam sehingga apabila dibiarkan, kondisi
tersebut dapat menjadi ancaman terhadap kelestarian sumberdaya tersebut. Selain
dari sumberdaya larva, fitur konservasi lain adalah parameter berupa ekologi yang
berupa ekosistem, habitat, maupun biofisik lainnya yang ada kaitan erat dengan
34

sumbedaya larva, diantaranya adalah feeding ground (tempat mencari makan) dan
nursery ground (tempat asuhan).

a. Anguilla
Anguilla merupakan jenis ikan sidat yang sudah terancam keberadaan di alam,
ikan ini merupakan ikan ekonomis penting karena tingkat selera terhadap ikan ini
sangat tinggi terutama negara Jepang yang sering menjadi tujuan eskpor ikan ini
untuk makanan olahan unagi. Ikan ini telah dibudidayakan, namun budidaya hanya
bersifat pembesaran saja. Ikan sidat merupakan hewan katadromus yaitu ikan yang
membesar (tumbuh) di perairan tawar dan akan beruaya menuju ke laut dalam
(kedalaman 400 m) ketika akan memijah dan kemudian telurnya menetas di laut
kemudian larvanya terbawa arus menuju pantai dan selanjutnya beruaya menuju
pantai kemudian benih ikan sidat masuk ke sungai-sungai dan membesar hingga
dewasa. Setelah ikan sidat mendekati dewasa akan beruaya kembali menuju laut
untuk memijah (Sasono 2001). Hal ini yang menjadikan ikan sidat sulit untuk
dibudidaya secara keseluruhan, sehingga untuk memenuhi permintaan konsumen
akan ikan ini, perlu adanya penangkapan benih yang ada di alam, karena tingginya
permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi tidak terkendali,
sehingga kondisi ini mengancam kelestarian yang berujung terhadap punahnya ikan
sidat di alam, oleh karena itu ikan sidat menjadi dasar pertimbangan untuk
konservasi yang bertujuan agar dapat menjaga kelestarian dari ikan sidat ini.
Berdasarkan obyektivitas Penulis, ikan ini mempunyai nilai denda (SPF) sebesar 23
yang merupakan nilai denda terbesar diantara fitur konservasi yang lain. Berikut
merupakan peta sebaran letak ikan Anguilla berdasarkan hasil penelitian dari (Said
2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 10).

b. Congridae
Congridae merupakan family ikan sidat yang statusnya juga terancam
kelestariannya, seperti halnya ikan sidat jenis Anguilla, ikan sidat family Congridae
juga merupakan hewan katadromus yang menjadikan ikan ini masih belum bisa
35
Gambar 10. Sebaran fitur konservasi Anguilla di Teluk Palabuhanratu
36

dibudidayakan secara keseluruhan Untuk memenuhi permintaan konsumen, ikan ini


masih dieksploitasi dari alam.
Tingginya permintaan akan ikan sidat, penangkapan ikan ini di alam menjadi
tidak terkendali, sehingga kondisi ini mengancam kelestarian yang berujung
terhadap punahnya ikan sidat di alam. Hal ini yang menjadi pertimbangan ikan sidat
family Congridae masuk dalam fitur konservasi yang dinilai perlu untuk dilindungi
dengan nilai denda (SPF) sebesar 17. Dibandingkan dengan ikan sidat jenis
Anguilla, ikan sidat family Congridae mempunyai minat konsumen yang lebih
sedikit daripada ikan sidat jenis Anguilla. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan
family Congridae berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008)
(gambar 11).

c. Trichiuridae
Trichiuridae merupakan family dari ikan layur. Berdasrkan data sekunder
penelitian dari Furry (2011) dan Rifai (2011), biologi reproduksi ikan layur
mencakup dua famili yaitu Trichiuridae dan Gempylidae, dan jenis yang ditemukan
di lokasi penelitian adalah Lepturacanthus dan Gempylus. Populasi ikan layur
banyak tertangkap pada perairan pantai yang dangkal di sekitar muara sungai
(Badrudin dan Wudianto 2004 in Sharif 2009). Berdasarkan data statistik PPN
Palabuhanratu, ikan layur mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, terbukti dari ikan
layur yang tertangkap di Teluk Palabuhanratu biasa diekspor ke luar negri untuk
memenuhi kebutuhan dari konsumen. Salah satu jenis yang diekspor adalah dari
jenis Lepturacanthus savala. Karena tingginya akan permintraan ikan layur, ikan ini
ditangkap dengan berbagai macam upaya, yaitu dengan menggunakan payang,
gillnet, bagan, pancing (pancing ulur dan rawai), dan pure seine. Alat tangkap
dominan yang digunakan dalam menangkap ikan layur di Teluk Palabuhanratu
adalah pancing ulur (Anita 2003 in Sharif 2009). Usaha penangkapan yang
berlebihan akan berdampak buruk terhadap kelestarian dari ikan layur ini, oleh
karena itu, ikan layur ini menjadi ikan yang masuk sebagai kategori fitur konservasi
dengan nilai denda (SPF) sebesar 11. Berikut merupakan peta sebaran letak
37
Gambar 11. Sebaran fitur konservasi Congridae di Teluk Palabuhanratu
38

ikan family Trichiuridae berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar
2008) (Gambar 12).

d. Gobiidae
Ikan family Gobiidae merupakan ikan yang sering disebut ikan impun/menga.
Secara umum family Gobiidae ditemukan pada daerah muara sungai sebagai
habitatnya. Hal ini menunjukkan bahwa anggota family tersebut mempunyai
karakteristik untuk beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada, diantaranya adalah
karena tubuhnya dilengkapi dengan cakram pelekat yang termodifikasi dari sirip
perut yang menyatu. Organ ini sangat berperan dalam adaptasinya terhadap arus
yang kuat dengan cara menempelkan tubuhnya ke dasar perairan yang berbatu
(Furry 2011). Sebagian besar ikan dari family Gobiidae terdiri dari jenis
Sicyopterus sp yang merupakan jenis ikan divisi peripheral, yaitu suku-suku yang
anggotanya mempunyai toleransi yang tinggi terhadap salinitas.
Ikan family Gobiidae memiliki sifat migrasi yang berbeda-beda. Ikan
Gobiidae yang tertangkap kemungkinan bersifat amphidromus atau marine migrant.
Pada kelompok amphidromus, ikan melakukan pemijahan di sungai dan melakukan
penetasan di laut, setelah itu, saat juvenil akan kembali lagi ke sungai dan saat
dewasa akan kembali lagi ke sungai. Ketika ikan family Gobiidae yang berfase
juvenil ditemukan, maka diduga bahwa ikan tersebut tersebut sedang melakukan
migrasi ke sungai untuk pembesaran dan pencarian makan. Dugaan kedua adalah
marine migrant. Pada kelompok ini, spesies tersebut memiliki kisaran salinitas yang
luas (euryhaline) yang melakukan pemijahan di laut dan menggunakan daerah
estuari untuk pembesaran juvenil dan dewasa. Saat tertangkap spesies diduga sedang
mencarian makan di muara sebagai feeding ground dan nursery ground. Menurut
Sanches-Velasco et al. (1996) in Nursid (2002) kelompok larva tersebut dalam
hidupnya sangat tergantung pada estuaria. Jenkins dan Boseto (2007) menjelaskan
larva Sicyopterus sp. termasuk jenis ruaya amphidromus yaitu melakukan pemijahan
di sungai dan saat penetasan akan menuju ke laut. Saat ikan pada fase postlarva dan
juvenil, spesies tersebut kembali lagi ke muara sungai untuk mencari makan dan
pembesaran, dan pada saat dewasa spesies tersebut kembali lagi ke laut. Berdarkan
Gambar 12. Sebaran fitur konservasi Trichiuridae di Teluk Palabuhanratu

39
40

penelitan Furry (2011) jenis ikan ini memiliki nilai kepadatan terbesar dibandingkan
dengan nilai kepadatan populasi dari jenis larva dan juvenile lain yang ditemukan di
Teluk Palabuhanratu, walaupun demkian, ikan ini dinilai penting untuk
dikonservasi agar ikan ini tetap lestari keberadaannya, mengingat karakteristik ikan
ini yang masih sangat tergantung terhadap alam, sehingga dinilai sangat rentan
punah apabila tidak ada pembatasan aktivitas penangkapan. Oleh karena itu, ikan
family Gobiidae ini masuk sebagai kategori fitur konservasi dengan nilai denda
(SPF) sebesar 9. Berikut merupakan peta sebaran letak ikan family Gobiidae
berdasarkan hasil penelitian dari (Said 2011) dan (Anwar 2008) (Gambar 13).

e. Nursery Ground
Nursery Ground merupakan daerah asuhan ikan. Daerah ini merupakan daerah
yang penting terhadap kelangsungan hidup ikan, mengingat beberapa jenis
sumberdaya larva memiliki karakteristik sebagai katadromus, maupun
amphidromus/marine migrant. Katadromus yaitu ikan yang membesar (tumbuh) di
perairan tawar dan akan beruaya menuju ke laut dalam (kedalaman 400 m) ketika
akan memijah dan kemudian telurnya menetas di laut kemudian larvanya terbawa
arus menuju pantai dan selanjutnya beruaya menuju pantai kemudian benih masuk
ke sungai-sungai dan membesar hingga dewasa, setelah mendekati dewasa, akan
beruaya kembali menuju laut untuk memijah, salah satu contoh jenis ikan ini adalah
ikan sidat (Sasono 2001). Sedangkan amphidromus, ikan melakukan pemijahan di
sungai dan melakukan penetasan di laut, setelah itu, saat juvenil akan kembali lagi
ke sungai dan saat dewasa akan kembali lagi ke laut. Muara sungai sendiri
merupakan tempat pertemuan antara air tawar dan air laut atau transisi antara habitat
perairan tawar dan habitat laut, kondisi ini sering disebut sebagai estuari. Habitat
estuari relatif lebih subur (produktif) sehingga habitat ini menjadi daerah asuhan
(nursery ground) yang baik bagi larva udang, ikan dan kerang, bahkan ada jenis-
jenis ikan yang menjadikan estuari sebagai habitat sepanjang hidupnya. Salah satu
estuari adalah muara sungai yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut. Adanya
pasang surut ini akan mempengaruhi bentuk kehidupan biota di daerah tersebut.
Biota yang hidup di daerah ini adalah biota yang mempunyai toleransi yang tinggi
41
Gambar 13. Sebaran fitur konservasi Gobiidae di Teluk Palabuhanratu
42

terhadap perubahan lingkungan, yang ditandai dengan jumlah jenis sedikit dan
potensi yang tinggi.
Muara sungai adalah daerah yang sangat subur karena mengandung sejumlah
besar zat-zat hara yang berasal dari darat. Kehidupan ini dapat mendukung biota-
biota seperti ikan, udang dan beberapa jenis karang. Kesuburan muara sungai dapat
mengalami penurunan karena daerah ini mudah dicemari aktivitas daratan, sperti
limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga. Penurunan kesuburan ini
dapat mengakibatkan berkurangnya produksi perikanan. Oleh karena itu, nursery
ground dinilai sangat penting untuk mempengaruhi pertimbangan konservasi, yaitu
dengan melibatkan nursery gorund sebagai kategori fitur konservasi dengan nilai
denda (SPF) sebesar 3. Nursery ground yang ditetapkan terletak di tiap muara
sungai dari muara Sungai Cimandiri hingga muara Sungai Citiis. Berikut merupakan
peta nursery ground (gambar 14).

f. Feeding Ground
Feeding ground merupakan tempat larva mencari makan, secara naluri, ikan
mempunyai insting untuk berpindah tempat ke lokasi yang produktifitas primernya
lebih tinggi untuk proses keberlanjutan hidup ikan tersebut, salah satu indikasi
tingginya produktivitas perairan adalah keberadaan fitoplankton yang bisa
ditentukan dengan klorofil. Mesikipun tidak ada batasan pasti dalam penentuan
feeding ground ini, batas penentuan wilayah ini menggunakan hubungan parameter
fisik perairan di Teluk Palabuhanratu yang ada kaitannya dengan klorofil sebagai
penentu keseburan. Beberapa parameter fisika-kimia yang mengontrol dan
mempengaruhi sebaran klorofil-a adalah suhu, cahaya, arus dan nutrient (terutama
nitrat, fosfat, dan silikat) (Nybakken 1992). Pigmen-pigmen lainnya pada tumbuhan
laut digunakan oleh klorofil untuk membantu mengabsorbsi cahaya yang tidak
tertangkap secara maksimal oleh klorofil Pada tingkat intensitas cahaya yang
sedang, laju fotosintesis fitoplankton merupakan fungsi linier dari intensitas cahaya,
namun di dalam kolom air dekat permukaan air di mana intensitas cahaya tinggi,
43
Gambar 14. Sebaran fitur konservasi Nursery Ground di Teluk Palabuhanratu
44

kebanyakan spesies fitoplankton menunjukkan bahwa fotosintesis dipertahankan


pada suatu tingkat tertentu atau bahkan fotosintesis malah akan menurun (Gambar
15).

Gambar 15. Gambar hubungan klorofil pada permukaan dan kedalam yang berbeda
(Sumber : Nybakken 1992)

Dari referensi diatas, menunjukkan bahwa ada hubungan antara parameter


fisika kedalaman dengan kelimpahan produktivitas primer berupa fitoplankton,
dimana kedalaman tertentu menghasilkan intensitas cahaya yang berbeda, dan
intensitas cahaya berkaitan erat dengan laju fotosintesis dari fitoplankton yang
berimplikasi terhadap kesuburan perairan.
Pentingnya feeding ground terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup
sumberdaya larva, menjadikan feeding ground penting untuk dilibatkan sebagai fitur
konservasi yang bertujuan untuk mempengaruhi pertimbangan konservasi, yaitu
dengan nilai denda (SPF) sebesar 2.5 sebagai feeding ground tepi, dan nilai denda
(SPF) sebesar 2 sebagai feeding ground tengah. Hal ini dibedakan atas dasar
kedalaman, yaitu pada feeding ground tepi antara kedalama 0 m hingga 20 m dan
feeding ground tengah antara 20 m hingga 200 m dengan asumsi kedalaman yang
rendah mempunyai produktifitas yang tinggi karena intensitas cahaya yang masuk
lebih banyak sehingga produktivitas primer lebih tinggi, disamping itu pengaruh
45
Gambar 16. Sebaran fitur konservasi Feeding Ground di Teluk Palabuhanratu
46

nutrient dari muara sungai dan pesisir menjadikan produktivitas primer di tepi lebih
tinggi daripada di tengah. Berikut merupakan peta sebaran feeding ground di Teluk
Palabuhanratu (Gambar 16).

4.2.2. Fitur biaya / Cost


Fitur biaya yang ditentukan pada penelitian ini adalah Pelabuhan perikanan
Nusantara (PPN), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Jalur Kapal, Fishing
Ground serta Wisata dan Hotel. Fitur biaya merupakan pemanfaatan yang berada di
Teluk Palabuhanratu (Gambar 17). Kelima fitur tersebut masuk ke dalam fitur biaya
karena kelimanya memiliki dampak terhadap fitur konservasi yang ditargetkan, yaitu
mempengaruhi keberadaan sumberdaya larva. Berdasarkan kriteria penentuan nilai
skor fitur biaya yang diperoleh dari pertimbangan tingkat kepentingan fitur biaya
tersebut, dibuat skor tiap fitur biaya sebagaimana tercantum pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai skor pada tiap fitur biaya


Tingkat
No. Fitur Biaya Nilai skor
kepentingan
1. PLTU Sangat Tinggi 17
2. PPN Tinggi 9
3. Jalur Kapal Sedang 5
4. Wisata dan hotel Rendah 3
5. Fishing Ground Sangat Rendah 1

4.2.3. BLM
Boundary Length Modifier (BLM) merupakan pengaturan dalam Marxan untuk
membuat batasan perimeter untuk kawasan konservasi. Efek dari pengaturan BLM
dapat terlihat dari fitur yang muncul dalam solusi setelah menjalankan Marxan.
Salah satu file output marxan yaitu output_sum yang memuat data tentang cost,
planing units (luas area) dan boundary lenght (panjang batas tepi). Berikut
merupakan rata-rata dari 21 hasil output marxan yang dicobakan dengan kisaran
BLM dari 10 hingga 10.000 (Lampiran 2).
47
Gambar 17. Fitur Biaya
48

Tabel 8. Perbandingan BLM rata-rata tiap skenario


Panjang
BLM Cost Luas (km2)
Batas (km)
10 186636667 150403 21090
100 186623333 87959 21433
250 187053333 46843 21763
500 189633333 35323 21503
1000 199276667 31270 23318
5000 240573333 27160 21894
10000 251806667 27067 21883

Dari Tabel 8, terlihat bahwa hasil rata-rata dari 21 output marxan


menghasilkan variasi dan kecendrungan yang berbeda pada tiap BLM-nya, yaitu
peningkatan harga (cost) berbanding lurus dengan meningkatnya nilai BLM. Pada
Nilai panjang batas dan luas, kecendrungan nilainya agak berbeda. Nilai panjang
batas semakin menurun dengan meningkatnya nilai BLM. Pada nilai luas yang
dihasilkan oleh 21 ouput marxan, luas semakin meningkat seiring bertambahnya
nilai BLM, namun pada titik tertentu, nilai luas kembali mengalami penurunan.
Kondisi ini digambarkan pada grafik (Gambar 18).

23500 23318

23000
22500
21894 21883
22000 21763
Luas (km2)

21433 21503
21500
21090
21000
20500
20000
19500
10 100 250 500 1000 5000 10000
BLM

Gambar 18. Hubungan antara BLM dan Luas


49

Berdasarkan grafik pada Gambar 18, terlihat bahwa terdapat peningkatan luas
seiring meningkatnya nilai BLM, namun pada nilai BLM 1000 menjadi puncak
peningkatan, setelah itu terlihat kembali penurunan luas pada nilai BLM selanjutnya.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai pada BLM 1000 merupakan solusi yang
mempunyai luas yang paling besar diantara BLM yang lain.

160000 150403

140000
120000
Panjang Batas (km)

100000 87959
80000
60000 46843
35323 31270
40000 27160 27067
20000
0
10 100 250 500 1000 5000 10000
BLM

Gambar 19. Hubungan antara BLM dan panjang batas

Berbeda dengan nilai luas, panjang batas memberikan kecendrungan yang


berbeda (Gambar 19). Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa terdapat
penurunan nilai Panjang batas seiring meningkatnya nilai BLM. hal ini dikarenakan
nilai BLM yang tinggi akan berimplikasi terhadap biaya yang tinggi, karena marxan
menentukan solusi dengan biaya yang terendah, marxan akan mencari solusi dengan
nilai panjang batas yang terkecil, karena solusi yang terfokus dan mengumpul
mempunyai panjang batas yang kecil.
Nilai BLM yang digunakan dalam marxan adalah nilai optimal yang diperoleh
berdasarkan hubungan antara Luas dan panjang batas tepi kawasan yang optimal,
dari grafik hubungan antara BLM dan Panjang batas serta BLM dan Luas, terlihat
bahwa BLM 1000 merupakan BLM optimal, karena pada perbandingan Luas, BLM
1000 merupakan BLM dengan solusi terluas yang dihasilkan, sedangkan pada
50

perbandingan panjang batas, nilai BLM 1000 merupakan nilai dengan panjang batas
yang rendah, disamping itu, dengan memperhatikan prinsip desain kawasan
perlindungan yang efektif, BLM 1000 merupakan desain yang lebih efektif, karena
BLM ini menghasilkan solusi yang luas dengan panjang batas yang kecil (Lampiran
4). Penentuan BLM optimal ini ditentukan untuk meningkatkan efektifitas
perlindungan kawasan, karena kawasan perlindungan akan tidak efektif jika
kawasan dengan panjang batas yang tinggi, sebab kawasan dengan panjang batas
yang tinggi akan menghasilkan solusi yang menyebar pada seluruh bagian kawasan,
hal ini menjadi tidak efisien keadaanya, karena semakin panjang batas kawasan,
semakin besar biaya yang diperlukan bagi pengelolaan, hal ini juga akan berdampak
terhadap penutupan peluang bagi kegiatan lain yang bermanfaat.

4.2.4. Wilayah konservasi


Menentukan target wilayah konservasi merupakan hal yang sangat penting
dalam sistematis perencanaan konservasi, dan sejauh mana sistem konservasi akan
tergantung sangat pada titik referensi ini. Penetapan 3 skenario ini dimaksud untuk
mencari solusi ruang optimum berdasarkan observasi lapang dan analisis simulasi
target konservasi dengan meragamkan fitur konservasi dan fitur biaya yang sudah
ditentukan pada tiap skenario. Karena BLM optimal terdapat pada BLM 1000, maka
desain skenario tiap kawasan konservasi menggunakan BLM 1000 agar ruang yang
dihasilkan seoptimal mungkin. Dari 3 hasil skenario tersebut, maka 3 macam desain
sudah dapat dihasilkan, antara lain adalah sebagai berikut :

Skenario 1
Skenario 1 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya, fitur konservasi antara
lain adalah Anguilla dengan target 10%, Congridae dengan target 10%, Gobiidae
dengan target 10%, Trichiuridae dengan target 10%, nursery ground dengan target
10%, feeding ground tepi dengan target 8% dan feeding ground tengah dengan
target 4%. Sedangkan fitur biaya tersebut antara lain adalah PLTU dengan nilai 17,
PPN dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan
Fishing Ground dengan nilai 1.
51

Berdasrkan hasil dari skenario 1 (Gambar 20), terlihat bahwa rekomendasi


zona konservasi terpilih terpusat, yaitu diantara muara Sungai Citepus dan muara
Sungai Sukawayana dengan perbandingan luas sebesar 3% dari luas total perairan
Teluk Palabuhanratu. Luas rekomendasi zona konservasi sebesar 10.802 km2 dari
total luas kajian perairan di Teluk Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil
evaluasi (target met) yang diperoleh dari proses marxan terpenuhi, yang artinya
target fitur konservasi yang ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk
dilindungi (lampiran 5). Warna merah yang semakin pekat pada kawasan konservasi
menunjukkan kawasan yang direkomendasikan sebagai zona inti, karena
mempunyai frekuensi terpilih lebih banyak daripada yang lain.

Skenario 2
Skenario 2 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya, fitur konservasi antara
lain adalah Anguilla dengan target 20%, Congridae dengan target 20%, Gobiidae
dengan target 13%, Trichiuridae dengan target 20%, nursery ground dengan target
20%, feeding ground tepi dengan target 10% dan feeding ground tengah dengan
target 7%. Sedangkan fitur biayanya antara lain adalah PLTU dengan nilai 17, PPN
dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan
Fishing Ground dengan nilai 1.
Berdasrkan hasil dari skenario 2 (gambar 21), terlihat bahwa rekomendasi
zona konservasi terpilih di satu lokasi terkumpul yang berada memanjang diantara
muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis dengan perbandingan luas sebesar
7% dari luas total perairan Teluk Palabuhanratu. Luas rekomendasi zona konservasi
yang dihasilkan sebesar 29.238 km2 dari total luas kajian perairan di Teluk
Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil evaluasi (target met) yang diperoleh
dari proses marxan terpenuhi, yang artinya target fitur konservasi yang telah
ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk dilindungi (Lampiran 5). Warna
merah yang semakin pekat di zona rekomendasi kawasan konservasi menunjukkan
kawasan tersebut direkomendasikan sebagai zona inti, karena kawasan tersebut
mempunyai frekuensi sering terpilih dibandingkan planing unit yang lain.
52
Gambar 20. Kawasan konservasi pada skenario 1
53
Gambar 21. Kawasan konservasi pada skenario 2
54

Skenario 3
Skenario 3 terdiri dari fitur konservasi dan fitur biaya. Fitur konservasi antara
lain adalah Anguilla dengan target 40%, Congridae dengan target 40%, Gobiidae
dengan target 25%, Trichiuridae dengan target 40%, nursery ground dengan target
40%, feeding ground tepi dengan target 20% dan feeding ground tengah dengan
target 13%. Sedangkan fitur biayanya antara lain adalah PLTU dengan nilai 17, PPN
dengan nilai 9, Wisata dan Hotel dengan nilai 3, Jalur Kapal dengan nilai 5 dan
Fishing Ground dengan nilai 1.
Berdasrkan hasil dari skenario 3 (gambar 22), terlihat bahwa rekomendasi
zona konservasi terpilih di satu lokasi mengumpul yang berada memanjang diantara
muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis dengan perbandingan luas sebesar
7% dari luas total. Luas rekomendasi zona konservasi sebesar 29.914 km2 dari total
luas kajian perairan di Teluk Palabuhanratu yang sebesar 417.092 km2. Hasil
evaluasi (target met) yang diperoleh dari proses marxan terpenuhi, yang artinya
target fitur konservasi yang telah ditentukan pada skenario ini sudah tercapai untuk
dilindungi (Lampiran 5). Warna merah yang semakin pekat pada zona rekomendasi
kawasan konservasi menunjukkan kawasan yang direkomendasikan sebagai zona
inti, karena mempunyai frekuensi terpilih lebih banyak daripada yang lain.

4.3. Pembahasan
Status perairan di pesisir Teluk Palabuhanratu masih merupakan kawasan yang
bisa dimanfaatkan (dapat diambil biotanya). Namun, berbeda jika pemanfaatan
tersebut dilakukan terus menerus tanpa memperhatikan kelestarian yang akan
mengancam keberadaan sumberdaya tersebut. kondisi ini akan berdampak buruk
terhadap stok dan kelestarian sumberdaya ikan di Palabuhanratu, oleh karena itu
perlu adanya pembatasan wilayah larang ambil (kawasan konservasi) yang berguna
sebagai cadangan sumberdaya perairan agar sumberdaya perairan di Teluk
Palabuhanratu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
55
Gambar 22. Kawasan konservasi pada skenario 3
56

Hasil dari ketiga skenario rancangan kawasan konservasi tersebut mempunyai


desain dan hasil yang berbeda-beda, dan setiap desain mempunyai karakteristik yang
berbeda beda pula, sehingga dalam penentuan kawasan konservasi perlu disesuaikan
dengan lingkungan agar dapat diterapkan untuk pengelolaan, karena wilayah
konservasi perlu didasari banyak pertimbangan termasuk bentuk, ukuran wilayah
larang ambil tersebut, dan jejaring konektivitas antar wilayah konservasi (Robert
dan Hawkins 2000). Semakin luas area konservasi, maka semakin banyak populasi
spesies yang terlindungi, namun wilayah konservasi yang luas akan menimbulkan
peluang konflik dalam pengelolaannya karena masyarakat nelayan akan
berpandangan bahwa daerah pemanfaatan penangkapan sudah di monopoli oleh
pemerintah. Gambar 23 menampilkan perbandingan luas daerah yang terpilih pada
tiap skenario.

35000
29237 29914
30000

25000
Luas (km2)

20000 skenario 1
skenario 2
15000
10801 skenario 3
10000

5000

0
skenario

Gambar 23. Perbandingan luas zona kawasan konservasi tiap skenario

Berdasarkan luas, skenario 3 merupakan solusi daerah terpilih terbesar


dibandingkan dengan skenario yang lain, yaitu dengan luas 29.914 km2, sedangkan
luas terpilih yang paling kecil terdapat pada skenario 1 dengan luas 10.801 km2.
57

Semakin luas wilayah kawasan konservasi semakin banyak sumberdaya yang


terlindungi, namun semakin mahal biaya pengelolaannya.
Hasil dari ketiga skenario wilayah yang terpilih, menunjukkan wilayah yang
layak untuk dikonservasi, hal ini dilihat dari bentuk wilayah yang terpilih, ketiga
skenario tersebut mempunyai bentuk yang cenderung hampir sama, yaitu
mengumpul di lokasi muara Sungai Citiis dan Citepus. Muara Sungai Citepus
terpilih karena lokasi tersebut terdapat sumberdaya yang tidak ditemukan di lokasi
Citiis, sehingga kawasan konservasi terpisah pada lokasi Citepus saja. Bentuk yang
mengumpul merupakan bentuk yang ideal untuk desain kawasan konservasi, karena
dengan bentuk yang mengumpul, akan memudahkan pengelolaan dan biaya pun
menjadi rendah. Selain dari bentuk, lokasi ketiga skenario yang terpilih didukung
oleh kedalaman perairan yang < 200 meter, karena kawasan konservasi akan efektif
jika kedalaman perairan tersebut tidak lebih dari 200 meter (Mous 2006 in
Marpaung 2011). Jika dilihat dari kondisi arus di Teluk Palabuhanratu, lokasi Citiis
yang merupakan lokasi terpilih menjadi area kawasan konservasi yang sangat tepat,
yaitu kecepatan arus yang berkisar antara 9,38 – 29,83 cm/det pada saat peralihan
antara pasang dan surut terjadi, arah arus yang ada pada kawasan Ciemas dan
Palabuhanratu mengarah pada kawasan Citiis dengan kecepatan 0,6 m/ det (JODC)
(Hartami 2008) karena arus menentukan kondisi keberadaan larva yang berasal dari
pemijahan induk dari perairan laut dalam yang terletak di tengah laut kemudian
terdorong arus menuju pesisir.
Penentuan kawasan konservasi perlu ditentukan berdasarkan kajian ekologi
dan sosial. Dari ketiga skenario terlihat bahwa peningkatan nilai target dari 10%
menjadi 40% memberi pengaruh terhadap peningkatan luas kawasan konservasi
yang terpilh. Semakin besar target yang ditentukan semakin luas kawasan yang
terpilih, semakin luas kawasan semakin bagus secara ekologi, karena semakin
banyak sumberdaya yang dapat dilindungi. Akan tetapi semakin luas kawasan
konservasi akan menyebabkan biaya pengelolaan menjadi lebih tinggi. Disamping
itu, semakin luas suatu kawasan konservasi, semakin berpeluang terjadinya konflik
antara pemanfaatan dan pengelolah konservasi. Penentuan kawasan konservasi juga
perlu memperhatikan kondisi pemanfatan di lingkungan tersebut. Kawasan dengan
58

lokasi yang sudah termanfaatkan akan berpotensi adanya bentrok antara upaya
perlindungan dan pemanfaatan. Hal ini terlihat dari persepsi masyarakat yang minim
akan pengtahuan tentang kawasan konservasi tersebut, sehingga hal ini akan
mempengaruhi efektifitas pengelolaan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari ketiga rancangan tiap skenario, variabel yang
digunakan dalam menentukan kawasan konservasi antara lain adalah sumberdaya
larva yaitu larva Anguilla, Congridae, Trichiuridae, Gobiidae, serta habitat berupa
feeding ground dan nursery ground. Berdasarkan variabel yang dipilih, dihasilkan tiga
rancangan dari hasil tiga skenario. Dari Ketiga rancangan kawasan konservasi yang
dihasilkan terlihat adanya kecenderungan bahwa muara Sungai Citepus selalu
terpilih pada setiap rancangan. Hal ini membuktikan bahwa lokasi muara Sungai
Citepus merupakan daerah yang perlu dikonservasi.

6.2. Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan di lokasi Teluk Palabuhanratu dengan fitur
konservasi selain sumberdaya larva, sehingga sumberdaya lain yang berkaitan
akan ikut terlindungi.
2. Perlu adanya sosialisasi tentang pengetahuan konservasi ke semua pihak agar
dapat mempertimbangkan zonasi hasil penelitian ini dalam pengelolaan
kawasan konservasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati DVS. 2008. Studi biologi reproduksi ikan layur (super famili
trichiuroidea) di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
[skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor.

Anwar N. 2008. Karakteristik fisika kimia perairan dan kaitannya dengan distribusi
serta kelimpahan larva ikan di Teluk Palabuhanratu [Tesis]. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Azhar A. 2011. Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan


Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari
Kota Baubau[tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Ball IR dan Possingham HP. 2000. MARXAN (V1.8.2) : Marine Reserve Design
Using Spatially Explicit Annealing, a Manual book. Australia

Ball IR dan Possingham HP. 2001. The design of marine protected areas: adapting
terrestrial techniques. Proceedings from the international congress on
modelling and simulation. 2: 769-774.

Ball IR dan Possingham HP. 2004. Marxan-A Resesrve System Tool [tehubung
berkala]. http://ecology.uq.edu.aumarxan.htm[24 Maret 2011]

[BLH] Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi. 2003. Profil Pencemaran


Sungai di Teluk Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi. Laporan Akhir. 70
halaman.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pedoman Umum Pengelolaan


Pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta:
Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pualu kecil.

Darmawan A Dan Barnawi M, 2007. Pengantar Marxan. Materi Perangkat Lunak


Marxan Untuk Perancangan dan Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut.
The Nature Conservancy – Coral Triangel Centre. Bali

Darmawan A Dan Darmawan A, 2007. Pengantar Marxan. Materi Perangkat Lunak


Marxan Untuk Perancangan dan Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut.
The Nature Conservancy – Coral Triangel Centre. Bali

Done TJ dan RE Reichelt. 1998. Integrated coastal zone dan fisheries ecosystem
management: generic goals dan performance indices. Ecological Applications
8 (Supplement): S110-118.

Diamond JM. 1975. The island dilemma: Lessons of modern biogeographic studies
for the design of nature reserve. Biol. Conserv. 7: 127-145.
61

Fernandes L, Day J, Lewis A, Slegers S, Kerrigan B, Breen D, dan Cameron D.


2005. Establishing representative no-take areas in the Great Barrier Reef:
large-scale implementation of theory on marine protected areas. Conservation
Biology, 19 : 1733-1744.

Firmansyah F. 2009. Identifikasi Wilayah Konservasi dengan Menggunakan


Perangkat Lunak Marxan di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten
Berau, Provinsi Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor : Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Furry NR. 2011. Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan di Muara
Sungai Cimaja dan Citiis, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat [skripsi]. Bogor : Menejemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Gaselbarcht L, Torres R. 2005, Florida Marine Assessment prioritazation of


marine/estuarine site and problem adversely affecting marine/estuarine habitat
and associated species pf greatest conservation need.

Hartami P. 2008. Analisis Wilayah Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Untuk Kawasan
Budidaya Perikanan Sistem Keramba Jaring Apung [tesis]. Sekolah Pasca
Sarjana Ipb.

Ila L. 2010. Kajian Kawasan Konservasi Laut Batuaga Siompu, Liwutongkidi, dan
Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dengan aplikasi
marxan [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jenkins AP dan Boseto D. 2007. Freshwater Fishes of Tetepare Island. Wetland


internasional

Loos SA. 2006. Exploration of MARXAN for Utility in Marin Protected Area
Zoning. Thesis Master Degree. Departement of geography. University of
Victoria

Marpaung HTY. 2011. Penerapan Perbandingan Dua Planning Unit Berbeda


(Heksagon Dan Managament Unit) Perangkat Lunak Marxan Dalam
Perancangan Wilayah Larang Ambil Taman Nasional Wakatobi, Kabupaten
Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara [skripsi]. Bogor : Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Meerman CJ. 2005. Protected Areas System Assessment and Analysis : Marxan
Analysis.p12.

Miller B, Foreman D, Fink M, Shinneman D, Smith J, DeMarco M, Soulé M,


Howard R. 2003. Southern Rockies Wildlands Network VISION: A science-
based approach to rewilding the Southern Rockies. Southern Rockies
Ecosystem Project.
62

Nontji A. 2008. Plankton laut. Jakarta: LIPI Press

Nursid M. 2002. Distribusi dan kelimpahan larva ikan di estuary Segara Anakan,
Cilacap Jawa Tengah [tesis]. Program Pascasarjana Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh
H. M. Eidman, Koesoebiano, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S.Subarjo. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Olii AH. 2003. Kajian faktor fisik yang mempengaruhi distribusi ichthyoplankton
(awal aur hidup ikan). Jurnal. Pengantar Falsafah Sains. Program
Pascasarjana/ S3, Institut Pertanian Bogor.

Palumbi SR. 2004. Marine Reserves and Ocean Neighborhoods: The Spatial Scale
Of Marine Populations And Their Management. Annu. Rev. Environ. Resour.
29:31-68

Pariwono JI, M Eidman, S Rahardjo, M Purba, T Partono, R Widodo, U Djuariah


dan JH Hutapea. 1988. Studi up welling di perairan Selatan Jawa. Bogor:
Fakultas Perikanan IPB.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 17 Tahun 2008 Tentang Kawasan
Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta

Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 Tentang Kawasan Konservasi


Sumberdaya Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Possingham H, I Ball dan Andelman S. 2000. Mathematical methods for identifying


representative reserve networks. In Ferson, S. Dan Burgman, M., eds.
Quantitative Methods for Conservation Biology. Springer-Verlag, New York.
Pp. 291-305.

Rifai S. 2011 . Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan Di Muara
Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Menejemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Roberts CM dan JP Hawkins. 2000. Fully-protected marine reserves: a guide. WWF


Endangered Seas Campaign, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037,
USA dan Environment Department, University of York, York.

Said PM. 2011. Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor :
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan,
Institut Pertanian Bogor
63

Salm RV. 1984. Marine and Coastal Protected Area : a guide for planners and
managers. Gland, Switzerland and Cambridge, UK:IUCN

Sasono AD. 2001. Kebiasaan Makan Ikan Sidat (Anguilla Bicolor) di Desa Citepus
Kecamatan Pelabuhan Ratu dan Desa Cimaja, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Sharif A. 2009. Studi Dinamika Stok Ikan Layur (Lepturacanthus savala) di Teluk
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [Skripsi].
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Smith B. 2005. A Tutorial for using conservation land-use zoning software (version
1.6)[terhubung berkala]. http://www.kent.ac.uk/anthropology/dice/cluz
tut.pdf[20 Juni 2011]

Smith RJ, Eastwood PD, Ota Y, and Coastal Protected Area : A Guide for Planner
and Managers. Gland, Switzerland and Cambridge, UK:IUCN

Steward RR, Possingham HP. 2005. Efficiency, Costs, and Trade-off in Marine
Reserve System Design. Environmental Modelling and Assessment 10:203-
213.

Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Departemen


Dalam Negeri. Jakarta

Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Van der Molen J, Rogers SI, Ellis JR, Fox CJ, and McCloghrie P. 2007. Dispersal
patterns of the eggs and larvae of springspawning fish in the Irish Sea, UK.
Journal of Sea Research, 58: 318-330
LAMPIRAN
65

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian

KUESIONER
Hari/Tanggal wawancara :
..............................................................................................................................
Nama Nelayan :
...............................................................................................................................
Usia : ............. Pendidikan : (SD / SMP / SMA / S1 / dll )*
Alamat / asal tempat tinggal :.........................................................................................
Jenis nelayan : musiman, sambilan, penuh, *
Jenis Alat Tangkap: .........................................................................................................
Spesifikasi: ......................................................................................................................
Lokasi daerah Penangkapan:

Waktu penangkapan : (malam / siang) ; (tiap hari / mingguan / bulanan / temporal lain) *
Keterangan waktu penangkapan : ..................................................................................
Sebaran frekuensi lama impun : ........................................................................
Biaya Penangkapan: .......................................................................................................
Berat hasil tangkapan sekali tangkap: .............................................................................
Berat hasil tangkapan per bulan : ...................................................................................
Jenis larva ikan yg paling banyak ditangkap : .................................................................

Migrasi ikan dimana saja larva dan ikan? .......................................................................


Jika di daerah ini diadakan pembatasan larang ambil (konservasi) : setuju / tidak*
Alasan : ..........................................................................................................................
Harga Perairan (pelabuhan/ wisata/hotel/DPI/PLTU/pasar/lab) : ...............................
Info Lain :.........................................................................................................................

Keterangan : * coret yang tidak perlu


66

Lampiran 2. Perbandingan tiap skenario BLM

Panjang batas
skenario BLM score harga (cost) Luas (km2)
(km)
10 112095890 103000000 9095,89 10623,94
100 168012100 103000000 6501,21 9702,444
250 187837500 103170000 3386,7 10498,54
skenario 1 500 213767500 103780000 2199,75 10387,64
1000 287405000 108730000 1786,75 10801,64
5000 908605000 124300000 1568,61 10507,94
10000 1663050000 128560000 1534,49 10507,94
10 271119610 253120000 17999,61 26062,33
100 353513400 253600000 9991,34 27473,66
250 387834250 254060000 5350,97 27135,7
skenario 2 500 465556000 255950000 4192,12 26860,17
1000 646361000 266780000 3795,81 29237,63
5000 1954240000 312700000 3283,08 27581,78
10000 3614990000 326460000 3288,53 27471,03
10 271225530 253200000 18025,53 26582,88
100 352432500 253480000 9895,25 27124,34
250 386719750 253840000 5315,19 27655,44
skenario 3 500 466708500 256460000 4204,97 27260,07
1000 646014000 266170000 3798,44 29914,04
5000 1962475000 314290000 3296,37 27591,29
10000 3629990000 332960000 3297,03 27670,32
Lampiran 3. Data sekunder larva di perairan Teluk Palabuhanratu dalam present absent (Furry 2011, Said 2011, Rifai 2011)

koordinat
Anguilla ikan
No Lokasi Nama DD DD Congridae Gobiidae Trichiuridae
sp. lain2
(X) (Y)
1 laut Cimandiri 7,0000 106,4100 1 1 1
2 laut Cimaja 6,9641 106,4816 1 1
3 laut Citepus 6,9683 106,5100 1 1 1
4 laut Citiis 6,9547 106,4443 1 1 1
5 laut Sukawayana 6,9679 106,5005 1 1 1
6 maura sungai Cimandiri 7,0300 106,5500 1 1 1
7 maura sungai Cimaja 6,9620 106,4811 1 1
8 maura sungai Citepus 6,9657 106,5120 1 1 1
9 maura sungai Citiis 6,9531 106,4449 1 1
10 maura sungai Sukawayana 6,9640 106,5033 1 1
11 muara sungai Cikaret 6,9556 106,4539 1
12 muara sungai Cigenteng 6,9571 106,4566 1
13 muara sungai Cipawenang 6,9563 106,4628 1
14 muara sungai Cihaur 6,9614 106,4884 1
15 muara sungai muara sungai 6,9748 106,5264 1

67
Lampiran 4. Perbandingan Hasil desain marxan tiap BLM

BLM Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3


10

100

68
Lampiran 4. (lanjutan)

250

500

69
Lampiran 4. (lanjutan)

1000

5000

70
Lampiran 4. (lanjutan)

10000

71
Lampiran 5. Target Konservasi Yang Tercapai

Skenario 1.
Conservation Amount Occurrence Occurrences Separation Separation Target
Feature Name Target
Feature Held Target Held Target Achieved Met
1 ANGUILLA 9100000 38000000 0 38 0 0 yes
2 CONGRIDAE 0.200000 1000000 0 1 0 0 yes
3 LAYUR 7100000 44000000 0 44 0 0 yes
4 GOBIIDAE 100200000 101000000 0 101 0 0 yes
5 NG 1000000 3000000 0 3 0 0 yes
6 FG_TEPI 57280000 65000000 0 65 0 0 yes
7 FG_TENGAH 44160000 58000000 0 58 0 0 yes

Skenario 2.
Conservation Amount Occurrence Occurrences Separation Separation Target
Feature Name Target
Feature Held Target Held Target Achieved Met
1 ANGUILLA 36.400.000 37.000.000 0 37 0 0 yes
2 CONGRIDAE 0.800000 1.000.000 0 1 0 0 yes
3 LAYUR 28.400.000 40.000.000 0 40 0 0 yes
4 GOBIIDAE 250.500.000 251.000.000 0 251 0 0 yes
5 NG 4.000.000 4.000.000 0 4 0 0 yes
6 FG_TEPI 143.200.000 145.000.000 0 145 0 0 yes
7 FG_TENGAH 143.520.000 144.000.000 0 144 0 0 yes

72
Lampiran 5. (lanjutan)

Skenario 3.
Conservation Amount Occurrence Occurrences Separation Separation Target
Feature Name Target
Feature Held Target Held Target Achieved Met
1 ANGUILLA 36400000 37000000 0 37 0 0 yes
2 CONGRIDAE 0.800000 1000000 0 1 0 0 yes
3 LAYUR 28400000 40000000 0 40 0 0 yes
4 GOBIIDAE 250500000 251000000 0 251 0 0 yes
5 NG 4000000 4000000 0 4 0 0 yes
6 FG_TEPI 143200000 145000000 0 145 0 0 yes
7 FG_TENGAH 143520000 144000000 0 144 0 0 yes

73
74

Lampiran 6. Dokumentasi kondisi lapang pada saat penelitian berlangsung

Muara sungai cimaja Muara sungai cihaur

Muara sungai citiis Muara sungai cipawenang

Muara sungai sukawayana Muara sungai citepus


75

Lampiran 7. Gambar larva ikan yang terpilih sebagai fitur konservasi

Larva Dewasa
Anguilla

Lepturacanthus (trichiuridae)

Congridae

Gobiidae
PERANCANGAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH
BERDASARKAN POTENSI LARVA IKAN DI TELUK
PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

MOHAMMAD LUTFI ABRORI

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati DVS. 2008. Studi biologi reproduksi ikan layur (super famili
trichiuroidea) di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
[skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor.

Anwar N. 2008. Karakteristik fisika kimia perairan dan kaitannya dengan distribusi
serta kelimpahan larva ikan di Teluk Palabuhanratu [Tesis]. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Azhar A. 2011. Optimasi Pemanfaatan Ruang Untuk Ekowisata Bahari dengan


Aplikasi Marxan dan Willingness To Pay: Studi Kasus Kecamatan Betoambari
Kota Baubau[tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Ball IR dan Possingham HP. 2000. MARXAN (V1.8.2) : Marine Reserve Design
Using Spatially Explicit Annealing, a Manual book. Australia

Ball IR dan Possingham HP. 2001. The design of marine protected areas: adapting
terrestrial techniques. Proceedings from the international congress on
modelling and simulation. 2: 769-774.

Ball IR dan Possingham HP. 2004. Marxan-A Resesrve System Tool [tehubung
berkala]. http://ecology.uq.edu.aumarxan.htm[24 Maret 2011]

[BLH] Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi. 2003. Profil Pencemaran


Sungai di Teluk Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi. Laporan Akhir. 70
halaman.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pedoman Umum Pengelolaan


Pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta:
Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pualu kecil.

Darmawan A Dan Barnawi M, 2007. Pengantar Marxan. Materi Perangkat Lunak


Marxan Untuk Perancangan dan Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut.
The Nature Conservancy – Coral Triangel Centre. Bali

Darmawan A Dan Darmawan A, 2007. Pengantar Marxan. Materi Perangkat Lunak


Marxan Untuk Perancangan dan Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut.
The Nature Conservancy – Coral Triangel Centre. Bali

Done TJ dan RE Reichelt. 1998. Integrated coastal zone dan fisheries ecosystem
management: generic goals dan performance indices. Ecological Applications
8 (Supplement): S110-118.

Diamond JM. 1975. The island dilemma: Lessons of modern biogeographic studies
for the design of nature reserve. Biol. Conserv. 7: 127-145.
61

Fernandes L, Day J, Lewis A, Slegers S, Kerrigan B, Breen D, dan Cameron D.


2005. Establishing representative no-take areas in the Great Barrier Reef:
large-scale implementation of theory on marine protected areas. Conservation
Biology, 19 : 1733-1744.

Firmansyah F. 2009. Identifikasi Wilayah Konservasi dengan Menggunakan


Perangkat Lunak Marxan di Pulau Maratua dan Pulau Kakaban, Kabupaten
Berau, Provinsi Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor : Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Furry NR. 2011. Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan di Muara
Sungai Cimaja dan Citiis, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat [skripsi]. Bogor : Menejemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Gaselbarcht L, Torres R. 2005, Florida Marine Assessment prioritazation of


marine/estuarine site and problem adversely affecting marine/estuarine habitat
and associated species pf greatest conservation need.

Hartami P. 2008. Analisis Wilayah Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Untuk Kawasan
Budidaya Perikanan Sistem Keramba Jaring Apung [tesis]. Sekolah Pasca
Sarjana Ipb.

Ila L. 2010. Kajian Kawasan Konservasi Laut Batuaga Siompu, Liwutongkidi, dan
Kadatua (Basilika) Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dengan aplikasi
marxan [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jenkins AP dan Boseto D. 2007. Freshwater Fishes of Tetepare Island. Wetland


internasional

Loos SA. 2006. Exploration of MARXAN for Utility in Marin Protected Area
Zoning. Thesis Master Degree. Departement of geography. University of
Victoria

Marpaung HTY. 2011. Penerapan Perbandingan Dua Planning Unit Berbeda


(Heksagon Dan Managament Unit) Perangkat Lunak Marxan Dalam
Perancangan Wilayah Larang Ambil Taman Nasional Wakatobi, Kabupaten
Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara [skripsi]. Bogor : Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Meerman CJ. 2005. Protected Areas System Assessment and Analysis : Marxan
Analysis.p12.

Miller B, Foreman D, Fink M, Shinneman D, Smith J, DeMarco M, Soulé M,


Howard R. 2003. Southern Rockies Wildlands Network VISION: A science-
based approach to rewilding the Southern Rockies. Southern Rockies
Ecosystem Project.
62

Nontji A. 2008. Plankton laut. Jakarta: LIPI Press

Nursid M. 2002. Distribusi dan kelimpahan larva ikan di estuary Segara Anakan,
Cilacap Jawa Tengah [tesis]. Program Pascasarjana Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh
H. M. Eidman, Koesoebiano, D. G. Bengen, M. Hutomo dan S.Subarjo. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Olii AH. 2003. Kajian faktor fisik yang mempengaruhi distribusi ichthyoplankton
(awal aur hidup ikan). Jurnal. Pengantar Falsafah Sains. Program
Pascasarjana/ S3, Institut Pertanian Bogor.

Palumbi SR. 2004. Marine Reserves and Ocean Neighborhoods: The Spatial Scale
Of Marine Populations And Their Management. Annu. Rev. Environ. Resour.
29:31-68

Pariwono JI, M Eidman, S Rahardjo, M Purba, T Partono, R Widodo, U Djuariah


dan JH Hutapea. 1988. Studi up welling di perairan Selatan Jawa. Bogor:
Fakultas Perikanan IPB.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 17 Tahun 2008 Tentang Kawasan
Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta

Peraturan Pemerintah RI No. 60 Tahun 2007 Tentang Kawasan Konservasi


Sumberdaya Ikan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Possingham H, I Ball dan Andelman S. 2000. Mathematical methods for identifying


representative reserve networks. In Ferson, S. Dan Burgman, M., eds.
Quantitative Methods for Conservation Biology. Springer-Verlag, New York.
Pp. 291-305.

Rifai S. 2011 . Jenis, Kelimpahan, dan Distribusi Larva dan Juvenil Ikan Di Muara
Sungai Citepus dan Sukawayana, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Menejemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Roberts CM dan JP Hawkins. 2000. Fully-protected marine reserves: a guide. WWF


Endangered Seas Campaign, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037,
USA dan Environment Department, University of York, York.

Said PM. 2011. Ekologi-Ekonomi Sumberdaya Larva dan Juvenil Ikan di Teluk
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor :
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan,
Institut Pertanian Bogor
63

Salm RV. 1984. Marine and Coastal Protected Area : a guide for planners and
managers. Gland, Switzerland and Cambridge, UK:IUCN

Sasono AD. 2001. Kebiasaan Makan Ikan Sidat (Anguilla Bicolor) di Desa Citepus
Kecamatan Pelabuhan Ratu dan Desa Cimaja, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor

Sharif A. 2009. Studi Dinamika Stok Ikan Layur (Lepturacanthus savala) di Teluk
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [Skripsi].
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Smith B. 2005. A Tutorial for using conservation land-use zoning software (version
1.6)[terhubung berkala]. http://www.kent.ac.uk/anthropology/dice/cluz
tut.pdf[20 Juni 2011]

Smith RJ, Eastwood PD, Ota Y, and Coastal Protected Area : A Guide for Planner
and Managers. Gland, Switzerland and Cambridge, UK:IUCN

Steward RR, Possingham HP. 2005. Efficiency, Costs, and Trade-off in Marine
Reserve System Design. Environmental Modelling and Assessment 10:203-
213.

Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Departemen


Dalam Negeri. Jakarta

Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan


Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

Van der Molen J, Rogers SI, Ellis JR, Fox CJ, and McCloghrie P. 2007. Dispersal
patterns of the eggs and larvae of springspawning fish in the Irish Sea, UK.
Journal of Sea Research, 58: 318-330
LAMPIRAN
65

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian

KUESIONER
Hari/Tanggal wawancara :
..............................................................................................................................
Nama Nelayan :
...............................................................................................................................
Usia : ............. Pendidikan : (SD / SMP / SMA / S1 / dll )*
Alamat / asal tempat tinggal :.........................................................................................
Jenis nelayan : musiman, sambilan, penuh, *
Jenis Alat Tangkap: .........................................................................................................
Spesifikasi: ......................................................................................................................
Lokasi daerah Penangkapan:

Waktu penangkapan : (malam / siang) ; (tiap hari / mingguan / bulanan / temporal lain) *
Keterangan waktu penangkapan : ..................................................................................
Sebaran frekuensi lama impun : ........................................................................
Biaya Penangkapan: .......................................................................................................
Berat hasil tangkapan sekali tangkap: .............................................................................
Berat hasil tangkapan per bulan : ...................................................................................
Jenis larva ikan yg paling banyak ditangkap : .................................................................

Migrasi ikan dimana saja larva dan ikan? .......................................................................


Jika di daerah ini diadakan pembatasan larang ambil (konservasi) : setuju / tidak*
Alasan : ..........................................................................................................................
Harga Perairan (pelabuhan/ wisata/hotel/DPI/PLTU/pasar/lab) : ...............................
Info Lain :.........................................................................................................................

Keterangan : * coret yang tidak perlu


66

Lampiran 2. Perbandingan tiap skenario BLM

Panjang batas
skenario BLM score harga (cost) Luas (km2)
(km)
10 112095890 103000000 9095,89 10623,94
100 168012100 103000000 6501,21 9702,444
250 187837500 103170000 3386,7 10498,54
skenario 1 500 213767500 103780000 2199,75 10387,64
1000 287405000 108730000 1786,75 10801,64
5000 908605000 124300000 1568,61 10507,94
10000 1663050000 128560000 1534,49 10507,94
10 271119610 253120000 17999,61 26062,33
100 353513400 253600000 9991,34 27473,66
250 387834250 254060000 5350,97 27135,7
skenario 2 500 465556000 255950000 4192,12 26860,17
1000 646361000 266780000 3795,81 29237,63
5000 1954240000 312700000 3283,08 27581,78
10000 3614990000 326460000 3288,53 27471,03
10 271225530 253200000 18025,53 26582,88
100 352432500 253480000 9895,25 27124,34
250 386719750 253840000 5315,19 27655,44
skenario 3 500 466708500 256460000 4204,97 27260,07
1000 646014000 266170000 3798,44 29914,04
5000 1962475000 314290000 3296,37 27591,29
10000 3629990000 332960000 3297,03 27670,32
Lampiran 3. Data sekunder larva di perairan Teluk Palabuhanratu dalam present absent (Furry 2011, Said 2011, Rifai 2011)

koordinat
Anguilla ikan
No Lokasi Nama DD DD Congridae Gobiidae Trichiuridae
sp. lain2
(X) (Y)
1 laut Cimandiri 7,0000 106,4100 1 1 1
2 laut Cimaja 6,9641 106,4816 1 1
3 laut Citepus 6,9683 106,5100 1 1 1
4 laut Citiis 6,9547 106,4443 1 1 1
5 laut Sukawayana 6,9679 106,5005 1 1 1
6 maura sungai Cimandiri 7,0300 106,5500 1 1 1
7 maura sungai Cimaja 6,9620 106,4811 1 1
8 maura sungai Citepus 6,9657 106,5120 1 1 1
9 maura sungai Citiis 6,9531 106,4449 1 1
10 maura sungai Sukawayana 6,9640 106,5033 1 1
11 muara sungai Cikaret 6,9556 106,4539 1
12 muara sungai Cigenteng 6,9571 106,4566 1
13 muara sungai Cipawenang 6,9563 106,4628 1
14 muara sungai Cihaur 6,9614 106,4884 1
15 muara sungai muara sungai 6,9748 106,5264 1

67
Lampiran 4. Perbandingan Hasil desain marxan tiap BLM

BLM Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3


10

100

68
Lampiran 4. (lanjutan)

250

500

69
Lampiran 4. (lanjutan)

1000

5000

70
Lampiran 4. (lanjutan)

10000

71
Lampiran 5. Target Konservasi Yang Tercapai

Skenario 1.
Conservation Amount Occurrence Occurrences Separation Separation Target
Feature Name Target
Feature Held Target Held Target Achieved Met
1 ANGUILLA 9100000 38000000 0 38 0 0 yes
2 CONGRIDAE 0.200000 1000000 0 1 0 0 yes
3 LAYUR 7100000 44000000 0 44 0 0 yes
4 GOBIIDAE 100200000 101000000 0 101 0 0 yes
5 NG 1000000 3000000 0 3 0 0 yes
6 FG_TEPI 57280000 65000000 0 65 0 0 yes
7 FG_TENGAH 44160000 58000000 0 58 0 0 yes

Skenario 2.
Conservation Amount Occurrence Occurrences Separation Separation Target
Feature Name Target
Feature Held Target Held Target Achieved Met
1 ANGUILLA 36.400.000 37.000.000 0 37 0 0 yes
2 CONGRIDAE 0.800000 1.000.000 0 1 0 0 yes
3 LAYUR 28.400.000 40.000.000 0 40 0 0 yes
4 GOBIIDAE 250.500.000 251.000.000 0 251 0 0 yes
5 NG 4.000.000 4.000.000 0 4 0 0 yes
6 FG_TEPI 143.200.000 145.000.000 0 145 0 0 yes
7 FG_TENGAH 143.520.000 144.000.000 0 144 0 0 yes

72
Lampiran 5. (lanjutan)

Skenario 3.
Conservation Amount Occurrence Occurrences Separation Separation Target
Feature Name Target
Feature Held Target Held Target Achieved Met
1 ANGUILLA 36400000 37000000 0 37 0 0 yes
2 CONGRIDAE 0.800000 1000000 0 1 0 0 yes
3 LAYUR 28400000 40000000 0 40 0 0 yes
4 GOBIIDAE 250500000 251000000 0 251 0 0 yes
5 NG 4000000 4000000 0 4 0 0 yes
6 FG_TEPI 143200000 145000000 0 145 0 0 yes
7 FG_TENGAH 143520000 144000000 0 144 0 0 yes

73
74

Lampiran 6. Dokumentasi kondisi lapang pada saat penelitian berlangsung

Muara sungai cimaja Muara sungai cihaur

Muara sungai citiis Muara sungai cipawenang

Muara sungai sukawayana Muara sungai citepus


75

Lampiran 7. Gambar larva ikan yang terpilih sebagai fitur konservasi

Larva Dewasa
Anguilla

Lepturacanthus (trichiuridae)

Congridae

Gobiidae
RINGKASAN

Mohammmad Lutfi Abrori. C24070037. Perancangan Kawasan Konservasi


Laut Daerah Berdasarkan Potensi Larva Ikan di Teluk Palabuhanratu,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir,
dan M. Mukhlis Kamal.
Teluk Palabuhanratu merupakan daerah pengkapan ikan (fishing ground) dan
tempat asuhan anak ikan (nursery ground). Potensi larva ikan sangat tinggi sehingga
sering menjadi tempat penangkapan larva secara intensif. Larva ikan memegang
peranan penting terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan di laut, Oleh karena itu,
perlu adanya upaya pengelolaan penangkapan larva. Salah satu konsep pengelolaan
perikanan yang berkelanjutan adalah dengan pendekatan konservasi, dimana aspek
pemanfaatan tidak dapat dipisahkan dari aspek perlindungan dan aspek pelestarian.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan variabel sumberdaya pesisir yang
berhubungan dengan upaya perlindungan di Perairan Teluk Palabuhanratu,
menentukan daerah konservasi dan memberikan alternatif ruang kawasan
konservasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologis dan sosial dengan program
MARXAN, serta data (primer dan sekunder) sumberdaya larva di Teluk
Palabuhanratu. Data dibagi menjadi fitur konservasi dan fitur biaya. Fitur konservasi
diantaranya yaitu larva Anguilla, Congridae, Trichiuridae, dan Gobiidae, kemudian
habitat berupa Feeding ground dan Nursery ground, sedangkan fitur biaya tersebut
antara lain yaitu PLTU, PPN, Jalur kapal, Fishing ground serta Hotel dan Wisata.
Lokasi penelitian ini yaitu di muara Sungai Cimandiri, Cimaja, Sukawayana,
Citepus dan Citiis.
Penentuan kawasan konservasi ini dibuat menjadi 3 skenario konservasi
dengan varisi target yang berbeda dengan tujuan untuk memberikan beberapa opsi
zona kawasan. Variasi target yang digunakan pada tiap skenario antara lain 10%,
30% dan 40%. Guna merancang desain kawasan konservasi yang efektif dan
mengumpul, tiap skenario diuji dengan 7 macam BLM untuk menentukan yang
paling optimal, antara 10 hingga 10000.
BLM optimum yang digunakan yaitu BLM 1000 karena sudah menghasilkan
desain yang efektif dan mengumpul. Berdasarkan hasil, rancangan pada skenario 1
menghasilkan luas 10.802 km2 dengan perbandingan sebesar 3% dari total perairan
Palabuhanratu yang terletak pada skitar muara Sungai Citepus dan Sukawayana,
rancangan pada skenario 2 menghasilkan luas 29.238 km2 dengan perbandingan
sebesar 7% dari total perairan Palabuhanratu yang terletak memanjang diantara
muara Sungai Citepus hingga muara Sungai Citiis, dan rancangan pada skenario 3
menghasilkan luas 29.914 km2 dengan perbandingan sebesar 7% dari total perairan
Palabuhanratu yang terletak memanjang pada muara Sungai Citepus hingga Citiis.
Secara keseluruhan, lokasi yang selalu terpilih menjadi kawasan konservasi terletak
pada sekitar muara Sungai Citepus. Ketiga skenario tersebut layak dijadikan
rekomendasi untuk perencanaan Kawasan Konservasi di Teluk Palabuhanratu
Sukabumi Jawa Barat.
Kata kunci : Palabuhanratu, Konservasi, larva ikan

Anda mungkin juga menyukai