) DI KABUPATEN SUMBAWA
NUSA TENGGARA BARAT
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONSERVASI KEPUH (Sterculia foetida L.) DI KABUPATEN SUMBAWA
NUSA TENGGARA BARAT
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Istomo, M.Si
@(@4H "*=0=H H 96=*;C%=0H *:@/H
H (0H %&@:%>*6H !@5&%D%H
@=%H"*6,,%;%H %;%?H
%5%H H ;E%H ;0=5%E%H*?%6%6(%H
H H
H
0=*>@1@0H 94*/H
950=0H *5&05&06,H
03*?%/@0H 94*/H
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
berlangsung sejak bulan Juni 2014 - Mei 2015, berjudul “Konservasi Kepuh
(Sterculia foetida L.) di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan
Dr Ir Agus Hikmat, M.ScF selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Istomo, M.Si atas
masukan dan saran serta kesediaannya menjadi penguji luar dalam sidang tesis
saya. Kepada Tajuddin SH (Camat Lenangguar) dan Tata Kostara S.Sos. (Camat
Empang), ucapan terima kasih karena telah banyak membantu selama di lapangan
dan memberi izin penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pemikiran 4
METODE 7
Waktu dan Lokasi Penelitian 7
Alat dan Bahan 7
Jenis Data yang Dikumpulkan 8
Metode Pengumpulan Data 9
Metode Analisis Data 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Potensi Populasi Kepuh 17
Karakteristik Habitat Kepuh 30
Etnobotani Kepuh 42
Strategi Konservasi Kepuh 60
SIMPULAN DAN SARAN 70
Simpulan 70
Saran 71
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 76
DAFTAR TABEL
1 Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulan
data kepuh 8
2 Kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies 13
3 Konsep matriks SWOT 16
4 Pola sebaran kepuh di tiga kecamatan 26
5 Asosiasi kepuh di lokasi penelitian 28
6 Data curah hujan dalam mm/tahun di lokasi penelitian 32
7 Nilai INP tiga tertinggi di lokasi penelitian 40
8 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan komunitas pada tiga habitat
(kecamatan) di Kab. Sumbawa 42
9 Bagian kepuh yang digunakan untuk berbagai keperluan di
Kab. Sumbawa 44
10 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kulit batang kepuh
sebagai obat 50
11 Perbandingan biodisel biji kepuh dengan minyak nabati lainnya 51
12 Sifat fisiko-kimia kepuh dan jarak 52
13 Nilai AVE, Cronbach’s Alpha, dan R2 peubah laten 62
14 Penilaian faktor internal dan eksternal dalam konservasi kepuh 66
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan publikasi dan sosialisasi
serta penyadartahuan pada pihak yang lebih luas tentang strategi konservasi
tumbuhan khususnya kepuh dengan berpedoman pada potensi yang ada pada
masyarakat setempat. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk
membangun strategi konservasi spesies-spesies tumbuhan langka lainnya yang ada
di Indonesia.
Kerangka Pemikiran
Tuhan Sang Maha Pencipta, telah sedemikian rupa melengkapi bumi ini guna
memenuhi kebutuhan hidup manusia, tidak ada satupun dalam penciptaan-Nya
yang sia-sia. Semuanya diciptakan dengan maksud dan tujuan tertentu agar manusia
berfikir dan mengambil pelajaran dibalik penciptaan-Nya tersebut. Begitu pula
dengan keberadaan kepuh, dibalik keberadaannya yang menyebar merata, menjadi
tanda bahwa kepuh memiliki manfaat dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.
Saat ini paradigma back to nature semakin popular bahkan menjadi indikator
setiap perusahaan dalam mempromosikan produknya. Semangat kembali ke alam
disikapi dengan menggunakan berbagai produk tanpa bahan pengawet atau produk
yang lebih ramah terhadap lingkungan. Sejalan dengan itu, kalangan akademisi pun
kini kian memperdalam penelitian dengan menggali sumber daya alam untuk
kemaslahatan orang banyak. Berbagai spesies tumbuhan kini digali dan
dieksplorasi termasuk kearifan lokal masing-masing etnis/suku tersebut dalam
memanfaatkannya (kajian etnobotani).
Kepuh sebagai tumbuhan dengan sebaran yang cukup luas, tersebar di
wilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia (Orwa et al. 2009; Sumantri dan
Supriatna 2010), harusnya mampu dibaca sebagai tanda dari Tuhan bahwa
tumbuhan ini disiapkan untuk kebutuhan orang banyak di berbagai tempat. Makna
lain dari tanda tersebut dapat ditafsirkan bahwa tumbuhan kepuh memiliki banyak
manfaat yang bisa digunakan oleh banyak orang. Fakta tentang manfaat tumbuhan
kepuh, telah dibuktikan dari beberapa hasil penelitian, mulai dari fungsi ekologis
juga fungsi ekonomis, baik kebutuhan papan juga kebutuhan pangan (Yuniastuti
et al. 2009).
Banyak diantara kelompok masyarakat (etnis), nenek moyang terdahulu
menggunakan tumbuhan ini dalam kehidupannya sehari-hari. Penggunaan tersebut
diantaranya untuk pangan, obat, bahan bakar nabati, kayu pertukangan, upacara
adat, permainan tradisional dan fungsi-fungsi lainnya di berbagai tempat yang
5
METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 - Mei 2015. Lokasi penelitian
adalah 12 kecamatan di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yaitu
Kec. Sumbawa, Kec. Unter Iwes, Kec. Moyo Utara, Kec. Moyo Hilir, Kec. Moyo
Hulu, Kec. Lenangguar, Kec. Lopok, Kec. Lape, Kec. Maronge, Kec. Plampang,
Kec. Empang dan Kec. Tarano (Gambar 2). Beberapa kecamatan yaitu Kec. Moyo
Utara, Kec. Lenangguar dan Kec. Empang lebih didalami untuk keperluan kajian
etnobotani. Kecamatan-kecamatan ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di
lokasi ini masih ditemukan individu kepuh dan terdapat aktivitas pemanfaatan
kepuh oleh masyarakat. Pengolahan data spasial dilakukan di Laboratorium
Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.
Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data antara lain Arc. GIS 10.1
dan Erdas Imagine 9.1 untuk data spasial, MS. Excel 2013 untuk pencatatan dan
tabulasi data serta R-Studio untuk running PLS-SEM. Bahan yang digunakan dalam
analisis meliputi citra landsat 8, ASTER GDEM dan peta administrasi
Kab. Sumbawa, peta tutupan lahan dan peta tanah.
Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulannya
disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulan data
kepuh
Jenis data Aspek yang diamati (data) Sumber data Metode
Potensi Klasifikasi dan Pengamatan di Survey
populasi morfologi kepuh lapangan, lapangan,
kepuh Proses pertumbuhan dan Bappeda Kab. wawancara,
perkembangan Sumbawa serta analisis spasial
Populasi aktual literatur baik (pembuatan
Penyebaran dan pola jurnal, buku dan peta) dan kajian
sebaran lain-lain pustaka
Asosiasi interspesifik
Karakteristik Ketinggian tempat Pengamatan di Survey
habitat kepuh Kelerengan tempat lapangan, BPS lapangan,
Curah hujan dan Kab. Sumbawa wawancara,
kelembaban serta literatur analisis spasial
Tutupan lahan baik jurnal, buku (pembuatan
Status kepemilikan lahan dan lain-lain peta) dan kajian
Jenis tanah pustaka
Komposisi dan
dominansi spesies lain
Etnobotani Karakteristik responden Masyarakat etnis Wawancara dan
kepuh Manfaat kepuh (pangan, Samawa dan kajian pustaka
obat, bahan bakar, dll) literatur baik
Kearifan lokal lainnya jurnal, buku dan
(berkaitan dengan lain-lain
kepuh)
Strategi Sikap masyarakat pro Masyarakat etnis Analisis SWOT
konservasi konservasi (indikator Samawa, (wawancara,
kepuh stimulus alamiah, literatur baik survey lapang
manfaat dan religius jurnal, buku dan dan kajian
rela) lain-lain, pustaka)
Rencana aksi konservasi pengamatan di
kepuh lapangan dan
LIPI
9
Survey lapangan
Survey lapangan ditujukan untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan kepuh, populasi aktual kepuh, penyebaran dan pola sebarannya,
ketinggian habitat kepuh (menggunakan GPS), kelerengan, kelembaban, tutupan
lahan, status kepemilikan lahan, jenis tanah serta komposisi vegetasi di sekitar
kepuh, termasuk kerapatan, frekuensi, dominansi, INP, ukuran diameter, serta
asosiasi kepuh dengan spesies lainnya.
Penemuan kepuh didasarkan atas hasil ekplorasi dan keterangan masyarakat
yang diverifikasi di lapangan dari 12 kecamatan. Data penemuan kepuh
berdasarkan hasil ekplorasi tersebut kemudian dikembangkan dengan membuat
petak tunggal (melakukan analisis vegetasi) di areal yang dirasa representatif guna
menduga populasi kepuh pada luasan tertentu serta mengetahui vegetasi sekitar
kepuh.
Penempatan petak tunggal yang dikatakan representatif saat lokasi
inventarisasi cukup mewakili komunitas (kompleksitas vegetasi dan tutupan lahan),
sehingga petak terpilih di lapangan adalah lokasi alami pertumbuhan kepuh di hutan
dan bukan di lahan milik pribadi. Secara administrasi lokasi terpilih dalam
pembuatan petak tunggal adalah Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo
Utara. Ketiga lokasi ini juga dianggap mewakili areal administrasi, secara berturut-
turut yaitu di bagian timur, selatan dan utara Kab. Sumbawa.
Jumlah petak tunggal yang dibuat sebanyak tiga yaitu masing-masing satu
petak di setiap kecamatannya. Dalam satu petak terdapat 25 plot dengan masing-
masing plotnya berukuran 20 m x 20 m, sehingga luas satu petak ialah 1 ha atau
10 000 m2. Terhadap validitas keterwakilan komunitas, jumlah plot/luasan petak yang
dibuat juga diuji menggunakan kurva spesies area.
Masing-masing plot di bagi dalam kuadran pengukuran, guna memudahkan
penghitungan spesies lainnya di sekitar kepuh. Ukuran 20 m x 20 m untuk
pengamatan tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m
untuk pancang dan 2 m x 2 m untuk semai (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Berbeda untuk spesies lainnya, inventarisasi kepuh dilakukan di seluruh bagian
petak di lokasi tersebut baik ukuran semai, pancang, tiang maupun pohon, tanpa
membedakan ukuran luasan. Sketsa plot yang dibuat serta penempatannya disajikan
pada Gambar 3.
20 m
10 m
5m
Pohon kepuh
2m berdasarkan info
20 m
masyarakat dan
eksplorasi
Data ketinggian habitat kepuh, kelerengan, tutupan lahan serta jenis tanah
diperoleh dari titik GPS kepuh yang di overlay menggunakan data peta yang
dimiliki. Data ini bersumber dari Planologi Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional
serta citra landsat 8 dan ASTER GDEM.
Wawancara
Menurut Salerno et al. (2005) wawancara adalah teknik pengumpulan data
yang digunakan untuk mendapatkan keterangan lisan melalui percakapan dengan
orang atau responden tentang topik penelitian. Wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini secara keseluruhan dengan teknik semi terstruktur. Penerapan teknik
wawancara ini dengan memberikan pilihan jawaban pada beberapa pertanyaan
namun juga ada pertanyaan yang tidak disediakan pilihan jawaban sehingga dapat
terlihat keragaman pendapat dalam menjawab setiap pertanyaan atau diharap
responden menjawab sesuai pengetahuan mereka (Mardalis 2004).
Adapun penentuan jumlah sampel responden dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua yakni responden untuk data etnobotani dan responden untuk menilai
sikap (tend to act) masyarakat terhadap upaya konservasi kepuh (sikap masyarakat
pro konservasi). Adapun responden yang dipilih untuk menghimpun data
etnobotani kepuh, menggunakan metode snowball sampling.
Metode ini diterapkan dengan mencari tokoh kunci (key informan) yang
dianggap mengetahui banyak informasi tentang kepuh. Sebanyak satu atau dua
orang tokoh kunci tersebut seperti camat, kepala desa atau dukun diwawancarai,
kemudian berdasarkan informasi dari tokoh kunci tersebut diperbanyak dengan
menambahkan informan lainnya berdasarkan arahan dari tokoh kunci sebelumnya
(Denzin dan Lincoln 2009). Hal ini dilakukan sampai pada kondisi data/informasi
yang didapatkan jenuh (tidak ada tambahan informasi baru).
Jumlah responden yang diambil untuk menghimpun data etnobotani, berbeda
tiap kecamatannya yaitu 27 orang di Kec. Empang, 25 orang di Kec. Lenangguar
dan sebanyak 26 orang di Kec. Moyo Utara. Jumlah responden pada tahap ini
ditentukan saat data jenuh.
Guna menilai sikap masyarakat pro konservasi, wawancara dilakukan secara
acak (simple random sampling) (Sugiyono 2013). Pemilihan metode secara acak
dimaksudkan untuk mengetahui respon/sikap secara berimbang, tingkat kerelaan
masyarakat umum terhadap upaya konservasi kepuh. Melalui pemilihan metode
secara acak diharapkan menghasilkan gambaran yang lebih beragam terhadap
pengharapan dan pandangan masyarakat sehingga nantinya dapat dirumuskan
secara lebih komprehensif strategi konservasi kepuh. Mereka yang mengkonservasi
kepuh diharapkan tidak hanya individu-individu yang mengetahui manfaat kepuh,
namun melalui metode ini nantinya setiap/semua masyarakat dalam wilayah
administrasi ditemukan kepuh, juga mau melestarikan tumbuhan ini.
Oleh karena itu sampling frame dalam pengumpulan data sikap masyarakat
ini dilakukan secara acak di wilayah yang bersinggungan/di sekitar lingkungannya
terdapat kepuh. Metode ini diterapkan dengan mengundi setiap daftar KK di tiga
kecamatan (Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara), kemudian
dilakukan wawancara dengan bantuan kuisioner terhadap responden tersebut.
Penentuan jumlah responden minimal dalam populasi KK di wilayah
kecamatan tersebut dilakukan dengan rumus Slovin. Galat atau tingkat kesalahan
yang digunakan pada penelitian ini adalah 15% (e= 0.15) dengan pertimbangan
11
bahwa 15% sudah dapat mewakili populasi, adanya keterbatasan waktu dan biaya
dalam penelitian. Rumus Slovin yang digunakan dalam penentuan jumlah sampel
masyarakat (Sevilla et al. 1993), sebagai berikut:
N
n=
(1+Ne2)
Keterangan:
n = Jumlah sampel masyarakat
N = Total populasi (jumlah seluruh KK dalam kecamatan dimana kepuh
ditemukan)
e = Error tolerance (toleransi terjadinya galat “% kelonggaraan ketidaktelitian
karena kesalahan pengambilan sampel”; taraf signifikansi)
Pembuatan peta
Pembuatan peta terdiri dari peta administrasi (lokasi penelitian), peta tutupan
lahan, peta kelerengan, peta ketinggian dan peta tanah. Peta administrasi dibuat
setelah format JPEG image peta administrasi yang diperoleh dari Bappeda (Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah) Kab. Sumbawa, diolah terlebih dahulu. Mula-
mula menggunakan Arc. GIS 10.1, peta format JPEG image didigitasi sehingga
diperoleh batas masing-masing kecamatan di Kab. Sumbawa.
Peta tutupan lahan Kab. Sumbawa diperoleh dari data Dirjen Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tahun 2014. Data tutupan lahan Kab. Sumbawa ini kemudian diolah menggunakan
Arc GIS 10.1 sehingga menjadi layout peta tutupan lahan. Peta tutupan lahan ini
diklasifikasikan menjadi daerah hutan (lahan kering primer, lahan kering sekunder,
mangrove primer, mangrove sekunder, dan hutan tanaman), belukar rawa,
pemukiman, sawah, savana, pertanian (lahan kering ditambah semak dan pertanian
lahan kering), semak belukar, tanah terbuka, tambak dan tubuh air.
Data ketinggian dan kelerengan Kab. Sumbawa berupa data digital elevation
model (DEM) yang diolah menggunakan Arc GIS 10.1. Peta ketinggian tersebut
diklasifikasikan dengan interval 200 m. Sementara peta kelerengan dibagi menjadi
kelas datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam.
Adapun data tanah diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional yang di overlay
dengan DEM Kab. Sumbawa. Data tersebut menyajikan pemetaan tanah pada level
great group. Setiap peta yang dibuat kemudian di overlay dengan titik GPS
penemuan kepuh di lapangan. Informasi masing-masing titik tersebut dapat
menggambarkan lokasi tutupan lahan, ketinggian, kemiringan tempat, kedekatan
dengan sungai dan jenis tanah tempat kepuh tumbuh.
12
Kajian pustaka
Kajian pustaka dimaksudkan untuk menguatkan pemahaman dan landasan
teori penelitian ini. Pustaka ini bersumber dari jurnal, buku, artikel, laporan atau
data lainnya yang sudah ada, berhubungan dengan informasi kepuh baik klasifikasi
dan morfologi kepuh, pertumbuhan dan perkembangan kepuh, kondisi populasi saat
ini termasuk preferensi habitat kepuh di alam. Data lainnya adalah pemanfaatan
kepuh oleh berbagai masyarakat di Indonesia juga di dunia.
∑ x2 - ∑ x
Id =n [ ]
(∑ x)2 - ∑ x
Keterangan :
Id = Indeks dispersi Morisita
n = Jumlah plot
x = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot
Indeks Morisita yang diperoleh selanjutnya dicari dua titik kritisnya melalui uji χ 2
untuk mencari derajat pengelompokannya.
χ20.975 -n+ ∑ xi
Uniform Indeks= Mu =
(∑ xi )-1
χ20.025-n+ ∑ xi
Clumped Indeks= Mc =
(∑ xi )-1
Keterangan:
χ 20.975 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 97.5% area ke sebelah
kanan kurva
χ 20.025 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 2.5% area ke sebelah
kanan kurva
ΣXi = Jumlah individu dalam kuadrat i (i = 1 s/d n)
n = Jumlah kuadrat
13
Berdasarkan hasil indeks Mc atau Mu di atas maka indeks morisita standar (IP)
dihitung berdasarkan salah satu dari empat persamaan berikut ini:
d cI -M
1. Jika Id ≥ Mc > 1 : Ip =0.5+0.5 ( n-M )
c
Id - 1
2. Jika Mc > Id ≥ 0 : Ip =0.5 (M )
u- 1
Id - 1
3. Jika 1 > Id> Mu : Ip =-0.5 (M )
u- 1
I -M
4. Jika 1 > Mu> Id : Ip =-0.5+0.5 ( dM u )
u
Indeks Morisita yang distandarkan (IP) ini berkisar antara -1 hingga 1. Jika IP = 0
maka pola penyebaran acak. Jika IP < 0 maka pola penyebaran seragam dan jika
IP > 0 maka pola penyebaran mengelompok.
Komposisi vegetasi
Komposisi vegetasi digunakan untuk mengetahui keanekaragaman spesies
tumbuhan di sekitar kepuh, termasuk kerapatan, frekuensi, dominansi, indeks nilai
penting (INP), ukuran diameter, asosiasi kepuh dengan spesies lainnya serta
koefisien kesamaan komunitas (index of similarity) (IS). Beberapa analisis yang
digunakan seperti tersaji di bawah ini.
Jumlah dari suatu spesies
Kerapatan =
Luas petak contoh
Kerapatan dari suatu spesies
Kerapatan relatif (%) = x 100%
Kerapatan seluruh spesies
Jumlah plot ditemukannya suatu spesies
Frekuensi =
Jumlah seluruh plot contoh
Frekuensi dari suatu spesies
Frekuensi relatif (%) = x 100%
Frekuensi seluruh spesies
Jumlah bidang dasar dari suatu spesies
Dominansi =
Luas plot contoh
Dominansi dari suatu spesies
Dominansi relatif (%) = x 100%
Dominansi seluruh spesies
INP (%) = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + Dominansi relatif
Spesies A
Ada Tidak ada
Kepuh Ada a b m=a+b
r=a+c s =b+d N
14
Keterangan:
a = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh dan spesies A
b = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh, namun tidak spesies A
c = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak kepuh
d = Jumlah plot pengamatan tidak ditemukan kedua spesies
Hipotesis uji yang digunakan untuk menguji asosiasi antara kepuh dengan spesies
A adalah:
H0 = Tidak terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A
H1 = Terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A
Hipotesa tersebut diuji dengan menggunakan persamaan uji Chi-Square (Ludwig
dan Reynolds 1988) yaitu:
Keterangan:
2
[ F( x ) -E ( x )] F (x) = Nilai pengamatan
χ 2hitung=Ʃ
E(x) E (x) = Nilai harapan
Nilai χ 2hitung akan dibandingkan dengan nilai χ 2tabel pada selang kepercayan
95%. Jika χ 2hitung ≤ χ 2tabel pada selang kepercayan 95%, maka kesimpulannya terima
H0, artinya tidak terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A. Jika χ 2hitung > χ 2tabel
pada selang kepercayaan 95%, maka kesimpulannya terima H1, artinya terdapat
asosiasi antara kepuh dengan spesies A.
Sifat asosiasi diketahui dengan membandingkan antara nilai pengamatan
untuk a, F (x) dengan nilai harapan E (x). Jika F (x) > E (x), maka asosiasi bersifat
positif. Jika F (x) < E (x), maka asosiasi bersifat negatif.
Besarnya nilai asosiasi antara kepuh dengan spesies tumbuhan lainnya
dilakukan dengan pendekatan indeks Jaccard (IJ) (Ludwig dan Reynolds 1988).
Nilai indeks berkisar antara 0 – 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya
semakin kuat. Persamaan untuk indeks Jaccard adalah:
a
IJ=
a+b+c
Keterangan:
IJ = Indeks Jaccard
a = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh dan spesies A
b = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh, namun tidak spesies A
c = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak kepuh
Koefisien kesamaan komunitas (index of similarity) (IS) diuji menggunakan
Motyka’s Index of Similarity. Adapun persamaan koefisien kesamaan komunitas
tersebut ialah:
2W
IS = x 100%
A+B
Keterangan:
W = Jumlah spesies yang sama pada masing-masing tingkat pertumbuhan
A = Jumlah spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan A
B = Jumlah spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan B yang
diperbandingkan
15
(inner model) dilakukan dengan melihat nilai R2 pada variabel endogen dan
koefisien parameter jalur (path coeficient parameter).
Analisis selanjutnya dalam penyusunan strategi konservasi kepuh
menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT akan melihat faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (ancaman dan peluang) (Rangkuti
1998). Diagram analisis SWOT tersaji pada Gambar 4.
Berbagai Peluang
Berbagai Ancaman
Gambar 4 Diagram analisis SWOT
Data faktor internal dan eksternal diperoleh berdasarkan hasil studi literatur,
wawancara dan hasil survey lapang yang teraktualisasi dalam nilai skala likert yang
diperoleh. Adapun konsep matriks SWOT tersaji pada Tabel 3.
Bunga kepuh memiliki bau yang khas. Beberapa orang menganggap bau
tersebut menarik, namun sebagian besar lainnya mengakui bahwa bau yang
dikeluarkan oleh bunga kepuh seperti bau busuk. Bahkan ada keyakinan masyarakat
tertentu di bagian selatan Kab. Sumbawa bahwa bau yang dikeluarkan tersebut
membawa penyakit seperti demam dan lain-lain.
Mengacu pada asal muasal nama kepuh, maka nama ilmiah kepuh berkaitan
erat dengan aroma yang dikeluarkan dari bunga kepuh. Menurut Orwa et al. (2009),
nama ilmiah kepuh didasarkan pada kata latin “Stercus”, yang berarti kotoran, yang
mengacu pada bau bunga dan daun. Sifat bau busuk ditekankan dalam nama spesies,
“foetida” yang berarti busuk.
Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah
menjadi merah dan kadang-kadang menjadi hitam dan membuka. Menurut
Herdiana (2005), karakteristik buah kepuh berkulit tebal dan pada ujungnya
berbentuk paruh. Ukuran buahnya dapat mencapai diameter 7 mm atau lebih,
mempunyai pericarp yang tebal (7 - 8 mm). Tingkat kematangan buah kepuh
tergantung individu dan faktor tempat tumbuh, tetapi biasanya memerlukan waktu
4 - 6 bulan. Biji berwarna hitam mengkilat, banyak mengandung minyak. Jumlah
biji kering sebanyak 493 - 495 butir/kg. Kepuh dapat berbunga dan berbuah setiap
tahun. Musim berbuah kepuh di Kab. Sumbawa umumnya terjadi pada bulan
Agustus sampai dengan bulan Oktober.
A B
Gambar 5 Pertumbuhan kepuh: (A). awal diambil (20 cm); (B). setelah tiga bulan
(30 cm)
Masa yang paling riskan bagi perkembangan kepuh di Kab. Sumbawa ialah
peralihan pertumbuhan dari semai menjadi pancang. Pada fase pertumbuhan ini
tidak banyak individu yang berkembang menjadi pancang apalagi menjadi tiang
dan pohon. Permasalahan pada tingkat semai bukan hanya terjadi di Kab. Sumbawa
namun juga terjadi di tempat lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ada
masalah pada tahap pertumbuhan kepuh yang perlu diperhatikan.
Permasalahan lainnya dalam pertumbuhan dan perkembangan kepuh ialah
potensi biji menjadi anakan kepuh belum maksimal. Banyak diantara biji yang jatuh,
hanya membusuk dan tidak bergenerasi kembali. Menurut Zanzibar (2011), biji
kepuh mempunyai watak semi ortodok dengan kandungan lemak yang cukup tinggi,
sehingga viabilitasnya akan cepat menurun jika disimpan pada suhu kamar dan
relatif lebih aman jika disimpan pada suhu rendah. Kadar air biji yang aman untuk
penyimpanan berkisar antara 6 - 10%, kondisi tersebut dapat diperoleh dengan cara
diangin-anginkan selama 2 - 3 hari pada ruang kamar (T: 250C, Rh: 70 - 90%)
kemudian biji dikemas dalam wadah kedap udara dan disimpan dalam ruangan
dingin (DCS atau refrigerator).
Pada fase pertumbuhan pancang tidak diketahui persis lama waktu
pertumbuhan menjadi tiang, namun demikian dapat diyakini seperti yang
diungkapkan oleh para tetua di Kab. Sumbawa bahwa fase ini memerlukan waktu
bertahun-tahun. Sama halnya dengan pancang ke tiang, proses pertumbuhan dan
20
perkembangan menuju tingkat pohon pun demikian, memerlukan waktu yang lama
tergantung pada kondisi abiotik di mana tumbuhan kepuh tumbuh.
Kendala lainnya dalam pertumbuhan kepuh ialah hama dan penyakit. Pada
awal pertumbuhannya, kepuh di India diserang larva Sylepta balteata mencapai
70 - 80% (Orwa et al. 2009). Hasil penemuan di lapangan, batang kepuh yang masih
hidup juga dihinggapi serangga. Serangga tersebut berasal dari ordo Hemiptera dan
famili Pyrrhocoridae. Jenis serangga dari famili Pyrrhocoridae termasuk hama
penyakit yang menyerang tanaman (Ernawati dan Utami 2010). Jenis serangga ini
lebih banyak diketahui hidup pada kulit batang yang mati.
Pertumbuhan dan perkembangan kepuh dapat meningkat dengan berbagai
cara. Selain dengan cara merekayasa faktor abiotik atau memberikan horman
tertentu seperti auksin, giberelin, sitokinin atau hormon yang lainnya, dapat juga
dengan melakukan pemangkasan/pemotongan ujung batang dan melukai bagian
batang sampai mengenai daerah kambium. Hal ini berfungsi merangsang hormon-
hormon tersebut bekerja secara baik.
Melalui pemotongan ujung batang, maka dominansi apikal akan hilang
artinya auksin yang dihasilkan oleh ujung batang akan mendominasi pertumbuhan
batang utama, sehingga pertumbuhan cabang relatif sedikit. Cara ini juga diyakini
dapat membuat batang pohon nampak lebih lurus. Selanjutnya melukai batang sama
halnya dengan membantu merangsang hormon giberelin berkerja dengan baik.
Hormon giberelin berfungsi untuk merangsang pertumbuhan batang lebih besar dan
terbentuknya buah tanpa biji. Adapun tahapan pertumbuhan dan perkembangan
kepuh sebagai berikut:
1. Tahap awal dimulainya pertumbuhan kepuh yaitu biji yang sudah matang
kemudian jatuh ke tanah yang basah atau sedikit tergenang air.
2. Setelah biji jatuh, dalam seminggu sampai dua minggu biji tersebut berubah
menjadi kecambah ditandai dengan munculnya radikula, hipokotil dan akar.
Pada tahap ke dua ini, benih mulai berbentuk semai ditandai dengan munculnya
daun (1 - 2 helai) namun masih terdapat kotiledon.
3. Kepuh menjadi semai (anakan pohon). Pada tahap ini laju pertumbuhan relatif
lebih cepat dalam kondisi yang normal.
4. Semai terus bertambah besar dan tinggi. Pada tahap ini semai kepuh
memerlukan cahaya matahari yang cukup.
5. Selama ± satu tahun selanjutnya kepuh berkembang menjadi pancang.
6. Paling tidak tiga tahun selanjutnya, kepuh sudah dapat menjadi tiang.
7. Kepuh menjadi individu dewasa. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan pohon
kepuh dapat memakan waktu 7 - 8 tahun bahkan lebih.
8. Pohon kepuh mulai berbunga. Tidak semua kepuh pada tingkat pertumbuhan
pohon langsung berbunga. Terkadang satu pohon kepuh memerlukan waktu
sampai belasan tahun agar dapat berbunga. Di Kabupaten Sumbawa bunga
kepuh biasa muncul mulai pada bulan Juni dan puncaknya di bulan Agustus.
9. Buah kepuh mulai muncul yaitu sekitar bulan Juli (pencilan) dan mencapai
puncak pada bulan Oktober. Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan
setelah matang berubah menjadi merah dan menjadi hitam saat sudah tua.
10. Kepuh yang sudah tua dicirikan dari cangkangnya membuka. Terdapat banyak
biji di dalamnya yang saat jatuh berpeluang menjadi individu baru.
Secara ringkas visualisasi (sesuai nomor keterangan) tahapan pertumbuhan
dan perkembangan kepuh tersaji pada Gambar 6.
1
4 5 6 7
3 8 9 10
Populasi aktual
Potensi kepuh yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa secara keseluruhan
berjumlah 169 individu. Jumlah ini merupakan akumulasi dari hasil eksplorasi di
12 kecamatan di luar plot pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan
pohon serta jumlah individu yang ditemukan di dalam petak tunggal pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon. Berdasarkan hasil eksplorasi, kepuh
pada tingkat semai tidak ditemukan, pancang sebanyak 5 individu serta tiang dan
pohon sebanyak 84 individu. Hasil inventarisasi di petak tunggal berukuran masing-
masing 1 Ha di tiga kecamatan yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec.
Moyo Utara menemukan sebanyak 80 individu kepuh.
Berdasarkan kelas diameter potensi kepuh (tiang dan pohon) di Kab.
Sumbawa mencapai diameter > 100 cm. Sebagian besar kepuh ditemukan dengan
diameter 20 - 29 cm dan diameter di atasnya untuk kelipatan 10 cm terus berkurang
(Gambar 7).
50
46
45
40
35
Jumlah Individu
30
25
20
14
15
11 11
9
10
5 3 2 1 1 1
0
<20 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 >100
Kelas Diameter
hama penyakit. Jumlah individu kepuh dari hasil inventarisasi menggunakan petak
tunggal di tiga kecamatan tersaji pada Gambar 8.
61 4
Tingkat Pertumbuhan Semai
Pancang 0
3 4 3
Tiang
22
Pohon 1
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Jumlah Individu/ha
Sebagai gambaran bila rata-rata hasil penemuan tidak kurang dari 10 biji
dalam satu cangkang (bahkan ada yang mencapai 28 biji), kemudian dalam satu
tangkai terdapat paling sedikit lima cangkang maka akan didapatkan sebanyak 50
biji kepuh. Jumlah ini akan bertambah bila ditambahkan dengan cangkang-
cangkang lain dari ranting yang berbeda. Cangkang kepuh diprediksi dalam satu
kali musim panen (buah), menghasilkan ribuan biji. Namun demikian dari sekian
banyak biji tersebut, penemuan individu semai kepuh masih tergolong rendah yaitu
hanya 61 individu/ha.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab biji kepuh tidak mampu
berkembang adalah adanya gangguan satwa liar, hewan ternak dan serangan hama.
Biji kepuh, saat masih di pohon kerap dimakan oleh bajing atau jenis rodensia
(satwa pengerat) lainnya, bahkan setelah jatuh ke tanah biji kepuh terkadang
dimakan oleh babi hutan. Belum lagi ternak warga seperti kambing, kerbau, sapi
dan kuda yang kerap berteduh di bawah pohon kepuh, menyebabkan biji kepuh
yang jatuh di sekitar indukan tidak mampu hidup karena terus terinjak atau
terganggu oleh aktivitas ternak tersebut.
Penemuan di lapangan, pada daerah kering biji kepuh yang jatuh relatif tidak
dapat tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa biji kepuh memerlukan perlakuan yaitu
pematahan dormasi. Biji kepuh paling tidak memiliki tiga lapisan kulit yang dapat
memperlambat dalam proses persemaian. Menurut Sumantri dan Supriatna (2010)
serta Zanzibar (2011), benih kepuh diduga memiliki dormansi kulit, sehingga untuk
mengecambahkannya memerlukan perlakuan pendahuluan.
Perlakukan pendahuluan yang dapat diterapkan untuk pematahan dormansi
kepuh adalah pemberian air hangat selama 60 detik kemudian direndam dalam air
dingin selama 12 - 24 jam. Benih yang sudah mendapat perlakuan pendahuluan
dapat langsung dikecambahkan pada media tabur berupa campuran tanah dan pasir
(1:1) dengan cara menanam bagian benih dalam media tabur tersebut. Cara lain
yang pernah dilakukan peneliti saat memilih biji (benih) yang siap tanam
24
(berkualitas) ialah dengan merendamnya dalam air hangat atau air dingin beberapa
waktu kemudian dipilih biji yang tenggelam.
Permasalahan regenerasi kepuh selanjutnya adalah rendahnya penemuan
individu pada tingkat pancang. Kondisi ini dapat berdampak pada putusnya laju
regenerasi kepuh. Putusnya laju regenerasi kepuh ditengah tidak adanya upaya
pelestarian serta aktivitas perambahan dan alih fungsi lahan yang tidak kunjung
henti, lambat laun dapat mengancam dan berakibat kepunahan pada kepuh.
Serangan hama penyakit pada kepuh juga menjadi masalah. Penemuan di
lapangan kepuh di serang hama serangga. Serangga ini berasal dari ordo Hemiptera
dan famili Pyrrhocoridae (Gambar 9).
Kondisi penyebaran kepuh, kini tidak merata. Sejak awal tahun 90-an
terutama saat krisis moneter dan adanya larangan penebangan kayu jenis tertentu
menyebabkan kepuh mulai dilirik untuk memenuhi kebutuhan kayu dan kebutuhan
ekonomi lainnya. Kondisi inilah yang menjadi awal kepuh semakin langka,
menyebar secara sporadis di daerah tertentu yang tidak berpenghuni atau daerah
yang penduduknya masih meyakini bahwa pohon kepuh sebagai pohon keramat
serta daerah dengan penduduk yang masih rutin menggunakan tumbuhan kepuh.
Penyebaran kepuh secara sporadis kini masih dapat ditemukan di beberapa
kecamatan. Beberapa diantaranya ialah Sumbawa (ibukota kabupaten), Unter Iwes,
Moyo Utara, Moyo Hilir, Moyo Hulu, Lenangguar, Lopok, Plampang, Empang dan
Tarano (Gambar 10). Beberapa kecamatan lainnya diakui masih ada pohon kepuh
namun ternyata saat didatangi tumbuhan tersebut kini sudah tidak ada karena
ditebang.
Berdasarkan pola sebarannya, kepuh di tiga kecamatan yaitu Empang,
Lenangguar dan Moyo Utara cenderung mengelompok. Pola sebaran berkelompok
dapat mengindikasikan bahwa secara sosio ekologis keberadaan
makanan/minuman (unsur hara) terkonsentrasi pada lokasi tertentu. Selain itu
secara sosio biologis sebaran mengelompok juga menunjukkan bahwa ada interaksi
sosial/asosiasi diantara tumbuhan tersebut. Menurut Krebs (1998), tumbuhan dalam
fase awal perkembangannya mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan.
Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan
interaksi dengan tumbuhan lain. Oleh karenanya populasi tumbuhan di alam
umumnya menyebar mengelompok dan hanya sedikit menyebar dalam pola lainnya.
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), faktor yang dapat mempengaruhi pola
sebaran spasial makhluk hidup, yaitu: (a). faktor vektorial, yaitu faktor yang
dihasilkan oleh aksi lingkungan (jenis tanah, angin, intensitas cahaya dan air), (b).
faktor sosial, yaitu faktor yang berkaitan dengan perilaku organisme seperti
teritorial, (c). faktor co-aktif, yaitu faktor yang berkaitan dengan interaksi
intraspesifik (d). faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada
beberapa faktor sebelumnya.
Pada kasus kepuh di Kab. Sumbawa nampak bahwa kepuh relatif memilih
lokasi yang berdekatan dengan sumber air. Selain itu kepuh ditemukan pada areal-
areal pematang sawah, kebun maupun di hutan yang lebih terbuka, terkena cahaya
matahari langsung. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong sehingga kepuh
cenderung mengelompok. Data pola sebaran kepuh tersaji pada Tabel 4.
Reynolds 1988). Mengetahui pola sebaran tumbuhan penting sebagai data dasar
pengelolaan yaitu penempatan tumbuhan pada dimensi ruang. Selain itu pola
sebaran dapat menunjukkan lokasi preferensi tumbuhan tersebut. Pola sebaran acak
mengindikasikan suatu kondisi lingkungan yang homogen atau menunjukkan pola
perilaku makhluk hidup yang tidak selektif atas kondisi lingkungannya. Pola
sebaran acak cenderung lebih aman terhadap upaya pengelolaan tumbuhan. Pola
sebaran seragam/teratur menunjukkan interaksi yang negatif antara individu, seperti
persaingan pakan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988).
Berdasarkan ketiga bentuk sebaran di atas, dalam bidang ekologi terdapat
beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan bentuk sebaran spasial
tumbuhan. Beberapa diantaranya ialah metode ratio ragam dengan nilai tengah,
metode sebaran (poisson, binom positif dan binom negatif), metode indeks/ordinal,
serta metode Average Nearest Neighbor. Metode ini pada prinsipnya akan
menghasilakan hasil yang sama.
Salah satu pembuktian pola sebaran dilakukan menggunakan metode Average
Nearest Neighbor. Menggunakan bantuan ArcGis setiap titip GPS yang diambil di
lapangan dianalisis berdasarkan jarak rata-rata dari masing-masing titik dengan titik
terdekatnya. Pada dasarnya metode ini hampir sama dengan indeks Morisita.
Perbedaanya adalah pada metode Average Nearest Neighbor memiliki interval yang
seimbang dari pada indeks Morisita, menyebabkan sistem ini lebih adil menilai pola
sebaran tumbuhan khususnya tumbuhan yang berada pada margin interval. Artinya
setiap pola sebaran dalam sistem ini memiliki peluang yang sama untuk terpilih.
Berbeda halnya dengan indeks Morisita, peluang sebaran acak hanya terjadi saat
nilai IP=0. Salah satu hasil analisis pola sebaran menggunakan metode Average
Nearest Neighbor tersaji pada Gambar 11.
Asosiasi interspesifik
Asosiasi interspesifik adalah pola interaksi yang terjadi antar spesies.
Asosiasi interspesifik juga dapat diartikan sebagai pola interaksi antar spesies yang
saling menguntungkan atau sebaliknya sehingga dapat menghasilkan pola tertentu.
Pola asosiasi interspesifik kepuh di alam relatif positif.
Pola interaksi positif pada tumbuhan kepuh menunjukkan bahwa interaksi
yang terbentuk cenderung saling menguntungkan. Berdasarkan tingkat
asosiasi/nilai besarnya asosiasi menggunakan indeks Jaccard menunjukkan bahwa
asosiasi yang terbentuk relatif lemah. Nilai yang terbentuk berkisar antara 0 - 0.67
dengan nilai rata-rata asosiasi yaitu 0.38. Nilai inilah yang menunjukkan bahwa
tingkat asosiasi yang terbentuk tidak kuat. Nilai indeks Jaccard berkisar antara
0 - 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya semakin kuat. Pola asosiasi
tumbuhan kepuh terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5 menjelaskan bahwa kepuh di Kec. Empang tidak membentuk asosiasi
dengan spesies manapun. Kondisi ini memberi arti bahwa keberadaan kepuh di
kecamatan ini tidak dipengaruhi atau mempengaruhi spesies manapun di sekitarnya.
Asosiasi yang terbentuk juga menguatkan dugaan bahwa bentuk pola sebaran kepuh
di kecamatan ini yakni mengelompok, bukan karena terdapat interaksi diantara
kepuh dengan spesies lainnya, melainkan karena faktor abiotik seperti jenis tanah,
pH tanah, angin maupun faktor lainnya seperti makanan dan minuman (unsur hara)
yang terkonsentrasi pada lokasi tertentu.
Hasil yang berbeda ditunjukkan di Kec. Moyo Utara dan Kec. Lenangguar,
terdapat asosiasi antara kepuh dengan beberapa spesies. Spesies tersebut
diantaranya Ficus sinuata, Lantana camara dan Ziziphus mauritiana di Kec. Moyo
Utara dan Glochidion rubrum, Lagerstroemia speciosa dan Scolopia spinosa di Kec.
Lenangguar. Asosiasi terjadi saat nilai χ 2hitung > χ 2tabel , dengan χ 2tabel 3.841. Asosiasi
kepuh di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 5.
Nilai
Tipe
Spesies χ 2hitung Asosiasi Indeks
Asosiasi
Asosiasi
Aglaia odorata1 0.283 Tidak ada
Alstonia pneumatophora1 1.077 Tidak ada
Crateva sp. 1 0.099 Tidak ada
Cryptocarya densiflora1 1.883 Tidak ada
Ficus amplas1 0.379 Tidak ada
Lagerstroemia speciosa1 1.010 Tidak ada
Phyllanthus emblica1 3.693 Tidak ada
Suregada glomerulata1 0.163 Tidak ada
Aglaia odorata2 0.414 Tidak ada
Crateva sp.2 0.686 Tidak ada
2
Ficus amplas 0.845 Tidak ada
29
Nilai
Tipe
Spesies χ 2hitung Asosiasi Indeks
Asosiasi
Asosiasi
Ficus sinuata2 0.189 Tidak ada
2
Flacourtia sp. 0.806 Tidak ada
Glochidion rubrum2 4.620 Ada Positif 0.25
Harpulia cupanioides2 0.091 Tidak ada
2
Ixora pluminalis 1.708 Tidak ada
Lagerstroemia speciosa2 6.884 Ada Positif 0.33
Magnolia lilifera2 1.870 Tidak ada
2
Mallotus philippensis 0.189 Tidak ada
Microcos tomentosa2 1.223 Tidak ada
Myristica fragrans2 0.806 Tidak ada
2
Planchonella sp. 0.185 Tidak ada
2
Protium javanicum 0.845 Tidak ada
Schleichera oleosa2 0.686 Tidak ada
2
Scolopia spinosa 5.590 Ada Positif 0.29
2
Suregada glomerulata 0.806 Tidak ada
Syzygium sp.2 2.767 Tidak ada
Syzygium sp.2 2.007 Tidak ada
2
Terminalia catappa 0.686 Tidak ada
Tamarindus nudiflora2 0.189 Tidak ada
Alstonia spectabilis3 0.189 Tidak ada
Ceiba pentandra3 0.806 Tidak ada
Ficus sinuata3 11.979 Ada Positif 0.50
Chromolaena odorata3 3.261 Tidak ada
Lannea coromandelica3 0.522 Tidak ada
Lantana camara3 15.942 Ada Positif 0.67
Microcos tomentosa3 0.414 Tidak ada
3
Schleichera oleosa 0.189 Tidak ada
Tamarindus indica3 0.845 Tidak ada
Ziziphus mauritiana2 4.620 Ada Positif 0.25
1 2 3
Ket: Kec. Empang, Kec. Lenangguar, Kec. Moyo Utara
30
Ketinggian tempat
Berdasarkan ketinggiannya di Kabupaten Sumbawa, keberadaan kepuh
berada pada interval 0 - 400 mdpl (Gambar 12). Menurut Heyne (1987), keberadaan
kepuh di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara dapat dijumpai pada ketinggian kurang dari
500 mdpl. Menurut Yuniastuti et al. (2009), untuk mendapatkan tanaman kepuh
yang banyak buahnya, maka penanaman kepuh memerlukan ketinggian antara
300 - 600 mdpl. Pada dataran tinggi (di atas 750 mdpl) kepuh dapat tumbuh dengan
baik tetapi buah yang dihasilkan sangat jarang.
Berada tidak jauh dari air atau sungai, pohon ini tumbuh dengan baik.
Kepuh yang ditemukan sebagian besar berada tidak jauh dari aliran
air/sumber air. Berdasarkan interval ketinggian yang ada di Kab. Sumbawa yakni
0 - 1861, kepuh hanya menyebar pada ketinggian di bawah 400 mdpl, dengan rata-
rata ketinggian 0 - 200 mdpl. Bila dibagi berdasarkan jumlah individu maka 122
individu kepuh berada pada ketinggian interval 0 - 200 mdpl, sedangkan sisanya
yaitu 47 individu berada pada ketinggian interval 200 - 400 mdpl. Sebagian besar
wilayah Sumbawa yang berada di bawah 800 mdpl, sangat cocok sebagai lokasi
pengembangan kepuh.
Keberadaan kepuh yang tumbuh di dataran rendah pada satu sisi akan
memudahkan pemeliharaan karena berada di sekitar pemukiman penduduk, namun
disisi lain berdasarkan aspek ketinggian lokasi 0 - 400 mdpl yang menjadi habitat
kepuh, akan mudah terancam mengingat ketinggian yang sama juga digunakan
sebagai pemukiman penduduk. Artinya terdapat persaingan lahan antara fungsi
pemukiman dan konservasi/budidaya kepuh.
31
Kelerengan tempat
Berdasarkan tingkat kelerengannya, kepuh di Kab. Sumbawa lebih banyak
dijumpai pada areal yang datar dan landai. Berdasarkan proporsi jumlah individu,
keberadaan kepuh pada areal yang datar dan landai mencapai 70%. Kepuh pada
prinsipnya tidak memiliki preferensi khusus berkaitan dengan tingkat kelerengan.
Kondisi perakaran yang kuat juga memungkinkan kepuh untuk dapat hidup pada
areal dengan kemiringan agak curam. Fakta membuktikan bahwa beberapa kepuh
yang hidup di areal SM Cikepuh, Jawa Barat, tumbuh pada areal dengan kemiringan
yang agak curam. Oleh karena anakan kepuh memerlukan cukup air, menyebabkan
kepuh akan lebih berkembang bila kepuh berada di areal yang datar atau landai.
Peta kelas lereng Kab. Sumbawa tersaji pada Gambar 13.
Pada areal dengan kelerengan yang agak curam sampai sangat curam, tidak
memungkinkan menyerap air dalam jumlah yang banyak karena prinsip air akan
mengalir terus sampai mencapai titik terendah (daerah yang datar atau landai).
Pernyataan ini diperkuat oleh Njurumana (2011), bahwa pertumbuhan kepuh lebih
banyak dijumpai pada daerah yang agak rata atau bergelombang seperti pada daerah
sempadan sungai yang lembab karena aliran air mengalir sepanjang tahun maupun
pada sempadan sungai yang mengalami kekeringan pada musim kemarau.
Kondisi curam dan sangat curam di bagian barat dan selatan Kab. Sumbawa
seperti pada Gambar 13 di atas, menyebabkan terbentuknya patahan di bagian
bawah lereng yang memungkinkan kepuh untuk tumbuh di sana. Patahan di bagian
bawah lereng mungkinkan air untuk mengalir atau dengan kata lain memungkinkan
terdapat genangan air di sana.
32
Kecamatan
Bulan
Empang Lenangguar Moyo Utara
Januari 438 442 572
Februari 179 258 106
Maret 185 188 385
April 163 162 25
Mei 92 222 178
Juni 153 112 135
Juli 0 5 0
Agustus 0 3 0
September 0 18 0
Oktober 25 100 20
November 68 175 305
Desember 392 447 190
Total 1695 2132 1916
Ket: Data BPS Kab. Sumbawa (2014)
Curah hujan dan kelembaban tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Curah
hujan maupun kelembaban, keduanya berkaitan dengan penguapan. Jumlah
penguapan dapat berpengaruh terhadap banyak sedikitnya hari hujan dan curah
hujan yang terjadi pada periode berikutnya.
Kelembaban udara berpengaruh terhadap laju penguapan atau transpirasi.
Jika kelembaban rendah, laju transpirasi meningkat akibatnya penyerapan air dan
zat-zat mineral oleh tumbuhan juga meningkat. Jika kelembaban tinggi, laju
transpirasi rendah sehingga penyerapan zat-zat nutrisi juga rendah. Kondisi ini akan
mengurangi ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhan (pertumbuhan akan melambat).
Kelembaban udara di sekitar kepuh tergolong sedang. Berdasarkan suhu pembentuk
kelembaban, suhu kering berkisar 220C - 320C, dengan suhu basah berkisar antara
190C - 300C.
Kelembaban tertinggi di tiga kecamatan secara berturut yaitu
Kec. Lenangguar, Kec. Empang dan Kec. Moyo Utara, mengindikasikan bahwa
ketinggian tempat berpengaruh terhadap kelembaban udara. Hal ini seperti yang
dijelaskan oleh BMKG bahwa peningkatan curah hujan akan terjadi seiring
33
Tutupan lahan
Berdasarkan kondisi tutupan lahan, keberadaan kepuh di Kabupaten
Sumbawa menyebar di enam tipe tutupan lahan, mulai dari hutan lahan kering
sekunder (hutan sekunder), pemukiman, pertanian lahan kering ditambah semak
(gempang/ladang), sawah, pertanian lahan kering (kebun) dan semak/belukar
(Gambar 14). Dominasi kepuh berdasarkan tutupan lahannya berada di sekitar
sawah dan kebun warga. Berdasarkan komposisi jumlah individu yang ditemukan,
hutan lahan kering sekunder (hutan sekunder) terdapat 23 individu, pemukiman
sebanyak 7 individu, pertanian lahan kering ditambah semak (gempang/ladang)
sebanyak 33 individu, sawah sebanyak 54 individu, pertanian lahan kering (kebun)
sebanyak 41 individu dan semak/belukar sebanyak 11 individu.
maupun keperluan lainnya. Berdasarkan fungsinya, hutan lahan kering sekunder ini
biasanya berupa hutan lindung (HL) atau hutan produksi terbatas (HPT).
Pengelolaan hutan lahan kering yang ada di Kab. Sumbawa, sebagian dikelola oleh
BKSDA NTB dan sebagian lainnya oleh Pemda Sumbawa melalui Dinas
Kehutanan dan Perkebunan.
Pertanian lahan kering ditambah semak atau dalam bahasa lokal dikenal
dengan nama gempang merupakan lahan bersemak yang kemudian dibuka guna
menanam kacang hijau, jagung atau produk pertanian lainnya. Gempang memiliki
ciri khas seperti tidak memiliki batas (pematang yang jelas), berada di daerah
dengan topografi berbukit (miring) serta pengelolaannya tidak intensif. Selain itu
kapasitas air yang ada di sekitarnya tidaklah banyak (kondisi lahan lebih kering).
Dominasi kepuh di sawah dan kebun merupakan sisa-sisa peninggalan nenek
moyang yang masih tumbuh baik. Kepuh di sawah dan kebun dengan status
kepemilikan lahan yang lebih jelas, cenderung lebih aman dibandingkan kepuh
yang tumbuh liar di hutan, terutama dari aksi illegal logging . Dominasi kepuh yang
ada di sawah maupun kebun terjadi bukan karena masyarakat setempat atau pemilik
lahan sengaja menanam kepuh di lahannya melainkan unsur ketidaksengajaan saat
warga setempat menggunakan batang kepuh sebagai pembatas antar lahan. Batang-
batang inilah kemudian yang berkembang tumbuh menjadi individu baru.
Keberadaan kepuh di hutan lahan kering sekunder masih dapat dijumpai di
Kec. Lenangguar dan Kec. Empang. Hutan lahan kering sekunder cukup dominan
di Kec. Lenangguar, sementara di Kec. Empang hutan lahan kering sekunder hanya
berada di bagian selatan kecamatan ini yaitu di Desa Jotang Beru.
Berdasarkan proporsi tutupan lahan di Kab. Sumbawa, luas habitat kepuh
terbanyak berada di hutan lahan kering sekunder. Tutupan lahan ini mendominasi
hingga 51% dari luas tutupan lahan habitat kepuh lainnya. Adapun proporsi
pembagian tutupan lahan yang dapat digunakan sebagai habitat kepuh tersaji pada
Gambar 15.
Semak
Belukar
24% Hutan Lahan
Kering
Sekunder
Kebun 51%
6%
Sawah
5%
Pertanian
Lahan Kering
Ditambah
Semak Pemukiman
13% 1%
yaitu 44 individu, tentu jumlah yang tidak sedikit. Dominasi penutupan lahan oleh
semak sangat rentan terhadap kebakaran terlebih kondisi iklim Sumbawa yang
cenderung kering dan panas. Kebakaran lahan juga mungkin terjadi mengingat
penerapan metode pembukaan/pembersihan lahan menggunakan api, umum
digunakan pada pertanian lahan kering di Kab. Sumbawa (Gambar 16). Penerapan
metode dengan membakar lahan dikhawatirkan berdampak pada kerusakan
ekosistem dan terdegradasinya jenis flora setempat, salah satunya kepuh.
Lahan Umum
14%
Lahan Milik
Masyarakat
86%
Jenis tanah
Berdasarkan jenis tanah, kepuh di Kab. Sumbawa tumbuh di atas delapan
kombinasi campuran tanah. Kombinasi tersebut diantaranya ialah (calciustolls,
haplustalfs); (dystropepts); (haplustalfs, dystropepts, haplustalfs); (pellusterts,
haplustalfs); (tropaquepts, ustropepts, fluvaquents); (ustropepts, dystropepts);
(ustropepts, haplustalfs); dan (ustropepts, pellusterts). Pemberian nama tanah ini
mengikuti klasifikasi soil taxonomy pada level great group (Soil Survey Staff 2003).
Terdapat enam jenis tanah yang menjadi habitat kepuh. Jenis tanah tersebut
diantaranya calciustolls, haplustalfs, dystropepts, pellusterts, tropaquepts,
ustropepts dan fluvaquents. Jenis tanah calciustolls merupakan jenis tanah pada
order mollisol yang bersifak calsic/kapur. Jenis tanah calciustolls merupakan tanah
yang calsic-ustik-mollisol. Artinya tanah ini memiliki kandungan kapur yang tinggi
dan berada pada tempat kelembaban ustik/rendah yang cenderung lebih lunak
(mollis). Kelembaban ustik ini biasa diakibatkan oleh curah hujan yang rendah.
Jenis tanah haplustalfs merupakan jenis tanah alfisol. Akhiran alfs
menunjukkan orde nama jenis tanah ini sementara ustalfs menunjukkan bahwa jenis
tanah ini bersifat agak kering (ustic) sehingga jenis tanah haplustalfs dapat diartikan
sebagai tanah alfisol yang memiliki kejenuhan basah tinggi, kapur tinggi dengan
kelembaban ustik yang biasanya kering. Akhiran alfs menunjukkan bahwa tanah
jenis ini mengalami dekomposisi sedang, sedangkan golongan tanah alfisol
menunjukkan bahwa terdapat banyak kandungan Fe dan Al (Mega et al. 2010).
37
Adapun jenis tanah ustropepts merupakan jenis tanah pada order inceptisols.
Jenis tanah ini bersifat ustepts/agak kering, kelembaban tanah ustik berkembang di
daerah lebih kering. Ciri jenis tanah ini relatif sama dengan tanah dystropepts dan
tropaquepts yang juga merupakan tanah pada order inceptisols.
Jenis tanah pellusterts merupakan jenis tanah pada order vertisols yang
bersifat usterts. Artinya jenis tanah ini memiliki kemampuan mengembang dan
mengkerut. Tanah jenis ini biasanya tidak terdapat lapisan pencucian maupun
penimbunan liat. Bahan induk dari tanah vertisols ini juga dari basaltic atau kapur,
biasanya pada tanah sawah yang lebih kering.
Jenis tanah fluvaquents merupakan jenis tanah pada order entisol dan sub
order aquents. Jenis tanah ini merupakan tanah fluvents artinya berasal dari bahan
endapan di sekitar endapan banjir sungai. Tanah jenis ini cenderung lebih liat
dengan tingkat kesuburan yang rendang. Jenis tanah ini cenderung selalu basah
(aquents) (Mega et al. 2010). Peta sebaran kepuh berdasarkan jenis tanah tersaji
pada Gambar 18.
Penjelasan enam jenis tanah di atas menunjukkan bahwa kepuh dapat tumbuh
di berbagai jenis tanah, mulai tanah berkapur, liat, agak kering, lebih basah dan lain-
lain. Dengan kata lain kepuh dapat tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur.
Pernyataan ini juga diperkuat dari hasil penelitian Njurumana (2011) bahwa
berdasarkan jenis tanah kepuh memiliki sebaran yang cukup luas dengan pH
berkisar antara 5.2-7. Kondisi pH tanah pada kepuh mengisyaratkan bahwa kepuh
dapat tumbuh di daerah agak asam dan netral. Berdasarkan tekstur tanah, kepuh
baik tumbuh pada kondisi tekstur tanah sedang sampai kasar (Njurumana 2011).
38
Verbenaceae 3
Tiliaceae 2
Tetramelaceae 1
Sapotaceae 1
Sapindaceae 2
Rutaceae 2
Rubiaceae 3
Rhamnaceae 1
Polygalaceae 1
Myrtaceae 4
Myristicaceae 2
Moringaceae 1
Moraceae 5
Meliaceae
Famili
2
Malvaceae 1
Magnoliaceae 1
Lythraceae 1
Leeaceae 1
Lauraceae 3
Flacourtiaceae 3
Fabaceae 4
Euphorbiaceae 12
Combretaceae 1
Burseraceae 1
Asteraceae 1
Apocynaceae 2
Annonaceae 1
Anarcadiaceae 1
0 2 4 6 8 10 12 14
Jumlah Spesies
58
56
56
54 53
Jumlah Spesies
52 51
50
48
48
46
44
Semai Pancang Tiang Pohon
Tingkat Pertumbuhan
Tidak
Normal
37%
Normal
63%
Ting INP
Spesies F FR K KR D DR
kat (%)
P. emblica1 0.12 4.23 1100 6.43 - - 10.66
Crateva sp. 1 0.08 2.82 1200 7.02 - - 9.83
Scolopia spinosa1 0.12 4.23 800 4.68 - - 8.90
Syzygium sp.2 0.20 7.46 2100 15.00 - - 22.46
Semai
Etnobotani Kepuh
Karakteristik responden
Berdasarkan hasil wawancara di tiga kecamatan berkaitan tentang etnobotani
kepuh, total responden yang diwawancarai sebanyak 76 orang. Teknik penentuan
dan jumlah responden didasarkan atas teknik snowball sampling. Jumlah ini terdiri
dari 58 laki-laki dan 18 perempuan. Proporsi jenis kelamin ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan atau pengetahuan kepuh bukan hanya berkaitan dengan kegiatan
laki-laki namun juga berkaitan dengan urusan rumah tangga yang dikerjakan
perempuan.
Berdasarkan pekerjaannya, pemanfaatan atau pengetahuan tentang kepuh
berasal dari berbagai profesi (Gambar 22). Profesi petani lebih mendominasi
pengetahuan tentang kepuh. Hal ini sejalan dengan tipologi tutupan lahan tempat
kepuh banyak ditemukan yakni di sawah dan kebun yang notabene merupakan
tempat petani bekerja. Hal inilah yang mendasari bahwa kepuh kemudian lebih
banyak diketahui oleh para petani karena setiap harinya secara tak langsung petani
juga berinteraksi dengan kepuh.
PNS
16%
Tani
55%
Tidak Sekolah D3
30 SMP
25 3% 3%
25 8% S1
10%
Jumlah (orang)
19
20
15
15
10
10 SMA
6
26%
5
1
0
30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 >100
thn thn thn thn thn thn
Kelompok umur (tahun)
SD
50%
Gambar 23 Karakteristik responden: kelompok umur (kiri) dan tingkat
pendidikan (kanan)
Manfaat kepuh
Kepuh sebagai salah satu tumbuhan yang tersebar merata di seluruh wilayah
Indonesia, menjadi tanda bahwa Tuhan telah melengkapi tumbuhan ini dengan
banyak manfaat dan dapat dimanfaatkan oleh banyak orang. Isyarat ini diperkuat
dengan firman Tuhan bahwa tidak ada satupun dari ciptaan-Nya yang sia-sia.
Kepuh dalam kearifan masyarakat Sumbawa memilik banyak manfaat mulai
dari akar sampai dengan daun, baik manfaat pangan, obat-obatan, bahan bakar
nabati/biofuel, perhiasan, bahan bangunan, upacara adat, kerajinan tangan,
permainan tradisional, pakan ternak dan jasa lingkungan. Beberapa diantara
manfaat kepuh ini kini mulai pudar atau dengan kata lain bila dilihat dari intensitas
penggunaannya mulai jarang bahkan ditinggalkan.
Pemanfaatan kepuh yang paling umum ditemukan ialah untuk keperluan
pangan, obat-obatan, bahan bangunan dan upacara adat. Sementara beberapa
bentuk pemanfaatan lainnya hanya bersisa pada kalangan tertentu atau di lokasi
tertentu saja. Masing-masing dari manfaat tersebut tersaji pada Tabel 9.
44
Tabel 9 Bagian kepuh yang digunakan untuk berbagai keperluan di Kab. Sumbawa
Pangan
Manfaat pangan pada kepuh berasal dari bijinya. Biji ini biasa digunakan
sebagai bumbu masak di berbagai jenis masakan khas Sumbawa. Mulai dari sepat,
singang (gulai), sirasang, siong sira, goreng (soto) serta berbagai masakan lainnya.
Pengolahan biji kepuh sebagai bumbu masak dilakukan dengan terlebih
dahulu dikupas kulitnya lalu disangrai kemudian dihaluskan. Dengan campuran
sedikit garam dan cabe serta bumbu rahasia lainnya (pilihan bila ingin
ditambahkan), biji kepuh berubah menjadi bumbu masak bernama sira wir.
Tahapan pembuatan sira wir tersaji pada Gambar 24.
Nama sira wir merupakan paduan dari sira yang berarti garam dan wir yang
berarti gurih (rasa yang tercipta dari minyak biji kepuh). Sira wir inilah yang
dicampurkan pada berbagai jenis masakan. Selain diproduksi untuk kebutuhan
sendiri, di Kec. Empang sira wir ini juga diperjualbelikan di pasar. Satu plastik kecil
sira wir dihargai Rp. 1 000 - Rp. 3 000.
Takaran sira wir berbeda-beda tergantung pada selera masing-masing. Sira
wir ini mampu bertahan hingga enam bulan. Selama rentang waktu tersebut, sira
wir cukup disimpan di kulkas atau tempat yang sejuk.
Biji kepuh yang telah disangrai juga dapat langsung dimakan, rasanya
menyerupai kacang tanah. Kontraindikasi dari konsumsi biji kepuh berlebihan
dapat menyebabkan rasa pusing. Rasa pusing ini diyakini akibat biji kepuh
mengandung banyak minyak. Guna menghilangkan rasa pusing setelah
mengkonsumsi biji kepuh, terlebih dahulu biji kepuh direndam menggunakan air
garam sebelum dibakar atau disangrai. Cara ini diyakini ampuh menghilangkan rasa
pusing setelah banyak mengkonsumsi biji kepuh secara langsung.
45
Mengkonsumsi biji kepuh yang sudah menjadi sira wir, tidak memberikan
efek samping apapun. Justru rasa gurih pada sira wir menyebabkan banyak pencinta
masakan Sumbawa menambah porsi makan.
Biji kepuh juga dapat dijadikan beraneka macam snack (kue), salah satunya
kripik kepuh. Pengolahan biji kepuh menjadi kripik tak ubahnya membuat kripik
melinjo. Biji yang telah disangrai atau direbus lalu digepengkan. 3 - 4 biji tersebut
disatukan menjadi satu gepengan. Setelah digepengkan, kripik ini lalu dijemur
sampai kering. Kripik kering inilah yang kemudian digoreng dan siap untuk
disajikan. Selain bijinya ternyata kulit buah kepuh (cangkang) juga dapat dijadikan
bahan kue. Menurut Purwati (2010), kulit buah kepuh dapat digunakan sebagai
bahan membuat kue.
Obat
Masyarakat Sumbawa dengan kearifan lokalnya ternyata juga menggunakan
kepuh sebagai media/sarana pengobatan masyarakat. Bila orang banyak mengenal
Sumbawa dengan minyaknya, maka salah satu bahan campuran yang harus ada
dalam minyak tersebut ialah kayu gelumpang (kepuh). Menurut pengakuan
beberapa sandro (dukun), kayu gelumpang ini wajib ada diantara 44 jenis kayu yang
dimasukkan dalam campuran pembuatan minyak Sumbawa. Kayu gelumpang
dianggap sebagai dea kayu (yang diutamakan) dalam campuran minyak Sumbawa
(Gambar 25).
Minyak Sumbawa sudah terkenal di mana-mana. Minyak ini berfungsi untuk
mengobati berbagai macam penyakit, baik penyakit luar maupun penyakit dalam,
baik medis maupun non medis. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan
minyak Sumbawa tidaklah sembarangan. Bahan tersebut terdiri dari berbagai jenis
kayu yang diambil hingga ke pegunungan (hutan). Kayu yang digunakan tergantung
pada petunjuk yang didapat oleh masing-masing sandro yang membuatnya.
Pengambilan bahan baku dan pembuatan minyak Sumbawa hanya dilakukan pada
bulan Muharram. Hal ini karena ada keyakinan pada bulan Muharram, Tuhan
46
sihir maupun niat jahat yang dikirim orang, dipercaya tidak dapat masuk ke dalam
rumah tersebut.
Tabel 10 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kulit batang kepuh sebagai obat
Keterangan: Selengkapnya manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian bagian kepuh lainnya sebagai obat tersaji pada Lampiran 4
49
50
Pada Tabel 11 ditunjukkan bahwa minyak biji kepuh dapat dijadikan sebagai
bahan baku biodiesel dengan karakteristik yang sama dengan biodiesel dari minyak
kelapa sawit. Biodiesel minyak kepuh memiliki kesamaan dengan biodiesel minyak
kelapa sawit, dari viskositas kinematik biodiesel minyak sawit ada pada kisaran 4.3
- 4.5 mm2/s sedang viskositas rata-rata minyak kepuh sebesar 4.3 mm2/s. Kesamaan
lainnya, densitas biodiesel minyak sawit juga relatif tidak jauh berbeda bahkan
lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa sawit. Nilai bilangan setana pun keduanya
sama. Hal inilah yang menguatkan bahwa kepuh sangat potensial menggeser posisi
industri kelapa sawit yang terus berkembang pesat saat ini.
Potensi kepuh sebagai kompetitor kelapa sawit perihal bahan bakar nabati
tidak hanya bersaing dalam hal produski minyak (kuantitas) dan mutu (kualitas),
terpenting bahwa kuantitas minyak biji kepuh tidak berkurang akibat pemenuhan
kebutuhan bahan konsumsi seperti yang terjadi pada minyak nabati lainnya. Hal
lainnya ialah tumbuhan kepuh relatif lebih ramah lingkungan dibandingkan kelapa
sawit. Kepuh secara bioekologi berfungsi sebagai mikro habitat beberapa jenis
burung dan mamalia. Selain itu keberadaan potensi kepuh sebagai bahan bakar
nabati akan turut menunjang aspek ekologis dalam pengurangan penggunaan bahan
bakar fosil yang prosesnya cenderung tidak ramah lingkungan. Kepuh juga
berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi.
Kelebihan lainnya dalam minyak biji kepuh ialah memiliki banyak
kandungan alkaloid, terpen, flavonoid dan steroid. Hal inilah yang memungkinkan
bagi kepuh berfungsi mengobati berbagai macam penyakit. Kepuh juga relatif lebih
resisten dibandingan kelapa sawit pada berbagai habitat, baik basah maupun kering.
Satu-satunya yang menjadi tantangan dalam pengembangan kepuh ialah lama
berbuah yang dapat mencapai 7 - 8 tahun bahkan lebih. Bila masalah ini dapat
ditangani maka kedepan industri perkebunanan kelapa sawit dapat saja beralih
menggunakan kepuh.
Kuantitas biji kepuh sebagai bahan bakar, berkaitan erat dengan tinggi,
diameter dan lebar tajuk pohon. Faktor abiotik (ketinggian dan curah hujan) tidak
berpengaruh nyata terhadap kuantitas biji kepuh. Model pendugaan potensi
produksi biji kepuh adalah: Pb = -8733.311 + 195.602Tp + 13.339Dp + 673.658Lb,
R2 = 0.563. Pb = produksi biji (butir), Tp = tinggi pohon (m), Dp = diameter pohon
(cm), dan Lb = lebar tajuk (m) (Suharti et al. 2011).
Perbandingan kualitas bahan bakar kepuh terhadap beberapa bahan nabati
lainnya, diakui belum dapat mengalahkan kualitas jarak pagar. Kualitas jarak pagar
sebagai bahan bakar nabati lebih baik dibandingkan kepuh. Berdasarkan uji
viskositas kinematik, densitas dan bilangan asam, kepuh masih berada di bawah
jarak pagar (Tabel 12) (Sudradjat et al. 2010 dan Sari 2007).
Perhiasan
Perhiasan menjadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia saat ini. Perhiasan
kini menjadi penciri kedudukan, jabatan atau pencitraan lainnya. Perkembangan
perhiasan pun begitu cepat mengikuti trand fashion (gaya hidup) masyarakat saat
ini. Penggunaan jenis perhiasan dan bahan yang digunakan menunjukkan
kemampuan beli penggunanya. Bila dikelompokkan perhiasan tersebut
menggunakan logam mulia (emas, perak dan platina) dan batuan mulia atau lebih
dikenan batu akik.
Fenomena perhiasan batu akik sedang marak di kalangan masyarakat
Indonesia saat ini. Demam batu akik di Indonesia melanda tidak hanya generasi tua,
para pemuda bahkan anak-anak pun ikut-ikutan menggemari batu akik, laki-laki
dan perempuan. Fenemona ini terus berlanjut dengan beranekaragam jenis batu
yang ada di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke.
Salah satu potensi batu akik ialah bahan yang berasal dari fosil kayu. Kepuh
sebagai tumbuhan yang dapat tumbuh hingga seratusan tahun, diyakini dapat
menjadi fosil. Dengan sebutan gelumpang rura (kepuh mati berdiri), masyarakat
Sumbawa meyakini fosil kayu kepuh bagus bila dijadikan batu akik. Batu ini cukup
diminati oleh beberapa kalangan tertentu.
Batu akik berbahan fosil kayu kepuh diyakini mampu mendatangkan
keberuntungan bagi pemakainya. Tidak hanya menambah keindahan penampilan,
beberapa orang meyakini bahwa batu ini mampu meningkatkan wibawa dan
kharisma orang yang memakainya. Batu akik kepuh ini dijual mulai harga
Rp. 15 000 - Rp. 70 000 tergantung ukuran fosil kayu, sedangkan yang sudah di
poles halus dihargai mencapai ratusan ribu rupiah tergantung keuletan pembeli
dalam menawar batu tersebut. Salah satu gambaran batu akik berbahan fosil kayu
kepuh tersaji pada Gambar 27.
53
Bahan bangunan
Rumah panggung merupakan bentuk bangunan asli masyarakat Sumbawa.
Rumah yang sebagian besar menggunakan bahan kayu ini dapat ditemukan di setiap
kecamatannya. Rumah panggung sebagai bagian dari identitas Sumbawa tercermin
dari rumah adat Kesultanan Sumbawa bernama Istana Dalam Loka yang masih
berdiri kokoh hingga saat ini.
Menurut Raba (2002), rumah panggung khas Sumbawa adalah rumah yang
didirikan di atas kayu dengan ketinggian 1.5 - 2 m di atas tanah. Tipologi rumah
panggung khas Sumbawa berbentuk persegi panjang yang dibagi dalam beberapa
ruang. Umumnya jumlah ruang rumah tersebut ada tiga yaitu ruang depan untuk
menerima tamu, ruang tengah untuk tempat tidur dan aktivitas keluarga serta ruang
belakang untuk dapur dan tempat makan.
Bentuk atap rumah panggung seperti perahu dan dibuat dari bambu yang
dipotong-potong (santek) atau dari genteng. Tangga rumah terdiri dari dua yaitu
tangga depan (anar selaki) dan tangga belakang (anar sawai). Adapun anak tangga
selalu dibuat ganjil antara 5, 7, 9 dan 11 tergantung dari besar dan tingginya rumah
(Raba 2002).
Kearifan lokal masyarakat Sumbawa, bukan hanya pada wujud rumah
panggung yang dibangun, namun proses pembuatan dan pemilihan kayu dalam
pembuatan rumah juga kental dengan budaya atau kearifan lokal. Guna menentukan
kayu yang layak digunakan sebagai bahan bangunan, masyarakat biasanya
mempercayakan kepada orang pintar. Kayu yang ditebang harus sudah berumur
cukup tua, tidak boleh berada dekat dengan sumber mata air dan tidak ditumbuhi
tanaman merambat (Supardi et al. 2006).
Menurut Supardi et al. (2006), masyarakat Sumbawa enggan menebang
pohon yang terdapat tumbuhan merambat di atasnya. Masyarakat meyakini bahwa
saat kebiasaan itu dilanggar maka masalah akan menimpa pemilik kayu. Larangan
menebang kayu yang ditumbuhi tanaman merambat juga menjadi cara masyarakat
Sumbawa untuk menjaga populasi lebah madu (Apis dorsata) yang banyak hidup
di hutan. Pohon yang ditumbuhi tanaman merambat merupakan tempat yang
disukai oleh lebah untuk bersarang, salah satunya kepuh. Jika lebah madu telah
membuat sarang di kayu tersebut, maka tahun berikutnya mereka juga tetap
menempatinya. Bila kayu tersebut ditebang, lebah madu akan membuat sarang di
kayu lainnya, menjauhi lokasi semula.
54
A B
Kayu kepuh dihargai setara dengan kayu rimba, dengan harga pasar
Rp. 2 700 000/m3. Pengakuan salah satu pengusaha kayu di Sumbawa (UD. Pelita
Jaya) bahwa kayu kepuh cukup diminati masyarakat. Berbagai mitos mistik yang
melekat pada pohon ini dahulu kala, kini tidak berdampak pada permintaan
masyarakat akan kayu ini. Lebih lanjut disampaikan bahwa bila ada masyarakat
55
yang ingin menjual kayu ini, maka perusahaannya dengan tangan terbuka menerima
jenis kayu ini karena permintaannya yang masih tinggi.
Beberapa kalangan masyarakat lainnya mengakui bahwa kayu ini saat
digunakan masih membawa nuansa mistik di rumah. Nuansa mistik ini
menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidaktenteraman di dalam rumah. Mulai dari
suara yang aneh atau sekedar bunyi papan akibat hembusan angin, kerap kali
muncul sebagai pertanda yang punya (makhluk halus) menolak pohon tempat
tinggalnya ditebang dan dipotong menjadi papan dan kayu rumah (Gambar 29).
Upacara adat
Penggunaan kepuh dalam upacara adat, ada pada saat biji kepuh digunakan
sebagai dila lilit (semacam lilin). Dila lilit terbuat dari bahan kapas yang telah
dicampur dengan kepuh atau jarak dan kemiri kemudian ditumbuk. Bahan kepuh
pada dila lilit wajib ada. Selain dari wangi baunya yang khas, warna api kebiru-
biruan diakui lebih baik dari bahan lainnya.
Dila lilit dalam tradisi masyarakat Sumbawa bermakna sebagai sinar
kebahagiaan. Beberapa kegiatan adat yang menggunakan dila lilit ialah tama
lamung (pertanda bahwa gadis/dedara Sumawa mulai akil balik), biso tian
(syukuran tujuh bulanan ibu mengandung), sempe bulu (akikah), basunat (sunatan)
dan nika (nikah).
Bagian cangkang buah dan bunga kepuh di beberapa tempat juga masih
digunakan dalam upacara keagamaan atau sekedar melakukan pemujaan. Aktivitas
ini pernah ditemukan di Desa Leseng, Kec. Moyo Hulu dan Desa Berare,
Kec. Moyo Hilir yang ditandai dengan ditemukannya sejumlah sesaji di bawah
pohon kepuh. Sesaji ini selain dimaksudkan untuk memohon hajatan segera tercapai
juga sebagai wujud rasa syukur karena sembuh setelah lama mengidap sakit.
Beberapa tempat di Bali, bahkan membangun pura di sekitar pohon kepuh.
Pohon ini termasuk salah satu pohon yang dikeramatkan di Bali. Beberapa warga
pun meyakini bahwa permohonan yang dipanjatkan di bawah pohon ini akan segera
tercapai. Kepuh di Bali juga dijadikan bahan patepakan. Petapakan adalah topeng
dalam wujud sosok makhluk magis yang menyeramkan, terbuat dari kayu tertentu,
dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya
Ida Betara Rangda. Petapakan ini dipercaya bisa mengusir grubug (wabah penyakit)
dan mara bahaya yang bersifat niskala lainnya. Agar petapakan ini berfungsi
dengan sebagaimana mestinya, maka petapakan ini harus memiliki kekuatan gaib,
taksu dan melalui proses sakralisasi.
56
Kerajinan tangan
Karakteristik kayu kepuh muda yang relatif lunak, membuat kayu kepuh
mudah untuk diolah dan dijadikan berbagai bentuk kerajinan tangan (Gambar 30).
Mulai dari kursi, lemari, hingga berbagai hiasan pajangan, menjadi bukti manfaat
kayu kepuh. Beberapa daerah juga ada yang menggunakan kayu kepuh sebagai
bahan perahu.
Kayu kepuh sebagai bahan perahu diakui lebih ringan dan tahan terhadap air.
Nilai magis dari kayu ini juga diakui menjadi pendamping keselamatan saat kayu
ini dibawa berlayar ke sungai atau ke laut. Manfaat kayu kepuh sebagai bahan baku
kerajinan juga terdapat di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Bali. Kepuh dijadikan
sebagai bahan baku wayang golek (Jawa Barat) dan topeng petapakan (Bali)
(Hendrati dan Hidayati 2014).
Permainan tradisional
Kepuh sebagai salah satu potensi Sumbawa pada saat itu (sampai awal
1990-an), menjadi bahan permainan tradisional masyarakat Sumbawa. Sejumlah
permainan tradisional masyarakat Sumbawa yang menggunakan kayu, potensial
menggunakan bahan dari kayu kepuh.
Salah satu permainan tradisional Sumbawa yang menggunakan bahan kepuh
ialah barapan kebo (karapan kerbau). Dalam permainan karapan kerbau, setiap
kerbau yang dilombakan harus menjatukan saka. Saka adalah tongkat kayu yang
ditancapkan di salah satu sudut sawah menjadi tujuan para joki untuk bisa
menjatuhkan atau mengenai saka dalam waktu sesingkat-singkatnya. Salah satu
kayu yang digunakan untuk saka tersebut adalah kayu kepuh. Permainan lainnya
yang diakui juga menggunakan bahan dari kayu kepuh ialah main jaran (pacuan
kuda). Permainan yang umumnya dilakoni oleh joki cilik ini menggunakan kayu
kepuh sebagai pematik/pemukul kuda agar kencang berlari.
Beberapa permainan lainnya yang sering dimainkan anak-anak kecil di
Sumbawa seperti rabanga, gasing dan cuek, merupakan beberapa permainan khas
Sumbawa yang menggunakan bahan dari kepuh. Cangkang (kulit buah) kepuh
digunakan untuk main rabanga (melempar kulit buah kepuh dari jarak tertentu) dan
biji kepuh digunakan untuk main gasing (gangsing). Cara permainan gangsing ini
ialah dengan memutar biji kepuh lalu dihitung waktu terlama berhenti, sedangkan
cuek (pluit) dibuat dari biji kepuh yang sudah dikosongkan isinya, dengan
meniupnya akan dihasilkan suara yang nyaring.
57
Jasa lingkungan
Secara ekologis kepuh berfungsi sebagai mikro habitat beberapa jenis burung,
seperti kakatua jambul kuning di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, berbagai
jenis burung air (cangak, kuntul dan pecuk) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut
serta jalak bali di Taman Nasional Bali Barat. Kepuh di Kab. Sumbawa juga
menjadi tempat berteduh bagi sekawanan ternak kambing, sapi, kerbau dan kuda
serta lebah madu. Jenis mamalia seperti kalong juga diketahui menjadikan pohon
kepuh sebagai tempat bergantung di pagi hari. Fenomena ini dapat ditemukan di
Suaka Margasatwa Pulau Rambut.
Kepuh juga berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi karena dengan
tajuknya yang lebar dan perakarannya yang kuat mampu menahan air tanah. Dalam
ilmu hutan kota, kepuh berfungsi sebagai tumbuhan peneduh jalan dan pemecah
angin. Keberadaan kepuh sebagai bahan bakar nabati akan turut menunjang aspek
ekologis dalam pengurangan penggunaan bahan bakar fosil yang prosesnya
cenderung tidak ramah lingkungan.
δAl1 Al1
Stimulus
δAl... Al... λ Al.. Alamiah
ξ1
δAl16 Al16
Mi1 εMi1
δMa1 Ma1
Stimulus ϒ2 Sikap λMi..
Mi... εMi...
δMa... Ma... λ Ma.. Manfaat (tend to act)
... ξ2 ƞ
Mi9 εMi9
δMa17 Ma17
77
Alamiah
Manfaat Sikap
0.4896
Rela
stimulus religius rela adalah dana budidaya (Re.7). Data ini membuktikan bahwa
membangkitkan stimulus masyarakat dalam upaya konservasi kepuh di Kab.
Sumbawa bukan utama dan hanya karena ada subsidi atau kompensasi uang pada
masyarakat namun bagaimana menyebarluasan informasi bahwa kepuh merupakan
spesies langka yang regenerasinya memerlukan bantuan manusia.
Adapun nilai loading tertinggi dalam membentuk peubah stimulus manfaat
adalah komoditi ekonomi (Ma.14), dengan nilai 0.837. Data ini menggambarkan
bahwa untuk membangkitkan stimulus masyarakat juga dapat melalui
penyebarluasan informasi bahwa kepuh merupakan salah satu komoditi ekonomi
yang potensial untuk diperjualbelikan (komoditi ekonomi penting), baik sebagai
kayu konstruksi, ukiran (kerajinan tangan), perhiasan, bumbu masak, berbagai jenis
panganan atau juga manfaat-manfaat lainnya. Ketika masyarakat mendapatkan
pengahasilan nyata (ekonomi) dari pengusahaan kepuh maka masyarakat pun akan
berusaha menjaganya agar dapat terus menjadi ladang penghasilan. Hasil penelitian
ini paling tidak mampu mengambarkan seperti apa dan bagaimana seharusnya
membangun sikap masyarakat pro konservasi kepuh pada khususnya dan spesies
lain pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Membangun konservasi spesies harus terlebih dahulu mengedepankan nilai
kebaikan dan kepentingan masyarakat. Fakta bahwa nilai kebenaran saat ini
sudah banyak dikesampingkan guna memenuhi kebaikan dan kepentingan
masyarakat. Bahasa konservasi bukan hanya mengharap perhatian dan
kepedulian masyarakat untuk hanya menjaga dan melindungi (nilai kebenaran
bahwa sepatutnya dilindungi dan dijaga) namun lebih penting dalam
membangun konservasi spesies, harus mengutamakan nilai kebaikan dan
kepentingan masyatakat tersebut. Bila dikembalikan pada pilar konservasi maka
pilar pemanfaatan yang berkelanjutan harus dikedepankan sebagai bahasa
konservasi agar lebih diterima dan didukung masyarakat.
2. Bila dicermati kelangkaan dan kepunahan keanekaragaman hayati saat ini terjadi
karena ada ketimpangan antara kebutuhan dan keinginan manusia dengan daya
dukung alam dalam menyediakan sumber daya. Saat ini upaya konservasi
spesies terkesan pasif dengan menunggu kepedulian/partisipasi masyarakat
untuk menjaga, melindungi, mengawetkan tanpa dapat memanfaatkan apa yang
dijaga dan dilindungi. Fakta lainnya bahwa jumlah tumbuhan langka atau
terancam punah terus bertambah. Terdapat sekitar 240 spesies tumbuhan
dinyatakan langka, sebagian besar merupakan spesies budidaya. Paling sedikit
52 spesies anggrek, 11 spesies rotan, 9 spesies bambu, 9 spesies pinang, 6 spesies
durian, 4 spesies pala, 3 spesies mangga termasuk langka (Mogea et al. 2001).
Selain itu sebanyak 44 spesies tumbuhan obat dikategorikan langka (Zuhud
2001). Membaca data ini maka perlu dibangun paradigma konservasi yang
mengedepankan kebutuhan dan keinginan masyarakat (pemanfaatan yang
berkelanjutan).
3. Membangun sikap konservasi spesies bukan sekedar memberi dana/uang
kemudian semua urusan akan selesai. Melainkan menjelaskan apa saja peluang
ekonomi, potensi uang yang akan didapat saat seseorang mengkonservasi
sumberdaya yang ada (bioprospeksi). Nilai bioprospeksi dari sumberdaya alam
yang diolah menjadi modal kuat dalam membangun sikap masyarakat untuk pro
terhadap konservasi keanekaragaman hayati Indonesia.
64
Faktor eksternal
a. Kepuh mulai jarang ditemukan
b. Masih banyaknya penebangan kayu
c. Kemiri sebagai kompetitor kepuh, bersaing dalam penggunaan sebagai bumbu
masak
d. Bahan dari kepuh memiliki nilai ekonomi tinggi “diperjualbelikan”
e. Image angker, keramat dan penuh mistik melekat pada pohon kepuh
f. Kepuh akan ditanam oleh masyarakat bila disediakan bibit dan uang
pemeliharaan
g. Masyarakat akan menanam saat mengetahui manfaat kepuh
h. Kepuh merupakan tumbuhan khas Sumbawa yang perlu dilestarikan
Faktor internal dan eksternal seperti tersaji di atas diperoleh dari hasil
wawancara, survey lapang dan kajian pustaka. Faktor internal dan eksternal dalam
upaya konservasi kepuh ini kemudian dinilai dengan menggunakan konversi skala
Likert secara berimbang. Nilai ini kemudian dianggap sebagai bobot untuk
memudahkan dalam penilaian. Kriteria dengan bobot 3 mendapatkan nilai 1, bobot
4 mendapatkan nilai 2. Untuk membedakan nilai kelemahan untuk faktor internal
dan ancaman untuk faktor eksternal bertanda negatif (-), sedangkan nilai kekuatan
untuk faktor internal dan peluang pada faktor eksternal bertanda positif (Tabel 14).
65
7.3
W S
Kekuatan dan peluang ini bukan hanya pada indikatornya namun di lokasi
mana setiap indikator kekuatan dan peluang tersebut dapat maksimal dilaksanakan.
Dengan memilih lokasi yang tepat yaitu dominan pengetahuan atau pemanfaatan
tentang kepuh serta pasar yang sudah ada maka strategi konservasi kepuh akan lebih
efektif dan efisien dilaksanakan. Berdasarkan kriteria inilah kemudian
dipertimbangkan bahwa lokasi awal pengembangan kepuh dilaksanakan di
Kec. Empang. Jumlah masyarakat di kecamatan ini yang mengetahui dan
memanfaatkan kepuh lebih banyak dari pada kecamatan lainnya, selain itu wujud
ekonomi nyata kepuh dengan diperjualbelikan hanya ditemukan di Kec. Empang.
Aspek siapa yang menjadi agen konservasi juga tidak kalah penting.
Berdasarkan pemetaan demografi masyarakat bahwa profesi petani (orang yang
bekerja di sawah, kebun dan ladang) lebih banyak interaksinya dan pengetahuannya
tentang kepuh, maka sasaran utama yang menjadi agen penggerak/motor setiap
rencana aksi konservasi kepuh ialah para petani. Berawal dari agen
penggerak/motor inilah rencana aksi akan berjalan efektif dan efisien.
Kegiatan pendampingan dan penyuluhan juga menjadi penting dilakukan
sebagai langkah sistematik terhadap setiap rencana aksi yang dilaksanakan.
Pendampingan dan penyuluhan ini dapat dilakukan oleh pihak terkait seperti BP4K
(Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) Kab.
Sumbawa melalui BP3K Kec. Empang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kab. Sumbawa, Dinas Pertanian Kab. Sumbawa, Perguruan tinggi lokal, IPB
(selaku perguruan tinggi di bidang pertanian dalam arti luas) serta pihak terkait
lainnya. Berawal dari berbagai pertimbangan inilah maka rencana aksi akan
berjalan lebih baik. Beberapa rencana aksi konservasi kepuh yang dapat diterapkan
dengan strategi S-O:
67
Simpulan
1. Kondisi pertumbuhan populasi kepuh tidak berjalan normal. Total populasi yang
ditemukan di lapangan berjumlah 169 individu (65 semai, 5 pancang, 14 tiang,
85 pohon). Jumlah ini bila dibandingan dengan luas wilayah yang dimungkinkan
menjadi habitat kepuh maka kerapatannya tergolong rendah. Regenerasi kepuh
mengalami masalah pada pertumbuhan semai ke pancang. Jumlah individu pada
tingkat pancang relatif tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan lainnya.
Berdasarkan asosiasi interspesifik, kepuh relatif tidak berasosiasi dengan spesies
manapun. Kondisi populasi kepuh berdasarkan jumlah serta pola sebaran saat ini,
sangat rentan terhadap ancaman kepunahan baik karena serangan hama, aksi
illegal logging maupun alih fungsi lahan.
2. Berdasarkan aspek habitat, kepuh pada dasarnya tidak memiliki karakteristik
khusus berkaitan tentang pemilihan habitat. Kepuh dapat tumbuh di berbagai
ketinggian, kelerengan bahkan jenis tanah baik yang subur maupun tanah yang
kurang subur seperti tanah kapur. Hanya saja kepuh membutuhkan cukup air
pada awal pertumbuhan semai dan memerlukan cukup matahari saat semakin
membesar. Kepuh di Kab. Sumbawa ditemukan, baik tumbuh pada ketinggian
0 - 400 mdpl, kelerengan datar dan landai, curah hujan sedikit hingga sedang
dengan kisaran kelembaban 74% - 86%. Spesies ini dapat tumbuh di berbagai
tipe tutupan lahan. Sebagian besar kepuh yang ditemukan berada di lahan milik
masyarakat (pribadi). Kondisi ini disatu sisi menjadikan kepuh aman terhadap
aksi illegal logging, namun disisi lain menjadi ancaman mengingat perhatian
atau minat masyarakat terhadap upaya konservasi kepuh saat ini masing kurang
(relatif tidak diurus).
3. Kearifan lokal masyarakat Sumbawa tentang kepuh dapat dilihat saat tumbuhan
ini turut melengkapi kebutuhan pangan, obat-obatan, bahan bakar nabati dan
lain-lain. Dalam bidang pangan kepuh digunakan sebagai bumbu masak, bahan
pembuatan kripik dan berbagai jenis makanan ringan lainnya. Pemanfaatan
sebagai obat, kepuh diyakini dapat mengobati penyakit non medis maupun
medis, mulai dari guna-guna, sihir maupun penyakit seperti malaria hingga
kanker. Adapun pemanfaatan kepuh sebagai bahan bakar nabati, masyarakat
biasa menggunakan ranting kayu kepuh sebagai kayu bakar, biji untuk membuat
minyak serta cangkang (kulit) buah sebagai arang. Kepuh oleh masyarakat
Sumbawa juga digunakan untuk beberapa keperluan lainnya seperti perhiasan,
bahan bangunan, upacara adat, kerajinan tangan, permainan tradisional, pakan
ternak, jasa lingkungan sampai dengan kesenian tradisional seperti lawas.
Kearifan lokal masyarakat Sumbawa terkait kepuh kini hanya bersisa pada
kalangan tertentu dan di kecamatan tertentu saja. Sudah tidak banyak dari
masyarakat Sumbawa yang memanfaatkan kepuh.
4. Pendekatan/strategi konservasi kepuh dapat diawali dengan pemetaan stimulus
yang mempengaruhi sikap masyarakat pro konservasi kepuh. Stimulus ini
diantaranya nilai-nilai kebenaran (stimulus alamiah), kepentingan (stimulus
manfaat) dan kebaikan (stimulus religius). Berdasarkan tiga pendekatan ini, nilai
yang paling menonjol ialah stimulus religius rela dan manfaat atau nilai-nilai
70
yang berhubungan dengan kebaikan dan kepentingan yang ada pada masyarakat.
Sasaran masyarakat, agen penggerak/motor serta kegiatan pendampingan, juga
menjadi point penting dalam membangun konservasi kepuh. Sebelum rencana
aksi (program) dijalankan, maka aspek-aspek ini perlu diperhatikan lebih dulu.
Sasaran masyarakat dalam konservasi kepuh haruslah dipilih dari masyarakat
yang memiliki interaksi dan pengetahuan lebih banyak tentang kepuh, begitu
juga dengan keberadaan potensi pasar. Fakta bahwa Kec. Empang merupakan
satu-satunya kecamatan yang ditemukan potensi pasar kepuh dan masyarakatnya
banyak mengetahui tentang kepuh, sangat baik sebagai awalan dalam
pelaksanaan rencana aksi (program) konservasi kepuh. Adapun agen
penggerak/motor pelaksanaan rencana aksi ini dapat diawali oleh kelompok
profesi petani (bertani, berkebun dan berladang) yang berdasarkan hasil survey
lebih banyak interaksi dan pengetahuannya tentang kepuh. Begitu juga kegiatan
pendampingan oleh pihak terkait baik pemda dan perguruan tinggi sebagai upaya
peningkatkan dan penguatkan kapasitas SDM tentang kepuh yaitu tentang
budidaya, pemanenan hingga pengolahan menjadi produk ekonomi kreatif.
Beberapa rencana aksi (program) yang dapat dijalankan ialah pengembangan
budidaya kepuh (nursery), pengolahan bahan kepuh menjadi produk industri
baik skala rumah tangga maupun unit yang lebih besar, serta sosialisasi dan
publikasi nilai manfaat kepuh pada unit yang lebih luas. Secara
berkesinambungan kegiatan sosialisasi dengan mengedepankan bahasa bahwa
dalam regenerasi khususnya penyebaran biji, pohon kepuh memerlukan bantuan
manusia. Disisi lain, pendekatan ekonomi juga perlu dibahasakan yaitu spesies
ini memiliki nilai ekonomi penting yang dapat meningkatkan pendapatan atau
penghasilan masyarakat. Cara-cara ini secara langsung dapat mewujudkan
konservasi kepuh di dunia nyata.
Saran
Penyebarluasan arti penting dan manfaat kepuh (Sterculia foetida L.) sebagai
tumbuhan multiguna dan tumbuhan terancam punah pada masyarakat luas
merupakan prioritas yang harus dilakukan. Penelitian-penelitian lanjutan terutama
valuasi ekonomi, teknik budidaya dan teknologi tepat guna dalam peningkatan
peluang hidup pada kepuh menjadi penting sebagai langkah lainnya dalam upaya
konservasi kepuh.
Secara umum, pengelolaan sumberdaya alam ke depan harus merangkum
nilai-nilai kebenaran (stimulus alamiah), kepentingan (stimulus manfaat) dan
kebaikan (stimulus religius rela) pada masyarakat setempat. Hanya dengan cara ini
maka konservasi dapat berjalan bersama dengan masyarakat. Konservasi tanpa
peran aktif masyarakat laksana hasrat ingin memeluk gunung namun tangan tak
sampai. Jumlah petugas kehutanan saat ini, belum memadai bila dibandingan
dengan kawasan yang dijaga begitu luas. Maka itu peran masyararakat mutlak
diperlukan sebagai sentra pengelolaan hutan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta (ID): Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Indriyanto. 2005. Dendrologi. Bandar Lampung (ID): Universitas Lampung.
Ken KKW. 2013. Partial least squares structural equation modeling (PLS-SEM)
techniques using smart PLS. Marketing Bulletin. 2013 (24): 1.
Krebs CJ. 1998. Ecological Methodology (Second Edition). New York (US):
Addison-Welsey Educational Publishers.
Kudle KR, Donda MR, Merugu R, Prashanthi, Kudle MR, Rudra P. 2013. Green
sythesis of silver nanoparticles using water soluble gum of Sterculia foetida
and evaluation of its antimicrobial activity. American Journal of PharmTech
Research. 4 (4): 563-568.
Latan H, Ghozali I. 2012. Partial Least Squares Konsep, Teknik dan Aplikasi Smart
PLS 2.0 m3 untuk Penelitian Empiris. Semarang (ID): Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and
Computing. Singapore (SG): John Wiley and Sons.
Manivannan E, Kothai R, Arul B, Rajaram S. 2011. In-vitro antioxidant properties
of Sterculia foetida L.. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and
Chemical Sciences. 2 (3): 43-52.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta (ID):
Bumi Aksara.
Mega IM, Dibia IN, Adi IGPR, Kusmiyarti TB. 2010. Buku Ajar Klasifikasi Tanah
dan Kesesuaian Lahan. Denpasar (ID): Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.
Mogea JP, D Gandawidjaja, H Wiriadinata, RE Nasution, Irawati. 2001. Seri
Panduan Lapangan Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor (ID): Puslitbang
Biologi-LIPI.
National Tropical Botanical Garden. 2003. National Plant Database: Collections
and Resources. United States (US): National Tropical Botanical Garden.
Njurumana GND. 2011. Ekologi dan pemanfaatan nitas (Sterculia foetida L.) di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Hutan. 8 (1): 35-44.
Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Samingan Tj, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada Univ. Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology
3rd Edition.
Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Agroforestree
Database: A Tree Reference and Selection Guide Version 4.0. Kenya (KE):
World Agroforestry Centre.
Peraturan Menteri Kehutanan P.19/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian
Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada
Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi.
Pitojo S. 2005. Benih Kacang Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Prihatin DSH. 2000. Pertumbuhan stek pucuk dan stek batang kepuh (Sterculia
foetida L.) pada berbagai media dan dosis zat pengatur tumbuh rootone- f
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
73
Purwati RD. 2010. Kepuh (Sterculia foetida L.) tanaman penghasil bahan bakar
nabati. Infotek perkebunan. 2 (4): 13.
Raba M. 2002. Fakta-Fakta tentang Samawa. Sumbawa (ID): Yayasan Pemuda
Kreatif Sumbawa dan Pemda Kab. Sumbawa.
Raja TAR, Reddy RVR, Rao UM. 2014. Evaluation of anti convulsant effect of
Sterculia foetida (Pinari) in pentylenetetrazole (PTZ) and mes induced
convulsions in albino rats. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences. 3 (3): 1898-1907.
Rangkuti F. 1998. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Rengga WDP, Istiani W. 2011. Sintesis metil ester dari minyak goreng bekas
dengan pembeda jumlah tahapan transesterifikasi. Jurnal Kompetensi Teknik.
2 (2): 79-87.
Salerno G, Guarrera PM, Caneva G. 2005. Agricultural, domestic and handicraft
folk uses of plants in the tyrrhenian sector of basilicata (Italy). Journal of
Ethnobiology and Ethnomedicine. (1): 2.
Sanchez G. 2013. PLS path modeling with R Trowchez Editions. Berkeley, 2013.
http://www.gastonsanchez.com/PLS Path Modeling with R.pdf.
Santoso B. 2011. Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dalam berbagai konsentrasi
dan lama perendaman terhadap pertumbuhan stek kepuh (Sterculia foetida L.)
[skripsi]. Surakarta (ID): Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Sari ABT. 2007. Proses pembuatan biodiesel minyak jarak pagar (Jatropha curcas
L.) dengan transesterifikasi satu dan dua tahap [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sastroamidjojo S. 1997. Obat Asli Indonesia. Jakarta (ID): Dian Rakyat.
Setiawan E. 2009. Kajian hubungan unsur iklim terhadap produktivitas cabe jamu
(Piper retrofractum Vahl) di Kabupaten Sumenep. Agrovigor. 2 (1): 1-7.
Sevilla CG, Jessu AO, Twila GP, Bella PR, Gaberiel GU. 1993. Pengantar Metode
Penelitian. Tuwu A, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press.
Simamora B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta (ID): PT Gramedia
Pustaka Utama.
Singh S, Vidyasagar GM. 2014. Green synthesis, characterization and antimicrobial
activity of silver nanoparticles by using Sterculia foetida L. young leaves
aqueous extract. International Journal of Green Chemistry and Bioprocess. 4
(1): 1-5.
Soekarman, Riswan S. 1992. Status Pengetahuan Etnobotani di Indonesia.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Cisarua, 19-20
Februari 1992. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Departemen Pertanian RI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan
Perpustakaan RI. hlm: 1-7.
Soerawidjaja TH, Brodjonegoro TP, Reksowardoyo IK. 2005. Memobilisasi upaya
penegakkan industri biodiesel di Indonesia [Tesis]. Bandung (ID): Institut
Teknologi Bandung.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID):
Departemen Kehutanan - Institut Pertanian Bogor.
Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. United States (US): Department
of Agriculture Natural Resources Conservation Service.
74
Stimulus Indikator
1. Biji kepuh yang hendak ditanam baik dilakukan pada musim
Alamiah
hujan
2. Kepuh tidak memilih tempat tumbuh, ia dapat tumbuh di
berbagai tempat
3. Untuk menunggu kualitas kayu terbaik kita harus menunggu
puluhan tahun
4. Anakan kepuh tumbuh tidak jauh dari induknya
5. Pohon kepuh berperan penting bagi penyedia air tanah dan
penjaga struktur tanah dari erosi
6. Pohon kepuh sekalipun diawal diketahui banyak anakan yang
tumbuh di sekitar induknya, namun jarang dari anakan tersebut
yang bertahan sampai besar
7. Masyarakat meyakini bahwa kepuh tumbuh merata di daerah
pesisir utara Kab. Sumbawa namun dalam jumlah sedikit (1-2
individu)
8. Hanya di kubur kita sering melihat pohon kepuh tumbuh
9. Pohon kepuh saat ini sudah jarang ditemukan di Kab.
Sumbawa
10. Musim berbuah kepuh berlangsung pada saat musim bergabah
(musim kering)
11. Pohon kepuh, baik tumbuh saat berada tidak jauh dari sumber
air seperti sungai
12. Jarang tumbuh pohon lain saat pohon kepuh tumbuh
13. Pohon kepuh menjadi habitat berbagai jenis satwa seperti
bajing, burung, kalong dan lebah madu
14. Pohon kepuh tidak banyak ditanam karena manfaat utamanya
sebagai bumbu masak (sira wir) saat ini masih bersaing dengan
buah kemiri yang jauh lebih banyak tumbuh
15. Pohon lita (Alstonia sp.) lebih banyak tumbuh dari pada pohon
kepuh
16. Pohon kepuh habis karena pada ditebang oleh orang
1. Kayu kepuh baik digunakan untuk konstruksi rumah dan
Manfaat
produk rumah tangga seperti meja, lemari, dll
2. Pohon kepuh baik kulit kayu, daun, akar dan cangkang
buahnya dapat berfungsi sebagai obat medis dan non medis
seperti malaria (kulit kayu dan daun) , kebabas dan kesikal
(cangkang), muntah darah (kulit kayu), kencing batu (akar),
tepak tau ode (cangkang), keramas (daun), linting bumi
(cangkang), obat kuat (herba anakan), bisa ular (kayu) dan
beberapa penyakit lainnya
3. Buah kepuh baik untuk bumbu masak yakni campuran singang
dan sepat
78
Stimulus Indikator
4. Buah kepuh menjadi bahan dasar sambal Sumbawa yakni sira
Manfaat
wir
5. Minyak yang ada pada buah kepuh digunakan menjadi dila lilit
dan wajib ada di berbagai prosesi adat di Sumbawa seperti
besunat (sunatan), biso tian (syukuran tujuh bulanan), tama
lamung (gadis akil balik), sempe buluh (akikah) dan pengantan
(nikah)
6. Kulit cangkang dan ranting kepuh tidak bagus digunakan
sebagai arang (bakar ikan dll)
7. Tajuknya yang lebar, cocok di tanam di kebun sebagai tempat
berteduh ternak dari panas matahari
8. Buahnya dimakan layaknya rasa makan kacang
9. Akar kepuh kerap ditaruh di “saka” saat acara kerapan kerbau
berlangsung
10. Kayu kepuh tidak bagus digunakan sebagai bahan pembuatan
perahu
11. Buahnya sering digunakan pada permainan anak kecil seperti
main “banga”, gangsing dan peluit
12. Bahan dari kepuh dapat menjadi ajimat pelindung bagi yang
memakainya
13. Bahan yang berasal dari kepuh menjadi kewajiban isi buka
bura (tempat obat) orang Sumbawa di masa lalu
14. Produk kepuh yakni kayu, buah dan sira wir menjadi komoditi
ekonomi yang diperjualbelikan
15. Bahan utama racikan minyak Sumbawa, berasal dari kulit
kepuh
16. Kayu kepuh dapat dijadikan hiasan rumah dan perhiasan
seperti mata cincin
17. Lebih enak rasa buah kemiri dari pada buah kepuh sebagai
bahan bumbu singang dan sepat
Religius
1. Untuk penyebaran bijinya, pohon kepuh perlu bantuan manusia
Rela
2. Pohon kepuh yang besar menjadi tempat seserahan sesaji bagi
mereka yang bernazar atau terkena penyakit non medis
3. Image angker, keramat dan penuh mistik melekat pada pohon
kepuh
4. Karena image mistiknya, masyarakat cenderung tidak mau
tahu atau berinteraksi dengang pohon kepuh dengan dalih
“pamali”
5. Pohon kepuh penting untuk anak cucu
6. Pohon kepuh membutuhkan bantuan manusia untuk
percepatan dan peningkatan persentasi hidup anakan
7. Bila bibitnya dibagi oleh pemerintah disertai dengan dana
untuk perawatannya maka masyarakat mau menanam kepuh
79
Stimulus Indikator
8. Karena semakin banyak kayu-kayu besar dan kuat saat ini yang
Religius
dilarang, maka keberadaan kepuh menjadi alternative dalam
Rela
pemenuhan kebutuhan akan kayu tersebut
9. Bila masyarakat tahu manfaat besar dari pohon kepuh,
misalnya penyakit mematikan orang pasti akan tanam pohon
ini
10. Kepuh merupakan tumbuhan khas yang mungkin tidak
ditemukan di daerah lain sehingga harus dilestarikan
11. Bila pemerintah memfasilitasi dengan memberikan bibit ini,
maka masyarakat akan mau menanamnya
1. Seberapa besar perhatian anda untuk tahu tentang kepuh
Sikap (bentuk pohon, tempat tumbuh, manfaat)
(tend to 2. Seberapa besar perhatian anda untuk memahami tentang
act) kepuh, baik masalah, manfaat, cara tumbuh, nilai ekonomis
dan ekologis
3. Seberapa besar perhatian anda untuk menyelesaikan masalah
kepuh seperti kelangkaan, penebangan dan lain-lain
4. Apakah anda tertarik untuk tahu tentang tumbuhan kepuh
5. Apakah anda tertarik mendalami tumbuhan ini
6. Apakah anda tertarik untuk menyelesaikan masalah
kelangkaan dan penebangan kepuh di hutan
7. Apakah anda senang bila saat mengetahui tumbuhan kepuh
(baik informasi bentuk pohon, tempat tumbuh, manfaat dan
lain-lain)
8. Apakah anda senang bila akhirnya telah banyak memahami
tumbuhan kepuh baik masalah yang dihadapi, nilai manfaat
ekonomis dan ekologis, cara tumbuh dan lain-lain
9. Apakah anda senang saat mampu menyelesaikan persoalan
berkaitan dengan kepuh
Lampiran 4 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai obat
Lampiran 4 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai obat (lanjutan)
----------------------------------------------------------
BLOCKS DEFINITION
Block Type Size Mode
1 alamiah Exogenous 10 A
2 manfaat Exogenous 13 A
3 rela Exogenous 10 A
4 sikap Endogenous 9 A
----------------------------------------------------------
BLOCKS UNIDIMENSIONALITY
Mode MVs C.alpha DG.rho eig.1st eig.2nd
alamiah A 10 0.882 0.904 4.86 1.08
manfaat A 13 0.922 0.934 6.84 1.13
rela A 10 0.905 0.922 5.41 1.16
sikap A 9 0.873 0.900 4.54 1.26
----------------------------------------------------------
OUTER MODEL
weight loading communality redundancy
alamiah
1 al1 0.1725 0.705 0.497 0.000
1 al2 0.1498 0.711 0.506 0.000
1 al3 0.1353 0.707 0.500 0.000
1 al4 0.1626 0.684 0.468 0.000
1 al6 0.1465 0.695 0.483 0.000
1 al7 0.1330 0.716 0.513 0.000
1 al8 0.1903 0.758 0.574 0.000
1 al9 0.1245 0.658 0.433 0.000
1 al12 0.1057 0.633 0.400 0.000
1 al13 0.1095 0.685 0.469 0.000
105
----------------------------------------------------------
CROSSLOADINGS
alamiah manfaat rela sikap
alamiah
1 al1 0.70523 0.476 0.1748 0.373
1 al2 0.71100 0.419 0.1604 0.324
1 al3 0.70679 0.266 0.0886 0.293
1 al4 0.68381 0.414 0.1787 0.352
1 al6 0.69473 0.535 0.0994 0.317
1 al7 0.71645 0.412 0.1721 0.288
1 al8 0.75760 0.513 0.2008 0.411
106
----------------------------------------------------------
CORRELATIONS BETWEEN LVs
alamiah manfaat rela sikap
alamiah 1.000 0.613 0.209 0.456
manfaat 0.613 1.000 0.467 0.757
rela 0.209 0.467 1.000 0.745
sikap 0.456 0.757 0.745 1.000
----------------------------------------------------------
SUMMARY INNER MODEL
Type R2 Block_Communality Mean_Redundancy AVE
alamiah Exogenous 0.000 0.484 0.000 0.484
manfaat Exogenous 0.000 0.526 0.000 0.526
rela Exogenous 0.000 0.540 0.000 0.540
sikap Endogenous 0.771 0.503 0.388 0.503
----------------------------------------------------------
GOODNESS-OF-FIT
[1] 0.6298
----------------------------------------------------------
TOTAL EFFECTS
relationships direct indirect total
1 alamiah -> manfaat 0.0000 0 0.0000
2 alamiah -> rela 0.0000 0 0.0000
3 alamiah -> sikap 0.0504 0 0.0504
4 manfaat -> rela 0.0000 0 0.0000
5 manfaat -> sikap 0.4898 0 0.4898
6 rela -> sikap 0.5059 0 0.5059
---------------------------------------------------------
BOOTSTRAP VALIDATION
weights
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah-al1 0.1725 0.1736 0.03989 0.1195 0.2515
alamiah-al2 0.1498 0.1513 0.03165 0.1006 0.2148
alamiah-al3 0.1353 0.1333 0.03165 0.0657 0.1926
alamiah-al4 0.1626 0.1624 0.03123 0.1122 0.2313
alamiah-al6 0.1465 0.1480 0.03115 0.0936 0.2142
alamiah-al7 0.1330 0.1322 0.03445 0.0606 0.1927
alamiah-al8 0.1903 0.1925 0.03848 0.1388 0.2720
alamiah-al9 0.1245 0.1228 0.03396 0.0579 0.1809
alamiah-al12 0.1057 0.1034 0.04118 0.0183 0.1751
alamiah-al13 0.1095 0.1068 0.03737 0.0366 0.1676
manfaat-ma2 0.1205 0.1206 0.01173 0.0980 0.1444
manfaat-ma3 0.0786 0.0782 0.01593 0.0471 0.1088
manfaat-ma4 0.1055 0.1054 0.01001 0.0852 0.1252
manfaat-ma5 0.0713 0.0714 0.01566 0.0403 0.0991
manfaat-ma6 0.1227 0.1221 0.00869 0.1058 0.1397
108
weights
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
manfaat-ma7 0.1115 0.1115 0.01192 0.0894 0.1362
manfaat-ma8 0.1165 0.1167 0.01112 0.0946 0.1413
manfaat-ma10 0.1144 0.1136 0.00870 0.0965 0.1326
manfaat-ma11 0.1164 0.1166 0.00769 0.1011 0.1320
manfaat-ma13 0.1051 0.1054 0.01236 0.0816 0.1292
manfaat-ma14 0.1091 0.1088 0.00858 0.0925 0.1249
manfaat-ma16 0.1109 0.1107 0.01056 0.0901 0.1309
manfaat-ma17 0.0872 0.0869 0.01176 0.0637 0.1099
rela-re1 0.1529 0.1529 0.01130 0.1327 0.1768
rela-re2 0.1421 0.1419 0.01190 0.1192 0.1649
rela-re3 0.1430 0.1432 0.01239 0.1207 0.1687
rela-re4 0.1462 0.1462 0.01179 0.1262 0.1723
rela-re5 0.1361 0.1362 0.01155 0.1141 0.1594
rela-re7 0.1304 0.1305 0.01469 0.1031 0.1603
rela-re8 0.0944 0.0945 0.01252 0.0684 0.1167
rela-re9 0.1605 0.1608 0.01246 0.1394 0.1875
rela-re10 0.1439 0.1441 0.01182 0.1220 0.1677
rela-re11 0.1080 0.1077 0.01188 0.0830 0.1306
sikap-mi1 0.1454 0.1442 0.01512 0.1103 0.1712
sikap -mi2 0.1235 0.1217 0.01632 0.0894 0.1505
sikap -mi3 0.1386 0.1384 0.01225 0.1126 0.1616
sikap -mi4 0.1446 0.1450 0.01166 0.1228 0.1690
sikap -mi5 0.1710 0.1715 0.00959 0.1545 0.1922
sikap -mi6 0.1424 0.1421 0.01180 0.1189 0.1649
sikap -mi7 0.1811 0.1817 0.01203 0.1605 0.2084
sikap -mi8 0.1730 0.1741 0.01376 0.1493 0.2027
sikap -mi9 0.1856 0.1854 0.01336 0.1614 0.2130
loadings
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah-al1 0.705 0.702 0.0591 0.603 0.782
alamiah-al2 0.711 0.706 0.0604 0.590 0.790
alamiah-al3 0.707 0.701 0.0526 0.594 0.784
alamiah-al4 0.684 0.676 0.0622 0.557 0.783
alamiah-al6 0.695 0.689 0.0636 0.557 0.787
alamiah-al7 0.716 0.707 0.0641 0.568 0.803
alamiah-al8 0.758 0.756 0.0502 0.669 0.823
alamiah-al9 0.658 0.649 0.0779 0.494 0.774
alamiah-al12 0.633 0.623 0.0752 0.461 0.735
alamiah-al13 0.685 0.677 0.0666 0.540 0.774
manfaat-ma2 0.786 0.785 0.0351 0.708 0.843
manfaat-ma3 0.507 0.506 0.0881 0.323 0.668
manfaat-ma4 0.798 0.796 0.0384 0.715 0.862
manfaat-ma5 0.534 0.530 0.0785 0.366 0.665
manfaat-ma6 0.815 0.814 0.0272 0.755 0.866
manfaat-ma7 0.637 0.637 0.0483 0.540 0.721
109
loadings
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
manfaat-ma8 0.700 0.699 0.0364 0.624 0.770
manfaat-ma10 0.748 0.746 0.0392 0.661 0.816
manfaat-ma11 0.822 0.821 0.0348 0.744 0.882
manfaat-ma13 0.676 0.675 0.0582 0.555 0.782
manfaat-ma14 0.837 0.834 0.0344 0.764 0.892
manfaat-ma16 0.823 0.821 0.0346 0.748 0.880
manfaat-ma17 0.640 0.638 0.0579 0.509 0.739
rela-re1 0.806 0.805 0.0338 0.732 0.865
rela-re2 0.752 0.751 0.0420 0.663 0.827
rela-re3 0.712 0.711 0.0352 0.637 0.776
rela-re4 0.737 0.735 0.0352 0.659 0.794
rela-re5 0.758 0.756 0.0395 0.677 0.825
rela-re7 0.645 0.644 0.0574 0.522 0.740
rela-re8 0.698 0.695 0.0445 0.597 0.769
rela-re9 0.775 0.775 0.0307 0.709 0.830
rela-re10 0.714 0.713 0.0412 0.623 0.784
rela-re11 0.743 0.739 0.0488 0.633 0.822
sikap -mi1 0.602 0.599 0.0649 0.455 0.710
sikap -mi2 0.510 0.504 0.0846 0.321 0.657
sikap -mi3 0.729 0.725 0.0536 0.612 0.817
sikap -mi4 0.747 0.744 0.0420 0.656 0.815
sikap -mi5 0.807 0.805 0.0298 0.744 0.860
sikap -mi6 0.663 0.661 0.0555 0.542 0.760
sikap -mi7 0.791 0.790 0.0338 0.721 0.851
sikap -mi8 0.791 0.790 0.0378 0.710 0.853
sikap -mi9 0.689 0.689 0.0583 0.566 0.790
paths
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah -> sikap 0.0504 0.0616 0.0488 -0.0434 0.150
manfaat -> sikap 0.4898 0.4855 0.0689 0.3526 0.623
rela -> sikap 0.5059 0.5068 0.0616 0.3758 0.615
rsq
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
sikap 0.771 0.783 0.0305 0.723 0.84
total.efs
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah -> manfaat 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.000
alamiah -> rela 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.000
alamiah -> sikap 0.0504 0.0616 0.0488 -0.0434 0.150
manfaat -> rela 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.000
manfaat -> sikap 0.4898 0.4855 0.0689 0.3526 0.623
rela -> sikap 0.5059 0.5068 0.0616 0.3758 0.615
RIWAYAT HIDUP