Anda di halaman 1dari 128

KONSERVASI KEPUH (Sterculia foetida L.

) DI KABUPATEN SUMBAWA
NUSA TENGGARA BARAT

ARYA ARISMAYA METANANDA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Kepuh


(Sterculia foetida L.) di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Arya Arismaya Metananda


NIM E351124011
RINGKASAN

ARYA ARISMAYA METANANDA. Konservasi Kepuh (Sterculia foetida L.) di


Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh ERVIZAL AM
ZUHUD dan AGUS HIKMAT.

Kepuh merupakan tumbuhan multiguna yang mulai terancam punah.


Informasi tentang kondisi populasi dan pemanfaatan spesies ini belum banyak
tersedia. Penelitian ini disusun dengan tujuan menganalisis potensi populasi kepuh
dan karakteristik habitatnya di Kabupaten Sumbawa. Selain itu, mengidentifikasi
kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan kepuh serta merumuskan strategi
konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa.
Analisis potensi populasi kepuh meliputi klasifikasi dan morfologi, proses
pertumbuhan dan perkembangan, populasi aktual, penyebaran dan pola sebaran
serta asosiasi interspesifik. Adapun data karakteristik habitat yaitu ketinggian,
kelerengan, curah hujan dan kelembaban, tutupan lahan, status kepemilikan lahan,
jenis tanah serta komposisi dan dominansi spesies lain. Data kearifan lokal
masyarakat terdiri dari demografi responden, berbagai bentuk pemanfaatan kepuh
serta kearifan lainnya tentang kepuh. Selain itu juga dirumuskan strategi konservasi
kepuh di Kabupaten Sumbawa menggunakan analisis SWOT.
Pengumpulan data potensi populasi dan karakteristik habitat kepuh dilakukan
dengan mengeksplorasi keberadaan kepuh di 12 kecamatan serta pembuatan petak
tunggal di tiga kecamatannya yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo
Utara, dengan luas masing-masing 1 ha yang setiap petaknya terdiri dari 25 plot
berukuran 20 m X 20 m. Pemilihan lokasi penempatan petak didasarkan atas
keterwakilan (representasi) kompleksitas tutupan lahan alami di hutan. Adapun
pemilihan lokasi awal dimulainya analisis vegetasi didasarkan atas penemuan
pohon kepuh (sebagai poros tengah petak) berdasarkan hasil eksplorasi atau
keterangan masyarakat. Guna menguji bahwa luasan petak cukup mewakili areal
yang di survey juga dianalisis menggunakan kurva spesies area (KSA), yang
hasilnya menunjukkan bahwa luasan 1 ha di setiap kecamatan lebih dari cukup
mewakili vegetasi sekitar kepuh.
Data kearifan lokal masyarakat tentang kepuh diperoleh dari hasil wawancara
dengan teknik snowball sampling di tiga kecamatan yaitu di Kec. Empang,
Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara. Rata-rata responden yang diwawancarai
pada tahap ini berjumlah 26 orang (sebanyak 27 orang di Kec. Empang, 25 orang
di Kec. Lenangguar dan 26 orang di Kec. Moyo Utara). Selain itu beberapa warga
di tiga kecamatan tersebut secara acak juga diminta mengisi kuisioner berkaitan
tentang sikap masyarakat terhadap upaya konservasi kepuh. Adapun jumlah
responden pada tahap ini mengikuti rumus Slovin dengan galat sebesar 15% yaitu
45 KK di Kec. Empang, 44 KK di Kec. Lenangguar dan 44 KK di Kec. Moyo Utara.
Berdasarkan hasil eksplorasi, pembuatan petak tunggal, wawancara, overlay
peta dan kajian pustaka diperoleh bahwa kepuh memiliki laju pertumbuhan yang
cepat di awal pertumbuhan namun semakin melambat saat dewasa. Kepuh
merupakan salah satu spesies dengan penyebaran yang cukup luas, menyebar
merata di Indonesia. Spesies ini juga mendapat tekanan yang cukup besar, mulai
dari aksi illegal logging sampai alih fungsi lahan dataran rendah yang merupakan
habitat kepuh menjadi pemukiman, perkantoran dan lain-lain.
Hasil eksplorasi dan pembuatan petak tunggal, menemukan 169 individu
kepuh (65 semai, 5 pancang, 14 tiang, 85 pohon) di 12 kecamatan. Kepuh
ditemukan dengan pola sebaran mengelompok dan cenderung tidak berasosiasi
dengan spesies manapun. Berdasarkan karakteristik habitat, kepuh banyak
ditemukan pada habitat dataran rendah dan pantai di ketinggian 0 - 400 mdpl.
Kepuh tidak memiliki preferensi kelerengan tertentu untuk tumbuh, namun
karena membutuhkan cukup air sehingga kepuh lebih mudah tumbuh di areal yang
datar dan landai. Kepuh juga dapat tumbuh di areal dengan kelembaban yang
sedang dan tinggi. Beragamnya habitat serta kondisi abiotik tempat tumbuh,
menjadikan kepuh terkadang ditemukan dengan bentuk yang berbeda, baik ukuran
daun, jumlah biji serta warna pada cangkang kepuh.
Sebagian besar kepuh yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa merupakan
individu yang tumbuh di lahan milik pribadi. Kondisi ini disatu sisi menjadikan
kepuh lebih aman dari aksi illegal logging namun disisi lain akibat kurangnya
perhatian atau minat terhadap konservasi kepuh bisa jadi kepuh menjadi tidak
terurus. Berdasarkan jenis tanah, kepuh di Kabupaten Sumbawa lebih banyak
ditemukan di tanah berkapur dengan kelembaban yang rendah. Salah satu spesies
pohon yang banyak tumbuh di sekitar kepuh ialah Lagerstroemia speciosa.
Kearifan lokal masyarakat Sumbawa saat ini mulai banyak bergeser. Bila
dulu masyarakat terbiasa menggunakan kepuh sebagai bumbu masak, kini menjadi
ketidaklaziman di beberapa kecamatan. Pemanfaatan kepuh umumnya kini hanya
ditemukan di bagian selatan dan timur Kabupaten Sumbawa yaitu untuk kebutuhan
pangan, obat, bahan bakar nabati, perhiasan, bahan bangunan, upacara adat,
kerajinan tangan, permainan tradisional, pakan ternak, jasa lingkungan dan lain-lain.
Adapun demografi masyarakat yang mengetahui manfaat kepuh tersebut
didominasi oleh profesi petani dengan umur berkisar 50 - 59 tahun.
Pendekatan strategi konservasi kepuh diawali dengan melihat sikap (tend to
act), masyarakat Sumbawa terhadap kepuh. Terkait sikap, persoalan konservasi
kepuh di Sumbawa disebabkan ketidaktahuan masyarakat umum akan banyaknya
manfaat tumbuhan ini, begitu pula dengan teknik budidaya dan sumber bibit.
Persoalan-persoalan inilah yang menyebabkan tidak adanya minat masyarakat
terhadap konservasi kepuh. Dilain sisi berdasarkan hasil analisis SWOT, strategi
yang tepat diterapkan ialah strategi agresif yaitu memanfaatkan seluruh kekuatan
yang dimiliki untuk mengambil peluang yang ada.
Kekuatan konservasi kepuh ada pada beragamnya manfaat tumbuhan ini
dengan karakteristiknya yang muda tumbuh di berbagai tipe habitat. Peluang
pengembangan kepuh ialah masyarakat mau menanam kepuh selama ketersedian
bibit dapat dijamin serta adanya pandangan bahwa tumbuhan ini perlu dilestarikan.
Oleh karena itu beberapa rekomendasi (rencana aksi) yang dapat diterapkan sebagai
strategi pengembangan konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa ialah
pembangunan budidaya kepuh (nursery), pengembangan ekonomi kreatif berbahan
dasar kepuh serta sosialisasi dan publikasi manfaat kepuh. Rencana aksi ini dapat
diawali dari Kec. Empang karena masyarakatnya lebih banyak tahu dan
memanfaatkan kepuh bahkan diperjualbelikan di pasar.

Kata kunci: kepuh, konservasi, populasi, strategi, Sumbawa


SUMMARY

ARYA ARISMAYA METANANDA. Conservation of Kepuh (Sterculia foetida


L.) in Sumbawa Regency West Nusa Tenggara. Supervised by ERVIZAL AM
ZUHUD and AGUS HIKMAT.

Kepuh is a multipurpose plant that starting to extinct. Information about the


condition of population and utilization of this species has not been widely known.
This research was conducted to analyze the potential population and habitat
characteristic of kepuh in Sumbawa Regency. In addition, to identify the local
wisdom of the community on utilizing this species and to formulate the
conservation strategy of kepuh in Sumbawa Regency.
Data collection of kepuh potential population including classification and
morphology, process of the growth and development, the actual population, spread
and distribution pattern, also the interspecific association. The data of habitat
characteristics including altitude, slope, rainfall, humidity, land cover, status of land
ownership, soil type, also the domination and composition of other species. The
data of local wisdom consisting respondent demography, various utilization of
kapuh and other local wisdom of kepuh. It also was formulated a conservation
strategy of kepuh in Sumbawa using SWOT analysis.
Data collection of kepuh potential population and habitat characteristics was
conducted with exploring kepuh existence in 12 districts, also by making single
quadrats in 3 districts, (Empang District, Lenangguar District and North Moyo
District), total of sampling area of 1 ha and each plots consisting of 25 plots with
the size 20 m x 20 m. The location for plot placement was based on the
representation of the complexity of natural land cover in the forest. The choice of
start location of vegetation analysis was based on where kepuh trees found (as the
central axis plots), results of exploration or information from the community. To
test that plot sizes adequately represent area in survey were also analyzed using
species-area curve (SAC). The result shows that 1 ha area on each district is more
than enough to represent the surrounding vegetation of kepuh.
Tha data of local wisdom of kepuh was collected from the interview with
snowball sampling technique in 3 districts (Empang District, Lenangguar District
and North Moyo District). The average number of respondent in this stage is 26
people (27 people in Empang District, 25 people in Lenangguar District and 16
people in North Moyo District). In addition, some respondents in 3 districts was
chosen randomly to fill in a questionnaire about communities interest on the effort
of kepuh conservation. The number of respondents on this stage is based on slovin
formula with error at 15% which are 45 families in Empang District, 44 families in
Lenangguar District and 44 families in North Moyo District.
Based on results of exploration, single quadrat method, interviews, overlay of
maps and literature review showed that kepuh have the rate of rapid growth at the
beginning of growth but slows down when it has grown. Kepuh is one of a species
which is widespread, distributed evenly in Indonesia. This species also receives
great pressures. Starting from the illegal logging to the change of lowland-use
which is the habitat of kepuh for residential, office area, and others.
The result of exploration and single quadrat method were found 169
individuals (65 seedlings, 5 saplings, 14 poles, 85 trees) kepuh in 12 districts.
Distribution patterns of kepuh was clumped and tended not to be associated with
any other species. Based on the habitat characteristics, kepuh was many found in
lowland and coastal on the altitude 0 - 400 meters above sea level.
Kepuh does not have any preference of slope for grow, but it requires enough
water so it is more likely to grow on a flat and ramp area. Kepuh also can be grown
in areas with moderate to high humidity. The habitat diversity and abiotic condition
where kepuh found, make into kepuh has a different shapes, size of leafs, number
of seeds and the color of the shells.
Most kepuh in Sumbawa Regency was found growing in a personal land
property. This condition in one side is safer from illegal logging, but on the other
side with the lack of concern of interest on kepuh conservation leads to the
neglection of kepuh. Based on soil type, kepuh in Sumbawa Regency was more
found on lime soil with low humidity. One species likely found near kepuh is
Lagerstroemia speciosa.
The local wisdom of Sumbawa’s community is now changing. Back then,
community was familiar to use kepuh for seasoning, now it is not known anymore
in some districts. The utilization of kepuh is usually found on the southern and
eastern area of Sumbawa Regency for food, medicine, biofuel, jewelry, building
materials, traditional ceremonies, handicrafts, traditional games, animal feed,
environmental services, and others. As for the demographic of people who knows
about the utilization of kepuh is dominated by farmers with age range 50 - 59 years.
The approach of kepuh conservation strategy starts by seeing Sumbawa’s
community attitude on kepuh. Regarding the attitude, the issue of kepuh
conservation in Sumbawa was caused by the lack of knowledge about the benefits
of this species, also the cultivation technique and soure of seeds. These issues
causes the absence of interest on kepuh conservation. On other side, based on
SWOT analysis, the strategy which can be applied is aggresive strategy with the
meaning to use all power that we have to take the existing opportunities.
The power of kepuh conservation is on the diversity of its benefits and the
characteristic of this species which grows easily on various types of habitats.
Opportunity on the development of kepuh is that the community is willing to plant
this species as long as the availability of the seeds are guarenteed and the existing
perspective that this species needs to be preserved. Therefore, some
recommendation (action plan) that can be implemented as a strategy for kepuh
conservation in Sumbawa Regency is the development of kepuh cultivation
(nursery), creative economy development made from kepuh, and also publication
of kepuh benefits. This action plan can be started from Empang District because the
community has more knowledge about kepuh and already utilize it, even selling it
at the market.

Keywords: conservation, kepuh, population, strategies, Sumbawa


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONSERVASI KEPUH (Sterculia foetida L.) DI KABUPATEN SUMBAWA
NUSA TENGGARA BARAT

ARYA ARISMAYA METANANDA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Istomo, M.Si
@(@4H "*=0=H H 96=*;C%=0H *:@/H    
  H (0H %&@:%>*6H !@5&%D%H
@=%H"*6,,%;%H %;%?H
%5%H H ;E%H ;0=5%E%H*?%6%6(%H
H H 
 H

0=*>@1@0H 94*/H

950=0H *5&05&06,H



;9+H;H  ;C0G%4HH !H ;H  !'H


*>@%H 8,,9>%H

03*?%/@0H 94*/H

*>B%H ;9.%5H !>B(0H


96=*;C%=0H 09(0C*;=0>%=H ";9:03%H

;H<H A;/%7@)(06H %=F@(H!H

"%6,,%4H#20%6H H %6@%;0H  H "%6,,%4H @4@=H 






PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang
berlangsung sejak bulan Juni 2014 - Mei 2015, berjudul “Konservasi Kepuh
(Sterculia foetida L.) di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS dan
Dr Ir Agus Hikmat, M.ScF selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dr Ir Istomo, M.Si atas
masukan dan saran serta kesediaannya menjadi penguji luar dalam sidang tesis
saya. Kepada Tajuddin SH (Camat Lenangguar) dan Tata Kostara S.Sos. (Camat
Empang), ucapan terima kasih karena telah banyak membantu selama di lapangan
dan memberi izin penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016

Arya Arismaya Metananda


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Kerangka Pemikiran 4
METODE 7
Waktu dan Lokasi Penelitian 7
Alat dan Bahan 7
Jenis Data yang Dikumpulkan 8
Metode Pengumpulan Data 9
Metode Analisis Data 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Potensi Populasi Kepuh 17
Karakteristik Habitat Kepuh 30
Etnobotani Kepuh 42
Strategi Konservasi Kepuh 60
SIMPULAN DAN SARAN 70
Simpulan 70
Saran 71
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 76
DAFTAR TABEL

1 Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulan
data kepuh 8
2 Kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies 13
3 Konsep matriks SWOT 16
4 Pola sebaran kepuh di tiga kecamatan 26
5 Asosiasi kepuh di lokasi penelitian 28
6 Data curah hujan dalam mm/tahun di lokasi penelitian 32
7 Nilai INP tiga tertinggi di lokasi penelitian 40
8 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan komunitas pada tiga habitat
(kecamatan) di Kab. Sumbawa 42
9 Bagian kepuh yang digunakan untuk berbagai keperluan di
Kab. Sumbawa 44
10 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kulit batang kepuh
sebagai obat 50
11 Perbandingan biodisel biji kepuh dengan minyak nabati lainnya 51
12 Sifat fisiko-kimia kepuh dan jarak 52
13 Nilai AVE, Cronbach’s Alpha, dan R2 peubah laten 62
14 Penilaian faktor internal dan eksternal dalam konservasi kepuh 66

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 6


2 Lokasi penelitian di Kab. Sumbawa 7
3 Sketsa plot inventarisasi yang dibuat serta penempatannya 9
4 Diagram analisis SWOT 16
5 Pertumbuhan kepuh: (A). awal diambil (20 cm); (B). setelah tiga bulan
(30 cm) 19
6 Tahapan pertumbuhan dan perkembangan kepuh 21
7 Potensi kepuh (tiang dan pohon) berdasarkan kelas diameter 22
8 Populasi kepuh pada masing-masing tingkat pertumbuhan 23
9 Hama penyakit pada batang kepuh 24
10 Peta sebaran kepuh berdasarkan kecamatan di Kab. Sumbawa 25
11 Pola sebaran kepuh di Kecamatan Empang 27
12 Habitat kepuh berdasarkan ketinggian di Kab. Sumbawa 30
13 Peta kelas lereng di Kab. Sumbawa 31
14 Penyebaran kepuh berdasarkan tutupan lahan di Kab. Sumbawa 33
15 Proporsi habitat kepuh berdasarkan tipe tutupan lahan di
Kab. Sumbawa 34
16 Sistem pembukaan lahan kering dengan cara membakar di
Kab. Sumbawa 35
17 Komposisi habitat kepuh berdasarkan status kepemilikan lahan 36
18 Penyebaran kepuh berdasarkan jenis tanah di Kab. Sumbawa 37
19 Komposisi famili tumbuhan di sekitar kepuh 39
20 Jumlah spesies sekitar kepuh berdasarkan tingkat pertumbuhannya 40
21 Proporsi kondisi pertumbuhan spesies lain di sekitar kepuh 39
22 Komposisi mata pencaharian responden 42
23 Karakteristik responden: kelompok umur (kiri) dan tingkat pendidikan
(kanan) 43
24 Tahapan pembuatan sira wir sampai menjadi masakan sepat 45
25 Minyak Sumbawa 46
26 Jimat dari kepuh 48
27 Batu akik dari bahan kepuh 53
28 (A). Istana Dalam Loka; (B). Rumah penduduk 54
29 Kayu kepuh yang sudah dipotong 55
30 Berbagai hasil kerajinan yang menggunakan bahan kayu kepuh 56
31 Model PLS-SEM yang dibangun 61
32 Nilai hubungan setiap peubah laten terkait konservasi kepuh 62
33 Kedudukan konservasi kepuh dalam analisis SWOT 66

DAFTAR LAMPIRAN

1 Indikator setiap stimulus yang diuji 77


2 Daftar spesies yang ditemukan di sekitar habitat kepuh 80
3 Nilai INP tingkat semai, pancang, tiang dan pohon di masing-masing
kecamatan 82
4 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai
obat 100
5 Analisis sikap masyarakat menggunakan permodelan SEM (Structural
Equation Modeling) dengan PLS (Partial Least Squares) 104
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kepuh (Sterculia foetida L.) merupakan spesies tumbuhan yang tersebar


merata di seluruh wilayah Indonesia. Spesies ini dikenal multi manfaat dalam
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat baik pangan, obat-obatan, pakan ternak,
bahan bakar nabati/biofuel, berbagai kerajinan tangan serta kayu konstruksi. Kulit
buah kepuh dalam bidang pangan digunakan sebagai bahan kue (Purwati 2010) dan
olahan biji kepuh digunakan sebagai penyedap rasa alami (etnis Samawa).
Penggunaan kepuh sebagai penyedap rasa alami perlu mendapat perhatian, sebagai
alternatif ditengah merebaknya berbagai merek penyedap kemasan dengan
kandungan kimia sintetik.
Kepuh juga potensial sebagai penghasil bahan bakar nabati (biofuel).
Keberadaan kepuh sebagai biofuel turut menunjang aspek ekologis dalam
pengurangan penggunaan bahan bakar fosil yang prosesnya cenderung tidak ramah
lingkungan. Bawa (2010) dan Purwati (2010) menyatakan bahwa biji kepuh terdiri
atas beberapa jenis asam lemak, dapat digunakan sebagai ramuan berbagai produk
industri seperti kosmetik, sabun, sampo, pelembut kain, cat dan plastik. Daun
kepuh, dalam bidang kesehatan digunakan sebagai obat rematik, luka, demam,
TBC, radang selaput lendir mata dan pusing kepala (Didin 1986; Heyne 1987;
Purwati 2010; Yuniastuti 2013). Kulit batangnya digunakan untuk sakit perut,
abortivum (obat penggugur), obat lumpuh (Bawa 2010) serta akarnya untuk
rajasinga dan kencing nanah (Sastroamidjojo 1997).
Secara ekologis, pohon kepuh berfungsi sebagai mikro habitat beberapa jenis
burung, kalong dan lebah madu. Pohon kepuh juga berfungsi sebagai pengatur
siklus hidrologi karena dengan tajuknya yang lebar dan perakarannya yang kuat
mampu menahan air tanah.
Permasalahan saat ini, kepuh belum dimanfaatkan secara optimal.
Masyarakat luas justru lebih banyak mengenal kepuh sebagai tumbuhan mistik,
tumbuhan genderuwo yang tidak lazim untuk digunakan. Informasi mengenai
kegunaan kepuh belum banyak diketahui dan digali oleh masyarakat. Sementara itu
dilain sisi spesies ini di beberapa daerah mulai jarang ditemukan (Yuniastuti et al.
2009). Seakan berpacu dengan kondisi yang ada, dengan habitat utama di dataran
rendah, kepuh pun harus bertahan ditengah ancaman perluasan pembangunan atau
pemukiman penduduk. Fakta kurangnya informasi, ancaman serta kelangkaan
kepuh perlu mendapatkan perhatian dan upaya pelestarian serius. Upaya pelestarian
yang dimaksud ialah upaya konservasi kepuh.
Konservasi ialah pengelolaan sumberdaya alam sehingga mampu
menyediakan manfaat maksimal yang berkelanjutan selama selang waktu tertentu
(Clayton dan Myers 2009). Menurut Zuhud (2011), makna konservasi ialah
pemanfaatan yang optimal secara berkelanjutan yang prasyaratnya harus
menerapkan nilai-nilai Pancasila. Penerapan konservasi dengan mengedepankan
aspek pemanfaatan yang berkelanjutan serta pelibatan masyarakat lokal
(masyarakat kepuh) dalam pengelolaannya, menjadi strategi dan solusi dalam
pengelolaan dan pemanfaatan kepuh lestari. Hal ini diamanahkan dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
2

Ekosistemnya bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan


sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk
menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Peraturan perundang-
undangan juga menjelaskan bahwa tujuan dari pengelolaan sumberdaya alam, guna
meningkatkan mutu kehidupan masyarakat. Guna mencapai tujuan tersebut
dibutuhkan peran aktif masyarakat, tidak hanya pemerintah. Melalui konsep
pengelolaan kolaboratif (P.19/Menhut-II/2007), masyarakat bersama pemerintah
turut secara aktif berperan sebagai subyek pengelolaan.
Peran serta masyarakat lokal dalam kegiatan konservasi sangat diperlukan.
Pengelolaan konservasi tumbuhan yang berkelanjutan dapat tercapai manakala
sistem-sistem lokal yang berbasis pada masyarakat lokal dan kearifan tradisional
diperkuat, yaitu dengan merubah orientasi tujuan pengelolaan keanekaragaman
hayati yang cenderung “makro‐nasional‐global” (devisa negara, penerimaan
pendapatan pemerintah pusat dan daerah) ke tujuan “mikro‐lokal” (Zuhud 2012).
Lebih lanjut Zuhud (2012) menjelaskan bahwa pengelolaan keanekaragaman hayati
ke depan sepatutnya berakar kepada pengetahuan dan teknologi indigenous
masyarakat lokal dalam unit-unit pengelolaan yang rasional. Model pengelolaan
yang menghargai dan menerapkan cipta, rasa dan karsa serta kekhasan masyarakat
lokal setempat lebih sesuai dikembangkan di Indonesia.
Menurut Zuhud (2007), membangun konservasi kawasan/wilayah sama
halnya membangun sikap dan perilaku masyarakat pro konservasi. Fakta tentang
kelangkaan dan kepunahan kepuh di beberapa tempat merupakan indikasi belum
terbentuknya sikap konservasi masyarakat terhadap kepuh. Sikap ini didorong kuat
oleh tri-stimulus amar pro konservasi, yaitu kristalisasi atau kesatuan utuh dari
stimulus alamiah, stimulus manfaat, dan stimulus religius-rela (Zuhud 2007).
Konsep ini menjadi alat/instrument guna menemukan faktor penentu minat
masyarakat sehingga pro terhadap konservasi kepuh.
Salah satu kelompok masyarakat yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan
penelitian ini adalah masyarakat etnis Samawa yang berada di Kabupaten Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat. Sejak dahulu masyarakat Sumbawa terbiasa menggunakan
kepuh sebagai bahan obat dan pangan (Supardi et al. 2006). Bermacam-macam
penyakit medis maupun non medis dapat menggunakan bahan dari pohon kepuh.
Kepuh juga sering digunakan sebagai bahan rumah panggung yang menjadi ciri
khas bangunan di tanah Samawa. Kepuh oleh masyarakat etnis Samawa digunakan
sebagai penyedap alami hampir di semua jenis masakan khas Sumbawa. Hal ini
berlangsung sampai saat ini, walupun cenderung berkurang.
Perubahan zaman yang menyebabkan tergerusnya nilai-nilai budaya kearifan
masyarakat di tanah Samawa, telah menyebabkan kurangnya perhatian dan
pengetahuan generasi muda saat ini terhadap alam lingkungannya yang menjadi
tumpuan kehidupan nenek moyang terdahulu. Faktor kepedulian, pengetahuan dan
sikap generasi muda Samawa saat ini dianggap berpengaruh nyata terhadap
penurunan jumlah populasi dan penggunaan kepuh di Kabupaten Sumbawa. Oleh
karena itu melalui kajian konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa inilah
diharapkan menjadi sumber informasi dan sumber referensi tentang pendugaan
potensi populasi kepuh, karakteristik habitat kepuh, budaya masyarakat Sumbawa
dalam memanfaatkan kepuh (baik kegunaan kepuh maupun kearifan lokal lainnya)
serta strategi konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa.
3

Rumusan Masalah

Salah satu spesies tumbuhan yang memerlukan upaya pelestarian dan


pengembangan adalah kepuh (Sterculia foetida L.). Spesies ini dengan sebarannya
yang cukup luas, di beberapa daerah ternyata mulai langka. Kepuh merupakan
spesies multi manfaat. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuh sangat
potensial digunakan sebagai obat (akar, batang, daun hingga buah) juga bahan bakar
nabati (biji). Berdasarkan informasi, berbagai suku di Indonesia telah lama
menggunakan kepuh sebagai bahan pangan (biji), obat-obatan dan kayu konstruksi.
Walaupun demikian saat ini informasi tersebut belum banyak tersebarluaskan dan
menjadi pengetahuan masyarakat luas.
Kondisi kepuh menunjukkan sinyal permasalahan konservasi/upaya
pelestarian di Indonesia saat ini yakni ketidakberlanjutan pengetahuan lokal atau
estafet local and traditional knowledge. Proses konservasi menjadi sulit ketika
proses dari masa lalu tidak bersambung ke masa kini. Pengalaman-pengalaman atau
kearifan tradisional yang diterapkan oleh nenek moyang terdahulu, kini banyak
ditinggalkan dan dianggap kuno. Budaya lokal nenek moyang kini telah banyak
berganti dengan budaya modern.
Fakta ini dapat dibuktikan dari keberadaan kepuh di Kabupaten Sumbawa.
Masyarakat Sumbawa di zaman dahulu menggunakan biji kepuh sebagai pelita
dikala listrik belum masuk. Biji kepuh juga digunakan sebagai bumbu masak
hampir disetiap masakan khas Sumbawa seperti sepat, singang, sira wir atau juga
masakan khas Sumbawa lainnya. Batang kepuh yang besar kerap digunakan sebagai
bahan papan guna membangun rumah panggung, yang menjadi ciri khas bangunan
rumah Sumbawa. Begitu banyak manfaat kepuh ini nampaknya tidak diiringi
dengan kerelaan masyarakat untuk membudidayakannya. Hal inilah yang disinyalir
menjadi penyebab kelangkaan kepuh di Kabupaten Sumbawa.
Kegiatan budidaya/pelestarian atau konservasi biodiversitas mutlak
membutuhkan peran serta masyarakat. Pelibatan atau peran serta masyarakat akan
terwujud manakala ada kerelaan masyarakat tersebut untuk melakukannya. Tingkat
kerelaan sangat ditentukan dari keinginan, harapan juga reward terhadap
masyarakat tersebut.
Berdasarkan kerelaan inilah selanjutnya konservasi kepuh dapat terwujud.
Kondisi alamiah (ekologi) dan manfaat kepuh (pangan, pakan, obat, kayu
konstruksi, bahan bakar nabati, ekologis, hidrologis, ekonomis dan lainnya)
menjadi modal dalam membangun kerelaan masyarakat di Kabupaten Sumbawa
untuk kembali pada kearifan yang telah diajarkan leluhur Sumbawa dimasa lalu.
Maka itu terkait upaya konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa, disusunlah
beberapa pertanyaaan yang dijawab dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana potensi populasi kepuh di Kabupaten Sumbawa saat ini?
2. Bagaimana karakteristik habitat kepuh di Kabupaten Sumbawa dan seperti apa
habitat yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan kepuh?
3. Bagaimana kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan kepuh di
Kabupaten Sumbawa?
4. Bagaimana sebaiknya strategi konservasi kepuh dijalankan di Kabupaten
Sumbawa?
4

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:


1. Menganalisis potensi populasi kepuh di Kabupaten Sumbawa
2. Menganalisis karakteristik habitat kepuh di Kabupaten Sumbawa
3. Mengidentifikasi kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan kepuh di
Kabupaten Sumbawa
4. Merumuskan strategi konservasi kepuh di Kabupaten Sumbawa

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan publikasi dan sosialisasi
serta penyadartahuan pada pihak yang lebih luas tentang strategi konservasi
tumbuhan khususnya kepuh dengan berpedoman pada potensi yang ada pada
masyarakat setempat. Selain itu penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk
membangun strategi konservasi spesies-spesies tumbuhan langka lainnya yang ada
di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Tuhan Sang Maha Pencipta, telah sedemikian rupa melengkapi bumi ini guna
memenuhi kebutuhan hidup manusia, tidak ada satupun dalam penciptaan-Nya
yang sia-sia. Semuanya diciptakan dengan maksud dan tujuan tertentu agar manusia
berfikir dan mengambil pelajaran dibalik penciptaan-Nya tersebut. Begitu pula
dengan keberadaan kepuh, dibalik keberadaannya yang menyebar merata, menjadi
tanda bahwa kepuh memiliki manfaat dan bisa dimanfaatkan oleh banyak orang.
Saat ini paradigma back to nature semakin popular bahkan menjadi indikator
setiap perusahaan dalam mempromosikan produknya. Semangat kembali ke alam
disikapi dengan menggunakan berbagai produk tanpa bahan pengawet atau produk
yang lebih ramah terhadap lingkungan. Sejalan dengan itu, kalangan akademisi pun
kini kian memperdalam penelitian dengan menggali sumber daya alam untuk
kemaslahatan orang banyak. Berbagai spesies tumbuhan kini digali dan
dieksplorasi termasuk kearifan lokal masing-masing etnis/suku tersebut dalam
memanfaatkannya (kajian etnobotani).
Kepuh sebagai tumbuhan dengan sebaran yang cukup luas, tersebar di
wilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia (Orwa et al. 2009; Sumantri dan
Supriatna 2010), harusnya mampu dibaca sebagai tanda dari Tuhan bahwa
tumbuhan ini disiapkan untuk kebutuhan orang banyak di berbagai tempat. Makna
lain dari tanda tersebut dapat ditafsirkan bahwa tumbuhan kepuh memiliki banyak
manfaat yang bisa digunakan oleh banyak orang. Fakta tentang manfaat tumbuhan
kepuh, telah dibuktikan dari beberapa hasil penelitian, mulai dari fungsi ekologis
juga fungsi ekonomis, baik kebutuhan papan juga kebutuhan pangan (Yuniastuti
et al. 2009).
Banyak diantara kelompok masyarakat (etnis), nenek moyang terdahulu
menggunakan tumbuhan ini dalam kehidupannya sehari-hari. Penggunaan tersebut
diantaranya untuk pangan, obat, bahan bakar nabati, kayu pertukangan, upacara
adat, permainan tradisional dan fungsi-fungsi lainnya di berbagai tempat yang
5

berbeda. Pemanfaatan kepuh oleh kelompok masyarakat (etnis) di Indonesia ini


menunjukkan adanya kearifan yang dikenal dengan istilah etnobotani (Soekarman
dan Riswan 1992).
Keberadaan kepuh yang mulai langka serta sulit bergenerasi (Yuniastuti
et al. 2009), seharusnya mampu dibaca oleh manusia sebagai perintah dari Tuhan
untuk menjaganya, memeliharanya, mengembangkannya agar tetap lestari.
Kemampuan membaca, menyadari tanda-tanda inilah yang menyebabkan banyak
diantara plasma nutfah Indonesia terus mengalami kepunahan tanpa disadari,
termasuk salah satunya kepuh. Peristiwa ini pun popular dikenal dengan sebutan
the Tragedy of the Commons (Hardin 1968) yaitu dampak yang timbul ketika
manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk
kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup yang lain.
Kondisi alamiah (ekologi) tentang kelangkaan kepuh serta berbagai manfaat
kepuh seperti terurai di atas, saat ini belum banyak terpublikasikan dan
tersebarluaskan sehingga minat dan sikap untuk mengkonservasi spesies ini
menjadi tidak ada. Menggunakan kepuh, cenderung tidak lagi menjadi budaya
masyarakat Sumbawa. Hal ini tentunya berdampak pada kerelaan masyarakat untuk
memelihara spesies ini. Kurangnya kerelaan tersebut pada kenyataannya
mempengaruhi jumlah populasi kepuh di alam. Faktor kemampuan regenerasi,
penebangan liar serta alih fungsi kawasan menjadi ancaman terhadap kelestarian
kepuh dan bukan tidak mungkin keberadaan kepuh ke depan dapat punah di alam.
Sikap rela (tend to act) seseorang akan muncul manakala ada nilai yang
didapatkan dari kerelaannya tersebut. Menurut Notoatmodjo (2003) terdapat 4
(empat) tingkatan sikap sampai pada seseorang begitu rela terhadap suatu hal yaitu
menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing) dan
bertanggungjawab (responsible). Pada tingkat bertanggung jawab inilah seseorang
tersebut, atas dasar kerelaan hati, minat dan sikapnya dapat diharapkan
melestarikan kepuh.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau obyek (Notoatmodjo 2003). Sementara itu dalam teori
Rosenberg, sikap merupakan buah dari gabungan serta konsistensi antara kognitif
dan afektif seseorang. Oleh karena itu mengubah sikap, maka komponen afektif
diubah terlebih dahulu kemudian akan mengubah komponen kognitif serta diakhiri
dengan perubahan sikap (Azwar 2007).
Sikap atau kesadaran seseorang terhadap lingkungan sekitar, sangat
tergantung pada kepekaannya dalam melihat alam. Kondisi ekologi, biologi dan
manfaat dari sumber daya alam, menjadi sinyal penentu sikap seseorang. Begitu
juga stimulus alamiah (ekologi) serta manfaat kepuh tersebut seperti pangan, obat,
pakan, kayu konstruksi, bahan bakar nabati, ekologis dan hidrologis menjadi modal
dalam membangun kerelaan sikap masyarakat di Kabupaten Sumbawa untuk
mengkonservasi kepuh.
Perubahan sikap menjadi kerelaan bertindak merupakan kunci kelestarian
sumber daya alam hayati di jagat raya ini, termasuk tumbuhan kepuh. Berdasarkan
sikap rela inilah konservasi kepuh akan terwujud. Melalui sikapnya ini juga
masyarakat yang lebih luas dapat memperoleh nilai tambah dari keberadaan kepuh,
baik nilai ekonomi juga nilai emosional. Oleh karena itu berdasarkan pada latar
belakang dan kondisi permasalahan terkait konservasi kepuh, maka kerangka
pemikiran dalam penelitian ini, seperti tersaji pada Gambar 1.
6

1. Ancaman kepunahan Tri-stimulus amar pro konservasi


2. Belum dibudidayakan  Stimulus Alamiah
3. Belum dimanfaatkan Nilai-nilai kebenaran dari alam, Sikap/perilaku
4. Bersisa hanya induk pohon kebutuhan keberlanjutan pro konservasi
5. Sebaran mengelompok sumberdaya alam hayati sesuai
Bio-Ekologi 6. Biji susah tumbuh dengan karakter bioekologinya. Cognitive
Kepuh 7. Anggapan pohon Contoh: pohon kepuh dengan Persepsi,
keramat/angker/mistik tajuk yang lebar memerlukan pengetahuan,
8. Tajuk lebar sehingga tempat/ruang yang lebih luas, kulit pengalaman,
memerlukan ruang yang biji kepuh yang tebal pandangan,
lebih luas, dll membutuhkan bantuan manusia keyakinan
untuk pematahan dormansi, dll Konservasi
Etnobotani  Stimulus Manfaat Affective kepuh
Anugerah Nilai-nilai kepentingan untuk
Kepuh Emosi, senang, terwujud di
Sang Pencipta manusia (manfaat ekonomi dll). benci, dendam, Kabupaten
Contoh: kepuh sebagai spesies sayang, cinta Sumbawa
1. Penyedap rasa alami multimanfaat digunakan untuk dan lain-lain
2. Minyak Sumbawa memenuhi kebutuhan pangan
3. Kerupuk kepuh (biji), obat (semua bagian Over actions
4. Obat berbagai penyakit tumbuhan), kerajinan tangan Kecenderungan
Manfaat 5. Kayu konstruksi (kayu), dll bertindak
Kepuh 6. Kerajinan tangan  Stimulus Religius-Rela
7. Energi alternatif Nilai-nilai kebaikan, terutama
8. Mikro habitat ganjaran dari Sang Pencipta Alam
9. Penjernih air berupa pahala, kebahagiaan,
10. Permainan tradisional kepuasan batin dan lainnya.
11. Perhiasan, dll Contoh: tidak menebang kepuh di
lahan milik pribadi dengan
berbagai alasan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian


7

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014 - Mei 2015. Lokasi penelitian
adalah 12 kecamatan di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yaitu
Kec. Sumbawa, Kec. Unter Iwes, Kec. Moyo Utara, Kec. Moyo Hilir, Kec. Moyo
Hulu, Kec. Lenangguar, Kec. Lopok, Kec. Lape, Kec. Maronge, Kec. Plampang,
Kec. Empang dan Kec. Tarano (Gambar 2). Beberapa kecamatan yaitu Kec. Moyo
Utara, Kec. Lenangguar dan Kec. Empang lebih didalami untuk keperluan kajian
etnobotani. Kecamatan-kecamatan ini dipilih secara sengaja (purposive) karena di
lokasi ini masih ditemukan individu kepuh dan terdapat aktivitas pemanfaatan
kepuh oleh masyarakat. Pengolahan data spasial dilakukan di Laboratorium
Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.

Gambar 2 Lokasi penelitian di Kab. Sumbawa

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan terdiri atas kegiatan analisis spasial, analisis


vegetasi (struktur vegetasi) dan wawancara. Peralatan tersebut antara lain buku
lapang, alat tulis, tape recorder, kamera, global positioning system (GPS), pita ukur,
kompas, tambang dan laptop. GPS digunakan untuk menentukan titik koordinat
kepuh (lokasi penyebaran dan bentuk sebaran). Pita ukur, haga meter, kompas dan
tambang digunakan untuk mengetahui struktur vegetasi kepuh dan sekitarnya.
8

Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data antara lain Arc. GIS 10.1
dan Erdas Imagine 9.1 untuk data spasial, MS. Excel 2013 untuk pencatatan dan
tabulasi data serta R-Studio untuk running PLS-SEM. Bahan yang digunakan dalam
analisis meliputi citra landsat 8, ASTER GDEM dan peta administrasi
Kab. Sumbawa, peta tutupan lahan dan peta tanah.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulannya
disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Jenis data, aspek yang diamati, sumber data dan metode pengumpulan data
kepuh
Jenis data Aspek yang diamati (data) Sumber data Metode
Potensi  Klasifikasi dan Pengamatan di Survey
populasi morfologi kepuh lapangan, lapangan,
kepuh  Proses pertumbuhan dan Bappeda Kab. wawancara,
perkembangan Sumbawa serta analisis spasial
 Populasi aktual literatur baik (pembuatan
 Penyebaran dan pola jurnal, buku dan peta) dan kajian
sebaran lain-lain pustaka
 Asosiasi interspesifik
Karakteristik  Ketinggian tempat Pengamatan di Survey
habitat kepuh  Kelerengan tempat lapangan, BPS lapangan,
 Curah hujan dan Kab. Sumbawa wawancara,
kelembaban serta literatur analisis spasial
 Tutupan lahan baik jurnal, buku (pembuatan
 Status kepemilikan lahan dan lain-lain peta) dan kajian
 Jenis tanah pustaka
 Komposisi dan
dominansi spesies lain
Etnobotani  Karakteristik responden Masyarakat etnis Wawancara dan
kepuh  Manfaat kepuh (pangan, Samawa dan kajian pustaka
obat, bahan bakar, dll) literatur baik
 Kearifan lokal lainnya jurnal, buku dan
(berkaitan dengan lain-lain
kepuh)
Strategi  Sikap masyarakat pro Masyarakat etnis Analisis SWOT
konservasi konservasi (indikator Samawa, (wawancara,
kepuh stimulus alamiah, literatur baik survey lapang
manfaat dan religius jurnal, buku dan dan kajian
rela) lain-lain, pustaka)
 Rencana aksi konservasi pengamatan di
kepuh lapangan dan
LIPI
9

Metode Pengumpulan Data

Survey lapangan
Survey lapangan ditujukan untuk mengetahui pertumbuhan dan
perkembangan kepuh, populasi aktual kepuh, penyebaran dan pola sebarannya,
ketinggian habitat kepuh (menggunakan GPS), kelerengan, kelembaban, tutupan
lahan, status kepemilikan lahan, jenis tanah serta komposisi vegetasi di sekitar
kepuh, termasuk kerapatan, frekuensi, dominansi, INP, ukuran diameter, serta
asosiasi kepuh dengan spesies lainnya.
Penemuan kepuh didasarkan atas hasil ekplorasi dan keterangan masyarakat
yang diverifikasi di lapangan dari 12 kecamatan. Data penemuan kepuh
berdasarkan hasil ekplorasi tersebut kemudian dikembangkan dengan membuat
petak tunggal (melakukan analisis vegetasi) di areal yang dirasa representatif guna
menduga populasi kepuh pada luasan tertentu serta mengetahui vegetasi sekitar
kepuh.
Penempatan petak tunggal yang dikatakan representatif saat lokasi
inventarisasi cukup mewakili komunitas (kompleksitas vegetasi dan tutupan lahan),
sehingga petak terpilih di lapangan adalah lokasi alami pertumbuhan kepuh di hutan
dan bukan di lahan milik pribadi. Secara administrasi lokasi terpilih dalam
pembuatan petak tunggal adalah Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo
Utara. Ketiga lokasi ini juga dianggap mewakili areal administrasi, secara berturut-
turut yaitu di bagian timur, selatan dan utara Kab. Sumbawa.
Jumlah petak tunggal yang dibuat sebanyak tiga yaitu masing-masing satu
petak di setiap kecamatannya. Dalam satu petak terdapat 25 plot dengan masing-
masing plotnya berukuran 20 m x 20 m, sehingga luas satu petak ialah 1 ha atau
10 000 m2. Terhadap validitas keterwakilan komunitas, jumlah plot/luasan petak yang
dibuat juga diuji menggunakan kurva spesies area.
Masing-masing plot di bagi dalam kuadran pengukuran, guna memudahkan
penghitungan spesies lainnya di sekitar kepuh. Ukuran 20 m x 20 m untuk
pengamatan tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m
untuk pancang dan 2 m x 2 m untuk semai (Soerianegara dan Indrawan 1998).
Berbeda untuk spesies lainnya, inventarisasi kepuh dilakukan di seluruh bagian
petak di lokasi tersebut baik ukuran semai, pancang, tiang maupun pohon, tanpa
membedakan ukuran luasan. Sketsa plot yang dibuat serta penempatannya disajikan
pada Gambar 3.

20 m

10 m

5m
Pohon kepuh
2m berdasarkan info
20 m
masyarakat dan
eksplorasi

Gambar 3 Sketsa plot inventarisasi yang dibuat serta penempatannya


10

Data ketinggian habitat kepuh, kelerengan, tutupan lahan serta jenis tanah
diperoleh dari titik GPS kepuh yang di overlay menggunakan data peta yang
dimiliki. Data ini bersumber dari Planologi Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional
serta citra landsat 8 dan ASTER GDEM.

Wawancara
Menurut Salerno et al. (2005) wawancara adalah teknik pengumpulan data
yang digunakan untuk mendapatkan keterangan lisan melalui percakapan dengan
orang atau responden tentang topik penelitian. Wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini secara keseluruhan dengan teknik semi terstruktur. Penerapan teknik
wawancara ini dengan memberikan pilihan jawaban pada beberapa pertanyaan
namun juga ada pertanyaan yang tidak disediakan pilihan jawaban sehingga dapat
terlihat keragaman pendapat dalam menjawab setiap pertanyaan atau diharap
responden menjawab sesuai pengetahuan mereka (Mardalis 2004).
Adapun penentuan jumlah sampel responden dalam penelitian ini terbagi
menjadi dua yakni responden untuk data etnobotani dan responden untuk menilai
sikap (tend to act) masyarakat terhadap upaya konservasi kepuh (sikap masyarakat
pro konservasi). Adapun responden yang dipilih untuk menghimpun data
etnobotani kepuh, menggunakan metode snowball sampling.
Metode ini diterapkan dengan mencari tokoh kunci (key informan) yang
dianggap mengetahui banyak informasi tentang kepuh. Sebanyak satu atau dua
orang tokoh kunci tersebut seperti camat, kepala desa atau dukun diwawancarai,
kemudian berdasarkan informasi dari tokoh kunci tersebut diperbanyak dengan
menambahkan informan lainnya berdasarkan arahan dari tokoh kunci sebelumnya
(Denzin dan Lincoln 2009). Hal ini dilakukan sampai pada kondisi data/informasi
yang didapatkan jenuh (tidak ada tambahan informasi baru).
Jumlah responden yang diambil untuk menghimpun data etnobotani, berbeda
tiap kecamatannya yaitu 27 orang di Kec. Empang, 25 orang di Kec. Lenangguar
dan sebanyak 26 orang di Kec. Moyo Utara. Jumlah responden pada tahap ini
ditentukan saat data jenuh.
Guna menilai sikap masyarakat pro konservasi, wawancara dilakukan secara
acak (simple random sampling) (Sugiyono 2013). Pemilihan metode secara acak
dimaksudkan untuk mengetahui respon/sikap secara berimbang, tingkat kerelaan
masyarakat umum terhadap upaya konservasi kepuh. Melalui pemilihan metode
secara acak diharapkan menghasilkan gambaran yang lebih beragam terhadap
pengharapan dan pandangan masyarakat sehingga nantinya dapat dirumuskan
secara lebih komprehensif strategi konservasi kepuh. Mereka yang mengkonservasi
kepuh diharapkan tidak hanya individu-individu yang mengetahui manfaat kepuh,
namun melalui metode ini nantinya setiap/semua masyarakat dalam wilayah
administrasi ditemukan kepuh, juga mau melestarikan tumbuhan ini.
Oleh karena itu sampling frame dalam pengumpulan data sikap masyarakat
ini dilakukan secara acak di wilayah yang bersinggungan/di sekitar lingkungannya
terdapat kepuh. Metode ini diterapkan dengan mengundi setiap daftar KK di tiga
kecamatan (Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara), kemudian
dilakukan wawancara dengan bantuan kuisioner terhadap responden tersebut.
Penentuan jumlah responden minimal dalam populasi KK di wilayah
kecamatan tersebut dilakukan dengan rumus Slovin. Galat atau tingkat kesalahan
yang digunakan pada penelitian ini adalah 15% (e= 0.15) dengan pertimbangan
11

bahwa 15% sudah dapat mewakili populasi, adanya keterbatasan waktu dan biaya
dalam penelitian. Rumus Slovin yang digunakan dalam penentuan jumlah sampel
masyarakat (Sevilla et al. 1993), sebagai berikut:

N
n=
(1+Ne2)
Keterangan:
n = Jumlah sampel masyarakat
N = Total populasi (jumlah seluruh KK dalam kecamatan dimana kepuh
ditemukan)
e = Error tolerance (toleransi terjadinya galat “% kelonggaraan ketidaktelitian
karena kesalahan pengambilan sampel”; taraf signifikansi)

Berdasarkan rumus Slovin di atas diperoleh jumlah responden dalam menilai


sikap masyarakat pro konservasi yaitu 45 KK di Kec. Empang (dari total 6398 KK),
44 KK di Kec. Lenangguar (dari total 1727 KK) dan 44 KK di Kec. Moyo Utara
(dari total 2445 KK). Penentuan responden di lapangan diperoleh berdasarkan
pengundian nomor rumah (RT) di masing-masing desa, kemudian dikunjungi
berdasarkan nomor rumah (RT) yang terpilih tersebut.

Pembuatan peta
Pembuatan peta terdiri dari peta administrasi (lokasi penelitian), peta tutupan
lahan, peta kelerengan, peta ketinggian dan peta tanah. Peta administrasi dibuat
setelah format JPEG image peta administrasi yang diperoleh dari Bappeda (Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah) Kab. Sumbawa, diolah terlebih dahulu. Mula-
mula menggunakan Arc. GIS 10.1, peta format JPEG image didigitasi sehingga
diperoleh batas masing-masing kecamatan di Kab. Sumbawa.
Peta tutupan lahan Kab. Sumbawa diperoleh dari data Dirjen Planologi
Kehutanan dan Tata Lingkungan; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
tahun 2014. Data tutupan lahan Kab. Sumbawa ini kemudian diolah menggunakan
Arc GIS 10.1 sehingga menjadi layout peta tutupan lahan. Peta tutupan lahan ini
diklasifikasikan menjadi daerah hutan (lahan kering primer, lahan kering sekunder,
mangrove primer, mangrove sekunder, dan hutan tanaman), belukar rawa,
pemukiman, sawah, savana, pertanian (lahan kering ditambah semak dan pertanian
lahan kering), semak belukar, tanah terbuka, tambak dan tubuh air.
Data ketinggian dan kelerengan Kab. Sumbawa berupa data digital elevation
model (DEM) yang diolah menggunakan Arc GIS 10.1. Peta ketinggian tersebut
diklasifikasikan dengan interval 200 m. Sementara peta kelerengan dibagi menjadi
kelas datar, landai, agak curam, curam dan sangat curam.
Adapun data tanah diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional yang di overlay
dengan DEM Kab. Sumbawa. Data tersebut menyajikan pemetaan tanah pada level
great group. Setiap peta yang dibuat kemudian di overlay dengan titik GPS
penemuan kepuh di lapangan. Informasi masing-masing titik tersebut dapat
menggambarkan lokasi tutupan lahan, ketinggian, kemiringan tempat, kedekatan
dengan sungai dan jenis tanah tempat kepuh tumbuh.
12

Kajian pustaka
Kajian pustaka dimaksudkan untuk menguatkan pemahaman dan landasan
teori penelitian ini. Pustaka ini bersumber dari jurnal, buku, artikel, laporan atau
data lainnya yang sudah ada, berhubungan dengan informasi kepuh baik klasifikasi
dan morfologi kepuh, pertumbuhan dan perkembangan kepuh, kondisi populasi saat
ini termasuk preferensi habitat kepuh di alam. Data lainnya adalah pemanfaatan
kepuh oleh berbagai masyarakat di Indonesia juga di dunia.

Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskripitf kualitatif dan deskriptif kuantitatif.


Secara rinci beberapa analisis data yang digunakan.

Pola sebaran spasial kepuh


Analisis pola sebaran spasial digunakan untuk memetakan distribusi kepuh
yang ditemukan di lapangan. Data lapangan berupa titik koordinat kepuh kemudian
di overlay dengan peta administrasi, peta tutupan lahan, peta ketinggian, peta
kelerengan dan peta tanah. Selain itu analisis pola sebaran kepuh juga
menggunakan indeks Morisita yang terstandar (standardized morisita’s index)
(Morisita 1962 dalam Krebs 1998) dan metode Average Nearest Neighbor pada
program ArcGis. Indeks Morisita tersebut dihitung dengan persamaan sebagai
berikut:

∑ x2 - ∑ x
Id =n [ ]
(∑ x)2 - ∑ x
Keterangan :
Id = Indeks dispersi Morisita
n = Jumlah plot
x = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap plot

Indeks Morisita yang diperoleh selanjutnya dicari dua titik kritisnya melalui uji χ 2
untuk mencari derajat pengelompokannya.
χ20.975 -n+ ∑ xi
Uniform Indeks= Mu =
(∑ xi )-1

χ20.025-n+ ∑ xi
Clumped Indeks= Mc =
(∑ xi )-1

Keterangan:
χ 20.975 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 97.5% area ke sebelah
kanan kurva
χ 20.025 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 2.5% area ke sebelah
kanan kurva
ΣXi = Jumlah individu dalam kuadrat i (i = 1 s/d n)
n = Jumlah kuadrat
13

Berdasarkan hasil indeks Mc atau Mu di atas maka indeks morisita standar (IP)
dihitung berdasarkan salah satu dari empat persamaan berikut ini:
d cI -M
1. Jika Id ≥ Mc > 1 : Ip =0.5+0.5 ( n-M )
c
Id - 1
2. Jika Mc > Id ≥ 0 : Ip =0.5 (M )
u- 1
Id - 1
3. Jika 1 > Id> Mu : Ip =-0.5 (M )
u- 1
I -M
4. Jika 1 > Mu> Id : Ip =-0.5+0.5 ( dM u )
u

Indeks Morisita yang distandarkan (IP) ini berkisar antara -1 hingga 1. Jika IP = 0
maka pola penyebaran acak. Jika IP < 0 maka pola penyebaran seragam dan jika
IP > 0 maka pola penyebaran mengelompok.

Komposisi vegetasi
Komposisi vegetasi digunakan untuk mengetahui keanekaragaman spesies
tumbuhan di sekitar kepuh, termasuk kerapatan, frekuensi, dominansi, indeks nilai
penting (INP), ukuran diameter, asosiasi kepuh dengan spesies lainnya serta
koefisien kesamaan komunitas (index of similarity) (IS). Beberapa analisis yang
digunakan seperti tersaji di bawah ini.
Jumlah dari suatu spesies
Kerapatan =
Luas petak contoh
Kerapatan dari suatu spesies
Kerapatan relatif (%) = x 100%
Kerapatan seluruh spesies
Jumlah plot ditemukannya suatu spesies
Frekuensi =
Jumlah seluruh plot contoh
Frekuensi dari suatu spesies
Frekuensi relatif (%) = x 100%
Frekuensi seluruh spesies
Jumlah bidang dasar dari suatu spesies
Dominansi =
Luas plot contoh
Dominansi dari suatu spesies
Dominansi relatif (%) = x 100%
Dominansi seluruh spesies
INP (%) = Kerapatan relatif + Frekuensi relatif + Dominansi relatif

Asosiasi antara kepuh dengan spesies lain dilakukan secara berpasangan


dengan masing-masing spesies tersebut. Asosiasi dilakukan dengan menggunakan
kontingensi untuk setiap pasangan spesies seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Kontingensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies

Spesies A
Ada Tidak ada
Kepuh Ada a b m=a+b

Tidak ada c d n=c+d

r=a+c s =b+d N
14

Keterangan:
a = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh dan spesies A
b = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh, namun tidak spesies A
c = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak kepuh
d = Jumlah plot pengamatan tidak ditemukan kedua spesies

Hipotesis uji yang digunakan untuk menguji asosiasi antara kepuh dengan spesies
A adalah:
H0 = Tidak terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A
H1 = Terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A
Hipotesa tersebut diuji dengan menggunakan persamaan uji Chi-Square (Ludwig
dan Reynolds 1988) yaitu:
Keterangan:
2
[ F( x ) -E ( x )] F (x) = Nilai pengamatan
χ 2hitung=Ʃ
E(x) E (x) = Nilai harapan

Nilai χ 2hitung akan dibandingkan dengan nilai χ 2tabel pada selang kepercayan
95%. Jika χ 2hitung ≤ χ 2tabel pada selang kepercayan 95%, maka kesimpulannya terima
H0, artinya tidak terdapat asosiasi antara kepuh dengan spesies A. Jika χ 2hitung > χ 2tabel
pada selang kepercayaan 95%, maka kesimpulannya terima H1, artinya terdapat
asosiasi antara kepuh dengan spesies A.
Sifat asosiasi diketahui dengan membandingkan antara nilai pengamatan
untuk a, F (x) dengan nilai harapan E (x). Jika F (x) > E (x), maka asosiasi bersifat
positif. Jika F (x) < E (x), maka asosiasi bersifat negatif.
Besarnya nilai asosiasi antara kepuh dengan spesies tumbuhan lainnya
dilakukan dengan pendekatan indeks Jaccard (IJ) (Ludwig dan Reynolds 1988).
Nilai indeks berkisar antara 0 – 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya
semakin kuat. Persamaan untuk indeks Jaccard adalah:
a
IJ=
a+b+c
Keterangan:
IJ = Indeks Jaccard
a = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh dan spesies A
b = Jumlah plot pengamatan ditemukannya kepuh, namun tidak spesies A
c = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak kepuh
Koefisien kesamaan komunitas (index of similarity) (IS) diuji menggunakan
Motyka’s Index of Similarity. Adapun persamaan koefisien kesamaan komunitas
tersebut ialah:
2W
IS = x 100%
A+B
Keterangan:
W = Jumlah spesies yang sama pada masing-masing tingkat pertumbuhan
A = Jumlah spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan A
B = Jumlah spesies pada masing-masing tingkat pertumbuhan B yang
diperbandingkan
15

Strategi konservasi kepuh


Penyusunan strategi konservasi kepuh diawali dengan analisis terhadap sikap
masyarakat sehingga diketahui kecenderungan aksi (tend to act) seseorang terhadap
konservasi kepuh. Analisis sikap masyarakat ini menggunakan permodelan SEM
(Structural Equation Modeling) dengan PLS (Partial Least Squares) atau PLS-
SEM. PLS dapat menguji teori yang lemah dan data dengan ukuran contoh kecil.
PLS tidak membutuhkan banyak asumsi seperti multikolinearitas (Latan dan
Ghozali 2012). PLS selain dapat digunakan untuk menjelaskan adanya hubungan
antar peubah laten, juga dapat mengkonfirmasi teori yang ada (Ken 2013).
Menggunakan bantuan software R-Studio, analisis ini menghasilkan model
pengukuran/outher model (kekuatan indikator mempengaruhi variabel laten) dan
model struktural/inner model (kekuatan estimasi antar variabel laten, eksogen
terhadap endogen) yang tepat/merepresentasikan upaya konservasi kepuh. Hal ini
karena software R-Studio merupakan program yang baik untuk menganalisis data
dan sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu (ilmu perilaku, ekonomi
pemasaran, pengembangan organisasi, pengelolaan sistem informasi dan strategi
bisnis) (Ken 2013), selain itu software R-Studio merupakan salah satu program
open source yang tidak perlu izin atau license tertentu (Sanchez 2013).
Analisis PLS-SEM (Latan dan Ghozali 2012) dimulai dengan konseptualisasi
model yaitu mengembangkan dan mendefinisikan variabel laten secara konseptual
berdasarkan literatur, kemudian menentukan indikator (variabel manifes) yang
merepresentasikan variabel laten serta melakukan uji validasi dan uji reliabilitas.
Konseptual yang dibangun menggunakan variabel sikap (tend to act) (endogen) dan
stimulus alamiah, stimulus manfaat serta stimulus religius rela (eksogen).
Kelestarian kepuh diukur dari sikap serta seberapa besar minat masyarakat
dalam konservasi kepuh. Pendekatan sikap (tend to act) menggunakan indikator
tingkat perhatian, motif dan rasa senang seseorang (Winkel 1983). Indikator setiap
stimulus diperoleh dari keterangan warga saat wawancara (Lampiran 1).
Menggunakan skala Likert (Simamora 2005), nilai setiap indikator disusun
secara bertingkat dan berjumlah ganjil, yaitu sangat setuju (5), setuju (4), netral (3),
tidak setuju (2) dan sangat tidak setuju (1). Nilai ini juga disesuaikan terhadap
kondisi pertanyaan yakni negatif atau positif. Uji validitas menggunakan
confirmatory faktor analysis (CFA), dengan melihat nilai Kaiser-Meyer-Olkin
Measure of Sampling Adequacy (KMO MSA). Nilai KMO yang dikehendaki > 0.05
dan uji reliabilitas dilihat dari nilai Cronbach’s Alpha > 0.70 (Ghozali 2013).
Tahap ke dua menentukan metode analisis algoritma. Metode analisis yang
digunakan adalah centroid. Tahap ke tiga yaitu menentukan metode resampling.
Metode resempling yang digunakan yaitu bootstrapping (menggunakan seluruh
sampel asli untuk melakukan resempling kembali). Tahap ke empat
menggambarkan diagram jalur. Diagram jalur (diagram path) mampu menjelaskan
pola hubungan antara peubah laten dengan indikatornya.
Tahap terakhir ialah melakukan evaluasi terhadap model pengukuran (outer
model) dan model struktural (inner model). Evaluasi model pengukuran dilakukan
dengan melihat nilai ketepatan (validity convergent) yaitu korelasi antara skor
indikator refleksif dengan skor peubah latennya. Skala pengukuran nilai loading
untuk ketepatan, pada penelitian tahap awal cukup 0.50 sampai 0.60 (Chin 1998).
Selain itu evaluasi model pengukuran juga dilakukan dengan melihat nilai
reliabilitas yaitu nilai Cronbach’s Alpha ≥ 0.70. Adapun evaluasi model struktural
16

(inner model) dilakukan dengan melihat nilai R2 pada variabel endogen dan
koefisien parameter jalur (path coeficient parameter).
Analisis selanjutnya dalam penyusunan strategi konservasi kepuh
menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT akan melihat faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (ancaman dan peluang) (Rangkuti
1998). Diagram analisis SWOT tersaji pada Gambar 4.

Berbagai Peluang

Mendukung Strategi Turn Mendukung Strategi


Arround Agresif

Kelemahan Internal Kekuatan Internal


Mendukung Strategi Mendukung Strategi
Defensif Diversifikasi

Berbagai Ancaman
Gambar 4 Diagram analisis SWOT
Data faktor internal dan eksternal diperoleh berdasarkan hasil studi literatur,
wawancara dan hasil survey lapang yang teraktualisasi dalam nilai skala likert yang
diperoleh. Adapun konsep matriks SWOT tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Konsep matriks SWOT

Internal Strengths (kekuatan) Weaknesses (kelemahan)


Eksternal
Strategi SO : Strategi WO :
Mengembangkan suatu Mengembangkan suatu
Opportunities strategi dalam memanfaatkan strategi dalam memanfaatkan
(peluang) kekuatan (S) untuk peluang (O) untuk mengatasi
mengambil manfaat dari kelemahan (W) yang ada
peluang (O) yang ada
Strategi ST : Strategi SO :
Mengembangkan suatu Mengembangkan suatu
Threats strategi dalam memanfaatkan strategi dalam mengurangi
(ancaman) kekuatan (S) untuk kelemahan (W) dan
menghindari ancaman (T) menghindari ancaman (T)
Nilai 1-5 pada skala likert kemudian dikonversi secara berimbang. Nilai ini
kemudian dianggap sebagai bobot untuk memudahkan dalam penilaian. Kriteria
dengan bobot 3 mendapatkan nilai 1, bobot 4 mendapatkan nilai 2. Untuk
membedakan nilai kelemahan untuk faktor internal dan ancaman untuk faktor
eksternal bertanda negatif (-), sedangkan nilai kekuatan untuk faktor internal dan
peluang pada faktor eksternal bertanda positif.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Populasi Kepuh

Klasifikasi dan morfologi kepuh


Kepuh (Sterculia foetida L.) merupakan spesies dalam famili Malvaceae,
berdasarkan identifikasi yang dilakukan, maka secara taksonomi dapat
diklasifikasikan (National Tropical Botanical Garden 2003):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
SubKelas : Dilleniidae
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Sterculia
Spesies : Sterculia foetida L.
Sterculia foetida di Indonesia secara umum dikenal dengan nama kepuh.
Beberapa daerah mengenal tumbuhan ini dengan nama kabu-kabu (Batak),
kapok/kepuh/kepoh (Jawa), kalumpang (Madura), gelumpang/kalumpang
(Sumbawa), wuwu (Bima), kalumea (Kendari), kajumpang (Waengapu), wuhak
kepo (Solor), kalumea (Tolaki), wuhak (Sulawesi Tenggara), kailupa furu
(Ternate), kailipa buru (Tidore) dan plani (Wetar) (Datta 1996; Heyne 1987; Tantra
1976). Beberapa negara mengenal kepuh dengan nama jangli badam (Bengali),
letpan-shaw (Burmese), wild almond tree/bastard poon tree/hazel sterculia/
java olive/stinky sterculia (English), virhoi/asakshara/badam
janjal/sembadam/goldaru/jangli badam (Hindi) dan kelumpang (Malaysia) (Orwa
et al. 2009).
Kepuh merupakan pohon berukuran besar (Yuniastuti et al. 2009), tinggi
mencapai 45 m, diameter 90 - 125 cm, berbanir (Sumantri dan Supriatna 2010).
Batangnya lurus, bercabang banyak dengan bentuk simpodial. Batang memiliki ciri
khas tegak dengan kulit mengelupas. Warna batang luar abu-abu, coklat muda
sampai tua.
Menurut Sumantri dan Supriatna (2010), daun kepuh berbentuk majemuk
menjari/menyirip dengan 7 - 9 anak daun (foliolum). Foliolum berbentuk lanset,
panjang helaian daun (lamina) antara 5 - 21 cm, lebar daun antara 3 - 9 cm dengan
warna permukaan atas daun hijau sampai hijau tua dengan tekstur agak kasar
sampai kasar karena tidak memiliki lapisan lilin. Tangkai daun (petiolus) relatif
pendek dengan ukuran 12.5 - 37 cm, ukuran daun dapat mencapai 5 - 22 cm dengan
ketebalan antara 0.025 - 0.06 cm (Yuniastuti et al. 2009).
Bunganya berkelamin tunggal, berumah satu, biasa terdapat pada ketiak daun
yang masih muda, warna merah tua dan mengeluarkan bau busuk (Sumantri dan
Supriatna 2010; Tantra 1976). Pembuahan kepuh dibantu oleh serangga seperti
lalat, kumbang dan lebah. Bunga kepuh di Kab. Sumbawa biasanya muncul mulai
bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus.
18

Bunga kepuh memiliki bau yang khas. Beberapa orang menganggap bau
tersebut menarik, namun sebagian besar lainnya mengakui bahwa bau yang
dikeluarkan oleh bunga kepuh seperti bau busuk. Bahkan ada keyakinan masyarakat
tertentu di bagian selatan Kab. Sumbawa bahwa bau yang dikeluarkan tersebut
membawa penyakit seperti demam dan lain-lain.
Mengacu pada asal muasal nama kepuh, maka nama ilmiah kepuh berkaitan
erat dengan aroma yang dikeluarkan dari bunga kepuh. Menurut Orwa et al. (2009),
nama ilmiah kepuh didasarkan pada kata latin “Stercus”, yang berarti kotoran, yang
mengacu pada bau bunga dan daun. Sifat bau busuk ditekankan dalam nama spesies,
“foetida” yang berarti busuk.
Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan setelah matang berubah
menjadi merah dan kadang-kadang menjadi hitam dan membuka. Menurut
Herdiana (2005), karakteristik buah kepuh berkulit tebal dan pada ujungnya
berbentuk paruh. Ukuran buahnya dapat mencapai diameter 7 mm atau lebih,
mempunyai pericarp yang tebal (7 - 8 mm). Tingkat kematangan buah kepuh
tergantung individu dan faktor tempat tumbuh, tetapi biasanya memerlukan waktu
4 - 6 bulan. Biji berwarna hitam mengkilat, banyak mengandung minyak. Jumlah
biji kering sebanyak 493 - 495 butir/kg. Kepuh dapat berbunga dan berbuah setiap
tahun. Musim berbuah kepuh di Kab. Sumbawa umumnya terjadi pada bulan
Agustus sampai dengan bulan Oktober.

Proses pertumbuhan dan perkembangan kepuh


Tahapan pertumbuhan kepuh di Kab. Sumbawa dimulai pada bulan
November-Desember saat banyak cangkang kepuh mulai menganga dan bijinya
jatuh ke tanah. Pada interval bulan ini menjadi waktu yang baik bagi awal
perkembangan kepuh, mengingat intensitas hujan di Kab. Sumbawa mulai
meningkat. Intensitas hujan di Kab. Sumbawa mencapai puncaknya pada bulan
Januari yaitu 446 mm (BPS Kab. Sumbawa 2014).
Semai kepuh mulai bermunculan setelah biji berjatuhan dangan kondisi tanah
relatif basah atau tergenang air. Hal ini karena pertumbuhan kepuh dimulai dari
proses perkecambahan biji. Pertumbuhan kepuh menjadi semai mencapai
puncaknya pada bulan Januari sampai awal bulan Februari. Pada bulan ini, jumlah
semai dapat mencapai puluhan bahkan ratusan di sekitar satu indukan pohon.
Menurut Yuniastuti et al. (2009), kepuh dapat tumbuh dengan cepat. Laju
pertumbuhannya cukup pesat pada tahap awal kemudian melambat karena
memerlukan cahaya yang cukup dan tempat yang lebih luas saat mulai membesar
(Orwa et al. 2009).
Prihatin (2000) menjelaskan, salah satu teknik pembiakan vegetatif kepuh
adalah dengan cara stek, baik stek pucuk maupun stek batang. Stek pucuk diakui
sebagai bahan stek terbaik karena mempunyai kemampuan pertumbuhan yang lebih
baik dibandingkan dengan stek batang. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian
Santoso (2011) yang menunjukkan bahwa perkembangbiakan kepuh menggunakan
stek batang mencapai rata-rata 8 helaian daun selama 3 bulan dengan bantuan zat
pengatur tumbuh (ZPT) 4 ppm selama 24 jam. Konsentrasi ini diakui sebagai
konsentrasi hasil terbaik dari beberapa perlakuan yang diberikan. Media perakaran
terbaik untuk pertumbuhan stek adalah media serabut kelapa, sedangkan
penggunaan zat pengatur tumbuh (rootone-f) sebanyak 150 mg/stek adalah
19

komposisi yang paling efektif untuk meningkatkan keberhasilan pertumbuhan stek


(Prihatin 2000).
Proses kepuh dari semai menjadi pancang memerlukan waktu sampai satu
tahun. Pengalaman peneliti saat memelihara semai kepuh dengan ukuran tinggi 20
cm menggunakan media tanam tanah:pasir yaitu 1:1, selama 3 bulan pertama
pertumbuhannya meningkat, tingginya mencapai 30 cm (Gambar 5). Selama proses
ini perlakuan yang diberikan hanya berupa penyiraman teratur tanpa ada pemberian
pupuk tertentu.

A B

Gambar 5 Pertumbuhan kepuh: (A). awal diambil (20 cm); (B). setelah tiga bulan
(30 cm)

Masa yang paling riskan bagi perkembangan kepuh di Kab. Sumbawa ialah
peralihan pertumbuhan dari semai menjadi pancang. Pada fase pertumbuhan ini
tidak banyak individu yang berkembang menjadi pancang apalagi menjadi tiang
dan pohon. Permasalahan pada tingkat semai bukan hanya terjadi di Kab. Sumbawa
namun juga terjadi di tempat lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa ada
masalah pada tahap pertumbuhan kepuh yang perlu diperhatikan.
Permasalahan lainnya dalam pertumbuhan dan perkembangan kepuh ialah
potensi biji menjadi anakan kepuh belum maksimal. Banyak diantara biji yang jatuh,
hanya membusuk dan tidak bergenerasi kembali. Menurut Zanzibar (2011), biji
kepuh mempunyai watak semi ortodok dengan kandungan lemak yang cukup tinggi,
sehingga viabilitasnya akan cepat menurun jika disimpan pada suhu kamar dan
relatif lebih aman jika disimpan pada suhu rendah. Kadar air biji yang aman untuk
penyimpanan berkisar antara 6 - 10%, kondisi tersebut dapat diperoleh dengan cara
diangin-anginkan selama 2 - 3 hari pada ruang kamar (T: 250C, Rh: 70 - 90%)
kemudian biji dikemas dalam wadah kedap udara dan disimpan dalam ruangan
dingin (DCS atau refrigerator).
Pada fase pertumbuhan pancang tidak diketahui persis lama waktu
pertumbuhan menjadi tiang, namun demikian dapat diyakini seperti yang
diungkapkan oleh para tetua di Kab. Sumbawa bahwa fase ini memerlukan waktu
bertahun-tahun. Sama halnya dengan pancang ke tiang, proses pertumbuhan dan
20

perkembangan menuju tingkat pohon pun demikian, memerlukan waktu yang lama
tergantung pada kondisi abiotik di mana tumbuhan kepuh tumbuh.
Kendala lainnya dalam pertumbuhan kepuh ialah hama dan penyakit. Pada
awal pertumbuhannya, kepuh di India diserang larva Sylepta balteata mencapai
70 - 80% (Orwa et al. 2009). Hasil penemuan di lapangan, batang kepuh yang masih
hidup juga dihinggapi serangga. Serangga tersebut berasal dari ordo Hemiptera dan
famili Pyrrhocoridae. Jenis serangga dari famili Pyrrhocoridae termasuk hama
penyakit yang menyerang tanaman (Ernawati dan Utami 2010). Jenis serangga ini
lebih banyak diketahui hidup pada kulit batang yang mati.
Pertumbuhan dan perkembangan kepuh dapat meningkat dengan berbagai
cara. Selain dengan cara merekayasa faktor abiotik atau memberikan horman
tertentu seperti auksin, giberelin, sitokinin atau hormon yang lainnya, dapat juga
dengan melakukan pemangkasan/pemotongan ujung batang dan melukai bagian
batang sampai mengenai daerah kambium. Hal ini berfungsi merangsang hormon-
hormon tersebut bekerja secara baik.
Melalui pemotongan ujung batang, maka dominansi apikal akan hilang
artinya auksin yang dihasilkan oleh ujung batang akan mendominasi pertumbuhan
batang utama, sehingga pertumbuhan cabang relatif sedikit. Cara ini juga diyakini
dapat membuat batang pohon nampak lebih lurus. Selanjutnya melukai batang sama
halnya dengan membantu merangsang hormon giberelin berkerja dengan baik.
Hormon giberelin berfungsi untuk merangsang pertumbuhan batang lebih besar dan
terbentuknya buah tanpa biji. Adapun tahapan pertumbuhan dan perkembangan
kepuh sebagai berikut:
1. Tahap awal dimulainya pertumbuhan kepuh yaitu biji yang sudah matang
kemudian jatuh ke tanah yang basah atau sedikit tergenang air.
2. Setelah biji jatuh, dalam seminggu sampai dua minggu biji tersebut berubah
menjadi kecambah ditandai dengan munculnya radikula, hipokotil dan akar.
Pada tahap ke dua ini, benih mulai berbentuk semai ditandai dengan munculnya
daun (1 - 2 helai) namun masih terdapat kotiledon.
3. Kepuh menjadi semai (anakan pohon). Pada tahap ini laju pertumbuhan relatif
lebih cepat dalam kondisi yang normal.
4. Semai terus bertambah besar dan tinggi. Pada tahap ini semai kepuh
memerlukan cahaya matahari yang cukup.
5. Selama ± satu tahun selanjutnya kepuh berkembang menjadi pancang.
6. Paling tidak tiga tahun selanjutnya, kepuh sudah dapat menjadi tiang.
7. Kepuh menjadi individu dewasa. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan pohon
kepuh dapat memakan waktu 7 - 8 tahun bahkan lebih.
8. Pohon kepuh mulai berbunga. Tidak semua kepuh pada tingkat pertumbuhan
pohon langsung berbunga. Terkadang satu pohon kepuh memerlukan waktu
sampai belasan tahun agar dapat berbunga. Di Kabupaten Sumbawa bunga
kepuh biasa muncul mulai pada bulan Juni dan puncaknya di bulan Agustus.
9. Buah kepuh mulai muncul yaitu sekitar bulan Juli (pencilan) dan mencapai
puncak pada bulan Oktober. Buah kepuh yang masih muda berwarna hijau dan
setelah matang berubah menjadi merah dan menjadi hitam saat sudah tua.
10. Kepuh yang sudah tua dicirikan dari cangkangnya membuka. Terdapat banyak
biji di dalamnya yang saat jatuh berpeluang menjadi individu baru.
Secara ringkas visualisasi (sesuai nomor keterangan) tahapan pertumbuhan
dan perkembangan kepuh tersaji pada Gambar 6.
1

4 5 6 7

3 8 9 10

Gambar 6 Tahapan pertumbuhan dan perkembangan kepuh


21
22

Populasi aktual
Potensi kepuh yang ditemukan di Kabupaten Sumbawa secara keseluruhan
berjumlah 169 individu. Jumlah ini merupakan akumulasi dari hasil eksplorasi di
12 kecamatan di luar plot pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan
pohon serta jumlah individu yang ditemukan di dalam petak tunggal pada tingkat
pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon. Berdasarkan hasil eksplorasi, kepuh
pada tingkat semai tidak ditemukan, pancang sebanyak 5 individu serta tiang dan
pohon sebanyak 84 individu. Hasil inventarisasi di petak tunggal berukuran masing-
masing 1 Ha di tiga kecamatan yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec.
Moyo Utara menemukan sebanyak 80 individu kepuh.
Berdasarkan kelas diameter potensi kepuh (tiang dan pohon) di Kab.
Sumbawa mencapai diameter > 100 cm. Sebagian besar kepuh ditemukan dengan
diameter 20 - 29 cm dan diameter di atasnya untuk kelipatan 10 cm terus berkurang
(Gambar 7).

50
46
45

40

35
Jumlah Individu

30

25

20
14
15
11 11
9
10

5 3 2 1 1 1
0
<20 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 >100
Kelas Diameter

Gambar 7 Potensi kepuh (tiang dan pohon) berdasarkan kelas diameter

Berdasarkan tingkat pertumbuhan diperoleh bahwa laju regenerasi kepuh


tidak berjalan normal. Kerapatan yang tinggi pada tingkat semai yaitu 61 ind/ha
tidak diikuti dengan pertumbuhan pada tingkat pancang (Gambar 8).
Gambar 8 tersebut menunjukkan bahwa terdapat masalah dalam laju
regenerasi kepuh. Permasalahan pertumbuhan ini tidak hanya pada peralihan antara
semai ke pancang, namun pertumbuhan dari biji menjadi semai (anakan baru).
Permasalahan pertama ialah jumlah biji yang potensial menjadi anakan baru
dihitung dari jumlah biji yang jatuh, tidak semuanya mampu berkembang dan
menjadi semai. Permasalahan kedua ialah cenderung terputusnya laju regenerasi
kepuh pada pertumbuhan pancang. Permasalahan lainnya kepuh kerap terserang
23

hama penyakit. Jumlah individu kepuh dari hasil inventarisasi menggunakan petak
tunggal di tiga kecamatan tersaji pada Gambar 8.

61 4
Tingkat Pertumbuhan Semai

Pancang 0
3 4 3
Tiang
22
Pohon 1

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70
Jumlah Individu/ha

Empang Lenangguar Moyo Utara

Gambar 8 Populasi kepuh pada masing-masing tingkat pertumbuhan

Sebagai gambaran bila rata-rata hasil penemuan tidak kurang dari 10 biji
dalam satu cangkang (bahkan ada yang mencapai 28 biji), kemudian dalam satu
tangkai terdapat paling sedikit lima cangkang maka akan didapatkan sebanyak 50
biji kepuh. Jumlah ini akan bertambah bila ditambahkan dengan cangkang-
cangkang lain dari ranting yang berbeda. Cangkang kepuh diprediksi dalam satu
kali musim panen (buah), menghasilkan ribuan biji. Namun demikian dari sekian
banyak biji tersebut, penemuan individu semai kepuh masih tergolong rendah yaitu
hanya 61 individu/ha.
Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab biji kepuh tidak mampu
berkembang adalah adanya gangguan satwa liar, hewan ternak dan serangan hama.
Biji kepuh, saat masih di pohon kerap dimakan oleh bajing atau jenis rodensia
(satwa pengerat) lainnya, bahkan setelah jatuh ke tanah biji kepuh terkadang
dimakan oleh babi hutan. Belum lagi ternak warga seperti kambing, kerbau, sapi
dan kuda yang kerap berteduh di bawah pohon kepuh, menyebabkan biji kepuh
yang jatuh di sekitar indukan tidak mampu hidup karena terus terinjak atau
terganggu oleh aktivitas ternak tersebut.
Penemuan di lapangan, pada daerah kering biji kepuh yang jatuh relatif tidak
dapat tumbuh. Hal ini menunjukkan bahwa biji kepuh memerlukan perlakuan yaitu
pematahan dormasi. Biji kepuh paling tidak memiliki tiga lapisan kulit yang dapat
memperlambat dalam proses persemaian. Menurut Sumantri dan Supriatna (2010)
serta Zanzibar (2011), benih kepuh diduga memiliki dormansi kulit, sehingga untuk
mengecambahkannya memerlukan perlakuan pendahuluan.
Perlakukan pendahuluan yang dapat diterapkan untuk pematahan dormansi
kepuh adalah pemberian air hangat selama 60 detik kemudian direndam dalam air
dingin selama 12 - 24 jam. Benih yang sudah mendapat perlakuan pendahuluan
dapat langsung dikecambahkan pada media tabur berupa campuran tanah dan pasir
(1:1) dengan cara menanam bagian benih dalam media tabur tersebut. Cara lain
yang pernah dilakukan peneliti saat memilih biji (benih) yang siap tanam
24

(berkualitas) ialah dengan merendamnya dalam air hangat atau air dingin beberapa
waktu kemudian dipilih biji yang tenggelam.
Permasalahan regenerasi kepuh selanjutnya adalah rendahnya penemuan
individu pada tingkat pancang. Kondisi ini dapat berdampak pada putusnya laju
regenerasi kepuh. Putusnya laju regenerasi kepuh ditengah tidak adanya upaya
pelestarian serta aktivitas perambahan dan alih fungsi lahan yang tidak kunjung
henti, lambat laun dapat mengancam dan berakibat kepunahan pada kepuh.
Serangan hama penyakit pada kepuh juga menjadi masalah. Penemuan di
lapangan kepuh di serang hama serangga. Serangga ini berasal dari ordo Hemiptera
dan famili Pyrrhocoridae (Gambar 9).

Gambar 9 Hama penyakit pada batang kepuh

Penyebaran dan pola sebaran spasial kepuh


Kepuh merupakan salah satu spesies yang memiliki wilayah sebaran yang
luas di Asia Tenggara. Penyebarannya sampai Malaysia, Filipina, Afrika Timur,
India, Srilangka, Thailand, Australia dan Hawaii. Menurut Orwa et al. (2009),
kepuh pernah ditemukan di beberapa negara seperti Banglades, Djibouti, Eritrea,
Ethiopia, Kenya, Myanmar, Oman, Pakistan, Somalia, Tanzania, Thailand, Uganda,
Yaman, Republik Zanzibar serta Ghana dan Poerto Rico.
Keberadaan kepuh di Indonesia relatif menyebar merata di beberapa pulau
seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Flores,
Timor dan Papua (Sumantri dan Supriatna 2010). Tumbuhan kepuh di Sumbawa
dahulu kala (pengakuan orang-orang tua/sesepuh) mudah ditemukan. Sampai tahun
80-an, Kab. Sumbawa sangat tergantung dengan biji kepuh sebagai salah satu
sumber bahan bakar lampu (dila), khususnya mereka yang tinggal di daerah dataran
rendah atau pesisir utara Kab. Sumbawa, tersebar mulai Kec. Sekongkang
(sekarang menjadi bagian Kab. Sumbawa Barat) sampai Kec. Empang (ujung
bagian timur Kab. Sumbawa pada saat itu). Sebagai kebutuhan upacara adat
(pengantan “pernikahan”, besunat “khitanan” dan lain-lain), biji kepuh selalu
digunakan oleh masyarakat Sumbawa pada saat itu. Pada era 80-an masyarakat
Sumbawa dapat menemukan khusus kebun kepuh atau lebih dikenal dengan nama
“keban gelumpang”.
Gambar 10 Peta sebaran kepuh berdasarkan kecamatan di Kab. Sumbawa
25
26

Kondisi penyebaran kepuh, kini tidak merata. Sejak awal tahun 90-an
terutama saat krisis moneter dan adanya larangan penebangan kayu jenis tertentu
menyebabkan kepuh mulai dilirik untuk memenuhi kebutuhan kayu dan kebutuhan
ekonomi lainnya. Kondisi inilah yang menjadi awal kepuh semakin langka,
menyebar secara sporadis di daerah tertentu yang tidak berpenghuni atau daerah
yang penduduknya masih meyakini bahwa pohon kepuh sebagai pohon keramat
serta daerah dengan penduduk yang masih rutin menggunakan tumbuhan kepuh.
Penyebaran kepuh secara sporadis kini masih dapat ditemukan di beberapa
kecamatan. Beberapa diantaranya ialah Sumbawa (ibukota kabupaten), Unter Iwes,
Moyo Utara, Moyo Hilir, Moyo Hulu, Lenangguar, Lopok, Plampang, Empang dan
Tarano (Gambar 10). Beberapa kecamatan lainnya diakui masih ada pohon kepuh
namun ternyata saat didatangi tumbuhan tersebut kini sudah tidak ada karena
ditebang.
Berdasarkan pola sebarannya, kepuh di tiga kecamatan yaitu Empang,
Lenangguar dan Moyo Utara cenderung mengelompok. Pola sebaran berkelompok
dapat mengindikasikan bahwa secara sosio ekologis keberadaan
makanan/minuman (unsur hara) terkonsentrasi pada lokasi tertentu. Selain itu
secara sosio biologis sebaran mengelompok juga menunjukkan bahwa ada interaksi
sosial/asosiasi diantara tumbuhan tersebut. Menurut Krebs (1998), tumbuhan dalam
fase awal perkembangannya mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan.
Faktor-faktor yang membatasi distribusi antara lain iklim, faktor edafis dan
interaksi dengan tumbuhan lain. Oleh karenanya populasi tumbuhan di alam
umumnya menyebar mengelompok dan hanya sedikit menyebar dalam pola lainnya.
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), faktor yang dapat mempengaruhi pola
sebaran spasial makhluk hidup, yaitu: (a). faktor vektorial, yaitu faktor yang
dihasilkan oleh aksi lingkungan (jenis tanah, angin, intensitas cahaya dan air), (b).
faktor sosial, yaitu faktor yang berkaitan dengan perilaku organisme seperti
teritorial, (c). faktor co-aktif, yaitu faktor yang berkaitan dengan interaksi
intraspesifik (d). faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada
beberapa faktor sebelumnya.
Pada kasus kepuh di Kab. Sumbawa nampak bahwa kepuh relatif memilih
lokasi yang berdekatan dengan sumber air. Selain itu kepuh ditemukan pada areal-
areal pematang sawah, kebun maupun di hutan yang lebih terbuka, terkena cahaya
matahari langsung. Hal inilah yang menjadi faktor pendorong sehingga kepuh
cenderung mengelompok. Data pola sebaran kepuh tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Pola sebaran kepuh di tiga kecamatan

Kecamatan Id Mu Mc Id-Mc n-Mc Mc-1 Ip Pola Sebaran


Empang 2.78 -0.29 2.71 0.07 22.29 1.71 0.52 Mengelompok
Lenangguar 4.44 -0.29 2.71 1.74 22.29 1.71 1.00 Mengelompok
Moyo Utara 12.50 -2.87 6.12 6.38 18.88 5.12 0.67 Mengelompok
Keterangan: Id= indeks dispersi Morisita, Mu= uniform Indeks, Mc= clumped indeks, Ip= indeks
Morisita standar
Pola sebaran individu tumbuhan di alam mengikuti tiga pola yaitu acak,
seragam/teratur dan mengelompok (Krebs 1998; Odum 1994; Ludwig dan
27

Reynolds 1988). Mengetahui pola sebaran tumbuhan penting sebagai data dasar
pengelolaan yaitu penempatan tumbuhan pada dimensi ruang. Selain itu pola
sebaran dapat menunjukkan lokasi preferensi tumbuhan tersebut. Pola sebaran acak
mengindikasikan suatu kondisi lingkungan yang homogen atau menunjukkan pola
perilaku makhluk hidup yang tidak selektif atas kondisi lingkungannya. Pola
sebaran acak cenderung lebih aman terhadap upaya pengelolaan tumbuhan. Pola
sebaran seragam/teratur menunjukkan interaksi yang negatif antara individu, seperti
persaingan pakan dan ruang (Ludwig dan Reynolds 1988).
Berdasarkan ketiga bentuk sebaran di atas, dalam bidang ekologi terdapat
beberapa metode yang dapat digunakan dalam menentukan bentuk sebaran spasial
tumbuhan. Beberapa diantaranya ialah metode ratio ragam dengan nilai tengah,
metode sebaran (poisson, binom positif dan binom negatif), metode indeks/ordinal,
serta metode Average Nearest Neighbor. Metode ini pada prinsipnya akan
menghasilakan hasil yang sama.
Salah satu pembuktian pola sebaran dilakukan menggunakan metode Average
Nearest Neighbor. Menggunakan bantuan ArcGis setiap titip GPS yang diambil di
lapangan dianalisis berdasarkan jarak rata-rata dari masing-masing titik dengan titik
terdekatnya. Pada dasarnya metode ini hampir sama dengan indeks Morisita.
Perbedaanya adalah pada metode Average Nearest Neighbor memiliki interval yang
seimbang dari pada indeks Morisita, menyebabkan sistem ini lebih adil menilai pola
sebaran tumbuhan khususnya tumbuhan yang berada pada margin interval. Artinya
setiap pola sebaran dalam sistem ini memiliki peluang yang sama untuk terpilih.
Berbeda halnya dengan indeks Morisita, peluang sebaran acak hanya terjadi saat
nilai IP=0. Salah satu hasil analisis pola sebaran menggunakan metode Average
Nearest Neighbor tersaji pada Gambar 11.

Gambar 11 Pola sebaran kepuh di Kecamatan Empang


28

Asosiasi interspesifik
Asosiasi interspesifik adalah pola interaksi yang terjadi antar spesies.
Asosiasi interspesifik juga dapat diartikan sebagai pola interaksi antar spesies yang
saling menguntungkan atau sebaliknya sehingga dapat menghasilkan pola tertentu.
Pola asosiasi interspesifik kepuh di alam relatif positif.
Pola interaksi positif pada tumbuhan kepuh menunjukkan bahwa interaksi
yang terbentuk cenderung saling menguntungkan. Berdasarkan tingkat
asosiasi/nilai besarnya asosiasi menggunakan indeks Jaccard menunjukkan bahwa
asosiasi yang terbentuk relatif lemah. Nilai yang terbentuk berkisar antara 0 - 0.67
dengan nilai rata-rata asosiasi yaitu 0.38. Nilai inilah yang menunjukkan bahwa
tingkat asosiasi yang terbentuk tidak kuat. Nilai indeks Jaccard berkisar antara
0 - 1. Semakin mendekati 1, maka tingkat asosiasinya semakin kuat. Pola asosiasi
tumbuhan kepuh terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5 menjelaskan bahwa kepuh di Kec. Empang tidak membentuk asosiasi
dengan spesies manapun. Kondisi ini memberi arti bahwa keberadaan kepuh di
kecamatan ini tidak dipengaruhi atau mempengaruhi spesies manapun di sekitarnya.
Asosiasi yang terbentuk juga menguatkan dugaan bahwa bentuk pola sebaran kepuh
di kecamatan ini yakni mengelompok, bukan karena terdapat interaksi diantara
kepuh dengan spesies lainnya, melainkan karena faktor abiotik seperti jenis tanah,
pH tanah, angin maupun faktor lainnya seperti makanan dan minuman (unsur hara)
yang terkonsentrasi pada lokasi tertentu.
Hasil yang berbeda ditunjukkan di Kec. Moyo Utara dan Kec. Lenangguar,
terdapat asosiasi antara kepuh dengan beberapa spesies. Spesies tersebut
diantaranya Ficus sinuata, Lantana camara dan Ziziphus mauritiana di Kec. Moyo
Utara dan Glochidion rubrum, Lagerstroemia speciosa dan Scolopia spinosa di Kec.
Lenangguar. Asosiasi terjadi saat nilai χ 2hitung > χ 2tabel , dengan χ 2tabel 3.841. Asosiasi
kepuh di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Asosiasi kepuh di lokasi penelitian

Nilai
Tipe
Spesies χ 2hitung Asosiasi Indeks
Asosiasi
Asosiasi
Aglaia odorata1 0.283 Tidak ada
Alstonia pneumatophora1 1.077 Tidak ada
Crateva sp. 1 0.099 Tidak ada
Cryptocarya densiflora1 1.883 Tidak ada
Ficus amplas1 0.379 Tidak ada
Lagerstroemia speciosa1 1.010 Tidak ada
Phyllanthus emblica1 3.693 Tidak ada
Suregada glomerulata1 0.163 Tidak ada
Aglaia odorata2 0.414 Tidak ada
Crateva sp.2 0.686 Tidak ada
2
Ficus amplas 0.845 Tidak ada
29

Tabel 5 Asosiasi kepuh di lokasi penelitian (lanjutan)

Nilai
Tipe
Spesies χ 2hitung Asosiasi Indeks
Asosiasi
Asosiasi
Ficus sinuata2 0.189 Tidak ada
2
Flacourtia sp. 0.806 Tidak ada
Glochidion rubrum2 4.620 Ada Positif 0.25
Harpulia cupanioides2 0.091 Tidak ada
2
Ixora pluminalis 1.708 Tidak ada
Lagerstroemia speciosa2 6.884 Ada Positif 0.33
Magnolia lilifera2 1.870 Tidak ada
2
Mallotus philippensis 0.189 Tidak ada
Microcos tomentosa2 1.223 Tidak ada
Myristica fragrans2 0.806 Tidak ada
2
Planchonella sp. 0.185 Tidak ada
2
Protium javanicum 0.845 Tidak ada
Schleichera oleosa2 0.686 Tidak ada
2
Scolopia spinosa 5.590 Ada Positif 0.29
2
Suregada glomerulata 0.806 Tidak ada
Syzygium sp.2 2.767 Tidak ada
Syzygium sp.2 2.007 Tidak ada
2
Terminalia catappa 0.686 Tidak ada
Tamarindus nudiflora2 0.189 Tidak ada
Alstonia spectabilis3 0.189 Tidak ada
Ceiba pentandra3 0.806 Tidak ada
Ficus sinuata3 11.979 Ada Positif 0.50
Chromolaena odorata3 3.261 Tidak ada
Lannea coromandelica3 0.522 Tidak ada
Lantana camara3 15.942 Ada Positif 0.67
Microcos tomentosa3 0.414 Tidak ada
3
Schleichera oleosa 0.189 Tidak ada
Tamarindus indica3 0.845 Tidak ada
Ziziphus mauritiana2 4.620 Ada Positif 0.25
1 2 3
Ket: Kec. Empang, Kec. Lenangguar, Kec. Moyo Utara
30

Karakteristik Habitat Kepuh

Ketinggian tempat
Berdasarkan ketinggiannya di Kabupaten Sumbawa, keberadaan kepuh
berada pada interval 0 - 400 mdpl (Gambar 12). Menurut Heyne (1987), keberadaan
kepuh di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara dapat dijumpai pada ketinggian kurang dari
500 mdpl. Menurut Yuniastuti et al. (2009), untuk mendapatkan tanaman kepuh
yang banyak buahnya, maka penanaman kepuh memerlukan ketinggian antara
300 - 600 mdpl. Pada dataran tinggi (di atas 750 mdpl) kepuh dapat tumbuh dengan
baik tetapi buah yang dihasilkan sangat jarang.

Berada tidak jauh dari air atau sungai, pohon ini tumbuh dengan baik.

Gambar 12 Habitat kepuh berdasarkan ketinggian di Kab. Sumbawa

Kepuh yang ditemukan sebagian besar berada tidak jauh dari aliran
air/sumber air. Berdasarkan interval ketinggian yang ada di Kab. Sumbawa yakni
0 - 1861, kepuh hanya menyebar pada ketinggian di bawah 400 mdpl, dengan rata-
rata ketinggian 0 - 200 mdpl. Bila dibagi berdasarkan jumlah individu maka 122
individu kepuh berada pada ketinggian interval 0 - 200 mdpl, sedangkan sisanya
yaitu 47 individu berada pada ketinggian interval 200 - 400 mdpl. Sebagian besar
wilayah Sumbawa yang berada di bawah 800 mdpl, sangat cocok sebagai lokasi
pengembangan kepuh.
Keberadaan kepuh yang tumbuh di dataran rendah pada satu sisi akan
memudahkan pemeliharaan karena berada di sekitar pemukiman penduduk, namun
disisi lain berdasarkan aspek ketinggian lokasi 0 - 400 mdpl yang menjadi habitat
kepuh, akan mudah terancam mengingat ketinggian yang sama juga digunakan
sebagai pemukiman penduduk. Artinya terdapat persaingan lahan antara fungsi
pemukiman dan konservasi/budidaya kepuh.
31

Kelerengan tempat
Berdasarkan tingkat kelerengannya, kepuh di Kab. Sumbawa lebih banyak
dijumpai pada areal yang datar dan landai. Berdasarkan proporsi jumlah individu,
keberadaan kepuh pada areal yang datar dan landai mencapai 70%. Kepuh pada
prinsipnya tidak memiliki preferensi khusus berkaitan dengan tingkat kelerengan.
Kondisi perakaran yang kuat juga memungkinkan kepuh untuk dapat hidup pada
areal dengan kemiringan agak curam. Fakta membuktikan bahwa beberapa kepuh
yang hidup di areal SM Cikepuh, Jawa Barat, tumbuh pada areal dengan kemiringan
yang agak curam. Oleh karena anakan kepuh memerlukan cukup air, menyebabkan
kepuh akan lebih berkembang bila kepuh berada di areal yang datar atau landai.
Peta kelas lereng Kab. Sumbawa tersaji pada Gambar 13.

Gambar 13 Peta kelas lereng di Kab. Sumbawa

Pada areal dengan kelerengan yang agak curam sampai sangat curam, tidak
memungkinkan menyerap air dalam jumlah yang banyak karena prinsip air akan
mengalir terus sampai mencapai titik terendah (daerah yang datar atau landai).
Pernyataan ini diperkuat oleh Njurumana (2011), bahwa pertumbuhan kepuh lebih
banyak dijumpai pada daerah yang agak rata atau bergelombang seperti pada daerah
sempadan sungai yang lembab karena aliran air mengalir sepanjang tahun maupun
pada sempadan sungai yang mengalami kekeringan pada musim kemarau.
Kondisi curam dan sangat curam di bagian barat dan selatan Kab. Sumbawa
seperti pada Gambar 13 di atas, menyebabkan terbentuknya patahan di bagian
bawah lereng yang memungkinkan kepuh untuk tumbuh di sana. Patahan di bagian
bawah lereng mungkinkan air untuk mengalir atau dengan kata lain memungkinkan
terdapat genangan air di sana.
32

Curah hujan dan kelembaban udara


Kondisi kelembaban sekitar habitat kepuh cukup beragam antara 74% - 86%.
Kelembaban tertinggi berada di Kec. Lenangguar lalu Kec. Empang dan terendah
Kec. Moyo Utara. Berdasarkan data BPS Kab. Sumbawa (2014), data curah hujan
di tiga kecamatan pun bervariasi mulai 1695 mm/tahun (Empang), 2132 mm/tahun
(Lenangguar) dan 1916 mm/tahun (Moyo Utara) (Tabel 6). Kelembaban udara
berpengaruh terhadap jumlah intensitas curah hujan (Pitojo 2005). Intensitas curah
hujan secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman/tumbuhan
khususnya pertanian lahan kering. Menurut Setiawan (2009), faktor-faktor cuaca
yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan terutama
untuk pertanian lahan kering, suhu maksimum dan minimum serta radiasi.

Tabel 6 Data curah hujan dalam mm/tahun di lokasi penelitian

Kecamatan
Bulan
Empang Lenangguar Moyo Utara
Januari 438 442 572
Februari 179 258 106
Maret 185 188 385
April 163 162 25
Mei 92 222 178
Juni 153 112 135
Juli 0 5 0
Agustus 0 3 0
September 0 18 0
Oktober 25 100 20
November 68 175 305
Desember 392 447 190
Total 1695 2132 1916
Ket: Data BPS Kab. Sumbawa (2014)

Curah hujan dan kelembaban tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Curah
hujan maupun kelembaban, keduanya berkaitan dengan penguapan. Jumlah
penguapan dapat berpengaruh terhadap banyak sedikitnya hari hujan dan curah
hujan yang terjadi pada periode berikutnya.
Kelembaban udara berpengaruh terhadap laju penguapan atau transpirasi.
Jika kelembaban rendah, laju transpirasi meningkat akibatnya penyerapan air dan
zat-zat mineral oleh tumbuhan juga meningkat. Jika kelembaban tinggi, laju
transpirasi rendah sehingga penyerapan zat-zat nutrisi juga rendah. Kondisi ini akan
mengurangi ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhan (pertumbuhan akan melambat).
Kelembaban udara di sekitar kepuh tergolong sedang. Berdasarkan suhu pembentuk
kelembaban, suhu kering berkisar 220C - 320C, dengan suhu basah berkisar antara
190C - 300C.
Kelembaban tertinggi di tiga kecamatan secara berturut yaitu
Kec. Lenangguar, Kec. Empang dan Kec. Moyo Utara, mengindikasikan bahwa
ketinggian tempat berpengaruh terhadap kelembaban udara. Hal ini seperti yang
dijelaskan oleh BMKG bahwa peningkatan curah hujan akan terjadi seiring
33

penambahan ketinggian tempat di atas permukaan air laut (mdpl). Kondisi


Kec. Lenangguar yang berada di pegunungan menyebabkan intensitas curah hujan
di kecamatan ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kec. Empang dan
Kec. Moyo Utara yang lokasinya relatif lebih dekat dengan laut (rendah).
Berdasarkan jumlah penemuan individu kepuh dari terbesar hingga terkecil
secara berturut yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara. Data
ini menunjukkan bahwa faktor curah hujan berbanding terbalik dengan penemuan
kepuh. Artinya bahwa kondisi yang lebih kering dengan curah hujan rendah kepuh
dapat tumbuh dengan baik.

Tutupan lahan
Berdasarkan kondisi tutupan lahan, keberadaan kepuh di Kabupaten
Sumbawa menyebar di enam tipe tutupan lahan, mulai dari hutan lahan kering
sekunder (hutan sekunder), pemukiman, pertanian lahan kering ditambah semak
(gempang/ladang), sawah, pertanian lahan kering (kebun) dan semak/belukar
(Gambar 14). Dominasi kepuh berdasarkan tutupan lahannya berada di sekitar
sawah dan kebun warga. Berdasarkan komposisi jumlah individu yang ditemukan,
hutan lahan kering sekunder (hutan sekunder) terdapat 23 individu, pemukiman
sebanyak 7 individu, pertanian lahan kering ditambah semak (gempang/ladang)
sebanyak 33 individu, sawah sebanyak 54 individu, pertanian lahan kering (kebun)
sebanyak 41 individu dan semak/belukar sebanyak 11 individu.

menjadi indukan kepuh seperti yang dilihat saat ini.

Gambar 14 Penyebaran kepuh berdasarkan tutupan lahan di Kab. Sumbawa


Hutan lahan kering sekunder dapat dengan mudah ditemukan di bagian
selatan Kab. Sumbawa. Hutan ini terkadang hanya digunakan untuk berburu atau
tempat mencari madu, berbagai jenis kayu baik untuk keperluan bahan obat-obatan
34

maupun keperluan lainnya. Berdasarkan fungsinya, hutan lahan kering sekunder ini
biasanya berupa hutan lindung (HL) atau hutan produksi terbatas (HPT).
Pengelolaan hutan lahan kering yang ada di Kab. Sumbawa, sebagian dikelola oleh
BKSDA NTB dan sebagian lainnya oleh Pemda Sumbawa melalui Dinas
Kehutanan dan Perkebunan.
Pertanian lahan kering ditambah semak atau dalam bahasa lokal dikenal
dengan nama gempang merupakan lahan bersemak yang kemudian dibuka guna
menanam kacang hijau, jagung atau produk pertanian lainnya. Gempang memiliki
ciri khas seperti tidak memiliki batas (pematang yang jelas), berada di daerah
dengan topografi berbukit (miring) serta pengelolaannya tidak intensif. Selain itu
kapasitas air yang ada di sekitarnya tidaklah banyak (kondisi lahan lebih kering).
Dominasi kepuh di sawah dan kebun merupakan sisa-sisa peninggalan nenek
moyang yang masih tumbuh baik. Kepuh di sawah dan kebun dengan status
kepemilikan lahan yang lebih jelas, cenderung lebih aman dibandingkan kepuh
yang tumbuh liar di hutan, terutama dari aksi illegal logging . Dominasi kepuh yang
ada di sawah maupun kebun terjadi bukan karena masyarakat setempat atau pemilik
lahan sengaja menanam kepuh di lahannya melainkan unsur ketidaksengajaan saat
warga setempat menggunakan batang kepuh sebagai pembatas antar lahan. Batang-
batang inilah kemudian yang berkembang tumbuh menjadi individu baru.
Keberadaan kepuh di hutan lahan kering sekunder masih dapat dijumpai di
Kec. Lenangguar dan Kec. Empang. Hutan lahan kering sekunder cukup dominan
di Kec. Lenangguar, sementara di Kec. Empang hutan lahan kering sekunder hanya
berada di bagian selatan kecamatan ini yaitu di Desa Jotang Beru.
Berdasarkan proporsi tutupan lahan di Kab. Sumbawa, luas habitat kepuh
terbanyak berada di hutan lahan kering sekunder. Tutupan lahan ini mendominasi
hingga 51% dari luas tutupan lahan habitat kepuh lainnya. Adapun proporsi
pembagian tutupan lahan yang dapat digunakan sebagai habitat kepuh tersaji pada
Gambar 15.

Semak
Belukar
24% Hutan Lahan
Kering
Sekunder
Kebun 51%
6%

Sawah
5%
Pertanian
Lahan Kering
Ditambah
Semak Pemukiman
13% 1%

Gambar 15 Proporsi habitat kepuh berdasarkan tipe tutupan lahan di


Kab. Sumbawa

Berdasarkan proporsi pada Gambar 15 di atas, menjadi perhatian bahwa


tutupan berupa semak cukup besar (semak belukar dan pertanian lahan kering
ditambah semak). Bila dihitung berdasarkan jumlah individu di kedua habitat ini
35

yaitu 44 individu, tentu jumlah yang tidak sedikit. Dominasi penutupan lahan oleh
semak sangat rentan terhadap kebakaran terlebih kondisi iklim Sumbawa yang
cenderung kering dan panas. Kebakaran lahan juga mungkin terjadi mengingat
penerapan metode pembukaan/pembersihan lahan menggunakan api, umum
digunakan pada pertanian lahan kering di Kab. Sumbawa (Gambar 16). Penerapan
metode dengan membakar lahan dikhawatirkan berdampak pada kerusakan
ekosistem dan terdegradasinya jenis flora setempat, salah satunya kepuh.

Gambar 16 Sistem pembukaan lahan kering dengan cara membakar di


Kab. Sumbawa

Status kepemilikan lahan


Status kepemilikan lahan saat ini mulai diperhitungkan dalam upaya
konservasi spesies. Permasalahan sengketa kepemilikan lahan kerap kali menjadi
hambatan dalam upaya konservasi tumbuhan. Pada beberapa kasus illegal logging
banyak terjadi di lahan negara yang tidak diawasi, namun disisin lain hutan tanaman
yang dikelola oleh swasta cenderung lebih aman dari tindakan illegal logging.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa pengelola memegang peranan penting dalam
upaya konservasi spesies. Siapa yang mengelola, seberapa seriusnya dalam
mengelola menjadi tolak ukur keberhasilan upaya pelestarian biodiversitas.
Fakta bahwa lahan pribadi jauh lebih terurus dari pada lahan negara yang
pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah, menjadi permasalah tersendiri
dalam upaya konservasi biodiversitas saat ini. Hampir semua sektor yang berkaitan
dengan kepentingan publik cenderung tidak kuat menarik perhatian masyarakat.
Masyarakat lebih cenderung peduli saat yang dikelola tersebut merupakan miliknya
sendiri. Dengan kata lain kuatnya rasa memiliki berperan besar dalam menstimulus
seseorang untuk berbuat, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan
publik. Oleh karena itu status kepemilikan lahan di mana kepuh berada menjadi
penting guna pengelolaan berkelanjutan.
Berdasarkan status kepemilikan lahan tempat kepuh ditemukan, hanya hutan
lahan sekunder dan semak belukar yang merupakan lahan publik atau milik negara.
Adapun lahan lainnya yaitu pemukiman, sawah, kebun dan ladang merupakan lahan
milik pribadi.
Keberadaan 169 individu kepuh dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan
milik masyarakat (pribadi) dan lahan umum (Gambar 17). Pertimbangan status
lahan menjadi penting karena arsitektur pohon kepuh yang besar memerlukan luas
lahan yang lebih besar.
36

Lahan Umum
14%

Lahan Milik
Masyarakat
86%

Gambar 17 Komposisi habitat kepuh berdasarkan status kepemilikan lahan

Mengingat arsitektur pohonnya yang besar maka sasaran utama dalam


pengembangan kepuh ke depan ialah lahan umum/publik. Lahan milik
masyarakat/pribadi akan dapat digunakan bila lahan tersebut berupa ladang, kebun
atau sawah dengan luas areal yang lebih besar, bukan pekarangan yang umumnya
lebih sempit.
Pemilihan lokasi yang tepat menjadi syarat untuk konservasi kepuh
mendatang. Jangan sampai dikala tumbuhan mulai tumbuh membesar, akibat lahan
yang sempit kemudian ditebang. Melihat kondisi ini maka beberapa alternatif lahan
yang dapat digunakan untuk konservasi kepuh ialah hutan, tanah terbuka, semak
belukar dan sepadan tubuh air, kebun maupun ladang. Luas areal ini bila dihitung
dapat mencapai ± 330 000 ha atau setengah dari luas Kab. Sumbawa yang mencapai
660 000 ha.

Jenis tanah
Berdasarkan jenis tanah, kepuh di Kab. Sumbawa tumbuh di atas delapan
kombinasi campuran tanah. Kombinasi tersebut diantaranya ialah (calciustolls,
haplustalfs); (dystropepts); (haplustalfs, dystropepts, haplustalfs); (pellusterts,
haplustalfs); (tropaquepts, ustropepts, fluvaquents); (ustropepts, dystropepts);
(ustropepts, haplustalfs); dan (ustropepts, pellusterts). Pemberian nama tanah ini
mengikuti klasifikasi soil taxonomy pada level great group (Soil Survey Staff 2003).
Terdapat enam jenis tanah yang menjadi habitat kepuh. Jenis tanah tersebut
diantaranya calciustolls, haplustalfs, dystropepts, pellusterts, tropaquepts,
ustropepts dan fluvaquents. Jenis tanah calciustolls merupakan jenis tanah pada
order mollisol yang bersifak calsic/kapur. Jenis tanah calciustolls merupakan tanah
yang calsic-ustik-mollisol. Artinya tanah ini memiliki kandungan kapur yang tinggi
dan berada pada tempat kelembaban ustik/rendah yang cenderung lebih lunak
(mollis). Kelembaban ustik ini biasa diakibatkan oleh curah hujan yang rendah.
Jenis tanah haplustalfs merupakan jenis tanah alfisol. Akhiran alfs
menunjukkan orde nama jenis tanah ini sementara ustalfs menunjukkan bahwa jenis
tanah ini bersifat agak kering (ustic) sehingga jenis tanah haplustalfs dapat diartikan
sebagai tanah alfisol yang memiliki kejenuhan basah tinggi, kapur tinggi dengan
kelembaban ustik yang biasanya kering. Akhiran alfs menunjukkan bahwa tanah
jenis ini mengalami dekomposisi sedang, sedangkan golongan tanah alfisol
menunjukkan bahwa terdapat banyak kandungan Fe dan Al (Mega et al. 2010).
37

Adapun jenis tanah ustropepts merupakan jenis tanah pada order inceptisols.
Jenis tanah ini bersifat ustepts/agak kering, kelembaban tanah ustik berkembang di
daerah lebih kering. Ciri jenis tanah ini relatif sama dengan tanah dystropepts dan
tropaquepts yang juga merupakan tanah pada order inceptisols.
Jenis tanah pellusterts merupakan jenis tanah pada order vertisols yang
bersifat usterts. Artinya jenis tanah ini memiliki kemampuan mengembang dan
mengkerut. Tanah jenis ini biasanya tidak terdapat lapisan pencucian maupun
penimbunan liat. Bahan induk dari tanah vertisols ini juga dari basaltic atau kapur,
biasanya pada tanah sawah yang lebih kering.
Jenis tanah fluvaquents merupakan jenis tanah pada order entisol dan sub
order aquents. Jenis tanah ini merupakan tanah fluvents artinya berasal dari bahan
endapan di sekitar endapan banjir sungai. Tanah jenis ini cenderung lebih liat
dengan tingkat kesuburan yang rendang. Jenis tanah ini cenderung selalu basah
(aquents) (Mega et al. 2010). Peta sebaran kepuh berdasarkan jenis tanah tersaji
pada Gambar 18.

Gambar 18 Penyebaran kepuh berdasarkan jenis tanah di Kab. Sumbawa

Penjelasan enam jenis tanah di atas menunjukkan bahwa kepuh dapat tumbuh
di berbagai jenis tanah, mulai tanah berkapur, liat, agak kering, lebih basah dan lain-
lain. Dengan kata lain kepuh dapat tumbuh pada kondisi tanah yang kurang subur.
Pernyataan ini juga diperkuat dari hasil penelitian Njurumana (2011) bahwa
berdasarkan jenis tanah kepuh memiliki sebaran yang cukup luas dengan pH
berkisar antara 5.2-7. Kondisi pH tanah pada kepuh mengisyaratkan bahwa kepuh
dapat tumbuh di daerah agak asam dan netral. Berdasarkan tekstur tanah, kepuh
baik tumbuh pada kondisi tekstur tanah sedang sampai kasar (Njurumana 2011).
38

Berdasarkan data di atas, juga diketahui bahwa kepuh tidak memiliki


preferensi jenis tanah yang khusus. Namun demikian pengamatan di lapangan
menemukan bahwa pada jenis tanah yang lebih kering ukuran daun kepuh
cenderung lebih kecil dibandingkan di daerah yang relatif basah.

Komposisi dan dominasi spesies tumbuhan sekitar kepuh


Berdasarkan hasil analisis vegetasi dengan luas total 3 ha diperoleh 63 spesies
tumbuhan yang berada di sekitar kepuh mulai tingkat tumbuhan bawah/semai,
pancang, tiang dan pohon. Spesies-spesies tersebut dapat digolongkan ke dalam 28
famili. Famili yang paling dominan ialah famili Euphorbiaceae (Gambar 19).
Beberapa spesies dari famili Euphorbiaceae yang ditemukan adalah
Blumeodendron tokbrai, Baccaurea stipulata, Croton argyratus, dan Aleurites
moluccana. Aleurites moluccana merupakan spesies umum yang ditemukan di
bagian selatan Kab. Sumbawa. Selengkapnya daftar spesies yang ditemukan tersaji
pada Lampiran 2.

Verbenaceae 3
Tiliaceae 2
Tetramelaceae 1
Sapotaceae 1
Sapindaceae 2
Rutaceae 2
Rubiaceae 3
Rhamnaceae 1
Polygalaceae 1
Myrtaceae 4
Myristicaceae 2
Moringaceae 1
Moraceae 5
Meliaceae
Famili

2
Malvaceae 1
Magnoliaceae 1
Lythraceae 1
Leeaceae 1
Lauraceae 3
Flacourtiaceae 3
Fabaceae 4
Euphorbiaceae 12
Combretaceae 1
Burseraceae 1
Asteraceae 1
Apocynaceae 2
Annonaceae 1
Anarcadiaceae 1
0 2 4 6 8 10 12 14
Jumlah Spesies

Gambar 19 Komposisi famili tumbuhan di sekitar kepuh


39

Berdasarkan tingkat pertumbuhannya dimulai dari semai, pancang, tiang dan


pohon, spesies-spesies yang berada di sekitar kepuh cukup beragam. Berdasarkan
jumlah individu mulai dari semai hingga pohon jumlah spesies yang ditemukan
berkisar antara 48-56 spesies. Adapun jumlah spesies per masing-masing tingkat
pertumbuhan tersaji pada Gambar 20.

58
56
56
54 53
Jumlah Spesies

52 51
50
48
48
46
44
Semai Pancang Tiang Pohon
Tingkat Pertumbuhan

Gambar 20 Jumlah spesies sekitar kepuh berdasarkan tingkat pertumbuhannya


Spesies yang lestari adalah spesies yang memiliki pertumbuhan normal yaitu
terdapat individu per masing-masing tingkat pertumbuhan mulai dari semai,
pancang, tiang dan pohon. Adapun spesies yang tidak ada individunya pada salah
satu tingkat pertumbuhan (hanya ditemukan tingkat semai, semai dan pancang,
pancang dan tiang, semai dan tiang maupun semai, pancang dan tiang) merupakan
spesies yang tidak normal (Gambar 21). Kondisi pertumbuhan yang tidak normal
pada salah satu spesies dikhawatirkan berdampak pada regenerasi spesies tersebut
dimasa yang akan datang.

Tidak
Normal
37%

Normal
63%

Gambar 21 Proporsi kondisi pertumbuhan spesies lain di sekitar kepuh


Berdasarkan indeks nilai penting (INP) per masing-masing tingkat
pertumbuhan, cukup beragam. Pada tingkat pertumbuhan semai/tumbuhan bawah,
nilai INP cenderung rendah (Tabel 7). Nilai yang rendah ini menandakan bahwa
tidak ada satu pun spesies yang memiliki dominansi (nilai penting) tertinggi dalam
komunitas. Artinya bila ada pengaruh oleh spesies dengan nilai INP yang rendah,
maka tidak akan signifikan mempengaruhi komunitas tempat dimana spesies ini
berada.
40

Tabel 7 Nilai INP tiga tertinggi di lokasi penelitian

Ting INP
Spesies F FR K KR D DR
kat (%)
P. emblica1 0.12 4.23 1100 6.43 - - 10.66
Crateva sp. 1 0.08 2.82 1200 7.02 - - 9.83
Scolopia spinosa1 0.12 4.23 800 4.68 - - 8.90
Syzygium sp.2 0.20 7.46 2100 15.00 - - 22.46
Semai

Ixora pluminalis2 0.20 7.46 1500 10.71 - - 18.18


Scolopia spinosa2 0.24 8.96 1000 7.14 - - 16.10
C. odorata3 0.83 83.33 6100 80.26 - - 163.6
Lantana camara3 0.17 16.67 1500 19.74 - - 36.40
P. emblica1 0.36 11.39 272 11.89 - - 23.28
P. javanicum1 0.20 6.33 208 9.09 - - 15.42
H. laevigata1 0.12 3.80 112 4.90 - - 8.69
Pancang

Syzygium sp.2 0.11 10.71 384 20.87 - - 31.58


Syzygium sp.2 0.11 10.71 240 13.04 - - 23.76
Ixora pluminalis 2 0.07 7.14 128 6.96 - - 14.10
T. indica3 1.00 100 0.08 100 - - 200
L. speciosa1 0.12 4.23 20 6.76 0.30 6.25 17.23
C. densiflora1 0.12 4.23 12 4.05 0.22 4.68 12.96
Crateva sp.1 0.12 4.23 12 4.05 0.17 3.52 11.80
Ficus amplas2 0.08 7.55 16 7.27 0.35 8.90 23.72
Syzygium sp.2
Tiang

0.08 7.55 16 7.27 0.33 8.45 23.27


H. cupanioides2 0.08 7.55 16 7.27 0.30 7.68 22.50
L.
0.37 36.84 32 38.10 0.37 29.60 104.5
coromandelica3
Z. mauritiana3 0.37 36.84 28 33.33 0.36 29.20 99.38
T. indica 3 0.16 15.79 12 14.29 0.23 18.82 48.90
L. speciosa1 0.32 10.00 11 12.94 0.57 12.87 35.81
P. emblica1 0.16 5.00 6 7.06 0.34 7.70 19.76
Sterculia foetida1 0.08 2.50 2 2.35 0.51 11.67 16.52
M. tomentosa 2 0.08 8.06 7 9.46 1.83 29.98 47.50
Pohon

L. speciosa2 0.08 8.06 11 14.86 0.26 4.30 27.23


Ficus sinuata2 0.03 3.23 2 2.70 0.86 14.08 20.01
Ceiba pentandra3 0.33 17.65 6 33.33 0.21 30.30 81.28
A. spectabilis3 0.94 50.00 1 5.56 0.04 5.94 61.49
M. tomentosa3 0.22 11.76 4 22.22 0.17 24.07 58.06
Ket: 1Kec. Empang, 2Kec. Lenangguar, 3Kec. Moyo Utara

Tabel 7 di atas menunjukkan tiga nilai INP tertinggi pada masing-masing


tingkat pertumbuhan. Selengkapnya data perhitungan INP tersaji pada Lampiran 3.
Data-data di atas merupakan akumulasi perhitungan dari tiga sampel kecamatan
yang diambil dengan total 75 plot atau seluas 3 ha.
Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa
keberadaan sentalo (Chromolaena odorata) lebih mendominasi (INP 163.60%).
Kondisi yang lebih kering dan hamparan savana, menyebabkan spesies ini lebih
41

mudah tumbuh di Kec. Moyo Utara. Chromolaena odorata dikenal sebagai


tumbuhan invasif. Menurut Codilla dan Metillo (2011), bahwa Chromolaena
odorata telang menginvasi sebagian besar wilayah Zamboanga Peninsula,
Philippines.
Nilai INP sering digunakan sebagai indikator dalam analisis vegetasi. Hal ini
karena dengan nilai INP, dapat diketahui dominasi suatu spesies terhadap spesies
lainnya atau dengan kata lain indeks nilai penting menggambarkan kedudukan
ekologis suatu spesies dalam komunitasnya.
Nilai INP pada tingkat tiang dan pohon relatif rendah. Tidak ada yang
signifikan mencapai nilai INP 300% (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada spesies sekitar kepuh yang superior mempengaruhi spesies lainnya dalam
habitat atau daerah tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil bahwa tidak ada asosiasi
yang kuat antara kepuh dan spesies lainnya, begitu juga dengan spesies lain tidak
ada yang mendominasi cukup kuat sehingga mampu mempengaruhi komunitasnya
atau habitat kepuh tesebut.
Berdasarkan Tabel 7 di atas, nilai INP pada tingkat tiang dan pohon terbesar
ada di Kec. Moyo Utara mulai kayu jawa (Lannea coromandelica), goal (Ziziphus
mauritiana) dan kapuk (Ceiba pentandra). Dominasi kayu jawa dapat terlihat dari
sifatnya yang mudah tumbuh secara alami dan sering digunakan sebagai pembatas
lahan antar warga, begitu juga dengan kapuk yang sering digunakan sebagai
pembatas antar lahan.
Nilai INP yang ditunjukkan oleh setiap spesies di tiga kecamatan menandakan
bahwa terdapat karakteristik tersendiri dari masing-masing habitat/komunitas di
tiga kecamatan tersebut. Berdasarkan koefisien kesamaan komunitas (index of
similarity) diperoleh bahwa habitat di Kec. Moyo Utara berbeda dengan di Kec.
Empang dan Kec. Lenangguar. Sebaliknya Kec. Empang dan Kec. Lenangguar
relatif memiliki tipe habitat yang sama. Komunitas dikatakan sama apabila nilai
kesamaan komunitasnya ≥ 50% dan dikatakan berbeda jika nilai kesamaan
komunitasnya < 50% (Odum 1994). Koefisien kesamaan komunitas (index of
similarity) dan indeks ketidaksamaan (indeks of desimilarity) dari tiga habitat di
tiga kecamatan yang diamati tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan komunitas pada tiga habitat


(kecamatan) di Kab. Sumbawa

Indeks kesamaan dan ketidaksamaan komunitas (%)


Lokasi
Kec. Empang Kec. Lenangguar Kec. Moyo Utara
Kec. Empang - 71.74 18.75
Kec. Lenangguar 28.26* - 16
Kec. Moyo Utara 81.25* 84* -
*Indeks ketidaksamaan komunitas

Indeks kesamaan komunitas atau index of similarity diperlukan untuk


mengetahui tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, antara unit sampling atau
antara beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komposisi dan
struktur komunitasnya. Oleh karena itu, besar kecilnya indeks kesamaan komunitas
menggambarkan tingkat kesamaan komposisi spesies dan struktur dari dua
komunitas, tegakan atau unit sampling yang dibandingkan (Indriyanto 2005).
42

Kesamaan dan perbedaan komposisi spesies dan struktur vegetasi di tiga


kecamatan yaitu Kec. Empang, Kec. Lenangguar dan Kec. Moyo Utara dapat
difahami karena berbedaan letak geografis dari setiap kecamatan tersebut.
Kesamaan komunitas di Kec. Empang dan Kec. Lenangguar diyakini karena dua
kecamatan tersebut sama-sama berada di bagian selatan (pengambilan lokasi
pengamatan bertempat di bagian selatan Kab. Sumbawa) yang didominasi oleh
pegunungan. Sementara Kec. Moyo Utara yang berada di bagian utara Kab.
Sumbawa, relatif landai dan berdekatan dengan laut yang lebih kering.

Etnobotani Kepuh

Karakteristik responden
Berdasarkan hasil wawancara di tiga kecamatan berkaitan tentang etnobotani
kepuh, total responden yang diwawancarai sebanyak 76 orang. Teknik penentuan
dan jumlah responden didasarkan atas teknik snowball sampling. Jumlah ini terdiri
dari 58 laki-laki dan 18 perempuan. Proporsi jenis kelamin ini menunjukkan bahwa
pemanfaatan atau pengetahuan kepuh bukan hanya berkaitan dengan kegiatan
laki-laki namun juga berkaitan dengan urusan rumah tangga yang dikerjakan
perempuan.
Berdasarkan pekerjaannya, pemanfaatan atau pengetahuan tentang kepuh
berasal dari berbagai profesi (Gambar 22). Profesi petani lebih mendominasi
pengetahuan tentang kepuh. Hal ini sejalan dengan tipologi tutupan lahan tempat
kepuh banyak ditemukan yakni di sawah dan kebun yang notabene merupakan
tempat petani bekerja. Hal inilah yang mendasari bahwa kepuh kemudian lebih
banyak diketahui oleh para petani karena setiap harinya secara tak langsung petani
juga berinteraksi dengan kepuh.

Wirausaha Dukun Ibu Rumah


8% 5% Tangga
4%
Serabutan Kades
8% 4%

PNS
16%

Tani
55%

Gambar 22 Komposisi mata pencaharian responden


43

Menurut tingkat pendidikan, diketahui bahwa pengetahuan tentang kepuh


didominasi oleh pendidikan sekolah dasar. Hal ini mengindikasikan bahwa
pengetahuan tentang kepuh bukanlah diperoleh dari pendidikan formal di sekolah
atau kampus melainkan oleh hal lainnya, baik itu informasi yang diwariskan turun
temurun oleh nenek moyang atau juga sumber informasi lainnya.
Berdasarkan kelompok umur, pengetahuan tentang kepuh terus meningkat
pada kelompok umur 50 - 59 tahun. Pada Gambar 23 di bawah ini ditunjukkan
bahwa kelompok umur usia tua lebih mendominasi pengetahuan tentang kepuh. Hal
ini dapat dimengerti karena kepuh paling banyak ditemukan, sekitar tahun
1970 - 1990.
Pada tahun 1970 - 1990, berbagai jenis kayu dapat dengan mudah ditemukan
termasuk kepuh. Semenjak ada larangan penebangan berbagai jenis kayu, ditambah
maraknya illegal logging maka pada tahun 1990-an, pohon kepuh mulai langka
ditemukan. Hal ini berdampak pada penurunan penggunaan kepuh secara drastis.
Hal ini pula yang diyakini menjadi alasan mengapa usia di bawah 30 tahun relatif
tidak mengetahui tentang tumbuhan kepuh.

Tidak Sekolah D3
30 SMP
25 3% 3%
25 8% S1
10%
Jumlah (orang)

19
20
15
15
10
10 SMA
6
26%
5
1
0
30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 >100
thn thn thn thn thn thn
Kelompok umur (tahun)
SD
50%
Gambar 23 Karakteristik responden: kelompok umur (kiri) dan tingkat
pendidikan (kanan)

Manfaat kepuh
Kepuh sebagai salah satu tumbuhan yang tersebar merata di seluruh wilayah
Indonesia, menjadi tanda bahwa Tuhan telah melengkapi tumbuhan ini dengan
banyak manfaat dan dapat dimanfaatkan oleh banyak orang. Isyarat ini diperkuat
dengan firman Tuhan bahwa tidak ada satupun dari ciptaan-Nya yang sia-sia.
Kepuh dalam kearifan masyarakat Sumbawa memilik banyak manfaat mulai
dari akar sampai dengan daun, baik manfaat pangan, obat-obatan, bahan bakar
nabati/biofuel, perhiasan, bahan bangunan, upacara adat, kerajinan tangan,
permainan tradisional, pakan ternak dan jasa lingkungan. Beberapa diantara
manfaat kepuh ini kini mulai pudar atau dengan kata lain bila dilihat dari intensitas
penggunaannya mulai jarang bahkan ditinggalkan.
Pemanfaatan kepuh yang paling umum ditemukan ialah untuk keperluan
pangan, obat-obatan, bahan bangunan dan upacara adat. Sementara beberapa
bentuk pemanfaatan lainnya hanya bersisa pada kalangan tertentu atau di lokasi
tertentu saja. Masing-masing dari manfaat tersebut tersaji pada Tabel 9.
44

Tabel 9 Bagian kepuh yang digunakan untuk berbagai keperluan di Kab. Sumbawa

Bagian tumbuhan Macam pemanfaatan


A B C D E F G H I J
1. Akar √ √ √ √
2. Batang
a. Pucuk muda √
b. Kayu √ √ √ √
c. Kulit batang √
d. Ranting √
3. Daun
a. Muda √ √
b. Tua √ √
c. Kering √
4. Bunga
a. Kuncup √
b. Kelopak √
5. Buah
a. Kulit buah √ √ √ √
b. Biji √ √ √ √ √
Keterangan: A= pangan, B= obat, C= bahan bakar nabati, D= perhiasan, E= bahan bangunan,
F= upacara adat, G= kerajinan tangan, H= permainan tradisional, I= pakan ternak,
J= jasa lingkungan, √= Iya.

Pangan
Manfaat pangan pada kepuh berasal dari bijinya. Biji ini biasa digunakan
sebagai bumbu masak di berbagai jenis masakan khas Sumbawa. Mulai dari sepat,
singang (gulai), sirasang, siong sira, goreng (soto) serta berbagai masakan lainnya.
Pengolahan biji kepuh sebagai bumbu masak dilakukan dengan terlebih
dahulu dikupas kulitnya lalu disangrai kemudian dihaluskan. Dengan campuran
sedikit garam dan cabe serta bumbu rahasia lainnya (pilihan bila ingin
ditambahkan), biji kepuh berubah menjadi bumbu masak bernama sira wir.
Tahapan pembuatan sira wir tersaji pada Gambar 24.
Nama sira wir merupakan paduan dari sira yang berarti garam dan wir yang
berarti gurih (rasa yang tercipta dari minyak biji kepuh). Sira wir inilah yang
dicampurkan pada berbagai jenis masakan. Selain diproduksi untuk kebutuhan
sendiri, di Kec. Empang sira wir ini juga diperjualbelikan di pasar. Satu plastik kecil
sira wir dihargai Rp. 1 000 - Rp. 3 000.
Takaran sira wir berbeda-beda tergantung pada selera masing-masing. Sira
wir ini mampu bertahan hingga enam bulan. Selama rentang waktu tersebut, sira
wir cukup disimpan di kulkas atau tempat yang sejuk.
Biji kepuh yang telah disangrai juga dapat langsung dimakan, rasanya
menyerupai kacang tanah. Kontraindikasi dari konsumsi biji kepuh berlebihan
dapat menyebabkan rasa pusing. Rasa pusing ini diyakini akibat biji kepuh
mengandung banyak minyak. Guna menghilangkan rasa pusing setelah
mengkonsumsi biji kepuh, terlebih dahulu biji kepuh direndam menggunakan air
garam sebelum dibakar atau disangrai. Cara ini diyakini ampuh menghilangkan rasa
pusing setelah banyak mengkonsumsi biji kepuh secara langsung.
45

Mengkonsumsi biji kepuh yang sudah menjadi sira wir, tidak memberikan
efek samping apapun. Justru rasa gurih pada sira wir menyebabkan banyak pencinta
masakan Sumbawa menambah porsi makan.

Gambar 24 Tahapan pembuatan sira wir sampai menjadi masakan sepat

Biji kepuh juga dapat dijadikan beraneka macam snack (kue), salah satunya
kripik kepuh. Pengolahan biji kepuh menjadi kripik tak ubahnya membuat kripik
melinjo. Biji yang telah disangrai atau direbus lalu digepengkan. 3 - 4 biji tersebut
disatukan menjadi satu gepengan. Setelah digepengkan, kripik ini lalu dijemur
sampai kering. Kripik kering inilah yang kemudian digoreng dan siap untuk
disajikan. Selain bijinya ternyata kulit buah kepuh (cangkang) juga dapat dijadikan
bahan kue. Menurut Purwati (2010), kulit buah kepuh dapat digunakan sebagai
bahan membuat kue.

Obat
Masyarakat Sumbawa dengan kearifan lokalnya ternyata juga menggunakan
kepuh sebagai media/sarana pengobatan masyarakat. Bila orang banyak mengenal
Sumbawa dengan minyaknya, maka salah satu bahan campuran yang harus ada
dalam minyak tersebut ialah kayu gelumpang (kepuh). Menurut pengakuan
beberapa sandro (dukun), kayu gelumpang ini wajib ada diantara 44 jenis kayu yang
dimasukkan dalam campuran pembuatan minyak Sumbawa. Kayu gelumpang
dianggap sebagai dea kayu (yang diutamakan) dalam campuran minyak Sumbawa
(Gambar 25).
Minyak Sumbawa sudah terkenal di mana-mana. Minyak ini berfungsi untuk
mengobati berbagai macam penyakit, baik penyakit luar maupun penyakit dalam,
baik medis maupun non medis. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan
minyak Sumbawa tidaklah sembarangan. Bahan tersebut terdiri dari berbagai jenis
kayu yang diambil hingga ke pegunungan (hutan). Kayu yang digunakan tergantung
pada petunjuk yang didapat oleh masing-masing sandro yang membuatnya.
Pengambilan bahan baku dan pembuatan minyak Sumbawa hanya dilakukan pada
bulan Muharram. Hal ini karena ada keyakinan pada bulan Muharram, Tuhan
46

memberikan rahmat pengobatan di muka bumi. Maka untuk mendapat rahmat


tersebut kemudian secara turun temurun minyak Sumbawa hanya dibuat pada bulan
ini.

Gambar 25 Minyak Sumbawa

Menurut Supardi et al. (2006), saat mengambil bahan obat-obatan terlebih


dahulu sandro membaca basmallah dan salawat kepada Rasulullah SAW sebanyak
tiga kali sebagai permohonan keselamatan. Pemilihan bagian tumbuhan obat
diambil sesuai jenis penyakit yang akan diobati, tergantung ilmu dan keyakinan
masing-masing sandro. Lebih lanjut Supardi et al. (2006) menjelaskan, ada sandro
yang mengambil obat dari tumbuhan dengan posisi membelakangi bayangan
tumbuhan dan bayangannya sendiri. Ada juga yang melakukannya dengan
menghadap kiblat dan ada pula yang mengambil dengan cara mencabut tanaman.
Terhadap bahan obat-obatan yang berasal dari kulit tumbuhan, sandro biasanya
mengupas dari bawah mengarah ke atas. Hal ini dimaksudkan agar penyakit
tersebut terangkat bersama dengan media kulit batang yang dikupas.
Sebagai obat, kepuh di Kab. Sumbawa erat sekali dengan nuansa mistik.
Sebagian besar masyarakat Sumbawa meyakini bahwa pohon kepuh merupakan
pohon yang berpenghuni/pohon setan. Bentuknya yang besar dengan tajuk yang
lebar, membuat pohon ini terlihat angker. Nuansa angker pada pohon kepuh serupa
dengan pohon beringin yang juga dikeramatkan oleh masyarakat.
Meyakini penyakit non medis harus ditangani dengan cara non medis
(mistik), menjadikan kepuh sering digunakan sebagai penangkal dari gangguan
makhluk halus. Baik kesurupan, guna-guna dan sihir seperti burak, sekancing,
lome-lome, pedang pekir, koro bawi, koro belati dan lain-lain (semuanya dalam
bahasa lokal setempat), diobati menggunakan bahan dari kepuh.
Guna menangkal gangguan makhlus halus dan berbagai bentuk sihir, kepuh
dibuat menjadi jimat yang dikalungkan di leher maupun ditempelkan pada ikat
pinggangnya (Gambar 26). Jimat ini berupa kain hitam berisikan ayat-ayat suci
al-qur’an, perhiasan emas dan kayu kepuh. Tidak hanya dibuat menjadi jimat, untuk
fungsi yang relatif sama cangkang kepuh kerap digantung di alang-alang rumah
terutama di bagian atas pintu masuk agar hal-hal yang berkaitan dengan mistik baik
47

sihir maupun niat jahat yang dikirim orang, dipercaya tidak dapat masuk ke dalam
rumah tersebut.

Gambar 26 Jimat dari kepuh

Cangkang kepuh juga sering digunakan sebagai wadah (tangkap) ai pelawar


(penetral), bekas mamaq (tradisi kunya sirih) untuk tepak (menandai di bagian
kepala bayi). Tepak merupakan cara yang digunakan untuk mengobati bayi yang
terus menerus menangis terutama saat malam tiba. Hal ini karena tangis pada bayi
diyakini disebabkan oleh gangguan makhluk halus.
Bukti bahwa kepuh menjadi obat juga ditunjukkan dalam buka bura (kotak
P3K) masyarakat Sumbawa. Sejak dahulu kala masyarakat Sumbawa terbiasa
menyimpan persiapan obat-obatan dalam buka bura. Salah satu isi yang wajib ada
dalam buka bura ialah bahan yang berasal dari kayu kepuh.
Kepuh dalam kearifan lokal masyarakat Sumbawa selain digunakan untuk
mengobati penyakit non medis, juga digunakan untuk mengobati penyakit medis.
Mulai dari malaria, muntah darah, penawar racun, meningkatkan daya tahan tubuh
dan stamina, pusing/migren, pegalinu, sesak nafas, asma, sengatan tawon/lebah,
bisul, koreng, pengobatan pasca melahirkan, penambah nafsu makan, bahkan
penyakit kanker payudara. Menurut Purwati (2010), semua bagian tumbuhan kepuh
mulai dari kulit batang, daun, buah sampai biji sering dimanfaatkan sebagai
campuran jamu.
Menurut Orwa et al. (2009), seduhan biji kepuh dengan kemukus juga dipakai
untuk mengobati batuk dan minyaknya diusapkan pada borok. Daunnya digunakan
untuk mengobati tangan yang patah, sendi-sendi yang terkilir serta luka dalam yang
disebabkan karena jatuh. Di Ghana ekstrak minyak kepuh digunakan langsung oleh
dokter sebagai obat pencahar.
Banyaknya bekas luka di kulit kayu kepuh, mencirikan banyak orang
menggunakan kepuh sebagai obat. Hal ini karena salah satu bagian kepuh yang
banyak digunakan sebagai obat ialah kulit kayu, terutama pada bagian-bagian
batang yang menonjol ke luar (oleh masyarakat Sumbawa disebut kayu jantan).
Kulit batang inilah yang digunakan untuk mengobati bisul, koreng dan
pengobatan pasca melahirkan (membersihkan darah pasca melahirkan), penambah
nafsu makan, mengatasi tangis pada bayi dan muntah darah. Cara membuatnya
ialah batang kepuh yang menonjol, diambil lalu ditumbuk bersama jahe, perasan
airnya lalu diminum. Terhadap nafsu makan dan tangis bayi, kulit batang kepuh
bersama beras ditumbuk lalu seperti lulur (temar), diusapkan di seluruh bagian
badan. Kulit kepuh juga digunakan sebagai penawar racun dan patah tulang.
Sebagai penawar racun, kulit kepuh ditambah kulit kasela, kulit ketanga, dan kulit
48

kayu kemang kuning ditumbuk bersama, air perasannya kemudian diminum.


Sementara untuk patah tulang, kulit yang ditumbuk bersama kunyit dioleskan pada
bagian yang patah. Komposisi bahan untuk pengobatan muntah darah ialah kulit
batang kepuh ditambah kulit batang pulai, keduanya ditumbuk lalu airnya yang
telah disaring, diminum.
Akar anakan kepuh digunakan untuk ketahanan tubuh dan menambah
stamina. Bahkan ada yang menyebut bahwa kekuatan akar kepuh sama dengan
pasak bumi. Oleh karenanya beberapa orang menganggap kepuh sebagai gingseng
Sumbawa. Pengolahan akar kepuh ini dilakukan setelah terlebih dahulu dikeringkan
lalu direbus dari tiga gelas menjadi satu gelas.
Cangkang kepuh yang dibakar diyakini mampu mengurangi rasa pusing
(linting bumi) setelah ditempelkan pada bagian kening. Cangkang kepuh juga
digunakan sebagai pejula (wadah hasil mamaq “makan sirih” orang tua). Sirih yang
ditaruh dalam cangkang tersebut kemudian diusap di kepala dan dada orang yang
asma dan sesak nafas. Sedangkan, rebusan atau remasan daunnya dapat digunakan
untuk mandi. Cara ini diyakini mampu mengobati malaria dan pegalinu. Kepuh juga
diyakini ampuh menghilangkan bengkak akibat sengatan lebah. Mata cincin yang
terbuat dari kayu kepuh ditempelkan pada bagain yang disengat, secara perlahan
areal yang digigit tersebut berkurang bengkaknya.
Adapun penyakit kangker payudara, kepuh dapat dimanfaatkan bagian
bijinya. Bersama beberapa bahan lainnya yaitu jahe, selaparang mira (sejenis
rumput), pusuk jeliti, kepuh ditumbuk halus. Menggunakan bulu ayam yang telah
rontok, hasil tumbukan ini kemudian dioleskan pada bagian yang membengkak.
Fosil kepuh juga digunakan di beberapa tempat di bagian timur
Kab. Sumbawa. Fosil kayu kepuh ditempatkan pada kendi air minum. Fosil kayu
yang ditaruh di dalam kendi diyakini berfungsi sebagai penetral air dari bakteri.
Menurut Bawa (2010), minyak dari ekstrak etanol biji kepuh berpotensi
sebagai agen antiradikal bebas sebesar 85.05% pada menit ke-60. Potensi kepuh
sebagai antioksidan juga dikemukakan oleh peneliti lainnya, baik bagian biji (Galla
2012) dan daun (Manivannan et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa biji dan
daun kepuh sangat potensial dikembangkan menjadi suplemen penangkal radikal
bebas yang berdampak pada munculnya berbagai penyakit seperti kanker, penuaan
dini, peradangan dan jantung koroner. Penyakit ini muncul karena radikal bebas
mampu bereaksi dengan protein, lipoprotein dan DNA (Asih et al. 2010).
Menurut Purwati (2010), hasil penelitian di India diketahui bahwa kandungan
asam sterkulat dalam minyak biji kepuh mencapai 71.5 - 72%. Asam sterkulat ini
dapat digunakan sebagai ramuan berbagai produk industri seperti kosmetik, sabun,
shampo, pelembut kain, cat dan plastik.
Getah kepuh sangat potensial sebagai anti bakteri. Penelitian Kudle et al.
(2013) menunjukkan bahwa getah kepuh dapat menghambat aktivitas berbagai jenis
mikroba diantaranya Escherichia coli, Pseudomonas putida, Bacillus subtilis,
Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumoniae. Getah kepuh ini berperan
sebagai antibiotik terhadap berbagai jenis mikroba tersebut. Selain getah, daun
kepuh yang mudah juga berpotensi sebagai antimikroba (Singh dan Vidyasagar
2014, Vital et al. 2010). Manfaat, cara pengolahan dan dosis serta cara pemakaian
kepuh dalam pengobatan tersaji pada Tabel 11.
49

Tabel 10 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kulit batang kepuh sebagai obat

Data primer (hasil wawancara) Data sekuder (literatur)


Manfaat/khasiat Cara pengolahan Dosis dan cara pemakaian Manfaat/kandungan
Bisul Batang kepuh yang menonjol, Perasan airnya diminum satu  Pengawet benih pertanian seperti jagung dan
diambil lalu ditumbuk bersama hari sekali sebanyak satu gelas kacang-kacangan agar tidak dimakan oleh
jahe selama lima hari semut/rayap (Njurumana 2011)
 Kandungan kulit batang terdiri dari senyawa
Membersihkan Batang kepuh yang menonjol, Perasan airnya diminum dipagi minyak atsiri seperti senyawa metil palmitat
darah pasca diambil lalu ditumbuk bersama hari, satu hari sekali sebanyak (m/z 270) sebesar 3 956.78 ppm; asam
melahirkan jahe satu gelas selama tujuh hari palmitat (m/z 256) sebesar 1 837.41 ppm;
etil palmitat (m/z 284) 39 288.78 ppm; etil
Nafsu makan Kulit batang kepuh bersama Diusapkan di seluruh bagian
octadeca 14.16-dienoate (m/z 308) 1 706. 66
beras ditumbuk (menyerupai badan
ppm; metil nonadeka 15.17 dienoat (m/z
lulur/temar)
308) 1 998.56 ppm; etil stearat (m/z 312) 4
Mengatasi tangis Kulit batang kepuh bersama Diusapkan di seluruh bagian
365.66 ppm; 2 242.63 ppm 1-metoksi-
bayi beras ditumbuk (menyerupai badan
9.9,10,14-tetrametil pentadeka-1.4-diena
lulur/temar)
(m/z 294) dan 1-etoksi-6-metoksi oktadeka
Muntah darah Kulit batang kepuh ditambah Diminum sesekali saja (saat
1,12,16-triena (m/z 322) sebesar 7 800.04
kulit batang pulai. Keduanya setelah muntah)
ppm yang berpotensi sebagai agen
ditumbuk lalu disaring airnya
antioksidan (Gunawan dan Karda 2015)
Patah tulang Kulit batang ditumbuk Dioleskan pada bagian yang
bersama kunyit patah

Keterangan: Selengkapnya manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian bagian kepuh lainnya sebagai obat tersaji pada Lampiran 4
49
50

Menurut Yoganandam et al. (2012), kepuh merupakan tumbuhan yang


menjanjikan untuk keperluan farmasi. Mulai dari fungsi anti inflamasi
(peradangan), anti bakteri karena menghambat aktivitas Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan Entamoeba histolytica, anti insektisida (hama ulat di
Asia), anti obesitas karena minyak yang diekstrak dari biji kepuh dapat mengurangi
lemak perut. Kandungan asam lemak dari minyak kepuh dapat menghambat kerja
enzim yang berhubungan dengan resistensi insulin yang secara tidak langsung dapat
mengurangi lemak perut. Aktivitas farmakologis kepuh juga berperan sebagai anti
kesuburan (menunda kehamilan) dan anti oksidan karena kandungan flavonoid.
Selain itu juga tumbuhan kepuh memiliki potensi sebagai anti kejang karena
senyawa saponin dan flavonoid (Raja et al. 2014).
Tumbuhan kepuh juga berfungsi sebagai obat pada ternak. Daun kepuh yang
sudah diremas, oleh masyarakat diyakini berfungsi menyehatkan rambut kuda.
Selain itu daun tersebut juga diyakini dapat mengobati sakit pada mata kerbau. Bila
diminum remasan air daun kepuh dapat mengobati gejala semacam TBC (jaran
jangkek) pada kuda. Pemanfaatan kepuh untuk mengobati hewan ternak juga
ditemukan di tanah timur. Njurumana (2011) menjelaskan bahwa campuran daun,
kulit dan akar dapat digunakan juga untuk mengobati luka pada ternak. Masing-
masing bagiannya dicampur kemudian dihancurkan sampai halus dan ditempelkan
pada bagian tubuh ternak yang terluka.

Bahan bakar nabati


Potensi kepuh sebagai bahan bakar nabati, dapat dilihat dari penggunaan
ranting kayu dan cangkang buahnya untuk keperluan kayu bakar dan arang.
Masyarakat mengakui bahwa arang dari cangkang buah kepuh cukup awet
digunakan. Sementara kayunya, yang sudah tua (dicirikan semakin menghitam)
kerap digunakan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar di rumah.
Potensi biji kepuh sebagai bahan bakar nabati telah dibuktikan di berbagai
hasil penelitian. Hasil penelitian Sudradjat et al. (2010) menunjukkan bahwa
biodiesel minyak biji kepuh memenuhi kualitas SNI menggunakan pereaksi
metanol 20% dan katalis KOH 1%. Menurut Heyne (1987), biji kepuh memiliki
potensi yang sangat besar untuk dijadikan biodiesel karena memiliki kandungan
minyak yang cukup tinggi, yaitu sebesar 40%. Literatur yang lain menyebutkan
bahwa kandungan miyak pada biji kepuh dapat mencapai 53 - 64.3% (Purwati
2010). Selain kuantitas minyaknya yang cukup banyak, kualitas mutu minyak dari
biji kepuh pun relatif setara dengan minyak kelapa sawit (Tabel 11).

Tabel 11 Perbandingan biodisel biji kepuh dengan minyak nabati lainnya

Viskositas kinematik Densitas Bilangan


Metil ester
(mm2/s) (Kg/m3) Setana
Kedelai 4 880 45.7 - 56
Sawit 4.3 - 4.5 872 - 877 63.4 - 70
Biji bunga
4.2 882 51 - 59.7
matahari
Kepuh 4.3 880.7 63.4 - 70
Solar (fuel oil) 3.5 - 12 830 - 840 51
Sumber: Fukuda et al. (2001)
51

Pada Tabel 11 ditunjukkan bahwa minyak biji kepuh dapat dijadikan sebagai
bahan baku biodiesel dengan karakteristik yang sama dengan biodiesel dari minyak
kelapa sawit. Biodiesel minyak kepuh memiliki kesamaan dengan biodiesel minyak
kelapa sawit, dari viskositas kinematik biodiesel minyak sawit ada pada kisaran 4.3
- 4.5 mm2/s sedang viskositas rata-rata minyak kepuh sebesar 4.3 mm2/s. Kesamaan
lainnya, densitas biodiesel minyak sawit juga relatif tidak jauh berbeda bahkan
lebih tinggi dibandingkan minyak kelapa sawit. Nilai bilangan setana pun keduanya
sama. Hal inilah yang menguatkan bahwa kepuh sangat potensial menggeser posisi
industri kelapa sawit yang terus berkembang pesat saat ini.
Potensi kepuh sebagai kompetitor kelapa sawit perihal bahan bakar nabati
tidak hanya bersaing dalam hal produski minyak (kuantitas) dan mutu (kualitas),
terpenting bahwa kuantitas minyak biji kepuh tidak berkurang akibat pemenuhan
kebutuhan bahan konsumsi seperti yang terjadi pada minyak nabati lainnya. Hal
lainnya ialah tumbuhan kepuh relatif lebih ramah lingkungan dibandingkan kelapa
sawit. Kepuh secara bioekologi berfungsi sebagai mikro habitat beberapa jenis
burung dan mamalia. Selain itu keberadaan potensi kepuh sebagai bahan bakar
nabati akan turut menunjang aspek ekologis dalam pengurangan penggunaan bahan
bakar fosil yang prosesnya cenderung tidak ramah lingkungan. Kepuh juga
berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi.
Kelebihan lainnya dalam minyak biji kepuh ialah memiliki banyak
kandungan alkaloid, terpen, flavonoid dan steroid. Hal inilah yang memungkinkan
bagi kepuh berfungsi mengobati berbagai macam penyakit. Kepuh juga relatif lebih
resisten dibandingan kelapa sawit pada berbagai habitat, baik basah maupun kering.
Satu-satunya yang menjadi tantangan dalam pengembangan kepuh ialah lama
berbuah yang dapat mencapai 7 - 8 tahun bahkan lebih. Bila masalah ini dapat
ditangani maka kedepan industri perkebunanan kelapa sawit dapat saja beralih
menggunakan kepuh.
Kuantitas biji kepuh sebagai bahan bakar, berkaitan erat dengan tinggi,
diameter dan lebar tajuk pohon. Faktor abiotik (ketinggian dan curah hujan) tidak
berpengaruh nyata terhadap kuantitas biji kepuh. Model pendugaan potensi
produksi biji kepuh adalah: Pb = -8733.311 + 195.602Tp + 13.339Dp + 673.658Lb,
R2 = 0.563. Pb = produksi biji (butir), Tp = tinggi pohon (m), Dp = diameter pohon
(cm), dan Lb = lebar tajuk (m) (Suharti et al. 2011).
Perbandingan kualitas bahan bakar kepuh terhadap beberapa bahan nabati
lainnya, diakui belum dapat mengalahkan kualitas jarak pagar. Kualitas jarak pagar
sebagai bahan bakar nabati lebih baik dibandingkan kepuh. Berdasarkan uji
viskositas kinematik, densitas dan bilangan asam, kepuh masih berada di bawah
jarak pagar (Tabel 12) (Sudradjat et al. 2010 dan Sari 2007).

Tabel 12 Sifat fisiko-kimia kepuh dan jarak

Viskositas kinematik Densitas Bilangan asam


Metil ester
(mm2/s) (Kg/m3) (mg KOH/g)
Kepuh 4.30 880.70 0.36 - 0.80
Jarak pagar 3.89 880 0.48
52

Nilai viskositas kinematik pada bahan bakar sangat berkaitan dengan


pembakaran dalam mesin. Menurut Soerawidjaja et al. (2005), viskositas
berpengaruh secara langsung pada pola semburan di ruang pembakaran, sehingga
berpengaruh juga pada penguapan bahan bakar, efisiensi pembakaran dan faktor
ekonomi lainnya. Semakin rendah nilai viskositas maka bahan bakar tersebut relatif
semakin baik. Bahan yang mempunyai viskositas kecil menunjukkan bahwa bahan
itu mudah mengalir, sebaliknya bahan dengan viskositas tinggi sulit mengalir.
Apabila bahan bakar mempunyai viskositas tinggi, berarti tidak mudah mengalir
sehingga kerja pompa dan kerja injektor menjadi berat. Standar mutu metil ester
menurut SNI-04-7182-2006 menetapkan viskositas kinematik metil ester pada suhu
40°C berkisar 2.3 - 6 mm2/s (Rengga dan Istiani 2011). Biodiesel dengan densitas
lebih dari 900 Kg/m3pada 60°F menghasilkan reaksi yang tidak sempurna (Sari
2007). Densitas biodiesel seharusnya berkisar 860-900 Kg/m3 (Syah 2006).
Menurut Sudradjat et al. (2010), semakin rendah bilangan asam biodiesel,
semakin baik mutu biodiesel karena keasaman biodiesel dapat menyebabkan korosi
dan kerusakan pada mesin diesel. Bilangan asam sekaligus meramalkan tingkat
kerusakan metil ester selama penyimpanan beberapa waktu ke depan. Tingkat
oksidasi tinggi juga menandakan metil ester tidak tahan lama disimpan. Standar
mutu metil ester menurut SNI-04-7182-2006 menetapkan bilangan asam yang
diperkenankan adalah kurang dari 0.8 mg KOH/g (Rengga dan Istiani 2011).

Perhiasan
Perhiasan menjadi kebutuhan primer masyarakat Indonesia saat ini. Perhiasan
kini menjadi penciri kedudukan, jabatan atau pencitraan lainnya. Perkembangan
perhiasan pun begitu cepat mengikuti trand fashion (gaya hidup) masyarakat saat
ini. Penggunaan jenis perhiasan dan bahan yang digunakan menunjukkan
kemampuan beli penggunanya. Bila dikelompokkan perhiasan tersebut
menggunakan logam mulia (emas, perak dan platina) dan batuan mulia atau lebih
dikenan batu akik.
Fenomena perhiasan batu akik sedang marak di kalangan masyarakat
Indonesia saat ini. Demam batu akik di Indonesia melanda tidak hanya generasi tua,
para pemuda bahkan anak-anak pun ikut-ikutan menggemari batu akik, laki-laki
dan perempuan. Fenemona ini terus berlanjut dengan beranekaragam jenis batu
yang ada di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke.
Salah satu potensi batu akik ialah bahan yang berasal dari fosil kayu. Kepuh
sebagai tumbuhan yang dapat tumbuh hingga seratusan tahun, diyakini dapat
menjadi fosil. Dengan sebutan gelumpang rura (kepuh mati berdiri), masyarakat
Sumbawa meyakini fosil kayu kepuh bagus bila dijadikan batu akik. Batu ini cukup
diminati oleh beberapa kalangan tertentu.
Batu akik berbahan fosil kayu kepuh diyakini mampu mendatangkan
keberuntungan bagi pemakainya. Tidak hanya menambah keindahan penampilan,
beberapa orang meyakini bahwa batu ini mampu meningkatkan wibawa dan
kharisma orang yang memakainya. Batu akik kepuh ini dijual mulai harga
Rp. 15 000 - Rp. 70 000 tergantung ukuran fosil kayu, sedangkan yang sudah di
poles halus dihargai mencapai ratusan ribu rupiah tergantung keuletan pembeli
dalam menawar batu tersebut. Salah satu gambaran batu akik berbahan fosil kayu
kepuh tersaji pada Gambar 27.
53

Gambar 27 Batu akik dari bahan kepuh

Bahan bangunan
Rumah panggung merupakan bentuk bangunan asli masyarakat Sumbawa.
Rumah yang sebagian besar menggunakan bahan kayu ini dapat ditemukan di setiap
kecamatannya. Rumah panggung sebagai bagian dari identitas Sumbawa tercermin
dari rumah adat Kesultanan Sumbawa bernama Istana Dalam Loka yang masih
berdiri kokoh hingga saat ini.
Menurut Raba (2002), rumah panggung khas Sumbawa adalah rumah yang
didirikan di atas kayu dengan ketinggian 1.5 - 2 m di atas tanah. Tipologi rumah
panggung khas Sumbawa berbentuk persegi panjang yang dibagi dalam beberapa
ruang. Umumnya jumlah ruang rumah tersebut ada tiga yaitu ruang depan untuk
menerima tamu, ruang tengah untuk tempat tidur dan aktivitas keluarga serta ruang
belakang untuk dapur dan tempat makan.
Bentuk atap rumah panggung seperti perahu dan dibuat dari bambu yang
dipotong-potong (santek) atau dari genteng. Tangga rumah terdiri dari dua yaitu
tangga depan (anar selaki) dan tangga belakang (anar sawai). Adapun anak tangga
selalu dibuat ganjil antara 5, 7, 9 dan 11 tergantung dari besar dan tingginya rumah
(Raba 2002).
Kearifan lokal masyarakat Sumbawa, bukan hanya pada wujud rumah
panggung yang dibangun, namun proses pembuatan dan pemilihan kayu dalam
pembuatan rumah juga kental dengan budaya atau kearifan lokal. Guna menentukan
kayu yang layak digunakan sebagai bahan bangunan, masyarakat biasanya
mempercayakan kepada orang pintar. Kayu yang ditebang harus sudah berumur
cukup tua, tidak boleh berada dekat dengan sumber mata air dan tidak ditumbuhi
tanaman merambat (Supardi et al. 2006).
Menurut Supardi et al. (2006), masyarakat Sumbawa enggan menebang
pohon yang terdapat tumbuhan merambat di atasnya. Masyarakat meyakini bahwa
saat kebiasaan itu dilanggar maka masalah akan menimpa pemilik kayu. Larangan
menebang kayu yang ditumbuhi tanaman merambat juga menjadi cara masyarakat
Sumbawa untuk menjaga populasi lebah madu (Apis dorsata) yang banyak hidup
di hutan. Pohon yang ditumbuhi tanaman merambat merupakan tempat yang
disukai oleh lebah untuk bersarang, salah satunya kepuh. Jika lebah madu telah
membuat sarang di kayu tersebut, maka tahun berikutnya mereka juga tetap
menempatinya. Bila kayu tersebut ditebang, lebah madu akan membuat sarang di
kayu lainnya, menjauhi lokasi semula.
54

Kearifan lainnya, pohon yang ditebang sudah dipersiapkan arah jatuhnya.


Penentuan arah jatuh pohon tersebut diperhitungkan dengan matang. Kayu yang
ditebang tidak boleh jatuh melewati jalan umum maupun tempat genangan air. Hal
ini karena dikhawatirkan mengganggu pengguna jalan maupun binatang yang
mencari air minum. Jika kayu jatuh mengenai kayu lainnya, maka dahan kayu yang
jatuh harus dibersihkan dari pohon yang dikenainya. Bila tidak dibersihkan
dikhawatirkan akan menimbulkan kabadi (kesambet karena melanggar mitos).
Pandangan masyarakat sekitar hutan, kabadi dapat menimbulkan penyakit
bagi penebang bahkan kematian. Kayu yang telah ditebang dipilih dua batang yang
dinilai paling baik sebagai tiang utama yang disebut tiang guru (tiang guru sawai
dan tiang guru salaki). Kayu ini dipersiapkan sebagai pondasi rumah (Supardi et al.
2006).
Supardi et al. (2006), juga menjelaskan bahwa masyarakat Sumbawa
mempercayai seluruh isi alam memiliki nabinya masing-masing yang ditugaskan
Tuhan Yang Maha Esa untuk memelihara keberlangsungan hidup hewan dan
tumbuhan di muka bumi ini. Sebagai contoh, untuk nabi yang memelihara kayu
dikenal dengan nama Manulhakim dan Hilir. Sementara yang menguasai hutan dan
hewan liar dinamakan baki (raki-raki) yang berwujud manusia dengan tumit kaki
terbalik. Oleh karenanya, sebelum melakukan penebangan kayu, terlebih dahulu
calon penebang membaca ayat-ayat tertentu dari Al-qur’an sebagai permohonan
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan salam hormat kepada penguasa
kayu, agar dalam pelaksanaan kegiatan penebangan diberi keridhaan dan
keberkahan.
Kepuh sebagai salah satu bahan bangunan rumah panggung, di beberapa
kalangan cukup lazim digunakan. Kayunya yang kuat dan kokoh dengan ukuran
yang besar dan lebar serta tidak dihinggapi rayap, membuat kayu ini cukup
digemari sebagai bahan baku rumah panggung. Contoh bangunan rumah Sumbawa
tersaji pada Gambar 28.

A B

Gambar 28 (A). Istana Dalam Loka; (B). Rumah penduduk

Kayu kepuh dihargai setara dengan kayu rimba, dengan harga pasar
Rp. 2 700 000/m3. Pengakuan salah satu pengusaha kayu di Sumbawa (UD. Pelita
Jaya) bahwa kayu kepuh cukup diminati masyarakat. Berbagai mitos mistik yang
melekat pada pohon ini dahulu kala, kini tidak berdampak pada permintaan
masyarakat akan kayu ini. Lebih lanjut disampaikan bahwa bila ada masyarakat
55

yang ingin menjual kayu ini, maka perusahaannya dengan tangan terbuka menerima
jenis kayu ini karena permintaannya yang masih tinggi.
Beberapa kalangan masyarakat lainnya mengakui bahwa kayu ini saat
digunakan masih membawa nuansa mistik di rumah. Nuansa mistik ini
menyebabkan ketidaknyamanan dan ketidaktenteraman di dalam rumah. Mulai dari
suara yang aneh atau sekedar bunyi papan akibat hembusan angin, kerap kali
muncul sebagai pertanda yang punya (makhluk halus) menolak pohon tempat
tinggalnya ditebang dan dipotong menjadi papan dan kayu rumah (Gambar 29).

Gambar 29 Kayu kepuh yang sudah dipotong

Upacara adat
Penggunaan kepuh dalam upacara adat, ada pada saat biji kepuh digunakan
sebagai dila lilit (semacam lilin). Dila lilit terbuat dari bahan kapas yang telah
dicampur dengan kepuh atau jarak dan kemiri kemudian ditumbuk. Bahan kepuh
pada dila lilit wajib ada. Selain dari wangi baunya yang khas, warna api kebiru-
biruan diakui lebih baik dari bahan lainnya.
Dila lilit dalam tradisi masyarakat Sumbawa bermakna sebagai sinar
kebahagiaan. Beberapa kegiatan adat yang menggunakan dila lilit ialah tama
lamung (pertanda bahwa gadis/dedara Sumawa mulai akil balik), biso tian
(syukuran tujuh bulanan ibu mengandung), sempe bulu (akikah), basunat (sunatan)
dan nika (nikah).
Bagian cangkang buah dan bunga kepuh di beberapa tempat juga masih
digunakan dalam upacara keagamaan atau sekedar melakukan pemujaan. Aktivitas
ini pernah ditemukan di Desa Leseng, Kec. Moyo Hulu dan Desa Berare,
Kec. Moyo Hilir yang ditandai dengan ditemukannya sejumlah sesaji di bawah
pohon kepuh. Sesaji ini selain dimaksudkan untuk memohon hajatan segera tercapai
juga sebagai wujud rasa syukur karena sembuh setelah lama mengidap sakit.
Beberapa tempat di Bali, bahkan membangun pura di sekitar pohon kepuh.
Pohon ini termasuk salah satu pohon yang dikeramatkan di Bali. Beberapa warga
pun meyakini bahwa permohonan yang dipanjatkan di bawah pohon ini akan segera
tercapai. Kepuh di Bali juga dijadikan bahan patepakan. Petapakan adalah topeng
dalam wujud sosok makhluk magis yang menyeramkan, terbuat dari kayu tertentu,
dibentuk sedemikian rupa sebagai simbol unsur niskala (tidak nampak) dari adanya
Ida Betara Rangda. Petapakan ini dipercaya bisa mengusir grubug (wabah penyakit)
dan mara bahaya yang bersifat niskala lainnya. Agar petapakan ini berfungsi
dengan sebagaimana mestinya, maka petapakan ini harus memiliki kekuatan gaib,
taksu dan melalui proses sakralisasi.
56

Kerajinan tangan
Karakteristik kayu kepuh muda yang relatif lunak, membuat kayu kepuh
mudah untuk diolah dan dijadikan berbagai bentuk kerajinan tangan (Gambar 30).
Mulai dari kursi, lemari, hingga berbagai hiasan pajangan, menjadi bukti manfaat
kayu kepuh. Beberapa daerah juga ada yang menggunakan kayu kepuh sebagai
bahan perahu.

Gambar 30 Berbagai hasil kerajinan yang menggunakan bahan kayu kepuh

Kayu kepuh sebagai bahan perahu diakui lebih ringan dan tahan terhadap air.
Nilai magis dari kayu ini juga diakui menjadi pendamping keselamatan saat kayu
ini dibawa berlayar ke sungai atau ke laut. Manfaat kayu kepuh sebagai bahan baku
kerajinan juga terdapat di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Bali. Kepuh dijadikan
sebagai bahan baku wayang golek (Jawa Barat) dan topeng petapakan (Bali)
(Hendrati dan Hidayati 2014).

Permainan tradisional
Kepuh sebagai salah satu potensi Sumbawa pada saat itu (sampai awal
1990-an), menjadi bahan permainan tradisional masyarakat Sumbawa. Sejumlah
permainan tradisional masyarakat Sumbawa yang menggunakan kayu, potensial
menggunakan bahan dari kayu kepuh.
Salah satu permainan tradisional Sumbawa yang menggunakan bahan kepuh
ialah barapan kebo (karapan kerbau). Dalam permainan karapan kerbau, setiap
kerbau yang dilombakan harus menjatukan saka. Saka adalah tongkat kayu yang
ditancapkan di salah satu sudut sawah menjadi tujuan para joki untuk bisa
menjatuhkan atau mengenai saka dalam waktu sesingkat-singkatnya. Salah satu
kayu yang digunakan untuk saka tersebut adalah kayu kepuh. Permainan lainnya
yang diakui juga menggunakan bahan dari kayu kepuh ialah main jaran (pacuan
kuda). Permainan yang umumnya dilakoni oleh joki cilik ini menggunakan kayu
kepuh sebagai pematik/pemukul kuda agar kencang berlari.
Beberapa permainan lainnya yang sering dimainkan anak-anak kecil di
Sumbawa seperti rabanga, gasing dan cuek, merupakan beberapa permainan khas
Sumbawa yang menggunakan bahan dari kepuh. Cangkang (kulit buah) kepuh
digunakan untuk main rabanga (melempar kulit buah kepuh dari jarak tertentu) dan
biji kepuh digunakan untuk main gasing (gangsing). Cara permainan gangsing ini
ialah dengan memutar biji kepuh lalu dihitung waktu terlama berhenti, sedangkan
cuek (pluit) dibuat dari biji kepuh yang sudah dikosongkan isinya, dengan
meniupnya akan dihasilkan suara yang nyaring.
57

Jasa lingkungan
Secara ekologis kepuh berfungsi sebagai mikro habitat beberapa jenis burung,
seperti kakatua jambul kuning di Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, berbagai
jenis burung air (cangak, kuntul dan pecuk) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut
serta jalak bali di Taman Nasional Bali Barat. Kepuh di Kab. Sumbawa juga
menjadi tempat berteduh bagi sekawanan ternak kambing, sapi, kerbau dan kuda
serta lebah madu. Jenis mamalia seperti kalong juga diketahui menjadikan pohon
kepuh sebagai tempat bergantung di pagi hari. Fenomena ini dapat ditemukan di
Suaka Margasatwa Pulau Rambut.
Kepuh juga berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi karena dengan
tajuknya yang lebar dan perakarannya yang kuat mampu menahan air tanah. Dalam
ilmu hutan kota, kepuh berfungsi sebagai tumbuhan peneduh jalan dan pemecah
angin. Keberadaan kepuh sebagai bahan bakar nabati akan turut menunjang aspek
ekologis dalam pengurangan penggunaan bahan bakar fosil yang prosesnya
cenderung tidak ramah lingkungan.

Kearifan tradisional lainnya


Kearifan lokal masyarakat Sumbawa tentang kepuh tidak hanya tentang
pemanfaatan kepuh dalam kehidupan sehari-hari, namun juga ditemukan pada
cerita lokal, puisi (sajak) juga mitos tentang kepuh. Cerita sangka gelumpang,
berbagai lawas (puisi lisan Sumbawa) tentang gelumpang, juga mitos baki
gelumpang merupakan bukti bahwa kepuh atau gelumpang memiliki tempat
tersendiri dalam kebudayaan masyarakat Sumbawa.
Cerita sangka gelumpang merupakan cerita umum di Kec. Empang terutama
di masyarakat Desa Boal. Cerita ini berawal pada masa dea (raja) dahulu kala,
masyarakat di Desa Lapote yang hidup di hutan (olat) tidak mematuhi perintah.
Penduduk desa ini semuanya memegang faham kepercayaan dinamisme. Mereka
menyembah patung dan mempercayai pohon gelumpang. Mereka pun meyakini
bahwa semua permohonan yang terkabul merupakan pemberian jin/setan pohon ini.
Sementara di sisi lain, umat islam sebagai pemeluk mayoritas Kedatuan Empang di
masa itu menganggap perbuatan tersebut adalah perbuatan syirik. Singkat cerita
akumulasi dari ketidaktaatan masyarakat Desa Lapote serta rasa ingin menguji
kekuatan pohon yang diyakini, maka beberapa masyarakat yang menganut agama
islam pun berniat menebang pohon ini.
Pada saat penebangan berlangsung, masyarakat Desa Lapote yang percaya
dengan pohon gelumpang pun beramai-ramai, berdiri di dekat pohon gelumpang
tersebut dengan maksud menahan (sangka) agar gelumpang yang mereka sembah
tidak sampai jatuh. Ukuran batang yang besar ditahan oleh orang dengan badan
yang lebih besar. Sebaliknya orang-orang dengan badan lebih kecil menahan pohon
gelumpang pada bagian yang lebih kecil. Setelah beberapa waktu pohon gelumpang
pun oleh umat islam berhasil ditebang, dan pohon yang roboh mengenai semua
masyarakat Desa Lapote. Tidak ada satupun masyarakat Desa Lapote yang tersisa,
semuanya meninggal bersama robohnya pohon gelumpang. Cerita sangka
gelumpang kini hanya menyisahkan kenangan. Kuburan yang ada di Desa Boal
diyakini masyarakat sebagai sisa dari bukti cerita sangka gelumpang.
Kearifan lokal tentang kepuh juga tercermin dari berbagai puisi lisan
Sumbawa (lawas). Lawas menjadi salah satu pilar kesenian Sumbawa. Sebagai
puisi lisan, lawas dapat dibawakan dalam delapan cara yaitu belawas
58

(menembangkan lawas secara sendiri-sendiri atau beramai-ramai), sekeco


(menembangkan lawas dengan memukul rebana), begandang (tembang lawas
diiringi irama suling atau tumbukan lesung padi), saketa (pernyataan kegirangan
kala kerja atau bermain), ngumang (tembang lawas sambil mengacungkan
tangan/tongkat, langko (saling berbalasan lawas antara muda mudi), badede
(upacara adat bangsawan atau saat meninakbobokan anak kecil) dan basual
(menyampaikan soal dengan lawas) (Raba 2002). Beberapa contoh syair lawas yang
menggambarkan pohon gelumpang atau kepuh adalah:

Rempa bage no tu tengke


Long gelumpang tu tengke si
Tu tutit gagang leng sampang
Terjemahan bebas:
Pendeknya pohon asam tidak dipanjat
Lurusnya (lagi tinggi) pohon kepuh masih dipanjat
Demi mengejar tujuan di atas

Gelumpang long tenga rau


Ku tutu sajan beseli
Tau balong peno beli, asal bau jaga diri
Terjemahan bebas:
Kepuh tinggi di tengah hutan yang baru dibuka
Sungguh semakin berkembang
Orang baik akan banyak disuka asalkan pandai jaga diri

O sarea rama peno


Mata korong gelumpang ta
Bau balu tu sio rob
Terjemahan bebas:
O hadirin sekalian
Begitu besar tajuk gelumpang ini
Sampai bisa berteduh delapan orang di bawahnya

Bli bebat leng parate


Bawa ngayo ko birayang
Pili okal Desa Jotang
Maras tu saling to ate
Mara ka tu saling sayang
Do desa tu saling totang
Terjemahan bebas:
Beli pengikat hati
Bawa pergi ke Desa Birayang
Pilih biji kepuh Desa Jotang
Indah rasanya bila kita saling tahu isi hati
Seakan kita saling sayang
Jauh desa kita saling mengingat
59

Syair lawas kepuh di atas lebih banyak menceritakan karakteristik kepuh,


mulai dari arsitektur pohonnya sampai tempat tumbuh. Kata long (lurus dan tinggi)
dan korong (harfiahnya kandang namun dalam lawas disini mengartikan akan tajuk
kepuh yang besar dan mampu melindungi) menjadi penciri pengetahuan
masyarakat akan arsitektur pohon kepuh. Kata rau (hutan yang baru dibuka) dan
sajan beseli (semakin tumbuh tunas) menjadi kata kunci pengetahuan masyarakat
tentang habitat kepuh serta kata pilih okal (sebutan untuk biji kepuh) Desa Jotang
(pilih biji kepuh di Desa Jotang) menjadi penjelas bahwa sejak dahulu kala Desa
Jotang, Kec. Empang telah terkenal dengan pohon kepuh.
Terdapat bermacam-macam jenis lawas berdasarkan kelompok umur. Mulai
dari lawas tau ode (lawas anak-anak) yang mengedepankan dunia anak-anak.
Kemudian lawas taruna dedara (muda mudi) yang mengangkat tema tentang
perkenalan, percintaan, perpisahan atau hal lainnya sesuai dengan kebiasaan yang
terjadi pada muda mudi Sumbawa pada saat itu. Jenis lawas lainnya adalah lawas
tau loka (orang tua) yang lebih bijak berisi tentang nasehat, agama dan filsafat
(Raba 2002).
Adapun mitos baki gelumpang merupakan bagian cerita lain dari kemistisan
pohon kepuh. Sebagian masyarakat Sumbawa sampai saat ini masih ada yang
meyakini bahwa pohon kepuh yang besar dihuni oleh baki (setan). Setan gelumpang
oleh masyarakat Sumbawa ini dikenal dengan sebutan Siti Gede.
Mitos ini pun secara turun temurun mewariskan doa agar masyarakat
Sumbawa yang beraktivitas di kebun (keban), hutan (olat), tidak diganggu oleh baki
gelumpang. Isi doa ini merupakan perpaduan bahasa Arab dan bahasa Sumbawa
yang secara bebas dapat diartikan sebagai permohonan pada Tuhan agar baki
gelumpang (Siti Gede), pergi dari tempat itu dan tidak menggangu mereka. Ucapan
doa tersebut sebagai berikut.

Uspisalahum kau ode aku rea


Sis du sin kalam mu barak
Siti gede singen kau
Suret kau siti gede lako gersik tampar puti ola kiri pati matano lis

Strategi Konservasi Kepuh

Sikap masyarakat pro konservasi


Sikap masyarakat pro konservasi hanya akan terwujud manakala pendekatan
yang digunakan mengedepankan value dalam masyarakat, terutama aspek
kebenaran (alamiah), kepentingan (ekonomi) dan kebaikan (religius). Ketiga nilai
ini tercermin dari rasa nyaman, aman, tenteram pada masyarakat serta mapan dalam
memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Bila aspek ini dipenuhi maka minat atau
kecenderungan bertindak (tend to act) akan mengarahkan sikap nyata yang
mendukung tercapainya setiap tujuan tersebut. Saat kegiatan konservasi kepuh di
Kab. Sumbawa mampu memberi rasa nyaman, aman, tenteram dan mapan secara
ekonomi, maka barang tentu setiap masyarakat akan berlaku pro terhadap upaya
konservasi kepuh di lapangan.
Bahasa konservasi saat ini, haruslah berubah dari paradigma yang
mengedepankan aspek perlindungan dan pengawetan yang cenderung membatasi
60

masyarakat dalam beraktivitas, menjadi bahasa pemanfaatan yang berkelanjutkan


agar muncul rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya yang
dimanfaatkannya. Ketika rasa memiliki itu ada maka rasa kepedulian pun akan
muncul untuk turut menjaga.
Membangkitkan rasa memiliki akan mudah terlaksana bila stimulus yang
dibangun langsung menyentuh nilai-nilai kebenaran (alamiah), kepentingan
(manfaat) dan kebaikan (religius) pada masyarakat. Membangkitkan
keikhlasan/rela pada masyarakat hanya akan terwujud bila ada jaminan keamanan
dari pengambil kebijakan terhadap apa yang diusahakan masyarakat. Beberapa
jaminan tersebut diantaranya adalah kepastian harga jual produk (stabilitas harga
jual) dan kepastian bahan baku (tidak ditebang, akses penggunaan lahan sampai
dengan keamanan transportasi bahan baku).
Maka itu memulai rencana konservasi kepuh di Kab. Sumbawa perlu
diketahui terlebih dahulu, seperti apa sikap masyarakat dalam menanggapi
keberadaan kepuh, lalu stimulus apa saja yang mungkin atau dianggap kuat
mempengaruhi sikap (tend to act) masyarakat pro konservasi kepuh di lapangan.
Data-data stimulus ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara, yang kemudian diuji
ketepatan (validitas) dan ketelitiannya (reliabilitas). Data stimulus tersebut
kemudian menggunakan permodelan SEM (Structural Equation Modeling) dengan
PLS (Partial Least Squares), diuji hubungan dan kekuatannya dalam
mempengaruhi sikap pro konservasi kepuh di lapangan.
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas, pada penelitian ini terdapat
tiga peubah laten eksogen (stimulus) yaitu alamiah (Al), manfaat (Ma), dan religius
rela (Re), serta satu peubah laten endogen yaitu sikap (Mi). Peubah alamiah
digambarkan oleh 13 indikator yaitu musim tanam (Al.1), tempat tumbuh (Al.2),
lama panen (A1.3), lokasi anakan (A1.4), jumlah indukan (Al.6), penyebaran
(Al.7), mitos (Al.8), kelangkaan (Al.9), musim panen (Al.10), preferensi habitat
(Al.11), asosiasi (Al.12), mikro habitat satwa lain (Al.13), dan aksi illegal logging
(Al.16). Peubah stimulus manfaat digambarkan oleh 16 indikator yaitu kayu
konstruksi (Ma.1), obat (Ma.2), bumbu masak (Ma.3), sira wir (Ma.4), prosesi adat
(Ma.5), arang (Ma.6), tempat berteduh (Ma.7), buah (Ma.8), karapan kerbau
(Ma.9), bahan perahu (Ma.10), permainan tradisional (Ma.11), kotak P3K (Ma.13),
bahan jualan/komoditi ekonomi (Ma.14), minyak Sumbawa (Ma.15), perhiasan
(Ma.16), dan cita rasa (Ma.17).
Peubah religius rela digambarkan oleh 11 indikator yaitu kemampuan
regenerasi (Re.1), tempat sesembahan (Re.2), image angker (Re.3), dan rasa pamali
(Re.4), penting dilestarikan (Re.5), campur tangan manusia dalam budidaya (Re.6),
dana budidaya (Re.7), peraturan UU tentang kepuh (Re.8), informasi manfaat
utama (Re.9), endemik/tumbuhan khas Sumbawa (Re.10), dan penyediaan bibit
(Re.11).
Adapun variabel sikap (tend to act) digambarkan oleh 9 indikator. Indikator-
indikator tersebut diantaranya perhatian untuk tahu (Mi.1), perhatian untuk faham
(Mi.2), perhatian untuk menyelesaikan masalah (Mi.3), ketertarikan untuk tahu
(Mi.4), ketertarikan untuk faham (Mi.5), ketertarikan untuk menyelesaikan masalah
(Mi.6), rasa senang saat tahu (Mi.7), rasa senang saat faham (Mi.8), rasa senang
saat mampu menyelesaikan masalah (Mi.9). Konsep model PLS-SEM yang
dibangun tersaji pada Gambar 31.
61

δAl1 Al1
Stimulus
δAl... Al... λ Al.. Alamiah
ξ1
δAl16 Al16

Mi1 εMi1
δMa1 Ma1
Stimulus ϒ2 Sikap λMi..
Mi... εMi...
δMa... Ma... λ Ma.. Manfaat (tend to act)

... ξ2 ƞ
Mi9 εMi9
δMa17 Ma17
77

δRe1 Re1 Stimulus


Religius Variabel Laten Eksogen
δRe... Re... λ Re.. Rela
. ξ3 Variabel Laten Endogen
δRe11 Re11

Gambar 31 Model PLS-SEM yang dibangun

Evaluasi Goodness of Fit


1. Evaluasi model pengukuran
Evaluasi terhadap model pengukuran dilakukan pada masing-masing peubah
laten dengan melakukan pengujian validitas dan reliabilitas konstruk. Ukuran suatu
indikator dikatakan valid jika memiliki nilai loading (λ) dengan peubah laten yang
ingin diukur > 0.5.
Berdasarkan hasil nilai loading, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
indikator yang memiliki nilai loading < 0.5, indikator tersebut diantaranya (Al.10,
Al.11, Al.16, Ma.1, Ma.9, Ma.15, dan Re.6), selain dari indikator ini memiliki nilai
loading > 0.5 yang mengindikasikan bahwa indikator-indikator tersebut valid untuk
mengukur konstruk latennya.
Suatu peubah dikatakan reliabel apabila peubah tersebut mempunyai nilai
Cronbach’s Alpha ≥ 0.7. Tabel 13 menunjukkan bahwa semua nilai Cronbach’s
Alpha > 0.7, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa indikator-indikator yang
digunakan pada penelitian ini mampu untuk mengukur konstruknya.

Tabel 13 Nilai AVE, Cronbach’s Alpha, dan R2 peubah laten

Peubah Laten AVE Cronbach’s Alpha R2


Alamiah 0.484 0.882 -
Manfaat 0.526 0.922 -
Religius Rela 0.540 0.905 -
Sikap (tend to act) 0.503 0.873 0.771
62

2. Evaluasi model struktural


Model struktural dapat dievaluasi dengan melihat nilai R2 pada peubah laten
endogen (sikap). Tabel 13 telah menunjukkan bahwa nilai R2 peubah sikap sebesar
0.771/77.10%, artinya peubah minat yang dapat dijelaskan oleh stimulus alamiah,
stimulus manfaat dan stimulus religius rela sebesar 77.10%, sisanya sebesar 22.90%
dijelaskan oleh peubah lain di luar model. Menurut Hair et al. (2011) dan Sanchez
(2013), hasil R2 > 75% atau > 60% menunjukkan bahwa model kuat/tinggi. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa peubah sikap termasuk baik (kuat) dijelaskan
oleh stimulus alamiah, stimulus manfaat dan stimulus religius rela
(merepresentasikan sikap (tend to act) masyarakat untuk pro terhadap konservasi
kepuh). Hubungan kausan antara variabel eksogen dan endogen tersaji pada
Gambar 32.

Alamiah

Manfaat Sikap
0.4896

Rela

Gambar 32 Nilai hubungan setiap peubah laten terkait konservasi kepuh

Berdasarkan Gambar 32 di atas dapat diterangkan bahwa hubungan kausal


yang terbentuk berupa satu arah yaitu stimulus alamiah, manfaat dan religius rela
semuanya mempengaruhi sikap. Nilai positif pada masing-masing koefisien jalur
menunjukkan bahwa semakin kuat stimulus alamiah, manfaat dan religius rela,
maka sikap seseorang terhadap upaya konservasi kepuh akan semakin meningkat.
Berdasarkan nilai koefisien jalur pada Gambar 32 di atas, nilai koefisien jalur
tertinggi yang mempengaruhi sikap adalah stimulus religius rela, dengan nilai
sebesar 0.5059, lalu stimulus manfaat dengan nilai sebesar 0.4896 dan terakhir
stimulus alamiah dengan nilai sebesar 0.0504. Berdasarkan nilai-nilai ini dapat
disimpulkan bahwa stimulus yang paling berpengaruh terhadap sikap masyarakat
dalam upaya konservasi kepuh di Kab. Sumbawa adalah stimulus religius rela (nilai
kebaikan) dan stimulus manfaat (nilai kepentingan) dengan nilai yang relatif tidak
jauh berbeda.
Adapun nilai loading tertinggi dalam membentuk peubah stimulus religius
rela adalah kemampuan regenerasi (Re.1), dengan nilai 0.806 (Lampiran 5). Hal ini
menunjukkan bahwa pendekatan pada masyarakat harus mengedepankan bahasa
bahwa dalam regenerasi khususnya penyebaran biji, pohon kepuh memerlukan
bantuan manusia. Sementara nilai loading terendah dalam membentuk peubah
63

stimulus religius rela adalah dana budidaya (Re.7). Data ini membuktikan bahwa
membangkitkan stimulus masyarakat dalam upaya konservasi kepuh di Kab.
Sumbawa bukan utama dan hanya karena ada subsidi atau kompensasi uang pada
masyarakat namun bagaimana menyebarluasan informasi bahwa kepuh merupakan
spesies langka yang regenerasinya memerlukan bantuan manusia.
Adapun nilai loading tertinggi dalam membentuk peubah stimulus manfaat
adalah komoditi ekonomi (Ma.14), dengan nilai 0.837. Data ini menggambarkan
bahwa untuk membangkitkan stimulus masyarakat juga dapat melalui
penyebarluasan informasi bahwa kepuh merupakan salah satu komoditi ekonomi
yang potensial untuk diperjualbelikan (komoditi ekonomi penting), baik sebagai
kayu konstruksi, ukiran (kerajinan tangan), perhiasan, bumbu masak, berbagai jenis
panganan atau juga manfaat-manfaat lainnya. Ketika masyarakat mendapatkan
pengahasilan nyata (ekonomi) dari pengusahaan kepuh maka masyarakat pun akan
berusaha menjaganya agar dapat terus menjadi ladang penghasilan. Hasil penelitian
ini paling tidak mampu mengambarkan seperti apa dan bagaimana seharusnya
membangun sikap masyarakat pro konservasi kepuh pada khususnya dan spesies
lain pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Membangun konservasi spesies harus terlebih dahulu mengedepankan nilai
kebaikan dan kepentingan masyarakat. Fakta bahwa nilai kebenaran saat ini
sudah banyak dikesampingkan guna memenuhi kebaikan dan kepentingan
masyarakat. Bahasa konservasi bukan hanya mengharap perhatian dan
kepedulian masyarakat untuk hanya menjaga dan melindungi (nilai kebenaran
bahwa sepatutnya dilindungi dan dijaga) namun lebih penting dalam
membangun konservasi spesies, harus mengutamakan nilai kebaikan dan
kepentingan masyatakat tersebut. Bila dikembalikan pada pilar konservasi maka
pilar pemanfaatan yang berkelanjutan harus dikedepankan sebagai bahasa
konservasi agar lebih diterima dan didukung masyarakat.
2. Bila dicermati kelangkaan dan kepunahan keanekaragaman hayati saat ini terjadi
karena ada ketimpangan antara kebutuhan dan keinginan manusia dengan daya
dukung alam dalam menyediakan sumber daya. Saat ini upaya konservasi
spesies terkesan pasif dengan menunggu kepedulian/partisipasi masyarakat
untuk menjaga, melindungi, mengawetkan tanpa dapat memanfaatkan apa yang
dijaga dan dilindungi. Fakta lainnya bahwa jumlah tumbuhan langka atau
terancam punah terus bertambah. Terdapat sekitar 240 spesies tumbuhan
dinyatakan langka, sebagian besar merupakan spesies budidaya. Paling sedikit
52 spesies anggrek, 11 spesies rotan, 9 spesies bambu, 9 spesies pinang, 6 spesies
durian, 4 spesies pala, 3 spesies mangga termasuk langka (Mogea et al. 2001).
Selain itu sebanyak 44 spesies tumbuhan obat dikategorikan langka (Zuhud
2001). Membaca data ini maka perlu dibangun paradigma konservasi yang
mengedepankan kebutuhan dan keinginan masyarakat (pemanfaatan yang
berkelanjutan).
3. Membangun sikap konservasi spesies bukan sekedar memberi dana/uang
kemudian semua urusan akan selesai. Melainkan menjelaskan apa saja peluang
ekonomi, potensi uang yang akan didapat saat seseorang mengkonservasi
sumberdaya yang ada (bioprospeksi). Nilai bioprospeksi dari sumberdaya alam
yang diolah menjadi modal kuat dalam membangun sikap masyarakat untuk pro
terhadap konservasi keanekaragaman hayati Indonesia.
64

Rencana aksi konservasi kepuh


Membangun konservasi kepuh harus dilaksanakan secara menyeluruh
mencakup aspek populasi, habitat, kearifan tradisional, sampai dengan membangun
sikap masyarakat (tend to act). Aspek-aspek ini dapat dikelompokkan menjadi dua
faktor yaitu faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan
ancaman). Faktor internal adalah faktor yang berhubungan dengan kemampuan
kepuh, baik dalam memberi manfaat dan kemampuan regenerasi. Faktor eksternal
adalah faktor yang berhubungan dengan campur tangan manusia serta persaingan
kepuh dengan tumbuhan lainnya atau faktor habitat lainnya. Berdasarkan aspek-
aspek inilah kemudian disusun rencana aksi konservasi kepuh secara menyeluruh.
Faktor-faktor dalam upaya konservasi kepuh digolongkan sebagai berikut:
Faktor internal
a. Kepuh dapat tumbuh di berbagai tipe habitat
b. Waktu panen kayu kepuh relatif lama
c. Pohon kepuh berperan sebagai penyangga kehidupan (penyedia air tanah dan
mencegah erosi)
d. Kepuh menjadi mikro habitat beberapa jenis satwa liar
e. Kayu kepuh baik digunakan untuk keperluan konstruksi
f. Setiap bagian tumbuhan kepuh bermanfaat untuk obat
g. Biji kepuh sebagai bahan pangan beberapa makanan khas Sumbawa
h. Bahan dari kepuh digunakan dalam beberapa acara adat khas Sumbawa
i. Bahan dari kepuh digunakan dalam permainan tradisional
j. Bahan kepuh digunakan menjadi ajimat
k. Pohon kepuh penting untuk anak cucu
l. Untuk pertumbuhan dan perkembangannya kepuh membutuhkan bantuan
manusia

Faktor eksternal
a. Kepuh mulai jarang ditemukan
b. Masih banyaknya penebangan kayu
c. Kemiri sebagai kompetitor kepuh, bersaing dalam penggunaan sebagai bumbu
masak
d. Bahan dari kepuh memiliki nilai ekonomi tinggi “diperjualbelikan”
e. Image angker, keramat dan penuh mistik melekat pada pohon kepuh
f. Kepuh akan ditanam oleh masyarakat bila disediakan bibit dan uang
pemeliharaan
g. Masyarakat akan menanam saat mengetahui manfaat kepuh
h. Kepuh merupakan tumbuhan khas Sumbawa yang perlu dilestarikan

Faktor internal dan eksternal seperti tersaji di atas diperoleh dari hasil
wawancara, survey lapang dan kajian pustaka. Faktor internal dan eksternal dalam
upaya konservasi kepuh ini kemudian dinilai dengan menggunakan konversi skala
Likert secara berimbang. Nilai ini kemudian dianggap sebagai bobot untuk
memudahkan dalam penilaian. Kriteria dengan bobot 3 mendapatkan nilai 1, bobot
4 mendapatkan nilai 2. Untuk membedakan nilai kelemahan untuk faktor internal
dan ancaman untuk faktor eksternal bertanda negatif (-), sedangkan nilai kekuatan
untuk faktor internal dan peluang pada faktor eksternal bertanda positif (Tabel 14).
65

Tabel 14 Penilaian faktor internal dan eksternal dalam konservasi kepuh

Faktor internal Nilai Faktor eksternal Nilai


1. Kekuatan 2. Peluang
 Kepuh dapat tumbuh di 1  Kemiri sebagai 2
berbagai tipe habitat kompetitor kepuh,
bersaing dalam
penggunaan sebagai
bumbu masak
 Pohon kepuh berperan 2  Bahan dari kepuh 1
sebagai penyangga memiliki nilai ekonomi
kehidupan (penyedia air tinggi “diperjualbelikan”
tanah dan mencegah erosi)
 Kepuh merupakan mikro 1  Kepuh akan ditanam 1
habitat beberapa jenis satwa oleh masyarakat bila
liar disediakan bibit dan
uang pemeliharaan
 Kayu kepuh baik digunakan 1  Masyarakat akan 1
untuk keperluan konstruksi menanam saat
mengetahui manfaat
kepuh
 Setiap bagian tumbuhan 2  Kepuh merupakan 1
kepuh bermanfaat untuk tumbuhan khas
obat Sumbawa yang perlu
dilestarikan
 Biji kepuh sebagai bahan 1
pangan beberapa makanan
khas Sumbawa
 Bahan dari kepuh 1
digunakan dalam beberapa
acara adat khas Sumbawa
 Bahan dari kepuh 1
digunakan dalam permainan
tradisional
 Pohon kepuh penting untuk 1
anak cucu
3. Kelemahan 4. Ancaman
 Waktu panen kayu kepuh -1  Kepuh mulai jarang -1
relatif lama ditemukan
 Untuk pertumbuhan dan -1  Masih banyaknya -1
perkembangannya kepuh penebangan kayu
membutuhkan bantuan
manusia
 Bahan kepuh digunakan -2  Image angker, keramat, -1
menjadi ajimat dan penuh mistik melekat
pada pohon kepuh
Total faktor internal 7 Total faktor eksternal 3
66

Berdasarkan penilaian yang dilakukan, posisi konservasi kepuh berada pada


kuadran I grand strategy (Gambar 33). Pada kuadran tersebut, strategi yang
diterapkan dalam konservasi kepuh adalah strategi S-O atau strategi agresif. Artinya
strategi dilaksanakan dengan memanfaatkan seluruh kekuatan yang dimiliki untuk
mengambil peluang yang ada.

7.3

W S

Gambar 33 Kedudukan konservasi kepuh dalam analisis SWOT

Kekuatan dan peluang ini bukan hanya pada indikatornya namun di lokasi
mana setiap indikator kekuatan dan peluang tersebut dapat maksimal dilaksanakan.
Dengan memilih lokasi yang tepat yaitu dominan pengetahuan atau pemanfaatan
tentang kepuh serta pasar yang sudah ada maka strategi konservasi kepuh akan lebih
efektif dan efisien dilaksanakan. Berdasarkan kriteria inilah kemudian
dipertimbangkan bahwa lokasi awal pengembangan kepuh dilaksanakan di
Kec. Empang. Jumlah masyarakat di kecamatan ini yang mengetahui dan
memanfaatkan kepuh lebih banyak dari pada kecamatan lainnya, selain itu wujud
ekonomi nyata kepuh dengan diperjualbelikan hanya ditemukan di Kec. Empang.
Aspek siapa yang menjadi agen konservasi juga tidak kalah penting.
Berdasarkan pemetaan demografi masyarakat bahwa profesi petani (orang yang
bekerja di sawah, kebun dan ladang) lebih banyak interaksinya dan pengetahuannya
tentang kepuh, maka sasaran utama yang menjadi agen penggerak/motor setiap
rencana aksi konservasi kepuh ialah para petani. Berawal dari agen
penggerak/motor inilah rencana aksi akan berjalan efektif dan efisien.
Kegiatan pendampingan dan penyuluhan juga menjadi penting dilakukan
sebagai langkah sistematik terhadap setiap rencana aksi yang dilaksanakan.
Pendampingan dan penyuluhan ini dapat dilakukan oleh pihak terkait seperti BP4K
(Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) Kab.
Sumbawa melalui BP3K Kec. Empang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kab. Sumbawa, Dinas Pertanian Kab. Sumbawa, Perguruan tinggi lokal, IPB
(selaku perguruan tinggi di bidang pertanian dalam arti luas) serta pihak terkait
lainnya. Berawal dari berbagai pertimbangan inilah maka rencana aksi akan
berjalan lebih baik. Beberapa rencana aksi konservasi kepuh yang dapat diterapkan
dengan strategi S-O:
67

Pengembangan budidaya kepuh (nursery)


Kepuh merupakan spesies yang mulai langka. Jumlah individu kepuh terus
menurun ditunjukkan dari laju regenerasi/persentasi tumbuh dan berkembang pada
tingkat semai menjadi pohon relatif kecil. Kerapatan pada semai yang mencapai 61
ind/ha, turun drastis menjadi 1 ind/ha pada tingkat pohon. Hal ini menggambarkan
bahwa laju pertumbuhan kepuh cukup pesat pada tahap awal pertumbuhan
kemudian melambat saat mulai membesar. Penyebaran kepuh kini mulai
menyempit, menyebar sporadis di beberapa kecamatan. Kepuh relatif sulit ditebak
keberadaannya karena tidak memiliki asosiasi tertentu dengan spesies lainnya.
Sebagai salah satu spesies khas Sumbawa dan dianggap penting untuk anak
cucu, maka strategi yang perlu dilaksanakan adalah pengembangan budidaya
(nursery) kepuh. Adanya dormansi kulit pada kepuh, dengan penanganan intensif
oleh masyarakat maka peluang hidup biji kepuh akan semakin meningkat. Selain
itu perlu dikembangakan teknologi pematahan dormasi agar hasil benih kepuh yang
diperoleh semakin baik. Melalui penanganan intensif, maka lambat laun dari
percobaan dan kegagalan yang dialami di pembibitan tentu akan diperoleh
formulasi terbaik mengenai teknik budidaya sehingga peluang hidup lebih besar
dan kualitas serta kuantitas termasuk lama panen akan semakin baik dan cepat.
Terkait habitat, pengembangan persemaian kepuh dapat dilakukan pada
daerah yang tergenang air untuk semai dan tempat yang lebih terbuka (terkena
cahaya matahari langsung) saat mulai membesar. Kepuh dapat tumbuh sampai
ketinggian 1 000 mdpl namun, kepuh relatif baik tumbuh pada ketinggian 0 - 400
mdpl yaitu mulai hutan pantai sampai hutan dataran rendah. Berdasarkan tingkat
kelerengannya, kepuh di Kab. Sumbawa lebih banyak dijumpai pada areal yang
datar dan landai.
Kepuh dapat tumbuh pada berbagai tipe habitat/tutupan lahan. Namun
demikian guna keberlanjutan tumbuhan kepuh maka pemilihan lokasi tanam
haruslah di tempat-tempat yang luas karena arsitektur pohon ini memerlukan
tempat yang lebih luas. Pemilihan lokasi tanam sebaiknya melihat kondisi tanah.
Preferensi tanah berdasarkan penemuan kepuh di lapangan ialah tanah yang
berkapur dangan kelembaban sedang.

Pengembangan kepuh menjadi salah satu komoditi ekonomi kreatif


Kepuh pada prinsipnya sudah dimanfaatkan sejak lama oleh masyarakat di
Kab. Sumbawa. Hanya saja saat ini pemanfaatan tersebut terus berkurang bahkan
cenderung mulai menghilang. Strategi konservasi kepuh dapat dimulai dengan
merangkul dan mengajak masyarakat yang masih memanfaatkan kepuh sebagai
pionir dalam konservasi kepuh.
Berawal dari masyarakat yang sudah mengetahui manfaat kepuh, relatif lebih
mudah menjalankan aski konservasi di lapangan. Berdasarkan demografi
masyarakat maka profesi yang dapat diajak sebagai agen/duta konservasi kepuh
ialah petani berusia 40 - 60 tahun baik laki-laki maupun perempuan.
Membangkitkan kembali sistem agroforestry ala Indonesia, dengan
memadukan tanaman pertanian baik padi dan spesies lainnya dengan kepuh maka
value yang diperoleh oleh petani akan bertambah. Pemilihan sistem agroforestry ala
Indonesia merujuk bahwa banyak diantara masyarakat Indonesia, termasuk petani
yang tinggal dan hidup di sekitar hutan, berinteraksi dengan tumbuhan dan hewan
yang ada di sana. Mereka telah berproses selama ratusan tahun secara ko-evolusi.
68

Membangun sikap masyarakat untuk pro terhadap konservasi kepuh tidaklah


mudah. Pendekatan yang diperlukan haruslah melihat tingkat kepentingan dan
kebaikan masyarakat setempat. Sehingga bukan hanya kaku pada legal aturan
bahwa biodiversity itu harus dilindungi melainkan pendekatan biodiversity itu
dilindungi karena penting dan baik untuk kehidupan masyarakat.
Berdasarkan aspek sikap, stimulus yang dianggap paling berpengaruh ialah
stimulus religius rela dan manfaat. Kegiatan seperti sosialisasi secara
berkesinambungan dengan mengedepankan bahasa bahwa dalam regenerasi
khususnya penyebaran biji, pohon kepuh memerlukan bantuan manusia. Disisi lain,
bahasa ekonomi juga perlu sebagai pendekatan bahwa spesies ini memiliki potensi
nilai ekonomi menjanjikan yang dapat meningkatkan pendapatan atau penghasilan
masyarakat.
Sebagai sebuah komoditi yang memiliki banyak manfaat, kepuh dapat lebih
dikembangkan menjadi snack atau panganan lainnya yang bergizi, hiasan (cincin,
kalung, pelakat), berbagai produk obat termasuk minyak gosok, furniture dan
biofuel. Bila industri ini sudah terbentuk, maka tentu konservasi kepuh akan
berjalan dengan baik.

Sosialisasi dan publikasi nilai manfaat kepuh


Manfaat pangan, obat, bangunan, atau bahan bakar nabati merupakan
kekuatan kepuh. Adanya keyakinan akan komoditi kepuh yang layak
diperjualbelikan/memiliki nilai ekonomi, perlu diperkuat. Melalui kegiatan
sosialisasi oleh penyuluh kehutanan dan pertanian atau dinas terkait, lebih kurang
akan meningkatkan pengetahuan/informasi masyarakat tentang kepuh yang selama
ini diakui minim. Penelitian terkait kepuh juga perlu digalakan khususnya tentang
topik valuasi ekonomi, teknik budidaya dan teknologi tepat guna.
Secara umum beberapa strategi yang dapat dilaksanakan dalam upaya
konservasi tumbuhan yaitu (Zuhud 2012):
1) Memperkuat sistem-sistem lokal yang berbasis pada masyarakat lokal dan
kearifan tradisional dalam pengelolan keanekaragaman hayati. Merubah orientasi
tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati yang cenderung “makro‐nasional‐
global” (devisa negara, penerimaan pendapatan pemerintah pusat dan daerah) ke
tujuan “mikro‐lokal”.
2) Kembali pada Agroforestry khas Indonesia. Bahwa banyak diantara masyarakat
kita yang tinggal dan hidup di sekitar hutan, berinteraksi dengan tumbuhan dan
hewan yang ada di sana. Mereka telah berproses selama ratusan tahun secara ko-
evolusi.
3) IPTEKS modern di perguruan tinggi dan di lembaga penelitian harusnya
merupakan keberlanjutan atau persambungan dari IPTEKS indigenous. Informasi
akan kearifan tradisional suku/etnis tertentu harusnya mampu dijembatani dengan
pengembangan IPTEKS spesifik satu per satu wilayah oleh perguruan tinggi.
4) Pengelolaan keanekaragaman hayati ke depan sepatutnya berakar kepada
pengetahuan dan teknologi indigenous masyarakat lokal dalam skala unit-unit
pengelolaan yang rasional. Masyarakat lokal dengan bekal kearifannya harus
menjadi subyek pengelolaan yang mandiri bukan hanya sebagai obyek, dengan
meningkatkan dan menguatkan kapasitas SDM melalui pendampingan dari
perguruan tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Kondisi pertumbuhan populasi kepuh tidak berjalan normal. Total populasi yang
ditemukan di lapangan berjumlah 169 individu (65 semai, 5 pancang, 14 tiang,
85 pohon). Jumlah ini bila dibandingan dengan luas wilayah yang dimungkinkan
menjadi habitat kepuh maka kerapatannya tergolong rendah. Regenerasi kepuh
mengalami masalah pada pertumbuhan semai ke pancang. Jumlah individu pada
tingkat pancang relatif tidak sebanding dengan tingkat pertumbuhan lainnya.
Berdasarkan asosiasi interspesifik, kepuh relatif tidak berasosiasi dengan spesies
manapun. Kondisi populasi kepuh berdasarkan jumlah serta pola sebaran saat ini,
sangat rentan terhadap ancaman kepunahan baik karena serangan hama, aksi
illegal logging maupun alih fungsi lahan.
2. Berdasarkan aspek habitat, kepuh pada dasarnya tidak memiliki karakteristik
khusus berkaitan tentang pemilihan habitat. Kepuh dapat tumbuh di berbagai
ketinggian, kelerengan bahkan jenis tanah baik yang subur maupun tanah yang
kurang subur seperti tanah kapur. Hanya saja kepuh membutuhkan cukup air
pada awal pertumbuhan semai dan memerlukan cukup matahari saat semakin
membesar. Kepuh di Kab. Sumbawa ditemukan, baik tumbuh pada ketinggian
0 - 400 mdpl, kelerengan datar dan landai, curah hujan sedikit hingga sedang
dengan kisaran kelembaban 74% - 86%. Spesies ini dapat tumbuh di berbagai
tipe tutupan lahan. Sebagian besar kepuh yang ditemukan berada di lahan milik
masyarakat (pribadi). Kondisi ini disatu sisi menjadikan kepuh aman terhadap
aksi illegal logging, namun disisi lain menjadi ancaman mengingat perhatian
atau minat masyarakat terhadap upaya konservasi kepuh saat ini masing kurang
(relatif tidak diurus).
3. Kearifan lokal masyarakat Sumbawa tentang kepuh dapat dilihat saat tumbuhan
ini turut melengkapi kebutuhan pangan, obat-obatan, bahan bakar nabati dan
lain-lain. Dalam bidang pangan kepuh digunakan sebagai bumbu masak, bahan
pembuatan kripik dan berbagai jenis makanan ringan lainnya. Pemanfaatan
sebagai obat, kepuh diyakini dapat mengobati penyakit non medis maupun
medis, mulai dari guna-guna, sihir maupun penyakit seperti malaria hingga
kanker. Adapun pemanfaatan kepuh sebagai bahan bakar nabati, masyarakat
biasa menggunakan ranting kayu kepuh sebagai kayu bakar, biji untuk membuat
minyak serta cangkang (kulit) buah sebagai arang. Kepuh oleh masyarakat
Sumbawa juga digunakan untuk beberapa keperluan lainnya seperti perhiasan,
bahan bangunan, upacara adat, kerajinan tangan, permainan tradisional, pakan
ternak, jasa lingkungan sampai dengan kesenian tradisional seperti lawas.
Kearifan lokal masyarakat Sumbawa terkait kepuh kini hanya bersisa pada
kalangan tertentu dan di kecamatan tertentu saja. Sudah tidak banyak dari
masyarakat Sumbawa yang memanfaatkan kepuh.
4. Pendekatan/strategi konservasi kepuh dapat diawali dengan pemetaan stimulus
yang mempengaruhi sikap masyarakat pro konservasi kepuh. Stimulus ini
diantaranya nilai-nilai kebenaran (stimulus alamiah), kepentingan (stimulus
manfaat) dan kebaikan (stimulus religius). Berdasarkan tiga pendekatan ini, nilai
yang paling menonjol ialah stimulus religius rela dan manfaat atau nilai-nilai
70

yang berhubungan dengan kebaikan dan kepentingan yang ada pada masyarakat.
Sasaran masyarakat, agen penggerak/motor serta kegiatan pendampingan, juga
menjadi point penting dalam membangun konservasi kepuh. Sebelum rencana
aksi (program) dijalankan, maka aspek-aspek ini perlu diperhatikan lebih dulu.
Sasaran masyarakat dalam konservasi kepuh haruslah dipilih dari masyarakat
yang memiliki interaksi dan pengetahuan lebih banyak tentang kepuh, begitu
juga dengan keberadaan potensi pasar. Fakta bahwa Kec. Empang merupakan
satu-satunya kecamatan yang ditemukan potensi pasar kepuh dan masyarakatnya
banyak mengetahui tentang kepuh, sangat baik sebagai awalan dalam
pelaksanaan rencana aksi (program) konservasi kepuh. Adapun agen
penggerak/motor pelaksanaan rencana aksi ini dapat diawali oleh kelompok
profesi petani (bertani, berkebun dan berladang) yang berdasarkan hasil survey
lebih banyak interaksi dan pengetahuannya tentang kepuh. Begitu juga kegiatan
pendampingan oleh pihak terkait baik pemda dan perguruan tinggi sebagai upaya
peningkatkan dan penguatkan kapasitas SDM tentang kepuh yaitu tentang
budidaya, pemanenan hingga pengolahan menjadi produk ekonomi kreatif.
Beberapa rencana aksi (program) yang dapat dijalankan ialah pengembangan
budidaya kepuh (nursery), pengolahan bahan kepuh menjadi produk industri
baik skala rumah tangga maupun unit yang lebih besar, serta sosialisasi dan
publikasi nilai manfaat kepuh pada unit yang lebih luas. Secara
berkesinambungan kegiatan sosialisasi dengan mengedepankan bahasa bahwa
dalam regenerasi khususnya penyebaran biji, pohon kepuh memerlukan bantuan
manusia. Disisi lain, pendekatan ekonomi juga perlu dibahasakan yaitu spesies
ini memiliki nilai ekonomi penting yang dapat meningkatkan pendapatan atau
penghasilan masyarakat. Cara-cara ini secara langsung dapat mewujudkan
konservasi kepuh di dunia nyata.

Saran

Penyebarluasan arti penting dan manfaat kepuh (Sterculia foetida L.) sebagai
tumbuhan multiguna dan tumbuhan terancam punah pada masyarakat luas
merupakan prioritas yang harus dilakukan. Penelitian-penelitian lanjutan terutama
valuasi ekonomi, teknik budidaya dan teknologi tepat guna dalam peningkatan
peluang hidup pada kepuh menjadi penting sebagai langkah lainnya dalam upaya
konservasi kepuh.
Secara umum, pengelolaan sumberdaya alam ke depan harus merangkum
nilai-nilai kebenaran (stimulus alamiah), kepentingan (stimulus manfaat) dan
kebaikan (stimulus religius rela) pada masyarakat setempat. Hanya dengan cara ini
maka konservasi dapat berjalan bersama dengan masyarakat. Konservasi tanpa
peran aktif masyarakat laksana hasrat ingin memeluk gunung namun tangan tak
sampai. Jumlah petugas kehutanan saat ini, belum memadai bila dibandingan
dengan kawasan yang dijaga begitu luas. Maka itu peran masyararakat mutlak
diperlukan sebagai sentra pengelolaan hutan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA

Asih A, Gunawan G, Ariani D. 2010. Isolasi dan identifikasi senyawa golongan


triterpenoid dari ekstrak n-eksana daun kepuh (Sterculia foetida L.) serta uji
aktivitas antiradikal bebas. Jurnal Kimia. 4 (2): 135-140.
Azwar S. 2007. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya Edisi 2.
Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Bawa IGA. 2010. Analisis senyawa antiradikal bebas pada minyak daging biji
kepuh (Sterculia foetida L). Jurnal Kimia. 4 (1): 35-42.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kab. Sumbawa. 2014. Sumbawa dalam Angka 2014.
Sumbawa (ID): Badan Pusat Statistik Kab. Sumbawa.
Chin W. 1998. The Partial Least Square Approach for Structural Equation
Modeling. Ohio (US): Cleveland.
Clayton S, Myers G. 2009. Conservation Psychology Understanding and
Promoting Human Care for Nature. United Kingdom (GB): Blackwell
Publishing.
Codilla LT, Metillo EB. 2011. Distribution of the Invasive Plant Species
Chromolaena odorata L. in the Zamboanga Peninsula. Philippines (PH):
Singapore Press.
Datta MK. 1996. Some phytogeograrhical and economic aspects of genus sterculia.
The Indian Forester. 92 (8): 1-3.
Denzin NK, Lincoln YS. 2009. Hanbook of Qualitative Research [Edisi Bahasa
Indonesia]. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Didin SS. 1986. Indeks Tumbuh-Tumbuhan Obat di Indonesia. Jakarta (ID): Eisai
Indonesia.
Ernawati KD, Utami S. 2010. Identifikasi keanekaragaman serangga pada
perkebunan jeruk pamelo di Desa Bandar, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten
Magetan sebagai bahan penyusunan LKS pokok bahasan keanekaragaman
hayati. Madiun (ID): Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA. Hal 1-
5;[diunduh 2015 September 14]. Tersedia pada: http://e-
journal.ikippgrimadiun.ac.id/index.php/JP/article/view/164.
Fukuda H, Kondo A, Noda H. 2001. Biodiesel fuel production by transesterification
of oil. Jou of Bios and Bioeng. 92: 405-416.
Galla NR. 2012. In Vitro antioxidant activity of Sterculia foetida seed methanol
extract. American Journal of PharmTech Research. 2 (6): 572-581.
Ghozali I. 2013. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 21 Up
Date PLS Regresi. Semarang (ID): Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gunawan IWG, Karda IM. 2015. Identifikasi senyawa minyak atsiri dan uji
aktivitas antioksidan ekstrak etanol kulit batang kepuh (Sterculia foetida L.).
Chem Prog. 8 (1): 14-19.
Hair JF, Ringle CM, Sarstedt M. 2011. PLS-SEM indeed a silver bullet. Journal of
Marketing Theory and Practice. 19 (2): 139-150.
Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Science. 162 (3859): 1243-1248.
Hendrati RL, Hidayati N. 2014. Budidaya kepuh (Sterculia foetida L.) untuk
Antisipasi Kondisi Kering. Bogor (ID): IPB Press.
Herdiana N. 2005. Potensi Budidaya Kepuh (Sterculia foetida L.). Prosiding
Seminar Hasil-Hasil Penelitian Hutan Tanaman, Baturaja 5 Desember 2005.
72

Heyne. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta (ID): Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Indriyanto. 2005. Dendrologi. Bandar Lampung (ID): Universitas Lampung.
Ken KKW. 2013. Partial least squares structural equation modeling (PLS-SEM)
techniques using smart PLS. Marketing Bulletin. 2013 (24): 1.
Krebs CJ. 1998. Ecological Methodology (Second Edition). New York (US):
Addison-Welsey Educational Publishers.
Kudle KR, Donda MR, Merugu R, Prashanthi, Kudle MR, Rudra P. 2013. Green
sythesis of silver nanoparticles using water soluble gum of Sterculia foetida
and evaluation of its antimicrobial activity. American Journal of PharmTech
Research. 4 (4): 563-568.
Latan H, Ghozali I. 2012. Partial Least Squares Konsep, Teknik dan Aplikasi Smart
PLS 2.0 m3 untuk Penelitian Empiris. Semarang (ID): Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and
Computing. Singapore (SG): John Wiley and Sons.
Manivannan E, Kothai R, Arul B, Rajaram S. 2011. In-vitro antioxidant properties
of Sterculia foetida L.. Research Journal of Pharmaceutical, Biological and
Chemical Sciences. 2 (3): 43-52.
Mardalis. 2004. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta (ID):
Bumi Aksara.
Mega IM, Dibia IN, Adi IGPR, Kusmiyarti TB. 2010. Buku Ajar Klasifikasi Tanah
dan Kesesuaian Lahan. Denpasar (ID): Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.
Mogea JP, D Gandawidjaja, H Wiriadinata, RE Nasution, Irawati. 2001. Seri
Panduan Lapangan Tumbuhan Langka Indonesia. Bogor (ID): Puslitbang
Biologi-LIPI.
National Tropical Botanical Garden. 2003. National Plant Database: Collections
and Resources. United States (US): National Tropical Botanical Garden.
Njurumana GND. 2011. Ekologi dan pemanfaatan nitas (Sterculia foetida L.) di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Hutan. 8 (1): 35-44.
Notoatmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Samingan Tj, penerjemah. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada Univ. Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology
3rd Edition.
Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Anthony S. 2009. Agroforestree
Database: A Tree Reference and Selection Guide Version 4.0. Kenya (KE):
World Agroforestry Centre.
Peraturan Menteri Kehutanan P.19/Menhut-II/2007 tentang Tata Cara Pemberian
Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada
Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi.
Pitojo S. 2005. Benih Kacang Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius.
Prihatin DSH. 2000. Pertumbuhan stek pucuk dan stek batang kepuh (Sterculia
foetida L.) pada berbagai media dan dosis zat pengatur tumbuh rootone- f
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
73

Purwati RD. 2010. Kepuh (Sterculia foetida L.) tanaman penghasil bahan bakar
nabati. Infotek perkebunan. 2 (4): 13.
Raba M. 2002. Fakta-Fakta tentang Samawa. Sumbawa (ID): Yayasan Pemuda
Kreatif Sumbawa dan Pemda Kab. Sumbawa.
Raja TAR, Reddy RVR, Rao UM. 2014. Evaluation of anti convulsant effect of
Sterculia foetida (Pinari) in pentylenetetrazole (PTZ) and mes induced
convulsions in albino rats. World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences. 3 (3): 1898-1907.
Rangkuti F. 1998. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Rengga WDP, Istiani W. 2011. Sintesis metil ester dari minyak goreng bekas
dengan pembeda jumlah tahapan transesterifikasi. Jurnal Kompetensi Teknik.
2 (2): 79-87.
Salerno G, Guarrera PM, Caneva G. 2005. Agricultural, domestic and handicraft
folk uses of plants in the tyrrhenian sector of basilicata (Italy). Journal of
Ethnobiology and Ethnomedicine. (1): 2.
Sanchez G. 2013. PLS path modeling with R Trowchez Editions. Berkeley, 2013.
http://www.gastonsanchez.com/PLS Path Modeling with R.pdf.
Santoso B. 2011. Pemberian IBA (Indole Butyric Acid) dalam berbagai konsentrasi
dan lama perendaman terhadap pertumbuhan stek kepuh (Sterculia foetida L.)
[skripsi]. Surakarta (ID): Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Sari ABT. 2007. Proses pembuatan biodiesel minyak jarak pagar (Jatropha curcas
L.) dengan transesterifikasi satu dan dua tahap [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sastroamidjojo S. 1997. Obat Asli Indonesia. Jakarta (ID): Dian Rakyat.
Setiawan E. 2009. Kajian hubungan unsur iklim terhadap produktivitas cabe jamu
(Piper retrofractum Vahl) di Kabupaten Sumenep. Agrovigor. 2 (1): 1-7.
Sevilla CG, Jessu AO, Twila GP, Bella PR, Gaberiel GU. 1993. Pengantar Metode
Penelitian. Tuwu A, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press.
Simamora B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta (ID): PT Gramedia
Pustaka Utama.
Singh S, Vidyasagar GM. 2014. Green synthesis, characterization and antimicrobial
activity of silver nanoparticles by using Sterculia foetida L. young leaves
aqueous extract. International Journal of Green Chemistry and Bioprocess. 4
(1): 1-5.
Soekarman, Riswan S. 1992. Status Pengetahuan Etnobotani di Indonesia.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Cisarua, 19-20
Februari 1992. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI,
Departemen Pertanian RI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan
Perpustakaan RI. hlm: 1-7.
Soerawidjaja TH, Brodjonegoro TP, Reksowardoyo IK. 2005. Memobilisasi upaya
penegakkan industri biodiesel di Indonesia [Tesis]. Bandung (ID): Institut
Teknologi Bandung.
Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID):
Departemen Kehutanan - Institut Pertanian Bogor.
Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. United States (US): Department
of Agriculture Natural Resources Conservation Service.
74

Sudradjat R, Yogie S, Hendra D, Setiawan D. 2010. Pembuatan biodiesel biji kepuh


dengan proses transesterifikasi. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 28 (2): 145-
155.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung (ID):
Alfabeta.
Suharti T, Dede Js, Nurhasybi, Dida S. 2011. Potensi Produksi, Teknologi
Penanganan Benih dan Standarisasi Metode Pengujian Mutu Benih Kepuh
Sebagai Sumber Energi Terbarukan. Bogor (ID): Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Bogor (BPTPB).
Sumantri O, Supriatna N. 2010. Informasi singkat benih Sterculia foetida L..
Sumedang (ID): BPTH Jawa dan Madura.
Supardi D, Muin F, Herawati, Jumiati, Kartini N, Kholis N, Nurdayat M. 2006.
Pembebasan Hak yang Tersandera, Pergulatan Pengelolaan Sumber Daya
Hutan Sumbawa. Yogyakarta (ID): BP AruPA.
Syah ANA. 2006. Biodiesel Jarak Pagar: Bahan Bakar Alternatif yang Ramah
Lingkungan. Jakarta (ID): AgroMedia Pustaka.
Tantra IGM. 1976. A revision of genus sterculia In Malesia (sterculiaceae). Jakarta
(ID): Lembaga Penelitian Hutan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
Vital PG, Velasco RN, Demigillo JM, Rivera WL. 2010. Antimicrobial activity,
cytotoxicity and phytochemical screening of Ficus septica Burm and
Sterculia foetida L. leaf extracts. Journal of Medicinal Plants Research. 4 (1):
58-63.
Winkel WS. 1983. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Yoganandam P, Gopal V, Kaviarasan L. 2012. Promising pharmaceutical
prospective of “java olive” - Sterculia foetida L. (Sterculiaceae).
International Journal of Pharmacy Review & Research. 2 (2): 93-96.
Yuniastuti E, Handayani T, Djoar DW. 2009. Identifikasi dan Seleksi Keragaman
Tanaman Pranajaya (Sterculia foetida L.) serta Teknologi Perbanyakan
Tanaman Secara In Vitro untuk Penyediaan Bahan Baku Biofuel. Surakarta
(ID): LPPM Universitas Negeri Surakarta.
Yuniastuti E. 2013. Buah pohon “gendruwo” belum dimanfaatkan [internet].
[Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Solo (ID): Pikiran Rakyat
Online. hlm 11-13;[diunduh 2014 April 30]. Tersedia pada:
http://www.pikiran-rakyat.com/horison/2013/04/05/229764/buah-
pohon-%E2%80%9Cgendruwo%E2%80%9D-belum-dimanfaatkan.
Zanzibar M. 2011. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid II. Bogor (ID):
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.
Zuhud EAM. 2001. Wanafarma Sebagai Alternatif Pelestarian Pemanfaatan Hutan
di Masa Mendatang. Bogor (ID): Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan
Margasatwa Indonesia (YSI) dan The Indonesian Wildlife Fund (IWF).
Zuhud EAM. 2007. Sikap masyarakat dan konservasi: suatu analisis kedawung
(Parkia timoriana (DC) Merr.) sebagai stimulus tumbuhan obat bagi
masyarakat, kasus di Taman Nasional Meru Betiri [disertasi]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
75

Zuhud EAM. 2011. Pengembangan Desa Konservasi Hutan Keanekaragaman


Hayati untuk Mendukung Kedaulatan Pangan dan Obat Keluarga (POGA)
Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi Dunia di Era
Globalisasi [Orasi Ilmiah Guru Besar IPB]. Bogor (ID): IPB Press.
Zuhud EAM. 2012. Proses Kelangkaan dan Kepunahan Keanekaragaman Hayati
Global. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
77

Lampiran 1 Indikator setiap stimulus yang diuji

Stimulus Indikator
1. Biji kepuh yang hendak ditanam baik dilakukan pada musim
Alamiah
hujan
2. Kepuh tidak memilih tempat tumbuh, ia dapat tumbuh di
berbagai tempat
3. Untuk menunggu kualitas kayu terbaik kita harus menunggu
puluhan tahun
4. Anakan kepuh tumbuh tidak jauh dari induknya
5. Pohon kepuh berperan penting bagi penyedia air tanah dan
penjaga struktur tanah dari erosi
6. Pohon kepuh sekalipun diawal diketahui banyak anakan yang
tumbuh di sekitar induknya, namun jarang dari anakan tersebut
yang bertahan sampai besar
7. Masyarakat meyakini bahwa kepuh tumbuh merata di daerah
pesisir utara Kab. Sumbawa namun dalam jumlah sedikit (1-2
individu)
8. Hanya di kubur kita sering melihat pohon kepuh tumbuh
9. Pohon kepuh saat ini sudah jarang ditemukan di Kab.
Sumbawa
10. Musim berbuah kepuh berlangsung pada saat musim bergabah
(musim kering)
11. Pohon kepuh, baik tumbuh saat berada tidak jauh dari sumber
air seperti sungai
12. Jarang tumbuh pohon lain saat pohon kepuh tumbuh
13. Pohon kepuh menjadi habitat berbagai jenis satwa seperti
bajing, burung, kalong dan lebah madu
14. Pohon kepuh tidak banyak ditanam karena manfaat utamanya
sebagai bumbu masak (sira wir) saat ini masih bersaing dengan
buah kemiri yang jauh lebih banyak tumbuh
15. Pohon lita (Alstonia sp.) lebih banyak tumbuh dari pada pohon
kepuh
16. Pohon kepuh habis karena pada ditebang oleh orang
1. Kayu kepuh baik digunakan untuk konstruksi rumah dan
Manfaat
produk rumah tangga seperti meja, lemari, dll
2. Pohon kepuh baik kulit kayu, daun, akar dan cangkang
buahnya dapat berfungsi sebagai obat medis dan non medis
seperti malaria (kulit kayu dan daun) , kebabas dan kesikal
(cangkang), muntah darah (kulit kayu), kencing batu (akar),
tepak tau ode (cangkang), keramas (daun), linting bumi
(cangkang), obat kuat (herba anakan), bisa ular (kayu) dan
beberapa penyakit lainnya
3. Buah kepuh baik untuk bumbu masak yakni campuran singang
dan sepat
78

Lampiran 1 Indikator setiap stimulus yang diuji (lanjutan)

Stimulus Indikator
4. Buah kepuh menjadi bahan dasar sambal Sumbawa yakni sira
Manfaat
wir
5. Minyak yang ada pada buah kepuh digunakan menjadi dila lilit
dan wajib ada di berbagai prosesi adat di Sumbawa seperti
besunat (sunatan), biso tian (syukuran tujuh bulanan), tama
lamung (gadis akil balik), sempe buluh (akikah) dan pengantan
(nikah)
6. Kulit cangkang dan ranting kepuh tidak bagus digunakan
sebagai arang (bakar ikan dll)
7. Tajuknya yang lebar, cocok di tanam di kebun sebagai tempat
berteduh ternak dari panas matahari
8. Buahnya dimakan layaknya rasa makan kacang
9. Akar kepuh kerap ditaruh di “saka” saat acara kerapan kerbau
berlangsung
10. Kayu kepuh tidak bagus digunakan sebagai bahan pembuatan
perahu
11. Buahnya sering digunakan pada permainan anak kecil seperti
main “banga”, gangsing dan peluit
12. Bahan dari kepuh dapat menjadi ajimat pelindung bagi yang
memakainya
13. Bahan yang berasal dari kepuh menjadi kewajiban isi buka
bura (tempat obat) orang Sumbawa di masa lalu
14. Produk kepuh yakni kayu, buah dan sira wir menjadi komoditi
ekonomi yang diperjualbelikan
15. Bahan utama racikan minyak Sumbawa, berasal dari kulit
kepuh
16. Kayu kepuh dapat dijadikan hiasan rumah dan perhiasan
seperti mata cincin
17. Lebih enak rasa buah kemiri dari pada buah kepuh sebagai
bahan bumbu singang dan sepat
Religius
1. Untuk penyebaran bijinya, pohon kepuh perlu bantuan manusia
Rela
2. Pohon kepuh yang besar menjadi tempat seserahan sesaji bagi
mereka yang bernazar atau terkena penyakit non medis
3. Image angker, keramat dan penuh mistik melekat pada pohon
kepuh
4. Karena image mistiknya, masyarakat cenderung tidak mau
tahu atau berinteraksi dengang pohon kepuh dengan dalih
“pamali”
5. Pohon kepuh penting untuk anak cucu
6. Pohon kepuh membutuhkan bantuan manusia untuk
percepatan dan peningkatan persentasi hidup anakan
7. Bila bibitnya dibagi oleh pemerintah disertai dengan dana
untuk perawatannya maka masyarakat mau menanam kepuh
79

Lampiran 1 Indikator setiap stimulus yang diuji (lanjutan)

Stimulus Indikator
8. Karena semakin banyak kayu-kayu besar dan kuat saat ini yang
Religius
dilarang, maka keberadaan kepuh menjadi alternative dalam
Rela
pemenuhan kebutuhan akan kayu tersebut
9. Bila masyarakat tahu manfaat besar dari pohon kepuh,
misalnya penyakit mematikan orang pasti akan tanam pohon
ini
10. Kepuh merupakan tumbuhan khas yang mungkin tidak
ditemukan di daerah lain sehingga harus dilestarikan
11. Bila pemerintah memfasilitasi dengan memberikan bibit ini,
maka masyarakat akan mau menanamnya
1. Seberapa besar perhatian anda untuk tahu tentang kepuh
Sikap (bentuk pohon, tempat tumbuh, manfaat)
(tend to 2. Seberapa besar perhatian anda untuk memahami tentang
act) kepuh, baik masalah, manfaat, cara tumbuh, nilai ekonomis
dan ekologis
3. Seberapa besar perhatian anda untuk menyelesaikan masalah
kepuh seperti kelangkaan, penebangan dan lain-lain
4. Apakah anda tertarik untuk tahu tentang tumbuhan kepuh
5. Apakah anda tertarik mendalami tumbuhan ini
6. Apakah anda tertarik untuk menyelesaikan masalah
kelangkaan dan penebangan kepuh di hutan
7. Apakah anda senang bila saat mengetahui tumbuhan kepuh
(baik informasi bentuk pohon, tempat tumbuh, manfaat dan
lain-lain)
8. Apakah anda senang bila akhirnya telah banyak memahami
tumbuhan kepuh baik masalah yang dihadapi, nilai manfaat
ekonomis dan ekologis, cara tumbuh dan lain-lain
9. Apakah anda senang saat mampu menyelesaikan persoalan
berkaitan dengan kepuh

Lampiran 2 Daftar spesies yang ditemukan di sekitar habitat kepuh

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili


1 Kayu Jawa Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anarcadiaceae
2 B-9 Trivalvaria macrophylla (Blume) Miq. Annonaceae
3 Lita Alstonia pneumatophora Backer ex Apocynaceae
L.G.Den Berger
4 Lita Alstonia spectabilis R. Br. Apocynaceae
5 Sentalo Chromolaena odorata (L.) King & H.E. Asteraceae
Robins.
6 Ketimis Protium javanicum Burm.f. Burseraceae
80

Lampiran 2 Daftar spesies yang ditemukan di sekitar habitat kepuh (lanjutan)

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili


7 Ketapang Terminalia catappa L. Combretaceae
8 B-3 Blumeodendron tokbrai J.J.Smith Euphorbiaceae
9 B-7 Baccaurea stipulata J.J.Smith Euphorbiaceae
10 B-8 Croton argyratus Blume Euphorbiaceae
11 Brora Endospermum diadenum (Miq.) Airy Euphorbiaceae
Shaw
12 Groto Pekat Drypetes longifolia Pax & K. Hoffm. Euphorbiaceae
13 Kayu Turung Mallotus philippensis (Lam.) Müll.Arg. Euphorbiaceae
14 Kesi Suregada glomerulata Baill. Euphorbiaceae
15 Kleyang Endospermum sp. Euphorbiaceae
16 Malaka Phyllanthus emblica L. Euphorbiaceae
17 Malam Poto Glochidion rubrum Blume Euphorbiaceae
18 Miri Aleurites moluccana (L.) Will. Euphorbiaceae
19 Prinan Blumeodendron sp. Euphorbiaceae
20 A-5 Desmodium gangeticum (L.) DC. Fabaceae
21 Bage Tamarindus indica L. Fabaceae
22 Pete Parkia speciosa Hassk. Fabaceae
23 Sepang Caesalpinia sappan L. Fabaceae
24 Klume Scolopia pinosa Warb Flacourtiaceae
25 Liana Flacourtia sp.1 Flacourtiaceae
26 Rapat Bewe Flacourtia sp.2 Flacourtiaceae
27 B-10 Cryptocarya densiflora Blume Lauraceae
28 Kayu Kawat Cinnamomum iners Reinw. ex Blume Lauraceae
29 Rusip Dehaasia caesia Blume Lauraceae
30 Kulit Leea sp. Leeaceae
31 Bunger Lagerstroemia speciosa (L.) Pers. Lythraceae
32 Kayu Pureng Magnolia lilifera Druce Magnoliaceae
33 Kapuk Ceiba pentandra (L.) Gaertn. Malvaceae
34 Kayu Pade Aglaia odorata Lour. Meliaceae
35 Kleng Dysoxylum excelsum Blume Meliaceae
36 Ara Ficus variegata Blume Moraceae
37 Beringin Ficus sinuata Thunb Moraceae
38 Kayu Udang Streblus sp.1 Moraceae
39 Pasi Streblus sp.2 Moraceae
40 Plas Ficus amplas Burm.F Moraceae
41 Kele Moringa oleifera Lam. Moringaceae
42 A-12 Horsfieldia laevigata Warb. Myristicaceae
43 Pala Myristica fragrans Houtt. Myristicaceae
81

Lampiran 2 Daftar spesies yang ditemukan di sekitar habitat kepuh (lanjutan)

No Nama Lokal Nama Ilmiah Famili


44 Ense Syzygium sp.1 Myrtaceae
45 Jowat Syzygium cumini (L.) Skeels Myrtaceae
46 Manggis Olat Syzygium sp.2 Myrtaceae
47 Tampoak Syzygium sp.3 Myrtaceae
48 B-11 Xanthophyllum impressum Meijden Polygalaceae
49 Goal Ziziphus mauritiana Lam. Rhamnaceae
50 B-5 Tarenna dasyphylla (Miq.) Valeton Rubiaceae
ex V. Steenis
51 Banut Tricalysia singularis K. Schum. Rubiaceae
52 Nyamung Utan Ixora pluminalis Ridley Rubiaceae
53 Kasuang Crateva sp. Rutaceae
54 Peko Melicope lunu-ankenda (Gaertn.) Rutaceae
T.G.Hartley
55 Kesaming Schleichera oleosa (Lour.) Merr. Sapindaceae
56 Sentang Harpulia cupanioides Roxb. Sapindaceae
57 Pelam Olat Planchonella sp. Sapotaceae
58 Binong Tetrameles nudiflora R. Br. Tetramelaceae
59 A-17 Microcos tomentosa Sm. Tiliaceae
60 Greng Romong Grewia sp. Tiliaceae
61 C-2 Gmelina elliptica Sm. Verbenaceae
62 Jengas Lantana camara L. Verbenaceae
63 Laban Vitex pinnata L. Verbenaceae
82

Lampiran 3 Nilai INP tingkat semai di Kecamatan Empang

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
1 Phyllanthus emblica 3 0.12 4.23 11 1 100 6.43 10.66
2 Crateva sp. 2 0.08 2.82 12 1 200 7.02 9.83
3 Scolopia spinosa 3 0.12 4.23 8 800 4.68 8.90
4 Sterculia foetida 3 0.12 4.23 7 700 4.09 8.32
5 Horsfieldia laevigata 3 0.12 4.23 7 700 4.09 8.32
6 Cryptocarya densiflora 2 0.08 2.82 9 900 5.26 8.08
7 Harpulia cupanioides 2 0.08 2.82 9 900 5.26 8.08
8 Drypetes longifolia 2 0.08 2.82 8 800 4.68 7.50
9 Magnolia lilifera 2 0.08 2.82 8 800 4.68 7.50
10 Mallotus philippensis 3 0.12 4.23 5 500 2.92 7.15
11 Glochidion rubrum 3 0.12 4.23 5 500 2.92 7.15
12 Ixora pluminalis 3 0.12 4.23 5 500 2.92 7.15
13 Suregada glomerulata 2 0.08 2.82 6 600 3.51 6.33
14 Dysoxylum excelsum 2 0.08 2.82 6 600 3.51 6.33
15 Caesalpinia sappan 2 0.08 2.82 5 500 2.92 5.74
16 Protium javanicum 2 0.08 2.82 5 500 2.92 5.74
17 Endospermum diadenum 2 0.08 2.82 4 400 2.34 5.16
18 Schleichera oleosa 2 0.08 2.82 4 400 2.34 5.16
19 Tetrameles nudiflora 1 0.04 1.41 5 500 2.92 4.33
Lampiran 3 Nilai INP tingkat semai di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
20 Tarenna dasyphylla 2 0.08 2.82 2 200 1.17 3.99
21 Vitex pinnata 2 0.08 2.82 2 200 1.17 3.99
22 Cinnamomum iners 1 0.04 1.41 4 400 2.34 3.75
23 Blumeodendron tokbrai 1 0.04 1.41 3 300 1.75 3.16
24 Ziziphus mauritiana 1 0.04 1.41 3 300 1.75 3.16
25 Desmodium gangeticum 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
26 Ficus variegata 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
27 Trivalvaria macrophylla 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
28 Tamarindus indica 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
29 Tricalysia singularis 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
30 Planchonella sp. 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
31 Dehaasia caesia 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
32 Syzygium sp.3 1 0.04 1.41 2 200 1.17 2.58
33 Microcos tomentosa 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
34 Xanthophyllum impressum 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
35 Baccaurea stipulata 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
36 Gmelina elliptica 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
37 Syzygium sp.1 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
38 Grewia sp. 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
83
84

Lampiran 3 Nilai INP tingkat semai di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
39 Alstonia pneumatophora 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
40 Streblus sp.2 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
41 Melicope lunu-ankenda 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
42 Ficus amplas 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
43 Blumeodendron sp. 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
44 Flacourtia sp.2 1 0.04 1.41 1 100 0.58 1.99
Jumlah 71 2.84 100 171 17 100 100 200

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pancang di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
1 Phyllanthus emblica 9 0.36 11.39 17 272 11.89 23.28
2 Protium javanicum 5 0.20 6.33 13 208 9.09 15.42
3 Horsfieldia laevigata 3 0.12 3.80 7 112 4.90 8.69
4 Mallotus philippensis 3 0.12 3.80 7 112 4.90 8.69
5 Harpulia cupanioides 3 0.12 3.80 7 112 4.90 8.69
6 Glochidion rubrum 4 0.16 5.06 5 80 3.50 8.56
Lampiran 3 Nilai INP tingkat pancang di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
7 Microcos tomentosa 2 0.08 2.53 8 128 5.59 8.13
8 Ixora pluminalis 3 0.12 3.80 6 96 4.20 7.99
9 Schleichera oleosa 3 0.12 3.80 5 80 3.50 7.29
10 Syzygium sp.1 2 0.08 2.53 6 96 4.20 6.73
11 Crateva sp. 3 0.12 3.80 4 64 2.80 6.59
12 Dysoxylum excelsum 3 0.12 3.80 4 64 2.80 6.59
13 Ziziphus mauritiana 2 0.08 2.53 5 80 3.50 6.03
14 Cryptocarya densiflora 3 0.12 3.80 3 48 2.10 5.90
15 Scolopia spinosa 2 0.08 2.53 4 64 2.80 5.33
16 Xanthophyllum impressum 2 0.08 2.53 3 48 2.10 4.63
17 Cinnamomum iners 2 0.08 2.53 3 48 2.10 4.63
18 Vitex pinnata 2 0.08 2.53 3 48 2.10 4.63
19 Endospermum diadenum 2 0.08 2.53 2 32 1.40 3.93
20 Suregada glomerulata 2 0.08 2.53 2 32 1.40 3.93
21 Caesalpinia sappan 1 0.04 1.27 3 48 2.10 3.36
22 Tarenna dasyphylla 1 0.04 1.27 3 48 2.10 3.36
23 Trivalvaria macrophylla 1 0.04 1.27 3 48 2.10 3.36
24 Ficus amplas 1 0.04 1.27 3 48 2.10 3.36
25 Blumeodendron sp. 1 0.04 1.27 2 32 1.40 2.66
26 Flacourtia sp.2 1 0.04 1.27 2 32 1.40 2.66
85
86

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pancang di Kecamatan Empang (lanjutan)


Frekuensi Kerapatan Indeks
No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
27 Ficus variegata 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
28 Blumeodendron tokbrai 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
29 Baccaurea stipulata 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
30 Tamarindus indica 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
31 Tetrameles nudiflora 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
32 Gmelina elliptica 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
33 Grewia sp. 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
34 Drypetes longifolia 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
35 Magnolia lilifera 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
36 Flacourtia sp.1 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
37 Planchonella sp. 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
38 Dehaasia caesia 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
39 Syzygium sp.3 1 0.04 1.27 1 16 0.70 1.97
Jumlah 79 3.16 100 143 2 288 100 200

Lampiran 3 Nilai INP tingkat tiang di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
1 Lagerstroemia speciosa 3 0.12 4.23 5 20 6.76 0.07 0.30 6.25 17.23
Lampiran 3 Nilai INP tingkat tiang di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
2 Cryptocarya densiflora 3 0.12 4.23 3 12 4.05 0.06 0.22 4.68 12.96
3 Crateva sp. 3 0.12 4.23 3 12 4.05 0.04 0.17 3.52 11.80
4 Suregada glomerulata 3 0.12 4.23 3 12 4.05 0.04 0.15 3.04 11.32
5 Aglaia odorata 2 0.08 2.82 3 12 4.05 0.04 0.16 3.35 10.22
6 Mallotus philippensis 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.05 0.20 4.25 9.77
7 Cinnamomum iners 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.05 0.19 3.97 9.49
8 Magnolia lilifera 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.04 0.17 3.56 9.08
9 Drypetes longifolia 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.04 0.16 3.30 8.82
10 Grewia sp. 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.04 0.16 3.27 8.79
11 Endospermum diadenum 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.04 0.15 3.16 8.67
12 Syzygium sp.1 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.04 0.14 2.94 8.46
13 Caesalpinia sappan 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.03 0.11 2.20 7.72
14 Tarenna dasyphylla 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.03 0.10 2.03 7.55
15 Baccaurea stipulata 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.02 0.10 1.98 7.50
16 Tetrameles nudiflora 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.02 0.09 1.82 7.34
17 Xanthophyllum impressum 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.02 0.09 1.78 7.30
18 Trivalvaria macrophylla 2 0.08 2.82 2 8 2.70 0.02 0.08 1.77 7.29
19 Syzygium cumini 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.03 0.12 2.47 5.23
20 Phyllanthus emblica 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.03 0.12 2.47 5.23
21 Croton argyratus 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.03 0.11 2.39 5.15
87
88

Lampiran 3 Nilai INP tingkat tiang di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
22 Streblus sp.1 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.03 0.11 2.39 5.15
23 Schleichera oleosa 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.03 0.11 2.39 5.15
24 Flacourtia sp.2 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.03 0.11 2.31 5.07
25 Sterculia foetida 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.03 0.10 2.12 4.88
26 Vitex pinnata 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.09 1.93 4.69
27 Tamarindus indica 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.08 1.59 4.35
28 Tricalysia singularis 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.08 1.59 4.35
29 Ficus amplas 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.08 1.59 4.35
30 Ficus variegata 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.07 1.47 4.23
31 Syzygium sp.3 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.07 1.47 4.23
32 Blumeodendron tokbrai 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.07 1.40 4.16
33 Blumeodendron sp. 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.02 0.06 1.34 4.10
34 Ziziphus mauritiana 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.06 1.17 3.93
35 Scolopia spinosa 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.06 1.17 3.93
36 Microcos tomentosa 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.05 1.06 3.82
37 Flacourtia sp.1 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.05 1.01 3.77
38 Planchonella sp. 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.05 0.96 3.72
39 Streblus sp.2 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.05 0.96 3.72
40 Dysoxylum excelsum 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.04 0.91 3.67
41 Dehaasia caesia 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.04 0.91 3.67
Lampiran 3 Nilai INP tingkat tiang di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
Ʃ Plot F FR (%) Ʃ Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
42 Alstonia pneumatophora 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.04 0.86 3.62
43 Harpulia cupanioides 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.04 0.86 3.62
44 Ixora pluminalis 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.04 0.81 3.57
45 Melicope lunu-ankenda 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.04 0.81 3.57
46 Tetrameles nudiflora 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.03 0.68 3.44
47 Gmelina elliptica 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.03 0.68 3.44
48 Protium javanicum 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.03 0.68 3.44
49 Glochidion rubrum 1 0.04 1.41 1 4 1.35 0.01 0.03 0.68 3.44
Jumlah 71 2.84 100 74 296 100 1.20 4.80 100 300

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pohon di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
2
Ʃ Plot F FR (%) Ʃ Ind K KR (%) Lbds (m ) D DR (%) (%)
1 Lagerstroemia speciosa 8 0.32 10.00 11 11 12.94 0.57 0.57 12.87 35.81
2 Phyllanthus emblica 4 0.16 5.00 6 6 7.06 0.34 0.34 7.70 19.76
3 Sterculia foetida 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.51 0.51 11.67 16.52
4 Alstonia pneumatophora 5 0.20 6.25 5 5 5.88 0.19 0.19 4.24 16.37
5 Ficus amplas 3 0.12 3.75 3 3 3.53 0.16 0.16 3.53 10.81
6 Planchonella sp. 3 0.12 3.75 3 3 3.53 0.11 0.11 2.51 9.79
89
90

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pohon di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
7 Vitex pinnata 3 0.12 3.75 3 3 3.53 0.11 0.11 2.49 9.77
8 Blumeodendron sp. 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.11 0.11 2.48 7.33
9 Schleichera oleosa 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.10 0.10 2.34 7.20
10 Trivalvaria macrophylla 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.10 0.10 2.31 7.16
11 Dehaasia caesia 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.10 0.10 2.29 7.14
12 Dysoxylum excelsum 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.10 0.10 2.23 7.08
13 Cryptocarya densiflora 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.10 0.09 1.98 6.83
14 Melicope lunu-ankenda 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.10 0.08 1.79 6.64
15 Protium javanicum 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.10 0.08 1.76 6.61
16 Caesalpinia sappan 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.07 0.07 1.65 6.50
17 Harpulia cupanioides 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.07 0.07 1.55 6.40
18 Microcos tomentosa 2 0.08 2.50 2 2 2.35 0.07 0.07 1.48 6.33
19 Blumeodendron tokbrai 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.08 0.08 1.88 4.31
20 Horsfieldia laevigata 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.08 0.08 1.81 4.23
21 Tarenna dasyphylla 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.08 0.08 1.81 4.23
22 Tricalysia singularis 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.07 0.07 1.60 4.02
23 Magnolia lilifera 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.07 0.07 1.60 4.02
24 Flacourtia sp.1 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.07 0.07 1.53 3.96
25 Leea sp. 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.06 0.06 1.37 3.79
26 Flacourtia sp.2 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.06 0.06 1.28 3.70
27 Syzygium cumini 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.05 0.05 1.22 3.64
Lampiran 3 Nilai INP tingkat pohon di Kecamatan Empang (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
Ʃ Plot F FR (%) Ʃ Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
28 Crateva sp. 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.05 0.05 1.22 3.64
29 Endospermum sp. 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.05 0.05 1.22 3.64
30 Ficus variegata 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.05 0.05 1.16 3.58
31 Grewia sp. 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.05 0.05 1.07 3.50
32 Ziziphus mauritiana 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 1.02 3.44
33 Scolopia spinosa 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 1.02 3.44
34 Glochidion rubrum 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 1.02 3.44
35 Mallotus philippensis 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 0.94 3.36
36 Xanthophyllum impressum 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 0.91 3.34
37 Croton argyratus 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 0.91 3.34
38 Tetrameles nudiflora 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 0.89 3.31
39 Baccaurea stipulata 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 0.86 3.29
40 Endospermum diadenum 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.04 0.04 0.81 3.24
41 Desmodium gangeticum 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.76 3.19
42 Tamarindus indica 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.76 3.19
43 Moringa oleifera 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.76 3.19
44 Streblus sp.2 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.76 3.19
45 Syzygium sp.3 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.76 3.19
46 Syzygium sp.1 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.74 3.17
47 Drypetes longifolia 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.74 3.17
48 Ixora pluminalis 1 0.04 1.25 1 1 1.18 0.03 0.03 0.74 3.17
Jumlah 80 3.20 100 85 85 100 4.40 4.40 100 300
91
92

Lampiran 3 Nilai INP tingkat semai di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
1 Syzygium sp.3 5 0.20 7.46 21 2 100 15.00 22.46
2 Ixora pluminalis 5 0.20 7.46 15 1 500 10.71 18.18
3 Scolopia spinosa 6 0.24 8.96 10 1 000 7.14 16.10
4 Glochidion rubrum 5 0.20 7.46 8 800 5.71 13.18
5 Magnolia lilifera 4 0.16 5.97 10 1 000 7.14 13.11
6 Syzygium sp.1 4 0.16 5.97 7 700 5.00 10.97
7 Planchonella sp. 4 0.16 5.97 6 600 4.29 10.26
8 Mallotus philippensis 2 0.08 2.99 10 1 000 7.14 10.13
9 Flacourtia sp.1 4 0.16 5.97 5 500 3.57 9.54
10 Syzygium sp.2 3 0.12 4.48 4 400 2.86 7.33
11 Myristica fragrans 2 0.08 2.99 5 500 3.57 6.56
12 Blumeodendron sp. 2 0.08 2.99 4 400 2.86 5.84
13 Endospermum sp. 2 0.08 2.99 3 300 2.14 5.13
14 Ficus amplas 2 0.08 2.99 3 300 2.14 5.13
15 Dehaasia caesia 2 0.08 2.99 3 300 2.14 5.13
16 Harpulia cupanioides 2 0.08 2.99 3 300 2.14 5.13
17 Melicope lunu-ankenda 1 0.04 1.49 5 500 3.57 5.06
18 Grewia sp. 2 0.08 2.99 2 200 1.43 4.41
19 Terminalia catappa 1 0.04 1.49 4 400 2.86 4.35
Lampiran 3 Nilai INP tingkat semai di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
20 Schleichera oleosa 1 0.04 1.49 3 300 2.14 3.64
21 Flacourtia sp.2 1 0.04 1.49 2 200 1.43 2.92
22 Cryptocarya densiflora 1 0.04 1.49 1 100 0.71 2.21
23 Drypetes longifolia 1 0.04 1.49 1 100 0.71 2.21
24 Crateva sp. 1 0.04 1.49 1 100 0.71 2.21
25 Cinnamomum iners 1 0.04 1.49 1 100 0.71 2.21
26 Suregada glomerulata 1 0.04 1.49 1 100 0.71 2.21
27 Protium javanicum 1 0.04 1.49 1 100 0.71 2.21
28 Dysoxylum excelsum 1 0.04 1.49 1 100 0.71 2.21
Jumlah 67 2.68 100 140 14 000 100 200

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pancang di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
1 Syzygium sp.3 6 0.11 10.71 24 384 20.87 31.58
2 Syzygium sp.1 6 0.11 10.71 15 240 13.04 23.76
3 Ixora pluminalis 4 0.07 7.14 8 128 6.96 14.10
93
94

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pancang di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
4 Myristica fragrans 3 0.05 5.36 7 112 6.09 11.44
5 Mallotus philippensis 2 0.04 3.57 8 128 6.96 10.53
6 Drypetes longifolia 3 0.05 5.36 5 80 4.35 9.70
7 Planchonella sp. 3 0.05 5.36 5 80 4.35 9.70
8 Grewia sp. 3 0.05 5.36 4 64 3.48 8.84
9 Harpulia cupanioides 2 0.04 3.57 4 64 3.48 7.05
10 Suregada glomerulata 2 0.04 3.57 3 48 2.61 6.18
11 Terminalia catappa 2 0.04 3.57 3 48 2.61 6.18
12 Scolopia spinosa 2 0.04 3.57 2 32 1.74 5.31
13 Syzygium sp.2 2 0.04 3.57 2 32 1.74 5.31
14 Ficus amplas 2 0.04 3.57 2 32 1.74 5.31
15 Flacourtia sp.2 2 0.04 3.57 2 32 1.74 5.31
16 Crateva sp. 1 0.02 1.79 3 48 2.61 4.39
17 Blumeodendron sp. 1 0.02 1.79 3 48 2.61 4.39
18 Protium javanicum 1 0.02 1.79 2 32 1.74 3.52
19 Endospermum sp. 1 0.02 1.79 2 32 1.74 3.52
20 Leea sp. 1 0.02 1.79 2 32 1.74 3.52
21 Dehaasia caesia 1 0.02 1.79 2 32 1.74 3.52
22 Caesalpinia sappan 1 0.02 1.79 2 32 1.74 3.52
Lampiran 3 Nilai INP tingkat pancang di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
23 Aglaia odorata 1 0.02 1.79 1 16 0.87 2.66
24 Schleichera oleosa 1 0.02 1.79 1 16 0.87 2.66
25 Flacourtia sp.1 1 0.02 1.79 1 16 0.87 2.66
26 Glochidion rubrum 1 0.02 1.79 1 16 0.87 2.66
27 Melicope lunu-ankenda 1 0.02 1.79 1 16 0.87 2.66
Jumlah 56 1 100 115 1 840 100 200

Lampiran 3 Nilai INP tingkat tiang di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
1 Ficus amplas 4 0.08 7.55 4 16 7.27 0.09 0.35 8.90 23.72
2 Syzygium sp.3 4 0.08 7.55 4 16 7.27 0.08 0.33 8.45 23.27
3 Harpulia cupanioides 4 0.08 7.55 4 16 7.27 0.07 0.30 7.68 22.50
4 Microcos tomentosa 4 0.08 7.55 4 16 7.27 0.07 0.28 7.26 22.08
5 Ixora pluminalis 3 0.06 5.66 4 16 7.27 0.06 0.25 6.38 19.32
6 Syzygium sp.1 3 0.06 5.66 3 12 5.45 0.06 0.23 5.80 16.91
7 Terminalia catappa 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.05 0.19 4.98 12.39
8 Protium javanicum 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.05 0.19 4.86 12.27
95
96

Lampiran 3 Nilai INP tingkat tiang di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
9 Aglaia odorata 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.04 0.16 4.17 11.58
10 Flacourtia sp.2 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.04 0.15 3.85 11.26
11 Myristica fragrans 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.04 0.14 3.71 11.12
12 Suregada glomerulata 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.02 0.10 2.53 9.94
13 Schleichera oleosa 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.02 0.09 2.37 9.78
14 Crateva sp. 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.02 0.09 2.23 9.64
15 Glochidion rubrum 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.02 0.08 2.18 9.59
16 Planchonella sp. 2 0.04 3.77 2 8 3.64 0.02 0.08 2.18 9.59
17 Cinnamomum iners 1 0.02 1.89 2 8 3.64 0.03 0.14 3.51 9.03
18 Vitex pinnata 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.02 0.10 2.47 6.18
19 Dysoxylum excelsum 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.02 0.09 2.38 6.09
20 Endospermum sp. 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.02 0.09 2.29 6.00
21 Streblus sp.1 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.02 0.08 2.04 5.75
22 Syzygium sp.2 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.02 0.08 2.04 5.75
23 Blumeodendron sp. 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.02 0.08 2.04 5.75
24 Dehaasia caesia 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.02 0.06 1.58 5.29
25 Lagerstroemia speciosa 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.01 0.06 1.51 5.22
26 Drypetes longifolia 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.01 0.05 1.31 5.01
27 Melicope lunu-ankenda 1 0.02 1.89 1 4 1.82 0.01 0.05 1.31 5.01
Jumlah 53 1 100 55 220 100 0.97 3.90 100 300
Lampiran 3 Nilai INP tingkat pohon di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
1 Microcos tomentosa 5 0.08 8.06 7 7 9.46 1.83 1.83 29.98 47.50
2 Lagerstroemia speciosa 5 0.08 8.06 11 11 14.86 0.26 0.26 4.30 27.23
3 Ficus sinuata 2 0.03 3.23 2 2 2.70 0.86 0.86 14.08 20.01
4 Schleichera oleosa 3 0.05 4.84 5 5 6.76 0.22 0.22 3.55 15.14
5 Protium javanicum 3 0.05 4.84 5 5 6.76 0.11 0.11 1.81 13.41
6 Harpulia cupanioides 4 0.06 6.45 4 4 5.41 0.04 0.04 0.60 12.46
7 Syzygium sp.3 4 0.06 6.45 4 4 5.41 0.03 0.03 0.53 12.39
8 Crateva sp. 3 0.05 4.84 3 3 4.05 0.19 0.19 3.09 11.98
9 Suregada glomerulata 3 0.05 4.84 3 3 4.05 0.12 0.12 1.99 10.88
10 Tetrameles nudiflora 2 0.03 3.23 2 2 2.70 0.26 0.26 4.33 10.26
11 Ixora pluminalis 3 0.05 4.84 3 3 4.05 0.05 0.05 0.88 9.77
12 Parkia speciosa 3 0.05 4.84 3 3 4.05 0.05 0.05 0.81 9.71
13 Endospermum sp. 2 0.03 3.23 2 2 2.70 0.23 0.23 3.76 9.68
14 Aglaia odorata 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.40 0.40 6.53 9.50
15 Sterculia foetida 2 0.03 3.23 2 2 2.70 0.21 0.21 3.51 9.44
16 Terminalia catappa 2 0.03 3.23 2 2 2.70 0.12 0.12 1.92 7.85
17 Dysoxylum excelsum 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.24 0.24 3.98 6.95
18 Ficus amplas 2 0.03 3.23 2 2 2.70 0.05 0.05 0.77 6.70
19 Flacourtia sp.2 2 0.03 3.23 2 2 2.70 0.04 0.04 0.71 6.64
20 Syzygium sp.1 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.22 0.22 3.66 6.63
21 Scolopia spinosa 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.11 0.11 1.74 4.71
22 Leea sp. 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.07 0.07 1.22 4.19
97
98

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pohon di Kecamatan Lenangguar (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
23 Glochidion rubrum 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.07 0.07 1.16 4.12
24 Planchonella sp. 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.07 0.07 1.08 4.05
25 Syzygium sp.2 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.05 0.05 0.90 3.86
26 Myristica fragrans 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.05 0.05 0.88 3.84
27 Melicope lunu-ankenda 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.05 0.05 0.81 3.78
28 Blumeodendron sp. 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.05 0.05 0.75 3.72
29 Dehaasia caesia 1 0.02 1.61 1 1 1.35 0.04 0.04 0.64 3.60
Jumlah 62 1 100 74 74 100 6.10 6.10 100 300

Lampiran 3 Nilai INP tingkat semai di Kecamatan Moyo Utara (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
1 Lantana camara 3 0.17 16.67 15 1 500 19.74 36.40
2 Chromolaena odorata 15 0.83 83.33 61 6 100 80.26 163.60
Jumlah 18 1 100 76 7 600 100 200
Lampiran 3 Nilai INP tingkat pancang di Kecamatan Moyo Utara (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Indeks


No Spesies Jml Plot Frekuensi Frekuensi Jml Ind Kerapatan Kerapatan Nilai Penting
Ditemukan Jenis Relatif (%) Ditemukan Jenis Relatif (%) INP (%)
1 Tamarindus indica 2 1 100 2 0.08 100 200
Jumlah 2 1 100 2 0.08 100 200

Lampiran 3 Nilai INP tingkat tiang di Kecamatan Moyo Utara (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) INP (%)
1 Tamarindus indica 3 0.16 15.79 3 12 14.29 0.06 0.23 18.82 48.90
2 Sterculia foetida 1 0.05 5.26 2 8 9.52 0.05 0.21 17.20 31.99
3 Ziziphus mauritiana 7 0.37 36.84 7 28 33.33 0.10 0.36 29.20 99.38
4 Lannea coromandelica 7 0.37 36.84 8 32 38.10 0.10 0.37 29.60 104.54
5 Alstonia spectabilis 1 0.05 5.26 1 4 4.76 0.02 0.06 5.17 15.20
Jumlah 19 1 100 21 84 100 0.31 1.25 100 300

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pohon di Kecamatan Moyo Utara (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) INP (%)
1 Microcos tomentosa 4 0.22 11.76 4 4 22.22 0.17 0.17 24.07 58.06
99
100

Lampiran 3 Nilai INP tingkat pohon di Kecamatan Moyo Utara (lanjutan)

Frekuensi Kerapatan Dominansi


No Spesies INP
l ot F FR (%) Ind K KR (%) Lbds (m2) D DR (%) (%)
2 Tamarindus indica 2 0.11 5.88 2 2 11.11 0.06 0.06 9.09 26.09
3 Ficus sinuata 1 0.06 2.94 1 1 5.56 0.04 0.04 6.10 14.60
4 Sterculia foetida 1 0.06 2.94 1 1 5.56 0.04 0.04 5.45 13.95
5 Ziziphus mauritiana 1 0.06 2.94 1 1 5.56 0.04 0.04 5.45 13.95
6 Ceiba pentandra 6 0.33 17.65 6 6 33.33 0.21 0.21 30.30 81.28
7 Schleichera oleosa 2 0.11 5.88 2 2 11.11 0.10 0.09 13.58 30.58
8 Alstonia spectabilis 1 0.94 50.00 1 1 5.56 0.04 0.04 5.94 61.49
Jumlah 18 1.89 100 18 18 100 0.69 0.69 100 300

Lampiran 4 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai obat

Data primer (hasil wawancara) Data sekunder (literatur)


Bagian
yang Manfaat/khasiat Cara pengolahan Cara dan dosis pemakaian Manfaat/kandungan
digunakan
Bisul Batang kepuh yang Perasan airnya diminum satu  Pengawet benih pertanian seperti jagung
menonjol, diambil lalu hari sekali sebanyak satu gelas dan kacang-kacangan agar tidak dimakan
ditumbuk bersama jahe selama 5 hari oleh semut/rayap (Njurumana 2011)
Kulit
batang Membersihkan Batang kepuh yang Perasan airnya diminum
darah pasca menonjol, diambil lalu dipagi hari, satu hari sekali
melahirkan ditumbuk bersama jahe sebanyak satu gelas selama 7
hari
Lampiran 4 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai obat (lanjutan)

Data primer (hasil wawancara) Data sekunder (literatur)


Bagian
yang Manfaat/khasiat Cara pengolahan Cara dan dosis pemakaian Manfaat/kandungan
digunakan
Nafsu makan Kulit batang kepuh Diusapkan di seluruh bagian  Kandungan kulit batang terdiri dari
bersama beras ditumbuk badan senyawa minyak atsiri seperti senyawa
(menyerupai lulur/temar) metil palmitat (m/z 270) sebesar
3 956.78 ppm; asam palmitat (m/z 256)
Mengatasi Kulit batang kepuh Diusapkan di seluruh bagian
sebesar 1 837.41 ppm; etil palmitat
tangis bayi bersama beras ditumbuk badan
(m/z 284) 3 9288.78 ppm; etil octadeca
(menyerupai lulur/temar)
14.16-dienoate (m/z 308) 1 706. 66
Muntah darah Kulit batang kepuh Diminum sesekali saja (saat ppm; metil nonadeka 15.17 dienoat
Kulit ditambah kulit batang setelah muntah) (m/z 308) 1 998.56 ppm; etil stearat
batang pulai. Keduanya ditumbuk (m/z 312) 4 365.66 ppm; 2 242.63
lalu disaring airnya ppm 1-metoksi-9.9,10,14-tetrametil
Penawar racun Kulit kepuh ditambah Diminum sesekali saja (saat pentadeka -1.4-diena (m/z 294) dan 1-
kulit kasela, kulit ketanga, setelah muntah sebagai penciri etoksi-6-metoksi oktadeka 1,12,16-
dan kulit kayu kemang keracunan) triena (m/z 322) sebesar 7 800.04 ppm
kuning ditumbuk yang berpotensi sebagai agen
bersama, air perasannya antioksidan (Gunawan dan Karda 2015)
kemudian disaring
Patah tulang Kulit batang ditumbuk Dioleskan pada bagian yang
bersama kunyit patah
101
102

Lampiran 4 Manfaat, cara pengolahan, dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai obat (lanjutan)

Data primer (hasil wawancara) Data sekunder (literatur)


Bagian
yang Manfaat/khasiat Cara pengolahan Cara dan dosis pemakaian Manfaat/kandungan
digunakan
Ketahanan Akar dikeringkan lalu Diminum sesekali saja  Rajasinga dan kencing nanah
tubuh direbus dari tiga gelas (Sastroamidjojo 1997).
Akar menjadi satu gelas
Stamina Akar dikeringkan lalu Diminum saat dibutuhkan
direbus dari tiga gelas
menjadi satu gelas
Pusing Cangkang dibakar lalu di Ditempelkan pada kening saat  Ramuan obat sakit kelamin (Sumantri
tumbuk terasa pusing dan Supriatna 2010)
Kulit Asma Cangkang kepuh menjadi Ditempelkan di bagian kening
buah/cang media (tempat) sirih yang dan dada
kang sudah dihaluskan
Sesak nafas Cangkang kepuh menjadi Ditempelkan di bagian kening
media (tempat) sirih yang dan dada
sudah dihaluskan
Malaria Daun direbus atau Air digunakan untuk mandi  Antioksidan (Manivannan et al. 2011)
diremas dua kali sehari  Uji fitokimia dan analisis
spektrofotometri, diduga isolat dari daun
Daun Pegalinu Daun direbus atau Air digunakan untuk mandi kepuh adalah senyawa golongan
diremas dua kali sehari triterpenoid sejati yang bersifat
antiradikal bebas, dengan gugus fungsi
OH, CH alifatik, C=O. dan C-O. alkohol
(Asih et al. 2010).
Lampiran 4 Manfaat. cara pengolahan. dosis dan cara pemakaian kepuh sebagai obat (lanjutan)

Data primer (hasil wawancara) Data sekunder (literatur)


Bagian
yang Manfaat/khasiat Cara pengolahan Cara dan dosis pemakaian Manfaat/kandungan
digunakan
Bengkak akibat Tidak ada Ditempelkan dan ditekan pada
sengatan lebah bagian yang disengat
Fosil Penjernih/penetr Tidak ada Celupkan pada kendi air yang
al air akan diminum dan biarkan
berada terus didalamnya
Biji Kangker Jahe. selaparang mira Menggunakan bulu ayam  Bawa (2010), minyak dari ekstrak etanol
payudara (sejenis rumput). pusuk yang telah rontok. hasil biji kepuh berpotensi sebagai agen
jeliti. kepuh ditumbuk tumbukan dioleskan pada antiradikal bebas sebesar 85.05% pada
halus. bagian yang membengkak. menit ke-60
 Kanker (Njurumana 2011)
 Antioksidan (Galla 2012)
Getah - - -  Kudle et al. (2013) menunjukkan bahwa
getah kepuh dapat menghambat aktivitas
berbagai jenis mikroba. Beberapa
diantaranya ialah Escherichia coli,
Pseudomonas putida, Bacillus subtilis,
Staphylococcus aureus, Klebsiella
pneumoniae (Singh dan Vidyasagar
2014; Vital et al. 2010)
103
104

Lampiran 5 Analisis sikap masyarakat menggunakan permodelan SEM


(Structural Equation Modeling) dengan PLS (Partial Least Squares)
----------------------------------------------------------
MODEL SPECIFICATION
1 Number of Cases 132
2 Latent Variables 4
3 Manifest Variables 42
4 Scale of Data Standardized Data
5 Non-Metric PLS FALSE
6 Weighting Scheme centroid
7 Tolerance Crit 1e-06
8 Max Num Iters 100
9 Convergence Iters 4
10 Bootstrapping TRUE
11 Bootstrap samples 1000

----------------------------------------------------------
BLOCKS DEFINITION
Block Type Size Mode
1 alamiah Exogenous 10 A
2 manfaat Exogenous 13 A
3 rela Exogenous 10 A
4 sikap Endogenous 9 A

----------------------------------------------------------
BLOCKS UNIDIMENSIONALITY
Mode MVs C.alpha DG.rho eig.1st eig.2nd
alamiah A 10 0.882 0.904 4.86 1.08
manfaat A 13 0.922 0.934 6.84 1.13
rela A 10 0.905 0.922 5.41 1.16
sikap A 9 0.873 0.900 4.54 1.26

----------------------------------------------------------
OUTER MODEL
weight loading communality redundancy
alamiah
1 al1 0.1725 0.705 0.497 0.000
1 al2 0.1498 0.711 0.506 0.000
1 al3 0.1353 0.707 0.500 0.000
1 al4 0.1626 0.684 0.468 0.000
1 al6 0.1465 0.695 0.483 0.000
1 al7 0.1330 0.716 0.513 0.000
1 al8 0.1903 0.758 0.574 0.000
1 al9 0.1245 0.658 0.433 0.000
1 al12 0.1057 0.633 0.400 0.000
1 al13 0.1095 0.685 0.469 0.000
105

weight loading communality redundancy


manfaat
2 ma2 0.1205 0.786 0.618 0.000
2 ma3 0.0786 0.507 0.257 0.000
2 ma4 0.1055 0.798 0.637 0.000
2 ma5 0.0713 0.534 0.286 0.000
2 ma6 0.1227 0.815 0.664 0.000
2 ma7 0.1115 0.637 0.406 0.000
2 ma8 0.1165 0.700 0.489 0.000
2 ma10 0.1144 0.748 0.560 0.000
2 ma11 0.1164 0.822 0.675 0.000
2 ma13 0.1051 0.676 0.458 0.000
2 ma14 0.1091 0.837 0.700 0.000
2 ma16 0.1109 0.823 0.677 0.000
2 ma17 0.0872 0.640 0.410 0.000
rela
3 re1 0.1529 0.806 0.649 0.000
3 re2 0.1421 0.752 0.565 0.000
3 re3 0.1430 0.712 0.507 0.000
3 re4 0.1462 0.737 0.542 0.000
3 re5 0.1361 0.758 0.574 0.000
3 re7 0.1304 0.645 0.416 0.000
3 re8 0.0944 0.698 0.487 0.000
3 re9 0.1605 0.775 0.601 0.000
3 re10 0.1439 0.714 0.509 0.000
3 re11 0.1080 0.743 0.552 0.000
sikap
4 mi1 0.1454 0.602 0.362 0.279
4 mi2 0.1235 0.510 0.260 0.200
4 mi3 0.1386 0.729 0.532 0.410
4 mi4 0.1446 0.747 0.558 0.430
4 mi5 0.1710 0.807 0.651 0.501
4 mi6 0.1424 0.663 0.439 0.339
4 mi7 0.1811 0.791 0.626 0.483
4 mi8 0.1730 0.791 0.626 0.482
4 mi9 0.1856 0.689 0.475 0.366

----------------------------------------------------------
CROSSLOADINGS
alamiah manfaat rela sikap
alamiah
1 al1 0.70523 0.476 0.1748 0.373
1 al2 0.71100 0.419 0.1604 0.324
1 al3 0.70679 0.266 0.0886 0.293
1 al4 0.68381 0.414 0.1787 0.352
1 al6 0.69473 0.535 0.0994 0.317
1 al7 0.71645 0.412 0.1721 0.288
1 al8 0.75760 0.513 0.2008 0.411
106

alamiah manfaat rela sikap


alamiah
1 al9 0.65832 0.415 0.1815 0.269
1 al12 0.63274 0.375 0.0805 0.229
1 al13 0.68500 0.385 0.0646 0.237
manfaat
2 ma2 0.41927 0.786 0.4559 0.619
2 ma3 0.45862 0.507 0.2247 0.404
2 ma4 0.40372 0.798 0.3636 0.542
2 ma5 0.57451 0.534 0.1636 0.366
2 ma6 0.48068 0.815 0.3251 0.630
2 ma7 0.31219 0.637 0.3454 0.572
2 ma8 0.43751 0.700 0.2618 0.598
2 ma10 0.44128 0.748 0.3143 0.587
2 ma11 0.47539 0.822 0.4965 0.598
2 ma13 0.37065 0.676 0.4311 0.540
2 ma14 0.46554 0.837 0.3555 0.560
2 ma16 0.42304 0.823 0.3725 0.569
2 ma17 0.63329 0.640 0.1908 0.448
rela
3 re1 0.20806 0.451 0.8057 0.606
3 re2 0.20638 0.378 0.7515 0.563
3 re3 0.27029 0.337 0.7119 0.567
3 re4 0.20989 0.302 0.7365 0.579
3 re5 0.24043 0.390 0.7578 0.540
3 re7 0.00559 0.298 0.6452 0.517
3 re8 -0.11077 0.215 0.6978 0.374
3 re9 0.23431 0.449 0.7751 0.636
3 re10 0.22616 0.346 0.7138 0.571
3 re11 -0.13496 0.169 0.7429 0.428
sikap
4 mi1 0.44756 0.322 0.5069 0.602
4 mi2 0.45029 0.233 0.4001 0.510
4 mi3 0.16373 0.550 0.5031 0.729
4 mi4 0.20671 0.559 0.5025 0.747
4 mi5 0.31777 0.548 0.6346 0.807
4 mi6 0.22325 0.534 0.4922 0.663
4 mi7 0.33597 0.607 0.6458 0.791
4 mi8 0.29287 0.573 0.6520 0.791
4 mi9 0.45950 0.784 0.3845 0.689
----------------------------------------------------------
INNER MODEL
$sikap
Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)
Intercept 2.96e-16 0.0423 6.99e-15 1.00e+00
alamiah 5.04e-02 0.0539 9.36e-01 3.51e-01
manfaat 4.90e-01 0.0596 8.22e+00 1.94e-13
rela 5.06e-01 0.0482 1.05e+01 5.37e-19
107

----------------------------------------------------------
CORRELATIONS BETWEEN LVs
alamiah manfaat rela sikap
alamiah 1.000 0.613 0.209 0.456
manfaat 0.613 1.000 0.467 0.757
rela 0.209 0.467 1.000 0.745
sikap 0.456 0.757 0.745 1.000

----------------------------------------------------------
SUMMARY INNER MODEL
Type R2 Block_Communality Mean_Redundancy AVE
alamiah Exogenous 0.000 0.484 0.000 0.484
manfaat Exogenous 0.000 0.526 0.000 0.526
rela Exogenous 0.000 0.540 0.000 0.540
sikap Endogenous 0.771 0.503 0.388 0.503

----------------------------------------------------------
GOODNESS-OF-FIT
[1] 0.6298

----------------------------------------------------------
TOTAL EFFECTS
relationships direct indirect total
1 alamiah -> manfaat 0.0000 0 0.0000
2 alamiah -> rela 0.0000 0 0.0000
3 alamiah -> sikap 0.0504 0 0.0504
4 manfaat -> rela 0.0000 0 0.0000
5 manfaat -> sikap 0.4898 0 0.4898
6 rela -> sikap 0.5059 0 0.5059
---------------------------------------------------------
BOOTSTRAP VALIDATION
weights
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah-al1 0.1725 0.1736 0.03989 0.1195 0.2515
alamiah-al2 0.1498 0.1513 0.03165 0.1006 0.2148
alamiah-al3 0.1353 0.1333 0.03165 0.0657 0.1926
alamiah-al4 0.1626 0.1624 0.03123 0.1122 0.2313
alamiah-al6 0.1465 0.1480 0.03115 0.0936 0.2142
alamiah-al7 0.1330 0.1322 0.03445 0.0606 0.1927
alamiah-al8 0.1903 0.1925 0.03848 0.1388 0.2720
alamiah-al9 0.1245 0.1228 0.03396 0.0579 0.1809
alamiah-al12 0.1057 0.1034 0.04118 0.0183 0.1751
alamiah-al13 0.1095 0.1068 0.03737 0.0366 0.1676
manfaat-ma2 0.1205 0.1206 0.01173 0.0980 0.1444
manfaat-ma3 0.0786 0.0782 0.01593 0.0471 0.1088
manfaat-ma4 0.1055 0.1054 0.01001 0.0852 0.1252
manfaat-ma5 0.0713 0.0714 0.01566 0.0403 0.0991
manfaat-ma6 0.1227 0.1221 0.00869 0.1058 0.1397
108

weights
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
manfaat-ma7 0.1115 0.1115 0.01192 0.0894 0.1362
manfaat-ma8 0.1165 0.1167 0.01112 0.0946 0.1413
manfaat-ma10 0.1144 0.1136 0.00870 0.0965 0.1326
manfaat-ma11 0.1164 0.1166 0.00769 0.1011 0.1320
manfaat-ma13 0.1051 0.1054 0.01236 0.0816 0.1292
manfaat-ma14 0.1091 0.1088 0.00858 0.0925 0.1249
manfaat-ma16 0.1109 0.1107 0.01056 0.0901 0.1309
manfaat-ma17 0.0872 0.0869 0.01176 0.0637 0.1099
rela-re1 0.1529 0.1529 0.01130 0.1327 0.1768
rela-re2 0.1421 0.1419 0.01190 0.1192 0.1649
rela-re3 0.1430 0.1432 0.01239 0.1207 0.1687
rela-re4 0.1462 0.1462 0.01179 0.1262 0.1723
rela-re5 0.1361 0.1362 0.01155 0.1141 0.1594
rela-re7 0.1304 0.1305 0.01469 0.1031 0.1603
rela-re8 0.0944 0.0945 0.01252 0.0684 0.1167
rela-re9 0.1605 0.1608 0.01246 0.1394 0.1875
rela-re10 0.1439 0.1441 0.01182 0.1220 0.1677
rela-re11 0.1080 0.1077 0.01188 0.0830 0.1306
sikap-mi1 0.1454 0.1442 0.01512 0.1103 0.1712
sikap -mi2 0.1235 0.1217 0.01632 0.0894 0.1505
sikap -mi3 0.1386 0.1384 0.01225 0.1126 0.1616
sikap -mi4 0.1446 0.1450 0.01166 0.1228 0.1690
sikap -mi5 0.1710 0.1715 0.00959 0.1545 0.1922
sikap -mi6 0.1424 0.1421 0.01180 0.1189 0.1649
sikap -mi7 0.1811 0.1817 0.01203 0.1605 0.2084
sikap -mi8 0.1730 0.1741 0.01376 0.1493 0.2027
sikap -mi9 0.1856 0.1854 0.01336 0.1614 0.2130

loadings
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah-al1 0.705 0.702 0.0591 0.603 0.782
alamiah-al2 0.711 0.706 0.0604 0.590 0.790
alamiah-al3 0.707 0.701 0.0526 0.594 0.784
alamiah-al4 0.684 0.676 0.0622 0.557 0.783
alamiah-al6 0.695 0.689 0.0636 0.557 0.787
alamiah-al7 0.716 0.707 0.0641 0.568 0.803
alamiah-al8 0.758 0.756 0.0502 0.669 0.823
alamiah-al9 0.658 0.649 0.0779 0.494 0.774
alamiah-al12 0.633 0.623 0.0752 0.461 0.735
alamiah-al13 0.685 0.677 0.0666 0.540 0.774
manfaat-ma2 0.786 0.785 0.0351 0.708 0.843
manfaat-ma3 0.507 0.506 0.0881 0.323 0.668
manfaat-ma4 0.798 0.796 0.0384 0.715 0.862
manfaat-ma5 0.534 0.530 0.0785 0.366 0.665
manfaat-ma6 0.815 0.814 0.0272 0.755 0.866
manfaat-ma7 0.637 0.637 0.0483 0.540 0.721
109

loadings
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
manfaat-ma8 0.700 0.699 0.0364 0.624 0.770
manfaat-ma10 0.748 0.746 0.0392 0.661 0.816
manfaat-ma11 0.822 0.821 0.0348 0.744 0.882
manfaat-ma13 0.676 0.675 0.0582 0.555 0.782
manfaat-ma14 0.837 0.834 0.0344 0.764 0.892
manfaat-ma16 0.823 0.821 0.0346 0.748 0.880
manfaat-ma17 0.640 0.638 0.0579 0.509 0.739
rela-re1 0.806 0.805 0.0338 0.732 0.865
rela-re2 0.752 0.751 0.0420 0.663 0.827
rela-re3 0.712 0.711 0.0352 0.637 0.776
rela-re4 0.737 0.735 0.0352 0.659 0.794
rela-re5 0.758 0.756 0.0395 0.677 0.825
rela-re7 0.645 0.644 0.0574 0.522 0.740
rela-re8 0.698 0.695 0.0445 0.597 0.769
rela-re9 0.775 0.775 0.0307 0.709 0.830
rela-re10 0.714 0.713 0.0412 0.623 0.784
rela-re11 0.743 0.739 0.0488 0.633 0.822
sikap -mi1 0.602 0.599 0.0649 0.455 0.710
sikap -mi2 0.510 0.504 0.0846 0.321 0.657
sikap -mi3 0.729 0.725 0.0536 0.612 0.817
sikap -mi4 0.747 0.744 0.0420 0.656 0.815
sikap -mi5 0.807 0.805 0.0298 0.744 0.860
sikap -mi6 0.663 0.661 0.0555 0.542 0.760
sikap -mi7 0.791 0.790 0.0338 0.721 0.851
sikap -mi8 0.791 0.790 0.0378 0.710 0.853
sikap -mi9 0.689 0.689 0.0583 0.566 0.790

paths
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah -> sikap 0.0504 0.0616 0.0488 -0.0434 0.150
manfaat -> sikap 0.4898 0.4855 0.0689 0.3526 0.623
rela -> sikap 0.5059 0.5068 0.0616 0.3758 0.615

rsq
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
sikap 0.771 0.783 0.0305 0.723 0.84

total.efs
Original Mean.Boot Std.Error perc.025 perc.975
alamiah -> manfaat 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.000
alamiah -> rela 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.000
alamiah -> sikap 0.0504 0.0616 0.0488 -0.0434 0.150
manfaat -> rela 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.000
manfaat -> sikap 0.4898 0.4855 0.0689 0.3526 0.623
rela -> sikap 0.5059 0.5068 0.0616 0.3758 0.615
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat


pada tanggal 23 November 1989 sebagai anak pertama dari dua
bersaudara pasangan Bapak Irawan Syarifuddin dan Ibu Iyam
Irawan. Penulis menempuh pendidikan sarjana di Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan IPB dan lulus pada tahun 2012. Penulis aktif di
berbagai kegiatan kemahasiswaan di kampus sebagai pengurus
dan anggota Himakova (Himpunan Mahasiswa Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) periode tahun
2009 - sekarang. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan POKJANAS TOI
(Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia), serta kegiatan yang
diselenggarakan oleh APAFRI (Asia Pasific Association of Forestry Research
Institutions).
Sebagai asisten dosen, penulis kerap terlibat dalam penulisan beberapa
publikasi ilmiah seperti jurnal, makalah dan buku. Beberapa yang pernah di
publikasikan diantaranya ialah Sovereignty of Indonesian Medicinal Plants
Conservation and Health (Seminar Internasional 2013), Konservasi Biodiversitas
Tumbuhan Obat Indonesia untuk Kesehatan dan Kesejahteraan Semua (Seminar
Nasional 2013), Bangun Kampung Konservasi Keanekaragaman Hayati, untuk
Mewujudkan Kedaulatan Hidup Masyarakat Indonesia (Air, Pangan, Obat, Papan,
Energi dan Livelihood): Menghadapi Ancaman Krisis Baru Ekonomi Dunia di Era
Globalisasi (Workshop Kementerian Pertanian RI 2012), Sirsak (Annona muricata
L.) sebagai Obat Anti Kanker, Suatu Bukti Empiris (Seminar Nasional POKJANAS
TOI XLII 2012) dan Manfaat Takokak (Solanum torvum L.) (Seminar Nasional
POKJANAS TOI XLII 2012).
Beberapa karya lainnya yang pernah ditulis bersama pembimbing (dosen)
diantaranya jurnal berjudul IPB Biodiversitas Informatics (IPBiotics) untuk
Pembangunan Berkelanjutan (Media Konservasi. 19 (1): 12-18, April 2014).
Prosiding berjudul Ethnobotany of Sasak Ethnic in Gunung Rinjani National Park:
Diversity of Food and Edible Plants (Proceedings “The 7th International
Conference on Traditional Forest Knowledge and Culture in Asia, Seoul Korea,
September 2014). Bagian buku berjudul Eco-Healing Tourism in Indonesia
(Dalam: Frans Teguh dan Ricky Avenzora (Editor). 2013. Ecotourism and
Sustainable Tourism Development in Indonesia: Potentials, Lessons and Best
Practices. Ministry of Tourism and Creative Economy: 207- 250), serta beberapa
publikasi-publikasi lainnya.
Pengalaman internasional lainnya yang pernah diikuti penulis ialah saat
menjadi salah satu pengajar dalam kegiatan Summer Course of Ethnomedicine,
Collaboration IPB-University of Sydney, Topic: Jamu, an Indonesian Traditional
Medicine and Culture for Health Society” dengan menyampaikan materi berjudul
Jamu and Post Harvesting of Simplisia (11 - 22 Januari 2016). Selain di IPB, penulis
juga turut mengajar di SMK Kehutanan Bhakti Rimba, Bogor dan bekerja di
konsultan PT. Mega Silva Indonesia. Bidang kajian yang sering dikerjakan ialah
survey dan penyusunan laporan deliniasi mikro di areal IUPHHK-HTI (Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri).

Anda mungkin juga menyukai