Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Selain itu peningkatan muka laut akan banyak menimbulkan
perubahan pada sistem pesisir yang disebabkan oleh banjir pasang, cuaca
ekstrim dan pengikisan lahan pesisir.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap
tekanan lingkungan baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Salah satu
kondisi yang mengancam wilayah pesisir di seluruh dunia adalah adanya kenaikan
muka air laut. Secara umum, kenaikan muka air laut merupakan dampak dari
pemanasan global (global warming) yang melanda seluruh belahan bumi.
Berdasarkan laporan IPCC (International Panel On Climate Change), rata-
rata suhu permukaan global meningkat 0,3-0,60C sejak akhir abad 19 dan
sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4-5,80C.
Diperkirakan pada tahun 2100 mendatang, kenaikan muka air laut sekitar
1,4-5,8m (Dahuri, 1996). Naiknya suhu permukaan global menyebabkan
mencairnya es di kutub utara dan selatan bumi sehingga terjadilah kenaikan
muka laut dan berpengaruh terhadap banjir pasang surut (Diposaptono, 2008).
Tindakan yang bisa dilakukan adalah upaya mitigasi bencana sebagai
upaya untuk meminimalisir korban (Diposaptono, 2008). Mitigasi bencana
wilayah pesisir adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana secara struktur
melalui pembangunan fisik alami atau buatan melalui peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil (UU no.27 Tahun 2007).
Upaya pembuatan tanggul di sepanjang pantai atau meninggikan daerah
genangan dengan cara menimbun hanya membebaskan daerah genangan banjir
dan erosi untuk sementara, karena banjir rob dan penurunan muka tanah serta
erosi akan terus berlangsung (Diposaptono, 2009).
1.2. Tujuan
1. Mengetahui peran oseanografi dalam mitigasi bencana pesisir dan laut

1.3. Manfaat
Dapat memberikan informasi terkait Potensi Bahaya, Kerentanan Pantai
serta Kelas Resiko Bencana erosi dan kenaikan muka air laut. Dari informasi
tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai masukkan pembuatan kebijakan
pemerintah terkait dalam upaya mitigasi bencana serta tata ruang pesisir dan laut.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pasang Surut


Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
menarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air
laut dibumi. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2, kali
lebih besar dari pada gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999).
Pengetahuan mengenai pasang surut dan pola sirkulasi arus pasang surut di
perairan pesisir dapat memberikan indikasi tentang pergerakan massa air serta
kaitannya sebagai faktor yang dapat mempengaruhi distribusi suatu material di
dalam kolom air (Mann dan Lazier, 2006 dalam Arifin et al., 2012).

2.2. Perubahan Iklim Global


Perubahan iklim sedang terjadi sekarang, bukti yang menjelaskan bahwa
perubahan iklim sudah terjadi sangat banyak, yaitu : Suhu telah meningkat sekitar
0,8◦C selama abad terakhir. Tiga dekade terakhir ini secara berturut-turut
kondisinya lebih hangat dari pada dekade sebelumnya, dan telah tercatat bahwa 30
tahun terkahir ini cenderung periode terpanas dalam 1.400 tahun di wilayah
belahan bumi utara. Terjadinya peningkatan frekuensi gelombang panas dan
peningkatan intensitas curah hujan di berbagai daerah. Lautan menyerap banyak
karbon dioksida sehingga kondisinya menjadi lebih asam Tinggi permukaan air
laut global telah meningkat sebesar 20 cm dimulai sejak awal abad yang lalu dan
kenaikan ini mengalami percepatan. Wilayah gletser di seluruh dunia mengalami
penyusutan dan kondisi permafrost yang mencair (permafrost merupakan lapisan
tanah, sedimen atau batuan dan termasuk didalamnya es atau materi organik yang
secara permanen membeku dengan suhu dibawah 0◦C) (Supangat, 2013).
Emisi gas rumah kaca terus berlangsung dan pemanasan dunia akan terus
berlanjut. Tanpa adanya upaya yang serius untuk mengurangi emisi gas rumah
kaca, suhu global akan cenderung meningkat lebih dari 2◦C pada abad berikutnya,
bahkan bisa meningkat sampai 5◦C. Risiko terjadinya beberapa kejadian ekstrem,
terutama gelombang panas dan hujan deras, diperkirakan akan meningkat lebih
lanjut dalam beberapa dekade mendatang Tinggi permukaan laut global
diperkirakan akan meningkat mencapai 0,26-0,81 m pada akhir abad ini dan akan
terus mengalami peningkatan pada abad-abad yang akan datang (Supangat, 2013).

2.3. Kenaikan Muka Air Laut


Dalam laporan asesmen IPCC ke 4 (2007) menyebutkan bahwa perubahan
muka laut rata-rata selama abad 20 adalah 0,17 (0,12-1,22) meter dan
diproyeksikan akan meningkat hingga 0,59 (0,18-0,59) meter pada tahun 2100.
Ketinggian muka laut rata-rata 0,59 meter tersebut merupakan batas pasang
tertinggi saat ini dan ketinggian air saat terjadi badai. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata yang telah diprediksikan
tersebut akan menjadi ancaman bagi hampir semua lahan pesisir terutama
yang berelevasi rendah. Sedangkan SRES (Special Report on Emissions
Scenarios) (IPCC, 2001) memprediksikan kenaikan muka laut hingga mencapai
nilai ekstrim yakni 0,8 meter pada tahun 2095. Keadaan ini mengharuskan
pihak-pihak pemangku kepentingan untuk melakukan pendekatan yang memadai
untuk menghadapi berbagai kemungkinan di abad mendatang (Cartwright,
2008).

2.4. Penurunan Muka Tanah (Land Subsidence)


Penurunan tanah (Land Subsidence) pada dasarnya merupakan deformasi
dari suatu wilayah tertentu yang disebabkan oeh beberapa faktor fisis, seperti gaya
tektonik, penurunan muka tanah, dll. Deformasi tersebut dapat dianalisa melalui
titik-titik kontrol yang terdapat pada daerah penelitian. Dalam mendapatkan data
dalam analisa deformasi, harus digunakan teknologi terbaru dan harus dapat di-
integrasikan terhadap semua jenis pengukuran. Sehingga dibutuhkan pengetahuan
akan metode dan tujuan dari sehingga dibutuhkan pengetahuan akan metode dan
tujuan dari survey deformasi yang dilakukan. Permukaan bumi sebagai bagian
dari litosfer, secara dinamis mengalami deformasi. Deformasi dapat dikategorikan
sebagai deformasi vertikal dan deformasi horisontal. Land Subsidence merupakan
fenomena deformasi vertikal. Kecepatan deformasi vertikal ini ditentukan oleh
pergeseran vektor dari titik-titik kontrol dari minimal 2 atau lebih pengamatan.
Definisi penurunan muka tanah berdasarkan beberapa referensi dapat
didefinisikan sebagai berikut: terjadi pada skala regional yaitu meliputi daerah
yang luas atau terjadi secara lokal yaitu hanya sebagian kecil permukaan
tanah. Hal ini biasanya disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan
tanah, biasanya terjadi di daerah yang berkapur (Whittaker dan Reddish,
1989) atau turunnya kedudukan permukaan tanah yang disebabkan oleh
kompaksi tanah (Wei, 2006).
Besaran penurunan muka tanah ditentukan berdasarkan hasil hitungan
dan analisis besaran laju penurunan tanah yang bernilai signifikan. Posisi
turunnya permukaan tanah ditunjukkan melalui perubahan posisi vertikal
muka tanah terhitung dari bidang referensi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Untuk itu, dibutuhkan suatu teknik pemetaan yang mampu mengamati
penurunan muka tanah secara kontinu spasial dan temporal. Oleh karena itu,
diperlukan suatu sistem yang dapat membantu mengukur besaran penurunan
muka tanah untuk liputan suatu wilayah yang relatif luas dalam waktu yang
cepat sehingga skala prioritas pengelolaan kawasan dapat ditentukan secara
efektif dan efisien (Luoto dkk., 2002).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Metode Analisis Data


3.1.1. Metode Analisis Potensi Bahaya
Analisa potensi bahaya diklasifikasikan berdasakan pengamatan di wilayah
kajian berdasarkan Tabel 1.
Tabel 1. Variabel-variabel yang diperlukan dalam analisis Potensi Bahaya

( USGS, 2007, dimodifikasi 2008)


Setelah melakukan klasifikasi variabel Potensi Bahaya, dilakukan
perhitungan sejumlah variabel yang digunakan sehingga didapatkan kelas Potensi
Bahaya.
Tabel 2. Klasifikasiyang digunakan dalam perhitungan Potensi Bahaya

(USGS, 2007, dimodifikasi 2008)


3.1.2. Metode Analisis Kerentanan Pantai
Analisis Kerentanan Pantai dihitung berdasarkan sejumlah variabel yang
berisi tentang perpindahan penduduk dan sejumlah kerugian serta kerusakan yang
ditimbulkan akibat bencana di kawasan pantai tersebut seperti yang tertera pada
Tabel 3.
Tabel 3. Variabel – variabel yang digunakan dalam perhitungan Kerentanan Pantai
(Ministry For Environment – New Zeland Goverment, 2008, 2007, dimodifikasi 2008)

Kelas Kerentanan Pantai (Tabel 4) diklasifikasikan berdasarkan rata-rata


konsekuensi (dampak) dari masing-masing variabel.
Tabel 4. Klasifikasi yang digunakan dalam perhitungan Kerentanan Pantai

(Ministry For Environment – New Zeland Goverment, 2008, 2007, dimodifikasi 2008)
3.1.3. Metode Analisis Resiko
Analisis resiko dilakukan setelah didapatkan nilai Potensi Bahaya dan
Kerentanan Pantai dengan metode perhitungan sebagai berikut:

Setelah dilakukan perhitungan maka didapatkan Kelas Resiko berdasarkan


Tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi yang digunakan dalam perhitungan Resiko Bencana
(USGS, 2007, dimodifikasi 2008)
IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Peran oseanografi dalam mitigasi bencana yaitu dengan menganalisa potensi
bencana suatu daerah dengan mempertimbangkan faktor geomorfologi, pasang
surut dan Analisa social penduduk.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Taslim. 2012. Kondisi Arus Pasang Surut di Perairan Pesisir Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. ISSN 2089-7790.I(3): 183-188
Cartwright, A. 2008. Global climate change and adaptation a sea-level rise
risk assessment. Phase 4: Sea-level rise adaptation and risk mitigation
measures for the City of Cape Town: 12 pp.
IPCC. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of
Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change [Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Griggs, M.
Noguer, P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson
(Editors)],. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and
New York, NY, USA, 881 pp.
Luoto, M., Kuusaari, M., dan Toivonen, T. (2002). Modelling Butterfly
Distribution Based on Remote Sensing Data. Finnish Environment
Institute, Turki, p.443-458.
Supangat,A. 2013. Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan Laporan Kajian ke-5 Ar5
(Assessment Report 5) IPCC Pokja Basis Ilmiah
Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai, Yogyakarta, Beta offset.
Wei, L. (2006). Land Subsidence And Water Management In Shanghai.
Master Thesis. TU Delft, The Netherlands, p.1-79.
Whitaker, B.N. dan Reddish. (1989). Subsidence Occurrence, Prediction, and
Control. Elsevier Science Publishing Company INC, Netherland.
Diposaptono, S., Budiman., 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan
Tsunami, PT. Sarana Komunikasi Utama, Bogor.
Diposaptono, S. 2009. Menyelamatkan diri dari Tsunami, PT. Sarana
Komunikasika Utama, Bogor.
UU no.27 Tahun 2007. Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil

Anda mungkin juga menyukai