Subandono Diposaptono
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
Sebuah Kumpulan Pemikiran
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sebuah Kumpulan Pemikiran
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo
Diterbitkan oleh:
Direktorat Pesisir dan Lautan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan
xvi + 176 halaman, 11,5 cm x 17,5 cm
ISBN: 978-979-1291-03-3
Sambutan
Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia
Global Champion for Disaster Risk Reduction. Apresiasi dari
masyarakat internasional ini menjadi pengingat bagi kita agar
selalu konsisten dan tetap waspada terhadap bencana alam
yang setiap saat mengintai kita.
Seiring dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan
juga telah, sedang, dan akan selalu melakukan mainstream-
ing (pengarusutamaan) mitigasi atau pengurangan risiko ben-
cana ke dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Dalam konteks pengurangan resiko bencana itulah, kami
menyambut baik terbitnya buku berjudul Mitigasi Bencana
dan Adaptasi Perubahan Iklim yang ditulis Subandono Di-
posaptono. Dari buku inilah masyarakat dapat belajar banyak
hal bagaimana melakukan mitigasi bencana agar kita dapat
memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya.
Buku ini juga dapat membantu kita dalam melakukan
berbagai upaya adaptasi perubahan iklim yang sekarang ini
menjadi persoalan serius bukan saja di Tanah Air, tetapi juga
segenap lapisan masyarakat di seluruh dunia. Dengan kata
lain, iklim yang telah berubah secara global ini membutuh-
kan usaha bersama dari seluruh penduduk dunia agar masa
depan Bumi dapat lestari.
vi
Pengantar
Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
vii
setinggi 10-20 meter pada 11 Maret 2011 dan memporak-
porandakan kawasan pesisir tersebut, namun jumlah korban
yang tewas tergolong minim. Hal ini disebabkan mereka su-
dah memahami berbagai hal mengenai gempa dan tsunami.
Berbagai upaya mitigasi itu disiapkan mulai dari melindungi
kawasan strategis di sekitar pantai baik secara fisik maupun
nonfisik, membangun sistem peringatan dini, mengevakuasi
diri sebelum tsunami menerjang, hingga langkah-langkah
strategis selama masa tanggap darurat dan pascabencana
guna membantu para korban yang selamat dan memulihkan
kembali lingkungan yang hancur tersebut.
Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang peduli terhadap berbagai upaya untuk memahami
bencana alam dan perubahan iklim.
Jakarta, November 2011
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
viii
Sekapur Sirih dari Penulis
ix
bumi di Solok, gelombang pasang yang menghantam pesisir
di belasan provinsi yang menghadap Samudra Indonesia, dan
lain sebagainya.
Masih lekat dalam ingatan kita ketika di kegelapan malam,
Senin 25 Oktober 2010, Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua
pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,
babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi
7 meter. Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar
400 orang dan lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak
diketahui jasadnya.
Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berke-
kuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlantakkan permu-
kiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa
saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi
telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan di-
terjang tsunami
Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam.
Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana
dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak
belur. Menurut hitungan, kerugian material dan kerusakan
lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.
Selain berbagai bencana alam tersebut, masyarakat du-
nia, tak terkecuali Indonesia juga sedang diguncang isu peru-
bahan iklim. Berbagai indikator itu telah ada di depan mata
kita. Frekuensi cuaca ekstrim (banjir, kekeringan, dan badai)
misalnya, makin sering terjadi akhir-akhir ini sebagai dampak
dari perubahan iklim.
Indikator lainnya, masyarakat di berbagai daerah juga
mengalami pergeseran musim yang tentu saja mengubah
cara mereka bercocok tanam dan menangkap ikan. Di daerah
lain, suhu udara kian menyengat dibandingkan dengan 20
tahun silam.
Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai
upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana dan adaptasi perubahan iklim
membuat kita dapat menyesuaikan diri dengan suasana
lingkungan yang baru agar kita tetap dapat hidup dengan aman
dan nyaman. Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan,
kami ingin menyumbangkan beberapa pemikiran ke arah itu.
Istilah mitigasi dalam terminologi perubahan iklim berbe-
da dengan istilah “mitigasi” dalam terminologi bencana. “Mi-
tigasi” dalam terminologi perubahan iklim adalah upaya yang
dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari
sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam da-
lam menyerap emisi tersebut. Sedangkan adaptasi perubah-
an iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan
iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.
Sebagai contoh, dalam kasus dampak asap terhadap sesak
nafas akibat kebakaran hutan. Upaya mitigasi dampak asap
dilakukan dengan memadamkan kebakaran sehingga dapat
mengurangi atau menghilangkan dampak asap terhadap
sesak nafas akibat kebakaran hutan. Sedangkan upaya
adaptasi dilakukan dengan menggunakan masker penutup
hidung sehingga dampak asap kebakaran hutan terhadap
sesak nafas dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Salah
satu contoh lain untuk memudahkan dalam memahami dan
membedakan istilah mitigasi dan adaptasi dalam perubahan
iklim adalah saat seseorang berada di ruang yang dingin
akibat menggunakan alat pendingin ruangan (air conditioner
xi
atau AC). Upaya untuk mengurangi risiko dampak kedinginan
dapat dilakukan dengan mitigasi dan adaptasi.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan menaikkan suhu
AC sehingga ruangan menjadi lebih hangat dan nyaman. Se-
mentara itu, upaya adaptasi dapat dilakukan dengan meng-
gunakan pakaian penghangat badan (jaket). Kedua kegiatan
tersebut sama-sama ditujukan untuk mengurangi dampak/ri-
siko terhadap kedinginan yang ditimbulkan oleh AC.
Sementara itu, “mitigasi” dalam terminologi bencana di-
definisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi
risiko/dampak akibat bencana baik oleh alam maupun ma-
nusia. Jadi istilah ‘mitigasi” dalam bencana sudah mencakup
mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim. Mitigasi dan
adaptasi dalam perubahan iklim sama-sama ditujukan untuk
mengurangi dampak/risiko akibat perubahan iklim.
Pada kesempatan yang baik ini, kami menghaturkan terima
kasih kepada pengelola media massa cetak seperti Kompas,
Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Media
Indonesia, Majalah Samudra, Tempo, Gatra, dan Jurnal
Dinamika Masyarakat. Media-media tersebut telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk menuangkan berbagai
pemikiran mitigasi bencana kepada masyarakat luas.
Kami menyadari buku ini laksana setetes air di samudra
luas. Karena itu, segala masukan dan kritikan sangat berarti
bagi kami agar buku kecil ini menjadi lebih sempurna di
kemudian hari.
Subandono Diposaptono
xii
– Jika kita bertindak dan bencana terhindarkan, maka kita
mencegah penderitaan manusia yang berat.
– Jika kita bertindak dan tidak ada bencana, maka kita tidak rugi
dan mendapatkan keuntungan berupa lingkungan.
– Jika kita tidak bertindak dan terjadi bencana, akan ada tragedi
global.
– Jika kita tidak bertindak dan tidak ada bencana, akibatnya
akan tergantung semata-mata pada peruntungan.
(Barry Jones, 1990)
xiii
Daftar Isi
xiv
79 13. Menghalau Banjir
85 14. Rob di Tengah Isu Pemanasan Global
90 15. Meredam Banjir Rob
96 16. Mengantisipasi Gelombang Pasang
102 17. Penambangan Pasir dan Ekologi Laut
110 18. Memanfaatkan Lumpur Sidoarjo
116 19. Meredam Abrasi dengan Tuntas
132 20. Dampak Pemanasan Global: Pulau-pulau Kecil
Terancam Tenggelam
138 21. Potensi Bencana di Indonesia dan Sosialisasinya
151 22. Meningkatkan Sinergitas Penanggulangan Bencana
di Indonesia
166 23. Merencanakan Pengelolaan Pesisir Berbasis
Mitigasi Bencana
xv
1
Sampai Kapan Berjibaku
dengan Tsunami?
I
ndonesia kembali berduka. Di kegelapan malam, Senin
(25/10/2010), Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau
di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,
babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi
sekitar 7 meter.
Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400
orang. Selain itu, lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak
diketahui jasadnya. Tsunami yang diakibatkan gempa bumi
tektonik berkekuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlan-
takkan permukiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan
bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan,
sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran
dientak gempa dan diterjang tsunami.
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 30 Oktober 2010.
L
agi-lagi kita dibuat sangat prihatin. Kendati telah
puluhan kali tsunami menerjang kawasan pesisir
Indonesia, masyarakat luas masih belum memahami
fenomena itu. Itulah yang baru saja terjadi di kawasan pesisir
utara Kabupaten Serang, Banten, baru-baru ini. Ya, pada
Sabtu (5/9/2009) malam, cuaca di kawasan itu memang tak
bersahabat. Hujan dan angin bertiup kencang. Banjir rob
pun melanda kawasan tersebut.
Di tengah-tengah situasi yang tak wajar itu, beberapa
orang sengaja mengembuskan isu tsunami. Akibatnya, warga
pun berhamburan. Mereka panik, berlarian menyelamatkan
diri sehingga seorang warga meninggal karena kelelahan
dan tujuh orang pingsan karena panik (Kompas, 7/9/2009).
Korban sia-sia seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi
andai saja masyarakat mengerti dan paham tentang tsunami.
Mitigasi nonfisik
Mitigasi nonfisik yang perlu segera dilakukan adalah
pembuatan peta rawan tsunami. Langkah berikutnya mela-
kukan sosialisasi, penyadaran, pelatihan, geladi (drill), dan
memberikan penyuluhan tentang berbagai hal yang terkait
dengan tsunami, mulai dari gejala atau ciri-ciri tsunami,
dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamat-
kan diri.
Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok
daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat
penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu
dilakukan dengan cara yang lebih menarik.
Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang
benar-benar merakyat, seperti pengajian akbar, wayang
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 8 September 2009.
M
engapa jumlah korban tsunami Jepang 2011
relatif kecil? Salah satu faktornya adalah karena
masyarakat Jepang memiliki pengetahuan tsu-
nami yang sangat baik. Hal ini berbeda dengan di Indonesia,
Thailand, dan Sri Lanka yang minim pengetahuan sehingga
menelan lebih banyak korban.
Pengetahuan yang baik tentang tsunami akan membantu
kita selamat dari amukan si gelombang pembunuh. Lalu,
apa mitos-mitos yang selama ini berkembang di masyarakat
yang membuat mereka menjadi korban, termasuk juga di
Jepang pada tempo dulu?
Mitos Keliru
Mitos pertama adalah tsunami terjadi akibat gempa
yang kuat, sebagaimana anggapan masyarakat Mentawai.
R
entetan gempa merusak yang terjadi akhir-akhir ini
kian mempertegas, Indonesia merupakan kawasan
rawan gempa.Terakhir gempa Padang, Sumatera
Barat, Rabu (30/9/2009) sore, berkekuatan 7,6 skala
Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis
(1/10/2009) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan
orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan
bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang,
pun sempat ditutup.
Suka atau tidak, gempa bumi bakal muncul di daerah-
daerah yang rawan gempa. Hal ini tidak bisa dihindari
karena secara geologis, Indonesia ada pada pertemuan
tiga lempeng bumi: Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-
Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif, kecepatan dan
arah berbeda dalam kisaran beberapa sentimeter sampai 12
Enam upaya
Sudah banyak korban berjatuhan. Setidaknya ada enam
upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa, baik
secara fisik/struktur maupun nonfisik/nonstruktur, guna
mengurangi korban jiwa dan kerusakan.
Pertama, program riset di bidang gempa. Riset dituju-
kan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi terjadi gem-
pa; menganalisis dan membuat peta tingkat bahaya, keren-
tanan, dan risiko bencana; memilih teknologi mitigasi ben-
cana gempa yang tepat, efektif, dan efisien; serta memilih
teknologi retrofitting bangunan yang ada dan diperkirakan
tidak tahan gempa.
Kedua, membangun sistem peringatan dini yang andal,
baik secara struktur maupun kultur, mencakup jaringan
seismometer, global positioning system (GPS) pemantau
proses gempa bumi.
Ketiga, memberi pendidikan, pelatihan, penyadaran,
dan geladi bagi masyarakat dan petugas pelaksana penang-
gulangan bencana. Tujuannya, membangun kesiapsiagaan
masyarakat dan aparat pelaksana dalam melakukan mitigasi
gempa.
Keempat, membangun kesiapan pelaksanaan evakuasi
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 2 Oktober 2009.
G
empa berkekuatan 7,6 skala Richter di Padang
Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009)
sore, dan 7,0 SR di Jambi pada Kamis (1/10/2009)
pagi harusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua.
Bukan apa-apa, gempa itu telah merusakkan segalanya.
Hanya dalam tempo sekejap, keindahan ranah Minang itu
meredup.
Lebih dari 800 orang tewas, ribuan terluka, dan ribuan
rumah ambruk, rata dengan tanah. Total kerugian ditaksir
lebih dari Rp 2 triliun. Daerah dengan dampak terbesar
adalah Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang
Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, dan
Kabupaten Pasaman Barat.
Menurut pengamatan penulis setelah melihat langsung
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 20 Oktober 2010.
K
epanikan hebat melanda masyarakat Banda Aceh
ketika sirene sistem peringatan dini (early warning
system) tsunami berdering pada Selasa (5/6/2007)
pagi. Mereka berlarian mencari tempat aman agar terhindar
dari tsunami. Maklum, mereka masih trauma akibat tsunami
dahsyat yang pernah melanda kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) Desember 2004.
Nyatanya memang tidak ada gempa dan tsunami. Bukan
apa-apa, bunyi tersebut akibat dari kerusakan yang terjadi
pada alat pendeteksi tsunami.
Di tempat lain, isu-isu bakal terjadinya gempa dan tsu-
nami juga marak. Entah dari mana isu itu bertiup. Yang jelas
kini masyarakat di kawasan pesisir menanti penuh cemas
akan hadirnya bencana alam tersebut.
Meramal Tsunami
Lalu, mampukah kita meramal tsunami? Mengingat
mekanisme terjadinya gempa dan tsunami sangat kompleks
dan rumit maka hingga kini tsunami sulit diramalkan baik
dalam hitungan hari, minggu, bulan, maupun tahun. Yang
dapat dilakukan adalah mendeteksi terjadinya tsunami.
Ada beberapa langkah yang dilakukan untuk mendeteksi
terjadinya tsunami. Tahap awal adalah dengan menentukan
lokasi sumber gempa bumi secara cepat dan tepat. Lalu,
perlu juga menganalisis apakah gempa bumi itu berpotensi
menimbulkan tsunami. Terakhir mengonfirmasi kejadian
tsunami dengan hasil pengamatan permukaan laut.
Apabila dikehendaki informasi dini tsunami dapat disam-
paikan dalam lima menit pertama, maka parameter gempa
bumi (waktu kejadian, lokasi, kedalaman, dan magnitude)
harus mampu ditentukan dalam tiga menit pertama. Berda-
sarkan persyaratan ini dapat dirancang konfigurasi stasiun
seismograf untuk suatu wilayah tertentu dengan memper-
hatikan sifat dan dinamika tektonik di sekitarnya.
Rancangan ini akan menunjukkan jumlah stasiun yang
harus dipasang dan sistem komunikasi data yang harus
digunakan. Untuk mendapatkan parameter gempa bumi
dengan cepat dan tepat dibutuhkan dua sistem pengolah
dan analisa data; otomatis dan interaktif.
ctd
Artikel ini dimuat di Media Indonesia edisi 10 Juni 2007.
R
asanya belum pudar dalam ingatan kita ketika
gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan pesisir
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember
2004. Senin (17/7/2006) sore giliran pantai selatan Pulau
Jawa digoyang gempa dan diterjang tsunami. Ratusan orang
meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan
rumah hancur akibat bencana alam tersebut.
Indonesia berduka. Rentetan gempa berkekuatan 6,8
skala Richter (SR) lalu diikuti gempa susulan 6,1 SR yang
berpusat di Samudra Hindia (9,4o Lintang Selatan dan 107,2o
Bujur Timur) itu melumat kawasan pesisir di Tasikmalaya,
Pangandaran, Ciamis, Cilacap, Kebumen, dan Yogyakarta.
Walaupun korbannya hanya sedikit, lagi-lagi Yogyakarta
Upaya Mitigasi
Lalu bagaimana sikap kita menghadapi gempa dan
tsunami yang bertubi-tubi itu? Jelas bahwa manusia tak
mampu mencegah bencana alam karena kekuatan dan
ukurannya teramat besar. Yang bisa dilakukan hanyalah
mengurangi dampak dari bencana tersebut (mitigasi).
Di Jepang misalnya, upaya mitigasi itu mampu menye-
lamatkan manusia dan harta-benda lainnya. Hal itu sangat
berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Terlihat, setiap
ada bencana disambut dengan kepanikan. Setelah itu ma-
syarakat lainnya beramai-ramai memberikan sumbangan
pangan kepada para korban.
ctd
Artikel ini dimuat Jurnal Nasional edisi 19 dan 20 Juli 2006.
B
encana alam gempa dan tsunami akhir-akhir ini
datang silih berganti dalam periode yang relatif
cepat. Kita tidak tahu persis kenapa frekuensi ter-
jadinya gempa dan tsunami belakangan ini cenderung me-
ningkat dibandingkan dengan 50 tahun lalu. Berdasarkan
catatan, selama setengah abad itu kawasan pesisir Indone-
sia digoyang puluhan gempa merusak dan diterjang tsunami
sebanyak 21 kali.
Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi
fenomena alam yang tidak pasti kapan datangnya itu? Ti-
dak mudah memang mengelola bencana tersebut. Bukan
apa-apa, kesadaran masyarakat pesisir terhadap bencana
masih minim. Padahal, merekalah yang paling menderita
jika gempa dan tsunami menerjang. Rendahnya pemaham-
ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 23 Agustus 2006.
S
udah puluhan kali tsunami menerjang berbagai
kawasan pesisir di Indonesia. Namun apa daya,
sampai sejauh ini masyarakat belum mampu
mengenali bencana alam tersebut secara benar dan baik.
Kita tentu amat prihatin. Tsunami selalu meninggalkan
penderitaan berkepanjangan.
Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban
jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi tsuna-
mi baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat
pesisir kita masih tradisional maka langkah-langkah mitiga-
sinya haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.
ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 7 Desember 2006.
Belajar Rehabilitasi
dan Rekonstruksi
Pascatsunami
dari Okushiri
T
sunami yang menghantam Pulau Okushiri, Jepang
pada 12 Juli 1993 bisa menjadi pembelajaran bagi kita
dalam rangka memulihkan kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam yang dihantam tsunami 26 Desember
2004. Bukan apa-apa, pulau kecil yang tadinya elok dan asri
itu pernah porak-poranda oleh tsunami dengan ketinggian
run-up maksimum 31 meter. Inilah rekor tsunami terbesar
di Jepang pada abad ke-20.
Bayangkan, gempa berkekuatan 7,8 skala Magnitude
(SM) di malam hari itu bukan saja menimbulkan tsunami
ctd
Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 27 Desember 2006.
D
uka masih menyelimuti Indonesia. Lebih dari 100
ribu orang tewas sejak tsunami 26 Desember 2004
melanda kota-kota pesisir di provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Ribuan orang lainnya tak diketahui
keberadaannya, hanyut ditelan laut.
Bukan hanya itu saja. Bencana alam tsunami terdahsyat
di abad ini juga menghancurkan sendi-sendi perekonomian
di Kota Serambi Mekah. Kota-kota pesisir itu lumpuh total.
Aneka jenis bangunan tak kuasa menahan ganasnya gelom-
bang pasang akibat gempa tektonik di Samudra Hindia.
Tak ada aliran listrik dan telekomunikasi dalam beberapa
hari. Akses transportasi darat juga terputus akibat jebolnya
jembatan-jembatan dan jalan-jalan raya. Penulis yang
berada di lokasi beberapa hari setelah bencana, melihat
Memulihkan Bencana
Dalam teori klasik manajemen penanggulangan ben-
cana, rehabilitasi merupakan salah satu komponen penting
dalam siklus manajemen penanggulangan bencana setelah
terjadinya bencana. Sesudah bencana terjadi, biasanya kor-
Menghindari Tekanan
Faktor fisik yang perlu diperhatikan adalah struktur
bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan
arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus
dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang
menghantam bangunan lebih kecil.
ctd
Artikel ini dimuat Kompas edisi 20 Januari 2005.
T
sunami 17 Juli 2006 yang diakibatkan gempa bumi
(tsunamigenic earthquake) berkekuatan 6,8 skala
Richter melumat kawasan pesisir di selatan Pulau
Jawa. Ribuan permukiman penduduk, hotel, tambak, dan
sarana infrastruktur lainnya hancur dan melumpuhkan
perekonomian di pesisir Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, dan
Kebumen.
Lalu bagaimana membangun kawasan pesisir selatan
Jawa pascatsunami? Berdasarkan pengalaman Jepang,
negara yang paling sering diterjang tsunami, ada dua hal
pokok yang perlu mendapat prioritas.
Pertama, membangun kesadaran masyarakat yang
tinggal di kawasan rawan tsunami. Kedua, menata kembali
kawasan pesisir sedemikian rupa sehingga daerah tersebut
aman dari terjangan tsunami di lain waktu.
Karakteristik Bencana
Walaupun korbannya jauh lebih ringan dibandingkan
dengan gempa dan tsunami NAD (2004), ratusan orang
meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan
rumah hancur akibat bencana alam tersebut. Korban dan
kerusakan yang terjadi di pantai selatan Jawa seluruhnya
diakibatkan oleh tsunami.
Seperti telah diduga, kawasan paling parah terkena
tsunami adalah dataran landai dan pantainya berbentuk
teluk serta mempunyai tanjung seperti di Pangandaran.
Dengan topografi seperti itu, energi yang dihempaskan
semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai
tersebut. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut
lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit.
Upaya Pemulihan
Satu bulan lebih proses tanggap darurat berlalu. Kini,
saatnya melakukan pemulihan pascatsunami. Pertanyaannya
adalah bagaimana melakukan pemulihan daerah pasca-
tsunami secara efektif?
Dalam konteks saat ini, upaya relokasi ke tempat yang
aman dari jangkauan tsunami merupakan langkah yang sulit
ditempuh karena faktor sosial budaya masyarakat. Hal itu
tercermin dari korban tsunami Banyuwangi (1994), Biak
(1996), dan NAD (2004). Walaupun telah dipindahkan ke
tempat aman, namun mereka kembali lagi ke lokasi semula
yang rawan bencana. Mereka beralasan, pemindahan terse-
but menimbulkan masalah baru seperti perlu waktu lebih
lama untuk menuju ke tempat kerja, keamanan perahu
mereka, faktor psikologis tanah leluhur, dan lain-lain.
ctd
S
etelah bencana alam seperti gempa, tsunami, dan
longsor datang silih berganti, kini banjir mengintai
kehidupan kita. Bahkan di beberapa daerah, banjir
sudah menenggelamkan ribuan rumah, prasarana trans-
portasi, sawah, tambak, dan menewaskan puluhan nyawa
manusia.
Begitulah fenomena yang terjadi setiap kita menyambut
musim penghujan. Ironisnya, bencana alam tersebut bukan-
nya malah berkurang baik frekuensi maupun intensitasnya.
Daerah yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir,
kini harus pasrah diterjang luapan air. Begitu pula dengan
daerah yang sudah terbiasa terkena banjir, dampaknya kian
parah.
Tak dapat disangkal, penyebab utama banjir masih di-
dominasi oleh ulah manusia. Sebesar apa pun hujan yang
Ulah Manusia
Ulah manusia bukan cuma di situ. Industrialisasi be-
serta kegiatan yang mengikutinya (seperti transportasi dan
gedung-gedung ber-AC) berdampak pada efek rumah kaca
(green house effect).
Pemanasan global pun tak dapat dihindari. Kekacauan
iklim mulai terjadi. Suhu muka air laut naik. Ujung-ujungnya
daratan beku di Benua Antartika pun meleleh. Akibatnya,
terjadilah kenaikan permukaan air laut (sea level rise atau
SLR).
Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change), suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Me-
teorological Organization) dan UNEP (The United Nation of
Enviroment Program), laju SLR sekitar 3-10 cm per dasawar-
sa (10 tahun). Isu ini sangat dikhawatirkan umat manusia.
Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai
yang rendah bisa terendam air laut.
Upaya Mitigasi
Lalu tak adakah upaya untuk menghalau banjir? Tidaklah
mudah menangani banjir yang begitu kompleks. Karena
itu perlu strategi yang komprehensif dengan melibatkan
berbagai instansi terkait dan masyarakat.
Secara filosofis, penanganan banjir dapat ditempuh
dengan beberapa strategi. Pertama, menerapkan pola
protektif. Pola ini dilakukan dengan membuat bangunan
pengendali banjir misalnya waduk, polder, kolam-kolam
penampungan, sumur resapan, saluran pengendali banjir,
drainase, dan tanggul.
ctd
Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 16 Januari 2007.
J
ebolnya tanggul akibat banjir rob (pasang laut) telah
merobohkan belasan rumah di kawasan pesisir Jakarta,
Senin (26/11/2007). Bukan hanya itu, akses jalan raya,
baik dari maupun menuju Bandara Internasional Soekarno-
Hatta, juga lumpuh total akibat tergenang air laut yang
cukup tinggi. Banyak penerbangan mengalami penundaan.
Ratusan hektar tambak pun gagal panen.
Bencana banjir rob disebabkan banyak hal, mulai dari
ulah manusia yang merusak lingkungan hingga alami (pasang
surut). Maklum, dewasa ini pembangunan di wilayah pesisir
sangat cepat, tetapi kurang mengindahkan kaidah tata
ruang ramah bencana. Permukiman dibangun terlalu dekat
dengan pantai. Mangrove tinggal secuil, hanya tumbuh di
beberapa tempat.
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 10 Desember 2007.
S
etelah bencana banjir akibat hujan datang silih ber-
ganti di beberapa wilayah Indonesia, kini banjir rob
akibat meluapnya air laut mengintai kehidupan kita.
Bahkan di beberapa daerah, banjir rob sudah meneng-
gelamkan ratusan rumah, prasarana transportasi, sawah,
dan tambak.
Kalau ditelisik lebih dalam, rentetan bencana banjir rob
itu disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang
merusak lingkungan hingga dinamika laut.
Bayangkan, akhir-akhir ini pengembangan dan pem-
bangunan di wilayah pesisir sangat cepat tetapi kurang
mengindahkan kaidah tata ruang ramah bencana. Sehingga
saat air laut pasang wilayah tersebut tergenang air asin.
Di samping itu, hutan mangrove yang berfungsi sebagai
peredam gelombang dan banjir rob semakin gundul. Jadi
ketika ada banjir rob maka dengan leluasa air laut itu me-
Gambar 15.1. Kondisi muka air di muara sungai saat normal (Gambar
atas), dan gambar bawah menunjukkan kondisi muka air di muara
sungai meluap.
Upaya Adaptasi
Tidaklah mudah menangani banjir rob yang begitu
kompleks. Karena itu untuk mengatasinya diperlukan upaya
adaptasi yang komprehensif dengan melibatkan berbagai
instansi terkait dan masyarakat.
Secara filosofis, penanganan banjir rob di wilayah
pesisir dapat ditempuh dengan beberapa strategi. Pertama,
pola protektif yaitu dengan membuat bangunan pantai
yang mampu mencegah banjir rob agar tidak merangsek
ke darat. Pola tersebut bertujuan melindungi permukiman,
industri wisata, jalan raya, daerah pertanian, dan lain-lain
dari genangan air laut.
D
uka masih menyelimuti masyarakat pesisir Indo-
nesia. Setelah bencana tsunami dan banjir datang
silih berganti, kini giliran belasan provinsi yang ber-
hadapan dengan Samudera Indonesia diterjang ganasnya
gelombang pasang. Akibatnya nahas. Ratusan rumah, pe-
rahu, tempat wisata, jalan dan lain sebagainya mengalami
kerusakan parah.
Kerusakan tersebut selain diakibatkan oleh tingginya
gelombang pasang, juga diperparah oleh tata ruang dan
konstruksi bangunan yang kurang ramah bencana dan
rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat dengan laut
dan tidak mematuhi building code. Tidak ada tameng baik
buatan maupun alami yang dapat meredam amukan gelom-
bang pasang.
Dinamika Laut
Gaya-gaya eksternal seperti siklon tropis, angin, dan
pasang surut dapat menimbulkan dinamika laut yang
berupa perubahan muka air laut. Siklon tropis adalah badai
dengan udara hangat di pusatnya. Udara hangat yang lebih
ringan pada pusat siklon menyebabkan tekanan udara di
situ menjadi lebih rendah.
Perbedaan tekanan udara yang sangat kontras tersebut
menyebabkan udara bergerak ke arah pusat tekanan rendah.
Karena pengaruh rotasi bumi maka terbentuklah pusaran
udara yang dikenal dengan siklon.
Tekanan udara yang rendah juga berkontribusi terhadap
kenaikan muka laut. Setiap 10 mbar penurunan tekanan
udara, akan menyebabkan kenaikan muka laut sekitar 10
cm. Gabungan antara pengaruh tekanan rendah dan angin
kencang yang bertiup cukup lama di atas permukaan laut
yang dangkal inilah yang menjadi biang terjadinya gelom-
bang pasang yang dicetuskan oleh storm surge.
Siklon atau badai tropis tidak akan terjadi di dekat kha-
tulistiwa dengan radius antara 5°LU sampai 5°LS, tetapi
Antisipasi
Lalu tak adakah upaya untuk mengantisipasi gelombang
pasang? Antisipasi gelombang pasang di wilayah pesisir
dapat ditempuh dengan berbagai cara.
Pertama, menyesuaikan diri dengan gelombang pasang.
Rumah-rumah penduduk di tepi pantai dibuat model pang-
gung yang aman dari genangan air laut akibat gelombang
pasang. Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut saat
gelombang pasang dapat diubah peruntukannya menjadi
lahan budidaya perikanan.
Kedua, membuat bangunan pantai (tembok laut, break-
water) yang mampu mencegah gelombang pasang agar ti-
ctd
Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 22 Mei 2007.
P
enambangan pasir laut telah berkembang menjadi
polemik nasional. Dampaknya seperti nelayan yang
kehilangan mata pencarian hingga tenggelamnya
sebuah pulau telah berkembang menjadi bahan pembicaraan
di masyarakat.
Secara obyektif pasir laut memang bisa disebut salah satu
sumber daya kelautan yang berkembang menjadi komoditas
ekonomi. Namun, penambangan pasir laut berdampak pada
pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kegiatan penambangan
pasir laut apabila tidak dilakukan di daerah yang tepat dan
dengan cara yang tepat akan berdampak pada lingkungan,
baik fisik, biologi, maupun sosial.
Penambangan pasir laut yang sebagian besar dilakukan
di daerah nearshore dapat mengganggu stabilitas pantai
Tipologi pantai
Dampak yang ditimbulkan penambangan pasir laut
terhadap perubahan garis pantai pastilah berbeda,
bergantung pada tipe dan material pembentuk pantai.
Secara umum, berdasarkan material penyusunnya, pantai
dapat dibedakan sebagai berikut.
Pertama, pantai berbatu. Biasanya dicirikan dengan
dinding pantai terjal yang langsung berhubungan dengan
laut. Pada daerah yang terlindung, keberadaan tebing pantai
ini terdapat agak jauh dari pantai, dengan karakteristik
pantai berpasir. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam
Upaya mitigasi
Kembali pada apakah penambangan pasir laut akan
berdampak tenggelamnya sebuah pulau, ini perlu dijawab
secara hati-hati. Secara tidak langsung dan pada skala waktu
yang lama, kemungkinan ini akan terjadi. Namun di sisi lain,
dengan mengenal sifat dasar dinamika pantai dan faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi perubahan bentuk
garis pantai, kita dapat merekomendasikan lokasi optimal
untuk penambangan pasir laut dengan dampak minimal
perubahan keseimbangan alam dengan beberapa upaya.
ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 3 Januari 2004.
S
ampai saat ini kita tidak tahu persis kapan semburan
lumpur Sidoarjo (Lusi) berhenti. Awalnya, semburan
Lusi itu hanya sekitar 5.000 m3 per hari sejak 29 Mei
2006. Kini semburan lumpur itu terus bertambah bahkan
dalam sehari bisa mencapai 125.000 m3.
Bisa dibayangkan genangan lumpur yang terus berlang-
sung itu. Setahun setelah semburan itu terjadi, volume
lumpur tersebut mencapai puluhan juta m3.
Dampaknya tentu luar biasa. Keperkasaan Lusi itu telah
menewaskan belasan orang. Desa-desa yang terbenam
lumpur kian meluas.
Kini, kian banyak penduduk yang kehilangan rumah, sa-
wah, tambak, dan tanah. Luapan lumpur juga melumpuh-
kan perekonomian di sekitarnya.
Rawa buatan
Lalu bakal dibawa kemana Lusi yang semakin melimpah
itu? Sebenarnya banyak cara bisa dilakukan. Salah satunya,
dengan membawa lumpur tersebut ke pantai Sidoarjo untuk
dijadikan rawa buatan (artificial wetland) yang ditanami
mangrove.
Banyak manfaat dari upaya ini. Di satu sisi kita bisa me-
mindahkan genangan lumpur sehingga dampak akibat je-
bolnya tanggul pengaman dapat dikurangi. Di sisi lain, rawa
buatan berhutan mangrove itu diharapkan mampu mem-
perbaiki ekosistem kawasan pesisir secara keseluruhan.
Di samping itu, hutan mangrove bisa menjadi filter
dalam menyerap aneka limbah seperti logam berat yang
berasal dari industri di Surabaya dan sekitarnya. Mangrove
juga berfungsi sebagai tempat berkembangbiaknya aneka
biota laut seperti kepiting, udang, dan ikan. Dari sini jelas,
masyarakat bisa memperoleh banyak manfaat ekonomi dari
ekosistem tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, mang-
rove jenis Avicenia marina (api-api) sangat cocok ditanam
di media yang berasal dari semburan Lusi. Tumbuhan itu
mampu bertahan dan tumbuh secara baik.
Buktinya, dari 55 bibit mangrove jenis api-api yang
ditanam menggunakan media Lusi, hanya 5 bibit yang mati.
Amerika Serikat
Pengalaman Amerika Serikat dalam mengendalikan
Lumpur hasil pengerukan layak disimak. Di negeri Paman
Sam itu, US Army Environmental Center (USAEC) mengolah
lumpur hasil pengerukan pelabuhan melalui phytoreclama-
tion.
Cunningham dan Lee (1995) mendefiniskan phytorecla-
mation dalam tiga proses dasar. Pertama, penyerapan ba-
han pencemar dari tanah oleh tumbuhan melalui transpirasi
dan evaporasi.
Kedua, pengurangan bahan pencemar melalui proses
metabolisme tumbuhan, bakteri, dan tumbuhan mikro
lainnya. Ketiga, stabilisasi tanah reklamasi dengan tumbuhan
sehingga meminimalkan pencemaran perairan.
Para pekerja USAEC itu harus berupaya keras untuk
menaklukkan lumpur tersebut. Bukan apa-apa, volume
material itu mencapai lebih dari 300 juta m3 setiap tahun.
Dari angka itu, 5-10 persennya tidak layak untuk dibuang
di perairan terbuka (laut). Sebab, banyak pegiat lingkungan
yang menentangnya. Maklum, pembuangan seperti itu
berdampak negatif terhadap ekosistem perairan.
Hambatan
Ada beberapa hambatan dalam membuat rawa buatan.
Bisa jadi, selama proses pembuatan itu berdampak semen-
tara bagi kawasan di sekitarnya berkaitan dengan aliran
lumpur.
Hambatan lain, sulitnya mengangkut lumpur dari
ctd
K
ondisi kawasan pantai di berbagai penjuru Tanah Air
sangat mencemaskan. Abrasi atau erosi pantai sudah
menjadi pemandangan yang jamak. Panorama pantai
yang tadinya asri dan indah berubah menjadi tak elok lagi.
Sekitar 100 lokasi di 17 provinsi dengan panjang pantai
kurang lebih 400 km telah mengalami erosi pantai yang
mengkawatirkan.
Pantai Tirtamaya di Indramayu, Jawa Barat misalnya,
daratannya hancur digerus oleh ombak. Satu-satunya objek
wisata bahari yang dimiliki kabupaten penghasil buah
mangga itu mulai sepi ditinggalkan para pengunjungnya.
Kerusakan serupa juga terjadi di sepanjang jalur pantai
utara (Pantura) Jawa, pantai selatan Bali, pantai Sumatera
Sub
an
do
no
Dip
osa
pto
no
a)
Gambar 19.1. Penyebab abrasi yang ditimbulkan oleh aktivitas
manusia. a) groin; b) Jetty; c) breakwater, dan d) reklamasi pantai.
b)
Sub
an
do
no
Dip
osa
pto
no
c)
Sub
an
do
no
Dip
osa
pto
d)
no
Pulau-pulau Kecil
Terancam Tenggelam
B
umi kian panas. Itulah ’kado istimewa’ pada perayaan
Hari Bumi yang diperingati umat manusia di seluruh
dunia setiap 22 April. Bukan apa-apa, menurut
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu
badan yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological
Organization) dan UNEP (The United Nation of Enviroment
Program), suhu rata-rata bumi meningkat sekitar 5 derajat
Celsius dalam waktu 100 tahun terakhir ini. Bahkan, laju
kenaikan suhu bumi itu mencatat rekor tertinggi pada 10
tahun terakhir ini.
Fakta itu sudah menjadi kenyataan. IOC atau Interna-
tional Olimpic Commission misalnya, baru-baru ini mengin-
Mengantisipasi SLR
Lalu bagaimana mengantisipasi SLR di kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil? Secara filosofis, penanggulangan
bencana pesisir dan pulau-pulau kecil akibat SLR dapat
ditempuh dengan tiga alternatif.
Pertama, pola protektif yaitu dengan membuat ba-
ngunan pantai yang mampu mencegah air laut agar tidak
merangsek ke darat. Pola tersebut bertujuan melindungi
permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah pertanian,
dan lain-lain dari genangan air laut.
ctd
Artikel dimuat di Harian Suara Pembaruan edisi 20 April 2007.
Abstracts
I
ndonesia is both blessed and threatened by its nature. Its width,
extends over 3 times zones and more than 6.000 km from east
to west, and therefore it is blessed with what is considered by
some to be the greatest marine biodiversity within a single nation.
But on the other hand it is also threatened with almost every natural
hazards known, including earthquakes, tsunamis, landslides, floods
etc., most of which directly impact the populations and resources
Every year, more and more Indonesian are at risk from a
variety of natural disasters that affect the environment. In the
past 20 years, there has been such explosive development in the
Pendahuluan
Lima tahun terakhir ini bencana alam datang silih ber-
ganti. Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang
gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter (SR).
Seluruh kota lumpuh dihantam gempa. Hubungan arus
listrik dan telepon putus total. Bandara Nabire juga meng-
alami kerusakan serius sehingga jadwal penerbangan sem-
pat ditunda.
Tepat sebulan setelah itu, giliran kawasan pesisir Nang-
groe Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat.
Tsunami yang ditimbulkan oleh gempa tektonik di Samudra
Hindia berkekuatan 9 SR itu menewaskan lebih dari 200.000
orang.
Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya
berselang sekitar dua bulan, tepatnya 21 Februari 2005,
longsor sampah di TPA Leuwigajah, Jawa Barat, mengubur
143 orang.
Letusan Gunungapi
Indonesia juga dihuni banyak gunung berapi. Setidaknya
ada 240 gunung api yang tersebar di berbagai daerah. Sekitar
70 di antaranya masih aktif dan suatu saat bisa meletus,
menyemburkan lava panas yang berpotensi menimbulkan
bencana.
Rangkaian busur api itu merupakan bagian dari The
Pacific Ring of Fire. Untaian itu bermula di Kamchatka Alaska,
Jepang, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Sulawesi, dan
berakhir hingga Filipina.
Di Indonesia, ring of fire itu membentang dari Pulau Su-
Longsor
Indonesia juga menjadi langganan tanah longsor (land
slide). Maklum, banyak kawasan di Tanah Air itu yang memiliki
derajat kemiringan lahan yang tinggi dan diperburuk oleh
tata guna lahan yang tidak ramah lingkungan. Longsor juga
kerap menelan korban di daerah pertambangan pasir, batu,
dan lain-lain.
Berdasarkan catatan, daerah yang sangat rawan terjadi
longsor adalah sepanjang pegunungan Bukit Barisan di
Sumatera serta daerah dataran tinggi di Jawa, Sulawesi, dan
Nusa Tenggara.
Penyebab tanah longsor bisa faktor alam dan manusia.
Faktor alam antara lain lereng terjal, tanah bersifat lembek,
jenuh karena air hujan, retakan karena proses alam (gempa
bumi), dan lain-lain.
Manusia juga punya andil terjadinya tanah longsor.
Ulah mereka memotong lereng, mengubah tata guna lahan,
membabat hutan, dan mendirikan bangunan di sekitar
tebing bisa mengakibatkan longsor.
Banjir
Setelah gempa, tsunami, dan longsor datang silih ber-
ganti, banjir juga mengintai kehidupan kita. Bahkan di bebe-
rapa daerah, banjir sudah menenggelamkan ribuan rumah,
prasarana transportasi, sawah, tambak, dan menewaskan
Upaya Sosialisasi
Di tengah-tengah krisis multi dimensi belakangan ini
berbagai bencana itu kian mengganggu berbagai program
pemulihan ekonomi Indonesia. Ironis memang, walaupun
sudah puluhan kali bencana menerjang berbagai kawasan
di Indonesia, namun sampai sejauh ini masyarakat belum
mampu mengenali bencana alam tersebut secara benar dan
baik. Kita tentu amat prihatin. Bencana selalu meninggalkan
penderitaan berkepanjangan.
Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban
jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi bencana
baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat
kita masih tradisional maka langkah-langkah mitigasinya
haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.
Kita perlu membuat prioritas mitigasi untuk daerah-
daerah yang rawan bencana dan penduduknya padat. Betapa
tidak, di kawasan seperti inilah yang paling menderita jika
bencana menerjangnya.
Karena itu, pembuatan peta rawan bencana perlu se-
gera dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan teknologi
Benar-benar Merakyat
Salah satu alternatif lain yang tidak kalah penting adalah
melalui media yang benar-benar merakyat seperti pengaji-
an akbar, wayang (cemblong, golek, orang, atau kulit), keto-
prak, dangdut, atau kesenian daerah lainnya. Melalui cara
penyampaian yang berakar pada budaya lokal, bencana bisa
dengan mudah mereka pahami.
Pengalaman DKP dalam melakukan sosialisasi bencana
gempa dan tsunami di berbagai daerah melalui media hi-
buran dangdut perlu terus digalakkan. Bukan apa-apa, daya
tarik hiburan semacam ini bisa menjadi magnet bagi ribuan
masyarakat.
Di tengah-tengah hiburan itulah, kita bisa menyampaikan
penjelasan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh
mereka tentang bencana. Dengan demikian, mereka bisa
mengenal gejala, karakteristik, ciri-ciri, dan dampak dari
bencana. Dari sini mereka mendapat pengetahuan mengenai
cara-cara menyelamatkan diri dari bencana tersebut.
Agar sosialisasi tersebut lebih menyentuh nurani me-
Kesimpulan
Disadari atau tidak, bencana alam terus mengintai
kawasan Indonesia. Hingga kini, kekuatan ilmu pengetahuan
dan teknologi belum mampu mencegah gempa bumi,
tsunami, tanah longsor, banjir, dan lain-lain.
Yang bisa dilakukan Indonesia saat ini adalah mengurangi
risiko akibat bencana alam. Upaya mitigasi ini perlu terus
digalakkan di antaranya melalui sosialisasi.
Agar efektif dan efisien, sosialisasi dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan, yakni secara ilmiah, seni budaya,
dan agama. Pengalaman DKP membuktikan, cara semacam
ini membuat masyarakat lebih mudah menerima berbagai
pesan dalam meminimalkan dampak negatf yang ditimbulkan
bencana.
Tiga pendekatan yang dilakukan secara terpadu itu
diharapkan dapat menimbulkan kesadaran, kepedulian, dan
kecintaan terhadap lingkungan. Mereka juga akan bersikap
disiplin terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.
Tanpa upaya itu, korban akan terus berjatuhan.
ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Dinamika Masyarakat RISTEK Vol VI No
1 edisi April 2007 oleh Subandono Diposaptono dan Indroyono
Soesilo. Indroyono adalah Kepala Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.
M
omentum penting yang mengubah total para-
digma penanggulangan bencana di Indonesia
terjadi pascatsunami Aceh tahun 2004. Be-
sarnya korban jiwa, kerusakan lingkungan dan infrastruktur,
serta dampak psikologis yang terjadi membuka mata para
pemangku kepentingan Indonesia tentang rawannya kondisi
Indonesia terhadap bencana alam.
Jika sebelum tsunami Aceh 2004 upaya penanggulangan
bencana yang dilakukan lebih kepada upaya tanggap daru-
rat (saat terjadinya bencana) dan rehabilitasi-rekonstruksi
(pascabencana) maka belajar dari pengalaman tersebut,
para pemangku kepentingan kini lebih memfokuskan diri
Persoalan Utama
Berdasarkan pemantauan penulis, setidaknya ada tiga
persoalan utama sehingga belum tercapainya sinergitas
pencegahan dan penanggulangan bencana alam. Hal itu
tercermin dari setiap terjadi bencana alam selalu diikuti de-
ngan jumlah korban dan kerusakan yang besar.
Pertama, penanggulangan bencana masih belum
optimal, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.
Hal ini disebabkan antara lain belum tersedianya kajian me-
nyeluruh tentang ancaman bahaya, kerentanan, dan risiko.
Karena satu dan lain hal, khususnya kapasitas SDM dan
kelembagaan, sampai dengan saat ini Indonesia belum me-
miliki referensi peta dan hasil kajian tentang ancaman ba-
haya, kerentanan, dan risiko.
Upaya ke arah sana sudah dilakukan antara lain men-
Kesimpulan
Penanggulangan atau manajemen bencana merupakan
satu siklus multi stakeholder yang mempunyai keterkaitan
erat dan saling ketergantungan antara satu komponen
de-ngan komponen lainnya. Enam proses (pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi,
dan rekonstruksi) perlu ditangani secara sinergis agar
ctd
T
etesan air mata di Sumatera Barat belumlah menge-
ring. Betapa hati kita masih pilu melihat ribuan korban
tewas dan terluka dihantam gempa bumi berkekuat-
an 7,6 skala Richter di Padang, Rabu (30/9/2009) sore.
Tak lama setelah itu, Kamis (1/10/2009) pagi giliran Jambi
menangis didera gempa berkekuatan 7,0 SR.
Sebelumnya, bencana demi bencana juga datang silih
berganti. Masih lekat dalam ingatan kita ketika gempa Nabi-
re (2002) juga meluluhlantakkan bangunan.
Dua tahun berikutnya, tsunami Aceh 2004 menewaskan
sekitar 300.000 orang. Lalu, gempa Yogyakarta (2006) juga
menewaskan ribuan orang. Dua bulan setelah itu, tsunami
Berbasis Mitigasi
Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi ben-
cana alam tersebut yang tidak pasti kapan datangnya itu?
Harus diakui, tidaklah mudah mengelola bencana tersebut.
Apalagi kesadaran masyarakat awam terhadap bencana
masih minim. Selain itu, kita juga masih lemah dalam mela-
kukan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil yang berbasis mitigasi.
Akibatnya, banyak korban jiwa dan kerugian harta ben-
da ketika bencana alam menghampiri mereka. Kondisi itu
diperparah lagi dengan karakteristik bencana alam yang me-
miliki kekuatan teramat besar.
Tidaklah mungkin kecerdikan manusia mencegah ke-
dahsyatan bencana alam. Kemampuan manusia hanya se-
batas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu
biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengu-
rangi risiko atau dampak dari suatu bencana.
Menurut UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir
Budaya Keselamatan
Dalam mengembangkan budaya keselamatan, secara
spasial atau keruangan, sebaran bahaya, elemen-elemen
yang rentan, dan potensi risiko yang ada dapat dituangkan
dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kawasan-kawasan rawan bencana sebaiknya tidak dialokasi-
kan untuk kegiatan pemanfaatan.
Bagi kawasan yang sudah terdapat kegiatan pemanfa-
atan, pemerintah dapat memberikan pengarahan untuk ke-
giatan mitigasinya. Pemerintah juga harus berani besikukuh
untuk tidak memberikan izin bagi pemanfaatan baru. Sebut
saja misalnya tidak mengeluarkan izin mendirikan bangun-
an (IMB) di tempat yang berisiko terjadi bencana. Kalau-
pun terpaksa menempati daerah berisiko maka rumah dan
bangunan harus dibangun tahan bencana dan diterapkan
building code yang ketat.
Strategi mitigasi bencana yang telah tertuang dalam
RSWP-3-K dan peta resiko bencana yang telah dipertimbang-
kan sebagai acuan dalam penyusunan RZWP-3-K tersebut
ctd
Artikel ini dimuat di Samudra edisi 78 Tahun VII, Oktober 2009.