Anda di halaman 1dari 193

D alam 7 tahun terakhir ini bencana alam di

Indonesia datang silih berganti. Usai gempa

dan Adaptasi Perubahan Iklim


Mitigasi Bencana
dan tsunami dahsyat di kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (26/12/2004) yang menewaskan
lebih dari 200.000 orang, hanya berselang tiga
bulan gempa bumi mengguncang Pulau Nias,
Sumatera Utara.
Setelah itu Yogjakarta juga dihantam gempa,
Sidoarjo meluap lumpur panasnya, pantai selatan
Jawa Barat disapu tsunami, dan di berbagai kota
direndam banjir. Lagi-lagi, gempa dan tsunami juga
menyapu Kepulauan Mentawai (25/10/2010).
Semua bencana tersebut menimbulkan
luka mendalam. Ratusan ribu orang kehilangan
nyawa. Sarana dan prasarana luluh lantak. Kondisi
lingkungan pun babak belur.
Kini, masyarakat dunia --termasuk Indonesia—
harus menghadapi perubahan iklim dengan segala
dampaknya seperti banjir, kekeringan, badai,
pergeseran musim, kenaikan muka laut, dan lain
sebagainya.
Semua fenomena tersebut membutuhkan
berbagai upaya mitigasi bencana dan adaptasi
perubahan iklim. Dan di buku inilah Anda akan
mendapat pengalaman menarik bagaimana
menghadapi berbagai bencana tersebut.
Subandono Diposaptono

Kementerian Kelautan dan Perikanan


Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir ISBN 978-979-1291-03-3
dan Pulau-Pulau Kecil
Direktorat Pesisir dan Lautan
Gedung Mina Bahari II Lt. 7
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16
9 789791 291033
Jakarta Pusat, Telp/Faks: 021-3522059
Subandono Diposaptono
Sebuah Kumpulan Pemikiran

Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim


Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo

Subandono Diposaptono

Kementerian Kelautan dan Perikanan


Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil
Direktorat Pesisir dan Lautan
2011
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).
Sebuah Kumpulan Pemikiran
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia


Oleh Direktorat Pesisir dan Lautan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Penulis : Subandono Diposaptono


Design Graphic : Amir
Cover : Deky Rahma Sukarno

Hak cipta dilindungi Undang-undang


dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit

Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sebuah Kumpulan Pemikiran
Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
Gempa bumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global,
dan semburan lumpur Sidoarjo

Diterbitkan oleh:
Direktorat Pesisir dan Lautan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan
xvi + 176 halaman, 11,5 cm x 17,5 cm
ISBN: 978-979-1291-03-3
Sambutan
Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia

S ejarah mencatat, Indonesia sepertinya tak pernah terbe-


bas dari bencana alam. Gempa bumi dan tsunami datang
silih berganti. Hal ini dapat dimaklumi karena secara geografis,
posisi Indonesia berada pada jalur cincin api (ring of fire) dan
pertemuan tiga lempeng besar yang saling bertumbukan. Se-
lain gempa dan tsunami, posisi Indonesia di katulistiwa yang
diapit oleh dua benua besar mengakibatkan adanya dinamika
iklim yang pada banyak kejadian memicu meningkatnya ban-
jir, rob, longsor, kekeringan, abrasi, dan lain-lain.
Menyadari kita berada di daerah rawan bencana alam
itulah, pemerintah memiliki komitmen nyata bagi upaya mi-
tigasi bencana. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 – 2014. RPJM
menegaskan dan mengamanatkan penanggulangan bencana
sebagai prioritas pembangunan. Komitmen dan konsistensi
Pemerintah dalam pengurangan resiko bencana tersebut
telah diapresiasi oleh berbagai pihak. Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) baru-baru ini memberikan penghargaan ber-
gengsi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai


Global Champion for Disaster Risk Reduction. Apresiasi dari
masyarakat internasional ini menjadi pengingat bagi kita agar
selalu konsisten dan tetap waspada terhadap bencana alam
yang setiap saat mengintai kita.
Seiring dengan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan
juga telah, sedang, dan akan selalu melakukan mainstream-
ing (pengarusutamaan) mitigasi atau pengurangan risiko ben-
cana ke dalam pembangunan kelautan dan perikanan.
Dalam konteks pengurangan resiko bencana itulah, kami
menyambut baik terbitnya buku berjudul Mitigasi Bencana
dan Adaptasi Perubahan Iklim yang ditulis Subandono Di-
posaptono. Dari buku inilah masyarakat dapat belajar banyak
hal bagaimana melakukan mitigasi bencana agar kita dapat
memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya.
Buku ini juga dapat membantu kita dalam melakukan
berbagai upaya adaptasi perubahan iklim yang sekarang ini
menjadi persoalan serius bukan saja di Tanah Air, tetapi juga
segenap lapisan masyarakat di seluruh dunia. Dengan kata
lain, iklim yang telah berubah secara global ini membutuh-
kan usaha bersama dari seluruh penduduk dunia agar masa
depan Bumi dapat lestari.

Jakarta, Desember 2011


Menteri Kelautan dan Perikanan

Sharif Cicip Sutardjo

vi
Pengantar
Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana

K ami layak memberi apresiasi atas terbitnya buku berjudul


Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim yang
sedang Anda baca ini. Buku yang ditulis oleh Subandono
Diposaptono ini dapat membantu kita semua memahami
berbagai pemikirannya tentang pengurangan risiko bencana
alam seperti gempa, tsunami, banjir, rob, dan perubahan
iklim di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pemahaman mengenai fenomena bencana alam tersebut
sangatlah penting untuk memberi bekal bagi masyarakat
Indonesia yang secara geografis memang berada di wilayah
rawan bencana geologis dan hidrometeorologis. Dengan
demikian setiap terjadi bencana alam kita lebih siap
menghadapinya. Bukan bersikap sebaliknya, diliputi rasa takut
dan panik yang berlebihan. Sikap emosional yang berlebihan
semacam itu justru hanya menambah penderitaan.
Menghadapi gempa dan tsunami kita dapat belajar dari
Jepang. Meskipun tsunami menghajar pantai Sanriku, Jepang

vii
setinggi 10-20 meter pada 11 Maret 2011 dan memporak-
porandakan kawasan pesisir tersebut, namun jumlah korban
yang tewas tergolong minim. Hal ini disebabkan mereka su-
dah memahami berbagai hal mengenai gempa dan tsunami.
Berbagai upaya mitigasi itu disiapkan mulai dari melindungi
kawasan strategis di sekitar pantai baik secara fisik maupun
nonfisik, membangun sistem peringatan dini, mengevakuasi
diri sebelum tsunami menerjang, hingga langkah-langkah
strategis selama masa tanggap darurat dan pascabencana
guna membantu para korban yang selamat dan memulihkan
kembali lingkungan yang hancur tersebut.
Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi siapa
saja yang peduli terhadap berbagai upaya untuk memahami
bencana alam dan perubahan iklim.

Jakarta, November 2011
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Dr. Syamsul Maarif, MSi

viii
Sekapur Sirih dari Penulis

T ujuh tahun terakhir ini bencana alam datang silih berganti.


Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang gempa
bumi berkekuatan 7,2 skala Richter (SR). Seluruh kota
lumpuh dihantam gempa. Hubungan arus listrik dan telepon
putus total. Bandara Nabire juga mengalami kerusakan serius
sehingga jadwal penerbangan sempat ditunda.
Tepat sebulan setelah itu, giliran kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat. Tsunami
yang ditimbulkan oleh gempa tektonik yang berpusat di
Samudra Hindia dan berkekuatan 9 SR itu menewaskan lebih
dari 200.000 orang.
Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya
berselang sekitar tiga bulan, tepatnya 28 Maret 2005, gempa
bumi mengguncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Bangunan
rumah dan perkantoran di kawasan pesisir itu juga babak
belur dihantam gempa.
Lalu, sejak Mei 2006 hingga 2010 berbagai bencana me-
landa kawasan lainnya. Sebut saja gempa bumi Jogjakarta,
meletusnya Gunung Merapi, meluapnya lumpur panas Sido-
ardjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang di Aceh Tamiang,
banjir di DKI Jakarta, tanah longsor di Manggarai, NTT, gempa

ix
bumi di Solok, gelombang pasang yang menghantam pesisir
di belasan provinsi yang menghadap Samudra Indonesia, dan
lain sebagainya.
Masih lekat dalam ingatan kita ketika di kegelapan malam,
Senin 25 Oktober 2010, Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua
pulau di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,
babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi
7 meter. Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar
400 orang dan lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak
diketahui jasadnya.
Tsunami yang diakibatkan gempa bumi tektonik berke-
kuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlantakkan permu-
kiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan bangunan apa
saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan, sarana komunikasi
telepon pun sempat terputus lantaran dientak gempa dan di-
terjang tsunami
Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam.
Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana
dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak
belur. Menurut hitungan, kerugian material dan kerusakan
lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.
Selain berbagai bencana alam tersebut, masyarakat du-
nia, tak terkecuali Indonesia juga sedang diguncang isu peru-
bahan iklim. Berbagai indikator itu telah ada di depan mata
kita. Frekuensi cuaca ekstrim (banjir, kekeringan, dan badai)
misalnya, makin sering terjadi akhir-akhir ini sebagai dampak
dari perubahan iklim.
Indikator lainnya, masyarakat di berbagai daerah juga
mengalami pergeseran musim yang tentu saja mengubah
cara mereka bercocok tanam dan menangkap ikan. Di daerah


lain, suhu udara kian menyengat dibandingkan dengan 20
tahun silam.
Semua fenomena tersebut membutuhkan berbagai
upaya mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Mitigasi bencana bertujuan untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh bencana dan adaptasi perubahan iklim
membuat kita dapat menyesuaikan diri dengan suasana
lingkungan yang baru agar kita tetap dapat hidup dengan aman
dan nyaman. Dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan,
kami ingin menyumbangkan beberapa pemikiran ke arah itu.
Istilah mitigasi dalam terminologi perubahan iklim berbe-
da dengan istilah “mitigasi” dalam terminologi bencana. “Mi-
tigasi” dalam terminologi perubahan iklim adalah upaya yang
dilakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari
sumbernya atau dengan meningkatkan kemampuan alam da-
lam menyerap emisi tersebut. Sedangkan adaptasi perubah-
an iklim adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan
iklim baik yang sifatnya reaktif maupun antisipatif.
Sebagai contoh, dalam kasus dampak asap terhadap sesak
nafas akibat kebakaran hutan. Upaya mitigasi dampak asap
dilakukan dengan memadamkan kebakaran sehingga dapat
mengurangi atau menghilangkan dampak asap terhadap
sesak nafas akibat kebakaran hutan. Sedangkan upaya
adaptasi dilakukan dengan menggunakan masker penutup
hidung sehingga dampak asap kebakaran hutan terhadap
sesak nafas dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Salah
satu contoh lain untuk memudahkan dalam memahami dan
membedakan istilah mitigasi dan adaptasi dalam perubahan
iklim adalah saat seseorang berada di ruang yang dingin
akibat menggunakan alat pendingin ruangan (air conditioner

xi
atau AC). Upaya untuk mengurangi risiko dampak kedinginan
dapat dilakukan dengan mitigasi dan adaptasi.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dengan menaikkan suhu
AC sehingga ruangan menjadi lebih hangat dan nyaman. Se-
mentara itu, upaya adaptasi dapat dilakukan dengan meng-
gunakan pakaian penghangat badan (jaket). Kedua kegiatan
tersebut sama-sama ditujukan untuk mengurangi dampak/ri-
siko terhadap kedinginan yang ditimbulkan oleh AC.
Sementara itu, “mitigasi” dalam terminologi bencana di-
definisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi
risiko/dampak akibat bencana baik oleh alam maupun ma-
nusia. Jadi istilah ‘mitigasi” dalam bencana sudah mencakup
mitigasi dan adaptasi dalam perubahan iklim. Mitigasi dan
adaptasi dalam perubahan iklim sama-sama ditujukan untuk
mengurangi dampak/risiko akibat perubahan iklim.
Pada kesempatan yang baik ini, kami menghaturkan terima
kasih kepada pengelola media massa cetak seperti Kompas,
Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Media
Indonesia, Majalah Samudra, Tempo, Gatra, dan Jurnal
Dinamika Masyarakat. Media-media tersebut telah memberi
kesempatan kepada penulis untuk menuangkan berbagai
pemikiran mitigasi bencana kepada masyarakat luas.
Kami menyadari buku ini laksana setetes air di samudra
luas. Karena itu, segala masukan dan kritikan sangat berarti
bagi kami agar buku kecil ini menjadi lebih sempurna di
kemudian hari.

Jakarta, November 2011

Subandono Diposaptono

xii
– Jika kita bertindak dan bencana terhindarkan, maka kita
mencegah penderitaan manusia yang berat.
– Jika kita bertindak dan tidak ada bencana, maka kita tidak rugi
dan mendapatkan keuntungan berupa lingkungan.
– Jika kita tidak bertindak dan terjadi bencana, akan ada tragedi
global.
– Jika kita tidak bertindak dan tidak ada bencana, akibatnya
akan tergantung semata-mata pada peruntungan.
(Barry Jones, 1990)

Bumi ini cukup untuk kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak


cukup untuk semua keinginan manusia.
(Mahatma Gandhi)

Jadikan mitigasi dan adaptasi bagian dari keseharian hidup


kita untuk mendorong iklim perubahan dan mengerem
perubahan iklim.

xiii
Daftar Isi

v Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan RI


vii Pengantar Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana
ix Sekapur Sirih dari Penulis

1 1. Sampai Kapan Berjibaku dengan Tsunami?


5 2. Mengakrabi Tsunami
13 3. Mitos-Mitos Tsunami
17 4. Hidup Bersama Gempa
22 5. Membangun Rumah, Menahan Gempa
27 6. Mampukah Meramal Tsunami?
35 7. Mitigasi Hindarkan Korban Gempa dan Tsunami
44 8. Saatnya Merevolusi Mitigasi Gempa dan Tsunami
48 9. Mendesak, Mitigasi Tsunami Berbasis Masyarakat
53 10. Mengenang Tsunami Aceh 2004: Belajar
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascatsunami dari
Okushiri
58 11. Rehabilitasi Pascatsunami yang Ramah Lingkungan
67 12. Membangun Selatan Jawa Pascatsunami

xiv
79 13. Menghalau Banjir
85 14. Rob di Tengah Isu Pemanasan Global
90 15. Meredam Banjir Rob
96 16. Mengantisipasi Gelombang Pasang
102 17. Penambangan Pasir dan Ekologi Laut
110 18. Memanfaatkan Lumpur Sidoarjo
116 19. Meredam Abrasi dengan Tuntas
132 20. Dampak Pemanasan Global: Pulau-pulau Kecil
Terancam Tenggelam
138 21. Potensi Bencana di Indonesia dan Sosialisasinya
151 22. Meningkatkan Sinergitas Penanggulangan Bencana
di Indonesia
166 23. Merencanakan Pengelolaan Pesisir Berbasis
Mitigasi Bencana

175 Sekilas Penulis

xv
1
Sampai Kapan Berjibaku
dengan Tsunami?

I
ndonesia kembali berduka. Di kegelapan malam, Senin
(25/10/2010), Pagai Selatan dan Pagai Utara, dua pulau
di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat,
babak belur dihantam gempa dan diterjang tsunami setinggi
sekitar 7 meter.
Keperkasaan tsunami itu menewaskan sekitar 400
orang. Selain itu, lebih dari 300 orang dinyatakan hilang, tak
diketahui jasadnya. Tsunami yang diakibatkan gempa bumi
tektonik berkekuatan 7,2 skala Richter itu juga meluluhlan-
takkan permukiman, infrastruktur jalan, kapal nelayan, dan
bangunan apa saja yang berada di sekitar pesisir. Bahkan,
sarana komunikasi telepon pun sempat terputus lantaran
dientak gempa dan diterjang tsunami.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 


Kita memang dibuat terpana atas tragedi tsunami yang
kian sering melanda kawasan pesisir. Berdasarkan catatan
penulis, selama tahun 1600 sampai 2010, Indonesia telah
mengalami 110 kejadian tsunami. Artinya, dalam rentang
waktu tersebut, kita mengalami tsunami setiap sekitar 4
tahun. Namun, sejak tahun 1960 hingga 2010, kejadian tsu-
nami semakin meningkat. Dalam rentang 50 tahun terakhir
ini terjadi 23 tsunami atau sekitar setiap dua tahun tsunami
melanda pesisir Indonesia.
Sangatlah sulit menjelaskan secara ilmiah alasan tsu-
nami lebih kerap terjadi belakangan ini. Kita hanya paham,
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng Bumi, yak-
ni Eurasia, Indo-Australia, dan Samudra Pasifik, yang terus
bergerak dan bertumbukan. Kondisi ini sangat berpotensi
menimbulkan gempa dan tsunami.
Hingga kini, ilmu pengetahuan dan teknologi juga
belum mampu menjawab kapan gempa dan tsunami terjadi.
Tragedi itu bisa terjadi kapan saja, menyergap yang lengah.
Bagaimana kiat agar kita dapat hidup aman di daerah
rawan tsunami? Tak ada cara lain, kita harus selalu siap siaga
dalam berjibaku dengan tsunami. Strategi awal yang paling
mujarab adalah membekali diri kita dengan pengetahuan
tsunami.
Pakar dari Jepang, Prof Tomostuka Takayama dan
Dr Susumu Murata, yang berbicara di Jakarta, Rabu
(27/10/2010), menuturkan pengalaman mereka meneliti
berbagai kasus tsunami, baik di Jepang maupun Cile.
Menurut mereka, orang-orang yang selamat dari terjangan
tsunami adalah yang memiliki pengetahuan dan memori

 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


tentang tsunami. Sebaliknya, orang- orang yang tidak punya
bekal pengetahuan tersebut bakal menjadi korban sia-sia
tsunami. Oleh karena itu, pendidikan dan sosialisasi tentang
tsunami perlu terus digalakkan.
Ketika tsunami terjadi, tak banyak waktu untuk
menyelamatkan diri. Kecepatan berlari manusia sangat tidak
seimbang dengan kecepatan tsunami di daratan yang dapat
mencapai 30-40 km per jam. Dengan kecepatan sebesar
itu, manusia yang berdiri tegak dan tenang sekalipun tak
mampu bertahan dari empasan tsunami. Apalagi dalam
kondisi panik, tubuh kita mudah tergelincir, hanyut, dan
akhirnya tewas tenggelam.
Kita jago berenang? Tampaknya keahlian itu tidak berarti
apa-apa karena arus tsunami terus menggulung selama
puluhan menit. Arus itu menyeret dan menenggelamkan
tubuh kita semakin jauh ke tengah laut.
Jadi, janganlah sekali-sekali berjibaku langsung dengan
tsunami. Begitu Bumi terasa bergetar digoyang gempa,
lekaslah berlari menjauhi pantai dan mencari tempat yang
tinggi dan aman (bukit, bangunan bertingkat yang kokoh,
atau pohon) tanpa harus menunggu peringatan. Kalau tidak
ada tempat aman, sebaiknya segera dibuat shelter atau
menara evakuasi. Shelter ini dibangun di tempat- tempat
strategis agar mudah dan cepat dijangkau masyarakat.
Begitu juga ketika air laut surut mendadak. Janganlah
tergoda pada ikan menggelepar di dasar laut yang surut.
Tinggalkan segera pantai tersebut, lalu berlindunglah ke
tempat yang aman dari jangkauan tsunami.
Bagi Anda yang sedang berada di perahu motor atau

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 


kapal, segera lajukan ke tengah laut. Langkah ini setidaknya
memiliki dua manfaat. Pertama, perahu atau kapal tersebut
tidak hanyut dan terseret ke darat sehingga tidak merusak
bangunan yang diterjangnya.
Kedua, kapal beserta awaknya dapat selamat. Hal ini
bisa terjadi karena kendati kecepatan tsunami di laut dalam
(deep sea) lebih besar daripada di laut dangkal (shallow
water), ketinggian tsunaminya masih rendah. Kapal pun
dapat melaju dengan aman dan terkendali.
Bagi kawasan pesisir yang memiliki aset ekonomi
vital, saatnya melindunginya dengan berbagai bangunan
pelindung. Bangunan semacam ini dapat meredam tsunami
yang akan menerjang permukiman dan bangunan vital
lainnya.
Tak kalah penting adalah setiap kabupaten/kota yang
rawan tsunami membuat peta risiko tsunami sebagai
landasan penataan kawasan dan pembangunan di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil agar aman dari terjangan
tsunami.
Kalau saja langkah-langkah pintar tersebut dipakai,
niscaya kita tidak mudah takluk berjibaku dengan tsunami
yang setiap saat mengintai kita.

ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 30 Oktober 2010.

 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


2
Mengakrabi Tsunami

L
agi-lagi kita dibuat sangat prihatin. Kendati telah
puluhan kali tsunami menerjang kawasan pesisir
Indonesia, masyarakat luas masih belum memahami
fenomena itu. Itulah yang baru saja terjadi di kawasan pesisir
utara Kabupaten Serang, Banten, baru-baru ini. Ya, pada
Sabtu (5/9/2009) malam, cuaca di kawasan itu memang tak
bersahabat. Hujan dan angin bertiup kencang. Banjir rob
pun melanda kawasan tersebut.
Di tengah-tengah situasi yang tak wajar itu, beberapa
orang sengaja mengembuskan isu tsunami. Akibatnya, warga
pun berhamburan. Mereka panik, berlarian menyelamatkan
diri sehingga seorang warga meninggal karena kelelahan
dan tujuh orang pingsan karena panik (Kompas, 7/9/2009).
Korban sia-sia seperti itu sebenarnya tidak perlu terjadi
andai saja masyarakat mengerti dan paham tentang tsunami.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 


Tsunami hanya terjadi jika ada gempa di dasar laut, letusan
gunung api di laut, longsoran di laut, atau benda langit
(meteor) dalam ukuran besar jatuh ke laut. Di luar penyebab
itu, Anda tak perlu cemas dan panik.
Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi
korban jiwa akibat tsunami? Berkaca pada pengalaman Je-
pang yang sering diterjang tsunami, upaya tersebut adalah
dengan melakukan mitigasi tsunami, baik secara fisik mau-
pun nonfisik.
Kedua sistem tersebut bisa saling melengkapi, bergan-
tung pada daerah rawan tsunami yang akan ditinjau. Oleh
karena itu, dalam melakukan upaya mitigasi, perlu dipertim-
bangkan faktor fisik, lingkungan, dan sosial budaya. Pelaksa-
naannya juga harus melibatkan berbagai instansi terkait.

Mitigasi nonfisik
Mitigasi nonfisik yang perlu segera dilakukan adalah
pembuatan peta rawan tsunami. Langkah berikutnya mela-
kukan sosialisasi, penyadaran, pelatihan, geladi (drill), dan
memberikan penyuluhan tentang berbagai hal yang terkait
dengan tsunami, mulai dari gejala atau ciri-ciri tsunami,
dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamat-
kan diri.
Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok
daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat
penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu
dilakukan dengan cara yang lebih menarik.
Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang
benar-benar merakyat, seperti pengajian akbar, wayang

 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


(golek, orang, atau kulit, Cenk Blonk), ketoprak, dangdut,
teater rakyat atau kesenian daerah yang lain. Melalui cara
penyampaian yang berakar pada budaya mereka sendiri,
tsunami bisa dengan mudah mereka pahami.
Pengalaman Departemen Kelautan dan Perikanan
dalam melakukan sosialisasi bencana gempa dan tsunami
di berbagai daerah melalui media hiburan perlu terus
digalakkan. Bukan apa-apa, daya tarik hiburan semacam ini
bisa menjadi magnet bagi ribuan warga.

“Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan


untuk mengurangi korban jiwa akibat
tsunami? Ada dua upaya yang bisa
dilakukan adalah dengan melakukan
mitigasi tsunami, baik secara fisik
maupun nonfisik.”
Di tengah-tengah hiburan itulah kita bisa menyampaikan
penjelasan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh
mereka tentang bencana gempa dan tsunami. Dengan
demikian, mereka bisa mengenal gejala, karakteristik, ciri-
ciri, dan dampak gempa dan tsunami. Dari sini mereka
mendapat pengetahuan mengenai cara-cara menyelamatkan
diri dari bencana itu.
Agar sosialisasi tersebut lebih menyentuh nurani me-
reka, juru penyuluh bisa menambahkan materi nilai-nilai ke-
agamaan yang menerangkan hubungan di antara manusia,

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 


alam, dan lingkungannya.
Harus diakui, kita masih sangat lemah soal sosialisasi.
Lihat saja faktanya, pemahaman masyarakat terhadap
tsunami masih minim. Akibatnya, setiap tsunami selalu
menelan banyak korban jiwa dan harta benda.
Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut
seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang
menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama
setelah itu mereka menjadi korban keganasan tsunami.
Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum
memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang
mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika pesisir utara
Kabupaten Serang dilanda rob. Mereka yang tinggal di pe-
sisir berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk me-
nyelamatkan diri menghindari tsunami.
Padahal, secara ilmiah, tsunami hanya terjadi apabila
ada faktor pemicu, seperti gempa bumi di laut, meletusnya
gunung api di laut, atau longsoran tanah di laut. Seperti
pepatah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Selain mereka
menjadi korban meninggal, pingsan, dan luka-luka saat
melarikan diri, rumah yang mereka tinggalkan juga kerap
menjadi sasaran penjarah oleh oknum yang memang ingin
mengail di air keruh.
Perlu dicatat, tidak semua gempa bumi di laut menye-
babkan tsunami. Tsunami terjadi apabila gempa di dasar laut
memiliki kekuatan lebih dari 6,5 skala Richter, pusat gempa-
nya termasuk dangkal (kurang dari 60 kilometer dari dasar
laut), dan sesar yang terjadi merupakan sesar naik dengan
deformasi vertikal dasar laut relatif besar. Itulah mengapa

 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


gempa bumi Tasikmalaya tidak menimbulkan tsunami. Jadi,
kalau ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, jangan panik,
tsunami tak akan terjadi.
Mitigasi secara nonfisik lainnya perlu dilakukan, seper-
ti memberlakukan peraturan perundangan dan tata ruang
yang aman. Pemerintah daerah harus konsisten dalam me-
negakkan peraturan dan tata ruang. Artinya, kalau memang
kawasan itu dianggap rawan tsunami, janganlah sekali-seka-
li memanfaatkan kawasan tersebut untuk ruang usaha atau
peruntukan lainnya.
Siapa pun yang melanggar, wajib dikenai sanksi. Sebab,
kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami mener-
jang, korban berjatuhan semakin tinggi akibat banyaknya
manusia yang beraktivitas di sana.

Mitigasi secara fisik


Di daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu-
payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya,
yaitu dengan menanam berbagai pohon, seperti mangrove,
cemara laut, waru laut, dan ketapang, disesuaikan dengan
kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah dilakukan,
murah, dan terbukti efektif dalam meredam kekuatan tsu-
nami yang menjalar hingga ke daratan.
Selain itu, benda-benda yang berada di pantai, seperti
kapal dan perahu, juga bisa tertahan oleh vegetasi ini sehing-
ga jumlah korban dan kerusakan bangunan bisa diperkecil.
Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami
dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas.
Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 


Gambar 4.1 Vegetasi tanaman di pinggir pantai berfungsi meredam
kekuatan tsunami.

terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa


atau pohon lain yang banyak berjajar di pantai. Caranya,
lubangi batang tersebut secukupnya sehingga bisa memu-
dahkan manusia memanjat pohon ketika tsunami terjadi.
Pada ketinggian tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau
lonceng sebagai alat bantu untuk minta pertolongan atau
memberikan peringatan kepada masyarakat.
Selain itu, di sepanjang daerah rawan tsunami juga bisa
saja dibuat prasarana dan sarana pengendali, seperti mem-
bangun tembok laut (sea wall) atau pemecah gelombang
(break water). Cara ini memang butuh ongkos tinggi.
Namun, biaya untuk membuat tembok laut tersebut ti-
dak ada artinya dibandingkan dengan aset-aset vital bernilai
ekonomi tinggi yang ingin dilindungi, seperti kilang minyak,
industri padat modal, dan kawasan strategis lainnya. Di

10 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


beberapa kawasan pantai Jepang, mereka juga memben-
tenginya dengan tembok sampai pada ketinggian yang su-
dah tidak terjangkau lagi oleh tsunami.
Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat
sehingga tahan terhadap guncangan gempa. Rumah pang-
gung, baik terbuat dari kayu maupun beton, bisa menjadi
alternatif karena tidak mudah roboh akibat terjangan tsuna-
mi. Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan
pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran tsunami.
Di tempat-tempat yang jauh dari bukit dan penduduknya
padat perlu dibuat selter (shelter). Bangunan ini sebaiknya
bertingkat dan terbuat dari beton yang kokoh sehingga tahan
terhadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, selter

Gambar 4.2 Bukit berfungsi sebagai tempat evakuasi ketika terjadi


tsunami juga dapat melindungi tanaman dari uap air laut.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 11


bisa dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan,
tempat rekreasi, dan lain-lain. Namun, ketika tsunami, selter
bisa dipakai sebagai tempat berlindung.
Jika lahan terbukanya luas tetapi tidak punya bukit,
bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya untuk
menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu
terjadi tsunami. Bukit tersebut bisa dibuat dari urukan
tanah dengan sistem terasering sehingga dapat diakses dari
berbagai arah.
Tinggi selter dan bukit buatan itu disesuaikan dengan
tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjangkau lokasi
tersebut. Usahakan bukit dan selter tersebut bisa ditempuh
oleh warga dalam waktu kurang dari 15 menit.
Melalui berbagai upaya mitigasi secara nonfisik dan
fisik seperti itu, niscaya kita lebih arif dan bijaksana dalam
menghadapi setiap tsunami. Dengan begitu, ke depan kita
senantiasa bisa hidup akrab dengan tsunami yang setiap kali
mengintai.

ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 8 September 2009.

12 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


3
Mitos-Mitos Tsunami

M
engapa jumlah korban tsunami Jepang 2011
relatif kecil? Salah satu faktornya adalah karena
masyarakat Jepang memiliki pengetahuan tsu-
nami yang sangat baik. Hal ini berbeda dengan di Indonesia,
Thailand, dan Sri Lanka yang minim pengetahuan sehingga
menelan lebih banyak korban.
Pengetahuan yang baik tentang tsunami akan membantu
kita selamat dari amukan si gelombang pembunuh. Lalu,
apa mitos-mitos yang selama ini berkembang di masyarakat
yang membuat mereka menjadi korban, termasuk juga di
Jepang pada tempo dulu?

Mitos Keliru
Mitos pertama adalah tsunami terjadi akibat gempa
yang kuat, sebagaimana anggapan masyarakat Mentawai.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 13


Pengetahuan ini diperoleh dari pengalaman gempa Bengkulu
(2007). Gempa tersebut terasa kuat hingga ke Mentawai,
namun tsunami tak terjadi di Mentawai.
Memori inilah yang melekat di benak mereka ketika 25
Oktober 2010 Mentawai digoyang gempa dan getarannya
lemah. Mereka pun merasa tenang-tenang saja dan tidak
melakukan evakuasi. Sekitar 14 menit setelah gempa, tsu-
nami menyapu mereka yang tak sigap. Fakta menunjukkan,
hampir 10 persen tsunami yang terjadi di dunia diakibatkan
oleh gempa bumi di laut yang getaran gempanya terasa le-
mah.
Mitos kedua adalah tsunami didahului laut surut
secara mendadak. Ketika terjadi tsunami 2004, sebagian
masyarakat Sri Lanka memiliki mitos bahwa tsunami akan
didahului laut surut secara mendadak. Ternyata mereka
keliru, tsunami langsung menyapu kawasan pesisir, tidak
didahului oleh laut surut mendadak.
Akibatnya, banyak korban berjatuhan. Fakta menunjuk-
kan, hampir 10 persen tsunami di dunia tidak didahului laut
surut mendadak. Hal ini juga terjadi di Papua akibat tsunami
Jepang 2011.
Mitos ketiga adalah tsunami tidak terjadi ketika getaran
gempanya kuat, di musim dingin, dan langit yang cerah. Pada
15 Juni 1896 saat terjadi gempa, langit di Sanriku (Jepang)
berawan tebal dengan cuaca sangat panas dan lembab.
Getaran gempa terasa sangat lemah. Setelah itu, Sanriku
disapu tsunami dahsyat setinggi 38 meter.
Berdasarkan peristiwa tersebut, masyarakat lalu mem-
buat persepsi sendiri: “Jika getaran gempanya lemah maka

14 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


tsunami yang terjadi besar, dan tsunami terjadi pada musim
panas ketika udara lembab dan hujan.” Ketika pengetahuan
ini diceritakan turun-temurun maka berkembanglah mitos
baru yang yang keliru: “Apabila getaran gempanya kuat
maka tsunami yang terjadi lemah (kecil), tsunami tidak ter-
jadi pada musim dingin, dan tsunami tidak terjadi di hari
cerah.”
Kemudian pada 3 Maret 1933, Sanriku dihentak gempa
kuat pada musim dingin dengan cuaca cerah. Apa yang
terjadi? Masyarakat yang menganut mitos keliru tadi tidak
melakukan evakuasi. Mereka yakin, tsunami tidak terjadi
ketika getaran gempanya kuat, di musim dingin, dan langit
yang cerah. Akibatnya korban pun berjatuhan.
Padahal tsunami dapat terjadi pada gempa yang lemah
atau kuat dengan berbagai kondisi cuaca apa pun. Syarat
terjadinya tsunami adalah gempa di laut berkekuatan
lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya kurang dari 60 km, dan
mengalami deformasi vertikal dasar laut yang cukup besar.
Mitos keempat, gelombang pertama tsunami meru-
pakan gelombang terbesar. Akibat mitos keliru ini seorang
warga Holtekamp Jayapura menjadi korban tsunami Jepang
2011. Setelah gelombang pertama setinggi satu meter yang
menghantam Holtekamp pukul 21.15 WIT berlalu, dia ber-
maksud kembali ke rumah.
Tetapi apa daya, ia dihantam gelombang kedua setinggi
2-3 meter yang datang pada pukul 21.50 WIT. Fakta
menunjukkan, tsunami terdiri dari 1- 5 gelombang dengan
gelombang ke-2 atau ke-3 yang terbesar.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 15


Kearifan Lokal
Lalu apa kiat agar selamat dari tsunami? Belajar dari
kearifan lokal adalah hal yang penting. Masyarakat di Pulau
Simelue sudah lama memiliki tradisi smong, segera angkat
kaki ketika merasakan gempa yang terjadi di laut. Mereka
pun melakukan evakuasi menuju dataran tinggi agar tidak
tersentuh gelombang tsunami. Berkat smong itulah, kendati
kawasan pesisir Simelue luluh lantak disapu tsunami 2004
namun hampir semua masyarakatnya selamat.
Kearifan lokal Inamura no hi di Jepang juga menarik. Jauh
sebelum teknologi peringatan dini tsunami berkembang
seperti saat ini, seorang tokoh masyarakat, Hamaguchi,
punya kiat tersendiri. Di kegelapan malam, pada tahun
1854, kawasan Wakayama digoyang gempa.
Ia merasakan ada sesuatu yang ganjil, namun tak mung-
kin memberi tahu kepada semua penduduk pantai melaku-
kan evakuasi. Dalam sekejap, ia pun mengambil obor, menu-
ju bukit, lalu membakar sawah dan lumbung padi. Kondisi
ini memaksa penduduk berbondong-bondong ke bukit
untuk melihat kobaran api tersebut. Taktik Hamaguchi ber-
hasil. Begitu penduduk sampai di bukit, tsunami menyapu
perkampungan yang sudah ditinggalkannya itu. Mereka
akhirnya selamat dari terjangan tsunami.
Belajar dari berbagai kisah nyata tersebut, kita patut
membudayakan kearifan lokal. Dengan begitu, kita selalu
sigap dan dapat hidup tenang di bawah ancaman tsunami
yang setiap saat meneror dan membunuh siapa saja yang
lengah.

16 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


4
Hidup Bersama Gempa

R
entetan gempa merusak yang terjadi akhir-akhir ini
kian mempertegas, Indonesia merupakan kawasan
rawan gempa.Terakhir gempa Padang, Sumatera
Barat, Rabu (30/9/2009) sore, berkekuatan 7,6 skala
Richter, menghancurkan kota Padang dan Pariaman. Kamis
(1/10/2009) pagi, gempa mengguncang Jambi. Ratusan
orang tewas, ratusan tertimbun runtuhan rumah dan
bangunan, Bandara Internasional Minangkabau, Padang,
pun sempat ditutup.
Suka atau tidak, gempa bumi bakal muncul di daerah-
daerah yang rawan gempa. Hal ini tidak bisa dihindari
karena secara geologis, Indonesia ada pada pertemuan
tiga lempeng bumi: Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-
Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif, kecepatan dan
arah berbeda dalam kisaran beberapa sentimeter sampai 12

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 17


sentimeter per tahun.
Karena itu, mitigasi gempa penting dilakukan. Hingga
kini belum ada teknologi dan pakar yang dapat meramal
kapan gempa akan terjadi meski dibantu alat monitoring
tercanggih. Pengetahuan manusia baru sebatas pemahaman
wilayah yang berpotensi terhadap bahaya gempa.

Enam upaya
Sudah banyak korban berjatuhan. Setidaknya ada enam
upaya komprehensif dalam melakukan mitigasi gempa, baik
secara fisik/struktur maupun nonfisik/nonstruktur, guna
mengurangi korban jiwa dan kerusakan.
Pertama, program riset di bidang gempa. Riset dituju-
kan untuk mengetahui lokasi yang berpotensi terjadi gem-
pa; menganalisis dan membuat peta tingkat bahaya, keren-
tanan, dan risiko bencana; memilih teknologi mitigasi ben-
cana gempa yang tepat, efektif, dan efisien; serta memilih
teknologi retrofitting bangunan yang ada dan diperkirakan
tidak tahan gempa.
Kedua, membangun sistem peringatan dini yang andal,
baik secara struktur maupun kultur, mencakup jaringan
seismometer, global positioning system (GPS) pemantau
proses gempa bumi.
Ketiga, memberi pendidikan, pelatihan, penyadaran,
dan geladi bagi masyarakat dan petugas pelaksana penang-
gulangan bencana. Tujuannya, membangun kesiapsiagaan
masyarakat dan aparat pelaksana dalam melakukan mitigasi
gempa.
Keempat, membangun kesiapan pelaksanaan evakuasi

18 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


dan tanggap darurat dengan membuat jalur evakuasi,
membuat bangunan sebagai tempat berlindung, menyiapkan
sarana-prasarana untuk membantu korban dalam situasi
tanggap darurat, serta menyiapkan makanan di tempat yang
aman dan strategis bagi korban.
Kelima, meningkatkan kelembagaan dan tata laksana
koordinasi. Unsur ini memungkinkan pemerintah mena-
ngani aspek bencana dengan efektif, menggalang dan men-
dayagunakan sumber daya yang ada. Karena itu, pendirian
Badan Penanggulangan Bencana Daerah di Indonesia perlu
segera didorong.
Keenam, melaksanakan rencana pengembangan wilayah
dan pembangunan yang aman. Secara spasial atau keruang-
an, sebaran bahaya, elemen yang rentan, dan potensi risiko
yang ada dapat dituangkan dalam rencana pengembangan
wilayah.
Bagi kawasan berisiko gempa, pemerintah dapat mem-
beri pengarahan untuk kegiatan mitigasi. Rumah dan ba-
ngunan harus diretrofit, dibangun agar tahan gempa, dite-
rapkan building code ketat.

Rumah tahan gempa


Kita prihatin, tiap gempa menggoyang Indonesia,
banyak bangunan luluh lantak dan menimbulkan korban
jiwa. Sebenarnya gempa tidak membunuh. Yang membunuh
adalah bangunan yang roboh yang dientak gempa.
Masalahnya, konstruksi bangunan tidak tahan gempa.
Rumah dibangun seadanya. Material yang digunakan kurang
memenuhi syarat teknis. Faktanya, dinding tembok tidak

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 19


diperkuat sloop, balok lingkar, dan kolom praktis. Kalaupun
diperkuat dengan balok lingkar dan kolom beton, ukurannya
kurang memenuhi syarat.
Selain itu, antara fondasi, sloop, balok lingkar, dan kolom
praktis kurang tersambung dengan baik. Lalu, pada bagian
atap, terutama yang terbuat dari genteng, juga sering roboh
tak kuasa menahan guncangan gempa.
Faktor lain yang dapat menyebabkan kerusakan dan
keruntuhan bangunan adalah kurangnya pemeliharaan
bangunan. Akibatnya, bangunan mengalami pelapukan dan
tidak mampu menahan gempa.
Berdasarkan fenomena inilah mitigasi secara fisik yang
amat penting dilakukan adalah dengan membuat rumah
atau bangunan tahan gempa. Lebih baik membangun
bangunan yang kokoh walaupun ukurannya kecil daripada
membangun rumah yang besar tetapi rapuh. Setidaknya
ada 13 syarat untuk membuat bangunan tahan gempa, di
antaranya denah bangunan sebaiknya sederhana, simetris,
satu kesatuan, dan seragam.
Tidak lupa, buatlah fondasi di atas tanah yang mantap.
Fondasi itu diikat secara kaku dengan sloop. Lalu, kerangka
bangunan (sloop, kolom, balok keliling, dan lainnya) kokoh
terhubungkan.
Syarat lain, gunakan kolom pemikul (kayu, beton tulang,
dan baja) untuk setiap luas dinding 12 meter persegi yang
diikat sloop dan balok keliling. Jika menggunakan bata/
batako, harus bermutu baik.
Selain itu, dinding harus diberi angkur berukuran 6
mm panjang 50 cm untuk tiap 30 cm pasangan bata yang

20 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


mengelilingi tepi dinding. Ingat, konstruksi dinding sebaiknya
dari bahan ringan (bilik, papan, papan lapis, dan lainnya).
Bukaan-bukaan pada dinding sebaiknya simetris dan tidak
terlalu lebar.
Adukan semen pun perlu diperhatikan. Gunakan
adukan semen-pasir dengan campuran yang betul dan kuat.
Untuk beton gunakan semen, pasir, dan kerikil dengan rasio
campuran yang tepat.
Tak kalah penting, menggunakan balok keliling
(balok ring) dari kayu, beton, atau baja yang diikat kolom.
Konstruksi atap sebaiknya dari kayu kering dengan konstruksi
sambungan yang benar dan kuat.
Jangan gunakan penutup atap yang berat, tetapi
pakailah bahan ringan seperti seng, asbes, dan aluminium.
Dengan menerapkan keenam upaya mitigasi itu secara
komprehensif, niscaya kita bisa hidup akrab dengan gempa
yang terjadi setiap saat.

ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 2 Oktober 2009.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 21


5
Membangun Rumah,
Menahan Gempa

G
empa berkekuatan 7,6 skala Richter di Padang
Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (30/9/2009)
sore, dan 7,0 SR di Jambi pada Kamis (1/10/2009)
pagi harusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua.
Bukan apa-apa, gempa itu telah merusakkan segalanya.
Hanya dalam tempo sekejap, keindahan ranah Minang itu
meredup.
Lebih dari 800 orang tewas, ribuan terluka, dan ribuan
rumah ambruk, rata dengan tanah. Total kerugian ditaksir
lebih dari Rp 2 triliun. Daerah dengan dampak terbesar
adalah Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang
Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, dan
Kabupaten Pasaman Barat.
Menurut pengamatan penulis setelah melihat langsung

22 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


ke berbagai lokasi, konstruksi mayoritas rumah yang rusak
ternyata tidak memenuhi syarat teknis (non-engineered
housing).
Hancurnya rumah disebabkan beberapa hal. Di anta-
ranya, konfigurasi rumah. Ketidakteraturan denah meng-
akibatkan gaya puntir dan konsentrasi tegangan sehingga
menghancurkan bagian bangunan.
Selain itu, rumah yang roboh itu tidak memiliki kolom
praktis, balok keliling (ring balk), dan sloof. Tanpa hal-hal itu,
rumah mudah roboh atau ambles. Kalaupun ada, ukurannya
tidak memenuhi syarat.
Ketidaksempurnaan sambungan mengakibatkan ele-
men-elemen struktur tidak terikat baik. Mutu material, se-
perti bata, kayu, pasir, dan bahan beton yang rendah, juga
berdampak pada kualitas bangunan.
Jika kualitas pekerjaannya buruk—adukan beton salah,
campuran adukan salah, penyusunan bata sembarangan,
detail pembesian salah, sambungan kayu atau beton bu-
ruk, pengangkeran (anchoring) buruk, dan lain sebagainya,
rumah gampang roboh. Kurangnya pemeliharaan juga mem-
perlemah kekuatan bangunan.

Rumah ramah bencana


Berdasarkan fenomena tersebut, sudah saatnya kita
berbenah. Departemen Kelautan dan Perikanan telah
menginisiasi pembangunan rumah ramah bencana sejak
2006. Sampai 2008 telah dibangun sekitar 497 rumah di 18
kabupaten/kota. Rumah-rumah itu telah terbukti ampuh
dan tetap kokoh berdiri walaupun digoyang gempa. Di Kota

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 23


Pariaman dan Kabu-
paten Agam, misal-
nya, semua rumah itu
mampu bertahan.
Demikian juga
rumah ramah ben-
cana yang dibangun di
Kabupaten Pesisir Se-
latan. Rumah- rumah Gambar 2.1 Rumah panggung untuk
itu tahan terhadap daerah yang rawan tsunami.
gempa Bengkulu 7,4 SR, Rabu (12/9), dua tahun lalu.
Pada tahun 2009 sedang dibangun 2.236 unit rumah
nelayan ramah bencana di 55 kabupaten/kota. Di Kabupa-
ten Agam, dari 50 rumah yang sedang dibangun, 14 rumah
dindingnya roboh digoyang gempa Padang Pariaman. Pasal-
nya, dinding baru dikerjakan setinggi 1 meter dan kondisi-
nya masih basah. Kolom praktis belum dicor sehingga belum
ada ikatan yang baik antara dinding dan kolom praktis.
Ada dua tipe rumah yang dikembangkan, yakni non-
panggung dan panggung. Bagi daerah di luar rayapan tsu-
nami, rumah berbentuk nonpanggung. Adapun kawasan
yang rawan tsunami dengan kedalaman genangan tsunami
kurang dari 3 m dibuat rumah panggung.
Dibentuk panggung agar tsunami dapat leluasa lewat
sehingga mengurangi beban horizontal pada struktur. Di
hari biasa, lantai bawah dapat digunakan untuk santai,
parkir, kios, memperbaiki jaring, menimbang ikan, dan
lain sebagainya. Lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk
mengungsi saat tsunami.

24 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Denah bangunan sederhana, simetris, satu kesatuan,
dan seragam. Ukuran rumah rata-rata 27,5 meter persegi.
Arah bangunan dibuat sedapat mungkin sejajar dengan arah
penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus garis pantai
agar tekanan air ke bangunan lebih kecil.
Sloof dipasang di atas seluruh panjang fondasi untuk
mendukung dan meratakan beban tembok di atasnya dan
meneruskannya ke fondasi di bawahnya. Sloof juga berfung-
si mencegah naiknya air dari bawah ke atas tembok. Khusus
untuk rumah panggung, sloof dipasang untuk menghubung-
kan tiap-tiang panggung dan dapat berfungsi sebagai lateral
bracing (penguat horizontal) terhadap hantaman tsunami.
Kolom praktis dibuat untuk menguatkan tembok dan
tiang pendukung, dipasang dengan jarak maksimum 3 meter,
pada pasangan tembok lurus dan pertemuan-pertemuan
tembok. Balok keliling fungsinya untuk meratakan beban
kuda-kuda dan rangka atap, rangka plafon ke dinding, atau
kolom bawahnya.
Struktur rumah panggung diperhitungkan guna menga-
tasi benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang
terlempar ke pantai. Tiang rumah panggung sebaiknya dari
beton dan berbentuk silinder—agar bidang sentuhan dan
benturan dengan puing yang hanyut sekecil mungkin.
Fondasi rumah panggung berbentuk telapak (foot plate)
dan terhubung kuat dengan sloof dan tiang rumah. Fondasi
diletakkan 1,5 meter di bawah permukaan tanah agar
ketahanannya lebih baik, guna menahan gerusan akibat arus
air deras. Tsunami dapat menggerus tanah hingga sedalam
1,5 meter.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 25


Pola Bantul dan Klaten
Untuk membangun rumah tahan gempa dan tsunami
secara efisien dan efektif, kita layak meniru kegiatan
rekonstruksi rumah akibat gempa di Bantul dan Klaten,
model Java Reconstruction Fund (JRF).
Sekitar 6.080 rumah tahan gempa dibuat JRF tanpa
tender. Kontraktor tak dilibatkan. Masyarakat melaksanakan
dan mengawasi pembangunan rumahnya secara langsung.
Setiap kepala keluarga yang rumahnya roboh atau
rusak berat mendapat bantuan Rp 20 juta untuk membuat
rumah tahan gempa 21 m-27 m. Sebagian dari mereka
mengeluarkan uang pribadi untuk tambahan agar rumah
lebih cantik dan elok.
Agar proses pembangunan berjalan sesuai standar rumah
tahan gempa, mereka didampingi konsultan. Konsultan
pendamping mengawasi pelaksanaan pembangunan rumah,
mulai dari mutu material bangunan sampai teknik-teknik
pembuatan rumah. Konsultan digaji JRF.
Kini, para korban itu sudah menikmati rumah-rumah
tahan gempa tersebut. Hidup mereka jauh lebih tenang.
Lebih dari itu, tak ada uang bantuan yang bocor karena
berbagai hal.

ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 20 Oktober 2010.

26 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


6
Mampukah Meramal
Tsunami?

K
epanikan hebat melanda masyarakat Banda Aceh
ketika sirene sistem peringatan dini (early warning
system) tsunami berdering pada Selasa (5/6/2007)
pagi. Mereka berlarian mencari tempat aman agar terhindar
dari tsunami. Maklum, mereka masih trauma akibat tsunami
dahsyat yang pernah melanda kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD) Desember 2004.
Nyatanya memang tidak ada gempa dan tsunami. Bukan
apa-apa, bunyi tersebut akibat dari kerusakan yang terjadi
pada alat pendeteksi tsunami.
Di tempat lain, isu-isu bakal terjadinya gempa dan tsu-
nami juga marak. Entah dari mana isu itu bertiup. Yang jelas
kini masyarakat di kawasan pesisir menanti penuh cemas
akan hadirnya bencana alam tersebut.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 27


Isu-isu semacam itu jelas menyesatkan. Betapa tidak,
saat ini belum ada satu teknologi pun yang dapat meramalkan
tanggal dan tempat kejadian gempa dan tsunami secara
pasti. Jangankan dalam hitungan tahun dan bulan. Dalam
bilangan hari pun belum ada ahli yang mampu meramalkan
tsunami.
Sejarah mencatat, sejak 1600 hingga Mei 2007, 108
tsunami melanda kawasan pesisir Indonesia. Artinya, tsunami
menghampiri kita setiap sekitar empat tahun. Seringnya
tsunami itu tidak terlepas dari letak Indonesia yang memang
secara alami merupakan daerah pertemuan tiga lempeng
(triple junction plate convergence) yakni Eurasia, Samudra
Pasifik, dan Indo-Australia. Ketiga lempeng itu bergerak aktif
dengan kecepatan dan arah yang berbeda, yaitu bergerak
relatif ke barat dan ke utara terhadap Eurasia.
Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia meru-
pakan daerah yang secara tektonik sangat labil di dunia. Ka-
wasan itu juga terkenal sebagai salah satu pinggiran benua
yang sangat aktif di muka bumi. Dibandingkan dengan gem-
pa di Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi
gempa 10 kali lipatnya.
Proses terjadinya tsunami tidak terlepas dari teori tek-
tonik lempeng yang berkembang pesat pada akhir 1960-an.
Teori ini mengasumsikan bahwa interior bumi tersusun dari
empat lapisan; litosfer, astenosfer, mesosfer, dan inti bumi.
Litosfer merupakan lapisan terluar bumi. Lapisan ini ter-
letak pada kedalaman kira-kira sampai 100 km. Sementara
itu, astenosfer berada pada kedalaman 100 - 700 km. Beri-
kutnya, mesosfer dengan kedalaman 700 – 2.900 km dan

28 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


inti bumi berkedalaman 2.900 – 6.370 km. Lapisan astenos-
fer dan mesosfer disebut sebagai mantel bumi.
Teori tektonik lempeng mengasumsikan bahwa litosfer
terdiri dari materi agak cair dan plastis yang dapat mengalir
di bawah pengaruh suatu tegangan. Dengan demikian, seo-
lah-olah litosfer mengambang di atas mantel bumi.
Menurut teori ini, litosfer terpecah belah menjadi be-
berapa bagian yang kemudian disebut lempeng bumi. Se-
tidaknya, terdapat enam lempeng besar; Eurasia, Pasifik,
Amerika, Indo-Australia, Afrika, dan Antartika. Keenam lem-
peng tersebut bergerak dengan arah dan kecepatan yang
berbeda.
Pergerakan lempeng ini disebabkan adanya arus konveksi
yang ditimbulkan oleh bergeraknya aliran panas dari perut
bumi. Atenosfer, lapisan bawah litosfer, merupakan batuan
setengah cair, akibat adanya arus konveksi yang terjadi di
dalam astenosfer menyebabkan atenosfer bergerak. Dapat
dimaklumi apabila litosfer yang berada di atasnya juga
bergerak. Pergerakan ini menimbulkan gesekan yang dapat
menyebabkan gempa bumi.
Terjadinya gempa diperkirakan sudah ada sejak planet
bumi kita terbentuk. Akan tetapi catatan sejarah menunjuk-
kan, manusia baru bisa melaporkan pertama kali terjadinya
gempa sekitar tahun 1800 SM.
Lalu bagaimana tsunami terjadi? Menurut Prof. Yoshiaki
Kawata, Direktur DPRI (Disaster Prevention Research Insti-
tute), Universitas Kyoto, terjadinya tsunami disebabkan oleh
pergerakan air dalam volume besar secara vertikal. Perge-
rakan itu disebabkan tiga hal.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 29


Pertama, apabila terjadi gempa di dasar laut yang
berkekuatan lebih dari 6,5 SR, pusat gempanya termasuk
dangkal kurang dari 60 km dari dasar laut, dan sesar yang
terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal
dasar laut relatif besar.
Secara alami, wilayah Indonesia termasuk daerah
yang rawan tsunami yang diakibatkan oleh gempa dasar
laut. Bukan apa-apa, di situlah tempat bertemunya empat
lempeng besar; Eurasia, Indo-Australia, Samudra Pasifik,
dan Filipina. Keempat lempeng itu terus bergerak dalam
arah dan kecepatan yang berbeda. Lempeng Indo-Australia
di bagian selatan dan barat Sumatera misalnya, bergerak
rata-ata 6 cm per tahun.
Lempeng Samudra Indo-Australia tersebut bergerak
terus-menerus menghunjam lempeng benua Eurasia
(Gambar 6.1a). Bagian ujung dari lempeng benua Eurasia
tertarik turun secara berangsur-angsur dan terus-menerus
sehingga terjadi akumulasi tegangan (Gambar 6.1b).
Akibat akumulasi tegangan yang mencapai batasnya
maka terjadi gempa dan ujung lempeng benua Eurasia
melenting ke atas. Pergerakan vertikal ujung lempeng
benua Eurasia ini menimbulkan gangguan impulsif medium
laut yang dapat menyebabkan terjadinya tsunami (Gambar
6.1c).
Penyebab kedua, adanya tanah longsor. Sebuah gelom-
bang tsunami dapat saja ditimbulkan oleh sebuah tanah
longsor yang berawal dari atas permukaan laut (sea level)
dan kemudian turun masuk ke dalam laut, atau oleh sebuah
tanah longsor yang terjadi seluruhnya di bawah air.

30 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


a b c

Gambar 6.1. Proses terjadinya tsunami akibat gempa bumi bawah


laut.

Penyebab ketiga, letusan gunung berapi. Contoh konkret


adalah tsunami hebat yang pernah terjadi ketika Gunung
Krakatau meletus pada 1883.
Berdasarkan catatan, selama periode tahun 1600 sam-
pai 2006 terjadi sekitar 108 tsunami. Dari jumlah itu, sekitar
90% di antaranya disebabkan gempa tektonik, 9% akibat le-
tusan gunung api, dan hanya 1% dipicu oleh tanah longsor.
Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami
tersebar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan
Pulau Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau
Nusa Teggara, Maluku, pantai utara Papua, serta hampir
seluruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara.
Hingga kini, sekitar 35 peristiwa tsunami menghantam
pesisir di laut Banda yang meliputi Flores, Timor, Kepulauan
Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram, dan Pulau Buru. Selan-
jutnya, 32 peristiwa tsunami menerjang pesisir yang berada
di Laut Maluku termasuk Sangihe dan Halmahera.
Bukan hanya itu. Sekitar 18 kejadian tsunami melanda
pantai barat Sumatera. Sementara itu, pantai selatan Jawa,

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 31


Bali, pantai utara dan selatan Lombok, Sumbawa, serta
Sumba pernah dihantam 11 kali tsunami. Lalu, Selat Makasar
pernah diterjang 9 kejadian tsunami. Sedangkan pesisir
sebelah utara Papua pernah dihantam 3 kali tsunami.

Meramal Tsunami
Lalu, mampukah kita meramal tsunami? Mengingat
mekanisme terjadinya gempa dan tsunami sangat kompleks
dan rumit maka hingga kini tsunami sulit diramalkan baik
dalam hitungan hari, minggu, bulan, maupun tahun. Yang
dapat dilakukan adalah mendeteksi terjadinya tsunami.
Ada beberapa langkah yang dilakukan untuk mendeteksi
terjadinya tsunami. Tahap awal adalah dengan menentukan
lokasi sumber gempa bumi secara cepat dan tepat. Lalu,
perlu juga menganalisis apakah gempa bumi itu berpotensi
menimbulkan tsunami. Terakhir mengonfirmasi kejadian
tsunami dengan hasil pengamatan permukaan laut.
Apabila dikehendaki informasi dini tsunami dapat disam-
paikan dalam lima menit pertama, maka parameter gempa
bumi (waktu kejadian, lokasi, kedalaman, dan magnitude)
harus mampu ditentukan dalam tiga menit pertama. Berda-
sarkan persyaratan ini dapat dirancang konfigurasi stasiun
seismograf untuk suatu wilayah tertentu dengan memper-
hatikan sifat dan dinamika tektonik di sekitarnya.
Rancangan ini akan menunjukkan jumlah stasiun yang
harus dipasang dan sistem komunikasi data yang harus
digunakan. Untuk mendapatkan parameter gempa bumi
dengan cepat dan tepat dibutuhkan dua sistem pengolah
dan analisa data; otomatis dan interaktif.

32 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Sistem otomatis diperlukan agar hasil analisa diperoleh
dengan cepat. Namun karena kualitas data bervariasi maka
ketepatan hasil analisa perlu dievaluasi dengan cara inter-
aktif. Teknik interaktif memerlukan waktu yang relatif lebih
lama sehingga dapat digunakan sebagai konfirmasi.
Hasil analisa otomatis harus dievaluasi untuk menge-
tahui apakah gempa bumi yang terjadi berpotensi menim-
bulkan tsunami. Artinya, setidaknya ada empat syarat; pusat
gempa bumi berada di dasar laut, kedalaman gempa bumi
kurang dari 60 km dari dasar laut, magnitude gempa bumi
lebih besar dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi vertikal dasar
laut yang besar.
Jadi, jika ketiga syarat itu terpenuhi maka peringatan dini
tsunami segera dibuat. Sebelumnya ratusan ribu simulasi
tsunami dapat dilakukan dan hasilnya disimpan sebagai

”Setidaknya ada empat syarat


apakah gempa bumi yang terjadi
berpotensi menimbulkan tsunami;
pusat gempa bumi berada di dasar
laut, kedalaman gempa bumi
kurang dari 60 km dari dasar laut,
magnitude gempa bumi lebih besar
dari 6,5 SR, dan terjadi deformasi
vertikal dasar laut cukup besar.”

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 33


database komputer terlebih dahulu. Begitu hiposenter dan
magnitude gempa bumi diketahui maka tinggi gelombang
tsunami dapat dengan mudah dihitung komputer tersebut
hanya dalam satu detik dan dikirimkan ke daerah rawan
tsunami. Selanjutnya, informasi semacam ini disampaikan
kepada aparat berwenang dan media massa agar segera
disiarkan kepada masyarakat pesisir.
Informasi dini itu harus dievaluasi lagi dengan data
hasil pengamatan perubahan permukaan air laut. Data ini
diperoleh dari sistem pengamatan pasang surut laut atau
peralatan lainnya.
Jika hasil pengamatan permukaan air laut mengindika-
sikan adanya tsunami, peringatan harus segera disebarluas-
kan. Sebaliknya bila tidak ada tanda-tanda perubahan per-
mukaan air laut, maka peringatan dini dapat dibatalkan.
Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif
jika mekanisme komunikasi dan diseminasi hasil pemantauan
terjadinya aktivitas gempa bumi dapat diterima masyarakat
secara lansung. Dengan cara ini, kepanikan berlebihan tidak
perlu terjadi. Dan yang lebih penting lagi, jika tsunami benar-
benar terjadi, jumlah korban bisa diminimalkan.

ctd
Artikel ini dimuat di Media Indonesia edisi 10 Juni 2007.

34 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


7
Mitigasi Hindarkan Korban
Gempa dan Tsunami

R
asanya belum pudar dalam ingatan kita ketika
gempa dan tsunami dahsyat menghancurkan pesisir
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada 26 Desember
2004. Senin (17/7/2006) sore giliran pantai selatan Pulau
Jawa digoyang gempa dan diterjang tsunami. Ratusan orang
meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan
rumah hancur akibat bencana alam tersebut.
Indonesia berduka. Rentetan gempa berkekuatan 6,8
skala Richter (SR) lalu diikuti gempa susulan 6,1 SR yang
berpusat di Samudra Hindia (9,4o Lintang Selatan dan 107,2o
Bujur Timur) itu melumat kawasan pesisir di Tasikmalaya,
Pangandaran, Ciamis, Cilacap, Kebumen, dan Yogyakarta.
Walaupun korbannya hanya sedikit, lagi-lagi Yogyakarta

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 35


berduka karena sebelumnya mereka juga dihantam gempa
berkekuatan 5,9 SR.
Dibandingkan dengan gempa dan tsunami di NAD,
bencana Senin sore itu terbilang masih lebih ringan. Bukan
apa-apa, gempa yang berpusat pada kedalaman 30 km
itu hanya diikuti tsunami dengan ketinggian run-up yang
bervariasi kurang dari 10 m.
Benar, syarat terjadinya tsunami antara lain adalah
adanya gempa akibat tumbukan lempeng Indo-Australia
dengan Eurasia yang berkekuatan lebih dari 6,5 SR dan pusat
gempanya termasuk dangkal, kurang dari 60 km, sesar yang
terjadi merupakan sesar naik dengan deformasi vertikal
dasar laut relatif besar. Itulah sebabnya, gempa Yogyakarta
tempo hari tidak diikuti tsunami.
Tentu saja kawasan paling parah terkena tsunami adalah
dataran landai. Apalagi kalau pantainya berbentuk teluk dan
mempunyai tanjung seperti di Pangandaran, energi tsunami
menjadi lebih kuat dibandingkan dengan pantai terbuka.
Dengan topografi seperti itu, energi yang dihempaskan
semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai
tersebut. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut
lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit.
Disamping itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga
akan terkonsentrasi di ujung tanjung sebagai akibat dari
proses refraksi gelombang tsunami.
Kondisi ini akan sangat tidak menguntungkan jika
topografi pantainya landai dan tanpa tanaman pelindung
seperti hutan mangrove, kelapa, waru, atau hutan pantai
lainnya. Bukan apa-apa, gelombang tsunami yang besar

36 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


baik ketinggian maupun kecepatannya akan dengan leluasa
menyusup ke daratan dan menghancurkan apa saja yang
dilaluinya.
Bisa dibayangkan kalau tempat yang landai itu dipakai
untuk perkampungan nelayan atau kawasan industri. Prak-
tis, ketika tsunami menerjang kawasan tersebut maka yang
terjadi adalah kerusakan parah. Semua bangunan yang be-
rada di dataran rendah tersapu habis oleh gelombang tsu-
nami.
Ironisnya, pelabuhan-pelabuhan perikanan dan per-
hubungan juga sering dibangun di ketiak-ketiak suatu teluk
atau di dekat muara sungai. Maklum, pelabuhan yang be-
rada di teluk akan lebih mudah bagi nahkoda untuk menam-
batkan kapalnya. Sebaliknya, pelabuhan yang berhadapan
langsung dengan laut luas semakin sulit bagi kapal-kapal
yang akan bersandar.

Upaya Mitigasi
Lalu bagaimana sikap kita menghadapi gempa dan
tsunami yang bertubi-tubi itu? Jelas bahwa manusia tak
mampu mencegah bencana alam karena kekuatan dan
ukurannya teramat besar. Yang bisa dilakukan hanyalah
mengurangi dampak dari bencana tersebut (mitigasi).
Di Jepang misalnya, upaya mitigasi itu mampu menye-
lamatkan manusia dan harta-benda lainnya. Hal itu sangat
berbeda dibandingkan dengan Indonesia. Terlihat, setiap
ada bencana disambut dengan kepanikan. Setelah itu ma-
syarakat lainnya beramai-ramai memberikan sumbangan
pangan kepada para korban.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 37


Sebaliknya, upaya mitigasi bencananya masih minim.
Padahal di sinilah kuncinya. Jumlah korban akan sangat ter-
gantung dari sampai sejauh mana kita menyiapkan tindakan
preventif guna meminimalkan dampak negatifnya. Jadi, ti-
daklah berlebihan kalau mitigasi merupakan investasi jang-
ka panjang bagi kesejahteraan umat manusia.
Banyak cara bisa dilakukan untuk melindungi kawasan
pesisir dari terjangan tsunami. Idealnya, menggunakan miti-
gasi yang komprehensif, yakni dengan mengombinasikan
secara fisik dan nonfisik.
Upaya fisik yang per-
“Banyak cara lu dilakukan juga bera-
gam, tergantung kemam-
bisa dilakukan puan daerah dan kondisi
untuk melindungi kawasan pesisirnya. Arti-
kawasan pesisir nya, di sepanjang daerah
rawan tsunami bisa saja
dari terjangan dibuat prasarana dan
tsunami. Idealnya, sarana pengendali seper-
menggunakan ti dengan membangun
tembok laut (sea wall)
mitigasi yang
atau pemecah gelom-
komprehensif, bang (break water).
yakni dengan Cara ini memang
mengombinasikan butuh ongkos tinggi. Na-
mun biaya untuk mem-
secara fisik dan buat tembok laut terse-
nonfisik.” but tidak ada artinya
dibandingkan dengan

38 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


aset-aset vital bernilai ekonomi tinggi yang ingin dilindungi
seperti kilang minyak, industri padat modal, dan kawasan
strategis lainnya. Di beberapa kawasan pantai Jepang juga
membentenginya dengan tembok sampai pada ketinggian
yang sudah tidak terjangkau lagi oleh tsunami.
Bagi kawasan lainnya bisa melindunginya dengan mena-
nam berbagai pohon seperti mangrove, cemara laut, waru
laut, dan lain-lain. Upaya ini tergolong murah dan terbukti
efektif dalam meredam kekuatan tsunami yang menjalar
hingga ke daratan.
Selain itu, benda-benda yang berada di pantai seperti ka-
pal dan perahu bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga jum-
lah korban dan kerusakan bangunan lainnya bisa diperkecil.
Banyak warga juga tertolong nyawanya dari sapuan tsunami
dengan cara berpegangan di pohon lalu naik ke atas.
Rumah penduduk juga harus memiliki struktur kuat
sehingga tahan terhadap goncangan gempa. Rumah pang-
gung baik terbuat dari kayu maupun beton bisa menjadi al-
ternatif karena tidak mudah roboh oleh terjangan tsunami.
Usahakan arah orientasi bangunan tegak lurus dengan garis
pantai sehingga sejajar dengan arah penjalaran gelombang
tsunami.
Di tempat-tempat yang jauh dari bukit dan penduduknya
padat, perlu dibuat shelter. Bangunan ini sebaiknya berting-
kat dan terbuat dari beton yang kokoh sehingga tahan ter-
hadap gempa dan tsunami. Pada hari-hari biasa, shelter bisa
dimanfaatkan sebagai tempat sekolah, pertemuan, tempat
rekreasi dan lain-lain. Namun ketika tsunami, shelter bisa
dipakai sebagai tempat berlindung.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 39


Jika lahan terbukanya luas namun tidak punya bukit,
bisa dibangun bukit buatan (artificial hill). Tujuannya, untuk
menyelamatkan diri atau sebagai tempat evakuasi sewaktu
terjadi tsunami. Bukit ini bisa dibuat dari urugan tanah de-
ngan sistem terasering sehingga dapat diakses dari berbagai
arah.
Tinggi shelter dan bukit buatan itu disesuaikan ber-
dasarkan tinggi maksimum kemungkinan tsunami menjang-
kau lokasi tersebut. Usahakan bukit dan shelter tersebut
bisa ditempuh oleh warga kurang dari 15 menit.
Tak kalah pentingnya adalah mitigasi secara nonfisik
seperti memberlakukan peraturan perundangan dan tata
ruang yang aman, memberikan pendidikan dan pelatihan,
serta menyadarkan masyarakat. Pemda harus konsisten
dalam menegakkan peraturan dan tata ruang. Artinya,
kalau memang kawasan tersebut dianggap rawan tsunami,
janganlah sekali-sekali memanfaatkan kawasan tersebut
untuk ruang usaha atau peruntukan lainnya.
Siapa pun yang melanggar, wajib dikenakan sanksi.
Sebab kalau mereka dibiarkan begitu saja, ketika tsunami
menerjang maka korban berjatuhan semakin tinggi akibat
banyaknya manusia yang beraktivitas di sana.
Masyarakat juga perlu mendapat pendidikan dan pela-
tihan terkait dengan gempa dan tsunami. Harus diakui,
kita masih sangat lemah dalam soal ini. Lihat saja faktanya,
pemahaman masyarakat terhadap tsunami masih minim.
Akibatnya, setiap tsunami selalu menelan banyak korban
jiwa dan harta benda lainnya.
Masyarakat masih lalai ketika melihat air pantai surut

40 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


seketika. Mereka malah asyik memungut ikan-ikan yang
menggelepar di pasir yang kering. Apa boleh buat, tak lama
setelah itu, mereka menjadi korban keganasan tsunami.
Begitu juga soal sosialisasi yang masih terasa belum
memasyarakat. Kita amat prihatin melihat masyarakat yang
mudah terkena isu. Hal itu terlihat jelas ketika Yogyakarta
dilanda gempa bumi. Dalam kepanikan itu mereka yang
tinggal di daerah yang sangat tinggi dan sangat jauh dari
pantai berbondong-bondong meninggalkan rumah untuk
menyelamatkan diri menghindari tsunami.
Padahal, secara ilmiah, tsunami tidak akan melanda
daerah yang sangat tinggi dan jauh dari pantai. Jadilah
seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebab,
banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan akibat
kepadatan lalu lintas saat melarikan diri dan rumah mereka
yang ditinggalkan itu akhirnya dijarah oleh oknum yang
memang ingin mengail di air keruh.
Kedua sistem mitigasi secara fisik dan nonfisik itu bisa
saling melengkapi, tergantung pada daerah rawan tsunami
yang akan ditinjau. Oleh karena itu dalam melakukan upaya
mitigasi perlu mempertimbangkan faktor fisik, lingkungan,
dan sosial budaya. Pelaksanaannya juga harus melibatkan
berbagai instansi terkait.
Seberapa besar upaya itu tidak akan dapat membebaskan
masalah bencana alam secara mutlak. Dengan demikian,
kunci keberhasilannya terletak pada keharmonisan antara
masyarakat dan alam lingkungannya.
Masyarakat yang berada di dalam dan di luar kawasan
rawan bencana sangat besar perannya sehingga perlu di-

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 41


tingkatkan kesadaran, kepedulian, dan kecintaannya terha-
dap alam dan lingkungan hidup. Mereka juga perlu punya
disi-plin tinggi terhadap peraturan dan norma-norma yang
ada.

Digalakkan Sejak Dini


Beragam upaya mitigasi tersebut sewajarnya mulai
digalakkan sejak dini. Bukan apa-apa, Indonesia memiliki
kawasan rawan tsunami yang tersebar luas. Kawasan itu
meliputi pantai yang menghadap ke Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik serta yang menghadap ke laut dimana dua
lempeng bertemu atau terdapat sesar aktif di laut.
Berdasarkan kajian ilmiah, daerah rawan tsunami meli-
puti pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa dan
Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara,
pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya, dan hampir
seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah pal-
ing rawan tsunami. Pasalnya, sebanyak 31 persen dari total
tsunami di Indonesia terjadi di Laut Maluku.
Rekor tinggi run-up tsunami paling besar di Indonesia
yang tercatat dalam sejarah adalah pada tahun 1883. Ketika
itu tsunaminya berasal dari meletusnya Gunung Krakatau di
Selat Sunda dengan ketinggian run-up mencapai 41 meter.
Sekitar 36.000 jiwa melayang tersapu gelombang tsunami.
Dilihat dari jumlah korbannya, maka tsunami NAD pada
Desember 2004 lalu adalah yang tertinggi di Indonesia bahkan
dunia. Bayangkan, lebih dari 300 ribu orang meninggal dan
puluhan ribu lainnya hingga kini belum ditemukan akibat
diterjang tsunami. Menurut catatan, sepanjang tahun 1961

42 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


sampai 2006 ada sekitar 21 kejadian tsunami yang melanda
kawasan pesisir di Indonesia. Artinya tsunami menghampiri
pesisir Indonesia tiap 2,25 tahun sekali.
Untuk menangani bencana tidaklah cukup hanya de-
ngan memfokuskan tindakan pada saat dan setelah bencana
alam itu terjadi. Paradigma lama ini perlu ditambah dengan
penanganan sebelum bencana melalui pendekatan manaje-
men risiko dengan upaya-upaya pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan. Di Indonesia upaya pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan ini kadang-kadang disebut dengan mitigasi.
Pendekatan secara terpadu (manajemen risiko dan manaje-
men krisis) itu pada hakekatnya adalah menangani bencana
mulai dari sebelum, saat, hingga sesudah terjadi bencana.
Ibarat sebuah siklus, pengelolaan bencana tsunami itu
dimulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap
darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), serta
pemba-ngunan. Siklus itu saling terkait satu dengan yang
lainnya dan sama pentingnya dalam menghadapi gempa
dan tsunami.

ctd
Artikel ini dimuat Jurnal Nasional edisi 19 dan 20 Juli 2006.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 43


8
Saatnya Merevolusi Mitigasi
Gempa dan Tsunami

B
encana alam gempa dan tsunami akhir-akhir ini
datang silih berganti dalam periode yang relatif
cepat. Kita tidak tahu persis kenapa frekuensi ter-
jadinya gempa dan tsunami belakangan ini cenderung me-
ningkat dibandingkan dengan 50 tahun lalu. Berdasarkan
catatan, selama setengah abad itu kawasan pesisir Indone-
sia digoyang puluhan gempa merusak dan diterjang tsunami
sebanyak 21 kali.
Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi
fenomena alam yang tidak pasti kapan datangnya itu? Ti-
dak mudah memang mengelola bencana tersebut. Bukan
apa-apa, kesadaran masyarakat pesisir terhadap bencana
masih minim. Padahal, merekalah yang paling menderita
jika gempa dan tsunami menerjang. Rendahnya pemaham-

44 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


an masyarakat terhadap gempa dan tsunami itu mengaki-
batkan banyak korban dan kerugian saat diterjang bencana
alam ini.
Bencana alam tidak dapat dihilangkan karena kekuatan
dan ukurannya teramat besar. Kemampuan manusia hanya
sebatas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu
biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi
pengaruh atau dampak dari satu bahaya sebelum bencana
itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas
dari suatu kegiatan atau tindakan perlindungan.

Mengadopsi Revolusi Sanitari
Tahun 1990-an menjadi tonggak penting bagi upaya
mitigasi bencana. Betapa tidak, pada era itu PBB (Perserika-
tan Bangsa-Bangsa) mendeklarasikan sebagai Dekade Inter-
nasional untuk Pengurangan Dampak Bencana Alam.
Dekade mitigasi bencana tersebut tampaknya diadopsi
dari upaya mewujudkan kesehatan umum pada pertengah-
an abad ke-19 yang dikenal sebagai Revolusi Sanitari. Se-
perti diketahui, pada masa-masa sebelum abad itu penyakit
tuberkulosis, tipus, kolera, desentri, cacar, dan aneka penya-
kit lain menjadi penyebab utama kematian seseorang.
Pada saat pemahaman terhadap penyebab timbulnya
penyakit semakin meningkat, terutama lewat upaya para
ilmuwan dan ahli epideminologi pada abad ke-19, maka
insiden epidemi dan penyakit menjadi mudah dipahami.
Menjadi jelas bahwa penyakit dapat dicegah dan secara
berangsur-angsur konsep perlindungan terhadap penyakit
dapat diterima.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 45


Tindakan yang diperlukan untuk mengurangi risiko
penyakit memang memerlukan investasi besar. Sebab, ia
butuh infrastruktur misalnya membangun berbagai saluran
pembuangan air, jaringan penampungan air bersih, tempat
pembuangan sampah dan lain sebagainya.
Selain itu, setiap orang juga perlu melakukan perubah-
an-perubahan besar seperti berperilaku hidup bersih dan
sehat. Para ahli sejarah sosial menyebut, perubahan konsep
perlindungan terhadap penyakit itu sebagai Revolusi Sani-
tari.
Dari sinilah berbagai kemajuan di bidang kesehatan
terjadi seiring dengan adanya penemuan obat, perawatan,
vaksinasi, pencegahan, dan industri kesehatan. Berbagai pe-
nyakit mematikan seperti tuberkulosis, tipus, kolera, disen-
tri, dan cacar sudah bisa diantisipasi.

Wabah Penyakit
Lalu apa yang bisa dipetik dari perjalanan sejarah medis
tersebut? Sekilas fenomena bencana alam punya analogi
yang hampir sama dengan munculnya wabah penyakit
pada awal abad ke-19, yakni tidak dapat ditebak, menjadi
musibah, dan merupakan bagian dari risiko hidup sehari-
hari.
Namun “epideminologi bencana“ --suatu ilmu pengeta-
huan yang sistematis dari apa yang terjadi dalam suatu ben-
cana-- menunjukkan bahwa bencana itu sebagian besar bisa
dicegah. Ada banyak cara untuk mengurangi dan melakukan
mitigasi dari suatu kemungkinan bahaya atau kecelakaan.
Seperti halnya dalam melawan penyakit, kegiatan untuk

46 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


mengurangi bencana alam harus diperjuangkan oleh setiap
individu secara bersama-sama. Selain itu perlu juga mengu-
bah perilaku sosial dan memperbaiki kebiasaan setiap indi-
vidu agar memahami setiap bencana yang terjadi. Karena
itu mitigasi bencana harus berkembang lewat revolusi kese-
lamatan “budaya keamanan” untuk keselamatan publik.
Pemerintah seyogianya berinvestasi untuk membuat
infrastruktur baik buatan maupun alami yang lebih kuat dan
aman dari terpaan bencana. Di lain pihak, masyarakatnya
juga harus bertindak untuk melindungi diri mereka sendiri.
Contoh sederhana adalah dalam membangun rumah.
Sebisa mungkin carilah lokasi yang aman dari bencana ban-
jir, longsor, gempa, dan tsunami. Tindakan ini jauh lebih
murah ketimbang menyediakan dana besar untuk membuat
konstruksi pengendali bencana alam dan membangun ru-
mah yang kuat dari serangan bencana tersebut.
Oleh karena itu upaya mengintegrasikan mitigasi ben-
cana ke dalam kegiatan perencanaan pembangunan diha-
rapkan dapat melindungi aset dan hasil-hasil pembangunan
dari ancaman bencana. Tidak ada kata terlambat untuk
memperbaiki diri. Saatnya bagi kita melakukan revolusi
mitigasi bencana agar bisa hidup aman di kawasan yang me-
mang tidak aman.

ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 23 Agustus 2006.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 47


9
Mendesak, Mitigasi
Tsunami Berbasis
Masyarakat

S
udah puluhan kali tsunami menerjang berbagai
kawasan pesisir di Indonesia. Namun apa daya,
sampai sejauh ini masyarakat belum mampu
mengenali bencana alam tersebut secara benar dan baik.
Kita tentu amat prihatin. Tsunami selalu meninggalkan
penderitaan berkepanjangan.
Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban
jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi tsuna-
mi baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat
pesisir kita masih tradisional maka langkah-langkah mitiga-
sinya haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.

48 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Berbasis Masyarakat
Sangatlah berat kalau upaya mitigasi itu dilakukan di se-
luruh kawasan rawan bencana yang tersebar sangat luas di
penjuru Indonesia secara simultan. Kita perlu membuat pri-
oritas yaitu untuk daerah-daerah yang berbentuk teluk yang
berasosiasi dengan tanjung dan muara sungai yang landai
dan penduduknya padat yang memang rawan bencana. Be-
tapa tidak, di kawasan seperti inilah yang paling menderita
jika tsunami menerjangnya.
Karena itu, pembuatan peta rawan bencana tsunami
perlu segera dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan
teknologi sesederhana mungkin. Sehingga mereka sadar
dan mengerti kalau tempat tinggalnya berada di daerah
rawan bencana tsunami. Tentu saja dalam pembuatan peta
ini perlu bimbingan dan fasilitator baik dari pemerintah,
perguruan tinggi/lembaga penelitian maupun LSM yang
betul-betul mengerti tentang tsunami.
Langkah berikutnya melatih dan memberi penyuluhan
tentang berbagai hal yang terkait dengan tsunami mulai dari
gejala atau ciri-ciri tsunami, dampaknya, hingga upaya me-
ngevakuasi atau menyelamatkan diri. Tak mudah memang
menyampaikan hal itu kepada mereka.
Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pelosok
daerah yang berbentuk teluk dan muara yang padat
penduduknya dan rawan bencana. Metodenya pun perlu
dilakukan dengan cara yang lebih menarik.
Salah satu alternatifnya bisa melalui media yang benar-
benar merakyat seperti pengajian akbar, wayang (golek,
orang, atau kulit), ketoprak, dangdut atau kesenian daerah

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 49


lainnya. Melalui penyampaian yang berakar pada budaya
mereka sendiri, tsunami bisa dengan mudah mereka pa-
hami.
Di daerah pantai yang gundul, masyarakat bisa mengu-
payakan perlindungan yang ramah lingkungan bagi dirinya,
yaitu dengan menanam berbagai pohon seperti mangrove,
cemara laut, waru laut, ketapang dan lain-lain disesuaikan
dengan kesesuaian lahannya. Upaya ini tergolong mudah
dapat dilakukan, murah dan terbukti efektif dalam mere-
dam kekuatan tsunami yang menjalar hingga ke daratan.
Upaya lainnya adalah membuat sarana evakuasi yang
terbilang sederhana dan murah. Manfaatkan pohon kelapa
atau pohon lainnya yang banyak berjajar di pantai. Caranya,
lobangi secukupnya sehingga bisa memudahkan manusia
memanjat pohon ketika tsunami terjadi. Pada ketinggian
tertentu, pohon tersebut dipasang bel atau lonceng sebagai
alat bantu untuk minta pertolongan atau memberi peri-
ngatan kepada masyarakat lainnya.
Masjid-masjid di pesisir juga bisa dipakai untuk mem-
beri peringatan dini melalui pengeras suara. Jadi, manakala
di kawasan tersebut ada tanda-tanda bakal terjadi tsunami,
sesegera mungkin informasi tersebut disampaikan ke warga
sekitarnya.
Selain itu, masjid-masjid itu juga perlu dibuatkan tangga
ke atap. Tujuannya, memudahkan masyarakat mengevakuasi
ke tempat yang tinggi sehingga tidak terjangkau tsunami.
Pelajaran Tsunami Aceh menunjukkan bahwa masjid aman
dari terjangan tsunami mengingat strukturnya yang ramah
tsunami.

50 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Dompet Mitigasi
Jelas bahwa upaya mitigasi tsunami membutuhkan kerja
keras dan dana yang tidak sedikit. Kita bisa belajar banyak
dari pengalaman Jepang, negara yang paling sering dilanda
gempa dan tsunami.
Apa yang dilakukan Jepang ketika dihajar gempa dah-
syat ratusan tahun lalu hingga tahun 1933-an? Orang-orang
terkemuka dan kaya itu berada di barisan terdepan. Artinya,
dengan uangnya sendiri, mereka membuat tembok laut
yang bisa menahan gempuran tsunami.

“Apa yang dilakukan Jepang ketika


dihajar gempa dahsyat ratusan tahun
lalu hingga tahun 1933-an? Orang-
orang terkemuka dan kaya itu berada
di barisan terdepan. Artinya, dengan
uangnya sendiri, mereka membuat
tembok laut yang bisa menahan
gempuran tsunami.”

Jasa mereka dikenang hingga kini. Bukan apa-apa, se-


tiap tsunami terjadi, bangunan itu mampu meredam ga-
nasnya tsunami. Ribuan warga terselamatkan. Menurut
survei di Jepang, hingga tahun 1933-an itu, tidak ada upaya
dari pemerintah Jepang untuk melakukan upaya mitigasi.
Semuanya itu sudah ditangani pemuka masyarakat.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 51


Fenomena semacam ini tampaknya pas kalau diterapkan
di Indonesia. Saatnyalah para pengusaha berkantong tebal
mengeluarkan dompet untuk mitigasi tsunami. Dompet-
dompet bencana di berbagai media (cetak dan elektronik)
yang berasal donor seharusnya jangan semata dialokasikan
untuk menangani pascabencana tetapi juga untuk upaya
mitigasi.
Hasil dari dompet mitigasi ini dapat dimanfaatkan un-
tuk pelatihan dan penyadaran masyarakat, penggandaan
brosur, komik dan buku-buku pedoman tentang tsunami
yang sebenarnya bahannya telah tersedia dan menumpuk
di berbagai instansi atau lembaga lain. Bisa juga dana terse-
but dipergunakan untuk menanam vegetasi pantai sehingga
dapat dipergunakan sebagai tameng tsunami di kemudian
hari.

ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Nasional edisi 7 Desember 2006.

52 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


10
Mengenang Tsunami Aceh 2004

Belajar Rehabilitasi
dan Rekonstruksi
Pascatsunami
dari Okushiri

T
sunami yang menghantam Pulau Okushiri, Jepang
pada 12 Juli 1993 bisa menjadi pembelajaran bagi kita
dalam rangka memulihkan kawasan pesisir Nanggroe
Aceh Darussalam yang dihantam tsunami 26 Desember
2004. Bukan apa-apa, pulau kecil yang tadinya elok dan asri
itu pernah porak-poranda oleh tsunami dengan ketinggian
run-up maksimum 31 meter. Inilah rekor tsunami terbesar
di Jepang pada abad ke-20.
Bayangkan, gempa berkekuatan 7,8 skala Magnitude
(SM) di malam hari itu bukan saja menimbulkan tsunami

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 53


hebat. Lebih dari itu, pada beberapa wilayah di pulau
seluas 143 km2 itu malah lebih memprihatinkan lagi; terjadi
kebakaran hebat dan longsor setelah diterjang tsunami 5
menit setelah gempa.
Penyebab kebakaran itu diduga berasal dari hubungan
arus listrik pendek (konslet) beberapa kapal yang terseret
hingga ke tengah kota. Kebakaran makin meluas ketika mobil-
mobil juga mengalami hal serupa, terkena arus pendek.
Hanya dalam sekejap, keindahan pulau di sebelah barat
Hokkaido itu meredup dan menyeramkan. Menurut catatan
Pemerintah Daerah Hokkaido, sekitar 229 orang tewas,
lebih dari seribu rumah ambruk, dan 1.514 kapal mengalami
kerusakan. Total kerugian ditaksir sekitar 60 miliar yen.
Lima tahun berlalu, pulau Okushiri malah menjadi lebih
baik bahkan lebih elok dan asri daripada sebelumnya. Kesan
itulah yang penulis rasakan ketika pada Juli 1998 mendapat
kesempatan menghadiri lokakarya internasional tentang
tsunami di Okushiri.

Tetap Menawan
Lalu mengapa pulau yang menghadap Laut Jepang itu
tetap menawan walau tsunami dahsyat pernah meluluh-
lantakkannya? Jawabnya terletak pada kepiawaian mereka
dalam merehabilitasi dan merekonstruksi berbagai infra-
struktur dengan berbasis mitigasi.
Artinya, selain memulihkan kembali beragam bangunan
yang rusak, bangunan baru tersebut juga dapat menjadi
tameng tsunami di kemudian hari.
Untuk memulihkan Okushiri sebagai pulau impian ber-

54 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


basis mitigasi, pada November 1993 Pemerintah Daerah
Hokkaido membentuk sebuah komite yang diketuai pa-
kar tsunami dari Universitas Hokkaido Prof Hiroshi Saeki.
Komite tersebut beranggotakan para pakar yang tersebar
di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah lainnya
seperti Kementerian Konstruksi, Kementerian Transportasi,
serta Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.
Mereka bekerja secara lintas sektoral sesuai dengan di-
siplin ilmunya masing-masing. Seluruh pekerjaan perenca-
naan pemulihan digarap secara komprehensif. Hal itu dimu-
lai dengan menata ulang peruntukan lahan (land use) yang
berbasis mitigasi.
Lihat saja Distrik Aonae, di sisi paling selatan Okushiri.
Dataran paling rendah itu tadinya merupakan permukiman
yang rusak parah digoyang gempa, dihantam tsunami, dan
dilalap si jago merah.
Kini, kawasan tersebut sudah menjadi taman kota,
rimbun oleh aneka tanaman menghijau. Pada kondisi nor-
mal, taman tersebut digunakan sebagai tempat rekreasi. Di
kawasan tersebut juga dibangun tangga/jembatan peng-
hubung ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan
diri jika suatu saat tsunami datang lagi.
Tak ada lagi permukiman di dataran rendah tersebut.
Rumah penduduk direlokasi ke dataran yang lebih tinggi
sehingga aman dari jangkauan tsunami.
Begitu juga pelabuhannya. Atapnya dibuat dari pelat
(slab) beton yang terbuka dan berfungsi sebagai tempat
evakuasi. Di hari-hari biasa tempat evakuasi ini dapat dija-
dikan tempat santai dan menikmati semilirnya angin sepoi

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 55


pantai Aonae. Sementara itu lantai bawahnya sebagian be-
sar didesain sebagai ruang terbuka.
Bangunan sekolah dan kantor dibuat bertingkat dengan
lantai bawah terbuka sebagian. Tujuannya, untuk mengu-
rangi energi tsunami yang menghantam dinding tersebut
sehingga bangunan tetap kokoh berdiri.
Rute evakuasi ke bukit juga dibangun. Rute-rute itu
dilengkapi dengan berbagai informasi seperti arah melari-
kan diri dan ketinggian tsunami yang pernah terjadi. Sistem
komunikasi radio juga dibangun untuk diseminasi peri-
ngatan dini tsunami.
Tembok laut (sea wall) dan pemecah gelombang (break-
water) dibangun untuk meredam tsunami. Monumen dan
museum tsunami juga dibangun sebagai tetenger untuk
mengingatkan generasi berikutnya serta sebagai sarana
pendidikan gempa dan tsunami.
Begitu halnya dengan jalur penerbangan dan pelayaran
dari dan ke Okushiri terus dikaji dan dibenahi. Hasilnya,
hanya lima hari setelah tsunami, seluruh penerbangan dan
pelayaran di pulau tersebut normal kembali.
Lalu pada akhir Desember 1993 pabrik pengolahan ikan
mulai beroperasi lagi. Hal ini penting untuk memulihkan
perekonomian masyarakat lokal.

Biaya Tinggi
Semua proyek pemulihan itu memang butuh teknologi
dan biaya. Menyadari hal itu, hanya dua hari setelah tsunami
menghancurkan Okushiri, Palang Merah Cabang Hokkaido
mengampanyekan penggalangan dana ke masyarakat luas.

56 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Hasilnya, bantuan senilai 4,6 miliar yen dikucurkan
untuk memulihkan Okushiri. Selain itu pada 21 Desember
1993 juga terkumpul dana sebesar 13,2 miliar yen dari
berbagai penyumbang mulai dari pemerintah, warga, serta
industri (perikanan, pertanian, kehutanan, dan pariwisata)
Singkat kata, belum genap satu tahun setelah tsunami
dahsyat, telah diselesaikan pekerjaan perencanaan pemu-
lihan secara komprehensif di Distrik Aonae yang mengalami
dampak paling parah.
Dan lima tahun kemudian (Maret 1998) pemulihan
pascatsunami dinyatakan selesai. Setelah 13 tahun berlalu,
kini Okushiri tampil penuh pesona. Jumlah wisatawan yang
datang pun kian banyak.
Jadi, tidak ada salahnya kita meniru pengalaman mereka
untuk memulihkan kawasan pascatsunami NAD dan Nias
(2004) serta selatan Jawa (2006).

ctd
Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 27 Desember 2006.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 57


11
Rehabilitasi Pascatsunami
yang Ramah Lingkungan

D
uka masih menyelimuti Indonesia. Lebih dari 100
ribu orang tewas sejak tsunami 26 Desember 2004
melanda kota-kota pesisir di provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD). Ribuan orang lainnya tak diketahui
keberadaannya, hanyut ditelan laut.
Bukan hanya itu saja. Bencana alam tsunami terdahsyat
di abad ini juga menghancurkan sendi-sendi perekonomian
di Kota Serambi Mekah. Kota-kota pesisir itu lumpuh total.
Aneka jenis bangunan tak kuasa menahan ganasnya gelom-
bang pasang akibat gempa tektonik di Samudra Hindia.
Tak ada aliran listrik dan telekomunikasi dalam beberapa
hari. Akses transportasi darat juga terputus akibat jebolnya
jembatan-jembatan dan jalan-jalan raya. Penulis yang
berada di lokasi beberapa hari setelah bencana, melihat

58 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


bahwa kerusakan di kawasan pesisir malah lebih parah lagi.
Pada radius 1 km dari garis pantai, rumah tersapu habis
rata dengan tanah. Di tempat-tempat tertentu, tsunami
menggerus tanah dan membentuk lautan baru. Tak ada
areal tambak yang selamat.
Konferensi Khusus Para Pemimpin ASEAN Pascagempa
Bumi dan Tsunami pun digelar di Jakarta. Hasilnya, 26 ne-
gara dan lembaga internasional sepakat membantu meri-
ngankan beban Indonesia. Sekitar US$ 4 miliar terkumpul
untuk memulihkan dampak tsunami di seluruh Asia, terma-
suk NAD (Kompas, 7/1/2005).
Pertanyaannya adalah bagaimana merehabilitasi daerah
pasca tsunami yang efektif sekaligus ramah lingkungan?
Pertanyaan itu penting diutarakan di sini agar langkah-
langkah tersebut selain bisa memulihkan kawasan juga
mampu menjadi tameng tsunami di kemudian hari.
Kita tahu sudah sejak lama, secara geografis posisi In-
donesia tak beruntung. Di sepanjang barat Pulau Sumatera
sampai ke Jawa, Bali dan NTT lalu masuk ke Laut Arafura me-
rupakan daerah pertemuan tiga lempeng; Eurasia, Australia,
dan Samudra Hindia.
Lempeng-lempeng tersebut bergerak sehingga pada pe-
riode tertentu saling bertabrakan. Proses alami ini mengha-
silkan gempa tektonik. Karena terjadi di dasar laut, gempa
tersebut menimbulkan gelombang pasang (tsunami).
Tsunami yang menerjang pantai barat NAD dan Sumut
terjadi 20 menit sampai 5 jam setelah terjadinya gempa
tektonik. Kecepatan gelombang tsunaminya rata-rata 50-
100 km per jam. Di pusat gempa, kecepatan tsunami NAD

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 59


secara teoritis dapat dihitung, yaitu berkisar antara 400-800
km per jam.
Kecepatan tersebut semakin berkurang saat mendekati
pantai. Tsunami tidak hanya menerjang pantai barat NAD
dan Sumut yang berhadapan langsung dengan pusat gempa,
tetapi juga menerjang pantai timur NAD dengan dimensi
ruang, waktu, dan korban yang berbeda.
Daerah yang mengalami bencana terbesar dari tsunami
adalah Banda Aceh, Lhoknga, Calang, dan Meulaboh. Ben-
cana tersebut selain diakibatkan oleh tingginya gelombang
tsunami, juga diperparah oleh tata ruang yang kurang ramah
bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat
dengan laut. Posisi rumah sejajar dengan pantai. Tidak ada
sabuk hijau (green belt). Mangrove tinggal secuil dan hanya
tumbuh di beberapa tempat.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami amat bera-
gam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama,
kerusakan struktur bangunan akibat gaya hidrodinamik
gelombang. Kedua, keruntuhan struktur bangunan karena
fondasinya tergerus arus air laut yang amat deras. Ketiga,
kerusakan struktur bangunan akibat hantaman benda-ben-
da keras seperti kapal, puing-puing bangunan, dan sema-
camnya yang terbawa oleh gelombang.

Memulihkan Bencana
Dalam teori klasik manajemen penanggulangan ben-
cana, rehabilitasi merupakan salah satu komponen penting
dalam siklus manajemen penanggulangan bencana setelah
terjadinya bencana. Sesudah bencana terjadi, biasanya kor-

60 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


ban perlu ditangani dengan cepat, yaitu dengan pencarian
dan penyelamatan (search and rescue atau SAR). Kemudi-
an diperlukan pula pengobatan dan makanan serta tempat
berlindung sementara.
Tahapan tersebut disebut fase tanggap darurat (emer-
gency respond). Setelah langkah darurat itu dapat diatasi,
perlu konsolidasi jenis kerusakan, jenis bantuan, dan lain
sebagainya. Kegiatan pada fase ini lebih menyangkut pe-
ngenalan dan inventarisasi masalah, sambil terus melaku-
kan penanganan darurat.
Jika kondisi sudah dapat dikuasai dan relatif tenang,
tahap selanjutnya adalah melakukan rehabilitasi baik secara
fisik maupun mental. Penduduk perlu diberi kepercayaan
diri dan memahami arti bencana alam tersebut secara logis
dan proporsional.
Apalagi setelah bencana, kepanikan sering terjadi. In-
formasi yang tak jelas kebenarannya sangat rentan dan
menambah trauma. Desas-desus sering menyesatkan dan
menghilangkan kepercayaan diri. Di sinilah, para ahli harus
bisa menjelaskan dan meyakinkan bahwa bencana itu me-
rupakan proses alam. Sepanjang sejarah, tsunami susulan
belum pernah terjadi lagi dalam waktu dekat di tempat yang
sama.
Setelah kebingungan korban diatasi, barulah dilakukan
perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang komprehen-
sif dan terintegrasi. Artinya, pemulihan itu bisa dimulai dari
pemetaan, analisis kerusakan, analisis risiko, rencana re-
konstruksi, dan perbaikan lingkungan.
Jadi, dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi harus

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 61


dibuat sedemikian rupa agar mampu meredam tsunami di
kemudian hari sehingga dampaknya bisa diminimumkan.
Kalau perlu penduduk dipindahkan, bisa di sekitar lokasi
bencana (relokasi) atau ke tempat yang lebih jauh (trans-
migrasi). Walaupun pada kenyataannya hal tersebut sangat
sulit dilakukan mengingat karakteristik sosial dan budaya
masyarakat yang menginginkan tetap tinggal di pantai.
Hal itu tercermin dari korban tsunami Banyuwangi
(1994) dan Biak (1996). Walaupun telah dipindahkan ke
tempat aman, namun mereka kembali lagi ke lokasi semula
yang rawan bencana. Mereka beralasan, pemindahan terse-
but menimbulkan masalah baru seperti perlu waktu lebih
lama untuk menuju ke tempat kerja, keamanan perahu me-
reka, dan lain sebagainya.
Fenomena ini bertolak belakang dengan korban tsuna-
mi di Banda Aceh. Salah satu korban tsunami yang selamat,
Hamdan (50 tahun), kepada penulis mengatakan, ia dan te-
man-temannya tidak menginginkan kembali tinggal di tem-
pat semula. Oleh karena itu dalam melakukan rehabilitasi
dan rekonstruksi diperlukan perencanaan yang komprehen-
sif dengan mempertimbangkan faktor fisik, sosial budaya,
dan lingkungan.

Menghindari Tekanan
Faktor fisik yang perlu diperhatikan adalah struktur
bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan
arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus
dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang
menghantam bangunan lebih kecil.

62 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Untuk shear wall (tembok penguat) dan lateral bracing
(rangka penguat) ditempatkan searah dengan penjalaran
gelombang tsunami. Tujuannya, untuk memperkokoh
bangunan terhadap gempuran tsunami.
Lantai terbawah dari bangunan bertingkat sebaiknya
dibuat terbuka sama sekali, atau dindingnya terbuat dari
bahan yang mudah retak (seperti kayu). Maksudnya agar
tsunami dapat lewat dengan leluasa sehingga mengurangi
beban horisontal pada struktur. Sementara itu, lantai-lantai
di atasnya bisa dipakai untuk mengungsi.
Pondasi didesain menerus karena terbukti mempunyai
ketahanan (resistance) yang lebih baik untuk menahan
gerusan akibat arus air yang deras. Sistem struktur bangunan
juga harus tahan gempa. Sebab, bangunan tersebut akan
terkena gempa lebih dulu sebelum gelombang tsunami
datang. Strukturnya juga diperhitungkan untuk mengatasi
benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang
terlempar pada saat tsunami menyerbu pantai.
Upaya lainnya yang tak kalah pentingnya adalah dengan
membuat tata ruang yang ramah bencana. Di tempat-
tempat yang berpotensi terkena tsunami harus ditata ulang.
Tempat-tempat perlindungan (shelter) perlu dibangun untuk
evakuasi jika terjadi tsunami di pesisir yang penduduknya
padat. Modelnya bisa dilihat pada Gambar 11.1. Bangunan
tersebut berfungsi ganda, sebagai tempat pertemuan atau
rekreasi di hari-hari biasa dan tempat berlindung apabila
tsunami menerjang kawasan tersebut.
Pembangunan permukiman yang terlalu dekat de-
ngan garis pantai harus dihindari. Untuk NAD misalnya

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 63


Gambar 11.2. Model mitigasi bencana tsunami.

jarak tersebut disesuaikan dengan jauh-dekatnya penetrasi


tsunami ke arah darat.
Daerah sempadan pantai juga perlu dihijaukan kembali
dengan mangrove atau hutan pantai seperti waru laut (Hi-
biscus tiliaceus) dan cemara (Casuarina sp), sesuai dengan
kesesuaian kawasan pesisirnya. Penanaman pohon kelapa
kurang efektif dalam meredam tsunami karena akarnya se-
rabut sehingga mudah roboh. Robohnya pohon kelapa ini
banyak dijumpai penulis saat melakukan survei pasca tsu-
nami Banyuwangi 1994 dan tsunami Biak 1996.

64 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengi-
ngat sistem perakarannya yang dapat meredam ombak,
arus, serta menahan sedimen. Beberapa warga sempat
terselamatkan akibat berpegangan di pohon mangrove.
Mangrove juga berfungsi untuk melindungi pantai dari
hempasan badai dan angin. Dalam beberapa kasus, peng-
gunaan vegetasi mangrove untuk penahan erosi lebih mu-
rah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan
dalam hal meningkatkan kualitas perairan di sekitarnya.
Manfaat mangrove lainnya adalah untuk menahan in-
trusi air laut. Fungsi ini sama dengan fungsi hutan yaitu me-
nyimpan air tanah. Kemampuan ini telah terbukti dari lahan
yang mangrovenya terjaga dengan baik memiliki kondisi air
tanah yang tidak terintrusi air laut. Sebaliknya, pada lahan
mangrove yang telah dikonversi untuk keperluan lain, air ta-
nahnya terintrusi oleh air laut.
Bagi pantai yang tidak cocok ditanami hutan mangrove
bisa dihijaukan dengan hutan pantai (waru dan cemara).
Secara keseluruhan, fungsi hutan pantai disajikan pada
Gambar 2. Terlihat bahwa hutan pantai yang berada di
deretan terdepan mengalami kerusakan akibat diterjang
langsung tsunami dan kapal-kapal atau benda keras lainnya
yang hanyut terbawa gelombang tsunami.
Sementara itu hutan yang berada di belakangnya
menahan pohon yang roboh. Dengan demikian, gelombang
tsunami beserta ikutannya yang sampai ke permukiman
penduduk bisa diredam. Di sisi lain, ekosistem hutan pantai
juga bisa menimbulkan gumuk (dune) yang berfungsi
mencegah genangan tsunami.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 65


Peneliti tsunami asal Jepang, Kenji Harada dan Imamura
Fumihiko pada 2003 meneliti efektivitas hutan pantai untuk
meredam tsunami. Hutan pantai dengan tebal 200 meter,
kerapatan 30 pohon per 100 meter persegi, dan diameter
pohon 15 cm ternyata dapat meredam 50 persen energi
gelombang tsunami setinggi 3m.
Begitu pula di kawasan lidah pasir (sand bar) yang
panjang dan berasosiasi dengan sungai yang sejajar laut yang
ada di Krueng Raya, seyogianya dihijaukan semua, tidak boleh
dijadikan permukiman. Pengalaman menunjukkan tsunami
di Papua New Gunea pada 17 Juli 1998 telah menewaskan
dan membenamkan 3.000 orang penduduk yang tinggal di
kawasan lidah pasir ke dalam laguna Sissano.

ctd
Artikel ini dimuat Kompas edisi 20 Januari 2005.

66 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


12
Membangun Selatan Jawa
Pascatsunami

T
sunami 17 Juli 2006 yang diakibatkan gempa bumi
(tsunamigenic earthquake) berkekuatan 6,8 skala
Richter melumat kawasan pesisir di selatan Pulau
Jawa. Ribuan permukiman penduduk, hotel, tambak, dan
sarana infrastruktur lainnya hancur dan melumpuhkan
perekonomian di pesisir Tasikmalaya, Ciamis, Cilacap, dan
Kebumen.
Lalu bagaimana membangun kawasan pesisir selatan
Jawa pascatsunami? Berdasarkan pengalaman Jepang,
negara yang paling sering diterjang tsunami, ada dua hal
pokok yang perlu mendapat prioritas.
Pertama, membangun kesadaran masyarakat yang
tinggal di kawasan rawan tsunami. Kedua, menata kembali
kawasan pesisir sedemikian rupa sehingga daerah tersebut
aman dari terjangan tsunami di lain waktu.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 67


Karakteristik Tsunami
Menurut keterangan berbagai responden yang selamat
dari terjangan tsunami Pangandaran 2006, 50 persen dari
mereka itu merasakan gempa dan menganggapnya sebagai
gempa yang lemah dan ringan. Setengah responden lainnya
malah tidak merasakan gempa. Namun gempa tersebut
mampu menimbulkan tsunami dengan ketinggian run up
yang bervariasi (kurang dari 10 meter).
Fenomena ini mirip dengan gempa Nicaragua yang
menimbulkan tsunami pada 1992 dan gempa Jawa Timur
yang menimbulkan tsunami pada 1994.
Tsunami menerjang pantai selatan Jawa sekitar seper-
empat sampai satu jam setelah terjadinya gempa dengan
kecepatan tsunami rata-rata 200-600 km per jam. Penduduk
melaporkan terjadi penurunan muka-air laut secara drastis
sebelum datangnya tsunami. Fenomena turunnya permu-
kaan laut secara drastis sesaat sebelum terjadinya tsunami
ini sama dengan yang terjadi di NAD 2004.
Dalam beberapa tulisan baik populer maupun ilmiah
mengemukakan tentang fenomena ini. Dari hasil rekaman
tsunami, Murty (1977) mengemukakan ada ratusan kasus
dimana penurunan permukaan air laut secara drastis (initial
widhrawal water) ini terjadi. Setelah permukaan air laut
surut datanglah gelombang besar tiga sampai lima kali.
Gelombang tsunami pada 17 Juli 2006 menghantam
pesisir selatan Jawa sekitar tiga kali dengan gelombang ke-
dua merupakan gelombang tertinggi. Selang waktu antara
gelombang satu dengan yang lainnya adalah 2-5 menit. Ben-
tuk gelombang tegak seperti dinding dengan warna gelom-

68 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


bang coklat kehitaman yang menandakan terjadinya erosi
di dasar laut. Gelombang tersebut disertai dengan suara se-
perti suara gemuruh pesawat, drum, dan suara ledakan.
Banyak literatur di Jepang melaporkan tentang timbul-
nya suara abnormal sebelum kedatangan tsunami. Shuto
(1998), dengan gamblang memberikan ilustrasi tentang
suara abnormal sebelum terjadinya tsunami. Suara tersebut
ada yang menyerupai suara badai, deru kereta api, truk be-
sar, helikopter, suara drum band, suara roket yang mende-
sing, dan suara ledakan. Jenis suara tersebut dipengaruhi
oleh posisi tsunami saat menjalar di pantai yang landai,
pantai terjal atau saat menghantam tebing batu (clif). Jadi
bukanlah hal aneh apabila saat tsunami Jawa Barat 2006
terdengar suara-suara seperti itu.
Di Provinsi Aomori Jepang terdapat monumen yang ter-
pahat tulisan “Earthquake, sea roar, then tsunami” (gempa,
suara menderu, disusul tsunami). Monumen ini dibangun
setelah Tsunami Sanriku 1993 dan ditujukan untuk mem-
berikan pendidikan bagi masyarakat generasi penerusnya
terhadap tsunami. Pelajaran yang dapat dipetik dari monu-
men ini dalalah anjuran agar melakukan evakuasi jika ter-
dengar suara aneh setelah terjadi gempa.
Tinggi tsunami Jawa Barat 2006 yang berhasil teramati
di sekitar 50 titik bervariasi antara 2-8 m dengan konsentrasi
energi tersebar mulai dari Kabupaten Tasikmalaya, Ciamis,
dan Cilacap. Ketinggian tsunami tersebut diukur dari permu-
kaan air laut sesaat sebelum tsunami. Perbedaan ketinggian
tsunami dari satu tempat ke tempat lain lebih dipengaruhi
oleh faktor lokal seperti topografi pantai, kedalaman laut,

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 69


morfologi pantai, dan adanya tembok laut (seawall).
Tsunami dengan ketinggian lebih dari 6 m teramati di
Kecamatan Cikalong (Kabupaten Tasikmalaya), Kecamatan
Pangandaran (Kabupaten Ciamis), dan Kecamatan Binangun
(Kabupaten Cilacap).
Tinggi genangan gelombang tsunami yang melimpas ke
daratan bervariasi dan rata-rata kurang dari 2 m diukur dari
permukaan tanah. Genangan tsunami tersebut dibarengi
arus yang cukup deras, sekitar 10-25 km/jam dengan tekanan
yang ditimbulkan cukup besar sekitar 1-3 ton/m2. Kecepatan
arus dan tekanan inilah yang menghancurkan kehidupan di
pantai. Kembalinya air ke laut setelah mencapai gelombang
tertinggi (run-down) juga menyeret segala sesuatu kembali
ke laut.

Karakteristik Bencana
Walaupun korbannya jauh lebih ringan dibandingkan
dengan gempa dan tsunami NAD (2004), ratusan orang
meregang nyawa, ratusan warga lainnya hilang, dan ribuan
rumah hancur akibat bencana alam tersebut. Korban dan
kerusakan yang terjadi di pantai selatan Jawa seluruhnya
diakibatkan oleh tsunami.
Seperti telah diduga, kawasan paling parah terkena
tsunami adalah dataran landai dan pantainya berbentuk
teluk serta mempunyai tanjung seperti di Pangandaran.
Dengan topografi seperti itu, energi yang dihempaskan
semakin tinggi ketika mencapai teluk dan lekukan pantai
tersebut. Hal ini akibat dari berkumpulnya energi dari laut
lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit.

70 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Di samping itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga
terkonsentrasi di tanjung sebagai akibat dari proses refaksi-
difraksi gelombang tsunami. Dampak dari semuanya ini
adalah daerah Taman Nasional Margasatwa Pangandaran
dan sekitarnya digempur tsunami dari arah barat dan timur.
Kondisi ini diperparah dengan topografi pantainya
landai dan tanpa tanaman pelindung. Kalaupun ada tana-
man (kelapa, waru laut, ketapang, cemara laut), kerapatan
dan ketebalan hutan pantai tersebut tidak memenuhi syarat
untuk meredam tsunami. Bukan apa-apa, gelombang tsu-
nami yang besar baik ketinggian maupun kecepatannya de-
ngan leluasa menyusup ke daratan dan menghancurkan apa
saja yang dilaluinya.
Bisa dibayangkan tempat yang landai tersebut kebanya-
kan dipakai untuk hunian, hotel, perkampungan nelayan
atau kawasan wisata. Praktis, ketika tsunami menerjang ka-
wasan tersebut maka yang terjadi adalah kerusakan parah.
Aneka bangunan yang berada di dataran rendah ambruk
tersapu oleh gelombang tsunami. Manusiapun tidak kuasa
menghindarinya. Jadilah ratusan korban bergelimpangan.
Daerah yang mengalami bencana terbesar akibat tsu-
nami berada di tiga kecamatan; Cikalong, Pangandaran, dan
Bina-ngun. Bencana tersebut selain diakibatkan oleh deras-
nya terjangan tsunami, juga diperparah oleh tata ruang yang
kurang ramah bencana dan rusaknya lingkungan. Rumah
dibangun dekat dengan laut. Posisi rumah sejajar dengan
pantai. Penggalian sand dunes (gumuk pasir). Sabuk hijau
(greenbelt) sangat tipis dan hanya tumbuh di beberapa
tempat sehingga tidak memenuhi syarat sebagai tameng

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 71


tsunami. Bahkan di beberapa tempat tidak dijumpai adanya
sabuk hijau.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami amat bera-
gam dan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama,
kerusakan struktur bangunan akibat gaya hidrostatik air.
Kedua, keruntuhan struktur bangunan karena terjangan
arus air laut yang amat deras. Ketiga, kerusakan struktur
bangunan akibat hantaman benda-benda keras seperti ka-
pal, puing-puing bangunan, dan semacamnya yang terbawa
oleh gelombang.
Kita tentu amat prihatin. Tsunami selalu meninggalkan
penderitaan berkepanjangan. Ratusan korban manusia tak
bisa menyelamatkan atau diselamatkan. Itulah yang terjadi
pada tragedi tsunami di selatan Jawa Senin (17/7/2006)
sore lalu.
Padahal masih lekat dalam ingatan kita ketika tsunami
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang amat dahsyat itu
menghajar kawasan pesisir pada akhir Desember 2004. Apa
boleh buat, kedahsyatan bencana yang terbesar di abad
ini belum cukup mampu mengingatkan sebagian besar
masyarakat kita terhadap tanda-tanda terjadinya tsunami.
Kekurangpahaman itu tergambar jelas ketika penulis
melakukan survei langsung ke lokasi terparah (Tasikmalaya,
Ciamis, dan Cilacap), beberapa hari setelah tsunami. Ham-
pir semua dari mereka itu melihat fenomena surutnya muka
air laut secara mendadak menjelang terjadinya tsunami.
Namun tak banyak yang menyadari maut siap mengintai
mereka.
Sebut saja di Kecamatan Binangun dan Kecamatan

72 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Adipala, Kabupaten Cilacap. Di dua kecamatan tersebut, 111
orang tewas seketika dihantam tsunami. Kebanyakan yang
meninggal adalah masyarakat pesisir yang sedang mencari
yutuk di pinggir pantai. Yutuk adalah sejenis kepiting kecil
sebesar ibu jari kaki yang digunakan sebagai pakan itik
(bebek).
Saking asyiknya memburu yutuk, mereka tidak menya-
dari tsunami dengan ketinggian 7,4 meter dari muka air laut
itu mengintai mereka. Selang beberapa menit kemudian da-
tanglah gelombang tsunami sampai tiga kali dan menengge-
lamkan mereka. Pemburu yutuk yang tempat tinggalnya se-
hari-hari cukup jauh dari pantai itu tewas. Sedangkan rumah
dan itiknya selamat, tidak terjangkau tsunami.

Upaya Pemulihan
Satu bulan lebih proses tanggap darurat berlalu. Kini,
saatnya melakukan pemulihan pascatsunami. Pertanyaannya
adalah bagaimana melakukan pemulihan daerah pasca-
tsunami secara efektif?
Dalam konteks saat ini, upaya relokasi ke tempat yang
aman dari jangkauan tsunami merupakan langkah yang sulit
ditempuh karena faktor sosial budaya masyarakat. Hal itu
tercermin dari korban tsunami Banyuwangi (1994), Biak
(1996), dan NAD (2004). Walaupun telah dipindahkan ke
tempat aman, namun mereka kembali lagi ke lokasi semula
yang rawan bencana. Mereka beralasan, pemindahan terse-
but menimbulkan masalah baru seperti perlu waktu lebih
lama untuk menuju ke tempat kerja, keamanan perahu
mereka, faktor psikologis tanah leluhur, dan lain-lain.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 73


Sebenarnya tidaklah sulit melakukan pemulihan pasca-
tsunami Jawa Barat 2006 berbasis mitigasi. Karakteristik
tsunami Jawa Barat seperti halnya tsunami di pantai selatan
Jawa pada umumnya masih tergolong moderat dengan
kedalaman genangan tsunami di daratan maksimum 2 m.
Sebelum melakukan pemulihan, tentunya perlu diben-
tuk tim terpadu lintas sektoral dengan melibatkan masya-
rakat, Pemerintah Daerah (provinsi dan kabupaten) yang
wilayahnya menjadi korban, serta pemerintah pusat.
Di Pangandaran misalnya, mengingat daerah terse-
but merupakan daerah pariwisata dan merupakan sentra
perikanan, maka dalam melakukan pemulihan seyogyanya
melibatkan pakar-pakar dari perguruan tinggi, Pemerintah
Kabupaten Ciamis, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Depar-
temen Pekerjaan Umum, Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departe-
men Kehutanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup.
Mereka harus bekerja secara lintas sektoral sesuai
dengan disiplin ilmunya masing-masing. Hal itu bisa dimulai
dengan menata ulang peruntukan lahan (land use) yang
berbasis mitigasi dengan mempertimbangkan faktor fisik,
sosial budaya, dan lingkungan.
Faktor fisik yang perlu diperhatikan adalah struktur
bangunan. Sedapat mungkin, arah bangunan sejajar dengan
arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus
dengan pantai. Hal ini dimaksudkan agar tekanan air yang
menghantam bangunan lebih kecil.
Bangunan hotel dan rumah yang terletak di dekat
pantai seyogyanya dibuat bertingkat (panggung) dengan

74 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Gambar 12.1 Contoh rumah panggung ramah bencana tsunami yang
telah dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.

lantai bawah terbuka sama sekali, atau dindingnya


terbuat dari bahan yang mudah retak (seperti kaca, kayu).
Maksudnya agar tsunami dapat lewat dengan leluasa
sehingga mengurangi beban horisontal pada struktur. Di
hari-hari biasa lantai bawah seyogyanya tidak digunakan
sebagai tempat hunian tetapi dimanfaatkan untuk kios,
memperbaiki jaring, gudang, atau tempat parkir. Sementara
itu, lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk hunian dan
mengungsi (lihat Gambar 12.1).
Sand dunes dan daerah sempadan pantai juga perlu
dihijaukan dengan hutan pantai seperti waru laut (Hibiscus
tiliaceus), cemara laut (Casuarina sp), ketapang, atau pohon
kelapa. Tidaklah sulit menanam tumbuh-tumbuhan di

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 75


daerah tersebut. Upaya ini tergolong murah dan terbukti
efektif dalam meredam kekuatan tsunami yang menjalar
hingga ke daratan.
Selain itu, benda-benda yang berada di pantai seperti
kapal dan perahu bisa tertahan oleh vegetasi ini sehingga
jumlah korban dan kerusakan bangunan lainnya bisa
diperkecil. Di hari-hari biasa hutan pantai ini dapat digunakan
sebagai tempat eco-wisata bahari (Gambar 12.2).
Monumen dan museum tsunami juga perlu dipikirkan
untuk dibangun di Pangandaran sebagai tetenger untuk
mengingatkan generasi berikutnya serta sebagai sarana
pendidikan gempa dan tsunami. Monumen ini didesain se-
demikian rupa sehingga dapat digunakan untuk menikmati
indahnya matahari tenggelam (sun set).

Gambar 12.2 Contoh hutan pantai yang rimbun dikombinasi dengan


tembok laut di pantai Sanriku Jepang.

76 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Gambar 12.3. Contoh shelter terapung yang sedang dikembangkan
oleh Jepang.

Di tempat-tempat wisata, perlu dibuat shelter. Saat tsu-


nami shelter tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tempat
evakuasi, namun di hari-hari biasa shelter tersebut dapat
digunakan sebagai tempat rekreasi.
Dalam hal pembangunan shelter untuk evakuasi
tsunami, rekor Jepang tidak tertandingi oleh negara

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 77


manapun di dunia. Lihat saja shelter di Okushiri dan Mie
Jepang bentuknya yang begitu menawan dan kokoh.
Malahan saat ini mereka sedang aktif mengembangkan
floating shelter (shelter terapung). Shelter tersebut didesain
sedemikian rupa sehingga bentuknya sangat menarik
perhatian dan dapat mengapung secara otomatis saat
terjadi tsunami (Gambar 12.3). Di hari-hari biasa shelter
dapat dimanfaatkan sebagai tempat bermain anak-anak di
tepi pantai yang rawan tsunami.
Khusus untuk Pangandaran barat, pemulihan dengan
cara kombinasi tembok laut dan greenbelt, penerapan ba-
ngunan ramah bencana berupa rumah panggung setinggi 2
m, serta pembangunan shelter untuk evakuasi dirasa cukup
ampuh untuk menghadang tsunami di kemudian hari. Untuk
memperbaiki pantai yang terabrasi oleh tsunami dan me-
nambah space (lahan) untuk keperluan penanaman sabuk
hijau dapat pula dilakukan beach nourishment (pengisian
pasir).

ctd

78 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


13
Menghalau Banjir

S
etelah bencana alam seperti gempa, tsunami, dan
longsor datang silih berganti, kini banjir mengintai
kehidupan kita. Bahkan di beberapa daerah, banjir
sudah menenggelamkan ribuan rumah, prasarana trans-
portasi, sawah, tambak, dan menewaskan puluhan nyawa
manusia.
Begitulah fenomena yang terjadi setiap kita menyambut
musim penghujan. Ironisnya, bencana alam tersebut bukan-
nya malah berkurang baik frekuensi maupun intensitasnya.
Daerah yang sebelumnya tidak pernah terkena banjir,
kini harus pasrah diterjang luapan air. Begitu pula dengan
daerah yang sudah terbiasa terkena banjir, dampaknya kian
parah.
Tak dapat disangkal, penyebab utama banjir masih di-
dominasi oleh ulah manusia. Sebesar apa pun hujan yang

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 79


jatuh di muka bumi, ia tidak akan berperilaku ganas kalau
semua aspek ekologis terjaga dengan baik. Sayangnya, sadar
atau tidak, kita kurang memahami kearifan alam.
Bayangkan, hutan yang berfungsi sebagai resapan air
semakin gundul. Jadi ketika air mengguyur kawasan itu
maka dengan leluasa air itu mengumpul di tempat yang
lebih rendah.
Hal itu diperparah dengan buruknya kondisi aliran
sungai. Sungai-sungai telah dipenuhi sampah. Pendangkalan
terus terjadi. Air sungai pun meluap.
Selain sampah, sungai-sungai tadi juga mengalami
pendangkalan hebat sebagai akibat erosi tanah di daerah
hulu. Berubahnya tata guna lahan menjadi nonvegetasi
seperti penggundulan hutan menjadi penyebab utama erosi.
Fenomena itu diperparah lagi dengan kondisi badan sungai
yang mengalami penyempitan akibat bangunan-bangunan
liar di sepanjang bantaran sungai.
Kota yang dibalut hamparan aspal, semen, dan hutan
beton membuat air hujan tak mampu meresap ke dalam
tanah. Daerah yang tadinya berfungsi sebagai resapan
air telah disulap menjadi permukiman, pertokoan, mall,
perkantoran, industri dan lain-lain. Akibatnya, memperbesar
aliran permukaan (run-off) yang ujung-ujungnya membuat
banjir kian parah dan meluas.
Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi
kontribusi terhadap banjir. Fakta membuktikan, terkurasnya
air itu mengakibatkan tanah ambles dan menimbulkan ce-
kungan. Sekali turun hujan, terbentuklah genangan.
Kondisi alam yang semakin memprihatinkan itu ter-

80 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


nyata tidak diimbangi dengan sistem drainase yang baik.
Pembangunan dan pengembangan lahan nonvegetasi tidak
dilengkapi dengan prasarana drainase yang memadai.
Dalam skala lokal, buruknya drainase kota juga punya
andil besar terjadinya banjir. Banyak dari saluran pembu-
angan air tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Saluran air yang ada di kota telah terisi oleh sampah-
sampah plastik, kaleng, kertas, daun, dan lain-lain. Jangan
kaget ketika hujan turun, kota yang telah dibalut oleh
tembok-tembok beton, jalan aspal, rumah penduduk, dan
industri itu semakin terendam air.

Ulah Manusia
Ulah manusia bukan cuma di situ. Industrialisasi be-
serta kegiatan yang mengikutinya (seperti transportasi dan
gedung-gedung ber-AC) berdampak pada efek rumah kaca
(green house effect).
Pemanasan global pun tak dapat dihindari. Kekacauan
iklim mulai terjadi. Suhu muka air laut naik. Ujung-ujungnya
daratan beku di Benua Antartika pun meleleh. Akibatnya,
terjadilah kenaikan permukaan air laut (sea level rise atau
SLR).
Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change), suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Me-
teorological Organization) dan UNEP (The United Nation of
Enviroment Program), laju SLR sekitar 3-10 cm per dasawar-
sa (10 tahun). Isu ini sangat dikhawatirkan umat manusia.
Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai
yang rendah bisa terendam air laut.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 81


Lalu bagaimana nasib Indonesia? Menurut analisis Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal),
laju SLR di beberapa pulau kecil dan kota di pantai utara
Jawa (seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara) sekitar 8 mm/
tahun.
Efek ini menimbulkan pembendungan di muara-muara
sungai dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang
datang dari daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan
yang tinggi maka banjir kian hebat.
Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di In-
donesia yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu
meter saja maka air laut itu merangsek ke sungai sejauh
puluhan kilometer. Akibatnya, lagi-lagi terjadi pembendun-
gan.
Pembendungan itu membuat kecepatan air sungai ber-
kurang. Akibatnya, laju sedimentasi di muara akan bertam-
bah sehingga mengurangi daya tampung sungai di muara.

Upaya Mitigasi
Lalu tak adakah upaya untuk menghalau banjir? Tidaklah
mudah menangani banjir yang begitu kompleks. Karena
itu perlu strategi yang komprehensif dengan melibatkan
berbagai instansi terkait dan masyarakat.
Secara filosofis, penanganan banjir dapat ditempuh
dengan beberapa strategi. Pertama, menerapkan pola
protektif. Pola ini dilakukan dengan membuat bangunan
pengendali banjir misalnya waduk, polder, kolam-kolam
penampungan, sumur resapan, saluran pengendali banjir,
drainase, dan tanggul.

82 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Kedua, dengan pola adaptasi. Pola ini dilakukan dengan
cara menyesuaikan kondisi yang terjadi misalnya dengan
membuat rumah panggung. Walaupun terjadi banjir, rumah
tersebut tetap aman karena air dapat mengalir lewat bawah
rumah.
Ketiga, dengan pola retreat (mundur), yakni dengan
menyesuaikan peruntukan lahan dengan kondisi alamnya.
Salah satunya, menjauhkan permukiman penduduk dari
daerah rawan banjir.
Upaya lain adalah membangun sistem peringatan dini
banjir. Daerah-daerah rawan banjir perlu memasang bera-
gam teknologi yang mampu memprediksi curah hujan dan
debit air.
Selain yang sifatnya fisik perlu dilakukan pula upaya
nonfisik seperti pembuatan peta risiko banjir, penyuluhan
dan penyadaran masyarakat, pelatihan, simulasi penanggu-
langan banjir, peraturan perundangan, tata guna lahan dan
tata ruang.
Tak kalah pentingnya adalah pengelolaan sampah
dengan menerapkan konsep 4R; reduce (mengurangi)
sampah, reuse (menggunakan kembali), recycle (mendaur
ulang), dan replant (menanam kembali). Konsep demikian
diharapkan mampu mengurangi beban sampah yang masuk
ke sungai dan saluran drainase.
Gerakan nasional sebenarnya sudah banyak dicetuskan
oleh pemerintah. Sebut saja GN-RHL (Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan) guna mengurangi laju erosi
dan run-off (aliran permukaan).
Lalu ada juga Prokasih (Program Kali Bersih) yang dapat

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 83


mengurangi gangguan terhadap aliran sungai sekaligus
menambah daya tampung sungai. Program Langit Biru juga
dibuat untuk mengurangi emisi gas buang ke udara sehingga
dapat menurunkan laju pemanasan global.
Sayangnya, gerakan-gerakan nasional tersebut belum
membumi. Banjir terus saja melanda di berbagai kawasan
Indonesia. Bahkan dampak yang ditimbulkannya semakin
memprihatinkan.
Masyarakat, baik di daerah rawan banjir maupun di
hulu sungai sangat besar perannya. Mereka dituntut untuk
sadar, peduli, dan cinta terhadap lingkungan serta disiplin
terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Tanpa hal
itu, banjir terus meneror kita.

ctd
Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 16 Januari 2007.

84 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


14
Rob di Tengah Isu
Pemanasan Global

J
ebolnya tanggul akibat banjir rob (pasang laut) telah
merobohkan belasan rumah di kawasan pesisir Jakarta,
Senin (26/11/2007). Bukan hanya itu, akses jalan raya,
baik dari maupun menuju Bandara Internasional Soekarno-
Hatta, juga lumpuh total akibat tergenang air laut yang
cukup tinggi. Banyak penerbangan mengalami penundaan.
Ratusan hektar tambak pun gagal panen.
Bencana banjir rob disebabkan banyak hal, mulai dari
ulah manusia yang merusak lingkungan hingga alami (pasang
surut). Maklum, dewasa ini pembangunan di wilayah pesisir
sangat cepat, tetapi kurang mengindahkan kaidah tata
ruang ramah bencana. Permukiman dibangun terlalu dekat
dengan pantai. Mangrove tinggal secuil, hanya tumbuh di
beberapa tempat.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 85


Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi
kontribusi terhadap banjir rob. Fakta membuktikan, ter-
kurasnya air itu mengakibatkan tanah ambles. Ketika terjadi
rob, terbentuklah genangan air laut yang luas. Itulah yang
menimpa Jalan Tol Sedyatmo baru-baru ini.
Perilaku manusia yang tak ramah lingkungan itu masih
diperparah dengan kian pesatnya industrialisasi dan peng-
gundulan hutan. Akibatnya terjadilah pemanasan global
yang menimbulkan kekacauan iklim dan ekspansi termal
lapisan permukaan laut. Es di Benua Antartika meleleh. Ke-
naikan paras muka air laut (sea level rise) tak dapat dielak-
kan.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
suatu badan yang dibentuk oleh Organisasi Meteorologi
Dunia (WMO) dan Program Lingkungan PBB (UNEP), mem-
perkirakan laju paras muka air laut di muka Bumi sekitar 3-
10 cm per dasawarsa. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di
Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, dan Kupang, selama
dasawarsa terakhir menunjukkan, paras muka air laut di
kawasan itu berkisar 5-10 milimeter per tahun. Isu ini sangat
mengkhawatirkan pesisir berdataran landai di Indonesia.
Jika diasumsikan kemiringan pantai 1 persen saja, itu berarti
dataran pantai yang tenggelam 0,5 meter sampai 1 meter
per tahun.
Kondisi ini diperparah dengan muara sungai yang sangat
landai. Jika diasumsikan kelandaian muara sungai rata-rata
1:10.000, maka air laut akan merangsek ke arah darat sejauh
50-100 meter per tahun.

86 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Pasang surut
Pasang surut atau proses naik turunnya muka air laut
secara teratur yang disebabkan oleh gaya tarik Bulan dan
Matahari juga berkontribusi terhadap bencana banjir rob.
Berdasarkan analisis menggunakan metode admiralty, kon-
disi pasang laut tertinggi untuk tahun 2007 terjadi pada 26
November, yakni sekitar 1,2 meter. Pasang tinggi dengan ni-
lai yang hampir sama diprediksi akan terjadi lagi antara 23
dan 25 Desember 2007.
Saat itulah terjadi bulan purnama yang menyebabkan
pasang tinggi. Seperti diketahui, dalam satu tahun akan
terjadi pasang air laut saat bulan purnama pada bulan
tertentu lebih tinggi dibandingkan dengan pasang purnama
pada bulan-bulan yang lain. Karena itu, dalam satu tahun
akan terjadi satu kali pasang tertinggi tahunan. Pasang air
laut akan mencapai satu kali pasang tinggi tertinggi dengan
periode ulang 18,6 tahun.
Secara filosofis, penanganan banjir rob di wilayah pesi-
sir dapat ditempuh dengan beberapa strategi. Pertama, pola
protektif dengan membuat bangunan pantai yang mampu
mencegah banjir rob agar tidak merangsek ke darat. Pola
ini bertujuan melindungi antara lain permukiman, industri
wisata, jalan raya, dan daerah pertanian dari genangan air
laut.
Tanggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang
berdasarkan muka air pasang tinggi dan gelombang laut
pada saat ini, tetapi juga harus memperhitungkan amblesan
tanah, paras muka air laut, pasang tinggi tertinggi, dan
gelombang laut akibat angin dalam kondisi ekstrem.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 87


Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan
melakukan restorasi melalui peremajaan pantai (beach
nourishment) dan rehabilitasi mangrove. Proses ini meliputi
pengambilan material dari tempat yang tidak membahayakan
dan diisikan ke tempat yang membutuhkan. Lahan hasil
timbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat
meredam banjir rob merangsek ke darat. Hutan mangrove
juga berfungsi sebagai penyerap karbon untuk mengurangi
pemanasan global.

“Pola protektif lain yang dapat


ditempuh adalah dengan melakukan
restorasi melalui peremajaan pantai
(beach nourishment) dan rehabilitasi
mangrove. Proses ini meliputi
pengambilan material dari tempat
yang tidak membahayakan dan diisikan
ke tempat yang membutuhkan.”

Kedua, pola adaptif menyesuaikan dengan banjir rob.


Rumah-rumah di tepi pantai dibuat model panggung agar
aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir
rob. Daerah pertanian yang tergenang air laut akibat banjir
rob dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya
perikanan.

88 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Ketiga, pola mundur (retreat) bertujuan menghindari
genangan dengan cara merelokasi permukiman, industri,
daerah pertanian, dan lain-lain ke arah darat agar tidak
terjangkau air laut akibat banjir rob.
Upaya lain yang tidak kalah penting adalah mengenda-
likan pemanfaatan air tanah dan membuat sumur resapan
untuk menghambat laju amblesan tanah.
Selain yang bersifat fisik, perlu dilakukan pula upaya
nonfisik, seperti pembuatan peta risiko banjir rob, penyu-
luhan, dan penyadaran masyarakat. Masyarakat, baik di
daerah rawan banjir rob maupun di luar kawasan, sangat
besar perannya. Mereka dituntut untuk sadar, peduli, dan
cinta terhadap lingkungan serta disiplin terhadap peraturan
dan norma-norma yang ada.
Jika kita tidak segera sadar terhadap lingkungan, maka
banjir rob semakin sering terjadi dan bahkan bisa lebih
ganas lagi. Pasalnya, bisa saja terjadi kemungkinan di
mana kondisi amblesan tanah dan paras muka air laut yang
semakin parah bersuposisi dan berakumulasi bersamaan
dengan pasang tinggi tertinggi dan gelombang laut yang
ekstrem pada masa-masa yang akan datang. Apalagi kalau
dibarengi dengan hujan yang sangat deras. Siapkah kita
menghadapinya?

ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 10 Desember 2007.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 89


15
Meredam Banjir Rob

S
etelah bencana banjir akibat hujan datang silih ber-
ganti di beberapa wilayah Indonesia, kini banjir rob
akibat meluapnya air laut mengintai kehidupan kita.
Bahkan di beberapa daerah, banjir rob sudah meneng-
gelamkan ratusan rumah, prasarana transportasi, sawah,
dan tambak.
Kalau ditelisik lebih dalam, rentetan bencana banjir rob
itu disebabkan banyak hal, mulai dari ulah manusia yang
merusak lingkungan hingga dinamika laut.
Bayangkan, akhir-akhir ini pengembangan dan pem-
bangunan di wilayah pesisir sangat cepat tetapi kurang
mengindahkan kaidah tata ruang ramah bencana. Sehingga
saat air laut pasang wilayah tersebut tergenang air asin.
Di samping itu, hutan mangrove yang berfungsi sebagai
peredam gelombang dan banjir rob semakin gundul. Jadi
ketika ada banjir rob maka dengan leluasa air laut itu me-

90 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


nyusup dan merangsek ke darat.
Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi
kontribusi terhadap banjir rob. Fakta membuktikan, ter-
kurasnya air itu mengakibatkan tanah ambles. Sekali terjadi
pasang laut tinggi, terbentuklah genangan.
Ulah manusia bukan cuma di situ. Disadari atau tidak,
semakin maraknya industrialisasi beserta kegiatan yang
mengikutinya (seperti transportasi dan pembangunan ge-
dung-gedung ber-AC) mengakibatkan peningkatan efek
rumah kaca (green house effect).
Dari sinilah terjadi pemanasan global (global warming)
dan menimbulkan ekspansi termal lapisan permukaan
laut, termasuk di Benua Antartika. Glacier dan lapisan es
di daratan paling selatan itu meleleh. Akibatnya, terjadilah
kenaikan paras muka air laut (Sea Level Rise atau SLR).
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change),
suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological
Organization) dan UNEP (The United Nation of Enviroment
Program), memperkirakan terjadi laju SLR sekitar 3-10 cm
per dasawarsa, tergantung pada derajat pemanasan global
yang terjadi.
Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang surut di
Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, Batam, dan Kupang,
selama sembilan tahun pengamatan menunjukkan, rata-
rata SLR di kawasan tersebut sekitar 8 mm/tahun. Isu ini
sangat mengkhawatirkan Indonesia pada abad ke-21. Bukan
apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai di
pulau-pulau kecil yang rendah bisa diterjang banjir rob lebih
dahsyat.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 91


Pasang Surut dan Badai
Pasang surut juga punya kontribusi terhadap bencana
banjir rob. Pasang surut ialah proses naik-turunnya muka air
laut yang teratur, disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan
dan matahari. Karena posisi bulan dan matahari terhadap
bumi selalu berubah secara hampir teratur, maka besarnya
kisaran pasang surut juga berubah mengikuti perubahan
posisi-posisi tersebut.
Muka air laut pasang tertinggi bulanan terjadi pada saat
bulan purnama. Jadi dalam satu bulan akan terjadi satu kali
pasang tinggi. Namun demikian, dalam satu tahun, akan
terjadi pasang air laut pada saat bulan purnama tertentu
lebih tinggi dibandingkan dengan pasang purnama pada
bulan-bulan yang lain. Oleh karena itu dalam satu tahun
akan terjadi satu kali pasang tertinggi tahunan.
Jika muka air pasang tinggi tahunan ini terjadi bersamaan
dengan badai besar dapat dipastikan akan terjadi akumulasi
kenaikan muka air laut yang berdampak pada meluapnya air
ke daerah dataran rendah pantai.
Selain itu, muka air laut pasang dapat mencapai tertinggi
dalam kurun waktu 18,6 tahun yang disebut muka air pasang
tinggi tertinggi (highest high water level). Jadi kalau terjadi
muka air laut pasang tinggi tertinggi dengan periode ulang
18,6 tahunan, sudah bisa diduga banjir rob yang terjadi bisa
lebih dahsyat.
Angin juga punya andil besar terhadap terjadinya banjir
rob. Apabila terjadi badai di daerah pantai maka permukaan
air laut akan miring ke atas menuju arah pantai sehingga
menimbulkan kenaikan muka air laut di pantai. Kenaikan

92 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


muka air laut di pantai karena angin ini biasa disebut dengan
wind set-up.
Besarnya nilai wind set-up berbanding lurus dengan
kecepatan angin dan berbanding terbalik dengan kedalaman
perairan pantai. Jadi semakin dangkal perairan pantai, maka
semakin besar nilai wind set-up. Demikian pula apabila
kecepatan anginnya semakin besar maka nilai wind set-
upnya pun semakin besar.
Gelombang laut akibat angin juga punya andil cukup be-
sar terjadinya banjir rob di wilayah pesisir. Gelombang laut

Gambar 15.1. Kondisi muka air di muara sungai saat normal (Gambar
atas), dan gambar bawah menunjukkan kondisi muka air di muara
sungai meluap.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 93


akibat angin pada umumnya ditimbulkan oleh angin yang
berhembus di atas permukaan laut.
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai
menyebabkan fluktuasi muka air di daerah pantai. Pada
waktu gelombang pecah akan terjadi penurunan elevasi
muka air rerata terhadap elevasi muka air diam di sekitar
lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik di mana
gelombang pecah permukaan air rerata miring ke atas ke
arah pantai. Turunnya muka air di sekitar gelombang pecah
tersebut disebut wave set-down, sedang naiknya muka air di
pantai di sebut wave set-up.
Besarnya nilai wave set-up berbanding lurus dengan
besarnya tinggi gelombang. Semakin besar tinggi gelombang
maka semakin besar pula nilai wave set-up. Dapat dimaklumi
apabila pada saat pasang tertinggi terjadi badai maka akan
menyebabkan timbulnya banjir rob yang besar (Gambar 6).

Upaya Adaptasi
Tidaklah mudah menangani banjir rob yang begitu
kompleks. Karena itu untuk mengatasinya diperlukan upaya
adaptasi yang komprehensif dengan melibatkan berbagai
instansi terkait dan masyarakat.
Secara filosofis, penanganan banjir rob di wilayah
pesisir dapat ditempuh dengan beberapa strategi. Pertama,
pola protektif yaitu dengan membuat bangunan pantai
yang mampu mencegah banjir rob agar tidak merangsek
ke darat. Pola tersebut bertujuan melindungi permukiman,
industri wisata, jalan raya, daerah pertanian, dan lain-lain
dari genangan air laut.

94 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan
melakukan restorasi melalui peremajaan pantai dan reha-
bilitasi mangrove. Cara restorasi dengan peremajaan pantai
(beach nourishment) merupakan alternatif yang sudah cu-
kup lama dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material
dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tem-
pat yang membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian
ditanami mangrove sehingga dapat mencegah air laut aki-
bat banjir rob merangsek ke darat.
Kedua, pola akomodatif, yakni menyesuaikan dengan
banjir rob. Rumah-rumah penduduk di tepi pantai dibuat
model panggung agar aman dari genangan air laut, terutama
pada waktu banjir rob. Bagi daerah pertanian dan budidaya
lain yang tergenang air laut akibat banjir rob dapat diubah
peruntukannya menjadi lahan budidaya perikanan.
Ketiga, pola mundur (retreat). Pola ini bertujuan meng-
hindari genangan dengan cara merelokasi permukiman,
industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah darat agar
tidak terjangkau air laut akibat banjir rob.
Selain yang sifatnya fisik perlu dilakukan pula upaya
nonfisik seperti pembuatan peta risiko banjir rob, penyuluh-
an, dan penyadaran masyarakat.
Masyarakat, baik di daerah rawan banjir rob maupun di
luar kawasan sangat besar perannya. Mereka dituntut untuk
sadar, peduli, dan cinta terhadap lingkungan serta disiplin
terhadap peraturan dan norma-norma yang ada. Bila kita
tidak segera sadar terhadap lingkungan, maka banjir rob
semakin sering terjadi dan bahkan bisa lebih ganas lagi.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 95


16
Mengantisipasi
Gelombang Pasang

D
uka masih menyelimuti masyarakat pesisir Indo-
nesia. Setelah bencana tsunami dan banjir datang
silih berganti, kini giliran belasan provinsi yang ber-
hadapan dengan Samudera Indonesia diterjang ganasnya
gelombang pasang. Akibatnya nahas. Ratusan rumah, pe-
rahu, tempat wisata, jalan dan lain sebagainya mengalami
kerusakan parah.
Kerusakan tersebut selain diakibatkan oleh tingginya
gelombang pasang, juga diperparah oleh tata ruang dan
konstruksi bangunan yang kurang ramah bencana dan
rusaknya lingkungan. Rumah dibangun dekat dengan laut
dan tidak mematuhi building code. Tidak ada tameng baik
buatan maupun alami yang dapat meredam amukan gelom-
bang pasang.

96 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Besar kecilnya gelombang pasang dipengaruhi oleh
besar kecilnya perubahan muka air laut yang terjadi baik
akibat angin (wind set-up), gelombang angin (wave set-up),
maupun pasang surut air laut akibat gaya tarik menarik
bulan dan matahari (air laut pasang), dan fluktuasi muka
air laut akibat gelombang yang dibangkitkan oleh angin.
Superposisi di antara mereka pada kondisi ekstrim dan badai
akan menghasilkan gelombang pasang yang dahsyat.

Dinamika Laut
Gaya-gaya eksternal seperti siklon tropis, angin, dan
pasang surut dapat menimbulkan dinamika laut yang
berupa perubahan muka air laut. Siklon tropis adalah badai
dengan udara hangat di pusatnya. Udara hangat yang lebih
ringan pada pusat siklon menyebabkan tekanan udara di
situ menjadi lebih rendah.
Perbedaan tekanan udara yang sangat kontras tersebut
menyebabkan udara bergerak ke arah pusat tekanan rendah.
Karena pengaruh rotasi bumi maka terbentuklah pusaran
udara yang dikenal dengan siklon.
Tekanan udara yang rendah juga berkontribusi terhadap
kenaikan muka laut. Setiap 10 mbar penurunan tekanan
udara, akan menyebabkan kenaikan muka laut sekitar 10
cm. Gabungan antara pengaruh tekanan rendah dan angin
kencang yang bertiup cukup lama di atas permukaan laut
yang dangkal inilah yang menjadi biang terjadinya gelom-
bang pasang yang dicetuskan oleh storm surge.
Siklon atau badai tropis tidak akan terjadi di dekat kha-
tulistiwa dengan radius antara 5°LU sampai 5°LS, tetapi

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 97


dapat terjadi pada jarak di luar 10o dari khatulistiwa. Oleh
karena itu storm surge yang berasosiasi dengan badai tropis
ini tidak pernah terjadi di Indonesia.
Namun ”ekor” badai atau pengaruhnya bisa dirasakan
pada daerah tertentu di Indonesia, seperti pantai barat
Sumatera, selatan Jawa, selatan Bali, NTB, dan NTT. Pengaruh
tersebut dapat berupa curah hujan yang tinggi, angin
kencang, serta gelombang yang dibangkitkan oleh angin
yang cukup besar yang kadang-kadang dapat mencapai
ketinggian 5 m.
Angin yang kencang punya peran cukup besar terhadap
terjadinya gelombang pasang. Apabila terjadi angin
kencang (badai) akan mendorong muka air laut sehingga
menimbulkan kenaikan muka air laut di pantai yang biasa
disebut dengan wind set-up.
Gelombang laut yang dibangkitkan oleh angin (sela-
njutnya disebut gelombang angin) juga punya andil cukup
besar terjadinya gelombang pasang. Gelombang angin pada
umumnya ditimbulkan oleh angin yang berhembus di atas
permukaan laut dapat berbentuk sea wave (gelombang sea)
maupun swell wave (gelombang swell atau alun).
Gelombang sea adalah gelombang laut yang terbentuk
di daerah pembangkit. Gelombang sea yang terjadi di pantai
biasanya disertai dengan adanya angin kencang di pantai.
Sedangkan gelombang swell adalah gelombang laut
yang sudah merambat jauh dari daerah pembangkit. Gelom-
bang swell tidak lagi terpengaruh oleh keberadaan angin
tetapi ditunjang oleh energi yang telah didapat di daerah
sea. Oleh karena itu gelombang swell yang sampai pantai

98 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


kadang-kadang dapat terjadi tanpa disertai adanya angin
yang kencang di daerah pantai. Tetapi kadang-kadang dapat
datang berbarengan dengan angin lokal.
Pantai di Indonesia yang berhadapan dengan Samudera
Indonesia dihampiri oleh gelombang swell yang dibangkit-
kan oleh angin yang terjadi akibat adanya depresi tekanan
lintang menengah di bagian selatan Samudera Indonesia.
Swell datang (menjalar) ke pantai tanpa halangan di an-
tara selatan Afrika dan barat daya Australia. Biasanya swell
ini datang di pantai di Indonesia yang berhadapan dengan
Samudera Indonesia dari arah selatan atau barat daya. Pe-
riode gelombang berkisar antara 7 hingga 20 detik. Tinggi
gelombang rata-rata 1 hingga 2 meter dengan beberapa
gelombang bisa mencapai tinggi 5 meter. Biasanya gelom-
bang akan lebih tinggi pada saat bulan Mei hingga Oktober.
Daerah pesisir lainnya di Indonesia yang kemungkinan
besar dihampiri gelombang swell adalah pantai utara Papua
dan Maluku yang berhadapan langsung dengan Samudera
Pasifik. Gelombang swell ini dibangkitkan oleh angin yang
berhembus di atas Samudera Pasifik dan menjalar ke pantai
tanpa mengalami hambatan.
Gelombang angin dari laut baik yang berupa gelombang
sea maupun swell yang menuju pantai akan pecah pada
kedalaman laut kira-kira 1,25 kali tinggi gelombang. Pada
waktu Gelombang pecah akan terjadi penurunan elevasi
muka air laut rerata terhadap elevasi muka air laut diam di
sekitar lokasi gelombang pecah. Kemudian dari titik di mana
gelombang pecah, permukaan air laut rerata miring ke atas
ke arah pantai. Naiknya muka air laut di pantai ini di sebut

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 99


wave set-up.
Selain angin dan gelombang, pasang surut juga punya
kontribusi terhadap besarnya gelombang pasang. Pasang
surut ialah proses naik-turunnya muka air laut yang teratur,
disebabkan terutama oleh gaya tarik bulan dan matahari.
Karena posisi bulan dan matahari terhadap bumi selalu
berubah secara hampir teratur, maka besarnya kisaran
pasang surut juga berubah mengikuti perubahan posisi-
posisi tersebut.
Kisaran pasang surut juga berubah dari waktu ke waktu
baik harian, bulanan, maupun tahunan dan akan mencapai
nilai tertinggi dengan periode ulang 18,6 tahun. Fenomena
ini biasa disebut pasang tinggi tertinggi (highest high water
level). Dapat dimaklumi apabila pada saat pasang tinggi
tertinggi terjadi badai maka akan timbul gelombang pasang
yang sangat dahsyat.

Antisipasi
Lalu tak adakah upaya untuk mengantisipasi gelombang
pasang? Antisipasi gelombang pasang di wilayah pesisir
dapat ditempuh dengan berbagai cara.
Pertama, menyesuaikan diri dengan gelombang pasang.
Rumah-rumah penduduk di tepi pantai dibuat model pang-
gung yang aman dari genangan air laut akibat gelombang
pasang. Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut saat
gelombang pasang dapat diubah peruntukannya menjadi
lahan budidaya perikanan.
Kedua, membuat bangunan pantai (tembok laut, break-
water) yang mampu mencegah gelombang pasang agar ti-

100 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


dak merangsek ke darat. Antisipasi ini bertujuan melindungi
permukiman, industri, wisata, jalan raya, daerah pertanian,
dan lain-lain dari gempuran gelombang pasang. Di Jepang
misalnya, upaya seperti ini mampu menyelamatkan manu-
sia dan harta-benda lainnya dari hantaman gelombang pa-
sang.
Ketiga, melakukan restorasi melalui peremajaan pantai
dan rehabilitasi vegetasi pantai. Cara restorasi dengan pe-
remajaan pantai (beach nourishment) sudah cukup lama
dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material dari tem-
pat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yang
membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian ditana-
mi vegetasi pantai sehingga dapat meredam hantaman ge-
lombang pasang.
Keempat, menghindari gelombang pasang dengan cara
merelokasi permukiman, industri, wisata, daerah pertanian,
dan lain-lain ke arah darat agar tidak terjangkau gelombang
pasang.
Tentu saja antisipasi tersebut butuh biaya mahal. Walau-
pun demikian, biaya tersebut tidak ada artinya dibanding-
kan dengan besarnya kerugian yang dialami manusia dan
lingkungan akibat terjangan gelombang pasang.

ctd
Artikel ini dimuat di Seputar Indonesia edisi 22 Mei 2007.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 101


17
Penambangan Pasir
dan Ekologi Laut

P
enambangan pasir laut telah berkembang menjadi
polemik nasional. Dampaknya seperti nelayan yang
kehilangan mata pencarian hingga tenggelamnya
sebuah pulau telah berkembang menjadi bahan pembicaraan
di masyarakat.
Secara obyektif pasir laut memang bisa disebut salah satu
sumber daya kelautan yang berkembang menjadi komoditas
ekonomi. Namun, penambangan pasir laut berdampak pada
pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kegiatan penambangan
pasir laut apabila tidak dilakukan di daerah yang tepat dan
dengan cara yang tepat akan berdampak pada lingkungan,
baik fisik, biologi, maupun sosial.
Penambangan pasir laut yang sebagian besar dilakukan
di daerah nearshore dapat mengganggu stabilitas pantai

102 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


yang selama ini dipahami sebagai penyebab tenggelamnya
sebuah pulau. Bagaimana sebenarnya akibat penambangan
pasir laut terhadap dinamika pantai?
Pantai dikatakan stabil jika untuk waktu lama hampir tak
mengalami perubahan bentuk. Kestabilan pantai ditentukan
oleh berbagai faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal
meliputi arus, gelombang, angin, maupun pasang surut,
sedangkan faktor internal menyangkut karakteristik, tipe
sedimen, serta lapisan dasar di mana sedimen itu berada.
Penggalian pasir pantai akan mengakibatkan dampak
berupa perubahan batimetri, pola arus, pola gelombang,
dan erosi pantai. Apabila dasar perairan digali untuk pe-
nambangan pasir, maka permukaan dasar perairan akan se-
makin dalam. Dampaknya, lereng pantai menjadi lebih terjal
sehingga menimbulkan ketidakstabilan lereng pantai.
Aktivitas penambangan pasir laut mengakibatkan peru-
bahan pola arus, baik arus yang diakibatkan oleh pasang su-
rut maupun oleh gelombang, perubahan energi gelombang,
dan perubahan pola sebaran sedimen pantai. Perubahan
pola faktor-faktor eksternal ini dapat berdampak pada pe-
macuan intensitas erosi.
Mengingat pendalaman dasar perairan depan garis
pantai akan menurunkan/menghilangkan efek peredaman
gelombang, energi gelombang yang menggempur pantai
menjadi semakin besar. Selain menurunkan efek peredam-
an, pendalaman dasar perairan di sekitar pantai juga me-
nimbulkan perubahan pola arah gelombang yang lebih dike-
nal sebagai refraksi.
Di daerah laut dalam, gelombang merambat tidak dipe-

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 103


ngaruhi dasar laut. Akan tetapi, di daerah laut transisi dan
dangkal penjalaran perambatan gelombang sangatlah dipe-
ngaruhi oleh dasar laut. Refraksi mempunyai pengaruh besar
terhadap distribusi energi gelombang di sepanjang pantai.
Perubahan arah gelombang akibat refraksi akan meng-
hasilkan konvergensi (konsentrasi) dan divergensi (penye-
baran) energi gelombang. Pada titik terjadinya konsentrasi
gelombang, intensitas erosi akan meningkat. Pantai dika-
takan stabil apabila massa sedimen yang ditranspor oleh
arus sejajar pantai dalam jumlah konstan sepanjang pantai.
Penambangan pasir menimbulkan kawah yang bisa
mengganggu keseimbangan transpor sedimen sejajar pan-
tai. Kawah menyebabkan terperangkapnya sedimen sejajar
pantai sehingga jumlah massa sedimen berkurang. Untuk
menutupi defisit ini, gelombang dan arus sejajar pantai be-
rusaha mengerosi dinding pantai sebelah hilir (downdrift)
kawah.

Tipologi pantai
Dampak yang ditimbulkan penambangan pasir laut
terhadap perubahan garis pantai pastilah berbeda,
bergantung pada tipe dan material pembentuk pantai.
Secara umum, berdasarkan material penyusunnya, pantai
dapat dibedakan sebagai berikut.
Pertama, pantai berbatu. Biasanya dicirikan dengan
dinding pantai terjal yang langsung berhubungan dengan
laut. Pada daerah yang terlindung, keberadaan tebing pantai
ini terdapat agak jauh dari pantai, dengan karakteristik
pantai berpasir. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam

104 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


dua tipe, yaitu tebing karang dengan material lepas yang
gampang hancur atau runtuh dan tebing batuan induk yang
umumnya keras dan tidak mudah hancur.
Bentuk tebing pantai umumnya dipengaruhi keadaan
alam, yaitu gelombang, arus pantai, angin, atau yang
diakibatkan secara tidak langsung oleh kegiatan manusia
di wilayah pantai. Pantai berbatu biasanya tidak mudah
tererosi akibat adanya arus atau gempuran gelombang.
Erosi di daerah pantai berbatu lebih banyak oleh pelapukan
batuan atau proses geologi lain dalam waktu yang relatif
lama. Erosi pada material masif (seperti batu atau karang)
ini lebih dikenal dengan nama abrasi.
Kedua, pantai berpasir dan pantai berlumpur. Pantai
tipe ini terbentuk oleh proses di laut akibat erosi gelombang,
pengendapan sedimen, dan material organik. Pantai berpasir
umumnya banyak dijumpai pada pantai di Indonesia.
Material penyusun pantai tersebut biasanya terdiri atas
pasir bercampur batu yang berasal dari daratan yang
terbawa aliran sungai atau berasal dari daratan di belakang
pantai tersebut. Di samping berasal dari daratan, material
penyusun pantai ini juga dapat berasal dari berbagai jenis
biota laut yang ada di daerah pantai itu sendiri.
Pantai berlumpur yang banyak dijumpai di muara
sungai yang ditumbuhi oleh hutan mangrove, energi
gelombang terdisipasi oleh hutan mangrove dan lumpur.
Pantai tipe ini banyak ditemui di pantai utara Pulau Jawa,
pantai timur Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Pantai tipe
ini relatif mudah berubah bentuk, mengalami deformasi,
dan tererosi.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 105


Proses pantai
Perubahan bentuk atau lebih dikenal sebagai morfologi
pantai merupakan hasil rangkaian proses pantai. Proses
pantai yang sangat dominan terjadi di Indonesia adalah erosi
pantai. Proses pantai mencakup sirkulasi arus dan dinamika
gelombang serta interaksinya dengan sedimen.
Arus yang terjadi di pantai berasal dari arus laut global,
arus akibat angin, arus akibat pasang surut, ataupun arus
akibat gelombang. Arus global, arus akibat angin, dan arus
pasang surut disebut shelf current atau coastal current.
Sementara itu, arus yang disebabkan gelombang dibedakan
menjadi littoral current dan orbital current. Arus litoral
terjadi bila arah gelombang membentuk sudut dengan garis
pantai.
Arus orbital gelombang adalah arus yang disebabkan
oleh kecepatan partikel yang arahnya maju mundur searah
dengan arah gelombang. Besar arus orbital bergantung pada
tinggi dan periode gelombang. Panjang daerah pengaruh
arus orbital ini sebanding dengan panjang gelombang.
Arus gelombang biasanya terjadi pada daerah antara
gelombang pecah dan garis pantai (surf-zone). Kedua
arus inilah yang berperan dominan dalam proses erosi
pantai. Mekanisme gelombang di surf zone dimulai dengan
terjadinya gelombang pecah pada kedalaman kira-kira 1,25
kali tinggi gelombang.
Gelombang pecah ini membentuk bore yang merayap
ke pantai dan naik ke swash zone, kemudian kembali ke
laut. Swash zone hanya sewaktu-waktu terendam oleh
air, dan dalam perjalanannya kembali ke laut, arus akan

106 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Gambar 17.1 Dampak kerusakan lingkungan akibat pengerukan pasir
laut. Kondisi setelah pengerukan (Gambar atas), dan gambar bawah
menunjukkan kondisi sebelum terjadi pengerukan.

membawa material sedimen. Energi eksternal ini bekerja


secara kontinu sepanjang pantai. Pada bagian yang relatif
tidak memiliki daya tahan yang tinggi, relatif lebih cepat
terkikis dan sedimen akan terangkut bersama arus balik ke
laut (backwash). Terjadilah keseimbangan baru yang akan
mempengaruhi bentuk garis pantai.
Dikaitkan dengan kegiatan penambangan pasir laut,
yang diduga dapat menurunkan faktor peredaman energi

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 107


eksternal, maka hilangnya terumbu karang, padang lamun,
hutan mangrove, atau pendalaman dasar perairan di sekitar
pantai berdampak pada meningkatnya intensitas energi
eksternal yang bekerja pada pantai (lihat Gambar 17.1).
Namun, kecepatan proses pengikisan pada intensitas
energi yang sama pada pantai masih bergantung pada ma-
terial pembentuk pantai. Pantai yang tersusun oleh materi
yang tidak kompak (pasir dan lumpur) akan terkikis lebih
cepat dibanding pantai yang tersusun materi yang kompak
(batu).
Pengikisan pantai merupakan salah satu penyebab ter-
jadinya perubahan garis pantai. Apabila proses ini berlang-
sung secara terus-menerus tanpa ada faktor penghambat,
maka proses pengikisan akan berlanjut pada daratan pulau
tersebut. Skala waktu, luas daratan, besaran energi ekster-
nal, dan daya tahan material penyusun daratan pulau akan
menentukan apakah daratan tersebut akan hilang atau
tenggelam.

Upaya mitigasi
Kembali pada apakah penambangan pasir laut akan
berdampak tenggelamnya sebuah pulau, ini perlu dijawab
secara hati-hati. Secara tidak langsung dan pada skala waktu
yang lama, kemungkinan ini akan terjadi. Namun di sisi lain,
dengan mengenal sifat dasar dinamika pantai dan faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi perubahan bentuk
garis pantai, kita dapat merekomendasikan lokasi optimal
untuk penambangan pasir laut dengan dampak minimal
perubahan keseimbangan alam dengan beberapa upaya.

108 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Pertama, menetapkan kedalaman dan kemiringan/
keterjalan maksimum lereng pantai yang dapat mencegah
terjadinya longsoran di daerah pantai akibat penambangan
pasir laut di daerah pantai (aspek geoteknologi).
Kedua, menetapkan kedalaman tempat penambangan
pasir di laut untuk mencegah terjadinya perubahan pola
gelombang yang mengakibatkan konsentrasi gelombang di
suatu tempat tertentu di pantai yang dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan stabilitas pantai (aspek hidrooseano-
grafi).
Mengingat penambangan pasir laut di sekitar pantai
berdampak signifikan terhadap stabilitas pantai, maka pene-
tapan zona penambangan pasir akan ideal apabila dilakukan
di daerah perairan laut dalam.

ctd
Artikel ini dimuat di Kompas edisi 3 Januari 2004.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 109


18
Memanfaatkan Lumpur
Sidoarjo

S
ampai saat ini kita tidak tahu persis kapan semburan
lumpur Sidoarjo (Lusi) berhenti. Awalnya, semburan
Lusi itu hanya sekitar 5.000 m3 per hari sejak 29 Mei
2006. Kini semburan lumpur itu terus bertambah bahkan
dalam sehari bisa mencapai 125.000 m3.
Bisa dibayangkan genangan lumpur yang terus berlang-
sung itu. Setahun setelah semburan itu terjadi, volume
lumpur tersebut mencapai puluhan juta m3.
Dampaknya tentu luar biasa. Keperkasaan Lusi itu telah
menewaskan belasan orang. Desa-desa yang terbenam
lumpur kian meluas.
Kini, kian banyak penduduk yang kehilangan rumah, sa-
wah, tambak, dan tanah. Luapan lumpur juga melumpuh-
kan perekonomian di sekitarnya.

110 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Berbagai langkah pun dibuat. Tanggul-tanggul dibuat
dan terus ditinggikan untuk melindungi aset penting. Namun
tetap saja, sesekali tanggul itu jebol, tak sanggup menahan
keperkasaan lumpur.

Rawa buatan
Lalu bakal dibawa kemana Lusi yang semakin melimpah
itu? Sebenarnya banyak cara bisa dilakukan. Salah satunya,
dengan membawa lumpur tersebut ke pantai Sidoarjo untuk
dijadikan rawa buatan (artificial wetland) yang ditanami
mangrove.
Banyak manfaat dari upaya ini. Di satu sisi kita bisa me-
mindahkan genangan lumpur sehingga dampak akibat je-
bolnya tanggul pengaman dapat dikurangi. Di sisi lain, rawa
buatan berhutan mangrove itu diharapkan mampu mem-
perbaiki ekosistem kawasan pesisir secara keseluruhan.
Di samping itu, hutan mangrove bisa menjadi filter
dalam menyerap aneka limbah seperti logam berat yang
berasal dari industri di Surabaya dan sekitarnya. Mangrove
juga berfungsi sebagai tempat berkembangbiaknya aneka
biota laut seperti kepiting, udang, dan ikan. Dari sini jelas,
masyarakat bisa memperoleh banyak manfaat ekonomi dari
ekosistem tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, mang-
rove jenis Avicenia marina (api-api) sangat cocok ditanam
di media yang berasal dari semburan Lusi. Tumbuhan itu
mampu bertahan dan tumbuh secara baik.
Buktinya, dari 55 bibit mangrove jenis api-api yang
ditanam menggunakan media Lusi, hanya 5 bibit yang mati.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 111


Hingga 6 bulan sejak ditanam, mangrove itu terus tumbuh
subur.
Hal itu terlihat dari pertumbuhan dan jumlah daunnya.
Bibit mangrove itu mengalami pertumbuhan tinggi berkisar
antara 0,1 – 0,6 cm tiap minggu. Sementara itu, jumlah
daunnya juga mengalami pertambahan rata-rata satu helai
setiap minggu.

Amerika Serikat
Pengalaman Amerika Serikat dalam mengendalikan
Lumpur hasil pengerukan layak disimak. Di negeri Paman
Sam itu, US Army Environmental Center (USAEC) mengolah
lumpur hasil pengerukan pelabuhan melalui phytoreclama-
tion.
Cunningham dan Lee (1995) mendefiniskan phytorecla-
mation dalam tiga proses dasar. Pertama, penyerapan ba-
han pencemar dari tanah oleh tumbuhan melalui transpirasi
dan evaporasi.
Kedua, pengurangan bahan pencemar melalui proses
metabolisme tumbuhan, bakteri, dan tumbuhan mikro
lainnya. Ketiga, stabilisasi tanah reklamasi dengan tumbuhan
sehingga meminimalkan pencemaran perairan.
Para pekerja USAEC itu harus berupaya keras untuk
menaklukkan lumpur tersebut. Bukan apa-apa, volume
material itu mencapai lebih dari 300 juta m3 setiap tahun.
Dari angka itu, 5-10 persennya tidak layak untuk dibuang
di perairan terbuka (laut). Sebab, banyak pegiat lingkungan
yang menentangnya. Maklum, pembuangan seperti itu
berdampak negatif terhadap ekosistem perairan.

112 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Pilihan lain dengan menggunakan confined placement
facilities (CPF) pun menjadi masalah. Pilihan ini menjadi
sulit karena kebanyakan CPF yang ada hampir mencapai
kapasitas maksimumnya. Lagi pula untuk mendapatkan
lokasi baru bagi CPF tidaklah mudah.
Karena itu perlu cara lain yang lebih jitu untuk meng-
elola lumpur tersebut. Secara kasat mata, lumpur tersebut
sebenarnya punya potensi untuk mereklamasi pantai.
Namun, hal itu tidak mudah. Bukan apa-apa, lumpur
tersebut telah terkontaminasi dengan polutan pelabuhan
seperti logam berat. Kondisi tersebut tentu saja memerlukan
remediasi atau pengurangan konsentrasi bahan pencemar
melalui phytoreclamation.
Pemerintah AS layak bangga. Sebab, teknik ini secara
cepat dapat diterima oleh masyarakatnya. Lebih dari itu,
phytoreclamation lebih murah ketimbang teknologi pengo-
lahan tradisional seperti insinerasi dan pengomposan.
USAEC memperkirakan, biaya phytoreclamation untuk
tanah seluas 1 are dengan kedalaman 50 cm yang terkon-
taminasi timbal sebesar US$ 60.000-100.000. Bandingkan
dengan biaya landfilling yang mencapai US$ 400 ribu sam-
pai US$ 1,7 juta pada kondisi serupa.

Hambatan
Ada beberapa hambatan dalam membuat rawa buatan.
Bisa jadi, selama proses pembuatan itu berdampak semen-
tara bagi kawasan di sekitarnya berkaitan dengan aliran
lumpur.
Hambatan lain, sulitnya mengangkut lumpur dari

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 113


lokasi semburan ke pantai Sidoardjo. Maklum, sifat lumpur
semacam ini cepat mengendap.
Karena itu ada beberapa alternatif mengangkut lumpur
ke pantai Sidoarjo. Pertama, dengan menggunakan saluran
terbuka. Di sini, persoalan yang muncul adalah landainya
topografi permukaan tanah dari pusat semburan ke pantai.
Bukan apa-apa, perbedaan elevasi permukaan dasar ko-
lam lumpur dan pantai Sidoarjo hanya sekitar 7 meter. Pa-
dahal jarak dari pusat seburan lumpur ke pantai sekitar 20
km. Dengan demikian kemiringan saluran sangat landai se-
hingga tidak mampu mengangkut lumpur secara gravitasi.
Hal ini mengakibatkan banyak lumpur yang mengendap.
Kondisi ini diperparah oleh kadar air lumpur yang sangat
rendah sehingga lumpur sulit mengalir secara gravitasi.
Untuk mengatasi pengendapan lumpur sepanjang salur-
an bisa dilakukan penggelontoran dengan air dan fluidisasi
(fluidization) pada tempat-tempat tertentu di sepanjang sa-
luran.
Kedua, pengaliran lumpur melalui pipa dengan bantuan
pompa dan booster pump. Tentu saja daya listrik yang
dibutuhkan untuk mengalirkan lumpur sangat besar, sekitar
5 MWatt.
Ketiga, pengangkutan melalui darat dengan meng-
gunakan truk merupakan salah satu alternatif untuk mem-
bawa lumpur ke lahan rawa buatan. Namun demikian untuk
membawa material padat hasil semburan diperlukan pulu-
han ribu trip truk per hari.
Keempat, dengan menggunakan kolam-kolam penam-
pungan lumpur untuk menggiring lumpur ke arah pantai.

114 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Kolam penampungan dibuat secara bertahap satu demi satu
dimulai dari pusat semburan dan berakhir di tepi pantai.
Kelima, lumpur dibiarkan meluber disekitar semburan
sampai semburan tersebut berhenti dengan sendirinya.
Penduduk yang terpengaruh dampak semburan lumpur Si-
doarjo di relokasi seluruhnya ke tempat yang lebih aman.
Setelah semburan lumpur Sidoarjo berhenti, daerah bekas
semburan dan daerah sekitarnya yang terkena dampak lum-
pur Sidoarjo dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata
geologi, wisata petualangan, atau wisata rohani.
Kelima alternatif tersebut butuh biaya yang sangat ma-
hal. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian yang komprehen-
sif untuk menentukan alternatif yang paling tepat dan me-
nguntungkan dalam memanfaatkan lumpur Sidoarjo baik
dari segi teknis, ekonomi, lingkungan, maupun sosial.
Walaupun demikian, biaya tersebut tidak ada artinya di-
bandingkan dengan besarnya kerugian yang dialami manu-
sia, alam, dan lingkungan akibat jebolnya tanggul penahan
lumpur yang memang sering tak berdaya menahan volume
lumpur yang terus bertambah.

ctd

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 115


19
Meredam Abrasi
dengan Tuntas

K
ondisi kawasan pantai di berbagai penjuru Tanah Air
sangat mencemaskan. Abrasi atau erosi pantai sudah
menjadi pemandangan yang jamak. Panorama pantai
yang tadinya asri dan indah berubah menjadi tak elok lagi.
Sekitar 100 lokasi di 17 provinsi dengan panjang pantai
kurang lebih 400 km telah mengalami erosi pantai yang
mengkawatirkan.
Pantai Tirtamaya di Indramayu, Jawa Barat misalnya,
daratannya hancur digerus oleh ombak. Satu-satunya objek
wisata bahari yang dimiliki kabupaten penghasil buah
mangga itu mulai sepi ditinggalkan para pengunjungnya.
Kerusakan serupa juga terjadi di sepanjang jalur pantai
utara (Pantura) Jawa, pantai selatan Bali, pantai Sumatera

116 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Barat, Bengkulu, pantai timur Lampung, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan lain sebagainya. Jika
tak ada usaha keras untuk menghentikan laju abrasi, rumah,
jalan, tempat pariwisata, dan tambak itu bakal amblas
diterjang ombak.
Lalu mengapa abrasi itu bisa terjadi? Riset membukti-
kan, abrasi pantai disebabkan terganggunya keseimbangan
transportasi sedimen sejajar pantai (longshore sediment
transport) atau tidak adanya peredaman energi gelom-
bang.
Ketidakseimbangan itu bisa terjadi lantaran tiga hal, yak-
ni faktor alami, buatan, atau keduanya (alami dan buatan).
Namun, di antara faktor tersebut, pengaruh aktivitas manu-
sia tak ramah lingkungan merupakan penyebab utamanya.
Bangunan pantai seperti reklamasi yang menjorok ke
laut, breakwater, groin, dan jetty misalnya, dapat mengu-
rangi bahkan menghentikan suplai sedimen dari angkutan
sedimen sejajar pantai (longshore sediment transport).
Pengambilan material pantai (karang dan pasir pantai) untuk
bahan bangunan akan mengurangi cadangan sedimen bagi
pembentukan pantai dalam siklus dinamiknya. Di samping
itu, pengambilan material pantai akan berdampak pada
hilangnya fungsi peredaman energi gelombang.
Pengurangan suplai sedimen ke pantai juga dapat ter-
jadi karena aktivitas di hulu sungai seperti pembuatan kan-
tong-kantong sedimen, waduk, bendung, dan bangunan air
lainnya, pengalihan muara sungai, penambangan material
dasar sungai. Bahkan penghijauan dan pengendalian erosi
yang berhasil di daerah hulu dapat mengurangi pasokan se-

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 117


dimen ke pantai.
Penebangan mangrove di kawasan pesisir dan pulau-
pulau kecil juga menjadi biang terjadinya abrasi. Dengan
hilangnya mangrove, tidak ada lagi tameng yang dapat
meredam gempuran gelombang di pantai.

Akibat Ulah Manusia


Survei membuktikan, setidaknya ada lima penyebab
abrasi yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia. Pertama,
terperangkapnya angkutan sedimen sejajar pantai akibat
adanya bangunan (seperti groin, jetty, breakwater pelabu-
han, reklamasi, dan lain-lain) yang tegak lurus garis pantai
(Gambar 19.1.a s.d 19.1.d) .
Ketika gelombang menuju pantai dengan membentuk
sudut terhadap garis pantai, akan menimbulkan arus sejajar
pantai di zona gelombang pecah. Gaya-gaya dan turbulensi
yang ditimbulkan oleh gelombang pecah akan mengerosi

Sub
an
do
no
Dip
osa
pto
no

a)
Gambar 19.1. Penyebab abrasi yang ditimbulkan oleh aktivitas
manusia. a) groin; b) Jetty; c) breakwater, dan d) reklamasi pantai.

118 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Sub
an
do
no
Dip
osa
pto
no

b)

Sub
an
do
no
Dip
osa
pto
no
c)

Sub
an
do
no
Dip
osa
pto

d)
no

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 119


sedimen dasar dan mengaduknya menjadi material tersus-
pensi.
Sedimen ini oleh arus sejajar pantai yang terjadi di zona
gelombang pecah lalu dibawa menelusuri sepanjang garis
pantai. Akibat adanya bangunan tegak lurus garis pantai,
akan mengubah konfigurasi pantai sehingga pantai akan
menuju keseimbangan dinamis yang baru.
Sedimen yang diangkut oleh arus sejajar pantai tersebut
akan terperangkap oleh bangunan. Akibatnya, terjadi proses
sedimentasi di daerah updrift (hulu) dan abrasi di daerah
downdrift (hilir) dari arah gelombang ditinjau dari bangunan
tersebut.
Terjadinya sedimentasi di daerah hulu ini di samping
karena sedimen terperangkap oleh bangunan tegak lurus
pantai, juga disebabkan adanya pembelokan dan mengecil-
nya magnitude arus. Dampaknya, kecepatan jatuh partikel
lebih dominan bekerja terhadap partikel sedimen dibanding
transpor arus, sehingga akan terjadi proses sedimentasi di
sebelah hulu bangunan. Sebaliknya di daerah hilir akan ter-
jadi abrasi.
Abrasi ini terjadi selain karena terperangkapnya sedimen
di sebelah hulu sehingga mempengaruhi keseimbangan
transpor sedimen di sebelah hilir, juga adanya arus olakan
yang menuju ke arah laut akibat bangunan tegak lurus pantai.
Proses abrasi ini akan berlangsung terus sampai terjadi
keseimbangan dinamis baru, yaitu apabila sedimentasi yang
terjadi di sebelah hulu bangunan telah berhenti.
Banyak contoh kasus abrasi semacam ini di Indonesia. Di
antaranya, dampak dari pembuatan breakwater Pelabuhan

120 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Pulau Baai. Lalu, bangunan jetty di Muara Dadap, Indramayu,
dan saluran beton untuk mengambil air laut yang menjorok
ke laut di Tambak Inti Rakyat (TIR) Karawang. Bangunan-
bangunan tersebut telah terbukti menimbulkan abrasi.
Kedua, abrasi pantai terjadi karena arus pusaran akibat
adanya bangunan tembok laut (seawall) (Gambar 19.2).
Seperti diketahui, gelombang yang mendekati pantai, oleh
seawall sebagian dipantulkan ke arah laut. Gelombang hasil
pantulan ini akan berasosiasi dengan gelombang datang se-
hingga menimbulkan efek standing wave dan menimbulkan
arus pusaran (eddy current) di samping kiri dan kanan dari
seawall.

Gambar 19.2. Seawall

Standing wave tersebut akan bersifat merusak pantai


yang terekspose karena mempunyai daya hisap besar di
sekitar bangunan seawall. Karena pantai di sebelah kiri
dan kanan seawall merupakan tanah terekspose dan tidak
terlindungi oleh seawall maka tanah tersebut akan tererosi

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 121


sampai mencapai keseimbangan dinamis baru. Kasus abrasi
semacam ini terjadi di Malalayang 2 (Manado).
Ketiga, abrasi pantai yang disebabkan berkurangnya
suplai sedimen dari sungai akibat dibangunnya dam di se-
belah hulu sungai dan sudetan (pemindahan muara sungai)

Gambar 19.3. Pembangunan DAM.

122 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


(Gambar 19.3). Berkurangnya suplai sedimen dari sungai
ini akan menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan
transpor sedimen sejajar pantai.
Kondisi semula adalah bahwa sedimen yang datang dari
muara sungai oleh arus sejajar pantai dibawa menelusuri
pantai untuk selanjutnya didistribusikan dan diendapkan di
pantai tersebut. Namun karena suplai sedimen dari sungai
berkurang maka akan mengakibatkan terjadinya abrasi pan-
tai di hilir muara sungai untuk mengimbangi angkutan sedi-
men yang semula disuplai dari sungai. Kasus abrasi sema-
cam ini terjadi di Krueng Aceh, Padang, dan Kedung Semat.
Keempat, abrasi pantai akibat penambangan karang
dan pasir pantai (Gambar 19.4). Penambangan ini biasanya
dilakukan di daerah nearshore dimana gerakan pasir atau
sedimen di dasar pantai/laut masih dipengaruhi oleh
gerakan gelombang.
Penggalian karang atau pasir pantai akan mengakibatkan
perubahan batimetri, pola arus, pola gelombang, dan abrasi.
Apabila dasar perairan digali untuk penambangan karang
atau pasir maka energi gelombang yang menghantam pantai
akan lebih besar sehingga mekanisme peredaman energi
gelombang oleh dasar perairan berkurang. Dengan demikian
abrasi atau penggerusan meningkat intensitasnya.
Penambangan juga mengakibatkan lereng pantai men-
jadi lebih terjal sehingga menimbulkan ketidakstabilan le-
reng pantai. Akibatnya, menimbulkan terjadinya pemacuan
intensitas abrasi.
Di samping itu, penambangan juga menimbulkan kawah
yang akan menjadi tempat bagi terperangkapnya sedimen

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 123


Gambar 19.4. Penambangan Karang/Pasir Laut.

sejajar pantai. Akibat gerakan gelombang maka lubang-


lubang/kawah bekas penambangan pasir akan terisi kembali
oleh pasir di sekitarnya termasuk pasir yang ada di pantai
yang digali sehingga terjadi erosi.
Keseimbangan transpor sedimen sejajar pantai itu me-
nimbulkan gangguan terhadap keseimbangan garis pantai.
Berkurangnya transpor sedimen karena terperangkap oleh
kawah galian ini akan menimbulkan abrasi di sebelah hilir
kawah galian.

124 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Penggalian pasir di pantai juga mengakibatkan terjadi-
nya perubahan pola arah gelombang. Di tempat-tempat
tertentu terjadi konsentrasi energi gelombang, sehingga
akan meningkatkan intensitas abrasi pada tempat-tempat
tersebut. Kasus abrasi semacam ini terjadi antara lain di
pantai Kepulauan Riau, Tangerang, Kepulauan Seribu, dan
lain-lain.
Kelima, abrasi karena penggundulan hutan mangrove
(Gambar 19.5). Pada pantai-pantai berlumpur umumnya

Gambar 19.5. Penebangan Hutan Mangrove

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 125


ditumbuhi pohon mangrove. Perakaran mangrove biasanya
menjadi penopang bagi kestabilan pantai yang berlumpur.
Hutan mangrove juga berfungsi sebagai peredam energi
gelombang yang akan mencapai pantai.
Apabila hutan mangrove ini ditebangi maka fungsi pere-
damannya akan berkurang atau bahkan hilang. Gelombang
langsung mengenai tanah yang gundul dan lemah sifatnya.
Ia akan mengaduk dan melarutkan tanah pantai tersebut
dalam bentuk suspensi kemudian diangkut oleh arus dan
diendapkan ke tempat lain yang memungkinkan. Kasus ini
banyak terjadi di Lampung Timur, Pantura Jawa, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Timur.

Kondisi Penanganan Saat ini


Selama ini penanganan perlindungan kawasan pesisir
terhadap abrasi pantai masih banyak dilakukan dengan
menggunakan pendekatan “struktur keras” yaitu dengan
membuat pelindung pantai yang secara estetis dan ekologis
kurang ramah. Di antaranya dengan membuat bangunan-
bangunan pantai seperti tembok laut, pelindung tebing (re-
vetment), groin, jetty, krib sejajar pantai, dan tanggul laut.
Di samping itu, penanganannya juga bersifat sporadis
dan kurang komprehensif. Cara demikian menimbulkan
masalah baru. Ia hanya memindahkan lokasi abrasi dari
tempat yang telah dilindungi ke tempat lain di sekitarnya
yang kurang mendapat perhatian. Dengan demikian, abrasi
tidak pernah terselesaikan dengan tuntas.
Konsep pembuatan groin misalnya, ternyata tidak
selalu berhasil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

126 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


keberadaan groin justru meningkatkan arus sirkulasi di
antara dua groin dan membentuk rip current yang akan
mengangkut sedimen hilang ke lepas pantai.
Abrasi yang terjadi di daerah hilir groin juga dapat mem-
bahayakan keamanan bangunan groin di sebelahnya. Dari
sisi estetis, groin mengganggu keindahan dan kenyamanan
pejalan kaki di pantai. Selain itu groin sama sekali tidak
efektif untuk mengatasi erosi yang disebabkan oleh angkutan
sedimen tegak lurus pantai.
Begitu juga dengan bangunan jetty yang memang dibu-
at tegak lurus pantai yang cukup panjang menjorok ke laut.
Struktur ini dibangun untuk mengatasi masalah pendangka-
lan muara sungai.
Jetty yang cukup panjang ini menimbulkan muara sungai
terbebas dari littoral transport. Permasalahan yang terjadi
adalah tertahannya sedimen di sisi hulu dan tererosinya
garis pantai di sisi hilir jetty.
Masalah serupa juga terjadi dengan adanya tembok
laut (sea wall) yang dibuat pada garis pantai sebagai
pembatas antara daratan di satu sisi dan dan perairan di sisi
yang lain. Fungsinya adalah untuk melindungi garis pantai
dari serangan gelombang serta untuk menahan tanah di
belakang tembok laut tersebut.
Dengan adanya tembok laut diharapkan proses abrasi
dapat dihentikan. Karena struktur tembok laut berupa
bangunan yang masif, maka refleksi yang ditimbulkan oleh
bangunan tersebut justru meningkatkan tinggi gelombang
bahkan dapat mencapai dua kali tinggi gelombang datang
dan dapat terjadi gelombang tegak (standing wave/clapotis).

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 127


Akibatnya, di depan struktur tersebut justru terjadi gerusan
yang kadang dapat membahayakan struktur itu sendiri.
Penanganan lainnya adalah dengan membangun break-
water. Struktur yang berupa bangunan lepas pantai yang
dibangun sejajar dengan garis pantai ini dimaksudkan untuk
menahan energi gelombang yang menghempas pantai.
Daerah di belakang bangunan tersebut akan lebih
tenang dari daerah sekitarnya sehingga transpor sedimen
sejajar pantai akan terhenti di belakang detached breakwater
tersebut. Permasalahan utama yang timbul adalah abrasi di
luar daerah bayangan detached breakwater.
Selain itu, refleksi dari bangunan tersebut juga menye-
babkan keadaan gelombang di sekitar bangunan justru me-
ningkat sehingga menimbulkan gerusan lokal di sekeliling
bangunan. Struktur ini juga mengubah pola arus/sirkulasi
pantai.

Solusi Menyeluruh dan Komprehensif


Penyelesaian dengan “struktur keras” tersebut saat ini
masih dilakukan secara parsial dan sporadis. Jadi jangan ka-
get kalau abrasi pantai masih saja terjadi. Bagaimana solusi
meredam abrasi dengan tuntas?
Tak ada jalan lain, penyelesaiannya haruslah menyeluruh
dan komprehensif dengan menggunakan pendekatan coas-
tal cell atau sediment cell (sel sedimen). Sel sedimen ada-
lah satuan panjang pantai yang mempunyai keseragaman
kondisi fisik dengan karakteristik dinamika sedimen dalam
wilayah pergerakannya tidak mengganggu keseimbangan
kondisi pantai yang berdekatan.

128 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Konsep ini mengiden-
”Tak ada tifikasi bahwa sistem pan-
jalan lain, tai terdiri dari sejumlah
unit terkait dengan banyak
penyelesaiannya proses perpindahan yang
haruslah bekerja dalam skala ruang
dan waktu berbeda. Jadi
menyeluruh dan
penanganan abrasi pantai
komprehensif tidak hanya pada tempat
dengan yang telah terjadi abrasi,
tetapi juga di kawasan lain
menggunakan yang diantisipasi akan ter-
pendekatan jadi abrasi akibat bangun-
coastal cell atau an tersebut dalam satu
kesatuan sedimen sel.
sediment cell (sel Alternatif sistem pro-
sedimen).” teksi juga harus diseleksi
berdasarkan aspek teknis,
ekonomi, lingkungan, estetika, dan sosial. Aspek teknis meli-
puti kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen sejajar
pantai, kemampuan untuk mereduksi transpor sedimen te-
gak lurus pantai (offshore transport), durabilitas, risiko ke-
hancuran dari sistem dan komponennya, pelaksanaan kon-
struksi, pemeliharaan, serta kepekaan terhadap perubahan
morfologi dalam skala yang lebih besar.
Sementara itu, aspek ekonomi meliputi biaya (investasi,
operasi, pemeliharaan, perbaikan, rehabilitasi) dan umur
konstruksi. Aspek lingkungan meliputi dampak terhadap
pantai dan properti yang berdekatan. Aspek estetika dan

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 129


sosial meliputi secara estetika kelihatan menyenangkan dan
secara sosial dan kultural diterima masyarakat.
Belajar dari kegagalan masa lalu, maka perlu dikembang-
kan konsep penanganan permasalahan pesisir secara lebih
“lunak” dan ramah lingkungan. Pendekatan semacam itu se-
benarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an.
Beberapa cara penanganan dengan pendekatan “lunak”
meliputi peremajaan pantai, pembentukan dune, perema-
jaan dan restorasi mangrove, rehabilitasi karang, artificial
reef, serta pengelolaan kawasan pantai secara terpadu.
Strategi ini selain lebih murah, juga lebih aman dan ampuh
dalam mengatasi abrasi pantai.
Cara restorasi dengan peremajaan pantai (beach nou-
rishment) misalnya, merupakan alternatif yang sudah cukup
lama dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material dari
tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat
yang membutuhkan.
Meskipun penimbunan atau pengisian pesisir dengan
material dari luar sistem tidak banyak dampaknya terhadap
ekosistem yang ada, namun pengambilan material dapat
menimbulkan dampak yang cukup signifikan. Akhir-akhir
ini telah dikembangkan pula peremajaan pantai dengan
menggunakan sistem drainase pantai (coastal drain system)
seperti misalnya beach management system (BMS) yang
dikembangkan oleh GDI Denmark.
BMS adalah sebuah teknologi dalam bentuk sistem per-
lindungan dan rehabilitasi pantai dan pesisir secara terinte-
grasi dimulai dari desain dan model, instalasi dan konstruksi,
serta pemeliharaan guna memberikan hasil yang efektif dan

130 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


efisien. Efisiensi sistem ini terdapat pada pendekatannya
yang tidak hanya melindungi pantai dari ancaman abrasi te-
tapi juga menciptakan pantai baru.
Solusi lainnya, dengan membangun dune buatan atau
meningkatkan dune yang sudah ada. Biasanya cara ini
dilengkapi dengan usaha-usaha menahan kehilangan pasir
dari daerah dune baik secara vegetatif maupun artifisial.
Selain itu, perbaikan dan peremajaan hutan mangrove
yang rusak merupakan langkah perlindungan pesisir yang
ramah lingkungan. Penanganan ini dapat dikombinasi dengan
alat peredam gelombang sementara yang diharapkan dapat
melindungi mangrove yang baru ditanam dari gempuran
gelombang.
Tata letak dan bentuk dari alat peredam gelombang
perlu diperhatikan sedemikian rupa sehingga tidak menim-
bulkan dampak abrasi pada daerah di sekitarnya. Daerah di
belakang alat peredam gelombang akan lebih tenang dari
daerah sekitarnya sehingga transpor sedimen sejajar pantai
akan terhenti di belakang struktur tersebut dan membentuk
tombolo.
Rehabilitasi terumbu karang merupakan proses reha-
bilitasi yang sangat bermanfaat bagi ekosistem pesisir. Se-
bab, secara alami, terumbu karang mampu meredam energi
geombang yang sampai ke pantai.
Penggunaan terumbu karang buatan (artificial reef) se-
bagai alternatif perlindungan pantai yang ramah lingkungan
juga mulai banyak dikenalkan. Sistem ini mulai banyak dipa-
kai di Australia dan Jepang.
ctd

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 131


20
Dampak Pemanasan Global

Pulau-pulau Kecil
Terancam Tenggelam

B
umi kian panas. Itulah ’kado istimewa’ pada perayaan
Hari Bumi yang diperingati umat manusia di seluruh
dunia setiap 22 April. Bukan apa-apa, menurut
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), suatu
badan yang dibentuk oleh WMO (World Meteorological
Organization) dan UNEP (The United Nation of Enviroment
Program), suhu rata-rata bumi meningkat sekitar 5 derajat
Celsius dalam waktu 100 tahun terakhir ini. Bahkan, laju
kenaikan suhu bumi itu mencatat rekor tertinggi pada 10
tahun terakhir ini.
Fakta itu sudah menjadi kenyataan. IOC atau Interna-
tional Olimpic Commission misalnya, baru-baru ini mengin-

132 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


formasikan bahwa beberapa lokasi untuk bermain ski di
Amerika Serikat kini sudah tidak layak digunakan lagi karena
saljunya kian menipis akibat pemanasan global. Lokasi ski
yang saat ini berada pada ketinggian 1.300 m dari permukan
air laut (dpl) harus dipindahkan ke tempat yang lebih tingggi
lagi, sekitar 1.500 m dpl.
Dampak lainnya, kekacauan iklim terjadi di banyak tem-
pat. Hal ini dapat menimbulkan peningkatan kemungkinan
terjadinya keadaan iklim yang ekstrim seperti badai,
kekeringan, banjir, dan lain-lain. Begitu juga di kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil dengan pantai yang landai.
Akibat suhu muka air laut yang meningkat tajam, gumpalan
salju di kutub es juga mulai mencair. Permukaan air laut pun
mengalami kenaikan (sea level rise atau SLR), lalu menerobos
dan merangsek hingga ke daratan yang tadinya tak pernah
tersentuh air asin.
Apalagi jika tak ada upaya serius untuk mengerem laju
kenaikan suhu tersebut. Kalau itu terjadi, menurut prakiraan
IPCC, laju SLR bisa mencapai sekitar 3-10 mm/tahun.
Lalu bagaimana dengan nasib belasan ribu pulau kecil di
Indonesia? Menurut analisis dari beberapa stasiun pasang
surut di Jepara, Jakarta, Batam, Ambon, Biak, Batam, dan
Kupang, selama sembilan tahun pengamatan menunjukkan,
rata-rata SLR di kawasan tersebut sekitar 8 mm/tahun. Isu
ini sangat mengkhawatirkan Indonesia. Bukan apa-apa,
peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai di pulau-pulau
kecil yang rendah bisa terendam air laut.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 133


Berbagai Dampak
Secara umum dampak SLR adalah terpaparnya pantai di
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Akibatnya, ekosistem
pesisir dan pulau-pulau kecil seperti pantai berpasir, pantai
berbatu, tebing, dataran pasang surut, terumbu karang,
dan lahan basah termasuk mangrove mengalami kerusakan
bahkan bisa lenyap.
Bukan hanya itu. Sarana dan prasarana seperti
pelabuhan, industri, pembangkit listrik, wisata, dan lain-lain
yang berada di wilayah pesisir bakal tergenang dan rusak
akibat meluapnya air laut.
Dampak lain dari SLR adalah mundurnya garis pantai.
Bisa dibayangkan kawasan pesisir yang bakal tergenang
akibat fenomena alam tersebut. Menurut hitungan penulis,
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang terendam
mencapai 4.050 ha per tahun. Angka itu berdasarkan asumsi
kelandaian pantai hanya dua persen.
Terendamnya lahan ini mengakibatkan perubahan
rejim hidraulik yang berpengaruh pada budidaya perikanan
terutama budidaya udang yang memerlukan air payau dan
kehidupan mangrove di daerah payau. Ada dua kemungkinan
nasib tanaman mangrove. Pertama, ia bisa bermigrasi ke
arah darat jika masih ada lahan terbuka. Kedua, mangrove
itu akan berkurang bahkan punah jika tidak ada lagi lahan
untuk bermigrasi.
Dampak SLR lainnya adalah terjadinya abrasi pantai. Hal
ini disebabkan energi gelombang semakin besar sehingga
penggerusan pantai makin intensif. Selain abrasi pantai,
bangunan pantai dan fasilitas prasarana perikanan akan

134 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


rusak karena digempur oleh gelombang yang semakin besar
energinya.
SLR juga menimbulkan sedimentasi di muara sungai.
Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di Indonesia
yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu meter
saja maka air laut itu merangsek ke sungai sejauh puluhan
kilometer.
Akibatnya, terjadi pembendungan. Pembendungan itu
membuat kecepatan air sungai berkurang. Dengan demi-
kian, laju sedimentasi di muara akan bertambah sehingga
mengurangi daya tampung sungai di muara. Jika hal ini di-
sertai dengan curah hujan yang tinggi maka banjir mudah
terjadi di kawasan tersebut.
SLR juga mengakibatkan intrusi air laut. Hal ini
disebabkan volume air laut yang mendesak ke dalam sungai
akan semakin besar. Kondisi ini merupakan masalah serius
bagi penduduk di pulau-pulau kecil yang menggantungkan
air tawar dari sungai.

Mengantisipasi SLR
Lalu bagaimana mengantisipasi SLR di kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil? Secara filosofis, penanggulangan
bencana pesisir dan pulau-pulau kecil akibat SLR dapat
ditempuh dengan tiga alternatif.
Pertama, pola protektif yaitu dengan membuat ba-
ngunan pantai yang mampu mencegah air laut agar tidak
merangsek ke darat. Pola tersebut bertujuan melindungi
permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah pertanian,
dan lain-lain dari genangan air laut.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 135


Pola ini memang memerlukan biaya yang cukup mahal.
Namun demikian pola ini cocok diterapkan untuk melindungi
sarana-prasarana di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
yang sifatnya vital dan strategis.
Pola protektif lain yang dapat ditempuh adalah dengan
melakukan restorasi melalui peremajaan pantai dan reha-
bilitasi mangrove. Cara restorasi dengan peremajaan pantai
(beach nourishment) merupakan alternatif yang sudah cu-
kup lama dikenal. Proses ini meliputi pengambilan material
dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tem-
pat yang membutuhkan. Lahan hasil timbunan ini kemudian
bisa ditanami mangrove sehingga dapat mencegah air laut
merangsek ke darat.
Kedua, pola adaptif, yakni menyesuaikan pengelolaan
pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap SLR. Rumah-rumah
penduduk di tepi pantai dibuat model panggung agar
aman dari genangan air laut, terutama pada waktu air laut
pasang.
Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut akibat SLR
dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya peri-
kanan. Terkait dengan pola adaptif, Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) telah membangun rumah panggung,
menanam mangrove, dan merevitalisasi pantai di beberapa
kawasan pesisir yang rawan SLR.
Ketiga, pola mundur (retreat). Pola ini bertujuan meng-
hindari genangan dengan cara merelokasi permukiman,
industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah darat agar
tidak terjangkau air laut akibat SLR.
Berbagai upaya antisipasi itu memang butuh perhatian

136 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


kita semua dan perlu dilakukan sedini mungkin walau terasa
berat dan mahal. Kalau tidak, bersiaplah menerima ‘kado’
yang lebih istimewa lagi di hari ulang tahun bumi di masa-
masa mendatang.

ctd
Artikel dimuat di Harian Suara Pembaruan edisi 20 April 2007.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 137


21
Potensi Bencana
di Indonesia dan
Sosialisasinya

Abstracts

I
ndonesia is both blessed and threatened by its nature. Its width,
extends over 3 times zones and more than 6.000 km from east
to west, and therefore it is blessed with what is considered by
some to be the greatest marine biodiversity within a single nation.
But on the other hand it is also threatened with almost every natural
hazards known, including earthquakes, tsunamis, landslides, floods
etc., most of which directly impact the populations and resources
Every year, more and more Indonesian are at risk from a
variety of natural disasters that affect the environment. In the
past 20 years, there has been such explosive development in the

138 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


country. Most development activities take place in disaster prone
areas including development of fisheries, agriculture, industry,
transportation, tourism, urban development, and are particularly
vulnerable to catastrophic and chronic disasters. Most of the losses
is due to lack of knowledge and awareness by the public on natural
disasters.
Our initiatives are under way to minimize the impacts from
disasters through better preparedness and a more informed
public through public campaign and outreach to reduce the risk
of disasters.

Pendahuluan
Lima tahun terakhir ini bencana alam datang silih ber-
ganti. Di pagi hari, 26 November 2004, Nabire digoyang
gempa bumi berkekuatan 7,2 skala Richter (SR).
Seluruh kota lumpuh dihantam gempa. Hubungan arus
listrik dan telepon putus total. Bandara Nabire juga meng-
alami kerusakan serius sehingga jadwal penerbangan sem-
pat ditunda.
Tepat sebulan setelah itu, giliran kawasan pesisir Nang-
groe Aceh Darussalam (NAD) diterjang tsunami dahsyat.
Tsunami yang ditimbulkan oleh gempa tektonik di Samudra
Hindia berkekuatan 9 SR itu menewaskan lebih dari 200.000
orang.
Indonesia terus saja berduka. Bukan apa-apa, hanya
berselang sekitar dua bulan, tepatnya 21 Februari 2005,
longsor sampah di TPA Leuwigajah, Jawa Barat, mengubur
143 orang.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 139


Sebulan setelah itu, 28 Maret 2005, gempa bumi meng-
goncang Pulau Nias, Sumatera Utara. Bangunan rumah dan
perkantoran di kawasan pesisir itu juga babak belur dihan-
tam gempa.
Bukan cuma itu, sejak Mei 2006 hingga Maret 2007 ber-
bagai bencana melanda kawasan lainnya. Sebut saja gempa
bumi Yogyakarta, meletusnya Gunung Merapi, meluapnya
lumpur panas Sidoarjo, tsunami Jawa Barat, banjir bandang
di Aceh Tamiang, banjir DKI Jakarta, tanah longsor Mangga-
rai, NTT, gempa bumi di Solok, dan lain-lain.
Semua bencana tersebut menimbulkan luka mendalam.
Bayangkan, ratusan ribu jiwa meregang nyawa. Sarana
dan prasarana luluh lantak. Kondisi lingkungan pun babak
belur. Menurut hitungan, kerugian materiil dan kerusakan
lingkungan ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah.
Hingga kini akal manusia belum bisa menjelaskan dengan
pasti mengapa frekuensi bencana alam itu terus meningkat.
Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi fenomena
alam yang tidak pasti kapan datangnya itu?
Tidak mudah memang mengelola bencana tersebut. Be-
tapa tidak, kesadaran masyarakat awam terhadap bencana
masih minim. Padahal, merekalah yang paling menderita
jika bencana menerjang. Rendahnya pemahaman di kalang-
an masyarakat awam itu mengakibatkan banyak korban jiwa
dan kerugian harta benda ketika bencana alam mengham-
piri mereka.
Kondisi itu diperparah lagi dengan karakteristik bencana
alam yang memiliki kekuatan teramat besar. Tidaklah mung-
kin kecerdikan manusia mencegah kedahsyatan bencana

140 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


alam. Kemampuan manusia hanya sebatas mengurangi
dampak bencana. Tindakan semacam itu biasanya disebut
mitigasi atau suatu upaya guna mengurangi risiko atau dam-
pak dari suatu bencana.
Salah satu upaya mitigasi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi risiko adalah dengan melakukan berbagai upa-
ya nonfisik, di antaranya melalui sosialisasi ke masyarakat
luas. Pengalaman negara maju menunjukkan, hasil sosial-
isasi semacam itu mampu menekan kerugian baik jiwa mau-
pun lingkungannya.

Gempa Bumi dan Tsunami


Suka atau tidak, wilayah Indonesia sangat berpotensi
terjadi gempa dan tsunami. Pasalnya, kawasan tersebut
merupakan pertemuan tiga lempeng utama (triple junction
plate convergence). Ketiga lempeng itu –Eurasia, Samudra
Pasifik, dan Indo-Australia-- bergerak relatif ke barat dan ke
utara terhadap Eurasia.
Konsekuensi logisnya, Benua Maritim Indonesia meru-
pakan daerah yang secara tektonik sangat labil di dunia. Ka-
wasan itu juga terkenal sebagai salah satu pinggiran benua
yang sangat aktif di muka bumi. Dibandingkan dengan gem-
pa di Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi
gempa 10 kali lipatnya.
Pusat gempa dangkal (0-85 Km) banyak terdapat di
Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan
Irian Jaya. Sementara itu, pusat gempa dengan kedalaman
sedang (185-300 Km) terbentang di Pulau Sumatera, Jawa,
Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Gempa-gempa

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 141


tersebut sebagian berpusat di dasar laut dan beberapa di
antaranya mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kejadian tsunami di Indonesia sebagian besar dise-
babkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah
subduksi dan daerah seismik aktif lainnya. Selama periode
tahun 1600 sampai 2006 terjadi sekitar 108 tsunami. Dari
jumlah itu, 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa
tektonik, 9 persen karena letusan gunung api, dan hanya 1
persen dipicu oleh longsoran (land-slide).
Catatan sejarah juga mencatat, sejak 1961 hingga 2006,
22 tsunami melanda kawasan pesisir Indonesia. Artinya,
tsunami menghampiri kita setiap sekitar 2 tahun.
Kawasan pesisir yang berpotensi terkena tsunami terse-
bar mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau
Jawa dan Bali, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa
Teggara, Maluku, pantai utara Irian Jaya, serta hampir selu-
ruh pantai timur dan barat Sulawesi bagian utara.

Letusan Gunungapi
Indonesia juga dihuni banyak gunung berapi. Setidaknya
ada 240 gunung api yang tersebar di berbagai daerah. Sekitar
70 di antaranya masih aktif dan suatu saat bisa meletus,
menyemburkan lava panas yang berpotensi menimbulkan
bencana.
Rangkaian busur api itu merupakan bagian dari The
Pacific Ring of Fire. Untaian itu bermula di Kamchatka Alaska,
Jepang, Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Flores, Sulawesi, dan
berakhir hingga Filipina.
Di Indonesia, ring of fire itu membentang dari Pulau Su-

142 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


matera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, kepulauan di Laut Banda
sampai bagian utara Pulau Sulawesi. Bentangan itu meru-
pakan daerah gunung api terpanjang di dunia.

Longsor
Indonesia juga menjadi langganan tanah longsor (land
slide). Maklum, banyak kawasan di Tanah Air itu yang memiliki
derajat kemiringan lahan yang tinggi dan diperburuk oleh
tata guna lahan yang tidak ramah lingkungan. Longsor juga
kerap menelan korban di daerah pertambangan pasir, batu,
dan lain-lain.
Berdasarkan catatan, daerah yang sangat rawan terjadi
longsor adalah sepanjang pegunungan Bukit Barisan di
Sumatera serta daerah dataran tinggi di Jawa, Sulawesi, dan
Nusa Tenggara.
Penyebab tanah longsor bisa faktor alam dan manusia.
Faktor alam antara lain lereng terjal, tanah bersifat lembek,
jenuh karena air hujan, retakan karena proses alam (gempa
bumi), dan lain-lain.
Manusia juga punya andil terjadinya tanah longsor.
Ulah mereka memotong lereng, mengubah tata guna lahan,
membabat hutan, dan mendirikan bangunan di sekitar
tebing bisa mengakibatkan longsor.

Banjir
Setelah gempa, tsunami, dan longsor datang silih ber-
ganti, banjir juga mengintai kehidupan kita. Bahkan di bebe-
rapa daerah, banjir sudah menenggelamkan ribuan rumah,
prasarana transportasi, sawah, tambak, dan menewaskan

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 143


puluhan nyawa manusia. Daerah yang rawan banjir adalah
daerah yang berada di pantai timur Sumatera, pantai utara
Jawa, Kalimanatan, Sulawesi Selatan, dataran rendah NTT,
dataran rendah Papua, dan lain sebagainya.
Tak dapat disangkal, penyebab utama banjir masih
didominasi oleh ulah manusia. Sebesar apa pun hujan yang
jatuh di muka bumi, ia tidak akan berperilaku ganas kalau
semua aspek ekologis terjaga dengan baik. Sayangnya, sadar
atau tidak, kita kurang memahami kearifan alam.
Bayangkan, hutan yang berfungsi sebagai resapan air
semakin gundul. Jadi ketika air mengguyur kawasan itu
maka dengan leluasa air itu mengumpul di tempat yang
lebih rendah.
Hal itu diperparah dengan buruknya kondisi aliran
sungai. Sungai-sungai telah dipenuhi sampah. Pendangkalan
terus terjadi. Air sungai pun meluap.
Selain sampah, sungai-sungai tadi juga mengalami pen-
dangkalan hebat sebagai akibat erosi tanah di daerah hulu.
Berubahnya tata guna lahan menjadi nonvegetasi seperti
penggundulan hutan menjadi penyebab utama erosi. Feno-
mena itu diperparah lagi dengan kondisi badan sungai yang
mengalami penyempitan akibat bangunan-bangunan liar di
sepanjang bantaran sungai.
Kota yang dibalut hamparan aspal, semen, dan hutan
beton membuat air hujan tak mampu meresap ke dalam
tanah. Daerah yang tadinya berfungsi sebagai resapan air
telah disulap menjadi permukiman, pertokoan, mall, per-
kantoran, industri dan lain-lain. Akibatnya, memperbesar
aliran permukaan (run-off) yang ujung-ujungnya membuat

144 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


banjir kian parah dan meluas.
Penyedotan air tanah secara berlebihan juga memberi
kontribusi terhadap banjir. Fakta membuktikan, terkurasnya
air itu mengakibatkan tanah ambles dan menimbulkan
cekungan. Sekali turun hujan, terbentuklah genangan.
Kondisi alam yang semakin memprihatinkan itu ternyata
tidak diimbangi dengan sistem drainase yang baik. Pemba-
ngunan dan pengembangan lahan nonvegetasi tidak dileng-
kapi dengan prasarana drainase yang memadai.
Dalam skala lokal, buruknya drainase kota juga punya
andil besar terjadinya banjir. Banyak dari saluran pembuang-
an air tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Saluran air yang ada di kota telah terisi oleh sampah-
sampah plastik, kaleng, kertas, daun, dan lain-lain. Jangan
kaget ketika hujan turun, kota yang telah dibalut oleh
tembok-tembok beton, jalan aspal, rumah penduduk, dan
industri itu semakin terendam air.
Ulah manusia bukan cuma di situ. Industrialisasi be-
serta kegiatan yang mengikutinya (seperti transportasi dan
gedung-gedung ber-AC) berdampak pada efek rumah kaca
(green house effect).
Pemanasan global pun tak dapat dihindari. Kekacauan
iklim mulai terjadi. Suhu muka air laut naik. Ujung-ujungnya
daratan beku di Benua Antartika pun meleleh. Akibatnya,
terjadilah kenaikan permukaan air laut (sea level rise atau
SLR).
Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate
Change), suatu badan yang dibentuk oleh WMO (World Me-
teorological Organization) dan UNEP (The United Nation of

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 145


Enviroment Program), laju SLR sekitar 3-10 cm per dasawar-
sa (10 tahun). Isu ini sangat dikhawatirkan umat manusia.
Bukan apa-apa, peristiwa itu mengakibatkan dataran pantai
yang rendah bisa terendam air laut.
Lalu bagaimana nasib Indonesia? Menurut analisis Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal),
laju SLR di beberapa pulau kecil dan kota di pantai utara
Jawa (seperti Jakarta, Semarang, dan Jepara) sekitar 8 mm/
tahun.
Efek ini menimbulkan pembendungan di muara-muara
sungai dan mulut saluran drainase terhadap air tawar yang
datang dari daratan. Jika hal ini disertai dengan curah hujan
yang tinggi maka banjir kian hebat.
Kondisi ini diperparah oleh muara-muara sungai di In-
donesia yang umumnya landai. Jika diasumsikan SLR satu
meter saja maka air laut itu merangsek ke sungai sejauh
puluhan kilometer. Akibatnya, lagi-lagi terjadi pembendu-
ngan.
Pembendungan itu membuat kecepatan air sungai ber-
kurang. Akibatnya, laju sedimentasi di muara akan bertam-
bah sehingga mengurangi daya tampung sungai di muara.

Kekeringan dan Kebakaran Hutan


Ancaman alam lainnya adalah kerawanan pangan yang
berlangsung pada saat musim kemarau panjang. Kondisi
tersebut diperparah oleh gejala El-Nino (tahun 1997 di Irian
Jaya bagian tengah dan tahun 1998 di Kalimantan Timur).
Bencana kekeringan biasa terjadi pada musim kemarau
panjang di daerah-daerah tertentu terutama kawasan timur

146 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Indonesia seperti NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan, dan
Papua. Dampak dari kemarau panjang ini mengakibatkan
kegagalan panen.
Kebakaran hutan dan lahan juga rutin terjadi di Indone-
sia. Kobaran api itu disebabkan oleh alam dan ulah buruk
manusia. Banyak dari mereka membuka lahan baru dengan
membakar hutan. Cara ini dilakukan karena menurut me-
reka lebih cepat dan hemat biaya.

Upaya Sosialisasi
Di tengah-tengah krisis multi dimensi belakangan ini
berbagai bencana itu kian mengganggu berbagai program
pemulihan ekonomi Indonesia. Ironis memang, walaupun
sudah puluhan kali bencana menerjang berbagai kawasan
di Indonesia, namun sampai sejauh ini masyarakat belum
mampu mengenali bencana alam tersebut secara benar dan
baik. Kita tentu amat prihatin. Bencana selalu meninggalkan
penderitaan berkepanjangan.
Banyak upaya bisa dilakukan untuk mengurangi korban
jiwa di antaranya adalah dengan melakukan mitigasi bencana
baik secara fisik maupun nonfisik. Mengingat masyarakat
kita masih tradisional maka langkah-langkah mitigasinya
haruslah berbasis pada kemampuan masyarakat lokal.
Kita perlu membuat prioritas mitigasi untuk daerah-
daerah yang rawan bencana dan penduduknya padat. Betapa
tidak, di kawasan seperti inilah yang paling menderita jika
bencana menerjangnya.
Karena itu, pembuatan peta rawan bencana perlu se-
gera dibuat oleh masyarakatnya sendiri dengan teknologi

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 147


sesederhana mungkin. Sehingga mereka sadar dan mengerti
kalau tempat tinggalnya berada di daerah rawan bencana.
Tentu saja dalam pembuatan peta ini perlu bimbingan dan
fasilitator baik dari pemerintah, perguruan tinggi, maupun
LSM yang betul-betul mengerti tentang bencana.
Langkah berikutnya memberikan sosialisasi melalui
pelatihan dan penyuluhan tentang berbagai hal yang ter-
kait dengan bencana mulai dari gejala atau ciri-ciri bencana,
dampaknya, hingga upaya mengevakuasi atau menyelamat-
kan diri. Jangkauan sosialisasi harus sampai ke pelosok-pe-
losok daerah yang padat penduduknya dan rawan bencana.
Metodenya pun perlu dilakukan dengan cara yang lebih me-
narik. Sosialisasi dapat dilakukan baik melalui media cetak,
elektronik, leaflet, komik maupun brosur.
Sosialisasi dan penyuluhan harus dilakukan secara ber-
kesinambungan dan terus-menerus sampai dicapai tingkat
pengetahuan masyarakat yang optimal tentang bencana.
Sosialisasi ini diharapkan dapat mengubah budaya masyara-

“Sosialisasi dan penyuluhan harus


dilakukan secara berkesinambungan dan
terus-menerus sampai dicapai tingkat
pengetahuan masyarakat yang optimal
tentang bencana. Paling tidak mereka
sadar bahwa mereka berada di daerah
rawan bencana.”

148 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


kat di daerah rawan bencana supaya lebih waspada. Paling
tidak mereka sadar bahwa mereka berada di daerah rawan
bencana.
Upaya memberikan sosialisasi bisa dimulai sejak usia
dini (siswa Sekolah Dasar). Agar materi sosialisasi itu men-
arik maka bisa dikemas dalam bentuk cerita komik yang me-
mang digemari anak-anak seperti yang telah dibuat tim dari
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam memberi-
kan sosialisasi tentang tsunami.

Benar-benar Merakyat
Salah satu alternatif lain yang tidak kalah penting adalah
melalui media yang benar-benar merakyat seperti pengaji-
an akbar, wayang (cemblong, golek, orang, atau kulit), keto-
prak, dangdut, atau kesenian daerah lainnya. Melalui cara
penyampaian yang berakar pada budaya lokal, bencana bisa
dengan mudah mereka pahami.
Pengalaman DKP dalam melakukan sosialisasi bencana
gempa dan tsunami di berbagai daerah melalui media hi-
buran dangdut perlu terus digalakkan. Bukan apa-apa, daya
tarik hiburan semacam ini bisa menjadi magnet bagi ribuan
masyarakat.
Di tengah-tengah hiburan itulah, kita bisa menyampaikan
penjelasan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh
mereka tentang bencana. Dengan demikian, mereka bisa
mengenal gejala, karakteristik, ciri-ciri, dan dampak dari
bencana. Dari sini mereka mendapat pengetahuan mengenai
cara-cara menyelamatkan diri dari bencana tersebut.
Agar sosialisasi tersebut lebih menyentuh nurani me-

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 149


reka, juru penyuluh bisa menambahkan materi nilai-nilai
keagamaan yang menerangkan hubungan di antara manusia,
alam, dan lingkungannya.

Kesimpulan
Disadari atau tidak, bencana alam terus mengintai
kawasan Indonesia. Hingga kini, kekuatan ilmu pengetahuan
dan teknologi belum mampu mencegah gempa bumi,
tsunami, tanah longsor, banjir, dan lain-lain.
Yang bisa dilakukan Indonesia saat ini adalah mengurangi
risiko akibat bencana alam. Upaya mitigasi ini perlu terus
digalakkan di antaranya melalui sosialisasi.
Agar efektif dan efisien, sosialisasi dapat dilakukan
melalui tiga pendekatan, yakni secara ilmiah, seni budaya,
dan agama. Pengalaman DKP membuktikan, cara semacam
ini membuat masyarakat lebih mudah menerima berbagai
pesan dalam meminimalkan dampak negatf yang ditimbulkan
bencana.
Tiga pendekatan yang dilakukan secara terpadu itu
diharapkan dapat menimbulkan kesadaran, kepedulian, dan
kecintaan terhadap lingkungan. Mereka juga akan bersikap
disiplin terhadap peraturan dan norma-norma yang ada.
Tanpa upaya itu, korban akan terus berjatuhan.

ctd
Artikel ini dimuat di Jurnal Dinamika Masyarakat RISTEK Vol VI No
1 edisi April 2007 oleh Subandono Diposaptono dan Indroyono
Soesilo. Indroyono adalah Kepala Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.

150 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


22
Meningkatkan Sinergitas
Penanggulangan
Bencana di Indonesia

M
omentum penting yang mengubah total para-
digma penanggulangan bencana di Indonesia
terjadi pascatsunami Aceh tahun 2004. Be-
sarnya korban jiwa, kerusakan lingkungan dan infrastruktur,
serta dampak psikologis yang terjadi membuka mata para
pemangku kepentingan Indonesia tentang rawannya kondisi
Indonesia terhadap bencana alam.
Jika sebelum tsunami Aceh 2004 upaya penanggulangan
bencana yang dilakukan lebih kepada upaya tanggap daru-
rat (saat terjadinya bencana) dan rehabilitasi-rekonstruksi
(pascabencana) maka belajar dari pengalaman tersebut,
para pemangku kepentingan kini lebih memfokuskan diri

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 151


pada upaya prabencana. Upaya-upaya prabencana seperti
perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan risiko
bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pem-
bangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan
dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatih-
an, persyaratan standar teknis penanggulangan bencana,
kesiapsiagaan, peringatan dini, serta mitigasi bencana, kini
menjadi fokus dalam penanggulangan bencana. Selain dapat
meminimalisasi jumlah korban jiwa dan kerusakan yang ter-
jadi, hal ini juga dapat meminimalkan dana yang dibutuhkan
pada upaya tanggap darurat dan pascabencana.
Konsep ini kemudian dituangkan dalam Rencana Pem-
bangunan Jangka Menengah (RPJM) dimana Lingkungan
Hidup dan Penanggulangan Bencana menjadi salah priori-
tas pembangunan. Selain itu, juga disusun suatu peraturan
perundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
(UU 24/2007) tentang Penanggulangan Bencana. UU terse-
but mengatur integrasi upaya penanggulangan bencana di
Indonesia, mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga
pascabencana.
Selain itu, UU ini juga membentuk Badan Nasional Pe-
nanggulangan Bencana (BNPB) dan memberikan mandat ke-
pada BNPB untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi serta
mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Berdasarkan UU 24/2007 tersebut juga disusun per-
aturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No-
mor 21 Tahun 2008 (PP 21/2008) tentang Penyelenggaraan

152 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 2008 (PP 22/2008) tentang Pendanaan dan Pengelo-
laan Bantuan Bencana, serta Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2008 (PP 23/2008) tentang Peran Serta Lembaga
Internasional dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam
Penanggulangan Bencana.
Meskipun telah memiliki peraturan pelaksanaan, UU
24/2007 masih menemui hambatan dalam implementasinya.
Hal ini terutama terkait dengan mandat kedua BNPB, yaitu
mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Mandat ini
menempatkan BNPB sebagai koordinator bagi seluruh upaya
penanggulangan bencana di Indonesia.
Ini artinya BNPB harus mengkoordinasikan seluruh
pemangku kepentingan yang terkait dengan penanggu-
langan bencana agar upaya yang dilakukan, baik pada ta-
hap prabencana, tanggap darurat, maupun pascabencana,
dapat menciptakan suatu sinergitas. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, sinergitas berasal dari kata sinergi. Siner-
gi merupakan kegiatan atau operasi gabungan, dimana ke-
giatan yang tergabung biasanya berpengaruh lebih besar
daripada jumlah total pengaruh masing-masing atau satu
per satu.
Menurut Prof. Ronald W. Perry (2007) dalam bukunya
Emergency Planning, penanggulangan bencana hanya
akan efektif kalau sinergi dari tiga elemen penting dapat
diwujudkan. Pertama, elemen pengelolaan bencana itu
sendiri, mulai dari pengkajian bahaya dan kerentanan
sampai risiko.

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 153


Kedua, elemen kebijakan publik, dimana melalui
penetapan kebijakan publik terjadi pengalokasian sumber
daya bagi penanggulangan bencana dan perubahan perilaku
masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi risiko.
Ketiga, pelaksanaan penanggulangan bencana dalam koridor
yurisdiksi masing-masing lembaga. Yurisdiksi tersebut
akan menentukan jenis dan kegiatan penanggulangan
bencana dan kebijakan publik yang akan diambil untuk
mendukungnya.
Oleh karena itu sinergitas menjadi poin penting dalam
upaya penanggulangan bencana agar hasil yang dicapai
dapat mencegah timbulnya korban dan kerusakan yang
pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan Nasional.

Persoalan Utama
Berdasarkan pemantauan penulis, setidaknya ada tiga
persoalan utama sehingga belum tercapainya sinergitas
pencegahan dan penanggulangan bencana alam. Hal itu
tercermin dari setiap terjadi bencana alam selalu diikuti de-
ngan jumlah korban dan kerusakan yang besar.
Pertama, penanggulangan bencana masih belum
optimal, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaannya.
Hal ini disebabkan antara lain belum tersedianya kajian me-
nyeluruh tentang ancaman bahaya, kerentanan, dan risiko.
Karena satu dan lain hal, khususnya kapasitas SDM dan
kelembagaan, sampai dengan saat ini Indonesia belum me-
miliki referensi peta dan hasil kajian tentang ancaman ba-
haya, kerentanan, dan risiko.
Upaya ke arah sana sudah dilakukan antara lain men-

154 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


dorong adanya standardisasi penyusunan risiko dan peng-
gunaan data-data yang sudah ada saat ini untuk menyusun
peta risiko. Namun hasilnya masih belum mencukupi untuk
referensi dalam penyusunan dokumen perencanaan pen-
anggulangan bencana.
Kedua, belum optimalnya perencanaan dan pelaksa-
naan penanggulangan bencana dikarenakan kurangnya
pengetahuan dan pemahaman mengenai upaya penanggu-
langan bencana, terutama prabencana. Meskipun penang-
gulangan bencana telah menjadi sebuah prioritas nasional,
namun dalam implementasinya, terutama di tingkat lokal/
daerah belum mendapat perhatian yang cukup.
Hal ini terlihat dari masih tingginya jumlah korban jiwa
dan tingkat kerusakan, baik lingkungan maupun infrastruktur.
Sebut saja pada bencana yang terjadi akhir-akhir ini, seperti
banjir di Wasior dan tsunami di Mentawai. Jika upaya-upaya
prabencana telah diimplementasikan dengan baik maka
seharusnya jumlah korban jiwa dan kerusakan tidak terlalu
besar. Daerah umumnya baru bergerak setelah bencana
terjadi, yaitu pada tahap tanggap darurat dan rehabilitasi-
rekonstruksi.
Di samping itu, koordinasi dan kolaborasi antar pemang-
ku kepentingan terkait juga masih lemah. Koordinasi dan
kolaborasi yang dimaksud di sini tidak hanya bersifat hori-
zontal, tetapi juga vertikal, serta antar disiplin keilmuan dan
multi-pemangku kepentingan. Koordinasi dan kolaborasi
horisontal terjadi pada level pemerintah pusat, dimana
BNPB bertindak selaku koordinator bagi kementerian/lem-
baga yang terkait penanggulangan bencana. Secara vertikal

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 155


tercermin dari adanya koordinasi dan kolaborasi dengan
pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Kemampuan melakukan koordinasi dan mendorong
kolaborasi ini sangat vital karena pengurangan risiko
membutuhkan peran seluruh sektor pembangunan seperti
pendidikan, kesehatan, sosial, infrastruktur, pertanian,
kehutanan, perikanan, dan lingkungan hidup. Sayangnya,
belum ada kejelasan peran dari sektor-sektor dalam
keseluruhan rangkaian kegiatan penanggulangan bencana,
khususnya pada tahap pra bencana. Kegiatan pengurangan
risiko terdegradasi hanya untuk kegiatan-kegiatan yang
dalam judulnya terdapat kata atau kalimat “bencana” saja.
Di sisi lain, belum optimalnya perencanaan dan
penanggulangan bencana terletak pada tidak semua daerah
memiliki kelembagaan yang mengkoordinasikan upaya
penanggulangan bencana. Sesuai dengan amanat UU
24/2007, penanggulangan bencana di daerah dilaksanakan
oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), baik
di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hingga saat ini
31 provinsi telah memiliki BPBD provinsi (BNPB, 2011).
Sementara itu, untuk tingkat kabupaten, baru 300
kabupaten yang memiliki BPBD dari total 497 kabupaten/
kota (BNPB, 2011). Itu dari sisi struktur kelembagaannya
saja. Infrastruktur kunci lainnya seperti SOP, peralatan,
maupun kemampuan operasional tentu saja masih belum
seperti yang diharapkan.
Sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas
terkait upaya penanggulangan bencana juga masih minim.
Hingga saat ini BNPB selaku koordinator penanggulangan

156 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


bencana nasional masih kekurangan tenaga yang
berkompeten di bidang bencana. Jika secara nasional hal
ini belum tersedia maka baik daerah maupun kementerian/
lembaga (K/L) yang lain memiliki tugas pokok dan fungsi
(Tupoksi) terkait tidak memiliki acuan yang jelas.
Begitu pula yang terjadi di tingkat daerah. SDM yang
benar-benar memiliki pengetahuan tentang upaya penang-
gulangan bencana, mulai dari prabencana, tanggap darurat,
hingga pascabencana masih sangat minim.
Terbatasnya pendanaan penanggulangan bencana sema-
kin menambah belum optimalnya penanggulangan bencana
alam. Idealnya, dana untuk penanggulangan bencana
mencapai satu persen dari total Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Dari jumlah itu, sekitar 10 persen
dialokasikan bagi kegiatan hhhprabencana.
Kenyataannya hingga saat ini jumlah tersebut belum
tercapai (Hadi, 2010). Dana tersebut tersebar pada K/L yang
secara sektoral terkait dengan penanggulangan bencana.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah tidak ada keharusan
bagi K/L ataupun daerah untuk mengalokasikan dana
penanggulangan bencana. Semua masih bersifat sukarela
sehingga terkadang dana yang seharusnya ditujukan untuk
kegiatan penanggulangan bencana diubah peruntukannya
untuk kegiatan lain.
Masalah ini diperparah dengan belum optimalnya
peran kebijakan publik dalam mendukung penanggulangan
bencana. Padahal kebijakan publik ini dapat mengubah
perilaku dan praktik yang mendorong pengurangan risiko
antara lain misalnya:

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 157


1) Tata ruang dan tata guna lahan. UU No. 26/2007 Tentang
Penataan Ruang dan UU 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil secara jelas telah
mewajibkan akomodasi bencana dalam penataan ruang
dan rencana zonasi wilayah pesisr dan pulau-pulau
kecil. Namun demikian, implementasinya masih perlu
disinergikan dengan instrumen-instrumen praktikalnya
seperti perijinan. Sinergi juga perlu dilakukan dengan
hasil kajian ancaman bahaya, kerentanan sosial,
ekonomi, lingkungan, dan risiko. Tanpa adanya sinergi
tersebut, mandat dan amanat UU No. 26/2007 serta UU
No. 27/2007 tidak akan maksimal dalam mengurangi
dampak bencana di Indonesia.
2) Penganggaran. Meskipun UU No. 24/2007 telah
mewajibkan adanya alokasi yang cukup untuk
penanggulangan bencana, dalam pelaksanaannya
masih banyak tantangan. Selain keterbatasan dana,
masalah juga muncul dari tidak adanya batasan cukup
atau tidak cukup dalam penganggaran tersebut. Selain
itu, penganggaran penanggulangan bencana juga harus
dilihat dalam konteks pembangunan secara keseluruhan
dimana pengurangan kerentanan pada hakikatnya
merupakan tujuan dari setiap sektor pembangunan itu
sendiri (pengurangan kemiskinan, gizi buruk, penyediaan
perumahan sehat, ketahanan pangan, dan lain-lain).
Kajian kerentanan akan menuntun pengalokasian
anggaran secara tepat sasaran dan menghindari excuse
keterbatasan anggaran karena penanggulangan bencana
hanya dibatasi pada judul program atau kegiatan dengan

158 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


label bencana saja.
3) Asuransi. Saat ini asuransi masih sangat terbatas
digunakan sebagai instrumen dalam penanggulangan
bencana. Kebijakan bisa diambil misalnya dengan
mewajibkan seluruh aktivitas di wilayah dengan risiko
tinggi untuk memiliki asuransi bencana. Bahkan ide
adanya asuransi gagal panen bagi petani merupakan
terobosan yang pada akhirnya membutuhkan dukungan
berupa kebijakan publik dari pemerintah.
4) Standar bangunan atau building code. Untuk semua
lokasi dengan risiko ancaman bahaya gempa bumi
misalnya, kebijakan publik dapat diterapkan berupa
pengenaan IMB yang lebih ketat dan spesifik untuk
mendorong semua pihak mengurangi risiko dari kejadian
bencana gempa bumi.
5) Insentif dan disinsentif. Banyak hal bisa diterapkan untuk
mendorong atau menekan perilaku masyarakat terkait
dengan pengurangan risiko. Daerah-daerah dengan
risiko sedang misalnya bisa dikenakan pengetatan
perijinan, pajak, dan retribusi. Sementara itu, daerah
dengan risiko rendah dapat diberi kemudahan dalam
hal-hal tersebut. Tentu saja semua itu membutuhkan
landasan peraturan yang jelas.

Ketiga, adalah pelaksanaan penanggulangan bencana


dalam lingkup yurisdiksi masing-masing. Sebagaimana telah
disebutkan di muka, BNPB memiliki tugas berat dalam hal
mengkoordinasikan pelaksanaan pengurangan risiko di
masing-masing lembaga. Tanpa adanya kejelasan lingkup

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 159


dan tanggung jawab dari masing-masing lembaga dalam
mengerahkan sumberdayanya maupun kebijakan publik
yang akan diambil, efektivitas penanggulangan bencana
akan selalu menemui masalah dalam pelaksanaannya.
Kalau mencontoh beberapa UU penanggulangan
bencana di negara lain seperti Afrika Selatan, India, Sri
Lanka, dan Kanada, UU tersebut secara jelas mewajibkan
seluruh departemen/instansi yang masuk dalam kerangka
kerja nasional penanggulangan bencana untuk menyu-
sun perencanaan penanggulangan bencana di instansinya.
Hasilnya akan dievaluasi dan dilaporkan dalam sidang kabi-
net sehingga tidak ada aspek kerentanan yang terlewatkan
dalam program masing-masing sektor.

Strategi Peningkatan Sinergitas


Untuk mengurangi terjadinya korban dan kerusakan
akibat bencana alam maka perlu diterapkan lima strategi guna
meningkatkan sinergitas pencegahan dan penanggulangan
bencana alam.
Pertama, meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
seluruh pemangku kepentingan terkait upaya penanggu-
langan bencana melalui sosialisasi yang didukung dengan
pemaduan penanggulangan risiko bencana ke dalam sistem
pendidikan formal dan informal. Pengetahuan dan pemaha-
man terhadap upaya penanggulangan bencana diharapkan
dapat meningkatkan kapasitas aparat pemerintah dan ma-
syarakat dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi.
Selain itu dengan menjadikan penanggulangan bencana
sebagai bagian dari pendidikan maka lambat laun diharap-

160 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


kan terminologi hidup akrab dengan bencana tidak hanya
menjadi sekedar slogan namun telah mendarah daging dan
menjadi bagian dari hidup keseharian masyarakat Indone-
sia.
Solusi kedua, meningkatkan koordinasi dan kolaborasi
antar pemangku kepentingan terkait melalui pembentukan
suatu Platform Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana
(Planas PRB) yang didukung dengan jalur-jalur komunikasi
yang resmi dan informatif. Kunci dalam mencapai suatu
sinergitas adalah koordinasi dan kolaborasi, dimana semua
pihak yang terkait mampu untuk menyingkirkan ego sekto-
ralnya masing-masing dan berupaya untuk melakukan sesu-
atu yang terencana dan terintegrasi guna mencapai hasil
terbaik, dalam hal ini dapat mencegah terjadinya korban
secara massal.
Ketiga, menguatkan koordinasi di tingkat daerah melalui
pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) yang didukung oleh instansi terkait lainnya. Belum
terbentuknya BPBD di semua provinsi dan kabupaten/kota
mengakibatkan upaya penanggulangan bencana tidak
ada yang mengkoordinir. Daerah dapat saja memberikan
kewenangan tersebut menempel pada institusi yang sudah
ada, misalnya Kesbanglinmas atau bahkan Dinas Pemadam
Kebakaran seperti di DKI Jakarta.
Namun hal ini terkadang menjadi rancu karena institusi
tersebut sebenarnya telah memiliki Tupoksi tersendiri se-
hingga penanggulangan bencana seakan hanya merupakan
tambahan. Padahal penanggulangan bencana amatlah pen-
ting dan di saat terjadinya bencana dia harus berada di garis

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 161


depan untuk mengkoordinasikan sektor-sektor yang lain.
Keempat, meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM
terkait upaya penanggulangan bencana melalui pendidikan
formal dan informal yang didukung dengan staf pengajar
yang kompeten. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM
dianggap penting karena SDM-lah yang bertanggung jawab
dalam implementasi seluruh kebijakan, strategi, program,
dan kegiatan yang ada. Rendahnya kualitas atau kurangnya
jumlah SDM yang tersedia dapat mempengaruhi tingkat
keberhasilan kebijakan, strategi, program, dan kegiatan
yang dijalankan.
Strategi kelima, meningkatkan pendanaan penanggu-
langan bencana melalui pengalokasian dana dalam APBN
dan APBD yang didukung oleh pendanaan dari masyarakat
dan bantuan sosial berpola hibah. Pemerintah pusat dan
daerah belum mampu untuk membiayai keseluruhan upa-
ya penanggulangan bencana. Oleh karena itu peran serta
masyarakat dalam pendanaan seperti yang diatur dalam
PP 22/2008 amat diharapkan. Selain itu, pemerintah juga
membuka diri terhadap pendanaan yang berasal dari ban-
tuan sosial berpola hibah (block grant).

Kesimpulan
Penanggulangan atau manajemen bencana merupakan
satu siklus multi stakeholder yang mempunyai keterkaitan
erat dan saling ketergantungan antara satu komponen
de-ngan komponen lainnya. Enam proses (pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi,
dan rekonstruksi) perlu ditangani secara sinergis agar

162 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


dampak bencana tersebut dapat diminimalisasi sehingga
mengurangi korban jiwa dan materi. Dalam konteks ini tentu
semua stakeholder, baik pemerintah (pusat dan daerah),
swasta, maupun masyarakat harus berperan secara aktif
tanpa harus dibedakan siapa subjek dan siapa objek dalam
penanggulangan bencana.

“Penanggulangan atau manajemen


bencana merupakan satu siklus multi
stakeholder yang mempunyai keterkaitan
erat dan saling ketergantungan antara
satu komponen dengan komponen
lainnya. Enam proses (pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi) perlu
ditangani secara sinergis agar dampak
bencana dapat diminimalisasi sehingga
mengurangi korban jiwa dan materi.”

Untuk dapat sampai pada kondisi tersebut memang


perlu waktu. Pedoman yang disediakan oleh UU 24 tahun
2007 dirasakan makin banyak kekurangannya ketika diimple-
mentasikan. Kekurangan terbesar dirasakan pada tahap pra-
bencana (mitigasi dan kesiapsiagaan) dan pada saat setelah
tanggap darurat yakni tahap rekonstruksi. Hal ini dapat dili-

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 163


hat dari pengalaman bencana sepanjang tahun 2010 misal-
nya banjir bandang di Wasior, tsunami di Mentawai, serta
letusan Gunung Merapi.
Untuk kasus Wasior dan Mentawai, tidak adanya
kegiatan pra-bencana membuat kewaspadaan masyarakat
berada pada titik nol. Begitu juga setelah fase tanggap
darurat, fase rekonstruksi berjalan sepotong-sepotong dan
tidak pernah padu di antara para pemangku kepentingan.
Untuk peningkatan sinergi dalam penanggulangan ben-
cana yang lebih baik, setidaknya aspek regulasi dan kebi-
jakan harus disempurnakan agar semua pemangku kepent-
ingan terwadahi. Dalam hal ini, koordinasi kelembagaan di
institusi pemerintah sendiri harus lebih diperjelas. Tupoksi
kementerian dan nonkementerian yang sifatnya teknis di
tingkat pusat seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian LH, Kemen-
Hut, KemenSos, dan Kemendiknas dalam praktiknya untuk
kegiatan penanggulangan bencana sudah didokumentasi-
kan dalam RAN-PB. Namun fungsi koordinasi antara satu
kegiatan dan kegiatan lain yang sifatnya lintas kementerian
belum terwadahi dalam suatu kerangka payung hukum yang
jelas.
Dalam hal ini, Surat Keputusan Bersama (SKB) antar
beberapa menteri mungkin dibutuhkan. Aturan turunannya
sebagai pedoman di daerah pun belum tersedia. Permendagri
No 46 tahun 2008 masih berkutat pada kelembagaan BPBD,
belum pada tahap koordinasi lintas sektor di daerah dalam
penanggulangan bencana.
Setelah aspek regulasi untuk koordinasi lintas institusi

164 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


disempurnakan, tahapan berikutnya adalah penambahan
aturan dan kebijakan yang memungkinkan masuknya peran
swasta dan dunia usaha secara lebih luas dalam upaya pe-
nanggulangan bencana. Aturan mengenai asuransi bencana
dan perangkat penunjangnya mutlak dimiliki.
Peran aktif dunia pendidikan dan lembaga riset menjadi
kunci dalam menunjang kegiatan-kegiatan yang diprakarsai
Lembaga Swadaya Masyarakat, agar pemahaman yang di-
tanamkan tidak melenceng dari konsepsi awal. Peran dunia
pendidikan juga menjadi kunci dalam pendidikan kebenca-
naan di daerah–daerah yang rawan bencana. Keberlanjutan
dari program-program pendampingan seperti ini akan men-
jamin terjadinya perubahan perilaku masyarakat yang sadar
bencana.
Begitu juga dengan masyarakat yang terkena bencana
harus dilibatkan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan,
sampai pengawasan program rehabilitasi dan rekonstruksi.
Mereka harus terlibat aktif dalam setiap penanggulangan
bencana alam.
Apabila beberapa faktor di atas sudah berhasil dibenahi
dan dijalankan dengan konsisten, bukan mustahil dalam
kurun satu atau dua dekade mendatang Indonesia sudah
menjadi salah satu negara terdepan dalam penanggulangan
bencana. Apalagi kita memiliki laboratorium bencana alam
terlengkap di dunia.

ctd

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 165


23
Merencanakan
Pengelolaan Pesisir
Berbasis Mitigasi Bencana

T
etesan air mata di Sumatera Barat belumlah menge-
ring. Betapa hati kita masih pilu melihat ribuan korban
tewas dan terluka dihantam gempa bumi berkekuat-
an 7,6 skala Richter di Padang, Rabu (30/9/2009) sore.
Tak lama setelah itu, Kamis (1/10/2009) pagi giliran Jambi
menangis didera gempa berkekuatan 7,0 SR.
Sebelumnya, bencana demi bencana juga datang silih
berganti. Masih lekat dalam ingatan kita ketika gempa Nabi-
re (2002) juga meluluhlantakkan bangunan.
Dua tahun berikutnya, tsunami Aceh 2004 menewaskan
sekitar 300.000 orang. Lalu, gempa Yogyakarta (2006) juga
menewaskan ribuan orang. Dua bulan setelah itu, tsunami

166 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Pangandaran menewaskan ratusan orang dan menyapu
ribuan bangunan.
Selain itu, bencana alam lainnya yang tak kalah mere-
potkan adalah gelombang pasang (2007) yang menerjang
pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, Bali, NTB, dan
NTT. Gelombang ini mengakibatkan ribuan rumah hancur.
Sepanjang 2007-2008 banjir rob juga menghantam
Pantura Jawa dan mengakibatkan ratusan rumah terendam
air laut. Singkat kata, wilayah pesisir Indonesia laksana super
mall-nya bencana.

Berbasis Mitigasi
Lalu apa yang bisa kita lakukan dalam menghadapi ben-
cana alam tersebut yang tidak pasti kapan datangnya itu?
Harus diakui, tidaklah mudah mengelola bencana tersebut.
Apalagi kesadaran masyarakat awam terhadap bencana
masih minim. Selain itu, kita juga masih lemah dalam mela-
kukan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil yang berbasis mitigasi.
Akibatnya, banyak korban jiwa dan kerugian harta ben-
da ketika bencana alam menghampiri mereka. Kondisi itu
diperparah lagi dengan karakteristik bencana alam yang me-
miliki kekuatan teramat besar.
Tidaklah mungkin kecerdikan manusia mencegah ke-
dahsyatan bencana alam. Kemampuan manusia hanya se-
batas mengurangi dampak bencana. Tindakan semacam itu
biasanya disebut mitigasi atau suatu upaya guna mengu-
rangi risiko atau dampak dari suatu bencana.
Menurut UU 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 167


dan Pulau-pulau Kecil, mitigasi bencana merupakan upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau
fisik (pembangunan fisik alami dan/atau buatan) maupun
nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil.
Upaya mitigasi harus dilaksanakan sejak pada tahap
perencanaan. Hal ini sesuai dengan UU 27/2007, yaitu dalam
menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau
pemerintah daerah wajib memasukkan dan melaksanakan
bagian yang memuat mitigasi bencana sesuai dengan jenis,
tingkat, dan wilayahnya.
Amanat ini mengandung makna bahwa paradigma
penanganan bencana yang selama ini dilakukan perlu dire-
formasi dari pendekatan fatalistik-reaktif melalui majemen
krisis menjadi pendekatan terencana pro-aktif melalui peng-
urangan risiko. Pengurangan risiko ini meliputi tiga upaya;
pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Di dalam UU No
27/2007 ketiga upaya tersebut disebut mitigasi.
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil merupakan amanat UU 27/2007 yang wajib
disusun oleh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/
kota). Perencanaan itu terdiri empat hierarki, yakni; (a)
rencana strategis wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
(RSWP-3-K), (b) rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (RZWP-3-K), (c) rencana pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP-3-K), dan (d) rencana
aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

168 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


(RAPWP-3-K).
Dokumen RSWP-3-K memberikan arah kebijakan lin-
tas sektor untuk perencanaan pembangunan melalui pe-
netapan isu, visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, serta tar-
get pelaksanaan dengan indikator pengelolaan pesisir dan
pulau-pulau kecil yang tepat.
Menurut ensiklopedi, isu didifinisikan sebagai suatu pe-
ristiwa/kejadian/hal yang dapat diperkirakan dapat terjadi
di masa yang akan datang yang menyangkut ekonomi, mo-
neter, sosial, politik, hukum, pembangunan, bencana alam
atau tentang krisis. Jadi, dalam menentukan isu pengelo-
laan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak hanya mem-
pertimbangkan isu potensi ekonomi wilayah dan pulau-
pulau kecilnya tetapi juga harus memasukkan adanya isu
bencana misalnya bencana akibat gempa, tsunami, banjir,
rob, gelombang pasang, dan lain sebagainya
Sementara itu, strategi adalah langkah untuk mencapai
keinginan, harapan atau pandangan masa depan bersama
yang ingin dicapai para pihak untuk mencapai visi dan misi.
Karena itu dalam menentukan strategi untuk mencapai visi
dan misi tidak hanya terpaku pada strategi pemanfaatan
potensi sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil tetapi juga harus memuat strategi mitigasi
bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, baik
strategi mitigasi nonfisik/nonstruktur maupun yang bersifat
fisik/struktur.
Kegiatan nonstruktur/nonfisik meliputi: penyusunan
peraturan perundang-undangan; penyusunan peta rawan
bencana; penyusunan peta risiko bencana; penyusunan

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 169


analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL); penyusunan
tata ruang; penyusunan zonasi; pendidikan; penyuluhan;
dan penyadaran masyarakat.
Kegiatan struktur/fisik meliputi: pembangunan sistem
peringatan dini, pembangunan sarana dan prasarana, dan/
atau pengelolaan lingkungan.
Pembangunan sistem peringatan dini meliputi : kegiatan
pembangunan komponen peralatan pengamatan dan
monitoring dalam peringatan dini; dan kegiatan peningkatan
kesiapsiagaan masyarakat dan rantai penyebaran informasi.
yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembangunan sarana dan prasarana meliputi kegia-
tan: pembuatan bangunan pelindung pantai; pembangun-
an bangunan peredam tsunami; pembangunan bangunan
pengendalian banjir; pembangunan fasilitas penyelamat-
an diri; penerapan konstruksi bangunan ramah bencana;
pembangunan bangunan logistik; pembangunan bangunan
kesehatan; pembangunan alat mobilisasi; dan pembangun-
an komponen peralatan pengamatan dan monitoring dalam
peringatan dini.
Pengelolaan lingkungan meliputi kegiatan: penanaman
vegetasi pantai; penanaman tanaman pelindung pantai;
pengelolaan ekosistem pesisir terumbu karang dan padang
lamun.
Penyusunan peraturan perundang-undangan meliputi
kegiatan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria
mitigasi bencana.
Penyusunan peta rawan bencana dilakukan berdasarkan
potensi bencana. Penyusunan peta risiko bencana dilakukan

170 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


berdasarkan aspek kerentanan, potensi bencana dan tingkat
kemampuan serta kapasitas pemangku kepentingan dan
kelembagaan
Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AM-
DAL) meliputi kegiatan kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi pengurangan
risiko bencana, dengan memasukkan analisis risiko benca-
na.
Penyusunan tata ruang meliputi kegiatan penyusunan
perencanaan pengelolaan dan penataan ruang yang terdiri
dari struktur ruang dan pola ruang daratan berbasis mitigasi
bencana. Penyusunan zonasi meliputi kegiat-an penyusu-
nan perencanaan pengelolaan dan penataan ruang perairan
yang terdiri dari pola ruang berbasis mitigasi.
Pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat
merupakan kegiatan yang terencana melalui latihan, geladi
dan simulasi kepada masyarakat mengenai pentingnya
melaksanakan upaya-upaya mengurangi risiko bencana.
Dokumen RZWP-3-K memberikan arah penggunaan
sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan
penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan peren-
canaan yang memuat kegiatan yang boleh dan tidak boleh
dilakukan serta kegiatan yang hanya boleh dilakukan setelah
memperoleh izin. Dalam hal ini penetapan struktur dan pola
ruang mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta ri-
siko bencana.
Peta rawan bencana adalah peta petunjuk zonasi tingkat
bahaya suatu jenis ancaman bencana pada suatu daerah

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 171


pada waktu tertentu. Sementara itu peta risiko bencana
adalah peta petunjuk zonasi tingkat risiko satu jenis ancaman
bencana pada suatu daerah pada waktu tertentu yang
bersifat dinamis dan merupakan hasil perpaduan antara
peta rawan bencana (hazard map) dan peta kerentanan
(vulnerability map).
Menurut Pasal 9 ayat 3 UU No 27/2007, perencanaan
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan
dengan mempertimbangkan keserasian dan keseimbangan
dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan
perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi
dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan.
Di sini, fungsi perlindungan termasuk perlindungan terhadap
ancaman bencana.
Oleh karena itu dalam upaya menata kembali ruang
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rawan bencana untuk
keperluan mitigasi bencana disarankan mengikuti beberapa
prinsip dasar rencana zonasi/penataan ruang guna memini-
malisasi risiko bencana. Ke-7 prinsip itu adalah:
1. Kenali kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil rawan
bencana sebagai ancaman bahaya.
2. Kenali bentuk dan tipe wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil (landai, terjal, berbatu, berpasir, dan lain-lain).
3. Identifikasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil (perikanan, pariwisata, permukiman,
transportasi, dan lain-lain).
4. Identifikasi kebutuhan kawasan konservasi dan
perlindungan bencana (mangrove, hutan pantai, sand
dune, dan lain-lain).

172 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


5. Kenali karakter/fungsi sarana dan prasarana wilayah
yang ditempatkan (break water, pelabuhan, bangunan
tinggi, dan lain-lain).
6. Kenali karakter sosial-budaya serta sosial-ekonomi wi-
layah pesisir dan pulau-pulau kecil (menentukan keren-
tanan dan risiko).
7. Kembangkan konsep rencana zonasi/penataan ruang
dengan mempertimbangkan keindahan, keberaturan,
dan keselamatan.

Budaya Keselamatan
Dalam mengembangkan budaya keselamatan, secara
spasial atau keruangan, sebaran bahaya, elemen-elemen
yang rentan, dan potensi risiko yang ada dapat dituangkan
dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kawasan-kawasan rawan bencana sebaiknya tidak dialokasi-
kan untuk kegiatan pemanfaatan.
Bagi kawasan yang sudah terdapat kegiatan pemanfa-
atan, pemerintah dapat memberikan pengarahan untuk ke-
giatan mitigasinya. Pemerintah juga harus berani besikukuh
untuk tidak memberikan izin bagi pemanfaatan baru. Sebut
saja misalnya tidak mengeluarkan izin mendirikan bangun-
an (IMB) di tempat yang berisiko terjadi bencana. Kalau-
pun terpaksa menempati daerah berisiko maka rumah dan
bangunan harus dibangun tahan bencana dan diterapkan
building code yang ketat.
Strategi mitigasi bencana yang telah tertuang dalam
RSWP-3-K dan peta resiko bencana yang telah dipertimbang-
kan sebagai acuan dalam penyusunan RZWP-3-K tersebut

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 173


harus direncanaakan implementasinya dan dituangkan da-
lam RPWP-3-K dan RAPWP-3-K.
Berhasil tidaknya pelaksanaan semua perencanaan ter-
sebut diatas, sangat tergantung pada peran Bappeda. Ar-
tinya, Bappeda harus mampu memfasilitasi terlaksananya
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil berbasis mitigasi bencana dan yang sudah disepakati
dalam dokumen. Di samping itu, Bappeda harus mampu
mengharmonisasikan dan menyinergikan dengan perenca-
naan pembangunan daerah yang lain seperti RPJPD, RPJMD,
dan RKPD.
Perangkat daerah selanjutnya memastikan bahwa
dokumen SKPD telah menampung muatan perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis
mitigasi bencana, me-review, mengesahkan, atau menolak
berbagai kegiatan yang tidak sejalan dengan kebijakan dan
program pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang telah disepakati bersama.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana eksekutif dan
legislatif di tingkat daerah sepakat untuk mengalokasikan
anggaran pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang telah dituangkan dalam perencanaan pengelolaan
wilayah pesisir berbasis mitigasi. Melalui berbagai upaya
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil berbasis mitigasi bencana, niscaya kita bisa hidup akrab
dengan bencana. Semoga.

ctd
Artikel ini dimuat di Samudra edisi 78 Tahun VII, Oktober 2009.

174 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


Sekilas Penulis

Subandono Diposaptono memulai


karir sebagai peneliti coastal engi-
neering di Laboratorium Pengkajian
Teknik Pantai, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) pada
1987. Sebelumnya, sarjana Teknik
Sipil Hidro di UGM pada 1983 itu,
menjadi tenaga ahli di beberapa pe-
rusahaan konsultan.
Gelar master dan doktor bidang
coastal engineering diperolehnya di
Tohoku University Jepang pada 1994 dan 2000. Pria kelahiran
Klaten, 5 Juli 1959 itu aktif meneliti tentang coastal engineer-
ing termasuk tsunami dan perubahan iklim, baik melalui survei
lapangan, model fisik di laboratorium, maupun model matema-
tik.
Untuk mendalami minatnya, berbagai pelatihan yang per-
nah ia ikuti antara lain Coastal Process Modeling di Denmark
1994 dan Integrated Coastal Management Leadership di
Filipina 2002.
Atas kepakarannya itu, ia diundang menjadi pembicara di
berbagai seminar, workshop, pelatihan, sosialisasi, dan pe-
nyadaran masyarakat, baik tingkat nasional maupun interna-
sional. Pemikirannya tentang mitigasi bencana dan adaptasi
perubahan iklim pernah dimuat di Suara Pembaruan, Kompas,
Daily Investor, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Media Indo-
nesia, Tempo, Gatra, dan Majalah Samudra. Pada tahun 2008

Sebuah Kumpulan Pemikiran Subandono Diposaptono 175


ia bersama Budiman menulis buku Hidup Akrab dengan Gempa
dan Tsunami. Pada tahun 2009 ia bersama Firdaus Agung dan
Budiman menulis buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Bukunya yang berjudul Menyelamatkan Diri dari Tsunami
mendapat award dari Japanese Society of Civil Engineer (JSCE)
sebagai buku terbaik pada tahun 2009 (The 2009 JSCE Book of
The Year Award).
Anggota organisasi profesi yang diikutinya antara lain
Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia, Japanese Society of
Civil Engineer (JSCE), dan Masyarakat Penanggulangan Bencana
Indonesia.
Mulai 2001 ia ditugaskan di Departemen Kelautan dan Peri-
kanan sebagai Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pencemar-
an Laut hingga awal tahun 2003. Lalu sepanjang 2003 hingga
awal 2005 dipercaya menjadi Kepala Sub Direktorat Mitigasi
Lingkungan. Mulai 2005 hingga 2007 bertugas sebagai Kepala
Sub Direktorat Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan.
Sepanjang 2008 menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat Pe-
ngelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu. Ia juga pernah mengikuti
simposium internasional di Oxford University, London.
Sejak 2009, ia bekerja sebagai Direktur Pesisir dan Lautan,
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di sela-sela kesibukannya
ia juga mengajar di Universitas Indonesia dan Universitas
Diponegoro.
Menikah dengan Iim Susilawati, kini Alumnus PPRA-44
Lemhannas RI 2010 ini dikaruniai tiga putri yaitu, Maulida Galih
Pawestri, Naraini Nur Kimashita dan Talitha Rahma Nur Aini.

176 MITIGASI BENCANA DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

Anda mungkin juga menyukai