Edvin
Ald
rian
Mimin
Karmin
iBudim
an
Edvin Aldrian
nelayan tak berani melaut menangkap ikan. Di sisi lain, permukiman
beserta sarana infrastruktur di kawasan pesisir juga mulai terendam akibat
kenaikan muka air laut.
Fenomena tak lazim tersebut jelas memerlukan upaya serius. Lalu upaya
mitigasi dan adaptasi apa saja yang dapat dilakukan dalam menghadapi
perubahan iklim?
Di buku inilah Anda akan diajak untuk bukan saja mengenali dan Mimin Karmini
memahami perubahan iklim. Namun lebih dari itu, Anda pun dapat ikut
berperan aktif dalam berbagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
ICCTF
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim di Indonesia
Penulis : Dr. Edvin Aldrian, B.Eng., M.Sc., APU, Dra. Mimin Karmini, M.Sc.,
dan Ir. Budiman, MSi
Penyunting : Dedi Sucahyono, M.Si dan Indah Budiani, S.H., M.Sc
Kontributor : Radhita Purwaningtyas, S.Si
Design Graphic : Amir
Design Cover : M Kholid Afandi
Penyelaras Bahasa : Slamet Widayadi
Tim Pendukung : Nurmala Faridha, S.IK, N Apriella Lestari, S,IK, Eko Wahyudi, S.E,
& Ajie Parikesit, S.E
Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia
Diterbitkan oleh:
Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara
Kedeputian Bidang Klimatologi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
x + 174 halaman, 17,6 cm x 25 cm
ISBN: ...............................
Kata Pengantar
P
uji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
perkenaan-Nya buku saku “Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim” dapat
diterbitkan.
Buku saku ini berisikan tentang perubahan iklim dan upaya adaptasi serta
iv
mitigasinya, yang diperuntukkan kalangan masyarakat luas, khususnya petani,
nelayan, dan siswa SD sampai dengan SMU. Kami berusaha menyajikan buku ini
secara sederhana agar mudah difahami oleh masyarakat luas.
Buku saku ini juga merupakan rangkuman dari modul-modul yang telah dibuat
oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPPT, dan
survei yang dilakukan oleh LIPI. Program tersebut terselenggara atas kerja sama
dan dukungan dari Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Bappenas.
Penerbitan buku saku perubahan iklim ini adalah salah satu upaya BMKG
untuk melakukan sosialisasi perubahan iklim secara luas dalam arti definisi,
proses, dampak, dan upaya penanggulangan melalui program adaptasi dan
mitigasi. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk wujud aktivitas sosial BMKG
kepada masyarakat terutama untuk melihat peluang dan tantangan yang kita
hadapi dalam hal perubahan iklim terutama dalam mendukungan ketahanan
pangan nasional. Pada akhirnya masyarakat diharapkan untuk melihat isu
perubahan iklim dari sisi positif lebih besar untuk dapat meningkatkan peluang
adaptasi dan melakukan program mitigasi sebesar dan seluas-luasnya. Selain itu,
setelah membaca buku ini diharapkan masyarakat akan lebih akrab dengan jenis
layanan informasi iklim dan perubahan iklim yang dikeluarkan oleh BMKG.
Kami berharap, buku saku ini bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dalam
pembelajaran dan memahami dasar perubahan iklim serta upaya apa yang dapat
dilakukan masyarakat baik untuk adaptasi maupun mitigasi dalam menghadapi
fenomena perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi di Indonesia.
Seluruh permasalahan yang dikemukakan dalam penerbitan buku ini diangkat
dari berbagai contoh kasus yang ada di Indonesia. Dengan demikian diharapkan
tumbuhnya kesadaran tinggi di masyarakat bahwa perubahan iklim di Indonesia
merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan dan bukan merupakan cerita
fiksi dari negara maju.
Akhirnya, saya selaku Kepala BMKG menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada UNDP dan ICCTF yang telah memberikan kepercayaan
kepada kami dalam melaksanakan Program “Public Awareness, Training and
Education Program on Climate Change Issue for all level of Societies, Mitigation
and Adaptation”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua instansi,
baik di pusat dan daerah yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan program
ini, tim kerja dari ICCTF-BMKG, dan semua pihak yang telah mendukung upaya
dari penulisan hingga penerbitan buku ini.
Semoga Allah SWT meridhoi seluruh jerih payah kita dan dapat bermanfaat,
berhasil guna serta tujuan dari program ini dapat tercapai.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
P
erubahan iklim merupakan salah satu topik yang sedang hangat
dibicarakan baik pada tataran praktis hingga pada ranah politis. Terlepas
dari panjangnya diskusi permasalahan ini, perubahan iklim telah, sedang
dan akan terus terjadi. Dalam hubungan tersebut dan berhubungan dengan letak
geografis, maka Indonesia sangat rentan untuk menerima dampak pemanasan
global dan perubahan iklim. Sebagai negara beriklim tropis dikelilingi oleh laut
vi
dan memiliki peran hutan yang penting sebagai paru paru dunia, maka tanggung
jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dari dampak perubahan iklim
menjadi meningkat. Peran Indonesia dalam mengatasi isu pemanasan global
dan perubahan iklim bukan hanya sebagai kontribusi nasional untuk tingkat
Internasional tetapi juga sebagai bentuk warisan untuk generasi mendatang
sebagai bentuk survival sebagai bangsa. Hal ini dikarenakan dampak perubahan
iklim akan menggerus kapasitas dukung lingkungan sehingga terus menurun
dan pada akhirnya mengancam kesinambungan pembangunan berkelanjutan.
Beberapa ancaman yang terlihat adalah peningkatan suhu permukaan,
peningkatan paras muka laut, cuaca ekstrim, polutan udara yang meningkat dll.
Dalam memberikan pemahaman apa itu pemanasan global dan apa itu
perubahan iklim kepada masyarakat diperlukan suatu bahan bacaan yang
mudah dicerna, lugas dan memberikan pengertian sederhana. Saat ini masih
seringkali terjadi kesalahan pemahaman mengenai hubungan pemanasan global
dan perubahan iklim dan bagaimana proses terjadinya. Selain itu masyarakat
juga perlu diberikan pemahaman bahwa isu perubahan iklim bukanlah sebuah
dongeng negara maju melainkan sudah benar terjadi di bumi Indonesia dengan
segala bukti nyata didepan mata. Kita patut bersyukur bahwa saat ini Indonesia
memiliki seluruh bukti utama terjadinya pemanasan global yaitu peningkatan
suhu muka bumi yang diwakili oleh suhu laut, peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca dan penurunan lapisan es daratan. Indonesia adalah satu dari 3 wilayah
tropis yang masih memiliki salju abadi dan terus meleleh. Pada kasus perubahan
iklim, berbagai bukti yang telah terjadi dapat kita lihat di bumi Indonesia seperti
kasus tahun tanpa kemarau 2010 yang memberikan kekacauan ekologis dan
dampak ekonomis di masyarakat.
Pada akhirnya masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa perubahan iklim
bukanlah momok yang perlu ditakuti tetapi memberikan peluang untuk dapat
berkembang kemuka dan dapat meningkatkan kapasitas adaptasi bersama
dalam menghadapinya. Tentu saja peningkatan kapasitas tersebut harus sesuai
dengan karakter perrmasalahan yang kita hadapi bersama dan bukannya cocok
untuk kasus di wilayah lain. Selain itu peningkatan peran masyarakat diperlukan
untuk melakukan berbagai program mitigasi perubahan iklim baik secara individu
maupun komunal.
Peran serta masyarakat juga harus didukung oleh kebijakan publik oleh
berbagai instansi pemerintah yang berhubungan dalam penanganan isu
perubahan iklim. Pembahasan diperlukan juga untuk melihat peran berbagai
institusi dan bagaimana koordinasi dan sinergi yang diharapkan. Manajemen
kebijakan perubahan iklim pada tataran nasional dan internasional perlu vii
dikenalkan kepada masyarakat sehingga dapat menjadi acuan untuk hal hal yang
selama ini sering dipertanyakan dan diberitakan di media masa. Pada akhirnya
sosialisasi kepada masyarakat diperlukan untuk memahami peran institusi yang
memberikan pelayanan informasi perubahan iklim pada tingkat dasar. Informasi
tersebut merupakan informasi utama yang menunjukkan apa benar perubahan
iklim sudah terjadi di bumi Indonesia.
Dengan berbagai lingkup bahasan diatas dan keterbatasan informasi yang
ada, buku ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang umum mengenai
apa yang terjadi dalam hal perubahan iklim di benua maritim Indonesia. Buku ini
disusun berdasarkan masukan selama kegiatan pelaksanaan program Indonesian
Climate Change Trust Fund (ICCTF) di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) dan bekerja sama dengan Kementrian Pertanian, Kementrian Kelautan
dan Perikanan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Materi yang
disusun berdasarkan isi dari modul Trainer of Trainers (ToT) untuk Penyuluh
Pertanian dan Penyuluh Perikanan, modul ajar Kurikulum Perubahan Iklim untuk
tingkat SD, SMP, SMU dan SMK dan hasil studi lapangan sosialisasi perubahan
iklim kepada petani dan nelayan melalui program radio komunitas.
Penulis menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada pihak yang
telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penerbitan
buku ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada ICCTF sebagai penyandang
dana dalam kegiatan sosialisasi, kepada Kepala BMKG beserta jajarannya yang
telah mendukung pelaksanaan program sosialisasi, tim kerja pendukung ICCTF
dari Kemtan, Kem KP, Kemdikbud, BPPT dan LIPI serta dari rekan kerja di BMKG.
Penulis juga turut menyampaikan terima kasih kepada tim managerial pendukung
kerja yaitu unit Program Management Unit (PMU).
Akhirnya penulis mengharapkan bahwa buku ini dapat menjadi sumbangsih
pemahaman umum terhadap perubahan iklim yang terjadi di bumi benua
maritim Indonesia. Buku ini diharapkan dapat menjadi konsumsi umum bagi
siswa, praktisi dan pemerhati masalah perubahan iklim hingga pada satuan
kelompok tani dan nelayan.
November 2011
viii
Daftar Isi
PLANET BUMI
DAN ATMOSFER
P
lanet Bumi dan atmosfer merupakan satu kesatuan ekosistem yang
tidak dapat terpisahkan. Keduanya saling berinteraksi. Bumi tanpa
atmosfer sama saja dengan kondisi planet-planet lain dalam sistem tata
surya kita, yakni kering, tandus, ekstrem (sangat panas dan sangat dingin),
dan tentu saja tak ada kehidupan.
Amosfer telah melindungi Bumi dalam banyak hal. Siklus air di Bumi dapat
berlangsung berkat peran atmosfer. Suhu udara yang nyaman di permukaan
Bumi juga dikendalikan atmosfer. Seperti diketahui, air dan udara adalah
sumber kehidupan baik bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Begitu juga sebaliknya, atmosfer tanpa Bumi juga tak banyak berarti.
Bumi yang tersusun sebagian besar dari besi itu memiliki medan magnet
yang sangat kuat pada ketinggian hingga mencapai ribuan kilometer.
Kuatnya efek medan magnet tersebut dapat menahan atom dan molekul
di atmosfer agar tidak terlepas ke luar angkasa. Selain itu, medan magnet
juga berperan menghalangi angin radiasi Matahari (solar winds) yang sangat
berbahaya bagi mahluk hidup.
1.1. Bumi
Bumi merupakan salah satu planet dalam sistem tata surya dengan
Matahari sebagai pusatnya. Dilihat dari posisi terdekat dari Matahari, Bumi
berada pada urutan ketiga, setelah Merkurius dan Venus. Para ilmuwan
menduga, Bumi terbentuk sekitar 5.000 juta tahun silam.
1.2. Atmosfer
Planet bumi diselimuti oleh lapisan gas yang disebut atmosfer. Atmosfer
tersusun oleh 78 % nitrogen (N2), 21 % oksigen (O2), 0,9 % argon (Ar), dan
0,03 % karbondioksida (CO2). Sisanya berupa gas-gas lain seperti helium (He),
hidrogen (H2), xenon (Xe), ozon (O3), uap air, dan partikel-partikel kecil debu
atau aerosol.
Atmosfer memiliki massa sekitar 5 x 1018 kg dimana 75 % dari massa
tersebut berada di lapisan troposfer. Semakin tinggi lapisan atmosfer, semakin
kecil massanya. Sehingga, tekanan atmosfer juga semakin kecil dengan
semakin tingginya lapisan atmosfer.
Atmosfer yang membentang pada ketinggian 500 sampai 1.000 km
di angkasa luar itu menjadi pelindung bagi mahluk hidup di Bumi. Tanpa
pelindung atmosfer, semua mahluk hidup baik manusia, hewan, maupun
tumbuhan akan terbakar oleh Matahari di siang hari. Sebaliknya, di malam
hari mahluk hidup tersebut bakal membeku.
Atmosfer mampu melindungi permukaan Bumi karena ia mampu
mempertahankan suhu udara dalam fluktuasi yang kecil melalui proses efek
rumah kaca dan menahan radiasi Matahari yang berbahaya. Di samping itu,
atmosfer juga menyediakan udara yang dibutuhkan mahluk hidup untuk
tumbuh dan berkembang.
Gambar 1.3. Kategori lapisan atmosfer secara vertikal berdasarkan suhu (Sumber: Lutgens
and Tarbuck’s The Atmosphere, 2001).
S
eperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya (Bab 1), troposfer
merupakan lapisan atmosfer paling bawah di mana aktivitas cuaca
terjadi. Di lapisan troposfer, suhu udara turun dengan bertambahnya
ketinggian. Fenomena ini disebut laju penurunan suhu lingkungan
(environmental lapse rate) yang besarnya sekitar 6,5 oC/1.000 m. Artinya,
setiap kenaikan ketinggian 1.000 m, suhu udara mengalami penurunan
sebesar 6,5 oC.
Besarnya laju penurunan suhu lingkungan di lapisan troposfer tidaklah
sama, tergantung daerah lintangnya. Laju penurunan suhu lingkungan di
lintang rendah (tropis), lintang tengah, dan lintang tinggi (kutub) dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
Setidaknya ada tiga cara massa udara naik ke tingkat lebih tinggi. Pertama,
proses adiabatik sebagai akibat adanya penghalang seperti bangunan gedung
dan gunung. Penghalang buatan dan alami tersebut akan menahan massa
udara yang bergerak secara horisontal, lalu memaksanya naik ke atas.
Cara kedua melalui proses konvergensi horisontal. Seperti diketahui,
akibat tekanan rendah di permukaan menyebabkan massa udara mengumpul
lalu naik ke atas yang memiliki suhu udara lebih rendah.
Cara ketiga atau terakhir naiknya massa udara adalah akibat pemanasan
atau konvektif. Pemanasan yang dipancarkan oleh permukaan Bumi, baik dari
daratan maupun lautan akan menghangatkan massa udara lalu naik menuju
tempat yang memiliki suhu udara yang dibuang.
11
Cumulonimbus
dari dekat
permukaan tanah
Cirrocumulus Cirrus sampai di atas
(mockera’sky) di atas 5.400 m 15.000 m
di atas 5.400 m
Altocumulus
1.800 - 6.000 m
Altostratus
1.800 - 6.000 m
Stratocumulus Cumulus
di bawah 1.800 m di bawah 1.800 m
Stratus
di bawah 1.800 m
Gambar 2.2. Jenis-jenis awan yang biasa kita lihat. Jenis awan rendah adalah stratus (St),
stratocumulus (Sc), cumulus (Cu), dan cumulonimbus (Cb). Sementara itu, awan
menengah terdiri dari altostratus (As) dan altocumulus (Ac). Sedangkan yang
tergolong awan tinggi adalah cirrus (Ci), cirrostratus (Cs), dan cirrocumulus (Cc)
(Sumber: UCAR).
12 Awan &
uap air
Pertukaran Perpindahan
Air tersimpan Presipitasi radiasi Kondensasi
di dalam es (hujan salju (panas laten
dan salju atau hujan air) atmosfer)
Evapotranspirasi Evaporasi
Per Limpasan
emb permukaan
esa
n Manajemen air Lapisan pembatas
Per (daratan dan atmosfer
kol
Kel asi bebas)
em
bab
ant
Ker ana
a gam h
an t
ana Samudra
h Aliran
arus
air
Tabel air
Muara sungai
Aliran air tanah
Batuan dasar
Gambar 2.3. Diagram siklus air (Sumber: US Global Change Research Program. www.usgcrp.
gov)
2.1. Cuaca 13
Cuaca adalah keadaan dinamika udara di atmosfer pada waktu dan tempat
tertentu. Cuaca umumnya dapat diungkapkan atau dinyatakan dengan kondisi
hujan, suhu udara, jumlah tutupan awan, penguapan, kelembaban, dan
kecepatan angin di suatu tempat dari hari ke hari. Kurun waktu yang sering
digunakan dalam analisa cuaca adalah satu hari sampai satu minggu.
Contoh sederhana adalah ketika presenter atau pembaca acara menyam-
paikan prakiraan cuaca melalui media televisi atau radio. Ia mengatakan,
prakiraan cuaca di kota Bekasi pada tanggal tertentu adalah cuaca cerah be-
rawan dengan suhu udara maksimum 32 oC dan angin calm.
Maksud dari prakiraan cuaca tersebut adalah di kota Bekasi, Matahari
masih bersinar dan terdapat sejumlah awan. Suhu udara pada sekitar pukul
14.00 WIB diduga sebesar 32 oC dengan angin yang mungkin tidak dapat
dirasakan oleh manusia.
Contoh lain, ketika si pembawa acara mengatakan, prakiraan cuaca di
Jakarta pada tanggal yang sama adalah berawan, kemungkinan hujan pada
sore hari dengan intensitas sedang. Artinya, pada tanggal tersebut Jakarta
ditutupi cukup awan dan berpeluang terjadi hujan. Hujan dengan intensitas
2.2. Iklim 15
Iklim adalah kebiasaan cuaca yang terjadi di suatu tempat atau daerah.
Definisi lain, iklim merupakan karakter kecuacaan suatu tempat atau daerah,
dan bukan hanya merupakan cuaca rata-rata (Wirjomiharjo dan Swarinoto,
BMKG, 2007). Kurun waktu yang sering digunakan untuk menentukan iklim
rata-rata sekitar 30 tahun. Iklim memiliki unsur yang sama dengan cuaca.
Iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh letak lintang, lereng, ketinggian,
serta seberapa jauh jarak tempat tersebut dari perairan dan juga keadaan
arus lautnya. Contoh sederhana jika kita merujuk pada dunia, maka wilayah
yang berada di dekat garis ekuator Bumi (derajat berlintang rendah atau nol)
disebut wilayah beriklim tropis. Sementara itu, wilayah di lintang menengah
dan tinggi dikenal sebagai daerah beriklim subropis dan iklim kutub. Ilmu
yang mempelajari tentang pola global iklim dan karakteristiknya adalah
klimatologi.
Karakter cuaca suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria keseringan
atau probabilitas nilai-nilai satu atau lebih unsur iklim yang ditetapkan,
seperti hujan, suhu, dan angin. Atau bisa juga hanya terdiri hujan, suhu, atau
penguapan. Setiap daerah memiliki iklim yang berbeda.
Atmosfer
Gambar 2.4. Komponen sistem iklim, proses, dan interaksinya (Sumber: IPCC, 2007)
Sementara itu, tipe iklim dapat dibedakan menjadi enam bagian sebagai
berikut:
• Iklim benua (continental climate). Iklim ini terjadi di daratan yang luas
dan jauh dari wilayah pesisir.
• Iklim bahari (maritime climate). Tipe iklim ini memiliki perbedaan yang
kecil antara suhu udara tahunan dan suhu udara harian. Iklim ini juga
ditandai dengan adanya pengaruh angin darat dan laut.
• Iklim mediterania (mediterranian climate). Iklim ini bercirikan panas,
kering, dan berlawanan dengan iklim monsun.
• Iklim tundra (tundra climate). Iklim ini memiliki suhu udara yang relatif
sangat rendah namun tidak tertutup salju.
18 • Iklim gunung (mountain climate). Iklim jenis ini berada di tempat-
tempat tinggi, dimana makin ke atas suhu udaranya makin rendah.
19
Gambar 2.6. Indonesia memiliki tiga daerah dengan pola curah hujan yang berbeda. Zona A
menunjukkan iklim monsunal, B adalah ekuatorial, dan C beriklim lokal.
Unsur iklim yang menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan.
Mengapa demikian? Hal itu disebabkan tidak semua wilayah Indonesia
mempunyai pola hujan yang sama. Selain itu, curah hujan merupakan
parameter iklim yang paling mempengaruhi pola kehidupan masyarakat.
Pola curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
monsun, Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), IODM, ENSO, dan sirkulasi
regional lainnya yang terdapat di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Menu-
rut Aldrian dan Susanto (2003), pola curah hujan Indonesia terbagi menjadi
tiga daerah utama dengan sebuah wilayah peralihan sebagai berikut:
1. Daerah monsunal (zona A) merupakan pola yang dominan di Indonesia
karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut
memiliki satu puncak pada periode November sampai Maret (November,
Tipe Ekuatorial
Tipe Lokal
Tipe Ekuatorial
Tipe Monsun
Tipe Lokal
Tipe Lokal S
2.3. Musim
Musim adalah pembagian waktu setahun yang ditandai oleh adanya
perbedaan (perubahan) cuaca, ekologi, dan lamanya penyinaran Matahari
(waktu siang). Musim terjadi karena rotasi Bumi pada porosnya dalam
mengelilingi Matahari. Rotasi Bumi ini miring sejauh 23,5 derajat dari sumbu
tegak lurusnya (lihat Gambar 1.2).
Akibatnya, negara-negara yang jauh dari ekuator atau garis khatulistiwa
22 dalam satu tahun memiliki empat musim; panas, gugur, dingin, dan semi. Se-
dangkan negara-negara yang berada dekat dengan ekuator yang beriklim tro-
pis, seperti Indonesia, hanya mempunyai dua musim; hujan dan kemarau.
B T
Keterangan:
Gambar 2.8. Peta rata-rata awal musim kemarau pada 220 batas zona musim (ZOM) di
Indonesia.
B T
Keterangan:
Gambar 2.9. Peta rata-rata permulaan musim hujan pada 220 ZOM di Indonesia.
Tabel 2.1. Awal musim hujan dan awal musim kemarau di beberapa tempat
di Indonesia pada periode 1971 - 2000.
Awal Musim
Panjang Musim (dasarian)
Lokasi atau daerah (dasarian ke-)
24 Kemarau Hujan Kemarau Hujan
Pandeglang barat Juni II September III 10 25
Cilacap Mei III Oktober I 15 27
Lampung selatan April III November III 21 17
Aceh tengah Mei III Oktober I 13 23
Balikpapan Juli I Oktober I 9 31
Gowa Mei II Oktober III 16 20
Karangasem utara Maret II Desember I 26 11
Lombok barat Mei II November III 15 14
Halmahera Juli III Oktober III 18 19
Jayapura Mei I November III 19 17
D
ilihat dari mata pencaharian, petani
masih menjadi kelompok terbesar
dari masyarakat Indonesia. Berdasar-
kan data Badan Pusat Statistik, selama tahun
2009 jumlah tenaga kerja pertanian diperki-
rakan mencapai sekitar 43,0 juta orang atau
42 persen dari total tenaga kerja yang ada.
Dari jumlah itu sekitar 40 persen tergolong
tidak mampu dan 20 persen di antaranya 25
dikepalai oleh perempuan. Dengan fakta Dr. Ir. Erizal Jamal
tersebut, jelas bahwa apapun yang terjadi
di sektor pertanian akan mempunyai dampak besar bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Sebagaimana diketahui, kegiatan pertanian merupakan upaya
pemanfaatan sumber daya alam yang sangat erat keterkaitannya dengan
kondisi iklim dan cuaca. Kegiatan pengolahan tanah dan persemaian benih
padi misalnya, terutama pada petani yang mengusahakan sawah tadah
hujan, baru akan dilakukan bila curah hujan sudah mencukupi sehingga
tanah dapat diolah dengan bantuan berbagai alat dan benih agar mampu
tumbuh dengan baik.
Kondisi ini menyebabkan siklus kehidupan petani sangat tergantung
dari kondisi iklim dan cuaca. Selama ini mereka sudah mengatur “jadwal
kehidupannya” sesuai siklus iklim selama setahun.
Petani Tasikmalaya dan Garut misalnya, akan meninggalkan kampung
halamannya begitu tanaman padi sudah selesai ditanam. Mereka lalu
mengadu nasib di kota besar seperti Jakarta dengan berbagai kegiatan
S
eperti telah dibahas sebelumnya (Bab 1), atmosfer adalah lapisan gas
yang menyelimuti dan melindungi planet Bumi beserta isinya. Tidak
bisa dibayangkan Bumi tanpa atmosfer. Seluruh mahluk hidup bakal
terbakar oleh sinar Matahari di kala siang hari dan membeku pada malam
harinya. 27
Namun dengan selimut atmosfer, Bumi menjadi nyaman dan aman dihuni,
baik bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan. Atmosfer mampu memper-
tahankan suhu udara dalam fluktuasi yang kecil melalui proses efek rumah
kaca. Efek rumah kaca ini terjadi karena ada gas rumah kaca di atmosfer.
43 %
Cahaya
tampak
Profil
gelombang
Gambar 3.1. Ilustrasi spektrum cahaya radiasi Matahari. Sekitar 43 % radiasi Matahari berada
pada kisaran panjang gelombang antara 400 – 700 nm atau dikenal dengan
cahaya tampak. Sementara itu, 7 - 8 % berada pada kisaran panjang gelombang
kurang dari cahaya tampak, yang jumlahnya sedikit tapi sangat penting karena
tingginya tenaga per photon (semakin pendek panjang gelombang, kian tinggi
tenaganya). Sebanyak 49 – 50 % radiasi Matahari berada pada kisaran panjang
gelombang yang lebih dari cahaya tampak, misalnya dekat kisaran inframerah
antara 700 – 1.000 nm (http://www.ucar.edu/learn/1_3_1.htm).
kaca ini biasa kita lihat di dataran tinggi yang memang bersuhu udara
dingin. Bahkan petani di daerah subtropis atau berlintang tinggi, banyak
menggunakan bangunan rumah kaca untuk mendapatkan kehangatan suhu
udara yang sesuai bagi tanaman yang dibudidayakannya.
Dinding dan atap yang terbuat kaca dapat menerima panas dari radiasi
Matahari. Radiasi tersebut dengan leluasanya menerobos masuk ke dalam
30
ruangan rumah kaca. Ketika sampai di permukaan, panas tersebut lalu diserap
dan dipantulkan kembali ke segala penjuru rumah kaca.
Radiasi panas yang dipantulkan lalu terperangkap dan mengumpul di
ruangan karena ia memang tidak dapat keluar dari rumah kaca. Dengan kata
lain, ia terkungkung di dalam rumah kaca. Akibatnya, suhu udara di dalam
rumah kaca jauh lebih tinggi daripada lingkungannya. Fenomena inilah yang
disebut efek rumah kaca.
Pada skala mikro, proses penyerapan radiasi Matahari terjadi pada
frekuensi atau panjang gelombang yang bersesuaian dengan panjang
gelombang atau frekuensi eksitasi antar atom pada molekul GRK seperti
karbon dioksida (CO2). Ikatan antar atom itu bereksitasi (bergetar) akibat
menyerap energi radiasi yang terpapar.
Semakin banyak jumlah molekul GRK yang terdapat di atmosfer maka
akan semakin kuat daya serap atmosfer karena jumlah energi radiasi yang
masuk atmosfer Bumi relatif konstan dan hanya bervariasi pada jangka waktu
lama. Seperti kita ketahui, jangka waktu (life time) GRK tersebut bertahan
di atmosfer sangatlah lama, hingga mencapai ratusan bahkan puluhan ribu
tahun.
Tabel 3.1. Usia (life time) beberapa jenis gas rumah kaca (GRK) di atmosfer
dan potensi daya rusak terhadap pemanasan global (Sumber: IPCC
AR 4, 2007).
Usia Potensi daya rusak
GRK
(tahun) (100 tahun)
Carbon Dioxide (CO2) ratusan 1
Methane (CH4) 12 25
Nitrous Oxide (N2O) 114 298
Hydrofluorocarbon-23 (CHF3) 264 14.800
Sulphur hexafluoride (SF6) 3.200 22.800
PFC-14 (CF4) 50.000 7.390
Jika tidak ada upaya untuk mengerem laju pemanasan global maka mulai
34 20 tahun (dua dekade) ke depan akan terjadi peningkatan pemanasan sebesar
0,2 °C di setiap 10 tahun. Proyeksi tersebut dilakukan dengan beberapa
skenario yang tidak memasukkan pengurangan emisi GRK.
Besarnya pemanasan yang akan terjadi setelahnya akan tergantung
kepada jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer. Jika konsentrasi GRK (CO2)
dominan di atmosfer, maka suhu udara rata-rata akan meningkat mencapai 2
– 4,5 oC hingga dua kali lipat dibandingkan konsentrasi serupa pada masa pra-
industri. GRK lainnya turut pula berperan dalam pemanasan tersebut.
Menurut beberapa skenario, kombinasi dampak dari gas-gas ini akan
menjadi dua kali lipat pada paruh kedua abad ini. Konsentrasi CO2 di atmosfer
saat ini (data Indonesia dari pemantauan GRK Bukit Kototabang adalah 385
ppm), menurut pengukuran pada udara yang terperangkap pada inti es, jauh
lebih besar dibandingkan dengan 650.000 tahun terakhir.
Para ilmuwan yang mengukur perubahan di atmosfer, lautan, permukaan
es, dan gletser menunjukkan bahwa Bumi telah mengalami pemanasan akibat
adanya emisi GRK di masa lalu. Perubahan-perubahan tersebut merupakan
bagian dari pola konsisten dan bukti dari adanya gelombang panas (heat
waves) yang lebih besar, pola angin baru, kekeringan yang lebih parah di
P
erubahan iklim menurut pendapat
saya sebagai weather forecaster/
meteorologist dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pengetahuan tentang perubahan
iklim dapat dipahami dari faktor kendali
umum (bersifat alamiah) dan faktor kendali
khusus yang sangat dipengaruhi oleh faktor
manusia (antropogenik).
Dilihat dari sisi faktor kendali umum,
pengetahuan tentang perubahan iklim
diperoleh dari studi terhadap fenomena
astronomis yang mempengaruhi cuaca dan Drs. Hadi Widiatmoko, M.Si 37
iklim di Bumi (Astrometeorologi) dan studi
fenomena atmosfer atas yaitu studi gangguan Matahari pada atmosfer
atas tetapi berpengaruh hingga atmosfer bawah (troposfer), karena
atmosfer merupakan kesatuan Aeronomi. Dari kedua cabang ilmu ini, orang
dapat mengetahui bahwa pada beberapa juta tahun silam iklim di Bumi
mengalami jaman es (ice ages) dan periode panas yang dikenal dengan
interglacial periods.
Fenomena perubahan iklim yang terjadi pada jutaan tahun silam
tersebut disebabkan oleh faktor alamiah karena variasi periodik dari
orbit Bumi yang berpengaruh pada jumlah energi Matahari yang diterima
oleh permukaan Bumi. Berdasarkan penelitian dari berbagai literatur,
diperkirakan jaman es berlangsung selama lebih dari 90.000 tahun dengan
suhu udara mencapai sekitar 10 oC di bawah suhu udara rata-rata saat ini.
Sementara itu, periode panas berlangsung sekitar 10.000 tahun silam
dengan suhu udara kurang lebih sama dengan kondisi saat ini.
Dari sisi faktor kendali khusus, pengetahuan perubahan iklim diperoleh
berdasarkan fakta/data dan hasil analisis indikator-indikator lingkungan
PERUBAHAN IKLIM
P
erubahan iklim adalah berubahnya pola dan intensitas unsur iklim
pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata-
rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat merupakan suatu perubahan
dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca
terhadap kondisi rata-ratanya. 39
Sebagai contoh, kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi atau
malah berkurang frekuensinya, pola musim yang berubah, dan meluasnya
daerah rawan kekeringan. Dengan demikian, fluktuasi yang periodenya lebih
pendek dari beberapa dekade atau 30 tahun, seperti kejadian El Nino, tidak
dapat dikatakan sebagai perubahan iklim.
Pada Bab 3 diungkapkan, penumpukan gas rumah kaca (GRK) akan
menyebabkan energi radiasi yang terserap mengumpul di atmosfer. Hukum
Fisika tentang kekekalan energi menjelaskan, energi yang terkumpul tersebut
akan tetap bertahan di atmosfer dan hanya dapat berubah bentuk menjadi
jenis energi lainnya. Ada tiga perubahan bentuk energi yang terjadi, yakni:
a. Energi panas atau kalor dalam bentuk peningkatan suhu Bumi dan
mencairnya es di daratan yang menyebabkan peningkatan muka air
laut.
b. Energi gerak atau kinetis dalam bentuk angin puting beliung, badai,
topan, dan siklon tropis.
c. Energi berat atau potensial dalam bentuk turunnya hujan air dan es
yang lebih deras.
Perubahan Iklim
Jika dicermati secara mendalam maka gejala yang diakibatkan dari
perubahan bentuk energi tersebut sebenarnya adalah perubahan dari
berbagai parameter iklim yaitu suhu, angin, dan hujan. Atau dengan kata lain,
terjadi perubahan siklus air di muka Bumi.
Selain suhu, angin, dan hujan, parameter iklim lainnya yang ikut berubah
adalah penguapan, kelembaban, dan tutupan awan. Singkat kata, perubahan
energi akibat pemanasan global telah mengakibatkan perubahan siklus air
yang mengarah pada perubahan iklim.
Secara umum, perubahan iklim berlangsung dalam waktu lama (slow pace)
dan berubah secara lambat (slow onset). Perubahan berbagai parameter iklim
yang berlangsung perlahan tersebut dikarenakan berbagai peristiwa ekstrem
yang terjadi pada variabilitas iklim yang berlangsung secara terus-menerus.
Perubahan Iklim
Sementara itu, tindakan miti-
“Tindakan adaptasi
gasi adalah upaya untuk mengatasi
penyebab perubahan iklim melalui adalah upaya untuk
kegiatan yang dapat menurunkan mengatasi dampak
emisi atau meningkatkan penyerap- perubahan iklim
an GRK dari berbagai sumber emi-
si. Pengertian lain mitigasi adalah
sehingga mampu
upaya untuk menghindari hal yang mengurangi dampak
tidak dapat dikelola. Dalam hal ini negatif dan mengambil
upaya perubahan dilakukan pada manfaat positifnya.
sumber penyebab pemanasan glo-
bal.
Dalam pengertian
Ilustrasi sederhana perbedaan lain adapatasi adalah
dari tindakan adaptasi dan mitigasi upaya untuk mengelola
adalah perilaku seseorang ketika ia hal yang tidak dapat
berada di dalam ruangan ber-AC (air
conditioner) yang dingin. Seperti
dihindari.”
diketahui, ketika AC diaktifkan,
ruangan menjadi dingin lantaran “Tindakan mitigasi
42 suhu yang rendah.
adalah upaya utuk
Dengan mengasumsikan suhu
ruangan tersebut tidak dapat diubah mengatasi penyebab
maka seseorang dapat melakukan perubahan iklim
suatu tindakan agar tubuhnya melalui kegiatan
tidak menggigil kedinginan. Karena
yang dapat
itulah, untuk menyesuaikan suhu
ruangan yang dingin tersebut, menurunkan emisi
ia dapat mengenakan jaket atau atau meningkatkan
baju tebal agar ia merasa nyaman penyerapan GRK dari
berada di tempat tersebut. Perilaku
berbagai sumber emisi.
semacam inilah yang disebut
sebagai tindakan adaptasi terhadap Dalam pengertian lain
dirinya sendiri karena kondisi mitigasi adalah upaya
lingkungan tersebut dianggap tidak untuk menghindari
mungkin bisa diubah.
hal yang tidak dapat
Tindakan lain yang dapat
dilakukan seseorang adalah dengan dikelola.”
43
P
GAS RUMAH KACA
Perubahan energi
Mitigasi
P
PEMANASAN GLOBAL
DAMPAK FISIK
P
Adaptasi
Perubahan Iklim
Apabila langkah adaptasi dilakukan dengan benar maka akan dapat
mengurangi dampak risiko perubahan iklim dan dapat mengambil langkah
optimal dengan memanfaatkan informasi iklim. Sementara itu, langkah
mitigasi dilakukan dengan asumsi bahwa masih ada harapan perubahan iklim
dapat dicegah terutama untuk generasi mendatang.
P
erubahan iklim merupakan fenomena terjadinya kondisi alam
yang mengalami pergeseran atau anomali terhadap kebiasaannya
(rata-ratanya) yang dapat menyebabkan gangguan dalam perilaku
kehidupan manusia dan aktivitas makhluk hidup lainnya (hewan, serangga,
tanaman). Kondisi alam yang mengalami anomali tersebut mempunyai
rentang waktu yang cukup panjang yakni puluhan tahun bahkan ratusan
tahun dalam skala wilayah cukup luas. Secara umum, perubahan iklim
merupakan kejadian perubahan fenomena alam dalam periode waktu
cukup panjang (puluhan hingga ratusan tahun) yang menyebabkan
perubahan dan penyesuaian perilaku serta aktivitas makhluk hidup di
45
permukaan Bumi.
Identifikasi terjadinya perubahan iklim antara lain adalah telah terjadinya
pemanasan global yang menimbulkan trend (kecenderungan) peningkatan
suhu udara dan suhu permukaan air laut. Pada unsur-unsur iklim, hal itu
dapat dilihat dari adanya perubahan pola curah hujan seperti pergeseran
awal musim, baik musim hujan maupun kemarau, makin panjangnya
periode musim kemarau atau makin pendeknya periode musim hujan,
serta bergesernya puncak musim hujan.
Dampak dari perubahan iklim tersebut dapat mencakup hampir
seluruh sektor kegiatan, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan,
kehutanan, kesehatan, dan sektor lainnya. Umumnya dampak tersebut
menimbulkan kerugian yang cukup signifikan. Kondisi yang dapat dilihat
di lapangan dari dampak perubahan iklim adalah makin menurunnya hasil
produksi pertanian/pangan termasuk sayur dan buah-buahan (hortikultur)
baik kuantitas maupun kualitasnya, makin sempitnya luasan lahan
pertanian, serta makin sering terjadinya kasus penyakit demam berdarah
dan penyakit lainnya (ISPA).
Perubahan Iklim
Subekti Mujiasih
Bina Operasi Meteorologi Maritim BMKG
P
erubahan iklim merupakan suatu fenomena yang kejadiannya tidak
terjadi secara mendadak. Prosesnya membutuhkan waktu yang
lama. Sehingga jika terjadi cuaca ekstrim, tidak selalu disebabkan
oleh perubahan iklim. Perlu kajian mendalam untuk menjawabnya.
Kajian mendalam iu meliputi pola iklim wilayah setempat seperti waktu-
waktu kejadian nilai maksimum atau minimum, apakah frekuensi kejadian
anomali suatu parameter cuaca semakin sering atau tidak. Ataukah waktu
kejadian maksimum atau minimum bergeser dari waktu normalnya.
Istilah perubahan iklim sebenarnya sudah lama. Namun tidak semua
kalangan masyarakat memahami dengan benar hal-hal yang berkaitan
46
dengan perubahan iklim. Penulis sering mendengar konsep perubahan
iklim yang kurang tepat dari beberapa rekan penulis.
Mereka dengan cepat menyimpulkan bahwa beberapa fenomena alam
yang terjadi disebabkan oleh perubahan iklim. Karena itu sosialisasi me-
ngenai perubahan iklim perlu dilakukan lebih banyak lagi kepada masyara-
kat luas, tidak hanya kalangan akademis, namun juga masyarakat awam.
Masyarakat perlu diperkenalkan pengertian cuaca, iklim, perubahan
iklim, dampak-dampak yang mungkin terjadi, serta tindakan mitigasinya.
Dengan demikian masyarakat menjadi lebih peduli dengan kondisi yang
terjadi di sekitarnya, terutama lingkungan terdekatnya.
Kepedulian masyarakat akan sangat membantu keberhasilan program
konservasi lingkungan hidup. Selain itu, masyarakat menjadi lebih siap jika
terjadi bencana alam atau kejadian cuaca ekstrem. Masyarakat tidak hanya
peduli setelah terkena bencana alam tetapi juga sebelum kejadian.
INDIKASI TERJADINYA
PEMANASAN GLOBAL
DI INDONESIA
P
emanasan global telah terjadi dalam skala luas, termasuk di Indonesia
yang ditandai dengan berbagai indikator. Ada empat Indikator utama
terjadinya pemanasan global, yakni peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca (GRK), peningkatan suhu muka Bumi, peningkatan paras muka laut, dan
berkurangnya tutupan salju di daratan.
47
Semua indikator tersebut bisa ditemukan di Indonesia meskipun ada yang
sangat pasti (seperti kenaikan konsentrasi GRK) dan yang sangat tidak pasti
(peningkatan paras muka laut). Berikut ini penjelasan dari empat indikator
utama terjadinya pemanasan global di Indonesia.
48
Gambar 5.1. Rata-rata konsentrasi CO2 yang terukur dan trennya di Stasiun Global Atmosphere
Watch (GAW) Kototabang, Sumatera Barat (garis berwarna hijau), Mauna Loa,
AS (garis merah), serta rata-rata dari 27 stasiun GAW yang tersebar di seluruh
dunia (garis biru) sejak tahun 2004 hingga 2010.
51
Gambar 5.3. Peningkatan rata-rata suhu global muka Bumi tahun 1880 – 2010 terhadap
rata-rata suhu tahun 1951 – 1980.
Gambar 5.4. Peningkatan suhu muka laut wilayah selatan Laut Cina Selatan.
Gambar 5.5. Kecenderungan kenaikan suhu udara di Jakarta dan Semarang (Sumber: Unesco/Rostsea, 1992)
52
Gambar 5.6. Kondisi suhu permukaan laut selama tahun 1925 – 2005 di Raja Ampat, Papua
Barat (gambar atas), Wakatobi, Sulawesi Tenggara (tengah), dan Komodo, Nusa
Tenggara Timur (bawah). Terlihat bahwa ketiga daerah tersebut cenderung
mengalami kenaikan suhu udara (Sumber: NOAA, 2008).
54
Gambar 5.7. Kecenderungan kenaikan muka laut di Jakarta, Semarang, dan Jepara pada
tahun 1980 sampai 2001 (Sumber: Bakosurtanal, 2002).
Data kenaikan paras muka laut untuk wilayah Indonesia juga masih
terbatas, baik dari segi waktu maupun distribusinya. Pada beberapa kota
besar di pesisir seperti Belawan (Medan), Jakarta, Semarang, dan Surabaya,
kenaikan paras muka laut diperparah dengan adanya penurunan muka tanah
(lihat Tabel 5.1).
Kombinasi antara kenaikan suhu muka Bumi dan penurunan muka tanah
akan menambah kecepatan (laju) kenaikan paras muka laut relatif. Pada
kondisi ini, kenaikan paras muka laut akibat penurunan muka tanah lebih besar
daripada kenaikan paras laut akibat kenaikan suhu muka Bumi. Penurunan
muka tanah seringkali disebabkan oleh faktor pemompaan air tanah secara
berlebihan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri.
lahan lainnya seperti air, hutan, sawah, dan perkebunan. Akibatnya, lapisan 57
salju memantulkan secara maksimal radiasi Matahari ke angkasa luar.
Ketika tutupan salju tersebut berkurang karena meleleh maka kemampuan
Bumi untuk memantulkan panas radiasi Matahari menjadi berkurang.
Konsekuensinya, ia akan menambah kuat laju pemanasan global.
58
Gambar 5.10.
Penurunan luas
tutupan salju abadi
di Pegunungan Jaya
Wijaya, Papua dengan
perbandingan data
dari tahun 1936
hingga 2000 (gambar
bawah). Sementara itu,
gambar atas (kanan)
menunjukkan sisa-
sisa lapisan salju yang
mengalami penyusutan
pada tahun 2003.
Padahal tahun 1990
(atas-kiri) salju tersebut
masih menyelimuti
kawasan puncak gunung
yang luas.
K
ita tak perlu berdebat lagi mengenai
ada-tidaknya perubahan iklim yang
melanda dunia akhir-akhir ini.
Berbagai fakta telah menunjukkan, suhu
udara di berbagai penjuru Bumi mengalami
kenaikan sebagai salah satu pertanda adanya
perubahan iklim.
Menurut kajian Intergovermental Panel
on Climate Change (IPCC) misalnya, dalam
periode 1990-2005 terjadi kenaikan suhu
udara di seluruh dunia sebesar 0,15 – 0,3 59
o
C. Secara kuantitatif, kenaikan itu boleh
saja dibilang kecil, namun dampak dari Dr. Ir. Subandono Diposaptono, MEng
fenomena tersebut, dunia dihantui
berbagai kecemasan.
Apalagi jika umat manusia di seluruh dunia tak berdaya mengerem
kenaikan suhu udara, maka pada tahun 2040 lapisan es baik di Antartika
maupun Artik bakal habis meleleh. Sekitar 10 tahun kemudian, bila kenaikan
suhu udara itu terus saja terjadi, maka penduduk bakal menderita krisis air
tawar sehingga kelaparan akan meluas ke seluruh penjuru dunia.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang ditaburi keragaman hayati
(biodiversity) terumbu karang yang berlimpah ruah, tentu saja paling
menderita terpapar dampak perubahan iklim. Betapa tidak, suhu udara
yang hangat akan meningkatkan suhu air laut. Praktis, pemanasan semacam
ini membuat terumbu karang (coral reef) pucat (bleaching) tak berdaya.
Padahal kita tahu, Indonesia memiliki terumbu karang terluas di muka
Bumi, yakni sekitar 51.000 km2 atau 20 % dari luas total terumbu karang
di seluruh dunia. Termasuk di antaranya kawasan segitiga terumbu karang
61
INDIKASI TERJADINYA
PERUBAHAN IKLIM
DI INDONESIA
P
erubahan iklim terjadi secara global tetapi dampak yang dirasakan
bervariasi secara lokal. Indikator utama perubahan iklim terdiri dari
perubahan pola dan intensitas berbagai parameter iklim yaitu suhu,
curah hujan, angin, kelembaban, tutupan awan, dan penguapan (evaporasi).
Semua indikator tersebut bisa ditemukan di Indonesia meskipun ada 63
yang sangat pasti (seperti suhu dan hujan) dan ada pula yang sangat tidak
pasti (misalnya, perubahan penguapan). Salah satu kesulitan utama terbesar
adalah ketersediaan data untuk mengetahui sebuah gejala perubahan iklim
dalam rentang waktu yang lama.
Mengacu pada definisi baku IPCC yang menyebutkan perubahan iklim
didasarkan oleh perubahan di atas 30 tahun, maka data-data yang tersedia
saat ini banyak yang belum dapat memberikan gambaran perubahan yang
memadai. Selain itu, beberapa variabilitas iklim juga berlangsung dalam
periode relatif lama, di atas 20 tahunan sehingga tidak mudah untuk
menjelaskan adanya perubahan iklim.
Namun demikian, setidaknya ada empat indikator yang dapat digunakan
untuk menjelaskan adanya perubahan iklim di Indonesia. Berikut ini penjelasan
dari ke-4 indikator tersebut.
PADANG
Tertinggi : 39,90
Rata-rata : 30,61
Laju : 0,7805/10 th
Keterangan: oC/ 10 tahun
TURUN : -0,268
(MENDINGIN) WAMENA
0,036 Tertinggi : 32,80
0,78 1,111 1,353 Rata-rata : 25,97
0,084 Laju : 1,3827/10 th
NAIK : 0,891 1,152
(MEMANAS) 0,385 1,383
0,687 0,967 1,156 KUPANG SAUMLAKI MERAUKE
Tertinggi : 39,80 Tertinggi : 38,60 Tertinggi : 39,20
0,696 0,973 1,225 Rata-rata : 31,25 Rata-rata : 30,45 Rata-rata : 30,52
Laju : 1,3535/10 th Laju : 0,8910/10 th Laju : 1,1562/10 th
Gambar 6.1. Tren linear suhu udara maksimum harian di berbagai kota di Indonesia sejak
tahun 1983 – 2007.
PADANG
Terendah : 11,10
Rata-rata : 22,91
Laju : 0,1555/10 th
Keterangan: oC/ 10 tahun
NAIK : TURUN :
(MEMANAS) (MENDINGIN) WAMENA
0,043 Terendah : 6,20
0,066 -0,019 -0,448 -0,815 Rata-rata : 30,32
-0,161 Laju : -0,4475/10 th
0,155 -0,515
-0,293 -0,893
0,345 -0,649 KUPANG SAUMLAKI MERAUKE
1,24 -0,336 -1,417 Terendah : 12,00 Terendah : 12,40 Terendah : 11,10
-0,682
Rata-rata : 23,40 Rata-rata : 24,32 Rata-rata : 23,14
Laju : -1,4167/10 th Laju : -0,8154/10 th Laju : -0,0186/10 th
Gambar 6.2. Tren linear suhu udara minimum harian di beberapa kota Indonesia sejak tahun
1983 – 2007.
Januari
Juli
Linear (Januari)
Linear (Juli)
1940-1969
1900 - 1929
1950-1979
3 % prabability
utk curah hujan 1960-1989
500 mm/bln 1970-1999
67
Curah hujan bulanan (mm)
1970 - 2000
22 % prabability
utk curah hujan
650 mm/bln
1940-1969
1950-1979
1960-1989
1970-1999
Gambar 6.4. Distribusi hujan di DKI dan Jawa Barat (gambar atas) serta Nusa Tenggara
(bawah) pada bulan Desember, Januari, dan Februari pada periode tahun
1900 – 2000. Gambar tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan
kemungkinan curah hujan ekstrem 650 mm dari 6 % pada satu abad silam
menjadi 21 % pada rerata tahun 1970 – 2000.
69
Gambar 6.9. Pergeseran awal musim di Jawa Barat pada tahun 2001 – 2010 terhadap rata-
rata periode tahun 1971 – 2000 (Sumber: BMKG, 2009).
72
Gambar 6.10. Perbandingan pergeseran musim antara periode 2001 – 2007 (garis merah
putus-putus) dan 1971 – 2000 (hitam) di wilayah Makassar, Maros, Enrekang,
dan Sidrap Povinsi Sulawesi Selatan (Sumber: BMKG, 2009).
73
Gambar 6.11. Penurunan curah hujan tahunan (mm/tahun) di Bengkulu dan Ketapang
(Kalimantan Barat).
Keterangan:
* Pulau Kalimantan yang berada di wilayah Indonesia.
** Pulau Papua yang berada di wilayah Indonesia.
4. DKI Jakarta.
78 Selama dua musim terakhir, wilayah DKI Jakarta mengalami musim
yang tidak menentu sehingga menyebabkan curah hujan yang tinggi dan
mengakibatkan air laut menjadi tawar. Akibatnya, kepiting kecil lebih
senang berlindung di lumpur di muara-muara sungai dan tidak muncul ke
permukaan.
S
alah satu dampak perubahan iklim
yang dirasakan adalah hujan yang tidak
menentu. Pendapatan pun menjadi
berkurang karena sering berspekulasi dalam
menentukan waktu tanam. Akibatnya, petani
sering mengalami kerugian.
“Namun setelah belajar melalui Sekolah
Lapang Iklim (SLI) yang didukung oleh BMKG,
pendapatan kami kembali meningkat,” kata
Waryono, petani padi di Desa Karang Mulya, Waryono
Indramayu, Jawa Barat.
Adaptasi dilakukan dengan mempelajari informasi curah hujan, dan 79
kondisi cuaca dan iklim. Sementara itu, mitigasinya dengan mengatasi
kebanjiran atau kekeringan.
Informasi tersebut didapat dari BMKG melalui buku dan radio, serta
dengan membaca kearifan lokal seperti tumbuhan pohon randu. Di awal
musim kering, pohon randu akan merontokkan daunnya. Bila musim
hujan, pohon randu tidak berbuah. Begitu pula dengan pohon asam, bila
kelembapannya rendah, maka akan keluar daun muda.
Upaya mitigasi yang ia lakukan adalah tidak membakar jerami dan
mengurangi penggunaan pestisida. “Saya berharap BMKG dapat memberikan
informasi terus- menerus kepada masyarakat, serta mendukung langkah-
langkah mitigasi agar seimbang. Karena akan percuma jika kita hanya
mempelajari hilirnya tanpa memperhatikan hulunya,” saran Waryono.
S
ebagai nelayan yang tinggal di pinggir
pantai di Baubau, Makassar, Sarumi
sangat merasakan perubahan yang
terjadi akibat perubahan iklim seperti kondisi
angin, hujan yang tidak menentu, termasuk
sulitnya menentukan lokasi tangkapan ikan.
“Akibat perubahan arus yang terus terjadi, ikan
tidak dapat menetap di satu tempat dalam
jangka waktu yang lama,” ujarnya.
Sarumi
Sarumi berharap, melalui alat tangkap yang
lebih canggih, kendala yang dihadapi saat ini akibat perubahan iklim dapat
diatasi. “Informasi iklim yang diberikan oleh BMKG luar biasa manfaatnya
80 dalam menentukan waktu melaut untuk 3 hari ke depan,” ungkapnya.
Informasi tersebut ia peroleh dari siaran radio.
cgd
I Wayan Suija
Petani Desa Ngkaring Ngkaring, Kota Baubau
P
erubahan musim sangat jelas pengaruh-nya terhadap petani,
termasuk I Wayan Suija, petani asal Desa Ngkaring Ngkaring, Kota
Baubau. Menurutnya, musim sekarang ini sedang normal dan pada
tahun 2011 tidak dirasakan adanya gagal panen.
Tahun 2010 pernah terjadi gagal panen karena hujan yang terus-
menerus sehingga apa yang direncanakan petani menjadi gagal akibat
81
D
ampak perubahan iklim telah dirasakan di berbagai penjuru dunia,
termasuk Indonesia. Dampak tersebut bervariasi, tergantung letak
wilayahnya. Bangkok, ibu kota Thailand misalnya, dapat menjadi
contoh menarik dari adanya dampak perubahan iklim.
Banjir besar yang terjadi akhir Oktober 2011 merupakan bencana terburuk 83
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga akhir November 2011, banjir
itu makin meluas hampir ke seluruh daerah-daerah vital di kota Bangkok.
Negara pengekspor beras terbesar di dunia itu seolah tak kuasa
menghadapi bencana banjir yang telah menewaskan lebih dari 300 orang.
Perekonomian negara itu terancam lumpuh total.
Inilah salah satu dampak perubahan iklim yang dirasakan secara langsung
oleh masyarakat Thailand. Bencana banjir ini merupakan dampak fisik yang
langsung dirasakan pengaruhnya terhadap aktivitas manusia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Disadari atau tidak, dampak perubahan
iklim di Indonesia juga telah dirasakan, baik secara langsung (fisik) maupun
tak langsung (nonfisik). Berikut ini penjelasan dari kedua dampak tersebut.
85
Gambar 7.1. Ilustrasi perubahan siklus air. Ketika suhu muka laut berubah menjadi lebih
panas maka volume uap air dan presipitasi atau curah hujan akan semakin
tinggi.
Gambar 7.2. Peta risiko bencana alam berupa gempa bumi, gunung api, dan siklon di Indonesia.
Gambar 7.3. Peningkatan intensitas El Nino berdasarkan pada indeks suhu muka laut wilayah
Nino3 dari tahun 1950 – 2005.
d. Kebakaran hutan.
Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan meskipun
hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia.
Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi hari tanpa hujan di atas
seminggu.
Pada tahun-tahun terjadinya El Nino, kasus kebakaran lahan dan hutan
juga meningkat tajam. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Nina atau kemarau
basah, kebakaran hutan menurun.
Jumlah titik api (hot spot) di Pulau Kalimantan dan Sumatera berkorelasi
kuat dengan tingkat intensitas El Nino yang terjadi di Samudra Pasifik yang
diwakili oleh suhu muka laut di wilayah Nino3 (lihat Gambar 7.4). Besaran
korelasi meningkat pada paruh setengah tahun kedua antara bulan Juli dan
Desember. 89
Gambar 7.4. Korelasi antara jumlah titik api (hot spot) dan intensitas El Nino di Pulau
Kalimantan dan Sumatera. Banyaknya jumlah titik api tersebut menunjukkan El
Nino sedang terjadi.
Gambar 7.5. Peta kejadian kebakaran hutan di Indonesia selama kurun waktu 1997 sampai 2005.
Gambar 7.6. Banjir di Indramayu menerjang areal padi sawah akan dipanen.
Gambar 7.8. Peta bencana kekeringan di Indonesia tahun 1980 sampai 2001.
Gambar 7.9. Rob di Demak (kiri) dan Semarang (kanan) ini telah merangsek jauh hingga ke
daratan.
Gelombang
- 6 8 6 14 30 34 36 12 13
Pasang/Abrasi
Kebakaran
Hutan dan 4 21 10 2 - - 11 34 4 7
Lahan
Total 134 389 758 588 714 799 1.055 1.238 1.921 460
1. Kesehatan
• Kasus demam berdarah (DBD) dan malaria meningkat. Peningkatan ini
disebabkan oleh naiknya suhu daratan pada masa transisi antar musim.
Anomali iklim pada tahun 2010 mengakibatkan sepanjang tahun terjadi
kemarau basah dengan diselingi hari hujan. Pada saat yang sama,
saluran-saluran air banyak yang mampet sehingga air buangan tidak
dapat mengalir. Kondisi ini sangat nyaman bagi pertumbuhan nyamuk
sebagai vector borne untuk DBD sehingga penderita demam berdarah
meningkat. Kasus ini meningkat lebih tinggi pada masa peralihan dari
musim hujan ke kemarau dibandingkan masa peralihan dari musim
2. Infrastruktur
• Kerusakan infrastruktur terkait erat dengan perubahan curah hujan
terutama peningkatan cuaca ekstrem. Struktur bangunan, terutama
98 kapasitas dan daya maksimum beban, bisa terkena dampak ketika
limpahan curah hujannya sangat tinggi. Perubahan pola tersebut
akan banyak mempengaruhi kekuatan struktur dalam jangka panjang.
Kerusakan yang terjadi seringkali tidak terasa dalam jangka pendek
tetapi lambat laun akan terasa nyata. Salah satu akibat curah hujan
ekstrem yang berpengaruh pada infrastruktur adalah badai dan banjir.
Kelebihan curah hujan di hulu dapat merusak kapasitas tampung
reservoir air untuk PLTA sehingga seringkali melimpas menjadi aliran
buangan yang kurang bermanfaat. Selain itu, curah hujan yang tinggi
dapat menimbulkan pendangkalan di waduk sebagai akibat dari
banyaknya erosi yang dibawa air hujan tadi. Kebijakan pembuangan
limpasan air dan pengerukan sedimen lumpur perlu diambil sebagai
solusi antisipasi agar kapasitas struktur bangunan waduk tidak
mengalami kerusakan secara permanen.
• Peningkatan suhu ekstrem dapat mempengaruhi tingginya paras muka
air laut yang lambat laun akan mempengaruhi infrastruktur di wilayah
pesisir. Tambak-tambak ikan dan udang di daerah pesisir misalnya,
akan tergenang air akibat tingginya kenaikan muka air laut.
5. Pertanian
• Pergeseran musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi pola
masa (kalender) tanam dan perubahan pola tanam.
• Perubahan suhu dapat menyebabkan peningkatan serangan hama
penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT), dan gosong
daun pada sayuran.
7. Wisata
• Perubahan suhu muka Bumi menyebabkan terjadinya pemutihan
(bleaching) terumbu karang yang merupakan kerusakan objek wisata
bahari. Pemutihan terumbu karang tersebut lebih disebabkan oleh
perubahan suhu yang mendadak, baik peningkatan akibat pemanasan
global maupun tahun-tahun El Nino. Padahal untuk memulihkan
terumbu karang seperti kondisi semula dibutuhkan waktu yang sangat
8. Kehutanan
• Peningkatan suhu dan perubahan pola hujan, seperti kemarau panjang,
dapat menyebabkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan
serta mengancam ketersediaan air.
• Perubahan biodiversitas dapat terjadi dikarenakan perubahan suhu 101
dan pola curah hujan akibat iklim ekstrem. Di lain pihak, terjadinya
kemarau basah dapat menguntungkan karena dapat mempercepat
penghijauan di sektor kehutanan.
9. Transportasi
• Peningkatan curah hujan ekstrem dan perubahan pola angin dapat
menyebabkan terganggunya transportasi baik di darat, laut, maupun
udara. Bahkan iklim dan cuaca ekstrem seringkali menjadi biang
terjadinya berbagai kecelakaan. Transportasi darat misalnya, terganggu
dan bahkan menimbulkan kecelakaan serius ketika curah hujan tinggi
yang diikuti tanah longsor. Tanah longsor itu menimbun jalan raya
dan mengubur kendaraan yang melintas. Di laut, akibat gelombang
tinggi, menimbulkan gangguan pada kapal penumpang dan barang
yang sedang berlayar. Begitu juga di udara, akibat adanya hempasan
angin samping, angin lereng, dan pertumbuhan awan konvektif, laju
pesawat terbang menjadi kurang nyaman.
Pertanian • Penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil, • penurunan hasil produksi karena
efisiensi, dll karena banjir, kekeringan (kemarau tanaman
panjang), dan hujan asam. • Peningkatan serangan OPT (orga-
• Penyusutan & degradasi lahan tanaman)
• Perubahan kesesuaian jenis ta-
A
nugerah geografis sekaligus ciri
kewilayahan Indonesia sebagai
negara kepulauan (archipelagic state)
terbesar berperan penting dalam sistem
iklim global. Dengan 17.480 buah pulau serta
garis pantai sepanjang sekitar 95.181 km,
pesisir dan laut Indonesia merupakan bagian
penting dari regulator iklim global.
Kondisi geografis ini juga memiliki
104 kerentanan terhadap perubahan iklim
yang telah, sedang, dan akan berlangsung. Hendra Yusran Siry
Perubahan iklim memicu dan memacu
anomali serta variabilitas iklim dan mengakibatkan percepatan dan
kekerapan berbagai kejadian iklim yang luar biasa (extreme climate
events) seperti peningkatan intensitas El Nino dan La Nina, kenaikan curah
hujan yang tinggi, dan kenaikan tinggi muka air laut. Perubahan iklim
juga berdampak pada kejadian iklim yang berlangsung perlahan namun
mempunyai dampak kerusakan besar atau slow onset climate events.
Perubahan iklim dan dampaknya mempunyai dimensi sosial yang sangat
tinggi. Berubah dan bervariasinya iklim yang berakibat pada perubahan
bagi masyarakat serta tatanannya adalah dimensi sosial yang harus
dicermati dan diantisiapasi. Kompleksitas skala dan dampak perubahan
iklim menempatkan dimensi sosial dan ekonomi sebagai rujukan penting
dalam penerapan berbagai upaya mengatasi dan mengantisipasi dampak
perubahan iklim.
Panel Internasional Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa
pemanasan global dan perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya
U
paya adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan di
sekitarnya, termasuk iklim, bukanlah hal baru. Pada musim dingin di
kawasan Eropa misalnya, masyarakat di sana telah lama beradaptasi
dengan mengenakan pakaian tebal agar tubuh mereka tidak menggigil
kedinginan diterpa suhu udara yang rendah. 107
Hal serupa juga dilakukan masyarakat Indonesia yang bermukim di dataran
tinggi atau pegunungan. Untuk menghadapi suhu udara yang dingin di malam
hari, mereka menyesuaikan diri dengan mengenakan jaket atau baju tebal
agar tubuh tetap dalam kondisi hangat.
Sebaliknya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir atau pantai.
Pakaian yang mereka kenakan biasanya terbuat dari kain tipis agar mudah
menyerap keringat di siang hari.
Tak ada catatan yang pasti kapan upaya-upaya adaptasi semacam itu
dilakukan. Namun yang jelas, disadari atau tidak, kebiasaan beradaptasi
tersebut sudah berlangsung sangat lama.
Dari beberapa contoh tersebut, jelas bahwa adaptasi adalah suatu usaha
mahluk hidup untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan yang ada.
Dalam konteks perubahan iklim, upaya adaptasi dilakukan untuk mengelola
permasalahan yang tidak dapat dihindari. Singkat kata, adaptasi adalah upaya
untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan.
Seperti telah dibahas pada Bab sebelumnya bahwa perubahan iklim telah,
sedang, dan akan terus terjadi sehingga perlu dilakukan upaya menyesuaikan
Kebijakan 7-26
M
enurut Ketua Dewan Pertimbangan
Presiden (DPP) Prof Dr Emil Salim,
pemerintah Indonesia melalui
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
menggariskan kebijaksanaan pembangunan 7-
26 %. Artinya, laju pertumbuhan ekonomi yang
floresnews.com
harus dicapai sebesar 7 % dengan minus 26 %
emisi gas rumah kaca dari tingkat tahun 2000
untuk dicapai tahun 2020. Prof. Dr. Emil Salim
Sasaran pembangunan ini harus dicapai
dengan pola pembangunan yang menurunkan tingkat kemiskinan di bawah
11 % dan tingkat pengangguran di bawah 14 % dalam lingkup lingkungan
112 yang hijau lestari.
Dengan sasaran dan pola pembangunan seperti ini, kata Emil Salim,
Indonesia turut menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga bisa mencegah
naiknya suhu bumi sebesar 2 oCelsius pada tahun 2020.
BMKG kini menyediakan informasi penting tentang iklim untuk bisa
dijadikan pegangan bagi kita semua mengisi kebijakan pembangunan 7-26
%.
r Petani:
• Meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang perubahan iklim
antara lain melalui Sekolah Lapang Iklim, sistem peringatan dini, dan
sistem jaringan informasi iklim.
• Menyesuaikan kalender tanam.
• Menyesuaikan jenis komoditas yang akan ditanam. 115
• Memilih jenis dan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan
lingkungan, antara lain tahan kekeringan, tahan genangan, berumur
genjah, dan tahan terhadap air payau.
• Mengembangkan jenis dan varietas tanaman yang toleran terhadap
stres lingkungan. Contoh stres lingkungan adalah kenaikan suhu udara,
kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas.
• Menjaga tingkat keasaman tanah dengan menambahkan kapur
(amelioran).
• Menerapkan teknologi hemat air (efisiensi penggunaan air), terutama
pada lahan yang rentan terhadap kekeringan.
• Menerapkan sistem irigasi berselang dan melakukan efisiensi penggunaan
air, seperti irigasi tetes dan pemberian mulsa.
• Menanam lebih dari satu jenis tanaman (tumpang sari).
• Mengembangkan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan pangan
musiman.
• Mengembangkan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk
meningkatkan daya adaptasi tanaman.
r Nelayan:
• Meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang perubahan iklim
antara lain melalui Sekolah Lapang Iklim, sistem peringatan dini, dan
sistem jaringan informasi iklim.
• Menanam vegetasi pantai seperti mangrove, waru laut, cemara, dan lain-
lain.
• Menyesuaikan alat tangkap.
• Menyesuaikan bentuk rumah di pesisir (rumah panggung) atau memba-
116 ngun struktur terapung.
• Menanam mangrove sebagai pembatas tambak dan pelindung pantai.
• Melakukan wanamina (gabungan antara hutan mangrove dan budidaya
ikan).
• Mencari akses informasi mengenai iklim dan lokasi penangkapan.
• Menyesuaikan pakan dan pendukung produksi tambak yang rendah
emisi.
• Menguatkan kelembagaan nelayan untuk ketahanan menghadapi
perubahan iklim
• Melakukan tindakan perlindungan diri di balik pulau.
• Membuat APO (alat pemecah ombak).
125
Gambar 8.1. Strategi adaptasi perubahan iklim untuk masyarakat yang bermukim di pesisir
2. Strategi mundur.
Strategi mundur bertujuan menghindari genangan air laut dengan
cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke
arah daratan yang jauh dari laut. Dengan demikian kawasan tersebut tidak
terjangkau air laut sebagai akibat kenaikan paras muka air laut.
3. Strategi akomodatif.
Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan kenaikan paras muka air laut.
Salah satu contohnya adalah dengan membuat rumah panggung di tepi pantai
Aplikasi Teknologi
A. Protektif
- Dengan struktur keras u Dam, tanggul, penahan banjir (floodwalls)
u Seawall, revetment
u Groin
u Pemecah gelombang terpisah dari pantai
u Pintu air dan penahan pasut (tidal barriers)
u Penahan intrusi air laut
- Dengan struktur lunak u Pemeliharaan pantai (beach nourishment)
secara periodik
u Perbaikan dan pembuatan sand dunes
u Perbaikan dan pembuatan wetland
- Dengan cara alami u Penghutanan kembali
(indigenous) u Penanaman kelapa, waru, dan mangrove
u Dinding penahan dari kayu
u Dinding penahan dari batu
B. Mundur
- Meningkatkan atau Membutuhkan sedikit teknologi
menetapkan kawasan mundur
(set back)
- Memindahkan bangunan- Membutuhkan banyak teknologi 127
bangunan yang terancam
- Menghilangkan atau Membutuhkan sedikit teknologi
meniadakan pembangunan di
kawasan berisiko
- Memperkirakan pergerakan Membutuhkan sedikit teknologi
- Mengatur realignment Membutuhkan berbagai teknologi sesuai
dengan lokasi
- Menciptakan penyangga di Membutuhkan sedikit teknologi
kawasan upland
C. Akomodatif
- Perencanaan emergensi u Sistem peringatan dini
u Sistem evakuasi
- Perlindungan bencana u Membutuhkan sedikit teknologi
- Perubahan tata guna lahan u Membutuhkan berbagai teknologi
dan praktik pertanian (akuakultur)
- Pengaturan yang ketat untuk u Membutuhkan sedikit teknologi
kawasan bencana
- Meningkatkan sistim drainase u Meningkatkan diameter pipa
u Meningkatkan kapasitas pompa
128 Selain upaya adaptasi yang bersifat fisik, perlu juga dilakukan upaya nonfisik
seperti pembuatan peta risiko kenaikan paras muka air laut, penyuluhan,
dan penyadaran masyarakat. Masyarakat, baik yang bermukim di daerah
rawan banjir air laut (rob) akibat kenaikan paras muka air laut maupun di
luar kawasan tersebut sangat besar perannya. Ketika kita memiliki kesadaran,
kepedulian, dan kecintaan terhadap lingkungan serta disiplin terhadap
peraturan dan norma-norma yang ada, niscaya kita akan senantiasa hidup
nyaman di tengah-tengah kondisi perubahan iklim.
B
agi sebagian masyarakat, mitigasi perubahan iklim sebenarnya juga
telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Disadari atau
tidak, mereka telah melakukan mitigasi dengan berbagai cara.
Sekelompok masyarakat yang gemar melakukan penghijauan dengan
129
aneka jenis vegetasi misalnya, ia memberi kontribusi yang sangat berarti bagi
perubahan iklim. Selain mampu menyerap gas rumah kaca (GRK), menanam
pohon juga memberi manfaat antara lain memberi naungan dari terik sinar
Matahari, sebagai pelindung angin, dan menurunkan suhu lingkungan.
Ketika pohon-pohon yang ditanam itu tumbuh dewasa dan mulai rimbun,
saat itulah melalui proses fotosintesis, daun menyerap karbon di atmosfer
sekitarnya. Semakin banyak pohon, kian banyak juga GRK yang diserap.
Seperti diketahui, karbondioksida (CO2) merupakan salah satu penyebab
utama terjadi perubahan iklim lantaran gas ini berperilaku sebagai GRK yang
menyebabkan pemanasan global. Jika konsentrasi CO2 di atmosfer bertambah,
praktis suhu udara secara global naik dan terjadi perubahan iklim.
Jadi, ketika tanaman itu menghampar luas maka konsentrasi karbon yang
diemisikan ke atmosfer berkurang. Akibatnya, laju perubahan iklim atau
pemanasan global melambat.
Begitu juga bagi mereka yang menggunakan sepeda sebagai sarana
transportasi. Sadar atau tanpa sadar sebenarnya ia telah melakukan mitigasi
terhadap perubahan iklim. Mengapa demikian?
“Jelas
bahwa konsentrasi GRK
di atmosfer cenderung meningkat
dari waktu ke waktu. Hal ini membutuhkan
berbagai upaya mitigasi yang serius dan
sungguh-sungguh dari seluruh lapisan
masyarakat penghuni Bumi.”
Selain itu, lahan gambut juga perlu dikelola secara berkelanjutan. Hal ini
penting karena lahan gambut merupakan penyimpan gas CO2 terbesar di
lahan pertanian. Pembukaan lahan gambut untuk pertanian akan membuka
cadangan karbon terbesar sehingga karbon terlepas ke udara.
Pembukaan lahan dengan cara membakar akan melepaskan banyak
CO2 ke udara. Tak hanya itu, drainase dan pembakaran gambut juga ikut
memperparah pelepasan GRK. Karena itu beberapa upaya mitigasi yang
dilakukan terkait dengan pengelolaan gambut adalah sebagai berikut:
136 1. Mengembangkan dan menerapkan teknologi tanpa bakar (PLTB) dalam
usaha pertanian di lahan gambut. PLTB adalah cara membuka lahan
gambut tanpa melakukan pembakaran, untuk mencegah terjadinya
kebakaran lahan dan hutan. Sisa-sisa tanaman yang tidak diperlukan
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kompos sehingga
dapat meningkatkan
kesuburan tanah.
2. Memilih jenis tanaman
yang tidak memerlu-
kan sistem drainase
yang dalam, contoh-
nya sagu, nipah, karet,
Foto: Slamet Widayadi
138
Gambar 9.2. Limbah tebu seperti pucuk tebu segar, wafer pucuk tebu, pellet pucuk tebu,
daun kletekan, sogoan, ampas tebu, empulur ampas tebu, tetes, dan blotong
dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Di sisi lain, vegetasi tersebut juga dapat menyerap emisi karbon sehingga
merupakan upaya mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan penelitian Nyoto
Santoso (2007), mangrove dalam kondisi baik di Batu Ampar, Kalimantan
Barat mampu menyerap karbon sebesar 10,68 ton/ha/tahun.
Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan OISCA Jepang
dan instansi terkait sejak tahun 2003 telah menanam sekitar 50.000 bibit
mangrove di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa
140 Tengah. Setahun berikutnya juga ditanam 20.000 bibit mangrove. Terakhir
pada tahun 2005 ditanam lagi 25.000 bibit mangrove (Subandono D, Budiman,
dan Firdaus A, 2009).
Penamanan vegetasi pantai (cemara dan waru laut) juga dilakukan
Kementerian Kelautan dan Perikanan di kawasan pesisir Pacitan, Jawa Timur.
Penanaman vegetasi semacam ini selain dapat menyerap karbon, juga dapat
melindungi kawasan di sekitarnya dari angin kencang dan tsunami.
MANAJEMEN
PERUBAHAN IKLIM
P
erubahan iklim dan pemanasan global telah menyadarkan masyarakat
dunia untuk mengelola berbagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim. Badan-badan baru di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pun dibentuk untuk mengakomodasi berbagai keputusan strategis guna
141
menghadapi perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Di dalam negeri, manajemen perubahan iklim juga terus digencarkan.
Lembaga-lembaga penelitian nonkementerian --seperti Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)-- Kementerian
Lingkugan Hidup, Bappenas, serta beberapa universitas dikerahkan untuk
memperkuat kapasitasnya dalam hal basis ilmiah, mitigasi, dan adaptasi.
Di luar itu, pemerintah juga membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim
untuk memperkuat kelembagaan yang sudah ada. Berbagai kelembagaan
tersebut memiliki tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-
masing.
Semua upaya itu dikerahkan agar para pengambil keputusan dapat
menghasilkan kebijakan nasional yang kuat dan tepat berbasis ilmiah,
mitigasi, dan adaptasi guna menghadapi perubahan iklim.
10.1. Tinjauan Internasional
Pada tataran internasional, PBB membentuk dua badan yang mengurusi
masalah perubahan iklim. Kedua badan tersebut adalah Inter-governmental
WCC-2
(1990) Global Climate Obs. System UNFCCC (UN Framework
(GCOS) Convention on CC) - 1990 143
2 Program w Political Framework for CC
w Product: Kyoto Protocol (1997); Nairobi
Work Prog (2006); Bali Action Plan (2007);
Copenhagen Accord (2009)
INT’L PARTNERSHIP OF WMO
WCC-3
(2009) Global Framework Climate Services - 2009
3 Program w Product: Climate services application programme,
Climate services information system
Gambar 10.1. Peran beberapa lembaga internasional dalam naungan Perserikatan Bangsa-
Bangsa menghadapi perubahan iklim.
q UNFCCC
UNFCCC bekerja berdasarkan pertemuan sesi konvensi setahun sekali dan
ditambah dengan berbagai pertemuan antara. Pertemuan tersebut dapat
berupa COP (Conference of Parties), MOP (Meeting of Parties), atau gabungan
keduanya yang disebut CMP (Conference and Meeting of Parties).
Pada segmen akhir dari pelaksanaan COP, diadakan high level segment
meeting (pertemuan tingkat tinggi) yang biasanya menghasilkan deklarasi
atau kebijakan perubahan iklim yang bersifat policy prescriptive. Kebijakan
dan deklarasi yang dihasilkan bersifat non-binding (tidak mengikat) tetapi
diharapkan dapat diratifikasi di DPR negara masing-masing untuk menjadi
pengikat.
Struktur organisasi UNFCCC terdiri dari dua badan utama yaitu SBSTA
(Subsidiary Body on Science and Technology Advice atau Badan Pelengkap
tentang Advokasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan SBI (Subsidiary Body
on Implementation atau Badan Pelengkap tentang Implementasi Kebijakan).
SBSTA bekerja pada kajian aspek pendukung kebijakan, sedangkan SBI
membuat penetapan kebijakan politis.
Kedua badan tersebut bekerja pada agenda item yang berkembang sesuai
kebutuhan. Biasanya dibentuk forum konsultasi tertentu seperti Adhoc
Working Group (Grup Kerja Tidak Tetap) untuk masalah agenda item yang
berbeda-beda.
Jika ada permasalahan baru, biasanya dibahas di SBSTA. Hasil dari
pertemuan tersebut lalu dibawa ke SBI untuk dikonsultasikan sebelum dibawa
ke dalam deklarasi hasil pertemuan.
Berbeda dengan IPCC, maka UNFCCC lebih mendasari kebijakan pada
perubahan iklim akibat aktivitas manusia (antropogenik). Sifat dari deklarasi
yang dihasilkan dari sebuah konvensi UNFCCC adalah unanimous atau
Gambar 10.2. Skema pemanfaatan scientific output untuk aplikasi kegiatan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim secara nasional.
Gambar 10.3. Tiga pilar utama perubahan iklim dan peran dari badan atau instansi.
152
JENIS INFORMASI
PERUBAHAN IKLIM
DARI BMKG
B
MKG menyediakan layanan data dan informasi perubahan iklim dari
hasil pengamatan atau historis yang berasal dari stasiun pengamatan
yang dimilikinya. Sampai saat ini BMKG mengoperasikan 21 stasiun
klimatologi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
153
Selain itu, BMKG juga mendapat pasokan data dari 120 stasiun meteorologi,
31 stasiun geofisika, serta sekitar 5.000 pos stasiun kerja sama. Stasiun kerja
sama tersebut terdiri dari pos-pos hujan, stasiun penguapan, pos-pos iklim,
dan stasiun meteorologi pertanian khusus (SMPK).
Selain data perubahan iklim berdasarkan hasil pengamatan atau historis,
BMKG juga dapat menampilkan hasil kajian perubahan iklim di masa
mendatang berdasarkan hasil pemodelan iklim. Pemodelan iklim ini dilakukan
berdasarkan berbagai skenario yang telah ditetapkan oleh IPCC.
Selain data primer iklim, BMKG juga menawarkan jasa layanan skenario
adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil kajian informasi perubahan iklim
lokal dan karakteristik daerah dan perhitungan dasar dari besaran emisi gas
rumah kaca (GRK) di daerah. Layanan jasa lainnya adalah sosialisasi proses,
dampak, dan informasi perubahan iklim di wilayah Indonesia, termasuk
pembuatan media perubahan iklim berdasarkan data pengamatan primer
perubahan parameter iklim.
Di samping itu, BMKG juga melakukan pengamatan kualitas udara di 47
stasiun atau unit kerja pemantau kualitas udara. Sebanyak 5 pos pemantau
berada di wilayah DKI Jakarta dan 1 stasiun pemantau atmosfer global, yang
Gambar 11.3. Jaringan Stasiun Pemantauan Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch
atau GAW) di seluruh dunia.
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, BMKG berperan dalam hal
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang meliputi:
1. Penyediaan database perubahan iklim berdasarkan parameter iklim
hasil observasi BMKG. Database meliputi semua parameter dasar atau
unsur iklim.
2. Penyediaan informasi perubahan iklim meliputi trend (kecenderungan)
perubahan ekstrem, baik untuk unsur iklim dasar, hasil analisa untuk
iklim lampau, maupun berdasarkan hasil simulasi skenario iklim
mendatang.
3. Penyediaan peta kerawanan bencana perubahan iklim untuk iklim
lampau dan hasil simulasi skenario iklim mendatang.
4. Penyediaan peta kerentanan perubahan iklim berdasarkan peta
kerawanan bencana iklim untuk iklim lampau dan hasil simulasi
Gambar 11.4. Peta dry spell atau hari tanpa hujan berturut-turut (gambar atas), dan peta
wet spell atau hari hujan berturut-turut (bawah).
INFRASTRUKTUR
INFRASTRUKTUR
TRANSPORTASI
KEHUTANAN
PERIKANAN
KESEHATAN
PERTANIAN
Jenis Informasi cuaca dan iklim
WISATA
ENERGI
PESISIR
AIR
Prakiraan musim hujan (awal
musim, maju-mundur musim, dan
sifat hujan selama periode musim) p p p p p
Prakiraan musim kemarau (awal
musim, maju-mundur musim, dan
sifat hujan selama periode musim) p p p p p
Prakiraan gelombang p p p p p
Prakiraan curah hujan bulanan, 3
bulan ke depan p p
Prakiraan potensi banjir bulanan,
3 bulan ke depan p p p p
Penyediaan atlas potensi
agroklimat p p p 159
Penyediaan peta rawan
kekeringan p p
Frekuensi suhu dan atau
kelembaban lebih dari nilai
tertentu p p p
Frekuensi kecepatan angin lebih
dari nilai tertentu p p p
Informasi cuaca ekstrem (curah
hujan dan suhu) p p p p p p p p p
Informasi konsentrasi gas rumah
kaca p p
Peta kualitas udara meliputi NOx,
SPM, Ozon permukaan, pH hujan,
SO2, dan CO2. p p p
Informasi tentang dispersi polutan p p
Peta daerah rawan gempa dan
tsunami p p p p p p p
Peta daerah rawan petir p p p p p
Situ Bagendit
D. Bayah
D. Tamblingan W. Mamak
W. Mrica
W. Cileunca
W. Cipanunjang Rawa Pening Selorejo
D. Bratan
W. Batu Bulan 161
W. Tiukulit
D. Pania
D. Tigi
W. Jatiluhur W. Darma
W. Saguling W. Cipanunjang
W. Cirata W. Malahayu
W. Penjalin
D. Segara Anak
W. Gajah Mungkur W. Kedung Ombo D. Batu Jai
D. Tiukulit
W. Ngobel Wonorejo Sutami W. Batu Bulan
D. Batur W. Mamak
Sengguru R. Lamongan Lodoyo D. Bratan W. Pelaparado
W. Sermo Selorejo Wlingi D. Bayah W. Carapa
Gambar 11.5. Proyeksi danau yang mengalami defisit air akibat berkurangnya akumulasi
curah hujan pada periode musim kemarau 2015 – 2039.
I
nformasi cuaca dan perubahan iklim yang
disiarkan oleh radio bervariasi menurut
daerah, namun umumnya masih terbatas
pada prakiraan cuaca harian, bulanan, dan
tiga bulanan. Meskipun demikian, informasi
yang terbatas ini cukup bermanfaat bagi
sebagian petani, nelayan, dan masyarakat
umum. Informasi perkiraan cuaca bagi petani
ppk.lipi.go.id
bermanfaat untuk kegiatan dan produksi
pertanian mereka.
Mamak Adam, petani bunga yang
Dr. Ir. Deny Hidayati 163
menjadi pendengar setia Radio Boss di Batu adalah salah contohnya. Ia
mengemukakan informasi hujan yang disiarkan radio sangat berguna.
“Kalau mendengar besok hujan, kita tidak perlu menyiram. Tetapi kalau
dikatakan besok tidak hujan (panas), saya akan menyiram pagi-pagi. Jadi
tidak perlu rebutan air dengan petani lainnya,” kata Mamak.
Pernyataan Mamak ini mempunyai makna yang lebih luas. Informasi
perkiraan cuaca ternyata bukan hanya bermanfaat bagi kegiatan dan
pertumbuhan tanaman bunganya saja melainkan juga mempunyai manfaat
sosial lainnya.
Dari wawancara diketahui bahwa pada musim kemarau, air di lokasi
kebun Mamak cukup terbatas karena letaknya relatif tinggi. Apabila semua
petani bunga di daerah ini, terutama di kebun-kebun yang terletak di
bagian bawah, menyiram bunga maka petani di bagian atas tidak kebagian
air, karena itu air menjadi rebutan. Informasi cuaca dapat mengurangi
perebutan air di kalangan petani bunga di daerah ini.
Manfaat informasi cuaca juga dikemukakan oleh ketua dan anggota
kelompok tani padi di Kabupaten Indramayu. Didi dari Kelompok Tani
cgd
165
P
erubahan iklim memang sudah terjadi, baik dalam skala global maupun
lokal. Faktanya, berbagai indikator dari dampak perubahan iklim sudah
terasa sejak beberapa puluh tahun silam. Hanya saja, akhir-akhir ini
laju perubahan iklim semakin cepat sehingga berdampak luas ke berbagai
aspek kehidupan umat manusia. Masyarakat di berbagai penjuru dunia pun
mulai memberikan respon. 167
Terkait dengan hal tersebut, United Nation Development Program (UNDP)
memberikan respon dengan menyediakan dana kepada Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Bantuan tersebut digunakan untuk
menyosialisasikan serta melakukan berbagai upaya adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.
Karena itulah, sebagai lembaga pemerintah, BMKG menjalin kerja sama
dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian
Pertanian (Kemtan), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas),
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Bentuk kerja sama tersebut antara lain dengan membuat
modul tentang perubahan iklim sebagai upaya sosialisasi ke seluruh lapisan
masyarakat.
BMKG bekerja sama dengan Kemtan melakukan sosialisasi perubahan iklim
ke komunitas petani. Kolaborasi dengan KKP bertujuan mendesiminasikan
hal serupa ke kelompok nelayan. Sasaran kerja sama dengan LIPI adalah
menyebarluaskan informasi perubahan iklim melalui program radio ke
masyarakat luas.
Kata Penutup
Sementara itu, bentuk kerja sama BMKG dengan BPPT dan Kemdiknas
(melalui Pusat Kurikulum dan Buku atau Puskurbuk) adalah membuat buku
modul untuk siswa agar materi perubahan iklim nantinya bisa diintegrasikan
ke dalam kurikulum. Dengan cara tersebut, diharapkan para siswa dapat
mengenal berbagai hal terkait perubahan iklim serta upaya adaptasi dan
mitigasinya.
Dalam kerja sama tersebut, BPPT membuat buku modul khusus untuk
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di bidang kelautan. Sedangkan
Puskurbuk membuat buku modul untuk siswa SD, SMP, SMU, guru, dan TOT
(trainer of trainer). Tercatat, ada 16 buku modul yang telah dibuat Puskurbuk
dalam upaya mengintegrasikan materi perubahan iklim ke dalam kurikulum.
Di luar kerja sama tersebut, BMKG selalu siap memberikan pelayanan
dalam menyediakan informasi yang terkait dengan perubahan iklim, prakiraan
musim, prakiraan cuaca, dan lain sebagainya. Untuk informasi lebih lengkap,
silakan kunjungi situs BMKG di:
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Depan.bmkg
Daftar Pustaka
Hoegh-Guldberg, O. 1999, Coral bleaching, Climate Change and the future
of the world’s Coral Reefs. Review, Marine and Freshwater Research,
50:839-866.
Holland, G.J. 1993, “Ready Reckoner” - Chapter 9, Global Guide to Tropical
Cyclone Forecasting, WMO/TC-No. 560, Report No. TCP-31, World
Meteorological Organization; Geneva, Switzerland.
IPCC, 2007: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution
of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller
(eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and
New York, NY, USA.
Kementrian Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi
Perubahan Iklim (National action Plan to coupe Climate Change, 2007,
108pp.
Larry West: What is the Greenhouse Effect?, About.com Guide, (http://
environment.about.com/od/globalwarming/a/greenhouse.htm)
Lutgens and Tarbuck, 2001: The Atmosphere. (http://www.ux1.eiu.edu/
~cfjps/1400/atmos_struct.html)
170
Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh sektor Pertanian. 2011.
Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh Sektor Kelautan dan Perikanan.
2011.
Petit, J. R, et al, 1999: Climate and atmospheric history of the past 420,000
years from the Vostok ice core, Antarctica, Nature 399, 429-436 (http://
en.wikipedia.org/wiki/Climate_change#Physical_evidence_for_and_
examples_of_climatic_change)
Philander S.G.H. 1983, El Niño southern oscillation phenomena. Nature, 302,
295–301.
Philander, S. G. H., 1990, El Niño, La Niña and the Southern Oscillation.
Academic Press, San Diego, 293 pp.
The Greenhouse Effect (http://www.ucar.edu/learn/1_3_1.htm), ©2000-
2001 University Corporation for Atmospheric Research
Tutorial on Earth/Suns Relations and Seasons (http://daphne.palomar.edu/
jthorngren/tutorial.htm)
U.S. Global Change Research Program (www.globalchange.gov).”
Sekilas Penulis
Pelaksana Teknis Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi (BPPT). Ia mendapatkan gelar profesor riset atau Ahli Peneliti
Utama (APU) pada 1 April 2010.
Di sela-sela kesibukannya itu, Edvin juga menjadi dosen luar biasa untuk
program master di UI (Meteorologi Kelautan) dan IPB (Hidrometeorologi,
Modifikasi Cuaca, dan Perubahan Iklim). Ia kerap menjadi anggota delegasi
ahli dari pemerintah Indonesia seperti pada Konferensi Perubahan Iklim
UNFCCC, WMO, IPCC, dan lain-lain. Di samping itu, pada 2009 ia juga
menjadi Kepala Delegasi Indonesia pada pertemuan ke-31 ASEAN Sub-
committee on Meteorology and Geophysics di Bangkok.
Beberapa penghargaan yang ia terima antara lain START International
Young Scientist Award 2004 atas artikel berjudul Modeling Indonesian
Rainfall with a Coupled Regional Model yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Edvin juga termasuk satu dari tiga ilmuwan Indonesia yang berkontribusi
menulis laporan IPCC pada tahun 2007. Seperti diketahui, laporan IPCC
tersebut mendapat penghargaan Nobel perdamaian pada tahun 2007.
Hingga kini, ia telah menulis sekitar 36 karya ilmiah di jurnal ilmiah
nasional, 11 karya ilmiah di jurnal internasional, 9 artikel ilmiah populer
di media cetak nasional, dan 12 buku. Di media televisi, ia beberapa kali
172 tampil menjadi nara sumber terkait dengan isu perubahan iklim.
Sekilas Penulis
Ir. Budiman, Msi lahir di Jepara, 29 Maret
1967. Gelar sarjana dan magisternya dipe-
roleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia
menyelesaikan Program Pascasarjana Jurna-
listik di Lembaga Pers Dr Soetomo pada 1993.
Kini, ia mendapatkan beasiswa untuk melan-
jutkan studi Program Doktor (S3) di IPB.
Sampai sekarang ia sudah menulis dan
menyunting 70 buku. Termasuk di antaranya
Buku Kapal Selam Indonesia, Mencintai
Bangsa dan Negara, Pantura Jawa - Peta
Panduan Mudik dan Wisata Lengkap, Ayo
Berwisata ke Lampung, Menjelajahi Pesona Wisata di Sumatera Selatan,
Pesona Wisata Bengkulu, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, serta
Membangun Kembali Permukiman dan Lingkungan Pascagempa & Tsunami
Berbasis Masyarakat.
Bukunya yang berjudul Menyelamatkan Diri dari Tsunami mendapat
award dari Japan Society of Civil Engineers (JSCE) sebagai buku terbaik
tahun 2009. Di dalam negeri, ia juga mendapat 17 penghargaan ketika masih
174 bekerja di Suara Pembaruan. Kini, ia menjadi penulis lepas (freelance writer)
di beberapa media cetak seperti Koran Jakarta dan Majalah Samudra.
Selama menjadi wartawan, ia melakukan berbagai peliputan ke hampir
seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, ia juga melakukan reportase ke
Ottawa (Kanada), Oslo (Norwegia), Tokyo dan Kyoto (Jepang), Beijing
(China), Sidney, Melbourne, dan Hobart (Australia), Bangkok (Thailand),
Kualalumpur dan Penang (Malaysia), serta Singapura.
Dalam berbagai lomba karya ilmiah populer, ia sering diminta menjadi
Dewan Juri. Ia juga menjadi pembicara di IPB, UI, ITB, BMKG, Bakosurtanal,
BPPT, dan lain-lain
Menikah dengan Mardiatul Aini, mereka dikaruniai empat putri; Nada
Salsabila, Novsa Fakhira, Tania Adila, dan Raisa Pitas Malay.