Anda di halaman 1dari 185

Edvin Aldrian Mimin Karmini Budiman

Perubahan Iklim di Indonesia


Adaptasi dan Mitigasi
Adaptaahan Iklim
Perub
si dan
Mitiga donesia
di In
si

Edvin
Ald
rian
Mimin
Karmin
iBudim
an

M asyarakat dunia kini dihantui perubahan iklim dengan berbagai


dampaknya. Sebagai negara kepulauan, Indonesia mengalami
dampak yang tidak ringan. Anomali cuaca seperti banjir, kekeringan, dan
badai kerap terjadi bahkan semakin tinggi intensitasnya.
Di beberapa daerah, suhu udara kian menyengat sehingga mengubah
perilaku petani bercocok tanam. Gelombang laut yang tinggi juga membuat

Edvin Aldrian
nelayan tak berani melaut menangkap ikan. Di sisi lain, permukiman
beserta sarana infrastruktur di kawasan pesisir juga mulai terendam akibat
kenaikan muka air laut.
Fenomena tak lazim tersebut jelas memerlukan upaya serius. Lalu upaya
mitigasi dan adaptasi apa saja yang dapat dilakukan dalam menghadapi
perubahan iklim?
Di buku inilah Anda akan diajak untuk bukan saja mengenali dan Mimin Karmini
memahami perubahan iklim. Namun lebih dari itu, Anda pun dapat ikut
berperan aktif dalam berbagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara


Budiman

Kedeputian Bidang Klimatologi


Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran, Jakarta Pusat 10720
Telp.: 021-4246321 Faks.: 021-4246703
BMKG http://www.bmkg.go.id
Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim di Indonesia

Dr. Edvin Aldrian, B.Eng., M.Sc., APU


Dra. Mimin Karmini, M.Sc
Ir. Budiman, MSi

Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara


Kedeputian Bidang Klimatologi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
2011
Penerbitan buku ini disponsori oleh
Indonesian Climate Change Trust Fun (ICCTF)

ICCTF

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-
masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu
Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim di Indonesia

Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia


Oleh Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara, Kedeputian Bidang Klimatologi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
Jl. Angkasa I No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720
Telp.: 021-4246321 Faks.: 021-4246703
http://www.bmkg.go.id

Penulis : Dr. Edvin Aldrian, B.Eng., M.Sc., APU, Dra. Mimin Karmini, M.Sc.,
dan Ir. Budiman, MSi
Penyunting : Dedi Sucahyono, M.Si dan Indah Budiani, S.H., M.Sc
Kontributor : Radhita Purwaningtyas, S.Si
Design Graphic : Amir
Design Cover : M Kholid Afandi
Penyelaras Bahasa : Slamet Widayadi
Tim Pendukung : Nurmala Faridha, S.IK, N Apriella Lestari, S,IK, Eko Wahyudi, S.E,
& Ajie Parikesit, S.E

Hak cipta dilindungi Undang-undang


dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari Penerbit

Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia

Diterbitkan oleh:
Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara
Kedeputian Bidang Klimatologi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
x + 174 halaman, 17,6 cm x 25 cm
ISBN: ...............................
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Salam sejahtera bagi Kita semua.

P
uji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas
perkenaan-Nya buku saku “Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim” dapat
diterbitkan.
Buku saku ini berisikan tentang perubahan iklim dan upaya adaptasi serta
iv
mitigasinya, yang diperuntukkan kalangan masyarakat luas, khususnya petani,
nelayan, dan siswa SD sampai dengan SMU. Kami berusaha menyajikan buku ini
secara sederhana agar mudah difahami oleh masyarakat luas.
Buku saku ini juga merupakan rangkuman dari modul-modul yang telah dibuat
oleh Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPPT, dan
survei yang dilakukan oleh LIPI. Program tersebut terselenggara atas kerja sama
dan dukungan dari Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Bappenas.
Penerbitan buku saku perubahan iklim ini adalah salah satu upaya BMKG
untuk melakukan sosialisasi perubahan iklim secara luas dalam arti definisi,
proses, dampak, dan upaya penanggulangan melalui program adaptasi dan
mitigasi. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk wujud aktivitas sosial BMKG
kepada masyarakat terutama untuk melihat peluang dan tantangan yang kita
hadapi dalam hal perubahan iklim terutama dalam mendukungan ketahanan
pangan nasional. Pada akhirnya masyarakat diharapkan untuk melihat isu
perubahan iklim dari sisi positif lebih besar untuk dapat meningkatkan peluang
adaptasi dan melakukan program mitigasi sebesar dan seluas-luasnya. Selain itu,
setelah membaca buku ini diharapkan masyarakat akan lebih akrab dengan jenis
layanan informasi iklim dan perubahan iklim yang dikeluarkan oleh BMKG.
Kami berharap, buku saku ini bisa dijadikan sebagai salah satu acuan dalam
pembelajaran dan memahami dasar perubahan iklim serta upaya apa yang dapat
dilakukan masyarakat baik untuk adaptasi maupun mitigasi dalam menghadapi
fenomena perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi di Indonesia.
Seluruh permasalahan yang dikemukakan dalam penerbitan buku ini diangkat
dari berbagai contoh kasus yang ada di Indonesia. Dengan demikian diharapkan
tumbuhnya kesadaran tinggi di masyarakat bahwa perubahan iklim di Indonesia
merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan dan bukan merupakan cerita
fiksi dari negara maju.
Akhirnya, saya selaku Kepala BMKG menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada UNDP dan ICCTF yang telah memberikan kepercayaan
kepada kami dalam melaksanakan Program “Public Awareness, Training and
Education Program on Climate Change Issue for all level of Societies, Mitigation
and Adaptation”. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua instansi,
baik di pusat dan daerah yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan program
ini, tim kerja dari ICCTF-BMKG, dan semua pihak yang telah mendukung upaya
dari penulisan hingga penerbitan buku ini.
Semoga Allah SWT meridhoi seluruh jerih payah kita dan dapat bermanfaat,
berhasil guna serta tujuan dari program ini dapat tercapai.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. 

Jakarta, November 2011.


Kepala BMKG,

Dr. Ir. Sri Woro B. Harijono, MSc.


Prakata

P
erubahan iklim merupakan salah satu topik yang sedang hangat
dibicarakan baik pada tataran praktis hingga pada ranah politis. Terlepas
dari panjangnya diskusi permasalahan ini, perubahan iklim telah, sedang
dan akan terus terjadi. Dalam hubungan tersebut dan berhubungan dengan letak
geografis, maka Indonesia sangat rentan untuk menerima dampak pemanasan
global dan perubahan iklim. Sebagai negara beriklim tropis dikelilingi oleh laut
vi
dan memiliki peran hutan yang penting sebagai paru paru dunia, maka tanggung
jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dari dampak perubahan iklim
menjadi meningkat. Peran Indonesia dalam mengatasi isu pemanasan global
dan perubahan iklim bukan hanya sebagai kontribusi nasional untuk tingkat
Internasional tetapi juga sebagai bentuk warisan untuk generasi mendatang
sebagai bentuk survival sebagai bangsa. Hal ini dikarenakan dampak perubahan
iklim akan menggerus kapasitas dukung lingkungan sehingga terus menurun
dan pada akhirnya mengancam kesinambungan pembangunan berkelanjutan.
Beberapa ancaman yang terlihat adalah peningkatan suhu permukaan,
peningkatan paras muka laut, cuaca ekstrim, polutan udara yang meningkat dll.
Dalam memberikan pemahaman apa itu pemanasan global dan apa itu
perubahan iklim kepada masyarakat diperlukan suatu bahan bacaan yang
mudah dicerna, lugas dan memberikan pengertian sederhana. Saat ini masih
seringkali terjadi kesalahan pemahaman mengenai hubungan pemanasan global
dan perubahan iklim dan bagaimana proses terjadinya. Selain itu masyarakat
juga perlu diberikan pemahaman bahwa isu perubahan iklim bukanlah sebuah
dongeng negara maju melainkan sudah benar terjadi di bumi Indonesia dengan
segala bukti nyata didepan mata. Kita patut bersyukur bahwa saat ini Indonesia
memiliki seluruh bukti utama terjadinya pemanasan global yaitu peningkatan
suhu muka bumi yang diwakili oleh suhu laut, peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca dan penurunan lapisan es daratan. Indonesia adalah satu dari 3 wilayah
tropis yang masih memiliki salju abadi dan terus meleleh. Pada kasus perubahan
iklim, berbagai bukti yang telah terjadi dapat kita lihat di bumi Indonesia seperti
kasus tahun tanpa kemarau 2010 yang memberikan kekacauan ekologis dan
dampak ekonomis di masyarakat.
Pada akhirnya masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa perubahan iklim
bukanlah momok yang perlu ditakuti tetapi memberikan peluang untuk dapat
berkembang kemuka dan dapat meningkatkan kapasitas adaptasi bersama
dalam menghadapinya. Tentu saja peningkatan kapasitas tersebut harus sesuai
dengan karakter perrmasalahan yang kita hadapi bersama dan bukannya cocok
untuk kasus di wilayah lain. Selain itu peningkatan peran masyarakat diperlukan
untuk melakukan berbagai program mitigasi perubahan iklim baik secara individu
maupun komunal.
Peran serta masyarakat juga harus didukung oleh kebijakan publik oleh
berbagai instansi pemerintah yang berhubungan dalam penanganan isu
perubahan iklim. Pembahasan diperlukan juga untuk melihat peran berbagai
institusi dan bagaimana koordinasi dan sinergi yang diharapkan. Manajemen
kebijakan perubahan iklim pada tataran nasional dan internasional perlu vii
dikenalkan kepada masyarakat sehingga dapat menjadi acuan untuk hal hal yang
selama ini sering dipertanyakan dan diberitakan di media masa. Pada akhirnya
sosialisasi kepada masyarakat diperlukan untuk memahami peran institusi yang
memberikan pelayanan informasi perubahan iklim pada tingkat dasar. Informasi
tersebut merupakan informasi utama yang menunjukkan apa benar perubahan
iklim sudah terjadi di bumi Indonesia.
Dengan berbagai lingkup bahasan diatas dan keterbatasan informasi yang
ada, buku ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang umum mengenai
apa yang terjadi dalam hal perubahan iklim di benua maritim Indonesia. Buku ini
disusun berdasarkan masukan selama kegiatan pelaksanaan program Indonesian
Climate Change Trust Fund (ICCTF) di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) dan bekerja sama dengan Kementrian Pertanian, Kementrian Kelautan
dan Perikanan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Materi yang
disusun berdasarkan isi dari modul Trainer of Trainers (ToT) untuk Penyuluh
Pertanian dan Penyuluh Perikanan, modul ajar Kurikulum Perubahan Iklim untuk
tingkat SD, SMP, SMU dan SMK dan hasil studi lapangan sosialisasi perubahan
iklim kepada petani dan nelayan melalui program radio komunitas.
Penulis menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada pihak yang
telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penerbitan
buku ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada ICCTF sebagai penyandang
dana dalam kegiatan sosialisasi, kepada Kepala BMKG beserta jajarannya yang
telah mendukung pelaksanaan program sosialisasi, tim kerja pendukung ICCTF
dari Kemtan, Kem KP, Kemdikbud, BPPT dan LIPI serta dari rekan kerja di BMKG.
Penulis juga turut menyampaikan terima kasih kepada tim managerial pendukung
kerja yaitu unit Program Management Unit (PMU).
Akhirnya penulis mengharapkan bahwa buku ini dapat menjadi sumbangsih
pemahaman umum terhadap perubahan iklim yang terjadi di bumi benua
maritim Indonesia. Buku ini diharapkan dapat menjadi konsumsi umum bagi
siswa, praktisi dan pemerhati masalah perubahan iklim hingga pada satuan
kelompok tani dan nelayan.

November 2011

viii
Daftar Isi

iv Kata Pengantar Kepala BMKG


vi Prakata

1 BAB 1. PLANET BUMI DAN ATMOSFER


1 1.1 Bumi
4 1.2 Atmosfer

9 BAB 2. CUACA, IKLIM , DAN MUSIM


13 2.1 Cuaca
15 2.2 Iklim ix
22 2.3 Musim

27 BAB 3. EFEK RUMAH KACA, GAS RUMAH KACA, DAN PEMANASAN


GLOBAL
27 3.1 Efek Rumah Kaca
31 3.2 Gas Rumah Kaca
33 3.3 Pemanasan Global

39 BAB 4. PERUBAHAN IKLIM

47 BAB 5. INDIKASI TERJADINYA PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA


47 5.1 Peningkatan Konsentrasi GRK
51 5.2 Peningkatan Suhu Muka Bumi
54 5.3 Peningkatan Paras Muka Laut
57 5.4 Berkurangnya Tutupan Salju di Daratan

63 BAB 6. INDIKASI TERJADINYA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


63 6.1 Perubahan Suhu Daratan
67 6.2 Peningkatan Curah Hujan Ekstrem
68 6.3 Maju Mundurnya Musim
73 6.4 Perubahan Jumlah Volume Hujan
83 BAB 7. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
83 7.1 Dampak Fisik
97 7.2 Dampak Nonfisik

107 BAB 8. ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM


108 8.1 Komponen Adaptasi Perubahan Iklim
111 8.2 Kebijakan Menghadapi Perubahan Iklim
114 8.3 Berbagai Usaha Adaptasi yang Bisa Dilakukan Masyarakat
116 8.4 Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian Pertanian
124 8.5 Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian Kelautan
dan Perikanan

129 BAB 9. MITIGASI PERUBAHAN IKLIM


130 9.1 Permasalahan Utama Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia
132 9.2 Berbagai Aktivitas Manusia yang Menghasilkan GRK
134 9.3 Upaya Praktis Dalam Mitigasi Perubahan Iklim
135 9.4 Upaya Mitigasi yang Dilakukan Kementerian Pertanian
139 9.5 Upaya Mitigasi yang Dilakukan Kementerian Kelautan dan
Perikanan

141 BAB 10. MANAJEMEN PERUBAHAN IKLIM


141 10.1 Tinjauan Internasional
 146 10.2 Tinjauan Kebijakan Nasional

153 BAB 11. JENIS INFORMASI PERUBAHAN IKLIM DARI BMKG

167 KATA PENUTUP


171 DAFTAR PUSTAKA
173 SEKILAS PENULIS
BAB 1.

PLANET BUMI
DAN ATMOSFER

P
lanet Bumi dan atmosfer merupakan satu kesatuan ekosistem yang
tidak dapat terpisahkan. Keduanya saling berinteraksi. Bumi tanpa
atmosfer sama saja dengan kondisi planet-planet lain dalam sistem tata
surya kita, yakni kering, tandus, ekstrem (sangat panas dan sangat dingin),
dan tentu saja tak ada kehidupan. 
Amosfer telah melindungi Bumi dalam banyak hal. Siklus air di Bumi dapat
berlangsung berkat peran atmosfer. Suhu udara yang nyaman di permukaan
Bumi juga dikendalikan atmosfer. Seperti diketahui, air dan udara adalah
sumber kehidupan baik bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan.
Begitu juga sebaliknya, atmosfer tanpa Bumi juga tak banyak berarti.
Bumi yang tersusun sebagian besar dari besi itu memiliki medan magnet
yang sangat kuat pada ketinggian hingga mencapai ribuan kilometer.
Kuatnya efek medan magnet tersebut dapat menahan atom dan molekul
di atmosfer agar tidak terlepas ke luar angkasa. Selain itu, medan magnet
juga berperan menghalangi angin radiasi Matahari (solar winds) yang sangat
berbahaya bagi mahluk hidup.

1.1. Bumi
Bumi merupakan salah satu planet dalam sistem tata surya dengan
Matahari sebagai pusatnya. Dilihat dari posisi terdekat dari Matahari, Bumi
berada pada urutan ketiga, setelah Merkurius dan Venus. Para ilmuwan
menduga, Bumi terbentuk sekitar 5.000 juta tahun silam.

Planet Bumi dan Atmosfer


Bumi tercipta setelah Matahari
terbentuk. Awal mula Bumi ter-
bentuk berasal dari awan raksa-
sa yang menggumpal. Awan
itu kian panas hingga mem-
bentuk sebuah bola merah
yang panas. Setelah itu, se-
cara berangsur-angsur Bumi
mengalami pendinginan.
Akibatnya, permukaan Bumi
mengeras. Sebaliknya, kon-
disi di dalam perut Bumi masih
sangat panas (bisa mencapai suhu
7.000 oC) dan beberapa ba-
Gambar 1.1. Bumi dilihat dari Apollo 17. gian di antaranya berbentuk
cairan.
Bumi merupakan planet yang paling padat dibandingkan ke tujuh planet
lainnya dalam sistem tata surya kita. Nilai kerapatan Bumi mencapai 5.517
lebih besar daripada kerapatan air.
 Sampai sejauh ini, Bumi adalah satu-satunya planet yang berpenghuni
dan menjadi kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Beragam jenis
mahluk hidup itu merasa nyaman berada di Bumi.
Sekitar 71 % dari permukaan Bumi diisi oleh air, baik dalam bentuk
samudra, lautan, sungai, danau, rawa, maupun situ. Sisanya, yang 29 %
permukaan Bumi berupa daratan.
Material penyusun Bumi terbesar terdiri dari besi, oksigen, dan silikon.
Dari ketiga unsur tersebut, sekitar 88 % bagian dari pusat Bumi adalah besi.

“Sampai sejauh ini, Bumi adalah satu-


satunya planet yang berpenghuni dan
menjadi kehidupan bagi manusia, hewan, dan
tumbuhan. Beragam jenis mahluk hidup itu
merasa nyaman berada di Bumi.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Hal inilah yang menimbulkan efek magnet luar biasa dengan kutub yang
berbeda di utara dan selatan.
Medan magnet itu mencapai ribuan km dari permukaan Bumi sehingga
dapat menghalangi angin radiasi Matahari (solar winds). Medan magnet ini
juga melindungi mahluk hidup dari radiasi Matahari yang berbahaya.
Bumi berputar pada poros atau sumbunya sambil mengelilingi Matahari
sesuai orbitnya (lihat Gambar 1.2). Dalam sekali putaran tersebut, diperlukan
waktu sekitar 24 jam, tepatnya 23 jam lebih 56 menit dan 4,09 detik. Periode
ini dikenal dengan satu hari dan satu malam. Rotasi Bumi pada sumbunya itu
menimbulkan waktu siang dan malam,
Sementera itu, waktu tempuh Bumi mengelilingi Matahari pada orbitnya
dalam satu putaran sekitar 365 hari lebih 5 jam, 48 menit, dan 45,51 detik.
Periode ini dikenal dengan waktu satu tahun. Putaran Bumi mengitari Matahari
menimbulkan adanya musim yang berbeda-beda di berbagai wilayah.

Fakta tentang Bumi:


Massa : 5.880 x 1021 ton
Kerapatan : 5.517 x kerapatan air
Volume : 1.083.208.840.000 km3 
Permukaan area : 510.100.500 km2
Permukaan tanah : 148.950.800 km2 atau lebih
dari 29 % dari permukaan area
Permukaan air : 361.149.700 km2 atau 71 %
Keliling ekuator : 40.067 km
Keliling kutub : 40.000 km
Diameter ekuator : 12.756 km
Jarak rata-rata dari Matahari : 140.407.000 km
Periode rotasi pada sumbunya : 23 jam 56 menit dan 4,09 detik
Periode revolusi mengelilingi Matahari : 365 hari 5 jam 48 menit dan
45,51 detik
Kecepatan rotasi : 1.660 km/jam di garis ekuator
Kecepatan revolusi : 29,8 km/detik
Kemiringan orbit : 23,40

Sumber: Pustaka Anak Cerdas, volume 1, 2008.

Planet Bumi dan Atmosfer


(a) (b)
Gambar 1.2. Saat mengitari Matahari, poros Bumi membentuk sudut 23,5o dari garis
tegak lurus dengan orbit Bumi (a). Gambar (b) menunjukkan Bumi mengitari
Matahari pada orbitnya. Radiasi Matahari mencapai maksimum di khatulistiwa
pada 23 September dan 21 Maret. Sementara itu, pada 22 Juni radiasi Matahari
maksimum ada di belahan Bumi utara (BBU) dan 22 Desember radiasi Matahari
maksimum berada di belahan Bumi selatan (BBS).

1.2. Atmosfer
Planet bumi diselimuti oleh lapisan gas yang disebut atmosfer. Atmosfer
 tersusun oleh 78 % nitrogen (N2), 21 % oksigen (O2), 0,9 % argon (Ar), dan
0,03 % karbondioksida (CO2). Sisanya berupa gas-gas lain seperti helium (He),
hidrogen (H2), xenon (Xe), ozon (O3), uap air, dan partikel-partikel kecil debu
atau aerosol.
Atmosfer memiliki massa sekitar 5 x 1018 kg dimana 75 % dari massa
tersebut berada di lapisan troposfer. Semakin tinggi lapisan atmosfer, semakin
kecil massanya. Sehingga, tekanan atmosfer juga semakin kecil dengan
semakin tingginya lapisan atmosfer.
Atmosfer yang membentang pada ketinggian 500 sampai 1.000 km
di angkasa luar itu menjadi pelindung bagi mahluk hidup di Bumi. Tanpa
pelindung atmosfer, semua mahluk hidup baik manusia, hewan, maupun
tumbuhan akan terbakar oleh Matahari di siang hari. Sebaliknya, di malam
hari mahluk hidup tersebut bakal membeku.
Atmosfer mampu melindungi permukaan Bumi karena ia mampu
mempertahankan suhu udara dalam fluktuasi yang kecil melalui proses efek
rumah kaca dan menahan radiasi Matahari yang berbahaya. Di samping itu,
atmosfer juga menyediakan udara yang dibutuhkan mahluk hidup untuk
tumbuh dan berkembang.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Ketebalan atmosfer bumi mencapai ribuan mil (1 mil = 1,6093 km).
Lapisan atmosfer paling atas sangat tipis dan renggang. Karena itu partikel
yang bergerak bebas dapat lepas dari tarikan gravitasi Bumi dan tertiup ke
ruang angkasa oleh solar winds.
Sebaliknya, kondisi lapisan atmosfer di bawahnya (pada ketinggian 10 - 15
km) sangat tebal dan terdiri dari gas, air, debu, dan lain-lain. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya hujan serta perubahan musim dan cuaca.
Atmosfer memiliki suhu yang berbeda-beda dan dikelompokkan menjadi
lima lapisan. Jika diurutkan dari permukaan Bumi, lapisan atmosfer terdiri
dari troposfer, stratosfer, mesosfer, thermosfer, dan eksosfer (lihat Gambar
1.3). Di lapisan troposfer dan stratosfer inilah menjadi jalur transportasi bagi
pesawat terbang.

Gambar 1.3. Kategori lapisan atmosfer secara vertikal berdasarkan suhu (Sumber: Lutgens
and Tarbuck’s The Atmosphere, 2001).

Planet Bumi dan Atmosfer


Lapisan troposfer terbentang mulai dari permukaan Bumi sampai
ketinggian sekitar 10 – 17 km. Troposfer mengandung lebih dari 75 % massa
gas yang ada di lapisan atmosfer, termasuk air dan debu. Di lapisan inilah
terjadi dinamika cuaca. Ketika terjadi pemanasan global, lapisan troposfer
mengalami peningkatan suhu udara yang paling signifikan (lihat http://www.
mycleansky.com/?a=stratosphere).
Hubungan antara suhu udara dan ketinggian pada lapisan troposfer adalah
berbanding terbalik. Artinya, semakin tinggi lapisan tersebut maka suhu
udaranya kian rendah. Itulah mengapa di puncak gunung, suhu udaranya
jauh lebih dingin daripada di pantai atau dataran rendah.
Puncak daratan tertinggi di dunia, Gunung Everest dengan ketinggian
sekitar 8.850 m di atas permukaan laut (dpl) misalnya, diselimuti suhu udara
yang sangat rendah, sekitar -40 oC. Inilah yang mengakibatkan banyak lapisan
salju atau es menyelimuti puncak Gunung Everest. Pendaki gunung akan
merasa bangga jika ia sudah mampu menaklukkan puncak berlapiskan salju
dengan cuaca yang sangat ekstrim.
Di atas troposfer, terdapat lapisan stratosfer yang sangat dingin dan kering.
Di lapisan ini terbentuk awan dari jenis cirus. Awan ini biasanya terdiri dari
kristal es karena ia berada pada suhu lingkungan yang ekstra dingin.


“Jadi, jika kita sedang duduk di


pesawat terbang yang melintas
jauh, sebenarnya kita telah
berada di lapisan stratosfer.
Sadar atau tidak, pesawat
terbang tersebut menyemburkan
gas buang bersuhu tinggi.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Lapisan stratosfer juga menjadi
batas ketinggian bagi pesawat terbang
“Keberadaan
komersial berlalu lalang. Jadi, jika kita lapisan stratosfer
sedang duduk di pesawat terbang yang
melintas jauh, sebenarnya kita telah sangatlah penting
berada di lapisan stratosfer. Sadar bagi kehidupan di
atau tidak, pesawat terbang tersebut
menyemburkan gas buang bersuhu Bumi. Sebab, di
tinggi.
Asap itu langsung mengalami
situlah terdapat
kondensasi di lapisan yang sangat lapisan ozon (O ) 3
dingin. Jika cuaca cerah, dari kejauhan
kita bisa melihat hasil kondensasi yang berfungsi
itu berupa pembentukan awan tipis
memanjang yang berada di belakang
menghalangi
lintasan pesawat terbang atau dikenal gelombang
dengan sebutan contrail.
Gas buangan tersebut didominasi ultraviolet dari
unsur karbon. Para ahli berpendapat cahaya Matahari 
bahwa asap buangan pesawat terbang
yang disemburkan pada lapisan yang berbahaya
stratosfer tersebut ikut memberi
kontribusi terhadap meningkatnya gas
sehingga ia tidak
rumah kaca. sampai menembus
Keberadaan lapisan stratosfer
sangatlah penting bagi kehidupan di ke permukaan
Bumi. Sebab, di situlah terdapat lapisan
ozon (O3) yang berfungsi menghalangi
Bumi.”
gelombang ultraviolet dari cahaya Matahari yang berbahaya sehingga ia tidak
sampai menembus ke permukaan Bumi.
Jika lapisan ozon berlubang, gelombang ultraviolet tersebut secara
leluasa menerobos hingga ke permukaan Bumi. Dampaknya, jika terpapar ke
kulit kita, dapat menyebabkan penyakit kanker kulit. Selain itu, hewan dan
tumbuhan juga bisa mengalami gangguan serius jika terpapar gelombang
ultraviolet yang sangat berbahaya tersebut.
Lapisan ketiga adalah mesosfer yang dikenal memiliki suhu paling dingin,
yakni dapat mencapai -90 oC. Hanya ada sedikit molekul udara di lapisan

Planet Bumi dan Atmosfer


mesosfer. Astronot yang mengorbit bersama pesawat ulang-alik di ruang
angkasa berada di lapisan mesosfer (http://eo.ucar.edu/kids/sky/air6.htm).
Mesosfer juga berperan dalam melindungi permukaan Bumi dari jatuhnya
benda angkasa luar yang disebut meteor. Ribuan meteor itu habis terbakar di
lapisan mesosfer sebelum mencapai lapisan stratosfer dan troposfer. Hanya
benda langit berukuran raksasa yang mampu menyisakan material sehingga
meteor itu jatuh hingga ke Bumi. Hanya saja frekuensi jatuhnya meteor
hingga ke Bumi sangatlah jarang terjadi.
Lapisan keempat adalah termosfer yang memiliki suhu sangat tinggi,
dapat mencapai 1.500 oC bahkan lebih saat Matahari sedang aktif. Hal itu
dapat menimbulkan aurora yang menerangi langit saat malam hari.
Lapisan atmosfer paling tinggi disebut eksosfer. Pada lapisan ini atom dan
molekul mudah lepas ke luar angkasa akibat melemahnya gaya gravitasi Bumi
seiring dengan semakin jauhnya jarak antara Bumi dan eksosfer.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 2.

CUACA, IKLIM, DAN MUSIM

S
eperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya (Bab 1), troposfer
merupakan lapisan atmosfer paling bawah di mana aktivitas cuaca
terjadi. Di lapisan troposfer, suhu udara turun dengan bertambahnya
ketinggian. Fenomena ini disebut laju penurunan suhu lingkungan
(environmental lapse rate) yang besarnya sekitar 6,5 oC/1.000 m. Artinya, 
setiap kenaikan ketinggian 1.000 m, suhu udara mengalami penurunan
sebesar 6,5 oC.
Besarnya laju penurunan suhu lingkungan di lapisan troposfer tidaklah
sama, tergantung daerah lintangnya. Laju penurunan suhu lingkungan di
lintang rendah (tropis), lintang tengah, dan lintang tinggi (kutub) dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
Setidaknya ada tiga cara massa udara naik ke tingkat lebih tinggi. Pertama,
proses adiabatik sebagai akibat adanya penghalang seperti bangunan gedung
dan gunung. Penghalang buatan dan alami tersebut akan menahan massa
udara yang bergerak secara horisontal, lalu memaksanya naik ke atas.
Cara kedua melalui proses konvergensi horisontal. Seperti diketahui,
akibat tekanan rendah di permukaan menyebabkan massa udara mengumpul
lalu naik ke atas yang memiliki suhu udara lebih rendah.
Cara ketiga atau terakhir naiknya massa udara adalah akibat pemanasan
atau konvektif. Pemanasan yang dipancarkan oleh permukaan Bumi, baik dari
daratan maupun lautan akan menghangatkan massa udara lalu naik menuju
tempat yang memiliki suhu udara yang dibuang.

Cuaca, Iklim, dan Musim


Ketika massa udara
tersebut berada pada level
atau tingkat yang tinggi,
ia berubah menjadi dingin
karena menempati lingkungan
bersuhu udara rendah. Pada
ketinggian tertentu, massa
udara yang naik itu memiliki
tekanan uap air yang sama
dengan tekanan uap air jenuh
pada level tersebut.
Akibatnya, massa udara
yang berbentuk uap air itu
berubah fase menjadi cair.
Proses ini sering disebut
kondensasi. Butir air dari
kondensasi ini lalu memben-
tuk awan.
Awan dapat dikelom-
10 pokkan berdasarkan keting-
Gambar 2.1. Profil laju penurunan suhu lingkungan gian, bentuk, dan proses per-
dan tingkat tropopause di lintang rendah tumbuhannya. Berdasarkan
(garis merah), lintang tengah (hijau),
ketinggian, kita mengenal
dan lintang tinggi (biru). Terlihat bahwa
tropopause di daerah tropis berkisar tiga jenis awan, yakni rendah,
antara 15 – 17 km (Sumber: Lutgens menengah, dan tinggi.
and Tarbuck’s The Atmosphere, 2001.
(http://www.ux1.eiu.edu/cfjps/1400/
Ditinjau dari bentuknya,
atmos_struct.htm). ada dua kelompok awan.
Pertama awan stratus (St)
yang berbentuk seperti lapisan datar dan biasanya cakupannya luas. Kedua,
awan cumulus (Cu) yang berbentuk seperti bunga kol.
Sementara itu, berdasarkan proses pertumbuhan vertikal, kita mengenal
awan Cu yang bisa berkembang menjadi cumulonimbus (Cb). Kedua jenis
awan ini (Cu dan Cb) juga dapat dikategorikan sebagai awan rendah karena ia
dapat menjadi dasar awan.
Awan rendah biasanya terdiri dari kabut (awan yang berada di permukaan
Bumi), St, stratocumulus (Sc), dan nimbostratus (Ns). Ns adalah awan hujan
yang memiliki ketebalan beberapa ratus meter dari permukaan tanah sampai

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


ketinggian 5.000 m. Awan Ns bisa menyebabkan hujan sepanjang hari atau
semalam suntuk dengan intensitas ringan.
Awan menengah terdiri dari altostratus (As) dan altocumulus (Ac). Selain
itu, awan Cu dan Cb juga bisa dikategorikan awan menengah karena dasar
awan Cu dan Cb bisa juga tumbuh dan berkembang mulai dari ketinggian
2.000 m.
Awan tinggi biasanya terdiri dari kristal es karena ia berada pada lingkungan
dengan suhu udara yang sangat dingin. Awan tersebut disebut cirus (Ci),
cirrostratus (Cs), dan cirrocumulus (Cc). Untuk memudahkan pemahaman
kita terhadap pengelompokan berbagai jenis awan tersebut, sebaiknya dilihat
pada Gambar 2.2.
Lalu, bagaimana awan-awan itu dapat berubah menjadi butiran air hujan?
Hal itu terjadi jika butir air yang terkandung di dalam awan rendah dan
awan menengah cukup besar jumlahnya. Jika awan-awan tersebut mampu
melawan gaya apung dari udara di bawahnya maka butir air itu akan jatuh ke
muka Bumi dalam bentuk hujan atau salju.

11
Cumulonimbus
dari dekat
permukaan tanah
Cirrocumulus Cirrus sampai di atas
(mockera’sky) di atas 5.400 m 15.000 m
di atas 5.400 m

Altocumulus
1.800 - 6.000 m
Altostratus
1.800 - 6.000 m

Stratocumulus Cumulus
di bawah 1.800 m di bawah 1.800 m
Stratus
di bawah 1.800 m

Gambar 2.2. Jenis-jenis awan yang biasa kita lihat. Jenis awan rendah adalah stratus (St),
stratocumulus (Sc), cumulus (Cu), dan cumulonimbus (Cb). Sementara itu, awan
menengah terdiri dari altostratus (As) dan altocumulus (Ac). Sedangkan yang
tergolong awan tinggi adalah cirrus (Ci), cirrostratus (Cs), dan cirrocumulus (Cc)
(Sumber: UCAR).

Cuaca, Iklim, dan Musim


Air hujan akan terjadi di daerah lintang rendah (tropis) seperti Indonesia.
Sedangkan hujan salju (es) biasanya terjadi di daerah lintang menengah dan
tinggi pada musim dingin.
Hujan es juga bisa terjadi di pegunungan yang suhu udaranya di bawah
0 C. Dalam beberapa kasus, di beberapa daerah di Indonesia juga pernah
o

mengalami hujan yang disertai dengan butiran es.


Besar kecilnya intensitas hujan tergantung jenis awannya. Pada awan
nimbostratus, stratus, dan altostratus akan menghasilkan hujan ringan atau
gerimis dengan ketinggian curah hujan kurang dari 10 mm.
Sementara itu, awan stratocumulus dan altocumulus dapat menghasilkan
hujan ringan sampai sedang (curah hujan kurang dari 20 mm). Sedangkan
awan cumulus dan cumulonimbus dapat menghasilkan hujan lebat dan atau
ekstrem (curah hujan di atas 30 mm).
Untuk lebih memahami siklus air di Bumi dari mulai penguapan massa
udara (uap air) sampai turun hujan, kita dapat melihat Gambar 2.3. Secara
umum, siklus tersebut terdiri dari empat proses sebagai berikut:

12 Awan &
uap air

Pertukaran Perpindahan
Air tersimpan Presipitasi radiasi Kondensasi
di dalam es (hujan salju (panas laten
dan salju atau hujan air) atmosfer)

Evapotranspirasi Evaporasi
Per Limpasan
emb permukaan
esa
n Manajemen air Lapisan pembatas
Per (daratan dan atmosfer
kol
Kel asi bebas)
em
bab
ant
Ker ana
a gam h
an t
ana Samudra
h Aliran
arus
air
Tabel air
Muara sungai
Aliran air tanah

Batuan dasar

Gambar 2.3. Diagram siklus air (Sumber: US Global Change Research Program. www.usgcrp.
gov)

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


1. Penguapan massa udara (uap air).
2. Massa udara tersebut lalu naik ke atas akibat konvektif, orografi,
konvergensi, dan adiabatik.
3. Pada level atau ketinggian tertentu, massa udara tersebut mengalami
kondensasi atau sublimasi.
4. Awan yang sudah memiliki banyak butir air tersebut lalu turun sebagai
hujan dan atau salju.

Sebelum turun hujan, biasanya bertiup angin dingin dengan kecepatan


yang bervariasi, bisa sepoi-sepoi, sedang, atau malah kencang. Kecepatan
angin tersebut tergantung dari jenis awan yang akan menumpahkan air hujan
ke Bumi.
Angin bertiup akibat turunnya massa udara lantaran meluruhnya awan
(disipasi) yang sering disebut downdraft (kecepatan vertikal yang negatif).
Pada awan cumulonimbus yang besar dapat menyebabkan kecepatan angin
downdraft lebih dari 10 m/detik. Angin ini sangat berbahaya terutama jika
terjadi di sekitar bandar udara karena dapat menghempaskan pesawat
terbang saat mendarat (landing) di landasan pacu.

2.1. Cuaca 13
Cuaca adalah keadaan dinamika udara di atmosfer pada waktu dan tempat
tertentu. Cuaca umumnya dapat diungkapkan atau dinyatakan dengan kondisi
hujan, suhu udara, jumlah tutupan awan, penguapan, kelembaban, dan
kecepatan angin di suatu tempat dari hari ke hari. Kurun waktu yang sering
digunakan dalam analisa cuaca adalah satu hari sampai satu minggu.
Contoh sederhana adalah ketika presenter atau pembaca acara menyam-
paikan prakiraan cuaca melalui media televisi atau radio. Ia mengatakan,
prakiraan cuaca di kota Bekasi pada tanggal tertentu adalah cuaca cerah be-
rawan dengan suhu udara maksimum 32 oC dan angin calm.
Maksud dari prakiraan cuaca tersebut adalah di kota Bekasi, Matahari
masih bersinar dan terdapat sejumlah awan. Suhu udara pada sekitar pukul
14.00 WIB diduga sebesar 32 oC dengan angin yang mungkin tidak dapat
dirasakan oleh manusia.
Contoh lain, ketika si pembawa acara mengatakan, prakiraan cuaca di
Jakarta pada tanggal yang sama adalah berawan, kemungkinan hujan pada
sore hari dengan intensitas sedang. Artinya, pada tanggal tersebut Jakarta
ditutupi cukup awan dan berpeluang terjadi hujan. Hujan dengan intensitas

Cuaca, Iklim, dan Musim


sedang berarti jenis awan yang terbentuk dapat berupa cumulus atau
stratocumulus.
Berdasarkan dua contoh pengungkapan prakiraan cuaca tersebut, terlihat
bahwa cuaca hanya menyatakan kondisi atmosfer sesaat, dalam hal ini satu
hari. Untuk hari berikutnya, kondisi cuaca bisa berubah drastis atau hampir
mirip dengan hari sebelumnya.
Cuaca buruk biasanya diasosiasikan dengan awan badai atau Cumulonim-
bus (Cb). Awan Cb yang kuat dapat mencurahkan air hujan dengan intensitas
tinggi (di atas 50 mm/jam) dan angin vertikal negatif (downdraft) yang tinggi.
Hujan deras mengakibatkan visibility (jarak pandang) sangat pendek sehingga
membahayakan transportasi darat, laut, dan udara.
Selain itu, awan badai juga dapat menimbulkan turbulensi di dekat
permukaan Bumi sehingga membahayakan pesawat terbang saat landing.
Tidak hanya itu, awan badai juga dapat menimbulkan angin puting beliung dan
hujan batu es (hail). Pada beberapa kasus, awan badai sering menimbulkan
banjir dan menyebabkan tanah longsor.

“Cuaca di Indonesia sangat dipengaruhi oleh


14 muson (monsoon), El Nino dan La Nina, Madden
Julian Oscillation (MJO), serta Dipole Mode (DM).
Pengaruh yang dirasakan biasanya pada saat
musim kemarau atau hujan.”

Cuaca di Indonesia sangat dipengaruhi oleh muson (monsoon), El Nino dan


La Nina, Madden Julian Oscillation (MJO), serta Dipole Mode (DM). Pengaruh
yang dirasakan biasanya pada saat musim kemarau atau hujan.
Sebagai contoh, musim kemarau yang bersifat kering atau jumlah curah
hujan dan hari hujan pada musim kemarau lebih sedikit dibandingkan dengan
nilai normalnya. Contoh lain, musim kemarau yang bersifat basah atau jumlah
curah hujan dan hari hujan pada musim kemarau lebih besar dibandingkan
dengan nilai normalnya.
Sama halnya saat musim hujan. Musim hujan kadang-kadang memiliki
jumlah curah hujan dan hari hujan yang sedikit berkurang. Tetapi ada juga
jumlah curah hujan dan hari hujan yang sangat besar dibandingkan dengan
nilai normalnya.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Secara umum, cuaca terdiri dari tujuh unsur sebagai berikut:
• Suhu udara, biasanya dinyatakan dalam satuan oC untuk mengetahui
derajat panas atau dingin udara.
• Tekanan udara atau berat massa udara per satuan luas. Biasanya
dinyatakan dalam satuan mb (milibar).
• Kelembaban udara atau kandungan uap air di udara yang dinyatakan
dalam %.
• Penguapan atau laju uap air yang terbentuk akibat proses pergantian
fase cair menjadi uap. Biasanya dinyatakan dalam satuan mm
(milimeter).
• Awan atau kumpulan massa tampak yang terdiri dari udara kering
dengan butir air atau kristal es pada ketinggian tertentu di atas muka
Bumi. Biasanya dinyatakan dalam satuan octaf.
• Hujan atau laju air yang jatuh dari awan ke muka Bumi yang dinyatakan
dalam satuan mm.
• Angin atau udara yang bergerak. Biasanya dinyatakan dalam satuan
knot untuk kecepatan. Sedangkan untuk arah digunakan mata angin
(utara, selatan, barat, timur, tenggara, barat laut, dan barat timur).

2.2. Iklim 15
Iklim adalah kebiasaan cuaca yang terjadi di suatu tempat atau daerah.
Definisi lain, iklim merupakan karakter kecuacaan suatu tempat atau daerah,
dan bukan hanya merupakan cuaca rata-rata (Wirjomiharjo dan Swarinoto,
BMKG, 2007). Kurun waktu yang sering digunakan untuk menentukan iklim
rata-rata sekitar 30 tahun. Iklim memiliki unsur yang sama dengan cuaca.
Iklim di suatu tempat dipengaruhi oleh letak lintang, lereng, ketinggian,
serta seberapa jauh jarak tempat tersebut dari perairan dan juga keadaan
arus lautnya. Contoh sederhana jika kita merujuk pada dunia, maka wilayah
yang berada di dekat garis ekuator Bumi (derajat berlintang rendah atau nol)
disebut wilayah beriklim tropis. Sementara itu, wilayah di lintang menengah
dan tinggi dikenal sebagai daerah beriklim subropis dan iklim kutub. Ilmu
yang mempelajari tentang pola global iklim dan karakteristiknya adalah
klimatologi.
Karakter cuaca suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria keseringan
atau probabilitas nilai-nilai satu atau lebih unsur iklim yang ditetapkan,
seperti hujan, suhu, dan angin. Atau bisa juga hanya terdiri hujan, suhu, atau
penguapan. Setiap daerah memiliki iklim yang berbeda.

Cuaca, Iklim, dan Musim


Perbedaan iklim tersebut karena Bumi ber-
bentuk bundar sehingga sinar Matahari tidak “Sistem iklim
dapat diterima serba sama oleh setiap permu- Bumi merupakan
kaan Bumi. Selain itu, permukaan Bumi yang
beraneka ragam baik jenis maupun bentuk
sebuah sistem
topografi-nya, tidaklah sama dalam merespon interaksi kompleks
radiasi Matahari yang diterimanya. antara atmosfer,
Sistem iklim Bumi merupakan sebuah sistem
interaksi kompleks antara atmosfer, permukaan permukaan
tanah, salju dan es, lautan dan badan air lainnya tanah, salju
(sungai, waduk, rawa, dan lain-lain), serta dan es, lautan
makhluk hidup. Komponen iklim yang paling
mendominasi karakter iklim adalah atmosfer. dan badan air
Skema komponen sistem iklim, proses, dan lainnya (sungai,
interaksinya dapat dilihat pada Gambar 2.4.
waduk, rawa, dan
Sistem iklim dikatakan seimbang apabila
neraca energi di Bumi dalam keadaan seimbang. lain-lain), serta
Sumber energi utama Bumi berasal dari radiasi makhluk hidup.”
Matahari. Kesetimbangan energi ini terkait
16

Perubahan di atmosfer: Perubahan dalam


komposisi, sirkulasi siklus hidrologi

Atmosfer

N2, O2, Ar, H2O, CO2,


CH4, N2O, O3, dll. Aktivitas gunung berapi
Interaksi
Aerosol atmosfer-biosfer
Presipitasi
evaporasi
Radiasi
Pertukaran terestrial
panas Pengaruh Lapisan es
Tekanan aktivitas manusia
angin Interaksi
Biosfer daratan-
atmosfer
es laut Interaksi
Hidrosfer: tanah-biosfer
laut Permukaan daratan

Interaksi es-laut Hidrosfer: Perubahan cryosfer:


sungai & danau salju, tanah beku, es laut, lapisan es, gletser

Perubahan di laut: Perubahan permukaan lahan:


sirkulasi, muka laut, biogeokimia orografik, penggunaan lahan, vegetasi, ekosistem

Gambar 2.4. Komponen sistem iklim, proses, dan interaksinya (Sumber: IPCC, 2007)

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Gambar 2.5. Skema neraca energi radiasi Matahari di Bumi (Sumber: IPCC, 2007).

dengan keseimbangan radiasi Matahari yang masuk ke Bumi dan radiasi


gelombang panjang yang dipancarkan balik dari Bumi (lihat Gambar 2.5).
Jika Bumi kelebihan energi karena terhambatnya radiasi infra merah
keluar atmosfer, maka energi tersebut tetap berada di atmosfer. Hal ini terjadi 17
lantaran sistem atmosfer bersifat tertutup. Kelebihan energi tersebut dapat
berubah menjadi bentuk energi lainnya sesuai dengan hukum kekekalan
energi. Artinya, energi tidak bisa hilang namun berubah dalam berbagai
bentuk energi lainnya.
Energi di atmosfer misalnya, dapat berubah menjadi energi kalor, kinetik,
dan potensial. Energi kalor berupa panas permukaan. Energi kinetik bisa
dalam bentuk peningkatan kecepatan angin. Sedangkan energi potensial
berupa peningkatan intensitas hujan. Keseluruhan perubahan bentuk
energi tersebut merupakan perubahan parameter iklim. Proses inilah yang
menyebabkan terjadinya perubahan iklim akibat dari fenomena pemanasan
global.
Iklim di permukaan Bumi dapat dibedakan antara lain:
1. Iklim kutub (polar climate). Iklim ini dicirikan dengan suhu udara yang
sangat rendah.
2. Iklim tengah (temperate climate). Iklim jenis ini terdapat di lintang
tengah antara kawasan kutub dan kawasan tropis, namun batasnya
tidak jelas.

Cuaca, Iklim, dan Musim


3. Iklim subtropis (subtropical climate). Ciri utama dari iklim ini adalah
kemarau di musim panas dan hujan di musim dingin.
4. Iklim tropis (tropical climate). Iklim ini dicirikan oleh suhu yang selalu
tinggi dan variasi tahunannya kecil.
5. Iklim khatulistiwa (equatorial climate). Ciri iklim ini memiliki variasi
suhu harian kecil dan hujan terjadi di sembarang waktu. Di samping
itu, dalam setahun musim hujan maksimum terjadi dua kali.

Sementara itu, tipe iklim dapat dibedakan menjadi enam bagian sebagai
berikut:
• Iklim benua (continental climate). Iklim ini terjadi di daratan yang luas
dan jauh dari wilayah pesisir.
• Iklim bahari (maritime climate). Tipe iklim ini memiliki perbedaan yang
kecil antara suhu udara tahunan dan suhu udara harian. Iklim ini juga
ditandai dengan adanya pengaruh angin darat dan laut.
• Iklim mediterania (mediterranian climate). Iklim ini bercirikan panas,
kering, dan berlawanan dengan iklim monsun.
• Iklim tundra (tundra climate). Iklim ini memiliki suhu udara yang relatif
sangat rendah namun tidak tertutup salju.
18 • Iklim gunung (mountain climate). Iklim jenis ini berada di tempat-
tempat tinggi, dimana makin ke atas suhu udaranya makin rendah.

Letak wilayah Indonesia sangat menentukan jenis iklim yang terjadi.


Secara umum, Indonesia termasuk dalam iklim tropis karena diselimuti rata-

“Iklim Indonesia tergolong unik. Hal itu disebabkan


banyak hal, di antaranya ia berada pada daerah
tropis dan wilayahnya berbentuk kepulauan. Letaknya
yang berada di antara dua samudra (Pasifik dan
Hindia) juga ikut mempengaruhi keunikan iklim di
Indonesia. Karena itulah Indonesia memiliki tiga jenis
pola iklim, yakni iklim monsunal, iklim ekuatorial,
dan iklim sistem lokal.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


rata suhu udara yang panas dengan perbedaan secara ruang tidak signifikan.
Sebagai Benua Maritim, maka iklim di Indonesia dicirikan dengan suhu udara
dan kelembaban udara yang tinggi.
Iklim Indonesia tergolong unik. Hal itu disebabkan banyak hal, di
antaranya ia berada pada daerah tropis dan wilayahnya berbentuk kepulauan.
Letaknya yang berada di antara dua samudra (Pasifik dan Hindia) juga ikut
mempengaruhi keunikan iklim di Indonesia. Karena itulah Indonesia memiliki
tiga jenis pola iklim, yakni iklim monsunal, iklim ekuatorial, dan iklim lokal
(lihat Gambar 2.6).

19

Gambar 2.6. Indonesia memiliki tiga daerah dengan pola curah hujan yang berbeda. Zona A
menunjukkan iklim monsunal, B adalah ekuatorial, dan C beriklim lokal.

Unsur iklim yang menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan.
Mengapa demikian? Hal itu disebabkan tidak semua wilayah Indonesia
mempunyai pola hujan yang sama. Selain itu, curah hujan merupakan
parameter iklim yang paling mempengaruhi pola kehidupan masyarakat.
Pola curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
monsun, Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ), IODM, ENSO, dan sirkulasi
regional lainnya yang terdapat di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Menu-
rut Aldrian dan Susanto (2003), pola curah hujan Indonesia terbagi menjadi
tiga daerah utama dengan sebuah wilayah peralihan sebagai berikut:
1. Daerah monsunal (zona A) merupakan pola yang dominan di Indonesia
karena melingkupi hampir seluruh wilayah Indonesia. Daerah tersebut
memiliki satu puncak pada periode November sampai Maret (November,

Cuaca, Iklim, dan Musim


Desember, Januari, Februari, dan Maret atau NDJFM) yang dipengaruhi
oleh monsun barat laut yang basah. Di samping itu, zona tersebut juga
memiliki satu palung pada bulan Mei hingga September (MJJAS) yang
dipengaruhi oleh monsun tenggara yang kering. Akibatnya, terdapat
perbedaan yang jelas antara musim kemarau (curah hujan bulanan di
bawah 150 mm) dan musim hujan (curah hujan bulanan di atas 150 mm).
Selain itu, daerah A berkorelasi kuat terhadap perubahan suhu permukaan
laut (SPL).
2. Daerah ekuatorial (zona B) mempunyai dua puncak pada Oktober-
November (ON) dan Maret-Mei (MAM). Rata-rata hujan setiap bulan cukup
tinggi, yaitu lebih dari 150 mm. Pola ini dipengaruhi oleh pergeseran ke
utara dan selatan dari ITCZ atau titik equinox (kulminasi) Matahari. Puncak
hujan biasanya terjadi pada saat posisi Matahari berada di atas suatu
wilayah tersebut yang merupakan wilayah Inter-Tropical Convergence
Zone (ITCZ).
3. Daerah iklim lokal (zona C) mempunyai satu puncak pada Juni-Juli (JJ)
dan satu palung pada November-Februari (NDJF). Pola ini merupakan
kebalikan atau berlawanan dari pola di zona A. Pada saat wilayah tipe
monsun (zona A) mengalami musim hujan, maka wilayah tipe lokal
20 (zona C) dilanda musim kemarau. Demikian juga sebaliknya, jika di zona
C mengalami musim hujan, di zona A malah dilanda musim kemarau.
Selain itu, akibat dari kondisi geografisnya terdapat pula wilayah tipe

TIPE EKUATORIAL TIPE LOKAL TIPE LOKAL


700 700 700
600 600 600
500
400 500 500
300 400
Tipe Monsun 200 400
100 300 300
0 200
J M M J S N 200
100
100
0 0
Tipe Ekuatorial J F M AM J J A S O N D J F M A M J J A S O N D

Tipe Ekuatorial

Tipe Lokal
Tipe Ekuatorial
Tipe Monsun
Tipe Lokal

Keterangan: Tipe Monsun


TIPE MONSUN
700
Batas wilayah tipe hujan 600
500
400 U
Tipe Monsun 300
200
100
200 0 200 400 Km
Tipe Ekuatorial 0
J M M J S N
B T

Tipe Lokal S

Gambar 2.7. Pola umum hujan bulanan di Indonesia periode 1971-2000.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


lokal yang memiliki curah hujan cukup rendah sepanjang tahun dengan
rata-rata bulanan kurang dari 150 mm. Di wilayah tipe lokal seperti ini
musim kemarau terjadi sepanjang tahun. Salah satu penyebab dari tipe
iklim jenis lokal ini adalah interaksi yang kuat dari pulau-pulau kecil di
wilayah Maluku dan aliran laut lintas Indonesia (Arlindo) dari Samudra
Pasifik menuju Samudra Hindia.

Terkait dengan pola curah hujan di Indonesia, perlu dipahami pengertian


musim hujan dan kemarau secara benar dan baik. Umumnya, masyarakat
sering mengatakan bahwa musim hujan adalah periode yang sering terjadi
hujan. Sedangkan musim kemarau adalah periode yang tidak pernah terjadi
hujan.
Contoh menarik adalah ketika terjadi musim kemarau pada tahun 2010.
Masyarakat beranggapan, tidak terjadi musim kemarau pada tahun 2010
lantaran hujan kerap mengguyur daerah mereka.

“Musim kemarau adalah musim dengan curah hujan


kurang dari 50 mm/dasarian (istilah dasarian atau 10
harian ini akan dijelaskan kemudian) dan diikuti oleh 21

dasarian berikutnya. Sedangkan musim hujan adalah


kondisi sebaliknya dengan curah hujan lebih dari 50
mm/dasarian dan diikuti oleh dasarian berikutnya.”

Pemahaman masyarakat yang mengatakan tidak ada musim kemarau


tentu saja keliru. Sebab, fakta yang sebenarnya terjadi adalah ada musim
kemarau namun kemaraunya basah.
Musim kemarau adalah musim dengan curah hujan kurang dari 50 mm/
dasarian (istilah dasarian atau 10 harian ini akan dijelaskan kemudian) dan
diikuti oleh dasarian berikutnya. Sedangkan musim hujan adalah kondisi
sebaliknya dengan curah hujan lebih dari 50 mm/dasarian dan diikuti oleh
dasarian berikutnya.
Pergantian musim hujan ke kemarau terjadi apabila curah hujan dalam tiga
dasarian kurang dari 50 mm diikuti oleh dua dasarian berikutnya. Kemarau
basah merupakan istilah yang menggambarkan bahwa musim kemarau
tersebut mengalami banyak hujan.

Cuaca, Iklim, dan Musim


Beberapa hal yang perlu diketahui terkait informasi cuaca dan iklim:
• Tidak ada informasi rata-rata curah hujan harian. Yang ada adalah
informasi jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan dalam satu
bulan.
• Curah hujan 1 mm adalah jumlah air hujan yang jatuh di permukaan
per satuan luas (m2) dengan catatan tidak ada yang menguap,
meresap, atau mengalir. Jadi, curah hujan sebesar 1 mm berarti
setara dengan 1 liter/m2.

2.3. Musim
Musim adalah pembagian waktu setahun yang ditandai oleh adanya
perbedaan (perubahan) cuaca, ekologi, dan lamanya penyinaran Matahari
(waktu siang). Musim terjadi karena rotasi Bumi pada porosnya dalam
mengelilingi Matahari. Rotasi Bumi ini miring sejauh 23,5 derajat dari sumbu
tegak lurusnya (lihat Gambar 1.2).
Akibatnya, negara-negara yang jauh dari ekuator atau garis khatulistiwa
22 dalam satu tahun memiliki empat musim; panas, gugur, dingin, dan semi. Se-
dangkan negara-negara yang berada dekat dengan ekuator yang beriklim tro-
pis, seperti Indonesia, hanya mempunyai dua musim; hujan dan kemarau.

B T

Keterangan:

Batas Zona Musim (ZOM)


Wilayah Non Zona Musim
1,2,3,....... = Nomor Non Zona Musim
Dasarian I - III Maret Dasarian I - III Juni
Dasarian I - III April Dasarian I - III Juli
Dasarian I - III Mei Dasarian I - III Agustus

Gambar 2.8. Peta rata-rata awal musim kemarau pada 220 batas zona musim (ZOM) di
Indonesia.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Di indonesia, musim didasarkan atas sering atau jarangnya curah hujan
sehingga dikenal musim hujan dan musim kemarau. Untuk menandai kedua
musim tersebut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
menggunakan kriteria banyaknya curah hujan selama 10 hari (dasarian).
Penetapan dasarian ini dimulai dari 1 Januari. Dengan demikian dasarian
pertama adalah satuan waktu sepuluh hari dari tanggal 1 sampai 10 Januari.
Dasarian kedua dari 11 sampai 20 Januari. Sementara itu, dasarian ketiga
mulai 21 hingga 31 Januari.
Untuk bulan Februari yang mempunyai jumlah 28 atau 29 hari maka
dasarian ketiga adalah dari 21 sampai 28 atau 29 hari. Demikian juga untuk
bulan-bulan berikutnya. Jika dalam satu bulan ada 30 hari maka dasarian
ketiga adalah 21 sampai 30 pada bulan tersebut.
Awal musim didefinisikan sebagai dasarian awal mulainya musim. Jadi,
awal musim hujan adalah dasarian pertama yang memiliki curah hujan sama
atau lebih dari 50 mm. Sedangkan awal musim kemarau adalah dasarian
pertama yang curah hujannya kurang dari 50 mm.
Panjang musim adalah banyaknya dasarian dari awal musim sampai
akhir musim. Baik awal maupun panjang musim tidak sama setiap tahunnya
tergantung pada kondisi dan tatanan cuaca lainnya dalam skala besar. Dengan 23
kata lain, awal dan panjang musim di setiap tempat berbeda-beda.

B T

Keterangan:

Batas Zona Musim (ZOM) Dasarian I - III September


Dasarian I - III Oktober
Wilayah Non Zona Musim Dasarian I - III November
1,2,3,....... = Nomor Non Zona Musim Dasarian I - III Desember

Gambar 2.9. Peta rata-rata permulaan musim hujan pada 220 ZOM di Indonesia.

Cuaca, Iklim, dan Musim


Sesuai dengan letak geografis, Indonesia memiliki variasi musiman. Variasi
musiman tersebut dapat terlihat jelas berdasarkan curah hujannya. Oleh
karena itu Indonesia dikenal memiliki musim hujan dan kemarau.
Pada umumnya di saat Matahari ada di belahan Bumi selatan (terjadi pada
periode Oktober sampai Maret), Indonesia diguyur curah hujan lebih banyak
dibandingkan ketika Matahari berada di atas belahan Bumi utara (pada April
sampai September). Itulah mengapa, di beberapa wilayah di Indonesia,
periode Oktober sampai Maret mengalami musim hujan dan April hingga
September bermusim kemarau.
Kondisi tersebut tentu saja tidak sama di antara daerah-daerah yang lain.
Berdasarkan analisis BMKG, kondisi musim di berbagai daerah di Indonesia
pada tahun 1971 – 2000 menunjukkan perbedaan yang nyata, baik pada awal
maupun panjang musimnya (lihatTabel 2.1).

Tabel 2.1. Awal musim hujan dan awal musim kemarau di beberapa tempat
di Indonesia pada periode 1971 - 2000.

Awal Musim
Panjang Musim (dasarian)
Lokasi atau daerah (dasarian ke-)
24 Kemarau Hujan Kemarau Hujan
Pandeglang barat Juni II September III 10 25
Cilacap Mei III Oktober I 15 27
Lampung selatan April III November III 21 17
Aceh tengah Mei III Oktober I 13 23
Balikpapan Juli I Oktober I 9 31
Gowa Mei II Oktober III 16 20
Karangasem utara Maret II Desember I 26 11
Lombok barat Mei II November III 15 14
Halmahera Juli III Oktober III 18 19
Jayapura Mei I November III 19 17

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Dr. Ir. Erizal Jamal
Kepala Bidang Kerja Sama dan Pendayagunaan Hasil
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Badan Litbang Kementerian Pertanian

Siklus Hidup Petani


Sangat Tergantung
Kondisi Iklim dan Cuaca

D
ilihat dari mata pencaharian, petani
masih menjadi kelompok terbesar
dari masyarakat Indonesia. Berdasar-
kan data Badan Pusat Statistik, selama tahun
2009 jumlah tenaga kerja pertanian diperki-
rakan mencapai sekitar 43,0 juta orang atau
42 persen dari total tenaga kerja yang ada.
Dari jumlah itu sekitar 40 persen tergolong
tidak mampu dan 20 persen di antaranya 25
dikepalai oleh perempuan. Dengan fakta Dr. Ir. Erizal Jamal
tersebut, jelas bahwa apapun yang terjadi
di sektor pertanian akan mempunyai dampak besar bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Sebagaimana diketahui, kegiatan pertanian merupakan upaya
pemanfaatan sumber daya alam yang sangat erat keterkaitannya dengan
kondisi iklim dan cuaca. Kegiatan pengolahan tanah dan persemaian benih
padi misalnya, terutama pada petani yang mengusahakan sawah tadah
hujan, baru akan dilakukan bila curah hujan sudah mencukupi sehingga
tanah dapat diolah dengan bantuan berbagai alat dan benih agar mampu
tumbuh dengan baik.
Kondisi ini menyebabkan siklus kehidupan petani sangat tergantung
dari kondisi iklim dan cuaca. Selama ini mereka sudah mengatur “jadwal
kehidupannya” sesuai siklus iklim selama setahun.
Petani Tasikmalaya dan Garut misalnya, akan meninggalkan kampung
halamannya begitu tanaman padi sudah selesai ditanam. Mereka lalu
mengadu nasib di kota besar seperti Jakarta dengan berbagai kegiatan

Cuaca, Iklim, dan Musim


informal dan baru pulang lagi bila musim panen telah tiba.
Perubahan iklim yang ditandai antara lain oleh pergeseran awal musim
hujan, secara langsung akan mempengaruhi siklus kehidupan petani. Awal
kegiatan tanam akan bergeser sehingga akan menggeser siklus mereka
dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dari usaha non-pertanian. Maklum,
mereka semakin sulit mengandalkan hidupnya dari lahan yang semakin
terbatas luasannya.
Belum lagi berbagai perubahan dari curah hujan dan lama hari hujan
yang berpengaruh secara langsung terhadap kondisi pertanaman sehingga
dalam banyak kasus mengancam keberlanjutan usaha tani yang diusahakan.
Bila demikian adanya, maka jelas perubahan iklim akan berpengaruh secara
nyata pada kehidupan petani.
Berdasarkan kenyataan di atas, pemahaman tentang kejadian perubah-
an iklim menjadi penting sekali bagi petani. Melalui pemahaman tentang
perubahan iklim yang terjadi maka mereka akan siap menghadapinya
dengan melakukan berbagai penyesuaian terhadap “jadwal kehidupannya”
dan berupaya mencari inovasi untuk dapat beradaptasi dengan kondisi
yang baru.
26

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 3.

EFEK RUMAH KACA,


GAS RUMAH KACA,
DAN PEMANASAN GLOBAL

S
eperti telah dibahas sebelumnya (Bab 1), atmosfer adalah lapisan gas
yang menyelimuti dan melindungi planet Bumi beserta isinya. Tidak
bisa dibayangkan Bumi tanpa atmosfer. Seluruh mahluk hidup bakal
terbakar oleh sinar Matahari di kala siang hari dan membeku pada malam
harinya. 27
Namun dengan selimut atmosfer, Bumi menjadi nyaman dan aman dihuni,
baik bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan. Atmosfer mampu memper-
tahankan suhu udara dalam fluktuasi yang kecil melalui proses efek rumah
kaca. Efek rumah kaca ini terjadi karena ada gas rumah kaca di atmosfer.

3.1 Efek Rumah Kaca


Efek rumah kaca terjadi secara alamiah untuk melindungi mahluk hidup
di muka Bumi agar nyaman. Tanpa efek rumah kaca, suhu rata-rata Bumi
berkisar -19 °C atau 19 oC di bawah suhu air yang membeku (es). Dengan
suhu yang teramat dingin tersebut, semua mahluk hidup, termasuk manusia
tidak mampu bertahan, tumbuh, dan berkembang.
Fungsi atmosfer menjadi semacam selimut bagi Bumi. Selimut ini memiliki
ketebalan yang pas untuk mengisolasi dan menahan tenaga Surya secukupnya
sehingga rata-rata suhu dunia menjadi nyaman.
Selimut tersebut terdiri dari sekumpulan gas atmosfer yang disebut gas
rumah kaca (GRK). Disebut GRK karena ia menahan panas seperti halnya
dinding-dinding kaca dari sebuah rumah kaca.

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global


Kehidupan di Bumi tergantung pada tenaga atau panas Matahari. Sekitar
70 persen dari cahaya Matahari berhasil mencapai permukaan Bumi dengan
berbagai spektrum panjang gelombang (lihat Gambar 3.1).
Sisanya, yang 30 % radiasi Matahari yang terarah ke Bumi dibelokkan
oleh atmosfer bagian luar. Radiasi ini selanjutnya disebarkan kembali ke luar
angkasa.
Untuk radiasi Matahari yang mengenai permukaan Bumi, radiasi tersebut
diserap baik oleh daratan maupun air. Dari permukaan inilah lalu dipantulkan
kembali ke atas dalam bentuk radiasi inframerah.
Panas yang berasal dari radiasi inframerah inilah yang diserap oleh GRK.
Dengan demikian, radiasi tersebut tertahan dan tidak terlepas dari atmosfer.
GRK, meskipun jumlahnya hanya sekitar 1 % dari atmosfer Bumi, namun ia
mampu mengatur iklim kita dengan memerangkap panas dan menahannya
seperti halnya selimut udara hangat yang menyelimuti Bumi (Larry West,
About.com Guide).

43 %

28 Spektrum energi Matahari

Cahaya
tampak

Radiasi Gelombang Gelombang


Sinar X UV inframerah mikro radio
Energi

Profil
gelombang

400 nm 700 nm 1 mm 1m 1 km 100 km


Panjang gelombang
Radiasi Radiasi
gelombang pendek gelombang panjang

Gambar 3.1. Ilustrasi spektrum cahaya radiasi Matahari. Sekitar 43 % radiasi Matahari berada
pada kisaran panjang gelombang antara 400 – 700 nm atau dikenal dengan
cahaya tampak. Sementara itu, 7 - 8 % berada pada kisaran panjang gelombang
kurang dari cahaya tampak, yang jumlahnya sedikit tapi sangat penting karena
tingginya tenaga per photon (semakin pendek panjang gelombang, kian tinggi
tenaganya). Sebanyak 49 – 50 % radiasi Matahari berada pada kisaran panjang
gelombang yang lebih dari cahaya tampak, misalnya dekat kisaran inframerah
antara 700 – 1.000 nm (http://www.ucar.edu/learn/1_3_1.htm).

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


EFEK RUMAH KACA
Sebagian sinar inframerah yang
datang ke Bumi diteruskan
melewati atmosfer. Namun,
sebagian besar diserap dan
dipancarkan kembali ke segala
arah oleh awan dan molekul gas
rumah kaca. Hal ini mengakibatkan
atmosfer di dekat permukaan Bumi
semakin panas.

Sekitar setengah dari radiasi


sinar Matahari diserap oleh
permukaan Bumi dan memanaskan Radiasi inframerah
permukaan Bumi dipancarkan dari
permukaan Bumi

Gambar 3.2. Efek rumah kaca (Sumber: IPCC, 2007).


29
GRK yang berada di atmosfer itu berfungsi sebagai penyerap energi
radiasi Matahari. Setelah itu ia melepaskannya di atmosfer dari yang
seharusnya dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Fungsi tersebut seringkali
dikenal sebagai proses efek rumah kaca dimana terjadi pengumpulan energi
terkungkung di atmosfer Bumi (lihat Gambar 3.2).
Contoh sederhana untuk memudahkan pemahaman kita mengenai efek
rumah kaca adalah panasnya ruang kabin mobil atau bus di siang hari. Kaca
yang mengelilingi mobil berfungsi sebagai dinding dari rumah kaca.
Ketika panas radiasi Matahari mengenai kaca tersebut, ia secara leluasa
masuk menerobos ke ruang kabin. Sejurus kemudian, panas tersebut diserap
dan dipantulkan dari dalam kabin.
Karena dindingnya berasal dari kaca, maka pantulan panas dari kabin tadi
terkungkung. Panas tidak dapat keluar kabin lantaran tertahan oleh kaca tadi.
Praktis, ruang kabin berubah menjadi panas menyengat. Kaca di mobil ini
berperilaku seperti GRK di atmosfer.
Contoh serupa adalah dengan mengilustrasikan kondisi udara di dalam
bangunan rumah kaca. Di daerah tropis seperti Indonesia, bangunan rumah

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global


“Ilustrasi efek rumah kaca dapat dianalogikan
sebagai panas yang timbul di dalam kabin mobil
di siang hari. Kaca yang mengelilingi kabin mobil
berfungsi sebagai dinding dari rumah kaca yang
menerima panas matahari dari luar kabin dan tidak
memantulkannya keluar. Efek yang sama dirasakan
pada penumpang yang berada di kabin mobil
sehingga ruang kabin menjadi panas menyengat.”

kaca ini biasa kita lihat di dataran tinggi yang memang bersuhu udara
dingin. Bahkan petani di daerah subtropis atau berlintang tinggi, banyak
menggunakan bangunan rumah kaca untuk mendapatkan kehangatan suhu
udara yang sesuai bagi tanaman yang dibudidayakannya.
Dinding dan atap yang terbuat kaca dapat menerima panas dari radiasi
Matahari. Radiasi tersebut dengan leluasanya menerobos masuk ke dalam
30
ruangan rumah kaca. Ketika sampai di permukaan, panas tersebut lalu diserap
dan dipantulkan kembali ke segala penjuru rumah kaca.
Radiasi panas yang dipantulkan lalu terperangkap dan mengumpul di
ruangan karena ia memang tidak dapat keluar dari rumah kaca. Dengan kata
lain, ia terkungkung di dalam rumah kaca. Akibatnya, suhu udara di dalam
rumah kaca jauh lebih tinggi daripada lingkungannya. Fenomena inilah yang
disebut efek rumah kaca.
Pada skala mikro, proses penyerapan radiasi Matahari terjadi pada
frekuensi atau panjang gelombang yang bersesuaian dengan panjang
gelombang atau frekuensi eksitasi antar atom pada molekul GRK seperti
karbon dioksida (CO2). Ikatan antar atom itu bereksitasi (bergetar) akibat
menyerap energi radiasi yang terpapar.
Semakin banyak jumlah molekul GRK yang terdapat di atmosfer maka
akan semakin kuat daya serap atmosfer karena jumlah energi radiasi yang
masuk atmosfer Bumi relatif konstan dan hanya bervariasi pada jangka waktu
lama. Seperti kita ketahui, jangka waktu (life time) GRK tersebut bertahan
di atmosfer sangatlah lama, hingga mencapai ratusan bahkan puluhan ribu
tahun.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Akibatnya, molekul gas tersebut berpotensi untuk terus menyerap energi
radiasi di atmosfer. Akumulasi energi yang terserap itu lambat laun akan
memberikan efek pemanasan global.
Dalam perdebatan dan negosiasi politis pemanasan global, negara maju
dituding sebagai biang keladi terjadinya pemanasan global. Hal ini dapat
dimaklumi karena mereka telah mengemisikan GRK sejak 1,5 abad silam
ketika era industrialisasi menggerakkan roda perekonomiannya. Selama itu
pula emisi beberapa jenis GRK terus melayang-layang di atmosfer.

3.2. Gas Rumah Kaca (GRK)


Secara alami, gas rumah kaca (GRK) merupakan bagian dari atmosfer
Bumi. GRK adalah molekul gas yang memiliki lebih dari dua atom. Ikatan-
ikatan atom itu tidak terlalu kuat sehingga mampu bergetar (vibrasi) saat
terjadi penyerapan panas.
CO2 merupakan salah satu GRK. CO2 terdiri dari satu atom karbon dengan
satu atom oksigen terikat pada kedua sisinya. Saat atom-atom tersebut terikat
tidak cukup kuat, ikatan antarmolekul CO2 dapat menyerap radiasi inframerah
dan molekul tersebut mulai bergetar (vibrasi).
Selanjutnya, molekul yang bergetar itu melepaskan radiasi. Radiasi yang
dilepas tadi kemungkinan besar diserap lagi oleh molekul GRK lainnya. Siklus 31
penyerapan, pelepasan, dan penyerapan tersebut mempertahankan panas di
dekat permukaan Bumi dan secara efektif mengisolasi permukaan Bumi dari
ruang angkasa yang dingin.
Ada banyak sumber GRK. GRK paling banyak di muka Bumi adalah uap air
yang terbentuk secara alami. Selain itu, terdapat juga GRK yang terbentuk
akibat aktivitas umat manusia (anthropogenik). Menurut Protokol Kyoto, GRK
antropogenikterdiri dari enam jenis, yakni CO2, CH4 (methane), N2O (nitrous
oxide), HFCs (hydrofluorocarbons), PFCs (perfluorocarbons), dan SF6 (sulphur
hexafluoride).
Komponen utama atmosfer, yakni N2 dan O2, merupakan molekul yang ter-
diri dari dua atom dan terikat sangat kuat. Akibatnya, N2 dan O2 tidak mampu
menyerap panas sehingga tidak berkontribusi terhadap efek rumah kaca.
GRK yang berada di atmosfer berfungsi sebagai penyerap energi radiasi
Matahari dan melepaskan energi yang terserap tersebut ke atmosfer. Proses
penyerapan terjadi pada frekuensi atau panjang gelombang radiasi Matahari
yang bersesuaian dengan panjang gelombang eksitasi antaratom pada
molekul GRK. Untuk CO2 misalnya, proses tersebut terjadi pada beberapa

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global


panjang gelombang tertentu.
Spektrum sinar Matahari memiliki interval panjang gelombang yang
sangat lebar. Frekuensi yang sama tersebut akan membuat ikatan antaratom
bereksitasi (bergetar) akibat menyerap energi radiasi yang terpancar. Semakin
banyak jumlah molekul GRK yang terdapat di atmosfer maka kian kuat daya
serap atmosfer karena jumlah energi radiasi yang masuk atmosfer Bumi relatif
konstan dan hanya bervariasi pada jangka waktu lama.
Prinsip kerja molekul GRK dapat dianalogikan dengan peralatan micro
wave yang kerap dipakai oleh para ibu rumah tangga di dapur. Micro wave
berfungsi memanaskan makanan dengan cara molekul air yang terdapat di
dalam makanan tersebut dipanaskan.
Alat micro wave akan memancarkan energi dengan panjang gelombang
tertentu yang dapat membuat molekul air bergetar. Seperti halnya prinsip
kerja GRK, maka yang terjadi di dalam micro wave, pancaran energi tersebut
akan membuat energi tambahan pada molekul air dan mengubahnya dari
fase padat (es) menjadi cair atau dari cair menjadi gas (uap). Akibatnya, energi
tersebut turut memanaskan makanan yang terdapat di dalamnya.
Di atmosfer, usia GRK bervariasi tergantung jenis molekul gasnya (lihat
Tabel 3.1). Pada jangka waktu tersebut, proses penyerapan energi oleh
32 molekul GRK terus terjadi. Dalam perhitungan potensi daya serap energi,
kemampuan serap masing-masing GRK dibandingkan dengan potensi daya
serap CO2 sebagai satuan unit utama (CO2 equivalent).
Perhitungan daya rusak total diambil sebagai satuan unit tersebut dikalikan
perbedaan berat jenis spesies yang dihitung dengan berat jenis CO2.

Tabel 3.1. Usia (life time) beberapa jenis gas rumah kaca (GRK) di atmosfer
dan potensi daya rusak terhadap pemanasan global (Sumber: IPCC
AR 4, 2007).
Usia Potensi daya rusak
GRK
(tahun) (100 tahun)
Carbon Dioxide (CO2) ratusan 1
Methane (CH4) 12 25
Nitrous Oxide (N2O) 114 298
Hydrofluorocarbon-23 (CHF3) 264 14.800
Sulphur hexafluoride (SF6) 3.200 22.800
PFC-14 (CF4) 50.000 7.390

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


3.3. Pemanasan Global
Pemanasan global adalah kenaikan suhu rata-rata udara di dekat
permukaan Bumi dan lautan yang terjadi sejak pertengahan abad ke-19 dan
diproyeksikan terus berlangsung. Menurut Laporan Kajian Ke-empat dari IPCC
tahun 2007, suhu permukaan global meningkat sebesar 0,74 ± 0,32 oC (1,33
± 0,32 oF) selama abad ke-20.
Mayoritas kenaikan suhu yang diamati sejak pertengahan abad ke-20
disebabkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) meningkat tajam. Peningkatan
tersebut sebagai akibat dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan
bakar fosil dan pengurangan lahan hutan.
Seperti diketahui, kendaraan bermotor, kapal laut, pesawat terbang,
pabrik, perkantoran, dan industrialisasi membutuhkan bahan bakar fosil
seperti minyak Bumi, solar, premium, dan lain-lain. Sisa dari pembakaran
bahan bakar fosil tersebut menyemburkan CO2 ke atmosfer sehingga
menambah konsentrasi GRK.
Selain faktor manusia, naiknya konsentrasi GRK juga dapat dipicu oleh
faktor alami. Di antaranya, letusan gunung berapi, dinamika iklim di atmosfer
dan lautan, serta pengaruh dari luar Bumi seperti gejala kosmis dan ledakan
di Matahari.
33
Ketika konsentrasi GRK di atmosfer bertambah, suhu permukaan Bumi
cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Fenomena ini disebut sebagai
pemanasan global.
Tanda-tanda utama pemanasan global tidak hanya sebatas pada
peningkatan konsentrasi GRK. Lebih dari itu, tanda lainnya adalah terjadinya
kenaikan suhu muka Bumi, peningkatan muka air laut, dan melelehnya lapisan
es di kedua kutub Bumi.
Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer akan meningkatkan besaran
energi yang terdapat di atmosfer. Menurut Hukum Kekekalan Energi, energi
tidak dapat hilang melainkan berubah bentuk.
Berdasarkan pengetahuan ini, maka peningkatan energi di atmosfer tadi
berubah bentuk menjadi energi panas. Dengan kata lain, peningkatan GRK
akan menyebabkan terjadinya perubahan komposisi energi di atmosfer dalam
berbagai bentuk, di antaranya berupa pemanasan di muka Bumi.
Kenaikan suhu muka Bumi, baik di darat maupun laut juga menyebabkan
naiknya suhu udara muka Bumi. Salah satu akibat dari kenaikan suhu muka
Bumi ditandai dengan melelehnya lapisan es di berbagai wilayah daratan.
Mencairnya lapisan es di daratan –bukan di lautan—merupakan salah satu

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global


faktor penting dalam penghitungan kenaikan muka air laut.
Melelehnya lapisan es tersebut akan menyebabkan kenaikan muka
air laut. Ada dua hal yang menyebabkan kenaikan muka air laut. Pertama,
bertambahnya volume air di laut akibat aliran lelehan es yang mencair di
daratan. Kedua, adanya pemuaian molekul air sebagai akibat dari suhu muka
laut yang meningkat.
Untuk wilayah pesisir, ancaman kenaikan muka air laut akibat pemanasan
global dapat terjadi dalam jangka waktu yang sangat lama. Indonesia
sebagai negara kepulauan sangat menderita akibat permukaan air laut yang
meningkat.

“Dalam perdebatan dan negosiasi politis pemanasan global


maka negara maju yang ditengarai telah mengemisikan
GRK sejak 1,5 abad yang lalu dituduh sebagai biang keladi
penyebab pemanasan global. Hal ini terutama disebabkan
karena waktu hidup (life time) beberapa jenis GRK di
atmosfer mencapai hingga 1,5 – 2,0 abad.”

Jika tidak ada upaya untuk mengerem laju pemanasan global maka mulai
34 20 tahun (dua dekade) ke depan akan terjadi peningkatan pemanasan sebesar
0,2 °C di setiap 10 tahun. Proyeksi tersebut dilakukan dengan beberapa
skenario yang tidak memasukkan pengurangan emisi GRK.
Besarnya pemanasan yang akan terjadi setelahnya akan tergantung
kepada jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer. Jika konsentrasi GRK (CO2)
dominan di atmosfer, maka suhu udara rata-rata akan meningkat mencapai 2
– 4,5 oC hingga dua kali lipat dibandingkan konsentrasi serupa pada masa pra-
industri. GRK lainnya turut pula berperan dalam pemanasan tersebut.
Menurut beberapa skenario, kombinasi dampak dari gas-gas ini akan
menjadi dua kali lipat pada paruh kedua abad ini. Konsentrasi CO2 di atmosfer
saat ini (data Indonesia dari pemantauan GRK Bukit Kototabang adalah 385
ppm), menurut pengukuran pada udara yang terperangkap pada inti es, jauh
lebih besar dibandingkan dengan 650.000 tahun terakhir.
Para ilmuwan yang mengukur perubahan di atmosfer, lautan, permukaan
es, dan gletser menunjukkan bahwa Bumi telah mengalami pemanasan akibat
adanya emisi GRK di masa lalu. Perubahan-perubahan tersebut merupakan
bagian dari pola konsisten dan bukti dari adanya gelombang panas (heat
waves) yang lebih besar, pola angin baru, kekeringan yang lebih parah di

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


beberapa daerah, bertambahnya presipitasi di daerah lainnya, melelehnya
gletser dan es di Arktik, serta naiknya muka laut.
Akibat peningkatan konsentrasi GRK, peningkatan suhu rata-rata, dan
anomalinya maka terjadi pencairan lapisan es di daratan sehingga muka air
laut mengalami kenaikan. Fakta menunjukkan, lapisan es di Benua Artrik saat
ini telah berkurang sekitar 2,7 % per dekade.
Di daerah beriklim sedang, banyak gunung gletser mencair. Tutupan
saljunya pun semakin berkurang, terutama pada musim semi. Selama abad
ke-20, luasan maksimum daerah yang tertutup salju pada musim dingin/semi
telah berkurang sekitar 7 % pada belahan Bumi utara.
Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk pembekuan sungai dan danau
pun cukup bervariasi. Namun sejak 150 tahun terakhir, periode pembekuan
tersebut semakin lambat, yakni menjadi 5,8 hari setiap abad dan mencair
lebih cepat 6,5 hari per abad.
Akibat pencairan lapisan es ini, diperkirakan permukaan laut naik sekitar
17 cm selama abad ke-20. Pengamatan geologi mengindikasikan bahwa
kenaikan muka laut ini jauh lebih besar dibandingkan yang terjadi pada 2.000
tahun silam.

Beberapa fakta seputar GRK dan pemanasan global: 35

F Pemanasan permukaan di daerah tropis jauh lebih kecil daripada


di subtropis. Pemanasan permukaan di daerah subtropis jauh lebih
kecil dari pemanasan permukaan di daerah polar (kutub). Hal ini
terjadi karena suhu udara di daerah tropis sudah mendekati suhu
permukaan maksimum atau suhu kritis yang sulit untuk meningkat
lagi. Selain itu, daerah tropis merupakan daerah dengan kelembaban
tinggi akibat kuatnya penguapan yang mana uap air di atmosfer akan
meredam dampak pemanasan global. Peningkatan suhu di tropis
akan menyebabkan jenuhnya kelembaban di daerah tropis yang pada
akhirnya akan melebarkan garis batas daerah tropis atau pembentukan
daerah tropis baru.
F Pemanasan permukaan di daerah pesisir jauh lebih kecil daripada
pemanasan permukaan di daerah pegunungan. Hal ini disebabkan suhu
permukaan di daerah pesisir sudah mendekati suhu kritis sedangkan di
daerah pegunungan, suhu masih jauh lebih dingin.

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global


F Karena berat jenis dari molekul GRK jauh lebih besar daripada berat
jenis molekul udara umumnya (nitrogen dan oksigen) dan hal ini
menyebabkan posisi molekul GRK tersebut berada di atmosfer bawah
maka peristiwa pemanasan global lebih intensif terjadi di lapisan bawah
atmosfer atau di permukaan Bumi.
F Peningkatan paras muka air laut terjadi karena tambahan volume air
akibat pemuaian air laut pada suhu yang lebih tinggi dan penambahan
volume air dari lelehan es di daratan. Pelelehan es di laut tidak
menambah volume air laut atau paras muka laut.
F Konsentrasi GRK di atmosfer dapat dikurangi secara biologis dengan
menambah jumlah fotosintesa dan respirasi tanaman di darat dan
lautan. Secara fisika, hal itu dapat dilakukan dengan melarutkan GRK
pada air hujan. Sementara itu, secara kimiawi, dilakukan dengan cara
melarutkan GRK pada senyawa kimia tertentu melalui reaksi kimia
tertentu.
F Konsentrasi GRK jauh berkurang akibat proses fotosintesa tanaman
dibandingkan proses fisika dan kimia yang banyak terjadi di lautan.
Dengan demikian, daya serap hutan jauh lebih tinggi dibandingkan laut
36
dalam menyerap GRK.
F Penambahan GRK di atmosfer lebih disebabkan oleh penambahan
gas buang dari bahan bakar fosil (fuel) yang berasal dari perut Bumi.
Sedangkan sumber bahan bakar nabati (biofuel) yang ditanam di muka
Bumi dianggap tidak menambah jumlah konsentrasi GRK. Sebab,
akumulasi karbon yang tersimpan dalam tanaman selama masa
pertumbuhan, berasal dari karbon yang dilepaskan di atmosfer.
F Kelebihan energi di muka Bumi dapat dikurangi dengan pengenalan
energi baru seperti energi angin, hidrogen, Matahari, panas Bumi, arus
laut, gelombang laut, serta teknologi nuklir fusi dan fisi. Dengan adanya
penumpukan energi akibat efek rumah kaca di atmosfer maka idealnya
kelebihan energi tersebut diserap oleh sumber daya energi atmosfer
atau angin. Tampaknya penerapan energi angin masih sulit dilakukan di
wilayah Indonesia. Sebab, selain potensi anginnya tidak seberapa, arah
anginnya juga terus berganti arah, baik angin darat, angin laut, maupun
angin musiman.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Drs. Hadi Widiatmoko, M.Si
Kepala Bidang Pengelolaan Citra Inderaja BMKG

Ulah Manusia Penyebab Terjadinya


Perubahan Iklim

P
erubahan iklim menurut pendapat
saya sebagai weather forecaster/
meteorologist dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pengetahuan tentang perubahan
iklim dapat dipahami dari faktor kendali
umum (bersifat alamiah) dan faktor kendali
khusus yang sangat dipengaruhi oleh faktor
manusia (antropogenik).
Dilihat dari sisi faktor kendali umum,
pengetahuan tentang perubahan iklim
diperoleh dari studi terhadap fenomena
astronomis yang mempengaruhi cuaca dan Drs. Hadi Widiatmoko, M.Si 37
iklim di Bumi (Astrometeorologi) dan studi
fenomena atmosfer atas yaitu studi gangguan Matahari pada atmosfer
atas tetapi berpengaruh hingga atmosfer bawah (troposfer), karena
atmosfer merupakan kesatuan Aeronomi. Dari kedua cabang ilmu ini, orang
dapat mengetahui bahwa pada beberapa juta tahun silam iklim di Bumi
mengalami jaman es (ice ages) dan periode panas yang dikenal dengan
interglacial periods.
Fenomena perubahan iklim yang terjadi pada jutaan tahun silam
tersebut disebabkan oleh faktor alamiah karena variasi periodik dari
orbit Bumi yang berpengaruh pada jumlah energi Matahari yang diterima
oleh permukaan Bumi. Berdasarkan penelitian dari berbagai literatur,
diperkirakan jaman es berlangsung selama lebih dari 90.000 tahun dengan
suhu udara mencapai sekitar 10 oC di bawah suhu udara rata-rata saat ini.
Sementara itu, periode panas berlangsung sekitar 10.000 tahun silam
dengan suhu udara kurang lebih sama dengan kondisi saat ini.
Dari sisi faktor kendali khusus, pengetahuan perubahan iklim diperoleh
berdasarkan fakta/data dan hasil analisis indikator-indikator lingkungan

Efek Rumah Kaca, Gas Rumah Kaca, dan Pemanasan Global


yang memegang peranan penting pada pemahaman kita tentang perubahan
iklim dan faktor-faktor penyebabnya. Data dari sebuah indikator dapat
memberi informasi keadaan tentang kondisi lingkungan tertentu pada
suatu wilayah pada kurun waktu tertentu.
Indikator suhu misalnya, dapat memberi informasi tentang intensitas
penggunaan energi (peningkatan kendaraan bermotor, industri, dan lain
sebagainya) atau kondisi suatu wilayah mengalami degradasi (misalnya
deforestrasi, konversi lahan pertanian/perkebunan menjadi perumahan).
Sementara itu, curah hujan dapat memberi informasi tentang perubahan
siklus serta neraca hidrologi musiman dan tahunan. Sedangkan tinggi
permukaan laut dapat memberi informasi tentang perubahan proporsional
massa air dan es di permukaan Bumi. Dan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer memberi informasi mengenai tingkat konsumsi bahan bakar
fosil.
Menurut saya, isu perubahan iklim yang menjadi perhatian semua
negara di dunia saat ini adalah lebih pada faktor kendali khusus akibat
ulah manusia (antropogenik), yang merefleksikan atau mencerminkan
hubungan kausalistik kondisi lingkungan Bumi yang meliputi atmosfer,
38 biosfer, hidrosfer, kriosfer, dan pedosfer.
Paling tidak ada tiga hal penting yang harus menjadi perhatian para
peneliti perubahan iklim. Pertama, pembuktian berdasarkan data dan
fakta indikator kunci perubahan. Hal ini sangat tergantung pada kualitas
(validitas dan reabilitas) dan kecukupan (time series) data.
Kedua, pemodelan untuk menggambarkan perubahan indikator iklim
yang telah, sedang, dan akan terjadi. Ketiga, analisis dan sintesis, faktor
penyebab dan dampak dari perubahan untuk tujuan mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 4.

PERUBAHAN IKLIM

P
erubahan iklim adalah berubahnya pola dan intensitas unsur iklim
pada periode waktu yang dapat dibandingkan (biasanya terhadap rata-
rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat merupakan suatu perubahan
dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca
terhadap kondisi rata-ratanya. 39
Sebagai contoh, kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi atau
malah berkurang frekuensinya, pola musim yang berubah, dan meluasnya
daerah rawan kekeringan. Dengan demikian, fluktuasi yang periodenya lebih
pendek dari beberapa dekade atau 30 tahun, seperti kejadian El Nino, tidak
dapat dikatakan sebagai perubahan iklim.
Pada Bab 3 diungkapkan, penumpukan gas rumah kaca (GRK) akan
menyebabkan energi radiasi yang terserap mengumpul di atmosfer. Hukum
Fisika tentang kekekalan energi menjelaskan, energi yang terkumpul tersebut
akan tetap bertahan di atmosfer dan hanya dapat berubah bentuk menjadi
jenis energi lainnya. Ada tiga perubahan bentuk energi yang terjadi, yakni:
a. Energi panas atau kalor dalam bentuk peningkatan suhu Bumi dan
mencairnya es di daratan yang menyebabkan peningkatan muka air
laut.
b. Energi gerak atau kinetis dalam bentuk angin puting beliung, badai,
topan, dan siklon tropis.
c. Energi berat atau potensial dalam bentuk turunnya hujan air dan es
yang lebih deras.

Perubahan Iklim
Jika dicermati secara mendalam maka gejala yang diakibatkan dari
perubahan bentuk energi tersebut sebenarnya adalah perubahan dari
berbagai parameter iklim yaitu suhu, angin, dan hujan. Atau dengan kata lain,
terjadi perubahan siklus air di muka Bumi.
Selain suhu, angin, dan hujan, parameter iklim lainnya yang ikut berubah
adalah penguapan, kelembaban, dan tutupan awan. Singkat kata, perubahan
energi akibat pemanasan global telah mengakibatkan perubahan siklus air
yang mengarah pada perubahan iklim.
Secara umum, perubahan iklim berlangsung dalam waktu lama (slow pace)
dan berubah secara lambat (slow onset). Perubahan berbagai parameter iklim
yang berlangsung perlahan tersebut dikarenakan berbagai peristiwa ekstrem
yang terjadi pada variabilitas iklim yang berlangsung secara terus-menerus.

“Perubahan iklim adalah berubahnya baik


pola maupun intensitas unsur iklim pada
periode waktu yang dapat dibandingkan
40 (biasanya terhadap rata-rata 30 tahun).
Perubahan iklim dapat merupakan suatu
perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata
atau perubahan dalam distribusi kejadian
cuaca terhadap kondisi rata-ratanya.”

Peristiwa ekstrem menyebabkan berubahnya besaran statistik rata-rata


iklim yang pada akhirnya menggeser atau mengubah iklim pada umumnya.
Dengan demikian, pemantauan perubahan iklim dapat dilakukan dengan
memantau kondisi iklim ekstrem. Sebagai contoh pola peningkatan suhu Bumi
ditandai dengan berbagai rekor baru suhu maksimum secara terus-menerus,
sedangkan pola musim berubah dengan adanya pergeseran awal musim.
Istilah perubahan iklim --khususnya untuk perubahan iklim yang
disebabkan oleh manusia (antropogenik), baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga mengubah komposisi atmosfer global yang diamati pada
periode waktu hampir sama—kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Perubahan utama
Proses penyebab iklim:
Aktivitas manusia perubahan iklim: Peningkatan suhu global
t
Pembakaran bahan
t Gas rumah kaca (CO2,
t (global warming). Dampak
bakar fosil. CH4, N2O). Pencairan lapisan es.
t Positif
t
Aktivitas pertanian.
t Aerosol.
t Perubahan pola hujan.
t Negatif
t
Perubahan lahan.
t Siklus karbon yang
t Kenaikan permukaan
t
terganggu. laut dan perubahan
sirkulasi laut.
Interferensi

MITIGASI RESPON ADAPTASI

Gambar 4.1. Skema perubahan iklim.

adanya pemanasan global. Dengan demikian, perubahan iklim seolah-olah


menjadi sinonim (kata lain) dari pemanasan global (global warming).
Jika mengacu pada skema perubahan iklim (lihat Gambar 4.1), perubahan
iklim merupakan perubahan pada komponen iklim, yaitu suhu, curah
hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, serta awan. Jadi,
41
perubahan iklim merupakan dampak dari peristiwa pemanasan global.
Respon yang dapat dilakukan terkait perubahan iklim yang telah, sedang,
dan akan terjadi adalah dengan melakukan dua tindakan. Pertama, melakukan
adaptasi untuk mengatasi akibat atau dampak perubahan iklim. Kedua,
melakukan mitigasi untuk mengatasi penyebab perubahan iklim.
Tindakan adaptasi adalah upaya untuk mengatasi dampak perubahan
iklim sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat
positifnya. Dalam pengertian lain, adapatasi adalah upaya untuk mengelola
hal yang tidak dapat dihindari. Dalam hal ini upaya perubahan dilakukan
dengan asumsi bahwa perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan yang
tidak dapat dihindari dan terjadi secara global.
Beberapa komponen utama kegiatan adaptasi perubahan iklim meliputi
antara lain:
- Atribusi komponen perubahan iklim terhadap kegiatan sosial ekonomi
dan biosfer.
- Kajian dan studi dampak.
- Kerentanan terhadap perubahan iklim.
- Kapasitas adaptasi dan kajian ketahanan terhadap perubahan iklim.

Perubahan Iklim
Sementara itu, tindakan miti-
“Tindakan adaptasi
gasi adalah upaya untuk mengatasi
penyebab perubahan iklim melalui adalah upaya untuk
kegiatan yang dapat menurunkan mengatasi dampak
emisi atau meningkatkan penyerap- perubahan iklim
an GRK dari berbagai sumber emi-
si. Pengertian lain mitigasi adalah
sehingga mampu
upaya untuk menghindari hal yang mengurangi dampak
tidak dapat dikelola. Dalam hal ini negatif dan mengambil
upaya perubahan dilakukan pada manfaat positifnya.
sumber penyebab pemanasan glo-
bal.
Dalam pengertian
Ilustrasi sederhana perbedaan lain adapatasi adalah
dari tindakan adaptasi dan mitigasi upaya untuk mengelola
adalah perilaku seseorang ketika ia hal yang tidak dapat
berada di dalam ruangan ber-AC (air
conditioner) yang dingin. Seperti
dihindari.”
diketahui, ketika AC diaktifkan,
ruangan menjadi dingin lantaran “Tindakan mitigasi
42 suhu yang rendah.
adalah upaya utuk
Dengan mengasumsikan suhu
ruangan tersebut tidak dapat diubah mengatasi penyebab
maka seseorang dapat melakukan perubahan iklim
suatu tindakan agar tubuhnya melalui kegiatan
tidak menggigil kedinginan. Karena
yang dapat
itulah, untuk menyesuaikan suhu
ruangan yang dingin tersebut, menurunkan emisi
ia dapat mengenakan jaket atau atau meningkatkan
baju tebal agar ia merasa nyaman penyerapan GRK dari
berada di tempat tersebut. Perilaku
berbagai sumber emisi.
semacam inilah yang disebut
sebagai tindakan adaptasi terhadap Dalam pengertian lain
dirinya sendiri karena kondisi mitigasi adalah upaya
lingkungan tersebut dianggap tidak untuk menghindari
mungkin bisa diubah.
hal yang tidak dapat
Tindakan lain yang dapat
dilakukan seseorang adalah dengan dikelola.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


berusaha mengubah kondisi dingin ruangan
tersebut. Caranya, mengatur suhu ruangan
melalui alat remote control pada AC sedemikian “Singkat kata
rupa sehingga suhunya menjadi lebih hangat. perubahan
Pada tindakan semacam ini berarti ia energi akibat
telah melakukan upaya mitigasi agar suasana
ruangan tidak terlalu dingin dengan melakukan pemanasan
perubahan pada penyebab dinginnya suasana global telah
ruangan. Melalui upaya mitigasi tersebut, ia
mengakibatkan
dapat mengurangi dampak yang tak nyaman
dari suhu ruangan yang dingin tadi. perubahan
Dari contoh sederhana tersebut dapat siklus air yang
dikatakan bahwa secara umum langkah adaptasi
mengarah pada
dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan
iklim yang terjadi sudah tidak dapat dielakkan perubahan
karena sudah, sedang, dan akan terjadi. Dengan iklim.”
demikian diperlukan perubahan pola dan
tingkah laku manusia untuk menyesuaikannya.

43

P
GAS RUMAH KACA

Perubahan energi
Mitigasi

P
PEMANASAN GLOBAL

Perubahan siklus air


q Kebakaran hutan
q Kekeringan
q Longsor
q Banjir
q Kenaikan muka laut q Siklon
q Puting beliung

DAMPAK FISIK
P

PERUBAHAN IKLIM RESPON


DAMPAK NONFISIK
q Kelembaban q Angin
q Tutupan awan q Hujan q Sumber energi q Malaria
q Suhu q Penguapan q Rusaknya infrastruktur q OPT
q Transportasi terganggu q Sumber air
q Pariwisata terganggu q DBD

Adaptasi

Gambar 4.2. Komponen dan alur proses perubahan iklim.

Perubahan Iklim
Apabila langkah adaptasi dilakukan dengan benar maka akan dapat
mengurangi dampak risiko perubahan iklim dan dapat mengambil langkah
optimal dengan memanfaatkan informasi iklim. Sementara itu, langkah
mitigasi dilakukan dengan asumsi bahwa masih ada harapan perubahan iklim
dapat dicegah terutama untuk generasi mendatang.

Pengertian perubahan Iklim menurut berbagai sumber:


a. UU No. 31 Tahun 2009:
Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung
atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan
perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan
variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat
dibandingkan.
b. Pengertian menurut pemahaman petani:
Perubahan Iklim adalah terjadinya musim hujan dan kemarau yang
44 sering tidak menentu sehingga dapat mengganggu kebiasaan petani
(pola tanam) dan mengancam hasil panen.
c. Pengertian menurut pemahaman nelayan:
Perubahan iklim adalah susahnya membaca tanda-tanda alam (angin,
suhu, astronomi, biota, dan arus laut) karena terjadi perubahan dari
kebiasaan sehari-hari sehingga nelayan sulit memprediksi daerah,
waktu, dan jenis tangkapan.
d. Pengertian menurut pemahaman masyarakat umum:
Perubahan iklim adalah ketidakteraturan musim.

“Pemanasan global dianggap sebagai penyebab


utama dari perubahan iklim. Perubahan iklim adalah
dampak tidak langsung dari pemanasan global yang
melibatkan unsur aktivitas manusia dan alamiah.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Antoyo Setyadipratikto
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

Dampak Perubahan Iklim


Mencakup Hampir Seluruh
Sektor Kegiatan

P
erubahan iklim merupakan fenomena terjadinya kondisi alam
yang mengalami pergeseran atau anomali terhadap kebiasaannya
(rata-ratanya) yang dapat menyebabkan gangguan dalam perilaku
kehidupan manusia dan aktivitas makhluk hidup lainnya (hewan, serangga,
tanaman). Kondisi alam yang mengalami anomali tersebut mempunyai
rentang waktu yang cukup panjang yakni puluhan tahun bahkan ratusan
tahun dalam skala wilayah cukup luas. Secara umum, perubahan iklim
merupakan kejadian perubahan fenomena alam dalam periode waktu
cukup panjang (puluhan hingga ratusan tahun) yang menyebabkan
perubahan dan penyesuaian perilaku serta aktivitas makhluk hidup di
45
permukaan Bumi.
Identifikasi terjadinya perubahan iklim antara lain adalah telah terjadinya
pemanasan global yang menimbulkan trend (kecenderungan) peningkatan
suhu udara dan suhu permukaan air laut. Pada unsur-unsur iklim, hal itu
dapat dilihat dari adanya perubahan pola curah hujan seperti pergeseran
awal musim, baik musim hujan maupun kemarau, makin panjangnya
periode musim kemarau atau makin pendeknya periode musim hujan,
serta bergesernya puncak musim hujan.
Dampak dari perubahan iklim tersebut dapat mencakup hampir
seluruh sektor kegiatan, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan,
kehutanan, kesehatan, dan sektor lainnya. Umumnya dampak tersebut
menimbulkan kerugian yang cukup signifikan. Kondisi yang dapat dilihat
di lapangan dari dampak perubahan iklim adalah makin menurunnya hasil
produksi pertanian/pangan termasuk sayur dan buah-buahan (hortikultur)
baik kuantitas maupun kualitasnya, makin sempitnya luasan lahan
pertanian, serta makin sering terjadinya kasus penyakit demam berdarah
dan penyakit lainnya (ISPA).

Perubahan Iklim
Subekti Mujiasih
Bina Operasi Meteorologi Maritim BMKG

Perubahan Iklim Perlu


Disosialisasikan
ke Masyarakat Luas

P
erubahan iklim merupakan suatu fenomena yang kejadiannya tidak
terjadi secara mendadak. Prosesnya membutuhkan waktu yang
lama. Sehingga jika terjadi cuaca ekstrim, tidak selalu disebabkan
oleh perubahan iklim. Perlu kajian mendalam untuk menjawabnya.
Kajian mendalam iu meliputi pola iklim wilayah setempat seperti waktu-
waktu kejadian nilai maksimum atau minimum, apakah frekuensi kejadian
anomali suatu parameter cuaca semakin sering atau tidak. Ataukah waktu
kejadian maksimum atau minimum bergeser dari waktu normalnya.
Istilah perubahan iklim sebenarnya sudah lama. Namun tidak semua
kalangan masyarakat memahami dengan benar hal-hal yang berkaitan
46
dengan perubahan iklim. Penulis sering mendengar konsep perubahan
iklim yang kurang tepat dari beberapa rekan penulis.
Mereka dengan cepat menyimpulkan bahwa beberapa fenomena alam
yang terjadi disebabkan oleh perubahan iklim. Karena itu sosialisasi me-
ngenai perubahan iklim perlu dilakukan lebih banyak lagi kepada masyara-
kat luas, tidak hanya kalangan akademis, namun juga masyarakat awam.
Masyarakat perlu diperkenalkan pengertian cuaca, iklim, perubahan
iklim, dampak-dampak yang mungkin terjadi, serta tindakan mitigasinya.
Dengan demikian masyarakat menjadi lebih peduli dengan kondisi yang
terjadi di sekitarnya, terutama lingkungan terdekatnya.
Kepedulian masyarakat akan sangat membantu keberhasilan program
konservasi lingkungan hidup. Selain itu, masyarakat menjadi lebih siap jika
terjadi bencana alam atau kejadian cuaca ekstrem. Masyarakat tidak hanya
peduli setelah terkena bencana alam tetapi juga sebelum kejadian.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 5.

INDIKASI TERJADINYA
PEMANASAN GLOBAL
DI INDONESIA

P
emanasan global telah terjadi dalam skala luas, termasuk di Indonesia
yang ditandai dengan berbagai indikator. Ada empat Indikator utama
terjadinya pemanasan global, yakni peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca (GRK), peningkatan suhu muka Bumi, peningkatan paras muka laut, dan
berkurangnya tutupan salju di daratan.
47
Semua indikator tersebut bisa ditemukan di Indonesia meskipun ada yang
sangat pasti (seperti kenaikan konsentrasi GRK) dan yang sangat tidak pasti
(peningkatan paras muka laut). Berikut ini penjelasan dari empat indikator
utama terjadinya pemanasan global di Indonesia.

5.1. Peningkatan Konsentrasi GRK


Konsentrasi GRK meningkat pada kurun waktu satu setengah abad (150
tahun) belakangan ini terutama dikarenakan oleh berbagai aktivitas manusia,
khususnya sejak revolusi industri. Peningkatan konsentrasi tersebut disebab-
kan pemakaian bahan bakar minyak dan sejenisnya serta konsumsi manusia
yang meningkat selaras dengan pertambahan populasinya.
Konsekuensi dari semua itu adalah bahan bakar minyak (BBM) yang ada di
perut Bumi dieksploitasi secara intensif. BBM itu lalu dibakar untuk memenuhi
kebutuhan industri dan domestik (rumah tangga). Hasil pembakaran tersebut
menimbulkan polutan gas CO2 , N2O, dan lain-lain yang terus menumpuk
di lapisan atmosfer. Gas-gas tersebut tak mudah hilang karena selama di
atmosfer Bumi ia memang memiliki usia (life time) yang sangat lama, puluhan
hingga puluhan ribu tahun.

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


Peningkatan konsentrasi GRK berbanding lurus dengan percepatan
proses pemanasan global. Semakin tinggi GRK yang menumpuk maka energi
yang terserap di atmosfer bertambah dan meningkatkan suhu muka Bumi
yang merupakan dasar dari terjadinya pemanasan global. Dari enam jenis
GRK antropogenik yang ditetapkan oleh IPCC, Indonesia telah dan sedang
memonitor empat jenis GRK, yakni CO2, CH4, N2O, dan SF6.
Di Indonesia, pemantauan GRK dilakukan di Stasiun Pemantau Atmosfer
Global atau Global Atmosphere Watch (GAW). Stasiun GAW yang dibangun
pada tahun 1996 atas kerja sama BMKG dan WMO (World Meteorologycal
Organization) itu berada di Bukit Kototabang, Sumatera Barat.
Stasiun tersebut merupakan salah satu dari 28 Stasiun GAW di dunia.
Stasiun ini mempunyai misi untuk mengukur secara sistematis komposisi
kimia dan parameter fisik atmosfer selektif yang penting untuk mengetahui
sinyal perubahan iklim.
Gambar 5.1 menunjukkan hasil pengukuran rata-rata konsentrasi CO2
dan kecenderungannya (tren) di atomosfer Indonesia sejak tahun 2004
hingga 2010. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa konsentrasi CO2
cenderung mengalami kenaikan sejak tahun 2004 sampai 2010.

48

Gambar 5.1. Rata-rata konsentrasi CO2 yang terukur dan trennya di Stasiun Global Atmosphere
Watch (GAW) Kototabang, Sumatera Barat (garis berwarna hijau), Mauna Loa,
AS (garis merah), serta rata-rata dari 27 stasiun GAW yang tersebar di seluruh
dunia (garis biru) sejak tahun 2004 hingga 2010.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Kenaikan CO2 disebabkan antara lain adanya peningkatan aktivitas manusia
yang menggunakan bahan bakar fosil yang dipakai dalam transportasi (baik
darat, laut, maupun udara), pemanasan dan pendinginan ruangan di rumah
dan kantor, serta pabrik-pabrik. Meningkatnya konsentrasi CO2 ini juga dapat
disebabkan oleh pembakaran hutan serta proses alam seperti pembusukan
tanaman.
Gambar 5.1 juga memaparkan perbandingan konsentrasi CO2 di stasiun
Bukit Kototabang dengan stasiun Mauna Loa, Hawaii, Amerika Serikat (AS)
sebagai stasiun referensi dunia. Selain itu, nilai konsentrasi GRK dari hasil rata-
rata global di 27 stasiun GAW yang tersebar di seluruh dunia juga dipaparkan
dalam gambar tersebut. Data yang ditampilkan merupakan hasil pemantauan
di stasiun Bukit Kototabang yang diukur di pusat pengukuran GRK dunia di
Boulder Colorado, AS oleh National Oceanic and Atmospheric Administration
(NOAA).
Sementara itu, Gambar 5.2 menunjukkan, rata-rata konsentrasi gas
metan (CH4), N2O (nitrous oxide), dan SF6 (sulphur hexafluoride) selama
periode pengamatan tahun 2004 – 2010 yang juga mengalami peningkatan.
Kadar metan di atmosfer yang meningkat diakibatkan oleh aktivitas manusia
berhubungan dengan pertanian dan distribusi gas alam. Metan juga dihasilkan
oleh proses alam yang terjadi, misalnya pada lahan basah (wetlands) dan dari 49
emisi lahan pertanian padi basah.
Berdasarkan data dari Stasiun GAW BMKG di Bukit Kototabang, Sumatera
Barat, meski dalam pola siklus tahunan, konsentrasi CO2, CH4, dan SF6
cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Nilai kecenderungan
peningkatan konsentrasi GRK tahunan (2004 – 2010) di stasiun Bukit
Kototabang adalah CO2 sebesar 1,50 part per million (ppm), CH4 senilai 2,70
part per billion (ppb), N2O sejumlah 0,795 ppb, dan SF6 sebanyak 0,265 part
per trillion (ppt).
Coba bandingkan dengan kondisi saat ini. Hingga akhir tahun 2010,
konsentrasi berbagai jenis GRK tersebut sudah melambung tinggi hingga
mencapai sekitar 385 ppm untuk CO2, 1.880 ppb CH4, 324 ppb N2O, dan 7,15
ppt SF6.
Angka-angka tersebut merupakan gambaran nilai ambien GRK di
Indonesia. Seperti diketahui, Stasiun GAW Bukit Kototabang adalah satu
dari 28 stasiun serupa yang mengukur konsentrasi GRK ambien di dunia dan
sudah mendapatkan registrasi dari WMO. Hasil pengukuran dari stasiun GAW
Kototabang diperiksa di Laboratorium NOAA di Boulder AS sehingga nilai tersebut

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


telah divalidasi dengan
standar internasional
yang tinggi setara
dengan hasil dari stasiun
GAW lainnya.
Nilai konsentrasi GRK
ambien dipengaruhi
oleh berbagai
aktivitas manusia
seperti pembakaran
hutan, industrialisasi,
dan rumah tangga.
Sebagai catatan, dalam
sidang United Nation
Framework Convention
on Climate Change
(UNFCCC), target
konsentrasi CO2 yang
masih didiskusikan
50 adalah sekitar 450
ppm. Berdasarkan
target tersebut, posisi
Indonesia sebenarnya
jauh lebih aman karena
masih ada tenggang
waktu sekitar 43 tahun
Gambar 5.2. Rata-rata kadar gas metan (CH4), atau hingga tahun 2053
N2O (nitrous oxide), dan SF6 (sulphur untuk mencapai kadar
hexafluoride) selama periode pengamatan
tahun 2004 – 2010 yang cenderung
CO2 yang diperkenankan
meningkat. UNFCCC tersebut.
Alasannya, data
konsentrasi CO2 dari Stasiun GAW Kototabang menunjukkan bahwa kadar
GRK di atomosfer Indonesia masih jauh di bawah konsentrasi di Mauna
Loa, Hawaii, AS. Begitu juga jika dibandingkan dengan kadar CO2 rata-rata di
seluruh dunia, Indonesia masih berada di bawahnya.
Hal ini berarti bahwa polusi atau emisi GRK di wilayah Indonesia masih
jauh di bawah nilai rata-rata dunia. Bukti ini yang harus dipakai untuk menepis

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


berbagai tuduhan yang menyebutkan pada 2007 Indonesia merupakan
negara emiter ketiga terbesar di dunia (Aldrian, 2007c).

5.2. Peningkatan Suhu Muka Bumi


Peningkatan suhu muka Bumi ditandai dengan suhu muka laut. Hal ini
karena suhu muka laut lebih memberikan gambaran regional dan global
dibandingkan suhu daratan yang terpengaruh oleh kondisi lokal dari berbagai
faktor noniklim lainnya. Pemantauan suhu muka laut di Indonesia didapat
dari data satelit penginderaan jauh.
Berdasarkan data satelit, di wilayah Indonesia selama 100 tahun terakhir
ini terjadi peningkatan suhu muka laut sebesar 0,76 oC. Angka tersebut sedikit
di atas angka rata-rata global berdasarkan laporan IPCC, yakni sebesar 0,72 oC
dalam 100 tahun.

51

Gambar 5.3. Peningkatan rata-rata suhu global muka Bumi tahun 1880 – 2010 terhadap
rata-rata suhu tahun 1951 – 1980.

Gambar 5.4. Peningkatan suhu muka laut wilayah selatan Laut Cina Selatan.

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


Peningkatan suhu muka laut di berbagai wilayah bervariasi, tergantung
pada pola aliran arus laut di sekitarnya. Peningkatan suhu muka laut ini
disebabkan penambahan energi di muka Bumi sebagai akibat pemanasan
global dan efek rumah kaca. Akibat dari peningkatan suhu muka laut secara
nyata adalah naiknya paras muka laut dan melelehnya lapisan salju di
daratan.

Gambar 5.5. Kecenderungan kenaikan suhu udara di Jakarta dan Semarang (Sumber: Unesco/Rostsea, 1992)
52

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


53

Gambar 5.6. Kondisi suhu permukaan laut selama tahun 1925 – 2005 di Raja Ampat, Papua
Barat (gambar atas), Wakatobi, Sulawesi Tenggara (tengah), dan Komodo, Nusa
Tenggara Timur (bawah). Terlihat bahwa ketiga daerah tersebut cenderung
mengalami kenaikan suhu udara (Sumber: NOAA, 2008).

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


5.3. Peningkatan Paras Muka Laut
Kenaikan suhu muka Bumi membawa konsekuensi pada naiknya paras
muka air laut. Kenaikan muka air laut dipicu oleh dua sebab utama. Pertama,
memuainya molekul air di laut akibat suhu yang lebih tinggi di permukaan.
Kedua, penambahan air dari lelehan salju di daratan. Sebaliknya, lelehan es
di lautan tidak akan memberikan kontribusi terhadap tambahan paras muka
laut.
Penyebab kedua adalah yang paling dikhawatirkan banyak pihak karena
volume cadangan es di daratan sangat besar. Seperti diketahui, di Bumi ini
banyak terdapat tutupan salju abadi dan yang paling besar adalah di daratan
Pulau Greenland dan Benua Kutub Selatan.
Bisa dibayangkan kalau lapisan es di dua daratan tersebut mencair dalam
jumlah besar. Praktis, volume air di laut bakal naik dan dapat menyebabkan
pulau-pulau kecil tenggelam. Negara kepulauan seperti Maladewa (Maldives)
misalnya, tidak tertutup kemungkinan bakal tenggelam karena semua
wilayahnya terdiri dari pulau-pulau kecil.

54

Gambar 5.7. Kecenderungan kenaikan muka laut di Jakarta, Semarang, dan Jepara pada
tahun 1980 sampai 2001 (Sumber: Bakosurtanal, 2002).

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Gambar 5.8. Kecenderungan kenaikan muka laut di Batam, Kupang, Biak, dan Sorong pada
tahun 1991 sampai 2000 (Sumber: Bakosurtanal, 2002). 55

Untuk memantau kenaikan paras muka laut di Indonesia, Badan Koordinasi


Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menggunakan stasiun pasang
surut (Pasut) yang tersebar di Jakarta, Semarang, Jepara, Batam, Kupang, Biak,
dan Sorong. Hasil pengukuran tersebut disajikan pada Gambar 5.7 dan 5.8.
Berdasarkan analisis tersebut, dapat diketahui bahwa laju rata-rata kenaikan
paras muka laut adalah 5 – 10 mm per tahun.
Pantauan dari kenaikan paras muka laut saat ini juga dapat diperoleh
dari data satelit penginderaan jauh dengan tingkat keakuratan masih belum
memadai. Hal ini dikarenakan naiknya paras muka laut sangat lambat dan
dengan skala yang sangat kecil. Selain itu, ketinggian paras muka laut di muka
Bumi tidak sama antara laut dangkal dan laut dalam (deep sea).
Pada Gambar 5.9 menunjukkan, rata-rata tahunan level muka laut global
pada masa lampau sampai dengan masa kini. Berdasarkan gambar tersebut
terlihat bahwa sejak tahun 1880 hingga 2010 muka laut cenderung mengalami
kenaikan.

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


Gambar 5.9. Rata-rata level muka laut global yang cenderung naik. Perhitungan ini
didasarkkan alat pengukur pasang laut (warna biru) yang dilakukan sejak
tahun 1950 sampai 1992. Lalu pada tahun 1992 diukur dengan menggunakan
satelit penginderaan jauh (warna hitam). Sementara itu, sebelum tahun 1950
merupakan angka dugaan (warna merah). Satuan yang digunakan adalah
milimeter (mm) relatif terhadap rata-rata tahun 1961 – 1990.
56

Data kenaikan paras muka laut untuk wilayah Indonesia juga masih
terbatas, baik dari segi waktu maupun distribusinya. Pada beberapa kota
besar di pesisir seperti Belawan (Medan), Jakarta, Semarang, dan Surabaya,
kenaikan paras muka laut diperparah dengan adanya penurunan muka tanah
(lihat Tabel 5.1).
Kombinasi antara kenaikan suhu muka Bumi dan penurunan muka tanah
akan menambah kecepatan (laju) kenaikan paras muka laut relatif. Pada
kondisi ini, kenaikan paras muka laut akibat penurunan muka tanah lebih besar
daripada kenaikan paras laut akibat kenaikan suhu muka Bumi. Penurunan
muka tanah seringkali disebabkan oleh faktor pemompaan air tanah secara
berlebihan, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri.

5.4. Berkurangnya Tutupan Salju di Daratan


Tutupan salju di muka Bumi memiliki efek khusus bagi iklim dan pemanasan
global. Lapisan salju yang memiliki warna putih dan permukaan halus ini
memiliki nilai albedo (pantulan) yang maksimal dibandingkan dengan tutupan

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Tabel 5.1. Kenaikan muka laut di beberapa kota pesisir di Indonesia yang
diakibatkan pemanasan global dan penurunan muka tanah di
wilayah pesisir.
Kenaikan
Lokasi stasiun muka laut Sumber atau referensi
(mm/tahun)
Cilacap selatan 1,30 Hadikusuma, 1993
(Jawa Tengah)
Belawan 7,83 ITB, 1990
(Sumatera Utara)
Jakarta 4,38 ITB, 1990
7,00 Berdasarkan data tahun 1984 - 2006
Semarang 9,37 ITB. 1990
(Jawa Tengah) 5,00 Berdasarkan data tahun 1984 - 2006
Surabaya 1,00 Berdasarkan data tahun 1984 - 2006
(Jawa Timur)
Sumatera timur 5,47 ITB, 1990
Lampung 4,15 P2O-LIPI, 1991

lahan lainnya seperti air, hutan, sawah, dan perkebunan. Akibatnya, lapisan 57
salju memantulkan secara maksimal radiasi Matahari ke angkasa luar.
Ketika tutupan salju tersebut berkurang karena meleleh maka kemampuan
Bumi untuk memantulkan panas radiasi Matahari menjadi berkurang.
Konsekuensinya, ia akan menambah kuat laju pemanasan global.

“Tutupan salju di muka Bumi bisa disebut sebagai


termometer alamiah Bumi terhadap pemanasan
global. Di daerah tropis terdapat tiga kumpulan
salju abadi yaitu di Gunung Kilimanjaro, Tanzania,
Pegunungan Andes di Peru, dan Pegunungan
Jayawijaya di Indonesia.”

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


Berkurangnya tutupan salju di daratan membawa dampak pada aliran
permukaan (run off) dimana beberapa aliran sungai sangat tergantung
kepadanya dan pada akhirnya memberikan dampak pada peningkatan paras
muka air laut. Nepal adalah negara tanpa pesisir dan memiliki banyak tutupan
salju abadi. Lelehan salju tersebut terbawa oleh aliran sungai ke beberapa
negara lainnya seperti India, Bangladesh, China, Vietnam, dan Thailand.
Tutupan salju di muka Bumi bisa disebut sebagai alat pengukur
(‘termometer’) alamiah Bumi terhadap pemanasan global. ‘Termometer’ ini
juga dapat dipakai untuk mendeteksi di daerah tropis yang bersalju. Ada tiga
kumpulan salju abadi di daerah tropis, yaitu di Gunung Kilimanjaro di Tanzania,
Pegunungan Andes di Peru, dan Pegunungan Jayawijaya di Indonesia (lihat
Gambar 5.10). Kalau ketiga salju tersebut mencair, itu pertanda pemanasan
global memang sudah berada di ambang pintu.

58

Gambar 5.10.
Penurunan luas
tutupan salju abadi
di Pegunungan Jaya
Wijaya, Papua dengan
perbandingan data
dari tahun 1936
hingga 2000 (gambar
bawah). Sementara itu,
gambar atas (kanan)
menunjukkan sisa-
sisa lapisan salju yang
mengalami penyusutan
pada tahun 2003.
Padahal tahun 1990
(atas-kiri) salju tersebut
masih menyelimuti
kawasan puncak gunung
yang luas.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Dr. Ir. Subandono Diposaptono, MEng
Direktur Pesisir dan Lautan, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Semua Negara Harus Berkontribusi


Secara Adil dan Proporsional

K
ita tak perlu berdebat lagi mengenai
ada-tidaknya perubahan iklim yang
melanda dunia akhir-akhir ini.
Berbagai fakta telah menunjukkan, suhu
udara di berbagai penjuru Bumi mengalami
kenaikan sebagai salah satu pertanda adanya
perubahan iklim.
Menurut kajian Intergovermental Panel
on Climate Change (IPCC) misalnya, dalam
periode 1990-2005 terjadi kenaikan suhu
udara di seluruh dunia sebesar 0,15 – 0,3 59
o
C. Secara kuantitatif, kenaikan itu boleh
saja dibilang kecil, namun dampak dari Dr. Ir. Subandono Diposaptono, MEng
fenomena tersebut, dunia dihantui
berbagai kecemasan.
Apalagi jika umat manusia di seluruh dunia tak berdaya mengerem
kenaikan suhu udara, maka pada tahun 2040 lapisan es baik di Antartika
maupun Artik bakal habis meleleh. Sekitar 10 tahun kemudian, bila kenaikan
suhu udara itu terus saja terjadi, maka penduduk bakal menderita krisis air
tawar sehingga kelaparan akan meluas ke seluruh penjuru dunia.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang ditaburi keragaman hayati
(biodiversity) terumbu karang yang berlimpah ruah, tentu saja paling
menderita terpapar dampak perubahan iklim. Betapa tidak, suhu udara
yang hangat akan meningkatkan suhu air laut. Praktis, pemanasan semacam
ini membuat terumbu karang (coral reef) pucat (bleaching) tak berdaya.
Padahal kita tahu, Indonesia memiliki terumbu karang terluas di muka
Bumi, yakni sekitar 51.000 km2 atau 20 % dari luas total terumbu karang
di seluruh dunia. Termasuk di antaranya kawasan segitiga terumbu karang

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


(coral triangle) yang dimiliki enam negara; Indonesia, Malaysia, Kepulauan
Solomon, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina.
Jadi, bisa dibayangkan kalau terumbu karang tersebut sekarat. Ikan,
udang, dan aneka biota laut yang selama ini hidup bersimbiosis mutualisme
akan ikut menghilang. Berbagai biota laut itu menjauh karena terumbu
karang tersebut tak lagi memberi sumber kehidupan (pakan) dan tempat
berlindung.
Kalau sudah begitu, masyarakat lokal bakal lebih sengsara lagi. Mereka
tak dapat menangkap ikan dan aneka biota laut lainnya dengan mudah.
Bahkan, biaya operasional untuk melaut tidak sebanding dengan hasil
tangkapannya.
Hal itu diperparah lagi dengan adanya abrasi yang terus mengikis da-
ratan pesisir mereka. Terumbu karang yang hancur memudahkan arus laut
menggerus daratan. Energi itu berkeliaran bebas hingga menabrak garis
pantai. Kalau sekarang saja abrasi banyak terjadi di sepanjang pantai utara
Jawa, Bali, Kepulauan Riau, dan lain-lain maka kelak di kemudian hari se-
rangan abrasi semakin meluas dan bertambah parah.
Apalagi dampak perubahan iklim juga akan diikuti naiknya permukaan
60 air laut (sea level rise). Berdasarkan kajian yang pernah saya lakukan di
beberapa kota Jakarta, Pekalongan, dan Semarang, terjadi kenaikan muka
air laut yang bervariasi. Di Tanjungpriok misalnya, kenaikan muka air laut
itu berkisar 6-10 mm per tahun.
Akibatnya, garis pantainya mundur dan menenggelamkan sebagian da-
ratan. Jika saja tak ada upaya serius dalam mengerem laju kenaikan suhu
udara, air laut itu menggenangi permukiman, jalan, tambak, dan sarana
infrastruktur yang telah dibangun di bibir pantai.
Kenaikan muka laut juga memicu cuaca ekstrim; La Nina dan El Nino.
Berbagai kajian menunjukkan, frekuensi La Nina dan El Nino yang jauh
sebelumnya hanya terjadi selama 3 – 7 tahun sekali, namun sejak tahun
1970 meningkat menjadi 2 – 4 tahun sekali. La Nina atau cuaca super basah
itu mengakibatkan banjir di berbagai daerah. Sedangkan El Nino adalah
musim kering yang berkepanjangan sehingga mengakibatkan banyak
petani gagal panen.
Dari berbagai uraian tersebut jelas bahwa Indonesia mengalami
kerentanan tinggi sebagai dampak dari perubahan iklim. Karena itulah perlu
diterapkan strategi adaptasi dan mitigasi untuk menghadapi fenomena

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


yang sudah di ambang pintu.
Hal itu hanya bisa dilakukan jika seluruh masyarakat di seluruh dunia
bersatu padu, bahu-membahu, bekerja sama, dan bersinergi untuk
mengatasi persoalan yang sangat kompleks. Berbagai pendekatan berbasis
kearifan lokal dan Iptek wajib dikerahkan guna menjawab tantangan
tersebut.
Negara maju dan berkembang harus saling berbagi (sharing) kontribusi
secara adil dan proporsional. Bukan malah sebaliknya, saling menuding
dan mencari kesalahan pihak lain. Negara maju misalnya, yang selama ini
mengemisikan CO2 dalam jumlah besar, harus rela mengurangi penggunaan
bahan bakar fosil sebagai biang keladi terjadinya pemanasan global.
Begitu juga negara berkembang. Kawasan mangrove yang telah gundul
harus dihijaukan kembali. Hutan pantai yang masih tersisa harus dipertah-
an-kan. Segala upaya yang merusak terumbu karang (seperti penggunaan
bom dan racun) juga perlu dilibas habis-habisan. Melalui strategi bersama
seperti ini, niscaya kerusakan Bumi akibat perubahan iklim dapat dimini-
malisir atau bahkan dihentikan.

61

Indikasi Terjadinya Pemanasan Global di Indonesia


62

Foto: Alek Suban


Gambar 7.10. Terjadinya banjir di Jakarta selain mengganggu transportasi juga menimbulkan
kerusakan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan lain-lain.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 6.

INDIKASI TERJADINYA
PERUBAHAN IKLIM
DI INDONESIA

P
erubahan iklim terjadi secara global tetapi dampak yang dirasakan
bervariasi secara lokal. Indikator utama perubahan iklim terdiri dari
perubahan pola dan intensitas berbagai parameter iklim yaitu suhu,
curah hujan, angin, kelembaban, tutupan awan, dan penguapan (evaporasi).
Semua indikator tersebut bisa ditemukan di Indonesia meskipun ada 63
yang sangat pasti (seperti suhu dan hujan) dan ada pula yang sangat tidak
pasti (misalnya, perubahan penguapan). Salah satu kesulitan utama terbesar
adalah ketersediaan data untuk mengetahui sebuah gejala perubahan iklim
dalam rentang waktu yang lama.
Mengacu pada definisi baku IPCC yang menyebutkan perubahan iklim
didasarkan oleh perubahan di atas 30 tahun, maka data-data yang tersedia
saat ini banyak yang belum dapat memberikan gambaran perubahan yang
memadai. Selain itu, beberapa variabilitas iklim juga berlangsung dalam
periode relatif lama, di atas 20 tahunan sehingga tidak mudah untuk
menjelaskan adanya perubahan iklim.
Namun demikian, setidaknya ada empat indikator yang dapat digunakan
untuk menjelaskan adanya perubahan iklim di Indonesia. Berikut ini penjelasan
dari ke-4 indikator tersebut.

6.1. Perubahan Suhu Daratan


Berbeda dengan suhu laut yang dapat dipakai sebagai indikator global,
maka perubahan suhu daratan lebih menggambarkan perubahan situasi lokal

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


yang tergantung pada berbagai faktor iklim dan noniklim. Perubahan suhu
daratan meliputi suhu rata-rata, suhu maksimum, dan suhu minimum, baik
dalam skala harian maupun bulanan.
Perubahan suhu secara harian penting untuk wilayah tropis seperti
Indonesia. Sebab, selain ia menggambarkan perubahan pola siang dan
malam, juga menunjukkan adanya sirkulasi angin darat dan angin laut atau
angin gunung dan angin lembah.
Perubahan suhu minimum harian menggambarkan perubahan suhu
lokal pada waktu dini hari yaitu saat suhu daratan minimum. Suhu minimum
yang meningkat menunjukkan kondisi pagi dini hari yang bertambah kering.
Sedangkan suhu maksimum menggambarkan suhu terik di saat sore hari.
Perubahan suhu minimum dan maksimum bulanan menggambarkan
perubahan pola suhu musiman yang berhubungan dengan suhu di laut.
Suhu maksimum bulanan di daratan pesisir seperti kebanyakan wilayah di
Indonesia terjadi pada masa pancaroba atau transisi.
Sedangkan suhu minimum bulanan terjadi pada puncak musim kemarau
dimana suhu laut mencapai nilai minimumnya dan menghasilkan laju
penguapan yang paling rendah. Beberapa indikator perubahan suhu meliputi
perubahan suhu maksimum, suhu minimum, hari panas, dan hari dingin.
64 Suhu merupakan derajat energi suatu benda.
“Berdasarkan hasil Semakin tinggi suhu, maka energi yang dimiliki
observasi, suhu benda tersebut semakin besar. Suhu permukaan
permukaan Bumi Bumi merupakan panas yang terukur di atmosfer
mengalami kenaikan permukaan hingga ketinggian dua meter.
sejak revolusi Berdasarkan hasil observasi, suhu
industri berlangsung permukaan Bumi mengalami kenaikan sejak
yakni sejak tahun revolusi industri berlangsung. Seperti diketahui,
1780.” dunia mengalami revolusi industri sejak tahun
1780. Hingga sekarang, industrialisasi yang
membutuhkan bahan bakar fosil itu terus menggeliat di berbagai negara
maju dan negara berkembang.
Di Indonesia, pengamatan perubahan suhu udara telah dilakukan di
beberapa wilayah seperti Jakarta, Makassar, dan hampir di seluruh kota-
kota besar lainnya. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat pada beberapa
gambar berikut ini.
Berdasarkan Gambar 6.1 terlihat bahwa hanya satu tempat yang
mengalami penurunan suhu udara maksimum, yakni Tarempa. Besarnya

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


SIBOLGA TEREMPA BAWEAN MANADO SORONG JAYAPURA
Tertinggi : 39,30 Tertinggi : 40,0 Tertinggi : 40,50 Tertinggi : 38,90 Tertinggi : 37,80 Tertinggi : 39,60
Rata-rata : 31,52 Rata-rata : 30,33 Rata-rata : 30,39 Rata-rata : 30,69 Rata-rata : 30,74 Rata-rata : 31,85
Laju : 0,0353/10 th Laju : 0,2633/10 th Laju : 1,1520/10 th Laju : 0,9375/10 th Laju : 0,0335/10 th Laju : 1,2245/10 th

JAKARTA CILACAP WAINGAPU AMBON BIAK


Tertinggi : 38,30 Tertinggi : 39,40 Tertinggi : 39,20 Tertinggi : 39,90 Tertinggi : 40,00
Rata-rata : 31,39 Rata-rata : 30,33 Rata-rata : 31,49 Rata-rata : 29,79 Rata-rata : 30,13
Laju : 0,9730/10 th Laju : 0,6959/10 th Laju : 1,1105/10 th Laju : 0,8869/10 th Laju : 0,3846/10 th

PADANG
Tertinggi : 39,90
Rata-rata : 30,61
Laju : 0,7805/10 th
Keterangan: oC/ 10 tahun
TURUN : -0,268
(MENDINGIN) WAMENA
0,036 Tertinggi : 32,80
0,78 1,111 1,353 Rata-rata : 25,97
0,084 Laju : 1,3827/10 th
NAIK : 0,891 1,152
(MEMANAS) 0,385 1,383
0,687 0,967 1,156 KUPANG SAUMLAKI MERAUKE
Tertinggi : 39,80 Tertinggi : 38,60 Tertinggi : 39,20
0,696 0,973 1,225 Rata-rata : 31,25 Rata-rata : 30,45 Rata-rata : 30,52
Laju : 1,3535/10 th Laju : 0,8910/10 th Laju : 1,1562/10 th

Gambar 6.1. Tren linear suhu udara maksimum harian di berbagai kota di Indonesia sejak
tahun 1983 – 2007.

penurunan suhu tersebut sekitar 0,268 oC.


Sementara itu, Sibolga, Jakarta, Cilacap, Bawean, Padang, Manado, 65
Kupang, Ambon, Wamena, Merauke, Jayapura, dan lain-lain mengalami
kenaikan suhu udara maksimum yang bervariasi, antara 0,036 oC sampai
1,383 oC. Kenaikan suhu maksimum yang tergolong tinggi terjadi di Wamena,
Jayapura, Merauke, Kupang, Bawean, dan Jakarta. Sedangkan kenaikan suhu
maksimum yang tergolong rendah terjadi di Biak, Ambon, Padang, Cilacap,
Sorong, dan Saumlaki.
Berdasarkan Gambar 6.2, terlihat bahwa suhu udara minimum harian
mengalami kenaikan di Padang, Jakarta, Cilacap, Biak, dan Jayapura. Sedangkan
yang mengalami penurunan adalah Sibolga, Tarempa, Bawean, Manado,
Sorong, Ambon, Waingapu, Kupang, Samulaki, Wamena, dan Merauke.
Khusus di Jakarta, berdasarkan data pengamatan periode tahun 1956
– 2001, suhu udara rata-rata mengalami peningkatan, baik tren maupun
perubahannya. Secara rata-rata, suhu udara di Jakarta mengalami peningkatan
sebesar 0,07 oC per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan
suhu udara bukan hanya terjadi secara global namun juga pada lokasi spesifik
seperti Jakarta.
Perubahan tren suhu udara rata-rata juga dapat dilihat di wilayah Makasar.

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


SIBOLGA TEREMPA BAWEAN MANADO SORONG JAYAPURA
Terendah : 10,60 Terendah : 14,00 Terendah : 16,50 Terendah : 11,00 Terendah : 13,80 Terendah : 14,70
Rata-rata : 22,26 Rata-rata : 24,56 Rata-rata : 25,14 Rata-rata : 22,40 Rata-rata : 25,20 Rata-rata : 23,22
Laju : -0,3931/10 th Laju : -0,1612/10 th Laju : -0,6820/10 th Laju : -0,3350/10 th Laju : -0,8931/10 th Laju : 0,0431/10 th

JAKARTA CILACAP WAINGAPU AMBON BIAK


Terendah : 15,10 Terendah : 14,00 Terendah : 11,80 Terendah : 13,20 Terendah : 16,50
Rata-rata : 24,84 Rata-rata : 23,87 Rata-rata : 23,01 Rata-rata : 23,63 Rata-rata : 25,14
Laju : 1,2403/10 th Laju : 0,3445/10 th Laju : -0,6493/10 th Laju : -0,2929/10 th Laju : 0,6820/10 th

PADANG
Terendah : 11,10
Rata-rata : 22,91
Laju : 0,1555/10 th
Keterangan: oC/ 10 tahun
NAIK : TURUN :
(MEMANAS) (MENDINGIN) WAMENA
0,043 Terendah : 6,20
0,066 -0,019 -0,448 -0,815 Rata-rata : 30,32
-0,161 Laju : -0,4475/10 th
0,155 -0,515
-0,293 -0,893
0,345 -0,649 KUPANG SAUMLAKI MERAUKE
1,24 -0,336 -1,417 Terendah : 12,00 Terendah : 12,40 Terendah : 11,10
-0,682
Rata-rata : 23,40 Rata-rata : 24,32 Rata-rata : 23,14
Laju : -1,4167/10 th Laju : -0,8154/10 th Laju : -0,0186/10 th

Gambar 6.2. Tren linear suhu udara minimum harian di beberapa kota Indonesia sejak tahun
1983 – 2007.

Berdasarkan data pengamatan periode tahun 1972 – 2007, rata-rata kenaikan


suhu pada bulan Januari adalah sekitar 0,018 oC per tahun dan pada bulan
66
Juli sekitar 0,082 oC per tahun (lihat Gambar 6.3).

Januari
Juli
Linear (Januari)
Linear (Juli)

Gambar 6.3. Perubahan temperatur di Makassar pada tahun 1972 – 2007.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


6.2. Peningkatan Curah Hujan Ekstrem
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perubahan iklim berasal dari
perubahan energi dan siklus air. Salah satu konsekuensi yang timbul adalah
perubahan pola curah hujan ekstrem. Kriteria ekstrem mengacu pada ambang
batas statistik.
Penyebab dari peningkatan curah hujan ekstrem adalah meningkatnya
fenomena cuaca ekstrem seperti siklon tropis, banjir, kekeringan, berkurangnya
jumlah hari hujan, serta penambahan periode hari hujan secara berturut-
turut (wet spell). Pada kasus banjir, besaran intensitas hujan pada setiap hari

1970 - 2000 1900-1929


13 % prabability
utk curah hujan 1910-1939
500 mm/bln 1920-1949
1930-1959
Peluang hujan (%)

1940-1969
1900 - 1929
1950-1979
3 % prabability
utk curah hujan 1960-1989
500 mm/bln 1970-1999

67
Curah hujan bulanan (mm)

1970 - 2000
22 % prabability
utk curah hujan
650 mm/bln

1900 - 1929 1900-1929


6 % prabability 1910-1939
utk curah hujan
1920-1949
650 mm/bln
1930-1959
Peluang (%)

1940-1969
1950-1979
1960-1989
1970-1999

Curah hujan (mm/bulan)

Gambar 6.4. Distribusi hujan di DKI dan Jawa Barat (gambar atas) serta Nusa Tenggara
(bawah) pada bulan Desember, Januari, dan Februari pada periode tahun
1900 – 2000. Gambar tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan
kemungkinan curah hujan ekstrem 650 mm dari 6 % pada satu abad silam
menjadi 21 % pada rerata tahun 1970 – 2000.

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


hujan meningkat. Sementara itu, pada kasus kekeringan, peluang terjadinya
kondisi ekstrem meningkat dengan periode hari hujan yang lebih pendek.
BMKG telah melakukan analisis distribusi curah hujan di DKI Jakarta,
Jawa Barat, dan Nusa Tenggara (lihat Gambar 6.4). Hasilnya, selama musim
penghujan sepanjang tahun 1970 – 2000 daerah-daerah tersebut mengalami
keniakan curah hujan ekstrem jika dibandingkan 100 tahun silam.

6.3. Maju Mundurnya Musim


Salah satu informasi iklim yang paling penting bagi pertanian adalah
informasi awal datangnya musim kemarau dan musim hujan. Saat ini BMKG
dan Kementerian Pertanian memakai periode dasarian (10 harian) dalam
penetapan waktu kedatangan musim.
Perubahan iklim dapat membawa konsekuensi berupa perubahan maju
dan mundurnya waktu kedatangan musim. Bencana iklim ekstrem seperti
banjir dan kekeringan dapat mengubah waktu kedatangan musim dalam
jangka panjang.
Perubahan iklim bisa juga dilihat dari adanya pergeseran musim. Di
Indonesia, musim mengalami pergeseran, baik pada awal musim maupun
panjang musim. Pergeseran tersebut terjadi di musim kemarau dan hujan,
68 baik maju maupun mundur.
Pergeseran musim di Indonesia telah diamati di beberapa wilayah seperti
Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Selatan berdasarkan data pengamatan selama
30 tahun yaitu periode tahun 1971 – 2000 dan periode tahun 2001 – 2010.
Berikut ini penjelasan dari pergeseran musim di wilayah-wilayah tersebut.

a. Pergeseran musim di Sumatera


Pergeseran musim di wilayah Sumatera berdasarkan data 30 tahun
ditunjukkan pada Gambar 6.5. Berdasarkan gambar tersebut, musim hujan
mengalami pergeseran maju sekitar 1 sampai 2 dasarian. Namun di Zona
Musim (ZOM) 67 dan ZOM 68 pola musim mengalami mundur sebanyak 5
hingga 6 dasarian.
Selain terjadi pergeseran musim hujan, pergeseran musim kemarau juga
terjadi di wilayah Sumatera. Pergeseran musim kemarau tersebut bervariasi
seperti terlihat pada Gambar 6.6.
Berdasarkan gambar tersebut, pada musim kemarau terjadi pergeseran
mundur di ZOM 64 dan 73 sekitar 1 – 2 dasarian. Sementara itu, di ZOM 71,
74, dan 76 mengalami pergeseran mundur 3 – 4 dasarian. Lalu, di ZOM 69

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Gambar 6.5. Pergeseran musim hujan di Sumatera (Sumber: BMKG).

69

Gambar 6.6. Pergeseran musim kemarau di Pulau Sumatera (Sumber: BMKG).

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


musim kemaraunya mengalami kemunduran 5 – 6 dasarian.
Sedangkan pergeseran musim kemarau yang mengalami maju terjadi di
ZOM 66 dan 72 sekitar 1 – 2 dasarian. Lalu, pada saat yang sama di ZOM 65,
68, 70, dan 75 mengalami musim kemarau yang maju 3 – 4 dasarian. Dan di
ZOM 67 mengalami pergeseran maju 5 – 6 dasarian.

b. Pergeseran Musim di Jawa


Serupa dengan Pulau Sumatera, pergeseran musim di Jawa juga terjadi,
baik pada musim hujan maupun kemarau. Berdasarkan data pengamatan
30 tahun periode 1971 – 2000, musim hujan di Jawa mengalami pergeseran
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.7.
Pola musim hujan di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagian besar mengalami
pergeseran maju 3 – 4 dasarian. Sementara itu, di wilayah Tangerang (Banten)
dan sekitarnya serta Jawa Timur bagian timur mengalami pergeseran maju 1
– 2 dasarian.
Sedangkan pola musim hujan yang bergeser mundur terjadi di Banten
dan DKI Jakarta dengan tingkat yang bervariasi antara 1 – 2 dasarian hingga
3 – 4 dasarian. Untuk wilayah Jawa Timur, terjadi pergeseran mundur 1 – 2
dasarian.
70 Selain pergeseran musim hujan, Pulau Jawa dan Madura juga mengalami
pergeseran musim kemarau (lihat Gambar 6.8). Pergeseran musim kemarau
di Jawa sebagian besar (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur)

Gambar 6.7. Pergeseran musim hujan di Jawa (Sumber: BMKG, 2009).

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Gambar 6.8. Pergeseran musim kemarau di Jawa (Sumber: BMKG, 2009).

mengalami mundur 1 – 2 dasarian dan beberapa lokasi mundur 3 – 4


dasarian.
Sementara itu di ZOM 1, 21, 25, 27, 33, 73, 45, 50, dan 63 pola musim
kemaraunya bergeser maju 1 – 2 dasarian. Dan di ZOM 60 musim kemarau
bergeser maju 3 – 4 dasarian.
71
Analisis pergeseran musim juga dilakukan secara spesifik di wilayah Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan dengan membandingkan rata-rata curah hujan
dasarian periode tahun 2001 – 2010 dan tahun 1971 – 2000. Berdasarkan
analisis, pada periode tahun 2001 – 2010, awal musim kemarau di Jawa Barat
mengalami pergeseran maju (lebih cepat datang) dengan periode 20 hari
dibandingkan tahun 1971 – 2000 (lihat Gambar 6.9).

Saat ini (2001-2010): awal kemaraunya


lebih cepat datang dan lebih panjang
periodenya (20 hari) dibandingkan
tahun 1971-2000.

Gambar 6.9. Pergeseran awal musim di Jawa Barat pada tahun 2001 – 2010 terhadap rata-
rata periode tahun 1971 – 2000 (Sumber: BMKG, 2009).

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


c. Pergeseran Musim di Sulawesi Selatan
Pergeseran musim di wilayah Maros, Sulawesi Selatan terjadi pada awal
musim hujan, dimana musim hujan periode tahun 2001 – 2007 mengalami
mundur kurang lebih 10 hari dibandingkan dengan periode tahun 1971 –
2000. Sedangkan untuk musim kemarau, tidak terjadi pergeseran musim.
Pergeseran musim juga terjadi pada wilayah Enrekang, Sulawesi Selatan.
Di wilayah tersebut, awal musim kemarau mengalami maju (lebih cepat)
sekitar 20 hari pada periode kedua (2001 – 2007) dibandingkan dengan
periode pertama (1971 – 2000).
Sedangkan musim hujan di Enrekang, mengalami pergeseran lebih lambat
(mundur) sekitar 10 hari pada periode kedua bila dibandingkan dengan
periode pertama. Untuk informasi atau keterangan lebih lengkap, dapat
dilihat pada Gambar 6.10 berikut ini.

72

Gambar 6.10. Perbandingan pergeseran musim antara periode 2001 – 2007 (garis merah
putus-putus) dan 1971 – 2000 (hitam) di wilayah Makassar, Maros, Enrekang,
dan Sidrap Povinsi Sulawesi Selatan (Sumber: BMKG, 2009).

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


6.4. Perubahan Jumlah Volume Hujan
Akumulasi curah hujan harian,
bulanan, dan tahunan merupakan
“Akumulasi curah
salah satu catatan iklim penting yang hujan harian,
juga menunjukkan potensi kapasitas bulanan, dan tahunan
sumber daya air tercurah. Informasi
ini dapat digunakan untuk mengetahui merupakan salah
adanya perubahan iklim. Hal ini satu catatan iklim
penting untuk pengelolaan sumber
daya air jangka panjang. Sumber
penting yang juga
informasi tersebut dapat diperoleh menunjukkan potensi
selain dari hasil pemodelan skenario kapasitas sumber daya
iklim mendatang, juga dari observasi
langsung jangka panjang.
air tercurah.”

73

Gambar 6.11. Penurunan curah hujan tahunan (mm/tahun) di Bengkulu dan Ketapang
(Kalimantan Barat).

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


Tabel 6.1. Akumulasi penurunan curah hujan (Q) dan potensi kehilangan air
tahunan di pulau-pulau besar Indonesia berdasarkan proyeksi luas
wilayah di setiap pulau.
Z Q Kehilangan air per
(signifikansi) (mm/tahun) tahun dari Q x luasan
Luas (juta m3)
Pulau
(km2)
Rata- Rata- Rata-
Maks Min Maks Min Min Maks
rata rata rata
Sumatera 425.000 -2,24 -0,46 -4,35 -18,00 -1,27 -71,79 7.652 541 30.509
Kalimantan *540.615 -3,00 -2,30 -4,20 -19,89 -12,41 -30,30 10.755 6.707 16.379
Sulawesi 174.600 -1,19 -0,39 -1,87 -8,52 -1,99 -17,99 1.488 347 3.141
Jawa 126.700 -1,66 0,92 -2,81 -11,70 3,38 -31,80 1.483 -428 4.029
Papua **327.160 -2,03 -0,82 -4,83 -22,59 -5,06 -57,36 7.391 1.654 18.767

Keterangan:
* Pulau Kalimantan yang berada di wilayah Indonesia.
** Pulau Papua yang berada di wilayah Indonesia.

Catatan Sejarah Terjadinya Perubahan Iklim


74 Perubahan iklim yang terjadi di masa lalu bisa dideteksi oleh perubahan
yang terkait dengan pola sebaran populasi dan pertanian. Bukti arkeologi,
sejarah lisan, dan bukti-bukti sejarah dapat memberikan tanda-tanda
perubahan iklam yang telah terjadi.
Catatan perubahan yang terjadi telah direkam dalam berbagai media di
alam seperti pada batu-batuan, pepohonan, terumbu karang, lapisan es, dan
lain-lain. Variasi iklim yang terjadi dan terekam tersebut dapat direkonstruksi
ulang untuk mengetahui pola perubahan yang telah terjadi. Teknik yang biasa
dipakai adalah dengan melihat kandungan isotop tertentu dari catatan yang
direkam secara alamiah tersebut.
Beberapa dampak perubahan iklim telah dikaitkan dengan runtuhnya
berbagai tatanan peradaban manusia seperti kasus di Pulau Galapagos. Berikut
ini beberapa contoh catatan sejarah dari perubahan iklim yang terjadi.
1. Glaciers. Glaciers dianggap paling sensitif terhadap perubahan iklim.
Besarnya ukuran glaciers ditentukan oleh keseimbangan massa antara
pembentukan salju sebagai input dan melelehnya salju sebagai output.
Dengan naiknya suhu udara, glaciers akan berkurang kecuali presipitasi
dalam bentuk salju bertambah untuk menutupi berkurangnya glaciers

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


akibat meningkatnya glaciers yang meleleh. Glaciers bertambah
atau berkurang disebabkan oleh variabilitas alam dan kekuatan luar.
Variabilitas suhu, presipitasi, dan pembekuan baik total maupun
sebagian air Bumi dapat menentukan evolusi glaciers pada musim
tertentu.
2. Tanaman (vegetasi). Perubahan jenis, distribusi, dan tutupan tanaman
dapat terjadi akibat perubahan iklim. Perubahan iklim yang ringan
(kurang signifikan) mungkin dapat meningkatkan presipitasi dan suhu
udara, hal mana mengakibatkan peningkatan tumbuhnya tanaman
dan akhirnya mengurangi pelepasan CO2. Akan tetapi, perubahan
iklim yang drastis, cepat, dan besar menyebabkan kerusakan pada
tanaman. Tanaman akan mati dengan cepat sehingga pada kondisi
tertentu lahan dapat menjadi gundul. Akibatnya, pelepasan CO2 ke
atmosfer menjadi tinggi dan terjadilah perubahan iklim.

“Perubahan iklim yang drastis, cepat,


dan besar menyebabkan kerusakan pada
tanaman. Tanaman akan mati dengan cepat 75
sehingga pada kondisi tertentu lahan dapat
menjadi gundul. Akibatnya, pelepasan CO2
ke atmosfer menjadi tinggi dan terjadilah
perubahan iklim.”

3. Ice Cores. Analisis komposisi es pada pusat pengeboran/pelubangan


lempengan es seperti lempengan es Antartika dapat digunakan untuk
menunjukkan hubungan antara suhu dan variasi level muka laut
global. Udara yang terperangkap dalam gelembung di dalam es dapat
juga menunjukkan variasi CO2 di atmosfer pada masa lampau, jauh
sebelum adanya pengaruh lingkungn modern. Pengkajian ice cores
telah menjadi indikator yang signifikan dari perubahan CO2 dalam
beberapa milenium, dan terus menyajikan informasi yang berharga
tentang perbedaan antara kondisi atmosfer tempo dulu dan masa
kini.

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


4. Dendrochronoloy. Dendrochronoloy adalah analisis pola pertumbuhan
lingkaran batang pohon untuk menentukan variasi iklim pada masa
lampau. Lingkaran batang yang besar dan tebal menunjukkan periode
pertumbuhannya subur dan cukup air. Sementara itu, untuk lingkaran
batang pohon yang kecil dan tipis menunjukkan periode dengan
curah hujan rendah sehingga kondisi tersebut kurang ideal untuk
pertumbuhan.
5. Coral atau terumbu karang. Analisis komposisi isotop dari terumbu
karang dilakukan dengan parameter mirip pada ice core atau stalaktit
dan stalagmit. Analisa isotop dapat memberikan informasi umur
lapisan terumbu karang dan juga kandungan zat kimia yang terbentuk
dari jenis iklim yang berbeda. Apabila iklim cenderung basah atau
banyak hujan maka air muka laut akan terasa lebih tawar dan memiliki
kandungan oksigen yang tinggi, demikian juga sebaliknya. Selain itu,
perubahan suhu muka laut juga dapat mempengaruhi pertumbuhan
terumbu karang. Perubahan yang mendadak atau suhu di luar batas
ambang normal mengakibatkan terumbu karang dapat mengalami
proses pemutihan (bleaching). Rekam jejak dari perubahan kondisi
terumbu karang tersebut dapat direkonstruksi ulang berdasarkan
76 analisa isotop per lapisan.

Pengakuan (Testimoni) Masyarakat di Berbagai Daerah


Perubahan iklim juga dirasakan oleh masyarakat seperti yang dirasakan
di Batu (Jawa Timur), Indramayu (Jawa Barat), Bau Bau (Sulawesi Tenggara),
DKI Jakarta, dan Serdang Bedagai (Sumatera Utara). Berikut ini testimoni
masyarakat dari berbagai wilayah.

1. Batu, Jawa Timur.


Keadaan Kota Batu saat ini sudah banyak berubah jika dibandingkan
dengan periode tahun 1960 – 1970. Pada periode tersebut, Kota Batu
masih banyak ditumbuhi pohon dan hutan, udara kotanya juga masih
sangat sejuk, dan jarang terjadi banjir.
Coba bandingkan dengan kondisi sekarang yang sudah banyak
mengalami pembangunan permukiman yang menyebabkan berkurangnya
resapan air hujan. Dampaknya, Kota Batu sering mengalami banjir lantaran
aliran permukaan (run off) menjadi lebih besar. Demikian juga dengan
perubahan suhu, kini masyarakat merasakan udara yang lebih panas jika

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


dibandingkan dengan periode 1960 – 1970.
Hal serupa juga dirasakan oleh kelompok tani yang mengatakan bahwa
musim sudah bergeser. Musim hujan tahun 2010 dirasakan lebih lama
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan hasil panen apel sangat
menurun akibat proses pembungaan terganggu karena curah hujan yang
tinggi.
Bersamaan dengan itu, juga terjadi perubahan-perubahan suhu yang
kuat. Sebelum tahun 1980, pada pukul 10.00 WIB petani masih sanggup
bekerja di ladang. Namun pada masa sekarang ini, pukul 10.00 WIB kondisi
udaranya sudah terasa sangat panas. Mereka sudah tidak sanggup bekerja
di ladang pada jam tersebut. Alasannya, panas sudah terasa sangat terik.
Jika dulu pada pagi hari mereka masih harus memakai baju berlapis-
lapis, maka saat ini mereka sudah tidak perlu lagi mengenakan pakaian
yang berlapis-lapis. Perubahan tersebut sudah mulai terjadi dan mereka
rasakan sejak tiga tahun terakhir.
Masyarakat petani merupakan masyarakat yang memiliki keterkaitan
dengan alam yang cukup besar. Kemampuan mereka membaca alam juga
dapat diperoleh dari hasil wawancara mendalam dimana masa tanam
dilakukan dengan membaca fenomena pohon bambu.
Ketika daun-daun bambu sudah mulai rontok, hal itu menandakan 77
masa persiapan mengolah lahan sudah bisa dimulai. Lalu mereka segera
melakukan penanaman bibit. Namun, sekarang ini pembacaan fenomena
tumbuhan tersebut sudah tidak sesuai dengan tahapan dalam kegiatan
pertanian

2. Indramayu, Jawa Barat.


Berikut ini adalah kondisi cuaca pada tahun 2009 – 2010 yang dirasakan
nelayan Indramayu terkait perubahan atau pergeseran iklim:
m Ada angin selatan tenggara padahal seharusnya tidak ada karena saat
itu adalah musim kemarau.
m Tidak ada musim angin timur.
m Rob makin besar di musim kemarau.
m Jenis ikan berubah.
m Hasil tangkap menurun karena ikan sembunyi di karang.

Biasanya musim tenang terjadi pada September sampai November.


Musim angin tinggi biasanya pada musim tenggara atau Mei hingga

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


Agustus dan musim barat terjadi pada Desember sampai Februari. Namun
sejak tahun 2009 musim-musim tersebut tidak menentu dan cenderung
berubah. Dengan kata lain, masyarakat Indramayu merasakan wilayahnya
telah mengalami pergeseran musim.

3. Bau Bau, Sulawesi Tenggara.


Perubahan yang dirasakan petani di Bau Bau adalah semakin teriknya
Matahari dan kian tidak nyaman. Sebelum terjadi perubahan iklim atau
sekitar tiga musim lalu, petani bisa bekerja di sawah dengan nyaman dari
sekitar pukul 08.00 sampai 11.00 WITa.
Kini mereka merasakan makin terik. Petani memulai kegiatan bertani
sekitar pukul 05.30 – 08.00 WITa. Kemudian pada sore hari (sekitar pukul
16.00 WITa) mereka kembali ke sawah. Jadwal tanam juga bergeser.
Nelayan juga merasakan adanya perubahan iklim di laut. Mereka
merasakan adanya gelombang tidak menentu dan angin kencang semakin
sering terjadi. Sebagian responden menyebutkan, mereka merasakan arus
semakin kuat (87,5 persen) dan kondisi arus semakin tidak menentu.

4. DKI Jakarta.
78 Selama dua musim terakhir, wilayah DKI Jakarta mengalami musim
yang tidak menentu sehingga menyebabkan curah hujan yang tinggi dan
mengakibatkan air laut menjadi tawar. Akibatnya, kepiting kecil lebih
senang berlindung di lumpur di muara-muara sungai dan tidak muncul ke
permukaan.

5. Serdang Bedagai, Sumatera Utara.


Masyarakat di Serdang Bedagai lain lagi pengakuannya. Mereka
merasakan adanya pergeseran musim tangkap dan daerah penangkapan
ikan.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Waryono
Petani padi di Desa Karang Mulya,
Kec. Kandang Haur, Indramayu, Jawa Barat

Petani Merugi Akibat Perubahan Iklim

S
alah satu dampak perubahan iklim
yang dirasakan adalah hujan yang tidak
menentu. Pendapatan pun menjadi
berkurang karena sering berspekulasi dalam
menentukan waktu tanam. Akibatnya, petani
sering mengalami kerugian.
“Namun setelah belajar melalui Sekolah
Lapang Iklim (SLI) yang didukung oleh BMKG,
pendapatan kami kembali meningkat,” kata
Waryono, petani padi di Desa Karang Mulya, Waryono
Indramayu, Jawa Barat.
Adaptasi dilakukan dengan mempelajari informasi curah hujan, dan 79
kondisi cuaca dan iklim. Sementara itu, mitigasinya dengan mengatasi
kebanjiran atau kekeringan.
Informasi tersebut didapat dari BMKG melalui buku dan radio, serta
dengan membaca kearifan lokal seperti tumbuhan pohon randu. Di awal
musim kering, pohon randu akan merontokkan daunnya. Bila musim
hujan, pohon randu tidak berbuah. Begitu pula dengan pohon asam, bila
kelembapannya rendah, maka akan keluar daun muda.
Upaya mitigasi yang ia lakukan adalah tidak membakar jerami dan
mengurangi penggunaan pestisida. “Saya berharap BMKG dapat memberikan
informasi terus- menerus kepada masyarakat, serta mendukung langkah-
langkah mitigasi agar seimbang. Karena akan percuma jika kita hanya
mempelajari hilirnya tanpa memperhatikan hulunya,” saran Waryono.

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


Sarumi
Nelayan dari Baubau, Makassar

Arus Berubah, Ikan Berpindah Tempat

S
ebagai nelayan yang tinggal di pinggir
pantai di Baubau, Makassar, Sarumi
sangat merasakan perubahan yang
terjadi akibat perubahan iklim seperti kondisi
angin, hujan yang tidak menentu, termasuk
sulitnya menentukan lokasi tangkapan ikan.
“Akibat perubahan arus yang terus terjadi, ikan
tidak dapat menetap di satu tempat dalam
jangka waktu yang lama,” ujarnya.
Sarumi
Sarumi berharap, melalui alat tangkap yang
lebih canggih, kendala yang dihadapi saat ini akibat perubahan iklim dapat
diatasi. “Informasi iklim yang diberikan oleh BMKG luar biasa manfaatnya
80 dalam menentukan waktu melaut untuk 3 hari ke depan,” ungkapnya.
Informasi tersebut ia peroleh dari siaran radio.

cgd

I Wayan Suija
Petani Desa Ngkaring Ngkaring, Kota Baubau

Produksi Beras Menurun


Lantaran Iklim Tak Bersahabat

P
erubahan musim sangat jelas pengaruh-nya terhadap petani,
termasuk I Wayan Suija, petani asal Desa Ngkaring Ngkaring, Kota
Baubau. Menurutnya, musim sekarang ini sedang normal dan pada
tahun 2011 tidak dirasakan adanya gagal panen.
Tahun 2010 pernah terjadi gagal panen karena hujan yang terus-
menerus sehingga apa yang direncanakan petani menjadi gagal akibat

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


kelebihan air. Saat ini, ketika iklim sedang
bersahabat, produksi beras mencapai sekitar
100 karung per tahun dalam satu hektar. Pada
tahun sebelumnya, produksinya hanya sekitar
60 karung per hektar.
“Saya mendengarkan informasi iklim dari
BMKG melalui radio setiap pagi dan sore.
Informasi iklim ini kemudian disampaikan
kembali dalam rapat dengan kelompok tani.
I Wayan Suija
Informasi itu sangat bermanfaat, karena curah
hujan bisa diprediksi, sehingga dapat menentukan waktu untuk menjemur
dan menanam, seperti sayuran, cabai, dan beras,” ungkap Wayan.
Selain itu, ia juga mendapatkan informasi melalui televisi, namun yang
didapatkan masih sangat umum. “Harapan saya, pemerintah atau BMKG
dapat selalu memperhatikan nasib petani serta kelanjutannya dan selalu
memberikan informasi iklin kepada petani,” pintanya.

81

Indikasi Terjadinya Perubahan Iklim di Indonesia


BAB 7.

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

D
ampak perubahan iklim telah dirasakan di berbagai penjuru dunia,
termasuk Indonesia. Dampak tersebut bervariasi, tergantung letak
wilayahnya. Bangkok, ibu kota Thailand misalnya, dapat menjadi
contoh menarik dari adanya dampak perubahan iklim.
Banjir besar yang terjadi akhir Oktober 2011 merupakan bencana terburuk 83
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hingga akhir November 2011, banjir
itu makin meluas hampir ke seluruh daerah-daerah vital di kota Bangkok.
Negara pengekspor beras terbesar di dunia itu seolah tak kuasa
menghadapi bencana banjir yang telah menewaskan lebih dari 300 orang.
Perekonomian negara itu terancam lumpuh total.
Inilah salah satu dampak perubahan iklim yang dirasakan secara langsung
oleh masyarakat Thailand. Bencana banjir ini merupakan dampak fisik yang
langsung dirasakan pengaruhnya terhadap aktivitas manusia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Disadari atau tidak, dampak perubahan
iklim di Indonesia juga telah dirasakan, baik secara langsung (fisik) maupun
tak langsung (nonfisik). Berikut ini penjelasan dari kedua dampak tersebut.

7.1. Dampak Fisik


Secara fisik, dampak perubahan iklim di Indonesia telah dirasakan oleh
berbagai lapisan masyarakat. Anomali iklim dan musim pada tahun 2010
adalah salah satu contohnya. Sepanjang tahun itu, hujan terus mengguyur
seluruh wilayah Indonesia sekalipun daerah tersebut mengalami musim

Dampak Perubahan Iklim


kemarau. Dampak perubahan iklim telah menyebabkan terjadinya anomali
dan iklim di Indonesia.
Di luar itu, dampak fisik lainnya adalah terjadi perubahan siklus air dan
perluasan wilayah tropis, perubahan frekuensi kejadian ENSO, peningkatan
kejadian puting beliung, kejadian iklim ekstrem, serta gelombang tinggi.
Berikut ini penjelasan dari setiap dampak tersebut.

a. Perubahan siklus air dan perluasan wilayah tropis.


Kondisi muka Bumi yang semakin panas menyebabkan terjadinya
perubahan siklus air, baik di laut maupun atmosfer. Memanasnya muka laut
di daerah tropis menyebabkan evaporasi meningkat. Bersamaan dengan itu,
juga terjadi peningkatan volume air dalam pembentukan awan. Akibatnya,
terjadi curah hujan dengan intensitas yang lebih tinggi.
Di sisi lain, semakin kuat penguapan, sirkulasi arus laut juga meningkat.
Beberapa dampak dari proses ini adalah lapisan troposfer di daerah tropis
akan meningkat, termasuk daerah dengan suhu di atas 0 oC naik menjadi
lebih tinggi.
Peningkatan penguapan yang tinggi akan menyebabkan daerah tropis
menjadi jenuh. Akibatnya, wilayah tropis semakin meluas dan menciptakan
84 wilayah tropis baru di daerah subtropis.
Konsekuensi logisnya, terjadi perubahan ketahanan dari berbagai
komoditas pertanian khas tropis. Selain itu, hama dan penyakit tanaman yang
selama ini hanya menyerang di daerah tropis akan menjalar ke daerah tropis
yang baru terbentuk tersebut (subtropis).

“Dampak lain dari percepatan dan peningkatan


intensitas siklus air adalah adanya penguatan
sumber fenomena cuaca. Artinya, daerah yang
memiliki potensi basah akan semakin lebih basah.
Sebaliknya, wilayah yang berpotensi kering akan
menjadi lebih kering. Penguatan sumber fenomena
cuaca ini berkaitan dengan meningkatnya besaran
energi di atmosfer.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Dampak lain dari percepatan dan peningkatan intensitas siklus air adalah
adanya penguatan sumber fenomena cuaca. Artinya, daerah yang memiliki
potensi basah akan semakin lebih basah. Sebaliknya, wilayah yang berpotensi
kering akan menjadi lebih kering. Penguatan sumber fenomena cuaca ini
berkaitan dengan meningkatnya besaran energi di atmosfer.
Beberapa contoh kasus yang berhubungan dengan hal ini adalah
peningkatan intensitas siklon tropis dan berbagai jenis cuaca ekstrem lainnya.
Peningkatan sumber energi di atmosfer menyebabkan siklon tropis menjadi
lebih garang dan memiliki ekor yang jauh lebih kuat dan lebih panjang.
Akibatnya, ada wilayah di Indonesia yang terkena ekor siklon kuat sehingga
menyebabkan hujan deras dan banjir. Sedangkan di wilayah lain akan kering
karena sumber uap air tertarik ke wilayah ekor siklon.
Pada dasarnya, Indonesia bukanlah wilayah yang dilewati siklon. Siklon
hanya melintas pada daerah di atas lintang 10 derajat. Namun demikian,
ekor siklon tersebut dapat mencapai wilayah Indonesia. Ketika terjadi siklon
yang kuat, praktis ekor siklon tersebut semakin panjang menerjang wilayah
Indonesia.

85

Gambar 7.1. Ilustrasi perubahan siklus air. Ketika suhu muka laut berubah menjadi lebih
panas maka volume uap air dan presipitasi atau curah hujan akan semakin
tinggi.

Dampak Perubahan Iklim


86

Gambar 7.2. Peta risiko bencana alam berupa gempa bumi, gunung api, dan siklon di Indonesia.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


b. Anomali iklim dan musim.
Dalam kondisi normal, Indonesia memiliki dua musim; hujan dan kemarau.
Namun sepanjang tahun 2010, hampir seluruh kawasan Indonesia hanya
mengalami musim hujan. Hal ini menyebabkan berbagai macam dampak,
baik pada produksi pertanian, perkebunan, perikanan, transportasi, maupun
gangguan pada beberapa jenis (spesies) hewan dan tumbuhan tertentu.
Salah satu contoh yang pernah menghebohkan adalah ledakan populasi
ulat bulu di Pulau Jawa akhir tahun 2010. Menurut pakar ulat bulu IPB (Institut
Pertanian Bogor), Prof Dr Aunu Rauf, membludaknya populasi ulat bulu
tersebut dipicu oleh musim hujan yang berkepanjangan pada tahun 2010.
Akibat musim hujan yang panjang, keseimbangan antara populasi ulat
dan musuh alaminya (predator dan parasitoid) terganggu. Dengan kata lain,
jumlah predator sangat minim, tidak sebanding dengan ulat bulu. Inilah yang
menjadikan populasi ulat bulu berkembang pesat.
Dampak dari anomali iklim dan musim lainnya adalah penurunan produksi
pertanian dan perkebunan. Pada tahun 2010 misalnya, ketika hujan terus
mengguyur daerah perkebunan tebu berdampak pada penurunan produksi
gula.
Hujan yang terlalu banyak itu selain menurunkan kadar rendemen gula
pada tanaman tebu, juga menyulitkan petani memanen tebu. Maklum, truk- 87
truk tak mampu melewati jalan-jalan tanah yang becek dan licin. Akibatnya,
pabrik gula tak mampu menggiling tebu sesuai dengan kapasitasnya.
Musim hujan sepanjang tahun juga menyebabkan mundurnya musim
tanam. Kondisi ini menjadi semakin buruk dengan adanya serangan OPT
(organisme pengganggu tanaman) sehingga produksi padi menurun.
Penurunan produksi tersebut sebenarnya juga sudah diketahui melalui angka
ramalan (Aram) II; dibandingkan tahun 2009, produksi padi pada tahun 2010
mengalami penurunan.

c. Perubahan frekuensi El Nino dan La Nina (ENSO).


El Nino diartikan sebagai fenomena di wilayah Samudra Pasifik ekuatorial
yang ditandai dengan adanya perbedaan positif antara suhu muka laut atau
sea surface temperature (SST) yang teramati di wilayah Nino 3,4 dibandingkan
periode normal.
Perlu diketahui, secara geografis, wilayah Nino 3,4 terletak di 120o – 170o
Bujur Barat dan 5o Lintang Utara – 5o Lintang Selatan. Dalam perhitungan
tersebut, data SST rata-rata yang digunakan adalah dari tahun 1971 – 2000.

Dampak Perubahan Iklim


El Nino diakibatkan oleh pindahnya kolam hangat (warm pool) dari utara
Irian ke Pasifik tengah akibat suhu di lapisan thermocline sudah melewati
nilai kritis. Perpindahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari tingginya
perbedaan suhu di daerah warm pool dengan di Pasifik tengah.
Berdasarkan hukum mekanika fluida, hal itu akan menyebabkan
perpindahan aliran warm pool menuju ke Pasifik tengah dengan pusat di
kedalaman thermocline. Sementara itu, La Nina merupakan kondisi kebalikan
dari El Nino atau fase dingin dari ENSO atau El Nino Southern Oscillation
(NOAA News Online, 23 Februari 2005).
Seperti diuraikan sebelumnya, salah satu fenomena iklim global yang
sangat berpengaruh di wilayah Indonesia, baik di atmosfer maupun di laut
adalah ENSO yang di antaranya terdapat fenomena El Nino. Untuk mengetahui
pengaruh pemanasan global terhadap fenomena El Nino dapat dilihat dari
mekanisme kerja El Nino itu sendiri.
Hangatnya suhu muka laut di utara Pulau Papua juga membentuk kolam
hangat di laut dalam (deep sea) pada lapisan thermocline dengan kedalaman
hingga 300 m. Ketika lapisan thermocline ini memiliki perbedaan suhu air
yang tinggi dengan daerah di Pasifik tengah maka akan terjadi perpindahan
kolam hangat ke arah timur (Samudra Pasifik).
88 Kondisi ini dikenal sebagai fenomena El Nino. Pengaruh dari pemanasan
global terhadap fenomena ini adalah lebih cepat terkumpulnya energi di
kolam hangat, baik di permukaan laut maupun di lapisan thermocline.
Dengan demikian, kolam hangat menjadi lebih hangat, potensi mencapai
suhu kritis lebih tinggi dan lebih mudah pindah ke Pasifik tengah. Berdasarkan
pengetahuan ini kita dapat memperkirakan bahwa pemanasan global
akan menimbulkan frekuensi kejadian El Nino meningkat lantaran proses
penumpukan panas akan semakin cepat (lihat Gambar 7.3).

Gambar 7.3. Peningkatan intensitas El Nino berdasarkan pada indeks suhu muka laut wilayah
Nino3 dari tahun 1950 – 2005.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Selain itu, pemanasan global juga dapat memperkuat intensitas El Nino
akibat kekuatan pemanasan dari massa air laut yang menumpuk di daerah
kolam hangat. Menurut penelitian Aldrian dan Susanto (2003), dampak El
Nino tidaklah sama untuk seluruh wilayah Indonesia, tergantung pola curah
hujan suatu daerah tertentu. Di daerah dengan pola hujan monsoon misalnya,
memiliki pengaruh El Nino yang kuat.

d. Kebakaran hutan.
Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan meskipun
hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia.
Kebakaran hutan meningkat tajam apabila terjadi hari tanpa hujan di atas
seminggu.
Pada tahun-tahun terjadinya El Nino, kasus kebakaran lahan dan hutan
juga meningkat tajam. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Nina atau kemarau
basah, kebakaran hutan menurun.
Jumlah titik api (hot spot) di Pulau Kalimantan dan Sumatera berkorelasi
kuat dengan tingkat intensitas El Nino yang terjadi di Samudra Pasifik yang
diwakili oleh suhu muka laut di wilayah Nino3 (lihat Gambar 7.4). Besaran
korelasi meningkat pada paruh setengah tahun kedua antara bulan Juli dan
Desember. 89

Gambar 7.4. Korelasi antara jumlah titik api (hot spot) dan intensitas El Nino di Pulau
Kalimantan dan Sumatera. Banyaknya jumlah titik api tersebut menunjukkan El
Nino sedang terjadi.

Dampak Perubahan Iklim


90

Gambar 7.5. Peta kejadian kebakaran hutan di Indonesia selama kurun waktu 1997 sampai 2005.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


e. Meningkatnya kejadian puting beliung.
Pemanasan global akan meningkatkan “Pemanasan
temperatur permukaan sehingga menimbulkan global akan
kenaikan perbedaan tekanan udara antara
meningkatkan
satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi
ini dapat memicu kenaikan frekuensi kejadian temperatur
angin puting beliung. Seperti diketahui, permukaan
angin merupakan salah satu unsur iklim yang
sehingga
dikendalikan oleh radiasi Matahari, perbedaan
topografi, dan perbedaan tekanan udara. menimbulkan
Menurut catatan BMKG, sepanjang tahun kenaikan
2007 – Maret 2008 terjadi 23 kejadian puting
beliung di Provinsi Jawa Barat, Banten, dan
perbedaan
DKI Jakarta. Kerusakan yang ditimbulkan oleh tekanan udara
puting beliung tersebut bervariasi, mulai antara satu
ringan hingga sedang.
Angin puting beliung ini merusak
daerah dengan
cerobong asap, mematahkan dahan pohon, daerah lainnya.
menumbangkan pohon-pohon berakar Kondisi ini dapat 91
dangkal, dan merobohkan papan-papan iklan.
Selain itu, di wilayah lain, angin puting beliung
memicu kenaikan
juga menghamburkan atap rumah. Bahkan frekuensi
rumah semi permanen pun ikut bergeser kejadian angin
tertiup angin puting beliung.
Kondisi semacam ini juga makin sering puting beliung.”
terjadi di Bogor akhir Oktober 2011. Hujan
yang disertai angin kencang itu telah merobohkan pohon, menerbangkan
atap rumah, dan menjungkalkan papan-papan iklan di pinggir-pinggir jalan.

f. Kejadian iklim ekstrem (banjir dan kekeringan).


Secara geografis, posisi Indonesia yang terletak di antara dua samudra
(Pasifik dan Hindia) sangat rawan terhadap kejadian iklim ekstrem berupa
banjir dan kekeringan. Apalagi dengan adanya perubahan iklim, El Nino akan
menyebabkan kekeringan di Indonesia, terutama wilayah yang mempunyai
pola curah hujan bertipe monsoon.
BMKG mencatat, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera akibat
kemarau panjang terjadi pada tahun-tahun El-Nino, yakni 1997, 2002, 2004,

Dampak Perubahan Iklim


dan 2006. Hutan gambut di Kalimantan misalnya, secara alami mudah terbakar
ketika kemarau panjang melanda kawasan tersebut.
Di saat El-Nino kekeringan juga mengancam daerah pertanian di
berbagai wilayah di Indonesia. Banyak petani gagal panen lantaran kemarau
berkepanjangan sehingga persediaan air untuk tanaman terbatas.
Sementara itu, ketika terjadi La Nina, curah hujan di Indonesia meningkat
pada saat musim kemarau. Fenomena tersebut juga menyebabkan awal
musim hujan bergeser maju (Bell et al., 1999).
Pada tahun 2010 misalnya, terjadi suatu fenomena kemarau basah
sehingga sepanjang tahun terjadi musim hujan. Hal ini merupakan salah satu
contoh iklim ekstrem yang terjadi di Indonesia sebagai akibat dari terjadinya
perubahan iklim.
La Nina juga sering mengakibatkan banjir. Di Indramayu, Jawa Barat
misalnya, tanaman padi yang siap panen tenggelam akibat banjir. Begitu juga
dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Banjir telah
mengakibatkan roda perekonomian terganggu.
Di samping banjir dan kekeringan, perubahan iklim juga berdampak pada
terjadinya rob (muka laut meluber ke daratan akibat gelombang pasang)
yang merusak berbagai infrastruktur. Kasus semacam ini banyak terjadi di
92 Semarang dan Demak, Jawa Tengah.

Gambar 7.6. Banjir di Indramayu menerjang areal padi sawah akan dipanen.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Dampak Perubahan Iklim
Gambar 7.7. Peta bencana banjir di Indonesia tahun 1985 sampai 2005.
93
94

Gambar 7.8. Peta bencana kekeringan di Indonesia tahun 1980 sampai 2001.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


g. Hujan asam dan pengasaman di laut.
Penumpukan konsentrasi gas rumah kaca akan menyebabkan peningkatan
komposisi asam lemah di atmosfer. Senyawa dengan ikatan karbon
merupakan jenis senyawa asam lemah yang juga bertambah di atmosfer. Jika
tidak terdeposisi atau turun maka senyawa tersebut akan terus melayang di
atmosfer sampai batas waktu usia senyawa gas rumah kaca tersebut.
Deposisi dapat terjadi pada dua jenis, yaitu deposisi basah akibat terbawa
air hujan atau deposisi kering yang terbawa oleh angin atau akibat lain.
Deposisi basah terjadi dengan perubahan komposisi kimia air hujan sehingga
air hujan akan bersifat masam.
Dengan melakukan analisa kimia air hujan, kita dapat mengetahui unsur
senyawa yang terdapat pada air hujan dan juga derajat keasaman yang
terbawa. Sampel (contoh) air hujan diuji dengan alat ion chromatography
untuk melihat unsur senyawa yang terlarut. Batas ambang derajat keasaman
air hujan yang biasa dipakai adalah dengan pH 5,6.
Deposisi senyawa asam yang bercampur dengan air hujan tersebut lalu
terbawa turun ke permukaan bumi, termasuk ke permukaan air laut. Hal ini
menimbulkan terjadinya pengasaman di laut.

h. Rob dan gelombang tinggi di laut. 95


Rob merupakan gejala naiknya muka air laut di daerah pesisir akibat pasang
laut. Peristiwa ini lebih disebabkan oleh perubahan struktur fisik muka tanah
di wilayah pesisir yang menyebabkan intrusi air laut ke daerah pesisir.
Peristiwa rob terjadi di banyak kota besar yang berada di wilayah pesisir
seperti Jakarta dan Semarang. Dengan naiknya muka air laut akibat pemanasan
global maka ancaman kejadian rob akan semakin meningkat.

Gambar 7.9. Rob di Demak (kiri) dan Semarang (kanan) ini telah merangsek jauh hingga ke
daratan.

Dampak Perubahan Iklim


Selain rob, juga terjadi gelombang tinggi di laut akibat cuaca ekstrem
yang meningkat. Gelombang tinggi berkorelasi dengan kuatnya tiupan angin
kencang akibat peristiwa pembentukan awan hujan yang kuat.
Gelombang tinggi yang sering terjadi pada musim pancaroba dan puncak
musim hujan ini seringkali menimbulkan kecelakaan pada transportasi laut.
Selain itu, nelayan juga tidak berani melaut dan menangkap ikan ketika terjadi
gelombang tinggi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, berbagai
bencana hidrometeorologi (tanah longsor, banjir, kekeringan, angin topan,
gelombang pasang, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan) telah melanda
Indonesia belakangan ini (lihat Tabel 7.1). Berbagai bencana tersebut
menimbulkan korban manusia dan kerusakan rumah yang tidak sedikt (lihat
Tabel 7.2).

Tabel 7.1. Kejadian bencana hidrometeorologi tahun 2002 – 2010 (Sumber:


Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Tahun
Jenis Bencana
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
96 Tanah Longsor 48 70 54 50 73 104 112 225 401 115
Banjir dan
17 37 9 13 31 52 39 14 43 69
Tanah Longsor
Banjir 51 159 285 248 328 339 495 478 1.016 119
Kekeringan - 66 327 222 184 152 198 101 43 0

Angin Topan 14 30 65 47 84 122 166 350 402 137

Gelombang
- 6 8 6 14 30 34 36 12 13
Pasang/Abrasi
Kebakaran
Hutan dan 4 21 10 2 - - 11 34 4 7
Lahan
Total 134 389 758 588 714 799 1.055 1.238 1.921 460

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Tabel 7.2. Dampak kejadian bencana hidrometeorologi di Indonesia pada
April 2011 . (Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Korban Kerusakan Rumah
Jumlah Menderita
Jenis Bencana
Kejadian Meninggal dan
Rusak Rusak Rusak
Terendam
dan Hilang Berat Sedang Ringan
Mengungsi
Angin Topan 72 7 5.540 822 696 3.527  
Banjir 49 9 88.040 325 6 4.068 42.297
Banjir bandang 29 50 16.868 529 37 1.262 9.197
Banjir dan tanah 8 5 8.731 2.824 253 4.452 212
longsor
Gelombang 8 4 3.498 85 86 108 574
pasang/abrasi
Kebakaran 70 4 1.556 327 1 35  
Kebakaran 1        
hutan dan lahan - -
Tanah longsor 38 36 681 175 4 119  
Total 275 115 124.914 5.087 1.083 13.571 52.280

7.2. Dampak Nonfisik


Dampak perubahan iklim secara nonfisik terjadi akibat hubungan tidak 97
langsung yang pada akhirnya mengganggu aktivitas kehidupan manusia.
Meskipun dampak ini tidak terlihat pada parameter perubahan iklim, namun
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisik seperti pada struktur
bangunan dan fasilitas pendukung lainnya.
Berikut ini beberapa sektor atau bidang yang dianggap sensitif terhadap
dampak perubahan iklim:

1. Kesehatan
• Kasus demam berdarah (DBD) dan malaria meningkat. Peningkatan ini
disebabkan oleh naiknya suhu daratan pada masa transisi antar musim.
Anomali iklim pada tahun 2010 mengakibatkan sepanjang tahun terjadi
kemarau basah dengan diselingi hari hujan. Pada saat yang sama,
saluran-saluran air banyak yang mampet sehingga air buangan tidak
dapat mengalir. Kondisi ini sangat nyaman bagi pertumbuhan nyamuk
sebagai vector borne untuk DBD sehingga penderita demam berdarah
meningkat. Kasus ini meningkat lebih tinggi pada masa peralihan dari
musim hujan ke kemarau dibandingkan masa peralihan dari musim

Dampak Perubahan Iklim


kemarau ke hujan. Hal ini dikarenakan pada masa peralihan pertama
masih banyak hujan atau sisa aliran air permukaan. Sementara itu, pada
masa peralihan kedua, suhu di daratan lebih tinggi dari biasanya.
• Ancaman diare sepanjang tahun. Masih di tahun 2010, perubahan
musim seperti berlebihnya aliran air di permukaan mengancam
penyebaran penyakit menular melalui air. Musim hujan yang
berkepanjangan tersebut menyebabkan terjadinya epidemi diare
sepanjang tahun.
• Peningkatan kasus kebakaran hutan akibat kekeringan yang berlanjut
akan mengakibatkan penyakit pernapasan seperti Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA). Pada musim kemarau, aliran udara bergerak
secara horisontal dan tidak ada daya angkat seperti pada musim
penghujan. Akibatnya, debu partikulat dari asap kebakaran hutan
tersebut menumpuk di permukaan dan menimbulkan kepekatan
sehingga rawan terhadap penyakit ISPA.

2. Infrastruktur
• Kerusakan infrastruktur terkait erat dengan perubahan curah hujan
terutama peningkatan cuaca ekstrem. Struktur bangunan, terutama
98 kapasitas dan daya maksimum beban, bisa terkena dampak ketika
limpahan curah hujannya sangat tinggi. Perubahan pola tersebut
akan banyak mempengaruhi kekuatan struktur dalam jangka panjang.
Kerusakan yang terjadi seringkali tidak terasa dalam jangka pendek
tetapi lambat laun akan terasa nyata. Salah satu akibat curah hujan
ekstrem yang berpengaruh pada infrastruktur adalah badai dan banjir.
Kelebihan curah hujan di hulu dapat merusak kapasitas tampung
reservoir air untuk PLTA sehingga seringkali melimpas menjadi aliran
buangan yang kurang bermanfaat. Selain itu, curah hujan yang tinggi
dapat menimbulkan pendangkalan di waduk sebagai akibat dari
banyaknya erosi yang dibawa air hujan tadi. Kebijakan pembuangan
limpasan air dan pengerukan sedimen lumpur perlu diambil sebagai
solusi antisipasi agar kapasitas struktur bangunan waduk tidak
mengalami kerusakan secara permanen.
• Peningkatan suhu ekstrem dapat mempengaruhi tingginya paras muka
air laut yang lambat laun akan mempengaruhi infrastruktur di wilayah
pesisir. Tambak-tambak ikan dan udang di daerah pesisir misalnya,
akan tergenang air akibat tingginya kenaikan muka air laut.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


3. Energi
• Penurunan intensitas curah hujan pada musim kemarau dan
peningkatan kekeringan akan menyebabkan pasokan air berkurang
dan mempengaruhi ketersediaan air terutama pada pembangkit listrik
tenaga air (PLTA). Penurunan curah hujan akan berdampak langsung
pada penurunan debit aliran permukaan. Diperlukan antisipasi jauh
lebih dini untuk peringatan dini iklim ekstrem dan manajemen sumber
daya energi yang lebih baik untuk pengelolaan reservoir air (danau
dan waduk) terutama untuk keperluan pembangkit energi.
• Peningkatan suhu di pesisir akan mempersulit proses pendinginan
pembangkit listrik yang sedianya memanfaatkan air laut sebagai
pendingin alamiah. Diperlukan upaya adaptasi berupa pengambilan
air pendingin pada kedalaman laut yang lebih dalam dibandingkan
biasanya. Atau cara lain, perlu dilakukan penyesuaian dalam proses
pendinginannya.

4. Sumber daya air


• Perubahan pola curah hujan dapat berdampak pada berkurangnya
ketersediaan air di permukaan dan penurunan kualitas air akibat
pekatnya kandungan polutan di air permukaan yang menurun 99
kuantitasnya. Permasalahan sumber daya air menyangkut aliran air di
permukaan dan aliran air di bawah tanah. Permasalahan utama sumber
daya air di Indonesia adalah tidak meratanya distribusi musiman
dari air yang tersedia. Dengan jumlah curah hujan sekitar 2.300 mm
per tahun sebenarnya Pulau Jawa memiliki kelebihan sumber daya
air, tetapi sekitar 80 % air yang tercurah tersebut jatuh pada musim
hujan. Sisanya yang 20 % tercurah pada musim kemarau. Dalam hal ini
diperlukan manajemen sumber daya air yang mengacu pada prediksi
iklim yang jitu untuk mendukung ketersediaan sumber daya air yang
memadai sepanjang tahun.

5. Pertanian
• Pergeseran musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi pola
masa (kalender) tanam dan perubahan pola tanam.
• Perubahan suhu dapat menyebabkan peningkatan serangan hama
penyakit atau organisme pengganggu tanaman (OPT), dan gosong
daun pada sayuran.

Dampak Perubahan Iklim


• Perubahan pola angin dapat menyebabkan penyebaran hama,
terganggunya penyerbukan dan pembuahan.
• Perubahan pola hujan, khususnya kekeringan dan banjir, dapat
menyebabkan kegagalan pembuahan dan penyerbukan.
• Perubahan kelembaban dapat menyebabkan peningkatan OPT.
• Peningkatan tinggi muka laut dapat menyebabkan masuknya air asin
ke areal persawahan di wilayah pesisir.

6. Kelautan dan perikanan


• Pergeseran musim dapat menyebabkan terjadinya perubahan waktu
dan jenis tangkapan ikan.
• Perubahan suhu muka laut dapat menyebabkan perubahan lokasi
tangkapan, perpindahan lokasi ikan, serta pengurangan jenis dan
jumlah ikan.
• Perubahan pola angin dan gelombang tinggi dapat menyebabkan ne-
layan gagal melaut. Selain itu, perubahan tersebut juga dapat meng-
akibatkan terjadinya pengadukan di waduk, tambak, dan keramba ja-
ring apung sehingga turbiditas meningkat.
• Perubahan pola hujan, fenomena banjir, dan kekeringan dapat
100 mempengaruhi pola budi daya petani tambak.
• Perubahan frekuensi El Nino dapat menyebabkan peningkatan hasil
tangkapan (tuna) dan peningkatan produksi garam. Sebaliknya, pada
saat La Nina dan kemarau basah dapat menyebabkan produksi garam
turun dan hasil penangkapan tuna jauh berkurang.
• Perubahan kelembaban udara dapat menyebabkan peningkatan
keasinan air tambak dan mempengaruhi pola budi daya.
• Peningkatan tinggi muka laut dapat menyebabkan peningkatan ter-
jadinya rob, erosi tebing pantai, serta tenggelamnya pulau dan tam-
bak.

7. Wisata
• Perubahan suhu muka Bumi menyebabkan terjadinya pemutihan
(bleaching) terumbu karang yang merupakan kerusakan objek wisata
bahari. Pemutihan terumbu karang tersebut lebih disebabkan oleh
perubahan suhu yang mendadak, baik peningkatan akibat pemanasan
global maupun tahun-tahun El Nino. Padahal untuk memulihkan
terumbu karang seperti kondisi semula dibutuhkan waktu yang sangat

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


lama, dapat mencapai ratusan tahun.
• Akibat suhu meningkat dan perubahan pola musim, beberapa jenis
flora dan fauna terancam punah. Padahal flora dan fauna tersebut
selama ini menjadi pesona wisata Indonesia.
• Kenaikan muka laut dapat menyebabkan terjadinya banjir atau rob di
wilayah pesisir yang dapat pula merusak infrastruktur wisata seperti
akses jalan, fasilitas rekreasi, dan lain-lain.
• Peningkatan iklim ekstrem di laut, darat, dan udara dapat menyebabkan
terganggunya transportasi wisata yang pada akhirnya dapat mengurangi
minat wisatawan untuk berkunjung atau dapat mempersingkat waktu
kunjungan.
• Industri wisata menyukai suasana cerah sinar Matahari. Jadi, jika iklim
kemarau basah terus terjadi dan sinar Matahari berkurang, praktis
dapat menurunkan daya tarik bagi para wisatawan.

8. Kehutanan
• Peningkatan suhu dan perubahan pola hujan, seperti kemarau panjang,
dapat menyebabkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan
serta mengancam ketersediaan air.
• Perubahan biodiversitas dapat terjadi dikarenakan perubahan suhu 101
dan pola curah hujan akibat iklim ekstrem. Di lain pihak, terjadinya
kemarau basah dapat menguntungkan karena dapat mempercepat
penghijauan di sektor kehutanan.

9. Transportasi
• Peningkatan curah hujan ekstrem dan perubahan pola angin dapat
menyebabkan terganggunya transportasi baik di darat, laut, maupun
udara. Bahkan iklim dan cuaca ekstrem seringkali menjadi biang
terjadinya berbagai kecelakaan. Transportasi darat misalnya, terganggu
dan bahkan menimbulkan kecelakaan serius ketika curah hujan tinggi
yang diikuti tanah longsor. Tanah longsor itu menimbun jalan raya
dan mengubur kendaraan yang melintas. Di laut, akibat gelombang
tinggi, menimbulkan gangguan pada kapal penumpang dan barang
yang sedang berlayar. Begitu juga di udara, akibat adanya hempasan
angin samping, angin lereng, dan pertumbuhan awan konvektif, laju
pesawat terbang menjadi kurang nyaman.

Dampak Perubahan Iklim


Tabel 7.3. Dampak perubahan iklim di berbagai sektor.

Sektor Curah hujan


Suhu
(kualitas & kuantitas)

Pertanian • Penurunan produktivitas, produksi, mutu hasil, • penurunan hasil produksi karena
efisiensi, dll karena banjir, kekeringan (kemarau tanaman
panjang), dan hujan asam. • Peningkatan serangan OPT (orga-
• Penyusutan & degradasi lahan tanaman)
• Perubahan kesesuaian jenis ta-

Infrastruktur • Kerusakan infrastruktur akibat banjir Rusaknya infrastruktur akibat


• Kerusakan bangunan akibat hujan asam peningkatan suhu
• Kerusakan akibat abrasi

Infrastruktur • Kerusakan infrastruktur akibat banjir


daerah pesisir • Peningkatan abrasi

Kesehatan • Penurunan daya tahan tubuh • Penurunan daya tahan tubuh


• Peningkatan serangan penyakit • Peningkatan serangan penyakit
• Ancaman kekurangan pangan
• Penurunan mutu air konsumsi
102
Perikanan dan Kendala melaut meningkat dengan peningkatan Pengadukan pada danau, waduk,
kelautan kejadian dan intensitas dan tambak budi daya sehingga
mengakibatkan kematian karena
keracunan pada ikan.
Transportasi Terganggunya transportasi laut dan udara Terganggunya transportasi laut dan
udara

Sumber daya • CH (kekeringan) Penurunan SDA karena


air • Meningkatkan jumlah kejadian banjir selama 5 meningkatnya penguapan
tahun terakhir
• Peningkatan frekuensi dan intensitas banjir
Energi Penurunan ketersediaan air untuk pembangkit Terganggunya proses pendinginan
listrik tenaga air terutama selama musim pembangkit listrik
kemarau
Wisata Perubahan debit sungai sarana wisata dan olah • Penurunan tingkat kenyamanan
raga wisata
• Penurunan potensi wisata
daerah pegunungan
Kehutanan • Peningkatan risiko kekeringan dan kebakaran • Peningkatan risiko kebakaran
hutan hutan
• Pengurangan lahan gambut • Punahnya beberapa spesies

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Parameter Utama Perubahan Iklim
Kenaikan
Kelembaban udara Angin permukaan air laut Musim
dan rob
terjadi busuk pada • Terjadinya gagal • Intrusi air laut dan
penyerbukan dan gagal rob Perubahan kalender
nisme pengganggu pembuahan • Penyusutan & tanam
• Peningkatan degradasi lahan
naman. evapotranspirasi
• Penyebaran OPT
Kerusakan bangunan oleh Kerusakan bangunan karena Rusaknya infrastruk- Terganggunya
jamur dan udara lembab puting beliung dan badai tur pesisir perencanaan
pembangunan oleh
perubahan musim
yang sulit diprediksi
Kerusakan bangunan oleh Kerusakan bangunan karena Kerusakan
jamur dan udara lembab puting beliung dan badai permukiman dan
bangunan pesisir
• Penurunan daya tahan Penyebaran penyakit Munculnya penyakit • Peningkatan
tubuh kulit dan pencernaan penyakit outbreak
• Peningkatan serangan • Munculnya jenis
penyakit penyakit baru
103
Keteraturan musim Terganggunya Sulit memprediksi
terganggu yang merubah aktivitas perikanan musim ikan dan angin
lokasi, jenis, dan waktu (TPI) di pesisir
penangkapan.
Terganggunya transportasi Banjir di wilayah ban-
laut dan udara dara dan pelabuhan,
serta jalan raya di
sekitar pantai
Penurunan SDA Penurunan SDA karena Penurunan mutu air Terganggunya supply
karena meningkatnya meningkatnya penguapan tanah daerah pesisir waduk
penguapan

Peningkatan energi kinetik Terganggunya PLTA


untuk pembangkit listrik oleh perubahan suplly
air waduk
Penurunan tingkat Potensi wisata olah raga Kerusakan daerah Pola kunjungan wisata
kenyamanan wisata meningkat wisata pantai dan yang sulit diprediksi
pulau

Peningkatan cendawan Perluasan wilayah kebakaran Rusaknya hutan Gagalnya pembu-


dan penyakit pohon hutan dan semakin sulitnya mangrove ngaan dan perkem-
penanganan kebakaran bangbiakan tanaman
hutan

Dampak Perubahan Iklim


Hendra Yusran Siry
Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Perubahan Iklim Menambah Masalah


Kian Kompleks

A
nugerah geografis sekaligus ciri
kewilayahan Indonesia sebagai
negara kepulauan (archipelagic state)
terbesar berperan penting dalam sistem
iklim global. Dengan 17.480 buah pulau serta
garis pantai sepanjang sekitar 95.181 km,
pesisir dan laut Indonesia merupakan bagian
penting dari regulator iklim global.
Kondisi geografis ini juga memiliki
104 kerentanan terhadap perubahan iklim
yang telah, sedang, dan akan berlangsung. Hendra Yusran Siry
Perubahan iklim memicu dan memacu
anomali serta variabilitas iklim dan mengakibatkan percepatan dan
kekerapan berbagai kejadian iklim yang luar biasa (extreme climate
events) seperti peningkatan intensitas El Nino dan La Nina, kenaikan curah
hujan yang tinggi, dan kenaikan tinggi muka air laut. Perubahan iklim
juga berdampak pada kejadian iklim yang berlangsung perlahan namun
mempunyai dampak kerusakan besar atau slow onset climate events.
Perubahan iklim dan dampaknya mempunyai dimensi sosial yang sangat
tinggi. Berubah dan bervariasinya iklim yang berakibat pada perubahan
bagi masyarakat serta tatanannya adalah dimensi sosial yang harus
dicermati dan diantisiapasi. Kompleksitas skala dan dampak perubahan
iklim menempatkan dimensi sosial dan ekonomi sebagai rujukan penting
dalam penerapan berbagai upaya mengatasi dan mengantisipasi dampak
perubahan iklim.
Panel Internasional Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bahwa
pemanasan global dan perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis. Naiknya tinggi
muka air laut di sebagian pesisir yang mempunyai tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, telah menyebabkan terjadinya kerawanan yang
serius serta penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan pesisir dan
laut.
Perubahan iklim dan kompleksitas skala serta dampaknya menuntut
perlunya strategi adaptasi dan mitigasi yang tepat. Rentang pemahaman
strategi adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim masih beragam dan
membutuhkan tingkat pemahaman yang sama serta keterpaduan guna
mencegah kebuntuan dan terjadinya maladaptasi dan malmitigasi, yang
pada akhirnya memiliki dampak yang lebih besar.
Perubahan iklim juga memperburuk dan menambah kompleksitas
permasalahan yang saat ini ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
seperti degradasi ekosistem, pencemaran, erosi, ketersediaan air bersih,
dan keanekaragaman hayati. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
yang pada umumnya berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan
memiliki keterbatasan dalam berbagai hal (seperti sumber daya, sarana,
dan prasarana, akses untuk evakuasi, pendidikan dan pemahaman terhadap
bencana akibat perubahan iklim) merupakan kelompok masyarakat 105
paling terkena dampak dari perubahan iklim. Guna menghadapi dan
mengantisipasi dampak perubahan iklm diperlukan kebijakan dan strategi
untuk adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim untuk bidang kelautan
dan perikanan.
Kebijakan dan strategi program untuk adaptasi dan mitigasi guna
mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas masyarakat (human
system) serta ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam
mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim bisa dicapai dengan
melakukan sosialisasi perubahan iklim dan dampaknya. Minimnya
pemahaman terhadap dimensi sosial pada dampak perubahan iklim
berpotensi menyebabkan upaya dan program dalam antisipasi perubahan
iklim mengalami kebuntuan dalam pelaksanaannya yang pada akhirnya
besaran dampaknya akan menjadi lebih besar.
Upaya yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) bekerja sama dengan kementerian/lembaga termasuk Kementerian
Kelautan dan Perikanan melalui program ICCTF (Indonesia Climate Change
Trust Fund) merupakan kontribusi untuk mengenalkan perubahan iklim

Dampak Perubahan Iklim


dan dampaknya kepada pelaku utama dan pelaku usaha di sektor kelautan
dan perikanan.
Di samping upaya sosialisasi tersebut, pemahaman perubahan iklim
dan dampaknya serta upaya antisipasinya memerlukan penelitian dan
pengembangan, khususnya menyangkut dimensi sosial ekonomi. Balai Besar
Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP), Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP), Kementerian
Kelautan dan Perikanan telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan
perubahan iklim, seperti perubahan iklim dan sistem sosial-ekologis di
sektor kelautan dan perikanan. Penelitian tersebut mengamati empat
komponen pembentuk sistem sosial ekologis (SES) sektor kelautan dan
perikanan yaitu sumber daya, prasarana, penyedia sarana dan pelaku
utama sektor kelautan dan perikanan, serta dampak perubahan iklim
terhadap empat komponen SES dan respon yang diberikan.
Penelitian perubahan iklim BBRSEKP juga mengkaji persepsi masyarakat
pelaku utama dan usaha perikanan di beberapa sentra usaha kelautan
dan perikanan. BBRSEKP mengagenda riset untuk mendukung antisipasi
terhadap dampak perubahan iklim adalah upaya mitigasi, ketahanan, dan
106 kesiapan masyarakat terhadap perubahan iklim. Agenda riset tersebut
melingkupi upaya yang dilakukan pemerintah, kendala dan strateginya,
serta bagaimana interaksi aspek-aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 8.

ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

U
paya adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan di
sekitarnya, termasuk iklim, bukanlah hal baru. Pada musim dingin di
kawasan Eropa misalnya, masyarakat di sana telah lama beradaptasi
dengan mengenakan pakaian tebal agar tubuh mereka tidak menggigil
kedinginan diterpa suhu udara yang rendah. 107
Hal serupa juga dilakukan masyarakat Indonesia yang bermukim di dataran
tinggi atau pegunungan. Untuk menghadapi suhu udara yang dingin di malam
hari, mereka menyesuaikan diri dengan mengenakan jaket atau baju tebal
agar tubuh tetap dalam kondisi hangat.
Sebaliknya bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir atau pantai.
Pakaian yang mereka kenakan biasanya terbuat dari kain tipis agar mudah
menyerap keringat di siang hari.
Tak ada catatan yang pasti kapan upaya-upaya adaptasi semacam itu
dilakukan. Namun yang jelas, disadari atau tidak, kebiasaan beradaptasi
tersebut sudah berlangsung sangat lama.
Dari beberapa contoh tersebut, jelas bahwa adaptasi adalah suatu usaha
mahluk hidup untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan yang ada.
Dalam konteks perubahan iklim, upaya adaptasi dilakukan untuk mengelola
permasalahan yang tidak dapat dihindari. Singkat kata, adaptasi adalah upaya
untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan.
Seperti telah dibahas pada Bab sebelumnya bahwa perubahan iklim telah,
sedang, dan akan terus terjadi sehingga perlu dilakukan upaya menyesuaikan

Adaptasi Perubahan Iklim


diri terhadap kondisi tersebut. Lalu, upaya-upaya adaptasi apa saja yang perlu
dilakukan agar kita dapat hidup nyaman menghadapi perubahan iklim?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita pahami dulu
komponen-komponen adaptasi perubahan iklim berikut ini.

8.1. Komponen Adaptasi Perubahan Iklim


Dalam konteks perubahan iklim, dikenal dua istilah penting yang sering
digunakan, yaitu adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Menurut UNFCCC,
adaptasi diartikan sebagai upaya penyesuaian diri ke dalam sistem iklim yang
berubah.
Karena itu upaya pengurangan dampak atau risiko perubahan iklim,
termasuk penanganan bencana, termasuk ke dalam kategori adaptasi
perubahan iklim. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan kegiatan tersebut
masuk ke dalam pengertian menyesuaikan diri terhadap kondisi alam yang
berubah (yang bisa saja diakibatkan oleh perubahan iklim).
Menurut Inter-government Panel on Climate Change (IPCC), terdapat lima
komponen utama kegiatan adaptasi perubahan iklim, yakni:
a. Atribusi komponen perubahan iklim terhadap kegiatan sosial ekonomi
dan biosfer.
108 Atribusi menyangkut masalah kompo-
nen yang memberi kontibusi terhadap per-
“Atribusi
ubahan, baik dalam konteks pemanasan menyangkut
global, perubahan iklim, maupun dampak- masalah
nya. Terkait pemanasan global, masalah
atribusi menyangkut komponen iklim dan komponen
noniklim yang berkontribusi terhadap pe- yang memberi
ningkatan suhu muka Bumi seperti letusan
gunung api, sinar kosmis, dan perubahan kontibusi terhadap
radiasi Matahari. perubahan, baik
Dalam hal perubahan iklim, masalah
atribusi utama menyangkut kontribusi dalam konteks
perubahan lingkungan dan tutupan lahan pemanasan
terhadap faktor iklim. Terkait dengan
dampak, atribusi menyangkut kontribusi global, perubahan
perubahan parameter iklim atau gas iklim, maupun
rumah kaca (GRK) yang terjadi terhadap
dampak yang ditimbulkan seperti banjir,
dampaknya.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


kekeringan, kebakaran hutan, perubahan populasi hewan, perubahan migrasi
burung, dan lain sebagainya.

b. Kajian dan studi dampak.


Dampak dari perubahan iklim selalu dihubungkan dengan upaya
adaptasi. Beberapa unsur pendukung upaya adaptasi sangat tergantung pada
pengenalan dampak yang ditimbulkan pada objek perubahan iklim.
Dampak yang terjadi dapat berupa langsung terlihat atau tidak langsung
tetapi menunjukkan akibat secara perlahan. Contoh dari dampak langsung
adalah perubahan pola hujan, kekeringan, banjir, kebakaran hutan, gelombang
panas, angin puting beliung, dan lain-lain.
Dengan memahami bahwa perubahan iklim adalah proses yang dimulai
secara lambat dan laju yang pelan, saat ini semakin banyak dampak tidak
langsung yang mulai dikenali. Contoh dampak tidak langsung adalah dampak
sektoral seperti pola penyakit pada manusia dan tanaman, gangguan
pariwisata, infrastruktur, transportasi, dan lain sebagainya.
Salah satu kesulitan terbesar dalam melihat dampak perubahan iklim
adalah melakukan kajian atribusi faktor perubahan iklim terhadap dampaknya
dan memisahkan pada penyebab noniklim.
109
c. Kerentanan terhadap perubahan iklim
Dalam beradaptasi, ternyata upaya yang sama tidak selalu menghasilkan
hasil serupa pada masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh dua faktor,
yakni kerentanan dan kapasitas adaptasi.
Kerentanan adalah ukuran ketidakberdayaan masyarakat atau komunitas
terhadap upaya adaptasi karena faktor paparan atau hamparan bencana yang
dihadapi dan dikombinasikan dengan faktor kesiapan komunitas tersebut
untuk beradaptasi (kapasitas adaptasi).
Ada kondisi dimana masyarakat siap tetapi bencana yang dihadapi sangat
besar sehingga tingkat kerentanannya tinggi. Sementara itu, ada kondisi
dimana kerentanan kecil karena paparan bencana yang kecil dengan kesiapan
masyarakat yang tinggi.
Paparan bencana yang dimaksud adalah bencana iklim akibat dari
perubahan iklim yang ditandai dengan bencana yang berhubungan dengan
parameter iklim seperti curah hujan, angin, suhu, tekanan, kelembaban, dan
tutupan awan. Sebagai contoh wilayah yang berubah dengan tutupan awan
yang semakin tinggi menjadi rentan untuk budidaya tembakau.

Adaptasi Perubahan Iklim


d. Kapasitas adaptasi dan kajian ketahanan terhadap perubahan iklim
Kapasitas adaptasi berhubungan erat dengan daya tahan terhadap per-
ubahan iklim dan merupakan ukuran kelenturan masyarakat dalam melaku-
kan upaya adaptasi. Tidak ada ukuran yang universal dari kapasitas adaptasi
sehingga ukuran kerentanan juga menjadi tidak seragam. Hal ini sangat ber-
beda dengan ukuran paparan bencana yang dapat diukur dalam satuan il-
miah.
Kapasitas adaptasi menyangkut masalah sosial, ekonomi, dan budaya
dengan jumlah faktor yang tidak terbatas berhubungan dengan aktivitas
yang dilakukan. Sebagai contoh dalam mengkaji kerentanan perubahan
iklim terhadap pertanian di Jawa, faktor irigasi merupakan salah satu faktor
dominan yang menentukan.
Namun hal ini tidak berlaku di Pulau Bali karena irigasi lokal yang disebut
Subak itu sudah menjadi bagian sosial budaya masyarakat yang melekat.
Karena itu irigasi di Bali yang sudah melekat erat dalam adat itu bukan lagi
dianggap hambatan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penghitungan kapasitas
adaptasi adalah unsur income (pendapatan atau ekonomi), pendidikan,
sarana kesehatan, prasarana perhubungan, dan prasarana telekomunikasi.
110
e. Risiko iklim
Risiko iklim adalah faktor yang diperoleh akibat peluang terjadinya
bencana iklim dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh kejadian iklim tersebut.
Bencana iklim yang dimaksudkan dapat berhubungan dengan kondisi iklim
ekstrem akibat perubahan iklim.
Besarnya konsekuensi yang ditimbulkan oleh peluang terjadinya iklim
ekstrem tersebut dapat dinyatakan dalam satuan keekonomian atau faktor
kerugian seperti risiko hilangnya jiwa, harta benda, dan infrastruktur. Sebagai
contoh, peningkatan peluang udara dengan kelembaban tinggi dapat
meningkatkan risiko penurunan jam kerja buruh. Pada kasus ini, terjadi risiko
iklim yang dapat dihitung dalam satuan kehilangan potensi ekonomi akibat
faktor iklim.
Kasus lain adalah peningkatan peluang kejadian demam berdarah akibat
meningkatnya peluang faktor iklim yang mendukung kondisi tersebut. Hal
ini mengakibatkan peningkatan risiko iklim untuk kasus demam berdarah.
Contoh lainnya adalah peluang terjadinya banjir yang menyebabkan puso
dan kehilangan hasil panen pertanian akibat risiko kejadian iklim ekstrem.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Sebagai negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Dengan status sebagai negara berkembang, kemampuan
Indonesia dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim belumlah
sebaik negara-negara maju. Oleh karena itu dikhawatirkan pembangunan
yang sedang dilaksanakan pemerintah bisa terhambat karena dampak
perubahan iklim.
Golongan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah
masyarakat miskin. Mereka juga merupakan golongan yang paling terkena
dampak terhambatnya pembangunan nasional. Dengan demikian, respon
terhadap perubahan iklim harus mengikutsertakan program pengentasan
kemiskinan.
Adaptasi terhadap perubahan
“Tujuan iklim merupakan aspek kunci
jangka yang harus menjadi agenda
pembangunan nasional dalam
panjang dari agenda rangka mengembangkan pola
adaptasi perubahan pembangunan yang tahan
iklim di Indonesia adalah terhadap dampak perubahan
iklim dan gangguan anomali
terintegrasinya adaptasi cuaca yang terjadi saat ini serta 111
perubahan iklim ke antisipasi dampaknya ke depan.
dalam perencanaan Tujuan jangka panjang dari
agenda adaptasi perubahan iklim
pembangunan di Indonesia adalah terintegrasinya
nasional.” adaptasi perubahan iklim ke dalam
perencanaan pembangunan nasional.

8.2. Kebijakan Menghadapi Perubahan Iklim


Agenda adaptasi perubahan iklim harus difokuskan pada bidang yang
rentan terhadap perubahan iklim, yakni: sumber daya air, pertanian,
perikanan, pesisir dan laut, infrastruktur dan permukiman, kesehatan, serta
kehutanan. Untuk mencapai pembangungan yang tahan terhadap risiko iklim,
masing-masing bidang tersebut perlu mengenal empat hal.
Pertama, tujuan agenda adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang
ingin dicapai terkait erat dengan tujuan pembangunan nasional, yang dapat
juga diselaraskan dengan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)
Indonesia.

Adaptasi Perubahan Iklim


Prof. Dr. Emil Salim
Dewan Pertimbangan Presiden RI

Kebijakan 7-26

M
enurut Ketua Dewan Pertimbangan
Presiden (DPP) Prof Dr Emil Salim,
pemerintah Indonesia melalui
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
menggariskan kebijaksanaan pembangunan 7-
26 %. Artinya, laju pertumbuhan ekonomi yang

floresnews.com
harus dicapai sebesar 7 % dengan minus 26 %
emisi gas rumah kaca dari tingkat tahun 2000
untuk dicapai tahun 2020. Prof. Dr. Emil Salim
Sasaran pembangunan ini harus dicapai
dengan pola pembangunan yang menurunkan tingkat kemiskinan di bawah
11 % dan tingkat pengangguran di bawah 14 % dalam lingkup lingkungan
112 yang hijau lestari.
Dengan sasaran dan pola pembangunan seperti ini, kata Emil Salim,
Indonesia turut menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga bisa mencegah
naiknya suhu bumi sebesar 2 oCelsius pada tahun 2020.
BMKG kini menyediakan informasi penting tentang iklim untuk bisa
dijadikan pegangan bagi kita semua mengisi kebijakan pembangunan 7-26
%.

Kedua, kondisi yang ada pada masing-masing bidang yang difokuskan


saat ini, baik biofisik, program, inisiatif yang ada, maupun institusi yang
bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim.
Ketiga, perubahan kunci yang diperlukan pada program, investasi, atau
rencana yang sudah ada. Keempat, investasi dan kegiatan tambahan atau
kegiatan baru yang diperlukan.
Dalam strategi pembangunan, agenda adaptasi untuk menghadapi
anomali iklim atau variabilitas iklim saat ini dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain:
1. Penguatan informasi.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


2. Peningkatan basis informasi iklim di hulu.
Basis informasi iklim –yang meliputi variabilitas dan perubahannya--
merupakan informasi dasar yang sangat dibutuhkan dalam melakukan
upaya adaptasi. Dengan melihat faktor adaptasi di atas, keseluruhan
unsur adaptasi memerlukan informasi iklim, baik untuk atribusi,
dampak, kerentanan, maupun risiko. Jenis informasi yang diperlukan
meliputi gas rumah kaca, perubahan parameter utama iklim dan tren
yang terjadi, kerentanan wilayah, serta peluang kejadian ekstrem.
Keseluruhan jenis informasi tersebut diperlukan dalam bentuk historis
masa lampau, masa kini, serta proyeksi masa depan. Karena itu perlu
adanya pengembangan sistem pengamatan cuaca, iklim, dan hidrologi
khususnya di luar Jawa. Selain itu, perlu juga peningkatan kapasitas
BMKG dalam membuat ramalan cuaca dan iklim yang lebih akurat
mencakup seluruh wilayah di Indonesia.
3. Peningkatan kesadaran dan penyebarluasan informasi perubahan
iklim dan informasi adaptasi pada berbagai tingkat masyarakat.
Langkah peningkatan kesadaran tersebut harus diberikan terutama
kepada masyarakat yang rentan sebagai tindakan kesiapsiagaan dini
dan peningkatan kesadaran tentang bencana iklim yang semakin
113
meningkat. Di samping itu, peningkatan kesadaran juga dilakukan
dalam cara pandang masyarakat terhadap isu perubahan iklim agar
tidak selalu negatif serta melihat pada sisi peluang dibandingkan
dengan sisi ancaman. Informasi adaptasi –dalam bentuk pengalaman
nyata misalnya-- juga perlu disebarluaskan dalam menyikapi perubahan
iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi sehingga dapat diambil
peluang positif dalam menghadapi perubahan iklim tersebut.
4. Peningkatan kapasitas pengkajian ilmiah.
Pengkajian ilmiah tentang perubahan iklim dan dampaknya serta upaya
pengendaliannya perlu ditingkatkan. Selain itu, perlu juga dikembang-
kan model proyeksi perubahan iklim jangka pendek, menengah, dan
panjang untuk skala lokal atau regional. Semua langkah itu diperlukan
untuk menilai kerentanan dan dampak iklim serta menyusun renca-
na dan strategi kebijakan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam
jangka pendek, menengah, dan panjang. Upaya yang tak kalah penting
lainnya adalah perlu adanya koordinasi dan sinergi riset perubahan
iklim antarsektor serta sinergi antara pusat dan daerah.

Adaptasi Perubahan Iklim


5. Peninjauan kembali kebijakan-kebijakan inti.
Berbagai kebijakan inti, baik secara langsung maupun tidak langsung
yang akan dipengaruhi oleh perubahan iklim sebaiknya ditinjau
kembali. Dari langkah tersebut, kita dapat mengidentifikasi berbagai
penyesuaian yang harus dilakukan terhadap program-program yang
didesain dengan mempertimbangkan arah perubahan iklim, kenaikan
muka air laut, serta perubahan kondisi sosial-ekonomi. Upaya ini
dimaksudkan untuk mendapatkan kebijakan dan program yang lebih
sesuai dalam menghadapi perubahan iklim.
6. Peningkatan kapasitas untuk mengintegrasikan perubahan iklim
dengan pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam
perencanaan, perancangan infrastruktur, pengelolaan konflik, dan
pembagian kawasan air tanah untuk institusi pengelolaan air.
7. Pengarusutamaan adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan dan
program di berbagai sektor (dengan fokus pada penanggulangan
bencana, pengelolaan sumber daya air, pertanian, kesehatan, dan
industri).
8. Pengembangan isu perubahan iklim dalam kurikulum sekolah
114 menengah dan perguruan tinggi.
9. Pengembangan sistem infrastruktur dan tata-ruang serta sektor-sektor
yang tahan dan tanggap terhadap goncangan dan perubahan iklim. Di
samping itu, perlu juga dikembangkan dan ditata kembali tata ruang
wilayah, khususnya pada kawasan pantai.

8.3. Berbagai Usaha Adaptasi yang Bisa Dilakukan Masyarakat


Seluruh masyarakat, apapun profesinya, sebenarnya dapat berkontribusi
dalam usaha adaptasi perubahan iklim. Semakin serius kita melakukan upaya
adaptasi, kian terasa nyaman dalam menghadapi perubahan iklim.
Berikut ini hal-hal praktis yang bisa dilakukan masyarakat luas dalam
upaya melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim.
r Masyarakat umum:
• Memanfaatkan informasi iklim dan cuaca untuk optimalisasi aktivitas dan
peningkatan kapasitas adaptif.
• Melakukan program pengurangan risiko bencana terkait iklim seperti
penghutanan kembali (reboisasi) dan penghijauan terutama di kawasan
hutan/lahan yang kritis, baik di hulu maupun di hilir (kawasan pesisir)

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


dengan melibatkan peran serta masyarakat luas.
• Meningkatkan ketahanan tubuh menghadapi pergeseran musim.
• Membangun infrastruktur dengan menyesuaikan risiko dampak perubahan
iklim.
• Membuat rumah panggung.
• Membangun dam (tanggul) untuk penahan banjir dan membuat drainase
untuk pengelolaan air.
• Membuat resapan biopori untuk penanggulangan banjir.
• Memperbaiki manajemen pengelolaan air, termasuk sistem dan jaringan
irigasi.
• Mengembangkan teknologi panen air, seperti membangun embung, dam
parit, dan lain sebagainya.

r Petani:
• Meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang perubahan iklim
antara lain melalui Sekolah Lapang Iklim, sistem peringatan dini, dan
sistem jaringan informasi iklim.
• Menyesuaikan kalender tanam.
• Menyesuaikan jenis komoditas yang akan ditanam. 115
• Memilih jenis dan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan
lingkungan, antara lain tahan kekeringan, tahan genangan, berumur
genjah, dan tahan terhadap air payau.
• Mengembangkan jenis dan varietas tanaman yang toleran terhadap
stres lingkungan. Contoh stres lingkungan adalah kenaikan suhu udara,
kekeringan, genangan (banjir), dan salinitas.
• Menjaga tingkat keasaman tanah dengan menambahkan kapur
(amelioran).
• Menerapkan teknologi hemat air (efisiensi penggunaan air), terutama
pada lahan yang rentan terhadap kekeringan.
• Menerapkan sistem irigasi berselang dan melakukan efisiensi penggunaan
air, seperti irigasi tetes dan pemberian mulsa.
• Menanam lebih dari satu jenis tanaman (tumpang sari).
• Mengembangkan teknologi silase untuk mengatasi kelangkaan pangan
musiman.
• Mengembangkan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk
meningkatkan daya adaptasi tanaman.

Adaptasi Perubahan Iklim


• Menerapkan teknologi pengelolaan tanah dan tanaman untuk
meningkatkan daya adaptasi tanaman.
• Mengembangkan ternak yang adaptif terhadap lingkungan yang lebih
ekstrem (kekeringan, suhu tinggi, dan genangan).
• Mengembangkan sistem integrasi tanaman-ternak (crop livestock system
atau CLS) untuk mengurangi risiko dan optimalisasi penggunaan sumber
daya lahan.
• Mengembangkan sistem perlindungan usaha tani dari kegagalan akibat
perubahan iklim atau crop weather insurance.

r Nelayan:
• Meningkatkan pengetahuan dan informasi tentang perubahan iklim
antara lain melalui Sekolah Lapang Iklim, sistem peringatan dini, dan
sistem jaringan informasi iklim.
• Menanam vegetasi pantai seperti mangrove, waru laut, cemara, dan lain-
lain.
• Menyesuaikan alat tangkap.
• Menyesuaikan bentuk rumah di pesisir (rumah panggung) atau memba-
116 ngun struktur terapung.
• Menanam mangrove sebagai pembatas tambak dan pelindung pantai.
• Melakukan wanamina (gabungan antara hutan mangrove dan budidaya
ikan).
• Mencari akses informasi mengenai iklim dan lokasi penangkapan.
• Menyesuaikan pakan dan pendukung produksi tambak yang rendah
emisi.
• Menguatkan kelembagaan nelayan untuk ketahanan menghadapi
perubahan iklim
• Melakukan tindakan perlindungan diri di balik pulau.
• Membuat APO (alat pemecah ombak).

8.4. Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian


Pertanian
Kementerian Pertanian melakukan berbagai upaya adaptasi terhadap
perubahan iklim pada sektor pertanian dan peternakan. Berikut ini penjelasan
lengkap dari beberapa upaya tersebut.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


8.4.1 Upaya Adaptasi di Sektor Pertanian
Upaya-upaya adaptasi di sektor pertanian dilakukan antara lain dengan
menciptakan berbagai varietas unggul adaptif, menerapkan teknologi
pengelolaan sumber daya air, dan mengaplikasikan teknologi pengelolaan
sumber daya lahan. Ketiga upaya adaptasi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
t Menciptakan Varietas Unggul Adaptif (VUA)
Salah satu upaya adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian adalah
dengan menciptakan beberapa varietas unggul adaptif (VUA) sebagai akibat
munculnya hama bagi tanaman, kondisi lahan, dan salinitas. Beberapa VUA
yang sudah ditemukan Kementerian Pertanian antara lain:
- Varietas padi tahan wereng coklat, yakni Inpari 2 dan Inpari 3.
- Varietas padi tahan rendaman atau genangan; Inpari 4.
- Varietas padi berumur genjah; Inpari 11.
- Varietas padi toleran terhadap salinitas; Margasari dan Lambur.
- Varietas padi tahan kering; Dodokan dan Silungonggo.
- Varietas kedelai tahan kering; Argomulyo dan Burangrang.
- Varietas kacang tanah tahan kering; Singa dan Jerapah.
- Varietas kacang hijau tahan kering; Kutilang. 117
- Varietas jagung tahan kering; Bima, Lamuru, Sukmaraga, dan Anoman.

t Menerapkan Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Air


Kementerian Pertanian juga mengusulkan beberapa alternatif teknologi
dalam pengelolaan sumber daya air. Beberapa teknologi alternatif tersebut
antara lain:
- Teknologi panen hujan dan aliran permukaan.
Teknologi panen hujan adalah teknologi yang didasarkan atas
penampungan kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya
untuk musim kemarau. Dengan kata lain, teknologi ini menyimpan air
di musim hujan dan menggunakannya pada musim kemarau. Beberapa
teknologi panen hujan dan aliran permukaan adalah:
• Teknologi embung: Embung berfungsi sebagai tempat resapan
air yang dapat meningkatkan kapasitas simpanan air tanah dan
menyediakan air di musim kemarau.
• Teknologi dam parit: Teknologi ini mengumpulkan atau memben-
dung aliran air pada suatu parit (drainage network) dengan tujuan

Adaptasi Perubahan Iklim


untuk menampung volume aliran permukaan sehingga selain da-
pat digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya, juga dapat me-
nurunkan kecepatan aliran (run off), erosi, dan sedimentasi.
- Teknologi Irigasi
Ada enam teknologi irigasi yang diusulkan Kementerian Pertanian,
yaitu:
• Sumur renteng: Sumur renteng merupakan teknologi irigasi yang
cocok dikembangkan pada tanah bertekstur berpasir. Seperti
diketahui, tanah jenis ini memiliki kemampuan meloloskan air
yang sangat tinggi sehingga tidak mampu menyimpan air dalam
waktu lama. Karena itu sumur renteng perlu dikenalkan di daerah
semacam ini. Prinsip sumur renteng adalah menampung air untuk
irigasi dalam sebuah bak penampungan yang terhubung dengan
bak penampungan lain melalui pipa di bawah tanah. Prinsipnya,
persis seperti mekanisme kerja bejana yang saling berhubungan.
• Irigasi kapiler: Irigasi kapiler cocok dikembangkan di daerah yang
memiliki topografi terjal dan sumber air yang relatif terbatas. Prinsip
dasar irigasi kapiler adalah memanfaatkan air dari sumber mata
air atau sungai yang disalurkan menuju bak penampungan secara
118
gravitasi menggunakan pipa pralon (PVC). Dari bak penampungan,
air kemudian didistribusikan dengan menggunakan selang plastik
kapiler.
• Irigasi tetes: Sistem irigasi tetes memasok air (dan pupuk) tersaring
ke dalam tanah melalui suatu pemancar (emiter atau dripper).
Sistem ini bekerja dengan mendistribusikan air dalam ukuran debit
yang kecil, konstan, dan tekanan rendah (antara 1 – 3 bar). Air akan
menyebar ke tanah, baik ke samping maupun ke bawah karena
gaya kapiler dan gravitasi. Bentuk sebarannya tergantung jenis
tanah, kelembaban, permeabilitas tanah, dan jenis tanaman. Jenis
tanaman yang diairi dengan irigasi tetes biasanya yang ditanam
dalam barisan, seperti hortikultura dan sayur-sayuran.
• Irigasi macak-macak: Irigasi macak-macak adalah teknik pemberian
air yang bertujuan membasahi lahan hingga jenuh pada ketinggian
tertentu, tanpa penggenangan. Dalam teknik irigasi klasik, untuk
mengirigasi lahan sawah petani biasanya membuat genangan
hingga ketinggian 15 cm secara terus-menerus (continous flow).

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Teknik irigasi ini akan berpengaruh pada penggunaan air yang tidak
efisien. Sebab, genangan sedalam 10 – 15 cm seperti yang dilakukan
petani tersebut dapat menyebabkan tingginya kehilangan air lewat
perkolasi yang di dalamnya juga terlarut unsur hara yang bersifat
mobil sehingga tingkat kehilangan hara juga menjadi tinggi. Namun
melalui irigasi macak-macak, kehilangan air dan hara bisa dicegah.
Penggunaan air menjadi lebih efisien.
• Teknologi Irigasi curah (sprinkle irrigation): Teknologi irigasi curah
mendistribusikan air dengan cara menyemprotkan air ke udara dan
menjatuhkannya di sekitar tanaman seperti hujan. Penyemprotan
dilakukan dengan mengalirkan air bertekanan melalui orifice kecil
atau nozzle. Tekanan dapat diperoleh dengan cara dipompa. Untuk
mendapatkan penyebaran air yang seragam, diperlukan pemilihan
ukuran nozzle, tekanan operasional, spasing sprinkler, dan laju
infiltrasi tanah yang sesuai.
• Teknologi irigasi parit (furrow irrigation): Irigasi parit merupakan
salah satu teknik irigasi lahan kering untuk tanaman palawija
(jagung, kedelai, dan kacang tanah) atau sayuran. Dibandingkan
dengan irigasi konvensional (sistem submersi atau genangan), 119
teknik ini membutuhkan air lebih efisien karena irigasi hanya
disalurkan pada parit yang berada persis di samping baris tanaman.
Parit tersebut berukuran lebar 35 – 40 cm di bagian atas dan 15 – 20
cm di bagian bawah dengan kedalaman 10 - 15 cm. Jarak antarparit
80 – 100 cm, tergantung jarak tanamnya. Sumber air irigasi parit
dapat berasal dari saluran irigasi atau dari air tanah yang dinaikkan
menggunakan pompa. Agar efisien, kebutuhan dosis irigasi dan
interval pemberian irigasi harus mempertimbangkan karakteristik
tekstur tanah, jenis dan tahap pertumbuhan tanaman, kedalaman
perakaran, serta evapotranspirasi.

t Menerapkan Teknologi Pengelolaan Sumber Daya Lahan


Setidaknya ada tiga teknologi pengelolaan sumber daya lahan yang dapat
diterapkan sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Ketiga teknologi
tersebut adalah teknologi pengelolaan hara, teknologi budidaya lahan kering,
dan pengembangan usaha tanah ramah lingkungan.
1. Teknologi pengelolaan hara.

Adaptasi Perubahan Iklim


Hasil panen akan tercapai optimum jika jumlah hara yang diberikan
sesuai pada waktu yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tanaman
selama masa pertumbuhannya. Strategi pengelolaan hara yang efektif
dan efisien selayaknya ditujukan untuk:
• Memaksimalkan penyerapan hara.
• Memanfaatkan sebaik mungkin hara yang tersedia dalam bentuk
jerami, sisa tanaman lain, dan pupuk kandang.
• Mengukur kebutuhan nitrogen (N) pada tanaman padi dengan
aplikasi teknologi bagan warna daun (BWD).
Hasil panen yang optimal dapat diperoleh melalui pemupukan ber-
imbang serta memperhatikan kesesuaian hara. Pemakaian pupuk
N yang kurang optimal mengakibatkan hasil panen rendah. Seba-
liknya, pemakaian pupuk N yang berlebihan akan memicu tana-
man lebih rentan terhadap infeksi penyakit dan mudah rebah.
BWD dapat membantu petani untuk mengetahui apakah tanaman
perlu segera diberi pupuk N atau tidak. Berdasarkan percobaan,
penggunaan BWD dapat menekan biaya pemakaian pupuk 15 – 20
% dari takaran yang umum digunakan petani.
120
2. Teknologi budidaya lahan kering.
Teknologi budidaya lahan kering bertujuan untuk memanen air
sekaligus mencegah kehilangan air permukaan dan evaporasi. Teknologi
budidaya lahan kering bermanfaat untuk mengatasi kekeringan yang
muncul pada musim kemarau. Beberapa jenis teknologi konservasi
lahan kering adalah sebagi berikut:
• Strip rumput: rumput yang ditanam berselang-seling dengan
tanaman utama dan disusun memotong lereng. Tujuannya, untuk
mengurangi kecepatan aliran air dan menyaring lapisan atas tanah
yang terbawa air.
• Teras: bertujuan untuk menghambat aliran permukaan, memu-
dahkan air meresap ke dalam tanah, dan mencegah erosi.
• Tanam lorong: penanaman tanaman pangan pada lorong di antara
barisan pagar tanaman.
• Tanaman penutup tanah: tanaman yang ditanam secara strip
digilir dengan tanaman semusim, atau ditanam sendiri/bersama
tanaman pokok, ataupun ditanam sebagai penutup tanah pada

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


lahan kebun. Penggunaan tanaman penutup ini bertujuan untuk
mengurangi erosi.
• Rorak: adalah lubang yang dibuat pada bidang olah ataupun pada
saluran resapan sebagai tempat penampungan aliran air muka.
• Embung: adalah tempat memanen air pada saat hujan dan
digunakan untuk mengairi tanaman ketika musim kering melanda.
• Dam parit: upaya untuk mengumpulkan atau membendung aliran
air pada suatu parit melalui penampungan air permukaan guna
mengairi lahan di sekitarnya dan menurunkan kecepatan air pada
saat musim hujan.

3. Pengembangan sistem usaha tani ramah lingkungan.


Sistem usaha tani ramah lingkungan dapat dilakukan melalui dua cara
sebagai berikut:
• Pengelolaan tanaman terpadu (PTT).
PTT merupakan upaya mengoptimalkan penggunaan sumber daya
dan memanfaatkan teknologi pertanian yang ditetapkan secara
partisipatif untuk meningkatkan produksi di masa mendatang.
• Sistem pertanian terpadu lahan kering iklim kering (SPTLK-IK). 121
SPTLK-IK merupakan kegiatan usaha tani yang berbasis zero waste
(tanpa limbah) dan clean run off (tanpa erosi permukaan) yang
dilakukan melalui pendekatan integrasi antara tanaman pangan
atau perkebunan dengan ternak sapi bali. Program perbenihan
padi, jagung, dan kacang hijau serta pembibitan ternak sapi bali
merupakan program utama dari model penerapan SPTLKIK.
Prinsip zero waste dilakukan dengan mengolah sampah sebagai
hasil kegiatan pertanian yang digunakan untuk pakan ternak.
Kotoran ternak yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
bagi tanaman. Sementara itu, prinsip clean run off dilakukan melalui
penanaman tanaman sela di antara tanaman utama, sehingga
mengurangi pengikisan tanah (erosi) di musim hujan.

8.4.2. Upaya Adaptasi Di Sektor Peternakan


Perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan dan banjir dapat
membatasi pertumbuhan tanaman, khususnya hijauan pakan ternak. Hal ini
dapat mengakibatkan berkurangnya kuantitas dan kualitas makanan yang

Adaptasi Perubahan Iklim


“Penyakit
dan stres pada hewan
ternak akibat perubahan iklim dapat
terjadi dalam empat kondisi; cuaca panas,
cuaca ekstrem, adaptasi sistem produksi ternak
terhadap lingkungan baru, serta penyakit
hewan yang baru muncul dan muncul
kembali.”

tersedia. Selain berdampak terhadap pakan ternak, perubahan iklim juga


berdampak terhadap jenis penyakit ternak.
Perubahan ekosistem, termasuk perubahan iklim dan perubahan
lingkungan pada kenyataannya berlangsung lebih cepat dari yang diharapkan.
122 Hal ini mempengaruhi kesehatan hewan yang diternakkan.
Penyakit dan stres pada hewan ternak akibat perubahan iklim dapat
terjadi dalam empat kondisi; cuaca panas, cuaca ekstrem, adaptasi sistem
produksi ternak terhadap lingkungan baru, serta penyakit hewan yang baru
muncul dan muncul kembali.
Keterkaitan antara iklim dan penyakit relatif mudah untuk diidentifikasi.
Dinamika penularan dan penyebaran geografis sebagian besar penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui insekta (serangga) dan rodensia sangat
sensitif terhadap iklim. Kebanyakan penyakit yang ditularkan melalui vektor
mencakup spesies arthropoda seperti nyamuk, lalat, caplak atau kutu.
Sementara itu, penyakit-penyakit yang berkaitan dengan cuaca panas
(heat-related diseases) tidak hanya mengakibatkan ternak mengalami stres,
tetapi juga menurunkan produktivitas dan fertilitas. Dalam kondisi stres cuaca
panas, siklus birahi sapi dapat menjadi lebih panjang, tanda-tanda birahi
menjadi lemah, dan terjadi peningkatan kematian fetus.
Berdasarkan pengamatan, beberapa jenis penyakit yang diperkirakan
terkait erat dengan perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 8.1 berikut ini.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Tabel 8.1. Daftar penyakit ternak yang diperkirakan berkaitan dengan
perubahan iklim dan perubahan lingkungan.
Perubahan Perubahan
No. Nama Penyakit
Iklim Lingkungan
Penyakit yang ditularkan melalui
vector: √ √
a. Bluetongue √ X
b. West Nile √ X
1. c. Rift Valley Fever √ X
d. African Horse Sickness √ X
e. Lumpy Skin Disease √ √
f. Leishmaniasis √ X
g. Epizootic Hameorraghic Diseases
Penyakit yang ditularkan melalui
2. √ √
caplak
Penyakit parasit, yang tidak
3. √ √
ditularkan melalui caplak
4. Pasteurellosis √ X
5. Avian inluenza √ √
6. Anthrax √ √
123
7. Blackleg √ X
8. Rabies √ √
9. Tubercullosis X √

Terkait dengan kondisi tersebut, adaptasi di sektor peternakan yang


dilakukan Kementerian Pertanian sebagai upaya mengurangi dampak
perubahan iklim dilakukan dengan antara lain:
a. Membenahi sistem perkandangan.
Perkandangan adalah salah satu upaya untuk melindungi ternak dari
pengaruh iklim yang negatif serta menciptakan kondisi iklim mikro
yang optimal. Ketika suhu udara meningkat, mekanisme fisiologis
mengharuskan alokasi energi untuk kinerja produksi dan reproduksi
dipakai guna mempertahankan keseimbangan panas tubuh. Hal ini
akan berdampak buruk, yakni produktivitas ternak menurun. Salah
satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan mengendalikan panas
yang diterima dan meningkatkan panas yang terbuang oleh ternak.
Caranya, dengan memberi naungan atau atap kandang yang lebih

Adaptasi Perubahan Iklim


efektif. Dengan kata lain, kita harus menciptakan kondisi iklim mikro
yang terdapat dalam kandang secara kondusif bagi ternak untuk
berproduksi.
b. Memperbaiki mutu pakan ternak.
Perubahan iklim juga dapat memicu selera ternak dalam mengonsumsi
pakan. Karena itu, pakan ternak selayaknya diperbaiki mutunya
sehingga dapat meningkatkan produktivitas ternak.
c. Menyesuaikan suhu.
Agar produksi yang dihasilkan optimal maka hewan yang akan
diternakkan di suatu daerah harus disesuaikan dengan iklim (suhu)
yang ada. Artinya, carilah tempat yang memiliki parameter iklim (suhu)
yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangbiakan hewan yang
akan diternakkan. Jangan sebaliknya, memaksakan beternak pada
daerah yang tidak sesuai berdasarkan parameter iklim tersebut.
Di luar ketiga upaya adaptasi tersebut, kita juga dapat menerapkan
communal livestock sheltering dan integrated crop livestock
management. Artinya, peternak dapat menerapkan berbagai integrasi
seperti ternak dengan kelapa sawit, ternak dengan padi, serta ternak
124 dengan komoditas lainnya. Melalui integrasi semacam ini, dapat
diperoleh hasil optimal tanpa menyisakan limbah (zero waste).

8.5. Beberapa Upaya Adaptasi yang Dilakukan Kementerian


Kelautan dan Perikanan
Bagi masyarakat yang bermukim di pesisir, Kementerian Kelautan dan
Perikanan memberikan tiga pilihan adaptasi terhadap perubahan iklim (lihat
Gambar 8.1), yakni proteksi (protect), mundur (retreat), dan akomodasi
(accomodate).
1. Strategi proteksi.
Strategi proteksi dapat dilakukan dengan membuat bangunan pantai yang
mampu mencegah banjir air laut (rob) agar tidak merangsek ke darat. Pola
ini bertujuan melindungi permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah
pertanian, tambak, dan lain-lain dari genangan air laut.
Tangggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang berdasarkan
muka air pasang tinggi dan gelombang laut pada saat ini, tetapi juga harus
memperhitungkan amblesan tanah, kenaikan muka air laut, dan gelombang
laut akibat angin pada kondisi ekstrem.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Upaya proteksi lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
restorasi peremajaan pantai (beach nourishment) dan rehabilitasi mangrove.
Proses ini meliputi pengambilan material dari tempat yang tidak membaha-
yakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan.
Lahan hasil timbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat
meredam banjir rob yang merangsek ke darat. Fungsi lain dari hutan mangrove
adalah sebagai penyerap karbon sehingga tanaman ini dapat mengurangi
pemanasan global.

125

Gambar 8.1. Strategi adaptasi perubahan iklim untuk masyarakat yang bermukim di pesisir

2. Strategi mundur.
Strategi mundur bertujuan menghindari genangan air laut dengan
cara merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke
arah daratan yang jauh dari laut. Dengan demikian kawasan tersebut tidak
terjangkau air laut sebagai akibat kenaikan paras muka air laut.

3. Strategi akomodatif.
Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan kenaikan paras muka air laut.
Salah satu contohnya adalah dengan membuat rumah panggung di tepi pantai

Adaptasi Perubahan Iklim


agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir air pasang.
Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut akibat kenaikan paras muka air
laut, kawasan tersebut dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya
perikanan.
Berbagai pilihan teknologi adaptasi terhadap kenaikan paras muka laut
sebagai dampak dari perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 8.2.
Upaya adaptasi lainnya yang tidak kalah penting adalah rehabilitasi dan
konservasi. Rehabilitasi bertujuan untuk memulihkan dan memperbaiki
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil guna menjamin keberlanjutan fungsi
ekosistem, mewujudkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil dan jasa lingkungan secara berkelanjutan, serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pasal 32 UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil mengatur mengenai rehabilitasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil. Menurut UU tersebut, rehabilitasi wajib dilakukan dengan
memperhatikan keseimbangan ekosistem dan/atau keanekaragaman hayati
setempat.
Rehabilitasi dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya pengayaan
sumber daya hayati, perbaikan habitat, perlindungan spesies biota laut
126 agar tumbuh dan berkembang secara alami, serta dilakukan dengan ramah
lingkungan.
Sementara itu, pengertian
konservasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil,
menurut UU Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan
Wikayah Pesisir adalah upaya
perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil serta
ekosistemnya untuk menjamin
Foto: Subandono D.

keberadaan, ketersediaan, dan


kesinambungan sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil
Gambar 8.2. Rumah panggung di kawasan pesisir dengan tetap memelihara dan
Padang Pariaman ini merupakan salah meningkatkan kualitas nilai dan
satu strategi akomodatif dalam upaya
adaptasi terhadap perubahan iklim.
keanekaragaman hayatinya.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Tabel 8.2. Pilihan teknologi adaptasi kenaikan paras muka air laut.

Aplikasi Teknologi
A. Protektif
- Dengan struktur keras u Dam, tanggul, penahan banjir (floodwalls)
u Seawall, revetment
u Groin
u Pemecah gelombang terpisah dari pantai
u Pintu air dan penahan pasut (tidal barriers)
u Penahan intrusi air laut
- Dengan struktur lunak u Pemeliharaan pantai (beach nourishment)
secara periodik
u Perbaikan dan pembuatan sand dunes
u Perbaikan dan pembuatan wetland
- Dengan cara alami u Penghutanan kembali
(indigenous) u Penanaman kelapa, waru, dan mangrove
u Dinding penahan dari kayu
u Dinding penahan dari batu
B. Mundur
- Meningkatkan atau Membutuhkan sedikit teknologi
menetapkan kawasan mundur
(set back)
- Memindahkan bangunan- Membutuhkan banyak teknologi 127
bangunan yang terancam
- Menghilangkan atau Membutuhkan sedikit teknologi
meniadakan pembangunan di
kawasan berisiko
- Memperkirakan pergerakan Membutuhkan sedikit teknologi
- Mengatur realignment Membutuhkan berbagai teknologi sesuai
dengan lokasi
- Menciptakan penyangga di Membutuhkan sedikit teknologi
kawasan upland
C. Akomodatif
- Perencanaan emergensi u Sistem peringatan dini
u Sistem evakuasi
- Perlindungan bencana u Membutuhkan sedikit teknologi
- Perubahan tata guna lahan u Membutuhkan berbagai teknologi
dan praktik pertanian (akuakultur)
- Pengaturan yang ketat untuk u Membutuhkan sedikit teknologi
kawasan bencana
- Meningkatkan sistim drainase u Meningkatkan diameter pipa
u Meningkatkan kapasitas pompa

Adaptasi Perubahan Iklim


Kawasan konservasi dapat berada di lokasi yang telah ditetapkan statusnya
dalam tata ruang sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya, dimana
aktivitas perikanan sudah berlangsung sebelumnya dan habitat terumbu
karangnya mungkin sudah rusak oleh aktivitas manusia. Dengan ditutupnnya
suatu kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas
manusia, diharapkan terumbu karang dan biota laut lainnya yang sudah rusak
itu dapat hidup dan berkembang biak secara baik dan berkesinambungan.
Tujuan penetapan kawasan kawasan konservasi ini antara lain adalah:
- Mengusahakan terwujudnya pelestarian sumber daya alam hayati
pesisir dan lautan serta ekosistemnya dalam rangka meningkatkan dan
mempertahankan produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan.
- Menjaga, melindungi, mengelola, dan memperbaiki keanekaragaman
hayati pesisir dan lautan, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan,
tumbuhan, dan biota laut lainnya.
- Mendidik masyarakat dalam hal perlindungan atau konservasi sehingga
dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat
untuk ikut berperan dalam menjaga dan mengelola sumber daya mereka
secara lestari.

128 Selain upaya adaptasi yang bersifat fisik, perlu juga dilakukan upaya nonfisik
seperti pembuatan peta risiko kenaikan paras muka air laut, penyuluhan,
dan penyadaran masyarakat. Masyarakat, baik yang bermukim di daerah
rawan banjir air laut (rob) akibat kenaikan paras muka air laut maupun di
luar kawasan tersebut sangat besar perannya. Ketika kita memiliki kesadaran,
kepedulian, dan kecintaan terhadap lingkungan serta disiplin terhadap
peraturan dan norma-norma yang ada, niscaya kita akan senantiasa hidup
nyaman di tengah-tengah kondisi perubahan iklim.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 9.

MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

B
agi sebagian masyarakat, mitigasi perubahan iklim sebenarnya juga
telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Disadari atau
tidak, mereka telah melakukan mitigasi dengan berbagai cara.
Sekelompok masyarakat yang gemar melakukan penghijauan dengan
129
aneka jenis vegetasi misalnya, ia memberi kontribusi yang sangat berarti bagi
perubahan iklim. Selain mampu menyerap gas rumah kaca (GRK), menanam
pohon juga memberi manfaat antara lain memberi naungan dari terik sinar
Matahari, sebagai pelindung angin, dan menurunkan suhu lingkungan.
Ketika pohon-pohon yang ditanam itu tumbuh dewasa dan mulai rimbun,
saat itulah melalui proses fotosintesis, daun menyerap karbon di atmosfer
sekitarnya. Semakin banyak pohon, kian banyak juga GRK yang diserap.
Seperti diketahui, karbondioksida (CO2) merupakan salah satu penyebab
utama terjadi perubahan iklim lantaran gas ini berperilaku sebagai GRK yang
menyebabkan pemanasan global. Jika konsentrasi CO2 di atmosfer bertambah,
praktis suhu udara secara global naik dan terjadi perubahan iklim.
Jadi, ketika tanaman itu menghampar luas maka konsentrasi karbon yang
diemisikan ke atmosfer berkurang. Akibatnya, laju perubahan iklim atau
pemanasan global melambat.
Begitu juga bagi mereka yang menggunakan sepeda sebagai sarana
transportasi. Sadar atau tanpa sadar sebenarnya ia telah melakukan mitigasi
terhadap perubahan iklim. Mengapa demikian?

Mitigasi Perubahan Iklim


Sepeda adalah kendaraan ramah lingkungan yang tidak mengeluarkan
gas buang ke atomosfer. Berbeda dengan mobil, sepeda motor, bus, kereta
api, kapal, dan pesawat terbang yang memberi peran sangat tinggi dalam
membuang polutan udara.
Dengan mengayuh sepeda berarti ia ikut mencegah atau memperlambat
terjadinya perubahan iklim atau pemanasan global. Semakin banyak pendekar-
pendekar lingkungan semacam ini maka laju pemanasan global kian lambat.
Berdasarkan dua contoh kegiatan tersebut, kita dapat mengartikan bahwa
mitigasi adalah berbagai tindakan aktif untuk mencegah atau memperlambat
terjadinya perubahan iklim atau pemanasan global melalui upaya penurunan
emisi GRK dan atau peningkatan
penyerapan GRK. Dalam hal ini upaya “Mitigasi adalah
mitigasi dilakukan untuk menghindari
upaya mengatasi
permasalahan yang tidak dapat dikelola di
kemudian hari. penyebab. Mitigasi
Pemanasan global dan perubahan iklim dilakukan untuk
adalah masalah yang sulit untuk dikelola
di kemudian hari sehingga perlu dilakukan
mengurangi risiko
mitigasi untuk mengurangi penyebabnya. dan dampak
130 Ringkasnya, mitigasi adalah upaya pemanasan global
mengatasi penyebab. Mitigasi dilakukan
untuk mengurangi risiko dan dampak
dan perubahan iklim
pemanasan global dan perubahan iklim di di masa depan.”
masa depan.

9.1. Permasalahan Utama Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia

1. Program diversifikasi sumber energi (Perpres No. 5/2006)


Menurut Perpres No. 5/2006, bagian konsumsi dari bahan bakar
minyak Bumi dalam diversifikasi energi harus menurun dari 51 % pada
level saat ini menjadi hanya 20 % pada tahun 2025. Namun demikian,
konsumsi dari batubara ditingkatkan menjadi 33 %.
Sasaran ini dituangkan secara rinci di dalam dokumen blueprint
kebijakan energi nasional 2005. Target yang ditetapkan terkait dengan
diversifikasi sumber energi adalah sebagai berikut:
- Minyak Bumi berkurang 20 %.
- Gas Bumi berkurang 30 %.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


- Batubara meningkat 33 %.
- Geothermal meningkat 55 %.
- Biofuel meningkat 5 %.
- Energi terbarukan lainnya, termasuk energi nuklir meningkat 5 %.
- Batubara cair (coal liquefaction) meningkat 2 %.

2. Penurunan emisi nasional sebesar 26 % dengan upaya sendiri dan 41


% jika mendapat bantuan dari luar negeri hingga tahun 2020.
Pada Pertemuan G-20 di Pittsburg, Amerika Serikat, pada 2009
Indonesia secara sukarela (voluntary) menyampaikan komitmennya
untuk mengurangi emisi GRK secara
“Sumber terbesar nasional. Disebut voluntary karena
Indonesia bukan termasuk negara yang
dari emisi adalah
wajib menurunkan emisi berdasarkan
dari pengrusakan Kyoto Protokol.
hutan, kebakaran Penurunan emisi nasional tersebut
adalah sebesar 26 % dari emisi tahun
hutan, serta lahan 2005 terhadap proyeksi emisi tahun 2020.
gambut akibat Jika ada tambahan bantuan asing, maka
131
pengeringan, penurunan emisi tersebut bertambah 15
% dari proyeksi emisi tahun 2020 menjadi
kebakaran, dan alih 41 %.
fungsi lahan.” Untuk melakukan proyeksi emisi tahun
2020 terhadap tahun 2005 maka perlu
dilakukan penghitungan baseline emisi tahun 2005 dan penghitungan
proyeksi emisi tahun 2020 dengan kapasitas pembangunan yang
ada dan menetapkan penurunan berdasarkan hasil proyeksi yang
dimaksud. Sumber terbesar dari emisi yang akan diturunkan adalah
dari pengrusakan hutan akibat deforestasi, kebakaran hutan, serta
emisi dari lahan gambut akibat pengeringan, kebakaran, dan alih
fungsi lahan.

3. Inventori Emisi GRK Nasional


Inventori emisi GRK nasional diperlukan sebagai laporan berkala
tentang status terkini emisi di Indonesia yang disampaikan kepada
UNFCCC. Laporan tersebut dipakai untuk melihat kemajuan program
mitigasi perubahan iklim dari berbagai negara.

Mitigasi Perubahan Iklim


Penghitungan GRK nasional idealnya dilakukan atas semua unit
kegiatan ekonomi yang ada berdasarkan nilai konversi dengan rumus
yang telah ditetapkan oleh IPCC dan UNFCCC. Inventori juga dilakukan
untuk mendukung program penurunan emisi GRK sebesar 26 %. Contoh
penghitungan emisi GRK adalah konsumsi bahan bakar minyak (BBM)
untuk transportasi dan industri, pertanian, peternakan, suplai energi
rumah tangga, perubahan tata guna lahan, serta kebakaran hutan dan
sampah.

4. Reduced Emission from Deforestation and Degradation (REDD)


Program REDD (pengurangan emisi dari pengrusakan hutan dan
degradasi) merupakan salah satu bentuk insentif perdagangan karbon
yang sudah berlaku saat ini. Program ini akan memberi insentif kepada
pemilik hutan yang mampu mengelola hutan secara lestari sehingga
tidak menimbulkan emisi karbon tambahan dan bahkan menyerap
emisi karbon di atomosfer.
REDD ditunjang oleh berbagai pengukuran, verifikasi, dan
pelaporan yang ketat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh
UNFCCC. Prosedur tersebut dilakukan sebelum, selama, dan setelah
132 proyek dilaksanakan.
Insentif akan dibayarkan setelah semua pelaporan masuk atau
pascapelaksanaan proyek. REDD sangat diminati Indonesia karena kita
masih memiliki banyak potensi kehutanan. Sayangnya, pelaksanaan
REDD tersebut masih banyak mengalami kendala teknis dan kebijakan
di lapangan.

9.2. Berbagai Aktivitas Manusia yang Menghasilkan GRK


Berbagai aktivitas manusia menyumbang GRK di atmosfer dalam jumlah
besar. Bahkan kecenderungan buangan GRK ini kian meningkat seiring dengan
perkembangan populasi manusia yang makin bertambah beserta kegiatan
industrialisasi di segala bidang yang mengiringinya.
Berikut ini adalah beragam kegiatan manusia beserta sumber utama yang
menyebabkan emisi GRK yang semakin menumpuk di atmosfer.
r Industri.
Sektor industri berkontribusi terhadap emisi GRK karena kegiatan ini:
m Menggunakan bahan bakar minyak (BBM).
m Memakai listrik.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


m Menghasilkan limbah sampah “Berbagai
cair, gas, dan padat.
aktivitas manusia
r Rumah tangga.
Kegiatan domestik rumah tangga
menyumbang GRK
yang menyebabkan emisi GRK di di atmosfer dalam
atmosfer meliputi hal-hal sebagai jumlah besar. Bahkan
berikut:
m Membakar sampah.
kecenderungannya
m Mengunakan listrik. kian meningkat
m Menggunakan kayu bakar, seiring dengan
minyak tanah, atau gas elpiji.
m Menghasilkan limbah minyak perkembangan
goreng. populasi manusia
r Transportasi yang makin
Sektor transportasi baik darat,
bertambah
laut, maupun udara juga memberi
kontribusi yang besar terhadap beserta kegiatan
kenaikan emisi GRK. Hal ini industrialisasi di
disebabkan sarana transportasi 133
segala bidang yang
tersebut menggunakan BBM.
mengiringinya.”
r Peternakan
Peternakan juga memberi andil bagi emisi GRK. Sebab kotoran
peternakan (sapi, babi, kambing, ayam, dan lain-lain) jika tidak diolah
kembali akan menghasilkan metan yang akan menumpuk ke atmosfer
sebagai GRK.
r Persawahan
Kegiatan petani di sawah juga dapat menimbulkan emisi GRK. Emisi
tersebut berasal dari:
m Pemakaian pupuk kimia.
m Dekomposisi bahan organik.
m Pembakaran sisa pertanian.
m Pengairan lahan pertanian.
r Pembukaan lahan
Pembukaan lahan untuk berbagai kepentingan juga menyebabkan
emisi GRK di atmosfer semakin tinggi. Sumber utama emisi GRK dari

Mitigasi Perubahan Iklim


konversi lahan tersebut meliputi:
m Perubahan wilayah hutan atau sawah menjadi permukiman.
m Ladang berpindah.
m Membuka lahan dengan membakar lahan.

9.3. Upaya Praktis Dalam Mitigasi Perubahan Iklim


Dengan mencermati berbagai persoalan tersebut, jelas bahwa konsentrasi
GRK di atmosfer cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini membu-
tuhkan berbagai upaya mitigasi yang serius dan sungguh-sungguh dari selu-
ruh lapisan masyarakat penghuni Bumi.
Beberapa upaya praktis yang dapat Anda lakukan untuk melakukan
mitigasi agar laju perubahan iklim dan pemanasan global dapat direm adalah
sebagai berikut:
• Mengkonsumsi barang berdasarkan kebutuhan, bukan menuruti
kemauan.
• Menanam pohon.
• Melestarikan keanekaragaman hayati.
• Hemat air.
• Hemat energi (kurangi penggunaan listrik dan BBM).
134 • Menggunakan pemanas air bertenaga surya.
• Menggunakan sumber energi yang ramah lingkungan.
• Memanfaatkan sumber listrik tenaga nonfosil seperti PLTA, biogas, biofuel,
biodiesel, geothermal, arus laut, angin, dan surya.
• Beralih menggunakan sumber energi rendah emisi. Contohnya dari kayu
bakar atau minyak tanah menjadi gas elpiji.

“Jelas
bahwa konsentrasi GRK
di atmosfer cenderung meningkat
dari waktu ke waktu. Hal ini membutuhkan
berbagai upaya mitigasi yang serius dan
sungguh-sungguh dari seluruh lapisan
masyarakat penghuni Bumi.”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


• Hindari posisi stand by pada alat-alat elektronik (televisi, AC, DVD, tape,
radio, dan lain-lain). Karena itu cabut saja kabel yang menghubungkan
alat-alat tersebut dengan sumber listriknya.
• Menonaktifkan AC, oven, setrika, dan kompor beberapa menit sebelum
waktunya.
• Menggunakan moda transportasi massal (seperti bis dan kereta api) atau
moda transportasi tanpa BBM seperti sepeda. Kalaupun menggunakan
kendaraan pribadi (mobil), jangan sendirian. Ajaklah penumpang lain
dalam satu mobil.
• Menggunakan moda transportasi dengan mesin yang memiliki standar
emisi rendah, misalnya berstandar Euro.
• Memaksimalkan perawatan jalan dan kendaraan.
• Mengurangi penggunaan kayu bakar untuk memasak.
• Mengurangi (reduce) sampah secara terbuka.
• Jangan membakar sampah.
• Hindari pembakaran hutan dan lahan.
• Memakai produk dengan nilai emisi rendah dalam pembuatannya.
• Memakai produk dengan nilai emisi rendah dalam pemakaiannya.
• Menggunakan lampu hemat energi dan memaksimalkan pencahayaan
ruangan yang berasal dari alam. 135
• Menggunakan warna terang di tembok, menggunakan genteng kaca di
plafon, dan memaksimalkan pencahayaan melalui jendela.
• Berbelanjalah di lingkungan sekitar, jangan jauh-jauh agar hemat energi.
• Membawa tas belanja yang bisa dipakai ulang (reuse).
• Melakukan daur ulang (recycle) dan memakai barang atau alat dengan
usia yang lebih panjang.
• Mendaur ulang sampah.
• Memanfaatkan tanaman sisa pertanian sebagai pakan ternak.
• Membuatan pupuk organik.
• Memanfaatkan serasah sisa panen untuk dijadikan pupuk kompos.
• Memanfaatkan kotoran ternak untuk pupuk dan biogas.

9.4. Upaya Mitigasi yang Dilakukan Kementerian Pertanian


Berbagai upaya mitigasi untuk menurunkan konsentrasi GRK juga dilakukan
Kementerian Pertanian, baik di sektor pertanian maupun peternakan. Berikut
ini upaya-upaya tersebut.

Mitigasi Perubahan Iklim


9.4.1. Upaya Mitigasi di Sektor Pertanian
Setidaknya ada tiga jenis upaya mitigasi yang dilakukan di bidang pertanian,
yakni menemukan beberapa varietas padi rendah emisi GRK, mengelola
gambut secara berkelanjutan, dan mengelola perkebunan ramah lingkungan.
Beberapa varietas padi yang rendah emisi GRK namun berproduksi tinggi
adalah:
• IR64.
• Ciherang.
• Way apoburu.
• Inpari 1.

Selain itu, lahan gambut juga perlu dikelola secara berkelanjutan. Hal ini
penting karena lahan gambut merupakan penyimpan gas CO2 terbesar di
lahan pertanian. Pembukaan lahan gambut untuk pertanian akan membuka
cadangan karbon terbesar sehingga karbon terlepas ke udara.
Pembukaan lahan dengan cara membakar akan melepaskan banyak
CO2 ke udara. Tak hanya itu, drainase dan pembakaran gambut juga ikut
memperparah pelepasan GRK. Karena itu beberapa upaya mitigasi yang
dilakukan terkait dengan pengelolaan gambut adalah sebagai berikut:
136 1. Mengembangkan dan menerapkan teknologi tanpa bakar (PLTB) dalam
usaha pertanian di lahan gambut. PLTB adalah cara membuka lahan
gambut tanpa melakukan pembakaran, untuk mencegah terjadinya
kebakaran lahan dan hutan. Sisa-sisa tanaman yang tidak diperlukan
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kompos sehingga
dapat meningkatkan
kesuburan tanah.
2. Memilih jenis tanaman
yang tidak memerlu-
kan sistem drainase
yang dalam, contoh-
nya sagu, nipah, karet,
Foto: Slamet Widayadi

dan padi sawah.


3. M e n g e m b a n g k a n
teknologi ameliorasi
untuk mengurangi Gambar 9.1. Salah satu mitigasi bidang pertanian
emisi CO2 dari lahan adalah memilih tanaman yang tidak
memerlukan drainase seperti tanaman
gambut. padi sawah.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Sementara itu, upaya mitigasi untuk mengelola perkebunan dapat
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengembangkan tanaman kelapa sawit dan karet pada lahan semak
belukar dan alang-alang.
2. Memanfaatkan lahan alang-alang (cadangan karbon rendah) menjadi
lahan perkebunan (cadangan karbon lebih besar).
3. Menggunakan limbah tanaman perkebunan sebagai sumber bahan
organik dan sumber bioenergi.
4. Meremajakan tanaman perkebunan yang sudah menurun produk-
tivitasnya.

9.4.2. Upaya Mitigasi Di Sektor Peternakan.


Di sektor peternakan, setidaknya ada tiga upaya mitigasi yang dilakukan
Kementerian Pertanian. Pertama, memberikan pakan ternak berupa suple-
men atau konsentrat sebagai upaya meningkatkan produktivitas ternak seka-
ligus menurunkan emisi gas dan mengurangi biaya pakan.
Pemberian suplemen atau pakan tambahan berupa daun-daunan dari
tanaman yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi dapat meningkatkan
daya cerna di dalam rumen terhadap hijauan rumput dan pakan berkualitas
rendah lainnya yang masih tersisa (seperti jerami) pada musim kemarau. 137
Dengan demikian, pemanfaatan rumput dan sisa pertanian sebagai pakan
dasar dapat dioptimalkan dan kebutuhan nutrisi ternak terpenuhi.
Sebagai contoh kelor (Moringa oleifera Lam) dapat dijadikan suplemen
untuk pakan ternak. Kelor tersebut disajikan dalam bentuk mineral block.

“Pemberian suplemen atau pakan tambahan


berupa daun-daunan dari tanaman yang
mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi
dapat meningkatkan daya cerna di dalam rumen
terhadap hijauan rumput dan pakan berkualitas
rendah lainnya yang masih tersisa (seperti jerami)
pada musim kemarau.”

Mitigasi Perubahan Iklim


Kedua, melakukan perbaikan teknik pemberian pakan dengan meman-
faatkan sumber pakan lokal. Ada beberapa teknik pembuatan pakan sebagai
upaya antisipasi dampak perubahan iklim pada ternak, di antaranya dengan
membuat pakan ternak yang berasal dari limbah pertanian, yakni:
a. Limbah dan produk ikutan dari pengolahan kelapa sawit seperti palm
pressing fibre (PPF), palm sludge (lumpur sawit), palm kernel cake
(PKC), oil palm fronds (OPF), dan empty fruits bunch (EFB). Limbah
tersebut dapat dipakai sebagai pakan sapi potong.
b. Limbah tebu juga sangat bermanfaat untuk pakan ternak. Limbah
tersebut antara lain berupa pucuk tebu segar, wafer pucuk tebu, pellet
pucuk tebu, daun kletekan, sogoan, ampas tebu, empulur ampas tebu,
tetes, blotong, dan lain-lain.
c. Limbah kakao juga multi manfaat. Kulit buah kakao misalnya, banyak
mengandung mineral (seperti K dan N), protein, lemak, dan sejumlah
asam amino. Mengingat kandungan mineral, nutrisi, dan jumlah
limbah dapat diperoleh cukup banyak, maka kulit buah kakao layak
diolah menjadi pakan ternak.

138

Foto: Slamet Widayadi

Gambar 9.2. Limbah tebu seperti pucuk tebu segar, wafer pucuk tebu, pellet pucuk tebu,
daun kletekan, sogoan, ampas tebu, empulur ampas tebu, tetes, dan blotong
dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Upaya ketiga adalah memanfaatkan limbah ternak untuk pupuk. Limbah
ternak berupa feses, urine, dan sisa-sisa pakan dapat digunakan sebagai
bahan pembuatan pupuk yang berkualitas. Pupuk organik tersebut mampu
menyuburkan tanaman budidaya.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan limbah ternak sebagai
bahan pupuk adalah:
a. Terjadi efisiensi karena dengan penggunaan pupuk dari limbah maka
akan mengurangi penggunaan pupuk buatan yang harganya lebih
mahal.
b. Dengan memanfaatkan limbah ternak untuk pupuk pada tanaman
tebu maka terjadi efisiensi karena tidak perlu diangkut terlalu jauh
dari kebun.

9.5. Upaya Mitigasi yang Dilakukan Kementerian Kelautan dan


Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan juga melakukan berbagai upaya
mitigasi perubahan iklim. Mitigasi tersebut dapat dilakukan dengan mene-
rapkan teknologi ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan bakar ramah
lingkungan (bio fuel) sebagai pengganti bahan bakar fosil (fossil fuel), pena-
naman vegetasi pantai dan lain sebagainya. 139
1. Pengembangan bahan bakar ramah lingkungan untuk kapal.
Pengembangan bio fuel (energi dari nabati) sebagai pengganti minyak
Bumi akan memberikan kesempatan lebih besar untuk memperbaiki kualitas
lingkungan hidup. Bio fuel adalah energi yang bersumber dari berbagai
tanaman seperti kelapa, jarak, jagung, ubi kayu, tebu, dan lain sebagainya.
Pemanfaatan bahan bakar nabati ini dapat menurunkan emisi GRK.
Dengan demikian, semakin banyak bio fuel yang digunakan di kapal-kapal
nelayan maka emisi GRK tidak bertambah.
Di sisin lain, pengembangan energi terbarukan semacam ini juga dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menciptakan lapangan kerja.
Selain itu, pendapatan masyarakat juga dapat meningkat.

2. Penamanan vegetasi pantai.


Penanaman vegetasi pantai seperti mangrove, ketapang, cemara, dan
waru laut selain merupakan upaya adaptasi juga sekaligus upaya mitigasi.
Disebut upaya adaptasi karena vegetasi tersebut melindungi kawasan pesisir
dari dampak perubahan iklim, seperti rob, banjir, dan erosi.

Mitigasi Perubahan Iklim


Foto-foto: Budiman
Gambar 9.3. Penanaman vegetasi pantai dengan cemara (gambar kiri) dan waru laut (kanan)
merupakan upaya adaptasi sekaligus mitigasi terhadap perubahan iklim di
kawasan pesisir.

Di sisi lain, vegetasi tersebut juga dapat menyerap emisi karbon sehingga
merupakan upaya mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan penelitian Nyoto
Santoso (2007), mangrove dalam kondisi baik di Batu Ampar, Kalimantan
Barat mampu menyerap karbon sebesar 10,68 ton/ha/tahun.
Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan OISCA Jepang
dan instansi terkait sejak tahun 2003 telah menanam sekitar 50.000 bibit
mangrove di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa
140 Tengah. Setahun berikutnya juga ditanam 20.000 bibit mangrove. Terakhir
pada tahun 2005 ditanam lagi 25.000 bibit mangrove (Subandono D, Budiman,
dan Firdaus A, 2009).
Penamanan vegetasi pantai (cemara dan waru laut) juga dilakukan
Kementerian Kelautan dan Perikanan di kawasan pesisir Pacitan, Jawa Timur.
Penanaman vegetasi semacam ini selain dapat menyerap karbon, juga dapat
melindungi kawasan di sekitarnya dari angin kencang dan tsunami.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 10.

MANAJEMEN
PERUBAHAN IKLIM

P
erubahan iklim dan pemanasan global telah menyadarkan masyarakat
dunia untuk mengelola berbagai upaya adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim. Badan-badan baru di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pun dibentuk untuk mengakomodasi berbagai keputusan strategis guna
141
menghadapi perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Di dalam negeri, manajemen perubahan iklim juga terus digencarkan.
Lembaga-lembaga penelitian nonkementerian --seperti Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)-- Kementerian
Lingkugan Hidup, Bappenas, serta beberapa universitas dikerahkan untuk
memperkuat kapasitasnya dalam hal basis ilmiah, mitigasi, dan adaptasi.
Di luar itu, pemerintah juga membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim
untuk memperkuat kelembagaan yang sudah ada. Berbagai kelembagaan
tersebut memiliki tanggung jawab sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-
masing.
Semua upaya itu dikerahkan agar para pengambil keputusan dapat
menghasilkan kebijakan nasional yang kuat dan tepat berbasis ilmiah,
mitigasi, dan adaptasi guna menghadapi perubahan iklim.

10.1. Tinjauan Internasional
Pada tataran internasional, PBB membentuk dua badan yang mengurusi
masalah perubahan iklim. Kedua badan tersebut adalah Inter-governmental

Manajemen Perubahan Iklim


Panel on Climate Change (IPCC atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan
Iklim) dan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC
atau Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim).
Menurut sejarahnya, terbentuknya IPCC dan UNFCCC mengacu pada
pelaksanaan Konferensi Pertama Iklim Dunia (World Climate Conference atau
WCC-1) pada 1979 dan WCC-2 pada 1990. Seperti diketahui, jauh sebelum
WCC-1 digelar, penelitian dan peramalan iklim masih sangat minim. Hal ini
menjadi salah satu penghambat penyampaian (diseminasi) informasi iklim
kepada masyarakat luas.
Di sisi lain, banyak fenomena iklim –perubahan iklim global-- yang
berpengaruh terhadap berbagai sektor seperti pertanian, infrastruktur,
kesehatan, perikanan, sumber daya air, energi, wisata, dan kehutanan.
Sayangnya, masyarakat dunia tidak memiliki informasi iklim yang memadai
untuk menjelaskan fenomena perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan
terjadi.
Berdasarkan hal inilah maka pada 1979 diselenggarakan WCC-1. Pertemuan
ini mempengaruhi pembentukan beberapa inisiatif saintifik internasional
yang penting. Atas inisiatif dua organisasi PBB --World Meteorological
Organization (WMO) dan United Nations Environment Program (UNEP)--
142 membidani lahirnya IPCC.
IPCC bertugas menghasilkan kerangka saintifik untuk perubahan iklim
yang dituangkan dalam Laporan Kajian IPCC (IPCC Assessment Report). IPCC
mencatat prestasi gemilang pada tahun 2007. Ketika itu Laporan Kajian ke-4
(Assessment Report atau AR-4) mendapatkan hadiah bergengsi, Nobel untuk
kategori Perdamaian.
Sebelumnya, WMO, International Council for Science (ICSU), dan Inter-
governmental Oceanic Commission (IOC-Unesco) juga memprakarsai lahirnya
World Climate Research Program (WCRP).
Usaha-usaha bertaraf internasional tak hanya berhenti di situ. Sukses
menggelar WCC-1, pada 1990 diadakan WCC-2. Pertemuan tersebut
menghasilkan banyak hal. Di antaranya terbentuk UNFCCC dan Global Climate
Observing System (GCOS). Di samping itu, WCC-2 juga menghasilkan berbagai
rekomendasi lanjutan untuk aktivitas WCRP.
Dalam perjalanannya, UNFCCC telah menghasilkan beberapa kesepakatan
yang penting. Di antaranya Protokol Kyoto (1997), Nairobi Work Program
(2006), Bali Action Plan (2007), dan Copenhagen Protocol (2009).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan layanan

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


informasi iklim sekaligus sebagai forum yang efektif di antara para ilmuwan
dan para pembuat keputusan, maka WMO menyelenggarakan WCC-3. Pada
momen tersebut diajukan penetapan dan pengembangan Global Framework
for Climate Services.
Tujuannya, memungkinkan adanya adaptasi iklim dan manajemen
risiko terkait iklim melalui keterpaduan antara informasi dan prediksi iklim
berbasis sains dengan kebijakan dan penerapannya untuk seluruh lapisan
masyarakat.

IOC-UNESCO ICSU WMO UNEP


(Intergovermental (Int’l Council (World (UN Framework
Oceanographic for Science) Meteorological Convention
Commission of Organization) on CC)
UNESCO)
WCC-1 WCP (World Climate Program) IPCC (Intergovernmental Panel on
(1979) - 1979 CC) - 1988
2 Program w Product: World Climate Research w Scientific Framework for CC
Program (WCRP) w AR-IV has received Nobel Peace Prize 2007

WCC-2
(1990) Global Climate Obs. System UNFCCC (UN Framework
(GCOS) Convention on CC) - 1990 143
2 Program w Political Framework for CC
w Product: Kyoto Protocol (1997); Nairobi
Work Prog (2006); Bali Action Plan (2007);
Copenhagen Accord (2009)
INT’L PARTNERSHIP OF WMO
WCC-3
(2009) Global Framework Climate Services - 2009
3 Program w Product: Climate services application programme,
Climate services information system

Gambar 10.1. Peran beberapa lembaga internasional dalam naungan Perserikatan Bangsa-
Bangsa menghadapi perubahan iklim.

Rung lingkup pekerjaan IPCC dan UNFCCC memiliki perbedaan yang


mendasar. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut:
q IPCC
IPCC bekerja berdasarkan basis ilmiah dari hasil kajian para pakar
mengenai ilmu perubahan iklim terkini. Kajian yang diproses berupa
kompilasi dari publikasi ilmiah internasional berdasarkan jurnal ilmiah yang
sudah terakreditasi. Hasil kajian dituangkan dalam Laporan Kajian yang saat
ini sudah diterbitkan buku Laporan Kajian ke-4 pada tahun 2007. Sementara
itu, buku Laporan Kajian ke-5 sedang disusun.

Manajemen Perubahan Iklim


Seperti telah dikemukakan sebelumnya, buku Laporan Kajian ke-4
mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian bersama Al Gore, mantan Wakil
Presiden Amerika Serikat yang bekerja sebagai aktivis sosialisasi perubahan
iklim. Kajian yang dibahas meliputi perubahan iklim akibat alamiah dan ulah
manusia (antropogenik). Hasil kajian tersebut bersifat policy descriptive
(memberi gambaran kebijakan), bukan policy prescriptive (memberi resep
kebijakan) dan bukan juga policy driven (mengarahkan kebijakan).
Dilihat dari struktur kerjanya, IPCC terdiri dari 3 working group (grup
kerja) yaitu:
o Basis Ilmiah.
Berisi permasalahan indikasi, deteksi, gejala, serta observasi proses
perubahan iklim di darat, laut, tutupan es, dan atmosfer.
o Adaptasi kerentanan dan dampak.
Berisi permasalahan untuk upaya adaptasi sektoral, permasalahan
kerentanan kewilayahan, serta dampak yang ditimbulkan dari
perubahan iklim terhadap biosfer, ekosistem, dan sosial ekonomi.
o Mitigasi.
Berisi permasalahan upaya meredam emisi GRK dan upaya menambah
daya serap terhadap GRK.
144
IPCC mengadakan pertemuan sekali atau dua kali setiap tahun yang
dihadiri oleh wakil pemerintah. Laporan kajian yang dipersiapkan oleh para
pakar dipresentasikan di hadapan wakil pemerintah untuk mendapatkan
persetujuan akhir. Dari sini lalu dipublikasikan untuk menjadikan gambaran
terkini dari status ilmiah perubahan iklim yang sedang terjadi.

q UNFCCC
UNFCCC bekerja berdasarkan pertemuan sesi konvensi setahun sekali dan
ditambah dengan berbagai pertemuan antara. Pertemuan tersebut dapat
berupa COP (Conference of Parties), MOP (Meeting of Parties), atau gabungan
keduanya yang disebut CMP (Conference and Meeting of Parties).
Pada segmen akhir dari pelaksanaan COP, diadakan high level segment
meeting (pertemuan tingkat tinggi) yang biasanya menghasilkan deklarasi
atau kebijakan perubahan iklim yang bersifat policy prescriptive. Kebijakan
dan deklarasi yang dihasilkan bersifat non-binding (tidak mengikat) tetapi
diharapkan dapat diratifikasi di DPR negara masing-masing untuk menjadi
pengikat.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Beberapa deklarasi atau keputusan penting yang dihasilkan UNFCCC
adalah Kyoto Protocol yang dihasilkan pada COP-3 di Kyoto Jepang (1997),
Nairobi Work Program pada COP-12 di Nairobi Kenya (2006), dan Bali Action
Plan pada COP-13 di Bali, Indonesia (2007). Isi Kyoto Protocol di antaranya:
o Upaya pembatasan emisi GRK di dunia untuk negara maju sebesar 5 %
di bawah emisi tahun 1990 yang dicapai akhir tahun 2012.
o Target peningkatan suhu Bumi maksimal sebesar 1,5 oC di atas suhu
sebelum masa industrialisasi (sekitar tahun 1850).
o Konsentrasi maksimal CO2 sebesar 450 ppm (bagian per sejuta).

Struktur organisasi UNFCCC terdiri dari dua badan utama yaitu SBSTA
(Subsidiary Body on Science and Technology Advice atau Badan Pelengkap
tentang Advokasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan SBI (Subsidiary Body
on Implementation atau Badan Pelengkap tentang Implementasi Kebijakan).
SBSTA bekerja pada kajian aspek pendukung kebijakan, sedangkan SBI
membuat penetapan kebijakan politis.

“Beberapa deklarasi atau keputusan penting yang


dihasilkan UNFCCC adalah Kyoto Protocol yang 145

dihasilkan pada COP-3 di Kyoto Jepang (1997),


Nairobi Work Program pada COP-12 di Nairobi Kenya
(2006), dan Bali Action Plan pada COP-13 di Bali,
Indonesia (2007).

Kedua badan tersebut bekerja pada agenda item yang berkembang sesuai
kebutuhan. Biasanya dibentuk forum konsultasi tertentu seperti Adhoc
Working Group (Grup Kerja Tidak Tetap) untuk masalah agenda item yang
berbeda-beda.
Jika ada permasalahan baru, biasanya dibahas di SBSTA. Hasil dari
pertemuan tersebut lalu dibawa ke SBI untuk dikonsultasikan sebelum dibawa
ke dalam deklarasi hasil pertemuan.
Berbeda dengan IPCC, maka UNFCCC lebih mendasari kebijakan pada
perubahan iklim akibat aktivitas manusia (antropogenik). Sifat dari deklarasi
yang dihasilkan dari sebuah konvensi UNFCCC adalah unanimous atau

Manajemen Perubahan Iklim


persetujuan seluruh pihak. Dengan demikian, hasil yang diputuskan biasanya
adalah sebuah deklarasi yang kompromistis.
Tujuan utama dari kebijakan atau deklarasi yang dihasilkan adalah target
pembatasan emisi GRK dan target pemanasan global yaitu perubahan suhu
dan konsentrasi GRK global. Selain itu, UNFCCC juga membahas masalah
seperti mekanisme perdagangan karbon, program adaptasi, pendanaan
perubahan iklim, transfer teknologi dan monitoring, serta observasi gejala
perubahan iklim.
Terkait dengan insentif perdagangan karbon, kita mengenal beberapa
istilah seperti REDD (reduced emission on degradation and deforestation atau
pengurangan emisi dari kerusakan dan perubahan lahan hutan), CCS (carbon
capture and storage atau penangkapan dan penyimpanan karbon), serta geo
engineering (teknik rekayasa keBumian).

“Tujuan utama dari kebijakan atau deklarasi yang


dihasilkan UNFCCC adalah target pembatasan emisi
GRK dan target pemanasan global yaitu perubahan
146 suhu dan konsentrasi GRK global. Selain itu, UNFCCC
juga membahas masalah seperti mekanisme
perdagangan karbon, program adaptasi, pendanaan
perubahan iklim, transfer teknologi dan monitoring,
serta observasi gejala perubahan iklim.”

10.2. Tinjauan Kebijakan Nasional


Penyelenggaraan WCC melatarbelakangi pembentukan konsep manaje-
men perubahan iklim di Indonesia. Seperti telah dikemukakan sebelumnya,
menurut IPCC, ada tiga tema utama perubahan iklim yaitu basis ilmiah, adap-
tasi, dan mitigasi.
Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia memiliki konsep nasional
manajemen perubahan iklim yang meliputi tiga komponen tersebut (lihat
Gambar 10.1). Selain itu, pemerintah RI juga menyusun Rencana Aksi
Nasional (RAN) Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim (MAPI) sebagai tindak
lanjut rekomendasi COP-13 di Bali pada Desember 2007.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Dalam penerapan manajemen perubahan iklim di Indonesia, sejumlah
kementerian dan lembaga pemerintah terlibat di dalamnya. Institusi tersebut
meliputi Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator
Perekonomian, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Bappenas,
Kementerian Riset dan Teknologi, BMKG, universitas, serta Dewan Nasional
Perubahan Iklim.
Aspek basis ilmiah membahas mengenai proses dan tren terjadinya
perubahan iklim meliputi pengamatan dan pengumpulan data, analisa dan
pengolahan data, pemodelan iklim, serta peningkatan kapasitas sumber
daya manusia. BMKG --yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam
pemberian informasi Iklim-- bersama-sama dengan universitas berperan
aktif sehingga informasi yang diberikan dapat digunakan sebagai deteksi dini
terhadap perubahan iklim.

“Dalam menyikapi isu perubahan iklim, BMKG


mempunyai peranan yang cukup besar, khususnya
dalam pemberian dukungan informasi terhadap
sektor yang rentan terhadap perubahan iklim yang 147
diformulasikan dalam RAN MAPI. Agar aksi mitigasi
dan adaptasi berjalan sukses, diperlukan suatu
transfer teknologi, pemantauan (monitoring), dan
evaluasi kegiatan.”

Dalam menyikapi isu perubahan iklim, BMKG mempunyai peranan yang


cukup besar, khususnya dalam pemberian dukungan informasi terhadap
sektor yang rentan terhadap perubahan iklim yang diformulasikan dalam
RAN MAPI. Agar aksi mitigasi dan adaptasi berjalan sukses, diperlukan suatu
transfer teknologi, pemantauan (monitoring), dan evaluasi kegiatan.
Dengan menghangatnya isu perubahan iklim maka saat ini hampir seluruh
institusi pemerintahan telah mengadakan upaya, baik pengembangan
pengetahuan basis ilmiah, adaptasi, maupun mitigasi perubahan iklim. Porsi
dan beban kerja yang dilakukan tergantung pada tugas pokok, wewenang,
dan otoritas yang dipegang oleh masing-masing instansi tersebut.

Manajemen Perubahan Iklim


Koordinasi dan sinergi kerja antarinstansi dalam penanganan perubahan
iklim sangat diperlukan saat ini. Hal ini terutama untuk menghindari tumpang
tindih dan juga lebih mengoptimalkan kinerja secara keseluruhan.
Dari sisi perundang-udangan, Indonesia juga telah menerbitkan enam
Undang-Undang (UU) yang berhubungan dengan isu perubahan iklim. Ke-6
UU tersebut adalah sebagai berikut:
1. UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati.
2. UU No. 17/2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto Atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Perubahan Iklim.
3. UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
4. UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
5. UU No. 31/2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.
6. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Dari enam UU tersebut, terdapat dua UU yang menyebut secara eksplisit


mengenai perubahan iklim, yakni UU No. 31/ 2009 tentang Meteorologi,
148 Klimatologi, dan Geofisika dan UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.
UU tersebut menyebutkan, sesuai tugas pokok dan fungsinya, BMKG memiliki
wewenang untuk pengelolaan data, monitoring, dan observasi gejala
perubahan iklim dan penyediaan informasi dasar perubahan iklim.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki wewenang untuk
penetapan kebijakan lingkungan hidup menyangkut masalah perubahan
iklim. Singkat kata, BMKG bekerja di sektor hulu dalam penyediaan data dasar
seperti parameter iklim dan GRK ambien. Sedangkan Kementerian Lingkungan
Hidup bekerja pada aspek hilir yang mengarah kepada kebijakan adaptasi dan
mitigasi.
Sesuai dengan Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2008, BMKG
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang meteorologi, klimatologi, kuali-
tas udara, dan geofisika sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya, BMKG memiliki beberapa fungsi, di
antaranya:
- Merumuskan kebijakan.
- Melakukan koordinasi kebijakan, rencana, dan program.
- Menyampakian informasi.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


- Menyampaikan peringatan dini.
- Melakukan kerja sama internasional.
- Melakukan pengawasan di bidang meteorologi, klimatologi, geofisika,
instrumentasi, kalibrasi, dan jaringan komunikasi.

Selain itu, pemerintah Indonesia membentuk Dewan Nasional Perubahan


Iklim (DNPI) yang ditetapkan berdasarkan Perpres No 46 tahun 2008. Tugas
DNPI meliputi:
1. Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program, dan kegiatan
pengendalian perubahan iklim.
2. Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian
perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih
teknologi, dan pendanaan.
3. Merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara
perdagangan karbon.
4. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan
tentang pengendalian perubahan iklim.
5. Memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju
agar lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.

Di samping, Kementerian LH, BMKG, 149


dan DNPI terdapat juga kementerian
“Di samping,
atau instansi yang ikut berperan dalam Kementerian LH, BMKG,
menangani perubahan iklim. Setiap dan DNPI terdapat
instansi tersebut memiliki perannya
masing-masing dalam menangani isu-
juga kementerian
isu perubahan Iklim nasional (lihat atau instansi yang
Gambar 10.3). ikut berperan dalam
Kegiatan yang bersifat saintifik
misalnya, dilakukan oleh BMKG,
menangani perubahan
universitas, dan instansi terkait. iklim. Setiap instansi
Kegiatan tersebut melingkupi hulu tersebut memiliki
sampai hilir dengan melakukan
pengamatan dan koleksi data iklim, perannya masing-masing
pengolahan data dalam kegiatan dalam menangani isu-
pemodelan dan riset, serta diseminasi isu perubahan Iklim
informasi iklim.
Diseminasi informasi iklim dapat nasional.”

Manajemen Perubahan Iklim


berupa data historis, data aktual, dan proyeksi atau tren (kecenderungan).
Informasi ini kemudian diteruskan kepada Kementerian Lingkungan Hidup
yang bertugas menentukan kebijakan dalam bentuk RAN MAPI.
Dengan melihat pengelompokan berbagai permasalahan di atas maka
untuk menghadapi isu perubahan iklim dapat digolongkan dalam tiga
kelompok --seperti juga pembagian dalam struktur kerja IPCC-- yakni:
1. Basis ilmiah.
2. Adaptasi, kerentanan, dan dampak.
3. Mitigasi.

Pembagian kerja di setiap institusi yang terlibat dalam kegiatan perubahan


iklim sebaiknya mengacu pada tugas pokok dan fungsi instansinya dihubungkan
dengan perannya terkait dengan tiga kelompok dasar tersebut. Ketiga
kelompok dasar tersebut bisa disebut sebagai tiga pilar utama pengelolaan
perubahan iklim.
Pembagian kerja tersebut memiliki institusi primer pada masing-masing
pembagian grup kerja yaitu BMKG dan universitas untuk kelompok pertama
(basis ilmiah), Kementerian Lingkungan Hidup untuk kelompok kedua
(adaptasi, kerentanan, dan dampak), serta kelompok ketiga (mitigasi).
150 Dari pembagian kerja berdasarkan pilar
utama tersebut dapat dilihat juga peran “Dengan adanya
beberapa institusi lainnya dalam mendukung sinergi kerja dari
kegiatan sektoral perubahan iklim yaitu Kemenko
berbagai institusi
Perekonomian, Kemenko Kesra, Bappenas,
Kementerian Ristek, dan Kemendiknas. Dengan tersebut maka
adanya sinergi kerja dari berbagai institusi upaya adaptasi
tersebut maka upaya adaptasi dan mitigasi
dan mitigasi
perubahan iklim di berbagai sektor dapat
dipercepat. perubahan iklim
Sesuai tugas pokok dan fungsi dari masing- di berbagai
masing instansi kelembagaan pemerintah,
sektor dapat
maka peran sebagian dari instansi tersebut
menyangkut pengelolaan isu perubahan iklim dipercepat.”
adalah sebagai berikut:
- DNPI melakukan koordinasi kebijakan, terutama menyangkut negosiasi
perubahan iklim.
- KLH melakukan koordinasi kebijakan dampak, adaptasi, dan mitigasi

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


perubahan iklim.
- BMKG berperan dalam melakukan pemantauan, observasi, tabulasi,
dan pemodelan data iklim serta perubahannya.
- Kementerian Ristek melakukan koordinasi dan sinergi riset dan
pengembangan perubahan iklim.
- BPPT melakukan kajian dan aplikasi teknologi baru dan tepat guna
untuk mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim (technology
clearing house).
- Lapan menerapkan teknologi inderaja dan pemantauan atmosfer
atas.
- LIPI mengkaji aspek limnologi, iklim paleo, dan oseanografi.
- Kementerian Kelautan dan Perikanan memantau oseanografi dan iklim
maritim.
- Kementerian terkait (seperti Kemtan, Kementerian PU, Kementerian
Kesehatan, dan lain-lain) memantau dampak sektoral dan sosialisasi
mitigasi sektoral.
- Akademisi (universitas dan lembaga penelitian nonpemerintah)
melakukan kajian strategis keikliman dan nonkeikliman seperti
dampak, adaptasi, dan mitigasi sosial ekonomi.
151

Gambar 10.2. Skema pemanfaatan scientific output untuk aplikasi kegiatan adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim secara nasional.

Manajemen Perubahan Iklim


Badan/Institusi
3 Pilar utama perubahan iklim Pelaksana
q
Kementerian
1 Basis Ilmiah (Proses & tren perubahan iklim) Perekonomian KEMENKO
EKONOMI

Observasi & koleksi data


v
Kebutuhan riil: informasi
Analisis data
v perubahan iklim di tingkat UNIVERSITAS
Pemodelan iklim
v kecamatan - ditunggu oleh q
Kementerian Koordinator
masyarakat luas. Kesejahteraan Rakyat
Pembangunan kapasitas
v KESRA
Sektor
Rentan
2 ADAPTASI (RAN MAPI) Iklim
BAPPENAS: Program &
q
Sektor rentan iklim: pertanian, publik, kesehatan,
v LPNK pembiayaan
perikanan, pariwisata. BAPPENAS
Pengendalian akibat perubahan iklim yang sudah terjadi.
v
Transfer teknologi:
v
[Monitoring & evaluasi aksiadaptasi KLH
q
Kementerian Ristek:
Sektor panduan penelitian iklim
3 MITIGASI (RAN MAPI) Rentan
Tren/perubahan iklim di masa depan (info berbasis
v Iklim
ilmiah) LPNK
Sektor rentan iklim: transportasi-energi-kehutanan
v q
DNPI: koordinator
Pengendalian akibat perubahan iklim yang akan terjadi
v program
DNPI
Transfer teknologi:
v
[Monitoring & evaluasi aksi mitigasi KLH

Gambar 10.3. Tiga pilar utama perubahan iklim dan peran dari badan atau instansi.

152

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


BAB 11.

JENIS INFORMASI
PERUBAHAN IKLIM
DARI BMKG

B
MKG menyediakan layanan data dan informasi perubahan iklim dari
hasil pengamatan atau historis yang berasal dari stasiun pengamatan
yang dimilikinya. Sampai saat ini BMKG mengoperasikan 21 stasiun
klimatologi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
153
Selain itu, BMKG juga mendapat pasokan data dari 120 stasiun meteorologi,
31 stasiun geofisika, serta sekitar 5.000 pos stasiun kerja sama. Stasiun kerja
sama tersebut terdiri dari pos-pos hujan, stasiun penguapan, pos-pos iklim,
dan stasiun meteorologi pertanian khusus (SMPK).
Selain data perubahan iklim berdasarkan hasil pengamatan atau historis,
BMKG juga dapat menampilkan hasil kajian perubahan iklim di masa
mendatang berdasarkan hasil pemodelan iklim. Pemodelan iklim ini dilakukan
berdasarkan berbagai skenario yang telah ditetapkan oleh IPCC.
Selain data primer iklim, BMKG juga menawarkan jasa layanan skenario
adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil kajian informasi perubahan iklim
lokal dan karakteristik daerah dan perhitungan dasar dari besaran emisi gas
rumah kaca (GRK) di daerah. Layanan jasa lainnya adalah sosialisasi proses,
dampak, dan informasi perubahan iklim di wilayah Indonesia, termasuk
pembuatan media perubahan iklim berdasarkan data pengamatan primer
perubahan parameter iklim.
Di samping itu, BMKG juga melakukan pengamatan kualitas udara di 47
stasiun atau unit kerja pemantau kualitas udara. Sebanyak 5 pos pemantau
berada di wilayah DKI Jakarta dan 1 stasiun pemantau atmosfer global, yang

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG


dikenal sebagai Stasiun
GAW (Global Atmosphere
Watch) di Bukit Kototabang,
Sumatera Barat.
Stasiun GAW
merupakan satu di antara
27 stasiun global yang
ada di dunia. Salah satu
tugas dan peran utamanya
adalah melakukan
pengukuran GRK ambien.
Nilai GRK ambien adalah
besaran konsentrasi GRK
yang dianggap telah
berada dan menyatu di
atmosfer. Pengukuran GRK
ambien dilakukan dengan
mengambil sampel udara.
Sampel ini lalu dianalisa
154 di Laboratorium NOAA di
Boulder Colorado, AS.
Gambar 11.1. Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, Parameter yang diamati
dan Geofisika. di Stasiun GAW meliputi
NO2, SO2, aerosol (SPM),
PM10, PM2,5, Ozon permukaan, CO, radiasi Matahari, carbon black, gas-gas
rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC, dan SF6), PoPs (persistent organic pollutants),
serta kimia air hujan. Kegiatan itu dimaksudkan untuk memberikan nilai
referensi (baseline), mengevaluasi, dan mendeteksi pengaruh komposisi
kimia atmosfer terhadap iklim dan lingkungan.
Pengamatan konsentrasi debu SPM (suspended particle matter) dilakukan
di 47 stasiun pemantau yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebanyak 30
stasiun di antaranya juga mengukur tingkat keasaman, konduktivitas, dan
komposisi kimia air hujan.
Berdasarkan pengukuran tingkat atau derajat keasaman air hujan, kita
dapat mengetahui perubahan akibat peningkatan GRK di atmosfer. Hal ini
karena konsentrasi GRK di atmosfer akan berkontribusi terhadap peningkatan
konsentrasi asam lemah di udara yang dapat turun (deposisi) bersama dengan

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Gambar 11.2. Jaringan stasiun pemantau kualitas udara di Indonesia.

butir hujan yang jatuh ke permukaan Bumi. 155


Selain pengukuran SPM dan komposisi kimia air hujan, BMKG juga
melakukan pengukuran PM10, SO2, NO2, dan ozon permukaan. Sampel-sampel
debu, air hujan, dan filter-filter hasil pengukuran SO2 dan NO2 dikirim dari
stasiun pemantau ke Laboratorium Kualitas Udara BMKG untuk dianalisis
lebih lanjut.
Hasil observasi tersebut dikumpulkan dalam satu database, lalu dianalisis
untuk menghasilkan informasi dalam bentuk simbol dan gambar agar mudah
dipahami masyarakat pengguna. Beberapa informasi perubahan iklim dan
kualitas udara dibuat dengan bahasa dan gambar yang mudah dimengerti
masyarakat antara lain dalam bentuk:
1. Informasi peta kerentanan perubahan iklim yang ditekankan pada
peta informasi trend (kecenderungan) dan potensi bencana iklim
berdasarkan data curah hujan.
2. Informasi trend curah hujan dengan derivatif: curah hujan (harian,
bulanan, dan tahunan), peta dry spell (hari tanpa hujan berturut-
turut), dan peta wet spell (hari hujan berturut-turut). Kedua peta (dry
spell dan wet spell) dapat dilihat pada Gambar 11.4).

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG


3. Informasi trend suhu udara dengan derivatif: suhu (maksimum,
minimum, dan rat-rata), malam panas, malam dingin, siang panas,
siang dingin, beda suhu maksimum dan minimum, dan trend suhu
udara atas.
4. Informasi trend kelembaban permukaan dan udara atas.
5. Informasi trend tekanan udara.
6. Informasi trend arah dan kecepatan angin permukaan dan udara
atas.
7. Informasi potensi energi Matahari dan angin.
8. Informasi GRK dan kualitas udara.
9. Informasi hujan asam.
10. Informasi asap dan emisi kebakaran hutan.

Sementara itu, data hasil simulasi skenario iklim di masa mendatang


dilakukan pembesaran atau proyeksi pada skala lokal hingga skala kabupaten
dengan teknik downscaling secara statistik atau dinamis. Hasil tersebut
dikumpulkan dalam satu database kemudian dilakukan suatu analisis untuk
menghasilkan informasi dalam bentuk simbol dan gambar agar mudah
dipahami pengguna.
156 Secara umum, seluruh kajian, studi, dan analisa iklim saat ini dapat
ditransformasi untuk dilakukan hal serupa pada iklim mendatang. Apabila
kajian dilakukan pada iklim terkini memakai data hasil observasi terkini maka

Gambar 11.3. Jaringan Stasiun Pemantauan Atmosfer Global (Global Atmosphere Watch
atau GAW) di seluruh dunia.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


data observasi digantikan oleh data keluaran simulasi model.
Seluruh hasil kajian iklim mendatang sifatnya adalah potensi perubahan
dan tidak dapat diambil kesimpulan secara pasti. Dalam hal ini penyajian
dilakukan dalam satuan probabilistik statistik berdasarkan populasi data yang
dibandingkan atas situasi mendatang dibanding situasi saat ini.
Berbagai informasi perubahan iklim skenario mendatang dibuat dengan
bahasa dan gambar yang mudah dimengerti masyarakat antara lain berupa:
1. Pola iklim mendatang meliputi pola curah hujan, suhu, angin, dan
tingkat kelembaban.
2. Pola ketersediaan air mendatang berdasarkan pola curah hujan
hasil proyeksi simulasi model. Berdasarkan hasil ini kita juga dapat
melakukan prediksi perubahan potensi sumber daya listrik tenaga air.
3. Pola iklim ekstrem mendatang berdasarkan potensi terjadinya iklim
ekstrem berdasarkan pada parameter iklim utama seperti suhu dan
curah hujan.
4. Pola waktu tanam mendatang berdasarkan perubahan pola suhu dan
curah hujan hasil proyeksi.
5. Pola kesesuaian iklim mendatang untuk tanaman komoditas
berdasarkan perubahan pola parameter iklim.
6. Pola penyebaran penyakit manusia dan tanaman yang erat terkait 157
pada parameter iklim berdasarkan perubahan pola parameter iklim.
7. Pola kerentanan iklim mendatang yang dibuat berdasarkan berbagai
perubahan pola parameter iklim yang ada.

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, BMKG berperan dalam hal
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang meliputi:
1. Penyediaan database perubahan iklim berdasarkan parameter iklim
hasil observasi BMKG. Database meliputi semua parameter dasar atau
unsur iklim.
2. Penyediaan informasi perubahan iklim meliputi trend (kecenderungan)
perubahan ekstrem, baik untuk unsur iklim dasar, hasil analisa untuk
iklim lampau, maupun berdasarkan hasil simulasi skenario iklim
mendatang.
3. Penyediaan peta kerawanan bencana perubahan iklim untuk iklim
lampau dan hasil simulasi skenario iklim mendatang.
4. Penyediaan peta kerentanan perubahan iklim berdasarkan peta
kerawanan bencana iklim untuk iklim lampau dan hasil simulasi

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG


158

Gambar 11.4. Peta dry spell atau hari tanpa hujan berturut-turut (gambar atas), dan peta
wet spell atau hari hujan berturut-turut (bawah).

skenario iklim mendatang.


5. Penyediaan perangkat bantu adaptasi (adaptation tool) atau untuk
upaya adaptasi sektoral.

Khusus menyangkut masalah adaptasi, BMKG sedang menyusun peta


kerentanan perubahan iklim di masing-masing wilayah. Hal ini perlu dibuat
karena tingkat perubahan iklim dan dampaknya tidak sama di setiap daerah.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Tabel 11.1. Jenis informasi cuaca dan iklim yang dipakai untuk keperluan
adaptasi sektoral.

INFRASTRUKTUR

INFRASTRUKTUR

TRANSPORTASI

KEHUTANAN
PERIKANAN
KESEHATAN
PERTANIAN
Jenis Informasi cuaca dan iklim

WISATA
ENERGI
PESISIR

AIR
Prakiraan musim hujan (awal
musim, maju-mundur musim, dan
sifat hujan selama periode musim) p p p p p
Prakiraan musim kemarau (awal
musim, maju-mundur musim, dan
sifat hujan selama periode musim) p p p p p
Prakiraan gelombang p p p p p
Prakiraan curah hujan bulanan, 3
bulan ke depan p p
Prakiraan potensi banjir bulanan,
3 bulan ke depan p p p p
Penyediaan atlas potensi
agroklimat p p p 159
Penyediaan peta rawan
kekeringan p p
Frekuensi suhu dan atau
kelembaban lebih dari nilai
tertentu p p p
Frekuensi kecepatan angin lebih
dari nilai tertentu p p p
Informasi cuaca ekstrem (curah
hujan dan suhu) p p p p p p p p p
Informasi konsentrasi gas rumah
kaca p p
Peta kualitas udara meliputi NOx,
SPM, Ozon permukaan, pH hujan,
SO2, dan CO2. p p p
Informasi tentang dispersi polutan p p
Peta daerah rawan gempa dan
tsunami p p p p p p p
Peta daerah rawan petir p p p p p

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG


Penekanan pembuatan peta kerentanan tersebut difokuskan pada
penyusunan data dari parameter iklim seperti trend dan ekstrem yang terjadi
pada curah hujan, suhu, kelembaban, angin, penguapan, dan tutupan awan.
Informasi tersebut kemudian digandengkan dengan informasi kapasitas
adaptasi yang bersifat noniklim untuk dapat disusun menjadi sebuah peta
kerentanan. Informasi yang disusun berupa informasi masa lampau dan
informasi akan datang dari hasil pemodelan skenario iklim.
Selain itu, BMKG sedang membuat peta informasi perubahan iklim sam-
pai skala provinsi untuk sektor yang sensitif terhadap iklim. Sektor sensitif
tersebut meliputi sumber daya air, energi, pertanian, kesehatan, kehutanan,
infrastruktur, pariwisata, transportasi, dan pesisir kelautan. BMKG berupaya
untuk menyediakan perangkat bantu adaptasi (adaptation tool) bagi peman-
faatan informasi iklim yang optimal sesuai kebutuhan sektor tersebut.
Selain adaptasi, BMKG juga berperan dalam melakukan mitigasi perubahan
iklim. Peran tersebut meliputi:
1. Penguatan data GRK nasional dengan pengukuran konsentrasi GRK
ambien di Stasiun GAW di Bukit Kototabang, Sumatera Barat dan di
Lore Lindu, Palu.
2. Penguatan data GRK provinsi dengan informasi GRK ambien dari
160 sampel udara provinsi.
3. Sistem informasi iklim dan GRK dalam mendukung Indonesian carbon
accounting system.
4. Sistem informasi fire danger rating system untuk pencegahan
kebakaran hutan.
5. Sistem informasi peringatan dini iklim ekstrem (climate early warning
system) untuk pencegahan kebakaran hutan, manajemen sumber
daya air bagi energi, dan pengurangan risiko kecelakaan transportasi.
6. Sistem informasi kualitas udara nasional seperti informasi deposisi
hujan asam dan deteksi on-line partikulat asap kebakaran hutan.
7. Sistem informasi emisi kebakaran hutan Indonesia.
8. Penyusunan peta energi terbarukan bersumber dari tenaga angin dan
Matahari.

Sementara itu, tugas BMKG dalam penanganan GRK adalah sebagai


berikut:
1. Memperkuat dan meningkatkan Pusat Data Iklim sebagai Pusat Data
dan Informasi Perubahan Iklim dan GRK Nasional.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


2. Melakukan perhitungan (inventory) emisi GRK nasional.
3. Melakukan pemantauan GRK di atmosfer (ambien) yang mewakili
wilayah Indonesia.
4. Melakukan pengumpulan, pengolahan, dan analisis data GRK
nasional.
5. Memberikan pelayanan (diseminasi data dan informasi) untuk instansi
sektoral sebagai tindak lanjut kebijakan mitigasi dan adaptasi di setiap
sektor.
6. Melakukan kajian atau penelitian GRK terkait dengan antisipasi
pemanasan global dan perubahan iklim, khususnya untuk
mengamankan kepentingan Indonesia.

Situ Bagendit

D. Bayah
D. Tamblingan W. Mamak

W. Mrica
W. Cileunca
W. Cipanunjang Rawa Pening Selorejo
D. Bratan
W. Batu Bulan 161
W. Tiukulit

D. Pania

D. Tigi

W. Jatiluhur W. Darma
W. Saguling W. Cipanunjang
W. Cirata W. Malahayu
W. Penjalin
D. Segara Anak
W. Gajah Mungkur W. Kedung Ombo D. Batu Jai
D. Tiukulit
W. Ngobel Wonorejo Sutami W. Batu Bulan
D. Batur W. Mamak
Sengguru R. Lamongan Lodoyo D. Bratan W. Pelaparado
W. Sermo Selorejo Wlingi D. Bayah W. Carapa

Gambar 11.5. Proyeksi danau yang mengalami defisit air akibat berkurangnya akumulasi
curah hujan pada periode musim kemarau 2015 – 2039.

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG


Sosialisasi perubahan iklim ke masyarakat luas juga perlu digencarkan.
Karena itulah LIPI bekerja sama dengan BMKG melakukan survei di kalangan
petani dan nelayan di lima daerah; Indramayu (Jawa Barat), Bau Bau (Sulawesi
Tenggara), Malang (Jawa Timur), Kamal Muara (DKI Jakarta), dan Serdang
Bedagai (Sumatera Utara).
Survei dilakukan untuk melihat pengetahuan dan persepsi masyarakat
tentang perubahan iklim, pengaruh perubahan iklim, upaya yang dilakukan
untuk mengurangi pengaruh perubahan iklim terhadap pertanian dan
kenelayanan, serta pengetahuan tentang cuaca/iklim.
Hasil survei tersebut tidak terlalu jauh berbeda dari dugaan semula bahwa
pengetahuan dan pengertian perubahan iklim di kalangan petani dan nelayan
masih minim. Hasil survei selengkapnya adalah sebagai berikut:
• Sebagian besar petani dan nelayan pernah mendengar atau mengetahui
perubahan iklim.
• Pengetahuan dan persepsi tentang perubahan iklim bervariasi menurut
petani dan nelayan serta menurut daerah.
• Sumber informasi dari radio masih sangat terbatas, terutama untuk
nelayan di lima daerah.
• Perubahan iklim mempengaruhi kegiatan pertanian dan kenelayanan,
162 bervariasi menurut kegiatan dan daerah.
• Sebagian besar petani dan nelayan melakukan upaya mengatasi
pengaruh perubahan iklim, bervariasi menurut kegiatan dan daerah.
• Sebagian besar petani dan nelayan pernah mendengar atau mengetahui
ramalan cuaca.
• Sebagian besar petani dan nelayan mempertimbangkan ramalan
cuaca untuk kegiatan pertanian dan kenelayanan.
• Informasi tentang ramalan cuaca yang diterima petani dan nelayan di
lima daerah melalui radio dan BMKG ternyata masih sangat minim.

Berdasarkan hasil survei tersebut, tampak bahwa sosialisasi tentang


perubahan iklim memang perlu dilakukan di kalangan petani dan nelayan.
Melalui sosialisasi diharapkan mereka dapat lebih memahami dan peduli
terhadap fenomena perubahan iklim.
Dengan demikian, mereka lebih siap menghadapi perubahan iklim. Hal
ini penting karena petani dan nelayan adalah masyarakat yang paling rentan
terkena risiko perubahan iklim.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Dr. Ir. Deny Hidayati
Peneliti Utama LIPI Bidang Ekologi Manusia

Siaran Cuaca di Radio


Bermanfaat Bagi Petani, Nelayan,
dan Pelaku Usaha

I
nformasi cuaca dan perubahan iklim yang
disiarkan oleh radio bervariasi menurut
daerah, namun umumnya masih terbatas
pada prakiraan cuaca harian, bulanan, dan
tiga bulanan. Meskipun demikian, informasi
yang terbatas ini cukup bermanfaat bagi
sebagian petani, nelayan, dan masyarakat
umum. Informasi perkiraan cuaca bagi petani

ppk.lipi.go.id
bermanfaat untuk kegiatan dan produksi
pertanian mereka.
Mamak Adam, petani bunga yang
Dr. Ir. Deny Hidayati 163
menjadi pendengar setia Radio Boss di Batu adalah salah contohnya. Ia
mengemukakan informasi hujan yang disiarkan radio sangat berguna.
“Kalau mendengar besok hujan, kita tidak perlu menyiram. Tetapi kalau
dikatakan besok tidak hujan (panas), saya akan menyiram pagi-pagi. Jadi
tidak perlu rebutan air dengan petani lainnya,” kata Mamak.
Pernyataan Mamak ini mempunyai makna yang lebih luas. Informasi
perkiraan cuaca ternyata bukan hanya bermanfaat bagi kegiatan dan
pertumbuhan tanaman bunganya saja melainkan juga mempunyai manfaat
sosial lainnya.
Dari wawancara diketahui bahwa pada musim kemarau, air di lokasi
kebun Mamak cukup terbatas karena letaknya relatif tinggi. Apabila semua
petani bunga di daerah ini, terutama di kebun-kebun yang terletak di
bagian bawah, menyiram bunga maka petani di bagian atas tidak kebagian
air, karena itu air menjadi rebutan. Informasi cuaca dapat mengurangi
perebutan air di kalangan petani bunga di daerah ini.
Manfaat informasi cuaca juga dikemukakan oleh ketua dan anggota
kelompok tani padi di Kabupaten Indramayu. Didi dari Kelompok Tani

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG


Makmur III dan Waryono dari Kelompok Tani Makmur II Desa Karang
Mulya, Kecamatan Kandang Haur, mengemukakan kelompok tani mereka
memanfaatkan informasi cuaca tiga bulanan yang disiarkan oleh Radio
Cinde untuk menambah frekuensi tanam padi menjadi dua kali per tahun
dengan cara “culik tanam”.
Mereka memanen padi dari satu petak sawah lebih awal untuk dijadikan
tempat persemaian. Setelah panen selesai mereka langsung mengolah
tanah dan menanam padi yang sudah siap dari persemaian. Dengan
demikian waktu tanam mereka lebih awal dari biasanya.
Penanaman padi lebih awal ini berdampak sangat positif. Mereka dapat
menghindari gagal panen karena kekeringan pada musim tanam yang
kedua ini. Sedangkan kelompok tani yang lain mencoba menanam padi
lagi (karena beranggapan hujan akan terus turun seperti tahun lalu, 2010),
tetapi gagal karena terlambat tanam. Sedangkan kelompok tani yang lain
tidak berani menanam karena takut gagal seperti biasanya.
Meningkatnya frekuensi panen berimplimplikasi pada naiknya produksi
dan pendapatan petani kedua kelompok tani tersebut. Peningkatan penda-
patan ini juga diindikasikan dari beberapa petani yang mampu membeli
164 motor baru.
Seperti sebagian petani, sebagian nelayan juga menginformasikan
manfaat sosialisasi cuaca dan wilayah tangkap pada kegiatan kenelayanan.
Manfaat ini tidak hanya dirasakan oleh nelayan dengan armada tangkap
modern dan kapasitasnya besar, melainkan juga nelayan kecil.
Seorang nelayan pursain, Haji Mustawan dari Eretan Wetan, Kecama-
tan Kandang Haur, menyatakan, kegiatan sosialisasi ini sangat bermanfaat,
teruta-ma menentukan wilayah tangkap. “Dengan informasi ini (IDPI dan
IL) nelayan tidak lagi mencari ikan, tetapi langsung menangkap ikan,” ujar
Mustawan.
Seorang nelayan dengan armada tangkap yang sederhana dan
tradisional juga mengemukakan manfaat informasi cuaca dan kondisi laut
untuk kegiatan kenelayanannya. “Informasi cuaca, arus, dan gelombang
dari radio menjadi dasar kami untuk melaut,” katanya.
Sementara itu nelayan dari Bau Bau, Sarumi menginginkan sosialisasi
cuaca dan perubahan sosialisasi terus dilakukan karena iformasi diperoleh
nelayan masih terbatas. “Baru sedikit saja masyarakat yang mendapatkan
informasi perubahan iklim. Masih terlalu sedikit ketimbang kebutuhan

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


informasi bagi nelayan. Paling tidak, setengah dari seluruh petani dan
nelayan mendapatkan informasi ini, barulah program ini boleh diakhiri,”
ujarnya.
Sarumi berharap, pemerintah memikirkan cara agar masyarakat
masih tetap dapat mengakses informasi tersebut. Toh selama ini Sarumi
meneruskan informasi dari radio ke rekan-rekan nelayan tanpa merasa ada
paksaan.
Lain lagi dengan pengalaman Samsudin, pembuat tempe dari Desa
Tugu, Kecamatan Indramayu.
“Sebelum membuat tempe, saya mendengarkan radio dulu supaya
tahu besok hujan atau tidak. Kalau hujan, raginya lebih banyak tetapi jika
kalau panas maka raginya lebih sedikit,” ungkapnya.

cgd

165

Jenis Informasi Perubahan Iklim dari BMKG


Kata Penutup

P
erubahan iklim memang sudah terjadi, baik dalam skala global maupun
lokal. Faktanya, berbagai indikator dari dampak perubahan iklim sudah
terasa sejak beberapa puluh tahun silam. Hanya saja, akhir-akhir ini
laju perubahan iklim semakin cepat sehingga berdampak luas ke berbagai
aspek kehidupan umat manusia. Masyarakat di berbagai penjuru dunia pun
mulai memberikan respon. 167
Terkait dengan hal tersebut, United Nation Development Program (UNDP)
memberikan respon dengan menyediakan dana kepada Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Bantuan tersebut digunakan untuk
menyosialisasikan serta melakukan berbagai upaya adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim ke seluruh lapisan masyarakat di Indonesia.
Karena itulah, sebagai lembaga pemerintah, BMKG menjalin kerja sama
dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian
Pertanian (Kemtan), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas),
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Bentuk kerja sama tersebut antara lain dengan membuat
modul tentang perubahan iklim sebagai upaya sosialisasi ke seluruh lapisan
masyarakat.
BMKG bekerja sama dengan Kemtan melakukan sosialisasi perubahan iklim
ke komunitas petani. Kolaborasi dengan KKP bertujuan mendesiminasikan
hal serupa ke kelompok nelayan. Sasaran kerja sama dengan LIPI adalah
menyebarluaskan informasi perubahan iklim melalui program radio ke
masyarakat luas.

Kata Penutup
Sementara itu, bentuk kerja sama BMKG dengan BPPT dan Kemdiknas
(melalui Pusat Kurikulum dan Buku atau Puskurbuk) adalah membuat buku
modul untuk siswa agar materi perubahan iklim nantinya bisa diintegrasikan
ke dalam kurikulum. Dengan cara tersebut, diharapkan para siswa dapat
mengenal berbagai hal terkait perubahan iklim serta upaya adaptasi dan
mitigasinya.
Dalam kerja sama tersebut, BPPT membuat buku modul khusus untuk
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di bidang kelautan. Sedangkan
Puskurbuk membuat buku modul untuk siswa SD, SMP, SMU, guru, dan TOT
(trainer of trainer). Tercatat, ada 16 buku modul yang telah dibuat Puskurbuk
dalam upaya mengintegrasikan materi perubahan iklim ke dalam kurikulum.
Di luar kerja sama tersebut, BMKG selalu siap memberikan pelayanan
dalam menyediakan informasi yang terkait dengan perubahan iklim, prakiraan
musim, prakiraan cuaca, dan lain sebagainya. Untuk informasi lebih lengkap,
silakan kunjungi situs BMKG di:

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Depan.bmkg

Akhirnya kami berharap buku ini dapat memberi manfaat kepada


168 masyarakat luas dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan menjadi
acuan dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global yang telah,
sedang, dan akan terjadi.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Daftar Pustaka
Adam, J, 2002: Global land environments since the last interglacial, (http://
www.esd.ornl.gov/projects/qen/nerc.html)
Aldrian, E., Meteorologi Laut Indonesia, 2008, ISBN 978-979-1241-19-9,
Puslitbang BMG
Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall
regions within Indonesia and their relationship to sea surface
temperature, International Journal of Climatology, 23, 1435-1452.
Batigne, S., Josee B., & Nathalie F. 2008. Pustaka Anak Cerdas. PT Bhuana
Ilmu Populer. 169
Blog: Skeptic’s Play, 2007: Axial Tilt: The Reason for the Season, (http://
skepticsplay.blogspot.com/2007/12/axial-tilt-reason-for-season.html)
Boer, R., Sutardi, Hilman, D., 2007, Indonesia Country Report: Climate
Variability and climate changes, and their implication. Ministry of
Environment, 68pp. ISBN 878-878-8362-82-1
Clouds Types: http://eo.ucar.edu/webweather/cloud3.html
Crew of Apollo 17, 1972: Earth seen from Apollo 17, (http://en.wikipedia.
org/wiki/File:The_Earth_seen_from_Apollo_17.jpg)
Diposaptono, S., Budiman, & Firdaus Agung. 2009. Menyiasati Perubahan
Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah
Populer, PT Sarana Komunikasi Utama. Bogor.
Hendiarti N., Suwarso, E. Aldrian, R. A Ambarini, S. I. Sachoemar, I. B.
Wahyono, K. Amri, 2005, Seasonal Variation of Coastal Processes and
Pelagic Fish Catch around the Java, Oceanography, 18, No 4, 112-123.
Hendon, H. H., 2003, Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and
local air sea interaction, J. Clim., 16, 1775-1790.

Daftar Pustaka
Hoegh-Guldberg, O. 1999, Coral bleaching, Climate Change and the future
of the world’s Coral Reefs. Review, Marine and Freshwater Research,
50:839-866.
Holland, G.J. 1993, “Ready Reckoner” - Chapter 9, Global Guide to Tropical
Cyclone Forecasting, WMO/TC-No. 560, Report No. TCP-31, World
Meteorological Organization; Geneva, Switzerland.
IPCC, 2007: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution
of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change [Solomon, S., D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M.Tignor and H.L. Miller
(eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and
New York, NY, USA.
Kementrian Lingkungan Hidup, Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi
Perubahan Iklim (National action Plan to coupe Climate Change, 2007,
108pp.
Larry West: What is the Greenhouse Effect?, About.com Guide, (http://
environment.about.com/od/globalwarming/a/greenhouse.htm)
Lutgens and Tarbuck, 2001: The Atmosphere. (http://www.ux1.eiu.edu/
~cfjps/1400/atmos_struct.html)
170
Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh sektor Pertanian. 2011.
Modul Perubahan Iklim untuk Penyuluh Sektor Kelautan dan Perikanan.
2011.
Petit, J. R, et al, 1999: Climate and atmospheric history of the past 420,000
years from the Vostok ice core, Antarctica, Nature 399, 429-436 (http://
en.wikipedia.org/wiki/Climate_change#Physical_evidence_for_and_
examples_of_climatic_change)
Philander S.G.H. 1983, El Niño southern oscillation phenomena. Nature, 302,
295–301.
Philander, S. G. H., 1990, El Niño, La Niña and the Southern Oscillation.
Academic Press, San Diego, 293 pp.
The Greenhouse Effect (http://www.ucar.edu/learn/1_3_1.htm), ©2000-
2001 University Corporation for Atmospheric Research
Tutorial on Earth/Suns Relations and Seasons (http://daphne.palomar.edu/
jthorngren/tutorial.htm)
U.S. Global Change Research Program (www.globalchange.gov).”

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Sekilas Penulis

Dr. Edvin Aldrian B.Eng., MSc. APU


lahir di Jakarta 2 Agustus 1969. Ia 171
mengenyam berbagai jenjang pendidikan
tinggi di Kanada, Jepang, dan Jerman.
Setelah sempat kuliah selama tiga bulan
di Jurusan Teknik Fisika, Institut Teknologi
Bandung, ia diterima sebagai mahasiswa
di University of Manitoba, Kanada pada
Sptember 1989 dan mendapatkan gelar
B.Eng dari McMaster University, Kanada
pada Oktober 1993.
Tiga tahun kemudian Edvin melanjutkan studi program master di
Nagoya University Jepang dan mendapatkan gelar MSc pada Oktober 1998.
Dua tahun berikutnya, ia diterima sebagai mahasiswa doktor di Max Planck
Institut fur Meteorologie, University Hamburg, Jerman. Gelar doktornya
diperoleh pada Juli 2003.
Sejak 1 Oktober 2010 hingga kini, pria yang fasih berbahasa Inggris,
Jerman, dan Jepang ini menjabat sebagai Kepala Pusat Perubahan Iklim
dan Kualitas Udara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Sebelumnya, selama November 1993 ia menjadi staf peneliti di Unit

Sekilas Penulis
Pelaksana Teknis Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi (BPPT). Ia mendapatkan gelar profesor riset atau Ahli Peneliti
Utama (APU) pada 1 April 2010.
Di sela-sela kesibukannya itu, Edvin juga menjadi dosen luar biasa untuk
program master di UI (Meteorologi Kelautan) dan IPB (Hidrometeorologi,
Modifikasi Cuaca, dan Perubahan Iklim). Ia kerap menjadi anggota delegasi
ahli dari pemerintah Indonesia seperti pada Konferensi Perubahan Iklim
UNFCCC, WMO, IPCC, dan lain-lain. Di samping itu, pada 2009 ia juga
menjadi Kepala Delegasi Indonesia pada pertemuan ke-31 ASEAN Sub-
committee on Meteorology and Geophysics di Bangkok.
Beberapa penghargaan yang ia terima antara lain START International
Young Scientist Award 2004 atas artikel berjudul Modeling Indonesian
Rainfall with a Coupled Regional Model yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Edvin juga termasuk satu dari tiga ilmuwan Indonesia yang berkontribusi
menulis laporan IPCC pada tahun 2007. Seperti diketahui, laporan IPCC
tersebut mendapat penghargaan Nobel perdamaian pada tahun 2007.
Hingga kini, ia telah menulis sekitar 36 karya ilmiah di jurnal ilmiah
nasional, 11 karya ilmiah di jurnal internasional, 9 artikel ilmiah populer
di media cetak nasional, dan 12 buku. Di media televisi, ia beberapa kali
172 tampil menjadi nara sumber terkait dengan isu perubahan iklim.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA


Dra. Mimin Karmini, MSc lahir di Ciamis,
25 Januari 1951. Ia mendapatkan sarjana
Jurusan Fisika Nuklir dari Universitas
Gadjah Mada (UGM). Gelar masternya
diperoleh dari Department of Earth and
Atmospheric Sciences, Major Meteorology,
Saint Louis University, Missouri, Amerika
Serikat.
Selepas dari UGM, ia memulai
karier sebagai peneliti di Unit Pelaksana
Teknis Hujan Buatan, Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) sejak
Mei 1981 hingga 1 Februari 2011. Dan
terhitung mulai 17 Februari 2011, Mimin, demikian ia disapa, bergabung
dengan proyek PMU ICCTF-BMKG.
Selama menjadi peneliti BPPT, ia pernah mengikuti beberapa pelatihan
terkait dengan masalah cuaca dan iklim. Di antaranya training tentang
meteorologi dan modifikasi awan pada tahun 1985 di UI, Jakarta, Research
on cold cloud seeding (1991) di Thailand, Cloud seeding using burn in place
flares (1996) di Coahuila, Meksiko, Climate prediction (1998) di IRI – UCSD, 173
AS, dan Radar analysis (2008) di EWR, St. Louis, AS.
Di samping itu, ia juga pernah mengikuti pelatihan Business Management
pada September hingga Oktober 2001 di Crown Agent, London, Inggris.

Sekilas Penulis
Ir. Budiman, Msi lahir di Jepara, 29 Maret
1967. Gelar sarjana dan magisternya dipe-
roleh dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia
menyelesaikan Program Pascasarjana Jurna-
listik di Lembaga Pers Dr Soetomo pada 1993.
Kini, ia mendapatkan beasiswa untuk melan-
jutkan studi Program Doktor (S3) di IPB.
Sampai sekarang ia sudah menulis dan
menyunting 70 buku. Termasuk di antaranya
Buku Kapal Selam Indonesia, Mencintai
Bangsa dan Negara, Pantura Jawa - Peta
Panduan Mudik dan Wisata Lengkap, Ayo
Berwisata ke Lampung, Menjelajahi Pesona Wisata di Sumatera Selatan,
Pesona Wisata Bengkulu, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami, serta
Membangun Kembali Permukiman dan Lingkungan Pascagempa & Tsunami
Berbasis Masyarakat.
Bukunya yang berjudul Menyelamatkan Diri dari Tsunami mendapat
award dari Japan Society of Civil Engineers (JSCE) sebagai buku terbaik
tahun 2009. Di dalam negeri, ia juga mendapat 17 penghargaan ketika masih
174 bekerja di Suara Pembaruan. Kini, ia menjadi penulis lepas (freelance writer)
di beberapa media cetak seperti Koran Jakarta dan Majalah Samudra.
Selama menjadi wartawan, ia melakukan berbagai peliputan ke hampir
seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, ia juga melakukan reportase ke
Ottawa (Kanada), Oslo (Norwegia), Tokyo dan Kyoto (Jepang), Beijing
(China), Sidney, Melbourne, dan Hobart (Australia), Bangkok (Thailand),
Kualalumpur dan Penang (Malaysia), serta Singapura.
Dalam berbagai lomba karya ilmiah populer, ia sering diminta menjadi
Dewan Juri. Ia juga menjadi pembicara di IPB, UI, ITB, BMKG, Bakosurtanal,
BPPT, dan lain-lain
Menikah dengan Mardiatul Aini, mereka dikaruniai empat putri; Nada
Salsabila, Novsa Fakhira, Tania Adila, dan Raisa Pitas Malay.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai