Anda di halaman 1dari 83

SKRIPSI

PEMODELAN HOTSPOT BERDASARKAN REGRESI LOGISTIK BINER


DENGAN VARIABEL CURAH HUJAN DAN STANDARDIZED
PRECIPITATION-EVAPORATION INDEX (SPEI) DI
TAMAN HUTAN RAYA SULTAN ADAM

HOTSPOT MODELLING BASED ON BINARY LOGISTIC REGRESSION


USING PRECIPITATION AND STANDARDIZED PRECIPITATION-
EVAPORATION INDEX (SPEI) AS A PARAMETER IN
TAMAN HUTAN RAYA SULTAN ADAM

CINDY ARNELTA PUTRI


21.13.0009

PROGRAM SARJANA TERAPAN KLIMATOLOGI


SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
TANGERANG SELATAN
2018
HALAMAN JUDUL

SKRIPSI

PEMODELAN HOTSPOT BERDASARKAN REGRESI LOGISTIK BINER


DENGAN VARIABEL CURAH HUJAN DAN STANDARDIZED
PRECIPITATION-EVAPORATION INDEX (SPEI) DI
TAMAN HUTAN RAYA SULTAN ADAM

HOTSPOT MODELLING BASED ON BINARY LOGISTIC REGRESSION


USING PRECIPITATION AND STANDARDIZED PRECIPITATION-
EVAPORATION INDEX (SPEI) AS A PARAMETERS IN
TAMAN HUTAN RAYA SULTAN ADAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh derajat


Sarjana Terapan Klimatologi

CINDY ARNELTA PUTRI


21.13.0009

PROGRAM SARJANA TERAPAN KLIMATOLOGI


SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
TANGERANG SELATAN
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI

PEMODELAN HOTSPOT BERDASARKAN REGRESI LOGISTIK BINER


DENGAN VARIABEL CURAH HUJAN DAN STANDARDIZED
PRECIPITATION-EVAPORATION INDEX (SPEI) DI
TAMAN HUTAN RAYA SULTAN ADAM

Telah dipersiapkan dan disusun oleh :


CINDY ARNELTA PUTRI
21.13.0009

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji dan dinyatakan lulus


pada tanggal 9 Agustus 2018

Susunan Tim Penguji

Pembimbing Utama, Ketua Tim Penguji,

Rista Hernandi Virgianto, M. Sc. Dr. Agus Safril, S.T., M. MT.


NIP. 198908152010121001 NIP. 197104181995031001
Pembimbing Pendamping, Anggota Tim Penguji,

Desak Putu Okta Veanti, M. Sc. Amir Mustofa Irawan, M. Sc.


NIP. 198910282010122001 NIP. 199003072009111001

Tangerang Selatan, 9 Agustus 2018


Ketua Program Studi Ketua Sekolah Tinggi Meteorologi
Klimatologi Klimatologi dan Geofisika

Dr. Agus Safril, S.T., M. MT. Slamet Suyitno Rahardjo, M. Si


NIP. 197104181995031001 NIP. 196004251981031001
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya, Cindy Arnelta Putri, NPT. 21.13.0009, menyatakan bahwa skripsi


dengan judul “Pemodelan Hotspot Berdasarkan Regresi Logistik Biner dengan
Variabel Curah Hujan Dan Standardized Precipitation-Evaporation Index
(SPEI) di Taman Hutan Raya Sultan Adam” merupakan karya asli. Seluruh ide
yang ada dalam skripsi ini merupakan hasil penelitian yang saya susun sendiri dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini serta disebutkan dalam daftar pustaka. Selain itu, tidak ada bagian dari
skripsi ini yang telah digunakan sebelunnya untuk memperoleh gelar Ahli Madya
atau kesarjanaan maupun sertifikat Akademik di suatu Perguruan Tinggi.
Jika pernyataan di atas terbukti sebaliknya, maka saya bersedia menerima
sanksi yang ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika.

Tangerang Selatan, 9 Agustus 2018


Penulis,

Cindy Arnelta Putri


NPT 21.13.0009

iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah


Subhanallahu Wata’ala yang telah melimpahkan pertolongan, hidayah, dan ridha-
Nya sehingga penulisan skripsi dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada:
1. Orang tua dan keluarga, terutama Ibu Yanti Cahayawati yang telah
memberikan dukungan moral maupun material, serta do’a terbaik yang tidak
henti-hentinya dipanjatkan untuk penulis.
2. Bapak Slamet Suyitno Rahardjo, M. Si selaku Ketua Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang telah memberikan berbagai
fasilitas dan kemudahan kepada taruna-taruni STMKG dalam menimba ilmu.
3. Bapak Rista Hernandi Virgianto, M. Sc selaku dosen pembimbing dan Ibu
Desak Putu Okta Veanti, M. Sc selaku dosen pembimbing pendamping yang
telah memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada penulis sehingga
penyusunan skripsi dapat terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Dr. Agus Safril, M.MT selaku Ketua Program Studi Klimatologi dan
selaku Ketua Tim Penguji, serta Bapak Amir Mustofa Irawan, M. Sc selaku
Anggota Tim Penguji yang memberikan masukan dan saran sehingga
penyusunan skripsi dapat diselesaikan dengan lebih baik.
5. Keluarga besar Stasiun Klimatologi Banjarbaru yang memberikan masukan
atas ide penelitian, dukungan moral, dan memberikan izin kepada penulis
dalam penggunaan data iklim untuk wilayah Kalimantan Selatan selama
pembelajaran di STMKG.
6. Seluruh dosen, pembina, dan staf karyawan STMKG yang memberikan banyak
pembelajaran dan motivasi kepada penulis untuk tidak menyerah dalam
mencari ilmu.

iv
7. Rekan-rekan Alensa sebagai keluarga di perantauan yang menyemangati,
memberi motivasi, dan hiburan sehingga penulis tetap semangat menjalani
pembelajaran dan perkuliahan.
8. Keluarga besar STMKG angkatan 2013 khususnya Klimatologi angkatan 4
yang sudah memberikan kekuatan dalam menjadi pribadi yang lebih baik dan
memberikan motivasi dalam belajar.
9. Senior Sesar Prabu Dwi Sriyanto yang telah memberikan koreksi dan saran
dalam penulisan skripsi.
10. Ayun, Windi, Debi, dan Vinca yang telah mendukung dan menyemangati tanpa
lelah dalam penyusunan skripsi.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyempurnaan skripsi ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis juga menyadari segala kekurangan di dalam tulisan ini, sehingga
penulis sangat berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan
selanjutnya. Akhir kata, penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada
dalam skripsi ini dan berharap skripsi ini dapat bermanfaat.

Tangerang Selatan, 9 Agustus 2018


Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
INTISARI ....................................................................................................... xii
ABSTRACT .................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3. Batasan Masalah .............................................................................. 4
1.4. Tujuan .............................................................................................. 5
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 6
Tinjauan Pustaka ............................................................................. 6
Landasan Teori ................................................................................ 9
2.2.1. Curah Hujan ........................................................................... 9
2.2.2. Kekeringan Meteorologis ..................................................... 10
2.2.3. Standardized Precipitation-Evaporation Index (SPEI) ....... 12
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 14
3.1. Lokasi dan Data Penelitian ............................................................ 14
3.1.1 Lokasi Penelitan ................................................................... 14
3.1.2 Jenis dan Sumber Data ......................................................... 15
3.1.3 Kelengkapan Data ................................................................ 16
3.2. Metode Penelitian .......................................................................... 16
3.2.1. Perhitungan Rata-Rata SPEI Wilayah.................................. 16
3.2.2. Perhitungan Data Hotspot Bulanan ...................................... 17
3.2.3. Korelasi Point-Biserial ......................................................... 17
3.2.4. Perhitungan Curah Hujan Observasi Rata-Rata Bulanan .... 18
3.2.5. Model Prediksi Hotspot dengan Regresi Logistik Biner ..... 19
3.3. Uji Signifikansi Model .................................................................. 19
3.4. Validasi Model .............................................................................. 20
3.5. Diagram Alir Penelitian ................................................................. 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 26
4.1. Pola Frekuensi Kejadian Hotspot .................................................. 26
4.2. Evaluasi Data Hotspot, Curah Hujan, dan Indeks SPEI ................ 29
4.3. Model Prediksi Hotspot ................................................................. 30
4.3.1 Model Regresi Logistik Biner Hotspot ................................ 30

vi
4.3.2 Validasi Model ..................................................................... 36
4.4. Pembahasan ................................................................................... 45
4.4.1 Hubungan Pola Kemunculan Hotspot dengan Curah Hujan
dan SPEI............................................................................... 45
4.4.2 Evaluasi Model Terbaik dalam Memprediksi Kemunculan
Hotspot ................................................................................. 46
4.4.3 Keterbatasan Metode............................................................ 48
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 49
Kesimpulan .................................................................................... 49
Saran .............................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51
LAMPIRAN .......................................................................................................... 54

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Nama pos hujan di sekitar Taman Hutan Raya Sultan Adam
(ZOM 272)................................................................................. 15
Tabel 3.2 Kelengkapan data ...................................................................... 16
Tabel 3.4 Kontingensi Jumlah Data Prediksi dan Observasi Tiap
Kategori ..................................................................................... 20
Tabel 4.1 Korelasi Point-Biserial Variabel Hotspot dengan SPEI dan
Curah Hujan Secara Simultan ................................................... 30
Tabel 4.2 Korelasi Point-Biserial Variabel Hotspot dengan Curah Hujan
dan SPEI dengan Lag 1 bulan ................................................... 30
Tabel 4.3 Hasil Model Regresi Logistik Biner Untuk Pengolahan Data
Simultan..................................................................................... 31
Tabel 4.4 Hasil Model Regresi Logistik Biner Untuk Pengolahan Data
Lag 1 .......................................................................................... 32
Tabel 4. 5 Tabel Nilai p-value Model Regresi Logistik Biner Hotspot ..... 32
Tabel 4.6 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi
Menggunakan Prediktor Curah Hujan 3 Bulanan Secara
Simultan..................................................................................... 33
Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi
Menggunakan Prediktor SPEI 3 Bulanan Secara Simultan ....... 34
Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi
Menggunakan Prediktor Curah Hujan 1 Bulanan dengan Lag
1 ................................................................................................. 35
Tabel 4.9 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi
Menggunakan Prediktor SPEI 1 Bulanan dengan Lag 1 ........... 36
Tabel 4.10 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
Curah Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold
Probabilitas 0.28 dan 0.3 ........................................................... 37
Tabel 4.11 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
Curah Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold
Probabilitas 0.32 ........................................................................ 37
Tabel 4.12 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
Curah Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold
Probabilitas 0.52 ........................................................................ 38
Tabel 4.13 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
Curah Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold
Probabilitas 0.6 s.d. 0.78 ........................................................... 38
Tabel 4.14 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
SPEI 3 Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.6
dan 0.62 ..................................................................................... 40

viii
Tabel 4.15 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
SPEI 3 Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.64
................................................................................................... 40
Tabel 4.16 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
Curah Hujan 1 Bulanan Lag 1 dengan Threshold Probabilitas
0.38 ............................................................................................ 42
Tabel 4.17 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
Curah Hujan 1 Bulanan Lag 1 dengan Threshold Probabilitas
0.4 s.d. 0.66................................................................................ 42
Tabel 4.18 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor
SPEI 1 Bulanan Lag 1 dengan Threshold Probabilitas 0.56 ..... 44
Tabel 4.19 Kriteria Ketepatan Prediksi Masing-masing Prediktor
Pemodelan Kemunculan Hotspot .............................................. 47

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Luas kawasan hutan di Kalimantan Selatan ................................ 6


Gambar 2.2 Tipe Hujan di Indonesia ............................................................ 10
Gambar 3.1 Lokasi wilayah penelitian .......................................................... 14
Gambar 3.2 Perbandingan Kurva Diagram ROC dan Nilai AUC ................. 23
Gambar 3.3 Perbandingan Kurva Diagram ROC Berdasarkan Sensitivity
dan False Alarm Rate ................................................................ 23
Gambar 3.4 Diagram alir penelitian .............................................................. 13
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Sebaran Hotspot Dan Curah Hujan
Bulanan di Taman Hutan Raya Sultan Adam Periode 2013-
2017 ........................................................................................... 27
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Sebaran Hotspot Dan SPEI Bulanan di
Taman Hutan Raya Sultan Adam Periode 2013-2017 .............. 28
Gambar 4.3 Diagram ROC untuk Prediktor Curah Hujan 3 Bulanan
Simultan..................................................................................... 39
Gambar 4.4 Diagram ROC untuk Prediktor SPEI 3 Bulanan Simultan ........ 41
Gambar 4. 5 Diagram ROC untuk Prediktor Curah Hujan 1 Bulanan Lag 1 . 43
Gambar 4.6 Diagram ROC untuk Prediktor SPEI 1 Bulanan Lag 1 ............. 44

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Pengolahan Data dengan Regresi Logistik Biner ................ 54


Lampiran 2. Tabel Kontingensi Setiap Threshold Probabilitas ......................... 58

xi
INTISARI

Pemodelan Hotspot Berdasarkan Regresi Logistik Biner dengan Variabel


Curah Hujan dan Standardized Precipitation-Evaporation Index (SPEI) di
Taman Hutan Raya Sultan Adam

Oleh

CINDY ARNELTA PUTRI


21.13.0009

Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) menjadi masalah serius tahunan di


Indonesia. Salah satu aspek yang meningkatkan resiko Karhutla adalah fenomena
kekeringan akibat kemarau panjang. Tingkat kekeringan secara meteorologis dapat
ditinjau melalui variabel curah hujan dan indeks Standardized Evapotranspiration-
Precipitation Index (SPEI). Sebagai langkah mitigasi bencana Karhutla dilakukan
pemodelan prediksi kemunculan hotspot berdasarkan kedua variabel tingkat
kekeringan tersebut menggunakan regresi logistik biner. Sebelum dibentuk model
prediksi, dilakukan pemilihan variabel dengan korelasi Point-Biserial terbaik antara
data hotspot dengan data curah hujan dan SPEI yang diolah secara simultan dan
dengan lag 1 bulan. Data yang digunakan merupakan data kemunculan hotspot di
Taman Hutan Raya Sultan Adam, Kalimantan Selatan dengan tingkat kepercayaan
di atas 70%, 80%, dan 90% selama rentang tahun 2013-2017, sedangkan data SPEI
dan curah hujan yang digunakan berupa rata-rata 1 bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan,
dan 12 bulanan.
Untuk pengolahan data simultan, Korelasi Point-Biserial terbaik
ditunjukkan oleh hubungan kemunculan hotspot tingkat kepercayaan di atas 80%
dengan curah hujan 3 bulanan dan SPEI 3 bulanan, sedangkan korelasi Point-
Biserial terbaik pada pengolahan data dengan lag 1 bulan ditunjukkan oleh
hubungan kemunculan hotspot tingkat kepercayaan di atas 80% dengan curah hujan
1 bulanan dan SPEI 1 bulanan. Berdasarkan hasil validasi model menggunakan
metode cross-validation, prediktor terbaik dalam memprediksi kemunculan hotspot
adalah curah hujan 1 bulanan dengan lag 1 bulan yang memiliki jumlah hits dan
correct rejection tertinggi yakni 54 kejadian dan memiliki Area Under Curve
(AUC) dari diagram Receiver Operating Characteristic (ROC) terluas yang
mendekati nilai 1. Jadi, kemunculan hotspot di Taman Hutan Raya pada bulan
tertentu paling kuat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan bulanan pada bulan
sebelumnya.

Kata kunci : Hotspot, kekeringan, Standardized Evapotranspiration-Precipitation


Index, curah hujan, regresi logistik biner

xii
ABSTRACT

Hotspot Modelling Based on Binary Logistic Regression with Precipitation


and Standardized Precipitation-Evaporation Index (SPEI) in Taman Hutan
Raya Sultan Adam

By

CINDY ARNELTA PUTRI


21.13.0009

Forest and land fires are becoming serious annual problems in Indonesia.
One aspect that increases the risk of forest and land fires is the long drought. The
meteorological drought can be reviewed through rainfall and the Standardized
Evapotranspiration-Precipitation Index (SPEI). A prediction model for the
frequency of hotspots are built using binary logistic regression. Before the
prediction model was built, the selection of variables with the best Point-Biserial
correlation between hotspot data with rainfall data and SPEI are processed
simultaneously and by 1 month lag. The data used is hotspot frequency in Taman
Hutan Raya Sultan Adam, South Kalimantan with confidence level above 70%,
80%, and 90% over the 2013-2017, while SPEI data and rainfall are used in the
average of 1 monthly, 3 monthly, 6 monthly, and 12 monthly.
For simultaneous data processing, the best Point-Biserial correlation was
demonstrated by the relation of hotspot confidence level above 80% with 3 monthly
rainfall average and 3 monthly SPEI, while the best Point-Biserial correlation on
data processing with 1 month lag was shown by the relation of the confidence
hotspot emergence above 80 % with 1 monthly rainfall average and 1 monthly
SPEI. Based on the validation of the model using cross-validation method, the best
predictor in predicting the occurrence of hotspot is 1 monthly rainfall average with
1 month lag which has the highest number of hits and correct rejection which is 54
events and has Area Under Curve (AUC) from Receiver Operating Characteristic
diagram (ROC) is largest that closest to the value of 1. So, the emergence of
hotspots in Taman Hutan Raya Sultan Adam on a particular month most strongly
influenced by the amount of monthly rainfall in the previous month.

Keywords : Hotspot, drought, Standardized Evapotranspiration-Precipitation


Index, rainfall, binary logistic regression

xiii
BAB I
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia No. P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016, Kebakaran Hutan dan Lahan
(Karhutla) adalah suatu peristiwa terbakarnya hutan dan/atau lahan, baik secara
alami maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan
politik. Kebakaran hutan dan lahan masih menjadi masalah serius tahunan di
Indonesia meskipun memiliki frekuensi, intensitas, dan luas area yang berbeda-
beda tiap tahunnya. Tercatat tahun 1982-1983, 1991, 1994, 1997-1998, 2006 dan
2015 merupakan kejadian Karhutla dengan skala besar, terutama tahun 2015
(Endrawati, 2016). Berdasarkan data yang dihimpun Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (2015), dampak kerugian Karhulta pada tahun 2015
mencapai 2,6 juta hektar yang terjadi di 16 provinsi di Indonesia.
Upaya mendeteksi Karhutla telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan
menganalisis titik panas (hotspot). Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia No. P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016,
istilah hotspot adalah sebuah piksel dari citra satelit yang memiliki temperatur di
atas ambang batas tertentu yang menjadi indikasi kebakaran hutan dan lahan di
suatu wilayah.
Terdapat banyak kajian yang memaparkan mengenai faktor penyebab
Karhutla dari berbagai macam aspek. Menurut Saputra dkk. (2017), terdapat 3 (tiga)
aspek utama yang mendukung terjadinya kebakaran, yaitu aspek sosial budaya,
ekonomi, dan biofisik.

1
2

Aspek sosial budaya penyebab Karhutla adalah berupa kurangnya


pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan dan pembangunan lingkungan
dalam jangka panjang yang menyebabkan kurangnya kesadaran masyarakat
mengenai dampak buruk pembakaran lahan karena dianggap sebagai cara paling
efektif. Sementara itu, aspek dukung dari segi ekonomi adalah perilaku pembukaan
lahan dengan pembakaran yang disebabkan oleh perekonomian masyarakat yang
rendah.
Untuk aspek biofisik Karhutla antara lain berupa unsur-unsur iklim/cuaca
yang mempengaruhi kadar air, potensi terbakar, dan penyebaran api. Aspek biofisik
merupakan fokus utama dalam penelitian ini sehingga faktor yang diteliti berupa
unsur iklim/cuaca dan fenomena-fenomenanya.
Kondisi kekeringan akibat kemarau panjang merupakan salah satu
fenomena iklim/cuaca yang berperan besar dalam menghasilkan bahan bakar
Karhutla berupa serasah dan belukar yang sangat kering sehingga meningkatkan
resiko Karhutla dibandingkan dengan kondisi normal (Saputra dkk., 2017).
Kekeringan merupakan keadaan berkurangnya jumlah curah hujan dalam jangka
waktu yang panjang pada wilayah tertentu. Menurut Marin dkk. (2017), diperlukan
lebih banyak penelitian untuk memahami efek kekeringan terhadap kemunculan
Karhutla dengan tujuan untuk mengantisipasi efek potensial dari pemanasan global
yang dapat mempengaruhi semakin keringnya kondisi suatu wilayah yang
menyebabkan meluasnya Karhutla. Kekeringan diklasifikasikan ke dalam 4
(empat) kategori, yaitu kekeringan meteorologis, kekeringan hidrologis, kekeringan
agronomis, dan kekeringan sosial ekonomis (Wilhite dan Glantz, 1985), dalam
penelitian ini difokuskan pada kekeringan meteorologis.
Dalam menunjukkan tingkat kekeringan meteorologis digunakan indeks
untuk menguji pengaruh kekeringan menggunakan parameter intensitas, durasi,
severity, dan luas wilayah dalam skala waktu tertentu. Palmer (1965)
mengemukakan indeks kekeringan yang dinamakan Palmer Drought Severity Index
(PDSI) berdasarkan persamaan keseimbangan air tanah. Parameter presipitasi,
evapotranspirasi, dan kelembaban tanah juga menjadi dasar perhitungan PDSI
(Palmer, 1965; Vicente-Serrano dkk., 2012; Virgianto, 2016). McKee dkk. (1993)
3

menghitung Standardized Precipitation Index (SPI) sebagai indikator kekeringan


meteorologis berdasarkan standarisasi curah hujan dalam skala waktu tertentu yang
merepresentasikan sumber air dari berbagai macam tipe. Vicente-Serrano dkk.
(2012) menemukan indeks baru yang mampu menggambarkan kekeringan
meteorologis berdasarkan metode Thornthwaite yang dinamakan Standardized
Evapotranspiration-Precipitation Index (SPEI). SPEI dihitung berdasarkan curah
hujan normal dan data suhu untuk menggambarkan kesetimbangan air. Menurut
Vicente-Serrano (dalam Virgianto, 2016), SPEI dianggap lebih mampu
mengidentifikasi efek kekeringan meteorologis daripada SPI.
Penelitian mengenai hubungan kebakaran hutan dengan kekeringan sudah
pernah dilakukan oleh Marin dkk. (2017) untuk wilayah Mexico, sedangkan untuk
wilayah Indonesia belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya
penelitian di Indonesia mengingat beberapa provinsi di Indonesia mengalami
bencana Karhutla setiap tahunnya, salah satunya adalah provinsi Kalimantan
Selatan. Menurut Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2010),
provinsi Kalimantan Selatan termasuk dalam 10 besar provinsi yang rentan
terhadap bencana Karhutla periode 2006 s.d. 2010.
Salah satu daerah di Kalimantan Selatan yang memiliki jumlah hotspot
terbanyak adalah kabupaten Banjar setelah kabupaten Kotabaru dan Tapin. Namun
diantara ketiga wilayah tersebut, kabupaten Banjar memiliki kepadatan penduduk
yang lebih tinggi menurut BPS Kalimantan Selatan (2018). Berdasarkan data
tersebut, kabupaten Banjar dianggap representatif dalam menggambarkan dampak
Karhutla yang dihubungkan dengan kekeringan, karena wilayah hutan dan lahan di
Banjar dianggap bersinggungan langsung dengan masyarakat di sekitarnya. Oleh
karena itu, wilayah sampel hutan dan lahan yang diambil adalah Taman Hutan Raya
Sultan Adam sebagai taman hutan raya terluas di Indonesia yang mewakili 24%
wilayah kabupaten Banjar.
Pada tahun 2014, Karhutla besar terjadi di Kalimantan Selatan dengan
wilayah terbakar terparah terjadi di Kabupaten Banjar termasuk wilayah Taman
Hutan Raya Sultan Adam (Metrotvnews.com, 2014). Karhutla besar juga terjadi di
wilayah yang sama pada tahun 2015 dengan luas lahan terbakar yang lebih besar.
4

Menurut Kurdi (dalam ANTARANews.com, 2015), Karhutla yang terjadi di Taman


Hutan Raya Sultan Adam membakar lahan seluar 700 hektar pada tahun 2015. Pada
tahun 2017, Karhutla juga terjadi di Taman Hutan Raya Sultan Adam hingga
dilakukan pengeboman air untuk memadamkan api dengan menggunakan
helicopter (BanjarmasinPost.co.id, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa Taman
Hutan Raya Sultan Adam merupakan wilayah yang beresiko terjadi Karhutla
hampir setiap tahun.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian untuk mengetahui efek
kekeringan terhadap kebakaran hutan di Taman Hutan Raya Sultan Adam dengan
menggunakan variabel curah hujan dan indeks SPEI sangat penting dilakukan. Hal
ini, menjadi langkah awal dan dasar dalam mencegah dan menanggulangi bencana
Karhutla di Kalimantan Selatan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana frekuensi kejadian hotspot pada setiap musim di Taman Hutan
Raya Sultan Adam?
2. Bagaimana hubungan curah hujan dan indeks kekeringan SPEI terhadap
kemunculan hotspot di Taman Hutan Raya Sultan Adam?
3. Bagaimana perbandingan model prediksi hotspot antara prediktor indeks SPEI
dengan curah hujan dan manakah model yang terbaik?

1.3. Batasan Masalah


Adapun batasan masalah yang ditentukan dalam penelitian ini terkait
dengan data, wilayah penelitian, dan periode waktu yang digunakan antara lain:
1. Batas wilayah penelitian yang digunakan berada di Taman Hutan Raya Sultan
Adam provinsi Kalimantan Selatan dengan koordinat antara 3º 20’ - 3º 45’ LS
dan 114º 54’ - 115º 10’ BT.
2. Data yang digunakan adalah sepanjang periode 2013 s.d. 2017 berupa data
kemunculan hotspot harian di Kalimantan Selatan yang diperoleh dari Fire
5

Information for Resource Management System (FIRMS), data SPEI yakni SPEI
1 bulanan (SPEI1), 3 bulanan (SPEI3), 6 bulanan (SPEI6), dan 12 bulanan
(SPEI12) dari Spanish National Research Council (CSIC), serta data curah
hujan dari 3 pos hujan utama di sekitar Taman Hutan Raya Sultan Adam.
3. Kriteria kekeringan yang digunakan adalah kekeringan meteorologis.

1.4. Tujuan
Tujuan dari penelitan ini yaitu antara lain:
1. Mengetahui frekuensi kejadianse hotspot pada setiap musim di Taman Hutan
Raya Sultan Adam.
2. Mencari hubungan curah hujan dan indeks kekeringan SPEI terhadap
kemunculan hotspot di Taman Hutan Raya Sultan Adam.
3. Membandingkan model prediksi hotspot antara prediktor indeks SPEI dengan
curah hujan dan mencari model terbaik.

1.5. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat yang diperoleh dari penelititan ini adalah menambah
wawasan dan pemahaman terhadap hubungan kekeringan dengan kemunculan titik
panas (hotspot). Penelitian ini juga dapat diaplikasikan dalam tindakan penanganan
bencana Karhutla dengan mengenali ciri-ciri klimatologis yang terjadi untuk
membantu kegiatan operasional dalam mencegah maupun menanggulangi dampak
Karhutla. Manfaat lain yang diperoleh adalah penelitan ini dapat dijadikan
pertimbangan dan acuan dalam menyusun peringatan dini Karhutla maupun
menjadi dasar menentukan daerah rawan Karhutla di Kalimantan Selatan
khususnya kabupaten Banjar.
BAB II
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS; 2016), penggunaan lahan di
Kalimantan Selatan didominasi oleh hutan dengan luas 1.338.866,84 hektar.
Perincian luas kawasan hutan per kabupaten ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Dari
grafik tersebut dapat diketahui bahwa 11 dari 13 kabupaten yang ada di Kalimantan
Selatan memiliki hutan, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kalimantan
Selatan bergantung pada keanekaragaman hayati ekosistem hutan secara langsung
maupun tidak langsung. Dengan urutan 5 besar kabupaten yang memiliki hutan
terluas antara lain Kotabaru (25%), Tanah Bumbu (20%), Tabalong (18%), Banjar
(9%), dan Tanah Laut (9%).

LUAS KAWASAN HUTAN


DI KALIMANTAN SELATAN
Tanah Laut

7% 0% 9% Kotabaru

Banjar

Barito Kuala
20% Tapin

Hulu Sungai Selatan


25%
Hulu Sungai Tengah

Hulu Sungai Utara

Tabalong

Tanah Bumbu

Balangan
18%
Banjarmasin
9%
Banjarbaru
1% 4% 3%0%
4%

Gambar 2.1 Luas kawasan hutan di Kalimantan Selatan


(Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016)

6
7

Berkurangnya kualitas dan kuantitas hutan di Kalimantan Selatan


menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi hutan yang dapat dimanfaatkan.
Gangguan kerusakan hutan dapat disebabkan oleh faktor manusia dan alam, salah
satunya yang menimbulkan kerusakan parah adalah Karhutla. Penyebab Karhutla
belum dapat ditentukan secara pasti, namun beberapa parameter dan fenomena
iklim yang terjadi diindikasi menjadi salah satu penyebab terjadinya Karhutla.
Curah hujan erat kaitannya dengan Karhutla karena curah hujan menjadi
salah satu faktor penentu mudah tidaknya bahan bakar terbakar dibandingkan
dengan faktor cuaca lain. Meningkatnya kerawanan Karhutla terjadi pada musim
kemarau akibat intensitas curah hujan yang rendah yang umum terjadi pada bulan
Juni hingga November untuk wilayah Indonesia (Sukmawati, 2006). Menurut
Solichin (2004) dalam Saharjo dan Velicia (2018), musim kemarau yang ditandai
dengan rendahnya jumlah curah hujan bulanan berpengaruh dalam menentukan
jumlah hotspot. Semakin kering suatu daerah maka jumlah hotspot akan meningkat,
sebaliknya semakin basah suatu daerah maka jumlah hotspot akan menurun.
Begitu pula dengan kekeringan meteorologis, menurut Gundmundsson dkk.
(2014), hubungan Karhutla dengan kekeringan meteorologis dapat digunakan untuk
memperoleh prediksi jangka panjang kejadian Karhutla. Tingkat kekeringan sangat
menentukan indikasi bahaya Karhutla (Septicorini, 2006). Beberapa penelitian
terdahulu telah berhasil mengungkap hubungan antara Karhutla dengan curah hujan
dan kekeringan meteorologis, yakni penelitian oleh Chen dkk. (2014), Marcos dkk.
(2015), Marin dkk. (2017), dan Sukmawati (2006).
Chen dkk. (2014) mengungkap dampak curah hujan dan indeks kekeringan
hari tanpa hujan dengan aktivitas kebakaran hutan pada dua periode (1982-1988
dan 1989-2008) untuk 5 (lima) wilayah ekoregion provinsi Yunnan, Cina Barat
Daya. Indeks kekeringan yang digunakan dibangun berdasarkan jumlah hari tanpa
hujan secara berturut-turut dengan batas curah hujan kurang dari 2 mm. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa indeks kekeringan hari tanpa hujan dan
jumlah curah hujan memengaruhi aktivitas Karhutla dengan cukup signifikan,
namun diantara kedua variabel tersebut indeks kekeringan hari tanpa hujan
memiliki hubungan yang lebih erat terhadap aktivitas kebakaran hutan daripada
8

curah hujan pada kedua periode penelitian. Indeks kekeringan berupa jumlah hari
tanpa hujan memiliki implikasi yang lebih daripada jumlah curah hujan pada 5
(lima) ekoregion di Yunnan dan lebih signifikan dalam memprediksi bahaya
kebakaran hutan di masa mendatang.
Marcos dkk. (2015), meneliti Karhutla pada musim panas di wilayah
Mediterania berdasarkan model regresi linier berganda dengan indeks SPI dan
SPEI. Menurut Marcos dkk. (2015), pentingnya periode kering dengan nilai SPEI
negatif berperan dalam produksi biomass (bahan bakar) Karhutla, sedangkan
periode basah dengan nilai SPEI positif berperan meningkatkan pertumbuhan
vegetasi yang berarti mengurangi biomass Karhutla. Penelitian tersebut menguji
sistem prakiraan Karhutla berdasarkan data prekiraan ECMWF (European Centre
for Medium-Range Weather Forecast) System-4, prakiraan persistence, dan
prakiraan klimatologi. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa prakiraan
klimatologi hanya mampu memprediksi kondisi basah atau kering sebelumnya
dengan lag 2 tahun.
Hubungan Karhutla dan kekeringan meteorologis dijelaskan lebih spesifik
dalam penelitian Marin dkk. (2017). Data yang digunakan adalah catatan
georeferensi kebakaran periode 2005-2015 di Mexico yang kemudian dihitung dan
dikaitkan hubungan spasial dan temporalnya dengan indeks kekeringan SPEI. Dari
penelitian tersebut diperoleh fakta bahwa di beberapa wilayah utara Mexico kondisi
kering lebih dari 5 bulan dapat memicu kejadian kebakaran.
Sukmawati (2006) telah melakukan penelitian untuk memperoleh hubungan
hujan dengan Karhutla di Pontianak, Kalimantan Barat. Penelitian tersebut mencari
hubungan jumlah hotspot dengan curah hujan bulanan rata-rata, jumlah hari hujan
bulanan rata-rata, dan intensitas curah hujan harian periode 2000-2005. Dari
penelitian tersebut diperoleh bahwa faktor yang paling memengaruhi jumlah
kemunculan hotspot di Pontianak secara signifikan adalah jumlah hari hujan.
Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka tersebut, maka penelitian ini perlu
dilakukan untuk membangun pemodelan hotspot di Taman Hutan Raya Sultan
Adam dengan dua variabel kekeringan yang berbeda yakni curah hujan dan SPEI.
Kedua model hotspot tersebut dibandingkan untuk melihat prediktor terbaik dalam
9

memprediksi kemunculan hotspot di Taman Hutan Raya Sultan Adam. Dalam


penelitian ini, juga menggunakan dua metode pengolahan data yakni simultan dan
lag 1 dengan periode waktu yang berbeda-beda yaitu 1 bulanan, 3 bulanan, 6
bulanan, dan 12 bulanan. Hal tersebut dilakukan untuk melihat pengaruh panjang
periode kekeringan terhadap kemunculan hotspot.

Landasan Teori
2.2.1. Curah Hujan
Salah satu parameter cuaca dan iklim yang mempengaruhi kejadian
Karhutla adalah curah hujan. Hal ini disebabkan karena curah hujan berpengaruh
terhadap kelembaban bahan bakar. Bahan bakar akan menyerap air dari udara yang
lembab, uap air yang turun sebagai hujan akan meningkatkan kadar air dari bahan
bakar (Sukmawati, 2006). Septicorini (2006) berpendapat bahwa peningkatan curah
hujan akan diikuti dengan kelembaban bahan bakar sehingga potensi kejadian
Karhutla akan sangat kecil.
Curah hujan didefinisikan sebagai jumlah air yang jatuh di permukaan tanah
sebelum mengalami aliran permukaan, penguapan, dan peresapan ke dalam tanah
yang diukur sebagai tinggi air dalam satuan milimeter (mm). Menurut Tjasyono
(2004), pola curah hujan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Pola curah hujan jenis monsun
Karakteristik wilayah yang memiliki pola curah hujan monsun adalah pola
curah hujannya yang berbentuk “V” dengan jumlah curah hujan minimum pada
bulan Juni, Juli, atau Agustus. Daerah yang berpola curah hujan monsun sangat luas
di Indonesia.
2. Pola curah hujan jenis ekuator
Karakteristik pola curah hujan jenis ekuator yakni memiliki dua puncak
curah hujan maksimum dalam satu tahun. Jumlah curah hujan maksimum terjadi
setelah ekinoks. Ekinoks adalah kedudukan matahari tepat di atas ekuator. Wilayah
Indonesia yang memiliki pola curah hujan ekuator adalah daerah di sekitar ekuator.
3. Pola curah hujan jenis lokal
10

Distribusi curah hujan pola lokal berkebalikan dengan pola monsun. Pola
lokal lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lokal. Sangat sedikit daerah di Indonesia
yang memiliki pola curah hujan lokal.
Secara umum, pola curah hujan di Kalimantan Selatan merupakan pola
monsun. Pola monsun tersebut seperti pada Gambar 2.2, terlihat bahwa pola hujan
di Kalimantan Selatan pada umumnya memiliki satu puncak musim hujan dengan
curah hujan tertinggi yang terjadi pada bulan Desember dan satu puncak musim
kemarau dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus. Periode musim hujan di
Kalimantan Selatan umumnya dimulai pada bulan Oktober hingga April, sementara
periode musim kemarau terjadi pada bulan Mei hingga September.

Gambar 2.2 Tipe Hujan di Indonesia


(Sumber: BMKG, 2012)

2.2.2. Kekeringan Meteorologis


Definisi kekeringan dapat berbeda-beda tergantung pada sudut pandang
yang digunakan dan kategori sektor yang dipilih. Definisi yang berbeda tersebut
disebabkan oleh dampak utama yang ditimbulkan dari efek kekeringan berbeda-
beda setiap sektor. Pada umumnya, kekeringan adalah suatu kondisi terjadinya
kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan. Kekeringan dapat dikategorikan
11

menjadi definisi secara konseptual dan operasional (Wilhite dan Glantz, 1985).
Kekeringan secara konseptual merujuk pada definisi-definisi yang diformulasikan
dalam kondisi umum untuk mengidentifikasi batas dari konsep kekeringan. Definisi
operasional mencoba untuk mengidentifikasi awal musim, tingkat keparahan, dan
penghentian peristiwa kekeringan.
Kekeringan sering kali didefinisikan berdasarkan perspektif disiplin ilmu.
Wilhite dan Glantz (1985) mengkategorikan definisi kekeringan menjadi 4 (empat)
kategori yakni:
1. Kekeringan meteorologis
Kekeringan meteorologis berhubungan dengan curah hujan yang terjadi
kurang dari keadaan normalnya pada suatu musim. Perhitungan tingkat kekeringan
meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kekeringan.
2. Kekeringan agrikultural
Kekeringan agrikultural berkaitan dengan berkurangnya kandungan air
dalam tanah sehingga kebutuhan air bagi tanaman tidak terpenuhi pada periode
tertentu. Kekeringan agrikultural terjadi setelah kekeringan meteorologis.
3. Kekeringan hidrologis
Kekeringan hidrologis ditandai dengan berkurangnya ketersediaan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis terjadi setelah beberapa waktu
kekeringan meteorologis dan agrikultural.
4. Kekeringan sosio-ekonomis
Kekeringan sosio-ekonomis berhubungan dengan dampak sosial dan
ekonomi masyarakat yang ditimbulkan akibat kondisi kekeringan. Kekeringan
sosio-ekonomis merupakan dampak dari kekeringan meteorologis, agrikultural, dan
hidrologis.
Tingkat kerawanan terjadinya Karhutla tertinggi terjadi pada musim
kemarau dimana jumlah curah hujan berkurang dan menyebabkan terjadinya
kekeringan sehingga kelembaban udara menurun dan mengurangi kadar air pada
bahan bakar. Kekeringan menjadi salah satu pemicu kejadian Karhutla dan
kemunculan hotspot, oleh karena itu definisi kekeringan yang tepat digunakan yang
berkaitan dengan kejadian Karhutla adalah kekeringan meteorologis. Hal ini
12

didasari oleh sifat kekeringan meteorologis yang menjadi indikasi pertama


terjadinya kekeringan.
Menurut Palmer (1965), kekeringan meteorologis didefinisikan sebagai
penurunan kelembaban jangka panjang akibat jumlah curah hujan yang tidak
memenuhi kesetimbangan kelembaban yang hilang akibat penguapan. Kekeringan
meteorologis pada umumnya didefinisikan berdasarkan tingkat kekeringan
dibandingkan dengan keadaan normalnya dan durasi dari periode kering. Definisi
kekeringan meteorologis harus spesifik pada suatu wilayah, karena kondisi
atmosfer yang berbeda antara wilayah satu dengan yang lain sehingga
mengakibatkan variasi yang tinggi pada curah hujan antar wilayah.

2.2.3. Standardized Precipitation-Evaporation Index (SPEI)


Cukup sulit untuk menentukan awal, panjang, dan akhir kejadian
kekeringan. Hal tersebut menyebabkan karakteristik berupa intensitas, magnitudo,
durasi, dan jangkauan spasial dari kekeringan juga sulit diukur. Berdasarkan alasan
tersebut, beberapa indeks dibangun untuk menghitung dampak dari kekeringan
yang didasari oleh infomasi iklim dan diasumsikan dapat menghitung kerawanan
kekeringan (Vicente-Serrano dkk., 2012). Indeks kekeringan diharapkan dapat
digunakan untuk monitoring kekeringan yang lebih mudah dipahami oleh user.
Pada penelitian ini, indeks kekeringan yang digunakan adalah SPEI.
SPEI merupakan indeks kekeringan meteorologis yang didasari oleh data
curah hujan dan suhu. Vicente-Serrano dkk. (2010) mengemukakan bahwa SPEI
dihitung berdasarkan sensitivitas dari PDSI untuk mengubah kebutuhan evaporasi
yang disebabkan fluktuasi dan tren suhu dengan perhitungan sederhana dan
multitemporal alami dari SPI. SPEI dihitung berdasarkan kesetimbangan air
klimatologis yang didapatkan dengan menggunakan three-parameter log distribusi
logistik (Vicente-Serrano dkk., 2012). SPEI menggunakan pendekatan yang sama
dengan SPI dimana nilai yang dihasilkan merupakan akumulasi dari skala waktu
yang berbeda dan dikonversi menjadi standar deviasi. SPEI menggabungkan
sensitifitas PDSI untuk menghitung kebutuhan evapotranspirasi yang dipengaruhi
fluktuasi dan trend suhu dengan perhitungan sederhana dan multitemporal dari SPI.
13

Formulasi asli dari perhitungan SPEI menggunakan persamaan


Thornthwaite dalam mengestimasi ET0 (evapotranspirasi referensi) untuk
menghitung PET (Potential Evapotrasnpiration) yang digunakan untuk
memperoleh kesetimbangan neraca air di suatu wilayah (Trenberth dkk., 2013).
Namun menurut penelitian van der Schrier dkk. (2011), persamaan Thornthwaite
mengestimasi ET0 terlalu tinggi untuk wilayah ekuatorial lembab atau tropis dan
terlalu rendah untuk wilayah kering dan semi kering. Hal tersebut menyebabkan
nilai SPEI untuk lokasi yang lebih spesifik belum tentu akurat akibat terbatasnya
ketersediaan data iklim lokal untuk memprakirakan evapotranspirasi di wilayah
tersebut dengan memadai (Begueria dkk., 2013).
Indeks SPEI mampu digunakan untuk membandingkan tingkat keparahan
kekeringan melalui ruang dan waktu. Selain itu, perhitungan PET dalam SPEI
meningkatkan identifikasi kekeringan pada tipe kekeringan yang berbeda. SPEI
cocok digunakan untuk mendeteksi, memonitoring, dan mengungkap konsekuensi
dari pemanasan global pada kondisi kekeringan. Oleh karena itu, SPEI merupakan
indeks yang mampu menangkap respon variabel kekeringan yang paling baik.
BAB III
BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Data Penelitian


3.1.1 Lokasi Penelitan
Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah wilayah Taman Hutan Raya
Sultan Adam di provinsi Kalimantan Selatan yang secara astronomis terletak di 3º
20’ - 3º 45’ LS dan 114º 54’ - 115º 10’ BT. Letak Taman Hutan Raya Sultan Adam
ini sebagian besar berada di wilayah kabupaten Banjar dan sedikit area berada di
kabupaten Tanah Laut dan kota Banjarbaru. Batas wilayah Taman Hutan Raya
Sultan Adam sebagai wilayah penelitian dapat dengan jelas ditunjukkan pada
Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Lokasi wilayah penelitian

14
15

Taman Hutan Raya Sultan Adam memiliki ketinggian 63 s.d. 1373 mdpl
dengan tipe iklim A dan B untuk klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson. Tipe
ekosistem pada Taman Hutan Raya Sultan Adam berupa hutan hujan tropis dengan
jenis tanah berupa Podsolik Merah Kuning dan Latosol yang relatif kering dan
rendah unsur hara.

3.1.2 Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data SPEI untuk
menunjukkan tingkat kekeringan meteorologis suatu wilayah, data lokasi hotspot
berbasis Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) global, dan
data curah hujan selama 5 tahun pada periode waktu 2013-2017.
1) Data SPEI
Penelitian ini menggunakan data SPEI1 (1 bulanan), SPEI3 (3 bulanan),
SPEI6 (6 bulanan), dan SPEI12 (12 bulanan) dengan resolusi spasial sebesar 0.5° x
0.5° berupa data grid, yang dapat diunduh di alamat website http://spei.csic.es/.
Indeks SPEI ini dibangun berdasarkan persamaan Thortnthwaite untuk
mengestimasi Potential Evapotranspiration (PET), hal ini disebabkan oleh
kurangnya sumber data real-time.
2) Data Curah Hujan
Data curah hujan yang digunakan berupa data curah hujan bulanan yang
diperoleh dari 3 pos hujan utama di ZOM 272 yang mencakup wilayah Taman
Hutan Raya Sultan Adam. Data pos hujan yang dipilih berdasarkan ketersediaan
data dan jarak terdekat dengan lokasi wilayah penelitian. Rincian nama dan lokasi
pos hujan yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 3.1 dan dapat dilihat pada
Gambar 3.1.

Tabel 3.1 Nama pos hujan di sekitar Taman Hutan Raya Sultan Adam (ZOM 272)

No. Pos Hujan Lintang Bujur


1 STAKLIM BANJARBARU -3.46 114.84
2 STAMET SYAMSUDIN NOOR -3.44 114.75
3 DANAU SALAK/ LAWA BARU -3.27 114.98
16

3) Data Hotspot
Data hotspot yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data mentah
dari satelit MODIS Aqua-Terra yang dapat diunduh melalui alamat website
http://data.globalforestwatch.org. Data hotspot tersebut memiliki skala waktu
harian yang mencakup seluruh titik kemunculan hotspot di seluruh Indonesia.

3.1.3 Kelengkapan Data


Data yang digunakan memiliki rincian data seperti pada tabel yang ada di
bawah ini:

Tabel 3.2 Kelengkapan data

No. Jenis Data Satuan Periode Keterangan


1. Data kemunculan hotspot Titik/Hari 2013-2017 100%
2. Indeks kekeringan SPEI - 2013-2017 100%
Curah hujan pos hujan utama:
a. Danau Salak Milimeter/Bulan 90%
3. b. Staklim Banjarbaru 2013-2017
(mm/bulan) 98%
c. Stamet Syamsudin Noor 98%

3.2. Metode Penelitian


3.2.1. Perhitungan Rata-Rata SPEI Wilayah
Dalam penelitian ini, perhitungan rata-rata SPEI wilayah dilakukan dengan
menggunakan software GrADS (The Grid Analysis and Display System). SPEI
bulanan dihitung dengan merata-ratakan nilai SPEI1, SPEI3, SPEI6, dan SPEI12 pada
kotak koordinat wilayah penelitian, sehingga menghasilkan berupa rata-rata
wilayah.
17

3.2.2. Perhitungan Data Hotspot Bulanan


Data hotspot yang diperoleh dari satelit MODIS Aqua-Terra berupa data
hotspot harian yang perlu diubah menjadi data hotspot bulanan. Untuk menghitung
data hotspot harian menjadi bulanan digunakan penjumlahan hotspot yang muncul
di dalam koordinat wilayah penelitian setiap bulannya selama periode 2013 s.d.
2017 dengan 3 kategori tingkat kepercayaan, antara lain:
1) Tingkat kepercayaan lebih dari 70%
2) Tingkat kepercayaan lebih dari 80%
3) Tingkat kepercayaan lebih dari 90%

3.2.3. Korelasi Point-Biserial


Untuk menjelaskan kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel
dapat digunakan metode korelasi. Indikator yang digunakan sebagai dasar tingkat
keeratan tersebut bergantung pada besaran koefisien korelasinya. Hubungan antar
variabel digolongkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu korelasi positif dan korelasi
negatif. Hubungan antar variabel dikatakan berkorelasi positif jika kenaikan suatu
variabel diikuti dengan variabel lain. Sebaliknya, hubungan antar variabel
dikatakan berkorelasi negatif jika kenaikan suatu variabel diikuti dengan penurunan
variabel lain.
Nilai korelasi Point-Biserial berkisar dari 0 – 1. Jika koefisien korelasi
semakin mendekati 1 menunjukkan bahwa hubungan antar variabel semakin erat.
Jika koefisien korelasi semakin mendekati 0 maka antar variabel dianggap tidak
berhubungan. Jika koefisien semakin mendekati -1 menunjukkan bahwa antar
variabel memiliki hubungan yang berkebalikan (Brown, 2001).
Metode korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Korelasi Point-
Biserial. Korelasi Point-Biserial adalah korelasi yang digunakan ketika variabel
yang digunakan berupa dikotomus dan variabel lainnya berupa metrik
(interval/ratio) (Kornbrot, 2005). Secara sederhana Korelasi Point Biserial dapat
dirumuskan sebagai berikut:
̅̅̅
𝑌1 −𝑌 ̅̅̅
0 𝑁1 𝑁0
𝐾𝑜𝑟𝑒𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑃𝑜𝑖𝑛𝑡 𝐵𝑖𝑠𝑒𝑟𝑖𝑎𝑙 = 𝑟𝑝𝑏 = ̅𝑆̅̅̅ √𝑁(𝑁−1) (3.1)
𝑦
18

dimana : 𝑟𝑝𝑏 = nilai korelasi


𝑌̅1 = rata-rata dari observasi metrik yang berpasangan dengan nilai
biner 1
𝑌̅0 = rata-rata dari observasi metrik yang berpasangan dengan nilai
biner 0
𝑁1 = jumlah data yang memiliki nilai biner 1
𝑁0 = jumlah data yang memiliki nilai biner 0
𝑁 = jumlah seluruh data
̅̅̅
𝑆 𝑦
̅̅̅
= standar deviasi dari data metrik, dimana 𝑆 𝑦 dirumuskan sebagai

berikut:
(Σ𝑌)2
Σ𝑌 2 −
̅̅̅
𝑆 𝑦 =
𝑁
(3.2)
𝑁−1
̅̅̅
dimana : 𝑆 𝑦 = standar deviasi dari data metrik
𝑌 = nilai data metrik
𝑁 = jumlah seluruh data

Perhitungan korelasi Point-Biserial ini dilakukan secara simultan dan


dengan jeda (lag) 1 bulan. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh
perubahan curah hujan maupun SPEI berdampak pada kemunculan hotspot pada
waktu yang sama maupun 1 bulan sebelumnya.

3.2.4. Perhitungan Curah Hujan Observasi Rata-Rata Bulanan


Data curah hujan observasi yang diperoleh berupa data harian yang perlu
diolah menjadi data bulanan. Data harian tersebut dirata-ratakan dalam periode
waktu 1 bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan, dan 12 bulanan sepanjang tahun 2013 s.d.
2017.
Adapun rumus perhitungan rata-rata curah hujan bulanan dijelaskan sebagai
berikut:
1
𝑋̅ = 𝑛 ∑𝑛𝑖 𝑋𝑖 (3.3)
19

dimana : 𝑋̅ = nilai rata-rata data


𝑛 = banyak data
𝑋𝑖 = data ke-𝑖, dengan 𝑖 = 1, 2, 3, ..., n

3.2.5. Model Prediksi Hotspot dengan Regresi Logistik Biner


Regresi logistik merupakan pendekatan model matematik untuk mencari
hubungan suatu variabel dengan variabel dependen yang dikotomus/politomus
dapat berupa variabel ordinal, nominal, maupun rasio (Kleinbaum dan Klein, 2010).
Regresi logistik biner adalah metode yang digunakan untuk
menggambarkan hubungan antara variabel respon (y) yang bersifat biner atau
dikotomus dengan prediktor (x) yang bersifat polikotomus. Persamaan logistik
dirumuskan sebagai berikut :
exp(𝑏 +𝑏 𝑥)
𝑃̂ = 1+exp(𝑏0 +𝑏1 𝑥) (3.4)
0 1

dimana: 𝑃̂ = peluang regresi logistik


𝑥 = prediktor
𝑏0 , 𝑏1 = koefisien regresi
Penelitian ini menggunakan 2 (dua) kategori pada variabel respon yang
terdiri dari 𝑦 = 1 untuk adanya kemunculan hotspot dan 𝑦 = 0 untuk tidak ada
kemunculan hotspot. Dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis peubah bebas
(prediktor) untuk setiap persamaan 𝑥, yakni curah hujan dan indeks SPEI, yang
berpasangan dengan peubah tak bebas (respon) 𝑦 yang bernilai 0 dan 1.

3.3. Uji Signifikansi Model


Uji signifikansi model dilakukan untuk melihat tingkat kehandalan model
yang dibangun. Dalam penelitian ini menggunakan nilai p (p-value) untuk
menunjukkan uji signifikansi. Nilai p menunjukkan probabilitas hasil pengamatan
(x) tidak memiliki efek atau hubungan dengan hipotesis nol (H0) tanpa ada hipotesis
alternative (HA). Hipotesis nol (H0) umumnya menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan antara dua kelompok data, sementara hipotesis alternatif (H A) adalah
20

pernyataan yang berlawanan dengan H0. Jika H0 terbukti signifikan, maka bisa
disimpulkan bahwa H0 diterima.
Tingkat signifikansi adalah ambang batas yang digunakan untuk
menentukan signifikansi. Sebagai aturan umum, tingkat signifikansi ditetapkan
sebesar 0,05, hal ini berarti probabilitas kedua kelompok data tersebut sama hanya
5%. Jika p-value kurang dari atau sama dengan tingkat signifikansi, data tersebut
dianggap signifikan secara statistik.

3.4. Validasi Model


Validasi model dilakukan terhadap data dengan metode leave one out cross-
validation, yakni dengan mengeluarkan peubah pada bulan yang akan diprediksi
dari simulasi model yang dibangun untuk memperoleh data prediksi disimbolkan
yang akan dibandingkan dengan data awal atau observasi (Lo dkk., 2007).
Penelitian ini menggunakan data dengan periode tahun 2013-2017.
Validasi model diperlukan untuk melihat tingkat kesesuaian hasil model
dengan keadaan riil yang terjadi. Kualitas model ditentukan oleh proses validasi
model. Validasi model melibatkan perbandingan kecocokan pasangan data antara
prakiraan dan observasi serta melihat arah hubungan keduanya (Wilks, 2006).
Dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh perbandingan prediksi
kemunculan titik hotspot (𝐼) dengan data observasi kemunculan titik hotspot (𝐽).
Penelitian ini menggunakan metode tabel kontingensi frekuensi absolut dari
𝐼 × 𝐽 (tabel kontingensi 2x2) yang ditunjukkan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Kontingensi Jumlah Data Prediksi dan Observasi Tiap Kategori
Observasi
Frekuensi Tidak Jumlah Prediksi
Muncul
Muncul
Muncul A B A+B
Prediksi Tidak
C D C+D
Muncul
Jumlah Observasi A+C B+D N
21

Berdasarkan tabel kontingensi yang dibangun dapat diperoleh beberapa


perhitungan untuk menguji ketepatan prediksi terhadap observasi maupun prediksi
secara keseluruhan menurut Wilks (2006), sebagai berikut:
1) Hits, jumlah kejadian prediksi yang diprakirakan terjadi dan benar terjadi yang
dinotasikan A pada Tabel 3.3.
2) False Alarm, jumlah kejadian prediksi yang diprakirakan terjadi namun tidak
terjadi yang dinotasikan B pada Tabel 3.3.
3) Misses, jumlah kejadian prediksi yang diprakirakan tidak terjadi namun terjadi
yang dinotasikan C pada Tabel 3.3.
4) Correct rejection atau correct negative, jumlah kerjadian yang diprediksi tidak
terjadi dan benar tidak terjadi yang dinotasikan D pada Tabel 3.3.
Selanjutnya dihitung Hit Rate dan False Alarm Rate berdasarkan tabel
kontingensi di atas yang kemudian akan dijelaskan tingkat keberhasilan prediksi
model melalui diagram Receiver Operating Characteristic (ROC). Diagram ROC
merupakan plotting antara nilai False Alarm Rate untuk sumbu x dan Hit Rate untuk
sumbu y. Diagram ROC mengklasifikasikan keluaran model dengan
memprakirakan keanggotaan kelas berdasarkan threshold probabilitas yang
berbeda untuk setiap anggota kelas. Threshold probabilitas adalah nilai ambang
yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan terjadi atau tidak terjadinya suatu
kejadian dilihat dari probabilitasnya. Adapun rumus Hit Rate dan False Alarm yang
digunakan adalah sebagai berikut (Wilks, 2006):
𝐴
𝐻 = 𝐴+𝐶 (3.4)

dimana: 𝐻 = Hit Rate


𝐴 = jumlah kejadian prediksi yang diprakirakan terjadi dan benar
terjadi
𝐶 = jumlah kejadian prediksi yang diprakirakan tidak terjadi namun
terjadi
22

𝐵
𝐹 = 𝐵+𝐷 (3.5)

dimana: 𝐹 = False Alarm Rate


𝐵 = jumlah kejadian prediksi yang diprakirakan terjadi namun tidak
terjadi
𝐷 = jumlah kerjadian yang diprediksi tidak terjadi dan benar tidak
terjadi

Diagram ROC merupakan diagram yang bermanfaat dalam memvisualisasi


performance model prediksi (Fawcett, 2006). Diagram ROC mampu
menggambarkan sensitivity dan specificity untuk mengukur validitas sekumpulan
data dikotomus (Kumar dan Indrayan, 2011). Sensitivity adalah jumlah kejadian
positif yang dianggap benar terjadi sementara specificity adalah jumlah kejadian
negatif yang dianggap benar tidak terjadi. Untuk melihat performance model
berkaitan dengan tingkat sensitivity dan specificity-nya dapat dilihat dari luasan
Area Under Curve (AUC; Bradley, 1996).
AUC yang lebih luas memiliki tingkat performance model yang lebih tinggi
dengan nilai AUC yang selalu berkisar antara 0 hingga 1. Namun, akibat tebakan
acak menghasilkan garis diagonal antara (0, 0) dan (1, 1) dan memiliki luas 0.5
sehingga tidak ada realita klasifikasi model yang memiliki luasan AUC kurang dari
0.5 (Fawcett, 2006). Model yang memiliki nilai AUC semakin mendekati 1 maka
model tersebut dianggap memiliki performance yang semakin baik.
Pada Gambar 3.2 dapat dilihat keempat kurva yang memiliki nilai AUC
berbeda. Kurva A memiliki nilai AUC maksimal yakni 1 dengan performance
model yang dianggap sempurna, sementara kurva D memiliki nilai AUC sebesar
0,5 dengan performance model yang paling buruk dibandingkan kurva yang lain.
Kurva B memiliki AUC yang lebih luas daripada kurva C sehingga performance
model B dapat dikatakan lebih baik daripada kurva C.
23

Gambar 3.2 Perbandingan Kurva Diagram ROC dan Nilai AUC

Gambar 3.3 Perbandingan Kurva Diagram ROC Berdasarkan Sensitivity dan False
Alarm Rate

Apabila ditemukan dua kurva seperti pada Gambar 3.3, meskipun memiliki
nilai AUC dan performance model A dan B sama, keduanya memiliki karakteristik
berbeda jika dilihat dari situasi keputusan yang perlu diambil. Jika situasinya
diperlukan keputusan yang membutuhkan sensitivity tinggi dan mengabaikan
tingkat false alarm, maka model B akan lebih baik digunakan daripada model A,
24

sedangkan dalam situasi diperlukan keputusan yang membutuhkan tingkat false


alarm yang rendah dan mengabaikan tingkat sensitivity maka model A akan lebih
baik digunakan dari pada model B (Park dkk., 2004).

3.5. Diagram Alir Penelitian


Secara singkat, alur penelitian dapat dijelaskan melalui diagram alir
penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 3.4. Adapun penjelasan secara rinci
adalah sebagai berikut:
1) Menyiapkan data yang akan digunakan yakni berupa data hotspot harian, SPEI,
dan curah hujan observasi bulanan.
2) Untuk data hotspot harian diolah menjadi data hotspot bulanan dengan tingkat
kepercayaan yang berbeda-beda, yakni >70%, >80%, dan >90%, selanjutnya
diolah menjadi grafik frekuensi kejadian hotspot tiap musimnya.
3) Untuk data curah hujan bulanan diolah dengan menghitung rata-rata bulanan
dengan rentang waktu yang berbeda-beda, yaitu 1 bulanan, 3 bulanan, 6
bulanan, dan 12 bulanan.
4) Untuk indeks SPEI yang diunduh adalah SPEI 1 bulanan, 3 bulanan, 6 bulanan,
dan 12 bulanan yang kemudian diolah menggunakan GrAds untuk memperoleh
rata-rata wilayah.
5) Dari masing-masing prediktor, dihitung korelasi Point-Biserialnya dengan
hotspot bulanan (prediktan) kemudian dipilih variabel dengan korelasi Point-
Biserial tertinggi.
6) Masing-masing variabel prediktor terpilih dan data hotspot dibangun modelnya
dengan metode Regresi Logistik Biner.
7) Dari kedua model yang dibangun kemudian divalidasi dengan metode cross
validation leaving out one data yang ditampilkan dalam bentuk tabel
kontingensi dan diagram ROC. Selanjutnya, dari hasil validasi diperoleh model
terbaik untuk memprediksi hotspot.
Mulai

Indeks Data Hotspot Data Observasi


Kekeringan SPEI Curah Hujan (CH)

Harian
1 bulanan 3 bulanan 6 bulanan 12 bulanan Bulanan
SPEI1 SPEI3 SPEI6 SPEI12
Menghitung jumlah hotspot bulanan

Menghitung rata-rata bulanan

Confidence Confidence Confidence


>70% >80% >90%
CH CH CH CH
1 bulanan 3 bulanan 6 bulanan 12 bulanan

Grafik jumlah hotspot setiap musim

Menghitung Korelasi Point-Biserial tertinggi Menghitung Korelasi Point-Biserial tertinggi

Variabel tingkat kepercayaan Variabel tingkat kepercayaan


Variabel SPEI terpilih Variabel CH terpilih
hotspot terpilih hotspot terpilih

Membangun model dengan Membangun model dengan


Regresi Logistik Biner Regresi Logistik Biner

Validasi Model

Tabel Kontingensi Diagram ROC

Model terbaik memprediksi


hotspot

Selesai

Gambar 3. 4 Diagram alir penelitian

25
BAB IV
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengolahan data dapat diperoleh beberapa hasil dan analisis berupa
pola frekuensi kejadian hotspot, evaluasi data hotspot, curah hujan, dan SPEI,
model prediksi hotspot, serta pembahasan secara klimatologis yang diuraikan
dalam sub-sub bab di bawah ini.

4.1. Pola Frekuensi Kejadian Hotspot


Dalam penelitian ini, dilihat pola frekuensi kejadian hotspot berdasarkan
perubahan waktu, baik antar bulan maupun antar musim, untuk melihat frekuensi
kejadian tiap bulan maupun tiap musim. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui
pola frekuensi kejadian hotspot maksimum dan minimum guna melihat tingkat
kerawanan Karhutla bulanan maupun musiman di Taman Hutan Raya Sultan Adam.
Dapat dilihat pada Gambar 4.1 maupun Gambar 4.2, jumlah hotspot dengan
kriteria tingkat kepercayaan di atas 70%, 80%, dan 90% mengalami perubahan
seiring dengan perubahan waktu. Pada awal tahun (Januari-Maret) periode 2013
s.d. 2017, tidak ada hotspot yang muncul untuk semua kategori tingkat
kepercayaan. Memasuki bulan April, hotspot mulai muncul meski hanya 1 titik hal
ini bertahan hingga bulan Mei selama periode tersebut untuk semua kategori tingkat
kepercayaan. Pada bulan Juni, jumlah hotspot mengalami peningkatan menjadi 2
titik, dan pada bulan Juli meningkat lagi menjadi 7 titik untuk setiap kategori tingkat
kepercayaan. Pada bulan Agustus peningkatan jumlah hotspot cukup tinggi yaitu
mencapai 49 titik pada setiap kategori tingkat kepercayaan.
Jumlah hotspot meningkat dengan cukup tajam yakni mencapai 187 titik,
baik pada kriteria tingkat kepercayaan di atas 70%, 80%, maupun 90% memasuki
bulan September dan merupakan jumlah tertinggi hotspot yang muncul. Kemudian,
pada bulan Oktober hotspot mulai menurun namun masih tergolong cukup banyak
yakni mencapai 109 titik untuk tingkat kepercayaan di atas 80% dan 108 titik untuk
tingkat kepercayaan di atas 90%.

26
27

Pada bulan November terjadi penurunan jumlah hotspot yang cukup tajam
sehingga hanya mencapai 16 titik untuk semua kategori tingkat kepercayaan.
Penurunan jumlah hotspot juga terjadi pada bulan Desember dan hanya ditemukan
1 titik hotspot pada bulan tersebut selama periode 2013 s.d. 2017 baik pada kriteria
tingkat kepercayaan di atas 70%, 80%, maupun 90%.

Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Frekuensi Kejadian Hotspot Dan Curah Hujan
Bulanan Di Taman Hutan Raya Sultan Adam Periode 2013-2017

Jika dibandingkan dengan pola curah hujan ZOM 272 yang mewakili pola
curah hujan Taman Hutan Raya Sultan Adam, frekuensi kejadian jumlah hotspot
bulanan tampak memiliki pola yang berkebalikan, seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 4.1. Pada bulan Januari hingga Maret ketika curah hujan bulanan tinggi
yakni mencapai lebih dari 250 mm, tidak ada hotspot yang muncul. Sebaliknya, saat
curah hujan rendah hingga mencapai kurang dari 100 mm pada bulan Agustus
hingga Oktober, jumlah hotspot justru meningkat. Terutama pada bulan September
yang merupakan puncak jumlah hotspot yang muncul, sementara rata-rata curah
28

hujan pada bulan tersebut sangat kecil dibandingkan bulan lain, yakni hanya 74,3
mm selama periode 2013 s.d. 2017.

Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Frekuensi Kejadian Hotspot Dan SPEI Bulanan
di Taman Hutan Raya Sultan Adam Periode 2013-2017

Pola indeks SPEI rata-rata bulanan pada periode 2013 s.d. 2017 di Taman
Hutan Raya Sultan Adam juga memiliki pola yang berkebalikan dengan frekuensi
kejadian jumlah hotspot bulanan seperti pada Gambar 4.2. Indeks SPEI memiliki
nilai positif dengan rentang antara 0 s.d. 0,2 yang menunjukkan kondisi basah
(surplus curah hujan) yang diikut dengan jumlah hotspot bulanan yang rendah
kurang dari 10 titik tiap bulannya pada bulan Januari hingga Juli. Sementara itu,
pada bulan Agustus hingga Oktober indeks SPEI mengalami penurunan dan
memiliki nilai negatif dengan rentang antara -0.4 s.d. 0 yang menunjukkan kondisi
kering (defisit curah hujan), terutama pada bulan Oktober yang memiliki indeks
SPEI terendah yakni mencapai -0.4. Pada saat yang sama, justru jumlah hotspot
mengalami peningkatan secara tajam, berkebalikan dengan pola SPEI.
Indeks SPEI mulai meningkat kembali dengan rentang nilai -0.35 s.d. -0.3
pada bulan November hingga Desember. Meskipun masih berada pada nilai SPEI
29

negatif, namun pola jumlah hotspot mulai menurun secara tajam sehingga mencapai
kurang dari 20 titik saja.
Dari analisis pola frekuensi kejadian hotspot, curah hujan, dan SPEI dapat
diketahui bahwa hotspot di Taman Hutan Raya Sultan Adam muncul pada awal
musim kemarau dan meningkat secara tajam pada akhir musim kemarau dimana
kondisi curah hujan rendah dan indeks SPEI negatif. Sementara itu, jumlah hotspot
di Taman Hutan Raya Sultan Adam sangat kecil dan hampir tidak ada sepanjang
musim hujan saat kondisi curah hujan tinggi dan indeks SPEI positif selama periode
2013 s.d. 2017.

4.2. Evaluasi Data Hotspot, Curah Hujan, dan Indeks SPEI


Menurut perhitungan jumlah hotspot bulanan, hotspot dengan tingkat
kepercayaan di atas 70% dan 80% tidak memiliki perbedaan jumlah tiap bulannya
pada periode 2013 s.d. 2017. Berdasarkan hal tersebut, maka data hotspot yang
digunakan untuk pengolahan selanjutnya hanya data hotspot dengan tingkat
kepercayaan diatas 80% dan 90%.
Berdasarkan korelasi Point-Biserial antara data biner hotspot dengan
variabel curah hujan dan indeks SPEI, diperoleh data hotspot dengan tingkat
kepercayaan terpilih yakni di atas 80% dengan variabel curah hujan 3 bulanan dan
indeks SPEI 3 bulanan untuk pengolahan data simultan. Sementara untuk
pengolahan data dengan jeda waktu (lag) 1 bulan, diperoleh variabel hotspot
dengan tingkat kepercayaan terpilih yakni di atas 80% dengan variabel curah hujan
1 bulanan dan indeks SPEI 1 bulanan. Adapun nilai korelasi antar variabel secara
simultan dapat dilihat pada Tabel 4.1 sedangkan nilai korelasi antar variabel dengan
lag 1 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Berdasarkan hasil korelasi tersebut diperoleh nilai yang sama antara hotspot
dengan confidence lebih dari 80% dan lebih dari 90%, hal ini dapat terjadi
dikarenakan perbedaan jumlah hotspot tidak terlalu jauh dari masing-masing
kriteria confidence tiap bulannya. Hal ini menyebabkan data biner hotspot pada
kriteria confidence lebih dari 80% dan 90% memiliki kesamaan sehingga nilai
korelasi yang dihasilkan juga sama.
30

Tabel 4.1 Korelasi Point-Biserial Variabel Hotspot dengan SPEI dan Curah Hujan
Secara Simultan
Kategori Kategori
Korelasi Korelasi
Hotspot SPEI Hotspot Curah Hujan
Confidence 80% 1 bulanan -0.31 Confidence 80% 1 bulanan -0.72
Confidence 80% 3 bulanan -0.44 Confidence 80% 3 bulanan -0.75
Confidence 80% 6 bulanan -0.20 Confidence 80% 6 bulanan -0.36
Confidence 80% 12 bulanan -0.01 Confidence 80% 12 bulanan -0.29
Confidence 90% 1 bulanan -0.31 Confidence 90% 1 bulanan -0.72
Confidence 90% 3 bulanan -0.44 Confidence 90% 3 bulanan -0.75
Confidence 90% 6 bulanan -0.20 Confidence 90% 6 bulanan -0.36
Confidence 90% 12 bulanan -0.01 Confidence 90% 12 bulanan -0.29

Tabel 4.2 Korelasi Point-Biserial Variabel Hotspot dengan Curah Hujan dan SPEI
dengan Lag 1 bulan
Kategori Korelasi Kategori Korelasi
Hotspot SPEI Hotspot Curah Hujan
Confidence 80% 1 bulanan -0.35 Confidence 80% 1 bulanan -0.68
Confidence 80% 3 bulanan -0.31 Confidence 80% 3 bulanan -0.51
Confidence 80% 6 bulanan -0.01 Confidence 80% 6 bulanan -0.06
Confidence 80% 12 bulanan 0.04 Confidence 80% 12 bulanan -0.19
Confidence 90% 1 bulanan -0.35 Confidence 90% 1 bulanan -0.68
Confidence 90% 3 bulanan -0.31 Confidence 90% 3 bulanan -0.51
Confidence 90% 6 bulanan -0.01 Confidence 90% 6 bulanan -0.06
Confidence 90% 12 bulanan 0.04 Confidence 90% 12 bulanan -0.19

Dari kedua kriteria confidence, dipilih data dengan tingkat kepercayaan


lebih dari 80%. Hal ini didasari oleh jumlah hotspot pada kriteria tersebut lebih
banyak daripada jumlah hotspot dari kriteria confidence lebih dari 90%, dengan
asumsi kriteria confidence lebih dari 80% merupakan batas minimum kerawanan
hotspot.

4.3. Model Prediksi Hotspot


4.3.1 Model Regresi Logistik Biner Hotspot
Dari hasil analisis Korelasi Point-Biserial, diambil data kemunculan hotspot
bulanan dengan tingkat confidence lebih dari 80%, curah hujan 3 bulanan, dan
31

indeks SPEI 3 bulanan untuk pengolahan data simultan. Data tersebut kemudian
diolah dengan metode Regresi Logistik Biner untuk menghasilkan Model Regresi
Logistik Biner Hotspot, dengan variabel respon berupa data hotspot dan prediktor
berupa data curah hujan dan indeks SPEI. Adapun hasil model Regresi Logistik
Biner untuk pengolahan data simultan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Model Regresi Logistik Biner Untuk Pengolahan Data Simultan
Odds 95% CI
Predictor Variable Coef SE Coef Z P
Ratio Lower Upper
Curah Hujan 3 Constant 5.70678 1.5786 3.62 0
Bulanan Simultan CH 3 -0.0298 0.00753 -3.96 0 0.97 0.96 0.99
SPEI 3 Bulanan Constant -0.5646 0.2999 -1.88 0.06
Simultan SPEI 3 -1.2766 0.40765 -3.13 0.002 0.28 0.13 0.62

Dari tabel tersebut dapat diperoleh persamaan regresi logistik biner untuk
peluang kemunculan hotspot secara simultan pada setiap prediktor terpilih sebagai
berikut:
1) Peluang untuk prediktor curah hujan 3 bulanan
exp(5.69718−0.0297232𝑥)
𝑃̂ = 1+exp(5.69718−0.0297232𝑥) (4.1)

dimana: 𝑃̂ = peluang kemunculan hotspot


𝑥 = prediktor berupa curah hujan 3 bulanan

2) Peluang untuk prediktor SPEI 3 bulanan


exp(−0.564594−1.27663𝑥)
𝑃̂ = 1+exp(−0.564594−1.27663𝑥) (4.2)

dimana: 𝑃̂ = peluang kemunculan hotspot


𝑥 = prediktor berupa indeks SPEI 3 bulanan

Sementara untuk pengolahan data dengan lag 1 bulan, diperoleh data


kemunculan hotspot bulanan dengan tingkat confidence lebih dari 80%, curah hujan
1 bulanan, dan indeks SPEI 1 bulanan. Adapun hasil model Regresi Logistik Biner
Untuk pengolahan data dengan lag 1 dapat dilihat pada Tabel 4.4.
32

Tabel 4.4 Hasil Model Regresi Logistik Biner Untuk Pengolahan Data Lag 1
Odds 95% CI
Predictor Variable Coef SE Coef Z P
Ratio Lower Upper
Curah Hujan 1 Constant 3.39509 0.92347 3.68 0
Bulanan Lag 1 CH 1 LAG -0.0194 0.00469 -4.14 0 0.98 0.97 0.99
SPEI 1 Bulanan Constant -0.5016 0.29014 -1.73 0.084
Lag 1 Bulan SPEI 1 LAG -0.8353 0.32746 -2.55 0.011 0.43 0.23 0.82

Dari tabel tersebut dapat diperoleh persamaan regresi logistik biner untuk
peluang kemunculan hotspot dengan lag 1 pada setiap prediktor terpilih sebagai
berikut:
1) Peluang untuk prediktor curah hujan 1 bulanan
exp( 3.39509 −0.0194331𝑥)
𝑃̂ = 1+exp(3.39509 −0.0194331𝑥) (4.3)

dimana: 𝑃̂ = peluang kemunculan hotspot


𝑥 = prediktor berupa curah hujan 1 bulanan

2) Peluang untuk prediktor SPEI 3 bulanan


exp(−0.501640 −0.835349𝑥)
𝑃̂ = (4.4)
1+exp(−0.501640 −0.835349𝑥)

dimana: 𝑃̂ = peluang regresi logistik kemunculan hotspot


𝑥 = prediktor berupa indeks SPEI 1 bulanan

Tabel 4. 5 Tabel Nilai p-value Model Regresi Logistik Biner Hotspot

Model Regresi Logistik Biner p-value

Hotspot confidence 80% dengan


0,000
curah hujan 3 bulanan
Hotspot confidence 80% dengan
0,000
SPEI 3 bulanan
Hotspot confidence 80% dengan
0,000
curah hujan 1 bulanan (lag 1)
Hotspot confidence 80% dengan
0,006
SPEI 1 bulanan (lag 1)
33

Tingkat kehandalan dari keempat model tersebut dapat dilihat dari nilai p-
value, jika nilai p-value kurang dari 0,05, maka model tersebut dapat dikatakan
handal atau dapat dipercaya. Adapun nilai p-value dari keempat model tersebut
terlihat pada Tabel 4.5. Dari tabel tersebut terlihat bahwa model yang digunakan
cukup handal pada masing-masing prediktor.
Persamaan yang diperoleh dari pengolahan model regresi logistik biner di
atas diaplikasikan pada prakiraan kemunculan hotspot dimana nilai threshold
probabilitasnya ditentukan sebesar 0,5. Prakiraan tersebut juga menggunakan data
prediktor terpilih pada periode 2013 s.d. 2017 yang kemudian dibandingkan dengan
data observasi kemunculan hotspot pada periode yang sama.
Untuk perbandingan prediksi hotspot menggunakan prediktor curah hujan 3
bulanan yang diolah secara simultan terhadap data observasi kemunculan hotspot
dapat dilihat pada Tabel 4.6. Dari tabel tersebut terlihat bahwa terdapat 10 data
prediksi yang tidak sesuai dengan data observasi dari jumlah total 60 data. Data
yang diprediksikan muncul hotspot namun pada data observasi tidak muncul
hotspot berjumlah 5 data. Sedangkan, data yang diprediksikan muncul hotspot
namun pada data observasi tidak muncul hotspot juga berjumlah 5 data. Hal ini
menunjukkan prediktor curah hujan 3 bulanan secara simultan cukup baik dalam
memprediksi kemunculan hotspot bulanan dengan tingkat keberhasilan prediksi
mencapai 83,3%.

Tabel 4.6 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi


Menggunakan Prediktor Curah Hujan 3 Bulanan Secara Simultan
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 19 5 24
Prediksi
Tidak Ada 5 31 36

Jumlah Observasi 24 36 60
34

Perbandingan prediksi hotspot dengan data observasi menggunakan


prediktor SPEI 3 bulanan secara simultan menghasilkan 24 data yang prediksinya
tidak tepat dibandingkan dengan data observasi. Data tersebut seluruhnya
merupakan data yang diprediksikan tidak muncul hotspot namun pada data
observasi muncul hotspot. Prediktor SPEI 3 bulanan secara simultan kurang mampu
memprediksikan kemunculan hotspot dibandingkan dengan curah hujan 3 bulanan.
Hal ini ditunjukkan dari tingkat keberhasilan prediksi dengan prediktor SPEI 3
bulanan yang lebih kecil daripada tingkat keberhasilan prediksi dengan prediktor
curah hujan 3 bulanan secara simultan, yakni hanya mencapai 60% dari keseluruhan
data. Secara lebih rinci, perbandingan prediksi hotspot dengan data observasi
menggunakan prediktor SPEI 3 bulanan secara simultan dapat dilihat pada Tabel
4.7.

Tabel 4.7 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi


Menggunakan Prediktor SPEI 3 Bulanan Secara Simultan
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 0 0 0
Prediksi
Tidak Ada 24 36 60

Jumlah Observasi 24 36 60

Perbandingan prediksi hotspot dengan data observasi menggunakan


prediktor curah hujan 1 bulanan dengan lag 1 bulan dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 5 data prediksi tidak sesuai dengan
data observasi. Data yang diprediksikan muncul hotspot namun pada data observasi
tidak muncul hotspot berjumlah 3 data. Sedangkan, data yang diprediksikan muncul
hotspot namun pada data observasi tidak muncul hotspot berjumlah 2 data. Jika
dibandingkan dengan prediktor sebelumnya, curah hujan 1 bulanan dengan lag 1
bulan lebih mampu memprediksikan kemunculan hotspot bulanan dilihat dari
35

tingkat keberhasilan prediksinya yang tinggi yakni mencapai 91,7% dari seluruh
data.

Tabel 4.8 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi


Menggunakan Prediktor Curah Hujan 1 Bulanan dengan Lag 1
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 22 3 25
Prediksi
Tidak Ada 2 33 35

Jumlah Observasi 24 36 60

Perbandingan prediksi hotspot dengan data observasi menggunakan


prediktor SPEI 1 bulanan dengan lag 1 menghasilkan 24 data prediksi yang tidak
sesuai dengan data observasinya. Hal ini serupa dengan prediktor SPEI 3 bulanan
simultan. Akan tetapi dari 24 bulan tersebut, data yang diprediksi tidak muncul
hotspot namun pada data observasi muncul hotspot berjumlah 11 data, sedangkan
data yang diprediksi muncul hotspot namun pada data observasinya tidak muncul
hotspot berjumlah 13 data. Sama halnya dengan prediktor SPEI 3 bulanan simultan,
tingkat keberhasilan prediksi dari prediktor SPEI 1 bulanan lag 1 hanya mencapai
60%. Hal ini menunjukkan bahwa SPEI 1 bulanan lag 1 kurang mampu
memprediksi kemunculan hotspot dibandingkan dengan prediktor lain. Secara lebih
jelas, perbandingan prediksi hotspot dengan data observasi menggunakan prediktor
SPEI 1 bulanan dengan lag 1 dapat dilihat pada Tabel 4.9.
36

Tabel 4.9 Perbandingan Hasil Prediksi Hotspot dengan Data Observasi


Menggunakan Prediktor SPEI 1 Bulanan dengan Lag 1
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 13 13 26
Prediksi
Tidak Ada 11 23 34

Jumlah Observasi 24 36 60

4.3.2 Validasi Model


Validasi hasil prediksi dari tiap model persamaan menggunakan data
observasi periode 2013 s.d. 2015 dilakukan dengan metode leaving one out cross-
validation. Metode tersebut merupakan metode validasi silang dengan
mengeluarkan salah satu data dari deret data observasi yang digunakan dalam
membangun model persamaan. Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
kesesuaian model prediksi yang sudah dibangun sebelumnya.
Dalam penelitian ini, hasil dari validasi dengan metode leaving one out
cross-validation ditampilkan dalam bentuk tabel kontingensi dan diagram ROC.
Tabel kontingensi yang ditampilkan berupa tabel yang memiliki jumlah nilai hits
dan correct rejection tertinggi yang menentukan threshold probabilitas terbaik
untuk masing-masing model persamaan. Threshold probabilitas merupakan nilai
ambang sebagai acuan dalam menentukan terjadi atau tidak terjadinya suatu
kejadian dilihat dari probabilitasnya.
Untuk diagram ROC ditentukan kelipatan (step) threshold probabilitas
sebesar 0,02 yang dianggap lebih mampu menjelaskan kehandalan persamaan
setiap model yang dibangun untuk setiap threshold probabilitas. Performance
model dapat dilihat dari luasan AUC pada diagram ROC yang dapat mengambarkan
sensitivity dan specificity model. Sensitivity adalah jumlah kejadian positif yang
dianggap benar terjadi sementara specificity adalah jumlah kejadian negatif yang
dianggap benar tidak terjadi.
37

Hasil validasi model dengan menggunakan prediktor curah hujan 3 bulanan


simultan diperoleh 4 tabel kontingensi dengan jumlah nilai hits dan correct
rejection tertinggi, yakni 51 kejadian. Keempat tabel kontingensi ini meskipun
jumlah hits dan correct rejection-nya sama, tetapi memiliki komposisi jumlah yang
berbeda antara masing-masing kejadian hits dan correct rejection. Dapat dilihat dari
Tabel 4.10, untuk threshold probabilitas 0.28 dan 0.3 memiliki jumlah hits
sebanyak 22 kejadian dan correct rejection sebanyak 29 kejadian. Untuk threshold
probabilitas 0.32, jumlah hits berbeda tipis dari threshold sebelumnya, yakni 21
kejadian dengan correct rejection berjumlah 30 kejadian dan dapat dilihat pada
Tabel 4.11.

Tabel 4.10 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor Curah


Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.28 dan 0.3
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 22 7 29
Prediksi
Tidak Ada 2 29 31

Jumlah Observasi 24 36 60

Tabel 4.11 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor Curah


Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.32
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 21 6 27
Prediksi
Tidak Ada 3 30 33

Jumlah Observasi 24 36 60
38

Sementara itu, untuk threshold probabilitas 0.52 memiliki komposisi yang


berbeda, yakni jumlah hits hanya mencapai 18 kejadian dan jumlah correct
rejection mencapai 33 kejadian, dapat dilihat pada Tabel 4.12. Sedangkan, pada
Tabel 4.13 adalah tabel kontingensi untuk threshold probabilitas 0.6 hingga 0.78
yang memiliki nilai hits sejumlah 17 kejadian dan correct rejection sejumlah 34
kejadian, hal tersebut tidak berbeda jauh dengan threshold probabilitas sebelumnya.

Tabel 4.12 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor Curah


Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.52
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 18 3 21
Prediksi
Tidak Ada 6 33 39

Jumlah Observasi 24 36 60

Tabel 4.13 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor Curah


Hujan 3 Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.6 s.d. 0.78
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 17 2 19
Prediksi
Tidak Ada 7 34 41

Jumlah Observasi 24 36 60

Diagram ROC untuk model dengan prediktor curah hujan 3 bulanan


simultan dapat dilihat pada Gambar 4.3. Kurva diagram ROC bergerak diatas garis
diagonal sehingga memiliki nilai AUC (Area Under Curve) lebih besar dari 0,5 atau
39

mendekati 1. Hal menunjukkan bahwa secara umum hasil validasi model cukup
bagus.

Gambar 4. 3 Diagram ROC untuk Prediktor Curah Hujan 3 Bulanan Simultan

Hasil validasi model dengan menggunakan prediktor SPEI 3 bulanan


simultan diperoleh 2 tabel kontingensi dengan jumlah nilai hits dan correct
rejection tertinggi, yakni 42 kejadian. Jumlah ini memiliki nilai yang lebih kecil
jika dibandingkan dengan prediktor curah hujan 3 bulanan simultan, hal ini
menunjukkan model dengan prediktor curah hujan memiliki frekuensi kejadian
hasil prediksi tepat yang lebih tinggi dibandingkan dengan prediktor SPEI untuk
pengolahan data simultan.
Sama halnya dengan validasi model sebelumnya, kedua tabel kontingensi
ini meskipun jumlah hits dan correct rejection-nya sama, tetapi memiliki komposisi
jumlah yang berbeda antara masing-masing kejadian hits dan correct rejection.
Dapat dilihat pada Tabel 4.14, untuk threshold probabilitas 0.6 dan 0.62 memiliki
jumlah hits sebanyak 10 kejadian dan correct rejection sebanyak 32 kejadian.
Untuk threshold probabilitas 0.64, jumlah hits berkurang dari threshold probabilitas
40

sebelumnya, yakni 9 kejadian dengan correct rejection berjumlah 33 kejadian dan


dapat dilihat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.14 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor SPEI 3


Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.6 dan 0.62
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 10 4 14
Prediksi
Tidak Ada 14 32 46

Jumlah Observasi 24 36 60

Tabel 4.15 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor SPEI 3


Bulanan Simultan dengan Threshold Probabilitas 0.64
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 9 3 12
Prediksi
Tidak Ada 15 33 48

Jumlah Observasi 24 36 60

Diagram ROC untuk model dengan prediktor SPEI 3 bulanan simultan dapat
dilihat pada Gambar 4.4. Kurva diagram ROC bergerak diatas garis diagonal
sehingga memiliki nilai AUC lebih besar dari 0,5. Namun, apabila dibandingkan
dengan diagram ROC dari model dengan prediktor curah hujan 3 bulanan simultan,
model ini memiliki performance model yang lebih rendah berdasarkan luasan AUC
diagram ROC-nya. Model ini juga memiliki tingkat sentivity yang lebih rendah
dilihat dari pergerakan nilai hit rate-nya.
41

Gambar 4.4 Diagram ROC untuk Prediktor SPEI 3 Bulanan Simultan

Untuk validasi model menggunakan prediktor curah hujan 1 bulanan dengan


lag 1 diperoleh 2 tabel kontingensi dengan jumlah nilai hits dan correct rejection
tertinggi, yakni 54 kejadian. Jumlah hits dan correct rejection model ini merupakan
jumlah tertinggi dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Dibandingkan
dengan prediktor curah hujan 3 bulanan simultan, pengolahan data curah hujan 1
bulanan dengan lag 1 memberikan hasil prediksi yang lebih baik dari segi ketepatan
data prediksi dengan data sesungguhnya.
Dapat dilihat dari Tabel 4.16, untuk threshold probabilitas 0.38 memiliki
jumlah hits sebanyak 22 kejadian dan correct rejection sebanyak 32 kejadian.
Untuk threshold probabilitas 0.4 s.d. 0.66, jumlah hits berbeda tipis dari threshold
probabilitas sebelumnya, yakni 21 kejadian dengan correct rejection berjumlah 33
kejadian dan dapat dilihat pada Tabel 4.17.
42

Tabel 4.16 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor Curah


Hujan 1 Bulanan Lag 1 dengan Threshold Probabilitas 0.38
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 22 4 26
Prediksi
Tidak Ada 2 32 34

Jumlah Observasi 24 36 60

Tabel 4.17 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor Curah


Hujan 1 Bulanan Lag 1 dengan Threshold Probabilitas 0.4 s.d. 0.66
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 21 3 24
Prediksi
Tidak Ada 3 33 36

Jumlah Observasi 24 36 60

Diagram ROC untuk model dengan prediktor curah hujan 1 bulanan lag 1
dapat dilihat pada Gambar 4.5. Kurva diagram ROC bergerak diatas garis diagonal
sehingga memiliki nilai AUC lebih besar dari 0,5 dan hamper mendekati 1. Jika
dibandingkan dengan diagram ROC model-model sebelumnya, secara umum
terlihat bahwa model ini memiliki tingkat performance yang baik berdasarkan
luasan AUC-nya, sama halnya dengan prediktor curah hujan 3 bulanan. Namun,
jika pergerakan kurva ROC keduanya dibandingkan, dapat terlihat bahwa model
dengan prediktor curah hujan 3 bulanan memiliki sensitivity yang lebih tinggi
daripada model dengan prediktor curah hujan 1 bulanan lag 1.
43

DIAGRAM ROC PREDIKTOR CURAH


HUJAN 1 BULANAN LAG 1
1
0.9
0.8
0.7
HIT RATE (HR)

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
FALSE ALARM RATE (FAR)

Gambar 4. 5 Diagram ROC untuk Prediktor Curah Hujan 1 Bulanan Lag 1

Untuk validasi model menggunakan prediktor SPEI 1 bulanan dengan lag 1


diperoleh hanya 1 tabel kontingensi dengan jumlah nilai hits dan correct rejection
tertinggi, yakni 44 kejadian. Dapat dilihat dari Tabel 4.18, untuk threshold
probabilitas 0.56 memiliki jumlah hits sebanyak 10 kejadian dan correct rejection
sebanyak 34 kejadian. Komposisi hits dan correct rejection dari model dengan
prediktor ini tidak berbeda jauh dengan komposisi hits dan correct rejection dari
model dengan prediktor SPEI 3 bulanan simultan namun jumlah totalnya lebih
besar.
Hasil diagram ROC dari prediktor ini juga memiliki kemiripan dengan
diagram ROC dari prediktor SPEI 3 bulanan simultan, dapat dilihat pada Gambar
4.6. Secara umum, kurva diagram ROC untuk SPEI 1 bulanan lag 1 memiliki luasan
AUC yang lebih mendekati nilai 0,5 yang menunjukkan bahwa performance model
tersebut kurang baik, terutama pada nilai threshold probabilitas berkisar 0.22
hingga 0.28 dimana pergerakan kurvanya dibawah garis diagonal.
44

Tabel 4.18 Tabel Kontingensi Validasi Model Menggunakan Prediktor SPEI 1


Bulanan Lag 1 dengan Threshold Probabilitas 0.56
Observasi
Jumlah
Frekuensi
Ada Tidak Ada Prediksi

Ada 10 2 12
Prediksi
Tidak Ada 14 34 48

Jumlah Observasi 24 36 60

DIAGRAM ROC PREDIKTOR SPEI 1


BULANAN LAG 1
1
0.9
0.8
0.7
HIT RATE (HR)

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
FALSE ALARM RATE (FAR)

Gambar 4.6 Diagram ROC untuk Prediktor SPEI 1 Bulanan Lag 1


45

4.4. Pembahasan
4.4.1 Hubungan Pola Kemunculan Hotspot dengan Curah Hujan dan SPEI
Berdasarkan uraian pada sub bab 4.1 dapat dilihat kecenderungan perbedaan
frekuensi kemunculan hotspot yang signifikan antara periode musim kemarau dan
musim hujan. Frekuensi kemunculan hotspot maksimum terjadi pada musim
kemarau yakni bulan September, sementara untuk frekuensi kemunculan hotspot
minimum terjadi pada musim hujan yakni bulan Januari hingga Maret. Oleh karena
itu, pada bulan-bulan kering seperti Agustus hingga Oktober menjadi bulan-bulan
berbahaya atau rawan Karhutla. Hal ini sesuai dengan pernyataan Solichin (2004)
dalam Saharjo dan Velicia (2018) yang mengatakan bahwa jumlah hotspot
dipengaruhi oleh musim kemarau, jika semakin kering suatu daerah maka jumlah
hotspot akan meningkat, dan sebaliknya.
Berdasarkan analisis pola kemunculan hotspot yang dikaitkan dengan pola
curah hujan dan SPEI, dapat dikatakan bahwa pola kemunculan hotspot dipengaruhi
oleh pola curah hujan dan SPEI. Pada Gambar 4.1 dan 4.2 terlihat bahwa pola
kemunculan hotspot memiliki hubungan yang berbanding terbalik, baik dengan
pola curah hujan maupun dengan indeks SPEI. Seperti yang sudah diuraikan
sebelumnya, bahwa frekuensi kemunculan hotspot maksimum terjadi pada musim
kemarau, dimana jumlah curah hujan berkurang dengan tajam, terutama pada bulan
September. Pada bulan tersebut, frekuensi kejadian kemunculan hotspot berada
pada puncak maksimum, sementara jumlah curah hujan berada pada puncak
minimum. Sebaliknya, frekuensi kejadian hotspot minimum terjadi pada musim
hujan dimana pada musim tersebut terjadi surplus jumlah curah hujan. Hal ini
sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Sukmawati (2006) bahwa
meningkatnya tingkat kerawanan Karhutla terjadi pada musim kemarau dengan
intensitas curah hujan rendah yang umumnya terjadi bulan Juni hingga November.
Frekuensi kemunculan hotspot maksimum yang terjadi pada musim
kemarau juga diikuti dengan pola indeks SPEI yang berada pada nilai negatif, yang
menunjukkan bahwa kondisi pada bulan tersebut berada pada kategori kering. Hal
tersebut berkebalikan pada musim hujan, dimana frekuensi kemunculan hotspot
minimum diikuti dengan pola indeks SPEI yang bernilai positif yang menunjukkan
46

bahwa kondisi pada bulan tersebut berada pada kategori basah. Kondisi ini sesuai
dengan pernyataan Marcos dkk. (2015) bahwa pentingnya periode kering dengan
nilai SPEI negatif berperan dalam produksi biomass (bahan bakar) Karhutla,
sedangkan periode basah dengan nilai SPEI positif berperan meningkatkan
pertumbuhan vegetasi yang berarti mengurangi biomass Karhutla.
Hubungan frekuensi kemunculan hotspot dengan pola curah hujan dan SPEI
yang berkebalikan ini sesuai dengan pendapat Septicorini (2006) yang memaparkan
bahwa kondisi kering sangat menentukan indikasi bahaya Karhutla. Kondisi kering
(kekeringan) menyebabkan kadar air berkurang sehingga mengurangi kelembaban
vegetasi dan meningkatkan jumlah biomass (bahan bakar) Karhutla. Peran kadar air
sangat penting sebagai indikasi awal kekeringan dan indikator lanjutan bahaya
Karhutla. Panjang periode kondisi kekeringan juga berpengaruh dalam menentukan
seberapa banyak jumlah hotspot yang muncul yang kemudian menentukan seberapa
panjang dan seberapa hebat Karhutla terjadi.

4.4.2 Evaluasi Model Terbaik dalam Memprediksi Kemunculan Hotspot


Prediktor terpilih dalam pemodelan kemunculan hotspot untuk pengolahan
data simultan adalah curah hujan 3 bulanan dan SPEI 3 bulanan berdasarkan
analisis korelasi Point-Biserial. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kering dengan
defisit curah hujan selama 3 bulan merupakan kondisi ideal yang mampu
menyebabkan kemunculan hotspot.
Sementara itu, prediktor terpilih dalam pemodelan kemunculan hotspot
untuk pengolahan data lag 1 adalah curah hujan 1 bulanan dan SPEI 1 bulanan. Hal
ini menunjukkan bahwa kondisi kering pada 1 bulan sebelumnya akan
mempengaruhi kemunculan hotspot pada bulan berikutnya.
Dari keempat prediktor terpilih tersebut, prediktor curah hujan 1 bulanan
dengan lag 1 merupakan prediktor terbaik dalam memprediksi kemunculan hotspot
dilihat dari jumlah hits, false alarm, misses, dan correct rejection masing-masing
model prediksi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.19 dimana curah hujan 1 bulanan
dengan lag 1 memiliki jumlah hits dan correct rejection terbesar dibandingkan
prediktor lain.
47

Tabel 4.19 Kriteria Ketepatan Prediksi Masing-masing Prediktor Pemodelan


Kemunculan Hotspot

Kriteria Simultan Lag 1


Ketepatan
Prediksi Curah Hujan SPEI 3 Curah Hujan SPEI 1
3 Bulanan Bulanan 1 Bulanan Bulanan
Hits 19 0 22 13
False Alarm 5 0 3 13
Misses 5 24 2 11
Correct Rejection 31 36 33 23

Prediktor terbaik juga dapat dilihat dari performance dan sensitivity model
yang ditunjukkan oleh diagram ROC pada sub bab 4.3 bagian validasi model.
Prediktor curah hujan 3 bulanan simultan dan prediktor curah hujan 1 bulanan lag
1 memiliki performance terbaik dilihat dari kurva ROC dengan luasan AUC yang
sama yakni mendekati 1. Namun dalam memprediksi kemunculan hotspot,
prediktor curah hujan 3 bulanan simultan lebih baik digunakan daripada prediktor
curah hujan 1 bulanan lag 1.
Model dengan prediktor curah hujan 3 bulanan simultan memiliki hit rate
yang lebih tinggi daripada prediktor curah hujan 1 bulanan lag 1, dilihat dari kurva
ROC yang mencapai hitrate bernilai 1 pada false alarm rate yang lebih rendah
dibandingkan dengan kurva ROC curah hujan 1 bulanan lag 1. Hal ini menunjukkan
bahwa model dengan prediktor curah hujan 3 bulanan simultan memiliki sensitivity
yang lebih tinggi dengan frekuensi kejadian false alarm yang lebih kecil sehingga
hasil prediksi model tersebut memiliki sifat meminimalisir prediksi yang dianggap
tidak terjadi namun kenyataannya terjadi. Dalam kasus kemunculan hotspot yang
merupakan indikasi bencana Karhutla, model yang diperlukan adalah model yang
menurunkan resiko bencana, hal ini berarti model yang meminimalisir tingkat
kesalahan dalam memprediksi kemunculan hotspot lebih diutamakan. Oleh karena
itu, prediktor curah hujan 3 bulanan simultan lebih baik dalam memprediksi
kemunculan hotspot daripada curah hujan 1 bulanan lag 1. Pemilihan model terbaik
48

ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Park dkk. (2004) yang menjelaskan
tentang performance model dengan nilai AUC yang sama dapat memiliki
karakteristik yang berbeda.

4.4.3 Keterbatasan Metode


Metode yang digunakan dalam memprediksi hotspot bersifat empiris dan
hanya mempertimbangkan satu parameter saja yaitu tingkat kekeringan. Meskipun
parameter tersebut cukup dalam memperhitungkan peluang kemunculan hotspot,
namun penelitian ini secara sengaja mengabaikan fakta bahwa hotspot juga
dipengaruhi berbagai faktor lain, baik faktor alam maupun manusia. Faktor alam
seperti parameter suhu, jenis tanah, bahan bakar (biomass), dan lain lain, serta
faktor manusia seperti pembakaran, pembukaan lahan, berubahnya tata guna lahan,
dan lain sebagainya, tidak masuk dalam perhitungan dalam penelitian ini meskipun
faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menghitung
kemunculan hotspot.
Kelemahan metode ini juga terletak pada prediktor indeks SPEI dikarenakan
PET yang digunakan dalam dasar perhitungan SPEI merupakan data model bukan
hasil observasi. Meskipun dari hasil perhitungan tersebut diperoleh indeks SPEI
pada wilayah penelitian, namun indeks tersebut kurang sempurna dalam
menjelaskan tingkat kekeringan pada wilayah tersebut. Penentuan domain wilayah
penelitian yang sempit juga menjadi keterbatasan dikarenakan kekeringan yang
digunakan dalam penelitian ini terbatas pada area yang luas dan sulit untuk
membedakan kejadian kekeringan parah di daerah yang relatif sempit.
Selain itu, metode regresi logistik yang digunakan dalam membangun
model ini menghasilkan data keluaran yang berbentuk biner yakni berupa prediksi
dengan kategori ada atau tidak ada hotspot pada bulan yang diprediksi. Hal tersebut
menyebabkan prediksi yang dikeluarkan tidak membedakan bulan-bulan yang
memiliki kemunculan hotspot banyak maupun sedikit, sehingga tidak mampu
menjelaskan bulan-bulan yang termasuk kategori rawan Karhutla (hotspot muncul
sangat banyak) dengan bulan-bulan yang masih termasuk kategori aman dari
bencana Karhutla (hotspot muncul tetapi sedikit).
BAB V
BAB V PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan pada bab
sebelumnya, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Pola frekuensi kejadian hotspot pada setiap musim di Taman Hutan Raya
Sultan Adam memiliki jumlah tertinggi mencapai 312 titik pada confidence di
atas 80% dan 70% serta 311 titik pada confidence di atas 90% yang terjadi pada
akhir musim kemarau yakni pada bulan SON (September-Oktober-November).
Untuk jumlah terendah hanya terdapat 1 titik di semua kriteria confidence
terjadi pada awal musim hujan yakni pada bulan DJF (Desember-Januari-
Februari).
2. Frekuensi kejadian kemunculan hotspot di Taman Hutan Raya Sultan Adam
secara simultan paling dipengaruhi oleh curah hujan 3 bulanan dan memiliki
nilai korelasi paling tinggi yakni -0.75. Pengolahan data dengan lag 1 bulan
menunjukkan bahwa prediktor terbaik adalah curah hujan 1 bulanan dengan
nilai korelasi tertinggi mencapai -0.68. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel curah hujan lebih baik dalam memprediksi kemunculan hotspot
daripada variabel indeks kekeringan SPEI.
3. Dari keempat model prediksi kemunculan hotspot, semuanya memiliki tingkat
kehandalan yang baik dengan nilai p-value kurang dari 0,05. Dilihat dari tabel
kontingensi perbandingan prediksi kemunculan hotspot dengan data observasi,
model terbaik adalah model dengan prediktor curah hujan 1 bulanan dengan
lag 1 bulan. Hal ini juga didukung dari hasil validasi model dengan nilai
jumlah hits dan correct rejection tertinggi terjadi pada model dengan prediktor
curah hujan 1 bulanan dengan lag 1 bulan sebanyak 54 kejadian. Jika dilihat
dari diagram ROC, model yang memiliki performance dan sensitivity terbaik
adalah model dengan prediktor curah hujan 3 bulanan dengan simultan.

49
50

Saran
Berdasarkan hasil dan analisis penelitan ini, diperoleh beberapa saran untuk
penelitian lebih lanjut mengenai pemodelan kemunculan hotspot dengan variabel
curah hujan maupun SPEI, antara lain:
1. Diperlukan domain wilayah penelitian yang lebih luas untuk dapat menangkap
dampak kekeringan yang lebih baik.
2. Dalam penelitian selanjutnya dapat dihitung batas kekeringan dan defisit curah
hujan minimal yang dialami yang mampu memicu hotspot sebagai langkah
selanjutnya untuk peringatan dini Karhutla.
3. Diperlukan parameter lain dalam memprediksi hotspot secara akurat, seperti
luas area terbakar, tipe vegetasi, tingkat ketersediaan biomass (bahan bakar)
Karhutla, dan tata guna lahan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penanggulangan Bencana Nasional, 2015, Evaluasi Bencana Asap: Tahun


1997 Lebih Parah dari 2015, https://www.bnpb.go.id/evaluasi-bencana-
asap--tahun-1997-lebih-parah-dari-2015, diakses 24 November 2017.

Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan, 2016, Kalimantan Selatan


Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan,
Banjarmasin.

Begueria, S., Vicente-Serrano, S. M., Reig, F., dan Latorre, B., 2014, Standardized
Precipitation Evaporation Index (SPEI) Revisited: Parameter Fitting,
Evapotraspiration Models, Tools, Datasets, and Drought Monitoring,
International Journal of Climatology, Halaman 3002-3023.

Bradley, A. P., 1997, The Use of The Area Under The ROC Curve in The
Evaluation of Machine Learning Algorithms, Pattern Recognition, Volume
30, Halaman 1145-1159.

Brown, J. D., 2001, Point-Biserial Correlation Coefficients, Shiken: JLT Testing &
Evolution SIG Newsletter.5, Volume 3, Halaman 13-17.

Chen, F., Niu, S., Tong, X., Zhao, J., Sun, Y., dan He, T., 2014, The Impact of
Precipitation Regimes on Forest Fires in Yunnan Province, Southwest
China. The Scientific World Journal, Volume 2014.

Endrawati, 2016, Analisis Data Titik Panas (Hotspot) dan Areal Kebakaran Hutan
dan Lahan Tahun 2016, Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber
Daya Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.

Fawcett, T., 2006, An Introduction to ROC Analysis, Pattern Recognition Letters,


Volume 27, Halaman 861-874.

Gudmundsson, L., Rego, F. C., dan Seneviratne, S.I., 2014, Predicting Above
Normal Wildfire Activity in Southern Europe as A Function of
Meteorological Drought. Environmental Research Letter, Volume 9.

Kedeputian Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012,


Verifikasi Prakiraan Iklim Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, Jakarta.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2010, Status Lingkungan Hidup


Indonesia 2010, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.

51
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2016, Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.
P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.

52
52

Kleinbaum, D. G., dan Klein, M., 2010, Logistic Regression A Self-Learning Text
Third Edition, Springer Science, New York.

Kornbrot, D., 2005, Point Biserial Correlation, Wiley StatsRef: Statistics Reference
Online, John Wiley & Sons Ltd., New Jersey.

Kumar, R., dan Indrayan, A., 2011, Receiver Operating Characteristic (ROC) Curve
for Medical Research, Indian Pediatrics, Volume 48.

Lo, F., dan Wheeler, M. C., 2007, Probabilistic Forecast of the Onset of the North
Australian Wet Season, Monthly Weather Review, Volume 135.

Marcos, R., Turco, M., Bedia, J., Llasat, M. C., dan Provenzale, A., 2015, Seasonal
Predictability of Summer Fires in a Mediterranean Environment,
International Journal of Wildland Fire. Halaman 1077-1084.

Marin, P. G., Julio, C. J., Arturo, R. T. D., dan Jose, V. N. D., 2017. Drought
Spatiotemporal Variability of Forest Fire Across Mexico, Chinese
Geographical Science.

McKee, T. B., Doesken, N. J., dan Kleist J., 1993, The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scale, Eight Conference on Applied
Climatology, Colorado State University, California.

Palmer, W. C., 1965, Meteorological Drought, U.S. Department of Commerce,


Weather Bureau, Washington D.C.

Park, S. H., Goo, J. M., dan Jo, C. H., 2004, Receiver Operating Characteristic
(ROC) Curve: Practical Review for Radiologists, Korean Journal
Radiology, Volume 5, Halaman 11-18.

Saharjo, B. H., danVelicia, W. A., 2018, Peran Curah Hujan Terhadap Penurunan
Hotspot Kebakaran Hutan dan Lahan di Empat Provinsi di Indonesia pada
Tahun 2015-2016, Jurnal Silvikulturan Tropika, Volume 9.

Saputra, W., Rosnita, dan Yulida, R., 2017, Peran Kelompok Tani dan Masyarakat
Peduli Api (MPA) dalam Mengelola dan Mencegah Kebakaran Lahan di
Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis, Jurnal Agribisnis, Volume
19, Halaman 60-63.

Septicorini, E. P., 2006, Studi Penentuan Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan di


Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan, Skripsi, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Sukmawati, A., 2006, Hubungan Antara Curah Hujan dengan Titik Panas (Hotspot)
sebagai Indikator Terjadinya Kebakakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten
Pontianak Propinsi Kalimantan Barat, Skripsi, Intitut Pertanian Bogor,
Bogor.
53

Tjasyono, B., 2004, Klimatologi Edisi Ke-2, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Trenberth, K. E., Dal, A., van der Schrier, G., Jones, P. D., Barichivich, J., Briffa,
K. R., dan Sheffield, J., 2013, Global Warming and Changes in Drought,
Nature Climate Change, Halaman 17-22.

Van der Schrier, G., Jones, P. D., dan Briffa, K. R., 2011, The Sensitivity of the
PDSI to the Thornthwaite and Penman-Monteith Parameterizations for
Potential Evapotranspiration, Journal of Geophysical Research, Volume
116.

Vicente-Serrano, S. M., Begueria, S., dan Lopez-Moreno, J. I., 2010, A Multiscalar


Drought Index Sensitive to Global Warming: The Standardized
Precipitation Evaporation Index,. Journal of Climate, Volume 23.

Vicente-Serrano, S. M., Begueria, S., Lorenzo-Lacruz, J., Camarero, J. J., Lopez-


Moreno, J. I., Azorin-Molina, C., Revuelto, J., Moran-Tejeda, E., dan
Sanchez-Lorenzo, A., 2012, Performance of Drought Indices for
Ecological, Agricultural, and Hydrological Application, Earth Interaction.
Volume 16.

Virgianto, R. H. 2016. Predicting European Drought Characteristics, Tesis,


University of Birmingham, Birmingham.

Wilhite, D. A., dan Glantz, M. H., 1985, Understanding the Drought Phenomenon:
The Role of Definition, Water International, Volume 10.

Wilks, D.S., 2006, Statistical Methods in The Atmospheric Sciences Second


Edition, Elsevier Inc, London.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Pengolahan Data dengan Regresi Logistik Biner


1. Binary Logistic Regression: Hotspot Confidence 80% versus Curah
Hujan 3 Bulanan
Link Function: Logit

Response Information

Variable Value Count


HP CONF 2 1 24 (Event)
0 36
Total 60

Logistic Regression Table

Odds 95% CI
Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper
Constant 5.70678 1.57860 3.62 0.000
CH 3 -0.0297751 0.0075276 -3.96 0.000 0.97 0.96 0.99

Log-Likelihood = -18.270
Test that all slopes are zero: G = 44.222, DF = 1, P-Value = 0.000

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P
Point-Biserial 39.1770 58 0.973
Deviance 36.5397 58 0.988
Hosmer-Lemeshow 5.2665 8 0.729

Table of Observed and Expected Frequencies:


(See Hosmer-Lemeshow Test for the Point-Biserial Chi-Square
Statistic)

Group
Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
1
Obs 0 0 0 0 2 3 2 6 5 6 24
Exp 0.0 0.1 0.2 0.5 1.2 2.0 3.3 5.2 5.6 5.9
0
Obs 6 6 6 6 4 3 4 0 1 0 36
Exp 6.0 5.9 5.8 5.5 4.8 4.0 2.7 0.8 0.4 0.1
Total 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 60

Measures of Association:
(Between the Response Variable and Predicted Probabilities)

Pairs Number Percent Summary Measures


Concordant 813 94.1 Somers' D 0.88
Discordant 51 5.9 Goodman-Kruskal Gamma 0.88
Ties 0 0.0 Kendall's Tau-a 0.43
Total 864 100.0

54
55

2. Binary Logistic Regression: Hotspot Confidence 80% versus SPEI 3


Bulanan
Link Function: Logit

Response Information

Variable Value Count


HP CONF 2 1 24 (Event)
0 36
Total 60

Logistic Regression Table

Odds 95% CI
Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper
Constant -0.564594 0.299899 -1.88 0.060
SPEI 3 -1.27663 0.407649 -3.13 0.002 0.28 0.13 0.62

Log-Likelihood = -34.222
Test that all slopes are zero: G = 12.318, DF = 1, P-Value = 0.000

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P
Point-Biserial 58.0874 58 0.472
Deviance 68.4432 58 0.164
Hosmer-Lemeshow 8.5864 8 0.378

Table of Observed and Expected Frequencies:


(See Hosmer-Lemeshow Test for the Point-Biserial Chi-Square
Statistic)

Group
Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
1
Obs 0 2 1 1 2 4 3 2 3 6 24
Exp 0.7 1.1 1.4 1.6 1.9 2.2 2.6 3.5 4.1 4.8
0
Obs 6 4 5 5 4 2 3 4 3 0 36
Exp 5.3 4.9 4.6 4.4 4.1 3.8 3.4 2.5 1.9 1.2
Total 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 60

Measures of Association:
(Between the Response Variable and Predicted Probabilities)

Pairs Number Percent Summary Measures


Concordant 649 75.1 Somers' D 0.51
Discordant 212 24.5 Goodman-Kruskal Gamma 0.51
Ties 3 0.3 Kendall's Tau-a 0.25
Total 864 100.0
56

3. Binary Logistic Regression: Hotspot Confidence 80% versus Curah


Hujan 1 Bulanan Lag
Link Function: Logit

Response Information

Variable Value Count


HP CONF 2 LAG 1 1 24 (Event)
0 35
Total 59

Logistic Regression Table

Odds 95% CI
Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper
Constant 3.39509 0.923466 3.68 0.000
CH 1 LAG -0.0194331 0.0046932 -4.14 0.000 0.98 0.97 0.99

Log-Likelihood = -22.318
Test that all slopes are zero: G = 35.092, DF = 1, P-Value = 0.000

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P
Point-Biserial 80.1353 57 0.023
Deviance 44.6360 57 0.883
Hosmer-Lemeshow 18.7987 8 0.016

Table of Observed and Expected Frequencies:


(See Hosmer-Lemeshow Test for the Point-Biserial Chi-Square
Statistic)

Group
Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
1
Obs 1 0 0 0 1 3 3 5 5 6 24
Exp 0.1 0.2 0.3 0.6 1.3 2.1 4.1 4.5 5.1 5.7
0
Obs 4 6 6 6 5 3 3 1 1 0 35
Exp 4.9 5.8 5.7 5.4 4.7 3.9 1.9 1.5 0.9 0.3
Total 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 59

Measures of Association:
(Between the Response Variable and Predicted Probabilities)

Pairs Number Percent Summary Measures


Concordant 760 90.5 Somers' D 0.81
Discordant 79 9.4 Goodman-Kruskal Gamma 0.81
Ties 1 0.1 Kendall's Tau-a 0.40
Total 840 100.0
57

4. Binary Logistic Regression: Hotspot Confidence 80% versus SPEI 1


Bulanan Lag
Link Function: Logit

Response Information

Variable Value Count


HP CONF 2 LAG 1 1 24 (Event)
0 35
Total 59

Logistic Regression Table

Odds 95% CI
Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper
Constant -0.501640 0.290136 -1.73 0.084
SPEI 1 LAG -0.835349 0.327460 -2.55 0.011 0.43 0.23 0.82

Log-Likelihood = -36.142
Test that all slopes are zero: G = 7.445, DF = 1, P-Value = 0.006

Goodness-of-Fit Tests

Method Chi-Square DF P
Point-Biserial 58.3290 57 0.426
Deviance 72.2838 57 0.084
Hosmer-Lemeshow 10.4709 8 0.234

Table of Observed and Expected Frequencies:


(See Hosmer-Lemeshow Test for the Point-Biserial Chi-Square
Statistic)

Group
Value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total
1
Obs 0 2 3 3 1 1 3 2 3 6 24
Exp 0.8 1.3 1.6 1.8 2.1 2.4 2.9 3.3 3.7 4.2
0
Obs 5 4 3 3 5 5 3 4 3 0 35
Exp 4.2 4.7 4.4 4.2 3.9 3.6 3.1 2.7 2.3 1.8
Total 5 6 6 6 6 6 6 6 6 6 59

Measures of Association:
(Between the Response Variable and Predicted Probabilities)

Pairs Number Percent Summary Measures


Concordant 574 68.3 Somers' D 0.37
Discordant 264 31.4 Goodman-Kruskal Gamma 0.37
Ties 2 0.2 Kendall's Tau-a 0.18
Total 840 100.0
58

Lampiran 2. Tabel Kontingensi Setiap Threshold Probabilitas


1. Prediktor Curah Hujan 3 Bulanan
Threshold 0.02 Threshold 0.04
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 24 26 50 Ada 24 21 45
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
0 10 10 0 15 15
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.06 Threshold 0.08
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 24 19 43 Ada 24 15 39
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
0 17 17 0 21 21
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.1 Threshold 0.12 s.d. 0.18
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 24 13 37 Ada 23 12 35
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
0 23 23 1 24 25
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.2 Threshold 0.22 s.d. 0.24
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 23 11 34 Ada 22 10 32
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
1 25 26 2 26 28
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.26 Threshold 0.34
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 22 8 30 Ada 20 6 26
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
2 28 30 4 30 34
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
59

Threshold 0.36 s.d. 0.38 Threshold 0.4


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 19 6 25 Ada 19 5 24
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
5 30 35 5 31 36
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.42 s.d. 0.46 Threshold 0.48 s.d. 0.5
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 18 5 23 Ada 18 4 22
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
6 31 37 6 32 38
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.54 s.d. 0.58 Threshold 0.8
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 17 3 20 Ada 16 2 18
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
7 33 40 8 34 42
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.82 Threshold 0.84 s.d. 0.88
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 15 2 17 Ada 14 1 15
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
9 34 43 10 35 45
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.9 Threshold 0.92
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 11 1 12 Ada 9 1 10
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
13 35 48 15 35 50
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
60

Threshold 0.94 Threshold 0.96


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 7 1 8 Ada 7 1 8
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
17 35 52 17 35 52
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.98 Threshold 1
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 6 0 6 Ada 0 0 0
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
18 36 54 24 36 60
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60

2. Prediktor SPEI 3 Bulanan


Threshold 0.02 s.d. 0.08 Threshold 0.1 s.d. 0.12
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 24 36 60 Ada 24 34 58
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
0 0 0 0 2 2
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.14 Threshold 0.16
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 23 31 54 Ada 23 30 53
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
1 5 6 1 6 7
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.18 Threshold 0.2
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 22 30 52 Ada 22 27 49
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
2 6 8 2 9 11
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
61

Threshold 0.22 Threshold 0.24


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 21 25 46 Ada 21 23 44
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
3 11 14 3 13 16
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.26 Threshold 0.28
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 20 22 42 Ada 19 19 38
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
4 14 18 5 17 22
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.3 Threshold 0.32
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 19 16 35 Ada 17 15 32
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
5 20 25 7 21 28
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.34 Threshold 0.36
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 17 12 29 Ada 16 11 27
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
7 24 31 8 25 33
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.38 s.d. 0.4 Threshold 0.42
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 14 10 24 Ada 13 8 21
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
10 26 36 11 28 39
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
62

Threshold 0.44 s.d. 0.52 Threshold 0.54 s.d. 0.56


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 12 8 20 Ada 10 7 17
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
12 28 40 14 29 43
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.58 Threshold 0.66
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 10 5 15 Ada 8 3 11
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
14 31 45 16 33 49
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.68 Threshold 0.7 s.d. 0.72
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 7 2 9 Ada 6 2 8
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
17 34 51 18 34 52
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.74 Threshold 0.76
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 5 2 7 Ada 5 1 6
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
19 34 53 19 35 54
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.78 Threshold 0.8 s.d. 0.82
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 4 0 4 Ada 2 0 2
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
20 36 56 22 36 58
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
63

Threshold 0.84 s.d. 1


Observasi
Jumlah
Frekuensi Tidak
Ada Prediksi
Ada
Ada 0 0 0
Prediksi Tidak
24 36 60
Ada
Jumlah Observasi 24 36 60

3. Prediktor Curah Hujan 1 Bulanan


Threshold 0.02 Threshold 0.04
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 23 31 54 Ada 23 27 50
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
1 5 6 1 9 10
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.06 Threshold 0.08 s.d. 0.1
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 23 21 44 Ada 23 18 41
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
1 15 16 1 18 19
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.12 Threshold 0.14
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 22 15 37 Ada 22 14 36
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
2 21 23 2 22 24
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.16 s.d. 0.2 Threshold 0.22 s.d. 0.26
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 22 12 34 Ada 22 10 32
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
2 24 26 2 26 28
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
64

Threshold 0.28 Threshold 0.3


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 22 9 31 Ada 22 8 30
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
2 27 29 2 28 30
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.34 s.d. 0.36 Threshold 0.38
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 22 5 27 Ada 22 4 26
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
2 31 33 2 32 34
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.68 s.d. 0.7 Threshold 0.72
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 18 2 20 Ada 17 1 18
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
6 34 40 7 35 42
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.74 s.d. 0.76 Threshold 0.78
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 15 0 15 Ada 13 0 13
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
9 36 45 11 36 47
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.8 Threshold 0.82
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 11 0 11 Ada 10 0 10
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
13 36 49 14 36 50
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
65

Threshold 0.84 s.d. 0.86 Threshold 0.88


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 9 0 9 Ada 7 0 7
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
15 36 51 17 36 53
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.9 s.d. 0.92 Threshold 0.94
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 6 0 6 Ada 4 0 4
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
18 36 54 20 36 56
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.96 Threshold 0.98 s.d. 1
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 1 0 1 Ada 0 0 0
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
23 36 59 24 36 60
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60

4. Prediktor SPEI 1 Bulanan


Threshold 0.02 s.d. 0.12 Threshold 0.14 s.d. 0.16
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 24 36 60 Ada 24 34 58
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
0 0 0 0 2 2
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
66

Threshold 0.18 Threshold 0.2


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 24 31 55 Ada 23 30 53
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
0 5 5 1 6 7
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.22 Threshold 0.24
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 21 29 50 Ada 19 29 48
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
3 7 10 5 7 12
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.26 Threshold 0.28
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 16 27 43 Ada 16 25 41
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
8 9 17 8 11 19
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.3 Threshold 0.32
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 16 22 38 Ada 16 21 37
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
8 14 22 8 15 23
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.34 Threshold 0.36
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 16 19 35 Ada 14 15 29
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
8 17 25 10 21 31
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
67

Threshold 0.38 Threshold 0.4


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 13 15 28 Ada 13 13 26
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
11 21 32 11 23 34
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.42 s.d. 0.44 Threshold 0.46 s.d. 0.48
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 13 12 25 Ada 12 9 21
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
11 24 35 12 27 39
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.5 Threshold 0.52 s.d 0.54
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 12 8 20 Ada 12 6 18
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
12 28 40 12 30 42
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60

Threshold 0.58 s.d 0.6 Threshold 0.62


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 9 2 11 Ada 7 2 9
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
15 34 49 17 34 51
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.64 Threshold 0.66
Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 6 1 7 Ada 4 1 5
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
18 35 53 20 35 55
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
68

Threshold 0.68 Threshold 0.7 s.d 0.74


Observasi Observasi
Jumlah Jumlah
Frekuensi Tidak Frekuensi Tidak
Ada Prediksi Ada Prediksi
Ada Ada
Ada 3 1 4 Ada 1 0 1
Prediksi Tidak Prediksi Tidak
21 35 56 23 36 59
Ada Ada
Jumlah Observasi 24 36 60 Jumlah Observasi 24 36 60
Threshold 0.76 s.d. 1
Observasi
Jumlah
Frekuensi Tidak
Ada Prediksi
Ada
Ada 0 0 0
Prediksi Tidak
24 36 60
Ada
Jumlah Observasi 24 36 60

Anda mungkin juga menyukai