i
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
ANALISIS AMBANG BATAS CURAH HUJAN BERDASARKAN
PERSENTIL KE-95 DI KABUPATEN BANYUWANGI DAN KAITANNYA
DENGAN SUHU MUKA LAUT PERIODE 1999 – 2018
ii
PERNYATAAN PENGESAHAN
Dr. Suwandi, M. Si
NIP. 19560524 1977031001
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
iv
KATA PENGANTAR
v
9. Teman-teman bimbingan Feri Andri Wijaya, Ghazian Hirzi Hanafi, dan M
Agfi Isra Ramadhan yang telah saling menyemangati dan memberi saran,
kritik, maupun motivasi selama pengerjaan skripsi.
10. Sahabat-sahabat penulis, Ismah Atikah Khairunnisa, Anisa Puteri Erika,
Tetuko Ari, dan Yuhus Sukma yang senantiasa mendengarkan keluh kesah
dan memberi semangat serta masukan selama pengerjaan skripsi.
11. Seluruh pihak yang telah memberikan do’a dan membantu dalam
penyelesaian penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari atas kekurangan dalam tulisan ini sehingga penulis
berharap kritik dan saran yang membangun demi perbaikan kedepannya. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
vii
3.4 Diagram Alir Penelitian .............................................................. 26
BAB V PENUTUP................................................................................................ 72
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 72
5.2 Saran ............................................................................................... 72
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
Gambar 4.28 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Maret.............................................................................................. 58
Gambar 4.29 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
April ............................................................................................... 59
Gambar 4.30 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Mei ................................................................................................. 60
Gambar 4.31 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Juni ................................................................................................ 61
Gambar 4.32 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Juli ................................................................................................. 62
Gambar 4.33 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Agustus .......................................................................................... 63
Gambar 4.34 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
September ...................................................................................... 64
Gambar 4.35 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Oktober .......................................................................................... 65
Gambar 4.36 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
November ...................................................................................... 66
Gambar 4.37 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Desember ....................................................................................... 67
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
INTISARI
Oleh
SINDYA NUR RITASARI
21.16.0028
Kata kunci: curah hujan, ambang batas, suhu muka laut, persentil
xiii
ABSTRACT
By
SINDYA NUR RITASARI
21.16.0028
Information about rainfall threshold is needed for many sectors in life and
can be taken into consideration for the development of development policies in the
fields of agriculture, marine, fisheries, and disaster. One parameter that is closely
related to rainfall is sea surface temperature. Banyuwangi Regency is an area
located on the eastern tip of Java Island and has distinctive characteristics. This
study aims to determine the threshold value of extreme rainfall in Banyuwangi and
its relation to sea surface temperature. The monthly rainfall at 18 research points
were correlated using Pearson correlation with sea surface temperature at 1x1o
resolution on the domain area of 107o BT – 140o BT and 0o – 15o LS. The results
obtained are that rainfall in Banyuwangi is strongly correlated with eastern
Indonesian sea specifically Arafura and Banda Sea. Daily rainfall data was
calculated with the 95th percentile to determine the rainfall threshold. Based on
analysis, daily rainfall threshold in Banyuwangi occurring in the range of 0 – 70
mm. The high rainfall threshold occurs in the western region of Banyuwangi in the
form of mountains, while the low threshold occurs in the eastern and southern
coastal areas of Banyuwangi. Rainfall events in Banyuwangi follow seasonal
patterns. In November - March, rainfall events are dominated by intensities of 50 –
100 mm that occur when sea surface temperatures range from 29,1 – 30℃. While
during April – October, rainfall events are dominated by intensities of 0 – 50 mm
which occur when sea surface temperatures are 26,1 – 27℃.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Setiap daerah memiliki intensitas curah hujan yang beragam sehingga ambang batas
curah hujan di setiap daerah berbeda. Hal ini tergantung pada lokasi, ketinggian,
keadaan lokal, dan topografi. Intensitas curah hujan yang sama mungkin
menyebabkan potensi dan dampak yang berbeda di setiap daerah (Tjasyono dan Sri
Woro, 2012). Salah satu contoh daerah dengan keragaman curah hujan yang tinggi
adalah Banyuwangi.
Secara geografis, Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Provinsi Jawa
Timur yang terletak di pesisir pantai paling timur Pulau Jawa (Pemkab
Banyuwangi, 2018). Banyuwangi berbatasan langsung dengan laut maka kondisi
iklim di wilayah Banyuwangi mendapat pengaruh dari lautan. Banyuwangi
memiliki delapan Zona Musim (ZOM) yang berbeda karena keadaan topografi yang
beragam dalam satu kabupaten. Hal tersebut menyebabkan Banyuwangi memiliki
karakteristik wilayah yang khas.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB (2013),
Banyuwangi termasuk dalam kabupaten yang memiliki skor indeks risiko bencana
yang tinggi sebesar 219 dengan peringkat ke 11 dari seluruh kabupaten di
Indonesia. Salah satu bencana yang memiliki tingkat kepaparan yang cukup tinggi
adalah banjir. Berdasarkan data yang dihimpun oleh BNPB, selama periode 1999 –
2018 telah terjadi bencana banjir sebanyak 31 kejadian yang mengakibatkan
kerugian fisik dan materiil bagi manusia. Dilansir dari laman resmi Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi (2018), empat dusun di Desa Alas Malang, Kecamatan
Singojuruh, Banyuwangi, mengalami banjir bandang yang membawa material
lumpur dan kayu, Jumat (22/6). Akibatnya sekitar 300 rumah terdampak, dan 15
rumah rusak berat. Tidak ada laporan korban jiwa dari kasus ini. Bupati
Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, menyatakan bahwa berdasarkan informasi
dari BPBD kejadian banjir ini diakibatkan adanya gerakan tanah (sliding) di lereng
Gunung Raung sisi Banyuwangi, tepatnya dari kawasan Gunung Pendil akibat
curah hujan tinggi.
Salah satu metode penentuan ambang batas curah hujan adalah site specific
threshold seperti penggunaan persentil yang didasarkan dari distribusi statistik
curah hujan harian. Penelitian menggunakan persentil ke-90 dilakukan (Chu dkk.,
3
2009; Supari dkk., 2012), perhitungan persentil ke-95 (Zin dkk., 2010) dan persentil
ke-99 (Chu dkk., 2009; Anagnostopoulou dan Tolika, 2011). Selain itu, terdapat
penelitian lain yang menggunakan persentil ke-90, ke-95, dan ke-99 seperti yang
dilakukan oleh Suryantoro (2013). Dari penelitian yang telah disebutkan, diketahui
bahwa perhitungan keadaan curah hujan berdasarkan persentil menghasilkan nilai
yang lebih fleksibel dan dapat menggambarkan kejadian curah hujan yang
tergantung karakteristik tertentu, seperti iklim dan kondisi wilayah.
Persentil ke-95 dipilih sebagai ambang untuk mewakili peristiwa hujan
lebat, karena dalam rata-rata 365 hari dalam setahun, persentil ke-95 berhubungan
dengan curah hujan tertinggi ke-18 pada skala waktu tahunan (Zin dkk., 2010).
Menurut penelitian Haylock dan Nicholls (2000), persentil ke-95 umumnya
mewakili tiga hingga lima kejadian hujan teratas yang berkontribusi sekitar 20 –
25% dari total curah hujan. Persentil ke-95 mewakili curah hujan yang jauh lebih
tinggi daripada persentil ke-90.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Ambang Batas Curah Hujan berdasarkan
Persentil ke-95 di Kabupaten Banyuwangi dan Kaitannya dengan Suhu Muka Laut
periode 1999-2018”. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat mengenai
informasi ambang batas curah hujan di Banyuwangi. Informasi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mengantisipasi dampak dan risiko dari bencana alam yang
dapat terjadi seperti banjir dan tanah longsor.
Manfaat secara praktis dari hasil penelitian ini adalah peta persebaran curah
hujan berdasarkan persentil ke-95 di Banyuwangi pada masing-masing bulan
sehingga lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat untuk kemudian dapat
diaplikasikan pada kegiatan mitigasi bencana yang dapat diakibatkan curah hujan
tinggi. Selain itu, dapat menjadi rekomendasi bagi operasional Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) atau pihak yang berwenang dalam bahan
masukan untuk penelitian selanjutnya dalam menentukan ambang batas curah hujan
harian di suatu wilayah menggunakan metode persentil ke-95 atau metode yang
lainnya.
BAB II
LANDASAN TEORI
Dasar teori yang digunakan dalam bab ini adalah tinjauan pustaka dan
landasan teori. Tinjauan pustaka berisi tentang hasil dari penelitian sebelumnya
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Landasan teori berisi tentang teori-
teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi curah hujan, SML, hubungan
curah hujan dengan SML, dan persentil.
6
7
threshold (persentil 90, periode ulang 1, 5, dan 25 tahun), indikator ekstrem yang
disarankan WMO seperti R20mm, R50mm, R90p, CWD, RX5d, SDII, RTOT,
dengan ambang batas BMKG yaitu 100 mm/hari. Dari hasil penelitian ini, ambang
batas yang ditetapkan BMKG dapat digunakan karena berhubungan kuat dengan
kejadian bencana hidrometeorologi. Berdasarkan indeks ekstrem yaitu CWD (hari
hujan berturut-turut), RTOT (jumlah curah hujan tahunan), dan R20mm, intensitas
dan frekuensi curah hujan ekstrem sangat dipengaruhi oleh ketinggian. Pada daerah
pegunungan, intensitas curah hujan tahunan mencapai >3000 mm, sedangkan
daerah dataran rendah (mendekati pantai) intensitas curah hujan tahunan tidak
mencapai 1500 mm. Dari analisis tersebut, didapatkan bahwa hujan yang terjadi di
Jawa Timur termasuk dalam hujan orografik. Analisis tingkat keparahan curah
hujan menghasilkan bahwa metode persentil ke-90 dan ambang batas tetap di atas
50 mm dapat digunakan untuk menghitung tingkat keparahan kejadian curah hujan
ekstrem.
Fadholi (2018) melakukan penelitian tentang persebaran frekuensi kejadian
curah hujan ekstrem di Kepulauan Bangka Belitung dengan menggunakan beberapa
metode, yaitu ambang batas tetap sesuai kriteria BMKG sebesar 50 mm, persentil
ke-99, nilai ekstrem berdasar kuartil, dan POT. Data yang digunakan dalam
penelitian Fadholi adalah data CHIRPS harian tahun 1981 – 2016. Hasil yang
didapatkan berupa nilai ambang batas ekstrem dengan metode persentil, kuartil, dan
POT memiliki pola yang mirip. Sedangkan, pola distribusi frekuensi kejadian nilai
ekstrem metode POT mirip dengan pola dengan metode persentil. Berdasarkan
analisis distribusi frekuensi kejadian hujan terlihat bahwa batas nilai ekstrem
dengan metode persentil sangat berkorelasi dengan nilai rata-ratanya, sehingga
diketahui bahwa wilayah yang memiliki batas nilai ekstrem tertinggi merupakan
wilayah dengan tingkat curah hujan bulanan atau tahunan paling tinggi atau
kebasahan paling tinggi.
Suryantoro (2013) meneliti tentang keterkaitan fenomena pemanasan global
dengan kejadian ekstrem hujan di Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok, dan
Lampung. Analisis yang dilakukan adalah analisis frekuensi kejadian, intensitas,
dan akumulasi hujan ekstrem bulanan periode Januari 1901 – Desember 2002.
8
Kriteria utama untuk menentukan nilai ambang batas curah hujan ekstrem adalah
persentil ke-90 (P90), persentil ke-95 (P95), dan persentil ke-99 (P99). Hasil
penelitian ini menunjukkan Banyuwangi memiliki pola curah hujan monsunal.
Nilai ambang batas ekstrem P90 lebih besar dari 162,6%. Jumlah kejadian ekstrem
hujan di Banyuwangi berdasar P90 ada 116 kejadian. Nilai ambang ekstrem hujan
di Banyuwangi secara umum mengikuti pola nilai maksimum akumulasi hujan
sentenial (rentang ratusan tahun, 1901 – 2010) maupun klimatologisnya.
Penelitian tentang hubungan SML dengan curah hujan di Cilacap serta
melihat implikasinya terhadap prakiraan curah hujan dilakukan oleh Estiningtyas
dkk. (2007) pada periode 1988 – 2006. Metode yang dilakukan adalah analisis
korelasi spasial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari
zona SML dan musim yang menyebabkan tingkat korelasi yang berbeda. Korelasi
positif menunjukkan bahwa peningkatan SML pada zona tersebut berkaitan dengan
meningkatnya curah hujan pada bulan yang bersangkutan. Curah hujan pada bulan
Januari – Desember menunjukkan korelasi positif berkisar antara 0,30 hingga 0,50
dengan area SML yang beragam. Korelasi positif tertinggi terjadi pada bulan Maret
dan Juli. Hasil prakiraan hujan bulanan periode Januari hingga Desember 2007
mengindikasikan pola curah hujan yang tidak jauh berbeda dengan rata-rata selama
19 tahun dengan jeluk hujan <100 mm/bulan. Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa suhu muka laut wilayah Indonesia dapat digunakan sebagai indikator untuk
menentukan kondisi curah hujan di suatu wilayah atau kabupaten di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Dias dkk. (2013) tentang perubahan curah
hujan ekstrem di Sao Paulo, Brazil. Data yang digunakan adalah data curah hujan
harian periode 1931 – 2010. Indeks iklim yang digunakan pada penelitian ini adalah
PDO (Pacific Decadal Oscillation Index), NAO (North Atlantic Oscillation), AMC
(Atlantic Meridional Circulation Index), ENSO (Multivariate ENSO Index),
LISAM (The Large-scale Index for South America Monsoon), dan SST (Sea
Surface Temperature). Ambang batas yang digunakan dalam perhitungan curah
hujan ekstrem adalah persentil ke-80, ke-95, ke-99, dan distribusi GEV. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa periode musim hujan di Sao Paulo adalah bulan
Oktober – Maret. Sedangkan periode musim kemarau adalah bulan April –
9
kering). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah curah hujan di Jawa Timur
berkorelasi dengan SML di perairan Indonesia dengan pola berkorelasi positif
dengan perairan sebelah timur – selatan Indonesia dan berkorelasi negatif dengan
SML perairan sebelah utara – barat Indonesia.
Secara umum, terdapat tiga jenis hujan yaitu hujan konveksi, hujan
orografis, dan hujan konvergensi (Tjasyono dan Sri Woro, 2012).
a. Hujan konveksi
Diakibatkan adanya pemanasan radiasi matahari yang menyebabkan udara
permukaan memuai dan dipaksa naik ke atas. Pada keadaan atmosfer yang lembap,
udara permukaan yang naik akan mengalami pengembunan. Gerakan vertikal udara
lembap dengan uap air skala besar yang mengalami pendinginan dengan cepat dapat
menyebabkan awan Cb (Cumulonimbus). Awan Cb menghasilkan hujan deras
dengan cakupan daerah yang kecil dengan waktu yang tidak terlalu lama (showers).
b. Hujan orografis
Hujan yang terbentuk akibat kondisi udara terdesak naik pada pegunungan.
Uap air sebagian besar terletak pada lapisan atmosfer bawah, sehingga hujan
orografis yang lebat diakibatkan dari udara yang dipaksa naik oleh efek blokade
(rintangan) bentuk tanah atau pegunungan. Pada lereng di atas angin (windward)
banyak terjadi hujan, sedangkan pada lereng di bawah angin (leeward) udara akan
mengalami pemanasan dengan sifat kering, daerah pada lereng ini disebut daerah
bayangan hujan (rain shadow). Gambar 2.1 menggambarkan proses hujan
orografis terjadi di daerah pegunungan.
Secara diurnal, curah hujan sangat dipengaruhi oleh sirkulasi harian. Intensitas
curah hujan merupakan ukuran jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama hujan
berlangsung. Tabel 2.1 menunjukkan intensitas curah hujan menurut BMKG yang
dibagi menjadi 5 kategori, yaitu:
Tabel 2.1 Kriteria intensitas curah hujan harian
Intensitas hujan
Kategori
(mm/hari)
Hujan sangat ringan 0–5
Hujan ringan 5 – 20
Hujan sedang 20 – 50
Hujan lebat 50,1 – 100
Hujan sangat lebat >100
Sumber: BMKG, 2019
Dilihat pada periode Desember, Januari, dan Februari (DJF), SML berkisar
antara 27,2 – 31,2°C. Suhu terendah terjadi di Laut Natuna Utara yaitu mencapai
24,9°C sedangkan tertinggi terjadi di Laut Timor yaitu mencapai 31,5°C. Pada
bulan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) yang bertepatan dengan periode Muson Timur,
wilayah Belahan Bumi Selatan (BBS) lebih dingin dibandingkan dengan Belahan
Bumi Utara (BBU). Intensitas cahaya matahari saat itu lebih dominan di BBU
sehingga kondisi atmosfer cenderung lebih hangat, hal ini diikuti oleh
menghangatnya SML di BBU (Habibie dan Nuraini, 2014).
Secara umum dari tahun 1981 – 2012, SML di wilayah Indonesia
mengalami tren peningkatan suhu sekitar 0,28°C (Putra dkk., 2019). Hal ini dapat
berdampak pada jumlah curah hujan di Indonesia. Pada Gambar 2.2 terlihat bahwa
rata-rata normal (periode 1981 – 2010) SML di Indonesia memiliki nilai yang
cukup tinggi yaitu berkisar 28 – 29,5oC.
2.2.4 Persentil
Persentil adalah nilai yang membagi distribusi menjadi 100 bagian yang
sama. Oleh karena itu, fungsi persentil adalah menentukan nilai batas tiap satu
persen dalam distribusi yang dipersoalkan. Teknik ini diterapkan jika kelompok
atau distribusi data dibagi menjadi 100 bagian yang sama, untuk selanjutnya
menentukan batas tiap satu persen dalam distribusi dimaksud. Dalam statistik
dikenal ada 99 nilai persentil yakni; persentil 1 (P1), persentil 2 (P2), persentil ke 3
(P3) dan seterusnya sampai dengan persentil ke 99 atau P99. Asumsi teknik
pengukuran persentil data yang diperoleh dari hasil pengukuran dalam bentuk
numerik (angka) dan lazimnya setingkat skala interval (Sunyoto, 2016), yang
disajikan dalam persamaan berikut ini.
15
𝑖 ( 𝑛 + 1)
𝑃𝑖 = (2.1)
100
Keterangan:
Pi : persentil ke-i
N : panjang data
Hal ini mengacu pada WMO (2009) yang menyatakan bahwa perhitungan
hujan ekstrem didasarkan pada ambang batas persentil yang ditetapkan untuk
menilai ekstrem sedang yang biasanya terjadi beberapa kali setiap tahun, bukan
peristiwa cuaca yang berdampak tinggi seperti sekali dalam satu dekade. Ambang
batas curah hujan ekstrem berbasis persentil (site specific threshold) lebih mewakili
kejadian atmosfer, bisa dibilang lebih bermakna dan dapat diterapkan jika terdapat
data pengamatan yang memadai. Selain itu, ambang batas berbasis persentil dapat
memberikan informasi tidak langsung yang berguna serta relevan dengan studi
dampak dan adaptasi.
16
17
b. Data SML
Penelitian ini menggunakan dua jenis data sekunder yaitu data SML harian
dan bulanan. Kedua data ini bersumber dari NOAA. Data harian berupa data satelit
yang menggunakan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR)
versi 2 dan dapat diunduh dari IRI Data Library dengan alamat website
https://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCDC/.OISST/.version2/.AVH
RR/. AVHRR merupakan sensor untuk mendapatkan data SML yang memiliki
resolusi spasial 0,25o x 0,25o dan resolusi temporal satu hari. Data ini tersedia dari
periode September 1981 – sekarang. Data bulanan berupa data turunan dari
interpolasi optimal mingguan versi 2 dari harian menjadi bulanan. Data ini memiliki
resolusi spasial 1o x 1o dan resolusi temporal satu bulan. Data suhu muka laut
bulanan ini dapat diunduh dengan alamat website
19
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.EMC/.CMB/.GLOBAL/.
Reyn_SmithOIv2/.monthly/.
Domain lokasi penelitian yang digunakan adalah wilayah selatan Pulau
Jawa hingga Papua, dengan koordinat 107o BT – 140o BT dan 0o – 15o LS. Mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Sucahyono dkk. (2009), untuk mempermudah
identifikasi grid pada domain SML maka domain tersebut dibagi menjadi kotak
grid ukuran 2,5o x 2,5o. Garis horizontal dibagi menjadi 14 grid, dan garis vertikal
dibagi menjadi 7 kotak, sehingga domain SML terbagi menjadi 78 grid. Pembagian
grid penulis sajikan pada Gambar 3.2 berikut.
Jenis
No Satuan Resolusi Sumber Periode Keterangan
Data
Curah milimeter 1999 – 96,34%
1 Harian BMKG
hujan (mm) 2018
1999 –
2 0,25 x 0,25° / Harian NOAA 100%
Suhu 2018
Celcius
muka laut 1999 –
3 2,5 x 2,5° / Bulanan NOAA 100%
2018
Kelengkapan data curah hujan untuk setiap pos pengamatan hujan yang
penulis gunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Kelengkapan data curah hujan
No Pos Hujan Periode Data Kelengkapan Data (%)
1 Alas Buluh 1999 – 2018 99,58
2 Bajulmati 1999 – 2018 99,58
3 Bayu Lor 1999 – 2018 100
4 Cluring 1999 – 2018 88,73
5 Gambor 1999 – 2018 86,64
6 Glen Nevis 1999 – 2018 100
7 Gunung Raung 1999 – 2018 100
8 Kalisepanjang 1999 – 2018 100
9 Kandangan 1999 – 2018 86,24
10 Kawah Ijen 1999 – 2018 96,65
11 Lijen Jambu 1999 – 2018 98,36
12 Pasewaran 1999 – 2018 99,56
13 Pesanggaran 1999 – 2018 85,00
14 Selogiri 1999 – 2018 100
15 Songgon 1999 – 2018 99,58
16 Stamet Banyuwangi 1999 – 2018 100
17 Tegaldlimo 1999 – 2018 93,29
18 Trebasala 1999 – 2018 100
kosong. Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Supari dkk. (2017)
dan bersumber dari penelitian sebelumnya.
Keterangan:
CHbulanan : curah hujan bulanan (mm)
CH1 : curah hujan pada hari ke-1
CH2 : curah hujan pada hari ke-2
CHn : curah hujan pada hari ke-n (bergantung pada jumlah hari pada bulan
tersebut)
22
Keterangan:
r(x,y) : koefisien korelasi (x,y)
n : banyak data
∑xi : variabel SML bulanan
∑yi : variabel curah hujan bulanan
Analisis korelasi dilakukan untuk melihat seberapa kuat hubungan antara
curah hujan dengan SML. Semakin kuat korelasinya, maka akan semakin baik
23
tingkat keeratan kejadian curah hujan dengan SML (Supranto, 1996). Interval r
adalah -1 ≤ r ≤ +1. Untuk r = +1 disebut hubungannya positif sempurna dan
hubungan linier langsung sangat tinggi. Sedangkan r = -1 disebut hubungan negatif
sempurna dan hubungannya tidak langsung sangat tinggi, atau disebut inversi.
95( 𝑛 + 1) (3.3)
𝑃95 =
100
Keterangan:
P95 : persentil ke-95
n : jumlah data
(Zin dkk., 2010). Menurut penelitian Haylock dan Nicholls (2000), persentil ke-95
umumnya mewakili tiga hingga lima kejadian ekstrem teratas yang berkontribusi
sekitar 20 – 25% dari total curah hujan. Persentil ke-95 mewakili curah hujan yang
jauh lebih tinggi daripada persentil ke-90.
1
∑𝑠𝑖=1 𝑍𝑖
𝑑𝑖𝑘 (3.4)
𝑍0 =
1
∑𝑠𝑖=1 𝑘
𝑑𝑖
Keterangan:
Z0 : Perkiraan nilai pada titik 0
Zi : Apakah nilai z pada titik kontrol i
di : Jarak antara titik i dan titik 0
k : Semakin besar k, semakin besar pengaruh poin tetangga
s = Jumlah titik S yang digunakan
25
Nilai power pada interpolasi IDW ini menentukan pengaruh terhadap titik-
titik masukan (input), dimana titik yang lebih dekat akan mendapatkan pengaruh
yang lebih besar. Bisa dikatakan jika nilai power diperbesar maka nilai output sel
menjadi lebih terlokalisasi dan memiliki nilai rata-rata yang rendah.
4. Menentukan batas bawah kelas pertama. Tepi bawah kelas pertama dipilih
dari data terkecil atau dari data yang berasal dari pelebaran jangkauan (data
yang lebih kecil dari data terkecil).
5. Mengelompokkan data asli sesuai dengan kriteria kelasnya.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah analisis probabilitas kejadian curah
hujan di atas nilai ambang batas dengan SML yang sudah ditentukan dan bias yang
dimiliki. Hasil dari proses ini adalah jumlah frekuensi terjadinya kejadian curah
hujan di atas persentil ke-95 di setiap kelas SML yang telah dibuat.
𝑃𝑟 (𝐸1 ∩ 𝐸2 )
Pr(𝐸1 |𝐸2 ) =
𝑃𝑟 (𝐸2 ) (3.6)
Keterangan:
Pr(𝐸1 |𝐸2 ) : peluang kejadian bersyarat E1 dengan syarat E2
𝑃𝑟 (𝐸1 ∩ 𝐸2 ) : peluang kejadian irisan E1 dan E2
𝑃𝑟 (𝐸2 ) : peluang kejadian E2
Notasi E1 dalam penelitian ini merupakan curah hujan di atas persentil ke-
95 dan E2 merupakan syarat kejadian yang merupakan parameter SML yang sudah
dihitung. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui peluang intensitas curah hujan
tertentu saat SML tertentu.
1. Menyiapkan data curah hujan harian dan data SML bulanan pada seluruh grid
SML yang sudah ditentukan.
2. Mengolah data observasi curah hujan harian menjadi bulanan di setiap pos
hujan.
3. Menghitung korelasi antara data SML bulanan pada setiap grid dengan curah
hujan bulanan setiap pos hujan untuk menentukan lokasi grid SML yang
berkorelasi kuat dengan curah hujan pada masing-masing pos hujan.
4. Mengunduh data SML harian pada grid yang berkorelasi kuat dengan setiap
pos hujan.
5. Mengelompokkan data curah hujan harian dan SML harian berdasarkan bulan.
6. Melakukan perhitungan ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil
ke-95 pada data curah hujan harian.
7. Menyusun peta persebaran hujan berdasarkan persentil ke-95 berdasarkan
bulan dengan metode interpolasi yang sudah ditentukan.
8. Mengidentifikasi kejadian curah hujan berdasarkan persentil ke-95 dan SML
saat kejadian tersebut.
9. Membuat distribusi frekuensi untuk data SML dan data curah hujan.
10. Menghitung probabilitas kejadian curah hujan saat SML kategori tertentu dan
bias yang terjadi.
11. Menganalisis hasil perhitungan dan peta yang telah dihasilkan untuk
mendapatkan karakteristik curah hujan berdasarkan persentil ke-95 di
Banyuwangi.
28
Bagian ini berisi uraian dan analisis hasil pengolahan data yang telah
dilakukan. Terdapat 3 (tiga) subbab yang akan diuraikan yaitu korelasi curah hujan
dengan suhu muka laut, nilai ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil
ke-95, dan frekuensi serta peluang curah hujan di atas persentil ke-95 pada SML
tertentu serta pembahasan.
4.1 Hasil
4.1.1 Korelasi curah hujan bulanan dengan SML
Pehitungan korelasi curah hujan bulanan dan SML bulanan pada 78 grid
menghasilkan grid SML yang memiliki pengaruh yang besar terhadap curah hujan
di tiap pos hujan. Tabel 4.1 menjelaskan hasil korelasi tersebut.
Tabel 4.1 Korelasi curah hujan dengan suhu muka laut
29
30
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa nilai korelasi curah hujan dan
SML berada pada rentang 0,4 – 0,7. Korelasi curah hujan dan SML tertinggi sebesar
0,68 yang terjadi di pos hujan Trebasala dengan SML grid 52 dan nilai korelasi
terendah sebesar 0,439 yang terjadi di pos hujan Bayu Lor dengan SML grid 38.
Dari tabel tersebut, diketahui bahwa curah hujan di Banyuwangi berkorelasi positif
terbesar dengan 6 grid SML yang dijelaskan pada Gambar 3.2 yaitu kotak SML ke:
1. 23 (2 LS – 4,5 LS; 132,5 BT – 135 BT),
2. 38 (4,5 LS – 7 LS; 137,5 BT – 140 BT),
3. 50 (7 LS – 9,5 LS; 135 BT – 137,5 BT),
4. 51 (7 LS – 9,5 LS; 137,5 BT – 140 BT),
5. 52 (7 LS – 9,5 LS; 140 BT – 142,5 BT),
6. 65 (9,5 LS – 12 LS; 140 BT – 142,5 BT).
Enam grid tersebut berada di perairan timur Indonesia yaitu di sekitar Pulau
Papua. Grid 23 merupakan perairan di bagian timur laut Laut Banda, grid 38
merupakan perairan di timur laut Laut Arafura, grid 50, 51, 52, dan 65 adalah Laut
Arafura.
Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa nilai ambang batas curah hujan di atas
persentil ke-95 di Banyuwangi berada pada rentang 0 – 70 mm. Nilai ambang batas
tertinggi terjadi pada bulan Januari di pos hujan Pasewaran sebesar 70 mm,
sedangkan nilai ambang batas terendah terjadi bervariasi di tiap pos hujan yaitu
pada bulan-bulan di musim kemarau yaitu Juli hingga Oktober sebesar 0 mm.
Berdasarkan perhitungan rata-rata nilai ambang batas hujan harian di setiap pos
hujan, yang dilampirkan pada Lampiran 3, dapat diketahui bahwa ambang batas
curah hujan harian tertinggi yang terjadi di seluruh bulan terjadi di pos hujan Bayu
Lor dan Songgon, sedangkan nilai ambang batas terendah terjadi di pos hujan Alas
buluh dan Tegal Dlimo yang kemudian penulis sajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Grafik ambang batas curah hujan di atas persentil ke-95
terendah dan tertinggi
32
Dari Gambar 4.1 dan pengolahan data, diketahui bahwa rata-rata nilai
ambang batas tertinggi pada pos hujan Bayu Lor dan Songgon berada pada rentang
45 – 50 mm, sedangkan nilai ambang batas terendah pada pos hujan Alas Buluh
dan Tegal Dlimo berada pada rentang 15 – 20 mm. Dari Gambar 4.1, terlihat adanya
kesamaan pola yang jelas di pos hujan dengan ambang batas rendah yaitu
membentuk cekungan dan mengalami penurunan nilai ambang batas pada bulan
Juni hingga Oktober. Pada pos hujan nilai ambang batas tertinggi, pola yang
dibentuk mirip namun dengan cekungan yang lebih bervariasi. Seperti adanya
penurunan nilai yang cukup signifikan di bulan April. Grafik lengkap mengenai
ambang batas curah hujan di setiap pos hujan terdapat pada Lampiran 2.
Untuk mempermudah analisis dari persebaran ambang batas tiap pos hujan
maka dilakukan pengolahan secara spasial yaitu dengan peta sebaran ambang batas
berdasarkan bulan yang ditunjukkan oleh Gambar 4.2 – 4.13 berikut ini.
Gambar 4.2 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Januari
33
Gambar 4.3 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Februari
Lor, dan Lijen Jambu memiliki nilai ambang batas hujan kategori lebat (50,1 – 100
mm).
Gambar 4.4 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Maret
Gambar 4.5 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan April
Berdasarkan Gambar 4.5, terlihat bahwa ambang batas bulan April memiliki
pola yang paling berbeda dibandingkan bulan-bulan lain. Seluruh wilayah
Banyuwangi memiliki nilai ambang batas yang sama yaitu 20 – 50 mm. Intensitas
tersebut termasuk dalam kategori sedang. Wilayah barat Banyuwangi yang pada
bulan-bulan sebelumnya memiliki nilai ambang batas yang lebat, pada bulan April
berubah menjadi kategori sedang. Wilayah timur dan selatan Banyuwangi tidak
mengalami perubahan yang signifikan karena masih tetap pada kategori sedang.
36
Gambar 4.6 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Mei
Gambar 4.7 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Juni
Gambar 4.8 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Juli
Gambar 4.8 menunjukkan sebaran ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 pada bulan Juli. Pada bulan ini, terlihat wilayah Banyuwangi terbagi
menjadi 4 kategori. Dilihat dari pola persebaran, ambang batas curah hujan pada
bulan Juli hampir sama dengan ambang batas bulan Juni di Kabupaten Banyuwangi.
Tetapi, di bagian utara dan selatan bernilai 0 mm (kategori tidak ada hujan). Di
bagian tengah dan sebagian selatan yang ditunjukkan oleh pos hujan Kawah Ijen,
Stamet Banyuwangi, Glen Nevis, Gambor, dan Trebasala memiliki ambang batas
curah hujan kategori ringan (0,5 – 20 mm), bagian tengah yang diwakili pos hujan
Lijen Jambu masih tetap kategori sedang (20 – 50 mm), sedangkan nilai ambang
batas hujan kategori lebat (50,1 – 100 mm) masih sama seperti bulan Juni yaitu
terpusat di bagian tengah Banyuwangi.
39
Gambar 4.9 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Agustus
Gambar 4.9 menunjukkan sebaran ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 pada bulan Agustus. Terlihat bahwa Banyuwangi terbagi menjadi
tiga kategori. Wilayah Banyuwangi bagian utara dan bagian selatan memiliki
ambang batas curah hujan harian bernilai 0 mm (tidak ada hujan), bagian tengah
yaitu pos hujan Gambor, Glen Nevis, dan Stamet Banyuwangi termasuk kategori
rendah (0 – 20 mm), dan bagian barat yaitu pos hujan Gunung Raung,
Kalisepanjang, Songgon, dan Bayu Lor kategori sedang (20 – 50 mm).
40
Gambar 4.10 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan September
Gambar 4.11 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Oktober
Gambar 4.12 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan November
Gambar 4.12 menunjukkan sebaran ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 pada bulan November. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
Banyuwangi mulai memasuki musim hujan karena tidak ada wilayah yang
termasuk kategori tidak ada hujan. Bagian utara Banyuwangi yaitu pos hujan
Kawah Ijen, Pasewaran, Bajul Mati, Alas Buluh, Selogiri, dan Stamet Banyuwangi
serta Tegal Dlimo termasuk kategori ringan (0,5 – 20 mm). Bagian tengah hingga
selatan Banyuwangi yaitu pos hujan Gambor, Trebasala, Cluring, Kandangan, dan
Pesanggaran termasuk kategori sedang (20 – 50 mm) dan bagian barat Banyuwangi
yaitu pos hujan Gunung Raung, Kalisepanjang, Glen Nevis, Songgon, dan Bayu
Lor memiliki ambang batas kategori lebat (50,1 – 100 mm).
43
Gambar 4.13 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Desember
pada Lampiran 3 diketahui bahwa pola curah hujan di Banyuwangi termasuk pola
hujan monsunal. Hal ini terlihat dari grafik yang membentuk pola U atau memiliki
satu cekungan. Secara umum, Banyuwangi memasuki musim kemarau pada bulan
April atau Mei, sedangkan musim hujan pada bulan Desember hingga Maret.
Keadaan suhu muka laut setiap bulan berkisar antara 25 – 31℃. Nilai tertinggi SML
terjadi pada bulan Desember hingga Januari serta terendah pada bulan Agustus.
Jumlah dan intensitas kejadian curah hujan harian berbeda di setiap pos
hujan tergantung pada bulan terjadinya. Untuk memudahkan perhitungan distribusi
frekuensi dan peluang, parameter SML dibagi menjadi 9 kelas dengan interval 1℃,
dan curah hujan dibagi menjadi 7 kelas dengan interval 50 mm. Gambar 4.14 – 4.25
menjelaskan frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95 di setiap bulan.
a. Januari
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Januari disajikan pada Gambar 4.14 berikut ini.
di atas persentil ke-95 tertinggi terjadi pada intensitas 50,1 – 100 mm dengan
keadaan SML 29,1 – 30℃ sebanyak 244 kejadian. Frekuensi kejadian bias (di
bawah persentil ke-95) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya SML.
Terdapat kesamaan pola antara frekuensi bias dengan pola frekuensi kejadian di
atas persentil ke-95. Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 29,1 – 30℃
sebanyak 6.060 kejadian. Terlihat bahwa pada bulan Januari, SML <28℃ tidak
menghasilkan curah hujan di atas persentil ke-95. Hujan di atas persentil ke-95
bulan Januari terjadi pada suhu 28 – 31℃ dan menghasilkan intensitas curah hujan
antara 50,1 – 250 mm.
b. Februari
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Februari disajikan pada Gambar 4.15 berikut ini.
c. Maret
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Maret disajikan pada Gambar 4.16 berikut ini.
mencapai nilai tertinggi saat 29,1 – 30℃ dan menurun pada SML setelahnya.
Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 29,1 – 30℃ sebanyak 5.963 kejadian.
Terlihat bahwa pada bulan Februari, SML <27,1℃ tidak ada kejadian curah hujan
di atas persentil ke-95 maupun sebaliknya.
d. April
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan April disajikan pada Gambar 4.17 berikut ini.
e. Mei
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Mei disajikan pada Gambar 4.18 berikut ini.
f. Juni
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Juni disajikan pada Gambar 4.19 berikut ini.
g. Juli
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Juli disajikan pada Gambar 4.20 berikut ini.
h. Agustus
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Agustus disajikan pada Gambar 4.21 berikut ini.
i. September
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan September disajikan pada Gambar 4.22 berikut ini.
j. Oktober
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Oktober disajikan pada Gambar 4.23 berikut ini.
k. November
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan November disajikan pada Gambar 4.24 berikut ini.
l. Desember
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Desember disajikan pada Gambar 4.25 berikut ini.
a. Januari
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Januari
disajikan pada Gambar 4.26 berikut.
b. Februari
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Februari
disajikan pada Gambar 4.27 berikut.
Dari gambar 4.27 terlihat adanya pola yang dibentuk peluang kejadian
bersyarat hujan di atas persentil ke-95 pada SML tertentu. Hujan intensitas 0 – 50
mm cenderung mengalami kenaikan peluang kejadian saat SML meningkat, bahkan
meningkat secara signifikan pada SML >31℃. Sedangkan, hujan intensitas 50,1 –
100 mm mengalami penurunan pola seiring meningkatnya SML. Secara umum,
hujan di atas persentil ke-95 intensitas 50,1 – 100 mm memiliki peluang kejadian
yang paling tinggi di bulan Februari pada hampir seluruh kategori SML. Sedangkan
pada SML >31℃, peluang kejadian hujan di atas persentil ke-95 tertinggi terjadi
pada intensitas 200,1 – 250 mm.
Pada grafik peluang kejadian bias, diketahui bahwa pada suhu <24℃ hingga
27℃ tidak ada kejadian hujan bias karena nilai peluang 0%. Sementara mulai dari
SML 27,1 sampai >31℃ peluang kejadian bias intensitas 0 – 50 mm meningkat
hingga mencapai 98 – 100%.
58
c. Maret
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Maret
disajikan pada Gambar 4.28 berikut.
d. April
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan April disajikan
pada Gambar 4.29 berikut.
e. Mei
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Mei disajikan
pada Gambar 4.30 berikut.
Berdasarkan Gambar 4.30, terlihat adanya pola yang sama dengan bulan
April, yaitu intensitas 0 – 50 mm mengalami penurunan peluang seiring
meningkatnya SML, dan intensitas 50,1 – 100 mm mengalami peningkatan peluang
seiring meningkatnya SML. Saat SML 30,1 – 31℃, intensitas hujan 0 – 50 mm dan
50,1 – 100 mm mengalami perubahan yang signifikan dari SML kategori
sebelumnya. Dari grafik dapat dikatakan bahwa peluang hujan di atas persentil ke-
95 yang mendominasi adalah 0 – 50 dan 50,1 – 100 mm, karena kategori tersebut
memiliki peluang yang sama besar di bulan Mei.
Dari grafik peluang kejadian bias 0 – 50 mm, terlihat bahwa saat SML 25℃
hingga 31℃ peluang kejadian bias mencapai 99 – 100%, sedangkan pada SML
<25℃ dan >31℃ tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95 maupun bias
karena nilai peluang 0%.
61
f. Juni
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Juni disajikan
pada Gambar 4.31 berikut.
Berdasarkan Gambar 4.31 terlihat pola yang masih sama dengan bulan
sebelumnya. Namun, terdapat penambahan peluang kejadian hujan di atas persentil
ke-95 pada intensitas 100,1 – 150 mm yang cukup terlihat pada seluruh kategori
SML. Peluang hujan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi saat SML 25,1 - 26℃
mencapai 73,5%. Sedangkan peluang hujan intensitas 50,1 – 100 mm tertinggi
terjadi saat SML 29,1 – 30℃ mencapai 47,47%. Peluang hujan intensitas 100,1 –
150 mm tertinggi terjadi saat SML bernilai 29,1 – 30℃. Curah hujan 0 – 50 mm
masih mendominasi kejadian hujan di atas persentil ke-95 di bulan Juni, karena
memiliki peluang tertinggi di hampir seluruh kategori SML.
Pada grafik peluang bias, terlihat bahwa saat SML <25,1℃ dan >30℃ tidak
ada kejadian hujan hujan di atas persentil ke-95 maupun bias karena peluang
kejadian bernilai 0%. Sedangkan pada SML 24 – 30℃, peluang kejadian bias
mencapai 99 – 100%,
62
g. Juli
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Juli disajikan
pada Gambar 4.32 berikut.
Berdasarkan Gambar 4.32 terlihat bahwa pola kejadian hujan masih sama
dengan bulan sebelumnya. Tetapi nilai dari setiap intensitas mengalami perubahan
yang signifikan. Pada hujan di atas persentil ke-95 intensitas 0 – 50 mm, peluang
mencapai 60 – 100%, dengan peluang tertinggi terjadi saat SML 24,1 – 25℃. Hujan
intensitas 50,1 – 100 mm memiliki peluang tertinggi saat SML 28,1 – 29℃ yang
hanya mencapai 30,7%. Pada SML <24℃, peluang hujan intensitas 0 – 50 mm
mencapai 100%. Namun, nilai peluang tersebut tidak terjadi pada kategori SML
lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa peluang hujan tertinggi yaitu intensitas 0
– 50 mm, karena memiliki peluang yang paling besar dibandingkan intensitas lain
di semua kategori SML.
Dari grafik peluang kejadian bias, terlihat bahwa SML rendah (<29℃)
memiliki peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm mencapai 99 – 100%,
sedangkan pada SML >29℃ tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95
maupun bias karena nilai peluang 0%.
63
h. Agustus
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Agustus
disajikan pada Gambar 4.33 berikut.
Berdasarkan Gambar 4.33, terlihat pola kejadian hujan di atas persentil ke-
95 dan bias yang sama dengan bulan Juli. Hal yang membedakan adalah tidak ada
kejadian hujan pada SML <24℃. Peluang hujan di atas persentil ke-95 intensitas 0
– 50 mm tertinggi terjadi saat SML 24,1 – 25℃ yang mencapai 94%. Peluang hujan
di atas persentil ke-95 intensitas 50,1 – 100 mm tertinggi terjadi saat SML 28,1 –
29℃ mencapai 36%. Pada SML 28,1 – 29℃ terjadi kejadian hujan di atas persentil
ke-95 dengan intensitas yang bervariasi dibandingkan SML kategori lain. Dapat
terlihat bahwa curah hujan intensitas 0 – 50 mm mendominasi kejadian hujan di
atas persentil ke-95 di bulan Agustus karena memiliki peluang yang besar
dibandingkan intensitas lain di semua kategori SML.
Dari grafik peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm, peluang
tertinggi terjadi pada SML <29℃ mencapai 100%, sedangkan pada SML >29℃
tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95 maupun bias karena nilai peluang
0%.
64
i. September
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan September
disajikan pada Gambar 4.34 berikut.
j. Oktober
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Oktober
disajikan pada Gambar 4.35 berikut.
k. November
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan November
disajikan pada Gambar 4.36 berikut.
Berdasarkan Gambar 4.36 terlihat pola curah hujan yang sangat bervariasi.
Peluang hujan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi saat SML 27,1 – 28℃ mencapai
65%, sedangkan peluang hujan terendah terjadi saat SML 29,1 – 30℃. Peluang
hujan intensitas 50,1 – 100 mm tertinggi terjadi saat SML 26,1 – 27℃ dan terendah
saat SML 27,1 – 28℃. Kejadian hujan di atas persentil ke-95 pada bulan November
didominasi oleh hujan dengan intensitas 0 – 50 mm dan 50,1 – 100 mm karena
memiliki peluang yang besar dibandingkan intensitas lain di semua kategori SML.
Peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi pada
SML >26℃ yang mencapai 95 – 100%, sedangkan pada SML <26℃ tidak ada
kejadian hujan bias karena nilai peluang 0%.
67
l. Desember
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Desember
disajikan pada Gambar 4.37 berikut.
4.2 Pembahasan
Korelasi curah hujan berdasarkan data hujan dan SML bulanan selama
periode 1999 – 2018 yang ditampilkan pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa curah
hujan di Banyuwangi dan SML memiliki korelasi pada rentang 0,4 – 0,7 yang
menunjukkan hubungan yang cukup kuat (menengah). Nilai korelasi positif
menunjukkan adanya perbandingan lurus yaitu saat SML meningkat, terdapat
kemungkinan curah hujan juga meningkat. Begitupula sebaliknya, ketika SML
menurun menyebabkan curah hujan di Banyuwangi menurun. Artinya, 40 – 70%
naik turunnya curah hujan dipengaruhi oleh naik turunnya SML. Enam grid SML
yang memiliki korelasi positif terbesar dengan lokasi penelitian yaitu grid 23, 38,
50, 51, 52 dan 65 merupakan bagian dari Laut Arafura dan Laut Banda. Jika dilihat
dari Lampiran 1 yaitu daftar korelasi curah hujan dengan seluruh grid SML, terlihat
bahwa SML di sekitar 6 grid tersebut memiliki korelasi positif yang cukup besar
juga sehingga dapat dikatakan bahwa SML Laut Arafura dan Laut Banda
memengaruhi curah hujan Banyuwangi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Soetamto (2007) yang menyatakan bahwa curah hujan di timur
pulau Jawa yaitu Banyuwangi dipengaruhi secara kuat (berkorelasi positif sebesar
0,5 – 0,6) oleh SML di wilayah perairan Maluku Tenggara (Laut Banda) dan
sebelah utara Australia (Laut Arafura).
Tabel 4.2 menjelaskan tentang nilai ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 di Banyuwangi. Dari tabel tersebut diketahui bahwa ambang batas
hujan di Banyuwangi berada pada rentang 0 – 70 mm. Berdasarkan kriteria curah
hujan BMKG yang dicantumkan pada Tabel 2.1, ambang batas curah hujan di
Banyuwangi termasuk dalam kategori ringan – lebat. Hal ini dapat dikaitkan dengan
lokasi Banyuwangi yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa yang memiliki
karakteristik iklim cenderung kering. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Soetamto (2007) yang menyebutkan bahwa pola umum curah hujan
rata-rata di Jawa Timur yaitu paling besar di wilayah barat – tengah dan berkurang
secara gradual ke arah timur dan utara.
Secara umum, bulan Desember dan Januari adalah bulan dengan nilai
ambang batas tertinggi hampir di seluruh pos hujan, sedangkan bulan Juni –
69
Oktober memiliki ambang batas terendah. Hal tersebut sesuai dengan pola curah
hujan rata-rata bulanan pada Lampiran 3 yang menjelaskan bulan Desember dan
Januari termasuk dalam musim hujan, sedangkan Juni – Oktober termasuk musim
kemarau. Adanya kesamaan pola tersebut memengaruhi besarnya ambang batas
hujan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fadholi
(2018) yang menyatakan bahwa nilai ambang batas memiliki korelasi yang tinggi
dengan nilai rata-rata bulanan curah hujan. Semakin tinggi rata-rata curah hujan
bulanan, maka semakin tinggi nilai ambang batas. Hasil tersebut juga sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Suryantoro (2013) yang menyatakan bahwa ambang
batas hujan Banyuwangi mengikuti pola curah hujan bulanan dan klimatologisnya.
Dilihat dari distribusi spasial ambang batas di Banyuwangi yang
ditunjukkan oleh Gambar 4.4 sampai 4.15, daerah dengan nilai ambang batas yang
tinggi terjadi di wilayah barat Banyuwangi sedangkan wilayah lainnya memiliki
nilai ambang batas yang lebih rendah. Hal ini diperkuat oleh grafik ambang batas
tertinggi dan terendah pada Gambar 4.1. Pos hujan yang terletak di wilayah barat
adalah pos hujan Bayu Lor, Gunung Raung, Kalisepanjang, dan Songgon.
Berdasarkan ketinggian pos hujan yang digunakan, pos hujan Bayu Lor dan
Songgon terletak di ketinggian >400 di atas permukaan laut (mdpl) dan merupakan
daerah pegunungan. Sedangkan di wilayah timur dan selatan terdapat pos hujan
Alas Buluh dan Tegal Dlimo. Wilayah tersebut berupa dataran rendah dengan
ketinggian <400 mdpl dan berada di wilayah pesisir. Menurut Tjasyono dan Sri
Woro (2012), daerah dengan topografi tinggi terutama di daerah lereng pegunungan
memiliki curah hujan yang tinggi akibat terjadinya hujan orografis. Penelitian yang
dilakukan oleh Supari dkk. (2012) menyatakan hal yang sama bahwa topografi dan
bentuk geografi wilayah menentukan curah hujan yang turun. Intensitas curah hujan
di wilayah pegunungan atau dataran tinggi cenderung lebih tinggi daripada dataran
rendah.
Gambar 4.14 – 4.25 menjelaskan tentang frekuensi kejadian hujan di atas
persentil ke-95 setiap bulan pada kategori SML. Dari grafik tersebut, dapat
diketahui bahwa nilai SML yang sama dapat menghasilkan curah hujan dengan
intensitas yang berbeda. Intensitas curah hujan yang dihasilkan dapat termasuk
70
kategori di atas persentil ke-95 maupun tidak. Hal tersebut dapat terjadi karena
adanya faktor lain seperti kandungan uap air saat kejadian, kecepatan dan arah
angin. Frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95 setiap bulan berkisar 400 –
500 kejadian, sedangkan frekuensi kejadian di bawah persentil ke-95 berkisar 8.000
– 11.000 kejadian tiap bulan selama periode 1999 – 2018. Perbedaan jumlah
frekuensi tersebut memengaruhi nilai peluang hujan di atas persentil ke-95 dan
peluang kejadian bias sehingga menjadi jauh berbeda.
Dari gambar tersebut, frekuensi hujan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi
pada bulan Juli sebanyak 201 kejadian pada SML 29,1 – 30℃, frekuensi hujan
intensitas 50,1 – 100 mm terjadi pada bulan Januari sebanyak 244 kejadian saat
SML 29,1 – 30℃. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh dari
pergerakan semu tahunan matahari yang memengaruhi nilai SML. Pada bulan
Januari, matahari berada di sebelah selatan khatulistiwa dan memiliki sudut datang
yang kecil sehingga menimbulkan pemanasan yang lebih tinggi. Hal tersebut
mengakibatkan penurunan tekanan udara dan mempercepat pertumbuhan awan
konvektif yang menghasilkan curah hujan. Sedangkan pada bulan Juli, matahari
berada di sebelah utara khatulistiwa dan memiliki sudut datang yang besar sehingga
tidak terjadi pemanasan tinggi yang menyebabkan menurunnya tingkat curah hujan.
Frekuensi kejadian hujan di bawah persentil ke-95 memiliki pola yang sama
dengan frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95 yaitu frekuensi teringgi
terjadi saat SML yang sama, kecuali pada bulan Juli dan September yaitu kejadian
bias pada bulan tersebut memiliki frekuensi tertinggi pada nilai SML dibawah
frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95. Hal ini dapat disebabkan karena
bulan tersebut termasuk dalam bulan kering yang berarti SML yang lebih rendah
cenderung menghasilkan hujan dengan intensitas yang kecil (0 – 50 mm).
Pada Gambar 4.26 – 4.37 yang merupakan grafik peluang kejadian di atas
persentil ke-95 terlihat bahwa terdapat kesamaan pola pada musim hujan dan
musim kemarau. Pada bulan November – Maret, peluang terjadinya hujan di atas
persentil ke-95 intensitas 50,1 – 100 mm terbesar terjadi dengan syarat SML 29,1
– 30℃. Pada bulan April – Oktober, peluang hujan intensitas 0 – 50 mm memiliki
tren menurun seiring dengan pertambahan SML. Peluang hujan di atas persentil ke-
71
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang telah dilakukan, maka
diperoleh kesimpulan:
1. Curah hujan di 18 lokasi penelitian di Banyuwangi memiliki korelasi positif
yang kuat dengan SML di grid 23, 38, 50, 51, 52, dan 65 yaitu perairan timur
Indonesia (Laut Banda dan Laut Arafuru) sebesar 0,4 – 0,7.
2. Ambang batas curah hujan harian berdasarkan pesentil ke-95 di Banyuwangi
bervariasi dengan rentang 0 – 70 mm dan termasuk dalam kategori lebat.
Wilayah barat Banyuwangi memiliki ambang batas yang lebih tinggi (30 – 70
mm) dibandingkan wilayah lain. Wilayah timur dan selatan Banyuwangi
memiliki ambang batas rendah (0 – 30 mm). Perbedaan nilai ambang batas
terjadi karena perbedaan nilai rata-rata hujan bulanan dan kondisi topografi di
setiap wilayah.
3. Frekuensi kejadian hujan berdasarkan persentil ke-95 tertinggi pada bulan
November – Maret terjadi saat SML mencapai 29,1 – 30℃ dan pada bulan
April – Oktober terjadi saat SML 26,1 – 28℃. Pada bulan November – Maret,
peluang hujan meningkat seiring peningkatan SML yang semakin tinggi,
sedangkan pada bulan April – Oktober peluang hujan meningkat saat SML
semakin rendah. Kejadian hujan di bawah persentil ke-95 memiliki frekuensi
dan peluang yang sama dengan terjadinya hujan di atas persentil ke-95.
Peluang curah hujan intensitas 0 – 50 mm mencapai 100% di setiap kategori
SML.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan untuk peningkatan di penelitian
berikutnya adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini menggunakan satu parameter pendukung yaitu suhu muka laut.
Penelitian selanjutnya dapat menggunakan parameter tambahan seperti
72
73
kecepatan angin, radiasi matahari, topografi dan ketinggian daerah agar analisis
lebih mendalam.
2. Penelitian selanjutnya dapat membandingkan beberapa metode untuk
menentukan ambang batas yang paling sesuai di suatu wilayah.
3. Penelitian selanjutnya dapat mengaitkan curah hujan dengan fenomena skala
regional atau global seperti El-Nino dan La Nina, MJO, maupun fenomena lain.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, T. R., Sukojo, B. M., Hariyanto, T., Wirasantosa, S., Pranowo, W. S., Mustain,
M., 2015, Model Variasi Harian Suhu Permukaan Laut dari Data Modis dan
In Situ Menggunakan Metoda Parameterisasi Empirik di Samudra Hindia,
Jurnal Segara, Vol. 10, hal. 87-97.
Aldrian, E., 2016, Sistem Peringatan Dini Menghadapi Iklim Ekstrem, Jurnal
Sumberdaya Lahan No. 2, Vol. 10 hal. 79-90.
Aldrian, E., Dwi Susanto, R., 2003, Identification Of Three Dominant Rainfall
Regions Within Indonesia And Their Relationship To Sea Surface
Temperature, International Journal of Climatology: A Journal of the Royal
Meteorological Society, Vol 23, pp. 1435-1452.
Andronikos, E., 2019, Identifikasi Cuaca Terkait Hujan Ekstrim (110.3 mm) di
Nabire, BMKG, Nabire.
Chu, P.-S., Zhao, X., Ruan, Y., Grubbs, M., 2009, Extreme Rainfall Events in The
Hawaiian Islands, Journal of Applied Meteorology and Climatology, Vol.
48, pp. 502-516.
Dias, M. A. S., Dias, J., Carvalho, L. M., Freitas, E. D., Dias, P. L. S., 2013,
Changes in Extreme Daily Rainfall for São Paulo, Brazil, Climatic Change,
Vol. 116, pp. 705-722.
Estiningtyas, W., Ramadhani, F., Aldrian, E., 2007, Analisis Korelasi Curah Hujan
Dan Suhu Permukaan Laut Wilayah Indonesia, Serta Implikasinya Untuk
Prakiraan Curah Hujan (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) (Correlation
74
75
Fadholi, A., 2018, Analysis of the Extreme Rainfall Frequency in Bangka Belitung
Island based on Climate Hazards Group Infra-Red Precipitation with
Stations (CHIRPS) Data, Jurnal Geografi Gea, Vol. 18, pp. 22-32.
Febrianti, N., 2018, Hubungan Pemanasan Global dengan Kondisi Suhu Udara dan
Curah Hujan di Indonesia, LAPAN, Vol. 299.
Habibie, M. N., Nuraini, T. A., 2014, Karakteristik dan Tren Perubahan Suhu
Permukaan Laut di Indonesia Periode 1982-2009, Jurnal meteorologi dan
geofisika, Vol. 15, hal. 37-49.
Halida, M., 2015, Analisis Ambang Batas Curah Hujan Ekstrem Harian
Menggunakan Metode Persentil 95 di Provinsi Kalimantan Barat, Skripsi,
Program Studi Klimatologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, Jakarta.
Haylock, M., Nicholls, N., 2000, Trends in Extreme Rainfall Indices for an Updated
High-Quality Data Set for Australia, 1910–1998, International Journal of
Climatology: A Journal of the Royal Meteorological Society, Vol. 20, pp.
1533-1541.
Hendon, H. H., 2003, Indonesian Rainfall Variability: Impacts of ENSO and Local
Air–Sea Interaction, Journal of Climate, Vol. 16, pp. 1775-1790.
IRI Columbia Edu, NOAA, Optimum Interpolation 1/4 Degree Daily Sea Surface
Temperature Analysis, Version 2
https://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCDC/.OISST/.version
2/.dataset_documentation.html diakses pada 30 Desember 2019.
IRI Columbia Edu, NOAA, Description of the OI. v2 Monthly SST Analysis (v2
indicates version 2)
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.EMC/.CMB/.GL
OBAL/Reyn_SmithOIv2/.monthly/.dataset_documentation.html diakses
pada 29 Desember 2019
Johnston, K., Ver Hoef, J. M., Krivoruchko, K., Lucas, N. 2001, Using ArcGIS
geostatistical analyst, ESRI, Redlands.
Karimah, Y., Wigena, A. H., Soleh, A. M., 2019, Penentuan Nilai Ambang Batas
Sebaran Pareto Terampat dengan Measure of Surprise, Indonesian Journal
of Statistics and Its Applications, Vol. 3, hal. 161-168.
Kurniadi, H., Aprilia, E., Utomo, J. B., Kurniawan, A., Safril, A., 2018,
Perbandingan Metode IDW dan Spline dalam Interpolasi Data Curah Hujan
76
Lau, N.-C., 1997, Interactions Between Global SST Anomalies and the Midlatitude
Atmospheric Circulation, Bulletin of the American Meteorological Society,
Vol. 78, pp. 21-34.
Nuryadi, N., Agustiarini, S., 2018, Analisis Rawan Kekeringan Lahan Padi
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jurnal Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, 5, 29-36.
Runtunuwu, E., Syahbuddin, H., 2007, Perubahan Pola Curah Hujan dan
Dampaknya terhadap Potensi Periode Masa Tanam, Tanah dan Iklim, Vol.
26, hal. 1-12.
Slingo, J., Qu, T., Du, Y., Strachan, J., Meyers, G., 2005, Sea Surface
Temperatureand Its Variability, Oceanography, 18, 50.
Soetamto, 2007, Analisis Korelasi Curah Hujan Dasarian di Propinsi Jawa Timur
dengan Suhu Muka Laut di Indonesia, Magister, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Su, J., Wang, H., Yang, H., Drange, H., Gao, Y., Bentsen, M., 2008, Role of the
Atmospheric and Oceanic Circulation in the Tropical Pacific SST Changes,
Journal of Climate, Vol. 21, pp. 2019-2034.
Sucahyono, D., Pawitan, H., Wigena, A. H., 2009, Model Prakiraan Curah Hujan
Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara dengan Prediktor Suhu Muka Laut
(SML) dan Outgoing Longwave Radiation (OLR), Jurnal Meteorologi dan
Geofisika, Vol. 10.
Supari, Tangang, F., Juneng, L., Aldrian, E., 2017, Observed Changes in Extreme
Temperature and Precipitation Over Indonesia, International Journal of
Climatology, Vol. 37, pp. 1979-1997.
Tjasyono, B., Gernowo, R., Sri Woro, B., Ina, J, 2008, The Character of Rainfall in
the Indonesian Monsoon, The International Symposium on Equatorial
Monsoon System, Yogyakarta.
78
Tjasyono, B., Sri Woro, B. 2012, Meteorologi Indonesia II Awan dan Hujan
Monsun, Jakarta, BMKG.
Walpole, R. E., Myers, R. H., Myers, S. L., Ye, K. 2012, Probability and Statistics
for Engineers and Scientists.
Zhu, Y., Toth, Z. Extreme Weather Events and Their Probabilistic Prediction,
https://www.emc.ncep.noaa.gov/gmb/ens/target/ens/albapr/albapr.html,
Environmental Modeling Center, diakses pada 07 Februari 2020.
Zin, W. Z. W., Jamaludin, S., Deni, S. M., Jemain, A. A., 2010, Recent Changes in
Extreme Rainfall Events in Peninsular Malaysia: 1971–2005, Theoretical
and Applied Climatology, Vol. 99, pp. 303-314.
Kotak Stamet
Trebasa
SML/Pos Alas Bajulma Bayu Glen Gunung Kalisep Kandan Kawah Lijen Pasewar Pesang Songgo Banyuwa Tegal
ngi
la
hujan Buluh ti Lor Cluring Gambor Nevis Raung anjang gan Ijen Jambu an garan Selogiri n Dlimo
1 -0.1883 -0.1140 0.0649 -0.1236 -0.1486 0.0506 0.0850 0.0849 -0.1223 -0.1505 0.0052 -0.2707 -0.1361 -0.1794 -0.0648 -0.1486 -0.0443 -0.0036
3 0.0690 0.0852 0.1651 0.0429 0.0248 0.2267 0.2175 0.2642 -0.0754 0.0800 0.1514 0.0324 0.0402 0.0488 0.0938 0.0645 0.0809 0.2033
4 -0.2429 -0.2124 -0.0440 -0.1663 -0.2274 -0.0261 0.0139 0.0334 -0.2879 -0.1655 -0.0894 -0.2895 -0.2230 -0.2355 -0.1463 -0.2145 -0.2170 -0.0934
5 0.0970 0.1246 0.1886 0.0884 0.0185 0.2739 0.2662 0.2679 0.0401 0.1068 0.2084 0.1154 0.0839 0.1544 0.0801 0.1392 0.1204 0.2961
6 0.3748 0.3917 0.4078 0.3027 0.2574 0.5058 0.4624 0.4819 0.2686 0.3617 0.4538 0.4185 0.3582 0.4399 0.3275 0.4268 0.4292 0.5593
7 0.3605 0.3915 0.4345 0.3197 0.2867 0.5190 0.4955 0.5236 0.2426 0.3712 0.4680 0.4005 0.3947 0.4094 0.3482 0.4232 0.4615 0.5552
8 0.2734 0.3257 0.3851 0.2850 0.2513 0.4639 0.4456 0.4803 0.1906 0.3215 0.3917 0.3188 0.3481 0.3281 0.2738 0.3489 0.4106 0.4858
9 0.1709 0.2362 0.3157 0.2442 0.1984 0.4189 0.4150 0.4377 0.1304 0.2700 0.2879 0.2234 0.2925 0.2433 0.2001 0.2695 0.3497 0.4129
10 0.0873 0.1446 0.2423 0.1926 0.1660 0.3697 0.3816 0.3857 0.0814 0.1719 0.2011 0.1313 0.2478 0.1814 0.1968 0.2070 0.3101 0.3192
11 -0.1627 -0.1154 0.0250 0.0195 -0.0033 0.1138 0.1396 0.1589 -0.0770 -0.0670 -0.0452 -0.1708 0.0371 -0.1046 0.0434 -0.0661 0.0725 0.0396
12 -0.2246 -0.1826 0.0029 -0.0423 -0.0538 0.0456 0.0847 0.1110 -0.1579 -0.1127 -0.0874 -0.2715 -0.0392 -0.1960 0.0050 -0.1564 0.0080 -0.0232
13 -0.1106 -0.0651 0.1575 0.0266 0.0535 0.1316 0.1755 0.1908 -0.0976 0.0405 0.0233 -0.1449 0.0732 -0.0928 0.0421 -0.0545 0.1147 0.0712
14 0.1008 0.1570 0.2575 0.1413 0.0691 0.3376 0.3016 0.3270 0.1678 0.1229 0.2811 0.0984 0.1585 0.1799 0.1574 0.2052 0.2382 0.3406
15 0.2055 0.2344 0.3026 0.2135 0.1496 0.4101 0.3335 0.3708 0.2432 0.2108 0.3485 0.2261 0.2458 0.2904 0.2221 0.3038 0.3167 0.4237
16 0.2021 0.1963 0.2551 0.2031 0.1403 0.4029 0.3361 0.3825 0.1918 0.2125 0.2948 0.2258 0.2311 0.2543 0.1890 0.2709 0.2690 0.4022
17 0.1394 0.1335 0.2142 0.1863 0.0869 0.3743 0.3164 0.3601 0.1737 0.1732 0.2481 0.1710 0.1987 0.2097 0.1391 0.2302 0.2196 0.3580
18 0.3777 0.3795 0.3683 0.3690 0.2853 0.5345 0.4354 0.4740 0.3831 0.3674 0.4357 0.4647 0.4198 0.4768 0.3238 0.4709 0.4732 0.5689
19 0.4512 0.4582 0.4116 0.3872 0.3258 0.5670 0.4679 0.5048 0.4062 0.4113 0.4915 0.5353 0.4623 0.5341 0.3884 0.5218 0.5207 0.6135
79
20 0.4486 0.4679 0.4304 0.3927 0.3462 0.5824 0.4991 0.5306 0.3921 0.4137 0.5055 0.5245 0.4828 0.5204 0.4002 0.5268 0.5296 0.6207
21 0.4290 0.4580 0.4244 0.3900 0.3501 0.5775 0.4992 0.5296 0.3829 0.4146 0.4888 0.5096 0.4752 0.5150 0.3810 0.5203 0.5271 0.6157
22 0.4590 0.4856 0.4383 0.4097 0.3751 0.5941 0.5225 0.5446 0.4009 0.4528 0.5012 0.5437 0.4996 0.5558 0.3970 0.5514 0.5502 0.6433
LAMPIRAN
23 0.4827 0.5067 0.4369 0.4314 0.3905 0.5995 0.5243 0.5453 0.4256 0.4651 0.5059 0.5702 0.5270 0.5875 0.4155 0.5753 0.5683 0.6523
Lampiran 1. Korelasi SML dan CH di tiap titik
24 0.4585 0.4873 0.4090 0.4556 0.4045 0.5832 0.4924 0.5298 0.4388 0.4473 0.4786 0.5465 0.5419 0.5697 0.4047 0.5612 0.5682 0.6418
25 0.4124 0.4441 0.4170 0.4487 0.4057 0.5672 0.4837 0.5362 0.3927 0.4334 0.4570 0.4872 0.5265 0.5191 0.3974 0.5179 0.5567 0.6204
26 0.1828 0.2264 0.3545 0.3071 0.2940 0.4258 0.3802 0.4389 0.1519 0.3179 0.2908 0.2176 0.3745 0.2613 0.2493 0.2880 0.4061 0.4222
27 0.0922 0.1418 0.2535 0.1481 0.0640 0.3720 0.3517 0.3440 0.1917 0.1205 0.2895 0.1168 0.1813 0.1659 0.1737 0.2116 0.2311 0.3448
28 0.1594 0.1862 0.2993 0.1947 0.1162 0.4245 0.3813 0.3819 0.2286 0.1862 0.3339 0.1954 0.2390 0.2431 0.2130 0.2804 0.2837 0.4136
29 0.1655 0.1720 0.2928 0.2089 0.1156 0.4257 0.3929 0.4048 0.2233 0.2065 0.3173 0.2085 0.2486 0.2463 0.1886 0.2804 0.2742 0.4216
30 0.1745 0.1862 0.3100 0.2446 0.1263 0.4457 0.4173 0.4338 0.2446 0.2292 0.3311 0.2272 0.2801 0.2671 0.2029 0.3048 0.2959 0.4415
31 0.2663 0.2746 0.3713 0.3361 0.2423 0.5111 0.4484 0.4726 0.3419 0.3015 0.4057 0.3523 0.3871 0.3634 0.3017 0.3982 0.4289 0.5101
32 0.3291 0.3429 0.3958 0.3518 0.2803 0.5400 0.4657 0.4864 0.3660 0.3324 0.4458 0.4147 0.4209 0.4101 0.3510 0.4393 0.4651 0.5448
33 0.4043 0.4264 0.4181 0.3894 0.3438 0.5835 0.4932 0.5116 0.3999 0.3858 0.4831 0.4902 0.4718 0.4739 0.3918 0.5002 0.5071 0.6022
34 0.4280 0.4516 0.4235 0.4005 0.3593 0.5965 0.5041 0.5227 0.4081 0.4109 0.4863 0.5156 0.4813 0.5081 0.3981 0.5201 0.5258 0.6215
35 0.4593 0.4799 0.4297 0.4179 0.3766 0.5999 0.5160 0.5337 0.4191 0.4439 0.4956 0.5466 0.5053 0.5436 0.4023 0.5455 0.5431 0.6428
36 0.4857 0.5059 0.4264 0.4434 0.3916 0.5927 0.5063 0.5297 0.4401 0.4657 0.5029 0.5770 0.5338 0.5754 0.4064 0.5716 0.5543 0.6504
37 0.5171 0.5361 0.4332 0.4769 0.4342 0.5881 0.4851 0.5264 0.4697 0.4929 0.5169 0.6117 0.5622 0.6169 0.4204 0.6036 0.5809 0.6669
38 0.5268 0.5438 0.4392 0.4854 0.4480 0.5831 0.4749 0.5250 0.4772 0.5020 0.5219 0.6229 0.5677 0.6295 0.4285 0.6118 0.5899 0.6666
40 0.4843 0.5026 0.3831 0.3694 0.3426 0.5384 0.4069 0.4732 0.4279 0.4234 0.5010 0.5529 0.4293 0.5362 0.4108 0.5158 0.5022 0.6020
Kotak Stamet
Trebasa
SML/Pos Alas Bajulma Bayu Glen Gunung Kalisep Kandan Kawah Lijen Pasewar Pesang Songgo Banyuwa Tegal
ngi
la
hujan Buluh ti Lor Cluring Gambor Nevis Raung anjang gan Ijen Jambu an garan Selogiri n Dlimo
41 0.4637 0.4775 0.3804 0.3642 0.3135 0.5587 0.4324 0.4853 0.4139 0.4123 0.4942 0.5350 0.4330 0.5229 0.3989 0.5108 0.4861 0.6071
42 0.4252 0.4373 0.3718 0.3625 0.2869 0.5628 0.4554 0.4989 0.3983 0.3957 0.4729 0.5094 0.4251 0.4940 0.3696 0.4910 0.4615 0.6035
43 0.4188 0.4356 0.3748 0.3754 0.2860 0.5670 0.4646 0.5044 0.3971 0.3942 0.4702 0.5087 0.4331 0.4856 0.3711 0.4914 0.4630 0.6065
44 0.4087 0.4356 0.3943 0.3875 0.3010 0.5756 0.4774 0.5089 0.4013 0.3872 0.4780 0.4998 0.4458 0.4733 0.3943 0.4959 0.4876 0.6077
45 0.3815 0.4132 0.3844 0.3790 0.2855 0.5715 0.4826 0.4943 0.3944 0.3650 0.4663 0.4735 0.4389 0.4439 0.3865 0.4785 0.4695 0.5871
46 0.4234 0.4522 0.3934 0.4086 0.3262 0.5910 0.4888 0.4970 0.4308 0.3968 0.4818 0.5201 0.4748 0.4883 0.4070 0.5152 0.4923 0.6077
47 0.4474 0.4696 0.3965 0.4181 0.3408 0.5936 0.4820 0.4989 0.4434 0.4119 0.4822 0.5438 0.4893 0.5166 0.4103 0.5326 0.5070 0.6189
48 0.4770 0.4932 0.4064 0.4390 0.3655 0.5967 0.4860 0.5089 0.4609 0.4405 0.4936 0.5745 0.5153 0.5498 0.4166 0.5586 0.5325 0.6368
49 0.5019 0.5140 0.4152 0.4571 0.3810 0.5981 0.4890 0.5175 0.4784 0.4632 0.5108 0.6035 0.5345 0.5821 0.4286 0.5841 0.5482 0.6461
50 0.5390 0.5507 0.4304 0.4792 0.4203 0.6032 0.4882 0.5288 0.4934 0.5001 0.5328 0.6424 0.5574 0.6299 0.4417 0.6191 0.5734 0.6708
51 0.5552 0.5638 0.4318 0.4826 0.4335 0.6030 0.4816 0.5284 0.4991 0.5114 0.5385 0.6579 0.5651 0.6499 0.4473 0.6316 0.5852 0.6787
52 0.5679 0.5753 0.4063 0.4870 0.4211 0.6013 0.4642 0.5146 0.5073 0.5086 0.5387 0.6751 0.5719 0.6622 0.4580 0.6443 0.5819 0.6802
53 0.5176 0.5428 0.3695 0.3802 0.3527 0.5294 0.3897 0.4646 0.4551 0.4455 0.4959 0.5932 0.4300 0.5757 0.4025 0.5354 0.5057 0.6140
54 0.5123 0.5328 0.3695 0.3871 0.3326 0.5540 0.4136 0.4794 0.4567 0.4430 0.4974 0.5914 0.4473 0.5734 0.4052 0.5403 0.5072 0.6245
55 0.4970 0.5131 0.3553 0.3965 0.3158 0.5655 0.4294 0.4869 0.4544 0.4344 0.4881 0.5891 0.4549 0.5606 0.3936 0.5361 0.4994 0.6259
56 0.4898 0.5053 0.3489 0.4059 0.3132 0.5683 0.4311 0.4833 0.4509 0.4288 0.4808 0.5881 0.4627 0.5480 0.3892 0.5342 0.4936 0.6229
57 0.4805 0.5045 0.3594 0.4103 0.3155 0.5782 0.4481 0.4857 0.4480 0.4216 0.4835 0.5753 0.4683 0.5343 0.4016 0.5401 0.4965 0.6255
58 0.4484 0.4733 0.3469 0.4018 0.2946 0.5715 0.4522 0.4754 0.4411 0.3986 0.4697 0.5429 0.4548 0.5029 0.3913 0.5199 0.4775 0.6035
59 0.4364 0.4585 0.3406 0.4015 0.2950 0.5672 0.4492 0.4687 0.4405 0.3886 0.4610 0.5283 0.4523 0.4928 0.3907 0.5093 0.4679 0.5872
60 0.4447 0.4611 0.3419 0.4077 0.3109 0.5663 0.4434 0.4690 0.4448 0.3892 0.4609 0.5369 0.4679 0.5030 0.3930 0.5175 0.4778 0.5923
61 0.4687 0.4772 0.3482 0.4265 0.3395 0.5718 0.4456 0.4719 0.4640 0.4105 0.4721 0.5688 0.4961 0.5366 0.3988 0.5439 0.5089 0.6098
62 0.4915 0.4967 0.3598 0.4396 0.3516 0.5758 0.4460 0.4769 0.4795 0.4335 0.4855 0.5970 0.5079 0.5678 0.4058 0.5659 0.5254 0.6200
63 0.5358 0.5410 0.3882 0.4666 0.3874 0.5877 0.4591 0.4983 0.4962 0.4771 0.5146 0.6428 0.5314 0.6198 0.4248 0.6052 0.5485 0.6511
64 0.5564 0.5586 0.4078 0.4743 0.4053 0.5977 0.4700 0.5135 0.5006 0.4951 0.5308 0.6603 0.5463 0.6425 0.4415 0.6227 0.5641 0.6681
65 0.5771 0.5789 0.4048 0.4797 0.4143 0.5999 0.4623 0.5102 0.5063 0.5059 0.5407 0.6812 0.5652 0.6635 0.4628 0.6445 0.5718 0.6781
66 0.5144 0.5526 0.3600 0.3685 0.3351 0.4746 0.3562 0.4471 0.4278 0.4642 0.4686 0.5908 0.3827 0.5778 0.3641 0.5226 0.4773 0.5856
67 0.5102 0.5341 0.3590 0.3818 0.3295 0.5072 0.3928 0.4722 0.4477 0.4546 0.4784 0.5885 0.4108 0.5717 0.3761 0.5316 0.4933 0.6031
68 0.5087 0.5132 0.3388 0.3820 0.3108 0.5335 0.4104 0.4711 0.4548 0.4335 0.4796 0.5820 0.4231 0.5551 0.3733 0.5286 0.4893 0.6039
69 0.4938 0.4971 0.3303 0.3831 0.3007 0.5441 0.4171 0.4705 0.4540 0.4216 0.4725 0.5701 0.4289 0.5380 0.3708 0.5199 0.4767 0.5975
70 0.4619 0.4735 0.3162 0.3683 0.2827 0.5442 0.4148 0.4619 0.4347 0.3994 0.4495 0.5393 0.4172 0.5069 0.3664 0.4993 0.4613 0.5866
71 0.4437 0.4547 0.3001 0.3753 0.2843 0.5353 0.3991 0.4505 0.4311 0.3880 0.4341 0.5245 0.4148 0.4925 0.3557 0.4893 0.4597 0.5735
72 0.4466 0.4538 0.2848 0.3863 0.2967 0.5311 0.3859 0.4400 0.4260 0.3829 0.4271 0.5346 0.4322 0.4968 0.3537 0.4931 0.4622 0.5681
73 0.4752 0.4806 0.2940 0.4108 0.3292 0.5314 0.3848 0.4388 0.4446 0.4023 0.4402 0.5694 0.4687 0.5369 0.3660 0.5257 0.4863 0.5860
74 0.4607 0.4601 0.2775 0.4057 0.3242 0.5252 0.3876 0.4226 0.4482 0.3870 0.4279 0.5617 0.4712 0.5311 0.3568 0.5219 0.4774 0.5762
75 0.4807 0.4806 0.2950 0.4207 0.3377 0.5343 0.3945 0.4287 0.4631 0.4092 0.4419 0.5841 0.4809 0.5565 0.3658 0.5431 0.4904 0.5899
76 0.5141 0.5142 0.3256 0.4453 0.3634 0.5443 0.4077 0.4429 0.4787 0.4433 0.4670 0.6162 0.4950 0.5928 0.3841 0.5737 0.5066 0.6117
77 0.5261 0.5248 0.3563 0.4525 0.3754 0.5604 0.4291 0.4662 0.4782 0.4568 0.4887 0.6242 0.5072 0.6029 0.4066 0.5862 0.5240 0.6283
80
78 0.5640 0.5552 0.3867 0.4574 0.3938 0.5854 0.4526 0.4884 0.4923 0.4853 0.5220 0.6600 0.5347 0.6367 0.4484 0.6177 0.5485 0.6567
81
Lampiran 3. Nilai rata-rata ambang batas hujan harian di atas persentil ke-
95 per pos hujan
Lampiran 4. Grafik hubungan SML dengan curah hujan di tiap pos hujan
Hubungan CH Alas Buluh dengan SML Hubungan CH Bajul Mati dengan SML
kotak 65 kotak 65
300 32 400 32
30 300 30
200
SML (◦C)
SML (◦C)
28 200 28
100 100 26
26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
300 30 30
SML (◦C)
SML (◦C)
400
200 28 28
100 26 200 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
300 30 30
400
SML (◦C)
SML (◦C)
200 28 28
200
100 26 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
30 30
200 200
SML (◦C)
SML (◦C)
28 28
100 100
26 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
84
SML (◦C)
SML (◦C)
200 28 200 28
100 26 100 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
SML (◦C)
300 28
200 28
200
100 26 26
100
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
29 150 29
200
SML (◦C)
SML (◦C)
27 100 27
100
25 50 25
0 23 0 23
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
85
SML (◦C)
SML (◦C)
28 28
200
27
26 200 26
100
25
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
SML (◦C)
28 28
200
27
26 100 26
100
25
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
86