Anda di halaman 1dari 107

SKRIPSI

ANALISIS AMBANG BATAS CURAH HUJAN


BERDASARKAN PERSENTIL KE-95 DI KABUPATEN
BANYUWANGI DAN KAITANNYA DENGAN
SUHU MUKA LAUT PERIODE 1999 – 2018

RAINFALL THRESHOLD ANALYSIS USING 95th PERCENTILE


IN BANYUWANGI AND ITS RELATIONSHIP WITH SEA
SURFACE TEMPERATURE PERIOD 1999-2018

SINDYA NUR RITASARI


21.16.0028

PROGRAM DIPLOMA IV KLIMATOLOGI


SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
TANGERANG SELATAN
2020
SKRIPSI
ANALISIS AMBANG BATAS CURAH HUJAN
BERDASARKAN PERSENTIL KE-95 DI KABUPATEN
BANYUWANGI DAN KAITANNYA DENGAN
SUHU MUKA LAUT PERIODE 1999 – 2018

RAINFALL THRESHOLD ANALYSIS USING 95th PERCENTILE


IN BANYUWANGI AND ITS CORRELATION WITH SEA
SURFACE TEMPERATURE PERIOD 1999-2018

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh derajat


Sarjana Terapan Klimatologi

SINDYA NUR RITASARI


21.16.0028

PROGRAM DIPLOMA IV KLIMATOLOGI


SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
TANGERANG SELATAN
2020

i
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
ANALISIS AMBANG BATAS CURAH HUJAN BERDASARKAN
PERSENTIL KE-95 DI KABUPATEN BANYUWANGI DAN KAITANNYA
DENGAN SUHU MUKA LAUT PERIODE 1999 – 2018

Telah dipersiapkan dan disusun oleh:


SINDYA NUR RITASARI
NPT 21.16.0028

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji dan dinyatakan lulus


pada tanggal 27 Juli 2020
Susunan Tim Penguji
Pembimbing Utama, a.n Ketua Tim Penguji
Ketua Program Studi Klimatologi,

Drs. Soetamto, M.Si Dr. Suwandi, M. Si


NIP. 195505171977091001 NIP. 195605241977031001

Anggota Tim Penguji,

Dr. Indra Gustari, S.T, M.Si


NIP. 197508241997031001

Tangerang Selatan, September 2020


Ketua Program Studi D-IV Ketua Sekolah Tinggi Meteorologi
Klimatologi, Klimatologi dan Geofisika,

Dr. Suwandi, M. Si Dr. I Nyoman Sukanta, S.Si, MT


NIP. 195605241977031001 NIP. 197010171994031001

ii
PERNYATAAN PENGESAHAN

Tugas Akhir dengan judul “Analisis Ambang Batas Curah Hujan


berdasarkan Persentil ke-95 di Kabupaten Banyuwangi dan Kaitannya dengan Suhu
Muka Laut Periode 1999-2018” ini telah diuji oleh Bapak Dr. Agus Safril, MT
(alm). Kami selaku Ketua Program Studi menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada almarhum yang telah melaksanakan
tugas sebagai penguji tugas akhir ini.

Tangerang Selatan, September 2020


Ketua Program Studi Klimatologi,

Dr. Suwandi, M. Si
NIP. 19560524 1977031001

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya, Sindya Nur Ritasari, NPT. 21.16.0028, menyatakan bahwa skripsi


dengan judul “Analisis Ambang Batas Curah Hujan berdasarkan Persentil ke-
95 di Kabupaten Banyuwangi dan Kaitannya dengan Suhu Muka Laut
Periode 1999-2018” merupakan karya asli. Seluruh ide yang ada pada skripsi ini
merupakan hasil penelitian yang saya susun sendiri dan sepanjang pengetahuan
saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini serta disebutkan
dalam daftar pustaka. Selain itu, tidak ada bagian dalam skripsi ini yang telah
digunakan sebelumnya untuk memeroleh gelar Ahli Madya atau sarjana maupun
sertifikasi akademik di suatu Perguruan Tinggi.
Jika pernyataan di atas terbukti sebaliknya, maka saya bersedia menerima
sanksi yang ditetapkan oleh Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika.

Tangerang Selatan, September 2020


Penulis

Sindya Nur Ritasari


NPT. 21.16.0028

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbalalamiin, segala puji penulis panjatkan kepada Allah


Subhanallahu Wataala karena atas rahmat, pertolongan dan kasih sayang-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan, saran,
dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua, Bapak Yoyo Supiyono dan Ibu Iin Sukinah, kakak Aprilia
Nur Widyantika dan adik Afifah Nur Rahmadynda serta Om Eko Delianto
yang selalu memberikan doa yang terbaik, memberikan dukungan moral
maupun material serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi.
2. Ibu Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D selaku Kepala Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
3. Bapak Dr. I Nyoman Sukanta, S.Si., MT, selaku Ketua Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.
4. Bapak Dr. Agus Safril, S.T, M.MT (alm) dan Bapak Dr. Suwandi, M. Si
selaku Ketua Program Studi Sarjana Terapan Klimatologi.
5. Bapak Drs. Soetamto, M.Si selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan dengan sabar serta memberi semangat
untuk penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Bapak Dr. Agus Safril, M.MT (alm) dan Bapak Dr. Indra Gustari S.T, M.Si
selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang
membangun dalam penulisan skripsi ini.
7. Teman-teman Klimatologi 2016, Klimiss, yang senantiasa berbagi suka,
duka, dan drama selama empat tahun menempuh pendidikan.
8. Mbak Dina Whiri Muslihah dan Mbak Siti Najma Nindya Utami yang rela
meluangkan waktunya untuk memberi masukan, bantuan, dan semangat
kepada penulis.

v
9. Teman-teman bimbingan Feri Andri Wijaya, Ghazian Hirzi Hanafi, dan M
Agfi Isra Ramadhan yang telah saling menyemangati dan memberi saran,
kritik, maupun motivasi selama pengerjaan skripsi.
10. Sahabat-sahabat penulis, Ismah Atikah Khairunnisa, Anisa Puteri Erika,
Tetuko Ari, dan Yuhus Sukma yang senantiasa mendengarkan keluh kesah
dan memberi semangat serta masukan selama pengerjaan skripsi.
11. Seluruh pihak yang telah memberikan do’a dan membantu dalam
penyelesaian penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Penulis menyadari atas kekurangan dalam tulisan ini sehingga penulis
berharap kritik dan saran yang membangun demi perbaikan kedepannya. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tangerang Selatan, September 2020

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii


PERNYATAAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii
INTISARI............................................................................................................. xiii
ABSTRACT ......................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3 Batasan Masalah............................................................................ 4
1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 4

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................. 6


2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................... 6
2.2 Landasan Teori ............................................................................ 10
2.2.1 Curah hujan .................................................................... 10
2.2.2 Suhu Muka Laut (SML) ................................................. 12
2.2.3 Hubungan curah hujan dengan SML .............................. 13
2.2.4 Persentil .......................................................................... 14
2.2.5 Probabilitas bersyarat ..................................................... 15

BAB III METODE PENELITIAN........................................................................ 16


3.1 Lokasi Penelitian ......................................................................... 16
3.2 Data dan Alat Penelitian.............................................................. 17
3.2.1 Jenis dan sumber data ..................................................... 17
3.2.2 Kelengkapan data ........................................................... 19
3.2.3 Alat penelitian ................................................................ 21
3.3 Prosedur Penelitian...................................................................... 21
3.3.1 Pengolahan curah hujan harian ....................................... 21
3.3.2 Analisis korelasi ............................................................. 22
3.3.3 Persiapan data SML harian ............................................. 23
3.3.4 Penentuan nilai ambang batas curah hujan ..................... 23
3.3.5 Pemetaan ambang batas curah hujan .............................. 24
3.3.6 Identifikasi kejadian hujan di atas ambang batas ........... 25
3.3.7 Distribusi frekuensi ........................................................ 25
3.3.8 Probabilitas bersyarat ..................................................... 26

vii
3.4 Diagram Alir Penelitian .............................................................. 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 29


4.1 Hasil ............................................................................................ 29
4.1.1 Korelasi curah hujan bulanan dengan SML ................... 29
4.1.2 Ambang batas curah hujan harian .................................. 30
4.1.3 Keadaan SML saat kejadian curah hujan ....................... 43
4.2 Pembahasan .................................................................................... 68

BAB V PENUTUP................................................................................................ 72
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 72
5.2 Saran ............................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 74


LAMPIRAN .......................................................................................................... 79

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria intensitas curah hujan ....................................................... 12


Tabel 3.1 Daftar pos hujan di lokasi penelitian ............................................. 18
Tabel 3.2 Kelengkapan data .......................................................................... 20
Tabel 3.3 Kelengkapan data curah hujan....................................................... 20
Tabel 4.1 Korelasi curah hujan dengan suhu muka laut ................................ 29
Tabel 4.2 Nilai ambang batas curah hujan berdasarkan persentil ke-95 ....... 30

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Proses hujan orografis ................................................................... 11


Gambar 2.2 Rata-rata SML Indonesia periode 1981 – 2010 ............................. 13
Gambar 3.1 Titik lokasi pos pengamatan hujan ................................................ 16
Gambar 3.2 Grid wilayah SML ......................................................................... 19
Gambar 3.3 Diagram alir penelitian .................................................................. 28
Gambar 4.1 Grafik ambang batas curah hujan di atas persentil ke-95 terendah
dan tertinggi ................................................................................... 31
Gambar 4.2 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Januari .............. 32
Gambar 4.3 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Februari ............ 33
Gambar 4.4 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Maret ................ 34
Gambar 4.5 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan April ................. 35
Gambar 4.6 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Mei ................... 36
Gambar 4.7 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Juni ................... 37
Gambar 4.8 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Juli .................... 38
Gambar 4.9 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Agustus............. 39
Gambar 4.10 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan September......... 40
Gambar 4.11 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Oktober............. 41
Gambar 4.12 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan November ......... 42
Gambar 4.13 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Desember ......... 43
Gambar 4.14 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan Januari . 44
Gambar 4.15 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan Februari 45
Gambar 4.16 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan Maret ... 46
Gambar 4.17 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan April .... 47
Gambar 4.18 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan Mei ...... 48
Gambar 4.19 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan Juni ...... 49
Gambar 4.20 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan Juli ....... 50
Gambar 4.21 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan Agustus 51
Gambar 4.22 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan
September ...................................................................................... 52
Gambar 4.23 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan
Oktober .......................................................................................... 53
Gambar 4.24 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan
November ...................................................................................... 54
Gambar 4.25 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan SML bulan
Desember ....................................................................................... 55
Gambar 4.26 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Januari............................................................................................ 56
Gambar 4.27 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Februari.......................................................................................... 57

x
Gambar 4.28 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Maret.............................................................................................. 58
Gambar 4.29 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
April ............................................................................................... 59
Gambar 4.30 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Mei ................................................................................................. 60
Gambar 4.31 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Juni ................................................................................................ 61
Gambar 4.32 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Juli ................................................................................................. 62
Gambar 4.33 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Agustus .......................................................................................... 63
Gambar 4.34 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
September ...................................................................................... 64
Gambar 4.35 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Oktober .......................................................................................... 65
Gambar 4.36 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
November ...................................................................................... 66
Gambar 4.37 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat SML pada bulan
Desember ....................................................................................... 67

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Korelasi SML dan CH di tiap titik ................................................ 79


Lampiran 2. Grafik ambang batas curah hujan di atas persentil ke-95 seluruh
titik pos hujan ................................................................................ 81
Lampiran 3. Nilai rata-rata ambang batas hujan harian di atas persentil ke-95
per pos hujan.................................................................................. 82
Lampiran 4. Grafik hubungan SML dengan curah hujan di tiap pos hujan ....... 83
Lampiran 5. Tabel frekuensi kejadian CH pada SML tertentu .......................... 86
Lampiran 6. Tabel peluang kejadian CH saat SML tertentu.............................. 90

xii
INTISARI

Analisis Ambang Batas Curah Hujan berdasarkan Persentil ke-95 di


Kabupaten Banyuwangi dan Kaitannya dengan Suhu Muka Laut Periode
1998-2018

Oleh
SINDYA NUR RITASARI
21.16.0028

Informasi tentang ambang batas curah hujan dibutuhkan untuk banyak


sektor dalam kehidupan dan dapat dijadikan pertimbangan untuk penyusunan
kebijakan pembangunan baik di bidang pertanian, kelautan, perikanan, maupun
kebencanaan. Salah satu parameter yang berkaitan erat dengan curah hujan adalah
suhu muka laut. Kabupaten Banyuwangi merupakan wilayah yang terletak di ujung
timur Pulau Jawa dan memiliki karakteristik yang khas. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui nilai ambang batas curah hujan di Kabupaten Banyuwangi dan
kaitannya dengan suhu muka laut. Data hujan bulanan di 18 titik penelitian di
Banyuwangi dikorelasikan menggunakan korelasi pearson dengan suhu muka laut
beresolusi 1x1o dengan domain area 107o BT – 140o BT dan 0o – 15o LS. Hasil yang
diperoleh adalah curah hujan di Banyuwangi berkorelasi kuat dengan perairan timur
Indonesia. Data hujan harian dihitung dengan persentil ke-95 untuk menentukan
ambang batas. Hasil yang diperoleh adalah ambang batas curah hujan harian di
Banyuwangi terjadi pada rentang 0 – 70 mm. Ambang batas hujan tinggi terjadi di
wilayah barat Banyuwangi yang berupa pegunungan, sedangkan ambang batas
rendah terjadi di wilayah pesisir timur dan selatan Banyuwangi. Kejadian hujan di
Banyuwangi mengikuti pola musiman. Pada bulan November – Maret, kejadian
hujan didominasi oleh intensitas 50 – 100 mm yang terjadi saat suhu muka laut
berkisar 29,1 – 30℃. Sedangkan pada bulan April – Oktober, kejadian hujan
didominasi oleh intensitas 0 – 50 mm yang terjadi saat suhu muka laut 26,1 – 27℃.

Kata kunci: curah hujan, ambang batas, suhu muka laut, persentil

xiii
ABSTRACT

Rainfall Threshold Analysis Using 95th Percentile in Banyuwangi and Its


Correlation with Sea Surface Temperature Period 1999 – 2018

By
SINDYA NUR RITASARI
21.16.0028

Information about rainfall threshold is needed for many sectors in life and
can be taken into consideration for the development of development policies in the
fields of agriculture, marine, fisheries, and disaster. One parameter that is closely
related to rainfall is sea surface temperature. Banyuwangi Regency is an area
located on the eastern tip of Java Island and has distinctive characteristics. This
study aims to determine the threshold value of extreme rainfall in Banyuwangi and
its relation to sea surface temperature. The monthly rainfall at 18 research points
were correlated using Pearson correlation with sea surface temperature at 1x1o
resolution on the domain area of 107o BT – 140o BT and 0o – 15o LS. The results
obtained are that rainfall in Banyuwangi is strongly correlated with eastern
Indonesian sea specifically Arafura and Banda Sea. Daily rainfall data was
calculated with the 95th percentile to determine the rainfall threshold. Based on
analysis, daily rainfall threshold in Banyuwangi occurring in the range of 0 – 70
mm. The high rainfall threshold occurs in the western region of Banyuwangi in the
form of mountains, while the low threshold occurs in the eastern and southern
coastal areas of Banyuwangi. Rainfall events in Banyuwangi follow seasonal
patterns. In November - March, rainfall events are dominated by intensities of 50 –
100 mm that occur when sea surface temperatures range from 29,1 – 30℃. While
during April – October, rainfall events are dominated by intensities of 0 – 50 mm
which occur when sea surface temperatures are 26,1 – 27℃.

Keywords: rainfall, threshold, sea surface temperature, percentile

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara kepulauan tropis terbesar dengan garis pantai
terpanjang di dunia. Perbandingan wilayah teritorial Indonesia adalah sekitar 62%
laut dibanding 38% daratan. Perbandingan sebesar itu, diyakini bahwa iklim
Indonesia dipengaruhi oleh perairan di wilayah sekitar (Aldrian, 2008). Ahli
meteorologi menganggap bahwa Suhu Muka Laut (SML) adalah kandidat utama
untuk mendorong adanya perubahan sirkulasi pada atmosfer (Lau, 1997; Slingo
dkk., 2005; Su dkk., 2008). Dari aspek meteorologi, Benua Maritim Indonesia
(BMI) memiliki kompleksitas dalam fenomena cuaca dan iklim. Kondisi ini
mendorong proses pembentukan awan yang khas (Tjasyono dkk., 2008).
Berkembangnya isu perubahan iklim akibat pemanasan global mempunyai dampak
signifikan pada kehidupan manusia dan menimbulkan pertanyaan apakah fenomena
tersebut menyebabkan perubahan atmosfer yang signifikan (Habibie dan Nuraini,
2014).
Peningkatan frekuensi kejadian cuaca ekstrem, naiknya suhu permukaan air
laut, serta perubahan jumlah dan pola curah hujan adalah dampak dari perubahan
iklim akibat pemanasan global (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007; Syaifullah,
2015; Aldrian, 2016; Febrianti, 2018). Daerah tropis berada di ambang kritis suhu
muka laut yang mendorong intensitas curah hujan maksimum dan minimum
(Aldrian, 2008). Posisi geografis Indonesia yang terletak di daerah tropis dan
diantara dua samudra membuat curah hujan memiliki variabilitas spasial dan
temporal yang beragam (Estiningtyas dkk., 2007; Sucahyono dkk., 2009).
Peningkatan suhu muka laut dapat mengakibatkan besarnya suplai uap air yang
mendorong terjadinya hujan lebat.
Curah hujan yang tinggi mempunyai potensi menimbulkan bencana seperti
banjir, tanah longsor, serta kerugian yang mampu menghancurkan tatanan
kehidupan sosial bahkan bisa menimbulkan korban jiwa (Karimah dkk., 2019).

1
2

Setiap daerah memiliki intensitas curah hujan yang beragam sehingga ambang batas
curah hujan di setiap daerah berbeda. Hal ini tergantung pada lokasi, ketinggian,
keadaan lokal, dan topografi. Intensitas curah hujan yang sama mungkin
menyebabkan potensi dan dampak yang berbeda di setiap daerah (Tjasyono dan Sri
Woro, 2012). Salah satu contoh daerah dengan keragaman curah hujan yang tinggi
adalah Banyuwangi.
Secara geografis, Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Provinsi Jawa
Timur yang terletak di pesisir pantai paling timur Pulau Jawa (Pemkab
Banyuwangi, 2018). Banyuwangi berbatasan langsung dengan laut maka kondisi
iklim di wilayah Banyuwangi mendapat pengaruh dari lautan. Banyuwangi
memiliki delapan Zona Musim (ZOM) yang berbeda karena keadaan topografi yang
beragam dalam satu kabupaten. Hal tersebut menyebabkan Banyuwangi memiliki
karakteristik wilayah yang khas.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB (2013),
Banyuwangi termasuk dalam kabupaten yang memiliki skor indeks risiko bencana
yang tinggi sebesar 219 dengan peringkat ke 11 dari seluruh kabupaten di
Indonesia. Salah satu bencana yang memiliki tingkat kepaparan yang cukup tinggi
adalah banjir. Berdasarkan data yang dihimpun oleh BNPB, selama periode 1999 –
2018 telah terjadi bencana banjir sebanyak 31 kejadian yang mengakibatkan
kerugian fisik dan materiil bagi manusia. Dilansir dari laman resmi Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi (2018), empat dusun di Desa Alas Malang, Kecamatan
Singojuruh, Banyuwangi, mengalami banjir bandang yang membawa material
lumpur dan kayu, Jumat (22/6). Akibatnya sekitar 300 rumah terdampak, dan 15
rumah rusak berat. Tidak ada laporan korban jiwa dari kasus ini. Bupati
Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, menyatakan bahwa berdasarkan informasi
dari BPBD kejadian banjir ini diakibatkan adanya gerakan tanah (sliding) di lereng
Gunung Raung sisi Banyuwangi, tepatnya dari kawasan Gunung Pendil akibat
curah hujan tinggi.
Salah satu metode penentuan ambang batas curah hujan adalah site specific
threshold seperti penggunaan persentil yang didasarkan dari distribusi statistik
curah hujan harian. Penelitian menggunakan persentil ke-90 dilakukan (Chu dkk.,
3

2009; Supari dkk., 2012), perhitungan persentil ke-95 (Zin dkk., 2010) dan persentil
ke-99 (Chu dkk., 2009; Anagnostopoulou dan Tolika, 2011). Selain itu, terdapat
penelitian lain yang menggunakan persentil ke-90, ke-95, dan ke-99 seperti yang
dilakukan oleh Suryantoro (2013). Dari penelitian yang telah disebutkan, diketahui
bahwa perhitungan keadaan curah hujan berdasarkan persentil menghasilkan nilai
yang lebih fleksibel dan dapat menggambarkan kejadian curah hujan yang
tergantung karakteristik tertentu, seperti iklim dan kondisi wilayah.
Persentil ke-95 dipilih sebagai ambang untuk mewakili peristiwa hujan
lebat, karena dalam rata-rata 365 hari dalam setahun, persentil ke-95 berhubungan
dengan curah hujan tertinggi ke-18 pada skala waktu tahunan (Zin dkk., 2010).
Menurut penelitian Haylock dan Nicholls (2000), persentil ke-95 umumnya
mewakili tiga hingga lima kejadian hujan teratas yang berkontribusi sekitar 20 –
25% dari total curah hujan. Persentil ke-95 mewakili curah hujan yang jauh lebih
tinggi daripada persentil ke-90.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Ambang Batas Curah Hujan berdasarkan
Persentil ke-95 di Kabupaten Banyuwangi dan Kaitannya dengan Suhu Muka Laut
periode 1999-2018”. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat mengenai
informasi ambang batas curah hujan di Banyuwangi. Informasi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mengantisipasi dampak dan risiko dari bencana alam yang
dapat terjadi seperti banjir dan tanah longsor.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana hubungan SML dengan kejadian curah hujan bulanan di setiap pos
pengamatan hujan di Banyuwangi periode 1999 – 2018?
2. Berapa batasan curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 di setiap pos
hujan di Banyuwangi periode 1999 – 2018?
3. Bagaimana kaitan dan peluang kondisi SML dengan curah hujan berdasarkan
persentil ke-95 di Banyuwangi periode 1999 – 2018?
4

1.3 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini terkait
dengan wilayah, data, dan periode waktu yang digunakan.
1. Wilayah penelitian yang digunakan adalah Kabupaten Banyuwangi.
2. Data yang digunakan adalah data curah hujan harian periode 1999 – 2018. Data
yang kosong dihilangkan dan tidak digunakan. Data SML yang digunakan
berasal dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration)
dengan resolusi temporal harian dan bulanan.
3. Analisis yang dilakukan adalah analisis statistik tanpa melihat kondisi dinamis
suhu muka laut dan curah hujan pada periode penelitian.
4. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perhitungan persentil ke-95
dan perhitungan probabilitas kejadian curah hujan.
5. Penelitian ini hanya membahas dampak suhu muka laut terhadap curah hujan
tanpa ada time lag (tenggang waktu).

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui hubungan SML dengan curah hujan di setiap pos pengamatan
hujan di Banyuwangi periode 1999 – 2018.
2. Mengetahui nilai ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95
di Kabupaten Banyuwangi periode 1999 – 2018.
3. Mengetahui kaitan dan peluang kondisi suhu muka laut saat terjadi kejadian
curah hujan berdasarkan persentil ke-95 di Banyuwangi periode 1999 – 2018.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat secara akademis dari hasil penelitian ini adalah memberikan
wawasan dan pemahaman lebih lanjut mengenai ambang batas curah hujan harian
secara umum dan di Banyuwangi khususnya. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan
sebagai referensi mengenai karakteristik suhu muka laut saat terjadinya kejadian
hujan tinggi berdasarkan persentil ke-95.
5

Manfaat secara praktis dari hasil penelitian ini adalah peta persebaran curah
hujan berdasarkan persentil ke-95 di Banyuwangi pada masing-masing bulan
sehingga lebih mudah untuk dipahami oleh masyarakat untuk kemudian dapat
diaplikasikan pada kegiatan mitigasi bencana yang dapat diakibatkan curah hujan
tinggi. Selain itu, dapat menjadi rekomendasi bagi operasional Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) atau pihak yang berwenang dalam bahan
masukan untuk penelitian selanjutnya dalam menentukan ambang batas curah hujan
harian di suatu wilayah menggunakan metode persentil ke-95 atau metode yang
lainnya.
BAB II
LANDASAN TEORI

Dasar teori yang digunakan dalam bab ini adalah tinjauan pustaka dan
landasan teori. Tinjauan pustaka berisi tentang hasil dari penelitian sebelumnya
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Landasan teori berisi tentang teori-
teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi curah hujan, SML, hubungan
curah hujan dengan SML, dan persentil.

2.1 Tinjauan Pustaka


Penelitian yang dilakukan oleh Anagnostopoulou dan Tolika (2011) yaitu
perbandingan metode penentuan ambang batas kejadian curah hujan yang dikatakan
ekstrem di Eropa. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah parametrik
dan non-parametrik. Metode parametrik dilakukan dengan perhitungan Peak Over
Threshold (POT) yang terdiri dari mean residual life test (MRL), threshold choice
(TC) test, dan dispersion index (DI) test. Metode non-parametrik dilakukan dengan
empat indeks persentil, yaitu pq95 (jumlah hari hujan persentil ke-95 per tahun),
pq99 (jumlah hari hujan persentil ke-99 per tahun), lp95 (jumlah hari hujan persentil
ke-95 seluruh data), lp99 (jumlah hari hujan persentil ke-99 seluruh data). Untuk
menentukan metode penentuan threshold curah hujan ekstrem, terdapat dua asumsi
yang digunakan yaitu berdasarkan frekuensi dan besaran nilai curah hujan. Hasil
penelitian ini adalah metode yang paling cocok untuk penentuan curah hujan
ekstrem di wilayah Eropa. Metode tersebut adalah gabungan dari tiga pendekatan
parametrik, yang disebut dengan combined POT method (CPOT) dengan efisiensi
83% di seluruh stasiun, persentil ke-99 (baik lp99 maupun pq99) dengan efisiensi
77% di seluruh stasiun, dan uji DI sebesar 63%.
Penelitian yang dilakukan Supari dkk. (2012) yaitu menganalisis pola
keruangan dan kecenderungan perubahan terhadap waktu dari kejadian hujan
ekstrem. Penelitian dilakukan di Pulau Jawa yang berfokus pada Provinsi Jawa
Timur dengan memanfaatkan data harian periode 1981 – 2010. Untuk mendapatkan
karakteristik spasio temporal, dilakukan dengan membandingkan site specific

6
7

threshold (persentil 90, periode ulang 1, 5, dan 25 tahun), indikator ekstrem yang
disarankan WMO seperti R20mm, R50mm, R90p, CWD, RX5d, SDII, RTOT,
dengan ambang batas BMKG yaitu 100 mm/hari. Dari hasil penelitian ini, ambang
batas yang ditetapkan BMKG dapat digunakan karena berhubungan kuat dengan
kejadian bencana hidrometeorologi. Berdasarkan indeks ekstrem yaitu CWD (hari
hujan berturut-turut), RTOT (jumlah curah hujan tahunan), dan R20mm, intensitas
dan frekuensi curah hujan ekstrem sangat dipengaruhi oleh ketinggian. Pada daerah
pegunungan, intensitas curah hujan tahunan mencapai >3000 mm, sedangkan
daerah dataran rendah (mendekati pantai) intensitas curah hujan tahunan tidak
mencapai 1500 mm. Dari analisis tersebut, didapatkan bahwa hujan yang terjadi di
Jawa Timur termasuk dalam hujan orografik. Analisis tingkat keparahan curah
hujan menghasilkan bahwa metode persentil ke-90 dan ambang batas tetap di atas
50 mm dapat digunakan untuk menghitung tingkat keparahan kejadian curah hujan
ekstrem.
Fadholi (2018) melakukan penelitian tentang persebaran frekuensi kejadian
curah hujan ekstrem di Kepulauan Bangka Belitung dengan menggunakan beberapa
metode, yaitu ambang batas tetap sesuai kriteria BMKG sebesar 50 mm, persentil
ke-99, nilai ekstrem berdasar kuartil, dan POT. Data yang digunakan dalam
penelitian Fadholi adalah data CHIRPS harian tahun 1981 – 2016. Hasil yang
didapatkan berupa nilai ambang batas ekstrem dengan metode persentil, kuartil, dan
POT memiliki pola yang mirip. Sedangkan, pola distribusi frekuensi kejadian nilai
ekstrem metode POT mirip dengan pola dengan metode persentil. Berdasarkan
analisis distribusi frekuensi kejadian hujan terlihat bahwa batas nilai ekstrem
dengan metode persentil sangat berkorelasi dengan nilai rata-ratanya, sehingga
diketahui bahwa wilayah yang memiliki batas nilai ekstrem tertinggi merupakan
wilayah dengan tingkat curah hujan bulanan atau tahunan paling tinggi atau
kebasahan paling tinggi.
Suryantoro (2013) meneliti tentang keterkaitan fenomena pemanasan global
dengan kejadian ekstrem hujan di Ciamis, Cilacap, Banyuwangi, Solok, dan
Lampung. Analisis yang dilakukan adalah analisis frekuensi kejadian, intensitas,
dan akumulasi hujan ekstrem bulanan periode Januari 1901 – Desember 2002.
8

Kriteria utama untuk menentukan nilai ambang batas curah hujan ekstrem adalah
persentil ke-90 (P90), persentil ke-95 (P95), dan persentil ke-99 (P99). Hasil
penelitian ini menunjukkan Banyuwangi memiliki pola curah hujan monsunal.
Nilai ambang batas ekstrem P90 lebih besar dari 162,6%. Jumlah kejadian ekstrem
hujan di Banyuwangi berdasar P90 ada 116 kejadian. Nilai ambang ekstrem hujan
di Banyuwangi secara umum mengikuti pola nilai maksimum akumulasi hujan
sentenial (rentang ratusan tahun, 1901 – 2010) maupun klimatologisnya.
Penelitian tentang hubungan SML dengan curah hujan di Cilacap serta
melihat implikasinya terhadap prakiraan curah hujan dilakukan oleh Estiningtyas
dkk. (2007) pada periode 1988 – 2006. Metode yang dilakukan adalah analisis
korelasi spasial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari
zona SML dan musim yang menyebabkan tingkat korelasi yang berbeda. Korelasi
positif menunjukkan bahwa peningkatan SML pada zona tersebut berkaitan dengan
meningkatnya curah hujan pada bulan yang bersangkutan. Curah hujan pada bulan
Januari – Desember menunjukkan korelasi positif berkisar antara 0,30 hingga 0,50
dengan area SML yang beragam. Korelasi positif tertinggi terjadi pada bulan Maret
dan Juli. Hasil prakiraan hujan bulanan periode Januari hingga Desember 2007
mengindikasikan pola curah hujan yang tidak jauh berbeda dengan rata-rata selama
19 tahun dengan jeluk hujan <100 mm/bulan. Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa suhu muka laut wilayah Indonesia dapat digunakan sebagai indikator untuk
menentukan kondisi curah hujan di suatu wilayah atau kabupaten di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Dias dkk. (2013) tentang perubahan curah
hujan ekstrem di Sao Paulo, Brazil. Data yang digunakan adalah data curah hujan
harian periode 1931 – 2010. Indeks iklim yang digunakan pada penelitian ini adalah
PDO (Pacific Decadal Oscillation Index), NAO (North Atlantic Oscillation), AMC
(Atlantic Meridional Circulation Index), ENSO (Multivariate ENSO Index),
LISAM (The Large-scale Index for South America Monsoon), dan SST (Sea
Surface Temperature). Ambang batas yang digunakan dalam perhitungan curah
hujan ekstrem adalah persentil ke-80, ke-95, ke-99, dan distribusi GEV. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa periode musim hujan di Sao Paulo adalah bulan
Oktober – Maret. Sedangkan periode musim kemarau adalah bulan April –
9

September. Berdasarkan kurva PDF (Probability Density Function) terjadi


peningkatan curah hujan harian sebesar 4 mm/hari. Pada musim kemarau, indeks
iklim yang berkorelasi tinggi dengan ambang batas persentil adalah indeks PDO,
NAO, dan LISAM. Pada musim hujan, curah hujan harian berdasarkan persentil ke-
95 memiliki hubungan yang tinggi dengan SST, PDO, NAO, dan LISAM yang
mencapai 67%. Nilai SST yang lebih tinggi membuat curah hujan meningkat karena
kadar air yang lebih tinggi yang dibawa oleh angin laut SST yang dekat dengan
garis pantai Samudra Atlantik dekat MASP (Metropolitan Area of Sao Paulo)
menunjukkan tren linier yang signifikan selama periode yang sama dari data curah
hujan (1933 – 2010) dengan modulasi multidekadal. SST lokal terkait dengan tren
ambang curah hujan harian, terutama di musim hujan. Indeks iklim menjelaskan
85% dari varian yang diamati dari ambang batas ekstrem di musim kemarau
sementara porsi yang lebih kecil dari varian ini dijelaskan pada musim hujan,
terutama untuk kasus-kasus paling ekstrem dari 99% persentil akumulasi curah
hujan harian.
Penelitian yang dilakukan oleh Streten (1983) yaitu mengetahui
karakteristik suhu muka laut di wilayah Australia saat tahun-tahun curah hujan
sangat tinggi dan rendah di seluruh wilayah Australia. Penelitian dilakukan pada
periode 1950 – 1969 di beberapa wilayah perairan yaitu perairan Australia, dan
perairan Pasifik Selatan bagian timur. Periode yang diteliti secara lanjut pada
penelitian ini adalah tahun 1957, 1961, dan 1965 sebagai tahun kering, dan tahun
1950, 1955, dan 1968 sebagai tahun basah. Hasil yang didapatkan adalah curah
hujan tahunan yang bernilai sangat rendah berhubungan kuat dengan kondisi SML
yang dingin di daerah lintang rendah di wilayah Australia. Sedangkan curah hujan
tahunan yang sangat tinggi berhubungan kuat dengan kondisi SML yang hangat,
yang membentang dari lintang rendah hingga menengah.
Soetamto (2007) melakukan penelitian tentang korelasi SML di perairan
Indonesia dengan curah hujan dasarian di Provinsi Jawa Timur. Data yang
digunakan adalah data TRMM dan observasi dari 12 lokasi penelitian. Penelitian
ini membagi Jawa Timur menjadi 4 region berdasarkan kategori curah hujan.
Kabupaten Banyuwangi termasuk dalam region 1 (paling kering) dan region 2 (agak
10

kering). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah curah hujan di Jawa Timur
berkorelasi dengan SML di perairan Indonesia dengan pola berkorelasi positif
dengan perairan sebelah timur – selatan Indonesia dan berkorelasi negatif dengan
SML perairan sebelah utara – barat Indonesia.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Curah hujan
Berdasarkan definisi BMKG, curah hujan dalam satuan milimeter (mm)
merupakan ukuran air hujan yang jatuh pada tempat yang datar dengan asumsi tidak
menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir pada tempat yang datar seluas 1 m2,
yang ekuivalen dengan volume air sebanyak 1 liter (BMKG, 2019). Menurut
Aldrian dan Dwi Susanto (2003), terdapat 3 (tiga) jenis pola curah hujan di
Indonesia, yaitu:
a. Pola Hujan Monsunal
Suatu daerah dikatakan memiliki pola hujan monsunal apabila memiliki
perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan musim kemarau. Kurva curah
hujan tahunannya hanya memiliki satu puncak. Umumnya, curah hujan minimum
terjadi pada bulan Juni, Juli, atau Agustus. Wilayah yang memiliki pola hujan ini
oleh BMKG disebut Zona Musim (ZOM).
b. Pola Hujan Ekuatorial
Wilayah yang memiliki pola hujan ekuatorial mendapatkan distribusi curah
hujan yang banyak sepanjang tahunnya. Kurva distribusi curah hujan memiliki dua
puncak, yang menunjukkan bahwa sepanjang tahun hampir terjadi musim hujan.
Tipe hujan ini dimiliki oleh daerah di sekitar ekuator, dengan curah hujan
maksimum terjadi setelah kedudukan matahari tepat di atas ekuator (ekuinoks).
c. Pola Hujan Lokal
Pola hujan lokal dimiliki oleh daerah yang curah hujannya lebih banyak
dipengaruhi oleh karakteristik lokalnya. Walaupun sama-sama memiliki satu
puncak dalam kurva curah hujan, namun bentuk pola hujan lokal berlawanan
dengan pola monsunal.
11

Secara umum, terdapat tiga jenis hujan yaitu hujan konveksi, hujan
orografis, dan hujan konvergensi (Tjasyono dan Sri Woro, 2012).
a. Hujan konveksi
Diakibatkan adanya pemanasan radiasi matahari yang menyebabkan udara
permukaan memuai dan dipaksa naik ke atas. Pada keadaan atmosfer yang lembap,
udara permukaan yang naik akan mengalami pengembunan. Gerakan vertikal udara
lembap dengan uap air skala besar yang mengalami pendinginan dengan cepat dapat
menyebabkan awan Cb (Cumulonimbus). Awan Cb menghasilkan hujan deras
dengan cakupan daerah yang kecil dengan waktu yang tidak terlalu lama (showers).
b. Hujan orografis
Hujan yang terbentuk akibat kondisi udara terdesak naik pada pegunungan.
Uap air sebagian besar terletak pada lapisan atmosfer bawah, sehingga hujan
orografis yang lebat diakibatkan dari udara yang dipaksa naik oleh efek blokade
(rintangan) bentuk tanah atau pegunungan. Pada lereng di atas angin (windward)
banyak terjadi hujan, sedangkan pada lereng di bawah angin (leeward) udara akan
mengalami pemanasan dengan sifat kering, daerah pada lereng ini disebut daerah
bayangan hujan (rain shadow). Gambar 2.1 menggambarkan proses hujan
orografis terjadi di daerah pegunungan.

Gambar 2.1 Proses hujan orografis


(Sumber: Tjasyono dan Sri Woro, 2012)

c. Hujan konvergensi dan frontal


Hujan yang terbentuk akibat pertemuan dua massa udara dengan suhu dan
massa jenis yang berbeda menyebabkan terbentuknya awan front (Tjasyono, 2004).
12

Secara diurnal, curah hujan sangat dipengaruhi oleh sirkulasi harian. Intensitas
curah hujan merupakan ukuran jumlah hujan per satuan waktu tertentu selama hujan
berlangsung. Tabel 2.1 menunjukkan intensitas curah hujan menurut BMKG yang
dibagi menjadi 5 kategori, yaitu:
Tabel 2.1 Kriteria intensitas curah hujan harian
Intensitas hujan
Kategori
(mm/hari)
Hujan sangat ringan 0–5
Hujan ringan 5 – 20
Hujan sedang 20 – 50
Hujan lebat 50,1 – 100
Hujan sangat lebat >100
Sumber: BMKG, 2019

2.2.2 Suhu Muka Laut (SML)


Definisi Suhu Muka Laut (Sea Surface Temperature) atau Suhu Permukaan
Laut menurut NOAA diartikan sebagai suhu air yang terdapat di permukaan laut.
SML di perairan Indonesia adalah faktor utama yang memengaruhi kondisi
atmosfer yaitu sebagai indeks banyaknya uap air untuk pembentukan awan di
atmosfer (Slingo dkk., 2005; Sucahyono dan Ribudiyanto, 2013). Variasi diurnal
SML utamanya tergantung pada kecepatan angin dan radiasi matahari, sehingga
amplitudo SML diurnal dapat diperkirakan dari data meteorologi (Adi dkk., 2015).
Pola SML di Indonesia secara umum mengikuti gerak tahunan matahari.
SML di Samudra Hindia (kecuali sebelah barat Sumatera Barat, Sumatera Utara,
dan Nangroe Aceh Darussalam) mempunyai rentang perubahan SML yang cukup
besar yaitu minimum berkisar 26,0° C pada bulan Agustus hingga maksimum
berkisar 31,5° C pada bulan Februari – Maret. Wilayah perairan lainnya umumnya
mempunyai rentang perubahan lebih kecil yaitu berkisar 29,0° C hingga 31,5° C
dan waktu terjadinya minimum serta maksimumnya tidak sama disetiap perairan
(Sucahyono dan Ribudiyanto, 2013).
13

Dilihat pada periode Desember, Januari, dan Februari (DJF), SML berkisar
antara 27,2 – 31,2°C. Suhu terendah terjadi di Laut Natuna Utara yaitu mencapai
24,9°C sedangkan tertinggi terjadi di Laut Timor yaitu mencapai 31,5°C. Pada
bulan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) yang bertepatan dengan periode Muson Timur,
wilayah Belahan Bumi Selatan (BBS) lebih dingin dibandingkan dengan Belahan
Bumi Utara (BBU). Intensitas cahaya matahari saat itu lebih dominan di BBU
sehingga kondisi atmosfer cenderung lebih hangat, hal ini diikuti oleh
menghangatnya SML di BBU (Habibie dan Nuraini, 2014).
Secara umum dari tahun 1981 – 2012, SML di wilayah Indonesia
mengalami tren peningkatan suhu sekitar 0,28°C (Putra dkk., 2019). Hal ini dapat
berdampak pada jumlah curah hujan di Indonesia. Pada Gambar 2.2 terlihat bahwa
rata-rata normal (periode 1981 – 2010) SML di Indonesia memiliki nilai yang
cukup tinggi yaitu berkisar 28 – 29,5oC.

Gambar 2.2 Rata-rata SML Indonesia periode 1981 – 2010


(Sumber: https://extreme.kishou.go.jp/itacs5/)

2.2.3 Hubungan curah hujan dengan SML


Menurut Hendon (2003), curah hujan di Indonesia berkorelasi kuat dengan
SML lokal dan Pasifik. SML yang lebih dingin dari SML lokal normal menjadi
acuan untuk adanya peningkatan tekanan permukaan sehingga mengurangi curah
14

hujan. Pemanasan SML menunjukkan adanya peningkatan energi di laut yang


berbanding lurus dengan tingkat penguapan di atmosfer, hal ini menyebabkan
naiknya tingkat curah hujan. Nilai SML di Indonesia berada di nilai kritis, yaitu
29,6oC. Hal tersebut membuat dampak pemanasan global yang mungkin terjadi
tidak pada kenaikan SML tetapi lebih berdampak pada peningkatan suhu di daratan
(Aldrian, 2008). Tingkat konveksi yang tinggi akan menimbulkan hujan, hal ini
dikarenakan suhu muka laut yang hangat (Awaludin, 2011). Berdasarkan analisis
yang dilakukan oleh Andronikos (2019) pada kejadian curah hujan ekstrem di
Nabire terdapat hubungan antara intensitas curah hujan ekstrem dengan SML yang
saat itu cukup hangat berkisar 27 – 30oC.
Penelitian Soetamto (2007) menunjukkan adanya kecenderungan hujan
akan bertambah di wilayah Jawa Timur jika SML di sebagian wilayah timur dan
selatan Indonesia dalam keadaan panas. Begitupun akan terjadi sebaliknya, ketika
nilai SML rendah maka curah hujan di wilayah Jawa Timur akan berkurang. Siklus
SML musiman terbesar terjadi di Laut Timor, Laut Arafura, Laut Banda, dan Laut
Cina Selatan, dengan amplitudo antar puncak SML melebihi 4°C. Amplitudo ini
jauh lebih besar daripada perairan di sekitar Pasifik barat dan Samudra Hindia
bagian timur, dimana amplitudo kurang dari 1,5°C.

2.2.4 Persentil
Persentil adalah nilai yang membagi distribusi menjadi 100 bagian yang
sama. Oleh karena itu, fungsi persentil adalah menentukan nilai batas tiap satu
persen dalam distribusi yang dipersoalkan. Teknik ini diterapkan jika kelompok
atau distribusi data dibagi menjadi 100 bagian yang sama, untuk selanjutnya
menentukan batas tiap satu persen dalam distribusi dimaksud. Dalam statistik
dikenal ada 99 nilai persentil yakni; persentil 1 (P1), persentil 2 (P2), persentil ke 3
(P3) dan seterusnya sampai dengan persentil ke 99 atau P99. Asumsi teknik
pengukuran persentil data yang diperoleh dari hasil pengukuran dalam bentuk
numerik (angka) dan lazimnya setingkat skala interval (Sunyoto, 2016), yang
disajikan dalam persamaan berikut ini.
15

𝑖 ( 𝑛 + 1)
𝑃𝑖 = (2.1)
100
Keterangan:
Pi : persentil ke-i
N : panjang data

Hal ini mengacu pada WMO (2009) yang menyatakan bahwa perhitungan
hujan ekstrem didasarkan pada ambang batas persentil yang ditetapkan untuk
menilai ekstrem sedang yang biasanya terjadi beberapa kali setiap tahun, bukan
peristiwa cuaca yang berdampak tinggi seperti sekali dalam satu dekade. Ambang
batas curah hujan ekstrem berbasis persentil (site specific threshold) lebih mewakili
kejadian atmosfer, bisa dibilang lebih bermakna dan dapat diterapkan jika terdapat
data pengamatan yang memadai. Selain itu, ambang batas berbasis persentil dapat
memberikan informasi tidak langsung yang berguna serta relevan dengan studi
dampak dan adaptasi.

2.2.5 Probabilitas bersyarat


Probabilitas merupakan cara untuk mengungkapkan keyakinan atau
kepercayaan bahwa suatu kejadian akan terjadi atau telah terjadi. Probabilitas suatu
kejadian berupa angka yang menunjukkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian.
Nilainya di antara 0 (kejadian yang mustahil atau tidak mungkin terjadi) dan 1
(kejadian yang pasti terjadi atau sesuatu yang telah terjadi) (Wilks, 2011).
Probabilitas suatu peristiwa E1 terjadi ketika diketahui bahwa beberapa
peristiwa E2 telah terjadi disebut probabilitas bersyarat dan dilambangkan dengan
P (E1 | E2). Simbol P (E1 | E2) biasanya dibaca "probabilitas bahwa E1 terjadi
mengingat E2 terjadi" atau hanya "probabilitas E2, mengingat E1" (Walpole dkk.,
2012).
BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam


pengumpulan, pengolahan, dan analisis data untuk menyelesaikan suatu masalah.
Terdapat beberapa poin yang akan dijelaskan pada bab ini yaitu lokasi penelitian,
data yang digunakan, prosedur penelitian yang akan dilakukan, dan diagram alir
penelitian.

3.1 Lokasi Penelitian


Peta lokasi penelitian dan titik pos hujan yang digunakan pada penelitian ini
ditampilkan pada Gambar 3.1 seperti berikut.

Gambar 3.1 Titik lokasi pos pengamatan hujan

16
17

Penelitian dilakukan di Kabupaten Banyuwangi yang terletak di 7° 43’ – 8°


46’ Lintang Selatan dan 113° 53’ – 114° 38’ Bujur Timur. Banyuwangi memiliki
luas sebesar 5.782,50 km2 dan berada di ujung timur Pulau Jawa. Batas-batas
kabupaten di sebelah Utara adalah Kabupaten Situbondo, sebelah Timur adalah
Selat Bali, sebelah Selatan adalah Samudra Indonesia dan sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso.
Banyuwangi memiliki topografi yang beragam. Bagian barat dan utara
umumnya merupakan pegunungan dan bagian selatan sebagian besar merupakan
dataran rendah. Tingkat kemiringan rata-rata pada wilayah bagian barat dan utara
40°, dengan rata-rata curah hujan lebih tinggi bila dibanding dengan bagian wilayah
lainnya (Pemkab Banyuwangi, 2019). Adapun karakteristik iklim Banyuwangi
menurut penelitian yang dilakukan Nuryadi dan Agustiarini (2018), Banyuwangi
terbagi menjadi 9 tipe iklim Oldeman, yaitu tipe iklim B1, B2, C1, C2, C3, D2, D3,
D4, dan E. Berdasarkan kondisi tersebut bagian barat Banyuwangi cenderung
iklimnya lebih basah dibandingkan bagian timur.

3.2 Data dan Alat Penelitian


3.2.1 Jenis dan sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Data Curah Hujan
Data curah hujan yang digunakan adalah data observasi curah hujan harian
dari alat penakar hujan. Pada stasiun meteorologi curah hujan ditakar setiap tiga
jam sekali, sedangkan pada pos hujan ditakar hanya satu kali sehari yaitu pada pukul
00.00 UTC. Penentuan pos hujan yang digunakan dalam penelitian ini tergantung
dari ketersediaan, kelengkapan, serta distribusi data. Sehingga didapatkan data dari
pos hujan yang tersebar secara merata di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini,
penulis tidak melakukan pengisian data kosong untuk menghindari adanya
kesalahan pada hasil perhitungan.
Keterangan lokasi serta elevasi setiap pos hujan yang digunakan dalam
penelitian ini dijelaskan pada Tabel 3.1.
18

Tabel 3.1 Daftar pos hujan di lokasi penelitian


No Pos Hujan Lintang Bujur Elevasi (m)
1 Alas Buluh -8,0098 114,4069 42
2 Bajulmati -7,9266 114,3863 49
3 Bayu Lor -8,1875 114,1869 610
4 Cluring -8,4378 114,2002 80
5 Gambor -8,3367 114,2431 157
6 Glen Nevis -8,3148 113,9723 417
7 Gunung Raung -8,2583 114,0198 650
8 Kalisepanjang -8,2992 114,0771 345
9 Kandangan -8,5058 113,9867 17
10 Kawah Ijen -8,0650 114,2369 2212
11 Lijen Jambu -8,1683 114,2517 600
12 Pasewaran -7,9800 114,2400 538
13 Pesanggaran -8,5617 114,1003 51
14 Selogiri -8,0900 114,3500 423
15 Songgon -8,23 114,19 423
16 Stamet Banyuwangi -8,2103 114,3694 52
17 Tegal Dlimo -8,5088 114,2767 56
18 Trebasala -8,3956 114,0031 260
Sumber: Stasiun Klimatologi Karangploso, Malang

b. Data SML
Penelitian ini menggunakan dua jenis data sekunder yaitu data SML harian
dan bulanan. Kedua data ini bersumber dari NOAA. Data harian berupa data satelit
yang menggunakan sensor Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR)
versi 2 dan dapat diunduh dari IRI Data Library dengan alamat website
https://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCDC/.OISST/.version2/.AVH
RR/. AVHRR merupakan sensor untuk mendapatkan data SML yang memiliki
resolusi spasial 0,25o x 0,25o dan resolusi temporal satu hari. Data ini tersedia dari
periode September 1981 – sekarang. Data bulanan berupa data turunan dari
interpolasi optimal mingguan versi 2 dari harian menjadi bulanan. Data ini memiliki
resolusi spasial 1o x 1o dan resolusi temporal satu bulan. Data suhu muka laut
bulanan ini dapat diunduh dengan alamat website
19

http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.EMC/.CMB/.GLOBAL/.
Reyn_SmithOIv2/.monthly/.
Domain lokasi penelitian yang digunakan adalah wilayah selatan Pulau
Jawa hingga Papua, dengan koordinat 107o BT – 140o BT dan 0o – 15o LS. Mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Sucahyono dkk. (2009), untuk mempermudah
identifikasi grid pada domain SML maka domain tersebut dibagi menjadi kotak
grid ukuran 2,5o x 2,5o. Garis horizontal dibagi menjadi 14 grid, dan garis vertikal
dibagi menjadi 7 kotak, sehingga domain SML terbagi menjadi 78 grid. Pembagian
grid penulis sajikan pada Gambar 3.2 berikut.

Gambar 3.2 Grid wilayah SML

3.2.2 Kelengkapan data


Kelengkapan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
rincian seperti pada Tabel 3.2.
20

Tabel 3.2 Kelengkapan data

Jenis
No Satuan Resolusi Sumber Periode Keterangan
Data
Curah milimeter 1999 – 96,34%
1 Harian BMKG
hujan (mm) 2018
1999 –
2 0,25 x 0,25° / Harian NOAA 100%
Suhu 2018
Celcius
muka laut 1999 –
3 2,5 x 2,5° / Bulanan NOAA 100%
2018

Kelengkapan data curah hujan untuk setiap pos pengamatan hujan yang
penulis gunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Kelengkapan data curah hujan
No Pos Hujan Periode Data Kelengkapan Data (%)
1 Alas Buluh 1999 – 2018 99,58
2 Bajulmati 1999 – 2018 99,58
3 Bayu Lor 1999 – 2018 100
4 Cluring 1999 – 2018 88,73
5 Gambor 1999 – 2018 86,64
6 Glen Nevis 1999 – 2018 100
7 Gunung Raung 1999 – 2018 100
8 Kalisepanjang 1999 – 2018 100
9 Kandangan 1999 – 2018 86,24
10 Kawah Ijen 1999 – 2018 96,65
11 Lijen Jambu 1999 – 2018 98,36
12 Pasewaran 1999 – 2018 99,56
13 Pesanggaran 1999 – 2018 85,00
14 Selogiri 1999 – 2018 100
15 Songgon 1999 – 2018 99,58
16 Stamet Banyuwangi 1999 – 2018 100
17 Tegaldlimo 1999 – 2018 93,29
18 Trebasala 1999 – 2018 100

Data yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kelengkapan data


sekurang-kurangnya 80%. Penggunaan data sebesar minimal 80% dilakukan untuk
mengantisipasi data curah hujan harian observasi yang banyak memiliki data
21

kosong. Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Supari dkk. (2017)
dan bersumber dari penelitian sebelumnya.

3.2.3 Alat penelitian


Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa perangkat keras dan
perangkat lunak. Perangkat keras yang digunakan adalah laptop yang terhubung
dengan internet dan printer. Perangkat lunak yang digunakan adalah perangkat
lunak pengolah kata (word processor), pengolah angka (spreadsheet), serta
pengolah gambar dan peta (GIS) yang digunakan untuk membuat peta lokasi
penelitian dan peta persebaran hujan berdasarkan persentil ke-95.

3.3 Prosedur Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik
deskriptif. Metode statistik deskriptif adalah penggambaran data dengan
menggunakan perhitungan statistik, seperti rata-rata, persebaran data, dan lain-lain
(Sarwono dan Salim, 2017). Tujuan metode deskriptif adalah membuat deskripsi
atau gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005).

3.3.1 Pengolahan curah hujan harian


Data curah hujan harian yang didapat dari pos hujan BMKG diolah menjadi
curah hujan bulanan dengan metode penjumlahan sederhana yang disajikan dalam
persamaan berikut ini.

𝐶𝐻𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛𝑎𝑛 = 𝐶𝐻1 + 𝐶𝐻2 + 𝐶𝐻3 + . . . +𝐶𝐻𝑛 (3.1)

Keterangan:
CHbulanan : curah hujan bulanan (mm)
CH1 : curah hujan pada hari ke-1
CH2 : curah hujan pada hari ke-2
CHn : curah hujan pada hari ke-n (bergantung pada jumlah hari pada bulan
tersebut)
22

Dari pengolahan tersebut, didapatkan data curah hujan bulanan selama


periode 20 tahun di setiap pos hujan yang bertujuan untuk perhitungan korelasi
dengan SML bulanan. Selain itu, data curah hujan bulanan digunakan untuk
mengetahui pola curah hujan bulanan di masing-masing pos hujan pengamatan.

3.3.2 Analisis korelasi


Analisis diawali dengan menghitung korelasi antara curah hujan bulanan di
setiap pos hujan dengan SML bulanan di setiap grid. Langkah ini bertujuan untuk
mengetahui wilayah suhu muka laut yang berkorelasi kuat yang dapat memengaruhi
curah hujan di lokasi penelitian. Langkah ini dilakukan untuk mempermudah
perhitungan selanjutnya, dengan asumsi bahwa grid SML yang didapatkan juga
berkorelasi kuat dengan curah hujan harian. Analisis dilakukan dengan
menggunakan Korelasi Pearson secara simultan. Hasil yang digunakan adalah hasil
korelasi dengan nilai positif terbesar. Data yang digunakan adalah data SML
bulanan pada domain 107o BT – 140o BT dan 0o – 15o LS yang sudah dibagi menjadi
78 grid dan data curah hujan bulanan masing-masing pos hujan dalam periode 20
tahun.
Haylock (2002) dalam Sucahyono dkk. (2009) melakukan korelasi SML di
sekitar Indonesia dengan curah hujan bulanan di beberapa stasiun hujan. Wilks
(2011) dan Supranto (1996) menyatakan korelasi pearson dengan persamaan:

𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 𝑦𝑖 − (∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )( ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 )


𝑟(𝑥, 𝑦) =
(3.2)
√[𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖2 − (∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )2 ][𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖2 − (∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 )2 ]

Keterangan:
r(x,y) : koefisien korelasi (x,y)
n : banyak data
∑xi : variabel SML bulanan
∑yi : variabel curah hujan bulanan
Analisis korelasi dilakukan untuk melihat seberapa kuat hubungan antara
curah hujan dengan SML. Semakin kuat korelasinya, maka akan semakin baik
23

tingkat keeratan kejadian curah hujan dengan SML (Supranto, 1996). Interval r
adalah -1 ≤ r ≤ +1. Untuk r = +1 disebut hubungannya positif sempurna dan
hubungan linier langsung sangat tinggi. Sedangkan r = -1 disebut hubungan negatif
sempurna dan hubungannya tidak langsung sangat tinggi, atau disebut inversi.

3.3.3 Persiapan data SML harian


Dari langkah sebelumnya, didapatkan grid yang berkorelasi kuat dengan
curah hujan tiap pos hujan. Untuk penentuan ambang batas curah hujan, dibutuhkan
data SML harian. Data SML harian yang digunakan adalah SML pada grid yang
berkorelasi kuat dengan tiap pos hujan (hasil tahap 2). SML harian berasal dari data
NOAA (dapat diunduh pada https://iridl.ldeo.columbia.edu).

3.3.4 Penentuan nilai ambang batas curah hujan


Penentuan nilai ambang batas curah hujan harian dilakukan dengan metode
persentil ke-95. Data curah hujan harian selama periode penelitian (20 tahun) setiap
pos hujan dikelompokkan berdasarkan bulan, lalu diurutkan dari terkecil ke
terbesar. Untuk data yang kosong (9999) tidak masuk dalam perhitungan dan
dibiarkan kosong sehingga terdapat beberapa pos hujan yang kelengkapan datanya
tidak 100%. Persamaan untuk menghitung persentil menurut Supranto (1996)
adalah:

95( 𝑛 + 1) (3.3)
𝑃95 =
100
Keterangan:
P95 : persentil ke-95
n : jumlah data

Metode persentil ke-95 digunakan dalam menentukan batasan curah hujan


karena jumlah hari yang melebihi batas persentil tersebar secara spasial sehingga
dapat mewakili suatu daerah tertentu dibandingkan dengan penentuan batasan curah
hujan ekstrem secara ambang batas tetap (fix threshold) (Halida, 2015). Selain itu,
pemilihan persentil ke-95 karena dalam rata-rata 365 hari dalam setahun, persentil
ke-95 berhubungan dengan curah hujan tertinggi ke-18 pada skala waktu tahunan
24

(Zin dkk., 2010). Menurut penelitian Haylock dan Nicholls (2000), persentil ke-95
umumnya mewakili tiga hingga lima kejadian ekstrem teratas yang berkontribusi
sekitar 20 – 25% dari total curah hujan. Persentil ke-95 mewakili curah hujan yang
jauh lebih tinggi daripada persentil ke-90.

3.3.5 Pemetaan ambang batas curah hujan


Dari perhitungan ambang batas yang telah dilakukan pada setiap titik pos
pengamatan hujan, selanjutnya dilakukan interpolasi data untuk mendapatkan peta
spasial persebaran curah hujan di Banyuwangi. Interpolasi adalah proses estimasi
nilai pada wilayah yang tidak disampel atau diukur, sehingga terbentuklah peta atau
sebaran nilai pada seluruh wilayah. Dalam pembuatan peta, penulis menggunakan
metode interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW). Pembuatan peta dilakukan
untuk memudahkan analisis persebaran ambang batas.
Titik yang lokasinya lebih dekat dari lokasi yang diperkirakan akan lebih
berpengaruh daripada titik yang lebih jauh jaraknya sehingga diberi bobot yang
lebih besar. Pada IDW, jarak berbanding terbalik dengan harga rerata tertimbang
(weighting average) dari titik data yang ada di sekitarnya (Johnston dkk., 2001).
Penelitian ini menggunakan IDW karena mengacu pada penelitian Kurniadi dkk.
(2018) dan Kurniawan (2018) yang menghasilkan bahwa IDW dapat memetakan
curah hujan dengan baik di Jawa Timur.

1
∑𝑠𝑖=1 𝑍𝑖
𝑑𝑖𝑘 (3.4)
𝑍0 =
1
∑𝑠𝑖=1 𝑘
𝑑𝑖
Keterangan:
Z0 : Perkiraan nilai pada titik 0
Zi : Apakah nilai z pada titik kontrol i
di : Jarak antara titik i dan titik 0
k : Semakin besar k, semakin besar pengaruh poin tetangga
s = Jumlah titik S yang digunakan
25

Nilai power pada interpolasi IDW ini menentukan pengaruh terhadap titik-
titik masukan (input), dimana titik yang lebih dekat akan mendapatkan pengaruh
yang lebih besar. Bisa dikatakan jika nilai power diperbesar maka nilai output sel
menjadi lebih terlokalisasi dan memiliki nilai rata-rata yang rendah.

3.3.6 Identifikasi kejadian hujan di atas ambang batas


Dari hasil perhitungan persentil, didapatkan nilai ambang batas curah hujan
di atas persentil ke-95 per bulan di setiap pos hujan. Langkah selanjutnya adalah
identifikasi kejadian hujan di atas ambang batas dengan cara menyandingkan data
curah hujan harian di tiap pos dengan data SML harian pada grid yang sudah
disiapkan sebelumnya, lalu mengambil hari dengan curah hujan di atas persentil ke-
95 dan SML pada kejadian tersebut. Kejadian dengan curah hujan di atas ambang
batas dipisahkan dan dihitung jumlah total kejadiannya. Dalam melakukan
identifikasi, data yang digunakan adalah data harian 20 tahun dan tidak dibedakan
rentang waktunya (musim hujan atau musim kemarau).

3.3.7 Distribusi frekuensi


Langkah distribusi frekuensi dilakukan dengan membuat kelas-kelas
kategori untuk parameter SML dan curah hujan harian. Pengategorian tersebut
dilakukan dengan melihat nilai SML maksimum dan minimum yang terjadi pada
saat kejadian curah hujan di atas nilai ambang batas. Dalam membuat distribusi
frekuensi diperlukan tahapan berikut:
1. Menentukan jangkauan (range) dari data.
Jangkauan (r) = data terbesar - data terkecil.
2. Menentukan jumlah kelas (k).
Jumlah kelas ditentukan dengan menggunakan rumus:
𝑘 = 1 + 3,3 × log 𝑛
Keterangan: k = jumlah kelas
n = jumlah data
3. Menentukan panjang interval kelas (i)
𝑘
𝑖=
𝑟
26

4. Menentukan batas bawah kelas pertama. Tepi bawah kelas pertama dipilih
dari data terkecil atau dari data yang berasal dari pelebaran jangkauan (data
yang lebih kecil dari data terkecil).
5. Mengelompokkan data asli sesuai dengan kriteria kelasnya.
Hal ini dilakukan untuk mempermudah analisis probabilitas kejadian curah
hujan di atas nilai ambang batas dengan SML yang sudah ditentukan dan bias yang
dimiliki. Hasil dari proses ini adalah jumlah frekuensi terjadinya kejadian curah
hujan di atas persentil ke-95 di setiap kelas SML yang telah dibuat.

3.3.8 Probabilitas bersyarat


Dari tabel frekuensi yang sudah dibuat, jumlah kejadian hujan di atas nilai
ambang batas kemudian dihitung probabilitasnya dengan syarat per kategori SML
yang sudah ditentukan. Probabilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah
probabilitas bersyarat, Wilks (2011) menyatakan persamaan ini sebagai:

𝑃𝑟 (𝐸1 ∩ 𝐸2 )
Pr(𝐸1 |𝐸2 ) =
𝑃𝑟 (𝐸2 ) (3.6)

Keterangan:
Pr(𝐸1 |𝐸2 ) : peluang kejadian bersyarat E1 dengan syarat E2
𝑃𝑟 (𝐸1 ∩ 𝐸2 ) : peluang kejadian irisan E1 dan E2
𝑃𝑟 (𝐸2 ) : peluang kejadian E2
Notasi E1 dalam penelitian ini merupakan curah hujan di atas persentil ke-
95 dan E2 merupakan syarat kejadian yang merupakan parameter SML yang sudah
dihitung. Langkah ini dilakukan untuk mengetahui peluang intensitas curah hujan
tertentu saat SML tertentu.

3.4 Diagram Alir Penelitian


Secara singkat, alur penelitian dapat dijelaskan pada diagram Gambar 3.3.
Uraian mengenai langkah kerja yang terdapat pada alur penelitian adalah
sebagai berikut.
27

1. Menyiapkan data curah hujan harian dan data SML bulanan pada seluruh grid
SML yang sudah ditentukan.
2. Mengolah data observasi curah hujan harian menjadi bulanan di setiap pos
hujan.
3. Menghitung korelasi antara data SML bulanan pada setiap grid dengan curah
hujan bulanan setiap pos hujan untuk menentukan lokasi grid SML yang
berkorelasi kuat dengan curah hujan pada masing-masing pos hujan.
4. Mengunduh data SML harian pada grid yang berkorelasi kuat dengan setiap
pos hujan.
5. Mengelompokkan data curah hujan harian dan SML harian berdasarkan bulan.
6. Melakukan perhitungan ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil
ke-95 pada data curah hujan harian.
7. Menyusun peta persebaran hujan berdasarkan persentil ke-95 berdasarkan
bulan dengan metode interpolasi yang sudah ditentukan.
8. Mengidentifikasi kejadian curah hujan berdasarkan persentil ke-95 dan SML
saat kejadian tersebut.
9. Membuat distribusi frekuensi untuk data SML dan data curah hujan.
10. Menghitung probabilitas kejadian curah hujan saat SML kategori tertentu dan
bias yang terjadi.
11. Menganalisis hasil perhitungan dan peta yang telah dihasilkan untuk
mendapatkan karakteristik curah hujan berdasarkan persentil ke-95 di
Banyuwangi.
28

Gambar 3.3 Diagram alir penelitian


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian ini berisi uraian dan analisis hasil pengolahan data yang telah
dilakukan. Terdapat 3 (tiga) subbab yang akan diuraikan yaitu korelasi curah hujan
dengan suhu muka laut, nilai ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil
ke-95, dan frekuensi serta peluang curah hujan di atas persentil ke-95 pada SML
tertentu serta pembahasan.
4.1 Hasil
4.1.1 Korelasi curah hujan bulanan dengan SML
Pehitungan korelasi curah hujan bulanan dan SML bulanan pada 78 grid
menghasilkan grid SML yang memiliki pengaruh yang besar terhadap curah hujan
di tiap pos hujan. Tabel 4.1 menjelaskan hasil korelasi tersebut.
Tabel 4.1 Korelasi curah hujan dengan suhu muka laut

No Pos Hujan Nilai Korelasi Grid SML ke-


1 Alas Buluh 0,577 65
2 Bajulmati 0,579 65
3 Bayu Lor 0,439 38
4 Cluring 0,487 52
5 Gambor 0,448 38
6 Glen Nevis 0,603 50
7 Gunung Raung 0,524 23
8 Kalisepanjang 0,545 23
9 Kandangan 0,507 52
10 Kawah Ijen 0,511 51
11 Lijen Jambu 0,541 65
12 Pasewaran 0,681 65
13 Pesanggaran 0,572 52
14 Selogiri 0,663 65
15 Songgon 0,463 65
16 Stamet Banyuwangi 0,645 65
17 Tegal Dlimo 0,590 38
18 Trebasala 0,680 52

29
30

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa nilai korelasi curah hujan dan
SML berada pada rentang 0,4 – 0,7. Korelasi curah hujan dan SML tertinggi sebesar
0,68 yang terjadi di pos hujan Trebasala dengan SML grid 52 dan nilai korelasi
terendah sebesar 0,439 yang terjadi di pos hujan Bayu Lor dengan SML grid 38.
Dari tabel tersebut, diketahui bahwa curah hujan di Banyuwangi berkorelasi positif
terbesar dengan 6 grid SML yang dijelaskan pada Gambar 3.2 yaitu kotak SML ke:
1. 23 (2 LS – 4,5 LS; 132,5 BT – 135 BT),
2. 38 (4,5 LS – 7 LS; 137,5 BT – 140 BT),
3. 50 (7 LS – 9,5 LS; 135 BT – 137,5 BT),
4. 51 (7 LS – 9,5 LS; 137,5 BT – 140 BT),
5. 52 (7 LS – 9,5 LS; 140 BT – 142,5 BT),
6. 65 (9,5 LS – 12 LS; 140 BT – 142,5 BT).
Enam grid tersebut berada di perairan timur Indonesia yaitu di sekitar Pulau
Papua. Grid 23 merupakan perairan di bagian timur laut Laut Banda, grid 38
merupakan perairan di timur laut Laut Arafura, grid 50, 51, 52, dan 65 adalah Laut
Arafura.

4.1.2 Ambang batas curah hujan harian


Dari pengolahan yang telah dilakukan, nilai ambang batas curah hujan
harian di Banyuwangi memiliki variasi di setiap bulan dan wilayah penelitian.
Tabel 4.2 menjelaskan nilai ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil
ke-95 di Banyuwangi.
Tabel 4.2 Nilai ambang batas curah hujan berdasarkan persentil ke-95
No Pos Hujan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1 Alas Buluh 49,6 40,8 34 20,1 20 6 0 0 0 0 7,05 39,05
2 Bajulmati 49,6 47,8 38 22 22,05 10 2,1 0 0 0 12 37,05
3 Bayu Lor 53,05 52 60,05 47,05 50,1 59,1 46,1 28,1 22,05 32 57 56
4 Cluring 43,3 43,2 35 32,05 16 8,05 5 1 0 8 29 27
5 Gambor 49,4 56,05 52 38 23,4 26,55 16 9 5,1 10 34 32,7
6 Glen Nevis 48,05 45 42 38 35,05 31 16 7 11,05 26,2 46 54,05
Gunung
7 Raung 46 38 39,05 35,05 41,05 44,05 30 20 15 37,05 55,1 46,05
8 Kalisepanjang 54 42 51,1 38 42 49,05 33 17,1 17 45,15 58 45,05
9 Kandangan 45 56 45 29,75 23,7 14 12 5,7 10 19 32 43
31

Lanjutan Tabel 4.2


10 Kawah Ijen 35 28,8 27 20 19 14 14,6 4 0 9 18 31,6
11 Lijen Jambu 55,6 52,6 60,6 41,1 32 39,05 27,05 18 12 21,05 50,05 56
12 Pasewaran 70 60,7 62 42,05 16,05 7 5 0 0 0 28,05 62
13 Pesanggaran 45,7 55 39 32,55 16,7 11 7,7 2 5,55 15,7 35 40
14 Selogiri 50,05 56 45 32 20 10,1 10 6 2 7,1 20,1 39,05
15 Songgon 69 75,2 56 38,1 54 55 55,05 22,05 25,05 18,6 61 68
Stamet
16 Banyuwangi 39,5 39,22 30 25 17,91 12,01 12,31 7,81 4,01 10,03 23 33,02
17 Tegal Dlimo 38,05 31 34,05 22,05 26,6 15 8,15 1 0 0 23,05 32,7
18 Trebasala 51,05 44,8 46,1 33,05 30 23 17 6 10 20 36 36

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa nilai ambang batas curah hujan di atas
persentil ke-95 di Banyuwangi berada pada rentang 0 – 70 mm. Nilai ambang batas
tertinggi terjadi pada bulan Januari di pos hujan Pasewaran sebesar 70 mm,
sedangkan nilai ambang batas terendah terjadi bervariasi di tiap pos hujan yaitu
pada bulan-bulan di musim kemarau yaitu Juli hingga Oktober sebesar 0 mm.
Berdasarkan perhitungan rata-rata nilai ambang batas hujan harian di setiap pos
hujan, yang dilampirkan pada Lampiran 3, dapat diketahui bahwa ambang batas
curah hujan harian tertinggi yang terjadi di seluruh bulan terjadi di pos hujan Bayu
Lor dan Songgon, sedangkan nilai ambang batas terendah terjadi di pos hujan Alas
buluh dan Tegal Dlimo yang kemudian penulis sajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Grafik ambang batas curah hujan di atas persentil ke-95
terendah dan tertinggi
32

Dari Gambar 4.1 dan pengolahan data, diketahui bahwa rata-rata nilai
ambang batas tertinggi pada pos hujan Bayu Lor dan Songgon berada pada rentang
45 – 50 mm, sedangkan nilai ambang batas terendah pada pos hujan Alas Buluh
dan Tegal Dlimo berada pada rentang 15 – 20 mm. Dari Gambar 4.1, terlihat adanya
kesamaan pola yang jelas di pos hujan dengan ambang batas rendah yaitu
membentuk cekungan dan mengalami penurunan nilai ambang batas pada bulan
Juni hingga Oktober. Pada pos hujan nilai ambang batas tertinggi, pola yang
dibentuk mirip namun dengan cekungan yang lebih bervariasi. Seperti adanya
penurunan nilai yang cukup signifikan di bulan April. Grafik lengkap mengenai
ambang batas curah hujan di setiap pos hujan terdapat pada Lampiran 2.
Untuk mempermudah analisis dari persebaran ambang batas tiap pos hujan
maka dilakukan pengolahan secara spasial yaitu dengan peta sebaran ambang batas
berdasarkan bulan yang ditunjukkan oleh Gambar 4.2 – 4.13 berikut ini.

a. Ambang batas Januari


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Januari penulis sajikan pada Gambar 4.2 di bawah ini.

Gambar 4.2 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Januari
33

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa wilayah Banyuwangi terbagi menjadi dua


kategori, yaitu Banyuwangi bagian selatan yang ditunjukkan oleh pos hujan
Kandangan, Cluring, Pesanggaran, Tegaldlimo dan Kawah Ijen memiliki ambang
batas curah hujan harian kategori sedang (20 – 50 mm), sedangkan wilayah
Banyuwangi bagian barat hingga utara memiliki nilai ambang batas hujan yang
cukup tinggi atau termasuk kategori lebat (50,1 – 100 mm).

b. Ambang batas Februari


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Februari penulis sajikan pada Gambar 4.3 di bawah ini.

Gambar 4.3 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Februari

Berdasarkan Gambar 4.3, terlihat bahwa yaitu Banyuwangi masih memiliki


kategori yang sama dengan bulan Januari. Sebagian besar wilayah Banyuwangi
memiliki ambang batas curah hujan harian kategori sedang (20 – 50 mm). Kecuali
untuk wilayah Banyuwangi bagian selatan yaitu Kandangan dan Pesanggaran,
bagian utara yaitu Pasewaran, serta bagian tengah seperti Songgon, Gambor, Bayu
34

Lor, dan Lijen Jambu memiliki nilai ambang batas hujan kategori lebat (50,1 – 100
mm).

c. Ambang batas Maret


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Maret penulis sajikan pada Gambar 4.4 di bawah ini.

Gambar 4.4 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Maret

Berdasarkan Gambar 4.4, terlihat bahwa kategori ambang batas


Banyuwangi masih sama seperti bulan sebelumnya. Hampir seluruh wilayah
Banyuwangi memiliki ambang batas curah hujan harian kategori sedang (20 – 50
mm). Kecuali wilayah bagian barat Banyuwangi seperti pos hujan Bayu Lor, Lijen
Jambu, Songgon, Gambor, Kalisepanjang, dan wilayah utara yaitu pos hujan
Pasewaran yang memiliki nilai ambang batas hujan kategori lebat (50,1 – 100 mm).
35

d. Ambang batas April


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan April penulis sajikan pada Gambar 4.5 di bawah ini.

Gambar 4.5 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan April

Berdasarkan Gambar 4.5, terlihat bahwa ambang batas bulan April memiliki
pola yang paling berbeda dibandingkan bulan-bulan lain. Seluruh wilayah
Banyuwangi memiliki nilai ambang batas yang sama yaitu 20 – 50 mm. Intensitas
tersebut termasuk dalam kategori sedang. Wilayah barat Banyuwangi yang pada
bulan-bulan sebelumnya memiliki nilai ambang batas yang lebat, pada bulan April
berubah menjadi kategori sedang. Wilayah timur dan selatan Banyuwangi tidak
mengalami perubahan yang signifikan karena masih tetap pada kategori sedang.
36

e. Ambang batas Mei


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Mei penulis sajikan pada Gambar 4.6 di bawah ini.

Gambar 4.6 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Mei

Berdasarkan Gambar 4.6, Banyuwangi terbagi menjadi tiga kategori


ambang batas. Wilayah Banyuwangi bagian utara dan sebagian kecil wilayah
selatan yaitu pos hujan Pesanggaran, Cluring, dan Kandangan termasuk kategori
ambang batas curah hujan ringan (0,5 – 20 mm), bagian tengah dan selatan yaitu
pos hujan Lijen Jambu, Gambor, Trebasala, dan Tegal Dlimo termasuk kategori
sedang (20 – 50 mm), sedangkan bagian barat Banyuwangi yaitu pos hujan Bayu
Lor, Songgon, Gunung Raung, Glen Nevis, dan Kalisepanjang dengan kategori
lebat (50,1 – 100 mm).
37

f. Ambang batas Juni


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Juni penulis sajikan pada Gambar 4.7 di bawah ini.

Gambar 4.7 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Juni

Berdasarkan Gambar 4.7, terlihat adanya kesamaan pola ambang batas


curah hujan bulan Juni dengan ambang batas bulan Mei, yaitu terbagi menjadi tiga
kategori. Terdapat penambahan wilayah ambang batas berkategori ringan (0,5 – 20
mm) di bagian selatan, yaitu pada pos hujan Tegal Dlimo dan sekitar Kandangan,
Banyuwangi bagian tengah yaitu pos hujan Gambor, Trebasala, dan Glen Nevis
masih tetap bernilai sedang (20 – 50 mm), sedangkan nilai ambang batas hujan
kategori lebat (50,1 – 100 mm) masih sama seperti bulan Mei yaitu terpusat di
bagian barat Banyuwangi yaitu di pos hujan Bayu Lor, Songgon, Gunung Raung,
dan Kalisepanjang.
38

g. Ambang batas Juli


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Juli penulis sajikan pada Gambar 4.8 di bawah ini.

Gambar 4.8 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Juli

Gambar 4.8 menunjukkan sebaran ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 pada bulan Juli. Pada bulan ini, terlihat wilayah Banyuwangi terbagi
menjadi 4 kategori. Dilihat dari pola persebaran, ambang batas curah hujan pada
bulan Juli hampir sama dengan ambang batas bulan Juni di Kabupaten Banyuwangi.
Tetapi, di bagian utara dan selatan bernilai 0 mm (kategori tidak ada hujan). Di
bagian tengah dan sebagian selatan yang ditunjukkan oleh pos hujan Kawah Ijen,
Stamet Banyuwangi, Glen Nevis, Gambor, dan Trebasala memiliki ambang batas
curah hujan kategori ringan (0,5 – 20 mm), bagian tengah yang diwakili pos hujan
Lijen Jambu masih tetap kategori sedang (20 – 50 mm), sedangkan nilai ambang
batas hujan kategori lebat (50,1 – 100 mm) masih sama seperti bulan Juni yaitu
terpusat di bagian tengah Banyuwangi.
39

h. Ambang batas Agustus


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Agustus penulis sajikan pada Gambar 4.9 di bawah ini.

Gambar 4.9 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Agustus

Gambar 4.9 menunjukkan sebaran ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 pada bulan Agustus. Terlihat bahwa Banyuwangi terbagi menjadi
tiga kategori. Wilayah Banyuwangi bagian utara dan bagian selatan memiliki
ambang batas curah hujan harian bernilai 0 mm (tidak ada hujan), bagian tengah
yaitu pos hujan Gambor, Glen Nevis, dan Stamet Banyuwangi termasuk kategori
rendah (0 – 20 mm), dan bagian barat yaitu pos hujan Gunung Raung,
Kalisepanjang, Songgon, dan Bayu Lor kategori sedang (20 – 50 mm).
40

i. Ambang batas September


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan September disajikan pada Gambar 4.10 di bawah ini.

Gambar 4.10 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan September

Berdasarkan Gambar 4.10, ambang batas curah hujan bulan September


hampir sama dengan bulan Agustus yaitu terbagi menjadi tiga kategori. Bagian
selatan sebelah timur yaitu pos hujan Gambor, Cluring, Pesanggaran, dan Tegal
Dlimo dan bagian utara termasuk kategori tidak ada hujan (0 mm), bagian tengah
hingga selatan sebelah barat yaitu pos hujan Kandangan, Trebasala, dan Lijen
Jambu memiliki ambang batas kategori rendah (0 – 20 mm). Sedangkan bagian
barat Banyuwangi yaitu pos hujan Gunung Raung, Kalisepanjang, Songgon, dan
Bayu Lor termasuk kategori sedang (20 – 50 mm).
41

j. Ambang batas Oktober


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Oktober penulis sajikan pada Gambar 4.11 di bawah ini.

Gambar 4.11 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Oktober

Gambar 4.11 menggambarkan sebaran ambang batas curah hujan harian di


atas persentil ke-95 di bulan Oktober. Sekilas terlihat bahwa pola ambang batas
bulan Oktober memiliki kemiripan dengan pola ambang batas bulan September.
Namun, hal yang membedakan adalah kategori tidak ada hujan (0 mm) menjadi
bertambah di bagian tengah sehingga kategori ini memanjang dari utara hingga
selatan bagian timur. Bagian tengah Banyuwangi hingga selatan sebelah barat
Banyuwangi termasuk kategori ringan (0 – 20 mm) dan bagian barat Banyuwangi
yaitu pos hujan Gunung Raung, Kalisepanjang, Glen Nevis, dan Bayu Lor bernilai
sedang (20 – 50 mm).
42

k. Ambang batas November


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan November penulis sajikan pada Gambar 4.12 di bawah ini.

Gambar 4.12 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan November

Gambar 4.12 menunjukkan sebaran ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 pada bulan November. Dari gambar tersebut terlihat bahwa
Banyuwangi mulai memasuki musim hujan karena tidak ada wilayah yang
termasuk kategori tidak ada hujan. Bagian utara Banyuwangi yaitu pos hujan
Kawah Ijen, Pasewaran, Bajul Mati, Alas Buluh, Selogiri, dan Stamet Banyuwangi
serta Tegal Dlimo termasuk kategori ringan (0,5 – 20 mm). Bagian tengah hingga
selatan Banyuwangi yaitu pos hujan Gambor, Trebasala, Cluring, Kandangan, dan
Pesanggaran termasuk kategori sedang (20 – 50 mm) dan bagian barat Banyuwangi
yaitu pos hujan Gunung Raung, Kalisepanjang, Glen Nevis, Songgon, dan Bayu
Lor memiliki ambang batas kategori lebat (50,1 – 100 mm).
43

l. Ambang batas Desember


Sebaran ambang batas curah hujan harian berdasarkan persentil ke-95 pada
bulan Desember penulis sajikan pada Gambar 4.13 di bawah ini.

Gambar 4.13 Sebaran ambang batas curah hujan harian bulan Desember

Gambar 4.13 menggambarkan sebaran ambang batas curah hujan harian di


atas persentil ke-95 di bulan Desember yang terbagi menjadi dua kategori. Sebaran
pada bulan ini mirip dengan sebaran pada bulan Januari. Sebagian besar wilayah
Banyuwangi termasuk kategori sedang (20 – 50 mm) dan bagian barat Banyuwangi
yaitu pos hujan Gunung Raung, Kalisepanjang, Glen Nevis, Songgon, Pasewaran,
Lijen Jambu, dan Bayu Lor memiliki ambang batas kategori lebat (50,1 – 100 mm).

4.1.3 Keadaan SML saat kejadian curah hujan


Untuk melakukan analisis keadaan SML saat kejadian hujan di atas persentil
ke-95, perlu diketahui kesesuaian pola curah hujan di setiap pos dengan SML yang
berkorelasi kuat. Data yang digunakan untuk melihat pola kesesuaian curah hujan
dan SML adalah data curah hujan bulanan periode 1999 – 2018. Grafik kesesuaian
pola curah hujan dengan SML dilampirkan pada Lampiran 3. Berdasarkan gambar
44

pada Lampiran 3 diketahui bahwa pola curah hujan di Banyuwangi termasuk pola
hujan monsunal. Hal ini terlihat dari grafik yang membentuk pola U atau memiliki
satu cekungan. Secara umum, Banyuwangi memasuki musim kemarau pada bulan
April atau Mei, sedangkan musim hujan pada bulan Desember hingga Maret.
Keadaan suhu muka laut setiap bulan berkisar antara 25 – 31℃. Nilai tertinggi SML
terjadi pada bulan Desember hingga Januari serta terendah pada bulan Agustus.
Jumlah dan intensitas kejadian curah hujan harian berbeda di setiap pos
hujan tergantung pada bulan terjadinya. Untuk memudahkan perhitungan distribusi
frekuensi dan peluang, parameter SML dibagi menjadi 9 kelas dengan interval 1℃,
dan curah hujan dibagi menjadi 7 kelas dengan interval 50 mm. Gambar 4.14 – 4.25
menjelaskan frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95 di setiap bulan.

a. Januari
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Januari disajikan pada Gambar 4.14 berikut ini.

Gambar 4.14 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Januari

Gambar 4.14 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Januari selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Dapat dilihat bahwa hujan harian
di bulan Januari didominasi oleh hujan intensitas 50,1 – 100 mm. Frekuensi hujan
45

di atas persentil ke-95 tertinggi terjadi pada intensitas 50,1 – 100 mm dengan
keadaan SML 29,1 – 30℃ sebanyak 244 kejadian. Frekuensi kejadian bias (di
bawah persentil ke-95) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya SML.
Terdapat kesamaan pola antara frekuensi bias dengan pola frekuensi kejadian di
atas persentil ke-95. Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 29,1 – 30℃
sebanyak 6.060 kejadian. Terlihat bahwa pada bulan Januari, SML <28℃ tidak
menghasilkan curah hujan di atas persentil ke-95. Hujan di atas persentil ke-95
bulan Januari terjadi pada suhu 28 – 31℃ dan menghasilkan intensitas curah hujan
antara 50,1 – 250 mm.

b. Februari
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Februari disajikan pada Gambar 4.15 berikut ini.

Gambar 4.15 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Februari

Gambar 4.15 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Februari selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Terlihat bahwa pola frekuensi
hujan harian pada bulan Februari mirip dengan pola bulan Januari, yaitu didominasi
oleh intensitas 50,1 – 100 mm. Frekuensi hujan tertinggi terjadi pada intensitas 50,1
– 100 mm dengan keadaan SML 29,1 – 30℃ sebanyak 177 kejadian. Terdapat
46

peningkatan frekuensi kejadian hujan intensitas 0 – 50 mm pada SML yang sama


dari bulan sebelumnya. Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 29,1 – 30℃
sebanyak 4.774 kejadian. Pola frekuensi kejadian bias sama dengan pola kejadian
hujan harian, yaitu mencapai nilai tertinggi saat 29,1 – 30℃ dan menurun pada
SML setelahnya. Terlihat bahwa pada bulan Februari, SML <28,1℃ dan >31℃
tidak ada kejadian curah hujan di atas persentil ke-95 maupun sebaliknya.

c. Maret
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Maret disajikan pada Gambar 4.16 berikut ini.

Gambar 4.16 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Maret

Gambar 4.16 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Maret selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Terlihat bahwa pola frekuensi hujan
di atas persentil ke-95 pada bulan Maret mirip dengan pola dua bulan sebelumnya,
yaitu didominasi oleh intensitas 50,1 – 100 mm. Namun, terdapat kejadian hujan
pada SML >31℃. Dapat dilihat bahwa frekuensi hujan tertinggi terjadi pada
intensitas 50,1 – 100 mm dengan keadaan SML 29,1 – 30℃ sebanyak 190 kejadian.
Selain itu, frekuensi hujan intensitas 0 – 50 mm juga meningkat dari bulan Februari.
Pola yang dibentuk kejadian bias masih sama seperti bulan sebelumnya, yaitu
47

mencapai nilai tertinggi saat 29,1 – 30℃ dan menurun pada SML setelahnya.
Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 29,1 – 30℃ sebanyak 5.963 kejadian.
Terlihat bahwa pada bulan Februari, SML <27,1℃ tidak ada kejadian curah hujan
di atas persentil ke-95 maupun sebaliknya.

d. April
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan April disajikan pada Gambar 4.17 berikut ini.

Gambar 4.17 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan April

Gambar 4.17 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


April selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Dapat dilihat bahwa frekuensi hujan
pada bulan April didominasi oleh intensitas 0 – 50 mm, dengan frekuensi hujan
50,1 – 100 mm yang masih cukup tinggi. Frekuensi hujan harian tertinggi terjadi
pada intensitas 0 – 50 mm dengan keadaan SML 29,1 – 30℃ sebanyak 174
kejadian. Pola kejadian bias masih sama seperti bulan-bulan sebelumnya, yaitu
tertinggi di SML 29,1 – 30℃ dan menurun di SML setelahnya. Frekuensi bias
tertinggi terjadi pada SML 29,1 – 30℃ sebanyak 5.418 kejadian. Terlihat bahwa
pada bulan April, SML <27℃ dan >31℃ tidak ada kejadian curah hujan di atas
persentil ke-95 maupun sebaliknya.
48

e. Mei
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Mei disajikan pada Gambar 4.18 berikut ini.

Gambar 4.18 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Mei

Gambar 4.18 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Mei selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Terlihat dari grafik, hujan harian pada
bulan Mei didominasi oleh hujan intensitas 0 – 50 mm. Frekuensi hujan tertinggi
terjadi pada intensitas 0 – 50 mm dengan keadaan SML 29,1 – 30℃ sebanyak 138
kejadian. Terdapat pola frekuensi bias yang berbeda dari bulan sebelumnya, yaitu
puncak kejadian bias terjadi pada SML yang berbeda dengan puncak kejadian hujan
di atas persentil ke-95, yaitu pada SML 26,1 – 27℃. Frekuensi bias tertinggi terjadi
pada SML 29,1 – 30℃ sebanyak 4.105 kejadian. Terlihat bahwa pada bulan Mei,
SML <25,1℃ dan >30℃ tidak ada kejadian curah hujan di atas persentil ke-95
maupun sebaliknya.
49

f. Juni
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Juni disajikan pada Gambar 4.19 berikut ini.

Gambar 4.19 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Juni

Gambar 4.19 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Juni selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Kejadian hujan di atas persentil ke-95
pada bulan Juni didominasi oleh hujan intensitas 0 – 50 mm. Frekuensi hujan
tertinggi terjadi pada intensitas 0 – 50 mm dengan keadaan SML 26,1 – 27℃
sebanyak 154 kejadian. Pola kejadian bias dengan pola kejadian hujan di atas
persentil ke-95 memiliki kesamaan yaitu mencapai puncak kejadian pada SML 26,1
– 27℃. Frekuensi kejadian bias mencapai nilai tertinggi saat 26,1 – 27℃ dan
menurun pada SML setelahnya. Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 26,1 –
27℃ sebanyak 3.851 kejadian. Terlihat bahwa pada bulan Juni, SML <25,1℃ dan
>30℃ tidak ada kejadian curah hujan di atas persentil ke-95 maupun sebaliknya.
50

g. Juli
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Juli disajikan pada Gambar 4.20 berikut ini.

Gambar 4.20 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Juli

Gambar 4.20 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Juli selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Terlihat bahwa hujan di atas persentil
ke-95 masih didominasi oleh intensitas 0 – 50 mm. Frekuensi hujan tertinggi terjadi
pada intensitas 0 – 50 mm dengan keadaan SML 26,1 – 27℃ sebanyak 201
kejadian. Pola frekuensi bias pada bulan Juli memiliki kemiripan dengan pola
frekuensi bias pada bulan Mei, yaitu puncak kejadian bias tidak terjadi saat SML
yang sama dengan terjadinya puncak kejadian hujan di atas persentil ke-95,
melainkan lebih rendah dari SML. Puncak kejadian bias terjadi saat SML bernilai
26,1 – 27℃ dengan jumlah kejadian sebanyak 4.184 kejadian. Terlihat bahwa pada
bulan Juli, SML <24,1℃ dan >29℃ tidak ada kejadian curah hujan di atas persentil
ke-95 maupun sebaliknya.
51

h. Agustus
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Agustus disajikan pada Gambar 4.21 berikut ini.

Gambar 4.21 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Agustus

Gambar 4.21 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Agustus selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Hujan di atas persentil ke-95 bulan
Agustus masih didominasi oleh intensitas 0 – 50 mm. Frekuensi hujan tertinggi
terjadi pada intensitas 0 – 50 mm dengan keadaan SML 25,1 – 26℃ sebanyak 200
kejadian. Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 25,1 – 26℃ sebanyak 5.054
kejadian. Terdapat kesamaan pola yang dibentuk oleh frekuensi kejadian bias dan
frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95. Sama seperti bulan Juli, pada SML
<24,1℃ dan >29℃ tidak terjadi kejadian curah hujan di atas persentil ke-95
maupun sebaliknya di bulan Agustus.
52

i. September
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan September disajikan pada Gambar 4.22 berikut ini.

Gambar 4.22 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan September

Gambar 4.21 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


September selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Kejadian hujan di atas persentil
ke-95 pada bulan September didominasi oleh intensitas 0 – 50 mm. Frekuensi hujan
tertinggi terjadi pada intensitas 0 – 50 mm dengan keadaan SML 27,1 – 28℃
sebanyak 138 kejadian hujan di atas persentil ke-95. Pola frekuensi kejadian bias
mencapai puncak saat SML 26,1 – 27℃ dan menurun pada SML setelahnya. Hal
ini berbeda dengan pola frekuensi hujan di atas persentil ke-95 yang mengalami
puncak pada SML 27,1 – 28℃. Pada bulan September, tidak terjadi hujan di atas
persentil ke-95 maupun sebaliknya pada SML <24,1℃ dan >30.
53

j. Oktober
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Oktober disajikan pada Gambar 4.23 berikut ini.

Gambar 4.23 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Oktober

Gambar 4.23 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Oktober selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Hujan di atas persentil ke-95 pada
bulan Oktober didominasi oleh hujan intensitas 0 – 50 mm. Frekuensi hujan
tertinggi terjadi pada intensitas 0 – 50 mm dengan keadaan SML 27,1 – 28℃
sebanyak 181 kejadian. Pola frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95 dan
bias membentuk puncak yang sama yaitu pada SML 27,1 – 28℃. Frekuensi bias
tertinggi terjadi pada SML 27,1 – 28℃ sebanyak 4.298 kejadian. Terlihat bahwa
pada bulan Oktober, SML <25,1℃ dan >30℃ tidak ada kejadian curah hujan di
atas persentil ke-95 maupun sebaliknya.
54

k. November
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan November disajikan pada Gambar 4.24 berikut ini.

Gambar 4.24 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan November

Gambar 4.24 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


November selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Kejadian hujan di atas persentil
ke-95 pada bulan November didominasi oleh hujan dengan intensitas 0 – 50 mm
dan 50,1 – 100 mm. Frekuensi hujan tertinggi terjadi pada intensitas 0 – 50 mm
dengan keadaan SML 28,1 – 29℃ sebanyak 115 kejadian. Frekuensi tertinggi
kedua adalah curah hujan intensitas 50,1 – 100 mm pada SML 29,1 – 30℃.
Frekuensi kejadian bias mencapai nilai tertinggi saat 28,1 – 29℃ dan menurun pada
SML setelahnya. Frekuensi bias tertinggi terjadi pada SML 28,1 – 29℃ sebanyak
4.490 kejadian. Terlihat bahwa pada bulan November, SML <26,1℃ tidak ada
kejadian curah hujan di atas persentil ke-95 maupun sebaliknya karena frekuensi
kejadian 0.
55

l. Desember
Frekuensi kejadian hujan harian di atas persentil ke-95 pada SML tertentu
pada bulan Desember disajikan pada Gambar 4.25 berikut ini.

Gambar 4.25 Frekuensi kejadian curah hujan berdasarkan


SML bulan Desember

Gambar 4.25 menggambarkan frekuensi kejadian curah hujan pada bulan


Desember selama periode 1999 – 2018 (20 tahun). Hujan di atas persentil ke-95
bulan Desember didominasi oleh intensitas 50,1 – 100 mm. Frekuensi hujan
tertinggi terjadi pada intensitas 50,1 – 100 mm dengan keadaan SML 29,1 – 30℃
sebanyak 175 kejadian. Frekuensi kejadian bias mencapai nilai tertinggi saat 29,1
– 30℃ dan menurun pada SML setelahnya. Frekuensi bias tertinggi terjadi pada
SML 29,1 – 30℃ sebanyak 5.656 kejadian. Terlihat bahwa pada bulan Desember,
SML <27,1℃ tidak ada kejadian curah hujan di atas persentil ke-95 maupun
sebaliknya.
Hasil yang didapat dari perhitungan frekuensi kemudian diolah dengan
peluang kejadian bersyarat dengan SML tertentu. Hasil yang diperoleh adalah
kejadian bias dominan terjadi pada intensitas 0 – 50 mm, sehingga pada Gambar
4.26 – 4.37 hanya ditampilkan grafik bias intensitas 0 – 50 mm. Perhitungan kedua
yang dilakukan adalah peluang curah hujan pada syarat SML tertentu yang
digambarkan oleh Gambar 4.26 – 4.37 berikut ini.
56

a. Januari
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Januari
disajikan pada Gambar 4.26 berikut.

Gambar 4.26 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Januari

Gambar 4.26 menggambarkan peluang kejadian bersyarat curah hujan pada


SML tertentu di bulan Januari. Pada ketiga kategori tersebut, peluang hujan di atas
persentil ke-95 tertinggi terjadi saat hujan intensitas 50,1 – 100 mm. Sedangkan
peluang hujan di atas persentil ke-95 terendah terjadi pada intensitas 100,1 -150
mm. Sehingga, peluang kejadian hujan yang dominan terjadi adalah hujan intensitas
50,1 – 100 mm. Dari grafik diketahui bahwa pada suhu <28℃ dan >31℃ tidak ada
kejadian hujan di atas persentil ke-95 karena nilai peluang 0%. Pola yang dibentuk
pada bulan Januari paling berbeda karena peluang adanya hujan terjadi pada hampir
semua kategori SML. Peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm pada SML
>24,1 mencapai 99 – 100% yang menunjukkan hujan yang turun pada suhu tersebut
termasuk kategori di bawah persentil ke-95.
57

b. Februari

Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Februari
disajikan pada Gambar 4.27 berikut.

Gambar 4.27 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Februari

Dari gambar 4.27 terlihat adanya pola yang dibentuk peluang kejadian
bersyarat hujan di atas persentil ke-95 pada SML tertentu. Hujan intensitas 0 – 50
mm cenderung mengalami kenaikan peluang kejadian saat SML meningkat, bahkan
meningkat secara signifikan pada SML >31℃. Sedangkan, hujan intensitas 50,1 –
100 mm mengalami penurunan pola seiring meningkatnya SML. Secara umum,
hujan di atas persentil ke-95 intensitas 50,1 – 100 mm memiliki peluang kejadian
yang paling tinggi di bulan Februari pada hampir seluruh kategori SML. Sedangkan
pada SML >31℃, peluang kejadian hujan di atas persentil ke-95 tertinggi terjadi
pada intensitas 200,1 – 250 mm.
Pada grafik peluang kejadian bias, diketahui bahwa pada suhu <24℃ hingga
27℃ tidak ada kejadian hujan bias karena nilai peluang 0%. Sementara mulai dari
SML 27,1 sampai >31℃ peluang kejadian bias intensitas 0 – 50 mm meningkat
hingga mencapai 98 – 100%.
58

c. Maret
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Maret
disajikan pada Gambar 4.28 berikut.

Gambar 4.28 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Maret

Dari Gambar 4.28 terlihat curah hujan intensitas 50,1 – 100 mm


mendominasi kejadian hujan di atas persentil ke-95 di bulan Maret karena memiliki
peluang yang paling besar dibandingkan intensitas lain di hampir semua kategori
SML. Pada intensitas 50,1 – 100 mm, terlihat pola yang meningkat dari SML
28,1℃, lalu peluang terbesar terjadi saat SML bernilai 30,1 - 31℃, dan menurun
secara signifikan pada SML >31℃. Pada intensitas 0 – 50 mm, terlihat adanya pola
yang menurun dan mencapai peluang terendah saat SML bernilai 30,1 – 31℃ dan
meningkat pada SML >31℃.
Dari grafik peluang kejadian bias, diketahui bahwa pada suhu <27℃ tidak
ada kejadian hujan di atas persentil ke-95 maupun bias karena nilai peluang 0%.
Pada SML >27℃, peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mencapai 97 –
99%.
59

d. April
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan April disajikan
pada Gambar 4.29 berikut.

Gambar 4.29 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan April

Berdasarkan Gambar 4.29 terlihat curah hujan intensitas 0 – 50 mm


mendominasi kejadian hujan di atas persentil ke-95 di bulan April karena memiliki
peluang yang paling besar dibandingkan intensitas lain di hampir semua kategori
SML. Terlihat adanya pola yang berkebalikan antara hujan di atas persentil ke-95
intensitas 0 – 50 mm dan 50,1 – 100 mm. Pada intensitas 0 – 50 mm, terjadi
penurunan peluang kejadian hujan seiring dengan meningkatnya SML, sedangkan
pada intensitas 50,1 – 100 mm terjadi peningkatan peluang kejadian hujan di atas
persentil ke-95 seiring peningkatan SML. Peluang hujan di atas persentil ke-95
intensitas 0 – 50 mm tertinggi saat SML 27,1 – 28℃, sedangkan peluang hujan di
atas persentil ke-95 intensitas 50,1 – 100 mm tertinggi saat SML 30,1 – 31℃.
Dari grafik peluang kejadian bias saat intensitas 0 – 50 mm, diketahui
bahwa pada suhu <27℃ dan >31℃ tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95
maupun bias karena nilai peluang 0%. Saat SML bernilai 27,1 – 31℃, peluang
kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm mencapai 99 – 100%.
60

e. Mei
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Mei disajikan
pada Gambar 4.30 berikut.

Gambar 4.30 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Mei

Berdasarkan Gambar 4.30, terlihat adanya pola yang sama dengan bulan
April, yaitu intensitas 0 – 50 mm mengalami penurunan peluang seiring
meningkatnya SML, dan intensitas 50,1 – 100 mm mengalami peningkatan peluang
seiring meningkatnya SML. Saat SML 30,1 – 31℃, intensitas hujan 0 – 50 mm dan
50,1 – 100 mm mengalami perubahan yang signifikan dari SML kategori
sebelumnya. Dari grafik dapat dikatakan bahwa peluang hujan di atas persentil ke-
95 yang mendominasi adalah 0 – 50 dan 50,1 – 100 mm, karena kategori tersebut
memiliki peluang yang sama besar di bulan Mei.
Dari grafik peluang kejadian bias 0 – 50 mm, terlihat bahwa saat SML 25℃
hingga 31℃ peluang kejadian bias mencapai 99 – 100%, sedangkan pada SML
<25℃ dan >31℃ tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95 maupun bias
karena nilai peluang 0%.
61

f. Juni
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Juni disajikan
pada Gambar 4.31 berikut.

Gambar 4.31 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Juni

Berdasarkan Gambar 4.31 terlihat pola yang masih sama dengan bulan
sebelumnya. Namun, terdapat penambahan peluang kejadian hujan di atas persentil
ke-95 pada intensitas 100,1 – 150 mm yang cukup terlihat pada seluruh kategori
SML. Peluang hujan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi saat SML 25,1 - 26℃
mencapai 73,5%. Sedangkan peluang hujan intensitas 50,1 – 100 mm tertinggi
terjadi saat SML 29,1 – 30℃ mencapai 47,47%. Peluang hujan intensitas 100,1 –
150 mm tertinggi terjadi saat SML bernilai 29,1 – 30℃. Curah hujan 0 – 50 mm
masih mendominasi kejadian hujan di atas persentil ke-95 di bulan Juni, karena
memiliki peluang tertinggi di hampir seluruh kategori SML.
Pada grafik peluang bias, terlihat bahwa saat SML <25,1℃ dan >30℃ tidak
ada kejadian hujan hujan di atas persentil ke-95 maupun bias karena peluang
kejadian bernilai 0%. Sedangkan pada SML 24 – 30℃, peluang kejadian bias
mencapai 99 – 100%,
62

g. Juli
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Juli disajikan
pada Gambar 4.32 berikut.

Gambar 4.32 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Juli

Berdasarkan Gambar 4.32 terlihat bahwa pola kejadian hujan masih sama
dengan bulan sebelumnya. Tetapi nilai dari setiap intensitas mengalami perubahan
yang signifikan. Pada hujan di atas persentil ke-95 intensitas 0 – 50 mm, peluang
mencapai 60 – 100%, dengan peluang tertinggi terjadi saat SML 24,1 – 25℃. Hujan
intensitas 50,1 – 100 mm memiliki peluang tertinggi saat SML 28,1 – 29℃ yang
hanya mencapai 30,7%. Pada SML <24℃, peluang hujan intensitas 0 – 50 mm
mencapai 100%. Namun, nilai peluang tersebut tidak terjadi pada kategori SML
lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa peluang hujan tertinggi yaitu intensitas 0
– 50 mm, karena memiliki peluang yang paling besar dibandingkan intensitas lain
di semua kategori SML.
Dari grafik peluang kejadian bias, terlihat bahwa SML rendah (<29℃)
memiliki peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm mencapai 99 – 100%,
sedangkan pada SML >29℃ tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95
maupun bias karena nilai peluang 0%.
63

h. Agustus
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Agustus
disajikan pada Gambar 4.33 berikut.

Gambar 4.33 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Agustus

Berdasarkan Gambar 4.33, terlihat pola kejadian hujan di atas persentil ke-
95 dan bias yang sama dengan bulan Juli. Hal yang membedakan adalah tidak ada
kejadian hujan pada SML <24℃. Peluang hujan di atas persentil ke-95 intensitas 0
– 50 mm tertinggi terjadi saat SML 24,1 – 25℃ yang mencapai 94%. Peluang hujan
di atas persentil ke-95 intensitas 50,1 – 100 mm tertinggi terjadi saat SML 28,1 –
29℃ mencapai 36%. Pada SML 28,1 – 29℃ terjadi kejadian hujan di atas persentil
ke-95 dengan intensitas yang bervariasi dibandingkan SML kategori lain. Dapat
terlihat bahwa curah hujan intensitas 0 – 50 mm mendominasi kejadian hujan di
atas persentil ke-95 di bulan Agustus karena memiliki peluang yang besar
dibandingkan intensitas lain di semua kategori SML.
Dari grafik peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm, peluang
tertinggi terjadi pada SML <29℃ mencapai 100%, sedangkan pada SML >29℃
tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95 maupun bias karena nilai peluang
0%.
64

i. September
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan September
disajikan pada Gambar 4.34 berikut.

Gambar 4.34 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan September

Berdasarkan Gambar 4.34 terlihat pola yang cukup bervariasi pada


intensitas 0 – 50 mm. Peluang hujan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi saat SML
24,1 – 25℃ yang mencapai 100%, sedangkan peluang terendah terjadi saat SML
29,1 – 30℃. Pola yang dibentuk hujan intensitas 50,1 – 100 mm meningkat seiring
dengan peningkatan SML. Peluang hujan tertinggi terjadi pada SML 29,1 – 30℃
yang mencapai 35%. Kejadian hujan di atas persentil ke-95 pada bulan September
didominasi oleh intensitas 0 – 50 mm.
Berdasarkan grafik peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm,
peluang bias tertinggi terjadi pada SML 24 – 30℃ yang mencapai 100%, sedangkan
pada SML <24℃ dan >30℃ tidak ada kejadian hujan di atas persentil ke-95
maupun bias karena nilai peluang 0%.
65

j. Oktober
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Oktober
disajikan pada Gambar 4.35 berikut.

Gambar 4.35 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Oktober

Berdasarkan Gambar 4.35, terlihat pola yang cukup bervariasi di setiap


kategori SML. Hujan intensitas 0 – 50 mm memiliki pola yang menurun seiring
meningkatnya SML. Peluang tertinggi terjadi saat SML 26,1 – 27℃. Hujan
intensitas 50,1 – 100 mm memiliki pola yang meningkat seiring dengan
peningkatan SML. Peluang tertinggi terjadi saat SML 29,1 – 30℃. Pada SML 29,1
– 30℃, peluang hujan yang turun bervariasi, mulai dari 0 – 50 mm hingga 150,1 –
200 mm. Curah hujan intensitas 0 – 50 mm masih mendominasi kejadian hujan di
atas persentil ke-95 di bulan Oktober karena nilai peluang yang lebih besar
dibandingkan intensitas lain di semua kategori SML.
Berdasarkan grafik peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm,
peluang tetrtinggi terjadi pada SML 24 – 31℃ mencapai 100%, sedangkan pada
SML <24℃ dan >31℃ tidak ada kejadian hujan bias karena nilai peluang 0%.
66

k. November
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan November
disajikan pada Gambar 4.36 berikut.

Gambar 4.36 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan November

Berdasarkan Gambar 4.36 terlihat pola curah hujan yang sangat bervariasi.
Peluang hujan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi saat SML 27,1 – 28℃ mencapai
65%, sedangkan peluang hujan terendah terjadi saat SML 29,1 – 30℃. Peluang
hujan intensitas 50,1 – 100 mm tertinggi terjadi saat SML 26,1 – 27℃ dan terendah
saat SML 27,1 – 28℃. Kejadian hujan di atas persentil ke-95 pada bulan November
didominasi oleh hujan dengan intensitas 0 – 50 mm dan 50,1 – 100 mm karena
memiliki peluang yang besar dibandingkan intensitas lain di semua kategori SML.
Peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi pada
SML >26℃ yang mencapai 95 – 100%, sedangkan pada SML <26℃ tidak ada
kejadian hujan bias karena nilai peluang 0%.
67

l. Desember
Peluang curah hujan harian di atas persentil ke-95 pada bulan Desember
disajikan pada Gambar 4.37 berikut.

Gambar 4.37 Peluang curah hujan di atas persentil ke-95 saat


SML pada bulan Desember

Berdasarkan Gambar 4.37, pola yang dihasilkan pada intensitas 0 – 50 mm


membentuk kurva dengan peluang terendah terjadi saat SML 29,1 – 30℃ dan
peluang tertinggi saat SML 27,1 – 28℃. Intensitas hujan 50,1 – 100 mm memiliki
peluang tertinggi saat SML 30,1 – 31℃ dan terendah saat >31℃. Pada SML >31℃
intensitas hujan yang turun bervariasi, mulai dari intensitas 0 – 50 mm hingga 150,1
– 200 mm. Curah hujan pada bulan Desember didominasi oleh hujan dengan
intensitas 50,1 – 100 mm karena memiliki peluang yang besar dibandingkan
intensitas lain di semua kategori SML.
Peluang kejadian bias dengan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi saat
SML >27℃ dan mencapai 98 – 99%, sedangkan saat SML <27℃ tidak ada
kejadian hujan bias karena nilai peluang 0%.
68

4.2 Pembahasan
Korelasi curah hujan berdasarkan data hujan dan SML bulanan selama
periode 1999 – 2018 yang ditampilkan pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa curah
hujan di Banyuwangi dan SML memiliki korelasi pada rentang 0,4 – 0,7 yang
menunjukkan hubungan yang cukup kuat (menengah). Nilai korelasi positif
menunjukkan adanya perbandingan lurus yaitu saat SML meningkat, terdapat
kemungkinan curah hujan juga meningkat. Begitupula sebaliknya, ketika SML
menurun menyebabkan curah hujan di Banyuwangi menurun. Artinya, 40 – 70%
naik turunnya curah hujan dipengaruhi oleh naik turunnya SML. Enam grid SML
yang memiliki korelasi positif terbesar dengan lokasi penelitian yaitu grid 23, 38,
50, 51, 52 dan 65 merupakan bagian dari Laut Arafura dan Laut Banda. Jika dilihat
dari Lampiran 1 yaitu daftar korelasi curah hujan dengan seluruh grid SML, terlihat
bahwa SML di sekitar 6 grid tersebut memiliki korelasi positif yang cukup besar
juga sehingga dapat dikatakan bahwa SML Laut Arafura dan Laut Banda
memengaruhi curah hujan Banyuwangi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Soetamto (2007) yang menyatakan bahwa curah hujan di timur
pulau Jawa yaitu Banyuwangi dipengaruhi secara kuat (berkorelasi positif sebesar
0,5 – 0,6) oleh SML di wilayah perairan Maluku Tenggara (Laut Banda) dan
sebelah utara Australia (Laut Arafura).
Tabel 4.2 menjelaskan tentang nilai ambang batas curah hujan harian di atas
persentil ke-95 di Banyuwangi. Dari tabel tersebut diketahui bahwa ambang batas
hujan di Banyuwangi berada pada rentang 0 – 70 mm. Berdasarkan kriteria curah
hujan BMKG yang dicantumkan pada Tabel 2.1, ambang batas curah hujan di
Banyuwangi termasuk dalam kategori ringan – lebat. Hal ini dapat dikaitkan dengan
lokasi Banyuwangi yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa yang memiliki
karakteristik iklim cenderung kering. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Soetamto (2007) yang menyebutkan bahwa pola umum curah hujan
rata-rata di Jawa Timur yaitu paling besar di wilayah barat – tengah dan berkurang
secara gradual ke arah timur dan utara.
Secara umum, bulan Desember dan Januari adalah bulan dengan nilai
ambang batas tertinggi hampir di seluruh pos hujan, sedangkan bulan Juni –
69

Oktober memiliki ambang batas terendah. Hal tersebut sesuai dengan pola curah
hujan rata-rata bulanan pada Lampiran 3 yang menjelaskan bulan Desember dan
Januari termasuk dalam musim hujan, sedangkan Juni – Oktober termasuk musim
kemarau. Adanya kesamaan pola tersebut memengaruhi besarnya ambang batas
hujan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fadholi
(2018) yang menyatakan bahwa nilai ambang batas memiliki korelasi yang tinggi
dengan nilai rata-rata bulanan curah hujan. Semakin tinggi rata-rata curah hujan
bulanan, maka semakin tinggi nilai ambang batas. Hasil tersebut juga sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Suryantoro (2013) yang menyatakan bahwa ambang
batas hujan Banyuwangi mengikuti pola curah hujan bulanan dan klimatologisnya.
Dilihat dari distribusi spasial ambang batas di Banyuwangi yang
ditunjukkan oleh Gambar 4.4 sampai 4.15, daerah dengan nilai ambang batas yang
tinggi terjadi di wilayah barat Banyuwangi sedangkan wilayah lainnya memiliki
nilai ambang batas yang lebih rendah. Hal ini diperkuat oleh grafik ambang batas
tertinggi dan terendah pada Gambar 4.1. Pos hujan yang terletak di wilayah barat
adalah pos hujan Bayu Lor, Gunung Raung, Kalisepanjang, dan Songgon.
Berdasarkan ketinggian pos hujan yang digunakan, pos hujan Bayu Lor dan
Songgon terletak di ketinggian >400 di atas permukaan laut (mdpl) dan merupakan
daerah pegunungan. Sedangkan di wilayah timur dan selatan terdapat pos hujan
Alas Buluh dan Tegal Dlimo. Wilayah tersebut berupa dataran rendah dengan
ketinggian <400 mdpl dan berada di wilayah pesisir. Menurut Tjasyono dan Sri
Woro (2012), daerah dengan topografi tinggi terutama di daerah lereng pegunungan
memiliki curah hujan yang tinggi akibat terjadinya hujan orografis. Penelitian yang
dilakukan oleh Supari dkk. (2012) menyatakan hal yang sama bahwa topografi dan
bentuk geografi wilayah menentukan curah hujan yang turun. Intensitas curah hujan
di wilayah pegunungan atau dataran tinggi cenderung lebih tinggi daripada dataran
rendah.
Gambar 4.14 – 4.25 menjelaskan tentang frekuensi kejadian hujan di atas
persentil ke-95 setiap bulan pada kategori SML. Dari grafik tersebut, dapat
diketahui bahwa nilai SML yang sama dapat menghasilkan curah hujan dengan
intensitas yang berbeda. Intensitas curah hujan yang dihasilkan dapat termasuk
70

kategori di atas persentil ke-95 maupun tidak. Hal tersebut dapat terjadi karena
adanya faktor lain seperti kandungan uap air saat kejadian, kecepatan dan arah
angin. Frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95 setiap bulan berkisar 400 –
500 kejadian, sedangkan frekuensi kejadian di bawah persentil ke-95 berkisar 8.000
– 11.000 kejadian tiap bulan selama periode 1999 – 2018. Perbedaan jumlah
frekuensi tersebut memengaruhi nilai peluang hujan di atas persentil ke-95 dan
peluang kejadian bias sehingga menjadi jauh berbeda.
Dari gambar tersebut, frekuensi hujan intensitas 0 – 50 mm tertinggi terjadi
pada bulan Juli sebanyak 201 kejadian pada SML 29,1 – 30℃, frekuensi hujan
intensitas 50,1 – 100 mm terjadi pada bulan Januari sebanyak 244 kejadian saat
SML 29,1 – 30℃. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pengaruh dari
pergerakan semu tahunan matahari yang memengaruhi nilai SML. Pada bulan
Januari, matahari berada di sebelah selatan khatulistiwa dan memiliki sudut datang
yang kecil sehingga menimbulkan pemanasan yang lebih tinggi. Hal tersebut
mengakibatkan penurunan tekanan udara dan mempercepat pertumbuhan awan
konvektif yang menghasilkan curah hujan. Sedangkan pada bulan Juli, matahari
berada di sebelah utara khatulistiwa dan memiliki sudut datang yang besar sehingga
tidak terjadi pemanasan tinggi yang menyebabkan menurunnya tingkat curah hujan.
Frekuensi kejadian hujan di bawah persentil ke-95 memiliki pola yang sama
dengan frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95 yaitu frekuensi teringgi
terjadi saat SML yang sama, kecuali pada bulan Juli dan September yaitu kejadian
bias pada bulan tersebut memiliki frekuensi tertinggi pada nilai SML dibawah
frekuensi kejadian hujan di atas persentil ke-95. Hal ini dapat disebabkan karena
bulan tersebut termasuk dalam bulan kering yang berarti SML yang lebih rendah
cenderung menghasilkan hujan dengan intensitas yang kecil (0 – 50 mm).
Pada Gambar 4.26 – 4.37 yang merupakan grafik peluang kejadian di atas
persentil ke-95 terlihat bahwa terdapat kesamaan pola pada musim hujan dan
musim kemarau. Pada bulan November – Maret, peluang terjadinya hujan di atas
persentil ke-95 intensitas 50,1 – 100 mm terbesar terjadi dengan syarat SML 29,1
– 30℃. Pada bulan April – Oktober, peluang hujan intensitas 0 – 50 mm memiliki
tren menurun seiring dengan pertambahan SML. Peluang hujan di atas persentil ke-
71

95 intensitas 50,1 – 100 mm mengalami peningkatan tren seiring bertambahnya


SML. Hal ini mengindikasikan pada bulan tersebut, peluang tertinggi hujan di atas
persentil ke-95 terjadi saat SML rendah (25 – 27℃) dengan intensitas hujan 0 – 50
mm. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Streten (1983)
yang menyatakan bahwa curah hujan yang rendah berhubungan kuat dengan
kondisi SML yang dingin, sedangkan curah hujan yang tinggi berhubungan kuat
dengan kondisi SML yang hangat.
Berdasarkan hasil peluang kejadian bias, terdapat perbedaan pola pada
bulan-bulan tertentu. Pola yang sama dimiliki oleh bulan-bulan yang termasuk
musim hujan maupun kemarau. Dari perbedaan pola tersebut dapat dikatakan
bahwa pada musim hujan yaitu November hingga Maret, kejadian hujan bias terjadi
pada SML yang tinggi (>27℃), sedangkan pada musim kemarau yaitu April hingga
Oktober kejadian hujan di atas persentil ke-95 terjadi saat SML rendah (<26℃).
Hampir di seluruh bulan peluang kejadian bias mencapai 100%. Hal ini karena
curah hujan dipengaruhi oleh banyak faktor selain suhu muka laut seperti faktor
lokal (angin gunung-lembah, angin darat-laut), kandungan uap air, serta kecepatan
angin yang juga dapat memengaruhi terjadinya hujan dengan intensitas rendah.
Selain itu, kondisi Indonesia dengan kondisi topografis, orografis, dan letak
geografis yang berbeda menjadi penyebab selalu ada kejadian curah hujan di semua
waktu, baik musim penghujan, kemarau, maupun transisi.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang telah dilakukan, maka
diperoleh kesimpulan:
1. Curah hujan di 18 lokasi penelitian di Banyuwangi memiliki korelasi positif
yang kuat dengan SML di grid 23, 38, 50, 51, 52, dan 65 yaitu perairan timur
Indonesia (Laut Banda dan Laut Arafuru) sebesar 0,4 – 0,7.
2. Ambang batas curah hujan harian berdasarkan pesentil ke-95 di Banyuwangi
bervariasi dengan rentang 0 – 70 mm dan termasuk dalam kategori lebat.
Wilayah barat Banyuwangi memiliki ambang batas yang lebih tinggi (30 – 70
mm) dibandingkan wilayah lain. Wilayah timur dan selatan Banyuwangi
memiliki ambang batas rendah (0 – 30 mm). Perbedaan nilai ambang batas
terjadi karena perbedaan nilai rata-rata hujan bulanan dan kondisi topografi di
setiap wilayah.
3. Frekuensi kejadian hujan berdasarkan persentil ke-95 tertinggi pada bulan
November – Maret terjadi saat SML mencapai 29,1 – 30℃ dan pada bulan
April – Oktober terjadi saat SML 26,1 – 28℃. Pada bulan November – Maret,
peluang hujan meningkat seiring peningkatan SML yang semakin tinggi,
sedangkan pada bulan April – Oktober peluang hujan meningkat saat SML
semakin rendah. Kejadian hujan di bawah persentil ke-95 memiliki frekuensi
dan peluang yang sama dengan terjadinya hujan di atas persentil ke-95.
Peluang curah hujan intensitas 0 – 50 mm mencapai 100% di setiap kategori
SML.

5.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan untuk peningkatan di penelitian
berikutnya adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini menggunakan satu parameter pendukung yaitu suhu muka laut.
Penelitian selanjutnya dapat menggunakan parameter tambahan seperti

72
73

kecepatan angin, radiasi matahari, topografi dan ketinggian daerah agar analisis
lebih mendalam.
2. Penelitian selanjutnya dapat membandingkan beberapa metode untuk
menentukan ambang batas yang paling sesuai di suatu wilayah.
3. Penelitian selanjutnya dapat mengaitkan curah hujan dengan fenomena skala
regional atau global seperti El-Nino dan La Nina, MJO, maupun fenomena lain.
DAFTAR PUSTAKA

Adi, T. R., Sukojo, B. M., Hariyanto, T., Wirasantosa, S., Pranowo, W. S., Mustain,
M., 2015, Model Variasi Harian Suhu Permukaan Laut dari Data Modis dan
In Situ Menggunakan Metoda Parameterisasi Empirik di Samudra Hindia,
Jurnal Segara, Vol. 10, hal. 87-97.

Aldrian, E., 2008, Meteorologi Laut Indonesia, BMKG, Jakarta.

Aldrian, E., 2016, Sistem Peringatan Dini Menghadapi Iklim Ekstrem, Jurnal
Sumberdaya Lahan No. 2, Vol. 10 hal. 79-90.

Aldrian, E., Dwi Susanto, R., 2003, Identification Of Three Dominant Rainfall
Regions Within Indonesia And Their Relationship To Sea Surface
Temperature, International Journal of Climatology: A Journal of the Royal
Meteorological Society, Vol 23, pp. 1435-1452.

Anagnostopoulou, C., Tolika, K., 2011, Extreme Precipitation in Europe: Statistical


Threshold Selection Based on Climatological Criteria, Theoretical and
Applied Climatology, Vol. 107, pp. 479-489.

Andronikos, E., 2019, Identifikasi Cuaca Terkait Hujan Ekstrim (110.3 mm) di
Nabire, BMKG, Nabire.

Awaludin, M. Y., 2011, Karakteristik Suhu Permukaan Laut Dan Hujan Di


Indonesia, Jurnal Harpodon Borneo, Vol. 4, hal. 72-76.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2019, Buletin Hujan Bulanan


BMKG Edisi Oktober 2019, BMKG, Jakarta.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2013, Indeks Resiko Bencana Indonesia


Tahun 2013, BNPB, Jawa Barat.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana, http://bnpb.cloud/dibi/tabel1b, diakses


tanggal 29 November 2019

Chu, P.-S., Zhao, X., Ruan, Y., Grubbs, M., 2009, Extreme Rainfall Events in The
Hawaiian Islands, Journal of Applied Meteorology and Climatology, Vol.
48, pp. 502-516.

Dias, M. A. S., Dias, J., Carvalho, L. M., Freitas, E. D., Dias, P. L. S., 2013,
Changes in Extreme Daily Rainfall for São Paulo, Brazil, Climatic Change,
Vol. 116, pp. 705-722.

Estiningtyas, W., Ramadhani, F., Aldrian, E., 2007, Analisis Korelasi Curah Hujan
Dan Suhu Permukaan Laut Wilayah Indonesia, Serta Implikasinya Untuk
Prakiraan Curah Hujan (Studi Kasus Kabupaten Cilacap) (Correlation

74
75

Analysis of Rainfall and Indonesia Sea Surface Temperature, and Its,


Agromet, Vol. 21, hal 46-60.

Fadholi, A., 2018, Analysis of the Extreme Rainfall Frequency in Bangka Belitung
Island based on Climate Hazards Group Infra-Red Precipitation with
Stations (CHIRPS) Data, Jurnal Geografi Gea, Vol. 18, pp. 22-32.

Febrianti, N., 2018, Hubungan Pemanasan Global dengan Kondisi Suhu Udara dan
Curah Hujan di Indonesia, LAPAN, Vol. 299.

Habibie, M. N., Nuraini, T. A., 2014, Karakteristik dan Tren Perubahan Suhu
Permukaan Laut di Indonesia Periode 1982-2009, Jurnal meteorologi dan
geofisika, Vol. 15, hal. 37-49.

Halida, M., 2015, Analisis Ambang Batas Curah Hujan Ekstrem Harian
Menggunakan Metode Persentil 95 di Provinsi Kalimantan Barat, Skripsi,
Program Studi Klimatologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, Jakarta.

Haylock, M., Nicholls, N., 2000, Trends in Extreme Rainfall Indices for an Updated
High-Quality Data Set for Australia, 1910–1998, International Journal of
Climatology: A Journal of the Royal Meteorological Society, Vol. 20, pp.
1533-1541.

Hendon, H. H., 2003, Indonesian Rainfall Variability: Impacts of ENSO and Local
Air–Sea Interaction, Journal of Climate, Vol. 16, pp. 1775-1790.

IRI Columbia Edu, NOAA, Optimum Interpolation 1/4 Degree Daily Sea Surface
Temperature Analysis, Version 2
https://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCDC/.OISST/.version
2/.dataset_documentation.html diakses pada 30 Desember 2019.

IRI Columbia Edu, NOAA, Description of the OI. v2 Monthly SST Analysis (v2
indicates version 2)
http://iridl.ldeo.columbia.edu/SOURCES/.NOAA/.NCEP/.EMC/.CMB/.GL
OBAL/Reyn_SmithOIv2/.monthly/.dataset_documentation.html diakses
pada 29 Desember 2019

Johnston, K., Ver Hoef, J. M., Krivoruchko, K., Lucas, N. 2001, Using ArcGIS
geostatistical analyst, ESRI, Redlands.

Karimah, Y., Wigena, A. H., Soleh, A. M., 2019, Penentuan Nilai Ambang Batas
Sebaran Pareto Terampat dengan Measure of Surprise, Indonesian Journal
of Statistics and Its Applications, Vol. 3, hal. 161-168.

Kurniadi, H., Aprilia, E., Utomo, J. B., Kurniawan, A., Safril, A., 2018,
Perbandingan Metode IDW dan Spline dalam Interpolasi Data Curah Hujan
76

(Studi Kasus Curah Hujan Bulanan di Jawa Timur Periode 2012-2016),


Prosiding Seminar Nasional Geotik 2018.

Kurniawan, A., 2018, Menentukan Metode Interpolasi Spasial Curah Hujan


Bulanan Terbaik di Jawa Timur, Skripsi, Program Studi Klimatologi,
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

Lau, N.-C., 1997, Interactions Between Global SST Anomalies and the Midlatitude
Atmospheric Circulation, Bulletin of the American Meteorological Society,
Vol. 78, pp. 21-34.

Nazir, M. 2005, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Bogor.

National Oceanic and Atmospheric Administration,


https://www.ospo.noaa.gov/Products/ocean/sst.html, diakses pada 02
Feburari 2020.

Nuryadi, N., Agustiarini, S., 2018, Analisis Rawan Kekeringan Lahan Padi
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Jurnal Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, 5, 29-36.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Gambaran Umum Daerah Banyuwangi,


https://www.banyuwangikab.go.id/profil/gambaranumum.html diakses
pada tanggal 20 November 2019.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2018, BPBD Banyuwangi: 23 Rumah Rusak


Berat Akibat Banjir Bandang, https://www.banyuwangikab.go.id/berita-
daerah/bpbd-banyuwangi-23-rumah-rusak-berat-akibat-banjir-
bandang.html, diakses pada 07 Februari 2020.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, 2018, Material Vulkanik Gunung Raung


Tumpah Sebabkan Banjir Bandang di Banyuwangi,
https://www.banyuwangikab.go.id/berita-daerah/material-vulkanik-
gunung-raung-tumpah-sebabkan-banjir-bandang-di-banyuwangi.html,
diakses pada 07 Februari 2020.

Putra, I. N. J. T., Karang, I. W. G. A., Putra, I. D. N. N., 2019, Analisis Temporal


Suhu Permukaan Laut di Perairan Indonesia Selama 32 Tahun (Era
AVHRR), Journal of Marine and Aquatic Sciences, Vol 5, pp. 234-246.

Runtunuwu, E., Syahbuddin, H., 2007, Perubahan Pola Curah Hujan dan
Dampaknya terhadap Potensi Periode Masa Tanam, Tanah dan Iklim, Vol.
26, hal. 1-12.

Sarwono, J.,Salim, H. N. 2017, Prosedur-prosedur Populer Statistik untuk Analisis


Data Riset Skripsi, Gava Media, Yogyakarta.
77

Slingo, J., Qu, T., Du, Y., Strachan, J., Meyers, G., 2005, Sea Surface
Temperatureand Its Variability, Oceanography, 18, 50.

Soetamto, 2007, Analisis Korelasi Curah Hujan Dasarian di Propinsi Jawa Timur
dengan Suhu Muka Laut di Indonesia, Magister, Universitas Indonesia,
Jakarta.

Streten, N., 1983, Extreme Distributions of Australian Annual Rainfall in Relation


to Sea Surface Temperature, Journal of Climatology, Vol. 3, pp. 143-153.

Su, J., Wang, H., Yang, H., Drange, H., Gao, Y., Bentsen, M., 2008, Role of the
Atmospheric and Oceanic Circulation in the Tropical Pacific SST Changes,
Journal of Climate, Vol. 21, pp. 2019-2034.

Sucahyono, D., Pawitan, H., Wigena, A. H., 2009, Model Prakiraan Curah Hujan
Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara dengan Prediktor Suhu Muka Laut
(SML) dan Outgoing Longwave Radiation (OLR), Jurnal Meteorologi dan
Geofisika, Vol. 10.

Sucahyono, D., Ribudiyanto, K. 2013, Cuaca dan Iklim Ekstrim di Indonesia,


Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

Sunyoto, D. 2016, Statistika Deskriptif dan Probabilitas, CAPS, Jakarta.

Supari, Sudibyakto, Ettema, J., Aldrian, E., 2012, Spatiotemporal Characteristics of


Extreme Rainfall Events over Java Island, Indonesia, Indonesian Journal of
Geography, Vol. 44, pp. 62-86.

Supari, Tangang, F., Juneng, L., Aldrian, E., 2017, Observed Changes in Extreme
Temperature and Precipitation Over Indonesia, International Journal of
Climatology, Vol. 37, pp. 1979-1997.

Supranto, J. 1996, Statistik Teori dan Aplikasi Edisi Kelima, Jakarta.

Suryantoro, A., 2013, Pemanasan Global dan Keterkaitannya dengan Kondisi


Ekstrem Hujan Beberapa Daerah di Jawa Dan Sumatera.

Syaifullah, M. D., 2015, Suhu Permukaan Laut Perairan Indonesia dan


Hubungannya dengan Pemanasan Global, Jurnal Segara, Vol. 11, hal. 103-
113.

Tjasyono, B. 2004, Klimatologi, ITB, Bandung.

Tjasyono, B., Gernowo, R., Sri Woro, B., Ina, J, 2008, The Character of Rainfall in
the Indonesian Monsoon, The International Symposium on Equatorial
Monsoon System, Yogyakarta.
78

Tjasyono, B., Sri Woro, B. 2012, Meteorologi Indonesia II Awan dan Hujan
Monsun, Jakarta, BMKG.

Walpole, R. E., Myers, R. H., Myers, S. L., Ye, K. 2012, Probability and Statistics
for Engineers and Scientists.

Wilks, D. S. 2011, Statistical Methods in the Atmospheric Sciences, Academic


press.

World Meteorological Organization, 2009, Guidelines on Analysis of Extremes in


a Changing Climate in Support of Informed Decisions for Adaptation,
World Meteorological Organization.

World Meteorological Organization, 2018, Guidelines on the Definition and


Monitoring of Extreme Weather and Climate Events.

Zhu, Y., Toth, Z. Extreme Weather Events and Their Probabilistic Prediction,
https://www.emc.ncep.noaa.gov/gmb/ens/target/ens/albapr/albapr.html,
Environmental Modeling Center, diakses pada 07 Februari 2020.

Zin, W. Z. W., Jamaludin, S., Deni, S. M., Jemain, A. A., 2010, Recent Changes in
Extreme Rainfall Events in Peninsular Malaysia: 1971–2005, Theoretical
and Applied Climatology, Vol. 99, pp. 303-314.
Kotak Stamet
Trebasa
SML/Pos Alas Bajulma Bayu Glen Gunung Kalisep Kandan Kawah Lijen Pasewar Pesang Songgo Banyuwa Tegal
ngi
la
hujan Buluh ti Lor Cluring Gambor Nevis Raung anjang gan Ijen Jambu an garan Selogiri n Dlimo
1 -0.1883 -0.1140 0.0649 -0.1236 -0.1486 0.0506 0.0850 0.0849 -0.1223 -0.1505 0.0052 -0.2707 -0.1361 -0.1794 -0.0648 -0.1486 -0.0443 -0.0036
3 0.0690 0.0852 0.1651 0.0429 0.0248 0.2267 0.2175 0.2642 -0.0754 0.0800 0.1514 0.0324 0.0402 0.0488 0.0938 0.0645 0.0809 0.2033
4 -0.2429 -0.2124 -0.0440 -0.1663 -0.2274 -0.0261 0.0139 0.0334 -0.2879 -0.1655 -0.0894 -0.2895 -0.2230 -0.2355 -0.1463 -0.2145 -0.2170 -0.0934
5 0.0970 0.1246 0.1886 0.0884 0.0185 0.2739 0.2662 0.2679 0.0401 0.1068 0.2084 0.1154 0.0839 0.1544 0.0801 0.1392 0.1204 0.2961
6 0.3748 0.3917 0.4078 0.3027 0.2574 0.5058 0.4624 0.4819 0.2686 0.3617 0.4538 0.4185 0.3582 0.4399 0.3275 0.4268 0.4292 0.5593
7 0.3605 0.3915 0.4345 0.3197 0.2867 0.5190 0.4955 0.5236 0.2426 0.3712 0.4680 0.4005 0.3947 0.4094 0.3482 0.4232 0.4615 0.5552
8 0.2734 0.3257 0.3851 0.2850 0.2513 0.4639 0.4456 0.4803 0.1906 0.3215 0.3917 0.3188 0.3481 0.3281 0.2738 0.3489 0.4106 0.4858
9 0.1709 0.2362 0.3157 0.2442 0.1984 0.4189 0.4150 0.4377 0.1304 0.2700 0.2879 0.2234 0.2925 0.2433 0.2001 0.2695 0.3497 0.4129
10 0.0873 0.1446 0.2423 0.1926 0.1660 0.3697 0.3816 0.3857 0.0814 0.1719 0.2011 0.1313 0.2478 0.1814 0.1968 0.2070 0.3101 0.3192
11 -0.1627 -0.1154 0.0250 0.0195 -0.0033 0.1138 0.1396 0.1589 -0.0770 -0.0670 -0.0452 -0.1708 0.0371 -0.1046 0.0434 -0.0661 0.0725 0.0396
12 -0.2246 -0.1826 0.0029 -0.0423 -0.0538 0.0456 0.0847 0.1110 -0.1579 -0.1127 -0.0874 -0.2715 -0.0392 -0.1960 0.0050 -0.1564 0.0080 -0.0232
13 -0.1106 -0.0651 0.1575 0.0266 0.0535 0.1316 0.1755 0.1908 -0.0976 0.0405 0.0233 -0.1449 0.0732 -0.0928 0.0421 -0.0545 0.1147 0.0712
14 0.1008 0.1570 0.2575 0.1413 0.0691 0.3376 0.3016 0.3270 0.1678 0.1229 0.2811 0.0984 0.1585 0.1799 0.1574 0.2052 0.2382 0.3406
15 0.2055 0.2344 0.3026 0.2135 0.1496 0.4101 0.3335 0.3708 0.2432 0.2108 0.3485 0.2261 0.2458 0.2904 0.2221 0.3038 0.3167 0.4237
16 0.2021 0.1963 0.2551 0.2031 0.1403 0.4029 0.3361 0.3825 0.1918 0.2125 0.2948 0.2258 0.2311 0.2543 0.1890 0.2709 0.2690 0.4022
17 0.1394 0.1335 0.2142 0.1863 0.0869 0.3743 0.3164 0.3601 0.1737 0.1732 0.2481 0.1710 0.1987 0.2097 0.1391 0.2302 0.2196 0.3580
18 0.3777 0.3795 0.3683 0.3690 0.2853 0.5345 0.4354 0.4740 0.3831 0.3674 0.4357 0.4647 0.4198 0.4768 0.3238 0.4709 0.4732 0.5689
19 0.4512 0.4582 0.4116 0.3872 0.3258 0.5670 0.4679 0.5048 0.4062 0.4113 0.4915 0.5353 0.4623 0.5341 0.3884 0.5218 0.5207 0.6135

79
20 0.4486 0.4679 0.4304 0.3927 0.3462 0.5824 0.4991 0.5306 0.3921 0.4137 0.5055 0.5245 0.4828 0.5204 0.4002 0.5268 0.5296 0.6207
21 0.4290 0.4580 0.4244 0.3900 0.3501 0.5775 0.4992 0.5296 0.3829 0.4146 0.4888 0.5096 0.4752 0.5150 0.3810 0.5203 0.5271 0.6157
22 0.4590 0.4856 0.4383 0.4097 0.3751 0.5941 0.5225 0.5446 0.4009 0.4528 0.5012 0.5437 0.4996 0.5558 0.3970 0.5514 0.5502 0.6433
LAMPIRAN

23 0.4827 0.5067 0.4369 0.4314 0.3905 0.5995 0.5243 0.5453 0.4256 0.4651 0.5059 0.5702 0.5270 0.5875 0.4155 0.5753 0.5683 0.6523
Lampiran 1. Korelasi SML dan CH di tiap titik

24 0.4585 0.4873 0.4090 0.4556 0.4045 0.5832 0.4924 0.5298 0.4388 0.4473 0.4786 0.5465 0.5419 0.5697 0.4047 0.5612 0.5682 0.6418
25 0.4124 0.4441 0.4170 0.4487 0.4057 0.5672 0.4837 0.5362 0.3927 0.4334 0.4570 0.4872 0.5265 0.5191 0.3974 0.5179 0.5567 0.6204
26 0.1828 0.2264 0.3545 0.3071 0.2940 0.4258 0.3802 0.4389 0.1519 0.3179 0.2908 0.2176 0.3745 0.2613 0.2493 0.2880 0.4061 0.4222
27 0.0922 0.1418 0.2535 0.1481 0.0640 0.3720 0.3517 0.3440 0.1917 0.1205 0.2895 0.1168 0.1813 0.1659 0.1737 0.2116 0.2311 0.3448
28 0.1594 0.1862 0.2993 0.1947 0.1162 0.4245 0.3813 0.3819 0.2286 0.1862 0.3339 0.1954 0.2390 0.2431 0.2130 0.2804 0.2837 0.4136
29 0.1655 0.1720 0.2928 0.2089 0.1156 0.4257 0.3929 0.4048 0.2233 0.2065 0.3173 0.2085 0.2486 0.2463 0.1886 0.2804 0.2742 0.4216
30 0.1745 0.1862 0.3100 0.2446 0.1263 0.4457 0.4173 0.4338 0.2446 0.2292 0.3311 0.2272 0.2801 0.2671 0.2029 0.3048 0.2959 0.4415
31 0.2663 0.2746 0.3713 0.3361 0.2423 0.5111 0.4484 0.4726 0.3419 0.3015 0.4057 0.3523 0.3871 0.3634 0.3017 0.3982 0.4289 0.5101
32 0.3291 0.3429 0.3958 0.3518 0.2803 0.5400 0.4657 0.4864 0.3660 0.3324 0.4458 0.4147 0.4209 0.4101 0.3510 0.4393 0.4651 0.5448
33 0.4043 0.4264 0.4181 0.3894 0.3438 0.5835 0.4932 0.5116 0.3999 0.3858 0.4831 0.4902 0.4718 0.4739 0.3918 0.5002 0.5071 0.6022
34 0.4280 0.4516 0.4235 0.4005 0.3593 0.5965 0.5041 0.5227 0.4081 0.4109 0.4863 0.5156 0.4813 0.5081 0.3981 0.5201 0.5258 0.6215
35 0.4593 0.4799 0.4297 0.4179 0.3766 0.5999 0.5160 0.5337 0.4191 0.4439 0.4956 0.5466 0.5053 0.5436 0.4023 0.5455 0.5431 0.6428
36 0.4857 0.5059 0.4264 0.4434 0.3916 0.5927 0.5063 0.5297 0.4401 0.4657 0.5029 0.5770 0.5338 0.5754 0.4064 0.5716 0.5543 0.6504
37 0.5171 0.5361 0.4332 0.4769 0.4342 0.5881 0.4851 0.5264 0.4697 0.4929 0.5169 0.6117 0.5622 0.6169 0.4204 0.6036 0.5809 0.6669
38 0.5268 0.5438 0.4392 0.4854 0.4480 0.5831 0.4749 0.5250 0.4772 0.5020 0.5219 0.6229 0.5677 0.6295 0.4285 0.6118 0.5899 0.6666
40 0.4843 0.5026 0.3831 0.3694 0.3426 0.5384 0.4069 0.4732 0.4279 0.4234 0.5010 0.5529 0.4293 0.5362 0.4108 0.5158 0.5022 0.6020
Kotak Stamet
Trebasa
SML/Pos Alas Bajulma Bayu Glen Gunung Kalisep Kandan Kawah Lijen Pasewar Pesang Songgo Banyuwa Tegal
ngi
la
hujan Buluh ti Lor Cluring Gambor Nevis Raung anjang gan Ijen Jambu an garan Selogiri n Dlimo
41 0.4637 0.4775 0.3804 0.3642 0.3135 0.5587 0.4324 0.4853 0.4139 0.4123 0.4942 0.5350 0.4330 0.5229 0.3989 0.5108 0.4861 0.6071
42 0.4252 0.4373 0.3718 0.3625 0.2869 0.5628 0.4554 0.4989 0.3983 0.3957 0.4729 0.5094 0.4251 0.4940 0.3696 0.4910 0.4615 0.6035
43 0.4188 0.4356 0.3748 0.3754 0.2860 0.5670 0.4646 0.5044 0.3971 0.3942 0.4702 0.5087 0.4331 0.4856 0.3711 0.4914 0.4630 0.6065
44 0.4087 0.4356 0.3943 0.3875 0.3010 0.5756 0.4774 0.5089 0.4013 0.3872 0.4780 0.4998 0.4458 0.4733 0.3943 0.4959 0.4876 0.6077
45 0.3815 0.4132 0.3844 0.3790 0.2855 0.5715 0.4826 0.4943 0.3944 0.3650 0.4663 0.4735 0.4389 0.4439 0.3865 0.4785 0.4695 0.5871
46 0.4234 0.4522 0.3934 0.4086 0.3262 0.5910 0.4888 0.4970 0.4308 0.3968 0.4818 0.5201 0.4748 0.4883 0.4070 0.5152 0.4923 0.6077
47 0.4474 0.4696 0.3965 0.4181 0.3408 0.5936 0.4820 0.4989 0.4434 0.4119 0.4822 0.5438 0.4893 0.5166 0.4103 0.5326 0.5070 0.6189
48 0.4770 0.4932 0.4064 0.4390 0.3655 0.5967 0.4860 0.5089 0.4609 0.4405 0.4936 0.5745 0.5153 0.5498 0.4166 0.5586 0.5325 0.6368
49 0.5019 0.5140 0.4152 0.4571 0.3810 0.5981 0.4890 0.5175 0.4784 0.4632 0.5108 0.6035 0.5345 0.5821 0.4286 0.5841 0.5482 0.6461
50 0.5390 0.5507 0.4304 0.4792 0.4203 0.6032 0.4882 0.5288 0.4934 0.5001 0.5328 0.6424 0.5574 0.6299 0.4417 0.6191 0.5734 0.6708
51 0.5552 0.5638 0.4318 0.4826 0.4335 0.6030 0.4816 0.5284 0.4991 0.5114 0.5385 0.6579 0.5651 0.6499 0.4473 0.6316 0.5852 0.6787
52 0.5679 0.5753 0.4063 0.4870 0.4211 0.6013 0.4642 0.5146 0.5073 0.5086 0.5387 0.6751 0.5719 0.6622 0.4580 0.6443 0.5819 0.6802
53 0.5176 0.5428 0.3695 0.3802 0.3527 0.5294 0.3897 0.4646 0.4551 0.4455 0.4959 0.5932 0.4300 0.5757 0.4025 0.5354 0.5057 0.6140
54 0.5123 0.5328 0.3695 0.3871 0.3326 0.5540 0.4136 0.4794 0.4567 0.4430 0.4974 0.5914 0.4473 0.5734 0.4052 0.5403 0.5072 0.6245
55 0.4970 0.5131 0.3553 0.3965 0.3158 0.5655 0.4294 0.4869 0.4544 0.4344 0.4881 0.5891 0.4549 0.5606 0.3936 0.5361 0.4994 0.6259
56 0.4898 0.5053 0.3489 0.4059 0.3132 0.5683 0.4311 0.4833 0.4509 0.4288 0.4808 0.5881 0.4627 0.5480 0.3892 0.5342 0.4936 0.6229
57 0.4805 0.5045 0.3594 0.4103 0.3155 0.5782 0.4481 0.4857 0.4480 0.4216 0.4835 0.5753 0.4683 0.5343 0.4016 0.5401 0.4965 0.6255
58 0.4484 0.4733 0.3469 0.4018 0.2946 0.5715 0.4522 0.4754 0.4411 0.3986 0.4697 0.5429 0.4548 0.5029 0.3913 0.5199 0.4775 0.6035
59 0.4364 0.4585 0.3406 0.4015 0.2950 0.5672 0.4492 0.4687 0.4405 0.3886 0.4610 0.5283 0.4523 0.4928 0.3907 0.5093 0.4679 0.5872
60 0.4447 0.4611 0.3419 0.4077 0.3109 0.5663 0.4434 0.4690 0.4448 0.3892 0.4609 0.5369 0.4679 0.5030 0.3930 0.5175 0.4778 0.5923
61 0.4687 0.4772 0.3482 0.4265 0.3395 0.5718 0.4456 0.4719 0.4640 0.4105 0.4721 0.5688 0.4961 0.5366 0.3988 0.5439 0.5089 0.6098
62 0.4915 0.4967 0.3598 0.4396 0.3516 0.5758 0.4460 0.4769 0.4795 0.4335 0.4855 0.5970 0.5079 0.5678 0.4058 0.5659 0.5254 0.6200
63 0.5358 0.5410 0.3882 0.4666 0.3874 0.5877 0.4591 0.4983 0.4962 0.4771 0.5146 0.6428 0.5314 0.6198 0.4248 0.6052 0.5485 0.6511
64 0.5564 0.5586 0.4078 0.4743 0.4053 0.5977 0.4700 0.5135 0.5006 0.4951 0.5308 0.6603 0.5463 0.6425 0.4415 0.6227 0.5641 0.6681
65 0.5771 0.5789 0.4048 0.4797 0.4143 0.5999 0.4623 0.5102 0.5063 0.5059 0.5407 0.6812 0.5652 0.6635 0.4628 0.6445 0.5718 0.6781
66 0.5144 0.5526 0.3600 0.3685 0.3351 0.4746 0.3562 0.4471 0.4278 0.4642 0.4686 0.5908 0.3827 0.5778 0.3641 0.5226 0.4773 0.5856
67 0.5102 0.5341 0.3590 0.3818 0.3295 0.5072 0.3928 0.4722 0.4477 0.4546 0.4784 0.5885 0.4108 0.5717 0.3761 0.5316 0.4933 0.6031
68 0.5087 0.5132 0.3388 0.3820 0.3108 0.5335 0.4104 0.4711 0.4548 0.4335 0.4796 0.5820 0.4231 0.5551 0.3733 0.5286 0.4893 0.6039
69 0.4938 0.4971 0.3303 0.3831 0.3007 0.5441 0.4171 0.4705 0.4540 0.4216 0.4725 0.5701 0.4289 0.5380 0.3708 0.5199 0.4767 0.5975
70 0.4619 0.4735 0.3162 0.3683 0.2827 0.5442 0.4148 0.4619 0.4347 0.3994 0.4495 0.5393 0.4172 0.5069 0.3664 0.4993 0.4613 0.5866
71 0.4437 0.4547 0.3001 0.3753 0.2843 0.5353 0.3991 0.4505 0.4311 0.3880 0.4341 0.5245 0.4148 0.4925 0.3557 0.4893 0.4597 0.5735
72 0.4466 0.4538 0.2848 0.3863 0.2967 0.5311 0.3859 0.4400 0.4260 0.3829 0.4271 0.5346 0.4322 0.4968 0.3537 0.4931 0.4622 0.5681
73 0.4752 0.4806 0.2940 0.4108 0.3292 0.5314 0.3848 0.4388 0.4446 0.4023 0.4402 0.5694 0.4687 0.5369 0.3660 0.5257 0.4863 0.5860
74 0.4607 0.4601 0.2775 0.4057 0.3242 0.5252 0.3876 0.4226 0.4482 0.3870 0.4279 0.5617 0.4712 0.5311 0.3568 0.5219 0.4774 0.5762
75 0.4807 0.4806 0.2950 0.4207 0.3377 0.5343 0.3945 0.4287 0.4631 0.4092 0.4419 0.5841 0.4809 0.5565 0.3658 0.5431 0.4904 0.5899
76 0.5141 0.5142 0.3256 0.4453 0.3634 0.5443 0.4077 0.4429 0.4787 0.4433 0.4670 0.6162 0.4950 0.5928 0.3841 0.5737 0.5066 0.6117
77 0.5261 0.5248 0.3563 0.4525 0.3754 0.5604 0.4291 0.4662 0.4782 0.4568 0.4887 0.6242 0.5072 0.6029 0.4066 0.5862 0.5240 0.6283
80

78 0.5640 0.5552 0.3867 0.4574 0.3938 0.5854 0.4526 0.4884 0.4923 0.4853 0.5220 0.6600 0.5347 0.6367 0.4484 0.6177 0.5485 0.6567
81

Lampiran 2. Grafik ambang batas curah hujan di atas persentil ke-95


seluruh titik pos hujan
82

Lampiran 3. Nilai rata-rata ambang batas hujan harian di atas persentil ke-
95 per pos hujan

Nilai Rata-rata Ambang Batas


60
50
40
30
20
10
0
83

Lampiran 4. Grafik hubungan SML dengan curah hujan di tiap pos hujan

Hubungan CH Alas Buluh dengan SML Hubungan CH Bajul Mati dengan SML
kotak 65 kotak 65

300 32 400 32

Curah Hujan (mm)


Curah Hujan (mm)

30 300 30
200

SML (◦C)
SML (◦C)
28 200 28
100 100 26
26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Hubungan CH Pasewaran dengan SML Hubungan CH Lijen Jambu dengan SML


kotak 65 kotak 65
400 32 32
600
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)

300 30 30
SML (◦C)

SML (◦C)
400
200 28 28
100 26 200 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Hubungan CH Selogiri dengan SML Hubungan CH Songgon dengan SML


kotak 65 kotak 65
400 32 600 32
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)

300 30 30
400
SML (◦C)

SML (◦C)

200 28 28
200
100 26 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Hubungan CH Stamet Banyuwangi Hubungan CH Cluring dengan SML kotak


dengan SML kotak 65 52
300 32 300 32
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)

30 30
200 200
SML (◦C)

SML (◦C)

28 28
100 100
26 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
84

Hubungan CH Pesanggaran dengan SML Hubungan CH Trebasala dengan SML


kotak 52 kotak 52
400 32 400 32
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)


300 30 300 30

SML (◦C)

SML (◦C)
200 28 200 28
100 26 100 26
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Hubungan CH Kandangan dengan SML Hubungan CH Bayu Lor dengan SML


kotak 52 kotak 38
400 32 500
30
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)


300 30 400
SML (◦C)

SML (◦C)
300 28
200 28
200
100 26 26
100
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Hubungan CH Gambor dengan SML Hubungan CH Tegal Dlimo dengan SML


kotak 38 kotak 38
300 31 200 31
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)

29 150 29
200
SML (◦C)

SML (◦C)
27 100 27
100
25 50 25
0 23 0 23
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
85

Hubungan CH Kalisepanjang dengan Hubungan CH Gunung Raung


SML kotak 23 dengan SML kotak 23
400 31 600
30 30
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)


300 29
400

SML (◦C)

SML (◦C)
28 28
200
27
26 200 26
100
25
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112

Hubungan CH Glen Nevis dengan SML Hubungan CH Kawah Ijen dengan


kotak 50 SML kotak 51
400 31 300
30 30
Curah Hujan (mm)

Curah Hujan (mm)


300 29
200
SML (◦C)

SML (◦C)
28 28
200
27
26 100 26
100
25
0 24 0 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
86

Lampiran 5. Tabel frekuensi kejadian CH pada SML tertentu

Curah Hujan Januari


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 3
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0 169
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0 373
27.1-28 0 0 0 0 0 0 0 0 318
28.1-29 10 53 6 0 0 0 0 69 1366
29.1-30 70 244 27 1 0 1 0 343 6060
30.1-31 21 101 11 2 0 0 0 135 1733
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 5
Jumlah 101 398 44 3 0 1 0 547 10027
Curah Hujan Februari
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 1 4 0 0 0 0 0 5 89
28.1-29 37 112 17 1 0 0 0 167 2843
29.1-30 64 177 28 0 0 0 0 269 4774
30.1-31 21 50 3 1 0 0 0 75 1232
>31 1 0 0 0 0 0 0 1 52
Jumlah 124 343 48 2 0 0 0 517 8990

Curah Hujan Maret


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 2 2 2 0 0 0 0 6 61
28.1-29 63 112 6 1 0 0 1 183 2831
29.1-30 82 190 19 4 1 0 0 296 5963
30.1-31 14 36 2 0 0 0 0 52 901
>31 6 10 2 0 0 0 0 18 118
Jumlah 167 350 31 5 1 0 1 555 9874
87

Curah Hujan April


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 6 2 1 0 0 0 0 9 366
28.1-29 109 65 5 0 0 0 0 179 3540
29.1-30 174 134 10 2 0 0 0 320 5418
30.1-31 14 12 1 0 0 0 0 27 602
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 303 213 17 2 0 0 0 535 9926
Curah Hujan Mei
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0 16
26.1-27 13 7 0 0 0 0 0 20 395
27.1-28 116 54 4 1 0 0 0 175 3660
28.1-29 138 82 8 1 1 0 0 230 4105
29.1-30 67 53 5 0 1 1 0 127 1918
30.1-31 1 4 0 0 0 0 0 5 101
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 335 200 17 2 2 1 0 557 10195

Curah Hujan Juni


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 37
25.1-26 36 11 2 0 0 0 0 49 879
26.1-27 154 52 5 1 1 0 0 213 3851
27.1-28 93 40 18 0 1 0 0 152 3403
28.1-29 54 42 9 1 0 1 0 107 1520
29.1-30 6 9 3 1 0 0 0 19 148
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 343 154 37 3 2 1 0 540 9838

Curah Hujan Juli


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 1 0 0 0 0 0 1 67
24.1-25 19 0 0 0 0 0 0 19 764
25.1-26 118 21 9 3 0 0 0 151 4184
26.1-27 201 58 7 1 1 0 0 268 3729
27.1-28 55 19 4 1 0 0 0 79 1238
28.1-29 15 8 2 0 1 0 0 26 165
29.1-30 0 0 0 0 0 0 0 0 0
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 408 107 22 5 2 0 0 544 10147
88

Curah Hujan Agustus


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 107
24.1-25 43 1 2 0 0 0 0 46 1255
25.1-26 200 18 4 0 1 0 0 223 5054
26.1-27 134 15 0 0 0 0 0 149 3138
27.1-28 31 7 0 0 0 0 0 38 559
28.1-29 5 4 2 0 0 0 0 11 67
29.1-30 0 0 0 0 0 0 0 0 0
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 413 45 8 0 1 0 0 467 10180

Curah Hujan September


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 1 0 0 0 0 0 0 1 87
25.1-26 27 3 2 0 0 0 0 32 2555
26.1-27 126 11 1 0 0 0 0 138 4840
27.1-28 138 20 5 1 0 0 0 164 2021
28.1-29 67 19 3 0 2 0 0 91 437
29.1-30 10 5 0 0 0 0 0 15 28
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 369 58 11 1 2 0 0 441 9968

Curah Hujan Oktober


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 9
25.1-26 5 1 0 0 0 0 0 6 472
26.1-27 22 2 0 0 0 0 0 24 1932
27.1-28 161 47 5 1 1 0 0 215 4298
28.1-29 149 46 7 0 0 0 0 202 2629
29.1-30 27 29 5 1 0 0 0 62 808
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0 47
>31 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 364 125 17 2 1 0 0 509 10195

Curah Hujan November


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 1 1 0 0 0 0 0 2 77
27.1-28 20 9 2 0 0 0 0 31 1562
28.1-29 115 85 17 3 1 0 1 222 4490
29.1-30 88 102 15 1 0 0 0 206 2994
30.1-31 34 35 5 2 0 0 0 76 671
>31 3 2 0 0 0 0 0 5 44
Jumlah 261 234 39 6 1 0 1 542 9838
89

Curah Hujan Desember


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 Jumlah Bias
<24 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 1 1 0 0 0 0 0 2 94
28.1-29 28 36 3 2 0 0 0 69 1472
29.1-30 105 175 28 1 0 0 0 309 5656
30.1-31 57 96 7 2 0 0 0 162 2798
>31 2 1 1 1 0 0 0 5 124
Jumlah 193 309 39 6 0 0 0 547 10144
90

Lampiran 6. Tabel peluang kejadian CH saat SML tertentu


Peluang curah hujan (%) Januari Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 100
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 100
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 100
27.1-28 0 0 0 0 0 0 0 100
28.1-29 14.49275 76.81159 8.695652 0 0 0 0 99.12152
29.1-30 20.40816 71.13703 7.87172 0.291545 0 0.291545 0 99.07591
30.1-31 15.55556 74.81481 8.148148 1.481481 0 0 0 98.3843
>31 0 0 0 0 0 0 0 100
Peluang curah hujan (%) Februari Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 20 80 0 0 0 0 0 0
28.1-29 22.15569 67.06587 10.17964 0.598802 0 0 0 98.62821
29.1-30 23.79182 65.79926 10.40892 0 0 0 0 99.41349
30.1-31 28 66.66667 4 1.333333 0 0 0 98.94481
>31 100 0 0 0 0 0 0 100
Peluang curah hujan (%) Maret Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 33.33 33.33 33.33 0.00 0 0 0 98.36
28.1-29 34.43 61.20 3.28 0.55 0 0 0.546448 99.68
29.1-30 27.70 64.19 6.42 1.35 0.337838 0 0 99.51
30.1-31 26.92 69.23 3.85 0.00 0 0 0 99.56
>31 33.33 55.56 11.11 0.00 0 0 0 97.46
Peluang curah hujan (%) April Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 66.67 22.22 11.11 0.00 0 0 0 100.00
28.1-29 60.89 36.31 2.79 0.00 0 0 0 99.94
29.1-30 54.38 41.88 3.13 0.63 0 0 0 99.93
30.1-31 51.85 44.44 3.70 0.00 0 0 0 100.00
>31 0 0 0 0 0 0 0 97.46
91

Peluang curah hujan (%) Mei Bias Hujan


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 100
26.1-27 65 35 0 0 0 0 0 99.747
27.1-28 66.29 30.86 2.29 0.57 0 0 0 99.95
28.1-29 60.00 35.65 3.48 0.43 0.435 0 0 99.95
29.1-30 52.76 41.73 3.94 0.00 0.787 0.79 0 100.00
30.1-31 20.00 80.00 0.00 0.00 0 0 0 100.00
>31 0 0 0 0 0 0 0 0
Peluang curah hujan (%) Juni Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 100
25.1-26 73.47 22.45 4.08 0 0 0 0 100
26.1-27 72.30 24.41 2.35 0.469 0.469 0 0 99.922
27.1-28 61.18 26.32 11.84 0.00 0.658 0 0 99.91
28.1-29 50.47 39.25 8.41 0.93 0.000 0.935 0 99.87
29.1-30 31.58 47.37 15.79 5.26 0.000 0.00 0 99.32
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0
Peluang curah hujan (%) Juli Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 100 0 0 0 0 0 100
24.1-25 100 0 0 0 0 0 0 100
25.1-26 78.15 13.91 5.96 1.986755 0 0 0 99.9761
26.1-27 75.00 21.64 2.61 0.373 0.373 0 0 99.91955
27.1-28 69.62 24.05 5.06 1.27 0.000 0 0 100
28.1-29 57.69 30.77 7.69 0.00 3.846 0.000 0 100
29.1-30 0 0 0 0 0 0 0 0.00
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0
Peluang curah hujan (%) Agustus Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 100
24.1-25 93.48 2.17 4.35 0 0 0 0 100
25.1-26 89.69 8.07 1.79 0 0.45 0 0 100
26.1-27 89.93 10.07 0.00 0.000 0.000 0 0 100
27.1-28 81.58 18.42 0.00 0.00 0.000 0 0 100
28.1-29 45.45 36.36 18.18 0.00 0.000 0.000 0 100
29.1-30 0 0 0 0 0 0 0 0.00
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0
92

Peluang curah hujan (%) September Bias Hujan


SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 100 0 0 0 0 0 0 100
25.1-26 84.38 9.38 6.25 0 0 0 0 100
26.1-27 91.30 7.97 0.72 0 0 0 0 100
27.1-28 84.15 12.20 3.05 0.61 0 0 0 100
28.1-29 73.63 20.88 3.30 0.00 2.198 0 0 100
29.1-30 66.67 33.33 0 0 0 0 0 100
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 0
>31 0 0 0 0 0 0 0 0
Peluang curah hujan (%) Oktober Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 100
25.1-26 83.33 16.67 0.00 0 0 0 0 100
26.1-27 91.67 8.33 0.00 0 0 0 0 100
27.1-28 74.88 21.86 2.33 0.47 0 0 0 100
28.1-29 73.76 22.77 3.47 0.00 0.000 0 0 100
29.1-30 43.55 46.77 8.06 1.61 0 0 0 100
30.1-31 0 0 0 0 0 0 0 100
>31 0 0 0 0 0 0 0 0
Peluang curah hujan (%) November Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 50.00 50.00 0.00 0 0 0 0 100
27.1-28 64.52 29.03 6.45 0.00 0 0 0 99.81
28.1-29 51.80 38.29 7.66 1.35 0.450 0 0.45045 99.73
29.1-30 42.72 49.51 7.28 0.49 0 0 0 99.50
30.1-31 44.74 46.05 6.58 2.63 0 0 0 98.51
>31 60 40 0 0 0 0 0 95.45
Peluang curah hujan (%) Desember Bias Hujan
SML 0 - 50 50.1-100 100.1-150 150.1-200 200.1-250 250.1-300 >300 0 - 50 mm
<24 0 0 0 0 0 0 0 0
24.1-25 0 0 0 0 0 0 0 0
25.1-26 0 0 0 0 0 0 0 0
26.1-27 0 0 0 0 0 0 0 0
27.1-28 50 50 0 0 0 0 0 98.93617
28.1-29 40.57971 52.17391 4.347826 2.898551 0 0 0 98.91304
29.1-30 33.98058 56.6343 9.061489 0.323625 0 0 0 99.22207
30.1-31 35.18519 59.25926 4.320988 1.234568 0 0 0 99.2852
>31 40 20 20 20 0 0 0 100

Anda mungkin juga menyukai