Anda di halaman 1dari 53

SKRIPSI

PARAMETER OSEANOGRAFI UNTUK ANALISIS


KESESUAIAN LAHAN WISATA DI GILI LABAK
KABUPATEN SUMENEP MADURA

ANDI SARAH AFIFAH


NIM. 20150240004

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI


FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
ii

PENGESAHAN SKRIPSI
Nomor : .....................................

Skripsi dengan judul:


Parameter Oseanografi Untuk Analisis Kesesuaian Lahan Wisata di Gili Labak
Kabupaten Sumenep Madura.

Yang disusun oleh:


Nama : Andi Sarah Afifah
NIM : 20150240004
Telah diuji pada sidang pendadaran tanggal :

Dan dinyatakan telah diterima oleh Fakutas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas
Hang Tuah

Surabaya,

Menyetujui : Menyetujui : Menyetujui :

Pembimbing I Penguji I Penguji II

Ketua Sidang
Dr. Nirmalasari I.W., S.Pi., M.Si. Dr. Viv Djanat. P., M.App.Sc. Sekar Widyaningsih,
S.Kel., M,Si.

Mengetahui:
Dekan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Ketua Jurusan Oseanografi

Dr. Viv Djanat Prasita, M.App.Sc. Ir. Rudi Siap Bintoro, M.T.
NIK. 01050 NIK. 01103
iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul: Parameter Oseanografi
Untuk Analisis Kesesuaian Lahan Wisata di Gili Labak Kabupaten Sumenep
Madura, adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian
akhir skripsi ini.

Surabaya, 17 Juni 2019

Andi Sarah Afifah


NIM. 20150240004
iv

PARAMETER OSEANOGRAFI UNTUK ANALISIS


KESESUAIAN LAHAN WISATA DI GILI LABAK KABUPATEN
SUMENEP MADURA

ANDI SARAH AFIFAH


NIM. 20150240004

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Nirmalasari Idha Wijaya, S.Pi., M.Si.
Dr. Viv Djanat Prasita, M.App.,Sc.

ABSTRAK

Kabupaten Sumenep mempunyai terumbu karang dan mangrove terluas di Jawa


Timur. Luas terumbu karang di Kabupaten Sumenep mencapai 73.911 ha. Gili
Labak menjadi salah satu tempat favorit bagi yang hobi snorkeling. Gili Labak
mempunyai titik titik terumbu karang dan biota laut yang cukup beragam. Distribusi
dan kelimpahan sumber daya hayati di suatu perairan, tidak terlepas dari kondisi
dan variasi parameter oseanografi. Oleh karena itu, informasi yang lengkap dan
akurat tentang karakter oseanografi suatu perairan sangat diperlukan untuk tujuan
pengelolaan sumber daya perairan secara berkelanjutan. Maka diperlukan
penelitian untuk pengembangan Gili Labak menjadi kawasan wisata sehingga
diharapkan dapat menghasilkan suatu arahan pengelolaan dengan konsep wisata
bahari yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kesesuaian
lahan yang sesuai untuk dijadikan wisata pantai dan wisata bahari menggunakan
system informasi geografis (SIG). Parameter yang digunakan adalah kecerahan,
kedalaman, kecepatan arus, tututpan komunitas karang, jenis ikan karang, jenis life
form, lebar pantai, tipe pantai, material dasar perairan. Menurut hasil analisis yang
telah dilakukan, wisata pantai dan snorkel menunjukkan katagori yang sangat
sesuai. Dengan luas wisata pantai 21.141 ha, dan luas wisata snorkel 81,71 ha.
Kata kunci : Gili Labak, Wisata Bahari, Oseanografi, Kesesuaian Lahan
v

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Parameter Oseanografi Untuk
Analisis Kesesuaian Lahan Wisata di Gili Labak Kabupaten Sumenep Madura” ini
dapat terselesikan. Selama perkuliahan hingga penelitian ini dapat terselesaikan
penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak. Tanpa mengurangi rasa
hormat, penulis mengucapkan terima kasih dan penuh cinta yang sebesar-besarnya
kepada:

1. Kedua orang tua saya, yang selalu mendukung baik secara moril maupun
materiil selama penelitian bahkan seluruh kehidupan saya.
2. Ibu Nirmalasari dan Bapak Viv Djanat selaku dosen pembimbing yang telah
sabar menghadapi saya selama bimbingan serta selalu memberikan saya
banyak ilmu, dukungan, dan kesempatan yang luar biasa dalam hidup saya.
3. Para Dosen oseanografi yang telah memberikan kritik dan saran pada
seminar proposal dan seminar hasil yang membangun dalam menyelesaikan
laporan akhir ini.
4. Kepada Mamih, Papih, July dan keluarga yang telah ikut serta mendukung
dan mendoakan agar dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar.
5. Kepada teman-teman PENGHIANAT selaku partner terbaik saya yang
selalu menemani serta mensupport saya dari awal hingga akhir dengan suka
maupun duka selama penyelesaian tugas akhir ini..
6. M. Zain, Fajardika, M. Fatur, Mbak Yayuk dan Rosa yang telah membantu
penelitian dalam pengambilan data lapangan di Gili Labak hingga melewati
badai yang penuh dengan banyak cerita suka maupun duka.
7. ORCA teman seangkatan oseanografi 2015 yang telah berjuang bersama
untuk masuk dan keluar bareng, semangat ini ada karena kalian.
8. UHT DC yang telah memberikan keluarga kepada saya di Surabaya, dan
yang mengajarkan organisasi yang baik hingga saat ini.
9. Kepada Dwi Putra Surya Atmaja yang selalu menemani disaat sedih
maupun senang.
vi

Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat menjadi manfaat bagi
masyarakat khususnya yang sedang menekuni bidang kelautan.

Surabaya, 17 Juni 2019

Andi Sarah Afifah


vii

DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................................... ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI ....... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ........................................................................................................ 3
1.5 Batasan Masalah.......................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Analisis Kesesuaian Wisata ........................................................................ 4
2.1.1 Parameter Oseanografi............................................................................ 4
2.1.2. Parameter Lingkungan ........................................................................... 5
2.2 Ekosistem Terumbu Karang ...................................................................... 7
2.3 Wisata Bahari .............................................................................................. 8
2.3.1 Wisata snorkel......................................................................................... 8
2.3.2 Wisata Pantai .......................................................................................... 9
2.4 Kategori Kesesuaian.................................................................................... 9
2.5 Sistem Informasi Geografis ...................................................................... 10
2.6 Penginderaan Jauh .................................................................................... 11
2.7 ENVI ........................................................................................................... 12
2.8 ArcGIS ........................................................................................................ 13
2.9 Citra Landsat 8 .......................................................................................... 13
BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 15
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ................................................................... 15
3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan ................................................................. 16
3.3 Alat dan Bahan .......................................................................................... 17
3.4 Prosedur Penelitian ................................................................................... 17
3.4.1 Pengumpulan Data Citra ................................................................... 18
viii

3.4.2 Pengumpulan Data Primer ................................................................ 21


3.4.3 Pengumpulan Data Sekunder ............................................................ 23
3.5 Kesesuaian Wisata Snorkeling ................................................................. 23
3.6 Kesesuaian Wisata Pantai......................................................................... 24
3.7 Analisis Kesesuaian Lahan ...................................................................... 24
BAB 4 ................................................................................................................... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 26
4.1 Kecerahan .................................................................................................. 26
4.2 Kedalaman ................................................................................................. 27
4.3 Arus............................................................................................................. 27
4.4 Tutupan komunitas karang ...................................................................... 28
4.5 Jenis life form............................................................................................. 29
4.6 Jenis ikan karang....................................................................................... 30
4.7 Lebar hamparan karang........................................................................... 31
4.8 Biota Berbahaya ........................................................................................ 32
4.9 Lebar pantai............................................................................................... 32
4.10 Material Dasar Perairan dan Tipe Pantai ............................................ 34
4.11 Kesesuaian Wisata Snorkel .................................................................... 34
4.12 Kesesuaian Wisata Pantai....................................................................... 35
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 37
5.2 Kesimpulan ................................................................................................ 37
5.1 Saran ........................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 38

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Penelitian data lapangan..…………………………………….. 15


ix

Gambar 2. Bagan Alir proses analisis data…………………………………... 18


Gambar 3. Bagan alir pengolahan data citra…………………………………. 19
Gambar 4. Metode PIT (Point Intersect Transect)….………………………. 22
Gambar 5. Peta Tematik Kecerahan…………………………………………. 26
Gambar 6. Peta Tematik Bathimetri……….………………………………... 27
Gambar 7. Peta Tematik Kecepatan Arus..…………………………………. 28
Gambar 8. Peta Tematik Tutupan Komunitas Karang……………………… 29
Gambar 9. Peta Tematik Jenis Life Form.…………………………………... 30
Gambar 10. Peta Tematik Jenis Ikan Karang.……………………………..... 31
Gambar 11. Peta Tematik Lebar Hamparan Karang……………………....... 32
Gambar 12. Peta Tematik Biota Berbahaya….…………………………....... 33
Gambar 13. Peta Tematik Lebar Pantai.………………………………….… 33
Gambar 14. Peta Tematik Tipe Pantai Dan Material Dasar Perairan….……. 34
Gambar 15. Peta Kesesuaian Lahan Wisata Snorkel..………………………. 35
Gambar 16. Peta Kesesuaian Lahan Wisata Pantai.………………………… 36
x

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Titik Koordinat Data Lapangan ……………………………………. 16


Tabel 2. Jenis data yang dikumpulkan.……. …………………….…………. 16
Tabel 4. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian……….…………. 17
Tabel 6. Kriteria Kesesuaian Wisata Snorkel………………………………... 23
Tabel 7. Kriteria Kesesuaian Wisata Pantai…....……………………………. 24
BAB 1 Commented [M1]: PADA BAB BARU TIDAK DITAMPILKAN
NOMOR HALAMAN

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi sumber daya laut di Indonesia memiliki peran yang sangat besar dalam
menjaga keseimbangan dan mendukung kehidupan manusia. Oleh karena itu
perlunya perhatian khusus dalam menangani potensi tersebut dengan baik dan
berkelanjutan sehingga dapat dipertanggungjawabkan keberlanjutannya. Tidak
hanya sebatas dijaga, tetapi juga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh
masyarakat dengan tetap memperhatikan kelesatariannya. Dengan begitu
sumberdaya yang dimiliki dapat tetap bisa dinikmati dalam jangka waktu yang
panjang. Salah satu bentuk pengelolaannya berupa pemanfaatan potensi
sumberdaya laut dan pesisir secara bijaksana (Purnama, 2013).
Menurut Gaol & Sadhotomo (2007), distribusi dan kelimpahan sumber daya
hayati di suatu perairan, tidak terlepas dari kondisi dan variasi parameter
oseanografi. Oleh karena itu, informasi yang lengkap dan akurat tentang karakter
oseanografi suatu perairan sangat diperlukan untuk tujuan pengelolaan sumber daya
perairan secara berkelanjutan.
Kabupaten Sumenep adalah kabupaten dengan pulau terbanyak di Jawa Timur
dengan jumlah pulau 126 pulau (48 pulau berpenghuni dan 78 pulau tidak
berpenghuni) (Peraturan Bupati Sumenep nomor 11 tahun 2006). Terdiri dari 25
Kecamatan dan 331 desa dengan luas total 212.410,2 Ha. Kabupaten Sumenep
mempunyai terumbu karang dan mangrove terluas di Jawa Timur dengan kondisi
yang masih baik dibandingkan dengan kabupaten lain di Jawa Timur. Luas terumbu
karang di Kabupaten Sumenep mencapai 73.911 ha (Muhsoni , 2015).
Dengan luas terumbu karang yang ada pemanfaatannya terbukti belum optimal,
dilihat dari target Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata Kabupaten
Sumenep, Madura, Jawa Timur dibilang terlalu kecil dibanding potensi wisata yang
ada. Pemkab Sumenep hanya mengandalkan tiga objek wisata seperti wisata Pantai
Lombang, Pantai Slopeng, dan Kreton sebagai sumber pendapatan daerah.
Destinasi wisata lain, seperti Pulau Giliyang, Gili Labak hingga saat ini belum
2

diberlakukan, karena pengelolaannya belum menjadi tanggung jawab pemerintah


daerah. Gili labak adalah salah satu potensi besar dalam upaya peningkatan target
PAD Kabupaten Sumenep, namun pemerintah daerah belum mengelola secara
resmi karena belum di bentuknya Unit Pelaksana Teknis (UPT) (Media Madura).
Bentangan pasir putih dan lautan biru dengan ombak yang landai menjadikan
Pulau Gili Labak yang sangat layak untuk dikunjungi. Sekitar 50 meter sebelum
berlabuh di bibir pantai akan disambut dengan beningnya air laut dan terdapat
terumbu karang yang sangat indah. Gili Labak menjadi salah satu tempat favorit
bagi yang hobi snorkling ataupun diving karena Gili Labak mempunyai titik titik
terumbu karang dan biota laut yang cukup beragam. Maka pengembangan Gili
Labak menjadi kawasan wisata yang diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan
bagi masyarakat setempat.
Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan
dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan
kesejahteraan penduduk setempat (Bricker, 2017). Pembentukan kawasan
ekowisata bahari salah satunya adalah kesesuaian lahan, menentukan kelas
kesesuaian wisata dapat dimanfaatkan di Gili Labak sehingga diharapkan dapat
menghasilkan suatu arahan pengelolaan dengan konsep wisata bahari yang
berkelanjutan. Kondisi oseanografi merupakan faktor pendukung untuk kegiatan
wisata karena berhubungan erat dengan aspek keamanan dan kenyamanan
wisatawan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa
besar potensi wisata di Gili Labak.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini didasarkan pada besarnya sumber daya pesisir dan laut yang
ada di Gili Labak, namun masih belum dimanfaatkan, maka rumusan dari masalah
ini sebagai berikut:

1. Apa aja sumber daya pesisir dan laut di Gili Labak yang berpotensi untuk
dijadikan destinasi wisata?
2. Dimana saja dan berapa luasan pantai berpasir dan luas terumbu karang
untuk wisata di Gili Labak?
3

1.3 Tujuan

1. Mengevaluasi kondisi oseanografi untuk kesesuaian wisata pantai dan


wisata bahari.
2. Menganalisis kesesuaian lahan untuk wisata pantai dan wisata bahari di Gili
Labak.

1.4 Manfaat

Dengan manfaat hasil kegiatan penelitian ini dapat digunakan bagi akademis
untuk menambah keilmuan tentang terumbu karang, bagi pemerintah daerah dan
masyarakat setempat dapat menjadi pertimbangan pengelolaan wisata pantai dan
wisata bahari yang berkelanjutan.

1.5 Batasan Masalah Commented [M2]:


Batasan masalahnya belum jelas. Sebaiknya batasan masalah adalah
menyatakan hal-hal yang bisa anda laksanakan pada penelitian,
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: untuk membatasi hal lain yang tidak bisa anda lakukan. Misalnya
citra yang digunakan adalah citra Landsat, bukan citra
1. Penelitian dilakukan pada musim Timur. Terra/Quickbird (walaupun citra landsat yang paling rendah
resolusinya).
2. Batas perairan yang diteliti sejauh 4 mil dari garis pantai.
Hanya Batasan no. 3 yang sudah benar, karena hanya meneliti untuk
3. Citra yang digunakan adalah citra Landsat 8. E. cottoni, bukan spesies yang lain.

4. Metode survey yang dilakukan pada penelitian ini mengacu pada


parameter kesesuaian wisata pantai dan kesesuaian wisata bahari untuk
snorkel.
5. Metode survey terumbu karang dan jenis ikan menggunakan Reef check
dengan menggunaka Point Intercept Transect (PIT).
6. Faktor pasang surut air laut hanya sebagai faktor pendukung.
7. Data lapangan/data primer sebagai groundcheck antara data sekunder dan
data citra.
8. Groundcheck hanya dilakukan pada musim timur.
4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA Commented [M3]: PADA BAB BARU TIDAK DITAMPILKAN


NOMOR HALAMAN

2.1 Analisis Kesesuaian Wisata

Yulianda (2007), merumuskan beberapa parameter yang dapat


mempengaruhi kelayakan suatu perairan untuk dijadikan lokasi wisata bahari.
Parameter tersebut temasuk kondisi ekosistem terumbu karang dan juga kondisi
oseanografi perairan. Ekosistem terumbu karang yang perlu diperhatikan yaitu,
tutupan komunitas karang, banyaknya jenis bentuk pertumbuhan karang,
banyaknya jenis ikan. Sedangkan untuk oseanografi yang diperhatikan yaitu,
kedalaman perairan, kecepatan arus, dan kecerahan perairan.
2.1.1 Parameter Oseanografi

1) Kedalaman perairan
Salah satu kegiatan penyelaman dilakukan untuk menikmati keindahan di
bawah laut, berupa ekosistem terumbu karang. Namun pemandangan ini dibatasi
oleh kedalaman, seperti kegiatan penyelaman dibatasi oleh kedalaman terumbu
karang, selain karena meningkatnya tekanan atmosfer berbanding lurus dengan
bertambahnya kedalaman sehingga akan sangat beresiko pada kegiatan
penyelaman, karang dibatasi oleh penetrasi cahaya yang diterimanya sehingga pada
kedalaman tertentu tidak lagi ditemukan terumbu karang. Kegiatan wisata selam
dapat dilakukan pada kedalaman berkisar antara 6 sampai 15 m, untuk kedalaman
lebih dari 15 sampai 20 m masih cukup sesuai untuk dilakukan wisata penyelaman,
dan untuk kedalaman lebih besar dari 20 sampai 30 m kegiatan wisata penyelaman
hanya sesuai dengan syarat, sementara pada kedalaman lebih dari 30 m tidak
disarankan untuk kegiatan wisata penyelaman (Yulianda, 2007).
2) Kecepatan arus
Arus adalah proses pergerakan massa air menuju kesetimbangan yang
menyebabkan perpindahan horisontal dan vertikal massa air. Gerakan tersebut
merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja dan beberapa faktor yang
mempengaruhinya beberapa penyebab terjadinya arus diakibatkan oleh daya
dorong angin, gerakan termohalin, arus pasang surut, turbulensi, tsunami dan
5

gelombang lain (Pond dan Pickard 1983 dalam Samsekerta et al., 2012). Angin
adalah faktor yang membangkitkan arus, arus yang ditimbulkan oleh angin
mempunyai kecepatan yang berbeda menurut kedalaman. Tenaga angin ini
memberikan pengaruh terhadap arus dipermukaan sekitar 20% dari kecepatan angin
tersebut dan akan semakin mengecil seiring bertambahnya kedalaman hingga
kedalaman 200 m (Bernawis, 2000 dalam Samsekerta et al., 2012).
Kecepatan arus dalam kesesuaian wisata selam dan snorkeling dibagi
menjadi empat kelas dengan skor masing-masing berdasarkan dengan tingkat
kesesuaiannya. Kecepatan arus dengan nilai kecil dari 15 cm/detik dinyatakan
sesuai, nilai antara 15 – 30 cm/detik termasuk cukup sesuai, nilai antara kecil dari
besar dari 30 – 50 cm/detik sesuai bersyarat, sedangkan untuk besar dari 50
cm/detik tidak sesuai, pembagian kelas tersebut didasarkan pada kenyamanan dan
kemanan pengunjung dalam melakukan kegiatan (Yulianda, 2007).
3) Kecerahan perairan
Kecerahan perairan merupakan hal yang penting dalam melakukan kegiatan
penyelaman, hal ini menyangkut visibility atau jarak pandang. Semakin baik jarak
pandang maka keindahan bawah air juga akan semakin nyaman untuk dinikmati
dengan mata dan kamera underwater (pemotretan dan video bawah laut). Persentase
kecerahan perairan yang sesuai untuk wisata snorkeling dan selam yang sesuai
dengan kecerahan 80 sampai 100%, cukup sesuai 50 sampai 80% kebawah, sesuai
bersyarat 20 sampai 50%, dan tidak sesuai kecil dari 20% (Yulianda, 2007).

2.1.2. Parameter Lingkungan

1) Tutupan komunitas karang


Terumbu karang merupakan daya tarik tersendiri bagi pengunjung atau
wisatawan, keindahan dan keunikan terumbu karang merupakan daya tarik yang
dicari wisatawan, bahkan beberapa orang rela menghabisakan uang yang terbilang
cukup besar hanya untuk menikmati salah satu keindahan ekosistem di bawah
perairan tersebut. Nilai estetika terumbu karang tersebut dapat diandalkan dalam
kegiatan wisata bahari. Namun nilai estetika tersebut dapat berkurang apabila
keindahan terumbu karang tidak terjaga dengan baik (Supriharyono, 2000 dalam
Akbar, 2006).
6

Kesehatan terumbu karang dapat dilihat dari persentase tutupan komunitas


karang, semakin besar persentase tutupan tersebut maka semakin sehat pula
ekosistem terumbu karang tersebut. Semakin sehat terumbu karang maka tutupan
komuitas karang disuatu perairan semakin padat (English et al., 1997).
2) Bentuk pertumbuhan karang
Terumbu karang mengingatkan kita pada keindahan kehidupan di perairan
pantai tropis, yang tersusun atas berbagai hewan dan tumbuhan dengan warna,
bentuk dan ukuran yang bervariasi. Secara tidak langsung dapat dikatakan karang
dengan jenis yang beragam merupakan salah satu tolak ukur keindahan suatu lokasi
wisata. Terumbu karang memiliki bentuk pertumbuhan yang beragam. Kategori
bentuk pertumbuhan karang tersebut dapat dilihat pada pembagian kelompok
kategori jenis oleh English et al., (1997). Semakin beragamnya bentuk
pertumbuhan karang disuatu perairan maka semakin tinggi pula daya tarik
ekosistem terumbu karang tersebut. Keanekaragaman terumbu karang tersebut
dapat mendukung kegiatan wisata penyelaman dan snorkeling (Yulianda, 2007).
3) Jenis ikan karang
Laut di daerah ekuatorial memiliki kondisi fisika-kimia yang sangat konstan
sepanjang waktu di daerah karang. Peningkatan daerah permukaan dari dasar, celah,
dan gua-gua yang tak terhingga jumlahnya menyediakan tempat untuk bersembunyi
untuk bermacam-macam invertebrata yang merupakan makanan dari ikan-ikan.
Keberagaman, kelimpahan dan biomasa ikan meningkat dengan semakin
kompleksnya habitat (Lowe-McConnel, 1987). Corak dan warna ikan adalah daya
tarik yang paling menarik perhatian oleh para wisatawan. Pada ekosistem terumbu
karang biasanya ikan-ikan yang berasosiasi dengan mempunyai warna yang sangat
indah, selain itu bentuknya sering unik, memberikan kesan tersendiri kepada
wisatawan (Supriharyono, 2000 dalam Akbar, 2006).
Menurut Manuputty (2009), ikan yang berasosiasi dengan ekosistem karang
kelompokkan dalam 3 kategori, yakni :
1. Ikan target ialah kelompok ikan yang menjadi target nelayan, umumnya
merupakan ikan pangan dan bernilai ekonomis. Kelimpahannya dihitung
secara ekor per ekor (kuantitatif). Ikan target terdiri dari suku :
a. Suku Serranidae (kelompok ikan kerapu)
7

b. Suku Lutjanidae (kelompok ikan kakap)


c. Suku Lethrinidae (kelompok ikan lencam) dan
d. Suku Haemulidae (kelompok ikan bibir tebal)

Sebagai catatan, untuk kelompok ikan target tersebut di atas juga harus dibatasi
ukurannya, yaitu yang berukuran > 20 cm dan kelompok inilah yang dijadikan dasar
melihat kriteria kelimpahan ikan di terumbu karang.

2. Ikan indikator ialah kelompok ikan karang yang dijadikan sebagai indikator
kesehatan terumbu dalam penelitian ini kelompok ikan indikator diwakili
oleh suku Chaetodontidae (kelompok ikan kepe-kepe). Kelimpahannya
dihitung secara kuantitatif.
3. Ikan major ialah kelompok ikan karang yang selalu dijumpai di terumbu
karang yang tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut di atas. Pada
umumnya peran utamanya belum diketahui secara pasti selain berperan di
dalam rantai makanan. Kelompok ini terdiri dari ikan-ikan kecil < 20 cm
yang dimanfaatkan sebagai ikan hias. Kelimpahannya dihitung secara
kuantitatif. Untuk ikan lainnya yang mempunyai sifat bergerombol
(schooling), kelimpahan dihitung dengan cara taksiran (semi kuantitatif).
2.2 Ekosistem Terumbu Karang

Menurut Nybakken (1992) dalam Dahuri et al., (2001) ekosistem terumbu


karang memiliki kemampuan untuk menahan nutrien dalam sistem sehingga
merupakan ekosistem yang subur dan memiliki produktivitas organik yang tinggi.
Ekosistem terumbu karang dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata bahari
dikarenakan ekosistem terumbu karang yang kaya akan keanekaragaman spesies
dan penghuninya disebabkan habitat pada ekosistem terumbu karang yang
bervariasi (Dahuri et al., 2001).
Selain fungsi ekologis, terumbu karang juga memiliki keindahan karena
adanya berbagai jenis karang, ikan, lili laut, teripang, kerang-kerangan, siput laut,
dan lain sebagainya, yang membuat takjub para wisatawan. Terumbu karang dapat
menjadi objek wisata melalui kegiatan snorkeling, menyelam, ataupun hanya
melihat keindahannya dari atas kapal yang dilengkapi kaca pada lantainya (glass
bottom boat) (Yusri, 2012).
8

2.3 Wisata Bahari

Salah satu wilayah yang memiliki keindahan dan keunikan tersendiri


banyak ditemukan di pulau-pulau kecil. Daya tarik pulau kecil, umumnya terdapat
keunikan dan keindahan yang tersebar di wilayah pesisir dan laut, sehingga
kegiatan yang tepat dikembangkan adalah ekowisata bahari. Definisi ekowisata
bahari menurut Yulianda et al., (2010) sebagai suatu konsep pemanfaatan
berkelanjutan sumberdaya alam pesisir dengan sistem pelayanan jasa lingkungan
yang mengutamakan sumberdaya alam pesisir sebagai objek pelayanan.
Beberapa pertimbangan yang menjadi fokus ekowisata bahari di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, karena kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset
wisata bahari yang sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan
karaktersistik yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang
(coral reef), khususnya hard corals. Kondisi pulaupulau kecil yang tidak
berpenduduk secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari
biodiversity yang dimilikinya, sehingga sangat menarik untuk dikembangkan
sebagai ekowisata bahari seperti diving dan snorkel (Koroy et al., 2017).
2.3.1 Wisata snorkel.
Snorkeling (selam permukaan) atau selam dangkal (skin diving) adalah
kegiatan berenang atau menyelam dengan mengenakan peralatan berupa masker
selam dan snorkel. Selain itu, penyelam sering mengenakan alat bantu gerak
berupa kaki katak (sirip selam) untuk menambah daya dorong pada kaki.
Snorkel adalah peralatan selam berupa selang berbentuk huruf J dengan pelindung
mulut di bagian ujung sebelah bawah. Alat ini berfungsi sebagai jalan masuk udara
ketika bernapas dengan mulut tanpa harus mengangkat muka dari permukaan air.
Pemandangan bawah air bisa dilihat sambil berenang dengan wajah menghadap ke
permukaan air dan bernapas melalui snorkel. Penyelam bisa mengambil napas
dalam-dalam sebelum menyelam ke bawah air. Penyelam scuba menggunakan
snorkel untuk menghemat udara di dalam tabung sewaktu berenang di permukaan
air.
9

2.3.2 Wisata Pantai

Wisata pantai merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang


mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk
kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata. Pariwisata merupakan kegiatan
perpindahan/perjalanan orang secara temporer dari tempat biasanya mereka bekerja
dan menetap ke tempat luar, guna mendapatkan kenikmatan dalam perjalanan atau
di tempat tujuan (Holloway dan Plant, 1989 dalam Yulianda, 2007). Kenikmatan
yang diperoleh dari perjalanan ini merupakan suatu jasa yang diberikan alam
kepada manusia, sehingga manusia perlu untuk mempertahankan eksistensi alam
(Yulianda, 2007).
2.4 Kategori Kesesuaian

Menurut Yulianda (2007), setiap kegiatan wisata memiliki


persyaratanpersyaratan sumberdaya dan lingkungan yang sesuai dengan kawasan
objek wisata yang akan dikembangkan. Masing-masing jenis kegiatan wisata
memiliki parameter kesesuaian yang berbeda-beda antara kegiatan wisata yang satu
dengan jenis kegiatan wisata yang lainnya. Parameter kegiatan tersebut disusun
dalam kelas kesesuaian untuk masing-masing jenis kegiatan wisata. Rumus yang
digunakan untuk menghitung indeks kesesuaian kegiatan wisata adalah sebagai
berikut :
IKW = ( ∑ Ni / Nmaks ) X 100%
Dimana :
IKW = indeks kesesuaian wisata
Ni = nilai parameter ke-i (bobot x skor)
Nmaks = nilai maksimum dari suatu kategori wisata
Kelas kesesuaian lahan wisata bahari ini dibagi dalam 4 (empat) kelas kesesuaian
yaitu : Sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai bersyarat (S3) dan tidak sesuai (TS).
Definisi dari kelas-kelas kesesuaian dijelaskan sebagai berikut :
Kategori S1 : Sangat sesuai (highly suitable), pada kelas kesesuaian ini tidak
mempunyai faktor pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara
lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh
secara nyata.
10

Kategori S2 : Cukup sesuai (quite suitable), pada kelas kesesuaian ini mempunyai
faktor pembatas yang agak berat untuk suatu penggunaan kegiatan tertentu secara
lestari. Faktor pembatas tersebut akan mempengaruhi kepuasan dalam kegiatan
wisata dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan input untuk
mengusahakan kegiatan wisata tersebut.
Kategori S3 : Sesuai bersyarat, pada kelas kesesuaian ini mempunyai faktor
pembatas yang lebih banyak untuk dipenuhi. Faktor pembatas tersebut akan
mengurangi kepuasan sehingga untuk melakukan kegiatan wisata faktor pembatas
tersebut harus benar-benar lebih diperhatikan sehingga stabilitas ekosistem dapat
dipertahankan. Kategori TS : Tidak sesuai (not suitable), pada kelas kesesuaian ini
mempunyai faktor pembatas berat atau permanen, sehingga tidak mungkin untuk
mengembangkan jenis kegiatan wisata secara lestari.
Menurut Yulianda (2007) setiap parameter memiliki bobot dan skor, dimana
pemberian bobot berdasarkan tingkat kepentingan suatu parameter terhadap
perencanaan kawasan wisata. bobot yang diberikan adalah 5 (lima) , 3 (tiga), dan 1
(satu). Kriteria untuk masing-masing pembobotan adalah sebagai berikut :
1. Pemberian bobot 5: hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa unsur
parameter sangat diperlukan atau parameter kunci.
2. Pemberian bobot 3: hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa unsur
parameter sedikit diperlukan atau parameter yang cukup penting.
3. Pemberian bobot 1: hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa unsur
parameter dalam unsur penilaian tidak begitu diperlukan tetapi harus selalu ada atau
parameter ini tidak penting, yang artinya tanpa parameter ini kegiatan masih bisa
dilakukan.

2.5 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan satu sistem yang banyak


dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Sistem ini telah berkembang menjadi satu
ilmu dan teknologi yang mapan sejalan dengan perkembangan bidang ilmu lain
khususnya teknologi informasi (Liu dan Mason, 2009). Perkembangan SIG ini
banyak diwarnai oleh latar belakang dari penggunanya yang tercermin dari
bervariasinya definisi dari SIG itu sendiri. Teknologi SIG digunakan untuk
mengatur dan memanfaatkan data geografis. Secara luas sistem ini dikenal sebagai
11

satu teknik analisis spasial dalam berbagai bidang seperti pengelolaan kehutanan,
perencanaan perkotaan, teknik sipil, pengelolaan permukiman, bisnis, dan studi
lingkungan hidup.
Sejalan dengan luasnya bidang aplikasi dari SIG ini, terdapat banyak
definisi dari SIG ini. Namun demikian, di antara keragaman definisi tersebut dapat
dilihat adanya kemiripan satu dengan yang lainnya. Kemiripan tersebut dapat
dilihat pada kemampuan SIG ini dalam mengelola, menganalisa dan menampilkan
data spasial. Definisi konseptual tentang SIG banyak ditemukan pada referensi-
referensi lama. Satu contoh dari definisi SIG seperti disebutkan oleh Bernhardsen
(1992) adalah bahwa SIG merupakan serangkaian sistem perangkat keras dan lunak
komputer yang memiliki fungsi-fungsi untuk perolehan dan verifikasi, kompilasi,
penyimpanan, pembaruan dan perubahan, pengelolaan dan peralihan, manipulasi,
perolehan ulang dan penampilan, analisis dan kombinasi atas data geografis
Berdasar definisi konseptual tersebut dapat dipahami bahwa SIG
merupakan satu sistem yang secara garis besar terdiri dari serangkaian perangkat
keras dan lunak serta data spasial sebagai sumber informasinya. Sebuah SIG
mengintegrasikan perangkat keras, perangkat lunak, dan data spasial untuk
perolehan, pengelolaan, analisa, dan menampilkan berbagai bentuk informasi
berreferensi geografis. SIG menurunkan berbagai informasi dari dunia nyata di
muka bumi yang bersifat kompleks dalam bentuk informasi digital. Informasi yang
dihasilkan merupakan informasi spasial yang dapat berupa peta digital ataupun data
atributal. Perolehan informasi spasial dapat dilakukan melalui proses analisis
spasial yang menjadi kekuatan utama dalam SIG ini dibandingkan dengan sistem
informasi lainnya.

2.6 Penginderaan Jauh

Menurut Lillesand et al., (2007), Penginderaan jauh berupa ilmu dan seni
untuk memperoleh infomasi tentang sebuah objek, luasan, dan gejala dipermukaan
dengan mengananalisis data yang didapatkan dari alat tanpa bersentuhan langsung
dengan objek area, atau gejala yang akan dikaji. Menurut Este dan Simonett (1975)
dalam Santoso (1998), beberapa kegiatan penginderaan jauh, diantaranya
interpretasi citra, berupa perbuatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud
untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Karena
12

menggunakan bantuan secara digital, interpretasi citra dapat dilakukan secara cepat,
efisien dan sistematik. Dalam kegiatan analisis digital ada tiga tahap kegiatan yaitu
pemulihan citra (image restoration), penajaman citra (image enchancement) dan
klasifikasi citra (image classification) (Lillesand dan Kiefer, 2000).

2.7 ENVI

ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu image


processing system yang revolusioner yang dibuat oleh Research System, Inc
(RSI). Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan yang banyak dan
spesifik untuk mereka yang secara teratur menggunakan data penginderaan jauh
dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi dan analisis
komprehensif yang menyuluruh dan analisis untuk citra dalam berbagai ukuran dan
tipe, semuanya dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan inovatif
untuk digunakan.
Kemampuan multiple dynamic overlay ENVI memberikan kemudahan
yaitu dapat membandingkan citra dalam multiple displays. Ekstraksi realtime dan
spatial atau spectral profiling dari multiband dan data hyperspectral memberikan
penggunaan cara baru dalam melihat data dengan dimensi yang tinggi. ENVI
juga menyediakan tools interaktif untuk melihat dan menganalisis data vektor dan
atribut Sistem Informasi Geografis (SIG). Kemampuan standar seperti perentangan
kontras dan scatter plots dua dimensi adalah beberapa saja dari fungsi interaktif
yang tersedia untuk pengguna ENVI.
ENVI mempunyai antarmuka visual yang baik serta menggabungkan
secara komprehensif dengan algoritma pemrosesannya. ENVI memasukan semua
fungsi dasar pengolahan citra dalam antarmuka pengguna grafis yang mudah.
Beberapa dari fungsi tersebut antar lain transformasi data, filtering, klasifikasi,
registrasi dan koreksi geometri, analisis spektral, dan radar. ENVI tidak membatasi
jumlah saluran yang dapat diproses, sehingga data multispektral atau hiperspektral
dapat digunakan.
ENVI dapat digunakan dalam area masalah pengolahan citra pada umumnya
seperti input dari tipe data yang tidak standar, menampilkan dan menganalisis
citra berukuran besar, dan ekstensi untuk kemampuan analisis (ada fungsi plug-
in). Perangkat lunak memasukan perlengkapan untuk pengolahan citra dalam
13

berbagai disiplin, dan mempunyai fleksibilitas untuk mengijinkan implementasi


strategi analisis yang berbeda dari biasanya.

2.8 ArcGIS

ArcGIS adalah salah satu software yang dikembangkan ESRI, yang


merupakan kompilasi fungsi-fungsi dari berbagai macam software GIS yang
berbeda seperti GIS, desktop, server, dan GIS berbasis web. Software ini mulai
dirilis oleh ESRI pada tahun 2000. Produk utama dari ArcGIS adalah ArcGIS
desktop, dimana ArcGIS desktop merupakan software GIS professional yang
komprehensif dan dikelompokkan atas 3 komponen yaitu: ArcView (komponen
yang fokus ke penggunaan data yang komprehensif, pemetaan dan analisis),
ArcEditor (lebih fokus ke arah editing data spasial) dan ArcInfo (lebih lengkap
dalam menyajikan fungsi-fungsi GIS termasuk untuk keperluan analisi
geoprosesing).
ArcGIS 10.2 terdiri atas 2 aplikasi dasar yakni:
(1) ArcMap: merupakan aplikasi utama yang digunakan dalam ArcGis yang
Digunakan untuk mengolah (membuat, menampilkan, memilih, editing,
composing, dan publishing) peta.
(2) ArcCatalog: merupakan aplikasi yang berfungsi untuk
mengatur/mengorganisasi berbagai macam data spasial yang digunakan dalam
pekerjaan SIG. Fungsi ini meliputi tool untuk menjelajah (browsing), mengatur
(organizing), membagi (distribution) dan menyimpan (documentation) data-data
GIS.

2.9 Citra Landsat 8

Sensor pencitra OLI (Operational Land Imager) pada LDCM (Landsat-8)


yang mempunyai 1 kanal inframerah-dekat dan 7 kanal tampak reflektif dengan
resolusi spasial 30 meter. Dengan pemilihan kanal spektral yang tepat untuk suatu
aplikasi tertentu, dan dengan penentuan teknik dan metode pengolahan dan analisis
digital yang tepat, data citra satelit LDCM (Landsat-8) akan efektif dan efisien
digunakan dalam peramalan pertanian, eksplorasi energi, pemantauan ekosistem,
pengelolaan sumber alam, pemetaan penggunaan lahan/penutup lahan,
pengumpulan inteligen militer, mitigasi bencana dan pemantauan lingkungan.
14

Satelit LDCM (Landsat-8) dijadwalkan untuk diluncurkan pada tahun 2011 dari
VAFB, CA, dengan pesawat peluncur Atlas-V-401. Satelit LDCM (Landsat-8)
dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikronmatahari, pada
ketinggian :705 km, dengan inklinasi : 98.2º, periode : 99 menit, waktu liput ulang
(resolusi temporal):16 hari, waktu melintasi khatulistiwa (Local Time on
Descending Node -LTDN) nominal pada jam: 10:00 s.d 10:15 pagi (NASA, 2008
dalam Sitanggang, 2010).
15

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di perairan Pulau Gili Labak, desa Kombang,


kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Yang terletak pada
posisi 7°12’17.58’’ S dan 114°02’47.77’’E.

Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan April 2019, di tiga stasiun
dengan tiga titik pengamatan pada setiap stasiunnya. Lokasi pengambilan data
lapangan dapat dilihat pada Gambar 1. dan titik koordinat pengamatan ditunjukkan
pada Tabel 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian data lapangan

Metode penentuan titik stasiun untuk observasi lapangan dilakukan secara


purposive sampling, dimana penentuan titik stasiun dilakukan secara sengaja
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diambil
antara lain berupa daerah yang sudah diolah menggunakan citra, dan cakupan lokasi
penelitian yang cukup jauh, transportasi, keselamatan peneliti, waktu dan biaya.
16

Tabel 1. Titik koordinat lokasi pengamatan data lapangan


Stasiun Titik Pengamatan Latitude Longitude
1 -7,207 114,048
1 2 -7,208 114,048
3 -7,209 114,5
4 -7,202 114,044
2 5 -7,203 114,044
6 -7,206 114,043
7 -7,202 114,049
3 8 -7,2 114,051
9 -7,201 114,052

3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data-data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data
primer, data citra serta data sekunder dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Jenis Data yang Dikumpulkan
Data Sumber Data
Kedalaman Perairan PUSHIDROS TNI AL
(2018)
Survei Lapangan (2019)
Pasang Surut Air Laut BIG (2018)
Kecepatan Arus Survei Lapangan (2019) &
PUSHIDROS TNI AL
Kecerahan Perairan Survei Lapangan (2019)
Tutupan Terumbu Karang Survei Lapangan (2019)
Lebar Hamparan Karang Data Citra Satelit (2018)
Jenis Ikan Karang Survei Lapangan (2019)
Life form Survei Lapangan (2019)
Lebar Pantai Data Citra Satelit (2018)
Tipe Pantai dan Material Dasar Perairan Survei Lapangan (2019)
Biota Perairan Survei Lapangan (2019)
17

3.3. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengambilan data lapangan pada Gili Labak
Madura seperti pada Tabel .

Tabel 3. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian


Alat Kegunaan
Alat selam SCUBA Mengamati terumbu karang dan ikan karang
Sedimen grab Pengambilan sampel substrat
Sabak Pendataan terumbu karang
Batu duga Mengukur kedalaman
Floating ball Mengukur kecepatan arus
Secchi disk Mengukur kecerahan
Roll meter Mengukur lebar pantai dan transek pendataan terumbu
karang dan biota perairan
Perahu Alat transportasi di laut
Kamera Underwater Dokumentasi kegiatan

3.4 Prosedur Penelitian

Sebelum melakukan kegiatan lapangan, pertama dilakukan pengumpulan


literatur dan data sekunder yang dibutuhkan untuk penelitian berupa citra, data arus,
data batimetri/kedalaman dan data pasang surut dari data instansi terkait. Kemudian
penyiapan alat dan bahan yang akan dilaksanakan dalam melakukan penelitian dan
groundcheck. Tahapan yang dilakukan untuk menganalisis analisa kesesuaian lahan
dapat dilihat pada Gambar 2.
18

KAWASAN EKOSISTEM PULAU


KECIL

PENGUMPULAN DATA

DATA DATA DATA


PRIMER SEKUNDER CITRA

KLASIFIKASI
PETA TEMATIK CITRA

PETA TEMATIK

OVERLAY

PETA POTENSI WISATA


PANTAI DAN WISATA
BAHARI

Gambar 2. Bagan Alir Proses Analisis Data


3.4.1 Pengumpulan Data Citra

Sebelum menentukan titik stasiun sebelumnya dilakukan interpretasi citra


untuk memudahkan dalam mengklasifikasikan jenis tutupan terumbu karang dan
kecerahan air. Data citra satelit yang digunakan dalam studi ini bersumber dari
USGS (United States Geological Survey) http://earthexplorer.usgs.gov/. Dengan
menggunakan citra Landsat 8 dengan akuisisi citra data scene pada path=117
dengan row= 65, serta akuisisi citra pada 23 Otober 2018. Data citra yang telah
diperoleh kemudian diklasifikasi menggunakan software ENVI. Tahapan yang
dilakukan untuk pengolahan data citra satelit dapat dilihat pada Gambar 3.
19

Data Satelit
Landsat Level
1

Koreksi
Radiometrik
Cropping Citra

Pemisahan Region
Darat dan Laut

Algoritma Lyzenga

Penajaman Citra

Klasifikasi
Sebaran Terumbu
Karang

Overlay

Peta Tematik
Sebaran Terumbu
Karang

Gambar 3. Bagan Alir Pengolahan Data Citra


1. Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel agar sesuai
dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan
atmosfer sebagai sumber kesalahan utama, dan juga untuk menghilangkan atau
meminimalisir kesalahan radiometrik akibat aspek eksternal berupa gangguan
atmosfer pada saat proses perekaman (Fawzi 2013).
20

2. Cropping Citra
Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi wilayah yang akan dikaji
agar objek yang ingin diteliti lebih terfokus dan lebih efektif dalam pengerjaannya.
3. Pemisahan Region Darat dan Laut
Untuk memudahkan proses transformasi dan klasifikasi, maka perlu
dilakukan pemisahan antara region darat dan region laut. Metode yang dilakukan
yaitu dengan melakukan digitasi bagian daratan pada citra. Setelah dilakukan
digitasi, maka wilayah Digital Number laut dibiarkan tetap membawa nilai
permukaan sedangkan wilayah darat dihapus (null), (Jaelani et al., 2015).
4. Transformasi Lyzenga
Dalam pengolahan citra satelit untuk pemetaan terumbu karang, terdapat
beberapa metode yang bisa digunakan. Salah satunya adalah Algoritma Lyzenga
(Lyzenga, 1978, 1981). Metode Lyzenga dikenal dengan nama metode
depthinvariant index atau metode water column correction (koreksi kolom air).
Koreksi kolom air bertujuan untuk mengeliminasi kesalahan identifikasi spektral
habitat karena faktor kedalaman. Metode ini menghasilkan indeks dasar yang tidak
dipengaruhi kedalaman dan berhasil baik pada perairan dangkal yang jernih seperti
di wilayah habitat terumbu karang (Maritorena, 1996 dalam Jaelani et al., 2015).
Analisa citra menggunakan algoritma lyzenga, dimana koefisien
attenuasinya harus dicari terlebih dahulu. Menurut Siregar (2010) koefisien
attenuasi berguna untuk penajaman terumbu karang (ki/kj) yang didasarkan
perhitungan ragam dan peragam yaitu:

𝑘𝑖 (1)
= 𝑎 + √𝑎2 + 1
𝑘𝑗
(𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑑 1 − 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑑 2) (2)
𝑎=
(2𝑥 𝑐𝑜𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑐𝑒 𝑏𝑎𝑛𝑑 1 𝑑𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑑 2)

Sedangkan formula untuk melakukan transformasi Lyzenga adalah :


𝑘𝑖
𝑌 = (ln 𝑏𝑎𝑛𝑑 1) + ( 𝑥 ln 𝑏𝑎𝑛𝑑 2) (3)
𝑘𝑗

5. Klasifikasi Citra
Band hasil transformasi Lyzenga kemudian dibagi menjadi 20 kelas
berdasarkan kalasifikasi tak terbimbing, dengan hanya mengelompokkan
21

berdasarkan nilai pixel yang hampir berdekatan. Kemudian dari dua 20 kelas
tersebut dilakukan pengecekan di lapangan untuk diklasifikasi kembali berdasarkan
tutupan sebenarnya dilapangan. Pengecekan lapangan atau ground truth dilakukan
dengan mengambil beberapa titik pengecekan. Titik pengecekan dan kasifikasi
yang telah didapatkan sebelumnya kemudian disesuaikan sehingga didapatkan jenis
penutupan terumbu karang sesuai yang ada dilapangan (Purnama, 2013).

3.4.2 Pengumpulan Data Primer

Data primer yang akan dikumpulkan pada penelitian ini berupa kecerahan,
tutupan terumbu karang, jenis life form, kecepatan arus, jenis ikan karang, biota
berbahaya, tipe pantai, dan material dasar perairan.

1. Kecepatan Arus
Penggunaan layang-layang arus hanya mendapatkan waktu tempuh yang
dibutuhkan tali sampai membantang 5 m, oleh karena itu perlu dilakukan
perhitungan dengan menggunakan rumus menghitung kecepatan (Purnama,2013).
𝐿
𝑉=
𝑡
Keterangan
V = Kecepatan (meter/s)
L = Panjang Tali (meter)
t = waktu yang dibutuhkan tali sampai terbentang (detik)
2. Kecerahan Perairan
Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan secchi disk yang
diikat dengan tali kemudian diturunkan perlahan-lahan kedalam perairan hingga
tidak terlihat lagi.
22

3. Terumbu Karang

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode PIT (point
intercept trasect) yang dikeluarkan oleh Reef Check Indonesia. Panjang transek
yang digunakan dalam penelitian yaitu 100 m yang terbagi kedalam empat bagian
atau segmen dimana masing-masing segmen memiliki panjang 20 m, untuk
memisahkan segmen satu dan segmen lainya perlu diberi geps area sebesar 5 m
ilustrasi ini akan ditampilkan pada Gambar 4. Pendataan tipe substrat dilakukan
dengan cara mendata tipe substrat yang ditemukan tepat dibawah garis transek
disetiap interval 0,5 m yaitu pada titik 0 m, 0,5 m, 1 m, dan seterusnya hingga titik
19,5 m (akan didapat 40 titik per 20 m bagian transek) (Hudgson et al., 2006).

Gambar 4. Metode PIT (point intercept transect) yang digunakan pada


survey terumbu karang (Hudgson et al., 2006)
Menurut Hudgson et al. (2006) perhitungan persentase tutupan substrat
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
∑(𝑐𝑖)
𝐶= 𝑥100
𝐴
Dimana: C= persentase tutupan, = jumlah unit titik setiap tipe substrat,
A = jumlah total kisi-kisi yang digunakan (160 titik)

4. Biota Perairan dan Jenis Ikan Karang

Pendataan biota perairan dilaksanakan bersamaan dengan pendataan jenis


karang. Jenis ikan yang dihitung hanya dibatasi oleh panjang transek yang telah
dibentangkan sebelumnya pada pendataan karang. Pendataan dilakukan di tengah
transek menggunakan metode visual atau melihat langsung dengan hanya mendata
ikan yang berada 2,5 m di sebelah kiri, kanan, dan atas dari posisi transek
23

terbentang. Dalam menghitung jumlah jenis ikan yang ada, diperlukan kemapuan
khusus, setidaknya mampu menghapal jenis ikan pada tingkat spesies. Oleh karena
itu, kegiatan pendataan ikan karang di penelitian ini dilakukan oleh orang yang
berkompeten dan memiliki pengalaman dan mendata jenis ikan karang yang ada.

5. Tipe pantai & Material Dasar Perairan

Penentuan tipe pantai dan material dasar perairan dilakukan berdasarkan


pengambilan data di lapangan.

3.4.3 Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data pasang surut
perairan dan peta batimetri Gili Labak, data pasut, data arus dan peta batimetri ini
akan diperoleh dari Pushidros TNI – AL dan BIG.

3.5 Kesesuaian Wisata Snorkeling

Dalam penentuan kesesuaian wisata snorkeling, telah ditentukan beberapa


parameter dengan kriteria oleh Yulianda (2007), seperti:
Tabel 4. Kriteria Kesesuaian Wisata Snorkeling
No Parameter Bobot Kategori Skor Kategori Skor Kategori Skor Kategori Skor
S1 S2 S3 N
1 Kecerahan 5 >80 3 50-80 2 20-<30 1 <20 0
perairan
(%)
2 Tutupan 5 >75 3 >50-75 2 25-50 1 <25 0
komunitas
karang (%)
3 Jenis life 3 >12 3 >7-12 2 4-7 1 <4 0
form
4 Jenis ikan 3 >100 3 50-100 2 20-<50 1 <20 0
karang
5 Kecepatan 1 0-15 3 >15-30 2 >30-50 1 <50 0
arus
(cm/dt)
6 Kedalaman 1 6-15 3 >15-20 2 >20-30 1 >30 0
terumbu 3-<6 <3
karang (m)
7 Lebar 1 >500 3 >100- 2 20-100 1 <20 0
hamparan 500
karang (m)
Sumber: Yulianda 2007
24

3.6 Kesesuaian Wisata Pantai

Analisis kesesuaian kawasan untuk wisata pantai memiliki dua kategori


yaitu : Kesesuaian Kawasan Untuk Wisata Pantai Rekreasi diantaranya,Kedalaman,
Tipe Pantai, Lebar Pantai, Material Dasar Perairan, Kecepatan Arus (m/dt),
Kecerahan (m), Biota Berbahaya (Yulisa et al, 2016). Dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kesesuaian wisata pantai


No Parameter Bobot Kategori Skor Kategori Skor Kategori Skor
S1 S2 S3
1 Kedaman 5 0-3 3 3-6 2 <6 1
(m)
2 Tipe 5 Pasir 3 Pasir putih 2 Berlumpur 1
Pantai sedikit
berkarang
3 Lebar 5 >10 3 >3-10 2 <3 1
pantai
4 Material 4 Pasir 3 Karang 2 Lumpur 1
dasar berpasir
perairan
5 Kecepatan 4 0-0,17 3 0,17-0,51 2 >0,51 1
arus
(cm/dt)
6 Kecerahan 3 >75 3 >50-75 2 >25-50 1
(%)
7 Biota 3 Tidak ada 3 Bulu babi, 2 Bulu babi, 1
berbahaya ikan pari ikan pari,
lepu, hiu
Sumber: Modifikasi Yulianda 2007
3.7 Analisis Kesesuaian Lahan

Hasil pengolahan data digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan


yang sesuai untuk wisata pantai dan wisata bahari di Pulau Gili Labak. Pemberian
bobot berdasarkan tingkat kepentingan suatu parameter, sedangkan pemberian skor
berdasarkan kualitas setiap parameter. Rumus yang digunakan untuk menghitung
nilai kesesuaian ekowisata bahari adalah (Yulianda et al. 2010) :dimana :
𝑁𝑖
𝐼𝐾𝑊 = ∑ 𝑥100%
𝑁𝑚𝑎𝑥
IKW = Indeks kesesuaian wisata;
Ni = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor);
Nmaks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata;
25

Penentuaan kelas kesesuaian lahan untuk kategori tertentu dapat dilakukan


dengan menghitung nilai interval kelas dari masing-masing nilai kesesuaian lahan
ekowisata. Pembagian kelas kesesuaian ekowisata bahari mengacu pada (Yulianda
2007) dibagi menjadi tiga kelas kesesuaian yaitu ; Sangat sesuai (S1) dengan IKW
>75%, Sesuai (S2) IKW 50-75%, dan Tidak sesuai (TS) dengan IKW <50%.
Setelah membandingkan nilai interval kelas, selanjutnya pemetaan kelas
kesesuaian menggunakan analisis keruangan (spatial analysis). Penggunaan analisis
keruangan untuk mengidentifikasi pemanfaatan ruang dilakukan dengan
pendekatan SIG dengan menggunakan software ArcGIS.
26

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi oseanografi merupakan faktor penting untuk kegiatan wisata karena


berhubungan erat dengan aspek keamanan dan kenyamanan wisatawan. Adapun
hasil pengamatan parameter di Gili Labak adalah sebagai berikut :

4.1 Kecerahan

Kecerahan perairan merupakan parameter penting dalam kegiatan wisata


snorkel dan pantai karena berkaitan dengan kenyamanan wisatawan. Semakin
tinggi tingkat kecerahan suatu perairan maka akan semakin baik untuk mendukung
wisata snorkeling, karena objek di bawah air akan semakin jelas untuk dilihat
(Yulianda, 2007). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat
kecerahan perairan sangat tinggi yaitu mencapai 100%. Peta tematik untuk
kecerahan dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta tematik kecerahan


27

4.2 Kedalaman

Pengukuran kedalaman perairan dilakukan untuk mendapatkan kedalaman


dari ekosistem karang yang akan digunakan dalam wisata snorkeling dan wisata
pantai. Kegiatan wisata snorkel yang sangat sesuai jika memiliki kedalaman 2-6 m.,
untuk wisata pantai kategori rekreasi bahwa suatu kawasan wisata pantai dapat
dikatakan sangat sesuai jika memiliki kedalaman antara 0 – 3 m.

(m)

Gambar 6. Peta tematik bathimetri

Hasil pengukuran menunjukkan kedalaman perairan Gili Labak sangat


sesuai untuk wisata snorkel dan wisata pantai. Peta tematik kedalaman ditunjukkan
pada Gambar 6.

4.3 Arus

Nybakken (1992) menyatakan bahwa kecepatan arus sangat erat kaitannya


dengan keamanan wisata dalam berenang. Arus yang lemah sangat baik untuk
kegiatan renang, sedangkan arus yang sangat kuat berbahaya karena dapat menyeret
orang-orang yang sedang mandi atau renang di pantai. Dari hasil pengukuran
lapangan pada stasiun 1 menunjukkan kecepatan arus mencapai rata-rata 0,15 m/
28

dt. Pada stasiun 2 menunjukkan rata-rata 0,15 m/dt dan pada stasiun 3 menunjukkan
rata-rata 0,16 m/dt.

(m/dt)

Gambar 7. Peta tematik kecepatan arus

Data kecepatan arus juga yang di peroleh dari PUSHIDROSAL dan Stasiun
Meteorologi Maritim Surabaya. Kecepatan arus rata-rata di perairan sekitar Gili
Labak mencapai 37 m/dt pada bulan April sampai dengan September tahun 2018.
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan kecepatan arus menunjukkan kategori
yang sangat sesuai untuk dilakukannya wisata sorkel dan wisata pantai. Peta
tematik dapat dilihat pada Gambar 7.

4.4 Tutupan komunitas karang

Kondisi tutupan komunitas karang merupakan salah satu parameter ekologi


kesesuaian snorkeling, Kegiatan wisata snorkeling akan semakin menarik apabila
kesehatan karang dalam kondisi baik dan terjaga. Dalam menilai kondisi kesehatan
karang dapat dilihat dari kepadatan tutupan komunitas karang di terumbu yang
dipersekan sehingga disebut persentase penutupan karang (Purnama, 2011). Hasil
presentase tutupan komunitas karang pada stasiun 1 menunjukkan kategori sesuai,
yaitu dengan hasil penutupuan > 70%. Pada stasiun 2 sangat sesuai yaitu dengan
29

hasil penutupan > 75% dan pada stasiun 3 menunjukkan kategori tidak sesuai
dengan hasil penutupan <20%. Luas tutupan komunitaas karang yang baik pada
stasiun 1 dan 2 adalah sebesar 52 ha, dan luas tutupan pada stasiun 3 sebesar 28,99
ha. Peta tematik tutupan komunitas karang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta tematik tutupan komunitas karang

4.5 Jenis life form

Terumbu karang memiliki bentuk pertumbuhan yang beragam. Kategori


bentuk pertumbuhan karang tersebut dapat dilihat pada pembagian kelompok
kategori jenis oleh (English et al., 1997). Semakin beragamnya bentuk pertumbuhan
karang disuatu perairan maka semakin tinggi pula daya tarik ekosistem terumbu
karang tersebut. Hasil pengamatan jenis life form pada stasiun 1 ditemukkan jenis
karang keras bercabang, karang merayap, rubble, pasir, batu, karang pipa dan
anemon namun jenis yang sangat mendominasi adalah karang keras bercabang.
Pada stasiun 2 ditemukan jenis karang keras bercabang, karang batu, rubble, pasir,
karang otak, karang meja, karang kertas, karang jamur, sponge, karang pipa, karang
merayap dan karang lunak namun yang mendominasi adalah karang keras
30

bercabang. Pada stasiun 3 ditemukan jenis karang bercabang, rubble, pasir, dan
karang batu, namun yang mendominasi adalah rubble.

Gambar 9. Peta tematik jenis life form

Dari hasil pengamatan stasiun 2 menunjukkan kategori yang sangat sesuai


untuk dilakukan kegiatan snorkeling karena memiliki >12 jenis life form.
Sedangkan pada stasiun 1 menunjukkan kategori yang sesuai karena memiliki >7-
12 jenis life form, dan pada stasiun 3 menunjukkan kategori tidak sesuai karena
memiliki <4 jenis life form. Peta jenis life form dapat dilihat pada Gambar 9.

4.6 Jenis ikan karang

Ikan karang memiliki daya tarik tersendiri selain terumbu karang.


Kelimpahan keindahannya bertambah seiring dengan jumlah genus yang terdapat
pada perairan tersebut (Leonard dan Munasik, 2014). Hasil perhitungan jenis ikan
karang pada perairan Gili Labak sendiri terdapat 10 – 32 genus ikan karang dan
untuk kelimpahannya berkisar 10 – 30 pada setiap stasiun. Pada stasiun 1 banyak
ditemukan ikan major atau ikan yang selalu dijumpai di terumbu karang, seperti
ikan nemo dan ikan emperor. Pada stasiun 2 banyak di temui ikan major dan
beberapa ikan indikator seperti ikan kepe-kepe, pada stasiun 3 juga banyak
31

ditemukan ikan major. Peta tematik jenis ikan karang dapat dilihat pada Gambar
10.

Gambar 10. Peta tematik jenis ikan karang


4.7 Lebar hamparan karang

Yulianda (2007) menambahkan satu parameter luas hamparan


karang pada kesesuian wisata snorkeling. Lebar hamparan karang dihitung jarak
karang yang berada paling dekat dengan bibir pantai sampai tutupan karang paling
jauh mengarah ke laut. Untuk dapat menghitung luas hamparan karang yang ada di
Gili Labak, digunakan hasil intepretasi citra pada perairan, agar didapatkan
gambaran sebaran karang pada daerah terumbu, sehingga dapat dihitung hasil lebar
dari hamparan karang. Hasil yang didapat pada stasiun 1 menunjukkan lebar
hamparan karang mencapai 400m, pada stasiun 2 lebar hamparan karang mencapai
200m dan pada stasiun 3 lebar hamparan karang mencapai 400m. Hasil dapat dilihat
pada peta tematik lebar hamparan karang pada Gambar 11.
32

Gambar 11. Peta tematik lebar hamparan karang

4.8 Biota Berbahaya

Gili Labak termasuk kategori yang sangat sesuai untuk dijadikan sebagai
tempat wisata pantai kategori rekreasi untuk aktivitas berenang, karena pada
Stasiun 1 dan 3 tidak ditemukan adanya biota berbahaya. Hanya pada Stasiun 2
telah ditemukan adanya biota berbahaya yaitu bulu babi. Pengamatan biota
berbahaya dilakukan dengan cara snorkeling di sekitar stasiun. Salah satu penyebab
adanya biota berbahaya pada Stasiun 2 yaitu terdapat ekosistem terumbu karang
yang merupakan habitat bulu babi (Echinus esculentus) pada jarak ± 25 m dari bibir
pantai. Tidak ditemukan biota berbahaya lainnya, seperti ikan pari dan hiu. Peta
tematik biota berahaya dapat dilihat pada Gambar 12.

4.9 Lebar pantai

Pengukuran lebar pantai dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar


wilayah pantai yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan wisata pantai.
Berdasarkan matriks kesesuaian lahan untuk wisata pantai rekreasi bahwa stasiun
1, 2 dan 3 tergolong dalam kategori sangat sesuai karena hasil pengukuran > 20m.
Peta tematik lebar pantai dapat dilihat pada Gambar 13.
33

Gambar 12. Peta tematik biota berbahaya

Gambar 13. Peta tematik lebar pantai


34

4.10 Material Dasar Perairan dan Tipe Pantai

Hasil pengamatan material dasar perairan berdasarkan hasil survei lapangan


dan analisis yang telah dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah dan Batuan,
Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (Lampiran 1), di perairan Gili
Labak tergolong substrat jenis pasir. Pada stasiun 1 hasil uji analisa menunjukkan
kerikil sebesar 2,37%, pasir 96,89%, butiran halus (lanau+lempung) 0,74% dan
pasir warn abu-abu. Pada stasiun 2 hasil uji analisa menunjukkan kerikil sebesar
1,77%, pasir 96,9%, butiran halus (lanau+lempung) 1,22% dan pasir warna abu-
abu. Hasil menunjukkan bahwa tipe pantai di Gili Labak adalah pasir. Hasil dari
analisis laboratorium material dasar perairan kemudian dipetakan menjadi peta
tematik dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Peta tematik tipe pantai dan material dasar perairan

4.11 Kesesuaian Wisata Snorkel

Hasil analisis spasial yang telah dilakukan dengan software Arc GIS 10.1
dari ketujuh parameter diatas untuk wisata snorkel (kedalaman, kecerahan,
kecepatan arus, jenis life form, jenis ikan karang, tutupan komunitas karang, dan
35

lebar hamparan karang) kemudian dioverlay hingga menghasilkan kriteria kelas


lahan yang sesuai, seperti pada Gambar 15.
Hasil dari nilai total yang telah dilakukan didapatkan dari nilai scoring
dikalikan dengan bobot parameter. Perkalian tersebut kemudian dijumlahkan
dengan seluruh parameter. Hasil perkalian dan penjumlahan tersebut didapatkan
hasil nilai kesesuaian berdasarkan kriteria kelas yang telah ditentukan. Hasil
penghitungan indeks kesuaian wisata snorkel yang di dapat pada stasiun 1 sebesar
85,6% yang menunjukkan kategori S1 atau sangat sesuai dengan luasan 31,06 ha,
pada stasiun 2 sebesar 99,6% yang menunjukkan kategori S1 atau sangat sesuai
dengan luasan 21,66 ha dan pada stasiun 3 sebesar 71,6% yang menunjukkan
kategori S2 atau sesuai dengan luasan 28,99 ha.

Gambar 17. Kesesuaian wisata snorkel dari beberapa parameter


4.12 Kesesuaian Wisata Pantai

Hasil analisis spasial yang telah dilakukan dengan software Arc GIS 10.1
dari ketujuh parameter diatas untuk wisata pantai (kedalaman, kecerahan, kecepatan
arus, jenis biota berbahaya, tipe pantao, material dasar perairan dan lebar pantai)
36

kemudian dioverlay hingga menghasilkan kriteria kelas lahan yang sesuai, seperti
pada Gambar 16.
Hasil penghitungan indeks kesesuaian wisata pantai yang di dapat pada
stasiun 1, 2 dan 3 sebesar 99,6% yang menunjukkan kategori S1 atau sangat sesuai
dengan luasan 21.14 ha. Pengunjung dapat melakukan berbagai kegiatan seperti
bermain pasir, olahraga (sepak bola, voli pantai), berkemah dan lain-lain. Seperti
yang dikemukakan Sunarto (1991) bahwa pantai untuk pariwisata adalah pantai
yang memiliki keindahan yang dapat dinikmati oleh wisatawan pengunjungnya.
Pantai memiliki daya tarik potensial seperti pantai pasir putih, pantai dengan pohon-
pohon khas yang rindang, dan pantai dengan bangunan atau nilai sejarah dan
budaya.

Gambar 16. Kesesuaian wisata pantai dari beberapa parameter


37

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil


pengukuran parameter oseanografi untuk kesesuaian wisata pantai dan wisata
snorkel yang terdiri dari kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, tutupan komunitas
karang, jenis life form, jenis ikan karang, biota berbahaya, lebar pantai, dan material
dasar perairan yang dilakukan pada tiga stasiun, tidak ada yang menyimpang dan
layak untuk kriteria wisata pantai dan wisata snorkel.
Hasil analisis yang telah dilakukan untuk perairan yang potensial di Gili
Labak menunjukkan bahwa pada perairan ini dominan sangat sesuai untuk
dilakukan wisata snorkel dan wisata pantai. Persentase yang didapatkan untuk
wisata snorkel pada stasiun 1 dan 2 dengan kategori sangat sesuai sebesar 85,6%
dan 99,6% dengan luas 52,72 ha, pada stasiun 3 dengan 76% untuk kriteria cukup
sesuai dengan luas 28,99 ha. Persentase yang didapatkan untuk wisata pantai pada
ketiga stasiun sebesar 99,6% menunjukkan kategori sangat sesuai dengan luas
21.141 ha.

5.1 Saran
Data untuk parameter kesesuaian perairan pada penelitian ini masih sangat
terbatas, sehingga perlu dilakukannya penelitian lanjutan terhadap data parameter
oseanografi di sekitar perairan Gili Labak, Madura. Penelitian selanjutnya juga
dapat menambahkan parameter oseanografi lainnya seperti, pasang surut, Muatan
Padatan Tersuspensi (MPT) dan dengan menambahkan berdasarkan musim.
38

DAFTAR PUSTAKA Commented [M4]: Daftar pustaka tidak perlu diberi bab

Banyak referensi/rujukan yang belum masuk dalam daftar pustaka...


teliti lagi ya...
Aji A. S., Suprayogi A. dan Wijaya A. P. 2015. Analisis Kesesuaian Kawasan Cara penulisan pustaka juga pelajari lagi, apa saja yang dicetak
Peruntukan Pemakaman Umum Baru Berbasis Sistem Informasi Geografis miring... dll

(Sig) (Studi Kasus : Kecamatan Tembalang, Kota Semarang). Jurnal


Geodesi 4: 99-107
Bricker, Kelly, "The International Ecotourism Society" (2017).Travel and Tourism
Research Association: Advancing Tourism Research Globally. 11.
Akbar, Aldino. 2006. Inventarisasi Pontensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk
Wisata Bahari (Snokeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan
Pulau Burung di Kecamatan Sinjuk, Kabupaten Belitung. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Cahyadinata I. 2009. Kesesuaian Pengembangan Kawasan Pesisir Pulau Enggano
Untuk Pariwisata Dan Perikanan Tangkap. Jurnal AGRISEP 9(2): 168-182
Dahuri, R., Rais J., dan Ginting S.P. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. PT Paradya Paramitha. Jakarta.
English, S., C. Wilson, dan V. Baker. 1997. Survey Manual of Tropical Marine
Resource. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal
Resources. Australia.
Fawzi1 N. I. Tutorial Koreksi Radiometrik. UGM
Hodgson, G., J. Hill, W. Kiene, L. Maun, J. Mihalay, J. Liebeler, C. Shuman, R.
Torres. 2006. Reef check instruction manual: A Guide to Reef Check. Coral
Reef Monitoring. Reef Check Foundation, Facific Palisades, California,
USA.
https://mediamadura.com/2018/07/pad-sektor-pariwisata-di-sumenep-ditarget-
terlalu-kecil/ diakses pada tanggal 30 Januari 2019.
Jaelani M. L., N. Laili, dan Y. Marini. 2015. Pengaruh Algoritma Lyzenga Dalam
Pemetaan Terumbu Karang Menggunakan Worldview-2, Studi Kasus:
Perairan Pltu Paiton Probolinggo. Jurnal Penginderaan Jauh 12(2): 123-
132
Koroy K., Yulianda F. dan Butet N. A. 2017. Pengembangan Ekowisata Bahari
Berbasis Sumberdaya Pulaupulau Kecil Di Pulau Sayafi Dan Liwo,
Kabupaten Halmahera Tengah. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan
(8)1: 1-17
Lillesand, Thomas M., Ralph W. Kiefer, dan Jonathan W. Chipman. 2007. Remote
Sensing and Image Interpretation - Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Citra. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
39

Lowe-McConnell, R.H. 1987. Ecological studies in tropical fish communities.


Cambridge University Press, Cambridge. 382 pages
Manuputty. A., Djuwariah. 2009. Point Intercept Transect (PIT) untuk Masyarakat.
Studi Baseline dan Monitoring Kesehatan Karang di Lokasi Daerah
Perlindungan Laut. COREMAP II - LIPI. Jakarta
Masita H.K, Femy M.S, Sri N.H,. 2013. ( Jurnal) Kesesuaian Wisata Pantai
Berpasir Pulau Saronde Kecamatan Pondo Kepulauan Kabupaten Gorontalo
Utara.
Muhsoni F. F. dan Efendy M. 2016. Analisi Daya Dukung Pemanfaatan Pulau Gili
Labak Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Seminar
Nasional Perikanan dan Kelautan IV.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta
Nyabakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia.
Jakarta.
Putra A. P. 2013. Studi Kesesuaian Dan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang
Untuk Wisata Selam Dan Snorkeling Di Kawasan Saporkren Waigeo
Selatan Kabupaten Raja Ampat. Skripsi UNHAS.
Samskerta. I.P. 2012. Estimation of Development and Maintenance Cost of Nipah
Island Restoration Project. [Thesis]. Faculty of Built Environment.
Universiti Teknologi Malaysia. Malaysia , Chapter III; page 55.
Santoso, FE Astuti. 1998. Memperkenalkan Wisata Selam Sebagai Salah Satu
Penunjang Wisata Bahari di Indonesia. Pendidikan Kepariwisataan
Universitas Kristen Petra. Surabaya.
Sitanggang. 2010. Kajian Pemanfaatan Satelit Masa Depan: Sistem Penginderaan
Jauh Satelit LDCM (Landsat-8). Jurnal Lapan. 11(2):47-58
Yulianda, Fredinan. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan
Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, dan Kang HS. 2010.
Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Integrated Coastal and
Marine Management). Bogor (ID): Pusdiklat Kehutanan Departemen
Kehutanan Ri, Secem– Korea International Cooperation Agency.
Yulisa E. N., Johan Y dan Hartono D. 2016. Analisis Kesesuaian Dan Daya Dukung
Ekowisata Pantai Kategori Rekreasi Pantai Laguna Desa Merpas Kabupaten
Kaur. Jurnal Enggano (1)1: 97-11
Yusri, Safran. 2008. Manfaat Terumbu Karang dan Ancamannya.
www.terangi.co.id akses tanggal 30 januari 2019. Surabaya.
40

Lampiran 1
41
42

Lampiran 2
43

Lampiran

Terumbu karang di stasiun 1

Terumbu karang di stasiun 1

Anda mungkin juga menyukai