2020
SKRIPSI
2020
i
LEMBAR PENGESAHAN
SKRIPSI
IDENTIFIKASI KETINGGIAN LAPISAN BATAS ATMOSFER
MENGGUNAKAN RAW DATA RADIOSONDE TAHUN 2019
DI STASIUN METEOROLOGI MINANGKABAU DAN
STASIUN METEOROLOGI RANAI
Telah dipersiapkan dan disusun oleh
Penguji II
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
KATA PENGANTAR
iv
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya.
Sehingga penulis menerima kritik dan saran membangun dari seluruh pihak demi
perbaikan skripsi ini.
Penulis
v
DAFTAR ISI
vi
5.2 Saran ................................................................................................ 28
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Waktu penelitian saat cuaca cerah (atas) dan hujan (bawah) di
Stasiun Meteorologi Minangkabau dan Ranai.................................... 12
Tabel 4.1 Ketinggian LBA (m) Stasiun Meteorologi Minangkabau (atas) dan
.Ranai (bawah) ..................................................................................... 19
Tabel 4.2 Ketinggian LBA saat cuaca cerah pukul 00.00 UTC di Stasiun
.Meteorologi Minangkabau (atas) dan Ranai (bawah) ........................ 24
Tabel 4.3 Nilai Uji-T antara dua metode di Stasiun Meteorologi Minangkabau
.(atas) dan Ranai (bawah) .................................................................... 26
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
INTISARI
xi
ABSTRACT
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Dewi (2013) meneliti ketinggian LBA pada wilayah dengan tipe permukaan yang
berbeda, dan Liu dan Liang (2010) meneliti variasi musiman siklus diurnal LBA di
wilayah daratan, lautan, dan pulau berdasarkan data pengamatan radiosonde.
Pengamatan udara atas menggunakan instrumen radiosonde di beberapa
stasiun meteorologi di Indonesia telah dilakukan, namun masih jarang penelitian
identifikasi ketinggian LBA menggunakan raw data radiosonde. Terkait dengan hal
tersebut, maka penulis melakukan penelitian identifikasi ketinggian LBA
berdasarkan hasil pengolahan raw data radiosonde. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi ketinggian LBA di 2 (dua) wilayah yang berbeda kondisi tutupan
lahannya. Lokasi pertama yaitu di Stasiun Meteorologi Minangkabau Padang
Pariaman dengan tutupan lahan berupa pertanian lahan kering dan lokasi kedua
yaitu di Stasiun Meteorologi Ranai Natuna dengan tutupan lahan berupa
pemukiman dan belukar. Berdasarkan kondisi tutupan lahan tersebut, penulis ingin
mengetahui ketinggian LBA di kedua lokasi penelitian.
4
5
selama tahun 1990 hingga 2009. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut
yaitu berdasarkan gradien vertikal dari parameter kelembapan (RH), suhu virtual
(θv), dan suhu potensial (θ). Hasilnya metode berdasarkan gradien vertikal RH dapat
mengidentifikasi ketinggian LBA dan menentukan karakteristik ketinggian LBA di
berbagai wilayah.
Dewi (2013) melakukan identifikasi ketinggian LBA pada wilayah dengan
karakteristik permukaan yang berbeda yaitu lautan, urban, dan perbukitan.
Penelitian tersebut memanfaatkan profil vertikal shear angin (V) dari pengamatan
radar dopler C-band Serpong untuk menentukan puncak dari Convective Boundary
Layer (CBL) dan Nocturnal Boundary Layer (NBL). Puncak CBL ditentukan
dengan adanya geser angin maksimum diatas lapisan pencampuran, sedangkan
NBL ditentukan dengan adanya Low Level Jet (LLJ). Hasilnya menunjukkan nilai
ketinggian LBA yang berbeda-beda di setiap daerah. Daerah dengan permukaan
laut menunjukkan nilai ketinggian LBA yang mencapai 2 km dengan perbedaan
antara ketinggian LBA saat siang hari dan malam hari tidak terlalu signifikan,
sedangkan di wilayah daratan ketinggian LBA dapat mencapai 3 km serta daerah
dengan topografi yang kompleks menunjukkan adanya perbedaan ketinggian LBA
yang cukup besar antara siang hari dan malam hari.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Lapisan batas atmosfer
Permukaan bumi merupakan batas paling bawah dari atmosfer. Bagian dari
lapisan atmosfer yang paling dipengaruhi oleh permukaan bumi disebut dengan
Lapisan Batas Atmosfer (LBA). Menurut Oke (1987) Lapisan Batas Atmosfer
(LBA) adalah salah satu dari fenomena cuaca skala mikro dengan radius horizontal
mencapai 50 km yang terjadi pada skala waktu kurang dari satu hari. Ketinggian
LBA menempati 10 hingga 20 persen dari ketingian troposfer bagian bawah
(berkisar ~1 atau 2 km), selain itu ketinggian LBA juga dapat mencapai 4 km
ataupun lebih (Wallace dan Hobbs, 2006).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan LBA (Oke,
1987), di antaranya:
1. Variasi diurnal
6
Pada siang hari radiasi matahari yang masuk ke bumi bervariasi terhadap
waktu, lintang dan musim sesuai dengan sudut elevasinya. Radiasi yang
masuk tersebut kemudian dipantulkan kembali dengan amplitudo yang
berkurang. Menurut Tjasyono (2008) permukaan bumi yang dipanasi pada
siang hari menyebabkan panas dialihkan ke atas melalui konveksi, sehingga
ketinggian LBA mencapai 1 hingga 2 km. Kemudian pada malam hari
ketika permukaan bumi secara cepat menjadi lebih dingin dari atmosfer
maka panas dialihkan ke bawah, sehingga ketinggian LBA turun menjadi
sekitar 100 m.
2. Kekasaran permukaan
Menurut Stull (1988) kekasaran permukaan memiliki pengaruh terhadap
ketinggian LBA. Wilayah dengan permukaan yang lebih kasar dapat
meningkatan gesekan angin dengan permukaan yang mengakibatkan
terjadinya turbulensi sehingga menyebabkan ketinggian LBA semakin
tinggi.
3. Panas antropogenik
Panas antropogenik merupakan panas yang dihasilkan dari energi
perkotaan, seperti bangunan dan kendaraan, serta manusia. Sumber dari
panas antropogenik di antaranya adalah sistem penyejuk ruangan, industri,
transportasi, dan metabolisme manusia. Panas dari sumber-sumber ini
meningkatkan suhu perkotaan dengan cara konduksi, konveksi, dan radiasi.
Gambar 2.2 Profil vertikal LBA pada a) siang hari , dan b) malam hari
(Wallace dan Hobbs, 2006)
2.2.2 Radiosonde
Radiosonde adalah alat kecil berbentuk kotak yang dilengkapi dengan
instrumen pengukur parameter cuaca, pemancar radio, dan parasut berisi gas untuk
mengetahui profil vertikal suhu, tekanan, dan kelembapan hingga ketinggian sekitar
30 km. Radiosonde mengukur suhu udara menggunakan termometer listrik
berukuran kecil atau thermistor yang berada di luar kotak. Kelembapan udara
diukur dengan cara mentransfer arus listrik melalui plat yang dilapisi karbon, dan
untuk tekanan udara diperoleh melalui barometer kecil yang terletak di dalam
kotak. Informasi yang diperoleh radiosonde akan ditransmisikan ke permukaan
melalui pemancar radio. Frekuensi yang diterima akan dikonversi menjadi nilai
suhu, tekanan dan kelembapan. Selain itu, profil vertikal angin juga dapat diperoleh
dengan pengamatan yang disebut rawinsonde. Grafik profil vertikal suhu,
kelembapan, dan angin disebut juga dengan istilah sounding. Pada sebagian besar
wilayah, pelepasan radiosonde dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi hari
dan malam hari (Ahrens, 2009)
BAB III
METODE PENELITIAN
11
12
Tabel 3.1 Waktu penelitian saat cuaca cerah (atas) dan hujan (bawah) di
Stasiun Meteorologi Minangkabau dan Ranai
𝑃0 0.28571
𝜃 = 𝑇 ∙( ) (3.1)
𝑃
Keterangan:
𝜃 : Suhu potensial (°C)
T : Suhu udara (°C)
Po : 1000 mb
P : tekanan udara (mb)
b. Profil kelembapan spesifik (q)
Uap air berperan sebagai pelacak dari dispersi partikel yang terkandung
di atmosfer (Ferrero dkk., 2010). Transisi dari lapisan batas dengan
atmosfer bebas ditandai dengan berkurangnya uap air secara signifikan
terhadap ketinggian disebabkan lapisan batas terperangkap oleh lapisan
inversi (Ao, 2008; Seidel, 2010). Ketinggian LBA diidentifikasi pada
ketinggian dengan penurunan kelembapan spesifik bernilai minimum
(Seidel, 2010). Nilai kelembapan spesifik dapat diperoleh dari
persamaan-persamaan berikut (Stull, 2011):
100 − 𝑅𝐻
𝑇𝑑 = 𝑇 − ( ) (3.2)
5
𝐿 1 1
𝑒 = 𝑒0 ∙ exp [ ∙ ( − )] (3.3)
ℜ𝑣 𝑇0 𝑇𝑑
𝜀∙𝑒
𝑞= (3.4)
𝑃 − 𝑒 ∙ (1 − 𝜀)
Keterangan:
Td : suhu titik embun (K)
T : suhu udara (K)
RH : kelembapan relatif (%)
𝑒 : tekanan uap (mb)
𝑒0 : 6,11 mb
𝐿
: 6139 K
ℜ𝑣
𝑇0 : 273 K
𝑞 : kelembapan spesifik (g/kg)
15
𝜀 : 622 g/kg
𝑃 : tekanan udara (mb)
c. Profil kecepatan angin (V)
Menurut Dewi (2014) pada pukul 00.00 UTC LBA yang terbentuk
merupakan Convective Boundary Layer (CBL). Pada waktu tersebut
ketinggian CBL ditentukan sebagai ketinggian dari Entrainment Zone
(EZ) yang ditandai dengan adanya gradien maksimum kecepatan angin
terhadap ketinggian. Sedangkan pada pukul 19.00 UTC LBA yang
terbentuk merupakan Nocturnal Boundary Layer (NBL). Ketinggian
NBL dikaitkan dengan adanya Low Level Jet (LLJ). LLJ ditentukan dari
kecepatan angin maksimum di ketinggian 1 hingga 1,5 km. Kemudian,
apabila keberadaan LLJ tidak dapat diidentifikasi maka ketinggian
NBL ditentukan sebagai gradien minimum kecepatan angin terhadap
ketinggian. Hal tersebut dikarenakan pada malam hari turbulensi
terbentuk oleh geser angin, sehingga geser angin minimum dapat
digunakan untuk mengetahui ketinggian NBL.
3. Uji-T Student
Uji T Student dilakukan untuk mengetahui perbedaan sistematik antara
metode estimasi ketinggian LBA yang digunakan (Fitriani, 2017). Uji ini
membandingkan rata-rata ketinggian LBA dari dua profil vertikal parameter
berbeda, sehingga diketahui dari dua metode yang dibandingkan memiliki
rata-rata yang tidak berbeda secara signifikan. Taraf kepercayaan yang
digunakan yaitu sebesar 5%, sehingga apabila nilai P < 0,05 berarti rata-rata
ketinggian LBA kedua parameter memiliki perbedaan yang besar atau
signifikan. Sebelum dilakukan pengujian harus diketahui terlebih dahulu
perbedaan variansi kedua data merupakan variansi yang sama (equal
variance) atau variansi yang berbeda (unequal variance). equal variance
dirumuskan dengan persamaan 3.5 dan unequal variance dirumuskan
dengan persamaan 3.6 (Singgih, 2010).
16
𝑥̅1 − 𝑥̅2
𝑡=
(𝑛 − 1)𝑠12 + (𝑛2 − 1)𝑠22 1 1
√ 1 (𝑛 + 𝑛 ) (3.5)
𝑛1 + 𝑛2 − 2 1 2
𝑥̅1 − 𝑥̅2
𝑡=
𝑠2 𝑠2 (3.6)
√ 1+ 2
𝑛1 𝑛2
Keterangan:
t : nilai Uji T Student
𝑠12 : standar deviasi data 1
𝑠22 : standar deviasi data 2
𝑥̅1 : rata-rata data 1
𝑥̅2 : rata-rata data 2
𝑛1 : jumlah data 1
𝑛2 : jumlah data 2
17
18
19
Tabel 4.1 Ketinggian LBA (m) Stasiun Meteorologi Minangkabau (atas) dan
Ranai (bawah)
sedangkan pada tanggal 4 Januari, 7 Mei, 8 Juni, 26 Juni, dan 7 November menunjukkan
ketinggian LBA saat siang hari lebih rendah daripada saat malam hari. Kemudian,
berdasarkan metode suhu potensial di Stasiun Meteorologi Ranai (Tabel 4.1 bawah) pada
tanggal 19 Februari, 18 Mei, dan 21 Juni menunjukkan ketinggian LBA saat siang hari
lebih tinggi daripada saat malam hari, sedangkan pada tanggal 12 Desember, 5 April, 11
Juli, 8 September, dan 1 November menunjukkan ketinggian LBA saat siang hari lebih
rendah daripada saat malam hari.
Hobbs (2006) lapisan atmosfer bebas sudah tidak dipengaruhi oleh turbulensi sehingga
kecepatan angin di atmosfer bebas lebih tinggi daripada di LBA. Kemudian pada pukul
12.00 UTC ketinggian LBA diidentifikasi dari adanya low level jet (LLJ) (Gambar 4.3 d).
Berdasarkan adanya LLJ ketinggian LBA diidentifikasi dari adanya kecepatan angin
maksimum (Zhang, 2014). Menurut Banta (2008) LLJ merupakan angin dengan kecepatan
maksimum di troposfer bagian bawah pada ketinggian sekitar 1 hingga 1,5 km dengan
kecepatan angin 2 m/s lebih besar dari angin di lapisan bawah ataupun atasnya. Kemudian,
menurut Dewi (2013) jika tidak terdapat LLJ maka ketinggian LBA diidentifikasi dari
adanya penurunan kecepatan angin terhadap ketinggian (Gambar 4.3 b), hal tersebut
dikarenakan pada malam hari turbulensi terbentuk oleh geser angin, sehingga geser angin
minimum dapat digunakan untuk mengetahui ketinggian NBL.
Penentuan ketinggian LBA berdasarkan metode kecepatan angin di Stasiun
Meteorologi Minangkabau (Tabel 4.1 atas) pada tanggal 25 Februari, 21 April, 26 Juni, dan
12 November menunjukkan ketinggian LBA saat siang hari lebih tinggi daripada saat
malam hari, sedangkan pada tanggal 4 Januari, 7 Mei, 8 Juni, dan 7 November
menunjukkan ketinggian LBA saat siang hari lebih rendah daripada saat malam hari.
Kemudian, berdasarkan metode kecepatan angin di Stasiun Meteorologi Ranai (Tabel 4.1
bawah) pada tanggal 12 Desember, 19 Februari, 18 Mei, 21 Juni, 11 Juli, dan 8 September
menunjukkan ketinggian LBA saat siang hari lebih tinggi daripada saat malam hari,
sedangkan pada tanggal 5 April, 11 Juli, dan 1 November menunjukkan ketinggian LBA
saat siang hari lebih rendah daripada saat malam hari.
Menurut Wallace dan hobbs (2006) ketinggian LBA pada siang hari diidentifikasi
sebagai ketinggian dari lapisan entrainment zone yang terbentuk oleh adanya proses
pencampuran dikarenakan pemanasan oleh matahari yang kemudian pada malam hari saat
permukaan mengalami pendinginan oleh radiasi gelombang panjang bumi, maka turbulensi
akan perlahan menghilang lalu lapisan tersebut akan berubah menjadi lapisan capping
inversion. Selanjutnya, pada malam hari ketinggian LBA diidentifikasi sebagai puncak dari
nocturnal boundary layer yang berada di bawah lapisan capping inversion dan residual
layer. Berdasarkan hal tersebut, ketinggian LBA pada pukul 00.00UTC yang lebih tinggi
daripada pukul 12.00 UTC dapat disebabkan karena pada malam hari terjadi pendinginan
permukaan oleh gelombang panjang bumi sehingga kondisi atmosfer menjadi stabil dan
menyebabkan ketinggian LBA lebih rendah. Kemudian, ketinggian LBA pada pukul 12.00
UTC yang lebih tinggi daripada pukul 00.00 UTC dapat dikarenakan proses pencampuran
yang terjadi pada siang hari yang masih berpengaruh hingga pukul 12.00 UTC. Menurut
24
Wallace dan Hobbs (2006) puncak ketinggian LBA terjadi pada siang hari saat permukaan
mendapat pemanasan dari radiasi matahari yang maksimum.
Kondisi cuaca saat pengamatan radiosonde juga dapat berpengaruh terhadap
ketinggian LBA. Saat kondisi cuaca hujan ketinggian LBA cenderung lebih rendah
daripada saat kondisi cuaca cerah. Hal tersebut dikarenakan saat terjadi hujan maka suhu
udara di permukaan mengalami pendinginan sehingga proses di atmosfer yang
mempengaruhi pembentukan LBA melemah. Kejadian hujan saat pengamatan radiosonde
(Tabel 3.1 bawah) terjadi di Stasiun Meteorologi Minangkabau tanggal 4 Januari 2019
pukul 00.00 UTC dengan ketinggian LBA berdasarkan ketiga metode (Tabel 4.1 atas )
berada di kisaran 226,9 – 473 m dan di Stasiun Meteorologi Ranai pada tanggal 21 Juni
2019 pukul 00.00 UTC dengan ketinggian LBA berdasarkan ketiga metode (Tabel 4.1
bawah) berada di kisaran 192,8 – 503,3 m.
Tutupan lahan suatu wilayah berpengaruh terhadap suhu udara permukaan suatu
wilayah yang disebabkan oleh perbedaan sifat permukaan dalam menerima pemanasan
radiasi matahari. Pada siang hari saat terdapat pemanasan secara radiatif dari matahari, hal
tersebut dapat berpengaruh terhadap suhu udara permukaan yang menyebabkan terjadinya
aktivitas konvektif sehingga ketinggian LBA mengalami peningkatan. Oleh karena itu
25
dalam penelitian ini kaitan antara tutupan lahan terhadap ketinggian LBA yang dipengaruhi
oleh suhu udara permukaan di kedua lokasi penelitian akan dikaji pada siang hari saat
terdapat pemanasan secara radiatif dari matahari yaitu pada pukul 00.00 UTC dengan
kondisi cuaca cerah. Tabel 4.2 menunjukkan ketinggian LBA di Stasiun Meteorologi
Minangkabau dan Ranai saat kondisi cuaca cerah pada pukul 00.00 UTC.
Ketinggian LBA berdasarkan metode suhu potensial saat kondisi cuaca
cerah pada pukul 00.00 UTC di Stasiun Meteorologi Minangkabau (Tabel 4.2 atas)
berada pada kisaran 480 – 918,5 m, sedangkan di Stasiun Meteorologi Ranai (Tabel
4.2 bawah) berada pada kisaran 515 – 1009,5 m. Kemudian berdasarkan metode
kelembapan spesifik, ketinggian LBA saat kondisi cuaca cerah pada pukul 00.00
UTC di Stasiun Meteorologi Minangkabau berada pada kisaran 474,1 – 913 m,
sedangkan di Stasiun Meteorologi Ranai berada pada kisaran 503,4 – 981,7 m.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa ketinggian LBA yang diperoleh
dari metode suhu potensial dan kelembapan spesifik di Stasiun Meteorologi Ranai
lebih tinggi daripada di Stasiun Meteorologi Minangkabau, hal tersebut
dikarenakan lokasi Stasiun Meteorologi Ranai yang didominasi oleh tutupan lahan
berupa pemukiman dan belukar dengan sedikit vegetasi, menurut Tawfik (2017)
daerah dengan sedikit vegetasi melepaskan lebih banyak fluks panas sensibel
sehingga menyebabkan ketinggian LBA lebih tinggi daripada daerah dengan
banyak vegetasi. Selain itu berdasarkan tutupan lahannya, Stasiun Meteorologi
Minangkabau yang berupa pertanian lahan kering dengan albedo 18 – 26 % dan
Stasiun Meteorologi Ranai yang berupa pemukiman dan belukar dengan albedo 9 -
12 % (Stull, 2011), sehingga di Stasiun Meteorologi Ranai dengan albedo lebih
kecil akan menerima pemanasan radiasi matahari lebih banyak yang menyebabkan
suhu udara permukaan pada pukul 00.00 UTC (Tabel 4.2) di Stasiun Meteorologi
Ranai lebih tinggi daripada di Stasiun Meteorologi Minangkabau. Menurut
Schnidler dkk. (2013) ketinggian LBA dipengaruhi oleh suhu udara permukaan
suatu daerah yang berpengaruh kepada aktivitas konvektif. Aktivitas konvektif
terjadi ketika terdapat perbedaan suhu antara suhu udara permukaan dan suhu udara
di atasnya, sehingga ketika udara di permukaan lebih hangat akan menyebabkan
lapisan pencampuran semakin tinggi (Stull, 1998).
26
Berdasarkan metode kecepatan angin, saat kondisi cuaca cerah pukul 00.00
UTC ketinggian LBA di Stasiun Meteorologi Minangkabau (Tabel 4.2 atas) berada
pada kisaran 279,6 – 877,9 m, sedangkan di Stasiun Meteorologi Ranai (Tabel 4.2
bawah) berada pada kisaran 270 – 818,5 m. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
ketinggian LBA berdasarkan metode kecepatan angin di Stasiun Meteorologi Ranai
lebih tinggi daripada di Stasiun Meteorologi Minangkabau. Perbedaan ketinggian
tersebut dapat terjadi dikarenakan di Stasiun Meteorologi Minangkabau terdapat
lebih banyak vegetasi daripada di Stasiun Meteorologi Ranai sehingga kekasaran
permukaannya lebih tinggi. Menurut Stull (1988) wilayah dengan permukaan yang
lebih kasar dapat meningkatan gesekan angin dengan permukaan yang
mengakibatkan terjadinya turbulensi sehingga menyebabkan ketinggian LBA
semakin tinggi.
di Stasiun Meteorologi Minangkabau dan Ranai pada pukul 00.00 UTC dan 12.00
UTC. Taraf kepercayaan pada uji ini yaitu sebesar 5%, sehingga apabila nilai Uji-
T < 0,05 berarti rata-rata ketinggian LBA kedua metode tidak berbeda secara
signifikan atau hipotesis diterima.
Berdasarkan Tabel 4.3, diperoleh bahwa rata-rata ketinggian LBA
menggunakan metode suhu potensial, kelembapan spesifik, dan kecepatan angin di
kedua lokasi penelitian tersebut menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,05. Hal
tersebut berarti dari setiap metode yang digunakan untuk menentukan ketinggian
LBA tidak berbeda secara signifikan atau hipotesis diterima. Nilai Uji-T paling
kecil ditunjukkan oleh metode suhu potensial dan kelembapan spesifik terhadap
metode kecepatan angin pada pukul 12.00 UTC di Stasiun Meteorologi Ranai.
Menurut Nuryadi dkk. (2017) semakin besar nilai Uji-T maka perbedaan rata-rata
antara dua data kelompok semakin tidak berbeda secara signifikan. Perbedaan rata-
rata ketinggian LBA paling kecil di Stasiun Meteorologi Minangkabau pada pukul
00.00 UTC ditunjukkan oleh metode suhu potensial dan kecepatan angin dengan
perbedaan 2,7 m dan pada pukul 12.00 UTC ditunjukkan oleh metode suhu
potensial dan kelembapan spesifik dengan perbedaan 20,7 m. Kemudian, perbedaan
rata-rata ketinggian LBA paling kecil di Stasiun Meteorologi Ranai pada pukul
00.00 UTC dan 12.00 UTC ditunjukkan oleh metode suhu potensial dan
kelembapan spesifik dengan perbedaan 4,7 m pada 00.00 UTC dan 1,3 m pada
12.00 UTC.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Ketinggian LBA di Stasiun Meteorologi Minangkabau berdasarkan metode
suhu potensial pukul 00.00 UTC berada di ketinggian 226,9 – 918,5 m dan
pukul 12.00 UTC berada di ketinggian 172,3 – 883,2 m. Kemudian
berdasarkan metode kelembapan spesifik, ketinggian LBA pukul 00.00
UTC berada di ketinggian 196,9 – 913,4 m dan pukul 12.00 UTC berada di
ketinggian 199,2 – 1023,7 m. Selanjutnya, ketinggian LBA berdasarkan
metode kecepatan angin didapatkan ketiggian LBA pukul 00 UTC berada
di ketinggian 210,1 – 877,3 m dan pukul 12 UTC berada di ketinggian 290,3
– 969,5 m.
2. Ketinggian LBA di Stasiun Meteorologi Ranai berdasarkan metode suhu
potensial pukul 00.00 UTC berada di ketinggian 203,6 – 1009,5 m dan pukul
12.00 UTC berada di ketinggian 174,9 – 1116,6 m. Selanjutnya berdasarkan
metode kelembapan spesifik, ketinggian LBA pukul 00.00 UTC berada di
ketinggian 175,4 – 981,7 m dan pukul 12.00 UTC berada di ketinggian
230,7 – 1105,9 m. Kemudian, ketinggian LBA berdasarkan metode
kecepatan angin didapatkan ketiggian LBA pukul 00 UTC berada di
ketinggian 270 – 830,4 m dan pukul 12 UTC berada di ketinggian 283,7 –
857,5 m.
5.2 Saran
Pada penelitian ini ketinggian LBA hanya dapat diidentifikasi pada pukul
00.00 UTC dan 12.00 UTC. Hal tersebut disebabkan oleh adanya keterbatasan
waktu pengamatan radiosonde yang hanya dilakukan pada kedua waktu tersebut.
Oleh karena itu, penulis menyarankan pada penelitian selanjutnya untuk
menambahkan data pengamatan dari instrumen lainnya, seperti radar ataupun lidar
untuk mengetahui ketinggian LBA pada jam-jam yang tidak terdapat pengamatan
28
29
Ao, C.T., Iijima, B., Li, J., Mannucci, A., Teixeira, J., Tian, B., dan Waliser, D.,
2008, Planetary Boundary Layer Information From GPS Radio Occultation
Measurements, GRAS SAF Workshop on Applications of GPSRO
Measurements.
Banta, R.M., 2008, Stable Boundary Regimes from The Perspective of The Low
Level Jet. Acta Geophysica, no. 1 vol. 56, hal. 58-87.
Basha, G., dan Ratnam, M.V., 2009, Identification of Atmospheric Boundary Layer
Height Over a Tropical Station Using High–Resolution Radiosonde
Refractivity Profiles: Comparison with GPS Radio Occultation
Measurements, J. Geophys. Res.-Atmos., vol. 114.
Ferrero, L., Perrone, M. G., Petraccone, S., Sangiorgi, G., Ferrini,B. S., Lo Porto,
C., Lazzati, Z., Cocchi, D., Bruno, F., Greco, F., Riccio, A., and
Bolzacchini, E. , 2010, Vertically-resolved particle size distribution within
and above the mixing layer over the Milan metropolitan area, Atmos. Chem.
Phys., vol. 10, hal. 3915–3932.
Fitriani, V., Bey, A., dan June, T., 2017, Estimasi Ketinggian Planetary Boundary
Layer Indonesia Menggunakan Data ECMWF Reanalysis Era-Interim,
Jurnal Meteorologi dan Geofisika, vol. 18, hal. 21-31.
Garratt, J.R., 1992, The Atmospheric Boundary Layer, Cambridge Atmospheric and
Space Science Series, Cambridge Univ. Press.
30
31
Liu, S., dan Liang, X.Z., 2010, Observed Diurnal Cycle Climatology of Planetary
Boundary Layer Height, Journal of Climate, vol. 23, hal. 5790 – 5809,
American Meteorological Society.
Oke, T. R., 1987, Boundary Layer Climates 2nd Edition, Methuen, London.
Quan, J., Gao, Y., Zhang, Q., Tie, X., Cao, J., Han, S., Meng, J., Chen, P., dan Zhao,
D., 2012, Evolution of Planetary Boundary Layer under different weather
conditions, and its impact on aerosol concentrations, Particuology, vol. 11.
Nuryadi, Astuti, D.A., Utami, E.S., dan Budiantara, M., Dasar-dasar statistik
penelitian, Gramasurya, Yogyakarta.
Singgih, S., 2010, Statistik Parametrik: Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta.
Seidel, D.J., Ao, C.O., dan Li, K., 2010, Estimating climatological planetary
boundary layer heights from radiosonde observations: Comparison of
Methods and Uncertainty Analysis, J. Geophys. Res., vol. 115.
Sorbjan, Z., 1989, Structure of the Atmospheric Boundary Layer, Englewood Cliffs,
N.J.: Prentice Hall.
Stull, R.B., 2011, Meteorology for Scientists and Engineers, 3rd Edition, Univ. of
British Columbia, Canada.
Sucahyono, D. dan Ribudiyanto, K., 2013, Cuaca dan Iklim Ekstrem di Indonesia,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika: Jakarta.
Sudjana, N. dan Ibrahim, 1989, Penelitian dan Penilaian Pendidikan, Sinar Baru,
Bandung.
Wallace, J. M., dan Hobbs, P.V., 2006, Atmospheric Science 2nd Edition, USA:
Elsevier Academic Press.
Yang, K., Koike, T., Fujii, H., Tamura, T., Xu, X., Bian, L., dan Zhou, M, 2004,
The Daytime Evolution of the Atmospheric Boundary Layer and Convection
Over the Tibetan Plateau: Observations and Simulations, Journal of the
Meteorological Society of Japan, vol. 82, no. 6 pp 1777-1792.
DAFTAR PUSTAKA DARI INTERNET
Schnidler, T.L., Mitcherll, H., Shirah, G., Sharghi, K., dan Duren, R., 2013, Never
at rest: the air over Los Angeles [online], https://svs.gsfc.nasa.gov/4077,
diakses tanggal 18 Agustus 2020.
33
LAMPIRAN
34
35
36
37
import numpy as np
plt.rcParams['font.family'] = 'Times New Roman'
plt.rcParams.update({'font.size': 16})
x, y = np.loadtxt('Angin00.txt', delimiter='\t', unpack=True)
plt.plot(y, x, 'r')
plt.axhline(y=279.6,color='black')
plt.subplots_adjust(left=0.47)
plt.ylim(0, 1500)
plt.yticks(np.arange(0, 1600, 200))
plt.xlim(-1, 13)
plt.xticks(np.arange(0, 14, 2))
plt.xlabel('Kecepatan angin (m/s)', fontname='Times New Roman',
fontsize=16)
plt.ylabel('Ketinggian (m)', fontname='Times New Roman', fontsize=16)
plt.title('Profil Vertikal Kecepatan Angin (V) 7 November 2019 00 UTC',
fontname='Times New Roman', fontsize=15, fontweight='bold')
figManager = plt.get_current_fig_manager()
figManager.full_screen_toggle()
plt.show()