MODEL PERENCANAAN
KAWASAN AGROFORESTRY BAMBU
1. PENDAHULUAN
Bambu, merupakan hasil hutan non kayu yang potensial untuk dikembangkan
menjadi sumber bahan baku industri. Di bidang kehutanan tanaman bambu dapat
meningkatkan kualitas hutan yang selama ini menjadi bahan baku industri perkayuan
nasional melalui substitusi atau keanekaragaman bahan baku, mengingat potensi hutan
kayu semakin langka sedangkan industri sudah telanjur ada dengan kapasitas besar,
maka tuntutan pemenuhan bahan baku industri kehutanan menjadi agenda prioritas
penyelamat aset kehutanan nasional.
Di masa yang akan datang tanaman bambu dapat mendukung selain sebagai bahan
baku sarana tradisional (bangunan, alat rumah tangga, kerajinan, kesenian dll.) dapat
pula mendukung kapasitas dan kualitas hutan alam/hutan tanaman yang selama ini
menjadi sumber bahan baku industri perkayuan nasional. Bentuk dukungan tersebut
melalui substitusi produk atau keseragaman sumber bahan baku industri, mengingat
potensi kayu semakin langka, memerlukan waktu yang relatif panjang rehabilitasinya,
sedangkan bambu pada umur 4-5 tahun sudah memenuhi persyaratan yang layak.
Besarnya kebutuhan bahan baku bambu tidak mampu lagi dipenuhi oleh hutan alam
bambu dan bambu rakyat, karena itu untuk menunjang kebutuhan bahan baku industri
bambu diperlukan pengembangan hutan tanaman bambu yang dikelola secara
profesional.
Dalam pada itu gejala yang dihadapi adalah masalah bibit yang secara tradisional
memerlukan waktu yang cukup lama dan berkaitan dengan jenis bambu yang
diinginkan. Dalam hal ini jalan pintas yang terbaik sejak dini didirikan Laboratorium
Kultur Jaringan Bambu yang dapat memenuhi penyediaan bibit bambu yang memiliki
persyaratan yang diperlukan jenis, kualitas, kuantitas dan waktu.
Sasaran lahan kritis yang perlu direhabilitasi dengan bambu adalah sebagian
lahan kritis masyarakat yang disatupadukan dengan GERHAN dan GRLK yang
berlokasi di pedesaan. Pemasyarakatan bambu kepada petani di pedesaan tersebut
dinilai tidak terlalu penting karena sifat komoditi bambu sudah merupakan bagian dari
kehidupannya, bahkan dalam forum internasional dikatakan "Bamboo is timber of the
poor" (bambu adalah kayu kaum duafa) sehingga bambu merupakan produk hasil
hutan yang murah.
Pada Kongres Bambu Internasional bulan Juli 1995 di Denpasar Bali, istilah itu
dihapus karena masyarakat modern kota pun menghargai bambu dan bambu dapat
menjadi bahan baku industri maju seperti untuk kertas, papan lapis, papan serat atau
bahan konstruksi bangunan.
2
Tingkat keterlibatan masyarakat akan semakin tinggi bila rumpun bambu tumbuh di
lahan milik masyarakat dengan sistem keterpaduan antara tanaman pertanian dan
tanaman bambu (sistem tumpangsari/sisipan atau tanaman lorong).
Keterlibatan masyarakat dalam skema ekonomi menjadi persyaratan pokok dan dapat
dikembangkan melalui perpaduan antara usaha tani perkebunan inti rakyat (PIR), pola
hutan tanaman industri (PHTI) dan pola pemberian kredit, di mana di dalamnya
terlibat masyarakat, pemerintah dan penjamin pemasaran produk.
Selain produk batang bambu, hutan tanaman bambu juga menghasilkan produk
rebung. Selama satu tahun penanaman dapat dihasilkan 10-20 tunas tiap rumpun,
sehingga apabila dalam 1 ha terdapat = 30 rumpun, maka dapat dihasilkan sekira
6.000 rebung yang dapat menghasilkan sedikitnya Rp 15 juta, yang merupakan hasil
tambahan masyarakat penggarap.
Bambu- Apabila diamati lebih lanjut, seperti halnya tanaman akasia, tanaman
bambu lebih banyak di tanam di Jawa yaitu mencapai 29,14 juta rumpun atau sekitar
76,83 % dari total populasi bambu Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 8,79 juta
rumpun (23,17 %) berada di luar Jawa. Tanaman bambu di Jawa terkonsentrasi di
tiga propinsi berturut-turut adalah di Jawa Barat (28,09 %), Jawa Tengah (21,59 %),
dan Jawa Timur (19,38 %), sementara di Luar Jawa di propinsi Sulawesi Selatan
(3,69 %). Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang mengusai tanaman bambu
di Jawa jauh lebih besar dibanding di Luar Jawa yaitu mencapai 75,69 persen dari
total Indonesia, tetapi rata-rata pengusaan tanaman per rumah tangga baik di Jawa
maupun di Luar Jawa tidak ada perbedaan yang berarti yaitu 8,15 rumpun (di Jawa)
dan 7,65 rumpun (di Luar Jawa). Sedangkan untuk kondisi tanaman bambu, di Jawa
persentase tanaman bambu yang siap tebang terhadap total jumlah rumpun seluruhnya
mencapai sekitar 72,62 persen sedangkan di Luar Jawa persentasenya sedikit lebih
besar mencapai 76,50 persen.
Bambu- Rumah tangga pertanian tanaman bambu di Indonesia pada tahun 2003
tercatat sebanyak 521,52 ribu dengan populasi rumpun yang diusahakan sebanyak
22,84 juta. Dari 521,52 ribu rumah tangga pertanian bambu, sekitar 74,62 persen
(389,17 ribu) rumah tangga berdomisili di Jawa, sedangkan sisanya sekitar 132,35
ribu di Luar Jawa. Populasi bambu yang diusahakan mencapai 22,84 juta rumpun,
sekitar 71,67 persen atau 16,37 juta rumpun diantaranya merupakan tanaman yang
siap tebang. Di Jawa populasi bambu yang diusahakan mencapai 17,97 juta rumpun
dengan kondisi tanaman yang siap tebang sebanyak 12,62 juta rumpun, sementara di
Luar Jawa populasi bambu yang diusahakan hanya sekitar 4,86 juta dimana sekitar
3,75 juta rumpun diantaranya tanaman yang siap tebang.
Bulan Januari 2006, ditandai dengan bencana tanah longsor dan banjir. Badai (siklon)
tropis yang terjadi di Australia Utara, telah mengakibatkan adanya curah hujan yang
sangat tinggi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan yang sangat tinggi
inilah sebenarnya penyebab utama datangnya bencana banjir dan tanah longsor.
Namun bencana demikian, sebenarnya bisa dicegah. Seandainya hutan di Indonesia,
khususnya di pulau Jawa tidak diobabat habis, maka bencana banjir dan longsor itu
pasti bisa diminimalkan.
Selama 20 tahun terakhir, penghijauan lahan gundul memang banyak dilakukan secara
swadaya oleh masyarakat. Tanaman penghijauan favorit yang paling banyak
dibudidayakan masyarakat adalah albisia, sengon alias jeungjing (Albizia falcataria).
Minat masyarakat untuk membudidayakan albisia semakin tinggi, setelah beberapa
pabrik pengolahan kayu modern berdiri. Pabrik ini akan mengolah kayu albisia hingga
siap untuk diekspor ke Jepang. Di satu pihak, albisia memang telah berhasil
menghijaukan lahan rakyat yang selama ini gundul. Namun di lain pihak, justru
tanaman inilah yang menjadi salah satu penyebab bencana longsor.
Albisia merupakan tanaman kayu yang pertumbuhannya sangat cepat. Hingga umur di
bawah 10 tahun, pasti sudah ditebang habis. Karena tidak pernah menjadi tua, maka
akar tunggang albisia belum sempat untuk menembus lapisan tanah yang lebih keras.
Tanah di bawah tegakan albisia, terutama tanah liat, akan menjadi jenuh air apabila
curah hujan cukup tinggi. Beban batang dan tajuk tanaman di atas permukaan tanah,
juga ikut mendorong terjadiya longsor. Terlebih kalau tingkat kecuraman lahan yang
ditanamai albisia itu di atas 30°. Dari foto-foto dan tayangan tivi, tampak jelas bahwa
bagian tanah yang lungsor itu banyak ditumbuhi albisia.
***
Sebenarnya masyarakat akan lebih diuntungkan, kalau lahan kritis itu ditanami
bambu. Bukan albisia. Keuntungan yang diperoleh masyarakat dari tanaman bambu
ada dua. Pertama, secara finansial hasil dari 1 hektar lahan yang ditanami bambu,
lebih besar dibanding dengan lahan yang ditanami albisia. Sebab bambu sudah mulai
bis dipanen pada tahun III, dan selanjutnya akan bisa dipanen terus tanpa perlu
penanaman ulang. Hasil dari tanaman bambu bukan hanya berupa kayu (batang
bambu), melainkan juga rebung. Asalkan, bambu yang dibudidayakan dari jenis yang
rebungnya enak. Indonesia tercatat memiliki 142 jenis bambu yang sebagian besar
rebungnya enak dimakan.
Keuntungan kedua dari budidaya bambu di lahan kritis adalah, lahan tersebut menjadi
aman dari bencana tanah longsor. Sebab bambu akan membentuk rumpun, bukan
merupakan tanaman tunggal seperti halnya albisia. Akar bambu juga merupakan akar
serabut yang tumbuh sangat rapat. Akar bambu yang mati karena tanamannya telah
ditebang, akan tetap membentuk serabut, hingga tanah itu menjadi sangat gembur dan
menyerap air dengan sangar cepat. Dalam kondisi curah hujan sangat tinggi, tanah di
sekitar rumpun bambu tidak akan jenuh air. Sebab air dari curah hujan yang sangat
tinggi itu akan diresapkan dalam jangka waktu sangat cepat.
Dengan sifat perakaran demikian, bambu bisa sengaja dibudidayakan sebagai sabuk
gunung (atau bukit), untuk mencegah longsor. Tanaman bambu yang dibudidayakan
melingkari sebuah bukit, akan bisa dengan aman menahan gerakan tanah. Sifat
menahan longsor ini akan lebih kuat kalau penanamannya dilakukan dalam tiga lapis
atau lebih, kemudian ditanam pula deretan memenjang dari atas ke bawah. Hingga dari
atas, bentuk deretan rumpun bambu itu akan tampak seperti anyaman tali, yang
melingkari pinggang bukit. Jarak ke atas maupun menyamping antar deretan rumpun
4
bambu ini bisa dibuat 30 sd. 60 m. hingga bagian tengahnya tetap bisa ditumbuhi
tanaman semusim.
Dengan pola penanaman demikian, masyarakat akan sangat diuntungkan. Sebab bukit
dengan tingkat kecuraman sampai lebih dari 45° pun akan tetap aman dari longsor.
Warga masyarakat yang tinggal di bawah bukit tersebut tidak perlu khawatir tertimbun
longsoran, meski hujan turun dengan intensitas sangat tinggi. Praktek menanami tebing
terjal dengan bambu, selalu diterapkan oleh nenek-moyang kita. Kalau kita perhatikan
tebing-tebing terjal (jurang) di pinggir kali, selalu ditumbuhi bambu. Sebab dengan
adanya rumpun bambu yang saling bergandengan akarnya, maka tanah di bawahnya
akan diikat dengan sangat erat.
***
Selama ini, faktor benih memang telah menjadi kendala utama budidaya bambu. Di
Indonesia, bambu selalu ditanam dengan benih bonggol (batang dalam tanah) berikut
satu meter batang dan ranting. Membongkar rumpun bambu untuk memperoleh
bonggolnya cukup berat. Hasil benih yang didapat juga terbatas. Dari satu rumpun
bambu dengan 10 batang, kalau dibongkar semua hanya akan menghasilkan 10 benih.
Itu pun harus dengan mengorbankan rumpun yang produktif. Mengangkut 10 bonggol
bambu juga makan tempat dengan bobot yang cukup besar. Hingga seluruh pekerjaan
mulai dari membongkar, mengangkut dan menanam benih bonggol itu akan menjadi
cukup berat.
Sebanarnya, bambu juga bisa dikembangbiakkan dengan biji serta kultur jaringan.
Namun upaya menumbuhkan bunga dan biji bambu juga tidak mudah. Demikian pula
dengan kultur jaringan. Selain itu, dua cara ini biayanya tinggi dan perlu waktu lama.
Untuk mengecambahkan biji sampai dengan siap tanam, diperlukan waktu paling cepat
2 tahun. Kultur jaringan, makan waktu lebih lama lagi. Untuk mengatasi hal ini para
petani Thailand biasa menggunakan benih "cangkokan" dari cabang (ranting). Cara
yang mereka lakukan, mirip dengan petani Sleman, DIY, ketika mencangkok salak
pondoh.
Selain mudah dan murah, teknik perbanyakan dengan memanfaatkan ranting ini, juga
mampu mempercepat pengadaan benih secara massal. Sebab dari satu batang bambu
bisa dihasilkan sekitar 10 benih, tanpa mengorbankan batang bambu tersebut dan
produktifitas rumpun. Mengambil dan mengangkut benih ranting juga tidak makan
tempat dan ringan. Tidak seperti pengambilan dan pengangkutan benih bonggol. Bahan
yang digunakan petani Thailand untuk "mencangkok" bambu adalah kantung plastik
bening 0,5 kg. atau 1 kg, dengan media gabus sabut kelapa (cocodush). Gabus sabut
direndam air, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik.
Setelah dipadatkan dan ujungnya diikat, kantung berisi media tersebut disayat
sebagian. Pangkal cabang yang akan "dicangkok" dimasukkan ke bagian yang tersayat
ini lalu diikat erat-erat. Dalam waktu kurang dari satu bulan akar sudah tumbuh.
Cabang baru bisa diambil setelah akar yang kelihatan pada bungkus plastik itu
berwarna cokelat. Ujung cabang harus dipotong hingga tersisa 1,5 m sebelum disemai
di polybag. Media semai paling ideal berupa tanah bercampur humus bambu. Tanah
ini bisa diambil dari bawah tegakan rumpun bambu. Setelah benih dalam polybag
tersebut menumbuhkan tunas dan anakan berupa rebung kecil), benih bisa ditanam di
lapangan.
***
Dalam rubrik ini beberapa tahun silam, pernah ditulis peluang budidaya bambu,
khusus untuk menghasilkan rebung. Jenis yang ditanam adalah bambu yang rebungnya
enak seperti bambu ater (Gigantochloa atter), bambu betung (Dendrocalamus asper),
bambu duri (Bambusa blumeana) dan bambu hitam (Gigantochloa atriviolacea).
5
Dalam satu rumpun, secara konstan dipelihara hanya 5 batang bambu. Kalau satu
batang ditebang, satu rebung harus dipelihara, agar menjadi individu tanman baru.
Selebihnya rebung dipanen. Tiap 36 hari, satu rumpun akan menghasilkan satu rebung.
Dengan jarak tanam 4 X 6 m, populasi per hektar mencapai 400 rumpun. Dari tiap
hektar kebun bambu ini, tiap harinya dapat dipanen 10 rebung.
Tiap tahunnya, dari tiap hektar lahan dapat dipanen 4.000 rebung dan 800 batang
bambu (satu rumpun ditebang 2 disisakan 3 batang). Setelah dibersihkan dan bagian
pangkalnya dibuang, bobot satu rebung hanya sekitar 1 sd. 1,5 kg. Hingga hasil per
hektar per tahun sekitar 20 sd. 30 ton rebung yang sudah terkupas dan dibuang bagian
pangkalnya yang berkayu. Dengan harga sekitar Rp 2.000,- per kg. maka dari satu
hektar lahan itu akan dapat diperoleh pendapatan kotor dari rebung Rp 40.000.000,-
sd. Rp 60.000.000,- dalam setahun. Sebagian besar dari pendapatan tersebut akan
digunakan untuk biaya penyusutan, tenaga kerja (pengambilan rebung dan
pengupasan). Pendapatan bersih bisa separo dari pendapatan kotor tersebut.
Dengan adanya dua keuntungan tersebut, yakni keuntungan finansial dan keuntungan
ideal, maka budidaya bambu untuk mencegah longsor menjadi sangat strategis. Sudah
saatnya pemerintah melalui BUMNnya, baik Perum Perhutani maupun PT Perkebunan
Nusantara (PTPN), mempelopori hal ini. Sebab lahan dengan tingkat kecuraman tinggi
di Jawa, umumnya dikuasai oleh Perum Perhutani dan PTPN. Setelah melihat contoh,
biasanya masyarakat akan dengan mudah mengukuti contoh tersebut. Bencana longsor
dan banjir pada awal tahun 2006 ini sudah sangat meluas dan memprohatinkan. Sudah
saatnya kita semua kembali membudidayakan bambu, memanfaatkan rebung dan
batangnya, serta memperoleh perlindungan dari bencana longsor.
6
2. TANAMAN BAMBU
Sebaran jenis bambu. Di dunia terdapat lebih dari 1.250 jenis bambu yang
berasal dari 75 marga. Dari jumlah tersebut di Indonesia terdapat 39 jenis bambu yang
berasal dari 8 marga. Bambu tumbuh di daerah tropis, sub tropis dan beriklim sedang
kecuali di Eropa dan Asia Barat, dari dataran rendah sampai pada ketinggian 4.000 m
dpl. Tempat tumbuhnya pada tanah aluvial dengan tekstur tanah berpasir sampai
berlampung, berdrainase baik, beriklim A/B (tipe FS) dengan ketinggian optimal 0-500
m dpl.
IKLIM - The very first concern for a bamboo grower is the local climate. Our
hardiness chart is a great resource to determine which species will thrive in your area.
Bamboos tend to favor tropical and warm temperate climates, although it is possible to
grow bamboo in adverse conditions, such as deserts and cold mountain regions.
RADIASI MATAHARI – Most bamboos will flourish in full sunlight. This is
especially true for giant bamboo. Some tropical species, however, may require some
shade during the hottest parts of the day. Surprisingly, shade is the most important
during the winter months. When frost is combined with direct sunlight it accelerates the
depletion of water from the plant. If frost is common in the winter, we advise that you
choose an area that receives at least partial shade at some part of the day.
TANAH – Bamboo is not particularly selective when it comes to soil, but
there are a few basic guidelines to follow. Nearly all bamboos will do well in either
loam or marly soil. Loam is a type of soil composted of sand, silt, and clay, with the
concentration being 40%, 40%, and 20%, respectively. Loam generally has a high
amount of nutrients and provides a greater amount of drainage than silty soils. In
general, bamboos prefer a slightly acidic to moderately acidic soil. Rocky and/or soggy
soils should be avoided. Heavy and impermeable soils are also undesirable due to their
tendency to slow the growth of bamboos and can also lead to water pondage and
rhizome rotting. This tends to be a problem on a flat landscape and can be avoided by
installing a drainage system before planting. If you already have a garden growing in
your area, there should be little soil preparation needed to get a bamboo plant
established.
7
ANGIN – Bamboos have a fairly shallow root system. Conversely, they grow
tall and fast. This makes bamboo susceptible to wind damage. Not only does wind
have the potential to uproot a bamboo plant, but it can also lead to dehydration.
Bamboos require a high amount of water and constant winds will dry them out.
Gardens with surrounding hedges or trees are excellent for wind protection. It is also
possible to create a makeshift wind barrier.
8
(SUMBER: http://database.prota.org/dbtw-wpd/exec/)
Properties
For both green-stem and yellow-stem cultivars the density of the stem wall is about 0.63
g/cm³ at 12% moisture content. Shrinkage from green to 11.3% moisture content is 9.7–
14.0% radial and 6.0–11.9% tangential. For green-stem cultivars at 17% moisture content,
the modulus of rupture is 84 N/mm², compression parallel to grain 25 N/mm² and shear 7
N/mm². For yellow-stem cultivars at 16% moisture contents the modulus of rupture is 86
N/mm², compression parallel to grain 32 N/mm² and shear 4 N/mm².
Description
Bamboo with a short, thick rhizome and not closely tufted stems; stem (culm) erect, sinuous
or slightly zig-zag, up to 20 m tall, up to 12 cm in diameter, hollow, wall (3–)7–16(–20) mm
thick, glossy green, yellow, or yellow with green stripes, internodes 20–45 cm long, with
appressed dark hairs and white waxy when young, becoming glabrous, smooth and shiny
with age, nodes oblique, slightly swollen, basal ones covered with aerial roots; young shoots
dark brown to yellow-green.
with surviving density of 226 plants/ha, on average had 31 stems per clump and 7000 stems
per ha. Flowering is uncommon in Bambusa vulgaris. When a stem flowers, it produces a
large number of flowers, but no fruits. Low pollen viability due to irregular meiosis seems to
be one of the reasons for the absence of fruiting. Eventually the stem dies, but the clump
usually survives.
Ecology
Bambusa vulgaris grows best at lower altitudes; above 1000 m altitude stems become
smaller in length and diameter. It thrives under a wide range of moisture and soil conditions,
growing in almost permanently humid conditions along rivers and lakes, but also in areas
with a severe dry season, where the plants may become completely defoliated. It is frost
hardy down to –3°C.
Yield
Yields recorded for tropical Africa are 10 t dry weight per ha per year for Côte d’Ivoire and
15 t for Congo. In trials in Congo, yields were higher for Bambusa vulgaris than for
Oxytenanthera abyssinica (A.Rich.) Munro. For the Philippines the annual yield per ha is
estimated at 2250 stems or 20 t dry weight. The dry weight ratio for stem, branches and
leaves is about 70%, 22% and 8% respectively. The ratio of paperpulp/stem production is
about 1:3.
The culms on this bamboo are golden with random green stripes of
variable width. The golden color of the culms takes on a magenta cast
when exposed to bright sunlight, as visible on the large culm in this
picture. This bamboo makes a wonderful container plant. It, like other
forms of Bambusa multiplex, are among the best bamboos for a well lit
area indoors. Bambusas generally grow a very tight cluster of canes, and
'Alphonse Karr' is no exception, making it an excellent choice for a privacy
screen where a clumping bamboo is desired. Tolerance of full sun makes it
versatile, though the canes will show significant die back in the winter if
exposed to temperature colder than 20 F.
Bambusa Blumeana
(sumber: http://www.agnet.org/library/pt/2005002/)
Efforts have been done to rehabilitate, regenerate, revegetate, and reforest
mined-out and mine tailings-covered areas to bring back their productivity.
Planting fast-growing, drought- and fire-resistant species with multiple
uses, and species that can adapt to harsh conditions has been one of the
remedial measures developed. One of these rehabilitation plants is the
versatile bamboo, which can grow almost anywhere, be it upland or
lowland, provided proper establishment and management techniques are
observed.
A study by the Department of Environment and Natural Resources and a
mining company in Benguet Province identified the following bamboo
species as suitable for mine tailings-covered areas: giant bamboo
(Dendrocalamus asper), "kauyan tinik" (Bambusa blumeana), and "bayog"
(Bambusa blumeana var. luzoniensis).
The species were planted at a spacing of 7 m x 7 m. B. blumeana and B.
blumeana var. luzoniensis, were raised from two-node cuttings while D.
asper was propagated from branch cuttings with two to three nodes.
The drought-resistant species B. blumeana and B. blumeana var.
luzoniensis had survival rates of 99% and 97% survival rates, respectively,
and they could tolerate water logging up to 63 days.
13
Over three years, the mean height and diameter growth of B. blumeana was
4.57 m and 4.86 cm, respectively, while those of B. blumeana var.
luzoniensis were 4.3 m and 4.41 cm, respectively. On average, culms
produced by B. blumeana, B. blumeana var. luzoniensis, and D. asper were
52, 51, and 26.
Rehabilitating mined-out areas using bamboo does not only improve the
environment but also provides additional income. However, the bamboo
shoots emerging from bamboos planted in the mined-out areas are not yet
recommended for consumption. Further studies have to be done on their
heavy metal content.
Bambusa balcooa
14
Grows in tight clumps. An extremely handsome plant that arches gracefully. Medium-sized
clumper, non-invasive. The largest cold-tolerant clumper. This bamboo is rare because it's
more difficult to propagate than other giant tropicals. It has been used to weaving (the culms
are thin-walled enough that they can be split and woven), but most collect it for its landscape
appeal. Native to the Guangxi & Guangdong Provinces in South-east China.
Kerajaan: Plantae
(tidak termasuk) Monocots
(tidak termasuk) Commelinids
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Upafamili: Bambusoideae
Superbangsa: Bambusodae
Bangsa: Bambuseae
Kunth ex Dumort.
Diversitas
Sekitar 92 genera dan 5.000 spesies
← Arthrostylidiinae
← Arundinariinae
← Bambusinae
← Chusqueinae
← Guaduinae
← Melocanninae
← Nastinae
← Racemobambodinae
← Shibataeinae.
Karakteristik bambu
Bambu tergolong keluarga Gramineae (rumput-rumputan) disebut juga Hiant
Grass (rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang
tumbuh secara bertahap, dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada
umur 4-5 tahun. Batang bambu berbentuk silindris, berbuku-buku, beruas-ruas
berongga kadang-kadang masif, berdinding keras, pada setiap buku terdapat mata
tunas atau cabang. Akar bambu terdiri dari rimpang (rhizon) berbuku dan beruas, pada
buku akan ditumbuhi oleh serabut dan tunas yang dapat tumbuh menjadi batang.
21
Menurut Rivai, Suryo Kusumo dan Nugoro (1994), kegunaan dan manfaat
bambu bervariasi mulai dari perabotan rumah, perabotan dapur dan kerajinan, bahan
bangunan serta peralatan lainnya dari yang sederhana sampai dengan industri bambu
lapis, laminasi bambu, maupun industri kertas yang sudah modern. Dari sekilas
gambaran manfaat tersebut menyiratkan suatu harapan, bahwa kebutuhan terhadap
bambu akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Manfaat Ekologis
Tanaman bambu mempunyai sistem perakaran serabut dengan akar rimpang
yang sangat kuat. Karakteristik perakaran bambu memungkinkan tanaman ini menjaga
sistem hidronologis sebagai pengijat tanah dan air, sehingga dapat digunakan sebagai
tanaman konservasi. Rumpun bambu di Tatar Sunda disebut dapuran awi juga akan
menciptakan iklim mikro di sekitarnya, sedangkan hutan bambu dalam skala luas pada
usia yang cukup dapat dikategorikan sebagai satu satuan ekosistem yang lengkap.
Kondisi hutan bambu memungkinkan mikro organisme dapat berkembang bersama
dalam jalinan rantai makanan yang saling bersimbiosis.
Pada umumnya jenis-jenis bambu yang diperdagangkan adalah jenis bambu yang
berdiameter besar dan berdinding tebal. Jenis-jenis tersebut diwakili oleh warga
Bambusa (3 jenis), Dendrocalalamus (2 jenis) dan Gigantochloa (8 jenis).
Dari jenis-jenis tersebut dapat dibudidayakan secara massal untuk menunjang industri
kertas, chopstick, flowerstick, ply bamboo, particle board dan papan semen serat
bambu serta kemungkinan dikembangkan bangunan dari bahan bambu yang tahan
gempa dll.
Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat bambu menjadi salah satu kelengkapan
yang tidak bisa ditinggalkan, misalnya dalam upacara adat, upacara perkawinan,
hajatan keluarga bahkan bahan baku bambu menjadi alat musik khas komunitas
tertentu. Lebih dari itu perkembangan sosial budaya masyarakat ditandai dengan
perkembangannya aksesori bambu dalam pembuatan perabot rumah tangga dan
cindera mata yang bernilai seni tinggi. Di beberapa tempat species bambu tentu
menjadi bagian mitos dan kelengkapan ritual masyarakat yang bernilai magis.
biaya sebesar Rp 1.402.900,00 per ha. Apabila daur pengusaha hutan bambu selama
20 tahun, maka kebutuhan dana total mencapai Rp 87.960.100,00 per ha. Dengan
perolehan hasil sebesar Rp 767.520.000,00. (Bambu, Tanaman Tradisional yang
Terlupakan; OTJO DANAATMADJA, 2006. http:// www.pikiran-rakyat.com /cetak /
2006/092006/02/10wacana. htm).
Secara analisis finansial investasi pembangunan hutan tanaman bambu dengan
indikator interest 18% per tahun dan dengan metode discounting dari tahun pertama
sampai tahun akhir daur perusahaan (20 tahun) menghasilkan Net Present Valute
(NPV) sebesar 56% sehingga pengusaha bambu ini dikategorikan layak.
Ditinjau dari perhitungan B/C ratio didapat hasil 5,65 dengan payback period
dicapai pada tahun ke-4
23
Bambu memberikan:
• Pendapatan.
• Bahan bangunan.
• Bahan furnitur.
• Makanan, bagi manusia dan ternak.
• Sebagai pagar, pagar hidup atau teralis.
• Penahan angin.
• Pipa irigasi.
• Arang bambu untuk mememasak.
• Bahan alat musik.
• Bahan wadah.
• Bahan kerajinan tangan masyrakat, dan banyak lagi.
Perbanyakan Bambu
Ada beberapa teknik untuk memperbanyak bambu, yaitu perbanyakan
rimpang (rhizoma), potongan batang, atau menggunakan cabang dan biji untuk
beberapa jenis bambu besar. Teknik mana yang akan Anda pakai tergantung pada jenis
bambunya, dan untuk apa bambu itu akan digunakan. Untuk daerah kering, awal
musim hujan adalah waktu terbaik untuk perbanyakan bambu. Namun, jika tersedia
cukup air, perbanyakan ini bisa dilakukan kapan saja.
Pembibitan Bambu
Perbanyakan dengan potongan batang dan cabang dapat juga digunakan untuk
menanam bambu di koker. Perbanyakan dengan rimpang tidak cocok untuk ditanam di
koker, sebaiknya harus ditanam langsung ke lahan.
27
A* B* * * * * * * * * *
D* C* * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * *
A* B* * * * * * * * * *
D* C* * * * * * * * * *
E* F* * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * *
* * * * * * * * * * *
Jarak Tanam
Jarak tanam bambu tergantung beberapa faktor di antaranya jenis tanah, berat
ringannya tanah, kesuburan tanah, dan varietas tanaman bambu. Pada tanah yang tan-
28
dus, pertumbuhan tanaman kurang subur sehingga dapat ditanam pada jarak yang
lebih dekat. Tanaman yang berasal dari biji pada umumnya lebih besar daripada yang
berasal dari semai atau stek, sehingga ditanam dengan jarak yang lebih lebar. Jarak
tanam bambu yang baik adalah 8 - 10 m, sehingga pada waktu tanaman bambu sudah
besar tidak akan berdempetan dan akan mengurangi timbulnya penyakit .
Pemeliharaan Tanaman
29
Penyiraman. Bibit yang baru ditanam sebaiknya disiram secara teratur setiap
hari, lebih-lebih yang berasal dari stek cabutan. Disamping itu juga diperlukan
naungan untuk melindungi dari terik sinar matahari sehingga daun dan batang tidak
kering .
Pengelolaan Rumpun
Pengelolaan rumpun bambu yang baik akan menghasilkan batang bambu
berkualitas tinggi, serta memudahkan pemanenan. Satu rumpun bambu yang dikelola
dengan baik akan memiliki batang umurnya bervariasi, dari umur 3, 2, dan 1 tahun,
serta tunas-tunas baru. Sebaiknya terdapat 6-8 batang yang seumur pada tiap
rumpunnya, jadi ada sekitar 24-32 batang per rumpun. Semuanya harus mendapatkan
ruang yang cukup untuk bisa tumbuh dengan baik dan mudah dipanen.
Pemangkasan Cabang
31
Pemangkasan tunas.
Bila tanaman muda sudah mulai tumbuh sebaiknya jumlah junas dikurangi.
Ranting / cabang yang kering atau terkena penyakit sebaiknya dipotong, tetapi jangan
terlalu banyak memangkas daun yang masih sehat, karena akan mengurangi
fotosintesis sehingga pertumbuhan akan terhambat .
Panen Bambu.
Tanaman bambu yang berasal dari bibit stek diharapkan panen setelah umur +
1-1.5 tahun, dan hasil terbanyak diberikan oleh rumpun tanaman bambu yang berumur
lebih dari 5 - 6 tahun. Tanaman bambu dapat dipanen bila kulit batang yang semula
berwarna hijau muda sudah berubah menjadi hijau tua atau kebiru-biruan, dan kulit
seakan-akan tertutup oleh lapisan lilin yang akhirnya akan menghilang. Batang yang
demikian keadaannya masih keras tetapi sudah cukup tua.
1. Spesies Bambu
Beberapa jenis bambu secara alamiah lebih kuat dan lebih tahan terhadap
hama penggerek daripada jenis bambu lainnya. Di Indonesia, jenis-jenis bambu yang
umum ditanam dan dimanfaatkan, antara lain: bambu betung/petung, bambu tali/apus,
33
bambu gombong, bambu item, bambu ampel, bambu duri, bambu santong, bambu
tutul, bambu kuning, dan masih banyak lagi.
3. Waktu Panen
Waktu pemanenan yang baik adalah selama musim kemarau. Pilihlah waktu
ketika tunas baru yang ada di rumpun berada dalam kondisi ketinggian maksimum dan
mulai mengembangkan daun-daunnya di bagian atas. Pada saat seperti ini batang
bambu dewasa dalam kondisi yang paling kuat. Ada suatu kebiasaan umum di Asia,
yaitu melakukan pemanenan bambu di saat bulan purnama. Ini bertujuan untuk
membantu mencegah hama penggerek pada bambu dan juga bambu berkurang kadar
airnya ketika bulan purnama. Kebiasaan ini akan menghasilkan bambu yang
berkualitas baik. Hindari pemanenan di saat musim rebung karena bambu sedang
‘menyusui’ anaknya pada waktu ini. Saat ini kandungan air dan gula pada bambu
sedang tinggi. Di samping itu, penebangan bambu akan merusak rebung-rebung
tersebut.
34
Selama tahun 2010 banyak terjadi bencana tanah longsor dan banjir.
Perubahan iklim global, telah mengakibatkan adanya curah hujan yang sangat tinggi
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan yang sangat tinggi inilah sebenarnya
penyebab utama datangnya bencana banjir dan tanah longsor. Namun bencana
demikian, sebenarnya bisa dicegah. Seandainya hutan di Indonesia, khususnya di pulau
Jawa tidak diobabat habis, maka bencana banjir dan longsor itu pasti bisa
diminimalkan.
Selama 20 tahun terakhir, penghijauan lahan gundul memang banyak
dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Tanaman penghijauan favorit yang paling
banyak dibudidayakan masyarakat adalah albisia, sengon alias jeungjing (Albizia
falcataria). Minat masyarakat untuk membudidayakan albisia semakin tinggi, setelah
beberapa pabrik pengolahan kayu modern berdiri. Pabrik ini akan mengolah kayu
albisia hingga siap untuk diekspor ke Jepang. Di satu pihak, albisia memang telah
berhasil menghijaukan lahan rakyat yang selama ini gundul. Namun di lain pihak,
justru tanaman inilah yang menjadi salah satu penyebab bencana longsor.
Albisia merupakan tanaman kayu yang pertumbuhannya sangat cepat. Hingga
umur di bawah 10 tahun, pasti sudah ditebang habis. Karena tidak pernah menjadi tua,
maka akar tunggang albisia belum sempat untuk menembus lapisan tanah yang lebih
keras. Tanah di bawah tegakan albisia, terutama tanah liat, akan menjadi jenuh air
apabila curah hujan cukup tinggi. Beban batang dan tajuk tanaman di atas permukaan
tanah, juga ikut mendorong terjadiya longsor. Terlebih kalau tingkat kecuraman lahan
yang ditanamai albisia itu di atas 30°. Dari foto-foto dan tayangan tivi, tampak jelas
bahwa bagian tanah yang lungsor itu banyak ditumbuhi albisia.
Sebenarnya masyarakat akan lebih diuntungkan, kalau lahan kritis itu
ditanami bambu. Keuntungan yang diperoleh masyarakat dari tanaman bambu ada
dua. Pertama, secara finansial hasil dari 1 hektar lahan yang ditanami bambu, lebih
besar dibanding dengan lahan yang ditanami albisia. Sebab bambu sudah mulai bis
dipanen pada tahun III, dan selanjutnya akan bisa dipanen terus tanpa perlu
penanaman ulang. Hasil dari tanaman bambu bukan hanya berupa kayu (batang
bambu), melainkan juga rebung. Asalkan, bambu yang dibudidayakan dari jenis yang
rebungnya enak. Indonesia tercatat memiliki 142 jenis bambu yang sebagian besar
rebungnya enak dimakan.
Keuntungan kedua dari budidaya bambu di lahan kritis adalah, lahan tersebut
menjadi aman dari bencana tanah longsor. Sebab bambu akan membentuk rumpun,
bukan merupakan tanaman tunggal seperti halnya albisia. Akar bambu juga
merupakan akar serabut yang tumbuh sangat rapat. Akar bambu yang mati karena
tanamannya telah ditebang, akan tetap membentuk serabut, hingga tanah itu menjadi
sangat gembur dan menyerap air dengan sangar cepat. Dalam kondisi curah hujan
sangat tinggi, tanah di sekitar rumpun bambu tidak akan jenuh air. Sebab air dari
curah hujan yang sangat tinggi itu akan diresapkan dalam jangka waktu sangat cepat.
Dengan sifat perakaran demikian, bambu bisa sengaja dibudidayakan sebagai
sabuk gunung (atau bukit), untuk mencegah longsor. Tanaman bambu yang
dibudidayakan melingkari sebuah bukit, akan bisa dengan aman menahan gerakan
tanah. Sifat menahan longsor ini akan lebih kuat kalau penanamannya dilakukan dalam
tiga lapis atau lebih, kemudian ditanam pula deretan memenjang dari atas ke bawah.
Hingga dari atas, bentuk deretan rumpun bambu itu akan tampak seperti anyaman tali,
35
yang melingkari pinggang bukit. Jarak ke atas maupun menyamping antar deretan
rumpun bambu ini bisa dibuat 30 sd. 60 m. hingga bagian tengahnya tetap bisa
ditumbuhi tanaman semusim.
Dengan pola penanaman demikian, masyarakat akan sangat diuntungkan.
Sebab bukit dengan tingkat kecuraman sampai lebih dari 45° pun akan tetap aman dari
longsor. Warga masyarakat yang tinggal di bawah bukit tersebut tidak perlu khawatir
tertimbun longsoran, meski hujan turun dengan intensitas sangat tinggi. Praktek
menanami tebing terjal dengan bambu, selalu diterapkan oleh nenek-moyang kita.
Kalau kita perhatikan tebing-tebing terjal (jurang) di pinggir kali, selalu ditumbuhi
bambu. Sebab dengan adanya rumpun bambu yang saling bergandengan akarnya,
maka tanah di bawahnya akan diikat dengan sangat erat.
Selama ini, faktor benih memang telah menjadi kendala utama budidaya
bambu. Di Indonesia, bambu selalu ditanam dengan benih bonggol (batang dalam
tanah) berikut satu meter batang dan ranting. Membongkar rumpun bambu untuk
memperoleh bonggolnya cukup berat. Hasil benih yang didapat juga terbatas. Dari
satu rumpun bambu dengan 10 batang, kalau dibongkar semua hanya akan
menghasilkan 10 benih. Itu pun harus dengan mengorbankan rumpun yang produktif.
Mengangkut 10 bonggol bambu juga makan tempat dengan bobot yang cukup besar.
Hingga seluruh pekerjaan mulai dari membongkar, mengangkut dan menanam benih
bonggol itu akan menjadi cukup berat.
Sebanarnya, bambu juga bisa dikembangbiakkan dengan biji serta kultur
jaringan. Namun upaya menumbuhkan bunga dan biji bambu juga tidak mudah.
Demikian pula dengan kultur jaringan. Selain itu, dua cara ini biayanya tinggi dan
perlu waktu lama. Untuk mengecambahkan biji sampai dengan siap tanam, diperlukan
waktu paling cepat 2 tahun. Kultur jaringan, makan waktu lebih lama lagi. Untuk
mengatasi hal ini para petani Thailand biasa menggunakan benih "cangkokan" dari
cabang (ranting). Cara yang mereka lakukan, mirip dengan petani Sleman, DIY,
ketika mencangkok salak pondoh.
Selain mudah dan murah, teknik perbanyakan dengan memanfaatkan ranting
ini, juga mampu mempercepat pengadaan benih secara massal. Sebab dari satu batang
bambu bisa dihasilkan sekitar 10 benih, tanpa mengorbankan batang bambu tersebut
dan produktifitas rumpun. Mengambil dan mengangkut benih ranting juga tidak makan
tempat dan ringan. Tidak seperti pengambilan dan pengangkutan benih bonggol. Bahan
yang digunakan petani Thailand untuk "mencangkok" bambu adalah kantung plastik
bening 0,5 kg. atau 1 kg, dengan media gabus sabut kelapa (cocodush). Gabus sabut
direndam air, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik.
Setelah dipadatkan dan ujungnya diikat, kantung berisi media tersebut disayat
sebagian. Pangkal cabang yang akan "dicangkok" dimasukkan ke bagian yang tersayat
ini lalu diikat erat-erat. Dalam waktu kurang dari satu bulan akar sudah tumbuh.
Cabang baru bisa diambil setelah akar yang kelihatan pada bungkus plastik itu
berwarna cokelat. Ujung cabang harus dipotong hingga tersisa 1,5 m sebelum disemai
di polybag. Media semai paling ideal berupa tanah bercampur humus bambu. Tanah
ini bisa diambil dari bawah tegakan rumpun bambu. Setelah benih dalam polybag
tersebut menumbuhkan tunas dan anakan berupa rebung kecil), benih bisa ditanam di
lapangan.
Budidaya bambu dapat dilakukan secara khusus untuk menghasilkan rebung.
Jenis bambu yang dapat ditanam untuk tujuan ini adalah bambu yang rebungnya enak
seperti bambu ater (Gigantochloa atter), bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu
duri (Bambusa blumeana) dan bambu hitam (Gigantochloa atriviolacea). Dalam satu
rumpun, secara konstan dipelihara hanya 5 batang bambu. Kalau satu batang
36
ditebang, satu rebung harus dipelihara, agar menjadi individu tanman baru. Selebihnya
rebung dipanen. Tiap 36 hari, satu rumpun akan menghasilkan satu rebung. Dengan
jarak tanam 4 X 6 m, populasi per hektar mencapai 400 rumpun. Dari tiap hektar
kebun bambu ini, tiap harinya dapat dipanen 10 rebung.
Setiap tahun, dari setiap hektar lahan dapat dipanen 4.000 rebung dan 800
batang bambu (satu rumpun ditebang 2 disisakan 3 batang). Setelah dibersihkan dan
bagian pangkalnya dibuang, bobot satu rebung hanya sekitar 1 sd. 1,5 kg. Hingga hasil
per hektar per tahun sekitar 20 sd. 30 ton rebung yang sudah terkupas dan dibuang
bagian pangkalnya yang berkayu. Dengan harga sekitar Rp 2.000,- per kg. maka dari
satu hektar lahan itu akan dapat diperoleh pendapatan kotor dari rebung Rp
40.000.000,- sd. Rp 60.000.000,- dalam setahun. Sebagian besar dari pendapatan
tersebut akan digunakan untuk biaya penyusutan, tenaga kerja (pengambilan rebung
dan pengupasan). Pendapatan bersih bisa separo dari pendapatan kotor tersebut.
Dengan adanya dua keuntungan tersebut, yakni keuntungan finansial dan
keuntungan ideal, maka budidaya bambu untuk mencegah longsor menjadi sangat
strategis. Sudah saatnya pemerintah melalui BUMNnya, baik Perum Perhutani
maupun PT Perkebunan Nusantara (PTPN), mempelopori hal ini. Sebab lahan dengan
tingkat kecuraman tinggi di Jawa, umumnya dikuasai oleh Perum Perhutani dan
PTPN. Setelah melihat contoh, biasanya masyarakat akan dengan mudah mengukuti
contoh tersebut. Bencana longsor dan banjir pada awal tahun 2006 ini sudah sangat
meluas dan memprohatinkan. Sudah saatnya kita semua kembali membudidayakan
bambu, memanfaatkan rebung dan batangnya, serta memperoleh perlindungan dari
bencana longsor.
1. Pertumbuhannya Cepat
Bambu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dalam waktu yang
singkat dibandingkan dengan tanaman kayu-kayuan. Dalam sehari bambu
dapat bertambah panjang 30-90 cm. Rata-rata pertumbuhan bambu untuk
37
mencapai usia dewasa dibutuhkan waktu 3-6 tahun. Pada umur ini, bambu
memiliki mutu dan kekuatan yang paling tinggi. Bambu yang telah
dipanen akan segera tergantikan oleh batang bambu yang baru. Hal ini
berlangsung secara terus menerus secara cepat sehingga tidak perlu
dikhawatirkan bambu ini akan mengalami kepunahan karena dipanen.
Berbeda dengan kayu, setelah ditebang akan memerlukan waktu yang
cukup lama untuk menggantinya dengan pohon yang baru.
2. Tebang Pilih
Bambu yang telah dewasa yakni umur 3-6 tahun dapat dipanen untuk
digunakan dalam berbagai keperluan. Dalam pemanenan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dengan metode tebang habis dan tebang pilih.
Tebang habis yaitu menebang semua batang bambu dalam satu rumpun
baik batang yang tua maupun yang muda. Metode ini kurang
menguntungkan karena akan didapatkan kualitas bambu yang berbeda-
beda dan tidak sesuai dengan yang diinginkan, selain itu akan memutuskan
regenarasi bambu itu sendiri. Metode tebang pilih adalah metode
penebangan berdasarkan umur bambu. Metode ini sangat efektif karena
akan didapatkan mutu bambu sesuai dengan yang diinginkan dan
kelansungan pertumbuhan bambu akan tetap berjalan.
Fungsi hutan yang kedua yaitu sebagai tempat persediaan air tanah dan udara
bersih. Akibat rusaknya hutan, kita menjadi kekurangan air bersih di dalam tanah
apalagi saat musim kemarau, sedangkan saat musim hujan terjadi longsor dan banjir
karena air tersebut tidak lagi terserap ke dalam tanah. Fungsi hutan ini akan dicapai
dengan melestarikan hutan bambu. Bambu rata-rata menyerap air hujan hingga 90%.
Ini merupakan jumlah yang sangat besar dibandingkan dengan pepohonan yang hanya
menyerap air hujan 35-40 % air hujan.
b. Kelompok Sasaran
POKSAR progarm ini adalah penduduk yang bermukim di desa lahan kering
di sekitar kawasan hutan. Mereka merupakan kelompok masyarakat yang
berpenghasilan rendah dan terbatas kemampuan serta aksesnya dalam mendapatkan
pelayanan, pra-sarana, dan permodalan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atau
menghadapi masalah khusus dan mendesak yang segera memerlukan penanganan dan
bantuan.
d. Kelompok dapat merupakan kelompok yang sudah ada, atau dapat pula
disiapkan, ditumbuhkan dan dibina secara khusus oleh aparat desa/kelurahan dan
masyarakat setempat.
Dalam pembentukan kelompok, keluarga miskin dapat digolongkan menjadi
ependuduk yang sudah mempunyai usaha produktif meskipun kecil- kecilan dan
penduduk yang benar-benar tidak mempunyai pekerjaan tetap dan dengan demikian
juga tidak mempunyai penghasilan tetap. Bagi mereka yang mempunyai usaha
produktif, kelompok dibentuk dengan memilih pengurus yang kemudian bersama
anggota merencanakan kegiatan simpan-pinjam dengan modal kerja dari sumberdana.
Bagi penduduk lainnya diupayakan untuk menciptakan lapangan usaha dan lapangan
kerja, dengan bantuan pendamping, baik yang ditugaskan oleh camat, dari aparat desa
dan kalangan petugas lapangan berbagai instansi yang ada di desa, maupun dari
kalangan masyarakat desa yang telah lebih sejahtera dan berhasil dalam kehidupan
ekonominya. Untuk ini perlu ditemukenali kegiatan stimulan yang dapat membuka
lapangan usaha dan lapangan kerja penduduk miskin.
Mengingat dana program yang jumlahnya terbatas, apabila belum semua
kelompok masyarakat dapat menggunakannya, maka perlu mengatur prioritas
kelompok miskin yang didahulukan memperolehnya.
c. Manfaat KUBA
KUBA yang dicirikan oelh adanya sekelompok orang yang saling mengenal
dan bersepakat untuk saling membantu satu sama lain akan alhir kalau syarat berikut
ini terpenuhi:
a. Adanya ikatan pemersatu yang jelas, yaitu salah satu atau beberapa unsur berikut
ini:
- Kesamaan tempat tinggal
- Kesamaan tempat pekerjaan
- Kesamaan jenis pekerjaan atau profesi
- Kesamaan hobi atau kesenangan
- Kesamaan organisasi
- Kesamaan tempat asal (paguyuban)
- Kesamaan status (pemuda, wanita, dll)
b. Ada kesamaan kebutuhan ekonomi tertentu, seperti:
- Kebutuhan modal usaha
- Kebutuhan bahan baku atau barang dagangan tertentu
- Kebutuhan sarana tempat usaha
- Kebutuhan kelancaran penjualan barang produksi/jasa.
c. Adanya pemrakarsa atau sekelompok kecil orang inti yang memiliki peranan
paling berpengaruh dan dipercaya orang lain di sekelilingnya
d. Ada orang yang dengan sukarela bersedia mengelola dan melakukan kegiatan
pelayanan kepada para anggota
e. Ada lembaga atau perorangan yang memberikan bimbingan dalam
pengembangan program kegiatan kepada kelompok
f. Ada tujuan bersma yang disepakati dan memberikan manfaat nyata kepada
anggotanya.
a. Pengertian
Pembinaan / pemberdayaan juga sering disebut dengan supervisi, pada
dasarnya merupakan proses kegiatan yang bersifat tindak lanjut. Hal ini karena ada
proses kegiatan sebelumnya yang menmdahului proses pembinaan. Proses kegiatan
yang mendahului pembinaan adalah kegiatan pemantauan. Ini berarti kegiatan
pembinaan dilakukan apabila ada sejumlah data atau informasi hasil pemantauan
yang dipandang tidak sesuai dengan penampilan prohgram yang diharapkan.
Misalnya data atau informasi hasil pemantauan terhadap cara penilaian calom KUBA
tidak sesuai dengan prosedur dan kriteria yang sudah ditetapkan. Memperoleh data
dan informasi semacam ini perlu ditindak-lanjuti dengan kegiatan pembinaan terhadap
pelaksanaan pemilihan calon KUBA tersebut.
Dengan contoh ini, pengertian pembinaan adalah suatu proses kegiatan
sebagai tindak lanjut kegiatan pemantauan, dengan tujuan untuk memperbaiki atau
meningkatkan dan mendidik penampilan bagian-bagian program agar sesuai dengan
kriteria yang sudah ditetapkan.
b. Sasaran Pembinaan
Sasaran pembinaan adalah manusia yang digolongkan menjadi panitia
pelaksana dan khalayak sasaran dari program
(a). KUBA. Siapa saja yang termasuk ke dalam KUBA, apa peran dari setiap anggota
KUBA.
(b). Khalayak sasaran. Siapa saja yang terlibat dalam program tersebut dan apa
peranannya.
c. Syarat-syarat pembinaan
(a). Data masalah
Pembinaan dapat dilakukan apabila ada sejumlah data atau informasi yang
berupa masalah dari hasil pemantauan
(b). Data penyebab masalah
Penyebab masalah harus digali melalui pemantauan, karena kegiatan pembinaan
tidak terlebih dahulu mengetahui penyebabnya akan sulit mengadakan pembinaan
atau dengan kata lain pembinaan tidak didasari oleh penyebab maslaah maka
kegiatan pembinaan akan dikira-kira.
(c). Alternatif pemecahan masalah/penyebab masalah
46
d. Sifat Pembinaan
e. Arti Motivasi
Kata motivasi berasal to motive, yang berarti dasar, alasan, dorongan,
rangsangan atau sebab. Sehingga istilah motivasi diartikan sebagai dasar pikiran atau
alasan bagi seseorang untuk bebruat atau melakukan sesuatu untuk mencapai harapan
atau tujuan yang diinginkan.
f. Tujuan motivasi
Memotivasi adalah mempengaruhi orang lain agar ia mau melakukan sesuatu
yang dianggap sebagai kebutuhan, baik untuk dirinya atau untuk orang lain.
Misalnya memotivasi KUBA dengan berbagai alasan untuk meningkatkan taraf hidup.
Dengan demikian, yang dimotivasi mau berfikir dan berusaha melakukannya.
g. Cara Memotivasi
(a). Cara yang bersifat menyadarkan.
Cara ini juga disebut cara persuasif. Motivator lebih banyak berdialog dengan
kelompok sasaran dan bahkan mendiskusikan berbagai masalah atau kebutuhan
yang hendak dipecahkan atau dipenuhi melalui motivasi.
(b). Cara yang bersifat memberikan imbalan atau janji
Dalam pelaksanaan cara ini, disamping menyadarkan juga dibayang- bayangi
dengan imbalan atau janji tertentu. Cara ini disebut cara dengan pemberian
insentif.
(c). Cara yang bersifat memaksa.
Penggunaan cara ini biasanya memanfaatkan kekuasaan yang ada pada diri
motivator atau atasannya yang berpengaruh atau memiliki kekuasaan. Pemaksaan
ini dapat bersifat "halus" atau "keras".
h. Langkah-langkah memotivasi
Kegiatan memotivasi tidak lepas dari suatu rangkaian program-program yang
sedang dilaksanakan. Kegiatan memotivasi merupakan bagian program yang
bermaksud untuk mendukung tercapainya tujuan program yang akan atau sedang
dilaksanakan.
Agar pelaksanaan motivasi dapat terarah, motivator perlu menempuh langkah-
langkah berikut:
(a). Identifikasi: tujuan program, masalah yang dihadapi, dan kebutuhan motivasi
yang diperlukan
47
(b). Penentuan tujuan motivasi, isi kegiatan, kelompok sasaran, waktu, tempat, cara
dan sarana motivasi.
(c). Persiapan lokasi dan kelompok sasaran
(d). Penilaian motivasi dan penilaian prosesnya.
(e). Penilaian hasil motivasi dan tindak lanjutnya, dan dalam hal ini lihatlah kaitannya
dengan program.
B. Pendekatan
(b). Peningkatan peran KOPERASI sebagai badan usaha ekonomi rakyat, khususnya
dalam pengembangan agribisnis/agroindustri.
(c). Memudahkan pembinaan dalam pengembangan agribisnis/ agroindustri pedesaan,
bagi instansi terkait baik dalam segi transfer teknologi, perkreditan, pengor-
ganisasian, pemasaran, dll.
(d). Meningkatkan nilai tambah hasil-hasil pertanian.
Konsepsi Rekayasa Managemen Unit Usaha Otonom KOPERASI guna
menangani usaha agribisnis/agroindustri di wilaayh pedesaan sebagaimana
digambarkan sebagai berikut :
C. Rancangan Sistem
(b). Pada KOPERASI terdiri Kelompok Agribisnis dapat sejenis atau berbeda.
Kelompok ini terdiri dari masyarakat miskin yang berusaha di bidang
agribisnis/agroindustri. Paling sedikit kelompok ini terdiri dari 5 orang yang
terbagi dalam bagian produksi dan bagian pemasaran, serta seorang ketua
kelompok.
Keberhasilan KOPERASI guna mengembangkan agribisnis/ agroindustri ini
sangat tergantung pada kelompok ini. Penambahan jumlah anggota kelompok
50
(b). Pembentukan KUBA tidak lewat formal dari atas, namun dibentuk dari bawah.
Mekanisme dilakukan melalui pemilihan dari ketua-ketua kelompok yang telah
berkembang.
(c). Sistem pembinaan yang dilakukan langsung kepada kelompok-kelompok usaha
agribisnis. Paket materi pembinaan yang diperlukan adalah : (1). Paket tekhnologi
proses produksi agroindustri; (2). Paket tekhnologi kemas; (3). Paket sistem
pemasaran; (4). Paket sistem administrasi keuangan; (5). Paket sistem
pengorganisasian; (6). Paket kesehatan produk untuk memeproleh Sertikat
Pembinaan (SP) agar dapat dipasarkan di supermaket; (7). Paket perencanaan
dan pengembangan usaha.
Dalam jangka panjang jika KOPERASI diharapkan dijadikan wahana untuk
mengembangkan usaha agribisnis/agroindustri, maka Kantor Koperasi & PKM harus
mampu secara aktif melakukan pembinaan usaha agribisnis. Pembinanan yang
diperlukan untuk Instansi Koperasi (Dinas/Kanwil) adalah :
(a). Mencari Bapak angkat/mitra kerja bagi KUBA.
(b). Perencanaan pengembangan agribisnis /pengusahaan bambu melalui sistem
pemetaan wilayah pengembangan (SPAKU-KOPERASI).
(c). Pembinaan organisasi/kelembagaan SPAKU-KOPERASI
(d). Pembinaan pemasaran produk melalui mekanisme kemitraan dengan suasta
(e). Pembinaan perkreditan formal yang dapat diakses oleh anggota koperasi
D. Landasan Operasional
UNIT
PERMODALAN
Kelompok sasaran:
a. Kelembagaan sosial -tradisional yang ada di masyarakat, seperti koperasi,
kelompok tani, kelompok peternak, Paguyuban dan lainnya
b. Lembaga Kelompok tani komoditas yang telah ada.
56
c. Warung pengecer bahan pokok, baik milik perorangan, kelompok (pra koperasi),
maupun waserda milik koperasi untuk diberdayakan / dikembangkan usahanya.
d. Pengusaha dan Pengusaha Kecil, baik perorangan maupun kelompok, terutama
jama'ah masjid/Kopontren yang bersangkutan yang bergerak di bidang produksi
agribisnis/agroindustri dan sektor lainnya untuk diberdayakan/dikembangkan,
sehingga pada gilirannya dapat memperluas kesempatan kerja (menyerap tenaga
kerja).
e. Tenaga Kerja Terampil untuk dilatih dan ditempatkan sebagai pendamping dan
atau tenaga profesional / pengelola unit-unit usaha.
Lingkup Kegiatan:
Proses alih teknologi yang efektif mensyaratkan beberapa hal penting, a.l.:
1. Peran-serta secara aktif semua instansi terkait dan masyarakat penerima/pengguna
untuk menghadapi dan mengatasi kendala yang ada
2. Kerjasama dan komunikasi yang terprogram dalam suatu forum dialogis yang
melibatkan semua komponen yang terkait
3. Tersedianya wadah bagi forum dialogis antara masyarakat, pembawa, dan sumber
teknologi yang berada dekat dengan masyarakat dan mudah diakses oleh segenap
masyarakat.
4. Adanya kelembagaan yang akomodatif dan partisipatif, didukung oleh adanya iklim
inovatif dan tenaga yang terlatih, serta dilengkapi dengan fasilitas penunjang dan
sistem informasi yang memadai.
5. Adanya tokoh panutan masyarakat yang mampu menggalang segenap potensi
masyarakat untuk diarahkan dan disiapkan untuk mengadopsi teknologi.
Kebun ini secara operasional berada di bawah koordinasi dari KOPERASI Agribisnis
Bambu yang ada di wilayah. Kebun ini dapat melibatkan beberapa divisi penting
seperti:
ANGGOTA MASYARAKAT
LITBANG
DEPT. KEBUN TEKNOLOGI PERG.
BPPT
BLK-BLK DIVISI-DIVISI TEKNOLOGI TINGGI
SUASTA
BAHAN BACAAN
Chihongo, A.W., Kishimbo, S.I., Kachwele, M.D. dan Y.M. Ngaga. 2000. Bamboo
production-to consumption systems in Tanzania. [Internet] INBARs Bamboo and
Rattan Development Programmes. http://www.in ar.int/ publication/txt/
INBAR_Working_Paper_No28.htm. Accessed May 2007.
Dransfield, S. dan E.A. Widjaja. 1995. Bambusa vulgaris Schrader ex Wendland. In:
Dransfield, S. & Widjaja, E.A. (Editors). Plant Resources of South-East Asia No 7.
Bamboos. Backhuys Publishers, Leiden, Netherlands. pp. 74–78.
Liese, W. 2004. Preservation of bamboo structures. Ghana Journal of Forestry 15–16: 40–48.
Seethalakshmi, K.K. dan M.S. Muktesh Kumar. 1998. Bamboos of India: a compendium.
Technical Report No 17. Kerala Forest Research Institute, Peechi, Kerala, India &
International Network for Bamboo and Rattan (INBAR), Beijing, China. 342 pp.
CAB International, 2005. Forestry Compendium. Bambusa vulgaris. [Internet]
http://www.cabicompendium.org/ fc/datasheet.asp?CCODE=BAM_VU.
Duriyaprapan, S. dan P.C.M. Jansen. 1995. Bambusa bambos (L.) Voss. In: Dransfield, S. &
Widjaja, E.A. (Editors). Plant Resources of South-East Asia No 7. Bamboos.
Backhuys Publishers, Leiden, Netherlands. pp. 56–60.
Khristova, P., Kordaschia, O., Patt, R. & Karar, I., 2006. Comparative alkaline pulping of
two bamboo species from Sudan. Cellulose Chemistry and Technology 40(5): 325–
334.
Koshy, K.C. & Jee, G., 2001. Studies on the absence of seed set in Bambusa vulgaris. Current
Science 81(4): 375–378.
Ndiaye, A., Dialoo, M.S., Niang, D. & Gassama-Dia, Y.K., 2006. In vitro regeneration of
adult trees of Bambusa vulgaris. African Journal of Biotechnology 5(13): 1245–
1248.
Papadopoulos, A.N., Hill, C.A.S., Gkaraveli, A., Ntalos, G.A. dan S.P. Karastergiou. 2004.
Bamboo chips (Bambusa vulgaris) as an alternative lignocellulosic raw material for
particleboard manufacture. Holz als Roh- und Werkstoff 62: 36–39.
Rugalema, G.H., Okting’ati, A. dan F.H. Johnsen. 1994. The homegarden agroforestry
system of Bukoba district, north-western Tanzania. 1. Farming system analysis.
Agroforestry Systems 26(1): 53–64.
Sarpong, M.K. 2000. Evaluation of bamboo utilization in Kumasi. BSc thesis, Institute of
Renewable Natural Resources, Kwame Nkrumah University of Science and
Technology, Kumasi, Ghana. 40 pp.