Anda di halaman 1dari 11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lebah Trigona

Lebah genus Trigona berasal dari Asia, lebah ini memiliki warna hitam
dengan ukuran tubuh relatif lebih kecil dibandingkan dengan lebah dari genus
Apis. Kebanyakan spesies lebah ini hidup berkoloni atau sosial, namun beberapa
ditemukan hidup soliter. Besar kecilnya koloni lebah dapat dipengaruhi oleh
spesies, umur koloni, besar-kecilnya sarang serta faktor lingkungan seperti suhu,
kelembaban dan ketinggian tempat (Michener, 2007).
Lebah Trigona adalah lebah yang tidak memiliki sengat sebagai alat
pertahanan, namun mempertahankan koloni dengan cara mengerumuni sumber
gangguannya. Lebah ini memiliki tiga pasang kaki yang beruas-ruas. Sepasang
kaki belakang memiliki duri-duri yang berfungsi sebagai alat memegang polen
yang dikoleksi dari tumbuhan. Di bagian kepala terdapat mata facet yang besar,
memiliki sepasang antena, dengan bagian mulut yang termodifikasi menjadi alat
hisap, serta memiliki sepasang sayap. Pasangan sayap depan lebih besar
dibandingkan dengan pasangan sayap belakang (Mace, 1984).
Lebah Trigona termasuk lebah sosial sejati (eusocial) yang terdiri dari 374
(Pranck et al., 2004) spesies yang telah teridentifikasi dan terdistribusi atau
tersebar di daerah tropik (Dollin et al., 1997). Beberapa spesies dapat dilihat pada
gambar 1. Lebah Trigona termasuk dalam kelas Insekta, dengan tatanan takson
dan contoh spesiesnya tertera di bawah ini (Sakagami, 1978).
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Order : Hymenoptera
Superfamily : Apoidea
Family : Apidae
Subfamily : Apinae
Tribe : Meliponini

1
Genus : Trigona
Species : Trigona laevicep, T. fuscobalteata, T. williana, T. apicalis, T.
drescheri, T. itama, T. insica, T. terminata, T. melina, T. fuscibasis

b c
a

e
d f
Gambar 1. Jenis-jenis lebah Trigona
(a) T. laeviceps; (b) T. itama; (c) T. apicalis; (d) T. melina; (e) T. terminata; (f) T.
spinipes (Discovery life, 2014).

Genus Trigona merupakan jenis lebah yang kebanyakan hidup sosial,


dimana di dalam satu koloni atau sarang terdapat lebah ratu (quin), lebah pejantan
(drone) dan lebah pekerja (worker) yang merupakan lebah betina dengan jumlah
koloni terbanyak di dalam sarang. Ratu berwarna coklat kekuningan, berukuran
lebih besar (3-4 kali) dibandingkan betina pekerja, dengan ukuran perut atau
abdomen secara proporsional lebih besar terhadap tubuhnya, memiliki sayap
dengan ukuran yang relatif pendek terhadap ukuran tubuh. Ratu lebah melepaskan
pheromones yang berguna untuk mengatur aktivitas koloni (Wahyuni, 2012).
Pheromones berfungsi untuk memikat lebah jantan untuk membuahi lebah ratu,
sehingga lebah ratu dapat memproduksi telur setelah dibuahi oleh lebah pejantan.
Lebah pejantan (drone) merupakan kelompok terbesar kedua yang terdapat
pada satu koloni lebah. Jumlahnya diperkirakan sepertiga dari jumlah lebah
betina. Selain untuk membuahi lebah ratu, lebah jantan juga berfungsi menjaga
sarang dari gangguan. Lebah pejantan tidak bekerja mencari madu dan polen
untuk makanan yang akan disimpan di dalam koloninya (Abdilah, 2008).
Lebah pekerja (workers) adalah lebah betina dengan organ reproduksi
yang tidak berkembang, sehingga tidak menghasilkan telur (Michener, 2007).

2
Lebah ini berwarna hitam dengan panjang tubuh 3-4 mm, panjang sayap sekitar 8
mm, kaki belakang berkembang menjadi alat pembawa polen, tubuh berbulu dan
tungkai berkait (Mace, 1984). Lebah pekerja ini mampu mengubah bahan-bahan
yang dikoleksi dari tumbuhan, seperti resin, menjadi bahan untuk membangun
sarang (wax dan propolis). Selain mencari makan, lebah pekerja ini bertugas
untuk membersihkan dan memelihara sarang, memelihara larva, dan menjaga
sarang agar tetap bersih (Mace, 1984; Michener, 2007).
Menurut Baconawa (1999), masa kerja lebah pekerja sekitar 60 hari. Pada
usia 1 minggu lebah pekerja mulai bekerja membersihkan lubang tempat
dilahirkan saat menjadi larva. Pada usia 2-3 minggu lebah pekerja mulai bekerja
untuk menghasilkan royal jelly. Pada usia 4 minggu lebah muda mulai mengikuti
lebah dewasa untuk mencari makan diluar sarang. Memasuki usia 5 minggu lebah
pekerja sering disebut dengan lebah pangan yang sudah dapat mencari jejak,
karena lebah pekerja ini sudah mampu membaca arah sinar ultraviolet dari
matahari untuk mencari jejak arah sumber makanannya. Usia 6-7 minggu lebah
pekerja akan bekerja menjaga keamanan koloni. Lebah pekerja akan mati pada
usia 7 minggu.

ii iii
i
a b

Gambar 2. Sarang lebah Trigona sp.dari bamboo


(a) bagian luar sarang; (b)
bagian dalam sarang; (i) Lubang masuk, (ii) Madu dan polen bread; (iii)
larva

2.2. Sumber Makanan Lebah Trigona

Bunga yang mengandung serbuk sari dan nektar merupakan sumber


makanan dari lebah. Serbuk sari dan nektar merupakan bahan makanan yang

3
penting untuk lebah (Carlos et al., 1995). Nektar memiliki kandungan karbohidrat
dalam bentuk gula, sedangkan polen memiliki kandungan protein, lemak, vitamin
dan mineral (Crane, 1980; Sanford, 2001). Kelebihan makanan yang dikoleksi
dari lingkungan akan disimpan di dalam sarangnya dalam bentuk madu dan royal
jelly. Bahan-bahan ini akan digunakan dalam pemeliharaan larva dan ratu serta
digunakan pada saat lebah pekerja tidak dapat keluar untuk mencari makan atau
sumber makanan di luar sudah terbatas (Tarumingke dan Coto, 2003).
Faktor-faktor yang mempengaruhi lebah dalam mencari makan adalah
jarak minimum dari sarang ke sumber makanan, morfologi dari bunga, suhu dan
jenis makanan (Tarumingke dan Coto, 2003). Jarak yang ditempuh oleh lebah
Trigona dalam mencari makan dengan radius sekitar 500 m (Baconawa, 1999).
Penelitian sebelumnya mendapatkan bahwa dengan banyaknya tumbuhan yang
berbunga disekitar sarang, lebah Trigona mencari makanan dengan jarak kurang
dari 100 m (Pratama, 2014). Dalam pencarian makanan yang berupa nektar,
lebah akan memulai mencari makan dari bagian dasar bunga dan kemudian
dilanjutkan kebagian atas bunga. Hal ini disebabkan oleh bagian bawah
bunga mengandung lebih banyak nektar dibandingkan dengan bagian atas
bunga (Schoonhoven et al., 1998).
Polen merupakan bahan makanan dari lebah yang memiliki kandungan
protein. Polen terdapat pada kepala putik bunga dalam bentuk butir-butir atau
serbuk halus (Pavord, 1975). Polen memiliki gizi yang sangat tinggi yaitu berupa
protein (20,1%), lemak (3,3%), air (23,9%) dan sisanya berupa vitamin dan
mineral yang sangat diperlukan untuk pembentukan jaringan tubuh. Menurut
Gojmerac (1983), kebutuhan total protein dari suatu koloni lebah madu dapat
terpenuhi dengan mengkonsumsi polen.

2.3. Cadangan Makanan Lebah Trigona

Kelebihan makanan yang dikoleksi oleh lebah Trigona disimpan dalam


bentuk madu dan propolis. Produktivitas madu dari lebah Trigona rata-rata 100-
250 ml/3 bulan dan produktivitas propolis rata-rata 2 kg/tahun untuk setiap
koloni. Variasi jumlah madu dan propolis yang dihasilkan dan cita rasanya

4
tergantung dari jenis-jenis vegetasi disekitar sarang sebagai sumber makanannya
(Atmowidi, 2008). Contohnya adalah pada saat pohon Dadap (Erythrina sp.) di
sekitar sarang lebah berbunga dan lebah tersebut mencari makan pada pohon itu,
maka rasa madu akan menjadi pahit.

2.3.1. Madu lebah Trigona

Madu lebah Trigona mengandung berbagai vitamin dan nutrisi lainnya.


Madu lebah Trigona terbuat dari nektar yang diambil dari tumbuhan. Nektar
merupakan hasil sekresi tumbuhan berupa cairan yang berasa manis, yang
dihasilkan pada kelenjar nektari dari bunga. Nektar dari tumbuhan diambil oleh
Trigona dengan menggunakan probosis. Probosis merupakan bagian mulut yang
memiliki bentuk menyerupai belalai.
Menurut Krisnawati (2013), kandungan vitamin pada madu lebah Trigona
adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), (B3), asam askorbat (C), (B5), piridoksin
(B6), niasin, asam pantotenat, biotin, asamfolat dan vitamin K, sedangkan mineral
yang terkadung adalah Natrium (Na), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg),
Alumunium (A1), besi (Fe), Fosfor , Kalium (K), Potassium, Sodium klorida dan
Sulfur. Enzim-enzim yang terdapat pada madu lebah Trigona adalah diatase,
invertasem glukosa oksidase, fruktosa, peroksidase, lipase dan mengandung
sejumlah kecil hormon, tembaga (Cu), iodium (I) dan seng (Zn). Kandungan
mineral, vitamin dan enzim-enzim tersebut menyebabkan madu dari lebah
Trigona dapat digunakan sebagai bahan obat untuk mengobati beragam penyakit
dan meningkatkan kekebalan tubuh (Krisnawati, 2013). Madu bermanfaat untuk
memulihkan energi yang hilang akibat dari aktifitas sehari-hari, karena madu
sebagai sumber energi yang akan tercerna secara cepat (Purbaya, 2007).

2.3.2. Propolis lebah Trigona

Propolis diperoleh oleh lebah Trigona dari getah tumbuhan yang memiliki
resin berwarna kecoklatan dan digunakan sebagai perekat sarang (Anilakumar et
al., 2011). Propolis dikumpulkan dari bunga, kulit kayu dan bagian tumbuhan
lain (Gojmerac, 1983). Propolis merupakan bahan yang sangat berharga yang

5
diketahui berfungsi untuk membunuh bakteri, virus, jamur, ataupun protozoa yang
masuk kedalam sarang (Krisnawati, 2013) dan digunakan untuk membungkus
bangkai hewan yang menganggu disarang lebah dengan propolis karena hewan ini
terlalu berat untuk dapat dibuang dari sarangnya, Prosesnya menghasilkan efek
serupa pembalseman, karena tubuh mati hewan tersebut mengering tanpa
mengalami pembusukan (Salatino et al., 2005).Propolis berguna bagi lebah
Trigona dikarenakan lebah Trigona yang rentan terhadap infeksi dari virus dan
bakteri (Chinthapally et al., 1993). Kumpulan propolis yang terkumpul dicampur
dengan cairan lilin pada sarang, sehingga berguna sebagai antimikroba
(Dharmayanti et al., 2000). Manfaat propolis bagi manusia adalah sebagai
pemacu sistem imun dan memperbaiki jaringan yang rusak (Stojko et al., 1978;
Ghisaberti, 1979). Propolis ini juga digunakan sebagai bahan kosmetik, obat, dan
teknologi pangan (Krell, 1996).
Kandungan propolis sangat dipengaruhi oleh jenis dan umur tumbuhan
yang dijadikan sumber pakan oleh lebah, serta iklim dan waktu propolis diperoleh
(Hill, 1981; Chen, 1993). Oleh karena itu propolis merupakan senyawa kompleks
yang kaya akan senyawa terpena, asam benzoat, asam kafeat, asam sinamat dan
asam fenolat. Propolis juga mengandung senyawa flavonoid yang tinggi
(Chinthapally et al., 1993), selain itu propolis juga mengandung penyusun
lainnya, seperti polen dan asam amino (Salatino et al., 2005).

2.4. Polen

Polen merupakan alat reproduksi jantan pada tumbuhan yang memiliki


fungsi sama seperti sperma pada hewan jantan (Arizona, 2000). Polen atau serbuk
sari terdapat dalam ruang serbuk sari (theca) yang terletak pada kepala sari
(antenna). Polen memiliki ukuran bervarisai antara 5µ sampai lebih dari 200µ
(Faegri and Iversen, 1989). Menurut Erdtman (1972), ukuran polen berdasarkan
panjang aksis terpanjang diklasifikasikan kedalam beberapa kategori yaitu dari
perminutae (PI), minutae (MI), mediae (ME), magnae (MA), permagnae (PA) dan
giganteae (GI) dengan dengan ukuran tertera pada tabel 1.

6
Tabel 1. Klasifikasi polen berdasarkan ukurannya.
Klasifikasi polen Ukuran
Sangat Kecil (sporae perminutae; PI) < 10 µ
Kecil (sporae minutae; MI) 10 - 25 µ

Medium (sporae mediae; ME) 25 - 50 µ

Besar (sporae magnae; MA) 50 - 100 µ

Sangat Besar (sporae permagnae; PA) 100 - 200 µ

Raksasa (sporae giganteae; GI) > 200 µ


(Erdtman, 1972)

Butiran polen dilapisi oleh lilin (wax) dan protein yang merupakan elemen
sculptura (Davis, 1999). Polen terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan intine dan
lapisan exine. Lapisan intine merupakan dinding pektoselulosa yang tipis
mengelilingi butir polen yang masak. Lapisan exine merupakan lapisan diluar
lapisan intine yang memiliki sporopolenin yaitu substansi yang keras yang
memberi daya tahan pada butir polen (Fahn, 1991). Exine memiliki keistimewaan
yaitu memiliki struktur dan ornamentasi (Erdmant, 1972). Apertura merupakan
modifikasi dari dinding polen yang berfungsi sebagai jalan keluarnya buluh
(Davis, 1999). Buluh akan keluar melalui apertura selama perkecambahan polen
dengan cara mendorong intine ke samping. Apertura dapat berupa alur (colpate)
dan pori (porate), dimana susunan jumlah pori dan alur merupakan kriteria
penting dalam klasifikasi polen berdasarkan bentuk apertura (Davis, 1999).
Berdasarkan bentuk apertura, bentuk polen dapat diklasifikasikan menjadi bentuk
inaperturate, monoporate, diporate, triporate, stephanoporate, periporate,
monocolpate, dicolpate, tricolpate, stephanocolpate, pericolpate, heterocolpate,
syncolpate, tricolporate, stephanocolporate, pericolporate dan
tricotomonocolporate (Kapp, 1969).

7
Gambar 3. Tipe apertura butir polen (Kapp, 1969) yang terlihat sebagai
sumbu dan lubang kecil tempat keluarnya buluh

Simetri polen dibagi menjadi dua tipe yaitu simetri radial dan simetri
bilateral. Simetri radial yaitu dimana polen dapat dibagi menjadi dua bidang
simetri atau lebih, dan jika memiliki dua simetri maka aksis ekuatorial memiliki
panjang yang sama dengan aksis vertikal. Simetri bilateral yaitu polen yang
mempunyai bidang simetri vertikal dan aksis ekuatorial yang tidak sama panjang
(Erdtman, 1972).

Menurut Kapp (1969) dan Erdtman (1972) pada polen dengan bidang
ekuator yang melebar, aksis polarnya dapat diacu sebagai titik rotasi. Jika dilihat
dari bidang ekuator terlihat seperti berbentuk melingkar atau lonjong (elipse).
Butiran polen dengan ekuatorial yang melebar dapat diistilahkan sebagai
spherical, prolate spheroidal, subprolate, prolate dan perprolate. Sedangkan
istilah spherical, oblate spheroidal, suboblate, oblate dan peroblate digunakan
jika aksis polar kecil. Bentuk-bentuk (kelas) polen pada polen yang berbentuk
elipse ini dapat ditentukan berdasarkan hubungan perbandingan antara polar aksis

8
(P) dengan aksis ekuatorial (E). Bentuk-bentuk polen berdasarkan atas
perbandingan bidang polar dan bidang ekuatorial pada polen berbentuk elipse ini
dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelas bentuk-bentuk polen pada tumbuhan


Kelas bentuk P/E 100.P/E
Peroblate < 4/8 < 50
Oblate 4/8 – 6/8 50 – 75

Subspheroidal 6/8 – 8/6 75 – 133

Suboblate 6/8 – 7/8 75 – 88

Oblate spheroidal 7/8 – 8/8 88 – 100

Prolate spheroidal 8/8 – 8/7 100 – 114

Subprolate 8/7 – 8/6 114 – 133

Prolate 8/6 – 8/4 133 – 200

Perprolate > 8/4 > 200


(Erdtman, 1972)

2.5. Ketinggian Tempat dan Pengaruhnya Terhadap Jenis Organisme

Indonesia yang merupakan daerah tropis secara umum memiliki keadaan


iklim yang seragam. Adanya perbedaan geografis yaitu perbedaan ketinggian
tempat di atas permukaan laut (dpl) dapat menimbulkan perbedaan cuaca pada
daerah tersebut. Curah hujan, suhu dan kelembaban sangat dipengaruhi oleh
faktor ketinggian tempat (Andrian dkk., 2014). Menurut Sangadji (2001), letak
lintang, ketinggian tempat, jarak dari laut, topografi, jenis tanah dan vegetasi
sangat berpengaruh pada unsur-unsur cuaca dan iklim. Daerah dataran rendah
mempunyai karakter suhu lingkungan, tekanan udara dan oksigen yang tinggi.
Sedangkan dataran tinggi banyak mempengaruhi penurunan tekanan udara dan
suhu udara serta peningkatan curah hujan. Laju penurunan suhu akibat ketinggian
memiliki variasi yang berbeda-beda untuk setiap tempat. Menurut Handoko

9
(1995), setiap kenaikan ketinggian tempat 100 meter rata-rata suhu udara di
Indonesia turun 0,5-0,6 °C.
Ketinggian suatu tempat dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman
organisme, terutama karena perbedaan suhu yang terjadi antara dataran rendah
dan dataran tinggi. Wilayah dengan ketinggian tempat yang tinggi, seperti
pegunungan, perubahan suhunya bisa terjadi dalam waktu yang pendek yaitu
dengan suhu yang tinggi di siang hari dan rendah di malam hari (Haslett, 1997;
Hodkinson, 2005). Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan organisme baik serangga maupun tumbuhan. Suhu secara tidak
langsung juga berpengaruh terhadap pertumbuhan, fenologi, dan kandungan
nutrisi tumbuhan inang yang akan menjadi sumber makanan bagi organisme
herbivora (Buse et al., 1999).
Keberhasilan pertumbuhan tumbuhan sangat dipengaruhi oleh ketinggian
tempat. Terdapat beberapa tumbuhan yang hanya mampu tumbuh di dataran
rendah hingga dataran sedang, namun beberapa jenis tumbuhan hanya mampu
tumbuh di dataran rendah atau hanya di dataran tinggi. Contoh tumbuhan yang
hanya mampu tumbuh di dataran rendah adalah tumbuhan karet. Menurut
Budiman (2012) tumbuhan karet tumbuh optimal di dataran rendah, yakni pada
ketinggian sampai 200 meter di atas permukaan laut. Makin tinggi letak tempat,
pertumbuhannya makin lambat dan hasilnya lebih rendah. Ketinggian tempat
lebih dari 600 meter di atas permukaan laut tidak cocok lagi untuk tumbuhan
karet.
Setiap organisme memiliki mekanisme tertentu untuk beradaptasi terhadap
perubahan ketinggian tempat. Ketinggian suatu tempat dapat berpengaruh
terhadap komposisi tumbuhan atau jenis habitatnya (Andrew and Hughes, 2005)
dan kesesuaian tumbuhan tersebut sebagai inang serangga (Virtanen and
Neuvonen, 1999). Setiap organisme memiliki kemampuan beradaptasi yang
berbeda-beda dengan mekanisme plastisitas morfologinya, dimana serangga yang
terdapat pada dataran rendah pada umumnya memiliki ukuran yang lebih kecil
dibandingkan dengan serangga yang terdapat di dataran tinggi (Tantowijoyo,

10
2008). Fenomena peningkatan ukuran tubuh serangga seiring dengan peningkatan
ketinggian tempat diterangkan dalam hukum Bergmann (Baldwin, 1999).
Pada dataran tinggi, organisme yang hidup pada daerah ini memiliki
ukuran tubuh yang lebih besar akibat metabolisme tubuh dari organisme pada
dataran tinggi lebih sedikit. Sebaliknya organisme pada dataran rendah yang yang
memerlukan energi yang lebih besar dalam mendapatkan makanannya sehingga
metabolisme pada tubuh organisme dataran rendah menjadi tinggi dan
menyebabkan ukuran tubuhnya lebih kecil dari dataran tinggi (Baldwin, 1999).

11

Anda mungkin juga menyukai