Anda di halaman 1dari 26

AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN KOPI-LADA-DURIAN

BAB I. PENDAHULUAN

Sistem agroforestri merupakan kombinasi antara aneka jenis pepohonan dengan


tanaman semusim dengan/tanpa ternak atau hewan. Sistem agroforestri telah
dilaksanakan sejak dahulu kala oleh para petani di berbagai daerah dengan aneka
macam kondisi iklim dan jenis tanah serta berbagai sistem pengelolaan.

Pengembangan agroforestri, menurut Raintree (1983) meliputi tiga aspek, yaitu (a)
meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, (b) mengusahakan keberlanjutan
sistem agroforestri yang sudah ada dan (c) penyebarluasan sistem agroforestri
sebagai alternatif atau pilihan dalam penggunaan lahan yang memberikan tawaran
lebih baik dalam berbagai aspek (adoptability).

Produk yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok,
yakni (a) yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan
ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan (b) yang tidak langsung
memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi tanah dan
air, memelihara kesuburan tanah, pemeliharaan iklim mikro, pagar hidup, dsb.

Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada


peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat desa.
Peningkatan produktivitas sistem agroforestri dilakukan dengan menerapkan
perbaikan cara-cara pengelolaan sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh
dari praktek sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam
jangka panjang

Oleh karena itu produksi yang dihasilkan dari sistem agroforestri juga bermacam-
macam, misalnya buahbuahan, kayu bangunan, kayu bakar, getah, pakan, sayur-
sayuran, umbiumbian, dan biji-bijian.

Mengingat keberagaman itu, maka dalam menentukan rumusan pengelolaan sistem


agroforestri, harus berpegang pada prinsip-prinsip atau dasar-dasar yang dapat
mendorong tercapainya produktivitas, keberlanjutan dan penyebarluasan sistem
agroforestri di berbagai tempat dan kondisi yang berbeda. Beberapa prinsip yang
perlu dipegang dalam menentukan rumusan pengelolaan itu adalah:

1
1. Pengelolaan agroforestri secara umum harus bertujuan untuk memelihara dan
meningkatkan keunggulan-keunggulan sistem agroforestri, serta mengurangi
atau meniadakan kelemahan-kelemahannya, sehingga dapat mewujudkan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan
petani.
2. Agar keunggulannya terwujud dan kelemahannya teratasi, diperlukan rumusan
pengelolaan agroforestri yang berbeda (spesifik) untuk kondisi lahan dan
masyarakat yang berbeda. Jadi tidak mungkin dan tidak boleh ada satu rumusan
pengelolaan agroforestri yang berlaku untuk semua keadaan lahan dan
masyarakat yang berbeda-beda. Namun demikian, perbedaan kondisi lahan dan
kondisi masyarakat perlu dikategorikan dan diklasifikasikan secara tepat dan
akurat, agar ragam rumusan manajemennya tidak juga terlalu banyak, sehingga
sulit pembinaannya.
3. Rumusan pengelolaan agroforestri adalah beragam (lebih dari satu pilihan),
tetapi tetap memenuhi kriteria: (a) campuran jenis tanaman tahunan/pohon-
pohonan (kehutanan) dan tanaman setahun/pangan/pakan ternak (pertanian), (b)
lebih dari satu strata tajuk, (c) mempunyai produktivitas yang cukup tinggi dan
memberi pendapatan yang berarti bagi petani, (d) terjaga kelestarian fungsi
ekosistemnya, (e) dapat diadopsi dan dilaksanakan oleh masyarakat, khususnya
oleh petani yang terlibat.
4. Unit terkecil manajemen agroforestri adalah rumah tangga, yakni pada tingkat
pengambilan keputusan terendah. Namun, agroforestri dapat saja dipraktekkan
oleh pengusaha dalam skala unit yang relatif besar. Perubahan paradigma
pengelolaan kehutanan seiring dengan perubahan kondisi sosial politik di
Indonesia yaitu dari pengelolaan hutan berbasis pohon menjadi berbasis
masyarakat, justru memberikan dukungan yang kondusif untuk pengembangan
agroforestri pada skala yang relatif besar. Petani yang masih saja lebih
berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pangan, dapat ditawari untuk
mengkombinasikan tanaman semusim dengan pepohonan.
5. Mengingat bahwa pengelolaan yang dibiarkan pada masing-masing unit terkecil
akan cenderung menjadikan agroforestri kurang viable dan menjadikan petani
subsisten, maka perlu dikembangkan "jaringan kerjasama" antara petani

2
agroforestri. Bentuk "jaringan kerjasama" itu dapat berupa kelompok tani,
paguyuban, federasi atau koperasi.
6. Berdasarkan perhitungan kemampuan biaya dan pengorbanan untuk pengelolaan
per keluarga petani, unit pengelolaan agroforestri terkecil (per rumah tangga)
diperkirakan 7-8 kali dari pertanian pangan monokultur (misalnya padi). Untuk
kasus pedesaan di Kabupaten Bogor diperkirakan luas unit manajemen
agroforestri per rumah tangga yang optimum adalah kira-kira 2 hektar.
7. Mengingat keperluan lahan per unit pengelolaan seperti dikemukakan butir 6,
serta selaras dengan perubahan paradigma menuju pengelolaan hutan secara
partisipatif, maka pengembangan pengelolaan agroforestri, di samping pada
lahan milik masyarakat, dapat juga dilaksanakan pada kawasan hutan baik itu
melalui konsep kehutanan masyarakat, pengelolaan hutan bersama/berbasis
masyarakat (PHBM) dan sebagainya.

Pengelolaan sistem agroforestri cukup kompleks karena merupakan gabungan


antara bidang kajian ilmu kehutanan dengan pertanian dan bahkan peternakan, serta
memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan
keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Dengan demikian
diperlukan pengetahuan yang cukup rinci mengenai setiap komponen yang terlibat
dalam sistem tersebut. Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan penerapan
agroforestri adalah interaksi antara pohon dengan tanaman semusim atau dengan
pohon lainnya, yang tidak mudah untuk dikaji. Pengkajian proses interaksi melalui
percobaan lapangan membutuhkan biaya besar dan waktu yang lama. Cakupan
studi atau percobaan seringkali sangat terbatas serta keragaman lingkungan yang
tinggi mengakibatkan hasil suatu penelitian tidak selalu dapat diterapkan di tempat
yang berbeda. Penggunaan model simulasi (peniruan) merupakan salah satu pilihan
untuk memahami sistem agroforestri secara efisien dan ekonomis.

Pemodelan agroforestri telah terbukti mampu memperhitungkan pengaruh kondisi


lokasi yang beragam dan menghasilkan keluaran yang mendekati kenyataan.
Pendekatan langsung secara empiris seperti yang dilakukan petani yaitu langsung
mencoba, mengamati dan membuktikannya di lahan sendiri, memang dapat
memberi hasil yang lebih akurat. Apabila hal ini diterapkan pada penelitian (formal)
akan membutuhkan jumlah pengukuran yang sangat banyak sehingga sulit untuk

3
dilaksanakan dan tidak efisien. Tersedianya model simulasi dapat mempermudah
petani dalam mengambil keputusan dan memperbaiki strategi pengelolaan lahannya
di masa yang akan datang.

Oleh karna itu, penulis mencoba membuat suatu model Agroforestri dengan
cakupan tanaman lada, kopi dan durian yang ditinjau dari aspek ekologi, ekonomi
dan sosial buadaya.

4
BAB II. PEMBAHASAN

2.1 Sejarah tanaman


2.1.1 Lada

Tanaman lada ditemukan pertama kali di daerah Western Ghast, India. Tanaman
lada ditemukan tumbuh liar di daerah pegunungan Assam (India) dan utara Burma.
Tanaman ini kemudian mulai dibudidayakan dan menjadi barang berharga ketika
mulai diintroduksi ke Eropa dan dikenal oleh bangsa Yunani dan Romawi kuno.
Seorang filsafat Yunani bernama Theophratus (372-278 B.C) yang dikenal sebagai
Bapak Botani menyebutkan dua tipe lada yang digunakan di Yunani dan Romawi
yaitu black pepper (lada hitam), Piper nigrum dan long pepper (lada panjang), Piper
longum. Lada kemudian menyebar dari Malabar (India) ke daerah daerah Eropa
dan Asia termasuk Indonesia. Lada kemungkinan masuk ke Indonesia dibawa oleh
masyarakat Hindu ke daerah Jawa antara 100 B.C dan 600 A.D (Purseglove et al.,
1981).

Sentra produksi lada di Indonesia adalah daerah Lampung, Sumatera Selatan dan
Kepulauan Bangka Belitung. Kedua daerah ini memproduksi kurang lebih 90%
dari produksi lada di Indonesia. Daerah penghasil lada lainnya yaitu Bengkulu,
Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
dan Sulawesi Selatan (Mustika, 1990).

2.1.2 Kopi

Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti sejak kapan tanaman kopi dikenal dan
masuk dalam peradaban manusia. Menurut catatan sejarah, tanaman ini mulai
dikenal pertama kalinya di benua Afrika tepatnya di Ethiopia. Pada mulanya
tanaman kopi belum dibudidayakan secara sempurna oleh penduduk, melainkan
masih tumbuh liar di hutan-hutan dataran tinggi (Najiyati dan Danarti, 1997).

Pada penelitian Reginald Smith dibuktikan tentang asam nikotin yang terdapat
dalam kopi. Smith dapat menunjukkan bagaimana asam nikotin ini dihasilkan
selama kopi dibakar oleh pembusukan trigonelin (asam nikotinik N metilbetaine).
Reginald Smith, juga menyatakan bahwa kandungan kafein dari kopi robusta dua
kali lebih banyak dari kopi arabika. Bagi industri kopi, jenis kopi robusta lebih

5
menguntungkan jika digunakan sebagai kopi tubruk karena lebih banyak ekstrak
kopi yang diambil (Spillane, 1990).

Tumbuhan kopi diperkirakan berasal dari hutan-hutan tropis di kawasan Afrika.


Kopi Arabika berasal dari kawasan pegunungan tinggi di Barat Ethipia maupun di
kawasan utara Kenya, kopi Robusta di Ivory Coast dan Republik Afrika Tengah.
Hal ini membuktikan bahwa tumbuhan kopi mudah beradaptasi dengan lingkungan
tumbuhnya (Siswoputranto, 1992).

Di Indonesia tanaman kopi diperkenalkan pertama kali oleh VOC pada periode
antara tahun 1696-1699. Tanaman kopi mula-mula hanya bersifat coba coba, tetapi
karena hasilnya memuaskan dan dipandang oleh VOC cukup menguntungkan
sebagai komoditi perdagangan, maka VOC menyebarkan ke berbagai daerah agar
penduduk menanamnya (Najiyati dan Danarti, 1997).

2.1.3 Durian

Durian merupakan tanaman buah berupa pohon. Sebutan durian diduga berasal dari
istilah Melayu yaitu dari kata duri yang diberi akhiran -an sehingga menjadi durian.
Kata ini terutama dipergunakan untuk menyebut buah yang kulitnya berduri tajam.

Tanaman durian berasal dari hutan Malaysia, Sumatra, dan Kalimantan yang berupa
tanaman liar. Penyebaran durian ke arah Barat adalah ke Thailand, Birma, India dan
Pakistan. Buah durian sudah dikenal di Asia Tenggara sejak abad 7 M. Nama lain
durian adalah duren (Jawa, Gayo), duriang (Manado), dulian (Toraja), rulen (Seram
Timur).

2.2 Syarat tumbuh


2.2.1 Lada
a. Iklim

Curah hujan yang diperlukan oleh tanaman ladaa agar dapat tumbuh optimal
berkisar 2.000-3.000 mm/th. Mendapat cukup sinar matahari dengan perkiraan 10
jam sehari. Suhu udara yang cocok untuk tumbuh kembang tanaman lada adalah
berkisar 200C - 340C. Kelembaban udara yang diperlukan untuk melakukan
usahatani lada adalah 50% - 100% lengas nisbi dan optimal antara 60% - 80% RH.

6
Terlindung dari tiupan angin yang terlalu kencang, yang berarti, dalam perkebunan
lada terdapat pohon-pohon lain yang berfungsi sebagai pelindung tanaman lada dari
tiupan angin.

b. Media Tanam

Media yang diperlukan agar tanaman lada dapat tumbuh dan berkembang dengan
optimal adalah tanah yang subur dan kaya bahan organik, tidak tergenang atau
terlalu kering, pH tanah berkisar antara 5,5 - 7,0, warna tanah merah sampai merah
kuning seperti Podsolik, Lateritic, Latosol dan Utisol, kandungan humus tanah
sedalam 1-2,5m.

c. Ketinggian tempat

Ketinggian tempat untuk taman lada ialah 300-1.100 m dpl dan


kelerengan/kemiringan lahan maksimal ± 300.

2.2.2 Kopi
a. Iklim dan tanah (media tanam)

Pada tanaman kopi, iklim dan tanah sangat berpengaruh terhadap perubahan
morfologi, pertumbuhan dan daya hasil. Kopi hanya dapat menghasilkan dengan
baik apabila ditanam pada tanah yang sesuai, yaitu tanah dengan kedalaman efektif
yang cukup dalam (> 100 cm), gembur, berdrainase baik, serta cukup tersedia air,
unsur hara terutama kalium (K), harus cukup tersedia bahan organik (> 3 %).
Derajat kemasaman (pH) yang ideal untuk pertumbuhan tanaman kopi berkisar
antara 5,3 – 6,5. Persyaratan kondisi iklim dan tanah optimal untuk tanaman kopi
selengkapnya tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi iklim dan tanah yang optimal untuk tanaman kopi.

7
b. Ketinggian tempat

Tanaman kopi yang banyak ditanam oleh petani di Indonesia adalah kopi Robusta
(Coffea canephora) dan Arabika (Coffea arabica) serta sebagian kecil kopi
Liberika (Coffea liberica). Daerah yang sesuai untuk pengembangan kopi Robusta
berada pada ketinggian 100 – 600 m dpl, dengan suhu udara 21 – 24 oC, untuk kopi
Arabika pada ketinggian 1.000 – 2.000 m dpl dengan suhu udara 15 - 25 oC,
sedangkan untuk kopi Liberika pada ketinggian 0 – 900 m dpl dengan suhu udara
21 – 30 oC. Jumlah curah hujan yang diperlukan oleh ketiga jenis kopi tersebut
sama yaitu 1.250 – 2.500 mm per tahun dan bulan kering (curah hujan di bawah 60
mm per bulan) hanya terjadi 1-3 bulan per tahun (Ditjenbun, 2014).

Lahan untuk tanaman kopi mempunyai kemiringan kurang dari 30% dengan
kedalaman tanah efektif lebih dari 100 cm. Kemasaman tanah (pH) untuk kopi
Robusta dan Arabika 5,5 – 6,5 sedangkan untuk kopi Liberika 4,5 – 6,5 (Ditjenbun,
2014). Unsur hara P, K, Ca, dan Mg yang diperlukan kopi Robusta masing-masing
6,0; 0,4; 0,89 dan 0,8 cmol/kg tanah (Iloyanomon et al., 2011)

Pengembangan kopi Robusta di Indonesia ternyata tidak terbatas pada daerah


dengan ketinggian 100 – 600 m dpl saja, pada daerah tertentu seperti di Sumber
Jaya, Lampung Barat dan Kota Pagaralam kopi Robusta dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik pada ketinggian 900 – 1250 m dpl (Evizal et al., 2010).
Agar diperoleh hasil yang optimal dalam agroforestri berbasis kopi maka tanaman
penaung yang digunakan harus mempunyai syarat tumbuh yang sama dengan
tanaman kopi.

2.2.3 Durian
a. Iklim

Curah hujan untuk tanaman durian maksimum 3000-3500 mm/tahun dan minimal
1500-3000 mm/tahun. Curah hujan merata sepanjang tahun, dengan kemarau 1-2
bulan sebelum berbunga lebih baik daripada hujan terus menerus. Intensitas cahaya
matahari yang dibutuhkan durian adalah 60-80%. Sewaktu masih kecil (baru
ditanam di kebun), tanaman durian tidak tahan terik sinar matahari di musim
kemarau, sehingga bibit harus dilindungi/dinaungi. Tanaman durian cocok pada

8
suhu rata-rata 20-30 derajat C. Pada suhu 15oC durian dapat tumbuh tetapi
pertumbuhan tidak optimal. Bila suhu mencapai 35 derajat C daun akan terbakar.

b. Media Tanam

Tanaman durian menghendaki tanah yang subur (tanah yang kaya bahan organik).
Partikel penyusunan tanah seimbang antara pasir liat dan debu sehingga mudah
membentuk remah. Tanah yang cocok untuk durian adalah jenis tanah grumosol
dan ondosol. Tanah yang memiliki ciri-ciri warna hitam keabu-abuan kelam,
struktur tanah lapisan atas bebutir-butir, sedangkan bagian bawah bergumpal, dan
kemampuan mengikat air tinggi. Derajat keasaman tanah yang dikehendaki
tanaman durian adalah (pH) 5-7, dengan pH optimum 6-6,5. Tanaman durian
termasuk tanaman tahunan dengan perakaran dalam, maka membutuhkan
kandungan air tanah dengan kedalam cukup, (50-150 cm) dan (150-200 cm). Jika
kedalaman air tanah terlalu dangkal/ dalam, rasa buah tidak manis/tanaman akan
kekeringan/akarnya busuk akibat selalu tergenang

c. Ketinggian tempat

Ketinggian tempat untuk bertanam durian tidak boleh lebih dari 800 m dpl. Tetapi
ada juga tanaman durian yang cocok ditanam diberbagai ketinggian. Tanah yang
berbukit/yang kemiringannya kurang dari 15 kurang praktis daripada lahan yang
datar rata.

2.3 Model Agroforestry Lada-Kopi-Durian

Agroforestry merupakan salah satu bentuk multiple cropping yang telah banyak
dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan hutan.
Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk tersebut juga dijumpai di daerah-
daerah rendah (low land) maupun di daerah-daerah pertanian yang lain. Pada
konsep atau model agroforestri ini ditempatkan didataran rendah yaitu sekitar 600
m dpl – 900 m dpl (Gambar 1. Model Agroforestri Lada-Kopi-Durian), yang mana
model/konsep agroforestri ini ialah sistem agroforestri agrisilvikultur.

Agrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen


kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen pertanian (atau
tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang (tree

9
crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops). Dalam
agrisilvikultur, ditanam pohon serbaguna (lihat lebih detil pada bagian
multipurpose trees) atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan-lahan
pertanian (multipurpose trees/shrubs on farmlands, shelterbelt, windbreaks, atau
soil conservation hedges – lihat Nair, 1989; dan Young, 1989).

10 m

12 m

3,5 m
12
m
3,4 m

3,2 m 3,2 m 3,2 m 3,2 m

Gambar 1. Model Agroforestri lada-kopi-durian

Hasil yang diperoleh melalui pendugaan model tidak selalu sama dengan kenyataan
di lapangan. Bila terjadi perbedaan, maka ada dua hal yang harus dilakukan:
Periksa ulang struktur model, termasuk nilai setiap parameter yang dipakai untuk
mengawali pemodelan dan konsistensi model secara internal (apakah keluaran yang
dihasilkan sejalan dengan asumsi-asumsi yang ada), atau Periksa cara

10
pengukurannya di lapangan, perhatikan dengan seksama faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

Salah satu contoh model agroforestri yang akan dibahas secara agak rinci
merupakan model biofisik yang menjelaskan interaksi antara “pohon, tanah dan
tanaman semusim” pada berbagai sistem agroforestri, keuntungan dan kerugian
yang timbul akibat berubahnya suatu pengelolaan serta proses-proses yang terlibat
di dalamnya (Gambar 2).

Dari Gambar 2 dapat dilihat ada 4 kelompok utama yang menyusun model
agroforestri yaitu tanaman, tanah, cara pengelolaan dan produksi. Pendugaan
produksi secara agronomis umumnya hanya mempertimbangkan proses-proses
yang terjadi di bagian atas tanah saja sementara proses-proses lain yang terjadi
dalam tanah sering diabaikan. Oleh karena proses-proses yang terlibat di dalam

11
sistem agroforestri sangat kompleks, maka setiap komponen penyusunnya
disederhanakan dengan cara membuat asumsi-asumsi sebagai hipotesis.

Berbagai komponen dalam sistem agroforestri yang secara skematis digambarkan


dalam Gambar 2 selanjutnya dapat dikaji secara terpisah, sebagai berikut:

Komponen Tanaman (Gambar 3). Pada prinsipnya semua tanaman itu sama:
tanaman dapat tumbuh dan memiliki batang, daun, akar dan sebagainya, tetapi
mereka mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Ada tanaman yang berdaun
lebar dan ada yang berdaun sempit, ada yang merambat ada yang tumbuh tegak
lurus, ada yang merontokkan daunnya pada musim kemarau dan ada yang hijau
sepanjang tahun. Distribusi daun dalam tajukpun berbeda-beda. Untuk
pertumbuhannya tanaman memerlukan air, hara dan cahaya yang berbeda, baik
ditinjau dari jumlah, jenis dan waktu membutuhkannya. Untuk itu diperlukan
pengetahuan (1) besarnya biomasa tanaman yang dapat diduga melalui
pengembangan persamaan allometrik berdasarkan pengukuran diameter batang dan
tinggi tanaman, (2) arsitektur tanaman yang berhubungan dengan distribusi daun
secara spasial dalam tajuk yang ditopang oleh batang dan cabang. Hal ini juga
berlaku juga untuk bagian tanaman dalam tanah (akar); (3) fisiologi tanaman yang
berhubungan dengan respon tanaman terhadap cekaman internal maupun eksternal;
alokasi karbohidrat dalam tanaman; (4) fenologi yang berhubungan dengan respon
pertumbuhan tanaman terhadap perubahan lingkungan external dan internal.
Misalnya daun gugur, pembentukan tunas baru dan sebagainya.

12
Komponen tanah (Gambar 4). Semua tanah sama, tersusun atas air, mineral, bahan
organik dan udara, namun jumlah, komposisi dan letaknya di dalam profil tanah
berbeda-beda. Pengetahuan dasar yang dibutuhkan berkaitan dengan fungsi tanah
sebagai media tumbuh tanaman antara lain adalah: (a) kandungan air tanah, C, N
dan P tersedia pada kondisi awal simulasi, (b) dinamika bahan organik tanah
(BOT), hubungan transformasi BO dengan kandungan liat tanah, (c) sifat-sifat
kimia tanah antara lain yang berhubungan dengan ketersedian hara dalam larutan
tanah, adsorpsi dan desorpsi hara oleh mineral liat, (d) sifat-sifat fisika tanah yaitu
yang berhubungan dengan distribusi air ke arah horisontal maupun vertikal di dalam
profil tanah setelah hujan dan gradien kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai
akar.

Cara pengelolaan (Gambar 5). Semua sistem pertanian mempunyai tujuan yang
sama yaitu memperoleh produksi tanaman yang optimum, namun cara
pengelolaannya bermacam-macam. Perbedaan pengelolaan itu meliputi perbedaan
teknik penyediaan lahan, sifat tanaman yang ditanam, posisi/pengaturannya di
dalam petak, pemupukan, pemangkasan dan kalender tanamnya. Untuk itu
diperlukan dasar pengetahuan tentang (1) tanaman penyusunnya: jenis pohon,
tanaman semusim dan gulma yang tumbuh, (2) pemupukan: penggunaan pupuk
organik atau anorganik, (3) kompleksitas secara spasial: heterogenitas lahan, (4)
pengambilan keputusan: berdasarkan aturan baku dan disesuaikan dengan kondisi
lapangan, (5) Jadwal kegiatan yang meliputi tanggal tanam, pengolahan tanah,
pemupukan, penyiangan, panen dan sebagainya.

13
Produksi Tanaman (Gambar 6). Semua sistem pertanian mempunyai produk, tetapi
berbeda dalam: pengelolaan dan keuntungan yang diperoleh, kepekaan terhadap
hama dan lingkungan. Pengetahuan dasar yang diperlukan adalah (1) kepekaan
terhadap variabilitas iklim dan hama, (2) kepekaan terhadap fluktuasi harga, (3)
macam produk, (4) dampak lingkungan seperti aliran air dan hara dalam tanah,
emisi gas rumah kaca, cadangan karbon, (5) ketersediaan modal dan tenaga kerja
untuk melaksanakan keputusan yang diambil.

pada dasarnya semua sistem agroforestri mempunyai sifat yang sama bila dikelola
berdasarkan masukan yang sama. Dengan demikian semua sistem agroforestri
dapat disederhanakan dalam satu model. Pada saat ini tersedia banyak model
simulasi agroforestri yang telah dikembangkan oleh berbagai ilmuwan.

14
2.4 Tinjauan dari asapek Ekologi, Ekonomi dan Sosial budaya
2.4.1 Ekologi

Agroforestri berbasis kopi mempunyai peran dalam konservasi tanah, air dan
keanekaragaman hayati, penambahan unsur hara, modifikasi iklim mikro,
penambahan cadangan karbon, menekan serangan hama dan penyakit kopi dan
peningkatan pendapatan petani. Selain itu agroforestri berbasis kopi juga berperan
dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim pada
agroforestri berbasis kopi diwujudkan dalam bentuk konservasi lahan, air dan
biodiversitas serta pengendalian iklim mikro, sedangkan mitigasi dalam bentuk
penambahan cadangan karbon sehingga emisi CO2 dapat dikurangi (Hairiah dan
Ashari, 2013).

a. Konservasi Lahan

Agroforestri berbasis kopi dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi tanah.
Hasil penelitian Dariah et al. (2004) menunjukkan bahwa tingkat aliran permukaan
(46,36 mm) dan erosi (1,29 ton/ha) pada agroforestri berbasis kopi lebih rendah
dibandingkan kopi monokultur yang mempunyai aliran permukaan dan erosi
masing-masing 53,25 mm dan 1,50 ton/ha. Bahkan Utami (2011) melaporkan
aliran permukaan pada sistem agroforestri berbasis kopi lebih rendah dari lahan
terbuka dan hutan (Tabel 2). Masnang et al. (2014) juga melaporkan bahwa tingkat
erosi pada agroforestri berbasis kopi 67,67% lebih rendah dibandingkan erosi pada
tanaman jagung monokultur. Hanisch et al. (2011) melaporkan bahwa dengan
berkurangnya tingkat aliran permukaan dan erosi, maka pencucian unsur harapun
semakin rendah.

Tabel 2

15
b. Konservasi Air

Peyerapan air pada agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kopi
monokultur, sehingga ketersediaan air pada agroforestri berbasis kopi lebih besar,
terutama pada kedalam tanah 100 – 200 cm (Cannavo et al., 2011). Guimarães et
al. (2014) melaporkan bahwa kadar air tanah pada sistem agroforestri berbasis kopi
lebih tinggi dibandingkan kopi monokultur (tanpa naungan) maupun hutan
sekunder (Tabel 3). Pada sistem agroforestri kopi multistrata kadar airnya dapat
mencapai 49,10% (Maharahi et al, 2013).

Tabel 3

c. Konservasi Keanekaragaman Hayati

Sistem Agroforestri berbasis kopi merupakan habitat bagi satwa liar (Williams-
Guillen dan Perfecto, 2010; Philpott dan Bichier, 2012), Keanekaragaman mamalia
pada agroforestri berbasis kopi 5% lebih besar dibandingkan kopi monokultur
(Caudill et al., 2014). Agroforestri berbasis kopi dapat memberikan kelembaban
udara yang sesuai untuk semut terutama di musim kemarau (Teodoro et al., 2010).
Menurut Armbrecht dan Gallego (2007) semut merupakan musuh alami/predator
penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Dalam 5 hari semut dapat
membunuh 74-99% dari populasi Hypothenemus hampei. Bonfim et al. (2010),
melaporkan bahwa jumlah spora jamur mikoriza arbuskular (Arbuscular
Mycorrhizal Fungi) pada agroforestri kopi dengan Grevillea robusta, jumlahnya
dua kali lipat dibandingkan kopi monokultur. Begitu juga denga bakteri tanah yang
berfungsi dalam siklus unsur hara dan fiksasi N pada agroforestri berbasis kopi
populasinya 22% lebih tinggi dibandingkan kopi monokultur (Evizal et al., 2012b).

d. Penambahan Unsur Hara

16
Kandungan unsur N pada agroforestri kopi multistrata dan sederana masing-masing
mencapai 13,22 dan 15,70% dan unsur karbon (C) masing-masing 3,90 dan 4,80%,
sedangkan pada kopi monokultur unsur N dan C masing-masing hanya mencapai
12,30 dan 3,60% (Qifli et al., 2014). Unsur posfor (P) dan kalium (K) pada
agroforestri kopi masing-masing 5, 44 dan 3,15 ppm sedangkan pada kopi
monokultur tidak terdapat unsur P dan unsur K nya 3,08 ppm (Ebisa, 2014). Total
unsur hara makro (N, P,K, kalsium (Ca), Mg dan sulfat (SO4) yang potensial dapat
dikembalikan ke lahan agroforestri berbasis kopi yang berasal dari tanaman
penaung waru, (Hibiscus tiliaceus), lamtoro (Leucaena sp.), sengon varietas
Solomon (Paraserianthes falcataria var. Solomon), jati (Tectona grandis), mindi
(Melia azedarach) dan sengon (Paraserianthes falcataria) masing-masing sebesar
387,86; 274,34; 272,10; 244,26; 208,44 dan 128,23 g/pohon/tahun (Prawoto, 2008).
Evizal et al. (2012a) melaporkan bahwa tanaman penaung gamal/glirisidia
(Gliricidia sepium) dapat menyumbang serasah, N, P dan K pada lahan agroforestri
berbasis kopi masing-masing sebesar 2,270; 60,94; 3,11 dan 32,28 kg/ha, tanaman
penaung dadap (Erythrina glauca) masing-masing 3,976; 120,49; 7,07 dan 59,63
kg/ha dan tanaman cempaka (Michelia champaca) 5,245; 66,48; 8,49 dan 72,24
kg/ha.

e. Pengendalian Iklim Mikro

Agroforestri berbasis kopi dapat mengurangi kecepatan angin rata-rata 35%, suhu
udara 1,2 – 1,4oC dibandingkan kopi monokultur (tanpa tanaman penaung
(Pezzopane et al., 2011). Bahkan menurut Pezzopane et al. (2010) penurunan suhu
udara dapat mencapai 2,20C pada agroforestri kopi dengan tanaman makadamia
(Macadamia integrifolia Maiden and Betche). Suhu tanah, dan suhu daun kopi pada
agroforestri berbasis kopi masing-masing 19,7; 24,20C lebih rendah dibandingkan
kopi monokultur yang mencapai masing-masing 20,8; 28,1 0C. (Bote dan Struik,
2011).

f. Penambahan Cadangan Karbon

Hergoualc’h, et al. (2012), melaporkan bahwa cadangkan karbon pada kopi


monokultur di Costa Rica sebesar 14,1 ton C/ha dan pada agroforestri kopi dengan
Inga densiflora dapat mencapai 32,4 ton C/ha, sedangkan di Mexico agroforestri

17
kopi dengan Inga spp. dapat mencapai 154,30 ton C/ha (Soto-Pinto dan Davila,
2015). Agroforestri kopi dengan penaung tanaman kayu, obat dan buah di
Gutemala dapat menghasilkan stok karbon 127,62 ton C/ha (Schmitt-Harsh et al.,
2012)

Cadangan karbon untuk beberapa wilayah di Indonesia, pada agroforestri


multistrata berbasis kopi rata-rata adalah 43 ton C/ha, agroforestri sederhana
(naungan tunggal) berbasis kopi lahan milik petani dan kebun percobaan masing-
masing adalah 23 dan 38 ton C/ha. Sedang pada lahan kopi monokultur cadangan
karbonnya rata-rata hanya 13 ton C/ha (Hairiah dan Rahayu, 2010).

Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2010) melaporkan bahwa laju pertumbuhan


cadangan karbon pada agroforestri multistrata berbasis kopi berkisar 0,9 – 1,86 ton
C/ha/tahun dan agroforestri sederhana milik petani dan di kebun percobaan masing-
masing 0,79 dan 2, 8 ton C/ha/tahun. Untuk lahan kopi monokultur nilainya hanya
sekitar 0,5 ton C/ha/tahun. Dengan demikian time averaged C stock untuk
agroforestri berbasis kopi dan kopi monokultur diduga sekitar masing-masing 41
ton C/ha dan 12,5 ton C/ha/tahun.

Hasil penelitian Sari dan Hariah (2012) menunjukkan bahwa cadangan karbon pada
agroforestri sederhana dan agroforestri multi strata berbasis kopi nilainya hanya
masing masing 42,98 dan 47,19% dari cadangan karbon hutan primer, sedang
terhadap cadangan karbon hutan sekunder nilainya masing-masing dapat mencapai
79,85 dan 87,66% (Tabel 4).

Tabel 4

18
2.4.2 Ekonomi

Pendapatan dari nilai ekonomi sistem agroforestri lebih besar dari pendapatan non
agroforestri (Rachman, 2011). Kopi yang diusahakan secara monokultur (tanpa
naungan) hanya memberikan nilai NPV (Net Present Value) Rp. 13.594.616/ha,
BCR (Benefit Cost Ratio) 1,31 dan IRR (Internal Rate Return) 22,08% sedangkan
jika diusahakan dalam sistem agroforestri sederhana berbasis kopi, agroforestri
multistrata kayu-kayuan berbasis kopi dan agroforestri multistrata multiguna
berbasis kopi memberikan nilai NPV masing-masing sebesar Rp.14.136.907,
Rp.14.894.276 dan Rp.18.759.216/ha; BCR masingmasing 1,32; 1,34 dan 1,42 dan
IRR masingmasing 22,55; 22,79 dan 25,07% (Prasmatiwi et al., 2010).

Usahatani agroforestri berbasis kopi di kawasan hutan milik Perum Perhutani (kopi
+ pinus (Pinus merkusii)) di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat pada skala
usaha di bawah 0,5; 0,5 – 1,0 dan di atas 1,0 ha diperoleh nilai NPV masing-masing
sebesar Rp.59.296.855; Rp. 68.174.726 dan Rp. 38.874.948/ha, BCR
masingmasing sebesar 9,68; 12,04 dan 5,66 dan IRR masing-masing sebesar 37; 40
dan 29% (Fadli, 2014).

Agroforestri multistrata kopi + kakao + pisang + cengkeh (Eugenia aromatica) +


kelapa (Cocos nucifera) di Bali menghasilkan pendapatan Rp. 34.500.951 dengan
R/C ratio 5,91. (Hariyati, 2013), sedangkan kopi + alpukat (Persea americana) +
durian (Durio zibethinus) + cengkeh + tanaman semusim dapat memberikan pada
petani Bondowoso sebesar Rp. 21.483.580 dengan R/C rasio 2,76. Asmi et al.
(2013) melaporkan agroforestri multistrata kopi + kakao + waru + dadap +
kayumanis (Cinamomum mercusii) + kelapa di Pasawaran, Lampung dapat
menghasilkan keuntungan pada petani sebesar Rp. 10.122.577.

19
2.4.3 Sosial Budaya

Agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau


meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat
memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali bersifat
mendesak. Agroforestri diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu
bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki
kebutuhan hidup masyarakat.

Model/konsep sistem agroforestri ini mempunyai sistem berkelanjutan yang


dicirikan antara lain ialah tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu
kewaktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kodisi tersebut merupakan
refleksi dari adanya konservasi sumberdaya alam yang optimal oleh sistem
penggunaan lahan yang diadopsi. Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri
diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga atau sumberdaya sendiri
dibandingkan dari luar. Disamping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan
daya dukung ekologi manusia, khususnya didaerah pedesaan.

Berikut ini adalah rumusan dari kegiatan agroforestri berdasarkan aspek sosial
budaya :

a. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan.


b. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar.
c. Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi
bahan mentah kehutanan ataupun pertanian.
d. Memperbaiki kualitas hidup pedesaan.
e. Memelihara dan memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan
setempat. Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara
mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusunnya
atau interaksi antara komponen tersebut dengan lingkungannya (Sardjono
dkk., 2003)

Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada lahan yang
kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya 60-85%,
agroforestry umumnya dapat dipraktekkan dan hanya sustainable dalam

20
hubungannya dengan rekayasa engineering konservasi tanah, dan hal ini bisa tidak
layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak ekonomis. Proporsi
tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan pengolahan tanah secara teratur
akan sangat mempengaruhi erosi tanah. Kalau tanah-tanah bera berada di bawah
atau di antara pohon-pohonan, maka terras diperlukan pada lahan dengan
kemiringan kurang dari 60%. Pepohonan dapat membantu perkembangan terras-
terras ini kalau ditanam dan dikelola secara tepat sepanjang garis kontur.

21
BAB III. PENUTUP

Agroforestri sebaiknya dijadikan bagian yang tidak terpisahkan dari program


pembangunan di pedesaan, agar dapat berperan secara efektif dan dapat lebih
banyak mencukupi keperluan petani, baik untuk tujuan subsisten, pendapatan tunai,
maupun untuk jasa. Keberhasilan agroforestri hendaknya dinilai dengan mengingat
berbagai faktor, termasuk jangka waktu, imbalan ekonomi, pencukupan keperluan
hidup, produktivitas biologi dan keberlanjutan.

Kecocokan jenis tanaman perlu dinilai sebaik-baiknya. Keperluan tanaman akan


cahaya, unsur hara, dan air dapat sangat berbeda-beda. Respon tanaman terhadap
cara pengelolaan yang berbeda hasilnya juga tidak sama. "Untuk membangun
pedesaan tanpa merusak sumber daya berharga, seyogyanya kita kembali secara
lebih sistematis tidak hanya kepada spesies agroforestri universal (eksotik) yang
diakui cepat tumbuh dan serbaguna, tetapi terutama kepada spesies pohon setempat
(indigenous) yang secara tradisional dikenal, dipakai, dan dikelola oleh petani",
demikian saran seorang ahli agroforestri (Clarke, 1980).

Masyarakat hanya akan menerima dan mengembangkan sistem agroforestri bila


dirasakan menguntungkan. Jadi sistem agroforestri bukan hanya suatu seni
mencampur pohon kayu-kayuan dan pohon buah-buahan dengan tanaman musiman
dan atau hewan dengan trampil, tetapi pada akhirnya merupakan seni untuk
membuat penghidupan di pedesaan lebih produktif dan menarik. Pengertian
“menarik” yang dimaksud adalah kemampuan mempertahankan niali-nilai budaya
yang baik, kepastian penguasaan lahan, tata guna lahan yang mantap, peningkatan
pendapatan, pengurangan risiko dan curahan tenaga kerja yang berimbang, yang
bermuara pada kesejahteraan yang meningkat serta perbaikan lingkungan hidup.

22
DAFTAR PUSTAKA

Armbrecht, I., and M.C. Gallego. 2007. Testing ant predation on the coffee berry
borer in shaded and sun coffee plantations in Colombia. Entomol
Baliza, D.P., R. L. Cunha, R.J. Guimarães, J. P. R. A. D. Barbosa, F. W. Ávila, and
A. M. A. Passos. 2012. Physiological characteristics and development of
coffee plants under different shading levels. Revista Brasileira de Ciências
Agrárias, 7(1):. 3743.
Bonfim, J.A., S.N. Matsumoto, J.M. Lima, F. R. C.F. César, and M.A.F. Santos.
2010. Arbuscular mycorrhizal fungi and physiological aspects of coffee
conducted in agroflorestal system and at full sun. Bragantia, Campinas
69(1) : 201-20
Cannavo, P., J. Sansoulet, J.M. Harmand, P. Siles, E. Dreyer, and P. Vaast. 2011.
Agroforestry associating coffee and Inga densiflora results in
complementarity for water uptake and decreases deep drainage in Costa
Rica. Agriculture, Ecosystems and Environment 140: 1–13.
Caudill, S.A., F.J.A. DeClerck, and T. P. Husband. 2014. Connecting sustainable
agriculture and wildlife conservation: Does shade coffee provide habitat
for mammals?. Agriculture, Ecosystems and Environment 199 : 85–93.
DaMatta, F. M., C.P. Ronchi, M. Maestri, and R.S. Barros. 2007.
Ecophysiology of coffee growth and production. Brazilian Journal of Plant
Physiology 19(4) : 485-510.
Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsoni, dan Maswar. 2004. Erosi dan aliran
permukaan pada lahan pertanian berbasis tanaman kopi di Sumberjaya,
Lampung Barat. Agrivita 26(1) : 52-60.
Ebisa, L. 2014. Effect of dominant shade trees on coffee production in Manasibu
District, West Oromia, Ethiopia. Science Technology and Arts Research
Journal, 3(3): 18-22.
Evizal, R., Tohari, I.D. Prijambada, J. Widada, F. E. Prasmatiwi, dan Afandi. 2010.
Pengaruh tipe agroekosistem terhadap produktivitas dan keberlanjutan
usahatani kopi. Jurnal Agrotropika 15(1) : 17–22. Evizal, R., Tohari, I.D.
Prijambada, dan J. Widada. 2012a. Peranan pohon pelindung dalam
menentukan produktivitas kopi. Jurnal Agrotropika 17(1) : 19-23. Evizal,
R., Tohari, I. D. Prijambada, J. Widada, and D.Widianto. 2012b. Soil
bacterial diversity and productivity of coffee-shade tree agroecosystems.
J. Trop Soils, 17(2) : 181-187.
Fadli, M. 2014. Kelayakan Usaha Perkebunan Kopi Arabika pada Anggota
Koperasi Syariah Padamukti di Kabupaten Bandung Barat. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. 77 hlm.
Guimarães, G. P., E. de Sá Mendonça, R. R. Passos, and F. V. Andrade. 2014. Soil
aggregation and organic carbon of oxisols under coffee in agroforestry
systems. R. Bras. Ci. Solo 38 : 278287. Haggar, J., R. Munguia, M.
Barrios, A. Ponce. E. de M. F. Virginio, M. Bolan, S. Romero, M. Merlo,

23
G. Soto, P. Moraga, and C. Staver. 2011. Coffee agroecosystem
performance under full sun, shade, conventional and organic management
regimes i
Hairiah, K. dan S. Ashari. 2013. Pertanian masa depan: Agroforestri, manfaat, dan
layanan lingkungan. Dalam Prosiding Seminar Nasional Agroforestri
2013. Malang 21 Mei 2013. Hlm 23-35.
Hergoualc’ha, K., E. Blanchartd, U. Skibae, C. Henaultf, and Jean-Michel H. 2012.
Changes in carbon stock and greenhouse gas balance in a coffee (Coffea
arabica) monoculture versus an agroforestry system with Inga densiflora,
in Costa
Lestari, S. dan B.T. Premono. 2014. Penguatan agroforestri dalam upaya mitigasi
perubahan iklim: kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu.
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 11(1):1-12.
Maharani, J.S., F.X. Susilo, I G. Swibawa, and J. Prasetyo. 2013. Keterjadian
penyakit tersebab jamur pada hama penggerek buah kopi (PBKo)
dipertanaman kopi agroforestri. Jurnal Agrotek Tropika 1(1) : 86-91.
Pezzopane, J.R.M., J.M. de Souza, M.M.S. Marsetti, and J.E.M. Pezzopane. 2010.
Microclimatic alterations in a conilon coffee crop grown shaded by
macadamia nut tree. Ciencia Rural, Santa Maria 40(6) : 1257-1263.
Pezzopane, J.R.M., P.S. de Souza, G.S. Rolim, and P. B. Gallo. 2011. Microclimate
in coffee plantation grown under grevillea trees shading. Acta Scientiarum.
Agronomy Maringá 33(2) : 201206.
Prasmatiwi, F.E., Irham, A. Suryantini, dan Jamhari. 2010. Analisis keberlanjutan
usahatani kopi di kawasan hutan Kabupaten Lampung Barat dengan
pendekatan nilai ekonomi lingkungan. Pelita Perkebunan 26(1) : 57-69
Prawoto, A.A., and F. Yuliasmara. 2011. Coffee agroforestry with some timber
shade trees: study on carbon stock, mineral cycle, and yield. Journal of
Agricultural Science and Technology B 1 : 1232-1237.
Prawoto, A.A., A.M. Nur, S. Widodo, A. Soebagiyo, dan M. Zaubin. 2006. Uji
Alelopati beberapa spesies tanaman penaung terhadap bibit kopi arabika
(Coffea arabica L.). Pelita Perkebunan 22(1) : 1-12.
Prawoto, A.A. 2008. Hasil kopi dan siklus hara mineral dari polatanam kopi dengan
beberapa spesies tanaman kayu industri. Pelita Perkebunan 24(1) : 1-21
Qifli,A.K.M., K. Hairiah dan D.Suprayogo. 2014. Studi nitrifikasi tanah dengan
penambahan seresah asal hutan alami dan agroforestri kopi. Jurnal Tanah
dan Sumberdaya Lahan 1( 2) : 17-27.
Utami, M.S. 2011. Korelasi arsitektur pohon model rauh dari rasamala (Altingia
excelsa Noronha.) dan model arsitektur roux dari jenis kopi (Coffea
arabica L.) terhadap konservasi tanah dan air di area PHBM, RPH
Gambung, KPH Bandung Selatan. Tesis. Institut Pertanian Bogor. 79 hlm.

24
Williams-Guille, K., and I. Perfecto. 2010. Effects of agricultural intensification on
the assemblage of leaf-nosed bats (Phyllostomidae) in a coffee landscape
in Chiapas, Mexico. Biotropica 42(5) : 605–613.
Widianto, Nurheni W., dan Didik S. 2003. Pengelolaan dan Pengebangan
Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) : Bogor.

25
MAKALAH

AGROFORESTRY BERBASIS TANAMAN KOPI-LADA-DURIAN

OLEH :
ROHMI SUWINDA
16 2024 2014

Dosen : Prof. Dr. Ir. Zulfadly Syarief., MP

PROGRAM PASCASARJANA S2 AGRONOMI


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017

26

Anda mungkin juga menyukai