Anda di halaman 1dari 10

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Tersedia online di www.sciencedirect.com

SainsLangsung

Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622

Masa Depan Berkelanjutan ke-5 untuk Keamanan Manusia (SustaiN 2014)

Model pengelolaan agropolitan berkelanjutan di dataran tinggi


ekosistem hutan hujan tropis: kasus agropolitan Selupu Rejang
daerah, Indonesia

Sri Fatkhiatisebuah*, Prijono Tjiptoherijantob, Ernan Rustiadic, Moh. Hasroel Thayibd


sebuahMahasiswa Doktor pada Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya no. 4, Jakarta-10430, Indonesia
b Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok Jawa Barat, 16424, Indonesia
c Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Jl. Dramaga, Bogor, Indonesia
dProgram Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya no. 4, Jakarta-10430, Indonesia

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang pengelolaan kawasan agropolitan Selupu Rejang di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Bengkulu telah dirancang sebagai kawasan percontohan pengembangan agropolitan sejak tahun 2002. Agropolitan Selupu Rejang merupakan

salah satu kawasan agropolitan yang belum mencapai target ideal. Tekanan terhadap lingkungan yang timbul sebagai akibat dari kegiatan pertanian yang intensif, terutama di daerah pertanian dataran tinggi, menyebabkan daerah tersebut tidak lestari. Data tersebut

mengungkapkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan di agropolitan Selupu Rejang akibat kegiatan pertanian. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip ekologi di kawasan tersebut. Kondisi lingkungan yang terdegradasi dapat menyebabkan agropolitan menjadi tidak

berkelanjutan, terutama di daerah dataran tinggi yang memiliki peran penting bagi stabilitas ekosistem. Karena itu, Penelitian ini bertujuan untuk membangun model pengelolaan kawasan agropolitan yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Oleh karena itu, pengembangan agropolitan dapat berkelanjutan dengan memasukkan kepentingan lingkungan dalam pengembangan kawasan sesuai dengan kaidah ekosistem khas di Indonesia yang disebut ekosistem hutan hujan tropis. Makalah ini menggunakan

dinamika sistem untuk mensimulasikan kondisi wilayah dan intervensi yang akan dilakukan. Hasilnya adalah model yang dapat mengurangi degradasi lingkungan. Sekaligus dapat meningkatkan produksi dan menambah nilai bagi sektor pertanian. Akhirnya, keberlanjutan

sistem produksi pertanian, ekonomi pedesaan, dan lingkungan dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Oleh karena itu, pengembangan agropolitan dapat berkelanjutan dengan memasukkan kepentingan lingkungan dalam pengembangan kawasan sesuai dengan kaidah

ekosistem khas di Indonesia yang disebut ekosistem hutan hujan tropis. Makalah ini menggunakan dinamika sistem untuk mensimulasikan kondisi wilayah dan intervensi yang akan dilakukan. Hasilnya adalah model yang dapat mengurangi degradasi lingkungan. Sekaligus

dapat meningkatkan produksi dan menambah nilai bagi sektor pertanian. Akhirnya, keberlanjutan sistem produksi pertanian, ekonomi pedesaan, dan lingkungan dapat dipertahankan dan ditingkatkan. Oleh karena itu, pengembangan agropolitan dapat berkelanjutan dengan

memasukkan kepentingan lingkungan dalam pengembangan kawasan sesuai dengan kaidah ekosistem khas di Indonesia yang disebut ekosistem hutan hujan tropis. Makalah ini menggunakan dinamika sistem untuk mensimulasikan kondisi wilayah dan intervensi yang akan

dilakukan. Hasilnya adalah model yang dapat mengurangi degradasi lingkungan. Sekaligus dapat meningkatkan produksi dan menambah nilai bagi sektor pertanian. Akhirnya, keberlanjutan sistem produksi pertanian, ekonomi pedesaan, dan lingkungan dapat dipertahankan

dan ditingkatkan. disebut ekosistem hutan hujan tropis. Makalah ini menggunakan dinamika sistem untuk mensimulasikan kondisi wilayah dan intervensi yang akan dilakukan. Hasilnya adalah model yang dapat mengurangi degradasi lingkungan. Sekaligus dapat

meningkatkan produksi dan menambah nilai bagi sektor pertanian. Akhirnya, keberlanjutan sistem produksi pertanian, ekonomi pedesaan, dan lingkungan dapat dipertahankan dan ditingkatkan. disebut ekosistem hutan hujan tropis. Makalah ini menggunakan dinamika sistem untuk mensimulasikan ko

©
© 2 0 1 5 T h e
utkamuhtHaihrsHai.rPs.kamuP
2 0 1 5 T h e SEBUAHSEBUAH
viakuesreBsaya.VrTBh.sayaV
blkamuadalahbhakueadalahdhbekamudEbakukamuseMalam
si.adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND
sayakamucnmemrHairness.pHaiHairgn/slisayacbesayanlistekamus/Haibfy-Snkamucs-ntadsaya/n4.0S/Hai).kota.
(Phettepr:-/r/cervesayasebuahetwHaid
Tinjauan sejawat di bawah tanggung jawab Sustain Society

* Penulis yang sesuai. Tel.: +6281977055199.


Alamat email:fettysri@gmail.com

1878-0296 © 2015 Penulis. Diterbitkan oleh Elsevier BV Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND (
http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
Peer-review di bawah tanggung jawab Sustain Society
doi:10.1016/j.proenv.2015.07.072
614 Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622

Kata kunci:agropolitan; ekosistem hutan hujan tropis; dataran tinggi; pertanian berkelanjutan; dinamika sistem

1. Perkenalan

Pembangunan berkelanjutan adalah untuk menjamin pemerataan dan keadilan sosial. Pemerataan dan keadilan sosial harus dapat
dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan. Dalam kaitannya dengan pembangunan pedesaan dan
pembangunan perkotaan, ketidakseimbangan akan menyebabkan daerah pedesaan menjadi lemah karena penipisan yang berlebihan
(backwash) di daerah pedesaan. Namun, sisi lain kota harus menanggung beban berat. Ketimpangan antara satu wilayah dengan wilayah
lainnya menyebabkan penduduk terdorong untuk berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya1. Akibatnya, kota sebagai tujuan harus
menanggung berbagai masalah sosial dan lingkungan, sedangkan pedesaan sebagai pusat pertanian tertinggal. Hal ini kemudian akan
menyebabkan terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan di dan di pedesaan2.
Ketimpangan menghasilkan konsep pengembangan kawasan pedesaan melalui Agropolitan. Friedman & Douglass
menekankan pentingnya pendekatan Agropolitan untuk pembangunan pedesaan di Asia dan Afrika. Pendekatan ini
menggambarkan dengan baik bahwa pembangunan pedesaan dapat dilakukan dengan menghubungkan daerah pedesaan
dengan pembangunan perkotaan di tingkat lokal3,4. Pendekatan agropolitan dapat mengurangi dampak negatif pembangunan,
yaitu terjadinya urbanisasi yang tidak terkendali, penipisan sumber daya alam, dan kemiskinan pedesaan.5. Agropolitan adalah
salah satu jenis konsep pembangunan dari bawah ke atas yang bertujuan untuk membangun ekonomi berbasis pertanian di
wilayah terpilih, meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pedesaan, serta melayani, mendorong, dan memacu
pembangunan pertanian di wilayah dan sekitarnya, multi -sektoral dan multidisiplin. Konsep agropolitan banyak mewarnai
implementasi dalam program pembangunan di Indonesia. Program agropolitan direncanakan dimulai pada tahun 2002 dengan
melibatkan berbagai sektor terkait. Program agropolitan telah dilaksanakan di beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia,
dengan menetapkan 8 (delapan) daerah percontohan, salah satunya adalah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Sektor pertanian berperan besar dalam perekonomian Rejang Lebong. Pertanian merupakan sektor primer dengan kontribusi
terbesar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Rejang Lebong yaitu mencapai 54,86% pada tahun 2011
dengan peningkatan produksi yang relatif stabil setiap tahunnya.6.
Provinsi Bengkulu telah dirancang sebagai kawasan percontohan pengembangan Agropolitan sejak tahun 2002.
Agropolitan Selupu Rejang merupakan salah satu kawasan agropolitan yang belum mencapai target ideal. Kelemahan
konsep ini sarat dengan perkembangan ekonomi suatu daerah yang akan tumbuh pesat dan belum banyak dikaji dalam
konteks pembangunan berkelanjutan, sehingga pelaksanaannya lebih difokuskan pada upaya peningkatan produksi,
bukan untuk mencapai tujuan pembangunan. dalam suatu kawasan terpadu yang juga mencakup aspek kelestarian
lingkungan.
Tekanan terhadap lingkungan yang timbul akibat kegiatan pertanian yang intensif, terutama di daerah pertanian
dataran tinggi, menyebabkan daerah tersebut menjadi tidak lestari. Data tersebut mengungkapkan bahwa telah terjadi
degradasi lingkungan di kawasan agropolitan Selupu Rejang. Ada lahan pertanian seluas 220 ha yang tidak sesuai Tata
Ruang7, ketergantungan pada input yang tinggi, penurunan kualitas air sungai yang ditandai dengan kekeruhan, nilai
Dissolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD) melebihi batas baku mutu air8, dan erosi sebesar 248,59 ton/
ha/tahun di daerah tangkapan air Danau Harun Mas Bastari akibat kegiatan pertanian di daerah perbatasan danau [9].

Kondisi lingkungan yang rusak dapat menyebabkan agropolitan menjadi tidak lestari; terutama dataran
tinggi yang memiliki peran penting bagi stabilitas ekosistem. Kondisi ideal yang diinginkan oleh agropolitan
berbasis pertanian berkelanjutan yang dapat mengakomodir kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan dalam kerangka pembangunan pedesaan. Hal ini akan tercapai jika pembangunan pertanian
dilaksanakan dengan menyeimbangkan dan menyesuaikan daya dukung ekosistem. Keberlanjutan
ekonomi pedesaan, produksi pertanian, dan lingkungan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Oleh
karena itu, untuk mengurangi kelemahan tersebut, diperlukan kegiatan penelitian yang menyelaraskan
kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622 615

2. Bahan dan Metode

2.1. Area yang Dipelajari dan Data yang Dikumpulkan

Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Rejang Selupu, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei,
wawancara, dan observasi. Data sekunder dikumpulkan dari hasil penelitian sebelumnya, laporan terkait instansi
pelayanan dan data dari Badan Pusat Statistik.

Gambar 1. Peta Kawasan Agropolitan Selupu Rejang

2.2. Metode Analisis

Tahapan analisis meliputi analisis karakteristik eksisting kawasan dan model bangunan. Hasil analisis kondisi eksisting
dan komponen kritis dalam analisis keberlanjutan akan menjadi dasar dalam pemodelan pengelolaan agropolitan
berkelanjutan menggunakan sistem dinamika. Sistem dinamis dapat digambarkan sebagai sistem keterkaitan antara
berbagai variabel yang saling berinteraksi dan dinamis10. Data yang digunakan dalam penyusunan model adalah
rangkaian data dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013. Variabel utama yang akan digunakan untuk menyusun
model adalah jumlah penduduk, karakteristik lingkungan, karakteristik produksi pertanian, dan karakteristik ekonomi
pedesaan.

3. Hasil

3.1. Membangun Model Konseptual

Pelaksanaan pembangunan membutuhkan setidaknya empat jenis sumber daya, yaitu sumber daya alam,
sumber daya manusia, sumber daya buatan, dan sumber daya sosial11. Selanjutnya, lingkungan terdiri dari
lingkungan alam, lingkungan binaan manusia, sosial, dan lingkungan12. Demikian pula, pendekatan komprehensif
menuju pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan lima prinsip kriteria, yaitu: (1) lingkungan abiotik, (2)
lingkungan biotik, (3) nilai budaya, (4) sosiologi, dan (5) ekonomi.13. Komponen sumber daya dan lingkungan tidak
saling eksklusif, melainkan saling berinteraksi.
616 Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622

Oleh karena itu, pembangunan pertanian harus dilakukan dalam perspektif pembangunan pedesaan agropolitan dan
selaras dengan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan bertujuan untuk mencapai produksi pertanian yang
berkelanjutan, keberlanjutan ekonomi pedesaan, dan kelestarian lingkungan dalam jangka panjang14. Berdasarkan
pengertian keberlanjutan, maka pengelolaan agropolitan berkelanjutan dalam penelitian ini adalah pengelolaan yang
mengintegrasikan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terpadu untuk mencapai keberlanjutan produksi pertanian,
keberlanjutan ekonomi pedesaan, dan kelestarian lingkungan dalam kerangka pembangunan daerah pedesaan.
Berdasarkan definisi tersebut, maka variabel utama dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk, karakteristik
lingkungan, karakteristik produksi pertanian, dan karakteristik ekonomi pedesaan. Variabel utama adalah jumlah
penduduk, luas lahan budidaya, luas lahan pertanian di hutan, erosi, produksi komoditas, dan pendapatan petani (lihat
Gambar 2).

G deretan
Pertanian L dan (R3) +

Area di Bijih F t Petani '


Penghasilan

G deretan
C mengolah L dan
- Daerah +
+ opulasi

(R2) +
Pertanian
Luas lahan
(R1)
dalam +
Hutan

C dibudidayakan

Tanah pertanian
Penghasilan
+ Daerah

Erosi
+
+
Komoditas
-
Produksi

Gambar 2. Diagram Causal Loop Kondisi Existing (R: Reinforcing Loop; B: Balancing Loop)

3.2. Karakteristik Lingkungan

Kawasan ini terletak di dataran tinggi Rejang Lebong dengan topografi berbukit. Petani mencari berbagai jenis sayuran di
dataran tinggi dengan tingkat kemiringan yang bervariasi. Tanah dengan kemiringan lebih dari 15Haimendominasi wilayah ini
yang terdiri dari luas 98.191 hektar atau 64,70% dari luas lahan yang ada6. Curah hujan rata-rata 33,75 mm/bulan, dengan rata-
rata jumlah hari hujan 14,6 hari/bulan pada musim kemarau dan 23,2 hari/bulan pada musim hujan. Topografi dan iklim wilayah
ini memiliki risiko tinggi dalam pengelolaan lahan pertanian, sedangkan di sisi lain wilayah dataran tinggi memiliki peran yang
sangat penting sebagai pengatur tata air dan pemelihara stabilitas ekosistem.15.
Analisis spasial menggunakan GIS menunjukkan perubahan tutupan lahan dan tutupan lahan yang menutupi kawasan hutan pada tahun 2000
dan 2013 (lihat Gambar 3 dan Tabel 1)
Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622 617

Gambar 3. Tutupan Lahan Kawasan Agropolitan Selupu Rejang, 2013.

Tabel 1. Tumpang tindih Tutupan Lahan Dengan Rujukan Hutan 2000 dan 2013 (Hektar)
Tutupan Lahan Area budidaya Area budidaya Kawasan lindung Kawasan lindung

(2000) (2013) (2000) (2013)

Danau/Danau 31.86 31.86 51.46 51.46

Hutan dan semak belukar/Hutan dan semak belukar 5,532,51 5.390,73 951.26 939.02

Hutan Primer/Hutan primer 48.57 48.57 5,269,80 5,269,80

Sawah/Ladang/tegalan 250.19 303.10 54.54 60.35

Pemukiman/Pemukiman 990.11 1.056,88 1.15 1.15


Pertanian lahan kering/Pertanian Lahan kering 2.164,52 2.190,89 27.76 34.19

Swamp/Rawa 115.10 110,93 0.00 0.00


Sumber: Analisis Spasial dengan SIG, 2014.

3.3. Karakteristik Petani dan Peternakan

Hasil survei menunjukkan sebagian besar responden berada pada kelompok usia produktif. Kelompok umur 18-43
tahun adalah 71,5% dengan tingkat pendidikan terbesar adalah tamatan SD mencapai 50,5%. Berdasarkan luas lahan,
54,0% responden memiliki luas lahan kurang dari 0,9 hektar (ha) dan 38,5% responden memiliki luas lahan antara 0,9
hingga 1,5 ha, hanya 1% dari jumlah responden yang memiliki luas lahan lebih dari 2, 9 ha.
Kegiatan produksi pertanian utama di agropolitan selupu kabupaten rejang adalah budidaya sayuran. Berdasarkan
pengamatan, umumnya petani menanam secara monokultur dan tumpangsari dengan beberapa jenis sayuran.
Pada umumnya petani masih bergantung pada pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Industri pengolahan hasil pertanian seperti sayuran di kawasan ini belum berkembang. Dari hasil survei, 100%
responden lebih memilih menjual produknya dalam bentuk segar.
618 Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622

3.4. Simulasi Model

Model simulasi dibangun untuk menggambarkan kondisi daerah dari tahun 2000 hingga 2013, dan berlanjut hingga tahun 2073. Uji
validitas model menggunakan rumus Absolute Means Error (AME)10. Hasil validasi menunjukkan bahwa persentase kesalahan untuk
variabel jumlah penduduk sebesar 3,30% dan luas lahan yang diusahakan sebesar 0,14%. Dengan demikian model tersebut valid untuk
dijalankan. Hasil simulasi ditunjukkan pada Gambar 4, 5, dan 6.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa luas lahan garapan mengalami peningkatan dari tahun 2000 menjadi 2067. Pada tahun 2068 luas
lahan garapan akan mengalami penurunan karena daya dukungnya. Artinya, lahan yang cocok untuk budidaya telah digunakan
seluruhnya.

1 C ultivated_Land_Area 3.020

2 C arrying_C apac ity_of_ C ultivated_Area 1.700 2

1 C ultivated_Land_Area 2.848
2
2 C arrying_C apac ity_of_ C ultivated_Area 1.340 1

1 C ultivated_Land_Area 2.676

2 C arrying_C apac ity_of_ C ultivated_Area 980 2


C ultivated_Land_Area
1
1 C ultivated_Land_Area 2.504
C arrying_C apac ity_of_ C ultivated_Area
2
2 C arrying_C apac ity_of_ C ultivated_Area 620
1
1 C ultivated_Land_Area 2.332
2
2 C arrying_C apac ity_of_ C ultivated_Area 260

1
1 C ultivated_Land_Area 2.160
1
2 C arrying_C apac ity_of_ C ultivated_Area - 100
2.000 2.020 2.040 2.060
Waktu

Gambar 4. Business As Usual (BAU) Luas Lahan Budidaya

Hal ini akan mendorong petani untuk melakukan budidaya di kawasan lindung. Model simulasi menunjukkan bahwa
berkurangnya luas hutan dan bertambahnya lahan pertanian di hutan akan memperburuk erosi (Gambar 5). Jika kondisinya
sudah melebihi daya dukung lahan, dan pendapatan petani tidak mencukupi, maka lahan hutan akan dibuka untuk dijadikan
areal pertanian. Hal ini akan meningkatkan erosi, yang pada akhirnya mempengaruhi produksi pertanian dan pendapatan petani
(Gambar 6).

1 Pertanian_Land_ Area_ in_ The_F orest 450

2 Untuk bijih t_ Area 6.540 2


3 Erosi 14
2

2
1 Pertanian_Land_ Area_ in_ The_F orest 376

2 Untuk bijih t_ Area 6.466


2
3 Erosi 13

1 Pertanian_Land_ Area_ in_ The_F orest 302


3
2 Untuk bijih t_ Area 6.392

3 Erosi 12
Pertanian_Land_ Area_ in_ The_F orest
1
Untuk bijih t_ Area
1 Pertanian_Land_ Area_ in_ The_F orest 228 2

2 Untuk bijih t_ Area 6.318 Erosi


3
3 Erosi 11
3

1 Pertanian_Land_ Area_ in_ The_F orest 154

2 Untuk bijih t_ Area 6.244 1

3 Erosi 9
3
1

1 Pertanian_Land_ Area_ in_ The_F orest 80 1


3
2 Untuk bijih t_ Area 6.170 1
3 Erosi 8
2.000 2.020 2.040 2.060
Waktu

Gambar 5. Business As Usual (BAU) Areal Lahan Pertanian Di Hutan dan Erosi
Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622 619

1 Cabai 24.200
2 tomat 16.500
3 Daun bawang 9.900
4 Wortel 17.400
4
5 S stroberi 61 3 5
6 O ada_ Sayuran 74.000 2 6
1 Cabai
7 F armer_ Penghasilan 710.000.000 1
tomat
2
6 7 3
Daun bawang
5
4 Wortel
3 4
2 S stroberi
Cabai 18.000 1 5
1
O ada_ Sayuran
2 tomat 12.200 56 6
7
7.300 234 F armer_ Penghasilan
3 Daun bawang
1 7 7
Wortel 12.900 123456 7
4
5 S stroberi 45
6 O ada_ Sayuran 54.000
7 F armer_ Penghasilan 10.000.000
2.000 2.020 2.040 2.060
Waktu

Gambar 6. Simulasi Business As Usual (BAU) Produksi Komoditas dan Pendapatan Petani

Perilaku Business as Usual (BAU) belum mampu mendukung keberlanjutan kawasan agropolitan, oleh karena itu diperlukan
skenario intervensi yang diperlukan. Intervensi yang dilakukan pada model yang dibangun diharapkan dapat mengurangi
degradasi lingkungan serta meningkatkan produksi dan nilai tambah pertanian. Berdasarkan analisis karakteristik yang ada,
dapat dilakukan intervensi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.

-
G deretan
Pertanian L dan (R3) +
Area di Bijih F t Petani '
Penghasilan

G deretan
+
C mengolah L dan
- Daerah +
+ opulasi

(R2) +
Pertanian
Luas lahan
(R1)
dalam + (B4)
Hutan

C dibudidayakan

Tanah pertanian
Agroindustri mencoba dan
Penghasilan
+ Daerah
Sub T ermina l
Agribus in ss
Erosi
+
+
Komoditas -
-
Produksi

Gambar 7. Diagram Causal Loop Dengan Intervensi Struktural (R: Reinforcing loop; B: Balancing Loop)
620 Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622

Untuk mengatasi masalah tersebut, kita perlu intervensi di atasnya. Gambar 8 menunjukkan bahwa dalam beberapa
skenario (Skenario BAU, pesimis, moderat, dan optimis). Skenario intervensi terdiri dari intervensi fungsional dan
intervensi struktural. Intervensi fungsional meningkatkan produktivitas komoditas. Intervensi struktural pada skenario
moderat dan optimis, dilakukan melalui diversifikasi pada kegiatan pertanian yaitu agroindustri, agribisnis, dan pasar
(Sub Terminal Agribisnis). Intervensi ini akan mendorong optimalisasi penggunaan lahan pertanian dan meningkatkan
pendapatan petani. Diharapkan petani dapat memanfaatkan lahan seoptimal mungkin. Hal ini akan mengurangi
kebutuhan petani untuk merambah kawasan hutan, sehingga lahan pertanian di dalam hutan dapat ditekan. Melihat
kondisi kawasan eksisting saat ini, skenario terbaik yang dipilih adalah skenario sedang. Skenario ini mampu
meningkatkan pendapatan petani, mengurangi luas lahan pertanian di hutan, dan mengurangi erosi.
300

Sebuah pertanian_ Tanah_ Sebuah areal di_The_F orest


1e9 250
F armers _ pendapatan

200

4
3
500.000.000 4
123
2 150
1
1234

4
3
12 100 1234
34
12 1234
01 2 3 4
2.000 2.020 2.040 2.060 2.000 2.020 2.040 2.060

Waktu Waktu

1 - BAU 1. BAU

2 - Skenario pesimis 2. Skenario pesimis


3 - Skenario sedang 4 3. Moderat Sc enario

- Skenario optimis 4. Sc enario yang optimis

Gambar 8. Simulasi Model dengan Intervensi

4. Diskusi

Budidaya pertanian di dataran tinggi dihadapkan pada keterbatasan faktor biofisik seperti kemiringan lereng yang relatif
terjal, kepekaan tanah terhadap erosi dan longsor, serta curah hujan yang tinggi. Kesalahan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya lahan di dataran tinggi dapat menyebabkan kerusakan biofisik berupa degradasi kesuburan tanah
dan ketersediaan air.
Meningkatnya kebutuhan manusia sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk akan berdampak pada pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan sosial. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali menyebabkan perubahan penggunaan lahan relatif cepat. Hal ini menyebabkan
konversi dan fragmentasi lahan.
Gambar 3 dan Tabel 1 menunjukkan bahwa ada lahan pertanian seluas 94,50 hektar yang berada di kawasan lindung. Daerah
ini kecil, tetapi di masa depan, itu akan membawa banyak masalah. Transformasi kawasan hutan menjadi lahan pertanian dan
usaha yang tidak mengindahkan kelestarian hutan dapat meningkatkan erosi dan bencana alam.
Karakteristik petani yang sebagian besar merupakan petani berpenghasilan rendah dan pemilikan lahan pertanian yang kecil
menyebabkan petani melakukan usahatani secara intensif untuk memaksimalkan produksi pertanian. Survei dan observasi juga
menunjukkan bahwa petani melakukan pertanian intensif dan monokultur. Hal ini akan mendorong intensifikasi sumberdaya
lahan yang mengabaikan prinsip konservasi dan pelestarian. Ini benar-benar melanggar prinsip-prinsip ekologi dalam ekosistem
hutan hujan tropis.
Simulasi business as usual (Gbr. 4, 5, dan 6) menunjukkan bahwa luas lahan pertanian akan berkurang
sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan faktor pembatas daya dukung lahan. Jika kondisinya sudah
melebihi daya dukung lahan dan pendapatan petani tidak mencukupi, maka lahan hutan akan dibuka untuk
dijadikan areal pertanian. Hal ini akan meningkatkan erosi, yang pada akhirnya mempengaruhi produksi
pertanian dan pendapatan petani. Alternatif skenario intervensi yang dapat dipilih adalah konsep
agropolitan berkelanjutan pada ekosistem hutan hujan tropis dataran tinggi. Intervensi fungsional
dilakukan dengan meningkatkan produktivitas komoditas pada lahan budidaya melalui peningkatan
penerapan teknologi konservasi lahan dan air.
Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622 621

Kondisi ekosistem dengan curah hujan dan sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun dan hutan hujan tropis
merupakan habitat yang ideal untuk tumbuhnya berbagai flora dan fauna. Akibatnya, Indonesia memiliki keanekaragaman yang
tinggi. Kondisi iklim tropis basah di khatulistiwa membuat Indonesia kaya akan jumlah individu spesies. Dengan demikian,
pengembangan komoditas monospesies tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan prinsip ekologi16. Sistem pertanian
dataran tinggi rentan terhadap rusaknya sumber daya lingkungan, seperti rusaknya daerah resapan air, daerah aliran sungai,
dan rusaknya areal pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah ekologi. Oleh karena itu, konsep pertanian berkelanjutan di
dataran tinggi harus memperhatikan kaidah konservasi dengan tetap menjaga stabilitas produksi.

Intervensi struktural dilakukan dengan penambahan variabel diversifikasi kegiatan pertanian. Hal ini bertujuan untuk
mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan kegiatan yang mendukung peningkatan pendapatan petani. Konsep agropolitan
bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur pedesaan dan kegiatan pengelolaan agribisnis
serta meningkatkan perekonomian pedesaan. Peningkatan pendapatan diharapkan dapat meningkatkan kesadaran petani akan
penerapan prinsip-prinsip konservasi. Terakhir, model pengelolaan agropolitan berkelanjutan dibangun untuk mengurangi
degradasi lingkungan. Sehingga kelestarian lingkungan dapat terjaga. Selain itu juga sekaligus dapat meningkatkan produksi
dan nilai tambah sektor pertanian. Akhirnya, keberlanjutan ekonomi pedesaan dapat ditingkatkan.

5. Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini adalah perumusan model pengelolaan agropolitan berkelanjutan pada ekosistem hutan hujan
tropis dataran tinggi. Hal ini untuk menjamin keberlanjutan sistem produksi pertanian, ekonomi pedesaan, dan
lingkungan.
Variabel jumlah penduduk, karakteristik lingkungan, karakteristik produksi pertanian, dan karakteristik
ekonomi pedesaan merupakan variabel kunci. Mereka saling berinteraksi dalam model pengelolaan agropolitan
berkelanjutan yang dibangun.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa luas lahan budidaya akan berkurang akibat pertumbuhan penduduk dan
faktor pembatas daya dukung lahan, sedangkan budidaya lahan pertanian di hutan akan terus bertambah.
Intervensi fungsional dilakukan dengan meningkatkan produktivitas komoditas pada lahan budidaya melalui
peningkatan penerapan teknologi konservasi lahan dan air. Intervensi struktural dilakukan dengan penambahan
variabel diversifikasi kegiatan pertanian melalui agroindustri dan pasar (Sub Terminal Agribisnis). Skenario terbaik
yang dipilih adalah skenario moderat karena skenario ini mampu meningkatkan pendapatan petani, mengurangi
luas lahan pertanian di hutan, dan mengurangi erosi.
Model pengelolaan agropolitan berkelanjutan dibangun untuk mengurangi degradasi lingkungan. Sehingga
kelestarian lingkungan dapat terjaga. Selain itu juga sekaligus dapat meningkatkan produksi dan nilai tambah
sektor pertanian. Akhirnya keberlanjutan ekonomi pedesaan dapat ditingkatkan.

Referensi

1. Tjiptoherijanto P. Mobilitas sebagai tantangan demografi ke depan. Jakarta: Kosa Kata Kita & Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Pers; 2011.
2. Anwar A. Ketimpangan dan pembangunan daerah pedesaan. Bogor: Pers P4W; 2005.
3. Friedmann J. Komunitas aktif: Menuju kerangka teritorial politik untuk pembangunan pedesaan di Asia. Pembangunan Ekonomi dan Perubahan
Budaya 1981; 29:235-261.
4. Pengembangan Agropolitan Douglass M.: alternatif pengembangan kawasan di Asia. Himalaya Ulasan 1981;13:37-71.
5. Rustiadi E, Hadi S. Pembangunan agropolitan sebagai strategi pembangunan pedesaan dan pembangunan yang berimbang. Dalam Rustiadi E, Hadi S, Widhyanto, editor.
Agropolitan: konsep pembangunan berimbang pedesaan perkotaan, Bogor: Crestpent Press; 2006, hal. 1-31.
6. Badan Pusat Statistik Rejang Lebong. Kabupaten Rejang Lebong dalam Angka. BPS; 2012.
7. Mulyana M. Optimalisasi pola tanam untuk pengembangan agropolitan Selupu Rejang, Provinsi Bengkulu. Tesis. IPB; 2011.
8. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu. Laporan akhir pemantauan kualitas air di sungai Ulu Musi Rejang Lebong dan Kepahiang,
Provinsi Bengkulu. BLHD; 2013.
9. Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Bengkulu. Rencana aksi sumber daya alam dan lingkungan hidup Provinsi Bengkulu; 2006.
10. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. Analisis dinamika sistem lingkungan, sosial, ekonomi, manajemen. Jakarta: UMJ Pers;
2001.
622 Sri Fatkhiati dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 28 (2015) 613 – 622

11. Sergaldin.Membuat pembangunan berkelanjutan: dari konsep ke tindakan. Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan/Bank Dunia
Washington DC. AMERIKA SERIKAT; 1994.
12. Soerjani, M., Yuwono, A., & Fardiaz, D. Lingkungan: pendidikan, pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, Jakarta: Yayasan
Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan; 2006.
13. Bosshard, A. Metodologi dan terminologi penilaian keberlanjutan dan perspektifnya untuk perencanaan pedesaan. Pertanian, ekosistem, dan
lingkungan 2000; 77: 29-41.
14.Li, M. Pilihan Model Pembangunan Berkelanjutan China.Pertanian Ilmu Sosial Asia 2009; 5: 91-93.
15. Adiningsih S, Karama S. Sistem pertanian dataran tinggi yang berkelanjutan untuk Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 2013.
16. Thayib, MH (2010). Teknologi untuk Masa Depan Indonesia. Seri Ary Suta Center tentang Manajemen Strategis 2010; 9.

Anda mungkin juga menyukai