Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PRAKTIKUM

AGROEKOLOGI

Disusun Oleh :

1. Lathifah Azhar (20180210071)


2. Faris Rochma (20180210072)
3. Ika Lufiana (20180210073)
4. Melina Arzi Hukama (20180210077)
5. Ghozi Hafish Inas A (20180210078)

FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2019
I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Ekosistem pertanian (agroekosistem) memegang faktor kunci dalam


pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa. Keanekaragaman hayati
(biodiversiy) yang merupakan semua jenis tanaman, hewan, dan
mikroorganisme yang ada dan berinteraksi dalam suatu ekosistem sangat
menentukan tingkat produktivitas pertanian. Namun demikian dalam
kenyataannya pertanian merupakan penyederhanaan dari keanekaragaman
hayati secara alami menjadi tanaman monokultur dalam bentuk yang ekstrim.
Hasil akhir pertanian adalah produksi ekosistem buatan yang memerlukan
perlakuan oleh pelaku pertanian secara konstan. Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan berupa masukan agrokimia (terutama
pestisida dan pupuk) telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang
tidak dikehendaki (Altieri, 1999).

Ekologi dengan banyaknya keanekaragaman hayati pertanian,


diantaranya penyerbukan, penguraian, dan pengendali hayati (predator,
parasitoid, dan patogen) untuk mengendalikan hama, sangatlah penting bagi
pertanian berkelanjutan. Dengan adanya kemajuan pertanian modern, prinsip
ekologi telah diabaikan secara berkesinambungan yang akibatnya
agroekosistem menjadi tidak stabil. Kerusakan tersebut menimbulkan
munculnya hama secara terus menerus dalam sistem pertanian, salinisasi,
erosi tanah, pencemaran air, timbulnya penyakit dan sebagainya (Van Emden
& Dabrowski, 1997). Memburuknya masalah hama ini sangat berhubungan
dengan perluasan pertanian monokultur dengan mengorbankan keragaman
tanaman yang merupakan komponen bentang alam (landscape) yang penting
dalam menyediakan sarana ekologi untuk perlindungan tanaman dan
serangga-serangga berguna. Salah satu masalah penting dari sistem pertanian
homogen adalah menurunnya ketahanan tanaman terhadap serangga hama,
terutama disebabkan oleh penggunaan pestisida yang tidak bijaksana.

Di Indonesia, sejak tahun 1989 lebih dari satu juta petani dan kelompok
tani telah dilatih dengan mengikuti program Sekolah Lapang PHT (SLPHT)
termasuk SLPHT Sayuran Dataran Tinggi (Untung, 2004). Mulai tahun 2007
Pemerintah menaikkan anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan SLPHT
tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura.

B. Tujuan

Untuk mengetahui permasalahan hama pada agroekosistem (LNA) di


Indonesia
II. Landasan Teori

Agroekosistem adalah komunitas tanaman dan hewan yang berhubungan


dengan lingkungan (baik fisik maupun kimia) yang telah diubah oleh manusia
untuk menghasilkan pangan, pakan, serat, kayu bakar, dan produk-produk lainnya.

Agroekosistem dapat diartikan pula sebagai suatu unit yang tersusun oleh
semua organisme di dalam area pertanaman bersama-sama dengan keseluruhan
kondisi lingkungan yang telah dimodifikasi manusia lebih lanjut, yaitu pertanian,
industri, tempat rekreasi, dan aktifitas sosial manusia yang lainnya.

Analisis agroekosistem yaitu untuk menunjang keberhasilan system


pertanian dan tidak hanya ditentukan oleh hasil yang diperoleh tetapi juga
didasarkan pada berbagai komponen baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang. Komponen dasar agroekosistem antara lain :

a. Productivity (Produktivitas)

Ukuran kuantitatif dari tingkat dan jumlah produksi per unit lahan yang
dihasilkan.

b. Stability (Stabilitas)

Produksi yang konstan dari lingkungan tertentu sehingga meningkatkan


ekonomi dan manajemen kondisi lingkungan tersebut.

c. Equitability (Pemerataan)

Ukuran dari seberapa merata produk-produk agroekosistem yang


didistribusikan diantara produsen dan konsumen.

d. Sustainability (Katahanan)

Kemampuan suatu agroekosistem pada produksi melalui waktu dalam


menghadapi berbagai kendala ekologi dan tekanan social ekonomi. Dalam kata
lain pemerataan komponen dalam agroekosistem dalam kurun waktu tertentu.

Seiring perkembangan zaman agroekosistem mengalami kemajuan yang


dulunya dari natural farming, tradisional farming, dan sampai modern farming.
Natural farming adalah sistem pertanian yang masih mengandalkan alam sekitar
sehingga tingkat produktivitas alam rendah namun stabil, merata dan terlanjutkan.
Tradisional farming yaitu semakin bertambahnya jumlah anggota keluarga
menyebabkan system pertanian berpindah dan berubah menjadi sistem pertanian
menetap. Sedangkan modern farming adalah sistem pertanian yang sudah
mengandalkan pengetahuan IPTEK untuk memenuhi kebutuhan manusia atau
pertaniannya itu sendiri.

LEIA (Low External Input Agriculture) adalah upaya produktivitas


pertanian yang terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tingkat
pemerataan masih tinggi karena LEIA yang relative masih rendah. Terjadinya
kerusakan lingkungan dan tekanan dari luar relative rendah karena penggunaan
LEIA masih rendah sehingga tinggi keberlanjutan agroekosistem tinggi.

HEIA (High External Input Agriculture) adalah peningkatan kualitas hidup


dan kebutuhan manusia juga menuntut infra struktur yang memerlukan lahan yang
menyebabkab terjadinya ahli fungsi lahan. Disisi lain luas lahan pertanian tidak
bertambah bahkan mengalami penurunan. Hal ini yang menyebabkan lahan yang
tersedia (tersisa) dimaksimalkan pemanfaatannya. Dampak penerapan HEIA
diantaranya penggunaan pupuk buatan, pestisida, benih hibrida, dan mekanisasi.
Hal ini berdampak pada eksploitasi lingkungan, pengabaian dampak lingkungan,
penurunan kualitas hidup, penurunan SDA lokal (biodiversitas), penurunan
kearifan lokal, dan bias gender.

 
III. Pembahasan

Hama merupakan salah satu faktor pembatas produksi pertanian. Serangan


hama dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi pertanian, bahkan pada
tingkat serangan yang berat dapat membuat tanaman tidak menghasilkan sama
sekali. Kerusakan akibat serangan hama dan penyakit pada produksi tanaman di
seluruh Indonesia sejak awal tahun hingga musim kemarau awal.

Pada konsep pertanian modern, pengendalian hama banyak terjadi pada


penggunaan pestisida. Total nilai penggunaan pestisida di Indonesia mencapai Rp
5 triliun per tahun (Tempointeraktif 2008). Namun demikian, pestisida juga
mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme diantaranya
tanaman yang ditanam menjadi rusak, pertumbuhan pada tanaman terjadi
pertumbuhan abnormal, kandungan nutrisi tanaman bercambur dengan pestisida
atau zat kimia, predator alami berkurang dan bermunculan hama-hama baru.
Terdapat banyak dampak negative pestisida, tetapi adapula dampak positifnya
antar lain, dapat diaplikasikan dengan mudah, hasilnya dapat dirasakan dalam
waktu singkat, dan mudah diperoleh dan memberikan keuntungan ekonomi
terutama jangka pendek.

Dengan demikian, harus meningkatkan kesadaran tentang arti pentingnya


kelestarian lingkungan dan pertanian berkelanjutan, maka perlu dikembangkan
pengelolaan agroekosistem yang akan memberikan produktivitas lahan yang
tinggi dan menekan serangan hama. Salah satu cara pengendalian hama yang
ramah lingkungan adalah dengan pengendalian hayati melalui konservasi musuh
alami. Konsep ini memprioritaskan peran musuh alami untuk mengendalikan
hama, sehingga teknik pengelolaan agroekosistem yang dilakukan diharapkan
dapat mendorong berfungsinya musuh alami. Pengendalian hama dilakukan
dengan tidak menambahkan input saprodi baru tetapi melalui perbaikan-perbaikan
praktek budidaya yang sudah dilakukan, sehingga terdapat kondisi lingkungan
yang menguntungkan bagi musuh alami hama untuk berperan optimal. Adapun
peningkatan kompleksitas agroekosistem pada sistem tumpangsari seringkali
dapat mengurangi populasi hama. Sistem tumpangsari akan meningkatkan
keragaman tanaman dalam agroekosistem yang pada gilirannya juga akan
mempengaruhi keanekaragaman serangga hama dan musuh alami yang hidup di
habitat tersebut. Populasi serangga hama dapat ditekan denagan perkembangannya
karena pengelompokan tanaman membuat hama sulit berpindah tempat.
IV. Kesimpulan

Ada beberapa permasalahan pada agroekosistem (LNA) di Indonesia,


diantaranya yaitu permasalahan hama. Hama merupakan salah satu faktor
pembatas produksi pertanian. Serangan hama dapat menurunkan kuantitas dan
kualitas produksi pertanian, bahkan pada tingkat serangan yang berat dapat
membuat tanaman tidak menghasilkan sama sekali. Pengendalian hama banyak
menggunakan pestisida yang mempunyai dampak positif maupun dampak
negative pada tanaman.

V. Saran

1. Lebih menigkatkan kesadaran masyarakat akan dampak penggunaan pestisida


untuk pengendalian hama.

2. Menggunakan musuh alami lebih baik dibandingkan menggunakan pestisida


buatan.
Daftar Pustaka

Altieri, M.A. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystem.


Agriculture, Ecosystems and Environment 74. 19-31 hal.

Van Emden, H.F & Z.T. Dabrowski. 1997. Issues of biodiversity in pest
management. Insect Science and Applications 15. 605-620 hal.

Untung, K. 2004. Dampak pengendalian hama terpadu terhadap pendaftaran dan


penggunaan pestisida di Indonesia. J. Perlin. Tan. Indo. 10. 1-7 hal.

Tobing, M.C. 2009. Pengelolaan Serangga Hama dalam Agroekosistem.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20608/ppgb_2009
_M_Cyccu.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Diakses 5 April 2019.

Tempointeraktif. 2008. Kerugian Akibat Pestisida Palsu Rp 1


Triliun,Tempointeraktif.
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/%202008/01/14/brk.20080114-
115422,id.html. Diakses 6 April 2019

Anda mungkin juga menyukai