Anda di halaman 1dari 152

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU

ACARA I
AGROEKOSISTEM DAN ANALISIS AGROEKOSISTEM

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem pertanian (agroekosistem) memegang faktor penting dalam

pemenuhan kebutuhan pangan suatu bangsa. Keanekaragaman hayati (biodiversiy)

yang merupakan semua jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang ada

berinteraksi dalam suatu ekosistem sangat menentukan tingkat produktivitas

pertanian. Kenyataannya pertanian merupakan penyederhanaan dari

keanekaragaman hayati secara alami menjadi tanaman monokultur dalam bentuk

yang ekstrim. Hasil akhir pertanian adalah produksi ekosistem buatan yang

memerlukan perlakuan oleh pelaku pertanian secara konstan. Berbagai hasil

penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berupa masukan agrokimia (terutama

pestisida dan pupuk) telah menimbulkan dampak lingkungan dan sosial yang tidak

dikehendaki (Gerald, 1998).

Ekosistem pertanian / Agroekosistem (EP) adalah ekosistem yang proses

pembentukannya ada campur tangan manusia dengan tujuan untuk meningkatkan

produksi pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan tuntutan manusia. Campur

tangan manusia dapat berupa pemberian masukan energi tinggi dan biasanya

mempunyai kecenderungan mengubah keseimbangan alami dan menyebabkan

ekosistem menjadi tidak stabil bila dikelola dengan baik. Contoh masukan energi

tinggi antara lain pestisida kimia sintetik, pupuk kimia, benih unggul dan lain-lain.

Agroekosistem diusahakan oleh manusia untuk menjaga pertumbuhan tanaman

dengan baik serta mengurangi serangan hama dan penyakit yang akan mengganggu

2
pertumbuhan dan perkembangan tanaman maupun yang dapat menurunkan mutu

hasil produksi dari sebagian kualitas dan kuantitas hasil (Sutanto, 2002).

Pengendalian hama diusahakan sebagai salah satu usaha dari proses produksi

pertanian guna memperoleh hasil semaksimal mungkin dari lahan pertanian bagi

kepentingan petani dan masyarakat luas. Sedangkan proses produksi pertanian

meliputi berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan pertanian atau agroekosistem

yang ditujukan untuk pencapaian sasaran produktivitas tertentu. Pengelolaan

agroekosistem yang baik diharapkan dapat menekan serangan hama dan penyakit,

dengan memperhatikan aspek lingkungan sehingga upaya tersebut tidak merusak

lingkungan. Oleh karena itu, praktikum ini dilaksanakan untuk mengetahui

bagaimana cara mengubah ekosistem di lingkungan sebagai pencegahan serangan

hama dan patogen penyebab penyakit serta meningkatkan produktivitas tanaman.

B. Tujuan

Praktikum ini dilakukan bertujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui jenis dan fungsi agroekosistem.

2. Mengenal komponen ekosistem pertanian.

3. Menentukan keputusan pengelolaan agroekosistem.

4. Memberi kesempatan praktikkan mejadi ahli di lahannya sendiri.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

Agroekosistem adalah ekosistem di lingkungan pengelolaan pertanian, yang

terkait dengan ekosistem lainnya (Mangan, 2002). Untung (1992) menyatakan,

bahwa ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal

balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem

dapat juga dikatakan sebagai suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh

antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

Agroekosistem atau ekosistem pertanian didalamnya terdapat beberapa

komponen yang menyusunnya. Komponen dalam agroekosistem yaitu abiotik dan

biotik. Komponen biotik dapat terdiri dari patogen penyebab penyakit, gulma dan

serangga baik bersifat sebagai hama tanaman maupun musuh alami dari hama

(Nurindah, 2006). Komponen abiotik meliputi suhu, kelembaban, air, sinar

matahari, ketinggian, angin, dan tanah sangat mempengaruhi komponen biotik yang

ada dalam pertanaman (Irwan, 2014).

Menurut Rohman (2008) mengatakan, bahwa penciri agroekosistem tidak

hanya mencakup unsur-unsur alami (iklim, topografi, altitude, fauna, flora, jenis

tanah, dan sebagainya) tetapi juga unsu-unsur buatan. Pendekatan pragmatis yang

lazim digunakan mengarah pada unsur-unsur buatan. Hal ini merupakan

konsekuensi logis dari pengaruh kemajuan teknologi dan investasi di bidang

infrastuktur. Pengelolaan potensi pertanian berdasarkan pendekatan agroekosistem

merupakan metode yang lebih menyeluruh, sederhana dan mendasar yang meliputi

aspek biofisik, sosial‐ekonomi, dan kelembagaan (Sumardi, 2004).

4
Purwowidodo (1991) menyatakan, bahwa masalah pembangunan pertanian

tidak dilihat dari sisi peningkatan produktivitas belaka, tetapi juga keberlanjutan

(sustainability), stabilitas, dan kemerataan (equitability). Menurut KEPAS (1988),

agroekosistem didefinisikan sebagai ekosistem yang dimodifikasi dan

dimanfaatkan secara langsung ataupun tidak langsung oleh manusia untuk

memenuhi kebutuhan atas pangan ataupun seratseratan. Analisis pendekatan

agroekosistem bertujuan untuk meneliti hubungan antara karakteristik biofisik,

pengelolaan sumberdaya alam, dan pola sosial ekonomi yang ada.

Jati (Tectona grandis Linn.f.) merupakan tanaman yang sangat populer

sebagai penghasil bahan baku untuk industri perkayuan karena memiliki kualitas

dan nilai jual yang sangat tinggi. Kekuatan dan keindahan seratnya merupakan

faktor yang menjadikan kayu jati sebagai pilihan utama (Suryana, 2001). Jati

merupakan salah satu jenis kayu tropis yang sangat penting dalam pasar kayu

internasional karena berbagai kelebihan yang dimilikinya dan merupakan jenis

kayu yang sangat bernilai untuk tanaman kehutanan (Fitriani, 2012).

Syarat tumbuh budidaya pohon Jati di Indonesia menurut dinas pertanian

adalah ditempat yang beriklim sebagai berikut (Supriatna dan Wijayanto, 2011):

1. Curah hujan 1500-2500mm/tahun.

2. Bulan kering 2-4 bulan.

3. Tinggi lokasi penanaman 10-1000 m dari permukaan laut.

4. Intensitas cahaya 75-100%.

5. Ph tanah 4-8.

6. Jenis tanah lempung berpasir, hindari tanah becek/rawa dan cadas

5
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pertanaman perkebunan

jati. Alat yang digunakan dalam praktikum antara lain kertas manila, pensil warna,

spidol, alat tulis, kamera dan kalkulator.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini antara lain:

1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil sesuai dengan pembagian dalam setiap

rombongan.

2. Bahan dan alat yang akan digunakan dipersiapkan.

3. Mahasiswa diarahkan ke lapangan untuk mengamati komponen agroekosistem,

yang meliputi agroekosistem tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura.

4. Keadaan umum agroekosistem yang ada digambar dan diamati.

5. Hasil pengamatan dituliskan pada kertas plano.

6. Koleksikan serangga / hewan yang bertindak sebagai hama dan musuh alami,

juga tanaman / bagian tanaman yang bergejala sakit.

7. Hasil pengamatan dipresentasikan

6
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.1 Transek agroekosistem pada pertanaman jati

B. Pembahasan

Gejala kutu putih pada tanaman yang menyerang pada saat pengamatan yaitu

terdapat warna putih pada daun baik bagian atas maupun bawah, yang apabila

dilihat secara baik-baik menunjukkan koloni dari kutu putih yang menempel. Kutu

putih yang menyerang tanaman mengakibatkan daun menjadi keriting kemudian

7
berubah menjadi kecoklatan dan akhirnya mati. Hal ini yang menyebabkan

terganggunya proses fisilogi dan metabolism tanaman.

Menurut Noyes and Schauff (2003) menyatakan, bahwa hama kutu putih atau

bahasa kerennya mealy bug atau Paracoccus marginatus merupakan salah satu

hama yang kerap menyerang tanaman baik tanaman sayuran, buah-buahan,

perkebunan maupun tanaman hias. Hama jenis serangga ini mengeluarkan sejenis

zat putih yang berlilin, berkapas putih yang menutupi keseluruhan badan lembut

yang berwarna merah muda, menyebabkan ia kelihatan seperti debu putih. Kutu

putih dapat ditemukan pada bagian tanaman yang menjadi pertemuan antara daun

dan batang (buku-buku batang) atau batang dan buah, serta diatas dan atau dibawah

daun muda. Hama kutu putih menyerang tanaman dengan cara menghisap sari dari

tanaman, yang mengakibatkan tanaman menjadi layu, dan itu juga sebabnya daun

muda tanaman hiasku semuanya mengkerut.

Muniapan et al., (2006) mengatakan, bahwa pada tanaman yang sudah

dewasa, gejala yang muncul adalah daun menguning dan kelamaan daun akan

gugur. Serangan pada buah yang belum matang menyebabkan bentuk buah tidak

sempurna. Serangan yang berat dapat menutupi permukaan buah hingga terlihat

kutu putih akibat tertutup koloni kutu putih tersebut.

Tungau merah (Tetranychus cinnabarinus Boisd) berkaki 8 dengan panjang

tubuh 0,3-0,5 mm. Tungau jantan berwarna kemerah-merahan dengan beberapa

bercak kecil hitam, namun ada juga yang berwarna hijau kekuning-kuningan

dengan beberapa bercak hitam, Tungau jantan lebih kecil dari pada tungau betina,

kaki dan mulut tungau merah berwarna putih transparan. Kepala menjadi satu

8
dengan dada. Mulutnya mampu menusuk dan menhisap sel tanaman (Henuhili dan

Aminatun, 2013).

Gejala serangan hama tungau merah diawali dengan terlihatnya spot (bercak)

kuning sepanjang tulang daun pada daun-daun bawah dan tengah. Bercak tersebut

kemudian menyebar keseluruh permukaan daun sehingga daun berwarna

kemerahan, coklat atau seperti karat. Daun-daun yang terserang parah akhirnya

kering, dan terjadi kerontokan seluruh daun. Tanaman yang terserang parah, umbi

yang dihasilkan umumnya berukuran kecil dan secara langsung akan

mempengaruhi hasil/produksi tanaman (Untung, 1992).

Paracoccus marginatus termasuk jenis kutu-kutuan yang seluruh tubuhnya

diselimuti oleh lapisan lilin berwarna putih. Tubuhnya berbentuk oval dengan

embelan seperti rambut-rambut berwarna putih dengan ukuran yang pendek. Hama

ini terdiri dari jantan dan betina, dan memiliki beberapa fase perkembangan yaitu

fase telur, pradewasa (nimfa), dan imago. Telur P. marginatus berbentuk bulat

berwarna kuning kehijauan dan ditutupi oleh massa seperti kapas dan akan menetas

dalam waktu 10 hari setelah diletakkan. Hama kutu putih biasanya bergerombol

sampai puluhan ribu ekor. Kutu putih merusak dengan cara mengisap

cairan. Gejala yang ditimbukan akibat serangan hama ini yakni daun kerdil dan

keriput seperti terbakar. Hama ini juga menghasilkan embun madu yang kemudian

ditumbuhi cendawan jelaga sehingga tanaman yang diserang akan berwarna hitam

(Amarasekare et al., 2009).

Tanaman jati yang diamati kelompok 5 termasuk saya, pada saat pengamatan

memang ada daun yang jatuh namun karena ini sudah memasuki musim hujan daun

9
yang jatuh berguguran tidak begitu banyak. Daun yang jatuh pada saat pengamatan

terdapat suatu bercak putih atau bisa dikatakan adanya hama kutu putih. Daun yang

jatuh tidak mesti berhubungan dengan penyakit, karena yang kita ketahui bahwa

tanaman jati termasuk tanaman yang dapat mengugurkan daunnya hingga habis

pada musim kemarau berbeda dengan musim hujan daun jati masih tetap ada. Daun

yang jatuh sendiri biasanya memang terdapat suatu gejala serangan hama maupun

penyakit apabila dilihat dengan baik-baik, tetapi kembali lagi karena pada saat

pengamatan yang kita lakukan pada saat musim hujan maka dapat disimpulkan juga

faktor jatuhnya daun akibat dari beberapa penyakit yang menyerang tanaman jati

seperti yang kita temukan yaitu penyakit kanker batang pada tanaman jati. Hal

tersebut yang mendassri hubungan jatuhnya daun dengan penyakit karena bias jadi

daun yang jatuh merupakan efek dari serangan penyakit yang menyebabkan

gangguan fisiologi pada tanaman.

Jati merupakan salah satu jenis kayu tropis yang sangat penting dalam pasar

kayu internasional karena berbagai kelebihan yang dimilikinya dan merupakan

jenis kayu yang sangat bernilai untuk tanaman kehutanan (Bermejo et al., 2004).

Pertumbuhan merupakan pertambahan/perkembangan elemen-elemen antara lain:

tinggi pohon dan diameter batang pohon sampai dengan waktu tertentu. Riap

didefinisikan sebagai pertambahan pertumbuhan dimensi pohon (tinggi, diameter,

bidang dasar, volume) atau dari tegakan yang dihubungkan dengan umur dalam

satuan luas tertentu Riap merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan

dalam pengelolaan hutan produksi lestari (Ruchaemi, 2013).

10
Marjenah (2008) menyatakan, bahwa jenis penyakit yang menyerang batang

tanaman Jati di antaranya Corticium salmonicolor dan Nectria haematococca

sebagai penyebab kanker batang. Serangannya ditandai dengan daun layu dan

berwarna hitam gelap, muncul tubuh buah jamur yang menebal berwarna putih

hingga merah jambu pada kulit luar, timbul benjolan lapisan gabus pada permukaan

batang, kulit kayu pecah-pecah kemudian terjadi luka dan berlubang-lubang arah

memanjang. Pencegahannya dengan melakukan monitoring sambil melakukan

pekerjaan thinning atau pemangkasan tajuk secara teratur, terutama tajuk-tajuk

yang kering dan menunjukkan gejala penyakit kanker batang untk menghilangkan

dan mengurangi jumlah inokulum. Pohon-pohon jati yang menunjukkan gejala

terserang penyakit kanker batang harus segera diberi pupuk untuk meningkatkan

kesehatan tanaman.

Pengamatan tanaman jati yang telah dilakukan di pintu masuk Gor Soe-soe

selain di temukan hama kutu putih juga ditemukan hama rayap yang menyerang.

Tanaman jati yang telah diamati juga ditemukan semut karena semut dan kutu putih

bersimbiosis mutualisme, namun keberadaan semut sendiri sangat tinggi jadi untuk

pengamatan semut kurang memungkinkan hanya beberapa semut saja yang dapat

kita amati dibagian bawah tanaman. Tanaman jati yang kita amati juga sangat

tinggi, hal ini salah satu faktor mengapa kita hanya bisa mengamati di bagian

tertentu saja.

Kutu kebul dewasa memiliki panjang tubuh sampai 0.8 mm dan berwarna

putih salju, yang disebabkan oleh sekresi lilin di sayap dan tubuhnya. Selama

makan atau beristirahat kutu kebul dewasa menutupi tubuhnya dengan sayap.

11
Ketika menyimpan telur, betina akan meletakkan telur 50 hingga 400 butir dengan

ukuran mulai dari 0.10mm sampai 0.25mm di bagian bawah daun (Sartiami et al.,

2009).

Menurut Oka (1995) mangatakan, bahwa kutu kebul atau kutu putih

merupakan hama yang sangat merugikan dan umum di dunia pertanian. Kutu putih

dapat menghancurkan tanaman dan menyebabkan transfer berbagai virus penyakit

yang mempengaruhi produktivitas tanaman dengan cara yang berbahaya.

Kerusakan umum pada tanaman meliputi: terserapnya nutrisi tanaman, rusaknya

daun, gugurnya daun.

Hama kutu putih (Pseudococcu /mealybug) menyerang dengan menghisap

cairan tanaman terutama pada musim kemarau. Seluruh tubuhnya dilindungi oleh

lilin/tawas dan dikelilingi dengan karangan benang-benang tawas berwarna putih;

pada bagian belakang didapati benang-benang tawas yang lebih panjang. Hama ini

sering menyebabkan daun keriting, pucuk apikal tumbuh tidak normal (bengkok

dan jarak antar ruas daun pendek). Hama ini biasanya akan menghilang pada musim

hujan namun kerusakan yang terjadi dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.

Hama kutu ini bersimbiosis dengan semut gramang (Plagiolepis longipes) dan

semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) yang sering memindahkan kutu dari

satu tanaman ke tanaman lain. Pengendaliannya dengan penyemprotan insektisida

nabati dan pemotongan bagian-bagian yang cacat dan hendaknya dilakukan pada

awal musim penghujan (Disbun Propinsi NTB, 2001).

Pengamatan pertanaman jati dilakukan di depan pintu masuk Gor Soe-soe

pada siang hari. Pertanaman jati yang ada di tempat tersebut juga terdapat tanaman

12
lain seperti singkong, padi, pisang, papaya dan talas. Hama utama yang menyerang

tanaman jati yang begitu terlihat yaitu rayap dan kutu putih. Musuh alami yang di

jumpai pada saat pengamatan yaitu burung gereja. Patogen penyebab penyakit

Nectria haemotococca, kemudian gulma yang ada pada pertanaman jati rumput

bede/rumput signal. Intensitas serangan dari hama dan penyakitnya terbilang

rendah. Komponen abiotik dari pertanaman jati yaitu tanah subur, cuaca cerah

berawan saat pengamatan, air yang digunakan air tadah hujan, kelembabannya

rendah. Sistem pertanamannya monokultur pada pertanaman jati, kemudian kondisi

lahannya juga cukup bersih dengan tidak ada sampah lain selain daun dan tidak ada

naungan di pertanaman jati.

Sesuai dengan pernyataan Mangan (2002), bahwa agroekosistem adalah

sistem ekologi yang dimodifikasi manusia dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya, terutama bahan makanan. Agroekosistem memiliki kaidah-

kaidah ekologi umum yang memiliki khas tersendiri seperti yang terlihat pada

ekosistem sawah dengan ekosistem lainnya. Komponen agroekosistem terdiri dari

komponen biotik dan abiotik. Adapula komponen abiotik meliputi suhu,

kelembaban, air, sinar matahari, ketinggian, angin, dan tanah sangat mempengaruhi

komponen biotik yang ada dalam pertanaman (Irwan, 2014).

13
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat beberapa macam agroekosistem diantaranya agroekosistem

perkebunan, tanaman pangan ataupun hortikultura yang memiliki fungsi sebagai

penunjang pertumbuhan dan produktivitas tanaman dengan cara mengubah

ekosistem alami sesuai dengan syarat tumbuh tanaman.

2. Komponen yang ada dalam ekosistem yaitu komponen biotik meliputi semua

makhluk hidup yang ada dalam suatu ekosistem dan komponen abiotik meliputi

suhu, kelembaban, ketinggian tempat, tanah, air, dan ikim/cuaca.

3. Pengelolaan agroekosistem meliputi pemilihan bibit unggul, penanaman dengan

mengatur jarak tanam, penanaman tanaman naungan, serta pemeliharaan

tanaman seperti sanitasi lingkungan pertanaman, pemangkasan, pengairan,

pemupukan, pengendalian organisme pengganggu tanaman secara hayati.

Budidaya tanaman jati memerlukan manajemen dalam pengelolaannya agar

input yang kita keluarkan sedikit namun output yang kita terima lebih besar.

4. Kegiatan analisis agroekosistem mengantarkan petani atau praktikan untuk

menjadi ahli dilahan sendiri dalam menanggani masalah hama penyakit

tanaman.

14
B. Saran

Sebaiknya pada saat pengamatan pertanaman lebih di jelaskan kembali yang

perlu untuk di pergunakan pada kegiatan tersebut oleh asisten praktikum, agar

praktikan tidak kebinggungan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Amarasekare, K.G., J.H. Chong, N.D. Epsky, and C.M. Manion. 2009. Effect of
Temperature on The Life History of The Mealybug Paracoccus marginatus
(Hemiptera: Pseudococcidae). J Econ Entomol. Vol. 101 (3): 98-804.

Bermejo, I., I. Canellas, A.S. Miguel. 2004. Growth and Yield Models for Teak
Plantations in Costa Rica. Forest Ecology dan Management. Vol. 104 (189):
97-110. Elsevier. http:/www.sciencedirect.com.

Disbun Propinsi NTB. 2001. Latihan Pemandu Lapang (PL II). Kumpulan petunjuk
lapang PHT Jambu Mete. 2001. Dinas Perkebunan Propinsi NTB. 150 hal.

Fitriani, A. 2012. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Jati pada Areal Gerakan


Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jurnal Hutan Tropis. Vol. 13(1): 4-17.

Gerald G. Marten. 1998. Productivity, Stability, Sustainability, Equitability and


Autonomy as Properties for Agroecosystem Assessment. Jurnal Sistem
Pertanian. Vol. 3 (2): 23-34.

Henuhili, V dan Aminatun, T. 2013. Konservasi Musuh Alami Sebagai


Pengendalian Hayati Hama dengan Pengelolaan Ekosistem Sawah. Jurnal
Penelitian Saintek. Vol. 18 (2): 29-40.

Irwan, Z.D. 2014. Prinsip-Prinsip Ekologi: Ekosistem, Lingkungan, dan


Pelestariannya. Bumi Aksara. Jakarta.

Mangan, J. 2002. Pedoman SL-PHT Untuk Pemandu. Proyek PHT-PR/IPM-SECP.


Jakarta.

Marjenah. 2008. Prospek Budidaya Tanaman Jati di Kalimantan Timur. Disertasi.


Program Doktor Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Mulawarman,
Samarinda. 153 hal.

Muniapan, R., D.E. Meyerdirk, F.M. Sengebau, D.D. Berringer, and G.V.P. Reddy.
2006. Classical Biological Control of Paracoccus marginatus (Hemiptera:
Pseudococcidae) in the Republic of Palau. Fla. Entomol. Vol. 8 (9): 212-217.

Noyes, J.S. and M.E. Schauff. 2003. New Encyrtidae (Hymenoptera) from Papaya
Mealybug (Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink)
(Hemiptera: Sternorrhyncha: Pseudococcidae). Proc. Entomol. Vol. 105 (1):
180-185.

16
Nurindah. 2006. Pengelolaan Agroekosistem dalam Pengendalian Hama. Balai
Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Vol. 5 (2): 78-85.

Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia.


Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 255 hal.

Purwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman. IPB


Press. Bogor.

Rohman, F. 2008. Struktur Komunitas Tumbuhan Liar dan Arthropoda sebagai


Komponen Evaluasi Agroekosistem di Kebun The Wonosari Singosari
Kabupaten Malang. Disertasi. Tidak diterbitkan. Universitas Brawijaya.
Malang.

Ruchaemi, A. 2013. Ilmu Pertumbuhan Hutan. Mulawarman University Press.


Samarinda. Cetakan Pertama, Edisi Pertama. 187 H.

Sartiami, D. Dadang, R. Anwar dan I.S. Harahap. 2009. Persebaran Hama Baru
Paracoccus marginatus di Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, in
Seminar Nasional Perlindungan Tanaman. Pusat Kajian Pengendalian Hama
Terpadu Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Sumardi, S.M, Widyastuti. 2004. Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada


University. Yogyakarta.

Supriatna, A.H dan N. Wijayanto. 2011. Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati


(Tectona grandis Linn F) pada Hutan Rakyat di Kecamatan Conggeang,
Kabupaten Sumedang. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 2 (3): 130-135.

Suryana, Y. 2001. Budidaya Jati. Swadaya. Bogor.

Sutanto, S. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan


Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Untung K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Simposium


Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung di Sukamandi.

17
LAMPIRAN

Pertanaman jati pada saat


pengamatan di depan Gor
Soe soe.

Tanaman lain yang ada di


pertanaman jati di depan Gor
Soe soe.

Hama yang menyerang


pertanaman jati pada saat
pengamatan di depan Gor
Soe soe.

18
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU

ACARA II
ANALISIS AGROEKOSISTEM UNTUK HAMA PADA TANAMAN
PANGAN, HORTIKULTURA DAN PERKEBUNAN

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertanian memiliki peran yang sangat strategis dalam menopang

perekonomian suatu negara. Indonesia merupakan negara agraris dengan mayoritas

penduduknya bekerja dibidang pertanian. Bidang pertanian turut menyumbang

devisa negara, yaitu dengan adanya perdagangan yang terjadi dengan negara lain.

Sektor pertanian merupakan bidang kehidupan yang paling utama menjadi sandaran

hidup bagi sebagian besar penduduk Indonesia dan mendapat prioritas utama dalam

pembangunan yang bertujuan memperbaiki tata kehidupan perekonomian yang

mampu mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat (FAO, 1995).

Faktor yang menjadi kendala dalam budidaya pertanian salah satunya adalah

adanya serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) yang berdampak 75 %

terhadap hasil pertanian. Berbagai cara dilakukan oleh petani untuk mencegah

serangan OPT yang menimbulkan kerugian secara kualitas dan kuantitas. Dewasa

ini, banyak petani yang menggunakan pestisida kimia dalam mengendalikan OPT.

Kebanyakan dari petani memilih pestisida kimia karena pestisida kimia ampuh

membunuh hama. Namun, banyak dampak negatif yang ditimbulkan akibat

penggunaan pestisida kimia (Rizkyarti, 2010).

Hama tumbuhan adalah organisme yang menyerang tumbuhan sehingga

pertumbuhan dan perkemabanganya terganggu. Hama yang menyerang tumbuhan

antara lain tikus, walang sangit, wereng, tungau, dan ulat. Hama ialah semua

binatang yang mengganggu dan merugikan tanaman yang diusahakan manusia

20
(Surata, 2008). Hama tanaman sering disebut serangga hama (pest) atau dalam

dunia pertanian dikenal sebagai musuh petani. Praktikum pengendalian hama

terpadu ini dilaksanakan supaya mahasiswa mampu menganalisis teori pertanian

yang diajarkan dalam kuliah dengan kondisi lapangan kegiatan pertanian di

sekitarnya untuk dapat diambil jalan tengah agar teori pertanian yang diajarkan bisa

sejalan dengan kegiatan pertanian di lapang.

B. Tujuan

Tujuan dilakukannya praktikum ini yaitu:

1. Mengenal jenis hama utama pada tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura.

2. Mengenal mengenal gejala serangan hama utama pada tanaman pangan,

perkebunan dan hortikultura.

3. Membuat analisis agroekosistem berdasarkan hasil pengamatan.

21
II. TINJAUAN PUSTAKA

Levins and Wilson (1979) mengatakan, bahwa hama dalam ekosistem

pertanian yaitu:

1. Organisme jahat yang mempunyai kemampuan untuk merusak, mengganggu,

atau merugikan organisme lainnya (inang).

2. Organisme yang memusuhi (merugikan) kesejahteraan manusia.

3. Setiap spesies organisme yang dalam jumlah besar tidak kita kehendaki

kehadirannya.

4. Organisme yang merugikan dari segi andangan manusia.

5. Organisme hidup yang merupakan saingan kita dalam memenuhi kebutuhan

pangan dan pakaian, atau menyerang kita secara langsung.

Pengendalian hayati merupakan salah satu dari konsep pengendalian hama

terpadu (PHT) dengan pemanfaatan musuh alami sebagai agen hayati dalam

mengendalikan hama dan penyakit perlu dikedepankan dalam menekan

penggunaan pestisida kimia yang berlebihan. Agen hayati merupakan bagian dari

suatu ekosistem yang sangat penting peranannya dalam mengatur keseimbangan

ekosistem tersebut. Secara alamiah, agen hayati merupakan komponen utama dalam

pengendalian alami yang dapat mempertahankan semua organisme pada ekosistem

tersebut berada dalam keadaan seimbang. Musuh alami serangga hama umumnya

berupa Arthropoda dari jenis serangga dan laba-laba, serta dapat digolongkan

menjadi predator dan parasitoid. Predator adalah binatang yang memangsa binatang

lain, sedangkan parasitoid adalah binatang yang pada fase pradewasanya hidup

22
dengan menjadi parasit pada binatang lain sedangkan pada fase dewasanya hidup

bebas (Rachmat et al., 1999).

Direktorat Perlindungan Perkebunan (2001) menyatakan, bahwa konsep PHT

(Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kosep yang digunakan oleh petani saat

ini untuk mengatasi serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Konsep

PHT ini muncul sejalan dengan adanya resistensi dan resurgensi terhadap hama

yang menyerang tanaman akibat penggunaan pestisida kimia yang juga berdampak

buruk terhadap lingkungan dan kesehatan. Pengendalian hama secara umum

menggunakan konsep PHT tersebut. Konsep pengendalian hama terpadu meliputi

pengendalian hama dalam bercocok tanam, penggunaan varietas tahan hama OPT,

pengendalian secara mekanik, pengendalian secara fisik, pengendalian hayati,

pengendalian nabati, dan pengendalian pestisida secara selektif.

Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman secara Terpadu (PHT)

memiliki arti penting dalam mendukung adanya pertanian berkelanjutan. Hal ini

dikarenakan konsep dalam PHT selaras dengan konsep dalam Pertanian

Berkelanjutan. Disamping itu, PHT dan Pertanian Berkelanjutan merupakan suatu

kebijakan pemerintah yang disahkan dalam Undang-Undang. Adapun Landasan

hukum dan dasar pelaksanaan kegiatan perlindungan tanaman adalah Undang-

Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Peraturan

Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, dan Keputusan

Menteri Pertanian No. 887/Kpts/ OT/9/1997 tentang Pedoman Pengendalian OPT

(Agustian dan Hidayat, 2004).

23
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu (PHT) atau Integrated Pest

Management (IPM) merupakan komponen integral dari sistem pertanian

berkelanjutan. PHT bertujuan tidak hanya mengendalikan populasi hama tetapi juga

meningkatkan produksi dan kualitas produksi serta meningkatkan penghasilan dan

kesejahteraan petani. Cara dan metode yang digunakan adalah dengan memadukan

teknik-teknik pengendalian hama secara kompatibel serta tidak membahayakan

kesehatan manusia dan lingkungan hidup (Oka, 1995).

Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu merupakan suatu pendekatan

ekologi yang bersifat multidisiplin untuk pengelolaan populasi hama dengan

memanfaatkan beranekaragam teknik pengendalian secara kompatibel dalam suatu

kesatuan koordinasi pengelolaan (Afifah, 2010). Sedangkan menurut Bappedda

Kabupaten Sukoharjo (2002), PHT adalah pemilihan secara cerdik dari penggunaan

tindakan pengendalian hama, yang dapat menjamain hasil yang menguntungkan

dilihat dari segi ekonomi, ekologi, dan sosiologi.

Menurut Altieri (1994) meyatakan, bahwa PHT memiliki tujuan

mengendalikan populasi hama agar tetap berada dibawah ambang yang tidak

merugikan secara ekonomi. Strategi PHT bukanlah eradikasi melainkan

pembatasan. Pengendalian hama dengan PHT disebut pengendalian

secara multilateral, yaitu menggunakan semua metode atau teknik yang dikenal dan

penerapannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang merugikan bagi

hewan, manusia, dan makhluk hidup laninya baik sekarang maupun pada masa yang

akan datang.

24
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pertanaman pangan

singkong, pertanaman perkebunan jati dan pertanaman hortikultura jambu biji. Alat

yang digunakan dalam praktikum yaitu kertas manila, spidol, kantong plastik,

kamera, alat tulis dan kalkulator.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum analisis agroekosistem

untuk hama pada tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura yaitu:

1. Praktikan dikelompokkan sesuai dengan rombongannya (tiap kelompok 4-5

mahasiswa).

2. Setiap kelompok bertugas untuk melakukan pengamatan gejala serangan hama

di lapang sesuai pembagian kelompok kerjanya.

3. Diamati dan dicatat komponen agroekosistem yang ada baik komponen biotik

maupun abiotik.

4. Gejala serangan dicatat dan diperkirakan nama penyakit dan patogen

penyebabnya.

5. Diprediksikan intensitas serangannya.

6. Bagian tanaman yang diamati tersebut dibawa ke laboratorium sebagai koleksi.

7. Hasil analisis agroekosistem ditulis pada kertas manila, yang meliputi:

25
a. Gambar keadaan umum agroekosistem.

b. Data hasil pengamatan.

c. Serangga netral.

d. Pembahasan.

e. Simpulan.

f. Rencana tindak lanjut.

26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.2 Transek PHT tanaman jati

Gambar 1.3 Transek PHT tanaman singkong

27
Gambar 1.4 Transek PHT tanaman jambu biji

1. Intensitas Serangan Hama Pada jati

𝑁𝑥𝑉 (2𝑥1)+(0𝑥2)+(0𝑥3)+(0𝑥4) 2+0+0+0


I = 𝑁𝑥𝑍 x 100 % = x 100% = x 100%
10 𝑥 1 10

2
= 10x100% = 20%

B. Pembahasan

Pengamatan tanaman jambu biji yang dilakukan kelompok 2 hama yang

menyerang intensitasnya tidak terlalu banyak, namun dalam mengendalikan hama

tersebut juga perlu adanya konsep PHT. Salah satu yang disarankan kelompok 2

dalam konsep PHT tanaman jambu biji yaitu pengendalian secara hayati serta

penggunaan pestisida ramah lingkungkan (nabati). Jambu biji berasal dari Amerika

tropik, tumbuh pada tanah yang gembur maupun liat, pada tempat terbuka, dan

mengandung air yang cukup banyak. Tanaman jambu biji (P. Guajava L.)

ditemukan pada ketinggian 1 m sampai 1.200 m dari permukaan laut. Jambu biji

berbunga sepanjang tahun. Perdu atau pohon kecil, tinggi 2 m sampai 10 m,

28
percabangan banyak. Batangnya berkayu, keras, kulit batang licin, berwarna coklat

kehijauan (Dirjenbun, 2002).

Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sebuah pendekatan dalam

pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan mempertimbangkan semua

aspek manajemen budidaya untuk mempertahankan serangan hama dan penyakit

dibawah ambang batas kerugian ekonomis. Aspek pengelolaan termasuk

budidaya, lingkungan fisik, biologi, perilaku pengelola dan bahan kimia. Dengan

PHT, efek samping dari pestisida diminimalkan dan keuntungan ekonomi

dipertahankan. Program PHT menggunakan informasi yang ekstensif, yang

dikumpulkan dalam sistem penanaman dan memerlukan pengelolaan yang cermat.

Konsep PHT ini dapat dilakukan baik pada tanaman hortikultura, perkebunan

maupun pangan (Wiryadiputra et al., 2004).

Effendi (2009) menjelaskan, bahwa konsep PHT tidak tergantung pada teknik

pengendalian hama dan pengelolaan eksosistem tertentu tetapi PHT tergantung

pada keberdayaan atau kemandirian petani dalam mengambil keputusan. Dalam

mengembangkan sistem PHT didasarkan pada keadaan agroekosistem setempat.

Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh jadi berbeda dengan

pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan dengan keadaan

ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat.

Menurut Van Driesche and Bellows (1996) menyatakan, bahwa pengelolaan

hama terpadu (PHT) untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian.

Pengendalian hama terpadu pada tanaman jambu seperti yang dijelaskan kelompok

2 juga sama dengan pengendalian hama terpadu pada tanaman lain karena konsep

29
PHTnya juga sama. Hasibuan (2008) mengatakan, bahwa pengelolaan hama

terpadu merupakan program pengelolaan pertanian secara terpadu dengan

memanfaatkan berbagai teknik pengendalian yang layak (kultural, mekanik, fisik

dan hayati) dengan tetap memperhatikan aspek-aspek ekologi, ekonomi dan budaya

untuk menciptakan suatu sistem pertanian yang berkelanjutan dengan menekan

terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh pestisida dan kerusakan

lingkungan secara umum. Penyemprotan pestisida harus dilakukan secara sangat

berhati-hati dan sangat selektif bilamana tidak ada lagi cara lain untuk menekan

populasi hama di lapang. PHT pada dasarnya adalah penerapan sisten bercocok

tanam untuk menghasilkan tanaman yang sehat, kuat, berproduksi tinggi dan

berkualitas tinggi.

Cara mengatasi hama dengan musuh alami menurut kelompok 2 yang telah

mengamati pada lahan pertanaman yaitu dengan tidak menggunakan pestisida

secara berlebihan karena dapat membunuh predator ataupun parasitoid dari hama

itu sendiri. Pengendalian hayati juga dilakukan untuk mengatasi hama agar musuh

alami juga tetap terjaga.

Menurut Notohadiningrat (1997) menyatakan, bahwa musuh alami

merupakan pengendalian hama yang memanfaatkan makhluk hidup untuk

mengendalikan hama pada tanaman. Hama adalah organisme pengganggu tanaman

mulai dari akar, batang dan daun. Hama juga dapat mengganggu tanaman dari segi

ekologi dan ekonomi. Prinsip organisme dikatakan hama jika organisme tersebut

merusak tanaman tanaman dari segi kualitas maupun kuantitas.

30
Darmawan (1993) berpendapat, bahwa teknik pengendalian hayati dengan

parasitoid dan predator alami, sampai saat ini dapat dikelompokan dalam 3 kategori

yaitu introduktiosi, augmentasi dan konservsi. Ketiga teknik pengendalian hayati

tersebut berbeda dalam sasaran dan tujuannya tetapi dalam pelaksanaannya sering

digunakan bersama-sama. Menurut Kartono (2003) menyatakan, bahwa ada

beberapa cara untuk memodifikasi ekosistem yaitu perlindungan ekosistem dari

penggunaan pestisida kimiawi, pengembangan musuh alami yang tahan atau toleran

terhadap pestisida, perlindungan atau penjagaan stadia tidak aktif, menghindari

praktek budidaya tanaman yang merugikan musuh alami, penjagaan

keanekaragaman komunitas setempat, penyediaan inang alternative, penyediaan

pakan alami (nektar, polen,madu), penyediaan pakan suplemen, pembuatan

perlindungan musuh alami, pengurangan populasipredator yang tidak diperlukan,

mengendalian semut pemakan madu, pengaturan suhu dan mengurangi debu yang

mengganggu efektivitas musuh alami.

Kelebihan mengendalian hama pada tanaman secara alami memberikan

antara lain (Flint dan Bosch, 1992):

1. Binatang atau hewan predator yang digunakan sudah tersedia.

2. Predator yang digunakan dapat mencari dan menemukan hama dengan

sendirinya.

3. Pengendalian hama ini dapat berjalan dengan sendirinya.

4. Tidak terdapat pengaruh penggunaan pestisida.

Gejala kutu putih pada tanaman jambu yang telah diamati oleh kelompok 2

dimana pada daun terdapat warna putih tanda keberadaan kutu putih bagian bawah

31
maupun atas daun. Daun pada tanaman juga terdapat bercak kecoklatan kemudian

diikuti dengan daun yang mengkriting. Terganggunya proses fisiologi dari daun

tanaman yang terserang sehingga produksi menurun.

Menurut Tjahjadi (1989) mengatakan, bahwa penyebaran kutu dapat

disebabkan oleh angin, terbawa bibit, terbawa orang, maupun terbawa serangga lain

dan terbawa burung. Keberadaan kutu yang cukup tinggi dan bersifat polifag

mempunyai potensi menyebar yang sangat cepat. Sifat biologisnya yang merusak

tanaman dengan cara menghisap cairan tanaman serta mengeluarkan racun,

mengakibatkan terjadinya khlorosis, kerdil, malformasi daun, daun muda dan buah

rontok, banyak menghasilkan eksudat berupa embun madu sampai menimbulkan

kematian tanaman. Kutu putih ini memiliki potensi dapat merugikan ekonomis yang

cukup tinggi.

Tanaman jati yang diamati pada saat pengamatan terdapat suatu penyakit

rayap. Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari hama rayap ini antara lain

dengan menggunakan kapur, dimana bau ataupun aroma dari kapur yang

menyenggat dapat membunuh rayap pada tanaman jati. Menurut Sumarna (2008)

mengatakan, bahwa kapur barus atau kamper merupakan kristal yang mudah

menyublim. Bahan pewangi ini berasal dari getah pohon kayu kapur barus. Getah

tersebut mengandung zat kimia alami yang bernama Naftalen. Naftalen selain

menjadi bahan pewangi, namun berfungsi juga sebagai bahan anti rayap, dan

pengusir hama, termasuk jamur. Dosis yang digunakan disesuaikan dengn intensitas

serangan rayap itu sendiri.

32
Penggunaan kapur ini cukup efektif dalam mengatasi hama rayap karena

rayap yang di beri kapur ini secara otomatis akan mati. Rayap adalah serangga kecil,

sepintas lalu mirip dengan semut, dijumpai di banyak tempat, di hutan, pekarangan,

kebun, dan bahkan di dalam rumah. Sarang rayap terdapat di tempat lembab di

dalam tanah dan batang kayu basah, tetapi ada juga yang hidup di dalam kayu

kering. Makanan utamanya adalah kayu dan bahan-bahan dari selulosa lain serta

jamur. Pengendalian rayap ini dapat dilakukan dengan mengoleskan kapur serangga

di pangkal batang, pemberian insektisida granuler di pangkal batang, penaburan abu

kayu di sekeliling pangkal batang dan menghilangkan sarang-sarang pada lokasi

(Rachmanadi et al., 2003).

Sampel yang di tunjukkan pada saat presentasi hama pada tanaman jati

merupakan termasuk hama kutu putih dan tepungnya. Sampel daun yang dibawa

menunjukkan warna putih dari tepung yang dihasilkan kutu putih kemudian apabila

diamati secara baik-baik juga terlihat hama kutu putihnya. Daun yang dibawa

sebagai sampel juga merupakan gejala serangan dari hama kutu putih tersebut

(Fitriani, 2012).

Prabawa et al., (2002) mengatakan, bahwa hama kutu putih biasa menyerang

setiap saat. Bagian tanaman yang diserang adalah pucuk (jaringan meristematis).

Pucuk daun yang terserang menjadi keriting sehingga tumbuh abnormal dan

terdapat kutu berwarna putih berukuran kecil. Langkah awal pengendalian berupa

pemisahan bibit yang sakit dengan yang sehat karena bisa menular. Bila batang

sudah mengkayu, batang dapat dipotong 0,5-1 cm di atas permukaan media pucuk

33
yang sakit dibuang/dimusnahkan. Jika serangan sudah parah dan dalam skala yang

luas maka dapat dilakukan penyemprotan dengan menggunakan akarisida.

Pengendalian hama tanaman jati yang intensitas serangannya tinggi

dilakukan dapat dengan non kimiawi maupun secara kimia. Menurut kelompok 5

yang telah mengamati tanaman jati, apabila serangannya tinggi maka dapat

dilakukan dengan pestisida dengan dosis yang telah di sesuaikan. Pengendalian

dengan hayati juga disarankan agar tidak merusak lingkungan dan musuh alami

juga tidak ikut mati serta dengan penggunaan konsep PHT.

Untung (2007) menyatakan, bahwa konsep PHT tidak tergantung pada teknik

pengendalian hama dan pengelolaan eksosistem tertentu tetapi PHT tergantung

pada keberdayaan atau kemandirian petani dalam mengambil keputusan. Dalam

mengembangkan sistem PHT didasarkan pada keadaan agroekosistem setempat.

Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh jadi berbeda dengan

pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan dengan keadaan

ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat petani setempat.

Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 887/1997 tentang

Pedoman Pengendalian OPT dalam sistem PHT adalah kegiatan yang meliputi

pemantauan dan pengamatan, pengambilan keputusan dan tindakan pengendalian.

Pemantauan adalah kegiatan mengamati dan mengawasi keadaan populasi atau

tingkat serangan OPT dan faktor yang mempengaruhi secara berkala/teratur pada

tempat/wilayah tertentu. Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas atau petani yang

terpilih sebagai sampel (unit contoh) pada kantong-kantong serangan OPT di sentra

produksi komoditi utama. Tujuannya adalah untuk mengetahui keberadaan OPT

34
sasaran sehingga dapat ditetapkan (diramalkan) kerapatan populasi sebaran dan

dinamikanya/gejala OPT sasaran pada kesehatan yang paling dini, sebagai dasar

pengambilan keputusan (Early Warning System). Data pemantauan dapat juga

digunakan sebagai alat evaluasi keberhasilan pengendalian yang telah dilakukan

(Schoonhoven et al., 1998).

Pengamatan adalah kegiatan penghitungan dan pengumpulan informasi

tentang keadaan populasi atau tingkat serangan OPT dan faktor lingkungan yang

mempengaruhi pada waktu dan tempat tertentu. Pengamatan dilakukan oleh petani

di areal kebunnya untuk memperoleh data sebagai bahan pertimbangan perlu

tidaknya tindakan pengendalian yang tepat berdasarkan prinsip-prinsip PHT pada

kesempatan paling dini. Pengamatan dilakukan secara rutin setiap minggu atau

bulan sesuai dengan fase rentan tanaman/saat mulai munculnya gejala serangan.

Obyek-obyek pengamatan yang harus diamati pada tanaman karet meliputi gejala

serangan, penyebab, umur tanaman, persentase tanaman terserang, intensitas

serangan, populasi OPT per unit contoh, jumlah populasi serangga berguna per unit

contoh, organisme lain yang ditemukan, data pendukung (suhu, kelembaban, curah

hujan, hari hujan, dan sebagainya) (Nurindah dan Sunarto, 2008).

Gejala kutu putih yang menyerang tanaman jati pada saat pengamatan yaitu

pada daun yang telah di bawa sebagai sampel menunjukkan warnanya kuning

hingga kecoklatan. Daun menjadi kering, kemudian daun juga mengkriting.

Terdapat bercak warna putih hasil tepung dari kutu putih baik dibagian bawah

maupun atas daun.

35
Menurut Henuhili dan Aminatun (2013) mngatakan, bahwa hama kutu putih

terjadi pertama kali di luar negeri pada 1998, tepatnya di Florida, Amerika Serikat.

Hama ini bisa sampai ke Indonesia dengan perantara melalui tanaman hias impor

seperti plumeria, hibiscus, acalypha yang dikenal luas sebagai tanaman inang hama

kutu putih yang sama. Kemampuannya menempel di baju, bisa jadi salah satu

kemungkinan mengapa sang kutu bisa ada di Indonesia adalah melalu proses

pertukaran baju dan atau kegiatan import barang bekas, bisa juga sang kutu

menempel di baju pelancong dari luar negeri lalu melayang terbang saat sang turis

singgah di Indonesia. Tentu saja ini masih harus dibuktikan lebih lanjut, dan aku

pikir tidak ada pihak yang berniat untuk mengadakan penelitian mengenai ini.

Sartiami et al., (2009) menjelaskan, bahwa kutu putih menghisap cairan

tumbuh dengan memasuki stilet kedalam jaringan epidermis daun, buah maupun

batang. Waktu yang bersamaan kutu putih mengeluarkan racun kedalam daun,

sehingga memgakibatkan klorosis, kerdil, malformasi daun, daun mengkerut dan

menggulung, daun muda dan buah rontok, banyak menghasilkan embun madu yang

dapat berasosiasi dengan cendawan jelaga, hingga kematian tanaman. Tanaman

yang sudah dewasa, gejala yang muncul adalah daun menguning dan kelamaan

daun akan gugur. Serangan pada buah yang belum matang menyebabkan bentuk

buah tidak sempurna. Serangan yang berat dapat menutupi permukaan buah hingga

terlihat kutu putih akibat tertutup koloni kutu putih tersebut.

Pengendalian hama dengan bahan kimia menurut kelompok 3 pada tanaman

singkong, dapat dilakukan dengan bahan kimia dapat sesuai PHT apabila intensitas

serangan hama tersebut sudah diatas ambang ekonomi. Penggunaan bahan kimia

36
juga dapat dilakukan sesuai dengan dosis yang dianjurkan, namun alangkah baiknya

apabila pengendalian hama juga dipadukan dengan PHT lain seperti pengendalian

hayati.

Widayat et al., (2003) berpendapat, bahwa untuk menetapkan ambang

ekonomi bukanlah pekerjaan yang gampang. Membutuhkan banyak informasi, baik

data biologi dan ekologi, serta ekonomi. Penetapan kerusakan hasil dalam

hubungannya dengan populasi hama, merupakan bagian yang penting dalam

pengembangan ambang ekonomi. Analisis biaya dan manfaat pengendalian, sangat

perlu diketahui. Ambang ekonomi serangan hama dan penyakit adalah batasan-

batasan yang dibuat untuk melakukan tindakan penanggulangan hama dan penyakit

tanaman. Jika serangan hama dan penyakit tersebut tidak melebihi ambang

ekonomis maka tindakan penanggulangan tidak perlu dilakukan. Sedangkan jika

serangan hama dan penyakit tersebut melebihi ambang batas ekonomis tanaman

maka perlu dilakukan kegiatan penanggulangan. Kegiatan penanggulangan

serangan hama dan penyakit tanam harus sesuai dengan konsep perlindungan hama

dan penyakit tanaman. Konsep dan strategi penerapan PHT merupakan suatu cara

pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada

dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agro-

ekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sebagai sasaran

teknologi PHT adalah:

1. Produksi pertanian mantap tinggi.

2. Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat.

37
3. Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak

merugikan.

4. Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang

berlebihan.

Saptana et al., (2003) mengatakan, bahwa pengendalian hayati merupakan

salah satu komponen penting dalam Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Pengendalian hayati adalah pemanfaatan musuh alami untuk mengendalikan

serangga hama atau penggunaan agens antagonis untuk mengendalikan patogen

tanaman. Pada dasarnya, setiap serangga hama mempunyai musuh alami yang dapat

berperan dalam pengaturan populasinya. Musuh alami serangga hama adalah

komponen utama dari pengendalian almiah, yang merupakan bagian dari ekosistem

dan sangat penting peranannya dalam mengatur keseimbangan ekosistem tersebut.

Penggunaan musuh alami dengan pengendalian biologis yaitu penggunaan

serangga atau bakteri dalam pengendalian hama secara innundative (pelepasan

musuh alami secara berulang dengan jenis lokal) dan klasikal (pelepasan musuh

alami secara tidak berulang dengan jenis eksotik). Musuh alami yang dipilih

merupakan musuh alami yang paling dekat dengan target hama, dipilih yang

terbatas/lebih sedikit sehingga tidak akan menyerang di luar target. Penggunaan

musuh alami harus mengacu pada aturan penggunaan kontrol biologi (Supangkat,

2009).

Widayat et al., (2003) menjelaskan, bahwa program Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) dengan mengutamakan pemanfaatan agens pengendalian hayati

atau biopestisida termasuk pestisida nabati sebagai komponen utama dalam sistem

38
PHT yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995. Karena

pemanfaatan agens pengendalian hayati atau biopestisida dalam pengelolaan hama

dan penyakit dapat memberikan hasil yang optimal dan relatif aman bagi makhluk

hidup dan lingkungan. Perkembangannya, kemudian dilakukan pengurangan

peredaran beberapa jenis pestisida dengan bahan aktif yang dianggap persisten,

yang antara lain dituangkan melalui Keputusan Menteri Pertanian No.

473/Kpts/Tp.270/6/1996.

Jenis-jenis biopestisida yang ditemui, diantaranya berfungsi sebagai

insektisida (pembasmi serangga). Babadotan (Ageratum conyzoides) dan

tembelekan (Lantana camara Linn.) ternyata mampu membasmi hama penggerek

pucuk mahoni (Lepidoptera: Pyralidae), yang berdampak positif untuk suatu

ekosistem (Octavia, 2008). Ekstrak dari daun babadotan mengandung senyawa

alkaloid, saponin, triterpenoid dan fenol. Senyawa triterpenoid yang terlarut dalam

minyak atsiri adalah senyawa yang paling berperan dalam menimbulkan mortalitas

pada serangga (Riyati, 2010).

Pemanfaatan bahan nabati sebagai bahan pestisida banyak mendapatkan

perhatian untuk dikembangkan sebab relatif lebih aman. Beberapa jenis tumbuhan

yang sering berstatus sebagai gulma ternyata berpotensi sebagai sumber bahan

pestisida nabati. Tumbuhan tersebut mempunyai kandungan bahan aktif yang

berpengaruh terhadap jasad sasaran, keberadaannya melimpah, mudah

berkembangbiak dan pemanfaatannya sebagai sumber bahan pestisida tidak akan

bertentangan dengan kepentingan lain. Pemanfaatan gulma ini akan menggeser

statusnya menjadi tumbuhan bermanfaat (Astriani, 2010).

39
Tenaman singkong yang telah terserang hama, menurut kelompok 3 masih

dapat dipanen bagian umbinya. Umbi tanaman tersebut dapat di panen apabila tidak

mengalami kerusakan yang begitu besar. Menurut kelompok 3 juga menjelaskan

bahwa penyakit yang menyerang tanaman singkong, umumnya di bagian daun.

Kelompok 3 juga menambahkan hama tersebut mempengaruhi proses fisiologi dari

tanaman singkong. Bagian batang untuk perbanyakan singkong apabila terserang

parah maka sebaiknya jangan digunakan karena dapat menurunkan produktivitas

dari tanaman.

Ketela pohon merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ubi

kayu, singkong atau kasape. Ketela pohon berasal dari benua Amerika, tepatnya

dari negara Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain: Afrika,

Madagaskar, India, Tiongkok. Ketela pohon berkembang di negara-negara yang

terkenal wilayah pertaniannya dan masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Astriani,

2010).

Kelompok 3 mengatakan bahwa semut pada tanaman singkong meruakan

hama karena ikut berperan serta dalam menyebarkan penyakit dan hama seperti

kutu putih. Semut yang mereka amati pada tanaman singkong berada di sekitar kutu

putih. Semut bersimbiosis mutualisme dengan kutu putih dalam mendapatkan

makanan, namun semut pada tanaman lain seperti kakao merupakan salah satu

musuh alami bagi hama yang menyerang tanaman kakao. Semut dikatakan sebagai

musuh alami karena semut memakan telur dari hama yang berada di tanaman

tersebut. Semut juga ikut menghalangi keberadaan hama untuk menyerang

tanaman.

40
Jones (1992) menjelaskan, bahwa musuh alami merupakan faktor biotik yang

berperan penting dalam pengendalian populasi hama. Peranan dan kegiatan musuh

alami akan menghasilkan suatu keseimbangan umum yang lebih rendah dari pada

yang berlaku apabila factor tersebut tidak ada. Pengelolaan hama musuh alami

dapat berperan untuk menurunkan dan mengatur kelimpahan populasi hama di

bawah taraf ambang ekonomi. Musuh alami yang terdiri dari parasitoid, predator

dan patogen merupakan pengendali utama hama yang bekerja secara density-

dependent, sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan

hama. Untung (1993), menyatakan bahwa musuh alami dikenal sebagai faktor

pengatur dan pengendali populasi serangga yang efektif karena sifat pengaturannya

yang tergantung kepadatan.

Pengamatan hama pertanaman jati dilakukan pada hari Minggu 1 Oktober

2017 di sekitar Gor Soe soe, dengan luas 200 m x 100m. metode yang digunakan

pada saat pengamatan yaitu metode random, dengan tanaman pokok jati dan

tanaman lainnya pisang, pepaya, talas serta singkong. Hama yang ditemukan yaitu

rayap dan kutu putih dengan intensitas serangan rendah. Musuh alami dari hama

tersebut yang ditemukan yaitu burung gereja, kemudian terdapat gulma rumput

signal. Pengamatan pertanaman jati tidak menemukan serangga netral, pada saat

pengamatan cuacanya cerah berawan. Pertanaman jati menggunakan system

perairan tadah hujan karena di tempat tersebut tidak ditemukan aliran irigasi.

Kelembaban rendah dengan suhu kurang lebih 29 oC. Sistem pertanamannya

monokultur dengan kondisi lahan yang cukup bersih. Rayap yang menyerang

tanaman jati sering menyerang pada musim hujan tidak teratur dan puncak musim

41
kemarau serta dengan kelembaban yang rendah. Hama kutu putih yang menyerang

tanaman jati pada bagian pucuk daun, pucuk daun yang terserang menjadi keriting

sehingga tumbuh abnormal dan terdapat kutu putih pada daun yang berukuran kecil.

Kesimpulan dari pengamatan tersebut yaitu perawatan tanaman jati perlu

diperhatikan seperti menjaga kebersihan kebuh dan pemanfaatan musuh alami

untuk menekan laju pertumbuhan hama. Rancangantindak lanjut yang di sarankan

oleh kita yaitu dengan memancing musuh alami agar dating atau tetap berada pada

tanaman, menjaga kebersihan kebun (sanitasi), pemberian kapur pada batang,

memberikan abu kayu di sekitar batang serta pengolesan akarisida.

Sesuai dengan pendapat Widayat (2007), bahwa pengendalian Hama Terpadu

(PHT) adalah suatu konsepsi atau cara berpikir mengenai pengendalian Organisme

Pengganggu Tumbuhan (OPT) dengan pendekatan ekologi yang bersifat

multidisiplin untuk mengelola populasi hama dan penyakit dengan memanfaatkan

beragam taktik pengendalian yang kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi

pengelolaan. Karena PHT merupakan suatu sistem pengendalian yang

menggunakan pendekatan ekologi, maka pemahaman tentang biologi dan ekologi

hama dan penyakit menjadi sangat penting.

Langkah preventif yang dilakukan dengan mengacu pada konsep

Pengendalian Hama Terpadu atau biasa disebut sebagai PHT. PHT adalah cara

pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian organisme pengganggu

tumbuhan (OPT) yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi

ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan

berkelanjutan (1). Konsep PHT ini memiliki landasan hukum dalam Undang-

42
Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang salah satu

pasalnya yaitu pasal 15 menyebutkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan

dengan system pengendalian hama terpadu. Mengacu pada undang-undang tersebut

maka semua upaya pengendalian hama dan penyakit tanaman harus mengacu pada

konsep PHT (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2013).

43
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Praktikum yang telah dilakukan dapat di simpulkan bahwa:

1. Hama utama yang menyerang tanaman pangan singkong yaitu kutu putih dan

tungau merah, kemudian hama utama yang menyerang tanaman hortikultura

jambu biji yaitu kutu putih dan kalong serta hama yang menyerang tanaman

perkebunan yaitu kutu putih dan rayap.

2. Gejala serangan hama utama tanaman pangan singkong kutu putih yaitu pada

permukaan daun bagian bawah maupun atas terdapat warna putih dari kutu putih,

kemudian daun menjadi kriting dan kecoklatan. Serangan hama utama tungau

merah pada singkong yaitu timbulnya bintik kuning dipermukaan daun. Bintik

tersebut lama kelamaan melebar dan berubah warna menjadi merah

kecoklatandan akhirnya menghitam. Gejala serangan hama kutu putih pada

tanaman jati yaitu pada daun terlihat berwarna kuning sampai kecoklatan apabila

sudah parah, kemudian terdapat warna putih pada daun dari tepung yang di

hasilkan kutu putih. Serangan hama rayap pada tanaman jati yaitu batang

tanaman jati terlihat ada sarang rayap yang di tutupi oleh tanah, kemudian

batangnya juga mengalami kerusakan akibat gigitan rayap. Gejala serangan

hama utama tanaman hortikultura pada jambu biji yaitu kalong, pada buahnya

terdapat gigitan bekas kalong yang tidak merata. Serangan hama utama lain yang

menyerang jambu biji kutu putih gejalanya yaitu terdapat bitnik kecoklatan pada

daun kemudian daun juga ikut berwarna kecoklatan.

44
3. Analisis agroekosistem pada tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan

terdapat komponen biotik dan abiotik. Intensitas serangan hama pada tanaman

jati sebesar 20% dari hasil pengamatan.

B. Saran

Seharusnya praktikan lebih memperhatikan kembali hama yang menyerang

dan musuh alaminya agar tidak ada kesalahan dalam penulisan data.

45
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Lutfi. 2010. Pengendalian Terpadu Hama Dan Penyakit


Tanaman. Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut
Pertanian. Bogor.

Agustian, A dan D. Hidayat. 2004. Bagian Laporan: Manfaat Teknologi PHT


Perkebunan Rakyat Pada Tanaman Lada. Bagpro PHT-PR. Badan Litbang
Pertanian. Bogor.

Altieri, M. A. 1994. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems.


Haworth Press. New York.

Bappedda Kabupaten Sukoharjo. 2002. Kajian Pengelolaan Potensi Pertanian


Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sukoharjo.
Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Bappedda Kabupaten Sukoharjo dengan
LPM UNS. Surakarta.

Darmawan, D.A dkk. 1993. Kajian Aspek sosial Ekonomi Pengendalian Hama
Terpadu. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2013. Buku Pedoman
Pengendalian OPT Tanaman Pangan. Bandung: 299hal.

Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2001. Musuh Alami, Hama dan Penyakit


Tanaman Jambu Mete. Direktorat Perlindungan Perkebunan, Ditjen BP.
Perkebunan. Jakarta. 61p.

Dirjenbun. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia. 2000-2002 Jambu Biji.


Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian.
Jakarta. 25 hal.

Effendi, Baehaki S. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi


Dalam Perspektif Praktek Pertanian Yang Baik (Good Agricultural
Practices). Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 2 (1): 68-78.

FAO. 1995. Planning for Sustainable Use of Land Resources. Toward a New
Approach. FAO Land and Water Bulletin. FAO, Rome.

Fitriani, A. 2012. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Jati pada Areal Gerakan


Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Jurnal Hutan Tropis. Vol. 13 (1): 3-7.

Flint, M. dan R.V. Bosch. 1992. Pengendalian Hama Terpadu. Kanisius.


Yogyakarta.

46
Hasibuan, M. 2008. Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Pada
Petani di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tesis. Pasca Sarjana Universitas
Sumut. Medan. Diakses dari http://www.resitory.usu.ac.id/bitstream. Pada
tanggal 10 Oktober 2017 pukul 17.39 WIB.

Henuhili, V dan Aminatun, T. 2013. Konservasi Musuh Alami Sebagai


Pengendalian Hayati Hama dengan Pengelolaan Ekosistem Sawah. Jurnal
Penelitian Saintek. Vol. 18 (2): 29-40.

Jones, H. 1992. Plant and Microclimate. Second Edition. The Press Sydicate of The
University of Cambidge. Australia. 123 p.

Kartono, Gatot. 2003. Keragaan dan Strategi Penerapan PHT (Pengelolaan Hama
Terpadu) di Tingkat Petani. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Balai
Penelitian dan Pengkajian Pertanian Jawa Timur. Bogor.

Levins, R. and Wilson. 1979. Ecological Theory and Pest Management. Annual
Review of Entomology. Vol. 25 (1): 7-29.

Notohadiningrat. 1997. Memahami Penelitian (Understanding Research). Program


pascasarjana Bidang Ilmu-ilmu Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.

Nurindah dan Sunarto, D.A. 2008. Konservasi Musuh Alami Serangga Hama
sebagai Kunci Keberhasilan PHT Kapas. Balai Penelitian Tanaman
Tembakau dan Serat. Vol. 7 (1): 1-11.

Oka, I. N. 1995. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia.


Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Prabawa, S.B, Yusliansyah, Ngatiman, Gunawan, H.R, A. Suyana, A. Kholik. 2002.


Prospek Pengembangan Jati (Tectona grandis L.f.) Di Kalimantan Timur.
Ekspos Hasil-hasil Penelitian BPPK Kalimantan: 69 – 74. Samarinda.

Rachmanadi, D, T.W. Yuwati, Rusmana. Kajian Pertumbuhan Tanaman Jati


(Tectona grandis) Di Kalimantan. Prosiding Workshop Nasional Jati 29 Mei
2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan: 71–84. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Departemen Kehutanan, Jakarta.

Rachmat, A., A. Nurawan, dan T. Subarna. 1999. Pengendalian Hama Terpadu


Pada Teh Rakyat di Jawa Barat. BPTP Jawa Barat. Bandung. 57p.

Rizkyarti, A. 2010. Perhitungan Intensitas Penyakit. Laporan Dasar Proteksi


Tanaman. Institut Pertanian Bogor. Dalam E-Jurnal Agroteknologi Tropika.

47
diakses dari http://www.eprints.ung.ac.id/. Pada tanggal 10 Oktober 2017
pukul 19.00 WIB.

Saptana, Tri Panadji, Herlina Tarigan, and Adi Setiyanto. 2003. Laporan Akhir
Analisis Kelembagaan Pengendalian Hama Terpadu Mendukung Agribisnis
Kopi Rakyat Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bagian Proyek Penelitian
Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat. Badan Litbang Pertanian.
Deptan.

Sartiami D, Sosromarsono S, Buchori D, Suryobroto B. 2009. Keragaman Spesies


Kutu Putih Pada Tanaman Buah-buahan di Daerah Bogor. Peranan
Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan
Ekonomis. Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia
(PEI); 1999 Feb 16; Bogor. Bogor (ID): PEI. hlm 429-435.

Schoonhoven LM, Jermy T, van Loon JJA. 1998. Insect-Plant Biology. From
Phisiology to Evolution. Chapmann & Hall. London.

Sitorus, S.R.P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi


Ketiga. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan,
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Sumarna, Y., 2008. Budidaya Jati. Penebar Swadaya. Jakarta.

Supangkat, G. (2009). Sistem Usaha Tani Terpadu, Keunggulan dan


Pengembangannya. Workshop Pengembangan Sistem Pertanian Terpadu.
Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. DIY, 14 Desember
2009.

Surata, I., K., 2008. Penerapan Pola Pengelolaan Hutan Terpadu (PHT) untuk
Pengendalian Hama Inger-Inger (Neotermes tectonae Damm) pada Hutan
Tanaman Jati di Timor. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Nusa Tenggara
Timur.

Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisisus. Yogyakarta.

Untung, K. 2003. Strategi Implementasi PHT dalam Pengembangan Perkebunan


Rakyat Berbasis Agribisnis. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT
Perkebunan Rakyat, Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan
Rakyat Berbasis Agribisnis. Bogor, 17-18 September 2002. Bagian Proyek
PHT Tanaman Perkebunan 2003. Hlm 1-18.

________. 2007. Kebijakan Perlindungan Tanaman. Universitas Gajah Mada


Press. Yogyakarta, 256p.

48
Van Driesche, R.G. and Bellows, T.S. Jr. 1996. Biological Control. Chapman and
Hall. New York.

Widayat, W, D.J. Rayati, A. Nurawan. 2003. Analisis Status Penelitian dan


Pengembangan PHT Pada Pertanaman Teh. Risalah Simposium Nasional
Penelitian PHT Perkebunan Rakyat, Pengembangan dan Implementasi PHT
Perkebunan Rakyat Berbasis Agribisnis, Bogor 17-18 September 2002.
Bagian Proyek PHT Tanaman Perkebunan. Hlm 95-116.

________. 2007. Hama-hama Penting Pada Tanaman Teh dan Cara


Pengendaliannya. PPTK Gambung.

Wiryadiputra, S, Y.D Junianto, E. Sulistyowati, Saidi, R Hulupi, M.C Mahfud dan


L. Rosmahani. 2003. Status Penelitian dan Pengembangan PHT Pada
Pertanaman Kopi. Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan
Rakyat, Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan Rakyat Berbasis
Agribisnis, Bogor 17-18 September 2002. Bagian Proyek PHT Tanaman
Perkebunan. Hlm 129-146.

49
LAMPIRAN

Gambar diatas termasuk hama yang menyerang tanaman pada saat pengamatan.

50
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU

ACARA III
ANALISIS AGROEKOSISTEM UNTUK PATOGEN PENYEBAB
PENYAKIT PADA TANAMAN PANGAN, HORTIKULTURA DAN
PERKEBUNAN

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit tanaman merupakan kendala yang perlu selalu diantisipasi

perkembangannya karena dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Menurut

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, hama dan penyakit yang seringkali

merusak tanaman padi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir adalah tikus dengan

luas serangan rata-rata 124.000 ha/tahun, diikuti oleh penggerek batang (80.127

ha/tahun), wereng coklat (28.222 ha/tahun), tungro (12.078 ha/tahun), dan blas

(9.778 ha/tahun). Keberadaan penyakit tanaman mencegah budidaya dan

pertumbuhan tanaman pangan atau bisa saja tanaman dibudidayakan dan

berkembang namun serangan penyakit mengakibatkan kerusakan pada tanaman dan

mengurangi produksi pangan sebelum dipanen (Ditjen Bina Produksi Perkebunan,

2004).

Beberapa dekade terakhir upaya pengendalian penyakit di banyak negara

berkembang didominasi oleh penggunaan pestisida, dan dari tahun ke tahun

jumlahnya semakin bertambah. Akan tetapi manajemen pengelolaan penyakit

dengan cara ini menimbulkan banyak masalah. Kerusakan kelestarian alam,

gangguan kesehatan pada manusia dan munculnya patogen baru yang lebih resisten.

Usaha pelarangan atau pembatasan resmi pengangkutan bahan tanaman

tertentu terhadap kemungkinan terbawanya pengganggu dari suatu daerah atau

negara yang berpotensi merusak tanaman di daerah atau negara lain. Aktivitas

karantina yang dilakukan meliputi: embargo tanaman dan produknya, pemeriksaan

52
dan sertifikasi bahan tanaman dari negara asal, pemeriksaan dan perlakuan bahan

tanaman di pintu masuk negara pengimpor, monitoring berkelanjutan bahan dan

hasil tanaman asal negara lain. Bentuk perlakuan dapat berupa pestisida sampai

pemusnahan. Petugas karantina tumbuhan bertugas atas nama Menteri Pertanian.

Aturan-aturan yang dilaksanakan merupakan Undang-undang atau Peraturan

Pemerintah, oleh karena itu, harus ditaati atau dipatuhi oleh segenap warga negara

dan bila ada yang melanggarnya dapat dikenakan sangsi perdata maupun pidana.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu teknik pengelolaan penyakit yang lebih

komprehensif yang ramah bagi manusia dan lingkungan namun tetap efektif dalam

mengendalikan penyakit

B. Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk:

1. Mengenal jenis patogen utama pada tanaman pangan, hortikultura dan

perkebunan.

2. Mengenal gejala serangan patogen utama pada tanaman pangan hortikultura dan

perkebunan.

3. Membuat analisis agroekosistem berdasarkan hasil pengamatan.

53
II. TINJAUAN PUSTAKA

Peniadaan patogen tanaman merupakan tindakan pengendalian patogen

penyakit tanaman dengan cara mengurangi atau menghilangkan patogen dan pada

umumnya, pengurangan atau peniadaan inokulum awal adalah sangat efektif untuk

pengelolaan patogen monosiklik. Langkah langkah peniadaan dapat dilakukan

dengan bermacam cara seperti Pengendalian seperti penggunaan rotasi tanaman,

penghilangan inang alternatif, dan fumigasi tanah dapat mengurangi inokulum

awal. Patogen polisiklik, inokulum awal dapat berlipat setiap saat selama musim

pertumbuhan. Untuk itu, pengurangan inokulum awal biasanya harus digabungkan

dengan tipe lain cara pengendalian (seperti cara perlindungan kimia atau ketahanan

horizontal) yang juga mengurangi laju infeksi (Mulya et al., 2000).

Asman et al., (1993) mengatakan, bahwa selain itu tidakan peniadaan patogen

dapat dilakukan dengan mengupayakan agar patogen tidak masuk atau datang

dengan cara yaitu Eksklusi. pencegahan inokulum untuk masuk atau menetap di

suatu wilayah atau lahan yang sebelumnya di tempat itu belum ada. Tujuannya agar

penyebaran patogen tidak terjadi di suatu negara, wilayah atau areal pertanaman.

Ekslusi ini adalah perlakuan benih, inspeksi dan sertifikasi, karantina, serta

eradikasi serangga vektor.

Pengendalian hayati bertujuan untuk memusnahkan dan mengendalikan

patogen dengan memanfaatkan aktivitas mikroba lain. Kegiatan pengendalian

hayati adalah pemberian mikroba antagonis dan perlakuan tertentu untuk

meningkatkan aktivitas mikroba tanah seperti pemberian bahan organik yang

54
bertujuan agar mikroba antagonis menjadi tinggi aktivitasnya. Mikroba antagonis

adalah mikroba yang aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan patogen.

Mekanisme antagonisme dalam pengendalian hayati yaitu (a) parasitisme langsung

atau lisis dan matinya patogen (b) kompetisi makanan dengan patogen, (b)

antibiosis, pengaruh langsung dari substansi antibiotik yang dikeluarkan oleh

antagonis terhadap patogen, dan (c) pengaruh tidak langsung dari substansi yang

menguap seperti etilen yang dikeluarkan karena aktivitas antagonis (Lind et al.,

2002).

Menurut Sitepu and Asman (1989), pengendalian terpadu merupakan

pengendalian yang mengintegrasikan akan berkelanjutannya pertanian dan

kelestarian lingkugan. Usaha untuk mengurangi populasi organisme pangganggu

ke taraf yang tidak merugikan perlu diintegrasikan dengan sistem produksi

sehingga harus ditangani secara terus menerus sejak perencanaan. Fungsi

perencanaan meliputi pengawasan (kontrolling), pengendalian kultur teknis,

pengendalian hayati, pengendalian biologi, pengendalian mekanis, pengendalian

fisik, pengendalian kimiawi.

Pengendalian adalah suatu tindakan aktivitas yang bertujuan untuk

mengurangi atau menekan terjadinya suatu kegagalan dalam kegiatan pengendalian

tanaman mempunyai arti adalah suatu tindakan pada tanaman yang terserang

penyakit atau yang mempengaruhi terhambatnya terjadinya proses pertumbuhan

yang normal (Weller, 1998). Metode pengendalian terdapat beberapa macam cara

untuk menanggulangi penyakit tersebut, diantaranya secara fisik, secara mekanis,

55
secara kimia, secara biologis dan secara kultur teknis, namun dari masing-masing

cara tersebut adalah sebagai berikut (Wakhidin, 1994):

1. Secara fisik. pengendalian fisik merupakan usaha kita menggunakan atau

mengubah faktor lingkungan fisik sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan

penurunan serangan penyakit pada tanaman.

2. Secara mekanik, pengendalian secara mekanik bertujuan untuk menindahkan

bagian tanaman atau tanaman yang terserang penyakit secara langsung baik

dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat dan bahan lain. Cara ini

merupakan teknik yang paling sederhana dan murah tentunya untuk daerah yang

banyak tersedia tenega kerja. Pengambilan dengan tangan tentunya pada

tanaman yang terinfeksi oleh penyakit pada bagian-bagian tanaman yang

ditunjukkan dengan adanya gejala.

3. Secara biologis, pengendalian secara biologis diidefinisikan secara terbatas yaitu

suatu bentuk pengendalian dimana organisme selain tanaman inang dan

pahtogen-pahtogen dimanfaatkan untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan

photogen pada tanaman inang atau mengurangi daya tahan (senviral) pahtogen.

Pengendalian secara biologi yang bisa dilakukan oleh petani adalah:

a. Menciptakan iklim micro yang lebih mendukung pertumbuhan dan

perkembangan dari musuh alami hama dan penyakit di lahan pertaniannya.

b. Menanam tanaman dengan varietas yang tahan terhadap hama dan penyakit.

c. Melakukan pola bercocok tanam yang menguntungkan bagi musuh alami

misalnya dengan tumpang sari, atau melakukan bera terhadap tanah

garapan dan cara- cara yang lain.

56
4. Secara kultur teknis, pengendalian penyakit secara kultur teknis merupakan

usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan

penyakit terjadi pada tanaman dengan harapan intensitas serangan agar populasi

penyakit tidak meningkat sampai melebihi ambang pengendalian.

Nene and Thapliyal (1979) mengatakan, bahwa beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam pengendalian kultur teknik:

1. Pengurangan kesesuaian ekosistem sanitasi.

2. Penghancuran atau modofikasi inang dan habitat pengganti.

3. Pengerjaan tanah.

4. Pengolahan air.

5. Ganguan komunitas penyedian berkembangnya penyakit.

6. Pergiliran tanaman.

7. Perkiraan lahan.

8. Penanaman serempak.

9. Penetapan jarak tanam dan lokasi tanaman.

57
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu pertanaman pangan

(singkong), pertanaman hortikultura (jambu biji) dan pertanaman perkebunan (jati).

Sedangkan alat yang digunakan dalam praktikum yaitu kertas manila, kamera, alat

tulis dan kalkulator.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum antara lain:

1. Praktikan dikelompokkan sesuai dengan rombongannya (tiap kelompok 4-5

mahasiswa).

2. Setiap kelompok bertugas untuk melakukan pengamatan gejala serangan hama

di lapang sesuai pembagian kelompok kerjanya.

3. Diamati dan dicatat komponen agroekosistem yang ada baik komponen biotik

maupun abiotik.

4. Gejala serangan dicatat dan diperkirakan nama penyakit dan patogen

penyebabnya.

5. Diprediksikan intensitas serangannya

6. Bagian tanaman yang diamati tersebut dibawa ke laboratorium sebagai koleksi.

7. Hasil analisis agroekosistem ditulis pada kertas plano, yang meliputi:

a. Gambar keadaan umum agroekosistem

b. Data hasil pengamatan

58
c. Serangga netral

d. Pembahasan

e. Simpulan

f. Rencana tindak lanjut.

59
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.5 Transek pengendalian penyakit terpadu tanaman jati

Gambar 1.6 Transek pengendalian penyakit terpadu tanaman singkong

60
Gambar 1.7 Transek pengendalian penyakit terpadu tanaman jambu biji

1. Intensitas Serangan Penyakit Pada jati

𝑁𝑥𝑉 (2𝑥1)+(0𝑥2)+(0𝑥3)+(0𝑥4) 2+0+0+0


I = 𝑁𝑥𝑍 x 100 % = x 100% = x 100%
10 𝑥 1 10

2
= 10x100% = 20%

B. Pembahasan

Pertanaman singkong yang diamati oleh kelompok 3 terdapat penyakit bercak

daun. Kelompok 3 menjelaskan bahwa salah satu untuk mengendalikan penyakit

bercak daun pada tanaman singkong salah satunya dengan pertanaman

tumpangsari. Hal tersebut yang menjadi dasar bahwa penyakit bercak daun dapat

dikurangi dengan langkah tersebut. Badan Agribisnis Departemen Pertanian (1999)

mengatakan, bahwa tanaman ubi kayu atau singkong merupakan salah satu tanaman

yang banyak dibudidayakan di indonesia kerena hampir diseluruh wilayah

indonesia tanaman ubi kayu dapat tumbuh baik, di indonesia sendiri tanaman ubi

kayu merupakan komoditas ketiga sesudah padi dan jagung. selain itu tanaman ini

61
menghasilkan komoditas ekspor dalam bentuk gaplek, tapioka, dan pelet pakan

ternak. Umbi tanaman ubi kayu juga banyak di jadikan olahan seperti keripik,

gaplek, tape, ubi rebus dan aneka olahan dari tepung tapioka. Tanaman ini tersebar

diseluruh wilayah indonesia baik sebagai tanaman tegal atau perkebunan, jawa

timur, jawa tengah, jawa barat dan lampung merupakan penghasil ubi kayu terbesar.

Penyebab penyakit bercak coklat adalah cercosporidium henningsii. hifa

jamur ini berkembang dalam ruang sela-sela sel, membentuk stroma dengan garis

tengah 20 – 45μm. Stroma membentuk konidiofor dalam berkas – berkas yang

rapat. Konidiofor coklat kehijauan pucat, warna dan lebar merata, tidak bercabang,

dengan 0 – 2 bengkokan, bulat pada ujungnya dan memiliki bekas spora yang kecil

atau sedang. Konidium dibentuk pada kedua sisi daun pada ujung konidiofor,

berbentuk tabung, lurus atau agak bengkok, kedua ujungnya membulat tumpul,

pangkalnya berbentuk tumpul. Jamur membentuk peritesium hitam, bergaris tengah

100μm, kadang – kadang tampak tersebar pada bercak di permukaan atas daun.

Askus seperti gada memanjang, berisi 8 spora (Rahmat, 1997).

Renault et al., (2004) mengatakan, bahwa bercak tampak jelas pada kedua sisi

daun. pada sisi atas bercak tampak coklat merata dengan tepi gelap yang jelas. Pada

sisi bawah daun tepi bercak kurang jelas dan di tengah bercak coklat terdapat warna

keabu-abuan karena adanya konidiofor dan konidium jamur. Bercak berbentuk

bulat dengan garis tengah 3 – 12 mm. Jika berkembang bentuk bercak dapat kurang

teratur dan agak miring – sudut karena dibatasi oleh tepi daun atau tulang – tulang

daun. Jika penyakit berkembang dengan terus menerus daun yang sakit menguning

62
dan mengering dan dapat gugur. Pada cuaca hujan dan panas jenis rentan dapat

menjadi gundul.

Menurut Yuliawati (2009), bahwa tanaman singkong juga terdapat penyakit

penting bercak daun baur. Gejala bercak daun baur pada ubi kayu adalah: bercak

daun besar, berwarna coklat, tanpa batas yang jelas. Tiap bercak meliputi seperlima

dari luas helaian daun atau lebih. Permukaan atas bercak berwarna coklat merata,

tetapi dipermukaan bawah pusat bercak yang berwarna coklat ada keabu-abuan,

karena adanya konidiofor dan konidium dari Cercospora viscosae.

Menurut Semangun (2001) mengatakan, bahwa pola tanaman singkong harus

memperhatikan musim dan curah hujan. Lahan tegalan/kering, waktu tanam yang

paling baik adalah awal musim hujan atau setelah penanaman padi. Jarak tanam

yang umum digunakan pada pola monokultur ada beberapa alternatif, yaitu 100 x

100 cm, 100 x 60 cm atau 100 x 40 cm. Bila pola tanam dengan sistem tumpang

sari bisa dengan jarak tanam 150 x 100 cm atau 300 x 150 cm.

Prihandana et al., (2007) menambahkan, bahwa beberapa upaya yang dapat

dilakukan untuk mengendalikan penyakit penting tanaman singkong ialah

penanaman jenis tahan, pemakaian stek yang diambil dari tanaman yang benar-

benar sehat, melaksanakan pergiliran tanaman, pemangkasan bagian tanaman di

atas tanah dapat mengurangi pemecaran penyakit, khususnya pada tanaman yang

mempunyai ketahanan tinggi atau sedang, dan pertahan belum terinfeksi berat.

Kemudian cara yang berikutnya ialah membuat bibit sehat dengan mengakarkan

ujung-ujung batang. Ujung-ujung batang akan tetap dari bakteri meskipun

tanamannya terinfeksi berat.

63
Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada

lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan

tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis

tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada

beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda. Untuk dapat melaksanakan

pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan

yang mempunyai pengaruh di antaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar

matahari dan hama penyakit. Penentuan jenis tanaman yang akan ditumpangsari

dan saat penanaman sebaiknya disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada

selama pertumbuhan. Tumpangsari dapat berpengaruh positif bagi pertumbuhan

tanaman, selain itu tumpangsari juga dapat mengurangi adanya hama dan penyakit

pada tanaman (Meray, 2007).

Baehaki (2009) menjelaskan, bahwa dalam pengendalian penyakit pada

tanaman singkong di gunakan varietas tanaman yang tahan. Penyakit bercak daun

coklat dapat dikendalian dengan enaman varietas tahan seperti Malang-1, Malang-

6, UJ-5, Adhira-4. Menurut Djunaedy (2009) mengatakan, bahwa varietas tahan

adalah varietas tanaman yang mempunyai kemampuan untuk menolak atau

menghindar, sembuh kembali dan mentolelir dari serangan hama atau penyakit

yang tidak dipunyai oleh tanaman lain yang sejenis dan pada tingkat serangan yang

sama. Sebagai komponen PHT beberapa kelebihan penggunaan varietas tahan yaitu

(Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2015):

1. Penggunaan praktis dan secara ekonomi menguntungkan.

2. Sasaran pengendalian yang spesifik.

64
3. Evektifitas pengendalian bersifat komulatif dan persisten.

4. Kompatibilitas dengan komponen PHT lainnya.

5. Dampak negative terhadap lingkungan terbatas.

Alternatif pengendalian OPT yang cukup efektif yaitu menggunakan varietas

tahan. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah melaksanakan program

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang salah satunya

menekankan penggunaan varietas unggul baru (VUB) sebagai komponen teknologi

dasar (Liu et al., 2002). Varietas tahan dapat menjadi andalan dalam menekan

serangan OPT pada tanaman (Meilin dan Praptana, 2014). Varietas tahan OPT juga

memiliki daya hasil yang lebih tinggi dibanding varietas rentan. Sudir (2010)

menyatakan penggunaan varietas unggul berpengaruh nyata terhadap keparahan

penyakit hawar daun bakteri, hawar daun jingga, hawar pelepah, dan bercak daun

Cercospora. Perbedaan virulensi penyakit disebabkan adanya interaksi antara gen

tahan pada masing-masing varietas dengan gen virulen pada pathogen.

Pemangkasan yang dilakukan pada tanaman jati menurut kelompok 5

bertujuan untuk mengurangi adanya hama serta penyakit yang menyerang pada

pucuk tanaman. Pemangkasan juga dilakukan untuk menjaga pertumbuhan

tanaman jati agar kayu yang dihasilkan berkualitas tinggi. Menurut Nuryatiningsih

(2011), bahwa pemangkasan adalah suatu usaha meningkatkan produksi dan

mempertahankan umur ekonomis tanaman. Secara umum, pemangkasan bertujuan

untuk:

1. Mendapatkan pertumbuhan tajuk yang seimbang dan kokoh.

2. Mengurangi kelembaban sehingga aman dari serangan hama dan penyakit.

65
3. Memudahkan pelaksanaan panen dan pemeliharaan.

4. Mendapatkan produksi yang tinggi.

Untung (1997) menjelaskan, bahwa bagian yang dipangkas adalah cabang

pohon. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan tinggi bebas cabang dan

mengurangi mata kayu dari batang utama. Menghilangkan cabang atau ranting yang

tidak diperlukan maka nutrisi pohon (sari makanan) akan lebih terpusat untuk

pertumbuhan pohon (batang dan tajuk utama). Kayu hasil pemangkasan dapat

dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan menjadi tambahan pendapatan bagi keluarga

petani. Pemangkasan dilakukan mulai tahun ke-3, dimana setengah bagian bawah

(50%) dari tinggi total pohon dibersihkan dari cabang dan ranting. Tetapi us

diperhatikan bahwa pemangkasan cabang yang berlebihan (lebih dari 50%) dapat

menghambat pertumbuhan pohon jati.

Pemangkasan dilakukan ketika memasuki awal musim hujan, yaitu sekitar

bulan Agustus, ketika cabang atau ranting masih berumur muda (berukuran kecil).

Pemotongan cabang sebaiknya sedekat mungkin dengan batang utama, namun tidak

sampai memotong leher cabang. Leher cabang adalah bagian yang membesar pada

pangkal cabang (Saptana, 2003). Pemangkasan dilakukan dengan menggunakan

gergaji/gunting wiwil, untuk ranting kecil/muda pewiwilan dapat menggunakan

sabit atau golok yang tajam. Bertujuan agar tidak menjadi tempat masuknya hama

dan penyakit, bekas pangkasan dapat ditutup dengan cat atau ter (Dirjenbun, 2002).

Pathogen yang menyerang tanaman jati berpengaruh terhadap fisiologi

tanaman. Menurut kelompok 5 yang mengamati tanaman jati, adanya pathogen

tersebut dapat menurunkan kualitas dari kayu akibat terhambatnya proses fisiologi

66
tanaman. Zhang (2012) mengatakan, bahwa pada hakekatnya fisiologi tanaman

adalah studi tentang bagaimana tanaman hidup bekerja (how living plants work)

dalam kehidupannya seperti, antara lain:

1. Bagaimana tanaman menggunakan energi radiasi matahari dalam asimilasi

(reduksi) karbon dioksida (CO2).

2. Bagaimana tanaman menghubah karbon yang direduksi menjadi bahan

penyusun tubuhnya.

3. Bagaimana tanaman memperoleh air dan unsur hara yang kemudian disebarkan

ke seluruh bagian tubuhnya.

4. Bagaimana tanaman tumbuh dan berkembang.

5. Bagaimana tanaman memberikan tanggapan pada lingkungannya.

6. Bagaimana tanaman memberikan tanggapan pada cekaman lingkungan.

7. Bagaimana tanaman berkembang-biak (reproduksi).

Fisiologi tanaman mengkaji proses-proses metabolisme pada tanaman

budidaya, tidak termasuk tumbuhan yang tergolong moner, protista, dan jenis fungi

serta tumbuhan tingkat tinggi yag tidak dibudiayakan. Fisiologi tanaman lebih

diarahkan pada proses-proses metabolisme yang berkaitan dengan pembentukan

dan perkembangan organ hasil, baik berupa organ vegetatif maupun organ

generative. Proses fisiologi ini yang menyebabkan tanaman mampu tumbuh dan

berkembang (Schoonhoven et al., 1997).

Elzinga (1987) menyatakan, bahwa cendawan yang menjadi patogen pada

tanaman, mengganggu proses-proses fisiologis pada tanaman yang menjadi

inangnya. Gangguan yang terus-menerus yang merugikan aktivitas tanaman disebut

67
penyakit tanaman. Cendawan merugikan tanaman dalam hal pengangkutan zat cair

dan garam mineral, mengganggu proses fotosintesis serta mengganggu

pengangkutan fotosintesis. Cendawan dapat merusak akar, batang, daun, buah dan

bunga, serta hasil tanaman di tempat penyimpanan.

Penyakit kanker batang yang disebabkan oleh Nectria haematococca. Gejala

diawali dengan daun layu dan berwarna hitam gelap, kemudian muncul benjolan

lapisan gabus di permukaan batang. Selanjutnya kulit kayu pecah-pecah,

Pengendalian serangan kanker batang dengan cara membersihkan lahan di sekitar

jati dari tanaman inang seperti Lantana sp. (kembang telek, tembelekan, atau tahi

ayam), mengatur jarak tanam agar tanaman terkena cahaya matahari dan sirkulasi

udaranya baik dan melakukan pemangkasan secara teratur. Bila sudah terjadi

serangan, pemberantasan penyakit dengan cara batang yang luka dikerok kemudian

diolesi dengan kooltir, TB 192, fungisida Fylomac 0,5%, atau Antimuci 0,5% setiap

3 minggu sekali (Fitriani, 2012).

Dampak pengendalian penyakit dengan injeksi pohon pada tanaman jati yang

diamati oleh kelompok 5 yaitu penyembuhan penyakit tanaman secara cepat. Proses

injeksi ini juga dapat berpengaruh terhapad organ lain juga sehingga dapat sebagai

penyembuhan sekaligus pencegahan penyakit. Injeksi tanaman dapat berpengaruh

positif apabila cara yang dilakukan sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Injeksi

tanaman juga efektif dilakukan pada tanaman jati karena tanaman jati termasuk

dalam tanaman perkebunan, yang memiliki batanag pohon besar.

Injeksi pohon adalah metode pengendalian hama dan penyakit yang mahal

untuk kayu keras dengan diameter 2,54 cm. Metode ini dapat digunakan secara

68
tunggal maupun terpadu dengan metode pengendalian lain guna perawatan pohon

yang dibudidayakan. Metode ini membutuhkan tenaga yang benar-benar ahli dalam

melakukan pengeboran/pelukaan dengan kedalamannya akurat pada batang pohon

sehingga pestisida yang diberikan bisa terserap tanaman melalui aliran pembuluh

pada tanaman (Hendromono et al., 2001).

Alat yang umum digunakan sebagai injeksi pohon yaitu tubular injector tree

dan kapak + spayer. Tubular injector tree terdiri dari tabung logam panjang

dilengkapi dengan pisau pahat. Mekanismenya memotong kulit pohon sampai ke

gubal, dekat pangkal pohon. Seperti suntik jarum, namun didesain dengan ukuran

yang lebih besar. Dosis yang diberikan tergantung pengguna. Metode yang

menggunakan kapak/ parang atau bersama dengan spayer. Kapak digunakan untuk

memotong membuat lubang sampai pada gubal. Pestisida disemprotkan pada

lubang. Konsep dasar dalam injeksi yaitu memberikan pestisida pada pembuluh

xylem (harus menembus kayu gubal) yang selanjutnya pestisida dialirkan ke daun

dan ikut terproses dalam fotosintesis sehingga teralirkan ke seluruh bagian tanaman.

Dalam metode injeksi ini bersifat sistemik, hama/penyakit yang menyerang bagian

tanaman akan berkurang/ musnah. Penelitian terkait injeksi antibiotic + pestisida

tanaman diperlukan, untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit

(Supriatna dan Wijayanto, 2011).

Jambu biji (Psidium guajava L.) saat ini merupakan salah satu buah-buahan

tropis yang cukup populer. Rasa dan aroma jambu biji yang enak, serta kandungan

vitamin C yang tinggi menyebabkan buah ini digemari oleh masyarakat.

Pemanfaatan buah jambu biji bisa dalam bentuk konsumsi buah segar atau dalam

69
bentuk produk olahan seperti jus, eskrim, jeli, pasta atau selai, gumdrop, nektar, dan

dodol (Sinaga, 2003).

Menurut Sukamto (2003), bahwa dalam usaha tani jambu biji hama dan

penyakit merupakan salah satu faktor pembatas yang dapat menyebabkan kerugian

secara ekonomi karena dapat menyebabkan kehilangan hasil. Beberapa hama

tanaman jambu biji yang telah dilaporkan di Indonesia antara lain lalat buah yang

merupakan hama penting pada tanaman jambu biji ulat kantung, dan kutu kebul.

Penyakit yang telah dilaporkan menyerang tanaman jambu biji di Indonesia antara

lain penyakit antraknosa dan kanker buah Pestalotiopsis. Informasi mengenai hama

dan penyakit tanaman jambu biji yang lebih lengkap dan terperinci diperlukan

karena dengan adanya penanaman jambu biji secara monokultur dan adanya

penambahan luas area pertanaman jambu biji dapat berpotensi menyebabkan

adanya masalah hama dan penyakit baru atau peningkatan masalah hama dan

penyakit yang telah ada, karena tersedianya bahan makanan atau inang bagi hama

dan penyakit yang dapat berasosiasi dengan tanaman jambu biji.

Busuk buah dapat terjadi di pertanaman maupun pada buah jambu biji dalam

simpanan. Beberapa patogen yang menyebabkan busuk buah di pertanaman antara

lain Phomopsis psidii menyebabkan busuk pangkal buah, Phytophthora, Fusarium,

dan Curvularia. Cendawan Botryodiplodia theobromae Pat. Dan Colletotrichum

dapat menginfeksi jambu biji di pertanaman dan juga pada jambu biji di

penyimpanan. Cendawan B. theobromae mula-mula menyebabkan terjadinya

bercak coklat yang cepat meluas kurang berbatas jelas, busuk lunak, dan terbentuk

lapisan cendawan berwarna hitam, terdapat pada ujung atau pangkal buah.

70
Pembusukan juga mencapai bagian daging buahnya hingga buah busuk dan berair

(Martoredjo, 2009). Gejala yang disebabkan cendawan Colletotrichum yaitu pada

buah terbentuk bercak coklat berbatas jelas dan mengendap (Rosmana et al., 2010).

Bailey et al., (2008) menjelaskan, bahwa keberadaan pathogen dapat

ditemukan di segala tempat dan tersebar luas di alam dalam jumlah yang besar, hal

ini sangat tergantung dari penyebaran patogen yaitu proses berpindahnya patogen

atau inokulum dari sumbernya ke tempat lain sangat mudah. Selain itu, patogen

memiliki adaptasi yang kuat. Sehingga dia dapat hidup dimana-mana walau dalam

kondisi suboptimum. Sesuai dengan pendapat Aziz et al., (2014), bahwa efisiensi

penyebaran patogen merupakan berpindahnya patogen atau inokulum dari

sumbernya ke tempat lain dengan waktu yang singkat dan cepat. Patogen memiliki

tubuh yang mikropis, sehingga ia dapat apapun di alam ini. Faktor lingkungan yang

berpengaruh yaitu air, angin, suhu, tanah, dan lain sebagainya.

Pengendalian hayati merupakan salah satu teknologi pengendalian hama

penyakit yang ramah terhadap lingkungan karena menggunakan organisme yang

berasal dari alam (baik residen maupun introduksi) dan berusaha memperbaiki serta

mempertahankan keseimbangan ekosistem pertanian. Pengendalian hayati

mempunyai berbagai mekanisme yang memberikan efek langsung dan tidak

langsung terhadap perkembangan pathogen penyakit. Efek langsung ditunjukkan

oleh aktivitas antagonisme berupa kompetisi ruang/nutrisi, antibiosis, dan

parasitisme yang langsung menurunkan aktivitas dan populasi patogen. Efek tidak

langsung ditunjukkan oleh mikroorganisme yang menginduksi ketahanan tanaman

sehingga tanaman lebih resisten terhadap serangan pathogen (Acebo et al., 2012).

71
Aziz et al., (2014) mengatakan, bahwa penerapan pengendalian hayati untuk

mengendalikan penyakit tanaman umumnya menggunakan agens hayati bersifat

antagonis terhadap patogen. Agens hayati dapat berupa bakteri maupun fungi non

patogenik. Salah satu contohnya adalah Trichoderma harzianum yang diisolasi dari

rizosfer terbukti mampu menghambat perkembangan Rhizoctonia solani dan

Sclerotium rolfsii dengan cara memparasit hifa (Wardojo, 1980.). Trichoderma

lactae merupakan dekomposer bahan organik yang mampu mempercepat proses

pematangan kompos. Aplikasi dengan langsung di berikan terhadap tanaman yang

terserang (Yedidia et al., 2000).

Menurut Pakih (1999) menjelaskan, bahwa MOL adalah kumpulan mikro

organisme yang dapat diternakkan fungsinya dalam konsep zero waste adalah untuk

starter pembuatan kompos organik. Penggunaan MOL ini maka konsep

pengomposan bisa selesai dalam waktu 3 mingguan. Sembel (2010) menambahkan,

bahwa cara penggunaan MOL pupuk kandang sama seperti penggunaan jenis MOL

lainnya. Untuk proses pengomposan, MOL perlu dicampur pupuk kandang dengan

perbandingan 1:5. Sementara itu, untuk tanaman atau tanah, 1liter MOL perlu

diencerkan dengan 15 liter air. Salah satu contoh MOL penggunaan untuk

pengomposan dilakukan dengan mencampur 1 liter MOL sayuran dengan 10 liter

air. Tambahkan 2 ons gula merah atau setengah gelas. Siram MOL ke bahan organik

yang akan dikomposkan. Sedangkan penggunaan untuk tanaman dilakukan dengan

mencampurkan 1 gelas MOL sayuran dengan 10 liter air bersih, lalu aduk hingga

rata. Aplikasi pada tanaman dilakukan dengan menyemprotkan cairan MOL setiap

10 hari sekali.

72
Pengamatan penyakit pada tanaman jati di dekat pintu masuk Gor Soe soe di

temukan penyakit kanker batang (Nectria haemotococca). Penyakit tanaman jati

yang terserang intensitasnya rendah. Penyakit ini menyerang pada bagian batang

tanaman yang menyebabkan terhambatnya proses fisiologi tanaman. Rencana tidak

lanjut yang di sarankan yaitu dengan melakukan penyiangan, pemangkasan

tanaman dan monitoring tanaman. Sesuai pendapat Elzinga (1987) menyatakan,

bahwa cendawan yang menjadi patogen pada tanaman, mengganggu proses-proses

fisiologis pada tanaman yang menjadi inangnya. Gangguan yang terus-menerus

yang merugikan aktivitas tanaman disebut penyakit tanaman. Cendawan merugikan

tanaman dalam hal pengangkutan zat cair dan garam mineral, mengganggu proses

fotosintesis serta mengganggu pengangkutan fotosintesis. Cendawan dapat

merusak akar, batang, daun, buah dan bunga, serta hasil tanaman di tempat

penyimpanan.

73
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Penyakit yang menyerang tanaman pangan singkong yaitu bercak daun coklat,

bercak daun baur dan hawar bakteri. Penyakit yang menyerang tanaman

hortikultura jambu biji yaitu bercak daun dan busuk buah. Penyakit yang

meyerang tanman perkebunan tanaman jati yaitu penyakit kanker batang.

2. Gejala serangan penyakit bercak coklat pada singkong yaitu bercak tampak jelas

pada kedua sisi daun, pada sisi atas bercak tampak coklat merata dengan tepi

gelap yang jelas. Sisi bawah daun tepi bercak kurang jelas dan di tengah bercak

coklat terdapat warna keabu-abuan karena adanya konidiofor dan konidium

jamur. Penyakit bercak daun baur pada singkong gejalanya bercak daun besar,

berwarna coklat, tanpa batas yang jelas. Tiap bercak meliputi seperlima dari luas

helaian daun atau lebih. Permukaan atas bercak berwarna coklat merata, tetapi

dipermukaan bawah pusat bercak yang berwarna coklat ada keabu-abuan, karena

adanya konidiofor dan konidium dari Cercospora viscosae. Gejala serangan

penyakit hawar bakteri yaitu bercak kebasah-basahan, bentuknya tidak teratur,

bersudut-sudut (angular), dikelilingi oleh daerah hijau tua. Gejala meluas dengan

cepat dan warna bercak menjadi coklat muda, mengeriput, dan menyebabkan

daun layu. Penyakit bercak daun yang menyerang tanaman jambu biji gejalanya

yaitu pada daun terdapat bercak berwarna hitam yang kemudian daun akan

berubah menjadi kuning kecoklatan. Penyakit busuk buah jambu biji gejalanya

74
yaitu bercak coklat yang cepat meluas kurang berbatas jelas, busuk lunak, dan

terbentuk lapisan cendawan berwarna hitam, terdapat pada ujung atau pangkal

buah. Penyakit kanker batang yang menyerang tanaman jati gejalanya yaitu daun

layu dan berwarna hitam gelap, kemudian muncul benjolan lapisan gabus di

permukaan batang.

3. Analisis agroekosistem yang dibuat pathogen penyebab penyakit pada tanaman

pangan, hortikultura dan perkebunan terdapat komponen biotik dan abiotik.

Intensitas serangan penyakit pada tanaman jati yaitu sebesar 20% yang tergolong

rendah.

B. Saran

Sebaiknya pada saat pengamatan maupun sebelum pembuatan transek,

asisten praktikum dapat menjelaskannya lebih rinci agar praktikan tidak

kebinggungan.

75
DAFTAR PUSTAKA

Acebo-Guerrero Y, Hernandez-Rodriguez A, Heydrich-Perez M, El Jaziri M,


Hernandez- Lauzardo AN. 2012. Management Of Black Pod Rot In Cacao
(Theobroma cacao L.): A Review. Fruits. 67:41–48. DOI: Http://
Dx.Doi.Org/10.1051/Fruits/2011065.

Asman. A., Nasrun, A. Nurawan, Dan D. Sitepu. 1993. Penelitian Penyakit Nilam.
Risalah Kongres Nasional Xii Dan Seminar Ilmiah Pfi. Yogyakarta 2, 903-
911.

Aziz AI, Rosmana A, Dewi VS. 2014. Pengendalian Penyakit Hawar Daun
Phytophthora Pada Bibit Kakao Dengan Trichoderma asperellum. J
Fitopatol Indonesia. Vol. 2 (9): 15–20. DOI: Http://Dx.Doi.
Org/10.14692/Jfi.9.1.15.

Badan Agribisnis Departemen Pertanian. 1999. Investasi Agribisnis Komoditas


Unggulan Tanaman Pangan Dan Hortikultura. Kanisius. Yogyakarta.

Baehaki, S.E. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi Dalam
Perspektif Praktek Pertanian Yang Baik (Good Agricultural Practices).
Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol. 2 (1): 65-78.

Bailey BA, Bae H, Strem MD, Crozier J, Thomas SE, Samuels GJ, Vinyard BT,
Holmes KA. 2008. Antibiosis, Mycoparasitism, And Colonization Success
For Endophytic Trichoderma Isolates With Biological Control Potential In
Theobroma Cacao. Biol Control. Vol. 46 (2): 24–35. DOI: H T T P://D X.D
Oi.Org/10.1016/J. Biocontrol.2008.01.003.

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2015. Laporan Kinerja Tahun 2014.


Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian. Jakarta.

Dirjenbun. 2002. Statistik Perkebunan Indonesia. 2000-2002. Jambu Mete.


Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian.
Jakarta. 25 Hal.

Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2004. Nilam. Stastistik Perkebunan Indonesia.


23p.

Djunaedy, A. 2009. Biopestisida Sebagai Pengendali Organisme Pengganggu


Tanaman (OPT) Yang Ramah Lingkungan. Embryo. Vol. 6 (1): 89-95.

76
Elzinga, R.J., 1987. Fundamentals Of Entomology. Third Edition, Prentice-Hall,
Inc. Englewood Cliffs, New Jersey 07632. USA.

Fitriani, A. 2012. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman Jati Pada Areal Gerakan


Rehabilitasi Hutan Dan Lahan. Jurnal Hutan Tropis. Vol. 13(1): 8-16.

Hendromono Dkk. 2001. Mindi Melia Azerdarach L. Balitbang Kehutanan


Departemen Kehutanan. Jakarta.

Lind, B.B. H.A.E. De Werd, B.B.MC. Spadden Gardener, And D.M. Weller. 2002.
Comparison Of Three Methods For Monitoring Populations Of Different
Genotypes Of 2,4-Diacethylphloroglucinol Producing Pseudomonas
fluorescens In Rhizosphere. Phytopatholgy. Vol. 92 (4): 129-137.

Liu, C.J., W.J. Men, And Y.J. Liu. 2002. The Pollution Of Pesticides In Soils And
Its Bioremediation. System Sciences And Comprehensive Studies In
Agriculture. Vol. 18 (4): 295-297.

Meilin, A Dan H.P. Praptana. 2014. Dampak Insektisida Deltametrin Konsentrasi


Subletal Pada Perilaku Dan Piologi Parasitoid. Iptek Tanaman Pangan. Vol.
9 (2): 78-84.

Meray, M.E.R. 2007. Uji Patogenitas Jamur Yang Berasosiasi Pada Larva Plutella
xylostella. Linn. Dalam Eugenia. Vol. 3(3): 146—149.

Mulya. K., Supriadi., E.M. Ardhi., Sri Rahayu Dan N. Karyani. 2000. Potensi
Bakteri Antagonis Dalam Menekan Perkembangan Penyakit Layu Bakteri
Jahe. Jurnal Penelitian Tanaman Industry. Vol. 6 (2): 37-43.

Nene, Y.L. And P.N. Thapliyal. 1979. Fungicides In Plant Disease Control. Second
Edition. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi.

Nuryatiningsih. 2011. Teknik-Teknik Pengendalian OPT Dan Penerapan Konsep


PHT. Balai Besar Perbenihan Dan Proteksi Tanaman Perkebunan. Surabaya.

Pakih, J.S. 1999. Penggunaan Pestisida Nabati Dalam Upaya Penerapan


Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT) Perkebunan Di Jawa Barat. Dalam Prosiding Forum Komunikasi
Ilmiah Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor 9-10 Nopember. Pusat
Penelitian Tanaman Perkebunan. Bogor, Hal 337-347.

Prihandana Rama, Noerwijari Kartika, Adinurani P.G., Setiyaningsih Dwi, Setiadi


Sigit, Hendroko Roy. 2007. Bioetanol Ubi Kayu: Bahan Bakar Masa Depan.
Agro Media Pustaka. Jakarta.

77
Rahmat Rukmana, H. 1997. Ubi Kayu, Budidaya Dan Pasca Panen. Penerbit
Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta.

Renault, C. K., Buffa, L. M., And Delfino, M.A. 2004. An Aphid-Ant Interaction:
Effects On Different Trophic Levels. Ecological Research. Vol. 4 (1): 1-7.

Rosmana A, Shepard M, Hebbar P, Mustari A. 2010. Control Of Cocoa Pod Borer


And Phytophthora Pod Rot Using Degradable Plastic Pod Sleeves And A
Nematode Steinernema carpocapsae. Indon J Agric Sci. Vol. 11 (2): 41–47.

Saptana, Tri Panadji, Herlina Tarigan, And Adi Setiyanto. 2003. Laporan Akhir
Analisis Kelembagaan Pengendalian Hama Terpadu Mendukung Agribisnis
Kopi Rakyat Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bagian Proyek Penelitian
Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat. Badan Litbang Pertanian.
Deptan.

Schoonhoven, L.M., Jermy, T And Van Loon, J.J.A., 1997. Insect-Plant Biology
(From Physiology To Evolution). Chapman &Hall. London-Glasgow. New
York. Tokyo. Melbourne. Madras.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ugm Press. Yogyakarta.

Sembel. D.T. 2010. Pengendalian Hayati. Andi Offset Yogyakarta.

Sinaga, M. S. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Penebar Swadaya.


Jakarta.

Sitepu. D., And A. Asman., 1989. Laporan Penelitian Penyakit Nilam Di D.I. Aceh.
Kerjasama Pt. Pupuk Iskandar Muda (Persero) Dan Balittro, P.20.

Sudir. 2010. Pengaruh Varietas, Populasi Tanaman Dan Waktu Pemberian Pupuk
N Terhadap Penyakit Padi. Dalam B. Suprihatno, A.A. Daradjat, Satoto,
Baehaki, Dan Sudir (Ed.). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi
Nasional 2010. Hlm. 593-601.

Sukamto, S. (2003). Pengendalian Secara Hayati Penyakit Busuk Buah Kakao


Dengan Jamur Antagonis Trichoderma harzianum. Seminar Ilmiah Dan
Kongres Nasional Pfi Xvi. Bandung, 6-8 Agustus 2003.

Supriatna, A.H Dan N. Wijayanto. 2011. Pertumbuhan Tanaman Pokok Jati


(Tectona grandis Linn F) Pada Hutan Rakyat Di Kecamatan Conggeang,
Kabupaten Sumedang. Jurnal Silvikultur Tropika. Vol. 2 (3): 130-135.

Untung, K. 1997. Penerapan Prinsip-Prinsip Pht Pada Sub Sektor Perkebunan.


Bahan Ceramah Pada Apresiasi Proyek Pht Tanaman Perkebunan Rakyat.
Cipanas, Jawa Barat. Maret 1997.

78
Wakhidin, 1994. Peranan Karantina Dalam Pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan. Dalam Prosiding Seminar Regional I Himpunan
Perlindungan Tumbuhan Indonesia. Hpti Komisariat Surabaya, Upn Jawa
Timur.

Wardojo, 1980. The Cocoa Pod Borer. A Major Hidrance To Cocoa Development.
Indonesia Agricultural Research Development Of Journal. Vol. 2 (1): 1-4.

Weller, D.M., 1988. Biological Control Of Soilborne Plant Pathogens In The


Rhizosphere With Bacteria. Ann. Rev. Phytopathol. Vol. 26 (4): 379-407.

Yedidia I, Benhamou N, Kapulnik Y, Chet I, 2000. Induction And Accumulation


Of Pr Protein Activity During Early Stages Of Root Colonization By The
Mycoparasite Trichoderma harzianum Strain T-203. Plant Physiol Bioch.
38:863–873. Doi: Http://Dx.Doi.Org/10.1016/S0981- 9428(00)01198-0.

Yuliawati. 2009. Pengelolaan Tanaman Dan Organisme Pengganggu Tanaman


(Opt) Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz.) Di Kecamatan Ciemas,
Sukabumi Dan Kecamatan Dramaga, Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.

Zhang, W.J., F.B. Jiang, And J.F. Ou. 2012. Global Pesticide Consumption And
Pollution: With China As A Focus. Proceedings Of The International
Academy Of Ecology And Environmental Sciences. Vol. 1 (2): 125-144.

79
LAMPIRAN

Salah satu contoh sampel tanaman yang terkena penyakit pada saat pengamatan.

80
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU

ACARA IV
PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Informasi tentang jumlah kerugian produksi dan kerusakan akibat lalat buah

di banyak negara termasuk di Indonesia masih terbatas. Sebagai gambaran besarnya

kerugian yang diakibatkan oleh kerusakan lalat buah diberikan contoh seperti di

Australia, dengan kerusakan diperkirakan mencapai 100 juta dolar AS atau 500

triliun rupiah per tahunnya apabila lalat buah ini tidak dikendalikan. Pengendalian

bahkan memakan biaya yang lebih besar di area yang sebelumnya terbebas

kemudian terserang lalat buah seperti di California yang dilaporkan oleh Dowell

dan Wange (1986).

Delapan spesies lalat buah yang masuk dan menyerang pertanaman di sana

telah mengakibatkan kehilangan hasil sebesar 910 juta dolar AS atau kira kira 7.000

triliun rupiah dengan biaya pengendalian sebesar 290 juta dolar AS atau 2.300

triliun rupiah. Upaya eradikasi lalat buah B. dorsalis dengan pelepasan jantan

mandul di sebuah pulau kecil di Jepang telah menelan biaya sangat mahal, kira-kira

32 juta dolar AS atau 250 triliun rupiah, memperkerjakan 200.000 tenaga per hari

(Adimihardja, 2000). Salah satu hama penting di bidang hortikultura yang saat ini

menjadi isu nasional, karena selain menurunkan produksi juga menjadi faktor

pembatas perdagangan (trade barrier) adalah hama lalat buah. Lalat buah yang

banyak terdapat di Indonesia yaitu dari genus Bactrocera dan salah satu jenis yang

sangat penting dan ganas yaitu Bactrocera dorsalis Hendel. complex (Hasyim et

al., 2014).

82
Usaha pengembangan buah di Indonesia mengalami kendala yang cukup

besar yaitu imulai dari penyediaan benih bermutu, saat budidaya hingga

penanganan panen. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan

buah saat budidaya adalah serangan hama lalat buah yang dapat menurunkan

kualitas hasil buah karena kurang lebih 75% dari tanaman buah dapat diserang oleh

hama ini. Hama lalat buah merupakan hama yang paling sulit untuk dihindarkan

pada pertanaman bebuahan (Omoy dan Sulaksono, 2000). Oleh karena itu,

dilakukan suatu praktikum pengendalian hama lalat buah guna untuk mengatasi

hama lalat buah yang menyerang tanaman dengan konsep PHT.

B. Tujuan

Praktikum pengendalian lalat buah ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui teknik aplikasi feromon seks.

2. Mengetahui tingkat keberhasilan pengendalian hama lalat buah dengan

menggunakan feromon seks (metyleugenol).

3. Mengetahui keuntungan pengendalian dengan menggunakan feromon seks.

83
II. TINJAUAN PUSTAKA

Lalat buah merupakan salah satu hama yang banyak menyerang cabai, tomat,

mangga, jeruk, belimbing, jambu, pisang, nangka, kelengkeng, dsb (Kalshoven

1981). Hama ini banyak menimbulkan kerugian di Jawa Timur baik secara

kuantitas maupun kualitas dan pada tanaman mangga Arumanis dapat

menyebabkan kerusakan sampai 90% (Omoy, 2000). Menurut (Hasyim et al.,

2014), kerugian akibat serangan lalat buah pada komoditas hortikultura berkisar

antara 20–60% tergantung dari jenis buah/sayuran, intensitas serangan dan kondisi

iklim/musim.

Gejala serangan lalat buah ditandai oleh adanya bintik-bintik hitam pada

permukaan kulit buah yang merupakan bekas tusukan ovipositor lalat buah betina

dalam proses meletakkan telur dan telur berkembang menjadi larva di dalam buah.

Larva lalat buah berkembang di dalam buah sehingga menyebabkan buah menjadi

rusak atau busuk (Rosmahani, 2010). Kerusakan yang diakibatkan hama ini akan

menyebabkan gugurnya buah sebelum mencapai kematangan yang diinginkan

sehingga produksi baik secara kualitas maupun kuantitas menurun (Lengkong et

al., 2011). Secara kuantitas, buah-buah muda atau sebelum matang akan rontok

sehingga bisa mengurangi jumlah buah yang di panen. Secara kualitas buah-buahan

akan busuk dan banyak belatungnya. Rerata kerugian akibat serangan lalat buah

pada kelengkeng mencapai 51 kg per pohon (Subahar et al., 1999). Selain itu lalat

buah juga merupakan vektor atau pembawa bakteri Escherichia coli dan penyakit

84
darah pisang (Mulyanti et al. 2008). Jika dalam komoditas hortikultura yang akan

diekspor, khususnya ke Jepang terdapat satu butir telur lalat buah, seluruh

komoditas akan ditolak (Kardinan 2009).

Sarwono (2003) mengatakan, bahwa keberadaan populasi baru lalat buah

dapat dideteksi dengan melakukan surveillance untuk mengantisipasi kemungkinan

masuknya lalat buah eksotik. Deteksi dapat dilakukan dengan menggunakan

perangkap yang dipasang di pertanaman buah-buahan yang rentan terhadap

serangan lalat buah. Misalnya imago Bactrocera spp., Dacus spp., dan Ceratitis

spp. Dapat dikoleksi dengan pemasangan perangkap yang diberi atraktan berupa

parapheromone untuk menarik lalat buah jantan di daerah potensi penyebaran.

Bactrocera dorsalis merupakan spesies kompleks di mana ditemukan kurang

lebih 52 sibling spesies 3, 40 spesies dari genus Bactrocera telah di deskripsi

sebagai spesies baru dan 8 spesies di antaranya secara ekonomis merupakan hama

penting yang banyak merugikan tanaman buah dan sayuran di daerah Asia dan Asia

Tenggara (Hardy, 1986). Lalat buah B. dorsalis memiliki skutum berwarna hitam,

mesonotum (toraks tengah) hitam, pita lateral kuning pada mesonotum memanjang

ke dekat rambut supra alar, 2 pasang rambut pada fronto orbital bagian dalam, dua

rambut pada skutelum (scutellum) (b). Sayap hanya mempunyai pita hitam pada

garis costa dan garis anal, tidak mempunyai noda-noda pada vena melintang (d).

Abdomen sebagian besar berwarna merah pucat (coklat), terdapat pita hitam

melintang pada tergit-2 dan tergit-3, pita hitam sempit longitudinal membelah di

tengah-tengah tergit 3-5 (c). Panjang: 4,5-4,7 mm (Cohen, 2007).

85
Sistem pengendalian lalat buah perangkap dengan atraktan juga sangat

diperlukan dalam teknik pengendalian dengan menggunakan serangga/jantan

mandul, sebelum pelepasan serangga mandul untuk menekan populasi jantan di

alam (Cohen, 2007). Lalat buah Bactrocera spp. di pagi hari sering bergerombol

menjilati bunga Bulbophyllum cheiri (fruit fly orchid), karena bunganya

mengandung metil eugenol dan di sore hari mulai berkurang. Kandungan ME pada

bunganya mencapai puncaknya pada pagi hari, dan mulai menurun sekitar jam 12-

14, kemudian menghilang setelah jam 14 (Tan et al., 2002). Metil eugenol

dikonsumsi oleh lalat jantan, kemudian di dalam tubuhnya diproses untuk

menghasilkan sex pheromone yang diperlukan untuk menarik lalat betina (Suputa

et al., 2004).

Cara pengendalian lalat buah yang ramah lingkungan sangat diperlukan,

seperti penggunaan tanaman selasih di harapkan produk buah yang dihasilkan tidak

tercemar bahan kimia yang berbahaya bagi konsumen terutama dari pestisida

(Ranganath et al., 1997). Ketergantungan petani terhadap penggunaan insektisida

sintetik untuk mengendalikan hama cukup tinggi, sehingga perlu segera diatasi

dengan mencari alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan, terutama yang

efektif, efisien, dan mudah diterapkan oleh petani di lapangan antara lain dengan

menggunakan metal eugenol (ME) (Hee and Tan, 2001).

86
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu eugenol, air, dan pohon

kelengkeng di sekitar green house. Sedangkan alat yang digunakan dalam

praktikum yaitu aqua bekas, kapas, benang, tali rafia, kantong, plastik, label, dan

ATK.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada saat praktikum pengendalian hama lalat

buah antara lain:

1. Praktikan dikelompokkan sesuai dengan rombongannya (tiap kelompok 4-5

mahasiswa).

2. Kapas yang telah diolesi larutan metil eguenol dimasukkan dalam botol aqua.

3. Alat tersebut dipasang pada tanaman kelengkeng.

4. Setiap dua kali sehari diamati selama 3 hari.

5. Jumlah serangga dewasa lalat buah yang tertangkap dihitung.

87
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.8 Transek lalat buah pada tanaman kelengkeng

B. Pembahasan

Selasih (Ocimum basilicum) banyak tumbuh liar di musim hujan pada lahan

tegalan. Tanaman ini dapat menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang

menyerupai sex pheromon pada serangga betina sehingga menarik serangga jantan

khususnya hama lalat buah dan sayuran dari jenis Bactrocera dorsalis. Dengan

kemampuan minyak atsiri yang berbahan aktif metil eugenol untuk menarik

serangga jantan tersebut, maka tanaman ini berpotensi sebagai sebagai pengendali

hama lalat buah yang ramah lingkungan (Yuniarti et al., 2007).

88
Zulfitriany et al., (2004) mengatakan, bahwa tanaman selasih ini dapat

menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang menyerupai sex pheromone seperti

yang ada pada serangga betina sehingga menarik serangga jantan khususnya hama

lalat buah (Bactrocera dorsalis) pada tanaman buah-buahan dan sayuran. Minyak

selasih termasuk minyak atsiri atau essential oil, merupakan sisa metabolisme

dalam tanaman. Minyak tersebut disintetis dalam sel kelenjar pada jaringan

tanaman dan ada juga yang terbentuk dalam pembuluh resin dan mempunyai tiga

jenis bahan aktif yang sudah di kenal yaitu eugenol yang dapat berfungsi sebagai

fungisida, tymol yang dapat befungsi sebagai repellent (penghalau serangga) dan

metil eugenol yang berfungsi sebagai atraktan (pemikat) hama lalat buah (Ibrahim

dan Hashim, 1989).

Menurut Heath et al., (2007) menyatakan, bahwa kemampuan minyak atsiri

yang berbahan aktif metil eugenol untuk menarik serangga jantan tersebut, maka

tanaman berpotensi sebagai perangkap lalat buah jantan. Berkurangnya populasi

lalat jantan menyebabkan lalat betina tidak bisa bertelur sehingga secara perlahan

populasi lalat buah akan berkurang. Rendemen minyak selasih, kandungan bahan

aktif dan persentasenya sangat bervariasi antarspesies. Menurut Guillén et al.,

(2009), kandungan perangkap nabati metil eugenol, pada tanaman selasih cukup

tinggi, yaitu pada daun berkisar 64,5 % dan pada bunga dapat mencapai 71%.

Besarnya rendemen tersebut sangat dipengaruhi umur tanaman dan rata-rata

kandungan minyak selasih sekitar 0,18 – 0,23% (Herlinda et al., 2007).

Hasil penelitian Katsoyannos and Kouloussis (2001) menunjukkan bahwa

penggunaan pestisida selasih sebagai atraktan untuk mengendalikan hama lalat

89
buah, dapat menurunkan penggunaan pestisida sebanyak 62%, menurunkan tingkat

kerusakan buah-buahan sebesar 34% dan meningkatkan hasil sebesar 73%. Air

suling selasih dengan kandungan metil eugenol sebesar 0,46% mampu

memerangkap hama lalat buah selama satu minggu, setelah itu perlu aplikasi ulang

pada setiap minggunya, sedangkan minyak selasih hasil petani dengan kandungan

metil eugenol sebesar 77,9% mampu memerangkap hama lalat buah selama satu

bulan, setara dengan minyak selasih yang diproses di Balittro dengan kandungan

metil eugenol sebesar 73,6% dan lebih baik daripada atraktan lalat buah komersial

yang mengandung metil eugenol sebesar 75%. Lalat buah yang terperangkap

didominasi oleh spesies Bactrocera dorsalis (97%) dan sisanya adalah Bactrocera

umbrosus (3%) serta didominasi oleh lalat buah berkelamin jantan.

Cara memperoleh tanaman selasih menurut Muryati et al., (2008) yaitu

dengan menanam salah satu tanaman tersebut disekitar lahan, maka diharapkan

dapat mengurangi serangan lalat buah secara signifikan. Ketersediaan minyak

selasih sebagai atraktan lalat buah sangat diperlukan karena sampai saat ini atraktan

nabati tersebut belum tersedia secara luas di pasaran. Tanaman selasih mudah

didapatkan dan dibudidayakan karena mampu beradaptasi dengan berbagai

lingkungan. Ada beberapa jenis selasih yang berkembang di masyarakat, namun

jenis selasih merah dan hijau dengan tipe bunga dompol mempunyai kandungan

metil eugenol paling tinggi dibanding jenis yang lain. Guna memproduksi ekstrak

selasih, tanaman yang biasanya tumbuh liar perlu dibudidayakan untuk

meningkatkan produksi selasih sehingga diperoleh ekstrak yang lebih banyak

(Shahabuddin, 2011).

90
Guna memproduksi ekstrak selasih, tanaman yang biasanya tumbuh liar perlu

dibudidayakan untuk meningkatkan produksi selasih sehingga diperoleh ekstrak

yang lebih banyak. Proses pembuatan ekstrak selasih mudah dilakukan dengan cara.

Penyulingan daun dan bunga yang dipanen pada umur 3–4 bulan. Panen dipangkas

di atas pangkal tanaman agar dapat tumbuh lagi untuk panen kedua dan ketiga. Hasil

panenan daun dan bunga dikeringanginkan 1–2 hari, kemudian disuling untuk

menghasilkan minyak selasih. Setiap 1 kg hasil panen selasih bisa menghasilkan 6–

8,5 ml minyak selasih (Tobing et al., 2005).

Salah satu hama penting di bidang hortikultura yang saat ini menjadi isu

nasional, karena selain menurunkan produksi juga menjadi faktor pembatas

perdagangan (trade barrier) adalah hama lalat buah. Lalat buah yang banyak

terdapat di Indonesia yaitu dari genus Bactrocera dan salah satu jenis yang sangat

penting dan ganas yaitu Bactrocera dorsalis Hendel. complex. Disebut kompleks

karena terakhir diketahui di Indonesia sebagai B. papayae Hendel dan B. carambola

Hendel yang satu dengan lainnya sulit dibedakan secara kasat mata (SIWI et al.,

2006). Intensitas serangan lalat buah di Jawa Timur dan Bali menunjukkan variasi

yang cukup besar, yaitu antara 6,4 - 70% (Sarwono, 2003). Untung (2006)

menyatakan bahwa intensitas serangan lalat buah pada manga maupun kelengkeng

berkisar antara 14,8%-23%, namun tidak jarang kerusakan yang diakibatkan lalat

buah khususnya pada belimbing dan jambu biji dapat mencapai 100%.

Kalie (1992) menyatakan, bahwa pada umumnya kebun kelengkeng yang

dimiliki petani berasal dari kebun campuran, dengan masalah utama berupa

serangan hama lalat buah yang mengakibatkan kerugian antara 11% hingga 25%,

91
bahkan ada pula yang mencapai 50%. Upaya pengendalian beragam dari yang

menggunakan insektisida sintetis, kebersihan kebun, dibiarkan dan sebagian petani

memanfaatkan selasih yang sudah dilaksanakan secara turun temurun (kearifan

lokal). Hal ini yang menyebabkan penurunan produksi pada buah.

Pengendalian paling efektif pada lalat buah yaitu dengan penggunaan metil

eugenol yang di pasang pada perangkap. Cara aman mengurangi serangan lalat

buah adalah dengan menurunkan populasi hama di lapang melalui perangkap yang

mengandung metil eugenol. Metil eugenol (C12H24O2) diketahui bersifat atraktan

atau penarik hama lalat buah jantan. Penggunaan metil eugenol sebagai atraktan

untuk pengendalian lalat buah dilakukan dengan teknik perangkap. Perangkap

atraktan metil eugenol yang dipasang di sekitar pertanaman untuk menangkap lalat

jantan supaya lalat betina tidak dapat berkembang biak sehingga dapat mengurangi

populasi lalat buah (Lengkong et al. 2011). Cara ini dianggap efektif, ramah

lingkungan dan tidak meninggalkan residu dalam komoditas yang dilindungi.

Menurut Omoy et al. (1997) penurunan populasi lalat buah dengan metil eugenol

mencapai 90–95%.

Rukmana (2011) mengatakan, bahwa dua anggota dari Bactrocera dorsalis

Kompleks ini memiliki hubungan taksonomi yang sangat erat yaitu Bactrocera

carambolae dan Bactrocera papayae. Kedua spesies tersebut merupakan klasifikasi

ulang dan dinyatakan sebagai spesies baru (Azmal dan Fitriany, 2006). Berdasarkan

revisi taksonomi tersebut ada beberapa perbedaan yang mendasar dari ciri

morfologi keduanya, yaitu:

1. Pola pita costal sayap pada apex R4+5.

92
2. Adanya spot hitam pada femur depan lalat betina.

3. Pola pita melintang warna hitam pada tergit III-V di abdomen.

B. dorsalis (Hendel) terkenal dengan nama Oriental fruit fly yang merupakan

sinonim dari B. ferrugineus dan B. conformis. Spesies ini sebelumnya dikenal

sebagai Chaetodacus dorsalis (Hendel), C. ferrugineus dorsalis (Hendel), C.

ferrugineus okinawanus Shiraki, Dacus dorsalis Hendel, dan Strumeta dorsalis

(Hendel). Pada saat ini, telah diketahui bahwa B. dorsalis merupakan spesies

kompleks di mana ditemukan kurang lebih 52 sibling spesies3, 40 spesies dari

genus Bactrocera telah di deskripsi sebagai spesies baru dan 8 spesies di antaranya

secara ekonomis merupakan hama penting yang banyak merugikan tanaman buah

dan sayuran di daerah Asia dan Asia Tenggara (Kardinan et al., 2009).

Menurut Epsky (1995) menjelaskan, bahwa B. dorsalis memiliki skutum

berwarna hitam, mesonotum (toraks tengah) hitam, pita lateral kuning pada

mesonotum memanjang ke dekat rambut supra alar, 2 pasang rambut pada fronto

orbital bagian dalam, dua rambut pada skutelum (scutellum) (b). Sayap hanya

mempunyai pita hitam pada garis costa dan garis anal, tidak mempunyai noda-noda

pada vena melintang (d). Abdomen sebagian besar berwarna merah pucat (coklat),

terdapat pita hitam melintang pada tergit-2 dan tergit-3, pita hitam sempit

longitudinal membelah di tengah-tengah tergit 3-5 (c). Panjang: 4,5-4,7 mm.

Mulyahandaka (1989) mengatakan, bahwa ciri khas spesies B. dorsalis ini

hampir sama dengan spesies Dacus (Bactrocera) pedestris, sehingga di antara

spesies dorsalis dan pedestris hampir selalu mengalami kekeliruan identifikasi.

Berbeda dengan B. dorsalis, B. pedestris mempunyai muka dengan 2 spot hitam,

93
daerah spirakel dan koksa (coxa) berwarna hitam, pita hitam pada garis costa tidak

memanjang ke bawah pada vena R2+3 kecuali pada apeks sayap. Femur berwarna

kuning.

Pengamatan lalat buah pada kelengkeng setiap pagi dan sore di lakukan di

pohon kelengkeng dekat screen house perangkap botol metil eugenol yang telah di

buat di gantung pada pohon. Hari ke 1 pada pagi pukul 09:03 lalat yang hidup 0

sedangkan yang mati, kemudian pada sore pukul 15:24 lalat yang hidup 1 dan yang

mati 2. Hari ke 2 pengamatan pada pagi pukul 07:21 lalat yang hidup 2 dan yang

mati sebanyak 12 sedangkan sore pukul 15:46 yang mati 12 dan yang hidup 2. Hari

ke 3 pengamatan pagi pukul 08:57 lalat buah yang mati 12 dan hidup 1 kemudian

sore pukul 16:08 lalat buah yang hidup 0 dan yang mati 12.

Sesuai dengan pendapat Yolanda (2014), bahwa lalat buah yang terperangkap

dalam botol adalah imago jantan. Zat pemikat berbahan aktif Metyl eugenol

tergolong food lure, artinya lalat jantan tertarik datang untuk keperluan makan,

bukan untuk seksual. Setelah dimakan maka Metyl eugenol akan diproses dalam

tubuh lalat jantan untuk menghasilkan feromon seks yang diperlukan saat

perkawinan guna menarik lalat betina. Penempatan perangkap dapat ditempatkan

di sekeliling pertanaman untuk menghindari lalat buah masuk ke dalam

pertanaman. Penggunaan perangkap dilakukan dengan menggunakan perangkap

beratraktan yang dapat mengeluarkan bau atau aroma makanan lalat buah seperti

aroma buah atau feromon seks. Contoh atraktan yang dapat digunakan adalah metil

eugenol dan cue lure.

94
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Perangkap dibuat dari botol air mineral 600-1500 ml. Tutup botol dilubangi

untuk memasukan tali rafia. Pada bagian tengah botol diikatkan segumpal kapas

yang ditetesi dengan metil eugenol. Lalat yang masuk ke dalam botol akan

terperangkap dan mati.

2. Perangkap yang dipasang pada pertanaman kelengkeng berhasil menangkap lalat

buah sebanyak 12 yang mati.

3. Penggunaan metil eugenol sangat menguntungkan hanya diberi 2 tetes pada

kapas dapat digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama.

B. Saran

Sebaiknya pada saat pengamatan asisten praktikum lebih menjelaskan

kembali bagaimana prosedur yang harus dilakukan agar hasil data yang di dapatkan

sesuai.

95
DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, K. 2000. Mendayagunakan Kearifan Tradisi dalam Pertanian Yang


Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan. Humaniora Utama Press.
Bandung, p.3-13.

Azmal AZ, dan Fitriany. 2006. Surveilans Distribusi Spesies Lalat Buah Di
Kabupaten Belitung Bactrocera sp (Diptera: Tephritidae) Pada Tanaman
Cabe. Eugenia. Vol. 17 (2): 121-127.

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Vol. 18 No. 1, ISSN. 0216-4418. biji
dan cabai merah di Kabupaten Brebes. J. Hort. Vol. 1 (2): 124-129.

Cohen, H. 2007. Development and Evaluation of Improved Mediterranean Fruit


Fly Attractant in Israel. Proc. Of a Final Research Coord. Meeting. FAO and
IAEA (Int.Atomic Energy Agency). 7 pp.

Epsky, N. D., R. R. Heath, A. Guzman, and W. L. Meyer. 1995. Visual Cue and
Chemical Cue Interactions in a Dry Trap with Food-Based Synthetic
Attractant for Ceratitis capitata and Anastrepha ludens (Diptera:
Tephritidae). Environ Entomol. Vol. 7 (24):1387-1395.

Guillén GL, Virgen A. and Roja JC. 2009. Color Preference of Anastrepha obliqua
(Diptera, Tephritidae). Revista Brasileira de Entomologia. Vol. 53 (1): 157-
159.

Hardy, D.E. 1986b. The Adramini of Indonesia, New Guinea and Adjacent Islands
(Diptera: Tephritidae: Trypetinae). Proceedings of the Hawaian
Entomological Society. Vol. 27 (2): 53-78.

Hasyim, A, Setiawati, W & Liverdi, L. 2014. Teknologi Pengendalian Hama Lalat


Buah dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Litbang.

Heath RR, Epsky ND, Kendra PE, Mangan R. 2007. Fruit Fly Trapping And
Control — Past, Present And Future. In. Proceedings of a Final Research
Coordination Meeting Organized by the Joint FAO/IAEA Programme of
Nuclear Techniques in Food and Agriculture and held in Vienna, 5-7 May
2005.

Hee, A.K. and K.H. Tan. 2001. Transport of Methyl Eugenol Derivat Sex
Pheromonal Component in Male Fruit fly Bactrocera dorsalis. Journal of
Chemical Ecology. Vol. 27 (1): 5.

96
Herlinda, Mayasari RK, Adam T, dan Pujiastuti Y. 2007. Populasi dan Serangan
Lalat Buah Bactrocera Dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae) serta
Potensi Parasitoidnya pada Pertanaman Cabai (Capsicum annuum l.).
Seminar Nasional Dan Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Barat,
Palembang, 3-5 Juni 2007.

Ibrahim AG, dan Hashim AG, 1989. Efficacy of Methyl-eugenol as Male Attractant
for Dacus dorsalis Hendel (Diptera: Tephritidae). Pertanika. Vol. 3 (2): 108-
112.

Kalie MB. 1992. Mengatasi Buah Rontok, Busuk, dan Berulat. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Kardinan A, Bintoro MH, Syakir M, dan Amin A. 2009. Penggunaan Selasih dalam
Pengendalian Hama Lalat Buah pada Mangga. J. Littri. Vol. 15(3): 101 – 109.

Kardinan, A 2009, Prospek Minyak Daun Melaleuca braceata Sebagai Pengendali


Hama Lalat Pada Buah (Bactrocera dorsalis) di Indonesia. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Vol. 1 (2): 34-37.

Katsoyannos BI and Kouloussis NA. 2001. Capture of the Olive Fruit-fly,


Bactrocera oleae on Spheres of Different Colors. Entomol. Exp. et Appl.
100:165-172.

Lengkong, M, Rante, CS, & Meray, M. 2011. Aplikasi MAT dalam Pengendalian
Lalat Buah dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Belitung Timur.
Stasiun Karantina Tumbuhan Tanjung Pandan. Available at
http://www.ditlin.hortikultura. Diakses pda 12 Oktober 2017 pukul 19.00.

Mulyahandaka. 1989. Fluktuasi Populasi Lalat Buah Dacus dorsalis Hendel


(Diptera: Tephritidae) Pada Tanaman Mangga (Mangifera indica L.) di
Kebun Percobaan Cukurgondang Pasuruan. Skripsi, Fak. Pertanian Univ.
Brawijaya. 56 hlm.

Mulyanti, N, Suprapto & Hendra, J. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Balai Besar
Pengkajian.

Muryati, Hasyim A, Riska. 2008. Preferensi Spesies Lalat Buah terhadap Atraktan
Metil Eegenol dan Cue Lure dan Populasinya Di Sumatera Barat dan Riau. J.
Hortikultura. Vol. 18 (2): 227-233.

Omoy, TR & Sulaksono, S. 2000. Evaluasi Kerusakan Lalat Buah Pada Tanaman
Mangga, Jambu. Pasca Sarjana ITB. Bandung.

97
Ranganath, H.R., M.A. Suryanarayana, and K. Veenakumari. 1997. Management
of Melon Fly (Bactrocera (Zeugodacus) cucurbitae Coquillett) in Cucurbits
in South Andaman. Insect Environment. Vol. 3 (2): 32-33.

Rosmahani, L. 2010. Minyak Selasih (Ocimum tenuiflorum) Sebagai Komponen


Pengendali Populasi Lalat Buah Mangga Pada Pertanian Organic. Seminar
Nasional Isu pertanian organic dan tantangannya. Ubud 12 Agustus 2010,
BBP2TP Bekerjasama dengan Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan
Universitas Udayana Denpasar dan Dinas Pertanian, Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Gianyar, Hlm. 248-252.

Rukmana, R. 2011. Selasih Potensi dan Prospeknya. CV Aneka Ilmu. Jakarta.

Sarwono. 2003. PHT Lalat Buah Pada Mangga. Pros. Lokakarya Masalah Kritis
Pengendalian Layu Pisang, Nematode Sista Kuning pada Kentang dan Lalat
Buah. Puslitbang Hortikultura. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian.
Litbang Pertanian, BPTP-Jatim. p.142-149.

Shahabuddin. 2011. Efektivitas Ekstrak Daun Wangi (Ocimum Sp.) dan Daun
Wangi (Melaleuca bracteata L.) Sebagai Atraktan Lalat Buah Pada Tanaman
Cabai. Jurnal Agroland. Vol. 18 (3): 201-206.

Subahar, TS, Sastrodihardjo, S, Lengkong, M, & Suhara. 1999. Kajian Pendahuluan


Investasi Tanaman Cabai. Iptek Hortikultura. Vol. 2 (10): 20 – 25.

Suputa, E. Martono, D.H. Handayani, and R. Ediati. 2004. Newly Reported: Dacus
longicornis and Dacus petioliforma (Diptera: Tephritidae) in Jogjakarta
special province. Indonesian Journal of Plant Protection. Vol. 10 (2): 106-
111.

Tan, K.H., R. Nishida and Y.C. Toong. 2002. Floral Synomone of a Wild Orchid
Bulbophyllum cheiri, lures Bactrocera Fruit Flies for Pollination. Journ. Of
Chemical Ecology. Vol. 28 6): 1161-1172.

Tobing MC, Marheni, Mariati, Sipayung, R. 2005. Pengaruh Metil Eugenol dalam
Pengendalian Lalat Buah (Bactrocera dorsalis) pada Pertanaman Jeruk.
Jurnal Natur Indonesia. Vol. 9 (2): 127-130.

Untung, K., 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Yolanda. 2014. Pengaruh Konsumsi Metil Eugenol dan Protein Hidrolisat Terhadap
Kebugaran Lalat Buah Bactrocera carambolae. J. Hort. Vol. 24 (3): 249-257.

Yuniarti, Prahardini, PER & Santoso, PJ 2007, Peningkatan Mutu Buah Mangga
Arumanis untuk Pasar Swalayan. Prosiding Seminar Nasional Agribisnis

98
Mangga, Probolinggo, 10-11 Nopember 2006, Kerja sama BPTP Jawa Timur
dengan FP Universitas Brawijaya Malang. 52-62.

Zulfitriany, Sylvia S dan Gassa A. 2004. Pemanfaatan Minyak Sereh (Andropogon


Nardus L.) Sebagai Atraktan Berperekat Terhadap Lalat Buah (Bactrocera
spp) pada Pertanaman Mangga. J. Sains dan Teknologi. Vol. 4 (3): 123-129.

99
LAMPIRAN

Perangkap yang digunakan di tanaman kelengkeng

100
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU

ACARA V
PENERAPAN KOMPONEN PHT PADA TANAMAN KAKAO

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara pembudidaya tanaman kakao paling

luas di dunia dan termasuk Negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Ivory-

Coast dan Ghana, yang nilai produksinya mencapai 1.315.800 ton/thn. Kurun waktu

5 tahun terakhir, perkembangan luas areal perkebunan kakao meningkat secara

pesat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8%/thn dan saat ini mencapai 1.462.000

ha. Hampir 90% dari luasan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Kakao

merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam

upaya peningkatan devisa Indonesia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009).

Komoditas kakao menempati peringkat ketiga ekspor sektor perkebunan

dalam menyumbang devisa negara, setelah komoditas CPO dan karet. Kakao

merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang berperan penting dalam

perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao

terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 844.630 ton, dibawah negara Pantai Gading

dengan produksi 1,38 juta ton. Volume ekspor kakao Indonesia tahun 2009 sebesar

535.240 ton dengan nilai Rp. 1.413.535.000 dan volume impor sebesar 46.356 ton

senilai 119,32 ribu US$ (Muis dan Basri, 2008).

Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia pada periode 1999-2009 meningkat

pesat masing-masing dengan laju 12% dan 10,84% per tahun. Hasil penelitian juga

mendukung bahwa industri kakao patut dikembangkan sebagai salah satu andalan

karena mempunyai koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang yang lebih besar

102
dari satu, efek penggandaan, dan lapangan kerja yang relative besar, serta efek

distribusionalnya cukup baik (tersebar)Sejalan dengan peran penting tersebut,

peluang pasar kakao Indonesia masih cukup terbuka. Potensi untuk menggunakan

industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan

cukup terbuka dan sangat menjanjikan. Kendala utama pada budidaya tanaman

kakao adalah serangan jasad pengganggu tanaman. Agen utama penyebab

kehilangan hasil pada tanaman kakao di Indonesa adalah Penggerek Buah Kakao

(PBK, Conopomorpha cramerella). Kehilangan hasil akibat serangan PBK dapat

mencapai 82,2. Penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phythopthora

palmivora juga dapat menurunkan produksi sebesar 52,99 % (Wahyudi et al.,

2008).

Penerapan PHPT pada tanaman kakao memungkinkan petani memilih

strategi pengelolaan yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan. Penggunaan sistem

pengelolaan terpadu mengurangi tingkat serangan hama dan penyakit pada tanaman

kakao, mengurangi penggunaan bahan kimia yang tidak perlu, menyediakan

alternatif pengelolaan hama dan penyakit dan memperbaiki hasil serta kualitas

kakao, oleh karena itu dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini yang

menyebabkan dilakukannya praktikum penerapan. Strategi pengendalian jasad

pengganggu tanaman dilakukan dengan memadukan berbagai komponen

pengendalian dalam sistem pengendalian hama terpadu (PHT, integrated pest

management). Komponen yang terkait dengan sistem PHT tersebut adalah bahan

tanam tahan PBK, agen biologi, dan managemen lingkungan. Pemaduan ketiga

komponen tersebut didasarkan atas pertimbangan ekologis, ekonomis, dan

103
sosiologis. Oleh sebab itu perakitan teknologi pengendalian hama PBK pun

diarahkan sesuai konsep PHT tersebut. Hal ini yang salah satunya mendasari

dilakukannya praktikum penerapan komponen PHT pada tanaman kakao.

B. Tujuan

Praktikum penerapan komponen PHT pada tanaman kakao bertujuan untuk:

1. Mengetahui jenis hama dan penyakit pada tanaman kakao.

2. Menerapkan beberapa komponen PHT pada tanaman kakao.

3. Mengetahui keuntungan penerapan masing-masing komponen PHT pada

tanaman kakao.

104
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu jenis tanaman

perkebunan yang terus mendapat perhatian untuk dikembangkan. Upaya

pengembangan tanaman kakao disamping masih diarahkan pada peningkatan

populasi (luas lahan) juga telah banyak diarahkan pada peningkatan jumlah

produksi dan mutu hasil. Adapun aspek yang paling diperhatikan dalam usaha

peningkatan jumlah produksi dan mutu hasil adalah penggunaan jenis-jenis kakao

unggul dalam pembudidayaan tanaman kakao. Saat ini terdapat sejumlah jenis

kakao unggul yang sering digunakan dalam budidaya kakao, antara lain jenis (klon)

Sulawesi 1 dan Sulawesi 2 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009).

Kakao merupakan satu-satunya dari 22 jenis marga Theobroma, suku

Sterculiaceae, yang diusahakan secara komersial. Menurut Basri (2004) sistematika

tanaman ini sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Anak divisi : Angioospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Anak kelas : Dialypetalae

Bangsa : Malvales

Suku : Sterculiaceae

Marga : Theobroma

Jenis : Theobroma cacao L.

105
Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan dasar klasifikasi dalam

sistem taksonomi. Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke

dalam empat populasi. Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah

tropika adalah anggota sub jenis sphaerocarpum. Bentuk bijinya lonjong, pipih dan

keping bijinya berwarna ungu gelap. Mutunya beragam tetapi lebih rendah daripada

sub jenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena alur-alurnya dangkal.

Kulit buah tipis tetapi keras (liat) (Winarsih dan Prawoto, 1995).

Menurut Fitriana et al., (2012), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu

criollo, forastero, dan trinitario; sebagian sifat criollo telah disebutkan di atas. Sifat

lainnya adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih rendah daripada

forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit permukaan kulit buah

criollo kasar, berbenjolbenjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak

sehingga mudah dipecah. Kadar lemak biji lebih rendah daripada forastero tetapi

ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan citarasa khas yang baik. Dalam tata

niaga kakao criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine flavoured), sementara itu

kakao forastero termasuk kelompok kakao lindak (bulk), kelompok kakao trinitario

merupakan hibrida criollo dengan farastero. Sifat morfologi dan fisiologinya sangat

beragam demikian juga daya dan mutu hasilnya. Dalam tata niaga, kelompok

trinitario dapat masuk ke dalam kakao mulia dan lindak, tergantung pada mutu

bijinya (Karmawati et al., 2010).

Puji (2005) mengatakan, bahwa sejumlah faktor iklim dan tanah menjadi

kendala bagi pertumbuhan tanaman. Lingkungan alami tanaman kakao adalah

hutan tropis. Dengan demikian curah hujan, suhu udara dan sinar matahari menjadi

106
bagian dari faktor iklim yang menentukan. Begitu pula dengan faktor fisik dan

kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya tembus dan kemampuan akar

menyerap hara. Ditinjau dari wilayah penanamannya, kakao ditanam pada daerah-

daerah yang berada pada 10o LU-10o LS. Namun demikian, penyebaran kakao

umumnya berada di antara 7o LU-18o LS. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi

curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Kakao juga masih

toleran pada daerah 20o LU-20o LS. Sehingga Indonesia yang berada pada 5o LU-

10o LS masih sesuai untuk pertanaman kakao. Ketinggian tempat di Indonesia yang

ideal untuk penanaman kakao adalah < 800 m dari permukaan laut.

Hama PBK (Conopomorpha cramerella) merupakan hama utama kakao yang

menyebabkan kerugian mencapai miliaran rupiah. Daerah sebarannya melanda

hampir semua propinsi penghasil kakao di Indonesia. Stadium yang menimbulkan

kerusakan adalah stadium larva yang menyerang buah kakao mulai berukuran 3 cm

sampai menjelang masak. Ulat merusak dengan cara menggerek buah, makan kulit

buah, daging buah dan membuat saluran ke biji, sehingga biji saling melekat,

berwarna kehitaman, sulit dipisahkan dan berukuran lebih kecil (Vander vossen,

1997).

PBK adalah ngengat kecil. Kenampakan PBK adalah sebagai larva (seperti

cacing) dalam fase muda dan sebagai ngengat pada fase dewasa. Panjang ngengat

sekitar 1 cm. Serangan penggerek buah kakao dapat dikenali dari pemasakan buah

yang tidak sempurna dan dari lubang kecil pada kulit buah yang dibuat serangga

untuk masuk dan keluar. Larva penggerek buah kakao akan terlihat jika buah

dibuka. Biji sering dijumpai menggumpal menjadi satu (Puslitkoka, 2008).

107
Penggerek Buah Kakao (PBK) adalah hama penting pada usaha pertanaman

kakao yang sulit dideteksi dan sulit dikendalikan. Mengingat semakin luasnya

penyebaran hama PBK dan besarnya kerugian yang ditimbulkan, maka perlu dicari

metode penanggulangan hama PBK yang efektif dan efisien. Strategi pengendalian

yang diterapkan di Indonesia berpedoman pada konsep pengendalian hama terpadu

(PHT) (Beding et al., 2002). Oleh karena itu untuk menanggulangi PBK perlu

dilakukan berbagai cara yang merupakan satu paket penanggulangan yang

penentuannya didasarkan pada tingkat serangan dan keadaan tanaman kakao.

Tindakan pengendalian terpadu PBK untuk daerah serangan yaitu pemangkasan

bentuk, panen sering, sanitasi, penyemprotan insektisida, penyarungan buah dan

pengendalian hayati (Sulistyowati 2008).

Karmawati (2010) menjelaskan, bahwa selain PBK, hama yang sering

dijumpai pada pertanaman kakao adalah Helopeltis spp. (Famili Miridae: Ordo

Hemiptera). Helopeltis spp. merupakan salah satu hama utama kakao yang banyak

dijumpai hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Jenis Helopeltis yang menyerang

tanaman kakao diketahui lebih dari satu spesies, yaitu H. antonii, H. theivora dan

H. claviver (Karmawati et al., 2010). Stadium yang merusak dari hama ini adalah

nimfa (serangga muda) dan imagonya. Nimfa dan imago menyerang buah muda

dengan cara menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan, kemudian mengisap

cairan di dalamnya. Sambil mengisap cairan, kepik tersebut juga mengeluarkan

cairan yang bersifat racun yang dapat mematikan sel-sel jaringan yang ada di sekitar

tusukan. Selain buah, hama ini juga menyerang pucuk dan daun muda.

108
Penyakit busuk buah merupakan penyakit terpenting karena menyerang

hampir di seluruh areal penanaman kakao dan kerugiannya dapat langsung

dirasakan. Penyakit ini disebabkan oleh Phytopthora palmivora Bute, sejenis jamur

yang dapat mempertahankan hidupnya dalam tanah bertahun-tahun. Pada musim

kering spora hidup dalam tanah dalam bentuk siste yang mempunyai dinding tebal.

Penyebaran jamur dari buah satu ke buah lain melalui berbagai cara yaitu percikan

air hujan, persinggungan antara buah sakit dan buah sehat, melalui binatang

penyebar seperti tikus, tupai atau bekicot. Kerugian yang disebabkan penyakit

cukup besar persentase busuk buah di beberapa daerah mencapai 30-50% (Tumpal

et al., 2006).

Berdasarkan UU nomor 12 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6

Tahun 1995, kegiatan penanganan OPT merupakan tanggung jawab pemerintah dan

masyarakat yang dilaksanakan dengan menerapkan system Pengendalian Hama

Terpadu (PHT). UU no. 12 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah no. 6 tahun 1995,

menyatakan bahwa kegiatan penanganan OPT merupakan tanggung jawab

pemerintah dan masyarakat yang dilaksanakan dengan menerapkan sistem

pengendalian hama terpadu (PHT) (Menteri Pertanian, 2005). PHT atau yang

dikenal dengan Integrated Pest Management (IPM), merupakan suatu konsep atau

paradigma yang dinamis, tidak statis, yang selalu menyesuaikan dengan dinamika

ekosistem pertanian dan sistem social ekonomi dan budaya masyarakat setempat.

PHT mendorong kemandirian dan keberdayaan dalam pengambilan keputusan

daripada ketergantungan pada pihak-pihak lain (Untung, 2003). Berdasarkan hal

tersebut maka petani yang langsung berhubungan dengan kegiatan pertanian

109
tersebut diharapkan dapat berperan sebagai manager di kebunnya sendiri, yang

mampu mengambil keputusan dan melakukan tindakan untuk mengatasi masalah

OPT.

Menurut Wahyudi et al., (2002) mengatakan, bahwa pengelolaan hama dan

penyakit terpadu (PHPT) dirancang untuk menyeimbangkan dan mengelola

kegiatan yang ada hubungannya dengan daur pertanaman kakao. Meskipun bahan

tanam baru merupakan komponen utama teknologi PHPT, teknologi ini sama

efektifnya jika diterapkan pada tanaman kakao klonal atau hibrida yang telah ada.

PHPT dirancang untuk memaksimumkan keuntungan petani dengan cara

memperbaiki kesehatan tanaman kakao. Badan Litbang Pertanian (2007)

menambahkan, bahwa tujuan PHPT adalah untuk:

1. Memperbaiki kesehatan tanaman.

2. Membentuk struktur pohon primer yang produktif.

3. Mengurangi serangan hama dan penyakit.

4. Mengembangkan kondisi yang menekan penyakit.

110
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang dibutuhkan dalam praktikum penerapan komponen PHT pada

tanaman kakao yaitu tanaman kakao yang sedang berbuah muda, pupuk kandang,

gula merah dan air. Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu kantong plastik

bambu, gergaji, gunting pangkas, cangkul, karet gelang, ember, kamera, dan alat

tulis.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum penerapan komponen PHT

pada tanaman kakao antara lain:

1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok besar (4 – 5 orang).

2. Bahan dan alat dipersiapkan.

3. Mahasiswa diajak pergi ke pertanaman kakao.

4. Hama dan penyakit yang ada pada pertanaman kakao diamati.

5. Komponen PHT diterapkan pada tanaman kakao yang ada.

6. Kebun dibersihkan dari seresah/sampah daun sebatas tajuk terluar.

7. Tunas muda atau tunas air dipangkas dengan menggunakan gunting pangkas

atau gergaji.

8. Sarang buatan yang berisi seresah daun kering dan dicampurkan dengan gula

merah pada kantong kresek dipasang pada tanaman kakao sebagai sarang dari

predator semut hitam.

111
9. Tanaman kakao digemburkan dengan cangkul untuk kemudian dipupuk dengan

pupuk kandang dan selanjutnya disiram dengan air.

10. Buah kakao yang masih muda diselubungi dengan kantung plastik untuk

menghindari serangan hama PBK dan Helopeltis sp.

112
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1.1 Penerapan komponen PHT pada tanaman kakao


No. Gambar Kegiatan Keterangan
1. Melakukan sanitasi pada sekitar tanaman
kakao.

2. Pemangkasan tanaman kakao dengan


memangkas ranting yang sudak tidak
berproduktif.

3. Melakukan penyarungan (kondomisasi)


pada buah kakao dengan menggunakan
plastic yang di selipkan pada bamboo
kemudian di ikat karet.

4. Melakukan pembuatan sarang untuk semut


dengan daun yang di tambah gula merah,
kemudian meletakkannya di ranting
tanaman kakao.

113
5. Pembumbunan pada tanaman kakao dengan
mencangkul tanah di sekitar kakao

6. Pemupukan tanaman kakao secara merata


dengan pupuk kendang/kompos.

B. Pembahasan

Pemeliharaan kebun kakao merupakan kegiatan utama yang dilakukan agar

memperoleh produksi biji kakao yang tinggi dan terus berkelanjutan. Perawatan

bertujuan untuk memperbaiki kondisi vegetatif tanaman kakao, meningkatkan

produktivitas dan kesinambungan produksi hingga umur ekonomisnya sekitar 28

tahun dan menjaga kelestarian tanah dan lingkungannya. Perawatan kebun kakao

ini terbagi atas dua fase, yaitu perawatan dalam fase TBM dan TM (Supriadi, 2011).

Pemeliharaan dalam fase TBM yaitu (Rubiyo, & Amaria, 2013):

1. Pembersihan gulma secara manual pada piringan tanaman.

2. Pemupukan.

3. Pemangkasan penaung tetap dan penaung sementara.

4. Pemangkasan bentuk tanaman kakao.

5. Pengendaliah hama maupun penyakit.

114
Hanada et al., (2009) mengatakan, bahwa upaya peningkatan roduksi dan

roduktifitas mutu tanaman perkebunan khususnya tanaman kakao perawatan kebun

kakao merupakan kegiatan yang harus dilakukan agar memperoleh produksi biji

kakao yang tinggi dan terus berkelanjutan. Perawatan yang harus diprioritaskan,

untuk tujuan seperti memperbaiki kondisi vegetatif tanaman kakao, meningkatkan

produktivitas dan kesinambungan produksi hingga umur ekonomisnya sekitar 28

tahun dan menjaga kelestarian tanah dan lingkungannya, adalah pemupukan dan

pengendalian hama dan penyakit. Perawatan kebun kakao ini terbagi atas dua fase,

yaitu perawatan dalam fase tanaman belum menghasilkan (TBM) dan fase tanaman

menghasilkan (TM). Perawatan dalam fase TBM adalah pembersihan gulma secara

manual pada piringan tanaman, pemupukan, pemangkasan penaung tetap dan

penaung sementara, pemangkasan bentuk tanaman kakao, dan pengendaliah hama

maupun penyakit.

Menurut Untung (2003) menjelaskan, bahwa pemangkasan bentuk dilakukan

setelah tanaman membentuk jorket yang dimaksudkan untuk membentuk kerangka

percabangan yang kuat dan seimbang, dari 4-5 cabang primer yang terbentuk dipilih

3 buah cabang primer yang masing-masing tersebar merata membentuk sudut 120

derajat, sedangkan cabang primer lainnya dipangkas. Cabang-cabang sekunder

sampai dengan 60 cm dari pusat percabangan dipangkas.

Pemangkasan merupakan kegiatan membuang dan memotong cabang-cabang

negatif, yaitu cabang mati, cabang kering, dan cabang sakit, serta membuang

cabang yang tidak produktif. Pada dasarnya pemangkasan kakao dimaksudkan

untuk memperoleh nilai ILD optimal agar hasil bersih fotosintesis maksimal.

115
Tanaman kakao bila tidak dipangkas tingginya dapat mencapai 10 m, sedangkan

tinggi maksimal tanaman kakao sebagai tanaman budidaya adalah 3-4 m. Oleh

karena itu,pemangkasan menjadi kegiatan pemeliharaan yang penting bagi

pertanaman kakao (Wahyudi et al., 2002).

Pemangkasan pada tanaman kakao belum menghasilkan yang dilakukan saat

praktikum menggunkan gunting dan gergaji dimana, dilakukan dengan cara

memangkas cabang-cabang diluar 3 cabang utama, membuang ranting-rating yang

kurang dari sama dengan 2 cm dengan jarak awal 20 cm dari jorgnette, jarak

selanjunya dengan jarak 30 cm, dan membuang daun-daun sudah rusak dan yang

berada diranting-ranting. Pemangkasan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk

kanopi yang baik dan meningkatkan penetrasi cahaya ke dalam kanopi. Kanopi

yang ideal adalah apabila sebagian besar percabangan dapat menerima cahaya

matahari (percabangan yang berorientasi vertikal). Kanopi yang ideal bertujuan

untuk mendapatkan ILD (Indek Luas Daun) yang optimum bagi pertanaman.

Peranan ILD ini sangat penting dalam menentukan kecepatan fotosintesis dan untuk

taksasi produksi. Jumlah karbohidrat hasil fotosintesis kanopi kakao meningkat

sesuai dengan meningkatnya nilai ILD, akan tetapi hanya sampai pada batas dimana

peningkatan bahan kering tanaman berada pada titik optimal ILD. ILD yang

optimal cenderung akan menghasilkan produksi yang maksimal (Tumpal et al.,

2006).

Maulidiyah (2013) menjelaskan, bahwa pemangkasan kakao mempunyai

tujuan: (1) memperoleh kerangka dasar percabangan tanaman kakao yang baik, (2)

mengatur penyebaran cabang dan daun-daun produktif di tajuk merata, (3)

116
membuang bagian-bagian tanaman yang tidak dikehendaki, seperti tunas air serta

cabang sakit, patah, menggantung, dan cabang terbalik, (4) memacu tanaman

membentuk daun baru yang potensial untuk sumber asimilat, (5) menekan resiko

terjadinya serangan hama dan penyakit, dan (6) meningkatkan tanaman

menghasilkan buah. Selain pemangkasan terhadap tanaman kakao, pemangkasan

terhadap pohon pelindung perlu dilakukan agar percabangan dan dedaunannya

tumbuh tinggi dan baik. Pohon pelindung yang dibiarkan tanpa dipangkas akan

membatasi pertumbuhan kakao, karena menghalangi sinar matahari serta

menimbulkan persaingan dengan tanaman utama dalam mendapatkan air dan hara.

Helopeltis spp. (Hemiptera: Miridae) merupakan salah satu hama pada

tanaman kakao. Selain pada tanaman kakao, Helopeltis juga menyerang tanaman

lainnya seperti teh, kina, kapok, kayu manis, dan jambu mete. Daerah sebaran

serangga ini meliputi Afrika, Ceylon, Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, Papua, Sabah, Papua Nugini, dan Filipina (Sulistyowati et al., 2014).

Pada tanaman kakao, Helopeltis spp. menyerang bagian buah, pucuk, dan ranting

muda, serangan dapat menurunkan produksi buah kakao 50%-60% (Siswanto, &

Karmawati, 2012).

Menurut Sulistyowati (2008), serangan Helopeltis spp. dikelompokkan

menjadi: (1) kategori ringan, bercak buah <25%; (2) kategori sedang, bercak buah

25-50%; dan (3) kategori berat, bercak buah >50%. Pengendalian secara biologi

dilakukan dengan menggunakan musuh alami yang menyerang Helopeltis spp.,

seperti predator, parasitoid, dan patogen serangga (entomopathogen). Barthakur

(2011) melaporkan beberapa musuh alami golongan predator yang berperan sebagai

117
pengendali Helopeltis spp. adalah Chrysoperla carnea (Neuroptera: Chrysopidae),

Mallada sp. (Neuroptera: Chrysopidae), dan Oxyopes sp. (Arachnida: Oxyopidae).

Berdasarkan hasil penelitian Karmawati et al., (1999), telah ditemukan beberapa

jenis predator H antonii, yaitu Coccinella sp., semut hitam (Dolichoderus

thoracicus) dan semut merah (Oecophylla smaragdina). Namun, populasi semut

hitam dan semut rangrang lebih dominan. Keefektifan predator dalam

mengendalikan H. antonii membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Semut hitam

(Dolichoderus thoracicus) dan semut merah (Oecophylla smaragdina)

mengganggu imago Helopeltis spp. Permukaan buah menyebabkan Helopeltis tidak

bisa meletakkan telur atau mengisap buah karena diserang oleh semut tersebut.

Hasil penelitian Wiryadiputra (2007) menunjukkan pemapanan semut hitam

dengan menggunakan sarang daun kelapa yang dikombinasikan dengan inokulasi

kutu putih (Cataenococcus hispidus) menggunakan sayatan kulit buah kakao cukup

berhasil dan dapat menekan serangan dan populasi Helopeltis secara efektif pada

periode empat bulan setelah pemapanan, terutama pada tanaman kakao dengan

penaung kelapa. Pengendalian secara hayati H. antonii pada tanaman kakao dengan

menggunakan semut hitam cukup prospektif, terutama jenis D. thoracicus. Predator

tersebut pernah diteliti pada tahun 1904 di perkebunan Silowuk Sawangan dan

tahun 1938 di Kediri. Hasil penelitian menunjukkan tingkat serangan H. antonii

pada buah kakao yang sering dikunjungi semut hitam lebih rendah dari pada yang

tidak dikunjungi semut. Namun, jenis semut ini tidak dapat bersaing dengan jenis

lainnya pada habitat baru. Oleh karena itu, sebelum diintroduksikan, lokasi baru

perlu dibebaskan dari jenis semut lain.

118
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2006) mengatakan, bahwa salah

satu penyebab rendahnya produktivitas kakao di Indonesia adalah serangan

organisme pengganggu tanaman. Banyak jenis hama dan penyakit yang menyerang

tanaman kakao. Hama utama tanaman kakao di Indonesia antara lain penggerek

buah kakao (Conopomorpha cramerella) dan kepik pengisap buah (Helopeltis

spp.). Pengendalian hama tersebut, pada umumnya petani menggunakan insektisida

kimiawi yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu upaya

mengurangi dampak negatif dalam pengendalian hama tersebut yaitu dengan

memanfaatkan pestisida nabati dan agens hayati seperti parasitoid, predator dan

pathogen yang bersifat ramah terhadap lingkungan.

Cendawan entomopatogen juga sangat potensial mengendalikan serangga

hama tanaman kakao seperti Helopeltis spp. dan PBK. Bioinsektisida cendawan

entomopatogen memiliki kelebihan dalam keamanan penggunaannya. Cendawan

ini memiliki spektrum inang dari yang sangat luas seperti Metharizium anisopliae

sampai yang sangat sempit dan spesifik seperti Aschersonia spp., yang hanya

menyerang lalat putih (Dwomoh et al., 2008). Beberapa kelebihan lain penggunaan

produk bioinsektisida cendawan entomopatogen yaitu memiliki kemampuan untuk

memperbanyak diri sehingga petani pengguna tidak perlu membelinya secara

berkala. Produk ini juga memiliki keunggulan dari segi kesehatan karena sifatnya

yang spesifik pada serangga tertentu. Selain itu cendawan entomopatogen aman

terhadap tanaman pertanian dan manusia (Karmawati, 2010).

Menurut Purwantara et al., (2008) menyatakan, bahwa diantara agens hayati

yang diketahui efektif terhadap PBK dan kepik pengisap buah kakao, cendawan

119
entomopatogen B. bassiana adalah patogen yang paling efektif dan paling banyak

digunakan. Terdapat kurang lebih 175 jenis serangga hama yang menjadi inang

jamur B. bassiana. Beberapa Keunggulan cendawan B. bassiana sebagai pestisida

alami yaitu (Untung, 2003):

1. Selektif terhadap hama sasaran, sehingga tidak membahayakan serangga lain

bukan sasaran seperti predator, parasitoid, serangga penyerbuk dan serangga

berguna lebah madu.

2. Tidak meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun

pada aliran air alami.

3. Tidak menyebabkan fitotoksik (keracunan) pada tanaman.

4. Mudah diproduksi dengan teknik sederhana.

5. Untuk memperoleh hasil pengendalian yang efektif, penyemprotan sebaiknya

dilakukan sore hari (pukul 15.00 - 18.00) untuk mengurangi kerusakan oleh sinar

matahari.

6. Formulasi B. bassiana sebaiknya disimpan di tempat sejuk untuk

mempertahankan efektifitasnya dan sedapat mungkin dihindarkan dari pengaruh

panas secara langsung.

Tombe et al., (2001) menjelaskan, bahwa cara perbanyakan yang dapat

dilakukan adalah: 1) Pencarian kadaver serangga yang terinfeksi oleh B. bassiana,

2) Pemurnian isolate B. bassiana dan 3) Perbanyakan massal B. bassiana.

Sedangkan perbanyakan massal dengan media jagung adalah sebagai berikut:

Jagung ditimbang sebanyak 1 kg dicuci, kemudian dicacah. Jagung dimasak selama

30 menit kemudian dikering-anginkan selama 1 jam. Jagung dimasukkan ke dalam

120
bungkusan plastic masing-masing 100 g. Jagung disterilkan dengan menggunakan

auto clave selama 2 jam dalam 1 atm. Jagung dipindahkan ke dalam laminar air

flow untuk siap diinokulasikan B. bassiana. B. bassiana dalam media jagung

diinkubasi selama 3 hari dan siap untuk dipanen dan diaplikasikan untuk

pengendalian hama. Cara aplikasi cendawan B. bassiana menggunakan isolat Bby

725 atau yang lain dengan dosis 25-50 gram spora/ha, Helopeltis akan mati 2-5 hari

setelah aplikasi.

Kondomisasi atau sarungisasi berarti membungkus buah kakao dengan

plastik. Caranya yaitu ujung bagian atas kantong plastik diikatkan pada tangkai

buah, sedangkan ujung buah tetap terbuka. Cara penyelubungan buah tersebut,

hama tidak dapat meletakkan telur pada kulit buah sehingga buah terhindar dari

serangan larva. Pembungkusan dilakukan ketika buah berukuran kecil, 8-12 cm

(Proyek PHTPR Ditlinbun, 2002).

Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2008) menyatakan, bahwa untuk

menjaga stabilitas tingkat serangan hama PBK 0 % dapat dilakukan tindakan

berikut:

1. Didahului dengan aplikasi insektisida satu kali pada saat panjang buah 8-12 cm,

selanjutnya buah tersebut dibungkus plastik.

2. Panen sering, buah yang masak dijemur.

3. Disertai pemangkasan dan pemupukan sesuai dosis anjuran.

Hasil penelitian Beding et al., (2002) menjelaskan, bahwa penyelubungan

buah dengan kantong plastik dapat dilakukan pada buah yang berukuran 8-12 cm

dan salah satu ujung lainnya dibiarkan terbuka. Buah yang diselubungi dengan

121
kantong plastik akan terhindar dari serangan H. antonii. Namun berbagai

permasalahan yang teridentifikasi setelah beberapa tahun teknologi ini

diintroduksikan kepada petani, antara lain:

a. Harga plastik yang terus mengalami kenaikan.

b. Secara teknik sulit dilakukan karena membutuhkan waktu yang lama dan tenaga

kerja yang banyak karena dilakukan pada masing-masing buah

c. Penyelubungan menyebabkan permukaan buah lembab sehingga mudah

terinfeksi Phytophthora palmivora, penyebab penyakit busuk buah, salah satu

penyakit terpenting pada tanaman kakao.

d. Jika digunakan dalam waktu yang lama dapat menimbulkan pencemaran

lingkungan dalam bentuk timbunan plastik yang tidak mudah terdegradasi.

Hasil penelitian Konam et al., (2009) menyebutkan bahwa penyarungan buah

kakao dengan kantong plastik dapat menyelamatkan buah hingga 83,9 persen (buah

sehat). Sementara hasil penelitian di Sulawesi Tenggara diketahui bahwa selain

menggunakan kantong plastik, penyarungan buah juga dapat dilakukan dengan

menggunakan berbagai jenis kantong yang lain, seperti dari kertas non woven,

kertas koran bekas, kertas semen atau kertas berlapis plastik (bungkus nasi). Semua

jenis kantong tersebut efektif menekan serangan PBK terutama kertas koran bekas

yang dapat menekan kehilangan hasil akibat serangan PBK sampai 0%

(Sulistyowati et al., 2014).

Penyakit busuk buah Phytophthora (BBP) merupakan salah satu penyakit

utama yang dapat mempengaruhi sistim produksi kakao di dunia. Penyakit ini dapat

menyebabkan kehilangan hasil mencapai 90% terutama pada musim hujan atau

122
musim kemarau pada lahan dengan populasi semut yang banyak (Umayah dan

Purwantara, 2006). Di Indonesia P. palmivora merupakan spesies utama yang

menyerang semua fase perkembangan buah kakao sehingga selain menyebabkan

busuk buah, juga menyebabkan layu cherelle (Opoku et al., 2007).

Atanasova et al., (2013) menjelaskan, bahwa gejala serangan penyakit busuk

buah kakao disebabkan oleh infeksi cebdawan Phytoptora palmivora pada buah

kakao. Infeksi ini terjadi pada buah yang masih mudah atau pentil dan hingga buah

yang sudah siap petik. Gejala serangan penyakit ini berupa bercak coklat pada

permukaan buah, pada ujung atau pangkal buah yang lembab dan basah.

Selanjutnya bercak membesar hingga menutupi semua bagian kulit. Saat kondisi

cuaca lembab, pada permukaan bercak tersebut akan tampak miselium dan spora

jamur berwarna putih. Miselium dan spora inilah yang akan menjadi alat reproduksi

P. Palmivora untuk melakukan penyebaran dan penularan penyakit busuk pada

buah kakao (Pawirosoemardjo dan Purwantara, 1992).

Penyebaran penyakit busuk buah kakao memang sangat cepat, yaitu dengan

bantuan angin spora cendawan P. palmivora dapat terbang, hinggap dan

menginfeksi buah-buah sehat yang berada jauh dari tanaman inangnya yang awal.

Selain dengan bantuan angin, penyebaran dan penularan penyakit buah kakao juga

dapat terjadi dengan bantuan semut hitam, tupai, bekicot dan hewan lainnyayang

hidup di sekitar batang dan cabang kakao. Penularan pun bisa terjadi dengan adanya

sentuhan langsung antara buah yang sehat dan buah yang sakit. Penyebaran dan

penularan penyakit busuk buah kakao akan terjadi lebih cepat bila kondisi kebun

mendukung pertumbuhan cendawan P. palmivora. serta jika kebun tidak terawat

123
dan tetap lembab akan cepat menimbulkan penyakit busuk ini lebih cepat

berkembang (Manohara, 1999).

124
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan pada penerapan komponen PHT

tanaman kakao dapat disimpulkan:

1. Hama penting yang menyerang tanaman kakao yaitu hama penggerek buah

kakao Conopomorpha cramella Sn dan Helopeltis sp.

2. Komponen PHT pada tanaman kakao yang dapat diterapkan yaitu dengan

sanitasi, pemangkasan, penyelubungan buah, pembrongkosan, dan pemanfaatan

musuh alami yaitu dengan predator semut hitam Dolioderus thoracicus.

3. Masing-masing penerapan komponen PHT memiliki keuntungan yang berbeda-

beda. Sanitasi berujuan untuk membersihkan seresah di bawah tajuk.

Pemangkasan bertujan untuk mempermudah masuknya cahaya. Penyelubungan

untuk menghindari serangan hama PBK dan Helopeltis sp. Pemanfaatan semut

sebagai predator dari hama untuk mengurangi populasi hama pada tanaman

kakao.

B. Saran

Seharusnya praktikan lebih aktif lagi agar penerapan komponen PHT kakao

dapat di pahami dengan mudah dan lebih kondusif.

125
DAFTAR PUSTAKA

Atanasova L, Le Crom S, Gruber S, Coulpier F, Seidl-Seiboth V, Kubicek CP,


Druzhinina IS. 2013. Comparative Transcriptomics Reveals Different
Strategies of Trichoderma Mycoparasitism. BMC Genomics. 14:121. DOI:
http://dx.doi.org/10.1186/1471-2164- 14-121.

Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis


Kakao. Ed II. 26 hal.

Barthakur, B.K. (2011). Recent Approach of Tocklai to Plant Protection in Tea in


North East India. Science and culture. Vol. 77(9-10): 381-384.

Basri, Z., 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Tadulako Press, Palu.

Beding, P.A., Alimuddin, & Kanro, M.Z. (2002). Tanggapan Petani Terhadap PHT
Hama Penggerek Buah dan Penyakit Busuk Buah Kakao di Kabupaten
Sorong. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Vol. 18 (3): 100-
107.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2009. Buku Panduan Teknis Budidaya Tanaman


Kakao (Theobroma cacao L.). Jakarta.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2008. Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu


Kakao Nasional. Bahan presentasi Dirjenbun pada bulan Nopember 2008 di
hadapan Tim Itjen Deptan. 26 hal.

Dwomoh, E. A., Afun, J.V.K., & Ackonor, J.B. 2008. Laboratory Studies of The
Biology of Helopeltis schoutedeni Reuter (Hemiptera: Miridae), A Major
Sucking Pest of Cashew (Anacardium occidentale Linn.). Journal of Cell and
Animal Biology. Vol. 2 (3): 55-62.

Fitriana, Y., Purnomo, & Hariri, A.M. (2012). Uji Efikasi Ekstrak Gulma Siam
Terhadap Mortalitas Hama Pencucuk Buah Kakao (Helopeltis spp.) di
Laboratorium. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. Vol. 12 (1):
85-91.

Hanada RE, Pomella AWV, Soberanis W, Leandro L, Loguercio LL, Pereira JO.
2009. Biocontrol Potential of Trichoderma martiale Against the Black-Pod
Pisease (Phytophthora palmivora) of cacao. Biol Control. 50:143–149. DOI:
http://dx.doi. org/10.1016/j.biocontrol.2009.04.005.

126
Karmawati, E. 2010. Pengendalian Hama Helopeltis spp Pada Tanaman Jambu
Mete Berdasarkan Ekologi; Strategi dan implementasinya. Pengembangan
Inovasi Pertanian. Vol. 3 (2): 102-119.

____________., Mahmud Z, Syakir M, Munarso J, Ardana K, & Rubiyo. 2010.


Budidaya dan Pasca Panen Kakao. Jakarta: Badan Litbang Pertanian.
Konam J., Namaliu Y., Daniel R., & Guest, D.I. 2009. Pengelolaan Hama dan
Penyakit Terpadu untuk Produksi Kakao Berkelanjutan: Panduan Pelatihan
untuk Petani dan Penyuluh. Monograf ACIAR No. 131a.

Manohara, D. 1999. Potensi Tanaman Rempah dan Obat Sebagai Pengendali


Jamur Phytophthora capsici. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah
Pemanfaatan pestisida Nabati. Bogor.

Maulidiyah, R., Sumarmin, R., & Wati, M. 2013. Pengaruh Ekstrak Kulit Batang
Angsana (Pterocarpus Indicus Willd.) Terhadap Konsumsi Pakan Kepik
Penghisap Buah Kakao (Helopeltis theivora Wat.). Jurnal Pendidikan
Biologi. Vol. 2 (2): 1-7.

Menteri Pertanian. 2005. Keputusan Menteri Pertanian Nomor:


213/Kpts/SR.120/5/2005 tentang Pelepasan Varietas Kakao Klon KW 109
Sebagai Varietas/Klon Unggul dengan Nama ICCRI 02. Jakarta.
Kementerian Pertanian.

Muis, A. dan Basri, Z., 2008. Kajian Paningkatan Produksi dan Pendapatan
Usahatani Kakao Melalui Teknik Sambung Samping. Media Litbang Sulteng.
Vol. 1 (2): 78-87.

Opoku, I.Y., Assuah, M.K., & Aneani, F. 2007. Management of Black Pod Disease
of Cocoa With Reduced Number of Fungicide Application and Crop
Sanitation. African Journal of Agricultural Research. Vol. 2 (11): 601-604.

Pawirosoemardjo, S., & Purwantara A. 1992. Laju Infeksi dan Intensitas Serangan
Phytophthora palmivora Pada Buah dan Batang Beberapa Varietas Kakao.
Menara Perkebunan. Vol. 60 (2): 62-72.

Proyek PHTPR Ditlinbun. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman
Kakao Ed II. 63 hal.

Puji, R. 2005. Peranan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia terhadap
Pengawasan Mutu Benih. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Vol. 21 (1): 8-14.

Purwantara, A., Suhendi, D., Trikoesoemaningtyas, Ilyas, S., & Sudarsono. 2008.
Uji Ketahanan Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Penyakit Busuk Buah
dan Efektivitas Metode Inokulasi. Pelita Perkebunan. Vol. 24 (2): 95-113.

127
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2006, Panduan Lengkap Budidaya
Kakao (Kiat Mengatasi Permasalahan Praktis). PT. Agromedia Pustaka.

Puslitkoka. 2008. Bahan Tanam Unggul Kakao. Pedoman Teknis Budidaya Kakao.
Puslit Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.
Rubiyo, & Amaria W. 2013. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk
Buah (Phytophthora palmivora Butl.). Perspektif. Vol. 12 (1): 23-36.

Siswanto, & Karmawati, E. 2012. Pengendalian Hama Utama Kakao


(Conopomorpha Cramerella dan Helopeltis spp.) dengan Pestisida Nabati
dan Agens Hayati. Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri. Vol. 11
(2): 69-78.

Sulistyowati, E. 2008. Pengendalian hama. In Wahyudi, T., T.R. Pangabean, &


Pujiyanto (Eds.) Panduan Lengkap Kakao: Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir (pp. 138-153). Jakarta: Penebar Swadaya.

Sulistyowati, E., Ghorir, M., Wardani, S. & Purwoko, S. 2014. Keefektifan Serai,
Bawang Putih, dan Bunga Paitan Sebagai Insektisida Nabati Terhadap
Pengisap Buah Kakao, Helopeltis antonii. Pelita Perkebunan. Vol. 30 (1): 35-
46.

Supriadi. 2011. Perkembangan Teknologi Pengendalian Penggerek Buah Kakao


(PBK). Kajian Literatur untuk Strategi Pengendalian PBK. Paper Presented
at Pembinaan PBTP Sulawesi Tengah.

Tombe, M., Zulhisnain, & Taufik, E. 2001. Penggunaan Bio-FOB Strain 10-AM
untuk Pengendalian Penyakit BBP Panili Secara Hayati. Prosiding
Simposium Rempah Indonesia (pp. 209-2016). Jakarta.

Tumpal H.S. Siregar, Slamet Ryadi, Laili Nuraini. 2006, Budidaya, Pengolahan
dan Pemasaran Cokelat. Penebar Swadaya. Jakarta.182p.

Umayah, A., & Purwantara, A. 2006. Identifikasi Isolat Phytophthora Asal Kakao.
Menara Perkebunan. Vol. 74 (2): 75-85.

Untung, K. 2003. Strategi Implementasi PHT dalam Pengembangan Perkebunan


Rakyat Berbasis Agribisnis. Risalah Simposium Nasional Peneltian PHT
Perkebunan Rakyat. Bogor. 17-18 September 2002. Pp. 1-18.

Vander vossen, H.A.M. 1997. Strategies of Vareity Improvement on Cocoa with


Emphasis on Durable Disease Resistance. Ingenic. Reading, UK. 32p.

Wahyudi, T., Panggabean, T.R. dan Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao:
Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.

128
_________., T.R. Panggabean dan Pujianto. 2002. Kakao. Manajemen Agribisnis
dari Hulu hingga Hilir. Panduan Lengkap. Penebar Swadaya. 363 hal.

Winarsih, S dan Prawoto, A. 1995. Pedoman Teknis Rehabilitasi Tanaman Kakao


Dewasa dengan Metode Sambung Samping. Jember: Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Jember.

Wiryadiputra, S. 2007. Pemapanan Semut Hitam (Dolichoderus thoracicus) Pada


Perkebunan Kakao dan Pengaruhnya Terhadap Serangan Hama Helopeltis
spp. Pelita Perkebunan. Vol. 23 (1): 57-71.

129
LAMPIRAN

Beberapa kegiatan yang dilakukan pada saat praktikum penerapan komponen PHT
tanaman kako.

130
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN HAMA PENYAKIT TERPADU

ACARA VI
PETUNJUK LAPANGAN

Oleh:
Kiki Seftyanis
NIM A1D015024
Rombongan 4
PJ Asisten : Nung Siti Mukharomah

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor pertanian sangat berperan dalam perekonomian nasional. Hal ini

terutama karena sektor pertanian masih memberikan lapangan pekerjaan bagi

sebagian besar penduduk yang ada di pedesaan dan menyediakan bahan pangan

bagi penduduk. Peranan lain dari sektor pertanian adalah menyediakan bahan

mentah bagi industri dan menghasilkan devisa negara melalui ekspor non migas.

Bahkan sektor pertanian mampu menjadi katup pengaman perekonomian nasional

dalam menghadapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia dalam satu dasawarsa

terakhir ini. Untuk mendukung pertanian yang tangguh diperlukan Sumberdaya

Manusia Pertanian yang profesional, kreatif, inovatif, berwawasan global.

Ketersediaan SDM pertanian yang berbasis kompetensi akan menentukan

keberhasilan program pembangunan pertanian di Indonesia (Departemen Pertanian,

2009).

Penyuluhan sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan

memajukan kesejahteraan umum merupakan hak asasi warga negara Indonesia.

Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan penyuluhan di bidang pertanian,

perikanan dan kehutanan. Tujuan penyuluhan pertanian adalah mengubah perilaku

utama dan pelaku usaha melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap dan

motivasinya (Departemen Pertanian, 2009). Selain itu pembinaan kelompok tani

diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usaha tani

132
anggotanya secara efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi pasar,

teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya.

Kontribusi penting penyuluhan pertanian untuk meningkatkan pembangunan

pertanian dan peningkatan produksi pangan telah menyebabkan cepatnya

perkembangan minat orang dalam penyuluhan selama beberapa dekade terakhir

(Van, 1993). Beberapa negara telah berhasil memajukan pertaniannya yang

memungkinkan kebutuhan pangan penduduknya terpenuhi dan pendapatan petani

meningkat. Perhatian terhadap masalah pertanian, khususnya pangan, telah lama

mendapat perhatian para ahli. Perhatian tersebut tampak sangat menonjol ketika

muncul karya R. T. Malthus pada akhir abad ke 18 (Rusli, 1989). Malthus melihat

pangan sebagai pengekang hakiki dari perkembangan penduduk di samping

pengekang – pengekang lainnya yang berbentuk pengekang segera. Menurutnya,

apabila tidak ada pengekang maka perkembangan penduduk akan berlangsung jauh

lebih cepat daripada perkembangan produksi pangan (subsisten). Hal ini karena

perkembangan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan perkembangan pangan

mengikuti deret hitung.

Desakan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang terus

berkembang telah menyadarkan berbagai negara berusaha untuk meningkatkan

produksi pangannya. Oleh karena itu, teknologi pertanian yang lebih baik terus

dikembangkan dan diintroduksikan kepada petani agar petani mau menerapkan

teknologi tersebut dan produksi pangan meningkat. Kegiatan menyebarkan

informasi/teknologi pertanian tersebut, dikenal dengan penyuluhan pertanian

(agricultural extension). Penyuluhan pertanian didefinisikan sebagai suatu sistem

133
pendidikan di luar sekolah (nonformal) untuk para petani dan keluarganya dengan

tujuan agar mereka tahu, mau, mampu, dan berswadaya mengatasi masalahnya

secara baik dan memuaskan dan meningkat kesejahteraannya (Dilts, 1992).

B. Tujuan

Praktikum petunjuk lapang ini bertujuan :

1. Agar mahasiswa dapat membuat petunjuk lapang.

2. Agar mahasiswa dapat mengetahui kegunaan petunjuk lapang.

3. Agar mahasiswa dapat berlatih memandu dengan topik khusus.

134
II. TINJAUAN PUSTAKA

Penyuluhan adalah suatu proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku

usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya

dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya,

sabagai upaya untuk meningkatkan prouktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan

kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi

lingkungan hidup. Tujuan penyuluhan pertanian adalah merubah perilaku utama

dan pelaku usaha melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap dan

motivasinya (Departemen Pertanian, 2009).

Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa,

kegiatan penyebarluasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat

merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses

pendidikan atau kegiatan belajar. Secara praktis pendidikan dapat diartikan sebagai

usaha dan kegiatan menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam

perilaku manusia, misal mengganti metode produksi tradisional ke metode baru,

yaitu menerapkan teknologi baru yang berupa varietas baru, teknik budidaya baru,

penerapan pupuk dan pestisida, serta penerapan sistem usaha tani modern

(Departemen Pertanian, 2009).

Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

(SP3K) No. 16 Tahun 2006 Pasal 1 menyebutkan “Penyuluhan pertanian,

perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses

pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu

135
menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,

teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk

meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya,

serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Materi

Penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang disampaikan oleh para penyuluh kepada

pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi,

teknologi, rekayasa sosial, manajemen, ekonomi, hukum, dan kelestarian

lingkungan. Metode Penyuluhan adalah cara atau teknik penyampaian materi

penyuluhan oleh penyuluh kepada sasaran baik secara langsung maupun tidak

langsung agar mereka mengerti, mau, dan mampu menerapkan inovasi teknologi

(Departemen Pertanian, 2009).

Menurut Departemen Pertanian (2009), fungsi penyuluh pertanian adalah:

1. Menyebarluaskan informasi pembangunan pertanian di wilayah kerjanya

dengan cara menyampaikan visi, misi, tujuan, strategi dan prinsip dari

pembangunan pertanian.

2. Bersama petani atau kelompok tani membangun kelembagaan petani yang kuat.

3. Mendorong peran serta dan keterlibatan petani atau kelompok tani dalam

pembangunan pertanian di wilayahnya.

4. Membangkitkan dan menumbuhkembangkan jiwa kepemimpinan petani.

5. Memfasilitasi petani atau kelompok tani dalam penyusunan rencana kegiatan

usahatani di wilayah kerjanya.

6. Memfasilitasi petani atau kelompok tani dalam mengakses teknologi, informasi

pasar, peluang usaha dan permodalan.

136
7. Memfasilitasi petani atau kelompok tani untuk memformulasikan rencana

usahatani dalam bentuk proposal.

8. Memberikan bimbingan dan memecahkan masalah petani atau kelompok tani

dalam pengambilan keputusan guna menjalin kemitraan usaha di bidang

pertanian.

Menurut Kartasapoetra (1991), hal-hal yang harus dilakukan untuk

mencapai efektivitasnya penyuluhan harus dilakukan sebagai berikut:

1. Penarikan minat

Teori mendidik bagi mereka yang tingkat intelegensinya masih rendah

yang disertai dengan mental yang tertekan (rasa rendah diri), agar membawa

hasil dan dapat mengubah perilaku yang dididiknya, hanya dapat dijalankan

dengan cara agar mereka yang dididik (para petani) dapat melihat, mendengar

dan ikut melakukan sendiri dengan baik apa yang menjadi objek atau materi

dalam penyuluhan tersebut. Atau dengan lain perkataan, isi penyuluhan

pertanian hendaknya bersifat menarik, yang berhubungan langsung dengan

kegiatan usaha tani dan menarik minat agar dapat dimanfaatkan oleh para

petani.

2. Mudah dan dapat dipercaya

Apa yang disampaikan dalam penyuluhan pertanian (objek atau materi)

mudah dimengerti, nyata kegunaannya dan menarik kepercayaan para petani

bahwa benar segala yang telah diperhatikan, diperdengarkan (diajarkan) dapat

dilakukan para petani dan benar-benar dapat meningkatkan hasil dan

kesejahtraan.

137
3. Peragaan disertai sarananya

Penyuluh harus disertai dengan peragaan yang didukung dengan saran

atau alat-alat peraga yang mudah didapat, murah dan dikerjakan oleh para

petani apabila mereka terangsang untuk mempraktekkannya.

4. Saat dan tempatnya harus tepat

Kegiatan penyuluhan kepada para petani tidak dapat dilakukan sembarang

waktu terutama pada tingkat permulaan, dan tingkat-tingkat sebelum mereka

terangsang, timbul kesadarannya. Para penyuluh harus pandai memperhitungkan

kapan mereka itu bersantai atau ada dirumah, kapan biasanya mereka itu

berkumpul dan di mana kebiasaan itu dilakukannya.

Tanaman teh merupakan tanaman tahunan yang diberi nama seperti Camellia

theifera, Thea sinensis, Camellia thea dan Camellia sinensis (Zuriati, 1986).

Tanaman teh terdiri dari banyak spesies yang tersebar di Asia Tenggara, India, Cina

Selatan, Laos Barat Laut, Muangthai Utara, dan Burma. Sistematika tanaman teh

terdiri dari (Wanyoko and Owour, 2005):

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Guttiferales

Famili : Theaceae

Genus : Camellia

Spesies : Camellia sinensis L.

138
Tanaman teh merupakan tanaman perkebunan yang mempunyai kemampuan

produksi relatif lebih cepat dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. Kelebihan

lainnya yaitu dapat berfungsi hidrologis dan dengan pengaturan rotasi petik,

tanaman teh dapat dipanen menurut petak pemetikan sehingga hasil tanaman teh

tersedia setiap hari. Umur ekonomisnya dapat mencapai 70 tahun, sehingga akan

dapat memberi peluang bisnis yang cukup handal pada kondisi pasar yang

cenderung naik turun (Suharsono dan Prayogo. 2005).

Darmawijaya (1985) menyatakan, bahwa tanaman the juga sering terserang

penyakit salah satunya penyakit cacar daun teh. Penyakit cacar daun teh yang

disebabkan oleh jamur E. vexans dapat menurunkan produksi pucuk basah sampai

50 persen karena menyerang daun atau ranting yang masih muda. Umumnya

serangan terjadi pada pucuk peko, daun pertama, kedua dan ketiga. Gejala awal

terlihat bintik-bintik kecil tembus cahaya, kemudian bercak melebar dengan pusat

tidak berwarna dibatasi oleh cincin berwarna hijau, lebih hijau dari sekelilingnya

dan menonjol ke bawah. Pusat bercak menjadi coklat tua akhirnya mati sehingga

terjadi lobang. Penyakit tersebar melalui spora yang terbawa angin, serangga atau

manusia. Perkembangan penyakit dipengaruhi oleh kelembaban udara yang tinggi,

angin, ketinggian lokasi kebun dan sifat tanaman (Reithinger et al., 2007).

139
III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam praktikum petunjuk lapang yaitu miniatur

tanaman teh, babandotan, air, sabun/detergen. Alat yang digunakan yaitu pisau,

toples, sprayer dan sendok.

B. Prosedur Kerja

Prosedur kerja yang dilakukan pada praktikum ini antara lain:

1. Praktikan dikelompokkan menjadi kelompok kecil sesuai rombongannya (2

mahasiswa).

2. Setiap kelompok ditugaskan untuk mencari topik dan menyusun petunjuk

lapang.

3. Petunjuk lapang tiap kelompok dipresentasikan di hadapan praktikan lain

dengan didampingi dosen/asisten.

140
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 1.9 Alat dan bahan pada petunjuk lapangan

B. Pembahasan

Nama ilmiah babadotan adalah Ageratum conyzoides berasal dari bahasa

Yunani dimana kata a geras berarti tumbuhan berumur panjang sedangkan

conyzoides adalah nama Dewi Koniyz, jadi tumbuhan ini dalam bahasa Yunani

diartikan sebagai tumbuhan berumur panjang seperti Dewi Konyz. Memiliki

kemampuan untuk beradaptasi pada berbagai kondisi ekologi, bijinya sangat kecil

dan ringan, bersifat positif photoblastik, viabilitas biji bisa bertahan hingga 12 bulan

dengan suhu optimum untuk perkecambahan 20 – 500C. Keistimewaan tersebut

menyebabkan tumbuhan ini sangat mudah tumbuh, berkembang dan tersebar

luas. Jika tumbuh di sekitar pertanaman atau pekarangan sering dianggap sebagai

gulma yang menurunkan hasil dan menimbulkan kerugian pada usaha tani

(Martono et al., 2004).

141
Tanaman bandotan tergolong ke dalam tumbuhan semusim, tumbuh tegak

atau bagian bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30-90 cm, dan bercabang.

Batang bulat berambut panjang, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar.

Daun bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang (compositae), helaian

daun bulat telur dengan pangkal membulat dan ujung runcing, tepi bergerigi,

panjang 1-10 cm, lebar 0,5-6 cm, kedua permukaan daun berambut panjang dengan

kelenjar yang terletak di permukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk

berkumpul 3 atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai,

warnanya putih. Panjang bonggol bunga 6-8 mm, dengan tangkai yang berambut.

Buahnya berwarna hitam dan bentuknya kecil. Daerah distribusi, Habitat dan

Budidaya Bandotan dapat diperbanyak dengan biji. Bandotan berasal dari Amerika

tropis. Di Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagai

tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan di ladang. Tumbuhan ini, dapat

ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, dan sekitar saluran air

pada ketinggian 1-2.100 m di atas permukaan laut (dpl). Jika daunnya telah layu

dan membusuk, tumbuhan ini akan mengeluarkan bau tidak enak (Kalshoven,

1981).

Silverside and Budgell (2004) mengatakan, bahwa manfaat atau fungsi dari

tanaman babandotan salah satunya sebagai pestisida nabati. Pestisida nabati

merupakan produk alam terbuat dari tumbuhan yang mengandung senyawa

(metabolit) sekunder yang tidak disukai oleh hama. Ekstrak dari babandotan yang

dapat dijadikan sebagai pestisida nabati. Tumbuhan tidak disukai oleh hama karena

mengandung metabolit sekunder yang bersifat menolak (repellent), mengurangi

142
nafsu makan (antifeedant), mempengaruhi sistem syaraf, mengganggu sistem

pernafasan, serta mengganggu reproduksi dan keseimbangan hormon

(antihormonal).

Dinarto dan Astriani (2005) menambahkan, bahwa babadotan (Ageratum

conyzoides L.) termasuk yang mudah didapat dan lebih ekonomis karena tumbuh

secara liar di sekitar kita. Metabolit sekunder yang terkandung dalam babadotan

adalah saponin, flavanoid, polifenol, kumarine, eugenol 5%, hidrogen sianida

(HCN), dan minyak atsiri. Babadotan sebagai pestisida nabati dilaporkan khusus

untuk serangga hama, bioaktif yang terkandung didalamnya bersifat menolak dan

menghambat perkembangan serangga. Khusus babadotan, bagian tumbuhan yang

diekstrak adalah daun.

Pemanfaatan bahan nabati sebagai bahan pestisida banyak mendapatkan

perhatian untuk dikembangkan sebab relatif lebih aman. Beberapa jenis tumbuhan

yang sering berstatus sebagai gulma ternyata berpotensi sebagai sumber bahan

pestisida nabati. Tumbuhan tersebut mempunyai kandungan bahan aktif yang

berpengaruh terhadap jasad sasaran, keberadaannya melimpah, mudah

berkembangbiak dan pemanfaatannya sebagai sumber bahan pestisida tidak akan

bertentangan dengan kepentingan lain. Pemanfaatan gulma ini akan menggeser

statusnya menjadi tumbuhan bermanfaat (Rehena, 2010).

Whitmore (1975) mengatakan, bahwa aplikasi dari penggunaan pestisida

nabati tanaman babandotan yaitu dengan melakukan penyemprotan (sprayer)

keseluruh bagian tanaman yang terserang atau belum terserang, pada pagi dan sore

hari. Menurut Prijono (1988) menambahkan, bahwa penyemprotan dimulai pada

143
umur 1 minggu setelah transplanting. Aplikasi penyemprotan menggunakan hand

sprayer dan waktu penyemprotan dilakukan pada sore hari pukul 15.00-17.00 WIB.

Volume penyemprotan insektisida yang diperlukan untuk setiap hektarnya

dengan populasi tanaman 40.000 tanaman yaitu berkisar antara 400-800 l sesuai

dengan intensitas serangan dan pertumbuhan tanaman, sehingga untuk luasan 3 m2

memerlukan volume penyemprotan pada umur 1-30 hari setelah tanam sebanyak

120 ml, umur 30-90 hari setelah tanam sebanyak 210 ml dan umur 90-120 hari

setelah tanam sebanyak 240 ml (Handayani, 2009).

Pemanfaatan tumbuhan penghasil pestisida nabati dalam pengendalian hama

sudah banyak dilakukan, terutama di bidang pertanian dan perkebunan dan hasilnya

efektif. Penggunaan suatu pestisida nabati akan lebih baik hasilnya atau lebih

efektif apabila dipadukan dengan pestisida nabati lainnya. Aplikasinya dapat

dilakukan secara pencampuran atau secara berselang-seling, misal ekstrak daun

babandotan dan ekstrak biji mimba. Penggunaan pestisida nabati juga dapat

dipadukan dengan musuh alami bila bahan pestisida nabati tersebut tidak beracun

bagi musuh alami (Maryani, 1995).

Menurut Iskandar dan Kardinan (1995) menyatakan, bahwa pembuatan

pestisida nabati dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:

1. Penggerusan, penumbukan, pembakaran atau pengepresan untuk menghasilkan

produk berupa tepung, abu atau pasta.

2. Perendaman untuk produk ekstrak.

3. Pembuatan ekstrak ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:

a. Tepung tumbuhan + air.

144
b. Tepung tumbuhan + air, kemudian dipanaskan/direbus.

c. Tepung tumbuhan + air + deterjen.

d. Tepung tumbuhan + air + surfaktan (pengemulsi) pestisida.

e. Tepung tumbuhan + air + sedikit alkohol/metanol + surfaktan.

4. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus

oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus.

Menurut Wudianto (1992) mengatakan, bahwa diketahui kandungan bahan

aktif dalam A. conyzoides terutama bagian daun adalah alkaloid, saponin, flavanoid,

polifenol, sulfur dan tannin. Bagian daun mempunyai sifat bioaktifitas sebagai

insektisidal, antinematoda, antibakterial dan alelopati (Grainge dan Ahmed, 1988).

Pembuatan pestisida nabati dari tanaman babandotan bahan yang diperlukan yaitu

½ kg daun babadotan, 1 liter air dan 1 gram deterjen (Syamsuhidayat dan Hutapon,

1991).

Pembuatan pestisida nabati dari babandotan langkah-langkahnya antara lain

(Departemen Pertanian, 2000):

1. Daun babadotan dirajang.

2. Hasil rajangan kemudian direndam dalam 1 liter air, kemudian dibiarkan selama

24 jam.

3. Hasil rendaman kemudian disaring.

4. Kemudian ditambahkan deterjen, lalu diaduk hingga rata.

Kardinan (2002) menjelaskan, bahwa pembuatan ekstrak bahan nabati

dengan pelarut air. Bahan nabati segar sebanyak 100 g dicincang kemudian

diekstrak dengan pelarut air dengan perbandingan 1:3. Ekstraksi dilakukan dengan

145
menggunakan homogenizer/ blender selama 15 menit. Hasil ekstraksi dibiarkan

selama 24 jam kemudian disaring menggunakan kain halus dan selanjutnya larutan

siap digunakan sebagai perlakuan.

Cara pembuatan insektisida dari daun babadotan yaitu menghaluskan 0,5 kg

daun babadotan kemudian merendam dalam 1 l air ditambah 1 g detergen,

campuran ini diendapkan semalam (24 jam), kesokannya disaring. Cairan hasil

ekstrasi ini dicampur air dengan konsentrasi 1% (10 ml cairan ekstrasi dicampur

dengan 1 liter air) Penggunaan insektisida nabati merupakan alternative untuk

mengendalikan serangga hama. Insektisida nabati relatif mudah didapat, aman

terhadap hewan bukan sasaran, dan mudah terurai di alam sehingga tidak

menimbulkan pengaruh samping (Kardinan dan Iskandar. 1997).

146
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum petunjuk lapang yang telah dilakukan maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Petunjuk lapang dibuat dengan menggunakan bahan dan peralatan yang mudah

di dapatkan agar peserta dapat mengerti dan memahami serta

mengaplikasikannya dengan mudah.

2. Petunjuk lapang berfungsi untuk membantu dalam melihat permasalahan yang

sedang dihadapi, dimana petunjuk lapang tersebut berfungsi sebagai pedoman

atau gambaran terhadap kondisi di sekitar lingkungan.

3. Petunjuk lapang ini yaitu dengan topik pengendalian penyakit cacar daun teh

dengan cara hayati.

B. Saran

Seharusnya pada saat di jelaskan praktikan lebih kondusif kembali agar yang

menjelaskan di depan dapat dengan tenang dan mudah di pahami.

147
DAFTAR PUSTAKA

Darmawijaya, M., 1985, Pedoman Teknis Budidaya Teh, Bagian Pengembangan


Tanaman, Balai Penelitian Tanaman Teh dan Kina, Gambung.

Departemen Pertanian. 2000. Teknologi Produksi Kubis Bebas Residu (Bahan


Kimia). Diakses dari http://www.deptan.go.id/kubis-3.htm. Pada 12 Oktober
2017 pukul 18.55.

Departemen Pertanian. 2009. Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian. Modul


Pembekalan Bagi THL-TB Penyuluh Pertanian 2009. Departemen Pertanian
Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Jakarta.

Dilts, R. 1992. Sekolah Lapangan: Suatu Upaya Pembaharuan Penyuluhan


Pertanian. Jakarta: Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu.
Departemen Pertanian.

Dinarto, W. dan D. Astriani. 2005. Pengendalian Sitophilus spp. dengan Lada dan
Cabai Rawit dalam Usaha Mempertahankan Viabilitas Benih Jagung dalam
Penyimpanan. Proseeding Seminar Nasional dan Workshop Perbenihan dan
Kelembagaan. 11 Nopember 2008. Fakultas Pertanian UPN ”Veteran”
Yogyakarta. Hal III-74 – 80.

Grainge, M. & S. Ahmed. 1988. Handbook of Plants with Pest-Control Properties.


John Wiley & Sons. Inc. Canada. 470 p.

Handayani, A.R. 2009. Uji Sitotoksin Ekstrak Petroleum Eter Herba Bandotan
(Ageratum conyzoides L.) Terhadap sel T47D dan Profil Cromatografi Lapis
Tipis. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah Surakarta,
Surakarta.

Iskandar, M. dan A. Kardinan. 1995. Manfaat Biji Saga (Abrus precatorius L.)
Sebagai Bahan Pengendali Hama yang Berwawasan Lingkungan. Prosiding
Seminar Peranan MIPA dalam Menunjang Pengembangan Industri dan
Pengelolaan Lingkungan. Universitas Pakuan, Bogor.

Kalshoven, I.G.E. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Revised and translate by D.A
van der Laan. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 701 p.

Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Cetakan ke-4. Penebar
Swadaya, Jakarta. 88 hlm.

148
__________. dan M. Iskandar. 1997. Pengaruh Beberapa Jenis Ekstrak Tanaman
Sebagai Moluskisida Nabati Terhadap Keong Mas, Pomacea canaliculata.
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol. (2): 86-92.

Kartasapoetra AG. 1991. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Bumi Aksara.
Jakarta. 184-187.

Martono, B.; E. Hadipoentiyanti; dan U. Darno. 2004. Plasma nutfah insektisida


nabati. Perkembangan Teknologi TRO. Vol. 16 (1): 43-57.
Maryani, I. 1995. Toksisitas Ekstrak Kasar Biji Sirsak (Annona muricata Linn.) dan
Daun Saliara (Lantana camara Linn.) secara Tunggal Maupun Campurannya
terhadap Larva Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) pada
Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum Linn.) di Laboratorium. Tesis.
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung.

Prijono, D. 1988. Pengujian Insektisida: Penuntun praktikum. Jurusan Hama dan


Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 144
hlm.

Rehena. 2010. Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya. LINN) sebagai
Antimalaria In Vitro. Jurnal Ilmu Dasar. Vol. 11 No. 1 (3): 96 –100.

Reithinger, R., C.R. Davies, H. Cadena, and B. Alexander. 2007. Evaluation of the
Fungus Beauveria bassiana as a Potential Biological Control Agent Against
Phlebotomine Sand Flies in Colombian Coffee Plantations. J. Invertebr.
Pathol. Vol. 6 (70): 131−135.

Rusli, S. 1989. Perkembangan Penduduk dan Masalah Swasembada Pangan di


Indonesia. Jurnal Mimbar Sosek, Nomor 3 Desember 1989. Jurusan Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Silverside, F.G. and K. Budgell. 2004. The Effect of Stored and Strain of Hen on
Egg Quality. J. Poultry Sci. Vol. (13) 79:1725-1729.

Suharsono dan Y. Prayogo. 2005. Pengaruh Lama Pemaparan Pada Sinar Matahari
Terhadap Viabilitas Jamur Entomopatogen Verticillium lecanii. Jurnal
Habitat. Vol 16 (2): 122−131.

Syamsuhidayat, S.S. dan J.R. Hutapon. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia
(1). Departemen Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.

Van de Fliert, E. 1993. Integrated Pest Management Farmer Field School Generate
Sustainable Practices, A Case Study in Central Java Evaluating IPM Training.
Ph.D. Thesis. Wageningen Agricultural University. The Netherland.

149
Wanyoko, J. K. and P. O. Owour. 2005. Effect of Plantensities and Nitrogen
Fertilize Rates on The Yield of Mature Seedling Kenya Tea. Tea. 16 (1): 14-
20.

Whitmore, T.C., 1975. Tropical Rain Forests of the Far East. Clarendon Press.
Oxford.

Wudianto, R. 1992. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.

Zuriati, S. 1986. Identifikasi dan Seleksi Ketahanan Tanaman Teh (Camellia


sinensis) Terhadap Penyakit Cacar di Perkebunan PT. Pagilaran. Skripsi.
Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

150
LAMPIRAN

Alat dan bahan yang


digunakan pada saat petunjuk
lapangan.

151
BIODATA PRAKTIKAN

Nama : Kiki Seftyanis

Panggilan : Kiki

NIM : A1D015024

Prodi : Agroteknologi 2015

Asal : Pemalang Desa Jebed Utara Kec. Taman

Hobi : Baca buku, artikel, berita, menulis dan memasak.

Motto : Jangan menyerah karna Allah selalu di samping kita dan teruslah

berbuat baik terhadap sesama Qawii Lilahita’ala.

152

Anda mungkin juga menyukai