1
musuhnya dan lain-lain), atau terjadi suatu imigrasi (sejumlah populasi dari lain tempat
bergabung dengan populasi tersebut), atau ada sejumlahindividu yang beremigrasi ke
lain tempat. Misalnya suatu populasi sejenis serangga pada saat dan kondisi
lingkungan tertentu terdiri dari 30 persen jantan, 30 persen betina, 30 persen larva, dan
10 persen telur; pada situasi lain komposisi tersebutakan berubah menjadi 40 persen,
30 persen, 25 persen, dan 5 persen. Perubahan- perubahan komposisi populasi
berbagai spesies juga terjadi setiap saat didalamsuatu komunitas. Umumnya pada saat
menjelang berakhirnya musim hujan, persentase telur dalam suatu populasi serangga
agak tinggi, sedangkan pada awalmusim kemarau persentase larva sangat meningkat
(sekitar bulan April dan Mei).Keadaan seperti ini juga sangat tergantung pada cara
hidup, biologi dan frekuensi berbiak dari serangganya. Selain itu, faktor lingkungan
terutama keadaan iklim danmakanan sangat menentukan.
Gambar 1. Kurva Kecepatan Tumbuh Populasi Dalam Keadaan Ideal(Menurut Storer &
Usinger, 1057)
A : Kurva potensi biotis, mengikuti bentuk kurva eksponential, keadaanlingkungan serba
ideal
2
B : Kurva sigmoid / logistic (teoritis) dalam keadaan lingkungan jenuh.Populasi seolah –
olah mantap dan konstan dengan lingkungan yangserba konstan
C: Kurva populasi wajar dengan fluktuasi menurut musim (dibawahhambatan
lingkungan) Potensi kecepatan tumbuh suatu populasi (Potensi Biotik) setiap
jenisserangga amat besar. Misalnya kondisi lingkungan suatu populasi tidak
terbatasseperti ruang dan makanan berlimpah, sehingga menyebabkan
pertumbuhan populasi berlangsung secara ekponential yaitu pertambahan jumlah
individu dalam populasi berlipat ganda secara terus menerus (Kurva A).
Pertumbuhan populasi yang bertambah dengan suatu faktor tetap per unit waktu
akan menghasilkan bentuk pertumbuhan geometrik atau eksponential yang
dirumuskan oleh Malthus sesuai persamaan sebagai berikut:
Nt = No e rt atau dN/dt = r N
Dimana:
No = Besarnya populasi serangga pada waktu t atau besarnya populasi awal
Nt = Besarnya populasi serangga pada waktu t
t = Waktu atau saat tertentu terhitung mulai dari t
e = Dasar logaritma natural
r = Suatu konstanta atau kecepatan intrinsik dari pertumbuhan populasi secara wajar.
3
pada lingkungan terbatas mengikuti persamaan yang diturunkan oleh Verhulst – Pearl
sebagai berikut:
Nt = No. er (K – N)t atau dN/dt = r N (K –N)
Dimana, saat itu baik ruang dan makanan maupun lingkungan fisik atau non fisik
yang biasa disebut “hambatan lingkungan” akan menjadi faktor penghambattumbuh
dan berkembangnya populasi serangga, sehingga populasi akan menurun (Kurva C).
Jika keadaan lingkungan kembali membaik, dalam hal ini makanan
tersediakembali dan ruang gerak memungkinkan serta faktor non fisik lainnya
sepertimusuh-musuh alami tidak menjadi penghambat (populasi rendah) maka
populasiakan meningkat kembali, demikian seterusnya sehingga populasi akan selalu
berada di sekitar garis keseimbangan populasi. Populasi setiap jenis organisme dalam
ekosistem tidak pernah sama dari waktuke waktu tetapi naik turun mengikuti atau
berkisar sekitar suatu garis asimtot yangdinamakan garis keseimbangan populasi.
Secara teoritik perkembangan populasidialam menurut Alee et al., (1955)
mengalami lima tahapan [Gambar 2].
4
tersebut. Apabila mekanisme umpan balik negatif tersebut tidak berfungsi lagi karena
sebab-sebab tertentu maka terjadi penurunan poipulasi atau populasi akan mengalami
pertumbuhan negatif. Jikakeadaan ini terus berlanjut maka akan terjadi kepunahan
populasi, hal ini terjadikarena tidak berfungsinya mekanisme umpan balik negative
dalam jangka waktuyang cukup lama. Dalam keadaan sebenarnya perubahan
kerapatan yang terjadi dalam suatu populasi disebabkan oleh empat hal yaitu:
1), Peningkatan karena kelahiran (natalitas).
2), Peningkatan karena masuknya beberapa individu sejenis dari populasi lain
(imigrasi).
3), Penurunan karena kematian [mortalitas],
4), penurunan karena keluarnya beberapa individu dari populasi ke populasi lain.Secara
skematik pengaruh komponen-komponen tersebut pada populasi dapatdiilustrasikan
dalam Gambar 3.
5
Secara skematik pengaruh komponen-komponen tersebut pada populasi dapat
diilustrasikan dalam gambar berikut:
Natalitas
Mortalitas
P2 = P1 + N - M +/- D
Keterangan:
P2 : Populasi akhir
P1 : Populasi awal
N : Natalitas atau Laju Kelahiran
M : Mortalitas atau Laju Kematian
D : Penyebaran [Dispersi] yang meliputi penyebaran keluar atau Emigrasi [ - ] dan
penyebaran kedalam atau Imigrasi [ + ]
Apa bila P2 lebih besar P1 maka terjadi pertumbuhan positif, dan sebaliknya j i k a
P2 lebih kecil P1 maka terjadi pertumbuhan negatif. Pertumbuhan
positif terjadi apabila laju kelahiran dan imigrasi lebih besar dari laju
k e m a t i a n d a n emigrasi. Dengan rumus tersebut, dapat dimengerti bahwa untuk
6
dapat mengurangi p o p u l a s i h a m a k i t a h a r u s m e n i n g k a t k a n l a j u
kematian dan emigrasi s e r t a mengurangi laju kelahiran dan imigrasi
dengan berbagai masukan pengelolaan.
7
pada berbagai jenis serangga hanya berlangsung singkat.Untuk mengembangkan
model-model perkembangan populasi yang lebihr e a l i s t i k yaitu
berdasarkan keadaan populasi yang sebenarnya, perlu
d i a m a t i perkembangan populasi tersebut dengan mengumpulkan data
kerapatan populasiatau jumlah individu (N) dalam populasi untuk waktu (t)
tertentu. Pengamatandemikian akan mencakup berbagai umur yang dibagi dalam
selang tertentu. Hasil p e n g a m a t a n d i c a t a t d a l a m s e b u a h t a b e l y a n g d a l a m
k a j i a n d i n a m i k a p o p u l a s i disebut “Neraca Kehidupan” atau “Tabel Hidup
” (Life Table).
Dari tabel hidup tersebut, dapat mengkalkulasi berbagai nilai statistik
yang merupakan informasi populasi seperti kelahiran (natalitas), kematian
(mortalitas), dan peluang untuk berkembangbiak (survivalship). Dengan data
pengamatan serta statistik yangditurunkan dari data tersebut dapatlah
dilakukan aproksimasi untuk berbagai parameter perilaku perkembangan
populasi.
Beberapa notasi yang harus dipahami dalam menyusun tabel
kehidupan suatu jenisserangga yaitu :
X : Interval umur
ax : Banyaknya individu populasi yang hidup pada setiap umur
pengamatanatau peluang hidup (survivalship)
lx : Jumlah individu yang hidup pada permulaan interval umur xlx = ax/a
(1000), distandarkan
dx : Jumlah individu yang mati selama interval umur x (kelompok umur x)
(mortalitas])
dx = lx – lx+1
qx : Proporsi individu yang mati pada KU x, terhadap jumlah individuyang
hidup pada KU x (persen [%] mortalitas pada interval umur x = 100 qx]
qx = dx / lx
Lx : Jumlah rata-rata individu pada KU x, terhadap jumlah individu yanghidup
pada Kelompok umur x
Lx = (lx + lx+1)/2
8
Tx : Jumlah individu yang hidup pada KU x = 0 ….w (x = w adalah========
kelas umur terakhir)Tx = Tx-1 - Lx-1Tx diperlukan untuk kalkulasi
harapan hidup pada masing-masingumur (ex)
Ex : Harapan hidup individu pada setiap KU x.
Ex = Tx / Lx
mx : Keperidian spesifik individu-individu pada KU x, atau jumlah anak
(betina) perkapita yang lahir pada KU x.
Ro : Laju reproduksi netto adalah rataan banyaknya anak yang dilahirkanoleh
semua Individu sepanjang generasi cohort
Px : Laju survival yaitu proporsi individu yang hidup pada KU x, dan
mencapai KU [x+1]
9
14.5 0.45 2.5 1.125
15.5 0.36 2.5 0.900
16.5 0.29 2.5 0.800
17.5 0.25 4.0 1.000
18.5 0.19 1.0 0.190
Ro = 113.560
10
3. Musuh Alami (Predator)
Pengetahuan tentang faktor-faktor yang berperan dalam pengaturan
suatu spesies populasi merupakan salah satu dasar dalam ekologi dan
sangat pentingmenyusun strategi pengendalian hama atau juga dalam
melestarikan suatu spesies populasi serangga yang mutlak penting bagi
berlangsungnya kehidupan.Faktor-faktor yang mengatur kepadatan suatu
populasi dapat dibagi dua golonganyakni 1), Faktor eksternal (berasal dari
luar populasi) dan 2), Faktor internal (daridalam populasi itu sendiri).De Bach
(1958), menjelaskan bahwa faktor-faktor yang bertautan padat(density
dependent) berperan sangat penting dalam menghalangi kenaikan
populasidan yang menentukan kepadatan rata-ratanya pada banyak spesies
populasi.Faktor-faktor bertautan padat tersebut yaitu musuh alami (predator,
parasitoid, dan patogen), juga persaingan intraspesifik dan interspesifik dalam hal
tempat danmakanan, emigrasi dan lain-lain.Dilihat dari segi proses pengendalian
dan pengaturan populasi organisme,maka faktor-faktor bertautan padat
seperti musuh alami (predator, parasitoid dan patogen) mempunyai sifat
penekanan terhadap populasi organisme yang lebih kuat pada waktu populasi
semakin rendah. Jika kita hubungkan antara mortalitas yang disebabkan oleh
faktor-faktor bertautan padat (density dependent faktor) dengan populasi
hama maka kita peroleh regresi.,
Faktor-faktor bertautan padat terbagi menjadi faktor yang
berpengaruhtimbal balik dan yang tidak timbal balik. Timbal balik
d i s i n i b e r a r t i b a h w a hubungan antara populasi dan mortalitas oleh faktor bertautan
padat dapat berjaland a r i kedua arah. Apabila populasi spesies A
m e n i n g k a t , m a k a m o r t a l i t a s y a n g disebabkan oleh bekerjanya predator
akan semakin meningkat, antara lain karenameningkatnya predator.
Sebaliknya apabila populasi spesies A menurun, maka mortalitas dan jumlah
predator juga menurun. Jadi kepadatan populasi spesies A, akan selalu
diikuti dengan kepadatan populasi predatornya (Gambar 5).
11
Populasi
Mangsa (A)
Predator (B)
Waktu
Faktor bertautan padat yang tidak timbal balik; misalnya makanan dan
ruangyang jumlahnya terbatas ditempati oleh populasi organisme yang saling
berkompetisi untuk makanan dan ruang yang sama. Prosesbertautan padat disini,
dapat kita mengerti bahwa semakin tinggipopulasi A maka persaingan untuk
memperoleh makanan danruang semakin kuat sehingga mortalitas A semakin tinggi,
dandemikian juga sebaliknya.Faktor-faktor pengendali alami yang berperan utama
dalampengaturan dan pengendalian populasi organisme secara alamimerupakan faktor
bertautan padat yang timbal balik sepert imusuh alami melalui proses umpan balik
negative.
12
alami pada relung-relung yang lebih spesifik (mikro) dilokasi donor.
Pengiriman musuh alami ke tempat baru(lokasi akseptor), dan pelepasan
musuh alami dilokasi akseptor tersebut.Untuk penentuan lokasi asal musuh
alami, pertama kali yang harus dilakukankompilasi data (deteksi) mengenai
hama target. Rincian informasi tentang hama target selaanjutnya digunakan
untuk mendeteksi musuh alami dan lokasi donor.Dalam tahap ini dilakukan
pengumpulan berbagai informasi faunistik antara lain :1), Identitas taksonomi
dan kerabat dekat hama target. 2), Sebaran geografi dankemungkinan
tempat [pusat] asalnya. 3), Kisaran dan sebaran tumbuhan inangnya.4),
Kepadatan populasi dan daya rusak hama target terhadap tanaman
inangnya,dan 5), Catatan apapun yang tersedia tentang musuh alami atau
faktor kematianlainnya. Sebagai contoh, kasus hama kutu jeruk Icerya
purchase Maskell di California, Amerika Serikat yang mendatangkan musuh
alami Chrysolina sp. dari benua Australia.
13
mempertahankantumbuhan inang, yang berfungsi sebagai ungsian (refuge)
bagi hama itu atau inang(mangsa) suplemennya. Juga dengan menumpang-
sarikan atau menumpang-gilirkan tanaman. Tumpang sari dengan
menggunakan tanaman yang sesuai dapatmensinkronkan keberadaan hama
dan musuh alaminya.Manipulasi budidaya tanaman seperti diatas
dimaksudkan untuk menyuplaiinang [mangsa] secara tidak langsung bagi
musuh alami sehingga populasi musuhalami terjamin keberadaannya di
agroekosistem. Pendekatan tersebut dapatdikembangkan dengan menyuplai
inang “fertile” beserta musuh alami secara langsung ke agroekosistem.
Pendekatan lain dengan inokulasi inang “steril” keagroekosistem.
Dibandingkan dengan inokulasi inang “fertile”, pendekatan inikurang [tidak]
beresiko meningkatkan kepadatan populasi hama.Inokulasi inang “steril”
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1),Membiakkan telur hama di
laboratorium, memandulkannya di laboratorium,kemudian melepasnya ke
agroekosistem. 2), Membiakkan telur non hama dilaboratorium,
memarasitkannya di laboratorium, kemudian melepas telur-telur terparasit
tersebut ke agroekosistem. Pada cara pertama, telur-telur yang
dilepassebagian akan terpredasi atau terparasit, sebagian yang lain tidak
akan menetas. Sedangkan dengan cara kedua, telur-telur yang dilepas akan
segera ‘menetaskan’imago parasitoid yang kemudian akan bersaba
(foraging), berkopulasi, danmemarasit telur-telur hama yang ada di lapangan.
Pendekatan pertama, jika
dibandingkan dengan pendekatan kedua ternyata pendekatan kedua
lebih berprospek, seperti yang telah diimplementasikan dalam augmentasi
parasit telur Trichogramma di berbagai perkebunan tebu di Indonesia.
14
adisi, (2) eksklusi, dan (3) interferensi.Dalam metode adisi, musuh alami
(eksotik) di lepas kesuatu hamparan dantidak dilepas ke hamparan ke dua
yang jareaknya cukup jauh dari habitat pertama.Metode ini biasanya
digunakan untuk mengukur dampak introduksi musuh alamieksotik. Metode
adisi ini juga dikenal sebagai metode “sebelum-sesudah”introduksi musuh
alami. Bila musuh alami yang dilepas betul-betul efektif makahal itu harus
dapat ditunjukkan dengan data parasitasi (di agrosistem yangdilakukan) yang
cenderung menaik dan kepadatan populasi hama cenderungmenurun.
Berbeda dengan metode adisi yang memasukkan musuh alami ke
habitatyang semula belum bermusuh alami, metode eksklusi justru
mengurangi(subtraction) atau meniadakan (elimination) musuh alami yang
sudah ada padasuatu habitat (petak pertanaman). Eksklusi adalah upaya
pencegahan imigrasimusuh alami ke dalam petak atau eradikasi terhadap
musuh alami pada petak tersebut (eradikasi secara local).Setelah eksklusi
dilakukan pemantauan terhadap populasi hama dankerusakan tanaman pada
petak eksklusi versus petak non eksklusi (petak pengendalian hayati). Bila
musuh alami yang ada pada petak pengendalian hayatiitu betul-betul efektif
(berdampak positif) maka hal itu harus dapat ditunjukkandengan dinamika
populasi hama dan kerusakan tanaman yang lebih rendahdibandingkan
dengan variable yang sama pada petak eksklusi, sebagai contohkepadatan
populasi ulat grayak spodoptera, sp.
Metode eksklusi musuh alami dapat dilakukan dengan cara mekanik,
kimiawi,atau hayati. Metode kimiawi (chemical check method) dan hayati
(biological check method) dikenal pula sebagai metode interferensi.Dalam
eksklusi mekanik, masuknya musuh alami ke tanaman pada petak eksklusi
dihalangi dengan barrier mekanik, misalnya kurungan (untuk musuh
alamiterbang) atau vaselin (untuk musuh alami merayap). Kurungan itu
dipasang baik pada petak eksklusi maupun pada petak pengendalian hayati.
Bedanya, kurungan pada petak pengendalian hayati diberi lubang untuk
akses masuknya musuh alamike tajuk tanaman.Sementara itu, untuk eksklusi
kimiawi (pada petak eksklusi) perlu digunakan bahan kimia (insektisida) yang
15
selektif (dapat membunuh musuh alami tetapitidak/kurang membunuh hama).
Sebaliknya pada petak pengendalian hayati bahan kimia tersebut tidak
diaplikasikan (atau tanaman disemprot dengan air biasa tanpakandungan
insektisida).Berbeda dengan cara eksklusi mekanis dan kimiawi, cara
erksklusi hayatimemanfaatkan peran fdaktor hayati (hewan lain) untuk
mengeksklusi musuh alami;sebagai conto penggunaan semut untuk mengusir
musuh alami serangga-serangga penghasil embun madu (kutu-kutu
tanaman). Sehubungan dengan hal-hal diatas,maka pengetahuan tentang
faktor-faktor yang berperan dalam pengaturan suatuspesies populasi
merupakan salah satu dasar dalam ekologi untuk menyusun strategi
pengendalian hama.
16
REFERENSI
Andrewartha, G.G.A. and L.C. Birch, 1984. The Ecological Web. More on the
Distribution and Abudance of Animals University of Chicago Press.
De Bach, P., 1958. The Role of Weather and Entomophagous Spesies in the
Natural Control Insect Population. J. Econ. Entomol. 51 : 474-484.
P.Price, P.W., 1971. Insect Ecology, John Wiley and Sons. New York etc.
514
17