Anda di halaman 1dari 3

Nama : Saut Olihta Padang

NIM : A3401221033

Pararel : 1

KEANEKARAGAMAN HAYATI PENGELOLAAN SERANGGA DALAM


AGROEKOLOGITEM

Sistem pertanian, yang juga dikenal sebagai agroekosistem, memiliki peran utama dalam
memenuhi kebutuhan pangan suatu negara. Tingkat produktivitas pertanian sangat dipengaruhi oleh
keanekaragaman hayati, yang mencakup berbagai jenis tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang
saling berinteraksi dalam ekosistem tersebut. Namun, pada kenyataannya, pertanian sering kali
mengarah pada penyederhanaan keanekaragaman hayati alamiah menjadi sistem monokultur yang
sangat ekstensif. Hasil akhir dari pertanian ini adalah produksi dalam bentuk ekosistem buatan yang
memerlukan perlakuan yang konstan oleh para pelaku pertanian. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penggunaan input agrokimia, terutama pestisida dan pupuk, memiliki dampak
yang tidak diinginkan baik dalam konteks lingungan maupun sosial.

Salah satu contoh yang mengilustrasikan penerapan pengetahuan tentang ekologi populasi
untuk mengatur agroekosistem adalah upaya mengendaikan hama dan penyakit pada tanaman. Di dalam
agroekosistem, hama dan penyakit bisa menyebar dengan cepat dan menyebabkan kerusakan pada
tanaman, yang berpotensi mengurangi hasil panen serta mengancam keberlanjutan agroekosistem itu
sendiri. Oleh karena itu, diperlukan tindakan pengelolaan yang cermat untuk mengendalikan populasi
hama dan penyakit pada tanaman. Cara mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman dapat
dilakukan dengan metode pengendalian biologis, seperti memanfaatkan predator alami atau
mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang ekologi
populasi sangat krusial untuk menentukan jenis predator atau mikroorganisme yang paling cocok untuk
dikembangkan dan diperbanyak dalam agroekosistem. Selain itu, pemahaman tentang ekologi populasi
juga dapat membantu menentukan timing dan metode penggunaan predator atau mikroorganisme
tersebut agar efektif dalam mengontrol populasi hama dan penyakit pada tanaman. Dengan demikian,
pengelolaan agroekosistem yang berkelanjutan memerlukan pemahaman yang mendalam tentang
ekologi populasi, terutama dalam konteks pengendalian hama dan penyakit pada tanaman. Dengan
memanfaatkan pengetahuan tersebut, pengelolaan agroekosistem dapat dilakukan dengan cara yang
efisien dan berkelanjutan (Alias et al. 2004).

Layanan ekologis yang diberikan oleh keanekaragaman hayati dalam pertanian, seperti
penyerbukan, penguraian bahan organik, dan pengendalian hama alami seperti predator, parasitoid, dan
patogen, memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung pertanian berkelanjutan. Namun,
dengan kemajuan pertanian modern, prinsip-prinsip ekologi sering diabaikan secara konsisten, yang
mengakibatkan ketidakstabilan dalam agroekosistem. Dampak dari pengabaian ini meliputi munculnya
hama secara berulang dalam sistem pertanian, degradasi tanah, peningkatan kadar garam dalam tanah
(salinisasi), erosi tanah, pencemaran air, dan peningkatan risiko penyakit tanaman, dan lain sebagainya.
Salah satu permasalahan utama yang terkait dengan monokultur yang semakin meluas adalah
berkurangnya keragaman tanaman, yang sebenarnya merupakan elemen penting dalam lanskap yang
berperan dalam menyediakan lingkungan ekologis untuk perlindungan tanaman dan serangga yang
bermanfaat. Sistem pertanian yang sangat seragam juga menyebabkan penurunan ketahanan tanaman
terhadap serangga hama, terutama karena penggunaan pestisida yang tidak tepat (Pranadji dan Saptana.
2005).

Di Indonesia, sejak tahun 1989, lebih dari satu juta petani dan kelompok tani telah mengikuti
program Sekolah Lapang PHT (SLPHT), termasuk program SLPHT Sayuran Dataran Tinggi yang
dimulai pada tahun 2007. Pemerintah telah meningkatkan alokasi anggaran untuk kegiatan SLPHT
dalam bidang tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura. Namun, meskipun program PHT telah
berjalan, hasilnya belum mencerminkan penurunan penggunaan pestisida secara nasional. Faktanya, di
Indonesia, penggunaan pestisida justru terus meningkat dari tahun ke tahun. Misalnya, pada tahun 2002,
terdapat 813 nama dagang pestisida yang terdaftar, angka ini meningkat menjadi 1082 pada tahun 2004,
dan lebih dari 1500 pada tahun 2006. Kenaikan jumlah nama dagang pestisida ini terutama disebabkan
oleh banyaknya pestisida generik yang terdaftar, bahkan terdapat beberapa kasus di mana satu bahan
aktif terdaftar dengan lebih dari 10 nama dagang yang berbeda. Pertambahan nama dagang pestisida
tanpa peningkatan yang sebanding dalam jumlah bahan aktif tidak memberikan manfaat nyata dalam
upaya mengurangi risiko penggunaan pestisida. Bahkan dalam beberapa kasus, peningkatan ini dapat
meningkatkan risiko penggunaan pestisida lebih lanjut ( Tobing 2009).

Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada penduduk desa Karangwangi di Kecamatan Cidaun,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang pada masa lampau mengelola sistem ladang atau yang dikenal
sebagai sistem huma. Namun, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin padat,
berkurangnya luas hutan, dan perkembangan ekonomi pasar di pedesaan, sistem huma tersebut
mengalami perubahan menjadi beberapa bentuk sistem agroforestri tradisional, seperti kebun kayu-
kayuan (kebon kai), kebun campuran kayu-kayuan dan tanaman buah (talun), dan sistem pekarangan
(buruan). Selain itu, dengan adanya program Revolusi Hijau yang berdampak pada sistem sawah dan
pengenalan albasiah/jengjen (Paraserinthes falcataria (L) I Nielsen) dalam sistem tegalan dan
agroforestri tradisional seperti kebon kai, kedua sistem tersebut juga mengalami perubahan yang
signifikan. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang ekologi populasi memiliki potensi untuk digunakan
dalam pengelolaan agroekosistem, terutama dalam pengendalian hama di dalamnya. Dalam upaya
mengembangkan agroekosistem berdasarkan prinsip-prinsip ekologi, perhatian utamanya adalah pada
penggunaan sumber daya alam yang ada, sehingga mengurangi ketergantungan pada penggunaan
insektisida dalam agroekosistem tersebut (Iskandar et al. 2016).

Dalam konteks pembangunan, seharusnya pengetahuan ekologi lokal yang berharga dan
kearifan ekologis yang dimiliki oleh penduduk tidak diabaikan atau bahkan dihapuskan, tetapi
sebaliknya, dapat diintegrasikan dengan pengetahuan ilmiah Barat untuk mendukung pembangunan
sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia. Pengurangan kompleksitas lingkungan melalui praktik
monokultur pertanian memiliki dampak yang signifikan pada keragaman hayati. Mengelola hama
dengan pendekatan hayati menjadi lebih sulit ketika pertanian terbatas pada monokultur, dibandingkan
dengan polikultur. Diperlukan strategi untuk meningkatkan keragaman hayati dengan memanfaatkan
sinergi antara berbagai komponen dalam agroekosistem. Perencanaan yang matang untuk
agroekosistem dapat meningkatkan stabilitas ekosistem dan mengurangi risiko serangan hama,
sehingga mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Sebaiknya, pendekatan pengendalian hama
berbasis PHT direvisi menjadi pengelolaan hama berbasis ekologi (PHBE atau Ecologically Based Pest
Management) (Amanah dan Farmayanti 2014).

Daftar Pustaka

Alias AW, Sadao EB, Tay. 2004. Efficacy of mating disruption using synthetic pheromone for the
management of cocoa pod borer, Conopomorpha cramerella (Snellen) (Lepidoptera:
Gracillariidae). Malaysian Cocoa J. 1(3) : 46-52.

Amanah S, dan Farmayanti, N. 2014. Pemberdayaan sosial petani-nelayan, keunikan agroekosistem,


dan daya saing. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Iskandar, Johan, Budiawati SI. 2016 . Etnoekologi dan pengelolaan agroekosistem oleh penduduk desa
karangwangi kecamatan Cidaun, Cianjur Selatan Jawa Barat. Jurnal Biodjati. 1(1) : 1-12.

Pranadji T dan Saptana. 2005. Pengelolaan serangga dan pertanian organik berkelanjutan dipedesaan:
menuju revolusi pertanian gelombangketiga di abad 21. Forum Penelitian Agro Ekonomi.
23(1) : 38-47

Tobing MC. 2009. Keanekaragaman hayati dan pengelolaan serangga hama dalam agroekosistem.
Dupak Dosen USU. 1(35) : 5-10.

Anda mungkin juga menyukai