Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RESUME JURNAL PERTANIAN ORGANIK

Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Sistem Pertanian Berkelanjutan

Oleh :
Mukhlis Mustofa
18210034

SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN (STIPER)


DHARMA WACANA METRO
2020
(Jurnal 1) Pengaruh Tingkat Adopsi Budidaya Padi Organik
terhadap Keberlanjutan Budidaya Padi Organik di Kabupaten Boyolali

Indonesia merupakan negara agraris dan pembangunan dibidang pertanian menjadi


prioritas utama. Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk mengembangkan
pertanian organik antara lain masih memiliki banyak sumber daya lahan yang dapat dibuka
untuk mengembangkan sistem pertanian organik serta teknologi yang mendukung seperti
pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah dan pestisida hayati (Winarno et al., 2002).

Pertanian organik diartikan sebagai praktik budidaya padi yang menekankan pada
manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan
kearifan lokal yang berbasis ramah lingkungan. Kriteria sistem pertanian organik setidaknya
harus memenuhi beberapa prinsip standar antara lain lokalita, dimana pertanian organik
berupaya mendayagunakan potensi lokalita yang ada sebagai suatu agroekosistem yang
tertutup dengan memanfaatkan bahan-bahan baku atau input dari sekitarnya (Läpple dan
Rensburg, 2011).

Faktor yang mempengaruhi tahapan adopsi adalah penilaian petani adopter meliputi
keberanian mengambil resiko, ketersediaan input, sarana pemasaran dan kemitraan. Potensi
besar yang dapat diperoleh dari budidaya padi organik masih diragukan keberhasilannya oleh
sebagian petani.

Pemerintah telah mencanangkan berbagai kebijakan dalam pengembangan pertanian


organik, namun perkembangan pertanian organik di Indonesia masih sangat lambat. Sistem
budidaya padi organik tidak serta merta dapat diadopsi oleh petani. Menurut Davis et al.
(1992), terdapat beberapa faktor yang menghambat adopsi antara lain terbatasnya subsidi,
mesin peralatan dan pengetahuan.

Kendala yang dihadapi petani dalam mengadopsi budidaya padi organik antara lain
dari segi teknis, sosial dan kelembagaan. Secara teknis, budidaya padi organik masih dinilai
rumit oleh para petani. Petani mengalami kesulitan dalam mendapatkan pupuk organik dan
bahanpupuk organik. Petani kurang mendapatkan dukungan social dari keluarga maupun
mayoritas petani di sekitarnya. Secara kelembagaan, petani mengalami kesulitan dalam
memasarkan hasil karena jaringannya kurang dapat terakses dengan mudah (Widiarta et al.,
2011).

Budidaya padi organik sulit diterima apalagi diadopsi oleh petani. Sebagian besar
petani padi organik di Tasikmalaya yang sebelumnya mendapatkan pelatihan mengenai
teknik budidaya padi organik dan telah menerapkan selama dua musim, kini sebagian besar
kembali ke pertanian dengan cara konvensional.

Rendahnya adopsi terhadap budidaya padi organik disebabkan oleh tingginya resiko
yang akan dihadapi seperti bibit dipindah ke lapangan masih terlalu kecil (umur 8-15 hari)
dan ancaman hama penyakit terhadap penanaman dengan satu lubang satu tanaman.
Pendangiran dan asupan bahan organik tidak diadopsi karena dirasakan petani menambah
tenaga kerja dan biaya produksi padi.

Keberlanjutan budidaya padi organik dapat dilihat dari segi ekonomi dan sosial.
Petani akan tetap menerapkan budidaya padi organik apabila dari segi ekonomi dapat
meningkatkan pendapatan dan dari segi sosial dapat meningkatkan rasa gotong royong,
kepercayaan, kerjasama dan komitmen untuk tetap melaksanakan budidaya padi organik
sesuai aturan.

(Jurnal 2) Keragaman Hama, Penyakit, Dan Musuh Alami Pada Budidaya Padi
Organik

Salah satu masalah dalam budidaya padi organik adalah serangan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) yang terdiri dari hama, penyakit tanaman, dan gulma. Namun
kendala OPT tersebut dapat diminimalisir dengan penerapan budidaya organik secara
komprehensif dan ber-kelanjutan. Budidaya organik mampu menekan proporsi serangga
hama dan mempertahankan proporsi musuh alami dan serangga netral tetap tinggi mulai dari
fase vegetatif awal hingga masa bera.

Pengendalian OPT dalam budidaya padi organik dapat dilakukan dengan menerap-
kan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Musuh alami merupakan salah satu dari
komponen PHT. Musuh alami yang dapat diterapkan di lapangan antara lain parasitoid,
predator, patogen untuk mengendalikan hama. Selain pemanfaatan musuh alami untuk pe-
ngendalian OPT, teknik pengendalian yang tidak kalah penting diantaranya penanaman
varietas tahan dan perbaikan pola tanam (Gribaldi, 2009).

Teknologi pengendalian OPT saat ini masih sangat terbatas, apalagi teknologi
pengendalian yang berbasis organik. Perlu dilakukan usaha untuk menghasilkan teknologi
pengendalian OPT yang berwawasan lingkungan. Pengendalian bukan bermaksud untuk
menghilangkan OPT, namun untuk mengendalikan kelimpahan populasi hama dan keparahan
penyakit yang dapat merusak dan merugikan secara ekonomi.

Penyakit Padi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit busuk batang yang disebabkan oleh
cendawan Helminthosporium sigmoideum mulai terlihat pada umur padi 5 MST. Keparahan
penyakit busuk batang meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman padi.
Keparahan busuk batang terendah ditemukan pada varietas Sintanur dan menunjukkan
berbeda nyata dengan varietas lainnya pada 5 hingga 9 MST.

Pada umur padi 5 MST ditemukan gejala yellowing yaitu daun padi menunjukkan
gejala menguning akibat lahan sawah tidak diberikan pupuk N (urea). Namun gejala ini
menghilang saat umur padi 7 MST dan seterusnya.

Penyakit hawar pelepah mulai ditemukan pada umur padi 9 MST. Keparahan penyakit
hawar pelepah relatif lebih rendah pada umur padi 9 hingga 11 MST ditemukan pada varietas
Sintanur. Penyakit Cercospora Leaf Spot (CLS) mulai ditemukan pada umur padi 9 MST.
Varietas unggul baru seperti Inpari 25 dan Inpari 33 menunjukkan keparahan penyakit CLS
cukup tinggi terutama pada umur padi 11 MST. Namun varietas Sintanur menunjukkan
keparahan penyakit relatif lebih rendah pada umur padi 9 hingga 11 MST dan berbeda nyata
terhadap varietas Inpari 33, namun tidak berbeda nyata terhadap varietas Inpari 25.

Musuh Alami pada Padi


Kepadatan populasi laba-laba relatif lebih tinggi pada umur padi 5 hingga 9 MST
ditemukan pada varietas Sintanur, sedangkan pada 11 MST ditemukan pada varietas Inpari
25. Secara umum trends populasi laba-laba pada MH 2015/2016 cukup tinggi pada umur padi
5 MST dan populasi puncaknya pada 7 MST, namun pada 9 hingga 11 MST populasi laba-
laba cenderung menurun.
Kepadatan populasi Phaederus sp. relatif lebih tinggi pada umur padi 5 MST
teridentifikasi pada varietas Inpari 33, sedangkan pada 7 hingga 9 MST dijumpai pada
varietas Sintanur. Pengamatan terakhir yaitu umur padi 11 MST menunjukkan kepadatan
populasi wereng cokelat relatif lebih tinggi ditemukan pada varietas Sintanur.

Kepadatan populasi wereng cokelat relatif lebih tinggi pada umur padi 9 hingga 11
MST dijumpai pada plot yang diaplikasi dengan ekstrak daun mahoni. imago kepinding tanah
mulai ditemukan pada pertanaman padi setelah 3 MST, fase telur setelah 4 MST, nimfa kecil
setelah 5 MST, dan nimfa besar setelah 6 MST.
Kepadatan populasi kepinding tanah umumnya meningkat setelah tanaman memasuki
fase generatif pada umur 9 MST dan perkembangan populasi kepinding tanah berfluktuasi
sampai menjelang panen.
Populasi hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) hanya ditemukan pada umur
padi 5 MST. Kepadatan populasi hama putih palsu relatif lebih tinggi ditemukan pada
tanaman padi berumur 6 MST, sedangkan pada tanaman berumur 1 dan 2 MST tidak
ditemukan serangan. Populasi wereng punggung putih hanya ditemukan pada umur padi 5
dan 7 MST. Hal ini berkaitan persaingan ruang antara wereng punggung putih dengan wereng
cokelat.

(Jurnal 3) Aplikasi Jenis Pupuk Organik pada Tanaman Padi Sistem Pertanian
Organik

Penggunaan pupuk kimia secara terus menerus menyebabkan peranan pupuk kimia
tersebut menjadi tidak efektif. Kurang efektifnya peranan pupuk kimia dikarenakan tanah
pertanian yang sudah jenuh oleh residu sisa bahan kimia. Astiningrum (2005) menyatakan
bahwa pemakaian pupuk kimia secara berlebihan dapat menyebabkan residu yang berasal
dari zat pembawa (carier) pupuk nitrogen tertinggal dalam tanah sehingga akan menurunkan
kualitas dan kuantitas hasil pertanian. Menurut Sutanto (2006) pemakaian pupuk kimia yang
terus menerus menyebabkan ekosistem biologi tanah menjadi tidak seimbang, sehingga
tujuan pemupukan untuk mencukupkan unsur hara di dalam tanah tidak tercapai. Potensi
genetis tanaman pun tidak dapat dicapai mendekati maksimal.

Selama ini petani cenderung menggunakan pupuk anorganik secara terus menerus.
Pemakaian pupuk anorganik yang relatif tinggi dan terus-menerus dapat menyebabkan
dampak negatif terhadap lingkungan tanah, sehingga menurunkan produktivitas lahan
pertanian. Kondisi tersebut menimbulkan pemikiran untuk kembali menggunakan bahan
organik sebagai sumber pupuk organik. Penggunaan pupuk organik mampu menjaga
keseimbangan lahan dan meningkatkan produktivitas lahan serta mengurangi dampak
lingkungan tanah.
DAFTAR PUSTAKA

https://jurnal.uns.ac.id/carakatani/article/view/22296
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/ja/article/view/1335
https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT/article/view/2178

Anda mungkin juga menyukai