• Masalah utama yang timbul pada sektor pertanian adalah luasan penguasaan lahan
petani dan selain itu, keterbatasan modal maupun pemilikan aset yang dimiliki petani
berlahan terbatas sangat berarti bagi kegiatan usahataninya. Modal, baik dana maupun
sarana untuk berproduksi sangat mempengaruhi produktivitas pertanian terutama bagi
petani yang tidak memiliki modal. Banyaknya lahan-lahan produktif yang tidak
diusahakan dan dibiarkan tanpa diolah disebabkan karena tidak adanya sarana untuk
menggarap usahataninya. Terutama pada
lahan-lahan perkebunan yang rata-rata di luar Jawa kepemilikannya bisa lebih dari satu
hektar, kebanyakan tidak diusahakan. Hal ini disebabkan terutama karena tidak adanya
dana
dan adanya liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan semakin terpuruknya ekspor
komoditi perkebunan. Selain faktor modal, ada beberapa faktor lain yang menyebabkan
komoditi perkebunan tidak diusahakan oleh petani. Seperti pada pengembangan
transgenik.
• Program pengembangan kapas dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri
untuk
industri tekstil sudah dilakukan sejak tahun 1960, namun dalam pelaksanaannya selalu
dihadapkan pada berbagai kendala baik yang menyangkut faktor teknis maupun non-
teknis,
seperti: kurang didukung pengkajian agroklimat, kurang tersedianya benih bermutu,
penyediaan agro input yang tidak tepat, tingginya intensitas serangan hama serta kurang
lancarnya penyediaan dana untuk membiayai usahatani kapas dan di tingkat petani modal
yang tersedia terbatas. Di lain pihak, pada umumnya kegiatan pengembangan komoditas
kapas diusahakan pada lahan-lahan marjinal, karena lahan subur diprioritaskan untuk
tanaman
pangan. Sehingga dengan kondisi yang demikian, kontribusi kapas dalam negeri terhadap
kebutuhan serat kapas bagi industri tekstil nasional masih relatif kecil yaitu hanya sekitar
satu
persen. Sedangkan impor serat kapas kecenderungannya meningkat setiap tahunnya
sejalan
dengan bertambah-nya jumlah perusahaan industri tekstil.
Selain faktor fisik (seperti sarana produksi) yang mempengaruhi fungsi produksi
kapas, masih ada faktor lain yang eksternal (yang tidak dapat dikendalikan petani), yang
mempengaruhi produksi tanaman kapas. Faktor-faktor itu dapat berupa iklim dan harga.
Tetapi hal ini masih perlu diteliti atau dikonfirmasi dengan hasil penelitian lainnya.
• Mutu benih merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil kapas. Pertumbuhan
tanaman yang tidak seragam berpengaruh pada populasi dan derajat serangan hama dan
penyakit (Soebandrijo et al., 1994). Benih yang digunakan untuk IKR adalah benih kabu-
kabu. Penggunaan benih delinted mudah disortasi, sehingga bebas dari hama/penyakit
benih, dan menghasilkan tanaman yang seragam. Sampai saat ini belum ada industri
benih yang mendukung pengembangan kapas di Indonesia. Pada tahun 2003, Balittas
bekerja sama
dengan petani penangkar benih telah berhasil merintis usaha pengadaan benih Kanesia 7
melalui model waralaba seluas 54 ha di NTB. Rintisan ini telah ditindaklanjuti dengan usaha
pemberdayaan penangkar benih di Sulawesi Selatan untuk varietas yang sama untuk tahun
2004. Dalam upaya mengurangi kehilangan dan meningkatkan hasil kapas maka teknik budi
daya perlu diperbaiki, meliputi waktu tanam, pemupukan maupun tata tanam tumpang sari
dengan palawija. Waktu tanam yang tepat berhubungan erat dengan tersedianya air di suatu
wilayah. Hal ini karena ketersediaan air akan erat dengan periode hujan. Banyaknya air yang
dibutuhkan untuk mengganti yang hilang melalui evapotranspirasi agar tanaman berada dalam
keadaan optimal (Riajaya, 2002). Mengingat areal pengembangan kapas yang tersebar pada
wilayah beriklim kering yang eratik, maka penetapan waktu tanam yang tepat akan sangat
membantu keberhasilan produksi. Berdasarkan analisis curah hujan tahunan selama periode
lebih dari 20 tahun, telah ditetapkan waktu tanam kapas paling lambat untuk sebagian besar
areal pengembangan kapas di Indonesia. Secara umum dosis pupuk yang sekarang dianjurkan
belum bersifat spesifik lokasi, yaitu:1). Untuk Jawa Timur, pada pemupukan I 35 40 kg
Urea/ha, ditambah 40 kg ZA/ha, 100 kg SP-36/ha dan 0 100 kg KCl/ha. Pemupukan II 65 80
kg Urea; 2). Di Jawa Tengah yaitu pemupukan I 40 60 kg Urea, ditambah 100 kg SP-36/ha,
sedangkan pemupukan II 60 120 kg Urea; 3). Di NTB pemupukan I 15 30 kg Urea, ditambah
40 kg ZA dan 100 kg SP-36/ha; 4) Di Sulawesi Selatan pemupukan I 15 35 kg Urea,
ditambah 50 100 kg ZA, 100 kg SP-36, dan pemupukan II 35 65 kg Urea/ha (Sahid, 2002).
Penetapan dosis pupuk di masa datang akan berdasarkan pada hasil análisis tanah dan
tanaman. Dalam upaya meningkatkan pendapatan petani dan sekaligus mengurangi risiko
kegagalan panenan kapas, dilakukan sistem tumpang sari kapas dengan palawija. Tanaman
palawija yang dianjurkan yaitu kacang hijau, kedelai, atau jagung dan disesuaikan dengan
daerah pengembangan. CONTOHNYA Tata tanam yang dipakai dalam sistem tumpang sari
kapas bisa 1 baris kapas (2 tanaman/lubang) dan 3 baris palawija (kedelai) dengan populasi
kapas 44.000 tan./ha dan palawija 198.000 tan./ha. Hasil kapas 1.348 kg/ha dan kedelai 500
kg/ha. Dapat pula dengan mengurangi jumlah tanaman kapas per lubang menjadi satu
tanaman/lubang pada tata tanam 1 baris kapas dan 3 baris palawija (populasi kapas 33.000
tan./ha), dengan hasil kapas 1.577 kg/ha dan kedelai 545 kg/ha). Dengan 2 baris kapas
dan 4 baris palawija (populasi kapas 31.302 tan/ha) produksi kapas meningkat, dengan hasil
kapas mencapai 1.677 kg/ha dan kedelai 456 kg/ha (Kadarwati et al., 2001). Teknik
pengendalian serangga hama utama kapas yang dikembangkan melalui pendekatan
pengendalian hama terpadu (PHT) yang menekankan metode pengendalian non-kimiawi,
peningkatan peran pengendali alami yaitu pelestarian dan pemanfaatan agens hayati, dan
penggunaan varietas berbulu lebat untuk menghindari serangan A. Biguttula yang biasanya
menyerang pada awal pertumbuhan. Hama utama lainnya yang penting adalah hama
penggerek buah Helicoverpa armigera dan Pectinophora gossypiella. Pengendalian kedua
hama ini dilakukan dengan pengelolaan habitat antara lain dengan memanfaatkan serasah atau
mulsa guna mendukung perkembangan musuh alami berupa parasitoid dan predator, sehingga
populasi hama tersebut selalu di bawah ambang kendali (Nurindah et al., 2001). Beberapa
musuh alami penting di antaranya parasitoid telur (Trichogramma sp.) dan parasitoid ulat
yakni Apanteles sp. Dan Brachymeria sp. Teknologi PHT terdiri dari komponen-komponen
(1) penggunaan varietas yang toleran/tahan terhadap A. biguttula, (2) penanaman jagung
sebagai tanaman perangkap, (3) penggunaanserasah tanaman atau mulsa, (4) panduan
populasi hama, dan (5) penggunaan insektisida nabati. Pengendalian menggunakan insektisida
kimia hanya dilakukan jika populasi hama mencapai ambang kendali (Soebandrijo et al.,
2000). Pemanfaatan pestisida botani ekstrak biji mimba telah terbukti mampu mengendalikan
hama penggerek buah kapas dan tidak mematikan musuh alaminya. Pada kegiatan on-farm di
Lamongan diperoleh hasil bahwa perlakuan tanpa penyemprotan dengan insektisida (unspray)
dan pengendalian hama menggunakan pestisida nabati memberikan tingkat produktivitas
kapas yang tidak berbeda dengan perlakuan pengendalian hama menggunakan insektisida
kimia yang dikehendaki petani, akan tetapi pendapatan petani pada perlakuan unspray dan
spray dengan ekstrak biji mimba adalah lebih tinggi. Hal ini karena biaya produksi untuk
pembelian insektisida dan upah penyemprotan dapat ditekan dan sekaligus menjadi tambahan
pendapatan petani
• Ulat penggerek buah kapas, Helicoverpa armigera Hubner merupakan salah satu hama
utama tanaman kapas yang hingga saat ini masih menjadi faktor pembatas produktivitas.
Stadia paling efektif merusak adalah stadia ulat. Hama ini biasanya menyerang
tanaman kapas mulai umur 35 hari yaitu saat dimulainya pembentukan kuncup bunga, bunga,
dan buah muda sampai menjelang panen (100 120 hari). Satu ekor ulat H. armigera selama
stadia ulat mampu merusak 2 12 kuncup bunga dan buah kapas, sehingga pengendalian
dengan cara yang kurang tepat dapat mengakibatkan kehilangan hasil kapas hingga >50%
(Soebandrijo et al., 1994). Sekitar tiga dasa warsa lalu penggunaan insektisida kimia sintetis
merupakan satu-satunya cara pengendalian H. armigera pada kapas. Tetapi meningkatnya
kasus resistensi pada H. Armigera terhadap insektisida kimia menyebabkan penggunaannya
mulai dikurangi. Di samping itu, penggunaan insektisida kimia sintetis secara terus menerus
menyebabkan faktor mortalitas biotik seperti musuh alami (parasitoid dan predator) serangga
hama mengalami kemusnahan lebih cepat, sehingga tidak dapat berperan sebagai faktor
pengendali hama secara alami. Meskipun saat ini peran musuh alami sudah mulai
dimanfaatkan dalam pengendalian H.armigera melalui upaya konservasi untuk meningkatkan
populasinya, tetapi belum semua petani kapas menerapkannya. Berdasarkan hasil penelitian,
anjuran untuk tidak melakukan penyemprotan (unsprayed) dalam pengendalian H. armigera
pada kapas di Lamongan, Jawa Timur, sehubungan dengan terjadinya peningkatan peran
musuh alami belum sepenuhnya dilakukan karena sebagian petani setempat masih memilih
cara pengendalian dengan insektisida kimia sintetis. Pemanfaatan patogen serangga adalah
salah satu alternatif pengendalian hama secara nonkimiawi. Selain terbukti efektif terhadap
hama sasaran, juga tidak mengakibatkan resistensi hama, dan aman bagi organisme bukan
sasaran, termasuk mamalia (Mandal et al., 2003). Dari sisi efektivitas dan dampaknya
terhadap lingkungan, prospek patogen serangga sebagai substitusi insektisida kimia sintetik
cukup baik. Selain itu, pengendalian hama dengan patogen serangga cenderung lebih efisien
dibanding pengendalian dengan insektisida kimia sintetik.
Serat di IPB pernah menyatakan bahwa permasalahan kapas di Indonesia
terutama bukan terletak pada daya hasil (yield) melainkan pada kualitas serat kapas
yang dihasilkan. Daya hasil kapas, dapat dikoreksi dengan daya hasil tahunan dari
potensi iklim tropika yang memungkinkan musim produksi tanaman sepanjang tahun.
Namun masalah kualitas kapas tidak mudah diatasi, karena juga terkait
dalam faktor iklim itu sendiri. Indonesia rata-rata beriklim tropika basah. Tingkat
kelembaban udara yang cukup tinggi inilah yang menjadi penyebab mutu serat kapas
menjadi masalah. Serat kapas Indonesia tidak seputih kapas dari negara-negara lain
yang beriklim lebih kering. Terutama pada waktu pemasakan buah. Serat kapas
produksi Indonesia cenderung berwarna kekuningan. Apakah varietas Kanesia 7 dan
Bt yang dipertandingkan sudah mampu mengatasi masalah konsekuensi iklim tropika
basah ini.
Serat kapas merupakan bahan baku utama untuk industri tekstil. Pada tahun 2003 luas areal kapas di
Indonesia 7.850 ha dengan produksi 4.263 ton. Sedangkan impor kapas mencapai 600.000 ton per
tahun. Berarti produksi kapas dalam negri hanya mencukupi 0,7 % dari kebutuhan. Potensi produksi
varietas kapas yang digunakan selama ini ternyata masih sangat rendah yaitu rata-rata kurang dari 1
ton/ha. Oleh karena itu perlu dihasilkan varietas-varietas unggul dengan produksi diatas 2 ton/ha.
Varietas unggul yang ada selama ini adalah Kanesia 8 dan 9. Produksi kedua varietas tersebut adalah
sebagai berikut, Kanesia 8, 2,1 ton/ha, dan Kanesia 9, 1,9 ton/ha. Kedua varietas ini sangat rentan
terhadap serangga. Untuk pengendalian serangga pada kedua varietas ini digunakan insektisida.
Hal ini merupakan kendala bagi petani, sehingga produksi serat kapas di
petani sangat rendah. Penggunaan tanaman kapas yang mempunyai toleransi tinggi
terhadap serangga dan tidak digunakannya insektisida akan lebih menguntungkan
untuk mengurangi kesenjangan produksi kapas di lapangan.
Usahatani kapas masih memberikan keuntungan bagi petani yang
mengusahakan. Hal ini terlihat pada nilai gross benefit yang lebih besar dari nilai
korbanan (cost) yang dikeluarkan. Komoditas kapas, terobosan teknologi transgenik
dan pola kemitraan dengan perusahaan pengelola, dapat memberikan alternatif cerah
ke depan.