Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

BUDIDAYA TANAMAN TAHUNAN (AGT 312)

ACARA III
PEMELIHARAAN TANAMAN KARET BELUM
MENGHASILKAN DAN TANAMAN MENGHASILKAN

Oleh:
Kelompok A5
Nurhidayah A1L012011
Laeli Nurrokhmah A1L012012
Miftahul Rofi'ah A1L012013
Asif Abdullah A1L012014
Gilang Vaza Benatar A1L012015
Siti Maesatu Nurkhasanah A1L012016
Nofi Rahayu A1L012017

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2014I
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengembangan perkebunan karet memberikan peranan penting bagi

perekonomian nasional. Selain sebagai sumber devisa dan sumber bahan baku

industri, karet dapat menjadi sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

serta sebagai pengembangan pusat-pusat perekonomian di daerah sekaligus

berperan dalam pelestarian lingkungan hidup. Karenanya, keberhasilan

pengembangan karet sangat perlu dilakukan dengan cara-cara strategis.

Tata cara budidaya tanaman karet menjadi penting karena dapat secara

langsung berdampak pada produktivitas dan hasil karet. Konsep budidaya dari

pratanam hingga pascapanen merupakan konsep-konsep esensial yang harus

diterapkan secara baik dan benar. Salah satu cara yang menjadi prioritas untuk

diperhatikan adalah dalam kaitannya dengan pemeliharaan karet.

Pemeliharaan karet tidak hanya terbatas pada pemupukan dan pengairan,

pengendalian hama dan patogen penyebab penyakit serta gulma, melainkan juga

penanaman Legume Cover Crop (LCC). Kegiatan-kegiatan tersebut sangan

berperan bagi produktivitas dan hasil daripada karet. Berkiut adalah kajian

mengenai pemeliharaan karet di PT. Perkebunan Nasional IX Krumput,

Banyumas.
B. Tujuan

1. Mengetahui secara langsung kondisi, organisasi dan kegiatan utama pada

perkebunan karet PTPN IX Krumput.

2. Mengetahui dan memahami secara langsung teknik pemeliharaan TBM dan

TM tanaman karet pada perkebunan karet PTPN IX Krumput.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman karet (Hevea brasiliensis Mull, Arg.) merupakan salah satu

tanaman yang dibudidayakan di Indonesia dan memberikan andil yang cukup

besar terhadap devisa negara diantara hasil perkebunan lainnya, dan menempati

urutan ketiga setelah migas dan kayu. Selain dapat diambil lateksnya untuk bahan

baku pembuatan aneka barang keperluan manusia, sebenarnya karet masih

memiliki manfaat lain, yaitu dapat memberikan keuntungan bagi pemilik

perkebunan dan memberikan hasil sampingan dari kayu atau batang pohon karet.

Gulma merupakan salah satu faktor penyebab tertekannya pertumbuhan bibit

karet dan menurunnya produksi ( Meinin, Araz., 2006 ).

Karet telah dikembangkan di Indonesia sejak lebih dari seabad lalu,

yangsebagian besar (85%) merupakan perkebunan karet rakyat dengan

produktivitasyang masih rendah yaitu kurang dari 800 kg/ha/tahun (Direktorat

JenderalPerkebunan, 2005). Rendahnya produktivitas disebabkan karena

sistempengelolaan masih bersifat ekstensif, terutama penggunaan bahan tanam

lokal(unselected seedling) dan rendahnya tingkat pemeliharaan, seperti

penyiangandan pemupukan yang minimum dilakukan (Wibawa, et al., 2005).

Pengendalian gulma di perkebunan karet merupakan keharusan, sebab

gulma merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan usaha perkebunan karet.

Jika gulma dibiarkan tumbuh bersamaan dengan tanaman karet, akan

menimbulkan kerugian. Kehadiran gulma menyebabkan pertumbuhan tanaman

tertekan, terutama tanaman karet di pembibitan dan tanaman belum menghasilkan


(TBM). Fakta ini terjadi karena gulma menyaingi tanaman dalam penyerapan

unsur hara, air, cahaya matahari, dan ruang tempat tumbuh. Selain itu beberapa

jenis gulma mengeluarkan zat allelopat melalui akar dan daun yang berpengaruh

buruk menghambat pertumbuhan tanaman. Gulma juga mempersulit pekerjaan

pemeliharaan tanaman, bahkan adakalanya menjadi tempat perlindungan hama

dan penyakit tanaman (Girsang, 2005).

Nasution (1986) melaporkan pengaruh negatif gulma pada karet TBM,

antara lain menyebabkan usia matang sadap menjadi terhambat dan jumlah pohon

yang dapat disadap berkurang, mutu sadap menurun. Hal ini disebabkan ukuran

lingkar batang yang tidak berkembang normal. Selain itu diketahui pertumbuhan

dan produksi lateks selama enam tahun pertama semenjak penyadapan sangat

nyata tertekan akibat persaingan pada areal yang ditumbuhi gulma.

Masalah gulma akan berbeda pada setiap umur tanaman, hal ini tergantung

pada lokasi, iklim setempat dan cahaya yang diterima (Lubis 1992). Selain itu,

perbedaan umur tanaman juga menyebabkan terjadinya pergeseran dominansi

gulma, pada tanaman dengan persentase penutupan tajuk kecil akan ditemukan

jenis gulma beragam dan sebaliknya pada tanaman dengan persentase penutupan

tajuk lebih besar lebih didominasi gulma yang tahan naungan (Budiarto, 2001).

Jenis-jenis gulma penting pada perkebunan karet diantaranya yaitu jenis

gulma golongan rumput (Imperata cylindrica, Paspalum conjugatum, Ottochloa

nodosa, dan Polygala paniculata; jenis daun lebar (Mikania cordata, M.

micrantha, Melastoma malabatrichum,Clibadium surinamensis) dan jenis rumput

teki (Cyperus kyllingia, C. rotundus dan Scleria sumatrensis) (Tjitrosoedirdjo,


dkk., 1984). Tetapi informasi jenis gulma tersebut tidak didasarkan pada

perbedaan umur tanaman karet. Selain itu dalam budidaya karet, pengendalian

gulma menyerap biaya sebesar 50-70% dari seluruh biaya pemeliharaan selama

tanaman belum menghasilkan (TBM) dan selanjutnya sebesar 20- 30% setelah

tanaman menghasilkan (Mangoensoekardjo, 1983).

Pengendalian gulma secara kimiawi merupakan salah satu alternatif dari

cara-cara pengendalian yang ada, salah satunya adalah penggunaan herbisida.

Tingkat dosis aplikasi menentukan efektivitas penggunaan herbisida untuk

mengendalikan gulma, sekaligus mempengaruhi efisiensi pengendalian secara

ekonomi. Penggunaan dosis aplikasi yang terlalu rendah, menyebabkan tujuan

pengendalian tidak berhasil. Sebaliknya dosis yang terlalu tinggi, di samping

terjadi pemborosan, juga akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan

(Girsang, 2005).

Waktu aplikasi herbisida juga mempengaruhi efektivitas pengendalian

gulma. Penyemprotan yang segera diikuti oleh hujan akan mengakibatkan

herbisida tercuci, sehingga efikasi berkurang sebab partikel herbisida belum

sempat berpenetrasi ke dalam kutikula daun (Djojosumarto, 2000).

Dalam membangun kebun karet, penting sekali untuk mengetahui penyakit

utama tanaman karet dan bagaimana cara mengendalikannya. Penyakit tersebut

dapat diketahui dengan melihat gejala yang muncul pada setiap bagian tanaman

karet. Beberapa penyakit utama yang ditemui dalam sistem RAS diantaranya

Jamur Akar Putih (JAP), Jamur Upas, Nekrosis Kulit (Fusarium) dan Kering Alur

Sadap ( Budi et al, 2008).


III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu alat tulis, lembar pengamatan, sabit, pisau,

selang, gunting, sprayer, dan cangkul.Bahan yang digunakan dalam praktikum

kali ini adalah tanaman karet, pupuk, air, herbisidadan bibit tanaman karet.

B. Prosedur kerja

1. Penyiangan

Gulma disekitar tanaman karet dibersihkan dengan penanganan secara

mekanis menggunakan cangkul/sabit dan secara kimiawi menggunakan

herbisida.

2. Penyulaman

a) Bibit yang baru ditanam selama tiga bulan pertama setelah tanam diamati

terus menerus.

b) Tanaman yang mati segera diganti.

c) Klon tanaman untuk penyulaman harus sama.

d) Penyulaman dilakukan sampai umur 2 tahun.

e) Penyulaman setelah itu dapat berkurang atau terlambat pertumbuhannya.

3. Pemotongan Tunas Palsu

Tunas palsu dibuang selama 2 bulan pertama dengan rotasi 1 kali 2 minggu,

sedangkan tuas liar dibuang sampai tanaman mencapai ketinggian 1.80 meter.

4. Merangsang Percabangan
Apabila tanaman berusia 23 tahun dengan tinggi 3.5 meter dan belum

mempunyai, maka cabang perlu diadakan perangsangan dengan cara:

a) Pengeringan batang (ring out)

b) Pembungkusan pucuk daun (leaf felding)

c) Penanggalan (tapping)

5. Pemupukan

Pemupukan dilakukan 2 kali setahun menjelang musim hujan dan akhir musim

kemarau, sebelumnya tanaman dibersihkan dulu dari rerumputan dibuat

larikan melingkar selama 10 cm. Pemupukan pertama kurang lebih 10 cm dari

pohon dan semakin besar disesuaikan dengan lingkaran tajuk.

6. Pemeliharaan Penutupan Tanah


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan dalam tahap pemeliharaan karet

didapatkan hasil :

1. Teras minimal 2 meter

2. Kemiringan teras kurang lebih 10 derajat

3. Teras berbentuk kontur

4. Pemupukan setiap 6 (enam) bulan sekali dengan dosis Urea 150 gr, KCL 160

gr, dan Pupuk majemuk 170 gr

5. LCC atau tanaman penutup berupa mucuna

6. Penyakit yang ditemukan biasanya berupa jamur akar putih dan dilakukan

pencegahan rutin

B. Pembahasan

Pemeliharaan menurut Yardha et al. (2007) bertujuan untuk ; 1) menjaga

dan meningkatkan kesuburan tanah, 2) mengurangi persaingan dengan tumbuhan

lain, baik dalam pengambilan air, unsur hara, cahaya matahari dan udara, 3)

mencegah terjadinya serangan hama dan penyakit yang biasa merusak atau musuh

dari tanaman karet. Langkah-langkah kerja tersebut adalah:

1. Penyiangan dilakukan tergantung kondisi gulma dilapangan minimal

penyiangan dilakukan 1 kali enam bulan.

2. Pemupukan
Bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan daya tahan tanaman terhadap

perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti kekeringan, meningkatkan

produksi dan mutu hasil, mempertahankan stabilitas produksi. Dosis

pemupukan ditentukan oleh umur tanaman, kondisi tanah dan iklim, serta

kondisi tanaman. Pupuk diberikan setahun dua kali, yaitu pada awal dan akhir

musim hujan. Cara pemberian pupuk mengikuti jarak dan tata tanamnya,

kedalaman penempatan 2-5 cm. Dosis pemupukan sebagaimana tertera pada

tabel berikut:

3. Pengendalian hama

Pada umumnya hama yang menyerang tanaman karet masih muda adalah

hama babi, Tenuk/tapir, kera/moyet dan rayap. Pengendalian hama babi dan

Tapir yang efektif adalah:

a. Membuat pagar yang rapat dan kebun dijaga

b. Berburu secara gotong royong

c. Memusnahkan sarangnya dengan cara menghilngkan semaksemak

disekitar areal kebun.

d. Memasang jerat pada tempat keluar masuknya babi ke kebun.

e. Menggunakan racun seperti Temix.


Hama rayap pada umumnya berkumpul dan bersarang pada tanaman

yang sudah mati, serangan pada tanaman karet biasanya setelah tanaman karet

mati akibat serangan jamur akar putih. Secara umum serangan rayap biasa

terjadi pada musim kemarau atau saat kekeringan. Pengendalian hama ini

adalah dengan cara:

a. Membersihkan tunggul-tunggul sisa pembukaan lahan

b. Menanam dengan tanaman polibeg

c. Menaburkan carbofuran (furadan, dharmafur atau curater) disekitar

tanaman yang terserang sebanyak 1 sendok makan.

4. Pengendalian Penyakit

Penyakit yang biasa menyerang tanaman karet diantaranya :

a. Jamur Akar Putih (JAP)

Penyakit Jamur Akar Putih (JAP) disebabkan oleh jamur

Rigidoporus microporusatau Rigidoporus lignosus yang menyerang bagian

pangkal batang hingga kebagian akar di dalam tanah.Gejala serangan JAP

pada tanaman karet adalah:

1) Daun terlihat pucat kuning dan tepi atau ujung daun terlipat ke

dalam.Peningkatan serangan ditandai oleh daun gugur dan ujung

ranting mati.Terbentuk daun muda atau bunga dan berbuah lebih awal.

2) Pada perakaran tanaman yang terserang JAP akan terlihat benang-

benangjamur berwarna putih dan agak tebal (Rizomorf).

3) Pada serangan berat, akar tanaman busuk, batang mengering mudah

tumbangdan mati. Serangan JAP tidak berhenti pada satu pohon,


melainkan secaraperlahan akan menyebar melalui persentuhan akar

tanaman sakit ke tanamandi sekitarnya (Situmorang dan Budiman,

2003).

Asal lahan penanaman karet mempengaruhi perkembangan Jamur

Akar Putih (Situmorang, 2004). Hasil percobaan di kebun karet dengan

sistem RASmenunjukkan bahwa tingkat kematian karet paling tinggi

(10%) pada empattahun pertama terjadi pada kebun karet yang dibangun

dari lahan hutan karettua, sedangkan pada kebun karet yang dibangun pada

lahan bawas muda, alangalangatau resam hanya 1% (Ilahang, et al., 2006).

Teknik pengendalian penyakit JAP meliputi 2 tahap yaitu tahap

pencegahan danpengobatan tanaman sakit. Tahapan pencegahan lebih

bersifat kepada tindakan yang dilakukan sebelum tanaman terserang dan

menjaga agar tanaman karettidak terkena penyakit JAP.Beberapa cara

yang dapat dilakukan dalam pencegahan penyakit JAP diantaranya:

1) Pada saat persiapan lahan, dilakukan pembongkaran dan

pemusnahantunggul serta sisa akar tanaman, karena sisa-sisa kayu mati

yang tertinggaldi lahan yang akan ditanami dapat merupakan media

dan tempat tumbuhjamur.

2) Pada sistem RAS, pembersihan dan pembongkaran sisa-sisa akar

dapatdilakukan di barisan dan lorong tanaman karet

3) Penanaman kacang-kacangan penutup tanah (Legume Cover

Crops/LCC)selain berfungsi untuk meningkatkan kesuburan tanah

melalui pengikatan nitrogen bebas dari udara, juga dapat


meningkatkan aktivitas jasad renik didalam tanah yang membantu

pelapukan tunggul atau sisa akar tanaman serta membantu

menghambat pertumbuhan JAP (Situmorang dan Budiman,2003)

4) Pembangunan kebun menggunakan bibit yang sehat mulai dari

persiapanbatang bawah di pembibitan dan penggunaan entres yang

tidak terkena JAP.

5) Bahan tanam OPAS juga sebaiknya diseleksi terlebih dahulu

sebelumditanam di lapangan. Perlindungan tanaman dapat dilakukan

setelah OPAS ditanam di lapangan,di antaranya dengan menaburkan

belerang di sekitar leher akar tanamansebanyak 100-200 gram/pohon

dengan jarak 10 cm dari batang tanaman

6) Pemberian produk berbahan aktif Trichoderma (biologis) dengan dosis

100gram/pohon yang dilakukan setiap enam bulan

7) Pemeliharaan tanaman dilakukan secara teratur dan rutin dengan

tujuan untukmendapatkan pertumbuhan karet yang sehat dan optimum.

Pemeliharantanaman dilakukan dengan pemupukan dan penyiangan

rumput, gulma danvegetasi lainnya di barisan tanaman karet

b. Jamur Upas
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Corticium salmonicolor yang

menyerangtanaman muda dan telah menghasilkan. Jamur upas menyerang

secara perlahandi bagian batang atau cabang dengan gejala:

1) Membentuk lapisan jamur berwarna putih hingga merah muda dan

masukke bagian kayu.

2) Pada bagian tanaman yang terserang, keluar getah berwarna hitam,

melelehdi permukaan batang tanaman hingga batang menjadi busuk

3) Percabangan mati dan mudah patah oleh angin (Situmorang dan

Budiman,2003).

Upaya yang dilakukan untuk mencegah serangan jamur upas

adalah:

1) Menanam klon karet yang tahan terhadap penyakit jamur upas seperti

PB260, RRIC 100 dan BPM 1 pada sistem RAS (Situmorang dan

Budiman,2003).

2) Menjaga kelembaban kebundengan mengatur jarak tanamagar tidak

terlalu rapat,penyiangan dan pemangkasanvegetasi di barisan dan

diantara barisan tanaman karetdilakukan secara teratur.

3) Pada kondisi tanaman karet yang sudah terserang, sebaiknyasegera

diobati dengan pengolesanfungisida sesuai dengan dosisanjuran,

seperti Antico F-96.

4) Pengerokan kulit pada batangatau cabang tanaman terserangharus

dihindari karena akanmengeluarkan spora yang terbangdan terbawa

oleh angin hinggamenempel di tanaman sehat.


c. Nekrosis kulit (Fusarium)

Penyakit nekrosis kulit banyak ditemui dan menyerang tanaman

klon karet jenisPB 260. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Fusarium sp.

dan Botryodiplodiatheobromae. Gejala yang ditimbulkan berupa kulit

batang timbul bercak coklat kehitam-hitaman dengan ukuran2-5 cm.

Bercak-bercak tersebut makin membesar lalu bergabung, terlihatbasah dan

mengalami pembusukan. Kulit yang membusuk biasanya

akanmengundang kumbang penggerek untuk datang, bersarang hingga

masuk ke bagian kayu tanaman. Gejala ini timbul mulai dari bagian kaki

gajah hingga ke percabangan tanamankaret. Gejalanya akan semakin parah

pada saat kondisi cuaca lembab danhujan terus-menerus.

Penularan penyakit nekrosis kulit terjadi melalui spora yang

terbawa olehangin ke tanaman lain yang masih sehat. Apabila dibiarkan,

maka sebagianbesar tanaman dalam satu luasan akan terkena penyakit

tersebut. Tahapanpengendalian penyakit ini adalah:

1) Mengoleskan fungisida Benlate50 WP atau Antico F-96 padakulit

yang terinfeksi Fusarium

2) Bagian kulit yang terinfeksidikupas dengan menggunakanalat

pengerok kulit yang terbuatdari bahan logam, kemudian dioles dengan

Antico F-96

3) Tanaman sehat di sekitartanaman yang terserangdisemprot dengan

fungisidaseminggu sekali untuk mencegahpenyebaran sporanya

4) Batang, cabang atau tanamanyang mati dikumpulkan dandibakar


5) Tanaman yang mengalamiserangan berat diistirahatkantidak disadap

sampai tanamankembali pulih.

d. Kering Alur Sadap (KAS)

Penyakit Kering Alur Sadap (KAS) banyak ditemukan pada klon

PB 260 yangdisadap dengan frekuensi yang cukup tinggi, terlebih bila

disertai denganpenggunaan stimulan/obat perangsang keluarnya lateks

seperti ethepon (ethrel)yang tidak terkendali. Gejala yang terlihat yaitu:

1) tanaman karet mengalami kekeringan pada bagian panel sadap dan

tidakmengeluarkan lateks (getah).

2) bagian yang kering akan menjadi coklat dan terbentuk lekukan pada

batangtidak teratur, dengan disertai pecah-pecah di permukaan kulit

batang dan menimbulkan benjolan.

Penyakit KAS tidak menyebabkan kematian pada tanaman karet,

namun kemampuan tanaman menghasilkan lateks menjadi berkurang.

Hinggasaat ini, penularan terhadap tanaman lain yang sehat belum

diketahui, namun penyebaran dan penularan terjadi pada kulit yang

seumur pada pohon yang sama. Beberapa tahapan pengendalian penyakit

KAS yaitu :

1) Menghindari frekuensi penyadapan yang tinggi di atas 150 hari/tahun,

dengan menyesuaikan anjuran terhadap klon-klon yang ditanam

2) Pengerokan pada bagian kulit yang kering dengan pisau sadap atau alat

pengerok sampai batas 3-4 mm dari kambium. Kulit yang dikerok


dioles dengan obat NoBB atau Antico F-96 (Situmorang dan Budiman,

2003)

3) Hindari penggunaan stimulan

4) Pohon yang mengalami kering alur sadap diberikan pupuk ekstra untuk

membantu mempercepat pemulihan kulit.

e. Pengendalian gulma

Areal pertanaman karet, baik tanaman belum menghasilkan (TBM)

maupun tanaman sudah menghasilkan (TM) harus bebas dari gulma seperti

alangalang, Mekania, Eupatorium, dll sehingga tanaman dapat tumbuh dengan

baik. Untuk mencapai hal tersebut, penyiangan pada tahun pertama dilakukan

berdasarkan umur tanaman menurut Anwar (2001) adalah seperti berikut:

f. Legume Cover Crop (LCC)


Di perkebunan karet, pada umumnya selama masa tanaman belum

menghasilkan atau sebelum tajuk saling menutup, gawangan ditanami

dengan tanaman penutup tanah leguminosa yang merambat atau legume

cover crop (LCC). Dalam budidaya tanaman karet, pengelolaan LCC

selama periode belum menghasilkan sudah merupakan standar baku

teknis.

Meskipun secara umum karet memiliki kemampuan tumbuh yang

lebih baik pada tanah-tanah bermasalah dari pada tanaman pangan,

ternyata perlu juga diperhatikan lingkungan tumbuhnya. Ekosistem

tanaman karet tanpa adanya penutup tanah sangat membahayakan

kestabilan lingkungan dibanding dengan hutan belukar Jenis LCC yang

umum ditanami sampai dengan sekarang adalah campuran dari Pueraria

javanica (Pj), Calopogonium mucunoides (Cm), Centrosema pubercens

(Cp) atau kacangan Calopogonium caeruleum(Cc). Tiga jenis LCC yang

disebut pertama sering disebut dengan LCC konvensional, sementara jenis

Cc relatif lebih baru. Campuran kacangan lebih dianjurkan penggunaannya

untuk mengurangi akibat kondisi yang kurang menguntungkan dari

perubahan lingkungan seperti kekeringan, hama dan penyakit.

LCC yang ideal seharusnya mempunyai keseluruhan dari sifat sifat

berikut: Laju pertumbuhan cepat, pertumbuhan biomassa cukup tinggi,

tahan terhadap kekeringan/naungan, kapasitas memfiksasi nitrogen cukup

tinggi, tidak menjadi saingan terhadap tanaman utama karet, tidak disukai

ternak, toleran terhadap serangan hama dan penyakit, mampu berkompetisi


dengan gulma melalui adanya zat allelopati yang dihasilkan dan

pengendali erosi tanah secara baik.

LCC secara garis besar bermanfaat untuk mengurangi aliran

permukaan dan erosi, menambah unsur hara tanah, memperbaiki bahan

organik ke dalam tanah dan memperbaiki struktur tanah, memperbaiki tata

lengas tanah, menekan pertumbuhan gulma, mengurangi serangan jamur

akar putih, memperbaiki sifat-sifat tanah akibat pembakaran, dan

mempercepat pertumbuhan tanaman karet serta meningkatkan produksi

karet kering.

(Karyudi dan Siagian, 2006).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Beberapa penyakit utama yang ditemui dalam sistem RAS diantaranya Jamur

Akar Putih (JAP), Jamur Upas, Nekrosis Kulit (Fusarium) dan Kering Alur

Sadap

2. LCC secara garis besar bermanfaat untuk mengurangi aliran permukaan dan

erosi, menambah unsur hara tanah, memperbaiki bahan organik ke dalam

tanah dan memperbaiki struktur tanah, memperbaiki tata lengas tanah,

menekan pertumbuhan gulma, mengurangi serangan jamur akar putih,

memperbaiki sifat-sifat tanah akibat pembakaran, dan mempercepat

pertumbuhan tanaman karet serta meningkatkan produksi karet kering.

B. Saran

Keberangkatan dalam pelaksanaan praktikum seharusnya menyediakan

kendaraan, sehingga lebih efektif waktu dan tidak ribet. Serta dalam pembahasan

yang diberikan oleh pembicara lebih diarahkan, agar tetap fokus.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil, 2001. Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet, Medan.

Girsang, Warlinson. 2005. Pengaruh Tingkat Dosis Herbisida Isopropilamina


Glifosat Dan Selang Waktu Terjadinya Pencucian Setelah Aplikasi
Terhadap Efektivitas Pengendalian Gulma Pada Perkebunan Karet
(Hevea Brasiliensis) Tbm. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu
Pertanian.Volume 3, Nomor 2, Agustus 2005: 31-36

Meinin, Araz., 2006. Studi Dominansi Dan Teknik Pengendalian Gulma pada
Perkebunan Karet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi
(BPTP). Jambi

Budi, Wibawa G, Ilahang, Akiefnawati R, Joshi L, Penot E, Janudianto. 2008.


Panduan Pembangunan Kebun Wanatani Berbasis Karet Klonal (A
manual for Rubber AgroforestrySystem-RAS). Bogor. World
Agroforestry Centre (ICRAF) SEA Regional Office, Indonesia. 54 p.

Budiarto. 2001. Pengendalian Gulma Kelapa Sawit (Elaeis quineensis Jacq.) Di


Kebun Sekunyir PT Indrotruba Tengah, Kalimantan Tengah. Skripsi.
Fakultas Pertanian. IPB. Bogor

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2005. Pedoman Budidaya Yang Baik Untuk


Tanaman Karet (Good Agriculture practices for Rubber). Departemen
Pertanian, Jakarta.

Djojosumarto, P., 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius


Yogyakarta

Ilahang, Budi, Wibawa, G. dan Joshi L. 2006. Status dan Pengendalian Jamur
Akar Putih Pada Sistem Wanatani Berbasis Karet Unggul di
Kalimantan Barat. Makalah pada Lokakarya Jamur Akar Putih. Pontianak,
November 2006.

Karyudi dan Nurhawaty Siagian, 2006. Peluang dan Kendala dalam


Pengusahaan Tanaman Penutup Tanah di Perkebunan Karet. Balai
Penelitian Karet Sungai Putih, Sumatera Utara.

Lubis, A.U. 1992. Kelapa Sawit (Elaeis quineensis Jacq.) Di Indonesia. Pusat
Penelitian Perkebunan Marihat-Bandar Kuala, Pematang Siantar.
Sumatera Utara
Tjitrosoedirdjo, S., Utomo, IH., dan Wiroatmodjo, J. 1984. Pengelolaan Gulma di
Perkebunan. PT. Gramedia. Jakarta

Mangoensoekarjo, S. 1983. Gulma dan Cara Pengendalian pada Budidaya


Perkebunan. Ditlintanbun, Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian.

Nasution, U., 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera


Utara dan Aceh. Puslitbang Perkebunan Tanjung Morawa (P4TM).

Situmorang, A. dan Budiman, A. 2003. Pengendalian Penyakit Tanaman Karet.


Sapta Bina Usahatani Karet Rakyat. Balai Penelitian sembawa, Pusat
Penelitian Karet.

Wibawa, G., Joshi ,L., Van Noordwijk, M., dan Penot ,E. 2005. Sistem Wanatani
Berbasis Karet (RAS): Peluang Untuk Optimasi Hasil Perkebunan Karet
Rakyat. Paper dipresentasikan pada Gelar Teknologi Karet di Sintang
Kalimantan Barat.

Yardha, Syafri Edi, dan Mugiyanto, 2007. Teknik Pembibitan dan Budidaya Karet
Unggul di Provinsi Jambi. Balai pengkajian Teknologi Pertanian, Jambi.

Anda mungkin juga menyukai