Anda di halaman 1dari 7

TUGAS PRAKTIKUM

PEREMAJAAN TANAMAN

Acara Praktikum: Resume dan Studi Kasus

DISUSUN OLEH:

NAMA : KHAIRUL ANWAR


NIM : 2005068
KELAS : BLU 20

BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN DIPLOMA IV

POLITEKNIK LPP YOGYAKARTA

2021
Kelapa atau dalam nama latin disebut sawit Elaeis guineensis Jacq.
Termasuk dalam jenis tanaman palm yang dapat menghasilkan minyak apabila
diekstraksi. Risza (2009) mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan salah satu
komoditas budidaya yang memegang peranan penting dalam perekonomian
Indonesia, serta menjadi sumber pendapatan bagi produsen kelapa sawit dan
sektor ekonomi lainnya yang terlibat dalam industri tersebut, baik dalam bidang
budidaya kecambah/bibit kelapa sawit, pemrosesan/pabrikasi, serta mereka yang
turut ambil bagian pada rantai pemasaran hasil olahannya.
Dengan usia tanaman yang sudah tua tersebut, maka produktivitasnya juga
akan berkurang. Ketika produktivitasnya hanya kurang dari 10Ton/Ha/tahun,
maka tanaman di kebun tersebut sudah harus diremajakan karena sudah tidak
menguntungkan secara ekonomi lagi. Selain itu, usia yang bertambah juga
membuat tinggi tanaman bertambah pula dan mempersulit kegiatan pemanenan.
Kesulitan tersebut membuat produktivitas dan prestasi tenaga kerja pemanen
menjadi rendah.
Berikut adalah teknis kegiatan pada saat peremajaan kelapa sawit di lahan
mineral:
1. Kegiatan ripping bertujuan untuk memecah lapisan tanah bagian dalam
agar aerasi lebih baik, pengendalian populasi gulma, pengolahan tanah
untuk LCC, perataan tanah, dan pemecahan lapisan tanah atas sehingga
memudahkan pengolahan tanah selanjutnya. Waktu operasional kegiatan
ripping sebesar 8 jam per hari, besar kapasitas lapang 0.25 ha/jam, dan
waktu lapang 4.0 jam/ha (Pramudi et al., 2018).
2. Kegiatan plowing (ploughing) dilakukan setelah ripping menggunakan
bajak piring 3 bottom berdiameter 70 cm dan jarak antar piring 64 cm
yang ditarik oleh traktor roda empat, sebagaimana ditunjukkan dalam
Gambar 2. Waktu operasional kegiatan plowing sebesar 8 jam per hari,
besar kapasitas lapang 0.25 ha/jam, dan waktu lapang 4.0 jam/ha
(Pramudi et al., 2018).
3. Penumbangan/falling yaitu kegiatan merobohkan tanaman kelapa sawit
secara mekanis menggunakan excavator. Arah penumbangan yaitu timur
ke barat agar pohon sawit yang telah tumbang tidak melintang pada rintis
maupun parit. Proses perumpukan setelah chipping juga lebih mudah dan
tidak memakan waktu yang lama untuk merumpuk. Pohon yang telah
tumbang kemudian dicacah menjadi beberapa irisan atau chipping.
Kapasitas lapang kegiatan tumbang dan chipping dipengaruhi oleh
kondisi pohon kelapa sawit, semakin tinggi pohon maka kapasitas lapang
semakin rendah. Topografi areal replanting juga berpengaruh terhadap
kapasitas lapang, semakin berbukit areal tersebut maka output semakin
rendah karena ruang gerak excavator yang berat. Waktu operasional
kegiatan falling dan chipping sebesar 10 jam per hari, besar kapasitas
lapang 0.05 ha/ jam, dan waktu lapang 20.0 jam/ha (Pramudi et al.,
2018).
4. Pemancangan rumpukan dilakukan sebelum penumbangan pohon.
Pemancangan rumpukan dilakukan untuk menentukan rintis dan
gawangan pada tanaman baru sehingga lubang tanam tidak berada pada
rumpukan. Tinggi pancang rumpukan sebesar ± 2.5 m dan diberi plastik
putih di atasnya. Waktu operasional kegiatan pemancangan rumpukan
sebesar 7 jam per hari, besar kapasitas lapang 0.57 ha/jam, dan waktu
lapang 1.7 jam/ha (Pramudi et al., 2018).

Kemudian, terdapat beberapa jenis system atau metode dalam peremajaan


kelapa sawit diantaranya sebagai berikut:
1. Tumbang serempak
Tanam ulang total adalah model replanting dengan menumbang
seluruh tanaman tua dan menanam kembali keseluruhan lahan milik
petani perorangan (2 ha/petani). Pada model ini petani tidak
mendapatkan hasil selama masa vegetatif sekitar 3 tahun (Mthiyane &
Hugo, 2019).
2. Tumbang bertahap
Model tanam ulang sebagian dilakukan secara bertahap. Pertama
dilakukan penumbangan dan penanaman pada sebagian atau 50% dari
luas blok (1 ha). Setelah tanaman pada Tahap I berbuah, selanjutnya
dilakukan penumbangan dan penanaman terhadap sisa tanaman tua
(Tahap II) (Mthiyane & Hugo, 2019). Seluruh proses pada tahap pertama
dilakukan kembali pada tahap kedua. Selama penanaman Tahap I petani
masih mendapatkan penghasilan dari kebun yang belum direplanting
3. Underplanting
Underplanting adalah penanaman bibit baru di bawah pohon lama
yang sengaja tidak ditebang pada saat replanting. Pohon lama dibiarkan
hidup dan terus dipetik buahnya. Teknik Underplanting berbeda dengan
teknik replanting. Pada teknik replanting, tanaman tua ditumbangkan
seluruhnya terlebih dahulu baru ditanami dengan bibit sawit yang baru.
Setelah dibiarkan tumbuh sekitar satu tahun, pohon sawit tua akan
dimatikan agar tanaman sawit muda dapat tumbuh dengan maksimal dan
optimal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknik Underplanting sawit
mempunyai keuntungan dan kerugian tersendiri. Para petani sawit yang
ingin mempraktikkan metode penanaman ini harus mengetahui
keuntungan dan risiko yang akan dihadapi. Bahaya sekaligus kerugian
lain saat menerapkan Underplanting sawit yaitu penyakit busuk pangkal
batang dan busuk batang yang disebabkan oleh Ganoderma, terutama di
daerah atau wilayah endemik Ganoderma.
4. Intercropping
Pemanfaatan areal gawangan di antara kelapa sawit dapat
dijadikan jalan keluar dalam memperoleh pendapatan tambahan dengan
menanam tanaman sela, sekaligus membantu mengatasi
kelangkaan lahan pertanian tanaman pangan dalam mewujudkan
program swasembada pangan nasional (Kusumawati et al., 2019).

Selanjutnya terdapat sebuah permasalahan klasik yang sampai saat ini


masih terjadi di perkebunan apabila dilakukannya peremajaan, yaitu serangan
jamur Ganoderma. Ganoderma boninense, penyebab penyakit busuk pangkal
batang (BPB) pada kelapa sawit merupakan ancaman serius bagi industri
perkelapasawitan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Serangan penyakit
BPB pada generasi pertama mengakibatkan penurunan produktivitas hingga 40%
dan akan semakin meningkat pada generasi kedua, ketiga dan seterusnya  bahkan 
penyakit BPB juga sudah ditemukan di pembibitan. Ketika lahan atau kebun telah
terinvestasi Ganoderma, maka  tinggal menunggu waktu saja, terjadi penurunan
produktivitas karena cepat atau lambat metabolisme pokok sawit akan terganggu
dan akhirnya tumbang. Kerugian yang dialami dengan tumbangnya pokok,
menyebabkan kehilangan produksi sebesar masa produksi yang tersisa. Sebagai
gambaran pada sawit umur 17 tahun pada generasi ke-3
serangan Ganoderma dapat hanya menyisakan 70 tegakan per Ha. Potensi
kerugian tersebut setara dengan Rp 210 miliar per tahun untuk kebun seluas
10.000 Ha.
Berdasarkan potensi kerugian diatas maka perlu melakukan pengendalian
yang sesuai. Pengendalian penyakit BPB sejauh ini sudah dilakukan, namun
demikian biaya serta tuntutan kedisiplinan yang tinggi sangat diperlukan. Sejauh
ini, dalam teknisnya hanya beberapa pekebun yang dapat melaksanakan secara
baik, sehingga secara umum pengendalian kuratif penyakit ini masih belum
menunjukkan hasil yang nyata. Kunci keberhasilan pengendalian penyakit ini
adalah diketahuinya infeksi patogen pada waktu sedini mungkin.
Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia bekerja sama
dengan Jurusan Fisika, Universitas Gadjah Mada serta di dukungan pendanaan
oleh Badan Pengelola Kelapa Sawit (BPDP-KS) telah menghasilkan Electronic
nose (e-Nose) untuk mendeteksi serangan Ganoderma secara dini. Alat tersebut
diberi nama  eNose-G telah terbukti mampu membedakan tanaman kelapa sawit
sehat dengan tanaman kelapa sawit yang terserang Ganoderma kategori dini,
sedang dan parah dengan tingkat akurasi yang sangat baik. eNose-G dikemas
dalam bentuk kotak yang ringan serta dilengkapi layar sentuh untuk memudahkan
penggunaannya di lapang.
Keunggulan eNose-G dibandingkan teknik deteksi lainnya seperti ELISA,
DIBA, PCR, serta Pengindraan Jauh adalah eNose-G dapat mendeteksi
infeksi Ganoderma pada tanaman kelapa sawit pada tahap dini, dimana
hasil relatif lebih cepat,  dan  mudah penggunaannya sehingga tidak memerlukan
sumber daya manusia dengan keahlian khusus. Ke
depan perangkat eNoseG secara luas dapat mempermudah sensus pokok di satu
kebun yang selanjutnya dapat menjadi dasar pengambilan keputusan  tindakan
pengendalian penyakit BPB yang tepat dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. eNose-G Solusi Deteksi Dini Ganoderma. BPDP. Published March 2,


2021. Accessed November 9, 2021. https://www.bpdp.or.id/enose-g-solusi-
deteksi-dini-ganoderma.
Kusumawati, S. A., Yahya, S., Hariyadi, N., Mulatsih, S., & Istina, I. N. (2019).
Analisis Pendapatan Usaha tani Tumpang sari pada Peremajaan Kebun
Kelapa Sawit Rakyat [Income Analysis Intercropping Farming System On
Smallholder Oil Palm Replanting Area]. Buletin Palma, 20(1).
https://doi.org/10.21082/bp.v20n1.2019.45-56
Mthiyane, M. N., & Hugo, A. (2019). Analisi Model Peremajaan Perkebunan
Kelapa Sawit Pola PlasmaDi Desa Meranti Kecamatan Pangkalan Kuras
Kabupaten Pelalawan. Jurnal Sorot, 3(2252), 58–66.
Pramudi, G., Setiawan, M. A., & Dellesta, N. F. P. (2018). STUDI
PEREMAJAAN TANAMAN KELAPA SAWIT DI AREAL LAHAN
TANAH MINERAL DAN LAHAN GAMBUT ( Study on Replanting of
Palm Oil Plants in Mineral Land and Peat Land Areas ). 9(3), 1–8.
Risza, S. 2009. Upaya Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai