Anda di halaman 1dari 57

BAHAN SEMINAR HASIL

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN PERENDAMAN PERTAMA


TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

Oleh:
Nama : Dwi Fuji Astuti
No. BP : 1610212003
Program Studi : Agroteknologi
Bidang Minat : Pemuliaan Tanaman
Mata Kuliah Pokok : Teknologi Benih
Tempat : Daring (Aplikasi Zoom)
Hari/Tanggal : Rabu/ 25 November 2020
Jam : 16.00 WIB - selesai
Dosen Pembimbing : 1. Dr. Ir. Indra Dwipa, M.S
2. Prof. Dr. Ir. Aswaldi Anwar, M.S
Dosen Undangan : 1. Dr. Yusniwati, S.P, M.P
2. Dr. Ir. Nalwida Rozen, M.P
3. Dr. Ir. Benni Satria, MP
Pembahas Utama : 1. Mahardeva Arief
2. Milda Sari
3. Puja Ardiana

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu tanaman


perkebunan yang menjadi unggulan dalam meningkatkan devisa bagi negara.
Indonesia adalah produsen sekaligus eksportir kelapa sawit terbesar di dunia.
Minyak sawit Indonesia diklaim memiliki keunggulan di antara negara-negara
penghasil minyak sawit lainnya (Alatas, 2015). Kelapa sawit merupakan tanaman
perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, hal tersebut dapat terlihat dari
penyerapan tenaga kerja dan jaminan pendapatan yang sesuai dengan target
pembangunan perkebunan kelapa sawit yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan
Provinsi Riau (2010) pendapatan rata-rata pertani mencapai $2.000 (sekitar Rp
26.000.000) per kepala keluarga per tahun. Prospek pendapatan yang menjanjikan
dari kegiatan budidaya kelapa sawit tentu saja mempengaruhi minat berbagai
kalangan untuk melakukan kegiatan budidaya. Hal ini membuat perkebunan
kelapa sawit di Indonesia diperluas secara besar-besaran.
Perkembangan luas areal dan produksi kelapa sawit di Indonesia cenderung
mengalami peningkatan secara pesat. Berdasarkan Data Kementrian Pertanian
tahun 2016 luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 11,67 juta hektar dan pada
tahun 2017 meningkat menjadi 12,29 juta, namun Tanaman Tidak Menghasilkan
Tua/Rusak (TTM) menunjukkan angka yang cukup besar yaitu 305,972 hektar.
Peningkatan luas lahan untuk penanaman baru dan peremajaan (replanting)
tanaman kelapa sawit berdampak langsung terhadap meningkatnya permintaan
terhadap benih bermutu.
Kebutuhan benih kelapa sawit pada jangka panjang di Indonesia (1997-
2020) diperkirakan berkisar 150 juta benih per tahun untuk penanaman baru dan
peremajaan tanaman kelapa sawit seluas 750.000 hektar per tahun. Produsen
benih hanya mampu menyediakan 45% dari permintaan tersebut (Liwang, 2012).
Kebutuhan benih kelapa sawit di masa mendatang terus mengalami peningkatan,
namun angka permintaan benih yang tinggi tidak diimbangi dengan
ketersediaannya. Salah satu varietas benih yang disukai petani kelapa sawit yaitu
2

varietas Simalungun. Tingginya permintaan terhadap kecambah dari varietas


Simalungun disebabkan karena varietas Simalungun memiliki beberapa
keunggulan dibandingkan varietas lain, di antaranya umur dapat dipanen lebih
awal yaitu 22 bulan, dan rendemen minyak per tandan mencapai 26,5 % (Kurnila,
2009). Kendala dalam penyediaan benih bermutu terhalang oleh berbagai
permasalahan dalam menghasilkan benih kelapa sawit dengan viabilitas dan vigor
tinggi. Viabilitas dan vigor benih sangat berpengaruh terhadap produksi di masa
yang akan datang.
Berdasarkan data PT. Palma Inti Lestari, dalam beberapa tahun terakhir
terjadi penurunan daya berkecambah benih dan peningkatan terhadap kecambah
abnormal benih kelapa sawit varietas Simalungun hingga mencapai ±30%.
Peningkatan persentase kecambah abnormal tersebut mengartikan bahwa
viabilitas dan vigor benih kelapa sawit masih bermasalah. Pengolahan benih
sebagai rangkaian panjang di antara kegiatan lainnya dalam proses teknologi
benih jelas mempunyai arti yang sangat penting. Hasil pengolahan benih
menentukan kemampuan benih untuk mempertahankan viabilitas dan vigornya.
Pengolahan benih kelapa sawit meliputi sejumlah kegiatan yang dimulai setelah
tandan benih dipanen sampai benih menjadi kecambah. Pengolahan benih kelapa
sawit yang dilakukan di PT. Palma Inti Lestari selama ini dimulai dengan
pemanenan pada masak fisiologisnya, pencincangan (chopping) secara manual
dengan kapak, pemeraman selama tujuh hari, pemipilan (detaching), pengupasan
(depulping) dengan mesin, pengikisan (scrapping) secara manual dengan pisau,
pencucian, penyimpanan selama 15 hari dan perendaman pertama selama tujuh
hari, pematahan dormansi di dalam ruang pemanas (dry heat treatment) dengan
suhu 39±1°C selama 60 hari, perendaman kedua selama tiga hari, dan
perkecambahan benih (Lampiran 1).
Berdasarkan rangkaian proses tersebut, penyimpanan dan perendaman
pertama menjadi salah satu hal yang perlu untuk diperhatikan karena durasi
penyimpanan dan perendaman yang tidak tepat dapat mempengaruhi viabilitas
dan vigor benih kelapa sawit. Kadar air yang berlebihan dapat merusak embrio
benih, sedangkan kadar air yang kurang menyebabkan enzim menjadi tidak aktif.
Hasil penelitian Arif (2008) menunjukkan bahwa perendaman pertama selama
3

tujuh hari, dilanjutkan dengan pemanasan selama 60 hari pada suhu 39±1°C dapat
membantu pematahan dormansi benih kelapa sawit. Meskipun telah ada standar
operasional untuk menentukan lama perendaman dalam pengolahan benih, namun
penelitian tentang lama penyimpanan benih kelapa sawit masih sangat terbatas
padahal lama penyimpanan mempunyai peran yang sangat penting dalam
pengolahan benih, seperti menyediakan stok benih, mempertahankan viablitas dan
vigor hingga saat benih siap dikecambahkan. Berdasarkan latar belakang tersebut
perlu dilakukan evaluasi terhadap pengolahan benih kelapa sawit, maka penulis
telah melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh Lama Penyimpanan dan
Perendaman Pertama terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hasil identifikasi masalah yang terdapat pada latar belakang


dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana pengaruh dari lama penyimpanan dan
perendaman pertama terhadap viabilitas dan vigor benih kelapa sawit.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan lama penyimpanan dan
perendaman pertama yang tepat untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih
kelapa sawit.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk


mendapatkan lama penyimpanan dan perendaman pertama yang tepat untuk
meningkatkan viabilitas dan vigor benih kelapa sawit.
BAB II METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2020 bertempat di PT.


Palma Inti Lestari, Desa Sungai Jernih, Kecamatan Bangkinang, Kabupaten
Kampar, Provinsi Riau yang berada pada ketinggian 40 mdpl. (Jadwal penelitian
tertera pada Lampiran 2).

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu benih kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)
varietas Simalungun (Lampiran 3), bayclin (Natrium Hipoklorit mengandung
5.25% NaClO), air bersih, deterjen, fungisida Antracol (bahan aktif tiram 80%),
fungisida Sinergy 300 EC (bahan aktif difenokazol dan propikonazol), KH2PO4,
Na2 HPO4 dan trifenil tetrazolium klorida. Alat yang digunakan pada penelitian ini
adalah bak perkecambahan, timbangan digital, oven, cawan aluminium, kamera
digital, alat tulis, ember, penggaris, tali, gunting, kertas label, stopwatch,
depericarper (mesin pengupas buah), pisau, handsprayer, keranjang buah,
kantung jaring (sebagai tempat masing-masing ulangan), kapak, palu pemecah
benih, parang, gunting, ember, Conductivity Meter, alat pengukur suhu ruangan
(thermometer).

C. Rancangan Percobaan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap


(RAL), yang terdiri dari empat perlakuan dan tiga ulangan, sehingga terdapat 12
satuan percobaan.

Perlakuan dalam percobaan ini yaitu:


5

Penyimpanan 11 hari, perendaman pertama 3 hari (A)


Penyimpanan 13 hari, perendaman pertama 5 hari (B)
Penyimpanan 15 hari, perendaman pertama 7 hari (C)
Penyimpanan 17 hari , perendaman pertama 9 hari (D)
Data dari hasil pengamatan kemudian dilakukan analisis secara statistika
dengan melakukan uji F pada taraf 5%. Jika F hitung perlakuan lebih besar
dari F tabel pada taraf 5% maka dilanjutkan uji lanjut dengan uji DNMRT
(Duncant’s Multiple Range Test) pada taraf 5%.

D. Pelaksanaan Penelitian

Pengolahan benih kelapa sawit yang dilakukan di PT. Palma Inti Lestari
dimulai dengan pemanenan pada masak fisiologisnya, pencincangan (chopping),
pemeraman, pemipilan (detaching), pengupasan (depulping), pengikisan
(scrapping), pencucian, penyimpanandan perendaman pertama, pematahan
dormansi (heat treatment), perendaman kedua, dan perkecambahan benih
(Lampiran 1). Khusus untuk perlakuan penyimpanan dan perendaman pertama
dilakukan modifikasi waktu atau durasi sesuai dengan perlakuan. Masing-masing
proses dijelaskan sebagai berikut:

Pemanenan Tandan

Pemanenan dilakukan ketika umur tandan kelapa sawit berkisar antara 4,5-
5,5 bulan setelah penyerbukan. Ciri-ciri tandan buah kelapa sawit yang siap panen
jika kematangan buah pada tandan sudah mencapai 98%. Buah sawit yang telah
matang ditandai dengan buah yang mengkilat dan warna buah oranye kemerah-
merahan (Riniarti et al., 2012). Tandan sawit yang digunakan pada sampel
penelitian adalah tandan yang sudah masak fisiologis (berumur 150 hari setelah
polinasi). Tandan yang datang dari lapang diangkut dengan kendaraan, diperiksa
surat pengantar panennya, kebenarannya, kelengkapan labelnya dan ditimbang.
6

Pemeriksaan administrasi tandan yang dipanen meliputi beberapa hal yaitu


identitas label harus sesuai dengan administrasi panen yaitu nomor penyerbukan,
tanggal pembungkusan, tanggal penyerbukan, nomor pohon induk, nomor
registrasi dan inisial pollinator.

Pencincangan (Chopping)

Pencincangan merupakan proses pemisahan spikelet dari stalk. Dalam


menjaga kemurnian benih dan agar tiap persilangan tidak bercampur dengan yang
lainnya, pencincangan dilakukan di tempat khusus yaitu bak bersekat dengan satu
sisi terbuka. Sisi ini digunakan pencincang untuk mencincang tandan,
memasukkan dan mengeluarkan tandan benih dan hasil cincangan. Bak ini
berukuran panjang, lebar dan tingginya yaitu 1 m x 1 m x 0,6 m. Alat yang
digunakan dalam pencincangan yaitu kampak. Tandan kelapa sawit yang telah
dipanen kemudian dicincang (chopping) menjadi bagian yang lebih kecil.
Pencincangan tandan dilakukan manual menggunakan kapak secara hati-hati,
sehingga hanya menyisakan bagian stalk atau tangkai tandannya saja, tandan
bagian tengah, pangkal dan ujung dipisahkan. Spikelet yang dipakai untuk sampel
penelitian adalah yang terletak di tengah tandan karena tingkat kematangan
buahnya lebih seragam, ditandai dengan warna oranye kemerahan. Potongan
spikelet hasil pencincangan kemudian dikumpulkan di keranjang penampung
(Gambar 2).

Gambar 1. Proses chopping


7

Pemeraman dan Pemipilan (Detaching)

Buah kelapa sawit selanjutnya diperam selama 3-7 hari di dalam kotak
keranjang. Pemeraman atau fermentasi ini bertujuan agar buah kelapa sawit lebih
mudah dipisahkan dari spikeletnya dan bertujuan agar daging buah sudah lunak
sehingga mempermudah proses pengupasan daging buah oleh mesin pengupas
atau depericarper. Pemipilan bertujuan untuk memisahkan masing-masing buah
agar mempermudah proses pengolahan selanjutnya, yaitu pengupasan (depulping)
daging buah (mesokarp). Pada proses pemipilan, buah yang dipilih yaitu buah
yang terletak setengah ke ujung dari spikelet (Gambar 3).

a b

Gambar 2. Pemeraman (a), pemipilan (b)

Pengupasan (Depulping)

Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan mesin depericarper vertikal.


Depericarper vertikal (Gambar 4) disebut juga mesin turbo, dapat mengupas
berondolan 5-10 menit per tandan. Mesin ini sangat efisien dalam waktu karena
dapat mengupas buah dengan cepat, tetapi apabila tidak hati-hati dalam
penggunaannya akan meningkatkan tingkat kerusakan benih. Selama pengupasan,
mesin dialiri pipa dengan air bersih untuk membuang serat-serat mesokarp.
Setelah 5-10 menit, kemudian benih dipindahkan ke keranjang untuk dibawa ke
ruang scrapping.
8

Gambar 3. Mesin depericarper, proses depulping

Pengikisan (Scrapping)

Pengikisan atau scrapping bertujuan untuk membersihkan kulit buah


(mesocarp) yang masih menempel pada kulit benih. Pengikisan bertujuan untuk
mengurangi potensi terjadinya jamur menempel pada daging buah. Proses ini
dilakukan secara manual menggunakan pisau cutter (Gambar 5). Saat pengikisan
berlangsung, sekaligus dilakukan sortasi. Benih yang dibuang yaitu benih pecah,
benih kecil, dan benih putih. Benih pecah adalah benih yang terbelah atau
terpotong dan mengenai bagian inti. Benih kecil merupakan dengan ukuran
kurang dari1x1 cm (Kurnila, 2009).

Gambar 4. Proses scrapping

Pencucian
9

Proses setelah pengikisan atau scrapping adalah pencucian benih


menggunakan air di bak pencucian (Gambar 6). Benih yang telah bersih
selanjutnya direndam Natrium Hipoklorit (bayclin) dengan konsentrasi 5,25%
selama tiga menit dengan tujuan untuk sterilisasi, dilanjutkan pembersihan
menggunakan deterjen untuk menghilangkan sisa minyak yang masih menempel
pada kulit luar benih, kemudian dibilas dengan air hingga bersih, dan direndam
dengan fungisida Antracol (bahan aktif tiram 80%) dengan dosis 3 g/L selama tiga
sampai dengan lima menit. Selanjutnya benih dikering anginkan selama satu hari
pada suhu ruangan, kering angin tersebut bertujuan agar benih tidak dalam kondisi
basah ketika masuk ke tahap berikutnya, yaitu penyimpanan dan perendaman
pertama yang merupakan perlakuan dalam penelitian ini.

a b c d

Gambar 5. Rangkaian pencucian dan sterilisasi benih dari sisa kotoran.


Keterangan: Perendaman dengan bayclin (a), pencucian dengan deterjen (b),
pembilasan dengan air bersih (c), perendaman dengan fungisida (d).

Penyimpanan dan Perendaman Pertama (Perlakuan)

Benih yang sudah telah dicuci dan disterilisasi kemudian dimasukkan ke


dalam ruang khusus penyimpanan stock (Gambar 7a). Ruang penyimpan stock
berfungsi untuk menyimpan benih dalam jangka waktu tertentu dan menjaga
viabilitas benih itu sendiri sampai benih tersebut akan dikecambahkan. Selain itu,
penyimpanan benih juga bertujuan agar imbibisi menjadi lebih mudah saat
pengolahan selanjutnya yaitu perendaman pertama. Tujuan perendaman pertama
untuk meningkatkan kadar air benih hingga 18-20% (Silomba, 2006).
10

Penyimpanan dilakukan pada ruangan dengan pendingin udara atau air


conditioner (AC) karena ruangan AC memiliki kelembapan relatif (Relative
Humudity atau RH) yang rendah, sehingga benih yang disimpan dalam ruangan
AC kadar airnya akan menurun. Benih yang kadar airnya cukup rendah setelah
dikeluarkan dari ruang penyimpanan juga agar mempermudah imbibisi pada saat
perendaman pertama.
Pada proses penyimpanan, sebanyak 900 benih dipisahkan per perlakuan
dan ulangan (ada 12 satuan percobaan) menggunakan kantung jaring-jaring.
Masing-masing kantung berisi 75 benih yang nantinya 20 benih digunakan untuk
empat kali pengujian kadar air (setelah penyimpanan, setelah perendaman
pertama, setelah dari ruang pemanas dan setelah perendaman kedua), lima benih
digunakan untuk pengujian daya hantar listrik dan 50 benih untuk
dikecambahkan. Di dalam ruang penyimpanan stock benih disusun pada rak yang
terbuat dari kawat, kantung benih disusun agar tidak menumpuk. Sesuai
perlakuan, sebanyak 3 kantung disimpan 11 hari, 3 kantung disimpan 13 hari, 3
kantung disimpan 15 hari dan 3 kantung disimpan 17 hari.
Setelah penyimpanan benih sesuai perlakuan, proses pengolahan selanjutnya
adalah perendaman pertama (Gambar 7b). Lama waktu perendaman pertama
adalah 3 hari untuk penyimpanan 11 hari, 5 hari untuk penyimpanan 13 hari, 7
hari untuk penyimpanan 15 hari dan 9 hari untuk penyimpanan 17 hari.
Perendaman pertama dilakukan di dalam bak ukuran panjang, lebar, tinggi yaitu
3m x 2 m x 1m. Air di dalam bak harus diganti setiap hari untuk menghindari
risiko benih terserang cendawan atau organisme pengganggu lainnya. Setelah
perendaman selesai masing-masing perlakuan selanjutnya ditiriskan dengan cara
dikeringanginkan selama satu hari sebelum masuk ke ruang hot room, karena
benih yang masih basah apabila langsung dimasukkan ke dalam ruang hot room
akan berjamur .
11

a b

Gambar 6. Perlakuan benih pada penelitian.


Keterangan: penyimpanan (a), perendaman pertama (b)

Pematahan Dormansi (Dry Heat Treatment)

Perlakuan pemanasan bertujuan agar kulit biji menjadi permeabel terhadap


masuknya air pada saat proses imbibisi. Selain itu diharapkan agar operculum
yang menutupi embrio retak sehingga radikula dapat keluar dan mendorong
terlepasnya serabut (fibre plug) yang ada diatasnya. Proses pematahan dormansi
yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan perlakuan dry heat
treatment di dalam ruang pemanas (hot room).

a b

Gambar 7. Proses pematahan dormansi di ruang pemanas


Keterangan: Ruang Dry Heat Treatment (a), suhu 39±1ºC (b)

Benih yang telah mendapat perlakuan penyimpanan dan perendaman


pertama yang berbeda dan sudah dikeringanginkan dimasukkan ke dalam kantong
plastik bening ukuran 60x40 cm dengan ketebalan 0,15 cm dan diikat. Benih
kemudian ditempatkan di dalam ruang pemanas dengan suhu 39±1ºC selama 60
12

hari (Gambar 8). Setiap minggu kantong benih dikeluarkan dan dibuka selama 3–
5 menit agar benih mendapatkan oksigen (Hidayat, 2010).

Perendaman Kedua

Setelah 60 hari di dalam hot room, benih selanjutnya dilakukan perendaman


kedua selama tiga hari, kemudian benih diukur kembali kadar airnya. Hal ini
dilakukan karena benih dari hot room dalam keadaan kering, sementara air sangat
penting bagi proses perkecambahan benih. Benih yang telah mendapatkan
perlakuan perendaman kedua direndam dalam larutan fungisida Sinergy 300 EC
(bahan aktif difenokazol dan propikonazol) dengan dosis 3 g/L selama tiga menit
untuk mencegah kontaminasi jamur, kemudian benih dikeringanginkan selama 5–
8 jam pada rak-rak pengeringan. Benih yang telah dikeringanginkan tersebut
selanjutnya dikecambahkan.

10. Perkecambahan Benih

Pada perkecambahan benih, alat serta bahan yang dibutuhkan seperti tray
dan kapas harus dalam keadaan bersih agar benih terhindar dari patogen yang
menempel pada tray dan kapas, sterilisasi tray dengan cara dicuci bersih
menggunakan deterjen sementara sterilisasi kapas dengan cara dioven pada suhu
103±2°C, kemudian disemprot dengan fungisida Sinergy 300 EC (bahan aktif
difenokazol dan propikonazol) dengan dosis 3 g/L. Tray perkecambahan tersebut
berisi kapas dengan ketebalan sekitar 2-3 cm (tidak terlalu tebal atau terlalu tipis,
secara merata). Benih disusun sebanyak 50 benih kemudian disemprot air dengan
handsprayer agar lembab.

Gambar 8. Benih dikecambahkan di dalam tray


13

Setiap tray (satu tray adalah satu ulangan), antara satu tray dengan yang
lainnya kemudian disusun (ditumpuk) ke atas (Gambar 9) dan dimasukkan ke
dalam ruang perkecambahan. Suhu ruang perkecambahan benih berkisar antara
28ºC–32ºC. Penyemprotan air ke media perkecambahan dilakukan sekitar 2 hari
sekali tergantung keadaan kapas, jika masih lembab tidak perlu dilakukan
penyemprotan dan jika sudah agak kering benih perlu dilembapkan kembali.

E. Variabel Pengamatan

. Kadar Air Benih (KA)

Kadar air benih diukur setelah penyimpanan, setelah perendaman pertama,


pra perendaman kedua dan setelah perendaman kedua (pengukuran kadar air
menggunakan 5 benih per ulangan). Berdasarkan panduan yang diberikan oleh
The International Seed Testing Association (ISTA, 2010), pengukuran kadar air
pada benih-benih berukuran besar, seperti benih kelapa sawit dilakukan dengan
terlebih dahulu memecah benih (<7 mm) sebelum dimasukkan dalam oven dengan
suhu 103±2°C.
Pengukuran kadar air diukur dengan cara benih ditimbang sebelum masuk
ke oven dengan suhu 103+2ºC selama 16-18 jam sebagai Berat Basah (BB).
Setelah itu, benih dikeluarkan dari oven lalu dimasukkan ke desikator selama 15-
30 menit. Setelah keluar dari desikator, benih ditimbang untuk mendapatkan Berat
Kering (BK). Persen kadar air benih dihitung berdasarkan persentase air benih
terhadap berat kering benih. Kadar air dihitung berdasarkan rumus berat kering
sebagai berikut :
BB−BK
KA (%)= x 100 %
BK
Keterangan :
BB = Berat Basah (g)
BK = Berat Kering (g)
14

2.Viabilitas dan Vigor Benih

a. Daya Berkecambah (DB)

Pengamatan daya berkecambah benih dilakukan dengan mencatat jumlah


kecambah normal, abnormal, dorman dan mati. Pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui viabilitas benih dengan cara menghitung persentase benih yang
berkecambah. Benih yang telah diletakkan di dalam kotak perkecambahan,
selanjutnya ditempatkan dalam ruang perkecambahan (germination room).
Pengamatan dilakukan setiap hari setelah benih dikecambahkan sampai dengan
hari ke-42 (Silomba, 2006). Benih yang diamati adalah benih yang mempunyai
pertumbuhan kecambah normal, abnormal, dorman dan mati. Kriteria untuk benih
normal dan abnormal dapat dilihat pada Lampiran 4. Setelah pengamatan hari ke-
42, benih yang tidak berkecambah dilakukan uji Tetrazolium (TZ) untuk
membedakan benih dorman dan benih mati melalui perubahan warna yang terjadi
setelah dilakukan perendaman di dalam larutan Tetrazolium. Perendaman dengan
larutan tetrazolium 1% dilakukan terhadap benih yang tidak atau belum
berkecambah setelah 42 hari setelah perkecambahan. Benih terlebih dahulu
dibelah melintang menggunakan pisau, kemudian direndam di dalam larutan
tetrazolium selama 48 jam. Benih yang masih hidup ditandai dengan perubahan
warna embrio dan endosperm menjadi merah muda, sedangkan benih yang
tidak mengalami perubahan warna menunjukan bahwa benih telah mati, cara
pembuatan larutan Tetrazolium terlampir pada Lampiran 6.
Persentase kecambah normal dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Jumlahbenih berkecambah normal
% Kecambah Normal= x 100 %
Jumlah benih yang dikecambahkan
Persentase kecambah abnormal dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Jumlah benih berkecambah abnormal
% Kecambah Abnormal= x 100 %
Jumlah benih yang dikecambahkan
Persentase benih dorman dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
15

Jumlah benih yang dorman


% Benih Dorman= x 100 %
Jumlah benih yang dikecambahkan

Persentase benih mati dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai


berikut:
Jumlah benih yang mati
% Benih Mati= x 100 %
Jumlah benih yang dikecambahkan

b. Perkecambahan Hitung Pertama atau First Count Test (%)

Perkecambahan Hitung Pertama (First Count Test) bertujuan untuk


menentukan keserempakan tumbuh benih (vigor) melalui kecepatan atau kekuatan
berkecambah benih pada hari pertama pengamatan. Benih yang diamati pada
pengamatan ini adalah benih yang diuji pada uji daya berkecambah benih.
Pengamatan ini hanya dilakukan sekali setelah benih dikecambahkan yaitu pada
hari ke-21 dengan menggunakan rumus berikut:

Jumlahbenih berkecambah normal


Uji Hitung Pertama= x 100 %
Jumlah benih yang dikecambahkan

c. Nilai Indeks (Index Value Test)

Pengujian nilai indeks perkecambahan (Indeks Value Test) bertujuan untuk


mengetahui kekuatan tumbuh (vigor) dan kecepatan berkecambah benih.
Pengamatan dilakukan setiap hari setelah benih dikecambahkan hingga hari akhir
pengamatan, dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah benih berkecambah normal


IVT =∑
Hari berkecambah

d. Daya Hantar Listrik (DHL)

Pengujian Daya Hantar Listrik ini dilakukan setelah perlakuan penyimpanan


dan perendaman pertama. Pengujian daya hantar listrik dilakukan dengan cara
16

merendam 10 butir benih kelapa sawit (per ulangan) yang sebelumnya telah
diketahui bobotnya. Benih kelapa sawit yang telah diberi perlakuan dimasukkan
ke dalam beaker glass, kemudian beaker glass diisi dengan air bebas ion
(aquabidest) sampai keseluruhan benih menjadi terendam. Perendaman dengan air
bebas ion tersebut dilakukan selama 24 jam, kemudian benih ditiriskan dan diukur
air bekas rendaman benihnya menggunakan alat conductivity meter.
Nilai yang ditunjukkan oleh conductivity meter kemudian dicatat dan
dihitung Daya Hantar Listrik menggunakan rumus. Rumus Daya Hantar Listrik
(DHL) adalah sebagai berikut (Fatonah dan Nalwida, 2017):
Nilai DHLbenih – DHL blanko
DHL( μ S /cm . g)=
Berat (g)setiap ulangan
Keterangan :
Nilai DHL benih = nilai conductivity meter pada air rendaman benih.
Nilai DHL blanko = nilai conductivity meter pada air bebas ion.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kadar Air Benih (%)

Salah satu kondisi lingkungan penyimpanan yang mempengaruhi daya


simpan adalah kadar air benih. Benih dapat dikatakan bersifat higroskopis karena
benih melakukan keseimbangan dengan udara di sekitarnya dan menyerap air
kalau udara lembab. Hubungan kadar air benih dengan kadar air kesetimbangan
benih dan kelembapan nisbi udara di sekitarnya adalah penting dalam penanganan
benih. Karena benih bersifat higroskopis, maka dengan mengatur kelembapan
nisbi kondisi ruang simpan dapat mengubah kadar air sampai ke kadar air yang
diinginkan. Untuk benih intermediet seperti kelapa sawit, sebaiknya penyimpanan
benih dilakukan dengan kadar air di atas titik kritisnya (critical moisture content).

1. Kadar Air Benih Setelah Penyimpanan dan Setelah Perendaman Pertama

Hasil yang diperoleh dari pengukuran kadar air pada beberapa perlakuan
lama penyimpanan dan perendaman pertama benih kelapa sawit setelah dianalisis
ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar air setelah
penyimpanan dan setelah perendaman pertama. Rata-rata hasil pengamatan kadar
air benih pada beberapa perlakuan lama penyimpanan dan perendaman pertama
dapat dilihat pada Tabel 1, tabel analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 1. Kadar air benih kelapa sawit setelah disimpan dan direndam dengan
waktu yang berbeda (%).
Kadar Air (%)
Perlakuan Setelah Setelah
Penyimpanan perendaman I
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 10,83 a 18,18 b
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 10,03 b 19,09 a
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 9,64 b 19,65 a
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 8,76 c 18,13 b
KK (%) 3,80 2,39
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil berbeda adalah berbeda
nyata menurut DNMRT pada taraf nyata 5 %.
18

Kadar air selama penyimpanan dipengaruhi oleh kadar air awal. Kadar air
awal benih sebelum penyimpanan berkisar antara 20-21%, didapatkan
berdasarkan pengukuran kadar air sampel. Berdasarkan Tabel 1, setelah benih
disimpan dalam ruang AC selama 11, 13, 15 dan 17 hari kadar airnya turun
menjadi 10,83%, 10,03%, 9,64% dan 8,76%. Semakin lama periode penyimpanan
maka akan mengakibatkan semakin menurunnya nilai kadar air di dalam benih.
Hal ini sesuai dengan penelitian Yuniarti (2015) bahwa lama penyimpanan sampai
hari ke-15 sangat mempengaruhi nilai kadar air benih bakau, semakin lama benih
disimpan maka kadar air benih semakin berkurang. Kondisi penyimpanan benih
kelapa sawit menunjukkan suhu dan RH yang rendah (suhu 17.5o-19oC dan RH
53-58%). Kadar air rata-rata ruangan AC lebih rendah dibandingkan dengan
kondisi kadar air di dalam benih, sehingga kadar air di dalam benih berpindah ke
ruangan. Penyimpanan benih di dalam ruangan AC yang terjadi adalah proses
perpindahan air dari dalam benih ke permukaan benih, dan kemudian air yang di
permukaan benih tersebut akan diuapkan jika RH ruangan lebih rendah.
Sadjad (1980) menyebutkan bahwa kadar air benih adalah salah satu faktor
yang penting dalam upaya penyimpanan benih. Benih dapat dikatakan memiliki
sifat yang higroskopis, yaitu suatu benih untuk melakukan keseimbangan dengan
udara di sekitarnya dan menyerap air jika udara lembab. Hubungan kadar air
benih dengan kadar air kesetimbangan benih dan kelembapan nisbi udara di
sekitarnya adalah penting dalam penanganan benih.
Setelah benih disimpan dengan beberapa perlakuan yaitu 11, 13, 15 dan 17
hari, selanjutnya dilakukan perendaman pertama sesuai perlakuan yaitu 3, 5, 7 dan
9 hari, kadar air benih naik menjadi 18,18%, 19,09%, 19,65% dan 18,13%.
Semakin rendah kadar air benih (sampai batas tertentu) maka kemampuan
menyerap benih akan bertambah karena benih berusaha menyeimbangkan kadar
air di dalam benih dengan lingkungannya. Semakin rendah kadar air benih, jika
direndam dalam air maka kekuatan menarik air (driving force) masuk ke dalam
benih semakin besar (Widyawati, 2009), tetapi jika kadar air benih terlalu rendah
maka kemampuan menyerap air pada benih menurun. Kadar air setelah
perendaman pertama sesuai dengan Silomba (2006), yaitu untuk meningkatkan
kadar air menjadi 18-20%.
19

2. Kadar Air Benih Setelah dari Ruang Pemanas dan Setelah Perendaman
Kedua

Setelah perendaman pertama selesai dilakukan, tahapan lain dari pengolahan


benih adalah dry heat treatment atau perlakuan pemanasan benih di ruang
pemanas selama 60 hari, tujuannya agar kulit biji menjadi permeabel terhadap
masuknya air pada saat proses imbibisi dan diharapkan agar bagian operculum
yang menutupi embrio retak. Setelah 60 hari di dalam ruang pemanas benih
diukur kadar airnya kemudian dilakukan perendaman kedua di dalam bak selama
tiga hari untuk meningkatkan kadar air menjadi kondisi yang memungkinkan
untuk benih berkecambah. Setelah perendaman kedua kadar air benih kembali
diukur untuk terakhir kalinya dalam suatu proses pengolahan benih, dan kemudian
dilakukan pengecambahan benih di dalam tray, benih masuk ke dalam ruang
perkecambahan (germination room).
Hasil yang diperoleh dari pengukuran kadar air pada beberapa perlakuan
lama penyimpanan dan perendaman pertama benih kelapa sawit setelah dianalisis
ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar air setelah dari
ruang pemanas, namun berbeda tidak nyata terhadap kadar air setelah perendaman
kedua. Rata-rata hasil pengamatan kadar air benih pada beberapa perlakuan lama
penyimpanan dan perendaman pertama dapat dilihat pada Tabel 2, tabel analisis
ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 2. Kadar air benih kelapa sawit setelah dari ruang pemanas dan setelah
perendaman II selama tiga hari (%).

Kadar Air (%)


Perlakuan Setelah dari Setelah
ruang pemanas perendaman II
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 8,10 b 20,86
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 8,96 ab 20,67
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 9,04 ab 21,22
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 9,74 a 19,86
KK (%) 6,30 3,50
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil berbeda adalah berbeda
nyata dan angka-angka pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut uji F
taraf nyata 5%.

Kadar air benih diukur setelah keluar dari ruang pemanas, kemudian
dilakukan perendaman kedua di dalam bak dan diukur kembali kadar airnya. Pada
20

penelitian ini, benih yang keluar dari ruang pemanas (hot room) kadar airnya
hanya berkisar antara 8,10-9,74%. Menurut Adiguno (1998), kadar air setelah dari
ruang pemanas (dry heat treatment) selama 60 hari pada suhu 39-40°C sebaiknya
tidak kurang dari 18%. Benih kelapa sawit cukup sensitif terhadap penurunan
kadar air yang terlalu banyak. Menurut Suhartanto (2013) Benih intermediate
seperti kelapa sawit merupakan benih yang dapat diturunkan kadar airnya,
beberapa jenis bahkan bisa mencapai sekitar 10%, tetapi dapat mengalami
kerusakan jika kadar airnya diturunkan lebih rendah lagi dan dapat
mempengaruhi kemampuan penyerapan air.
Setelah benih dari ruang pemanas (hot room), kadar air di dalam benih
menjadi rendah (Tabel 2), oleh karena itu diperlukan perendaman kedua untuk
menaikkan kadar air sebelum benih dikecambahkan. Kadar air semua perlakuan
setelah perendaman II selama tiga hari yaitu 20,86%, 20,67%, 21,22%, dan
19,86%. Kadar air tersebut belum memenuhi kebutuhan benih untuk
berkecambah. Hal ini mengartikan bahwa imbibisi benih kelapa sawit pada
perendaman kedua tidak berjalan dengan baik padahal imbibisi menjadi faktor
esensial untuk proses perkecambahan benih. Pernyataan ini sesuai dengan
pendapat Asiedu et al., (2000) yang menyebutkan bahwa imbibisi adalah tahap
hidrasi benih yang sangat penting yang dibutuhkan untuk inisiasi perubahan
biokhemis yang mengarah pada perkecambahan.
Laju imbibisi selain dipengaruhi oleh permeabilitas kulit benih, juga
dipengaruhi oleh kadar air dalam benih. Imbibisi terjadi karena potensial air di
dalam benih lebih rendah dari sekitarnya, sehingga air akan bergerak masuk ke
dalam benih. Sesuai dengan pendapat Benech dan Sanchez (2004), besarnya
energi yang mengendalikan masuknya air ke dalam benih tergantung pada
besarnya perbedaan potensial air tersebut.
Apabila pada tahap imbibisi suplai air dalam keadaan terbatas, maka
perkecambahan terhambat. Kadar air kritis untuk perkecambahan benih sangat
bervariasi, contohnya pada benih aren, hasil pengamatan kadar air untuk memicu
perkecambahan adalah sekitar 38%, untuk benih kelapa sawit kadar air kritis yang
harus dipenuhi adalah 22-24% (Lubis, 2008).
21

Tidak tercapainya kadar air benih tersebut disebabkan beberapa faktor, di


antaranya permeabilitas kulit membran, varietas, tingkat kemasakan dan umur
panen. Pada umumnya kulit benih keras tersusun oleh lignin, tanin, lilin dan sel
sklereid yang rapat, sehingga mengurangi sifat permeabilitasnya terhadap air.
Cangkang benih kelapa sawit memiliki komposisi kandungan lignin yang tinggi
yaitu 42,96% (Widiarsi, 2008). Chachalis dan Smith (2001) juga menyebutkan
bahwa pada kebanyakan kasus, biji yang impermeabel mempunyai pori-pori
sangat sedikit dan dangkal, sehingga penyerapan air oleh benih dapat terganggu.
Benih kelapa sawit memiliki lapisan kulit yang keras dan cukup tebal yang biasa
disebut dengan testa. Testa adalah struktur barier pelindung embrio dari
lingkungan eksternal, mengendalikan penyerapan air dan pertukaran gas, serta
sebagai hambatan mekanis. Testa menghambat penyerapan air sehingga dalam
perkecambahan benih kelapa sawit, sulitnya penyerapan air adalah hal yang sering
dijumpai.
Benih yang digunakan di dalam penelitian ini adalah benih yang telah
masak secara fisiologis. Umur benih saat panen juga sangat berpengaruh dengan
laju imbibisi benih. Hal ini didukung oleh penelitian Widyawati (2009), hasil
pengamatan terhadap perkembangan sifat permeabilitas benih aren dilihat melalui
pertambahan berat benih dari berbagai umur yang direndam 24 jam dalam air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tua benih, pertambahan berat benih
setelah di rendam 24 jam semakin rendah, berarti bahwa semakin tua benih,
imbibisinya semakin rendah atau semakin menurun permeabilitasnya terhadap air.
Hasil pengamatan terhadap kadar lignin dan tanin benih , menunjukkan bahwa
semakin tua benih, kadar senyawa tersebut semakin meningkat. Jika dihubungkan
antara kandungan lignin dan tanin benih dengan besarnya imbibisi ternyata
terdapat korelasi erat yang bersifat negatif, berarti bahwa semakin tinggi
kandungan lignin dan tanin biji, semakin rendah imbibisinya. Peningkatan kadar
lignin dan tanin tersebut sangat berperan dalam menurunkan permeabilitas benih
keras terhadap air.
Masuknya air secara perlahan kedalam benih akibat perlakuan perendaman
dapat mengatur membran sel, mengaktifkan enzim yang berperan dalam proses
perkecambahan, dan meningkatkan aktifitas metabolisme lainnya termasuk
22

respirasi. Proses respirasi akan segera berlangsung dan akan dipercepat oleh
enzim-enzim yang akan merombak cadangan makanan menjadi senyawa
bermolekul sederhana yang akan ditranslokasikan ke embrionic axis sehingga
benih mampu berkecambah dengan baik. Bustamam (1989) cit. Putih et al.,
(2009) menyatakan bahwa dengan aktifnya metabolisme benih tersebut
perombakan bahan cadangan makanan berlangsung dan menghasilkan energi
untuk ditransfortasikan ke embrionic axis untuk pembentukan radikula dan
plumula serta menyokong pertumbuhan awal perkecambahan. Kurangnya air di
dalam benih mengakibatkan dormansi fisik benih masih berlangsung.

B. Viabilitas dan Vigor Benih

1. Daya Berkecambah (%)

a. Kecambah Normal (%)

Hasil pengamatan terhadap daya kecambah pada beberapa perlakuan


penyimpanan dan perendaman benih kelapa sawit setelah dianaisis ragam
menunjukkan hasil yang bebeda nyata. Rata-rata hasil pengamatan daya
kecambah pada beberapa perlakuan disajikan pada Tabel 3, analisis ragam dapat
dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 3. Daya berkecambah benih kelapa sawit setelah dilakukan penyimpanan
dan perendaman pertama dengan waktu yang berbeda (%).
Perlakuan Daya Berkecambah (%)
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 2,67 b
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 0,00 c
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 6,00 a
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 0,00 c
KK (%) 26,71
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil berbeda adalah berbeda
nyata menurut DNMRT pada taraf nyata 5 %. KK didapatkan setelah data
ditransformasi dengan =ASIN(SQRT (%DATA/100))*180(22/7)+0,5.

Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan variasi lama penyimpanan dan


perendaman pertama benih memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
daya berkecambah benih normal kelapa sawit. Perlakuan penyimpanan 15 hari
dan perendaman pertama benih 7 hari berbeda nyata dengan penyimpanan 11 hari
dan perendaman pertama benih 3 hari, penyimpanan 13 hari dan perendaman
23

pertama 5 hari, serta penyimpanan 17 hari dan perendaman pertama 9 hari.


Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat perlakuan penyimpanan 15 hari dan
perendaman pertama 7 hari merupakan waktu terbaik di antara yang lainnya
dengan rata-rata daya berkecambah benih 6%, sedangkan daya berkecambah
terendah terdapat pada perlakuan lama penyimpanan 13 hari dan penyimpanan 5
hari, penyimpanan 17 hari dan perendaman pertama 9 hari dengan rata-rata daya
berkecambah 0%, artinya tidak ada benih yang berkecambah dengan normal.
Namun dengan daya berkecambah sebesar 6%, benih tersebut belum dapat
dikatakan memiliki viabilitas yang baik. Menurut Kamil (1982) menyatakan
bahwa benih dapat dikatakan memiliki viabilitas yang baik apabila mempunyai
nilai daya berkecambah lebih besar dari 80%.
Menurut Yuniarti (2015) lama penyimpanan sampai hari ke-15 sangat
mempengaruhi daya berkecambah pada benih bakau. Terlalu lama periode
penyimpanan maka akan mengakibatkan menurunnya daya berkecambah benih
bakau. Byrd (1983) juga menyatakan bahwa benih akan mengalami kemunduran
viabilitas sejalan dengan berlangsungnya waktu penyimpanan. Karena periode
simpan merupakan fungsi dari waktu maka perbedaan antar benih yang kuat dan
lemah terletak pada kemampuannya untuk mempertahankan viabilitasnya
terhadap waktu. Benih kelapa sawit termasuk pada benih intermediet yang tidak
dapat disimpan terlalu lama karena jika kadar air terlalu rendah benih akan rusak,
namun mengalami dormansi fisik karena cangkangnya yang sulit dalam imbibisi
dan pertukaran gas. Sehingga banyak faktor yang mepengaruhi viabilitas benih
kelapa sawit.
Kadar air perendaman kedua (sebelum perkecambahan) sangat penting bagi
perkecambahan benih, baik atau tidaknya proses imbibisi dapat dilihat berdasakan
kadar air benih. Berdasarkan tabel pengamatan kadar air setelah dilakukan
perendaman kedua (Tabel 2), maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata kadar air
beberapa perlakuan tersebut tidak memenuhi syarat agar benih kelapa sawit
mampu berkecambah dengan baik. Menurut Lubis (2008) kadar air yang optimal
untuk perkecambahan benih kelapa sawit adalah ±23%, sementara pada beberapa
perlakuan hanya berkisar antara 19-21%. Sehingga perkecambahan benih sulit
terjadi.
24

Lama perendaman pertama dan kedua diketahui cukup membantu proses


perkecambahan benih, sebab sebagaimana diketahui tahap awal
perkecambahan benih adalah penyerapan air, proses penyerapan air terjadi
pada perkecambahan suatu biji yang diikuti oleh pelunakan kulit biji dan
pengembangan kulit biji (Kamil, 1979). Sebagaimana diketahui sebelumnya
kulit biji kelapa sawit selain mempunyai kulit biji yang keras, kulit biji kelapa
sawit juga dilapisi oleh lapisan lipid. Menurut sifatnya, Lipid merupakan
senyawa yang dapat larut dalam eter, benzena dan kloroform tetapi tidak larut
dalam air (Bloor, 1928 cit Gardner, 1991). Fosfolipid juga mempunyai sifat
amfipatik yaitu fosfolipid ini memiliki daerah hidrofilik dan hidrofobik. Pada
area hidrofobik, lapisan ini sulit untuk dilewati air (Campbell, 2000). Sehingga
diduga tidak adanya pengaruh lama perendaman terhadap persentase jumlah
kecambah biji Kedawung disebabkan oleh adanya lapisan lipid yang sebagian
besar menyelimuti kulit benih kelapa sawit, sehingga berapapun lamanya biji
di rendam pada berbagai waktu (3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari) air tetap tidak
bisa menembus lapisan kulit biji, oleh karenanya perkecambahan menjadi
terhambat dan tidak berpengaruh terhadap persentase kecambah benih kelapa
sawit.
Berdasarkan aturan ISTA (International Seed Testing Association) dalam
Balai Besar Pengebangan Pengujian Mutu Benih (2015), benih dengan kecambah
normal harus memiliki salah satu dari kriteria yang telah ditetapkan, diantaranya
benih yang berkecambah dengan kondisi seluruh unsur utamanya berkembang
dengan baik, lengkap, seimbang, dan sehat. Kemudian kondisi kecambah yang
memiliki sedikit kerusakan atau cacat ringan pada struktur utamanya namun
masih menunjukkan perkembangan yang baik masih dikategorikan ke dalam
kecambah normal. Penampilan kecambah normal pada benih kelapa sawit secara
lengkap (plumula tumbuh ke atas dan radikula tumbuh ke bawah, sehingga
berlawanan arah dan lurus) sebagaimana pada Gambar 10.
25

Gambar 9. Kecambah normal benih kelapa sawit umur 7 hari setelah pecah
dormansi.
Keterangan : (a) Plumula, (b) Radikula

b. Kecambah Abnormal (%)

Berdasarkan pengamatan, persentase abnormal benih kelapa sawit yang


telah diberi perlakuan penyimpanan dan perendaman pertama pada berbagai
lamanya waktu menunjukkan pengaruh yang sama setelah dianalisis ragam
(Lampiran 7).
Tabel 4. Persentase kecambah abnormal benih kelapa sawit setelah dilakukan
penyimpanan dan perendaman pertama dengan waktu yang berbeda(%).
Perlakuan Kecambah Abnormal (%)
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 0,67 ± 1,15
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 0,67 ± 1,15
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 0,00 ± 0,00
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 1,33 ± 2,31
± Standar Deviasi

Hasil pengamatan benih abnormal sebagaimana yang disajikan tabel pada


Tabel 4, hasil analisis menunjukkan standar deviasi lebih tinggi dari tara-rata
perlakuan penyimpanan 11 hari perendaman pertama 3 hari, penyimpanan 13 hari
perendaman pertama 5 hari, dan penyimpanan 17 hari perendaman pertama 9 hari
lebih besar dari nilai rata-rata. Hasil analisis tersebut menunjukkan sebaran data
yang diperoleh dalam variabel benih abnormal pada perlakuan tersebut
mempunyai sebaran yang tinggi, artinya rata-rata kecambah abnormal pada
perlakuan tersebut mempunyai tingkat penyimpangan yang tinggi, kecuali
26

perlakuan penyimpanan 15 hari perendaman pertama 7 hari tidak didapatkan


kecambah yang tumbuh secara abnormal pada pengamatan kecambah abnormal.
Berdasarkan aturan ISTA (International Seed Testing Association) dalam
Balai Besar Pengebangan Pengujian Mutu Benih (2015), benih kecambah yang
struktur utamanya hilang atau rusak parah serta bentuk kecambah yang tidak
proporsional dikategorikan ke dalam kecambah abnormal. Kriteria kecambah
normal dan abnormal selengkapnya juga dapat dilihat pada Lampiran 4. Beberapa
penampakan kecambah abnormal yang muncul pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 11.

a b c

Gambar 10. Kecambah abnormal benih kelapa sawit setelah 7-10 hari pecah
dormansi.
Keterangan: (a) plumula dan radikula tidak berkembang, (b) plumula pendek dan
tumpul (c) posisi plumula dan radikula membentuk sudut 90°.

Munculnya kecambah abnormal tidak hanya dipengaruhi oleh perlakuan,


tetapi dapat dipengaruhi oleh faktor lain yaitu faktor internal dan eksternal.
Menurut Saleh (2002), faktor internal yang mempengaruhi seperti faktor genetis
dan permeabilitas kulit benih. Faktor genetis bersifat menetap dan diturunkan ke
generasi selanjutnya sedangkan permeabilitas kulit biji disebabkan oleh komposisi
kimia pada kulit benih tersebut. Sementara faktor eksternal terdiri dari kecukupan
air, suhu, oksigen, cahaya, maupun organisme panganggu (seperti hama dan
jamur). Kondisi lingkungan eksternal yang tidak optimal (sub optimum) dapat
menyebabkan cekaman lingkungan sehingga terbentuk benih abnormal.
Suhu dan kelembapan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkat
viabilitas benih selama perkecambahan. Temperatur ruang pengecambahan yang
terlalu tinggi (>35 °C) dapat menghambat perkecambahan benih (Elisa, 2006),
tray di dalam ruang perkecambahan disusun mulai dari bawah ke atas, sehingga
27

suhu di dalam tray dapat meningkat, selain itu kelambaban juga meningkat karena
media perkecambahan benihnya adalah kapas, kemampuannya mempertahankan
air sangat tinggi.
Menurut Kurnila (2009) suhu ruangan yang baik bagi perkecambahan benih
berkisar antara 28ºC-30ºC dengan kelembapan berkisar antara 65°C-75°C. Pada
penelitian ini media yang digunakan dalam perkecambahan adalah kapas. Seperti
diketahui kapas merupakan media yang mampu mempertahankan kelembapan
media menjadi sangat tinggi, kelembapan yang berlebihan dapat menghambat laju
penyerapan air dari lingkungan ke dalam benih, mendukung tumbuhnya jamur
dan tempat hidupnya hama seperti ulat dan kutu. Jamur dan kutu sangat
mengganggu perkecambahan benih di dalam tray perkecambahan. Jamur dapat
menginfeksi endosperm di dalam benih, sehingga benih dapat tumbuh dalam
keadaan abnormal, bahkan mati.

2. Benih Dorman(%)

Hasil yang diperoleh pada pengamatan persentase dormansi benih kelapa


sawit yang telah diberi perlakuan penyimpanan dan perendaman pertama pada
berbagai lamanya waktu menunjukkan pengaruh yang sama setelah dianalisis
ragam. Persentase pengamatan kecambah abnormal benih kelapa sawit dapat
dilihat pada Tabel 5 dan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 5. Persentase benih dorman benih kelapa sawit setelah dilakukan
penyimpanan dan perendaman pertama dengan waktu yang berbeda
(%).
Perlakuan Benih dorman (%)
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 90,20
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 99,33
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 94,00
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 88,67
KK (%) 5,28
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut uji F pada taraf
nyata 5%.

Persentase benih dorman dihitung dengan cara mengambil 10 sampel benih


masing-masing ulangan, benih yang tidak berkecambah sampai hari pengamatan
ke-42 tersebut dilakukan uji tetrazolium. Benih yang masih dalam keadaan
28

dorman embrionya akan berwarna merah muda atau merah, sedangkan benih yang
mati akan berwarna putih saja. Embrio benih yang diuji tetrazolium seperti dapat
dilihat pada Gambar 12.

Gambar 11. Embrio benih kelapa sawit yang diuji Tetrazolium.


Keterangan : (a) Benih dorman, (b) Benih mati

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 5, benih pada berbagai


perlakuan penyimpanan dan perendaman pertama menunjukkan hasil persentase
benih dorman yang sangat tinggi (90,20%, 99,33%, 94,00 dan 88,67). Benih
kelapa sawit sangat sulit untuk berkecambah dan tidak dapat tumbuh serempak,
hal ini disebabkan karena benih mempunyai sifat dormansi akibat endokarpnya
yang tebal dan keras, bukan disebabkan oleh embrionya yang dorman (Hartley,
1977). Selaras dengan hasil penelitian dari Nurmailah (1999), pada tempurung
benih kelapa sawit mengandung kadar lignin yang cukup tinggi yaitu 65,70%.
Adanya inhibitor tersebut dapat menjadi salah satu penyebab lamanya benih
kelapa sawit berkecambah.
Benih masih dalam kondisi dormansi walaupun sudah pengamatan hari
ke-42, maka kemungkinan besar proses imbibisi pada benih terhambat.
Imbibisi yaitu masuknya air ke dalam benih melalui penyerapan. Kecepatan
penyerapan air pada saat perendaman pertama maupun kedua tergantung pada
ukuran, morfologi dan struktur dalam benih. Benih kecil dan benih berkulit
relatif halus cenderung lebih efisien dalam menyerap air dan sebaliknya, benih
besar dengan cangkang yang tebal seperti kelapa sawit cenderung sulit untuk
menyerap air. Setelah penyerapan selesai, benih mengalami fase penyerapan
lambat, selama fase ini aktivitas metabolik mulai berlangsung.
29

Salah satu upaya pematahan dormansi benih kelapa sawit yaitu dengan
perlakuan benih ditempatkan dalam ruang pemanas (hot room) selama 60 hari
dengan suhu 400C, namun benih ternyata belum mampu berkecambah. Setiap
biji tanaman mempunyai kisaran waktu yang tertentu untuk bisa berkecambah,
walaupun kondisi optimum cukup membantu perkecambahan benih, namun
adakalanya suhu hanya membantu pada tahapan imbibisi dan pengaktifan
enzim) akan tetapi tidak mengubah viabilitas biji yang ditentukan oleh sifat
fisiologis dari biji, meskipun pada penelitian ini benih yang digunakan
diasumsikan memiliki tingkat kemasakan, ukuran dan berat yang sama. Akan
tetapi biji yang awalnya memiliki viabilitas yang tinggi akan meneruskan
proses perkecambahan. Sedangkan biji yang memiliki viabilitas yang rendah,
proses perkecambahannya akan terhambat. Faktor fisiologi biji juga sangat
berperan dalam proses perkecambahan biji yang menentukan cepat lambatnya
proses perkecambahan biji maupun mampu tidaknya biji berkecambah (daya
viabilitas biji) (Sutopo, 2004).

3. Benih Mati (%)

Hasil pengamatan persentase benih mati kelapa sawit yang telah diberi
perlakuan penyimpanan dan perendaman pertama pada berbagai lamanya waktu
menunjukkan pengaruh yang sama setelah dianalisis ragam. Persentase
pengamatan benih mati dapat dilihat pada Tabel 6 dan analisis ragam dapat dilihat
pada Lampiran 7.
Tabel 6. Persentase benih mati kelapa sawit setelah dilakukan penyimpanan dan
perendaman pertama dengan beberapa waktu yang berbeda (%).
Perlakuan Benih mati (%)
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 6,47 ± 5,60
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 33,3 ± 5,77
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 0,00 ± 0,00
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 10,00 ± 10,00
± Standar Deviasi

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 6, standar deviasi yang lebih besar dari
nilai rata-rata menunjukkan bahwa data yang digunakan dalam variabel benih
30

mati (%) mempunyai sebaran yang besar karena standar deviasi lebih besar dari
rata-ratanya sehingga simpangan data yang tinggi pada perlakuan penyimpanan
11 hari, perendaman 3 hari dan penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari. Hal ini
ditunjukkan dalam data dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang terlalu
ekstrim.
Data persentase benih mati dapat dikatakan rendah, karena sebagian besar
benih masih mengalami dormansi. Beberapa gejala benih mati yang ditemukan
dalam penelitian ini antara lain berupa endosperm yang sudah habis (kopong) dan
di dalamnya membusuk. Benih yang kopong diduga disebabkan oleh larva
serangga yang menembus lapisan operculum benih (ujung embrio dan titik
tumbuh sebagai tempat keluarnya kecambah kelapa sawit) kemudian memakan
endosperm benih. Organisme tersebut biasanya merusak fisik benih secara
langsung, yaitu dengan memakan bagian operculum yaitu lapisan yang
melindungi embrio benih, sehingga embrio dapat mati. Selanjutnya, beberapa
benih mati yang ditemukan dalam penelitian ini adalah endosperm mengalami
pembusukan yang menghasilkan lendir (Gambar 13a) karena endosperm yang
diserang larva serangga (Gambar 13b) dan benih yang terserang jamur.

a b

Gambar 12. Benih mati yang disebabkan oleh larva serangga.


Keterangan : (a) Embrio dan endosperm membusuk dan berlendir, (b) hama larva
serangga

Benih yang mati terserang jamur biasanya disebabkan oleh Jamur Fusarium
spp Marasmius. Faktor yang mendukung tumbuhnya jamur ini adalah kadar air
benih tinggi (lebih dari 17%), permukaan kulit benih masih banyak serabut, dan
ruang perkecambahan kurang bersih dan teralu lembab (Purba, 2009). Penyakit
pada benih lainnya yaitu disebabkan oleh jamur Schizophyllum commune.
Penyebab dari Schizophyllum commune disebut juga jamur busuk putih yang
31

menyebar dengan spora. Gejalanya yaitu miselium berwarna putih terlihat di


permukaan kulit biji, berkembang membentuk sporofor seperti kipas warna
kelabu, akibatnya embrio di dalam benih menjadi mati

4. Perkecambahan Hitung Pertama atau First Count Test (%)

Hasil pengamatan persentase perkecambahan benih pertama kelapa sawit


yang telah diberi perlakuan penyimpanan dan perendaman pertama pada berbagai
lamanya waktu menunjukkan pengaruh yang sama setelah dianalisis ragam.
Persentase perkecambahan benih pertama dapat dilihat pada Tabel 7 dan analisis
ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 7. Perkecambahan Hitung Pertama atau First Count Test benih kelapa sawit
setelah dilakukan penyimpanan dan perendaman pertama dengan
beberapa waktu yang berbeda (%).
Perlakuan FCT (%)
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 0,67 ± 1,15
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 0,00 ± 0,00
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 2,67 ± 3,06
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 0,00 ± 0,00
± Standar Deviasi

Perkecambahan hitung pertama sebagaimana yang disajikan tabel pada


Tabel 7, menunjukkan standar deviasi perlakuan penyimpanan 11 hari,
perendaman 3 hari, dan penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari lebih besar dari
nilai rata-rata. Data yang digunakan dalam variabel perkecambahan hitung
pertama (%) mempunyai sebaran yang besar karena standar deviasi lebih besar
dari rata-rata perlakuan. Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan nilai standar
deviasi yang lebih besar dari pada nilai rata-rata, hal ini berarti data bersifat
mempunyai penyimpangan luas.
Rata-rata persentase perkecambahan hitung pertama menunjukkan angka
yang sangat rendah. Perlakuan penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari dengan
rata-rata 2,67%, perlakuan penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari rata-rata
0,67%, di samping itu pada perlakuan penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari
dan penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari tidak ada benih yang tumbuh saat
32

perkecambahan hitung pertama. Keserempakan tumbuh benih (vigor) melalui


kecepatan atau kekuatan berkecambah benih pada hari pertama pengamatan
menunjukkan persentase masih yang rendah karena sebagian besar benih masih
dormansi. Berdasarkan Nurshanti (2013) berbagai lama perendaman benih
dalam air menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap persentase kecambah,
berbagai lama perendaman mampu meningkatkan persentase kecambah hidup
benih palem ekor tupai. Pada proses perkecambahan, lama perendaman
diketahui cukup membantu perkecambahan, namun adakalanya lama
perendaman dalam air tidak mengubah viabilitas dan vigor benih yang
ditentukan oleh sifat genetik maupun kandungan endospermnya. Faktor genetik
benih juga sangat berperan dalam proses perkecambahan benih yang
menentukan cepat lambatnya proses perkecambahan benih maupun mampu
tidaknya benih berkecambah (Sutopo, 2004).
Benih kelapa sawit sulit untuk cepat berkecambah karena impermeabilitas
kulit biji terhadap air. Menurut Widyawati (2009) terhambatnya imbibisi
menyebabkan perkecambahan benih kelapa sawit berlangsung cukup lama dan
saat perkecambahan tidak serentak. Hal ini diduga berhubungan dengan struktur
kulit biji kelapa sawit yang mengandung lipid, yang merupakan penghalang
biji untuk melakukan imbibisi.
Lambatnya saat benih berkecambah disebabkan pengaruh kondisi fisik
benih yang akan mempengaruhi proses penyerapan air ke dalam benih melalui
peristiwa difusi. Kurangnya air yang masuk ke dalam benih, maka enzim dan
komponen yang dibutuhkan bagi perkecambahan belum atau kurang aktif,
sehingga menyebabkan proses perkecambahan menjadi lambat atau tidak
terjadi.

5. Nilai Indeks (Index Value Test)

Hasil perhitungan analisis sidik ragam pengaruh kombinasi lama


penyimpanan dan perendaman pertama terhadap nilai indeks benih menunjukan
pengaruh yang nyata setelah dianalisis ragam. Nilai indeks benih dapat dilihat
pada Tabel 8 dan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.
33

Tabel 8. Nilai indeks benih kelapa sawit setelah dilakukan penyimpanan dan
perendaman pertama dengan beberapa waktu yang berbeda (%).
Perlakuan Nilai Indeks
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 0,06 b
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 0,01 b
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 0,14 a
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 0,00 b
KK (%) 3,54
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil berbeda adalah berbeda
nyata menurut DNMRT pada taraf nyata 5 %. KK didapatkan setelah data
ditransformasi dengan √ (x +0,5).

Hasil perhitungan analisis sidik ragam pengaruh kombinasi lama


penyimpanan dan perendaman pertama terhadap nilai indeks benih menunjukan
pengaruh yang nyata (Tabel 8). Perlakuan penyimpanan selama 15 hari,
perendaman 7 hari berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, dan merupakan
perlakuan yang terbaik untuk nilai indeks benih, namun nilai indeks benih pada
penelitian ini masih tergolong rendah, nilai indeks benih kelapa sawit secara
berturut-turut dimulai dari penyimpanan selama 11 hari, 13 hari, 15 hari dan 17
hari dengan perendaman pertama selama 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari yaitu
0,06, 0,01, 0,14 dan 0,00.
Semakin tinggi jumlah hari yang diperlukan untuk suatu proses
perkecambahan maka semakin rendah nilai indeks perkecambahan yang
didapatkan. Artinya bahwa semakin lama jumlah hari yang dibutuhkan untuk
perkecambahan menunjukkan bahwa nilai indeks perkecambahan benih menjadi
rendah (Sahilatua, 1992 cit Leisolo et al., 2013). Nilai indeks yang rendah
menunjukkan bahwa benih tersebut membutuhkan jumlah hari yang lebih lama
yang dibutuhkan oleh suatu benih untuk proses perkecambahan. Berarti bahwa
vigor benih yang dikecambahkan rendah. Menurut Rofik dan Murniati (2008)
semakin tinggi nilai kecepatan berkecambah, maka semakin tinggi vigor benih.
Perlakuan penyimpanan dan perendaman berpengaruh terhadap kekuatan
benih. Air merupakan fasilisator untuk memudahkan masuknya oksigen kedalam
benih. Masuknya air dan oksigen akan mengaktifkan proses pencernaan cadangan
makanan dan proses respirasi yang akan menghasilkan energi untuk memacu
perkecambahan benih. Semakin laju respirasi semakin banyak energi yang
34

dihasilkan untuk perkecambahan benih, sehingga vigor atau kekuatan tumbuh


benih akan meningkat.

6. Daya Hantar Listrik (DHL)

Hasil perhitungan analisis sidik ragam pengaruh lama penyimpanan dan


perendaman pertama terhadap daya hantar listrik menunjukan pengaruh yang
nyata setelah dianalisis ragam. pengamatan daya hantar listrik dapat dilihat pada
Tabel 9 dan analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 9. Daya hantar listrik benih kelapa sawit setelah dilakukan penyimpanan
dan perendaman pertama dengan beberapa waktu yang berbeda (
μS /cm. g).
Perlakuan DHL (μS /cm. g)
Penyimpanan 11 hari, perendaman 3 hari 0,67 b
Penyimpanan 13 hari, perendaman 5 hari 0,60 bc
Penyimpanan 15 hari, perendaman 7 hari 0,53 c
Penyimpanan 17 hari, perendaman 9 hari 2,15 a
KK (%) 4,73
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf kecil berbeda adalah berbeda
nyata menurut DNMRT pada taraf nyata 5 %.

Pada tabel 9 diinformasikan bahwa perlakuan penyimpanan 17 hari


perendaman pertama 9 hari memiliki daya hantar listrik tertinggi, yaitu 2,15
μS /cm. g, diikuti dengan perlakuan penyimpanan 11 hari perendaman pertama 3
hari sebesar 0,67 μS /cm. g, penyimpanan 13 hari perendaman pertama 5 hari
sebesar 0,60 μS /cm. g dan perlakuan penyimpanan 15 hari perendaman pertama 7
hari sebesar 0,53 μS /cm. g. Semakin meningkat nilai daya hantar listrik berarti
bertambah banyak zat-zat yang terlarut dalam cairan rendaman benih. Kelompok
benih yang memiliki vigor tinggi mempunyai struktur sel dan membran sel yang
masih baik sehingga dapat menahan bahan-bahan organik maupun anorganik yang
ada didalam membran, sebaliknya benih yang memiliki vigor rendah memiliki
membran sel yang rusak sehingga tidak dapat mempertahankan bahan-bahan
organik dan anorganik yang ada didalamnya. Tingkat kebocoran membran dapat
dijadikan indikasi vigor benih.
Daya hantar listrik yang tinggi sejalan dengan tingkat kebocoran benih yang
juga tinggi. Anshory (1999) menyatakan bahwa penurunan kadar air yang terjadi
35

pada benih dapat menyebabkan kerusakan membran sel, sehingga benih


mengalami kebocoran metabolit seperti gula, fosfat dan kalium yang berakibat
menurunkan viabilitas benih. Semakin tinggi hasil uji daya hantar listrik, semakin
rendah vigor benih tersebut. Hal ini dikarenakan meningkatnya daya hantar listrik
disebabkan kebocoran elektrolit karena permeabilitas membran benih yang
meningkat (Matthew dan Powell, 2006).
Daya hantar listrik berbanding terbalik dengan daya berkecambah benih.
Kebocoran benih dapat disebabkan oleh banyak faktor. Proses Produksi benih
yang kurang optimal, teknik penanganan setelah panen dan teknik penyimpanan
yang kurang baik dapat menyebabkan kemunduran benih yang berdampak
terhadap penurunan daya berkecambah dan vigor benih (Mulsanti dan Wahyuni,
2007).
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai daya hantar listrik
berbanding terbalik dengan daya berkecambah benih kelapa sawit yang diberi
beberapa perlakuan penyimpanan dan perendaman pertama. Lama penyimpanan
17 hari perendaman 9 hari dengan nilai DHL 2,15 μS /cm. g memberikan
persentase berkecambah normal terendah dan penyimpanan 15 hari perendaman 7
hari dengan nilai DHL 0,53 μS /cm. g. memberikan persentase daya berkecambah
tertinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Sudrajat dan Nurhasybi (2017),
korelasi negatif secara nyata ditunjukkan oleh daya hantar listrik (DHL) dengan
daya berkecambah dan daya simpan benih suren. Nilai DHL yang rendah
menujukkan vigor benih yang lebih baik. Sementara, hasil pengukuran DHL yang
tinggi menunjukkan bahwa vigor benih rendah, karena daya hantar listrik tinggi
menunjukkan integritas membran yang buruk.
Konduktivitas listrik ditujukan untuk menguji potensi fisiologis benih. Uji
ini mengevaluasi secara tidak langsung tingkat kerusakan membran seluler dengan
menentukan jumlah ion terlarut dalam volume tertentu air terdeionisasi. Benih
dengan potensi fisiologis rendah memiliki jumlah elektrolit yang lebih besar
sebagai konsekuensi dari kemampuan menyaring membran seluler yang rendah.
Penurunan potensi fisiologis dan daya berkecambah benih secara langsung
berhubungan dengan meningkatnya jumlah ion terlarut (Mahjabin et al., 2015 cit.
36

Sudrajat dan Nurhasybi, 2017). Sehingga benih-benih dengan nilai DHL tinggi
akan semakin menurun viabilitasnya.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, dapat diambil kesimpulan


bahwa lama penyimpanan dan perendaman pertama berpengaruh terhadap
viabilitas dan vigor benih kelapa sawit. Penyimpanan 15 hari dan perendaman
pertama 7 hari memberikan hasil yang terbaik terhadap parameter pengamatan
daya berkecambah, nilai indeks, dan daya hantar listrik namun belum didapatkan
hasil yang efektif.

B. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, disarankan adanya
penelitian lebih lanjut tentang kombinasi penyimpanan, perendaman pertama dan
perendaman kedua, sebaiknya proses pengolahan benih dilakukan dengan lama
penyimpanan 15 hari dan perendaman pertama 7 hari, serta sebaiknya
memperpanjang waktu perendaman kedua, dengan begitu diharapkan kadar air
benih mencapai 22-24% agar benih patah dormansi dan mampu berkecambah
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Adiguno, S. 1998. Pengadaaan dan Pengawasan Mutu Internal Kecambah Kelapa


Sawit da Bibit Kelapa Sawit di PT. Socfindo-Medan, Sumatera Utara.
Laporan Keterampilan Profesi. Jurusan Budidaya Pertanian. IPB. Bogor. 56
hal.

Anshory, A.H. 1999. Pengaruh Periode Konservasi Dan Perlakuan


Matriconditioning Terhadap Viabilitas Benih Kayu Manis (Cinnamomum
zeylanicum). [Skripsi]. Jurusan Budidaya Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Arif, M. 2008. Kajian Penggunaan Tray Plastik Untuk Proses Pengecambahan


Benih Kelapa Sawit. Warta PPKS. 16:23-27.
Atalas, A. 2015. Trend Produksi dan Ekspor Minyak Sawit (CPO) Indonesia.
AGRARIS: Journal of Agribusiness and Rural Development Research. 1(2).
Hal 144-124.
Asiedu, E.A., A.A. Powell, dan T. Stuchbury. 2000. Cowpea Seed Coat Chemical
Analysis in Relation to Storage Seed Quality. Afric. Crop Sci. J. 8(3):283-
294 p.
Balai Besar PPMB-TPH. 2015. Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan
Hortikultura Berdasarkan ISTA Rules. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
Kementrian Pertanian. Depok. 328 hal.
Bawley J.D and M. Black. 1985. Seed Physiology of Development and
Germination. New York and London: Plenum Press. 367 p.
Benech, A.R., R.A. Sanchez. 2004. Handbook of Seed Physiology. Applications to
Agriculture. Haworth. New York, London, Oxford: Press.Inc.
Byrd. H. W. 1983. Pedoman Teknologi Benih (Terjemahan). Jakarta: PT.
Pembimbing Masa. 78 hal.
Campbell, 2000. Biologi Jilid I. Jakarta: PT Erlangga.
Chachalis, M.L.Smith. 2001. Seed Coat Regulation of Water Uptake During
Imbibition in Soybean (Glycine max (L.) Merr.). Seed Sci. Technology
29:401-412 p.
Chin, H.F and E.H. Roberts. 1980. Recalsitrants Crop Seeds. Tropical Press.
Kuala Lumpur. 151 p.
Copeland, L.O. 1976. Principles of Seed Science and Technology. Departement of
Crop and Soil Science Michigan State University. 396 p.
Copeland. L.O. and M.B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and
Technology. Burgess Publishing Company. New York. 369 p.
Elisa. 2006. Dormansi dan Perkecambahan Biji, http://elisa.ugm.ac.id. [21
September 2020].
Ellis, R. H. dan Filho, C.P. 1992. Seed Development and Cereal Seed Longevity.
Seed Science Research (2). 9–15p.
Ellis, R.E., dan E.H. Roberts. 1990. An intermediate category of seed storage
behavior. I. Coffe. Journal of Experimental Botany 41: 1167-1174.
Fauzi, et al., 2008. Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 25-35.
39

Farrant, J.M. Berjak, P. dan Pammenter, N.W. 1993. Studies on The Development
of The Desiccation-Sensitive (Recalcitrant) Seed Of Avicennia marina
(Forsk.) Vierh: The Acquisition of Germinability and Response to Storage
And Dehydration. Ann. Bot. 71, 405-410p.

Fatonah, K. dan Nalwida. 2017. Penetapan Metode Uji Daya Hantar Listrik
Untuk Benih Sorgum (Sorghum bicolor L.). Jurnal Agroteknologi
Universitas Andalas. I (1) : Hal 19-25.

Gardner,F.P, Pearce. R. Mitchell. R. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya


(diterjemahkan oleh Herawati). Jakarta: Universitas Indonesia-Press
Hartley. C.W.S. 1977. The Palm Oil. London: Longman.
Hidayat, Topik. 2010. Penyiapan Benih Kelapa Sawit Dalam Pengadaan Bahan
Tanaman Di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Marihat, Sumatera
Utara. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
ISTA (International Seed Testing Association). 2010. Determination of Moisture
Content. Zurich. Switzerland.
ISTA (International Seed Testing Association). 2011. “Handbook of Vigour Test
Methods”.3rd edition. International Seed Testing Association. Zurich.
Switzerland.
ISTA (InternasionaI Seed Testing Association). 2017. International Rules for
Seed Testing 2017. The International Seed Testing Association. Switzerland
(CH): ISTA.
Julyan, Benny, et al. 2017. Pengolahan Tandan Benih Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Sumatera Utara.
Bul. Agrohorti. 5 (3) : 365-372.
Kamil, J. 1979. Teknologi Benih I. PT Angkasa: Bandung
Kartasapoetra, A.G. 2003. Teknologi Benih Pengolahan Benih dan Tuntunan
Praktikum. Jakarta: Rineka Cipta.188 hlm.
Kementrian Pertanian (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian). 2016.
Outlook Kelapa Sawit. Jakarta: Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian.
Kiswanto, J.H. Purwanto, B. Wijayanto. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit.
Balai Besar Pengakajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kurnila, Rani. 2009. Pengendalian Mutu Produksi Benih Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Sumatera Utara.
Institut PertanianBogor: Departemen Agronomi Dan Hortikultura.
Latif, S. 2006. Potensi dan Peluang Investansi Industri Kelapa Sawit di
Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Mdan. 220 hal.
Leisolo, M.K, J. Riry dan E.A. Matatula. 2013. Pengujian Viabilitas dan Vigor
Benih Beberapa Jenis Tanaman yang Beredar di Pasaran Kota Ambon.
Jurnal Agrologia, 2(1), 1-9.
Lindayanti, M. 2006. Pengujian Vigor dan Beberapa Varietas Padi (Oryza sativa)
dengan Metode Accelaret Agening (AA) setelah Masa Simpan 6 Bulan.
Jurnal Vigor Benih. 4 (4) : 12.
40

Liwang, Tony, et al.2012. Analisa Dinamika Perkembangan Industri kelapa Sawit


di Indonesia. Jurnal Ilmu ekonomi dan Sosial.1 (2) : 115-125.
Lubis, A. U. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi Ke-
2. Pusat PenelitianKelapaSawit. Medan.
Madon, Maria, et al. 2013. Oil Palm Haploid Technology: Screening for Naturally
Occuring Haploids. Kuala Lumpur : Malaysian Palm Oil Board, Ministry of
Plantation Industries and Commodities.
Matthews, S. and A, Powell. 2006. Electrical Conductivity Vigour Test :
Physiological Basis and Use.Seed Testing International. 3235
Mulsanti, I.W. dan S.Wahyuni. 2007. Pengaruh suhu dan jenis kemasan terhadap
daya simpan benih padi dengan kadar amilosa yang berbeda. Prosiding
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Hari Pangan
Se-Dunia 2007. Buku I: 206-217.
Nurhasybi, Sudrajat, D.J., Pramono, A.A., dan Budiman, B. (2007). Review
Status Iptek Perbenihan Tanaman Hutan. Publikasi Khusus. Bogor: Balai
PenelitianTeknologi Perbenihan Bogor.
Nurhasybi, Suita E. 2012. Perkecambahan dan Vigor benih Suren (Toona sureni
(Blume) Merr.) Pada Berbagai Metode Perkecambahan Dan Pengeringan.
Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian “Teknologi Perbenihan JenisJenis
Potensial Untuk Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung.” Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Tanaman Hutan.
Pangkal Pinang. 3 Oktober 2012.
Nurmailah, E.S. 1999. Pengaruh Matriconditioning dan Inokulasi dengan
Trichoderma sp. Terhadap Perkecambahan, Kadae Lignin, dan Asam
Absisat Benih kelapa Sawit [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Nurshanti, D.P. 2013. Perkecambahan Benih Palem Ekor Tupai (Wodyeita
bifurcate) terhadap Lama Perendaman dalam Air. Jurnal Ilmiah AgrIBA
Fakultas Pertanian Universitas Baturaja. Baturaja.vol 1, (2) : 221230.
Pahan, I. 2010. Paduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir (Cetakan ke VII). Jakarta: Penebar Swadaya.
Pahan, I. 2015. Panduan Teknis Budi Daya Kelapa Sawit Untuk Praktisi
Perkebunan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pratiwi, I. 2016. Pengaruh Skarifikasi dan Lama Perendaman dengan Asam Sulfat
(H2SO4) terhadap Pematahan Dormansi Benih Enau (Arenga pinnata
Merr.) [Skripsi]. Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang. 37 hlm.

Purba RY. 2009. Penyakit-Penyakit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di


Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit: Medan.
Putih, Rida, Aswaldi Anwar, dan Yona Marleni. 2009. Pengaruh
Osmoconditioning dengan PEG (Polyethylene Glycol) Terhadap Viabilitas
dan Vigor Benih Padi Lokal Ladang Merah. Jerami Volume 2. No. 2.
Padang: Universitas Andalas.
Putra, Dedy Septama. 2015. Analisis Prosedur Pengendalian Persediaan Bahan
Baku Pada PT. Bina Sawit Makmur Palembang [Skripsi]. Universitas
Muhammadiyah Palembang. Palembang.
Riniarti, Dewi dan Any Kusumastuty. Bambang Utoyo. 2012. Pengaruh Bahan
Organik P, dan Bakteri Pelarut Phospat terhadap Keragaan Tanaman.
41

Roberts EH. 1973. Predicting Storage Life of Seed. Seed Sci. and Technology I,
499 514.
Rofik, A. dan E. Murniati. 2008. Pengaruh perlakuan deoperkulasi dan
mediaperkecambahan untuk meningkatkan viabilitas benih aren (Arenga
pinnata (Wurmb.) Merr.). Buletin Agronomi . vol 1, (36) : 33-40. Kelapa
Sawit pada Ultisol. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan.Vol. 12
(3):187-195.
Sadjad, S. 1975. Proses Metabolisme Perkecambahan Benih dalam Dasar-Dasar
Teknologi Benih. Capita Selekta. Departemen Agronomi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Sadjad, S. 1994. Metode Uji Langsung Viabilitas Benih. Bogor: Institut Pertanian
Bogor
Saleh, M.S, E. Adelina, E. Murniati dan T. Burdiati. 2008. Pengaruh Skarifikasi
dan Media Tumbuh Terhadap Viabilitas Benih dan Vigor Kecambah Aren
(Arenga pinnata (Wurmb.) Merr)
Sastrosayono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Purwokerto. Agromedia Pustaka.
176 hal.
Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan benih Tanaman Hutan Tropis dan
Subtropis. Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Departemen Kehutanan. Jakarta : Gramedia.
Setyamidjaja, D. 2006. Budidaya Kelapa Sawit. Yogyakarta. Kanisius.62 Hal.
Silomba, Samuel. D.A. 2006. Pengaruh Lama Perendaman dan Pemanasan
Terhadap Viabilitas Benih Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hal.
Sudrajat, D. J., dan Nurhasybi. 2017. Daya Simpan Benih Suren (Toona Sinensis)
Dalam Hubungannya Dengan Karakteristik Tempat Tumbuh dan Morfo-
Biokimia Benih. Seminar Nasional Silvikultur IV Mengatasi Perubahan
Iklim Terhadap Kelestarian Sumberdaya Hutan dan Ekonomi Sumberdaya
Hayati (hal. 379– 389). Samarinda: Universitas Mulawarman.
Sudrajat, D.J, et al. 2017. Bunga Rampai (Karakteristik dan Prinsip Penanganan
Benih Tanaman Hutan Berwatak Intermediet dan Rekalsitran). Bogor : IPB
Press.
Suhartanto, M. Rahmad. 2013. Teknologi Pengolahan dan Penyimpanan Benih
(Dasar Ilmu dan Teknologi Benih). Bogor: IPB Press.
Sunarko. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengelolaan Kelapa Sawit.
Jakarta: Agro Media Pustaka.
Sunarko. 2009. Budidaya dan Pengelolaan Kelapa Sawit dengan Sistem
Kemitraan. Jakarta : Agro Media Pustaka.
Sunarko, 2014. Budi Daya Kelapa Sawit di Berbagai Jenis Lahan. Jakarta,
Agromedia Pustaka.
Syamsuddin, Lukman. 2001. Manajemen Keuangan Perusahaan (Konsep
Aplikasi dalam Perencanaan, pengawasan, dan Pengambilan Keputusan).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syamsuwida, S. dan Yuniarti, N. 2007. Strategi Penyimpanan Benih dan Semai
Jenis Tanaman Hutan. Prosiding Seminar Teknologi Perbenihan Untuk
Peningkatan Produktifitas Hutan Tanaman Rakyat di Sumatera Barat, Solok,
7 November 2007.
Sutopo, Lita. 2004. Teknologi Benih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
42

Taliroso, D. 2008. Deteksi Status Vigor Benih Kedelai (Glycine max L. Merr)
melalui Metoda Uji Daya Hantar Listrik [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor. 84 hal.
Utomo, B. 2006. Ekologi Benih. USU Repository
Widiarsi. S.W. 2008. Pengaruh Bahan Baku Terhadap Kadar Senyawa Fenol
Pembuatan Asap Cair dari Limbah Kelapa Sawit di Kabupaten Pasir,
Kalimantan Timur. [Tesis]. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Widyawati, N., Tohari, P. Yudono, dan I. Soemardi . 2009. Permeabilitas dan
Perkecambahan Benih Aren (Arenga pinnata (Wumb.) Merr.). Jurnal
Agronomi Indonesia: hal 152-158.
Yuniarti, Naning dan Dharmawati F. Djamin. 2015. Teknik Pengemasan yang
Tepat untuk Mempertahankan Viabilitas Benih Bakau (Rhizophora
apiculata) Selama Penyimpanan. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas
Indonesia 2015. I: 1438-1441.
Zanzibar, M. dan Widodo, W. 2011. Metoda Pengeringan dan Penyimpanan
Benih Mahoni (Swietenia macrophylla King). Prosiding Seminar Hasil-
Hasil Penelitian “Teknologi Perbenihan Untuk Meningkatkan Produktivitas
Hutan Rakyat di Propinsi Jawa Tengah.” Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan Bogor. Semarang.
LAMPIRAN
44

Lampiran 1. Skema Prosedur Pengolahan Benih kelapa sawit di PT. Palma


Inti Lestari

PEMANENAN PENCINCANGAN PEMERAMAN


TANDAN (CHOPPING)

PENGIKISAN PENGUPASAN PEMIPILAN


(SCRAPPING) (DEPULPING) (DETACHING)

PENYIMPANAN PEMATAHAN
DAN DORMANSI
PENCUCIAN
PERENDAMAN (DRY HEAT
PERTAMA TREATMENT)

PERKECAMBAHAN PERENDAMAN
BENIH KEDUA
Lampiran 2. Jadwal Kegiatan Penelitian dari Bulan Januari sampai Juni 2020.

Januari Ferbruari Maret April Mei Juni


No.
Jenis Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Persiapan Alat dan Bahan
2 Pemanenan
3 Pencincangan (Chopping)                  
4 Pemeraman                  
5 Pemipilan (Detaching)                    
6 Pengupasan (Depulping)                    
7 Pengikisan (Scrapping)                    
8 Pencucian                    
9 Penyimpanan dan Perendaman I            
10 Dry Heat Treatment                          
11 Perendaman II                    
12 Perkecambahan Benih                    
13 Pengamatan                        
14 Analisis Data                                
46

Lampiran 3. Karakteristik Kelapa Sawit Varietas Simalungun

Rata-rata produksi : 28,4 ton TBS/ha/tahun


Rendemen minyak : 26,5%
Produksi CPO : 7,53 ton/ha/tahun
Rasio inti/buah : 9,2%
Pertumbuhan meninggi : 75-80 cm/tahun
Rata-rata jumlah tandan : 13 tandan/pohon/tahun
Rata-rata berat tandan : 19,2 Kg Tandan Buah Segar (TBS)
Potensi : 33 ton/ha/tahun
Panjang pelepah : 5,47 Meter
Keunggulan : Pertumbuhan jagur (besar), produksi tandan tinggi,
rendemen minyak sangat tinggi, mulai buah
sangat awal yaitu 22 bulan, dapat ditanam di
berbagai areal.

Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).


47

Lampiran 4. Kriteria Perkecambahan Benih Normal dan Abnormal Kelapa


Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.)

No Tipe Gambar Keterangan


1 Plumula dan radikula
1. Kecambah tumbuh lurus.
Normal

2. Kecambah Plumula pendek.


Abnormal

Warna plumula
berubah.

Perkecambahan
kembar membentuk
huruf V.

Radikula pendek

Rasio plumula dan


radikula melebihi
1:1.
48

Benih berkecambah
Doubleton dengan
plumula, radikula
atau keduanya
pendek.
Radikula tipis.

Posisi plumula dan


radikula membentuk
sudut 90°.

Plumula bercabang.

Radikula bercabang.

Radikula dan
plumula tidak
berkembang.

Warna radikula dan


plumula berubah.

Sumber : Madon, et al.,2013


49

Lampiran 5. Cara Pembuatan Larutan Tetrazolium

Pembuatan Larutan Tetrazolium :


1. Larutan I : larutkan 9,078 g KH2PO4 dalam aquadest 1000 ml.
2. Larutan II : larutkan 11,876 g Na2HPO4 dalam aquadest 1000 ml.
3. Larutan penyangga : campurkan 400 ml larutan I dengan 600 ml larutan II
(2:3);
4. Larutan 0,5% : masukan 5 g tetrazolium kedalam 1000 ml larutan penyangga;
5. Larutan tetrazolium harus dihindarkan dari cahaya langsung sehingga untuk
penyimpananya harus ditempatkan pada gelas piala yang dilapisi dengan
alumunium foil dan disimpan di lemari es (4°C sampai 8 °C). Perendaman benih
dengan larutan tersebut harus dilakukan ditempat gelap, tidak boleh terkena
cahaya.

Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2006.


50

Lampiran 6. Tabel Sidik Ragam

1. Sidik Ragam Kadar Air Benih (%)


a. Setelah Penyimpanan
F-
Sumbe Der
Jumlah Kuadra F- Ta
r ajat
Kuadra t Hitu bel
Kerag Beb
t Tengah ng (5
aman as
%)
Perlak 15,9 4,0
uan 3 6,6439 2,2146 6* 7
Sisa 8 1,1102 0,1388
Total 11 7,7541 KK=3,80%
Keterangan:* = berbeda nyata, F-hitung>F-tabel pada taraf 5%.

b. Setelah Perendaman Pertama


F-
Sumbe Der F-
Jumlah Kuadra Ta
r ajat Hit
Kuadra t bel
Kerag Beb un
t Tengah (5
aman as g
%)
Perlak 8,1 4,0
uan 3 4,9014 1,6338 0* 7
Sisa 8 1,6132 0,2017
Total 11 6,5147 KK = 2,39%
Keterangan:* = berbeda nyata, F-hitung>F-tabel pada taraf 5%.

c. Setelah dari Ruang Pemanas


F-
Sumbe Der F-
Jumlah Kuadra Ta
r ajat Hit
Kuadra t bel
Kerag Beb un
t Tengah (5
aman as g
%)
Perlak 4,2 4,0
uan 3 4,0456 1,3485 4* 7
Sisa 8 2,5468 0,3184
Total 11 6,5924 KK = 6,30%
Keterangan:* = berbeda nyata, F-hitung>F-tabel pada taraf 5%.

d. Setelah Perendaman Kedua


F-
Sumbe Der F-
Jumlah Kuadra Ta
r ajat Hit
Kuadra t bel
Kerag Beb un
t Tengah (5
aman as g
%)
51

Perlak 1,9 4,0


uan 3 2,9825 0,9942 0 tn 7
Sisa 8 4,1752 0,5219
Total 11 7,1577 KK = 6,30%
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata, F-hitung>F-tabel pada taraf 5%.

2. Sidik Ragam Daya Berkecambah Benih


a. Daya Berkecambah
F-
Sumbe Der F-
Jumlah Kuadra Ta
r ajat Hit
Kuadra t bel
Kerag Beb un
t Tengah (5
aman as g
%)
36,
Perlak 59 4,0
uan 3 7,0670 2,3557 * 7
Sisa 8 0,5150 0,644
Total 11 7,5820 KK = 26,71
Keterangan : * = berbeda nyata, F-hitung>F-tabel pada taraf 5%. KK
didapatkan melalui hasil transformasi =ASIN(SQRT(% DATA/100))*180(22/7)
+0,5).

Transformasi data daya berkecambah sebagai berikut:

Ulangan Ju
Perla Rata
ml
kuan 1 2 3 -rata
ah
27
80,7
80,77 114,41 5, 91,9
7
A 95 8
1,
0,5 0,5 0,5
B 50 0,50
41
140,
114,41 162,72 7, 139,
5
C 63 21
1,
0,5 0,5 0,5
D 50 0,50
69
Jumla 6, 58,0
h       58 5

b. Kecambah Abnormal
Sumbe Der Jumlah Kuadra F- F-
r ajat Kuadra t Hit Ta
Kerag Beb t Tengah un bel
aman as g (5
52

%)
Perlak 0,4 4,0
uan 3 2,6667 0,8889 4 tn 7
16,000
Sisa 8 0 2,0000
18,666
Total 11 7 KK = 198,64
Keterangan: tn = berbeda tidak nyata, F-hitung<F-tabel pada taraf 5%. KK
didapatkan melalui hasil transformasi =ASIN(SQRT(% DATA/100))*180(22/7)
+0,5).

Transformasi data kecambah abnormal sebagai berikut:

Ulangan R
at
Perla Jumla
a-
kuan 1 2 3 h
ra
ta
2
0
7,
, 0,5 80,77
2
5
A 81,77 6
2
0
7,
, 80,77 0,5
2
5
B 81,77 6
0 0,
, 0,5 0,5 5
C 5 1,50 0
3
0
8,
, 0,5 114,41
4
5
D 115,41 7
2
3,
Juml 3
ah       280,45 7

c. Benih Dorman
F-
Sumbe Der F-
Kuadra Ta
r ajat Jumlah Hit
t bel
Kerag Beb Kuadrat un
Tengah (5
aman as g
%)
Perlak 2,2 4,0
uan 3 225 75 5 tn 7
Sisa 8 266,66 33,333
53

67 3
491,66
Total 11 67 KK = 6,02
Keterangan: tn = berbeda tidak nyata, F-hitung<F-tabel pada taraf 5%.

d. Benih Mati
F-
Sumbe Der F-
Kuadra Ta
r ajat Jumlah Hit
t bel
Kerag Beb Kuadrat un
Tengah (5
aman as g
%)
Perlak 164,75 54,918 1,3 4,0
uan 3 67 9 3 tn 7
329,41 41,176
Sisa 8 33 7
494,17
Total 11 00 KK = 120,84
Keterangan: tn = berbeda tidak nyata, F-hitung<F-tabel pada taraf 5%.%.
KK didapatkan melalui hasil transformasi =ASIN(SQRT(%
DATA/100))*180(22/7) +0,5).

Transformasi data benih mati sebagai berikut:

Ulangan Ju
Perla Rata-
ml
kuan 1 2 3 rata
ah
180,6 178,7 36 119,9
0,5
A 2 1 0 4
182,5 18
0,5 0,5
B 2 4 61,17
C 0,5 0,5 0,5 2 0,50
182,5 262,7 44 148,6
0,5
D 2 9 6 0
99
Jumla 0,6
h       6 82,56

3. Sidik Ragam Nilai Indeks


F-
Sumbe Der F-
Jumlah Kuadra Ta
r ajat Hit
Kuadra t bel
Kerag Beb un
t Tengah (5
aman as g
%)
Perlak 0,0141 6,8 4,0
uan 3 3 0,0047 1* 7
Sisa 8 0,0055 0,0007
54

Total 11 0,0197 KK = 3,54


Keterangan: * = berbeda nyata, F-hitung>F-tabel pada taraf 5%. KK
didapatkan melalui hasil transformasi √ (x +0,5).

Transformasi data nilai indeks benih sebagai berikut:

Perlaku Ulangan Jum Rata-


an 1 2 3 lah rata
0,7 0,7 0,7
A 4 5 6 2,25 0,75
0,7 0,7 0,7
B 1 3 1 2,15 0,72
0,7 0,8 0,7
C 5 5 9 2,39 0,80
0,7 0,7 0,7
D 1 1 1 2,13 0,71
Jumlah       8,92 0,74

4. Sidik Ragam First Count Test atau Perkecambahan Hitung Pertama


F-
Sumbe Der F-
Jumlah Kuadra Ta
r ajat Hit
Kuadra t bel
Kerag Beb un
t Tengah (5
aman as g
%)
Perlak 14,333 1,7 4,0
uan 3 3 4,7778 9 tn 7
21,333
Sisa 8 3 2,6667
35,666
Total 11 7 KK = 164,73
Keterangan: tn = berbeda tidak nyata, F-hitung<F-tabel pada taraf 5%. KK
didapatkan melalui hasil transformasi =ASIN(SQRT(% DATA/100))*180(22/7)
+0,5).

Transformasi data perkecambahan hitung pertama sebagai berikut:

Ulangan Ju
Perlak Rata
mla
uan 1 2 3 -rata
h
27,2
80,77 0,5 0,5
A 82 6
B 0,5 0,5 0,5 2 0,50
C 0,5 140,5 80,77 222 73,9
55

2
D 0,5 0,5 0,5 2 0,50
306 25,5
Jumlah       ,54 5

5. Sidik Ragam Daya Hantar Listrik (DHL)


F-
Sumbe Der F-
Jumlah Kuadra Ta
r ajat Hit
Kuadra t bel
Kerag Beb un
t Tengah (5
aman as g
%)
82
Perlak 9,2 4,0
uan 3 5,4520 1,8173 0* 7
Sisa 8 0,0175 0,0022
Total 11 5,4695 KK = 4,73
Keterangan: * = berbeda nyata, F-hitung>F-tabel pada taraf 5%.
56

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian

Tandan kelapa sawit Pemeraman Mesin Depericarper

Scrapping Sterilisasi benih Penyimpanan benih

Perendaman benih Dry Heat Treatment Perkecambahan benih

Anda mungkin juga menyukai