Anda di halaman 1dari 25

UJI TOKSISITAS EKSTRAK ECENG ECENG (Monochoria vaginalis) SEBAGAI MOLUSKISIDA NABATI TERHADAP MORTALITAS KEONG MAS (Pomaceae

canaliculata L.)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh : Krisna Bagus Andrian NIM. 091510501018

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2013

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan ini merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Meskipun padi dapat digantikan oleh makanan lainnya, namun padi memiliki nilai tersendiri bagi orang yang biasa makan nasi dan tidak dapat dengan mudah digantikan oleh bahan makanan yang lain. Padi adalah salah satu bahan makanan yang mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh manusia, sebab didalamnya terkandung bahan yang mudah diubah menjadi energi. Oleh karena itu padi disebut juga makanan energy (Aak, 1990). Produksi padi tahun 2011 (ARAM III) diperkirakan sebesar 65,39 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), mengalami penurunan sebanyak 1,08 juta ton (1,63 persen) dibandingkan tahun 2010. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen seluas 29,07 ribu hektar (0,22 persen) dan produktivitas sebesar 0,71 kuintal/hektar (1,42 persen). Penurunan produksi padi tahun 2011 sebesar 1,08 juta ton tersebut terjadi pada subround MeiAgustus sebesar 1,14 juta ton (5,16 persen) dan perkiraan subround SeptemberDesember sebesar 1,26 juta ton (8,44 persen), sedangkan pada subround JanuariApril terjadi peningkatan sebesar 1,32 juta ton (4,52 persen) dibandingkan dengan produksi pada subround yang sama tahun 2010 (year-on-year) (BPS, 2011). Selain masalah penurunan luas lahan, faktor penghambat produktivitas padi adalah adanya serangan hama dan penyakit. Seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, beberapa kasus ledakan hama ataupun penyakit mampu menyebabkan kerusakan yang signifikan. Salah satu hama yang kini menjadi permasalahan adalah hama keong mas. Keong mas mempunyai kebiasaan memakan berbagai tanaman yang lunak termasuk padi yang masih muda. Biasanya keong mas memarut pangkal batang yang berada dibawah air dengan lidahnya hingga patah, kemudian patahan tanaman yang rebah tersebut dimakan. Bila populasi keong mas tinggi dan air selalu tergenang, bisa mengakibatkan rumpun padi mati, sehingga petani harus menyulam atau menanam ulang.

Kerusakan yang ditimbulkannya dapat mencapai intensitas 13,2 96,5% (Pitojo, 1996). Hingga tahun 2004, luas serangan hama ini di seluruh Indonesia telah mencapai lebih dari 16.000 ha (Badan Litbang Pertanian, 2007a). Untuk mengendalikan serangan keong mas, petani umumnya masih mengandalkan penggunaan pestisida sintetis. Namun penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana, seperti yang sering dipraktekkan para petani di negara-negara berkembang (Wilson and Tisdell, 2001), dapat mengganggu kesehatan petani (Dasgupta et al.. 2007), konsumen dan kehidupan organisme-organisme bukan sasaran lainnya (Giacomazzi and Cochet, 2004). Oleh karena itu, cara pengendalian yang relatif murah, praktis dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan saat ini sangat diperlukan (Fernandez et al..2001; Schmidt et al.. 1991). Di Jember, pada sekitar tahun 2011, di daerah Kencong dan Gumuk mas ada sekitar ratusan hektar sawah yang terserang oleh keong mas. Kerusakan yang ditimbulkan hampir menyebabkan gagal panen. Hal ini disebabkan hujan terus menerus yang mengakibatkan sawah tergenang air cukup tinggi sehingga perkembangan keong mas menjadi cepat.Irigasi yang ada, kurang efektif dan tidak bisa maksimal digunakan untuk mengurangi air yang berlebih di sekitar sawah yang tergenang. Pengendalian menggunakan pestisida juga tidak efektif karena tiap hari jumlah keong mas semakin bertambah, mengingat tingkat perkembangbiakan keong mas yang sangat cepat (Aziz,2011). Seperti permasalahan keong mas di daerah kecamatan Tanggul, Jember, hingga saat ini masih menjadi kendala dan belum ditemukan solusi yang tepat untuk menanggulangi serangan keong mas ini. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan mengakibatkan hampir sebagaian besar tanaman padi yang masih muda menjadi rusak, dan harus ditanami lagi atau disulam. Pengendalian menggunakan moluskisida kimia sudah dilakukan, tetapi hasil yang didapatkan kurang maksimal. Penggunaan tanaman sebagai atraktan juga sudah, tetapi hanya mengurangi sebagian kecil saja dari sebagian besar keong mas yang ada di lahan. Irigasi yang ada juga kurang bisa maksimal menggiring keong mas untuk tidak

memasuki areal persawahan. Hal itulah yang mendasari adanya upaya penggunaan pestisida nabati, mengingat potensi dari lingkungan sekitar yang sangat mendukung untuk dilakukannya pengendalian secara hayati karena bahanbahan yang diperlukan tersedia cukup melimpah. Sebagai upaya untuk mewujudkan pertanian yang ramah lingkungan, dan dengan berdasarakn beberapa literatur dari berbagai sumber, salah satu contoh alternatif pengendalian dengan menggunakan pestisida yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan Eceng eceng (Monochoria vaginalis), yang mana Eceng eceng ini dibuat dalam bentuk ekstrak untuk kemudian diaplikasikan ke sawah. Eceng eceng ini diduga memiliki suatu senyawa yang bersifat toksik terhadap keong mas. Senyawa ini diduga dapat menyebabkan penurunan aktivitas makan dari keong mas, bahkan dalam konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan mortalitas pada keong mas. Hal inilah yang melatarbelakangi untuk melakukan penelitian ini, guna mengetahui tingkat toksisitas dari ekstrak Eceng eceng sebagai salah satu alternatif pengendalian Keong mas di lahan sawah. Dengan harapan, pestisida ini mampu secara efektif mengendalikan keong mas, dan dapat mengurangi dampak buruk dari penggunaan pestisida atau moluskisida kimiawi. Dengan harapan, gangguan akibat keong mas dapat ditekan seminimal mungkin, dengan tanpa dampak buruk bagi lingkungan sekitar. 1.2 Rumusan Masalah Salah satu kendala dalam usaha budidaya tanaman padi di lahan sawah adalah adanya gangguan dari Keong mas (Pomaceae canaliculata L). Keong mas menyerang pada tanaman padi usia muda, yaitu awal pembibitan hingga usia tanam 2-3 minggu. Penggunaan pestisida sintetik selama ini yang dilakukan petani dalam penanggulangan Keong mas telah banyak mengakibatkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, antara lain timbulnya residu dan masih belum optimalnya upaya pengendalian secara kimiawi dikarenakan adanya faktor resistensi. Dalam penelitian ini diupayakan memberikan salah satu alternatif pengendalian dengan menggunakan moluskisida nabati dengan Eceng eceng, dengan harapan dapat mengendalikan Keong mas secara efektif, tanpa harus mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan. Eceng eceng ini diduga

memiliki suatu senyawa yang disinyalir dapat mengakibatkan penurunan aktivitas makan dari keong mas, dan bahkan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan mortalitas terhadap keong mas. Yang mana senyawa yang diperkirakan saponin ini mampu mengurangi tingkat serangan keong mas dan tingkat keefektifannya tidak berbeda dengan moluskisida sintetis niklosamida. Senyawa ini juga aman bagi tanaman padi, dan organisme lain non sasaran, juga sama sekali tidak menimbulkan residu terhadap keong mas. Dengan begitu, pengendalian menggunakan Eceng eceng dalam bentuk ekstrak ini dapat menjadi salah satu upaya yang menjanjikan untuk mengendalikan keong mas yang hingga saat ini masih belum bisa dikendalikan secara efektif dan efisien. Dengan begitu, maka usaha untuk meningkatkan produktivitas padi dapat diwujudkan, karena salah satu faktor penghambat bisa dikendalikan dan mampu untuk diminimalisir dampak buruk yang ditimbulkan. Mengingat, saat ini pengendalian hayati atau penggunaan pestisida nabati merupakan pengendalian yang sedang dikembangkan di masyarakat untuk menggantikan pengendalian kimiawi, yang banyak mengakibatkan dampak buruk bagi keseimbangan ekosistem, dan sangat menimbulkan resistensi. Sehingga, upaya peningkatan produktivitas padi secara efisien dapat dilakukan secara ramah lingkungan. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat toksisitas dari ekstrak Eceng eceng (Monochoria vaginalis) sebagai salah satu alternatif pengendalian hayati yang dapat menyebabkan mortalitas terhadap hama Keong mas (Pomaceae canaliculata). 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil Penelitian dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian keong mas secara ramah lingkungan, dan menghindari dampak buruk penggunaan moluskisida sintetik di lapang.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Keong mas Keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) diperkenalkan ke Asia pada tahun 1980an dari Amerika Selatan sebagai makanan potensial bagi manusia. Sayangnya, kemudian keong mas menjadi hama utama padi yang menyebar ke Filipina, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Proses perkembangan keong mas di beberapa Negara juga sama dengan di Indonesia. Di Jepang pada tahun 1982, hama keong mas merusak 17.000 ha tanaman di lahan sawah dan meningkat menjadi 151.000 ha pada tahun 1986. Filipina mendatangkan keong dari Taiwan untuk dipelihara sebagai sumber protein, ternyata kecepatan perkembangan hama ini melebihi permintaan. Filipina merupakan negara yang tanaman padinya terluas diserang keong mas dan terus meningkat dari 300 ha pada tahun 1986 menjadi 326.000 ha pada tahun1998 kemudian meningkat lagi menjadi 800.000 ha pada tahun 1995 (Cagauan dan Joshi, 2004). Negara lain yang tanaman padinya terserang keong mas adalah Vietnam, Thailand, Sabah, Laos PDR, dan Kamboja. Di Hawai keong mas menyerang perkebunan tanaman talas (Joshi, 2006). Perkembangan dan penyebaran ini akan terus meningkat karena ditunjang oleh mobilitas keong mas yang tinggi, baik secara pasif dengan mengikuti aliran air irigasi dan sarana transportasi air maupun pergerakan aktif dari keong itu sendiri, sehingga menyebabkan semakin sulit pengendalian kepadatan populasi dan penyebaran keong mas. Kini keong mas termasuk spesies asing yang berkembang dan paling merugikan. Kerugian yang disebabkan oleh keong mas bukan hanya turunnya hasil panen padi, tetapi juga bertambahnya biaya pengendalian. Tambahan biaya untuk menanam ulang atau menyulam akan mengurangi keuntungan petani (Suharto, 2006). 2.2 Biologi dan Morfologi Keong mas Keong mas satu famili dengan keong lokal, yaitu keong gondang Pila ampullaceae (Marwoto, 1997), famili Ampullariidae yang merupakan siput air tawar. Siput ini berbentuk bundar atau setengah bundar. Rumah siput berujung

pada menara pendek dengan 4-5 putaran kanal yang dangkal. Pada mulut rumah siput terdapat penutup mulut yang disebut operculum yang kaku. Keluarga siput Ampullaridae berukuran besar, rumah siput bias mencapai 100 mm. Keong mas sebagai fauna pendatang mudah dibedakan dari keong gondang, baik dari bentuk maupun ukuran rumah siput dan warna kelompok telur. Persamaan antara keong gondang dengan keong mas adalah pada bentuk rumah siput dan kelompok telur. Kelompok telur keong mas berwarna merah muda yang diletakkan diatas permukaan air, sedangkan kelompok telur keong gondang berwarna putih yang diletakkan di bibir permukaan air. Telur keong gondang lebih besar dari keong mas, tetapi jumlah telur untuk tiap kelompok sedikit. Satu kelompok telur keong gondang hanya terdiri atas 15-35 butir (Djayasasmita, 1987). Marwoto (1997) melaporkan tiga spesies Pomaceae di Indonesia, yaitu Pomaceae canaliculata, P. insularum, dan P. paludosa. Menurut Cowie et al. (2007). Pomacae canaliculata Lamarck sama dengan P. insularum. Penamaan yang berbeda dari spesies yang sama terebut karena P. canaliculata banyak ditemukan pada lahan yang tergenang, sedangkan P. insularum banyak ditemukan pada air dengan arus yang mengalir. Berdasarkan contoh keong mas yang diambil dari beberapa negara di Asia Tenggara, keong mas termasuk P. canaliculata Lamarck berasal dari beberapa daerah di Amerika Selatan, termasuk Argentina (Cowie et al.., 2006). P. paludosa di Amerika Serikat diperdagangkan sebagai hiasan aquarium. Di Indonesia, P. paludosa yang ada saat ini bisa saja didatangkan untuk keperluan hiasan aquarium. Keong mas termasuk: Filum : Molluska Kelas : Gastropoda Ordo : Mesogastropoda Famili : Ampullaridae Genus : Pomacea Spesies : Pomacea canaliculata Lamarck

P. canaliculata Lamarck secara morfologi ditandai oleh karakteristik sebagai berikut: rumah siput bundar dan menara pendek; rumah siput besar, tebal, lima sampai enam putaran didekat menara dengan kanal yang dalam, mulut besar dengan bentuk bulat sampai oval, operculum tebal rapat menutup mulut, berwarna cokelat sampai kuning muda, bergantung pada tempat berkembangnya, dagingnya lunak berwarna putih krem atau merah jambu keemasan atau kuning orange. Operculum betina cekung dan tepi mulut rumah siput melengkung kedalam, sebaliknya operculum jantan cembung dan tepi mulut rumah siput melengkung keluar. Mulut keong mas berada diantara tentakel bibir dan memiliki radula, yaitu lidah yang dilengkapi dengan beberapa baris duri yang tiap baris terdiri atas tujuh duri. Radula memarut jaringan tanaman pada perbatasan permukaan air, sehingga tanaman patah dan kemudian dimakan. Keong mas merupakan hewan nokturnal yang sangat rakus, terutama pada malam hari dan makan hampir semua tumbuhan dalam air yang masih lunak. Keong mas makan berbagai tumbuhan seperti ganggang, azola, Eceng eceng, padi, dan tumbuhan sukulen lainnya. Jika makanan dalam air tidak ada atau tidak cukup, keong mas naik kedaratan untuk mencari makanan. 2.3 Siklus Hidup Siklus hidup keong mas bergantung pada temperatur, hujan, atau ketersediaan air dan makanan. Pada lingkungan dengan temperatur yang tinggi dan makanan yang cukup, siklus hidup pendek, sekitar tiga bulan, dan bereproduksi sepanjang tahun. Jika makanan kurang, siklus hidupnya panjang dan hanya bereproduksi pada musim semi atau awal musim panas (Estebenet dan Cazzaniga, 1992). Di daerah subtropis (Buenos Aires), keong aktif dan bereproduksi dari awal musim semi (Oktober) sampai akhir musim panas (Maret atau April). Selanjutnya keong mengubur diri dalam tanah yang lembab, dan aktif lagi pada saat temperatur air naik pada musim semi (Estebenet dan Cazzaniga, 1992). Di daerah tropis, keong aktif dan bertelur sepanjang tahun. Keong yang berukuran 2,5 cm sudah mulai bertelur. Jika makanan cukup dan lingkungan mendukung, setelah satu sampai dua kali bertelur, ukuran keong bertambah besar. Keong mas dan juga famili Ampullaridae yang lain bersifat amfibi, karena

mempunyai insang dan paru-paru. Paru-paru tertutup jika sedang tenggelam dan terbuka setelah keluar dari air. Keong mas juga mempunyai sifon pernafasan untuk bergerak sambil mengambang. Semua kelebihan tersebut berguna untuk mekanisme survival. Pada musim kemarau keong berdiapause pada lapisan tanah yang masih lembab, dan muncul kembali jika lahan digenangi air. Jika hidup pada tanah kering, keong mas akan ganti bernafas dari aerobik menjadi anaerobik. Indera yang paling aktif adalah penciuman yang bisa mendeteksi makanan dari lawan jenis.

Keong mas sanggup hidup 2-6 tahun dengan keperidian yang tinggi. Telur diletakkan dalam kelompok pada tumbuhan, pematang, ranting, dan lain-lain, beberapa cm di atas permukaan air. Pada umumnya telur berwarna merah muda, dengan diameter telur berkisar antara 2,2-3,5 mm, tergantung pada lingkungan. Telur diletakkan berkelompok sehingga menyerupai buah murbei. Warna kelompok telur berubah menjadi agak muda menjelang menetas. Pada temperatur 32-36C dengan kelembaban 80-90% pada pk. 8.00 dan pada temperatur 42-44C dengan kelembaban 76-80%. Tiap kelompok telur keong mas berisi 235 hingga 860 butir. Daya tetas berkisar antara 61-75%. Telur menetas setelah 8-14 hari .

Pada temperatur 23-32C, dalam sebulan seekor keong mas dapat bertelur 15 kelompok yang terdiri atas 300 sampai 1.000 butir tiap kelompok (Hatimah dan Ismail, 1989). Ukuran keong yang baru menetas 2,2-3,5 mm dan menjadi dewasa dalam 60 hari atau lebih, bergantung pada lingkungan. Mortalitas keong sangat rendah, dalam stadia juvenile selama 30 hari survival dari juvenile yang berdiameter 0,5 cm antara 95 sampai 100% (Kurniawati dkk, 2009). 2.4 Habitat, penyebaran dan daya rusak Keong mas pada kolam, rawa, dan lahan yang selalu tergenang termasuk sawah, didaerah tropik dan subtropik dengan temperatur terendah 10C. Hewan ini mempunyai insang dan organ yang berfungsi sebagai paru-paru yang digunakan untuk adaptasi di dalam air maupun di darat. Paru-paru merupakan organ tubuh yang penting untuk hidup pada kondisi yang berat. Gabungan antara operculum dengan paru-paru merupakan daya adaptasi untuk menghadapi kekeringan. Jika air berkurang dan tanah atau lumpur menjadi kering, keong mas membenamkan diri ke dalam tanah, sehingga metabolisme berkurang dan memasuki masa diapause. Fungsi paru-paru bukan hanya untuk bernafas tetapi juga untuk mengatur pengapungan. Keong mas dapat hidup pada lingkungan yang berat, seperti air yang terpolusi atau kurang kandungan oksigen. Introduksi keong mas dari habitat aslinya di Amerika Selatan ke beberapa negara untuk berbagai keperluan menyebar dengan cepat. Habitat yang kondusif bagi keong mas di daerah yang baru mmenyebabkan populasi meningkat dan menjadi hama baru bagi tanaman padi. Keong mas salah satu dari 100 spesies biota di tempat hidup yang baru dan paling merugikan (Joshi, 2005). Invasi keong mas berkaitan dengan daya reproduksi yang tinggi, kemampuan beradaptasi yang cepat dengan lingkungan, dan rakus makan pada kondisi tanaman inang yang beragam, sehingga dapat mengalahkan perkembangan siput atau keong lokal. Keong mas yang ada di Indonesia berasal dari Argentina . Pada tahun 1980an keong mas menyebar dengan cepat beberapa negara di Asia, atas campur tangan manusia. Secara biologi mustahil keong mas dapat menyeberang dari Amerika selatan ke Asia . Awal introkduksi ke negara-negara di Asia, keong mas digunakan untuk bermacam-macam tujuan. Di Filipina, misalnya, Keong mas

digunakan sebagai bahan makanan, sementara di Indonesia dijadikan sebagai hewan hias pada aquarium. Sampai tahun 1987, di Indonesia masih ada keinginan untuk mengembangbiakkan keong mas sebagai komoditas ekspor. Semula hewan ini dianggap tidak merugikan. Kemudian muncul polemik tentang kemungkinan keong mas berkembang menjadi hama tanaman. Kenyataannya keong mas telah menyebar luas di Sumatera (Bengkulu, Jambi, Lampung, Pariaman, Riau), Papua (Biak dan Wamena), Sulawesi (Bone, Makasar Manado, Maros, Palu dan Pangkep), Kalimantan (Balikpapan dan Samarinda), Buton, Jawa, Bali, dan Lombok (Hendarsih et al.., 2006). Di Jawa Barat sampai tahun 1992 tidak ditemukan keong mas di sawah dan hanya dipelihara di kolam. Sejak tahun 1996, hama ini ditemukan menyerang tanaman padi pada lahan di 12 kabupten dan pada tahun 1999 berkembang menjadi 16 kabupaten (Hendarsih, 2002). Luas areal pertanaman padi sawah yang terserang keong mas baru tercatat secara resmi pada tahun 1997, yaitu 3.630 ha. Pada tahun 2003 luas serangan keong mas mencapai lebih dari 13.000 ha dan meningkat menjadi 22.000 ha pada tahun 2007 (Tabel 1).

Penyebaran invasi keong mas tidak merata antar lokasi, serangan yang selalu luas (lebih dari 500 ha) terjadi di Nangroe Acah Darussalam, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, sedangkan di Kalimantan Tengah dan Maluku tidak ada laporan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2008). Tanaman padi rentan terhadap

serangan keong mas sampai 15 hari setelah tanam untuk padi tanam pindah dan 30 hari setelah tebar untuk padi sebar langsung. Tingkat kerusakan tanaman padi sangat bergantung pada populasi ukuran keong, dan umur tanaman. Tiga ekor keong mas per m2 (Sinarta, 2009). 2.5 Pengendalian Penggunaan pestisida kimia di Indonesia telah memusnahkan 55% jenis hama dan 72% agen pengendali hayati. Oleh karena itu diperlukan pengganti pestisida yang ramah lingkungan. Salah satu alternatif pilihannya adalah penggunaan pestisida hayati tumbuhan. Pestisida nabati adalah salah satu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Tumbuhan sendiri sebenarnya kaya akan bahan aktif yang berfungsi sebagai alat pertahanan alami terhadap pengganggunya. Bahan pestisida yang berasal dari tumbuhan dijamin aman bagi lingkungan karena cepat terurai ditanah (biodegradable) dan tidak membahayakan hewan, manusia atau serangga non sasaran (Dishut, 2009). Dalam mengendalikan hama keong mas, umumnya para petani memilih menggunakan moluskisida sintesis yang berharga mahal, berspektrum luas, dan mengganggu organisme nontarget dan juga manusia untuk mengendalikan hama keong mas. Secara kimia yaitu pemberantasan hama keong mas dilakukan dengan menggunakan moluskisida yang berbahan aktif niclos amida dan pestisida botani seperti lerak, deris, dan saponine. Aplikasi moluskisida dapat dilakukan di sawah yang tergenang di caren atau di cekungan-cekungan yang ada airnya tempat keong mas berkumpul. Moluskisida sintetis sebagai langkah dalam menanggulangi keong mas sering digunakan para petani. Padahal, penggunaan moluskasida sintetis seperti Brestran (trifenil-tin asetat) dan Dimotrin (hidroklorida) dalam pemakaiannya dapat mencemari lingkungan, sehingga penggunaanya perlu dibatasi. Tetapi, para petani banyak menggunakan moluskisida sintetik tersebut dalam penanggulangan hama keong mas (Pomacea canaliculata) yang berkembang biak secara cepat di area pesawahan dan merusak atau memakan batang padi ketika masa awal tanam (padi muda). Dengan demikian keong mas ini selalu muncul tiap tahun, terutama ketika masa tanam padi di sawah yang mengakibatkan para petani akan

mengalami gagal panen. Moluskisida sintetik ini cukup berbahaya terutama yang mengandung senyawa metaldehida. Oleh karena itu, banyak dilakukan penelitian terhadap beberapa tanaman (botani) yang mempunyai sifat moluskisida, sebagai upaya pengganti moluskisida sintetik tersebut. Sebagai contoh diantaranya adalah daun tanaman sembung (Blumea balsamifera), akar tuba (Derris elliptica) dan patah tulang (Ephorbia tirucalli) (Soenaryo Et Al., 1989; Maini dan Rejesus, 1993). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 1995 pasal 3 ditetapkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan melalui sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT); selanjutnya dalam pasal 19 dinyatakan bahwa penggunaan pestisida dalam rangka pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan alternatif terakhir dan dampak yang ditimbulkan harus ditekan seminimal mungkin. Oleh karena itu, perlu dicari cara pengendalian yang efektif terhadap hama sasaran namun aman terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Salah satu golongan pestisida yang memenuhi persyaratan tersebut adalah pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (pestisida nabati). Beberapa bahan nabati pun bisa digunakan sebagai pestisida nabati atau moluskisida untuk keong mas. Saponin, rerak, pinang, tembakau dan daun sembung cukup efektif sebagai moluskisida nabati. Penggunaan bahan nabati dianjurkan dilakukan sebelum tanam, karena pada saat itu keong akan terganggu daya makannya, sehingga kurang merusak padi yang baru tanam. Pestisida nabati merupakan salah satu sarana pengendalian hama alternatif yang layak dikembangkan, karena senyawa pestisida dari tumbuhan tersebut mudah terurai dilingkungan dan relatif aman terhadap mahkluk bukan sasaran (Martono, dkk, 2004). 2.6 Biologi dan Morfologi Eceng eceng Nama umum Indonesia: Eceng padi, wewehan (Jawa), eceng leutik (Sunda) Pilipina:Gabing-uak Klasifikasi Kingdom: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas: Liliidae Ordo: Liliales Famili: Pontederiaceae Genus: Monochoria Spesies: Monochoria vaginalis (Burm.F.) Presi Monochoria vaginalis merupakan tumbuhan tahunan berdaun lebar, ditemukan di sawah. Daunnya pada waktu muda berbentuk panjang dan sempit, kemudian berbentuk lanset, sedangkan yang sudah tua berbentuk bulat telur-bulat memanjang/ jantung yang mengkilap, bunga berwarna biru keunguan dengan kedudukan yang berlawanan dengan kedudukan daun. M. vaginalis merupakan tumbuhan tahunan dengan tinggi 10 50 cm, tumbuh tegak dengan rimpang yang pendek. Daunnya pada waktu muda berbentuk panjang dan sempit, kemudian berbentuk lanset, sedangkan yang sudah tua berbentuk bulat telur-bulat memanjang. Bunganya biasanya sebanyak 3 25, terbuka secara serentak. Perhiasan bunga panjang 11 15 cm, tangkai bunga 4- 25mm. Buah M. vaginalis mempunyai diameter kurang lebih 1 cm. Tempat tumbuhnya di tanah berawa terutama di sawah-sawah. Berkembang biak dengan stolon (vegetatif) dan juga generatif. Perkembangbiakan secara vegetatif memegang peran penting dalam pembentukan koloni. Eceng eceng hampir tiap tahun berbunga, dan setelah 20 hari terjadi penyerbuhan buah masak, lepas dan pecah, biji masuk ke dasar air (biji 5-6 ribu per tanaman dengan masa hidup 15 tahun). Tempat tumbuhnya di tanah berawa terutama di sawah-sawah. Sering menghasilkan bobot basah yang lebih tinggi disawah daripada spesies gulma lain. Namun gulma ini pendek, dan akarnya hanya dekat permukaan tanah dan tidak dapat bersaing dengan gulma lain untuk mendapatkan sinar matahari dan hara tanah (Sundaru et al.., 1976). Eceng eceng termasiuk perennial yang dapat mengapung bebas bila air dalam dan berakar di dasar bila air dangkal. Eceng eceng dapat melindungi permukaan air, menjadi gelap dan tidak disukai oleh keong mas. Selain itu, Eceng

eceng mengandung komponen kimia yang larut ke dalam air dan berdampak negatif terhadap keong mas. saponin, flavonoid, folifenol, asam sianida, triterpenoid, alkaloid, dan kaya kalsium. Eceng eceng merupakan tumbuhan yang mengambang di permukaan air (gulma), memiliki daun yang tebal dan gelembung yang membuatnya mengapung. Gangguan yang diakibatkan oleh tanaman Eceng eceng ini antara lain adalah Eceng eceng dapat menyebar di area yang luas dan menutupi permukaan air, dapat mengurangi cahaya yang masuk ke dalam badan air, yang mengakibatkan berkurangnya kandungan oksigen terlarut yang dalam air. Gangguan lain berupa pendangkalan akibat Eceng eceng yang mati dan mengendap di dasar badan air, meningkatkan persaingan dengan tumbuhan lain. Selain itu juga mengurangi keindahan (Muladi, 2001). 2.7 Pemanfaatan ekstrak Eceng eceng sebagai moluskisida nabati Dari sekian banyak dampak buruk yang dimiliki oleh Eceng eceng ini, tetapi ada beberapa sisi positif yang dapat diperoleh. Salah satunya adalah dapat digunakan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan Keong mas yang kini menjadi salah satu hama penting di lahan sawah basah. Bagian tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, batang dan sebagainya dapat digunakan dalam bentuk utuh, bubuk ataupun ekstrak (air atau senyawa pelarut organik). Senyawasenyawa bioaktif pada umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan pada struktur kimianya maupun pada bentuk aktivitasnya. Secara kimiawi senyawa-senyawa bioaktif pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai (A) hidrokarbon, (B) asamasam organik dan aldehid, (C) asam-asam aromatik, (D) lakton-lakton tidak jenuh sederhana, (E) kumarin, (F) kuinon, (G) flavonoid, (H) tanin, (I) alkaloid, (J) terpenoid dan steroid dan (K) Macam-macam senyawa lain dan senyawa-senyawa yang tidak dikenal (Hidayat, 2001). Saat ini pengendalian yang cukup prospektif untuk dikembangkan adalah penggunaan pestisida nabati. Pestisida ini mengandung bahan aktif yang berasal dari tumbuhan sehingga relatif mudah dibuat dan mudah terurai (Regnault-Roger 2005; Ujvary 2001), dan toksisitasnya rendah sehingga relatif lebih aman terhadap kehidupan (Regnault-Roger 2005). Selain itu pestisida nabati tidak menyebabkan resistensi karena bahan aktifnya tersusun dari kompleks campuran bahan aktif

yang berbeda-beda (Regnault-Roger 1997). Pemanfaatan pestisida nabati di Indonesia memiliki prospek yang cukup baik karena Indonesia memiliki berbagai macam flora yang sangat beragam dan banyak di antaranya merupakan sumber bahan baku pestisida. Selain daripada itu, sumber daya manusia mengenai pestisida nabati sudah berkembang, mulai dari masyarakat pengguna di lapang, sampai pada kelompok-kelompok peneliti di laboratorium, serta lembaga-lembaga yang terkait dengan pestisida nabati (Prijono, 2007). Pestisida nabati adalah produk alam berasal dari tanaman yang mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung beribu-ribu senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, fenolik dan zat-zat kimia sekunder lainnya. Senyawa bioaktif tersebut apabila diaplikasikan ke tanaman yang terinfeksi berpengaruh terhadap sistem saraf otot, keseimbangan hormon, reproduksi, perilaku berupa penolak, penarik, anti makan dan sistem pernafasan OPT. Senyawa bioaktif ini dapat dimanfaatkan seperti layaknya sintetik, perbedaannya bahan aktif pestisida nabati disintesa oleh tumbuhan dan jenisnya dapat lebih dari satu macam (campuran) (Hidayat, 2001). Oleh karena itu, beberapa tahun terakhir banyak dikembangkan pestisida nabati antimoluska. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama. Eceng eceng mengandung komponen kimia yang larut ke dalam air dan berdampak negatif terhadap keong mas. saponin, flavonoid, folifenol, asam sianida, triterpenoid, alkaloid, dan kaya kalsium. Senyawa kimia tersebut seperti saponin, alkaloid, dan flavonoid juga ditemukan pada tanaman mindi, nimba, biji teh, dan pada tahun 2005 telah diteliti penggunaanya yang (Kardinan, 2005). Beberapa jenis tanaman yang telah diteliti efektif terhadap keong mas adalah kemalakian (Croton tiglium) (Yuningsih et al..2005), gugo (Entada phaseikaudes), sembung (Blumea balsamifera), Eceng eceng (Monochoria vaginalis), tembakau (Nicotiana tabacum), jeruk calamansi (Citrus microcarpa), makabuhay (Tinospora rumphii), cabe merah (Capsicum annum), starflower dapat menyebabkan mortalitas terhadap keong mas

(Calotropis gigantis), nimba (Azadirachta indica), asyang (Mikania cordata), dan rerak (Sapindus rarak). Ekstrak tumbuhan merupakan pestisida nabati yang kaya akan bahan aktif yang berfungsi sebagai alat pertahanan alami terhadap Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Penggunaan bahan nabati sebagai salah satu upaya pengendalian secara hayati sangat dianjurkan dilakukan sebelum tanam, karena pada saat itu keong akan terganggu daya makannya, sehingga kurang merusak padi yang baru tanam. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai tambah dari tanaman yang selama ini hanya dianggap sebagai gulma dan tidak meimiliki nilai ekonomis untuk digunakan sebagai salah satu alternatif mengendalikan hama utama tanaman pertanian, khususnya keong mas guna menunjang teknologi yang diperlukan masyarakat petani menuju pertanian organik khususnya pada tanaman padi. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk dikembangkan menjadi pestisida nabati antimoluska yang bisa mengendalikan populasi keong mas ini tetapi tetap ramah lingkungan, dan ekstrak Enceng gondok menjadi salah satu solusi yang bisa diterapkan sebagai alternatif dari penggunaan moluskisida sintetik. 2.8 Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka tersebut diatas, maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat senyawa bahan aktif yang bersifat toksik terhadap Keong Mas (Pomaceae canaliculata) dari ekstrak Eceng eceng (Monochoria vaginalis). 2. Bahan aktif yang terkandung di dalam ekstrak Eceng eceng ( Monochoria vaginalis) tersebut mampu menyebabkan mortalitas terhadap Keong Mas (Pomaceae canaliculata).

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Greenhouse Fakultas Pertanian, dan Laboratorium Pengendalian Hayati Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Jember. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan selesai. 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam percobaan diantaranya ialah Keong mas, air, Daun talas (Colocasia giganteum Hook), methanol 96%, tanaman eceng-eceng (Monochoria vaginalis). 3.2.2 Alat Alat yang digunakan dalam percobaan diantaranya Toples kaca, rotavator, kertas saring, spatula, penggiling, mortar, kertas label, timbangan, kamera. 3.3. Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode perendaman (Putkome et al.. 2008) dengan pola faktorial, rancangan dasar acak kelompok. Faktor pertama adalah 3 tingkat lama perendaman yaitu 5, 10, dan 20 jam sedang faktor kedua adalah konsentrasi bahan ekstrak. Untuk mendapatkan faktor yang ke-2 ini, diperlukan adanya uji pendahuluan untuk menentukan range dari komposisi bahan ekstrak yang akan digunakan. Hal ini berkaitan dengan efesiensi penggunaan bahan ekstrak, dan untuk mengetahui sampel ekstrak yang tepat dalam pengambilan faktor kedua yang akan digunakan dalam pola faktorial sampel agar data yang nantinya diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara pasti. Dengan adanya uji pendahuluan sebelum pengambilan sampel, akan dapat menjamin keakuratan data dari hasil penelitian yang akan dilakukan, sehingga data yang dihasilkan dapat mengetahui pengaruh ekstrak eceng gonok tersebut terhadap keong mas.

3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Persiapan dan Pengambilan Sampel Tumbuhan Eceng eceng (Monochoria vaginalis) diperoleh dari sungai di sekitar daerah UNEJ, Antirogo, dan daerah sekitar Sumbersari. Eceng eceng yang diambil adalah Eceng eceng yang masih segar dan secara fisik masih utuh dan baik. Bagian yang akan digunakan sebagai bahan ekstraksi adalah semua bagian dari Eceng eceng, meliputi akar, batang, dan daun. Eceng eceng yang digunakan diiusahakan yang belum masuk masa generatif. Sedangkan Keong mas sendiri diambil juga dari daerah sekitar UNEJ, antirogo, Sumbersari, atau daerah persawahan yang banyak terserang oleh keong mas. Keong mas yang diambil adalah yang secara fisik memiliki ukuran yang sama, tingkat pertumbuhan baik, masih sehat dan aktif. Sebagai makanan, disiapkan juga beberapa rumpun padi yang masih muda atau daunt alas (Colocasia giganteum Hook) , agar keong mas tidak mati karena tidak tersedianya makanan. 3.4.2 Uji Pendahuluan Uji pendahuluan ini dilakukan dengan teknik sederhana, yaitu dengan melakukan ekstraksi menggunakan alat penghalus biasa (blender) untuk kemudian dilakukan penyaringan hasil ekstrak, penyimpanan selama 1 malam di tempat gelap, dan kemudian diaplikasikan terhadap keong mas. Komposisi bahan ekstrak yang nantinya didapatkan, akan dijadikan dasar penentuan faktor kedua sebagai pola faktorial sampel penelitian yang akan dilakukan. Secara keseluruhan, faktor lama perendaman ada 3 taraf perlakuan yaitu 5, 10, 20 jam yang dapapt dinyatakan sebagai A1 A2 A3 ; dan untuk faktor kedua yaitu komposisi bahan ekstrak ada 4 taraf perlakuan yaitu B1 B2 B3 B4 yang akan didapatkan setelah uji pendahuluan. Yang mana nanti kombinasi akan dilakukan secara faktorial setelah semua taraf perlakuan sudah diketahui. 3.4.3 Prosedur ekstraksi tanaman Ekstraksi dilakukan berdasarkan metode yang telah dikembangkan oleh Yuliani dan Rusli (2003). Sebanyak 1 kg bahan dijemur selama 4-5 hari kemudian digiling dengan penggiling Reisch Mhle buatan Karl Kolb (Dreieich, Jerman)

dengan ukuran 3 mm. Hasilnya dimasukkan dalam methanol (96%) dengan perbandingan 1:5 (w/v) dan diaduk selama 3 jam pada kecepatan 500 rpm menggunakan pengaduk elektrik yang dibuat oleh Karl Kolb (Dreieich, Jerman). Setelah itu, campuran didiamkan selama 24 jam dan diletakkan ditempat yang gelap agar tidak terdegradasi akibat terkena cahaya matahari, pada suhu 28 1 C. Kemudian larutan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman No 91 dan ampasnya direndam dan diaduk kembali selama 2 jam dalam 1 liter metanol. Selanjutnya larutan ke dua disaring kembali dengan kertas saring baru. Hasil saringan pertama dan kedua dicampur. Metanol diuapkan dengan menggunakan rotavapor pada suhu 45 C selama 3 jam. Ekstrak yang dihasilkan dipindahkan ke dalam botol gelas warna gelap dan disimpan pada suhu 20 C sampai saat digunakan. 3.4.4 Metode Pengujian Penelitian menggunakan metode perendaman (Putkome et al.. 2008). Penelitian mula-mula dilakukan dengan melarutkan 5% tween 80 di dalam air. Setelah itu ke dalam 1 liter larutan tersebut dimasukkan 5 g ekstrak yang akan diuji sehingga konsentrasi ekstrak di dalam larutan yang akan diuji adalah 0,5%. Setelah itu keong mas dimasukkan ke dalam larutan dan diberi makan daun talas (Colocasia giganteum Hook). Pada perlakuan kontrol keong mas hanya direndam di dalam air yang mengandung 5% tween 80. Perendaman dilakukan selama 5, 10, dan 20 jam di dalam stoples kaca berdiameter 9x15 cm 2. Setelah direndam selanjutnya keong dipindahkan ke dalam botol pemeliharaan yang berisi air bersih lalu diberi daun talas berukuran 100 cm2 sebagai makanannya. Setiap perlakuan menggunakan 10 ekor keong uji dan diulang sebanyak 3 kali. Pengamatan dilakukan pada 1, 2, dan 3 hari setelah aplikasi terhadap mortalitas keong mas dengan menghitung jumlah keong uji yang mati setelah perlakuan (Wiratno, et al.. 2011). Persentase penghambatan makan dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Luas daun yang dimakan keong mas Penghambatan makan = Luas daun yang diberikan sebagai pakan 3.4.5 Parameter Penelitian Dalam penelitian ini dapat diambil parameter sebagai berikut: 1. Persentase penghambatan makan dari keong mas 2. Keong mas yang mati (tidak aktif atau mengambang) 3. Berat daun yang digunakan sebagai pakan x 100%

DAFTAR PUSTAKA AAK., 1990. Budidaya Tanaman Padi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Aziz. 2011. Diserbu Keong Mas, Petani Gagal Tanam. JurnalBesuki.com. http: // jurnalbesuki.com/2- pasien -HIV/ index.php? option=com_content &task= view&id=4545&Itemid=42. Diakses tanggal 22 Maret 2013. Badan Litbang Pertanian. 2007a. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi; Kumpulan Informasi Teknologi Pertanian Tepat Guna. BPS. 2011. Berita Resmi Statistik : Produksi Padi, Jagung, Dan Kedelai (Angka Ramalan III Tahun 2011), No. 69/11/Th. XIV, 1 November 2011. Jakarta Cagauan, A.G. and R.C. Joshi. 2004. Golden Apple Snail (Pomacea spp) in the Philippine. In Wada, T. (Ed.), Procceeding of the Special Working Group on the Golden Apple Snail (Pmacea spp.) at the Seventh International Congress on Medical and Applied Malacology (7th ICMAM), Los BAnos Laguna S EARCA, Philippines. October 2002. P. 1-36. Cowie RH, Hayes KA, & Thiengo SC. 2006. What are apple snails? Confused taxonomy and some preliminary resolution, p. 3-24. In : Joshi RC, Sebastian LS (eds.) Global advances in ecology and management of golden apple snails. Phil Rice, Ingeneria, FAO. Manila, Filiphina. Cowie RH, Hayes KA, & Thiengo SC. 2007. What are Apple Snails Confused Taxonomy and Some Preliminary Resolution. In Joshi. R.C. and L.S. Sebastian (Ed.), Global Advances in Ecology and management of Golden Apple Snail. PhilRice, Ingnieria DICTUC and FAO. 3-23. Dasgupta, S., Meisner, C., Wheeler, D., Xuyen, K., and Thi Lam, N. 2007. Pesticide poisoning of farm workersimplications of blood test results from Vietnam. International Journal of Hygiene and Environmental Health 210 : 121-132. Djayasasmita, M. 1987. Keong Gondang Pila ampullaceal: Makanan dan Reproduksinya (Gastropoda: Ampullariidae). Berita Biologi, 397. Okt.:342-346. Direktoreat Perlindungan Tanaman Pangan. 2008. Luas Serangan Siput Murbai pada Tanaman PAdi Tahun 1997-2006, Rerata 10 Tahun dan Tahun 2007. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.Jakarta.

Dishut, 2009. Penggunaan Pestisida Nabati Dalam Bidang Kehutanan. http://www.dishut.jabarprov.go.id/data/arsip/piertrum.doc. Diakses tanggal 9 Mei, 2013. Estebenet, A.L. and N.J. Cazzaniga. 1992. Growth and Demography of Pomacea canaliculata (Gastropoda: Ampullariidae) under Laboratory Conditions. Malacological Review, 25(1-2):1-12.Hendarsih-Suharto dan N. Kurniawati. 2002. Prospek Moluskisida Nabati dalam Pengendalian Siput Murbai. Berita Puslitbangtan 24.:11-12. Fernandez, C., Rodriguez-Kabana, R., Warrior, P., and Kloepper, J.W. 2001. Induced soil suppressiveness to a root-knot nematode species by a nematicide. Biological Control 22: 103-114. Giacomazzi, S. and Cochet, N. 2004. Environmental impact of diuron transformation : a review. Chemosphere 56 : 1021-1032. Hatimah, S and W. Ismail. 1989. Penelitian pendahuluan budidaya siput emas (Pomaceae sp.). Buletin Penelitian Perikanan Darat 8 (1): 37-48. Hendarsih-Suharto. 2002. Golden Apple Snail Pomacea canaliculata (Lamarck) in Indonesia.In Wada,T.et al. (Ed), Proceeding of the Special Working Group on the Golden Apple Snail (Pomacea spp.) at the Seventh International Congress on Medical and Apliied Malacology (7th ICMAM), Los Banoos Laguna SEARCA, Philippines. October 2002. Hendarsih-Suharto dan N. Kurniawati. 2006. The Golden Apple Snail Pomacea spp. In Indonesia. In Joshi. R.C. and L.S. Sebastian (Ed), Global Advances in Ecology and Management of Golden Apple Snail. PhilRice, Ingnieria DICTUC and FAO. P:231-242. Hendarsih-Suharto dan N. Kurniawati. 2002. Prospek Moluskisida Nabati dalam Pengendalian Siput MUrbai. Berita Puslitbangtan 24.:11-12. Hidayat, A, 2001. Metoda Pengendalian Hama. Departemen Pendidikan Nasional Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan SMK Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Jakarta, 2001. http://202.152.31.169/pertanian/budidaya-tanaman/metoda-pengendalianhama.pdf. Diakses tanggal 2 Agustus, 2008. Joshi, R.C. 2005. Managing Invasive Alien Mollusc Species in Rice. Mini review. IRRN, 2:5-13. Joshi, R.C. 2006. Golden Apple Snail Recipes. In Joshi. R.C. and L.S. Sebastian (Ed.), Global Advances in Ecology and management of Golden Apple Snail. PhilRice, Ingnieria DICTUC and FAO, p. 121-132.

Kardinan, A. 2005. Pestisida nabati ramuan dan aplikasinya. P.T. Penebar Swadaya. Jakarta. Kurniawati, Nia. Hendarsih Suharto. 2009. Keong Mas dari Hewan Peliharaan Menjadi Hama Utama Padi di Sawah. Artikel. Balai Besar Penelitian Padi. Maini, P.N. dan B. M. Rejesus. 1993. Molluscicidal activity of Derris elliptica (Fam. Leguminosae). Phill. J. Sci. 122(1): 6174. Martono B, E. Hadipoentyanti, dan L. Udarno. 2004. Plasma Nutfah Insektisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. http://www.balitro.go.id/index.php? pg=pustaka&child=tro&page=lihat&tid=6&id=35. Diakses tanggal 13 Mei 2013. Marwoto, R.M. 1997. Keong Mas atau Keong Murbei (Pomacea spp)di Indonesia. Prosiding III. Seminar Nasional Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Lampung dan Universitas Lampung. P. 935-955. Muladi, S. 2001. Kajian Eceng eceng sebagai Bahan Baku Industri dan Penyelamat Lingkungan Hidup di Perairan. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Samarinda. Putkome, S., Cheevarporn, V., and Helander HF. 2008. Inhibition of Acetylcholinesterase activity in the golden apple snail ( P. canaliculata) exposed to chlorpyrifos, dichlorvos or carbaryl insecticides. Environment Asia 2 : 15-20. Pitojo, S., 1996. Petunjuk Pengendalian dan Pemanfaatan Keong Mas. Trubus Agriwidya. Jakarta. 106 h. Prijono, D. 2007. Magang Pengembangan dan Pemanfaatan Pestisida Nabati. Departemen Proteksi Tanaman IPB. Bogor. PRRI. 2008. Opsi-opsi Pengendalian Siput Murbai: http://pestalert.applesnail.net/management_guide/pest_management_indone sia.php#biological_control.Dikutip pada : 10 Maret,2013. Regnault-Roger, C. 1997. The potential of botanical essential oils for insect pest control. Integrated Pest Management Reviews 2 : 25-34. Regnault-Roger, C. 2005. New insecticides of plant origin for the third millenium. In: Regnault_Roger BJR, Philogene C, Vincent. C, editors. Biopesticides of plant Origin: Lavoisier.

Schmidt, G.H., Risha, E.M., and El-Nahal, A.K.M. 1991. Reduction of progeny of some stored-product Coleoptera by vapours of Acorus calamus oil. J. of Stored Products Research 27 : 121-127. Sinarta, P. 2009. Pengaruh Kepadatan Populasi Keong Emas (Pomacea sp.) Terhadap Tanaman Padi (Oryza sativa L.) di Lapangan. Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Soenaryo, E., P. Panuju Dan M. Syam. 1989. Siput murbei: Siput indah yang dapat menimbulkan malapetaka bagi pertanaman padi sawah. Warta Penelitian dan pengembangan Pertanian, Deptan RI XI(5): 14. Suharto, H., dan N. Kurniawati. 2006.Keong Mas dari Hewan Peliharaan Menjadi Hama Utama Padi Sawah. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Bogor. Sundaru, M. Syam, M. Bakar, J. 1976. Beberapa Jenis Gulma Padi Sawah. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor, Buletin Tehnik No. 1. Ujvary, I. 2001. Pest control agents from natural products, Handbook of Pesticide Toxicology. Krieger R, editor. San Diego : Academic Press. San Diego. Wilson, C. and Tisdell, C. 2001. Why farmers continue to use pesticides despite environmental, health and sustainability costs. Ecological Economics 39 : 449-462. Wiratno, Molide Rizal, dan I Wayan Laba. 2011. Potensi Ekstrak Tanaman Obat dan Rematik Sebagai Pengendali Keong Mas. Bul. Littro. Vol. 22 No.1, 2011, hal. 54-64. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rematik. Bogor. Yuliani, S. dan Rusli, S. 2003. Prosedur ekstraksi : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. 17 hlm. Yuningsih, R. Damayanti dan R. Firmansyah. 2005. Efektivitas Ekstrak Biji Tanaman Kemalakian (Croton tiglium) terhadap Keong Mas (Pomacea canaliculata) sebagai Moluskisida Botani dalam Upaya Pengganti Moluskisida Sintetik. Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner. Tersedia : http://peternakan.litbang. deptan.go.id/?q=node/272.

Anda mungkin juga menyukai