Anda di halaman 1dari 197

Eka Lokaria, Sepriyaningsih

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

ANALYSIS WATER QUALITY AND Heavy Metal Pb IN


KAPIAT FISH (Barbonymus gonionotus) FROM KELINGGI RIVER
LUBUKLINGGAU CITY

Eka Lokaria* ABSTRACT: This Study aims to determine the quality of water as wellas to know
STKIP PGRI the presence or absence of heavy metal contamination of Pb in kapiat fish derived
Lubuklinggau from the Kelinggi River at Lubuklinggau City.The research method is descriptive
qualitative. Water Testing conducted with parameters DO, BOD, COD and Pb as
well as testing the type of kapiat with heavy metal parmeters Pb. The result
Sepriyaningsih showed that the water quality of kelinggi river in good condition when viewed
STKIP PGRI from pH, DO, COD and BOD because it is still in the range of water quality
Lubuklinggau standard class III according to PP RI. 82 of 2001. Water and kapiat fish derived
from kelinggi river have contained heavy metalcontamination Pb. The Result
showed that the concentration value of heavy metals Pb is well below the
threshold set according to PP RI. 82 of 2001 so that still can be utilized according
to its alloment for fresh fish.

KEYWORDS: Water Quality, Plumbum (Pb) and Kelinggi river.

* Corresponding Author: STKIP PGRI Lubuk Linggau; Jl. Jl. Mayor Toha Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan

PENDAHULUAN
301
Berdasarkan Perda Kota Lubuklinggau No 1 tahun 2012, Sungai Kelingi
merupakan salah satu sungai yang berada di Kota Lubuklinggau. Sungai Kelingi
melintasi Kota Lubuklinggau dimulai dari Kecamatan Lubuklinggau Barat II,
Kecamatan Lubuklinggau Utara II dan Kecamatan Lubuklinggau Selatan II. Sungai
tersebut memiliki panjang ± 70 kilometer dengan lebar antara 50-70 meter. Hulu
Sungai kelingi berada di Bukit Barisan, Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Sungai ini
bermuara di Sungai Beliti yang kemudian akan mengalir ke Sungai Musi. Tidak
seperti Sungai Mesat, Sungai Kasie, Sungai Temam dan Sungai Kati, Sungai Kelingi
memiliki 18 jeram saat melintasi Lubuklinggau (Ariansyah, et al., 2013).
Kondisi saat ini disepanjang sungai Kelingi berdasarkan hasil observasi terdapat
sampah limbah rumah tangga, baik organik, non organik dan limbah cair dari rumah-
rumah warga di sekitar sungai Kelingi. Hal ini merupakan akibat aktivitas masyarakat
yang ada di sekitar sungai kelingi seperti aktivitas, mandi, mencuci, penambangan
tradisional batu koral dan pembungan limbah industri dan pertanian. Ini akan
mengakibatkan terjadinya perubahan ekosistem sungai kelinggiyang secara signifikan
berdampak pada penurunan kualitas perairan yang dapat menyebabkan kematian biota
air seperti ikan, dan ini akan sangat merugikan pendapatan nelayan disekitar sungai
kelinggi.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Eka Lokaria, Sepriyaningsih

Limbah dari industri seperi industri kelapa sawit yang ada di sungai kelingi
merupakan salah satu sumber pencemaran berupa logam berat Pb dan Cu yang
diperoleh melalui proses industri kelapa sawit. Logam Berat Pb dan Cu di sungai akan
berdampak negative bagi organisme yang ada karena daya racun yang dimiliki dapat
menghambat kerja enzim dalam proses fisiologis dan menggangu metabolisme tubuh
organisme. Logam berat tersebut akan tetap terakumulasi dalam tubuh ikan dan bila
kadar logam berlebih maka akan sangat berbahaya bagi kesehatan bila ikan tersebut
dikonsumsi masyarakat. Sungai kelingi khususnya daerah petunang kabupaten Musi
Rawas sungainya sangat tercemar akibat adanya aktivitas pembuangan limbah
industry kelapa sawit.
Samitra & fakhrurrozi, 2017, keanekaragaman ikan di sungai kelinggi diperoleh
data bahwa ikan jenis Barbonymus gonionotus atau lebih dikenal masyarakat
lubuklinggau ikan kapiat merupakan komposisi terbesar di sungai kelinggi.
Barbonymus gonionotus atau ikan kapiat merupakan ikan yang paling banyak
ditangkap/ikan yang mendominasi perairan sungai kelingi. Melimpahnya Barbonymus
gonionotus dikarenakan Sungai Kelingi merupakan habitat yang baik dimana kelimpahan
makanan cukup banyak, tidak adanya persaingan dari spesies lain untuk mendapatkan
makanan. Sungai Kelingi merupakan habitat ideal bagi Barbonymus gonionotus karena
302 ikan tersebut hidup pada sungai yang berarus lambat (Rainboth, 1996). Maka untuk
mengetahui tingkat pencemaran melalui analisi kadar logam berat Pb di analisis
dengan spektofotometer UV- Vis.

METODE PELAKSANAAN
Jenis penelitian kuntitatif dengan menggunakan metode penelitian deskriptif.
Metode penelitian deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan
kondisi kualitas air serta cemaran logam Pb pada ikan kapiat yang berasal dari sungai
kelinggi kota lubuklinggau berdasarkan observasi ke lapangan dan pemeriksaan di
laboratorium.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data kondisi air di sungai kelingi, kota
Lubuklinggau meliputi;
1. Derajat keasaman (pH) (SNI 6989.57:2008)
2. Oksigen terlarut (DO) (SNI 06-6989.14-2004)
3. Kebutuhan oksigen bioogis (BOD) (SNI 6989.72:2009)

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Eka Lokaria, Sepriyaningsih

4. Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) (SNI 6989.2:2009)


5. Analisis cemaran logam Pb pada Ikan Kapiat (SNI 2354.5:2011)
Teknik analisa data yang digunakan analisa deskriftif dengan memaparkan hasil
penelitian kualitas air dibandingkan dengan criteria mutu air berdasarkan kelas III
peraturan pemerintah RI No. 82 Tahun 2001, dan analisis cemaran logam Pb pada
ikan kapiat debandingkan dengan batas maksimum cemaran logam berat yang
terdapat dalam bahan pangan ikan segar berdasarkan SNI 2729:2013.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman rata-rata yaitu 8,56, kondisi ini merupakan derajat keasaman
yang cukup baik, Syamsudin (2014) menyatakan bahwa pH optimal bagi biota yakni
6,5-9. Nurdin (2009) pada umumnya nilai pH di perairan rendah akan rendah terkait
dengan rendahnya kandungan mineral yang ada dan sebaliknya.
Dissolved Oxygen (DO)
SNI (06-6989.14-2004) menjelaskan bahwa DO merupakan jumlah milligram
303
oksigen yang terlarut dalam air atau air limbah yang dinyatakan dengan mgO2/L
diperoleh rata-rata 6,2166 mg/L. Effendi (2003) kadar oksigen terlarut di perairan
alami biasanya kurang dari 10 mg/L. Air di sungai kelinggi memiliki kadar oksigen
yang terlarut cukup baik, hal in disebbakan sungai kelinggi memiliki arus aliran air
yang cukup baik selain itu banyaknya tumbuhan liar di sekitar sungai menjadikan
sungai kelinggi kaya akan kandungan oksigen terlarut.
Biological Oxygen Demand (BOD)
Diperoleh rata-rata 10,5023 mg/L besarnya kosentrasi BOD mengindikasikan
bahwa perairan tersebut telah tercemar (Mahyudin, dkk, 2015). Tingginya kadar bod
disebabkan karena banyaknya bahan buang organik yang mengalir ke daerah sungai
hal ini akibat dari padatnya penduduk disekitar sungai. Syamsudin (2014) klasifikasi
tingkat pencemaran berdasarkan nilai BOD masih tergolong tercemar sedang. Tetapi
jika dibandingkan dengan standar mutu kualitas air kelas III (PP RI No.82 tahun
2001) kurang baik peruntukannya.
Chemical Oxygen Demand (COD)
COD menggambarkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme dalam air untuk mengurai atau mengoksidasi bahan orgnik yang sulit

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Eka Lokaria, Sepriyaningsih

terurai dalam perairan dinyatakan dengan MgO2/L, diperoleh rata-rata nilai COD
sebesar 44, 4345 mg/L, berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001 kriteria baik sebesar 50
mg/L sehingga air dalam kondisi baik. Oksigen terlarut berasal dari difusi oksigen
yang terdapat di udara dan hasil fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton.
Kelarutan oksigen juga di pengaruhi suhu, yaitu akan mengalami penurunan pada
suhu yang meningkat. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan oleh semua biota air, yaitu
untuk respirasi, aktivitas biota air, dan penguraian bahan organic oleh bakteri
decomposer.
Logam Berat Pb pada ikan kapiat
Loga berat Pb dapat berasal dari partikel logam yang terdapat di udara yang
terbawa air hujan , aktivitas manusia seperti indutri maupun limbah rumah tangga
lainnya, logam ini dapat terakumulasi pada ikan yang terdaat di sungai kelinngi salah
satu jenis ikannya yakni ikan kapiat. Hasil Penelitian menunjukkan kadar Pb 0,137
mg/kg. Berdasarkan SNI 2729:2013 logam Pb yang dikandung pada ikan kapiat
berada dibawah ambang batas maksimum yang diperbolehkan yakni sebesar 0,3
mg/kg.
Keberadaan logam Pb dalam tubuh ikan kapiat tidak melebihi ambang batas
304 yang diizinkan, namun engkonsumsi ikan yang sudah tercemar oleh logam berat perlu
diwaspadai mengingat sifat logam yang dapat terakumulasi dalam organ ubuh jika
dikonsumsi terus menerus dan dalam jumlah yang banyak. Palar (2004) logam Pb
merupakan logam nonesensial yang keberadaanya dalam tubuh mahluk hidup idak
diharapkan. Keberadaan logam Pb dalam tubuh seringkali menghambat logam
esensial dalam aktivitas kera enzim dan bersifat menghambat kerja enzim.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian kualitas air dan cemaran logam Pb pada ikan kapiat
dapat disimpulkan bahwa kualitas air di sungai kelinggi kota Lubuklinggau dalam
kondisi baik dilihat dari parameter pH, DO, COD dan BOD. Ikan kapiat telah
mengandung cemaran logam berat namun nilai kandungan logam berat berada
dibawah ambang batas yang ditetapkan menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 yaitu
0,137 mg/kg maksimum yakni 0,3 mg/kg.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Eka Lokaria, Sepriyaningsih

REFERENSI
Ariansyah, et al., 2013 Ariansyah, A.F., Agus, M., dan Choirul, M. 2013. Kajian
Tingkat Pencemaran Sungai Kelinggi di Kota Lubuklinggau Dengan
Bioindikator Fitoplankton. Tesis Tidak Dipublikasikan. Fakultas Pertanian:
UNIB

Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kasinus : Yogyakarta

Nurdin, H.P. 2009.Kajian akumulasi logam berat timbal (Pb) dan Kadmium (Cd)
Pada Spongelaut Xestospongia Testudiaria sebagai Bioakumulator di Perairan
Pulau Kyangan dan Pulau Samosa. Skripsi nonpublish Program Studi Ilmu
kelautan Universitas Hasanuddin: Makasar.

Rainboth, 1996. FAO species identification field guide for fishery purposes. Fishes of
the Cambodian Mekong. FAO, Italy.

Samitra & fakhrurrozi, 2017. Keanekaragaman Ikan Di Sungai Kelingi Kota


Lubuklinggau. Jurnal Biota Vol. 4 No. 1 Edisi Januari 2018

SNI 06-6989.14-2004. Air dan Air Limbah : Cara Uji Kebutuhan Oksigen Terlarut
305
Secara Yodometri (Modifikasi Azida). Badan Standarisasi Nasional.

SNI 6989.2:2009. Air dan Air Limbah : Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi
(Chemical Oxygen Demand/COD) dengan Refluks Tertutup secara
Spektrofotometri. Badan Standarisasi Nasional.

SNI 6989.72:2009. Air dan Air Limbah : Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia
(Biochemical Oxygen Demand/BOD). Badan Standarisasi Nasional.

SNI 6989.78: 2011. Air dan Air Limbah : Cara Uji Raksa (Hg) Secara
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) – Uap Dingin atau Mercury Analyzer.
Badan Standarisasi Nasional.

Syamsuddin, Rajuddin. 2014. Pengelolaan Kualitas Air: Teori dan Aplikasi di Sektor
Pertanian. Makassar: Pjar Press

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil dan Irma Manik

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA SABUN PADAT TRANSPARAN


BERBAHAN DASAR MINYAK SAWIT DARI BAK FAT- PIT DENGAN
PENAMBAHAN MINYAK JERUK KALAMANSI

Devi Silsia * ABSTRACT: Making transparent soap from palm oil has been successfully carried
Universitas Bengkulu out. The addition of kalamansi citrus oil could be expected to increase the
advantageof transparent soap. The purpose of this research is to know the
physicochemical characteristics of transparent soap in various additions of
Syafnil Kalamansi orange oil and to find out which transparent soap is preferred by
Universitas Bengkulu panelists. Kalamansi orange oil used comes from the Kalamansi orange
processing industry in Bengkulu. The amount of Kalamansi orange oil added is 1
Irma Manik ml, 2 ml and 3 ml per 60 g of palm oil. The physicochemical characteristics
Universitas Bengkulu observed included moisture content, hardness, foam stability, pH, free alkali
content and the level of preference of panelists. The transparent soap produced
have 21.13 - 22.93 % for water content, 0.0197 - 0.0217 mm/g/s for hardness,
65.16 - 77.78 % for foam stability, 10.62 - 10.75 for pH 10.62 - 10.75 and 0,15 –
0,19 % for free alkali. Transparent soap was most preferred by the panelists was
soap with addition 1 ml of Kalamansi orange oil.

KEYWORDS: transparent soap, palm oil, fat-pit, kalamansi orange oil.

* Corresponding Author: Jurusan Teknologi Pertanian Faperta Universitas Bengkulu, Jl. WR.Supratman Bengkulu 38371
Indonesia; Email: devisilsia@unib.ac.id

306
PENDAHULUAN
Sabun merupakan salah satu produk yang cukup penting dalam kehidupan
manusia. Selain sebagai pembersih kulit, kandungan alami yang ada pada sabun
diharapkan dapat berfungsi sebagai pelembab dan peremajaan kulit. Untuk memenuhi
selera masyarakat yang sangat beragam bermacam produk sabun sudah dikembangkan
saat ini, seperti sabun cair, sabun opaque , dan sabun padat transparan. Sabun padat
transparan merupakan salah satu inovasi produk pembersih kulit. Selain menghasilkan
busa yang lebih lembut, kenampakan yang berkilau dan tembus pandang menjadikan
penampilan sabun padat transparan ini lebih menarik dan elegan. Penambahan
beberapa bahan alami menjadikan sabun tranparan ini sebagai salah satu produk
pembersih kulit yang diminati.
Sabun adalah pembersih yang dibuat dengan mereaksikan secara kimia antara
basa (natrium / kalium) dengan asam lemak yang berasal dari minyak nabati atau
lemak hewani. (BSN, 20164). Beberapa minyak nabati yang telah digunakan
sebagai bahan baku sabun antara lain adalah minyak kelapa, minyak zaitun,
minyak sawit dan lain-lain. Jenis minyak yang digunakan akan mempengaruhi
karakteristik dari sabun yang dihasilkan. Asam palmitat dan asam stearat yang

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil, dan Irma Manik

terkandung dalam minyak sawit akan mempengaruhi kekerasan dan menghasilkan


busa yang lembut pada sabun . Selain itu juga sangat efektif untuk meningkatkan daya
cleaning dari sabun yang dihasilkan (Ramli and Kuntom, 2009).
Pada proses pengolahan minyak sawit masih terdapat kehilangan minyak
dibeberapa titik, yang mana kemudian ditampung di bak Fat pit. Fat pit pond
merupakan bak penampungan sludge, tumpahan minyak, dan air cucian. Minyak dari
bak Fat pit ini dikutip kembali, di transfer ke vibrating screen kemudian di masukkan
kembali ke tangki timbun. Penimbunan yang terlalu lama dalam bak fat pit akan
meningkatkan kadar kotoran. Apabila dimasukkan ke tangki timbun diduga akan
mempengaruhi mutu minyak sawit yang ada dalam tangki. Maka akan lebih baik jika
minyak tersebut tidak dimasukkan ke dalam tangki timbun, tetapi diolah menjadi
produk oleokimia. Silsia, et al, 2017c telah memanfaatkan minyak sawit dari bak fat
pit ini sebagai bahan baku pembuatan emulsifier mono dan diasilgliserol. Produk
oleokimia lain yang dapat dibuat dari minyak sawit adalah sabun, salah satunya sabun
transparan.
Penambahan bahan lain dalam pembuatan sabun transparan akan lebih
memaksimalkan manfaat dan meningkatkan penerimaan konsumen. Bahan tambahan
tersebut dapat berupa bahan antiseptik, antioksidan , pewangi dan lain-lain. Dalam
307
penelitian ini bahan yang ditambahkan adalah ekstrak kulit manggis dan minyak jeruk
kalamansi. Menurut Istianto dan Muryanti, (2014), minyak atsiri jeruk bermanfaat
dalam bidang kesehatan bila digunakan sebagai aroma terapi. Aroma jeruk dapat
menstabilkan sistem syaraf, menimbulkan perasaan senang dan tenang, meningkatkan
nafsu makan, dan penyembuhan penyakit. Selain itu penambahan minyak atsiri pada
sediaan sabun dapat meningkatkan peneriman konsumen dan efektivitas sabun yang
dihasilkan (Apriyani , 2013).
Minyak atsiri jeruk kalamansi (Citrofortunella microcarpa) dapat diperoleh
dari kulit buah maupun daunnya. Kandungan utama dari minyak atsiri jeruk
kalamansi adalah limonen (94,4 %) (Othmen, et al, 2016). Minyak jeruk kalamansi
yang dipergunakan pada penelitian ini berasal dari hasil samping industri
pengolahan sirup kalamansi. Kandungan limonen pada minyak atsiri ini hanya
75,92 % (Tutuarima, 2019). Selain memiliki aroma yang khas, minyak atsiri jeruk
kalamansi ini juga berfungsi sebagai antibakteri (Kindangen, et al, 2018). Aroma
yang khas dan sifat antibakteri minyak kalamansi ini diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan dan efektifitas sabun transparan yang dihasilkan. Silsia et
al 2017a dan Silsia et al 2017b, telah menggunakan minyak atsiri jeruk kalamansi
sebagai aroma pada pembuatan sabun cair.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil dan Irma Manik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisikokimia sabun


transparan pada berbagai penambahan minyak jeruk kalamansi dan untuk mengetahui
sabun transparan yang paling disukai panelis.

METODE PELAKSANAAN
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit yang diambil
dari bak Fat-Pit PT. Bio Nusantara Teknologi, minyak atsiri jeruk kalamansi dari LPP
Baptis Bengkulu Tengah, asam stearat, NaOH 30%, etanol 96%, gliserin, gula pasir,
akuades, NaCl, HCl, KOH, dan ekstrak kulit manggis. Alat yang digunakan adalah
gelas piala, gelas ukur, erlenmeyer, labu ukur, corong, cawan porselen, buret, hot
plate, penangas air, oven, desikator, timbangan analitik, kertas saring, penetrometer
dan satu set pendingin tegak.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan satu faktor yaitu penambahan minyak atsiri jeruk kalamansi (1 ml, 2 ml dan 3
ml) dalam 60 g minyak sawit. Masing-masing percobaan diulang tiga kali, sehingga
diperoleh 9 kombinasi perlakuan. Formulasi pembuatan sabun tranparannya dapat
308 dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Formulasi Pembuatan Sabun Transparan


No Bahan Perlakuan
1 2 3
1 Minyat sawit (g) 60 60 60
2 Asam stearate (g) 21 21 21
3 NaOH 30 % (g) 60 60 60
4 Etanol 96 % (g) 45 45 45
5 Gliserin (g) 39 39 39
6 Gula pasir (g) 45 45 45
7 Akuades (g) 25,2 25,2 25,2
8 NaCl (g) 0,6 0,6 0,6
9 Ekstrak kulit manggis (g) 0,2 0,2 0,2
10 Minyak jeruk kalamansi (ml) 1 2 3

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil, dan Irma Manik

Tahapan Penelitian
(1) Pemurnian Minyak Sawit
Minyak sawit yang diambil dari bak Fat-pit dipanaskan hingga mencapai suhu
80ºC. Selanjutnya dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan kotoran,
dengan menggunakan kertas saring. Kemudian dilakukan proses bleaching
dengan menggunakan arang aktif. Proses ini dilakukan pada suhu 100ºC selama
30 menit dengan cara mengaduknya menggunakan mikser. Setelah itu dilakukan
proses penyaringan untuk memisahkan granula arang aktifnya.
(2) Pembuatan Sabun Transparan
Proses pembuatan sabun padat transparan dilakukan dengan merujuk pada
metode Widyasanti, et al (2016) dengan sedikit modifikasi. Minyak sawit yang
sudah dimurnikan dimasukkan kedalam beaker gelas dan dipanaskan pada suhu
70ºC. Selanjutnya kedalam minyak sawit panas tersebut dimasukkan asam stearat,
dan diaduk hingga homogen. Kemudian dimasukan larutan NaOH 30 % lalu
diaduk kembali hingga diperoleh campuran homogen. Selanjutnya bahan
pendukung lain etanol 96 %, gliserin, larutan gula (gula pasir yang dicairkan
terlebih dahulu dalam akuades) dan NaCl dimasukan secara berurutan. Dilakukan
proses pengadukan hingga seluruhnya tercampur secara sempurna. Kemudian 309
suhu campuran tersebut diturunkan hingga mencapai 30ºC, lalu ditambahkan
ekstrak kulit manggis dan minyak jeruk kalamansi. Sabun yang terbentuk disaring
dan kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan silikon dan didiamkan
selama 24 jam pada suhu ruang.
Parameter yang Diamati
Karakteristik Fisikokimia sabun transparan yang diamati meliputi kadar air
dengan menggunakan metode gravimetri (SNI 06-3532-2016), kekerasan dengan
menggunakan penetrometer, stabilitas busa dengan menggunakan metode pengukuran
tinggi busa dengan penggaris (Piyali et all, 1999), pH (ASTM D 1172 95 2001),
kadar alkali bebas dengan menggunakan metode titrasi (SNI 06-3532-2016) dan
tingkat kesukaan panelis. Uji tingkat kesukaan / penerimaan konsumen dilakukan
terhadap 25 panelis tidak terlatih dengana metode consumer preference test. Panelis
diminta memberikan tanggapan pribadinya terhadap warna, aroma, tranparansi, dan
tekstur sabun yang dihasilkan. Skala penilaian yang diberikan terdiri dari skala 1 –
5, (1) tidak suka, (2) agak tidak suka, (3) netral (4) agak suka, dan (5) suka.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil dan Irma Manik

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembuatan sabun transparan dengan bahan baku minyak sawit dari bak fat pit
telah berhasil dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan dimulai dengan
pemurnian minyak sawit, proses safonifikasi dan pengujian karakteristik
fisikokimianya. Proses pengambilan minyak sawit dari bak Fat Pit dapat dilihat pada
Gambar 1.

Gambar 1. Proses pengambilan minyak sawit dari bak Fat Pit


Sabun transparan yang dihasilkan berwarna kuning cerah. Warna kuning ini
selain disebabkan warna minyak sawit juga dipengaruhi oleh ekstrak kulit manggis
yang ditambahkan. Produk sabun yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2.
310

Gambar 2. Produk sabun transparan yang dihasilkan


Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu parameter yang diamati untuk menentukan sifat
kimia sabun padat transparan. Pengujian kadar air pada sabun perlu dilakukan
karena kadar air akan mempengaruhi kualitas sabun. Air yang ditambahkan dalam
produk sabun dapat mempengaruhi kelarutan sabun dalam air. Semakin banyak air
yang terkandung dalam sabun, maka sabun akan mudah menyusut dan cepat habis pada
saat digunakan (Ham bali, et al, 2005). Kadar air dalam sabun berasal dari akuades
yang ditambahkan pada saat proses pembuatan sabun dan juga berasal dari hasil
sampingan dari proses penyabunan. Nilai rata – rata kadar air sabun padat transparan
dapat dilihat pada Gambar 3.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil, dan Irma Manik

23.5
23 22.93
22.73
22.5
Kadar Air 22
(%) 21.5
21 21.13
20.5
20
1 2 3
Penambahan Minyak Jeruk Kalamansi (ml)

Gambar 3. Kadar air sabun transparan pada berbagai penambahan minyak jeruk
kalamansi.
Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 21,13% - 22,93%.
Kadar air terendah diperoleh pada perlakuan dengan penambahan minyak jeruk
kalamansi 1 ml. Dan kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan dengan penambahan
minyak atsiri kalamansi 3 ml. Secara keseluruhan, kadar air yang terkandung dalam
sabun transparan tersebut belum memenuhi standar mutu sabun padat (SNI 06-3235-
1994) yaitu sebesar 15%. 311

Sabun transparan yang dihasilkan memiliki kadar air yang lebih tinggi jika
dibandingan dengan hasil penelitian Dyartanti et al (2014) 18,24 – 18,56 %. Hal ini
diduga karena jumlah air dan zat tambahan lainnya yang digunakan lebih banyak
sedangkan jumlah minyaknya lebih sedikit. Kadar air sabun ini juga lebih rendah dari
hasil penelitian Widyasanti, et al (2016). Jumlah minyak dan bahan lain yang
digunakan sama, hanya saja dalam penelitian tersebut ada penambahan ekstrak teh
putih. Kandungan saponin yang terdapat pada esktrak teh putih ini lah yang
menyebabkan kadar airnya lebih rendah. Menurut Widyasari (2010). sabun padat
transparan memiliki kadar air yang lebih besar dibanding sabun mandi biasa
disebabkan adanya penambahan berbagai transparent agent.
Kekerasan
Uji Kekerasan bertujuan untuk mengetahui efisiensi sabun ketika digunakan.
Sabun yang lebih keras memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap kerusakan atau
perubahan bentuk yamg terjadi karena gangguan fisik yang berasal dari
lingkungannya. Pengukuran tingkat kekerasan sabun dilakukan dengan menggunakan
penetrometer jarum. Nilai yang diperoleh dari hasil pengukuran menunjukkan
seberapa dalam jarum penetrometer menembus sabun dalam rentang waktu 10 detik.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil dan Irma Manik

Sabun yang lebih lunak memiliki nilai penetrasi yang lebih besar. Asam lemak yang
digunakan sebagai bahan baku akan mempengaruhi tingkat kekerasan sabun yang
dihasilkan. Asam lemak jenuh yang terdapat dalam minyak kelapa sawit adalah asam
palmitat. Asam lemak ini berperan dalam mengeraskansabun dan m e n stabilkan
busa.
Nilai rata – rata kekerasan sabun padat transparan dapat dilihat pada Gambar 4.
Nilai kekerasan sabun yang dihasilkan berkisar antara 0,020 – 0024 mm/g/s. Dari
Gambar 4 dapat di ketahui bahwa sabun dengan penambahan minyak atsiri 2 ml
adalah sabun yang paling lunak.

0.025
0.024 0.024
0.023

Kekerasan 0.022 0.022


(mm/g/s) 0.021

0.020 0.020
0.019
0.018
312
1 2 3
Penambahan Minyak Kalamansi (ml)

Gambar 4. Kekerasan sabun transparan pada berbagai penambahan minyak jeruk


kalamansi
Angka kekerasan sabun yang yang ditunjukan oleh skala penetro me te r pada
penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Widyasanti, et al (2016). Hal ini
disebabkan karena kadar air sabun tranparan ini juga lebih tinggi. Kekerasan pada
sabun transparan juga dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung dalam sabun
transparan tersebut. Semakin tinggi kadar air, maka semakin tinggi juga angka
kekerasan yang ditunjukan oleh skala penetrometer. S em aki n tinggi angka yang
ditunjukan oleh skala penetrometer, maka sabun tersebut akan semakin lunak. SNI No
06-3532-2016 tentang sabun mandi belum mensyaratkan tingkat kekerasan.
Stabilitas Busa
Busa merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan mutu sabun.
Sabun yang memiliki busa banyak dan stabil lebih disukai daripada busa yang sedikit
dan tidak stabil. Sebagian konsumen masih beranggapan bahwa busa yang melimpah
mempunyai kemampuan membersihkan kotoran lebih baik. Selain itu busa juga

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil, dan Irma Manik

berperan dalam melimpahkan wangi sabun pada kulit. Nilai rata-rata stabilitas busa
yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5 dan busa yang terbntuk dapat dilihat
pada Gambar 6.

80
78 77.78
76
74
72
Stabilitas Busa 70
68.92
(%) 68
66
65.16
64
62
60
58
1 2 3
Penambahan Minyak Jeruk Kalamnsi (ml)

Gambar 5. Stabilitas busa sabun transparan pada berbagai penambahan minyak jeruk
kalamansi 313

Gambar 6. Stabilitas busa sabun tranparan yang dihasilkan


Stabilitas busa tertinggi diperoleh pada penambahan minyak jeruk kalamansi 1
ml dan yang terendah pada penambahan 2 ml. Stabilitas busa yang dihasilkan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Widyasanti, et al (2016), dimana
pada penelitian tersebut stabilitas busa tertinggi hanya 59,36 %. Hal ini diduga
karena adanya perbedaan bahan tambahan yang digunakan. Begitu juga halnya jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Anggraini, et al (2015), dimana stabilitas

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil dan Irma Manik

busanya hanya mencapai 50,63%. Pada penelitian Anggraini, et al bahan baku yang
digunakan adalah minyak kelapa dengan kandungan utama asam laurat. Sedangkan
asam lemak yang berperan dalam pembentukan busa yang stabil adalah asam
palmitat yang bisa diperoleh dari minyak sawit.
pH
Sabun tranparan yang dihasilkan memiliki pH rata-rata 10,62 – 10,75. Kisaran
nilai pH ini masih memenuhi kriteria mutu sabun mandi padat berdasarkan SNI No 06-
3532-2016 yang berkisar antara 9 – 11. Nilai pH yang diperoleh pada masing-masing
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Penambahan minyak jeruk kalamansi
mengakibatkan penurunan nilai pH. Hal ini disebabkan karena minyak jeruk kalamansi
bersifat asam.
Tabel 2. pH Sabun transparan pada berbagai penambahan minyak jeruk kalamansi
Penambahan minyak kalamansi (ml) pH
1 10,75
2 10,73
3 10,62

314
Nilai pH merupakan parameter yang cukup penting dalam pembuatan sabun.
Kelayakan sabun untuk digunakan sebagai sabun mandi ditentukan oleh nilai pH
(Wijana,et al, 2009). Nilai pH yang diperoleh hampir sama dengan hasil penelitian
Widyasanti, et al (2016), yaitu 10 – 11. Nilai pH ini sedikit lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Anggraini, et al (2015) yang berkisar antara
9,78 – 10,21. Perbedaan ini ini diduga karena adanya perbedaan komposisi.
Kadar Alkali Bebas
Sabun merupakan hasil dari reaksi saponifikasi antara asam lemak dalam
minyak/lemak dengan alkali/basa. Sabun yang baik adalah sabun yang dihasilkan dari
reaksi saponfikasi yang sempurna sehingga diharapkan tidak terdapat sisa/residu
setelah reaksi. Pengujian kadar alkali bebas dilakukan karena tidak selamanya reaksi
berjalan dengan sempurna. Kelebihan alkali pada suatu proses pembuatan sabun dapat
disebabkan karena adanya jumlah alkali yang melebihi jumlah alkali yang digunakan
untuk melakukan reaksi safonifikasi. Menurut Poucher (1974) sabun yang memiliki
kadar alkali bebas tinggi dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, karena natrium
hidroksida memiliki sifat higroskopis dan dapat menyerap kelembaban kulit dengan
cepat.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil, dan Irma Manik

Nilai rata – rata nilai kadar alkali bebas yang dihasilkan pada penelitian ini
berkisar antara 0,15% - 0,19%, seperti terlihat pada Gambar 7. Sabun dengan kadar
alkali bebas paling rendah diperoleh pada penamabahan minyak jeruk kalamnsi 2 ml.

0.2
0.19
0.18 0.18
0.16
0.15
0.14
0.12
Alkali Bebas
0.1
(%)
0.08
0.06
0.04
0.02
0
1 2 3
Penambahan Minyak Jeruk Kalamansi (ml)

Gambar 7. Kadar alkali bebas sabun transparan pada berbagai penambahan minyak
jeruk kalamansi 315
Alkali bebas yang dihasilkan pada penelitian ini sedikit lebih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Widyasanti, et al (2016), yaitu 0,101 %. Hal ini
diduga karena pada penelitian ini menggunakan zat tambahan ekstrak kulit manggis.
Senyawa alkaloid yang terkandung pada ekstrak kulit manggis bersifat basa.
Tingkat Penerimaan Panelis
Uji tingkat penerimaan panelis dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan
konsumen terhadap produk sabun transparan yang dihasilkan. Uji yang dilakukan
adalah uji hedonik / uji kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tranparansi dan
tekstur dari sabun yang dihasilkan. Secara keseluruhan panelis lebih menyukai sabun
tranparan yang dibuat dengan penambahan minyak jeruk kalamansi 1 ml. Tingkat
kesukaan panelis untuk parameter warna, aroma, transparansi dan tekstur dapat dilihat
pada Tabel 3.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat kesukaan panelis tertinggi terhadap
warna terdapat pada sabun dengan penambahan minyak jeruk kalamansi 1 ml dan
yang terendah pada sabun dengan penambahan minyak jeruk kalamansi 3 ml. Hal ini
diduga karena sabun dengan penambahan minyak jeruk kalamansi 3 ml memiliki

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil dan Irma Manik

warna kuning agak gelap, sedangkan pada produk dengan penambahan minyak jeruk
kalamansi 1 dan 2 ml warna yang diperoleh kuning cerah.

Tabel 3. Rekapitulasi hasil uji penerimaan konsumen


Skor Penerimaan Panelis terhadap sabun transparan
Parameter
dengan penambahan minyak jeruk kalamnsi
Uji
1 ml 2 ml 3 ml
Warna 3,60 3,52 3,36
Aroma 3,48 3.92 3,56
Transparansi 3,72 3,28 3,28
Tekstur 3,84 3,76 3,68

Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma sabun transparan ini berada dalam
range netral – suka. Tingkat kesukaan panelis tertinggi terdapat pada sabun dengan
penambahan minyak jeruk kalamansi 2 ml, dengan skor 3,92. Penerimaan panelis
terhadap aroma sabun tranparan yang dihasilkan belum maksimal. Karena kandungan
utama minyak jeruk kalamansi adalah limonene, maka diduga sebagian aromanya
menguap.
Penerimaan panelis terhadap tingkat tranparansi sabun tertinggi terdapat pada
316 sabun dengan penambahan minyak jeruk kalamansi 1 ml, yaitu 3,72. Sifat tranparansi
sabun dipengaruhi oleh penambahan transparent agent seperti etanol, gliserin dan
sukrosa. Dalam penelitian ini jumlah tranparant agent yang ditambahkan sama, maka
faktor lain yang mempengaruhi adalah warna dari sabun yang dihasilkan.
Pada pengujian tingkat kesukaan terhadap tekstur, panelis diminta untuk meraba
tekstur sabun yanag dihasilkan. Konsumen umumnya menyukai sabun yang bertekstur
keras, karena diyakini lebih tahan lama. Tingkat kesukaan panelis tertinggi terdapat
pada sabun yang dibuat dengan penambahan minyak jeruk kalamansi 1 ml, yaitu 3,84.
Tekstur sabun berhubungan dengan kadar air yang terdapat pada sabun tersebut.
Makin rendah kadar air, maka makin keras tekstur sabun yang dihasilkan.

SIMPULAN
Sabun transparan yang dihasilkan memiliki kadar air antara 21,13 - 22,93 %,
kekerasan 0,0197 - 0,0217 mm/g/s, stabilitas busa 65,16 – 77,78 %, pH 10,62 – 10,75
dan kadar alkali bebas 21,13 – 22,93 %. Sabun transparan yang paling disukai panelis
adalah sabun dengan penambahan minyak jeruk kalamansi 1 ml dalam 60 g minyak
sawit.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil, dan Irma Manik

REFERENSI
Anggraini, T., S. D.i Ismanto and Dahlia,2015 The making of Transparent Soap From
Green Tea Extract. International Journal on Advanced Science Engineering
Information Technology. 5(4). 349-356.
Apriyani K, 2013, Formulasi Sediaan Sabun Mandi Cair Minyak Atsiri Jeruk Nipis
(Citrus aurantifolia) Dengan Cocomid DEA Sebagai Surfaktan,
http://eprints.ums.ac.id.

Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 2016. Sabun Mandi. SNI 06-3532-2016.


Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Dyartanti, E.R, N.A.Cristi, Dan I. Fauzi, 2014. Pengaruh Penambahan Minyak Sawit
Pada Karakteristik Sabun Transparan, Ekuilibrium, 13 (2), 41-44.

Hambali, E. T. K., Bunasor, A. Suryani & Kusumah, G. A. 2005. Aplikasi


Dietanolamida Dari Asam Laurat Minyak Inti Sawit Pada Pembuatan Sabun
Transparan. J. Tek. Ind. Pert., 15(2), 46-53.

Istianto M dan Muryanti, 2014, Minyak Atsiri Jeruk: Manfaat dan Potensi Peningkatan
Nilai Ekonomi Limbah Kulit Jeruk,
http://balitbu.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/hasil-penelitian-mainmenu- 317
46/informasi-teknologi.

Kindangen, G.D., W. A. Lolo1), P. V. Y. Yamlean . 2018. Uji Aktivitas Antibakteri


Minyak Atsiri Kulit Buah Jeruk Kalamansi (Citrus microcarpa bunge.) Terhadap
Bakteri Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli. PHARMACONJurnal
Ilmiah Farmasi – UNSRAT . 7 (4). 62-68

Othman, S.N.A.M. , M. A. Hassan, L. Nahar , N. Basar, S. Jamil and S. D. Sarker.


2016. Essential Oils from the Malaysian Citrus (Rutaceae) Medicinal
Plants, Medicines , 3 (2), 2-11.

Piyali, G., R. G. Bhiruddan V. V. Kumar. 1999. Detergency and Foam Studies on


Linear Alkyl benzene Sulfonate and Secondary Alkyl Sulfonate. Journal of
Surfactant and Detergent. 2(4), 489-493.

Ramli, M.R. ang A. Kungton, 2009. Palm-Based Tranparent Soap Slab. MPOB
Information Series. MPOB TT No 433.

Silsia, D., F.E.D. Surawan dan I. Meriska. 2017c, Karakteristik Emulsifier Mono dan
Diasilgliserol (MDAG) dari Crude Palm Oil (CPO) yang berasal dari Fat Pit

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Devi Silsia, Syafnil dan Irma Manik

pada Berbagai Konsentrasi Katalis NaOH, Jurnal Teknologi dan Industri


Pertanian, 9 (2),82-88.

Silsia, D., L.Susanti dan R.Apriantonedi, 2017a. Pengaruh Konsentrasi KOH terhadap
Karakteristik Sabun Cair Beraroma Jeruk Kalamansi dari Minyak Goreng Bekas,
Jurnal Agroindustri, 7(1), 11-19.

Silsia, D., L.Susanti dan R.Apriantonedi, 2017b. Pembuatan Sabun Cair Aroma Jeruk
Kalamansi Dari Minyak Goreng Bekas. Prosiding Semirata Bidang MIPA BKS
PTN Wilayah Barat Buku 3. Jambi 12-14 Mei 2017. Hlm. 1448-1455.

Tutuarima, T. 2019. Identifikasi Senyawa Volatil Minyak Atsiri dari Cairan Hasil
Samping Industri Sirup Kalamansi. Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu.

Widyasanti,A., C.L.Farddani, D.Rohdiana, 2016. Pembuatan Sabun Padat Transparan


Menggunakan Minyak Kelapa Sawit (Palm Oil) Dengan Penambahan Bahan
Aktif Ekstrak Teh Putih (Camellia Sinensis), Jurnal Teknik Pertanian Lampung,
5(3). 125-136.

Widyasari, A. 2010. Kajian Pengaruh Jenis Minyak dan Konsentrasi Gliserin


318 Terhadap Mutu Sabun Transparan.. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani
PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9
ISSBN:XXXX-XXXX

RESPON FISIOLOGIS JINTAN HITAM (Nigella sativa L.)


Di LAHAN MASAM BENGKULU

Herlina * ABSTRACT: Black cumin (Nigella sativa L.) is an annual aromatic medicinal plant that
Universitas Dehasen grows in subtropical regions including Asia, the Middle East and North Africa in
Bengkulu environments with low temperatures (below 20 oC). Bioactive compounds are efficacious
for the health of which is thymoquinon and thymol. Data about the growth and production
at present are mostly only from the country of origin. Some studies report that black
Evi Andriani cumin can grow and produce in Indonesia to a height of 220 masl. To provide of black
Universitas Dehasen cumin in Indonesia, need to develop cultivation of black cumin, especially in sub-optimal
Bengkulu land. Research on cultivating black cumin on suboptimal land, especially in acid soils, is
still rare. Therefore, research is needed on the opportunities for cultivating black cumin
plants in acid soils as initial information in the field of crop adaptation studies. The aim of
the study was to determine the mechanism of adaptation of black cumin plants in
Bengkulu acid soils. The study was conducted in locations with altitudes below 100 masl.
Accessions used were accession of India, Syria, and Kuwait to cow manure growing
media, chicken manure and control. The study was conducted in February 2019 using the
Split Plot Design. Observation of physiological responses is carried out through leaf
thickness, content of chlorophyll a, chlorophyll b, total chlorophyll, carotene, and
anthocyanin. The results showed that the accession treatment had a significant effect on
leaf thickness. The leaves of Kuwait's accession of 0.212 mm are actually thicker by 7%
compared to India and Syria's accession. There were no significant differences in the
levels of chlorophyll a and b, but there were significant differences in the levels of
anthocyanins and carotenoids in each accession. The treatment of manure did not have a
significant effect on the physiological character of the black cumin observed.
319
KEYWORDS: adaptation, black seed, physiological response, suboptimal land.

* Corresponding Author: Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Dehasen Bengkulu; Jl Meranti Raya No. 32,
Bengkulu, Indonesia; Email: lina_bilang@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Jintan hitam (Nigella sativa L.) merupakan tanaman aromatik semusim yang
termasuk dalam famili Ranunculaceae dan merupakan tanaman asli dari daerah Asia
Barat dan Mediterania (Khan 2009). Tanaman ini banyak dibudidayakan di daerah
Mediterania, Siria, Turki, Iran, Arab Saudi, Pakistan, Jordania, dan India (Rajsekhar
dan Kuldeep 2011), dengan umur yang relatif pendek dan lingkungan tumbuh di
wilayah semi arid pada tanah yang kurang subur (Tuncturk et al. 2012).
Biji jintan hitam memiliki khasiat yang besar dalam bidang pengobatan dan telah
diketahui memiliki berbagai macam manfaat bagi kesehatan terutama dalam sistem
pengobatan Ayurveda dan Unani-Tibb/Greco-Arab (Abdulelah dan Zainal-Abidin
2007). Kandungan utama yang terdapat pada biji jintan hitam adalah minyak atsiri
seperti p-simena, timokuinon, asam palmitat, asam linoleat, asam oleat (Arshad et al.
2012), tokoferol, sterol (Matthaus dan Ozcan 2011).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

Pertumbuhan tanaman jintan hitam di negara asalnya rata-rata berada pada


dataran tinggi, kisaran suhu rendah, yakni di bawah 20 oC, dengan tingkat curah hujan
rendah dan tanah alkali. Jintan hitam tumbuh di Jordania pada ketinggian 530-880
mdpl dengan suhu rata-rata 6.9-17.4 oC dan curah hujan 319.2-462.5 mm tahun-1
(Talafih et al. 2007); di Turki pada tekstur tanah lempung liat yang tinggi, kadar
garam rendah, bahan organik rendah, kandungan nitrogen dan fosfat rendah, pH tinggi
(7.8), curah hujan rendah (349.4-424.1 mm tahun-1) dan suhu rendah antara 9-10 oC
(Tuncturk et al. 2012); dan di Iran pada ketinggian 1.209 m dpl dengan suhu rata rata
14 oC dengan curah hujan 140 mm tahun-1 (Khoulenjani dan Salamati 2011).

Penelitian jintan hitam di wilayah tropika Indonesia dilaporkan oleh Suryadi


(2014) dan Ridwan et al. (2014), bahwa tanaman jintan hitam dapat tumbuh di wilayah
dataran tinggi Indonesia, yakni di daerah Lembang dengan ketinggian 1,315 m dpl
dengan kisaran suhu minimum maksimum rata-rata sebesar 15.48-26.26 oC dengan
produksi biji sebesar 363.05 kg ha-1 dan kadar timokuinon sebesar 625 mg kg-1..
Sementara itu di dataran rendah (ketinggian 350 mdpl) dengan kisaran suhu minimum
maksimum rata-rata sebesar 22.73-31.73 oC, dan di dataran menengah (ketinggian
550 mdpl) dengan kisaran suhu minimum maksimum rata-rata sebesar 22.47-29.83 oC
tanaman jintan hitam tidak dapat tumbuh, bahkan tidak berkecambah.
320
Penelitian Herlina et al. (2017) menginformasikan bahwa tanama jintan hitam
aksesi India dan Kuwait dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah (220 mdpl).

Sebagai upaya pengurangan import yang pada tahun 2013 sebesar US$
244.076 (BPS, 2013), perlu dilakukan pengembangan budidaya jintan hitam di
Indonesia. Salah satunya dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan sub optimal
yang berada di dataran rendah, diantaranya lahan ultisol yang merupakan salah
satu tanah mineral masam dengan sebaran luas hingga 45.794.000 ha atau sekitar
25 % dari total luas daratan Indonesia. (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Sebagai upaya pengembangan teknologi budidaya jintan hitam di tanah


mineral masam, perlu dilakukan kajian awal tentang mekanisme adaptasi
beberapa aksesi jintan hitam sebagai dasar pengembangan teknologi budidaya
jintan hitam di tanah mineral masam. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh aksesi atau jenis jintan hitam yang adaptif dan teknologi budidaya
spesifik lokasi di lahan mineral masam dan secara khusus mendapatkan informasi
tentang respon fisiologis sebagai bentuk upaya adaptasi tanaman di luar
lingkungan tumbuh optimalnya.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

METODE PELAKSANAAN
Bahan dan alat yang digunakan adalah benih jintan hitam yang berasal dari
India, Siria dan Kuwait, giberelin, aquadest, polibag, plastik uv, naungan, bambu,
pupuk kandang, pupuk N,P,K, bahan dan alat analisis. Menggunakan Rancangan
Petak Terbagi (Split Plot Design). Petak utama adalah aksesi terdiri dari tiga taraf
yakni aksesi India (A1), Siria (A2) dan Kuwait (A3). Anak petak adalah jenis
pupuk kandang yang terdiri dari tiga taraf yakni pupuk pupuk kandang sapi,
pupuk kandang ayam, dan kontrol (tanpa pupuk kandang). Secara keseluruhan
diperoleh 9 kombinasi perlakuan, dan diulang 3 kali sehingga diperoleh 27 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari lima tanaman sampel dari tanaman
tengah.

Penyiapan media tanam yang berupa campuran pupuk kandang sesuai


perlakuan dan tanah dengan perbandingan 1:1 (v/v) yang ditempatkan dalam
polibag berdiameter 15 cm dan tinggi 30 cm. Polibag ditempatkan pada naungan
berukuran 3 x 3 m dengan tinggi 2,5 m di bagian depan dan 2,0 m di bagian
belakang. Naungan menggunakan paranet dengan kerapatan 50% dan di atasnya
ditutupi dengan plastik UV dengan jumlah 25 polibag pada tiap naungan. Benih
diberi perlakuan 12 jam hydropriming + 1 jam perendaman dengan GA 3 10-5 M, 321
kemudian ditanam di polibag secara direct seeding dengan jumlah 3 benih per
polibag. Pupuk NPK diberikan pada saat tanam dengan dosis 5 g per polibag,
pupuk guano diberikan pada umur 5 MST dengan dosis 4 g per polibag, kapur
pertanian 2 g per polibag.

Pencatatan suhu dilakukan setiap hari terhadap suhu harian dan kelembaban
dengan menggunakan thermohygro meter. Pengamatan respon fisiologis dilakukan
terhadap peubah tebal daun, luas daun per tanaman (menggunakan program black
spot versi 1.0 beta), kadar klorofil a, klorofil b, total klorofil, karotenoid, d an
antosianin daun (Sims dan Gamon, 2002). Data yang diperoleh dianalisis varian
dan jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Suhu Lingkungan Tumbuh

Suhu udara adalah salah satu faktor iklim yang berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan dan proses metabolisme tanaman. Pengaruh suhu terutama terlihat pada

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

laju perkembangan tanaman, seperti perkecambahan, pembentukan daun dan inisasi


organ reproduktif. Suhu udara pada lokasi penanaman sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta karakteristik pertumbuhan dan hasil
tanaman. Ahmad et al. (2010) menyatakan bahwa ketika suhu meningkat di atas
maksimum untuk pertumbuhan, tanaman mengalami penuaan dan daun tanaman
kehilangan warna hijaunya, aktivitas fisiologi menurun dan berdampak pada inaktivasi
beberapa enzim.

Pertumbuhan tanaman jintan hitam di negara asalnya rata-rata berada pada


dataran tinggi, kisaran suhu rendah, yakni di bawah 20 oC, dan tanah alkali. Jintan
hitam tumbuh di Jordania pada ketinggian 530-880 mdpl dengan suhu rata-rata 6.9-
17.4 oC (Talafih et al. 2007). Introduksi tanaman jintan hitam di Indonesia,
khususnya Bengkulu memberikan suhu lingkungan tumbuh yang berbeda jauh dengan
asalnya dengan rata-rata suhu harian di atas 25 oC. Fluktuasi suhu maksimum, suhu
minimum, suhu harian, dan kelembaban lingkungan tumbuh jintan hitam di lahan
masam Bengkulu ditampilkan pada Gambar 1 berikut ini.
45,0 100%
40,0 90%
35,0 80%
30,0
322 70%
Suhu (oC)

Kelembaban

25,0 60%
20,0 50%
15,0
40%
10,0
30%
5,0
20%
0,0
10%
0%

T Max T Min T Harian

Gambar 1. Fluktuasi suhu maksimum, minimum, harian dan kelembaban lingkungan


tumbuh jintan hitam di lahan masam Bengkulu

Peubah Respon Fisiologis Jintan Hitam


Cekaman lingkungan merupakan tantangan utama dalam memproduksi tanaman
secara berkelanjutan. Dalam menghadapi kondisi stress lingkungan, tanaman
memberikan beragam respon, dan salah satunya adalah respon fisiologis sebagai upaya
untuk menerima, menghindari, dan menetralisir pengaruh cekaman. Sifat peka dan
toleran suatu tanaman bergantung juga pada sifat genetik yang dimiliki oleh suatu
spesies atau aksesi (Dubey 1995).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

Tanaman memiliki reaksi yang sangat kompleks dalam menghadapi cekaman.


Bentuk morfologi, anatomi dan metabolisme tanaman yang berbeda menyebabkan
tanaman memiliki respon yang beragam. Ketika cekaman semakin meningkat maka
tanaman melakukan penyesuaian diri melalui proses fisiologi yang kemudian diikuti
perubahan struktur morfologi (Taiz dan Zeiger 2012). Introduksi tanaman jintan
hitam di wilayah Bengkulu dengan karakter iklim dan media tanam yang berbeda
diduga akan menimbulkan cekaman bagi tanaman, dan tanaman akan melakukan
mekanisme adaptasi melalui proses fisiologinya yang di dalam penelitian ini dilihat
melalui peubah tebal daun, kadar klorofil-a, klorofil-b, total klorofil, karotenoid, dan
antosianin daun yang di tampilkan pada Tabel 1 hingga Tabel 6 berikut ini.
Tabel 1. Pengaruh jenis pupuk kandang terhadap tebal daun dan luas daun
2
Jenis Pupuk Tebal Daun (mm) Luas Daun (cm )
Kandang India Syria Kuwait India Syria Kuwait
Pupuk kandang sapi 0,190 a 0,196 a 0,215 a 40,26 a 41,09 a 29,34 a
Pupuk kandang ayam 0,196 a 0,180 b 0,205 a 40,72 a 37,06 b 28,95 a
Tanpa pupuk kandang 0,201 a 0,207 a 0,214 a 36,17 b 27,89 c 15,63 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu peubah tidak berbeda nyata menurut uji
lanjut DMRT α 5%.

Pengaruh aplikasi jenis pupuk kandang sebagai media tanam relatif tidak nyata 323
terhadap tebal daun jintan hitam, meskipun terlihat kecenderungan bahwa tanaman
yang ditanam tanpa aplikasi pupuk kandang memiliki daun yang relatif lebih tebal
sekitar 2 – 5% untuk aksesi India, 6 – 15% untuk aksesi Syria, dan 4,3% untuk aksesi
Kuwait (Tabel 1). Kecenderungan peningkatan tebal daun ketiga aksesi yang
digunakan pada penelitian ini berhubungan dengan upaya tanaman mempertahankan
diri dari cekaman lingkungan dengan meningkatkan jumlah sel palisade, sehingga
daun menjadi lebih tebal dengan ukuran lebih kecil dengan tujuan mengurangi
penguapan (Muhuria et al., 2006). Diduga cekaman lebih didominasi oleh cekaman
suhu lingkungan tumbuh yang relatif lebih tinggi dibanding suhu lingkungan tumbuh
optimalnya, dan kondisi media tanam tanpa aplikasi pupuk kandang berperan dalam
meningkatkan cekaman yang dialami tanaman. Penelitian Lumingkewas et al.
(2015) memperlihatkan bahwa suhu berpengaruh nyata pada beberapa peubah
pertumbuhan, diantaranya luas daun dan tebal daun.

Seluruh aksesi yang digunakan pada penelitian ini mengalami peningkatan nilai
luas daun per tanaman dengan kisaran nilai peningkatan tertinggi pada aksesi Kuwait
sebesar 85,2 – 87,7% dibanding perlakuan tanpa pupuk kandang (Tabel 1). Secara
umum tidak terdapat perbedaan yang nyata antara luas daun tanaman dengan
perlakuan pupuk kandang sapi dibandingkan dengan perlakuan pupuk kandang ayam.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

Media tanam yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis tanah ultisol yang
merupakan salah satu tanah mineral masam.Tanah jenis ini berdaya jerap P tinggi,
dan biasanya memiliki kandungan hara rendah, retensi hara tinggi, dan kadar
bahan organik rendah (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Peningkatan luas daun
tanaman karena adanya aplikasi pupuk kandang pada penelitian ini, diduga terkait
dengan adanya peningkatan hara pada media tanam, memperbaiki sifat fisik dan
biologi tanah (Hartatik dan Widowati, 2006). Beberapa penelitian lain
menunjukkan pemberian pupuk kandang dapat meningkatkan ketersediaan C-
organik, N, dan P (Mahmoed et al., 2009). Peningkatan ketersediaan hara dan
perbaikan kondisi sifat fisik dan biologi tanah akan berpengaruh positip terhadap
aktifitas fotosintesis tanaman yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas
pertumbuhan tanaman.
Tabel 2. Pengaruh jenis pupuk kandang terhadap kandungan klorofil a dan klorofil b
Jenis Pupuk Klorofil-a Klorofil-b
Kandang India Syria Kuwait India Syria Kuwait
Pupuk kandang sapi 1,128 a 1,156 a 1,092 a 0,379 a 0,442 a 0,392 b
Pupuk kandang ayam 1,062 1,178 a 1,154 a 0,361 b 0,438 a 0,413 a
ab
Tanpa pupuk kandang 0,971 b 1,153 a 1,165 a 0,312 c 0,379 b 0,417 a
324 Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu peubah tidak berbeda nyata menurut
uji lanjut DMRT α 5%.

Tabel 3. Pengaruh jenis pupuk kandang terhadap kandungan total klorofil


Jenis Pupuk Kandang Total Klorofil Rasio Klor-a/b
India Syria Kuwait India Syria Kuwait
Pupuk kandang sapi 1,506 a 1,598 a 1,483 a 2,97 b 2,62 b 2,78 a
Pupuk kandang ayam 1,423 a 1,616 a 1,566 a 2,94 b 2,69 b 2,79 a
Tanpa pupuk kandang 1,282 b 1,533 a 1,581 a 3,12 a 3,04 a 2,79 a
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu peubah tidak berbeda nyata menurut
uji lanjut DMRT α 5%.

Pengamatan karakter fisiologis lainnya dilakukan melalui peubah kandungan


klorofil daun yang terdiri dari klorofil a, klorofil b, total klorofil, karoten dan
antosianin. Data yang diperoleh memperlihatkan bahwa aplikasi jenis pupuk kandang
sebagai media tanam tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil-a dan total
klorofil daun jintan hitam ketiga aksesi, namun berpengaruh nyata untuk kandungan
klorofil-b. Kandungan klorofil-b paling tinggi dimiliki oleh aksesi India dengan
aplikasi pupuk kandang sapi, dan mengalami penurunan sebesar 13,6 – 17,7% ketika
tidak ditambahkan pupuk kandang (Tabel 2). Sementara itu, untuk aksesi Syria
penurunan nilai klorifl-b terjadi ketika tidak diberi perlakuan pupuk kandang, tidak

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

terdapat perbedaan nyata nilai klorofil-b dengan aplikasi pupuk kandang sapi atau
pupuk kandang ayam. Rasio klorofil a/b untuk aksesi India dan Syria dipengaruhi
oleh aplikasi pupuk kandang. Terdapat peningkatan yang nyata antara nilai rasio
klorofil a/b daun jintan hitam denga aplikasi pupuk kandang dan dengan kontrol
dengan kisaran 4 – 6% untuk aksesi India, dan13 – 16% % untuk aksesi Syria (Tabel
3).

Menurut Wahid dan Ghazanfar (2006) peningkatan rasio klorofil a dan b


ditemui pada genotipe toleran dalam kondisi cekaman lebih tinggi, khususnya
cekaman suhu. Pada penelitian ini, lebih tingginya rasio klorofil a/b daun jintan hitam
aksesi India dan Syria tanpa aplikasi pupuk kandang, diduga kondisi media tanam ikut
berperan dalam menghasilkan tingkat cekaman yang lebih tinggi bagi tanaman.
Meningkatnya rasio klorofil a/b sebagai bentuk mekanisme adaptasi tanaman dalam
menghadapi cekaman.
Tabel 4. Pengaruh jenis pupuk kandang terhadap kandungan karotenoid dan
antosianin
Jenis Pupuk Kandang Karotenoid Antosianin
India Syria Kuwait India Syria Kuwait
Pupuk kandang sapi 0,385 a 0,378 b 0,374 b 0,042 a 0,048 a 0,046 a
Pupuk kandang ayam 0,391 a 0,399 0,436 a 0,036 b 0,027 b 0,043 a 325
ab
Tanpa pupuk kandang 0,350 b 0,410 a 0,453 a 0,038 b 0,032 b 0,038 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama dalam satu peubah tidak berbeda nyata menurut
uji lanjut DMRT α 5%.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kandungan karotenoid aksesi India


paling rendah pada media tanam kontrol, sedangkan aksesi Syria dan Kuwait justru
sebaliknya dimana pada media tanam kontrol menghasilkan nilai karotenoid yang
relatif paing tinggi. Kandungan antosianin daun terlihat lebih konsisten dengan hasil
paling tinggi untuk semua aksesi adalah pada aplikasi pupuk kandang sapi pada media
tanam. Peningkatan nilai antosianin dengan aplikasi pupuk kandang sapi meningkat
sebesar 10,5% untuk aksesi India, 50,0% untuk aksesi Syria, dan 21,1% untuk aksesi
Kuwait dibanding kontrol.

Karotenoid adalah salah satu pigmen yang dimiliki daun yang membantu
menyerap cahaya, sehingga spektrum cahaya matahari dapat dimanfaatkan dengan
lebih baik. Energi yang diserap oleh klorofil b dan karotenoid diteruskan kepada
klorofil a untuk digunakan dalam proses fotosintesis fase I (reaksi terang) yang terdiri
dari fotosistem I dan II, demikian pula dengan klorofil-b. Klorofil a paling banyak

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

terdapat pada Fotosistem II sedangkan klorofil b paling banyak terdapat pada


Fotosistem I (Taiz dan Zeiger, 2012).
Tabel 5. Pengaruh perlakuan jenis pupuk kandang dan aksesi terhadap peubah
fisiologis jintan hitam
Jenis Pupuk Aksesi Tebal Daun Luas Daun Klorofil-a Klorofil-b
2
Kandang (cm) (cm )
Pukan Sapi India 0,190 cd 40,26 ab 1,128 ab 0,379 c
Syria 0,196 bc 41,09 a 1,156 ab 0,442 a
Kuwait 0,215 a 29,34 d 1,092 ab 0,392 c
Pukan Ayam India 0,196 bc 40,72 a 1,062 bc 0,361 d
Syria 0,180 d 37,06 bc 1,178 a 0,448 a
Kuwait 0,205 ab 28,95 d 1,154 ab 0,413 b
Tanpa Pukan India 0,204 ab 36,17 c 0,970 c 0,312 e
Syria 0,207 ab 27,89 d 1,153 ab 0,379 c
Kuwait 0,215 a 15,63 e 1,164 a 0,417 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DMRT pada α 5%.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan jenis pupuk kandang dan aksesi terhadap peubah fisiologi
jintan hitam
Jenis Pupuk Aksesi Total Klorofil Karotenoid Antosianin
326 Kandang
Pukan Sapi India 1,506 abc 0,385 cd 0,042 ab
Syria 1,598 a 0,378 de 0,048 a
Kuwait 1,483 bc 0,374 de 0,046 a
Pukan Ayam India 1,423 c 0,391 cd 0,036 abc
Syria 1,616 a 0,399 cd 0,028 c
Kuwait 1,567 ab 0,436 ab 0,043 ab
Tanpa Pukan India 1,283 d 0,350 e 0,038 abc
Syria 1,533 abc 0,410 bc 0,032 bc
Kuwait 1,581 ab 0,453 a 0,038 abc
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata
menurut uji lanjut DMRT pada α 5%.

Interaksi perlakuan aplikasi jenis pupuk kandang dan aksesi terhadap karakter
peubah fisiologis tanaman ditampilkan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa peubah tebal daun, kandungan karotenoid, antosianin,
kandungan total klorofil memiliki nilai tertinggi pada perlakuan tanpa pupuk kandang
pada aksesi Kuwait. Data ini dikuatkan juga dengan data luas daun dengan nilai
terendah dihasilkan oleh aksesi Kuwait yang ditanam pada media tanpa aplikasi
pupuk kandang. Hal ini mengindikasikan bahwa aplikasi pupuk kandang dapat
menurunkan tingkat cekaman tanaman. Tingginya nilai total klorofil dan karotenoid
merupakan upaya tanaman dalam melakukan adaptasi terhadap cekaman lingkungan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

tumbuhnya. Carrion et al (2014) menyatakan bahwa kloroplas mengatur dirinya


terhadap kondisi intensitas cekaman (cahaya, suhu, hara).

SIMPULAN
Mekanisme adaptasi tanaman jintan hitam di lahan masam Bengkulu terlihat
dari respon fisologis ang diberikan oleh tanaman, diantaranya daun menjadi lebih
tebal, kandungan total klorofil, karotenoid, dan rasio klorofil a/b lebih tinggi.
Aplikasi pupuk kandang diduga dapat mengurangi tingkat cekaman pada tanaman
jintan hitam.

REFERENSI
Abdulelah HAA, Zainal-Abidin BAH. 2007. In vivo anti malarial tests of Nigella
sativa different extract. Am. J. Pharm. Toxic. 2:46-50.

Arshad H, Rizvi MM, Khan AA, Saxena G, Naqvi AA. 2012. A comparative study on
the chemical composition of oil obtained from whole seeds and crushed seeds of
Nigella sativa L from India. Journal Biology Chemycal Research, 29 : 44-51.

[BPS] Badan Pusat Statistik. Statistik Perdangangan Luar Negeri – Impor 2013. 2013. 327
Volume III. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik

Carrion CA, Martinez DE, Costa ML, Guiamet JJ. 2014. Senescence-associated
vacuoles, a specific lytic compartment for degradation of chloroplast proteins.
Plants (Basel). 3(4): 498-512.

Dubey RS. 1995. Protein synthesis by plant under stresful conditions. In Handbook
of Plant and Crop Stress.

Hartatik W, Widowati LR. Pupuk Kandang. 2006. Di dalam: Simanungkalit RDM,


Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W, editor. Pupuk Organik
dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
hlm 59-82.

Herlina, Aziz SA, Kurniawati A, Faridah DN. 2017. Pertumbuhan dan produksi
Habbatussauda (Nigella sativa L.) di tiga ketinggian Indonesia. J. Agron.
Indonesia. 2017. 45(3): 323 -330.

Khan MLA. 2009. Kalonji (Nigella sativa L.). Islamic Voice. 13-08 (152) : 1-2.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

Khoulenjani MB, Salamati MS. 2011. Morphological reaction and yield of Nigella
sativa L.
to Fe and Zn. African Journal of Agricultural Research. 7:2359-2362. doi:10.5897/
AJAR11.1813

Lumingkewas AMW, Koesmaryono Y, Aziz SA, Impron. 2015. The influence of


temperature
to rutin concentration of buckwheat grains in humid tropic. Int J of Sci. Basic and
Apllied Research. 20(1): 1-9.

Mahmoud E, Abd El-Kader2 N, Robin P, Akkal-Corfini N, Abd El-Rahman L. 2009.


Effects of different organic and inorganic fertilizer on cucumber yield and some
soil properties. World J Agri Sci. (5):408-414.

Matthaus B, Ozcan MM. 2011. Fatty acids, tocopherol, and sterol contents of some
Nigella species seed oil. J Food Sci. 29:145-150.

Muhuriah L, Tyas KN, Khumaida N, Trikoesoemaningtyas, Soepandie D. 2006.


Adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah:karakter daun untuk
efisiensi penangkapan cahaya. Bul. Agron. 34(3):133-140.

328 Prasetyo BH dan Suriadikarta DA. 2006. Karakteristik, potensi dan teknologi
pengelolaan tanah Ultisol untuk pengembangan pertanian lahan kering di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2):39-46

Rajsekhar S, Kuldeep B. 2011. Pharmacognosy and pharmacology of Nigella sativa-


review. International Research Journal of Pharmacy. 2:36-39.

Ridwan T, Ghulamadi M, Kurniawati A. 2014. Laju pertumbuhan dan produksi jintan


hitam (Nigella sativa L.) dengan aplikasi pupuk kandang sapi dan fosfat alam. J.
Agron. Indonesia. 42(2):158-165.

Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationships between leaf pigment content and spectral
reflectance across a wide range of species, leaf structures and developmental
stages. Remote Sensing of Environment. 81(2):337-354. http://dx.doi.org/
10.1016/S0034-4257(02)00010-X

Suryadi R. 2014. Karakter Morfologi dan Pemupukan N dan P Anorganik terhadap


Pertumbuhan dan Produksi Bioaktif Thymoquinone Jintan Hitam. Thesis.
Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.

Taiz L, Zeiger E. 2012. Plant Physiology. Fifth Edition. Sinaue Associaties Inc.
Publisher. Massachussetts. 782 p.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Herlina, Evi Andriani

Talafih KA, Haddad NI, Hatar BI, Kharallah K. 2007. Effect of some agricultural
practises on the productivity of black cummin (Nigella sativa) grown under
rainfed semi-aid conditions Jodan. Journal of Agricultural Sciences. 3:385-397.

Tuncturk MR, Tuncturk V, Ciftci. 2012. Effect of varrying nitrogens doses on yield
and some yield components of black cummin (Nigella sativa L.). Advances in
Environmental Biology. 6:855-858.

Wahid A, Ghazanfar A. 2006. Possible involvement of some secondary metabolites in


salt tolerance of sugarcane. J. Plant Physiol. 163:723-730.

329

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Pasar Maulim Silitonga, Melva Silitonga, dan Meida Nugrahalia
PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9
ISSBN:XXXX-XXXX

OPTIMALISASI PRODUKSI IgY ANTI DIARE DALAM KUNING


TELUR DENGAN SUPLEMENTASI PIRIDOKSIN

Pasar Maulim ABSTRACT: Telah dilakukan penelitian untuk mengoptimalkan produksi IgY
Silitonga* kuning telur spesifik anti diare dengan suplementasi piridoksin. Sebanyak 12 ekor
ayam betina dewasa siap bertelur dipelihara dalam kandang baterai selama 10
Universitas Negeri
minggu, Selama percobaan, semua ayam diberi air minum secara ad libitum dan
Medan ransum komersil standar yang telah mengandung piridoksin dengan dosis normal.
Perlakuan yang dicobakan adalah pemberian tingkat piridoksin yang bervariasi
Melva Silitonga yaitu Defisiensi (S1) , Normal (S2) dan Suplementasi (S3). Satu minggu setelah
Universitas Negeri pemberian perlakuan, semua ayam diinjeksi dengan 0.5 ml (109sel/ml) suspensi
Medan S. Enteritidis secara intravena selama tiga hari berturut-turut. Immunisasi ulang
dilakukan pada minggu kedua dengan S. Enteritidis sebanyak 1,0 ml (109sel/ml)
yang diemulsikan dalam Freund’s adjuvant complete. Pada minggu ketiga dan
Meida Nugrahalia keempat, suntikan ulang dilakukan dengan antigen S. Enteritidis sebanyak 1,0 ml
Universitas Negeri (109sel/ml) yang diemulsikan dalam Freund’s adjuvant incomplete. Sampel telur
Medan diambil setelah 2 minggu injeksi antigen S. Enteritidis yang terakhir.untuk
identifikasi, purifikasi dan penentuan kadar IgY anti diare kuning telur. Uji
spesifitas IgY secara kualitatif dilakukan dengan uji AGP (Agar gel Presipitation,
Ekstraksi IgY dari kuning telur dilakukan dengan Metode Poly Ethylene Glycol
(PEG)–Khloroform, Purifikasi immunoglobulin Y (IgY) dari kuning telur dilakukan
dengan Fast Performan Liquid Chromatography (FPLC),Penentuan kadar IgY
kuning telur dengan metode Bradford. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
330 produksi IgY spesifik anti diare pada kuning telur dapat dioptimalkan dengan
suplementasi piridoksin pada ayam petelur

KEYWORDS: piridoksin, IgY, Suplementasi.

* Corresponding Author: Jurusan Kimia FMIPA Unimed, Jl.Willem Iskandar Psr V Medan,Sumut 20221; Email:
pasar.silitonga@gmail.com

PENDAHULUAN
Pencegahan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme
patogen seperti virus dan bakteri, sangat perlu dilakukan. Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara menyuntikkan antigen tertentu ke dalam tubuh sehingga tubuh akan
membentuk antibodi spesifik (imunisasi aktip) dan dapat juga dilakukan dengan cara
mengkonsumsi bahan makanan yang telah mengandung antibodi spesifik terhadap
antigen tertentu sehingga tubuh akan kebal terhadap serangan antigen tersebut
(imunisasi pasif).

Ayam telah dikenal sebagai pabrik biologis penghasil antibodi yaitu


immunoglobulin Y (IgY) dalam kuning telur (Wibawan, 2008 ; Soejoedono, 2005 ;
Suartha, 2006). Apabila ayam diimunisasi dengan antigen tertentu, maka biosintesis

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Pasar Maulim Silitonga, Melva Silitonga, dan Meida Nugrahalia

antibodi akan berlangsung dalam sistem imun dan selanjutnya ditransfer ke embrio
melalui telur sehingga antibodi dapat ditemukan dalam telur ayam. Selanjutnya, jika
kuning telur tersebut dikonsumsi, maka konsumen akan memperoleh imunisasi pasif
sehingga kebal terhadap antigen spesifik tersebut. Berbagai penelitian telah
memproduksi antibodi dengan memanfaatkan ayam sebagai pabrik biologis dan telah
diaplikasikan untuk pengobatan dan pencegahan penyakit seperti Marek (Kermani,
2001), flu burung (Wibawan ,2009), dan tetanus (Selim, 2015). Namun demikian,
permasalahan hingga saat ini adalah jumlah produk IgY yang diperoleh dari setiap
butir telur masih rendah sehingga belum menguntungkan dari segi komersil. Ayam
yang diimunisasi empat kali dengan 25-100 µg antigen hanya mampu menghasilkan
40-100 mg IgY per butir telur (Carlander,2002).

Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi antibodi dalam kuning telur
adalah dengan cara suplementasi piridoksin pada ayam petelur. Piridoksin atau vitamin
B6, merupakan vitamin yang sangat penting dalam proses metabolisme. Piridoksal
posfat (PLP) sebagai bentuk aktif dari vitamin B6 merupakan koenzim yang berperan
mengkatalisis berbagai reaksi metabolisme asam amino dan protein dan terlibat juga
dalam aspek pembentukan sistem pertahanan tubuh. Upaya meningkatkan produksi
IgY kuning telur spesifik anti tetanus dengan suplementasi piridoksin telah dilaporkan.
Suplementasi piridoksin dosis 3,0 mg/kg ransum pada ayam petelur memberikan IgY 331
anti tetanus sebesar 106,1 mg/ butir telur atau meningkat sekitar enam persen
(Silitonga,2013). Walaupun produksi IgY anti tetanus telah meningkat dengan
suplementasi piridoksin, tetapi masalahnya apakah peningkatan tersebut berlaku
umum untuk bakteri patogen atau antigen lainnya ?. Apakah suplementasi piridoksin
dapat diimplementasikan untuk optimalisasi produksi IgY anti diare dan penyakit
lainnya?. Hal ini merupakan tantangan yang sangat menarik untuk diverifikasi.

Diare merupakan salah satu jenis penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh
invasi bakteri S. Enteritidis atau S. Typhimurium yang sering terjadi di Indonesia
dengan kejadian penyakit 400 per 1000 penduduk (Nurhalimah,2015). Secara
biokimiawi, penyakit ini mengakibatkan menurunnya kadar albumin serum hingga
dibawah normal (hipoalbuminnemia) dan kadar kalium darah berada dibawah normal
(hipokalemia) (Gerindra,1989). Mengingat bahwa penyakit diare sangat berbahaya
bagi masyarakat, sementara fakta telah menunjukkan bahwa suplementasi piridoksin
dapat meningkatkan produksi IgY, maka penelitian untuk memproduksi IgY kuning
telur spesifik anti diare seoptimal mungkin dengan suplementasi piridoksin sangat
perlu dilakukan.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Pasar Maulim Silitonga, Melva Silitonga, dan Meida Nugrahalia

METODE PELAKSANAAN
Dalam penelitian ini digunakan 12 ekor ayam betina dewasa (jenis Isa brown)
siap bertelur dan bakteri S,Enteridis sebagai antigen serta bahan-bahan kimia yang
dibutuhkan untuk analisis. Preparasi Antigen S.Enteridis dilakukan sebagai berikut :
Bakteri S. Enteritidis rujukan ATCC 130706 dan lokal 821/94 ditumbuhkan pada
media BHI dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 18 jam. Suspensi disentrifugasi
pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensikan dua kali, dengan 5
ml NaCl fisiologis lalu disentrifugasi seperti sebelumnya. Pelet dilarutkan dalam 5 ml
NaCl fisiologis, dihomogenkan dan diukur konsentrasi selnya pada λ 620 nm untuk
menentukan kandungan bakteri 109 sel/ml. Suspensi diinaktifkan dalam penangas air
pada suhu 56 0C selama 60 menit, didinginkan dan siap digunakan sebagai vaksin
untuk produksi antibodi (Efrizal, 2007)

Untuk produksi IgY anti diare dalam kuning telur dengan perlakuan
suplementasi piridoksin , digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga
perlakuan dan masing-masing perlakuan diberi empat ulangan. Ayam percobaan
dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok yang diberi perlakuan piridoksin dengan tingkat
yang bervariasi yaitu kelompok Defisiensi piridoksin (S1) , Normal (S2) dan
332 Suplementasi (S3). Pemeliharaan dilakukan dalam kandang baterai selama 10 minggu.
Selama percobaan semua ayam diberi air minum secara ad libitum dan ransum
komersil yang telah mengandung piridoksin dengan dosis normal. Setelah 12 hari
adaptasi, ayam diberi perlakuan piridoksin dengan tingkatan yang bervariasi via air
minum. Proses imunisasi ayam dengan S.Enteridis dilakukan sesuai prosedur (Efrizal
2007).Satu minggu setelah pemberian perlakuan, semua ayam diinjeksi dengan 0.5 ml
(109sel/ml) suspensi S. Enteritidis secara intravena selama tiga hari berturut-turut.
Immunisasi ulang dilakukan pada minggu kedua dengan S. Enteritidis sebanyak 1,0 ml
(109sel/ml) yang diemulsikan dalam Freund’s adjuvant complete. Pada minggu ketiga
dan keempat, suntikan ulang dilakukan dengan antigen S. Enteritidis sebanyak 1,0 ml
(109sel/ml) yang diemulsikan dalam Freund’s adjuvant incomplete. Sampel telur
diambil setelah 2 minggu injeksi antigen S. Enteritidis yang terakhir dan disimpan
pada suhu 4 0C dan akan digunakan .untuk identifikasi, purifikasi dan penentuan
kadar IgY anti diare kuning telur.

Identifikasi, purifikasi dan penentuan kadar IgY spesifik anti diare dalam
kuning telur dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut: Uji spesifitas IgY
secara kualitatif dilakukan dengan uji AGP (Agar gel Presipitation) (Darmawi, 2010).
Purifikasi immunoglobulin Y (IgY) dari kuning telur dilakukan dengan Fast
Performan Liquid Chromatography (FPLC) ( Soejoedono, 2005), Penentuan kadar

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Pasar Maulim Silitonga, Melva Silitonga, dan Meida Nugrahalia

IgY kuning telur dengan metode Bradford (Pariati, 2006). Data kadar IgY masing-
masing perlakuan ditabulasi, lalu dianalisis secara statistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Antibodi spesifik terhadap diare pada telur dideteksi dengan menggunakan uji
agar gel presipitasi (AGP). Keberadaan antibodi spesifik terhadap diare ditandai
dengan terbentuknya garis presipitasi pada agar gel. Dari hasil pengujian diperoleh
bahwa antibodi terdeteksi pada semua sampel telur (Tabel 1). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa biosintesis / produksi IgY spesifik anti diare pada kuning telur
ayam percobaan dalam penelitian ini telah berhasil.
Tabel 1. Hasil Uji AGP IgY Kuning Telur Ayam yang Diberi Piridoksin Dengan
Tingkatan yang Berbeda
Tingkatan Piridoksin
Ulangan
S1 / Defisiensi S2/ Normal S3/ Suplementasi
1 + + +
2 + + +
3 + + +
333
4 + + +
Ket : (+) terjadi garis presipitasi pada uji AGP

IgY anti diare dikoleksi dari kuning telur menunjukkan reaksi positif pada uji
AGP kemudian diekstraksi, purifikasi dan dianalisis untuk menentukan kadar IgY
setiap sampel telur Rataan kadar IgY anti diare pada kuning telur untuk setiap
perlakuan suplementasi piridoksin disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Kadar IgY Anti Diare Kuning Telur Ayam yang Diberi
Piridoksin Dengan Tingkatan yang Berbeda
Tingkatan Piridoksin
Peubah S1 / S2/ S3/
Defisiensi Normal Suplementasi
a b c
Kadar IgY (gr/100 ml) 1,865 ±0,013 2.046 ±0,043 2,134 ± 0,044
Kandungan IgY Telur*) 93,25 mg/butir 102,3 mg/butir 106,7mg/butir

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama,menunjukkan perbedaan yang
nyata (P˂ 0,01). *) 1 butir telur = 5 mL

Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa Ho ditolak yang berarti ada pengaruh
tingkat piridoksin terhadap produksi IgY spesifik anti diare dalam kuning telur ayam
(P < 0.01). Selanjutnya dengan uji BNT diperoleh kesimpulan bahwa Jumlah produksi

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Pasar Maulim Silitonga, Melva Silitonga, dan Meida Nugrahalia

IgY anti diare pada kuning telur ayam yang diberi suplementasi piridoksin dengan
dosis 3,0 mg/kg ransum secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi
IgY kelompok defisiensi dan kelompok normal (yang tidak diberi suplementasi
piridoksin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi piridoksin dengan
dosis 3,0 mg/kg ransum pada ayam petelur memberikan produksi IgY anti diare dalam
kuning telur yang paling tinggi yaitu 2,134 ± 0,044 gr/100mL atau setara dengan
106,7 mg/ butir telur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi
peningkatan produksi IgY yang diperoleh dalam studi ini dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa tiap butir telur ayam
White Leghorn yang diimunisasi empat kali dengan 20-50 µg antigen secara subcutan
mengandung 90-100 mg IgY (Haak-Frendscho., 1994) . Ayam yang diimunisasi
empat kali dengan 25-100 µg antigen Pseudomonas aerugenosa hanya mampu
menghasilkan 40-100 mg IgY per butir telur (Carlander, 2002). Namun, hasil
penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang mengaplikasikan toksoid tetanus
sebagai antigen,dimana suplementasi piridoksin dengan dosis 3,0 mg/kg ransum pada
ayam petelur memberikan produksi IgY antitetanus dalam kuning telur sebesar 2,122
± 0,05 gr/100mL atau setara dengan 106,1 mg/ butir telur (Silitonga, 2013). Dengan
adanya temuan ini terbukti bahwa suplementasi piridoksin pada ayam petelur
334 berpotensi meningkatkan dan mengoptimalisasi produksi IgY spesifik pada kuning
telur.

SIMPULAN
Suplementasi piridoksin pada ayam petelur merupakan metode praktis,murah
dan efektip untuk mengoptimalisasi produksi IgY anti diare dalam kuning telur.
Suplementasi piridoksin dosis 3,0 mg/kg ransum memberikan produksi IgY kuning
telur 2,134 ± 0,044 gr/100mL atau setara dengan 106,7 mg/ butir telur, dimana
produk tersebut secara signifikan yang tidak diberi suplementasi piridoksin.
Kandungan IgY yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan
kandungan IgY yang ditemukan pada penelitian sebelumnya. Suplementasi piridoksin
berpotensi sebagai salah satu untuk meningkatkan produksi IgY dalam kuning telur
ayam. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menguji kemanjuran IgY yang
diproduksi dalam penelitian ini sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan
pangan dan obat lokal yang berfungsi meningkatkan imunitas terhadap serangan
berbagai jenis virus atau mikroorganisme patogen.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Pasar Maulim Silitonga, Melva Silitonga, dan Meida Nugrahalia

REFERENSI
Carlander, D. 2002. Avian IgY antibody, invitro and invivo. Dissertation. Acta

Darmawi., U.Balqis., R.Tiurisa., M.Hambal., dan Samadi. 2010. Purifikasi


Immunoglobulin Yolk Pada Ayam yang Divaksin Terhadap Ekskretori/Sekretori
Stadium L3 Ascaridia galli. Agripet 10 (2): 9-15

Efrizal. 2007. Peran Immunoglobulin Y (IgY) sebagai Anti Adhesi dan Opsonin
untuk Pencegahan Serangan Salmonella Enteritidis. Tesis: Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor

Girindra, A. 1989. Petunjuk Praktikum Biokimia Patologi PAU -Hayati. IPB Bogor.

Haak-Frendscho., 1994. Why IgY? Chicken Polyclonal Antibody,an Appealing


Alternative, Promega Notes Magazine (46): 11

Kermani, AV., T. Moll., BR. Cho., WC. Davis and YS. Lu. 2001. Effects of IgY
antibodi on the development of marek’s disease. Avian Dis. 20: 32-41

Nurhalimah,H., N.Wijayanti dan T.D.Widyaningsih. 2015. Efek Antidiare Ekstrak


Daun Beluntas (Pluchea indica L) Terhadap Mencit Jantan yang diinduksi
335
Bakteri Salmonella thypimurium. Jurnal Pangan dan Agrobisnis. 3 (3) : 1083-
1094

Paryati, SPY., IWT. Wibawan., RD.Soejoedono dan FH.Pasaribu. 2006.


Immunoglobulin ayam sebagai antibodi anti-idiotipe terhadap rabies. J.Vet. 7
(3): 92-103

Selim,A.M., E.M.Ibrahim, A.H.El Meshad and FK.Hamouda. 2015. Development of


IgY Antibodies for Control of Tetanus. Biotechnology in Animal Husbandry. 31
(1): 109-122

Silitonga, P.M dan M.Silitonga. 2013. Upaya Meningkatkan Produksi


Immunoglobulin Y (IgY) Kuning Telur dengan Suplementasi Piridoksin.
Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung hal. 325-328.

Soejoedono, RD., Z.hayati dan IWT.Wibawan. 2005. Pemanfaatan Telur Ayam


Sebagai Pabrik Biologis: Produksi Yolk Immunoglobulin (IgY) anti plaque dan
diare dengan Titik Berat pada Anti Streptococcus mutan, Escherichia coli dan
Salmonella Enteridis. Laporan RUT XII Kerjasama Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat IPB dengan Kementerian Riset dan Tehnologi RI

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Pasar Maulim Silitonga, Melva Silitonga, dan Meida Nugrahalia

Suartha, IN., IWT. Wibawan., dan IBP. Darmono. 2006. Produksi imunoglobulin Y
spesifik antitetanus pada ayam. J. Vet. 7 (1) : 21-28
Universitatis Upsaliensis. Upsala

Wibawan, IWT. 2008. Pemanfaatan Telur Ayam Sebagai Pabrik Biologis. Majalah
Ilmiah Veternakan. 11 (1); 36-40

Wibawan, IWT., S.Murtini., RD.Soejoedono dan IGNK.Mahardika 2009. Produksi


IgY Antivirus Avian Influenza H5N1 dan Prospek Pemanfaatannya dalam
Pengebalan Pasif. J. Vet. 10 (3): 118-124

336

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso
PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9
ISSBN:XXXX-XXXX

KINETIKA ADSORPSI KRISTAL VIOLET DAN METILEN BIRU PADA


HIBRIDA ALGA Spirulina sp.-SILIKA

Buhani * ABSTRACT: In this study, it was studied the crystal violet (CV) and methylene
Universitas Lampung blue (MB) adsorption kinetics in solution in algal-silica hybrids derived from
biomass of Spirulina sp. algae with silica as a matrix (HASS). Hybridization of
Spirulina sp. algae biomass with silica was carried out through a sol-gel process
Ismi Aditya using tetraethyl orthosilicate (TEOS) precursors. The HASS adsorbent was
Universitas Lampung characterized using an Infrared (IR) Spectrophotometer and Scanning Electron
Microscopy-Energy-Dispersive-X ray (SEM-EDX). The study of CV and MB dye
Suharso adsorption on HASS adsorbents was studied through an adsorption experiment
Universitas Lampung using the batch method. Optimal adsorption of CV and MB dyes at pH of 10 and
contact time of 60 minutes. The CV and MB dye kinetics models on the HASS
adsorbent tend to follow the second-order-pseudo kinetic model with a rate
constant (k2) of 0.204 and 0.302 (g mg-1 min-1)

KEYWORDS: Algae-silica hybrid, Spirulina sp. algae, methylene blue, crystal


violet, adsorption.

* Corresponding Author: Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung, Jl. Soemantri
Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, Indonesia; Email: buhani_s@yahoo.co.id

PENDAHULUAN 337
Metilen biru (MB) dan kristal violet (CV) merupakan zat pewarna yang secara
luas digunakan sebagai agen pewarna dalam berbagai bidang industri seperti industri
tekstil, kertas, kulit, dan farmasi. Kristal violet (C25N3H30Cl) banyak digunakan
sebagai agen dermatologis dalam berbagai proses tekstil komersial (Senthilkumaar et
al., 2006) sedangkan Metilen biru (C16H18N3SCl) adalah senyawa hidrokarbon
aromatik dan merupakan zat warna kationik dengan daya adsorpsi yang sangat kuat.
Ke dua zat pewarna tersebut merupakan dua jenis pewarna kationik yang stabil
terhadap cahaya dan panas dan sulit terurai karena struktur kompleks (Garg et al.,
2004 dan Ahmad et al., 2009). Disamping banyaknya manfaat dan kegunaannya zat
pewarna CV dan MB ternyata senyawa ini yang bersifat mutagen dan beracun (Kittapa
et al., 2015; Dardouri and Sghaier, 2017). Oleh karena itu perlu dilakukan
pengurangan zat warna ini pada limbah industri terutama pada pengolahan limbah
sebelum terjadi penyebaran ke lingkungan.

Proses adsorpsi merupakan salah satu satu cara yang tepat untuk mengolah
limbah yang mengandung zat pewarna sebelum dibuang ke lingkungan, karena metoda
adsorpsi bersifat sederhana, relatif murah, dan tidak menimbulkan produk samping
yang berbahaya bagi lingkungan (Shu et al., 2018 dan Buhani et al., 2017).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

Keberhasilan proses adsorpsi sangat ditentukan oleh kesesuaian sifat dan jenis
adsorben yang digunakan. Adsorben yang efektif untuk adsorpsi adalah adsorben yang
memiliki laju dan kapasitas adsorpsi yang besar, stabil secara kimia, dapat digunakan
secara berulang serta bersifat ramah lingkungan ( Guler et al., 2016).

Biomassa alga secara alami merupakan adsorben yang sangat efektif untuk
menyerap polutan senyawa organik yang berasal dari zat pewarna (Angelova et al.,
2016: Daneshva et al., 2017). Akan tetapi, kemampuan alga dalam mengikat senyawa
kimia tersebut sangat dibatasi oleh beberapa kendala seperti ukurannya kecil, berat
jenis yang rendah dan mudah rusak karena degradasi oleh mikroorganisme lain (Harris
dan Ramelow, 1990; Veglio et al., 1998). Selain itu juga alga tidak dapat digunakan
secara langsung dalam kolom adsorpsi, karena sangat lunak dan tidak berbentuk
granular (Buhani et al., 2011). Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka berbagai
upaya dilakukan antara lain dengan mengimmobilisasi biomassa alga menggunakan
berbagai polimer pendukung seperti silika (Buhani et al., 2017).

Pada penelitian telah dilakukan hibridisasi biomassa alga Spirulina sp. dengan
matriks silika yang berasal dari prekursor tetraetil orthosilikat (TEOS) menghasilkan
adsorben HASS serta kajian kinetika adsorpsinya dalam menyerap zat pewarna CV
338 dan MB dalam larutan.

METODE PELAKSANAAN

Bahan
Biomass Spirulina sp. yang digunakan sebagai bahan adsorben pada penelitian
ini diperoleh dari Balai Besar Budidaya Laut Lampung (BBPBL), Indonesia. Tetraetil
ortosilikat, etanol, NH3, HCl, NaOH, kristal violet, metilen biru, dan CH3COONa .

Pembuatan adsorben HASS


Biomassa alga Spirulina sp. diperoleh dari BBPBL dikeringkan hingga berat
konstan dalam oven dengan temperatur 40○C, kemudian dihaluskan dengan menggerus
hingga ukuran 100-200 mesh.
Pembuatan adsorben HASS dilakukan sesuai prosedur sintesis hibrida alga-silka
(Buhani et al., 2017) yaitu mereaksikan sebanyak 5 mL TEOS 2,5 mL akuades dalam
tabung/botol plastik, lalu diaduk dengan pengaduk magnet selama 30 menit dan
ditambahkan HCl 1 M hingga pH 2 . Di wadah tabung plastik lain, sebanyak 0,4 gram
biomassa alga Spirulina sp. dicampurkan dengan 5 mL etanol lalu diaduk dengan
pengaduk magnet selama 30 menit. Kemudian ke dua larutan tersebut dicampurkan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

dan diaduk menggunakan pengaduk magnet sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk
disaring dengan kertas saring, lalu didiamkan selama 24 jam. Gel kemudian dicuci
dengan akuades dan etanol (60:40) sampai pH netral. Gel dikeringkan dengan
menggunakan oven dan selanjutnya digerus hingga ukuran 100-200 mesh. Adsorben
HASS dikarakterisasi spektrometer IR untuk mengidentifikasi gugus fungsinya (IR
Prestige-21 Shimadzu) serta analisis morfologi permukaan dan konstituen unsur
dengan SEM-EDX (Zeiss MA10).

Eksperimen adsorpsi

Serangkaian percobaan adsorpsi zat pewarna CV dan MB dalam larutan


menggunakan adsorben HASS dilakukan dengan metoda bacth. Penentuan model
kinetika adsorpsi dipelajari dengan waktu kontak 0-90 menit pada pH 8, konsentrasi
zat pewarna 100 mg/L, dan temperatur 27oC. Data yang diperoleh dianalis untuk
menentukan model kinetika zat pewarna CV dan MB. Kadar zat pewarna CV dan MB
diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-vis, masing-masing pada panjang
gelombang λmax =591 dan 664 nm.
Jumlah molekul zat pewarna CV dan MB yang teradsorpsi perunit massa
adsorben ditentukan menggunakan persamaan (Persamaan 1)
339
(1)

Dimana Co dan Ce (mg L-1) adalah konsentrasi zat pewarna CV atau MB sebelum
dan setelah proses adsorpsi, w adalah jumlah adsoben (g), dan v adalah volume
larutan (L), q adalah jumlah CV atau MB teradsorpsi perunit massa (mg g-1).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karaterisasi adsorben
Karakterisasi adsorben HASS dilakukan dengan mengunakan spektrofotometer
IR dan SEM-EDX yang bertujuan mengetahui keberhasilan pembuatan material HASS
dari biomassa alga Spirulina sp. dengan matriks silika yang berasal dari TEOS sebagi
prekursor.

Dari spektra IR adsorben HASS yang ditampilkan pada Gambar 1 dapat dilihat
serapan sepesifik pada silika (SG) yaitu pita serapan pada 462,85 cm-1 menunjukkan
vibrasi tekuk dari gugus siliksan (Si-O-Si). Vibrasi ulur simetris dari Si-O pada
siloksan ditunjukkan serapan pada bilangan gelombang di sekitar 786,74 cm-1. Pita

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

serapan yang kuat pada bilangan gelombang 1072,42 cm-1 menunjukkan vibrasi ulur
asimetris Si-O dari siloksan (Si-O-Si). Pada bilangan gelombang 3749,62 cm-1 muncul
puncak serapan yang menyatakan vibrasi ulur –OH dari silanol (Si-OH). Pada
bilangan gelombang 1635,64 cm-1 muncul serapan yang merupakan vibrasi tekuk –OH
dari molekul air yang terikat (Buhani et al., 2013).

Pada spektrum biomassa alga Spirulina sp. memperlihatkan adanya serapan


pada bilangan gelombang 3387 cm-1 yang mengindikasikan gugus (-OH) bertumpang
tindih dengan (N-H). Serapan tersebut menunjukkan keberadaan gugus (-OH) berasal
dari polisakarida atau gugus (N-H) dari protein yang terkandung dalam biomassa alga
Spirulina sp. Pada daerah bilangan gelombang 2931,80 cm-1 menunjukkan adanya
vibrasi ulur C-H dari (-CH2) alifatik. Gugus karbonil (C=O) terdeteksi muncul pada
daerah bilangan gelombang 1658,78 cm-1 dan pada bilangan gelombang 1026.13 cm-1
menunjukkan adanya gugus –C-O dari struktur selulosa yang merupakan karakteristik
serapan dari biomassa alga Spirulina sp.

340

Gambar 1. Spektra IR a) SG, b) biomassa Spirulina sp., dan c) adsorben HASS.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

Adsorben HASS memberikan serapan IR yang berarti, yaitu munculnya pita


serapan khas SiO2 pada bilangan gelombang 1087,85 cm-1 yang merupakan vibrasi
ulur asimetris Si-O pada ikatan siloksan sedangkan serapan pada bilangan gelombang
794,67 cm-1 merupakan vibrasi ulur simetris Si- O dari gugus siloksan. Serapan pada
daerah 450,00 cm-1 menunjukkan vibrasi tekuk Si-O-Si dan pada daerah 3400 cm-1
muncul puncak serapan yang menyatakan vibrasi olur –OH dari silanol (Si-OH).
Proses hibridasasi dengan biomassa alga Spirulina sp. terindikasi telah terjadi dengan
munculnya karakteristik pita serapan C-H dari (-CH2) alifatik pada daerah 2931,80 cm-
1
(Buhani et al., 2017). Hal ini diperkuat dengan hilangnya vibrasi ulur Si-O dari Si-
OH yang teramati pada daerah 964,41 cm-1 disebabkan oleh pengurangan gugus
silanol akibat kondensasi yang terjadi dengan biomassa alga Spirulina sp. (Buhani et
al., 2013; Machado et al., 2004, Yang et al., 2008).

cps/eV

14

12

10

8
C
341
O Si
6

0
0 2 4 6 8 10 12
keV

Gambar 2. SEM-EDX adsorben HASS


Pada Gambar 2. ditampilkan SEM dan spektrum EDX dari material hasil
hibrisasi biomassa Spirulina sp. dengan silika melalui proses sol-gel. Hasil analisis
morfologi permukaan dengan SEM menunjukkan morfologi permukaan adsorben
HASS yang berupa padatan amorph sedangkan pada spektrum EDX terdapat beberapa
unsur yang mendominasi komposisi material HASS, yaitu unsur Si, O, C, dan H, ini
menunjukkan bahwa pada material tersebut terlah terjadi hibridasi antara matriks silika
dengan biomassa Spirulina sp. (Buhani et al., 2012).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

Pengaruh pH

Pengaruh pH larutan baik zat pewarna CV dan MB telah dipelajari dengan


menginteraksikan larutan CV dan MB pada variasi pH 2-10 (Gambar 3). Pada Gambar
3 dapat diamati bahwa baik pada larutan CV maupun MB terjadi peningkatan
adsorpsi sesuai dengan peningkatan nilai pH dan adsorpsi optimum pada pH 8. Zat
pewarna CV dan MB merupakan zat pewarna yang berbentuk kation sedangkan
adsorben HASS yang berasal dari biomassa Spirulina sp. dengan matriks silika
mengandung beberapa gugus fungsi seperti amino, gugus amino, hydroksil, dan
carboksil yang berasal dari biomassa alga serta gugus silanol dan siloksan dari silika
yang bersifat negatif (Buhani et al., 2017). Oleh karena itu, pada pH rendah terjadi
kompetisi antara molekul CV atau MB dengan proton yang terdapat pada situs aktif
HASS. Akibat adsorpsi zat pewarna CV maupun MB pada adsorben HASS tidak
optimal (Jamwal et al., 2017). Makin meningkatnya pH larutan, jumlah zat pewarna
CV atau MB yang teradsorpsi makin meningkat. Hal ini terjadi karena meningkatkan
interaksi elektrostatik antara molekul CV atau MB yang bersifat kation dengan situs
aktif permukaan HASS yang cenderung bermuatan negatif (Zhang et. al. 2016).
Peningkatan pH larutan CV atau MB menyebabkan mulai terjadi penurunan adsorpsi,
ini terjadi karena terbentuk spesies hidroksida yang cenderung mengendap baik pada
342
adsorbat maupun adsorben HASS (Gupta dan Rastogi, 2008; Buhani et al., 2018).

40

35

30
q (mg g-1)

25

20 CV MB

15
0 2 4 6 8 10 12
pH

Gambar 3. Pengaruh pH larutan terhadap adsorpsi zat pewarna CV dan MB oleh


adsorben HASS (dosis adsorben= 50 mg, volume adsorbat = 20 mL, waktu=60 min,
dan temperatur 27○C)

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

Kinetika Adsorpsi
Pengaruh waktu interaksi zat pewarna CV dan MB terhadap adsorben HASS
dipelajari dengan mengintraksikan larutan CV atau MB terhadap adsorben HASS
dengan waktu kontak yang bervariasi antara 0-90 menit (Gambar 4). Dari Gambar 4
dapat diamati bahwa adsorpsi zat pewarna MB dan CV berlangsung relatif cepat.
Pada 15 menit pertama dan ke dua adsorpsi meningkat sangat tajam, setelah 15 menit
ke tiga ada sedikit peningkatan zat pewarna yang teradsorpsi dan mencapai konstan
pada waktu interaksi 60-90 menit. Pada tahap ini proses adsorpsi diperkirakan telah
mencapai kesetimbangan dan penambahan waktu kontak ternyata tidak memberikan
kenaikan terhadap jumlah zat pewarna yang teradsorpsi.

50

40

30
q (mg g-1)

343
20

CV MB
10

0
0 15 30 45 60 75 90 105
Waktu (menit)

Gambar 4. Pengaruh waktu kontak terhadap jumlah zat pewarna CV dan MB


teradsorpsi (q) pada HASS (dosis adsorben= 50 mg, volume adsorbat = 20 mL,
pH=8, dan temperatur 27○C)
Pengaruh waktu kontak larutan CV dan MB terhadap HASS yang terdapat pada
Gambar 4 dianalis lebih lanjut untuk mengetahui model kinetikanya dengan
menggunakan model kinetika pseudo orde satu (Persamaan 2) dan pseudo orde 2
(Persamaan 3) (Araghi et al., 2015; Buhani et al., 2015).

k1
log( qe  qt )  log qt t (2)
2.303

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

t 1 t
 2

qt k2 qe qe (3)

Hasil analisis dengan menggunakan dua model kinetika tersebut menunjukkan


bahwa model kinetika adsorpsi zat pewarna CV dan MB pada adsorben HASS
cenderung mengikuti model kinetika pseudo orde 2. Hal ini dapat diketahui dari nilai
koefisien regresi linier (R2) pada model tersebut lebih besar dari model kinetika
pseudo orde satu, yaitu masing-masing untuk zat pewarna CV dan MB sebesar dan
0,960 dan 0,977 ( Gambar 5 dan Tabel 1).

344

Gambar 5. a) Kinetika pseudo orde satu dan b) pseudo ored dua adsorpsi zat
pewarna MB dan CV pada adsorben HASS

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

Tabel 1. Kinetika pseudo orde satu dan pseudo ored dua adsorpsi zat pewarna MB
dan CV pada adsorben HASS
Pseudo orde satu Pseudo orde dua
-1 2 2
Adsorbat qe k1 (1 min ) R k2 R
-1 -1 -1
(mg g ) (g mg ·min )
MB 43,960 0,101 0,870 0,204 0,970

CV 42,570 0,086 0,974 0,302 0,960

SIMPULAN
Pembuatan HASS yang berasal hibridisasi biomassa alga Spirulina sp. dengan
matriks silika sebagai adsorbent zat pewarna kristal violet (CV) dan metilen biru
(MB) dalam larutan telah berhasil dilakukan. Model kinetika zat pewarna CV dan
MB pada adsorben HASS cenderung mengikuti mengikuti model kinetika pseudo
orde dua. Adsorben HASS merupakan adsorben yang efektif untuk menyerap zat
pewarna CV dan MB dalam larutan.

345
REFERENSI
Ahmad A., Rafatullah M., Sulaiman O., Ibrahim M.H., and Hashim R. 2009.
Scavenging behaviour of meranti sawdust in the removal of methylene blue from
aqueous solution, J. Hazard. Mater., 170, 357–365.

Angelova R., Baldikova E., Pospiskova K., Maderova Z., Safarikova M., and Safarik I.
2016. Magnetically modified Sargassum horneri biomass as an adsorbent for
organic dye removal, J. Clean. Prod., 137, 189-194.

Araghi S.H and Entezari M.H. 2015. Amino-functionalized silica magnetite


nanoparticles for the simultaneous removal of pollutants from aqueous solution,
Appl. Surf. Sci., 333, 68–77.

Buhani, Herasari D., Suharso, Yuwono S.D. 2017. Correlation of ionic imprinting
cavity sites on the amino-silica hybrid adsorbent with adsorption rate and
capacity of Cd2+ ion in solution, Orient. J. Chem., 33 (1), 418-429.

Buhani, Narsito, Nuryono, Kunarti E.S., and Suharso. 2015. Adsorption competition
of Cu(II) ion in ionic pair and multi-metal solution by ionic imprinted amino-
silica hybrid adsorbent, Desalin. Water Treat., 55, 1240-1252

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

Buhani, Rinawati, Suharso, Yuliasari D.P., Yuwono S.D. 2017. Removal of Ni(II),
Cu(II), and Zn(II) ions from aqueous solution using Tetraselmis sp. biomass
modified with silica-coated magnetite nanoparticle, Desalin. Water. Treat., 80,
203–213.

Buhani, Suharso, Fitriyani A.Y.2013. Comparative study of adsorption ability of


Ni(II) and Zn(II) ionic imprinted amino-silica hybrid toward target metal in
solution, Asian J. Chem., 25(5), 2875–2880.

Buhani, Suharso, Rilyanti M., Sumadi. 2018. Implementation of sequential desorpsion


in determining Cd (II) ion interaction with adsorbent of ionic imprinting amino-
silica hybrid, Rasayan J. Chem., 11(2), 865-870.

Buhani, Suharso, Satria H.2011. Hybridization of Nannochloropsis sp. biomass-silica


through sol-gel process to adsorb Cd(II) ion in aqueous solutions, Eur. J. Sci.
Res., 51(4), 467–476.

Buhani, Suharso, Sembiring Z.2012. Immobilization of Chetoceros sp microalgae with


silica gel through encapsulation technique as adsorbent of Pb metal from
solution, Orient. J. Chem., 28(1), 271-278.

346 Daneshvar E., Vazirzadeh A., Niazi A., Kousha M., Naushad M., and Bhatnagar
A.2017. Desorption of Methylene blue dye from brown macro alga: Effects of
operating parameters, isotherm study and kinetic modeling, J. Clean. Prod., 152,
443-453.

Dardouri S. and Sghaier J. 2017. A comparative study of adsorption and regeneration


with different agricultural wastes as adsorbents for the removal of methylene
blue from aqueous solution, Chinese J. Chem. Eng., 25(9), 1282-1287.

Garg, V.K., Kumar R., and Gupta R.. 2004. Removal of malachite green dye from
aqueous solution by adsorption using agro-industry waste: acase study of
Prosopis Cineraria, Dyes. Pigments. 62, 1–10.

Guler U.A.and Sarioglu M. 2014. Mono and binary componentbiosorption of Cu(II),


Ni(II), and Methylene Blue onto raw andpretreated S. cerevisiae: equilibrium
and kinetics. Des. WaterTreat., 52, 4871–4888.

Gupta V.K., Rastogi A.2008. Biosorption of lead from aqueous solution by green
algae Spirogyra species : Kinetics and equilibrium studies, J. Hazard. Mater.,
152, 407-414.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Buhani, Ismi Aditya, dan Suharso

Harris P.O. and Ramelow G.J. 1990. Binding of metal ions by particulate biomass
derived from Chorella vulgaris and Scenedesmus quadricauda, Environ. Sci.
Technol., 24, 220-228.

Jamwal H.S., Kumari S., Chauhan G.S., Reddy N.S., and Ahn J.H. 2017. Silica-
polymer hybrid materials as methylene blue adsorbents, J. Environ. Chem. Eng.,
5(1),103-113.

Kittappa S., Pichiah S., Kim J. R., Yoon Y., Snyder S. A., and Jang M.2015.
Magnetized nanocomposite mesoporous silica and its application for effective
removal of methylene blue from aqueous solution, Sep. Purif. Technol.,153, 67-
75.

Machado R.S.A., da Fonseca M.G., Arakaki L.N.H., Espinola J.G.P,Oliveira


S.F.2004. Silica Gel containing sulfur, nitrogen and oxygen as adsorbent centers
on surface for removing copper aqueous/ ethanolic solution, Talanta., 63,317-
322.

Senthilkumaar, S., Kalaamani, P., and Subburaam C.V. 2006. Liquid phase adsorption
of crystal violet onto activated carbons derived from male flowers of coconut
tree, J. Hazard. Mater., B136, 800–808.
347
Shu J., Liu R., Wu H., Liu Z., Sun X., and Tao C. 2018. Adsorption of methylene
blue on modified electrolytic manganese residue: Kinetics, isotherm,
thermodynamics and mechanism analysis, J. Taiwan Inst. Chem. E., 82, 351–
359.

Veglio F., Beolchini F., Toro L. 1998. Kinetic Modelling of Copper Biosorption by
Immobilized Biomass, Ind. Eng. Chem. Res., 37,1107-1111.

Yang H., Xu R., Xue X., Li F., and Li G.2008. Hybrid surfactant templated
mesoporous silica formed in ethanol and its application for heavy metal
removal, J. Hazard. Mater., 152, 690-698.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi
PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9
ISSBN:XXXX-XXXX

SINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOSILIKA DARI


TETRAETHYLORTHOSILICATE (TEOS) DENGAN PENAMBAHAN
POLIETILEN GLIKOL (PEG) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

Dwi Rasy Mujiyanti * ABSTRACT: Study on the synthesis and characterization nanosilica of
Universitas Lambung tetraethylorthosilicate (TEOS) with the addition of polyethylene glycol (PEG) using
Mangkurat sol-gel method has been done. Addition of PEG is used as a capping agent that
aims to avoid the occurrence of agglomeration. Sol solution was added with PEG-
6000 solution with concentration of 10% and 15% (w / v). The mixed solution was
Ria Shafitri ARH evaporation with a temperature of 700C for 48 hours. The obtained crystals were
Universitas Lambung crushed and calcination at 6000C for 2 hours. The resulting product was
Mangkurat characterized to determine the effect of PEG-6000 (10%, and 15% (w / v))
variation on the mean particle size, morphology and distrbusi of the resulting
Ahmad Budi Junaidi nanosilica particles. The results that the typical absorption peak of SiO2 in all
Universitas Lambung samples was the siloxane group (Si-O-Si) which was the typical peak of TEOS.
The resulting morphology is amorph. The average particle size was 55.55 nm for
Mangkurat Ns control, Ns-PEG 10% (43.72 nm), and Ns-PEG 15% (52.40 nm) and. The best
average size distribution was Ns-PEG 10% with PdI value of 0, 73 which showed
good uniformity and particle size 3,4 d.nm.

KEYWORDS: nanosilica, sol-gel, tetraethylorthosilicate (TEOS), polyethylene


glycol (PEG).

* Corresponding Author: 1Program Studi S-1 Kimia FMIPA Universitas Lambung Mangkurat; Jl. A. Yani Km. 35,8 Banjarbaru
348 70714 Kalimantan Selatan; Email: drmujiyanti@ulm.ac.id

PENDAHULUAN
Silika (SiO2) memegang peranan cukup penting bagi beberapa industri, baik
sebagai bahan baku utama maupun sebagai bahan tambahan, misalnya dalam industri
semen dan bangunan (beton), kaca lembaran, botol dan pecah-belah, email (enamel),
cat, keramik, elektronik, industri ban, industri kosmetik (Wahyudi et al, 2011), industri
farmasi, dan aplikasi khusus pada bidang kimia (Nuryono & Narsito, 2005).
Perkembangan teknologi mengakibatkan aplikasi penggunaan silika semakin
meningkat terutama dalam penggunaan silika pada ukuran partikel yang kecil sampai
skala mikron atau bahkan nano.

Salah satu metode yang banyak digunakan dalam mempreparasi material oksida
logam berukuran nano adalah metode sol-gel. Metode ini banyak digunakan untuk
pembuatan silika gel karena prosesnya yang cukup sederhana dan memiliki beberapa
keunggulan, seperti sintesis yang dapat dilakukan pada suhu rendah, menghasilkan
kemurnian tinggi dan juga kinetika reaksi proses dapat dikontrol dengan
memvariasikan komposisi dari campuran reaksi (Singh et al, 2011).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi

Beberapa parameter yang perlu diperhatikan pada sintesis nanosilika dengan


metode sol-gel yaitu pengaruh konsentrasi prekursor, konsentrasi katalis, jenis pelarut
yang digunakan, dan lama waktu pematangan (aging) (Fernandez, 2015). Prekursor
silika bisa digunakan dari bahan alam maupun sintetik seperti sekam padi, pasir
kuarsa, limbah tebu (Abu Bagasse), lumpur, tongkol jagung, tetramethylorthosilicate
(TMOS), tetraethylorthosilicate (TEOS), orthosilicic acid, sodium metasilicate.

Beberapa peneliti telah mensintesis nanopartikel silika menggunakan metode


sol-gel. Konsentrasi dari prekursor (TEOS) dan katalis (amonia, NH3) berperan
penting terhadap pembentukan material dalam skala nano. Ardiansyah (2012)
melaporkan bahwa perbandingan molar rasio NH3/TEOS dapat meningkatkan ukuran
nanosilika, dengan molar rasio NH3/TEOS 0.03; 0,20 dan 0,40 menghasilkan ukuran
13,36; 15,01 dan 50 nm.

Sintesis TEOS dengan katalis NH3 (dengan berbagai variasi) yang telah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya menyatakan bahwa masih dihasilkan ukuran
nanosilika yang belum seragam, sehingga pada penelitian ini ditambahkan suatu zat
yang dapat mengontrol ukuran partikel dalam proses sol-gel. Perdana et al (2011),
melaporkan bahwa salah satu zat yang dapat dipakai untuk membentuk sekaligus
mengontrol ukuran dan struktur pori dari partikel adalah polietilen glikol (PEG). PEG 349
dapat berfungsi sebagai template, yang membungkus partikel sehingga tidak terbentuk
agregat lebih lanjut, karena PEG dapat menempel pada permukaan partikel dan
menutupi ion positif yang bersangkutan untuk bergabung dan membesar. Sehingga
penggunaan PEG digunakan untuk memperoleh partikel dengan bentuk bulatan yang
seragam.
Berdasarkan uraian ini, pada penelitian ini telah dilakukan sintesis dan
karakterisasi nanosilika dari tetraethylorthosilicate (TEOS) dengan penambahan
polietilen glikol (PEG) menggunakan metode sol-gel yang bertujuan untuk
memperoleh data ilmiah berupa pengaruh variasi konsentrasi PEG-6000 (10%, dan
15% (b/v)) terhadap ukuran rata-rata partikel, morfologi dan distrbusi partikel
nanosilika yang dihasilkan.

METODE PELAKSANAAN
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah peralatan gelas standar
laboratorium seperti erlenmeyer, gelas piala, pipet tetes, pipet ukur, gelas arloji,

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi

statif, termometer, hot plate stirrer, pengaduk magnetic, krus porselen, furnace,
timbangan analitik, desikator dan oven. Karakterisasi produk dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FT-IR) (Bruker Alpha
P Spectrometer), Particle Size Analyzer (PSA) tipe Zetasizer Ver. 7.01 (Malvern
Instrument Ltd., Grovewood, Worcestershire, UK) dan Scanning Electron
Microscopy (SEM) (JCM-6000).

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tetraethylorthosilicate


(TEOS) 98% (Merck), amonia (Merck), etanol 90% (Merck), polietilen glikol 6000
(PEG-6000) (Merck), dan akuades.

Sintesis nanopartikel silika dengan metode sol-gel


Larutan TEOS 98% sebanyak 29 mL, air 10 mL dan etanol sebanyak 61 mL
dicampur dalam erlenmeyer. Campuran tersebut diaduk menggunakan stirrer dengan
pemanasan dijaga konstan pada temperatur 50oC selama 5 jam. Penambahan amonia
dilakukan secara berkala tetes demi tetes sampai habis dalam waktu 5 jam. Cairan
diuapkan pada oven dengan temperatur 70oC selama 24 jam. Setelah itu didinginkan
dalam desikator sebelum dikalsinasi pada furnace. Serbuk yang telah terbentuk digerus
terlebih dahulu sampai halus, kemudian dikalsinasi dalam furnace pada temperatur
350 600oC selama 2 jam sehingga dihasilkan serbuk putih yang halus (Ardiansyah, 2015).
Serbuk yang telah terbentuk disimpan di dalam desikator sebelum dikarakterisasi
dengan FTIR, SEM dan PSA.

Pembuatan larutan PEG 10% dan 15% (b/v)


Sebanyak 10,00 gram PEG ditambahkan ke dalam 100 mL akuades. kemudian
dipanaskan pada suhu 80oC sambil diaduk sampai homogen ±15 menit (Perdana et al,
2011). Larutan PEG 10% tersebut didinginkan terlebih dahulu sebelum digunakan.
Cara yang sama untuk pembuatan PEG 15%.

Sintesis Nanosilika dengan Penambahan PEG


Sintesis nanopartikel silika dengan penambahan PEG pada dasarnya sama
dengan sintesis nanosilika sebelumnya, hanya saja pada sintesis ini ditambahkan PEG
pada saat larutan telah membentuk sol dengan perbandingan antara PEG dengan sol
silika adalah 80:20 dalam 100 mL, campuran diaduk kembali menggunakan stirrer.
Larutan kemudian diuapkan dalam oven dengan temperatur 70o C selama 24 jam.
Kristal yang didapat didinginkan dalam desikator dan digerus sampai halus sebelum
dikalsinasi pada temperatur 600o C selama 2 jam. Serbuk yang telah terbentuk
disimpan di dalam desikator sebelum dikarakterisasi dengan FTIR, SEM dan PSA.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dari sintesis silika dengan metode sol-gel dikarakterisasi menggunakan
Fourier Transform Infrared (FT-IR) dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi
silika hasil sintesis tanpa dan dengan penambahan variasi PEG-6000 (10% dan 15%
(b/v)).

351

Gambar 1. Spektrum inframerah (a).Sampel Nanosilika (Ns) Kontrol dan (b) Ns-PEG
10% dan (c) Ns-PEG 15%.
Hasil uji inframerah pada serbuk nanosilika menunjukan tidak adanya
pergeseran pita serapan. Pada serbuk nanosilika yang telah disintesis menggunakan
metode sol-gel dengan panambahan dan tanpa penambahan PEG-6000 ini puncak
yang muncul merupakan puncak spesifik dari prekursor TEOS, sedangkan puncak
PEG-6000 tidak terlihat pada spektrum sampel nanosilika, yang artinya PEG-6000
telah berhasil dihilangkan dengan cara kalsinasi.

Pita serapan pada bilangan gelombang 1081 cm-1 merupakan pita serapan dari
vibrasi ulur asimetris gugus Si-O dari gugus siloksan (Si-O-Si) dan pada serapan
bilangan gelombang 794 cm-1 menunjukan adanya vibrasi ulur Si-O dari gugus
siloksan (Si-O-Si). Gugus Si-O-Si (siloksan) ini berasal dari hasil reaksi kondensasi,
dimana gugus hidroksil dari produk intermediet bereaksi dengan gugus etoksi dari
TEOS (hasil kondensasi alkohol atau kondensasi air) yang membentuk jembatan Si-O-
Si.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi

Gambar 2. Hasil Foto SEM sampel nanosiliaka (a) kontrol, (b) Ns-PEG 10%
dan (c) Ns-PEG 15%.

Analisis SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi dan ukuran partikel


nanosilika (Ns) hasil sintesis tanpa penambahan dan dengan penambahan variasi
PEG-6000. Hasil karakterisasi menggunakan SEM memperlihatkan struktur morfologi
352 nanosilika (Ns) dengan perbesaran 40.000x. Terlihat pada gambar diatas bahwa
permukaan sampel tidak merata dan terdiri dari gumpalan (cluster), yang
mengindikasikan adanya ukuran butir dengan distribusi yang tidak merata pada
permukaan. Munasir (2011) melaporkan bahwa jika dilakukan perlakuan panas yang
lebih lanjut (kalsinasi) diduga aglomerasi bisa diminimalisir, sehingga ukuran semua
partikel lebih homogen dan lebih kecil.
Tabel 1. Data hasil perhitungan luas partikel dan diameter rata-rata nanosilika (Ns)
sebelum dan sesudah penambahan variasi konsentrasi PEG-6000
Diameter
No. Sampel Luas partikel rata-rata (nm) partikel rata-rata
(nm)
1. Ns kontrol 3218.37 55.55
2. Ns-PEG 10% 1930,34 43.72
3. Ns-PEG 15% 3102,11 52,40

Hasil pengukuran nanosilika (Ns) pada Tabel 3 menunjukan bahwa ukuran


partikel rata-rata pada sampel nanosilika (Ns) berkisar antara 43,72 nm - 55,55 nm.
Hasil pengukuran di atas terlihat bahwa nanosilika yang ditambahkan PEG-6000
memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan nanosilika tanpa penambahan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi

PEG-6000. Ukuran rata-rata yang didapat Ns-kontrol adalah 55,55 nm, (Ns)-PEG
10% (43,72 nm) dan (Ns)-PEG 15% (52,40 nm). Dalam sisntesis ini PEG berhasil
mengcapping agent partikel terlihat dari kecilnya ukuran Ns dengan penambahan
variasi PEG.

Gambar 3. Grafik hubungan antara ukuran dengan intensitas sampel nanosilika


tanpa dan penambahan variasi konsentrasi PEG-6000 (10%, dan 15% (b/v)) 353
Penggunaan PEG-6000 dalam sintesis ini dapat mampu memperoleh nanosilika
(Ns) dengan distribusi ukuran yang lebih baik daripada tanpa penambahan PEG-6000
sebagai tempalate. Tabel 2 menunjukan bahwa distribusi ukuran sampel nanosilika
(Ns) dengan penambahan variasi konsentrasi PEG-6000 (10%, dan 15% (b/v))
memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding dengan Ns tanpa penambahan PEG-6000,
yaitu Ns-kontrol 207,90 nm,Ns-PEG10% 3,40 nm dan Ns-PEG 15% 63,17 nm. Dan
terlihat pada Gambar 3 bahwa NS-PEG 10% memiliki peak yang sempit dibanding
Ns-kontrol dan Ns-PEG 15% yang menunjukan distribusi yang lebih seragam.

Tabel 2. Data hasil karakterisasi PSA sampel nanosilika (Ns) sebelum dan sesudah
penambahan variasi konsentrasi PEG-6000 (10%, dan 15% (b/v))

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi

Data di atas juga didukung oleh data hasil indeks polidespersitas (PdI) pada
sampel nanosilika yang terlihat pada Tabel 3. Indeks polidispersitas adalah ukuran dari
distribusi massa molekul dalam sampel tertentu. Nilai ini menunjukan hasil
perhitungan dari berat rata-rata berat molekul dibagi dengan jumlah rata-rata berat
molekul. Nilai PdI yang mendekati nol artinya distribusinya semakin baik (Haryono et
al, 2012).
Tabel 3. Data indeks polidispersitas (PdI) sampel nanosilika (Ns) sebelum dan
sesudah penambahan variasi konsentrasi PEG-6000 (10% dan 15% (b/v))

Dilihat dari data PdI diatas bahwa Ns-PEG 10% memiliki nilai yang lebih kecil
yaitu 0,73 yang artinya distribusinya lebih baik daripada Ns-kontrol dan Ns-PEG 15%
dengan nilai PdI 1,00. Hal ini berbanding lurus dengan teori yaitu semakin mendekati
nol nilai PdI berarti distribusinya semakin baik dan partikel dapat dikatakan lebih
354 seragam (Haryono, et al 2012). Berdasarkan hasil data yang diperoleh, dapat
dikatakan bahwa PEG mempengaruhi keseragaman material. Hasil karakterisasi
ukuran partikel pada PSA berbeda dengan hasil karakterisasi SEM, dimana pada
sampel Ns-PEG 10% ukuran yang didapat lebih kecil dan Ns-kontrol lebih besar. Hal
ini dimungkinkan sampel ada yang terlarut dan teraglomerasi pada saat didispersi.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka disimpulkan bahwa
penambahan PEG pada sintesis nanosilika ini dapat menyeragamkan dan membuat
ukuran yang lebih kecil daripada nanosilika tanpa penambahan PEG. Karakterisasi
gugus fungsional dengan FTIR menunjukan bahwa adanya puncak serapan yang khas
dari SiO2 pada semua sampel yaitu gugus siloksan (Si-O-Si) yang merupakan puncak
khas dari TEOS. Morfologi dari analisis SEM telah dihasilkan adalah berupa amorf.
Ukuran rata-rata partikel yaitu Ns control (55,55 nm), Ns-PEG 10% (43,72 nm), dan
Ns-PEG 15% (52,40 nm) dan. Distibusi ukuran rata-rata terbaik adalah Ns-PEG 10%
dengan nilai PdI 0,73 yang menunjukkan keseragaman yang cukup baik dan ukuran
partikel 3,4 d.nm.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Dwi Rasy Mujiyanti, Ria Shafitri ARH, dan Ahmad Budi Junaidi

REFERENSI
Ardiansyah, A. 2015. Sintesis Nanosilika dengan Metode Sol-Gel dan Uji
Hidrofobisitasnya Pada Cat Akrilik. Skripsi, Jurusan Kimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Haryono, A., Witta, K. R., & Sri, B.H. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Nanopartikel
Alumanium Fosfat. Jurnal SainsMateri Indonesia. Vol. 14 No. 1:51-55

Munasir, Widodo, Triwikantosos, Moch Zainuri, & Darmianto. 2012. Perbandingan


Massa Kalium Hidroksida pada Ekstraksi SiO2 Orde Nano Berbasis Bahan Alam
Pasir Kuarsa. Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains VII UKSW.
Universitan Kristen Satya Wacana.

Nuryono, & Narsito. 2005. Pengaruh Konsentrasi Asam Terhadap Karakter Silika Gel
Hasil Sintesis dari Natrium Silikat. Indo. J. Chem. 05(01), 23 – 30

Perdana, F. A., M.A. Baqiya, Mashuri, Triwikantoro & Darminto. 2011. Sintesis
Nanopartikel Fe2O3 Dengan Template PEG-1000 dan karakterisasi sifat
Magnetiknya. Jurnal Material dan Energi Indonesia. 01(01): 1-6

Singh, L. P., Agarwal, S. K., Bhattacharyya, S. K., Sharma, U., Ahalawat, S. 2011.
355
Preparation of Silica Nanoparticles and Its Beneficial Role in Cementitious
Materials. Nanomater Nanotechnol. 1(1)44-51.

Wahyudi, A., Siti R., Gusti N. A., Hadi P., Sariman., Nuryadi S., Dessy A.,
Maryono., Arief S., Leni S., & Suheri P. 2011. Penyiapan Nano Partikel
Silika Dari Mineral Silikat Secara Mekanis. Puslitbang Teknologi Mineral Dan
Batubara, Badan Litbang Energi Dan Sumber Daya Mineral Kementerian
Energi Dan Sumber Daya Mineral.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tuti Tutuarima
PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9
ISSBN:XXXX-XXXX

IDENTIFIKASI SENYAWA VOLATIL MINYAK ATSIRI DARI CAIRAN


HASIL SAMPING INDUSTRI SIRUP KALAMANSI

Tuti Tutuarima * ABSTRACT: The industry of Kalamansi syrup produces by-products in the form of
Universitas Bengkulu peel, pulp, seeds, and liquid from precipitation. The liquid from presipitation is
processed into essential oil through a hydrodestillation process. This study aims to
identify volatile compounds were found in essential oils from liquid by-product of
Kalamansi syrup industry. Identification was done by GC-MS (Gas
Chromatography Mass Spectrometry). The results showed that there were 8 types
of volatile compounds in essential oils from liquid by-product of kalamansi syrup
industry. D-limonen is the main compound contained in the oil with an area of
75.92%.

KEYWORDS: D-limonen, essential oil, liquid byproduct, kalamansi.

* Corresponding Author: Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Jl. WR Supratman Kandang
Limun Bengkulu; Email: tutitutuarima@unib.ac.id

PENDAHULUAN
Salah satu komoditas lokal unggulan dimiliki Provinsi Bengkulu adalah jeruk
kalamansi. Jeruk Kalamansi (Citrus Microcarpa) merupakan tanaman dalam keluarga
356
Rutaceae, yang telah dikembangkan dan populer di seluruh Asia Tenggara, terutama
Philipina. Jeruk kalamansi dirancang sebagai model perdana dari program OVOP (one
village one product) di Kota Bengkulu. Gerakan OVOP ini ditujukan untuk
mengembangkan jeruk kalamansi sebagai produk unggulan dalam rangka membangun
kompetisi daerah (Junaidi, 2011).
Produk olahan unggulan dari komoditas ini adalah dalam bentuk sirup jeruk
kalamansi. Proses pembuatan sirup jeruk kalamansi menyisakan hasil samping yang
berupa padatan (kulit, ampas dan biji) dari hasil pengepresan dan cairan dari hasil
pengendapan pada saat pemasakan sirup. Dewi, dkk (2016) telah meneliti tentang
kajian potensi dan karakteristik hasil samping sirup kalamansi berupa padatan, cairan
1, dan cairan 2 sebagai sumber minyak atsiri dengan metode destilasi air. Rendemen
terbaik yang dihasilkan yaitu 0,75% (padatan segar), 0,32% (padatan kering), 1,77%
(cairan 1), dan 0,22% (cairan 2). Oleh karena rendemen tertinggi dihasilkan dari
cairan, maka salah satu produsen sirup kalamansi yaitu LPP Baptis mengolah hasil
samping cairan ini menjadi minyak atsiri untuk meningkatkan nilai tambahnya.

Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas penting bagi Indonesia. Minyak
atsiri atau yang dikenal juga dengan minyak eteris, minyak terbang atau essential oil,
dipergunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri, misalnya pada industri

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tuti Tutuarima

parfum, kosmetik, essence, industri farmasi dan flavoring agent. Beragam industri
sangat memerlukan minyak atsiri sebagai bahan baku dengan memperhatikan
senyawa-senyawa yang dikandungnya.

Penelitian terhadap komponen pada minyak yang dihasilkan dari kulit jeruk
sudah banyak dilakukan. Cheong, dkk. (2012) melaporkan bahwa terdapat 79
komponen volatil terdapat pada kulit kalamansi asal Malaysia, Philippina, dan
Vietnam. Minyak kulit jeruk mengandung komponen aktif yang bermanfaat, antara
lain senyawa terpene, flavonoid, kumarin, linalol, dan lain-lain (Kamal, dkk. 2011).
Komponen utama yang ada pada minyak kulit jeruk adalah limonen (Lan-Phi & Vy.
2015; Kamal, dkk. 2011; Boudries et al. 2017; Dehkordi et al. 2016; Kademi &
Garba. 2017). Sementara informasi terkait komponen pada minyak atsiri yang
dihasilkan dari cairan hasil samping industri sirup jeruk belum banyak ditemukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi komponen / senyawa volatil yang
terdapat pada minyak atsiri dari cairan hasil samping industri sirup kalamansi.

METODE PELAKSANAAN
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak atsiri yang dihasilkan
dari proses hidrodestilasi cairan hasil pengendapan pada pengolahan sirup kalamansi. 357
Minyak atsiri ini didapat dari LPP Baptis. Identifikasi senyawa volatil minyak jeruk
dengan menggunakan GC-MS (Gas Chromatography Mass Spectrometry). Pengujian
GC-MS dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Minyak Jeruk Hasil Samping Industri Sirup Kalamansi
Sirup kalamansi merupakan salah satu produk olahan jeruk kalamansi yang
dikelola oleh industri kecil menengah. Teknologi pengolahan sirup jeruk kalamansi
masih sangat sederhana. Pengolahan sirup ini menyisakan beberapa hasil samping
berupa kulit, biji, dan cairan hasil hasil pengendapan (Gambar 1).

Cairan hasil samping industri sirup kalamansi yang diolah menjadi minyak atsiri
adalah cairan yang dihasilkan pada pengendapan I. Cairan hasil samping yang
dihasilkan pada tahap ini mencapai 20% dari bahan baku. Produksi minyak jeruk
dilakukan melalui proses destilasi air (hydrodestillation). Rendemen yang dihasilkan
sebesar ± 1%.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tuti Tutuarima

358

Gambar 1. Pengolahan Sirup Kalamansi (Dewi, dkk. 2016)

Senyawa Volatil Minyak Jeruk Dari Cairan Hasil Samping Industri Sirup
Kalamansi
GC-MS adalah suatu teknik untuk memisahkan campuran komponen yang
bersifat volatil (mudah menguap). Senyawa-senyawa yang terpisah dari analisis GC
akan keluar dari kolom dan mengalir kedalam MS, kemudian senyawa– senyawa
tersebut teridentifikasi berdasarkan bobot melekul. Hasil yang diperoleh berupa
dugaan komponen, waktu retensi, dan persen area komponen minyak jeruk kalamansi.
Identifikasi komponen minyak jeruk kalamansi hasil GCMS ini berdasarkan
pendugaan dengan menggunakan referensi data base NIST 17. Berikut merupakan
hasil analisa GCMS minyak atsiri jeruk kalamansi.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tuti Tutuarima

Gambar 2. Kromatogram GC-MS minyak atsiri dari cairan hasil samping industri
sirup kalamansi 359

Berdasarkan hasil analisa kromatografi gas (GC) diperoleh 8 puncak dengan


retention time yang berbeda-beda. Puncak dengan waktu retensi berbeda
menunjukkan jumlah komponen yang terkandung dalam minyak jeruk dari cairan
hasil samping industri sirup kalamansi (Tabel 1). Puncak yang pertama keluar dan
merupakan puncak tertinggi muncul pada retention time 7,288 dengan luas area
75,92 %. Puncak ini diduga sebagai senyawa D-limonen. Sementara puncak yang
keluar terakhir pada retention time 11,889 dengan luas area 1,81% dan diduga sebagai
senyawa 1,2-Cyclohexanediol.

Senyawa yang paling dominan pada minyak jeruk dari cairan hasil samping
industri sirup kalamansi adalah D-Limonene. Menurut Sun (2007), D-limonene
merupakan senyawa monoterpen yang dominan dan menjadi penanda aroma khas
jeruk. D-limonene umum digunakan sebagai bahan tambahan flavor and fragrance
pada industri makanan, minuman, parfum, sabun, dan lain-lain. Selain D-limonene,
minyak jeruk dari cairan hasil samping industri sirup kalamansi juga mengandung
carvone (6,58%), limonen oxide (5,06%), trans-carveol (4,77%), α-terpineol (2,05%),
carveol (1,91%), R-limonene (1,90%), dan 1,2-Cyclohexanediol (1,81%).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tuti Tutuarima

Tabel 1. Senyawa volatil minyak jeruk dari cairan hasil samping industri sirup
kalamansi (berdasarkan database NIST 17)
No. Waktu retensi Senyawa Luas area (%)
1. 7,288 D-Limonene 75,92
2. 8,927 Limonene oxide 5,06
3. 9,784 α-terpineol 2,05
4. 10,200 Trans-carveol 4,77
5. 10,364 Carveol 1,91
6. 10,590 Carvone 6,58
7. 11,271 R-Limonene 1,90
8. 11,889 1,2-Cyclohexanediol 1,81

Tabel 2. Senyawa volatil minyak jeruk kalamansi asal Malaysia (Citrus microcarpa
(Bunge) Wijnands)
Minyak kulit jeruk kalamansi Minyak daun jeruk kalamansi
No.
Senyawa % Senyawa %
1. α-Pinene 0.5 α-Pinene 0.8
2. β-Pinene 0.1 β-Pinene 13.4
3. Myrcene 1.8 Myrcene 0.2
360 4. α-Phellandrene 0.1 α-Phellandrene 0.8
5. Limonene 94.0 Limonene 0.7
6. γ-Terpinene 0.1 trans-β-Ocimene 2.0
7. δ-Elemene 0.1 δ-Elemene 2.7
8. Linalool 0.4 Linalool 6.1
9. Terpinen-4-ol 0.1 Terpinen-4-ol 0.4
10. α-Terpineol 0.3 α-Terpineol 0.3
11. Terpinolene 0.1 β-Elemene 1.1
12. Geranyl acetate 0.2 Geranyl acetate 0.1
13. β-Caryophyllene tr β-Caryophyllene 2.8
14. (Z)-β-Farnesene 0.7 α-Humulene 0.6
15. Aromadendrene 0.1 α-Sesqui-phellandrene 18.3
16. (E)-β-Farnesene 0.1 α-Selinene 1.8
17. α-Guaiene 0.1 δ-Cadinene 0.5
18. Elemol 0.1 Hedycaryol 19.0
19. β-Eudesmol 0.2 (Z)-Nerolidol 1.2
20. α-Eudesmol 14.4
21. β-Eudesmol 8.6
22. Elemol 0.6
23. Phytol 0.4
Sumber : Othman, et.al. (2016).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tuti Tutuarima

Senyawa yang terdapat pada minyak jeruk dari cairan hasil samping industri
sirup kalamansi lebih sedikit jika dibandingkan dengan minyak jeruk kalamansi yang
berasal dari kulit dan daun. Menurut penelitian Othman, dkk. (2016), pada minyak
jeruk yang berasal dari kulit kalamansi asal Malaysia mengandung 19 senyawa volatil,
sementara minyak jeruk yang berasal dari daun kalamansi asal Malaysia terdapat 23
senyawa (Tabel 2). Keberadaan senyawa volatil yang lebih sedikit pada minyak jeruk
dari cairan hasil samping industri sirup kalamansi diduga karena telah terjadi
penguapan selama proses pengolahan sari jeruk menjadi sirup.

SIMPULAN
Minyak atsiri minyak jeruk dari cairan hasil samping industri sirup kalamansi
memiliki beberapa komponen senyawa, yaitu D-limonen (75,92%), carvone (6,58%),
limonen oxide (5,06%), trans-carveol (4,77%), α-terpineol (2,05%), carveol (1,91%),
R-limonene (1,90%), dan 1,2-Cyclohexanediol (1,81%).

REFERENSI
Boundries, Loupassaki, L. Ettoumi, Souagui, B. Bey, Nabet, Chikhoune, Madani, dan 361
Chibane. 2017. Chemical profile, antimicrobial and antioxidant activities of
Citrus reticulata and Citrus clementina (L.) essential oils. International Food
Research Journal. 24 (4) : 1782-1792

Cheong, M.W., Z.S. Chong, S.Q. Liu, W. Zhou, P. Curran, dan B. Yu. 2012.
Characterisation of calamansi (Citrus microcarpa). Part I : Volatiles, Aromatic
Profiles and Phenolic Acids In The Peel. Food Chemistry. 134 : 686-695.

Dehkordi, A.S., M.M. Sedaghat, H. Vatandoost, dan M.R. Abai. 2016. Chemical
Compositions of the Peel Essential Oil of Citrus aurantium and Its Natural
Larvicidal Activity against the Malaria Vector Anopheles stephensi (Diptera:
Culicidae) in Comparison with Citrus paradisi. J. Arthropod-Borne Dis. 10 (4) :
577-585

Dewi, K.H., S. Mujiharjo, dan A.P. Utama. 2016. Potensi Pengolahan Hasil Samping
Sirup Kalamansi Menuju “Zero Waste”. Jurnal Agroindustri. 6 (1) : 8-17.

Junaidi, A. 2011. Pengembangan Produk Unggulan Jeruk Kalamansi Kota Bengkulu


dengan Pendekatan OVOP. Jurnal Infokop. 19 : 163-183.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tuti Tutuarima

Kademi, H.I. dan U. Garba. 2017. Citrus Peel Essential Oils: A Review On
Composition And Antimicrobial Activities. International Journal of Food Safety,
Nutrition, Public Health and Technology. 9 (5) : 38-44

Kamal, Anwar F., Hussain AI, Sarri, dan Ashraf. 2011. Yield and Chemical
Composition of Citrus Essential Oils as Affected By Drying Pretreatment of
Peels. International Food Research Journal. 18 (4) : 1275-1282.

Lan-Phi dan Vy. 2015. Chemical Composition, Antioxidant And Antibacterial


Activities Of Peels’ Essential Oils Of Different Pomelo Varieties In The South
Of Vietnam. International Food Research Journal. 22 (6) : 2426-2431

Othman, S. N. A. M., Hassan, M. A., Nahar, L., Basar, N., Jamil, S., and Sarker, S. D.
2016. Essential oils from the Malaysian Citrus (Rutaceae) medicinal plants.
Medicines 3 (13) : 1-11.

Sun, J. 2017. D-Limonene: Safety and Clinical Applications. Alternative Medicine


Review. 12 (3) : 259-264

362

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga
PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9
ISSBN:XXXX-XXXX

STUDI EKSTRAK ANDALIMAN SEBAGAI ANTIOKSIDAN ALAMI


UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS MINYAK KELAPA SAWIT

Indra Lasmana Tarigan* ABSTRACT: Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) is a plant that contains
Universitas Jambi important chemical compounds that can be used in daily life even its utilization is
still very few. The aim of this study was to know that the extract of andaliman fruit
which functions as a natural antioxidant in palm oil, which serves to improve the
Ricardo Lumbantoruan quality of palm oil. In this study, an oil quality analysis was carried out through the
Universitas Negeri Medan determination of oil peroxide numbers, oil iodine numbers and free fatty acids with
the addition of andaliman fruit extracts and without the addition of andaliman fruit
Marudut Sinaga extract with variations in storage time and concentration. The results of this study
Universitas Negeri Medan indicate that the greater the concentration of andaliman fruit extract, the smaller
the peroxide number of oil at the extract concentration of 0 ppm, peroxide number
0.670; concentration of 400 ppm, peroxide number 0.492; concentration of 800
ppm, peroxide number 0.488. The same results also showed that the greater the
concentration of andaliman fruit extract, the greater the iodine number of oil, which
at the extract concentration of 0 ppm, iodine number 131.58; concentration of 400
ppm, peroxide number 145.50; concentration of 800 ppm, peroxide number 148.33
and to complete the results of this study, that the greater the concentration of
andaliman fruit extract, the smaller the oil-free fatty acid, which at the extract
concentration of 0 ppm, free fatty acid 4.88; concentration of 400 ppm, free fatty
acid 3.54; concentration of 800 ppm, free fatty acid 3.52.

KEYWORDS: Andaliman, Effectivity, Peroxide, Iodine number, Free fatty acids.

* Corresponding Author: Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Jambi; Email: indratarigan@unja.ac.id 363

PENDAHULUAN
Tumbuhan merupakan sumber senyawa bioaktif yang sangat berguna bagi
kehidupan manusia, mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang
berpotensi sebagai antioksidan, zat pewarna, penambah aroma makanan, farfum,
intektisida dan obat. Ada sekitar 150.000 metabolit sekunder yang sudah diidentifikasi
dan ada 4000 metabolit sekunder baru/tahun (Marliana, 2007). Salah satu metabolit
sekunder yang sering digunakan adalah senyawa dengan aktivitas sebagai antioksidan,
yang merupakan senyawa secara alami terdapat dalam hampir semua bahan makanan,
karena bahan makanan dapat mengalami degradasi baik fisik maupun kimia sehingga
fungsinya berkurang, untuk itu perlu ditambahkan antioksidan dari luar untuk
melindungi bahan makanan dari reaksi oksidasi. Antioksidan dapat membantu
melindungi tubuh manusia melawan kerusakan yang disebabkan oleh senyawa oksigen
reaktif (Ros; Reactive oxygen species) dan radikal bebas lainnya (Wang et al, 2003;
Oke dan Ilamburger, 2002 dalam Marliana, Eva, 2007). Akibat reaktivitas yang tinggi,
radikal bebas dapat merusak berbagai sel makromolekul termasuk protein, karbohidrat,
lemak/minyak dan asam lemak. Oleh karena itu diperlukan antioksidan untuk

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

mengawetkan makanan yang mengandung makromolekul tersebut dengan nilai gizi


dari makan itu tidak berkurang. Antioksidan digolongkan menjadi dua jenis yaitu
antioksidan alami dan sintesis, penggunaan antioksidan sintesis seperti BHA (Butil
Hidroksi Anisol) dan BHT (Butil Hidroksi Toluen) sangat efektif untuk menghambat
minyak atau lemak agar tidak terjadi oksidasi. Tetapi penggunaan BHA dan dan BHT
banyak menimbulkan kekhawatiran akan efek samping. Hasil uji yang telah dilakukan
terhadap penggunaan BHT didapatkan bahwa BHT dapat menyebabkan
pembengkakan hati dan mempengaruhi aktivitas enzim didalam hati, selain itu juga
menyebabkan pendarahan yang fatal pada rongga plernal peritonial dan pankreas
(Komayaharti et al, 1997). Kekhawatiran akan efek samping antioksidan sintesis
sehingga dicari alternatif antioksidan yang lebih aman dan tidak berpengaruh terhadap
aroma dan rasa makanan, misalnya dari tanaman. Tanaman andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium DC) merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam Rutaceace.
Tumbuhan ini banyak ditemukan di tumbuh liar di beberapa daerah Sumatera Utara
khususnya Tapanuli. Buahnya digunakan secara langsung sebagai bumbu pada
masakan adat Batak Toba, Angkola dan Mandailing. Menurut Parhusip et al, (1999)
dalam Tensika et al, (2003) biji andaliman memiliki keistimewaan bahwa makanan
khas batak yang menggunakan andaliman umumnya memiliki daya awet yang lebih
364 lama. Menurut Suhirman, Sintha dan Ma’mun (2007) dalam Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (2009), biji andaliman mengandung minyak atsiri yaitu
asetat 30,15 %, sintronelal 17,29%, geraniol 12,70 %, geranial 9,33%, mirsen 8,20%,
sementara Tensika et al, (2003) melaporkan bahwa ekstrak buah andaliman
mengandung flavanoid dan folifenol. Senyawa-senyawa tersebut telah dilaporkan
bersifat antioksidan.

Minyak sawit merupakan bahan yang tidak hanya digunakan dalam produk
makanan seperti dalam pembuatan margarin, shortening, biskuit, es krim dan minyak
goreng akan tetapi juga dimanfaatkan untuk produk-produk non makanan seperti
dalam pembuatan sabun, deterjen, kosmotika dan lain-lain. Untuk dapat
memanfaatkan minyak sawit, perlu dilakukan beberapa tahap proses pengolahan
minyak sawit mentah (crude plam oil/ CPO). Akan tetapi proses ini menimbulkan
kerugian pada minyak sawit. Proses ini dapat merusak antioksidan yang secara alami
terdapat pada minyak sawit (Herawati et al, 2006). Akibat kerusakan ini minyak sawit
ini rentan terhadap oksidasi (Hui, 1996 dalam Herawati et al, 2006). Reaksi oksidasi
terjadi akibat serangan oksigen terhadap asam lemak tak jenuh yang terkandung
dalam minyak sawit. Reaksi antara oksigen dengan lemak akan membentuk senyawa
peroksida selanjutnya akan membentuk asam lemak bebas, aldehida dan keton yang
menimbulkan bau yang tidak enak pada minyak (ketengikan) (Ketaren,1986) dan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

menyebabkan mutu minyak sawit kurang baik. Untuk meningkatkan mutu minyak
sawit perlu zat aditif. Salah satunya yaitu antioksidan untuk mencegah ketengikan
minyak sawit dengan memanfaatkan buah andaliman, oleh karena itu penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh Estrak Buah Andaliman (Zanthoxylum
acanthopodium DC) Sebagai Antioksidan Alami Terhadap Kualitas Minyak Sawit”

METODE PELAKSANAAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Organik FMIPA Universitas
Negeri Medan, dengan populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji
andaliman, sedangkan sampel yang digunakan adalah biji andaliman yang baru dipetik
dari pohonnya dengan tujuan kandungan senyawa aktifnya lebih banyak. Peralatan
yang digunakan dalam penelitian adalah neraca analitis, kertas saring, labu soxhlet,
Erlenmeyer, water bath, satif, klem, buret, alat distilasi, magnet stearer, beaker glass,
labu takar, gelas ukur, cawan poselen, pengaduk, thermometer heater. Bahan yang
digunakan dalam penelitian adalah biji andaliman, etanol 96%, n-heksana, asam asetat
glacial, kloroform, KI standard, akuades, Na2S2O3, amilum, minyak sawit sebagai
sampel.

Ekstraksi Biji Andaliman 365

Sampel biji andaliman lebih dahulu dibersihkan dari kotoran, kemudian


dihancurkan dan ditimbang lalu dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke
dalam soxhlet. Tambahkan n-heksana ke dalam labu soxhlet sebelum ditutup.
Panaskan dalam water bath atau kompor listrik sehingga solven akan menetes dari
kondensator, volume solven dijaga konstan dengan menambahkan solven secukupnya
untuk menyempurnakan solven yang hilang karena penguapan. Ekstraksi dilakukan
selama 3 jam, didinginkan dan diambil labu ekstraksi soxhlet. n-heksana diuapkan
dengan distilasi pada suhu 70oC sampai bau n-heksana hilang (Sudaryanto et al, 2016).

Menentukan Bilangan Peroksida


Penentuan bilangan peroksida dengan cara; a) Sebanyak 5 gr minyak sawit
ditimbang dalam Erlenmeyer 250 mL bertutup. b) Ditambahkan ekstrak biji andaliman
dengan konsentrasi 0; 400; 800 ppm pada minyak sawit tersebut dan masing-masing
disimpan selama 10; 20; 30 hari. c) Ditambahkan 30 mL campuran asam asetat glacial:
Kloroform (3:2) d) ditambah Kalium Iodida jenuh 0,5 ml, lalu gelas ditutup dan
dikocok perlahanlahan selama 1 menit. e) Sampel tersebut dibuka tutupnya dan
ditambahkan 30 ml aquabides dan 1-2 ml indicator larutan amilum. f) Dititrasi dengan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

larutan Natruim Tiosulfat 0,01 N sampai warna hitam kebiruan hilang (titik akhir
titrasi). (Pangestuti et al, 2018).

Penentuan Bilangan Iodin


Minyak sawit ditimbang seksama sebanyak 0,5 gr dalam erlenmeyer 250 mL
ditambahkan ekstrak biji andaliman dengan konsentrasi 0; 400; 800 ppm pada minyak
sawit tersebut dan masing-masing disimpan selama 10; 20; 30 hari kemudian
ditambahkan 20 mL larutan karbon tetraklorida dan 25 mL larutan Wijs,s. Erlenmeyer
ditutup dan disimpan ditempat gelap pada suhu kamar selama 30 menit . Ditambahkan
20 mL larutan KI 15% dan 100 mL aquades, tutup kembali dan dikocok hati-hati.
Dititrasi dengan larutan Natrium Tiosulfat 0,1 N sampai warna kuning muda.
Ditambahkan larutan indikator kanji dan dititrasi kembali dengan larutan Natrium
Tiosulfat sampai warna biru hilang. Na2S2O3. (Handayani et al, 2015).

Penentuan Asam Lemak Bebas


Minyak sebanyak 10 gr dimasukkan kedalam erlenmeyer 250 mL bertutup,
ditambahkan ekstrak biji andaliman dengan konsentrasi 0; 400; 800 ppm pada minyak
sawit tersebut dan masing-masing disimpan selama 10; 20; 30 hari. Stelah itu,
366 dilarutkan dalam 50 mL alcohol 95% netral, dipanaskan selam 10 menit dalam
penangas air sambil diaduk. Ditambahakan indikator fenolftalein dalam alkohol lalu
dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai warna merah jambu yang tidak hilang
selama 30 detik (Sopianti et al, 2017).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Metode ekstraksi yang dilakukan untuk mendapatkan ekstrak buah andaliman ini
adalah metode sokletasi kemudian dilanjutkan dengan destilasi untuk memisahkan
pelarut yang digunakan dalam sokletasi. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini
adalah n-heksana, karena pelarut ini dapat melarutkan hampir semua senyawa organik
yang ada dalam sampel, karena sifat non-polar yang dari n-heksana sejenis dengan
sifat non-polar pada sampel membuat keduanya melarut secara sempurna. Pelarut n-
heksan merupakan pelarut yang mudah menguap sehingga mudah dibebaskan dari
ekstrak dengan destilasi. Dari 1 kg buah andaliman diperoleh 15 gram ektrak buah
andaliman (Sudaryanto et al, 2016).

Bilangan peroksida merupakan bagian terpenting sebagai indikator kerusakan


pada minyak. Minyak yang mengandung asam lemak tidak jenuh akan mampu
mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya, sehingga akan membentuk senyawa

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

peroksida. Tingkat peroksida yang terbentuk tersebut dapat dianalisa dengan


menggunakan titrasi iodometri. Semakin tinggi persentase peroksida pada minyak
akan mengakibatkan ikatan jenuh dari asam lemak bebas teroksidasi menjadi aldehid
dan mengakibatkan ketengikan pada minyak. Hasil titrasi iodometri minyak untuk
mengukur bilangan peroksida dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengukuran Natrium tiosulfat pada penentuan bilangan peroksida dengan


menggunkan ekstrak buah andaliman sebagai antioksida
Vol Na2S2O3 yang terpakai pada
Lama Waktu Konsentrasi
Berat Sampel
Penyimpanan
0 ppm 400 ppm 800 pm
3.35 ml 2.46 ml 2.44 ml
10 hari 5 gram
3.20 ml 2.55 ml 2.44 ml
3.45 ml 2.31 ml 2.25 ml
20 hari 5 gram
3.46 ml 2.25 ml 2.26 ml
3.60 ml 2.22 ml 2.18 ml
30 hari 5 gram
3.48 ml 2.20 ml 2.18 ml

Dari hasil titrasi dilakukan perhitungan bilangan peroksida dengan menggunakan


367
rumus perhitungan sebelumnya: Bilangan Peroksida = ; V = volume
Na2S2O3 (ml), N = Normalitas Na2S2O3, W = berat sampel (gram), didapatkan hasil
perhitungan seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil perhitungan bilangan peroksida minyak
Lama Waktu Konsentrasi Ekstrak Buah Andaliman
Penyimpanan
0 ppm 400 ppm 800 ppm

0.670 0.492 0.488


10 hari
0.640 0.510 0.488
0.690 0.462 0.450
20 hari
0.692 0.450 0.452
0.720 0.444 0.436
30 hari
0.696 0.440 0.436

Bilangan peroksida memiliki pengaruh besar dalam parameter kualitas minyak.


Karena indikator ini mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk
pada tahap awal reaksi oksidasi minyak ataupun lemak (Raharjo, 2006). Pada tabel 2
dapat dilihat bilangan peroksida dengan variasi lama waktu penyimpanan dan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

konsentrasi ekstrak, ditemukan semakin lama waktu penyimpanan dan semakin besar
konsentrasi ekstrak maka semakin kecil bilangan peroksidanya. Bilangan peroksida
terkecil 0,436 pada konsentrasi 800 ppm dan diinkubasi 30 hari.

Analisa selanjutnya pengukuran bilangan iodium, untuk mencerminkan


ketidakjenuhan asam lemak penyusun minyak. Asam lemak tak jenuh mampu
mengikat dan membentuk senyawaan yang jenuh. Banyaknya iodium yang diikat
menunjukkan banyaknya ikatan rangkap dalam minyak (Handayani, 2015). Hasil
titrasi minyak dengan variasi waktu penyimpanan dan konsentrasi tersaji pada tabel 3.

Tabel 3. Pengukuran Natrium tiosulfat pada penentuan bilangan iodin dengan


menggunkan ekstrak buah andaliman sebagai antioksida
Vol Na2S2O3 yang terpakai pada
Lama Waktu Berat Konsentrasi
Vol Blanko
Penyimpanan Sampel
0 ppm 400 ppm 800 pm
48.16 ml 42.67 ml 41.55 ml
10 hari 5 gram 100 ml
47.51 ml 42.70 ml 42.18 ml
48.61 ml 41.99 ml 41.17 ml
20 hari 5 gram 100 ml
48.78 ml 41.03 ml 41.34 ml
50.21 ml 41.36 ml 40.64 ml
368 30 hari 5 gram 100 ml
49.29 ml 41.28 ml 41.10 ml

Dari hasil titrasi, kemudian dilakukan perhitungan bilangan iodin minyak,


( )
menggunakan perumusan: Bilangan iodin , dengan A = volume
larutan Na2S2O3 pada blanko (ml); B = volume larutan Na2S2O3 pada sampel (ml) N =
normalitas larutan Na2S2O3; W = berat contoh minyak (gram). Hasil perhitungan
bilangan iodin minyak untuk setiap perlakuan disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Perhitungan pengaruh konsentrasi dan waktu terhadap Bilangan iodin
Minyak

Lama Waktu Konsentrasi Ekstrak Buah Andaliman


Penyimpanan 0 ppm 400 ppm 800 pm
131.58 145.50 148.33
10 hari
133.21 145.43 146.75
130.42 147.23 149.31
20 hari
129.99 147.11 148.87
126.37 148.82 150.65
30 hari
128.70 149.03 149.48

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

Tabel 4 menunjukkan hasil analisis bilangan iodin dengan bilangan iodin


terbesar ± 150 pada konsentrasi ekstrak 800 ppm dan inkubasi 30 hari. Semakin lama
waktu penyimpanan dan semakin besar konsentrasi ekstrak maka semakin besar
bilangan iodin, semakin banyak ikatan rangkap yang diadisi.

Untuk melengkapi hasil analisis parameter kimia pengaruh ekstrak buah


andaliman terhadap minyak, dilakukan pengukuran asam lemak bebas. Bilangan asam
berhubungan dengan tingkat asam lemak bebas yang harus dinetralisir dengan KOH
(basa) 0,1N dalam 1 gram minyak (Ketaren, 1986). Hasil titrasi tersaji pada tabel 5.

Tabel 5. Pengukuran Volume KOH dengan menggunakan ekstrak buah andaliman


sebagai antioksidan
Vol KOH yang terpakai pada
Lama Waktu Konsentrasi
Berat Sampel
Penyimpanan
0 ppm 400 ppm 800 pm
9.53 ml 6.91 ml 6.88 ml
10 hari 5 gram
9.59 ml 6.70 ml 6.70 ml
9.59 ml 6.88 ml 6.80 ml
20 hari 5 gram
9.57 ml 6.82 ml 6.80 ml
9.71 ml 6.78 ml 6.64 ml
30 hari 5 gram 369
9.65 ml 6.74 ml 6.68 ml

Hasil perhitungan asam lemak bebas minyak untuk setiap perlakuan disajikan
pada tabel 6 dengan menggunakan perumusan dari penelitian sebelumnya (Indra,
( )
2019), ALB (%) = .; (256= Bek(berat ekivalen) asam palmitat.
N = normalitas larutan KOH ; W= berat sampel (gram))

Kerusakan minyak atau lemak terutama disebabkan karena adanya proses


oksidasi yang disebabkan oleh kehadiran agen peroksida. Dalam penelitian ini, ekstrak
buah andaliman digunakan sebagai antioksidan yang diujikan terhadap minyak dengan
variasi konsentrasi 0 ppm; 400 ppm dan 800 ppm dan variasi lama waktu
penyimpanan 10 hari; 20 hari dan 30 hari. Dari hasil penelitian bilangan peroksida
dengan penambahan ekstrak buah andaliman semakin kecil sementara pada SNI
bilangan peroksida dibatasi pada 5.0 mek/kg hal ini menunjukkan ada pengaruh
penambahan ekstrak buah andaliman terhadap bilangan peroksida minyak.
Berdasarkan data bilangan peroksida yang terlihat pada penggunaan ekstrak buah
andaliman sebagai antioksidan bahwa bilangan peroksida tertinggi terdapat pada
perlakuan konsentrasi 0 ppm (tanpa penambahan ekstrak buah andaliman). Pada
konsentrasi 400 dan 800 ppm, bilangan peroksida semakin kecil dengan semakin

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

bertambahnya lama penyimpanan minyak. Dalam hal ini, aktivitas antioksidan diukur
dengan parameter bilangan peroksida minyak, dimana semakin kecil bilangan
peroksida, maka semakin baik aktivitas antioksidanya.

Tabel 6. Pengaruh Konsentrasi dan Kaktu terhadap Asam Lemak bebas Minyak
Lama Waktu Konsentrasi Ekstrak Buah Andaliman
Penyimpanan
0 ppm 400 ppm 800 pm

4.88 3.54 3.52


10 hari
4.91 3.53 3.53
4.91 3.52 3.48
20 hari
4.90 3.49 3.48
4.97 3.47 3.40
30 hari
4.94 3.45 3.42

Aktivitas antioksidan diukur dengan parameter bilangan peroksida, semakin


kecil bilangan peroksida maka semakin baik aktivitas antioksidanya. Berdasarkan data
tabel 2, terlihat bahwa pemberian ekstrak buah andaliman dengan konsentrasi 800 ppm
terhadap minyak memberi bilangan peroksida minyak terkecil (0.436), dengan lama
penyimpanan minyak sawit 30 hari. Ini berarti bahwa ekstak buah andaliman dapat
370
digunakan sebagai antioksidan terhadap minyak sawit. Penambahan konsentrasi
antioksidan juga akan mengakibatkan penambahan bilangan iodin atau dengan kata
lain semakin banyak iodin yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan rangkap pada
minyak/lemak dengan pertambahan konsentrasi antioksidan yang digunakan.

Pada pemberian ekstrak buah andaliman dengan konsentrasi 800 ppm terhadap
minyak sawit diperoleh bilangan iodin sebesar 150.65 pada lama penyimpanan 30
hari, hal ini dapat menyatakan bahwa ekstrak buah andaliman efektiv sebagai
antioksidan terhadap minyak sawit karena sesuai dengan SNI yang menyatakan
bilangan Iodin minyak harus diatas 51 (51 min). Dari tabel asam lemak bebas dapat
dilihat bahwa dengan penambahan ekstrak buah andaliman paling besar adalah 3.52
dan paling kecil adalah 3.42 bila dibandingkan dengan ketentuan SNI yang
menyatakan bahwa asam lemak bebas pada minyak adalah maks 5.0% maka ekstrak
buah andaliman dapat digunakan sebagai antioksidan terhadap minyak sawit.dapat
juga dilihat bahwa makin lama penyimpanan dengan penambahan ekstrak buah
andaliman maka asam lemak bebasnya makin kecil tetapi untuk yang 0 ppm (tanpa
penambahan antioksidan ekstrak buah andaliman) semakin lama penyimpanan maka
asam lemak bebasnya semakin besar.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut: Semakin besar konsentrasi ekstrak buah andaliman, semakin kecil bilangan
peroksida minyak, dimana pada konsentrasi ekstrak 0 ppm,bilangan peroksida 0.670;
konsentrasi 400 ppm, bilangan peroksida 0.492; konsentrasi 800 ppm, bilangan
peroksida 0.488 dan Ada pengaruh interaksi konsentrasi ekstrak buah andaliman dan
lama penyimpanan terhadap bilangan peroksida minyak, dimana semakin tinggi
konsentrasi ekstrak buah andaliman dan semakin lama disimpan, bilangan peroksida
minyak sawit semakin kecil. Semakin besar konsentrasi ekstrak buah andaliman,
semakin besar bilangan iodin minyak, dimana pada konsentrasi ekstrak 0
ppm,bilangan iodin 131.58; konsentrasi 400 ppm, bilangan peroksida 145.50;
konsentrasi 800 ppm, bilangan peroksida 148.33 dan Ada pengaruh interaksi lama
penyimpanan terhadap bilangan iodin minyak, dimana semakin tinggi konsentrasi
ekstrak buah andaliman dan semakin lama disimpan, bilangan iodin minyak sawit
semakin besar. Semakin besar konsentrasi ekstrak buah andaliman, semakin kecil
asam lemak bebas minyak, dimana pada konsentrasi ekstrak 0 ppm, asam lemak bebas
4.88; konsentrasi 400 ppm, asam lemak bebas 3.54; konsentrasi 800 ppm, asam lemak
bebas 3.52. Ekstrak buah andaliman evektiv sebagai antioksidan terhadap minyak
sawit karena sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). 371

REFERENSI
Anie, K. dan Paryanti, D. 2003. Ektrak Daun Sirih Sebagai Antioksidan pada Minyak
Kelapa. Semarang: Universitas Diponegoro Pres.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2009. Potansi Andaliman sebagai
Sumber Antioksidan dan Antimikroba Alami”. Warta Penelitian dan
pengembangan Tanaman Industri. Vol.15: 8-10.
Densi Selpia Sopianti, Herlina, Handi Tri Saputra. 2017. Penetapan Kadar Asam
Lemak Bebas Pada Minyak Goreng . Kementerian Riset Teknologi Dan
Pendidikan Tinggi. Jurnal Katalisator. Vol. 2: 100-105
Dina Rahayuning Pangestuti, Siti Rohmawati. 2018. Kandungan Peroksida Minyak
Goreng Pada Pedagang Gorengan Di Wilayah Kecamatan Tembalang Kota
Semarang. Research Study. Vol.2: 205-211.
Handayani, R., Rukminita S.A., Gumilar, I. 2015. Karakteristik Fisika-Kimia Minyak
Biji Bintaro (Cerbera manghas L) dan Potensinya sebagai Bahan Baku
Pembuatan Biodiesel. Jurnal Akuantika.Vol.4: 177-186

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Indra Lasmana Tarigan, Ricardo Lumbantoruan, dan Marudut Sinaga

Herawati dan Syafsir, A., 2006, Kinerja BHT sebagai Antioksidan Minyak Sawit pada
Perlindungan terhadap Oksidasi Oksigen Singlet, Akta Kimindo. Vol.2: 1-8.
Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Pres, Jakarta,
pp. 120-126.
Komayaharti, A dan Paryanti, D. 2003. Ektrak Daun Sirih Sebagai Antioksidan pada
Minyak Kelapa. Semarang: Universitas Diponegoro Pres
Marliana, E. 2007. Analisis Senyawa Metabolit Sekunder Batang Spatholobus
ferrugineus (Zoll &Moritzi) Bent Yang Berfungsi Sebagai Antioksidan”. Jurnal
Penelitian. MIPA. Vol. 1: 23-29
Pourmourad, F., Hosseinimehr, S.J., and Shahabimajd, N. 2006. Antioxidant Activity,
Phenol and Flavonoid Contents of Some Selected Iranian Medicinal Plants,
African Journal of Biotechnology. Vol 5: 1142 – 1145.
PT. Perkebunan Nusantara IV.2009. Pedoman Operasional Pengolahan Kelapa Sawit.
Dokumen intern.
Raharjo, S., 2006. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sibuea, P. 2002. Potensi Andaliman Sebagai Antioksidan Alami. Kompas, 26 Agustus
2002, Jakarta
372
Silitonga, P.M., 1999. Statistik: Teori dan Aplikasi Dalam Penelitian. Medan: FMIPA,
Universitas Negeri Medan
Sudaryanto, Herwanto, T., Putri, S.H. 2016. Aktivitas Antioksidan Pada Minyak Biji
Kelor (Moringa oleifera L.) dengan Metode Sokletasi Menggunakan Pelarut N-
Heksan, Metanol Dan Etanol. Jurnal Teknotan Vol. 10: 16-21
Tensika., Wijaya, C. H., Nuri. A. 2003. Aktivitas Antioksidan Ektrak Buah Andaliman
(Zanthoxylum acanthopodium DC) dalam Beberapa Sistem Pangan dan
Kestabilan Aktivitasnya Terhadap Kondisi Suhu dan pH. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan. Vol. 14: 29-39
Zakaria, Z.A., Mohamed, A.M., Jamil, N.S.M., Rofiee, M.S., Hussain, M.K.,
Sulaiman, M.R., The, L.K. and Salleh, M.Z., 2011, In Vitro Antiproliverative
and Antioxidant Activities of The Extracts of Muntingia calabura Leaves, The
American Journal of Chinese Medicine. Vol.39(1): 183-200.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

ISOLASI, PEMURNIAN, DAN KARAKTERISASI


ENZIM α-AMILASE DARI Bacillus subtilis ITBCCB148
Yandri * ABSTRACT: This study aims to isolate, purify and characterize the α-amylase
Universitas Lampung enzyme from Bacillus subtilis ITBCCB148. Isolation of the enzyme was conducted
using cold centrifuge to separate the enzyme from the cell mixture. The purification
of enzyme was done by using ammonium sulfate fractionation followed by dialysis.
Fathaniah Sejati Furthermore, the purified enzyme was characterized for some parameters including
Universitas Lampung optimum temperature, substrate concentration and thermal stability. The α-amylase
enzyme activity was determined by the Mandels and Fuwa methods and protein
Tati Suhartati content was determined by Lowry method.The results showed that the purified
Universitas Lampung enzyme has specific activity at 7532 U mg-1, it was increase of 5.9 times compared
to the crude extract which has a specific activity of 1285 U mg-1. The temperature
optimum of the purified enzyme was 65 ° C, the KM and V max values were 7.543
Heri Satria mg mL-1 substrate, and 147.058 µmol mL-1 minute-1. Thermal stability of the
Universitas Lampung purified enzyme for 100 minutes at 65oC remained the residual activity of 20%.

Sutopo Hadi
Universitas Lampung KEYWORDS: α-amilase, Bacillus subtilis ITBCCB148, characterization.

* Corresponding Author: Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung, Bandar Lampung 35145 Indonesia; Email:
yandri.as@fmipa.unila.ac.id

PENDAHULUAN
Enzim amilase merupakan enzim yang dapat mengkatalisis penguraian pati, 373
glikogen, dan berbagai oligosakarida secara acak. Enzim ini dibagi dalam empat
golongan (Horvathova et al., 2000), yaitu: (1) Ekso amilase, adalah enzim yang
memutuskan ikatan -1,4 glikosida pada bagian luar molekul. Salah satu enzim yang
termasuk dalam golongan ini adalah -amilase (EC 3.2.1.2). (2) Glukoamilase (EC
3.2.1.3) adalah enzim yang mengkatalisis pemutusan ikatan -1,4 dan ikatan -1,6
glikosida dari bagian luar molekul. (3) Debranching enzim adalah enzim yang
spesifik dalam memutuskan ikatan -1,6 glikosida dalam pati (amilopektin). Enzim
yang termasuk golongan ini adalah pululanase (EC 3.2.1.41) dan isoamilase (EC
3.2.1.68). (4) Endo amilase adalah enzim yang mengkatalisis penguraian pati dari
bagian tengah atau bagian dalam molekul (Fogarty dan Kelly, 1979). Enzim yang
termasuk golongan ini adalah -amilase. Enzim ini dihasilkan oleh beberapa
mikroorganisme secara ekstraseluler misalnya Aspergillus oryzae, A. niger, A.
awamori, Bacillus mesentricus, B. subtilis, B. stearothermophilus, dan B.
licheniformis. Enzim -amilase yang dihasilkan B. subtilis mempunyai pH optimum
6,0; dan stabil pada pH antara 5,5-9,5. Suhu optimum enzim ini 60C. Enzim -
amilase yang dihasilkan B. stearothermophilus mempunyai pH optimum 4,6-5,1; suhu
optimum 55-70C. Sedangkan enzim -amilase yang dihasilkan B. licheniformis

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

mempunyai pH optimum 5,0-8,0; stabil pada pH antara 6,0-11,0; dan suhu


optimumnya 76C. Umumnya enzim -amilase mempunyai bobot molekul sekitar 50
kDa. (Fogarty dan Kelly, 1979). Sedangkan menurut Janecek dan Balaz (1992), bobot
molekul enzim -amilase berkisar antara 45 – 60 kDa.. Ohdan et al. (1999), berhasil
mengkarakterisasi dua jenis enzim -amilase dari B. subtillis X-23. Hasil
penelitiannya menunjukkan enzim -amilase yang berhasil dimurnikan mempunyai
bobot molekul 47 dan 67 kDa.. Sedangkan pH optimum kedua enzim sama, yaitu 5,5;
dan kedua enzim tersebut stabil antara pH 5,5 – 10. Semua -amilase adalah
metaloenzim yang mengandung sedikitnya satu ion Ca2+ tiap molekul enzim. Ion
kalsium ini penting untuk aktivitas dan stabilitas enzim. Ion kalsium dalam enzim
Taka amilase A dari A. oryzae berada dekat celah antara dua domain strukturalnya,
kemungkinan berperan dalam penstabilan bentuk celah (Vihinen dan Mantsala.,1989).
Keadaan yang sama diidentifikasi dalam -amilase pankreas babi yang menunjukkan
ion kalsium menstabilkan celah dengan induksi jembatan ionik di antara domain
(Buisson et al., 1987). Afinitas ion kalsium pada -amilase lebih kuat dari kation-
kation lain. Masih belum jelas apakah ion kalsium dapat diganti oleh kation-kation
lain (Vihinen dan Mantsala.,1989).

374 Banyak sumber utama α-amilase telah diakui sebagai kelompok mikroorganisme
yang berbeda, terutama bakteri dan jamur yang mengarah ke penggunaan dalam
industri. Ini telah dipelajari secara luas karena peningkatan relatif dalam aplikasi skala
besar (Simair, et al., 2017). Bakterial α-amilase memiliki sifat-sifat baru, telah menjadi
cakupan utama penelitian terbaru (Trabelsi et al., 2019). Bacillus subtilis adalah
bakteri gram positif berbentuk batang, dapat membentuk endospore, untuk bertahan di
lingkungan ekologi berbahaya dari radiasi, pelarut, suhu dan pH ekstrim (Yu et al.,
2014). Amilase enzim pendegradasi pati, adalah enzim penting yang digunakan dalam
industri dan menyumbang proporsi tinggi dari pasar enzim (Singh et al., 2016). Pada
penelitian ini telah dilakukan karakterisasi pada enzim α-amilase hasil pemurnian dari
Bacillus subtilis ITBCCB148 meliputi penentuan suhu optimum, konsentrasi substrat
dan stabilitas termal.

METODE PELAKSANAAN
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang mempunyai
derajat proanalisis. Bacillus subtilis ITBCCB148 yang diperoleh dari Laboratorium
Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi
Bandung.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, mikropipet
Eppendroff, autoklaf model S-90N, laminar air flow CRUMA model 9005-FL,
sentrifuga WIFUG LABOR-50M, shaker watebath incubator GFL1092, Magnetic
Stirrer STUART CB 161, incubator PRECISTERM, penangas PRECISTERM,
waterbath incubator HAAKE dan spektrofotometer UV-VIS Cary Win UV 32.

Prosedur Penelitian

Produksi enzim α-amilase; Enzim -amilase diproduksi pada media fermentasi yang
mengandung: pati 0,5%; ekstrak ragi 0,5%; KH2PO4 0,05%; dan CaCl2 2H2O 0,01%
dengan pH 6,5. Suhu fermentasi 32C; dan lama waktu fermentasi 72 jam (Yandri et
al., 2010).

Isolasi enzim α-amilase; Enzim -Amilase dalam media fermentasi dipisahkan dari sel
bakteri lokal Bacillus subtilis ITBCCB148 dengan sentrifuga dingin pada laju 6000
rpm selama 30 menit sehingga diperoleh ekstrak kasar enzim (Yandri et al., 2010).

Pemurnian enzim selulase; Pemurnian dilakukan dengan cara fraksinasi menggunakan 375
garam ammonium sulfat dengan berbagai derajat kejenuhan dan dilakukan dialisis
(Yandri et al., 2010; Bolag et al., 1996).

Uji aktivitas dan penentuan kadar protein enzim; Uji aktivitas -amilase
menggunakan metode Fuwa (Fuwa, 1954) dan pereaksi asam dinitrosalisilat (Mandels
et al., 1976). Kadar protein enzim ditentukan dengan metode Lowry et al., (1951).

Penentuan suhu optimum; Penentuan suhu optimum enzim α-amilase ditentukan


dengan memvariasikan suhu, yaitu 55; 60; 65; 70; 75; 80; dan 85. Selanjutnya
dilakukan pengukuran aktivitas enzim dengan metode Mandels.

Penentuan KM dan Vmaks; Nilai Michaelis-Menten (KM) dan laju reaksi maksimum
(Vmaks) enzim dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi substrat (larutan pati)
yaitu 0,1; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 %.

Uji stabilitas termal enzim (Yang et al., 1996); Stabilitas termal enzim dilakukan
dengan cara mengukur aktivitas sisa enzim setelah diinkubasi selama 0, 10, 20, 30, 40,
50, 60, 70, 80, 90 dan 100 menit.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Isolasi Enzim
Ekstrak kasar enzim α-amilase dalam media fermentasi dipisahkan dari
komponen sel lainnya melalui sentrifugasi dingin dengan kecepatan 6000 rpm selama
30 menit. Ekstrak kasar enzim α-amilase yang diperoleh memiliki aktivitas unit dan
aktivitas spesifik berturut-turut yaitu 291 U/mL dan 1285 U/mg.
Pemurnian Enzim α-Amilase
Ekstrak kasar Enzim α-Amilase yang diperoleh kemudian dimurnikan.
Pemurnian enzim yang dilakukan pada penelitian ini meliputi tahap fraksinasi dengan
ammonium sulfat, dan dialisis.
Fraksinasi dengan ammonium sulfat

Pada tahap ini proses pemurnian dilakukan dengan cara menambahkan ammonium
sulfat dalam lima tingkat fraksi, yaitu (0-20)%, (20-40%), (40-60)%, (60-80)%, dan
(80-100)%. Gambar 1. menunjukkan hubungan antara tingkat kejenuhan ammonium
sulfat dengan aktivitas spesifik enzim α-amilase.

376

Gambar 1. Hubungan antara berbagai tingkat kejenuhan ammonium sulfat dengan


aktivitas spesifik enzim α-amilase

Dari gambar di atas diketahui bahwa aktivitas spesifik enzim α-amilase tertinggi
berada pada fraksi 40-60%, yaitu sebesar 51.920,736 U/mg. Namun, pada beberapa
fraksi enzim seperti fraksi 20-40%, 60-80% dan 80-100% masih terdapat aktivitas
spesifik yang cukup besar yaitu 6167,696 U/mg, 3350,864 U/mg, dan 633,315 U/mg.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak enzim yang terendapkan pada
fraksi-fraksi tersebut. Sehingga untuk proses fraksinasi menggunakan ammonium
sulfat berikutnya hanya dibagi menjadi dua fraksi yaitu 0-20% dan 20-90%.
Pembagian fraksi tersebut bertujuan untuk meningkatkan perolehan dan aktivitas
enzim serta menghindari kehilangan protein enzim yang cukup besar selama proses
fraksinasi. Fraksi 0-20% tidak digunakan untuk proses pemurnian selanjutnya karena
jumlah enzim yang terendapkan sangat sedikit sehingga aktivitas spesifik enzim pada
fraksi ini pun sangat kecil yaitu 648,2 U/mg . Sedangkan aktivitas spesifik pada fraksi
20-90% yaitu sebesar 4991 U/mg. Hasil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas
spesifik enzim hasil fraksinasi mengalami peningkatan kemurnian dibandingkan
eksrak kasar enzim yaitu sebesar 3,9 kali dengan perolehan enzim sebesar 68%.
Adapun aktivitas spesifik pola fraksinasi (0-20)% dan (20-90)% dapat dilihat pada
Gambar 2.

377

Gambar 2 . Hubungan antara tingkat kejenuhan ammonium sulfat fraksi (0-20)%


dan (20-90)% dengan aktivitas spesifik enzim α-amilase
Dialisis

Dialisis merupakan suatu metode yang digunakan untuk memisahkan larutan


protein dari garam. Metode ini didasarkan pada sifat semipermeabel membran
(kantong selofan) yang dapat menahan molekul-molekul besar, tapi dapat meloloskan
molekul-molekul kecil seperti garam. Sehingga protein enzim akan terpisahkan dari
garam-garam dan ion-ion lain, yang pada akhirnya akan diperoleh enzim dengan
kemurnian yang lebih tinggi. Pada penelitian ini didapatkan bahwa enzim α-amilase
hasil dialisis memiliki akivitas spesifik sebesar 7532 U/mg. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas spesifik enzim hasil dialisis mengalami peningkatan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

kemurnian dibandingkan ekstrak kasar enzim yaitu sebesar 5,9 kali dengan perolehan
enzim sebesar 49%. Tabel 1. menunjukkan ringkasan pemurnian enzim α-amilase dari
B. subtilis ITBCCB148.

Tabel 1. Pemurnian enzim α-amilase dari B. subtilis ITBCCB148

Tahap Volume Aktivitas Aktivitas Kadar Aktivitas Tingkat perolehan


Enzim Unit Total (U) Protein Spesifik Kemurnian (%)
(mL) (U/mL) (mg/mL) (U/mg) (kali)
Ekstrak
Kasar 3000 291 873000 0,2265 1285 1 100
Hasil
Fraksi 150 3943 591450 0,790 4991 3,9 68
(20-90%)
ammonium
sulfat
Hasil 300 1416 424800 0,188 7532 5,9 49
Dialisis

Data pada Tabel 1 di atas menunjukkan enzim α-amilase mengalami


378 peningkatan aktivitas spesifik setiap tahap pemurnian. Hal ini didukung oleh
penurunan kadar protein dan perolehan (%) enzim yang menunjukkan bahwa enzim
telah terpisahkan dari protein lainnya. Hasil ini juga menunjukkan perolehan enzim
hasil pemurnian (hasil dialisis) tidak terlalu besar yaitu 49%, hal ini mungkin
disebabkan tidak semua enzim α-amilase terendapkan oleh garam amonium sulfat atau
kemungkinan lain enzim kehilangan aktivitas selama proses karena larutan enzim
yang sangat encer.

Karakterisasi Enzim Hasil Pemurnian


Penentuan suhu optimum

Penentuan suhu optimum enzim α-amilase ditentukan dengan menginkubasi


enzim pada berbagai suhu inkubasi 55, 60, 65, 70, 75, 80, dan 85oC. Aktivitas enzim
α-amilase dari Bacillus subtilis ITBCCB148 hasil pemurnian pada berbagai suhu dapat
dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa suhu optimum
enzim hasil pemurnian adalah 65oC. Enzim ini termasuk golongan enzim yang
bersifat temostabil yaitu enzim yang dapat bekerja pada rentang suhu antara 60 - 125
o
C (Vieille dan Zeikus, 1996; Vieille dan Zeikus, 2001). Gambar 3 juga menunjukkan
enzim hasil pemurnian cukup stabil antara suhu 55 – 80 oC dan memenuhi syarat
untuk digunakan dalam industri.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

Gambar 3. Suhu optimum enzim hasil pemurnian


Penentuan stabillitas termal enzim hasil pemurnian

Penentuan stabilitas termal enzim ditentukan dengan menginkubasi enzim pada


berbagai waktu inkubasi yaitu 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, dan 100 menit.
Gambar 4 menunjukkan enzim hasil pemurnian mempunyai aktivitas sisa (%) setelah
379
diinkubasi selama 100 menit sebesar 20%. Perlu peningkatan stabilitas enzim agar
dapat digunakan dalam industri.

Gambar 4 . Hubungan antara stabilitas termal enzim hasil pemurnian pada suhu
65oC terhadap waktu.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

Penentuan KM dan Vmaks enzim hasil pemurnian

Penentuan harga KM dan Vmaks dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi


substrat terhadap enzim. Konsentrasi substrat yang digunakan adalah 0,1 ; 0,2 ; 0,4 ;
0,6 ; 0,8 ; 1,0%. Grafik penentuan harga KM dan Vmaks enzim hasil pemurnian dapat
dilihat pada Gambar 5. Dari persamaan Lineweaver-Burk diperoleh nilai Vmaks enzim
hasil pemurnian sebesar 147,058 µmol/mL.menit dan KM sebesar 7,543 mg/mL.

380

Gambar 5. Grafik Lineweaver-Burk untuk enzim hasil pemurnian

SIMPULAN
Aktivitas spesifik enzim α-amilase hasil pemurnian meningkat sebesar 5,9
kali dibandingkan ekstrak kasar enzim yaitu sebesar 1285 U/mg menjadi 7532 U/mg.
Enzim α-amilase hasil pemurnian memiliki suhu optimum 65ºC. Uji stabilitas enzim
hasil pemurnian pada suhu 65ºC selama 100 menit masih memiliki aktivitas sebesar
20% . Enzim α-amilase hasil pemurnian memiliki KM = 7,543 mg mL 1, Vmaks =
147,058 μmol mL-1 menit-1.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

REFERENSI
Bollag, D. M., M. D. Rozycki, S. J. Edelstein (1996). Protein Methods 2 nd ed., John
Wiley & Sons, Inc., Publication, New York.
Buisson, G., E. Duee, R. Haser, and F. Payan (1987), Three dimensional structure of
porcina pancreatic -amylase at 2.9 Å resolution. role of calcium in structure
and activity, EMBO J., 6, 3909-3916.

Fogarty, W.M. and C.T. Kelly (1979), Enzyme and Fermentation Biotechnology, Ellis
Horwood Limited, West Sussex, England, 45-52.

Fuwa, H. (1954), A new method for microdetermination of amylase activity by the use
of amylose as the substrate, J. Biochem. (Tokyo), 41, 583-603.

Horvathova, V. S. Janecek, and E. Sturdik (2000), Amylolytic enzymes: Their


specificities, origins, and properties, Biologia, Bratislava, 55:6, 605-615.

Janecek, S. and S. Balaz (1992), -Amylase and approaches leading to their enhanced
stability, Febs Lett., 304 (1), 1-3.

Lowry, O.H., N.J., Rosebrough, A.L., Farr, R.J. Randall (1951), Protein measurment
with the Folin phenol reagent, J. Biol. Chem., 193-265. 381
Mandels, M., A. Raymond , R. Charles (1976), Measurement of saccharifying
cellulase, Biotech. & Bioeng. Symp., No. 6, John Wiley & Sons Inc.

Ohdan, K., T. Kuriki, H. Kaneko, J. Shimada, T. Takada, Z. Fujimoto, H. Mizuno, and


S. Okada (1999), Characteristics of two forms of -amylases and structural
implication, Appl. Environ. Microbiol., 65/10, 4652-4658.

Simair, A. A., Qureshi, A. S., Khushk, I., Ali, C. H., Lashari, S., Bhutto, M. A., & Lu,
C. (2017), Production and partial characterization of α-amylase enzyme from
bacillus sp. bcc 01-50 and potential applications. BioMed research international
pp 1-9.

Singh, R., Kumar, M., Mittal, A., & Mehta, P.K. (2016), Microbial enzymes: industrial
progress in 21st century. Biotech 6 2 174

Trabelsi S, Mabrouk S B, Kriaa M, Ameri R, Sahnoun M, Mezghani M, Bejar S


(2019), The optimized production, purification, characterization, and application
in the bread making industry of three acid-stable alpha-amylases isoforms from a
new isolated Bacillus subtilis strain US586. J Food Biochem. e12826.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yandri, Fathaniah Sejati, Tati Suhartati, Heri Satria dan Sutopo Hadi

Vieille, C. and J. G. Zeikus (1996), Thermozymes: Identifying molecular determinant


of protein structural and functional stability, Tibtech., 14 (6), 183-189.

Vieille, C. and G. J. Zeikus (2001), Hyperthermophilic enzymes: Sources, uses, and


molecular mechanisms for thermostability, Microbiol. Mol. Biol. Rev., 65 (1), 1-
43.

Vihinen, M. and P. Mantsala (1989), Site-directed Mutagenesis of a Thermostabile -


Amylase from Bacillus stearothermophilus: Putative Role of Three Conserved
Residues, Crit. Rev. Biochem. Mol. Biol., 24, 329-418.

Yandri, A.S., T. Suhartati, and S. Hadi. 2010. Purification and characterization of


extracellular α-amilase enzyme from locale bacteria isolate Bacillus
subtilisITBCCB148. Eur. J. Sci. Res.39 (1): 64-74.

Yang, Z., D. Michael, A. Robert, X.Y. Fang, and J.R. Alan (1996), Polyethylene
glycol-induced stabilization of subtilisin, Enzyme Microb. Technol., 18, 82-89.

Yu , AC, Loo JF, Yu S, Kong SK, Chan TF. (2014) Monitoring bacterial growth
using tunable resistive pulse sensing with a pore-based technique. Applied
Microbiology and Biotechnology. 98 (2): 855–62.
382

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

ISOLASI SENYAWA BIOAKTIF DARI KULIT CABANG TUMBUHAN


PUDAU (Artocarpus kemando Miq.)

Tati Suhartati * ABSTRACT: The purpose of this study was to isolate and identify bioactive flavonoid
Universitas Lampung compounds contained in the polar fraction of the branch skin of pudau plants (Artocarpus
kemando Miq.) obtain from Karang Anyar, Klaten, Penengahan, South Lampung. The
isolation of compounds was extracted using maceration method with methanol solvent,
Vicka Andini then followed by purifification using vacuum liquid chromatography and column
Universitas Lampung chromatography. The molecular structure of flavonoids are determined including physic
parameters, and spectroscopy by using UV-Vis and IR. Pure compounds from isolation
Yandri A.S are yellow crystals that it has a melting point of 255-258oC. Based on the results of
Universitas Lampung spectroscopic analysis and comparing with standard compounds, it was shown that the
isolated compound is artonin E. The purification step obtained this compound as much
as 106.8 mg succesfully. This compound showed strong anticancer activity with IC50
(1.56 µg / mL) in the cytotoxicity test using P-388 leukemia cells, also showed
antibacterial activity with a moderate category against Bacillus subtilis and Escherichia
coli.

KEYWORDS: Artocarpus kemando Miq., Artonin E, P-388 leukemia cell, Bacillus subtilis,
Escherichia coli.

* Corresponding Author: Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Lampung, Bandar Lampung 35145 Indonesia; Email:
tati.suhartati@fmipa.unila.ac.id

383

PENDAHULUAN
Artocarpus kemando banyak ditemukan di hutan Malaysia dan Indonesia (di
Sumatera dan Kalimantan). Isolasi senyawa kimia dari A. kemando sudah dimulai
sejak tahun 2001, dan telah diisolasi norartokarpetin, artokarpin, sikloartokarpin,
siklomulberokromen, caplasin, sikloartobilosanton, dan artoindonesiani D (Suhartati
et al., 2001), bahan tumbuhan diambil dari Kebun Raya, Bogor. Pada tahun 2011,
senyawa aurantiamida benzoat, sikloartobilosanton, dihidroartoindonesianin C, dan
6,7-dimetoksikumarin (Hashim et al., 2011) diisolasi dari A. kemando yang tumbuh di
Serawak, Malaysia, sedangkan Ee et al. (2011) pada tahun dan asal tumbuhan yang
sama mengisolasi artomandin, artoindonesianin C, artonol B, artochamin A, dan -
sitosterol. Dari berbagai senyawa yang telah diisolasi ini banyak yang merupakan
senyawa flavonoid yang terprenilasi dan pada uji sitotoksisitas terhadap sel kanker
menunjukkan aktivitas yang baik, sehingga A. kemando dikategorikan sebagai salah
satu sumber senyawa antikanker (Seo et al., 2003). Banyaknya variasi senyawa
flavonoid dengan aktivitas yang menarik yang berasal dari spesies tumbuhan yang
sama, tetapi berlainan tempat tumbuh, memungkinkan menghasilkan senyawa dan
aktivitas yang berbeda.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Tujuan dari penelitian ini adalah mengisolasi senyawa flavonoid dari kulit
cabang tumbuhan Pudau (Artocarpus kemando Miq.) dari Dusun Karang Anyar, Desa
Klaten, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, Provinsi Lampung,
mengkarakterisasi senyawa hasil isolasi, menguji aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Bacillus subtilis, Escherichia coli dan aktivitas antikanker terhadap sel leukemia P-
388.

METODE PELAKSANAAN
Bahan

Bahan yang digunakan adalah kulit cabang tumbuhan pudau (Artocarpus


kemando Miq.) yang diperoleh dari Dusun Karang Anyar, Desa Klaten, Kecamatan
Penengahan, Lampung Selatan pada tanggal 28 Mei 2016. Pelarut yang digunakan
untuk ekstraksi dan kromatografi berkualitas teknis yang telah didestilasi sedangkan
untuk analisis spektrofotometer berkualitas pro-analisis (p.a). Bahan kimia yang
digunakan meliputi metanol (MeOH), n-heksana (n-C6H14), etil asetat (EtOAc), aseton
(C2H6O), serium sulfat (Ce(SO4)2) 1,5% dalam asam sulfat (H2SO4) 15%, akuades,
diklorometana (CH2Cl2), benzena (C6H6), silika gel Merck G 60, silika gel Merck 60
384 (35-70 Mesh) untuk KCV dan KK, plat KLT silika gel Merck kiesegal 60 F254 0,25
mml AlCl3, HCl pekat, NaOAc, NaOH, dan H3BO3; Bahan-bahan uji aktivitas
antibakteri meliputi akuades, media Nutrient Agar (NA), bakteri Bacillus subtilis,
Escherichia coli, chloramphenicol, dan amoxycillin.

Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas, penguap
putar vakum (rotary evaporator), peralatan Kromatografi Lapis Tipis (KLT),
Kromatografi Cair Vacum (KCV), Kromatografi Kolom (KK), lampu UV, pengukur
titik leleh MP-10 Stuart, pipet kapiler, neraca analitik, autoclave, Laminar Air Flow
(LAF), jarum ose, cawan petri, inkubator, Bunsen, mikropipet, kertas Whatman,
spektrofotometer FT-IR Prestige 21 Shimadzu, spektrofotometer ultraungu-tampak
(UV-Vis) Cary-100 UV-Vis Agilent Technologies, plate Corning disposable,
sentrifuga (centrifuge), dan microplate reader (Tohso MPR-A4i).

Prosedur Penelitian

Ekstraksi : Sebanyak 2,62 kg kulit cabang tumbuhan A. kemando Miq. yang sudah
dikeringkan dan dihaluskan dimaserasi dengan menggunakan pelarut metanol selama

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

24 jam dengan 3 kali pengulangan. Hasil maserasi metanol kemudian disaring dan
filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan penguap putar vakum pada suhu 50oC
dengan laju putaran 120 rpm. Hasil pemekatan diperoleh ekstrak kasar sebanyak
111,54 gram, yang selanjutnya difraksinasi menggunakan teknik Kromatografi Cair
Vakum (KCV) menggunakan adsorben Silika gel dan eluen n-heksana-etilasetat yang
ditingkatkan kepolarannya. Hasil fraksinasi diperoleh lima fraksi utama A-E, fraksi A
diperoleh sebanyak 0,016 gram, fraksi B sebanyak 10,92 gram, C sebanyak 16,04
gram, fraksi D sebanyak 8,4 gram, dan fraksi E sebanyak 5,03 gram. Fraksi C
sebanyak 16,044 gram dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan menggunakan teknik
KCV, menghasilkan 16 fraksi, dari fraksi 12 dihasilkan kristal berwarna kuning
(kristal 2A) sebanyak 172,2 mg. Kemudian kristal 2A dimurnikan lebih lanjut
menggunakan metode KK, dengan adsorben silika gel, dan eluen aseton/n-heksana
3:7. Endapan yang terbentuk di-KK lebih lanjut menggunakan eluen etil asetat/n-
heksana 4:6, diperoleh kristal kuning 2AVk sebanyak 34,2 mg. Filtrat dari Kristal 2A,
selanjutnya dimurnikan dengan cara KK menggunakan eluen etil asetat/n-heksana 3:7,
diperoleh krital kuning (2Fa) 72,6 gram. Kristal 2AVk dan 2Fa memiliki Rf yang
sama pada kromatogram KLT menggunakan tiga sistem eluen, mempunyai titik leleh
255-258oC, penggabungan kedua kristal diperoleh berat 106,8 mg (senyawa 1).
385
Analisis : Senyawa (1) dianalisis menggunakan spektroskopi UV-Vis dan Fourier
Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), dan di-KLT bersama senyawa standard
artonin E menggunakan tiga sistem eluen.

Uji aktivitas : Senyawa (1) selanjutnya diuji bioaktivitasnya terhadap bakteri E. coli
dan B. subtillis mengggunakan metode difusi kertas cakram menurut Bauer et al
(1966), dan uji antikanker menggunakan sel leukemia P-388 menggunakan metode
Alley et al., 1988.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Spektrofotometri ultraviolet-tampak
Senyawa (1) memberikan serapan maksimum pada λmaks 204 nm, 267 nm, dan
347 nm dalam pelarut metanol (Gambar 1). Data spektrum UV menunjukkan
karakteristik untuk senyawa flavon. Serapan maksimum di daerah ultraviolet pada
λmaks 347 nm merupakan spektrum khas flavon pada pita I yang menunjukkan
karakteristik cincin B dan C struktur flavonoid. Serapan maksimum pada λmaks 267 nm
merupakan spektrum khas flavon pada pita II yang menunjukkan karakteristik cincin
A.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Gambar 1. Spektrum UV senyawa (1) dalam MeOH.

Pada penambahan pereaksi geser NaOH, terjadi pergeseran pada pita I dari λmaks
347 nm menjadi 368 nm atau terjadi penambahan sebesar 21 nm. Pergeseran
batokromik pita I terhadap spektrum metanol pada penambahan pereaksi geser NaOH
menunjukkan adanya gugus hidroksil pada posisi C4’ (Gambar 2).

386

Gambar 2. Spektrum UV senyawa (1) dalam (a) MeOH, (b) MeOH + NaOH.

Pada penambahan pereaksi geser NaOAc dan H3BO3 tidak menunjukkan


pergeseran, senyawa tidak terdapat gugus hidroksil bebas atau gugus hidroksil pada
posisi C7. Pada penambahan pereaksi geser AlCl3 memberikan pergeseran batokromik
terhadap pita I sekitar 79 nm (Gambar 3). Hal ini mengindikasikan pada senyawa
hasil isolasi terdapat gugus hidroksil pada posisi C5 yang berdekatan dengan gugus
karbonil.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Gambar 3. Spektrum UV senyawa (1) dalam (a) MeOH, (e) MeOH + AlCl3.

Adanya gugus o-dihidroksil pada cincin B ditunjukkan oleh adanya pergeseran


panjang gelombang yang menurun pada penambahan HCl (AlCl3/ HCl) dengan
intensitas yang rendah. Pada penambahan HCl (AlCl3/ HCl), menunjukkan adanya
perubahan puncak serapan pada pita I dengan pergeseran panjang geombang yang
menurun sebesar 22 nm dibandingkan dengan pergeseran panjang gelombang setelah
penambahan AlCl3 (Gambar 4). Hal ini mengindikasikan pada senyawa hasil isolasi
terdapat gugus o-dihidroksi pada cincin B. Pada pita II terdapat pergeseran sebesar 10 387
nm yang mengindikasikan bahwa terdapat gugus hidroksil pada C5 (Markham,1988).
Bentuk spektrum senyawa (1) mirip dengan artonin E, sehingga senyawa (1) di-KLT
dengan menggunakan tiga sistem eluen, dan diperoleh Rf yang sama. Perbandingan
data spektrum UV-Vis senyawa artonin E standar dan senyawa (1) dari kulit cabang
tumbuhan pudau ditunjukkan pada Tabel 1.

Gambar 4. Spektrum UV senyawa (1) dalam (a) MeOH, (e) MeOH + AlCl3, (f) MeOH
+ AlCl3 + HCl.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Tabel 1. Perbandingan data spektrum UV-Vis senyawa artonin E standar (Hernawan,


2008), (Hasanah, 2016) dan senyawa (1) kulit cabang tumbuhan pudau.
UV, λmaks nm (log ɛ)
Artonin E Artonin E
(Hernawan, (Hasanah, Senyawa (1)
2008) 2016)
MeOH MeOH MeOH
203 (3,61) 204 (4,71) 204 (4,71)
268 (3,62) 267 (4,73) 267 (4,73)
347 (2,96) 347 (4,02) 347 (4,02)

MeOH+ MeOH+ NaOH MeOH+ NaOH


NaOH 212 212
268 268
368

MeOH+ MeOH+ MeOH+ NaOAc


NaOAc NaOAc 204
203 203 266
268 267 346
347 347
MeOH+ MeOH+ MeOH+
NaOAc+ NaOAc+ NaOAc+ H3BO3
H3BO3 H3BO3 203
388 203 266
266 348
347
MeOH+ AlCl3 MeOH+ AlCl3 MeOH+ AlCl3
203 204 202
226 226 227
276 276 276
425 414 426

MeOH+ AlCl3 MeOH+ AlCl3 + MeOH+ AlCl3 +


+ HCl HCl HCl
203 203 201
226 226 226
276 268 276
347 347 404

Analisis Spektroskopi Inframerah


Dalam spektrum inframerah senyawa (1) terdapat pita melebar pada daerah
bilangan gelombang 3431 cm-1 yang berasal dari vibrasi ulur dari gugus hidroksil.
Puncak serapan pada daerah 2978 cm-1 dan 2924 cm-1 merupakan petunjuk adanya
gugus C-H alifatik. Serapan pada bilangan gelombang 1655 cm-1 menunjukkan
adanya gugus karbonil (C=O) yang berkonjugasi dengan C=C. Serapan dalam daerah

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

1562 - 1462 cm-1 menunjukkan adanya cincin aromatik (Markham, 1988). Spektrum
IR senyawa (1) dapat dilihat pada Gambar 5.

100

%T

441.70
95

698.23
966.34
1072.42

767.67
831.32

611.43
2924.09

90
2978.09

85

1236.37
1523.76
1462.04

1286.52
1562.34
80

1354.03

1155.36
75

1654.92

70

65
3431.36

60
4500 4000 3500 3000 2500 2000 1750 1500 1250 1000 750 500
2AaV 1/cm

389
Gambar 5. Spektrum IR senyawa (1)

Gambar 6. Spektrum IR senyawa artonin E (Hasanah, 2016).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Spektrum IR senyawa (1) menunjukkan adanya kemiripan dengan spektrum


senyawa artonin E standar. Perbandingan spektrum IR senyawa (1) dengan spektrum
artonin E standar dapat dilihat pada Gambar 6. Dari perbandingan serapan pada
bilangan gelombang spektrum IR senyawa (1) dan bentuk spektrum, menunjukkan
bahwa senyawa (1) memiliki gugus fungsi yang sama dengan artonin E. Perbandingan
spektrum yang dihasilkan antara senyawa artonin E standar dengan senyawa (1) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan data IR senyawa artonin E standar (A) (Hasanah, 2016), B
(Hernawan, 2008), dan senyawa (1) (C).
-1
IR (KBr) v (cm )
A B C
3428 3433 3431
2975 2982 2978
2225 2913 2924
1650 1661 1655
1565 1561 1562
1471 1481 1462
1358 1356 1354
1284 1291 1287
390 1164 1179 1155
964 969 966
835 837 831

Berdasarkan perbandingan kromatogram KLT, spektrum IR, dan spektrum


UV-Vis dari senyawa (1) dengan senyawa standard, sehingga senyawa (1)
merupakan senyawa artonin E dengan struktur yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Struktur senyawa artonin E (Hano et al.,1990)

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Uji Bioaktivitas terhadap bakteri Bacillus subtilis dan E. coli


Senyawa (1) diuji aktivitas antibakteri menggunakan bakteri B. subtilis dan
E.coli. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap B. subtilis senyawa (1) dapat dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap B. subtilis dari senyawa (1)
Ukuran zona hambat
Konsentrasi kontrol 0,05 g/disk 0,10 mg/disk 0,15 mg/disk
(+)
Konsentrasi senyawa 0,3 mg/disk 0,4 mg/disk 0,5 mg/disk
(1)
Kontrol (+) 23 mm 26 mm 25 mm
Kontrol (-) - - -
Senyawa (1) 8 mm 12 mm 8 mm

Uji aktivitas antibakteri senyawa (1) menunjukkan bahwa senyawa memiliki


aktivitas antibakteri kategori sedang terhadap B. subtilis pada konsentrasi 0,3
mg/disk; 0,4 mg/disk; 0,5 mg/disk ditunjukkan dengan ukuran zona hambat. Zona
hambat senyawa pada konsentrasi 0,3 mg/disk dan 0,5 mg/disk sebesar 8 mm,
sedangkan pada konsentrasi 0,4 mg/disk sebesar 12 mm. Hasil uji aktivitas
antibakteri terhadap E. coli senyawa (1) dapat dilihat pada Tabel 4. 391

Tabel 4. Hasil uji aktivitas antibakteri terhadap E. coli dari senyawa (1)
Ukuran zona hambat
Konsentrasi kontrol 0,05 mg/disk 0,10 mg/disk 0,15 g/disk
(+)
Konsentrasi senyawa 0,3 mg/disk 0,4 mg/disk 0,7 mg/disk
(1)
Kontrol (+) 22 mm 23 mm 27 mm

Kontrol (-) - - -
Senyawa (1) 8 mm 8 mm 9 mm

Uji aktivitas antibakteri senyawa (1) menunjukkan bahwa senyawa memiliki


aktivitas antibakteri kategori sedang terhadap E. coli pada konsentrasi 0,3 mg/disk;
0,4 mg/disk, dan 0,5 mg/disk. Zona hambat senyawa pada konsentrasi 0,3 mg/disk
dan 0,4 mg/disk sebesar 8 mm, sedangkan pada konsentrasi 0,5 mg/disk sebesar 9
mm. Dari kedua uji aktivitas antibakteri ini menunjukkan bahwa senyawa (1)
memiliki aktivitas antibakteri kategori sedang baik terhadap B. subtillis maupun E.
coli.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Senyawa antibakteri merupakan senyawa yang memiliki kemampuan mencegah


terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri (Sudrajat dkk., 2012). Flavonoid
menyebabkan kerusakan membran sel bakteri, sehingga sintesis makromolekul bakteri
terhambat. Flavonoid menjadi salah satu senyawa yang menjanjikan untuk
pengembangan obat lebih lanjut karena potensinya sebagai antimikroba yang
signifikan (Dzoyem et al., 2013). Aktivitas biologis dari flavonoid terprenilasi
dihubungkan dengan keberadaan gugus prenil. Gugus prenil dari senyawa (1) dapat
meningkatkan lipofilisitas dan permeabilitas membran dari senyawa (Sasaki et al.,
2012).

Uji Aktivitas Antikanker


Hasil analisis data diperoleh nilai IC50 dari senyawa (1) terhadap sel kanker
leukemia P-388. Hasilnya menunjukkan bahwa senyawa (1) memiliki efek sitotoksik
terhadap sel leukemia P-388 dengan nilai IC50 sebesar 1,56 µg/mL. Hal ini
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 1,56 µg/mL senyawa (1) mampu menghambat
pertumbuhan sel kanker leukemia P-388 sebanyak 50%.

Senyawa murni yang dikategorikan sebagai senyawa aktif antikanker secara in


392 vitro jika senyawa tersebut memiliki nilai IC50 < 2 µg/mL (sangat aktif), IC50 2-4
µg/mL (aktif), dan IC50 > 4 µg/mL (tidak aktif) (Alley et al., 1988). Sehingga uji
aktivitas antikanker senyawa (1) dapat dikategorikan memiliki aktivitas antikanker
sangat aktif terhadap sel leukemia P-388.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut: telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi senyawa murni
flavonoid yang dikenal dengan nama artonin E dari fraksi polar kulit cabang
tumbuhan pudau (Artocarpus kemando Miq.) sebanyak 106,8 mg dan memiliki sifat
fisik berupa kristal berwarna kuning dengan titik leleh 255-258oC, menunjukkan
aktivitas antikanker yang sangat aktif terhadap sel leukemia P388 dengan nilai IC 50
1,56 µg/mL. Senyawa hasil isolasi menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri
B. subtilis dan E. coli dengan kategori sedang pada konsentrasi 0,3 mg/disk.

REFERENSI
Alley, M.C., D.A. Scudiero, A. Monks, M.L. Hursey, M.J. Czerwinski, D.L. Fine, B.J.
Abbott, J.G. Mayo, R.H. Shoemaker, and M.R. Boyd. 1988. Feasibility of drug
screening with panels of man tumor cell lines using a microculture tetrazolium
assay. Cancer Research. 48: 589-601.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Bauer, A.W., W.M. Kirby, J.C. Sherris, and M. Turck. 1966. Antibiotic susceptibility
testing by a standarized single disk method. American Journal of Clinical
Pathology. 45(4): 493-496.

Dzoyem, J.P., H. Hamamoto, B. Ngameni, B.T. Ngadjui, dan K. Sekimizu. 2013.


Antimicrobial action mechanism of flavonoids from Dorstenia species. Drug
Discoveries & Therapeutics. 7(2): 66-72.

Ee, G.C.L., S. H. Teo, M. Rahmani, C.K. Lim, Y. M. Lim, and R. Go. 2011.
Artomandin, a new xanthone from Artocarpus kemando (Moraceae). Natural
Products Research. 25(10): 995-1003.

Hano, Y., Y. Yamagami, M. Kobayashi, R. Isohata, T. Nomura. 1990. Artonin E and


F, two new prenylflavones from the bark of Artocarpus communis Forst.
Heterocycles. 31(5): 877-882.

Hasanah, S.I. 2016. Isolasi, Karakterisasi, dan Modifikasi serta Uji Bioaktivitas
Antibakteri dan Antijamur Senyawa artonin E dari Fraksi Polar Kayu Akar
Tumbuhan Kenangkan (Artocarpus rigida). (Skripsi). Universitas Lampung.
Bandar Lampung. 52-54.
393
Hashim, N. M., M. Rahmani, S. S. Shamaun, G. C. L. Ee, M. A. Sukari, A. M. Ali,
and R. Go. 2011. Dipeptide and xanthones from Artocarpus kemando Miq.
Journal of Medicinal Plant Research. 5(17): 4224-4230.

Hernawan. 2008. Isolasi dan identifikasi senyawa flavonoid dari kulit batang
tumbuhan kenangkan Artocarpus rigida Bl. (Skripsi). Universitas Lampung.
Bandar Lampung. 48-53.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Alih Bahasa Kosasih


Padmawinata. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 39-53.

Sasaki, H., Y. Kashiwada, H. Shibata, and Y. Takaishi. 2012. Prenylated flavonoids


from Desmodium caudatum and evaluation of their anti-MRSA activity.
Phytochemistry. 82: 136-142.

Seo, E.K., D. Lee, Y.G.Shin, H.B. Chai, H.A. Navarro, L.B. Kardono, I. Rahman, G.
A. Cordell, N. R. Farnsworth, J. M. Pezzuto, A. D. Kinghorn, M. C. Wani, and
M.E. Wall. 2003. Bioactive prenylated flavonoids from the stem bark of
Artocarpus kemando. Archives Pharmacal Research. 26(2): 124-127.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Tati Suhartati, Vicka Andini, dan Yandri A.S

Sudrajat, Sadani, dan Sudiasusti. 2012. Analisis fitokimia senyawa metabolit sekunder
ekstrak kasar etanol daun meranti merah (Shorea leprosula Miq.) dan sifat
antibakterinya terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli. Journal of
Tropical Pharmacy and Chemistry. 1(4): 307-315.

Suhartati, T. 2001. Senyawa Fenol Beberapa Spesies Tumbuhan Jenis Cempedak


Indonesia. (Disertasi). ITB. Bandung. 41-43.

394

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

AC G3 SEBAGAI GREEN INHIBITOR PEMBENTUKAN KERAK


KALSIUM KARBONAT

Suharso * ABSTRACT: The aplication of green inhibitors from nature product to block
Universitas Lampung deposit formation of calcium carbonate (CaCO3) have become a necessity
these days considering the many inhibitors are used in the industries are not
environmentally hospitable and high cost. In this study, it has been studied
Buhani the green inhibitors from natural products called Inhibitor of AC G3. Testing
Universitas Lampung of inhibitor of AC G3 was carried out with seeded experiment method at
temperature of 90 ° C and CaCO3 growth solution concentration of 0.050 M.
Eka Setiososari The results showed that the higher the AC G3 concentration added the
Universitas Lampung greater the effectivity of the inhibitor in blocking the formation of CaCO3
scale accompanied by the decrease in pH of the solution. It is concluded
that the addition of various concentartions of AC G3 from 50 – 350 ppm in
Agung Abadi Kiswandono the CaCO3 growth solution concentration of 0.050 M is able to block the
Universitas Lampung deposit formation of CaCO3.

Heri Satria KEYWORDS: Green inhibitor, CaCO3 crystal, scale formation, seeded
Universitas Lampung experiment.

* Corresponding Author: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro No. 1 Bandar
Lampung, Indonesia 35145; Email: suharso@fmipa.unila.ac.id
395

PENDAHULUAN
Dampak terbentuknya endapan pada peralatan industri yang menggunakan sistim
sirkulasi air pendingin menjadi permasalahan serius yang dihadapi oleh industri
(Abdel-Gaber et al., 2012, Suharso dkk., 2007a, Suharso dkk., 2010, Suharso et al.,
2017, Suharso et al., 2017a, Suharso et al., 2017b). Akibat timbunan yang tidak
diharapkan ini, industri harus mengalami kerugian dari sisi waktu dan dana. Untuk itu,
salah satu metode pencegahan timbunan kerak material anorganik yang berbiaya
murah yaitu penambahan zat inhibitor ke dalam sistim sirkulasi air pendingin menjadi
penting untuk dilakukan.

Kalsium karbonat (CaCO3) merupakan salah satu mineral yang ditemui sebagai
deposit penyusun kerak yang menjadi masalah pada peralatan industri. Untuk
mengatasi masalah ini sejumlah aditif yang berperan sebagai inhibitor dalam
menghambat pembentukan kerak telah dilakukan (Saleah and Basta, 2008, Hasson et
al., 2011, Suharso et al., 2014, Suharso dan Buhani, 2011). Aditif dapat berperan
selain sebagai inhibitor juga dapat berperan merubah morfologi atau mekanisme

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

pertumbuhan kristal (Suharso et al., 2007, Suharso, 2004, Suharso, 2007). Namun
penambahan inhibitor haruslah dilakukan dengan pemilihan yang tepat, karena tidak
semua inhibitor ramah terhadap lingkungan. Untuk itu inhibitor yang ramah terhadap
lingkungan atau green inhibitor menjadi kebutuhan saat ini.

Pada penelitian ini telah diujicobakan green inhibitor dari bahan alam yang
dinamakan Inhibitor AC G3 digunakan untuk menghambat pembentukan kerak
kalsium karbonat (CaCO3). Inhibitor ini dipilih karena selain ramah terhadap
lingkungan, inhibitor ini murah dan tersedia dalam jumlah yang melimpah di alam
sehingga keberlanjutan ketersediaan jenis inhibitor ini tidak menjadi masalah.

METODE PELAKSANAAN
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari yaitu alat-alat gelas,
waterbath, gelas-gelas plastik, spatula, magnetic stirrer, oven, dan neraca analitik
merek Airshwoth AA-160. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari Inhibitor AC G3, CaCl2, Na2CO3, akuades, kertas saring, dan pH
396
universal.
Prosedur Penelitian
Preparasi Bibit Kristal : Proses pembuatan bibit kristal (seed crystal) dibuat
dengan cara mencampurkan CaCl2 1M dan Na2CO3 1M yang masing-masing telah
dilarutkan dalam 500 mL akuades. Campuran tersebut diaduk hingga terbentuk kristal
sempurna, kemudian dipisahkan menggunakan kertas saring. Kristal yang diperoleh
dicuci dengan akuades dan dicuci kembali dengan aseton untuk menghilangkan sisa-
sisa cairan induk dan kotoran, lalu dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105 °C.
Prosedur ini diulang beberapa kali hingga diperoleh bibit kristal yang cukup untuk
melakukan penelitian. Kristal yang diperoleh digunakan sebagai bibit kristal untuk
diamati pertumbuhannya.
Penentuan Laju Pertumbuhan Kerak CaCO3 Tanpa Inhibitor pada Konsentrasi
Larutan Pertumbuhan yang Berbeda Menggunakan Metode Seeded Experiment :
Larutan pertumbuhan dibuat dengan cara mencampurkan CaCl2 0,050 M dan Na2CO3
0,050 M masing-masing dalam 200 mL akuades. Kemudian, masing-masing larutan
diaduk hingga homogen pada suhu 90 °C selama 15 menit . Larutan CaCl2 0,050 M
dan larutan Na2CO3 0,050 M dicampurkan dan diukur nilai pH-nya menggunakan pH

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

universal. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam 7 gelas plastik sebanyak 50 mL


dan ditambahkan 0,2 g bibit kristal pada masing-masing gelas. Setelah itu diletakkan
dalam water bath pada suhu 90 °C selama 45 menit (15 menit pertama satu gelas
diambil, gelas selanjutnya diambil setiap selang waktu 5 menit). Kemudian dilakukan
penyaringan menggunakan kertas saring, dikeringkan dalam oven pada suhu 90 °C
selama 3 jam. Percobaan ini diulang pada variasi konsentrasi larutan pertumbuhan
0,075, 0,100 dan 0,125 M.
Penentuan Laju Pertumbuhan Kerak CaCO3 dengan Penambahan Inhibitor
pada Konsentrasi Inhibitor yang Berbeda dan pada Konsentrasi Larutan
Pertumbuhan 0,050 M Menggunakan Metode Seeded Experiment : Larutan
pertumbuhan dibuat dengan cara melarutkan CaCl2 0,050 M dan Na2CO3 0,050 M
masing-masing dalam 200 mL asap cair 50 ppm. Masing-masing larutan diaduk
hingga homogen pada suhu 90 °C selama 15 menit. Selanjutnya, kedua larutan
tersebut dicampur dan diukur nilai pH-nya menggunakan pH universal. Kemudian
campuran tersebut dimasukkan ke dalam 7 gelas plastik sebanyak 50 mL dan
ditambahkan 0,2 g bibit kristal kedalam masing-masing gelas plastik. Setelah itu
diletakkan dalam water bath pada suhu 90 °C, selama 45 menit (15 menit pertama
satu gelas diambil, gelas selanjutnya di ambil setiap selang waktu 5 menit).
Selanjutnya larutan dalam gelas tersebut disaring menggunakan kertas saring, dan 397
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 90 °C selama 3 jam. Padatan yang
diperoleh ditimbang untuk mengetahui berat kristal yang terbentuk. Percobaan ini
diulang dengan variasi pada variasi konsentrasi inhibitor 150, 250 dan 350 ppm.
Analisa Data : Data yang diperoleh berupa jumlah endapan terhadap waktu
dengan variasi konsentrasi larutan pertumbuhan dan variasi konsentrasi inhibitor yang
berbeda, masing-masing diplot sebagai jumlah endapan terhadap waktu menggunakan
Microsoft Excel. Nilai yang diperoleh dari masing-masing grafik merupakan
pertumbuhan kerak CaCO3. Lalu disimpulkan efektivitas inhibitor dalam menghambat
pembentukan kerak CaCO3.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penentuan Laju Pertumbuhan Endapan CaCO3 Tanpa Inhibitor pada
Konsentrasi Larutan Pertumbuhan yang Berbeda Menggunakan Metode Seeded
Experiment
Laju pertumbuhan kristal CaCO3 dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
kualitas air, konsentrasi larutan pertumbuhan, pH, konsentrasi inhibitor, temperatur,

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

laju alir air, waktu pertumbuhan, dan tekanan (Lestari dkk., 2004). Pada penelitian ini,
laju pertumbuhan kristal CaCO3 ditinjau berdasarkan konsentrasi larutan pertumbuhan,
konsentrasi inhibitor, dan waktu pertumbuhan.
Pada penentuan laju pertumbuhan kerak CaCO3 tanpa inhibitor digunakan
senyawa Na2CO3 dan CaCl2 setelah dicampurkan, kemudian terbentuklah larutan
CaCO3 yang memiliki nilai pH 11. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan
bahwa larutan CaCO3 memiliki nilai pH antara 10-11 dan diketahui pula pada pH
tinggi laju pertumbuhan kerak CaCO3 meningkat (Lestari dkk., 2004). Grafik laju
pertumbuhan Kristal CaCO3 tanpa penambahan inhibitor dengan variasi konsentrasi
larutan pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 1.

0.50

0.050 M
Berat (g/L)

0.40
0.075 M
0.100 M
0.30
0.125 M

398 0.20
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Waktu (menit)

Gambar 1. Perubahan berat endapan CaCO3 terhadap waktu tanpa penambahan


inhibitor
Pada Gambar 1, terlihat pola pertumbuhan kristal CaCO3 tanpa penambahan
Inhibitor AC G3 dengan konsentrasi larutan pertumbuhan 0,050, 0,075, 0,100, dan
0,125 M dan pada variasi waktu 15, 20, 25, 30, 35, 40, dan 45 menit dengan laju
pertumbuhan yang berbeda. Berdasarkan grafik tersebut maka semakin tinggi
konsentrasi larutan pertumbuhan, semakin tinggi pula laju pertumbuhan kristal
CaCO3. Hal ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi maka larutan akan lebih cepat
mencapai keadaan lewat jenuh (supersaturation) dan semakin lama waktu
pertumbuhan yang diperlukan maka semakin banyak kerak yang terbentuk serta
kristal yang terus tumbuh di sekeliling inti kristal juga semakin banyak (Hasson and
Semiat, 2006).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

Penentuan Laju Pertumbuhan Kristal CaCO3 dengan Variasi Konsentrasi


Inhibitor AC G3 pada Konsentrasi Larutan Pertumbuhan 0,050 M
Menggunakan Metode Seeded Experiment
Laju pertumbuhan kristal CaCO3 dengan variasi konsentrasi Inhibitor AC G3 50,
150, 250, dan 350 ppm pada larutan pertumbuhan 0,050 M pada suhu 90 0C
menggunakan metode seeded experiment dapat dilihat pada Gambar 2.

0.30

0.25
Berat (g/L)

0.20
kontrol
0.15 50 ppm
150 ppm
0.10
250 ppm
0.05 350 ppm

0.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Waktu (menit) 399

Gambar 2. Perubahan berat kristal CaCO3 terhadap waktu dengan variasi


penambahan inhibitor AC G3 pada konsentrasi larutan pertumbuhan 0,050 M
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat pola pertumbuhan kristal CaCO3 dengan
penambahan Inhibitor AC G3 pada konsentrasi inhibitor 350 ppm dan pada
konsentrasi larutan pertumbuhan 0,050 M lebih rendah dibandingkan dengan laju
pertumbuhan kristal pada konsentrasi inhibitor 50, 150, dan 250 ppm serta tanpa
penambahan inhibitor. Ditunjukan pada Gambar 2, grafik laju pertumbuhan kristal
pada konsentrasi inhibitor 350 ppm berada di bawah nilai 0,20 g/L. Hal tersebut
membuktikan bahwa Inhibitor AC G3 selain efektif untuk mencegah terbentuknya
kerak juga dapat melarutkan bibit-bibit kristal yang akan terbentuk serta dapat pula
melarutkan kerak yang terdapat pada pipa.

Pada penentuan laju pertumbuhan kerak CaCO3 dilakukan analisa data yang
diperoleh dari jumlah endapan terhadap waktu dengan variasi konsentrasi larutan
pertumbuhan dan variasi konsentrasi inhibitor yang masing-masing diplotkan sebagai
jumlah endapan terhadap waktu menggunakan Microsoft Excel. Nilai slop yang
diperoleh dari masing-masing grafik merupakan pertumbuhan kerak CaCO3. Besarnya

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

nilai persen efektifitas inhibitor AC G3 dapat dihitung dengan menggunakan


persamaan sebagai berikut (Patel and Finan, 1999):

Persen Efektivitas Inhibitor (%) = 100 x (1)

Dimana :
Ca = berat endapan dengan penambahan inhibitor pada saat kesetimbangan
(g/L)
Cb = berat endapan dengan tanpa penambahan inhibitor pada saat
kesetimbangan (g/L)
C0 = berat endapan awal (g/L)

Bersadasarkan pada Persamaan I, nilai persen efektivitas inhibitor pada


konsentrasi larutan pertumbuhan 0,050 M dengan penambahan inhibitor AC G3 350
ppm diperoleh sebesar 277,6%. Tingginya nilai persen efektivitas inhibitor tersebut
menunjukan bahwa Inhibitor AC G3 yang digunakan selain dapat menghambat laju
pertumbuhan kristal juga dapat melarutkan kerak yang terdapat dalam larutan. Persen
400 efektivitas Inhibitor AC G3 pada konsentrasi larutan pertumbuhan 0,050 M dapat
dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Data persen efektivitas inhibitor AC G3 pada konsentrasi larutan
pertumbuhan 0,050 M
Penambahan Efektivitas
No inhibitor (ppm) pH inhibitor (%)
1 0 11 0,00
2 50 5 27,04
3 150 5 94,84
4 250 5 162,8
5 350 4 277,6

Inhibitor cukup efektif dalam menurunkan pertumbuhan kerak CaCO3 dimulai


dari 50 – 350 ppm. Pada konsentrasi inhibitor yang ditambahkan 350 ppm, inhibitor
mengalami efektivitas sebesar 277,6% dengan pH larutan sebesar 4 (Tabel 1).
Penambahan inhibitor di atas 50 ppm masih perlu diteliti mengingat penambahan jenis
Inhibitor AC G3 membuat penurunan pH larutan yang tajam. Penurunan nilai pH
sebagai efek dari penambahan Inhibitor AC G3 yang terlalu tinggi dapat membuat

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

larutan menjadi suasana asam yang dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya


korosi pada pipa, namun penelitian lebih lanjut perlu dilakukan.
Berdasarkan data pada Tabel 1 dapat diamati juga bahwa semakin tinggi
konsentrasi inhibitor maka efektivitas inhibitor semakin tinggi juga. Dengan
demikian, konsentrasi larutan pertumbuhan CaCO3 berbanding terbalik dengan
efektivitas inhibitor sedangkan konsentrasi inhibitor berbanding lurus dengan
efektivitas inhibitor. Hal ini sesuai dengan penelitian Suharso dan Buhani (2015)
bahwa semakin rendah konsentrasi larutan pertumbuhan maka semakin mudah
inhibitor untuk mencegah terjadinya pertumbuhan kerak CaCO3. Hasil penelitian ini
juga dapat dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya (Tabel 2).

Tabel 2. Efektivitas berbagai inhibitor dalam menghambat pembentukan kristal


CaCO3
Inhibitor Konsentrasi Efisiensi inhibitor Referensi
inhibitor (ppm) (% IE)
AC G3 50-350 27-278 Penelitian ini
Asam Polimaleat 1-4 20-100 Martinod et al., 2008
Homopolimer Asam 4 67 Patel and Finan, 1999
Polimaleat
Terpolimer Asam 4 73 Patel and Finan, 1999 401
Polimaleat
Kopolimer Asam 4 18 Patel and Finan, 1999
Polimaleat
Asam Polikarboksilat 4 70 Patel and Finan, 1999
Kompleks Metallosena 10 27-66 Malkaj and Dalas.
2002
C-Metil-4, 10, 12, 22- 10-100 34-100 Suharso et al., 2009
Tetrametoksi kalik (4)
Arena
Ekstrak gambir 50–250 60–100 Suharso et al., 2011
Ekstrak kemenyan 50–350 12–77 Suharso et al., 2017a
Modifikasi gambir 50–300 12–92 Suharso et al., 2017b
SIMPULAN
Inhibitor AC G3 dapat berperan dalam menghambat pembentukan kerak kalsium
karbonat (CaCO3). Semakin tinggi konsentrasi inhibitor semakin besar efektivitas
inhibitor dalam menghambat pembentukan kerak CaCO3 yang disertai dengan
penurunan pH larutan. Efektivitas inhibitor terbesar terjadi pada konenstrasi inhibitor
sebesar 350 ppm pada konsentrasi larutan pertumbuhan CaCO3 sebesar 0,050 M.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

REFERENSI
Abdel-Gaber, A.M., Abd-El-Nabey, B.A., Khamis, E., Abd-El-Rhmann, H., Aglan,
H., Ludwick, A. 2012. Green Anti-Scalent for Cooling Water Systems.
International Journal of Electrochemical Science, 7, 11930–11940.

Hasson, D. and Semiat, R. 2006. Scale Control in Saline and Wastewater Desalination.
Israel Journal of Chemistry, 46(1), 97-104.

Hasson, D., Shemer, H., and Sher, A. 2011. State of the Art of Friendly “Green” Scale
Control Inhibitor: A Review Article. Industrial & Engineering Chemistry
Research, 53, 64–69.

Lestari, D.E., Sunaryo, G.R., Yulianto, Y.E., Alibasyah, S., dan Utomo, S.B. 2004.
Kimia Air Reaktor Riset G. A. Siwabessy. Makalah Penelitian P2TRR dan
P2TKN BATAN. Serpong.

Malkaj, P. and Dalas, E. 2002. Effect of Metallocene Dichlorides on the Crystal


Growth of Calcium Carbonate. Journal of Crystal Growth, 242, 405–411.

Martinod, A., Euvrard, M., Foissy, A., and Neville, A. 2008. Progressing the
Understanding of Chemical Inhibition of Mineral Scale by Green Inhibitors.
402
Desalination, 220, 345-352.

Patel, S. and Finan, M.A. 1999. New Antifoulants for Deposit Control in MSF and
MED Plants. Desalination, 124, 63–74.

Saleah, A.O. and Basta, A.H. 2008. Evaluation of Some Organic-Based Biopolymers
as Green Inhibitors for Calcium Sulfate Scales. Environmentalist, 28, 421–428.

Suharso. 2007. Effect of Sodium Dodecylbenzenesulfonic Acid (SDBS) on the


Growth Rate and Morphology of Borax Crystal. Indonesian Journal of
Chemistry, 7(1), 5-9.

Suharso. 2004. Effect of Sodium Lauryl Sulphate (SLS) on Growth Rate and
Morphology of Borax Crystals. Jurnal Sains & Teknologi, 10(3), 165-172.

Suharso, Buhani, and Aprilia, L. 2014. Influence of Calix [4] arene Derived
Compound on Calcium Sulphate Scale Formation. Asian Journal of Chemistry,
26(18), 6155-6158.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Suharso, Buhani, Eka Setiososari, Agung Abadi Kiswandono, Heri Satria

Suharso, Buhani, Bahri, S., dan Endaryanto, T. 2010. The Use of Gambier Extracts
from West Sumatra as a Green Inhibitor of Calcium Sulfate (CaSO4) Scale
Formation. Asian Journal of Research in Chemistry, 3(1), 183-187.

Suharso, Buhani, Bahri, S., and Endaryanto, T. 2011. Gambier Extracts as an Inhibitor
of Calcium Carbonate (CaCO3) Scale Formation, Desalination, 265, 102–106.

Suharso, Buhani, Suhartati, T., dan Aprilia, L. 2007. Sintesis C-Metil-4, 10, 16, 22-
Tetrametoksi Kaliks [4] Arena dan Peranannya Sebagai Inhibitor Pembentukan
Kerak Kalsium Karbonat (CaCO3). Laporan Akhir Program Insentif, Unversitas
Lampung.

Suharso, Buhani, Yuwono, S.D., and Tugiyono. 2017. Inhibition of Calcium


Carbonate (CaCO3) Scale Formation by Calix[4]Resorcinarene Compounds,
Desalination and Water Treatment, 68, 32–39.

Suharso dan Buhani. 2011. Efek Penambahan Aditif Golongan Karboksilat dalam
Menghambat Laju Pembentukan Endapan Kalsium Sulfat. Jurnal Natur
Indonesia, 13(2), 100-104.

Suharso dan Buhani. 2015. Penanggulangan Kerak Edisi 2. Penerbit Graha Ilmu,
Yogyakarta. 403

Suharso, Parkinson, G., and Ogden, M. 2007. Effect of Cetyltrimethylammonium


Bromide (CTAB) on the Growth Rate and Morphology of Borax Crystals.
Journal of Applied Sciences, 7(10), 1390-1396.

Suharso, Sabriani, N.A., Tugiyono, Buhani, and Endaryanto, T. 2017. Kemenyan


(Styrax Benzoin Dryand) Extract as Green Inhibitor of Calcium Carbonate
(CaCO3) Crystallization. Desalination and Water Treatment, 92, 38–45.

Suharso, Buhani, Suhartati, T. 2009. The Role of C-Methyl-4,10,16,22-Tetrametoxy


Calix[4]Arene as Inhibitor of Calcium Carbonate (CaCO3) scale formation,
Indonesian Journal of Chemistry, 9, 206–210.

Suharso, Reno, T., Endaryanto, T., and Buhani. 2017. Modification of Gambier
Extracs as Green Inhibitor of Calcium Carbonate (CaCO3) Scale Formation,
Journal of Water Process Engineering, 18, 1–6.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

PERENGKAHAN KATALITIK MINYAK JELANTAH


MENGGUNAKAN KATALIS Co-CARBON YANG DIHASILKAN
DENGAN METODE ION EXCHANGE

NM Yuhermita* ABSTRACT: The increasing of fuel oil (BBM) cause the reduction of fossil
Universitas Jambi fuel. Fuel oil from fossil is non-renewable, so a biofuel become one of the
alternative energy source. Used cooking oil can be converted into biofuel
through a catalytic process using a catalyst Co-Carbon. This study
N Nazarudin included preparation of cobalt-activated carbon catalyst by ion exchange
Universitas Jambi method, catalyst characterization, and catalytic cracking of used cooking
oil. Metal concentration was varied at 1%, 2% and 3%, with a variation of
O Alfernando reaction temperature 450°C, 500°C, 550°C. Catalysts were characterized
Universitas Jambi by SEM-EDX and XRD. XRD patterns show amorphous carbon atomic
structure. SEM-EDX characterization showed that 0,86%, 1,99% and
0.11% was impregnated into carbon pore. Average conversion (%) of
IG Prabasari catalytic cracking product in catalyst concentrations of 1%, 2% and 3%
Universitas Jambi were 31,83%, 8.51% and 11.43%. Maximun product yield achieved at a
temperature 450°C with Co-carbon concentration 1% was 47,55%. The
M Haviz activation energy of cracking was -40,64 kJ, 71.03 kJ and 29.98 kJ
Universitas Lampung
KEYWORDS: cracking, waste cooking oil, catalyst, Co-carbon, biofuel,
Cobalt.

* Corresponding Author: Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Jambi, Program Studi Pendidikan Kimia,
404 FKIP, Universitas Jambi, Pusat Studi Energi dan Nano Material, LPPM, Universitas Jambi; Email: nazarudin@unja.ac.id

PENDAHULUAN
Penggunaan bahan bakar semakin meningkat setiap tahunnya, tanpa disertai
upaya penyediaan bahan bakar alternatif. Bahan bakar yang digunakan sekarang
berasal dari minyak mentah yang diambil dari perut bumi. Minyak bumi merupakan
sumber energi primer yang berasal dari fosil dan tidak dapat diperbaharui serta
ketersediaannya terbatas. Diperkiraan untuk beberapa tahun kedepan masyarakat akan
kekurangan bahan bakar (Saputra and Ida, 2014).
Pengembangan sumber energi alternatif perlu mendapat perhatian serius untuk
mengantisipasi meningkatnya konsumsi energi, sementara cadangan bahan bakar fosil
di alam terus menipis. Keterbatasan sumber daya dan penurunan cadangan bahan
bakar fosil berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi maka kebutuhan energi pun meningkat. Oleh karena itu,
diperlukan bahan bakar alternatif berbasis bahan terbarukan untuk mensubtitusi
kebutuhan bahan bakar.
Salah satu upaya pemanfaaan energi alternatif adalah bahan bakar nabati
(BBN). Di Indonesia tersedia beberapa bahan baku bioenergi, diantaranya singkong,

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

kelapa sawit, dan jarak pagar. Selain bahan baku tersebut, terdapat pula bahan baku
dari limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yaitu minyak
jelantah (Saputra and Ida, 2014). Minyak jelantah merupakan minyak bekas
penggorengan yang telah digunakan dua kali atau lebih. Upaya pemanfaatan minyak
jelantah perlu dilakukan agar minyak jelantah tidak terbuang dan menyebabkan
pencemaran lingkungan. Pemanfaatan minyak jelantah merupakan alternatif terbaik
untuk menghasilkan energi terbarukan.
Minyak jelantah merupakan minyak goreng bekas yang telah rusak akibat
proses oksidasi, polimerisasi, dan hidrolisis. Senyawa yang terbentuk akibat proses
tersebut yaitu Asam lemak bebas yang dihasilkan dari penguraian trigliserida. Asam
lemak bebas dengan rantai hidrokarbon panjang dapat dijadikan hidrokarbon yang
lebih pendek melalui pemutusan rantai kabron asam lemak.
Perengkahan katalitik merupakan suatu cara untuk memecah hidrokarbon
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan katalis sehingga
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produk dan juga dapat menurunkan jumlah
residu yang dihasilkan. Katalis yang digunakan pada perengkahan katalitik yaitu
katalis logam pengemban. Logam-logam yang sering digunakan sebagai katalis
adalah jenis logam transisi orbital d. Kekurangan katalis logam yaitu dapat terjadi
penggumpalan komponen aktif logam ketika proses katalitik berlangsung, akibatnya 405
umur katalis lebih pendek. Untuk mengatasi penggumpalan pada logam dan
menambah umur katalis, katalis logam dapat diembankan pada bahan pendukung
seperti silika-alumina, alumina atau arang aktif (Trisunaryanti et al dalam Shofa,
2016)
Arang aktif dapat digunakan sebagai pengemban katalis karena arang aktif inert
dan stabil dalam suasana asam maupun basa. Pada penelitian ini digunakan logam
kobalt (Co) sebagai situs aktif katalis yang diembankan pada arang aktif dan
digunakan pada suhu tinggi. Pengembanan logam dilakukan dengan metode
pertukaran ion. Katalis Co-arang aktif dibuat dengan larutan ion logam yang
dimasukkan kedalam arang aktif. Logam Kobalt digunakan sebagai katalis pada
proses adsorpsi Ammonia dan Piridin, Konversi etanol dengan metode steam
reforming, dan Sintesis Fischer Tropsch.
Penelitian yang telah dilakukan Riko (2013) membuktikan bahwa pengembanan
logam meningkatkan selektivitas katalis terhadap biofuel yang dihasilkan. Semakin
tinggi kadar logam pada katalis, semakin tinggi pula biofuel yang didapat. Menurut
penelitian yang dilakukan Bachtas and Ida ( 2015), jumlah katalis pada perengkahan
minyak jelantah sangat berpengaruh terhadap yield biofuel yang dihasilkan.
Peningkatan jumlah katalis yang digunakan dapat meningkatkan perolehan produk

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

dan %yield juga semakin besar. Hal ini disebabkan dengan meningkatnya katalis yang
digunakan pada perengkahan maka sisi aktif katalis meningkat dan energi aktivasi
pada proses perengkahan katalitik menurun.

METODE PELAKSANAAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor perengkahan. Selain itu
Seperangkat Alat Penyaringan Minyak Jelantah, Hot Plate & Magnetic Stirrer, Gelas
Beaker 500 ml, Gelas Ukur 100 ml, Neraca Analitik, Cawan Porselin, Spatula,
Erlenmeyer, Cawan Porselin Datar. Semua alat-alat ini tersedia di Laboratorium
Energi dan Nano Material Universitas Jambi
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah , Minyak Jelantah, Arang
aktif, Na2CO3 (Soda api), CH3COOH (Asam asetat), Co(NO3)2.6H2O (Cobalt (II)
Nitrate Hexahydrate), Aquades, Kertas Saring, Kertas pH, gas nitrogen, air.

Persiapan Bahan Baku


Minyak jelantah yang didapat dari bekas penggorengan rumah tangga.
Penyaringan minyak jelantah dilakukan dengan alat adsorpsi yang dirangkai dari pipa
406 2 inch yang di lengkapi dengan mesh dan kertas saring. Di isi arang dari cangkang
kelapa sawit sebanyak 350 gr. Dilakukan penyaringan masing-masing sebanyak 660
ml.

Sintesa Katalis
Aktivasi Arang : Minyak jelantah yang didapat dari bekas penggorengan rumah
tangga. Penyaringan minyak jelantah dilakukan dengan alat adsorpsi yang dirangkai
dari pipa 2 inch yang di lengkapi dengan mesh dan kertas saring. Di isi arang dari
cangkang kelapa sawit sebanyak 350 gr. Dilakukan penyaringan masing-masing
sebanyak 660 ml.

Modifikasi Katalis Arang aktif metode Ion Exchange dengan variasi konsentrasi
Larutan Co : Pembuatan Katalis Co-Arang Aktif terlebih dahulu dengan membuat
larutan garam Co-Nitrat dengan perbandingan mol masing-masing zat. Larutan Co-
Nitrat dibuat terlebih dahulu dengan variasi konsentrasi, yaitu 1%, 2% dan 3%
masing-masing dilarutkan dalam 100 ml aquades. Arang aktif dan larutan yang
mengandung logam Co dicampurkan dengan perbandingan 1;10 kemudian distirrer
selama 24 Jam. Setelah distirrer, Katalis Co-Arang Aktif disaring dan dicuci. Padatan
katalis yang dihasilkan dikeringkan pada suhu 105oC selama 12 jam.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Perengkahan : Minyak jelantah dimasukkan kedalam reaktor perengkahan yang


sebelumnya telah di isi dengan katalis Co-Arang Aktif dengan perbandingan 1:10.
Reaksi perengkahan dilakukan selama 60 menit dengan variasi temperatur reaksi
450oC, 500oC, 550oC. Cairan Hasil Perengkahan (CHP) diambil setiap per lima menit
pada konsentrasi katalis 2% dan 3%, sedangkan pada konsentrasi 1% CHP diambil
setiap per 15 menit dan perengkahan dilakukan selama 75 menit.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pre-treatment Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Minyak Jelantah limbah
penggorengan rumah tangga. Minyak jelantah tersebut telah dipakai sebanyak 3 kali
penggorengan. Pemanasan pada suhu tinggi selama penggorengan mengakibatkan
minyak goreng mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut dapat dilihat dengan
berubahnya warna dari kuning menjadi coklat kehitaman, kenaikan kekentalan, dan
kenaikan asam lemak bebas. Pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku
penelitian ini dengan melakukan pemurnian minyak dengan metode adsorpsi.
Penyaringan Minyak Jelantah menggunakan adsorben arang aktif. Hasil penyaringan
minyak jelantah dapat dilihat pada Gambar 1. dibawah ini.
407

(a) (b) (c)

Gambar 1. Perbedaan fisik minyak (a) Minyak goreng baru, (b) Minyak jelantah
setelah disaring (c) Minyak jelantah sebelum disaring

Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan Minyak jelantah sebelum
dan sesudah disaring. Minyak jelantah yang telah disaring berwarna kuning hampir
bening seperti minyak goreng baru. Sedangkan minyak jelantah sebelum penyaringan
berwarna kuning kecoklatan.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Densitas Bahan
Berdasarkan pengamatan secara visual untuk bahan baku berupa minyak
jelantah dilakukan perhitungan densitas untuk mengetahui besaran massa jenis yang
dinyatakan daalam berat per satuan volume. Data densitas dapat dapat dilihat tabel 1.
Tabel 1. Densitas Bahan Baku Perengkahan
Bahan Berat bahan
Densitas Bahan Baku (gr)
(gr)
Minyak Goreng Kemasan 17.30 0.9534
Minyak Jelntah Belum Disaring 17.28 0.9494
Minyak Jelantah Sudah Disaring 17.30 0.9534
Aquades 17.44 0.9814

Berdasarkan tabel 1 dapat dibandingkan bahwa densitas minyak jelantah yang


belum disaring lebih kecil dari pada minyak jelantah yang sudah disaring. Minyak
jelantah yang telah disaring memiliki nilai densitas yang sama dengan minyak goreng
kemasan.

408 Preparasi dan Karakterisasi Katalis


Aktivasi Arang
Aktivasi arang bertujuan untuk menghilangkan senyawa nonkarbon sehingga
diperoleh unsur karbon murni, memperbesar pori dengan cara memecahkan ikatan
hidrokarbon atau mengoksidasi molekul- molekul permukaan sehingga karbon
mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya
bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Proses aktivasi dilakukan
aktivator Na2CO3
Pencucian karbon setelah aktivasi dilakukan untuk menghilangkan sisa residu
organik, kontaminan, mineral dan sisa-sisa logam yang tertinggal dalam rongga pori.
Oksida logam yang tertinggal didalam pori dapat mempengaruhi daya jerap karbon
aktif pada senyawa tertentu (Setianingsih et al. 2008). Kemampuan adsorpsi juga akan
meningkat bila pH diturunkan yaitu dengan menambah asam-asam mineral, karena
kemampuan asam mineral akan mengurangi ionisasi asam organik tersebut (Sembiring
et al. 2003).
Padatan katalis yang dihasilkan selanjutnya dialirkan steam pada suhu 550oC
selama 6 jam. Tujuan dialirkan steam adalah untuk menghilangkan sisa-sisa pengotor
dan logam-logam pengotor. Padatan Katalis berupa padatan berwarna hitam.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Modifikasi Katalis Arang aktif metode Ion Exchange dengan variasi konsentrasi
Larutan Co
Arang aktif direndam menggunakan larutan kobalt nitrat melalui metode ion
exchange. Preparasi diawali dengan menyiapkan larutan Co(NO3)2.6H2O dengan tiga
variasi yaitu 1%, 2% dan 3%. Kemudian diaduk menggunakan stirer sampai homogen
selama 24 jam. Langkah selanjutnya adalah menyaring larutan Co-Arang
menggunakan pompa vakum, kemudian dicuci sampai pH 7 (netral). Filtrat hasil
penyaringan disimpan untuk metode impregnasi. Padatan katalis dikeringkan
menggunakan oven selama 12 jam.
Pengembanan logam transisi pada karbon aktif bertujuan untuk memperbanyak
jumlah sisi aktif (active site) pada katalis, sehingga pada saat perengkahan kontak
antara reaktan dengan katalis akan semakin besar. Dengan begitu katalis akan semakin
mempercepat dalam proses pembentukan produk.

Karakterisasi Dengan SEM-EDX

Analisa bentuk morfologi permukaan dan material penyusun katalis Co-Arang


menggunakan Scanning Electron Microscopy dan Energy Dispersive X-ray
Spectroscopy (EDX). Hasil analisa SEM karbon dari cangkang kelapa sawit dapat
dilihat pada gambar 2. dan karbon yang di ion exchange dengan kobalt dapat dilihat 409
pada gambar 3. sampai 5.

Gambar 2. Morfologi Karbon aktif menggunakan SEM-EDX perbesaran 10.000x

Untuk gambar 2 merupakan struktur permukaan dari karbon aktif pada


perbesaran 10000x, yang memperlihatkan bahwa karbon aktif berbentuk rongga dan
memilki pori. Jarak antara pori yaitu 10 µm. Walaupun telah diketahui bahwa pori
arang aktif telah terisi setelah diberi perlakuan perendaman, perlu dilakukan pengujian
lebih lanjut untuk mengetahui unsur yang mengisi arang aktif tersebut. Pengujian

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan EDX. Hasil analisa dengan EDX
dirangkum dalam Tabel 2 berikut
Tabel 2. Unsur Karbon aktif dari cangkang kelapa sawit hasil analisa EDX
No. Unsur Persen Berat (%)
1. Si 35,35
2. C 62,32
3. P 2,14
4. Ca 0,20
Berdasarkan Tabel 2. hasil yang tertera pada EDX, untuk karbon aktif
didominasi oleh unsur C (karbon) sebanyak 62,32% dan untuk sisanya terdapat unsur
lain seperti Si sebesar 35,35% ; P sebesar 2,14% dan Ca sebanyak 0,20%.

410

Gambar 3. Morfologi katalis Co-Arang 1% menggunakan SEM-EDX perbesaran


10.000x
Tabel 3. Unsur Co-Arang 1% hasil analisa EDX
No. Unsur Persen Berat (%)
1. Si 3,19
2. C 93,30
3. P 2,35
4. Ca 0,31
5. Co 0,86

Berdasarkan Gambar 3. yang telah dilakukan analisa menggunakan SEM, kobalt


dengan konsentrasi larutan 1% tersebar dan menempel pada permukaan karbon aktif
sehingga menutupi pori-pori karbon aktif tersebut. Berbeda dengan karbon aktif, pada
komposit Co-Arang 1% menunjukkan hasil morfologi yang permukaannya lebih tidak
rata dibandingkan dengan permukaaan karbon aktif. Jarak antara pori pada pada
perbesaran 10.000x yaitu 2 µm. Berdasarkan hasil SEM ini terlihat bahwa morfologi
pori pada katalis Co-Arang 1% telah terbentuk dengan diameter berkisar 2-10 µm.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Untuk mengetahui apakah kobalt teremban pada karbon aktif, maka dilakukan
pengujian dengan menggunakan EDX untuk mengetahui komponen yang terkandung
didalam katalis Co-Arang 1%. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 2.
Berdasarkan Tabel 3. data analisa EDX diatas terhadap katalis Co-Arang 1%,
logam kobalt yang teremban ke dalam pori-pori karbon sebanyak 0,86% dari total
keseluruhan senyawa yang terdapat pada katalis Co-Arang 1%.

Gambar 4. Morfologi katalis Co-Arang 2% menggunakan SEM-EDX perbesaran


10.000x

Berdasarkan Gambar 4. yang telah dilakukan analisa menggunakan SEM, kobalt


dengan konsentrasi larutan 2% tersebar dan menempel pada permukaan karbon aktif 411
tetapi tidak menutupi pori-pori karbon aktif tersebut. Jarak antara pori pada perbesaran
3000x yaitu 10 µm dan pada perbesaran 10.000x yaitu 2 µm. Berdasarkan hasil SEM
ini terlihat bahwa morfologi pori pada katalis Co-Arang 2% telah terbentuk dengan
diameter berkisar 2-10 µm.
Tabel 4. Unsur Co-Arang 2% hasil analisa EDX
No. Unsur Persen Berat (%)
1. Si 2,09
2. C 92,33
3. P 3,09
4. Ca 0,25
5. Co 1,99
6. Al 0,16
7. Mg 0,10

Untuk mengetahui apakah kobalt teremban pada karbon aktif, maka dilakukan
pengujian dengan menggunakan EDX untuk mengetahui komponen yang terkandung
didalam katalis Co-Arang 2%. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Berdasarkan Tabel 4. data analisa EDX diatas terhadap katalis Co-Arang 2%,
logam kobalt yang teremban ke dalam pori-pori karbon sebanyak 1,99% dari total
keseluruhan senyawa yang terdapat pada katalis Co-Arang 2%. Hasil ini menunjukkan
peningkatan persentase logam kobalt yang teremban pada karbon aktif. Unsur lain
yang terdapat pada Co-Arang 2% sama seperti pada karbon aktif. Sisa kandungan
unsur yang ada dalam Co-Arang 2% yaitu Al 0,16% dan Mg 0,10%. Sisa unsur yang
ada dalam katalis tersebut merupakan pengotor yang dihasilkan.

Gambar 5. Morfologi katalis Co-Arang 3% menggunakan SEM-EDX Perbesaran


10.000x

412 Gambar 5. yang telah dilakukan analisa menggunakan SEM, kobalt dengan
konsentrasi larutan 3% tersebar dan menempel pada permukaan karbon aktif tetapi
tidak menutupi pori-pori karbon aktif tersebut. Jarak antara pori pada perbesaran
3000x yaitu 10 µm dan pada perbesaran 10.000x yaitu 2 µm. Berdasarkan hasil SEM
ini terlihat bahwa morfologi pori pada katalis Co-Arang 3% telah terbentuk dengan
diameter berkisar 2-10 µm. Namun, rongga pori tersebut tidak tersebar merata hal ini
disebabkan sedikitnya jumlah Co 3% yang teremban yaitu sebesar 0,11 %.
Untuk mengetahui apakah kobalt teremban pada karbon aktif, maka dilakukan
pengujian dengan menggunakan EDX untuk mengetahui komponen yang terkandung
didalam katalis Co-Arang 3%. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 5.
Berdasarkan tabel 6 unsur Karbon menurun seiring dengan meningkatnya
konsentrasi larutan logam Co, namun pada konsentrasi larutan logam Co 3%
persentase karbon lebih banyak dikarenakan unsur Co yang teremban lebih sedikit.
Pada konsentrasi larutan logam Co 1% tidak terbentuk unsur Al dan Mg.
Pengembanan logam Co dengan metode Ion Exchange dapat menurunkan kandungan
silika pada arang aktif dengan bertambahnya konsentrasi larutan logam Co.
Kandungan silika sangat berpengaruh pada kualitas arang yang dihasilkan.
Keberadaan silika dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pori-pori pada arang
sehingga luas permukaan arang menjadi berkurang (Solihudin, et al, 2015).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Tabel 5. Unsur Co-Arang 3% hasil analisa EDX


No. Unsur Persen Berat (%)
1. Si 0,29
2. C 97,70
3. P 1,72
4. Ca 0,06
5. Co 0,11
6. Al 0,08
7. Mg 0,04
Berdasarkan Tabel 5. data analisa EDX diatas terhadap katalis Co-Arang 3%,
logam kobalt yang teremban ke dalam pori-pori karbon sebanyak 0,11% dari total
keseluruhan senyawa yang terdapat pada katalis Co-Arang 3%. Hasil ini menunjukkan
penurunan persentase logam kobalt yang teremban pada karbon aktif. Secara teoritis,
semakin meningkat konsentrasi logam maka semakin tinggi pula persentase logam
yang teremban ke pori-pori karbon aktif. Penurunan persentase ini terjadi karena
setelah penyaringan larutan kobalt dengan arang aktif dicuci dengan aquades berlebih
sehingga pH menjadi tidak netral. Sedangan pH larutan kobalt adalah 6. Untuk data
kandungan unsur per konsentrasi katalis dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Data SEM-EDX Per Konsentrasi Katalis


No Kandungan Unsur EDX Co 1% Co 2% Co 3%
413
1. Si 3,19 2,09 0,29
2. C 93,30 92,33 97,70
3. P 2,35 3,09 1,72
4. Ca 0,31 0,25 0,06
5. Co 0,86 1,99 0,11
6. Al 0,00 0,16 0,08
7. Mg 0,00 0,10 0,04

Karakterisasi Dengan XRD

Analisis menggunakan alat difraktometer sinar-X (XRD) didasarkan pada pola


difraksi dari paduan atau senyawa yang dihasilkan oleh proses difraksi, ukuran
panjang gelombang sinar-X harus tidak berbeda jauh dengan jarak antar atom di dalam
kristal, sehingga pola berulang dari kisi kristal akan berfungsi seolah-olah seperti kisi
difraksi untuk panjang gelombang sinar-X. Difraktogram XRD pada arang sebelum di
steam dan arang aktif setelah disteam disajikan pada Gambar 6, sedangkan
difraktogram XRD katalis Co-Arang aktif 1%, 2%, dan 3% disajikan pada Gambar 7.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Counts Counts
36a 37a

600
2000

(a) (b)
400

1000

200

0 0
10 20 30 40 50 10 20 30 40 50
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) Position [°2Theta] (Copper (Cu))

Gambar 6. Difraktogram XRD Arang aktif (a) sebelum Steam, (b) sesudah setam
Hasil analisis arang aktif sebelum steam menunjukkan bahwa Arang berada
pada fasa cristobalite, hal ini ditunjukkan oleh tingginya puncak intensitas pada posisi
2θ = 26.5395. Dari difraktogram arang aktif sesudah steam dapat diketahui bahwa
arang aktif. Mempunyai bentuk amorf. Hal tersebut ditunjukan dari hasil pola XRD
karbon aktif yang diperoleh bentuknya tidak beraturan, dimana hal ini merupakan ciri
dari amorf. Meskipun tidak dihasilkan puncak-puncak yang spesifik, akan tetapi
masih dihasilkan sudut-sudut 2θ yang dapat terbaca yaitu 20.8167, 21.8070, 21.9576,
26.5576, 31.2917, 36.0734, 36.5082, 40.2165, 42.4083, 50.0772, dan 59.8601.
Berbeda dengan arang aktif, pada difraktogram arang aktif yang telah teremban Co,
414 sudut-sudut yang dihasilkan lebih sedikit seperti yang terlihat pada gambar 7.
Counts
Counts 2000 19a Counts
18a
20a

(a) (b)
800
800
(c)
600
600

1000
400
400

200 200

0 0 0
10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50
Position [°2Theta] (Copper (Cu)) Position [°2Theta] (Copper (Cu)) Position [°2Theta] (Copper (Cu))

Gambar 7. Difraktogram XRD Katalis Co-Arang (a) 1% (b) 2% (c) 3%


Sudut-sudut 2θ yang dihasilkan dari Co-Arang 1% yaitu 20.7521, 21.9227 dan
26.5515. Sudut 2θ Co-Arang 1% lebih sedikit dibandingan dengan arang aktif tetapi
tidak mengalami pergeseran. Dengan Puncak Intensitas pada 2θ = 26.5515. Sudut-
sudut 2θ yang dihasilkan dari Co-Arang 2% yaitu 20.7002, 21.8803, 26.4862,
36.2806, 42.3005, 42.4073, dan 59.7788. Dengan Puncak Intensitas pada 2θ =
26.4862. Sudut-sudut 2θ yang dihasilkan dari Co-Arang 3% yaitu 20.7294, 21.8542,
26.5079, 28.2620, 31.2490, 36.0285. Dengan Puncak Intensitas pada 2θ = 26.5079.
Berdasarkan hasil karakterisasi yang diperoleh, arang aktif menunjukkan hasil yaitu
berbentuk amorf. Pada arang aktif yang teremban logam Co pada konsentrasi 1%, 2%
dan 3% juga berebntuk amorf.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Perengkahan Minyak Jelantah


Perengkahan Termal
Perengkahan termal dilakukan tanpa menggunakan katalis selama 60 menit.
Untuk hasil CHP pada suhu 450oC adalah 18,77 gr, pada suhu 500oC adalah 24,56 gr
dan pada suhu 550oC adalah 27,81 gr. Persen Konversi yang dihasilkan untuk suhu
450oC adalah 35,60%, pada suhu 500oC adalah 47,15% dan pada suhu 550oC adalah
52,34%. Perengkahan termal menghasilkan Cairan Hasil Perengkahan (CHP) dan Gas.
CHP hasil perengkahan beku jika dimasukkan ke dalam kulkas.
Tabel 7. Hasil CHP perengkahan termal
o
No Bahan Baku (gr) Suhu ( C) CHP (%)

1. 450 35,60
2. Minyak Jelantah (50) 500 47,15
3. 550 52,34

Berdasarkan tabel 7. diatas temperatur dapat meningkatkan Konversi biofuel,


tetapi dengan kenaikan temperatur yang cukup tinggi Konversi biofuel yang dihasilkan
cenderung berkurang. Hal ini disebabkan karena pada temperatur yang tinggi terjadi
peningkatan pada produk senyawa alkana rantai pendek C1-C4 yang berwujud gas.
Pembentukan senyawa ini sangat dipengaruhi oleh faktor waktu dan temperatur 415
proses, rantai C-C dari fraksi minyak ringan akan terputus pada temperatur tinggi
(Hartiati, 2006)

Perengkahan Katalitik
Perengkahan katalitik dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi katalis Co-
Arang 1%, 2% dan 3% dengan variasi suhu 450oC, 500oC dan 550oC. Perbandingan
katalis dan sampel, yaitu 1:10 dimana berat katalis adalah 2 gr dan berat bahan baku
adalah 20 gr. Katalis yang digunakan merupakan modifikasi Arang aktif dengan
penambahan logam yang digunakan yaitu logam Co. Proses perengkahan dilakukan di
dalam reaktor flow yang terdapat dua reaktor yaitu Reaktor B2 (Horizontal) dan
Reaktor B1 (Vertikal). Dari data tabel 8. dibuat grafik persen Konversi perengkahan
katalitik pada setiap temperatur.
Pada gambar 8 menunjukkan pengaruh temperatur serta Konsentrasi Larutan
terhadap konversi total produk yang dihasilkan. Konversi total terdiri dari persen
konversi Cairan Hasil Perengkahan dan persen konversi Gas. Pada konsentrasi Co-
Arang 3%, dengan kenaikan temperatur dapat meningkatkan kenaikan konversi
produk, tetapi dengan kenaikan temperatur yang cukup tinggi konversi produk

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

cenderung berkurang. Pada konsentrasi Co-Arang 2%, dengan semakin tinggi


temperatur, konversi produk meningkat.
Tabel 8. Hasil perengkahan katalitik
Konsentrasi
Suhu (°C) Konversi Total (%) CHP (%) Gas (%) Sisa Reaksi (%)
Larutan Co
450 97,42 47,55 49,87 2,58
1% 500 96,79 26,90 69,89 3,20
550 92,38 21,04 71,34 7,61
450 61,65 2,38 59,27 38,35
2% 500 82,85 12,90 69,96 17,15
550 88,24 10,25 77,99 11,76
450 88,25 9,80 78,45 11,75
3% 500 82,72 5,85 76,87 17,28
550 88,55 18,64 69,91 11,45

120.00
100.00
80.00
Co-Arang 1%
% CHP

60.00
Co-Arang 2%
40.00
Co Arang 3%
416 20.00
-
450 500 550

Gambar 8. Grafik Hubungan Temperatur serta Konsentrasi Larutan terhadap konversi


total produk yang dihasilkan

Pengaruh Temperatur terhadap Cairan Hasil Perengkahan


Cairan Hasil Perengkahan atau yang disingkat dengan CHP merupakan produk
utama hasil penelitian ini. Sedangkan sisa reaksi merupakan reaktan yang tidak
berubah, sehingga sisa reaksi yang tersisa didalam reaktor tidak semuanya terengkah
dengan baik sehingga tidak semua sampel ikut bereaksi, oleh sebab itu sisa reaksi yang
tersisa didalam reaktor berwarna hitam dan kental. Perengkahan katalitik minyak
jelantah juga menghasilkan produk berupa gas (uap yang tidak dapat terkondensasi).
Namun gas tersebut tidak ditampung karena gas yang keluar cukup banyak.
Sehingga untuk menghitung gas yang dihasilkan selama perengkahan dapat dilakukan
dengan cara berat sampel mula-mula dikurang dengan jumlah berat chp total dan berat
sisa reaktan yang tidak bereaksi. Secara umum Konversi gas hasil perengkahan
katalitik minyak jelantah cukup tinggi.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Konversi CHP Perengkahan Katalitik dengan Co-Arang 1%


Untuk hasil CHP pada katalis Co-Arang 1% pada suhu suhu 450oC adalah
10,69 gr dengan CHP berwarna coklat dan cair, pada suhu 500oC menghasilkan CHP
lebih sedikit yaitu 5,37 gr dan pada suhu 550oC adalah 4,53 gr dengan CHP berwarna
coklat dan cair. Persen Konversi yang dihasilkan untuk suhu 450oC adalah 47,55%,
pada suhu 500oC adalah 26,90% dan pada suhu 550oC adalah 21,04%. Untuk Konversi
cairan hasil perengkahan (CHP) dengan katalis Co-Arang 1% terbesar didapatkan pada
suhu 450oC.
Tabel 9. Hasil CHP Perengkahan Katalitik (Co-Arang 1%)
o Yield
No Suhu ( C)
Konversi total (%) CHP (%) Gas (%) Sisa Reaksi (%)
1. 450 97,42 47,553 49,87 2,580
2. 500 96,79 26,904 69,89 3,206
3. 550 92,38 21,040 71,34 7,617

50.000
40.000 % Konversi
30.000 CHP 1%
% CHP

417
20.000
10.000
-
450 500 550

Temperature °C
Gambar 9. Grafik Perengkahan Minyak Jelantah menggunakan katalis Co-Arang 1%

Pada Gambar 9 menunjukkan pengaruh temperatur terhadap perengkahan


katalitik menggunakan katalis Co-Arang 1%, dengan kenaikan temperatur persen
konversi cenderung menurun. Pada perengkahan Minyak Jelantah menggunakan
katalis Co-Arang 1%, temperatur berbanding terbalik dengan persentase cairan hasil
perengkahan, semakin tinggi temperatur maka persentase CHP semakin menurun.
Konversi CHP Perengkahan Katalitik dengan Co-Arang 2%
Untuk hasil CHP pada katalis Co-Arang 2% pada suhu suhu 450oC adalah 0,56
gr, pada suhu 500oC adalah 2,73 gr dan pada suhu 550oC adalah 2,09 gr. Persen
Konversi yang dihasilkan untuk suhu 450oC adalah 2,38%, pada suhu 500oC adalah
12,90% dan pada suhu 550oC adalah 10,25% Konversi cairan hasil perengkahan
(CHP) terbesar didapatkan pada suhu 500oC.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Tabel 10. Hasil CHP Perengkahan Katalitik (Co-Arang 2%)


Yield
o
No Suhu ( C) Sisa Reaksi
Konversi total (%) CHP (%) Gas (%)
(%)
1. 450 61,65 2,38 59,27 38,35
2. 500 82,85 12,90 69,96 17,15
3. 550 88,24 10,25 77,99 11,76

15.00

10.00
% CHP

5.00
% Konversi CHP 2%

0.00
450… 500 550
Gambar 10. Grafik Perengkahan Minyak Jelantah menggunakan katalis Co-Arang 2%

Pada Gambar 10 menunjukkan pengaruh temperatur terhadap persen CHP yang


418
dihasilkan. Dengan kenaikan temperatur, dapat meningkatkan persen CHP, tetapi pada
kenaikan temperatur yang cukup tinggi, persen CHP cenderung berkurang. Menurut
(Hartiati, 2006) pada temperatur yang tinggi terjadi peningkatan pada produk senyawa
alkana rantai pendek C1-C4 yang berwujud gas. Pembentukan senyawa ini sangat
dipengaruhi oleh faktor waktu dan temperatur proses, rantai C-C dari fraksi minyak
ringan akan terputus pada temperatur tinggi.

Konversi CHP Perengkahan Katalitik Co-Arang 3%


Hasil perengkahan katalitik mengunakan katalis Co-arang 3% dapat dilihat
pada tabel 11 dan grafik perbandingan % CHP dengan temperatur pada gambar 11.

Tabel 11. Hasil CHP Perengkahan Katalitik (Co-Arang 3%)


Yield
o
No Suhu ( C)
Konversi (%) CHP (%) Gas (%) Sisa Reaksi (%)

1. 450 88,25 9,80 78,45 11,75


2. 500 82,72 5,85 76,87 17,28
3. 550 88,55 18,64 69,91 11,45

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Berdasarkan Tabel 11, Untuk hasil CHP pada katalis Co-Arang 3% pada suhu
450 C adalah 2,47 gr dengan CHP berwarna coklat dan cair, pada suhu 500oC adalah
o

1,3 gr dengan CHP berwarna coklat dan cair serta pada suhu 550oC adalah 3,89 gr
dengan CHP yang sama seperti CHP suhu-suhu sebelumnya. Persen Konversi yang
dihasilkan untuk suhu 450oC adalah 9,80%, pada suhu 500oC adalah 5,85% dan pada
suhu 550oC adalah 18,64%. Untuk Konversi cairan hasil perengkahan (CHP) dengan
katalis Co-Arang 3% terbesar didapatkan pada suhu 550oC. Pada perengkahan katalitik
menggunakan katalis Co-Arang 3%, dengan kenaikan temperatur persen konversi
cenderung menurun. Tetapi pada temperatur yang lebih tinggi, terjadi peningkatan
persen CHP.
20.000
18.000
16.000
Persen CHP (%)

14.000
12.000
10.000
8.000 % Konversi CHP
6.000 3%
4.000
2.000
0.000
450 500 550 419
Temperatur (°C)
Gambar 11. Grafik Perengkahan Minyak Jelantah menggunakan katalis Co-Arang 3%

Studi Kinetika
Menentukan ketetapan laju reaksi (nilai k)
Berdasarkan persamaan laju reaksi maka untuk setiap pengambilan produk hasil
reaksi katalitik dapat ditentukan besarnya konstanta laju reaksi pada temperatur
tertentu. Selanjutnya untuk masing-masing variasi temperatur dapat dibuat grafik
hubungan antara jumlah pengurangan reaktan lawan waktu pengambilan (t), dimana
jumlah reaktan merupakan akumulasi pengurangan untuk setiap 5 menit pengambilan
sampel produk. Untuk mendapatkan nilai k diperoleh dari hubungan persentase CHP
per waktu, sehingga terbentuknya regresi dimana didapatkan juga nilai R. Nilai R
dengan Range 0,80-0,95 termasuk dalam regresi linear sederhana, sedangkan jika
nilai R < 0,80 termasuk regresi polynomial.

Hasil studi kinetika menunjukkan bahwa katalis Co-Arang menunjukkan


aktivitasnya yang maksimum pada 5 menit pertama dan selanjutnya katalis mengalami
penurunan aktivitas yang ditandai dengan penurunan jumlah reaktan yang dikonversi

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

menjadi produk. Dari grafik tersebut terlihat bahwa reaktan terkonversi menjadi
produk yang cukup besar hanya terjadi pada 5 menit pertama reaksi berlangsung,
sedangkan untuk 5 menit berikutnya hingga reaksi berakhir, pengurangan jumlah
reaktan atau reaktan yang terkonversi menjadi produk sangat sedikit.
Tabel 12. Nilai R Regresi Linear Sederhana
Katalis Co-Arang Suhu (°C) Nilai R
450 0,600
1% 500 0,600
550 0,600
450 0,601
2% 500 0,600
550 0,750
450 0,600
3% 500 0,658
550 0,600

Berdasarkan tabel 12 nilai R rata-rata lebih kecil atau tidak mendekati 1.


Sehingga untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, menggunakan regresi polynomial.
Persamaan regresi polynomial adalah

Dengan persamaan regresi polynomial, akan didapatkan nilai R mendekati satu.


420
Energi Aktivasi
Hubungan eksponensial antara k dan T dan dari persamaan Arhenius :
k = k0 e –Ea/RT
k0 merupakan faktor frekwensi, Ea adalah energi aktivasi, R adalah tetapan gas
umum, dan T merupakan suhu absolut. Dari persamaan Arhenius tersebut dapat dicari
harga Ea dimana ln k = ln k0 – Ea/RT, dimana hubungan antara ln k versus 1/T dengan
nilai R adalah 8,314 J/mol K diperoleh harga energi aktivasi. Untuk perengkahan
katalitik menggunakan Co-Arang 1%, 2% dan 3%, hubungan antara 1/T vs ln k dapat
dilihat pada tabel 13.

Tabel 13. Hubungan 1/T vs ln k, Perengkahan Katalitik Minyak Jelantah Katalis Co-
Arang 1%
T (K) 1/T (K) k ln k
723,15 0,001383 2,8532 1,04844
773,15 0,001293 1,61423 0,47886
823,15 0,001215 1,2624 0,23301

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

1.2
1
0.8
ln k 0.6
Y
0.4
Predicted Y
0.2
0
0.0012 0.0013 0.0014
1/T (K)

Gambar 12. Grafik Hubungan 1/T vs ln k Co-Arang 1%

Sesuai dengan persamaan Arhenius k = ln k0 – Ea/RT, Temperatur reaksi


mempengaruhi harga konstanta laju reaksi. Kenaikan temperatur berbanding lurus
dengan kenaikan laju reaksi. Pada tabel 13. nilai k yang diperoleh pada setiap kenaikan
temperatur mengalami penurunan. Ketidakstabilan tersebut mempegaruhi laju reaksi
dalam pembentukan produk. Dari data tabel 13. dibuat grafik Hubungan nilai 1/T dan
ln k.
Dari grafik 24., nilai slope unutk perengkahan katalitik minyak jelantah
menggunakan katalis Co-Arang 1% adalah 4888,6484. Sehingga energi aktivasi yang 421
didapat adalah sebesar- 40,64 kJ.

Tabel 14. Hubungan 1/T vs Ln K, Perengkahan Katalitik Minyak Jelantah Katalis Co-
Arang 2%
T (K) 1/T (K) k ln k
723,15 0,001383 0,142 -1,948
773,15 0,001293 0,773 -0,256
823,15 0,001215 0,574 -0,553

Pada tabel 14. dapat dilihat apabila temperatur meningkat maka nilai k juga akan
meningkat. Kenaikan temperatur berbanding lurus dengan kenaikan laju reaksi.
Peningkatan ini terjadi pada temperatur 450°C dan 500°C, sedangkan pada temperatur
550°C nilai k mengalami penurunan sehingga laju reaksi pun menurun. Hal ini yang
menyebabkan penurunan persentase CHP pada temperatur 550°C. Dari data tabel 13.
dibuat grafik Hubungan nilai 1/T dan ln k.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

0.000
0.0012 0.00125 0.0013 0.00135 0.0014
-0.500
Y
-1.000
ln k

Predicted Y
-1.500

-2.000

-2.500 1/T (K)


Gambar 13. Grafik Hubungan 1/T vs ln k Co-Arang 2%

Dari grafik 13, hubungan antara ln k versus 1/T dengan nilai R adalah 8,314
J/mol K nilai slope untuk perengkahan katalitik minyak jelantah menggunakan katalis
Co-Arang 2% adalah -8543,246. Sehingga diperoleh energi aktivasi sebesar 71,03 kJ.
Tabel 15. Hubungan 1/T vs Ln K, Perengkahan Katalitik Minyak Jelantah Katalis Co-
Arang 3%
T (K) 1/T (K) k ln k
723,15 0,001383 0,005 -5,136
773,15 0,001293 0,003 -5,577
422 823,15 0,001215 0,011 -4,493

Sesuai dengan persamaan Arhenius k = ln k0 – Ea/RT, Temperatur reaksi


mempengaruhi harga konstanta laju reaksi. Kenaikan temperatur berbanding lurus
dengan kenaikan laju reaksi. Pada tabel 15. nilai k yang diperoleh pada setiap kenaikan
temperatur mengalami naik turun. Ketidakstabilan tersebut mempegaruhi laju reaksi
dalam pembentukan produk. Dari data tabel 14. dibuat grafik Hubungan nilai 1/T dan
ln k.
Dari tabel 14. dan gambar 15., nilai slope unutk perengkahan katalitik minyak
jelantah menggunakan katalis Co-Arang 3% adalah -3606,1445. Sehingga energi
aktivasi yang didapat adalah sebesar 29,98 kJ
Tabel 15. Perbandingan nilai Energi Aktivasi (Ea)
No. Katalis Energi Aktivasi (kJ)
1. Co-Arang 1% -40,64

2. Co-Arang 2% 71,03
3. Co-Arang 3% 29,98

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

0.2
0
0.0012 0.00125 0.0013 0.00135 0.0014
-0.2
-0.4
ln k

-0.6
-0.8
-1
Y
-1.2 Predicted Y
1/T (K)

Gambar 14. Grafik Hubungan 1/T vs ln k Co-Arang 3%


.
Dari tabel 15, bahwa nilai Ea pada konsentrasi 3% lebih rendah dibandingkan
dengan konsentrasi 2%. Dilihat dari konsentrasi katalis, bahwa semakin tinggi
konsentrasi katalis nilai Ea semakin turun.

SIMPULAN
Hasil pengamatan morfologi permukaan katalis Co-Arang menggunakan SEM, 423
semakin tinggi konsentrasi katalis, semakin besar ukuran pori. Berdasarkan data EDX,
Logam Co berhasil teremban ke dalam karbon aktif dengan persentase unsur Co
sebesar 0,86%, 1,99% dan 0,11% pada masing-masing konsenrasi logam Co. Kondisi
Optimum Katalis terdapat pada katalis Co-Arang konsentrasi larutan Co 3%.
Berdasarkan hasil perengkahan katalitik Minyak Jelantah, tidak bisa mendapatkan
hubungan antara variasi konsentrasi katalis terhadap kuantitas CHP yang dihasilkan.
CHP terbanyak dihasilkan pada katalis Co-Arang 1% temperatur 450°C yaitu sebesar
47,55%. Energi aktivasi yang diperoleh tidak menunjukkan hubungan antara pengaruh
waktu terhadap perengkahan katalitik. Kondisi optimum didapatkan pada perengkahan
katalitik minyak jelantah variasi konsentrasi 3% dengan energi aktivasi sebesar 29,98
kJ

REFERENSI
Abdul H, Nazarudin, and M Naswir (2017). Perengkahan Termal (Thermal Cracking)
Serbuk Gergaji Kayu Bulian (Eusideroxylon Zwagery T.Et B) Untuk
Menghasilkan Bahan Bakar Minyak. Jambi: Universitas Jambi

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Abdulloh, A., Purkan, P., and Hardiansyah, N. (2017). Preparasi Dan Karakterisasi -
Fe2o3/Zeolit Y Untuk Reaksi Perengkahan Asam Palmitat. J. Kim. Ris. 2, 69–
76.
Anggoro, D.D., Hidayati, N., Buchori, L., and Mundriyastutik, Y. (2016). Effect of Co
and Mo Loading by Impregnation and Ion Exchange Methods on
Morphological Properties of Zeolite Y Catalyst. Bull. Chem. React. Eng. Catal.
11, 75.
Adhi W, Jayan. (2013). Perengkahan Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) Menjadi
Biofuel Menggunakan Katalis H-Zeolit Dengan Variasi Temperatur Reaksi Dan
Nisbah Berat H-Zeolit/PFAD. Riau: Universitas Riau.
Alamsyah M, Ruslan K, and La I (2017). Pemurnian Minyak Jelantah Dengan Proses
Adsorpsi. Univ. Muslim Indonesia. Vol 02 No.02.
Arman F, Ida Z, and Yelmida (2013). Perengkahan Katalitik Minyak Jelantah
Menghasilkan Biofuel Menggunakan Katalis Femo/Zeolit. Riau: Universitas
Riau.
Augustine, R.L., (1996). Heterogenous Catalysis for the Synthetic Chemistry, First
Edition, Marcel DokkerInc, New York, 13-19.
Bachtas, G.P., and Ida, Z. (2015). Perengkahan Katalitik Minyak Goreng Bekas Untuk
424 Produksi Biofuel Menggunakan Katalis Ni/Zeolit. Riau: Universitas Riau.
David N, Theresia S.R. Taufik I, and , Zuhdi M (2017). Pemurnian Minyak Jelantah
Menggunakan Arang Aktif Dari Sekam Padi. Tek. Kim. Fak. Tek. Univ.
Tribhuwana Tunggadewi.
Deraz NM. (2018). Importance of catalyst preparation. J Ind Environ Chem.
2018;2(1):16-18
Dewi, T.K., Mahdi, M., and Novriyansyah, T. (2016). Pengaruh Rasio Reaktan Pada
Impregnasi Dan Suhu Reduksi Terhadap Karakter Katalis Kobalt/Zeolit Alam
Aktif. J. Tek. Kim. 22.
Erry I.R (2017). Pemanfaatan Minyak Jelantah Sebagai Biodiesel: Kajian Temperatur
Dan Waktu Reaksi Transesterifikasi. Fak. Sains Dan Teknol. UIN Sunan
Ampel Surabaya Vol. 12 No.3.
Fatimah, N.F., and Utami, B. (2017). Sintesis dan Analisis Spektra IR, Difraktogram
XRD, SEM pada Material Katalis Berbahan Ni/zeolit Alam Teraktivasi dengan
Metode Impregnasi. J. Cis-Trans 1.
Lestari, H. D. 2006. Sintesis Katalis Ni/Mo untuk Hydrotreating Coker Nafta. Tesis.
Program Studi Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Lukman H.F., Adit R W., and Dr. Widayat MT. (2013). Pembuatan Katalis H-Zeolit
dengan Impregnasi KI/KIO3 dan Uji Kinerja Katalis Untuk Produksi Biodiesel.
Jurnal Teknologi Kimia dan Industri Vol 2. UNDIP.
Hidayati, F.C. (2016). Pemurnian Minyak Goreng Bekas Pakai (Jelantah) dengan
Menggunakan Arang Bonggol Jagung. JIPF J. Ilmu Pendidik. Fis. 1, 67–70.
Ida, Z. (2015). Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Goreng Bekas Dengan Proses
Catalytic Cracking. Riau: Universitas Riau.
Mahreni, M. (2010). Peluang dan Tantangan Komersialisasi Biodisel-Review. Eksergi
10, 15–26.
Mintari, D. (2015). Analisa Kadar Fe Dengan Metode Permanganometri
Menggunakan Resin Penukar Ion (Ion Exchanger) Dalam Air Sungai
Banjarsari (Fe Content Analysis With Permanganometry Method Using An Ion
Exchanger Resin As A Filter Media In River Water Banjarsari). PhD Thesis.
Undip.
Mundriyastutik, Y., Anggoro, D.D., and Hidayati, N. (2016). Preparasi Dan
Karakteristik Katalis Como/Zeolit Y Dengan Metode Pertukaran Ion.
Indonesia. J. Farm. 1.
Muntaha, M., Bhima, S.K.L., and Dhanardhono, T. (2013). Deteksi Psilocin Urin Pada
Mencit Swiss Webster Terhadap Pemberian Jamur Psilocybe Cubensis Dosis 425
Bertingkat. PhD Thesis. Faculty of Medicine Diponegoro University.
Nazarudin (2000). Optimasi kondisi reaksi perengkahan katalitik Fraksi Berat Minyak
Bumi dengan Katalis Cr-Zeolit dan Zeolit Alma. Yogyakarta:UGM
Nugrahaningtyas, K.D., Cahyono, E., and Widjonarko, D.M. (2016). The Paraffin
Cracking Reaction With NiMo/Active Natural Zeolite Catalyst: The Effect
Temperature On Catalytic Activitythe Paraffin Cracking Reaction With
Nimo/Active Natural Zeolite Catalyst: The Effect Temperature On Catalytic
Activity. ALCHEMY J. Penelit. Kim. 11, 111.
Nurjannah and Ifa. (2012). Studi Kinetika Perengkahan Katalitik Minyak Sawit
Menghasilkan Biofuel. Makassar: Univeritas Muslim Indonesia.
Rasidi, I., Putra, A.A.B., and Suarsa, I.W. (2015). Preparasi Katalis Nikel-Arang Aktif
Untuk Reaksi Hidrogenasi Asam Lemak Tidak Jenuh Dalam Minyak Kelapa.
Saputra, B., and Ida, Z. (2014). Perengkahan Katalitik Minyak Goreng Bekas Untuk
Produksi Biofuel Menggunakan Katalis Cu/Zeolit. Riau: Universitas Riau.
Saputra., R Ida Z., Yelmida. (2013). “Perengkahan Katalitik Minyak Jelantah Untuk
Menghasilkan Biofuel Menggunakan Katalis Ni-Mo/Zeolit.” Riau: Universitas
Riau.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
NM Yuhermita, N Nazarudin, O Alfernando, IG Prabasari dan M Haviz

Sayekti, A.I.H.S.E., and Sianipar, A. (2013). Optimasi Reaksi Perengkahan Minyak


Jelantah Menggunakan Katalis Zeolit/Nikel. J. Kim. Khatulistiwa 2.
Setianingsih T, Hasanah U, Darjito. (2008). Study of NaOH- activation
temperatureinfluence toward character of mesoporouscarbon based on textile
sludge waste . Indonesia J Chem 8:348-352.
Sembiring, Meiliata T, Sinaga T. (2003). Pengenalan dan proses pembuatan arang aktif
[tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana,Universitas Sumatera Utara.
Shofa, Arina. (2016). “Efektivitas Jenis Katalis Pada Sintesis Terpenil Asetat Melalui
Reaksi Esterifikasi α-Pinena.” PhD Thesis, Universitas Negeri Semarang.
Solihudin, Atiek R.N, Rukiah. (2015). Aktivasi Arang Sekam Padi dengan Larutan
Natrium Karbonat dan Karakterisasinya. Departemen Kimia FMIPA:
Universitas Padjajaran.
Sri K, Eko B.,S, and Dhian., E (2010). Aktivitas Katalis Cr/Zeolit Alam Pada Reaksi
Konversi Minyak Jelantah Menjadi Bahan Bakar Cair.
Sriatun, T., and TIP, L.S. (2015). Pemanfaatan Katalis Silika Alumina Dari Bagasse
Pada Pembuatan Biodiesel Dari Minyak Goreng Sisa Pakai. J. Agroindustrial
Technol. 25.
Thamrin, S.P.J.T. (2013). Gasifikasi Minyak Jelantah Pada Kompor Bertekanan
426 [Waste Cooking Oil Gasification With Pressure Stoves].
Trisunaryanti, Wega., Endang T., and Sri S. (2005). Preparasi, Modifikasi, dan
Karakterisasi Katalis Ni-Mo/Zeolit Alam dan Mo Ni/Zeolit Alam. TEKNOI
10(4): 269-282. Dalam
Wijaya K, A Syoufian, and S.D. Ariantika (2014). Hydrocracking of Used Cooking
Oil into Biofuel Catalyzed by Nickel-Bentonite. Asian J. Chem. 26.
Yessy M, Rahmat Ki, and Hesti W (2013). Pembuatan Arang Aktif Dari Cangkang
Kelapa Sawit Dengan Aktivasi Secara Fisika, Kimia Dan Fisika-Kimia.
Volume 02 No.1.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

KONVENTER KATALITIK DARI LIMBAH PULP DENGAN KATALIS


ZEOLIT DARI ABU SEKAM PADI

Iis Siti Jahro * ABSTRACT: The aim of this study was to obtain a catalytic converter from pulp
Universitas Negeri solid waste and rice husk ash which can be used as an exhaust gas converter
Medan from an automotive vehicles. To get the best quality catalytic converter, so the
treatments consisted of variations in zeolite type, mixing ratio of pulp waste to
zeolite and the number of holes in catalytic converters are carried out. The
characterization results showed that catalytic converters obtained from the
treatment of the ratio of pulp waste to zeolite X of 2:1 had absorption capacity of
CO, HC and CO2 gases respectively 26.56 ; 28.11 and 13.6% with an O2 increase
of 300.76%. Meanwhile the catalytic converter from the treatment of the ratio of
pulp waste to zeolite A is 3:1 which has absorption of CO, HC and CO2 gases of
35.9 ; 36.4 and 25.6% with an O2 increase of 429%. In the treatment of variations
the number of holes indicates a catalytic conventer with a 7 holes has better
absorption capacity of the gas than the others. The 7 holes catalytic conventer
with zeolite X as catalyst has absorption of CO, HC and CO2 respectively 28.12 ;
33.17 and 20.8% with an O2 increase of 383,21%. Meanwhile, the 7 holes
catalytic converter with zeolite A as catalyst shows absorption of CO, HC and
CO2 gas about 53.9 ; 43.3 and 56.0% with an O2 increase of 900%.

KEYWORDS: Catalytic conventer, pulp waste, zeolite, absorption capacity.

* Corresponding Author: Universitas Negeri Medan, Jl. William Iskandar – Pasar V Medan Estate – 20221, Indonesia; Email:
jahrostiis@gmail.com
427

PENDAHULUAN
Pengoperasian pabrik pengolahan pulp menghasilkan limbah padat berupa grit,
dreg, sludge dan biosludge sekitar 7 ton per harinya. Limbah dalam jumlah besar
apabila dibiarkan tanpa diolah atau dimanfaatkan maka akan menambah daftar panjang
penyebab terjadinya pencemaran lingkungan. Seperti halnya pabrik pengolahan pulp,
pabrik penggilingan padi juga menghasilkan limbah berupa sekam padi sebesar 20%
dari produksi padi sehingga dalam periode satu tahun limbah sekam padi yang
dihasilkan dari pabrik penggilingan padi di Kabupaten Deli Serdang mencapai lebih
kurang 70.000 ton pertahun. Hasil analisis komposisi kimia limbah padat pulp
menunjukkan adanya bahan-bahan penyusun keramik seperti clay, feldsfar dan kuarsa
yang memungkinkan limbah pulp dimanfaatkan sebagai bahan konventer pengubah
gas buang dari kendaraan otomotif (Joskar, 2008). Sementara itu abu sekam padi
mengandung silika (SiO2), alumina (Al2O3) dan besi oksida berturut-turut sekitar 96-
97; 0,94-1,14; 0,31-1,43% serta sejumlah kecil alkali dan logam pengotor (Usman
dkk, 2014). Kandungan silika yang cukup tinggi sangat potensial untuk memanfaatkan
abu sekam padi tersebut sebagai bahan sintesis zeolit yang dapat digunakan sebagai

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

katalis untuk mengefektifkan kerja konventer pengubah gas buang dari kendaraan
otomotif (Jahro dan Panggabean, 2011). Oleh karena itu telah dilakukan penelitian ini
pembuatan konventer katalitik dari limbah pulp dengan menggunakan katalis zeolit A
dan X hasil sintesis dari abu sekam padi. Untuk mendapatkan konventer katalitik
dengan kualitas terbaik, maka pada pembuatan konventer katalitik ini dilakukan
variasi rasio pencampuran limbah pulp dengan katalis zeolit A dan X serta variasi
jumlah lubang pada konventer katalitik.

Penelitian pemanfaatan limbah pulp sebagai pengubah gas buang dari


kendaraan otomotif yang berhasil dilakukan oleh Sembiring (2010) menunjukkan
dapat mengurangi polusi udara yang berasal dari gas buang kendaraan otomotif
sebesar 36,21–97,14% CO, 25,64–95,97% CO2 dan 36,47–87,87% HC. Sejalan
dengan hasil penelitian tersebut, konverter katalitik dari campuran limbah pulp dengan
zeolit hasil sintesis dari limbah abu layang berhasil mengurangi polusi udara dari gas
CO dan CH berutrut-turut sebesar 97,14 dan 87,87% melalui proses katalis serta gas
CO2 sebanyak 25,64–95,97% dapat diabsorbsi (Jahro dan Panggabean, 2011).
Adapun beberapa penelitian terkait abu sekam padi menunjukkan abu sekam padi telah
berhasil digunakan sebagai sumber silika aktif untuk sintesis zeolit Y (Ramli, 1995),
zeolit A, Y dan ZSM-5 (Kismojohadi, 1995; Rawtani et al, 1989) serta zeolit A dan X
428 (Jahro dkk, 2018).

Konverter katalitik tersusun dari dua katalis, yaitu katalis reduksi dan oksidasi. Katalis
reduksi berfungsi mengurangi emisi gas nitrogen oksida (NOx) dengan cara
mengubahnya menjadi gas nitrogen dan oksigen. Katalis oksidasi berfungsi mengubah
senyawa hidrokarbon yang tidak terbakar di ruang bakar dan karbon monoksida
menjadi gas karbon dioksida dan uap air (Nasikin, dkk. 2004). Oleh karena itu
konverter katalitik yang efisien memilliki dua fungsi mengoksidasi CO dan
hidrokarbon yang tidak terbakar menjadi CO2 dan H2O, dan mereduksi NOx menjadi
N2 dan O2 (Mukherjee dkk, 2016).

METODE PELAKSANAAN
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah padat pulp dari
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk yang beralamat di Desa Sosorladang, Kecamatan
Parmaksian, Porsea Toba Samosir dan zeolit hasil sintesis dari limbah sekam padi
yang diambil dari pabrik penggilingan padi di Kabupaten Deli Serdang. Adapun alat-
alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi alat untuk keperluan pembuatan dan
karakterisasi konventer katalitik.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

Pembuatan konventer katalitik dilakukan melalui tahapan Pencetakan,


Pembakaran dan Pendinginan. Sebelum digunakan sebagai bahan pembuatan
konventer terlebih dahulu limbah padat pulp yang terdiri dari grit, dreg, dan biosludge
dikeringkan di bawah cahaya matahari untuk proses penguapan air dan di oven pada
suhu 120oC untuk menyempurnakan penguapan. Ketiga bahan dasar yang telah halus
dicampurkan secara merata, ditimbang dan dicampur dengan zeolit hasil sintesis dari
abu sekam padi dengan variasi perbandingan yaitu 1:1., 2:1 dan 3:1. Ke dalam wadah
berisi campuran bahan limbah padat pulp dan katalis zeolit tersebut kemudian
ditambahkan air 300 mL sambil menggunakan mikser selama 1 jam, selanjutnya
campuran tersebut dimasukkan ke dalam cetakan stainless berbentuk silinder. Cetakan
ini terdiri dari sebuah silinder dengan diameter 9 cm dan tinggi 13 cm. Selanjutnya ke
dalam cetakan dibuat motif lubang dengan variasi lubang sebanyak 3, 5 dan 7 buah.
Campuran dalam cetakan dibiarkan di ruang terbuka selama 4 hari agar siap untuk
dibakar. Selanjutnya konverter katalitik dibakar dengan menggunakan furnace dari
suhu kamar hingga suhu 1100º C kemudian ditahan selama 2 jam. Selanjutnya
furnace dimatikan. Konverter katalitik yang telah dibakar kemudian didinginkan.
Konventer katalitik yang telah didinginkan selanjutnya diuji kualitasnya. Pengujian
emisi gas hasil samping pembakaran kendaraan otomotif dilakukan menggunakan alat
Gas Analyzer. Pengujian dilakukan dengan membandingkan emisi gas tanpa konverter 429
katalitik dan dengan menggunakan konverter katalitik. Konverter katalitik yang
berbentuk silinder ditempatkan di dalam knalpot kendaraan dengan bantuan baut,
kemudian sensor pendeteksi gas buang dimasukkan kedalam sampel. Pengujian
dilakukan selama 5 menit untuk setiap produk konverter katalitik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada penelitian ini dihasilkan sebanyak 12 buah konventer katalitik yang terdiri
dari 3 buah konventer katalitik hasil variasi rasio limbah pulp dengan katalis zeolit X
masing-masing 1:1, 2:1 dan 3:1 kemudian 3 buah konventer katalitik hasil variasi
jumlah lubang 3, 5 dan 7 pada konventer katalitik dengan rasio limbah pulp terhadap
zeolit X sebesar 2:1. Dua kelompok berikutnya serupa dengan itu tetapi zeolit yang
digunakan sebagai katalisnya adalah zeolit A. Untuk selanjutnya pada pembahasan
variasi rasio limbah pulp terhadap zeolit dinyatakan sebagai variasi penggunaan zeolit
sebesar 50% pada rasio 1:1 kemudian 33,3% pada rasio 2:1 dan 25% pada rasio 3:1.
Berikut ini pembahasan hasil karakterisasi uji kualitas masing-masing konventer
katalitik. Kualitas konventer katalitik ditinjau dari daya serap dan daya ubahnya
terhadap gas-gas hasil pembakaran yang keluar dari knalpot kendaraan otomotif yang

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

didalamnya menggunakan konventer katalitik. Daya serap zeolit terhadap gas CO, HC
dan CO2 ditandai dengan makin kecilnya emisi gas tersebut dari knalpot kendaraan
otomotif. Sedangkan daya ubahnya ditandai dengan pertambahan kadar gas oksigen
yang diemisikan dari gas buang.

Pengaruh Variasi Kadar Zeolit X Yang Digunakan Terhadap Kualitas


Konventer Katalitik dari Limbah Padat Pulp
Hasil pengukuran gas buang dari kendaraana otomotif tanpa dan dengan
konventer katalitik dengan variasi kadar zeolit X sebagai katalis dirangkum pada Tabel
1. Pada tabel tersebut dapat dilihat tanpa konventer katalitik gas buang dari knalpot
kendaraan otomotif mengemisikan gas CO, HC dan CO2 berturut-turut sekitar 0,64%,
217 ppm dan 12,5%. Penggunaan konventer katalitik pada knalpot kendaraan otomotif
dapat menurunkan emisi masing-masing gas tersebut berkisar antara 17-27% untuk
gas CO, 23-28% untuk gas HC dan 7-14 untuk gas CO2. Penurunan emisi masing-
masing gas tersebut dikarenakan gas tersebut diserap oleh konventer katalitik. Daya
serap konventer katalitik terhadap masing-masing gas CO, HC dan CO2 relatif lebih
tinggi dibanding daya serap konventer tanpa katalis zeolit X. Hal ini menunjukkan
peran zeolit sebagai katalis dapat meningkatkan efektivitas daya serap konventer
430 terhadap masing-masing gas tersebut.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Gas Buang dari Kendaraan Otomotif Tanpa dan dengan
Komventer Katalitik dengan Variasi Rasio Pencampuran Zeolit X terhadap Limbah
Pulp
Emisi gas Gas terserap (%)
Konventer Katalitik dengan
No CO HC CO2
variasi kadar zeolit X (%) CO HC CO2
(%) (ppm) (%)

1 Tanpa Konventer 0,64 217 12,5 - - -

2 50,0 0,52 168 11,5 18,75 22,58 8,00

3 33,3 0,47 156 10,8 26,56 28,11 13,6

4 25,0 0,53 157 11,6 17,18 27,64 7,20

5 0,00 0,58 165 11,9 9,38 23,96 4,80

Pada tabel 1 dapat dilihat persentase gas terserap tertinggi ditunjukkan oleh
konventer katalitik dengan kadar zeolit X sebesar 33,3%. Pada konventer katalitik

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

tersebut persentase gas terserap CO, HC dan CO2 berturut-turut sebesar 26,56 ; 28,11
dan 13,6%. Hal ini sejalan dengan emisi masing-masing gas tersebut pada
penggunaan konventer katalitik tersebut paling rendah dibandingkan pada penggunaan
konventer katalitik lainnya.

Sementara itu kadar gas oksigen mengalami peningkatan seiring dengan


diserapnya masing-masing gas HC dan CO sehingga gas O2 yang seharusnya
digunakan untuk proses pembakaran lebih lanjut msing-masing gas O2 tersebut
menjadi diemisikan bersama gas buang. Tetapi pertambahan gas oksigen ini terbesar
diperoleh dari hasil dekomposisi gas nitrogen oksida (NOx) yang diserap konventer
katalitik dari gas buang kendaraan otomotif dengan reaksi sebagai berikut ; 2NOx(g) →
N2(g) + xO2(g) (Mukherjee dkk, 2016).
Data pertambahan gas oksigen pada gas buang tanpa dan dengan konventer
katalitik disajikan pada Tabel 2. Pada tabel 2 tersebut dapat dilihat tanpa penggunaan
konventer katalitik maka gas buang dari knalpot kendaraan otomotif mengandung gas
oksigen sisa pembakaran sebesar 1,31%.

Tabel 2. Hasil Pengukuran O2 pada Gas Buang Kendaraan Otomotif Tanpa dan
Dengan Konventer Katalitik
431
Konventer Katalitik dengan Emisi gas O2 Pertambahan O2
No Variasi Kadar Zeolit X (%) yang diemisikan
(%)
(%)

Tanpa Konverter Katalitik 1,31 -

50,0 4,41 236,64

33,3 5,25 300,76

25,0 2,97 126,72

0,0 2,63 100

Dengan penggunaan konventer katalitik maka kadar gas oksigen yang


diemisikan pada gas buang dari knalpot kendaraan otomotif meningkat tajam mulai
dari 100 hingga 300%. Sejalan dengan daya serapnya terhadap masing-masing gas
HC, CO dan CO2 yang paling tinggi maka gas buang dari knalpot kendaraan otomotif
yang menggunakan konventer katalitik dengan kadar zeolit X sebesar 33,3%
menghasilkan pertambahan gas O2 paling tinggi yakni sekitar 300,76%. Berdasarkan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

data pada Tabel 1 dan 2 maka dapat dinyatakan bahwa konventer katalitik dengan
kadar zeolit X sekitar 33,3% memiliki kualitas paling baik dibanding yang lainnya
karena memiliki daya serap terhadap gas HC, CO dan CO2 paling besar dan
menghasilkan pertambahan gas O2 paling tinggi.

Pengaruh Kadar Zeolit A Yang Digunakan Terhadap Kualitas Konventer


Katalitik
Pada penggunaan zeolit A sebagai katalis menunjukkan hasil yang berbeda dari
penggunaan zeolit X sebagai katalis. Hasil pengujian gas buang kendaraan otomotif
tanpa dan dengan konventer katalitik dirangkum pada Tabel 3 yang menunjukkan
konventer katalitik dapat menurunkan emisi gas dari gas buang kendaraan otomotif
berturut-turut sekitar 23-36% untuk gas CO, 28-36% untuk gas HC dan 14-26% untuk
gas CO2. Besarnya persentase penurunan emisi masing-masing gas tersebut lebih
tinggi daripada persentase penurunan gas tersebut pada penggunaan konventer
katalitik dengan katalis zeolit X. Dengan demikian patut diduga bahwa zeolit A lebih
aktif berfungsi sebagai katalis pada konventer dari limbah pulp ini dibandingkan zeolit
X atau dengan kata lain penggunaan zeolit A sebagai katalis pada konventer dari
limbah pulp lebih efektif dibandingkan zeolit X.
432 Tabel 3. Hasil Pengukuran Gas Buang dari Kendaraan Otomotif Tanpa dan dengan
Komventer Katalitik dengan Variasi Kadar Zeolit A Sebagai Katalis
Konventer Katalitik Emisi Gas Gas Terserap (%)
dengan Variasi Kadar CO HC CO2 CO HC CO2
Zeolit A (%) (%) (ppm) (%)

Tanpa Konverter Katalitik 0,64 217 12,5 - - -

50,0 0,49 155 10,7 23,4 28,5 14,4

33,3 0,47 152 10,5 26,5 29,8 16,0

25,0 0,41 138 9,3 35,9 36,4 25,6

0,0 0,58 165 11,9 9,38 23,96 4,80

Gas buang dari kendaraan otomotif dengan emisi gas CO, HC dan CO2 terendah
berturut-turut sekitar 0,41%, 138 ppm dan 9,3% ditunjukkan oleh konventer katalitik
dengan kadar zeolit A sebanyak 25%. Hal ini sejalan dengan gas CO, HC dan CO2
terserapnya yang tertinggi berturut-turut sekitar 35,9 ; 36,4 dan 25,6%. Gas terserap
oleh konventer katalitik dengan katalis zeolit X sekitar 33,3% maupun zeolit A sekitar

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

25,0% ini lebih rendah jika dibandingkan hasil penelitian Joskar (2009) yang berhasil
membuat konventer katalitik dengan daya absorbsi terhadap gas CO, HC dan CO2
berturut-turut sebesar 97,14 ; 87,87 dan 95,97%.

Adapun data pertambahan emisi gas oksigen pada gas buang knalpot kendaraan
otomotif tanpa dan dengan konventer katalitik dengan variasi kadar zeolit A disajikan
pada Tabel 4. Sejalan dengan hasil pengukuran gas terserap, maka hasil pengukuran
pertambahan gas oksigen menunjukkan konventer katalitik dengan kadar zeolit A
sekitar 25% dapat menghasilkan pertambahan gas oksigen sekitar 429%, paling tinggi
dibandingkan konventer katalitik dengan kadar zeolit A sebanyak 50,0 maupun 33,3
%.

Tabel 4. Hasil Pengukuran O2 pada Gas Buang Kendaraan Otomotif Tanpa dan
Dengan Konventer Katalitik dengan Variasi Kadar Zeolit A
Konventer Katalitik dengan Emisi Gas O2 Pertambahan O2
No Variasi Kadar Zeolit A (%)
(%) (%)

Tanpa Konverter Katalitik 1,31 -

50,0 5,08 287


433
33,3 6,21 361

25,0 6,93 429

0,0 2,63 100

Selain itu pertambahan emisi gas oksigen (429%) pada penggunaan konventer
katalitik dengan katalis zeolit A sebanyak 25% juga lebih tinggi dibandingkan
pertambahan emisi gas oksigen (300,76%) pada penggunaan konventer katalitik
dengan katalis zeolit X sebanyak 33,3%. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa
zeolit A lebih efektif digunakan sebagai katalis pada konventer katalitik dibandingkan
zeolit X.

Pengaruh Variasi Jumlah Lubang Terhadap Kualitas Konverter Katalitik


dengan Katalis Zeolit X
Perlakukan variasi jumlah lubang dilakukan terhadap konventer katalitik yang
dibuat dari limbah pulp dengan kadar zeolit X sebanyak 33,3%. Adapun variasi jumlah
lubang yang dilakukan terdiri dari 3 macam yakni 3, 5 dan 7 buah lubang sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

Adapun jumlah lubang yang dijadikan variabel tetap pada saat perlakukan
variasi kadar zeolit X yang digunakan adalah 5 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar
2.

Gambar 1. Konventer katalitik dari campuran limbah pulp dengan katalis zeolit X
sebanyak 33,3% dan jumlah lubang 3, 5 dan 7

434

Gambar 2. Konventer katalitik dari limbah pulp dengan variasi kadar katalis zeolit X
dari kiri ke kanan berturut-turut sebanyak 50 ; 33,3 dan 25% dengan jumlah lubang
sebanyak 5 buah.

Hasil pengukuran gas buang dari knalpot kendaraan otomotif yang


menggunakan konventer katalitik dengan katalis zeolit X sebanyak 33,3% dan jumlah
lubang 3, 5 dan 7 ditunjukkan pada Gambar 3. Persentase gas terserap pada
penggunaan konventer katalitik dengan jumlah lubang 3, 5 dan 7 berturut-turut sebesar
21,87 ; 26,56 dan 28,12% untuk gas CO, 27,18 ; 28,11 dan 33,17 untuk gas HC
kemudian 9,6 ; 13,6 dan 20,8 untuk gas CO2. Tampak bahwa persentase masing-
masing gas terserap semakin besar sejalan dengan bertambahnya jumlah lubang. Hal

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

ini menunjukkan bahwa jumlah lubang berkaitan dengan luas permukaan dimana
semakin banyak jumlah lubang semakin luas permukaan sehingga semakin besar
peluang terjadinya penyerapan terhadap molekul gas (Irvantino, 2013).

435

Gambar 3. Grafik variasi jumlah lubang pada konventer katalitik dengan katalis
zeolit X versus persentase gas terserap

Hasil pengukuran kadar gas oksigen menunjukkan sesuai dengan peningkatan


daya serap terhadap gas CO, HC dan CO2 maka terjadi peningkatan kadar emisi gas
oksigen seiring dengan bertambahnya jumlah lubang pada konverter katalitik yang
digunakan. Peningkatan emisi gas oksigen pada penggunaan konventer katalitik
dengan jumlah lubang 3, 5 dan 7 berturut-turut sebesar 84,73 ; 300,76 dan 383,21%.
Peningkatan emisi kadar gas oksigen pada penggunaan konventer katalitik dengan
jumlah lubang 3 buah kemudian menjadi 5 buah cukup tajam pertambahannya hampir
2,6 kali lipat (255%). Sedangkan peningkatan emisi kadar gas oksigen pada
penggunaan konventer katalitik dengan jumlah lubang 5 buah kemudian menjadi 7
buah, pertambahannya hanya sekitar 27%. Berdasarkan data tersebut dapat
diperkirakan bahwa pertambahan jumlah lubang berikutnya pada konventer katalitik

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

tidak akan meningkatkan emisi kadar gas oksigen secara signifikan atau dengan kata
lain jumlah lubang sebanyak 7 buah pada konventer katalitik dengan katalis zeolit X
sebanyak 33,3 % sudah optimum.

Pengaruh Variasi Jumlah Lubang Terhadap Kualitas Konverter Katalitik


dengan Katalis Zeolit X
Hasil pengukuran gas buang dari knalpot kendaraan otomotif yang
menggunakan konventer katalitik dengan katalis zeolit A sebanyak 25,0% dan jumlah
lubang 3, 5 dan 7 ditunjukkan pada Gambar 4.

436

Gambar 4. Grafik variasi jumlah lubang pada konventer katalitik dengan katalis
zeolit A versus persentase gas terserap
Persentase masing-masing gas terserap semikin meningkat sejalan dengan
bertambahnya jumlah lubang pada konventer katalitik. Persentase gas terserap pada
penggunaan konventer katalitik dengan jumlah lubang 3, 5 dan 7 berturut-turut sebesar
28,1 ; 39 dan 59,3% untuk gas CO, 37,7 ; 38,7 dan 43,3% untuk gas HC kemudian
15,2 ; 31,2 dan 56 untuk gas CO2. Perbedaan atau selisih persentase masing-masing
gas terserap pada konventer katalitik dengan jumlah lubang 5 buah dan 7 buah

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

berturut-turut sekitar 20,3% (CO) ; 4,6% (HC) dan 24,8% (CO2) lebih besar
dibandingkan dengan perbedaan atau selisih persentase masing-masing gas terserap
pada konventer katalitik dengan jumlah lubang 3 dan 5 buah berturut-turut sekitar
10,9% (CO), 1,0% (HC) dan 16,0% (CO2). Hal ini menunjukkan bahwa penambahan
jumlah lubang dari 5 buah menjadi 7 buah cukup efektif memperbesar luas permukaan
konventer katalitik sehingga meningkatkan peluang terjadinya penyerapan masing-
masing molekul gas CO, HC dan CO2.

Hasil pengukuran kadar gas oksigen menunjukkan peningkatan kadar emisi gas
oksigen pada gas buang knalpot kendaraan bermotor seiring dengan bertambahnya
jumlah lubang pada konverter katalitik yang digunakan. Peningkatan emisi gas
oksigen pada penggunaan konventer katalitik dengan jumlah lubang 3, 5 dan 7
berturut-turut sebesar 281 ; 464 dan 900%. Peningkatan emisi kadar gas oksigen pada
penggunaan konventer katalitik dengan jumlah lubang 5 ke 7 buah pertambahannya
mencapai 94%. Sedangkan peningkatan emisi kadar gas oksigen pada penggunaan
konventer katalitik dengan jumlah lubang 3 buah ke 5 buah, pertambahannya sekitar
65%. Berdasarkan data tersebut dapat diperkirakan bahwa pada konventer katalitik
dengan katalis zeolit A sebanyak 25% pertambahan jumlah lubang berikutnya dapat
meningkatkan emisi kadar gas oksigen secara signifikan atau dengan kata lain jumlah
lubang sebanyak 7 buah pada konventer katalitik dengan katalis zeolit A belum 437
optimum.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas, dapat dikemukakan kesimpulan
bahwa limbah padat pulp dapat diolah menjadi konventer pengubah gas buang dari
kendaraan otomotif. Penambahan zeolit A dan X sebagai katalis pada pembuatan
konventer dari limbah pulp dapat meningkatkan efektivitas kerja dari konventer
sehingga daya serapnya terhadap gas CO, HC dan CO2 serta emisi gas O2 nya
meningkatkan secara signifikan. Pengaruh penambahan zeolit A sebagai katalis pada
konventer katalik lebih aktif dibandingkan zeolit X sehingga daya serap konventer
katalitik dengan katalis zeolit A lebih besar daripada daya serap dan daya ubah
konventer katalitik dengan katalis zeolit X.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Iis Siti Jahro

REFERENSI
Aalam, C.S., Saravanan, C.G., and Samath, C.M. 2015. Reduction of Diesel Engine Emissions
Using Catalytic Converter with Nano Aluminium Oxide Catalyst, International Journal
for Research in Emerging Science and Technology, 2(7):17-22.

Irvantino, B. 2013. Preparasi Katalis Ni/Zeolit Alam dengan Metode Sonokimia Untuk
Perengkahan Katalitik Polipropilen dan polietilen, Skripsi, UNS, Semarang.

Jahro, S. I. dan Panggabean, H. 2011. Pengembangan Material Konventor Katalitik dari


Limbah Pulp dan Abu Layang untuk Diaplikasikan pada Knalpot Otomotif Sebagai
Pengubah Gas Buangan, Research Grant, Unimed, Medan.

Jahro, S. I., Nugraha, A. W. dan Nurfajriani. 2018. Pengolahan Limbah Pulp dan Sekam Padi
Sebagai Bahan Sintesis Konventer Katalitik Untuk Mengurangi Pencemaran
Lingkungan. Penelitian Kelompok Dosen Bidang Keahlian, Unimed, Medan.

Joskar. 2009. Pembuatan Keramik Berpori Dari Limbah Padat Pulp


dengan aditif Kaolin sebagai Filter gas Buang, Thesis, Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

Kismojohadi, E. L. 1995. Zeolite ZSM-5 And Aluminophosphate Molecular Sieves As


Catalysts In The Fischer-Tropsch Reaction: synthesis, characterization and
438 modification, Thesis, Universiti Teknologi Malaysia.

Mukherjee, A., Roy, K., Bagchi, J., and Mondal, K. 2016. Catalytic Converter in Automobile
Exhaust Emission, Journal for Research, 2(10), 29-33.

Nasikin, M., Wulan dan Andrianti. 2004. Pemodelan dan Simulasi Katalitik Konverter Packed
Bed Untuk Mengoksidasi Jelaga pada Gas Buang Kendaraan Bermesin Diesel, Makara,
Teknologi, 8 (3), 69-76.

Ramli, Z. 1995. Rhenium-Impregnated Zeolites: Synthesis, Characterization And Modification


as Catalysts In The Metathesis Of Alkanes, Thesis,
Universiti Teknologi Malaysia.

Rawtani, A.V., Rao, M.S., and Gokhale, K. 1989. Synthesis Of ZSM-5


Zeolite Using Silica From Rice Husk Ash, Ind. Eng. Res, 28, 1411-1414.

Sembiring, A. D. 2010. Pemanfaatan Limbah Padat Pulp untuk Bahan Baku Pembuatan
Keramik Berpori yang Diaplikasikan Sebagai Filter Gas Buang Kendaraan
Bermotor dengan Bahan Bakar Premium, Disertasi, Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.

Usman, A. M. Raji, A. and Waziri, N.H. 2014. Characterisation of Girei Rice Husk Ash for
Silica Potential, IOSR Journal of Environmental Science, Toxicology And Food
Technology. 8(1), 68-71.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
PROSIDING Suwirma

SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA


ISBN: 978-602-5830-09-9

PEMISAHAN KALSIUM PADA PROSES SOLVENT EXTRACTION


NIKEL LIMONIT DENGAN PELARUT ASAM NEODECANOIC

Sudibyo* ABSTRACT: The nickel ore content of Southeast Sulawesi is


Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI 0.54% so that the processing can be done with low grade nickel ore
using the hydrometallurgical that is leaching. The leaching process
is done by using acetic acid as a leaching agent that serves to
S. Oediyani separate the ore from residues such as silica. The process for
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa recovery nickel (Ni) from pregnant leach solution (PLS) is solvent
extraction using a mixture of neodecanoic acid extractant and
S. Sumardi cyanex 272 with kerosene diluents. The disadvantages of the study
Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI are Ni and Calcium (Ca) are in one phase so that the purity of
nickel for further process is reduced. In this research, solvent
extraction process used Neodecanoic acid extractant and kerosene
E. Prasetyo as a diluents which separates nickel and cobalt from calcium.
Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI Calcium is needed in the extraction process to precipitate impurity
metal and to increase pH so that nickel and cobalt metals can be
A. Junaedi extracted into the organic phase. However, the excessive of
Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI calcium will reduce the purity of the solvent extraction product. In
this study, neodecanoic acid was used to extract nickel and cobalt
from aquoes solution and prevent the entry of calcium into
A. S. Handoko extraction on the organic phase. Taguchi is one of the methods that
Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI make up the design with certain factors such as pH, flow rate, the
ratio of O / A volume and the time that affects the solvent extraction
Y. I. Supriyatna process. Based on data analysis using Taguchi method obtained
Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI the optimum condition of the process on the 2nd experiment with 439
pH 2, flow rate 1.75, volume ratio ½ and processing time 2 hours
with percent value of Ca increase of 1.46%.
F. R. Mufakhir
Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI KEYWORDS: Diluent, Extractant,Laterite Nickel, Hydrometallurgy,
Leaching, Solvent Extraction, Taguchi.
F. Nurjaman
Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI

A. N. Suwirma
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

* Corresponding Author: 1Balai Penelitian Teknologi Mineral – LIPI, Jl. Ir. Sutami Serdang Tanjung Bintang Kabupaten
Lampung Selatan, Lampung 35361, Indonesia; Email: sudibyo@lipi.go.id

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara ketujuh yang memiliki cadangan bijih nikel di
dunia yang tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Bijh nikel laterit
terdiri atas dua jenis yaitu saprolit dan limonit dimana bijih nikel limonit memiliki
kadar nikel <1,8%, sedangkan biih nikel saprolit memiliki kadar nikel >1,8%.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Pada bijih nikel limonit terdapat berbagai macam unsur yang sulit dipisahkan,
seperti kobalt, kalsium, mangan dan magnesium sehingga dalam mengekstrak nikel
dari bijih limonitdiperlukan metode pemisahan yang tepat agar dihasilkan nikel
dengan kemurnian yang tinggi. Bijih nikel limonitmemiliki kadar nikel yang rendah
berkisar 0.5 - 1,8% yang dapat dilihat pada Tabel 1, sehingga proses pemisahan nikel ini
dilakukan dengan menggunakan jalur hidrometalurgi. Pada proses inidiperoleh
produkberupa pregnant leach solution (PLS) yang selanjutnya nikel dan kobalt diekstrak
menggunakan pelarut organik berupa asam neodecanoic dan Kerosene sebagai
diluents,yang terpisah dari kalsium, mangan dan magnesium.

Pengaruh larutan ekstraksi untuk pemurnian nikel juga telah diteliti oleh
Alexandre et al. (2014). Ekstraksi nikel dilakukan dari larutan nikel sulfat yang
mengandung pengotor seperti kalsium, magnesium, seng, kobalt, tembaga, danmangan
menggunakan Cyanex 272 dengan konsentrasi 20% v/v. Nikel dapat dipisahkan dari
seng, kobalt, tembaga, tetapi kalsium dan magnesium tidak dapat dipisahkan
menggunakan Cyanex 272.

Untuk mencegah masuknya pengotor (kalsium dan magnesium) pada proses


solvent extraksi pemisahan kobalt dan nikel, maka perlu dilakukan extraksi untuk
440 memisahkan nikel-kobalt dari kalsium dan magnesium yaitu dengan melakukan
ekstraksi menggunakan neodecanoic acid pada larutan organik. Neodecanoic acid
secara selektif akan mengambil nikel dan kobalt pada larutan aquos dan juga
menghalangi masuknya kalsium dan magnesium ke fasa organik (Sait et al. , 2017).
Pada umumnya ekstraksi pelarut pemisahan nikel-cobalt yang biasanya hanya
menggunakan sirkuit ekstraksi menggunakan Cyanex 272, tetapi pada penelitian ini,
sirkuit exstraksi dengan neodecanoic acid ditambahkan sebelum extraksi dengan
cyanex.

Tujuan penelitian ini, adalah optimisasi kondisi optimum untuk parameter-


parameter yang mempengaruhi proses ektraksi dengan neodecanoic acid untuk
mencegah masuknya dari pengotor ( kalsium, mangan dan magnesium) kedalam
larutan organik. Sehingga diharapkan nikel – kobalt akan dapat masuk ke dalam
larutan organik (campuran kerosene dan neodecanoic acid). Keberhasilan proses
ekstraksi ini dapat di ketahui dengan banyaknya kalsium yang tertahan pada larutan
aqueous atau banyaknya nikel- kobalt yang masuk dalam larutan organik. Pada
penelitian ini, kenaikan kadar kalsium pada larutan aqueous akan menjadi acuan pada
analisa desain eksperiment Taguchi. Metode penelitian Taguchi digunakan untuk
mempelajari dan mengoptimasi parameter parameter dipilih karena dapat menekan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

biaya seminimal mungkin dan dapat memperbaiki kualitas produk dan proses yang
digunakan.

Tabel 1. Analisa XRF Kandungan mineral bijih laterit Sulawesi Tenggara


El wt (%) El wt (%)
LE 78,25 Cl 1,253
Fe 10,97 Cr 0,323
Si 5,427 Mn 0,177
K 1,259 Co 0,04
Al 0,579 S 0,022
Ni 0,514 Sb 0,022
Ca 0,65 Cd 0,015
Zn 0,0087 Sn 0,016

METODE PELAKSANAAN
Bahan dan alat yang digunakan dalampenelitian ini adalah bijih nikel limonit,
asam asetat (CH3COOH) teknis, asam neodecanoic (C10H20O2), kerosene, batu kapur
(CaCO3)batch extraction, pompa, XRF (X Ray Fluoroesence) Panalytical Epsilon 3
Xle, XRD (X RAYDifraction), AAS (atomic absorption spectrophotometry), ember dan
441
pH meter. Proses pengolahan bijih nikel laterit ini diawali dengan proses leaching
dengan menggunakan asam asetat, selanjutnya pregnant leach solution (PLS) dari
proses leaching dilakukan pengaturan pH dengan menggunakan batukapur
(CaCO3).Pada tahap selanjutnya PLS dilarutkan kedalam campuran pelarut organik
berupa asam neodecanoic dan kerosene dengan perbandingan nisbah volume antara
fasa aqueous dan organik, pH, laju alir dan waktu proses yang dapat dilihat pada tabel
percobaan yaitu Tabel2.

Larutan pregnant leach solution atau biasa disebut fasa aqueous dimasukan
kedalam batch extraction menggunakan pompa secara berulang dan mengatur laju alir
dari larutan fasa aqueous sehingga laju alir dari larutan tersebut konstan. Fasa organik
mulai dimasukan setelah pengaturan laju alir tesebut dan terbentuk dua fasa yaitu larutan
organik yang mengikat mineral berarga dan terletak diatas larutan aqueous. Proses
solvent extraction berlangsung selama variasi waktu yang terdapat pada tabel percobaan.
Kemudian setelah proses solvent extraction selesai larutan organik diambil dengan
mengelarkannya melalui keran sehingga akan dialiri ke penampung produk seperti pada
Gambar 1.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

HASIL DAN PEMBAHASAN


Karakterisasi Awal
Penelitian ini diawali dengan mengkarakterisasi bijih nikel limonit menggunakan
XRD dan XRF. Data analisa XRD yang diolah menggunakan software High Score Plus
(HPS) dapat dilihat pada Gambar 2yang menunjukkan bahwa bijih nikel limonit dari
Sulawesi Tenggara terdiri dari mineralgheotite [FeO(OH)], lizardite
[Mg2Si2O5(OH)4]dan kalsium-kobalt nikel catena disilicate. Data analisa XRF dapat
dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan analisis XRF tersebut diperoleh kadar nikel, kobalt
dan kalsium masing-masing sebesar 0,514% ; 0,04% dan 1,776%. Kadar nikel yang
terdapat pada bijih ini digolongkan kadar rendah yang disebut bijih limonit, sehingga
untuk pengolahannya dilakukan proses hidrometalurgi yaitu leaching dengan
menggunakan asam asetat pH 2 selama 28 hari. Setelah proses leaching, dilakukan
proses pengaturan pH dan dianlisa kembali menggunakan Atomic Absorption
Spetrofotometry (AAS) untuk melihat konsentrasi nikel dan kobalt dan X-Ray
Flourscene (XRF) untuk melihat konsentrasi kalsium. Hasil analisis konsentrasi nikel,
kobalt dan kalsium dapat dilihat pada Tabel 3.

442

Aqueous batch Produk


Organic

Gambar 1. Skema proses Batch Extraction

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Tabel 2. Variabel Data Percobaan Menggunakan Metode Taguchi


Nisbah Volume
No pH Laju Alir Waktu
(O/A)
1 2 1 1:4 1
2 2 1,75 1 :2 2
3 2 2,5 3 :4 3
4 2,5 1 1:2 3
5 2,5 1,75 3:4 1
6 2,5 2,5 1:4 2
7 3 1 3:4 2
8 3 1,75 1:4 3
9 3 2,5 1:2 1

Tabel 3. Hasil Analisis AAS dan XRF Setelah Proses Leaching dan Pengaturan pH
Konsentrasi Konsentrasi
pH
Ni (ppm) Ca (%)
2 96,98 4,26
2,5 108,92 9,57
3 235,63 11,53

443
Hasil Percobaan
Percobaan yang dilakukan menggunakan metode Taguchi menghasilkan
sembilan percobaan dengan parameter pH, laju alir, nisbah volume O/A dan waktu
proses. Percobaan menghasilkankenaikan konsentrasi Ca di dalam fasa aqueous pada
proses ekstraksi bijih nikel limonit disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode Taguchi yang ditunjukkan
pada Tabel 5, kondisi optimum proses solvent extractionpada tiap parameteryaitu pH
2, laju alir 1,75; nisbah volume 1/2, dan waktu proses 2 jam. Setiap parameter terdapat
nilai Delta yang merupakan selisih antara nilai paling tinggi dan terendah dari SN
Ratio maupun rata-rata pada tiap parameter. Nilai delta yang tertinggi menunjukkan
peringkat yang terbaik. Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa pH adalah parameter yang
paling berpengaruh terhadap proses solvent extraction dengan metode Taguchi.
Pengaruh pH terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent Extraction

Pengaruh pH larutan aqueous dalam proses solvent extraction dapat ditunjukkan


dengan membuat variasi pH larutan yaitu 2 ; 2,5 dan 3 pada proses solvent extraction
sehingga diperoleh grafik yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Tabel 4. Hasil Percobaan dengan Design Experiment Taguchi

Perancangan Percobaan Hasil Percobaan


No Faktor
pH Laju Alir Nisbah Volume (O/A) Waktu
Kenaikan Kalsium
1 2 1 1/4 1 0,57
2 2 1,75 1/2 2 1,46
3 2 2,5 3/4 3 1,04
4 2,5 1 1/2 3 0,27
5 2,5 1,75 3/4 1 0,34
6 2,5 2,5 1/4 2 0,36
7 3 1 3/4 2 0,25
8 3 1,75 1/4 3 0,23
9 3 2,5 1/2 1 0,35

Tabel 5. Hasil Analisis SN Ratio Metode Taguchi- Larger the Betterterhadap Faktor
Kenaikan Ekstraksi Ca di fasa aqueous menggunakan Minitab
Faktor Kenaikan Ca
Nisbah Volume
Level pH Laju Alir Waktu
(O/A)
444 1 1,06 0,36 0,39 0,42
2 0,32 0,68 0,70 0,69
3 0,28 0,58 0,54 0,51
Delta 0,75 0,32 0,31 0,27
Peringkat 1 2 3 4

Gambar 2. Hasil XRD Bijih Nikel Limonit (Sumber : Laboratorium Analisis BPTM-
LIPI Tanjung Bintang Lampung, 2018)

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

1.2

Faktor Kenaikan Ca
1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
1.5 2.5 3.5
pH

Gambar 3.Grafik Hubungan pH terhadap Faktor kenaikan Ca

445

Gambar 4.Grafik Hubungan Equilibrium pH dengan Persen Ekstraksi Logam (J.S


Preston, 2004)

Berdasarkan grafik pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pH larutan aqueous


berbanding terbalik dengan faktor kenaikan Ca yaitu semakin rendah pH larutan fasa
aqueous maka akan semakin tinggi faktor kenaikan Ca yang diperoleh. pada proses
solvent extraction. Hal ini ditunjang oleh penelitian J.S Preston yang menyimpulkan
bahwa semakin rendah pH maka kemampuan pelarut untuk mengekstraksi Ca semakin
rendah untuk lebih jelas dapat dilihat grafik Gambar 4. Faktor kenaikan Ca
menggambarkan seberapa banyak Ca yang dapat tertinggalpada fasa aqueous. Pada
proses solvent extraction ini diperoleh kondisi optimum pada pH 2.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Pengaruh Laju Alir terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent Extraction


Berdasarkan analisa metode Taguchi, laju alir merupakan parameter peringkat
kedua yang mempengaruhi proses solvent extraction. Pada Gambar 5 ditunjukkan
bahwa semakin besar laju alir yang digunakan akan semakin besar pula faktor
kenaikan Ca yang diperoleh, hal ini disebabkan oleh semakin besar lajur alir yang
digunakan akan semakin besar pula kontak antara fasa aqueoes dan fasa organik
sehingga dapat mengikat nikel pada fasa aqueous membentuk organometallic dan
berpindah ke fasa organik. Sebelum terjadinya proses pengikatan nikel oleh fasa
organik, terlebih dahulu terjadi proses pelepasan nikel yang berikatan dengan unsur-
unsur yang ada pada fasa aqueous seperti kalsium. Pada saat proses pelepasan, unsur-
unsur tersebut akan meningkat jumlahnya pada fasa aqueous seiring semakin
banyaknya nikel yang dapat diikat oleh fasa organik.

0.8
0.7
Faktor Kenaikan Ca

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
446
0.1
0
0 1 2 3
Laju Alir (l/m)

Gambar 5. Grafik Hubungan Laju Alir terhadap Faktor Kenaikan Ca

Laju alir 1,5 l/m merupakan laju alir maksimum yang diperoleh, karena pada
saat laju alir dinaikkan lagi menjadi 2,5l/m faktor kenaikan Ca malah semakin
menurun seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukan oleh Ritcey yang menyatakan bahwa semakin meningkatkan laju alir
berarti semakin bertambahnya energi yang dimasukkan ke dalam sistem. Semakin
banyak energi yang berada dalam sistem maka akan menurunkan ukuran gelembung
sehingga menghasilkan gelembung yang kaku dan tidak terjadi pergerakan internal di
dalam gelembung atau pergerakan yang kaku. Pergerakan yang kaku ini tidak
menghasilkan permukaan baru sehingga extractant dalam gelembung tidak sampai ke
permukaan untuk bereaksi dengan ion nikel. Apabila extractant tidak bereaksi dengan
ion nikel, maka tidak terjadi pelepasan ikatan nikel dan tidak terjadi kenaikan jumlah
kaslium pada fasa aqueous.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Pengaruh Nisbah Volume (O/A) terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent


Extraction

Semakin banyak logam nikel dan kobalt terekstraksi maka akan semakin banyak
kalsium yang terlepas sehingga semakin bertambah jumlah kalsium dalam aqueous.
Pengaruh nisbah volume O/A dilihat pada Gambar 6 grafik hasil percobaan dengan
parameter nisbah volume O/A terhadap faktor kenaikan Ca. Semakin tinggi nilai nisbah
volume O/A semakin tinggi persen ekstraksi Ni sehingga diperoleh faktor kenaikan Ca
yang semakin tinggi,hal ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah kalsium yang
terlepas dari ikatan nikel sehingga jumlah kalsium dalam fasa aqueous semakin
bertambah. Peningkatan faktor kenaikan Ca pada nisbah volume mengalami penurun
dengan penambahan nilai nisbah volume menjadi 3/4. Penurunan ini disebabkan oleh
reaksi reversible yang terjadi pada proses solvent extraction. Reaksi reversible ini
mengakibatkan ion nikel yang telah berpindah ke fasa organik kembali ke fasa aqueous
sesuai dengan persamaan berikut:

Mn++nHAo  MAn,o+ nH+a ................ (1)

Dimana M adalah metal (logam) dan HA adalah extractant. Ion nikel yang telah 447
kembali berpindah ke fasa aqueous sehingga menurunkan jumlah kalsium pada fasa
aqueous.

0.8
0.7
Faktor Kenaikan Ca

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
Organik/Aquoeus

Gambar 6. Grafik Hubungan Nisbah Volume O/A terhadap Faktor Kenaikan Ca

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Pengaruh Waktu Proses terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent Extraction

Lamanya waktu solvent extraction merupakan salah satu parameter yang


mempengaruhi proses pengikatan nikel dan kobalt sehingga dapat berpindah ke dalam
fasa organik. Semakin lama waktu solvent extraction maka akan semakin banyak ion-
ion logam yang terekstraksi, sehingga pada penelitian ini dilakukan variasi terhadap
waktu solvent extraction dengan nilai 1, 2 dan 3 jam. Berdasarkan grafik pada Gambar
7 terlihat bahwa faktor kenaikan Caberbanding lurus dengan waktu proses, semakin
lama waktu proses yang digunakan maka akan semakin tinggi nilai persen ekstraksi
yang diperoleh. Hal ini disebabkan semakin lama waktu proses solvent extraction
menandakan bahwa fasa organik memiliki waktu yang semakin lama untuk mengikat
logam Ni dan berpindah ke fasa organik, sehingga semakin banyak logam nikel yang
dapat terikat dan berpindah fasa. Bertambahnya logam nikel terekstraksi maka akan
semakin bertambah jumlah kalsium di fasa aqueous yang disebabkan oleh meningkat
perpecahan ikatan antara nikel dan kalsium. Nilai tertinggi faktor kenaikan Ca yang
dicapai adalahwaktu proses 2 jam dan ketika dilakukan penambahan waktu menjadi 3
jam terjadi penurunan faktor kenaikan Ca.Hal ini disebabkan karena fasa aqueous
telah banyak pelepasan ion hidrogen sehingga ada kemungkinan asam dari fasa
organik mengikat kembali ion hydrogen yang terlepas di fasa aqueous sehingga terjadi
448
reaksi reversible dari persamaan 1.

0.8
0.7
Faktor Kenaikan Ca

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 1 2 3 4
Waktu (Jam)

Gambar 7. Grafik Hubungan Waktu Operasi terhadap Faktor Kenaikan Ca

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Gambar 8.Grafik pengaruh waktu operasi pada proses solvent extraction

SIMPULAN
Bagian simpulan jawaban atas hipotesis, tujuan penelitian dan temuan penelitian
serta saran terkait ide lebih lanjut dari penelitian. Simpulan disajikan dalam bentuk
paragraf.
449
Semua rujukan-rujukan yang diacu di dalam teks artikel harus didaftarkan di
bagian referensi. Referensi harus berisi pustaka-pustaka acuan yang berasal dari
sumber primer (jurnal ilmiah dan berjumlah minimum 80% dari keseluruhan daftar
pustaka) diterbitkan 10 (sepuluh) tahun terakhir. Setiap artikel paling tidak berisi 10
(sepuluh) literatur acuan.
Penulisan Referensi sebaiknya menggunakan aplikasi manajemen referensi
seperti Mendeley. Format penulisan yang digunakan di JPPM (Jurnal Pengabdian
Pada Masyarakat) adalah sesuai dengan format APA 6th Edition (American
Psychological Association).

Hasil Percobaan
Percobaan yang dilakukan menggunakan metode Taguchi menghasilkan
sembilan percobaan dengan parameter pH, laju alir, nisbah volume O/A dan waktu
proses. Percobaan menghasilkankenaikan konsentrasi Ca di dalam fasa aqueous pada
proses ekstraksi bijih nikel limonit disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode Taguchi yang ditunjukkan
pada Tabel 5, kondisi optimum proses solvent extractionpada tiap parameteryaitu pH

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

2, laju alir 1,75; nisbah volume 1/2, dan waktu proses 2 jam. Setiap parameter terdapat
nilai Delta yang merupakan selisih antara nilai paling tinggi dan terendah dari SN
Ratio maupun rata-rata pada tiap parameter. Nilai delta yang tertinggi menunjukkan
peringkat yang terbaik. Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa pH adalah parameter yang
paling berpengaruh terhadap proses solvent extraction dengan metode Taguchi.

Pengaruh pH terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent Extraction

Pengaruh pH larutan aqueous dalam proses solvent extraction dapat ditunjukkan


dengan membuat variasi pH larutan yaitu 2 ; 2,5 dan 3 pada proses solvent extraction
sehingga diperoleh grafik yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 4. Hasil Percobaan dengan Design Experiment Taguchi

Perancangan Percobaan Hasil Percobaan


No Faktor
pH Laju Alir Nisbah Volume (O/A) Waktu
Kenaikan Kalsium
1 2 1 1/4 1 0,57
2 2 1,75 1/2 2 1,46
450 3 2 2,5 3/4 3 1,04
4 2,5 1 1/2 3 0,27
5 2,5 1,75 3/4 1 0,34
6 2,5 2,5 1/4 2 0,36
7 3 1 3/4 2 0,25
8 3 1,75 1/4 3 0,23
9 3 2,5 1/2 1 0,35

Tabel 5. Hasil Analisis SN Ratio Metode Taguchi- Larger the Betterterhadap Faktor
Kenaikan Ekstraksi Ca di fasa aqueous menggunakan Minitab
Faktor Kenaikan Ca
Nisbah Volume
Level pH Laju Alir Waktu
(O/A)
1 1,06 0,36 0,39 0,42
2 0,32 0,68 0,70 0,69
3 0,28 0,58 0,54 0,51
Delta 0,75 0,32 0,31 0,27
Peringkat 1 2 3 4

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Gambar 2. Hasil XRD Bijih Nikel Limonit (Sumber : Laboratorium Analisis BPTM-
LIPI Tanjung Bintang Lampung, 2018)

1.2
Faktor Kenaikan Ca

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0 451
1.5 2.5 3.5
pH

Gambar 3.Grafik Hubungan pH terhadap Faktor kenaikan Ca

Gambar 4.Grafik Hubungan Equilibrium pH dengan Persen Ekstraksi Logam (J.S


Preston, 2004)

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Berdasarkan grafik pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa pH larutan aqueous


berbanding terbalik dengan faktor kenaikan Ca yaitu semakin rendah pH larutan fasa
aqueous maka akan semakin tinggi faktor kenaikan Ca yang diperoleh. pada proses
solvent extraction. Hal ini ditunjang oleh penelitian J.S Preston yang menyimpulkan
bahwa semakin rendah pH maka kemampuan pelarut untuk mengekstraksi Ca semakin
rendah untuk lebih jelas dapat dilihat grafik Gambar 4. Faktor kenaikan Ca
menggambarkan seberapa banyak Ca yang dapat tertinggalpada fasa aqueous. Pada
proses solvent extraction ini diperoleh kondisi optimum pada pH 2.

Pengaruh Laju Alir terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent Extraction

Berdasarkan analisa metode Taguchi, laju alir merupakan parameter peringkat


kedua yang mempengaruhi proses solvent extraction. Pada Gambar 5 ditunjukkan
bahwa semakin besar laju alir yang digunakan akan semakin besar pula faktor
kenaikan Ca yang diperoleh, hal ini disebabkan oleh semakin besar lajur alir yang
digunakan akan semakin besar pula kontak antara fasa aqueoes dan fasa organik
sehingga dapat mengikat nikel pada fasa aqueous membentuk organometallic dan
berpindah ke fasa organik. Sebelum terjadinya proses pengikatan nikel oleh fasa
organik, terlebih dahulu terjadi proses pelepasan nikel yang berikatan dengan unsur-
452 unsur yang ada pada fasa aqueous seperti kalsium. Pada saat proses pelepasan, unsur-
unsur tersebut akan meningkat jumlahnya pada fasa aqueous seiring semakin
banyaknya nikel yang dapat diikat oleh fasa organik.

0.8
0.7
Faktor Kenaikan Ca

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 1 2 3
Laju Alir (l/m)

Gambar 5. Grafik Hubungan Laju Alir terhadap Faktor Kenaikan Ca

Laju alir 1,5 l/m merupakan laju alir maksimum yang diperoleh, karena pada
saat laju alir dinaikkan lagi menjadi 2,5l/m faktor kenaikan Ca malah semakin
menurun seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5. Hal ini sesuai dengan teori yang

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

dikemukan oleh Ritcey yang menyatakan bahwa semakin meningkatkan laju alir
berarti semakin bertambahnya energi yang dimasukkan ke dalam sistem. Semakin
banyak energi yang berada dalam sistem maka akan menurunkan ukuran gelembung
sehingga menghasilkan gelembung yang kaku dan tidak terjadi pergerakan internal di
dalam gelembung atau pergerakan yang kaku. Pergerakan yang kaku ini tidak
menghasilkan permukaan baru sehingga extractant dalam gelembung tidak sampai ke
permukaan untuk bereaksi dengan ion nikel. Apabila extractant tidak bereaksi dengan
ion nikel, maka tidak terjadi pelepasan ikatan nikel dan tidak terjadi kenaikan jumlah
kaslium pada fasa aqueous.

Pengaruh Nisbah Volume (O/A) terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent


Extraction

Semakin banyak logam nikel dan kobalt terekstraksi maka akan semakin banyak
kalsium yang terlepas sehingga semakin bertambah jumlah kalsium dalam aqueous.
Pengaruh nisbah volume O/A dilihat pada Gambar 6 grafik hasil percobaan dengan
parameter nisbah volume O/A terhadap faktor kenaikan Ca. Semakin tinggi nilai nisbah
volume O/A semakin tinggi persen ekstraksi Ni sehingga diperoleh faktor kenaikan Ca
yang semakin tinggi,hal ini disebabkan oleh semakin banyak jumlah kalsium yang
terlepas dari ikatan nikel sehingga jumlah kalsium dalam fasa aqueous semakin 453
bertambah.

0.8
0.7
Faktor Kenaikan Ca

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
Organik/Aquoeus
Gambar 6. Grafik Hubungan Nisbah Volume O/A terhadap Faktor Kenaikan Ca

Peningkatan faktor kenaikan Ca pada nisbah volume mengalami penurun dengan


penambahan nilai nisbah volume menjadi 3/4. Penurunan ini disebabkan oleh reaksi
reversible yang terjadi pada proses solvent extraction. Reaksi reversible ini

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

mengakibatkan ion nikel yang telah berpindah ke fasa organik kembali ke fasa aqueous
sesuai dengan persamaan berikut:

Mn++nHAo  MAn,o+ nH+a ................ (1)

Dimana M adalah metal (logam) dan HA adalah extractant. Ion nikel yang telah
kembali berpindah ke fasa aqueous sehingga menurunkan jumlah kalsium pada fasa
aqueous.

Pengaruh Waktu Proses terhadap Faktor Kenaikan Ca pada Solvent Extraction

Lamanya waktu solvent extraction merupakan salah satu parameter yang


mempengaruhi proses pengikatan nikel dan kobalt sehingga dapat berpindah ke dalam
fasa organik. Semakin lama waktu solvent extraction maka akan semakin banyak ion-
ion logam yang terekstraksi, sehingga pada penelitian ini dilakukan variasi terhadap
waktu solvent extraction dengan nilai 1, 2 dan 3 jam. Berdasarkan grafik pada Gambar
7 terlihat bahwa faktor kenaikan Caberbanding lurus dengan waktu proses, semakin
lama waktu proses yang digunakan maka akan semakin tinggi nilai persen ekstraksi
454 yang diperoleh. Hal ini disebabkan semakin lama waktu proses solvent extraction
menandakan bahwa fasa organik memiliki waktu yang semakin lama untuk mengikat
logam Ni dan berpindah ke fasa organik, sehingga semakin banyak logam nikel yang
dapat terikat dan berpindah fasa.

0.8
0.7
0.6
Faktor Kenaikan Ca

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 1 2 3 4
Waktu (Jam)

Gambar 7. Grafik Hubungan Waktu Operasi terhadap Faktor Kenaikan Ca

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Bertambahnya logam nikel terekstraksi maka akan semakin bertambah jumlah


kalsium di fasa aqueous yang disebabkan oleh meningkat perpecahan ikatan antara
nikel dan kalsium. Nilai tertinggi faktor kenaikan Ca yang dicapai adalahwaktu proses
2 jam dan ketika dilakukan penambahan waktu menjadi 3 jam terjadi penurunan faktor
kenaikan Ca.Hal ini disebabkan karena fasa aqueous telah banyak pelepasan ion
hidrogen sehingga ada kemungkinan asam dari fasa organik mengikat kembali ion
hydrogen yang terlepas di fasa aqueous sehingga terjadi reaksi reversible dari
persamaan 1.

Gambar 8.Grafik pengaruh waktu operasi pada proses solvent extraction


455

SIMPULAN
Penelitian proses solvent extraction terhadap faktor kenaikan Ca yang telah
dilakukan dan dianalisis menggunakan metode Taguchi telah berhasil dilakukan. Nilai
faktor kenaikan Ca yang paling optimum adalah 1,46% yaitu pada percobaan kedua
dengan pH 2, laju alir 1,74, nisbah volume O/A 1/2 dan waktu proses 2 jam.

REFERENSI
S.G. Alexandre, S.S. Priscila, B. M. Marcelo. 2014. Purification of nickel from
multicomponent aqueous sulfuric solutions by synergistic solvent extraction
using Cyanex 272 and Versatic 10. Hydrometallurgy 150, 173–177.

Flett. S Douglas. 2004. Cobalt-Nickel Separation in Hydrometallurgy: a Review,


Chesmistry for Suistainable Development, 12:81-91.

Free, Michael L. 2013. Hydrometallurgy FundamentalandApplications, by JohnWiley


& Sons, Inc : Hoboken, New Jersey USA.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Sudibyo , S. Oediyani, S. Sumardi, E. Prasetyo, A. Junaedi, A. S. Handoko, Y. I. Supriyatna, F. R. Mufakhir, F. Nurjaman, A. N.
Suwirma

Gupta, Chinajib Kumar. 2003. Chemical Metallurgy, Willey VCH Verlag GmbH &
Co.KGaA, India.

Habashi. F. 1997. Handbook of Extractive Metallurgy Volume II Primary Metals,


Secondary Metals,Light Metals,Wiley-VCH.

Du Prezz.A.C and J.S Preston. 2004. Separation of nickel and cobalt from calcium,
magnesium and manganese by solvent extraction with synergistic mixture of
carboxylic acids, The Journal of the South African Institute of Mining and
Metallurgy, pp 333-338.

McDonald.R.G. 2008. Atmospheric Acid Leaching of Nickel Laterite Review Part I


Sulphuric Acid Technologies, Elsivier Hydrometallurgy, 91 :31-35.

Mubarok Zaki M andYunita F Eka. 2015. Solvent Extraction of Nickel and Cobalt
from Amonia-Amonium Carbonate Solution by Using LIX 84-ICNS,
International Journal of Non-ferrous Metallurgy, 4: 152-27.

Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2017, Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan
dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri, 2017.
456
Prasetiyo.,Puguh. 2016. Tidak Sederhana Mewujudkan Industri Pengolahan Nikel
Laterit Sehubungan dengan Undang-Undang Minerba 2009, Jurnal Teknologi
Mineral dan Batubara 12(3):195-207.

Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral KESDM, Kajian Supply
Demand Mineral, Desember 2012.

Ritcey,G.M. 1984. Solvent Extraction, Elsevier Science Publishing Company Inc,


New York.

Sait Kursonugli. 2017. Solvent Extraction process for Recovery Nickel and Cobalt
from Caldag Laterite Leach Solution:The first Bench Sacle Study, Elsevier
Hydrometallurgy, 169 : 67-68.

Sidi.P., Wahyudi, M. Thoriq. 2013. Aplikasi Metode Taguchi Untuk Mengetahui


Optimasi Kebulatan pada Proses Bubut Cnc, RekayasaMesin 4(2) : 101-108.

U.S Geological Survey, Mineral Comodity Summarie, Januari 2017.

Yuliana. 2016. Optimasi Proses Ektraksi Nikel Bijih Laterit Menggunakan Pelarut
Cyanex 272 dan Versatic Acid 10, Universita Lampung.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yusnelti, Muhaimin, dan Richo Giwana Resdy Maulana

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

ANALISIS KANDUNGAN PROKSIMAT MINYAK TENGKAWANG


DARI BUAH Shorea sumatrana

Yusnelti * ABSTRACT: The fruit of shorea sumatrana can produce vegetable oil known as
Universitas Jambi tengkawang oil, is one of the high value non-timber forest products and is an
export commodity as a raw material for vegetable fat, cosmetic industry, and
substitution of brown fat. Tengkawang oil extraction technology that is used
Muhaimin traditionally is by pressing. Proximate analysis, namely: ash content, dry matter.
Universitas Jambi Proteins, fats and carbohydrates. From the analysis results obtained 105 dry
ingredients of 99.1680%, ash content 1.8469%, protein 0.8770%, fat 88.8674%
Richo Giwana Resdy and carbohydrates 7.5766% .. from proximate analysis the highest content of
Maulana tengkawang oil from shorea sumatrana fruit is fat amounting to 88.8674%,
Universitas Sumatera carbohydrates amounting to 7.5766% and protein at 0, 8770%. Tengkawang oil
from shorea sumatrana fruit is the highest content of fat
Utara
KEYWORDS: tengkawang oil, shorea sumtarana, fat, carbohydrates, protein.

* Corresponding Author: Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi 36361 Indonesia; Email:
yusnelti@unja.ac.id

PENDAHULUAN
Shorea sumatrana merupakan salah genus dari shorea terdiri dari lebih kurang 457
150 spesies yang menghasilkan minyak nabati ada 16 spesies termasuk salah satunya
shorea sumatrana, pada famili dipterocarpaceae. Dari hasil penelusuran secara internet
maupun pustaka bahawa minyak nabati dari shorea sumatran kandungan proksimat
belum ada diteliti. Minyak tengkawang yang berasal dari biji/buah tumbuhan
tengkawang ini di gunakan sebagai bahan dasar pembuatan lilin, coklat , margarin,
sabun dan kosmetik (Sumadiwangsa, 2007)

Minyak tengkawang yang berasal dari biji tumbuhan tengkawang ini


digunakan sebagai bahan dasar pembuatan lilin, coklat, margarin, sabun dan kosmetik
(Sumadiwangsa, 2007) dan dapat digunakan sebagai pengawet bahan makan pada
mie, penyedap masakan (Kusumaningrum et al, , 2012).

Shorea sumatrana adalah tumbuhan endemiknya Provinsi Jambi, merupakan


salah satu dari kelompok hasil hutan bukan kayu (HHBK) adalah buah nya dikenal
dengan buah tengkawang, buah shorea sumatrana diolah menghasilkan minyak nabati
dikenal dengan minyak tengkawang, nilai jual minyak ini sangat tinggi. Manfaat
minyak nabati minyak tengkawang secara empiris digunakan sebagai pengawet
penangan makanan nasi minyak dalam pesta pernikahan masyarakat desa di provinsi
Jambi, sebagai obat diare, kosmetik, pelebat kulit muka dan anti enging, pembuatan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yusnelti, Muhaimin, dan Richo Giwana Resdy Maulana

bahan dasar mentega , sabun , dan pengawet makanan dan sebegai bahan dasar
lipstik (Kusumaningrum dan Yusnelti 2018) dan dalam dunia perdagangan dikenal
dengan nama illife nut atau borneo tallow nut. Buah shorea sumatrana menghasilkan
minyak nabati, minyak mengandung lemak, minyak tengkawang pada suhu kamar
membeku, sifat dari lemak tengkawang mirip dengan lemak kakao yaitu tergolong
sebagai cacao butter substitules (CBS). Pengambilan atau pengolahan dari buah
shorea sumatrana ini menjadi lemak/minyak dapat di lakukan dengan tiga cara yaitu
dengan cara pengempaan, perebusan dan pelartuta (ekstraksi) menggunakan pelarut
organik n-heksana (Kateren, 1986). Dari segi teknis ekstraksi dengan pelarut organik
memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan cara lain, antara lain adalah
tingginya nilai rendemen minyak/lemak , karena nilai polar yang relatif sama dengan
lemak dengan n-heksana (Hartanti, 1995). karena menghasilkan minyak/lemak nabati
dan belum ada di teliti barapa kandungan lemak, protein dan karbohidrat pada minyak
nabati ekstraksi menggunakan pelarut organik n-heksana. Dimana minyak yang
dihasilkan akan digunakan sebagai bahan dasar kosmetik yaitu lipstik. Metode
pengambilan minyak/ lemak secara shokletasi (lemak), analisis kandungan minyak
menggunakan metode labu kejedal (protein) dan titrasi dan dianalisis kandungan
proksimat berapa persen dalam minyak nabati tengkawang dari buah shorea
458 sumatrana.

METODE PELAKSANAAN

Buah shorea sumatrana diperoleh dari desa seling kecamatan Tabir Kabupaten
Merangin, Provinsi Jambi. 1 kg buah shorea bersihkan dan dijemur dengan terik panas
matahari selama beberap hari samapi kering, kemudian di tumbuh dengan alat grinda
menghasilkan serbuk buah shorea sumatrana.1000 gram Serbuk buah sumatrana di
shokletasi dengan menggunakan pelarut organik n-heksana. Minyak/lemak yang
dihasilkan ditentukan kandungan lemak, protein (Labu Kjeldahl 100 mL (Pyrex®
IWAKI TE-32)) dan karbohidrat dari minyak nabati dari buah shorea sumatrana.
Bahan yang digunakan, buah shorea sumatrana, n-heksana, kertas saring. Alat yang
digunakan labu kejedal, sohkletasi, buret, pipet takar, erlenmeyer, gelas ukur,
kondensor,labu lemak, timbangan analisis. Kertas saring, untuk analisis kandungan
lemak/minyak nabati dilakukan di laboratorium peternakan. Fakultas Peternakan
uinversitas Jambi.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yusnelti, Muhaimin, dan Richo Giwana Resdy Maulana

Gambar 1. Pohon dan buah shorea sumatran

459

Gambar 2. Minyak dalam borol berwarna putih hasil ekstraksi, dan kuning minyak
hasil kempa

Ekstraksi Minyak
Sebanyak 500 gram serbuk buah tengkawang di bungkus dengan kertas saring,
dimasukkan kedalam tabung sokletasi dan pelarut organik n-heksana. Dipanaskan
dengan menggunakan lampu brunsen atau dengan alat mantel, dilakukan soxhletasi
sampai menghasilkan minyak. Minyak nabati tengkawang yang diahsilkan dianalisis
kandungan proksimat (lemak, protein dan karbohidrat, kadar abu). Analsis karbohidrat
menggunakan Metode destruksi. Protein metode kejhdahl. Analisis kandungan
proksimat pada minyak nabati tengkawang dilakukan dilaboratorium Fakultas
Peternakan Universitas Jambi tanggal 20 April 2018.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yusnelti, Muhaimin, dan Richo Giwana Resdy Maulana

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kadar lemak di analisis dengan menggunakan metode Ekstraksi Soxhlet (Apriantono,
1988), yaitu: Mengeringkan labu dalam oven yang ukurannya sesuai alat ekstraksi
soxhlet.
Penentuan kadar lemak adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu 105°C
dan melakukan penimbangan zat yang tersisa setelah proses pembakaran tersebut.
Praktikum ini bertujuan untuk melakukan analisis proksimat yaitu penetapan kadar
lemak dalam berbagai sampel. Praktikum ini menggunakan metode Soxhlet (AOAC
2005). metode Soxhlet (AOAC 2005) adalah metode analisis kadar lemak dengan
menggunakan suhu 105°C selama 30 menit sampai berat konstan. Dari hasil
sohkletasi minyak dengan menggunakan 500 gram serbuk buah shorea sumatrana
seberat 375 gram minyak tengkawang, warna minyak putih dan membeku pada suhu
kamar. Kemudian di analisis kandungan proksimat pada minyak tengkawang.
Tabel 1. Analisi kandungan Prosimat dalam minyak tengkawang (shorea sumatrana)

Bahan kering Kadar Abu Lemak Protein KH


No Sampel 0
105 C (%) (%) (%) (%) (%)

460 1 Minyak nabati 99,1680 1,8469 88,8674 0,8770 7,5766


tengkawang

Dari tabel 1 hasil analisis proksimat di peroleh tertinggi adalah lemak sebesar
88,86 74 persen. Jika di bandingkan dengan genus shorea yang lain yaitu shorea
stenoptera sebesar 5,71, shorea penanga sebesar 15,72, shorea mecisopteryx sebesar
9,23 dan shorea parvifolia sebesar 38, 41 , lemak kakao 49,86 % (cacoa fat) (
Junaidi et al, 2007) .
Lemak merupakan bagian dari lipid yang mengandung asam lemak jenuh
bersifat padat. Lemak merupakan senyawa-senyawa organik yang terdapat dialam
serta tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik non polar seperti dietil
eter, kloroform, benzen (tidak boleh digunakan lagi karena pelarut karsiogenik) ,
heksana dan hidrokarbon lainnya.
Terdapat dua jenis lemak yaitu lemak jenuh dan lemak tak jenuh lemak jenuh
terdapat pada pangan hewan (Makdoeld, 2002) kadar lemak dalam suatu bahan pangan
dapat diketahui dengan cara ekstraksi kering dan ekstraksi basahekstraksi lemak
kering dapat dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet. Pada prinsipnya metode

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yusnelti, Muhaimin, dan Richo Giwana Resdy Maulana

soxhlet ini menggunakan sampl lemak kering yang di ekstraksi secra terus menerus
dalam pelarut jumlah yang konstan (Darmasih 1997)

Kadar protein ditentukan dengan menggunakan metode kjeldahl, karena


umumnya metode ini digunakan untuk menganalisis protein pada amkanan. Metode ini
merupakan metode untuk menetukan kadar protein kasar kaeana terikut senyawa N
bukan protein seperti urea, asam nuklenat,purin, primidin, dan sebagai nya.prinsip
kerja metode kejhdahl adalah mengubah senyawa organik menjadi anorganik (Usysus
et al. 2009). Protein merupakan salah satu mikronutrisi yang memiliki peranan
penting dalam pembentukan biomolekul. Protein merupakan makromolekul yang
menyusun lebih dari sparuh bagian sel. Protein menentukan ukuran dan strukturl sel,
komponen utama dari enzim yaitu bikatalisator berbagai reaksi metabolisme dalam
tubuh (Mustika, 2012).
Usnsur gizi yang perlu ada dalam makanan adalah karbohidrat, protein miniral,
lemak dan komponen minor lainnya seperti vitamin dan enzim.senyawa dan unsur
tersebut dibutuhkan sebagai makanan bagi sel-sel tubuh seperti syaraf, darah. Sel -sel
otot untuk memebentuk tubuh (Sediaotama, 2004).
Karbohidrat adalah hasil alam yang memiliki banyak fungsi penting dalam
tanaman maupun hewan. Melalui fotosintesa, tanaman merubah karbon dioksida 461
menjadi karbohidrat, yaitu dalam bentuk selulosa, pati, dan gulagula. Karbohidrat
dalam tepung terdiri dari karbohidrat dalam bentuk gula sederhana, pentosa, dextrin,
selulosa, dan pati (Setiyono, 2011).
Dari hasil penelitian dari Raden Esa Pangersa G at al, 2012 berdasarkan sifat
fisika kimia dan aspek terhadap lemak tengkawang hasil ekatrak dari jenis shorea
stenoptera, shorea penanga, shorea mecisopteryx dan shorea parvifolia terdapat
fenomena bahwa air cendrung mempengaruhi rendemen lemak yang dihasilkan.
Semakin rendah kadar air buah semakin tinggi rendemen lemak yang dihasilkan dan
sebaliknya, jika di bandingan dengan ke empat genus shorea tersebut maka shorea
shorea sumatrana kadar lemaknya lebih besar yaitu 88, 8674 % hal mana jika di lihat
tempat tumbuh dari shorea sumatrana di sekitar tanah pekuburan masyarakat dan
tidak ada sungai atau tingkat kandungan air pada tanahnya kecil. karena minyak
tengkawang ini mempunyai sifat yang khas, membuat harganya lebih tinggi dari
minyak nabati lain sperti minyak kelapa. Lemak/minyak tengkawang digunakan
sebagai bahan pengganti minyak coklat, bahan lipstik. Minyak makan dan bahan obat-
obatan (Alamendah, 2009)

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yusnelti, Muhaimin, dan Richo Giwana Resdy Maulana

Karena tinggi lemak yang dihasil dari buah shorea sumatrana, maka berpotensi
kita kembangkan untuk pembuatan lipstik dan kosmetik lainnya dalam bahan
dasarnya karena lemak yang di hasilkan dari buah shorea sumatrana pada suhu kamar
membeku dan awet dalam jangka 5 tahun tanmpa mengeluarkan bau tengik dari
minyak nabati tengkawang. Minyak tengkawang mampu mengahasilkan berbagai
produk-produk daiantaranya lilin,sabun, kosmetik, pengganti lemak coklat, dan lain
sebagainya. Di dalam makalah ini akan membahas mengenai produk lilin dan sabun
yang berbasis minyak tengkawang. Minyak tengkawang ini mampu menghasilkan
minyak nabati dan lemak yang dapat membentuk produk lilin dan sabun. Dan di
dalam makalah ini juga akan membahas metode yang dipakai untuk membentuk
produk lilin dan sabun (Putri 2013).

SIMPULAN
Dari hasil analisi proksimat minyak nabati shorea sumatrana atau dikenal
dengan minyak tengkawang adalah: kadar bahan kering 105 0C sebesar 99,1680 %,
kadar Abu sebesar 1,8469% , kadar lemak 88,8674%, kadar protein sebesar 0,8770%
dan karbohidrat sebesar 7,5766% dapat, yang tertinggi adalah lemak 88,8674%.
462

REFERENSI
Alamendah. 2009. Pohon Tengkawang Berbuah 7 Tahun Sekali. Website:
http://alamendah.wordpress.com/pohon-Tengkawang-berbuah-7-tahun sekali.
Diakses tanggal 18 Nopember 2009

Apriantono A . 1988. Analsisi Pangan Bandung ITB.

Desyanti, M. (2013). Analisa kualitatif dan kuantitatif karbohidrat. Diunduh kembali


dari https://www.scribd.com/ doc/147498064/Analisa-Kualitatif-DanKuantitatif-
Karbohidrat.

Sumadiwangsa, S. 2007. Nilai dan DayaGuna Penanaman Pohon Tengkawang


(Shorea spp.) di Kalimantan (TheValue and Benefit of Tengkawang Tree
(spp.) Plantation in Kalimantan Island).Departemen Kehutanan RI. Available
from:URL: http://www.dephut.go.id/index.php?q=en/node/351

Kusumaningtyas, V A. Sulaeman, A. dan Yusnelti.2012. Potensi lemak biji


tengkawang terhadap kandungan mikroba pangan pada pembuatan mie basah

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
Yusnelti, Muhaimin, dan Richo Giwana Resdy Maulana

Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 2, Juli 2012: 140- 147
ISSN 1411 – 0903

Kusumaningrum V.A. Yusnelti, 2018. Paten .Pengawet Alami dari Ampas biji
tengkawang (shorea sumatran Sym) dan proses pembuatannya . IDP000049943.
RI Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Dirjen Kekayaan Intelektual
Hartanti, S. 1995. Ekstraksi minyak dedak dengan pelarut heksana pada skala lab. .
Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.

Junaidi, L., A. Sudibyo, T.F. Hutajulu dan D. Abdurakhman. 2007. Pengaruh


perlakuan suhu ekstraksi terhadap karakteristik mutu
lemak kakao. Balai Besar Industri Agro. Bogor.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta

Mulyo Riska Amelia, Dwinova Nina, Azharman Trisno, S Wittresna Julyanty,


NurhalimahFika Rafika, Hariyanti Arifatush yuni, ( Rizqi M. Miftachur analisis
kadar lemak metode soxhlet (AOAC 2005.) Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, IPB, 16680 Bogor, Indonesia .
https://www.academia.edu/11814276/ANALISIS_KADAR_LEMAK_METOD
E_SOXHLET_AOAC_2005_
463
Putri, Yuliana. 2013. Minyak Tengkawang. Universitas Pendidikan Bandung. Bandung

Raden Esa Pangersa G, Zulnely & Evi Kusmiyati. 2012. Sifat fisika-kimia lemak
tengkawang dari empat jenis pohon induk. Physical-Chemical Properties of
Illipe Nut's Fat from Four Mother Trees Pusat Keteknikan Kehutanan dan
Pengolahan Hasil Hutan Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor. Telp. 0251-8633378.
e-mail: resapangersag@yahoo.com

Setiyono, L. (2011). Pemanfaatan biji kurma (Phoenix dactylifera L.) sebagai tepung
dan analisis perubahan mutunya selama penyimpanan. Bogor: Institut Teknolo

Sunarta, Sigit dkk. 2017. Analisis Produksi dan Finalisasi Perusahaan Tengkawang
oleh Rakyat Kalimantan Barat. Jurnal Hutan Tropis.

Wiyono, Bambang. 2014. Pengolahan Minyak Tengkawang dengan Cara


Pengempaan Hidaraulik. Jurnal Penelitian Hasil Hutan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

EKSTRAKSI MINYAK ATSIRI KULIT BUAH LIMAU KUIT: JERUK


LOKAL KALIMANTAN SELATAN

EXTRACTION OF ESSENTIAL OIL FROM LIMAU KUIT PEEL: LOCAL


LIME FRUIT OF KALIMANTAN SELATAN
Azidi Irwan* ABSTRACT: Limau kuit is known as a seasoning for Banjarese traditional food due to its sour
Universitas Lambung taste and distinctive aroma,it potentially has essential oils which are interesting to study. This
research has been conducted on the skin of lime fruit obtained from Astambul, Kabupaten
Mangkurat Banjar. The essential oils wereisolated by hydrodistillation method for 3 hours of distillation
time. The samples were preparatedwith two different sample preparation treatments, namely
Kholifatu Rosyidah fresh samples and dry samples with 1x1 cm2in piece size.Data of research observations
Universitas Lambung included yield of essential oil, refractive index, specific gravity, optical rotation, solubility in
70% alcohol, and the chemical component of essential oil constituents using Gas
Mangkurat Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). The study gave the yield of fresh samples of
0.472%, refractive index 1.5989, specific gravity 0.8966 g/mL, optical rotation (-) 0.16 - (+)
38.38o, and solubility in alcohol 70% 1: 1. The results of the dry sample are as follows: yield
0.483%, refractive index 1.4720, specific gravity 0.9007 g/mL, optical rotation (+) 2.28 - (+)
39.83O and solubility in alcohol 70% 1: 5. GC-MS analysis for fresh samples showed 15
dominant components, with the five largest components being limonene (GC-MS relative area
62.96%), -terpenene (17.68%), -pinena (9.06%), -pinene (1.77%) and sabinene (1.53%).
Whereas for dry samples also showed 15 dominant components with the five largest
components were: limonene (GC-MS relative area 63.97%), - -pinene
(1.77%), and terpin-4-ol (1.20%). The data of this study is the initial scientific information to
find out more about essential oils of limau kuit plants, with the potential of other plant parts
such as leaves, fruit flesh, or bark.
465

KEYWORDS: limau kuit, essential oils, water distillation, GC-MS, limonene

* Corresponding Author: Program Studi Kimia Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru-Kalsel, Indonesia, e-mail :
airwan@ulm.ac.id

PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai sumber daya alam hayati yang sangat banyak dan beragam.
Di antara keanekaragaman hayati itu terdapat tanaman-tanaman penghasil minyak
atsiri yang belum semuanya dimanfaatkan (Muhtadin, et al., 2013). Minyak atsiri
merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang mudah menguap (volatil) dan
bukan merupakan senyawa tunggal tetapi tersusun atas beberapa komponen yang
mayoritas berasal dari golongan terpenoid dan sebagian senyawa aromatik. Komposisi
kimia minyak atsiri tergantung pada jenis tumbuhan, daerah tempat tumbuh, iklim, dan
bagian yang diambil minyaknya (Guenther, 2006).
Limau kuit diyakini merupakan jeruk khas lokal Kalimantan Selatan. Limau kuit
sering diasosiasikan dengan jeruk purut (Citrus hystrix D.C.), namun memiliki
perbedaan dimana buahnya lebih besar, bentuk daun, dan aromanya. Jeruk purut

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

telah banyak diteliti kandungan minyak atsirinya. Jeruk purut memiliki ukuran buah
lebih kecil dari kepalan tangan, bentuknya bulat tetapi banyak tonjolan dan berbintil
mirip dengan limau kuit. Kulitnya tebal dan berwarna hijau tua polos atau berbintik-
bintik. Kulit jeruk purut memiliki aroma wangi yang agak keras dan kandungan
sitronelal yang sangat tinggi, menjadi salah satu kelebihan minyak jeruk purut di
bidang industri, khususnya industri parfum dan kosmetika (Simanihuruk, 2013).
Metode distilasi atau penyulingan banyak digunakan untuk mengisolasi minyak
atsiri. Metode ini dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu penyulingan dengan air
(hydrodistillation), penyulingan dengan uap langsung (steam distillation) dan
penyulingan dengan air dan uap (water and steam distilation) (Cahyono, 1991). Dalam
penelitian ini diterapkan metode hydrodistillation terhadap sampel. Pada saat air
mendidih, sebagian minyak atsiri akan larut di dalam air yang terdapat pada
kelenjar/kantung minyak (Guenther, 2006). Penggunaan air sebagai pengekstrak
sangat berguna untuk mengekstraksi zat-zat yang terkandung pada sampel (Hoshino, et
al., 2014).
Kulit jeruk mengandung minyak atsiri, namun biasanya hanya terbuang sebagai
sampah, yang saat ini menjadi salah satu masalah di kota-kota besar. Untuk mengatasi
masalah ini, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengolah atau mendaur-
ulangnya menjadi produk yang berguna seperti minyak atsiri. Kulit buah jeruk masih
mengandung zat berharga seperti flavonoid dan minyak atsiri (Hoshino, et al., 2014).
466 Minyak atsiri merupakan produk yang diminati oleh konsumen, terutama kalangan
menengah ke atas, untuk keperluan kesehatan dan bahan pengharum (Istianto, 2008)..
Komposisi senyawa yang lazim terdapat dalam minyak atsiri kulit jeruk adalah
limonena, sitronelal, geraniol, linalol, α-pinena, mirsena, β-pinena, sabinena, geranil
asetat, nonanal, geranial, β-kariofilena, dan α-terpineol (Chutia, et al., 2009; Hendri,
2013).
Mutu minyak atsiri dipengaruhi oleh jumlah komponen dalam minyak atsiri di
mana hal ini secara garis besar tergantung pada jenis dan kualitas bahan baku, metode
pengambilan minyak, dan perlakuan pada preparasi sampel seperti perlakuan sampel
kering atau segar, serta ukuran sampel yang diinginkan. Berdasarkan penelitian
Muhtadin, et al., (2013), sampel kering lebih banyak menghasilkan minyak atsiri
dibandingkan sampel segar. Sedangkan semakin kecil ukuran sampel maka akan
semakin besar luas permukaan sehingga kemampuan daya serap juga makin besar dan
minyak atsiri yang terambil makin banyak (Utomo, 2014). Belum ada data tentang
minyak atsiri dari limau kuit, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
bagaimana hasil ekstraksinya dengan metode distilasi air dan mengetahui komponen
kimianya dengan GC-MS.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

METODE DAN METODE


Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah peralatan gelas, pipet
volumetrik, botol kaca, pisau, piknometer, neraca analitik ohaus, oven, alat distilasi air
termodifikasi, ayakan, kertas saring, polarimeter, refraktometer, pemanas listrik,
penangas minyak, stopwatch, dan GC-MS Shimadzu QP2010S. Sedangkan bahan-
bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limau kuit dari Kecamatan
Astambul, Kabupaten Banjar-Kalsel, Na2SO4 anhidrat, dan akuades.

Prosedur Kerja
1. Preparasi Sampel
Kulit limau kuit segar sebanyak 5 kg dipotong-potong 1 cm x 1 cm, sama halnya
dengan kulit yang keringnya.

2. Distilasi
a. Distilasi Kulit Segar
Sebanyak 5 kg sampel kulit segar hasil preparasi ditimbang, dimasukkan
kedalam alat distilasi dan ditambahkan akuades sampai tinggi air 10 cm dari
batas atas sampel, kemudian dipanaskan selama 3 jam. Destilat air 467
dikeluarkan lebih dahulu dan minyak atsiri ditampung.Minyak yang masih
mengandung sedikit air ditambahkan dengan Na2SO4 anhidrat lalu, disimpan
dalam lemari pendingin.
b. Distilasi Kulit Kering
Kulit limau kuit yang dikeringkan pada prosedur di atas, dimasukkan ke
dalam alat distilasi dan perlakukan seperti sampel kulit segar. Destilat air
dikeluarkan lebih dahulu dan minyak atsiri ditampung. Minyak atsiri
kemudian dimurnikan dengan Na2SO4 anhidrat, lalu disimpan dalam lemari
pendingin.
c. Karakterisasi Minyak Atsiri
Minyak atsiri kulit buah limau kuit dikarakterisasi mutunya meliputi:
rendemen, berat jenis, putaran optik, indeks bias, dan kelarutan dalam alkohol
70%.
d. Kandungan komponen minyak atsiri
Penentuan kandungan komponen minyak atsiri kulit buah limau kuit
dilakukan dengan GC-MS berupa data senyawa kimia dan konsentrasi dari
masing-masing komponen yang dianalisis secara deskriptif.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rendemen Minyak Atsiri
Rendemen distilasi kulit limau kuit diketahui setelah dimurnikan dengan Na2SO4
anhidrat. Rendemen sampel segar adalah 0,472% dan sampel kering adalah 0,483%.

a. Berat Jenis
Berdasarkan pengujian berat jenis dari sampel segar adalah 0,8966 g/mL.
Sedangkan berat jenis dari sampel kering adalah 0,9007 g/mL. Jika dibandingkan
dengan berat jenis minyak nilam berat jenis yang didapatkan tidak sesuai dengan SNI.
Standar SNI untuk minyak atsiri jeruk-jerukan belum ditentukan. Nilai bobot jenis
minyak ditentukan oleh komponen kimia yang terkandung di dalamnya, dan sangat
mungkin bervariasi tergantung dari jenis minyak atsirinya. Semakin tinggi kadar fraksi
dengan bobot yang tinggi maka berat jenis semakin tinggi.
b. Putaran Optik
Penentuan putaran optik dilakukan pada suhu ruangan menggunakan polarimeter.
Hasil putaran optik untuk sampel segar adalah (-) 0,16 – (+) 38,38 dan untuk sampel
kering adalah (+) 2,28 – (+) 39,83. Data tersebut jika dibandingkan dengan SNI
persyaratan minyak nilam memang tidak memenuhi syarat, namun tiap minyak atsiri
468 memiliki sifat fisik masing-masing. Putaran optik dipengaruhi komponen yang
terdapat didalamnya yang dapat mempengaruhi bidang polarisasi.

c. Indeks Bias
Pengukuran indeks bias dilakukan pada suhu ruangan menggunakan
refraktometer. Hasil pengamatan indeks bias untuk sampel segar adalah 1,5989.
Sedangkan untuk sampel kering adalah 1,4720. Indeks bias tiap minyak atsiri berbeda-
beda namun jika dibandingkan dengan SNI minyak nilam maka minyak atsiri kulit
limau kuit tersebut memenuhi persyaratn mutu, yaitu 1,507–1,515. Secara teoritis
semakin panjang rantai karbon dan semakin banyak ikatan rangkap dalam minyak
atsiri maka semakin besar pula nilai indeks biasnya.

d. Penentuan Kelarutan dalam Alkohol 70%


Penentuan kelarutan dalam alkohol 70% dilakukan dengan cara memasukkan
minyak atsiri hasil distilasi sebanyak 1 mL ke dalam gelas ukur yang bertutup
berukuran 5 mL atau 10 mL. Kemudian ditambahkan etanol 70 % tetes demi tetes.
Setiap penambahan dilakukan pengocokan sampai diperoleh suatu larutan yang
bening. Kelarutan dalam etanol 70% dinyatakan dalam perbandingan 1 volume
minyak dalam Y volume etanol yang digunakan. Didapatkan hasil untuk sampel segar
1:1. Sedangkan untuk sampel kering 1:5.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

e. Kandungan komponen minyak atsiri

Gambar 1. Kromatogram Minyak Atsiri Kulit Buah Limau Kuit Sampel Segar

Berdasarkan gambar kromatogram di atas peak ke 9 merupakan peak tertinggi


yang berarti komponen terbanyak pada sampel segar. Senyawa pada peak tersebut
diduga adalah limonena. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Komponen senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri kulit limau kuit untuk
469
sampel segar
SI
Waktu Kadar (Similarity
Puncak (peak) Retensi Relatif Senyawa Index)
(menit) (%) (%)

1 10,042 0,47 α-thujena 92

2 10,327 1,77 α-pinena 94

3 11,848 1,53 sabinena 93

4 12,067 9,06 β-pinena 96

5 12,469 1,30 mirsena 95

6 13,007 0,46 oktanal 91

7 13,513 0,38 α-terpinena 93


benzena (1-metil-x- 92
8 13,833 0,87
Isopropil)
9 14,171 62,96 limonena 95

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

10 15,124 17,68 γ-terpenena 95

11 15,999 0,90 terpenolena 94

12 19,274 0,48 terpeni-4-ol 94

13 19,792 0,86 α-terpeniol 94

14 20,003 0,48 dodekanal 90

15 28,138 0,79 germakrena 90

Total 100

470

Gambar 2. Kromatogram Minyak Atsiri Kulit Buah Limau Kuit Sampel Kering
Tabel 2. Komponen senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri kulit limau kuit untuk
sampel kering
SI
Waktu Kadar (Similarity
Puncak
Retensi Relatif Senyawa Index)
(peak)
(menit) (%) (%)

1 10,037 0,42 α-thujena 92

2 10,322 1,77 α-pinena 94

3 11,847 1,19 sabinena 94

4 12,061 9,30 β-pinena 96

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

5 12,464 1,18 mirsena 95


benzena (1-metil-o (2)- 94
6 13,833 2,54
isopropil)
7 14,158 63,97 limonena 96

8 15,104 15,11 γ-terpenena 96

9 15,463 0,43 linalool oksida 92

10 16,001 0,54 alosimena 91

11 19,283 1,20 terpeni-4-ol 93

12 19,825 0,98 α-terpeniol 95

13 20,002 0,76 dodecanal 89

14 26,740 0,20 1) trans-α- 90


bergamotena
15 28,135 0,42 germacrena 88

Total 100
471

Berdasarkan data GC MS kandungan terbanyak dari minyak atsiri kulit limau kuit
hasil analisis adalah limonena dan yang kedua golongan terpenena. Sedangkan untuk
sampel kering sama dengan sampel segar hanya sedikit berbeda dalam hal
konsentrasinya. Lima komponen terbesar dari sampel segar adalah limonene (62,96%),
γ-terpenena (17,68%), β-pinena (9,06%), α-pinena (1,77%), dan sabinena (1,53%).
Dari sampel kering diperoleh lima komponen terbesar limonene (63,97%), γ-terpenena
(15,11%), β-pinena (9,30%), α-pinena (1,77%), dan terpine-4-ol (1,20%). Jadi,
perbedaan komponen minyak atsiri kulit limau kuit untuk sampel segar dan kering
terlihat pada komponen–komponen penyusun lainnya dalam konsentrasi yang lebih
kecil.
Penelitian jeruk purut yang telah dilakukan oleh Wungsintaweekul, et al. (2010),
dengan metode hydrodistillation melaporkan kulit C. hystrix memiliki komposisi
sitronelal 23,85%, sabinena 1,55%, limonena 1,13%, β-pinena 1.82% dan lain-lain.
Penelitian lain dengan metode distilasi uap-secara otomatis menghasilkan sitronelal
7,53%, sabinena 31,22%, limonena 20.68%, β-pinena 32.96%, dan lain-lain (Kasuan,
et al., 2013). Sementara Yusoff, et al. (2013), dengan metode distilasi uap dengan
hidro-difusi menghasilkan komponen sitronelal 17,48%, sabinena 27,49%, limonena
28,72%, β-pinena 7,15% dan lain-lain. Sedangkan Jantan, et al., (1996) dengan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

metode distilasi air mendapatkan hasil sitronelal 11.67%, limonena 14.16%, β-pinena
39.25% dan lain-lain.
Limau kuit selalu diasosiasikan dengan jeruk purut dikarenakan morfologi kulit
buahnya yang berkerut, meskipun terbukti keduanya berbeda dalam banyak hal
seperti ukuran buah, bentuk daun, dan aroma yang dikeluarkannya. Berikut data
tentang minyak atsiri jeruk purut (Tabel 3).

Tabel 3. Perbandingan komponen utama penyusun minyak atsiri jeruk purut dengan
berbagai metode pengambilan/ekstraksi
% Komposisi komponen utama pada minyak atsiri
jeruk purut
Senyawa
1 2 3 4
sitronelal 11,67 23,85 7,53 17,48
limonena 14,16 1,13 20,68 28,72
α-pinena - - - -

472 β-pinena 39,25 1,82 32,96 7,15


sabinena - 1,55 31,22 27,49

Keterangan:
1. Jantan et al. (1996) metode distilasi air
2. Wungsintaweekul et al. (2010) metode distilasi air
3. Kasuan et al. (2013) metode distilasi uap
4. Yusoff et al. (2013) metode distilasi uap-difusi air

Limonena merupakan salah satu senyawa kimia yang dapat mempengaruhi bidang
polarisasi. Komponen-komponen pada sampel segar memiliki rantai induk lebih
panjang dibanding dengan sampel kering, hal ini terlihat dari komponen sampel segar
yang memiliki rantai induk lurus, yaitu :dodekanal dan oktanal. Sedangkan pada
sampel kering hanya ada dodekanal. Semakin panjang rantai karbon dan semakin
banyak ikatan rangkap dalam minyak atsiri maka semakin besar pula nilai indeks
biasnya. Berdasarkan Tabel 1 dan 2, dapat terlihat beberapa senyawa kimia yang
meningkatkan kelarutannya terhadap alkohol, yaitu dengan hadirnya atom oksigen
berupa gugus hidroksil dan karbonil. Sebagai contoh linalool oksida hanya terdapat
pada sampel kering. Linalool merupakan salah satu senyawa yang dapat menghambat
bakteri.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

SIMPULAN
Rendemen minyak atsiri kulit buah limau kuit dari sampel segar sebesar 0,472%, berat
jenis 0,8966 g/mL, putaran optik (-) 0,16 – (+) 38,38, indeks bias 1,5989, dan
kelarutan dalam alkohol 70% 1:1. Sedangkan dari sampel kering rendemen sebesar
0,483%, berat jenis 0,9007 g/mL, putaran optik (+) 2,28 – (+) 39,83, indeks bias
1,4720, dan kelarutan dalam alkohol 70% 1:5. Kandungan terbesar dari kedua minyak
atsiri yang dihasilkan adalah limonena. Lima komponen terbesar dari sampel segar
adalah limonene (62,96%), γ-terpenena (17,68%), β-pinena (9,06%), α-pinena
(1,77%), dan sabinena (1,53%). Dari sampel kering diperoleh lima komponen terbesar
limonene (63,97%), γ-terpenena (15,11%), β-pinena (9,30%), α-pinena (1,77%), dan
terpine-4-ol (1,20%). Saran dari penelitian ini adalah untuk mengkaji metode ekstraksi
yang lain sehingga diperoleh metode yang paling baik untuk pengambilan minyak
atsiri kulit buah limau kuit.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Fakultas MIPA ULM atas dana
penelitian lewat program penelitian DIPA Fakultas MIPA ULM tahun 2018 dan
mahasiswa-mahasiswa yang terlibat dan menjadi bagian dari tim penelitian kimia
tanaman limau kuit.
473
REFERENSI
Alneedya. 2011.”Limau Sundai”. https://mutasyaghairumutasya.wordpress.com/
(diakses 26 Januari 2017)
Cahyono, B. 1991. Segi Praktisi dan Metode Pemisahan Senyawa Organik. Kimia
MIPA UNDIP. Semarang
Chutia, M., Bhuyan, D.P., Pathak, M.G., Sarma, T.C., Boruah, P. 2009. “Antifungal
Activity and Chemical Composition of Citrus reticulata Blanco Essential Oil
Against Phytopathogens from North East India”. Journal Food Science and
Technology vol. 42 : 777-780
Guenther, E. 2006. “Minyak Atsiri Jilid 1”. Penerjemah Ketaren S. Penerbit UI Press,
Jakarta
Hoshino, R., Wahyudiono, Machmudah, S., Kanda, H., Goto. M. 2014. “Simultaneous
Extraction of Water and Essential Oils from Citrus Leaves and Peels Using
Liquefied Dimethyl Ether”. Journal Nutrition and Food Sciences vol. 4(301) :1-
5

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A Irwan, K Rosyida

Istianto, M. 2008. “Minyak Atsiri Jeruk: Peluang Meningkatkan Nilai Ekonomi Kulit
Jeruk”. Warta Penelitian dan Pengembangan Badan Penelitian Tanaman Buah
Tropika vol. 30(6): 7-8
Jantan, I., Abu S.A., Abdul R. A., Nor N.A.M.A., Ayop. N. 1996. “Chemical
composition of some Citrus oils from Malaysia”. J. Essent. Oil Res. 8 627–632
Kasuan, N., Muhammad, Yusoff, Z., Rahiman, M.H.F., Taib, M.N., Haiyee. Z.A.2013.
“Extraction of Citrus Hystrix D.C. (Kaffir Lime) Essential Oil Using Automated
Steam Distillation Process: Analysis Of Volatile Compounds”. Malaysian
Journal of Analytical Sciences vol. 17(3): 359–369
Ketaren, S. 1985. “Pengantar Teknologi Minyak Atsiri”. Balai Pustaka, Jakarta
Muhtadin, A.F., Wijaya, R., Prihartini, P., Mahfud. 2013. “Pengambilan Minyak Atsiri
dari Kulit Jeruk Segar dan Kering dengan Menggunakan Metode Steam
Distillation”. Jurnal Teknik Pomits vol. 2(1) : F 98 – 101
Pavia, D. L., Lampman, G.M., Kritz, G.S., Engel. R.G. 2006. “Introduction to Organic
Laboratory Techniques (4th Ed.)”. Thomson Brooks/Cole. pp. 797–817
Sastrohamidjojo, H. 2004. “Kimia Minyak Atsiri”. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Simanihuruk, N. 2013. “Ekstraksi Minyak Atsiri Dari Kulit Jeruk Purut (Citrus
474
Hystrix D.C.) di Balai Latihan Transmigrasi Pekanbaru Sebagai Bahan Aktif
Minyak Gosok”. Jurnal Pengolahan Hasil PertanianUPT-P Balai Latihan
Transmigrasi Pekanbaru : 1-24
Utomo, S. 2014. “Pengaruh Waktu Aktivasi Dan Ukuran Partikel Terhadap Daya
Serap Karbon Aktif Dari Kulit Singkong Dengan Aktivator NaOH”. Seminar
Nasional Sains dan Teknologi Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah
Jakarta
Wungsintaweekul, J., Sitthithaworn, W., Putalun, W., Pfeifhoffe, H.W., Brantner.
A.2010. “Antimicrobial, antioxidant activities and chemical composition of
selected Thai spices”. Songklanakarin Journal of Science and Tecnoology vol.
32(6) : 589-598
Yusoff, Z.M., Muhammad, Z., Kasuan, N., Rahiman, M.H.F., Taib. M.N. 2013.
“Effect of Temperature On Kaffir Lime Oil by Using Hydro-Diffusion Steam
Distillation System”. Malaysian Journal of Analytical Sciences, vol. 17(2): 326
– 339

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

PROSIDING
SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA
ISBN: 978-602-5830-09-9

STRUKTUR ASOSIASI DAN KELARUTAN ZAT WARNA DALAM


SISTEM AIR, SURFAKTAN KATIONIK DAN SIKLOHEKSANA

ASSOCIATION STRUCTURE AND SOLUBILITY DYNAMIC OF DYES


IN MICROEMULSIONS OF WATER, CATIONIC SURFACTANT AND
CYCLOHEXANE SYSTEM

Ananda Putra* ABSTRACT: When a surfactan was added to a mixture of water and oil, the surfactant
Universitas Negeri could form a variety of surfactant assosiation structure, namely water in oil (w/o) and oil in
water (o/w) microemulsion, lamellar liquid crystal and hexagonal liquid crystal. In this
Padang research, it just focused on solubility of methyl red and methylene blue in oil in water (o/w)
microemulsion and lamellar liquid crystal areas in the water (pH=4,5; pH=7,0 and pH=9,5),
Nurul Aisyah cationic surfactant (Hexadecyl trymethyl ammonium bromide) and cyclohexana. Result
Universitas Negeri showed that in lamelar liquid crystal areas, the refractive index and the solubility of methyl
red and methylene blue were higher than in o/w microemulsion areas. Whereas, the
Padang vicosities of solubility methyl red and methylene blue in oil in water microemulsion areas
were lower than its solubility in lamellar liquid crystal.
Umar Kalmar
Nizar
Universitas Negeri KEYWORDS: lamellar liquid crystal, microemulsion, refractive index, solubility, viscosity
Padang 475
Deski Beri
Universitas Negeri
Padang

Ali Amran
Universitas Negeri
Padang

* Corresponding Author: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Padang, Jln.
Prof.Dr.Hamka Air Taw ar Padang, 25131 Indonesia, Phone: +6281267996647, E-mail : anandap@fmipa.unp.ac.id

PENDAHULUAN
Teknologi mikroemulsi telah banyak diterapkan dalam industri kosmetik dan
farmasi pada pembuatan sistem pengiriman obat dan beberapa preparasi dari obat
karena mikroemulsi berpotensi untuk meningkatkan daya permeabilitas obat untuk
berdifusi, memiliki tampilan yang bagus dan dapat melarutkan obat (Basheer et. al.,
2013). Mikroemulsi merupakan campuran air, minyak dan surfaktan yang stabil secara
termodinamika. Kestabilan mikroemulsi diperoleh dari hadirnya surfaktan yang dapat
menurunkan tegangan antar muka minyak dan air. Surfaktan merupakan komponen
penting dalam menstabilkan mikroemulsi air dan minyak (Bumajdad, et. al., 2004).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Surfaktan atau surface active agent merupakan zat aktif permukaan yang
mengandung gugus hidrofilik dan gugus hidrofobik. Ketika surfaktan ditambahkan ke
dalam campuran air dan minyak maka surfaktan dapat membentuk mikroemulsi
dengan berbagai macam struktur asosiasinya (emulsi, misel, lamelar, heksagonal,
kubik, gel dan dispersi minyak) yang bergantung kepada perbandingan komponen-
komponen dalam campuran. Kelarutan zat warna pada struktur asosiasi yang terbentuk
dari sistem air, surfaktan dan minyak merupakan kajian yang menarik karena
banyaknya industri yang membutuhkan zat warna dalam proses produksinya
menggunakan mikroemulsi dan kristal cair sebagai pelarut, seperti industri cat,
kosmetik, tinta, finishing tekstil dan obat-obatan.
Mikroemulsi yang diperoleh dari campuran surfaktan, air dan sikloheksana
diharapkan dapat digunakan sebagai sediaan tinta printer. Tinta printer yang tersedia
dipasaran terdiri dari empat warna, yaitu merah, kuning, biru dan hitam. Untuk itu
kelarutan zat warna yang diuji mengarah kepada sediaan tinta printer tersebut. Warna
merah dapat dihasilkan dengan menggunakan methyl red, warna kuning diperoleh
dengan mengunakan methyl yellow, warna biru diperoleh dengan menggunakan
methylene blue dan warna hitam dihasilkan dengan menggunakan carbon black.
Penelitian pembuatan diagram fasa dari campuran air, minyak dan surfaktan
sebelumnya telah dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis surfaktan. Gobah
(2014) telah melakukan penelitian mengenai struktur asosiasi dan kelarutan methyl red
dan methylene blue dalam sistem air, Brij-35, dan Pentanol. Dari hasil penelitian
476 Gobah diperoleh dua wilayah fasa yaitu mikroemulsi dan kristal cair yang tidak
mengalami perubahan wilayah fasa dengan perubahan pH air pada sistem (Gobah,
2014). Singh (2014) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh perbandingan
surfaktan (Tween-80) dan kosurfaktan (propilen glikol) terhadap daerah mikroemulsi
pada suhu 25oC. Dari hasil penelitiannya diperoleh hasil bahwa daerah mikroemulsi
dengan perbandingan surfaktan dan kosurfaktan 1:1, 2:1 dan 3:1 tidak mengalami
perubahan. Wang (2014) juga telah melakukan pemetaan diagram fasa dalam sistem
air, surfaktan (tween-20 dan tween-40), dan lemon oil. Dari penelitian tersebut
menggunakan tween-20 diperoleh enam wilayah fasa, yaitu mikroemulsi o/w,
mikroemulsi w/o, bifasa yang transparant, emulsi, nanoemulsi dan gel, sementara
dengan menggunakan tween-80 diperoleh enam wilayah fasa, yaitu mikroemulsi w/o,
mikroemulsi o/w, bifasa transparan, gel dan kristal cair.
Pada penelitian ini dilakukan pemetaan diagram fasa dan kelarutan methyl red
dan methylene blue dalam sistem air, HTAB yang merupakan surfaktan kationik dan
sikloheksana. Methyl red dan methylene blue dipilih karena dapat menghasilkan warna
merah dan biru sesuai dengan sediaan tinta printer dipasaran. Untuk melarutkan methyl
red dan methylene blue maka dipilih variasi pH 4,5; 7 dan 9,5.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini adalah penelitian eksperimen, yang telah dilakukan di
Laboratorium Kimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Universitas Negeri Padang. Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
peralatan gelas, pipet tetes, spatula, vortex maxi mix II, Sentrifugal, neraca analitis
acculab, pH meter, magnetic stirrer, tabung reaksi dengan screw cap, piknometer 1
mL, viskometer Ostwald dan parafilm. Bahan- bahan yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah Hexadecyl Trimetyhl Ammonium Bromide (HTAB),
sikloheksana, HNO3 encer, NaOH, Methyl red, Methylene blue dan Aqua bidestilata.
Preparasi air pH4,5 dan pH 9,5
Preparasi air pH 4,5 dilakukan dengan menambahkan HNO3 sedikit demi sedikit
ke dalam 250 mL aquabides, lalu diaduk dengan menggunakan pengaduk magnet
hingga mencapai pH 4,5. Begitu juga dengan preparasi air pH 9,5 dilakukan dengan
menambahkan NaOH sedikit demi sedikit ke dalam 250 mL aquabides lalu diaduk
menggunakan pengaduk magnet hingga mencapai pH 9,5.

Penentuan Komposisi Air, Surfaktan dan Sikloheksana


Pada diagram terner diambil titik pada koordinat tertentu. Kemudian dilakukan
perhitungan komposisi untuk persentase air, surfaktan dan sikloheksana dalam
perbandingan massa, sehingga massa total ketiga komponen menjadi 0,5 gram.

Penentuan Struktur Asosiasi Sistem Air/HTAB/Sikloheksana


HTAB, air dan sikloheksana dimasukkan ke dalam tabung reaksi sesuai dengan
komposisi yang ditentukan berdasarkan koordinat tertentu pada diagram terner. 477
Campuran HTAB, air dan sikloheksana dihomogenkan dengan menggunakan vortex
mixer mix II. Struktur asosiasi surfaktan yang terbentuk diamati secara visual dan
dengan menggunakan parafilm untuk membedakan antara fasa mikroemulsi, emulsi
dan kristal cair. Pada daerah kristal cair dilakukan pengamatan secara visual untuk
membedakan kristal cair lamelar dan heksagonal. Penentuan struktur asosiasi
dilakukan di berbagai titik koordinat yang terdapat pada diagram terner hingga dapat
dibedakan daerah mikroemulsi, emulsi, dan kristal cair. Prosedur yang sama dilakukan
pada kedua sistem, yaitu pada air pH 4,5; pH 7 dan air pH 9,5.

Uji Kelarutan Methyl red dan Methylene blue


Beberapa titik koordinat pada daerah mikroemulsi dan kristal cair yang telah
dipetakan ditandai untuk dilakukan pengujian kelarutan zat warna. Sejumlah kecil
methyl red ditambahkan ke dalam mikroemulsi dan kristal cair yang terbentuk dalam
sistem HTAB, air dan sikloheksana. Penambahan dilakukan sedikit demi sedikit
sambil terus ditimbang. Penambahan methyl red dihentikan ketika mulai terbentuknya
endapan. Massa metylh red sampai terjadinya larutan tepat jenuh merupakan kelarutan
optimum dari methyl red. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk menentukan
kelarutan dari methylene blue.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Karakterisasi Mikroemulsi dan Kristal Cair Lamelar


1. Pengukuran Indeks Bias
Sampel diteteskan sebanyak tiga tetes ke atas prisma pengukur lalu tempatkan
penutup prisma sambil dikunci. Sumber cayaha dihidupkan dan diatur pembacaan
skala alat pada indeks bias 1,30. Kemudian dilakukan pengukuran indeks bias untuk
sampel yang diinginkan (indeks bias sampel merupakan pembacaan indeks bias saat
tepat diperoleh bayangan terang-gelap di bagian atas skala pembacaan). Pengukuran
indeks bias yang dilakukan pada suhu ruang kemudian dikonversi kedalam suhu 20˚C
dengan menggunakan rumus :
( )
Pengukuran indeks bias dilakukan sebelum dan sesudah penambahan zat warna.
2. Pengukuran Viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viskometer Ostwald
type 509 03 yang telah mempunyai dua garis yaitu garis pertama dan garis kedua.
Sebanyak 1 mL mikroemulsi dimasukkan melewati tanda batas atas, setelah cekung
bawah mikroemulsi tepat berada pada garis pertama, stopwatch mulai dinyalakan.
Perhitungan waktu akan dihentikan ketika cekung bawah mikroemulsi yang mengalir
melewati pipa kapiler menyentuh garis kedua. Waktu (t) yang diperlukan oleh
mikroemulsi untuk melewati pipa kapiler akan dijadikan data yang digunakan dalam
perhitungan untuk menentukan viskositas dari mikroemulsi. Viskositas yang diperoleh
478 dari pengukuran merupakan viskositas kinematik sehingga untuk mengkonversi ke
viskositas dinamik digunakan rumus :

( )

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pembuatan Diagram Fasa dan Penentuan Struktur Asosiasi
Campuran air, HTAB dan sikloheksana dapat menghasilkan berbagai macam
bentuk struktur asosiasi surfaktan. Beberapa struktur asosiasi yang dibentuk oleh
campuran ini adalah mikroemulsi minyak dalam air (o/w), mikroemulsi air dalam
minyak (w/o), emulsi, kristal cair lamelar dan kristal cair heksagonal. Struktur asosiasi
surfaktan ini terbentuk didalam ketiga sistem dengan perubahan posisi dan luas daerah
struktur asosiasi.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Gambar 1. Diagram Fasa Sistem Air, HTAB dan Sikloheksana pada pH 4,5

479

Gambar 2.Diagram Fasa Sistem Air, HTAB dan Sikloheksana pada pH 7

Gambar 3.Diagram Fasa Sistem Air, HTAB dan Sikloheksana pada pH 9,5

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Berdasarkan Gmbar 1, Gambar 2 dan Gambar 3 perbedaan ketiga diagram fasa


terdapat pada luas daerah pada ketiga sistem dipengaruhi oleh pH dari sistem dan
struktur dari HTAB. Surfaktan kationik ketika ditambahkan air dapat menurunkan pH
(Keasaman) dari sistem. HTAB yang merupakan surfaktan kationik dengan adanya Br -
ketika ditambahkan H+ berlebih maka akan membuat minyak terkurung didalam lautan
air yang menyebabkan gugus hidrofobik dari surfaktan mengarah kedalam dan gugus
hidrofilik mengarah keluar. Secara umum keadaan dimana gugus hidrofobik dari
surfaktan mengarah kedalam dan gugus hidrofilik menghadap keluar dinamakan
mikroemulsi minyak dalam air (o/w). Ketika HTAB ditambahkan OH- berlebih tidak
terlalu berpengaruh karena HTAB menurunkan pH dari sistem menjadi asam.
Akibatnya gugus hidrofobik mengarah kedalam dan gugus hidrofiliknya mengarah
keluar yang menghasilkan mikroemulsi minyak dalam air (o/w). Dengan kehadiran
OH- maka ketersediaan H+ tidak sebanyak didalam suasana asam. Secara umum dapat
dikatakan bahwa dengan menggunakan surfaktan kationik luas daerah mikroemulsi
minyak dalam air (o/w) pada suasana asam (pH 4,5) akan lebih besar dibandingkan
dengan luas daerah mikroemulsi minyak dalam air (o/w) pada suasana basa (pH 9,5).

Kelarutan Zat Warna


Methyl red dilarutkan dalam mikroemulsi dan kristal cair pada sistem air,
surfaktan, dan sikloheksana pada pH 4,5. Methylene blue dilarutkan dalam
mikroemulsi dan kristal cair lamelar pada sistem air, surfaktan dan sikloheksana pada
480 pH 7. Methylene blue juga dilarutakan dalam mikroemulsi dan kristal cair lamelar
pada sistem air, HTAB dan sikloheksana pada pH 9,5. Hal ini dikarenakan methyl red
akan menghasilkan warna merah pada pH dibawah 4,5 sementara jika diatas pH 6,2
maka methyl red akan menghasilkan warna kuning. Begitu juga pada methylene blue
dilarutkan pada pH 9,5 karena methylene blue hanya akan menghasilkan warna biru
pada suasana basa sementara jika dibawah pH 6 methylene blue akan menghasilkan
warna hijau (Merk, 2008; 2013).

Tabel 1. Kelarutan Methyl red dalam Mikroemulsi dan Kristal Cair Lamelar
Fasa Kelarutan Methyl red
Mikroemulsi 0,4916 mg/mL
Kristal cair lamelar 0,6318 mg/mL

Tabel 2. Kelarutan Methylene blue dalam Mikroemulsi dan Kristal Cair Lamelar
Fasa Kelarutan Methylene Blue
pH 7 pH 9,5
Mikroemulsi 0,75 mg/mL 0,225 mg/mL
Kristal Cair Lamelar 1,22 mg/mL 0,1167 mg/mL

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Pada mikroemulsi, methyl red dan methylene blue yang bersifat azo hanya dapat
berinteraksi dengan molekul-molekul air yang terdapat pada bagian luar. Molekul-
molekul minyak pada mikroemulsi tidak dapat berinteraksi dengan methyl red dan
methylene blue karena molekul-molekul minyak terkepung oleh molekul-molekul air.
Kristal cair lamelar memiliki struktur yang berlapis-lapis. Interaksi methyl red dan
methylene blue yang bersifat azo dengan kristal cair lamelar terjadi pada kedua gugus
polar dan non polar. Interaksi methyl red dan methylene blue dengan mikroemulsi
lebih rendah dibandingkan interaksi methyl red dan methylene blue dengan kristal cair
lamelar sehingga kelarutan methyl red dan methylene blue dalam mikroemulsi lebih
rendah dibandingkan kelarutan methyl red dan methylene blue dalam kristal cair
lamelar.

Indeks Bias
Pengukuran indeks bias dilakukan dengan tujuan untuk melihat kehomogenan
pelarutan zat warna dalam mikroemulsi dan kristal cair. Pengukuran indeks bias
dilakukan pada sampel mikroemulsi dan kristal cair dalam sistem air, HTAB dan
sikloheksana sebelum dan setelah ditambahkan zat warna.

481

Gambar 4.Indeks Bias Vs Kandungan Air Mikroemulsi pada pH 4,5 sebelum dan
sesudah ditambahkan methyl red

Berdasarkan Gambar 4, indeks bias dari mikroemulsi sebelum ditambahkan


methyl red lebih rendah dibanding dengan indeks bias dari mikroemulsi setelah
ditambahkan methyl red. Nilai indeks bias dapat digunakan untuk mengetahui
konsentrasi dari sistem, semakin besar konsentrasi maka nilai indeks bias dari sistem
akan bertambah besar. Penambahan methyl red ke dalam sampel mikroemulsi

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

menyebabkan konsentrasi sistem bertambah besar, sehingga nilai indeks bias dari
sistem juga bertambah besar.
Berdasarkan Gambar 5, indeks bias dari kristal cair lamelar mengalami
perubahan peningkatan setelah ditambahkan zat warna methyl red. Nilai indeks bias
dari kristal cair lamelar setelah ditambahkan methyl red lebih tinggi dibandingkan
sebelum ditambah methyl red. Peningkatan konsentrasi sistem dengan penambahan
methyl red menyebabkan nilai indeks bias setelah penambahan methyl red lebih tinggi
dibandingkan sebelum ditambahkan methyl red.

482
Gambar 5. Indeks Bias Vs Kandungan Air Kristal Cair Lamelar pada pH 4,5 sebelum
dan sesudah ditambahkan methyl red
Berdasarkan Gambar 6 indeks bias dari sampel mikroemulsi pada pH 7 sebelum
ditambahkan zat warna lebih besar dibandingkan dengan setelah ditambahkan zat
warna. Hal ini berlawanan dengan teori bahwa nilai indeks bias akan bertambah besar
seiring dengan peningkatan konsentrasi sistem. Peningkatan kandungan air pada
mikroemulsi pH 7 tidak berpengaruh pada nilai indeks bias mikroemulsi pada pH 7.

Gambar 6. Indeks Bias Vs Kandungan Air Mikroemulsi pada pH 7 sebelum dan


sesudah ditambahkan methylene blue

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Berdasarkan Gambar 7 indeks bias dari sampel kristal cair lamelar pada pH 7
setelah ditambahkan Methylene blue memiliki nilai indeks bias yang lebih rendah
dibandingkan dengan sebelum ditambahkan methylene blue.

Gambar 7. Indeks Bias Vs Kandungan Air Mikroemulsi pada pH 7 sebelum dan 483
sesudah ditambahkan methylene blue

Gambar 8. Indeks Bias Vs Kandungan Air Mikroemulsi pada pH 9,5 sebelum dan
sesudah ditambahkan methylene blue

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Berdasarkan Gambar 8 indeks bias dari sampel mikroemulsi pada pH 9,5 lebih
kecil dibandingkan nilai indeks bias dari sampel mikroemulsi pada pH 9,5 setelah
ditambahkan methylene blue. pada sampel mikroemulsi sebelum dan setelah
ditambahkan methylene blue, peningkatan kandungan air membuat nilai indeks bias
mendekati nilai indeks bias air yaitu sebesar 1,30.

484

Gambar 9. Indeks Bias Vs Kandungan Air kristal cair lamelar pada pH 9,5 sebelum
dan sesudah ditambahkan methylene blue
Berdasarkan Gambar 9, nilai indeks bias dari sampel kristal cair lamelar pada pH
9,5 setelah ditambahkan methylene blue lebih kecil dibandingkan sebelum
ditambahkan zat warna methylene blue. peningkatan kandungan air dalam sistem
membuat nilai indeks bias dari sistem semakin kecil (semakin mendekati nilai indeks
bias air).

Viskositas
Pengukuran viskositas dilakukan pada mikroemulsi dalam kondisi asam, netral
dan kondisi basa dan mikroemulsi dengan penambahan zat warna pada kondisi asam,
netral dan basa. Viskositas pada penelitian diukur dengan menggunakan viskometer
ostwald type 509 03 . Nilai viskositas dihitung berdasarkan waktu yang dibutuhkan
oleh cairan (mikroemulsi) untuk mengalir mencapai batas bawah yang ditentukan.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

Gambar 10.Viskositas Vs Kandungan Air Mikroemulsi pada pH 4,5 sebelum dan


setelah ditambahkan methyl red

Berdasarkan Gambar 10, dilihat bahwa penambahan zat warna methyl red pada
mikroemulsi pH 4,5 menyebabkan perubahan nilai viskositas. Secara umum nilai
viskositas sebelum ditambahkan methyl red lebih besar dibanding dengan setelah
penambahan methyl red, kecuali pada kandungan air 90%, dimana viskositas sebelum
penambahan methyl red lebih kecil dibandingkan setelah penambahan methyl red.

485

Gambar 11.Viskositas Vs Kandungan Air Mikroemulsi pada pH 7 sebelum dan setelah


ditambahkan methylene blue
Berdasarkan Gambar 11, penambahan zat warna methylene blue dalam sampel
mikroemulsi pada pH 7 memberikan perubahan pada nilai viskositas dari mikroemulsi
tersebut. Nilai viskositas dari mikroemulsi pada pH 7 memiliki pengecualian pada

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

kandungan air 83%, dimana viskositas setelah ditambahkan zat warna lebih besar
dibandingkan sebelum penambahan zat warna.

Gambar 12.Viskositas Vs Kandungan Air Mikroemulsi pada pH 9,5 sebelum dan


setelah ditambahkan methylene blue

Berdasarkan Gambar 12, viskositas dari mikroemulsi pada pH 9,5 mengalami


perubahan setelah ditambahkan methylene blue. Viskositas mikroemulsi pada pH 9,5
486 secara umum lebih rendah dibandingkan dengan viskositas mikroemulsi pada pH 9,5
setelah ditambahkan methylene blue. Perubahan nilai viskositas menjadi lebih kecil
setelah ditambahkan zat warna berarti bahwa sistem menjadi lebih cair setelah
ditambahkan zat warna. Perubahan nilai viskositas menjadi lebih besar setelah
penambahan at warna berarti bahwa sistem menjadi lebih kental setelah ditambahkan
zat warna.

SIMPULAN
Campuran air, HTAB dan sikloheksana membentuk tiga struktur asosiasi, yaitu
mikroemulsi, kristal cair lamelar dan kristal cair heksagonal. Kelarutan methyl red
paling tinggi yaitu di dalam sampel kristal cair lamelar dalam sistem Air, HTAB dan
sikloheksana pada pH 4,5; yaitu sebanyak 2,0 mg/mL. Kelarutan methylene blue
paling tinggi di dalam sistem air, HTAB dan sikloheksana pada pH 7, yaitu sebanyak
2,0 g/mL sampel. Homogenitas methyl red dan methylene blue secara mikroskopis
dilihat dari data perubahan indeks bias sampel sebelum ditambah zat warna dengan
setelah ditambah zat warna. Pada setiap sistem homogenitas methyl red dan methylene
blue dalam sampel berbeda-beda dan dapat dibuktikan dari dari perubahan indeks
bias. Viskositas dari sampel mikroemulsi sebelum dan sesudah ditambahkan zat warna
mengalami perubahan yang disebabkan perubahan struktur mikroemulsi.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, N. Aisyah, U.K. Nizar, D. Beri, A. Amran

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih diucapkan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat
Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengaabdian Kepada Masyarakat Univeritas Negeri Padang yang telah mendanai
penelitian ini. Penelitian didanai sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat Kemenristekdikti No: 191/SP2H/LT/DPRM/2019 dan
Kontrak Penelitian dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Negeri Padang Skema Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi tahun
anggran 2019 No: 456/UN35.13/LT/2019

REFERENSI
Basheer, H.S., Noordin, M.I., dan Ghareeb, M.M. 2013. “Characterization of
Microemulsions Prepared using Isopropyl Palmitate with various Surfactants and
Cosurfactants”. Tropical Journal of Pharmaceutical Research vol. 12 (June):
305–310
Bumajdad, A., Eastoe, J. 2004. “Conductivity of water-in-oil microemulsions
stabilized by mixed surfactants”. 274, 268–276. doi:10.1016/j.jcis.2003.12.050
Gobah, P., L. 2014. “Struktur Asosiasi dan Kelarutan Methyl red dan Methylen Blue
dalam Sistem Air, Brij-35, dan Pentanol”. Jurusan Kimia. Universitas Negeri
Padang
Merck. 2008. “Material Safety Data Sheet Methyl red” (Diakses tanggal 21 487
November 2014)
Merck. 2013. “Material Safety Data Sheet Methylene blue” (Diakses tanggal 21
November 2014)
Singh, P.K., Iqubal, M.K., Shukla, V.K., Shuaib, M. 2014. “Review Article
Microemulsions : Current Trends in Novel Drug Delivery Systems” 1
(February), 39–51
Wang, Y. 2014. “Preparation of Nano and Microemulsions using Phase Inversion and
Emulsion Titration Methods”. Massey University, Auckland, New Zealand

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
PROSIDING
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

SEMIRATA BKS PTN WILAYAH BARAT BIDANG MIPA


ISBN: 978-602-5830-09-9

KOMPOSIT SELULOSA BAKTERIAL-EKSTRAK


LIDAH BUAYA (Aloe vera Linn.)

COMPOSITE OF BACTERIAL CELLULOSE - ALOE VERA EXTRACT


(Aloe vera Linn.)

Ananda Putra* ABSTRACT: Aloe vera is one of the medicinal plants found in Indonesia. Extract of aloe
Universitas Negeri vera contain active compounds such as phenols, tannins and saponins. Bacterial cellulose if
soaked into Aloe Vera Extract can produce a composite called Bacterial Cellulose-Aloe
Padang Vera Extract composite This composites were tested for physical properties (water content),
mechanical properties (compressive strength and tensile strength test), and structural
Fanny Zahratul analysis (functional group analysis and crystallinity measurement). The results showed that
Hayati aloe vera extract reduced the water content of the formed composite and affected the
compressive strength and tensile strength of bacterial cellulose, where, the more aloe vera
Universitas Negeri extract (fillers) entered to bacterial cellulose (matrix), the composite elasticity value
Padang increased. The elasticity value was directly proportional to the tensile strength value and
inversely proportional to the strain value. The results of FTIR spectra and XRD
Sherly Kasuma diffractogram showed that aloe vera extract did not affect bacterial cellulose structure, its
Warda Ningsih structure was cellulose-1 type. This composite was expected to be one of the basic
ingredients that can be used in the biomedical application such as articular cartilage
Universitas Negeri replacement.
Padang

Elsa Yuniarti KEYWORDS: Bacterial cellulose, Aloe Vera Extract, CBC-AVE, elasticity
488 Universitas Negeri
Padang

Ali Amran
Universitas Negeri
Padang

* Corresponding Author: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan


Alam, Universitas Negeri Padang, Jln. Prof.Dr.Hamka Air Taw ar Padang, 25131
Indonesia, Phone: +6281267996647, E-mail : anandap@fmipa.unp.ac.id

PENDAHULUAN
Pemanfaatan Selulosa bacterial (SB) dalam bidang biomedis digunakan untuk
pergantian jaringan salah satunya pengganti jaringan lunak di tubuh sebagai contohnya
yaitu penghubung tulang dengan tulang (ligamen), penghubung otot dengan tulang
(tendon) dan tulang rawan (articular cartilage). Salah satu kendala dalam pemanfaatan
SB dalam bidang biomedis yaitu rendahnya sifat elastisitas dari SB. SB memiliki
kekuatan tarik yang tinggi sepanjang arah lapisan serat. Akan tetapi, nilai modulus
tekanannya rendah. Apabila SB ditekan dari sudut tegak lurus arah tumpukannnya,
maka air di dalam SB dengan mudah dapat diperas keluar dari gel seperti ditekan

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

menggunakan jari dan gel tidak dapat kembali menjadi bentuk semula (Hagiwara et
al., 2009). Akibatnya, sifat elastisitas dari SB berkurang. Hal ini menjadi salah satu
kelemahan SB dalam aplikasinya di dunia medis.
Salah satu alternatif lain yang dapat dilakukan untuk memperoleh SB dengan
elastisitas yang tinggi yaitu menggabungkan SB dengan bahan lain sehingga
membentuk suatu material baru berupa komposit. SB berperan sebagai matriks,
sementara bahan lain yang berfungsi sebagai filler atau pengisi dapat berupa bahan
alam. Salah satu bahan alam yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Lidah
Buaya (Aloe vera Linn). Daging LB disebut juga gel LB (gel mucilaginous) diperoleh
dari mengekstrak LB seperti jelly dari jaringan parenkim. Gel LB bermanfaat untuk
(1) penyembuhan luka, termasuk kemampuan untuk masuk dan membius jaringan, (2)
menghalangi bakteri, jamur, dan pertumbuhan virus, serta (3) bertindak sebagai agen
anti-inflamasi dan meningkatkan aliran darah (Saibuatong, 2009).
Ekstrak Lidah Buaya (ELB) mengandung senyawa aktif berupa fenol, tanin, dan
saponin. Tanin dapat menyebabkan penciutan pori-pori kulit, dan menghentikan
pendarahan yang ringan. Fenol memiliki kemampuan sebagai antiseptik dan mencegah
kerusakan akibat reaksi oksidasi yang terjadi pada kosmetik dan bermanfaat untuk
regenerasi jaringan. Saponin memiliki kemampuan sebagai antiseptik yang berfungsi
membunuh kuman atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang biasa timbul
pada luka (Wijaya, 2013). ELB juga mengandung zat aktif monosakarida dan
polisakarida (terutama dalam bentuk mannosa) yang disebut acemannan (acetylated
mannose) (Ening, 2007) 489
Pada penelitian ini, komposit antara SB dan ELB bertujuan untuk menghasilkan
suatu komposit yang memiliki sifat lebih elastis dan dapat digunakan dalam dunia
medis, misalnya sebagai pengganti tulang rawan (articular cartilage). Variabel yang
akan diteliti adalah pengaruh waktu perendaman SB dalam ELB selama 1,2,3, dan 4
hari, serta mengkarakterisasi sifat fisik, sifat mekanik (compressive strenght dan
tensile strenght), dan analisis struktur (analisis gugus fungsi dan uji derajat
kristalinitas) yang diinginkan.

BAHAN DAN METODE


Peralatan yang dibutuhkan untuk membuat dan mengkarakterisasi komposit
selulosa bacterial-ekstrak lidah buaya (KSB-ELB) adalah peralatan gelas (labu ukur,
gelas kimia, gelas ukur), batang pengaduk, corong, kaca arloji, neraca analitis (merk
KERN ABS 220-4 Analytical Balance), oven ( merk Memmert Model 300), pH meter
(merk Seven Easy S20 METTLER-TOLEDO), lampu UV, UV box, shaker
(modifikasi Laboratotium Material Science), picknometer, blender, Compressive Test
(merk Toni technik Compressive Test Bauform Model 2020), dan Tensile Strength
(merk Buchel B.V Horizontal Tensile Tester model No. K465 dengan item 84-58-00-
0002 range 500N, 230V-50Hz), kaca, Fourrier Transform Infra Red (FTIR) dengan
merk PerkinElmer Frontier Optica, X-ray Difraction (XRD) dengan merk Panalytical
X-Pert3Material Research Diffractometer, dan wadah plastik ukuran 24x17x4 cm,

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

panci stainless steel, kompor, pisau, gunting, penyaring, kain non woven, plastik, kain
lap, koran, karet gelang, tisu, dan kertas label.
Bahan-bahan yang dibutuhkan antara lain limbah air kelapa (diperoleh dari Pasar
Alai Padang, Sumatera Barat), urea (CO(NH2)2) (PT. Pupuk Sriwijaya), gula pasir
(C12H22O11), lidah buaya (diperoleh dari daerah mantuang, Jorong Batabuah Koto
Baru, Nagari Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Provinsi
Sumatera Barat), asam cuka (CH3COOH) 25% (PT. Brataco Chemica), starter A.
xylinum (diperoleh dari Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Padang dan Laboratorium Tekhnologi
Hasil Pertanian Fakultas Tekhnik Pertanian Universitas Andalas), NaOH teknis (PT.
Brataco Bandung), aquades dan air.

Preparasi SB
Sebanyak 4000 limbah air kelapa disaring dengan menggunakan kain non woven
dan penyaring. Limbah air kelapa yang telah disaring dimasukkan ke wadah panci
stainless steel yang berkapasitas 5000 mL. Ditambahkan 400 gram C12H22O11 dan 10
gram CO(NH2)2 dengan perbandingan 1:0,1:0,01 % (V/W). Campuran diasamkan
dengan penambahan CH3COOH 25% (V/V) hingga mencapai pH 4-4,5 (±80 mL) dan
di panaskan sampai mendidih. Dalam keadaan panas, 600 mL campuran dituangkan
kedalam wadah fermentasi dengan ukuran 24x17x4 cm dan ditutup menggunakan
kertas koran yang telah disterilkan. Campuran didinginkan hingga suhu kamar (±28
o
490 C). Secara aseptik, campuran ditambahkan 10 % (V/V) (±60 mL) starter A. xylinum.
Difermentasi sampai terbentuk SB dengan ketebalan ±1 cm (selama ±7 hari). Setelah
SB mencapai ketebalan ±1 cm, SB siap dipanen.

Pencucian dan Pemurnian SB


SB hasil fermentasi dicuci dengan menggunakan air mengalir dan direndam
selama 24 jam. SB yang telah dicuci kemudian direndam/ dimurnikan dengan larutan
NaOH 2% (W/V) selama ±24 jam. Kemudian dilakukan pencucian menggunakan air
mengalir dan disimpan sampai SB digunakan. Air perendaman dapat diganti setiap 1
hari sekali.

Pembuatan Ekstrak LB
LB dipotong 5 cm dari pangkal dan kemudian sisanya dapat digunakan dalam
pembuatan ELB. LB dipotong kecil – kecil dan dikupas kulitnya. Daging LB
kemudian dicuci dengan air mengalir sampai bersih (Wijaya, 2013). 150 gram sampel
yang telah bersih dimasukkan kedalam blender dan ditambahkan 1000 mL air lalu
diblender selama ±5 menit untuk menghasilkan ELB. Sampel ELB kemudian disaring
menggunakan kain penyaring. Filtrat dari sampel dapat digunakan sebagai filler
untuk preparasi KSB-ELB.

Preparasi KSB-ELB

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

SB yang telah dimurnikan dipotong dengan ukuran 2x2x1 cm dan 15x2x1 cm.
SB dimasukkan kedalam 300 mL ELB pada wadah plastik dengan variasi waktu
perendaman yaitu 1,2,3 dan 4 hari pada suhu kamar ±28oC. Selama waktu
perendaman, dilakukan proses penggoyangan menggunakan shaker. Setelah waktu
perendaman, sampel yang diperoleh dibersihkan seluruh permukaannya menggunakan
tisu agar menghilangkan sisa-sisa senyawa kimia yang terdapat pada permukaan
sampel tersebut. Setelah sampel dibersihkan, sampel disimpan dalam wadah plastik
dan dapat digunakan untuk karakterisasi.

Karakteristik KSB-ELB

Uji Kandungan Air (Water Content)


Uji kandungan air dilakukan dengan membandingkan berat basah KSB-ELB
dengan berat kering KSB-ELB. Kandungan air dapat dihitung menggunakan rumus:
W  Wk
W c (%)  b x100
Wb

Uji Kuat Tekan (Compressive Strenght)


Sampel yang digunakan untuk menentukan uji kuat tekan berupa KSB-ELB
 yang telah dibersihkan dengan ukuran 2x2x1 cm. Sampel dicompress sampai pipih.
Perhitungan nilai kuat tekan KSB-ELB berdasarkan percobaan di laboratorium adalah
sebagai berikut: 491

dimana:
P = Kuat tekan (Pa),
F = gaya tekan (N), dan
A = luas penampang benda (m2) .
c. Uji Kuat Tarik (Tensile Strenght)

Kuat tarik merupakan gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh KSB-ELB
selama proses pengukuran berlangsung sampai putus. Semakin tinggi kuat tariknya
maka semakin bagus kualitas dari SB yang dihasilkan. Sampel KSB-ELB yang
digunakan berukuran 15x2x1 cm.

Analisis Gugus Fungsi menggunakan FTIR


Sampel yang digunakan untuk analisis FTIR berupa KSB-ELB berukuran 2x2x1
cm yang telah dikeringkan. Sampel diletakkan pada sample holder, kemudian diukur
nilai serapan menggunakan alat spektrofotometer FTIR pada bilangan gelombang 600
cm-1 hingga 4000 cm-1.

Analisis Derajat Kristalinitas menggunakan XRD.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

Sampel yang digunakan untuk analisis XRD berupa KSB-ELB berukuran 2x2x1
cm yang telah dikeringkan. Sampel diletakkan pada sampel holder dan menghasilkan
difraktogram yang digunakan untuk menganalisis derajat kristalinitas dari KSB-ELB.
Persen derajat kristalinitas dihitung secara manual dengan menimbang hasil
difraktrogram membrane komposit yaitu berat kristalin terhadap berat totalnya (berat
fasa kristalin dan amorf).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Preparasi SB
Proses pembuatan SB menggunakan limbah air kelapa dengan penambahan
bakteri A. Xylinum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya nutrisi, oksigen, pH
dan suhu. Bakteri A. xylinum dapat tumbuh pada rentang suhu 20ºC-30ºC dan pada pH
4-4,5 (Jagannath et al., 2008). A. Xylinum dapat tumbuh pada pH 3-7,5, namun akan
tumbuh optimal bila pH nya 4 atau 3 (Hastuti, 2015). Penambahan starter A. Xylinum
dilakukan secara aseptik untuk menjaga medium agar tetap dalam keadaan steril.
Pada proses pembuatan SB, juga terdapat kegagalan. Hal ini dipengaruhi oleh
goncangan yang terjadi saat proses fermentasi, tidak sterilnya wadah yang digunakan,
dan kurang aktifnya bakteri A. Xylinum (telah dikembangbiakan lebih dari lima kali).
Wadah yang digunakan harus steril dan tidak boleh tergoncang. Seandainya terjadi
goncangan, maka SB akan menghasilkan lapisan-lapisan baru yang tidak saling
berikatan.
492
Pemurnian dan Pencucian SB
Pemurnian SB dengan NaOH 2% bertujuan untuk meningkatkan kemurnian SB
yang dihasilkan sehingga hubungan antar rantai dalam selulosa semakin kuat melalui
ikatan hidrogen antar rantai (Lindu, 2010). Pemurnian SB juga bertujuan untuk
menghilangkan sisa bakteri agar tidak ada bakteri yang beraktifitas dengan
menggunakan nutrien pada SB. Pemurnian dengan NaOH 2% agar tetap
mempertahankan struktur Selulosa I (Islami, 2015). Pemakaian NaOH berlebih dapat
merubah struktur Selulosa I menjadi Selulosa II. Hal ini terjadi karena NaOH dapat
menguatkan hubungan antar rantai pada selulosa menjadi lebih rapat melalui ikatan
hidrogen (Puspawiningtyas, 2011). Pemurnian dengan NaOH pada suhu kamar (±28
o
C) akan mengikis lapisan bawah SB dimana terdapat struktur yang masih lunak.
Struktur yang lunak tersebut mengandung sisa nutrisi dan sisa bakteri A. Xylinum dari
hasil fermentasi.

Pembuatan ELB
Pada proses pembuatan ELB, daging daun lidah buaya yang telah dibuang
kulitnya berwarna transparan dengan ketebalan 1-1,5 cm. Proses pemblenderan
dilakukan agar dapat menghaluskan dan memudahkan LB untuk diekstrak. Setelah
didapatkan filtrat, ELB akan digunakan sebagai filler dalam pembuatan KSB-ELB.
ELB mengandung senyawa aktif tertentu yakni fenol, tanin, dan saponin (Wijaya,
2013).

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

Preparasi KSB-ELB
Preparasi Komposit SB-ELB dilakukan dengan merendam SB dalam ELB
dengan variasi waktu perendaman 1, 2, 3, dan 4 hari. Pada saat proses perendaman,
KSB-ELB diberi goyangan dengan menggunakan shaker. Penggunaan shaker
diharapkan dapat memaksimalkan filler ELB masuk kedalam rongga-rongga yang
terdapat pada SB.

Uji Kandungan Air (Water Content)


Pengaruh waktu perendaman SB dalam ELB terhadap persentase kandungan air
dalam KSB-ELB dapat dilihat pada Gambar 1.

100
Water Content (%)

99.8
99.6
99.4
99.2
99
0 1 2 3 4
Waktu Perendaman (hari) 493
KSB-ELBKSB-ELB-TUV SB ELB

Gambar 1. Grafik Pengaruh Waktu Perendaman KSB-ELB vs Kandungan Air KSB-


ELB
Pada hari pertama dan kedua terjadi proses adsorbsi secara fisika pada KSB-
ELB. ELB yang banyak mengandung air akan menempel pada permukaan SB,
sehingga kandungan air dalam SB bertambah. Sedangkan pada hari ketiga, terjadi
penurunan kandungan air pada KSB-ELB. Pada hari ketiga ini, terjadi proses absorbsi
secara fisika dimana ELB masuk ke matrix. Kandungan air KSB-ELB mengalami
peningkatan dan penurunan untuk seterusnya.

Uji Kuat Tekan (Compressive Strenght)


Dari Gambar 2, menunjukkan bahwa semakin lama SB direndam pada ELB
maka kuat tekan dari sampel KSB-ELB akan meningkat. Akan tetapi, perbandingan
pada hari pertama hingga keempat tidak signifikan. Hal ini terjadi karena proses
adsorpsi yang terjadi antara SB dengan ELB.
Pengaruh waktu perendaman SB dengan ELB dapat meningkatkan nilai kuat
tekan KSB-ELB. Semakin tinggi nilai kuat tekan pada KSB-ELB maka semakin
banyak filler ELB yang masuk dalam SB.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

Compressive Strenght (MPa)


3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
0 1 2 3 4
Waktu Perendaman (hari)
KSB-ELB

KSB-ELB-TUV SB murni
SB

Gambar 2. Grafik Pengaruh Waktu Perendaman vs Compressive Strenght KSB-ELB

Uji Kuat tarik (Tensile Strenght)


Berdasarkan dari Gambar 3, nilai kuat tarik, regangan, dan elastisitas dari KSB-
ELB lebih besar dari SB. Hal ini menunjukkan bahwa ELB sangat mempengaruhi nilai
kuat tarik, regangan, dan elastisitas dari KSB-ELB. Nilai elastisitas akan sebanding
494 dengan nilai kuat tarik, akan tetapi berbanding terbalik dengan nilai regangan
(Septiosari, 2014). Hal ini terjadi karena semakin banyak filler yang masuk mengisi
rongga-rongga SB maka nilai kuat tarik dan nilai elastisitas semakin tinggi dan nilai
regangan dari SB semakin turun.
Pada Gambar 3 (a) menunjukkan nilai kuat tarik pada SB dan KSB-ELB. Pada
hari ke-3 dan ke-4 nilai kuat tarik pada KSB-ELB mengalami peningkatan. Hal ini
terjadi karena pengaruh lamanya waktu perendaman ELB yang masuk pada SB pada
hari ke-3 dan ke-4. Semakin lama waktu perendaman KSB-ELB yang dilakukan maka,
semakin banyak filler yang masuk pada matriks.
Pada Gambar 3 (b) menunjukkan nilai regangan dari SB dan KSB-ELB.
Regangan dapat didefinisikan sebagai perbandingan perubahan panjang benda
terhadap panjang mula-mula. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa waktu
perendaman juga mempengaruhi nilai dari regangan.
Pada Gambar 3 (c), menunjukkan nilai elastisitas dari KSB-ELB-UV lebih
tinggi dari KSB-ELB-TUV. Nilai elastisaitas didapatkan dari perbandingan nilai kuat
tarik dengan regangan KSB-ELB. Semakin lama waktu perendaman SB dalam ELB
maka elastisitas dari KSB-ELB akan semakin tinggi karena terjadinya proses adsorpsi
secara fisika.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

495

Gambar 3. Grafik pengaruh dan hubungan waktu perendaman terhadap (a) Kuat
tarik,(b) regangan, dan (c) elastisitas pada KSB-ELB

Analisis Gugus Fungsi menggunakan FTIR


Puncak karakteristik selulosa ditampilkan dalam rentangan bilangan gelombang
4000-600 cm-1, vibrasi selulosa yaitu regangan O-H (3100-3800 cm-1), C-H (2901 cm-
1
), C-O (1370 cm-1) (Yue et al., 2013) dan C-O-C (1163 cm-1 dan 1068 cm-1)
(Gayathry dan Gopalaswamy, 2014). Gambar 4, menunjukkan spektrum FTIR dari a)
SB, b) LB, c) KSB-ELB.
Berdasarkan gambar 4 dapat diketahui bahwa pada SB terdapat vibrasi
bilangan gelombang 3336,86 cm-1 yang menunjukkan adanya regang O-H alkohol,
vibrasi pada bilangan gelombang 1635,11 cm-1 menunjukkan adanya cincin siklis
lingkar enam dari monomer glukosa, vibrasi pada bilangan gelombang 1550,39 cm-1
menunjukkan adanya cincin aromatis C=C, dan serapan C-O (ikatan β-glikosidik)
sekitar 1000 cm-1.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

Gambar 4. Spektrum FTIR (a) SB, (b) LB, (c) KSB-ELB


Tabel 1. Puncak Bilangan Gelombang pada masing-masing gugus fungsi
O-H C-H C-O C-O-C
Sampel
λ λ λ λ
SB 3336,85 2914,71 1457,03 1033.,91

LB 3333,79 2101,23 1637,99 1041,62


496
KSB-ELB 3338,18 2893,59 1325,98 1029,15

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa KSB-ELB tidak menghasilkan gugus fungsi
yang baru, tetapi hanya mengalami pergeseran gugus fungsi. Pergeseran pada spektra
FTIR ada dua jenis yaitu pergeseran batokromik dan hipokromik. Pergeseran
batokromik (pergeseran merah) adalah pergeseran serapan maksimum ke bilangan
gelombang yang lebih tinggi. Pergeseran hipokromik (pergeseran biru) merupakan
pergeseran serapan maksimum ke bilangan gelombang yang lebih rendah.
Analisis Derajat Kristalinitas menggunakan XRD
Gambar 5, menunjukkan perbandingan pola pada pengujian SB terhadap KSB-
ELB. Hasil pada difaktogram pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa SB yang dihasilkan
merupakan selulosa I dan tidak mengalami transformasi kristal selulosa. Hal ini juga
membuktikan bahwa NaOH 2% tidak mengubah selulosa I menjadi selulosa II.

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

Gambar 5. Grafik perbandingan XRD dari SB dan KSB-ELB


Pada penelitian ini persen derajat kristalinitas dihitung secara manual yang
digunakan oleh Hermans-Weidingermethod. Dimana untuk pengujian kristalinitas
dilakukan dengan menyalin garis fotometer dalam 2 rangkap pada kertas milimeter
atau transparan yang diketahui berat permukaan unit, lalu memotong gambar,
menimbang kertas, dan mengambil nilai rata-ratanya.
497
Tabel 2. Presentase kristalin SB dan KSB-ELB
Kristalinitas
Sampel Berat Total (g) Amorf (g) Kristalin (g)
(%)
SB 0,2073 0,0657 0,1416 68,30
KSB-ELB 0,1976 0,0611 0,1365 69,07

Dari Tabel 2 didapatkan derajat kristalinitas dari SB adalah 68,30%. Hal ini
menyatakan bahwa SB murni memiliki struktur amorf sebesar 31,7%. Derajat
kristalinitas KSB-ELB adalah 69,07% dan kandungan amorf sebesar 30,93%.

KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
ELB mempangaruhi matris SB. ELB mempengaruhi sifat firik dan sifat mekanik dari
KSB-ELB. ELB dapat menurunkan nilai kandungan air dari SB dan menaikkan nilai
kuat tekan dan kuat tarik dari KSB-ELB. Akan tetapi, ELB tidak merubah struktur dari
KSB-ELB.

UCAPAN TERIMA KASIH

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019
A. Putra, F.Z. Hayati, S.K.W. Ningsih, E. Yuniarti, A. Amran

Terima kasih diucapkan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat


Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi dan Lembaga Penelitian dan
Pengaabdian Kepada Masyarakat Univeritas Negeri Padang yang telah mendanai
penelitian ini. Penelitian didanai sesuai dengan Surat Keputusan Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat Kemenristekdikti No: 191/SP2H/LT/DPRM/2019 dan
Kontrak Penelitian dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Negeri Padang Skema Penelitian Dasar Unggulan Perguruan Tinggi tahun
anggran 2019 No: 457/UN35.13/LT/2019.

REFERENSI
Ening, W. 2007. “Peranan Imunomodulator Alami (Aloe vera) dalam Sistem
Imunitas Seluler dan Humoral”. Wartazoa. Vol.17(4), 165-171
Gayathry, G., dan Gopalaswamy, G. 2011. “Production and Characterisation of
Microbial Cellulosic Fibre from Acetobacter xylinum”. Indian Journal of Fibre
& Textile Research, Vol. 39: 93-96
Hagiwara, Y., Putra, A., Kakugo, A., Furukawa, H., dan Gong, J.P. 2009. “Ligament-
like tough double-network hydrogel based on bacterial cellulose. Cellulose”.
doi:10.1007/s10570-009-9357-2
Islami, F. 2015. “Pembuatan dan Karakterisasi Selulosa Bakterial dari Ekstrak Umbi
Bengkuang (Pachyrrhizus erosus urban)”, Skripsi. Universitas Negeri Padang.
Padang, Indonesia
498 Lindu, M., Puspitasari,T., Ismi, E. 2010. “Sintesis dan Karakterisasi Selulosa Asetat
dari Nata De Coco sebagai Bahan Baku Membran Ultrafiltrasi”. Jurnal Sains
Materi Indonesia, vol. 12 (1): 17-23
Puspawiningtyas, E., Damajanti, N. 2011. “Kajian Sifat Fisik Film Tipis Nata De Soya
sebagai Membran Ultrafiltrasi”. Techno, vol. 12(1): 01-07
Saibuatong, O dan Phisalaphong, M. 2009. “Novo Aloe vera-Bacterial Cellulose
Composit Film from Biosynthesis, Carbohydrate Polymers” 79, 455-460
Septiosari, A., Latifah, dan Kusumastuti, E. 2014. “Pembuatan dan Karakterisasi
Bioplastik Limbah Biji Mangga dengan Penambahan Selulosa dan Gliserol”.
Indonesian Journal of Chemical Science vol. 3 (2): 157-162
Wijaya, R.A. 2013. “Formulasi Krim Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera) sebagai
Alternatif Penyembuhan Luka Bakar”, Skripsi Universitas Negeri Semarang.
Semarang
Yue, Y., Han, G., Wu, Q. 2013. “Transitional Properties of Cotton Fibers from
Cellulose I to Cellulose II Structure”, BioResource vol. 8 (4): 6460-6471

Prosiding Seminar dan Rapat Tahunan BKS PTN Wilayah Barat Bidang MIPA
Bengkulu, 6-7 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai