Anda di halaman 1dari 43

Laporan Praktikum

Dosen Pembimbing

Teknologi Tepat Guna

Dr. Bahruddin, MT

PEMBUATAN BAN VULKANISIR

Kelompok

: VI (Enam)

Nama Kelompok

: 1. Heru Handoko

(1207021209)

2. Taufik

(1207021286)

3. Vandri nanda

(1207036468)

LABORATORIUM PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN


PENCEMARAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI D3 TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS RIAU
2014

ABSTRAK
Vulkanisasi adalah proses pembentukan polimer karet untuk saling
bertautan satu sama lain (cross-linking). Percobaan ini bertujuan untuk
mempelajari pengaruh kadar carbon black dan sulfur pada proses pembuatan
kompon, serta mengetahui proses vulkanisir ban. Percobaan pembuatan ban
vulkanisasi dilakukan dengan dua tahapan yaitu pembuatan kompon ban
vulkanisasi dan proses vulkanisir ban. Pembuatan kompon ban dilakukan dengan
mencampurkan bahan-bahan seperti karet alam 100 phr (400 gr), minyak kelapa
2,5 phr (7,5 gr), carbon black 30 phr (90 gr), ZnO 5 phr (15 gram), asam stearat
3 phr (9 gr), TMQ 1 phr (3 gr), MBTS 0,6 phr (1,8 gr), sulfur 4 phr (12 gr) yang
dibuat dengan mengggunakan roll mill pada suhu ruang. Dari hasil percobaan
didapat kompon karet yang dihasilkan mempunyai sifat yang elastis, bewarna
hitam, permukaan licin, lembut dan kuat.
Kata kunci: carbon black; kompon karet; minyak kelapa; roll mill ; vulkanisasi.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Tujuan Percobaan
1. Mempelajari proses pembuatan kompon ban vulkanisir
2. Mempelajari pengaruh kadar carbon black dan sulfur pada proses kompon

1.2.

Dasar Teori

1.2.1. Karet alam (Natural Rubber)


Karet alam adalah poli-isoprene dengan ikatan rangkap cis, struktur dasar
karet alam adalah rantai linear unit isoprene yang berat molekul rata-ratanya
tersebar antara 10.000 400.000. Struktur dari poli-isoprene dapat dilihat pada
Gambar 1.1

Gambar 1.1 struktur dari Poli-isoprene


Sedangkan transpolimernya disebut getah parca yang merupakan polimer
keras yang digunakan sebagai lapisan luar bola golf. Karet alam diperoleh dari
hasil olahan terhadap getah atau latex yang keluar dari pohon haeva brasiliensis.
Melihat kepada rumus bangun dari struktur molekulnya karet ala mini memiliki
sifat antara lain mdah teroksidasi pada suhu tinggi, karena memiliki ikatan
rangkap, mampu berkristalisasi dan mempunyai suhu rendah, fleksibel, tidak
tahan terhadap ozon dan minyak non polar. Karet alam mempunyai daya lentur
tinggi, kekuatan tarik dan dapat dibentuk dengan panas yang rendah.
Standar mutu karet bongkah Indonesia tercantum dalam Standar Indonesia
Rubber (SIR). SIR adalah karet bongkah (karet remah) yang telah dikeringkandan
dikilang menjadi bendela-bendela dengan ukuran yang telah ditentukan. Karet
alam SIR-20 berasala dari koagulum (lateks yang sudah digumpalkan) atau

hasilolahan seperti lum, sit angin, getah keeping sisa, yang diperoleh dari
perkebunan rakyat dengan hasil bahan baku yang sama dengan koagulum.
Perbedan SIR 5, SIR 10, SIR 20 adalah pada standar spesifikasi mutu
kadar kotoran, kadar abu dan kadar yang menguap sesuai dengan standar. Karet
alam SIR-20 mempunyai spesifikasi seperti yang terlihat pada Tabel 1.1. karet
alam banyak digunakan dalam industri barang-barang. Umumnya alat-alat yang
terbuat dari karet alam sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari maupun dalam
industri seperti mesin-mesin penggerak barang yang dapat dibuat dari karet alam
anatara lain ban mobil, tetapi juga ditemukan dalam kelompok-kelompok produkproduk komersial termasuk sol sepatu, segel karet, insulasi listrik, sabuk
penggerak mesin besar dan mesin kecil, pipa karet, kabel, isolator, bahan-bahan
pembungkus logam, aksesoris olah raga dan lain-lain.
Tabel 1.1 Spesifikasi Karet Alam SIR-20
No

Spesifikasi

Karet Alam SIR-20

Kadar kotoran maksimum

0,20%

Kadar abu maksimum

1,0%

Kadar zat atsiri maksimum

1,0%

Plasticity Retention Index

40

minimum
5

Plastisitas-Po minimum

30

Kode warna

Merah

Sumber : Astlett Rubber (2007)

1.2.2. Carbon Black


Carbon black merupakan salah satu filler aktif yang mempengaruhi sifat
mekanik dari kompon. Kompon yang dihasilkan berwarna hitam jika
menggunakan carbon black. Carbon black terdiri dari berbagai macam tipe
dengan diameter partikel yang berbeda-beda.sebagian besar tipe carbon black
terdiri dari 97-99% carbon dan sisanya merupakan atom hydrogen dan oksigen
yang berasal dari pembakaran hidrokarbon. Atom-atom ini membentuk gugus
hidroksil dan karboksil pada permukaan carbon black. Menurut Morton (1987)

carbon black adalah partikel-partikel karbon dalam bentuk unsur Carbon black
dihasilkan dengan cara mengkonversi hidrokrabon cair atau gas menjadi unsure
karbon dan hydrogen dengan pembakaran parsial atau dekomposisi termal
Carbon black mempunyai luas permukaan yang tinggi dan struktur yang
besar dan bila digabung akan menguatkan karet. Ukuran partikel dari carbon
black memberi pengaruh terhadap ketahanan kikis, tegangan tarik, ketahan sobek
dari komponen karet. Struktur carbon black lebih memberi pengaruh terhadap
sifat modulus dan kekerasan. Sekitar 90% dari carbon black digunakan dalam
aplikasi karet, 9% sebagai pigmen, dan sisanya 1% sebagai bahan penting dalam
ratusan aplikasi beragam (ICBA, 2006). Carbon black diklasifikasikan menjadi
tiga berdasarkan proses pembentukannya yaitu, furnance black, cahnnel black,
dan thermal black. Furnance black dibentuk dari pembekaran tidak sempurna gas
alam atau residu yang berasal dari industry petroleum dalam furnance. Diameter
rata-rata partikel carbon black yang dihasilkan 20-80 nm.
Furnace black hanya sedikit mengandung atom oksigen. Thermal black
biasanya diproduksi dari gas alam yang diproses dalam sebuah preheated chamber
tanpa udara. Proses ini menghasilkan carbon black dengan diameter rata-rata
partikel 120-500 nm. Carbon black jenis ini hanya sedikit memberikan pengaruh
terhadap kenaikan tensile strength karet vulkanisat. Carbon black diperoleh dari
gas hidrokarbon yang sebagian besarnya merupakan gas alam yang mengalami
pembakaran parisal. Diameter rata-rata partikel carbon black 9-30 nm. Ukuran
partikel carbon black yang kecil dapat meningkatkan modulus dari karet
vulkanisat (Saowapark, 2005)

1.2.3. Plasticizer
Plasticizer diartikan sebagai pelarut organic dengan titik didih tinggi atau
padatan dengan titik leleh rendah. Apabila ditambahkan kedalam resin keras dan
kaku seperti karet dan lastik PVC, maka akumulasi intermolecular pada rantai
panjang

akan

menurun,

sehingga

kelenturan,

kelunakan,

pemanjangan,

kemampuan kerja, ketahanan terhadap panas, ketahanan terhadap temperatur


rendah, ketahanan terhadap cuaca, dan ketahan terhadap minyak akan meningkat.

Plasticizer dapat mengurangi kekentalan pada campuran, mengurangi stiffness


pada saat vulkanisasi dan juga meningkatakan laju tekan sehingga campuran
menjadi sedikit elastic. Plasticizer yang digunakan adalah minyak kelapa. Minyak
kelapa merupakan salah satu minyak yang berfungsi sebagai processing aid yang
sangat penting peranannya dalam pembuatan kompon karet dan industry barang
karet. Keuntungan plasticizer dari minyak nabati sebagai pengganti plasticizer
sintetis adalah selain dapat diperbaharui, juga tidak bersifat racun dan lebih
bersahabat dengan lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin
bertambahnya konsentrasi plasticizer, semakin lentur bioplastik yang dihasilkan.
Bioplastik zein memiliki suhu transisi gelas, Tg, antara 110 165oC, pada
pemanasan di atas suhu tersebut terjadi perubahan dari keadaan glassy ke rubbery.

1.2.4. Proses Pembuatan Kompon dan Vulkanisasi


Kompon terdiri dari campuran karet alam, filler hybrid (carbon black dan
silica), plasticizer, accelerator, activator, co-activator, dan antidegradant yang
belum mengalami vulkanisasi. Mastikasi adalah proses awal dalam pembuatan
kompon karet. Mastikasi merupakan proses penurunan berat molekul karet yang
ditunjukan dengan penurunan viskositas karet sehingga pencampuran bahan
kompon yang sebagian besarnya berupa serbuk padat, dapat bercampur dengan
mudah dan merata dengan karet. Karet menagalami penurunan berat molekul
akibat rantai-rantai utama atau backbone dari karet diputus-putus yang berakibat
visikositasnya menurun. Proses mastikasi terbagi menjadi dua jenis berdasarkan
temperature yang digunkaan, yaitu mastikasi dingin dan panas. Mastikasi dingin
merupakan proses pelunakan yang dilakukan pada suhu di bawah 100 oC pada
mastikasi panas. Mastikasi ini lebih dominan berasal dari proses oksidasi yang
dialami oleh rantai molekul karet. Istilah vulkanisasi ialah proses pemanasan keret
ban setelah dicampur dengan belerang. Namun secara kimiawi, vulkanisasi adalah
proses pembentukan polimer karet untuk saling bertautan satu sama lain (crosslinking). Sejak ditemukan oleh Charles Goodyear tahun 1839, untuk proses
vulkanisasi ini sering dipakai senyawa belerang (sulfur) sebagai pengikat polimer

karet tersebut. Tujuan proses vulkanisasi karet adalah agar barangjadi yang akan
dihasilkan menjadi kuat.
Karet alam tidak akan memberikan sifat elastic dan tidak stabil terhadap
suhu tanpa dilakukan proses vulkanisasi/cross-linking. Karet tersebut lebih
lengket, lembek jika suhu panas dan bersifat getas jika suhu dingin. Hal ini
dikarenakan unsur karet yang terdiri dari polimer isoprene yang panjang. Rantai
polimer yang belum divulkanisasi akan lebih mudah bergeser saat terjadi
perubahan bentuk. Crosslinking yang terjadi antar rantai polimer itu akan
membuat polimer panjang ini saling terkait sehingga tidak mudah bergeser dari
tempatnya. Bahan accelerator harus ditambahkan pada karet alam untuk
mempercepat proses. Senyawa kimia yang biasa digunakan sebagai bahan
accelerator

diantaranya

adalah

morpholino(di)thiobenzothiazole,

dithiomorpholine, tetramethylthiuram disulfide, zinc dimethyldithiocarbamate dan


sebagainya (Rahardjo, 2009).
Bahan kimia lain yang dibutuhkan adalah activator, untuk menoptimalkan
kerja dari accelerator. System pemvulkanisasian diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu pemvulkanisisasian konvensional, pemvulkanisasian semi efisien dan
pemvulkanisasian efisien. Ketiga sistem ini dibedakan berdasarkan jumlah bahan
curative. System convensional mengandung sulfur lebih banyak dibandingkan
bahan pencepat. System efisien mengandung bahan pencepat yang lebih banyak
daripada sulfur. Jumlah sulfur dan bahan pencepatyang digunakan pada system
semi efisien sama banyaknya.
Vulkanisasi dapat dilakukan dengan menggunakan peroksida. Namun
peroksida dapat membentuk radikal bebas bila terkena panas (Zurina, 2007).
Reaksi vulkanisasi karet alam (NR) dengan kuratif sulfur terjadi dalam tiga
tahapan (Ghosh dkk, 2003) yaitu:
1. Reaksi kimia accelerator yang merupakan reaksi pembentukan activesulfurating agent. Activator dan co-activator yang digunakan membantu
pengaktifan accelerator untuk membentuk active-sulfurating agent.

2. Reaksi kimia ikat silang yang meliputi reaksi pembentukan ikat silang.
Polimer akan saling bertautan satu sama lain yang menjadikan rantai
polimer ini tidak mudah bergeser dari tempatnya.
3. Reaksi kimia setelah ikat silang yang meliputi reaksi crosslink shorthening
dan crosslink degradation
Tahap pertama pada vulkanisasi sulfur yang diakselerasi adalah
pembentukan suatu komplek accelerator aktif melalui reaksi kimia akselelrator
dengan activator, yang diikuti reaksi dengan molekul sulfur membentuk suatu
sulfurating species. Sulfulrating species yang sudah diaktifkan tersebut kemudian
bereaksi dengan mengikat rantai karbon dari karet membentuk crosslink
precursor. Crosslink precursor tersebut selanjutnya bereaksi dan mengikat rantai
karbon tak jenuh dari molekul karet lainnya, sehingga terbentuk ikat silang
polisulfidik. Selanjutnya ikat silang poisulfidik :
i.

Melepaskan sulfur membentuk crosslink yang lebih pendek, atau

ii.

Degradasi akan terjadi jika proses vulakanisasi terlalu lama. Degradasi


yang terjadi dapat membentuk cincin sulfide atau bentuk modifikasi rantai
lainnya, yang dapat menurunkan sifat vulkanisat
Perbeadan ikat-silang mono-, di- dan polisulfidik menjadi penting, karena

distribusi panajang ikat-silang polisulfidik mempengaruhi stabilitas terhadap


panas dari sifat final dari hasil vulkanisasi.

1.2.5. Bahan Aditif Lainnya


1. Bahan pencepat reaksi (Accelerator)
Reaksi

vulkanisasi

biasanya

berlangsung

sangat

lambat.

Reaksi

vulkanisasi yang lambat kurang efisien karena manambah waktu produksi yang
secara tak langsung juga menambah biaya. Akselerator merupakan senyawasenyawa kimia yang apabila ditambahakan pada kompon karet sebelum proses
vulkanisasi akan mempercpat proses vulkanisasi. Jadi, penggunaan akselerator
akan mengurangi jumlah bahan pemvulkanisasian yang digunakan. Berdasarkan
jenisnya ada beberapa macam bahan/pencepat reaksi.

Keuntungan lainnya yang dapat dicapai dengan penggunaan bahan


pencepat yaitu, kenaikan produksi oleh karena waktu vulkanisasi lebioh pendek
dan perbaikan kualitas, oleh karena daya tahan lebih baik dan kekuatan tarik lebih
tinggi. Sebagian besar dari bahan pencepat memerlukan bantuan dari bahan
pengaktif pencepat seperti seng oksida dan asam stearat untuk dapat bekerja
maksimal. Zink oksida digunakan pada system karet sulfur selanjutnya diaktifkan
dengan penambahan asam stearat yang dapat melarutkan zink oksida, efek
keduanya untuk peningkatan jumlah zink sulfide yang di produksi. Garam
sengdari asam lemak merupakan perubahan tipe surfaktan dan melarutkan
accelerator untuk membentuk katalis actual.

2. Bahan Antioksidan
Antioksidan berfungsi untuk melindungi karet dari kerusakan karena
pengaruh oksigen maupun ozon yang terdapat di udara, karena unsure-unsur yang
terkandung dalam udara tersebut dapat menurunkan sifat fisik atau bahkan
menimbulkan keretakan pada barang jadi karet. Bahan antioksidan ini juga dapat
melindungi barang jadi karet terhadap ion-ion peroksida yaitu tembaga, mangan
dan besi. Pemakaian antioksidan harus memenuhi beberapa syarat antara lain:
1. Mudah terdispersi pada seluruh bagian karet
2. Inert terhadap hasil-hasil vulkanisasi pada setiap jenis tegangan
3. Tidak mempunyai pengaruh terhadap warna hasil vulkanisasi
Contoh bahan antioksidan adalah:
1. Waxes, dipakai terutama untuk mencegah proses aging yang disebabkan
oleh sinar matahari dan ozon
2. Pheno, baik digunakan untuk mencegah proses aging yang disebabkan
oleh flexing

1.2.6. Mekanisme Reaksi Vulkanisasi


Reaksi vulkanisasi karet alam dengan menggunakan kuratif sulfur terjadi
dalam tiga tahapan, yaitu:
(i) reaksi kimia akselerator (accelerator chemistry) yang merupakan reaksi
pembentukan active-sulfurating agent,
(ii) reaksi kimia ikat silang (crosslinking chemistry) yang meliputi reaksi
pembentukan ikat-silang (crosslink), dan
(iii) reaksi kimia setelah ikat silang (post-crosslinking chemistry) yang
meliputi reaksi crosslink shortening dan crosslink degradation. (Ghosh
dkk, 2003).
Tahap pertama pada vulkanisasi sulfur yang diakselerasi adalah
pembentukan suatu komplek akselerator aktif melalui reaksi kimia akselerator
dengan activator, yang diikuti reaksi dengan molekul sulfur membentuk suatu
sulfurating species. Sulfurating species yang sudah diaktifkan tersebut kemudian
bereaksi dan mengikat rantai karbon dari karet membentuk crosslink precursor.
Crosslink precursor tesebut selanjutnya bereaksi dan mengikat rantai karbon tak
jenuh dari molekul karet lainnya, sehingga terbentuk ikat-silang polisulfidik.
Selanjutnya ikat-silang polisulfidik :
(i) melepaskan sulfur membentuk crosslink yang lebih pendek, atau
(ii) jika proses vulkanisasi yang terlalu lama, maka akan terjadi degradasi
sehingga membentuk cincin sulfida (cyclic sulfide) atau bentuk
mudifikasi rantai lainnya, yang dapat menyebabkan penurunan sifat
vulkanisat.
Istilah crosslink untuk sistem jaringan yang terbentuk akibat vulkanisasi sulfur
(sulfur vulcanized network) meliputi berbagai struktur kimia sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2.Berbagai Strustur Kimia yang Ditemukan dalam Vulkanisasi Sulfur


yang Diakselerasi: (A) Sulfur Crosslink (Y: 1 Mono, Y: 2 Di dan
Y>2 Polysulfide Crosslink); (B) Carbon-Carbon Crosslink; (C)
Pendant Accelerator Sulfide, dimana X adalah Gugus Fungsi
Akselerator; (D) Cyclic Sulfide; (E) Vicinal Crosslink (Mewakili Dua
Gugus Fungsi yang Terikat pada Atom yang Berdekatan) yang
Mempunyai Titik Sambung pada Rantai Olefin (Sumber: Ghosh Dkk,
2003)
Perbedaan ikat-silang mono-, di- dan polisulfidik menjadi penting, karena
distribusi panjang ikat-silang polisulfidik mempengaruhi stabilitas terhadap panas
dan sifat final dari hasil vulkanisasi. Disamping ikat-silang kimia, Gambar 1.2
juga menunjukkan struktur kimia tambahan yang terjadi selama vulkanisasi,
seperti siklus sulfida, residu akseleratorpendant, ikat-silang visinal (vicinal
crosslink) dan modifikasi rantai utama.
Eksperimen paling sederhana untuk mengkarakterisasi kinetika vulkanisasi
adalah evolusi ikat-silang, yang biasanya disebut cure-curve, dan dapat diukur
menggunakan suatu oscilating disk rheometer (ODR) (Ghosh, 2003). ODR
mengukur torque atau shear modulus sebagai fungsi waktu pada waktu proses
vulkanisasi, dimana secara implisit dianggap bahwa kenaikan modulus sebanding
dengan kenaikan konsentrasi ikat-silang. Tipikal skema cure-curve yang diperoleh
dari suatu ODR ditunjukkan pada Gambar 1.3. Cure curve tersebut menampilkan
tiga zona utama: zona pertama adalah scorch delay atau zona induksi (awal), yaitu
fase vulkanisasi dimana reaksi kimia akselerator berlangsung. Zona kedua
merupakan daerah reaksi curing, dimana terjadi proses crosslinking (ikat-silang)
sulfur dan pembentukan jaringan (network) yang terikat-silang. Zona yang ketiga
atau yang terakhir adalah daerah terjadinya postcure dimana modulus dapat naik,

turun atau tetap konstan yang tergantung pada sistem vulkanisasi tertentu.
Kenaikan modulus atau marching modulus cure, biasanya terjadi pada sistem
karet neoprene; penurunan modulus atau reversion, biasanya terjadi pada sistem
karet alam; dan kontan atau equilibrium modulus, biasanya terjadi pada sistem
styrene-butadiene rubber.

Gambar 1.3. Tipikal Cure-Curve yang Diperoleh dari Suatu ODR untuk
Vulkanisasi Sulfur (Sumber: Ghosh, 2003)
A. Reaksi Kimia Akselerator
Tahap pertama pada proses vulkanisasi sulfur adalah pembentukan suatu
spesies active sulfurating, sebagai syarat untuk dapat terbentuknya crosslink
precursor. Spesies tersebut merupakan suatu molekul yang mampu memasukkan
sulfur dalam elastomer sehingga terbentuknya ikat-silang antar elastomer, dimana
sudah dipahami bahwa kompleks akselerator polysulfide merupakan spesies
sulfurating yang lebih baik dibandingkan dengan sulfur molekular. Akselerator
sulfide dibentuk oleh interaksi molekul akselerator dengan molekul sulfur. Jika
tanpa aktivator seperti ZnO, polysulfide tersebut adalah seperti tipe I berikut:

(I)

Gugus pendant organik pada sulfurating species I adalah benzothiazole. Sistem


akselerator lainnya ditunjukkan pada Tabel 1.2, dimana gugus pendant organiknya
berbeda, namun sifat dasar polysulfide-nya sama.
Jika ada ZnO, kompleks zinc dengan akselerator polysulfide ditunjukkan
seperti tipe II berikut:

(II)
Jika juga ada ligand L seperti ion amina dan karboksilat, strukturnya ditunjukkan
seperti tipe III berikut:

(III)
Struktur tipe II dan III seakan-akan menunjukkan Zn terikat kovalen pada
rantai polisulfidik dalam jenis akselerator, padahal lebih mungkin ikatannya
sebagaimana ditunjukkan pada struktur tipe IV berikut, dimana garis putus-putus
menunjukkan pembentukan kompleks Zn dengan sulfur.

(IV)

Tabel 1.2. Akselerator yang Umum Digunakan pada Vulkanisasi Sulfur

Sumber: Ghosh dkk, 2003

Struktur tipe I, II dan III atau IV semuanya mempunyai kemampuan untuk


membuat ikatan sulfur pada rantai karet, sehingga dianggap sebagai spesies active
sulfurating.
Untuk akselerator benzothiazolesulfenamide, jenis 2-bisbenzothiazole2,2-disulfide atau mercatodibenzothiazoledisulfide (MBTS atau sering ditulis BtSS-Bt) paling banyak digunakan, karena MBTS dapat langsung bereaksi dengan
sulfur membentuk 2-bisbenzothiazole-2,2-polysulfides (MBTPs), dan MBTPs
atau kompleks zinc/amine MBTPs merupakan suatu kunci proses sulfurisasi
selanjutnya.

Reaksi sulfur dengan MBTS


Pada reaksi MBTS dengan sulfur, terlebih dahulu MBTS menjadi radikal
BtS* akibat pemanasan, yaitu sebagai berikut:
(R.1)
Bahkan dapat juga pecah menjadi tak simetris sperti berikut ini, untuk merusak
ikatan C-S yang lebih stabil:
(R.2)
Radikal Bt-S* bisa juga bereaksi dengan sulfur elemental membentuk radikal
yang lebih panjang, seperti berikut ini:
(R.3a)
(R.3b)
Radikal Bt-Sx+8* kemudian dapat bergabung satu sama lain via (R.4) atau bereaksi
dengan MBTS via (R.5) membentuk akselerator polysulfide kembali:
(R.4)
(R.5)
Skenareo lain reaksi MBTS dengan sulfur adalah sebagai berikut:

(R.6)

Bt-S-S-Bt yang pecah menjadi radikal Bt-S* tidak mempunyai cukup waktu untuk
berdifusi secara terpisah karena viskositas karet yang tinggi. Karena dekatnya
pasangan radikal Bt-S* dan tersedianya konsentrasi sulfur yang tinggi pada tahap
awal vulkanisasi, lebih memungkinkan pasangan radikal Bt-S* mengikat sulfur
terlebih dahulu membentuk spesies BtS-Sx-SBt. Namun pada tahap selanjutnya
ketika sulfur sudah banyak dikonsumsi, radikal BtS* akan banyak mempunyai
kesempatan berdifusi saling pisah satu sama lain dan mempunyai kemungkinan
bereaksi dengan allylic hydrogen pada rantai isoprene.
Skenario lainnya lagi mengenai reaksi MBTS dengan sulfur dengan
memperhatikan lifetime radikal BtS* pada konsentrasi allylic hydrogen tinggi
adalah dengan sisipan sulfur secara sequensial:
(R.7a)
(R.7b)
Pada reaksi (R.3), (R.6) dan (R.7) ditunjukkan bahwa semua molekul S8
bergabung menjadi kompleks akselerator dalam satu tahap. Adanya ZnO hanya
mempercepat laju reaksi, namun tidak mempengaruhi distribusi hasil reaksi.
Diyakini bahwa mekanisme reaksi (R.7) yang paling mungkin terjadi, dimana
sisipan sulfur terjadi secara sequensial. Reaksi (R.3), (R.6) dan (R.7) dapat terjadi
pada suhu diatas 160 oC. Pada suhu dibawah 160 oC, molekul Sx, seperti S8,
mempunyai struktur cincin yang stabil (Ghosh, 2003).

Pengaruh ZnO terhadap formasi kompleks zinc-accelerator


Jika dalam sistem vulkanisasi terdapat zinc atau zinc oxide sebagai
aktivator, maka akan mempercepat reaksi pembentukan kompleks makromolekul
tipe II, III atau IV. Makromolekul tersebut dapat berupa kompleksasi dalam
dimethyl dithyocarbamate (V) atau dalam bentuk komplek benzothiazole-zinc
(VI) berikut:

(V)

(VI)
Tidak ada dari struktur tersebut yang mempunyai kelarutan tinggi dalam karet
atau reaktivitas yang baik terhadap sulfur. Namun, kelarutan dan reaktivitas dapat
meningkat jika zinc berkoordinasi dengan amine yang dilepaskan dari ligand
sulfenamide atau karboksilat, yang ada dalam sistem bersama stearic acid. Tipikal
struktur sistem ligand zinc/accelerator ditunjukkan berikut ini:

(VII)
Campbell dan Wise mempelajari vulkanisasi NR yang diakselerasi dengan
MBT, MBTS dan MBS, dengan dan tanpa ZnO dan stearic acid. Jumlah zinc yang
terekstrak

berkurang

sebagai

fungsi

waktu,

yang menandakan

adanya

pembentukan kompleks BtS-Zn-Sx-SBt. Namun tidak dapat ditentukan apakah


hanya BtS-Zn-Sx-SBt yang terbentuk, karena mungkin saja BtS-Sx-SBt dapat
terbentuk secara bersamaan. Dari investigasi Gradwell dan McGill mengenai
interaksi akselerator sulfenamide dengan sulfur, ZnO dan stearic acid tanpa
adanya karet, menunjukkan bahwa ZnO tidak bereaksi dengan akselerator
tersebut.
BtS-Zn-Sx-SBt juga merupakan spesies active sulfurating, namun tidak
seperti BtS-Sx-SBt yang bereaksi dengan sulfur via mekanisme radikal, reaksi
sulfur dengan BtS-Zn-Sx-SBt terjadi secara ionik atau polar. Bateman dkk

merumuskan pemecahan ionik, dimana satu atom sulfur dalam kompleks zincaccelerator menyebabkan suatu pengrusakan nukleofilik pada cincin S8, sebagai
berikut:

(R.8)
Meskipun (R.8) menunjukkan aktivasi sulfur terjadi via penggabungan cincin S8,
namun reaksi yang lebih mungkin terjadi adalah secara sequensial seperti (R.7),
yaitu sebagai berikut:
(R.9)
Pembentukan kompleks akseletor tanpa dan dengan zinc merupakan tahap
paling menentukan pada vulkanisasi elastomer dengan sulfur. BtS-Sx-SBt adalah
active sulfurating agent tanpa ZnO dan baik BtS-Sx-SBt maupun BtS-Zn-Sx-SBt
adalah active sulfurating agent dengan adanya ZnO. Manik dan Banerjee
mempelajari vulkanisasi NR dengan CBS baik tanpa maupun dengan adanya ZnO.
Mareka menyimpulkan bahwa sistem CBS/ZnO/stearic acid mula-mula bereaksi
dengan mekanisme radikal bebas, namun secara bertahap berubah menjadi polar.
Sebaliknya reaksi berlangsung sepenuhnya dengan mekanisme radikal bebas
untuk sistem tanpa ZnO dan stearic acid.

B. Reaksi Kimia Ikat-Silang


Reaksi pembentukan ikat-silang (crosslink) dimulai dengan tahapan reaksi
pembentukan BtS-Sx-SBt dan BtS-Zn-Sx-SBt dengan mekanisme sebagaimana
sudah dijelaskan di atas. Crosslink tersebut dibentuk via crosslink precursor.

Reaksi pembentukan crosslink precursor


Crosslink precursor terbentuk ketika accelerator polysulfide bereaksi
dengan rantai karet, menghasilkan struktur RSx-SBt, yang mempunyai satu gugus
pendant polysulfidic yang terikat ke molekul karet (R). Precursor tersebut pertama
sekali diperkenalkan oleh Scheele dan Frank pada investigasi mareka terhadap
sistem NR/ZnO/TMTD/sulfur. Coleman dkk [52] membuat suatu skema reaksi
vulkanisasi dengan mekanisme radikal bebas sebagai berikut:

(R.10)
dimana R adalah karet dan R* adalah radikal bebas pada rantai karet. Jika Zinc
terikat dan menjadi kompleks dengan akselerator polysulfidic, mekanisme
pembentukan crosslink precursor adalah polar seperti ditunjukkan pada (R.11).

(R.11)
Laju sulfurasi tersebut ditentukan oleh energi pembentukan ikatan baru berikut:
(VIII)
versus pemecahan ikatan lama berikut:

(IX)
Adanya zinc dalam kompleks sulfurating menghasilkan suatu karakter
nukleofilik terhadap sulfur yang menempel pada zinc dalam polysulfide,
sebagaimana berikut:
(X)

Disamping itu, dengan adanya amine dapat meningkatkan nukleofilisitas sulfur


dalam kompleks polysulfidic, sehingga meningkatkan laju pembentukan
precursor. Spesies persulfenyl BtS-Sx- memecah allylic site pada karet via
mekanisme SN sedangkan BtS-Sx+ diterminasi oleh atom hidrogen membentuk
Bt-SyH, dan zinc terlepas sebagai ZnS. Pada (R.11), lokasi split dalam kompleks
zinc-accelerator tergantung pada posisi rantai sulfur dimana zinc membentuk
kompleks, yang mempengaruhi pembentukan spesies seperti Bt-SyH. Namun
untuk y>1, spesies Bt-SyH diperkirakan tidak stabil dan hanya MBT (yaitu BtSH)
yang stabil. Ini mempengaruhi baik terhadap (i) pemutusan ikatan selalu terjadi
pada ikatan S-S setelah benzothiazole moiety yang dihasilkan dalam MBT, atau
(ii) pembentukan Bt-SyH, yang dengan cepat berubah menjadi beberapa spesies
lain. Situasi pertama lebih mungkin jika zinc terutama membentuk kompleks
dengan atom nitrogen pada benzothiazole moeity, seperti ditunjukkan berikut ini:

(XI)
Namun jika kompleks zinc dibentuk dengan dua atom sulfur pada rantai
polysulfidic, Bt-SyH merupakan hasil reaksi, yang dapat berubah dengan cepat
seperti sulfur pick-up, menempel ke allylic site pada rantai karet dan bergabung
kembali dengan Bt-SxH lain menghasilkan akselerator polysulfide.

Konversi crosslink precursor menjadi crosslink


Crosslink precursor sangat reaktif, sehingga pengamatan mekanisme
reaksinya secara langsung sulit dilakukan. Berbagai mekanisme konversi crosslink
precursor menjadi crosslink sudah diperkenalkan. Bateman dkk dan Dogadkin
menyatakan bahwa crosslink dibentuk karena ketidak-seimbangan dua precursor
moiety yang meliputi saling tukar-menukar ikatan S-S yang dikatalisasi oleh BtSatau anion persulfenyl, sebagai berikut:
(R.12)
(R.13)

Skenareo lain menyatakan bahwa crosslink dibentuk melalui reaksi yang meliputi
pertukaran gugus rubber-bound pendant dengan kompleks zinc-accelerator diikuti
dengan molekul karet:
(R.14)

(R.15)
Perbedaan antara (R.12) dan (R.13) dengan (R.14) dan (R.15) adalah pada (R.12)
dan (R.13) merupakan reaksi antara dua molekul precursor, sedangkan (R.14) dan
(R.15) merupakan reaksi antara molekul precursor dan karet. Kedua reaksi
tersebut dikatalisasi oleh adanya kompleks zinc-accelerator; namun, reaksi
tersebut dapat juga terjadi tanpa kehadiran zinc, tetapi laju reaksinya jauh lebih
lambat.
Menurut Coran, pembentukan crosslink secara langsung dari crosslink
precursor adalah sebagai berikut:
(R.16)
(R.17)
Reaksi tersebut dianggap terjadi dengan mekanisme radikal dimana crosslink
precursor terbagi menjadi dua radikal aktif: (i) radikal persulfenyl RS y* yang dapat
bereaksi dengan karbon allylic pada rantai isoprene dan kemudian membentuk
crosslink, dan (ii) radikal polysulfidic yang diterminasi bentothiazole BtS z* yang
dapat membentuk berbagai raksi, seperti bereaksi dengan radikal lainnya
membentuk BtSSxSBt (yaitu R.4), aktivasi sulfur membentuk radikal yang lebih
tinggi (yaitu R.3), dan terikat ke rantai karet membentuk crosslink precursor
kembali. Reaksi (R.17) merupakan reaksi pemecahan ikatan S-S dalam crosslink
precursor, namun menurut Coran dkk bahwa ikatan yang paling lemah dalam
molekul precursor adalah ikatan S-S

yang berdekatan dengan gugus

benzothiazole. Sehingga reaksi yang paling dominan adalah sebagai berikut:

(R.18)
Jika terdapat Zn2+, maka kompleks Zn dengan benzothiazole moiety melekat pada
molekul karet seperti berikut ini:

(XII)
Sehingga dengan adanya zinc dapat merusak banyak ikatan S-S, seperti berikut
ini:

(R.19)
Dari reaksi (R.16) hingga (R.19) ditunjukkan bahwa konversi precursor menjadi
crosslink terjadi melalui timbulnya dua radikal berbeda, radikal persulfenyl RSy*
dan radikal polysulfidic yang diterminasi bentothiazole BtSz*, meskipun konversi
radikal persulfenyl menjadi crosslink merupakan reaksi utamanya. RSy*
membentuk crosslink sebagaimana ditunjukkan pada R43, sedangkan BtSx*
bereaksi sebagai berikut:
(R.20)
Jika x = 1, maka akan terbentuk suatu crosslink tak aktif karena ikatan C-S lebih
stabil sehingga selanjutnya dapat membentuk radikal persulfenyl aktif. Demikian
juga karena BtSy* mampu bereaksi dengan sulfur membentuk polysulfide via
(R.3), radikal persulfenyl RSx* diperkirakan dapat menhasilkan reaksi yang mirip
sebagaimana ditunjukkan berikut ini:
(R.21)
(R.22)

Pada reaksi (R.17), radikal persulfenyl RSy* bereaksi dengan karbon allylic pada
rantai karet membentuk crosslink. Namun juga dimungkinkan radikal tersebut
bereaksi dengan karbon allylic pada rantai backbone membentuk suatu loop
seperti berikut ini:

(R.23)
Cyclic sulfide yang dihasilkan tersebut menyebabkan berkurangnya sifat
elastisitas material vulkanisat.

Scorch delay
Vulkanisasi dini selama berlangsungnya pemrosesan dikenal sebagai
scorch dan biasanya tidak diinginkan. Salah satu kelebihan akselerator
benzothiazole sulfenamide adalah penundaan terjadinya proses vulkanisasi tibatiba, yang dikenal sebagai scorch delay. Dikenal ada dua macam scorch delay: (i)
stabilitas thermal akselerator dan (ii) reaksi pertukaran ion antara akseleratorproduk antaranya.
Jenis yang pertama diuraikan oleh Bateman dkk, yang menyatakan bahwa
scorch delay pada hasil benzothiazole sulfenamide terjadi karena akseleratorakselerator tersebut hanya aktif jika suhu vulkanisasi tercapai. Reaksi crosslinking
tidak dapat terjadi kecuali sudah terbentuknya spesies sulfidic sulfurating. Jenis
yang kedua diuraikan oleh Coran, yang menyatakan bahwa delay yang
terobservasi dalam akselerator sulfenamide disebabkan oleh penghentian radikal
persulfenyl oleh akselerator polysulfide BtS-Sx-SBt dan atau BtS-Zn-Sx-SBt.
Khususnya radikal polymeric persulfenyl R-Sy* bereaksi dengan karet membentuk
crosslink via (R.17), dan jika radikal persulfenyl tersebut dihentikan dengan cepat
sebelum terjadi crosslink, pembentukan crosslink akan terhalangi seperti
ditunjukkan berikut ini:
(R.24)

Reaksi (R.24) lebih mendominasi dibandingkan (R.17) hingga seluruh akselerator


polysulfide

habis

bereaksi.

Peningkatan

konsentrasi

akselerator

akan

meningkatkan efisiensi (R.24), sehingga meningkatkan scorch delay.

C. Reaksi Setelah Proses Ikat-Silang


Setelah terjadi reaksi crosslink, selanjutnya reaksi tersebut terbagi menjadi
dua reaksi yang saling berkompetisi, yaitu (i) crosslink desulfuration, yang
merupakan penyusunan ulang ikat-silang polisulfidik menjadi mono- dan ikatsilang disulfidik yang lebih stabil, dan (ii) dekomposisi/degradasi ikat-silang,
dimana ikat-silang polisulfidik menjadi cincin sulfida (cyclic), gugus pendant tak
aktif atau modifikasi rantai utama lainnya, yang dapat menurunkan elastisitas
vulkanisat.
Desulfurisasi ikat-silang merupakan pemutusan ikatan sulfur dari ikatsilang polisulfidik, sehingga membentuk ikat-silang di- dan monosulfidik yang
lebih stabil, dimana sulfur yang sudah lepas tersebut digunakan kembali pada
proses vulkanisasi untuk membentuk crosslink lainnya. Pemendekan crosslink
tersebut bisanya juga diikuti oleh perubahan posisi sulfur pada crosslink. Secara
umum, reaksi desulfurisasi dapat ditulis sebagai berikut:
(R.25)
(R.26)
Reaksi tersebut dapat terus berlangsung hingga hanya ikat-silang monosulfidik
yang tertinggal. Dekomposisi crosslink biasanya disebabkan oleh suhu proses
yang tinggi, sedangkan mekanismenya dapat berupa radikal, polar ataupun
kombinasi keduanya. Dekomposisi merupakan reaksi pemutusan ikatan, dimana
laju reaksinya tergantung pada kekuatan ikatan tersebut. Semakin panjang ikatan
sulfur dalam crosslink, maka energi ikatannya makin kecil. Berbagai produk dapat
terbentuk dari proses degradasi crosslink tersebut, sebagaimana ditunjukkan pada
reaksi (R.27) dan (R.28).
Degradasi ikat-silang polisulfidik RSyR lebih mungkin terjadi via radikal
RSx*

dan RSz* dari pada via RSy* dan R* karena ikatan S-S lebih mudah lepas

dibandingkan ikatan C-S. Degradasi yang terjadi via reaksi (R.28) lebih mudah
terjadi dari pada via reaksi (R.27), karena ikatan monosulfidik S-S lebih kuat
dibandingkan ikatan polysulfidic S-S.

(R.27)

(R.28)

BAB II
METODOLOGI PERCOBAAN

2.1. Alat dan Bahan


2.1.1. Alat-alat
Alat-alat yang digunakan :
1. Roll mill
2. Cutter
3. Timbangan
4. Alumunium foil

2.1.2. Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan
1. Crumb Rubber SIR-20 100 phr
2. Minyak kelapa sebagai plasticizer 2,5 phr
3. Carbon black sebagai filler 30 phr
4. ZnO sebagai aktivator 5 phr
5. Asam stearat sebagai co-aktivator 3 phr
6. Trimethylquinone sebagai anti degradant 1 phr
7. Mercaptodibenzothiazyldisulfide sebagai akselerator 0,6 phr
8. Sulfur sebagai curative agent 4 phr

2.2. Pembuatan Kompon Ban Vulkanisir


1. Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan kompon ban vulkanisir
ditimbang. Dalam perhitungan bahan-bahan digunakan satuan phr (per
hundred rubber). Berikut merupakan contoh perhitungan bahan:
Crumb rubber yang digunakan = 100 phr = 300 gr
(

)
= 90 gr

2. Roll mill dihidupkan dengan menekan tombol on, jarak antara rotor
dapat diatur dengan mendekatkan atau meregangkan rotor.
3. Crumb rubber dimastikasi terlebih dahulu dengan menggunakan roll
mill agar crumb rubber menjadi lebih lunak
4. Karet ditambahkan dengan plasticizer minyak kelapa sebanyak yang
telah di variasikan. Crumb rubber dan plasticizer digiling hingga
merata. Selanjutnya berturut-turut ditambahkan bahan-bahan berikut
seperti yang terlihat pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Bahan-bahan yang digunakan
Bahan-bahan yang Ditambahkan

Kuantitas (phr)

Carbon Black

30

ZnO

Asam Stearat

Trimethylquinone

MBTS

0,6

Sulfur

5. Setelah

penambahan

bahan

terakhir

(sulfur)

merata,

proses

penggilingan dihentikan. Kompon ban keluaran roll mill dibentuk


menjadi lembaran dengan panajang dan lebar sesuai spesifikasi ban.

Diagram alir pembuatan kompon ban dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Roll Mill
Dihidupkan, dengan kecepatan rotor 20 rpm dan suhu
ruang

Mastikasi Karet Alam (Crumb Rubber) 100 phr


Perlakuan terjadi selama 25 menit

Penambahan Minyak kelapa 2,5 phr


perlakuan terjadi selama 10 menit

Penambahan Carbon Black 30 phr


Perlakuan terjadi selama 30 menit

Penambahan ZnO 5 phr


Perlakuan terjadi selama 5 menit

Penambahan Asam stearat 3 phr


Dihaluskan, perlakuan terjadi selama 10 menit

Penambahan TMQ 1 phr


perlakuan terjadi selama 5 menit

Penambahan MBTS 0,6 phr


Perlakuan terjadi selama 5 menit

Penambahan Sulfur 3 phr


Perlakuan terjadi selama 5 menit

Kompon Karet
Dibentuk dengan ukuran lebar 4 jari dan 2 jari

Gambar 2.1 Diagram alir pembuatan kompon ban

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.

Pembuatan Kompon Karet


Pembuatan ban vulkanisasi dilakukan dalam dua tahapan yaitu pembuatan

kompon dan vulkanisasi. Kompon karet yang dimaksud disini adalah campuran
yang terdiri dari karet alam, minyak kelapa, carbon black, ZnO, asam stearat,
TMQ, MBTS dan sulfur yang dibuat dengan menggunakan roll mill. Proses
pembuatan kompon dilakukan pada suhu kamar dengan urutan proses
pencampuran disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Tahapan Pembuatan Kompon Karet dalam Roll Mill
No

Aktivitas

Kuantitas Kuantitas

Penggilingan Crumb
Rubber (Karet alam)

Penambahan

minyak

kelapa

Menit

(phr)

(gram)

ke-

100

300

2,5

7,5

25

Penambahan Carbon Black

30

90

35

Penambahan ZnO

15

65

Penambahan Asam stearat

70

Penambahan TMQ

80

Penambahan MBTS

0,6

1,8

85

Penambahan Sulfur

12

90

Gambar 3.1. Proses Mastikasi Karet Alam (Natural Rubber)


Pembuatan kompon karet vulkanisasi dilakukan dengan cara proses
mastikasi karet alam terlebih dahulu dengan menggunakan alat roll mill pada
suhu ruang. Berdasarkan Gambar 3.1, karet alam (crumb rubber) yang digiling
dalam roll mill mengalami perubahan berat molekul, yaitu ditunjukkan dengan
penurunan viskositas karet. Hal ini disebabkan karena proses mastikasi. Proses
mastikasi merupakan pemutusan rantai C pada karet ayng ditandai dengan
menurunnya berat molekul karet sehingga pencampuran bahan kompon yang
sebagian besarnya berupa serbuk padat, dapat bercampur dengan mudah dan
merarata dengan karet. Proses ini berlangsung sampai karet alam merenggang.

Gambar 3.2. Penambahan minyak kelapa pada karet alam (Natural Rubber)
Penambahan minyak kelapa dilakukan setelah karet mulai merenggang.
Karet alam yang ditambahkan minyak kelapa menjadi (elastis) dan licin. Hal ini
disebabkan karena minyak kelapa merupakan salah satu minyak aromatic yang
berfungsi sebagai processing aid yang sangat penting peranannya dalam
pembuatan kompon karet, minyak kelapa berfungsi juga untuk mengurangi
kekentalan pada campuran, mengurangi stiffness (pengerasan) pada saat
vulkanisasi dan juga meningkatkan laju tekan sehingga pencampuran menjadi
sedikit elastis (Ciesielski,1999).
Selanjutnya dilakukan penambahan carbon black yang digunakan sebagai
penguat, pengisi utama yang meningkatkan kegunaan karet, meningkatkan sifat
mekanik dan dinamik vulkanisasi ban. Dimana karet alam terjadi perubahan
warna dan tekstur yaitu warna hitam, tekstur lembut, kuat dan elastis. Hal ini
disebabkan Carbon black memiliki luas permukaan yang tinggi, partikel carbon
black memiliki ukuran nano, sehingga akan memberikan gaya antar fasa
(interfacial force) yang besar antara filler dengan polimer sehingga menjaga
kestabilan elastisitas campuran dan akibat dari tingginya aktivitas permukaan juga
akan berdampak buruk karena memberikan panas yang tinggi (Wang, 2001).
Proses penambahan carbon black dilakukan selama 30 menit.

Setelah pencampuran sempurna, ditambahkan ZnO yang digunakan sebagai


activator pada sistem karet sulfur. Kemudian ZnO diaktifkan dengan penambahan
asam stearat yang dapat melarutkan zink oksida, efek keduanya untuk peningkatan
jumlah zink sulfida yang diproduksi. Sistem ZnO dan asam stearat mula-mula
bereaksi dengan mekanisme radikal bebas, namun secara bertahap berubah
menjadi polar, BtS-Zn-Sx-SBt adalah active sulfurating agent dengan adanya
ZnO. Lalu penambahan TMQ yang bertujuan untuk melindungi karet dari
kerusakan karena pengaruh okigen dan mencegah terjadinya degredasi. Jika
proses vulkanisasi yang terlalu lama, maka akan terjadi degradasi sehingga
membentuk cincin sulfida (cyclic sulfide) atau bentuk mudifikasi rantai lainnya,
yang dapat menyebabkan penurunan sifat vulkanisasi (Wang, 2011). Setelah itu
penambahan MBTS bertujuan untuk membantu kompon karet dalam proses
vulkanisasi, karena MBTS dapat langsung bereaksi dengan sulfur membentuk 2bisbenzothiazole-2,2-polysulfides

(MBTPs),

dan

MBTPs

atau

kompleks

zinc/amine MBTPs merupakan suatu kunci proses sulfurisasi selanjutnya.


Setelah itu ditambahkan sulfur yang berfungsi untuk proses vulkaniasi dan
bahan kimia yang dapat bereaksi dengan gugus aktif pada molekul karet
membentuk ikatan silang tiga dimensi. Pada vulkanisasi sulfur yang diakselerasi
adalah pembentukan suatu komplek accelerator aktif melalui reaksi kimia
accelerator dengan activator yang diikuti reaksi dengan molekul sulfur
membentuk suatu sulfurating species. Sulfurating species yang sudah diaktifkan
tersebut kemudian bereaksi dan mengikat rantai karbon dari karet membentuk
crosslink precursor. Crosslink precursor tesebut selanjutnya bereaksi dan
mengikat rantai karbon tak jenuh dari molekul karet lainnya, sehingga terbentuk
ikat-silang polisulfidik. Selanjutnya ikat-silang polisulfidik melepaskan sulfur
membentuk crosslink yang lebih pendek.

Gambar 3.3. Kompon Karet yang terbentuk


Kompon karet yang dihasilkan memiliki lebar 4 jari dan 2 jari dengan
panjang 180 cm dan memiliki ketebelan 0,2 cm. Berdasarkan Gambar 3.3,
kompon karet yang terbentuk semakin sempurna dan mempunyai sifat yang bisa
dilihat secara visual yaitu permukaan mulus ditandai tidak adanya butiran-butiran
bahan kimia lainnya dan gelembung-gelembung udara di kompon tersebut, elastis,
bewarna hitam, dan ketika kompon tersebut dikoyakkan teksturnya tidak terpisah
tetapi menyatu.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
1. Pembuatan ban vulkanisasi dilakukan dalam dua tahapan yaitu pembuatan
kompon dan vulkanisasi. Kompon karet hasil percobaan merupakan
campuran yang terdiri dari karet alam, minyak kelapa, carbon black, ZnO,
asam stearat, TMQ, MBTS dan Sulfur yang dibuat dengan mengggunakan
roll mill. Kompon karet yang terbentuk semakin sempurna dan mempunyai
sifat yang elastis, bewarna hitam, permukaan licin, lembut dan kuat
2. Pengaruh carbon black pada pembuatan kompon adalah sebagai penguat,
pengisi utama yang meningkatkan kegunaan karet, meningkatkan sifat
mekanik dan dinamik vulkanisasi ban. Dimana karet alam terjadi
perubahan warna dan tekstur yaitu warna hitam, tekstur lembut, kuat dan
elastic.
3. Pengaruh sulfur pada pembuatan kompon adalah sebagai currative agent
agar terjadi reaksi ikat silang yang memperkuat sifat mekanik kompon.

4.2 Saran
Praktikan harus hati-hati dalam melakukan percobaan ini agar terhindar
dari kecelakaan kerja yang tidak diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA
Bahruddin, Sumarno, G. Wibawa dan N. Soewarno. 2007. Morfologi Dan
Properti Campuran Karet Alam/Polypropylene yang Divulkanisasi
Dinamik Dalam Internal Mixer. Pdf.file [Online] Tersedia:
http://eprints.undip.ac.id [Diakses pada 29 oktober 2014]
Ciesielski, A.,1999, An Instroduction to Rubber Technology, Rapra Technology
Limited,United Kingdom
Ghosh, dkk, 2003, Sulfur Vulcanization of Natural Rubber For Benzoathiazole
Accelerated Formulations: From Reaction Mechanisms to A Rational Kinetic
Model, Rubber Chemistry and Technology, 76 (3), 592

Gusnita, I, 2010, Pengaruh Rasio Massa Abu Sawit-Karet Alam Terhadap


Morfologi dan Sifat Material Thermoplastic Vulcanizate. Universitas Riau.
Hoffman, W., 1989. Rubber Technology Handbook. Oxford Univercity Press,
Canada, 296-303
ICBA, 2006, What is carbon black?,http:carbonblack.org/what_is.html [diakses
pada 29 oktober 2014]
Ompusunggu, M., 1987, Pengolahan Lateks Pekat, Balai Penelitian Perkebunan
Sungai Putih, Medan
Rahardjo, P., 2009, karet, Material Andalan ekspor dibawah Harapan dan
Ancaman,
http://www.infometrick.com/wpcontent/uploads/2009/06/artikel-karetharapan-ancaman.pdf, [Diakses pada 29 oktober 2014]
Rattanasom, N., Saowapark, T., dan Deeprasertkul, C. 2006. Reinforcementof
Natural Rubber witj Silica/Carbon black Hybrid Filler, Polymer Testing:
369 -377.
Saowapark, T, 2005, Reinforcement of Natural Rubber with Silica/Carbon Black
Hibrid Filler, Thesis, Mahidol University
Surya, C.S.D, 2010. Pengaruh Ukuran Partikel Fly Ash (Abu Sawit) Terhadap
Morfologi dan Sifat Thermoplastic Vulcanizate (TPV) Berbasis Karet
Alam. Universitas Riau.
Surya, I., Halimatuddahliana, dan Maulida, 2008. Modifikasi Bahan Elastomer
Termoplastik Polipropilena/Karet Alam (PP/NR) Dengan Proses
Pemvulkanisasian Dinamik. Jurnal Penelitian Rekayasa. 2(1), 37-42.
Tim Laboratorium Teknologi Tepat Guna Program Studi D3 Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Riau. 2014. Penuntun Praktikum Teknologi
Tepat Guna. Pekanbaru : Laboratorium Dasar Proses dan Operasi Pabrik
Program Studi D3 Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau.

Wang, M.J., P. Zhang, dan K. Mahmud. 2001. Carbon-Silica Dual Phase Filler, A
New Generation Reinforcing Agent For Rubber, Rubber Chemistry and
Technology, 74 (1),124.
Zurina, M., 2007, Characterization and Properties of Epoxidised Natural Rubber
(ENR-50)/ethylene vinyl acetate (EVA) Blends, PhD Thesis, Universitas
Teknologi Malaysia

LAMPIRAN A
DOKUMENTASI

Gambar A.1. Karet alam (natural rubber)

Gambar A.2. Proses Mastikasi Karet Alam (Natural Rubber)

Gambar A.3. Penambahan carbon black awal

Gambar A.4. Penambahan carbon black akhir

Gambar A.5. Penambahan asam stearat

Gambar A.6. Penambahan Trimethylquinone (TMQ)

Gambar A.7. Penambahan Mercoptodibenzothiazyldisulfide (MBTS)

Gambar A.8. Penambahan Sulfur

Gambar A.9. Penggilingan Sulfur

Gambar A.10. Kompon ban hasil percobaan

LAMPIRAN B
LAPORAN SEMENTARA

Judul Praktikum

: Pembuatan Ban Vulkanisir

Hari/Tanggal Praktikum

: Senin/27 Oktober 2014

Pembimbing

: Dr. Bahruddin, MT

Asisten Laboratorium

: Lili Saktiani

Nama Kelompok IV

: 1. Heru Handoko (1207021209)


2. Taufik

(1207021286)

3. Vandri nanda (1207036468)


Hasil Percobaan

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kompon ban antara lain :


Crumb Rubber SIR 20 100 phr

Minyak kelapa sebagai plasticizer 2,5 phr

Carbon black sebagai filler 30 phr

ZnO sebagai activator 5 phr

Asam stearat sebagai co-activator 3 phr (dihaluskan)

Trimethylquinone (TMQ) sebagai anti degradant 1 phr (dihaluskan)

Mercoptodibenzothiazyldisulfide (MBTS) sebagai accelerator 0,6 phr

Sulfur sebagai currative agent 3 phr

Pekanbaru, 27 Oktober 2014


Asisten Laboratorium,

Lili Saktiani

Anda mungkin juga menyukai