Anda di halaman 1dari 152

Makalah Teknologi Polimer

PENGENALAN POLIMER

Disusun Oleh :

Eva Rantika 1407112591


Iqamatuddin Al Hadid 1607116036
Muhammad Wahada 1607112650

Program Studi Sarjana Teknik Kimia


Universitas Riau
2013
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Polimer


Polimer adalah molekul besar yang tersusun secara berulang dari molekul molekul kecil yang saling
berikatan. Polimer merupakan ilmu pengetahuan yang berkembang secara aplikatif. Kertas, plastik, ban, serat-
serat alamiah, merupakan produk-produk polimer. Polimer, merupakan ilmu yang sangat menarik untuk
dipelajari. Polimer merupakan ilmu yang sangat dinamis. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan pengetahuan yang
baik tentang konsep-konsep dasar polimer, guna dapat memahami dan mengembangkan ilmu polimer.
Selanjutnya, konsep dasar tersebut dapat dikembangkan untuk mengukur dan menganalisis bobot molekul
polimer. Teknik pemisahan dan pengukuran sampel polimer merupakan pengetahuan yang tidak kalah pentingnya
untuk dikuasai. Dalam bab ini, sasaran tersebut dapat dicapai oleh pembaca, dengan memahami dan mencermati
secara teliti materi dan soal-soal yang ditawarkan.

2.2 Sejarah Polimer


Polimer, sebenarnya sudah ada dan digunakan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Polimer - polimer
yang sudah digunakan itu adalah jenis polimer alam seperti selulosa, pati, protein, wol, dan karet. Istilah polimer
pertama kali digunakan oleh kimiawan dari Swedia, Berzelius (1833). Polimer merupakan molekul besar yang
terbentuk dari unit – unit berulang sederhana. Nama ini diturunkan dari bahasa Yunani Poly, yang berarti
“banyak” dan mer, yang berarti “bagian”. Sedangkan industri polimer (polimer sintesis) baru dikembangkan
beberapa puluh tahun terakhir ini.
Berkembangnya industri polimer ini diawali ketika Charles Goodyear dari Amerika Serikat berhasil
menemukan vulkanisasi pada tahun 1839. Setelah itu berbagai modifikasi polimer pun mulai berkembang seperti:
Pada tahun 1870 Modifikasi selulosa dengan asam nitrat
Pada tahun 1907 Ditemukan damar fenolik
Pada tahun 1930 Ditemukan Poli fenol etena atau Polistirena
Pada tahun 1933 Ditemukan Polietena atau Polietilena di laboratorium ICI di Winnington,
Chesire
Sejak saat itu sejumlah terobosan baru banyak dilakukan untuk menciptakan berbagai sistim polimer baru
maupun pengembangan sistem polimer yang telah ada. Hasilnya tampak sebagai produk industri polimer yang
begitu beragam sebagaimana yang terlihat sekarang ini. Hingga pada tahun 1970 sudah terdapat lebih dari 25
produk polimer, dan pada tahun 1980 polimer mencapai 2 juta m3 tiap tahunnya, melebihi produksi kayu dan
baja. Dengan berkembangnya industri polimer, ternyata membawa dampak positif terhadap jumlah
pengangguran. Hal ini disebabkan karena industri polimer menyerap banyak tenaga kerja. Karena sifatnya yang
karakteristik maka bahan polimer sangat disukai. Sifat - sifat polimer yang karakteristik ini antara lain:
 Mudah diolah untuk berbagai macam produk pada suhu rendah dengan biaya murah.
 Ringan; maksudnya rasio bobot/volumenya kecil.
 Tahan korosi dan kerusakan terhadap lingkungan yang agresif.
 Bersifat isolator yang baik terhadap panas dan listrik.
 Berguna untuk bahan komponen khusus karena sifatnya yang elastis dan plastis.
 Berat molekulnya besar sehingga kestabilan dimensinya tinggi.

Berkembangnya industri polimer turut menentukan perkembangan ekonomi suatu negara. Semakin besar
penggunaan polimer, menunjukkan semakin pesat perkembangan ekonomi suatu negara. Berikut ini Tabel 1.1
produksi bahan polimer yang digunakan di berbagai negara.

Tabel 1.1. Produksi polimer (dalam ribuan ton)


Kanada
Polimer 1976 1977 1978 1979
Poli(etena) 300,9 345,0 477,5 591,0
Poli(feniletena) - 90,5 - 119,7
Poli(kloroetena) 75,9 00,7 98,7 152,4

Jepang
Polimer 1976 1977 1978 1979
Poli(etena) 1392 1467 1767 2165
Poli(feniletena) 876 900 1032 1227
Poli(kloroetena) 1044 1030 1204 1583

Inggris
Polimer 1976 1977 1978 1979
Poli(etena) 473,1 487,2 427,3 459,9
Poli(feniletena) 238,6 228,6 184,2 220,4
Poli(kloroetena) 415,9 385,1 409,1 425,0

Jerman
Polimer 1976 1977 1978 1979
Poli(etena) 1466,9 1431,1 1518,6 1587,6
Poli(feniletena) 962,9 894,9 1003,8 1085,9

Amerika Serikat
Polimer 1976 1977 1978 1979
Poli(etena) 4054,2 4591,7 5130 5807,4
Poli(feniletena) 2139,1 2382,7 2595,9 2775,5

2.3 Klasifikasi Polimer


Polimer dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Berdasarkan Sumber
Berdasarkan sumbernya polimer dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu :
 Polimer Alam, yaitu polimer yang terjadi secara alami. Polimer alam adalah senyawa yang
dihasilkan dari proses metabolisme makhluk hidup. Contoh sederhana polimer alam adalah karet
alam, pati, selulosa dan protein. Jumlahnya yang terbatas dan sifat polimer alam yang kurang
stabil, mudah menyerap air, tidak stabil karena pemanasan dan sukar dibentuk menyebabkan
penggunaannya amat terbatas. Polimer alam adalah polimer yang terdapat di alam dan berasal dari
makhluk hidup. Contoh polimer alam dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.2 Contoh Polimer Alam


No Polimer Monomer Polimerisasi Contoh
1. Pati/amilum Glukosa Kondensasi Biji-bijian, akar umbi
2. Selulosa Glukosa Kondensasi Sayur, Kayu, Kapas
Asam Susu, daging, telur,
3. Protein Kondensasi
amino wol, sutera
Molekul DNA dan
4. Asam nukleat Nukleotida Kondensasi
RNA (sel)
5. Karet alam Isoprena Adisi Getah pohon karet

Sifat-sifat polimer alam kurang menguntungkan. Contohnya, karet alam kadang-kadang


cepat rusak, tidak elastis, dan berombak. Hal tersebut dapat terjadi karena karet alam tidak tahan
terhadap minyak bensin atau minyak tanah serta lama terbuka di udara. Contoh lain, sutera dan
wol merupakan senyawa protein bahan makanan bakteri, sehingga wol dan sutera cepat rusak.
Umumnya polimer alam mempunyai sifat hidrofilik (suka air), sukar dilebur dan sukar dicetak,
sehingga sangat sukar mengembangkan fungsi polimer alam untuk tujuan-tujuan yang lebih luas
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
 Polimer Semi Sintetik, yaitu polimer yang diperoleh dari hasil modifikasi polimer alam dan bahan
kimia. Contoh: selulosa nitrat (yang dikenal lewat misnomer nitroselulosa) yang dipasarkan di
bawah nama - nama “Celluloid” dan “guncotton”.
 Polimer sintesis, yakni polimer yang dibuat melalui polimerisasi dari monomer - monomer
polimer. Polimer sintesis sesungguhnya yang pertama kali digunakan dalam skala komersial
adalah dammar Fenol formaldehida. Dikembangkan pada permulaan tahun 1900-an oleh
kimiawan kelahiran Belgia Leo Baekeland (yang telah memperoleh banyak sukses dengan
penemuannya mengenai kertas foto sensitif cahaya), dan dikenal secara komersial sebagai bakelit.
Sampai dekade 1920-an bakelit merupakan salah satu jenis dari produk - produk konsumsi yang
dipakai luas, dan penemuannya meraih visibilitas yang paling mewah, yakni dimunculkan di kulit
muka majalah Time.
Perbedaan utama dari polimer alam dan polimer sintetik adalah, mudah tidaknya sebuah polimer
di degradasi atau dirombak oleh mikroba. Polimer sintetik sulit diuraikan oleh mikroorganisme.
Sifat-sifat polimer sintetik sangat ditentukan oleh struktur polimernya seperti; panjangnya rantai;
gaya antar molekul; percabangan; dan ikatan silang antar rantai polimer.
Pertambahan panjang rantai utama polimer diikuti dengan meningkatnya gaya antar molekul
monomer. Hal ini yang menyebabkan meningkatnya kekuatan dan titik leleh sebuah
polimer. Polimer yang memiliki banyak cabang, kekuatannya menurun dan hal ini juga
menyebabkan titik lelehnya semakin rendah. Beberapa polimer memiliki ikatan silang antar rantai,
hal ini akan membuat polimer yang bersifat kaku dan membentuk bahan yang keras. Makin banyak
ikatan. silang makin kaku polimer yang dihasilkan dan polimer akan semakin mudah patah.
Jenis polimer yang memiliki ikatan silang ini merupakan plastik termosetting. Jenis plastik ini
hanya dapat dipanaskan satu kali yaitu hanya pada saat pembuatannya. Jika plastik ini pecah atau
rusak tidak dapat disambung kembali. Pemanasan selanjutnya menyebabkan rusaknya atau
terbongkarnya ikatan silang antar rantai polimer, sehingga susunan molekul polimer berubah atau
rusak. Plastik jenis yang lain memiliki sifat sebagai termoplastik, yaitu plastik yang dapat
dipanaskan secara berulang-ulang. Sifat ini disebabkan karena tidak adanya ikatan silang antar
rantai polimernya. Jika polimer ini rusak atau pecah, kita dapat menyambungnya kembali dengan
cara dipanaskan, contoh polimer termoplastik adalah polietilen.

2) Berdasarkan Bentuk Susunan Rantainya


Dibagi atas 3 kelompok yaitu:
 Polimer Linier, yaitu polimer yang tersusun dengan unit ulang berikatan satu sama lainnya
membentuk rantai polimer yang panjang. Polimer ini biasanya dapat larut dalam beberapa pelarut,
dan dalam keadaan padat pada temperatur normal. Polimer ini terdapat sebagai elastomer, bahan
yang fleksibel (lentur) atau termoplastik seperti gelas). Contoh polietilena, poli(vinil klorida) atau
PVC, poli(metil metakrilat) (juga dikenal sebagai PMMA, Lucite, Plexiglas, atau perspex),
poliakrilonitril (orlon atau creslan) dan nylon 66.

Gambar 1. Struktur polimer linier

 Polimer Bercabang, yaitu polimer yang terbentuk jika beberapa unit ulang membentuk cabang
pada rantai utama.

Gambar 2. Struktur polimer bercabang

 Polimer Berikatan Silang (Cross – linking), yaitu polimer yang terbentuk karena beberapa rantai
polimer saling berikatan satu sama lain pada rantai utamanya. Jika sambungan silang terjadi ke
berbagai arah maka akan terbentuk sambung silang tiga dimensi yang sering disebut polimer
jaringan.

Gambar 3. Struktur polimer berikatan silang


Adakalanya pembentukan sambungan silang dilakukan dengan sengaja melalui proses industri untuk
mengubah sifat polimer, sebagaimana terjadi pada proses vulkanisasi karet. Banyak sistem polimer
sifatnya sangat ditentukan oleh pembentukan jaringan tiga dimensi, seperti misalnya bakelit yang
merupakan damar mengeras – bahang fenol – metanal. Dalam sistem polimer seperti itu pembentukan
sambungan silang tiga dimensi terjadi pada tahap akhir produksi. Proses ini memberikan sifat kaku dan
keras kepada polimer. Jika tahap akhir produksi melibatkan penggunaan panas, polimer tergolong
mengeras – bahang dan polimer disebut dimatangkan. Akan tetapi, beberapa sistem polimer dapat
dimatangkan pada keadaan dingin dan karena itu tergolong polimer mengeras – dingin. Polimer lurus
(hanya mengandung sedikit sekali sambungan silang, atau bahkan tidak ada sama sekali) dapat dilunakkan
dan dibentuk melalui pemanasan. Polimer seperti itu disebut polimer lentur – bahang.

3) Berdasarkan Reaksi Polimerisasi


Dibagi 2 yaitu :
 Poliadisi, yaitu polimer yang terjadi karena reaksi adisi. Reaksi adisi atau reaksi rantai adalah
reaksi penambahan (satu sama lain) molekul-molekul monomer berikatan rangkap atau siklis
biasanya dengan adanya suatu pemicu berupa radikal bebas atau ion.
Contohnya dapat dilihat pada reaksi berikut:
Etilena CH2 = CH2 -[CH2CH2]-
Tetraflioro- CF2 = CF2 -[CF2CF2]-
Metilena
CH2 = CH2 - CH2CH2 -
Stirena

Metilmetakrilat
CH3 CH3
CH2 = C – CO2CH3 - CH2C – CO2CH2 –
Butadiena
CH2 = CH – CH = CH2 - CH2CH = CHCH2 –
 Polikondensasi, yaitu polimer yang terjadi karena reaksi kondensasi/reaksi bertahap. Mekanisme
reaksi polimer kondensasi identik dengan reaksi kondensasi senyawa bobot molekul rendah yaitu:
reaksi dua gugus aktif dari 2 molekul monomer yang berbeda berinteraksi dengan melepaskan
molekul kecil. Contohnya H2O. Bila hasil polimer dan pereaksi (monomer) berbeda fase, reaksi
akan terus berlangsung sampai salah satu pereaksi habis. Contoh terkenal dari polimerisasi
kondensasi ini adalah pembentukan protein dari asam amino.
Contoh lainnya dapat dilihat pada reaksi berikut:
(−𝐻 𝑂)

Etilena glikol HOCH2CH2OH – OCH2CH2 –

Asam 4-hidroksi HOCH2 CO2H

4) Berdasarkan Jenis Monomer


Dibagi atas dua kelompok :
 Homopolimer, yakni polimer yang terbentuk dari penggabungan
monomer sejenis dengan unit berulang yang sama.
 Kopolimer, yakni polimer yang terbentuk dari beberapa jenis monomer yang berbeda.
Kopolimer ini dibagi lagi atas empat kelompok yaitu:
 Kopolimer acak.
Dalam kopolimer acak, sejumlah kesatuan berulang yang berbeda tersusun secara acak
dalam rantai polimer.
-A-B-B-A-B-A-A-A-B-A-
 Kopolimer silang teratur.
Dalam kopolimer silang teratur kesatuan berulang yang berbeda berselang - seling secara
teratur dalam rantai polimer.
-A-B-A-B-A-B-A-B-A–B–A-
 Kopolimer blok.
Dalam kopolimer blok kelompok suatu kesatuan berulang berselang - seling dengan
kelompok kesatuan berulang lainnya dalam rantai polimer.
-A-A-A-B-B-B-A-A-A–B–
 Kopolimer cabang/Graft Copolimer.
Yaitu kopolimer dengan rantai utama terdiri dari satuan berulang yang sejenis dan rantai
cabang monomer yang sejenis.
B B
B B
-A–A–A–A–A–A–A–A–A–A
B
B

5) Berdasarkan Sifat Termal


Dibagi 2 yaitu :
 Termoplastik, Hal ini disebabkan karena polimer - polimer tersebut tidak berikatan silang (linier
atau bercabang) biasanya bisa larut dalam beberapa pelarut.
 Termoset, yaitu polimer yang tidak mau mencair atau meleleh jika dipanaskan. Polimer - polimer
termoset tidak bisa dibentuk dan tidak dapat larut karena pengikatan silang, menyebabkan
kenaikan berat molekul yang besar. Contohnya dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut:
Tipe Singkatan Kegunaan Khas
Fenol-formaldehida PF Alat listrik dan elektronik, bagian mobil,
perekat plywood, utensil handle
Urea-formaldehida UF Sama seperti polimer PF, juga bahan pelapis
Poliester tak jenuh -- Konstruksi, bagian-bagian mobil, lambung
kapal, aksesoris kapal, saluran anti korosi,
pipa, tangki dan lain-lain, peralatan bisnis.
Epoksi -- Bahan pelapis protektif, perekat, aplikais-
aplikasi listrik dan elektronik, bahan lantai
industri, bahan pengaspal jalan raya, bahan
paduan (komposit)
Melamin- MF Sama seperti polimer UF, bingkai dekoratif,
formaldehida tutup meja, perkakas makan
Sumber: Stevens, 2001

Diantara plastik-plastik ini, hanya beberapa jenis epoksi yang dikualifikasi sebagai plastik-plastik
teknik. Polimer-polimer fenol-formaldehida dan urea formaldehida dan poliester-poliester tak jenuh
menduduki sekitar 90% dari seluruh produksi. Perbandingan produksi antar termoplastik dan termoset
kira-kira 6:1.
6) Berdasarkan Aplikasinya
Dibagi 3 kelompok yaitu :
 Polimer komersial, yaitu polimer yang di sintesis dengan biaya murah dan diproduksi secara besar
- besaran. Polimer komersial pada prinsipnya terdiri dari 4 jenis polimer utama yaitu: Polietilena,
Polipropilena, Poli(vinil klorida), dan Polisterena. Polietilena dibagi menjadi produk massa jenis
rendah (< 0,94 g/cm3), dan produk massa jenis tinggi (> 0,94 g/cm3). Perbedaan dalam massa
jenis ini timbul dari strukturnya yakni: polietilena massa jenis tinggi secara esensial merupakan
polimer linier dan polietilena massa jenis rendah bercabang. Plastik - plastik komoditi mewakili
sekitar 90% dari seluruh produksi termoplastik dan sisanya terbagi diantara kopolimer stirena –
butadiena, kopolimer akrilonitril – butadiena – stirena (ABS), poliamida dan poliester. Contoh
plastik - plastik komoditi dan penggunaannya dapat dilihat pada tabel 1-3.
Tabel 1.3. Contoh plastik-plastik komoditi dan penggunaannya
Tipe Singkatan Kegunaan Utama
Lapisan pengemas, isolasi kawat dan kabel,
Polietilena massa
LDPE barang mainan, botol fleksibel, perabotan,
jenis rendah
bahan pelapis.
Polietilena massa Botol, drum, pipa saluran, lembaran film,
HDPE
jenis tinggi isolasi kawat dan kabel.
Bagian-bagian mobil dan perkakas, tali,
Polipropilena PP
anyaman, karpet, film.
Poli (vinil Bahan bangunan, pipa, bahan untul lantai,
PVC
klorida) isolasi kawat dan kabel, film dan lembaran.
Bahan pengemas (busa dan film), isolasi
Polistirena PS busa, perkakas, perabotan rumah, barang
mainan.

 Polimer teknik, yaitu polimer yang memiliki sifat unggul tetapi harganya mahal. Konsumsi plastik
teknik kimia hingga akhir tahun 1980-an mencapai kira - kira 1,5 x 109 kg/tahun di antaranya
poliamida, polikarbonat, asetal, poli(fenilena oksida) dan poliester mewakili sekitar 99% dari
pemasaran. Yang tidak diperhatikan adalah bahan - bahan berkualitas teknik dari kopolimer
akrilonitril – butadiena – stirena, berbagai polimer terfluorinasi dan sejumlah kopolimer serta
bahan paduan polimer yang meningkat jumlahnya. Ada banyak kesamaan dalam terutama dalam
bidang transportasi seperti (mobil, truk, pesawat udara), konstruksi (perumahan, instalasi pipa
ledeng, perangkat keras), barang - barang listrik dan elektronik (mesin bisnis, komputer), mesin -
mesin industri dan barang - barang konsumsi. Selain polimer - polimer yang telah diperlihatkan,
kopolimer dan paduan polimer teristimewa yang disesuaikan untuk memperbaiki sifat (mutu)
semakin bertambah jumlahnya. Pemasaran plastik - plastik teknik tumbuh dengan cepat dengan
proyeksi pemakaian yang meningkat hingga 10% per tahun.
Contoh Polimer teknik yang utama dapat dilihat pada Tabel 1.4 berikut.

Tabel 1.4. Contoh polimer teknik

Tipe Singkatan

Asetal POM
Poliamida --
Poli (amiadaimida) PAI
Poliarilat --
Polikarbonat PC
Poliester --
Polietereterketon PEEK
Polietermida PEI
Poliimida PI
Poli (fenilena oksida) PPO
Poli (fenilena sulfide) PPS
Polisulfon --
Sumber: Stevens, 2001

 Polimer dengan tujuan khusus, yaitu polimer yang memiliki sifat spesifik yang unggul dan dibuat
untuk keperluan khusus.
Contoh: alat-alat kesehatan seperti termometer/timbangan.

2.4 Manfaat dan Dampak Polimer


Dalam kehidupan sehari-hari banyak barang-barang yang digunakan merupakan polimer sintetis mulai dari
kantong plastik untuk belanja, plastik pembungkus makanan dan minuman, kemasan plastik, alat-alat listrik, alat-
alat rumah tangga, dan alat-alat elektronik. Setiap kita belanja dalam jumlah kecil, misalnya diwarung, selalu kita
akan mendapatkan pembungkus plastik dan kantong plastik.
Barang-barang tersebut merupakan polimer sintetis yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme.
Akibatnya, barang-barang tersebut akan menumpuk dalam bentuk sampah yang tidak dapat membusuk. Atau
menyumbat saluran air yang menyebabkan banjir. Sampah polimer sintetis jangan dibakar, karena akan
menghasilkan senyawa dioksin. Dioksin adalah suatu senyawa gas yang sangat beracun dan bersifat karsinogenik
(menyebabkan kanker).
Plastik vinyl chloride tidak berbahaya, tetapi monomer vinyl chloride sangat beracun dan karsinogenik yang
mengakibatkan cacat lahir. Plastik yang digunakan sebagai pembungkus makanan, jika terkena panas
dikhawatirkan monomernya akan terurai dan akan menkontaminasi makanan. Hal yang perlu diperhatikan untuk
mengurangi pencemaran plastik adalah sebagai berikut:
1. Kurangi penggunaan plastik
2. Sampah plastik dipisahkan dengan sampah organik, sehingga dapat didaur ulang
3. Jangan membuang sampah plastik sembarangan.
4. Sampah plastik jangan dibakar.
Kita hidup dalam era polimer, plastik, serat, elastomer, karet, protein, selulosa semuanya ini merupakan
istilah umum yang merupakan bagian dari polimer. Dari contoh-contoh di atas dapat kita bayangkan bahwa
polimer mempunyai manfaat yang besar dalam semua bidang kehidupan. Adapun manfaat dari polimer ini antara
lain sebagai berikut:
1. Dalam bidang kedokteran: banyak diciptakan alat-alat kesehatan seperti: termometer, botol infus, selang
infus, jantung buatan dan alat transfusi darah.
2. Dalam bidang pertanian: dengan adanya mekanisasi pertanian.
3. Dalam bidang teknik: diciptakan alat-alat ringan seperti peralatan pesawat.
4. Dalam bidang otomotif: dibuat alat-alat pelengkap mobil.
Dampak plastik terhadap lingkungan merupakan akibat negatif yang harus ditanggung alam karena
keberadaan sampah plastik. Dampak ini ternyata sangat signifikan. Sebagaimana yang diketahui, plastik yang
mulai digunakan sekitar 50 tahun yang silam, kini telah menjadi barang yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
manusia.
Diperkirakan ada 500 juta sampai 1 miliar kantong plastik digunakan penduduk dunia dalam satu tahun. Ini
berarti ada sekitar 1 juta kantong plastik per menit. Untuk membuatnya, diperlukan 12 juta barel minyak per
tahun, dan 14 juta pohon ditebang. Konsumsi berlebih terhadap plastik, pun mengakibatkan jumlah sampah
plastik yang besar. Karena bukan berasal dari senyawa biologis, plastik memiliki sifat sulit terdegradasi ( non-
biodegradable ). Plastik diperkirakan membutuhkan waktu 100 hingga 500 tahun hingga dapat terdekomposisi (
terurai ) dengan sempurna. Sampah kantong plastik dapat mencemari tanah, air, laut, bahkan udara. Kantong
plastik terbuat dari penyulingan gas dan minyak yang disebut etilen. Minyak, gas dan batu bara mentah adalah
sumber daya alam yang tak dapat diperbarui.
Semakin banyak penggunaan plastik berarti semakin cepat menghabiskan sumber daya alam tersebut. Fakta
tentang bahan pembuat plastik, ( umumnya polimer polivinil ) terbuat dari polychlorinated biphenyl ( PCB ) yang
mempunyai struktur mirip DDT. Serta kantong plastik yang sulit untuk diurai oleh tanah hingga membutuhkan
waktu antara 100 hingga 500 tahun. Akan memberikan akibat antara lain:
1. Tercemarnya tanah, air tanah dan makhluk bawah tanah.
2. Racun - racun dari partikel plastik yang masuk ke dalam tanah akan membunuh hewan - hewan
pengurai di dalam tanah seperti cacing.
3. PCB yang tidak dapat terurai meskipun termakan oleh binatang maupun tanaman akan menjadi racun
berantai sesuai urutan rantai makanan.
4. Kantong plastik akan mengganggu jalur air yang teresap ke dalam tanah.
5. Menurunkan kesuburan tanah karena plastik juga menghalangi sirkulasi udara di dalam tanah dan ruang
gerak makhluk bawah tanah yang mampu menyuburkan tanah.
6. Kantong plastik yang sukar diurai, mempunyai umur panjang, dan ringan akan mudah diterbangkan
angin hingga ke laut sekalipun.
7. Hewan - hewan dapat terjerat dalam tumpukan plastik.
8. Hewan - hewan laut seperti lumba-lumba, penyu laut, dan anjing laut menganggap kantong - kantong
plastik tersebut makanan dan akhirnya mati karena tidak dapat mencernanya.
9. Ketika hewan mati, kantong plastik yang berada di dalam tubuhnya tetap tidak akan hancur menjadi
bangkai dan dapat meracuni hewan lainnya.
10. Pembuangan sampah plastik sembarangan di sungai - sungai akan mengakibatkan pendangkalan
sungai dan penyumbatan aliran sungai yang menyebabkan banjir.
MAKALAH
TEKNOLOGI POLIMER
TEKNIK REAKSI POLIMERISASI

Oleh :
KELOMPOK 2

ABDUL HAFIZ HIDAYAT (1607116043)


NATALIA (1607112917)
RUMI KHAIRUN (1607111780)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S1


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
BAB 2
TEKNIK REAKSI POLIMERISASI

2.1 Pendahuluan
Reaksi pembentukan polimer dikenal dengan istilah polimerisasi. Dr.W.H Carothers, seorang ahli kimia
di Amerika Serikat mengelompokkan polimerisasi menjadi dua golongan, yaitu polimerisasi adisi dan kondensasi.
Polimerisasi melibatkan reaksi rantai, terjadi khusus pada monomer yang mempunyai ikatan rangkap. Penyebab
reaksi rantai dapat berupa radikal bebas atau ion. Mekanisme polimerisasi yang termasuk ke dalam polimerisasi
adisi, antara lain : polimerisasi radikal, polimerisasi ionik ( (anionik dan kationik ), dan polimerisasi Ziegler Natta.
Polimerisasi kondensasi merupakan reaksi bertahap yang didasarkan pada reaksi antara dua pusat aktif sehingga
terbentuk senyawa baru dan hasil samping (Martin, 1956).
Terdapat berbagai macam teknik polimerisasi. Secara umum, dibagi menjadi dua, yaitu polimerisasi fasa
homogen dan polimerisasi fasa heterogen. Polimerisasi fasa homogen terdiri dari polimerisasi suspensi dan
polimerisasi emulsi. Polistiren umumnya densitas dengan cara polimerisasi massa dan polimerisasi suspense.
Teknik polimerisasi masssa melibatkan monomer dan inisiator/katalis. Sedangkan, teknik polimerisasi suspense
melibatkan monomer, inisiator, pelarut, dan stabilisator. Pada teknik ini, monomer dan polimer tidak larut dalam
medium. Namun inisiator larut dalam monomer dan tidak larut dalam medium (Malcolm, 2001).

2.2 Mekanisme polimerisasi


2.2.1 Polymerase Chain Reaction
Reaksi berantai polymerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR kependekan dari istilah bahasa
Inggris polymerase chain reaction merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara
enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan
waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Teknik ini dirintis
oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel padatahun 1994 berkat temuannya tersebut.
Penerapan PCR banyak dilakukan dibidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya
memerlukan jumlah sampel yang kecil.
Reaksi terjadi didalam rantai, oleh karena itu disebut polimerisasi rantai. Polimer disintesis melalui reaksi
adisi ikatan rangkap. Dibawah ini contoh reaksi polimerisasi rantai.

Polimerisasi terjadi pada ujung rantai yang tumbuh dan melibatkan dua tahap kinetik yang berbeda, yaitu
inisiasi dan propagasi. Pada reaksi inisiasi diperlukan inisiator agar monomer reaktif untuk memulai suatu reaksi
polimerisasi, sehingga pertumbuhan rantai karena reaksi propagasi pada ujung rantai akan terus berlangsung
sampai terjadi terminasi, yaitu mentiadakan ujung rantai yang reaktif. Reaksi terjadi pada ujung rantai
menyebabkan massa molekul bertambah dengan cepat meskipun sisa monomer masih cukup banyak (Billmayer,
1984).
Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kalisiklus. Setiap siklus terdiri
atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus :
1. Tahap peleburan (melting ) atau denaturasi. Pada tahapini (berlangsung pada suhu tinggi, 94 – 96 °C) ikatan
hidrogen DNAterputus (denaturasi) dan DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanyapada tahap awal PCR tahap ini
dilakukan agak lama (sampai 5 menit)untuk memastikan semua berkas DNA terpisah. Pemisahan
inimenyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat ("patokan")bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.

2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempelpada bagian DNA templat yang komplementer urutan
basanya. Inidilakukan pada suhu antara 45–60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik.Suhu yang tidak tepat menyebabkan
tidak terjadinya penempelan atauprimer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap ini 1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses initergantung dari jenis DNA polimerase (ditunjukkan
oleh P pada gambar)yang dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukanpada suhu 76 °C. Durasi
tahap ini biasanya 1 menit. Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi danrenaturasi,
beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagiprimer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA yang
panjangnya dibatasi olehprimer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karenapenambahan terjadi
secara eksponensial.
Semua reaksi berantai, melibatkan tiga langkah dasar yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasai. Selain itu,
ada langkah keempat yang disebut transfer rantai (Martin, 1956).

2.2.1.1 Inisiasi
Inisiasi melibatkan akuisisi situs aktif dengan monomer. Hal ini dapat terjadi secara spontan oleh
penyerapan panas, cahaya (ultra violet), atau radiasi energy tinggi. Tapi yang paling sering, inisiasi polimerisasi
freeradical dibawa oleh sejumlah kecil senayawa yang disebut inisiator. Pemrakarsa khas termasuk peroksida,
senyawa azo, asam Lewis, dan reagen organologam. Namun, sementara inisiator memicu inisiasi rantai dan
memberikan pengaruh pada tingkat percepatan polimerisasi, mereka tidak benar-benar katalis karena mereka
berubah kimia dalam proses polimerisasi.
Sebuah inisiator biasanya senyawa organik lemah yang dapat terurai secara ternal atau dengan iradiasi
untuk menghasilkan radikal bebas, yang merupakan molekul yang mengandung atom dengan electron tidak
berpasangan. Berbagai senyawa terurai bila dipanaskan untuk membentuk radikal bebas. Dialkil (ROOR),
diacylperoxides (RCO-O-O-CO-R), hidroperoksida (ROOH), dan senyawa-senyawa azp (RN>NR) adalah
senyawa organic khas yang dapat terurai secara termal untuk menghasilkan radikal bebas. Benzoil peroksida,
azobisisobutironitril, dan di-t-butilperoksida yang umum digunakan inisiator radikal bebas.
Reaksi dimulai ketika radikal dibentuk dari katalis. Contohnya, benzoil peroksida digunakan sebagai
inisiator, ikatan O-O dipecah secara homolitik dengan pemanasan membentuk radikal benzoiloksi. Radikal
benzoiloksi ini kemudian menyerang ikatan rangkap pada etilen menghasilkan radikal karbon. Satu elektron dari
ikatan karbon-karbon digunakan untuk berpasangan dengan elektron pada radikal benzoiloksi untuk membentuk
ikatan C-O, dan satu elektron lainnya tetap tinggal pada karbon.

inisiasi
Ketika memilih inisiator untuk polimerisasi radikal bebas, parameter penting yang harus dipertimbangkan
adalah rentang suu yang akan digunakan untuk polimerisasi dan reaktivitas radikal terbentuk. Adanya promoter
dan akselerator tertentu dan sifat dari monomer sering mempengaruhi laju dekomposisi inisiator. Sebagai contoh,
dekomposisi benzoil peroksida mungkin dipercepat pada suhu kamar dengan menggunakan amina terner atau
kuatener.
Radikal bebas proses inisiasi tidak memerlukan pengecualian ketat kelembaban atmosfer, tetapi dihambat
oleh zat seperti oksogen untuk membentuk peroksida atau hidroperoksida. Untuk monomer seperti stirena dan
metal metakrilat yang rentan terhadap bebas oksigen seperti nitrogen. Ini harus ditekankan juga bahwa peroksida
orgainik, ketika mengalami suhu tinggi, bisa meledak. Oleh karena itu senyawa ini harus ditangani dengan hati-
hati.

2.2.1.2 Propagasi

Polimerisasi terjadi ketika radikal karbon yang terbentuk dari tahap inisiasi bergabung dengan etilen yang
lain dan membentuk radikal baru. Pengulangan proses ini terus berlangsung hingga ratusan bahkan ribuan kali
dan membentuk rantai polimer.
Laju reaksi pada tahap ini dipengaruhi oleh oleh stabilitas ion baru yang terbentuk, makin stabil ion baru
yang terbentuk maka laju reaksi propagasi makin cepat. Hal ini memang belum jelas, namun salah satu penjelasan
yang mungkin adalah tahap penentu laju dapat melibatkan pembentukan suatu kompleks 𝜋 antara rantai kationik
dengan molekul monomer yang baru dari pada pembentukan ikatan kovalen.

Propagasi rantai dapat berlanjut dari beberapa ratus sampai beberapa ribu monomer terhubung. Di mana
pada tahap ini dipengaruhi faktor yang sama yaitu suhu, tekanan, pelarut, dan konsentrasi monomer (Fried, 1995).

2.2.1.3 Terminasi
Pertumbuhan rantai berlangsung hingga bagian aktif mati. Dua radikal bebas mungkin bertemu dan
bergabung membentuk ikatan rangkap, karena terjadi transfer atom hidrogen (disproportionation). Proses yang
dipilih adalah proses polimerisasi suspensi karena lebih mudah dalam mengambil panas reaksi yang terjadi (suhu
mudah dikontrol), selain itu polystyrene yang terbentuk berupa butiran-butiran kecil sehingga mudah dipisahkan.
Penggunaan air sebagai media pertukaran panas lebih ekonomis daripada solven organik dan semakin besar nilai
konversi, viskositas polimer yang dihasilkan relatif tidak berubah.

Dalam termination, aktivitas pertumbuhan rantai polimer radikal dihancurkan oleh reaksi dengan radikal
bebas lain dalam system untuk menghasilkan molekul polimer (s). pemutusan dapat terjadi dengan reaksi dari
polimer radikal dengan eadikal inisiator. Jenis proses terminasi tidak produktif dan dapat dikontrol dengan
mempertahankan tingkat rendah untuk inisiasi. Reaksi terminasi yang lebih penting dalam produksi polimer
kombinasi (atau kopling) dan disproporsionasi. Dalam pemutusan oleh kombinasi, dua rantai polimer tumbuh
bereaksi dengan saling penghancuran aktivitas pertumbuhan, sedangkan di disproporsionasi atom labil (biasanya
hydrogen) dipindahkan dari satu polimer radikal yang lain. Raeksi coupling menghasilkan polimer tunggal,
sedangkan hasil disproporsionasi dalam dua polimer dari dua bereaksi radikal rantai polimer. Rekasi pemutusan
dominan tergantung pada sifat dari reaksi monomer dan suhu. Sejak disproporsionasi membutuhkan energy untuk
melanggar kimia obligasi, harus menjadi lebih jelas pada suu reaksi yang tinggi; kombinasi antara pertumbuhan
radikal polimer mendominasi pada suhu rendah.

2.2.1.4 Chain Transfer


Polimerisasi radikal bebas melibatkan tiga langkah dasar inisiasi, propagasi, dan terminasi. Namun,
langkah keempat disebut transfer rantai, biasanya terlibat. Dalam rantai transfer reaksi, rantai polimer tumbuh
dinonaktifkan atau dihentikan dengan mentransfer aktivitas pertumbuhan ke spesies yang sebelumnya tidak aktif.
Spesies, TA bisa menjadi monomer, polimer, molekul, pelarut, atau molekul lain sengaja atau tidak
sengaja diperkenalkan ke dalam campuran reaksi. Tergantung pada reaktivitas, yang baru yang radikal, A.
Mungkin atau mungkin tidak memulai pertumbuhan rantai polimer lain. Jika reaktivitas A sebanding dengan
rantai menyebarkan radikal, maka rantai baru dapat dimulai. Jika kereaktifannya terhadap monomer adalah
kurang dari radikal menyebarkan, maka laju reaksi keseluruhan dihambat. Jika A tidak reaktif terhadap monomer,
seluruh reaksi dapat dihambat. Transfer reaksi tidak menghasilkan penciptaan atau perusakan radikal: pada setiap
saat, jumlah keseluruhan radikal tumbuh tetap tidak berubah. Namun, terjadinya reaksi transfer hasil dalam
pengurangan rantai polimer rata panjang, dan dalam kasus transfer ke polimer dapat menyebabkan percabangan
(Hesse, 1991).

2.2.1.5 Polimerisasi Diena


Diena adalah senyawa alifatik yang memiliki dua ikatan ganda. Bila ikatan ganda ini dipisahkan oleh
hanya satu ikatan tunggal, senyawa ini disebut sebagai diena konjugasi (diolefin kinjugasi). Diolefin tak-
konjugasi memiliki ikatan ganda yang terpisah (terisolasi) oleh lebih dari saru ikatan tunggal. Kelas senyawa yang
disebut terakhir ini hanya memiliki arti kecil dalam industri. Masing-masing ikatan ganda dalam senyawa ini
berkelakuan sendiri-sendiri dan beraksi seolah-olah ikatan ganda yang tidak ada. Diena terkonjugasi seperti
butadiena (1), chloroprene (2), dan isoprene (3) merupakan kelompok kedua senyawa tak jenuh yang dapat
mengalami polimerisasi melalui ikatan ganda mereka. Contoh senyawa butadiena :

Dari contoh di atas nilai 214 nm merupakan nilai panjang gelombang untuk struktur induk (parent)
Asiklik dari senyawa diena, sehingga didapatkan untuk contoh B, di mana nilai λ induk (transoid) adalah 214 nm,
ditambah dengan 3 x 5 (15 nm) karena ada 3 metil (alkil subsitusi = lihat ditabel) sehingga didapatkan λ
prediksinya adalah 229 nm, yang tidak jauh beda dengan hasil pengamatan (Observed) adalah 228 nm. Semua
polimerisasi reaksi rantai melibatkan dasarnya jumlah yang sama langkah. Itu fitur pembeda utama antara
polimerisasi reaksi berantai, bagaimanapun, adalah dengan mekanisme inisiasi, yang mungkin menjadi radikal
bebas, ion (kation atau anion), atau koordinasi. Waktu antara inisasi dan terminasi rantai yang diberikan biasanya
dari beberapa persepuluh detik untuk beberapa detik. Selama ini ribuan atau puluhan ribu monomer menambah
rantai tumbuh. Unit struktual dalam polimer selain secara kimiawi identik dengan monomer yang digunakan
dalam reaksi polimerisasi.

2.3.2 Ionic and coordination polymerization


2.3.2.1 Polimerisasi kation
Polimerisasi adisi kationik terinisiasi oleh asam yang ditambahkan pada senyawa berikatan rangkap dua
membentuk suatu kation. Kation ini akan berperan pada tahap propagasi untuk membentuk rantai polimer. Contoh
polimerisasi adisi kationik adalah pembetukan karet poliisobutilen dari bahan isobutilena. Asam ang digunakan
biasanya adalah asam fosfat dan asam sulfat, yang berperan sebagai inisiator. Dalam polimerisasi kation dengan
monomer CH2=CHX, yang bertindak sebagai pembawa rantai ialah ion karbonium. Katalis yang diperlukan
dalam reaksi polimerisasi ini ialah Asam Lewis seperti AlCl3, BF3, TiCl4, dan Asam kuat lainya. Berbeda dengan
polimerisasi radikal bebas yang umumnya berlangsung pada suhu tinggi, pada polimerisasi kation ini justru dapat
berlangsung pada suhu yang sangat rendah. Misalnya, polimerisasi 2-metil propena yang berlangsung sangat
cepat pada suhu -100 C dengan adanya katalis BF3 atau AlCl3. Polimerisasi kation sering terjadi pada monomer
yang mengandung gugus yang dapat melepaskan elektron.

Berikut ini reaksi pemicuan polimerisasi kation yang dikatalisis oleh asam kuat :

Pada reaksi diatas, HA merupakan molekul asam kuat seperti HCl, H2SO4 atau HClO4. Reaksi pemicuan
diatas dilakukan dengan jalan diberikanya proton ke monomer oleh asam HA. Pemberian proton ke monomer ini
menyebabkan atom C pada monomer menjadi bermuatan positif sehingga membentuik ion C+ yang biasa kita
sebut sebagai ion karbonium. Ion karbonium ini selanjutnya akan dapat menarik monomer-monomer berikutnya
sehingga terbentuklah polimer kation dari monomer CH2=CHX. Berikut ini reaksi polimerisasinya :
Peristiwa reaksi polimerisasi diatas akan berlangsung secara terus menerus sampai kita menghentikanya.
Proses pengakhiran rantai ini dapat dilakukan melalui berbagai proses. Proses yang paling sederhana ialah dengan
jalan menggabungkan ion karbonium dengan anion pasanganya ( anion lawan ), berikut ini reaksi pengakhiran
polimerisasi nya :

Sifat pelarut sangat penting dalam polimerisasi kation. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa polimerisasi
tidak terjadi jika pelarut yang dipakai adalah pelarut non polar. Ion karbonium malah akan bereaksi dengan ion
lawanya menghasilkan reaksi yang serupa dengan adisi elektrofilik HA pada senyawa yang berikatan rangkap.
Namun demikian, jika reaksi dilakukan dalam pelarut polar maka polimerisasi akan segera terjadi, sebab ion
karbonium menjadi mantap akibat solvasi dan ion karbonium dapat berlangsung untuk menghasilkan polimer.

2.3.2.2 Polimerisasi Anion


Anion dapat berperan sebagai agen inisiator dalam reaksi polimerisasi. Umumnya, senyawa vinil dapat
menjadi anion yang terstabilkan oleh delokalisasi. Contoh senyawa yang dapat mengalami polimerisasi adisi
anionik adalah stirena, diena, metakriat, vinil piridin, aldehida, epoksida, siloksana siklis, dan lakton. Hal ini
dikarenakan senyawa-senyawa tersebut dapat mengalami delokalisasi dengan adanya anion. Inisiator yang
digunakan untuk polimerisasi adisi anionic adalah logam ionik maupun kovalen seperti amida, alkoksiada,
hidroksida, sianida, fosfina, amina, dan senyawa orgaometalik.
Pada polimerisasi anion dengan monomer CH2=CHX, ion karbanion bertindak sebagai pembawa rantai.
Monomer yang mengandung substituen elektronegatif seperti propenitril, 2-metil propenoat, dan fenietena
tergolong yang dapat mengalami polimerisasi jenis ini. Seperti polimerisasi kation, reaksi polimerisasi anion
berlangsung paling baik pada suhu rendah. Katalis yang digunakan ialah logam alkali, alkil, aril dan amida logam
alkali. Sebagai contoh polimerisasi anion, yaitu amida logam alkali seperti senyawa KNH2 yang dapat digunakan
sebagai katalis untuk mempercepat polimerisasi monomer CH2=CHX. Berikut ini reaksi pemicuan polimerisasi
anion :
Pada reaksi diatas, ion NH2- memberika elektronya kepada monomer CH2=CHX sehingga menyebabkan
atom karbon dari monomer itu bermuatan negatif, kita menyebutnya ion karbanion ( C- ). Selanjutnya ion
karbanion ini menarik monomer selanjutnya sampai proses polimerisasi kita hentikan, berikut ini reaksi
polimerisasinya :

Proses pengakhiran pada polimerisasi anion tidak begitu jelas seperti polimerisasi kation, sebab
penggabungan rantai anion dengan ion lawan dipandang tidak terjadi. Jika dipakai pelarut inert dan pereaksi
murni, maka polimerisasi hanya berhenti ketika seluruh monomer pereaksi habis bereaksi (Frisch, 1967).

2.3.3 Step-Growth Polymerization


2.3.3.1 Typical Step-Growth Polymerization
1. Polyester
Adalah suatu kategori polimer yang mengandung gugus fungsional ester dalam rantai utamanya. Meski
terdapat banyak sekali poliester, istilah "poliester" merupakan sebagai sebuah bahan yang spesifik lebih sering
merujuk pada polietilena tereftalat (PET). Poliester termasuk zat kimia yang alami, seperti yang kutin dari kulit
ari tumbuhan, maupun zat kimia sintetis seperti polikarbonat dan polibutirat.

Dapat diproduksi dalam berbagai bentuk seperti lembaran dan bentuk 3 dimensi, poliester sebagai termoplastik
bisa berubah bentuk sehabis dipanaskan. Walau mudah terbakar di suhu tinggi, poliester cenderung berkerut
menjauhi api dan memadamkan diri sendiri saat terjadi pembakaran. Serat poliester mempunyai kekuatan yang
tinggi dan E-modulus serta penyerapan air yang rendah dan pengerutan yang minimal bila dibandingkan dengan
serat industri yang lain. Kain poliester tertenun digunakan dalam pakaian konsumen dan perlengkapan rumah
seperti seprei ranjang, penutup tempat tidur, tirai dan korden. Poliester industri digunakan dalam pengutan ban,
tali, kain buat sabuk mesin pengantar (konveyor), sabuk pengaman, kain berlapis dan penguatan plastik dengan
tingkat penyerapan energi yang tinggi. Fiber fill dari poliester digunakan pula untuk mengisi bantal dan selimut
penghangat.

Kain dari poliester disebut-sebut terasa “tak alami” bila dibandingkan dengan kain tenunan yang sama
dari serat alami (misalnya kapas dalam penggunaan tekstil). Namun kain poliester memiliki beberapa kelebihan
seperti peningkatan ketahanan dari pengerutan. Akibatnya, serat poliester kadang-kadang dipintal bersama-sama
dengan serat alami untuk menghasilkan baju dengan sifat-sifat gabungan. Foto baju dari poliester yang diambil
dari dekat Poliester juga digunakan untuk membuat botol, film, tarpaulin, kano, tampilan kristal cair, hologram,
penyaring, saput (film) dielektrik untuk kondensator, penyekat saput buat kabel dan pita penyekat.

Poliester kristalin cair merupakan salah satu polimer kristalin cair yang digunakan industri yang pertama
dan digunakan karena sifat mekanis dan ketahanan terhadap panasnya. Kelebihan itu penting dalam
penggunaannya sebagai segel mampu kikis dalam mesin jet. Poliester keras panas (thermosetting) digunakan
sebagai bahan pengecoran, dan resin poliester chemosetting digunakan sebagai resin pelapis kaca serat dan
dempul badan mobil yang non logam. Poliester tak jenuh yang diperkuat kaca serat banyak digunakan dalam
bagian badan dari kapal pesiar serta mobil (Frisch, 1967).

Poliester digunakan pula secara luas sebagai penghalus (finish) pada produk kayu berkualitas tinggi
seperti gitar, piano, dan bagian dalam kendaraan / perahu pesiar. Perusahaan Burns London, Rolls-Royce, dan
Sunseeker merupakan segelinter perusahaan yang memakai poliester untuk memperhalus produk-produk mereka.
Sifat-sifat tiksotropi dari poliester yang bisa dipakai sebagai semprotan membuatnya ideal untuk digunakan pada
kayu gelondongan bijian-terbuka, sebab mampu mengisi biji kayu dengan cepat, dengan ketebalan saput yang
terbentuk dengan kuat per lapisan. Poliester yang diawetkan bisa diampelas dan dipoleskan ke produk akhir.

2. Polycarbonates
Polikarbonat adalah plastik serbaguna yang tangguh digunakan untuk berbagai aplikasi, dari jendela
antipeluru sampai compact disk (CD). Keuntungan utama dari bahan ini lebih dari jenis lain plastik dengan
kekuatan besar yang dikombinasikan dengan yang ringan. Sementara akrilik 17% lebih kuat dari kaca,
polikarbonat hampir bisa dipecahkan. Jendela antipeluru dan tempelan seperti yang terlihat di dalam bank atau di
drive-through sering terbuat dari plastik ini. Tambahkan ini membuat keuntungan yang hanya 1/3 berat akrilik,
atau 1/6 seberat kaca, dan satu-satunya kelemahan adalah bahwa hal itu lebih mahal.

Compact disk dan cakram digital serbaguna (DVD) mungkin merupakan contoh yang paling mudah
dikenali dari polikarbonat. Siapapun yang telah menyimpan arsip file pada CD yang dapat ditulis, kemudian
mencoba untuk memecah sebelum membuangnya, akan tahu betapa sulit bahan ini. Kegunaan lain untuk
polikarbonat termasuk lampiran rumah kaca, lampu mobil, perlengkapan outdoor, dan aplikasi industri medis,
meskipun daftar ini hampir tak ada habisnya. Agak kurang beracun dari polyvinyl chloride (PVC) untuk
diproduksi, plastik ini tetap membutuhkan bahan kimia beracun dalam tahap produksi. Hal ini, bagaimanapun,
dapat didaur ulang dan ramah lingkungan lebih baik untuk PVC dalam aplikasi bahan yang baik dapat digunakan.

3. Polyamides
Polyamide (Poliamida) adalah polimer yang terdiri dari monomer amida yang tergabung dengan
ikatan peptida. Poliamida dapat terbentuk secara alami ataupun buatan. Salah satu bentuk poliamida alami yaitu
protein, seperti wol dan sutra. Poliamida dapat dibuat secara artifisial melalui polimerisasi atau sintesis (fase
padat). Contoh poliamida buatan diantaranya nilon, aramid dan sodium poly(aspartat). Poliamida biasanya
digunakan dalam industri tekstil, otomotif, karpet dan pakaian olahraga karena memiliki sifat kuat dan daya tahan
yang ekstrim.

Poliamida pertama kali dibuat oleh W.Carothers pada tahun 1928 dengan nama dagang nylon. Poliamida
dibuat dari hasil reaksi senyawa diamina dan dikarboksilat. Poliamida yang pertama dibuat dari
heksametilendiamina dan asam adipat. Serat yang dihasilkannya disebut nylon 66, dimana persamaan reaksinya
sebagai berikut :

NH2(CH2)6NH2+COOH(CH2)4COOH –> NH2(CH2)6NHCO(CH2)4COOH +H2O

Pembuatan serat nylon dilakukan dengan membuat garam nylon yang merupakan hasil reaksi dari asam
karboksilat dengan senyawa amina. Kemudian garam nylon dipolimerisasikan pada suhu tinggi sehingga terjadi
polimerisasi dan dihasilkan poliamida sebagai bahan baku serat nylon. Selanjutnya poliamida yang dihasilkan
(pada umumnya dalam bentuk chips) dilelehkan pada suhu titik leburnya kemudian dipintal. Ikatan amida
dihasilkan dari reaksi kondensasi gugus amino dan asam karboksilat atau gugus asam klorida. Suatu molekul
kecil, biasanya air atau hidrogen klorida dieliminasi. Kelompok amino dan kelompok asam karboksilat bisa
berada pada monomer yang sama, atau polimer dapat dibentuk dari dua monomer bifungsional yang berbeda.
Satu dengan dua gugus amino, dan yang lain dengan dua asam karboksilat atau gugus asam klorida. Asam amino
dapat diambil dari monomer tunggal (jika perbedaan antara kelompok R diabaikan) bereaksi dengan molekul
identik untuk membentuk poliamida. Persamaan reaksinya dapat terlihat pada gambar berikut :
Sifat poliamida tergantung dari senyawa penyusunnya. Secara umum, serat poliamida mempunyai
penampang membujur berbentuk silinder dan penampang melintang bulat. Serat nylon dibuat untuk berbagai
tujuan, seperti untuk keperluan industri dibuat serat dengan kekuatan tinggi dan mulur kecil, sedangkan untuk
tekstil pakaian dibuat dengan kekuatan yang tidak terlalu tinggi dan mulur yang agak tinggi. Serat poliamida tahan
terhadap serangan jamur, bakteri dan serangga. Serat ini juga sangat tahan basa, rusak dalam asam kuat.dandapat
dicelup dengan zat warna dispersi asam dan basa. Serat poliamida memiliki kekuatan yang cukup tinggi dan
ketahanan kimia yang cukup baik, oleh karena itu penggunaanya cukup luas. Dapat digunakan untuk tekstil
pakaian misalnya kaos kaki, pakaian dalam, baju olah raga sampai pada penggunaan teknik seperti benang
penguat ban, terpal, belt penarik dan lain sebagainya (Billmayer, 1984).

4. Polybenzidazoles and Polybenzoxazoles


Substituen aromatik pada rantai polimer vinil mempengaruhi perilaku dari bahan tersebut. Aromatik unit
sebagai bagian dari rantai utama mengerahkan pengaruh besar pada hamper semua sifat penting dari polimer yang
dihasilkan. Poliamida aromatik dibentuk oleh reaksi berulang gugus amino aromatik dan gugus dalam rasio molar
1:1. Dalam poliamida aromatic serta polyester aromatik, yang cincin aromatik rantai kaku dipisahkan dari satu
sama lain dengan tiga ikatan tunggal bertutut-turut. Polymides, polybenzimidazole, dan polybenzoxazoles adalah
polimr dimana jumlah obligasi ini telah dikurangi menjadi satu. Polimer Ladder melambangkan kasus dimana
tidak ada ikatan tunggal berturut-turut antara moieties aromatic dalam rantai utama.

5. Formaldehyde Resins
Formaldehyde digunakan dalam produksi aminoplasts dan phenoplasts, yang merupakan dua kelas yang
berbeda namun termasuk polimer termoset. Aminoplasts adalah produk dari reaksi kondensasi anatara urea (urea-
formaldehyde atau resin UF) atau melamin (melamise-formaldehyde atau resin MF) dengan formaldehyde.
Phenoplasts atau fenolik (fenol_formaldehida atau PF) resin dibuat dari produk-produk kondensasi dari fenol atau
resorsinol dan formaldehida :
1.Resin Urea Formaldehyde adalah salah satu polimer yang merupakan kondensasi urea dengan formaldehid.
Resin ini produk yang sangat penting di bidang plastik, pelapisan dan perekat. Hasil reaksi antara urea dan
formaldehid adalah resin yang ternasuk ke dalam golongan thermosetting, artinya mempunyai sifat tahan panas
terhadap asam, basa, tidak dapat melarut, dan tidak dapat meleleh. Resin urea formaldehid dikenal juga dengan
nama urea methanol yaitu resin atau plastik thermosetting yang terbuat dari urea dan formaldehid yang
dipanaskan dalam suasana bisa lembut seperti ammonia dan piridin. Resin ini memiliki sifat tensile-strength
dan hardness permukaan yang tinggi dan absorpsi air yang rendah.
2.Melamin-Formaldehyde Resin (MF) / Melamin-Urea-Formaldehyde Resin (MUF ) adalah salah satu resin
thermosetting dan perekat yang paling sering digunakan untuk kayu lapis eksterior dan semi eksterior, papan
partikel dan fibreboard. Resin ini juga digunakan untuk persiapan dan pengikatan terhadap kertas berlaminasi
dan lapisan atas kayu. Resin MUF memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap air dan merupakan
karakteristik utama yang membedakannya dari resin UF.
3.Phenol formaldehid merupakan resin sintetis yang pertama kali digunakan secara komersial baik dalam industri
plastik maupun cat (surface coating). Phenol formaldehid dihasilkan dari reaksi polimerisasi antara phenol dan
formaldehid. Reaksi terjadi antara phenol pada posisi ortho maupun para dengan formaldehid untuk membentuk
rantai yang crosslinking dan pada akhirnya akan membentuk jaringan tiga dimensi (Hesse, 1991).
Salah satu aplikasi dari resin phenol formaldehid adalah untuk vernis. Vernis adalah bahan pelapis akhir
yang tidak berwarna (clear unpigmented coating). Perkembangan phenol formaldehid untuk aplikasi vernis dan
lacquer telah mampu menyaingi produk melamin formaldehid karena harganya yang lebih murah. Selain itu, hasil
aplikasinya dapat memunculkan jenis vernis dan lacquer yang berwarna sedangkan melamin formaldehid tidak
berwarna sehingga bila diinginkan hasil aplikasi yang berwarna tidak perlu penambahan zat warna. Produk phenol
formaldehid ada yang memberikan warna jernih kekuning-kuningan tetapi ada juga yang kecoklatan sampai
kemerah-merahan.

6. Polyethers
Pengenalan unit aromatic ke dalam hasil rantai polimer dengan stabilitas thermal yang lebih baik dari pada
analog alifatik mereka. Salah satu polimer seperti poli (fenilena oksida), PPO, yang memiliki banyak sifat yang
menarik, termasuk kekuatan tinngi, ketahanan terhadap mineral dan asam organic, dengan penyerapan air rendah.
Hal ini digunakan, biasanya dicampur dengan high-impact polystyrene (HIPS), untuk memudahkan proses dalam
pembuatan bagian0bagiannya. Poli (fenilena oksida) dipeoreh dari radikal bebas, pertumbuhan, kopling oksidatif
2,6-Dimethylphenol (2,6-Xylenol). Ini melibatkan oksigen ke dalam campuran reaksi yang mengandung 2,6-
Xylenol, tembaga klorida dan piridin.

7. Polysulfides
Politioeter aromatic atau polysulfides berhubungan erat dengan polieter dalam struktur dan sifat. Sebuah
polysulfide aromatic adalah poli (fenilena sulfide), yang digunakan sebagai isolator listrik dan bagian structural
dalam pembangunan mesin dan kendaraan. Poli (fenilena sulfide) disiapkan oleh reaksi kondensasi antara p-
dichlorobenzene dan natrium sulfide (Hesse, 1991).
8. Polysulfones
Polysulfones dapat disintesis oleh substitusi nukleofilik garam alkali dari biphenates dengan diaktifkan
dihalides aromatic. Sebuah contoh sederhana adalah persiapan bisphenol. Sebuah polisulfon dari reaksi garam
disodium bisphenol A dengan dichlorodiphenyl sulfon. Reaksi polimerisasi melibatkan persiapan awal garam
disodium dari bisphenol A dengan penambahan NaOH untuk bisphenol A dalam dimetil sulfoksida (DMSO).
Suatu larutan dichlorodiphenyl sulfon ditambahkan, dan polimerisasi dilakukan pada suhu 160 oC.

2.3.4 Ring-Opening Polymerization


Berbeda dengan polimerisasi kondensasi, tidak ada molekul kecil yang memisahkan ring-opening
polimerisasi. Kedua, tidak seperti polimerisasi olefin, kekuatan pendorong untuk polimerisasi ini tidak berasal
dari hilangnya titik jenuh. Sejumlah besar polimer telah dihasilkan dari ring-openingnya siklik organic compound,
termasuk epoksida seperti etilen dan propilen oksida dan epiklorohidrin dan eter siklik lainnya seperti trioksan
dan tetrahidrofuran. Sistem penting lainnya termasuk ester siklik (lakton), amida siklik (laktam), sikloolefin, dan
siloksan.

2.3.4.1 Poly (propylene Oxide)


Polimerisasi propilena oksida merupakan contoh penting polimerisasi pembukaan cincin pada industry.
Hal ini melibatkan serangan paling sterik karbon oleh anion hidroksil untuk menghasilkan alkoksida. Ini
menghasilkan molekul dasarnya linier pada polimer. Poli (propilena oksida) glikol yang digunakan luas sebagai
segmen lunak dalam busa urethane, yang antara aplikasi lain, digunakan sebagai kursi mobil. Hal ini sering di
perlukan untuk memodifikasi spesies yang tumbuh dalam propilen oksida dengan polimerisasi etilen oksida untuk
menghasilkan polimer dengan reaktivitas yang diterima dengan isosianta dan produk urethane dengan sifat yang
diinginkan.

2.3.4.2 Exopy Resin


Exopy resin biasanya disiapkan oleh reaksi basa-dikatalisis antara epoksida seperti epichloro-Hydrin dan
senyawa polihidroksi seperti bisphenol A: rasio molar epiklorohidrin untuk bisphenol A dapat berkisar sari 10:1
sampai 1,2:1. Ini menghasilkan resin mulai dari cair hingga semi padat dengan berat molekul yang solid dan titik
pelunakan yang bervariasi. The exopy prapolimer bisa cross-linked atau dengan reaksi dengan sejumlah reagen,
termasuk amina primer dan sekunder.

2.3.4.3 Polycaprolactam (Nylon 6)


Nylon merupakan sebutan generik untuk keluarga polimer sintetik yang dikenal umum sebagai poliamida
, pertama diproduksi pada 28 Februari 1935 oleh Wallace Carothers di DuPont fasilitas penelitian s 'di Stasiun
Percobaan DuPont .Nylon adalah salah satu polimer yang paling umum digunakan. Nylon adalah termoplastik
bahan halus, pertama kali digunakan secara komersial dalam nilon a- berbulu sikat gigi (1938), diikuti lebih
terkenal dengan perempuan stoking ("nylons"; 1940). Ini terbuat dari unit pengulangan dihubungkan oleh amida
obligasi dan sering disebut sebagaipoliamida (PA). Nylon adalah orang pertama yang secara komersial sukses
polimer sintetik. Ada dua metode umum pembuatan nilon untuk aplikasi serat. Dalam satu pendekatan, molekul
dengan asam (COOH) kelompok pada setiap akhir yang bereaksi dengan molekul yang mengandung amina
(NH 2) kelompok pada setiap akhir. Nilon yang dihasilkan diberi nama berdasarkan jumlah atom karbon
memisahkan dua kelompok asam dan dua amina. Ini terbentuk menjadi monomer dari antara berat molekul , yang
kemudian bereaksi untuk bentuk panjang polimer rantai. Di sisi lain, nilon 6 mudah pewarna, lebih mudah
memudar, tetapi memiliki dampak resistensi yang lebih tinggi, daya serap kelembaban yang lebih cepat, elastisitas
lebih besar dan pemulihan elastis. Semua nilon rentan terhadap hidrolisis, terutama oleh asam kuat , reaksi
dasarnya kebalikan dari reaksi sintetis yang ditunjukkan di atas. Berat molekul produk nilon sehingga menyerang
tetes cepat, dan retak membentuk cepat di zona terpengaruh. Semua Turunan dari nilon (seperti nilon 6)
dipengaruhi lebih dari anggota yang lebih tinggi seperti nilon 12. Ini berarti bahwa bagian-bagian nilon tidak
dapat digunakan dalam kontak dengan asam sulfat misalnya, seperti elektrolit yang digunakan dalam baterai
timbal-asam . Ketika sedang dibentuk, nilon harus dikeringkan untuk mencegah hidrolisis dalam barel mesin
cetak karena air pada suhu tinggi juga dapat menurunkan polimer (Martin, 1956).

2.4 Teknik Reksi Polimerisasi


2.4.1 Proses polimerisasi
Polimer adalah molekul besar yang terbangun oleh susunan unit ulangan kimia yang kecil, sederhana dan
terikat oleh ikatan kovalen. Unit ulangan ini biasanya setara atau hampir setara dengan monomer yaitu bahan
awal dari polimer. Polimer didefinisikan sebagai makromolekul yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia
yang kecil dan sederhana yang setara dengan monomer, yaitu bahan pembuat polimer. Akibatnya, molekul-
molekul polimer umumnya mempunyai massa molekul yang sangat besar.
Polimerisasi kondensasi adalah proses pembentukan polimer melalui penggabungan molekul-molekul
kecil melalui reaksi yang melibatkan gugus fungsi, dengan atau tanpa diikuti lepasnya molekul kecil. Dengan
kata lain, polimerisasi kondensasi hanya dilangsungkan oleh monomer yang mempunyai gugus fungsional.
Molekul kecil yang dilepaskan biasanya adalah air. Selain itu, methanol juga sering dihasikan sebagai efek
samping polimerisasi kondensasi. Contoh polimeriasasi kondensasi adalah pembentukan selulosa dari monomer
(unit ulangan) yaitu glukosa. Glukosa sebanyak n akan bergabung membentuk rantai dan air dengan jumlah (n-
1). Pada polimerisasi selulosa, dua monomer glukosa bergabung, mengkondensasikan molekul air, kemudian
melepaskan atom oksigen yang menghubungkan dua monomer proses ini berlanjut sehingga membentuk rantai.
2.4.2 Sistem Homogen
Proses polimerisasi dapat dengan mudah diklasifikasikan berdasarkan sistem homogen dan sistem
heterogen. Dalam polimerisasi homogen, seperti namanya semua reaktan, termasuk monomer, penggagas, dan
pelarut, saling larut dan kompatibel dengan polimer yang dihasilkan. Disisi lain, dalam sistem heterogen, katalis,
monomer, dan produk polimer yang saling larut. Polimerisasi homogen terdiri dari sistem bulk (mass) atau solusi
sementara reaksi polimerisasi heterogen dapat diketegorikan sebagai massa, solusi, presipitasi suspense, emulsi,
fase gas, dan polimerisasi antarmuka.
1. Polimerisasi Bulk
Teknik polimerisasi massa atau yang sering disebut bulk polimerisation adalah teknik yang bertujuan
untuk pembuatan polimer kondensasi, reaksinya bersifat eksotermis dengan viskositas campuran yang rendah
sehingga panas dapat berpindah melalui pengeluaran gelembung. Sistem pada polimerisasi massa jarang
digunakan secara komersil untuk pembuatan polimer visual, kecuali untuk membuat polimetil metakrilat tuang.
Penentuan bobot molekul polimer dapat dilakukan dengan fraksinasi polimer yakni untuk memisahkan sampel
polimer tertentu ke dalam beberapa golongan bermassa molekul sama. Umumnya cara yang digunakan dalam
fraksinasi didasarkan pada kenyataan bahwa kelarutan polimer berkurang dengan naiknya massa molekul.
Cara - cara melakukan fraksinasi :
 Pengendapan bertingkat
Langkah-langkahnya:
a. Sampel dilarutkan dalam pelarut yang cocok sehingga membentuk larutan yang berkonsentrasi 0,1
persen.
b. Kedalam larutan ini ditambahkan bukan pelarut setetes demi setetes sambil diaduk cepat. Bahan bermassa
molekul paling tinggi menjadi tak larut dan segan terpisah.
c. Tambahkan lagi bukan - pelarut sebagai pengendap untuk mengendapkan polimer bermassa molekul
tertinggi berikutnya.
d. Tata kerja ini dilakukan berulang - ulang sampai terpisah menjadi beberapa fraksi yang kian berkurang
massa molekulnya.

 Elusi bertingkat
Langkah-langkahnya:
a. Polimer diekstraksi dari zat padat kedalam larutan.
b. Kolom diisi dengan bahan polimer dan diisi sampel, lalu dielusi dengan campuran pelarut dan bukan
pelarut secara bertahap. Jadi polimer yang bermassa molekul rendah keluar dari kolom pertama kali,
diikuti oleh fraksi yang mengandung bahan bermassa molekul lebih besar.

 Kromatografi Permiasi Gel (KPG)


Langkah-langkah
a. Kolom diisi dengan beberapa bentuk bahan kemasan polimer.
b. Larutan sampel polimer yang sedang diteliti dilewatkan ke dalam kolom dan dielusi dengan lebih banyak
pelarut.

2. Polimerisasi secara larutan


Contoh dari polimerisasi larutan ialah konversi polivinil asetat menjadi polivinil alcohol ester akrilik.
Polimerisasi monomer vinil, berlangsung dalam larutan untuk memudahkan perpindahan panas dan control. pada
pembuatan polimerisasi monomer vinil, diperlukan pelarut yang benar sehingga tidak terjadi chain transfer, dan
polimer yang akan dihasilkan dapat digunakan dalam larutan.
Karakteristik Polimerisasi Larutan :
Dapat dilakukan untuk polimerisasi vinil dengan pelarut yang sesuai
· Keuntungan: panas dapat dipindahkan kepelarut.
· Kesukaran: dapat terjadi pemindahan rantai kepelarut
· Sukar menghilangkan pelarut

2.4.3 Sistem Heterogen


1. Polimerisasi Suspensi
Teknik pada polimerisasi suspensi berlangsung dalam system aqueous dengan monomer sebagai fase
terdispersi sehingga menghasilkan polimer yang berada fase solid terdispersi. Metode polimerisasi ini digunakan
secara komersil untuk menghasilkan polimer vinil yang keras, contohnya polistirena, polimetil metaklirat,
polivinil klorida serta poliakrilonitril. Contoh teknik polimerisasi suspense adalah pada proses pembuatan
PMMA.

Polimerisasi Suspensi :

Dalam polimerisasi suspensi, monomer + inisiator yang terlarut didispersikan dalam bentuk tetesan kecil
ke dalam air yang mengandung sedikit suspension agent. Begitu polimerisasi berlangsung, tetesan monomer
berubah menjadi kental dan lengket. Hasil akhir reaksi mengandung polimer 25-50% yang terdispersi dalam air.
Jika polimerisasi sudah selesai, suspensi polimer dialirkan ke blowdown tank atau stripper untuk memisahkan
sisa monomer. Slurry dipompa ke centrifuge atau filter untuk menyaring, mencuci, dan mengeringkan
polimer.Polimer basah (30% air) dikeringkan dengan udara hangat (66 to 149°C) dalam dryer. Polimer kering
dikirim ke storage (Malcolm, 2001).

Keuntungan polimerisasi suspensi:

1. Penggunaan air sebagai media pertukaran panas lebih ekonomis darpada solven organik.
2. Dengan nilai CP yang besar, pengambilan panas reaksi lebih efektif dan kontrol terhadap temperatur
menjadi lebih mudah.
3. Pemisahan dan penanganan polimer lebih mudah daripada polimerisasi emulsi dan larutan.
4. Produk lebih mudah dimurnikan.

2. Polimerisasi Emulsi
Polimerisasi jenis ini, dapat menghasilkan polimer dengan laju dan berat molekul yang tinggi. Sistem
pada polimerisasi emulsi merupakan dua fase cairan yang tidak larut, Fase pertama ialah fase kontinu aqueous,
yang merupakan inisiator, sedangkan fase kedua ialah fase diskontinu nonaqueous yang merupakan bentuk
monomer dan polimer. Contoh teknik polimerisasi ini adalah pada pembuatan karet SBR.
Pada tahun 1998 kebutuhan dunia akan polimer emulsi sebesar 7,4 juta metrik ton dan diramalkan
kebutuhan tersebut pada tahun 2007 akan meningkat menjadi 10,1 juta metrik ton dengan pertumbuhan per tahun
sebesar 3,6% . Salah satu faktor yang menentukan sifat/karakter polimer emulsi adalah ukuran partikel. Polimer
emulsi mengandung partikel dengan diameter berkisar antara 10 sampai dengan 1.500 nm.
Pada umumnya ukuran partikel polimer emulsi berkisar antara 100 sampai dengan 250 nm. Ukuran
partikel sangat menentukan sifat polimer emulsi seperti sifat aliran dan kestabilan polimer. Sebagai contoh suatu
bahan pelapis dengan ukuran partikel yang kecil akan memberikan hasil coating yang halus, kekuatan adhesi yang
baik, ketahanan terhadap air yang cukup baik serta kestabilan lateks yang cukup lama. Disamping itu ukuran
diameter partikel polimer yang kecil dapat menyebabkan bahan pelapis akan lebih glossy atau transparan karena
partikel-partikel polimer dari pelapis akan lebih rapat, jadi tidak ada ruang untuk ditempati partikel lain.
Karakteristik Polimerisasi Emulsi :
 Ada 2 fasa cair saling bercampur :
Fasa luar = fasa kontinu = medium pendispersi = air
Fasa dalam = fasa terkontinu = medium terdispersi = monomer + polimer

 Inisiator berada dalam fsa cair. Partikel monomer – polimer = 0,1µm


 Dispersi cair-cair = emulsi memerlukan stabilisator (emulgator).
 Disperse padat-cair = suspense

Polimerisasi emulsi polimer menghasilkan nilai yang tinggi dengan biaya rendah, ramah lingkungan
proses. Dorongan untuk mengembangkan metode produksi ramah lingkungan untuk polimer telah mengakibatkan
luas dalam pengembangan dan implementasi dari teknik polimerisasi emulsi. Selain itu, bila dikombinasikan
dengan mekanisme polimerisasi novel proses dapat menimbulkan berbagai produk polimer dengan polimerisasi
properties.Emulsion sangat berguna adalah proses yang kompleks, diatur oleh interaksi dari kedua kimia dan sifat
fisik termasuk kinetika polimerisasi dan stabilitas dispersi. aplikasi industri yang sukses bergantung pada
pemahaman dan pengendalian properti tersebut (Frisch, 1967).

3. Polimerisasi Presipitasi
Polimerisasi prisepitasi, juga dikenal sebagai slurry polymerization, melibatkan system larutan, dimana
monomer dapat larut namun polimer tidak larut. Ini mungkin adalah proses yang paling penting untuk polimerisasi
koordinasi olefin. Persiapan pada katalis polimerisasi biasanya pada tekanan kurang dari 50 atm dan suhu rendah
(kurang dari 100oC.
Polimer yang dihasilkan, yang diendapkan sebagai flocs, membentuk bubur yang terdiri dari sekitar 20%
polimer tersuspensi di dalam hidrokarbon cair digunakan sebagai pelarut. Suspense dari flocs polimer dalam
pelarut menghasilkan suatu system fisik viskositas rendah yang mudah bergerak. Namun, masalah mungkin
timbul akibat pengendapan polimer dan pembentukan deposit pada pengaduk dan dinding reactor. Kebanyakan
industri logam transisi katalis tidak larut, dan akibatnya polimerisasi terjadi dalam system multiphase dan dapat
dikendalikan oleh perpindahan massa. Oleh karena itu, jenis katalis yang digunakan memberikan pengaruh lebih
besar pada parameter dan geometri reaktor.

4. Interfacial and Solution Polycondensation


Monomer yang sangat reaktif mampu bereaksi dengan cepat pada suhu rendah untuk menghasilkan
polimer yang berat molekul yang lebih tinggi dari pada yang diproduksi di polycondensations bulk normal.
Reaktan terbaik dan paling banyak digunalan adalah klorida diacid organic dan senyawa mengandung hydrogen
aktif.
Dalam polimerisasi interfacial sepasang cairan immisibel digunakan, salah satunya adalah biasanya air
sementara yang lain adalah hidrokarbon atau hidrokarbon terklorinasi seperti heksana, xylene, atau karbon
tetraklorida. Fase cair berisi diamina, diol, atau senyawa hydrogen aktif dan reseptor asam atau basa (misalnya,
NaOH). Fase organic, di sisi lian, mengandung asam klorida. Seperti namanya, jenis ini terjadi polimerisasi
interfasial antara dua cairan,
Berbeda dengan suhu tinggi reaksi polikondensasi, reaksi-reaksi ini tidak dapat diubah karena tidak ada
reaksi signifikan antara produk polimer dan molekul rendah berat dengan produk di suhu rendah yang digunakan.
Akibatnya, distribusi berat molekul adalah fungsi dari kinetika system polimerisasi, tidak ditentukan statistic
dalam polycondensations keseimbangan normal. Laju reaksi dikendalikan oleh laju difusi monomer ke interface.
Hal ini meniadakan kebutuhan untuk memulai reaksi dengan jumlah stoikiometrik reaktan. Karena reaksi yang
ireversibel, konversi tinggi tidak selalu diperlukan untuk mendapatkan tinggi dengan berat molekul polimer.

2.5 Reactor Polimerisasi


Reaktor kimia adalah alat dirancang untuk berisi reaksi kimia. Perancangan suatu bahan kimia reactor
berhadapan dengan berbagai aspek teknik kimia. Insinyur kimia mendisain reactor untuk memaksimalkan net
present velue untuk suatu reaksi para perancang memastikan bahwa reaksi menghasilkan efisien yang paling
tinggi kea rah produk keluaran yang diinginkan, memproduksi hasil produk yang banyak sementara
memburuhkan sedikit uang untuk membeli bahan dan beroperasi.
Perubahan energi berbentuk dalam wujud pemanasan atau pendinginan, memompa untuk meningkatkan
tekanan, frictional pressure loss (seperti pressure drop pada suatu pipa siku 90o atau suatu lempeng orifis dan lain-
lain. Ada dua jenis reactor yaitu reactor tangki dan reactor pipa. Keduanya dapat digunakan sebagai reactor batch
tau reactor kontinu. Biasanya, reactor beroperasi dalam keadaan steady state, tetapi kadang juga dioperasikan di
dalam keadaan unsteady.
Ada tiga model dasar utama dari reactor kimia :
 Batch reactor model (batch)
 Continous stirred-tank reactor model (CSTR)
 Plug flow reactor model (PFR)

2.5.1 Batch Reactor


Batch Reactor adalah tempat terjadinya reaksi, dimana tidak ada massa masuk dan keluar selama reaksi.
Jadi bahan dimasukkan, direaksikan beberapa waktu / hari (residence time) dan dikeluarkan sebagai produk dan
selama proses tidak ada umpan-produk mengalir.
Reaktor batch umumnya digunakan :

1. Fase cair
2. Skala proses yang kecil
3. Mencoba proses baru yang belum sepenuhnya dikembangkan
4. Memproduksi produk yang mahal
5. Proses-proses yang sulit diubah menjadi proses kontinyu
6. Jika bahan atau hasilnya perlu pembersihan
7. Proses memerlukan waktu lama
Keuntungannya :
1. Lebih murah dan ongkos atau harga instrumentasi rendah.

2. Lebih mudah pengoperasian dan pengontrolan (penambahan bahan per volume) atauPenggunaannya
fleksibel, artinya dapat dihentikan secara mudah dan cepat kapan saja diinginkan.

3. Terjadi pengadukan sempurna sehingga konsentrasi disetiap titik dalam reaktor sama pada waktu yang
sama.
4. Pada reaktor batch dengan volume berubah, maka perubahan volume dapat dianggap linier terhadap
konversi.
5. Penggunaan yang multifungsi dan reaktor ini dapat digunakan untuk reaksi yang menggunakan
campuran kuat dan beracun.
6. Mudah dibersihkan.

Kerugiannya :
1. Pengendalian suhu bermasalah dan pengendalian kualitas dari produk jelek atau susah.

2. Lebih banyak pekerja, karena diperlukan utk pengawasan kondisi & prosedur yg berubah terus dari
awal sampai akhir sehingga biaya buruh dan handling tinggi.
3. Tidak baik utk fase gas, karena rentan bocor pada masukan pengaduknya dan banyak waktu yang
terbuang.
4. Tidak efektif utk skala besar karena waktu yang lama (tidak produktif) sehingga skala produksi yang
kecil.
5. Tidak dapat dijalankan pada proses-proses yang sulit,karena harus diubah menjadi proses kontinue
6. Saat terjadi reaksi tidak ada reaktan yang masuk dan produk yang keluar.
7. Kadang-kadang waktu shut down nya besar, yaitu waktu untuk mengosongkan, membersihkan dan
mengisi kembali.

2.5.2 Continous stirred-tank reactor model


CSTR (Contiunuous Stirred Tank Reactor) merupakan salah satu jenis reaktor berdasarkan prosesnya.
CSTR dirancang untuk mempelajari proses-proses penting dalam ilmu kimia. Reaktor jenis ini termasuk salah
satu dari tipe reaktor interchangeablepada unit service reactor (CEX Mk II). CSTR bisa berbentuk dalam satu
tangki atau lebih dalam rangkaian seri. Reaktor ini digunakan untuk reaksi fasa cair dan biasanya digunakan
dalam industri kimia organic seperti pabrik pembuatan etil asetat. Keuntungan dari CSTR adalah kualitas produk
yang bagus, kontrol yang otomatis dan tidak membutuhkan banyak tenaga operator. Karakteristik dari reaktor ini
adalah beroperasi pada kondisi steady state dengan aliran reaktan dan produk secara kontinyu. Dalam industri,
CSTR lazim digunakan karena beroperasi dala
Reaktor CSTR beroperasi pada kondisi steady state dan mudah dalam kontrol temperatur, tetapi waktu
tinggal reaktan dalam reaktor ditentukan oleh laju alir dari feed masuk dan keluar, maka waktu tinggal sangat
terbatas sehingga sulit mencapai konversi reaktan per volume reaktor yang tinggi, karena dibutuhkan reaktor
dengan volume yang sangat besar.

Kelebihan dari reaktor CSTR adalah sebagai berikut :


1. Operasi kontinyu, sehingga memungkinkan produksi dalam jumlah besar.
2. Pengontrolan temperatur mudah dilakukan.
3. Mudah untuk menjalankan dua fase.
4. Biaya operasi murah
5. Mudah dibersihkan

Kelemahan reaktor CSTR, yaitu :


1. Konversi per unit volume rendah.
2. Agitasi yang kecil dapat menyebabkan by-passing dan channeling.
3. Waktu tinggal dalam reaktor sangat terbatas karena ditentukan oleh laju alir feed yang masuk dan keluar.
4. Dapat timbul endapan didasar akibat gaya sentrifugal.
5. Tidak efisien untuk reaksi bertekanan tinggi.

2.5.3 Tubular (Plug Folow) Reactor


Tubular (plug folow) reactor adalah suatu alat yang digunakan untuk mereaksikan suatu reaktan dalam
hal ini fluida dan mengubahnya menjadi produk dengan cara mengalairkan fluida tersebut dalam pipa secara
berkelanjutan. Untuk reaksi heterogen, misalnya anatara bahan baku gas dengan katalis padat menggunakan
model PFR. PFR mirip saringan air dan pasir. Katalis diletakkan pada suatu pipa lalu dari sela-sela katalis
dilewatkan bahan baku seperti air melewati sela-sela pasir pada saringan. Asumsi yang digunakan adalah tidak
ada perbedaan konsentrasi taip komponen yang terlibat di sepanjang arah jari-jari pipa. Di dalam PFR, fluida
mengalir demgan perlakuan yang sama sehingga waktu tinggal (t) sama untuk semua elemen fluida. Fluida sejenis
yang mengalir melalui reactor ideal disebut plug. Saat plug mengalir sepanjang PFR, fluida bercampur sempurna
dalam arah radial bukan dalam arah axial (dari arah depan atau belakang). Setiap plug dengan volume berbeda
dinyatakan sebagai kesantuan yang terpisah-pisah (hampir seperti bacth reactor) saat dai mengalir turun melalui
pipa PFR.
Kelebihan reactor PFR :
1. Tingkat perubahannya besar dalam setiap volumenya.
2. Bekerja dalam periode waktu yang cukup lama tanpa tenaga kerja
3. Sehingga upah produksi rendah
4. Perpindahan kalornya baik sekali
5. Operasinya terus-menerus

Kekurangan reactor PFR :


1. Sulit mengontrol temperaturenya
2. Tingginya temperature yang tidak diinginkan dapat terjadi
3. Proses pemberhentian dan pembersihannya mahal
MAKALAH TEKNOLOGI POLIMER

“STRUKTUR POLIMER”

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Ahmad Pratama

Mario Nicolas

Tesa Agustin

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S1

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2018
BAB II
PE MB AH AS AN

2.1 Pengertian Polimer


Polimer adalah molekul raksasa (makromolekul) yang terbentuk dari molekul-molekul kecil yang disebut
monomer. Secara umum makromolekul dibagi dua golongan besar yaitu; polimer organik dan polimer anorganik.
Polimer di klasifikasikan menjadi beberapa kelompok atas dasar sumber, struktur dan reaksi pembentukannya, misalnya
polimer alam dan polimer sintesis. Polimer alam contohnya seperti karet, wol, sutera dan lain-lain. Sementara polimer
sintesis misalnya karet sintetis dan stirena. Sedangkan contoh polimer berdasarkan strukturnya adalah polimer kovalen
raksasa seperti grafit, intan dan kuarsa.

2.2 Ikatan Kimia


Merupakan suatu ikatan yang terjadi pada suatu unsur karena adanya gaya tarik menarik antara dua atom atau
molekul yang menyebabkan suatu senyawa diatomik atau poliatomik menjadi stabil. Ikatan kimia terbentuk dari molekul-
molekul dalam suatu unsur baik yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Sifat-sifat zat sebagian besar ditentukan
oleh ikatan kimia antara atom-atom pembentukya. Ikatan kimia banyak sekali jenisnya. Jenis-jenis Ikatan kimia antara lain;

2.2.1 Ikatan Primer


a. Ionik
Ikatan ini terbentuk apabila dua unsur yang mempunyai elektronegatifitas yang jauh berbeda, sehingga masing-
masing atom akan mempunyai konfigurasi dengan pengisian orbital kuli terluar seperti gas mulia.

 Gas helium dan neon masing-masing meliliki elektron kulit terluar 2 dan 8.
 Lithium adalah logam yang mudah melepaskan 1 elektron kulit terluarnya yang juga disebut dengan
elektron valensi.
 Fluor dengan elektron kulit terluar 7 mudah menerima elektron.
Jika kedua unsur ini bereaksi, konfigurasi elektron kulit terluar atom lithium akan menjadi 2 sedangkan fluor akan
menjadi 8 sehingga menyerupai gas mulia spt helium dan neon, sehingga zat ini menjadi stabil (Anonim).

b. Kovalen
Ikatan kovalen adalah ikatan yang terjadi antara unsur nonlogam dengan unsur nonlogam yang lain dengan cara
pemakaian bersama pasangan elektron. Adakalanya dua atom dapat menggunakan lebih dari satu pasang elektron.
Apabila yang digunakan bersama dua pasang atau tiga pasang maka akan terbentuk ikatan kovalen rangkap dua atau
rangkap tiga. Jumlah elektron valensi yang digunakan untuk berikatan tergantung pada kebutuhan tiap atom untuk
mencapai konfigurasi elektron seperti gas mulia (kaidah duplet atau oktet) (Musfirah,2012).
Penggunaan bersama pasangan elektron digambarkan oleh Lewis menggunakan titik elektron. Rumus Lewis
merupakan tanda atom yang di sekelilingnya terdapat titik, silang atau bulatan kecil yang menggambarkan elektron valensi
atom yang bersangkutan.

Apabila dua atom hidrogen membentuk ikatan maka masing-masing atom menyumbangkan sebuah elektron dan
membentuk sepasang elektron yang digunakan bersama. Sepasang elektron bisa digantikan dengan sebuah garis yang
disebut tangan ikatan.

Jumlah tangan dapat menggambarkan jumlah ikatan dalam suatu senyawa kovalen. Pada molekul H2 di atas
ikatannya disebut ikatan kovalen tunggal. Molekul O2 terjadi dari dua atom oksigen dengan ikatan kovalen rangkap,
sedangkan pada molekul N2 terdapat tiga ikatan kovalen yang disebut ikatan kovalen rangkap tiga.

Contoh Pembentukan ikatan antara 1H dengan 7N membentuk NH3.

konfigurasi elektron
1H = 1
7N = 2 5

Atom nitrogen memerlukan tiga elektron untuk mendapatkan susunan elektron gas mulia, sedangkan setiap atom
hidrogen memerlukan sebuah elektron untuk mempunyai konfigurasi elektron seperti gas helium. Oleh karena itu, setiap
atom nitrogen memerlukan tiga atom hydrogen (Musfirah,2012).
c. Logam
Ikatan logam adalah ikatan kimia yang terbentuk akibat penggunaan bersama elektron-elektron valensi antar atom-
atom logam. Senyawa yang terbentuk hasil dari ikatan logam dinamakan logam (jika semua atom adalah sama). Misalnya
dalam logam tembaga, atom tembaga dikelilingi 12 atom tembaga (yang berikatan) atau aloi (jika terdapat atom-atom
yang berbeda) misalnya atom logam Be dan Cu membentuk baja.

2.2.2 Ikatan Sekunder


a. Dipol
Gaya London adalah gaya yang ditimbulkan oleh ikatan dipol sesaat. Gaya London dapat terjadi pada gas mulia yang
mempunyai keelektronegatifan nol. Contohnya pada Neon, dimana gas neon bisa dicairkan. Pada suhu yang sangat rendah
dan pada suhu ynag sangat tinggi, atom-atom neon akan saling berdekatan sehingga kestabilan elektronnya akan
terganggu. Hal ini menyababkan dalam atom Neon terbentuk dua kutub (dipol) antara molekul yang sama. Dipol ini
mengadakan ikatan sehingga neon berubah menjadi cair. Dipol ini bersifat sementara, karena elektron selalu bergerak
dalam orbital sehingga pasa saat berikutnya dipol itu hilang. Dipol ini disebut dipol sesaat. Ikatan dipol sangat lemah,
tetapi iaktannya akan bertambah kuat dengan bertambahnya elektron, sehingga titik didih makin tinggi. Kekuatan gaya
London bergantung pada beberapa faktor, antara lain kerumitan molekul dan ukuran molekul.

 Kerumitan Molekul
Lebih banyak terdapat interaksipada molekul kompleks dari molekul sederhana, sehingga Gaya London
lebih besar dibandingkan molekul sederhana. Makin besar Mr makin kuat Gaya London.
 Ukuran Molekul
Molekul yang lebih besar mempunyai tarikan lebih besar dari pada molekul berukuran kecil. Sehingga
mudah terjadi kutub listrik sesaat yang menimbulkan Gaya London besar. Dalam satu golongan dari
atas ke bawah, ukurannya bertambah besar, sehingga gaya londonnya juga semakin besar (Anonim).
b. Hidrogen
Ikatan Hidrogen ikatan yang terjadi antara atom H dengan atom yang elektronegatifitasnya tinggi (N, O, F), baik
antar molekul atau inter molekul. Kutub positif pada kedudukan H berikatan dengan kutub negatif pada kedudukan atom
yang keelektronegatifannya besar seperti N, O, F.

Pada molekul HF ujung molekul pada atom H lebih bermuatan positif dan ujung molekul pada atom F lebih
bermuatan negative. Jadi, antara atom H pada molekul pertama dengan atom F pada molekul berikutnya terjadi gaya
tarik-manarik yang cukup kuat.

Titik didih HF > HI > HBR > HCL, walaupun HF mempunyai Mr lebih kecil dari HCl tetapi mempunyai titik didih paling
tinggi, hal ini disebabkan karena antar molekul HF terdapat ikatan Hidrogen. Ikatan hydrogen jauh lebih kuat dari pada
gaya Van der Waals, sehingga zat yang mempunyai ikatan Hidrogen mempunyai titik cair dan titik didih yang relatif tinggi
(Anonim).

c. Induksi
Gaya induksi terjadi diantara molekul polar dan molekul nonpolar. Hal ini terjadi karena molekul polar tersebut
menginduksikan dipolnya pada molekul nonpolar, sehingga muatan-muatan negatif pada molekul nonpolar akan
terkumpul pada satu sisi molekul nonpolar didekat sisi positif molekul polar. Kondisi ini dapat menghasilkan suatu dipol
sesaat yang menghasilkan gaya tarik-menarik diantara molekul-molekul tersebut. peristiwa ini desebut dengan gaya
induksi (Anonim).

d. Van Der Waals


Antar molekul yang mempunyai perbedaan keelektronegatifan yang sangat kecil terdapat gaya tarik-menarik
walaupun sangat lemah. Gaya tarik menarik ini di namakan gaya Van der Waals.karena gaya ini sangat lemah maka zat
yang mempunyai ikatan Van der Waals akan mempunyai titik didih yang sangat rendah. Gaya van der Waals bersifat
permanen sehingga lebih kuat dari gaya London. Gaya Van der Waals terdapat pada senyawa Hidrokarbon contohnya
pada CH4. perbedaan keelektronegatifannya C(2,5) dengan H(2,1), sangat kecil yaitu sebesar 0,4. Senyawa- senayawa
yang mempunyai ikatan Van der Waals akan mempunyai titik didih yang sangat rendah, tetapi dengan bertambahnya Mr
ikatan akan makin kuat sehingga titik didih lebih tinggi. Contohnya titik didih C4H10 > C3H8 > C2H6 > CH4 > (Anonim).

2.3 Struktur Primer


Struktur primer mengacu pada struktur dari komposisi dan kimia atom dari monomer penyusun rantai polimer.
Pengetahuan tantang sifat monomer untuk pemahaman mendasar tentang hubungan sifat struktur dari polimer. Sifat
kimia dan elektrisitas dari polimer yang langsung berhubungan dengan konstituen monomer. Sifat fisik dan mekanik
polimer, di sisi lain, sebagian besar merupakan gambaran dari ukuran makromolekul polimer, yang langsung berkaitan
dengan sifat monomer.

Telah dibahas mengenai ikatan kimia, fungsi monomer, dan mekanisme polimerisasi dalam bagian sebelumnya.
Pada bagian ini lebih difokuskan kepada berfokus pada komposisi kimia monomer, polaritas monomer polimer.

2.3.1 Polaritas Monomer


Bila terdapat lebih dari dua atom dalam molekul, berikatan membentuk sudut, maka sudut yang terbentuk disebut
sudut ikatan. Sudut ikatan bervariasi dari kira-kira 60o sampai 180o. Kebanyakan struktur organik mengandung lebih dari
tiga atom, dan lebih bersifat berdimensi tiga daripada berdimensi dua. Semakin elektronegatif suatu atom, semakin besar
tarikannya terhadap elektron ikatan—tarikannya tidak cukup bagi atom untuk memecahkannya menjadi ion, tetapi cukup
sehingga atom ini mempunyai bagian rapat elektron yang lebih besar. Hasilnya adalah ikatan kovalen polar, suatu ikatan
dengan distribusi rapat elektron yang tidak merata (Silmi,2010).
Disamping keelektronegatifan, faktor lain yang menentukan derajat kepolaran suatu ikatan adalah polarizabilitas
atom-atom, yakni kemampuan awan elektron untuk didistorsi (diubah bentuknya) sehingga mengimbas kepolaran.
elektron-elektron terluar dari atom-atom besar berada lebih jauh dari inti dan kurang kuat terikat dibandingkan atom-
atom kecil. Oleh karena itu, atom besar dapat dipolarkan (polarizabel) dibandingkan atom kecil. Misalnya, ikatan C-I dapat
bertindak seolah-olah polar meskipun selisih keelektronegatifan antara C dan I dapat diabaikan(silmi,2010).

 Senyawa ionik yang polar


Kepolaran senyawa ionik ini bertanggung jawab untuk melakukan tarik menarik elektrostatis antara ion yang
berdekatan dalam senyawa tersebut.

 Molekul kovalen
Bentuk molekul tergantung pada susunan ruang pasangan elektron ikatan (PEI) dan pasangan elektron bebas
(PEB) atom pusat dalam molekul. Dapat dijelaskan dengan teori tolakan pasangan elektron kulit valensi atau
teori VSEPR (Valence Shell Electron Pair Repultion) (Sundus,2012).

Molekul kovalen terdapat pasangan-pasangan elektron baik PEI maupun PEB. Karena pasangan-pasangan elektron
mempunyai muatan sejenis, maka tolak- menolak antarpasangan elektron. Tolakan (PEB - PEB) > tolakan (PEB - PEI) >
tolakan (PEI - PEI). Adanya gaya tolak-menolak menyebabkan atom-atom yang berikatan membentuk struktur ruang yang
tertentu dari suatu molekul dengan demikian bentuk molekul dipengaruhi oleh banyaknya PEI maupun PEB yang dimiliki
pada atom pusat. Bentuk molekul ditentukan oleh pasangan elektron ikatannya. Contoh molekul CH4 memiliki 4 PEI

Kepolaran molekul ini kurang dibandingkan dengan senyawa ionik. Tingkat kepolaran tergantung dari
keeletronegatifan (Sundus,2012).

 Molekul poliatom
Polaritasnya adalah jumlah vektor dari semua momen dipol dalam molekul. Ini tergantung dari distribusi ruangnya.
Pada molekul poliatomik terdapat perbedaan keelektronegatifan yang menyebabkan adanya pergeseran rapat elektron
sehingga dihasilkan dipol. Momen dipol dinyatakan dalam Deybe. Momen dipol sendiri terjadi karena pergeseran muatan
dan karena terdapat pasangan elektron sunyi dari orbital non ikatan. Momen dipol dapat memberikan informasi mengenai
molekul, yaitu:

a. Seberapa jauh suatu molekul dapat terpolarisasi secara permanen


b. Geometri dari suatu molekul
c. Perkiraan nilai muatan dari spesies atom-atomnya (Silmi, 2010)

Berikut merupakan keelektronegatifan beberapa elemen.

Keelektronegatifan elemen-elemen

Sumber; Ebewele, Robert O., 2000

2.4 Struktur Sekunder


Untuk dapat memahami sifat dari polimer, kita harus dapat mengembangkan gambaran fisik seberapa panjang
molekul yang mereka miliki. Inilah bagian dari struktur sekunder, seperti ukuran dan bentuk dari sebuah molekul tunggal
yang terisolasi. Ukuran polimer sudah dibahas di dalam berat molekul. Bentuk dari molekul polimer dapat berpengaruh
secara alamiah dengan sifat alamiah pengulangan unit dan aturan dari tiap unit yang saling berhubungan. Sehingga
struktru sekunder poimer dapat digolongkan menjadi dua bagian:

 Konfigurasi:penyusunan pada rantai utama susunanan yang dapat berubah hanya dengan jalan pemutusan
ikatan kimia.
 Konformasi : merupakan penyusunan kedudukan dengan rotasi pada rantai utamanya.
2.4.1 Konfigurasi
Susunanan yang dapat berubah hanya dengan jalan pemutusan ikatan kimia,Seperti yang kita lihat sebelumnya,
sebuah molekul polimer mungkin linier, bercabang, atau cross linked tergantung pada fungsi dari monomer yang
digunakan. Tapi mari kita lihat lebih dekat pada rantai polimer. Jika unit berulang sepanjang rantai secara kimia dan sterik
teratur, maka polimer dikatakan memiliki struktur keteraturan. Untuk mempertimbangkan keteraturan struktur, kita perlu
mendefinisikan dua istilah: recurrence regularity (keteraturan berulang) dan stereoregularity.

Keteraturan berulang mengacu pada keteraturan dengan mana unit berulang terjadi di sepanjang rantai polimer.
Hal ini dapat diilustrasikan dengan memeriksa polimer yang dihasilkan dari monomer vinil monosubstituted.

Berikut ada tiga kemungkinan susunan:


 Head-to-tail configuration

 Head-to-head configuration

 Tail-to tail

2.4.1.1 Stereoregularity

Dua konfigurasi terakhir tidak muncul pada semua tingkatan polimer. Stereoregularity merupakan sifat spasial dari
molekul polimer atau merujuk pada sifat ruang polimer. Stereoregularity dapat dikontrol dengan menggunakan katalis
koordinasi seperti katalis Ziegler–Natta. Stereoregularity ditunjukkan pada substitusi tunggal vinyl polymers of olefins.

Seperti yang kita ketahui, ada beberapa tipe polimer yang terjadi didalam 3 rumus taksisitas, yaitu isotactic,
syndiotactic, and atactic. Isotactic and syndiotactic polymers mempengaruhi stuktur stereoregularnya. Umumnya polimer
ini bersifat kaku, crystallizable, titik lelehnya tinggi dan tidak larut. Selain itu, polymers atatic bersifat lunak, titik lelehnya
rendah, mudah larut, dan amorphous. Berikut merupakan contoh-contoh Stereoregularity:

1. Polimerisasi Diena
Seperti yang telah dijabarkan pada tahap propagasi di dalam polimerisasi pada monomer-monomer diena
(monomer-monomer dengan dua ikatan rangkap) dapat dihasilkan dengan kedua mekanisme: adisi 1,2 dan 1,4. Pada adisi
1,2 menghasilkan polimer tak jenuh yang merupaka bagian dari grup cabang, sedangkan di dalam adisi 1,4 tak jenuh
merupaka bagian dari tulang belakangnya (Backbone). Tulang belakang ini mempunyai struktur yang kaku dan perputaran
yang dapat terjadi di sekelilingnya tidaklah bebas. Oleh karena itu, terdapat dua jenis konfigurasi ang berbeda yaitu cis
dan trans. Sebagai contoh 1,4-poli isoprena:
cis-1,4-poli isoprena (karet alam) trans-1,4-poli isoprena (gutta-percha)

2. Taktisitas

 Isotaktik: Semua kelompok substituen, R, Terletak di atas (atau bawah) bidang utama rantai.
 Sindiotaktis: gugus substituen terletak bergantian atas dan di bawah rantai utama
 Ataktis (Random): urutan acak posisi substituen terjadi di sepanjang rantai.

2.4.2 Konformasi
Merupakan Geometri yang timbul dari rotasi gugus terhadap ikatan tunggal. Konformasi ini tidak
menimbulkan perubahan struktur kimia rantai polimer karena perubahan konformasi adalah reversibel (bolak -
balik). Atau dapat didefinisikan sebagai variasi bentuk dan ukuran rantai polimer yang terjadi karena rotasi ikatan
–ikatan valensi utama. Konformasi hanya menyebabkan perubahan sifat fisik dari bahan polimer seperti
perbedaan derajat kristalinitas dansebagainya. Bila bahan polimer dipanaskan melampaui suhu transisi kaca,
gugus - gugus dalam rantai polimer akan membentuk konformasi tertentu (bertindihan atau bergiliran). Bila
kemudian didinginkan, rantai polimer dengan konformasi tersebut dapat tersusun lebih rapi untuk membentuk
struktur kristalin. Bahan polimer berstruktur kristal bersifat lebih keras, liat dan tahan terhadap bahan kimia
dibandingkan dengan struktur bukan kristal (amorf).
Gambar 2.1. Konformer
molekul Etana

2.4.3 Berat Molekul


Polimer biasa
disebut juga polidispersi.
Polidispersi adalah
banyaknya hamburan yang artinya satu molekul yang dibentuk dari molekul yang sama tetapi berat molekul tidak
sama. Nilai bobot molekul bergantung pada besarnya ukuran yang digunakan dalam metode pengukurannya.
Metode pengukuran yang digunakan untuk menentukan bobot molekul, yakni metode gugus ujung dan metode
sifat koligatif. Kedua metode ini sangat banyak digunakan. Metode ini dipakai untuk menentukan bobot molekul
rata - rata jumlah. Bobot molekul rata - rata jumlah adalah bilangan atau ukuran jumlah molekul dari setiap berat
dalam sampel uji. Sehingga, berat total dari suatu sampel uji polimer, W = jumlah berat dari setiap bagian molekul
polimer, dirumuskan:
𝑊 = ∑∞ ∞
𝑖=1 𝑊𝑖 =∑𝑖=1 𝑁𝑖𝑀𝑖 ...........................................(1)

dimana: N = jumlah mol

M = berat molekul

Dengan demikian, bobot molekul rata - rata jumlah Mn , dapat dihitung dengan menggunakan defenisi Mn = berat sampel
per mol, sehingga dirumuskan:

...........................................(2)
Hamburan cahaya dan ultrasentifugasi merupakan metode lain dalam menentukan bobot molekul polimer. Bobot molekul
rata - rata bobot merupakan suatu parameter penentuan bobot molekul polimer dengan menggunakan metode cahaya
dan ultrasentrifugasi. Bobot molekul rata - rata bobot (Mw), adalah hasil penjumlahan fraksi bobot masing – masing
spesies polimer dikalikan berat molekulnya. Mw, dirumuskan sebagai berikut:

.......................................(3)

2.5 Struktur Tersier


2.5.1 Energi Ikatan Kedua (Kerapatan Energi Kohesif)
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ikatan sekunder tentang dipol, induksi, van der waals, dan ikatan hidrogen.
Gaya dipol berasal dari gaya tarik menarik antara dipol permanen dan senyawa/grup polar. Gaya induksi timbul dari gaya
tarik menarik antara dua dipole permanen terinduksi, sedangkan gaya van der waals(dispersi) berasal dari awan elektron
yang saling berdekatan. Ikatan hidrogen sangat penting dalam menjelaskan struktur dari polimer seperti poliamida,
poliuretan, dan poliurea. Secara umum, kecenderungan energi ikatan itu mennurun dari ikatan hidrogen kemudian ikatan
dipole dan ikatan van der waals(dispersi).

Pengukuran kuantitatif darikecenderungan energi ikatan sekunder disebut cohesive energy density(CED). Yang
merupakan total energi per satuan volum yang diperlukan untuk memisahkan semua kontak antarmolekul. Dan rumusnya:

∆𝐸𝑣
𝐶𝐸𝐷 = ...........................................(4)
𝑉𝑙

Dimana:

∆Ev = molar enenergi penguapan

VL = molar volum cairan/liquid

Jika kita lihat dari persamaan Classius–Clapeyron:

∆𝐸𝑣 = ∆𝐻𝑣 − 𝑅𝑇 ...........................................(5)


Dimana:

∆Hv = molar panas penguapan

T= Temperatur absolut
Maka, jika persamaan (5) disubstitusi ke persamaan (4):

∆𝐸𝑣 ∆𝐻𝑣−𝑅𝑇
𝐶𝐸𝐷 = = ...........................................(6)
𝑉𝑙 𝑉𝑙

Hubungan antara kerapatan energi dengan parameter kelarutan dapat dirumuskan:

CED = 2 .....................................................(7)

Dimana  adalah paraneter kelarutan. Nilai dari parameter kelarutan dan energi kohesif dapat dilihat pada Tabel 2.1. Nilai
Ecoh juga bergantung dari molar volum. Ecoh merupakan penggambaran energi kohesif per pengulangan unit volum, VR.
Tabel 2.1 Energi Kohesif dari beberapa Polimer

Sumber; Ebewele, Robert O., 2000


2.5.2 Struktur Kristalin dan Amorf polimer
1. Tendensi Kristalin
Energi ikatan sekunder, seperti yang telah diketahui merupakan gaya interaksi di dalam molekul pada polimer. Juga
telah dibahas bahwa gaya-gaya ini akan efektif hanya juka berada pada jarak antar molekul yang dekat. Oleh karena itu,
untuk memaksimalkan efek dari gaya-gaya yang ada pada proses agregasi dari molekul untuk membuat padatan kristal,
molekul-molekul harus sebisa mungkin berdekatan antara satu dengan yang lain. Tendensi untuk sebuah polimer
terkristalisasi. Dengan begitu, tendensi krristal tergantung pada besarnya kekuatan ikatan antarmolekul yang melekat
serta komposisi struktural

Tabel 2.2 Sifat dari struktur 1,4-poli isoprena

Isomer struktur Sifat


cis-1,4-poli isoprena Lembut, lentur, karet
(karet alam) mudah larut,
memiliki tenaga
retractive yang
tinggi; digunakan
untuk membuat ban
kendaraan
trans-1,4-poli Tangguh (alot)
isoprena (gutta- tingkat kelentuan
percha) rendah, keras,
digunakan sebagai
penutup bola golf

Sumber; Ebewele, Robert O., 2000

2. Kristalisasi Tendency
Kekuatan ikatan sekunder, seperti yang kita lihat sebelumnya, berperan penting untuk ikatan antarmolekul pada
polimer. Kekuatan-kekuatan ini hanya efektif pada jarak molekul yang sangat singkat. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan efek dari kekuatan-kekuatan dalam proses agregasi molekul untuk membentuk massa kristal padat,
molekul harus datang bersama-sama sedekat mungkin. Kecenderungan untuk polimer mengkristal, oleh karena itu,
tergantung pada besarnya kekuatan ikatan antarmolekul yang melekat serta fitur struktural.
3. Struktural Keteraturan
Proses asosiasi molekul polimer untuk membentuk suatu massa yang solid, molekul harus datang bersama-sama
sedekat mungkin. Oleh karena itu, semua fitur struktural molekul polimer yang dapat menghambat proses ini tentu akan
mengurangi kristalinitas. Polyethylene adalah salah satu contoh molekul sederhana. Polyethylene merupakan nonpolar,
dan gaya tarik antarmolekul relatif lemah karena van der Waals. Rantai mudah dapat mengasumsikan konformasi zigzag
planar ditandai dengan urutan obligasi trans dan karena itu dapat menghasilkan periode identitas singkat sepanjang rantai
polimer. Rotasi di sekitar C-C ikatan dihambat oleh penghalang energi sekitar 2,7 kkal / mol obligasi. Jadi, meskipun
molekul polietilen yang diselenggarakan bersama oleh lemahnya van der Waals, keteraturan struktural tinggi yang
memungkinkan dekat kemasan dari rantai ditambah dengan fleksibilitas rantai yang terbatas mengarah ke titik leleh tiba-
tiba tinggi (Tm = 135 ° C), relatif tinggi kekakuan. Namun, seperti penyimpangan yang terjadi ke dalam struktur, seperti
dengan low-density polyethylene (LDPE), nilai sifat ini menunjukkan penurunan yang signifikan. Seperti yang kita lihat
sebelumnya, jenis polimer dapat terjadi dalam tiga bentuk taktisitas: isotaktik, sindiotaktis, dan ataktik. Isotaktik dan
sindiotaktis polimer memiliki struktur stereoregular. Umumnya polimer yang kaku, crystallizable, leleh tinggi, dan relatif
tidak larut. Di sisi lain, polimer ataktis yang lembut, leleh rendah, mudah larut, dan amorf.

4. Rantai Fleksibilitas
Dalam pembahasan sebelumnya, keselarasan molekul polimer merupakan syarat penting untuk pemanfaatan yang
efektif dari kekuatan ikatan antarmolekul. Selama kristalisasi, keselarasan dan seragam rantai yang ditentang oleh agitasi
termal, yang cenderung mendorong segmental, gerakan rotasi dan vibrasi. Studi jenis ini telah menyebabkan kesimpulan
umum berikut:

 Perubahan konformasi cepat karena kemudahan rotasi di sekitar ikatan tunggal terjadi. jika seperti
kelompok sebagai (- CO-O-), (-O-CO-O-), dan (C--N-) yang diperkenalkan ke dalam rantai utama. Jika
mereka teratur atau jika terdapat kekuatan yang cukup antarmolekul, bahan yang crystallizable, relatif
tinggi mencair, kaku, dan larut dengan susah payah. Namun, jika mereka terjadi secara tidak teratur di
sepanjang rantai polimer, mereka amorf.

 Struktur siklik pada backbone tersebut dan kelompok-polar seperti SO2-,dan-CONH-drastis mengurangi
fleksibilitas dan meningkatkan crystallizability.

5. Polaritas
Ketika molekul bersama-sama dan agregat menjadi kristal padat, kohesi yang signifikan akan terjadi. Akibatnya,
molekul polimer mampu membentuk ikatan antarmolekul yang kuat, terutama jika terjadi secara teratur. Molekul yang
mengandung backbone-O-unit atau kelompok dengan sisi kutub (-CN,-Cl,-F, atau-NO2) menunjukkan ikatan polar. Energi
ikatan dari dipol atau unit terpolarisasi berada dalam kisaran antara ikatan hidrogen dan ikatan van der Waals. Jika
kelompok-kelompok ini terjadi secara teratur sepanjang rantai (isotaktik dan sindiotaktis), polimer yang dihasilkan
biasanya kristal dan memiliki titik leleh yang lebih tinggi daripada polyethylene.

6. Bulky substituent
Getaran dan gerakan putar kelenturan rantai Dapat dihambat oleh bulky subtituen. Derajat kekauan tergantung
pada ukuran, bentuk, dan interaksi antar substituennya. Contohnya, vinyl polymers dengan substituent kecil seperti
polypropylene [–CH3] and polystyrene [–C6H5] dapat dikristalisasi jika jarak antar kelompok liontin beraturan pada rantai
polimer seperti dalam bentuk isotactic and syndiotactic. Pada atatics, kelompok liontin acak dibuang untuk mencegah
kemasan dekat rantai ke kisi kristal. Contoh bentuk polimer atatics adalah amorphous. Substituen yang besar atau Bulky
Substituen, di sisi lain, dapat meningkatkan jarak rata-rata antara rantai dan juga dapat mencegah, dan menguntungkan
pemanfaatan kekuatan ikatan antarmolekul.

Tabel 2.3 Stiffening of Polymer Chains by Substituents


2.6 Morfologi polimer kristal
Morfologi polimer tergantung dari kondisi tumbuhnya seperti media solvent, suhu dan laju tumbuhnya.
2.6.1 Morfologi Polimer Kristal Tunggal tumbuh dari larutan.
Untuk waktu yang lama, diyakini bahwa, karena ikatan molekul rantai polimer di larutan, tidak mungkin
untuk menghasilkan kristal polimer tunggal. Laporan pertama dari pertumbuhan kristal polimer tunggal dari
larutan encer adalah tahun 1953. Hal ini diikuti oleh beberapa laporan lain dan untuk polimer begitu banyak
fenomena ini sekarang dianggap sebagai hal yang telah meluas. Pertumbuhan polimer tunggal kristal
membutuhkan kristalisasi dari larutan encer pada suhu yang relatif tinggi dengan pendinginan dari suhu di atas
titik leleh kristal. Morfologi yang berbeda hasilnya tergantung pada jenis polimer dan kondisi pertumbuhan.
1. Lamellae:
Ukuran flat platelets 100-120 Å. Kristal bentuk ini terjadi oleh pembentukan tambahan lamellae dengan
ketebalan yang sama dengan lamellae basal
2. Lipatan rantai:
Karena rantai polimer sangat panjang mereka harus melipat rantai mereka berulang-ulang
3. Struktur piramida berlubang
Struktur ini dikarenakan tumpukan lipatan rantai yangberturut-turut dari molekul berlipat tergantikan darai
molekul berdekatan pada jarak yang berulang.

2.7 Sifat Polimer dan kristalinity


1. Polimer semikristal merupakan gabungan antara amorphous dan kristal
2. Dalam merancang polimer,seorang Engineer bertugas mengontrol sifat semikristalin dari polimer.
3. Ukuran dan derajat spherulite dikontrol dari kondisi kristalisasi yang ada pada unit operasi

Berikut adalah beberapa sifat polimer


Sumber; Ebewele, Robert O.,
2000
MAKALAH MODIFIKASI POLIMER
TEKNOLOGI POLIMER

DOSEN PEMBIMBING

Dr. Ir. Bahruddin, MT

Disusun Oleh Kelompok 4 :


Alfatlian (1607116185)
Irma Damayanti (1607111836)
Monaeka Sitinjak (1607115244)

PROGRAM STUDI SARJANATEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
BAB IV
MODIFIKASI POLIMER

4.1 Pendahuluan
Polimer merupakan bahan komersil yang sangat bermanfaat bagi keperluan manusia. Seiring dengan
berkembangnya zaman dan meningkatnya kebutuhan maka berbagai jenis polimer dengan sifat tertentu pun
semakin banyak dibutuhkan. Banyak monomer yang diubah menjadi homopolimer yang sesuai. Untuk
mendapatkan jenis polimer yang diinginkan, maka dapat dilakukan dengan modifikasi polimer. Polimer yang
akan digunakan harus berfungsi dengan baik dalam aplikasi tertentu. Kinerja dari polimer ditentukan terutama
oleh komposisi dan struktur molekul polimer. Oleh karena itu modifikasi komposisi unit structural merupakan
salah satu pendekatan utama untuk melakukan modifikasi polimer.
Selain sifat kimia dan komposisi unit structural yang merupakan bagian utama polimer, arsitektur molekul
juga berkontribusi terhadap sifat utama dari produk utama polimer. Dengan demikian modifikasi polimer dapat
dilakukan dengan teknik kopolimerisasi lebih dari satu monomer, pengendalian arsitektur molekul dan reaksi
paska polimerisasi. Melalui berbagai teknik modifikasi polimer tersebut, maka akan dihasilkan bahan polimer
baru dengan sifat-sifat yang sesuai dengan keperluan.
Polimer memiliki sifat-sifat yang karakteristik, antara lain:
 mudah diolah untuk berbagai macam produk pada suhu rendah dengan biaya yang murah,.
 ringan, maksudnya rasio bobot/volumenya kecil,
 tahan korosi dan kerusakan terhadap lingkungan yang agresif,
 bersifat isolator yang baik terhadap panas dan listrik,
 berguna untuk bahan komponen khusus karena sifatnya yang elastis dan plastis,
 berat molekulnya besar sehingga kestabilan dimensinya tinggi,
Modifikasi polimer merupakan suatu upaya untuk memperbaiki sifat-sifat polimer sehingga menjadi polimer
batu dengan mutu yang lebih baik. Sebagai contoh adalah polimer polietilen yang biasa dikenal sebagai salah satu
termoplastik dan sering digunakan untuk bahan pembungkus, ternyata dapat dimodifikasi sehingga dapat dipakai
sebagai bahan isolasi kabel yang tahan terhadap panas.
Banyak monomer yang diubah menjadi homopolimer yang sesuai. Namun, untuk memenuhi kebutuhan
dari jenis polimer yang baru maka dilakukan modifikasi polimer yang sudah ada. Polimer yang akan digunakan
harus berfungsi dengan baik dalam aplikasi tertentu. Kinerja dari polimer ditentukan terutama oleh komposisi dan
struktur molekul polimer. Selain itu juga sifat kimia, fisik, dan karakteristik lain dari bahan polimer. Oleh karena
itu modifikasi komposisi unit structural yang merupakan bagian utama polimer, arsitektur molekul juga
berkontribusi terhadap sifat utama dari produk polimer. Dengan demikian modifikasi polimer dapat dicapai
dengan menggunakan satu atau lebih dari teknik berikut:
a. Kopolimerisasi lebih dari satu monomer
b. pengendalian arsitektur molekul
c. Reaksi paska polimer dengan melibatkan gugus reaktif atau fungsi yang dimasukkan dengan bebas ke
rantai utama polimer atau gugus samping.
Teknik modifikasi di atas terkait dengan kontrol bahan kimia, komposisi, dan sifat structural dari polimer,
yang mempengaruhi terutama selama proses polimerisasi. Namun, beberapa polimer yang digunakan dalam
teknologi adalah polimer dalam bentuk kimia murni. Hampir semua bahan polimer komersial yang tersedia adalah
kombinasi dari satu atau lebih sistem polimer dengan penambahan berbagai bahan aditif, dengan pertimbangan
karena factor biaya, untuk menghasilkan sifat optimal perlu aplikasi khusus.

4.2 Kopolimerisasi
Polimer yang paling sederhana ialah homopolimer yang kesatuan berulangnya memiliki struktur yang
sama. Jika dua macam atau lebih monomer mempolimer bersama dan menghasilkan polimer yang mengandung
lebih dari satu macam kesatuan struktur, maka dapat terbentuk kopolimer (Cowd, 1982).
Makromolekul yang dihasilkan dari polimerisasi telah menghasilkan sejumlah polimer komersial yang
penting. Komposisi kopolimer dapat bervariasi sehingga membutuhkan berbagai bahan dan proses yang tidak
terbatas. Kopolimer A dapat terdiri dari jumlah yang sebanding dari monomer konstituen. Sifat dari kopolimer
yang dihasilkan akan jauh berbeda dari hopolimer. Disisi lain, Kopolimer mungkin hanya berisi sebagian kecil
jumlah dari monomer. Prinsip-prinsip kopolimer dalam beberapa contoh:
4.2.1 Kopolimer Stirena-Butadiena
Polibutadiena merupakan bahan elastomer dengan sifat elastis, memiliki ketangguhan dan ketahanan yang
baik. Namun, polibutadiena memiliki resistensi yang relative kecil untk bahan seperti minyak, pelarut, oksidasi,
dan abrasi. Disisi lain polistirena tidak bereaksi atau tahan terhadap bahan berupa alkali, asam halide,
pengoksidasi dan pereduksi. Sehingga menyebabkan polistirena mudah untuk diproses. Polistirena cukup rapuh
dengan suhu panas defleksi rendah (82-880C). Kopolimer stirena-butadiena dapat memberikan ilustrasi garis
lintang yang cukup besar dalam variasi sifat polimer yang dapat dicapai dengan manipulasi komposisi kopolimer
dan distribusi komponen ini. Stirena dan butadiene dapat dikopolimerisasi untuk menghasilkan kopolimer acak
atau blok. Kopolimer acak stirena-butadiena menunjukkan satu fasa homogeny dan memiliki sifat homopolimer.
Sebagian besar kekurangan dari homopolimer polibutadiena dapat diatasi dengan penggabungan 28%
stirena ke dalam kopolimer. Sifat SBR yang baik membuat SBR banyak digunakan dalam aplikasi seperti belting,
selang, dan barang cetakan dan vulaknisir lembar dan lantai. Karet sol sepatu dibuat hamper secara keseluruhan
dari SBR. Kopolimer berisi sekitar 25% stirena sebagai perekat. Jika rasio stirena- butadiene berada pada kisaran
60:40 dan lebih tinggi, kopolimer digunakan sebagai bahan perekat dan cat lateks. Sebagai contoh, kopolimer
emulsi terdiri dari 74% stirena dan 25% butadiene (berat) yang diaplikasikan secara luas pada produk cat.
a. Stirena-Butadiena Rubber (SBR) (Kopolimer Acak)
SBR diproduksi oleh polimerisasi radikal bebas dari stirena dan butadiena, yang menghasilkan kopolimer
acak dan struktur yang tidak teratur. Sehingga SBR memiliki sifat yang tidak kristalin.
SBR komersial diproduksi oleh kopolimerisasi emulsi atau larutan butadiena stirena. Kopolimerisasi
emulsi dapat dibuat melalui proses dingin ( 41˚F ) dan bisa juga dengan proses panas (122˚F ). Kopolimer dari
proses panas dan dingin memiliki perbedaan utama dalam berat molekul, distribusi berat molekul, dan mikro.
Proses kopolimerisasi untuk produksi SBR melibatkan penggunaan katalis alkilitium. SBR umumnya memiliki
berat molekul yang lebih tinggi distribusi berat molekul yang kecil, dan memiliki cis-diena yang lebih banyak
dari emulsi SBR.

Tabel 4.1 Perbedaan Sifat SBR pada keadaan Panas dan Dingin
Property Hot Cold

Molecular Weight

Viscosity Average 150-400.000 280.000

Weight Average 250-450.000 500.000

Number Average 30-100.000 110-260.000

Microstructure

1,4 (cis) 15 18

1,4 (trans) 58 69

1,2 (vinyl) 27 23

Sumber : Jarowenko (1977)

Gambar 4.1 Reaksi betadiena dan stirena


b. Kopolimer Blok Stirena-Butadiena
Kopolimer blok stirena butadiena tergolong kedalam elastomer termoplastik. Produk yang terbuat dari
polimer ini memiliki sifat yang sama dengan karet yang divulkanisir, namun kopolimer jenis ini dibuat dari
peralatan yang digunakan untuk fabrikasi polimer termoplastik. Proses ini dapat berjalan cepat dan melibatkan
pendinginan dan lelehan sehingga produk menjadi bentuk karet yang seperti padatan. Kepingan produk ini dapat
didaur ulang.
Kopolimer blok stirena butadiena tergolong kedalam elastomer termoplastik jenis A-B-A. Plastik stirena
dan blok disebut sebagai domain, berfungsi sebagai pengunci cross-link pada karet. Secara komersial, karet
termoplastik SBS memiliki proporsi yang lebih kecil dengan rasio stirena-butadiena (endblock to midblock) di
kisaran 15:85 sampai 40:60 berat. Kisaran suhu dari kopolimer SBS ini terletak diantara Tg dari polibutadiena
dan polistirena. Dalam penggunaan suhu normal, kopolimer blok SBS akan mempertahankan thermoplasticity
dari stirena serta ketangguhan dan ketahanan unit elastomer.
4.2.2 Kopolimer Etilena
Low-density polyethilene diproduksi dibawah tekanan dan suhu tinggi dan dapat ditemukan pada aplikasi
dalam film dan produk seperti kabel. Sifat fisiknya ditentukan oleh tiga variabel struktural : densitas, berat
molekul, dan berat molekul distribusi. Seiring dengan peningkatan kepadatan, sifat penghalang, kekerasan, abrasi,
panas dan ketahanan kimia, kekuatan, dan peningkatan permukaan gloss.
Penurunan densitas akan meningkatkan ketangguhan, fleksibilitas, dan perpanjangan, berkurangnya creep
dan penyusun cetakan. Kopolimerisasi etilena dengan kutub α-olefin memungkinkan untuk menghasilkan
berbagai bahan seperti karet untuk produk yang memiliki titik leleh rendah, dan menunjukkan ketangguhan luar
biasa serta fleksibilitasnya.
Tabel 4.2 Beberapa Kopolimer Etilena
R Copolymer

O Ethylene-methyl acrylate
(EMA)
II

- C – O Me

O Ethylene-mthyl acrylate
(EEA)
II

- O –Et

O Ethylene-vinly acrylate
(EVAc)
II
- O – C – O – Me

4.2.3 Akronitril-Butadiena-Stirena (ABS)


ABS adalah termoplastik rekayasa yang dihasilkan oleh kombinasi dari tiga monomer : akrionitril,
butadiena, dan stirena. Resistensi kimia polimer dan pasnas serta stabilitas tergantung pada akrionitril.
Ketangguhan retensi pada suhu rendah tergantung pada butadiene. Serta kekakuan kopolimer penampilan
permukaan glossy, dan kemudahan proses merupakan konstribusi dari stirena. Sifat termopolimer dikendalikan
oleh rasio manipulasi dan distribusi dan tiga komponen tersebut.
Resin ABS terdiri dari dua fase : fase karet yang tersebar dalam matriks gelas secara terus menerus dari
stirena-akronitril kopolimer melalui lapisan batas SAN. Fase karet yang tersebar adalah karet yang dipolimerisasi
dari butadiene. Stirena dan akronitril dipolimerisasi menjadi karet sehingga membentuk lapisan batas antara fase
terdispersi karet dan matriks gelas secara terus-menerus. Peningkatan berat molekul SAN akan meningkatkan
kekuatan produk dan kemudahan proses, sedangkan konsentrasi, ukuran, dan distribusi partikel karet
mempengaruhi ketangguhan produk dan kekuatan, dengan luas berbagai sifat telah dikembangkan.
4.2.4 Polimer Kondensasi
Sejumlah besar polimer kondensasi komersial adalah homopolimer yang bergantung pada kristalinitas
dalam aplikasi seperti pada nilon dan serat pembentuk poliester, dan sebagian besar seperti bahan thermosetting
(fenolat dan urea-formaldehida resin). Dalam banyak aplikasi, polimer kondensasi digunakan sebagai kopolimer.
Beberapa contoh polimer kondensasi yaitu :
a. Kopolimer Asetal
Kopolimer asetal memiliki built-in stabilisasi panas yang dihasilkan dari proses kopolimerisasi trioksan
dengan sejumlah kecil komonomer, biasanya eter siklik seperti etilen oksida atau 1,3-diozolane.
Proses ini akan menghasilkan distribusi acak ikatan C-C dalam rantai polimer. Depolimerisasi dari unit
etilen oksida jauh lebih sulit daripada unit oximethilen. Kopolimerisasi memberikan stabilitas termal pada
kopolimer asetal. Kopolimer menunjukkan resistensi yang baik ketika terkena udara panas pada suhu hingga
220oF atau air pada suhu 180oF untuk jangka waktu yang lama. Untuk penggunaan intermittent, suhu yang lebih
tinggi dapat ditoleransi.
b. Epoksi
Epoksi adalah bahan polimer yang di dalam nya terdapat kelompok epoksida terminal aktif.. Resin epoksi
yang sering digunakan adalah eter diglisidil A bisphenol (DGEBA). Epoksi resin digunakan dalam berbagai
aplikasi seperti dalam lapisan pelindung, perekat, laminasi, dan plastik dan perangkat listrik dan elektronik.
Gambar 4.2 DGEBA epoxy resin
Epoxy resin memiliki ketahanan panas yang rendah dibandingkan phenolics karena unit aromatik lebih
rendah dalam strukturnya. Epoxy novolak merupakan tipe resin epoksi multifungsi yang berdasarkan modifikasi
resin epoksi dengan phenolics novolak. Dalam sistem ini, komponen fenolik memberikan stabilitas termal,
sedangkan kelompok epoksida menjadi cross-linking.

Gambar 4.3 Struktur Resin novolak-modified epoxy

c. Resin Urea Formaldehyde (UF)


Contoh lain dari peningkatan sifat polimer kondensasi melalui kopolimerisasi adalah pada resin urea-
formaldehida (UF). Ikatan dengan resin UF merupakan ikatan yang murah dan dapat dilakukan di berbagai
kondisi luar. Namun, penggunaannya dibatasi untuk interior dan aplikasi nonstruktural saja.
Beberapa faktor struktur molekul yang berkontribusi terhadap proses ini adalah (1) distribusi rendah dan
ketidakseragaman cross-link dalam resin UF. (2) Kerapuhan dari resin. Untuk meminimalkan kekurangan ini,
turunan urea fleksibel di dan trifunctional amina dimasukkan ke dalam struktur resin UF melalui kopolimerisasi.
Amina yang digunakan dalm kasus ini adalah turunan urea propilena oksida berbasis triamin.
4.3 Reaksi Postpolimerisasi
Reaksi paska polimerisasi merupakan reaksi yang baik untuk meningkatkan sifat polimer. Reaksi-reaksi
ini dapat terjadi pada gugus reaktif yang tersebar dalam polimer rantai. Reaksi tersebut diantaranya adalah
ekstensi rantai, cross-linking, serta bentuk kopolimer blok dan cangkok. Reaksi dari tipe ini adalah halogenasi,
sulfonasi, hidrolisis, epoksida, permukaan, dan reaksi lain dari polimer. Dalam reaksi paska ini polimer diuabh
menjadi yang baru dan atau sifat yang lebih baik.
4.3.1 Reaksi Polisakarida
a. Turunan Selulosa
Jaringan berserat dalam dinding sel mengandung polisakarida selulosa. Polisakarida ini adalah polimer
alam yang paling banyak terdapat dan paling tersebar di alam. Sumber utama selulosa adalah kayu. Umumnya
kayu mengandung sekitar 50% selulosa, bersama dengan penyusunan lainnyaseperti lignin.
Selulosa dibangun oleh rantai glukosa yang tersambung melalui beta-1,4. Rumus molekul glukosa adalah
C6H12O6. Selulosa adalah polisakarida polimer alami yang terdiri dari cincin glucosidic yang terhubung melalui
jembatan oksigen jembatan. Unit pengulangan memiliki tiga gugus hidroksil dan acetal linkage. Ikatan beta-1,4
antar unit anhydro-D-glucose memberikan linearitas pada molekul selulosa.
Untuk membuat selulosa processable maka harus mengurangi titik leleh di bawah suhu dekomposisi
dengan cara derivatisasi. Dalam penyusunan turunan selulosa pengendalian tingkat substitusi dari tiga hidroksil
sangat diperlukan. Reaksi lengkap dari tiga hidroksil umumnya tidak diinginkan. Ketika bereaksi dengan selulosa,
reagen biasanya menyerang (bentuk non-kristalin). Oleh karena itu, jika reaksi dihentikan kelompok yang
bereaksi akan terkonsentrasi di daerah tertentu daripada didistribusikan secara acak dalam struktur selulosa.
Turunan selulosa yang paling penting adalah selulosa ester dan eter. Ester selulosa dibuat oleh reaksi dari
selulosa yang diaktifkan dengan asam karboksilat yang sesuai, anhidrida asam, atau asam halida. Esterifikasi
diambil sampai selesai (triester) dan kemudian dihidrolisis kembali. Viskositas dikendalikan dengan menahan
reaksi pada tahap asam sampai berat molekul berkurang pada tingkat yang diinginkan, sedangkan untuk aplikasi
perekat, pernis, berat molekul yang lebih rendah yang lebih cocok.
Etil selulosa merupakan paling penting dari eter selulosa. Komersial etil selulosa, yang sekitar 2,4-2,5
grup etoksi per residu glukosa merupakan bahan cetakan yang panasnya stabil dan memiliki sifat mudah terbakar
yang rendah dan kekuatan yang tinggi. Sehingga etil selulosa lebih fleksibel dan kuat bahkan pada suhu rendah,
namun memiliki penyerapan air yang relatif tinggi.
b. Pati dan Dekstrin
Pati adalah polimer alam berumus molekul (C6H10O5)n. Pati terdapat dalam terigu, beras, kentang, dan
tumbuhan hijau. Pati mengandung dua macam polimer yang struktur dan massa molekul nisbinya berbeda, yakni
amilosa dan amilopektin. Amilosa yang menyusun 20-50% pati alam dibentuk dari kesatuan glukosa yang
bergabung melalui ikatan alfa-1,4. Komponen pati lainnya adalah amilopektin, yaitu polimer rantai bercang yang
memiliki ikatan glikosida alfa-1,6 disamping alfa-1,4.
Seperti selulosa, pati juga merupakan polisakarida yang pada proses hidrolisis menghasilkan unit glukosa.
Namun, ada dua perbedaan yang signifikan antara pati dan selulosa. Tidak seperti di selulosa, anhydro-D-glucose
unit di pati terhubung melalui alfa-1,4 glikosidik. Struktur pati merupakan campuran molekul amilosa linier dan
rantai bercabang amilopektin.
Dekstrin merupakan produk degradasi pati yang dihasilkan oleh pemanasan pati dengan adanya atau tidak
adanya agen hidrolitik. Berdasarkan pada kondisi konversi, terdapat tiga jenis dekstrin yang dihasilkan: dekstrin
putih, kuning (kenari). Konversi mekanismenya kompleks, tetapi melibatkan pemecahan hidrolitik dari molekul
pati menjadi fragmen lebih kecil diikuti dengan penataan ulang repolimerisasi ke dalam struktur polimer
bercabang.
B. Reaksi Silang
1. Poliester tak jenuh
Dalam reaksi ini, poliester tak jenuh dicampur dengan monomer dan katalis. Campuran yang dihasilkan
biasanya cairan kental yang dapat dituangkan, disemprot, atau dibentuk menjadi bentuk yang diinginkan dan
kemudian berubah menjadi padatan thermosetting oleh reaksi silang.
Prepolimer poliester tak jenuh diperoleh dari kondensasi alkohol polihidrat dan asam basa. Asam basa
terdiri dari satu atau lebih asam jenuh atau asam tak jenuh. Asam jenuh berasal dari anhidrida ftalat, asam adipat,
atau asam fumarat. Alkohol polihidrat yang umum digunakan adalah glikol (seperti etilen glikol, propilen glikol,
dietil glikol), gliserol, sorbitol, dan pentaeritritol.
2. Vulkanisasi
Vulkanisasi merupakan istilah umum yang digunakan ke reaksi ikat silang polimer-polimer, khususnya
elastomer. Vulkanisasi adalah proses dimana satu jaringan lintas-link digunakan dalam elastomer atau reaksi
kimia yang menyebabkan molekul elastromer yang linier mengalami reaksi sambung silang (crosslinking)
sehingga menjadi molekul polimer yang membentuk rangkaian tiga dimensi. Reaksi merubah karet bersifat plastis
(lembut) dan lemah mejadi karet yang elastis, kertas dan kuat. Vulkanisasi juga dikenal dengan proses
pematangan, dan molekul elastomer yang sudah tersambung silang dirujuk sebagai vulkanisasi elastomer.
Vulkanisasi menurunkan aliran elastromer dan meningkatkan kekuatan tarik dan modulus, namun
mempertahankan perpanjangannya (Stevens, 1989).
Vulkanisasi, ditemukan oleh Goodyear pada tahun 1939, yakni pemanasan elastomer dengan belerang
merupakan proses yang lambat dan tidak efisien. Hal ini dapat dipercepat dan limbah sulfur dikurangi secara
substansial dengan penambahan sejumlah kecil senyawa organik dan anorganik yang disebut akselator. Akselator
membutuhkan keberadaan aktivator atau promotor untuk berfungsi optimal. Beberapa akselator yang digunakan
meliputi senyawa yang mengandung sulfur dan beberapa senyawa nonsulfur.
Aktivator biasanya adalah oksida logam seperti zinc oxide. Penggunaan akselator dan aktivator
meningkatkan efisiensi cross-linking dalam beberapa kasus menjadi kurang dari dua atom sulfur per cross-link.
1. Karet
Karet merupakan politerpena yang disintesis secara alami melalui polimerisasi enzimatik isopentil
pirofosfat. Unit ulangnya adalah sama sebagaimana 1,4-poliisoprena. Dimana isoprena merupakan produk
degradasi utama karet.
Bentuk utama dari karet alam, yang terdiri dari 97% cis-1,4-isoprena, dikenal sebagai Hevea Rubber.
Hampir semua karet alam diperoleh sebagai lateks yang terdiri dari 32-35% karet dan sekitar 5% senyawa lain,
termasuk asam lemak, gula, protein, sterol ester dan garam. Lateks biasa dikonversikan ke karet busa dengan
aerasi mekanik yang diikuti oleh vulkanisasi.

Gambar 4.4 Struktur karet alam


Karet alam memiliki sifat-sifat antara lain, warnanya agak kecoklat-coklatan, tembus cahaya atau setengah
tembus cahaya, dengan berat jenis 0.91-0.93. Sifat mekaniknya tergantung pada derajat vulkanisasi, sehingga
dapat dihasilkan banyak jenis sampai jenis yang kaku seperti ebonite 130oC dan terurai sekitar 200oC. Sifat isolasi
listriknya berbeda karena pencamouran dengan aditif. Namun demikian, karakteristik listrik pada frekuensi tinggi,
jelek. Sifat kimianya jelek terhadap ketahanan minyak dan ketahanan pelarut. Zat tersebut dapat larut dalam
hidrokarbon , ester asam asetat, dan sebagainya. Karet yang kenyal agar mudah didegradasi oleh sinar UV dan
ozon.
Kebanyakan bahan elastis seperti logam yang digunakan sebagai per, perilaku elastis disebabkan oleh
distorsi ikatan. Ketika gaya bekerja panjang ikatan menyimpang dari kesetimbangan dan energi tarik disimpan
secara elektrostatistik. Karet sering diasumsikan memiliki perilaku yang sama dengan hal tersebut tetapi hal ini
merupakan gambaran yang kurang tepat. Karet merupakan material yang sangat unik karena energi tarik
disimpam melalui panas.
Dalam keadaan relaksasi , karet memanjang, menggulung rantai polimer yang saling berhubungan di
bagian dalam (interlink) pada beberapa titik. Diantara pasangan rantai polimer yang saling berhubungan setiap
monomer dapat dengan bebas berotasi dengan ikatan lainnya. Pada temperature kamar, karet menyimpan energi
kinetik yang cukup jadi setiap bagian berosilasi seperti tali yang digoyangkan secara cepat.
Ketika karet ditarik, interlink menegang dan tidak dapat berosilasi lagi. Energi kinetiknya didapatkan
sebagai panas yang berlebih. Oleh karenanya, entropi akan berkurang ketika karet berubah dari keadaan relaksasi
ke keadaan tertarik. Relaksasi karet bersifat endotermis dan karena alasan ini gaya yang digunakan saat sepotong
karet memanjang akan bertambah terhadap temperature.
2. Poliolefin dan Polisiloksan
Polietilen, kopolimer etilena-propilena, dan polisiloksan dihubungkan secara cross-linked dengan
peroksida dan pemanasan. Proses ini melibatkan pembentukan polimer radikal diikuti oleh radikal kopling.
Efisiensi dari proses ini biasanya kurang dari satu cross-link per molekul peroksida terdekomposisi. Untuk
meningkatkan efisiensi reaksi silang, sebagian kecil molekul tidak jenuh dimasukkan ke dalam struktur polimer.
Untuk polisiloksan, kopolimerisasi dari sebagian kecil vinil metilsilanol akan meningkatkan lintas linkability.

4.3.2 Hidrolisis
Poli (vinil alkohol) (PVA) dibuat dari proses hidrolisis (atau lebih tepatnya alkoholisis)dari poli (vinil
asetat) dengan metanol atau etanol. Reaksi dikatalisis oleh asam dan basa. Namun, katalis basa biasanya
digunakan karena lebih cepat dan bebas dari reaksi samping.
Karena kelarutannya dalam air, poli (vinil alkohol) digunakan sebagai agen penebalan untuk berbagai
emulsi dan sistem suspensi. Dengan kadar hidroksil yang tinggi, PVA digunakan secara luas sebagai perekat air-
larutan dengan kapasitas mengikat yang sangat baik untuk bahan selulosa seperti kertas.
Sebagai hidrolisis poli (vinil asetat) mengandung gugus hidroksil dan asetat. Ketika gugus OH secara
parsial menghidrolisis poli (vinil asetat) dikondensasikan dengan aldehida kemudian unit asetatakan terbentuk.
Polimer yang dihasilkan mengandung gugus asetat, hidroksil, dan asetat dan dikenal sebagai poli (vinilasetal).

Gambar 4.5 Struktur poly (vinyl alcohol)

Reaksi butiraldehida atau formaldehida menghasilkan poli (vinil butiral) atau poli (vinil butiral). Gugus
residual OH di kondensasi dengan gugus metilol dalam resin PF, MF, dan UF.

4.3.3 Pembentukan Kopolimer Blok dan Cangkok


Kopolimer blok dan cangkok merupakan proses yang sangat sering digunakan dalam membuat produk
polimer. Metode ini sangat baik digunakan untuk memperbaiki beberapa sifat yang berbeda dari homopolimer
atau polimer tunggalnya. Kopolimer blok atau cangkok digunakan sangat luas dalam berbagai kebutuhan
termasuk membuat material yang tahan benturan, thermoplastik elastomer, kompatibiliser, polimer emulsifier,
membran dan sebagai sistem pembawa dalam sistem transportasi obat. Struktur blok atau cangkok memberikan
sumbangan yang besar untuk diproduksi secara komersial dan hal ini sangat penting bagi industri karena
kemudahan dalam pengendaliannya baik melalui proses bulk atau larutan.
Gambar 4.6 Reaksi hidrolisis dari vinil klorida

a. Kopolimer Blok
Kopolimer blok mengandung blok dari satu monomer yang dihubungkan dengan blok monomer lain.
Kopolimer blok biasanya terbentuk melalui proses polimerisasi ionik. Untuk polimer ini, dua sifat yang khas yang
dimiliki dua homopolimer tetap terjaga. Kopolimer blok dapat dibuat melalui beraneka metode. Salah satu
diantaranya melibatkan mekanisme anion. Pada tahap pertama satu macam monomer mempolimer secara anion
dan reaksi dibiarkan berlangsung sampai monomer itu habis. Kepada polimer yang sedang tumbuh kemudian
ditambahkan monomer kedua yang lalu bergabung pada rantai membentuk blok kedua. Proses ini berulang
sebanyak diperlukan. Kopolimer balok yang banyak diperdagangkan adalah feniletena-buta-1,3-diena, yang
bercirikan kareet lentuk-bahang (Cowd, 1982).
Pembuatan kopolimer blok membutuhkan kehadiran kelompok reaktif terminal. Kopolimer blok dari butil
aklirat-stirena dan akrilonitril-stirena telah disusun oleh penyinaran atau akrilonitril yang mengandung inisiator
fotosensitif dengan radiasi UV yang intensif. Sehingga menciptakan radikal kaya monomer yang bila dicampur
dengan stirena akan menghasilkan kopolimer blok yang sesuai.
Keberhasilan teknik kopolimer blok ini tergantung pada keadaan fisik polimer. Teknik umum dari
kopolimer blok adalah memasukkan kelompok peroksida dalam polimer kelompok akhir sebagai stabil. Polimer
tersebut kemudian dicampur dengan monomer segar, dan kelompok peroksida yang terdekomposisi di bawah
kondisi yang tepat menghasilkan kopolimer blok. Misalnya, polimer phthaloyl peroksida yang dipolimerisasi
sampai batas tertentu dengan stirena. Polimer yang dihasilkan dicampur dengan metil metakrilat. Pada
dekomposisi, kelompok internal dan peroksida membentuk radikal yang memprakarsai polimerisasi metil
metakrilat.
b. Kopolimer Cangkok (Graft)
Kopolimer cangkok merupakan teknik untuk memodifikasi sifat kimia dan sifat fisika dari polimer. Ada
tiga macam metode kopolimerisasi graft yaitu grafting from, grafting to dan grafting through. Kopolimerisasi
grafting from adalah pencangkokan rantai cabang (graft) pada sisi aktif yang terdapat pada rantai utama
(backbone). Sedangkan pada metode grafting to pembawa sifat aktif adalah rantai cabang. Pada metode grafting
through, adanya makromer dengan BM rendah dan sisi yang tidak jenuh sehingga polimer yang sedang tumbuh
dapat bereaksi pada sisi yang tidak jenuh menghasilkan kopolimer graft.
Mekanisme pembuatan rantai graft yang umum adalah menggunakan polimerisasi radikal bebas yang
mempunyai tiga tahapan proses, diantaranya inisiasi, propagasi dan determinasi. Proses inisiasi adalah proses
pembentukan radikal bebas dari inisiator. Sedangkan proses propagasi adalah proses pertumbuhan polimer
sebagai akibat dari penggabungan monomer-monomer ke dalam rantai radikal aktif yang kemudian dilanjutkan
dengan proses terminasi yang merupakan proses penghentian propagasi.
Ada tiga metode umum untuk mereparasi kopolimer-kopolimer cangkok: (1) monomer dipolimerisasi
dalam hadirnya suatu polimer dengan percabangan yang terjadi dari transfer rantai. (2) monomer dipolimerisasi
dalam hadirnya polimer yang memiliki gugus-gugus fungsional reaktif atau letak-letak yang bisa diaktifkan,
misalnya, oleh radiasi. (3) dua polimer yang memiliki gugus-gugus fungsional reaktif direaksikan bersama
(Stevens, 1989).
Diperlukan tiga komponen untuk berlangsungnya pencangkokan lewat transfer rantai: polimer, monomer,
dan inisiator. Fungsi inisiator adalah untuk mempolimerisasi monomer sehingga membantu radikal, ion atau
kompleks koordinasi polimerik yang kemudian bisa menyerang polimer asal, atau untuk bereaksi dengan polimer
asal sehingga membentuk spesies inisiator di atas kerangka polimer, yang menginisiasi polimerisasi monomer.
Sebagaimana dengan kopolimerisasi biasa, rasio reaktivitas monomer-monomer juga perlu dipertimbangkan
untuk memastikan bahwa pencangkokan akan terjadi. Juga perlu memperhatikan frekuensi transfer untuk
menetapkan jumlah cangkokan. Biasanya, campuran homopolimer-homopolimer terjadi bersamaan dengan
kopolimer cangkok (Stevens, 1989).
Kopolimer cangkok dapat dihasilkan dengan memicu polimerisasi monomer B disertai adanya
homopolimer dari monomer A. Radikal bebas yang dihasilkan mengeluarkan atom-atom sepanjang rantai poli
(A), sehingga menghasilkan sisi radikal pada rantai itu sendiri. Pada sisi radikal itu poli (B) tumbuh. Cara lain
pembentukan kopolimer cangkok adalah melalui penyinaran dengan sinar ultraviolet yang digunakan uttuk
membentuk radikal bebas sepanjang rantai homopolimer.
Semua kopolimer cangkok disusun dari polimer kerangkan dasar dan rantai cabang yang berasal dari
monomer lain. Dalam reaksi kopolimerisasi, karet alam bertindak sebagai induk (backbone), sedangkan monomer
metil metakrilat bertindak sebagai monomer cangkok (Graft). Keuntungan dari proses kopolimerisasi cangkok
adalah terbentuknya ikatan antara dua monomer yang lebih kuat dibandingkan dengan penggabungan yang terjadi
hanya secara fisik. Efisiensi proses kopolimerisasi secara umum dipengaruhi oleh berat molekul primer,
temperature, konsentrasi monomer, serta viskositas internal kopolimer yang terbentuk.
4.4 Polimer-Polimer Fungsi
a. Poliuretan
Poliuretan merupakan polimer pilihan untuk berbagai aplikasi biomedis. Poliuretan digunakan secara luas
dalam perangkat seperti vaskular, membran, kateter, operasi plastik, katup jantung, daan organ buatan.
Alasan utama keberhasilan penerapan poliuratan sebagai biomaterial adalah sifat biokompatibilitas dan
formulasi fleksibilitasnya. Modifikasi kimia dan/atau biologi dari permukaan poliuretan, seperti grafting hydrogel
seperti akrilamida atau poli (hidroksietil metakrilat) akan meningkatkan kompatibilitas darah. Biokompatibilitas
dan kompatibilitas darah dapat ditingkatkan dengan memperlakukan permukaan polimer dengan larutan albumin
atau gelatin diikuti oleh reaksi silang dengan gluteraldehida atau formaldehida.
b. Stabilisator Ikatan polimer
1. Antioksidan
2,6-ditertiarybutyl-1, 4-vinyl fenol atau 4-isopropenil fenol mudah berpolimerisasi dengan isoprena,
butadiena, stirena, dan metil metakrilat. Kopolimer yang dihasilkan merupakan antioksidan yang baik untuk
polimer induknya pada komposisi kopolimer 10 sampai 15 mol% dari antioksidan yang dipolimerisasi.
2. Penghambatan nyala
Penghambatan nyala biasanya halogen yang mengandung bahan 2,4,6 tribromophenyl, pentabromopenyl,
dan 2,3-dibromopropil turunan ester akrilat dan metakrilat dapat dengan mudah dipolimerisasi atau
dikopolimerisasi dengan stirena, metil metakrilat, akrilonitril dan untuk menghasilkan polimer.
3. Stabilisator Ultraviolet
Stabilisator ultraviolet menjadi senyawa yang paling efektif untuk melindungi bahan polimer dari
ultraviolet dan fotodegradasi.

c. Polimer dalam Obat


Polimer biasanya digunakan dalam pemberian obat adalah berbagai turunan selulosa, poliakrilat, poli(vinil
pirolidon), polioksietilena, poli (vinil alkohol), dan poli (vinil asetat).
1. Mengontrol pelepasan obat
Tujuannya adalah untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi bahaya overdosis, dengan resiko
efek samping.
2. Pengiriman obat langsung ke tempat
Polimer dalam pengiriman obat bertindak hanya sebagai pembawa tanda adanya aktivitas farmakologis
intrinsik atau efek terapi.
MAKALAH TEKNOLOGI POLIMER

“ADITIF DAN BAHAN PENGUAT POLIMER”

Disusun oleh :
Kelompok 5
Teknik Kimia S1

Ulfa Dwi Artha (1607111903)

Khobar Bahari Pane (1607115558)

Iwa Muchti (1607116086)

Teguh Imam Pradhonggo (1607116192)

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
BAB V
Zat Aditif dan Bahan Penguat

5.1 Pendahuluan
Dewasa ini, polimer merupakan salah satu ‘bahan teknik’ yang penting untuk keperluan konvensional
maupun konstruksi, sehingga kebutuhan polimer semakin lama semakin meningkat. Hal ini karena, bahan
polimer telah dimodifikasi secara fisika dan kimiawi menjadi bahan khusus dengan karakteristik tertentu seperti
untuk pembuatan peralatan kesehatan dan komponen elektronika. Bahan polimer yang telah dimodifikasi
memiliki volume produksinya kecil tetapi harganya dapat mencapai puluhan kali harga polimer komoditas.

Pada tahun 1980-an industri polimer modifikasi telah memperkenalkan berbagai bahan polimer yang
dapat digunakan untuk berbagai penggunaannya. Sebagai salah satu contoh, dalam dunia industri pipa distribusi
air dan gas, bahan baja, besi, tembaga dan keramik telah digantikan oleh polipropilena dan polivinil klorida yang
lebih murah dan mudah diperoleh. Sangat sedikit polimer yang digunakan dalam bentuk murninya, kebanyakan
ditambah zat aditif untuk memperbaiki atau memperoleh sifat yang diinginkan.

Zat aditif yaitu bahan pelunak (plasticizers), bahan penstabil (stabilizers), ontyoxidants, bahan pelumas
(lubricants), bahan pewarna (colorant), dan flame retardant dan bahan pengisi (filler). Zat aditif diperlukan untuk
memberikan stabilitas terhadap efek degradatif dari berbagai macam proses penuaan, meningkatkan kualitas
estetika dan kinerja produk, memodifikasi pengolahan yang bersifat mekanik dan fisik polimer, serta mengurangi
biaya produksi. Zat aditif ini biasanya digunakan dalam jumlah yang relative kecil. Namun, non-reinforcing fillers
digunakan dalam jumlah besar untuk mengurangi formulasi biaya secara keseluruhan tetapi tidak mengakibatkan
penurunan yang signifikan atau hal yang tidak diinginkan dalam kualitas atau kinerja produk.

5.2 Plasticizier (Bahan Pelunak)


Dalam pengolahan dan pembentukan bahan jadi atau setengah jadi ke dalam bahan polimer murni
biasanya ditambahkan suatu zat cair atau padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini di kenal dengan
plastisasi, sedangkan zat yang ditambahkan disebut pemlastis (plasticizier). Plastisasi akan mempengaruhi sifat
fisik dan sifat mekanik bahan polimer seperti kekuatan tarik, kelenturan, kemuluran, sifat listrik, suhu alir dan
suhu transisi gelas (Tg).
Gambar 5.1 Plasticizers dalam rantai polimer (http://www.gcsescience.com/, 2016)

Plasticizier adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang ditambahkan yang bertujuan untuk
memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan flesibilitas dan ekstensibilitas polimer. Plasticizer
dapat meningkatkan fleksibilitas polimer dengan memperlebar ruang kosong molekul dan melemahkan ikatan
hydrogen rantai polimer. Molekul-molekul plasticizer terselip diantara molekul-molekul polimer dengan begitu
akan memaksa molekul-molekul polimer tersebut terpisah. Hal ini mengurangi intensitas gaya tarik menarik antar
molekul (Ebewele, 2000).

Plasticizier memiliki fungsi untuk meningkatkan beberapa sifat polimer, misalnya kemampuan kerja
(workability), ketahanan terhadap panas (heat resistance), ketahanan terhadap cuaca (weathering resistance),
ketahanan terhadap temperature rendah (law-temperature resistance), sifat insulasi (insulation properties),
ketahanan terhadap minyak (oil resistance) dan lain-lainnya. Plasticizer umumnya mempunyai bertitik didih
tinggi atau padatan bertitik leleh rendah. Plasticizer yang ideal harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu
kecocokan dengan polimer, hasil dan efisiensi. Dalam penambahannya, polimer tersebut seharusnya tidak berbau,
berasa, tidak beracun, tidak mudah terbakar dan tahan panas. Plasticizier larut dalam tiap-tiap rantai polimer
sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi gelas (Tg), suhu
kristalisasi atau suhu pelelehan dari polimer. Pada daerah diatas Tg, bahan polimer menunjukkan sifat fisik dalam
keadaan lunak (soft) seperti karet, sebaliknya daerah dibawah Tg polimer dalam keadaan sangat stabil seperti
gelas (Malcolm, 2001).

Menurut Sears dan Darby (1982), plasticizer memiliki beberapa pengaruh apabila diblending dengan
polimer, diantaranya :
1. Menurunkan temperatur transisi glass dari sebuah polimer.
2. Membuat material lebih fleksibel akibat pengaruh perubahan struktur polimer karena penurunan
temperature transisi glass.
3. Meningkatkan elongation dan menurunkan tensile strength hasil dari penurunan temperature transisi
glass untuk setiap penambahan plasticizer.
4. Menurunkan sifat mudah diubah/dibentuk dan meningkatkan ketahanan terhadap tubrukan.
5. Menurunkan suhu material seiring dengan menigkatnya kadar plasticizer dalam material tersebut.
6. Pengatur viskositas dari polimer karena plasticizer merupakan cairan dengan viskositas rendah.
7. Meningkatkan kompatibilitas dengan bahan aditif dalam sebuah polimer dan pencampuran antar
polimer.
8. Membantu penyebaran fillers.

5.2.1 Jenis Plasticizer


1. DOP/DEHP/PLASTICIZER
DOP (Diocthyl Phytalate) merupakan jenis plasticizer yang paling banyak digunakan di Indonesia bila
dibandingkan dengan jenis plasticizer jenis lainnya, seperti : DBP/Dibutyl Phytalate, DINP/Diisonnyl Phytalate,
DIDP/Diisodecyl Phytalate, DHP/Dihexyl Phytalate, DEDP/Diethyl Phytalate, TOTM/Trioctyl Trimellitate,
TIOTM/Triisooctyl Trimellitate.

Gambar 5.2 DOP (Iwan, 2016)

DOP memiliki nama kimia yaitu 2 Ethylhexyl Phytalate. DOP berbentuk cairan agak kental yang
berwarna jernih, mendidih pada temperatur 231°C, serta tidak larut dalam air dan digunakan sebagai plasticizer
untuk berbagai resin dan elastomer. Dibuat dengan cara mereaksikan 2 ethylexyl alcohol dengan phytalic
anhydride. DOP digunakan pada pembuatan barang-barang plstik seperti kulit imitasi dari jenis PVC, Kabel
Listrik, Kabel Telepon, Pipa PVC, Sol Sepatu, Sandal Plastik, Selang Plastik, PVC Film, Taplak Meja, Jas Hujan,
gasket, dll (Iwan, 2016)

Plasticizer diaplikasikan terutama pada vinil resin seperti Polovinil Klorid (PVC). Di antara 300 jenis
plasticizer yang telah dikembangkan adalah DOP( Dioctyl Phthalate) yang paling banyak digunakan. Konsumsi
DOP pada industri PVC mencapai 50 - 70 % dari total produksi plasticizer.Namun demikian, pemakaian DOP
sebagai plasticizer PVC, terutama yang diaplikasikan pada food-drug packaging atau mainan anak-anak mulai
dipermasalahkan. Ini dikarenakan adanya migrasi senyawa aromatic tersebut dari PVC dalam jumlah yang besar
dan dapat menyebabkan timbulnya sel kanker. Bahan plasticizer pengganti DOP dari turunan minyak sawit yang
ramah linkungan.
2. DINP
Dalam European Union Official Journal (April 2006), Uni Eropa mengumumkan bahwa dua jenis
plasticizer yang paling banyak digunakan diisononyl phthalate (DINP) dan diisodecyl phthalate (DIDP) tidak
tergolong sebagai zat berbahaya dan tak menimbulkan resiko pada manusia maupun alam sekitarnya (PT.
Asahimas Chemical. 2010).

5.3 Stabillizer (Bahan Penstabil)


Stabillizer berfungsi untuk mempertahankan produk plastik dari kerusakan, baik selama proses, dalam
penyimpanan, maupun aplikasi produk. Ada beberapa jenis bahan penstabil, yaitu:
5.3.1 Penstabil Panas (Thermal Stabilizer)
Penstabil panas biasanya didasarkan satu atau kombinasi dari persenyawaan seperti Br-Cd, Ca-Zn,
organotin dan lainnya yang berfungsi untuk menghambat degradasi termal. Energi (panas) yang terserap dapat
memicu radikal bebas yang dapat menimbulkan reaksi oksigen dan membentuk senyawa karbonil, hal ini yang
dapat menimbulkan warna kuning atau kecoklat-cokltan pada produk akhir. Menurut Ebewele (2000) bahsawanya
penstabil panas dapat dikelompokan berdasarkan pada satu atau kombinasi dari klasifikasi senyawa berikut:

a. Ba/Cd stabillizers, yang mewakili bagian terbesar dari stabillizer PVC komersial, terdapat dalam bentuk
cairan atau bubuk. Cairan biasanya melibatkan satu atau lebih anion yang dikombinasikan dengan logam-
logam berikut: fenat nonil, oktoat, benzoat, naftenat, dan neodekanoat. Bubuk Ba/Cd stabillizer biasanya
digunakan dalam produk kaku.

b. Ca/Zn stabillizer, menunjukkan volume kecil dari stabillizer komersial. Produk yang biasanya
menggunakan Ca/Zn stabillizer yaitu seperti sistem perpipaan dalam bidang medis dan minuman,
kantong darah, dan botol.

5.3.2 Penstabil terhadap Sinar Ultra Violet (UV Stabilizer)


Matahari memiliki panjang gelombang sampai di permukaan bumi sekitar 3000 - 4000 A, hal ini dapat
memecahkan senyawa kimia terutama senyawa organik. Radiasi UV sekitar 290 – 400 nm dapat memberi efek
degradasi terhadap polimer karena kebanyakan polimer terdapat senyawa kimia yang dapat menyerap radiasi
tersebut dan berpengaruh terhadap struktur rantai ikatannya, membentuk radikal bebas yang memulai reaksi
degradatif (Ebewele, 2000).
UV stabilizer digunakan untuk menghambat atau menghilangkan reaksi degradasi dengan demikian
dapat menjamin stabilitas jangka panjang dari polimer terutama selama paparan dari luar. UV stabilizers lainnya
juga dapat menonaktifkan radikal bebas yang berbahaya serta hidroperoksida segera setelah mereka terbentuk.
Contoh bahan UV stabilizer adalah Chimasob, Tinuvin 292 dan Tinuvin 327 (Ebewele, 2000).
Pigmen merupakan pilihan yang baik untuk melindungi polimer dengan menyerap radiasi UV. Karbon
hitam banyak digunakan di pabrik pembuatan ban, menyerap sinar UV dan radiasi yang tidak tampak, mengubah
energi yang terserap menjadi radiasi infrared yang tidak terlalu berbahaya. Pigmen dan karbon hitam tidak dapat
digunakan dalam aplikasi dimana transparansi dibutukan. Untuk aplikasi tersebut, diperlukan stabilizers yang
memiliki warna minimalis atau pudar. Sebagai contoh polimer transparan seperti polikarbonat dapat dilindungi
terhadap penguningan dari cahaya UV dengan memasukkan senyawa seperti benzophenone derivatives (contoh:
2-hidroksibenzophenon dan 2-hidroksibenzotriazol). Senyawa tersebut dapat mengubah radiasi UV yang terserap
menjadi energi panas yang tidak berbahaya tanpa mengubah struktur kimianya (Ebewele, 2000).

5.4 Lubricant (Bahan Pelumas)


Polimer merupakan rantai panjang molekul dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Hal ini
menyebabkan polimer relatif viskos (kental) diatas suhu lelehnya dan lekat dibawah suhu lelehnya, maka dari itu
di tambahkan bahan pelumas sehingga dapat mengurangi gaya friksional yang ditemukan diantara polimer dan
polimer, polimer dan logam, polimer dan filler, filler dan filler, serta diantara filler dan logam. Pelumas memiliki
fungsi melindungi permukaan yang bergerak dari gesekan dan panas yang berlebihan. Pelumas seperti lilin atau
kalsium stearat digunakan untuk mengurangi viskositas dari plastik cair dan meningkatkan pembentukan
karakteristik produk. Ketika suhu meningkat, pelumas yang unggul menjadi cepat encer (viskositasnya rendah).
Sifat ini diukur sebagai indeks viskositas dan ketika semakin tinggi sifat pelumas makan produk yang dihasilkan
akan menjadi lebih baik. Pelumas kadang-kadang ditambahkan ke dalam polimer untuk mengurangi gesekan dan
meningkatkan aliran pada antar muka cetakan. Pelumas juga membantu melepaskan bagian dari cetakan di cetak
injeksi.
Menurut Fulmer (2000), bahan peluas dapat diklasifikasi, yaitu:
1. Eksternal (tidak larut)
Biasanya memberikan pelumasan antara polimer dan permukaan logam dari peralatan pengolahan.
Jenisnya yaitu: polyethylene waxes, oxidized polyethylene waxes, paraffins, metal soaps, esters (high
esterification), amides, fatty acids
2. Internal (setengah larut)
Biasanya mengurangi bulk viscosity melalui kompatibilitas parsial dengan polimer, sehingga membuka
rantai polimer dengan komponen pelumas yang larut sambil memberikan pelumasan antarmolekul dengan
bagian molekul yang kurang larut.

5.5 Colorant (Bahan Pewarna)


Colorant berfungsi untuk meningkatkan penampilan dan memperbaiki sifat tertentu dari bahan polimer.
Gambar 5.3 Colorant Polimer
Pertimbangan yang perlu diambil dalam memilih warna yang sesuai meliputi aspek yang berkaitan dengan
penampilan bahan polimer selama pembuatan produk warna, meliputi daya gabung, pengaruh sifat alir pada
system dan daya tahan terhadap panas serta bahan kimia. Aspek yang berkaitan dengan produk akhir, antara lain
meliputi ketahanan terhadap cuaca, bahan kimia dan solven. Colorant dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis, yaitu
:

1. Dyes
Bahan ini larut dalam bahan plastik sehingga menjadi satu sistem dan terdispersi secara merata setelah
melalui proses pencampuran. Dyes mempunyai light fastness dan ketahanan panas kurang baik dan dapat
mengalami migrasi (bergerak ke permukaan) sehingga mengurangi daya tarik dan kadang-kadang dapat
meracuni kulit. Penggunaan dyes dalam plastik jumlahnya terbatas.

2. Pigmen
Bahan ini tidak larut dalam bahan plastik tetapi hanya terdispersi diantara rantai molekul bahan plastik
tersebut. Pencampuran bahan tersebut dengan bahan plastik kadang-kadang memerlukan teknologi dan
peralatan khusus. Pigmen dapat dikelompokkan menjadi 2 tipe yaitu pigmen anorganik dan pigmen organik.

a. Pigmen anorganik mempunyai molekul yang lebih besar dan luas permukaannya lebih kecil,
permukaannya buram karena menyebarkan sinar. Contoh pigmen anorganik : titanium dioksida yang
memberi warna putih, besi oksida memberi warna kuning, coklat, merah dan hitam, cadmium yang
memberi warna kuning terang dan merah, dll.
b. Pigmen organik mempunyai ukuran partikelnya lebih kecil, warna lebih kuat, dan dispersinya lebih
mudah namun harganya lebih mahal.
(a) (b) (c)
Gambar 5.4 (a) Diazol; (b) Quinophthalone; (c) Phthalocyanine (Fried, 1995).

Tabel 5.1 Jenis-jenis Pewarna


Pigmen Karakteristik Aplikasi
Quinacridones Sangat tahan panas pada Banyak digunakan pada
(medium red- kisaran 500-525oF, sangat otomotif, serat propilen
magenta) tidak mudah luntur,
Red mahal.
Diazol (scarlet Tahan panas yang sangat Banyak digunakan pada
to medium red) baik, tahan luntur, mudah vinyl dan polyolefin
terdispersi, relative mahal
Isoindolinonone Transparan, Tahan panas Digunakan pada vinyl,
(medium yang sangat baik dan polyolefin dan stirena
orange) tahan luntur, relative
mahal
Orange Diaryl orange Tahan panas pada kisaran Digunakan dalam
(medium 450-500oF , terang, jelas, polyolefin untuk
orange) kekuatan mewarnai yang kemasan, mainan.
tinggi, tahan luntur yang
terbatas
Isoindoline Tahan panas yang sangat Digunakan pada PVC
(reddish yellow) baik (500–575°F), tahan dan polypropylene dan
luntur yang baik, beberapa plastik
transparent atau buram rekayasa.
Yellow
Quinophthalone Tidak luntur terkena Digunakan pada vinyls
(greenish cahaya, tahan panas, dan polyolefins
yellow) warna yang luntur
terbatas.
Phthalocyanine Panas stabil hingga Sering digunakan untuk
(bluish to 600°F, ringan dan mudah vinyls, polyethylene
Green
yellowish green) terurai styrenics, polypropylene
dan beberapa resin teknik
Indanthrone Tahan luntur dan stabil Vynils, PVC kaku
Blue
(reddish blue) akan panas.
Carbazole Pewarna yang kuat, tahan Polyolefins dan vinyls
Violets (reddish violet) panas, sangat mahal dan
limited
(Sumber: Ebewele,2010)

5.6 Antioksidan
Antioksidan adalah bahan kimia yang digunakan untuk mencegah oksidasi (mencegah reaksi dengan
oksigen) pada produk polimer. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron
yang memiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang
dapat menimbulkan stress oksidatiif. Antioksidan berfungsi mencegah atau mengurangi kerusakan produk
polimer karena pengaruh oksidasi yang dapat menyebabkan pemutusan rantai polimer. Komposisi antioksidan
terdiri dari dua yaitu antioksidan alam dan atioksidan sintetik. Yang termasuk antioksidan alam antara lain turunan
fenol, kumarin, hidroksi sinamat, toko ferol, difenol, non fenol dan asam askorbat. Antioksidan sintetik antara
lain butyl hidroksi anisol (BHA), butyl hidroksi toluene (BHT). Sifat-sifat kimia pada antioksidan antara lain
sinergime, dapat diartikan sebagai gejala bahwa efek dua komponen aktif dalam campuran lebih dari jumlah efek
masing-masing jika terpisah. Menurut Ebewele (2000) bahwasannya terdapat tanda- tanda yang terlihat apabila
produk plastik rusak adalah :
a. Polimer menjadi rapuh
b. Kecepatan alir polimer tidak stabil dan cenderung menjadi lebih tinggi
c. Sifat kuat tariknya berkurang
d. Terjadi retak-retak pada permukaan produk
e. Terjadi perubahan warna

5.7 Flame Reterdant


Sekarang ini bahan polimer telah digunakan secara luas menggantikan logam dikehidupan manusia
sehari-hari karena bahan polimer lebih murah dan ringan. Namun bahan polimer mempunyai satu kelemahan
besar yaitu sangat mudah terbakar. Untuk mengurangi sifat dapat terbakar (flammable), pemahaman yang baik
tentang mekanisme pembakaran polimer diperlukan. Ada empat tahapan utama yang terlibat dalam pirolisis dan
pembakaran polimer, yaitu

1. Tahapan Pengapaian (ignition step), yaitu proses pembakaran polimer biasanya dimulai dengan
pemanasan pada suhu dimana mulai terjadinya degradasi termal, tahap pertama ini disebut sebagai
tahapan pengapian.
2. Tahapan Pirolisis, yaitu proses polimer yang terdegradasi melepaskan molekul-molekul kecil yang
mudah terbakar.
3. Tahapan Pembakaran, yaitu proses molekul-molekul kecil yang dihasilkan pada langkah sebelumnya
bergabung dengan oksigen dan terbakar, menghasilkan asap dan panas. Panas yang dihasilkan pada
langkah ketiga sebagian kembali ke polimer (feedback step) dan siklus terus terjadi hingga seluruh
polimer terbakar. Dengan memperlambat salah satu dari tahapan-tahapan tersebut akan menurunkan sifat
flamabilitasnya.

Penurunan sifat flamabilitas dari polimer dapat melalui penambahan senyawa tahan api (fire reterdant).
Fire reterdant bekerja dengan cara mendinginkan, membentuk lapisan protektif atau melalui pelepasan air atau
CO2. Fire reterdant yang biasa digunakan adalah hidroksida logam, senyawa posporus, senyawa yang
mengandung halogen dan clay.

1. Metal Hydroxide
Filler anorganik menghambat pembakaran polimer dengan membuang panas dari polimer dan
mengurang suhu api. Contohnya adalah aluminium oksida hidrat, AI2O3.3H2O dan magnesim hidroksida
Mg(OH)2. Senyawa ini dalam nyala api akan mengalami dekomposisi secara endotermik (menyerap panas), dan
melepaskan sejumlah besr uap air ke permukaan polimer. Air akan melerutkan gas yang mudah terbakar. Salah
satu kelemahan dari bahan-bahan tersebut bahwa kadar yang tinggi diperlukan untuk mendapatkan sistem tahan
api yang baik. Akibatnya sifat mekanik polimer akan menurun.
2. Phosphorus-containing fire reterdants
Banyak reterdants api tipe ini yang dikonversi menjadi asam fosfat yang akan mengeringkan polimer
yang berada dalam kondisi terbakar dan membentuk char. Pembentukan char mempengaruhi sifat tahan api bahan
polimer karena bertindak sebagai penghalang yang akan memperlambat transfer panas, mencegah masuknya
oksigen ke dalam polimer dan juga mencegah degradasi polimer. Senyawa yang meningkatkan pembentukan
char, seperti oxynitride fosfor dan phospham, atau alkohol polifungsional, tepung dan turunan glukosa telah
menunjukkan sifat tahan api pada komposit polimer. Dalam beberapa kasus, fire reterdant yang mengandung

fosfor dapat berfungsi pada fungsi uap dengan menghasilkan radikal yang dapat memadamkan api.
Gambar 5.5 Flame Retardant Property (Kashiwagi, 2004)
Adapun salah satu contoh dalam pembuatan fiberglass yang memakai beberapa zat aditif dan penguat.
Bahan pembuatan fiberglass pada umumnya terdiri dari 11 macam bahan, 6 macam sebagai bahan utama dan 5
macam sebagai bahan finishing. Sebagai bahan utama yaitu aerosil, pigmen, resin, katalis, talk, mat, sedangkan
bahan finishing antara lain : aseton, PVA, mirror, cobalt, dan dempul.
1. Aerosil
Bahan ini berbentuk bubuk sangat halus seperti bedak bayi berwarna putih. Berfungsi sebagai perekat
mat agar fiberglass menjadi kuat dan tidak mudah patah/pecah.
2. Pigmen
Pigmen adalah zat pewarna sebagai pencampur saat bahan fiberglass dicampur. Pemilihan warna
disesuaikan dengan selera pembuatnya. Pada umumnya pemilihan warna untuk mempermudah proses akhir
saat pengecatan.
3. Resin
Bahan ini berwujud cairan kentak seperti lem, berkelir hitam atau bening. Berfungsi untuk
mencairkan/melarutkan sekaligus juga mengeras semua bahan yang akan dicampur. Biasanya bahan ini dijual
dalam literan atau dikemas dalam kaleng.

4. Katalis
Zat ini berwarna bening dan berfungsi sbagai pengencer. Zat kimia ini biasanya dijual bersamaan dengan
resin, dan dalam bentuk pasta. Perbandingannya adalah resi 1 liter dan katalisnya 1/40 liter.
5. Talk
Sesuai dengan namanya bahan ini berupa bubuk berwarna putih seperti sagu. Berfungsi sebagai
pencampur adonan fiberglass agar keras dan agak lentur.
6. Mat
Bahan ini berupa anyaman mirip kain dan terdiri dari dari beberapa model, dari model anyaman halus
sampai dengan yang kasar atau besar dan jarang-jarang. Berfungsi sebagai pelapis campuran adonan dasar
fiberglass, sehingga sewaktu unsur kimia tersebut bersenyawa dan mengers, mat berfungsi sebagai
pengikatnya. Akibatnya fiberglass menjadi kuat dan tidak getas.
7. Aseton
Pada umumnya cairan ini berwarna bening, fungsinya seperti katalis yaitu untuk mencairkan resin. Zat
ini digunakan apabila adonan terlalu kental yang akan mengakibatkan pembentukan fiberglass menjadi sulit
dan lama keringnya.
8. PVA
Bahan ini berupa cairan kimia berkelir biru menyerupai spiritus. Berfungsi untuk melapis antara master
mal/cetakan dengan bahan fiberglass. Tujuannya adalah agar kedua bahan tersebut tidak saling menempel,
sehingga fiberglass hasil cetakan dapat dilepas dengan mudah dari master mal atau cetakannya.
9. Cobalt
Cairan kimia ini berwarna kebiru-biruan. Berfungsi sebagai bahan aktif pencampur katalis agar cepat
kering, terutama apabila kualitas katalisnya kurang baik dan terlalu encer. Bahan ini dapat dikategorikan
sebagai bahan penyempurna, sebab tidak semua bengkel menggunakannya. Hal ini tergantung pada kebutuhan
pembuat dan kualitas resin yang digunakannya. Perbandingannya adalah 1 tetes cobalt dicampur dengan 3 liter
katalis apabila perbandingan cobalt terlalu banyak, dapat menimbulkan api.
10. Dempul fiberglass
Setelah hasil cetakan terbentuk dan dilakukan pengamplasan, permukaan yang tidak rata dan berpori-
pori perlu dilakukan pendempulan. Tujuannya agar permukaan fiberglass hasil cetakan menjadi lebih halus
dan rata sehingga siap dilakukan pengerjaan lebih lanjut.
11. Mirror
Sesuai namanya, manfaatnya hampir sama dengan PVA, yaitu menimbulkan efek licin. Bahan ini
berwujud pasta dan mempunyai warna bermacam-macam.
5.8 Filler (Bahan Pengisi)
Bahan pengisi adalah suatu aditif padat yang ditambahkan ke dalam matrik polimer untuk meningkatkan
sifat-sifat bahan. Filler umumnya memiliki tiga fungsi, yaitu:
a. Dapat memperkuat polimer dan meningkatkan sifat mekanik.
b. Digunakan untuk mengisi ruang dan mengurangi jumlah resin yang digunakan dalam proses produksi
(hemat resin).
c. Meningkatkan slektivitas listrik.

Pengisi fungsional menghasilkan peningkatan spesifik dalam sifat mekanik dan sifat fisis. Perlakuan dari
bahan pengisi memungkin menjadi pendukung beberapa mekanisme beberapa pengisi membentuk ikatan kimia
dengan materi sebagai penguat; sebagai contoh, karbon hitam menghasilkan ikatan silang didalam elastomers
dengan memakai reaksi radikal. Beberapa penelitian telah menunjukan bahan pengisi mempunyai peranan penting
dalam memodifikasi sifat-sifat dari berbagai bahan polimer sebagai contoh, dengan cara menambahkan pengisi
akan meningkatkan sifat mekanik, elektrik, termal, optik dan sifat-sifat pemrosesan dari polimer, sementara dapat
juga mengurangi biaya produksi . Peningkatan sifat – sifat tergantung pada banyak faktor-faktor termasuk aspek
rasio dari bahan pengisi, derajat disprsi dan orientasi dalam matriks, dan adhesi pada interface matriks - bahan
pengisi.
Partikel-partikel inorganik untuk bahan pengisi polimer telah digunakan secara luas oleh karena pada
umumnya lebih murah dalam pembiayaan. Bahan pengisi yang sering digunakan adalah , fiber glas, mika, talk,
SiO2 dan CaCO3 biasanya membentuk mikro komposit dengan peningkatan sifat-sifat. Berbagai jenis pengisi
digunakan dalam polimer alam dan polimer sintetik adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan sifat-sifat fisik
bahan. Penambahan pengisi bertujuan mengurangkan biaya, mewarnai, menguatkan atau mengukuhkan bahan
polimer.
Secara umumnya, keupayaan penguatan sesuatu pengisi dipengaruhi oleh tiga ciri yang utama yaitu
ukuran partikel dan luas permukaan, bentuk dan struktur permukaan, serta aktivitas dan sifat-sifat kimia
permukaan. Pengisi penguat pada umumnya mempunyai ukuran partikel yang kecil, permukaan yang aktif secara
kimia,
permukaan yang memiliki pori dan bentuk yang tidak seragam dapat meningkatkan adhesi. Peningkatan sifat fisik
bahan polimer dikaitkan dengan ukuran partikel pengisi. Contohnya, tegangan dan modulus polimer berpengisi
bergantung kepada ukuran partikel . Ukuran partikel pengisi yang kecil meningkatkan darajat penguatan polimer
berbanding dengan ukuran partikel yang besar Ukuran partikel mempunyai hubungan secara langsung dengan
luas permukaan persatuan massa bahan pengisi. Oleh itu, ukuran partikel yang kecil menyediakan luas permukaan
yang besar bagi interaksi di antara polimer matrik dan bahan pengisi, seterusnya meningkatkan penguatan bahan
polimer.secara umum , semakin kecil ukuran partikel semakin tinggi interaksi antara bahan pengisi dan matrik
polimer. jumlah luas permukaan dapat ditingkatkan dengan adanya permukaan yang berpori pada permukaan
pengisi. Dimungkinkan bahwa polimer dapat menembus masuk ke dalam permukaan yang berpori ketika proses
pencampuran .Selain dari luas permukaan, kehomogen sebaran partikel dalam matriks polimer juga penting bagi
menentukan kekuatan interaksi di antara pengisi dan matriks polimer.
Partikel yang terserak secara homogen meningkatkan interaksi melalui penjerapan polimer di atas
permukaan bahan pengisi. Sebaliknya, partikel yang tidak tersebar secara homogen memungkin menghasilkan
aglomerat atau penggumpalan di dalam matriks polimer. Wujud aglomerat atau penggumpalan akan megurangi
luas permukaan seterusnya melemahkan interaksi di antara pengisi dan matriks dan mengakibatkan penurunan
sifat fisik bahan polimer. Sebagian besar bahan pengisi digunakan adalah polar (kutub) secara alami sedangkan
beberapa polimer bersifat non polar seperti polipropilena. Lemahnya Adhesi antara permukaan pengisi dan
matriks polimer, diperlukan suatu cara yang mana polimer terlebih dahulu dicairkan yang berguna untuk
memecahkan kumpulan dari partikel pengisi. Salah satu metoda yang sering digunakan untuk mengatasi masalah
ini harus memperlakukan bahan pengisi dengan beberapa zat permukaan, seperti asam stearic, yang akan
membuat permukaan lebih banyak hidrofil. Aditip lain, seperti silanes, zirconates dan titan, adalah sering
digunakan dengan baik. Bahan ini bereaksi dengan permukaan pengisi dan saling berhubungan dengan polimer
untuk meningkatkan adhesi antara partikel pengisi serta matriks polimer.
MAKALAH UNIT OPERASI PEMROSESAN POLIMER

Disusun Oleh:

Fikri Miftahul Shiddiq (1607122012)

Lisa Arianti (1607112094)

Muhammad Saleh (1607115578)

UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2018
BAB VI

UNIT OPERASI PEMROSESAN POLIMER

6.1. PENDAHULUAN
Penggunaan dan pemanfaatan polimer sekarang ini semakin berkembang. Polimer merupakan bahan yang
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, sebagai bahan yang sangat mudah didapat, praktis, ringan, isolator,
dapat didaur ulang, anti korosi, dan tentu saja modern. Hampir disemua sektor kehidupan kita menjumpai benda
yang terbuat dari polimer, misalnya perabotan rumah tangga alat perkakas bangunan sampai produk produk besar
seperti komponen pada kendaraan. Dewasa ini terjadi pertumbuhan yang sangat pesat pada penggunaan produk
plastik diindustri manufaktur karena sangat serbaguna dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Dukungan ilmu
pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan khusus nya untuk pemanfaatan dan pengolahan polimer, sehingga
dapat dihasilkan produk plastic dengan kuantitas yang cukup tinggi dan kualitas yang baik
Pemrosesan polimer terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah pengolahan polimer menjadi beberapa
bentuk seperti pellet atau powder. Tipe dua yaitu menjelaskan proses konversi bahan polimer menjadi produk
berguna yang diinginkan. Pembahasan mengenai metode kedua dimana memberikan produk yang banyak degan
spesifikasi yang akurat dan komplit dengan bahan baku nya yang lebih murah akan di paparkan

6.2. EKSTRUKSI
Ekstrusion adalah suatu teknik pemrosesan untuk mengubah material termoplastik bentuk bubuk atau
butiran menjadi lelehan (continuous uniform melt) yang mendorong lelehan tersebut melalui shaping die yang
terletak di ujung akhir mesin. Bentuk produk akhir yang dihasilkan tergantung pada bentuk die orifier yang dilalui
lelehan polimer.
Ekstrusi ini merupakan suatu proses meliputi pencampuran, pemanasan, pengadonan, penghancuran,
pencetakan, dan pembentukan. Dimana tujuan ekstrusi untuk meningkatkan keragaman jenis produk pangan
dalam berbagai bentuk, tekstur, warna, dan cita rasa.

Gambar 6.1 Extruder


Ekstruder terdiri dari suatu ulir (sejenis ulir bertekanan) yang menekan bahan baku sehingga berubah
menjadi bahan semi padat. Bahan tersebut ditekan keluar melalui suatu lubang terbatas (cetakan/die) pada ujung
ulir. Jika bahan baku tersebut mengalami pemanasan, maka proses ini disebut proses pemasakan ekstrusi (ekstrusi
panas). Proses ekstrusi dapat berupa pengolahan suhu rendah misalnya pada pasta, atau pengolahan suhu tinggi
misalnya pada pembuatan snack.
Tekanan yang digunakan dalam ekstruder (alat ekstrusi) berfungsi mengendalikan bentuk, menjaga air
dalam kondisi cair yang sangat panas, dan meningkatkan pengadukan. Tekanan bervariasi mulai dari 15 sampai
200 atm.
Ciri utama preses ekstrusi adalah sifatnya yang kontinyu. Alat ekstruder dioperasikan dalam kondisi
kondisi kesetimbangan dinamis, yaitu output setara dengan input, bahan yang masuk setara dengan produk.
Dalam hal mekanisme penggerakan bahan berasal dari pengaruh dua gesekan, yang pertama adalah
gesekan yang diperoleh dari ulir sedangkan bahan yang kedua adalah gesekan antara dinding barrel ekstruder dan
bahan. Ekstruder ulir tunggal membutuhkan dinding barrel ekstruder untuk menghasilkan kemampuan
menggerakkan yang baik, maka dari itulah dinding selubung ekstruder pada ekstruder ulir tunggal memainkan
peran penting dalam menentukan rancangan ekstruder. Ekstruder ulir ganda terdapat dua ulir yang parallel
ditemptkan dalam laras berbentuk angka delapan. Jarak ulir yang diatur dengan rapat akan mengakibatkan bahan
bergerak diantara ulir dan laras.
Sistem demikian ini memungkinkan self-cleaning dan self-wiping (fligh dari satu ulir menyapu dan
membersihkan bahan yang berada dalam channel ulir yang lain) maka kapasitas transportasi ekstruder ulir ganda,
khususnya dengan konfigurasi intermeshing akan meningkat. Kapasitas transport yang baik ini dapat digunakan
untuk membawa bahan yang bersifat lengket, yang tentunya sangat sulit untuk ditangani dengan ekstruder ulir
tunggal. Pada ulir tipe ini bahan yang tergelincir dari dinding barel menjadi tidak mungkin karena ulir
intermeshing yang satu akan mencegah bahan pada ulir lain untuk berputar dengan bebas.
Selain dua kategori utama tersebut, terdapat juga beberapa jenis konfigurasi ulir pada ekstruder ulir ganda
berdasarkan arah putarannya.yang pertama ialah intermeshing/non-intermeshing counter rotating, dimana pada
tipe ini arah putaran ulir saling berlawanan. Kedua ialah tipe intermeshing/non-intermeshing co-rotataing, dimana
arah putaran ulir sama. Selain itu ada juga konfigurasi ulir self-wiping dimana bentuk kedua ulirnya berbeda
dengan ulir tipe intermeshing. Semua perbedaan jenis ulir dan arah putarannya tersebut akan menghasilkan
karakteristik aliran, mekanisme geraj bahan dan pencampuran dengan pengaruh yang berbeda-beda pada bahan
karena tipe-tipe ulir tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Single extruder terdiri dari 5 komponen:


1. Drive system/sistem penggerak
a. Motor
Motor berfungsi menggerakkan screw, berdaya besar karena harus mendorong lelehan polimer yang sngat
kental melalui die/orifice yang berukuran kecil.
b. Speed reducer
Speed reducer berfungsi menurunkan rpm motor dengan factor 12:1. Jika putaran screw terlalu tinggi,
maka tempertur lelehan polimer akan naik dan kemungkinan akan terdegaradasi. Dengan turunnya rpm,
maka akan didapat torsi screw lebih besar, dan ini diperlukan untuk mendorong lelehan polimer yang
sangat kental.

2. feed system/sistem umpan


3. screw/barrel system
screw ,merupakan bagian yang bergerak, dan berfungsi untuk memompa/memindahkan, memanaskan,
mencampur, menekan. Screw berputar didalam barrel dengan daya yang di-pasok oleh motor penggerak.
6.3 Injection Molding
Proses injection molding diharapkan mampu untuk mempertahankan hasil yang baik pada saat produksi
nya, yaitu kualitas polimer yang baik dari segi struktur mikro dan sub-mikron. Namun kepuasan dari hasil struktur
mikro dan sub-mikron pada injection molding ini sangat sukar didapat untuk polimer karena berbagai alasan.
Alasan paling mendasar adalah microcavities yang dibuat pada permukaan sisipan cetakan untuk fabrikasi
Struktur mikro polimer jauh lebih sempit daripada rongga dari cetakan injeksi yang umum. Hal ini tidak hanya
meningkatkan filling resistance dari polimer cetakan, tapi juga mendorong efek pendinginan pada polimer
cetakan. Karena itu, mengisi dari mikro-rongga dan konsumsi daya mesin injection molding sangat sensitif
terhadap variasi suhu cetakan dan tekanan injeksi pada proses cetakan. Homogenitas micro-molding polimer juga
merupakan pertimbangan penting. Dengan demikian, apakah pengembangan morfologi (kristal dan fasa) dalam
polimer mempengaruhi karakteristik cetakan injeksi mikro dan Struktur sub-mikron harus diatasi.(Liou and Chen,
2006)
3 fungsi injection molding yaitu:
1. melelehkan plastik sehingga dapat dialirkan dengan bentuan tekanan.
2. Menginjeksikan lelehan plastik kedalam cetakan.
3. Memegang lelehan plastik dalam cetakan dingin sementara lelehan tersebut mengeras, kemudian mengeluarkan
plastik tersebut.
Kelebihan injection molding :
1. kapasitas produksi tinggi
2. sisa penggunaan material (useless material) sedikit dan tenaga kerja minimal.
Kekurangan injection molding :
1. Biaya investasi dan perawatan alat yang tinggi.
2. perancangan produk harus mempertimbangkan untuk pembuatan desain moldingnya

6.4 Blow Molding


Blow molding sudah diketahui sebagai metode pengolahan plastik terbesar ketiga di seluruh dunia untuk
pembuatan berbagai macam produk dalam plastik industri manufaktur. Extrusion blow molding adalah satu dari
teknik blow molding yang paling populer yang banyak Digunakan dalam industri plastik dan juga dikenal sebagai
industri pukulan cetakan. Proses ekstrusi blow molding adalah proses pembentukan produk yang berongga
dengan cara blowing, yaitu dengan penghembusan udara panas ke lubang thermoplastik liquid. Hal ini
berdasarkan pada kapasistas bahan termoplastik yang dipakai yang mana akan melunak saat diberi panas dan
membeku saat didinginkan. Tujuan dari ekstrusi blow molding adalah untuk menghasilkan produk dengan
karakteristik kualitas terbaik seperti itu, seperti tampilan dan permukaan yang baik, sifat fisik dan mekanik yang
baik, stabilitas dimensi dan sebagainya. Namun, ekstrusi blow molding juga menghasilkan banyak limbah yang
juga mengacu pada sisa plastik selama proses manufaktur. (Kamaruddin et al., 2016)

Gambar 6.2 Extruded blow molding

6.5 Rotational Molding


Rotational molding adalah proses pembuatan produk plastik berongga. Rotasional molding melibatkan
power mixing, melting, sintering dan melt solidification. Berbagai aspek proses rotational molding telah dipelajari
oleh beberapa peneliti. Penelitian mendasar tentang rotational molding telah dilakukan serta diarahkan untuk
mengurangi waktu siklus pencetakan dan untuk mengoptimalkan sifat mekanik bagian akhir.(Wang et al., 2007)
Gambar 6.3 skema dari rotational moulding

6.6 Thermoforming
Thermoforming adalah proses pemanasan lembaran plastik dan membentuknya ke dalam rongga atau di
atas alat dengan menggunakan vakum, tekanan udara dan alat mekanik. Prosesnya dimulai dengan memanaskan
lembaran termoplastik sedikit di atas suhu transisi gelas untuk polimer amorf, atau sedikit di bawah titik leleh
untuk bahan semi kristalin.(Schmidt et al., 2003)
Deskiripsi proses terbagi dalam 3 metode, yaitu cara vacuum, mechanical, dan air blowing processes.
1. Vacuum adalah metode dengan menggunakan vakum untuk membentuk polimer, lembaran plastic di
jepitkan secara mekanik dan dipanaskan. Kemudian tekanan atmospherik mendorong lembaran plastik
kedasar, setelah itu dibiarkan dingin.
Gambar 6.4 langkah-langkah dalam proses vakum(Ebewele, 2000)

2. Mechanical forming
Lembaran panas membentang diatas cetakan,tenpa menggunakan udara ataupun tekanan, ada dua mold
yang menyatu, mold atas dan bawah yang mana ditengah nya terdapat lembaran yang akan dicetak.
Maka, setelah kedua mold menyatu terbentuklah produk berupa hasil cetakan.

Gambar 6.5 langkah langkah dalam proses mechanical forming


3. Air blowing process
Pada pencetakan ini lembaran dijepit diatas female cavity. Lalu, udara ditiupkan melalui rongga female
cavity sehingga lembaran tertuip dan cembung keluar. setelah itu, sebuah plug didorong dari atas hingga
kedasar femae cavity sehingga terbentuklah produk cetakan.
Gambar 6.6 langkah-langkah pada air blowing process
6.7 Compression dan Transfer Molding
6.7.1 Metode compression molding (Thermoforming)
Compression molding (Thermoforming) merupakan metode mold yang dipanaskan kemudian setelah
material tersebut menjadi lunak dan bersifat plastis, maka bagian atas dari die dan mould akan bergerak turun
menekan material menjadi bentuk yang diinginkan. Apabila panas dan tekanan yang ada diteruskan, maka akan
menghasilkan reaksi kimia yang bisa mengeraskan material thermosetting tersebut.
Material thermosetting diletakan kedalam mold yang bersuhu antara 300 derajat Fahrenheit hingga359
derajat Fahrenheit dan tekanan mold berkisar antara 155 bar dan 600 bar.
Prosess compression molding, dapat dibedakan atas empat macam yaitu :
1. Flash type Mold – jenis ini bentuknya sederhana, murah, saat mold menutup maka material sisa yang
kemudian meluap akan membentuk lapisan parting line/plain (land B), dank arena tipisnya akan segera
mengeras/beku sehingga menghindari meluapnya material lebih banyak. Jadi mold akan di isi material
sepenuhnya sampai luapan yang terjadi sebanyak yang diijinkan.
2. Positive mold jenis ini terdiri dari satu rongga (cavity) yang dalam dengan sebuah plunger yang
mengkompresikan/memadatkan material compound.
3. Landed positive mold mirip dengan yang diatas tetapi tinggi bidang atas dibatasi. Bagian “land” bekerja
menahan tekanan (bukan bagian produknya). Karena ketebalan material terkontrol dengan baik, maka
kepadatan benda kerja tergantung dari posisi pengisian yang diberikan.
4. Semi positive mold merupakan kombinasi antara flash tipe dan landed positive mold.
Gambar 6.7 langkah-langkah dalam proses compression molding
6.7.2 Metode Transfer Molding
Transfer molding merupakan proses pembentukan suatu benda kedalam sebuah mold (yang tertutup)
dari material thermosetting, yang disiapkan kedalam reservoir dan memaksanya masuk melalui runner/kanal
kedalam cavity dengan menggunakan panas dan tekanan.(Ebewele, 2000)

Gambar 6.8 skema prosess Transfer Molding

6.8 Casting
Dalam proses casting, bahan bahan cair dituangkan kedalam cetakan dan dibiarkan mengeras secara fisik
(misalnya, pedinginan) atau kimia (misalnya, polimerisasi) yang menghasilkan benda yang kaku yang umumnya
mereproduksi rongga cetakan detail dengan ketelitian yang besar.(Ebewele, 2000)

6.9 Calendaring
Calendaring adalah operasi pembentukan lembaran secara kontiniu memanfaatkan lebih dari separang roll
yang berputar, material termoplastik lunak dibentuk menjadi lembaran dengan ketebalan yang seragam. Saat
bahan memasuki proses calendaring efek pertama yang terjadi adalah laminar shear deformation yang mana itu
merupakan efek saat bahan pertama kali memasuki sepasang roll yang sedang berputar, dimana terjadi deformasi
akibat dari bahan yang terkena jepitan dan gesekan antara sepasang roll. Pada umum nya dalam proses calendaring
terdapat 4 pasang roll, dimana kecekpatan, gigitan, dan tempertur dapat di atur sedemikian rupa. Suhu pada Dua
pasang roll pertama dijaga pada rentang transisi dan dua terakhir dijaga pada rentang viscous-flow.(Chong, 1968)

Gambar 6.9 schematic diagram pada alat calendaring dan koordinat


6.10 Ringkasan
Pemrosesan polimer terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah pengolahan polimer menjadi beberapa
bentuk pellet atau powder. Dua tipe itu menjelaskan proses konversi bahan polimer menjadi produk berguna yang
diinginkan. Yang dijelaskan di bab ini adalah tipe kedua.
a. Extrusion adalah suatu teknik pemrosesan untuk mengubah material termoplastik bentuk bubuk atau butiran
menjadi lelehan (continuous uniform melt) dan mendorong lelehan tersebut melalui shaping die yang terletak
di ujung akhir mesin. Ekstrusi ini merupakan suatu proses yang mengkombinasikan beberapa proses meliputi
pencampuran, pemasakan, pengadonan, penghancuran, pencetakan, dan pembentukan. Dimana tujuan
ekstrusi untuk meningkatkan keragaman jenis produk pangan dalam berbagai bentuk, tekstur, warna, dan cita
rasa.
b. Injection Molding adalah metode material thermoplastic dimana material yang meleleh karena pemanasan
diinjeksikan oleh plunger kedalam cetakan yang didinginkan oleh air dimana material tersebut akan
mendingin dan mengeras sehingga bisa dikeluarkan dari cetakan.
c. Blow Molding merupakan suatu metode mencetak benda kerja berongga dengan cara meniupkan atau
menghembuskan udara kedalam material/bahan yang menggunakan cetakan yang terdiri dari dua belahan
Mold yang tidak menggunakan inti atau (core) sebagai pembentuk rongga tersebut.
d. Rotational Molding biasanya temperature yang tinggi, tekanan rendah (low pressure) dalam metode
manufakturingnya yang mengkombinasikan panas dan perputaran bi-axial (bi-axial rotation). Dalam prosesn
ini, bubukbubuk digilas halus dan dipanaskan dalam cetakan sampai meleleh.
e. Thermoforming adalah pembentukan lembaran lembaran plastik menjadi bagian bagian melalui aplikasi
panas dan tekanan. Teknik thermoforming dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu vacuum forming
mechanical forming dan air blowing process.
f. Compression molding (thermoforming) merupakan metode mold plastic dimana material plastic (compound
pastik) diletakan kedalam mold yang dipanaskan kemudian setelah material tersebut menjadi lunak dan
bersifat plastis, maka maka bagian atas dari die atau mould bergerak turun menekan material menjadi bentuk
yang diinginkan.
g. Transfer Molding merupakan pembentukan suatu benda kedalam suatu mold (yang tertutup) dari material
Thermosetting, yang disiapkan kedalam reservoir dan memaksanya masuk melalui runner/kanal kedalam
cavity dengan menggunakan panas dan tekanan.
h. Dalam proses casting, bahan cair dituangkan kedalam cetakan dan dibiarkan mengeras secara fisik (misalnya,
pendinginan) atau kimia (misalnya, polimerisasi) yang menghasilkan benda yang kaku yang umumnya
mereproduksi rongga cetakan detail dengan ketelitian yang besar.
TUGAS TEKNOLOGI POLIMER
“TERMODINAMIKA POLIMER”

Disusun oleh :
Kelompok 7
Teknik Kimia S1

ELMA ANGGRAYNI
FARHAN HIDAYUTULLAH
ROBI JUANDRY

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
BAB VII
TERMODINAMIKA POLIMER

7.1 Pendahuluan
Polimer adalah rantai berulang dari atom yang panjang, terbentuk dari pengikat yang berupa molekul identik yang
disebut monomer. Meskipun sebagian besar merupakan senyawa organik (memiliki rantai karbon), ada juga banyak polimer
anorganik.
Pada bab ini akan dibahas tentang perilaku termal yang terjadi pada polimer, meliputi suhu transisi gelas dan
temperatur leleh kristal pada polimer
 Temperatur transisi glass, Tg
 Temperatur leleh kristal polimer, Tm
 Parameter kelarutan
 Reologi polimer

7.2 Perilaku Termal Pada Polimer


Ketika sebuah balok es dipanaskan, suhunya akan meningkat sampai pada batas suhu tertentu dan akhirnya es tersebut
akan mencair. Temperatur yang teramati tidak akan mengalami peningkatan sampai semua bagian es mencair. Jika
pemanasan dilanjutkan pada es yang telah mencair, maka fenomena kenaikan temperatur sampai batas tertentu akan terjadi
dan akhirnya cairan akan menguap, temperatur yang teramati juga tidak mengalami peningkatan sampai seluruh cairan
menjadi uap. Dari fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa:
 Air berada pada 3 fasa yaitu padat, cair, dan gas
 Perubahan diantara tiap fasa berada pada rentang suhu yang signifikan

Tetapi pada polimer perubahan yang terjadi lebih kompleks dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada air
karena polimer disusun dari berbagai senyawa-senyawa yang kompleks. Pada tahap awal, molekul-molekul yang besar
dapat membentuk suatu polimer, dimana pada suhu tinggi polimer akan terdekomposisi dan tidak mengalami pendidihan.
Karena pada umumnya titik didih polimer akan lebih tinggi dari pada temperatur saat polimer terdekomposisi. Tahap kedua,
polimer terdiri dari campuran berbagai molekul yang memiliki panjang rantai yang berbeda-beda (bobot molekul). Berbeda
dengan molekul sederhana, oleh karena itu, transisi antara bentuk padat dan cair suatu polimer agak menyebar dan terjadi
pada rentang suhu yang besarnya dari 2 sampai 10°C. Ketika polimer mencair, polimer menjadi suatu cairan yang sangat
kental dan tidak dapat dengan bebas mengalir seperti pada molekul dengan berat yang rendah. (Ebewele,2000).
Selain itu, terdapat perbedaan yang mendasar antara perilaku termal polimer dengan perilaku termal molekul
sederhana karena gerak molekul polimer dipengaruhi oleh energi termal yang bekerja pada polimer tersebut. Hal ini
disebabkan oleh gaya kohesif yang terdapat di sepanjang rantai dan antara rantai yang berada disebelahnya. Akibatnya
perilaku termal pada polimer disebabkan oleh struktur yang membangun polimer itu sendiri. Ada dua temperatur penting
yang mempengaruhi perubahan sifat fisik polimer secara drastis, yaitu:
 Temperatur transisi glass, Tg
 Temperatur leleh kristal polimer, Tm (Ebewele,2000).
7.3 Temperatur Transisi Gelas
Temperatur transisi gelas adalah suatu kisaran temperatur yang bersifat sempit, dimana di bawah temperatur tersebut
polimer bersifat gelasy, dan di atas temperatur tersebut polimer bersifat rubbery. Temperatur transisi gelas merupakan salah
satu sifat polimer. Apakah polimer bersifat gelasy atau rubbery sangat tergantung pada temperatur apakah di atas atau di
bawah temperatur transisi gelas. Dengan kata lain, masing-masing polimer akan mempunyai temperatur transisi gelas
dengan karakteristik tersendiri. Sedangkan titik leleh kristal adalah temperatur yang telah tercapai pada batas tertentu saat
polimer dipanaskan secara terus menerus sehingga polimer berubah ke dalam bentuk cairan. (Ebewele,2000).
Sifat fundamental dalam transisi gelas masih belum jelas. Ini adalah proses yang kompleks yang melibatkan
kesetimbangan, termodinamika, dan faktor kinetik. Berbagai teori transisi gelas, telah digunakan baik termodinamika atau
pendekatan kinetik. Pendekatan ini didasarkan pada termodinamika entropi pertimbangan dari fase gelas, sedangkan teori
kinetik transisi gelas mempertimbangkan fenomena relaksasi terkait dengan transisi gelas. Masing-masing pendekatan
hanya memberikan penjelasan parsial dengan perilaku yang diamati dari polimer. (Baharuddin, 2016)

7.3.1 Teori Kinetik


Konsep kinetik transisi gelas menganggap transisi gelas sebagai fenomena dinamis karena posisi Tg tergantung pada
tingkat pemanasan atau pendinginan. Ini memprediksi bahwa nilai Tg diukur tergantung pada skala waktu percobaan dalam
kaitannya dengan yang ada pada gerakan molekul yang timbul dari dengan gangguan dari sistem polimer oleh perubahan
temperatur. Sejumlah model telah diusulkan untuk mengkorelasikan gerakan molekul dengan perubahan sifat makroskopik
yang diamati dalam percobaan. Salah satu pendekatan yang menganggap proses vitrifikasi (gelasification) sebagai reaksi
yang melibatkan gerakan bagian-bagian rantai (unit kinetik) diantara energi yang bekerja. Untuk pergerakan bagian rantai
dari satu energi ke energi yang lain, sebuah "lubang" kritis atau ruang kosong harus tersedia. Untuk membuat lubang ini
energi yang cukup harus tersedia untuk mengatasi kedua kekuatan kohesif dari molekul sekitarnya dan hambatan energi
potensial yang terkait dengan penataan ulang tersebut. Suhu pada bagian kosong harus cukup besar untuk memungkinkan
adanya aliran suhu yang dianggap sebagai Tg. Teori ini memungkinkan deskripsi pendekatan kesetimbangan
termodinamika. Ketika bahan polimer di atas Tg didinginkan, ada gerak molekul yang cukup untuk keseimbangan yang
akan dicapai. Namun, tingkat pendekatan untuk keseimbangan tergantung pada tingkat pendinginan yang digunakan dalam
percobaan. (Ebewele,2000).

7.3.2 Teori Equilibrium


Konsep kesetimbangan memperlakukan transisi gelas yang ideal sebagai transisi orde kedua termodinamika yang
benar, yang memiliki sifat kesetimbangan. Keadaan yang ideal, tentu saja tidak dapat diperoleh secara eksperimental dan
jika ingin direalisasikan akan memerlukan waktu yang tidak terbatas. Menurut teori Gibbs dan DiMarzio, satu proses transisi
gelas merupakan konsekuensi dari perubahan entropi konformasi dengan perubahan suhu. Pengurangan tingkat dalam
reorganisasi molekul diamati secara dekat pada suhu transisi tersebut dan diberikan untuk pengurangan jumlah konformasi
yang tersedia saat suhu diturunkan. Kesetimbangan konformasi entropi menjadi nol ketika transisi orde kedua
termodinamika tercapai pada akhirnya. Setelah itu, konformasi berlangsung pada suhu pendinginan dalam, sejak waktu
yang diperlukan untuk perubahan konformasi menjadi hampir tak terbatas. Sehingga mendekati suhu transisi yang
sebenarnya dan sebagai skala waktu percobaan menjadi lebih lama. (Ebewele,2000).
7.3.3 Teori Volume Bebas
Sebuah teori yang paling berguna dan populer pada sehu transisi gelas adalah "volume bebas" model Fox dan Ferry
dan, kemudian, dari Williams, Landell, dan Ferry. Dua Teori ini mempertimbangkan volume bebas, V f, suatu zat sebagai
perbedaan antara volume spesifik, -V, dan ruang sebenarnya ditempati oleh molekul, V0, di mana V0 dinyatakan sebagai:
𝑉𝑜 = 𝑉 ′ + 𝛼𝑔𝑇

Dimana: V’ = the extrapolated volume of glass at absolute zero


αg = termal expansion coefficient of the glass

Model ini dapat ditutunkan lebih lanjut untuk fraksi volume, f, pada temperatur T sebagai:

f = Vf / V

= fg+ αf(T-Tg)

Dan

𝑑𝑓 1 𝑑𝑉𝑓
αf= α1- αg=𝑑𝑇 = 𝑉𝑓 𝑑𝑇

fg = Fraksi volume gratis di Tg


α1= Koefisien ekspansi termal di atas Tg
αg = Koefisien ekspansi termal bawah Tg

Untuk polimer yang paling amorf, fraksi volume bebas pada suhu transisi gelas ditemukan menjadi konstan, dengan
nilai 0,025. (Ebewele, 2000).

7.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Transisi Gelas


1. Fleksibilitas Rantai
Fleksibilitas rantai ditentukan oleh kemudahan rotasi yang terjadi pada obligasi valensi utama. Polimer dengan
hambatan rendah untuk berotasi secara internal memiliki nilai Tg yang rendah. Rantai alifatik yang panjang seperti
kelompok eter dan ester yang saling berkaitan akan meningkatkan fleksibilitas rantai, sementara kelompok yang kaku seperti
struktur siklik. Efek ini diilustrasikan dalam Tabel 7.1. Sisi yang kaku serta berukuran besar dan dekat dengan backbone
menyebabkan halangan sterik, menurunkan mobilitas rantai, dan karenanya meningkatkan Tg. (Ebewele,2000).

Polimer Tg (oC)

Polietilena -120

Polidimetilsiloxane -123

Polikarbonat 150

Polisulfona 190

Poli(2,6-dimetil-1,4-fenilena oksida) 220


Tabel 7.1 Efek fleksibilitas rantai terhadap Tg(Ebewele,2000).

Polimer Tg (oC)

Polietilena -120

Polipropilena -10

Polistirena 100

Poly(α-metilstirena) 192

Poly(p-metilstirena) 119

Poli(m-metilstirena) 72

Poli(α-vinyl naftalena) 135

Poli(vinyl carbazole) 208

Tabel 7.2 Perubahan Tg oleh steric hidrance(Ebewele,2000).


2. Faktor Geometris
Faktor geometris, seperti simetri tulang punggung dan adanya ikatan rangkap pada rantai utama, mempengaruhi Tg.
Polimer yang memiliki struktur simetris memiliki Tg yang rendah dibandingkan dengan struktur yang asimetris. Hal ini
digambarkan oleh dua pasang polimer, yaitu polypropylene vs poliisobutilena dan poli (vinil klorida) vs poli (vinilidena
klorida) pada Tabel 7.3. Kelompok-kelompok tambahan di dekat tulang punggung polimer simetris akan meningkatkan
halangan sterik dan akibatnya meningkatkan Tg. Faktor lain yang mempengaruhi geometris Tg adalah cis-trans konfigurasi.
Ganda obligasi dalam cis mengurangi penghalang energi untuk rotasi obligasi yang berdekatan, "melunakkan" rantai, dan
dengan demikian mengurangi Tg (Ebewele,2000).

Polimer Struktur Polimer Tg(⁰C)

Polypropilena – CH2 – CH – -10

CH3

Polyisobutilena CH3 -70

– CH2 – CH –

CH3
Poly(vinyl clorida) – CH2 – CH – 87

Cl

Poly(vinylidene chliride) Cl -17

– CH2 – CH –

Cl

Tabel 7.3 Efek simetri terhadap Tg(Ebewele,2000).

Polimer Struktur Tg(oC)

Poli(1,4-cis-butadienaa) – CH2 CH2 – -108

C=C

H H

Poli(1,4-trans-butadiena) – CH2 H -83

C=C

H CH2 –

Tabel 7.4 Hubungan konfigurasi cis-trans terhadap Tg (Ebewele,2000).

3. Gaya Tarik Menarik Antar Rantai


Ikatan antarmolekul pada polimer adalah karena kuatnya gaya tarik menarik ikatan sekunder. Karena itu, diharapkan
bahwa keberadaan obligasi antarmolekul yang kuat dalam rantai polimer, yaitu tingginya nilai kepadatan energi kohesif,
secara signifikan akan meningkatkan Tg. Pengaruh polaritas misalnya, dapat dilihat dari Tabel 7.5. Efek starik dari
kelompok ikatan dalam seri (CH3, Cl-, dan -CN) adalah sama, tetapi meningkat polaritas. Akibatnya, Tg meningkat dalam
urutan yang ditunjukkan dalam table. (Ebewele,2000).

Polimer Struktur Dielektrik konstan Tg(oC)


pada 1kHz
Polipropilen – CH2 – CH – 2,2 – 2,3 -10

CH3

Poli(vinilclorida) – CH2 – CH – 3,39 87

Cl

Poliacrilonitril – CH2 – CH – 5,5 103

CN

Tabel 7.5 Efek polaritas terhadap Tg (Ebewele,2000).


4. Kopolimerisasi
Transisi suhu Tg dan Tm adalah karakteristik penting dari teknologi polimer. Pada kenyataannya sangat penting untuk
dapat mengendalikan baik Tg atau Tm satu sama lain. Sebuah sistem kopolimer dapat ditandai baik oleh geometri dari
polimer yang dihasilkan adalah, susunan monomer yang berbeda (random, bergantian, cangkok, atau blok) atau oleh
kompatibilitas (miscibility) dari dua monomer. (Ebewele,2000).

5. Berat Molekul
Karena bagian akhir rantai hanya dibatasi pada salah satu ujungnya, mereka memiliki mobilitas relatif lebih tinggi
daripada pada bagian internal rantai. Pada suhu tertentu, rantai akhir memberikan volume bebas yang lebih tinggi untuk
menggerakan molekul. Akibatnya akhir rantai meningkat (berarti penurunan Mn), meningkatkan volume bebas yang
tersedia dan akibatnya ada depresi Tg. Efek tersebut akan lebih parah pada berat molekul rendah, tetapi dengan
meningkatnya Mn, Tg mendekati sebuah nilai asimtotik. Sebuah ekspresi empiris yang berkaitan dengan hubungan terbalik
antara Tg dan Mn diberikan oleh Persamaan 7.1. (Ebewele,2000).

Tg = Tg∞ = K/Mn ...................................................... (7.1)

Dimana: Tg∞ = Tg pada massa molekuler tertentu


K = konstan
Untuk polistiren nilai Tg∞ = 100oC dengan nilai K 2 x 105(Ebewele,2000).

6. Ikatan Silang dan Cabang


Menurut definisi, silang melibatkan koneksi pembentukan antarmolekul melalui ikatan kimia. Proses ini tentu
mengakibatkan penurunan mobilitas rantai. Akibatnya, Tg meningkat. Untuk ikatan silang ringan dengan sistem seperti
karet divulkanisir, Tg menunjukkan peningkatan moderat atas uncross-linked polimer. Dalam kasus ini, Tg dan derajat
silang memiliki ketergantungan linear, seperti yang ditunjukkan persamaan empiris berikut:

3.9𝑥104
𝑇𝑔 − 𝑇 0 = 𝑀𝑐
..................................................... (7.2)

Dimana: Tg = temperatur transisi gelas


Mc = jumlah rata-rata berat mulekular (Ebewele,2000).

7. Kristalinitas
Dalam polimer semikristalin, kristalit dapat dianggap sebagai fisik lintas-link yang cenderung memperkuat struktur.
Dilihat dengan cara ini, mudah untuk memvisualisasikan bahwa Tg akan meningkat dengan meningkatnya derajat
kristalinitas. Hal ini tentunya tidak mengherankan karena faktor operasi energi kohesif dalam daerah amorf dan kristal
adalah sama dan mempunyai pengaruh yang sama pada transisi. Telah ditemukan bahwa hubungan empiris berikut ada
antara Tg dan Tm. (Ebewele,2000).
1
𝑇𝑔 2
𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑝𝑜𝑙𝑖𝑚𝑒𝑟 𝑠𝑖𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖𝑠
𝑇𝑚
= {2 } ...........................(7.3)
3
𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑝𝑜𝑙𝑖𝑚𝑒𝑟 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑠𝑖𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖𝑠

Catatan: Tg dan Tm dalam derajat kelvin

8. Plasticization
Plastisitas adalah kemampuan bahan untuk menjalani deformasi plastik atau permanen. Dalam polimer, hal ini dapat
dicapai oleh sebagian polimer dengan penambahan molekul rendah, senyawa organik disebut sebagai plasticizer.
Plasticizers biasanya nonpolymeric, cairan organik dari titik didih tinggi. Plasticizers yang larut dengan polimer pada
prinsipnya harus tetap dalam keadaan polimer. Penambahan plasticizer untuk polimer, bahkan dalam jumlah yang sangat
kecil, secara drastis mengurangi Tg polimer. Ini dicontohkan oleh fleksibilitas dari poli vinil klorida yang jika tidak
dimodifikasi diman awalnya kaku, tetapi dapat diubah menjadi bahan yang fleksibel dengan penambahan plasticizer seperti
dioctylphthalate (DOP). (Ebewele,2000).
Pengaruh plasticizer dalam mengurangi Tg dapat diinterpretasikan dalam beberapa cara. Plasticizers berfungsi
melalui ikatan antarmolekul solvating dengan meningkatkan jarak antarmolekul, sehingga mengurangi kekuatan. Atau
penambahan plasticizer akan meningkatan dengan pesat jumlah ujung rantai dan karena itu menjadi peningkatan volume
bebas. (Ebewele,2000).

7.4 Temperatur Leleh Kristalin


Pelelehan melibatkan perubahan dari keadaan padat kristal ke dalam bentuk cair. Untuk material sederhana dengan
berat molekul rendah, pencairan merupakan transisi orde pertama termodinamika yang ditandai dengan diskontinuitas dalam
variabel termodinamika utama dari sistem seperti kapasitas panas, spesifik volume (density), indeks bias, dan transparansi.
Peleburan terjadi ketika perubahan energi bebas proses adalah nol, yaitu:
∆𝐺𝑚 = ∆𝐻𝑚 − 𝑇𝑚 ∆𝑔𝑚 = 0 ................................................. (7.4)

Atau
∆𝐻𝑚
𝑇𝑚 = ∆𝑆𝑚
.................................................................. (7.5)

Dimana: ΔHm = Perubahan entalpi selama pelelehan dan menyatakan selisih


antara energi kohesif molekul pada kondisi kristalin dan pada kondisi liquid.
ΔSm = Perubahan entropi selama proses pelelehan yang menyatakan
perubahan antara dua fasa.

Konsep ini telah diperpanjang untuk proses peleburan dalam sistem polimer kristal. Harus dingat beberapa point penting
tenteng polimer kristal.

 Sifat makromolekul polimer dan adanya distribusi berat molekul (polidispersitas) menyebabkan perluasan Tm.
 Proses kristalisasi polimer melibatkan rantai berlipat. Hal ini menciptakan kerusakan yang melekat dalam
menghasilkan kristal. Akibatnya, titik leleh aktual lebih rendah dari pelelehan secara termodinamika dengan titik
yang ideal.
 Karena sifat makromolekul polimer dan perubahan konformasi terkait dengan pencairan, proses pencairan dalam
polimer meliliki tingkat yang lebih sensitif dibanding molekul sederhana.
 Polimer adalah 100% kristal. (Ebewele,2000).

Faktor-faktor yang menentukan kecenderungan kristalisasi adalah:


 Struktural keteraturan  Untuk pemanfaatan yang efektif dari kekuatan ikatan sekunder antarmolekul selama
pembentukan polimer kristal, syarat utamanya keselarasan diantara molekul polimer. (Ebewele,2000).
 Fleksibilitas Rantai  Dalam proses agregasi untuk membentuk kristal padat, molekul polimer dihambat oleh
agitasi termal, yang menginduksi gerak rotasi, dan vibrasi segmental. Polimer dengan rantai yang fleksibel lebih
rentan terhadap agitasi dibandingkan dengan polimer yang memiliki tulang punggung yang kaku. Akibatnya,
fleksibilitas rantai mengurangi kecenderungan untuk berkristalisasi. (Ebewele,2000).
 Ikatan antarmolekul  Karena kekuatan ikatan sekunder bertanggung jawab untuk ikatan antarmolekul, molekul
polimer dengan kelompok-kelompok tertentu yang memaparkan interaksi antarmolekul yang ditingkatkan dan
yang memiliki struktural yang mengakibatkan periode identitas polimer menjadi lebih crystallizable.
(Ebewele,2000).

Pelehan adalah orde pertama transisi termodinamika yang melibatkan perubahan fasa dan berhubungan dengan
diskontinuitas pada sifat termodinamika yang luas. Pada prinsipnya, setiap bahan yang nilainya berbeda untuk polimer
kristal dan amorf menyediakan metode untuk mengukur titik leleh kristal. Metode untuk mengukur titik leleh kristal
termasuk dilatometri, kalorimetri, analisis termal, teknik dinamis (mekanik dielektrik, resonansi magnetik nuklir), dan
relaksasi stres. (Ebewele,2000).

7.4.1 Faktor Yang Mempengaruhi Titik Leleh Kristal, Tm


Sifat polimer yang berbeda, dimana polimer dapat mencair pada fasa kristalin dimana polimer dianggap sebagai
pseudoequilibrium yang prosesnya dapat dijelaskan oleh persamaan energi bebas. Dalam hal ini, ΔH m merupakan selisih
energi kohesif antara rantai kristal dan cair, sedangkan ΔSm merupakan perbedaan tingkat keteraturan antara kedua molekul
polimer. (Ebewele,2000).
∆𝐻𝑚
𝑇𝑚 = .................................................... (7.6)
∆𝑆𝑚

1. Ikatan Antar Molekul


Gaya kohesif dalam polimer melibatkan kekuatan ikatan sekunder mulai dari gaya Van der Waals lemah melalui
ikatan hidrogen yang jauh lebih kuat. Dalam beberapa kasus, gaya-gaya ini mengikut sertakan ion obligasi yang primer.
Gambar 7.1 menunjukkan variasi Tm untuk seri homolog dari berbagai jenis polimer. Dengan polietilen sebagai referensi,
amati bahwa:
 Titik leleh yang mendekati polietilen diungkapkan sebagai jarak antara peningkatan gugus polar.
 Untuk jumlah yang sama dari atom rantai yang berulang, poliurea, poliamida, dan poliuretan memiliki titik leleh
yang lebih tinggi dibandingkan dengan polietilen, sedangkan poliester memiliki derajat yang lebih rendah.
(Ebewele,2000).

Seperti yang diharapkan, penurunan kepadatan energi kohesif terkait dengan penurunan kepadatan ikatan
antarmolekul yang mengarah pada pengurangan di titik leleh. Van Krevelen dan Hoftyzer telah menghitung kontribusi dari
bagian karakteristik polimer pada berbagai bagian untuk Ym, kuantitas ini disebut fungsi transisi molar yang meleleh. Ini
ditunjukkan pada Tabel 7.6. Untuk jumlah yang sama atom pada rantai utama, rantai fleksibilitas (ΔSm) tidak akan secara
signifikan berbeda untuk berbagai polimer. Dari Tabel 7.6 nilai mutlak dihitung untuk bagian interunit dengan karakteristik
yang mungkin tidak signifikan, besarannya pasti sesuai dengan yang ada pada titik leleh dari berbagai jenis polimer. Di
Gambar 7.1, diperhatikan secara khusus bahwa titik leleh untuk poliester lebih rendah dari Tm polietilen. (Ebewele,2000).

Gambar 7.1 Grafik pelelehan beberapa jenis polimer(Ebewele,2000).

Polimer Karakteristik Kontribusi terhadap Ym

Poliester O 1160

–C–O–

Poliuretan O H 2560

–C–N–

Poliamida O H 2430

–O–C–N–

Poliurea H O H 3250
–N–C–N–

Tabel 7.6 Kontribusi beberapa jenis polimer terhadap Ym(Ebewele,2000).


2. Pengaruh Struktur
Ketergantungan struktural suhu leleh kristal pada dasarnya sama dengan suhu transisi gelas. Satu satu perbedaannya
adalah efek dari keteraturan struktur yang memiliki pengaruh mendalam terhadap crystallizability dari polimer. Tg hampir
tidak terpengaruh oleh keteraturan struktur. Dari pemeriksaan dekat data untuk polimer semikristalin telah ditetapkan bahwa
rasio Tg / Tm (K) berkisar antara 0,5 hingga 0,75. Rasio ini ditemukan lebih dekat dengan 0,5 pada polimer simetris
(misalnya polietilena dan polibutadiena) dan lebih dekat ke 0,75 dalam polimer tidak simetris (misalnya polistirena dan
polychloroprene). (Ebewele,2000).

Polimer Tm(oC)

Polietilen 135

Polipropilen 165

Polietilen oksida 66

Poli(propilrn oksida) 75

Poli(etilen adipat) 50

Poli(etilen tereftalat) 265

Poli(dipanil-4,4-dietilen carboxilat) 355

Polikarbinat 270

Poli(p-xilane) 380

Polistyren (isotactic) 240

Poli(o-metilstirena) >360

Poli(m-metilstirena) 215

Tabel 7.7 Efek dari fleksibilitas rantai polimer terhadap nilai Tm(Ebewele,2000).
3. Fleksibilitas Rantai
Polimer dengan rantai yang kaku diharapkan memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan dengan molekul
yang lebih fleksibel. Hal ini karena pada pelelehan polimer dengan rantai utama yang kaku memiliki konformasi perubahan
entropi lebih rendah dibandingkan dengan rantai utama yang fleksibel. Seperti yang kita lihat sebelumnya, fleksibilitas
rantai ditingkatkan oleh kehadiran kelompok-kelompok seperti -O- dan - (CO • O) – dan dengan meningkatkan unit (-CH2-
) di utama rantai. Penyisipan gugus polar dan cincin membatasi rotasi tulang punggung dan akibatnya mengurangi
perubahan konformasi dari tulang punggung. (Ebewele,2000).

4. Kopolimerisasi
Pengaruh kopolimerisasi pada Tm tergantung pada tingkat kompatibilitas komonomer. Jika Komonomer memiliki
volume tertentu yang sama, mereka dapat saling menggantikan dalam kisi kristal (yaitu sistem isomorf) dan titik leleh akan
bervariasi selama rentang seluruh komposisi. Jika kopolimer dibuat dari monomer yang masing-masing membentuk
homopolimer kristal, derajat kristalinitas dan penurunan titik leleh kristal sebagai konstituen ditambahkan ke salah satu dari
homopolimer. Dalam hal ini, Tm kopolimer (yaitu penurunan titik leleh, Tm dari homopolimer karena adanya penambahan
konstituen kedua) dejelaskan oleh Persamaan 7.7. (Ebewele,2000).
1 1 𝑅
= 𝑇 0 − ∆𝐻 𝑙𝑛𝑥 .............................................(7.7)
𝑇𝑚 𝑚 𝑚

dimana ΔHm dan X masing-masing adalah panas fraksi fusi dan mol homopolimer atau mengkristal (yaitu major) komponen.
Hal ini jelas bahwa tidak mungkin untuk mencoba meningkatkan titik leleh kristal polimer dengan kopolimerisasi dengan
sejumlah kecil monomer dengan titik lebur tinggi kecuali untuk sistem isomorf. (Ebewele,2000).

7.5 Metode Kelompok kontribusi volume (GCVOL)

Bagian ini akan menangani terutama kelompok contri-bution (GC) metode untuk memperkirakan lebih penting sifat
polimer, kemudian diperlukan untuk memperkirakan keseimbangan fase larutan polimer dan campuran. Itu bukanlah tujuan
dari bab ini untuk memberikan tinjauan lengkap kelompok kontribusi metode untuk memperkirakan sifat polimer. Contoh
properti untuk GC yang metode telah dikembangkan dan disajikan di sini adalah kepadatan, parameter kelarutan, mencair
dan kaca suhu transisi. (Bogdonic,Grozdana. 2006)
Kelompok kontribusi volume (GCVOL) metode telah diusulkan oleh Elbro et al. Metode yang didasarkan pada GCs
menurut persamaan berikut:

V = ni Vi (5a)

V1= A; + Bi T + T 2 (5b)

Constantinou mengembangkan metode GC alternatif untuk kepadatan polimer (dibatasi ke 25° C). Keuntungan penting dari
karya-karya Elbro dan Ihlmes dan Gmehling dan Constantinou over van Krevelen dan Askadskii adalah bahwa penulis ini
menunjukkan bahwa metode GC konsisten yang sama dapat diterapkan di prediksi kepadatan massa rendah molar senyawa
(pelarut), kimia polimer dan polimer. Kinerja GCVOL metode cukup memuaskan, dengan deviasi berarti rata-rata 1,5%
untuk database 1040 senyawa. Menggunakan metode ini hasil yang sangat baik ini juga didapatkan untuk kepadatan
copolymer, seperti yang ditunjukkan oleh Bogdanie dan Fredenslund. (Bogdonic,Grozdana. 2006)
𝛥𝐸 𝑣𝑎𝑝
δ=√ (6a)
𝑉

mana V adalah volume molar cairan dan 𝛥𝐸 𝑣𝑎𝑝 adalah energi internal penguapan, yang sama dengan kalor penguapan
minus RT (produk konstanta gas dan suhu). Jumlah ini secara tradisional telah disebut energi kohesif. Parameter kelarutan
pelarut dapat diukur oleh langsung pengukuran eksperimental menggunakan definisi ini (persamaan 6a). Namun, polimer
tidak stabil dan mereka menurunkan lama sebelum mencapai suhu penguapan. (Bogdonic,Grozdana. 2006)
7.6 Parameter Kelarutan
Dari pertimbangan termodinamika, mungkin untuk memprediksi apakah suatu zat terlarut yang diberikan akan larut dalam
pelarut yang diberikan menggunakan rumus (Persamaan 1.1):

dimana ΔGm, ΔHm , dan ΔS m adalah energi bebas, panas, dan entropi pencampuran, masing-masing. Kelarutan
akan terjadi jika energi pencampuran bebas ΔGm negatif. Entropi pencampuran diyakini selalu negatif. Karena kita
berurusan dengan kondisi ideal, panasnya pencampuran ΔHm adalah nol

karena dua jenis molekul memiliki medan gaya yang sama, dan akibatnya, ΔGm = –TΔSm. Pencampuran umumnya
endotermik untuk molekul nonpolar tanpa adanya daya tarik antarmolekul yang kuat seperti ikatan hidrogen. Menggunakan
argumen serupa, Hildebrand dan Scott menunjukkan bahwa (Persamaan 1.2):

dimana V, V1 , V2 , adalah volume solusi dan komponen dan subskrip 1 dan 2 menunjukkan pelarut dan polimer,
masing-masing. ΔEV adalah energi molar penguapan dan φ1 dan φ2 adalah volume fraksi

Dalam hal panas pencampuran per satuan volume, Persamaan diatas menjadi (Persamaan 1.3):

Kuantitas ΔE/V disebut sebagai densitas energi kohesif (CED): akar kuadratnya adalah kelarutannya parameter (δ).
Demikian (Persamaan 1.4):

Persamaan 3 dapat ditulis ulang (Persamaan 1.5):

Untuk pendekatan pertama dan tanpa adanya gaya antarmolekul yang kuat seperti ikatan hidrogen, sebuah
polimer diharapkan dapat larut dalam pelarut jika δ1 - δ2 kurang dari 1.7-2.0. Persamaan 1.5 hanya berlaku ketika ΔHm
nol atau lebih besar. Ini tidak valid untuk pencampuran eksotermik, yaitu, kapan ΔHm negatif. Khas nilai-nilai dari δ
untuk berbagai jenis pelarut ditunjukkan pada Tabel 1.1. Besarnya entalpi pencampuran dapat dengan mudah diperkirakan

dari tabel ini.

Selain itu, parameter kelarutan dapat diperkirakan dari molar attraction constant, E, menggunakan rumus struktur
senyawa dan densitasnya (Tabel 1.2). Untuk polimer:

Selain itu, parameter kelarutan dapat diperkirakan dari konstanta tarik molar, E, menggunakan rumus struktur
senyawa dan densitasnya (Tabel 1.2). Untuk polimer (Persamaan 1.6):

dimana ρ dan M adalah densitas dan berat molekul, masing-masing, dari unit pengulangan polimer.

7.7 Reologi Polimer


Rheologi berasal dari bahasa yunani mengalir (rheo) dan logos (ilmu). Digunakan istilah ini untuk pertama kali oleh
Bingham dan Croeford untuk menggunakan aliran cairan dan deformasi dari padatan. Rheologi erat kaitannya dengan
viskositas. Viskositas merupakan suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir; semakin tinggi viskositas,
semakin besar tahanannya untuk mengalir. Viskositas dinyatakan dalam simbol η. Prinsip dasar rheologi telah digunakan
dalam penyelidikan zat,tinta,berbagai adonan,bahan-bahan untuk pembuat jalan,kosmetik,produk hasil peternakan,serta
sediaan-sediaan farmasi.

Kekentalan adalah sifat dari suatu zat cair (fluida) disebabkan adanya gesekan antara molekul-molekul zat cair
dengan gaya kohesi pada zat cair ter-sebut. Gesekan-gesekan inilah yang menghambat aliran zat cair. Besarnya kekentalan
zat cair (viskositas) dinyatakan dengan suatu bilangan yang menentu-kan kekentalan suatu zat cair. Hukum viskositas
Newton menyatakan bahwa untuk laju perubahan bentuk sudut fluida yang tertentu maka tegangan geser ber-banding lurus
dengan viskositas.

Suatu zat memiliki kemampuan tertentu sehingga suatu padatan yang dimasukkan kedalamnya mendapat gaya
tekanan yang diakibatkan peristiwa gesekan antara permukaan padatan tersebut dengan zat cair. Sebagai contoh, apabila
kita memasukkan sebuah bola kecil kedalam zat cair, terlihatlah batu tersebut mula-mula turun dengan cepat kemudian
melambat hingga akhirnya sampai didasar zat cair. Bola kecil tersebut pada saat tertentu mengalami sejumlah perlambatan
hingga mencapai gerak lurus beraturan. Gerakan bola kecil menjelaskan bahwa adanya suatu kemampuan yang dimiliki
suatu zat cair sehingga kecepatan bola berubah. Mula-mula akan mengalami percepatan yang dikarenakan gaya beratnya
tetapi dengan sifat kekentalan cairan maka besarnya percepatannya akan semakin berkurang dan akhirnya nol. Pada saat
tersebut kecepatan bola tetap dan disebut kecepatan terminal. Hambatan-hambatan dinamakan sebagai kekentalan
(viskositas). Akibaat viskositas zat cair itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan yang cukup drastic terhadap
kecepatan batu.

Aliran viskos, dalam berbagai masalah keteknikan pengaruh viskositas pada aliran adaalh kecil, dan dengan
demikian diabaikan. Cairan kemudian dinyatakan sebagai tidak kental (invicid) atau seringkali ideal dan diambil sebesar
nol. Tetapi jika istilah aliran viskos dipakai, ini berarti bahwa viskositas tidak diabaikan.Untuk benda homoogen yang
dicelupkan kedalam zat cair ada tiga kemungkinan yaitu, tenggelam, melayang, dan terapung. Oleh kaarena itu percobaan
ini dilakukan agar praktikan dapat mengukur viskositas berbagai jenis zat cair. Karena semakin besar nilai viskositas dari
larutan maka tingkat kekentalan larutan tersebut semakin besar pula. Rheologi berasal dari bahasa yunani mengalir (rheo)
dan logos (ilmu). Digunakan istilah ini untuk pertama kali oleh Bingham dan Croeford untuk menggunakan aliran cairan
dan deformasi dari padatan. Rheologi mempelajari hubungan antara tekanan gesek (shearing stress) dengan kecepatan geser
(shearing rate) pada cairan, atau hubungan antara strain dan stress pada benda padat.

Rheologi merupakan ilmu yang mempelajari sifat zat cair atau deformasi zat padat. Rheologi erat kaitannya dengan
viskositas. Dalam bidang Farmasi, prinsip–prinsip rheologi diaplikasikan dalam pembuatan krim, suspensi, emulsi, lotion,
pasta, penyalut tablet dan lain sebagainya. Selain itu, prinsip rheologi digunakan untuk karakterisasi produk sediaan Farmasi
(Dosage Form). Sebagai penjamin kualitas yang sama untuk setiap batch. Rheologi juga meliputi pencampuran aliran dari
bahan, penuangan, pengeluaran dari tube atau pelewatan dari jarum suntik. Rheologi dari suatu zat tertentu dapat
mempengaruhi penerimaan obat bagi pasien, stabilitas fisika obat, bahkan ketersediaan hayati dalam tubuh (bioavailability).
Sehingga viskositas telah terbukti dapat mempengaruhi laju absorbsi obat dalam tubuh.

Sifat-sifat rheologi dari sistem farmaseutika dapat mempengaruhi pemilihan alat yang akan digunakan untuk
memproses produk tersebut dalam pabriknya. Lebih-lebih lagi tidak adanya perhatian terhadap pemilihan alat ini akan
berakibat diperolehnya hasil yang tidak diinginkan. Aspek ini dan banyak lagi aspek-aspek rheologi yang diterapkan
dibidang farmasi.

Ada beberapa istilah dalam rheologi ini :

a. Rate of shear (D) dv/dr untuk menyatakan perbedaan kecepatan (dv) antara dua bidang cairan yang dipisahkan oleh jarak
yang sangat kecil (dr).

b. Shearing stress (τ atau F ) F’/A untuk menyatakan gaya per satuan luas yang diperlukan untuk menyebabkan aliran.

7.7.1 Penerapan Rheologi


1. Sifat Rheologi Dalam Suspensi

Viskositas dari suatu suspensi apabila mempengaruhi pengendapan dari partikelpartikel zat terdispersi perubahan
dalam sifat-sifat aliran dari suspensi bila wadahnya dikocok dan bila produk tersebut dituang dari botol dan kualitas
penyebaran dari cairan (lotio) bila digunakan untuk suatu bagian permukaan yang akan diobati. Pertimbangan rheologi juga
penting dalam pembuatan suspensi.

Satu-satunya shear yang terjadi dalam suatu suspensi pada penyimpanan adalah lantaran pengendapan dari partikel-
partikel yang tersuspensi. Gaya ini diabaikan dan bisa dibuang. Tetapi jika wadah dikocok dan produk dituang dari botol
terdapat laju shearing yang tinggi. Zat pensuspensi yang ideal harus mempunyai viskositas yang tinggi pada shear yang
dapat diabaikan yakni selama penyimpanan dan zat pensuspensi itu harus mempunyai viskositas yang rendah pada laju
shearing yang tinggi yakni ia harus bebas mengalir selama pengocokan, penuangan, dan penyebarannya ini.

7.1.2. Sifat Rheologi Dalam Emulsi

Produk yang diemulsikan mungkin mengalami berbagai shear-stress selama pembuatan atau penggunaanya. Pada
kebanyakan proses ini sifat aliran produk akan menjadi sangat penting untuk penampilan emulsi yang tepat pada kondisi
penggunana dan pembuatannya. Jadi penyebaran produk dermatologik dan produk kosmetik harus dikontrol agar didapat
suatu preparat yang memuaskan. Aliran emulsi parenteral melalu jarum hipodermik, pemindahan suatu emulsi dari botol
atau tube dan sifat dari satu emulsi dalam berbagai proses penggilingan yang digunakan dalam pembuatan produk ini secara
besar-besaran, menunjukkan perlunya karakteristik aliran yang tepat.

Kebanyakan emulsi, kecuali emulsi encer menunjukkan aliran non Newton yang mempersulit interpretasi data dan
perbandingan kuantitatif antara sistem-sistem dan formulasi-formulasi yang berbeda.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan fase terdispersi meliputi perbandingan dengan fase terdispers meliputi
perbandingan volume fase, distribusi ukuran partikel dan viskositas dari fase dalam itu sendiri. Jadi, jika konsentrasi volume
dari fa

7.8 Penutup
 Temperatur transisi gelas adalah suatu kisaran temperatur yang bersifat sempit, dimana dibawah temperatur
tersebut polimer bersifat gelasy, dan di atas temperatur tersebut polimer bersifat rubbery. Masing-masing
polimer akan mempunyai temperatur transisi gelas dengan karakteristik tersendiri.
 Parameter kelarutan berguna untuk memprediksi apakah suatu zat terlarut yang diberikan akan larut dalam pelarut
yang diberikan
 Jika nilai parameter kelarutan antara pelarut dan polimer berdekatan, maka kemungkinan untuk saling melarutkan
akan semakin baik.
 Permeabilitas (P) polimer, salah satu parameter penting, yang merupakan ukuran laju transfer gas dan uap melalui
lapisan suatu polimer (film polimer), dimana nilai P berbanding lurus dengan nilai kelarutan dan nilai difusivity.
P = SD.
 Sifat gas seperti afinitas kimia terhadap polimer, struktur polimer, dan derajat kristalinitas mempengaruhi nilai
permeabilitas (menurun seiring meningkatnya derajat kristalinitas), dan nilai permeabilitas sangat penting untuk
diperhatikan dalam aplikasi polimer sebagai kemasan makanan.
MAKALAH TEKNOLOGI POLIMER

“PENGUJIAN SIFAT MEKANIK POLIMER”

Disusun oleh :
Kelompok 8
Teknik Kimia S1

Afri Riandra (1607112214)

Angga Marusaha (1607115830)

Revan (1607123118)

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2018
8.2 Sifat-sifat Mekanik Polimer
8.2.1 Uji Mekanik
Komponen polimer, seperti halnya bahan lain, terkadang gagal untuk melakukan fungsinya dalam spesifik
aplikasi sebagai akibat dari:
1. Deformasi elastis berlebihan
2. Deformasi plastik berlebihan
3. Patah
Polimer menunjukkan deformasi elastis yang berlebihan, khususnya di struktural, aplikasi beban, karena
kekakuan atau kekakuan yang tidak memadai. Untuk kegagalan tersebut, yang mengendalikan sifat mekanik
bahan adalah modulus elastisitas. Sebagaimana akan dibahas pada bagian berikutnya, modulus elastisitas
beberapa polimer terletak pada beberapa ukuran kontrol melalui modifikasi struktur yang tepat.
Kegagalan polimer dalam aplikasi tertentu untuk membawa beban desain atau overload terkadang
disengajahal ini mungkin karena deformasi plastik yang berlebihan yang dihasilkan dari sifat kekuatan yang tidak
memadai dari polimer. Untuk kuantifikasi kegagalan tersebut, kepentingan utama sifat mekanik adalah yield
kekuatan dan regangan. Kekuatan utama, berhubungan dengan strain yang terkait,yang akan memberikan
informasi yang berguna. Celah merupakan daerah diskontinuitas materi dan sering memicu kegagalan melalui
fraktur. Fraktur dapat terjadi secara tiba-tiba, karena rapuh atau melalui kelelahan (fraktur progresif). patah getas
terjadi pada bahan di mana tidak adanya hasil unggul lokal dalam membangun-up dari tekanan lokal, sedangkan
kegagalan fatigue terjadi ketika bagian dikenakan bolak-balik atau beban berulang. Kelelahan fraktur terjadi
tanpa adanya tanda-tanda karena terjadi pada kekuatan jauh di bawah kekuatan tarik material.

Gambar 8.1. Schmatic of stress-strain test (Ebewele,Robert.2000. Polymer Science And


Technology.Departement of chemichal engineering,university of benin.353)
Seperti yang di katakan sebelumnya, polimer akan terus digunakan dalam berbagai situasi. Oleh karena
itu, untuk memastikan keberhasilan kinerja bahan dalam aplikasi ini, perlu secara jelas memahami perilaku
mekanik di bawah berbagai kondisi stres. Keberhasilan khusus diambil dari sensitivitas yang relatif tinggi mode
kegagalan polimer untuk suhu, waktu, dan loading sejarah. Baik desain, hal ini penting untuk dapat berhubungan
beban desain . Metode pengujian untuk memprediksi batas kinerja mekanik. Ini berdasarkan dari ketegangan
sederhana, kompresi, dan tes geser yang dirancang untuk menguji stres kompleks bagian dari polimer terhadap
respon waktu-suhu.

8.2.2 UJI STRES-STRAIN


Percobaan tegangan-regangan merupakan uji mekanik yang paling banyak digunakan tapi mungkin paling
sedikit dipahami dalam hal penafsiran. Dalam tes tegangan-regangan spesimen yang cacat (ditarik) di laju yang
konstan, dan stres diperlukan untuk deformasi ini diukur secara bersamaan. Sebagai kita akan melihat dalam
diskusi berikutnya, polimer menunjukkan variasi yang luas dari perilaku tegangan-regangan tes, mulai dari keras
dan rapuh untuk ulet, termasuk gambar hasil dan dingin. Pemanfaatan tes tegangan-regangan untuk desain dengan
bahan polimer dapat sangat ditingkatkan jika tes dilakukan selama lebar kisaran suhu dan tingkat ketegangan.
Dalam percobaan tegangan-regangan, sampel polimer ditarik (cacat) pada tingkat perpanjangan konstan,
dan stres diukur sebagai fungsi waktu. Umumnya spesimen polimer, yang bisa persegi panjang atau lingkaran di
penampang, dibentuk atau dipotong dalam bentuk tulang anjing. Hal ini dijepit di kedua ujungnya dan menarik
salah satu ujung dijepit (biasanya ke bawah) pada perpanjangan konstan. Bentuk benda uji dirancang untuk
mendorong kegagalan di bagian tengah lebih tipis. Bagian tengah antara klem disebut panjang ukur awal, L0.
Beban atau stres diukur pada akhir tetap melalui transduser beban sebagai fungsi dari perpanjangan, yang
diukur dengan cara mekanik, optik, maupun elektronik pengukur regangan. Data percobaan umumnya dinyatakan
sebagai rekayasa (nominal) stres (σ) vs rekayasa (nominal) strain (ε). Rekayasa stres didefinisikan sebagai

di mana F = beban yang diterapkan A0= Luas penampang asli atas spesimen
Strain rekayasa diberikan oleh

mana L0 = asli panjang ukur ΔL = perpanjangan atau perubahan dalam panjang ukur L = panjang Rekayasa
stres dan ketegangan yang mudah untuk menghitung dan digunakan secara luas dalam praktek rekayasa. Namun,
teknik kurva tegangan-regangan umumnya tergantung pada bentuk spesimen. Sebuah ukuran yang lebih akurat
kinerja bahan intrinsik adalah plot benar stres vs regangan sejati. Benar stres σt didefinisikan sebagai rasio
kekuatan diukur (F) untuk luas penampang sesaat (A) pada perpanjangan tertentu, yaitu,

Regangan sejati adalah jumlah dari semua perubahan panjang seketika, dL, dibagi dengan panjang seketika L.
Beberapa hubungan ada antara regangan benar dan regangan teknik dan antara stres benar dan rekayasa
stres. Dari Persamaan 13.11,

Sampai awal necking, deformasi plastis pada dasarnya adalah sebuah proses dalam keadaan volume konstan
sehingga setiap perpanjangan panjang ukur asli disertai dengan kontraksi yang sesuai gauge diameter. Dengan
demikian,

Artinya,

Tapi dari Persamaan berikut bahwa

Sekarang

Artinya,

Untuk deformasi kecil, stres benar dan stres teknik dasarnya sama. Namun, untuk deformasi besar penggunaan
regangan sejati disukai karena mereka umumnya aditif sedangkan regangan rekayasa t

A. HUBUNGAN ELASTIS STRES-STRAIN


Ketika suatu material mengalami tekanan kecil, akan meresponnya elastis. Ini berarti bahwa
1. Strain yang dihasilkan adalah reversibel dengan stres.
2. Besarnya regangan secara langsung atau berbanding lurus dengan besarnya stres untuk bahan yang
menunjukkan perilaku Hookean. Ini hubungan antara stres dan ketegangan dikenal sebagai hukum Hooke dan
dapat ditulis sebagai

Karena stres dapat bertindak atas pesawat dengan cara yang berbeda, konstanta ini didefinisikan dengan
cara yang berbeda tergantung pada gaya yang diterapkan dan strain yang dihasilkan. Dua jenis yang paling penting
dari stres adalah tegangan geser, yang bertindak dalam pesawat, dan tegangan tarik, yang bertindak normal atau
tegak lurus terhadap pesawat. Tegangan normal mungkin tarik atau tekan.
Pertimbangkan paralelipiped yang telah cacat oleh penerapan gaya τ .Elastis regangan geser γ adalah jumlah
mereka Δ X dibagi dengan jarak, h, di mana geser telah terjadi:
Untuk strain kecil, ini hanya persoalan dari sudut deformasi.

Dalam geser murni, hukum Hooke dinyatakan sebagai mana τ adalah tegangan geser dan G adalah modulus geser.

8.2.3 UJI CREEP


Definisi creep adalah aliran plastis yang dialami material pada tegangan tetap. Meskipun sebagian besar
pengujian dilakukan dengan kondisi beban tetap, tersedia peralatan yang mampu mengurangi pembebanan selama
pengujian sebagai kompensasi terhadap pengurangan penampang benda uji. Pada temperatur relatif tinggi, creep
terhajadi pada semua level tegangan, tetapi pada temperatur tertentu laju creep bertambah dengan meningkatnya
tegangan.
Pengukuran dimensi memerlukan kehati-hatian, karena dengan peningkatan temperatur beberapa per
sepuluh derajat sudah terjadi penggandaan laju creep. Kurva a pada Gambar 1 menampilkan karakteristik
kurva creep dan setelah regangan seketika akibat pembebanan tiba-tiba, proses creep dapat dibagi
menjadi tiga tahapan, yaitu creep primer atau creep transien, creep sekunder atau creep keadaan-stasioner
dan creep tersier atau creep dipercepat.

A. Kurva Creep
Untuk menentukan kurva creep rekayasa suatu bahan, maka pada benda tarik dikenakan beban tetap
sedang suhu benda uji dijaga tetap, regangan (perpanjangan) yang terjadi ditentukan sebagai fungsi waktu. Waktu
yang diperlukan dapat berbulan-bulan, bahkan beberapa pengujian memerlukan waktu lebih dari 10 tahun.
Gambar 8.2. a. kurva bentuk kurva creep pada tiga daerah b. bentuk kurva creep pada tiga daerah

Kurva A pada Gambar a merupakan bentuk kurva creep ideal. Kemiringan pada kurva (de/dt atau e)
tersebut dinyatakan sebagai laju creep. Mula-mula benda uji mengalami perpanjangan sangat cepat, e0, kemudian
laju creep akan turun terhadap waktu hingga mencapai keadaan hampir seimbang, dimana laju creepnya
mengalami perubahan yang kecil terhadap waktu.
Dalam melakukan uji creep rekayasa, biasanya beban uji dipertahankan konstan. Jadi sejalan dengan
memanjangnya benda uji serta mengecilnya luas penampang lintang, maka tegangan sesumbu (uniaxial)
bertambah besar.
Andrade menyatakan bahwa kurva creep tegangan tetap merupakan superposisi dua buah proses creep
yang berbeda yang terjadi setelah regangan mendadak yang dihasilkan oleh beban yang dikenakan. Komponen
pertama kurva creep adalah kurva transien, dimana laju creepnya turun terhadap waktu. Komponen yang kedua
adalah creep viskos dengan laju creep tetap. Andrade mengajukan suatu persamaan empiris untuk menyatakan
kurva creep:
e = e0 (1 + bt1/3) e(kt)......................................................... (1)
dimana e adalah regangan selama waktu t dan b serta k merupakan konstanta. Creep transien yang
dinyatakan oleh b dan persamaan (1) akan mempunyai harga sama bila k = 0. Konstanta k menggambarkan
perpanjangan tiap satuan panjang yang terjadi pada laju tetap. Suatu persamaan yang lebih sesuai dibandingkan
persamaan Andrade, walaupun pengujiannya dilakukan pada jumlah bahan yang terbatas, dikemukakan oleh
Garafalo.
e = e0 + et (1 – e – rt) + est................................................. (2)
dimana,
e0 = regangan yang terjadi segera setelah pembebanan
et = batas creep transien
r = perbandingan antara laju creep transien terhadap regangan creep transien
es = laju reep keadaan tunak (steady-state)
Gambar b memperlihatkan efek tegangan yang dikenakan terhadap kurva creep pada suhu tetap. Jelas
kelihatan bahwa kurva creep dengan 3 tahap dengan jelas pada kombinasi tegangan dan suhu tertentu saja.
Sekumpulan kurva yang serupa didapatkan untuk creep pada tegangan tetap dan suhu yang berbeda. Makin besar
suhu, makin besar pula laju creepnya.
Parameter rancangan yang paling penting yang dijabarkan dari kurva creep adalah laju creep minimum.
Biasanya digunakan 2 buah standar, yakni: (1) tegangan untuk menghasilkan laju creep 0,0001 persen tiap jam
atau 1 % tiap 10.000 jam; atau (2) tegangan untuk menghasilkan laju, creep 0,00001 persen tiap jam atau 1 % tiap
100.000 jam (kira-kira 11 ½ tahun). Kriteria yang pertama cocok untuk paduan yang digunakan pada mesin jet,
sedangkan kriteria yang kedua digunakan bagi bahan untuk turbin-turbin uap dan peralatan yang sejenis.
1. Perubahan Struktur Selama Creep
Jika gradien kurva creep dipetakan terhadap regangan, akan diperoleh kurva yang menghubungkan laju
creep terhadap regangan total . Kurva ini secara dramatis menggambarkan perubahan laju creep besar yang terjadi
selama uji creep. Karena tegangan dan suhu tetap, maka variasi laju creep tersebut ditimbulkan oleh perubahan
struktur internal bahan dengan adanya regangan creep dan waktu.
Logam-logam yang berada pada suhu tinggi mengalami sejumlah proses deformasi sekunder. Proses ini
terdiri atas pergelinciran ganda, pembentukan pita gelincir yang sangat kasar, pita-pita tertekuk, pembentukan
lipatan pada batas-batas butir, dan migrasi batas butir.
2. Mekanisme Deformasi Creep
Mekanisme deformasi creep utama dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Pergelinciran dislokasi – mencakup pergerakan dislokasi sepanjang bidang slip dan melintasi hambatan
oleh aktivasi termal. Mekanisme ini terjadi pada tegangan tinggi, s/G > 10-2.
- Creep dislokasi – mencakup pergerakan dislokasi yang dapat melampaui habatan oleh mekanisme termal
meliputi difusi kekosongan atau interstisi. Terjadi pada 10-4 < s/G < 10-2.
- Creep difusi – mencakup aliran kekosongan dan interstisi melalui kristal di bawah pengaruh tegangan luar.
Terjadi pada s/G < 10-4. Creep Nabarro-Herring dan Creep Coble termasuk dalam kelompok ini.
- Gelincir batas butir – mencakup pergelinciran dari butir yang satu terhadap butir lainnya.
Seringkali, lebih dari satu mekanisme bekerja pada waktu yang bersamaan. Bila beberapa mekanisme
beroperasi secara paralel, yaitu mereka tidak tergantung satu dengan lainnya, maka laju creep tunak (steady state)
adalah dimana laju creep untuk mekanisme i. Bila mekanisme beroperasi secara paralel, maka mekanisme
tercepat akan mendominasi perilaku creep. Bila beberapa mekanisme beroperasi secara seri, maka mekanisme
tersebut beroperasi secara berurutan dan mekanisme yang paling lambat akan mengendalikan deformasi creep.
3. Pergelinciran Dislokasi
Mekanisme pergelinciran dislokasi bekerja pada level tegangan yang relatif tinggi untuk deformasi creep
biasa. Laju creep ditentukan oleh kecepatan gerak dislokasi melampaui rintangan seperti endapan, atom larut
dan dislokasi lainnya.
4. Creep Dislokasi
Creep dislokasi terjadi akibat pergelinciran dislokasi yang terjadi akibat pengaruh difusi kekosongan.
Kerangka dasar berbagai teori dicetuskan oleh Orawan dan Bailey yang menyatakan bahwa laju creep tunak
mencerminkan antara faktor yang saling bersaingan yaitu: lau pergeseran regangan h = s/e dan laju pemulihan
termal hasil pengaturan kembali dan peniadaan dislokasi, r = -s/t. Keadaan tunak tercapai bila laju
pemulihan cukup besar dan laju pergeseran regang cukup rendah sehingga tercapai keseimbangan antara kedua
faktor ini.
Model fisis untuk creep dislokasi harus dapat menentukan h dan r. Mekanisme yang dikemukakan oleh
Gituus memberikan hasil yang sesuai dengan percobaan. Gagasannya didasarkan pada model pergerakan
dislokasi oleh pengaruh tegangan dan difusi dalam jaringan tiga dimensi (substruktur).
Dimanafaktor yang mempengaruhi adalah
: cj = konsentrasi jog
Dv = koefisien difusi-sendiri kisi atau bahan
G = modulus geser
b = vektor Burgers dislokasi
s = tegangan luar
k = konstanta Boltzmann
T = temperatur mutlak
6. Difusi
Pada suhu tinggi dan tegangan yang relatif rendah, s/G < 10-4 creep difusi merupakan mekanisme
pengendali. Nabarro dan Herring mengemukakan bahwa proses creep dikendalikan oleh difusi atom yang
digerakkan oleh tegangan. Tegangan mengubah potensial kimia atom pada permukaan butir dalam polikristal
sedemikian sehingga ada aliran kekosongan (vacancies) dari batas butir yang mengalami tegangan tarik ke batas
butir yang mengalami tekanan. Bersamaan dengan itu terjadi aliran atom dalam arah yang berlawanan, yang
menyebabkan terjadinya perpanjangan butir. Persamaan creep Nabarro-Herring dimana d adalah diameter butiran
dan Dv adalah koefisien difusi kisi. Kita lihat bahwa laju creep berkurang dengan bertambahnya besar butir.
Pada suhu yang lebih rendah, difusi batas butir memegang peran utama. Creep jenis Cobble dinyatakan
dimana d adalah diameter butir dan Dgb adalah koefisien difusi batas butir.

B. Pergelinciran Batas-Butir
Meskipun pergelinciran batas-butir tidak begitu besar pengaruhnya terhadap creep tunak, pergelinciran
batas-butir penting memegang peran penting dalam tahap awal kepatahan intergranular. Namun telah dibuktikan
bahwa pergelinciran batas-butir harus ada untuk mempertahankan kecreepan butir selama mekanisme alir difusi.
Gambar 8.3. Schematic repsentation of creep experiment
8.2.4 UJI RELAKSASI STRESS
Dalam percobaan uji relaksasi stress, spesimen dengan cepat (idealnya, seketika) diperpanjang sampai
pada jumlah tertentu, dan stres diperlukan untuk mempertahankan ketegangan konstan dan diukur sebagai fungsi
waktu (Gambar 8.4). Stres yang diperlukan untuk menjaga meluruh regangan konstan dengan waktu. Ketika stres
ini dibagi dengan regangan konstan, rasio yang dihasilkan adalah modulus relaksasi (Er (t, T), yang merupakan
fungsi dari waktu dan temperatur. Gambar 8.5 menunjukkan kurva relaksasi stres untuk PMMA pada temperatur
yang berbeda Stres. Relaksasi Data memberikan informasi yang berguna tentang sifat viskoelastik polimer.

Gambar 8.4. Schematic of stress relaxtion experiment


Gambar 8.5. a.torsion pendulum is used to get data for typical response curve. b.
8.2.5 UJI MEKANIK DINAMIS
Dalam uji mekanis dinamis, respon material terhadap stres periodik diukur. Ada banyak jenis alat uji
mekanik dinamis. Masing-masing memiliki rentang frekuensi yang terbatas, tetapi secara umum mungkin untuk
menutupi frekuensi 10-5 sampai 10-6 siklus per detik. Sebuah instrumen yang populer untuk pengukuran mekanik
dinamis adalah pendulum torsi (Gambar 8.6). Contoh polimer dijepit pada salah satu ujungnya, dan ujung lainnya
melekat ke disk yang bebas untuk berosilasi. Sebagai akibat dari karakteristik redaman dari sampel uji, amplitudo
osilasi meluruh dengan waktu (Gambar 13.6B). Uji mekanis dinamis memberikan informasi yang berguna tentang
sifat viskoelastik polimer. Ini adalah alat serbaguna untuk mempelajari efek struktur molekul pada sifat polimer.
Ini adalah tes sensitif untuk mempelajari transisi kaca dan transisi sekunder pada polimer dan morfologi polimer
kristalin. Data dari pengukuran mekanik dinamis dapat memberikan informasi langsung tentang elastis modulus
dan respon kental polimer. Hal ini dapat diilustrasikan dengan mempertimbangkan respon
bahan elastis dan kental dikenakan regangan sinusoidal, ε:

dimana ε0 adalah amplitudo dan ω adalah frekuensi (dalam radian per detik, ω = 2π f; f adalah dalam siklus
per detik). Untuk tubuh yang murni elastis, hukum Hooke dipatuhi. Akibatnya,

di mana G adalah modulus geser. Hal ini terbukti dari Persamaan di atas, stres dan ketegangan berada
dalam fase.Sekarang perhatikan cairan kental murni. Hukum Newton menyatakan bahwa tegangan geser

diberikan oleh σ = ηε ·, yaitu,


Dalam hal ini, tegangan geser dan regangan adalah 90 ° keluar dari fase. Tanggapan bahan viskoelastik
jatuh antara dua ekstrem. Ini menunjukkan bahwa tegangan sinusoidal dan regangan untuk bahan viskoelastik
yang keluar dari fase dengan sudut, katakanlah δ. Dan bahan diilustrasikan pada Gambar 13.7.

Gambar 8.6. the phase relation shown between dynamic stress for viscous,elastic,viscoelastic materials
Sudut lag antara stres dan ketegangan didefinisikan oleh faktor disipasi atau tan δ diberikan oleh
dimana G ' adalah bagian nyata dari modulus kompleks (G"= G'+ iG"), Dan G" adalah bagian imajiner dari
modulus. Secara fisik, tan δ menunjukkan karakteristik redaman material. Ini adalah ukuran dari rasio dari energi
hilang sebagai panas ke energi maksimum yang tersimpan dalam bahan selama satu siklus osilasi. Sebuah ukuran
yang nyaman redaman adalah dalam hal kuantitas ditentukan dari uji. Dengan demikian,

di mana A1, A2 dan adalah amplitudo dari dua puncak berurutan (Gambar 2.9). Atau, ini dapat dinyatakan dalam
log penurunan (Δ) untuk instrumen getaran bebas seperti bandul puntir.

Ini mengikuti dari Persamaan;

8.2.6 UJI IMPACT


Berbagai metode pengujian telah diusulkan untuk menilai kemampuan suatu bahan polimer untuk
menahan beban impact. Termasuk pengukuran luas area di bawah kurva tegangan-regangan dalam uji tarik
kecepatan tinggi, pengukuran dari energi yang dibutuhkan untuk memecah spesimen dengan bola berat yang
dilepaskan dari ketinggian yang telah ditentukan, yang disebut jatuh bola atau tes panah, dan tes Izod dan Charpy.
Yang paling populer dari metode tes adalah Izod dan Charpy tes kekuatan impak. Pada dasarnya, uji Izod
melibatkan pengukuran energi yang dibutuhkan untuk istirahat H × H masuk berlekuk spesimen kantilever yang
dijepit kaku di satu ujung dan kemudian memukul di ujung lain dengan berat pendulum. Dalam kasus uji Charpy,
berat hammerlike pemogokan spesimen berlekuk yang kaku diadakan di kedua ujungnya.
Energi yang dibutuhkan untuk memecah spesimen diperoleh dari kerugian energi kinetik palu
Gambar 8.7. schematic representation uji impact
Tes lain yang muncul sebagai pengganti uji impact adalah pengukuran ketangguhan retak, yang pada intinya
mengukur resistensi terhadap kegagalan bahan dengan celah yang telah ditentukan. Uji impact memberikan
informasi yang berguna dalam pemilihan polimer untuk aplikasi tertentu, seperti menentukan kesesuaian dari
plastik diberikan sebagai pengganti botol kaca atau pengganti kaca jendela. Tabel 2.1 memberikan nilai impact
energi untuk beberapa polimer. Hal ini dapat dilihat bahwa,
Table 8.1 impact energles of some polymers

Gambar 8.8.Typical tensile specimen


Secara umum, polimer rapuh seperti tujuan umum polystyrene memiliki ketahanan impact rendah, sementara
sebagian termoplastik rekayasa seperti poliamida, polikarbonat, dan polioksimetilen dan beberapa komoditas
termoplastik seperti polyethylene, polypropylene, dan politetrafluoroetilena memiliki impact kekuatan tinggi.

8.3 Deformasi polimer

Gambar 8.9.‘Engineering data’ dari tes tegangan-regangan

Gambar diatas menggambarkan informasi dasar tentang sifat mekanik yang tersedia dari eksperimen
tegangan-regangan. Kemiringan bagian linear awal kurva, yang mematuhi hukum Hooke,menunjukkan elastisitas
atau modulus Young.Nilai-nilai khas dari sifat mekanik untuk polimer terpilih akan ditampilkan dalam Tabel 8.2.
Dalam rangka untuk menekankan kegunaan pengukuran tegangan regangan, perlu untuk mengetahui arti
dari parameter yang didefinisikan di atas.
 Stiffness / kekakuan - Didefinisikansebagai kemampuan untuk menahan regangan tanpa mengubah
dimensi.
 Elastisitas - Kemampuan untuk mengalami deformasi reversibel atau menahan tanpa mengalamideformasi
permanen.
 Resilience / ketahanan - Didefinisikansebagai kemampuan untuk menyerap energi tanpa mengalami
deformasi permanen. Daerahdi bawah bagian elastis dari kurva tegangan-regangan menunjukkan energi
ketahanan.

Table 8.2. typical mechanical properties of selected polymers


 Strength / Kekuatan - Kemampuan untuk menjaga bobot diam. Hal ini diwakili oleh kekuatan tarik
danregangan di mana spesimen patah.
 Toughness - Kemampuan untuk menyerap energi dan mengalami deformasi plastik yang luas tanparetak.
Hal ini diukur oleh area di bawah kurva tegangan-regangan.

Gambar 8.10. Kurva khas tegangan-regangan untuk bahan polimer


Tabel 8.3. Fitur Karakteristik Sifat Tegangan -Regangan Polimer
Gambar 8.11. Skema representasi dari perubahan makroskopik dalam bentuk spesimen tarik selama cold
drawing.

8.3.1 KOMPRESI VS TES TARIK


Perlu diingat bahwa tekanan yang normal dapat berupa tarik atau kekuatan tekan. Namun, fokus utama
diskusi kami sejauh ini pada tes tarik. Gambar 8.12 dan 8.13 adalah grafik dari data tegangan-regangan tekan
untuk dua polimer amorf dan dua polimer kristalin, sementara Gambar 8.14 menunjukkan tensile dan perilaku
tegangan-regangan tekan dari polimer rapuh normal (polystyrene).
Kurva tegangan-regangan untuk polimer amorf merupakan karakteristik output dari polimer. Di sisi lain
tidak ada titik hasil yang jelas untuk polimer kristal. strength dan yieldstress umumnya lebih tinggi dalam
kompresi dibandingkan dalam tension /tegangan.

Gambar 8.12. Kompresi Data tegangan-regangan untuk polimer amorf: polivinilklorida (PVC) dan selulosa
asetat (CA).
Gambar 8.13.Kompresi Data tegangan-regangan untuk dua polimer kristalin politetrafluoroetilena (PTFE), dan

polychlorotrifluoroethylene (PCTFE).
Gambar 8.14 Perilaku tegangan-regangan dari polimer rapuh, polystyrene, dalam ketegangan dan kompresi.

8.4 EFEK DARI FAKTOR STRUKTUR DAN LINGKUNGAN PADA SIFAT MEKANIK
Beberapa parameter mekanik dapat diturunkan dari pengujian stress-strain. Dua dari paramater tersebut
yang signifikan untuk mendesain viewpoint adalah strength dan stiffness. Untuk beberapa aplikasi, tensile strenth
utama merupakan parameter yang berguna, tetapi kebanyakan produk polimer dimuat dibawah ‘breaking point’-
nya. Memang, beberapa polimer terdeformasi secara berlebihansebelum retak dan ini membuat polimer tersebut
tidak cocok untuk digunakan. Oleh karena itu, untuk sebagian besar aplikasi polimer, kekakuan(ketahanan
terhadap deformasi bawah beban yang diterapkan) adalah parameter yang terpenting.

8.4.1 PENGARUH BERAT MOLEKUL


Berbeda dengan bahan seperti logam dan keramik, modulus polimer menunjukkan ketergantungan yang
kuat terhadap suhu. Gambar 8.14 adalah kurva skematik modulus - suhu untuk polimer linear amorf seperti ataktik
polystyrene. Lima bagian sifat viskoelastik yang jelas, daerah keras dan glassy diikuti oleh transisi dari kaca ke
daerah rubber. pada gilirannya diikuti oleh transisi ke daerah aliran lelehan.
Transisi glassy – rubbery dilambangkan dengan Tg, sementara transisi rubber-lelehan diindikasikan TFL.
Ada penurunan modulus sekitar tiga lipat dekat Tg. Masih ada penurunan modulus TFL. Jika Tg di atas suhu
kamar, bahan polimer kaku pada suhu kamar. Namun, jika Tg di bawah suhu kamar, bahan seperti karet dan
bahkan mungkin menjadi cairan kental pada suhu kamar.

Gambar 8.14 Skema representasi dari pengaruh berat molekul untuk kurva suhu modulus geser. Tg adalah suhu
transisi gelas,sementara aliran suhu TFL. TFL "TFL" TFL mewakili bahan dengan berat molekul rendah,
menengah, dan tinggi.

Gambar 8.15. Effect of cross-linking on shear modulus of natural rubber


Berat molekul yang praktis tidak berpengaruh pada modulus di wilayah kaca (Tg bawah), yang penurunan
modulus dan lokasi Tg juga hampir independen dari berat molekul. Seperti yang diketahui bahwa Tg timbul
karena adanya gerakan koperasi segmen rantai. Oleh karena itu diharapkan bahwa jumlah belitan rantai (yang
meningkat dengan meningkatnya berat molekul) tidak akan mempengaruhi mobilitas segmental seperti itu, dan
akibatnya Tg adalah independen dari berat molekul. Berbeda dengan Tg, TFL sangat tergantung pada berat
molekul. Gerakan seluruh molekul dikaitkan dengan aliran viskos. Hal ini jelas akan tergantung pada jumlah
ikatan. Semakin tinggi molekul berat (semakin tinggi jumlah belitan), suhu harus semakin tinggi di mana
viskositas aliran menjadi dominan atas perilaku polimer. Akibatnya, untuk polimer dengan berat molekul tinggi,
nilai TFL tinggi dan dataran tinggi karet panjang, sedangkan untuk polimer dengan berat molekul rendah dataran
tinggi karet tidak ada atau sangat pendek.

8.4.2 Pengaruh Cross-linking (efek silang)


Gambar 8.15 menunjukkan efek silang pada modulus karet alam, ikatan silang menggunakan iradiasi
elektron. Mc adalah berat molekul rata-rata antara cross-link. Ini adalah ukuran dari kerapatan crosslink, semakin
kecil nilai Mc, semakin tinggi kepadatan lintas-link. Di wilayah kaca, peningkatan moduluskarena cross-linking
relatif kecil. Terbukti efek utama silang adalah peningkatan modulus di wilayah karet dan hilangnya daerah aliran.
Ikatan silang elastomer menunjukkan elastisitas karet, bahkan pada suhu tinggi. Cross-linking juga menimbulkan
temperatur transisi gelas yang tinggi pada densitas cross-link. Transisi dari kaca ke karet juga jauh diperluas.
Ikatan silang melibatkan struktur kimia yang menghubungkan molekul polimer dengan ikatan valensi
primer. Ini memaksakan pembatasan yang jelas pada mobilitas molekuler. Akibatnya, relatif terhadap polimer
uncross-linked, peningkatan ikatan silang memberikan kemampuan polimer untuk menahan deformasi bawah
beban, yaitu meningkatkan modulus. Sehingga diharapkan, efek ini akan lebih terasa di wilayah karet. Selain itu,
daerah aliran dieliminasi dalam polimer cross-linked karena rantai tidak dapat lolos melewati satu sama lain. Tg
timbul karena adanya gerakan koperasi segmental, banyak spasi cross-link akan menghasilkan hanya sedikit
pembatasan pada gerakan ini. Namun, karena kepadatan lintas-link meningkat, pembatasan mobilitas molekul
menjadi substansial dan energi jauh lebih tinggi akan diperlukan untuk mendorong gerak segmental (meningkat
Tg).

8.4.4 Pengaruh Kristalinitas


Kristalinitas dalam polimer adalah hasil dari penggabungan molekul, dengan molekul yang mengadakan
ikatan valensi sekunder secara bersama-sama. Oleh karena itu, kristalinitas dapat dilihat sebagai bentuk fisik
cross-linking yang termoreversibel. Karena kristalit memiliki modulus jauh lebih tinggi daripada segmen amorf,
kristalit juga dapat dianggap sebagai pengisi kaku dalam matriks amorf. Pengaruh kristalinitas pada modulus
menjadi mudah dipahami atas dasar konsep-konsep ini. Gambar 8.16 adalah kurva ideal suhu modulus untuk
berbagai derajat kristalinitas. Dapat diamati bahwa kristalinitas hanya memiliki dampak yang kecil terhadap
modulus bawah Tg namun memiliki pengaruh yang kuat di atas Tg.
Ada penurunan modulus di Tg, intensitas yang menurun dengan meningkatnya derajat kristalinitas. Hal
ini diikuti oleh penurunan lebih tajam pada titik leleh. Kristalinitas tidak berpengaruh signifikan terhadap lokasi
Tg, tetapi suhu leleh umumnya meningkat dengan meningkatnya derajat kristalinitas. Fitur-fitur yang jelas untuk
dua polietilena dari crystallinities yang berbeda (Gambar 2.23). Alkathene bercabang dengan kepadatan 0,92
g/cm3, sedangkan Ziegler polyethylene linear dan memiliki kerapatan 0,95 g/cm3. Itu kristalinitas yang lebih
besar dari hasil polietilen Ziegler dalam modulus yang lebih tinggi, terutama di atas 0 ° C.

8.4.5 Pengaruh Kopolimerisasi


Dalam membahas pengaruh kopolimerisasi pada modulus, perlu untuk membuat perbedaan secara acak
dan bergantian untuk blok kopolimer serta graft komonomer. Kopolimer acak dan bergantian yang selalu
homogen, sedangkan blok dan graft kopolimer dengan urutan yang cukup panjang menunjukkan pemisahan fase.
Kopolimer acak dan bergantian menunjukkan transisi tunggal menengah antara dua homopolimer dari A dan B
(Gambar 8.17). Kopolimerisasi pada dasarnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 8.16. Effect of crystallinity on the modulus–temperature curve. The numbers of the curves are rough
approximations of the percentage of crystallinity. Modulus units = dynes/cm2. (From Nielsen, L.E.,
Mechanical Properties of Polymers and Composites, Vol. 2, Marcel Dekker, New York, 1974. With
permission.)
Gambar 8.17. Shear modulus (a) and damping (b) at I Hz as a function of temperature for a branched and a
linear polyethylene: (––––) Ziegler polyethylene; (———) Alkathene. (From Heijboer, J., Brit. Polymer J., 1, 3,
1969. With permission.)

Gambar 8.18. Effect of plasticization or copolymerization on the modulus–temperature curve. The curves
correspond to different copolymer compositions. (B) Unplasticized homopolymer; (A) either a second
homopolymer or plasticized B. (From Nielsen, L.E., Mechanical Properties of Polymers and Composites, Vol. 2,
Marcel Dekker, New York, 1974. With permission.)

Kurva suhu modulus dengan cara yang sama seperti Tg. Selain itu, adalah memperluas transisi karena
komposisi heterogenitas polimer. Kita ingat bahwa dalam kopolimer, reaktivitas monomer umumnya berbeda.
Akibatnya, polimer yang terbentuk awal lebih kaya dalam monomer, lebih reaktif, sementara yang terbentuk
nantinya adalah kaya dalam monomer, tapi kurang reaktif. Hal ini menyebabkan keseluruhan untuk polimer.
Komposisi heterogen dan akibatnya distribusi transisi kaca (wilayah transisi yang luas).
Block dan graft kopolimer, yang ada sebagai sistem dua fase, memiliki dua transisi kaca yang berbeda,
satu untuk masing-masing homopolimer. Akibatnya, kurva suhu modulus menunjukkan penurunan yang tajam.
Nilai modulus di dataran tinggi antara dua transisi kaca tergantung pada rasio komponen dan di mana dari dua
fase tersebar di lainnya. Fitur-fitur ini diilustrasikan pada Gambar 8.18 untuk blok kopolimer stirena-butadiena-
stirena. Transisi gelas dari butadiena fase dekat -80 ° C dan untuk tahap stirena dekat 110°C terlihat jelas. Antara
Tg butadiena dan Tg stirena, nilai modulus ditentukan oleh jumlah polystyrene; fase butadiene karet adalah cross-
linked fisik oleh keras dan kaca fase polystyrene. Sekarang Perlu dicatat bahwa kopolimer blok stirena-butadiena-
stirena memiliki kekuatan tarik tinggi, butadiena-kopolimer stirena-butadiena memiliki kekuatan tarik yang
sangat rendah, menunjukkan bahwa sifat kekuatan yang ditentukan oleh fasa terdispersi.
Dalam kedua kasus kopolimerisasi, ada penurunan nyata dalam kemiringan kurva modulus di wilayah
titik infleksi. Ini, pada dasarnya, berarti terjadi penurunan modulus pada daerah elastis. Hal ini kontras dengan
sistem cross-linked kimia dimana modulus di wilayah elastis menunjukkan beberapa peningkatan dengan suhu
meningkat. Dalam sistem kopolimer, molekul saling berhubungan secara fisik cross-link karena kekuatan
sekunder. Ini cross-link bisa terganggu secara reversibel dengan pemanasan, dan ini menjadi dasar bagi kopolimer
baru yang disebut sebagai termoplastik elastomer.

8.4.6 Pengaruh Plasticizer


Plasticizers dengan berat molekul rendah, titik didih cairan biasanya tinggi yang mampu meningkatkan
karakteristik aliran polimer dengan menurunkan suhu transisi kaca. Modulus, hasil, dan kekuatan tarik umumnya
menurun dengan penambahan plasticizer untuk polimer.
Secara umum, pada plasticization polimer padat mengalami perubahan dari keras dan rapuh keras hingga
sulit untuk lunak. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan dioctylphthalate untuk mengkonversi poli (vinil
klorida) dari bahan yang keras, seperti pipa PVC, untuk yang lembut, seperti pada sarung jok mobil atau jas hujan.
Plasticization dan alternating atau kopolimerisasi acak memiliki efek yang sama pada modulus (Gambar 8.18).
Dalam hal ini B adalah unplasticized homopolimer, sedangkan kurva 1, 2 dan 3 merupakan peningkatan
plasticization B.

Gambar 8.19. Effect of crystallinity on the modulus–temperature curve. The numbers of the curves are rough
approximations of the percentage of crystallinity. Modulus units = dynes/cm2. (From Nielsen, L.E., Mechanical
Properties of Polymers and Composites, Vol. 2, Marcel Dekker, New York, 1974. With permission.)

8.4.7 Pengaruh Suhu


Sifat mekanik polimer umumnya lebih rentan terhadap perubahan suhu daripada keramik dan logam.
Modulus polimer menurun dengan meningkatnya suhu. Akan tetapi, tingkat penurunan tidak seragam, penurunan
modulus lebih dinyatakan pada suhu yang berhubungan dengan transisi molekuler. Karena suhu meningkat
menjadi tingkatan yang dapat menyebabkan beberapa bentuk gerak molekular, kemudian terjadi proses relaksasi
dan ada penurunan modulus. Pada suhu di bawah Tg, polimer bersifat kaku dan tidak gelas. Di wilayah kaca
biasanya ada satu atau lebih transisi sekunder yang terkait baik untuk gerakan rantai samping atau gerakan terbatas
komponen kecil dari rantai utama. Untuk transisi sekunder, penurunan modulus adalah sekitar 10 sampai 50%,
sedangkan transisi primer seperti Tg dan Tm, yang melibatkan rantai utama skala besar.

Gambar 8.20. Brittleness temperatures for polyacrylates as a function of the total length of the side chain.
(From Heijboer, J., Br. Polym. J., 1, 3, 1969. With permission.)

Gerakan, penurunan modulus bervariasi dari satu sampai tiga lipat tergantung pada jenis polimer. Jika
tidak ada proses relaksasi molekuler terjadi pada rentang suhu tertentu, modulus menurun agak lambat dengan
meningkatnya temperatur. Dalam kasus ini, penurunan modulus karena adanya pengurangan normal pada gaya
antar molekul yang terjadi dengan peningkatan suhu.
Di bawah Tg, modulus yang tinggi, pada dasarnya tidak ada titik hasil dan akibatnya polimer menjadi
rapuh (yaitu, memiliki perpanjangan rendah pada istirahat). Titik yield muncul di suhu mendekati Tg.
Sebagaimana akan kita lihat pada bagian berikutnya, kecepatan tinggi pengujian membutuhkan lebih tinggi suhu
untuk munculnya titik luluh. Dalam beberapa polimer dengan dinyatakan transisi sekunder, titik hasil muncul di
lingkungan pada suhu transisi daripada di Tg. Misalnya, terlepas dari Tg tinggi 150 ° C, polikarbonat sangat sulit
pada suhu kamar, dan ini terkait dengan transisi sekunder pada suhu sekitar -100 ° C. Oleh karena itu, secara
umum karena suhu meningkat, modulus dan hasil penurunan kekuatan serta polimer menjadi lebih elastis.
8.4.8 Pengaruh Strain Rate
Polimer sangat sensitif terhadap tingkat pengujian. Sebagaimana peningkatan nilai strain, polimer di
tampilkan secara umum terjadi penurunan daktilitas sedangkan nilai modulus dan meningkatkan kekuatan tarik.
Gambar 8.22 mengilustrasikan ini secara skematis. Sensitivitas polimer untuk nilain strain tergantung pada jenis
polimer: untuk polimer yang rapuh efeknya relatif kecil, sedangkan untuk polimer keras, elastis dan elastomer,
efeknya bisa sangat besar jika laju regangan mencakup beberapa puluh tahun.

Gambar 8.21. Softening temperature of polyolefins with branched side chains. (From Heijboer, J., Br. Polym.
J., 1, 3, 1969. With permission.)

Table 8.4 Effects of the Introduction of Rings into the Main Chain of Some Polyamides(Ebewele,Robert.2000.
Polymer Science And Technology.Departement of chemichal engineering,university of benin.379)
Table 8.5. Polymer Stiffening Due to the Introduction of Rings into the Main Chain

Polimer menunjukkan sifat respon yang mirip dengan suhu dan tingkat strain (waktu), seperti yang
diinginkan dari prinsip superposisi waktu-suhu . Terutama, efek penurunan suhu adalah setara dengan
peningkatan laju regangan. Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, suhu rendah akan membatasi gerakan
molekul polimer, dan akibatnya plimer akan menjadi kaku dan rapuh. Tingkat regangan tinggi menghalangi
deformasi tersebut dan oleh sebab itu akan dihasilkan kegagalan getar.
Gambar 8.22 Sifat tegangan-regangan dari selulosa asetat pada temperatur yang berbeda. (Carswell, T.S. dan
Nasor, H.K., Mod. Plast., 21 (6), 121, 1944)

Gambar 8.22 Skema ilustrasi tentang pengaruh laju regangan pada polimer

8.4.9 PENGARUH TEKANAN


Pemberian tekanan hidrostatik pada polimer memiliki efek luar biasa pada sifat mekanik, seperti yang
ditunjukkan oleh sifat tegangan-regangan dari polypropylene pada Gambar 8.23 Modulus dan hasil stres
meningkat dengan meningkatnya tekanan. Dimana ini merupakan sifat umum pada semua polimer.
Namun, efek tekanan pada kekuatan tarik dan perpanjangan putus tergantung pada polimer. Kekuatan tarik
cenderung meningkat untuk polimer ulet, tetapi menurunkan beberapa polimer rapuh seperti PE, PTFE, dan PP,
yang memperlihatka keadaan atau gambaran dingin pada saat tekanan normal. Dalam beberapa polimer rapuh
seperti PS, brittleductile, transisi diinduksi melampaui tekanan kritis tertentu. Peningkatan modulus dan tegangan
hilang dengan peningkatan tekanan yang diharapkan atas dasar volume bebas yang tersedia. Peningkatan tekanan
mengurangi volume bebas (yaitu, meningkatkan kemasan density) dan dengan demikian juga akan meningkatkan
ketahanan terhadap deformasi (modulus).

Gambar 8.23. Sifat tegangan-regangan dari polypropylene pada tekanan yang berbeda. (Nielsen, Mekanikal
Sifat Polimer dan Komposit, Vol. 2, Marcel Dekker, New York, 1974.)
Peningkatan tekanan dapat dirasionalisasi atas dasar pengurangan mobilitas rantai yang terkait dengan
penurunan volume bebas. Juga, dengan peningkatan tekanan, maka akan terjad relaksasi proses atas fenomena
yang menggambarkan keadaan dingin dengan suhu yang lebih tinggi. Dengan kata lain, merendahkan polimer
untuk meningkatkan tekanan pada temperatur tertentu memiliki efek pada perilaku mekanik yang setara dengan
mengurangi suhu pada tekanan tertentu.

8.5 SIFAT POLIMER FRAKTUR


Polimer akan rusak dengan tiga cara umum:
(1) Deformasi elastis yang berlebihan
(2) Deformasi plastik yang berlebihan
(3) fraktur.

Modulus adalah ukuran dari ketahanan terhadap deformasi elastis. Tingkat stres yang dihadapi dalam
kebanyakan situasi penggunaan akhir menghalangi deformasi plastik yang berlebihan. Meskipun polimer dicatat
umumnya untuk daktilitas, polimer rentan terhadap kegagalan getas di bawah kondisi yang sesuai. Patah getas
juga diakibatkan strain yang sangat rendah. Utama. Kondisi ini juga disebabkan oleh suhu rendah, tingginya
tingkat pembebanan seperti saat shock atau dampak beban, dan beban bergantian. Polimer bisa pecah pada beban
yang jauh lebih rendah jika dikenai beban bergantian atau beban statis untuk jangka waktu lama. Oleh karena itu,
untuk memanfaatkan polimer dengan benar, pertimbangan cermat harus diberikan untuk kemungkinan kegagalan
getas yang dapat timbul dari kondisi lingkungan atau tingkat stres yang dikenakan pada polimer yang digunakan.
A. Patahan karena rapuh
Secara teoritis kekuatan patah dari suatu material dapat disimpulkan dari kekuatan kohesif antara atom
komponen dalam pesawat yang telah dipertimbangkan dari keseimbangan energi sederhana antara pekerjaan
fraktur dan energi maka diperlukan untuk membuat dua permukaan yang baru. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa
teori kekuatan kohesif dapat diberikan oleh persamaan.

Bahan-bahan rekayasa seperti polimer, umumnya memiliki kekuatan patah yang relatif rendah terhadap
nilai kapasitas polimer secara teoritis. Fraktur kekuatan lebih rendah dari yang ideal bahan rekayasa umumnya
yang dikaitkan adanya kekurangan seperti retak, goresan, dan takik yang melekat dalam buku petunjuk ini.
Penjelasan pertama dari perbedaan antara kekuatan patah diamati kristal dan kohesi teoritis diusulkan oleh
Griffith. Ia menggunakan analisis sebelumnya yang telah diungkapkan oeh Inglis, yang menunjukkan bahwa
tegangan, σo, diperbesar pada ujung sumbu utama dari lubang elips pada plat jauh lebar (Gambar 2.33) sesuai
dengan hubungan persamaan berikut:

Dimana  adalah jari-jari kelengkungan ujung lubang, 2a adalah panjang sumbu utama dari lubang, dan t
adalah stres dan akhir sumbu utama. Griffith mengusulkan bahwa bahan rapuh mengandung populasi retak dan
bahwa amplifikasi tekanan lokal pada ujung retak yang sedemikian rupa sehingga kekuatan kohesif teoritis
dicapai pada nominal tingkat stres yang jauh di bawah nilai teoritis. Konsentrasi stres yang tinggi menyebabkan
perpanjangan salah satu retak. Dua hasil permukaan yang baru dalam seiring bertambahnya energi permukaan,
yang dipasok oleh penurunan energi regangan elastis.
Griffith mendirikan kriteria berikut untuk penyebaran retak: "retak A akan menyebar ketika terjadi
penurunan energi regangan elastis.
Gambar 8.24. Model dari retak elips panjang 2a mengalami stres σ0 seragam dalam piring yang tak terbatas.
untuk perambatan retak diberikan oleh hubungan:

Di mana E adalah modulus Young, s adalah energi permukaan per satuan luas, v adalah rasio Poisson dan
setengah retak panjang.
Persamaan Griffith berasal untuk bahan ideal yang rapuh dan teori telah memprediksi kekuatan fraktur
material seperti kaca, di mana pekerjaan untuk fraktur pada dasarnya sama dengan kenaikan energi permukaan.
Di sisi lain, teori ini tidak memadai untuk menggambarkan perilaku fraktur bahan seperti polimer dan logam,
yang mampu mendeformasi plastik yang luas (yaitu, bahan yang fraktur energi yang beberapa kali lipat lebih
besar dari energi permukaan). Sebuah substansial dengan jumlah deformasi plastik lokal selalu terjadi di ujung
retak.
Untuk menghindarkan kekurangan ini, persamaan Griffith harus dimodifikasi untuk menyertakan energi
yang dikeluarkan dalam deformasi plastik dengan proses fraktur. Dengan demikian, Irwin mendefinisikan
parameter, G, strain-energyrelease. Tingkat atau kekuatan ekstensi retak, yang nantinya menunjukkan untuk
hubungan dengan tegangan dan retak
panjang dengan persamaan:
Pada keadaan dimana titik ketidakstabilan, energi elastis rilis tingkat G mencapai nilai kritis, GC, dimana
sebuah retak sebelumnya stasioner merambat tiba-tiba, sehingga patah. Sebuah pendekatan yang berbeda dari laju
regangan-energi-release dalam studi proses fraksi adalah analisis distribusi tegangan sekitar ujung retak. Ini
memberikan faktor intensitas tegangan atau fraktur ketangguhan K, yang untuk celah tajam dalam piring jauh

lebar dan elastis diberikan oleh persamaan:

Intensitas tegangan faktor K adalah parameter yang berguna dan nyaman untuk menggambarkan distribusi
tegangan sekitar celah. Perbedaan antara satu komponen retak dan lainnya terletak pada besarnya K. Jika dua
kekurangan dari geometri yang berbeda memiliki nilai yang sama dari K, maka medan tegangan sekitar masing-
masing kekurangan adalah identik. Karena K adalah fungsi dari beban yang diterapkan dan ukuran retak,
meningkat dengan beba, ketika intensitas tegangan tarik lokal di ujung retak mencapai nilai kritis, KC, kegagalan
akan mendeformasi akan terjadi. Nilai kritis, KC, mendefinisikan ketangguhan patah dan konstan untuk bahan
tertentu, karena retak selalu terjadi pada nilai tertentu intensitas tegangan lokal terlepas dari struktur di mana
materi yang digunakan.
KC merupakan fungsi dari temperatur, laju regangan, dan keadaan stres, bervariasi antara ekstrem pesawat
stres dan plane strain. Selain itu, KC juga tergantung pada modus kegagalan. Bidang stres mengelilingi ujung
retak dapat dibagi menjadi tiga mode utama pembebanan tergantung pada retak perpindahan, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 8.25 Mode I adalah modus dominan kegagalan dalam situasi nyata melibatkan
komponen retak. Ini adalah modus kegagalan yang telah menerima perhatian yang paling luas. Untuk mode I, G
dan K terkait sesuai dengan Persamaan dibawah ini..

Gambar 8.25. mode Dasar kegagalan bahan struktural: (I) pembukaan atau modus tarik, (II) geser atau di-
pesawat modus geser; (III) robek atau mode geser antiplane.

Gambar 8.26. (a) Skema loading spesimen dalam mode I pada Gambar 2.34 (b) skema yang sesuai diagram
beban-perpindahan.
B. LINEAR ELASTIS FRAKTUR MEKANIKA (LEFM)
Tujuan dasar mekanika fraktur adalah untuk memberikan parameter yang berguna yang merupakan
karakteristik dari materi yang diberikan dan independen tes geometri spesimen. Untuk menentukan GIC,
mempertimbangkan spesimen precracked (Gambar 8.2.6a). Untuk mendapatkan energi yang hilang ke retak
tumbuh, harus memeriksa energi yang tersimpan dalam sistem sebelum dan sesudah ekstensi retak. Hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan beban (P)-perpindahan (ε) diagram (Gambar 8.2.7b) dan menghitung total energi
sebelum dan setelah jumlah terbatas gerak retak. Perbedaan ini menjadi, dalam batas, yang nilai GIC. Energi total
U (a1) tersedia untuk spesimen untuk panjang awal retak,, dan beban kritis, Pc, diberikan oleh persamaan:

Dimana Ɛ adalah perpindahan. Kebalikan dari kemiringan garis P-Ɛ didefinisikan sebagai ketetapan.
Contoh:

Dengan asumsi retak memanjang amat pada beban konstan, ekspresi untuk energi yang hilang ke tumbuh
retak per satuan luas untuk lebar a, b, adalah

Persamaan ini bersifat umum dan dapat digunakan untuk menentukan perilaku fraktur kohesif polimer.
Untuk melakukan hal ini, sejumlah besar geometri spesimen telah dirancang. Namun, kami menggambarkan
penggunaan Persamaan dalam penilaian kekuatan sendi perekat menggunakan meruncing balok double-
kantilever (TDCB) spesimen geometri. Kebanyakan bahan perekat termoset, yang biasanya sangat cross-linked
dan rapuh. Termoset cocok untuk penerapan prinsip-prinsip linier elastis fraktur mekanik. Seperti yang
ditunjukkan sebelumnya, anggota struktural dapat gagal untuk melakukan fungsi dipolimer oleh deformasi
berlebihan elastis, deformasi plastik yang berlebihan, atau fraktur. Sendi perekat merupakan fraksi menit dari
total volume struktur. Akibatnya, deformasi elastis atau inelastis bahkan besar dalam garis ikatan tidak berbahaya
karena kontribusi mereka terhadap deformasi keseluruhan struktur akan signifikan. Namun, perekat struktural
kaku sangat rentan terhadap kegagalan rapuh karenanya, pencegahan patah getas adalah masalah penting dalam
struktur perekat ikatan. Patah di bahan rapuh, kita lihat dari teori dibahas di atas, terkait dengan terjadinya
kekurangan yang sudah ada sebelumnya.
Fraktur biasanya terjadi oleh ekstensi progresif yang terbesar dari kekurangan ini. Selanjutnya, perekat
struktural secara inheren rapuh ketika diuji uniaksial, karakteristik yang ditekankan ketika mereka digunakan
dalam lapisan tipis di mana deformasi juga dibatasi karena stres negara multiaksial dikenakan oleh kedekatan
tinggi modulus adherends. Kombinasi rekah dengan sangat sedikit deformasi permanen dan retak Pertumbuhan
dari yang sudah ada sebelumnya kelemahan menunjukkan bahwa patahan sendi perekat dapat dijelaskan oleh
teknik mekanika fraktur. Menggunakan konsep mekanika fraktur linier elastis dan dengan pengetahuan tentang
cacat terbesar yang terkandung dalam bahan-bahan ini, seseorang dapat membangun minimal ketangguhan
standar untuk struktur sendi perekat. Mostovoy et al.15, 16 dan Ripling et al.17-19 telah dikembangkan dan
menerapkan runcingan balok ganda kantilever (TDCB) untuk mempelajari kekuatan dan karakteristik daya tahan
perekat dan sendi perekat dengan adherends logam. Menggunakan teori balok dari kekuatan bahan, mereka
membentuk hubungan berikut antara kepatuhan spesimen dan panjang retak.

Dimana E = modulus Young


rasio v = Poisson (diasumsikan 1/3)
b = lebar benda uji
h = tinggi balok pada jarak dari titik pembebanan
Dari Persamaan di atas maka:

Dari persamaan, Pc menurun hingga mempertahankan nilai konstan GIC. Jelas, perhitungan GIC
membutuhkan pengawasan baik Pc dan untuk setiap perhitungan GIC. Pengujian dapat disederhanakan, jika
spesimen berkontur sehingga,

Gambar 8.27 Beban-perpindahan (P-ε) diagram khas (A) stabil ("datar") propagasi; (B) stabil ("Memuncak")
propagasi.
Kurva B, dua nilai beban yang diperlihatkan: Pc, beban retak awal pada titik ketidakstabilan yang digunakan
dalam perhitungan GIC, dan Pa, beban penangkapan retak digunakan untuk memperkirakan gia. Untuk bahan-
tingkat sensitif, GIC dan gia adalah identik, dan pertumbuhan retak ditentukan oleh kecepatan lintas kepala, • ε.
Pada mesin tes yang diberikan dan pada kecepatan kepala silang diberikan, perbedaan antara inisiasi dan
penangkapan energi fraktur, GIC - GIA menunjukkan energi yang dilepaskan selama perambatan retak, yang
merupakan ukuran kerapuhan atau ketahanan terhadap bencana kegagalan sistem perekat. Gambar 8.28
menunjukkan berbeda perekat mode kegagalan bersama untuk spesimen TDCB. Kami melihat bahwa sistem A
dan B memiliki beban sama pada retak awal. Namun, dua sistem yang berbeda dalam perlawanan mereka untuk
Retak. A adalah perekat keras dan sangat rapuh. Tidak seperti A, B memiliki mekanisme internal untuk
menangkap retak propagasi, pada awal ketidakstabilan material mengalami deformasi plastik, menumpulkan
retak, dan akibatnya mencegah kerusakan kegagalan B karena itu tidak hanya keras tapi juga tangguh.
Menggunakan argumen, perekat sistem C adalah keras dan kuat, sementara D adalah lembut dan lemah. D adalah
karakteristik dari sistem dengan lapisan perekat spons.

Gambar 8.28 Kemungkinan perekat mode kegagalan bersamaan untuk spesimen TDCB tes.
MAKALAH
Wood Plastic Composite (WPC)

KELOMPOK 10

Lulu Noor Jannah


Nurrahmiati
Riri Atria

Program Sarjana Teknik Kimia

Fakultas Teknik Universitas Riau

Pekanbaru

2018
BAB I0

10.1 Pendahuluan
Kayu merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sedang mengalami penurunan produksi saat ini.
Jumlah penduduk yang terus bertambah membuat permintaan terhadap kayu juga ikut meningkat, namun
keadaan ini tidak diikuti dengan ketersediaan kayu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Kebutuhan kayu yang semakin meningkat juga disebabkan oleh sifat kayu yang mudah untuk dibentuk sesuai
dengan produk yang diinginkan, seperti kayu konstruksi, meubel, alat-alat rumah tangga dan sebagainya. Lubis
(2009), menyatakan bahwa dari segi manfaatnya bagi kehidupan manusia, kayu dinilai mempunyai sifat-sifat
utama yang menyebabkan kayu selalu dibutuhkan manusia.
Wood Plastic Composite (WPC) merupakan salah satu produk alternatif pengganti kayu solid.
Menurut Maloney (1993), WPC merupakan salah satu produk komposit atau panil kayu yang terbuat dari
partikel-partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya yang diikat menggunakan perekat sintetis atau
bahan pengikat lainnya dan dikempa panas. Pemanfaatan kelapa sawit hingga saat ini ditujukan hanya
untuk memproduksi buah yang digunakan untuk bahan baku pembuatan minyak kelapa sawit yang
berupa CPO (Crude Palm Oil) maupun KPO (Kernel Palm Oil).
Tanaman kelapa sawit mempunyai umur produktif yaitu 25 - 30 tahun. Hal ini berarti bahwa
setelah umur tersebut produksi buah kelapa sawit yang merupakan hasil utama kelapa sawit menurun
dan pohonnya sudah terlalu tinggi sehingga menyulitkan dalam pemanenan buah kelapa sawit. Setiap
pemanenan buah kelapa sawit harus dilakukan pemotongan pelepah sebanyak 2 sampai dengan 3 buah
per tandan kelapa sawit. Pemotongan ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan buah (tandan
kelapa sawit). Pelepah yang merupakan hasil ikutan pemanenan tersebut dibiarkan menjadi limbah di
kebun. Menurut data dari Direktorat Tanaman Tahunan tahun 2011 diketahui luas area perkebunan kelapa
sawit di Riau sebesar 1.718.900 ha. Propinsi Riau dikenal sebagai Propinsi yang memiliki luas areal perkebunan
kelapa sawit terbesar di Indonesia.
Pemanfaatan bagian pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) terutama pelepahnya yang dicampur
dengan perekat dari termoplastik dapat menjadi potensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan
papan komposit. Untuk aplikasi produk WPC sangat luas mulai dari sektor bangunan dan kontruksi (rangka
jendela, rangka pintu, pipa, produk atap/langit-langit), penggunaan di dalam ruangan (panel dalam, profile
dekoratif, perabot kantor, lemari dapur, rak, bingkai gambar, dan lain-lain), otomotif (pintu, dasbor, panel dalam,
rak belakang, penutup ban cadangan, helm), pertamanan dan penggunaan di luar (geladak, pagar dan tonggak
pagar, perabotan pertamanan, tempat perlindungan dan bangsal, bangku taman), hingga sektor infrastruktur
(lantai industri, susur tangga, pilar tiang di laut/dinding sekat kapal) (Clemons, 2002; Rangaprasad, 2003).
Penelitian mengenai pengembangan produk WPC dari campuran pelepah sawit dengan PP komersil belum
banyak dilakukan. Dimana sifat dan morfologi sampel WPC yang dihasilkan belum pada tahap yang diinginkan.
Pada penelitian ini akan dikaji pembuatan produk WPC dari nisbah campuran PP komersil dan serat pelepah sawit
serta dengan memvariasikan kadar maleated polypropylene (MAPP) sebagai kompatibiliser. Diharapkan
peningkatan sifat dan morfologi campuran tersebut dapat dicapai.

10.2 Pengertian Wood Plastic Composite (WPC)


Wood Plastic Composite (WPC) yang merupakan komposit polimer yang terbuat dari termoplastik sebagai
matrik dan serbuk kayu sebagai pengisi (filler). Kayu telah lama digunakan oleh industri plastik sebagai filler
yang murah, dimana dapat meningkatkan kekuatan dan kekakuan termoplastik. Pada akhir tahun 1980, para
peneliti dan industri mulai mencari filler yang berkualitas dan coupling agent untuk meningkatkan interaksi antara
komponen kayu dan termoplastik. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wolcott dan Englund (1999) akhirnya
mendapatkan WPC sebagai bahan alternatif sebagai pengganti penggunaan kayu solid.

Gambar 10.1 Wood plastic composite


Sifat kekuatan dan kekakuan WPC secara umum dipengaruhi oleh komposisi penggunaan filler dan
metode pengadonan (pencampuran). Dengan adanya filler kayu dalam matrik plastik pada WPC dapat
memberikan keuntungan seperti, biaya material yang lebih murah dibandingkan dengan hanya material plastik
saja, juga dalam sifat-sifat kompresi untuk sebagian besar WPC lebih baik dibandingkan dengan hanya kayu saja.
Plastik yang ada dalam WPC mengurangi absorpsi air dan serangan hama sehingga biaya maintenance WPC lebih
rendah dibandingkan kayu. WPC juga bersifat mudah didaur ulang karena materi yang ada di dalamnya dapat
dicairkan dan dibentuk kembali. WPC memberikan fleksibilitas yang besar dalam bentuk dan warna yang
dihasilkan.
Penggunaan produk WPC semakin berkembang disebabkan pemakaian chromated copper arsenate
(CCA) sebagai pengawet kayu yang menggunakan copper (Cu) untuk mencegah pertumbuhan jamur sudah
dilarang sejak tahun 2003 karena dapat merusak ekosistem. Disamping itu, WPC dapat memenuhi keinginan
konsumen untuk memperoleh kayu yang tahan lama, anti rayap, tahan terhadap pengaruh cuaca dan tahan
terhadap jamur. Penggunaan WPC banyak terdapat di Amerika, Jepang dan Eropa.
Tabel 10.1 Kriteria Standar Material WPC
No. Sifat Fisik Mekanik Standar ASTM Nilai
1. Kerapatan, (g/cm3) D792 1,285
2. Daya Serap Air, (%) D570 0,8
3. Kadar Air, (%) D648 1,7
4. Swelling Thickness, (%) D1037 1,0
5. Kuat Tarik (kgf/cm2) D638 390
6. Kuat Lentur (kgf/cm2) D790 380
Sumber : (Azmi, 2011)
Kelebihan WPC
a. Bisa didaur ulang untuk diproduksi kembali
b. Memiliki berbagai macam ukuran panel berbeda dan bisa digunakan untuk di dalam dan di luar rumah
c. Lebih tahan api dibanding produk serupa lainnya. Ketika terjadi kebakaran pada panel, api hanya menyala
di satu titik dan tidak menyebar.
d. Daya tahan yang tinggi terhadap benturan dan abrasi
e. Memiliki kestabilan dimensi yang baik, tidak akan mengembang bila berada di area lembab
f. Kemungkinan retak sangat kecil
g. Daya tahan yang tinggi terhadap air dan bahan kimia rumah tangga
h. Daya tahan yang baik terhadap rayap, jamur dan hama
i. Pada umumnya lebih murah dibanding kayu
j. Terbaik untuk investasi jangka panjang
k. 100% dapat di daur ulang
l. Secara estetika, WPC memiliki desain yang mendukung keindahan rumah
m. Warna tidak cepat memudar
Kekurangan WPC
a. Hanya memiliki sedikit pilihan warna
10.3 Jenis-Jenis dari WPC atau Kayu Komposit
1. Kayu komposit hollow (WPCH: Wood plastic composite hollow)
Kayu ini dikatakan hollow karena di dalam kayunya terdapat lubang yang hampir mirip dengan
besi hollow. Kayu ini biasanya dimanfaatkan untuk pagar halaman, lantai teras dan juga atap untuk gazebo. Harga
perkilo dari kayu ini di Indonesia biasanya sekitar kurang lebih 50 ribuan.
2. Kayu komposit solid (WPCS)
Biasanya jenis kayu komposit solid ini dibuat berbentuk papan, baik lurus maupun lengkung. Jadi, kayu
jenis ini bisa dimanfaatkan untuk bangunan layaknya bahan bangunan biasa.
10.4 Bahan Baku Wpc
Jenis kayu yang biasa digunakan dalam pembuatan WPC adalah jenis Pine, Spruce, Fir dan Oak
(Clemons, 2002; Rangaprasad, 2003). Beberapa serat-serat alami pertanian seperti kenaf, rami, sisal, bambu dan
batang sawit telah mulai dicoba dalam beberapa penelitian dan menunjukkan kesesuaian sebagai bahan pengisi
material WPC (Rowel, dkk. 1999; O’dell, 2001; Karus dan Kaup, 2002; Lubis, dkk. 2009). Kelebihan
menggunakan serat alami adalah bersifat dapat diperbaharui, tersedia melimpah, murah, ringan, bersifat
biodegradasi, tidak abrasif terhadap peralatan, tidak menyebabkan iritasi pada kulit dan penyerapan panas yang
baik (Marutzky, 2004).
Bahan baku utama dalam pembuatan WPC adalah termoplastik dan kayu.
Pembuatan WPC menjadi sulit karena :
a. lignin merupakan fraksi yang paling sensitif terhadap suhu, mudah terbakar dalam proses pencampuran,
melepas CO2 dan gas lainnya, membuat densitas menjadi lebih rendah dan produk WPC yang dihasilkan
akan menjadi mudah teroksidasi jika terkena paparan cahaya
b. kayu dapat teraglomerasi karena perbedaan sifat dengan termoplastik
c. meminimalkan kontak biomassa dengan panas pada proses pencampuran
d. komponen ekstraktif (penine, tannin, terpene dan senyawa karbonil) dalam biomassa dapat menghasilkan
gas yang mudah menguap sehingga menurunkan densitas
e. hemiselulosa dapat terurai pada titik leleh termoplastik dan perubahan tekanan membentuk asam asetat.
10.4.1 Termoplastik
Termoplastik dibagi kedalam dua kelompok, yaitu plastik komoditi dan plastik engineering. Plastik
komoditi mencakup berbagai jenis plastik yang dikenal seperti poliolefin yang mencakup golongan polietilena
(PE), polipropilena (PP), polivinil klorida (PVC), polistirena (PS) dan polietilen tereftalat (PET)
(Moavenzadeh,dkk.,1995).
a. Polietilena (PE)
Polietilena adalah polimer semikristalin yang memiliki titik leleh pada rentang 106-130 oC. Polietilena
berbentuk kritstal dan amorf pada suhu kamar. Polietilena umumnya dibedakan dari densitasnya terdiri atas tiga
golongan, yaitu low density polyethylene (LDPE), medium density polyethylene (MDPE) dan high density
polyethylene (HDPE). Polietilena bersifat lunak sehingga dalam proses pembuatan komposit PE mudah untuk
dipotong. Komposit polietilena atau polipropilena menghasilkan absorbsi mendekati nol setelah perendaman
selama 24 jam dan tahan terhadap bahan kimia termasuk asam kuat seperti sulfur, hidroklorik dan nitrat.
b. Polipropilena (PP)
Polipropilena lebih bersifat kaku, memiliki kekuatan tarik dan kejernihan yang lebih baik daripada
polietilena, permeabilitas uap air rendah. Polipropilena sukar direkatkan dengan panas, lebih kaku dan lebih rapuh
dibandingkan dengan polietilena. Struktur polipropilena dapat berupa ataktik, isotaktik dan sindiotaktik. Struktur
polipropilena yang bercabang menyebabkan termoplastik ini lebih mudah teroksidasi jika terpapar cahaya
dibandingkan polietilena. Titik leleh polipropilena berada pada rentang suhu 161 - 165 oC, densitas 0,9 - 0,91
gr/cm3 dan MFI 2-5 gr/10 min. Polipropilena banyak digunakan sebagai karung plastik (Lubis,2009).

Potensi Polipropilen (PP) untuk Pembuatan WPC


Polipropilen merupakan polimer hidrokarbon yang termasuk ke dalam polimer termoplastik yang dapat
diolah pada suhu tinggi. Polimer ini memiliki keseimbangan sifat baik sehingga dapat digunakan pada berbagai
aplikasi, mulai dari kemasan makanan, perlengkapan rumah tangga, part otomotif, hingga peralatan elektronik.
Berdasarkan ilmu kimia, PP adalah suatu makromolekul termoplastik (dapat dilelehkan) rantai jenuh (tidak
memiliki ikatan rangkap) yang terdiri dari propylene sebagai gugus yang berulang.
c. Polistirena (PS)
Polistirena dibuat dari minyak bumi dengan jalan polimerisasi stirena. Polistirena banyak digunakan
sebagai pembungkus karena jernih dan mengkilap. Titik leleh polistirena ± 560 C, sehingga tidak dapat digunakan
untuk produk yang perlu pemanasan tinggi, disamping itu polistirena sukar direkatkan dengan panas. Polistirena
banyak digunakan untuk pengemasan buah-buahan, sayur-sayuran, daging, susu, yoghurt dan lain-lain. Secara
umum polistirena digunakan dalam bentuk film. Film polistirena bersifat transparan, jernih, lentur dan berkilau
(Lubis,2009).
d. Polivinil klorida (PVC)
Bersifat keras dan kaku, mudah terpengaruh oleh panas dan sinar ultra violet. Polivinil klorida mempunyai
sifat yang baik sebagai penghalang terhadap lemak, alkohol, dan pelarut lemak yang lain. PVC juga tahan
terhadap asam dan basa kuat kecuai sulfat dan nitrat (Lubis,2009).
10.4.2 Selulosa Dan Lignoselulosa
Tiga komponen utama dari bahan tanaman adalah selulosa, lignin, dan hemiselulosa. Selulosa dan
hemiselulosa adalah polisakarida. Selulosa sangat tinggi struktur teratur, polimer kristal, terdiri dari ribuan residu
glukosa. Hemiselulosa membentuk rantai bercabang jauh lebih pendek yang terdiri dari lima dan enam karbon
gula cincin. Rantai-rantai ini memainkan peran soft flayer amorf, membungkus selulosa daerah.
"Hemicellulosics" adalah istilah kolektif untuk banyak struktur heteropolysaccharides asal tumbuhan, membentuk
dinding sel tanaman bersama dengan selulosa. Lignin adalah resin amorf padat penguat fenol propana, mengisi
ruang antara serat polisakarida. Lignin bukan hanya "konkret" tetapi juga sangat struktur kimia yang direkayasa

10.5 Batang Sawit sebagai Filler


Limbah batang sawit merupakan salah satu sumber bahan baku alternatif yang dimanfaatkan sebagai
industri kayu yang saat ini mengalami defisit pasokan bahan baku. Batang sawit yang dimodifikasi memiliki sifat
penggunaan lebih baik dari pada produk kayu rakitan, seperti papan partikel (particle board) dan papan blok
(block board). Penggunaan batang sawit secara langsung masih menghadapi berbagai kendala, seperti sifat
dasar/kualitas batang sawit yang masih rendah dibandingkan dengan kayu komersil. Sifat inilah yang
menyebabkan masyarakat tidak tertarik untuk menggunakan batang sawit sebagai bahan infrastruktur atau
furnitur. Padahal setiap tahun hasil limbah dari batang sawit ini mencapai 16,4 juta m3 yang tersebar di beberapa
tempat di Indonesia dan dibiarkan begitu saja (Erwinsyah, 2009).
Karakteristik Batang Sawit
Tabel 10.2 Sifat Dasar Batang Sawit
Bagian Dalam Batang
Sifat-sifat
Tepi Tengah Pusat
Massa Jenis (gr/cm3) 0,35 0,28 0,20
Kadar Air (%) 156 257 365
Kekuatan Lentur (kg/cm2) 29996 11421 6980
Keteguhan Lentur (kg/cm2) 295 129 67
Susut Volum (%) 26 39 48
Kelas Awet V V V
Kelas Kuat III-V V V

Sumber : Bakar (2003)

Berdasarkan Tabel 10.3 terlihat bahwa batang sawit merupakan bahan yang memiliki sejumlah
kekurangan, seperti: kadar air pada setiap bagian tinggi (156 – 365 %), untuk kelas kuat tergolong lemah (III –
V), tidak awet (cepat terserang jamur dan dimakan rayap), memiliki susut volum besar dan massa jenis kecil
(tidak sampai 1,0 gr/cm3). Hasil ini menyebabkan batang sawit memiliki kelemahan bila langsung digunakan
sebagai bahan infrastruktur bangunan, baik di luar ataupun di dalam ruangan (Bakar, 2003).

10.6 Bahan Penunjang


10.6.1 Maleated Polypropilene (MAPP) sebagai Kompatibiliser
Maleated Polypropylene adalah kompatibiliser yang terbuat dari campuran Maleic anhydride (MAH) dan
Polipropilen (PP). Pertama kali MAPP digunakan sebagai kompatibiliser dalam pembuatan material WPC yaitu
oleh Dalvag,dkk (1985). Bahan ini digunakan untuk meningkatkan sifat dan morfologi material WPC, seperti
kuat tarik (tensile strength), modulus young, kestabilan termal dan daya tahan terhadap air (water resistance)
(Takatani, dkk., 2008). Hasil pengujian menggunakan Transmission Electron Microscope (TEM) menunjukkan
bahwa penggunaan MAPP dapat meningkatkan interaksi antar muka filler dengan termoplastik yang digunakan
(Shashidara dkk., 2009).

10.6.2 Plastisizer Parafin


Plastisizer adalah material yang ditambahkan untuk meningkatkan beberapa sifat dari polimer, misalnya
kemampuan kerja, ketahanan terhadap panas, ketahanan terhadap temperatur rendah, ketahanan terhadap cuaca,
sifat insulasi, ketahanan terhadap minyak elastisitas dan fleksibilitas yang tinggi. Untuk itu penggunaan plastisizer
ke dalam bahan termoplastik sangat dibutuhkan, dimana bahan dapat mengoptimalkan sifat pengolahan bahan
polimer yang mengarah meningkatnya kualitas dan menghasilkan sifat baru pada produk.
10.7 Densitas WPC
Pentingnya kerapatan (berat jenis) dari material komposit kayu-plastik (WPC) tidak bisa dinilai
berlebihan. Dengan "kepadatan" berarti bukan kepadatan mutlak yang berbeda WPC, tetapi kepadatan material
WPC yang sama yang dapat lebih rendah dibandingkan ke kepadatan tertinggi WPC yang sama, ditentukan oleh
gravitas tertentu bahan-bahannya. Penurunan densitas (peningkatan porositas) mempengaruhi hampir semua sifat
penting dewan WPC yang dipertimbangkan dalam buku ini. Semakin rendah densitas, semakin rendah kuat lentur
dan modulus.
Umumnya, ada korelasi tertentu antara kepadatan, di satu sisi, dan kuat lentur dan modulus, di sisi lain,
untuk banyak bahan lain, dan korelasi itu tidak terkait dengan porositas. Sebagai contoh, ada korelasi kuat (R2
0.984) antara densitas semua 38 bahan polietilen, termasuk LDPE, LLDPE, HDPE, dan modulus. Selain itu,
penjual mineral dalam material WPC meningkatkan densitas produk akhir dan juga meningkatkan eksistensinya
modulus. Sifat WPC memiliki formulasi yang sama tetapi diproduksi pada rezim yang berbeda

10.8 Prosedur Pembuatan Wpc


10.8.1 Bahan
Secara umum, bahan baku yang digunakan dalam pembuatan WPC adalah partikel kayu sebagai filler,
Polipropilen (PP) sebagai matriks; Polypropylene-graft-maleic anhydride (MAPP) sebagai kompatibiliser, dan
plastisizer jenis Parafin.

10.8.2 Alat
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan WPC meliputi peralatan untuk pembuatan serbuk kayu,
pembuatan sampel WPC dan pengujian sampel. Peralatan yang digunakan untuk pembuatan serbuk pelepah sawit
adalah chainsaw untuk memotong pelepah dari batang sawit, sawmill untuk menggerus pelepah sawit hingga
menjadi serat, ayakan, lumpang, oven untuk mengurangi kadar air.
Peralatan yang digunakan untuk pembuatan sampel internal mixer Labo Plastomills sebagai alat untuk
mencampurkan material WPC, hot press berfungsi untuk mencetak WPC menjadi lembaran-lembaran (slab),
dumbell berfungsi untuk membuat spesimen uji dari WPC yang dihasilkan. Pengujian sampel terbagi tiga yaitu
uji sifat fisik, sifat mekanik, sifat morfologi. Pengujian sifat fisik menggunakan jangka sorong dengan ketelitian
0.05 mm dan timbangan analitik. Alat pengujian sifat morfologi dan mekanik menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM) dan Universal Testing Machine (UTM).

10.8.3 Langkah Pembuatan WPC


a. Pembuatan Serbuk Pelepah Sawit (SPS)
Pertama, kulit pelepah sawit dikupas kemudian digerus menggunakan sawmill sehingga menghasilkan
serat dan ditampung ke dalam wadah atau ember. Sebanyak 300 gram hasil gerusan ditimbang dan direndam
dengan pelarut di dalam bejana bertekanan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan.
Hasil perendaman disaring dan ditimbang kemudian dikeringkan di udara selama ±24 jam. Setelah
pengeringan, serbuk pelepah sawit ditimbang dan dikeringkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 2 jam
hingga kadar air serat pelepah sawit mencapai maksimal 10%. Kemudian serat pelepah sawit diblender dan
ditumbuk menggunakan lumpang hingga menjadi serbuk. Serbuk pelepah sawit yang diperoleh selanjutnya
diayak.
Kayu

Penggerusan

Pelarut (Air atau Asam Oksalat 0.05 M)


Perendaman T = 100oC, 120oC, 140oC, dan suhu ruang
t = 15 Menit

Pengeringan

Penghalusan

Pengayakan

Serbuk pelepah sawit


100 mesh

Gambar 10.2 Diagram Alir Preparasi WPC

b. Pembuatan Sampel WPC


Pembuatan material WPC terbagai atas dua tahap yaitu tahap pengadonan dan pembuatan lembaran/slab.
Tahap pengadonan dimulai dengan menimbang serbuk pelepah sawit (SPS) dan polipropilena (PP) berdasarkan
rasio pencampurannya yaitu 30/70. Pencampuran material WPC ke dalam internal mixer menggunakan suhu
pencampuran 170oC dan laju rotor 80 rpm seperti ditampilkan pada Tabel 10.2.
Tabel 10.3 Schedule Pencampuran Material dalam Internal Mixer
Aktivitas Menit ke
Aktivasi Internal Mixer 0
Pelelehan PP 30
Penambahan plastisiser 40
Penambahan serbuk pelepah sawit 45
Penambahan MAPP 50
Penghentian proses pencampuran 65

Tahap pembuatan lembaran (slab) bertujuan untuk membentuk sampel WPC menjadi lembaran
menggunakan alat hot press, dengan ketebalan lembaran dibuat sesuai standar pengujian yang akan dilakukan.
Suhu Hot press diatur pada 180oC dengan tekanan 100 kgf/cm2 selama ±10 menit. Lembaran yang dihasilkan,
dibiarkan pada suhu kamar selama 24 jam untuk mencapai distribusi kadar air yang seragam dan melepaskan
tegangan sisa dalam lembaran akibat pengempaan. Kemudian sampel disimpan ke dalam plastik sebelum
dilakukan pengujian. Tahap berikutnya adalah pembuatan pola pemotongan/spesimen lembaran untuk
membentuk spesimen pengujian menggunakan alat dumbell.

Polipropilen (PP)

Pencampuran (Internal Serbuk pelepah sawit 100 mesh


Mixer Labo Plastomil) MAPP 5%
170oC, 80 rpm Parrafin 2 %

Pembentukan spesimen
uji menggunakan
dumbell (180oC & 100
kgf/cm2) selama 10 menit

Pengkondisian selama
24 jam

Pengujian:
 Uji Sifat Mekanik
 Uji Sifat Fisik
 Uji Sifat Morfologi

Kualitas Produk WPC

Gambar 10.3 Diagram Alir Pembuatan dan Pengujian WPC


10.9 Uji Karakteristik WPC
10.9.1 Pengujian Sifat Mekanik
a. Uji Kuat Tarik (Tensile Strength)
Kekuatan tarik (tensile strength) merupakan ukuran ketahanan sampel terhadap tarikan langsung dan
dihitung dari beban yang diperlukan untuk menarik putus sampel dengan dimensi tertentu. Ukuran sampel yang
akan diuji di sesuaikan dengan standar pengujian SNI ISO 37 : 2010 dengan menggunakan alat Universal Testing
Machine Zwickroell tipe Z020 di Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi, Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik,
Yogyakarta. Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran E. Nilai kuat tarik maksimum WPC dihitung dengan
menggunakan persamaan 3.1.

Pultimate
Kuat tarik (kgf/cm ) 
2
......................................................................(10.1)
A
Dengan,
P = beban yang diberikan pada spesimen (kgf)
A = luas penampang spesimen (cm2)

b. Uji Kuat Lentur (Flexural)


Kuat lentur (Flexural) merupakan ukuran ketahanan material WPC untuk menahan beban dalam batas
proporsi sebelum patah. Pengujian kuat lentur mengikuti standar ASTM D790 menggunakan alat Universal
Testing Strength (UTM) tipe Orientec Co. Ltd, Model UCT-5T di Laboratorium Uji Polimer Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung. Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran F. Kuat lentur
maksimum WPC dapat dihitung menggunakan persamaan 3.2.
3PL
Kuat Lentur, (kgf/cm2)  .................................................................. (10.2)
2H 2 B
Dengan,
P = Beban Maksimal Patah (kgf)
L = Jarak Tumpuan Silinder (cm)
B = Lebar Benda Uji (cm)
H = Tebal Benda Uji (cm)

10.9.2 Pengujian Sifat Fisik


a. Uji Kerapatan
Kerapatan pada sampel WPC merupakan perbandingan antara massa atau berat terhadap volumenya.
Pengujian kerapatan dilakukan pada suhu kamar. Pertama, sampel WPC berukuran 1 cm x 1 cm x 0,2 cm
ditimbang beratnya. Panjang, lebar, dan tebal rata-rata diukur untuk menentukan volume sampel Nilai kerapatan
sampel WPC dihitung menggunakan persamaan 10.3.
m
Kerapatan (g/cm3) = ……………..……………………………………….(10.3)
V
Dengan,
m = massa (gram)
V = volume (cm3)

b. Uji Daya Serap Air


Daya serap air merupakan sifat fisik yang memperlihatkan kemampuan sampel WPC untuk menyerap air.
Pertama, sampel WPC ditimbang berat awalnya (B1) kemudian direndam dalam air pada suhu kamar selama 2
dan 24 jam, setelah itu ditimbang beratnya (B2). Nilai daya serap air sampel WPC dapat dihitung menggunakan
persamaan 10.3.
B2  B1
Daya Serap Air (%) = x100% ………………………………….… (10.4)
B1
Dengan,
B1 = Berat sebelum perendaman (gram)
B2 = Berat setelah perendaman (gram)

c. Uji Pengembangan Tebal (Swelling Thickness).


Pengembangan total didefenisikan sebagai besaran yang menyatakan pertambahan tebal sampel dalam
persen terhadap tebal awal. Pertama sampel WPC direndam selama 2 dan 24 jam dengan air pada suhu kamar.
Pengembangan tebal setelah perendaman diukur dengan jangka sorong dengan tingkat ketelitian 0.05 mm dan
nilainya diukur menggunakan persamaan 10.5.
T 2  T1
Pengembangan Tebal (%) = x100% ……………………………… (10.5)
T1
Dengan,
T1 = Tebal sebelum perendaman (cm)
T2 = Tebal sesudah perendaman (cm)

10.9.3 Pengujian Morfologi


Uji morfologi merupakan pengujian untuk melihat pencampuran interface bahan filler ke dalam matrik.
Pengujian dilakukan menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) tipe JSM-6510 A Series di UPT
Laboratorium Terpadu Universitas Diponegoro, Semarang. SEM merupakan jenis mikroskop electron yang
menggambarkan permukanaan sampel dengan memindai sinar energi elektron tinggi ke dalam pola raster scan.
Prosedur pengujian dapat dilihat pada Tabel D.

10.10 Standar Nilai Pengujian Sifat Mekanik dan Fisik Material WPC
Hasil sifat fisik dan mekanik material WPC memiliki standar nilai yang telah ditentukan oleh ASTM.
Adapaun nilai sifat mekanik dan fisik material WPC yang telah distandarkan dapat dilihat pada Tabel 3.2
Tabel 10.4 Sifat Fisik dan Mekanik Material WPC Pada Standar ASTM
Sifat Mekanik dan Sifat Fisik Standar ASTM Nilai

Kerapatan (gr/cm3) D792 0.4 - 1.0

Daya Serap Air (%) D570 < 0.8

Pengembangan Tebal (%) D1037 <1

Kuat Tarik (Kg/cm2) D638 390

Kuat Lentur (Kg/cm2) D790 380

Anda mungkin juga menyukai