Anda di halaman 1dari 8

MENYIGI POTENSI ISLAM YANG RAMAH

Belajar dari Dusun Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.

Dusun Glanggang merupakan salah satu daerah yang terdapat di Desa


Karang Tengah, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Desa Glanggang
berjarak 3 kilometer dari Kecamatan Pakisaji, 7 kilometer dari Kabupaten
Malang, dan 120 kilometer dari Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Menurut
data kependudukan Desa Glanggang, masyarakatnya menganut 4 agama besar,
yaitu Islam, Kristen, Katholik, dan Hindu dengan jumlah penganutnya: islam:
(3.838 orang), Kristen (31 orang), Katholik (18 orang), Hindu (647 orang).
Terdapat pula beberapa tempat ibadah seperti Masjid dan Pura yang letaknya
berdekatan.
Meskipun penduduk desa Glanggang menganut berbagai macam
agama, tetapi mereka tetap menjaga kerukunan antarsesama warga. Hal itu
dapat dilihat dengan warganya yang saling membantu apabila terdapat perayaan
agama, dan saling gotong royong saat adanya kerja bakti (hasil wawancara dari
salah satu tokoh agama islam yang bernama Pak Kasiono). Masyarakat
Glanggang sangat memegang erat tali silaturahmi dan kerukunan dalam
bertetangga, sehingga masyarakat Glanggang selalu hidup dalam toleransi
meskipun berbeda agama. Belum pernah tercatat adanya perselisihan
antaragama yang terjadi diantara penduduk desa Glanggang (hasil wawancara
dengan kepala dusun Desa Glanggang). Adanya perbedaan agama tidak pula
membuat masyarakat terlibat dalam konflik perbedaan keyakinan ataupun
perpecahan antaragama. Fakta yang terjadi justru sebaliknya, warga masyarakat
menjadi lebih rukun karena menjunjung tinggi nilai toleransi. Dalam melakukan
hubungan antar sesama warga, dan hubungan antarsosial keagamaan, warga
Desa Glanggang selalu menjunjung tinggi nilai toleransi dengan mengedepankan
sikap saling menghargai antarumat beragama, dan saling hidup rukun
antarsesama agama yang telah dibina sejak turun temurun.
Terdapat 2 kata kunci pembentuk kerukunan antarumat beragama yang
terjadi di Desa Glanggang, yang pertama adalah gotong royong dan yang kedua
adalah kerukunan antarumat beragama. Gotong royong dapat dimaknai dalam
konteks pemberdayaan kelembagaan di tingkat komunitas masyarakat, bangsa
dan negara Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan. Hal ini dikarenakan di
dalam gotong royong terkandung makna collective action to struggle, self
governing, common goal, dan sovereignty (Pranadji 2009). Lebih lanjut
kerukunan umat beragama dapat dimaknai pula sebagai keadaan hubungan
umat beragama yang dilandasi oleh toleransi, saling pengertian, saling
menghormati dalam ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara didalam NKRI berdasar Pancasila dan
UUD 1945 (Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8
Tahun 2006). Sejalan dengan temuan dari Angga Syaripudin Yusuf dalam
makalahnya yang berjudul Kerukunan Umat Beragama antara Islam, Kristen, dan
Sunda Wiwitan (2014) kata kunci dalam pembentukan kerukunan antarumat
beragama yaitu ikatan kekeluargaan, saling menghargai dan menghormati
antarumat beragama, dan memegang teguh budaya gotong royong.
Setelah menyigi potensi Islam yang ramah pada lingkup kecil kita akan
mencoba membawa potensi lokal tersebut menjadi potensi nasional, dengan
terlebih dahulu menganalisa permasalahan kerukunan antarumat beragama di
Indonesia. Indonesia memiliki enam agama yang diakui secara resmi, dan
ditetapkan oleh negara sebagaimana ditetapkan pada Penetapan Presiden No. 1
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau penodaan agama
yang berbunyi: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah
Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu (Confusius)”.
Pada sensus tahun 2010, religious demography di Indonesia
menunjukkan 213 juta jiwa penganut agama yang berbeda dengan komposisi
88,22% pemeluk Islam, 5,9% pemeluk Kristen, 3,1 Katolik, 1,8% pemeluk Hindu,
0,8% pemeluk agama Budha, dan 0,2% pemeluk kepercayaan. Dengan berbagai
macam agama tersebut, maka Pemerintah Indonesia secara resmi menyatakan
kebebasan untuk beragama dan memiliki kepercayaan bagi seluruh warga
Indonesia tanpa batasan sebagaimana yang diatur oleh UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945 Pasal 29 ayat 2 yang menyatakan: “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Toleransi berasal dari Bahasa Latin, yaitu ”tolerantia” yang berarti
kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran. Dengan kata lain,
toleransi merupakan satu sikap untuk memberikan hak sepenuhnya kepada
orang lain agar bebas menyampaikan pendapatnya meskipun pendapatnya
belum tentu benar atau berbeda.
Masih terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan terkait sikap
toleransi masyarakat Indonesia (Misrawi, 2007). Menurut penelitian dari Setara
Institute (2015) pada tahun 2015 sudah terjadi 197 peristiwa aksi intoleran yang
berhubungan dengan kebebasan beragama, dan berkeyakinan di seluruh
Indonesia. Jumlah ini naik signifikan dibandingkan tahun 2014 yang terjadi
sebanyak 134 kali.
Data penelitian dari Lembaga Survei Indonesia tahun 2016 menunjukkan
sebanyak 49 persen masyarakat Indonesia berpotensi bersikap intoleran baik
sesama muslim maupun non-muslim. Sebagai contoh yaitu salah satu kelompok
agama menggerakkan massanya untuk membuat protes dan menyerang rumah-
rumah ibadah minoritas, mereka juga mengganggu ibadah kaum minoritas
dengan alat pengeras suara, membuang kotoran, dan bangkai hewan
Setara Institute pada akhir tahun 2015 juga mengeluarkan 10 daftar kota
yang kurang toleran dengan urutan Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Tangerang,
Depok, Bandung, Serang, Mataram, Sukabumi, Banjar, dan Tasikmalaya. Bogor
menjadi kota yang intolerannya sangat tinggi. Intoleransi beragama dapat terjadi
baik di antaragama maupun intra agama atau antaraliran. Di Kota Bogor terjadi
peristiwa GKI Yasmin dan Syi’ah, selain itu, pemerintah juga memfasilitasi
gerakan anti-Syi’ah yang diadakan di Gedung Walikota. Tindakan pemerintah ini
membuat Bogor menjadi kota yang intolerannya tinggi. Yogyakarta juga tercatat
sebagai kota yang intoleran. Menurut LBH Yogyakarta selama tahun 2011-2015
terjadi 13 kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Intoleransi beragama dapat diartikan sebagai suatu kondisi jika suatu
kelompok (misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non agama)
secara spesifik menolak untuk menolerasi praktik-praktik, para penganut, atau
kepercayaan yang berlandaskan agama. Sikap intoleran yang terjadi oleh
berbagai faktor, seperti pemahaman agama dan keyakinan yang tidak utuh yang
bisa memicu sikap intoleran. Ketidaktegasan aparat kepolisian dalam
memberantas sikap intoleran ini dapat dinilai sebagai pemihakan terhadap
kelompok kekerasan. Lalu, sikap dan perilaku dari para pemimpin ini juga turut
mempengaruhi masyarakat untuk bersikap intoleran, seperti penggunaan isu
SARA dalam melakukan kampanye. Selain itu, dengan kemajuan teknologi
internet, konten di media sosial dapat diakses secara bebas untuk
membangkitkan sikap intoleran. Kasus yang paling banyak, perbedaan agama,
keyakinan, ideologi juga dapat memicu terjadinya intoleran, seperti yang terjadi di
Tanjung Balai yang berujung dengan aksi kekerasan.
Sebagai contoh toleransi, masyarakat bias mengambil teladan dari
Rasulullah SAW saat Rasulullah hijrah ke Madinah. Di Madinah, pada waktu itu
dihuni oleh berbagai macam pemeluk agama yang berbeda, seperti Agama
Islam, Yahudi, sebagian Agama Nasrani, dan juga penyembah berhala. Namun,
dalam hal ini, Rasulullah SAW memberikan toleransi kepada pemeluk agama lain
untuk menjalankan aktivitas keagamaannya sendiri. Seperti yang tercantum di
Piagam Madinah (Sahifah al Madinah), yaitu “bagi KaumYahudi agama mereka
dan bagi kaum Muslim agama mereka”. Dalam hal keamanan di Madinah, orang
Yahudi dan orang muslim juga mendapat tanggung jawab yang sama, yaitu
orang muslim harus membantu orang Yahudi apabila mendapat serangan dari
luar, begitu juga sebaliknya, dan keamanan negara menjadi tanggung jawab
bersama. Di dalam Piagam Madinah tersebut juga dijelaskan bahwa kaum
muslim pada waktu itu diperbolehkan untuk mengadakan transaksi dengan orang
Yahudi asal tidak melanggar muamalah yang ada. Semua hal yang dilakukan
oleh Rasulullah ini membuktikan bahwa Rasulullah SAW selalu bersikap adil
kepada kaum Yahudi dan kaum agama lain di Madinah.
Dari hasil wawancara peneliti dengan tokoh agama di Desa Glanggang
menyebutkan bahwa, setiap agama di Desa Glanggang mempunyai suatu
komitmen tersendiri untuk mempertahankan kerukunan, tetapi tidak
mempengaruhi dalam hubungan sosial bertetangga. Setiap tokoh agama di Desa
Glanggang selalu mengajarkan pentingnya hidup rukun, saling menghormati
menghargai, dan memahami dalam berinteraksi antarwarga masyarakat. Desa
Glanggang juga terdapat keunikan tersendiri dalam berperilaku toleransi,
sepertihalnya saat ada salah seorang warga desa yang meninggal, baik orang
tersebut Islam maupun Hindu, semua warga ikut berziarah ke makamnya
tersebut. Demikian juga saat Desa Glanggang terdapat acara Bersih Dusun,
kegiatan yang dilakukan yaitu berkumpul dan makan bersama. Setelah itu
terdapat do’a bersama, uniknya do’a tersebut dilaksanakan oleh dua agama yang
berbeda, pelaksanaannya yaitu setelah yang beragama Islam melaksanakan
do’anya terlebih dahulu, setelah itu dilanjutkan oleh do’anya agama Hindu.
Masyarakat Desa Glanggang dapat hidup rukun karena memegang dua kata
kunci pembentuk kerukunan beragama. Dengan memegang 2 kata kunci
pembentuk kerukunan ini, maka sikap intoleransi yang akhir-akhir ini marak
terjadi ini dapat dihindari. Adapun dua kata kunci tersebut adalah:

1. Gotong royong
Gotong royong merupakan nilai luhur yang keberadaannya harus
dijaga. Karena itu merupakan ciri khas Bangsa Indonesia secara turun
temurun, sehingga keberadaannya harus dipertahankan (Bintarto 1980:11).
Gotong royong yang sudah ada sejak zaman dulu merupakan nilai luhur
yang dapat menjadikan kehidupan masyarakatnya berjalan dengan tertib
dan teratur. Gotong royong di Indonesia yang penuh dengan rasa
kebersamaan tidak dapat dipisahkan dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang penuh dengan keberagaman, baik keberagaman suku, agama,
maupun ras. Melalui gotong royong, maka akan dapat mempererat
hubungan masyarakat, termasuk masyarakat yang berbeda agama.
2. Kerukunan antarumat beragama
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama harus
menjunjung tinggi nilai kerukunan. Masyarakat Indonesia tidak bisa terlepas
dari fenomena pluralitas. Perbedaan yang ada di Indonesia ini merupakan
kehendak dari Allah SWT dan merupakan sunnatullah, karena itu merupakan
kehendak dari Allah SWT. Jikalau Allah menghendaki, maka manusia di
bumi dapat memeluk satu agama dan dapat beriman semua. Sikap kita
terhadap agama lain yaitu selalu menjaga kesopanan dan tenggang rasa
kecuali bagi mereka yang mendzalimi, umat Islam tidak dibenarkan
memaksakan dan menyalahkan kehendak orang lain. Kerukunan beragama
dapat diartikan secara etimologis, yaitu berasal dari Bahasa Arab “ruknun”
yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah “arkan” yang berarti
asas atau dasar (Departemen Agama, 2005). Sedangkan kerukunan
menurut Al Munawwar (2003) adalah suatu kesatuan yang terdiri atas
berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur itu saling menguatkan.
Kerukunan beragama dibagi menjadi dua bagian, yaitu: kerukunan intern
dan kerukunan antarumat beragama. Kerukunan intern umat islam didasari
dengan ukhuwah islamiyah di Negara Indonesia. Sedangkan kerukunan
antarumat beragama didasari dengan Pancasila, dan UUD yang melarang
toleransi terhadap agama apabila masalah tersebut sudah menyinggung
persoalan kepercayaan.
Apabila kita memiliki sifat gotong royong dan rukun antaragama maka
dipastikan tidak ada lagi konflik yang dilatarbelakangi oleh masalah agama.
Perilaku hidup rukun antaragama telah dicontohkan oleh masyarakat Desa
Glanggang dimana tidak pernah terjadi konflik karena perbedaan agama, karena
masyarakat selalu menjunjung tinggi sikap gotong royong dan hidup rukun.
Aplikasi kerukunan masyarakat tersebut dengan kegiatan sosial yang
mencerminkan sikap hidup rukun seperti bersih desa, kerja bakti, dan selamatan.
Apabila dalam skala nasional dapat mencontoh sikap hidup rukun seperti yang
sudah dilakukan masyarakat Desa Glanggang, maka potensi untuk terjadinya
konflik bisa dihindari, karena seluruh masyarakatnya sudah memiliki sikap saling
pengertian untuk menjalankan apa yang sudah menjadi perintah dari agamanya
masing-masing tanpa mengganggu apa yang sudah menjadi perintah dari
pemeluk agama lain.
BIODATA PENULIS

Nama : Shadalli
No Telefon : 085856778334
Pendidikan terakhir : SMA

Anda mungkin juga menyukai