Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA

FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
Jalan Kusumanegara, Nomor 157, Fax: (0274) 547042, Telp. (0274) 510062, Yogyakarta 55165
Website: http://psikologi.ustjogja.ac.id, Email: psikologi@ustjogja.ac.id

NAMA : Muhammad Shohibun Novan NILAI


KELAS : Asesmen Dasar C
NIM : 2021011088

KASUS DEDY SUSANTO


A. KASUS
Kasus ini bermula ketika seorang selebgram, Revina VT, menerapkan pola berpikir kritis.
Mencurigai ada yang janggal ketika hampir collabs dengan ‘tukang terapi jiwa’ alias DS, Revina
mempertanyakan klaim DS yang katanya, bisa menyembuhkan LGBT dengan melakukan terapi.
Revina tidak menemukan nama DS sebagai seorang psikolog yang terdaftar di organisasi
profesi bernama HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Masalahnya, hanya organisasi ini yang
berwenang memberikan surat izin praktik seorang psikolog dan memastikan setiap praktik yang
berjalan sesuai dengan standar profesi. Segala sanksi dan kebijakan bernaung di bawah HIMPSI.
Penemuan ini dipublikasikan Revina di akun Instagramnya. Tiga bulan selanjutnya, penemuan ini
bertemu jalur hukum karena satu penemuan ekstra, followers Revina membuka konflik baru
tentang DS. Revina memposting beberapa direct message pengikutnya yang mengaku mengalami
pelecehan seksual oleh DS ketika menerima terapi. Menurut pengakuan mereka, modus yang
digunakan adalah memesan kamar hotel untuk ‘sesi privat’ terapi susah tidur.
Hidup DS juga berubah semenjak hal ini viral. Akun instagramnya ‘ditutup’. Buat akun
baru, ditutup lagi. Akun DS dilaporkan sebagai penyebar konten pornografi hingga akhirnya,
ditutup lagi. DS kemudian melaporkan beberapa orang yang mengaku dilecehkan dan tentunya,
Revina, kepada polisi. Perkembangan kasus ini dipublikasikan DS melalui video YouTubenya di
tanggal 21 April lalu. Hingga artikel ini dipublikasikan, DS tidak memberikan tanggapan secara
langsung ketika dihubungi melalui WhatsApp. Untungnya, DS rajin mempublikasikan
perkembangan langkahnya menanggapi ‘fitnah’ ini lewat akunnya. DS melaporkan insiden ini
dengan dalil pencemaran nama baik.
Di luar permasalahan hukum pencemaran nama baik dan tuduhan pelecehan seksual, ada
satu hal yang sepertinya luput dari perhatian publik. Kepercayaan publik kepada DS yang
bahkan rela membayar untuk ikut layanan terapi, training, atau seminar yang sering diadakan di
beberapa kota memunculkan satu pertanyaan besar. Apakah publik memahami aturan mengenai
siapa yang memenuhi syarat untuk melakukan terapi yang diiming-imingi ilmu psikologi seperti
yang dilakukan DS?
Followers di Instagramnya sebelum ditutup mencapai 600 ribu. Mencantumkan gelarnya
sebagai ‘Dr psikologi’ di bio instagram, DS menunjukkan identitasnya. DS juga memiliki
akun YouTube bernama ‘Kuliah Psikologi’ dengan jumlah subscriber sebanyak 568.000. Menurut
laman YouTubenya mengenai profil DS sebagai trainer motivasi psikologis, ia merupakan
seorang motivator psikologis yang melakukan terapi psikologis di berbagai kota. Terapi yang
dilakukan sebanyak 4 kali dalam sebulan ini kurang lebih memiliki total peserta sebanyak
240.000. Hal ini membuat DS mendapatkan julukan training publik dengan peserta terbanyak. DS
melakukan training ini ke 20 kota besar secara berkala. Kota-kota yang pernah didatanginya
adalah Makassar, Bandung, Padang, Medan, Jakarta, Batam, Semarang, Samarinda, Balikpapan,
Palembang, Lampung, Bali, Surabaya, Pekanbaru, Jambi, Solo, Jogjakarta, Banjarmasin, Malang,
dan Pontianak.
Di luar keaktifannya dalam melakukan seminar atau training di berbagai kota, DS juga
memiliki latar belakang pendidikan yang mengesankan. DS memiliki gelar S1 bidang studi
Ekonomi dari Institut Teknologi dan Bisnis dan S1 bidang Psikologi dari Universitas Persada
Indonesia YAI. Untuk S2-nya, DS berhasil lulus sebagai Magister Manajemen Sekolah Tinggi
Manajemen PPM. DS juga memiliki gelar S3 di bidang Psikologi dari Universitas Persada
Indonesia YAI. Berdasarkan gelar S3nya ini, sah-sah saja jika DS menuliskan gelar Dr (doktor
psikologi) di bio Instagramnya. Hal inilah yang kemudian akan menimbulkan adanya
‘kesalahpahaman’ yang menggarisbawahi kasus ini.
DS melakukan ‘Training Magnet Keajaiban’ pada Sabtu, 16 Mei 2020. Berlokasi di Hotel
Golden Boutique Jakarta, pengalaman menghadiri training ini menjadi pengalaman tak terduga
bagi Ferry Christianto.
Ferry pada awalnya ‘mengenal’ DS dari akun instagramnya. Menyukai postingan
mengenai hal-hal yang memotivasi dan inspiratif, Ferry menjadi ‘fans’ DS. Ketika mengetahui
bahwa DS akan mengadakan training ini di Jakarta, Ferry segera mendaftarkan diri dan membayar
sebanyak 260 ribu rupiah sejak 16 Mei, enam bulan sebelum acara ini diadakan.
Pengalaman Ferry mengikuti training ini menyumbang tiga poin penting di dalam kasus
ini. Pertama, DS memperkenalkan dirinya sebagai psikolog yang sudah banyak datang ke
berbagai kota dan melakukan seminar. Hal ini sejalan dengan ‘iklan’ profil DS yang diunggah di
dalam akun YouTubenya. Hal ini menimbulkan masalah, seperti yang awalnya ditemukan oleh
Revina, bahwa nama DS tidak tercantum dalam daftar psikolog di bawah HIMPSI.
Kedua, metode yang digunakan DS sama dengan salah satu kegiatan gereja yang pernah
dilakukan Fery sebelumnya. “Karena aku Kristen, kami ada sesi pelepasan dan pengampunan.
Biasanya jika punya kepahitan sama orang tua terus punya luka batin. Proses terapinya hampir
sama dengan yang dilakukan di gereja,” jelas Ferry.
Ferry menjelaskan bahwa metode yang dilakukannya sama seperti melakukan pelepasan
dan pengampunan saat ia mengikuti kegiatan Gereja. Peserta seminar dibuat senyaman mungkin
sehingga bisa menangis, berteriak untuk melepaskan kekesalan, kesedihan dan luka batin, dan
pada akhirnya bisa memunculkan keinginan untuk memaafkan. Hal ini dimulai dengan saling
berpasangan dengan peserta lain yang berpura-pura menjadi orang tua. Kemudian, dipandu oleh
DS, setiap pasangan akan saling memeluk, saling mengucapkan kata-kata menguatkan, dan
mengucapkan kata-kata berisikan permintaan maaf ketika training dilakukan.
“Aku sebenarnya ikut karena beberapa bulan terakhir punya gangguan kecemasan
sehingga tidurku nggak nyenyak. Kuakui sih sama saja. Biasa saja. Karena aku di Gereja pernah
melakukan sesi itu juga dan sering,” tambah Ferry.
Ketiga, dan inilah poin yang paling penting, ketika Ferry mengakui tidak menyadari
bahwa DS tidak memiliki surat izin melakukan terapi dan bukan seorang psikolog. Hal ini
menimbulkan pertanyaan besar mengenai literasi masyarakat mengenai profesi psikologi yang
melakukan seminar, terapi, atau training publik.
“Ngga sadar. Aku nggak sampe ke situ. Awalnya di IG followersnya sudah banyak.
Dengan cara dia menulis di feedsnya bagus, dia pinter, public speaking di depan umum juga
menurutku bagus,” jawab Ferry ketika menjawab pertanyaan mengenai apakah sempat memeriksa
latar belakang DS sebelum memutuskan untuk mengikuti trainingnya.
Diluar permasalahan mengecek legitimasi DS, terdapat beberapa kejanggalan yang
dirasakan Ferry setelah sesi training berakhir. DS memiliki kebiasaan untuk
melakukan selfie dengan peserta di akhir sesi trainingnya dan membuat collage dari foto-foto
yang dikirimkan peserta melalui nomor pribadinya untuk di posting di Instagram. Namun, khusus
untuk training di Jakarta ini, Ferry menyadari bahwa DS tidak memposting foto apapun.
Kejanggalan lain muncul ketika Ferry menceritakan pengalamannya meminta foto bersama DS.
“Saat itu ada sesi foto. Boleh ikut, kita selfie katanya. Tapi sebisa mungkin
yang selfie perempuan saja. Yang laki kalo bisa ngga usah. Dia (DS) ngomong seperti itu. Karena
aku ngefans dan aku bayar, kenapa ngga?,” tukas Ferry.
Ketika tiba gilirannya, Ferry juga memperhatikan ada kejanggalan lain.
DS nampak ‘keberatan’ jika berfoto dengan peserta laki-laki yang meminta tolong untuk
memegang kamera. Sedangkan, ketika berfoto dengan peserta perempuan, DS tidak memiliki
masalah dengan memegang kamera untuk berfoto. Namun, tempat puncak kejanggalan lain
yang mengganggu Fery.
“Jika aku boleh nambahin, ada kejanggalan lain. DS sering dipanggil oleh pesertanya
sebagai Paduka. Paduka itu kan raja, raja itu dilayani. Menurutku ini aneh,” tutup Ferry.
Pernyataan ini jika dihubungkan dengan dugaan kasus pelecehan seksual yang melibatkannya,
menambah keanehan kasus yang hingga saat ini belum menemukan penyelesaian.
Membahas lebih dalam kasus ini, perlu digaris bawahi bahwa DS mengelak pernah
mengaku bahwa dirinya adalah seorang psikolog. Di luar dari berbagai video dan deskripsi video
di akun YouTubenya yang berisikan informasi seperti ‘terapi psikologis’ atau ‘motivator
psikologis’ dan latar belakang pendidikan DS yang telah disebutkan sebelumnya, untuk batasan
tertentu, DS memiliki — untuk derajat tertentu–legitimasi mengenai apa yang dilakukannya. DS
memiliki keilmuan mengenai psikologi berkat pendidikannya di taraf S1 dan S3nya. Namun, hal
ini tidak ‘meringankan’ fakta bahwa dirinya tetap bukan seorang psikolog yang memiliki surat
izin praktik dan surat izin melakukan terapi. Tanpa kedua surat tersebut, siapapun tidak berhak
melakukan praktik psikologi.

Secara garis besar, seseorang yang boleh melakukan terapi dan mendapatkan surat izin
praktik psikologi adalah mereka yang telah menempuh pendidikan S1 dan S2 pada prodi atau
bidang studi Psikologi dan termasuk dari anggota organisasi profesi, HIMPSI dan Ikatan Psikolog
Klinis Indonesia. Hal ini berarti, untuk disebut sebagai profesi psikolog, seseorang wajib
menempuh S1 dan setidaknya S2 di prodi Psikologi. Dalam kasus DS, ia memiliki gelar S1 dan
S3 di prodi Psikologi namun, memiliki gelar S2 Manajemen. Karena S2 DS bukan prodi
Psikologi, maka DS tidak dikatakan sebagai seorang Psikolog. Perlu juga dibedakan antara profesi
psikologi dan ilmuwan psikologi. Dalam kasus DS, ia adalah ilmuwan atau doktor psikologi
karena memiliki gelar S3 di bidang Psikologi. Meskipun demikian, ia tidak memiliki wewenang
dalam melakukan terapi psikologis yang dilakukannya dalam training. Terapi psikologis atau
psikoterapi hanya boleh dilakukan oleh psikolog, psikiater, konselor, social workers dengan surat
izin, dan advanced psychiatric nurses. Kelima kategori di mana DS tidak masuk ke dalamnya.

Sebagai organisasi profesi yang menaungi praktik psikologi di Indonesia, Himpunan


Psikologi Indonesia (HIMPSI) menjadi sorotan utama dalam mencari rujukan kasus seperti ini.
Selain menjadi tameng utama perlindungan publik atas kemungkinan dilakukannya malpraktik
oleh psikolog (dan dalam kasus ini, walau lemah kekuatannya, siapapun yang tidak memiliki izin
paktik dengan risiko merugikan masyarakat), HIMPSI juga memiliki peran dalam mengedukasi
masyarakat untuk mengetahui siapa yang boleh melakukan terapi psikologi.
Menurut Dr. Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. yang merupakan Ketua Kompartemen
HIMPSI bagian Riset dan Publikasi, edukasi termasuk dalam tanggung jawab sosial organisasi
profesi yang terkait. Selain HIMPSI, semua organisasi profesi yang anggotanya memiliki
kewenangan dalam melakukan terapi psikologis perlu menjalankan kewajiban sosial ini. HIMPSI
melakukan edukasi melalui berbagai seminar, lokakarya, dan pelatihan profesi.
Ketika membahas mengenai kasus DS dengan Dr.Juneman, secara bijaksana dijelaskan
beberapa hal yang perlu ditambahkan ketika membahas kasus ini. Profesi psikologi di Indonesia
diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia yang diawasi oleh HIMPSI. Ketika dihubungkan
dengan kasus DS, kode etik ini memiliki Pasal 3 dan Pasal 4 yang membahas mengenai praktik
psikologi yang dilakukan oleh psikolog yang tidak memiliki Izin praktik dan masuk ke
dalam tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja
memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian. Penetapan apakah
kasus DS masuk ke dalam pelanggaran pasal ini dinilai Dr.Juneman sebagai hal yang belum
serta-merta ditentukan demikian karena unsur kesengajaannya masih perlu dibuktikan dalam
proses hukum.
Namun, kasus DS juga membawa permasalahan baru dalam penanganannya. Jika dan
hanya jika, DS terbukti memiliki unsur kesengajaan, DS bukanlah anggota HIMPSI yang berarti,
sanksi dari Kode Etik ini tidak berlaku untuknya. Diperlukan aturan lain yang lebih mengikat
secara profesi dan lebih kuat secara hukum. Di sinilah peran RUU Profesi Psikologi muncul.
PBB pada tahun 2015 telah merancang pembangunan berkelanjutan atau Sustainable
Development Goals. Pembangunan berkelanjutan tidak selalu mengenai ekonomi, tetapi harus
seimbang dalam aspek lingkungan dan sosial. Kesejahteraan manusia tidak melulu mengenai
ekonomi, tapi mengenai psikologis. Pasar bebas dalam masyarakat ekonomi ASEAN memberikan
tantangan untuk profesi psikolog.
Sumber daya profesi psikologi yang berkualitas yang bertambah ternyata hadir bersamaan
dengan maraknya malpraktik. Malpraktik yang ditemukan pada praktik psikologi pada umumnya
dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kualifikasi dalam pendidikan psikologi. Hal
ini dapat berdampak fatal bagi klien, karena mereka berpotensi mendapatkan assessment yang
salah dan intervensi yang keliru dan tidak profesional yang justru berisiko untuk kesehatan mental
klien sendiri.
Maraknya malpraktik merupakan salah satu fenomena yang muncul karena kondisi hukum
lemah dan kurangnya literasi masyarakat mengenai aturan yang mengatur mengenai standarisasi
profesi psikologi. Lemahnya kekuatan hukum ini salah satunya disebabkan karena belum adanya
undang-undang profesi psikologi di Indonesia. Kondisi saat ini yang berlaku di Indonesia terkait
dengan aktivitas malpraktik lebih berlandaskan pada apa yang berlaku di organisasi profesi.
Dengan kata lain, apa yang ditetapkan oleh organisasi profesi psikologi hanya mampu mengikat
anggotanya saja.1

B. ANALISIS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI


Indonesia memiliki UU yang mengatur mengenai Kesehatan Jiwa yang
sedikit menyerempet dengan profesi psikologi. Pada Pasal 19 dalam UU Kesehatan Jiwa, profesi
psikologi dikatakan memiliki wewenang untuk melakukan diagnosa gangguan jiwa. Di pasal 56,

1
Karyuwi Barton, “Kasus DS dan segambreng Permasalahan” 1 Juni 2020
https://karyuwibarton.medium.com/kasus-ds-dan-segambreng-permasalahan-psikologi-58900d57296e diakses pada tanggal
20 April 2022 pukul 20.00
dikatakan bahwa profesi psikologi meliput berbagai pelayanan seperti praktik psikolog, pekerja
sosial, pusat rehabilitasi, serta rumah singgah sebagai fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa di
luar fasilitas kesehatan. Namun, UU Kesehatan Jiwa tidak menyebutkan adanya pasal yang
mengatur tentang malpraktik.
Di luar zona praktik psikolog yang diakui oleh UU Kesehatan Jiwa, terdapat masalah lain
yang sedikit luput dari perhatian para profesional. Tak kalah penting dengan aturan yang mengikat
profesi, perlu juga aturan yang hadir untuk memastikan masyarakat memahaminya dan terlindungi
dari praktik profesi terkait. Masyarakat harus diberikan pengetahuan mengenai bagaimana
seseorang layak disebut sebagai psikolog.
Psikolog adalah lulusan S1 dan S2 psikologi dan biasanya memanggil pasien dengan
sebutan Klien. Psikolog hanya bisa melakukan terapi dan konseling. Sedangkan seorang yang
layak disebut psikiater adalah dokter umum yang telah menjalani jenjang PPDS (Program
Pendidikan Dokter Spesialis) dalam ilmu kedokteran jiwa. Hal ini yang memungkinkan psikiater
melakukan pemberian obat dalam proses pemulihan pasien. Psikoterapi lebih sering dilakukan
oleh psikolog sedangkan psikiater yang lebih sering memberikan obat. Surat izin untuk melakukan
praktik setiap 5 tahun sekali diperpanjang, jika hal ini tidak dilakukan maka tidak diizinkan
melakukan praktik.
Selain UU Kesehatan Jiwa, profesi psikolog juga dibahas sedikit di dalam
Undang-Undang Nomor 29 Nomor 2004 tentang Praktik Kedokteran yang ditujukan untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat (pasien) terhadap pelanggaran
etik dan moral profesi kedokteran.
“Pada tingkat Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Praktik Profesi Psikologi,
belum. Akan tetapi ada sejumlah regulasi dalam mana Praktik Profesi Psikologi dengan
Peminatan Psikologi Klinis diatur,” tutur Dr. Juneman Abraham.
Tentunya Konsep kedokteran berbeda dengan psikologi. Konsep psikologi sendiri adalah
manusiakan manusia, sehingga tidak bisa menetapkan suatu hukuman yang digeneralisasikan.
Pemerintah juga tidak punya aturan tersendiri yang berkaitan dengan psikolog. Peraturan untuk
psikolog sendiri tidak ada, ini bisa jadi salah satu alasan kasus DS dibahas secara tertutup.
Permasalahan tentang kasus DS bisa terbantu jika ada aturan yang lebih rinci, kuat, serta
mengikat di luar Kode Etik Psikologi yang hanya membebani anggota HIMPSI.
Rabu, 6 Maret 2019 — HIMPSI melangkah untuk mendatangi DPR RI dalam rangka agar
profesi Psikologi bisa diakui oleh hukum serta memiliki Undang-Undang (UU) yang mengatur
profesi Psikologi.
Dilansir dari JejakParlemen.id di dalam artikel yang berjudul “HIMPSI Mengajukan RUU
Profesi Psikologi ke Baleg”, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dijadwalkan akan menerima
kehadiran Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) pada hari Rabu, 6 Maret 2019. HIMPSI pun
datang mengunjungi Baleg DPR RI dalam rangka pengajuan RUU Profesi Psikologi agar bisa
masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019. Rapat ini dipimpin oleh Wakil Ketua
Baleg Sarmuji Fraksi Golongan Karya (Golkar) daerah pemilihan Jawa Tengah. HIMPSI berharap
profesi Psikologi bisa diakui oleh hukum secara sah. Selama ini yang telah diakui yaitu Psikolog
Klinis sedangkan ada pula Psikolog Spesialisasi lain seperti Psikolog Pendidikan, Psikolog Sosial,
Psikolog Forensik, dll yang juga memerlukan legalitas hukumnya.
Akhirnya, pada 9 Februari 2020 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk
menetapkan RUU tentang Profesi Psikologi yang disusun oleh HIMPSI. RUU Profesi Psikologi
ini berisikan 15 bab dengan sejumlah pasal sebanyak 59 serta terdiri dari 24 halaman. RUU ini
sendiri berisikan tentang segala peraturan profesi yang harus dipatuhi oleh setiap orang yang
sudah resmi mendapat gelar dari masing-masing profesi Psikolog serta sudah resmi menjadi
Psikolog dan masuk anggota HIMPSI di Indonesia.
Jika semua itu dilanggar, sudah tercantum beberapa sanksi yang sesuai. Dalam kasus DS,
menarik untuk melihat beberapa pasal yang dapat membantu melindungi masyarakat dari segala
tindakan-tindakan yang tidak pantas dari seseorang yang katanya ‘Psikolog’. Berikut adalah
beberapa pasal yang dimaksud.
Pasal (50) “Setiap Psikolog yang dengan sengaja melakukan praktik profesi Psikologi
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (16) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah)”.
Pasal ini bisa memperkuat jika memang ada Psikolog ‘abal-abal’ ternyata terbukti
membuka praktik dan sudah menerima pasien tetapi belum memiliki surat tanda registrasi secara
resmi. Surat tanda registrasi seperti yang dijelaskan dalam Pasal (1) ayat (12) sangat penting
karena tanda registrasi merupakan bukti tertulis diberikan oleh HIMPSI jika Psikolog memiliki
Sertifikat Kompetensi Psikolog dan diakui secara hukum serta sah untuk memberikan jasa layanan
Psikologi. Mungkin masyarakat kurang memperhatikan, biasanya tempat praktik dokter maupun
psikolog mempunyai sertifikat maupun surat resmi jadi masyarakat percaya saja. Namun, jika ada
Psikolog asli yang pura-pura mengunjungi praktik si Psikolog ‘abal-abal’ bisa saja mulai ketahuan
bahwa ada yang tidak beres.
Pasal (51)“Setiap Psikolog yang dengan sengaja melakukan praktik Profesi Psikologi
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah)”.
Surat izin praktik pun sangat penting bagi para Psikolog seperti yang dijelaskan dalam
Pasal (1) ayat (16) bahwa surat izin ini resmi dan sah dikeluarkan oleh organisasi profesi dan/atau
pemerintah bahwa Psikolog yang masuk dalam kategori berhak serta memiliki wewenang untuk
melakukan praktik Psikologi. Pasal ini pun bisa menjadi pelindung bagi pelapor jika merasa
kurang nyaman dan aneh mengunjungi praktik ‘abal-abal’, kurang lebih tidak berbeda jauh
dengan penjelasan pada Pasal (50).
Pasal (53)“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
Psikolog yang telah memiliki surat tanda registrasi Psikolog dan/atau surat izin praktik dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah)”.
Pasal ini bisa memperkuat argumen jika ada orang yang seakan berpura-pura menjadi
Psikolog demi keuntungan pribadi tanpa memikirkan masa depan yang akan ditanggung jika
sudah sangat fatal hingga akhirnya merugikan diri sendiri. Psikolog ‘abal-abal’ bisa saja
memberikan harapan palsu ke masyarakat yang konsultasi, berharap pulang ke rumah membawa
berita baik malah berbanding terbalik membawa berita buruk karena kondisi yang tak kunjung
usai karena Psikolog ‘abal-abal’. Memang pasal ini terdapat kata “menimbulkan kesan” agak
rancu, tetapi setidaknya jika digunakan secara bijak sesuai dengan fakta yang valid dengan segala
bukti-bukti yang ada maka bisa untuk melindungi rakyat.
Pada Bab I yang tercantum dalam Pasal 1 RUU ini dijelaskan berbagai perbedaan tentang
dunia Psikolog. Salah satunya adalah Profesi Psikolog yang merupakan keahlian dalam
melakukan jasa praktik psikologi sesuai dengan kaidah yang berlaku, yang dilakukan oleh
psikolog lulusan perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Psikolog sendiri merupakan
seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi, memiliki Surat Sebutan Psikolog
dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikologi.
Pada Bab VI tercantum penjelasan tentang Registrasi dan Izin Praktik Psikolog. Dalam
Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa ‘Setiap Psikolog yang akan melakukan Praktik Profesi
Psikologi di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Psikolog’. Ayat (2) disebutkan
bahwa “Setiap Psikolog dengan spesialisasi tertentu yang akan melakukan Praktik Profesi
Psikologi di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Psikolog Spesialis”. Akses penuh
terhadap RUU Profesi Psikologi dan naskah akademik dapat dilihat disini.
Masih banyak sebagian masyarakat belum memahami perbedaan dunia profesi Psikologi.
Maka dari itu semenjak dengan adanya kasus DS serta dengan keluarnya RUU Profesi Psikologi
ini diharapkan lebih memahami lagi literasi serta edukasi dari dunia Psikologi sehingga tidak asal
datang terapi ke tempat praktik dengan embel-embel ‘Psikolog’. Diharapkan juga pemerintah
beserta HIMPSI bisa turun andil dan lebih siap siaga lagi untuk mencegah adanya Psikolog ilegal
setelah mendengar suara dari rakyat yang dirugikan dari kasus DS ini.
Jika kita mengambil langkah pragmatis dalam melihat kasus ini, ada dua poin yang bisa
dijadikan intisari pembelajaran. Pertama, literasi masyarakat mengenai praktik psikologi di
Indonesia perlu diperbaiki agar tidak gampang termakan persona dunia maya seseorang yang
mengakui ahli di bidangnya tanpa bukti kredibilitas dan legitimasi yang resmi. Hal ini dapat
dilakukan oleh profesi itu sendiri, organisasi profesi, dan pemerintah. Adapun literasi yang bisa
dilakukan adalah dengan memberikan seminar terkait dunia psikologi, dalam seminar tersebut
bisa dilakukan simulasi dari berbagai profesi psikologi untuk memberikan konsultasi kepada
masyarakat. Dari simulasi itulah, mungkin masyarakat bisa merasakan perbedaannya,
perlahan-lahan bisa memahami dan membedakan seputar dunia profesi psikologi.
Kedua, regulasi yang mengikat profesi perlu lebih dikuatkan agar hal serupa dapat
ditanggulangi dan dicegah. Hal ini melibatkan kerja sama antara pembuat kebijakan dan
organisasi profesi dalam memastikan adanya legitimasi hukum profesi terkait untuk menetapkan
standar dan menjamin kepastian hukum pengguna jasa profesi.
Keberlangsungan Kasus DS hingga saat ini masih. Sejauh ini, HIMPSI menanggapi kasus
DS dengan mengeluarkan surat pernyataan bahwa DS tidak terdaftar sebagai anggota HIMPSI
yang otomatis berarti DS tidak memiliki Surat Sebutan Psikolog (SSP) dan Surat Izin Praktik
Psikologi (SIPP). Selain ini, Majelis Psikologi Pusat (MPP) berkoordinasi dengan Pengurus
HIMPSI wilayah setempat tengah berada di dalam proses penanganan. Hingga artikel ini dibuat,
tim telah berusaha menghubungi MPP namun belum berhasil melakukan wawancara.

Anda mungkin juga menyukai