FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
Jalan Kusumanegara, Nomor 157, Fax: (0274) 547042, Telp. (0274) 510062, Yogyakarta 55165
Website: http://psikologi.ustjogja.ac.id, Email: psikologi@ustjogja.ac.id
Secara garis besar, seseorang yang boleh melakukan terapi dan mendapatkan surat izin
praktik psikologi adalah mereka yang telah menempuh pendidikan S1 dan S2 pada prodi atau
bidang studi Psikologi dan termasuk dari anggota organisasi profesi, HIMPSI dan Ikatan Psikolog
Klinis Indonesia. Hal ini berarti, untuk disebut sebagai profesi psikolog, seseorang wajib
menempuh S1 dan setidaknya S2 di prodi Psikologi. Dalam kasus DS, ia memiliki gelar S1 dan
S3 di prodi Psikologi namun, memiliki gelar S2 Manajemen. Karena S2 DS bukan prodi
Psikologi, maka DS tidak dikatakan sebagai seorang Psikolog. Perlu juga dibedakan antara profesi
psikologi dan ilmuwan psikologi. Dalam kasus DS, ia adalah ilmuwan atau doktor psikologi
karena memiliki gelar S3 di bidang Psikologi. Meskipun demikian, ia tidak memiliki wewenang
dalam melakukan terapi psikologis yang dilakukannya dalam training. Terapi psikologis atau
psikoterapi hanya boleh dilakukan oleh psikolog, psikiater, konselor, social workers dengan surat
izin, dan advanced psychiatric nurses. Kelima kategori di mana DS tidak masuk ke dalamnya.
1
Karyuwi Barton, “Kasus DS dan segambreng Permasalahan” 1 Juni 2020
https://karyuwibarton.medium.com/kasus-ds-dan-segambreng-permasalahan-psikologi-58900d57296e diakses pada tanggal
20 April 2022 pukul 20.00
dikatakan bahwa profesi psikologi meliput berbagai pelayanan seperti praktik psikolog, pekerja
sosial, pusat rehabilitasi, serta rumah singgah sebagai fasilitas penyedia layanan kesehatan jiwa di
luar fasilitas kesehatan. Namun, UU Kesehatan Jiwa tidak menyebutkan adanya pasal yang
mengatur tentang malpraktik.
Di luar zona praktik psikolog yang diakui oleh UU Kesehatan Jiwa, terdapat masalah lain
yang sedikit luput dari perhatian para profesional. Tak kalah penting dengan aturan yang mengikat
profesi, perlu juga aturan yang hadir untuk memastikan masyarakat memahaminya dan terlindungi
dari praktik profesi terkait. Masyarakat harus diberikan pengetahuan mengenai bagaimana
seseorang layak disebut sebagai psikolog.
Psikolog adalah lulusan S1 dan S2 psikologi dan biasanya memanggil pasien dengan
sebutan Klien. Psikolog hanya bisa melakukan terapi dan konseling. Sedangkan seorang yang
layak disebut psikiater adalah dokter umum yang telah menjalani jenjang PPDS (Program
Pendidikan Dokter Spesialis) dalam ilmu kedokteran jiwa. Hal ini yang memungkinkan psikiater
melakukan pemberian obat dalam proses pemulihan pasien. Psikoterapi lebih sering dilakukan
oleh psikolog sedangkan psikiater yang lebih sering memberikan obat. Surat izin untuk melakukan
praktik setiap 5 tahun sekali diperpanjang, jika hal ini tidak dilakukan maka tidak diizinkan
melakukan praktik.
Selain UU Kesehatan Jiwa, profesi psikolog juga dibahas sedikit di dalam
Undang-Undang Nomor 29 Nomor 2004 tentang Praktik Kedokteran yang ditujukan untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat (pasien) terhadap pelanggaran
etik dan moral profesi kedokteran.
“Pada tingkat Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Praktik Profesi Psikologi,
belum. Akan tetapi ada sejumlah regulasi dalam mana Praktik Profesi Psikologi dengan
Peminatan Psikologi Klinis diatur,” tutur Dr. Juneman Abraham.
Tentunya Konsep kedokteran berbeda dengan psikologi. Konsep psikologi sendiri adalah
manusiakan manusia, sehingga tidak bisa menetapkan suatu hukuman yang digeneralisasikan.
Pemerintah juga tidak punya aturan tersendiri yang berkaitan dengan psikolog. Peraturan untuk
psikolog sendiri tidak ada, ini bisa jadi salah satu alasan kasus DS dibahas secara tertutup.
Permasalahan tentang kasus DS bisa terbantu jika ada aturan yang lebih rinci, kuat, serta
mengikat di luar Kode Etik Psikologi yang hanya membebani anggota HIMPSI.
Rabu, 6 Maret 2019 — HIMPSI melangkah untuk mendatangi DPR RI dalam rangka agar
profesi Psikologi bisa diakui oleh hukum serta memiliki Undang-Undang (UU) yang mengatur
profesi Psikologi.
Dilansir dari JejakParlemen.id di dalam artikel yang berjudul “HIMPSI Mengajukan RUU
Profesi Psikologi ke Baleg”, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dijadwalkan akan menerima
kehadiran Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) pada hari Rabu, 6 Maret 2019. HIMPSI pun
datang mengunjungi Baleg DPR RI dalam rangka pengajuan RUU Profesi Psikologi agar bisa
masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019. Rapat ini dipimpin oleh Wakil Ketua
Baleg Sarmuji Fraksi Golongan Karya (Golkar) daerah pemilihan Jawa Tengah. HIMPSI berharap
profesi Psikologi bisa diakui oleh hukum secara sah. Selama ini yang telah diakui yaitu Psikolog
Klinis sedangkan ada pula Psikolog Spesialisasi lain seperti Psikolog Pendidikan, Psikolog Sosial,
Psikolog Forensik, dll yang juga memerlukan legalitas hukumnya.
Akhirnya, pada 9 Februari 2020 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk
menetapkan RUU tentang Profesi Psikologi yang disusun oleh HIMPSI. RUU Profesi Psikologi
ini berisikan 15 bab dengan sejumlah pasal sebanyak 59 serta terdiri dari 24 halaman. RUU ini
sendiri berisikan tentang segala peraturan profesi yang harus dipatuhi oleh setiap orang yang
sudah resmi mendapat gelar dari masing-masing profesi Psikolog serta sudah resmi menjadi
Psikolog dan masuk anggota HIMPSI di Indonesia.
Jika semua itu dilanggar, sudah tercantum beberapa sanksi yang sesuai. Dalam kasus DS,
menarik untuk melihat beberapa pasal yang dapat membantu melindungi masyarakat dari segala
tindakan-tindakan yang tidak pantas dari seseorang yang katanya ‘Psikolog’. Berikut adalah
beberapa pasal yang dimaksud.
Pasal (50) “Setiap Psikolog yang dengan sengaja melakukan praktik profesi Psikologi
tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal (16) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah)”.
Pasal ini bisa memperkuat jika memang ada Psikolog ‘abal-abal’ ternyata terbukti
membuka praktik dan sudah menerima pasien tetapi belum memiliki surat tanda registrasi secara
resmi. Surat tanda registrasi seperti yang dijelaskan dalam Pasal (1) ayat (12) sangat penting
karena tanda registrasi merupakan bukti tertulis diberikan oleh HIMPSI jika Psikolog memiliki
Sertifikat Kompetensi Psikolog dan diakui secara hukum serta sah untuk memberikan jasa layanan
Psikologi. Mungkin masyarakat kurang memperhatikan, biasanya tempat praktik dokter maupun
psikolog mempunyai sertifikat maupun surat resmi jadi masyarakat percaya saja. Namun, jika ada
Psikolog asli yang pura-pura mengunjungi praktik si Psikolog ‘abal-abal’ bisa saja mulai ketahuan
bahwa ada yang tidak beres.
Pasal (51)“Setiap Psikolog yang dengan sengaja melakukan praktik Profesi Psikologi
tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah)”.
Surat izin praktik pun sangat penting bagi para Psikolog seperti yang dijelaskan dalam
Pasal (1) ayat (16) bahwa surat izin ini resmi dan sah dikeluarkan oleh organisasi profesi dan/atau
pemerintah bahwa Psikolog yang masuk dalam kategori berhak serta memiliki wewenang untuk
melakukan praktik Psikologi. Pasal ini pun bisa menjadi pelindung bagi pelapor jika merasa
kurang nyaman dan aneh mengunjungi praktik ‘abal-abal’, kurang lebih tidak berbeda jauh
dengan penjelasan pada Pasal (50).
Pasal (53)“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
Psikolog yang telah memiliki surat tanda registrasi Psikolog dan/atau surat izin praktik dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah)”.
Pasal ini bisa memperkuat argumen jika ada orang yang seakan berpura-pura menjadi
Psikolog demi keuntungan pribadi tanpa memikirkan masa depan yang akan ditanggung jika
sudah sangat fatal hingga akhirnya merugikan diri sendiri. Psikolog ‘abal-abal’ bisa saja
memberikan harapan palsu ke masyarakat yang konsultasi, berharap pulang ke rumah membawa
berita baik malah berbanding terbalik membawa berita buruk karena kondisi yang tak kunjung
usai karena Psikolog ‘abal-abal’. Memang pasal ini terdapat kata “menimbulkan kesan” agak
rancu, tetapi setidaknya jika digunakan secara bijak sesuai dengan fakta yang valid dengan segala
bukti-bukti yang ada maka bisa untuk melindungi rakyat.
Pada Bab I yang tercantum dalam Pasal 1 RUU ini dijelaskan berbagai perbedaan tentang
dunia Psikolog. Salah satunya adalah Profesi Psikolog yang merupakan keahlian dalam
melakukan jasa praktik psikologi sesuai dengan kaidah yang berlaku, yang dilakukan oleh
psikolog lulusan perguruan tinggi di dalam maupun di luar negeri. Psikolog sendiri merupakan
seseorang yang mempunyai gelar profesi di bidang Psikologi, memiliki Surat Sebutan Psikolog
dan mempunyai Surat Ijin Praktek Psikologi.
Pada Bab VI tercantum penjelasan tentang Registrasi dan Izin Praktik Psikolog. Dalam
Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa ‘Setiap Psikolog yang akan melakukan Praktik Profesi
Psikologi di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Psikolog’. Ayat (2) disebutkan
bahwa “Setiap Psikolog dengan spesialisasi tertentu yang akan melakukan Praktik Profesi
Psikologi di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Psikolog Spesialis”. Akses penuh
terhadap RUU Profesi Psikologi dan naskah akademik dapat dilihat disini.
Masih banyak sebagian masyarakat belum memahami perbedaan dunia profesi Psikologi.
Maka dari itu semenjak dengan adanya kasus DS serta dengan keluarnya RUU Profesi Psikologi
ini diharapkan lebih memahami lagi literasi serta edukasi dari dunia Psikologi sehingga tidak asal
datang terapi ke tempat praktik dengan embel-embel ‘Psikolog’. Diharapkan juga pemerintah
beserta HIMPSI bisa turun andil dan lebih siap siaga lagi untuk mencegah adanya Psikolog ilegal
setelah mendengar suara dari rakyat yang dirugikan dari kasus DS ini.
Jika kita mengambil langkah pragmatis dalam melihat kasus ini, ada dua poin yang bisa
dijadikan intisari pembelajaran. Pertama, literasi masyarakat mengenai praktik psikologi di
Indonesia perlu diperbaiki agar tidak gampang termakan persona dunia maya seseorang yang
mengakui ahli di bidangnya tanpa bukti kredibilitas dan legitimasi yang resmi. Hal ini dapat
dilakukan oleh profesi itu sendiri, organisasi profesi, dan pemerintah. Adapun literasi yang bisa
dilakukan adalah dengan memberikan seminar terkait dunia psikologi, dalam seminar tersebut
bisa dilakukan simulasi dari berbagai profesi psikologi untuk memberikan konsultasi kepada
masyarakat. Dari simulasi itulah, mungkin masyarakat bisa merasakan perbedaannya,
perlahan-lahan bisa memahami dan membedakan seputar dunia profesi psikologi.
Kedua, regulasi yang mengikat profesi perlu lebih dikuatkan agar hal serupa dapat
ditanggulangi dan dicegah. Hal ini melibatkan kerja sama antara pembuat kebijakan dan
organisasi profesi dalam memastikan adanya legitimasi hukum profesi terkait untuk menetapkan
standar dan menjamin kepastian hukum pengguna jasa profesi.
Keberlangsungan Kasus DS hingga saat ini masih. Sejauh ini, HIMPSI menanggapi kasus
DS dengan mengeluarkan surat pernyataan bahwa DS tidak terdaftar sebagai anggota HIMPSI
yang otomatis berarti DS tidak memiliki Surat Sebutan Psikolog (SSP) dan Surat Izin Praktik
Psikologi (SIPP). Selain ini, Majelis Psikologi Pusat (MPP) berkoordinasi dengan Pengurus
HIMPSI wilayah setempat tengah berada di dalam proses penanganan. Hingga artikel ini dibuat,
tim telah berusaha menghubungi MPP namun belum berhasil melakukan wawancara.