Sekolah Tinggi di salah satu lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Satu hari ia diminta oleh pihak pengelola SMA swasta di daerahnya untuk melakukan tes
psikologi yang bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).
Masyarakat setempat terutama pihak sekolah SMA tersebut selama ini memang tidak mengetahui secara pasti mengenai program study yang ditempuh Z apakah
ia mengambil magister profesi atau magister sains begitu juga dengan perbedaan ranah keduanya, mereka hanya mengetahui kalau Z sudah menempuh pendidikan
tinggi S2 psikologi.
Mendapat tawaran untuk melakukan pengetesan semacam itu, tanpa pkir panjang Z langsung menerima dan melakukan tes psikologi serta mengumumkan hasil
tes kepada pihak sekolah tentang siapa saja siswa yang bisa masuk di kelas IPA, IPS dan bahasa.
Z melakukan tes psikologi tersebut ternyata tidak sendirian, ia bekerja sama dengan A (profesi) yang memang seorang psikolog. Mereka berteman akrab sejak
seperguruan waktu dulu mereka menempuh S2 hanya saja A adalah adik tingkat Z dan dulu sempat terjalin hubungan dekat antara keduanya sehingga A merasa
sungkan jika menolak kerj sama dengan Z. Anehnya A menerima ajakan kerja sama Z dengan senang hati dan tidak mempermasalahkan apapun yang berhubungan
ranah psikologi yang semestinya meskipun pada sebenarnya ia sendiri sudah paham bahwa Z tidak boleh melakukan hal tersebut. Antara keduanya memang
terjalin kerja sama akan tetapi yang memegang peranan utama dalam tes psikologi tersebut adalah Z, sedangkan A sebagai psikolog sendiri hanya sebatas
pendamping Z mulai dari pemberian tes sampai pada penyampaian data dan hasil asesmen.
Pelanggaran Kode Etik Kasus 2
Bab I
• Pasal 1 ayat 4, 5.
Bab II
Bab III
Psikologi (Psikolog), tugasnya hanya sebatas pengadministrasian asesmen bukan sebagai penyelenggara asesmen seperti dalam kasus di atas
yang mana ia telah melakukan tes psikologi dengan menggunakan alat tes dan memberikan hasil asesmen meskipun hasil kerja sama dengan
Psikolog, sehingga tindakan keduanya (Z & A) tersebut merupakan penyalahgunaan di bidang psikologi terutama bagi Z sendiri.
Semestinya Z memberitahu pada pihak sekolah tentang batasan kompetensinya dan memberi pemahaman bahwa ia tidak berwenang
melakukan tes psikolgi dan ia bisa juga langsung mengalihkan tawaran tersebut kepada teman akrabnya yaitu Psikolog A.
Semestinya juga sebagai seorang yang profesional dalam psikologi, A bisa memberikan pengarahan dan pengertian pada Z kalau sebetulnya
ia tidak boleh melakukan tes psikologi tapi karena A merasa sungka pada Z sehingga ia hanya bisa menerima ajakan Z untuk membantu dan
membiarkan ia tetap melaksanakan tes psikologi sampai selesai penyampaian data asesmen.
Bab IV
• Pasal 13 tentang sikap profesional.
• Pasal 14 ayat 2 tenang pelecehan.
• Pasal 19 hubungan profesional ayat 2.
Bab XI
• Pasal 62 dasar asesmen ayat 1 dan 2.
• Pasal 63 penggunaan asesmen ayat 2.
Contoh Kasus 2
JW bekerja sebagai Psikolog yang membantu biro psikologi yang mendapatkan proyek kerja sama untuk melakukan psikotes di berbagai perusahaan atau lembaga
pendidikan. Salah satu kakak angkatannya yang bernama IS memiliki biro psikologi yang masih berbentuk CV, dan mendapatkan proyek dari perusahaan tertentu
untuk melakukan psikotes dalam bentul massal. Ia meminta JW untuk membantunya, dan JW menerimanya berdasarkan sistem kepercayaan, tanpa menandatangani
Namun, setelah beberapa lama JW tidak mendapatkan honor yang dijanjikan meskipun telah berusaha menagih honornya pada IS dan bahkan juga menghubungi
staf HR di perusahaan tersebut, yang juga adik kelasnya, untuk mencari kepastian, meskipun pihak perusahaan telah membayar penuh pada IS, honor JW tak
kunjung dibayar oleh IS, bahkan JW merasa IS menghindari dirinya dan seolah-olah menghilang di telan bumi. Dalam salah satu diskusi tentang kode etik di milis
psikologi, JW kemudian mengemukakan kasusnya dengan menyebutkan nama lengkap IS dan perusahaan IS tanpa menyamarkannya untuk mencari solusi.
JW tidak berani membuat laporan resmi kepada pihak Majelis Psikologi maupun aparat hukum karena posisinya lemah, dengan tidak adanya surat kontrak tertulis.
Analisa Contoh Kasus 2
Tindakan IS dalam kasus di atas sudah jelas sangat tidak menghargai kerja keras JW, padahal JW sudah berusaha membantunya untuk melakukan
psikotes. Honor yang dijanjikan IS hanya tinggal janji, meskipun JW telah menagihnya tapi tetap saja ia tidak mendapatkan hak yag memang
semestinya ia dapatkan, kecuali jika pada awal pelaksaan psikotes IS memang tidak menjanjikan apapun pada JW. Namun, meskipun demikian
sebagai sesama profesi yaitu Psikolog IS memang sudah semestinya untuk membagi honor pada JW yang sudah diatur sebelumnya.
Dikarenakan JW hanya berdasar kepercayaan semata hingga ia tidak memikirkan penandatanganan kontrak terhadap IS, maka masalah pembagian
honor yang biasanya tercantum di dalam kontrak yang seharusnya mereka sepakati sebelumnya ternyata tidak dibuat dan antara mereka tidak terjadi
tanda tangan hitam di atas putih, sehingga JW tidak bisa melaporkan tindakan IS pada Majelis Psikologi untuk dijadikan bukti hukum yang kuat.
Dalam hal ini JW juga menyalangi kode etik psikologi karena telah mengabaikan kontrak perjanjian sebagai bukti persetujuan bahwa ia telah
Bab IV
Bab VIII