” ANALISIS KASUS”
Dosen pengampu:
Anggun Resdasari Prasetyo, S.Psi., M.Psi., Psikolog 198305252009122006
Disusun Oleh :
Achaddiana Islamiyah 15010116130169
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
KASUS 2
Analisis Perilaku Konsumen dalam Pembelian Tas dengan Brand
Internasional
Pada saat ini fashion sudah menjadi hal yang penting bagi
sebagian orang. Tak hanya kaum wanita, namun kaum pria juga
merasakan hal yang sama. Tas, fashion item yang satu ini adalah
bagian yang juga mendukung suatu penampilan. Tak hanya untuk
pelengakap fashion atau mempercantik penampilan, namun
sekarang ini tas juga dapat digunakan untuk menunjukkan status
sosial.
Misal pada kalangan sosialita, para anggotanya akan
berlomba-lomba untuk mempertujukkan kemewahan mereka
melalui fashion, tas adalah salah satunya. Mulai dari brand
dengan harga yang mudah terjangkau hingga dengan harga yang
selangit, brand-brand tersebut sudah memasuki pangasa pasar di
indonesia. Bagi mereka yang memiliki penghasilan diatas rata-
rata bisa saja menggunakan merk tas dengan harga yang
fantastis.
Contoh tas dengan brand yang sudah terkenal saat ini
adalah gucci, hermes dan chanel. Ketiga brand tersebut selalu
menjadi incaran bagi sebagian orang dengan pendapatan yang
tinggi. Tak hanya untuk melengkapi penampilan mereka, namun
jga untuk menunjukkan seberapa tinggi status sosial mereka di
masyarakat.
Padahal jika dibandingkan dengan merk lokal yang
kualitasnya sama namun dengan brand image yang berbeda
harga yang ditawarkan terpaut jauh. Namun masyakat kini lebih
mementingkan pencitraan dengan membeli tas dengan brand
yang hanya bisa diperoleh dengan harga fantastis dibanding
membeli produk lokal dengan harga yang lebih rendah.
ANALISIS KASUS:
Sementara itu, efek Veblen, snob, dan bandwagon menjadi bukti bagi
pelanggan yang mempersepsikan harga sebagai faktor terpenting, di mana harga
yang lebih tinggi mengindikasikan prestige yang lebih besar. Pelanggan jenis ini
biasanya membeli produk langka sebagai cara menekankan status mereka.
Individu yang rentan membeli barang mewah salah satunya adalah individu
yang peduli dengan impresi yang dibuat kepada orang lain. Individu ini lebih
khawatir pada penampilan fisik dan fashion dan cenderung menggunakan berbagai
strategi untuk mendapat persetujuan dari orang lain. Dengan menggunakan barang-
barang branded sebagai simbol, individu-individu ini mencoba untuk
mengomunikasikan makna dari diri mereka kepada reference group mereka.
Kebanyakan konsumen membeli barang mewah terutama sebagai cara memuaskan
rasa lapar mereka terhadap makna simbolis. Maksudnya, individu yang jatuh pada
jenis konsumen ini seringkali melakukan pembelian barang branded agar dilihat
orang lain sebagai bagian dari kelompok rujukan mereka yang sering menggunakan
barang dengan merek yang bersangkutan. Misalnya kelompok rujukan mereka
adalah selebritis terkenal yang kaya dan fashionable dan sering menggunakan tas
merek Gucci. Pembelian tas Gucci yang dilakukan individu ini bukanlah untuk
membeli kualitas atau karena ketahannyan, tapi lebih kepada ingin menunjukkan
kepada orang lain bahwa mereka mampu membeli tas Gucci yang sering digunakan
selebritis acuan mereka.
Pada akhirnya, konsumen barang mewah bisa dibedakan dalam dua jenis.
Pertama, mereka yang berasal dari kelompok kaya sehingga memiliki uang untuk
belanja barang bermerek. Kelompok ini bisa juga disebut kelompok aristocracy
karena keinginan mereka untuk menjadi berbeda dari kelompok sosial lain,
menunjukkan kesuksesan dan kekuasaan mereka, serta kemauan menjadi trend
setters. Kedua adalah konsumer yang tidak terlalu kaya yang memang membeli
produk branded untuk dinikmati atau agar diterima oleh kelompok yang kaya.
Kelompok pada kategori ini, terutama yang tujuannya agar diterima oleh kelompok
orang kaya, dideskripsikan sebagai new money yang mengimitasi kelompok
pertama dalam segala hal, termasuk aspirasi menjadi berbeda dari kelompok lain.
Kualitas produk yang lebih tinggi, packaging yang mewah, lokasi toko yang
eksklusif, margin eceran yang lebih tinggi, promosi yang mahal, kampanye
periklanan, dan reputasi brand berkontribusi pada harga yang lebih tinggi dari
barang-barang mewah. Barang bermerek juga mampu memberi atribut desirable
bahwa produk tersebut langka, mutakhir, dan berselera baik. Faktanya, jika produk
mewah tidak berharga mahal, produk ini akan kehilangan karakteristik kelangkaan
dan eksklusivitasnya (Dubois dan Duquesne, 1993). Dalam beberapa hal, harga
yang lebih tinggi membuat konsumen merasa superior, menjadi salah satu orang
elit yang mampu membeli produk ini (Garfein, 1989). Dengan kata lain, produk
fashion mewah, seperti tas Gucci atau Hermes, telah memiliki kekuatan
BRANDING yang besar.
1. High price
2. High cost
3. Craftsmanship
4. Limited distribution
5. Low promotional activity
6. Advertising with no sophisticated copy strategy
Hal yang perlu diingat juga adalah bahwa terdapat fitur produk
mewah yang harus selalu ada dan tidak boleh ditinggalkan. Fitur ini antara
lain desain dan kemasan produk yang inovatif, kreatif, dan appealing;
produk yang klasik dan tidak termakan zaman; material yang sangat
berkualitas tinggi; keahlian yang sangat telitit; manufacturing precision;
dan pergantian desain yang cepat. Bila hal ini bisa terus dicapai dan
dipertahankan, apalagi dengan penamaan produk yang dilakukan dengan
hati-hati, produk akan bisa terus menunjukkan kekuatannya di pasaran.
2. Harga (Pricing)
a. Directly Owned Stores (DOS), yang bisa berbentuk toko yang berdiri
sendiri atau retail yang berada di department store high-end.
b. Operasi berlisensi melalui pihak ketiga.
c. Internet.
d. Catalogue mail-order.
4. Promosi
5. People
People dalam bauran produk mewah merujuk pada semua orang
yang dipengaruhi dan mempengaruhi brand. People dalam sektor barang
mewah bisa dikategorikan dalam 3 kelompok: pelanggan, employee, dan
brand ambassador.
6. Positioning
DAFTAR PUSTAKA
Husic, M., & Cicic, M. (2009). Luxury consumption factors, Journals of Fashion
Marketing and Management, 13(2), 231-245, doi:
10.1108/13612020910957734.