LATAR BELAKANG
Indonesia sebagai negara dengan kultur collectivism menjadikan identitas sosial sebagai
aspek penting yang mempengaruhi perilaku setiap individu dalam masyarakatnya. Sebuah ciri
yang membentuk konsep diri seseorang mengenai pengetahuan keanggotaannya dalam suatu
kelompok sosial bersamaan dengan signifikasi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut
dalam kehidupan sehari-harinya. Hogg dan Abram (1990) menjelaskan identitas sosial sebagai
rasa keterkaitan, peduli, bangga yang berasal dari pengetahuan seseorang dalam berbagai
kategori keanggotaan sosial dengan anggota lainnya, bahkan tanpa perlu memiliki hubungan
personal yang dekat, mengetahui atau memiliki berbagai minat. Secara konseptual, terdapat
aspek penting yang berkaitan dalam menjelaskan identitas sosial, yaitu kategori sosial. Turner
(Tajfel, 1982) maupun Ellemers, Spears, Doosje (2002) mengungkapkan kategori sosial sebagai
pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain.
Kategorisasi merupakan suatu proses kognitif untuk mengklasifikasikan objek-objek dan
peristiwa ke dalam kategori-kategori tertentu yang bermakna (Turner & Giles, 1981; Wann &
Branscombe, 1993).
Berdasarkan kondisi kategorisasi sosial ini kemudian muncul sebuah kategorisasi
ingroup-outgroup. Sebuah pembedaan yang sering terjadi antar kelompok yang memiliki
perbedaan identitas sosial disebabkan adanya penilaian positif secara berlebihan (fanatik)
terhadap ingroup atau penilaian negatif secara berlebihan (antipati) terhadap outgroup
(intergroup bias) (Tajfel, 1982). Adanya intensitas pemaknaan identitas sosial seperti demikian
memunculkan sebuah pengaruh sosial dalam prosesnya. Salah satu pengaruh sosial yang sering
diperoleh ialah konformitas.
Konformitas itu sendiri merupakan salah satu jenis pengaruh sosial di mana individu
mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada, terlepas
individu bersangkutan menerima norma tersebut ataupun tidak. Deutch dan Gerrard (Brehm &
Kassim, 1993), menyatakan bahwa konformitas merupakan kecenderungan perubahan persepsi,
opini, dan perilaku agar sama dengan kelompok. Pada dasarnya perilaku konformitas sebagai
bentuk pengaruh sosial memiliki pengertian bahwasanya seorang individu dalam suatu kelompok
memandang orang lain baik dari pola pikir maupun perilaku sebagai sumber informasi satusatunya dalam menuntun perilaku mereka (informasional) atau individu tersebut berlaku sama
dengan anggota lainnya sebagai pemenuhan kebutuhan untuk disukai maupun diterima oleh
orang disekitarnya/agar tidak terlihat bodoh dihadapan anggota kelompoknya (Mercer, Jenny &
Clayton, 2012).
Asch dalam penelitian konformitasnya (1951, 1955), menemukan bahwa sebenarnya
subjek mengalami tekanan yang cukup besar meskipun tekanan tersebut tidak terlihat. Asch juga
menyatakan bahwa tekanan kelompok akan membuat individu berlaku konformistis terhadap
norma kelompok. Jika dalam kerumunan massa, konformitas muncul akibat dari proses
deindividuasi di mana individu meleburkan dirinya dengan identitas kelompok maka dewasa ini
terdapat sebuah fenomena anonimitas di mana individu tidak harus melalui kondisi peleburan
identitas diri ke identitas kelompok (Scott, 2008). Konsep dari anonimitas sendiri memiliki
relevansi terhadap konteks sosial yang lebih besar, seperti kerumunan orang atau konteks sosial
yang lebih kecil, seperti komunikasi dua orang yang dimediasi melalui komputer
(Christopherson, 2007). Diketahui apabila berkurangnya faktor tekanan dalam kelompok maka
pengaruh normatif tidak akan berpengaruh kuat sehingga tidak terdapat ketakutan akan
penolakan dan perilaku konformitas pun menurun. Kondisi anonimitas membuat seorang
individu memperoleh privasi atau kebebasan dalam merespon segala bentuk stimulus yang ada di
dalam masyarakat tanpa terikat nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya
(evaluasi sosial) sehingga individu bersangkutan sebagai seorang yang independen (pribadi yang
mandiri) dapat bertindak sesuka hati, ekspresif dan jujur (Zimbardo, 1969). Berdasarkan pada
meta-analisis Bond dan Smith (1996), anonimitas diprediksi sebagai moderasi dalam
keterkaitannya dengan pengaruh identitas sosial terhadap perilaku konformitas.
Melihat keterkaitan tersebut, maka peneliti berinisiatif untuk melakukan sebuah
penelitian eksperimen yang bertujuan untuk melihat pengaruh identitas sosial dan anonimitas
sebagai moderasi dalam membentuk perilaku konformitas dengan hipotesis, antara lain a)
partisipan yang memiliki identitas sosial tinggi dalam sebuah kelompok akan memperoleh nilai
konformitas yang berbeda secara signifikan dengan partisipan yang memiliki identitas sosial
rendah dengan kelompoknya, b) nilai konformitas partisipan yang diberikan perlakuan
anonimitas akan berbeda secara signifikan dengan nilai konformitas partisipan yang diberikan
perlakuan non-anonimitas dan c) interaksi identitas sosial dengan anonimitas secara signifikan
mempengaruhi nilai konformitas. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah Pengaruh Identitas
Sosial dan Anonimitas terhadap Perilaku Konformitas.
LANDASAN TEORI
Identitas Sosial
Identitas sosial adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan
mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai
dan emosional dari keanggotaan tersebut. Identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa
peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu (Tajfel, 1982).
Menurut Jackson and Smith (Barron & Donn, 1991) ada empat faktor-faktor dalam
mengkonseptualisasikan pembentukan identitas sosial, yaitu:
a. Persepsi dalam konteks antar kelompok
b. Daya tarik in-group
c. Keyakinan saling terkait
d. Depersonalisasi
Identitas sosial dimotivasi oleh dua proses yaitu self-enhacement dan uncertainty
reduction yang menyebabkan individu untuk berusaha lebih baik dibandingkan kelompok lain.
Motivasi ketiga yang juga berperan adalah optimal distinctiveness (Burke, 2006). Tajfel (1978)
mengembangkan teori identitas sosial sehingga terdiri dari tiga komponen yaitu cognitive
component (self categorization), evaluative component (group self esteem), dan emotional
component (affective component).
Konformitas
Deutch dan Gerrard (Brehm & Kassim, 1990), menyatakan bahwa konformitas
merupakan kecenderungan perubahan persepsi, opini, dan perilaku agar sama dengan kelompok.
Willis (Seidenberg, Snadowsky & Amabile, 1976), mengartikan konformitas sebagai
kecenderungan seseorang untuk berperilaku, dengan maksud memenuhi harapan kelompok
sebagaimana harapan ini dilihat oleh kelompok. Batasan tentang konformitas adalah bertindak
sesuai dengan norma kelompok, menjadi harmonis dan sepakat dengan anggota kelompok. Allen,
Kelman dan Mascovici (Brehm & Kassim, 1990), mengemukakan dua tipe dari konformitas
yaitu Private conformity sama dengan acceptance dan Public conformity disebut juga dengan
compliance.
METODE
Partisipan dan desain
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa program strata satu Universitas
Brawijaya Malang dengan karakteristik, yaitu mahasiswa yang masih aktif dalam program strata
satu (S1) di Universitas Brawijaya Malang angkatan 2009 2011 non psikologi dan 2012 2013
semua jurusan saat penelitian ini dilaksanakan dengan pertimbangan menghindari menghindari
participant sophistication sehingga dalam penelitian partisipan tidak memberikan faking
response yang dapat mempengaruhi validitas dalam penelitian. Sampel dalam penelitian ini
diperoleh dari hasil perhitungan software G*Power 3.1.9.2 (2013) yang menunjukkan bahwa
diperlukan minimum 60 sampel untuk mendapatkan large effect (d = 0.40) untuk empat
kelompok, serta mendapatkan power sebesar 0.95 (95%) dan alpha level sebesar 0.05 (5%).
Pembagian partisipan ke dalam empat kelompok akan dilakukan dengan cara randomisasi
(random assignment) menggunakan program research randomizer v.4.0 setelah melakukan
screening terlebih dahulu untuk menyamakan usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan
suku partisipan sebagai bentuk kontrol terhadap variabel non-eksperimental.
Penelitian ini menjaring 68 partisipan yang terbagi dalam 4 kelompok di mana setiap
kelompoknya berisikan 17 partisipan dengan pengondisian double-blind. Partisipan dalam
penelitian ini menerima Rp 10.000,- sebagai imbalan atas partisipasi dalam penelitian, diberikan
informed consent dan mengisi lembar persetujuan mengikuti penelitian sebelum penelitian ini
berlangsung. Selama proses penelitian diperoleh 68 partisipan, namun hasil dari 4 partisipan
harus dikeluarkan dikarenakan 3 partisipan tidak mengisi manipulation check sesuai instruksi
dan 1 partisipan karena participant sophistication. Berdasarkan pada kondisi tersebut maka
diperoleh 64 partisipan yang dapat digunakan datanya untuk dikaji dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif metode penelitian true experimental
(eksperimen murni) dengan two-factor factorial design 2x2 (desain faktorial dua faktor) yang
memiliki tujuan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab-akibat dengan melakukan
observasi objektif terhadap suatu fenomena yang dibuat dalam pengkondisian terkontrol ketat, di
mana satu atau lebih faktor divariasikan dan faktor lainnya dibuat konstan (Azwar, 2009; Seniati,
Yulianto & Setiadi, 2011).
Identitas Sosial
IV
Rendah
Tinggi
Tanpa
Anonimita
s
Anonimita
s
MV
Anonimita
s
Sama halnya seperti penelitian eksperimen mengenai konformitas yang dilakukan Asch,
dalam penelitian ini posisi duduk partisipan dan konfederat diatur dengan denah duduk, sebagai
berikut:
Line Judgement
Task Aschs
Keterangan:
A = Instruktur penelitian eksperimen
1 = Konfederat pertama
A
6
2 = Konfederat kedua
5
3 = Konfederat ketiga
4 = Konfederat keempat
5 = Konfederat kelima
6 = Partisipan
Denah duduk dalam penelitian ini juga merupakan bentuk manipulasi identitas sosial
sehingga terdapat perbedaan denah duduk antara kelompok kontrol dengan kelompok
eksperimen.
Line Judgement
Task Aschs
A
= Kelompok 1
1 = Konfederat pertama
2 = Konfederat kedua
3 = Konfederat ketiga
4 = Konfederat keempat
5 = Konfederat kelima
6 = Partisipan
= Kelompok 2
HASIL
Untuk melihat keberhasilan dari manipulasi identitas sosial, maka peneliti melakukan
analisis terhadap hasil dari manipulation check kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan independent sample t-test diketahui apabila terdapat
perbedaan identitas sosial antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen (p = 0.001).
Partisipan yang memperoleh manipulasi identitas sosial merasa memiliki memiliki identitas
sosial lebih tinggi (M = 5.375, SD = 3.508) dibanding partisipan yang tidak memperoleh
manipulasi identitas sosial (M = 1.500, SD = 2.663). Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan
apabila manipulasi identitas sosial yang diberikan efektif dalam memunculkan kondisi identitas
sosial yang tinggi.
Pengujian hipotesis penelitian ini yang menggunakan two-factor factorial design 2x2
dilakukan menggunakan analisis statistik moderasi sederhana teknik bootstrap dengan
resampling sejumlah 5.000 kali dengan interval kepercayaan koreksi bias 95%. Hasil analisis
moderasi sederhana bootstrap menunjukkan bahwa identitas sosial memiliki pengaruh positif
dalam bentuk meningkatkan perilaku konformitas (B = 2.312, p = 0.0017), anonimitas memiliki
pengaruh negatif dalam bentuk menurunkan perilaku konformitas (B = -2.250, p = 0.021) dan
adanya moderasi anonimitas meningkatkan pengaruh identitas sosial terhadap perilaku
konformitas (B = 3.125, p = 0.023). Selama penelitian berlangsung peneliti menemukan bila
variabel jenis kelamin memiliki pengaruh sebagai covariate (B = -2.875, p = 0.001) sehingga
dilakukan analisis tambahan untuk mengkaji pengaruh dari jenis kelamin dalam penelitian ini.
Hasil analisis tambahan menunjukkan bahwa pada partisipan pria identitas sosial
memiliki pengaruh positif dalam bentuk meningkatkan perilaku konformitas (B = 3.375,
p = 0.004), anonimitas tidak mempengaruhi perilaku konformitas (p = 0.260) dan adanya
moderasi anonimitas tidak mempengaruhi pengaruh identitas sosial terhadap perilaku
konformitas (p = 0.423) sedangkan pada partisipan perempuan identitas sosial tidak
mempengaruhi perilaku konformitas (p = 0.320), anonimitas memiliki pengaruh negatif dalam
bentuk menurunkan perilaku konformitas (B = -3.250, p = 0.014) dan adanya moderasi
anonimitas meningkatkan pengaruh identitas sosial terhadap perilaku konformitas (B = 7.500,
p = 0.002).
DISKUSI
Berdasarkan hasil yang diterima dari analisis statistik menunjukkan bahwa identitas
sosial memiliki pengaruh terhadap perilaku konformitas. Terlebih hasil dari analisis moderasi
sederhana teknik bootstrap menunjukkan apabila manipulasi identitas sosial meningkatkan
perilaku konformitas. Hal ini sejalan dengan sejumlah hasil dari sejumlah penelitian di mana
ditemukan bahwa akan terjadi perilaku konformitas dengan tingkat yang cukup kuat antara
individu dan mayoritas ketika individu diyakinkan bila mereka dimasukkan ke dalam kelompok
dibandingkan tidak diyakinkan bila mereka dimasukkan ke dalam kelompok (Allen, 1965),
perilaku konformitas akan lebih tinggi ketika individu berhadapan dengan mayoritas dari ingroup daripada out-group (Turner, 1991; Abrams dkk., 1990; Gerard, 1953; Linde & Patterson,
1964) dan sejumlah studi yang dilakukan dengan varian mayoritas orang asing, orang yang
dikenal, teman dan di mana individu mengidentifikasikan ke dalam in-group orang lainnya ke
dalam out-group (Bond & Smith, 1996).
Hasil analisis juga menunjukkan anonimitas memiliki pengaruh terhadap perilaku
konformitas. Hasil dari analisis moderasi sederhana teknik bootstrap menunjukkan bahwa
anonimitas menurunkan perilaku konformitas. Kondisi ini sesuai dengan sejumlah penelitian
konformitas tipe eksperimen Asch yang pada dasarnya merupakan bentuk compliance
(kesepakatan) sehingga diprediksi jika tingkat perilaku konformitas akan meningkat jika
partisipan menyadari apabila jawaban mereka diketahui oleh mayoritas anggota kelompok
lainnya namun disaat jawaban tidak diketahui anggota kelompok lainnya maka perilaku
konformitas akan menurun (Allen, 1965; Bond & Smith, 1996; Turner, 1991). Anonimitas
membuat individu terlepas dari evaluasi sosial sehingga tingkatan ketakutan akan evaluasi sosial
berkurang dan menjadikan individu lebih ekspresif daripada sebelumnya (Zimbardo, 1969).
Identitas sosial yang berinteraksi dengan anonimitas memiliki pengaruh terhadap perilaku
konformitas. Analisis moderasi sederhana teknik bootstrap menunjukkan jika interaksi diantara
identitas sosial dan anonimitas memiliki pengaruh dalam meningkatkan perilaku konformitas
pada penelitian ini. Berdasarkan dari temuan ini, peneliti berargumen apabila temuan yang
diperoleh merupakan hasil dari pengaruh jenis kelamin sebagai covariate di mana kondisi ini
akan dijelaskan lebih spesifik bila dilakukan pembahasan mendalam pada analisis tambahan.
Seperti dalam sejumlah penelitian konformitas (Bond & Smith, 1996; Cooper, 1979; Eagly,
1978; Eagly & Charlie, 1981), diketahui apabila jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap hasil
dari penelitian ini dan hasil analisis statistik tambahan menunjukkan sejumlah temuan dalam
penelitian ini.
Temuan pertama, identitas sosial meningkatkan perilaku konformitas pada partisipan pria.
Adanya temuan ini tidak berarti jika perilaku konformitas pada partisipan pria lebih tinggi
daripada partisipan perempuan, namun pada partisipan pria terdapat perbandingan yang cukup
signifikan antara nilai konformitas kelompok dengan manipulasi identitas sosial dan kelompok
tanpa manipulasi identitas sosial. Berdasarkan pada sejumlah studi yang menaruh perhatian pada
perbedaan identitas pria-perempuan dalam konteks identitas sosial (Ashmore, Del Boca &
Wohlers, 1986; Bem, 1972; Bem, 1974; Bem, 1978; Bem, 1981; Bem 1982; Cross & Markus,
1993; Frable, 1989; Markus, 1977; Markus & Nurius, 1987; Markus & Wulf, 1987) diketahui
apabila terdapat kontribusi peran sosial yang mengatakan apabila pria lebih assertive (logis dan
komunikatif dalam menyampaikan pendapat), instrumental (menjadi bagian yang bertanggung
jawab dalam membantu, memimpin, memperkuat dan mendukung) dan agentic (mengatur,
proaktif, penuh dengan refleksi diri, dan regulasi diri) sedangkan perempuan lebih communal
(kooperatif pada kelompok) dan expressive (ekspresif). Sebuah kondisi yang tidak terlepas dari
pandangan mengenai sisi maskulin dan feminim seorang individu yang berlanjut pada hal yang
terkait kekuasaan dan status sosial antara pria dan perempuan dalam ruang lingkup sosial (Doise
& Lorenzi-Cioldi, 1989; Echabe & Castro, 1999; Lorenzi-Cioldi, 1988; Lorenzi-Cioldi, 1991;
Lorenzi-Cioldi, 1993; Messick & Mackie, 1989).
Seperti yang diketahui apabila bangsa Indonesia menganut konsep collectivism (Ghosh,
2004; Susana, 2006; Matsumoto, Yoo & Fontaine, 2008) sehingga kondisi instrumental pada
peran sosial pria akan ditransisikan menjadi sebuah bentuk perilaku yang mendukung
kelompoknya. Namun, hal tersebut hanya berlaku ketika pria dalam kondisi identitas sosial yang
tinggi, karena tanpa adanya identitas sosial yang kuat dengan kelompoknya maka peran sosial
assertive dan agentic akan menurunkan kemungkinan pria dalam mendukung aktivitas
kelompoknya. Sedangkan, pada partisipan perempuan identitas sosial menjadi tidak berpengaruh
karena peran sosial communal menjadikan perempuan berlaku konformitas dalam ruang lingkup
sosial yang berinteraksi langsung dengan evaluasi sosial (Ashmore dkk., 1986; Cross & Markus,
1993; Frable, 1989; Markus, 1977; Markus & Nurius, 1987; Markus & Wulf, 1987).
diawali oleh penetapan nilai-nilai serta norma sosial (Branscombe dkk., 1993; Fiske & Taylor,
1991; Hogg & Abram, 1990; Tajfel, 1982; Turner & Giles, 1981) terlepas individu sebagai
anggota kelompok menganggap atau tidak nilai maupun norma sebagai sumber informasional
karena pada dasarnya banyak perilaku kelompok yang seringkali tidak logis dan tidak sesuai
dengan argumen pribadi.
Peneliti berargumen apabila fenomena perbedaan hasil antara pria dan perempuan dalam
perilaku konformitas juga dipengaruhi dengan kondisi oksitosin, sebuah hormon yang sangat
berpengaruh dalam perilaku sosial. Terlebih diketahui apabila oksitosin memiliki pengaruh yang
berbeda pada pria dan perempuan (Fischer-Softy, Levkovitz, Shamay-Tsoory, 2013). Diketahui
pula apabila administrasi intranasal dari oksitosin sebagai sebuah neuropeptide yang diproduksi
dalam hypothalamus dapat dikatakan sebagai mediasi dari perilaku konformitas (Bartz dkk.,
2011; Donaldson & Young, 2008). Ahli psikologi evolusioner berpendapat apabila fungsi
reproduksi pada manusia membentuk tubuh dan pikiran pria maupun perempuan secara berbeda
(Buss & Schmitt, 1993; Geary, 1998), di mana perempuan lebih berfokus pada mengumpulkan
dukungan jaringan sosial untuk melindungi kelompok mereka (Taylor, Klein, Lewis,
Gruenewald, Gurung & Updegraff, 2000; Silk, 2007) sedangkan pria lebih mengembangkan
kemampuan mereka dalam agresi antar kelompok (Van Vugt, De Cremer & Janssen, 2007). Hal
ini menunjukkan apabila pria cenderung berlaku fight or flight sedangkan perempuan cenderung
berlaku tend and be friend dalam menangani stressor dalam ruang lingkup sosial.
Perlu dicermati apabila hasil dalam penelitian merupakan hasil dari penelitian mengenai
pengaruh identitas sosial dengan moderasi anonimitas terhadap perilaku konformitas yang
dilakukan di Indonesia yang memiliki kecenderungan collectivism sehingga diprediksi akan
memiliki perbedaan dengan kesimpulan penelitian serupa di tempat yang memiliki
kecenderungan independent.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, D., Wetherell, M., Cochrane, S., Hogg, M. A., & Turner, J. C. (1990). Knowing what to
think by knowing who you are: Self categorisation and the nature of norm formation,
conformity and group polarisation. British Journal of Social Psychology, 29, 97-119.
Allen, V. L. (1965). Situational factors in conformity. In L. Berkowitz (Ed.), Advances in
experimental social psychology, 2, 133-175. New York: Academic Press.
Asch, S. E. (1951). Effects of group pressure on the modification and distortion of judgments.
Groups, Leadership and Men. Pittsburgh, PA: Carnegie Press.
Asch, S. E. (1955). Opinions and social pressure. Scientific American 193(5), 31-35.
Ashmore, R. D., Del Boca, F. K., & Wohlers, A. J. (1986). Gender stereotypes. In R. D. Ashmore
& F. K. Del Boca (Eds.), The Social Psychology of Female-Male Relations. San Diego:
Academic Press.
Azwar, S. (2009). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, R. A., & Byrne, D. (1997). Social psychology. Boston : Allyn & Bacon.
Barron, & Donn. (1991). Social psychology: Understanding human interaction. Boston: Allyn &
Bacon.
Bartz, J. A., Zaki, J., Bolger, N., & Ochsner, K. N. (2011). Social effects of oxytocin in humans:
Contexts and person matter. Trend in Cognitives Sciences, 15, 301-309.
Bem, S. (1972). Psychology looks at sex roles: Where have all the androgynous people gone?
UCLA Symposium on Women. Los Angeles.
Bem, S. (1974). The measurement of psychological androgyny. Journal of Consulting and
Clinical Psychology, 42, 155-162.
Bem, S. (1978). The short Bem sex-role inventory. Palo Alto: Consulting Psychologists' Press.
Bem, S. (1981). The BSRI and gender schemata theory: A reply to Spence and Helmreich.
Psychological Review, 38, 369-371.
Bem, S. (1982). Gender schema theory and self-schema theory compared: A comment on
Markus, Crane Bernstern and Siladi's self schema and gender. Journal of Personality and
Social Psychology, 43, 1192-1194.
Bond, R. & Smith, P.B. (1996). Culture and conformity: A meta-Analysis of studies using Aschs
(1952b, 1956) line judgement task. Psychological Bulletin, 119(1), 111-137. University
of Sussex: The American Psychological Association, Inc.
Branscombe, N. R., Wann, D. L., Noel, J. G., & Coleman, J. (1993). In-group or out-group
extremity: Importance of threatened social identity. Personality and Social Psychology
Bulletin, 19, 381388.
Brehm, S. S., & Kassim, S. M. (1990). Social psychology. Boston: Houghton Mifflin Company.
Burke, P. J. (2006). Contemporary social psychological theories. Palo Alto, CA: Stanford
University Press.
Buss, D.M., & Schmitt, D.P. (1993). Sexual strategies theory: An evolutionary perspective on
human mating. Psychological Review, 100(2), 20432.
Christoperson, K. M. (2007). The positive and negative implications of anonymity in internet
social interactions: On the internet, nobody knows youre dog. Computer in Human
Behavior, 23, 3038-3056.
Cooper, H. M. (1979). Statistically combining independent studies: A meta-analysis of sex
differences in conformity research. Journal of Personality and Social Psychology, 37,
131-146.
Cross, S. E., & Markus, R. (1993). Gender in thought, belief, and action: A cognitive approach.
In A. E. Beall & R. J. Sternberg (Eds.), The Psychology of Gender. New York: Guilford
Press.
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008. Kamus bahasa Indonesia. Jakarta.
Doise, W., & Lorenzi-Cioldi, F. (1989). Patterns of differentiation within and between groups. In
J. P. Van Ovenhoven & T. M. Willeemsen (Eds), Ethnic Minorities. Amsterdam: Swets &
Zeitlinger.
Donaldson, Z. R., & Young, L. J. (2008). Oxytocin, vassopressin, and the neurogenetics in
sociality. Sciences, 322, 900-904. DOI: 10.1126/science.1158668
Eagly, A. H. (1978). Sex differences in influenceability. Psychological Bulletin, 85, 86-116.
Eagly, A. H., & Carli, L. L. (1981). Sex of researchers and sex-typed communications as
determinants of sex differences in influenceability: A meta-analysis of social influence
studies. Psychological Bulletin, 90, 1-20.
Echabe, A. E., & Castro, J. L. G. (1999). The impact of context on gender social identities.
European Journal of Social Psychology, 29, 287-304.
Ellemers, N., Spears, R. & Doosje, B. (2002). Self and social identity. Annual Reviews of
Psychology: Annual Reviews Inc.
Fischer-Softy, M., Levkovitz, Y., & Shamay-Tsoory, S. G. (2013). Oxytocin facilitates accurate
perception of competition in men and kinship in women. SCAN, 8, 313-317. Oxford:
Oxford University Press. DOI: 10.1093/scan/nsr100.
Fiske, S.T. & Taylor, S.E. (1991). Social cognition (2nd ed.). New York: McGraw-Hill.
Frable, D. E. S. (1989). Sex typing and gender ideology: Two facets of the individual's gender
psychology that go together. Journal of Personality and Social Psychology, 56, 95-108.
G*Power 3 (Version 3.1.9.2) (Software). (2013) Department of Experimental Psychology
Heinrich Heine University, Dsseldorf: Germany. Retrieved on April 1, 2014, from
http://www.psycho.uniduesseldorf.de/abteilungen/ aap/gpower3/download-and-register.
Geary, D.C. (1998). Functional organization of the human mind: Implications for behavioral
genetics research. Human Biology, 70(2), 185-98.Gerard, H. B. (1953). The effect of
different dimensions of disagreement on the communication process in small groups.
Human Relations, 6, 249-271.
Ghosh, A. (2004). Individualistcollectivist orientations across occupational groups. In B.
Setiadi, A. Supratiknya, W. J. Lonner & Y.H. Poortinga (Eds.) Ongoing Themes in
Psychology and Culture. Selected papers from the Sixteenth International Congress of the
International Association for Cross-Cultural Psychology, Indonesia, 555-564.
Hogg, M. A., & Abrams, D. (1990). Social motivation, self-esteem & social identity. Social
Identity Theory: Constructive & Critical Advances. New York: Springer-Verlag.
Linde, T. E, & Patterson, C. H. (1964). Influence of orthopedic disability on conformity
behavior. Journal of Abnormal and Social Psychology, 68, 115-118.
Taylor, S. E., Klein, L. C., Lewis, B. P., Gruenewald, T. L., Gurung, R. A., & Updegraff, J. A.
(2000). Biobehavioral responses to stress in females: Tend and befriend, not fight-orflight. Psychological Review, 107(3), 411-29.
Turner, J. C., & Giles, H. (Ed.). (1981). Intergroup behavior. Oxford: Blackwell; Chicago:
University of Chicago Press.
Turner, J. C. (1991). Social influence. Milton Keynes, England: Open University Press.
Van Vugt, M., De Cremer, D., & Janssen, D. P. (2007). Gender differences in cooperation and
competition: The male-warrior hypothesis. Psychological Science, 18(1), 1923.
Wann, D. L., & Branscombe, N. R. (1993). Sports fans: Measuring degree of identification with
their team. International Journal of Sport Psychology, 24, 1-17.
Worchel, S., & Cooper, J. (1983). Understanding social psychology (3rd Ed.). Homewood, IL:
Dorsey Press.
Zimbardo, P. G. (1969). The human choice: Individuation, reason, and order versus
deindividuation, impulse, and chaos. Nebraska Symposium on Motivation, 17, 237-307.