Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi Okupasi

Terapi okupasi berasal dari kata Occupational Therapy. Occupational berarti suatu pekerjaan, therapy
berarti pengobatan. Jadi, Terapi Okupasi adalah perpanduan antara seni dan ilmu pengetahuan untuk
mengarahkan penderita kepada aktivitas selektif, agar kesehatan dapat ditingkatkan dan dipertahankan,
serta mencegah kecacatan melalui kegiatan dan kesibukan kerja untuk penderita cacat mental maupun
fisik. (American Occupational Therapist Association). Terapis okupasi membantu individu yang
mengalami gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, kognitif juga fungsi sosial yang menyebabkan
individu tersebut mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas perawatan diri, aktivitas
produktivitas, dan dalam aktivitas untuk mengisi waktu luang. Tujuan dari pelatihan terapi okupasi itu
sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mugkin, dari kondisi abnormal ke
normal yang dikerahkan pada kecacatan fisik maupun mental, dengan memberikan aktivitas yang
terencana dengan memperhatikan kondisi penderita sehingga penderita diharapkan dapat mandiri di
dalam keluarga maupun masyarakat.

a) Pengertian Terapi Okupasi Secara Umum: Terapi okupasi adalah ilmu dan seni untuk
mengarahkan seseorang partisipasi dalam melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan/ pekerjaan
terpilih yang telah ditentukan, terorganisir dan memiliki nilai, agar pasien/ anak dapat
mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.
b) Pengertian Terapi Okupasi Secara Medis: Terapi okupasi adalah prosedur rehabilitasi yang
di dalam aturan medis sebagai suatu upaya pemulihan/ penyembuhan atau pengobatan yang
bertujuan untuk memperbaiki otot-otot secara fisik, pekerjaan membuat seseorang akan
menggerakkan seluruh otot tubuhnya, sehingga tubuhnya akan tetap sehat, mengurangi atau
memperbaiki ketidak-normalan (kecacatan), serta memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatannya.
c) Pengertian Terapi Okupasi Secara Edukatif: Terapi okupasi adalah ilmu dan seni untuk
mengarahkan partisipasi seseorang dalam melaksanakan suatu tugas aktivitas/ kegiatan atau
pekerjaan terpilih

2.2 Fungsi dan Tujuan Terapi Okupasi

Fungsi dan tujuan terapi okupasi terapi okupasi adalah terapan medis yang terarah bagi pasien fisik
maupun mental dengan menggunakan aktivitas sebagai media terapi dalam rangka memulihkan
kembali fungsi seseorang sehingga dia dapat mandiri semaksimal mungkin. Aktivitas tersebut adalah
berbagai macam kegiatan yang direncanakan dan disesuaikan dengan tujuan terapi.
1. Terapi khusus untuk pasien mental atau jiwa.
a. Menciptakan suatu kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan
kemampuannya untuk dapat berhubungan tanggalan orang lain dan masyarakat
sekitarnya.
b. Membantu dalam melampiaskan gerakan-gerakan emosi secara wajar dan produktif
c. Membantu menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya
d. Membantu dalam pengumpulan data guna menegakkan diagnosis dan penetapan terapi
lainnya
2. Terapi khusus untuk mengembalikan fungsi fisik, meningkatkan ruang gerak sendi, kekuatan
otot, dan koordinasi gerakan.
3. Mengajarkan Aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan, berpakaian, belajar menggunakan
fasilitas umum (telepon, televisi, dan lain-lain), baik dengan maupun tanpa alat bantu, mandi
yang bersih, dan lain-lain
4. Membantu pasien untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan rutin di rumahnya, dan memberi
saran penyederhanaan (silifikasi) ruangan maupun letak alat-alat kebutuhan sehari-hari.
5. Meningkatkan toleransi kerja, memelihara, dan meningkatkan kemampuan yang masih ada.
6. Menyediakan berbagai macam kegiatan untuk dijajaki oleh pasien sebagai langkah dalam pre-
cocational training. Berdasarkan aktivitas ini akan dapat diketahui kemampuan mental dan fisik,
kebiasaan kerja, sosialisasi, minat, potensi dan lainnya dari pasien dalam mengarahkannya pada
pekerjaan yang tepat dalam latihan kerja.
7. Membantu penderita untuk menerima kenyataan dan menggunakan waktu selama masa rawat
dengan berguna
8. Mengarahkan minat dan hobi agar dapat digunakan setelah kembali ke keluarga.

2.3 Indikasi Terapi Okupasi

Beberapa indikasi pada terapi okupasi yaitu:

 Seseorang yang kurang berfungsi dalam kehidupannya karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi
dalam pengintegrasian perkembangan psikososialnya.
 Kelainan tingkah laku yang terlihat dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang
primitif.
 Tingkah laku tidak wajar dalam mengekpresikan perasaan atau kebutuhan yang primitif.
 Ketidakmampuan menginterpresikan rangsangan sehingga reaksinya terhadap rangsangan
tersebut tidak wajar pula.
 Terhentinya seseorang dalam fase pertumbuhan tersebut atau seseorang yang mengalami
kemunduran.
 Mereka yang lebih mudah mengekspresikan perasaannya melalui suatu aktivitas dari pada
dengan percakapan.
 Mereka yang merasa lebih mudah mempelajari sesuatu dengan cara
 mempraktikkannya dari pada dengan membayangkan.
 Pasien cacat tubuh yang mengalami gangguan dalam kepribadiannya.

2.4 Kontraindikasi Terapi Okupasi

Ada dua kontraindikasi yang perlu diperhatikan dengan tujuan dari terapi, yaitu kondisi fisik dan
psikologis pasien. Kondisi fisik yang perlu diperhatikan antara lain:

1. Inflamasi
2. Nyeri yang hebat
3. Baru mengalami patah tulang
4. Kelelahan yang signifikan

2.5 Proses Terapi Okupasi


Menurut Nasir & Muhith, 2011, hlm. 266 Dokter yang mengirimkan pasien untuk terapi okupasi akan
menyertakan juga data mengenai pasien berupa diagnosis, masalahnya, dan juga akan menyatakan apa
yang perlu diperbuat dengan pasien tersebut. Apakah untuk mendapatkan data yang lebih banyak untuk
keperluan diagnosis, terapi, atau rehabilitasi. Setelah pasien berada di unit terapi okupasi, maka terapis
akan bertindak sebagai berikut.

1. Koleksi Data
Data biasa didapatkan dari kartu rujukan atau status pasien yang disertakan ketika pertama kali
pasien mengunjungi unit terapi okupasional. Jika dengan mengadakan wawancara dengan
pasien atau keluarganya, atau dengan mengadakan kunjungan rumah. Data ini diperlukan untuk
menyusun rencana terapi bagi pasien. Proses ini dapat berlangsung beberapa hari sesuai dengan
kebutuhan.
2. Analisa data dan identifikasi masalah
Dari data yang terkumpul dapat ditarik suatu kesimpulan sementara tentang masalah dan atau
kesulitan pasien. Hal ini dapat berupa masalah di lingkungan keluarga atau pasien itu sendiri.
3. Penentuan tujuan
Dari masalah dan latar belakang pasien, maka dapat disusun daftar tujuan terapi sesuai dengan
prioritas, baik jangka pendek maupun jangka panjangnya.
4. Penentuan aktivitas
Setelah tujuan terapi ditetapkan, maka dipilihlah aktivitas yang dapat mencapai tujuan terapi
tersebut. Dalam proses ini pasien dapat diikutsertakan dalam menentukan jenis kegiatan yang
akan dilaksanakan sehingga pasien merasa ikut bertanggung jawab atas kelancaran
pelaksanaannya. Dalam hal ini harus diingat bahwa aktivitas tersebut tidak akan
menyembuhkan penyakit, tetapi hanya sebagai media untuk dapat mengerti masalahnya dan
mencoba mengatasinya dengan bimbingan terapis. Pasien juga harus diberitahu alasan-alasan
mengapa dia harus mengerjakan aktivitas tersebut sehingga dia sadar dan diharapkan akan
mengerjakannya dengan aktif.
5. Evaluasi
Evaluasi harus dilaksanakan secara teratur dan terencana sesuai dengan tujuan terapis. Hal ini
perlu agar dapat menyesuaikan program terapi selanjutnya sesuai dengan perkembangan pasien
yang ada. Hasil evaluasi yang didapatkan dapat dipergunakan untuk merencanakan hal-hal
mengenai penyesuaian jenis aktivitas yang akan dilakukan setelah beberapa waktu melihat
bahwa tidak ada kemajuan atau kurang efektif terhadap pasien.
Hal-hal yang perlu dievaluasi antara lain adalah sebagai berikut.
a) Kemampuan membuat keputusan
b) Tingkah laku selama bekerja.
c) Kesadaran adanya orang lain yang bekerja bersama dia dan yang mempunyai kebutuhan
sendiri.
d) Kerja sama.
e) Cara memperlihatkan emosi (spontan, wajar, jelas, dan lain-lain)
f) Inisiatif dan tanggung jawab.
g) Kemampuan untuk diajak atau mengajak berunding.
h) Menyatakan perasaan tanpa agresi.
i) Kompetisi tanpa pemusuhan.
j) Menerima kritik dari atasan atau teman sekerja.
k) Kemampuan menyatakan pendapat sendiri dan apakah bertanggung jawab atas pendapatnya
tersebut.
l) Menyadari keadaan dirinya dan menerimanya.
m) Wajar dalam penampilan.
n) Orientasi tempat, waktu, situasi, dan orang lain.
o) Kemampuan menerima instruksi dan mengingatnya.
p) Kemampuan bekerja tanpa terus-menerus diawasi.
q) Kerapian bekerja
r) Kemampuan merencanakan suatu pekerjaan
s) Toleransi terhadap frustasi.
t) Lambat atau cepat.
2.6 Perbedaan Terapi Okupasi Dan Rehabilitasi Medis

Terapi okupasi adalah suatu ilmu dan seni pengarahan partisipasi seseorang untuk
melaksanakan sesuatu tugas tertentu yang telah ditentukan dengan maksud untuk memperbaiki,
memperkuan, dan meningkatkan kemampuan, serta mempermudah belajar keahlian atau fungsi
yang dibutuhkan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan. Selain itu, juga untuk
meningkatkan produktivitas, mengurangi dan/atau memperbaiki ketidak normalan (kecacatan),
serta memelihara atau meningkatkan derajat kesehatan. Terapi okupasi lebih dititikberatkan
pada pengenalan kemampuan yang masih pada seseorang, kemudian memelihara atau
meningkatkannya sehingga dia mampu mengatasi masalah-masalah yang diharapkannya. Terapi
okupasi menggunakan okupasi (pekerjaan atau kegiatan sebagai media). Tugas pekerjaan atau
kegiatan yang dipilihkan adalah berdasarkan pemlihan terapis disesuaikan dengan tujuan terapis
itu sendiri. Jadi bukan hanya sekedar untuk membuat seseorang sibuk. Tujuan utama terapi
okupasi adalah membentuk seseorang agar mampu berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri
pada pertolongan oranglain. Sedangkan rehabilitasi adalah suatu usaha yang terkoordinasi yang
terdiri atas usaha medis sosial, edukasional, dan vokasional, untuk melatih kembali seseorang
untuk mencapai kemampuan fungsional pada taraf setinggi mungkin sedangkan rehabilitas
medis adalah usaha-usaha yang dilakukan secara medis khususnya untuk mengurangi infaliditas
atau mencegah infaliditas yang ada (Nasir & Muhith, 2011).
3.1 Terapi Rehabilitasi

A. Definisi
Pasien psikiatri juga sama dengan penyakit fisik dalam kecendrungannya untuk
menjadi menahun sehingga memerlukan perawatan kontinu di rumah sakit atau di
rumah. Rehabilitasi mencakup semua terapi psikiatri non-akut dan terutama untuk
mencegah terjadinya penyakit yang menahun. Unit psikiatri social MRC
memperlihatkan bahwa dalam rumah sakit, dimana ada kemiskinan sosial (misalnya
keadaan sekeliling yang menjemukan, staf tidak aktif, hanya memiliki sedikit pakaian
pribadi, kenyamanan pasien kurang diperhatikan), pasien secara klinik sangat buruk.
Lebih lama mereka dalam keadaan seperti itu di rumah sakit maka akan semakin
parah gejalanya. Teori yang berperan dalam rehabilitasi salah satunya yaitu teori
psikologi.

B. Model Terapi Rehabilitasi


Model terapi rehabilitasi yang dapat digunakan untuk membantu seseorang
melepaskan diri dari kecanduan dan mengubah perilaku menjadi lebih baik adalah
sebagai berikut :

1. Model Terapi Moral

Model ini sangat umum dikenal oleh masyarakat serta biasanya dilakukan
dengan pendekatan agama/moral yang menekankan tentang dosa dan kelemahan
individu. Model terapi seperti ini sangat tepat diterapkan pada lingkungan
masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan dan moralitas di
tempat asalnya, karena model ini berjalan bersamaan dengan konsep baik dan
buruk yang diajarkan oleh agama. Model terapi ini men jadi landasan utama
pembenaran kekuatan hukum untuk berperang melawan narkoba.

2. Model Terapi Sosial


Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas, dimana adiksi
terhadap obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan social. Tujuan
dari model terapi ini adalah mengarahkan perilaku menyimpang tersebut kearah
perilaku social yang lebih layak, sehingga melatih seseorang untuk
mempertanggungjawabkan kesalahan satu orang menjadi tanggung jawab bersama-
sama. Inilah yang menjadi keunikan dari model terapi ini, yaitu memfungsikan
komununitas sedemikian rupa sebagai agen perubahan.

3. Model Terapi Psikologis


Model ini diadaptasi dari teori psikologis Mc Lellin, dkk yang menyebutkan
bahwa perilaku adiksi obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya
karena terjadi konflik sehingga pecandu memakai obat pilihannya untuk
meringankan atau melepaskan beban psikologis itu. Model terapi ini
mementingkan penyembuhan emosional dari pecandu narkoba yang bersangkutan,
dimana jika emosinya dapat dikendalikan maka mereka tidak akan mempunyai
masalah lagi dengan obat-obatan. Jenis model terapi ini biasanya dilakukan pada
konseling pribadi

4. Model Terapi Budaya


Model ini menyatakan bahwa perilaku adiksi obat adalah hasil sosialisasi
seumur hidup dalam lingkungan social atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini
keluarga seperti juga lingkungan dapat dikategorikan sebagai ‘’lingkungan sosial
dan kebudayaan tertentu’’. Dasar pemikirannya adalah bahwa praktik
penyalahgunaan narkoba oleh anggota keluarga tertentu adalah hasil akumulasi
dari semua permasalahan yang terjadi dalam keluarga yang bersangkutan sehingga
model ini banyak menekankan pada proses terapi untuk kalangan anggota keluarga
dari para pecandu narkoba tersebut.

C. Tujuan dari Terapi Rehabilitas


1. Mengembalikan kemampuan individu setelah terjadinya gangguan kepada
kondisi/tingkatan fungsi yang optimum

2. Mencegah kecacatan yang lebih besar

3. Memelihara kemampuan yang ada/dimiliki oleh pasien

4. Membantu pasien untuk menggunakan kemampuannya.


Rehabilitasi untuk proses jangka panjang dimana memerlukan program dan
sarana yang mencukupi. Keberhasilan dari program rehabilitasi tergantung
kepada besarnya motivasi belajar,pola hidup sebelum dan sesudah sakit dan
dukungan dari orang-orang yag memiliki arti bagi pasien.

D. Tim yang Menangani Rehabilitasi


Tim yang menangani rehabilitasi yaitu tim kesehatan mental yang terdiri dari
dokter, perawat, psikologi, petugas sosial dan petugas terapi okupasional

E. Kegiatan Pelaksana
Kegiatan pelaksana rehabilitasi dilakukan di dalam rumah sakit,luar rumah
sakit (panti, pusat rehabilitasi), dimulai sejak hari pertama pasien dirawat

F. Fungsi Perawat Dalam Terapi Rehabilitas

1. Menjaga komplikasi dari akibat gangguan/penyakit diderita pasien

2. Membatasi besarnya gangguan semaksimal mungkin

3. Merencanakan dan melaksanakan program rehabilitasi

G. Kondisi yang Ditangani


Alih-alih menggunakan obat-obatan, dokter rehabilitasi medik berfokus pada terapi
modalitas fisik untuk menangani kondisi pasien. Seperti dikutip dari American
Academy of Physical Medicine and Rehabilitation, kondisi yang biasa ditangani
antara lain:

 Nyeri punggung dan leher


 Perubahan terkait dengan usia dan biologis
 Kanker payudara
 Rehabilitasi jantung
 Stroke
 Skoliosis
 Pencegahan lansia jatuh saat beraktivitas
 Rehabilitasi kanker
 Patah pinggul
 Limfedema
 Obesitas
 Ortostatik
 Rehabilitasi paru pada penyakit paru obstruktif kronis
 Autisme
 Cerebral Palsy
 Geriatri

H. Tahap-Tahap Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa


1. Tahap persiapan

yaitu usaha mempersiapkan pasien dengan menjalankan kegiatan terapi


okupasional, seleksi, evaluasi, dan latihan kerja dalam berbagai jenis pekerjaan

2. Tahap penyaluran/penempatan

merupakan usaha pemulangan pasien ke keluarga,tempat kerja atau


masyarakat dan instansi lain yang berfungsi sebagai pengganti
keluarga,disamping usaha resosialisasi.

3. Tahap pengawasan

merupakan tindakan lanjut setelah pasien di salurkan ke masyarakat,


dengan mengadakan kunjungan rumah (visit home) kunjungan tempat kerja
(job visit) dan menyelenggarakan perawatan lanjut (after care), untuk
mengetahui perkembangan pasien, permasalahan yang dihadapi serta cara-cara
pemecahannya.

Sejak tahun 1978 di Indonesia program rehabilitasi dilakukan


berdasarkan kerja sama lintas sektoral melibatkan 3 departemen yaitu
Departemen Kesehatan,Sosial dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
melalui satu program bersama yang membahas tentang Penyelenggarakan
Usaha Rehabiltasi pasien mental

I. Jenis terapi rehabilitasi

a. Terapi wicara

b. Terapi okupasi

c. Terapi fisik dan latihan


DAFTAR PUSTAKA

Rokhimmah, Y., & Rahayu, D. A. (2020). Penurunan Harga Diri Rendah dengan menggunakan
Penerapan Terapi Okupasi (Berkebun). Ners Muda, 1(1), 18-22.

Studi, P., Keperawatan, I., Kedokteran, F., Sriwijaya, U., & Pengantar, K. (n.d.).
KEPERAWATAN JIWA II TERAPI MODALITAS :

Widari, N., & Taji, M. (2017). PENGARUH PENERAPAN TERAPI OKUPASI TERHADAP
TINGKAT STRES PADA LANSIA. Jurnal Keperawatan, 6(1), 9

Anda mungkin juga menyukai