Anda di halaman 1dari 28

Asuhan Keperawatan Anak dengan Sexual Abuse

KELAS C
HOME GROUP 5
Dea Ananditasari 1106006360
Siwi Setya Utami 1106006404
Dini Wulandari1106053174
Dina Wulandari11006053224
Mutiara Ayu Larasati 1106053205
Wafi Nubli Izazi 1106006695

Makalah Tugas untuk Mata Kuliah


Keperawatan Anak 3

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS INDONESIA
2014

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah menciptakan jagat raya beserta seluruh anugerah akal budi kepada manusia untuk selalu
berusaha memecahkan permasalahan dalam hidup beserta kepekaan diri terhadap seluruh
keindahannya. Berkat rahmat dan karunia-Nya pula, kami dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah ini dengan tepat waktu. Tim penyusun telah menyelesaikan tugas mata kuliah
Keperawatan Anak 3 dengan membahas Asuhan Keperawatan Anak dengan Sexual Abuse
dalam bentuk makalah.
Penyusunan makalah ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr Nani Nurhaeni, MN selaku fasilitator mata ajar Keperawatan Anak 3 yang telah
memberikan tugas dan petunjuk kepada tim penyusun sehingga tim penyusun dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik.
2. Orang tua kami yang selalu membantu memberikan dorongan baik material dan spiritual.
3. Rekan-rekan yang telah membantu sehingga makalah ini bisa selesai dengan baik.
Kami telah menyelesaikan makalah ini dengan segala kemampuan yang diberikan-Nya.
Akan tetapi, bagaimanapun juga kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan makalah ini. Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangsih pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya bagi tim penyusun sehingga tujuan yang diharapkan dapat
tercapai.

Depok, Maret 2014

Tim Penyusun
1

Daftar Isi
Kata Pengantar .....................................................................................................

Daftar Isi .............................................................................................................

ii

BAB I Pendahuluan ...............................................................................................

1.
2.
3.
4.
5.

Latar Belakang .......................................................................................


Rumusan Masalah ...................................................................................
Tujuan Penulisan ....................................................................................
Metode penulisan.....................................................................................
Sistematika penulisan...............................................................................

BAB II Isi .............................................................................................................

1
1
1
2
2
3

2.1.

Konsep at Risk ............................................................................................. ..........

2.2.

3
Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah ............................
4
2.2.1. Perkembangan Fisik ..................................................................................... 4
2.2.2. Perkembangan Psikososial...................................................................

2.2.3. Perkembangan Psikoseksual ..............................................................

2.2.4. Perkembangan Kognitif .....................................................................

2.2.5. Perkembangan Moral ......................... ................................................ ........

2.3.

Konsep Kekerasan Seksual pada Anak ..........................................................


6

BAB III Konsep At risk .......................................................................................... 9


BAB IV Pembahasan kasus dan Askep...................................................................... 13
BAB V Penutup ..................................................................................................... 21
Kesimpulan .... .......................................................... ................................ 21
Saran.......................................................... ............................................... 21
Daftar Pustaka .......................................................... ............................................ 23
2

BAB I
1.1 Latar Belakang
Kekerasan seksual pada anak atau yang lebih sering kita sebut sebagai pelecehan seksual
sering sekali kita temukan. Di Indonesia sendiri sudah banyak sekali kasus pelecehan seksual
pada anak. Baru-baru juga ada pelecehan seksual pada anak berumur 14 th, di sebuah Panti
Asuhan The Samuels Home.Namun, sebelum-sebelumnya pun sudah sering sekali kita
temukan, dari tahun ke tahun pelecehan seksual pada anak semakin meningkat. Pada tahun
2013 jumlah anak yang mengalami kasus kekerasan seksual mencapai 1620. Melihat
fenomena tersebut sangat dibutuhkan sekali peran perawat dalam mengurangi tingkat
kekerasan seksual tersebut. Mengingat hal tersebut sangat buruk dampaknya bagi tumbuh
kembang anak dan kondisi psikologis anak, selain itu anak juga merupakan aset bangsa
dimana masa depan mereka sangatlah berharga. Melalui penyusunan makalah ini kami
berharap dapat memberikan intervensi yang tepat untuk kasus kekerasan seksual pada anak.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah:
a. Pengertian, konsep, tumbuh kembang pada anak usia sekolah.
b. Definisi, konsep, ciri-ciri, jenis-jenis kekerasan seksual.
c. Pembahasan kasus.
d. Asuhan keperawatan kekerasan seksual pada anak.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Menjelaskan Pengertian, konsep, tumbuh kembang pada anak usia sekolah.
2. Menjelaskan definisi, konsep, ciri-ciri, jenis-jenis kekerasan seksual.
3. Menuliskan pembahsan terkait kasus.
4. Menjelaskan asuhan keperawatan kekerasan seksual pada anak.

1.4 Metode penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu studi pustaka,
mengakses situs-situs terkait di internet, serta melakukan diskusi kelompok untuk dapat
menyusun materi terkait pembahasan kasus mengenai kekerasan seksual pada anak.
1.5 Sistematika penulisan
Makalah ini terdiri atas tiga bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang
terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan pustaka yang menguraikan materi dari topik
konsep tumbuh kembang anak usia sekolah dan pembahasan kasus kekerasan seksual pada
anak.Bab ketiga merupakan penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran.

BAB 2
2

TINJAUAN TEORI

2.1.

Konsep at Risk
Dalam model epidemiologi, risiko mengacu pada kondisi kesehatan yang
disebabkan oleh interaksi berbagai faktor seperti genetik, gaya hidup, serta lingkungan
fisik dan sosial individu (Lundy & Janes, 2009). Menurut Nies dan McEwen (2007),
konsep risiko mengacu pada kemungkinan terhadap kejadian yang merugikan atau orang
yang terpapar oleh faktor-faktor yang akan menyebabkan terjadinya penyakit tertentu.
Risiko adalah peluang dari suatu peristiwa yang merugikan, seperti masyarakat yang
terpapar asap rokok, stres, polusi suara, atau bahan kimia yang dapat menimbulkan
penyakit tertentu (McEwen & Nies, 2001). Faktor-faktor risiko dapat berupa umur,
kelamin, lingkungan, pekerjaan, budaya, sosiokultur, ekonomi, gen, dll. Jadi, risiko
merupakan suatu kemungkinan munculnya masalah kesehatan tertentu yang disebabkan
oleh faktor-faktor tertentu.
Kemampuan menurunkan/mewarisi (biologis), lingkungan tempat tinggal, gaya
hidup, serta kualitas dan kemudahan sistem pelayanan kesehatan secara positif maupun
negatif mempengaruhi kesehatan sehingga meningkatkan atau menurunkan kemungkinan
terjadinya masalah kesehatan (Allender, 2010). Pengaruh negatif disebut sebagai faktor
risiko. Sebagai contoh, bayi berat badan lahir rendah (faktor biologis, lingkungan, dan
sistem pelayanan kesehatan) cenderung memiliki risiko lebih besar terhadap masalah
kesehatan. Faktor-faktor risiko yang menyebabkan seseorang mengalami masalah
kesehatan dapat dikaji dari riwayat kesehatan.
Dalam konsep at risk, terdapat istilah populations at risk. Populations at risk
adalah sekumpulan individu atau kelompok yang memiliki ciri-ciri atau karakteristik
tertentu untuk mengalami masalah kesehatan lebih besar dibandingkan dengan kelompok
yang lainnya (Clemen-Stone, McGuire, & Eigsti, 2002, dalam Badriah, 2011). Menurut
Stanhope dan Lancaster (2002), populations at risk adalah sekumpulan orang yang
mempunyai risiko atau kemungkinan untuk mengalami masalah kesehatan. Jadi,
populations at risk merupakan sekelompok orang yang memiliki kemungkinan masalah
kesehatan.

2.2.

Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah


3

Usia sekolah disebut masa pertengahan. Usia sekolah dimulai ketika anak mulai
sekolah sekitar usia 6 tahun. Masa ini akan berakhir ketika anak pubertas sekitar usia 12
tahun. Pada masa ini, anak mengalami banyak perkembangan dan pertumbuhan daripada
ketika usia prasekolah. Pada masa ini anak membangun kemampuan fisik, kognitif,
moral, psikoseksual, dan psikososial.
2.2.1. Perkembangan Fisik
Anak usia sekolah mengalami pertumbuhan fisik. Terjadi pemanjangan tulang dan
penurunan lemak, menyebabkan anak terlihat lebih ramping. Pada usia ini, anak
mengalami pertumbuhan 5 cm per tahun pada tinggi badan dan berat badan bertambah
2-3 kg per tahun (Wong, at al., 2008). Kebutuhan kalori anak usia sekolah lebih sedikit
daripada ketika usia prasekolah. Kapasitas kandung kemih anak perempuan umumnya
lebih besar daripada anak laki-laki. Denyut jantung dan frekuensi napas menurun
sedangkan tekanan darah meningkat selama usia ini. Sistem imun menjadi lebih
kompeten terhadap infeksi. Pada usia ini, muncul tanda-tanda fisiologis prapubertas
dan seksual mulai matang. Prapubertas adalah masa dua tahun sebelum pubertas,
dimana pada pubertas terjadi perkembangan karakteristik seks sekunder.
2.2.2. Perkembangan Psikososial
Teori perkembangan psikososial (Erickson) menjelaskan bahwa anak usia sekolah
berada pada tahap industri versus inferioritas. Tahap industri (rasa pencapaian) dicapai
ketika anak mampu melakukan pekerjaan yang berarti dan berguna bagi sosial, dapat
mengembangkan keterampilan dan kemandirian, berkompetensi, serta mendapatkan
penghargaan dan pengakuan. Sedangkan, tahap inferioritas (rasa kurang berharga)
didapat ketika anak mengalami keterbatasan fisik dan mental yang menyulitkan anak
mengembangkan keterampilan, merasa tidak mampu memikul tanggung jawab, dan
merasa berbeda dengan teman sebaya. Anak usia sekolah merupakan pembelajar yang
aktif, mengalami perkembangan keterampilan berbahasa dan konsep waktu,

dan

perhatian pada citra tubuh.


Konsep diri anak usia sekolah berkembang. Anak sering mengevaluasi diri. Anak
memilki persepsi yang kuat tentang keadaan fisik dan menyadari tubuhnya sendiri.
Kerusakan fisik disertai kemampuan disertai komentar negatif dapat mempengaruhi
4

anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan dan menimbulkan perasaan negative (Wong,
at al., 2008). Hal ini akan menganggu pada perkembangan sosial anak jika
menimbulkan kesulitan bagi anak untuk berhubungan dengan teman sebaya, dimana
pada usia ini, teman sebaya merupakan agen sosialisasi utama anak.
2.2.3. Perkembangan Psikoseksual
Teori perkembangan psikoseksual (Freud) mengatakan bahwa anak usia sekolah
berada pada periode laten. Pada usia sekolah, anak mengumpulkan dan meningkatkan
kemampuan pada keterampilan yang baru didapat terkait untuk mendapatkan
pengetahuan. Seksualitas dalam kondisi dorman karena energi berfokus pada hal yang
lain sehingga anak menjadi kurang perhatian terhadap seksualitas. Anak mulai belajar
tentang peran seks dan suka mengidentifikasi diri (Wong, at al., 2008). Anak usia
sekolah lebih senang berteman dengan sesama jenis dan memiliki banyak pertanyaan
tentang sistem reproduksi. Orang tua perlu waspada karena anak dapat melakukan
coba-coba dengan teman sepermainannya.
2.2.4. Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif (Piaget) menjelaskan bahwa anak usia sekolah
berada pada operasi formal. Anak usia sekolah memiliki pikiran yang fleksibel dan
proses berpikir yang abstrak, serta mampu mengambil keputusan yang logis. Anak usia
sekolah mengalami kemajuan dalam proses berpikir. Anak mulai membuat penilaian
berdasarkan alasan sendiri dan memandang masalah dari sudut pandang orang lain
(egosentris menurun). Kemampuan memori, mengkonservasi, mengklarifikasi,
membaca dan bahasa, imajinasi, serta pemahaman anak berkembang (Wong, at al.,
2008).
2.2.5. Perkembangan Moral
Menurut perkembangan moral, anak usia sekolah berada pada level konvensional.
Pada usia sekolah, anak memiliki perhatian pada kenyamanan dan loyalitas serta
menghargai kelompok-kelompok spesifik. Egosentris anak menurun dan beralih ke

pemikiran logis berdasarkan kebutuhan orang lain. Pada usia ini, terjadi
pengembangan kesadaran diri dan standar moral (Wong, at al., 2008).
2.3.

Konsep Kekerasan Seksual pada Anak


Kekerasan seksual (sexual abuse) adalah penggunaan, persuasi, paksaan pada
setiap anak untuk terlibat dalam perilaku seksual eksplisit untuk mendapat gambar visual,
memperkosa, menganiaya, prostitusi, kontak seksual atau hubungan seksual dengan anak.
(The Child Abuse and Prevention Act (Public Law 100-235)). Jenis kekerasan seksual
dapat dibedakan menjadi kontak dan non kontak.
Kontak:
a. Sentuhan, memainkan atau kontak oral dengan dada atau genital.
b. Memasukkan jari atau benda ke dalam vulva atau anus.
c. Masturbasi oleh orang dewasa didepan anak kecil.
d. Ejakulasi kepada anak, baik dari orang dewasa ke anak maupun dari anak ke
dewasa.
e. Hubungan seks baik vaginal, anal atau oral, dilakukan maupun direncanakan pada
berbagai tingkatan.
Non-kontak:
a. Eksibisionisme.
b. Pornografi dalam berbagai bentuk: foto hubungan seksual atau foto anatomi
tubuh.
c. Memperlihatkan foto, film, atau video porno.
d. Cerita-cerita erotis Eksploitasi seksual lainnya aktivitas sadis.
e. Membakar daerah bokong atau genital anak.
Kekerasan seksual dapat meliputi (Hockenberry, 2003):
a. Inses yaitu aktivitas seksual fisik antara anggota keluarga.
b. Molestasi yaitu kebebasan yang tidak senonoh, seperti menyentuh, memainmainkan, mencium, masturbasi tunggal atau mutual, atau kontak oral-genital.
c. Ekshibisionisme yaitu mempertontonkan secara tidak senonoh.
d. Pornografi anak yaitu mengatur dan memotret, dalam media apapun tindakan
seksual yang melibatkan anak-anak, juga dapat berarti penyebaran bahan tersebut
dalam segala bentuk dengan atau tanpa mengambil keuntungan.
e. Prostitusi anak yaitu melibatkan anak dalam tindakan seks untuk mendapatkan
keuntungan dan biasanya dengan pasangan yang berganti-ganti. secara harfiah
berarti mencintai anak dan tidak menunjukkan tipe aktivitas seksual tetapi
6

merupakan pilihan orang dewasa terhadap anak prapuber sebagai cara dalam
mencapai kepuasan seksual.
Berikut ciri-ciri anak dengan kekerasan seksual (Hockenberry, 1999; Burns at al.,
2013).

Sikap/perilaku
1. Menurunnya kontrol

Fisik (non spesifik)


1. Nyeri berkemih,

Fisik (spesifik)
1. Trauma bersifat

Temuan lainnya
1. Kebanyakan

pengeluaran urin atau

pengeluaran

pemaksaan dan

korban tidak

fekal.

cairan pada

terang-terangan

punya temuan

vagina dan penis,

pada area

pendarahan pada

genital/rektal

vagina, rektal dan

yang tidak

2. Menarik diri (seperti

menghisap jempol,
selalu ingin dekat
orang tua, dan
membutuhkan
keamanan lebih)
3. Ketidakmampuan
untuk tidur sendiri,
mengompol.
4. Banyak
makan/kurang nafsu
makan.
5. Ketakutan yg tidak
biasa/phobia
(terhadap kegelapan,
laki-laki, orang asing,
atau situasi tertentu).
6. Perubahan prestasi di
sekolah, hilang
konsentrasi/mudah
terganggu.
7. Berperilaku
seksual/melakukan
sesuatu yang tidak
sesuai dengan umur.
8. Depresi/kurang aktif,
hubungan dengan
sesame buruk, HDR,
dan marah yang
berlebihan,
9. Kabur dari rumah,
percobaan bunuh
diri, prostitusi,
melakukan hubungan
seksual,
10. Penyalahgunaan zat.
11. Hamil muda,
psikomatik, masalah

penis.
2. Enuresis dan
enkopresis.
3. Peradangan/infla
masi pd uretra
atau kelenjar
limfe, ruam pada
genital/perianal,
pelekatan labia.
4. Nyeri di anal,

gastrointertinal,
pelvis, dan saluran
kemih
5. Trauma pada

genital seperti
memar, cakaran,
gigitan, tanda
remasan, dan
bengkak.
6. Temuan robekan,

noda, dan darah


pada pakaian.
7. Sulit berjalan dan
duduk.
8. Infeksi saluran

sesuai dengan
riwayat akhir
aktivitas
seksualnya.
2. Ditemukannya

yang jelas.
2. Penemuan
bukti
kekerasan
seksual yang
jarang
ditemukan
karena

infeksi menular

penyelidakann

seksual,

ya lama

gonorea, dan

menyebabkan

sifilis, herpes,

tanda-

HIV, dll.

tandanya

3. Kehamilan dan

adanya sperma
dan semen.
4. Adanya sperma.

dapat hilang.
3. Kebanyakan

anak dengan
sexual abuse
tidak dengan
trauma
penetrasi.
4. Hasil
pemeriksaan
pada korban
yang
ditemukan
hasil yang
normal.

kemih yang
berulang.
9. Ada bau yang
tidak biasa pada
genital.
10. Rasa gatal dan

bengkak pada
kelamin.
11. Vaginitis
nonspesifik.

f. Pedofilia yaitu

Bab 3
Pembahasan
3.1.

Analisa dan Aplikasi Konsep At Risk pada Anak Usia Sekolah


Analisis risiko adalah proses mengkaji dan mengevaluasi yang dilakukan untuk
mengidentifikasi intervensi dengan tepat. Tahapan analisis risiko termasuk:
3.1.1. Mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
3.1.2. Meringkas karakteristik bahaya yang diketahui termasuk frekuensi, jenis,
keparahan, sumber dan durasi
3.1.3. Mengintegrasikan informasi dengan riwayat terdahulu atau yang sudah
diketahui
3.1.4. Mengkritik respon terdahulu/ mengkaji informasi penting- mungkin ini
tantangan bagi keluarga untuk mengidentifikasi dampak keseluruhan pada anak
3.1.5. Merefleksikan dan mengkaji pengalaman dari beberapa saudara kandung
anak
Pengkajian meliputi: mengidentifikasi bahaya, faktor anak, faktor orangtua, interaksi
keluarga, faktor lingkungan, dan riwayat proteksi anak.
Aplikasi Konsep At Risk pada Anak Usia Sekolah

3.2.

Kekerasan seksual memiliki banyak dampak negatif bagi pertumbuhan dan


perkembangan anak. Oleh karena itu, perawat berperan penting dalam mencegah
kekerasan seksual terjadi dengan amelibatkan orangtua, guru, maupun orang di sekitar
anak mengingat anak usia sekolah merupakan populasi berisiko mengalami kekerasan
seksual. Kasus Pemicu 1.3 :
Seorang gadis (F) berusia 11 tahun, duduk di kelas 5 SD swasta di daerah pinggiran
Jakarta. F tergolong anak yang periang dan suka bergaul. Namun, satu bulan terakhir
anak F sering panas dan tampak lebih senang sendiri. Ibunda F merasa khawatir akan
kesehatan anaknya, kemudian membawa anak F berobat ke rumah sakit terdekat, sebab
kondisi anak F semakin parah. Anak F mengalami demam tinggi dan kejang. Betapa
terkejutnya bahwa dari hasil pemeriksaan fisik dan forensik diketahui bahwa anak F
mengalami jejas pada area anus dan kemaluan.
Pada kasus diatas, kelompok berasumsi bahwa anak F menagalami kekerasan seksual.
Pada masalah tersebut, jika dilihat dari jenis kekerasan seksual yang diterima anak F,
kemungkinan anak F menjadi korban dari kekerasan seksual jenis molestasi yaitu
kebebasan yang tidak senonoh, seperti menyentuh, memain-mainkan, mencium,
masturbasi tunggal atau mutual, atau kontak oral-genital atau inces, aktivitas seksual fisik
antara anggota keluarga. Hal ini dibuktikan dengan adanya jejas pada area anus dan
kemaluan anak F. Selain itu, karena minimnya data maka belum dapat dipastikan apakah
pelaku kekerasan seksual pada anak F termasuk anggota keluarga anak F ataupun orang
lain. Yang jelas ada kontak seksual antara pelaku kekerasan dengan anak F karena ada
jejas pada anus dan kemaluan anak F.
Jejas pada anus dan kemaluan anak F juga merupakan kemungkinan penyebab akhirakhir ini anak F sering demam dan kondisi terakhir sebelum pemeriksaan didapatkan data
anak F demam tinggi dan kejang. Proses terjadinya jejas pada anak F diakibatkan proses
perkembangan sistem reproduksi pada anak F belum matur. Sistem reproduksi pada anak
perempuan baru akan mencapai kematangan fungsi pada usia remaja.
Pada anak F yang menjadi korban kekerasan seksual maka dapat disimpulkan bahwa
aktivitas seksual dilakukan secara paksa dan tidak melalui tahapan foreplay, yang akan
membuat vagina terlumasi oleh lubrikasi alami, tidak terjadi pada anak F. Hal ini
membuat vagina anak F mengalami iritasi atau jejas. Begitupun pada anus, dimana anus
sama sekali tidak menghasilkan cairan pelumas alami, maka kontak seksual anal lebih
10

berpotensi menimbulkan jejas. Jejas yang ditimbul direspon oleh tubuh sebagai reaksi
inflamasi yang menyebabkan nyeri dan kenaikan suhu tubuh (hipertermi) dan kejang
pada anak F.
Terjadinya kekerasan seksual pada anak F didorong oleh beberapa faktor, diantaranya
data pada kasus yang menjelaskan bahwa anak F bersekolah di sekolah swasta di
pinggiran Jakarta, yang kemungkinan memiliki pengawasan yang kurang tepat terhadap
kondisi dan perilaku seluruh masyarakat sekolah. Kemudian, lingkungan tempat tinggal
di pinggiran Jakarta biasanya dikarakteristikkan dengan status ekonomi rendah dan
lingkungan padat penduduk. Status ekonomi rendah menjadi salah satu faktor yang
mendukung terjadinya kekerasan seksual pada anak F, dikarenakan koping masalah pada
individu dengan status ekonomi rendah kurang beragam dan cenderung tidak efektif.
Kemungkinan terjadi penyalahgunaan media yang mendorong pelaku untuk melakukan
kekerasan seksual pada anak F. Media berperan sangat besar untuk meningkatkan risiko
kekerasan seksual pada anak mengingat banyak kekerasan, pornografi, pornoaksi yang
dapat disaksikan melalui media.
Selain itu, terdapat faktor internal yang berasal dari anak (jenis kelamin, usia,
keluarga) yang mendorong terjadinya kekerasan seksual. Jenis kelamin, perempuan
berisiko lebih besar untuk mengalami kekerasan seksual daripada laki-laki, anak F
berjenis kelamin perempuan. Usia, usia sekolah merupakan usia yang rentan mengalami
kekerasan seksual. Keluarga, hubungan dalam keluarga yang kurang terjalin baik, tidak
terjalankannya fungsi keluarga dengan baik membuat kekerasan seksual berisiko
terjadi.Dalam kasus masalah anak F baru terungkap satu bulan kemudian, mungkin anak
mengalami kesulitan mengungkapkan masalahnya.
Kekerasan seksual pada anak F berpotensi menyebabkan gangguan proses
pertumbuhan dan perkembangan, baik dari segi fisik maupun psikologis. Menurut teori
pertumbuhan dan perkembangan, anak usia sekolah perhatian pada citra tubuh.
Sementara adanya jejas pada anus dan kemaluannya berpotensi membuat anak
mengalami gangguan citra tubuh karena anak merasa berbeda dengan teman seusianya
yang lain, yang tidak menerima kekerasan seksual. Gangguan citra tubuh ini akhirnya
menyebabkan anak F mengalami gangguan harga diri dan mengalami perubahan sikap
dari semula periang dan mudah bergaul menjadi senang menyendiri.

11

Selain itu, dipandang dari teori psikoseksual, Freud menjelaskan bahwa seksualitas
anak usia sekolah berada pada masa laten atau dorman, dikarenakan fokus dan perhatian
terpusat pada banyak hal lain. Adanya aktivitas seksual secara paksa dan lebih dini
menyebabkan

anak

berpotensi

mengalami

gangguan

dalam

perkembangan

psikoseksual.
Sedangkan menurut teori Erikson, tahapan perkembangan kepribadian pada anak usia
sekolah adalah rasa pencapaian (industry) versus rasa kurang berharga (inferiority).
Kekerasan seksual yang terjadi akan membuat anak merasa kurang berharga karena tidak
dapat beraktivitas sosial dan tidak bisa mencapai apa yang diinginkan. Kekerasan seksual
juga mengganggu konsep diri yang positif. Usia sekolah adalah masa dimana anak sering
mengevaluasi dan memandang diri dan tubuhnya. Anak yang mengalami kekerasan
seksual cenderung merasa dirinya jelek, tidak berharga, tidak bahagia, tidak seperti teman
lainnya. Anak juga bisa memandang tubuhnya dengan negatif. Anak mengalami kesulitan
berhubungan dengan teman sebaya dan menjadi bermusuhan dengan orang dewasa
sehingga anak sering menarik diri, padahal dalam perkembangan anak usia sekolah,
teman sebaya dan orang dewasa merupakan bagian penting dan berperan dalam
perkembangan psikososialnya.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam mencegah kekerasan
seksual terjadi, diantaranya:
Hal yang dapat dilakukan oleh orang tua yaitu pertama komunikasi yang baik. Orang
tua mendengarkan dengan seksama keluh kesah atau perasaan anak, bukan
menginterogasi anak.

Berikan kesempatan pada anak untuk membicarakan tentang

pelecehan seksual yang dialaminya,. Bantu anak untuk mengekspresikan diri dan
mengungkapkan perasaannya baik dalam bentuk gambar maupun tulisan. Dukung anak
dengan memberi pujian dan simpati, dan tidak menyalahkan atau marah-marah. Cegah
anak untuk merenung terlalu lama dan membicarakan kejadian tersebut berulang-ulang.
Keluarga lainnya juga perlu ikut membantu pemulihan anak tersebut.
Setelah itu, orang tua perlu bersikap normal dan mendorong anak untuk melanjutkan
aktivitas sehari-harinya seperti biasa. Pengawasan terhadap anak perlu dilakukan, namun
tidak berlebihan karena mungkin dapat menyebabkan anak merasa takut dan bingung.
Orang tua sebaiknya membuat anak menjadi mandiri, namun tetap tidak terlepas dari
pengawasan orang tua.

12

Ketiga, orang tua perlu mengamati adanya perubahan perilaku anak. Mungkin saja
terjadi perubahan perilaku seperti sering diam di kamar, tidak mau sekolah, dan gangguan
pola tidur.
Terakhir, orang tua juga perlu membantu anak untuk berinteraksi dengan lingkungan
sosial. Orang tua dapat memberikan perhatTn yang lebih, berhati-hati karena mungkin
pelaku masih bermaksud jahat, mengajak tetangga untuk saling menjaga anak-anak, dan
menyediakan informasi kesehatan dan keamanan pada pendidikan seksual di sekolah.

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
4.1.

Kegunaan Positif dan Negatif Konsep At Risk


Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa at risk merupakan istilah yang
digunakan untuk menunjukkan kemungkinan terjadinya masalah kesehatan akibat dari
interaksi berbagai faktor pada sekelompok orang tertentu. Pada usia sekolah, anak senang
bermain dan bersosialisasi, penuh rasa ingin tahu, banyak perhatian pada citra tubuh,
mempunyai banyak pertanyaan-pertanyaan tentang seksualitas, namun lebih menghargai
teman sebaya sebagai tempat mencurahkan isi hatinya daripada orangtua. Selain itu anak
berjenis kelamin perempuan lebih berisiko mengalami kekerasan seksual daripada lakilaki.
Anak yang tinggal dalam keluarga dimana fungsi-fungsi keluarga terganggu,
seperti fungsi afektif, sosialisasi, dan sebagainya juga berisiko mengalami kekerasan
seksual. Seringnya menggunakan media cetak dan elektronik memberikan risiko
terjadinya juga perilaku kekerasan seksual dengan anak sebagai pelaku kekerasan.
Lingkungan dimana tingkat kriminalitas tinggi, tingkat ekonomi menengah ke bawah
serta peran sekolah yang kurang berpengaruh juga memberikan risiko terjadinya
kekerasan seksual.
Dengan mengetahui faktor-faktor risiko, perawat dapat mengetahui kemungkinan
masalah kesehatan yang dapat timbul pada berbagai kelompok usia. Hal ini sangat
berguna untuk mencegah klien mendapatkan potensi atau kerentanan (vulnerablity)
13

terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit yang pada akhirnya dapat membuat klien
mengalami masalah kesehatan. Dalam kasus ini, perawat dapat menganalisa bahwa anak
usia sekolah merupakan usia yang berisiko mengalami kekerasan seksual, sehingga
perawat dapat membantu memberikan intervensi keperawatan yang bersifat preventif.
Perawat juga berperan melibatkan keluarga dalam pengawasan dan pendidikan
seks pada anak dalam menekan angka kekerasan seksual pada anak. Pengetahuan
mengenai tugas perkembangan anak yang membuat anak berisiko mengalami kekerasan
seksual juga memudahkan perawat dalam mengidentifikasi dan mengungkapkan kejadian
kekerasan seksual yang sebagian besar tidak terungkap.
Sementara itu, faktor-faktor resiko masalah kesehatan pada anak usia sekolah juga
memiliki sisi negatif. Salah satunya yaitu mempelajari konsep resiko saja pada masalah
yang sudah terjadi belum cukup dalam menyelesaikan masalah. Karena mempelajari
konsep at risk lebih menekankan pada tindakan promotif dan preventif suatu masalah
terjadi. Pada kasus dimana kekerasan seksual sudah terjadi, maka faktor resiko hanya
dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk mencegah
terjadinya kekerasan seksual berulang. Selain itu, mengingat konsep resiko adalah
kemungkinan terjadi atau tidak terjadinya suatu masalah dan bersifat subjektif, maka
dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang kurang tepat, tidak sesuai dengan
kebutuhan klien.
4.2.

Implikasi Aplikasi Konsep At Risk pada Pengembangan Kebijakan


Keperawatan Komunitas dan Promosi Kesehatan
Populasi at risk menjadi target dalam intervensi sebagai upaya preventif atau
mengendalikan masalah. Perawat yang mengetahui suatu populasi at risk bisa
menerapkan intervensi preventifnya. Hal ini dapat membantu mengendalikan
permasalahan yang ada. Konsep at risk menekankan pada kemungkinan suatu masalah
dapat terjadi pada suatu populasi. Dalam hal ini suatu masalah tersebut belum tentu
terjadi, namun memiliki kemungkinan untuk terjadi, jika didukung oleh faktor-faktor
presipitasi masalah. Konsep resiko dipelajari dan diaplikasikan untuk membantu
komunitas terhindar dari suatu masalah. Dengan mempelajari konsep resiko akan dapat
membantu perawat komunitas dalam menganalisa keputusan yang tepat terkait tindakan

14

yang bersifat promotif dan preventif agar komunitas dapat terhindar dari masalah, dan
mencegah komunitas mendapat kerentanan terhadap suatu masalah tersebut.
4.3.

Asuhan Keperawatan pada Anak F dengan Kekerasan Seksual


4.3.1. Pengkajian Anak dengan Kekerasan Seksual
Anamnesa :
1. History of Injury:

Tanggal, waktu, dan tempat terjadinya,

Urutan kejadian dengan waktu tercatat verbal, kontak mata, menyentuh,


perhatian orang tua) ,

Nama, usia, dan kondisi anak-anak lain di rumah (jika mungkin)

2. Tanyakan kembali identitas yang bersangkutan, terutama umur dan


perkembangan seks, serta kegiatan seksualnya selama dua minggu terakhir
(hubungan seksual terakhir sebelum kejadian, siklus haid, haid terakhir, dan
apakah masih haid saat kejadian)
Pemeriksaan Fisik :
1. Catat tanda-tanda vital , tinggi badan, berat badan
2. Perhatikan sikap dan perilaku anak selama pemeriksaan
3. Periksa seluruh permukaan tubuh dalam cahaya yang baik
4. Menjelaskan dan mendokumentasikan semua cedera , khususnya mencatat
lokasi dan ukuran , dengan deskripsi yang lengkap ( yang meliputi jenis,
warna , tingkat keparahan , sembuh atau tidak )
5. Periksa dan perhatikan setiap daerah ketidaknyamanan dan nyeri . Memar
bisa memakan waktu hingga 24 jam untuk muncul , dan karena itu
penyelidikan tindak lanjut mungkin diperlukan. Lokasi, ukuran, bentuk,
dan warna memar: perkiraan lokasi, ukuran, dan bentuk pada draeing dari
garis tubuh karakteristik yang membedakan, seperti memar dalam bentuk
tangan, round bakar (mungkin disebabkan oleh rokok) simetri atau
asimetri cedera
6. Beri perhatian khusus pada mata , mulut , kulit kepala dan bibir lihat
untuk petechiae, memar , lecet , gigitan dan tanda hisap .
7. Examination of the anus,peri-anal region, and medial aspect of the thighs
Pemeriksaan lain:
1. Darah (Tes untuk sifilis, HIV dan hepatitis)
a. Serologi HIV
15

Waktu minimum untuk tes HIV menjadi positif 20 - 24 hari


Informed consent dan konseling pra dan pasca tes untuk orang tua
/ wali anak diminta sebelum darah diuji untuk HIV
Tes harus diulang pada tiga dan enam bulan
b. Serologi sifilis ( misalnya VDRL )
Waktu minimum untuk VDRL menjadi positif adalah 20-24 hari
Tes harus diulang pada tiga dan enam bulan
c. Toksikologi jika diindikasikan ( beberapa obat dapat ditemukan dalam
serum sampai satu minggu setelah konsumsi dalam kasus-kasus
pelecehan seksual anak obat - difasilitasi ) .
2. air seni
a. spesimen Midstream urine untuk mikroskopi , kultur dan sensitivitas
b. Tes kehamilan jika ada indikasi
c. Toksikologi jika diindikasikan : vagina , penis , anus dan swab oral
untuk IMS mikroskop , kultur dan sensitivitas
3. Pengambilan sekresi vagina untuk melihat adanya bukti sperma dan darah,
pemeriksaan culture gonokokus (untuk infeksi)
4. Lab Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah
sexual abuse
5. Analisa rambut pubis.
Forensik biasanya selalu dikaitkan dengan tindak pinada (tindak melawan
hukum). Dalam buku-buku ilmu forensik pada umumnya ilmu forensik diartikan
sebagai
penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk
kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus
kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis
(pengujian) barang bukti merupakan alat utama dalam penyidikan tersebut. Dalam
pelaksanaannya uji forensic sama dengan tes laboratorium.

Hasil Pemeriksaan pada kasus


Nama : Nn.F
Usia : 11 tahun
Pemeriksaan fisik:
Perilaku : penyendiri
16

Fisik : hipertermi, kejang, terdapat jejas pada area anus dan kemaluan.
4.3.2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. DO : satu bulan terakhir anak F sering panas
anak F mengalami demam tinggi dan kejang
DS :Diagnosa :
a. Hipertermi
b. Risiko defisit volume cairan
c. Risiko trauma
2. DO : berdasarkan pemeriksaan fisik dan forensik diketahui bahwa anak F
mengalamijejas pada anus dan kemaluan
DS : Diagnosa :
a.nyeri
b. risiko infeksi
c. kerusakan integritas kulit
d. gangguan citra tubuh

3. DO : satu bulan terakhir anak F tampak lebih sering sendiri


DS : sebelumnya anak F tergolong anak yang periang dan suka bergaul
Diagnosa :
a. Koping individu tidak efektif
b. Risiko trauma
c. Harda diri rendah situasional
d. Isolasi sosial
17

4. DO : DS : Ibunda anak F merasa khawatir akan keadaan anaknya, kemudian


membawa anak F berobat ke rumah sakit terdekat.
Diagnosa : gangguan fungsi keluarga.
Berdasarkan beberapa masalah keperawatan yang muncul dari kasus diatas,
kelompok merumuskan tiga prioritas diagnosa keperawatan utama.
1. Diagnosa : Hipertermi berhubungan dengan respon trauma pada anus dan
kemaluan.
DO
DS

Demam tinggi dan kejang

Perubahan sifat menjadi senang menyendiri

Tujuan
Kriteria hasil
Dalam...x... suhu Suhu tubuh
tubuh anak dalam
anak dalam
rentang normal,
rentang
36,5-37,5 C .
36,5-37,5
C.

Intervensi
Beri kompres air
hangat.

Anjurkan anak untuk


banyak minum 15002000 cc/hari atau
sesuai toleransi
Anjurkan anak untuk
memakai pakaian
yang tipis dan mudah
menyerap keringat

Rasional
Terjadi
perpindahan panas
secara konduksi
Untuk mengganti
cairan tubuh yang
hilang karena
evaporasi
Memberikan rasa
nyaman.

2. Diagnosa : Resiko trauma berhubungan dengan kekerasan seksual pada anak


DO
DS

sejak satu bulan terakhir anak F tampak lebih senang sendiri


sebelumnya anak F termasuk anak yang periang dan suka bergaul.

Tujuan
Dalam...x... anak tidak
akan mengalami trauma
dan kekerasan seksual
berulang.

Kriteria hasil
Anak tidak
mengalami
kekerasan
lebih lanjut

Intervensi
Bantu relokasi
anak dari
lingkungan
yang tidak
aman dan

Rasional
Untuk menghindari
keberanjutan
kekerasan seksual

18

Anak tidak
mengalami
trauma
psikologis,
dibuktikan
dengan
keterlibatan
anak dalam
interaksi
sosial.

tempatkan anak
pada
lingkungan
yang aman.
Rujuk keluarga
ke lembaga
sosial untuk
mendapatkan
bantuan
keuangan,
makanan,
pakaian, tempat
tinggal serta
pelayanan
kesehatan.
Identifikasi dan
simpan temuan
berupa kondisi
fisik anak, sikap
anak terhadap
orang tua, orang
lain dan
lingkungan.
Kolaborasikan

dengan tim
multi disiplin
untuk menilai
kemajuan
kondisi
psikologis anak

Untuk membantu
mencegah
pengabaian

Untuk dokumentasi

Menilai kemajuan
psikologis anak.

2. Diagnosa : Ketidakefektifan koping berhubungan dengan trauma psikologis.


Tujuan

Kriteria Hasil

Intervensi

Dalam...x....anak
menunjukan
keefektifan koping.

Menunjukan koping yang


efektif. Dibuktikan oleh
indikator sebagai berikut

Mengidentifikasi
pola koping yg
efektif.

Mencari informasi
terkait dengan

Rasional

Membantu pasien
untuk beradaptasi
dengan persepsi
stresor,
perubahan, atau
ancaman yang
mengganggu
pemenuhan

Peningkatan
koping

19

penyakit dan
pengobatan.

tuntutan peran.

Menggunakan
strategi koping
yang paling efektif.

Memberikan
penenangan,
penerimaan, dan
dorongan periode
stress

Peningkatan
peran.Membantu
pasien, orang
terdekat pasien
atau anggota
keluarga untuk
memperbaiki
hubungan dengan
mengklarifikasi.

Membantu

pasien untuk
meningkatkan
penilaian
personal terhadap
harga dirinya.

Bantuan
Emosi

Peningkatan
harga diri.

20

Bab V
Penutup
5.1. Kesimpulan
Kekerasan seksual merupakan aktivitas seksual yang dilakukan oleh seseorang
terhadap orang lain untuk memenuhi kepuasan seksualnya. Kekerasan seksual bisa terjadi
pada siapapun termasuk anak-anak. Kekerasan seksual pada anak merupakan kekerasan
seksual yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa kepada anak dibawah unur secara
kontak ataupun non-kontak untuk memenuhi kepuasan seksual orang tersebut. Pada
kasus, anak f mengalami perubahan secara fisik dan psikososial, sebelumnya anak F
merupakan anak yang periang dan senang bergaul, namun sebulan kemudian anak F
menjadi pemurung dan sering demam tinggi dan kejang. Dari hasil pemeriksaan forensik
didapatkan pada anus dan vagina anak F terdapat jejas, sehingga dipastikan bahwa anak F
mengalami kekerasan seksual. Hal tersebut juga bisa dilihat dari tanda dan gejala yang
dialami oleh anak F, seperti menjadi lebih pendiam, menarik diri dari lingkungan, dan
terdapat jejas pada bagian anus dan vaginanya. Pada kasus anak f sedang berada dalam
usia sekolah dimana fisik, psikososial, dan seksual sedang mengalami perkembangan.
keadaan yang dialami anak f dapat mengganggu tumbuh dan kembangnya. baik peran
perawat maupun orang tua dibutuhkan dalam kasus ini. salah satu peran perawat sebagai
caregiver, perawat menyusun asuhan keperawatan yang tepat untuk membantu anak dan
keluarga menghadapi masalah kesehatannya.

21

5.2. Saran
Anak merupakan bagian dari area keperawatan. Pengetahuan yang baik mengenai
kebutuhan anak dalam hal ini kebutuhan aman dan nyaman, nilai dan keyakinan, serta
seksualitas dan reproduksi merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat.
Pertumbuhan dan perkembangan anak pada tahapan usia tertentu juga perlu diperhatikan.
Masalah-masalah kesehatan pada anak dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Perawat juga perlu menambah kemampuan diri untuk menyusun
asuhan keperawatan yang tepat. Oleh karena itu, pokok bahasan pemenuhan kebutuhan
aman dan nyaman, nilai dan keyakinan, serta seksualitas dan reproduksi ini perlu
dipahami dan diaplikasikan dengan baik oleh mahasiswa sebagai persiapan untuk dapat
memberikan asuhan keperawatan pada anak yang semakin berkualitas ketika menjadi
seorang perawat.

22

Daftar Pustaka

Alender, Rector, & Warner. (2010). Community health nursing promoting


and protecting the publics healath (7th ed.). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Behman, Kliegman, & Arvin Nelson. 1996. Nelson textbook of pediatrics 15th edition (Terj.
oleh A. Samik Wahab). Jakarta: EGC.
Burns, E. et all. (2013).Pediatric primary care 5th ed. Philadelphia : Elsevier
Hockenberry, Marilyn & Wilson, David. (2005). Wongs pediatric Nursing 8th Ed. St.Louis:
Mosby.
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282413-T%20Siti%20Badriah.pdf
Lundy, K.S., & Janes, S, (2009). Commnity health nursing (2nd ed.). Jones and Bartlett: USA.
McEwen, M., & Nies, M. A. (2001). Community / public health nursing: Promoting the
health of population. Washington: WB Saunders Company.
Muscari, Mary E. 2001. Lippincotts reeview series: Pediatric nursing 3th edition (Terj. Oleh
Alfrina Hany). Jakarta: EGC

23

Nies, M. A., & McEwen, M. (2007). Community/public health nursing (4th ed.). Elseveir:
Canada.
Stanhope & Lancester. (2002). Community and public health nursing (5th
ed.). St. Louis: Mosby.
Wong, D. L. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik Wong. Ed. 6, Vol. 1. (Terj. oleh Agus
Sutarna, dkk). Jakarta: EGC

24

Anda mungkin juga menyukai