Anda di halaman 1dari 23

KEPERAWATAN ANAK II

PENGKAJIAN PADA ANAK DENGAN KEKERASAN FISIK MENTAL DAN SEKSUAL

Disusun oleh:

Amelia Rizky Damayanti 11161004

Aribathanisa Candra 11161005

Fithria Septiani 11161016

Ira Andriyanah 11161020

Kinanti Hassin Khuluqi 11161021

Nurfadilah Subana 11161028

Rachma Alif Aulia 11161030

Shafira Amalia 11161036

REGULER 9A
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA
2018/2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 1


1.1 LANDASAN TEORI .......................................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH .................................................................................................................... 2
1.3 TUJUAN ............................................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................................. 3
2.1 DEFINISI ............................................................................................................................................ 3
2.2 KLASIFIKASI CHILD ABUSE......................................................................................................... 5
2.3 ETIOLOGI .......................................................................................................................................... 7
2.4 DAMPAK CHILD ABUSE .............................................................................................................. 10
2.5 MANIFESTASI KLINIS .................................................................................................................. 12
2.6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENGANIAYAAN PADA ANAK ..................... 14
2.7 ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CHILD ABUSE................................................. 17
BAB III PENUTUP .................................................................................................................................... 19
3.1 KESIMPULAN ................................................................................................................................. 19
3.2 SARAN ............................................................................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LANDASAN TEORI

Dewasa ini sering kita dengar terjadinya penganiayaan/perlakuan salah terhadap anak, baik
yang dilakukan oleh keluarga ataupun oleh pihak-pihak lain. Dalam bidang kedokteran
sendiri, child abuse ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1860, di Perancis. Dimana 320
orang anak meninggal dengan kecurigaan akibat perlakuan yang salah.
Memang sangat sukar kita percayai bahwa seseorang anak yang seharusnya menjadi tempat
curahan kasih sayang dari orang tua dan keluarganya, malah mendapatkan penganiayaan
sampai harus dirawat di Rumah Sakit ataupun sampai meninggal dunia.
Insidennya :
1. Hampir 3 juta kasus penganiayaan fisik dan seksual pada anak terjadi pada tahun 1992
2. Sebanyak 45 dari setiap 100 anak dapat mengalami penganiayaan
3. Lebih dari 100 anak meninggal setiap tahunnya karena penganiayaan dan pengabaian
4. Penganiayaan seksual paling sering terjadi pada anak perempuan, keluarga tiri, anak-anak
yang tinggal dengan satu orang tua atau pria yang bukan keluarga
Di Indonesia ditemukan 160 kasus penganiyaan fisik,72 kasusu penganiyaan mental,dan
27 kasus penganiyaan seksual ( diteliti oleh Heddy Shri Ahimsa Putra,Tahun 1999 ).
Sedangkan menurut YKAI didapatkan data pada tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995
meningkat menjadi 421 dan tahun 1996 menjadi 476 kasus.
Setiap negara bagian mempunyai undang-undang yang menjelaskan tanggung jawab legal
untuk melaporkan jika terdapat kecurigaan penganiayaan anak. Kecurigaan penganiayaan
anak harus dilaporkan ke lembaga layanan perlindungan anak setempat. Pelapor yang diberi
mandat untuk melapor adalah perawat, dokter, dokter gigi, dokter anak, psikologi dan ahli
terapi wicara, peneliti sebab kematian, dokter, karyawan lembaga penitipan anak, pekerja
layanan anak-anak, pekerja sosial, guru sekolah. Kegagalan seseorang untuk melaporkan
orang tersebut didenda atau diberi hukuman lain, sesuai dengan status masing-masing.
Di Indonesia tanggung jawab pelaku pencederaan anak tertera dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang pasalnya berkaitan dengan jenis dan akibat pencederaan

1
anak. Kemunculan Undang – undang no.23/2002 tentang Perlindungan Anak menjadi
secercah cahaya untuk mengurangi terjadinya child abuse .

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa definisi dari kekerasan pada anak?


2. Apa klasifikasi dari child abuse?
3. Apa etiologi dari child abuse?
4. Apa dampak dari child abuse?
5. Apa manifestasi klinis dari child abuse?
6. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan penganiayaan pada anak?
7. Bagaimana pengkajian pada anak dengan kekerasan fisik mental dan seksual?

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui definisi dari kekerasan pada anak.


2. Untuk mengetahui klasifikasi dari child abuse.
3. Untuk mengetahui etiologi dari child abuse.
4. Untuk mengetahui dampak dari child abuse.
5. Untuk mengetahui manifestasi dari child abuse.
6. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan penganiayaan pada anak.
7. Untuk mengetahui pengkajian pada anak dengan kekerasan fisik mental dan seksual.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Pada awalnya terminologi tindak kekerasan atau child abuse berasal dari dunia kedokteran.
Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Ibnu Anshori, 2007) melaporkan kasus
berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures)
pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized
trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh
dalam Anshori, 2007).
Kasus yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry
Kempe tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical Assosiation, dan
melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata terjadi 302 kasus tindak
kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan
yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan otak yang permanen. Henry (dalam Anshori,
2007) menyebut kasus penelentaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah
Battered Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan
perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain.
Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan
yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik seperti
diatas, juga gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi
seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang
gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis
(Gelles dalam Anshori, 2007).
Menurut Sutanto (2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih
tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan
terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.

3
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal
tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang
termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik
secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di
dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan
tersebut dilakukan di dalam rumah.
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua
adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan,
perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang
anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di
lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak
cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih
mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak patut.
Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini dengan kekerasan. Bagi
orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan
yang dilakukan anak itu melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2015) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada
tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain.
Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang
merusak.
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya
untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2015).
Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian.
Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan
dan mental.kekerasan anak
Menurut Andez (2015) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai
dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan
perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking atau jual-beli anak.

4
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan
oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang
memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya, misalnya orang tua,
keluarga dekat, dan guru.
Nadia (2014) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik
fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan
anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan
psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan
bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang
seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Hoesin (2015) melihat kekerasan terhadap anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-
hak anak. dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga mencegahnya dapat
dilakukan oleh para petugas penegak hukum. Sedangkan Patilima (2015) menganggap
kekerasan merupakan perlakuan yang salah orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan
salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam
kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial, maupun mental.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala
bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.
Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala
perlakuan buruk terhadap anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang
seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka. Child abuse adalah suatu kelalaian
tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang merawat anak yang mengakibatkan anak
menjadi terganggu mental maupun fisik, perkembangan emosional, dan perkembangan anak
secara umum. Sementara menurut U.S Departement of Health, Education and
Wolfare memberikan definisi Child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan
seksual dan penelantaran terhadap anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang
yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan
kesejahteraan anak terancam.

2.2 KLASIFIKASI CHILD ABUSE

5
Macam – macam Child Abuse :
1. Emotional Abuse
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror,
mengabaikan anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa
dirinya tidak dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan menyebabkan
kerusakan mental fisik, sosial, mental dan emosional anak.
Indikator fisik kelainan bicara, gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan.
Indikator perilaku kelainan kebiasaan ( menghisap, mengigit, atau memukul-mukul ).
2. Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan
yang dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa luka
memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan.
Indikator fisik – luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut,
cakaran. Indikator perilaku – waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku
ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke rumah,
menipu, berbohong, mencuri.
3. Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti
tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau meninggalkan
anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.
Indikator fisik–kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya
perhatian, masalah kesehatan yang tidak ditangani. Indikator kebiasaan. Meminta atau
mencuri makanan, sering tidur, kurangnya perhatian pada masalah kesehatan, masalah
kesehatan yang tidak ditangani, pakaian yang kurang memadai ( pada musim dingin ),
ditinggalkan.
4. Sexual Abuse
Termasuk menggunakan anak untuk tindakan sexual, mengambil gambar
pornografi anak-anak, atau aktifitas sexual lainnya kepada anak. Indikator fisik , kesulitan
untuk berjalan atau duduk, adanya noda atau darah di baju dalam, nyeri atau gatal di area
genital, memar atau perdarahan di area genital / rektal, berpenyakit kelamin.

6
indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak
sesuai dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya,
tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif / berperilaku yang
menggairahkan, penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku regressif (
misal: ngompol ).
Bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam Undang-undang no. 23 tahun 2004
mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), dimana ingkup
rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi suami, isteri dan anak, yaitu;
1. Kekerasan fisik; Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;
2. Kekerasan psikis adalah; Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat pada seseorang;
3. Kekerasan seksual adalah kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf c meliputi: Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetapkan dalam lingkup hidup rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu,
4. Penelantaran rumah tangga. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup
rumah tangganya, penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut..

2.3 ETIOLOGI

7
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse,
yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki kelainan
mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak memahami
tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak sesuai dengan
keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi sosial
atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari rumah lain, sehingga tidak ada orang
lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi
pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat,
hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan
suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR saat
bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama, padahal pada beberapa hari
inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu berpengaruh
jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi misalnya adanya
tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian
tersebut akan membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak ada orang lain yang
menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada siapa saja, baik yang
mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka child abuse dapat
terjadi pada semua tingkatan.
Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak, karena
wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih banyak
melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih besar untuk
melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik
maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:

1. Stress yang berasal dari anak.

8
a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak berbeda
dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak mengalami cacat fisik.
Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan anak lain yang mempunyai fisik
yang sempurna.
b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak
mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan di
sekitarnya.
c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung mengalami
banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki temperamen keras. Hal
ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen keras cenderung akan melawan
bila dibandingkan dengan anak bertemperamen lemah.
d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya dan
berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di dalam
keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan orangtua
menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil perkawinan sendiri,
sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang kuat antara anak angkat
dan orang tua.
2. Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang
menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini berhubungan kuat
dengan kelangsungan hidup. Sehingga apapun akan dilakukan oleh orangtua terutama
demi mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus mengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga berpengaruh
besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan sekitarlah yang
menjadi faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan kehilangan
kasih sayang dari kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku
kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orangtua,
misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb.

9
3. Stress berasal dari orang tua
a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab anak
selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah pada
masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya sebagai
bentuk pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat
orangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi memenuhi
kebutuhan anak, orangtua cenderung menjadikan anak sebagai pelampiasan
kekesalannya dengan melakukan tindakan kekerasan.

2.4 DAMPAK CHILD ABUSE

Moore (dalam Nataliani, 2014) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang
tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan
ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore
juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga
rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004)
mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki
keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child
abuse), antara lain:
1. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan
menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-
anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan
menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2015)
menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan
buruk yang diterima manusia ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung

10
berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak,
meninggalkan bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi
orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk
(coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali),
penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan,
dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (2013), kekerasan psikologis sukar
diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti
penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang
termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan
membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan
obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
3. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2014) diantara korban yang
masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma
akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah.
Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai
sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak
yang masih kecil pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak
mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll
(dalam Nadia, 2013)
4. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini
adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (2014)
mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya
perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan
mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
5. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2015) adalah kelalaian dalam mendapatkan
pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam
pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan
lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga
sehingga anak terpaksa putus sekolah.

11
Berdasarkan uraian diatas dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain:
a. Kerusakan fisik atau luka fisik.
b. Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif.
c. Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan
obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh diri.
d. Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma mendalam pada
anak, takut menikah, merasa rendah diri, dll.
e. Pendidikan anak yang terabaikan
Anak yang mengalami kekerasan/ penganiayaan akan berakibat panjang. Mereka akan
mengalami gangguan belajar, retardasi mental, gangguan perkembangan temasuk
perkembangan bahasa, bicara, motorik halusnya. Dalam penelitian juga diperoleh bahwa IQ
anak yang mengalami kekerasan/penganiayaan akan rendah daripada yang tidak. Mereka juga
mengalami gangguan dalam konsep diri dan hubungan sosial. Teman-teman menganggap
mereka sebagai anak yang suka menyendiri atau pembuat onar. Hal ini akan berlanjut hingga
dewasa, dalam memilih pasangan hidup.

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah
tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ
dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf,
gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang
mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak mendaapat
perlakuan salah.
Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
1. Kecerdasan
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan
kognitif, bahasa, membaca, dan motorik. Retardasi mental dapat diakibatkan trauma
langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.Pada beberapa kasus keterlambatan ini
diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.

12
2. Emosi
Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif, atau
bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain,
termasuk kemampuan untuk percaya diri.
Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan
dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan.
Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur,
tempretantrum, dsb.
3. Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak
dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada
yang mencoba bunuh diri.
4. Agresif
Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresifterhadap teman
sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau
mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep
diri.
5. Hubungan social
Pada anak2 ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan
orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa,
misalnya dengan melempari batu atau perbuatan2 kriminal lainnya.
Akibat dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:
1. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan
perdarahan anus.
2. Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia,
atau perubahan tingkah laku.
3. Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus anak.
4. Sindrom munchausen
Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:

13
a. Gejala yang tidak biasa/tidak spesifik
b. Gejala terlihat hanya kalau ada orangtuanya
c. Cara pengobatan oleh orangtuanya yang luar biasa
d. Tingkah laku orangtua yang berlebihan.

2.6 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PENGANIAYAAN PADA ANAK

Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan pada


anak dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan
kesehatan tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child abuse.
Hal yang dapat dilakukan oleh perawat adalah dengan memberikan pendidikan kepada
keluarga tentang pertumbuhan dan perkembangan anak, serta cara menghadapi stress saat
menjadi orang tua. Browne mengemukakan, setidaknya skrening melibatkan 3 orang perawat
yang akan datang pada 9 bulan pertama kehidupan. Pada kunjungan pertama dilakukan
pengkajian atas adanya faktor yang berhubungan dengan abuse dan neglect, Pada kunjungan
selanjutnya perawat mengexplorasi persepsi orang tua tentang tentang anak dan stressor si
keluarga. Pada kunjungan ke tiga perawat melihat kembali tentang kebiasaan bayi dan
pengasuhannya. Mengamati pertumbuhan dan perkembangannya, dan membantu orang tua
untuk mengenali perkembangan yang sesuai dengan usia anak. Orang tua yang beresiko
menjadi abusive parents akan memiliki perkiraan yang tidak realistik tentang pertumbuhan
dan perkembangan anak, misalnya bayi berusia 6 bulan dianggap harus didisiplinkan karena
tidak dapat mengikuti toilet training. (Smith and Maurer, 2012)
Selain hal di atas, perawat juga hendaknya mengamati hubungan antara orang tua dengan
anak. Salah satu indikator kunci adalah kurangnya bonding antara ibu dan anak. . Bila bonding
lemah, maka perawat dapat meningkatkan pegasuhan dan kepercayaan diri orang tua sebagai
pengasuh anak.
Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak adalah melalui:
1. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang
ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat.
a. Prevensi primer
Tujuan: Promosi orangtua dan keluarga sejahtera.

14
Individu
1) Pendidikan kehidupan keluarga di sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat
2) Pendidikan pada anak tentang cara penyelesaian konflik
3) Pendidikan seksual pada remaja yang beresiko
4) Pendidikan perawatan bayi bagi remaja yang merawat bayi
5) Pelayanan referensi perawatan jiwa
6) Pelatihan bagi tenaga profesional untuk deteksi dini perilaku kekerasan.
Keluarga
1) Kelas persiapan menjadi orangtua di RS, sekolah, institusi di masyarakat
2) Memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orangtua baru
3) Rujuk orangtua baru pada perawat Puskesmas untuk tindak lanjut (follow up)
4) Pelayanan sosial untuk keluarga
Komunitas
1) Pendidikan kesehatan tentang kekerasan dalam keluarga
2) Mengurangi media yang berisi kekerasan
3) Mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat, seperti: pelayanan krisis,
tempat penampungan anak/keluarga/usia lanjut/wanita yang dianiaya
4) Kontrol pemegang senjata api dan tajam.
b. Prevensi sekunder
Tujuan: diagnosa dan tindakan bagi keluarga yang stress

Individu
1) Pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian kekerasan pada keluarga pada tiap
pelayanan kesehatan
2) Rencana penyelamatan diri bagi korban secara adekuat
3) Pengetahuan tentang hukuman untuk meminta bantuan dan perlindungan
4) Tempat perawatan atau “Foster home” untuk korban.
Keluarga
1) Pelayanan masyarakat untuk individu dan keluarga

15
2) Rujuk pada kelompok pendukung di masyarakat (self-help-group). Misalnya:
kelompok pemerhati keluarga sejahtera
3) Rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang memberikan pelayanan pada
korban.
Komunitas
1) Semua profesi kesehatan terampil memberikan pelayanan pada korban dengan
standar prosedur dalam menolong korban
2) Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi respon, melaporkan,
pelayanan kasus, koordinasi dengan penegak hukum/dinas sosial untuk pelayanan
segera.
3) Tim pemeriksa mayat akibat kecelakaan/cedera khususnya bayi dan anak.
4) Peran serta pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah setempat.
5) Pendekatan epidemiologi untuk evaluasi
6) Kontrol pemegang senjata api dan tajam

c. Prevensi tertier
Tujuan: Redukasi dan rehabilitasi keluarga dengan kekerasan

Individu
1) Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi korban
2) Konseling profesional pada individu
Keluarga
1) Reedukasi orangtua dalam pola asuh anak
2) Konseling profesional bagi keluarga
3) Self-help-group (kelompok peduli)
Komunitas
1) “Foster home”, tempat perlindungan
2) Peran serta pemerintah
3) “follow up” pada kasus penganiayaan dan kekerasan
4) Kontrol pemegang senjata api dan tajam
2. Pendidikan

16
Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang sangat
pribadi, yaitu penis, vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu ditekankan
bahwa bagian tersebut sifatnya sangat pribadi dan harud dijaga agar tidak diganggu orang
lain. Sekolah juga perlu meningkatkan keamanan anak di sekolah. Sikap atau cara
mendidik anak juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi aniaya emosional. Guru juga
dapat membantu mendeteksi tanda2 aniaya fisik dan pengabaian perawatan pada anak.
3. Penegak hukum dan keamanan
Hendaknya UU no.4 thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan secara
konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan dan kekerasan.
Bab II pasal 2 menyebutkan bahwa “anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar.
4. Media massa
Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh
artikel2 pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada anak baik jangka pendek
maupun jangka panjang diberitakan agar program pencegahan lebih ditekankan.

2.7 ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CHILD ABUSE

A. Pengkajian
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda adanya
kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse
di atas). Saat abuse terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh
gambarannya, bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak, kemudian
menginterview anak.

17
1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau
saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah
psikiatrik.
3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse.
4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan
tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan,
ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian).
5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis
kelamin anak yang dilahirkan.
6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
7. Kaji respon psikologis pada trauma.
8. Kaji keadekuatan dan adanya support system.
9. Situasi Keluarga.
Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa keperawatan
berkaitan dengan child abuse, antara lain:
a. Psikososial
1) Melalaikan diri (neglect), baju dan rambut kotor, bau.
2) Gagal tumbuh dengan baik.
3) Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan psikososial.
4) With drawl (memisahkan diri) dari orang-orang dewasa.
b. Muskuloskeletal
1) Fraktur.
2) Dislokasi.
3) Keseleo (sprain).
c. Genito Urinaria
1) Infeksi saluran kemih.
2) Perdarahan per vagina.
3) Luka pada vagina/penis.
4) Nyeri waktu miksi.
5) Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.

18
d. Integumen
1) Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok).
2) Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi.
3) Adanya tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan.
4) Bengkak.

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

19
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal yang wajar. Mereka
beranggapan kekerasan adalah bagian dari mendisiplinkan anak. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikis.
Dampak dari kekerasan terhadap anak antara lain; Kerusakan fisik atau luka fisik; Anak
akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan agresif; memiliki perilaku
menyimpang, Pendidikan anak yang terabaikan.
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah
tulang, perdarahan retina akibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ
dalam lainnya. Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak
yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan pada
anak dan di rumah tangga. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan melakukan pendidikan
kesehatan tentang child abuse dan mengidentifikasi resiko terjadinya child abuse.

3.2 SARAN

Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan kita
tentang Asuhan Keperawatan Child Abuse. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi. Terima Kasih.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anna Budi Keliat, Penganiayaan Dan Kekerasan Pada Anak, FIK UI, 1998
Ennis Sharon Axton, Pediatric Nursing Care Plans, 2nd Edition,Pearson
Education,NewJersey,2003
Nelson, Ilmu Kesehatan Anak I, Jakarta, EGC 1999
Whaley’s and Wong, Clinic Manual of Pediatric Nursing, 4th Edition,Mosby Company,1996
Sowden Betz Cicilia, Keperawatan Pediatric, Jakarta, EGC, 2002
http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-nur2.pdf

Anda mungkin juga menyukai