Anda di halaman 1dari 42

ASKEP PADA KORBAN PEMERKOSAAN

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 1
1.ANNISATURAHMA NAUKO
2.ANGGRYANI LASENA
3.ALZATIRA CHANTIKA RUMAGIT
4.ABDULRAHMAT MUTALIB
5.DHEA ANANDA MOKODONGAN
6.DESRIYANTI DJUMULI
7.SINDY RAFLIANI HARUN
8.BAYU SUPRIANTO IBRAHIM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan kasih karuniaNya, kami dapat menyelesaikan Tugas mengenai “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KORBAN PEMERKOSAAN” dan semoga tugas ini dapat
bermanfaat dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Kami sangat berharap hasil laporan ini dapat berguna dalam memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa II. Kami juga menyadari bahwa di dalam hasil
laporan ini masih terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
kami mengharapkan kritik, saran dan usulan yang membangun demi perbaikan hasil
laporan yang telah kami buat di masa mendatang.
Semoga hasil laporan ini dapat memberikan manfaat bagi dunia pendidikan pada
umumnya dan proses pembelajaran Keperawatan Kesehatan Jiwa II.

gorontalo, November 2020

Kelompok I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………......………………………...1
B. Tujuan Penulisan………………………………………..………………………....2

BAB II KONSEP DASAR TEORI


A. Pengertian………………………………………………………………………….3
B. Etiologi……….…………………………………………………………………....4
C. Klasifikasi ….……………………………………………………………...,,,,,,,…7
D. Patofisiologi………...…………………………………………………………..…9
E. Pathway……………………………………………………………………...…...13
F. Manifestasi Klinis………………………….…..……..
…………………………..14
G. Penatalaksanaan…………………………………………….………………...….16
H. Pemeriksaan Penunjang……………………………………………….………….17
I. Pengkajian………………………………………………………………………..18
CONTOH KASUS ASKEP………………………...……………………………………37
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………...….........74
B. Saran …………………………………………………………………..................75

Daftar Pustaka ……………..…………………………………………………….............76


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pelecehan yang berulang sering ditemui pada lebih dari setengah kasus
pelecehan seksual di komunitas dan terdapat pada 75% kasus yang ditemukan di
klinik.sexual abuse (kekerasan seksual) dikenal pada tahun 70-an dan 80-an.
Penelitian lain telah mengarah pada perkiraan kekerasan pada anak yang lebih
luas di Inggris, seperti dari Childhood Matters (1996): Sekitar 100 000 anak
mengalami pengalaman seksual yang berpotensi mengarah ke seksual abuse
(FKUI, 2006).
Banyak anak yang mendapat perlakuan kurang manusiawi, bahkan tidak
jarang dijadikan objek kesewenangan.Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia, ada 481 kasus kekerasan anak (2003).Jumlah ini menjadi 547
kasus pada tahun 2004. Dari situ, ada 140 kasus kekerasan fisik, 80 kasus
kekerasan psikis, 106 kasus kekerasan lainnya, dan 221 kasus kekerasan seksual.
Gambaran paradoks tersebut memancing pertanyaan.Mengapa kekerasan seksual
sering menimpa diri anak dan siapa yang paling berpotensi sebagai pelakunya?
Di samping dapat menimbulkan dampak yang luar biasa pada diri si korban, kasus
kekerasan seksual juga dapat menguji kebenaran dari pernyataan Singarimbun
(2004), bahwa modernisasi sering diasosiasikan sebagai keserbabolehan
melakukan hubungan seksual (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan kasus yang menonjol yang
terjadi pada anak-anak. Dalam catatan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI) pada tahun 1992-2002 terdapat 2.611 kasus (65,8 persen) dari 3.969
kasus kekerasan seksual dialami anak-anak di bawah usia 18 tahun. Dari jumlah
itu, 75 persen korbannya adalah anak perempuan. Kasus yang menonjol terutama
pemerkosaan (42,9 persen) dengan kejadian terjadi di rumah tinggal (35,7 persen)
(FKUI, 2006)
B. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui tentang definisi dari seksual abuse.

2. Untuk mengetahui tentang etiologi dari seksual abuse.

3. Untuk mengetahui tentang klasifikasi dari seksual abuse.

4. Untuk mengetahui tentang patofisiologi dari seksual abuse.

5. Untuk mengetahui tentang pathway dari seksual abuse.

6. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinis dari seksual abuse.

7. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan dari seksual abuse.

8. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan penunjang dari seksual abuse.

9. Untuk mengetahui tentang pengkajian dari seksual abuse.

10. Untuk mengetahui tentang diagnosa keperawatan dari seksual abuse.

11. Untuk mengetahui tentang intervensi dan rasional dari seksual abuse.

12. Untuk mengetahui tentang discharge planning dari seksual abuse.


BAB II
KONSEP DASAR

A. PENGERTIAN
Penyiksaan seksual (sexual abuse) terhadap anak disebut Pedofilian atau penyuka
anak-anak secara seksual. Seorang Pedofilia adalah orang yang melakukan
aktivitas seksual dengan korban anak usia 13 tahun ke bawah. Penyakit ini ada
dalam kategori Sadomasokisme : adalah suatu kecenderungan terhadap aktivitas seksual
yang meliputi pengikatan atau menimbulkan rasa sakit atau penghinaan (Pramono,
2009).
Kemudian klasifikasi kekerasan/penganiayaan seksual pada anak menurut
Resna dan Darmawan (dalam Huraerah, 2006:60) diklasifikasi menjadi tiga
kategori, antara lain: perkosaan, incest, dan eksploitasi. Perkosaan biasanya terjadi
pada saat pelaku terlebih dahulu mengancam dengan memperlihatkan
kekuatannya kepada anak. Incest, diartikan sebagai hubungan seksual atau
aktivitas seksual lainnya antarindividu yang mempunyai hubungan dekat, yang
perkawinan di antara mereka dilarang, baik oleh hukum, kultur, maupun agama.
Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi (Suda, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse), dapat didefinisikan sebagai perilaku
seksual secara fisik maupun non fisik oleh orang yang lebih tua atau memiliki
kekuasaan terhadap korban, bertujuan untuk memuaskan hasrat seksual
pelakunya. Korban mungkin saja belum atau tidak memahami perlakuan yang
dilakukan terhadap dirinya, mereka hanya merasa tidak nyaman, sakit, takut,
merasa bersalah, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan (FKUI, 2006).
Kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak mencakup penganiayaan seksual
secara fisik dan non fisik. Kekerasan fisik antara lain menyentuh alat kelamin atau
bagian tubuh lain yang bersifat pribadi, seks oral, penetrasi vagina/anus
menggunakan penis atau benda lain, memaksa anak membuka pakaian, sampai
tindak perkosaan. Sedangkan penganiyaan non fisik diantaranya memperlihatkan
benda-benda yang bermuatan pornografi atau aktivitas seksual orang dewasa,
eksploitasi anak dalam pornografi (gambar, foto, film, slide, majalah, buku),

exhibitionism, atau mengintip kamar tidur/kamar mandi (voyeurism). (Suda,

2006).

B. ETIOLOGI/ PREDISPOSISI

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah

Studi Fenomenologi”, Faktor penyebab sexual abuse adalah :

Faktor-fakor yang menyebabkan terjadinya tindakan kekerasan seksual yang


dialami oleh subyek adalah sebagai berikut:

a. Faktor kelalaian orang tua.. Kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan
tumbuh kembang dan pergaulan anak yang membuat subyek menjadi korban
kekerasan seksual..
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku. Moralitas dan
mentalitas yang tidak dapat bertumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak
dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
c. Faktor ekomoni. Faktor ekonomi membuat pelaku dengan mudah memuluskan
rencananya dengan memberikan imingiming kepada korban yang menjadi
target dari pelaku.
(Jurnal Terlampir)
Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan seksual
terhadap anak”, dampak sexual abuse adalah :

Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah


dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan
seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan
(termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi
seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan
somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain
itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder,
kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan
identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia
nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, &
Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath ,
Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000)

(Jurnal Terlampir)

Menurut Townsend (1998) factor yang predisposisi (yang berperan dalam pola
penganiayaan anak (seksuak abuse) antara lain:
1. Teori biologis

a. Pengaruh neurofisiologis. Perubahan dalam system limbik otak dapat


mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b. Pengaruh biokimia, bermacam-macam neurotransmitter (misalnya
epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetilkolin dan serotonin) dapat
memainkan peranan dalam memudahkan dan menghambat impuls-
impuls agresif
c. Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan telah melibatkan herediter
sebagai komponen pada predisposisi untuk perilaku agresif seksual, baik
ikatan genetik langsung maupun karyotip genetik XYY telah diteliti
sebagai kemungkinan.
d. Kelainan otak. Berbagai kelainan otak mencakup tumor, trauma dan
penyakit-penyakit tertentu (misalnya ensefalitis dan epilepsy), telah
dilibatkan pada predisposisi pada perilaku agresif.
2. Teori psikologis

a. Teori psikoanalitik. Berbadai teori psikoanalitik telah membuat hipotesa


bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi terbuka dari
ketidakperdayaan dan harga diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-
kebutuhan masa anak terhadap kepuasan dan keamanan tidak terpenuhi.
b. Teori pembelajaran. Teori ini mendalilkan bahwa perilaku agresif dan
kekerasan dipelajari dari model yang membawa dan berpengaruh.
Individu-individu yang dianiaya seperti anak-anak atau yang orang
tuanya mendisiplinkan dengan hukuman fisik lebih mungkin untuk
berperilaku kejam sebagai orang dewasa.

3. Teori sosiokultural (pengaruh sosial)


Pengaruh sosial.Ilmuwan social yakin bahwa perilaku agresif terutama merupakan
hasil dari struktur budaya dan social seseorang.Pengaruh- pengaruh social dapat
berperan pada kekerasan saat individu menyadari bahwa kebutuhan dan hasrat
mereka tidak dapat dipenuhi melalui cara-cara yang lazim dan mereka mengusahakan
perilaku-perilaku kejahatan dalam suatu usaha untuk memperoleh akhir yang
diharapkan.

Menurut Freewebs (2006) kekerasan seksual (sexual abuse) pada anak sering
muncul dalam berbagai kondisi dan lingkup sosial.

1. Kekerasan seksual dalam keluarga (Intrafamilial abuse)

Mencakup kekerasan seksual yang dilakukan dalam keluarga inti atau


majemuk, dan dapat melibatkan teman dari anggota keluarga, atau orang yang
tinggal bersama dengan keluarga tersebut, atau kenalan dekat dengan
sepengetahuan keluarga.Kekerasan pada anak adopsi ataupun anak tiri juga
termasuk dalam lingukup ini.
2. Kekerasan seksual di luar keluarga (Extrafamilial abuse)

Mencakup kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa yang kenal


dengan anak tersebut dari berbagai sumber, seperti tetangga, teman, orangtua
dari teman sekolah.

3. Ritualistic abuse

Mencakup kekerasan yang di lakukan oleh orang dewasa untuk


mendapatkan ilmu gaib atau ilmu hitam demi keperluan pribadinya.

4. Institutional abuse
Mencakup kekerasan seksual dalam lingkup institusi tertentu seperti sekolah, tempat
penitipan anak, kamp berlibur, seperti kegiatan pramuka, dan organisasi lainnya.

5. Kekerasan seksual oleh orang yang tidak dikenal (Street or stranger abuse)

Penyerangan pada anak-anak di tempat-tempat umum.Ada beberapa pandangan


berbeda penyebab kekerasan seksual yang menimpa anak. Orang yang mencabuli
anak-anak dianggap orang yang mengalami disfungsi karena kecanduan alkohol,
tidak memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang mapan, serta tingkat pendidikan
yang rendah. Menurut Cok Gede Atmadja, pencabulan terhadap anak terjadi karena
himpitan ekonomi. Sementara Magdalena Manik, aktivis Forum Sayang Anak,
menyatakan pencabulan terhadap anak disebabkan meluasnya budaya permisif, dan
ketidakkonsistenan pihak kepolisian dalam mengambil tindakan hukum terhadap pelaku
incest (Suda, 2006).

Koran Tokoh (Edisi 337/TahunVII, 5—11 Juni 2005:14) menulis beberapa


pemicu terjadinya pencabulan terhadap anak, khususnya oleh orangtua.

1. Pertama, pelaku tidak bisa lagi melakukan hubungan dengan istri karena
alasan kesehatan atau telah lama menduda.
2. Kedua, pelaku ingin menyempurnakan ilmu kebatinan yang sedang
ditekuninya.
3. Ketiga, pelaku tidak tahan melihat kemontokan tubuh anak perempuannya,
atau melihat anak perempuannya ke luar kamar mandi menggunakan handuk.
Bahkan, bisa pula pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap anak
perempuan, karena terpengaruh film porno (Atmadja, 2005:139 dalam Suda,
2006).

C. PATOFISIOLOGI
Menurut Tower (2002) dalam Maria (2008) kekerasan seksual pada anak
dapat terjadi satu kali, beberapa kali dalam periode berdekatan, bahkan menahun.
Walaupun berbeda-beda pada setiap kasus, kekerasan seksual tidak terjadi begitu saja,
melainkan melalui beberapa tahapan antara lain :
1. Tahap awal, pelaku membuat korban merasa nyaman. Ia menyakinkan bahwa
apa yang dilakukannya "tidak salah" secara moral. Pelaku mencoba
menyentuh sisi kbutuhan anak akan kasih saying dan perhhatian, penerimaan
dari orang lain, atau mencoba menyamakannya dengan permainan dan
menjanjikan imbalan material yang menyenangkan. Pelaku dapat
mengintimidasi secara halus ataupun bersikap memaksa secara kasar.
2. Tahap kedua, adalah interaksi seksual. Perilaku yang terjadi bisa saja hanya
berupa mengintip sampai perilaku yang intensitasnya berat, yaitu memakasa
anak untuk melakukan hubungan seksual. Setelah kejadian tersebut, pelaku
mengancam korban agar merahasiakan apa yang terjadi kepada orang lain.
3. Tahap berikutnya, adalah tahapan dimana korban mau menceritakan
pengalamannya kepada orang lain. Kemungkinan korban merahasiakan
pengalamannya sampai berusia dewasa, atau menceritakannya kepada orang
yang mempunyai kedekatan emosional dengannya, sehingga ia merasa aman.
Pelaku "mencobai" korban sedikit demi sedikit, mulai dari :

a. Pelaku membuka pakaiannya sendiri

b. Pelaku meraba-raba bagian tubuhnya sendiri


c. pelaku memperlihatkan alat kelaminnya
d. Pelaku mencium korban dengan pakaian lengkap

e. Pelaku meraba bagian-bagian tubuh korban : payudara, alat kelamin, dan


bagian lainnya.
f. Masturbasi, dilakukan oleh pelaku sendiri atau pelaku dan korban saling
menstimulasi.
g. Oral sex, dengan menstimilasi alat kelamin korban
h. Sodomi
i. Petting

j. Penetrasi alat kelamin pelaku

Anak yang memiliki resiko mengalami kekerasan seksual biasanya adalah


anak-anak yang biasa ditinggalkan sendiri dan tidak mendapat pengawasan
dari orang yanglebih dewasa, terutama ibu.Tidak hanya kehadiran secara
fisik, kedekatan emosional antara ibu dan anak pun merupakan faktor yang
penting (Maria, 2008).

Menurut Maria (2008) dampak kekerasan seksual pada anak adalah


sebagai berikut :
1. Stress: akut, traumatic – PTSD (post traumatik stress disorder)

2. Agresif, menjadi pelaku kekerasan, tidak percaya diri

3. Rasa takut, cemas

4. Perilaku seksual yang tidak wajar untuk anak seusianya

Tidak diragukan lagi bahwa kekerasan seksual dapat memberikan dampak


jangka pendek maupun jangka panjang bagi korbannya. Pada anak lainnya,
ada kemungkinan gangguan tersebut di 'tekan' sehingga tidak teramati dari
luar sampai ada pemicu yang menampilkan gejolak emosi mereka, misalnya
saat anak memasuki usia remaja dan mulai dekat dengan lawan jenis, atau
pada saat mereka akan menikah. selain itu, sangat mungkin anak yang
menjadi korban kekerasan seksual kemudian justru malah menjadi pelaku
kekerasan seksual terhadap anak lain (Maria, 2008).

Menghadapi anak yang mengalami kekerasan seksual, kata Maria,


hendaknya tetap mempertimbangkan faktor psikologis.Tidak hanya pada
posisi anak sebagai korban, yang tentunya berisiko mengalami stres bahkan
trauma, tapi juga perlu penanganan yang baik pada anak sebagai pelaku
kekerasan. Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin
sebelumnya adalah korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh
pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang dilakukannya adalah untuk
eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan kejadian yang
dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri
dengan mendalam faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan
seksual, agar anak tidak dua kali menjadi korban (Maria, 2008).

Berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak


perempuan di masyarakat, selalu diwarnai kekerasan fisik atau
psikologis.Jika meminjam gagasan Giddens (2004) tentang kekerasan laki-
laki dalam menyalurkan libidonya, tindakan tersebut berkaitan dengan label
yang diberikan masyarakat kepada laki-laki.Laki-laki harus jantan
menangani sektor publik dan urusan seksual. Di sisi lain, meluasnya sistem
ekonomi kapitalisme global mengakibatkan banyak orang termarjinal,
bahkan terhimpit, baik secara ekonomi maupun psikologis. Akibatnya, harga
diri mereka dalam keluarga dan masyarakat mengalami goncangan.Begitu
pula hubungan seksual mereka dengan istrinya bisa terganggu. Kondisi ini
bisa diperparah lagi karena usia tua, impotensi, ejakulasi dini, kekhawatiran
ukuran dan fungsi penis, dan lainnya. Ini menimbulkan rasa tidak aman dan
kekawatiran yang mendalam (Suda, 2006).

Berikut ini jenis-jenis kekerasan seksual berdasarkan pelakunya (Tower,

2002 dalam Maria, 2008) :


1. Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga. Dilakukan oleh
ayah, ibu atau saudara kandung. Selain itu, kekerasan seksual mungkin
pula dilakukan oleh orang tua angkat/tiri, atau orang lain yang tinggal
serumah dengan korban.
2. Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga
Kekerasan seksual dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak dibatasi
perbedaan jenis kelamin, suku, agama, tingkat sosial ekonomi, dan
sebagainya.Sebagian besar pelaku adalah pria dan orang yang melakukan
orang yang cukup dikenal oleh korban, misalnya tetangga, guru, sopir,
baby-sittter.Pelaku bisa saja mengalami kelainan seperti paedophilia,
pecandu seks, atau sangat mungkin teman sebaya. Kemungkinan pelaku
penah menjadi korban kekerasan seksual sebelumnya,atau menirukan
perilaku orang lain. salah satu penyebabnya adalah untuk mengatasi
trauma akibat kekesaran seksual yang dialaminya, atau sekedar
memenuhi rasa ingin tahu.

Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus,
fisur pada anus, pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan
hymen pada vagina. Efek psikologis pencabulan terhadap anak umumnya
berjangka panjang, antara lain: kemarahan, kecemasan, mimpi buruk, rasa tak
Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan perilaku baik
menjadi buruk
E. PATHWAYS KEPERAWATAN

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah

Studi Fenomenologi”, pathway sexual abuse adalah :


F. MANIFESTASI KLINIK

Berdasarkan jurnal “Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual: Sebuah

Studi Fenomenologi”, Dampak psikologis sexual abuse adalah :

Dampak psikologis yang dialami oleh subyek dapat digolongkan menjadi tiga
bagian, yaitu gangguan perilaku, gangguan kognisi, gangguan emosional.

a. Gangguan Perilaku, ditandai dengan malas untuk melakukan aktifitas


sehari-hari.
b. Gangguan Kognisi, ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi, tidak fokus
ketika sedang belajar, sering melamun dan termenung sendiri.
c. Gangguan Emosional, ditandai dengan adanya gangguan mood dan
suasana hati serta menyalahkan diri sendiri.
(Jurnal Terlampir)

Patricia A Moran dalam buku Slayer of the Soul, 1991 dalam Minangsari
(2007), mengatakan, menurut riset, korban pelecehan seksual adalah anak laki-
laki dan perempuan berusia bayi sampai usia 18 tahun. Kebanyakan pelakunya
adalah orang yang mereka kenal dan percaya.

Gejala seorang anak yang mengalami pelecehan seksual tidak selalu jelas.
Ada anak-anak yang menyimpan rahasia pelecehan seksual yang dialaminya
dengan bersikap "manis" dan patuh, berusaha agar tidak menjadi pusat
perhatian.Meskipun pelecehan seksual terhadap anak tidak memperlihatkan bukti
mutlak, tetapi jika tanda-tanda di bawah ini tampak pada anak dan terlihat terus-
menerus dalam jangka waktu panjang, kiranya perlu segera mempertimbangkan
kemungkinan anak telah mengalami pelecehan seksual (minangsari, 2007)

Tanda dan indikasi ini diambil Jeanne Wess dari buku yang sama:

1. Balita
a. Tanda-tanda fisik, antara lain memar pada alat kelamin atau mulut, iritasi
kencing, penyakit kelamin, dan sakit kerongkongan tanpa penyebab jelas
bisa merupakan indikasi seks oral.

b. Tanda perilaku emosional dan sosial, antara lain sangat takut kepada siapa
saja atau pada tempat tertentu atau orang tertentu, perubahan kelakuan
yang tiba-tiba, gangguan tidur (susah tidur, mimpi buruk, dan ngompol),
menarik diri atau depresi, serta perkembangan terhambat.
2. Anak usia prasekolah

Gejalanya sama ditambah tanda-tanda berikut:

a. Tanda fisik: antara lain perilaku regresif, seperti mengisap jempol,


hiperaktif, keluhan somatik seperti sakit kepala yang terus-menerus, sakit
perut, sembelit.
b. Tanda pada perilaku emosional dan sosial: kelakuan yang tiba-tiba
berubah, anak mengeluh sakit karena perlakuan seksual.
c. Tanda pada perilaku seksual: masturbasi berlebihan, mencium secara
seksual, mendesakkan tubuh, melakukan aktivitas seksual terang-terangan
pada saudara atau teman sebaya, tahu banyak tentang aktivitas seksual, dan
rasa ingin tahu berlebihan tentang masalah seksual.
3. Anak usia sekolah

Memperlihatkan tanda-tanda di atas serta perubahan kemampuan belajar,


seperti susah konsentrasi, nilai turun, telat atau bolos, hubungan dengan
teman terganggu, tidak percaya kepada orang dewasa, depresi, menarik diri,
sedih, lesu, gangguan tidur, mimpi buruk, tak suka disentuh, serta
menghindari hal-hal sekitar buka pakaian.
4. Remaja

Tandanya sama dengan di atas dan kelakuan yang merusak diri sendiri,
pikiran bunuh diri, gangguan makan, melarikan din, berbagai kenakalan
remaja, penggunaan obat terlarang atau alkohol, kehamilan dini, melacur,
seks di luar nikah, atau kelakuan seksual lain yang tak biasa.

Sedangkan menurut Townsend (1998) simtomatologi dari


penganiayaan/kekerasan seksual pada anak (sexual abuse) antara lain :

1. Infeksi saluran kemih yang sering


2. Kesulitan atau nyeri saat berjalan atau duduk

3. Kemerahan atau gatal pada daerah genital, menggaruk daerah tersebut secara
sering atau gelisah saat duduk
4. Sering muntah

5. Perilaku menggairahkan, dorongan masturbasi, bermain seks dewasa sebelum


waktunya
6. Ansietas berlebihan dan tidak percaya kepada orang lain

7. Penganiyaan seksual pada anak yang lain

G. PENATALAKSANAAN

Berdasarkan jurnal “play therapy dalam identifikasi kasus kekerasan


seksual terhadap anak”, terapi sexual abuse adalah :

Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah


mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis,
social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih
dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak,
Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play
therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan
perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus
dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat
mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya.

(Jurnal Terlampir)

Menurut Suda (2006) ada beberapa model program counseling yang dapat
diberikan kepada anak yang mengalami sexual abuse, yaitu :

a. The dynamics of sexual abuse.


Artinya, terapi difokuskan pada pengambangan konsepsi. Pada kasus
tersebut kdsalahan dan tanggung jawa berada pada pelaku bukan pada korban.
Anak dijamin tidak disalahkan meskipun telah terjadi kontak seksual.

b. Protective behaviors counseling.

Artinya, anak-anak dilatih menguasai keterampilan mengurangi kerentannya sesuai


dengan usia. Pelatihan anak prasekolah dapat dibatasi; berkata tidak terhadap sentuhan-
sentuhan yang tidak diinginkan; menjauh secepatnya dari orang yang kelihatan
sebagai abusive person; melaporkan pada orangtua atau orang dewasa yang dipercaya
dapat membantu menghentikan perlakuan salah.
c. Survivor/self-esteem counseling.

Artinya, menyadarkan anak-anak yang menjadi korban bahwa mereka


sebenarnya bukanlah korban, melainkan orang yang mampu bertahan
(survivor) dalam menghadapi masalah sexual abuse. Keempat, feeling
counseling. Artinya, terlebih dahulu harus diidentifikasi kemampuan anak
yang mengalami sexual abuse untuk mengenali berbagai perasaan. Kemudian
mereka didorong untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya yang tidak
menyenangkan, baik pada saat mengalami sexual abuse maupun sesudahnya.
Selanjutnya mereka diberi kesempatan untuk secara tepat memfokuskan
perasaan marahnya terhadap pelaku yang telah menyakitinya, atau kepada
orang tua, polisi, pekerja sosial, atau lembaga peradilan yang tidak dapat
melindungi mereka.

d. Cognitif terapy.

Artinya, konsep dasar dalam teknik ini adalah perasaan-perasaan


seseorang mengenai beragam jenis dalam kehidupannya dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran mengenai kejadian tersebut secara berulang-lingkar.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Menurut Doenges et. al (2007) pemeriksaan diagnostic yang dilakukan pada


anak dengan sexual abuse bergantung pada situasi dan kebutuhan individu. Uji
skrining (misalnya Daftar Periksa Perilaku Anak), peningkatan nilai pada skala
internalisasi yang menggambarkan perilaku antara lain ketakutan, segan, depresi,
pengendalian berlebihan atau di bawah pengendalian, agresif dan antisosial.
I. PENGKAJIAN
Menurut Doenges et.al (2007) pengkajian anak yang mengalami
penganiayaan seksual (sexual abus) antara lain :

1. Aktivitas atau istirahat : Masalah tidur (misalnya tidak padat tidur atau tidur
berlebihan, mimpi burukm, berjalan saat tidur, tidur di tempat yang asing,
keletihan.

2. Integritas ego

a. Pencapaian diri negatif, menyalahkan diri sendiri/meminta ampun karena


tindakannya terhadap orang tua.
b. Harga diri rendah (pelaku/korban penganiayaan seksual yang selamat.)

c. Perasaan bersalah, marah, takut dan malu, putus asa dan atau tidak berdaya
d. Minimisasi atau penyangkalan signifikasi perilaku (mekanisme pertahanan
yang paling dominan/menonjol)

e. Penghindaran atau takut pada orang, tempat, objek tertentu, sikap


menunduk, takut (terutama jika ada pelaku)
f. Melaporkan faktor stres (misalnya keluarga tidak bekerja, perubahan
finansial, pola hidup, perselisihan dalam pernikahan)
g. Permusuhan terhadap/objek/tidak percaya pada orang lain

3. Eliminasi

a. Enuresisi, enkopresis.

b. Infeksi saluran kemih yang berulang


c. Perubahan tonus sfingter.
4. Makan dan minum : Muntah sering, perubahan selera makan (anoreksia),
makan berlebihan, perubahan berat badan, kegagalan memperoleh berat
badan yang sesuai .
5. Higiene

a. Mengenakan pakaian yang tidak sesuai dengan kondisi cuaca

(penganiayaan seksual) atau tidak adekuat memberi perlindungan


b. Mandi berlebihan/ansietas (penganiayaan seksual), penampilan kotor/tidak
terpelihara.
6. Neurosensori

a. Perilaku ekstrem (tingkah laku sangat agresif/menuntut), sangat amuk atau


pasivitas dan menarik diri, perilaku tidak sesuai dengan usia
b. Status mental : memori tidak sadar, periode amnesia, lap[oran adanya
pengingatan kembali. Pikiran tidak terorganisasi, kesulitan
konsentrasi/membuat keputusan. Afek tidak sesuai, mungkin sangat
waspada, cemas dan depresi.
c. Perubahan alam perasaan, kepribadian ganda, cinta, kebaikan dan
penyesalan yang dalam setelah penganiayaan seksual terjadi.
d. Kecemburuan patologis, pengendalian impuls yang buruk, ketrampilan
koping terbatas, kurang empati terhadap orang lain.
e. Membantung. Menghisap jempol atau perilaku kebiasaan lain : gelisah

(korban selamat).

f. Manifestasi psikiatrik (misal : fenomena disosiatif meliputi kepribadian


ganda (penganiayaan seksual), gangguan kepribadian ambang (koeban
inses dewasa)
g. Adanya defisit neurologis/kerusakaan SSP tanpa tanda-tanda cedera
eksternal
7. Nyeri atau ketidaknyamanan

a. Bergantung pada cedera/bentuk penganiayaan seksual

b. Berbagai keluhan somatik (misalnya nyeri perut, nyeri panggul kronis,


spastik kolon, sakit kepala)
8. Keamanan

a. Memar, tanda bekas gigitan, bilur pada kulit, terbakar (tersiran air panas,
rokok) ada bagian botak di kepala, laserasi, perdarahan yang tidak wajar,
ruam/gatal di area genital, fisura anal, goresan kulit, hemoroid, jaringan
parut, perubahan tonus sfingter.
b. Cedera berulang, riwayat bermacam kecelakaan, fraktur/ cedera internal

c. Perilaku mencederai diri sendiri (bunuh diri), keterlibatan dalam


aktivitas dengan risiko tinggi
d. Kurangnya pengawasan sesuai usia, tidak ada perhatian yang dapat
menghindari bahaya di dalam rumah

9. Seksualitas

a. Perubahan kewaspadaan/aktivitas seksual, meliputi masturbasi kompulsif,


permainan seks dewasa sebelum waktunya, kecenderungan mengulang
atau melakukan kembali pengalaman inses. Kecurigaan yang berlebihan
tentang seks, secara seksual menganiaya anak lain.

b. Perdarahan vagina , laserasi himen linier, bagian mukosa berlendir.

c. Adanya PMS, vaginitis, kutil genital atau kehamilan (terutama pada anak).

10. Interaksi sosial

Merikan diri dari rumah, pola interaksi dalam keluarga secara verbal
kurang responsif, peningkatan penggunaan perintah langsung dan pernyataan
kritik, penurunan penghargaan atau pengakuan verbal, merasa rendah diri.
Pencapaian restasi dis ekolah rendah atau prestasi di sekolah menurun.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Menurut Townsend (1998), dan Doenges et.al (2007) diagnosa keperawatan yang
dapat dirumuskan pada anak yang mengalami sexual abuse antara lain :

1. Sindrom trauma perkosaan berhubungan dengan menjadi korban perkosaan


seksual yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan dan berlawanan
dengan keinginan dan persetujuan pribadi seseorang
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan harga diri rendah

3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan pengasuhan


yang tidak adekuat dan penderitaan oleh pengasuh dari nyeri fisik atau cidera
dengan tujuan untuk menyebabkan bahaya, biasanya terjadi dalam waktu
lama.

4. Ansietas (sedang sampai berat) berhubungan dengan ancaman konsep diri,


rasa takut terhadap kegagalan, disfungsi system keluarga dan hubungan
antara orang tua dan anak yang tidak memuaskan
5. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan koping individu tidak
efektif
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan a nsietas dan hiperaktif

7. Koping defensif berhubungan dengan harga diri rendah, kurang umpan balik
atau umpan balik negatif yang berulang yang mengakibatkan penurunan
makna diri
8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan perasaan bersalah yang
berlebihan, marah atau saling menyalahkan diantara anggota keluarga
mengenai perilaku anak, kepenatan orang tua karena menghadapi anak
dengan gangguan dalam jengka waktu lama
9. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis, perawatan diri dan kebutuhan terapi
berhubungan dengan kurang sumber informasi, interpretasi yang salah tentang informasi
Tidak mau bergaul dengan orang lain

      Tidak banyak bercakap- cakap


      Banyak melamun
      Mengurung diri
      Sering menyendiri
3.        Faktor Predisposisi
a.    Klien pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya sejak 1 tahun yang lalu dan di
rawat di RSJ Ratumbuysang Manado yang pertama pada tanggal 12 juni 2017
dikarenakan klien apatis, diam di kamar (mengurung diri), menolak berhubungan dengan
orang lain.
b.    Klien tidak minum obat secara teratur sehingga pengobatan kurang berhasil.
c.    Klien pernah mengalami, seksual
d.   Keluarga klien tidak ada yang mengalami gangguan jiwa seperti yang dialami oleh
klien.
e.    Klien mengatakan punya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan.Klien
mengatakan pernah mengalami tindakan kekerasan sexual oleh pamannya
f.     Klien mengatakan malu karena sampai sekarang klien merasa dirinya kotor karena
kejadian itu
4.        Faktor Presipitasi
Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan:
a.    Masa anak-anak
Klien tidak pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan.
b.    Masa remaja
Klien mengatakan punya pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan sesuai
pernyataan klien “saya dulu pernah di perkosa oleh paman saya”.
c.    Masa Sekarang
Klien mengatakan “ malu karena sampai sekarang merasa dirinya kotor karena telah
di perkosa”.

5.        Pemeriksaan Fisik


a.    Tanda- tanda vital
TD : 120/ 80 mmHg
N : 86 X/ mnt
S : 37,4° C
P : 20 X/ mnt
b.    Ukur
TB : 160 cm
BB : 50 kg
c.    Keluhan fisik
Dari hasil pengkajian didapatkan klien mengeluh terhadap keadaan fisiknya nyeri
pada bagian genetalia.
6.        Psikososial
a.    Genogram
Klien belum menikah dan klien tinggal bersama ayah, ibu dan kedua adiknya,serta
kakaknya. pengambilan keputusan dilakukan secara musyawarah, yang dipimpin oleh
ayahnya. Pola asuh klien keras, penuh dengan kedisiplinan, klien merasa dirinya kotor
dan hina akibat kejadian buruk tersebut.
b.    Konsep diri
      Citra tubuh
Klien mengatakan: menyukai seluruh bagian tubuhnya.
Tidak ada kecacatan anggota tubuh dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Dengan pernyataan klien: “ saya menyukai seluruh bagian tubuh saya”.
      Identitas diri
Di rumah klien berperan sebagai seorang anak dan seorang kakak,
menuntut klien merasa puas sebagai seorang Wanita , karena di keluarga klien di ajarkan
untuk bertanggung jawab dan disiplin, serta di diperlakukan sebagai seorang anak
perempuan.
Dengan pernyataan klien: “saya di perlakukan sebagai seorang kakak perempuan yg
bertanggung jawab”.
      Peran
Klien berperan sebagai anak dan kakak, yang harus berbakti dan menuntun adik-
adik.
Dengan pernyataan klien: “ di rumah saya di tuntut untuk bisa menuntun adik- adik
saya.”
      Harga diri
Klien mengatakan malu apabila bergaul dengan teman dan orang- orang sekitar,
karena mereka merasa apa yang terjadi padanya adalah sebuah aib.
Dengan pernyataan klien: “saya malu bermain dengan teman- teman.”
c.    Hubungan sosial
      Orang terdekat
Klien mengatakan tidak memiliki orang yang berarti dalam hidup, bila punya
masalah,hanya memendam masalah sendiri.
Dengan pernyataan klien: “ kalau saya ada masalah saya tidak punya tempat untuk
bercerita, saya hanya memendamnya sendiri.”
      Peran serta dalam kegiatan kelompok/ masyarakat
Klien mengatakan dahulu pernah ikut-ikut mengaji Bersama teman-teman tapi
semenjak kejadian itu saya merasa malu dan hina dan lebih banyak menhabiskan waktu
sendirian, selama di RSJ lebih banyak menyendiri, tiduran dan jarang mengikuti kegiatan
kelompok.”

Dengan pernyataan klien: “ saya di rumah hanya diam di kamar, tidak pernah ikut
kegiatan apapun.”
      Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Klien mengatakan di rumah klien termasuk orang yang pendiam, malas bicara
dengan orang lain, tidak ada teman dekat dengan klien dan klien tidak nyaman di
lingkungan banyak orang dan ramai.
Dengan pernyataan klien: “ saya tidak mempunyai teman dekat, saya juga tidak
menyukai tempat yang ramai dan banyak orang.”
d.   Spiritual
      Nilai dan keyakinan
Klien beragama islam dan yakin adanya Allah, klien pasrah dengan keadaannya
mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah.
Dengan pernyataan klien: “ saya yakin kalau saya bisa senbuh atas kehendak Allah.”
      Kegiatan ibadah
Klien mengatakan selama berada di RSJ tidak pernah menjalankan ibadah shalat 5
waktu, klien hanya berdoa dan yakin akan kesembuhan.
Dengan pernyataan klien: “ saya tidak pernah sholat, saya hanya berdoa sama Allah
supaya saya cepat sembuh.”
7.        Status Mental
a.    Penampilan
Klien tampak tidak rapi, baju tidak rapi, kuku klien tampak panjang, rambut acak-
acakan.
b.    Pembicaraan
Kontak mata kurang selama komunikasi, berbicara seperlunya, klien tampak tidak
mampu memulai pembicaraan,cenderung menolak untuk diajak berkomunikasi.
c.    Aktivitas motorik
Klien terlihat lesu, lebih banyak duduk menyendiri dan tiduran daripada beraktivitas,
klien mau beraktivitas apabila dimotivasi.
d.   Alam perasaan
Klien tampak sedih, karena klien merasa sendiri, tidak ada yang peduli dengan
dirinya, klien merasa putus asa dan tidak berharga dalam hidup ini.
e.    Afek
Tidak ada perubahan roman muka pada saat diceritakan cerita lucu yang membuat
tertawa, klien tampak biasa saja, hanya bereaksi bila ada stimulus emosi yang kuat (afek
tumpul).
f.     Interaksi selama wawancara
Klien lebih banyak diam, kontak mata pada saat wawancara kurang, klien lebih
sering menunduk, bahkan sampai memutuskan pembicaraan atau pergi saat diajak
bercakap- cakap.
g.    Persepsi halusinasi
Klien mengatakan klien suka mendengar bisikan seperti suara temannya menyuruh
pergi, biasanya bisikan itu datang pada saat klien melamun.
Dengan pernyataan pasien: “ saya suka mendengar bisikan dan bisikannya datang kalau
saya sedang melamun.”
h.    Proses pikir
Pembicaraan klien secukupnya.
i.      Isi pikir
Selama wawancara, klien mengalami depersonalisasi (perasaan klien yang asing
terhadap diri sendiri, orang atau lingkungan), sehingga klien menolak untuk berhubungan
dengan orang lain dan tampak memisahkan diri dari orang lain.
j.      Tingkat kesadaran
Klien sadar sepenuhnya ditandai klien tidak tampak bingung klien bisa menyebutkan
namanya dengan benar, juga bisa membedakan waktu pagi, siang dan malam serta dapat
menyebutkan tempat di mana klien berada.
k.    Memori
Klien mampu mengingat dengan baik kejadian jangka panjang, dan jangka pendek
dan kejadian saat ini.
      Jangka panjang
Klien mampu mengingat tanggal masuk ke RSJP magelang.
      Jangka pendek
Klien mampu mengingat apa yang terjadi pada minggu ini.
      Memori saat ini
Klien dapat mengingat apa yang dilakukan tadi sebelum melakukan interaksi.
l.      Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien mampu berhitung sederhana, klien mampu menyebutkan angka, klien juga
mampu menjawab 3 dikurangi 1, klien menjawab 2.
m.  Kemampuan penilaian
Klien mampu mengambil keputusan yang ringan misalnya klien memilih cuci tangan
dulu sebelum makan.
n.    Daya tilik diri
Klien menyadari bahwa dirinya berada di RSJ dan menyadari dirinya sakit.
8.        Kebutuhan Persiapan Peluang
a.    Makan
Klien makan 3X sehari, mampu menghabiskan 1 porsi makan dengan menu
seimbang yang sudah disiapkan dari instalasi gizi (nasi, lauk, sayur, buah- buahan), klien
makan pagi pukul 07.00 WIB, makan siang pukul 12.00 WIB, makan malam jam pukul
19.00 WIB, setelah makan klien merapikannya sendiri
Dengan pernyataan klien: “ saya makan sesuai dengan jadwal yang di berikan di RSJ.”
b.    BAB/ BAK
Bila klien ingin BAB/ BAK pergi ke WC tanpa bantuan orang lain, BAK ± 3X
sehari dan BAB ± 1X sehari.
Dengan pernyataan klien: “ saya BAB/BAK sendiri tanpa bantuan suster, biasanya BAK
± 3X sehari dan BAB ± 1X sehari.”
c.    Mandi
Klien mandi di kamar mandi 2X sehari tanpa bantuan orang lain dan tidak lupa
menggosok gigi, mencuci rambut 1 minggu sekali.
Dengan pernyataan klien: “ saya mandi 2X sehari tanpa di bantu siapapun, dan keramas 1
minggu sekali.”
d.   Berpakaian/ berhias
Klien mengganti pakaian 1X sehari dilakukan sendiri walaupaun kurang rapi.
Dengan pernyataan klien: “ saya ganti baju 1X sehari.”
e.    Istirahat dan tidur
Klien tidur siang pukul 11.00- 12.00 WIB dan tidur malam pukul 20.00- 05.00
WIB, aktivitas sebelum tidur klien adalah melamun dan diam, tapi tidak lupa untuk
membaca doa sebelum tidur. Setelah bangun klien langsung mandi.
Dengan pernyataan klien: “ biasanya sebelum tidur saya melamun dan tidak lupa
membaca do’a.”
f.     Penggunaan obat
Klien mengatakan tidak mengetahui obat apa yang klien minum dan tidak
mengetahui efek samping dan manfaat dari obat tersebut, minum obat 2X sehari dengan
bantuan dari perawat, setelah minum obat merasa ngantuk dan lemas.
Dengan pernyataan klien: “Saya tidak tahu apa nama obat yang saya minum, efek
samping dan manfaatnya, tapi setelah minum obat tersebut saya merasa ngantuk dan
lemas.”
g.    Pemeliharaan kesehatan
Klien tidak mengetahui akan berobat kemana jika telah keluar dari tumah sakit.
Dengan pernyatan klien: “Saya tidak tahu harus berobat kemana kalau saya sudah
sembuh nanti.”
h.    Aktivitas di dalam rumah
Klien mengatakan ketika di rumah klien tidak suka melakukan kegiatan apapun,
seperti kegiatan rumah tangga sehari-hari. Klien tidak ikut dalam mengatur keuangan
untuk kebutuhan seharinya.
Dengan pernyataan klien: “Di rumah saya tidak pernah mengerjakan apapun, dan tidak
pernah ikut mengatur biaya kebutuhan sehari- hari.”

i.      Aktivitas di luar rumah


Klien mengatakan jarang keluar rumah, tidak suka berbelanja atau melakukan
perjalanan.
Dengan pernyataan klien: “Saya tidak jarang keluar rumah, tidak suka belanja dan
melakukan perjalanan apapun.”
9.        Mekanisme Koping
Maladaptif: Klien mengatakan jika ia mempunyai masalah, klien senang memendamnya
dan tidak mau menceritakannya kepada orang lain.
10.    Masalah Psikososial dan Lingkungan
Klien mengatakan tidak mengenal semua teman dan jarang berinteraksi dengan
lingkungan.
11.    Pengetahuan
Keluarga klien mengerti bahwa klien mengalami gangguan jiwa, oleh sebab itu keluarga
membawanya ke RSJ.
12.    Aspek Medik
Terapi medis:
a.    Clarpramazine(cpz)
      Warna obat orange.
      Dosis yg diberikan 10 mg/hari.
     Indikasi:
Untuk penanganan psikotik seperti skizopenia bisa menimbulkan efek seperti:ansietas
dan agitasi,cegukkan yang sulit diatasi .anak hiperaktif yang menunjukkan aktifitas
motorik yang berlebihan,masalah perilaku berat pada anak yang dikaitkan dengan
perilaku hiperaktif lagi atau menyerang mual dan muntah berat.
      Mekanisme kerja:
Mekanisme kerja antipsikatik yang tepat belum dipahami sebelumnya namun mungkin
berhubungan dengan antiodapaminergik.antipsikotik dapat menyeliat reseptor domain
post maps pada ganglia basal,hipotalamus,sistem umbila batang ptak dan medula.
      Efek samping :
Seperti sedasi,sakit kepala, kejang, insomnia, pusing, keletihan, penglihatan kabur,
kegelisahan, ansietas dan depresi.
      Kontra indikasi :
Penyakit hati, penyakit ginjal, kelainan jantung, ketergantungan obat, penyakit ssp,
gangguan kesadaran disebabkan oleh depresi ssp.
      Manfaat :
Memberikan pikiran tenang,perilaku jadi lebih adaktif.
b.    Haloperidol (HPD)
      Warna obat pink.
      Dosis yang diberikan 3- 5 mg/ hari.
      Indikasi :
Penatalaksanaan psikopsus kronik dan akut, pengendalian TIK dan pengucapanb vokal
pada gangguan jiwa . penanggulangan dimensia pada lansia, pengendalian hiperaktivitas
dan masalah perilaku berat pada anak- anak
      Kontra indikasi:
Penyakit hati, penyakit darah tinggi, epilepsi, kelainan jantung, ketergantungan obat,
gangguan kesadaran, penyakit sindrom saraf pusat.
      Efek samping:
Mengantuk, penglihatan kabur, mulut kering, kelemahan otot, konstipasi.
      Manfaat:
Memberikan pikiran tenang, perilaku menjadi lebih adaftif.
c.    Trihexypenidil (THP)
      Warna obatnya putih.
      Dosis yang diberikan 2 mg/ hari.
      Indikasi:
Segala jenis penyakit parkinson, gejala ekstra piramida, berkaitan dengan obat- obat
psikotik.
      Kontra indikasi:
Hipersensitivitas terhadap obat ini atau pada anti polinergik lain glaukoma sudut tertutup.
      Efek samping:
Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi,
dilatasi ginjal, retensi urin.
      Manfaat:
Anti depresi, menetralkan dan menghilangkan efek samping dari anti spikasi seperti
mual.
C.    ANALISA DATA
Data Etiologi Masalah Keperawatan
Data objektif : Isolasi Sosial
-    Tidak mau bergaul dengan
orang lain.
-    Tidak banyak bercakap-
cakap.
-    Banyak melamun.
-    Mengurung diri.
-    Sering menyendiri.
-    klien tidak minum obat
secara teratur sehingga
pengobatan kurang berhasil.
-    Klien tampak sedih.
-    Kontak mata kurang selama
komunikasi, berbicara
seperlunya, klien tampak
tidak mampu memulai
pembicaraan, cenderung
menolak untuk diajak
berkomunikasi.
-    Tidak ada perubahan roman
muka pada saat diceritakan
cerita lucu yang membuat
tertawa, klien tampak biasa
saja, hanya bereaksi bila ada
stimulus emosi yang kuat
(afek tumpul).
-    Klien mengalami
depersonalisasi (perasaan
klien yang asing terhadap
diri sendiri, orang atau
lingkungan), sehingga klien
menolak untuk berhubungan
dengan orang lain dan
tampak memisahkan diri
dari orang lain.
Data subjektif :
-   Klien mengatakan punya
pengalaman masa lalu yang
tidak menyenangkan dan
dulu pernah dikucilkan oleh
teman- temannya waktu
SMA.
-   Klien merasa malu karena
sampai sekarang belum
mendapatkan pekerjaan.
-   Klien mengatakan tidak
memiliki orang yang berarti
dalam hidup, bila punya
masalah,hanya memendam
masalah sendiri.
-   Klien mengatakan tidak
mengenal semua teman dan
jarang berinteraksi dengan
lingkungan.
Data Objektif : Kegagalan Harga diri rendah situasional
-   Kontak mata kurang selama
komunikasi, berbicara
seperlunya, klien tampak
tidak mampu memulai
pembicaraan, cenderung
menolak untuk diajak
berkomunikasi.
-   Klien terlihat lesu, lebih
banyak duduk menyendiri
dan tiduran daripada
beraktivitas, klien mau
beraktivitas apabila
dimotivasi.
-   Klien tampak sedih, karena
klien merasa sendiri, tidak
ada yang peduli dengan
dirinya, klien merasa putus
asa dan tidak berharga
dalam hidup ini.
Data subjektif
-   Klien mengatakan malu
karena sampai sekarang
belum mendapatkan
pekerjaan dan keluarganya
selalu menuntut klien untuk
segera bekerja.
Data objektif : Isolasi sosial Resiko kesepian
-    Tidak mau bergaul dengan
orang lain.
-    Mengurung diri.
-    Sering menyendiri.
-    Kontak mata kurang selama
komunikasi, berbicara
seperlunya, klien tampak
tidak mampu memulai
pembicaraan, cenderung
menolak untuk diajak
berkomunikasi.
-    Klien mengalami
depersonalisasi (perasaan
klien yang asing terhadap
diri sendiri, orang atau
lingkungan), sehingga klien
menolak untuk berhubungan
dengan orang lain dan
tampak memisahkan diri
dari orang lain.
Data subjektif :
-   Klien mengatakan tidak
memiliki orang yang berarti
dalam hidup, bila punya
masalah,hanya memendam
masalah sendiri.
-   Klien mengatakan tidak
mengenal semua teman dan
jarang berinteraksi dengan
lingkungan.

D.    DIAGNOSA & INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1.    Isolasi Sosial
Domain 12 : Kenyamanan. 1.    Lonliness severity Counseling
Kelas 3 : Kenyamanan Definisi: keparahan respon emosi , Definisi: menggunakan
sosial. sosial atau respon isolasi. proses interaktif yang
Definisi : pengalaman Indikator: berfokus pada
sendirian yang dialami -  Depresi menurun kebutuhan masalah atau
individu dan disadari -  Rasa mengisolasi diri menurun perasaan pasien untuk
sebagai beban oleh orang -  Kesulitan menurun dalam meningkatkan dukungan
lain dan sebagai hal yang merencanakan sesuatu koping, menyelesaikan
negatif atau tahap yang -  Aktifitas dapat ditingkatkan masalah dan hubungan
mengancam interpersonal.
Batasan Karakterisitik : 2.    Social Involvement Aktifitas:
-   Tidak mau bergaul denganDefinisi: Interaksi sosial dengan-       Minta pasien untuk
orang lain. orang, kelompok maupun mengekspresikan
-   Tidak banyak bercakap- organisasi. perasaan
cakap. Indikator: -       Bantu pasien untuk
-   Banyak melamun. -       Interaksi dengan teman meningkat mengidentifikasi situasi
-   Mengurung diri. -       Interaksi dengan tetangga atau masalah yang dapt
-   Sering menyendiri. meningkat menyebabkan distres
-   Klien tidak minum obat-       Interaksi dengan anggota keluarga-       Gunakan tekhnik
secara teratur sehingga refleksi
pengobatan kurang3.    Social interaction skills -       Minta pasien mendata
berhasil. Definisi: tingkah laku individu yang alternatif masalah
-   Klien tampak sedih. mengintepretasikan hubungan. -       Identifikasi perbedan
-   Kontak mata kurangIndokator: pandangan pasien dan
selama komunikasi,-       Bekerja sama dengan orang lain psikiatri.
berbicara seperlunya, klien meningkat. -       kaji kemampuan atau
tampak tidak mampu-       Mengesampingkan sensitifitas kekuatan pasien.
memulai pembicaraan, pada orang lain.
cenderung menolak untuk 2.    Self Esteem
diajak berkomunikasi. Enhancement
-   Tidak ada perubahan Definisi: membantu pasien
roman muka pada saat untuk meningkatkan
diceritakan cerita lucu yang kepribadian dalam
membuat tertawa, klien menilai dirinya.
tampak biasa saja, hanya Aktifitas:
bereaksi bila ada stimulus -       Monitor pernyataan
emosi yang kuat (afek tentang harga diri
tumpul). pasien.
-   Klien mengatakan punya -       Bantu pasien
pengalaman masa lalu yang meningkatkan atau
tidak menyenangkan dan mengidentifikasi
dulu pernah dikucilkan oleh kemampuannya.
teman- temannya waktu -       Tingkatkan kontak mata
SMA. paien dalam komunikasi
-   Klien merasa malu karena dengan orang lain.
sampai sekarang belum -       Tingkatkan kemampuan
mendapatkan pekerjaan. pasien untuk
-   Klien mengatakan tidak mengevaluasi tingkah
memiliki orang yang berarti lakunya.
dalam hidup, bila punya -       Tingkatkan kemampuan
masalah,hanya memendam pasien untuk menerima
masalah sendiri. kesempatan baru.
-   Klien mengatakan tidak -       Fasilitasi lingkungan
mengenal semua teman dan dan aktifitas yang dapat
jarang berinteraksi dengan meningkatkan harga
lingkungan. diri.
-       Monitor tingkat harga
diri tiap waktu
-       Buat pernyataan positif
tentang pasien.

3.    Therapy group


Definisi:
Mengaplikasikan
tekhnik psikoterapeutik
ke kelompok termasuk
kesatuan dalam interaksi
diantara anggota
kelompok.
Aktifitas:
-       Tentukan tujuan
kelompok (kominikasi,
dukungan).
-       Bentuk kelompok
maksimal 5-12 anggota.
-       Pilih anggota yang aktif
dari kelompok untuk
membuat respon yang
baik.
-       Tentukan motivasi yang
akan didapat dari
kelompok terapi.
-       Gunakan ketua
kelompok jika
memungkinkan.
-       Bertemu tiap 1-2 jam
setiap sesi.
-       Mulai dan akhiri dengan
mempertahankan
partisipasi pasien dan
beri kesimpulan.
-       Susun kursi secara
melingkar
-       Tingkatkan diskusi.
-       Gunakan role play dan
menyelesaikan masalah
-       Ambil anggota baru
untuk mempertahankan
integritas kelompok.
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN

Nama klien      : Nn. S                          Nama perawat/mahasiswa : Militia Sundalangi


No. CM           : 67.95
Ruangan          : Mawar
Hari/Tgl/Puku Nm. Dx Implementasi Evaluasi Paraf
l Kep.
Rabu/ Isolasi SP I S: -Klien
19 September Sosial         Mengidentifikasi penyebab mengatakan senang
2018 isolasi social berkenalan dengan
10.30-10.50         Berdiskusi dengan pasien temannya
WITA tentang   keuntungan erinteraksi - Klien mengatakan
dengan orang lain akan mencoba
        Berdiskusi dengan pasien melakukan kegiatan
tentang kerugian menarik diri yang telah diajarkan
        Mengajarkan klien cara suster
berkenalan dengan satu orang O : - Klien tampak
kooperatif dengan
perawatan
-Klien dapat
melakukan tindakan
yang diajarkan oleh
perawat
A : - Klien mampu
melakukan hal yang
di contohkan
perawat
PK : - Menganjurkan
klien untuk
melakukan kegiatan
tersebut dan
memasukan ke
dalam jadwal
kegiatan
PP : Intervensi di
lanjutkan

CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN

Nama Klien     : Tn. J                                               Nama perawat : Militia Sundalangi


No CM            : 67.95  
Ruang              : Mawar
Hari/Tgl No.Dx Kep Implementasi Evaluasi Paraf
Kamis/ Isolasi social SP II S : - klien tampak
20/09/2018 -    Mengevaluasi jadwal termenung
Jam 12.30 – kegiatan harian -  Klien kadang
12.40 -    Memberi kesempatan menundukan kepala
kepada pasien ketika interaksi
mempraktekan cara -  Klien suka
berkenalan dengan satu menyendiri
orang O:
-    Membantu pasien        klien tampak jarang
memasukan kegitan berinteraksi
berbincang-bincang         klien lebih suka
dengan orang lain tidur
A : klien mampu
berinteraksi dengan
temannya
PK : menganjurkan
klien untuk tetap
sering berinteraksi
dengan temannya
serta berkenalan
dengan yang lain
PP : melanjutkan
intervensi isos II
yaitu membantu
pasien untuk lebih
sering berinteraksi
dengan teman –
temannya
CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN

Nama Klien     : Tn. J                                           Nama perawat : Militia Sundalangi


No CM            : 67.95  
Ruang              : Mawar

Hari/Tgl No.Dx Implementasi Evaluasi Paraf


Kep
Jumat/ Isolasi SP III S : Klien mengatakan
21/09/2018 Sosial -    Mengevaluasi jadwal senang berkenalan
Jam kegiatan harian dengan temannya
08.30 – -    Memberi kesempatan O : Klien tampak
08.15 kepada pasien berinteraksi dengan
mempraktekan cara temannya
berkenalan dengan dua A : Klien mampu
orang mepraktekan kegiatan
        Membantu pasien yang dicontohkan oleh
memasukan kegitan perawat
berbincang-bincang dengan PK : menganjurkan
orang lain klien untuk tetap sering
berinteraksi dengan
temannya serta
berkenalan dengan
yang lain
PP : melanjutkan
intervensi isos III yaitu
membantu pasien
untuk lebih sering
berinteraksi dengan
teman – temannya

BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak dibawah umur belakangan ini
semakin banyak muncul dipermukaan.Hal ini belum tentu merupakan indikator meningkatnya
jumlah kasus, karena fenomena yang terjadi adalah fenomena gunung es, jumlah
yang terlihat belum tentu menunjukkan fakta yang sesungguhnya.Meningkatnya
kesadaran masyarakat terhadap penegakan hukum merupakan salah satu faktor
meningkatnya pelaporan kasus kekerasan seksual. Penganiayaan seksual pada anak
didefinisikan sebagai adanya tindakan seksual yang mencakup tetapi tidak dibatas pada
insiden membuka pakaian, menyentuh dengan cara yang tidak pantas dan penetrasi
(koitus seksual), yang dilakukan dengan seorang anak untuk kesenangan seksual orang
dewasa. Insest telah didefinisikan sebagai eksploitasi seksual pada seorang anak di
bawah usia 18 tahun oleh kerabat atau buka kerabat yang merupakan orang dipercaya
dalam keluarga (Townsend, 1998).
Anak sebagai pelaku kekerasan seksual, sangat mungkin sebelumnya adalah korban dari
kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku lain. Kemungkinan motif kekerasan yang
dilakukannya adalah untuk eksploitasi-memuaskan rasa ingin tahu, atau menirukan
kejadian yang dialami sebelumnya, baik dari perlakuan langsung maupun dari media yang
dilihatnya.Dengan adanya azas praduga tak bersalah, hendaknya ditelusuri dengan mendalam
faktor yang mendorong anak menjadi pelakukekerasan seksual, agar anak tidak dua kali
menjadi korban (Maria, 2008).
Efek klinis pencabulan berkisar dari pendarahan pada genital dan anus, fisur pada anus,
pembesaran liang vagina dan anus, dan penipisan/kerusakan hymen pada vagina. Efek
psikologis pencabulan terhadap anak umumnya berjangka panjang, antara lain: kemarahan,
kecemasan, mimpi buruk, rasa tak Iman, kebingungan, ketakutan, kesedihan, dan perubahan
perilaku baik menjadi buru

B. SARAN
Berdasarkan asuhan keperawatan anak pada retardasi mental maka disarankan :

1. Perawat

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan seksual abuse dapat
melibatkan anak dalam brain Gym untuk memfokuskan perhatian anak dan melupakan
peristiwa trauma akibat penganiayaan seksual.
2. Sekolah
Sekolah dapat bekerja sama dengan keluarga dan para dokter untuk membantu anak
korban aniaya seksual di sekolah. Komunikasi terbuka antara orangtua dan staf sekolah
dapat merupakan kunci keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri di sekolah.
3. Keluarga/Orang tua

Keluarga atau orang tua dalam membantu anak yang mengalami seksual abuse
harus memberikan perawatan anak dengan metode yang berbeda dengan anak yang
normal. Oleh karena itu hendaknya orang tua atau keluarga menyusun kegiatan sehingga
anak mempunyai rutinitas yang sama tiap hari, mengatur kegiatan harian, menggunakan
jadwal untuk pekerjaan rumah, dan memperpertahankan aturan secara konsisten dan
berimbang.
DAFTAR
PUSTAKA

Doengoes, M.E. Townsend, M.C. Moorhouse, M.F. (2007). Rencana asuhan


keperawatan Psikiatri (terjemahan).Edisi 3.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Elia, H. (2003). Korban Pelecehan Seksual Usia Muda ..!.


http://64.203.71.11/kesehatan/news/0307/21/103523.htm. Diakses
tanggal 28 Februari 2015
Freewebs, (2006).Pola Child Sexual Abuse. http://www.freewebs.com/

forensik_sexual_abuse/.htm. Diakses tanggal 28 Februari 2015

Jeanne Wess, and Videbeck (2008) Metode Penelitian Pengetahuan Sosial.

Alih bahasa: Sulistia, Mujianto, Sofwan, Ahmad, dan

Suhardjito. Semarang: IKIP Semarang Press.

Maria. (2008). Hadapi Kekerasan Seksual Pada Anak Hendaknya Tetap


Mempertimbangkan Faktor Psikologishttp://apindonesia.com/new/index.php?
option=com_content&task
=view&id=1656&Itemid=62. Diakses 28 Februari 2015
Minangsari, D. (2007. Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan
Seksual!. http://www.kesrepro.info/?q=node/194. Diakses tanggal 28
Februari 2015
Pramono, B. (2009). Penyiksaan Anak. http://groups.yahoo.com/group/ urantia-
indonesia/message/1516. Diakses tanggal 28 Februari 2015

Anda mungkin juga menyukai