Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kajian-kajian mengenai hubungan seks yang baik mulai banyak diperbincangkan
dimana-mana, karena seks bisa dibilang sebagai salah satu pilar terpenting dari rumah
tangga. Seks sekarang bukan hanya saja sebagai ajang pelampiasan hasrat biologis,
namun juga sebagai ajang pembuktian dalam berbagai hal, seks juga dianggap sebagai
aplikasi dari perasaan cinta tertinggi seseorang kepada orang lain, maka dari itu seks
harus diatur sedemikian rupa sehingga mampu memberi kepuasan bagi pasangan yang
melakukannya. Aturan-aturan mengenai hubungan seks yang selama ini dibuat khusus
untuk mengatur suatu hubungan seks banyak terdapat di dunia medis atau kedokteran
(ginekologi dan seksiologi).
Konsep mengenai budaya seksualitas dapat digunakan sebagai alat atau kacamata
untuk mendatang dan mengkaji serta memahami seksualitas yang berdasar pada norma
agama. Bila seksualitas dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama
diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan
masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut. Agama
dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh sebuah
masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang dapat
dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri
dari kebudayaan.
Seks adalah topik yang sudah lama dianggap tabuh oleh orang dewasa. Secara
bertahap, lebih dari 30-50 tahun, pengetahuan tentang seks dan pembicaraan tentang
masalah seksualitas telah dikenal sebagai hal yang penting dan perlu bagi
perkembangan manusia. Sejak pertengahan tahun 1960-an, tenaga perawat kesehatan
telah mengenali keterkaitan kesehatan seksual sebagai komponen kesejahteraan.
Meskipun demikian, banayak klien dewasa yang kurang pengetahuan tentang
seksualitas atau enggan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan seksualitas.
Misalnya, kekhawatiran mencakup hal tentang melakukan hubungan seksual setelah
melahirkan, kenormalan perkembangan, dan ansietas terhadap efek medikasi
anthiprensif pada fungsi seksual.

1
Dalam pendekatan holistik terhadap perawatan kesehatan klien, semua aspek
saling berintraksi. Oleh karna itu, seksualitas mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
aspek biologis, psikologis, sosiologis, budaya, dan spiritual manusia. Kebutuhan untuk
mengetahui dan menghadapi isu seksualitas dalam praktek perawatan kesehatan tidak
dapat diabaikan.

1.2 TUJUAN
1. Mengetahui pengertian seksualitas
2. Mengetahui fungsi seksualitas
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi seksualitas
4. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan seks manusia
5. Mengetahui respon seksualitas
6. Mengetahui dimensi seksualitas
7. Mengetahui permasalahan seksualitas
8. Mengetahui penyimpangan seksualitas
9. Mengetahui etik legal dalam seksualitas

1.3 MANFAAT
1. Makalah ini dapat digunakan sebagai sarana belajar dan mengaplikasikan ilmu
yang diperoleh selama masa pembelajaran tentang konsep seksualitas.
2. Pengetahuan yang diperoleh dari makalah ini dapat dijadikan pedoman dalam
melaksanakan tugas mengenai konsep seksualitas dalam psikososial dan
budaya.

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 PENGERTIAN
Seksualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang
berhubungan dengan alat reproduksi. (Stevens: 1999). Sedangkan menurut WHO dalam
Mardiana (2012) seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang kehidupannya
dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan,
kemesraan dan reproduksi.
Seksualitas adalah komponen identitas personal individu yang tidak terpisahkan
dan berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas tidak
sama dengan seks. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologis, psikologi personal,
dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu untuk memberi
dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Identitas dan konsep diri seksual
psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu tentang seksualitas seperti
citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan pembelajaran peran-peran maskulin
atau feminin. Nilai atau aturan sosio budaya membantu dalam membentuk individu
berhubungan dengan dunia dan bagaimana mereka memilih berhubungan seksual
dengan orang lain (Bobak: 2004).
Terdapat 2 aspek seksualitas:
1. Seksualitas dalam arti sempit
Dalam arti sempit seks berarti kelamin. Yang termasuk dalam kelamin adalah
sebagai berikut:
a. Alat kelamin itu sendiri
b. Kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya
alat kelamin
c. Anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan
perempuan
d. Hubungan kelamin
2. Seksualitas dalam arti luas
Segala hal yang terjadi akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin antara lain:
a. Perbedaan tingkah laku: lembut, kasar, genit, dll

3
b. Perbedaan atribut: pakaian, nama, dll.
c. Perbedaan peran.
(Mardiana: 2012)

2.2 FUNGSI SEKSUALITAS


a. Kesuburan
Pada beberapa kebudayaan, seorang wanita muda mungkin merasakan adanya
keinginan yang kuat untuk membuktikan kesuburannya bahkan walaupun ia
sebenarnya belum menginginkan anak pada tahap kehidupannya saat itu. Ini
adalah macam masyarakat yang secara tradisional wanita hanya dianggap layak
dinikahi apabila ia sanggup membuktikan kesuburannya.
b. Kenikmatan
Mungkin pendorong primer atau mendasar perilaku seksual adalah kenikmatan
atau kesenangan yang dirasakan yaitu suatu kombinasi kenikmatan sensual dan
kenikmatan khas seksual yang berkaitan dengan orgasme.
c. Mempererat ikatan dan meningkatkan keintiman pasangan
Dalam suatu pertalian seksual yang ekslusif, pasangan melakukan secara
bersama-sama hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan dengan orang lain. Ini
adalah esensi dari keintiman seksual. Efektivitas seks dalam memperkuat
keintiman tersebut berakar dari risiko psikologis yang terlibat; secara khusus,
resiko ditolak, ditertawakan, mendapati bahwa dirinya tidak menarik, atau
kehilangan kendali dapat memadamkan gairah pasangan.
d. Menegaskan maskulinitas dan feminitas
Sepanjang hidup kita, terutama pada saat-saat identitas gender terancam karena
sebab lain (mis., saat menghadapi perasaan tidak diperlukan atau efek penuaan),
kita mungkin menggunakan seksualitas untuk tujuan ini.
e. Meningkatkan harga diri
Merasa secara seksual bagi orang lain, atau berhasil dalam upaya seksual,
secara umum dapat meningkatkan harga diri.
f. Mencapai kekuasaan atau dominasi dalam hubungan
Kekuasaan (power) seksualitas cenderung dianggap sebagai salah satu aspek
maskulinitas, dengan pria, baik karena alasan sosial maupun fisik, biasanya

4
berada dalam posisi dominan. Namun, seks dapat digunakan untuk
mengendalikan hubungan baik oleh pria dan wanita dan karenanya sering
merupakan aspek penting dalam dinamika hubungan. Kekuasaan tersebut
mungkin dilakukan dengan mengendalikan akses ke interaksi seksual,
menentukan bentuk pertalian seksual yang dilakukan, dan apakah proses
menimbulkan efek positif pada harga diri pasangan. Sementara dapat terus
menjadi faktor dalam suatu hubungan yang sudh berjalan, hal ini juga merupakan
aspek yang penting dan menarik dalam perilaku awal masa “berpacaran”.
g. Mengungkapkan permusuhan
Aspek penting dalam masalah “dominasi” pada interaksi seksual pria-wanita
adalah pemakaian seksualitas untuk mengungkapkan permusuhan. Hal ini paling
relevan dalam masalah perkosaan dan penyerangan seksual. Banyak kasus
penyerangan atau pemaksaan seksual dapat dipandang sebagai perluasan dari
dominasi atau kekuasaan, biasanya oleh pria terhadap wanita. Juga terdapat
keadaan-keadaan dengan penyerangan seksual dapat dipahami sebagai suatu
ungkapan kemarahan, baik terhadap wanita itu sendiriatau terhadap wanita itu
sebagai pengganti wanita lain.
h. Mengurangi ansietas atau ketegangan
Menurunnya gairah yang biasanya terjadi setelah orgasme dapat digunakan
sebagai cara untuk mengurangi ansietas atau ketegangan.
i. Pengambilan resiko
Interaksi seksual menimbulkan berbagai risiko, berkisar dari yang relatif
ringan, misalnya ketahuan, sampai serius misalnya hamil atau infeksi menular
seksual. Adanya resiko tersebut menjadi semakin bermakna dan mengganggu
dengan terjadinya epidemi HIV dan AIDS. Bagi sebagian besar orang, kesadaran
adanya resiko akan memadamkan respon seksual sehingga mereka mudah
menghindari resiko tersebut. Namun, bagi beberapa individu, gairah yang
berkaitan dengan persepsi resiko malah meningkatkan respons seksual. Untuk
individu yang seperti ini, resiko seksual menjadi salah satu bentuk kesenangan
yang dicari.

5
j. Keuntungan materi
Prostitusi adalah bentuk yang jelas dari aktivitas seksual untuk memperoleh
keuntungan dan hal ini sering merupakan akibat dari kemiskinan. Pernikahan,
sampai masa ini masih sering dilandasi oleh keinginan untuk memperoleh satu
bentuk perlindungan dan bukan semata mata ikatan emosional komitmen untuk
hidup bersama (Glasier: 2005).

2.3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SEKSUALITAS


Banyak faktor yang mempengaruhi seksualitas individu sebagai berikut :
1. Budaya
Seksualitas diatur oleh budaya individu. Sebagai contoh, budaya
memengaruhi cara berpakaian berdasarkan jenis kelamin, harapan prilaku
peran dan tanggung jawab sosial, dan praktik seks tertentu. Karena klien
dapat berbeda dalam pendekatan mereka terhadap seksualitas, perawat harus
waspada dan mempertimbangkan faktor budaya saat melakukan pendekatan
terhadap masalah seksual dalam perawatan kesehatan.
2. Nilai keagamaan
Agama mempengaruhi ekspresi seksual. Agama memberikan pedoman
untuk perilaku seksual dan situasi yang dapat diterima untuk perilaku
tersebut, juga perilaku seksual yang dilarang dan konsekuensi melanggar
peraturan seksual. Pedoman atau peraturan tersebut dapat terperinci. Sebagai
contoh contoh beberapa agama memandang bentuk ekspresi seksual selain
hubungan pria – wanita sebagai sesuatu yang tidak alamiah dan
mempertahankan keperawanan sebelum menikah merupakan keharusan.
Banyak agama menilai konflik nilai masyarakat yang lebih fleksibel yang
telah di kembangkan selama beberapa dekade terakhir ( seringkali disebut
revolusi seksual ) seperti penerimaan hubungan seksual pernikahan, menjadi
ibu tanpa menikah, homoseksualitas dan aborsi.
3. Etika Personal
Contohnya termasuk masturbasi, hubungan seksual oral atau anal dan pria
berpakaian wanita atau wanita berpakai pria. Banyak orang menerima
ekspresi seksual dalam beragam bentuk apabila ekspresi tersebut dilakukan

6
dengan persetujuan orang dewasa, di praktikan secara pribadi, dan tidak
membahayakan.
4. Status Kesehatan
Pikiran tubuh dan emosi yang sehat sangat penting untuk kesejahteraan
seksual. Banyak faktor kesehatan yang dapat mengganggu ekspresi
seksualitas. Berikut adalah contoh gangguan umum yang dapat menggangu
ekspresi seksual : penyakit jantung, kanker prostat, histerektomi, diabetes
melitus, prosedur bedah, penyakit sendi, nyeri kronik, penyakit menular
seksual, gangguan mental dan medikasi.

2.4 PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKS MANUSIA


Pertumbuhan dan perkembangan seks manusia disebut libido. Terdiri dari
beberapa tahap yaitu:
1. Tahap oral: Sampai mencapai umur sekitar 1-2 tahun, tingkat kepuasan seks
dengan menghisap puting susu ibu, dot botol, menghisap jari tangan, Dengan
bayi baru dapat tidur setelah disusui ibu, menghisap botol atau tidur sambil
menghisap jarinya. Oleh karena itu perilaku demikian tidak perlu dilarang.
2. Tahap anal: Kepuasan seks anak didapat melalui rangsangan anus saat buang
air besar, antara umur 3-4 tahun sering duduk lama ditoilet, sehingga
kepuasannya tercapai.
3. Tahap falik: Terjadi sekitar umur 4-5 tahun, dengan jalan mempermainkan alat
kelaminnya.
4. Tahap laten: Terjadi sekitar umur 6-12 tahun. Tingkah laku seksual seolah-olah
terbenam, karena mungkin lebih banyak bermain, mulai masuk sekolah, dan
adanya pekerjaan rumah dari sekolah, Sehingga anak-anak cepat lelah dan
lekas tertidur, untuk siap bangun pagi dan pergi ke sekolah.
5. Tahap genital: Umur anak sekaitar 12-15 tahun. Tanda seks sekunder mulai
berkembang dan keinginan seks dalam bentuk libido mulia tampak dan terus
berlangsung sampai mencapai usia lanjut. Suara mulai berubah, keinginan
dipuja dan memuja mulai muncul, keingian dicumbu dan mencumbu pun mulai
tampak. Saat ini masa yang sangat berbahaya, sehingga memerlukan perhatian
orang tua. Pada wanita telah mulai dating bulan (menstruasi) dan pria mulai

7
mimpi basah sehingga dapat menyebabkan kehamilan atau hamil bila mereka
melakukan hubungan seksual. Karena kematangan jiwa dan jasmani belum
mencapai tingkat dewasa, sehingga bila terjadi kehamilan yang tidak
dihendaki, memberikan dampak kejiwaan yang sangat menyedihkan.
(chandranita :2009)

Berkembangnya seksualitas dan pertalian seksual


1. Remaja
Pada awal masa remaja, sebagian besar seksualitas berkaitan dengan
penegasan identitas gender dan harga diri. Pada saat awitan pubertas terjadi
perubahan-perubahan di tubuh yang berlangsung tanpa dapat diduga sementara
perubahan-perubahan hormon menimbulkan dampak pada reaktivitas emosi.
2. Pasangan dan awal perkawinan
Setelah perkawinan dimulai, tantangannya adalah membangun rasa aman
dalam pertalian seksual yang juga mulai kehilangan pengaruh “pengalaman
barunya”. Pada tahap inilah membangun komunikasi yang baik menjadi sangat
penting untuk kelanjutan perkembangan pertalian seksual. Apabila pasangan
tidak mengembangkan cara-cara yang memungkinkan pasangannya
mengetahui apa yang mereka nikmati dan apa yang tidak menyenangkan maka
akan muncul masalah yang seharusnya dapat dihadapi dan dipecahkan.
3. Awal menjadi orang tua
Kehamilan, dan beberapa bulan setelah kelahiran, menimbulkan kebutuhan
lebih lanjut akan penyesuaian seksual. Wanita besar kemungkinannya
mengalami penurunan keinginan seksual dan kapasitas untuk menikmati seks
menjelang akhir kehamilnya karena terjadinya perubahan-perubahan fisik dan
mekanis. Periode pascanatal, karena berbagai alasan merupakan salah satu
periode saat munculnya kesulitan-kesulitan seksual yang apabila pasangan
obesitas belum mengembangkan metode-metode yang sesuai untuk
mengatasinya, dapat menimbulkan kesulitan berkepanjangan. Masalah jangka
panjang yang paling sering dalam hali ini adalah hilangnya gairah seksual
pihak wanita.

8
4. Usia paruh baya
Seksualitas pada hubungan yang sudah terjalin lama biasanya menghadapi
hambatan yang berbeda-beda. Pada tahap ini sesuatu yang baru dalam
hubungan seksual telah lama hilang. Bagi banyakorang halini tidak
menimbulkan masalah. Mereka telah mengembangkan bentuk kenyamanan
intimasiseksual lain yang tetap menjadi bagian integral dari hubungan mereka.
Tetapi bagi yang lain, kualitas hubungan seksual yang rutin ini akan memakan
korban. Pada keadaan seperti ini stress di tempat kerja misalnya akan mudah
menyebabkan kelelahan dan memadamkan semua antusiasme spontan untuk
melakukan aktivitas seksual. Hubungan intim menjadi jarang dilakukan dan
sebagai konsekuensinya dapat timbul ketegangan dalam hubungan pasangan
tersebut (Glasier: 2005).

2.5 RESPON SEKSUALITAS


Menurut Masters dan Johnson (1966) siklus respon seksual terdiri dari fase
excitement, plateu, orgasmus, dan resolusi.
1. Tahap exicetement (peningkatan bertahap dalam rangsangan (seksual)
Pada tahap ini, wanita mengalami lubrikasi vaginal yaitu dinding vagina
berkeringat, ekspansi 2/3 bagian dalam rongga vagina (lorong vagina
membuka), peningkatan sensitivitas dalam pembesaran klitoris serta labia,
kemudian terjadi ereksi puting dan peningkatan ukuran payudara. Sedangkan
pada pria yang terjadi pada tahap ini yaitu ereksi penis (penambahan besar
penis dari yang sebelumnya), penebalan dan elevasi skrotum, pembesaran
skrotum, ereksi puting susu dan pembengkakan (tumescence).
2. Tahap Plateu (penguatan respon fase exicetement)
Pada tahap berikutnya yang terjadi pada wanita pada tahap ini adalah
pembesaran klitoris (retraksi klitoris dibawah topi klitoris), pembentukan
platform orgasmus: pembengkakan 1/3 luar vagina dan labia minora, elevasi
serviks dan uterus: perubahan warna kulit yang tampak hidup pada labia
minora, pembesaran areola dan payudara, peningkatan tegangan otot dan
pernapasan, peningkatan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan
prekuensi pernafasan. Sedangkan pada pria yang terjadi pada tahap ini yaitu

9
peningkatan ukuran glans (ujung) penis, peningkatan intensitas warna glans,
elevasi dan peningkatan 50% ukuran testis, peningkatan tegangan otot dan
pernafasan, peningkatan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan
frekuensi pernapasan.
3. Tahap orgasmus (penyaluran kumpulan darah dan tegangan otot)
Pada tahap ini yang terjadi pada wanita adalah kontraksi volunter
platformorgasmik, uterus, rektal dan spinter uretral, dan kelompok otot lain,
hiperventilasi dan peningkatan frekuensi jantung, memuncaknya frekuensi
jantung, tekanan darah dan frekuensi pernafasan. Sedangkan pada pria yang
terjadi adalah penutupan sfinter urinarius internal, sensasi ejakulasi yang
terjadi tertahankan, kontraksi duktus deferens vesikel seminalis prostat dan
duktus ejakulatorius, relaksasi sfinter kandung kemih eksternal,
memuncaknya frekuensi jantung, tekanan darah dan frekuensi pernafasan,
ejakulasi.
4. Tahap Resolusi (fisiologis dan psikologis kembali ke dalam keadaan
tidak terangsang).
Pada tahap ini yang terjadi pada wanita adalah relaksasi bertahap pada
dinding vagina, perubahan warna yang cepat pada dinding labia minora,
berkeringat, secara bertahap frekuensi jantung, tekanan darah dan frekuensi
pernapasan kembali normal, wanita mampu kembali mengalami orgasmus
karena tidak mengalami periode refraktori seperti yang terjadi pada pria
(Purnawan, 2004). Sedangkan yang terjadi pada tahap ini pada pria adalah
kehilangan ereksi penis, periode refraktori ketika dilanjutkan stimulasi
menjadi tidak enak, reaksi berkeringat, penurunan testis, secara bertahap
frekuensi jantung, tekanan darah dan frekuensi pernafasan kembali normal.

2.6 DIMENSI SEKSUALITAS


Seksualitas memiliki dimensi-dimensi. Dimensi-dimensi Seksualitas seperti
sosiokultural, dimensi agama dan etik, dimensi psikologis dan dimensi biologis (Perry
& Potter, 2005). Masing-masing dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

10
1. Dimensi Sosiokultural
Seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang
menentukan apakah perilaku yang diterima di dalam kultur. Keragaman
kultural secara global menciptakan variabilitas yang sangat luas dalam norma
seksual dan menghadapi spectrum tentang keyakinan dan nilai yang luas.
Misalnya termasuk cara dan perilaku yang diperbolehkan selama berpacaran,
apa yang dianggap merangsang, tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan
dalam perilaku seksual, dengan siapa seseorang menikah dan siapa yang
diizinkan untuk menikah.
Setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk
nilai dan sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat
perkembangan dan ekspresi seksual anggotanya. Setiap kelompok sosial
mempunyai aturan dan norma sendiri yang memandu perilaku anggotanya.
Peraturan ini menjadi bagian integral dari cara berpikir individu dan
menggarisbawahi perilaku seksual, termasuk, misalnya saja, bagaimana
seseorang menemukan pasangan hidupnya, seberapa sering mereka melakukan
hubungan seks, dan apa yang mereka lakukan ketika mereka melakukan
hubungan seks.
2. Dimensi Agama dan etik
Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Ide
tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang berhubungan dengan
seksualitas membentuk dasar untuk pembuatan keputusan seksual. Spektrum
sikap yang ditunjukan pada seksualitas direntang dari pandangan tradisional
tentang hubungan seks yang hanya dalam perkawinan sampai sikap yang
memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi dirinya. Keputusan
seksual yang melewati batas kode etik individu dapat mengakibatkan konflik
internal.
3. Dimensi Psikologis
Seksualitas bagaimana pun mengandung perilaku yang dipelajari. Apa yang
sesuai dan dihargai dipelajari sejak dini dalam kehidupan dengan mengamati
perilaku orangtua. Orangtua biasanya mempunyai pengaruh signifikan pertama
pada anak-anaknya.

11
Mereka sering mengajarkan tentang seksualitas melalui komunikasi yang
halus dan nonverbal. Seseorang memandang diri mereka sebagai makhluk
seksual berhubungan dengan apa yang telah orangtua mereka tunjukan kepada
mereka tentang tubuh dan tindakan mereka. Orangtua memperlakukan anak
laki-laki dan perempuan secara berbeda berdasarkan jender.
4. Dimensi Biologis
Seksualitas berkaitan dengan pebedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan yang ditentukan pada masa konsepsi. Material genetic dalam telur
yang telah dibuahi terorganisir dalam kromosom yang menjadikan perbedaan
seksual. Ketika hormone seks mulai mempengaruhi jaringan janin, genitalia
membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Hormon mempengaruhi
individu kembali saat pubertas, dimana anak perempuan mengalami menstruasi
dan perkembangan karakteristik seks sekunder, dan anak laki-laki mengalami
pembentukan spermatozoa (sperma) yang relatif konstan dan perkembangan
karakteristik seks sekunder.

2.7 PERMASALAHAN SEKSUALITAS


Adapun penyebab dari masalah seksualitas adalah antara lain:
1. Ketidaktahuan mengenai seks
Lebih dari 70% wanita di Indonesia tidak mengetahui dimana letak
klitorisnya sendiri. Sebuah hal yang sebenarnya sangat penting tetapi tidak
diketahui oleh banyak orang. Masalah ketidaktahuan terhadap seks sudah
betul-betul merakyat. Ini berpangkal dari kurangnya pendidikan seks yang
sebagian besar dari antara masyarakat tidak memperolehnya pada waktu
remaja. Tidak jarang, pengetahuan seks itu hanyalah sebatas informasi, bukan
pendidikan. Itu terjadi karena mereka tidak mendapatkan pendidikan seks di
sekolah atau lembaga formal lainnya. Akibatnya, keingintahuan soal seks
didapatkannya dari berbagai media. Untuk itu orang tua hendaknya
memberikan pendidikan soal seks kepada anak-anaknya sejak dini. Salah
satunya dengan memisahkan anak-anaknya tidur dalam satu kamar setelah
berusia sepuluh tahun, sekalipun sama-sama perempuan atau laki-laki.

12
Demikian halnya dengan menghindarkan anak-anaknya mandi bersama
keluarga atau juga teman-temannya.
Orang tua harus menjawab jujur ketika anaknya bertanya soal seks.
Jawaban-jawaban yang diberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai
dengan usia si anak. Karena itulah, orang tua dituntut membekali dirinya
dengan pengetahuan-pengetahuan tentang seks. Terlebih lagi, perubahan fisik
dan emosi anak akan terjadi pada usia 13 – 15 tahun pada pria dan 12 – 14
tahun pada wanita. Saat itulah yang dinamakan masa pubertas yaitu masa
peralihan dari masa anak-anak menjadi remaja. Pada saat itu pula, mereka
mulai tertarik kepada lawan jenisnya.
2. Kelelahan
Rasa lelah adalah momok yang paling menghantui pasangan pada jaman
ini dalam melakukan hubungan seks. Apalagi dengan meningkatnya tuntutan
hidup, sang wanita harus ikut bekerja di luar rumah demi mencukupi
kebutuhan sehari-hari. Pada waktu suami istri pulang dari kerja, mereka akan
merasa lelah. Dan pasangan yang sedang lelah jarang merasakan bahwa
hubungan seks menarik minat. Akhirnya mereka memilih untuk tidur.
Kelelahan bisa menyebabkan bertambahnya usaha yang diperlukan untuk
memuaskan kebutuhan lawan jenis dan merupakan beban yang membuat kesal
yang akhirnya bisa memadamkan gairah seks.
3. Konflik
Sebagian pasangan memainkan pola konflik merusak yang berwujud
sebagai perang terbuka atau tidak mau berbicara sama sekali satu sama lain.
Konflik menjadi kendala hubungan emosional mereka. Bahkan ini bisa
menggeser proses foreplay. Pasangan dapat mempertajam perselisihan mereka
dengan menghindari seks atau mengeluarkan ungkapan negatif atau
membandingkan dengan orang lain, yang sangat melukai perasaan
pasangannya. Kemarahan dan kecemasan yang tidak terpecahkan bisa
menyebabkan sejumlah masalah seksual antara lain masalah ereksi, hilang
gairah atau sengaja menahan diri untuk tidak bercinta. Perbedaan antara satu
orang dan lainnya biasanya tidak baik dan tidak juga buruk. Jadi haruslah

13
dipandang hanya sebagai perbedaan. Kemarahan, ketegangan atau perasaan
kesal akan selalu menghambat gairah seks.
4. Kebosanan
Seperti halnya menggosok gigi atau menyetel alarm jam, seks bisa
dianggap seperti “kerja malam”. Hubungan seks yang rutin sebelum tidur
sering menjadi berlebihan sampai ke suatu titik yang membosankan. Yang
mendasari rasa bosan itu adalah kemarahan yang disadari atau tidak disadari
karena harapan anda tidak terpenuhi. Masalah ini diderita oleh kebanyakan
pasangan yang sudah hidup bersama bertahun-tahun. Sebagian pasangan yang
sudah hidup bersama untuk jangka waktu yang lama merasa kehilangan getaran
kenikmatan yang datang ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan
yang baru. Orang demikian melihat rayuan penguat ego, dibandingkan bila
bersenggama dengan mitra baru.

2.8 PENYIMPANGAN SEKSUALITAS


Penyimpangan seksual atau kelainan seksual adalah tindakan atau perilaku
seksual yang tidak sewajarnya atau tidak selayaknya untuk dilakukan. Macam-macam
kelainan seksual sebagai berikut:
1. Sadisme Seksual an Masokhisme Seksual
Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan seksual
diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu
menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sedangkan masokisme seksual
merupakan kebalikan dari sadisme seksual. Seseorang dengan sengaja
membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual.
2. Ekshibisionisme
Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan
memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan
kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan
semakin terangsang. Kondisi begini sering diderita pria, dengan
memperlihatkan penisnya yang dilanjutkan denganmasturbasi hingga ejakulasi.

14
3. Voyeurisme
Istilah voyeurisme (disebut juga scoptophilia) berasal dari bahasa Prancis
yakni vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh
kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang
telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan
kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut
terhadap korban yang diintip. Dia hanya mengintip atau melihat, tidak lebih.
Ejakuasinya dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama
mengintip atau melihat korbannya. Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau
melihat tadi merupakan rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh
kepuasan seksual. Yang jelas, para penderita perilaku seksual menyimpang
sering membutuhkan bimbingan ataukonseling kejiwaan, disamping dukungan
orang-orang terdekatnya agar dapat membantu mengatasi keadaan mereka.
4. Fetishisme
Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas
seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana
dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau
dorongan seksual. Sehingga, orang tersebut mengalami ejakulasi dan
mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta
pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya, kemudian melakukan
hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut.
5. Pedophilia / Pedophil / Pedofilia / Pedofil
Pedofil merupakan orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan
seks/kontak fisik yang merangsang dengan anak di bawah umur.
6. Bestially
Bestially adalah manusia yang suka melakukan hubungan seks dengan
binatang seperti kambing, kerbau, sapi, kuda, ayam, bebek, anjing, kucing, dan
lain sebagainya.
7. Incest
Adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami
istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak laki-lakinya.

15
8. Necrophilia/Necrofil
Adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang
sudah menjadi mayat / orang mati.
9. Zoophilia
Zoofilia adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan
melakukan hubungan seks dengan hewan.
10. Sodomi
Sodomi adalah pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan
seks baik pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan.
11. Frotteurisme/Frotteuris
Yaitu suatu bentuk kelainan sexual di mana seseorang laki-laki
mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek / menggosok-
gosok alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik / umum seperti di
kereta, pesawat, bis, dll.
12. Gerontopilia
Adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh
cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut
(nenek-nenek atau kakek-kakek). Gerontopilia termasuk dalam salah satu
diagnosis gangguan seksual, dari sekian banyak gangguan seksual seperti
voyurisme, exhibisionisme, sadisme, masochisme, pedopilia, brestilia,
homoseksual, fetisisme, frotteurisme, dan lain sebagainya. Keluhan awalnya
adalah merasa impoten bila menghadapi istri/suami sebagai pasangan
hidupnya, karena merasa tidak tertarik lagi. Semakin ia didesak oleh
pasangannya maka ia semakin tidak berkutik, bahkan menjadi cemas. Gairah
seksualnya kepada pasangan yang sebenarnya justru bisa bangkit lagi jika ia
telah bertemu dengan idamannya (kakek/nenek).
13. Homoseksual
Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan
seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita
perempuan. Dalam DSM IV-TR, Homoseksual tidak termasuk gangguan
seksual lagi, tetapi hanya pada kelainan arah pemuasan seksual. Hal yang
memprihatinkan disini adalah kaitan yang erat antara homoseksual dengan

16
peningkatan risiko AIDS. Pernyataan ini dipertegas dalam jurnal kedokteran
Amerika (JAMA tahun 2000), kaum homoseksual yang "mencari"
pasangannya melalui internet, terpapar risiko penyakit menular seksual
(termasuk AIDS) lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.

2.9 ETIK LEGAL DALAM SEKSUALITAS


Seksualitas berkaitan dengan standar pelaksanaan etik. Setiap tindakan seksual
antara orang dewasa yang cukup umur dalam kehidupan pribadinya sebagai moral.
Sebagian orang percaya bahwa sebagian orang bahwa moral seksualitas meningkatkan
pertumbuhan pribadi dan hubungan intrapersonal. Sedangkan orang lain percaya bahwa
moralitas tentang tindakan seksual harus diputuskan dengan dasar situasi dimana hal
tersebut terjadi.
Akibtanya individu mempunyai perbedaan dalam keyakinan dan nilai seksual
mereka. Michael et al. (1994) membagi responden menjadi tiga kategori dengan dasar
sikap dan keyakinan. Individu yang masuk ke dalam kategori “tradisional” mengatakan
bahwa keyakinan keagamaan mereka selalu memberi pedoman perilaku seksual mereka
dan bahwa homoseksual, aborsi, dan hubungan seks pra nikah dan di luar nikah
dianggap salah. Kategori “relasional” berkeyakinan bahwa seks harus menjadi bagian
dari hubungan saling mencintai tetapi tidak harus dalam perkawinan. Kategori
“rekreasional” mengatakan bahwa kebutuhan seks tidak ada kaitannya dengan cinta.
Seksualitas yang sehat menurut Taylor, Lillis, & Le Mone (1997) tergantung pada
terbebasnya individu dari rasa bersalah dan ansietas. Apa yang diyakini salah oleh
seseorang, bisa saja wajar bagi orang lain. Ada individu yang menganggap ekspresi
seksual terbentuk dianggap tidak normal. Sebenarnya yang penting dipertimbangkan
adalah rasa nyaman terhadap pilihan ekspresi seksual yang sesuai, yang hanya bisa
dicapai apabila bebas dari rasa bersalah dan perasaan cemas.

17
BAB 3
KASUS

Bp. A berusia 65 tahun. Sejak 3 bulan yang lalu Bp. A tidak aktif bekerja
karena sudah pensiun TNI. Bp. A mempunyai istri Ny. R berusia 64 tahun. Bp. A
mempunyai kebiasaan olah raga seperti bulu tangkis, senam dan lari pagi sejak
menjadi mahasiswa di akademi. Kebiasaan berolah raga tersebut selalu Bp. A jalani
sampai saat ini, sedangkan Ny. R jarang mengikuti olah raga. Bp. A sampai saat ini
selalu memiliki keinginan untuk selalu berhubungan intim dengan Ny. R, apalagi
setelah berolah raga Bp. A merasa badannya segar dan biasanya keinginan
memenuhi kebutuhan seksualitasnya meningkat. akan tetapi Ny. R selalu
mengatakan mudah lemas dan tidak mungkin berhubungan intim seperti waktu
masih muda. Penolakan yang berulang-ulang dari Ny. R, membuat Bp. A marah-
marah, bahkan sampai Bp. A mempunyai keinginan untuk menikah lagi.

18
BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan kasus diatas tugas perkembangan keluarga dengan lansia dalam


pemenuhan kebutuhan seksualitas dapat dilakukan dengan cara mempertahankan
hubungan perkawinan. Mempertahankan hubungan perkawinan merupakan suatu
hal yang lebih penting dalam mewujudkan kebahagiaan dalam suatu keluarga.
Perkawinan mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi moral dan aktivitas yang
dijalani dari pasangan lansia. Salah satu mitos tentang lansia yang mengatakan
bahwa pada lansia dorongan seks mengalami penurunan bahkan aktivitas sosialnya
tidak ada lagi. Mitos tersebut tidak dibenarkan oleh hasil penelitian yang
memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Menurut Lobsenz, 1975 mengatakan
bahwa meskipun terjadi penurunan kapasitas seksualitas secara perlahan-lahan pada
lansia, namun keinginan dalam kegiatan seksual selalu ada bahkan meningkat.
Biasanya salah satu yang menjadi penyebab terjadinya menurunya aktivitas seksual
adalah masalah psikologis.

Keluarga merupakan support sistem utama bagi lansia dalam


mempertahankan kesehatan. Peran keluarga dalam perawatan lansia meliputi
menjaga merawat lansia mempertahankan dan meningkatkan status mental,
mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi kebutuhan
spiritual bagi lansia. Perkembangan keluarga merupakan tanggung jawab yang
harus dicapai oleh keluarga dalam setiap perkembangan10. Keluarga memiliki
banyak peran dalam menyelesaikan masalah kebutuhan seksual pada lansia. Peran
keluarga yang dapat dilakukan antara lain keluarga dapat memberikan pengertian
dan pemahaman kepada bapak A tentang perubahan seksualitas yang terjadi
terutama penurunan fungsi organ reproduksi wanita. Ketika wanita mengalami
penurunan fungsi organ reproduksi, wanita mengalami cepat lelah ketika
melakukan hubungan intim dan penurunan rasa bergairah untuk melakukan
hubungan intim. Sedangkan pada pria tidak ada yang namanya penurunan fungsi
organ reproduksi, bahkan pria cenderung lebih semangat dan lebih bergairah dalam
melakukan hubungan intim. Diharapkan, setelah diberikan pemahaman dan
pengertian tentang perubahan sesksual yang terjadi, bapak A mengerti dengan

19
kondisi nyonya R yang telah mengalami penurunan fungsi organ reproduksi
berkaitan dengan masa menopause yang dialami oleh Ny. R. Keluarga dapat
menginformasikan cara memenuhi kebutuhan seksualitas pada lansia dengan cara
tidak harus berhubungan intim langsung tetapi bisa juga melakukan dengan
menonton TV sambil telanjang, berciuman, berpelukan, tidur bersama sambil
telanjang, dan makan berdua. Sehingga Bapak A tidak perlu meminta menikah lagi
untuk memenuhi kebutuhan seksualitasnya.

20
BAB 5
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Seksualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia. Kebutuhan seksual yang


dialami oleh orang dewasa merupakan kebutuhan seks yang mengalami penurunan
fungsi organ reproduksi mengakibatkan kecanggungan dalam hubungan pasangan
suami istri.
Masalah keperawatan yang terjadi pada kebutuhan seksual adalah pola seksual dan
perubahan disfungsi seksual. Pola seksual mengandung arti bahwa suatu kondisi
seorang individu mengalami atau beresiko mengalami perubahan kesehatan seksual.
Disfungsi seksual adalah keadaan dimana seseorang mengalami atau beresiko
mengalami perubahan fungsi seksual yang negatif yang di pandang sebagai tidak
berharga dan tidak memadainya fungsi seksual.

5.2 SARAN
Bagi mahasiswa keperawatan dan umumnya bagi ahli medis diharapakan mampu
memahami dan menerapkan keilmuan mengenai seksualitas dalam keperawatan ini
dalam asuhan keperawatan kepada klien dan diri sendiri.

21
DAFTAR PUSTAKA

Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses & Praktik.
Jakarta : EGC

Hamid, Achir Yani S. 1999. Aspek Psikoseksual dalam Keperawatan. Jakarta : Widya
Medika.

Bobak, L dkk. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC

Glasier, Anna dan Ailsa Gebbie diterjemahkan oleh Brahm U. 2005. Keluarga
Berencana Dan Kesehatan Reproduksi, E/4. Jakarta: EGC

Mardiana. 2011. Aktifitas Seksual Pra Lansia dan Lansia yang Berkunjung ke Poliklinik
Geriatric RS Pusat Angkatan Udara dr. Esanawati Antariksa Jakarta Timur.
Skripsi. Depok. FKM UI

Reeder, Sharon J. dkk diterjemahkan oleh Yati Afiyanti dkk. 2011. Keperawatan
Maternitas: Kesehatan Wanita, Bayi, & Keluarga. Jakarta: EGC

Stevens, PJM. 1999. Ilmu Keperawatan Jilid 2 Edisi 2. Jakarta: EGC

Stright, Barbara R. 2004. Keperawatan Ibu-Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC.

Alimul H, A.A. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.

Potter dan perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan
Praktik, Edisi 4. Jakarta: EGC

22

Anda mungkin juga menyukai