Disusun oleh:
HASNA LUTHFIAH
FITRIANI NPM
1102015090
ANISA CARINA
NPM 1102015028
NABILA NUR
FIDIYAH NPM
1102015153
Pembimbing :
dr. H. Bambang Suharto, Sp.A, M.H.Kes
LAPORAN KASUS
Anisa Carina
(1102015028)
Telah diajukan dan disahkan oleh dr.H. Bambang Suharto, SpA, M.H.Kes di
Arjawinangun, Cirebon pada bulan Oktober tahun 2019
Mengetahui :
2
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah - Nya saya dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul SYOK SEPSIS PADA ANAK DI RSUD ARJAWINANGUN,
sebagai tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun. Tidak lupa
shalawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam penulisan jurnal reading, penulis banyak mendapatkan bantuan baik
moril maupun materil dari berbagai pihak, sehingga tugas ini dapat diselesaikan
dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada dr. H. Bambang Suharto, Sp.A, M.H.Kes selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi masukan kepada penulis
dalam penulisan jurnal reading ini, kepada dr. H. Isyanto, Sp.A, dan dr. Dani Kurnia,
Sp.A yang turut membimbing penulis, kepada seluruh staf medis dan non medis di
bagian ilmu kesehatan anak RSUD Arjawinangun, kepada orang tua penulis yang
selalu memberikan doa dan semangat setiap harinya, serta kepada teman-teman
peserta kepaniteraan klinik bagian anak di RSUD Arjawinangun dan seluruh pihak
yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima segala masukan serta
saran yang bersifat membangun. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
Pada era kehidupan sekarang ini, masalah kesehatan yang menyebabkan angka
kematian tinggi pada anak adalah sepsis1. Pengertian sepsis sendiri menurut
International pediatric sepsis consensus conference pada tahun 2005 adalah systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) yang berhubungan dengan infeksi. Lebih dari
4.400 kasus (10,3%) kematian pada anak disebabkan oleh sepsis berat, dengan rata-
rata lama rawat yang lebih lama ( 31 hari) dan menghabiskan biaya yang cukup besar.
Selain itu, syok sendiri merupakan sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi
dalam mencukupi kebutuhan nutrien dan oksigen baik dari segi pasokan maupun
utilisasinya untuk metabolisme seluler jaringan tubuh, sehingga terjadi defisiensi akut
oksigen di tingkat seluler2. Sepsis termasuk ke dalam sepuluh penyebab utama
kematian di Amerika Serikat, dengan peningkatan insidens sekitar 9% per tahun.
Angka mortalitas akibat syok septik pada anak lebih kecil (10%) dibandingkan dengan
dewasa (35-40%), tetapi angka morbiditas lebih tinggi pada anak. Jenis kelamin, ras,
penyakit penyerta, dan keadaan imunodefisiensi merupakan faktor risiko untuk
terjadinya sepsis berat dan syok septik2.
Syok septik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas (50-60%)
anak yang dirawat di ruang rawat inap dan ruang gawat intensif. Angka kematian lebih
tinggi pada anak dengan imunidefisiensi3. Gabungan antara syok dengan sepsis
menyebabkan keadaan dan penanganan menjadi lebih serius. Hal ini dikarenakan syok
sepsis ditandai dengan adanya disregulasi imun, respon inflamasi, kekacauan
mikrosirkulasi hingga dapat terjadinya disfungsi akhir organ. Apabila penanganan
syok sepsis dimulai dari pemberian cairan, eradikasi infeksi serta penanganan suportif
terhadap disfungsi organ tidak adekuat, maka prognosis penyakit ini akan buruk4.
Beberapa pendapat ahli juga menjelaskan bahwa syok sepsis merupakan keadaan
serius yang harus segera ditatalaksana dengan optimal sehingga prognosis akan lebih
baik, menurunkan angka kematian dan mencegah sekuele di kemudian hari2.
5
1.2 Tujuan Penulisan
6
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Pasien anak dengan inisial A umur 12 tahun 8 bulan dengan jenis kelamin
perempuan yang beralamat di Guwa Kidul. Pasien datang ke Rumah Sakit
Arjawinangun pada tanggal 4 september 2019. Pasien lahir pada tanggal 12
desember 2006 dan Berat badan pasien adalah 48 kg.
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis terhadap : Bapak dan ibu pasien tanggal 4 september 2019)
1. Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien A datang dibawa oleh bapaknya ke Instalasi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Arjawinangun pada tanggal 04 september 2019 pukul 09.10
WIB. Pasien ditemukan tidak sadarkan diri secara tiba-tiba di pondok pesantren
tempat ia sekolah. Pasien tidak sadarkan diri selama 30-60 menit SMRS. Pasien
ditemukan dalam keadaan berbaring di anak tangga pondok pesantren dengan
wajah pucat dan terdapat feses cair yang mengenai seluruh celana pasien. Saat
sampai di IGD pasien terbagun dengan keadaan gelisah dan sedikit mengamuk.
Pasien tidak dapat diajak komunikasi dan pandangan pasien tidak fokus dan
mengalami muntah sebanyak 3 kali berwarna kekuningan yang tidak disertai
dengan ampas makanan maupun darah. Menurut keterangan keluarga, pasien
mengalami demam 1 hari SMRS, feses yang berkonsistensi cair dan batuk 1
minggu.
Menurut keterangan keluarga, pasien sering telat makan hingga tidak
makan sama sekali karena jadwal sekolahnya yang sangat padat. Dalam 1
minggu pasien sering mengalami sakit kepala, batuk, nyeri perut. Jika batuk
dan demam, pasien hanya diberikan obat demam yaitu parasetamol saja.
Keluhan demam yang berkurang namun keluhan lainnya hanya sedikit
berkurang beberapa hari kemudian kambuh kembali.
7
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keadaan seperti ini. Riwayat penurunan
kesadaran, kejang demam serta masuk rumah sakit disangkal.
4. Riwayat Makanan:
Pasien selama bersekolah di pesantren, jadwal makan dan jenis makanan yang
dimakan tidak teratur dan tidak sehat. Pasien selalu mengkonsumsi makanan
cepat saji seperti mie instan. Kedua orang tua pasien juga menyatakan bahwa
pasien sering telat makan hingga tidak makan dikarenakan padatnya waktu
yang disediakan oleh sekolahnya. Selain mie instan, pasien juga sering
membeli minuman instan seperti jajanan es.
5. Imunisasi
Menurut keterangan ibu pasien, pasien melakukan semua imunisasi dasar
lengkap
8
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit pasien berwarna coklat
sawo matang, tidak didapatkan sikatrik, hematom, tidak tampak adanya ikterus
baik pada wajah, badan, ekstremitas. Bentuk kepala normal, rambut hitam,
tidak mudah rontok. Mata bentuk normal, tidak cekung. Kedudukan bola mata
dan alis mata simetris, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih,
pupil bulat isokor diameter 3 mm, refleks cahaya langsung maupun tidak
langsung postif, dan terdapat pin point pada kedua mata. Telinga bentuk
normal, simetris kanan dan kiri, dan tidak terdapat serumen. Bentuk hidung
simetris, deviasi septum tidak ada, secret tidak ada, tidak terdapat epistaksis.
Mulut bentuk tidak ada kelainan, bibir pucat kering, tidak terdapat sariawan
disekitar bibir maupun mulut, tidak ada tremor, tonsil T1-T1, faring tidak
hiperemis. Pemeriksaan leher didapatkan kelenjar getah bening supraklavikula
tidak teraba membesar, trakea berada ditengah dan tidak terdapat kaku kuduk
maupuk kuduk kaku.
Pada pemeriksaan thoraks, didapatkan inspeksi bentuk dada normal,
simetris keadaan statis dan dinamis. Pada palpasi ditemukan fremitus vokal dan
taktil simetris kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada fraktur, tidak ada
massa. Pada perkusi terdengar sonor seluruh lapang paru. Sedangkan pada
auskultasi suara napas terdengar vesikuler menurun, suara napas tambahan
seperti ronki dan wheezing tidak terdengar. Pada pemeriksaan jantung,
didapatkan inspeksi tidak tampak pulsasi ictus cordis. Pada palpasi teraba
pulsasi ictus cordis. Pada perkusi terdengar redup, sedangkan pada auskultasi
terdengar bunyi jantung I-II regular, tidak ada murmur maupun gallop.
Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan inspeksi perut datar, tidak
tampak gambaran vena kolateral. Pada palpasi turgor kembali cepat, tidak
terdapat massa, tidak teraba pembesaran hepar maupun lien. Pada auskultasi
terdengar bising usus, dan tidak terdengar pula pulsasi aorta abdominalis.
Pada pemeriksaan ektremitas didapatkan kedua ekstremitas akral teraba
hangat, tidak ada deformitas, tidak ada edema.
9
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
10
yaitu 6.9 fl. Pada hitung jenis didapatkan hasil neutrofil segmen sudah mencapai nilai
normal yaitu 67.0 %, limfosit juga mencapai nilai normal sebesar 28.4 %, monosit 3.6
%, eosinofil 0.3 %, basofil 0.7 % , dan luc 0.0%.
Pada pemeriksaan feses lengkap di tanggal 5 september 2019 didapatkan
hasil makroskopik yaitu warna kuning coklat, bau khas, konsistensi padat, tidak
didapatkan lendir, darah maupun nanah. Hasil mikroskopik didapatkan leukosit (+)
2-4/LPB, erittrosit (+) 0-1/LPB, terdapat bakteri atau hasil positif tetapi amuba, telur
cacing, parasit, sel lemak serta sisa makanan tidak ditemukan atau hasil negatif.
V. Ringkasan
Saat sampai di IGD pasien terbagun dengan keadaan gelisah dan sedikit
mengamuk. Pasien mengalami muntah sebanyak 3 kali berwarna kekuningan yang
tidak disertai dengan ampas makanan maupun darah. Menurut keterangan keluarga,
pasien mengalami demam 1 hari SMRS, BAB cair dan batuk 1 minggu.
Saat dilihat keadaan umum pasien tampak sakit berat , penurunan kesadaran
dengan Glassglow Coma Scale (GCS) E3V2M4. Menurut pemeriksaan, hasilnya yaitu
pasien. Pada pemeriksaan berarti pasien mengalami syok.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Syok Septik
11
VIII. RENCANA PENGELOLAAN
1. Rencana pemeriksaan
Pada kasus ini rencana pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan
kultur darah dan uji sensitivitas serta rontgen thorax.
2. Rencana pengobatan dan diit
Rencana pengobatan yang diberikan pada pasien, pertama kali dilakukan
pemasangan infus dan diberikan cairan RL 1000 cc dengan tetesan infus 24
tetes per menit, kemudian dipasang oksigen nasal kanul 3-5 liter per menit,
kemudian diberikan obat penurun panas yaitu infus parasetamol sebanyak 3 x
500 mg, dan diberikan obat injeksi ranitidin sebanyak 2 kali 1 ampul, serta
injeksi ondansentron sebanyak 3 kali 1 ampul. Kemudian diberikan injeksi
antibiotik sefotaksim sebanyak 2 kali dalam sehari.
IX FOLLOW UP
12
Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.
13
buang air kecil terpasa kateter urin dengan urin output 600cc dalam 4 jam.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, dengan
tekanan darah 100/90, frekuensi nadi 96x/menit isi cukup teraba kuat, frekuensi
nafas 24x/menit, suhu 36.50C, dan saturasi oksigen 99%.
14
bising usus positif normal dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia dalam batas
normal tidak ada kelainan. Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.
Pasien sudah tidak ada keluhan. Keadaan umum pasien tampak sakit
ringan, kesadaran composmentis, dengan tekanan darah 110/90, frekuensi nadi
100x/menit isi cukup teraba kuat, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 36.50C, dan
15
saturasi oksigen 99%.
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
Syok septik adalah sindrom sepsis yang telah disertai dengan hipotensi tetapi
masih memberikan respons terhadap pengobatan cairan dan farmakologik. Selain itu,
sindrom sepsis sendiri memiliki arti yaitu sepsis yang telah disertai dengan gangguan
perfusi organ seperti gangguan akut status mental, oliguria, peninggian kadar asam
laktat didalam darah dan hipoksemia. Pengertian lain juga menjelaskan tentang syok
septik refrakter adalah adalah syok yang berlangsung dari 1 jam dan tidak memberikan
respons terhadap pemberian cairan dan terapi farmakologik sehingga membutuhkan
obat vasopresor3,26.
Definisi lain juga menyebutkan bahwa sepsis adalah disfungsi organ yang
mengancam kehidupan (life-threatening organ dysfunction) yang disebabkan oleh
disregulasi imun terhadap infeksi. Selain itu, Syok merupakan sindrom klinis yang
terjadi akibat perfusi jaringan yang tidak adekuat. Pada syok septik dapat ditemukan
tanda gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah, akral
dingin, sianosis, perabaan nadi lemah dan peningkatan waktu pengisian kapiler, serta
oliguria2.
17
o Oliguria (produksi urin kurang dari 0,5 mL/KgBB/jam)
o Capillary refil time (CRT) memanjang, lebih dari 5 detik
o Perbedaan antara suhu inti dan perifer lebih dari 3oC
Respirasi
1. PaO2 (tekanan pasrsial oksigen arteri)/FIO2 (fraksi inspirasi
oksigen) <300 tanpa penyakit jantung sianotik atau sudah adanya
penyakit paru, ATAU
2. PaCO2 (tekanan pasrisal karbondioksia arteri) > 65 torr atau 20
mmHg diatas PaCO2 awal, ATAU
3. Memerlukan Fi02 diatas 50% FiO2 untuk mempertahankan oksigen
≥92%, ATAU
4. Memerlukan ventilasi mekanik
Neurologi
1. Glassgow Coma Scale (GCS) < 11, ATAU
2. Perubahan akut pada status mental dengan penurunan GCS ≥ 3 poin
dari nilai awal.
Hematologi
1. Trombosit < 80,000/mm3 atau penurunan sebesar 50% dari nilai
trombosit tertinggi yang tercatat selama 3 hari terakhir (pada pasien
dengan penyakit hematologi/onkologi)
2. International normalized Ratio (INR) > 2
Renal
1. Kadar serum kreatinin mengalami kenaikan ≥ 2 kali dari batas nilai
normal sesuai usia atau peningkatan 2 kali lipat dari nilai kreatinin
awal.
Hepar
1. Total bilirubin ≥ 4mg/dL (tidak bisa digunakan untuk neonatus),
ATAU
2. Kadar Alanine aminotransferase (ALT) meningkat 2 kali dari batas
atas nilai normal sesuai usia.
Sumber: Angus DC, Poll T, Van Der T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med. 2013;369:840–51.
18
3.2 EPIDEMIOLOGI
Insidens sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi < 1 tahun
dibandingkan dengan usia > 1-18 tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak). Pasien
sepsis berat, sebagian besar dari infeksi saluran nafas (36-42%), bakteremia, dan
infeksi saluran kemih. Di unit perawatan intensif anak Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM), sejumlah 19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat
mengalami sepsis dengan angka mortalitas 54%. Sepsis berat lebih sering dialami oleh
anak dengan komorbiditas yang mengakibatkan penurunan sistem imunitas seperti
keganasan, transplantasi, penyakit respirasi dan defek jantung bawaan2.
Angka mortalitas akibat syok septik pada anak lebih kecil (10%) dibandingan
dengan dewasa (35-40%), tetapi angka morbiditas lebih tinggi pada anak. Usia rata-
rata penderita sepsis berat adalah 3,0 tahun (0,7-11,0), infeksi terbanyak pada respirasi
(40%) dan 67% dengan kasus yang mengalami disfungsi organ. Jenis kelamin, ras,
penyakit penyerta, dan keadaan imunodefisiensi merupakan faktor risiko untuk
terjadinya sepsis berat dan syok septik. Jenis kelamin laki-laki lebih sering mengalami
syok septik dibandingan dengan perempuan dengan perbandingan 1,5:1, namun
mekanisme secara pasti tidak diketahui2.
3.3 ETIOLOGI
Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi. Bakteri
merupakan penyebab infeksi paling sering, tetapi dapat juga berasal dari jamur, virus,
dan diabetes mellitus. Mikroorganisme penyebab sepsis sangat berhubungan erat
dengan umur dan status imunitas anak. Pada masa neonates E.coli, S.aureus,
Streptokokus grup B dan L.monositogenes merupakan penyebab paling sering. Pada
anak yang lebih besar sepsis dapat disebabkan oleh S.pneumoniae, H.influenza tipe B,
N.meningiditis, Salmonela sp, S.aureus dan Streptokokus grup A3.Respon imun
terhadap bakteri dapat menyebabkan disfungsi organ atau sepsis dan syok septik
dengan angka mortalitas mellitus tinggi25. Organ tersering yang terkena atau yang
merupakan infeksi primer adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit dan abdomen.
Faktor risiko terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan sistem imun
19
seperti pada gangguan keganasan dan diabetes melitus, trauma atau luka bakar mayor2.
20
3.4 PATOFISIOLOGI
Bila produksi substansi tersebut berlebihan dalam tubuh seperti pada keadaan
induksi yang hebat dari infeksi yang tidak terkendali, maka hal tersebut akan
merugikan bagi tubuh itu sendiri. Sebagai contoh, TNF dan Interleukin-1 beta dalam
kadar tertentu dapat menyebabkan depresi miokardium, hipotensi, peningkatan
permeabilitas kapiler yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan perfusi organ.
Dengan perkataan lain, sistem pertahanan tubuh seperti pedang yang bermata ganda,
bila infeksi tidak terkendali akan timbul berbagai kelainan seperti yang terjadi pada
syok septik3.
21
jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan efek hipotensi yang diperberat oleh
vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya kinin, histamin, dan peptide vasoaktif lainnya
selama aktivasi kaskade inflamasi. Kegagalan multiorgan ini bervariasi pada setiap
individu dan biasanya organ yang tersering terkena adalah gastrointestinal, paru, hati,
ginjal dan. Jantung. Kegagalan organ ini dapat dideteksi secara klinis, sehingga dapat
dilakukan pengobatan segera2.
22
Gambar 2. Patofisiologi terjadinya syok septik.
Sumber : Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. pp. 1-23.
23
irrevesibel yang menyebabkan gangguan multi organ yang berat dan berujung pada
kematian.
Pada syok septik dapat ditemukan gangguan pada sirkulasi seperti penurunan
kesadaran, penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah,
peningkatan waktu pengisian kapiler serta oliguria. Selain itu, juga dijumpai gangguan
respirasi seperti takipnea, asidosis metabolik, serta edema paru. Manifestasi
perdarahan dapat ditemukan juga pada kulit berupa petekie, ekimosis dan purpura.
Selain gejala umum di atas terdapat istilah lain yang dapat ditemukan pada 20% kasus
anak dengan syok septik, yaitu syok septik hangat (warm shock) yang ditandai dengan
gejala demam, penurunan kesadaran, takikardia, perabaan nadi yang kuat, tekanan nadi
melebar (tekanan diastolik menurun), perfusi menurun, produksi urin menurun,
pengisian kapiler melambat, ekstremitas hangat (predominan vasodilatasi). Sedangkan
pada syok septik dingin (cold shock) predominan adalah vasokontriksi dengan gejala
demam, penurunan kesadaran, tekanan nadi sempit, perfusi menurun, pengisian
kapiler lambat dan ekstremitas dingin5.
The Pediatric Assesment Triangle (PAT) dapat digunakan sebagai salah satu
instrumen yang dapat membantu secara cepat dalam evaluasi awal. Evaluasi status
peredaran darah anak dan mengenali tanda-tanda tidak memadai perfusi jaringan sulit
ditemukan. Tidak seperti pada orang dewasa, hipotensi sering ditemukan terlambat
pada anak. Takikardia dan bradikardia serta takipneu meskipun menunjukkan hal yang
tidak spesifik, namun tidak boleh diabaikan. Takikardia persisten tidak hanya
disebabkan oleh demam, gelisah, nyeri, dehidrasi atau anemia, namun harus dianggap
sebagai tanda potensi sepsis dini dan syok. Pemeriksaan seksama dari kulit anak dapat
memberikan petunjuk penting mengenai sirkulasi anak. Bayi dan anak-anak dengan
sepsis berat dan syok sepsis dapat mempertahankan atau meningkatkan tekanan darah
sebagai akibat dari mekanisme kompensasi berupa, takikardia dan peningkatan
tahanan vaskular resisten. Pada pasien dengan syok dingin (cold shock), terdapat
pemanjangan waktu pengisian kapiler, sianosis, atau pucat. Di sisi lain anak-anak
dengan syok hangat (warm shock) memiliki tanda berupa kulit memerah dan pengisian
kapiler cepat4.
24
Gambar 3. The Pediatric Assesment Triangle (PAT)4
Sumber: Hanna W, Wong HR. Pediatric sepsis. Crit Care Clin. 2013;29:203–22.
25
Konsentrasi prokalsitonin mulai naik 3-4 jam setelah terpapar endotoksin, mencapai
puncak 6 jam dan terus meningkat hingga 24 jam. Pemeriksaan prokalsitonin lebih
berperan dalam membedakan infeksi bakteri dengan penyebab lainnya.
3.6 DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Umum
Tanda gangguan otak, ginjal, dan kardiovaskular
Takikardia dan takipnea berlanjut
Takipnea menjadi lebih berat dengan asidosis
Kulit mungkin bebercak (mottled) atau pucat
Ekstremitas dingin karena vasokonstriksi dan aliran darah ke kulit menurun
Pengisian kembali kapiler makin lambat (>4 detik)
Hipotensi, curah jantung menurun, vasokonstriksi memengaruhi perfusi ginjal
hingga terjadi oliguria
Saluran cerna mengalami hipoperfusi yang akan menyebabkan iskemik
sehingga motilitas usus menurun dan terjadi distensi, pengeluaran mediator
vasoaktif, serta akumulasi cairan di rongga ketiga (third space)
Pada penderita renjatan septik dapat timbul hipertermia (≥38,3°C rektal) atau
hipotermia (≤35,6 °C rektal), karena gangguan perfusi otak iritabel melanjut menjadi
agitasi, konfusi, halusinasi, agitasi, dan stupor yang bergantian, serta akhirnya koma.
26
Penilaian kecukupan curah jantung berdasarkan gejala klinis saja sering
sulit dan salah. Anak yang mengalami renjatan sering menunjukkan gejala tidak
jelas. Tidak ditemukan hipotensi belum dapat menyingkirkan renjatan pada
anak; bila timbul hipotensi, renjatan yang terjadi biasanya berat. Hipotensi
merupakan manifestasi renjatan yang sangat kasip. Bila renjatan tidak segera
ditangani akan terjadi disfungsi organ multipel, meliputi gagal ginjal (nekrosis
tubular akut), gagal jantung, perdarahan saluran cerna, dan sindrom distres
pernapasan akut (SDPA).
Pemeriksaan Penunjang
27
dan lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >2 detik, belum hipotensi
(terkompensasi), kehilangan volume intravaskular sebanyak 15–30%.
Renjatan lanjut (renjatan dekompensata). Penurunan kesadaran lanjut
(mengantuk diselingi agitasi), takikardia, takipnea, akral dingin bebercak
(mottled) dan lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >5 detik, nadi
lemah dan cepat, hipotensi, oliguria (urin <1 mL/kgBB/jam), kehilangan volume
intravaskular sebanyak 40–60%.
Renjatan ireversibel
Derajat paling berat, penurunan kesadaran dalam, nadi tidak teraba, tekanan darah
tidak terukur, sulit pulih walaupun dengan tatalaksana maksimal.
Beberapa gejala klinis yang dapat ditemukan pada keadaan lain baik infeksi
maupun non-infeksi. Contoh pada keadaan yang non-infeksi adalah intoksikasi dan
sindrom kawasaki dapat menunjukkan kesamaan dari manifestasi klinis seperti
sepsis. Syok anafilaksis kadang-kadang dapat menyerupai syok septik. Termasuk
dalam penyebab infeksi, leptospirosis, tuberculosis, malaria, kriptokokosis, penyakit
Lyme dan Rocky Moutain Spotted Fever kadang-kadang sulit dibedakan dengan
sepsis.
3.8 TATALAKSANA
Terdapat enam hal utama yang perlu diperhatikan dalam menatalaksana pasien
dengan sepsis dan kegagalan multi organ yaitu:
1. Resusitasi cairan
2. Terapi antimikroba
3. Inotropik dan vasopresor
4. Monitoring invasif dan non invasif
5. Terapi spesifik, dan
6. Terapi suportif.
28
Menurut Garna H dan Nataprawira (2014), terdapat sepuluh langkah
implementasi Early goal-directed therapy (EGDT) tatalaksana sepsis berat dan
renjatan sepsis di emergensi (p.155–169)6
1. Pengenalan renjatan di ruang triase
Hipotensi dengan nadi kuat pada renjatan hangat
Perfusi perifer berkurang (tekanan perifer berkurang dibandingkan
dengan tekanan sentral dan pengisian kapiler >2 detik pada renjatan
dingin terkompensasi. Kombinasi hipotensi dan perfusi perifer
berkurang pada renjatan dingin dekompensasi
2. Transpor penderita segera ke ruangan renjatan/trauma dan aktifkan
tim resusitasi
3. Mulai pemberian oksigen kanul nasal dan pasang jalur i.v. perifer
dalam 90 detik
4. Bila tidak berhasil setelah 2× tusukan vena perifer, pertimbang- kan
akses i.o.
5. Palpasi terdapat hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
6. a. Jika hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus
20 mL/kgBB dalam 15 mnt dengan salin isotonis atau albumin 5%
sampai 60 mL/kgBB hingga terjadi perbaikan perfusi atau
pembesaran hati atau timbul ronki. Berikan 20 mL/kgBB PRC
jika renjatan hemoragis yang tidak berespons dengan terapi cairan
b. Jika hepar membesar, waspadai renjatan kardiogenik, bolus
kristaloid isotonis hanya diberikan 10 mL/kgBB. Mulai berikan
PGE1 pada semua neonatus untuk mempertahankan duktus
arteriosus
7. Jika pengisian kapiler >2 detik dan atau hipotensi menetap selama
resusitasi cairan, mulai berikan epinefrin i.v. perifer/i.o., dosis 0,05
ug/kgBB/mnt
8. Jika terdapat risiko insufisiensi adrenal (riwayat terapi steroid
sebelumnya, sindrom waterhouse Friederichsen, atau anomali
29
hipofise), berikan hidrokortison bolus (50 mg/kgBB) dilanjutkan
dengan titrasi 2–50 mg/kgBB/hr
9. Jika renjatan berlanjut, berikan atropin (0,2 mg/kgBB) dan ketamin (2
mg/kgBB) sebagai sedasi untuk pemasangan akses vena sentral. Jika
diperlukan ventilasi mekanis, gunakan atropin dan ketamin serta
penghambat neuromuskular (oleh tenaga terampil) untuk induksi
intubasi
10. Tujuan direct therapy adalah waktu pengisian kapiler <3 detik (≤2
detik), tekanan darah normal sesuai usia, dan indeks renjatan (denyut
jantung/tekanan nadi) membaik.
30
Gambar 4. Algoritme Tatalaksana Renjatan Sepsis7,8
Sumber: Hauser GJ, 2007; Oliveira CF, 2010
Pemakaian antibiotik
Pasien sepsis dan syok septik memperlihatkan karakteristik yang berbeda
dengan pasien infeksi lain sehingga diperlukan pemberian segera antimikroba empiris
walaupun data kuman dan sensitivitasnya belum diketahui. Antibiotika empiris harus
mempunyai spektrum luas mencakup berbagai mikroorganisme termasuk kuman
31
anaerob, dan diberikan secara intravena dengan dosis yang cukup untuk memperoleh
level terapeutik optimal.
Usia Antibiotik
<4 mgg Ampisilin 200 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
4 mgg–3 bl Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
sefotaksim 150 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
3 bl–6 th Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam
atau sefotaksim seperti di atas
>6 th Sefotaksim 150 mg/kgBB/hr i.v. tiap 8 jam
Sumber: Soedarmo SSP., Garna H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2008. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. pp. 358-363.
Pada suatu penelitian pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama syok septik
merupakan golden hour yang dapat mencegah terjadinya mortalitas pada sebagain
besar pasien syok septik. Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas seperti
karbapemen (meropenem, imipenem/cilastatin) atau kombinasi penisilin/ beta-
laktamase (contohnya, piperasilin/tazobaktam atau tikasilin/klavulanat). Selain itu,
juga dapat digunakan golongan sefalosporin generasi tiga, seperti ceftriakson yang
dikombinasikan dengan vankomisin yang dapat melawan bakteri gram positif dan
negatif23.
Pemakaian kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mencegah kegagalan organ dan mengurangi jumlah
organ yang terlibat dengan cara menurunkan inflamasi jaringan dan memicu perbaikan
jaringan serta meningkatkan perfusi jaringan. Sebagai contoh pada pasien dengan
32
ARDS, pemberian kortikosteroid dapat menghalangi nuclear factor-kappa beta (NF-
κΒ) di paru-paru. Pada pasien dengan syok septik, glukokortikoid menghambat
pelepasan tumor necrosis factor (TNF) dari jaringan pembuluh darah dan otot polos.
Kortikosteroid telah dibuktikan bahwa kortikosteroid menekan nitric oxide (NO)
ginjal setelah endotoksemia terjadi sehingga dapat mencegah hipoksia jaringan12,13.
Kortikosteroid yang digunakan adalah hidrokortison dengan dosis 50 mg/m2/hari14.
33
D2) reseptor, serupa dengan β-1 adrenergik reseptor. Reseptor D1 mengatifkan
adenilat siklase melalui Gs protein yang menyebabkan vasodilatasi. Dopamin
menstimulasi reseptor β-1 dan α-1 pada jantung, menghasilkan peningkatan kontraksi
otot polos pada jantung15. Dengan pemberian dosis rendah (<5 µg/kgBB/menit),
dopamin dapat menyebabkan vasodilatasi vena dan sphlancnic melalui β-1 adrenergik
reseptor. Pada dosis sedang (5-10 µg/kgBB/menit) diyakini bahwa efek dari
vasopressive b-adrenergic mendominasi, ini akan menunjukkan hasil untuk
meningkatkan tahanan perifer sistemik dan dapat memperbaiki kontraktilitas miokard
sehingga berfungsi dengan efektif. Pada dosis yang lebih tinggi (10-20
µg/kgBB/menit) dapat menaikan tahanan perifer atau dengan nama lain sebagai
vasokonstriktor melewati α-1 adrenergik reseptor19. Dosis yang biasa digunakan
adalah 5-20 µg/kgBB/menit ditingkatkan secara bertahap sampai efek yang
diinginkan. Pemberian dopamin dengan dosis >5 µg/kgBB/menit sebaiknya diberikan
melalui jalur vena sentral untuk menghindari iskemia dan nekrosis pada kulit20.
Dobutamin adalah katekolamin sintetik yang bertindak pada α-adrenergik
dan β-adrenergik reseptor. Bekerja untuk meningkatkan curah jantung dan relaksasi
otot polos pembuluh darah. Menurut ACCM pemberian dobutamin dipertimbangkan
sebagai alternatif dari pemberian dopamin untuk pasien syok septik dengan tahanan
sistemik perifer yang memadai atau meningkat15. Dosis yang biasa digunakan adalah
5-20µg/kgBB/menit. Dobutamin tidak diperbolehkan diberikan secara tunggal pada
syok septik mengingat efek obat ini terhadap penurunan tekanan darah. Dopamin atau
adrenalin (epinefrin) biasa digunakan bersamaan dengan dobutamin untuk mencegah
hipotensi16.
Epinefrin adalah hormon yang diproduksi pada medula adrenal yang
merangsang β-1 dan β-2 reseptor. Pada laju infus rendah efek β-1 dan β-2 reseptor
mendominasi, yang menghasilkan kontraksi miokard dan menurunkan tahanan
sistemik perifer20. Pada pasien dengan hipotensi ditambah cold shock, epinefrin (0,05-
0,3µg/kgBB/min) agen vasoaktif pilihan, namun pada dosis yang melebihi 0,1
µg/kgBB/min, epinefrin mempunyai efek α-adrenergik yang lebih menonjol, yang
menyebabkan kenaikan vasokonstriktor sistemik.10 Epinefrin biasa digunakan pada
situasi gangguan hemodinamik yang disebabkan oleh kegagalan sirkulasi perifer,
34
seperti pada syok septik. Pada penggunaa dosis tinggi (>0,3 µg/kgBB/min) epinefrin
mengakibatkan vasokonstriksi yang hebat dan menyebabkan asidosis laktat, iskemia
renal dan sphlancnic. Dosis yang biasa digunakan adalah 0,05-0,3µg/kgBB/min16.
Norepinefrin adalah sistem neurotransmiter saraf pusat yang kuat dan β-1
agonis dengan sedikit aktivitas β-2 agonis. Epinefrin merupakan vasopresor lini kedua
setelah dopamin untuk warm shock dalam pedoman ACCM.10 Norepinefrin biasa
digunakan untuk pasien dewasa dengan syok septik, karena pasien dewasa lebih dapat
diprediksi mempunyai kenaikan curah jantung dan penurunan tahanan sistemik
perifer. Ada beberapa kontroversi penggunaan norepinefrin pada anak. Pada anak
dengan klinis syok refakter cairan dengan warm shock, ACCM merekomendasikan
penggunaan norepinefrin (0,03-0,05 µg/kgBB/min) sebagai lini pertama dibandingkan
dengan dopamin18.
Pada pasien dengan cold shock, penggunaan inotropik dan vasodilator dapat
memperoleh keuntungan, karena pada anak memiliki kenaikan tahanan sistemik
perifer dan penurunan curah jantung. Agen inotropik yang sering digunakan pada unit
gawat darurat adalah dopamin dan epinefrin. Dopamin direkomendasikan ACCM
sebagai lini pertama inotropik pada cold shock. Tidak ada studi yang secara langsung
yang membandingkan dopamin dan epinefrin pada penatalaksanaan syok septik.
Dopamin adalah obat pihan pertama pada syok septik anak yang tipenya tidak dapat
dibedakan pada penilaian awal. Akan tetapi, pilihan untuk warm shock dengan
hipotensi adalah norpeinefrin dan untuk cold shock epinefrin.Kebanyakan anak yang
gagal pengobatan dengan dopamin akan memberikan respon dengan penggunaan
epinefrin atau norepinefrin21.
Milrinon, merupakan agen inotropik nonsimpatomimetik yang bekerja di
inhibitor selektif fosfodiester III. Hal ini meningkatkan curah jantung dan mengurangi
tahanan sistemik perifer dan tidak menunjukkan efek kronotropik. Milrinon telah
menjadi obat pilihan untuk mengurangi afterload pada pasien anak dengan pasca-
operasi jantung dengan hasil menurunkan sedikit tekanan darah sistolik, meningkatkan
curah jantung dan menurunkan tahanan sistemik perifer15.
35
Tabel 5. Afinitas reseptor15
Drug Α β-1 β-2 Dosis
Dobutamin + +++ + 5-20µg/kgBB/menit
Dopamin ++ +++ + 3-20µg/kgBB/menit
Epinefrin +++ +++ +++ 0,05-0,3µg/kgBB/menit
Norepinefrin +++ + 0,03-0,05µg/kgBB/menit
Milrinon + +++ + 50-75µg/kgBB/menit (loading dose)
0,5-1µg/kgBB/menit (maintenance dose)
Sumber: Mtaweh H, Trakas E V., Su E, Carcillo JA, Aneja RK. Advances in
monitoring and management of shock. Pediatr Clin North Am. 2013;60:641–54.
3.9 PROGNOSIS
Pada studi yang dilakukan oleh Wolfler dkk, didapatkan angka kejadian sepsis
pada anak sebesar 7,9%, sepsis berat 1,6% ,dan syok septik 2,1%. Tingkat mortalitas
pada sepsis berat dan syok septik berkisar antara 20-50%. Terlepas dari terapi adekuat,
angka mortalitas anak yang mengalami sepsis berat sebesar 17,7% dan syok sepsis
36
sebesar 50,8%. Anak dengan penyakit komorbid lainnya memiliki angka mortalitas
lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki komorbiditas9.
37
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit berat dan terjadi penurunan
kesadaran yaitu dengan hasil pada glassglow coma scale adalah E3V2M4, tanda-tanda
vital pasien menunjukkan , nadi berdenyut dalam waktu 1 menit dengan hasil yang
didapatkan 164 kali per menit, nadi berdetak dengan cepat, dilakukan pengukuran
tekanan darah dan didapatkan hasil 90/60 mmHg. Pada pengukuran suhu didalam
tubuh pasien adalah 38,7 oC, dan saat pasien bernafas dalam 1 menit dengan hasil yang
didapatkan 22 kali per menit. Setelah ditimbang berat badan dan diukur tinggi badan
adalah berat badan 48 kg dan tinggi badan 160 cm.
38
keadaan statis dan dinamis. Pada palpasi ditemukan fremitus vokal dan taktil simetris
kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada fraktur, tidak ada massa. Pada perkusi
terdengar sonor seluruh lapang paru. Sedangkan pada auskultasi suara napas terdengar
vesikuler menurun, suara napas tambahan seperti ronki dan wheezing tidak terdengar.
Pada pasien ini prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam, prognosis quo
ad fungtionam adalah dubia ad bonam dan prognosis quo ad sanactionam adalah dubia
bonam.
Sesuai dengan teori yang didapat mengenai syok septik adalah dilihat dari
faktor risiko yaitu sepsis mudah terjadi pada usia sangat muda, kelemahan sistem imun
seperti pada gangguan keganasan, diabetes mellitus, malnutrisi, prematuritas, trauma
atau luka bakar mayor, penggunaan alat-alat medis seperti intubasi endotrakeal serta
39
pemakaian katup jantung. Hal tersebut menyebabkan infeksi bakteri lebih mudah
masuk dan menyerang organ-organ dalam tubuh terutama organ tersering yang
merupakan infeksi primer adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit dan abdomen.
Berdasarkan anamnesis pasien awalnya hanya mengalami sakit ringan seperti batuk,
demam dan sakit kepala serta pola makan yang tidak terlalu diperhatikan oleh pasien
sehingga menyebabkan kadar mikroorganisme dalam tubuh pasien meningkat secara
progresif, hal ini sesuai dengan teori yaitu pada awal suatu penyakit infeksi produk
mikroorganisme dilepaskan secara konstan selama multiplikasi bakteri dan mencapai
puncaknya pada keadaan dimana penyakit tersebut tidak dapat dikendalikan seperti
pada keadaan sepsis.
Berdasarkan gejala yang dialami pasien sesuai dengan teori yang menjelaskan
tentang manifestasi klinis dari kejadian sepsis yaitu merupakan kesatuan penyakit yang
bersifat sistemik, sehingga manifestasi klinis sepsis pada fase awal dapat
memperlihatkan gejala seperti demam atau hipotermia, takikardia dan takipnea,
leukositosis atau leukopenia serta perubahan status mental. Pada syok septik dapat juga
ditemukan gangguan pada sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan
darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu pengisian
40
kapiler serta oliguria. Selain itu, juga dijumpai gangguan respirasi seperti takipnea,
asidosis metabolik, serta edema paru. Selain gejala umum di atas terdapat istilah lain
yang dapat ditemukan pada 20% kasus anak dengan syok septik, yaitu syok septik
hangat (warm shock). Hal ini mendukung keadaan klinis pasien karena jenis syok
septik yang dialami pasien adalah gejala syok yang ditandai dengan demam,
penurunan kesadaran, takikardia, perabaan nadi yang kuat, tekanan nadi melebar
(tekanan diastolik menurun), perfusi menurun, produksi urin menurun, pengisian
kapiler melambat, ekstremitas hangat (predominan vasodilatasi).
Penatalaksanaan yang telah diberikan pada pasien ini adalah infus dan
diberikan cairan RL Loading 1000 cc dengan tetesan infus 24 tetes per menit,
kemudian dipasang oksigen nasal kanul 3-5 liter per menit, kemudian diberikan obat
penurun panas yaitu infus parasetamol sebanyak 3 x 500 mg, dan diberikan obat injeksi
ranitidin sebanyak 2 kali 1 ampul, serta injeksi ondansentron sebanyak 3 kali 1 ampul.
Kemudian diberikan injeksi antibiotik seftriakson sebanyak 2 kali dalam sehari. Sesuai
dengan teori, tatalaksana awal syok yaitu:
1. Mulai pemberian oksigen kanul nasal dan pasang jalur i.v. perifer
dalam 90 detik
2. Bila tidak berhasil setelah 2× tusukan vena perifer, pertimbang-
kan akses i.o.
3. Palpasi terdapat hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
a. Jika hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus
20 mL/kgBB dalam 15 mnt dengan salin isotonis atau albumin 5%
sampai 60 mL/kgBB hingga terjadi perbaikan perfusi atau
pembesaran hati atau timbul ronki. Berikan 20 mL/kgBB PRC
jika renjatan hemoragis yang tidak berespons dengan terapi cairan
b. Jika hepar membesar, waspadai renjatan kardiogenik, bolus
kristaloid isotonis hanya diberikan 10 mL/kgBB. Mulai berikan
PGE1 pada semua neonatus untuk mempertahankan duktus
arteriosus
41
4. Pada suatu penelitian pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama syok septik
merupakan golden hour yang dapat mencegah terjadinya mortalitas pada
sebagain besar pasien syok septik. Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas seperti karbapemen (meropenem, imipenem/cilastatin) atau
kombinasi penisilin/ beta-laktamase (contohnya, piperasilin/tazobaktam
atau tikasilin/klavulanat). Selain itu, juga dapat digunakan golongan
sefalosporin generasi tiga, seperti ceftriakson yang dikombinasikan dengan
vankomisin yang dapat melawan bakteri gram positif dan negatif23.
42
BAB V
KESIMPULAN
Hingga saat ini syok septik merupakan penyebab kematian paling sering pada
anak. Pada keadaan anak yang datang dengan gejala disfungsi organ ditambah dengan
adanya bukti infeksi pemantauan ketat perlu dilakukan agar keadaan anak tidak jatuh
ke syok septik. Intervensi yang dilakukan berdasarkan protokol early goal directed
therapy. Algoritma early goal directed therapy telah terbukti menurunkan angka
mortalitas syok septik pada anak. Dianjurkan pemberian antibiotik pada 1 jam pertama
sepsis ditegakkan untuk menurunkan tingkat keparahan infeksi agar tidak berakibat
pada titik akhir syok septik yaitu multi organ dysfunction syndrome (MODS).
Keberhasilan dalam penatalaksanaan syok septik ditentukan oleh efisiensi
waktu dalam penegakkan diagnosis dan pemberian antibiotik, kecepatan dalam
mengatasi hipoperfusi jaringan dengan pemilihan inotropik yang tepat.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Vidrine R., Atreya MR., Stalets EL. Continuum of Care in Pediatric Sepsis:
a prototypical acute care delivery model. Translational Pediatrics.
2018;7(4):253-261.
2. Pudjiadi AH., Latief A., Budiwardhana N. 2011. Buku Ajar Pediatri Gawat
Darurat. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pp 108-
110.
3. Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp. 1-23.
4. Martin K., Weiss SL. Initial Resuscitation and management of pediatric
septic shock. Minerva pediatric. 2015; 67(2): 141-158.
5. Soedarmo SSP., Garna H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2008. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. pp.
358-363.
6. Hanna W, Wong HR. Pediatric sepsis. Crit Care Clin. 2013;29:203–22.
7. Angus DC, Poll T, Van Der T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med. 2013;369:840–51.
8. Garna H dan Nataprawira HM, 2014. Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak, Ed. 5, hal 155-169. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
9. Hauser GJ. Early goal-directed therapy of pediatric septic shock in the
emergency department. Isr J Emerg Med. 2007;7:5–17.
10. Oliveira CF. Early goal-directed therapy in treatment of pediatric septic
shock. Shock. 2010;34:44–7.
11. Wolfler A, Silvani P, Musicco M, Antonelli M, Salvo I. Incidence of and
mortality due to sepsis, severe sepsis and septic shock in italian pediatric
intensive care unit: a prospective national survey. J Intensive Care Med.
2008:34:1690-97
12. Annane D. Corticosteroids for severe sepsis: an evidence-based guide for
physicians. Ann Intensive Care. 2011;1:1-7.
13. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, Briegel J, Keh D, Kupfer Y.
Corticosteroids for treating severe sepsis and septic shock. Cochrane Libr.
2004;7:1-7
14. Hanna W, Wong HR. Pediatric sepsis. Crit Care Clin. 2013;29:203–22.
15. Mtaweh H, Trakas E V., Su E, Carcillo JA, Aneja RK. Advances in
monitoring and management of shock. Pediatr Clin North Am.
2013;60:641–54.
16. Khilnani P. Clinical management guidelines of pediatric septic shock. Crit
Care Med. 2005;7:164–72.
17. Mouncey PR, Osborn TM, Power GS, Harrison DA, Sadique MZ, Grieve
RD, et al. Trial of early, goal-directed resuscitation for septic shock. N Engl
J Med. 2015;372:1301–11.
18. Angus DC, Poll T, Van Der T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med. 2013;369:840–51.
19. Friedman ML, Bone MF. Management of pediatric septic shock in the
emergency department. Clin Pediatr Emerg Med. 2014;15:131–9.
20. Shanley TP, Arbor A. Management and treatment guidelines for sepsis in
pediatric patients. Open Inflam J. 2012;4:101–9.
21. Talan DA, Moran GJ, Abrahamian FM. Severe sepsis and septic shock in
the emergency department. Infect Dis Clin North Am. 2008;22:1–31.
22. Mouncey PR, Osborn TM, Power GS, Harrison DA, Sadique MZ, Grieve
RD, et al. Trial of early, goal-directed resuscitation for septic shock. N Engl
J Med. 2015;372:1301–11.
23. Sawaya RD., Chedid I., Majzoub IE. 2018. Pediatric Sepsis and Septic
Shock. Pediatric Emergency Medicine Reports.
https://www.reliasmedia.com/articles/142073-pediatric-sepsis-and-septic-
shock
45
24. Weiss SL, Fitzgerald JC, Pappachan J, et al. Global epidemiology of
pediatric severe sepsis: The sepsis prevalence, outcomes, and therapies
study. Am J Respi Crit Care Med 2015;191:1147-1157
25. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, et al. The Third International
Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-
3). JAMA 2016;315:801-810.
26. Kawasaki T. Update on pediatric sepsis: A review. July 20, 2017. Available
at: https://jintensivecare.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40560-017-
0240-1. Accessed October. 2019.
46