Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

SYOK SEPTIK PADA ANAK DI RSUD


ARJAWINANGUN

Disusun oleh:
HASNA LUTHFIAH

FITRIANI NPM

1102015090

ANISA CARINA

NPM 1102015028

NABILA NUR

FIDIYAH NPM
1102015153

Pembimbing :
dr. H. Bambang Suharto, Sp.A, M.H.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN – KAB. CIREBON
OKTOBER 2019
Lembar Pengesahan

LAPORAN KASUS

SYOK SEPSIS PADA ANAK DI RSUD ARJAWINANGUN

Nama dokter muda:

Hasna Luthfiah Fitriani


(1102015090)

Anisa Carina
(1102015028)

Nabila Nur Fidiyah


(1102015153)

Telah diajukan dan disahkan oleh dr.H. Bambang Suharto, SpA, M.H.Kes di
Arjawinangun, Cirebon pada bulan Oktober tahun 2019

Mengetahui :

Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak Dosen Pembimbing


RSUD Arjawinangun
Cirebon

dr. Isyanto, Sp.A dr.H. Bambang Suharto, Sp.A, M.H.Kes

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah - Nya saya dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul SYOK SEPSIS PADA ANAK DI RSUD ARJAWINANGUN,
sebagai tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun. Tidak lupa
shalawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.
Dalam penulisan jurnal reading, penulis banyak mendapatkan bantuan baik
moril maupun materil dari berbagai pihak, sehingga tugas ini dapat diselesaikan
dengan baik. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada dr. H. Bambang Suharto, Sp.A, M.H.Kes selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu dalam membimbing dan memberi masukan kepada penulis
dalam penulisan jurnal reading ini, kepada dr. H. Isyanto, Sp.A, dan dr. Dani Kurnia,
Sp.A yang turut membimbing penulis, kepada seluruh staf medis dan non medis di
bagian ilmu kesehatan anak RSUD Arjawinangun, kepada orang tua penulis yang
selalu memberikan doa dan semangat setiap harinya, serta kepada teman-teman
peserta kepaniteraan klinik bagian anak di RSUD Arjawinangun dan seluruh pihak
yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu namanya. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis menerima segala masukan serta
saran yang bersifat membangun. Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua baik sekarang maupun di hari yang akan datang. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Arjawinangun, Oktober 2019

3
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ............................................................................................ 2


KATA PENGANTAR .......................................................................................... 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4
BAB I .................................................................................................................. 5
PENDAHULUAN ............................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 5
1.2 Tujuan Penulisan ................................................................................................ 6
BAB II ................................................................................................................ 7
LAPORAN KASUS.............................................................................................. 7
BAB III ..............................................................................................................17
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................17
3.1 DEFINISI .......................................................................................................... 17
3.2 EPIDEMIOLOGI .............................................................................................. 19
3.3 ETIOLOGI ....................................................................................................... 19
3.4 PATOFISIOLOGI ............................................................................................ 21
3.5 MANIFESTASI KLINIS ................................................................................... 23
3.6 DIAGNOSIS...................................................................................................... 26
3.7 DIAGNOSIS BANDING ................................................................................... 28
3.8 TATALAKSANA .............................................................................................. 28
3.9 PROGNOSIS .................................................................................................... 36
BAB IV ..............................................................................................................38
PEMBAHASAN .................................................................................................38
BAB V ................................................................................................................43
KESIMPULAN ..................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................44

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada era kehidupan sekarang ini, masalah kesehatan yang menyebabkan angka
kematian tinggi pada anak adalah sepsis1. Pengertian sepsis sendiri menurut
International pediatric sepsis consensus conference pada tahun 2005 adalah systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) yang berhubungan dengan infeksi. Lebih dari
4.400 kasus (10,3%) kematian pada anak disebabkan oleh sepsis berat, dengan rata-
rata lama rawat yang lebih lama ( 31 hari) dan menghabiskan biaya yang cukup besar.
Selain itu, syok sendiri merupakan sindrom klinis akibat kegagalan sistem sirkulasi
dalam mencukupi kebutuhan nutrien dan oksigen baik dari segi pasokan maupun
utilisasinya untuk metabolisme seluler jaringan tubuh, sehingga terjadi defisiensi akut
oksigen di tingkat seluler2. Sepsis termasuk ke dalam sepuluh penyebab utama
kematian di Amerika Serikat, dengan peningkatan insidens sekitar 9% per tahun.
Angka mortalitas akibat syok septik pada anak lebih kecil (10%) dibandingkan dengan
dewasa (35-40%), tetapi angka morbiditas lebih tinggi pada anak. Jenis kelamin, ras,
penyakit penyerta, dan keadaan imunodefisiensi merupakan faktor risiko untuk
terjadinya sepsis berat dan syok septik2.
Syok septik merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas (50-60%)
anak yang dirawat di ruang rawat inap dan ruang gawat intensif. Angka kematian lebih
tinggi pada anak dengan imunidefisiensi3. Gabungan antara syok dengan sepsis
menyebabkan keadaan dan penanganan menjadi lebih serius. Hal ini dikarenakan syok
sepsis ditandai dengan adanya disregulasi imun, respon inflamasi, kekacauan
mikrosirkulasi hingga dapat terjadinya disfungsi akhir organ. Apabila penanganan
syok sepsis dimulai dari pemberian cairan, eradikasi infeksi serta penanganan suportif
terhadap disfungsi organ tidak adekuat, maka prognosis penyakit ini akan buruk4.
Beberapa pendapat ahli juga menjelaskan bahwa syok sepsis merupakan keadaan
serius yang harus segera ditatalaksana dengan optimal sehingga prognosis akan lebih
baik, menurunkan angka kematian dan mencegah sekuele di kemudian hari2.

5
1.2 Tujuan Penulisan

1. Penulisan presentasi kasus ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami


tentang syok sepsis
2. Memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian Program Pendidikan Profesi di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Arjawinangun.

6
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Pasien anak dengan inisial A umur 12 tahun 8 bulan dengan jenis kelamin
perempuan yang beralamat di Guwa Kidul. Pasien datang ke Rumah Sakit
Arjawinangun pada tanggal 4 september 2019. Pasien lahir pada tanggal 12
desember 2006 dan Berat badan pasien adalah 48 kg.
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis terhadap : Bapak dan ibu pasien tanggal 4 september 2019)
1. Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien A datang dibawa oleh bapaknya ke Instalasi Gawat Darurat
(IGD) RSUD Arjawinangun pada tanggal 04 september 2019 pukul 09.10
WIB. Pasien ditemukan tidak sadarkan diri secara tiba-tiba di pondok pesantren
tempat ia sekolah. Pasien tidak sadarkan diri selama 30-60 menit SMRS. Pasien
ditemukan dalam keadaan berbaring di anak tangga pondok pesantren dengan
wajah pucat dan terdapat feses cair yang mengenai seluruh celana pasien. Saat
sampai di IGD pasien terbagun dengan keadaan gelisah dan sedikit mengamuk.
Pasien tidak dapat diajak komunikasi dan pandangan pasien tidak fokus dan
mengalami muntah sebanyak 3 kali berwarna kekuningan yang tidak disertai
dengan ampas makanan maupun darah. Menurut keterangan keluarga, pasien
mengalami demam 1 hari SMRS, feses yang berkonsistensi cair dan batuk  1
minggu.
Menurut keterangan keluarga, pasien sering telat makan hingga tidak
makan sama sekali karena jadwal sekolahnya yang sangat padat. Dalam 1
minggu pasien sering mengalami sakit kepala, batuk, nyeri perut. Jika batuk
dan demam, pasien hanya diberikan obat demam yaitu parasetamol saja.
Keluhan demam yang berkurang namun keluhan lainnya hanya sedikit
berkurang beberapa hari kemudian kambuh kembali.

7
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien baru pertama kali mengalami keadaan seperti ini. Riwayat penurunan
kesadaran, kejang demam serta masuk rumah sakit disangkal.
4. Riwayat Makanan:
Pasien selama bersekolah di pesantren, jadwal makan dan jenis makanan yang
dimakan tidak teratur dan tidak sehat. Pasien selalu mengkonsumsi makanan
cepat saji seperti mie instan. Kedua orang tua pasien juga menyatakan bahwa
pasien sering telat makan hingga tidak makan dikarenakan padatnya waktu
yang disediakan oleh sekolahnya. Selain mie instan, pasien juga sering
membeli minuman instan seperti jajanan es.
5. Imunisasi
Menurut keterangan ibu pasien, pasien melakukan semua imunisasi dasar
lengkap

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Pemeriksaan Keadaan Umum
Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit berat dan terjadi
penurunan kesadaran yaitu dengan hasil pada glassglow coma scale adalah
E3V2M4, tanda-tanda vital pasien menunjukkan, nadi berdenyut dalam waktu
1 menit dengan hasil yang didapatkan 164 kali per menit, nadi berdetak dengan
cepat, dilakukan pengukuran tekanan darah dan didapatkan hasil 90/60 mmHg.
Pada pengukuran suhu didalam tubuh pasien adalah 38.7 oC, dan saat pasien
bernafas dalam 1 menit dengan hasil yang didapatkan 22 kali per menit. Setelah
ditimbang berat badan dan diukur tinggi badan adalah berat badan 48 kg dan
tinggi badan 160 cm.
Status gizi pada pasien ini dilihat dari berat badan dibandingan dengan
umur dalam batas normal. Berdasarkan kurva CDC ( 2 to 20 years: Girls
“Weight for age percentiles”) BB/U = 48/ 44 x 100% = 109%. Kesimpulan
status gizi pasien ini adalah gizi baik. TB/U = 160/ 151 x 100% = 105%. Kesan
gizi baik. BB/TB = 48/49 x 100% = 97%. Kesan gizi baik.

8
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan khusus didapatkan kulit pasien berwarna coklat
sawo matang, tidak didapatkan sikatrik, hematom, tidak tampak adanya ikterus
baik pada wajah, badan, ekstremitas. Bentuk kepala normal, rambut hitam,
tidak mudah rontok. Mata bentuk normal, tidak cekung. Kedudukan bola mata
dan alis mata simetris, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, kornea jernih,
pupil bulat isokor diameter 3 mm, refleks cahaya langsung maupun tidak
langsung postif, dan terdapat pin point pada kedua mata. Telinga bentuk
normal, simetris kanan dan kiri, dan tidak terdapat serumen. Bentuk hidung
simetris, deviasi septum tidak ada, secret tidak ada, tidak terdapat epistaksis.
Mulut bentuk tidak ada kelainan, bibir pucat kering, tidak terdapat sariawan
disekitar bibir maupun mulut, tidak ada tremor, tonsil T1-T1, faring tidak
hiperemis. Pemeriksaan leher didapatkan kelenjar getah bening supraklavikula
tidak teraba membesar, trakea berada ditengah dan tidak terdapat kaku kuduk
maupuk kuduk kaku.
Pada pemeriksaan thoraks, didapatkan inspeksi bentuk dada normal,
simetris keadaan statis dan dinamis. Pada palpasi ditemukan fremitus vokal dan
taktil simetris kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada fraktur, tidak ada
massa. Pada perkusi terdengar sonor seluruh lapang paru. Sedangkan pada
auskultasi suara napas terdengar vesikuler menurun, suara napas tambahan
seperti ronki dan wheezing tidak terdengar. Pada pemeriksaan jantung,
didapatkan inspeksi tidak tampak pulsasi ictus cordis. Pada palpasi teraba
pulsasi ictus cordis. Pada perkusi terdengar redup, sedangkan pada auskultasi
terdengar bunyi jantung I-II regular, tidak ada murmur maupun gallop.
Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan inspeksi perut datar, tidak
tampak gambaran vena kolateral. Pada palpasi turgor kembali cepat, tidak
terdapat massa, tidak teraba pembesaran hepar maupun lien. Pada auskultasi
terdengar bising usus, dan tidak terdengar pula pulsasi aorta abdominalis.
Pada pemeriksaan ektremitas didapatkan kedua ekstremitas akral teraba
hangat, tidak ada deformitas, tidak ada edema.

9
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi pada tanggal 4 september


2019 didapatkan kadar hemoglobin menurun dari nilai normal yaitu 13.0 g / dL,
3 3
leukosit meningkat dari nilai normal yaitu 40.6x 10 / uL, Trombosit 239 x 10 /
6
uL, hematokrit 41.4%, eritrosit 4.82 x 10 / uL, MCV 86.0 fl, MCH 26.9 pg,
MCHC mengalami penurunan dari nilai normal yaitu 31.3 g /dL, RDW12.2 %,
MPV 6.9 fl. Pada hitung jenis didapatkan hasil neutrofil segmen meningkat dari
nilai normal 86.1 %, limfosit mengalami penurunan dari nilai normal 9.6 %,
monosit 3.9 %, eosinofil 0.0 %, basofil 0.3 % dan luc 0.0%. Pada pemeriksaan
kimia klinik dan elektrolit didapatkan hasil glukosa sewaktu 102 mg/dL, Natrium
137 mmol/l, Kalium mengalami penurunan dari nilai normal adalah 2.5 mmol/l,
khlorida 101 mmol/l.

Pada pemeriksaan urin lengkap di tanggal 5 september 2019 didapatkan


hasil makroskopik yaitu warna kuning, jernih, berat Jenis 1.010 g/mL, pH/reaksi
7,5, tidak didapatkan adanya darah, leukosit esterase, nitrit, bilirubin dan glukosa.
Kadar protein dan keton didapatkan +1, urobilinogen didapatkan dalam batas
normal. Pada hasil mikroskopik urin didapatkan hasil eritrosit (+) 2-3, leukosit (+)
1-3, sel epitel (+) 1-2 serta tidak ditemukan bakteri, silinder, kristal dan lain-lain.

Pada pemeriksaan elektrolit di tanggal 5 september 2019 didapatkan hasil


natrium 141 mmol/l, kalium yang sudah mulai meningkat dibandingkan awal
masuk pasien tetapi kadarnya masih dibawah batas normal yaitu 3.9 mmol/l,
klorida 104 mmol/l.

Pada pemeriksaan laboratorium hematologi pada tanggal 7 september


2019 didapatkan kadar hemoglobin dalam batas normal yaitu 13.1 g / dL, leukosit
3
menurun dari pemeriksaan awal tetapi masih tinggi dari nilai normal yaitu 13.3 x 10
3 6
/ uL, Trombosit 359 x 10 / uL, hematokrit 40.2%, eritrosit 4.76 x 10 / uL, MCV 84.5
fl, MCH 27.5 pg, MCHC 32.6 g /dL, RDW 11.9 %, MPV menurun dari nilai normal

10
yaitu 6.9 fl. Pada hitung jenis didapatkan hasil neutrofil segmen sudah mencapai nilai
normal yaitu 67.0 %, limfosit juga mencapai nilai normal sebesar 28.4 %, monosit 3.6
%, eosinofil 0.3 %, basofil 0.7 % , dan luc 0.0%.
Pada pemeriksaan feses lengkap di tanggal 5 september 2019 didapatkan
hasil makroskopik yaitu warna kuning coklat, bau khas, konsistensi padat, tidak
didapatkan lendir, darah maupun nanah. Hasil mikroskopik didapatkan leukosit (+)
2-4/LPB, erittrosit (+) 0-1/LPB, terdapat bakteri atau hasil positif tetapi amuba, telur
cacing, parasit, sel lemak serta sisa makanan tidak ditemukan atau hasil negatif.

V. Ringkasan

Pasien An. A datang ke RSUD Arjawinangun dengan penurunan kesadaran


pada tanggal 04 september 2019 pukul 09.10 WIB. Pasien tidak sadarkan diri selama
30-60 menit SMRS. Pasien ditemukan dalam keadaan berbaring di anak tangga
pondok dengan wajah pucat dan terdapat feses cair yang mengenai seluruh celana
pasien.

Saat sampai di IGD pasien terbagun dengan keadaan gelisah dan sedikit
mengamuk. Pasien mengalami muntah sebanyak 3 kali berwarna kekuningan yang
tidak disertai dengan ampas makanan maupun darah. Menurut keterangan keluarga,
pasien mengalami demam 1 hari SMRS, BAB cair dan batuk  1 minggu.

Saat dilihat keadaan umum pasien tampak sakit berat , penurunan kesadaran
dengan Glassglow Coma Scale (GCS) E3V2M4. Menurut pemeriksaan, hasilnya yaitu
pasien. Pada pemeriksaan berarti pasien mengalami syok.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Syok Septik

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Syok Hipovolemik
- Tuberkulosis
- Leptospirosis

11
VIII. RENCANA PENGELOLAAN
1. Rencana pemeriksaan
Pada kasus ini rencana pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan
kultur darah dan uji sensitivitas serta rontgen thorax.
2. Rencana pengobatan dan diit
Rencana pengobatan yang diberikan pada pasien, pertama kali dilakukan
pemasangan infus dan diberikan cairan RL 1000 cc dengan tetesan infus 24
tetes per menit, kemudian dipasang oksigen nasal kanul 3-5 liter per menit,
kemudian diberikan obat penurun panas yaitu infus parasetamol sebanyak 3 x
500 mg, dan diberikan obat injeksi ranitidin sebanyak 2 kali 1 ampul, serta
injeksi ondansentron sebanyak 3 kali 1 ampul. Kemudian diberikan injeksi
antibiotik sefotaksim sebanyak 2 kali dalam sehari.

IX FOLLOW UP

Follow up tanggal 5/09/2019

Pasien dalam keadaan sudah sadar sepenuhnya sejak pukul 22.00,


sudah dapat diajak berkomunikasi, namun pasien masih lemas. Pasien tidak
mengeluhkan mual, muntah, demam, dan sakit kepala. Pasien mengeluhkan
batuk namun jarang. Pasien sudah mau makan dan minum walau masih sedikit.
Pasien juga mengeluhkan belum buang air besar sejak 1 hari yang lalu.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, dengan
tekanan darah 90/60, frekuensi nadi 110x/menit isi cukup teraba kuat, frekuensi
nafas 24x/menit, suhu 36.30C, dan saturasi oksigen 98%.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephal, terdapat konjungtiva


anemis, namun tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak terdapat pembesaran
kelenjar getah bening. Thorax datar normal, simetris dalam keadaan statis
maupun dinamis, suara nafas vesikuler tidak ada ronki dan wheezing. Bunyi
jantung I dan II terdengar sama, dan tidak adanya bising jantung baik murmur
maupun gallop. Abdomen datar lembut, bising usus positif normal dan tidak
terdapat nyeri tekan. Genitalia dalam batas normal tidak ada kelainan.

12
Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.

Pasien mendapatkan terapi cairan Ringer Laktat 500cc + KCL 22


tetes/menit. Pasien diberikan juga terapi sefotaksim 3 x 1 mg, deksametason 3
x 7,5, ranitidin 2x1mg, dan ondansentron 3x1mg.

Follow up tanggal 6/09/2019

Pasien masih lemas namun tidak mengeluhkan mual, muntah, demam,


dan sakit kepala. Pasien mengeluhkan batuk namun jarang. Pasien sudah mau
makan dan minum walau masih sedikit. Pasien juga mengeluhkan belum buang
air besar. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
composmentis, dengan tekanan darah 100/90, frekuensi nadi 115x/menit isi
cukup teraba kuat, frekuensi nafas 26x/menit, suhu 36.50C, dan saturasi
oksigen 99%.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephal, terdapat konjungtiva


anemis, namun tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak terdapat pembesaran
kelenjar getah bening. Thorax datar normal, simetris dalam keadaan statis
maupun dinamis, suara nafas vesikuler tidak ada ronki dan wheezing. Bunyi
jantung I dan II terdengar sama, dan tidak adanya bising jantung baik murmur
maupun gallop. Abdomen datar lembut, bising usus positif normal dan tidak
terdapat nyeri tekan. Genitalia dalam batas normal tidak ada kelainan.
Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.

Pasien mendapatkan terapi cairan Ringer Laktat 500cc 22 tetes/menit.


Pasien diberikan juga terapi sefotaksim 3x1mg, deksametason 3x7,5, ranitidin
2x1mg, dan ondansentron 3x1mg.

Follow up tanggal 7/09/2019

Pasien masih sedikit lemas namun tidak mengeluhkan mual, muntah,


demam, dan sakit kepala. Pasien mengeluhkan batuk ada dahaknya namun
jarang. Pasien sudah mau makan dan minum. Pasien sudah buang air besar 1x,

13
buang air kecil terpasa kateter urin dengan urin output 600cc dalam 4 jam.
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis, dengan
tekanan darah 100/90, frekuensi nadi 96x/menit isi cukup teraba kuat, frekuensi
nafas 24x/menit, suhu 36.50C, dan saturasi oksigen 99%.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephal, terdapat konjungtiva


anemis, namun tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak terdapat pembesaran
kelenjar getah bening dan tidak ada kaku kuduk. Thoraks datar normal, simetris
dalam keadaan statis maupun dinamis, suara nafas vesikuler tidak ada ronki
dan wheezing. Bunyi jantung I dan II terdengar sama, dan tidak adanya bising
jantung baik murmur maupun gallop. Abdomen datar lembut, bising usus
positif normal dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia dalam batas normal
tidak ada kelainan. Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.

Pasien mendapatkan terapi cairan KDN-1 20 tetes/menit, dan Pasien


diberikan juga terapi sefotaksim 3x1mg.

Follow up tanggal 8/09/2019

Pasien sudah tidak lemas, tidak mengeluhkan mual, muntah, demam,


dan sakit kepala. Pasien mengeluhkan batuk ada dahaknya namun jarang.
Pasien sudah mau makan dan minum walau masih sedikit. Pasien buang air
besar 1x, buang air kecil terpasang kateter urin dengan urin output 600cc dalam
4 jam. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis,
dengan tekanan darah 100/90, frekuensi nadi 96x/menit isi cukup teraba kuat,
frekuensi nafas 24x/menit, suhu 36.50C, dan saturasi oksigen 99%.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephal, terdapat konjungtiva


tidak anemis, namun tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak terdapat
pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada kaku kuduk. Thoraks datar
normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, suara nafas vesikuler
tidak ada ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II terdengar sama, dan tidak
adanya bising jantung baik murmur maupun gallop. Abdomen datar lembut,

14
bising usus positif normal dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia dalam batas
normal tidak ada kelainan. Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.

Pasien mendapatkan terapi cairan KDN-1 20 tetes/menit, dan Pasien


diberikan juga terapi sefotaksim 3x1mg.

Follow up tanggal 9/09/2019

Pasien sudah tidak lemas, tidak mengeluhkan mual, muntah, demam,


dan sakit kepala. Pasien mengeluhkan batuk ada dahaknya namun jarang.
Pasien sudah mau makan dan minum walau masih sedikit. Pasien buang air
besar 1x, buang air kecil terpasang kateter urin dengan urin output 300cc dalam
2 setengah jam. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
composmentis, dengan tekanan darah 100/90, frekuensi nadi 100x/menit isi
cukup teraba kuat, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 36.50C, dan saturasi
oksigen 98%.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephal, terdapat konjungtiva


tidak anemis, namun tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak terdapat
pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada kaku kuduk. Thoraks datar
normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, suara nafas vesikuler
tidak ada ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II terdengar sama, dan tidak
adanya bising jantung baik murmur maupun gallop. Abdomen datar lembut,
bising usus positif normal dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia dalam batas
normal tidak ada kelainan. Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.

Pasien mendapatkan terapi cairan KDN-1 20 tetes/menit, dan Pasien


diberikan juga terapi Kotrimoksazol 2x1 tablet.

Follow up tanggal 10/09/2019

Pasien sudah tidak ada keluhan. Keadaan umum pasien tampak sakit
ringan, kesadaran composmentis, dengan tekanan darah 110/90, frekuensi nadi
100x/menit isi cukup teraba kuat, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 36.50C, dan

15
saturasi oksigen 99%.

Pada pemeriksaan fisik, kepala normocephal, terdapat konjungtiva


tidak anemis, namun tidak terdapat sklera ikterik. Leher tidak terdapat
pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada kaku kuduk. Thoraks datar
normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, suara nafas vesikuler
tidak ada ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II terdengar sama, dan tidak
adanya bising jantung baik murmur maupun gallop. Abdomen datar lembut,
bising usus positif normal dan tidak terdapat nyeri tekan. Genitalia dalam batas
normal tidak ada kelainan. Ekstremitas teraba hangat dan tidak terdapat edema.

Pasien mendapatkan terapi sefiksim 200 mg 2x1 tablet.

16
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Syok septik adalah sindrom sepsis yang telah disertai dengan hipotensi tetapi
masih memberikan respons terhadap pengobatan cairan dan farmakologik. Selain itu,
sindrom sepsis sendiri memiliki arti yaitu sepsis yang telah disertai dengan gangguan
perfusi organ seperti gangguan akut status mental, oliguria, peninggian kadar asam
laktat didalam darah dan hipoksemia. Pengertian lain juga menjelaskan tentang syok
septik refrakter adalah adalah syok yang berlangsung dari 1 jam dan tidak memberikan
respons terhadap pemberian cairan dan terapi farmakologik sehingga membutuhkan
obat vasopresor3,26.
Definisi lain juga menyebutkan bahwa sepsis adalah disfungsi organ yang
mengancam kehidupan (life-threatening organ dysfunction) yang disebabkan oleh
disregulasi imun terhadap infeksi. Selain itu, Syok merupakan sindrom klinis yang
terjadi akibat perfusi jaringan yang tidak adekuat. Pada syok septik dapat ditemukan
tanda gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah, akral
dingin, sianosis, perabaan nadi lemah dan peningkatan waktu pengisian kapiler, serta
oliguria2.

Tabel 1. Kriteria disfungsi organ2


Kardiovaskular
(Terlepas dari pemberian bolus cairan isotonik intravena 40mL/kgBB dalam 1
jam)
1. Penurunan tekanan darah (hipotensi) < persentil 5 sesuai usia atau
tekanan darah sistolik < 2 SD sesuai usia, ATAU

2. Memerlukan obat vasoaktif untuk menjaga tekanan darah dalam


kisaran normal (dopamin >5µg/kgBB/min atau dobutamin,
epinefrin, atau norepinefrin), ATAU
3. Dua dari kriteria dibawah ini :
o Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan (defisit basa
lebih besar dari 5,0 mEq/L)
o Peningkatan laktat arteri > 2 kali diatas batas atas nilai normal

17
o Oliguria (produksi urin kurang dari 0,5 mL/KgBB/jam)
o Capillary refil time (CRT) memanjang, lebih dari 5 detik
o Perbedaan antara suhu inti dan perifer lebih dari 3oC

Respirasi
1. PaO2 (tekanan pasrsial oksigen arteri)/FIO2 (fraksi inspirasi
oksigen) <300 tanpa penyakit jantung sianotik atau sudah adanya
penyakit paru, ATAU
2. PaCO2 (tekanan pasrisal karbondioksia arteri) > 65 torr atau 20
mmHg diatas PaCO2 awal, ATAU
3. Memerlukan Fi02 diatas 50% FiO2 untuk mempertahankan oksigen
≥92%, ATAU
4. Memerlukan ventilasi mekanik
Neurologi
1. Glassgow Coma Scale (GCS) < 11, ATAU
2. Perubahan akut pada status mental dengan penurunan GCS ≥ 3 poin
dari nilai awal.
Hematologi
1. Trombosit < 80,000/mm3 atau penurunan sebesar 50% dari nilai
trombosit tertinggi yang tercatat selama 3 hari terakhir (pada pasien
dengan penyakit hematologi/onkologi)
2. International normalized Ratio (INR) > 2
Renal
1. Kadar serum kreatinin mengalami kenaikan ≥ 2 kali dari batas nilai
normal sesuai usia atau peningkatan 2 kali lipat dari nilai kreatinin
awal.

Hepar
1. Total bilirubin ≥ 4mg/dL (tidak bisa digunakan untuk neonatus),
ATAU
2. Kadar Alanine aminotransferase (ALT) meningkat 2 kali dari batas
atas nilai normal sesuai usia.

Sumber: Angus DC, Poll T, Van Der T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med. 2013;369:840–51.

18
3.2 EPIDEMIOLOGI

Insidens sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi < 1 tahun
dibandingkan dengan usia > 1-18 tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak). Pasien
sepsis berat, sebagian besar dari infeksi saluran nafas (36-42%), bakteremia, dan
infeksi saluran kemih. Di unit perawatan intensif anak Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM), sejumlah 19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat
mengalami sepsis dengan angka mortalitas 54%. Sepsis berat lebih sering dialami oleh
anak dengan komorbiditas yang mengakibatkan penurunan sistem imunitas seperti
keganasan, transplantasi, penyakit respirasi dan defek jantung bawaan2.

Angka mortalitas akibat syok septik pada anak lebih kecil (10%) dibandingan
dengan dewasa (35-40%), tetapi angka morbiditas lebih tinggi pada anak. Usia rata-
rata penderita sepsis berat adalah 3,0 tahun (0,7-11,0), infeksi terbanyak pada respirasi
(40%) dan 67% dengan kasus yang mengalami disfungsi organ. Jenis kelamin, ras,
penyakit penyerta, dan keadaan imunodefisiensi merupakan faktor risiko untuk
terjadinya sepsis berat dan syok septik. Jenis kelamin laki-laki lebih sering mengalami
syok septik dibandingan dengan perempuan dengan perbandingan 1,5:1, namun
mekanisme secara pasti tidak diketahui2.

3.3 ETIOLOGI

Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi. Bakteri
merupakan penyebab infeksi paling sering, tetapi dapat juga berasal dari jamur, virus,
dan diabetes mellitus. Mikroorganisme penyebab sepsis sangat berhubungan erat
dengan umur dan status imunitas anak. Pada masa neonates E.coli, S.aureus,
Streptokokus grup B dan L.monositogenes merupakan penyebab paling sering. Pada
anak yang lebih besar sepsis dapat disebabkan oleh S.pneumoniae, H.influenza tipe B,
N.meningiditis, Salmonela sp, S.aureus dan Streptokokus grup A3.Respon imun
terhadap bakteri dapat menyebabkan disfungsi organ atau sepsis dan syok septik
dengan angka mortalitas mellitus tinggi25. Organ tersering yang terkena atau yang
merupakan infeksi primer adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit dan abdomen.
Faktor risiko terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan sistem imun

19
seperti pada gangguan keganasan dan diabetes melitus, trauma atau luka bakar mayor2.

Mikroorganisme pathogen penyebab sepsis, sangat tergantung pada usia dan


respons tubuh terhadap infeksi itu sendiri (tabel 2)3. Sepsis lebih mudah terjadi pada
anak yang memiliki faktor risiko. Faktor risiko untuk terjadinya sepsis dapat dilihat
pada tabel dibawah ini3.

Tabel 2. Faktor Risiko Terjadinya Sepsis


Sumber: Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. pp. 1-23.

Tabel 3. Mikroorganisme Penyebab Sepsis Pada Anak


Sumber: Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. pp. 1-23.

20
3.4 PATOFISIOLOGI

Proses terjadinya sepsis memperlihatkan adanya proses aktivasi seluler yang


kompleks, yaitu terjadinya pelepasan mediator inflamasi seperti produksi sitokin,
aktivasi neutrophil, aktivasi komplemen, kaskade koagulasi dan sistem fibrinolisis.
Perubahan fisiologis tubuh yang terjadi pada sepsis diinduksi oleh mikroorganisme
atau produk mikroorganisme yang dilepaskan baik yang beredar didalam darah
maupun yang berasal dari fokus infeksi. Pada awal suatu penyakit infeksi produk
mikroorganisme dilepaskan secara konstan selama multiplikasi bakteri dan mencapai
puncaknya pada keadaan dimana penyakit tersebut tidak dapat dikendalikan seperti
pada keadaan sepsis. Untuk mempertahankan keadaan fisiologis tersebut, tubuh
mengadakan berbagai upaya antara lain melalui sistem imunologik. Sebagai contoh,
sel retikuloendotelial dan fagosit membuang bakteri yang telah diopsonisasi oleh
komplemen dan antibodi, berbagai enzim dan substansi didalam serum mengadakan
fungsi detoksikasi, hidrolisis, dan netralisasi dari produk mikroorganisme. Substansi
atau mediator yang berperan penting didalam mekanisme pertahanan tubuh
diantaranya adalah tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 Beta, gamma
interferon, platelet activating factor (PAF) dan leukotrien3.

Bila produksi substansi tersebut berlebihan dalam tubuh seperti pada keadaan
induksi yang hebat dari infeksi yang tidak terkendali, maka hal tersebut akan
merugikan bagi tubuh itu sendiri. Sebagai contoh, TNF dan Interleukin-1 beta dalam
kadar tertentu dapat menyebabkan depresi miokardium, hipotensi, peningkatan
permeabilitas kapiler yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan perfusi organ.
Dengan perkataan lain, sistem pertahanan tubuh seperti pedang yang bermata ganda,
bila infeksi tidak terkendali akan timbul berbagai kelainan seperti yang terjadi pada
syok septik3.

Pada sepsis terjadi kerusakan sel endothelial mikrovaskular serta pelepasan


mediator inflamasi oleh sel endotel. Disfungsi endotel menyeluruh mempunyai peran
penting dalam patogenesis syok septik, dengan akibat terjadinya peningkatan
permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan cairan yang cukup banyak ke

21
jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan efek hipotensi yang diperberat oleh
vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya kinin, histamin, dan peptide vasoaktif lainnya
selama aktivasi kaskade inflamasi. Kegagalan multiorgan ini bervariasi pada setiap
individu dan biasanya organ yang tersering terkena adalah gastrointestinal, paru, hati,
ginjal dan. Jantung. Kegagalan organ ini dapat dideteksi secara klinis, sehingga dapat
dilakukan pengobatan segera2.

Gambar 1. Patofisiologi sepsis dan kegagalan multi organ.


Sumber : Pudjiadi AH., Latief A., Budiwardhana N. 2011. Buku Ajar Pediatri
Gawat Darurat. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pp
108-110.

22
Gambar 2. Patofisiologi terjadinya syok septik.
Sumber : Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan
Dokter Anak Indonesia. pp. 1-23.

3.5 MANIFESTASI KLINIS

Sepsis merupakan kesatuan penyakit yang bersifat sistemik sehingga


manifestasi klinis sepsis pada fase awal dapat memperlihatkan gejala seperti demam
atau hipotermia, takikardia dan takipnea, leukositosis atau leukopenia serta perubahan
status mental. Hipotensi tidak selalu terjadi pada anak, karena mekanisme kompensasi
hemodinamik yang berbeda dengan dewasa. Syok merupakan proses progresif yang
ditandai dengan 3 stadium berbeda. Pada fase dini (fase kompensasi) terdapat
mekanisme neurohormonal yang bersifat kompensatorik dan fisiologis yang bekerja
untuk mempertahankan tekanan darah dan memelihara kecukupan perfusi jaringan.
Apabila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka akan terjadi keadaan hipoksia
jaringan dan iskemia sehingga memacu terjadinya penimbunan asam laktat, asidosis
metabolik dan kerusakan jaringan. Stadium dekompensasi ini dapat berlanjut menjadi

23
irrevesibel yang menyebabkan gangguan multi organ yang berat dan berujung pada
kematian.
Pada syok septik dapat ditemukan gangguan pada sirkulasi seperti penurunan
kesadaran, penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah,
peningkatan waktu pengisian kapiler serta oliguria. Selain itu, juga dijumpai gangguan
respirasi seperti takipnea, asidosis metabolik, serta edema paru. Manifestasi
perdarahan dapat ditemukan juga pada kulit berupa petekie, ekimosis dan purpura.
Selain gejala umum di atas terdapat istilah lain yang dapat ditemukan pada 20% kasus
anak dengan syok septik, yaitu syok septik hangat (warm shock) yang ditandai dengan
gejala demam, penurunan kesadaran, takikardia, perabaan nadi yang kuat, tekanan nadi
melebar (tekanan diastolik menurun), perfusi menurun, produksi urin menurun,
pengisian kapiler melambat, ekstremitas hangat (predominan vasodilatasi). Sedangkan
pada syok septik dingin (cold shock) predominan adalah vasokontriksi dengan gejala
demam, penurunan kesadaran, tekanan nadi sempit, perfusi menurun, pengisian
kapiler lambat dan ekstremitas dingin5.
The Pediatric Assesment Triangle (PAT) dapat digunakan sebagai salah satu
instrumen yang dapat membantu secara cepat dalam evaluasi awal. Evaluasi status
peredaran darah anak dan mengenali tanda-tanda tidak memadai perfusi jaringan sulit
ditemukan. Tidak seperti pada orang dewasa, hipotensi sering ditemukan terlambat
pada anak. Takikardia dan bradikardia serta takipneu meskipun menunjukkan hal yang
tidak spesifik, namun tidak boleh diabaikan. Takikardia persisten tidak hanya
disebabkan oleh demam, gelisah, nyeri, dehidrasi atau anemia, namun harus dianggap
sebagai tanda potensi sepsis dini dan syok. Pemeriksaan seksama dari kulit anak dapat
memberikan petunjuk penting mengenai sirkulasi anak. Bayi dan anak-anak dengan
sepsis berat dan syok sepsis dapat mempertahankan atau meningkatkan tekanan darah
sebagai akibat dari mekanisme kompensasi berupa, takikardia dan peningkatan
tahanan vaskular resisten. Pada pasien dengan syok dingin (cold shock), terdapat
pemanjangan waktu pengisian kapiler, sianosis, atau pucat. Di sisi lain anak-anak
dengan syok hangat (warm shock) memiliki tanda berupa kulit memerah dan pengisian
kapiler cepat4.

24
Gambar 3. The Pediatric Assesment Triangle (PAT)4
Sumber: Hanna W, Wong HR. Pediatric sepsis. Crit Care Clin. 2013;29:203–22.

Pemantauan terus-menerus adalah hal yang sangat penting dalam merawat


pasien anak dengan syok. Parameter yang harus dipantau meliputi denyut jantung,
tekanan darah sistolik, rerata tekanan arteri (MAP), urin output, tekanan vena sentral
(CVP), saturasi oksigen, laktat dan curah jantung4.
Penanda lain untuk menilai anoksia jaringan umum dan metabolisme anaerobik
adalah kadar laktat dalam darah. Laktat dibentuk oleh pengurangan asam piruvat
melalui membran sel. Laktat dapat meningkat pada beberapa kondisi misalnya
gangguan metabolisme dan gagal hati. Resiko kematian meningkat jika serum laktat
lebih tinggi dari 2,0mmol/L.2 Laktat dapat digunakan sebagai target hemodinamik
yang baik, yaitu level laktat kurang dari 2,0mmol/L5.
Terdapat beberapa biomarker yang dapat digunakan untuk mendiagnosa dan
memonitor sepsis, antara lain C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT).
Biomarker CRP merupakan protein fase akut yang disintesis oleh hati dan meningkat
4-6 jam setelah onset peradangan, mencapai puncak pada 36-50 jam. Prokalsitonin
diproduksi oleh kelenjar tiroid sebagai prekursor untuk kalsitonin, namun jaringan lain
memproduksi PCT selama peradangan atau sepsis.10 Lipopolisakarida bakteri telah
terbukti sebagai pemicu pelepasan prokalsitonin ke dalam sirkulasi sistemik.

25
Konsentrasi prokalsitonin mulai naik 3-4 jam setelah terpapar endotoksin, mencapai
puncak 6 jam dan terus meningkat hingga 24 jam. Pemeriksaan prokalsitonin lebih
berperan dalam membedakan infeksi bakteri dengan penyebab lainnya.

3.6 DIAGNOSIS

Anamnesis

Terdapat faktor risiko renjatan


Demam, terdapat sumber infeksi, mengalami hipovolemia, trauma dengan
perdarahan masif, riwayat defisiensi imun, pemakaian obat-obatan
imunosupresif, muntah, diare, penurunan asupan makanan, dan penurunaan
derajat kesadaran. Hal lain yang juga penting untuk diketahui adalah riwayat
kontak dengan lingkungan, menelan obat-obatan, penyakit kronik seperti
penyakit jantung bawaan dan alergi.

Pemeriksaan Fisik
Umum
Tanda gangguan otak, ginjal, dan kardiovaskular
Takikardia dan takipnea berlanjut
Takipnea menjadi lebih berat dengan asidosis
Kulit mungkin bebercak (mottled) atau pucat
Ekstremitas dingin karena vasokonstriksi dan aliran darah ke kulit menurun
Pengisian kembali kapiler makin lambat (>4 detik)
Hipotensi, curah jantung menurun, vasokonstriksi memengaruhi perfusi ginjal
hingga terjadi oliguria
Saluran cerna mengalami hipoperfusi yang akan menyebabkan iskemik
sehingga motilitas usus menurun dan terjadi distensi, pengeluaran mediator
vasoaktif, serta akumulasi cairan di rongga ketiga (third space)
Pada penderita renjatan septik dapat timbul hipertermia (≥38,3°C rektal) atau
hipotermia (≤35,6 °C rektal), karena gangguan perfusi otak iritabel melanjut menjadi
agitasi, konfusi, halusinasi, agitasi, dan stupor yang bergantian, serta akhirnya koma.

26
Penilaian kecukupan curah jantung berdasarkan gejala klinis saja sering
sulit dan salah. Anak yang mengalami renjatan sering menunjukkan gejala tidak
jelas. Tidak ditemukan hipotensi belum dapat menyingkirkan renjatan pada
anak; bila timbul hipotensi, renjatan yang terjadi biasanya berat. Hipotensi
merupakan manifestasi renjatan yang sangat kasip. Bila renjatan tidak segera
ditangani akan terjadi disfungsi organ multipel, meliputi gagal ginjal (nekrosis
tubular akut), gagal jantung, perdarahan saluran cerna, dan sindrom distres
pernapasan akut (SDPA).

Pemeriksaan Penunjang

Analisa gas darah (AGD)


Penilaian hemodinamik
Tekanan baji kapiler pulmonal (pulmonal capillary wedge pressure/ PCWP) yang
dipertahankan 10–18 mmHg (bila ada)
Tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP) kurang akurat pada anak
disfungsi miokardia. CVP normal 5–12 mmHg
Darah: rutin, elektrolit, glukosa, urea-N, kreatinin, kultur, trombosit, PT, PTT,
fibrinogen, dan FDPs
Pemeriksaan elektrolit pada pasien syok septik paling banyak menunjukkan
hiponatremia dan hipokalemia yang disebabkan oleh dehidrasi berat akibat
kehilangan cairan pada penyakit gastrointestinal dan kurangnya pemasukan makanan
maupun minuman (oral). Selain itu, juga terdapat hipokalsemia, hipomagnesemia
dan hipofosfastemia12,23.

Derajat Berat Renjatan

Renjatan secara klinis mulai muncul bila terjadi kehilangan volume


intravaskular sebanyak 15–30%. Tanpa melihat etiologinya, secara umum derajat
berat renjatan dibagi menjadi tiga tingkatan:
Renjatan awal (renjatan kompensata)
Penurunan kesadaran awal (gelisah, agitasi), takikardia, takip- nea, akral dingin

27
dan lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >2 detik, belum hipotensi
(terkompensasi), kehilangan volume intravaskular sebanyak 15–30%.
Renjatan lanjut (renjatan dekompensata). Penurunan kesadaran lanjut
(mengantuk diselingi agitasi), takikardia, takipnea, akral dingin bebercak
(mottled) dan lembap, pemanjangan waktu pengisian kapiler >5 detik, nadi
lemah dan cepat, hipotensi, oliguria (urin <1 mL/kgBB/jam), kehilangan volume
intravaskular sebanyak 40–60%.
Renjatan ireversibel
Derajat paling berat, penurunan kesadaran dalam, nadi tidak teraba, tekanan darah
tidak terukur, sulit pulih walaupun dengan tatalaksana maksimal.

3.7 DIAGNOSIS BANDING

Beberapa gejala klinis yang dapat ditemukan pada keadaan lain baik infeksi
maupun non-infeksi. Contoh pada keadaan yang non-infeksi adalah intoksikasi dan
sindrom kawasaki dapat menunjukkan kesamaan dari manifestasi klinis seperti
sepsis. Syok anafilaksis kadang-kadang dapat menyerupai syok septik. Termasuk
dalam penyebab infeksi, leptospirosis, tuberculosis, malaria, kriptokokosis, penyakit
Lyme dan Rocky Moutain Spotted Fever kadang-kadang sulit dibedakan dengan
sepsis.

3.8 TATALAKSANA

Terdapat enam hal utama yang perlu diperhatikan dalam menatalaksana pasien
dengan sepsis dan kegagalan multi organ yaitu:
1. Resusitasi cairan
2. Terapi antimikroba
3. Inotropik dan vasopresor
4. Monitoring invasif dan non invasif
5. Terapi spesifik, dan
6. Terapi suportif.

28
Menurut Garna H dan Nataprawira (2014), terdapat sepuluh langkah
implementasi Early goal-directed therapy (EGDT) tatalaksana sepsis berat dan
renjatan sepsis di emergensi (p.155–169)6
1. Pengenalan renjatan di ruang triase
Hipotensi dengan nadi kuat pada renjatan hangat
Perfusi perifer berkurang (tekanan perifer berkurang dibandingkan
dengan tekanan sentral dan pengisian kapiler >2 detik pada renjatan
dingin terkompensasi. Kombinasi hipotensi dan perfusi perifer
berkurang pada renjatan dingin dekompensasi
2. Transpor penderita segera ke ruangan renjatan/trauma dan aktifkan
tim resusitasi
3. Mulai pemberian oksigen kanul nasal dan pasang jalur i.v. perifer
dalam 90 detik
4. Bila tidak berhasil setelah 2× tusukan vena perifer, pertimbang- kan
akses i.o.
5. Palpasi terdapat hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
6. a. Jika hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus
20 mL/kgBB dalam 15 mnt dengan salin isotonis atau albumin 5%
sampai 60 mL/kgBB hingga terjadi perbaikan perfusi atau
pembesaran hati atau timbul ronki. Berikan 20 mL/kgBB PRC
jika renjatan hemoragis yang tidak berespons dengan terapi cairan
b. Jika hepar membesar, waspadai renjatan kardiogenik, bolus
kristaloid isotonis hanya diberikan 10 mL/kgBB. Mulai berikan
PGE1 pada semua neonatus untuk mempertahankan duktus
arteriosus
7. Jika pengisian kapiler >2 detik dan atau hipotensi menetap selama
resusitasi cairan, mulai berikan epinefrin i.v. perifer/i.o., dosis 0,05
ug/kgBB/mnt
8. Jika terdapat risiko insufisiensi adrenal (riwayat terapi steroid
sebelumnya, sindrom waterhouse Friederichsen, atau anomali

29
hipofise), berikan hidrokortison bolus (50 mg/kgBB) dilanjutkan
dengan titrasi 2–50 mg/kgBB/hr
9. Jika renjatan berlanjut, berikan atropin (0,2 mg/kgBB) dan ketamin (2
mg/kgBB) sebagai sedasi untuk pemasangan akses vena sentral. Jika
diperlukan ventilasi mekanis, gunakan atropin dan ketamin serta
penghambat neuromuskular (oleh tenaga terampil) untuk induksi
intubasi
10. Tujuan direct therapy adalah waktu pengisian kapiler <3 detik (≤2
detik), tekanan darah normal sesuai usia, dan indeks renjatan (denyut
jantung/tekanan nadi) membaik.

30
Gambar 4. Algoritme Tatalaksana Renjatan Sepsis7,8
Sumber: Hauser GJ, 2007; Oliveira CF, 2010

Pemakaian antibiotik
Pasien sepsis dan syok septik memperlihatkan karakteristik yang berbeda
dengan pasien infeksi lain sehingga diperlukan pemberian segera antimikroba empiris
walaupun data kuman dan sensitivitasnya belum diketahui. Antibiotika empiris harus
mempunyai spektrum luas mencakup berbagai mikroorganisme termasuk kuman

31
anaerob, dan diberikan secara intravena dengan dosis yang cukup untuk memperoleh
level terapeutik optimal.

Kombinasi terapi antibiotika biasanya diperlukan pada saat awal sampai


didapatkan jenis kuman sehingga dapat diganti dengan spektrum yang lebih sempit
dalam 48-72 jam pemberian antibiotika empiris.
Tabel 4. Pemberian Antibiotik pada Renjatan Septik

Usia Antibiotik
<4 mgg Ampisilin 200 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
4 mgg–3 bl Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
sefotaksim 150 mg/kgBB/hr tiap 8 jam
3 bl–6 th Ampisilin 200–400 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam +
kloramfenikol 100 mg/kgBB/hr i.v. tiap 6 jam
atau sefotaksim seperti di atas
>6 th Sefotaksim 150 mg/kgBB/hr i.v. tiap 8 jam
Sumber: Soedarmo SSP., Garna H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2008. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. pp. 358-363.

Pada suatu penelitian pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama syok septik
merupakan golden hour yang dapat mencegah terjadinya mortalitas pada sebagain
besar pasien syok septik. Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas seperti
karbapemen (meropenem, imipenem/cilastatin) atau kombinasi penisilin/ beta-
laktamase (contohnya, piperasilin/tazobaktam atau tikasilin/klavulanat). Selain itu,
juga dapat digunakan golongan sefalosporin generasi tiga, seperti ceftriakson yang
dikombinasikan dengan vankomisin yang dapat melawan bakteri gram positif dan
negatif23.

Pemakaian kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mencegah kegagalan organ dan mengurangi jumlah
organ yang terlibat dengan cara menurunkan inflamasi jaringan dan memicu perbaikan
jaringan serta meningkatkan perfusi jaringan. Sebagai contoh pada pasien dengan

32
ARDS, pemberian kortikosteroid dapat menghalangi nuclear factor-kappa beta (NF-
κΒ) di paru-paru. Pada pasien dengan syok septik, glukokortikoid menghambat
pelepasan tumor necrosis factor (TNF) dari jaringan pembuluh darah dan otot polos.
Kortikosteroid telah dibuktikan bahwa kortikosteroid menekan nitric oxide (NO)
ginjal setelah endotoksemia terjadi sehingga dapat mencegah hipoksia jaringan12,13.
Kortikosteroid yang digunakan adalah hidrokortison dengan dosis 50 mg/m2/hari14.

Pemakaian agen vasoaktif


Agen vasoaktif direkomendasikan pada anak dengan syok septik yaitu, anak
yang tetap mengalami syok walaupun telah mendapat resusitasi cairan intravena 40-
60 mL/kgBB atau lebih resusitasi cairan intravena16,17. Tujuan terapi vasoaktif pada
syok septik bertujuan untuk pemulihan perfusi jaringan. Obat inotropik meningkatkan
curah jantung dengan meningkatkan kontraktilitas atau denyut jantung. Vasopressor
dapat meningkatkan tahanan sistemik perifer dengan meningkatkan sirkulasi arteri.
Vasodilator menurunkan resistensi arteri, memiliki fungsi sebaliknya sehingga
mengakibatkan penurunan afterload dan meningkatnya curah jantung. Akses vena
sentral merupakan rute pemberian obat vasoaktif yang optimal, karena memberikan
obat secara cepat dan langsung ke sirkulasi sentral, sehingga dapat menghilangkan
resiko terjadinya ekstravasasi perifer18.
Pilihan agen vasoaktif untuk anak dengan syok septik masih memiliki
perdebatan dan pemberian dilakukan berdasarkan rekomendasi konsensus
dibandingkan dengan bukti. Pada sepsis berat, fungsi kardiovaskular pada anak lebih
mendapat perhatian dibandingkan pada orang dewasa. Tidak ada satu agen vasoaktif
yang sesuai untuk anak dengan syok septik. Selain itu usia anak, perfusi ginjal dan
hati, serta adanya peradangan sistemik dapat memengaruhi farmakokinetik dan efek
fisiologis dari obat vasoaktif. Oleh karena itu pemberian obat vasoaktif
direkomendasikan dengan dosis perkiraan dan harus dititrasi untuk efek klinis yang
diharapkan18.
Dopamin adalah pilihan obat pertama untuk mendukung sirkulasi dan pada
panduan ACCM merekomendasikan pemberian dopamin pada kejadian syok septik.
Dopamin merupakan katekolamin endogen yang merupakan dopaminergik (D1 dan

33
D2) reseptor, serupa dengan β-1 adrenergik reseptor. Reseptor D1 mengatifkan
adenilat siklase melalui Gs protein yang menyebabkan vasodilatasi. Dopamin
menstimulasi reseptor β-1 dan α-1 pada jantung, menghasilkan peningkatan kontraksi
otot polos pada jantung15. Dengan pemberian dosis rendah (<5 µg/kgBB/menit),
dopamin dapat menyebabkan vasodilatasi vena dan sphlancnic melalui β-1 adrenergik
reseptor. Pada dosis sedang (5-10 µg/kgBB/menit) diyakini bahwa efek dari
vasopressive b-adrenergic mendominasi, ini akan menunjukkan hasil untuk
meningkatkan tahanan perifer sistemik dan dapat memperbaiki kontraktilitas miokard
sehingga berfungsi dengan efektif. Pada dosis yang lebih tinggi (10-20
µg/kgBB/menit) dapat menaikan tahanan perifer atau dengan nama lain sebagai
vasokonstriktor melewati α-1 adrenergik reseptor19. Dosis yang biasa digunakan
adalah 5-20 µg/kgBB/menit ditingkatkan secara bertahap sampai efek yang
diinginkan. Pemberian dopamin dengan dosis >5 µg/kgBB/menit sebaiknya diberikan
melalui jalur vena sentral untuk menghindari iskemia dan nekrosis pada kulit20.
Dobutamin adalah katekolamin sintetik yang bertindak pada α-adrenergik
dan β-adrenergik reseptor. Bekerja untuk meningkatkan curah jantung dan relaksasi
otot polos pembuluh darah. Menurut ACCM pemberian dobutamin dipertimbangkan
sebagai alternatif dari pemberian dopamin untuk pasien syok septik dengan tahanan
sistemik perifer yang memadai atau meningkat15. Dosis yang biasa digunakan adalah
5-20µg/kgBB/menit. Dobutamin tidak diperbolehkan diberikan secara tunggal pada
syok septik mengingat efek obat ini terhadap penurunan tekanan darah. Dopamin atau
adrenalin (epinefrin) biasa digunakan bersamaan dengan dobutamin untuk mencegah
hipotensi16.
Epinefrin adalah hormon yang diproduksi pada medula adrenal yang
merangsang β-1 dan β-2 reseptor. Pada laju infus rendah efek β-1 dan β-2 reseptor
mendominasi, yang menghasilkan kontraksi miokard dan menurunkan tahanan
sistemik perifer20. Pada pasien dengan hipotensi ditambah cold shock, epinefrin (0,05-
0,3µg/kgBB/min) agen vasoaktif pilihan, namun pada dosis yang melebihi 0,1
µg/kgBB/min, epinefrin mempunyai efek α-adrenergik yang lebih menonjol, yang
menyebabkan kenaikan vasokonstriktor sistemik.10 Epinefrin biasa digunakan pada
situasi gangguan hemodinamik yang disebabkan oleh kegagalan sirkulasi perifer,

34
seperti pada syok septik. Pada penggunaa dosis tinggi (>0,3 µg/kgBB/min) epinefrin
mengakibatkan vasokonstriksi yang hebat dan menyebabkan asidosis laktat, iskemia
renal dan sphlancnic. Dosis yang biasa digunakan adalah 0,05-0,3µg/kgBB/min16.
Norepinefrin adalah sistem neurotransmiter saraf pusat yang kuat dan β-1
agonis dengan sedikit aktivitas β-2 agonis. Epinefrin merupakan vasopresor lini kedua
setelah dopamin untuk warm shock dalam pedoman ACCM.10 Norepinefrin biasa
digunakan untuk pasien dewasa dengan syok septik, karena pasien dewasa lebih dapat
diprediksi mempunyai kenaikan curah jantung dan penurunan tahanan sistemik
perifer. Ada beberapa kontroversi penggunaan norepinefrin pada anak. Pada anak
dengan klinis syok refakter cairan dengan warm shock, ACCM merekomendasikan
penggunaan norepinefrin (0,03-0,05 µg/kgBB/min) sebagai lini pertama dibandingkan
dengan dopamin18.
Pada pasien dengan cold shock, penggunaan inotropik dan vasodilator dapat
memperoleh keuntungan, karena pada anak memiliki kenaikan tahanan sistemik
perifer dan penurunan curah jantung. Agen inotropik yang sering digunakan pada unit
gawat darurat adalah dopamin dan epinefrin. Dopamin direkomendasikan ACCM
sebagai lini pertama inotropik pada cold shock. Tidak ada studi yang secara langsung
yang membandingkan dopamin dan epinefrin pada penatalaksanaan syok septik.
Dopamin adalah obat pihan pertama pada syok septik anak yang tipenya tidak dapat
dibedakan pada penilaian awal. Akan tetapi, pilihan untuk warm shock dengan
hipotensi adalah norpeinefrin dan untuk cold shock epinefrin.Kebanyakan anak yang
gagal pengobatan dengan dopamin akan memberikan respon dengan penggunaan
epinefrin atau norepinefrin21.
Milrinon, merupakan agen inotropik nonsimpatomimetik yang bekerja di
inhibitor selektif fosfodiester III. Hal ini meningkatkan curah jantung dan mengurangi
tahanan sistemik perifer dan tidak menunjukkan efek kronotropik. Milrinon telah
menjadi obat pilihan untuk mengurangi afterload pada pasien anak dengan pasca-
operasi jantung dengan hasil menurunkan sedikit tekanan darah sistolik, meningkatkan
curah jantung dan menurunkan tahanan sistemik perifer15.

35
Tabel 5. Afinitas reseptor15
Drug Α β-1 β-2 Dosis
Dobutamin + +++ + 5-20µg/kgBB/menit
Dopamin ++ +++ + 3-20µg/kgBB/menit
Epinefrin +++ +++ +++ 0,05-0,3µg/kgBB/menit
Norepinefrin +++ + 0,03-0,05µg/kgBB/menit
Milrinon + +++ + 50-75µg/kgBB/menit (loading dose)
0,5-1µg/kgBB/menit (maintenance dose)
Sumber: Mtaweh H, Trakas E V., Su E, Carcillo JA, Aneja RK. Advances in
monitoring and management of shock. Pediatr Clin North Am. 2013;60:641–54.

Setelah melakukan terapi farmakologi maupun non-farmakologi, pasien harus


selalu dilakukan pengkajian ulang sesering mungkin. Pengkajian dapat berupa
memantau detak jantung dimana penurunan detak jantung menunjukkan peningkatan
status volume intravaskular. Selain itu parameter yang perlu dinilai selain detak jatung
yaitu23:
 CRT  2 detik
 Tekanan darah normal sesuai umur
 Denyut nadi
 Kehangatan ekstremitas
 Urine output 1 mL/KgBB/jam
 Status kesadaran
 Euglikemia

3.9 PROGNOSIS

Pada studi yang dilakukan oleh Wolfler dkk, didapatkan angka kejadian sepsis
pada anak sebesar 7,9%, sepsis berat 1,6% ,dan syok septik 2,1%. Tingkat mortalitas
pada sepsis berat dan syok septik berkisar antara 20-50%. Terlepas dari terapi adekuat,
angka mortalitas anak yang mengalami sepsis berat sebesar 17,7% dan syok sepsis

36
sebesar 50,8%. Anak dengan penyakit komorbid lainnya memiliki angka mortalitas
lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak memiliki komorbiditas9.

37
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa riwayat penyakit sekarang,


riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus
ini anamnesa kami peroleh dari keluhan pasien yaitu terjadi penurunan kesadaran.
Pasien tidak sadarkan diri selama 30-60 menit SMRS. Pasien ditemukan dalam
keadaan berbaring di anak tangga pondok dengan wajah pucat dan terdapat BAB cair
yang mengenai seluruh celana. Pasien terbangun dalam keadaan gelisah dan sedikit
mengamuk. Pasien mengalami muntah sebanyak 3 kali berwarna kekuningan yang
tidak disertai dengan ampas makanan maupun darah. Menurut keterangan keluarga,
pasien mengalami demam 1 hari SMRS, BAB cair dan batuk  1 minggu.

Pasien datang dengan keadaan umum tampak sakit berat dan terjadi penurunan
kesadaran yaitu dengan hasil pada glassglow coma scale adalah E3V2M4, tanda-tanda
vital pasien menunjukkan , nadi berdenyut dalam waktu 1 menit dengan hasil yang
didapatkan 164 kali per menit, nadi berdetak dengan cepat, dilakukan pengukuran
tekanan darah dan didapatkan hasil 90/60 mmHg. Pada pengukuran suhu didalam
tubuh pasien adalah 38,7 oC, dan saat pasien bernafas dalam 1 menit dengan hasil yang
didapatkan 22 kali per menit. Setelah ditimbang berat badan dan diukur tinggi badan
adalah berat badan 48 kg dan tinggi badan 160 cm.

Pada pemeriksaan khusus didapatkan Mata bentuk normal, tidak cekung.


Kedudukan bola mata dan alis mata simetris, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik,
kornea jernih, pupil bulat isokor diameter 3 mm, refleks cahaya langsung maupun tidak
langsung postif, dan terdapat pin point pada kedua mata. Mulut bentuk tidak ada
kelainan, bibir pucat kering, tidak terdapat sariawan disekitar bibir maupun mulut,
tidak ada tremor, tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis. Leher tidak ada kelainan,
kelenjar getah bening supraklavikula tidak teraba membesar, trakea berada ditengah
dan tidak terdapat kaku kuduk maupuk kuduk kaku.

Pada pemeriksaan thorax, didapatkan inspeksi bentuk dada normal, simetris

38
keadaan statis dan dinamis. Pada palpasi ditemukan fremitus vokal dan taktil simetris
kanan dan kiri, tidak ada krepitasi, tidak ada fraktur, tidak ada massa. Pada perkusi
terdengar sonor seluruh lapang paru. Sedangkan pada auskultasi suara napas terdengar
vesikuler menurun, suara napas tambahan seperti ronki dan wheezing tidak terdengar.

Pada pemeriksaan ektremitas didapatkan kedua ekstremitas akral teraba


hangat, tidak ada deformitas, tidak ada edema.

Pada kasus ini dari pemeriksaan penunjang diperoleh informasi berdasarkan


hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan hemoglobin menurun dari nilai normal
3
yaitu 13.0 g / dL, leukosit meningkat dari nilai normal yaitu 40.6x 10 / uL dan MCHC
mengalami penurunan dari nilai normal yaitu 31.3 g /dL. Pada hitung jenis didapatkan
hasil neutrofil segmen meningkat dari nilai normal 86.1 %, limfosit mengalami
penurunan dari nilai normal 9.6 %. Selain itu, pada pemeriksaan elektrolitnya
didapatkan kalium mengalami penurunan dari nilai normal adalah 2.5 mmol/l.
Penatalaksanaan yang telah diberikan pada pasien ini adalah infus dan
diberikan cairan RL Loading 1000 cc dengan tetesan infus 24 tetes per menit,
kemudian dipasang oksigen nasal kanul 3-5 liter per menit, kemudian diberikan obat
penurun panas yaitu infus parasetamol sebanyak 3 x 500 mg, dan diberikan obat injeksi
ranitidin sebanyak 2 kali 1 ampul, serta injeksi ondansentron sebanyak 3 kali 1 ampul.
Kemudian diberikan injeksi antibiotik seftriakson sebanyak 2 kali dalam sehari.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang pada pasien ini


didapatkan diagnosis syok septik.

Pada pasien ini prognosis quo ad vitam adalah dubia ad bonam, prognosis quo
ad fungtionam adalah dubia ad bonam dan prognosis quo ad sanactionam adalah dubia
bonam.

Sesuai dengan teori yang didapat mengenai syok septik adalah dilihat dari
faktor risiko yaitu sepsis mudah terjadi pada usia sangat muda, kelemahan sistem imun
seperti pada gangguan keganasan, diabetes mellitus, malnutrisi, prematuritas, trauma
atau luka bakar mayor, penggunaan alat-alat medis seperti intubasi endotrakeal serta

39
pemakaian katup jantung. Hal tersebut menyebabkan infeksi bakteri lebih mudah
masuk dan menyerang organ-organ dalam tubuh terutama organ tersering yang
merupakan infeksi primer adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit dan abdomen.
Berdasarkan anamnesis pasien awalnya hanya mengalami sakit ringan seperti batuk,
demam dan sakit kepala serta pola makan yang tidak terlalu diperhatikan oleh pasien
sehingga menyebabkan kadar mikroorganisme dalam tubuh pasien meningkat secara
progresif, hal ini sesuai dengan teori yaitu pada awal suatu penyakit infeksi produk
mikroorganisme dilepaskan secara konstan selama multiplikasi bakteri dan mencapai
puncaknya pada keadaan dimana penyakit tersebut tidak dapat dikendalikan seperti
pada keadaan sepsis.

Tujuan dalam mempertahankan keadaan fisiologis tersebut, tubuh mengadakan


berbagai upaya antara lain melalui sistem imunologik. Bila produksi substansi tersebut
berlebihan dalam tubuh seperti pada keadaan induksi yang hebat dari infeksi yang
tidak terkendali, maka hal tersebut akan merugikan bagi tubuh itu sendiri. Sebagai
contoh, TNF dan Interleukin-1 beta dalam kadar tertentu dapat menyebabkan depresi
miokardium, hipotensi, peningkatan permeabilitas kapiler yang pada akhirnya akan
menimbulkan gangguan perfusi organ. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan
atau disfungsi endotel yang selanjutnya akan timbul edema dan kehilangan cairan yang
cukup banyak ke jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan efek hipotensi yang
diperberat oleh vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya kinin, histamin, dan peptide
vasoaktif lainnya selama aktivasi kaskade inflamasi. Kegagalan multiorgan ini
bervariasi pada setiap individu dan biasanya organ yang tersering terkena adalah
gastrointestinal, paru, hati, ginjal dan jantung.

Berdasarkan gejala yang dialami pasien sesuai dengan teori yang menjelaskan
tentang manifestasi klinis dari kejadian sepsis yaitu merupakan kesatuan penyakit yang
bersifat sistemik, sehingga manifestasi klinis sepsis pada fase awal dapat
memperlihatkan gejala seperti demam atau hipotermia, takikardia dan takipnea,
leukositosis atau leukopenia serta perubahan status mental. Pada syok septik dapat juga
ditemukan gangguan pada sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan
darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu pengisian

40
kapiler serta oliguria. Selain itu, juga dijumpai gangguan respirasi seperti takipnea,
asidosis metabolik, serta edema paru. Selain gejala umum di atas terdapat istilah lain
yang dapat ditemukan pada 20% kasus anak dengan syok septik, yaitu syok septik
hangat (warm shock). Hal ini mendukung keadaan klinis pasien karena jenis syok
septik yang dialami pasien adalah gejala syok yang ditandai dengan demam,
penurunan kesadaran, takikardia, perabaan nadi yang kuat, tekanan nadi melebar
(tekanan diastolik menurun), perfusi menurun, produksi urin menurun, pengisian
kapiler melambat, ekstremitas hangat (predominan vasodilatasi).

Penatalaksanaan yang telah diberikan pada pasien ini adalah infus dan
diberikan cairan RL Loading 1000 cc dengan tetesan infus 24 tetes per menit,
kemudian dipasang oksigen nasal kanul 3-5 liter per menit, kemudian diberikan obat
penurun panas yaitu infus parasetamol sebanyak 3 x 500 mg, dan diberikan obat injeksi
ranitidin sebanyak 2 kali 1 ampul, serta injeksi ondansentron sebanyak 3 kali 1 ampul.
Kemudian diberikan injeksi antibiotik seftriakson sebanyak 2 kali dalam sehari. Sesuai
dengan teori, tatalaksana awal syok yaitu:

1. Mulai pemberian oksigen kanul nasal dan pasang jalur i.v. perifer
dalam 90 detik
2. Bila tidak berhasil setelah 2× tusukan vena perifer, pertimbang-
kan akses i.o.
3. Palpasi terdapat hepatomegali dan auskultasi paru (ronki)
a. Jika hepar tidak membesar dan tidak terdapat ronki, berikan bolus
20 mL/kgBB dalam 15 mnt dengan salin isotonis atau albumin 5%
sampai 60 mL/kgBB hingga terjadi perbaikan perfusi atau
pembesaran hati atau timbul ronki. Berikan 20 mL/kgBB PRC
jika renjatan hemoragis yang tidak berespons dengan terapi cairan
b. Jika hepar membesar, waspadai renjatan kardiogenik, bolus
kristaloid isotonis hanya diberikan 10 mL/kgBB. Mulai berikan
PGE1 pada semua neonatus untuk mempertahankan duktus
arteriosus

41
4. Pada suatu penelitian pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama syok septik
merupakan golden hour yang dapat mencegah terjadinya mortalitas pada
sebagain besar pasien syok septik. Pemberian antibiotik dimulai dengan
spektrum luas seperti karbapemen (meropenem, imipenem/cilastatin) atau
kombinasi penisilin/ beta-laktamase (contohnya, piperasilin/tazobaktam
atau tikasilin/klavulanat). Selain itu, juga dapat digunakan golongan
sefalosporin generasi tiga, seperti ceftriakson yang dikombinasikan dengan
vankomisin yang dapat melawan bakteri gram positif dan negatif23.

42
BAB V

KESIMPULAN

Hingga saat ini syok septik merupakan penyebab kematian paling sering pada
anak. Pada keadaan anak yang datang dengan gejala disfungsi organ ditambah dengan
adanya bukti infeksi pemantauan ketat perlu dilakukan agar keadaan anak tidak jatuh
ke syok septik. Intervensi yang dilakukan berdasarkan protokol early goal directed
therapy. Algoritma early goal directed therapy telah terbukti menurunkan angka
mortalitas syok septik pada anak. Dianjurkan pemberian antibiotik pada 1 jam pertama
sepsis ditegakkan untuk menurunkan tingkat keparahan infeksi agar tidak berakibat
pada titik akhir syok septik yaitu multi organ dysfunction syndrome (MODS).
Keberhasilan dalam penatalaksanaan syok septik ditentukan oleh efisiensi
waktu dalam penegakkan diagnosis dan pemberian antibiotik, kecepatan dalam
mengatasi hipoperfusi jaringan dengan pemilihan inotropik yang tepat.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Vidrine R., Atreya MR., Stalets EL. Continuum of Care in Pediatric Sepsis:
a prototypical acute care delivery model. Translational Pediatrics.
2018;7(4):253-261.
2. Pudjiadi AH., Latief A., Budiwardhana N. 2011. Buku Ajar Pediatri Gawat
Darurat. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pp 108-
110.
3. Pusponegoro HD., Widodo DP., Ismael S. 2006. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Unit Kerja Koordinasi Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia. pp. 1-23.
4. Martin K., Weiss SL. Initial Resuscitation and management of pediatric
septic shock. Minerva pediatric. 2015; 67(2): 141-158.
5. Soedarmo SSP., Garna H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2008. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. pp.
358-363.
6. Hanna W, Wong HR. Pediatric sepsis. Crit Care Clin. 2013;29:203–22.
7. Angus DC, Poll T, Van Der T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med. 2013;369:840–51.
8. Garna H dan Nataprawira HM, 2014. Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak, Ed. 5, hal 155-169. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
9. Hauser GJ. Early goal-directed therapy of pediatric septic shock in the
emergency department. Isr J Emerg Med. 2007;7:5–17.
10. Oliveira CF. Early goal-directed therapy in treatment of pediatric septic
shock. Shock. 2010;34:44–7.
11. Wolfler A, Silvani P, Musicco M, Antonelli M, Salvo I. Incidence of and
mortality due to sepsis, severe sepsis and septic shock in italian pediatric
intensive care unit: a prospective national survey. J Intensive Care Med.
2008:34:1690-97
12. Annane D. Corticosteroids for severe sepsis: an evidence-based guide for
physicians. Ann Intensive Care. 2011;1:1-7.
13. Annane D, Bellissant E, Bollaert PE, Briegel J, Keh D, Kupfer Y.
Corticosteroids for treating severe sepsis and septic shock. Cochrane Libr.
2004;7:1-7
14. Hanna W, Wong HR. Pediatric sepsis. Crit Care Clin. 2013;29:203–22.
15. Mtaweh H, Trakas E V., Su E, Carcillo JA, Aneja RK. Advances in
monitoring and management of shock. Pediatr Clin North Am.
2013;60:641–54.
16. Khilnani P. Clinical management guidelines of pediatric septic shock. Crit
Care Med. 2005;7:164–72.
17. Mouncey PR, Osborn TM, Power GS, Harrison DA, Sadique MZ, Grieve
RD, et al. Trial of early, goal-directed resuscitation for septic shock. N Engl
J Med. 2015;372:1301–11.
18. Angus DC, Poll T, Van Der T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J
Med. 2013;369:840–51.
19. Friedman ML, Bone MF. Management of pediatric septic shock in the
emergency department. Clin Pediatr Emerg Med. 2014;15:131–9.
20. Shanley TP, Arbor A. Management and treatment guidelines for sepsis in
pediatric patients. Open Inflam J. 2012;4:101–9.
21. Talan DA, Moran GJ, Abrahamian FM. Severe sepsis and septic shock in
the emergency department. Infect Dis Clin North Am. 2008;22:1–31.
22. Mouncey PR, Osborn TM, Power GS, Harrison DA, Sadique MZ, Grieve
RD, et al. Trial of early, goal-directed resuscitation for septic shock. N Engl
J Med. 2015;372:1301–11.
23. Sawaya RD., Chedid I., Majzoub IE. 2018. Pediatric Sepsis and Septic
Shock. Pediatric Emergency Medicine Reports.
https://www.reliasmedia.com/articles/142073-pediatric-sepsis-and-septic-
shock

45
24. Weiss SL, Fitzgerald JC, Pappachan J, et al. Global epidemiology of
pediatric severe sepsis: The sepsis prevalence, outcomes, and therapies
study. Am J Respi Crit Care Med 2015;191:1147-1157
25. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, et al. The Third International
Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-
3). JAMA 2016;315:801-810.
26. Kawasaki T. Update on pediatric sepsis: A review. July 20, 2017. Available
at: https://jintensivecare.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40560-017-
0240-1. Accessed October. 2019.

46

Anda mungkin juga menyukai