Anda di halaman 1dari 26

EFUSI PLEURA

(CASE
REPORT)

Oleh :

Celine Grace Sita


Danang Hafizfadillah
Dila Aulia
Melati Indah Jelita
Natasya Aurum Alifia Zaini

Preceptor :
dr. Tantri Dwi Kaniya, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H . ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang dapat mengancam jiwa. Penyakit ini terdapat
diseluruh dunia, bahkan menjadi salah satu problema utama di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia. Secara umum, efusi pleura seringkali disebabkan oleh keganasan dan
tuberkulosis. Adapun penyakit lain yang mungkin mendasari terjadinya efusi pleura antara lain
pneumonia, empiema toraks, gagal jantung kongestif, sirosis hepatis.

Efusi pleura TB (tuberkulosis) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya
penimbunan cairan dalam rongga pleura yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Efusi pleura TB merupakan TB ekstraparu kedua terbanyak setelah limfadenitis TB.

Penderita efusi pleura umumnya datang dengan keluhan sesak napas dan nyeri dada. Hal tersebut
disebabkan oleh adanya timbunan cairan dalam jumlah besar sehingga penderita akan sesak.
Selain itu adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan nyeri yang timbul akibat adanya
pergesekan. Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan pada penderita dengan efusi pleura
diantaranya yaitu demam, batuk. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan abnormalitas dengan
bunyi redup pada perkusi, penurunan fremitus pada palpasi, dan penurunan bunyi napas pada
auskultasi paru, dan pergeseran trakea menjauhi tempat yang sakit.

Pemeriksaan penunjang seperti radiologi foto thoraks dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
terjadinya efusi pleura. Pada radiologi foto thoraks dapat ditemukan sudut tumpul atau
menghilangnya sudut kostofrenikus bila cairan efusi melebihi 300 ml. Selain itu, dapat dilakukan
torakosentesis untuk mengetahui penyebab dan jenis dari efusi pleura.
BAB II
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 72 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : Panjang, Bandar lampung
Masuk RS : 24 September 2019
Tgl periksa : 24 September 2019

Keluhan utama:
Sesak napas yang memberat sejak 1/2 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien rujukan dari RS Dadi Tjokrodipo dengan diagnosis rujukan efusi pleura+susp.TB
Paru dd Pneumonia datang ke RSAM dengan keluhan sesak napas sejak kurang lebih 1/2 bulan
SMRS. Awalnya pasien merasa kadang-kadang sesak dan tidak mengganggu aktivitas, tapi
berapa hari terakhir semakin sesak dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak memberat saat
pasien batuk, berbaring, dan melakukan aktivitas. Sesak berkurang bila pasien dalam posisi
setengah duduk atau berbaring dengan tumpukan bantal.
Batuk dialami sejak kurang lebih 1 bulan lalu, dan memberat dalam 1/2 bulan belakangan
ini, batuk disertai dahak berwarna putih tetapi sulit keluar, tidak ada darah, tidak ada nyeri dada.
Batuk dirasakan terus –menerus tanpa dipengaruhi waktu dan cuaca.
Pasien juga mengalami demam yang naik turun. Pasien juga sering mengeluh lemas,
nafsu makan menurun, berkeringat terutama saat malam hari, bengkak kedua kaki, dan luka pada
kaki kanan sejak 2 bulan lalu. Keluhan penurunan berat badan, nyeri dada disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah menderita keluhan yang sama, riwayat DM (+) sejak 12 tahun dengan
pengobatan methformin tetapi tidak teratur, Hipertensi (+) 1 bulan. Riwayat minum obat TB,
riwayat asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.

PEMERIKSAAN UMUM
- Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Komposmentis
- Tanda – tanda Vital :
Tensi :130/80 mmHg
Nadi : 103x/menit
Nafas : 28x /menit
Suhu : 37,2 °C
SpO2 : 92 %

PEMERIKSAAN FISIK :
Kepala dan Leher :
Mata : konjunctiva anemis (-/-), Sclera tidak ikterik
Pupil isokor, 2 mm/2mm, Reflex cahaya (+/+)
Leher : Pembesaran KGB (-),JVP meningkat

THORAX :
Paru :
 Inspeksi : Penggunaan otot-otot bantu pernapasan (+)
 Palpasi : Fremitus taktil melemah pada lapangan paru kanan dan kiri
 Perkusi : Perkusi redup pada basal lapang paru kanan dan kiri
 Auskultasi : Vesikuler melemah pada basal lapang paru kanan dan kiri

Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
 Palpasi : Ictus cordis teraba.
 Perkusi : Batas jantung melebar.
 Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Bising usus (+) normal.
 Perkusi : Timpani.
 Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-).

Ekstremitas :
 Akral hangat
 CRT < 2 detik
 Edema ekstremitas inferior (+/+)
 Ulkus diabetikum pedis sinistra

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

 Pemeriksaan rontgen thorax tanggal 23 September 2019


Thoraks: PA
- Efusi pleura bilateral
- Perbercakan di perihiler bilateral ec DD/ bronkopneumonia, edema
- COR sulit dinilai

RESUME
Pasien Ny. AE, usia 54 tahun mengeluhkan sesak napas sejak kurang lebih 1/2 bulan
SMRS dan semakin memberat. Diperberat bila batuk, berbaring, dan beraktivitas, diperingan
bila posisi setengah duduk atau berbaring dengan tumpukan bantal. Keluhan lainnya: batuk,
demam, lemas, nafsu makan menurun, berkeringat terutama saat malam hari, bengkak kedua
kaki, dan luka pada kedua kaki. Riwayat Penyakit Dahulu: DM (+), Hipertensi (+).
Hasil Pemeriksaan fisik :
Leher: Peningkatan JVP
Paru :
- Inspeksi : penggunaan otot-otot bantu pernapasan (+)
- Palpasi : Fremitus taktil melemah pada lapangan paru kanan dan kiri
- Perkusi : Perkusi redup pada basal lapang paru kanan dan kiri
- Auskultasi : Vesikuler melemah pada basal lapang paru kanan dan kiri

Jantung: Batas jantung melebar


Dari pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan kesan efusi pleura bilateral, perbercakan di
perihiler bilateral ec DD/ bronkopneumonia, edema dan COR sulit dinilai

Diagnosis Kerja :
Efusi pleura bilateral ec. Susp. CHF + DM Tipe 2

Rencana Pemeriksaan :
 Pemeriksaan EKG jantung
 Pemeriksaan cairan pleura
 Laboratorium: DL, GDS, GDN, GDPP, HbA1C
Rencana Penatalaksanaan :
Non Farmakologi
 Torakosintesis
 Bed rest
 Oksigenasi 3-4 lpm
 Konsul Sp.JP
 Konsul Sp.PD

Farmakologi :
 IVFD RL X gtt/mnt
 Inj. Furosemid 1-0-0
 Methformin 2x500 mg
 Paracetamol 3x500 mg

Prognosis:
Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: dubia ad malam
Quo ad sanationam: dubia ad malam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi

Pleura merupakan membran tipis, halus, dan licin yang membungkus


dinding anterior toraks dan permukaan superior diafragma. Lapisan tipis ini
mengandung kolagen dan jaringan elastik. Pleura terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura
visceralis dan parietalis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut
pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak,
diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak
antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis
ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini
bersatu pada hillus paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis
dan parietalis, diantaranya :
a. Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.
Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel
mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit di
bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat
elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a.
Brakhialis serta pembuluh limfe yang menempel kuat pada jaringan paru
yang berfungsinya. untuk mengabsorbsi cairan pleura.
b. Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat
(kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung
kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan
banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan
temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya
sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan lepas dari dinding
dada di atasnya, fungsinya untuk memproduksi cairan pleura.

Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleura

Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya
beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa
jumlah cairan pleura sebanyak 10-20ml. Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari
cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa
keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga
pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan
lateral pleural parietalis. Oleh karena itu, ruang pleura disebut ruang potensial,
karena ruang ini normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik
yang jelas. Tekanan dalam ruang pleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer
sehingga mencegah kolaps paru.

3.2 Definisi Efusi Pleura

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang


disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses
absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura
tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura
harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu
efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan
menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat
tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG, 2013). Efusi
pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura ataupun
penyakit di luar paru. (Light RW, 2011)

3.3 Klasifikasi Efusi Pleura


Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat. (Light RW, 2011).
Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.

Etiologi Efusi Pleura Transudatif


 Left ventricle failure
 Liver cirrhosis
Sangat sering
 Hypoalbuminaemia
 Peritoneal dyalisis
 Hypothyroidsm
 Nephrotic syndrome
Kurang sering
 Mitral stenosis
 Pulmonary embolism
 Constrictive pericarditis
 Urinothorax
 Superior vena cava obstruction

Jarang  Ovarian hyperstimulation


 Meigs’ syndrome
 Malignancy
 Atelectasis (meningkatnya tekanan intraleural negatif)
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan
penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan
dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di
dalam cairan pleura.
Etiologi Efusi Pleura Eksudatif
 Malignancy (including mesothelioma)
 Parapnemonic effusions
Sangat sering
 Tuberculosis
 Pulmonary embolism
 Rheumatoid arthritis
 Autoimmune diseases (Systemic Lupus Erythematosus)
 Benign asbestos effusions

Kurang sering  Pancreatitis


 Post-myocardial infarction
 Post-coronary artery bypass graft
 Esophageal rupture
 Yellow nail syndrome
 Chylothorax
Jarang
 Drugs
 Fungal infections

Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi


satu atau lebih kriteria berikut:
(1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum lebih besar dari 0,5,
(2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih besar dari 0,6 atau
(3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga dari batas atas normal
LDH serum. (Mayse M.L, 2008)
Berdasarkan klasifikasi Light dan Rodriguez, efusi yang bersifat transudat
dianggap sebagai uncomplicated pleural effusion, yang dapat ditangani dengan
pengobatan konservatif atau hanya dengan antibiotik. Efusi pleura eksudat atau
efusi pleura terlokalisir yang luas, diklasifikasikan sebagai complicated pleural
effusion harus dilakukan drainase. Yang termasuk complicated pleural effusion
yaitu empiema, efusi pleura ganas dan hemotoraks. Untuk kasus complicated
pleural effusion, sangat penting untuk dilakukan evakuasi cairan supaya paru
dapat kembang untuk prognosis yang lebih baik. (Yu H, 2011)
Berdasarkan foto toraks, efusi pleura dapat dikelompokkan menjadi efusi
pleura sederhana dan efusi pleura kompleks (Ellis SM, Flower C, 2006)
1. Efusi pleura sederhana
Suatu efusi pleura dikatakan sederhana jika
- Pada foto toraks postero anterior posisi tegak cairan biasanya terakumulasi
mengikuti gravitasi dengan batas atasnya didefinisikan sebagai meniscus
sign.
- Pada posisi terlentang, suatu efusi pleura sederhana akan terakumulasi
pertama sekali di bagian posterior dada dan meniscus sign kadang tidak
terlihat.
- Terdapat peningkatan secara keseluruhan yang membayangi hemitoraks
yang dapat dengan mudah diabaikan
- Jika ukuran efusi cukup besar, makan akan tampak adanya penebalan yang
jelas di tepi pleura yang disebabkan oleh perpindahan posisi paru yang
menjadi terpisah dari dinding dada oleh karena cairan.
- Jika posisi pasien semi-tegak maka cairan akan terakumulasi di bagian
belakang kostofrenikus yang tersembunyi dan di posterior rongga pleura.
- Secara keseluruhan hasilnya adalah peningkatan opasitas pada daerah yang
lebih rendah dengan tetap mempertahankan bayangan diafragma, tanpa
ada meniskus, dan bahkan sudut kostofrenikus masih normal. Kolapsnya
lobus paru tidak tergantung posisi pasien
2. Efusi pleura kompleks
Suatu efusi pleura dikatakan kompleks jika
- Ketika bentuk efusi tidak membentuk meniscus sign seperti dijelaskan di
atas tetapi malah lurus atau cembung, ini menunjukkan bahwa efusi
tersebut adalah kompleks dan biasanya mengandung cairan yang kental
dan atau bersekat

- Efusi pleura kompleks tidak selalu terakumulasi di daerah paling bawah


dan oleh karena itu cairan dapat terakumulasi di mana saja di dalam
rongga pleura
- Suatu efusi pleura kompleks mungkin disebabkan oleh adanya empiema
atau hematom, tetapi efusi pleura sederhana yang kronis dapat menjadi
kompleks tanpa adanya infeksi yang menyertai dan suatu efusi pleura
sederhana yang berada dalam rongga pleura yang kompleks dapat
menunjukkan gambaran efusi pleura kompleks misalnya pada pasien yang
sebelumnya pernah dilakukan intervensi bedah atau pernah terjadi infeksi
sebelumnya.
Berdasarkan USG, efusi pleura juga dapat dibedakan menjadi efusi pleura
sederhana dan efusi pleura kompleks (Coley BD, 2013)
1. Efusi pleura sederhana
- Gambaran anechoic yang homogen
2. Efusi pleura kompleks
- Tidak bersekat dengan gambaran hipoechoic
- Terdapat lebih dari satu sekat
- Gambaran echoic yang homogen

3.4 Mekanisme Efusi Pleura


Dalam rongga pleura yang normal, cairan masuk dan keluar dengan
jumlah yang sama secara terus – menerus karena adanya filtrasi yang
berkelanjutan dari sejumlah kecil cairan rendah protein dalam pembuluh darah
mikro yang normal. Pada akhir abad ke-19, Starling dan Tubby mengeluarkan
sebuah hipotesis, bahwa pertukaran cairan mikrovaskuler dan zat terlarut diatur
oleh keseimbangan antara tekanan hidrostatik, tekanan osmotik, dan permeabilitas
membran. (McGrath E, Anderson PB, 2011)
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang berlebihan di dalam rongga
pleura. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara produksi dan
penyerapan cairan pleura. Pada keadaan normal, rongga pleura hanya terisi
sejumlah kecil cairan, biasanya hanya 0,1-0,2 ml/kgBB.

Cairan pleura terbentuk dan diserap kembali secara lambat, dengan jumlah
yang sama dan mempunyai kadar protein yang rendah dibandingkan dengan paru
dan kelenjar getah bening perifer. Beberapa mekanisme terbentuknya cairan
pleura antara lain : (Yataco JC, Dweik RA, 2005)
 Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi pembuluh darah kecil.
Data klinis menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intra kapiler
merupakan faktor yang paling sering menyebabkan efusi pleura pada gagal
jantung kongestif.
 Penurunan tekanan onkotik di sirkulasi pembuluh darah kecil disebabkan
oleh hipoalbuminemia yang cenderung meningkatkan cairan di dalam
rongga pleura.
 Peningkatan tekanan negatif di rongga pleura juga menyebabkan
peningkatan jumlah cairan pleura. Hal ini biasanya disebabkan oleh
atelektasis.
 Pemisahan kedua permukaan pleura dapat menurunkan pergerakan cairan
dalam rongga pleura dan dapat menghambat drainase limfatik pleura. Hal
ini bisa disebabkan oleh trapped lung.
 Peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler yang disebabkan oleh
mediator inflamasisangat memungkinkan terjadinya kebocoran cairan dan
protein melewati paru dan pleura visceral ke rongga pleura. Hal ini telah
dibuktikan dengan adanya infeksi seperti pneumonia
 Gangguan drainase limfatik permukaan pleura karena penyumbatan oleh
tumor atau fibrosis
 Perembesan cairan ascites dari rongga peritoneal melalui limfatik
diafragma atau dari defek diafragma.

3.5 Diagnosis
Diagnosis efusi pleura ditegakkan melalui beberapa langkah
1) Anamnesis dan pemeriksaan klinis (Havelock T et al, 2010)
Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas, nyeri
dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis efusi
pleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik bisa
normal jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi pernapasan
dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya jarang
menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh penurunan
ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami kompresi.
(Yu H, 2011)
Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan
restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas
vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi
cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan
ventrikel kolaps diastolik.
Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri
dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh
karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang ditimbulkan
oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik menunjukkan iritasi lokal
dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut saraf. Karena dipersarafi oleh
nervus frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal menghasilkan nyeri dada
dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar hingga ke perut melalui
persarafan interkostalis. Sedangkan batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial
disebabkan kompresi parenkim paru. (Roberts JR et al, 2014)
Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan
ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal menggembung pada sisi
yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus berkurang atau
menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru – paru dari
dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi didapati beda,
dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa mengalir bebas. Pada
auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang tergantung ukuran efusi.
Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi sebagai akibat dari
penyebab jaringan paru yang atelektasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika
terjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai
cairan terevakuasi. (Roberts JR, et al 2014)
Tabel 2.1 Volume cairan pleura dan hubungannya dengan pemeriksaan fisik
(Klopp M, 2013)
Volume cairan pleura Temuan klinis
<250-300 cm 3
Kemungkinan masih normal
500 cm3 1. Redup pada perkusi
2. Fremitus melemah
3. Pernapasan vesikular tetapi
intensitasnya menurun
1000 cm3 1. Tidak adanya retraksi inspirasi,
sedikit bulging pada sela iga
2. Ketinggalan bernapas pada sisi
yang sakit
3. Perkusi redup sampai ke scapula
dan axilla
4. Fremitus melemah atau
menghilang di posterior dan lateral
5. Suara pernapasan bronkovesikuler
6. Pada auskultasi terdapat Egophany
(suara i terdengar e) pada batas
paling atas efusi
Masif (memenuhi satu hemitoraks) 1. Bulging pada sela iga
2. Ketinggalan bernapas pada sisi
yang sakit
3. Suara napas menghilang
4. Pada auskultasi terdapat Egophony
(suara i terdengar e) di apeks
5. Liver atau spleen dapat teraba
karena adanya penekanan
diafragma.

2) Pemeriksaan Radiologis
a. Foto Toraks
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang
mengalir bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling bawah
dari rongga pleura, ruang subpulmonik dan sulkus kostofrenikus lateral. Efusi
pleura biasanya terdeteksi pada foto toraks postero anterior posisi tegak jika
jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Foto toraks lateral dapat mendeteksi efusi
pleura sebesar 50 – 75 ml.
Tanda awal efusi pleura yaitu pada foto toraks postero anterior posisi
tegak maka akan dijumpai gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul baik dilihat
dari depan maupun dari samping. Dengan jumlah yang besar, cairan yang
mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari foto toraks
postero anterior. Ketinggian efusi pleura sesuai dengan tingkat batas tertinggi
meniskus. Adanya pneumotoraks atau abses dapat mengubah tampilan meniskus
menjadi garis yang lurus atau gambaran air fluid level. (Roberts JR et al, 2014)
Efusi pleura lebih sulit teridentifikasi pada foto toraks dengan posisi
terlentang. Jika ukuran efusi cukup besar, bayangan kabur yang menyebar dapat
dimaklumi. Gambaran lain yang dapat ditemui antara lain tertutupnya bagian
apikal, obliterasi hemidiafragma, gambaran opasitas sebagian di hemitoraks, dan
fisura minor yang melebar.
Foto toraks lateral dekubitus bisa dilakukan ketika dicurigai adanya efusi
pleura. Efusi pleura sederhana akan mengikuti gravitasi dan akan terbentuk
lapisan antara paru yang mengambang dengan dinding dada. Gambaran yang
tidak seperti biasa mencerminkan adanya lakulasi, abses atau massa. Foto toraks
lateral dekubitus terbalik akan menarik cairan ke arah mediastinum dan
memungkinkan untuk melihat parenkim paru untuk melihat apakah ada infiltrat
atau massa yang ada di balik perselubungan tersebut.
Dengan adanya penyakit dan scar paru, perlengketan jaringan dapat
menyebabkan cairan terperangkap di permukaan pleura parietal, visceral atau
interlobar. Karena perlengketan ini menyebabkan penumpukan cairan, maka
bentuk efusi terlokalisir sering digambarkan sebagai D-shape, sedangkan cairan
yang terlokalisir di daerah fisura akan berbentuk lentikular. (Roberts JR et al,
2014)
Berdasarkan foto toraks, efusi pleura terbagi atas small, moderate dan
large. Dikatakan efusi pleura small jika cairan yang mengisi rongga pleura kurang
dari sepertiga hemitoraks. Efusi pleura moderate jika cairan yang mengisi rongga pleura
lebih dari sepertiga tetapi kurang dari setengah hemitoraks. Sedangkan efusi pleura
dikatakan large jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih dari setengah hemitoraks.
Selain itu efusi pleura juga dapat dinilai sebagai efusi pleura masif jika cairan sudah
memenuhi satu hemitoraks serta menyebabkan pergeseran mediastinum ke arah
kontralateral, menekan diafragma ipsilateral, dan kompresi paru, jika tidak ada lesi
endobronkial yang menyebabkan atelektasis dan fixed mediastinum. (Light RW, Lee
YCG, 2008)
Pada kasus efusi pleura masif, seluruh hemitoraks akan terdapat bayangan
opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum dapat mengidentifikasi
penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak adanya paru atau mediastinum yang
sakit, akumulasi cairan yang besar akan mendorong mediastinum ke kontralateral.
Ketika mediastinum bergeser ke arah efusi kemungkinan kelainannya adalah di
paru dan bronkus utama atau adanya obstruksi atau keduanya. Ketika mediastinum
tetap di medial kemungkinan penyebabnya adalah tumor. (Roberts JR et al, 2014)

Gambar 2.1 (a) Efusi pleura kiri pada foto toraks tampak dari postero anterior dan lateral (b).
Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi tersebut. (Roberts JR et al, 2014)
b. USG Toraks
Ada beberapa keuntungan dari penggunaan USG toraks untuk menilai
suatu efusi pleura. USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan dan
merupakan tindakan yang tidak invasif dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien.
USG toraks lebih unggul daripada foto toraks dalam mendiagnosis efusi pleura
dan dapat mendeteksi efusi pleura sekecil 5ml. Meskipun beberapa hal yang detail
hanya bisa terlihat pada CT scan, USG dapat mengidentifikasi efusi yang
terlokalisir, membedakan cairan dari penebalan pleura, dan dapat membedakan
lesi paru antara yang padat dan cair. USG juga dapat digunakan untuk
membedakan penyebab efusi pleura apakah berasal dari paru atau dari abdomen.
Selain itu USG dapat dilakukan di tempat tidur pasien yang sangat berguna untuk
identifikasi cepat lokasi diafragma dan tingkat interkostal untuk menentukan batas
atas efusi pleura. (Roberts JR et al, 2014)
Gambar 2.2 Gambaran efusi pleura pada USG toraks (Lee YCG, 2013)

c. CT scan toraks
Meskipun tindakan torakosentesis biasanya dilakukan berdasarkan temuan
foto toraks, tetapi CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto toraks
biasa untuk mendeteksi efusi pleura yang sangat minimal dan mudah menilai luas,
jumlah, dan lokasi dari efusi pleura yang terlokalisir. Lesi lokulasi bisa tampak
samar – samar pada foto toraks biasa. Pada gambaran CT scan toraks, cairan yang
mengalir bebas akan membentuk seperti bulan sabit pada daerah paling bawah,
sedangkan penumpukan cairan yang terlokalisir akan tetap berbentuk lenticular
dan relatif tetap berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan toraks dapat
digunakan untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa yang
mengarah keganasan dan penyakit – penyakit lain yang menyebabkan efusi pleura
eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras intra vena, CT scan toraks dapat
membedakan penyakit parenkim paru, seperti abses paru. Emboli paru juga dapat
terdeteksi dengan menggunakan zat kontras intra vena. CT scan toraks juga
berguna dalam mengidentifikasi patologi mediastinum dan dalam membedakan
ascites dari efusi pleura subpulmonik yang terlokalisir. (Roberts JR et al, 2014)
Gambar 2.3 Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan toraks (Lee YCG, 2013)

3) Torakosintesis untuk diagnostik


Torakosintesis yang dilanjutkan dengan analisis cairan pleura dapat
dengan cepat mempersempit diagnosis banding efusi pleura. Sebagian besar
cairan pleura berwarna kekuningan. Temuan ini tidak spesifik karena cairan
berwarna kekuningan terdapat pada berbagai kasus efusi pleura. Namun tampilan
warna lain efusi pleura dapat membantu untuk mendiagnosis penyebab efusi
pleura. Cairan yang mengandung darah dapat ditemukan pada kasus pneumonia,
keganasan, dan hemotoraks. Jika warna cairan sangat keruh atau seperti susu
maka sentrifugasi dapat dilakukan untuk membedakan empiema dari kilotoraks
atau pseudokilotoraks. Pada empiema, cairan yang berada di bagian atasakan
bersih sedangkan debris – debris sel akan mengendap di bagian bawah, sedangkan
pada kilotoraks ataupun pseudokilotoraks warna cairan akan tetap sama karena
kandungan lipid yang tinggi dalam cairan pleura. Cairan yang berwarna
kecoklatan atau kehitaman dicurigai disebabkan oleh abses hati oleh infeksi
amuba dan infeksi aspergillus. Setelah dilakukan torakosintesis, cairan harus
langsung dikirim untuk analisis biokimia, mikrobiologi dan pemeriksaan sitologi.
Analisis biokimia cairan pleura meliputi menilai kadar protein, pH, laktat
dehydrogenase (LDH), glukosa, dan albumin cairan pleura. Karena rongga pleura
terisi oleh cairan, maka protein menjadi penanda yang penting untuk membedakan
apakah cairan pleura termasuk transudat atau eksudat. (McGrath E, Anderson PB,
2011)
Efusi pleura dikatakan ganas jika pada pemeriksaan sitologi cairan pleura
ditemukan sel – sel keganasan. Diagnosis hemotoraks ditegakkan jika ada bukti
trauma dada pada pasien yang menjalani operasi dalam waktu 24 jam terakhir,
memiliki kecenderungan untuk terjadinya pendarahan, serta perbandingan nilai
hematokrit cairan pleura dengan serum lebih besar dari 50%. (Liu YH et al, 2010)

4) Biopsi Pleura
Pada kasus efusi pleura yang belum tegak diagnosisnya di mana dicurigai
disebabkan oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan dengan
kontras, maka biopsi jarum dengan tuntunan CT scan merupakan metode yang
tepat. Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika dilakukan di daerah dengan
tingkat kejadian tuberkulosis yang tinggi, walaupun torakoskopi dan biopsi jarum
dengan tuntunan CT scan dapat dilakukan untuk hasil diagnostik yang lebih
akurat. (Havelock T et al, 2010)
5) Torakoskopi
Torakoskopi merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura
eksudat di mana diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan dan
dicurigai adanya keganasan. (Havelock T et al, 2010)

6) Pemeriksaan Lain Pada Kondisi Tertentu (Havelock T et al, 2010)


- Pleuritis tuberkulosis
Ketika dilakukan biopsi pleura, maka sampel harus dikirim untuk
pemeriksaan histologi dan kultur untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis.
Biopsi pleura melalui torakoskopi merupakan pemeriksaan yang paling akurat
untuk mendapatkan hasil positif untuk kultur mikobakterium (dan juga
sensitivitas obat). Penanda tuberkulosis pleura dapat bermakna di negara -
negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang rendah. Adenosine
deaminase (ADA) adalah penanda yang paling sering digunakan.
- Rheumathoid Arthritis yang berhubungan dengan efusi pleura
Sebagian besar efusi pleura yang disebabkan oleh Rheumathoid Arthritis
menunjukkan kadar glukosa yang sangat rendah yaitu <1,6 mmol/L (29
mg/dL).
- Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
Antinuclear antibody (ANA) cairan pleura tidak diperlukan diukur
secara rutin karena hanya menunjukkan kadar serum dan biasanya tidak
membantu.

- Kilotoraks dan pseudokilotoraks


Pada kasus terduga kilotoraks atau pseudokilotoraks maka cairan
pleura harus diperiksakan untuk menilai kristal kolesterol, kilomikron, kadar
trigliserida cairan pleura dan kadar kolesterol cairan pleura.

3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan
mengurangi gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengevakuasi cairan dari
dalam rongga pleura kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan
terapinya bergantung pada jenis efusi pleura, stadium, dan penyakit yang
mendasarinya. Pertama kita harus menentukan apakah cairan pleura eksudat atau
transudat. (Yu H, 2011)
Penatalaksanaan efusi pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun
pemasangan selang dada. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostik
misalnya pada efusi pleura yang tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu
untuk mengevakuasi cairan maupun udara dari rongga pleura ketika pasien tidak
sanggup lagi untuk menunggu dilakukan pemasangan selang dada misalnya pada
pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi cairan pleura dapat juga dilakukan
pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik. Pemasangan selang dada
diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem pernapasan dan
kardiovaskular. (Klopp M, 2013)
Selain torakosentesis, prinsip penanganan efusi pleura adalah dengan
mengobati penyakit yang mendasarinya. Tindakan emergensi diperlukan ketika
jumlah cairan efusi tergolong besar, adanya gangguan pernapasan, ketika fungsi
jantung terganggu atau ketika terjadi perdarahan pleura akibat trauma tidak dapat
terkontrol. Drainase rongga pleura juga harus segera dilakukan pada kasus
empiema toraks.
Efusi pleura minimal yang disebabkan oleh proses malignansi terkadang
akan teratasi dengan sendirinya setelah dilakukan tindakan kemoterapi, namun
tindakan pleurodesis harus tetap dilakukan setelah cairan berhasil dievakuasi pada
kasus di mana efusi pleura berulang atau ketika jumlah cairan dalam rongga
pleura tergolong moderat. (Sato T, 2006)
a. Torakosentesis
Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan yang
sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi juga untuk
mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura tersebut. Tetapi
bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang bukan pilihan yang tepat untuk
penanganan efusi pleura ganas yang progresif. Torakosintesis hanya mengurangi
gejala untuk sementara waktu dan akan membutuhkan kunjungan yang berulang
ke rumah sakit untuk melakukannya. (Yu H, 2011)
Indikasi Torakosentesis
Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi diagnostik
dan terapeutik
1) Diagnostik
Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat diambil dan
diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi. Untuk pemeriksaan
laboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml. Sebagian besar efusi pleura yang masih
baru terukur lebih dari 10 mm pada foto toraks posisi lateral dekubitus, CT
scan toraks, atau USG toraks.
2) Terapeutik
Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang diakibatkan jumlah
cairan yang besar dan membutuhkan evakuasi segera.

Kontraindikasi torakosentesis
Tidak ada kontraindikasi untuk torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan
bahwa jika torakosentesis dilakukan dengan tuntunan USG, maka hal ini aman
untuk dilakukan meskipun terdapat kelainan koagulasi. Perhatikan pasien dengan
kelainan koagulasi, termasuk setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat
selulitis maupun herpes zoster dengan memilih lokasi torakosentesis alternatif.
(Roberts JR et al, 2014)
b. Pemasangan selang dada
Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan efusi pleura
ataupun pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai large, pasien dengan
riwayat aspirasi cairan pleura berulang, efusi pleura yang berulang, pada pasien
yang dilakukan bedah toraks, pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan
dengan trauma, hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain
misalnya untuk pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi darah
dan mencegah tamponade jantung. (Klopp M, 2013)
Indikasi pemasangan selang dada. (Dev PS et al, 2007)
1) Pada keadaan darurat
- Pneumothoraks
Pada semua pasien dengan ventilasi mekanik
Pneumotoraks yang luas
Keadaan klinis pasien yang tidak stabil
Pneumotorax ventil
Pada pneumotoraks ventil setelah dekompresi dengan jarum
Pada pneumotoraks berulang atau tetap
Pada pneumothoraks akibat trauma dada
Pada pneumothoraks iatrogenik, jika ukurannya luas dan keadaan
klinisnya signifikan
- Hemopneumotoraks
- Ruptur esophagus dengan kebocoran lambung ke rongga pleura
2) Pada keadaan non-darurat
- Efusi pleura ganas
- Pengobatan dengan agen sklerotik atau pleurodesis
- Efusi pleura berulang
- Efusi parapneumonik atau empiema
- Kilotoraks
- Perawatan pasca operasi (mis: setelah bypass coroner, torakotomi, atau
lobektomi)

Kontraindikasi pemasangan selang dada (Dev PS et al, 2007)


Pedoman yang telah ada menyatakan bahwa tidak ada kontraindikasi
absolut untuk drainase melalui selang dada kecuali ketika paru-paru benar-benar
melekat pada dinding dada seluruh hemitoraks tersebut. Kontraindikasi relatif
meliputi risiko perdarahan pada pasien yang memakai obat antikoagulan atau pada
pasien dengan kecenderungan perdarahan atau profil pembekuan abnormal. Bila
memungkinkan, koagulopati dan cacat trombosit harus diperbaiki dengan infus
produk darah, seperti plasma beku segar dan trombosit
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa jika pemasangan selang dada
dilakukan dengan tuntunan USG maka hal ini dinyatakan aman untuk dilakukan
walaupun terdapat parameter koagulasi yang abnormal. Seluruh pasien dengan
kelainan koagulasi termasuk pasien dengan gagal ginjal, sebagai tanda – tanda
perdarahan setelah prosedur pemasangan. Hindari lokasi insersi melalui bagian
kulit yang terkena selulitis atau herpes zoster dengan memilih lokasi atau
alternatif lain. Lakukan pada waktu yang tepat untuk melakukan torakosintesis
pada pasien – pasien dengan ventilasi mekanik maupun manual karena tekanan
positif berhubungan dengan ventilasi mekanik yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya pneumotoraks pada pasien tersebut. (Roberts JR et al, 2014)
Foto toraks perlu dilakukan setelah proses pemasangan selang dada untuk
memastikan bahwa posisi selang dada sudah tepat. Untuk kasus efusi pleura
dengan ukuran besar, maka drainase harus dikontrol untuk mencegah re-
expansion pulmonary edema. Kejadian ini jarang terjadi namun hal ini dapat
berakibat fatal tergantung pada keparahan dan lamanya penyakit yang
menyebabkan kolapsnya paru tersebut. Dianjurkan untuk menjepit selang dengan
klem hingga satu jam setelah evakuasi cairan sebanyak 1 liter. (Singh S Gareebo
S, 2006)
DAFTAR PUSTAKA

Coley BD. Caffey’s Pediatric Diagnostic imaging 12th Edition. Elsevier-Health


Sciences Division. Philadephia. 2013.
Dev PS, Nascimiento B, simone C, Chien V. Chest Tube Insertion. N Eng J Med
2007;357:15
Ellis SM, Flower C. The WHO Manual of Diagnostic Imaging : Radiographic
Anatomy and Interpretation of the Chest and Pulmonary System. WHO and
ISR. 2006
Havelock T, Teoh R, Laws D, Gleeson F, Maskell N, Ali N, et al. BTS Pleural
Disease Guideline 2010 – a Quick Reference Guide. British Thoracic
Society Reports.2010;2(3):2040-2023
Havelock T, Teoh R, Laws D, Gleeson F. Pleural Procedures and Thoracic
Ultrasound: British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010.
Thorax 2010;65(Suppl 2):ii61-ii76
Klopp M. Chest Tube Placement in Principles and Practice of Interventional
Pulmonology. Springer. New York. 2013. 585
Lee YCG. Pleural Anatomy and Fluid Analysis in Principles and Practice of
Interventional Pulmonology. Springer. New York. 2013. 545-555
Light RW. Pleural Controversy : Optimal Chest Tube Size for Drainage.
Respirology 2011;16:244-248
Light RW. Pleural Effusions. Med Clin N Am. 2011;95:1055-1070
Light RW, Lee YCG. Textbook of Pleural Disease, Second Edition. Hodder
Arnold. 2008
Mayse M.L. Non Malignant Pleural Effusions, In : Fishman A.P, editor. Fishman
Pulmonary Disease and Disorders. 4th ed New York : Mc Graw Hill,
2008;85:1487-1488
Liu YH, Lin YC, Liang SJ, Tu CY, Chen HC, Chen HJ, et al. Ultrasound-Guided
Pigtail Catheters for Drainage of Various Pleural Diseases. American
Journal of Emergency Medicine 2010 ;28:915-921
McGrath E, Anderson PB. Diagnosis of Pleural Effusion : a Systematic
Approach.American Journal of Critical Care. 2011. Vol 20, No. 2.
Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW and Hedges JR. Roberts and Hedges’
Clinical Procedures in Emergency medicine, Sixth Edition. Elsevier
Saunders. Philadelpia. 2014.
Sato T. Differential Diagnosis of Pleural Effusions. JMAJ 2006 Vol 49;9:10
Singh S Gareebo S. Tube Thoracostomy: How to Insert a Chest Drain. British
Journal of Hospital Medicine. January 2006, Vol 67, No.I.
Yataco JC, Dweik RA. Pleural Effusion : Evaluation and Management. Cleveland
Clinic Journal of Medicine 2005 Vol;27:10
Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess . Semin
Intervent Radiol 2011;28:75-86

Anda mungkin juga menyukai