1. Obat TB
Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya. Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB
paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA
positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuhPasien gagalPasien dengan pengobatan
setelah putus berobat (default) Catatan: Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis
maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. OAT Sisipan
(HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu
dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Dengan Gangguan Hati
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan
o Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
o Paduan Obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO: 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE
o Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan
S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
o Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
3. Efek samping
Penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
• Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT
harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan
untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
• Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena
kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi
kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang
dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi
hipersensitivitas.berat.
• Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid
atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa
obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan
mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
• Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid
atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga
merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan
reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin
dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan
HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.
3.Paramaeter
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah
mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
TBC DENGAN HIPERTENSI
A. Interaksi Obat
B. Efektifitas Parameter
Obat yang digunakan dapat menaikkan TD, maka dari itu pemantauan TD
harus dilakukan secara ketat
D. Konseling
- memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan untuk mengontrol berat badan yang
akan berdampak pada perubahan tekanan darah
- mengurangi asupan garam
- olah raga secara teratur 30-60 menit/ hari
- mengurangi konsumsi alcohol
- berhenti merokok
- monitoring fungsi ginjal pasien
TB PARU DENGAN DM
1. Tata Laksana
Prinsip pengobatan obat anti-tuberkulosis (OAT) terdiri dari dua fase, yaitu fase intensif
selama 2 sampai 3 bulan dan fase lanjutan selama 4 sampai 6 bulan, terkadang sampai 12
bulan karena jumlah M.Tb yang harus dieradikasi. Lini pertama pengobatan TB paru
menggunakan rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.1Tatalaksana
pengobatan pada penderita TB paru yang memiliki DM sama dengan penderita TB paru saja,
akan tetapi lebih sulit, terutama karena ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan,
yaitu interaksi antar obat TB paru dengan obat DM dan efek samping obat. Hingga saat ini,
belum ada rekomendasi kuat berdasarkan evidence mengenai tatalaksana pengobatan TB paru
pada penderita DM maupun sebaliknya.
International Union Against Tuberculosis andLung Disease (IUATLD) dan WHO
memberikan rekomendasi terapi TB paru pada penderita DM menggunakan regimen yang
samasesuai standar.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan pemberian
OAT dan lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan TB paru tanpa DM, dengan syarat
gula darah harus terkontrol. Apabila gula darah tidak terkontrol, pengobatan perlu dilanjutkan
hingga 9 bulan. Tahun 2011, American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan
target HbA1c kurang dari 7% atau setara dengan gula darah sewaktu sebesar 130 mg/dL.
2. Interaksi Obat
KArena obat OAT pada umumnya bersifat hepatotoksik yg akan mempengaruhi metabplisme
obat hipglikemik oral maka pilihan utamanya adalah menggunakan insulin.
Dosis harian rifampisin adalah 8-12 mg/ kgBB/hari, maksimal 600 mg. Efek samping
rifampisin yang sering yaitu hepatitis imbas obat (HIO) termasuk mual dan muntah, serta
warna kemerahan pada urin, keringat, dan air mata. Obat DM golongan sulfonylurea dan
thiazolidinedion (TZD) dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 dan enzim ini
diinduksi kuat oleh rifampisin, sehingga kadar obat antidiabetik tersebut jika diberikan
bersamaan dengan rifampisin akan mengalami penurunan (sulfonilurea 22%-30%, TZD
54%-64%). Metformin tidak dipengaruhi oleh rifampisin. Kadar plasma obat rifampisin pada
pasien TB paru dengan DM hanya 50% dari kadar rifampisin pasien TB paru tanpa DM.
Konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas target (8 mg/L) hanya ditemukan pada 6%
pasien, sedangkan pada yang bukan DM ditemukan 47%.20 Hal ini dapat menjelaskan
mengapa respons pengobatan pasien TB paru dengan DM lebih rendah dibandingkan dengan
pasien TB tanpa DM.
Isoniazid (INH) merupakan penghambat P450 sehingga dapat mengurangi efek rifampisin,
tetapi pemberian INH dan rifampisin secara bersamaan tetap akan meningkatkan enzim hati.
Dosis harian INH adalah 4-6 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg. Efek samping berupa
gejala-gejala saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Pasien DM juga
sering disertai dengan gejala neuropati, maka perlu diberi vitamin B6 (piridoksin) 100
mg/hari untuk mencegah neuropati perifer akibat pemberian INH.
Dosis harian etambutol 15-20 mg/kgBB/hari. Pemberian etambutol pada penderita DM harus
hati-hati karena efek sampingnya adalah penurunan tajam penglihatan, serta buta warna hijau
dan merah, padahal penderita DM sering mengalami retinopati.
Dosis harian pirazinamid 20-30 mg/kgBB/ hari. Efek samping utamanya adalah hepatitis
imbas obat; dapat terjadi nyeri sendi yang dapat ditanggulangi dengan aspirin. Pirazinamid
dan etambutol tidak mempengaruhi kadar obat antiglikemik dalam darah. Dosis harian
streptomisin 18 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal1000 mg. Efek samping utamanya
adalah kerusakan nervus VII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran.
Keadaan dapat pulih kembali jika obat dihentikan.
Rifampisin dan INH diduga tidak berpengaruh terhadap insulin karena insulin didegradasi di
hati melalui hidrolisis disulfida antara rantai A dan rantai B oleh insulin degrading enzyme
(IDE).17 Setelah selesai pengobatan TB paru, dapat dilanjutkan kembali dengan obat
anti-diabetes oral.
Dua studi di Indonesia menunjukkan bahwa DM tidak mempengaruhi farmakokinetik OAT
selama fase intensif pengobatan TB paru, tetapi mungkin berpengaruh pada rifampisin dalam
fase lanjut. Hal ini didukung dengan kultur sputum yang masih positif setelah pengobatan
fase lanjut, tetapi tidak setelah fase intensif. Hipotesis perbedaan pengaruh DM terhadap
farmakokinetik OAT selama pengobatan fase intensif dan fase lanjut karena adanya
perbedaan induksi rifampisin
3. Parameter yang perlu diperhatikan
Fungsi hati karena obat OAT bersifat hepatotoksik
- SGOT: 5-40 µ/L (mikro per liter)
- SGPT: 7-56 µ/L (mikro per liter)
Kadar gula darah terkontrol
- GDP < 126 mg/dL
- GDS < 200 mg/dL
- HbA1c < 5,7%
4. Preventif
- Pencegahan TB pada pasien DM tidak terdiagnpsis TB
a. Menutup mulut saat batuk dan bersin dengan sapu tangan, tissue masker atau lengan
b. Tidak meludah kesembarang tempat
c. Vaksuen BCG pada bayi
d. Menjaga daya tahan tubuh dengan konsumsi makana bergizi dan olahraga teratur
e. Menjaga kebersihan lingkungan dan pastikan berventiasi baik agar sinar matahari
masuk dalam rumah
f. Kendali kadar gula darah
- Pencegahan DM bagi pasien TB yang hasil kadar gula darah normal
a. Mengetahui faktor risiko dan mewaspadai gejala klasik DM
b. Diet teratur dan gizi seimbang
c. Pemeriksaan glukosa darah secara rutin
d. Olahraga dan aktivitas disik secara teratur
Bagi pasuen TB yang telah menyandang DM ataupun sebaliknya dilakukan edukasi intensif
saar kunjungan ke fasilitas kesehatan dengan melibatkan keluarga
5. Kesimpulan
- Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/ gula darah terkontrol
- Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ(E-S)/ 7 RH
- DM harus dikontrol
- Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol ke mata;
sedangkan penderita DM seringmengalami komplikasi kelainan pada mata
- Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektiviti obat oral anti
diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
- Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai,
untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
Pada ODHA dengan TB ekstra paru, paduan OAT diberikan paling sedikit 9 bulan (2 bulan
RHZE diikuti dengan 7 bulan RH).
pasien TB MDR
Pilihan paduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR Pilihan paduan baku OAT untuk
pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan standar (standardized treatment). yaitu :