Anda di halaman 1dari 41

USULAN PENELITIAN

PROFIL PENGETAHUAN TENAGA KEFARMASIAN MENGENAI HIGH


ALERT MEDICATION DI RUMAH SAKIT UMUM (RSU) PURI
RAHARJA KOTA DENPASAR

NI KOMANG ASTU PUJAYANTI

NIM. 19021048

PROGRAM SARJANA

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah Sakit merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang mencakup
kepada pelayanan kefarmasian, fungsi pelayanan kefarmasian rumah sakit salah
satunya yaitu melakukan pengelolaan obat yang dilakukan oleh tenaga kefarmasian.
Tenaga kefarmasian bertanggungjawab kepada pengobatan pasien dan keselamatan
pasien. Peran tenaga kefarmasian dalam meningkatkan keselamatan pasien yaitu
dengan melakukan pengelolaan obat dengan baik, salah satunya yaitu pengelolaan
obat high alert yang merupakan obat dengan kewaspadaan tinggi dan dapat beresiko
membahayakan pasien. Maka dari itu tenaga kefarmasian harus mempunyai
pengetahuan yang baik dalam pengelolaan obat khususnya obat high alert.
Kesalahan yang sering terjadi dalam high alert medication yaitu kesalahan dalam
pengambilan obat-obat Look Alike Sound Alike (LASA).
Keselamatan pasien merupakan suatu sistem yang dapat membuat asuhan
pasien lebih aman, meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko
pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden yang terjadi
dan bagaimana tindak lanjutnya, serta mencari solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil. Keselamatan pasien merupakan prioritas utama yang harus
dilaksanakan rumah sakit terkait dengan asuhan kepada pasien, agar pasien menjadi
aman serta berkaitan juga dengan citra rumah sakit. Tujuan dari pelaksanaan
keselamatan pasien di rumah sakit menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (KPRS) antara lain: terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit,
meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat,
menurunnya kejadian yang tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit serta
terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
kejadian yang tidak diharapkan (Kemenkes, 2017).
Menurut WHO (2016), tentang keselamatan pasien sebanyak satu dari 10
pasien dirugikan saat menerima perawatan kesehatan, sekitar 43 juta insiden
keselamatan pasien terjadi setiap tahun, kesalahan pengobatan menghabiskan biaya
sekitar 42 miliar USDper tahun. Masalah keselamatan pasien teratas 2016 adalah
kesalahan pengobatan, hampir 5% pasien rawat inap di rumah sakit mengalami
kejadian tidak diinginkan terkait dengan pemberian obat. Kesalahan dalam
pelabelan, dosis yang salah, mengabaikan untuk mengobati masalah yang
ditunjukkan dengan tanda-tanda vital dan kesalahan dokumentasi. Insiden
keselamatan pasien dengan angka kejadian 3,2%-16,6% terjadi pada rumah sakit di
berbagai negara diantaranya negara Amerika, Inggris, Denmark dan Australia.
Menindaklanjuti penemuan tersebut, maka pada tahun 2011 WHO merencanakan
program World Alliance for Patient Safety, yang merupakan program bersama
dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit
(World Health Organization, 2011).
Di Indonesia sendiri kesalahan prosedur rumah sakit sering disebut sebagai
malpraktik. Kejadian di Jawa dengan jumlah penduduk 112 juta orang, sebanyak
4.544.711 orang (16,6%) penduduk yang mengalami kejadian merugikan, sebanyak
2.847.288 orang dapat dicegah, 337.000 orang cacat permanen, dan 121.000 orang
mengalami kematian. Sedangkan prevalensi kejadian medis yang merugikan pasien
di Jawa Tengah dan DIY adalah sebesar 1,8%-88,9% (World Health Organization,
2011). Salah satu kasus yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus kesalahan
pemberian obat pada puskesmas Buleleng Tiga, Bali. Berawal dari keluhan pasien
yang diduga mata pasien tersebut mengalami iritasi.Ketika pasien tersebut
mendapat resep dan menggunakan obat yang di rekomendasi dokter puskemas,
keluhan pasien semakin bertambah.Pasien tersebut menahan perih reaksi setelah
obat ditetaskan. Setelah ditelusuri, obat yang diterima pasien tersebut adalah obat
yang digunakan untuk telinga (Balipost,2017). Pemberian obat adalah salah satu
faktor yang dapat berakibat fatal pada keselamatan pasien, terutama obat-obat High
Alert Medication.
Pengelolaan obat high alert adalah serangkaian kegiatan pengaturan obat -
obat yang secara khusus terdaftar di Rumah Sakit dalam kategori obat mempunyai
risiko tinggi yang dapat menyebabkan kerusakan secara serius (harm) apabila
terjadi kesalahan (Medication Error) dalam penanganan dan penggunaannya yang
dimulai dari penyimpanan, peresepan, penyiapan sampai pada tahap penggunaan/
pemberian obat (Muhammad Zein, 2019). Manajemen obat untuk mencegah
medication error khususnya dalam pemberian obat farmasis harus lebih waspada
saat melakukan pelayanan obat, khususnya pemberian obat-obat Elektrolit
Konsetrat. Obat-obatan yang perlu di waspadai (Elektrolit Konsetrat) adalah obat
yang berrisiko tinggi jika terjadi kesalahan dan berpotensi menimbulkan kesalahan
pengbatan atau medication error. Institute For Safe Medication Practice (ISMP)
telah membuat daftar obat yang termasuk dalam golongan obat high alert di
antaranya elektrolit pekat, antitrombotik, antidiabetik oral, dan parenteral,
antiaritmia, anestetik dan penghambat neuromuscular. Upaya yang di dapat di
lakukan untuk mencegah kesalahan akibat penggunaan obat high alert salah satunya
adalah mengatur penyimpanan obat tersebut. Hal tersebut untuk mencegah
kesalahan berupa salah obat untuk golongan LASA dan salah dosis untuk larutan
konsentrat (Tripujiati et al., 2020).
International Journal Quality in Health menyatakan bahwa 5 peringkat
teratas high alert medication yaitu insulin, opiates, narkotik, injeksi konsentrasi
kalium klorida (fosfat), intravena antikoagulan (heparin) dan larutan natrium
klorida 0,9%. Masalah ini terjadi karena kesalahan dari tenaga kesehatan dalam
pemakaian dan penggunaan serta kurang orientasi yang baik dari pasien dalam
keadaan darurat dengan tenaga kesehatan (Abdallah, 2014). Banyak insiden yang
terjadi dan terus terulang terkait pengelolaan penggunaan obat high alert. Hal
tersebut terbukti dalam beberapa literatur dan laporan-laporan yang dikirim pada
national medication errors reporting program (MERP). Oleh karena itu sangat
penting bagi tenaga kefarmasian untuk mengelola penyimpanan yang sesuai untuk
meminimalisir kesalahan pada saat pemberian obat obat high alert (Fatmawati,
2015).
Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian dari sistem pelayanan
kesehatan rumah sakit. Pelayanan farmasi rumah sakit bertanggung jawab penuh
terhadap pasien terkait dengan sediaan farmasi dan orientasi kesembuhan pasien
melalui ketepatan pemberian obat (Kemenkes RI, 2014). Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi: pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
bahan medis habis pakai; dan pelayanan farmasi klinis. Pelayanan farmasi klinis
merupakan pelayanan yang berinteraksi dengan pasien secara langsung dengan
dibantu oleh tim kesehatan lainnya untuk meningkatkan kualitas terapi obat.
Pelayanan farmasi klinis di rumah sakit diatur dalam Permenkes 72 tahun 2016.
Pelayanan farmasi klinis yang harus dilaksanakan diantaranya adalah pengkajian
dan pelayanan resep, penelusuran riwayat obat, rekonsiliasi obat, pelayanan
informasi obat, konseling, visite, pemantauan terapi obat, monitoring efek samping
obat, evaluasi penggunaan obat, dan dispensing sediaan steril (Kemenkes RI, 2016)
Pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat. Pada
pelaksanaanya Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta
memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Hal yang perlu diperhatikan saat
pemesanan obat adalah jumlah, kedaluwarsa, kualitas, mutu, obat yang sangat
dibutuhkan, kemasan dan harga yang sesuai (Satrianegara et al., 2018). Pemberian
obat adalah salah satu faktor yang dapat berakibat fatal pada keselamatan pasien,
terutama obat-obat High Alert Medication dan Look Alike Sound Alike (LASA).
Kesalahan pada pemberian obat High Alert Medication dan LASA cukup berbahaya
dan sering terjadi oleh karena itu diperlukan pelayanan kefarmasian yang baik di
Rumah Sakit (Kemenkes RI, 2016).

Rumah Sakit Puri Raharja yaitu salah satu rumah sakit swasta di Denpasar
yang merupakan rumah sakit rujukan, dimana banyak terdapat obat-obat high alert.
Kesalahan dalam penyimpanan obat dapat mengakibatkan hal yang fatal, seperti
saat melakukan pengambilan obat yang kemasannya hampir sama yang
penyimpanannya tidak dipisahkan, hal ini bisa menyebabkan efek terapi yang
diinginkan tidak tercapai. Rumah Sakit ini belum banyak data yang terpublikasi
khususnya tentang pengetahuan tenaga kefarmasian mengenai obat High Alert.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengetahuan yang dimiliki tenaga kefarmasian terkait obat High
Alert di rumah sakit swasta di Denpasar untuk mengetahui tingkat keberhasilan
pengaturan high alert medication dan diharapkan hasilnya dapat meningkatkan
pengelolaan obat-obat High Alert sebagai salah satu upaya peningkatan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat rumusan masalah pada
penelitian ini yaitu
1. Bagaimana Profil Pengetahuan Tenaga Kefarmasian Mengenai High
Alert Medication Di Rumah Sakit Umum (RSU) Puri Raharja Kota
Denpasar?

1.3 Tujuan Penelitian


Mengetahui bagaimana Profil Pengetahuan Tenaga Kefarmasian Mengenai
High Alert Medication Di Rumah Sakit Umum (RSU) Puri Raharja Kota
Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis, diantaranya :

1.4.1 Manfaat Teoritis


a. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan untuk menambah kepustakaan dan membantu dalam
proses pembelajaran dan menjadi bahan referensi di perpustakaan
Universitas Bali Internasional.
b. Manfaat Bagi Peneliti
Dapat meningkatkan wawasan peneliti dalam perkembangan ilmu
kefarmasian klinis maupun komunitas, khususnya dalam memahami
seberapa pengetahuan tenaga kefarmasian terkait High Alert Medication
Di Rumah Sakit Umum (RSU) Puri Raharja Denpasar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dan literatur
tentang Profil Pengetahuan Tenaga Kefarmasian Mengenai High Alert Medication
Di Rumah Sakit Umum (RSU) Puri Raharja Kota Denpasar, dan menjadi acuan
untuk meningkatkan kualitas profesionalisme petugas farmasi dalam penerapan
standar keselamatan pasien (patient safety) di Rumah Sakit.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit


2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Penyelenggaraan Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan
terjangkau. Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
dinyatakan bahwa Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan,
prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan
kefarmasian harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau
(Kemenkes RI, 2016).
2.1.2 Klasifikasi Rumah Sakit
Klasifikasi Rumah Sakit adalah pengelompokan kelas Rumah Sakit
berdasarkan kemampuan pelayanan, fasilitas kesehatan, sarana penunjang, dan
sumber daya manusia. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit
dikategorikan dalam Rumah Sakit umum dan Rumah Sakit khusus (PP No 47,
2021).
1. Rumah Sakit Umum
Rumah Sakit umum dengan klasifikasi kelas A, kelas B, kelas C, dan
kelas D yaitu dapat memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan
jenis penyakit. Pelayanan kesehatan yang diberikan Rumah Sakit umum
meliputi:
a. Rumah Sakit Umum Kelas A, yaitu rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh
pemerintah, rumah sakit ini ditetapkan sebagai tempat pelayanan
rujukan tertinggi atau disebut juga rumah sakit pusat.
b. Rumah Sakit Umum Kelas B, yaitu rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis
terbatas.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C, yaitu rumah sakit yang mampu
memberikan pelayanan kedokteran subspesialis terbatas.
d. Rumah Sakit Umum Kelas D, yaitu rumah sakit yang bersifat transisi
karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C,
kemampuan rumah sakit tipe D hanyalah memberikan pelayanan
kedokteran umum dan kedokteran gigi, rumah sakit ini juga menampung
pelayanan yang berasal dari pelayanan Puskesmas.
e. Rumah Sakit Umum Kelas E, yaitu merupakan rumah sakit khusus yang
menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja
2. Rumah Sakit Khusus
Rumah Sakit khusus dengan klasifikasi kelas A, kelas B, dan kelas C yaitu
memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit
tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau
kekhususan lainnya. Rumah Sakit khusus terdiri atas Rumah ibu dan anak,
mata, gigi dan mulut, ginjal, jiwa, infeksi, telinga hidung tenggorok dan bedah
kepala leher dan paru (PP No 47, 2021).
a. Pelayanan medik dan penunjang medik (pelayanan medik umum,
pelayanan medik spesialis sesuai kekhususan, pelayanan medik
subspesialis sesuai kekhususan)
b. Pelayanan keperawatan dan kebidanan (pelayanan asuhan
keperawatan generalis; dan pelayanan asuhan keperawatan spesialis
sesuai kekhususan)
c. Pelayanan kefarmasian (pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi,
dan bahan habis pakai yang dilakukan oleh instalasi farmasi sistem
satu pintu; dan pelayanan farmasi klinik)
d. Pelayanan penunjang (pelayanan laboratorium, pelayanan rekarn
medik, pelayanan darah dan pelayanan gizi)
2.1.3 Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan Undang-Undang RI no. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,
rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna. Pelayanan kesehatan perorangan merupakan kegiatan pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan. Rumah sakit mempunyai fungsi, diantaranya :
(Kemenkes RI, 2016)
1. Penyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan Standart
Pelayanan Rumah Sakit
2. Penyelenggarakan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
meningkatkan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
3. Penyelenggarakan penelitian dan pengembangan dalam rangka peningkatan
pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan dalam
bidang kesehatan.
2.1.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit dilaksanakan di
Instalasi Farmasi Rumah Sakit melalui sistem satu pintu. Instalasi Farmasi harus
memiliki Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja
dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi.
Ketersediaan jumlah tenaga Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian di Rumah
Sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan perizinan Rumah Sakit yang
ditetapkan oleh Menteri. Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi
Farmasi harus ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit
setiap tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi. Kualifikasi
Sumber Daya Manusia (SDM) Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi
SDM Instalasi Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut: (Kemenkes RI, 2016)
a. Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari: Apoteker dan Tenaga Teknis
Kefarmasian
b. Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari: Operator Komputer/Teknisi yang
memahami kefarmasian, Tenaga Administrasi dan Pekarya/Pembantu
pelaksana.
Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman, maka dalam penentuan
kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan kompetensi yang disesuaikan dengan
jenis pelayanan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya (Kemenkes RI,
2016).

2.2 Rumah Sakit Umum (RSU) Puri Raharja


Berdasarkan website RSU Puri Raharja merupakan salah satu rumah sakit
swasta yang terletak di tengah kota tepatnya Jl. W.R Supratman No 14 & 19
Denpasar Bali. Keberadaan RSU Puri Raharja untuk memberikan jasa pelayanan
kepada pasien pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. RSU Puri Raharja
dengan motto “Sahabat Hidup Sehat” memberikan pelayanan yang professional,
bermutu dan safety. Kelas Rumah Sakit RSU Puri Raharja saat ini yaitu kelas C,
dengan tenaga kefarmasian berjumlah 33 orang yang terdiri dari Apoteker,
Apoteker Pendamping, Asisten Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

2.3 Pelayanan Farmasi Klinik


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin (Kemenkes RI, 2016).
Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliput :
1. Pengkajian Dan Pelayanan Resep
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah
terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan
kepada dokter penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep
sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan
klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Persyaratan
administrasi meliputi: (Kemenkes RI, 2016)
a. Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;
b. Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
c. Tanggal resep; dan
d. Ruangan/unit asal resep.
Persyaratan farmasetik meliputi:
a. Nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
b. Dosis dan Jumlah Obat;
c. Stabilitas; dan
d. Aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat;
b. Duplikasi pengobatan;
c. Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
d. Kontraindikasi; dan
e. Interaksi Obat.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian
informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error)
(Kemenkes RI, 2016).
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari
wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien
(Kemenkes RI, 2016).
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan
untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat
tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan
Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu
Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien
yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya
(Kemenkes RI, 2016).
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di
luar Rumah Sakit (Kemenkes RI, 2016).
5. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran
terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua
fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter,
keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif
memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker.
Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi,
meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan
keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety) (Kemenkes RI,
2016).
6. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah
terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki,
meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat
kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya (Kemenkes RI,
2016).
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
(Kemenkes RI, 2016).
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi
pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak
dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi (Kemenkes RI, 2016).

2.4 Tenaga Kefarmasian


Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga
yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan Analis Farmasi. Apoteker bertanggung
jawab terhadap pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai di rumah sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuan yang
berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya. Pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai merupakan suatu
siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan Pelayanan
Kefarmasian (Kemenkes RI, 2016).
Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan Obat untuk
meningkatkan keamanan, khususnya Obat yang perlu diwaspadai (high-alert
medication). High-alert medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena
sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan Obat
yang berisiko tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).
Kelompok Obat high-alert diantaranya (Kemenkes RI, 2016):
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan
magnesium sulfat =50% atau lebih pekat).

2.5 Pengertian Pengetahuan


Pengetahuan adalah penggunaan informasi dan data secara penuh yang
dilengkapi dengan potensi ketrampilan, kompetensi, ide, intuisi, komitmen, dan
motivasi orang-orang yang terlibat. Pandangan holistic menganggap pengetahuan
terdapat di dalam berbagai ide, keputusan, talenta, akar penyebab, hubungan,
perspektif, dan konsep. Pengetahuan disimpan di dalam otak individu atau di-
encode (diubah dalam bentuk kode) di dalam proses, dokumen, produk, fasilitas,
dan system organisasi. Pengetahuan adalah tindakan, inovasi terfokus, keahlian,
keahlian yang dikumpulkan menjadi satu, hubungan, dan aliansi khusus.
Pengetahuan dapat juga diartikan sebagai percampuran antara pengalaman
terstruktur, nilai-nilai, informasi kontekstual, dan wawasan ahli yang memberikan
kerangka kerja untuk mengevaluasi dan menginkorporasi pengalaman-pengalaman
dan evaluasi-evaluasi baru (Kusumadmo, 2013).
Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia merupakan hasil upaya yang dilakukan
oleh manusia dalam mencari suatu kebenaran atau masalah yang dihadapi. Kegiatan
atau upaya yang dilakukan oleh manusia mencari suatu kebenaran atau masalah
yang dihadapi pada dasarnya merupakan kodrat dari manusia itu sendiri atau lebih
dikenal sebagai keinginan. Keinginan yang dimiliki oleh manusia akan memberikan
dorongan bagi manusia itu sendiri untuk mendapatkan segala sesuatu yang
diinginkan. Yang menjadi pembeda antara satu manusia dengan manusia lainnya
adalah upaya yang dilakukan manusia untuk mendapatkan keinginannya tersebut.
Dalam arti yang lebih sempit, pengetahuan adalah sesuatu yang bisa dimiliki oleh
manusia. Namun beberapa ahli ada yang menyatakan bahwa selain manusia,
binatang juga memiliki pengetahuan yang didasarkan pada insting yang dimiliki
(Sopiah & Sangaji, 2018).

2.6 Pengelolaan Obat


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit meliputi
pengelolaan obat terdiri dari:

2.6.1 Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini berdasarkan:
(Kemenkes RI, 2016)
a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. Standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang telah ditetapkan
c. Pola penyakit
d. Efektifitas dan keamanan
e. Pengobatan berbasis bukti
f. Mutu
g. Harga
h. Ketersediaan di pasaran
2.6.2 Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat
jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk
menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara
lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan
disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan harus
mempertimbangkan : (Kemenkes RI, 2016)
a. Anggaran yang tersedia
b. Penetapan prioritas
c. Sisa persediaan
d. Data pemakaian periode yang lalu
e. Waktu tunggu pemesanan
f. Rencana pengembangan

2.6.3 Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan
dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi
kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai antara lain: (Kemenkes RI, 2016)
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet
(MSDS)
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar
d. Masa kedaluwarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu
(vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang dapat
dipertanggung jawabkan.
2.6.4 Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak
atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Penerima barang memeriksa
dan mencocokkan jumlah dan jenis barang yang dipesan dengan barang yang
datang. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain: obat tidak boleh diterima jika
sudah atau mendekati kadaluwarsa, pengiriman obat, bahan obat maupun alat
kesehatan yang diterima benar, berasal dari pemasok yang disetujui, tidak rusak
atau tidak mengalami perubahan selama transportasi. Nomor batch dan tanggal
kedaluwarsa obat, bahan obat dan alat kesehatan harus dicatat pada saat
penerimaan, untuk mempermudah penelusuran. Selain itu, kesesuaian jumlah, jenis
dan bentuk sediaan obat tersebut juga diperiksa dan dilakukan pemeriksaan berupa
data pada Surat Pesanan (SP), faktur serta kondisi fisik barang tersebut (Oktaviati,
2021)
2.6.5 Penyimpanan
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas
dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud
meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban,
ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai. Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat
disimpan secara benar dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
(Kemenkes RI, 2016)
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi
tanda khusus bahan berbahaya.
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi
penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis.
Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis
yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus
menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.
Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang penampilan dan penamaan yang mirip LASA (Look Alike Sound Alike) tidak
ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan Obat (Kemenkes RI, 2016).
2.6.6 Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan
tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit
harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya
pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai di unit pelayanan (Oktaviati, 2021).
2.6.7 Pengendalian
Pengendalian persediaan obat sangat penting sekali dalam suatu rumah
sakit, bila rumah sakit terlalu banyak memiliki persediaan obat dapat menyebabkan
biaya yang tertanam juga banyak dan akan meningkatkan biaya penyimpanan.
Demikian juga sebaliknya, apabila persediaan obat terlalu sedikit maka dapat
mengakibatkan biaya biaya lain yang timbul karena kekurangan persediaan obat.
Karena hal tersebut, maka pengendalian persediaan perlu dilakukan secara cermat
dan tepat sehingga terdapat jumlah persediaan yang tepat dalam kuantitas, kualitas
dan waktu yang tepat. Dengan kata lain, jumlah biaya persediaan minimum dan
semua kebutuhan dapat terpenuhi sehingga memuaskan bagi rumah sakit dan pasien
(Permata, 2016).
Obat memiliki kontribusi yang besar terhadap kesembuhan pasien.
Mengingat besarnya pengaruh tersebut maka pihak rumah sakit harus menjamin
ketersediaan obat, keamanan dan keefektifan penggunaan obat tersebut dalam
kelancaran pelayanan, sehingga diperlukan suatu pengelolaan secara cermat dan
bertanggung jawab. Biaya yang diserap untuk penyediaan obat merupakan
komponen terbesar dari pengeluaran rumah sakit. Pada beberapa negara
berkembang belanja obat di rumah sakit dapat menyerap sekitar 40 – 50% dari biaya
keseluruhan rumah sakit. Kondisi ini harus disikapi dengan sebaik baiknya dan
harus dikelola secara efisien dan efektif (Permata, 2016).
2.6.8 Penghapusan
Penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan
farmasi yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi
standar dengan cara membuat usulan penghapusan perbekalan farmasi kepada
pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tujuan penghapusan
adalahuntuk menjamin perbekalan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat
dikelola sesuai dengan standar yang berlaku. Adanya penghapusan akan
mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi risiko terjadi penggunaan
obat yang sub standar (Depkes RI, 2010).
2.6.9 Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan merupakan suatu keguatan yang bertujuan untuk memonitor
transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di lingkungan IFRS. Adanya
pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila terjadi
adanya mutu obat yang sub standar dan harus ditarik dari peredaran.pencatatan
dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk digital maupun manual. Kartu yang
umum digunakan untuk melakukan pencatatan adalah Kartu Stok dan Kartu Stok
Induk (Depkes RI, 2010).
Fungsi:
a. Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi perbekalan farmasi
(penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak, atau kadaluwarsa).
b. Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu)
jenis perbekalan farmasi yang berasal dari 1 (satu) sumber anggaran.
c. Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan
pengadaan distribusi dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik
perbekalan farmasi dalam tempat penyimpanan.
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi
perbekalan farmasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada
pihak yang berkepentingan. Tujuan dari pelaporan yaitu Tersedianya data yang
akurat sebagai bahan evaluasi, tersedianya informasi yang akurat, tersedianya arsip
yang memudahkan penelusuran surat dan laporan dan mendapat data yang lengkap
untuk membuat perencanaan (Depkes RI, 2010)
2.6.10 Monitoring dan Evaluasi
Salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan
farmasi di rumah sakit adalah dengan melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi
(monev). Kegiatan ini juga bermanfaat sebagai msukan guna penyususnan
perencanaan dan pengambilan keputusan. Pelaksanaan monev daapt dilakukan
secara periodik dan berjenjang. Keberhasilan monev ditentukan oleh surpervisor
maupun alat yang digunakan. Tujuan dari dilakukannya monitoring dan evaluasi
yaitu meningkatkan produktivitas para pengelola perbekalan farmasi di rumah sakit
agar dapat ditingkatkan secara optimum (Depkes RI, 2010).

2.7 Patient Safety


Keselamatan pasien rumah sakit harus memberikan pelayanan yang memenuhi
standar kualitas serta jaminan rasa aman dan perlindungan terhadap dampak
pelayanan yang diberikan dalam rangka memenuhi hak-hak masyarakat akan
pelayanan yang berkualitas serta aman (Sakinah, 2017). Tujuan dari keselamatan
pasien yaitu meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat, menurunkan kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit,
melakukan pencegahan sehingga tidak akan terjadi kejadian yang tidak diharapkan.
Oleh karena itu, jika rumah sakit ingin menurunkan kejadian insiden keselamatan
pasien maka rumah sakit harus menerapkan budaya keselamatan pasien. Sampai
saat ini banyak negara telah memulai penelitian budaya keselamatan pasien, baik
negara maju maupun negara berkembang seperti indonesia (Najihah, 2018).
Joint Comission International (JCI) membagi beberapa sasaran keselamatan
pasien yaitu komponen identifikasi pasien, komponen penggunaan komunikasi
efektif, komponen pemakaian obat dengan kewaspadaan tinggi, komponen
ketepatan lokasi operasi, prosedur dan dan pasien yang akan dibedah, komponen
mengurangi resiko infeksi, komponen menilai resiko pasien jatuh (JCI, 2016).
Kualitas rumah sakit tidak hanya terlihat dari bangunan megah, dokter-dokter
berpengalaman, obat-obatan yang lengkap, dan peralatan medis yang serba
canggih. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan dapat
ditingkatkan dengan adanya status terakreditasi karena standar-standar yang
ditetapkan dalam akreditasi dibuat untuk memenuhi hak-hak pasien.Sasaran
keselamatan pasien bermaksud untuk mendorong perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien yang menyoroti bidang-bidang bermasalah dalam perawatan
kesehatan, memberikan bukti dan solusi hasil konsensus yang berdasarkan nasihat
para pakar (Kemenkes RI, 2017).

Jenis insiden dapat dibagi sebagai berikut: (KKPRS, 2015).


a. Kejadian tidak diharapkan (KTD)
Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada
pasien karena suatu tindakan atau karena tidak bertindak, bukan karena
underlying disease atau kondisi pasien.
b. Kejadian nyaris cedera (KNC)
Suatu Insiden yang belum sampai terpapar ke pasien sehingga tidak
menyebabkan cedera pada pasien.
c. Kejadian tidak cedera (KTC)
Insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak menimbulkan cedera,
dapat terjadi karena keberuntungan.
d. Kondisi potensial cedera (KPC)
Kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum
terjadi insiden.
e. Kejadian sentinel
Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius.
Berdasarkan laporan KKPRS terdapat 144 insiden (2009), 103 insiden (2010),
dan 34 laporan insiden pada triwulan I tahun 2011. Rendahnya insiden di Indonesia
oleh karena tidak semua insiden terlaporkan. Umumnya insiden tidak dilaporkan,
tidak dicatat, dan juga bahkan luput dari perhatian petugas kesehatan karena yang
dilaporkan hanya insiden yang ditemukan secara kebetulan saja. Beberapa faktor
yang mempengaruhi rendahnya laporan insiden yaitu sebagai berikut: (Kemenkes,
RI, 2011).

1) Pelaporan insiden masih dipersepsikan sebagai pekerjaan perawat,


seharusnya yang membuat laporan tersebut adalah siapa saja atau semua staf
yang pertama menemukan kejadian dan yang terlibat dalam insiden.
2) Insiden yang terjadi sering disembunyikan (underreport), insiden
dilaporkan namun sering terlambat serta laporan tersebut miskin data.
3) Masih adanya budaya menyalahkan (blame culture) menjadi penyebab
terhambatnya pelaporan insiden karena takut disalahkan oleh manajemen
dan unit terkait (adanya ketakutan petugas untuk melaporkan).
4) Kurangnya komitmen pimpinan.
5) Kurangnya sosialisasi dan pelatihan pelaporan IKP kepada semua pihak di
organisasi, sehingga petugas tidak tahu apa dan bagaimana cara melaporkan
ketika insiden terjadi. Pengetahuan memegang peranan penting dalam
proses pelaporan IKP, apabila petugas sendiri tidak paham bagaimana
sistem pelaporan IKP menyebabkan IKP tidak terlaporkan.
6) Tidak ada reward dari rumah sakit jika melaporkan.
7) Tingginya beban kerja.

Hal tersebut menjadi tantangan semua pihak, pemerintah dan fasilitas kesehatan
bertanggung jawab memastikan sistem pelaporan dapat terlaksana dengan baik
(Kemenkes RI, 2011).

Standar keselamatan pasien terdiri dari 7 standar yaitu sebagai berikut : (Kemenkes
RI, 2017)
1) Hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya
KTD. Kriterianya adalah sebagai berikut: a) Harus ada dokter penanggung
jawab pelayanan, b) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat
rencana pelayanan, c) Dokter penanggung jawab pelayanan wajib
memberikan penjelasan yang jelas dan benar kepada pasien dan keluarga
tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan tau prosedur untuk pasien
termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kemenkes RI, 2017).
2) Mendidik pasien dan keluarga
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung jawab pasien dalam asuhan keperawatan. Kriterianya adalah
keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan
keterlibatan pasien sebagai partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di
rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan
keperawatan. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga
dapat: a) Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur, b)
Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab, c) Mengajukan pertanyaan
untuk hal yang tidak dimengerti, d) Memahami dan menerima konsekuensi
pelayanan, e) Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit,
f) Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa, g) Memenuhi
kewajiban finansial yang disepakati (Kemenkes RI, 2017).
3) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin
koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan dengan kriteri sebagai
berikut: a) Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat
pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit, b) Terdapat
koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh
tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar,
c) Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi
untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan
sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut
lainnya, d) Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi
kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan,
aman dan efektif (Kemenkes RI, 2017).
4) Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan program peningkatan keselamatan pasien.
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang
ada, memantau dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,
analisis data secara intensif, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien dengan kriteria berikut : a) Setiap rumah
sakit harus melakukan proses perancangan yang baik, sesuai dengan slogan
Tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit, b) Setiap rumah
sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja, c) Setiap rumah sakit
harus melakukan evaluasi intensif, d) Setiap rumah sakit harus
menggunakan semua data dan informasi hasil analisis (Kemenkes RI, 2017).
5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Peran pimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien adalah sebagai
berikut: a) Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program
melalui penerapan 7 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit, b)
Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko
keselamatan pasien dan program mengurangi KTD, c) Pimpinan
mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan
pasien, d) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk
mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta
tingkatkan keselamatan pasien, e) Pimpinan mengukur dan mengkaji
efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien, dengan kriteria sebagai berikut: (Kemenkes RI, 2017)
- Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan
pasien
- Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis
kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari kejadian nyaris
cedera (near miss) sampai dengan KTD (adverse event)
- Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen
dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program
keselamatan pasien
- Tersedia prosedur cepat-tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang
lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk
keperluan analisis
- Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan
dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas
tentang analisis akar masalah near miss, KTD dan kejadian sentinel
pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan
- Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden,
misalnya menangani kejadian sentinel atau kegiatan proaktif untuk
memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf
dalam kaitan dengan kejadian sentinel
- Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar
unit dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan
pendekatan antar disiplin.
- Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan
pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya
tersebut
- Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan
kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja
rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut
dan implementasinya.
6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar mendidik staf tentang keselamatan pasien adalah sebagai berikut:
a) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien
secara jelas, b) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
(teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif
dalam rangka melayani pasien, c) Rumah sakit menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan
memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin
dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut: (Kemenkes RI,
2017)
- Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat
topik keselamatan pasien
- Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan
inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang
pelaporan insiden.
7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Standar komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien adalah sebagai berikut: a) Rumah sakit merencanakan
dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk
memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal, b) Transmisi data
dan informasi harus tepat waktu dan akurat, dengan kriteria sebagai berikut:
(Kemenkes RI, 2017)
- Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendisain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal
terkait dengan keselamatan pasien
- Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi
untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
Fasilitas pelayanan kesehatan selain diwajibkan untuk melaksanakan standar
keselamatan pasien, juga melakukan perbaikan tertentu dalam keselamatan pasien.
Di Indonesia secara nasional untuk seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
diberlakukan Sasaran Keselamatan Pasien Nasional (SKPN), yang terdiri dari:
(Kemenkes RI, 2017)
- SKP 1: Mengidentifikasi pasien dengan benar
- SKP 2: Meningkatkan komunikasi yang efektif
- SKP 3: Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai
- SKP 4: Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar
- SKP 5: Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan
- SKP 6: Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh

2.8 High Alert Medication


Salah satu peran tenaga kefarmasian dalam pelayanan keselamatan pasien di
rumah sakit yakni pengelolaan obat-obatan yang perlu diwaspadai (High Alert
Medications). High Alert Medications adalah obat-obat yang persensinya tinggi
dalam menyebabkan terjadi kesalahan/error dan/atau kejadian sentinel (sentinel
event), obat yang beresiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan
(adverse outcome) dan juga oabt-obat yang tampak mirip/ucapan mirip (Look-Alike
Sound-Alike). Hal ini perlu diwaspadai karena jika terjadi kesalahan dalam
pengelolaan obat tersebut maka dapat menimbulkan kerugian bagi pasien, staf yang
terlibat maupun rumah sakit (Fahriati et al., 2021).
Tatalaksana pengelolaan obat high alert untuk meningkatkan keselamatan pasen
adalah membuat daftar obat-obatan high alert, memberi label yang jelas atau
petunjuk tentang cara menggunakan obat dengan benar pada high alert medication
(ISMP, 2018). Penyimpanan obat high alert dipisah obat lain diberik stiker
berwarna merah bertuliskan high alert dan diberi selotif merah pada sekeliling
tempat penyimpanan (Dhita et al., 2015). Penandaan obat yang tergolong LASA
dilakukan untuk lebih menegaskan bahwa dalam deretan rak obat tersebut terdapat
obat LASA, yaitu dengan menempelkan label bertuliskan “LASA” dengan
pemberian warna tertentu Sistem penyimpanan obat yang berada dalam satu rak
sangat memungkinkan untuk terjadinya LASA, sehingga perlu adanya suatu
strategi dalam penyusunan obat-obatan untuk meminimalisir kesalahan-kesalahan
dari sisi penyimpanan obat dapat kita tandai dengan menggunakan penebalan, atau
warna huruf berbeda pada pelabelan nama obat (Permenkes, 2016).

Gambar 2.1
Contoh Logo High Alert Medication dan LASA (Kemenkes RI, 2016)
Obat-obat yang termasuk high alert harus dikelola serta dipantau oleh instalasi
farmasi di Rumah sakit, hal ini penting karena berbahaya jika terjadi kesalahan
dalam proses penyimpanan sampai pemberian obat kepasien, karena dapat
membahayakan keselamatan pasien. Obat-obat yang sudah dibuktikan aman dan
efektif tetapi sangat berbahaya jika tidak digunakan segera (Tanzi, M, 2021). Obat
dengan nama dan ucapan hampir sama, konsentrat elektrolit tinggi seperti kalium
klrorida 2meq/ml yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari
0,9% dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat), obat anestesi, obat anti
koagulan, obat aritmia, insulin/ hipoglikemik, obat penenang (sedative), dan
narkotika, termasuk kelompok obat High Alert (Permenkes RI, 2017).
BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN

HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir


Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah
sakit membuat asuhan pasien lebih aman dalam upaya mencegah terjadinya
cidera. Salah satu factor keselamatan pasien yaitu penggunaan obat, kesalahan
pengobatan terutama obat-obat high alert yang harus diwaspadai karena sering
menyebabkan terjadinya kesalahan serius (sentinel event), dan dampak yang
tidak di inginkan dari obat (adverse outcome). Salah satu obat high alert adalah
obat Look Alike Sound Alike (LASA), obat-obat LASA cukup sering
menimbulkan kesalahan pengambilan obat (Dispersing Error) dikarenakan
memiliki nama, rupa dan ucapan yang mirip. Untuk mencegah terjadinya
kejadian yang tidak diinginkan maka tenaga kefarmasian memerlukan
pengetahuan yang baik dalam pelayanan kefarmasian.
Pengetahuan yang baik sangat peting dalam pengelolaan obat terutama
obat-obat high alert. Oleh karena itu, seorang tenaga kefarmasian harus
memiliki pegetahuan yang baik terkait obat-obat high alert agar tidak terjadi
kesalahan pemberian yang dapat membahayakan keselamatan pasien sehingga
ketersediaan sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas juga memegang
peranan penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti melakukan pertimbangan
untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengetahuan tenaga kefarmasian pada
keterangan tingkat mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisa,
sistesis, dan mengevaluasi sehingga nantinya mengetahui seberapa besar
pengetahuan high alert medication yang dimiliki tenaga kefarmasian di Rumah
Sakit Puri Raharja Denpasar.
3.2 Konsep Penelitian

Patient Safety

Obat High Alert

Tenaga Kefarmasian

Faktor Pengganggu Profil Pengetahuan


Tentang High Alert
• Tingkat Pendidikan Medication
• Usia

: Diteliti

: Tidak Diteliti

Gambar 3.1
Kerangka konsep penelitian

3.3 Hipotesis
Penelitian ini tidak memiliki hipotesis, sebab penelitian ini bersifat deskriptif
dimana hanya menampilkan profil pengetahuan tenaga kefarmasian terkait obat
high alert di Rumah Sakit Puri Raharja Denpasar.
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian observasional dengan
menggunakan rancangan Cross-Sectional. Dilakukan survey langsung dan tidak
memberikan perlakuan apapun kepada responden. Penelitian dilakukan dengan
membagikan instrumen berupa kuesioner untuk mengumpulkan data primer kepada
responden yang berisi beberapa pertanyaan terkait pengetahuan tenaga kefarmasian
mengenai obat high alert di Rumah Sakit Puri Raharja Denpasar. Kuesioner yang
digunakan sudah melalui uji validitas dan reliabilitas.

4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian


1.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tenaga kefarmasian di Rumah Sakit Puri
Raharja.
1.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Maret s/d Juni 2023

4.3 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup penelitian ini termasuk dalam Farmasi klinik dan komunitas,
Penelitian ini mengambil tema profil pengetahuan tenaga kefarmasian mengenai
obat high alert di rumah sakit puri raharja denpasar. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran dan kajian bagi Rumah Sakit, khususnya tenaga
kefarmasian dalam meningkatkan pemahaman mengenai patient safety terkait obat-
obat high alert.
4.4 Penentuan Sumber Data
Data pada penelitian ini adalah data primer, dimana data diperoleh dari
informasi tenaga farmasi langsung dalam pemahamannya terkait pengelolaan obat
high alert. Untuk mendapatkan data pada penelitian ini peneliti terjun langsung ke
rumah sakit untuk memperoleh data penelitian. Teknik pengambilan data adalah
cara yang dilakukan untuk memperoleh data. Teknik pengambilan data pada
penelitian ini adalah dengan memberikan kuesioner (angket), yaitu teknik
pengambilan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan
tertulis kepada responden untuk dijawab. Peneliti menyusun dan membagikan
daftar pertanyaan (kuisioner), kemudian jawaban yang diberikan merupakan data
yang diperoleh dari penelitian ini.

4.5 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah tenaga kefarmasian di Rumah Sakit Puri
Raharja khususnya yang bersedia menjadi responden.
4.6 Sampel
Sampel pada penelitian kali ini adalah tenaga kefarmasian yang memenuhi
dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
4.6.1 Kriteria Sampel
4.6.1.1 Kriteria Inklusi
1. Tenaga kefarmasian yang bekerja di Rumah Sakit Puri Raharja
2. Tenaga kefarmasian yang bersedia menjadi responden dan mengisi
kuesioner.
3. Tenaga kefarmasian yang mengetahui mengenai obat high alert
medication.
4.6.1.2 Kriteria Eksklusi
1. Tenaga kefarmasian yang bekerja di Rumah Sakit Puri Raharja tetapi
tidak bersedia menjadi responden

4.6.1.3 Besar Sampel


Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh staff tenaga
kefarmasian di Rumah Sakit Puri Raharja berjumlah 33 orang. Menurut (Arikunto,
2012) jika jumlah populasinya kurang dari 100 orang, maka jumlah sampelnya
diambil secara keseluruhan. Berdasarkan penelitian ini karena jumlah populasinya
tidak lebih besar dari 100 orang responden, maka penulis mengambil seluruh
jumlah populasi yang ada pada Rumah Sakit Puri Raharja yaitu sebanyak 33 orang
responden.
4.6.1.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk
menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai
teknik sampling yang digunakan (Sugiyono, 2018). Teknik Sampling yang
digunakan pada penelitian ini yaitu Non Probability Sampling. Menurut Sugiyono
(Sugiyono, 2017) Non Probability Sampling adalah teknik pengambilan sampel
yang tidak memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau
anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan yaitu sampling total adalah teknik pengambilan sampel dimana seluruh
anggota populasi dijadikan sampel (Sugiyono, 2018).

4.7 Variabel Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif sehingga variabel penelitian yaitu
mengganbarkan pengetahuan tenaga kefarmasian tentang high alert medication di
Rumah Sakit Puri Raharja Kota Denpasar.

4.7.1 Definisi Operasional


Menurut Sugiyono (2017) Definisi Operasional merupakan penentuan
konstrak atau sifat yang akan dipelajari sehingga menjadi variabel yang dapat
diukur. Variabel dalam penelitian ini diantaranya pengetahuan tenaga kefarmasian.
Alat ukur yang digunakan pada variabel ini yaitu kuesioner, dengan cara responden
menjawab pertanyaan pada lembar kuesioner (Ya dan Tidak). Kuesioner
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi
seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab
(Sugiyono, 2017). Metode penilaian kuisioner pengetahuan tenaga kefarmasian
tentang High Alert Medication di Rumah Sakit Puri Raharja Kota Denpasar dengan
cara menilai pilihan jawaban ya, mendapatkan nilai 1 dan nilai pilihan jawaban
tidak mendapatkan nilai 0.
4.8 Instrumen Penelitian
Menurut (Sugiyono, 2018), instrumen penelitan merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur nilai variabel yang diteliti. Instrumen penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner (angket), dengan melakukan
pengumpulan data secara formal kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara
tertulis. Pertanyaan diajukan secara langsung atau lisan oleh peneliti dari daftar
pertanyaan yang telah ada. Sebelum kuesioner dibagikan kepada responden,
peneliti melakukan pengujian validitas dan reliabilitas terlebih dahulu.

4.8.1 Uji Validitas


Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu
kuesioner. Sebuah instrumen atau kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada
instrumen atau kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh
kuesioner tersebut. Uji signifikansi dilakukan dengan cara membandingkan nilai r
hitung dengan nilai r tabel. Di dalam menentukan layak dan tidaknya suatu item
yang akan digunakan, biasanya dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi pada
taraf signifikansi 0,05 yang artinya suatu item dianggap valid jika berkorelasi
signifikan terhadap skor total. Jika r hitung lebih besar dari r tabel dan nilai positif
maka butir atau pertanyaan atau variabel tersebut dinyatakan valid. Sebaliknya, jika
r hitung lebih kecil dari r tabel, maka butir atau pertanyaan atau variabel tersebut
dinyatakan tidak valid (Ghozali, 2018).

4.8.2 Uji Reliabilitas


Reliabilitas membatasi seberapa konsistennya hasil dari pengukuran suatu
variabel (Sugiyono, 2017). Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika
jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke
waktu. Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur konsistensi hasil pengukuran dari
kuesioner dalam penggunaan yang berulang. Jawaban responden terhadap
pertanyaan dikatakan reliabel jika masing-masing pertanyaan dijawab secara
konsisten atau jawaban tidak boleh acak. Dalam mencari reliabilitas dalam
penelitian ini penulis menggunakan teknis Cronbach Alpha untuk menguji
reliabilitas, alat ukur yaitu kompleksitas tugas, tekanan ketaatan, pengetahuan
auditor serta audit judgment. Dengan kriteria pengambilan keputusan sebagaimana
dinyatakan oleh Ghozali (2018), yaitu jika koefisien Cronbach Alpha > 0,70 maka
pertanyaan dinyatakan andal atau suatu konstruk maupun variabel dinyatakan
reliabel. Sebaliknya, jika koefisien Cronbach Alpha < 0,70 maka pertanyaan
dinyatakan tidak andal.

4.9 Prosedur Penelitian

Mengajukan surat ijin penelitian dari Universitas Bali Internasional.

Melaksanakan uji validitas dan reliabilitas instrument penelitian

Peneliti mengurus ethical clearance untuk melakukan penelitian


dan pengambilan sampel.

Pengenalan dan meminta kesediaan dari responden untuk mengisi


kuesioner yang telah ada dengan memberikan Informed Consent jika
pasien setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Membagikan kuesioner kepada responden.

Responden menjawab pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner.


Melakukan dokumentasi kegiatan penelitian.

Data yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner kemudian


dikumpulkan dan diberi skoring sesuai dengan jawaban dari masing-
masing item pertanyaan.

Data dipersentasekan dengan menggunakan


Rumus:
P = F/n x 100%
Keterangan :
P = Hasil persentase.
F = Hasil pencapaian atau skor total responden.
n = Hasil pencapaian maksimal responden.
(Hasanah et al., 2021)

Melakukan pengolahan data dengan bantuan software pengolah data


statistik.

Menyusun hasil dan membuat pembahasan dari hasil penelitian


yang diperoleh.

Analisa data

4.10 Analisis Data


Analisa data yang digunakan adalah analisis deskriptif yaitu penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan
secara objektif. Data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif, yaitu berupa data
persentase masing-masing responden dalam menjawab seluruh pertanyaan yang
kemudian data yang telah terkumpul tersebut diolah.
Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengolahan data oleh peneliti yaitu
editing, coding, scoring, entry data, dan cleaning yang akan dipaparkan sebagai
berikut.
a. Editing yaitu melihat kelengkapan kuesioner meliputi mengecek kelengkapan
jawaban, keterbacaan tulisan, dan relevansi jawaban dari responden.
b. Coding yaitu memberikan kode dalam setiap jawaban yang diberikan responden
dengan mengubah data bentuk huruf menjadi bentuk angka, hal tersebut
dilakukan untuk mempermudah proses pengolahan data pada program
komputer.
c. Scoring yaitu memberikan jumlah nilai setiap pilihan jawaban responden agar
mengetahui proporsi dari setiap pilihan jawaban yang akan dibuat dalam bentuk
presentase. Notoatmodjo (2010) membuat kategori tingkat pengetahuan
seseorang menjadi 3 tingkat yang didasarkan pada nilai persentase dimulai dari
katagori Pengetahuan Tinggi dalam range nilai >75%, kategori Pengetahuan
Sedang 60-75%, dan kategori Pengetahuan Rendah <60%.
d. Entry Data yaitu memasukan data melalui pengolahan komputer dengan
menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solutions) versi
23.0.
e. Cleaning yaitu suatu teknik pembersihan data yang tidak sesuai dengan
kebutuhan akan dihapus (Setiadi, 2013). Dalam hal ini peneliti melakukan
kegiatan pengecekan kembali terhadap data yang sudah di masuk apakah ada
kesalahan dalam program perangkat komputer.
DAFTAR PUSTAKA

Abdallah, A. (2014). Implementing quality initiatives in healthcare organizations:


drivers and challenges. International journal of health care quality assurance,
27(3), 166-181.

Arikunto, Suharsimi. (2012). Prosedur Penelitian.Jakarta:n Rineka Cipta.

Balipost, 2017, Kasus Salah obat, ini Temuan IDI Cabang Buleleng di akses di
http://www.balipost.com/news/2017/05/06/7782/kasus-salah obat,ini temuan.

Depkes RI. (2010). Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit.


Kementerian Kesehatan RI, 1–80.

Fahriati, A. R., Aulia, G., Saragih, T. J., Wijayanto, D. A. W., & Hotimah, L.
(2021). Evaluasi Penyimpanan High Alert Medication Di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit X Tangerang. Edu Masda Journal, 5(2), 56.
https://doi.org/10.52118/edumasda.v5i2.131

Fatmawati, d. R. (2015). Profil Pengelolaan Kalium Klorida Pekat Sebagai High


Alert Medication.

Ghozali Imam, 2018. Aplikasi Analisis Mulivariete Dengan Program 1BM SPSS 25
(Edisi 9). Cetakan ke lX, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

Hasanah, N., Sulfiana, E., Farmasi, A., & Bangkalan, Y. (2021). Profil
Pengetahuan High Alert Medication Tenaga. 1(1), 10–15.

ISMP. (2018). Ismp 2018. 2018.

JCI. (2016). Joint Commission International ( JCI ) 2016. Education Programs for
Hospitals and Academic Medical Centers.

Kemenkes RI, (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72


Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Ucv, I(02), 0–116.
Kemenkes RI, (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2017. Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jakarta: Menkes, R.I.,
2017. Ekp, 13(3), 1576–1580.

Kusumadmo, E. 2013. Manajemen Strategik Pengetahuan. Yogyakarta : Cahaya


Atma Pustaka.

Najihah. (2018). Budaya Keselamatan Pasien Dan Insiden Keselamatan Pasien Di


Rumah Sakit: Literature Review. Journal of Islamic Nursing, 3(1), 1.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Oktaviati, E. (2021). Evaluasi Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Tingkat IV Samarinda. Prosiding Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan …, 72.
http://jurnal.stiksam.ac.id/index.php/prosiding/article/view/586

Permata, D. (2016). Strategi Pengendalian Persediaan Obat Pada Instalasi Farmasi


Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Bukittinggi. Jurnal Ekonomi STIE Haji Agus
Salim, 19(1), 1–14. http://ojs.stiehas.ac.id/index.php/JE/article/view/4

PP No 47, (2021). Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. 086146.

Satrianegara, M. F., Bujawati, E., & Guswani. (2018). Analisis pengelolaan


manajemen logistik obat di instalasi farmasi RSUD Lanto Daeng Pasewang
Kabupaten Jeneponto. Al-Sihah : Public Health Science Journal, 10(1), 37–
47.

Sakinah, S. (2017). Analisis Sasaran Keselamatan Pasien Dilihat Dari Aspek


Pelaksanaan Identifikasi Pasien Dan Keamanan Obat Di Rs Kepresidenan
Rspad Gatot Soebroto Jakarta. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 5(4),
145–152.

Setiadi. (2013). Konsep dan praktek penulisan riset keperawatan (Ed.2)


Yogyakarta: Graha Ilmu

Sopiah dan Mamang Etta Sangaji (2018). Manajemen Sumber Daya Manusia. C.V
Andi Offest: Yogyakarta

Sugiyono. (2017). Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R D


DOWNLOAD.

Tanzi, M, G. (2021). ISMP Targeted Medication Safety Best Practices for


Hospitals.

Tripujiati, I., Suwarno, A. devi, & Arif, M. R. (2020). Pemahaman Staf Farmasi
Terhadap Pengelolahan Obat High Alert Di Instalasi Farmasi Di Rsud Bangil.
Jurnal Farmasi Indonesia Afamedis, 1 NO.2(2), 89–99

World Health Organization. (2011). Patien Safety Curriculum Guide Multi


Prodessional Edition. WHO

World Health Organization. 2016. Medication Error: Technical Series on Safer


Primary Care. Geneva: World Health Organization. Geneva. Hlm 7-8

Anda mungkin juga menyukai