Anda di halaman 1dari 3

Pendahuluan

Kesalahan pengobatan yang terjadi di rumah sakit merupakan hal yang umum dan telah
lama menjadi perhatian rumah sakit dan pasien. Kesalahan medis dan kesalahan pemberian
obat menimbulkan risiko pasien yang signifikan. Kesalahan ini berkontribusi pada kematian
pasien yang dapat dihindari di lingkungan rumah sakit. Untuk menjaga keselamatan pasien
dan menghindari kesalahan pengobatan, penting bagi apoteker, perawat, dan profesional
perawatan kesehatan lainnya untuk mematuhi standar praktik pengobatan yang aman, yang
dikenal sebagai “five rights” penggunaan obat: tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat
waktu , dan tepat rute pemberiannya (Saljoughian, M, 2020).
Mungkin definisi terbaik dari kesalahan pengobatan yang sebenarnya adalah yang
dikemukakan oleh Dewan Koordinasi Nasional untuk Pelaporan dan Pencegahan Kesalahan
Pengobatan: “Kesalahan pengobatan adalah kejadian yang dapat dicegah yang dapat
menyebabkan atau disebabkan penggunaan obat yang tidak tepat atau membahayakan pasien
saat pengobatan dalam kendali profesional perawatan kesehatan, pasien, atau konsumen.
Kejadian tersebut mungkin terkait dengan praktik profesional, produk kesehatan, prosedur
dan sistem, termasuk peresepan, pemesanan, pelabelan produk, pengemasan dan
nomenklatur, pencampuran, pengeluaran, penyaluran, pemberian, pendidikan, pemantauan,
dan pengunaan (McClinton, M, 2011).
Salah satu kesulitan dalam pencegahan kesalahan pengobatan adalah bahwa kesalahan
dapat terjadi kapan saja dalam proses pemberian dan pemberian obat yang multistep dan
multidisiplin. Delapan akar penyebab umum dari sebagian besar kesalahan medis, termasuk
kesalahan pengobatan, adalah: Masalah komunikasi, aliran informasi yang tidak memadai,
masalah manusia, masalah terkait pasien, transfer pengetahuan organisasi, pola dan alur kerja
staf, kegagalan teknis dan kebijakan yang tidak memadai (Sessions et al, 2019). Dewan
Koordinasi Nasional untuk Pelaporan dan Pencegahan Kesalahan Obat merekomendasikan
agar departemen farmasi mengumpulkan dan menganalisis data tentang kesalahan
pengobatan yang dapat dicegah dan menggunakannya dalam peningkatan kualitas terhadap
pasien.
Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan obat untuk meningkatkan
keamanan, khususnya obat yang perlu diwaspadai (high-alert medication). High-alert
medication adalah Obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi
kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan obat yang berisiko tinggi menyebabkan
Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).
Kelompok Obat high-alert diantaranya menurut Permenkes No. 72 tahun 2016, yaitu :
1. Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan
Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
2. Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat,
kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat =50% atau
lebih pekat).
3. Obat-Obat sitostatika.
High alert medication adalah obat yang memiliki risiko tinggi menyebabkan cedera
signifikan. pada pasien jika digunakan secara tidak sengaja. Meski kesalahan mungkin atau
tidak umum dengan obat-obatan ini, konsekuensi kesalahan jelas lebih merugikan pasien.
Strategi standarisasi yang digunakan seperti pemesanan, penyimpanan, persiapan, dan
pemberian produk, meningkatkan akses informasi tentang obat ini, membatasi akses ke obat
high alert medication, menggunakan label tambahan, menggunakan dukungan keputusan
klinis dan peringatan otomatis, dan menggunakan redundansi otomatis atau pemeriksaan
ganda bila perlu (Institute for Safe Medication Practices, 2018).
Terdapat obat tertentu diidentifikasi sebagai high alert medication. High alert
medication memiliki risiko tertinggi menyebabkan cedera saat disalahgunakan. Obat-obatan
ini memiliki indeks terapeutik yang sempit atau margin keamanan yang kecil yaitu, ada
perbedaan kecil antara dosis terapeutik dan dosis berbahaya. Kelompok obat termasuk dua
puluh dua kategori dan dua belas obat khusus (Devi et al., 2018). Salah satu contoh obat high
alert medication adalah obat inotropic (misalnya digoxin, milrinone) dan agen sedasi sedang
dan minimal. Pemberian oral untuk anak-anak (misalnya choral hydrate), midazolam,
ketamine (pemberian secara parenteral) (Institute for Safe Medication Practices, 2018).
Referensi
Saljoughian, M, Avoiding Medication Errors, US Pharm. 2020;45(6):10-11
(https://www.uspharmacist.com/article/avoiding-medication-errors)

McClinton, R.S, Meinking, R, Reducing Pharmacy Technician Hospital Errors, US


Pharm. 2011;36(12):HS-22-HS-28 (https://www.uspharmacist.com/article/reducing-
pharmacy-technician-hospital-errors)

Permenkes RI Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah


Sakit.

Devi et al, 2018, Study on Prescribing Pattern of High Alert Medications in the Medical
Intensive Care Unit, IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS).

ISMP 2018, ISMP List of High-Alert Medications in Acute Care Settings


(https://www.ismp.org/MERP)

Sessions et al., Nurses’ perceptions of high‐alert medication administration safety: A


qualitative descriptive study, J Adv Nurs. 2019;00:1–14.

Anda mungkin juga menyukai