A. Definisi
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester
pertama .wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu
makan berkurang dan kelebihan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat
kondisi kliniks wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV – AIDS .
HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah
retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi
kembali dirinya. Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah
yang dikumpulkan tahun 1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik Demokrat
Congo. Tidak diketahui bagaimana ia terinfeksi.
Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2. HIV–1 mendominasi seluruh
dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda–beda dari HIV–1 juga
ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–jenis (clades). Terdapat dua
kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurang–kurangnya 10
sub–jenis yang dibedakan secara turun temurun. Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B
kebanyakan ditemukan di America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C
ditemukan di Afrika Selatan dan India. HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula
merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya
adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya dihubungkan dengan
infeksi–infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi dengan HIV–
2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat dan
lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV–1, maka mereka yang
terinfeksi dengan HIV–2 ditulari lebih awal dalam proses penularannya.
HIV dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan mencoba
membahas bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan bagaimana melakukan
sebuah proses keperawatan pada ibu hamil dengan HIV AIDS.
HIV ( Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul
secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan oleh infeksi HIV.
HIV adalah jasad renik yang menyebabkan terjadinya AIDS. HIV melumpuhkan sistem
kekebalan tubuh, terutama sel-sel darah putih yang membantu dalam menghalau penyakit (Dr.
Hutapea Ronald, 2011).
AIDS adalah sindrom dengan gejala penyakit oportunistik atau kanker tertentu akibat
menurunnya system kekabalan tubuh oleh infeksi virus HIV (Brunner,2001).
AIDS adalah tranmisi human imuno defisiensi virus, suatu retrovirus yang terjadi
terutama melalui pertukaran cairan tubuh (Friedland, 1987).
AIDS adalah suatu penyakit infeksi yang di sebabkan virus HTL
Bagi ibu positif HIV, kehamilan dan kelahiran bayi bias merupakan kejadian yang sangat
emosional. Ibu akan merasa sangat waspada terhdapa penyakitnya yang serius dan kemungkinan
bayinya akan di lahirkan postif HIV. Penularan intrauterine dapat terjadi selama kehamilan,
kelahiran, atau menyusui. Di perkirakan bahwa ibuyang baru saja terinfeksi, atau ibu yang
menderita sindrom imnunodefisiensi didapat (AIDS) lebih besar kemungkinnya mendapat bayi
yang terinfeksi (AVERT,2003). Ibu positif HIV memerlukan asuhan sensitive dari semua staf,
bimbingan, dan waktu khusus untuk bicara. Ibu mungkin meminta kamar samping tetapi banyak
ibu lain ingin bersama orang tua lainnya dan tidak di pisahkan. Kerahasiaan adalah vital.
B. Etiologi
Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus
(HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada
tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap
sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan
keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 tahun atau lebih dengan gejala tidak ada.
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari,
BB menurun, diare, neuropati, lemah, ruam kulit, limadenopati, perlambatan
kognitif, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist (NANDA nic-noc).
Cara penularan HIV:
1. Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi.
Kondom adalah satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.
2. Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah
tersebut belum dideteksi virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.
3. Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang
yang telah terinfeksi.
4. Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan
atau persalinan dan juga melalui menyusui.
Penularan secara perinatal
1. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV pada bayi yang dikandungnya.
2. Penularan dari ibu terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena pada saat itu
terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi sehingga virus dari ibu
dapat menular pada bayi.
3. Bayi juga dapat tertular virus HIV dari ibu sewaktu berada dalam kandungan atau
juga melalui ASI
4. Ibu dengan HIV dianjurkan untuk PASI
Kelompok resiko tinggi:
1. Lelaki homoseksual atau biseks.
2. Orang yang ketagian obat intravena
3. Partner seks dari penderita AIDS
4. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi (purwaningsih,wahyu.2010).
C. ANATOMI & FISIOLOGI
1. Imunologi System
a. Sistem imun : sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam mengenali
dan menghancurkan bahan yang bukan “normal self” (bahan asing atau abnormal
cells)
b. Imunitas atau respon imun : Kemampuan tubuh manusia untuk melawan
organisme atau toksin yang berbahaya
2. Sel-sel yang berperan dalam respon Imun
a. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons antigen
tertentu. Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan limfoid yang
ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada mamalia yaitu sumsum
tulang, jaringan limfe usus, dan limpa.
Sel B matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus limfe,
bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur membawa
molekul immunoglobulin permukaan yang terikat dengan membran selnya. Saat
diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan bantuan limfosit T, sel B akan
derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi antibodi untuk
menghancurkan antigen tertentu.
2. Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid dan siap
merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan selanjutnya
dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan lebih besar.
b. Sel T
Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi jika ada
antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi.
Sel T mengenali dan berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu
protein permukaan sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi.
Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang disebut limfokin. Sub type
limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B merespons antigen, membunuh
sel-sel asing tertentu, dan mengatur respons imun. Respons sel T adalah :
Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam sumsum tulang. Pada
periode akhir perkembangan janin atau segera setelah lahir, sel prekusor
bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya berproliferasi, berdiferensiasi dan
mendapatkan kemampuan untuk mengenali diri.
Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T bermigrasi menuju organ
limfoid seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini dikhususkan untuk melawan sel
yang mengandung organisme intraselular.
1. Sel T efektor :
a. Sel T sitotoksik (sel T pembunuh)
Mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan antigen asing
pada permukaannya
b. Sel T pembantu
Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah aktivasi oleh
makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk sistesis antibodi
normal, untuk pngenalan benda asing sel T pembantu melepas interleukin-
2 yang menginduksi proliferasi sel T sitotoksik, menolong sel T lain untuk
merespons antigen dan sel T pembantu dpt memproduksi zat (limfokin)
yang penting dalam reaksi alergi (hipersensitivitas).
c. Sel T supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan T.
d. Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau
mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang
mengandung determinan antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen
antigen pada permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T
tertentu.
D. Patofisiologi
HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada
protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita)
turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic
acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian
dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut
mulai menghasilkan virus–virus HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk
membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak
bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang
sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh
menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk
menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang
terinfeksi dan menggantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk
menghasilkan kembali dirinya. Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat
adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya
terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika system kekebalan tubuh
tertekan. Pada seseorang dengn system kekebalan yang sehat. Infeksi infeksi tersebut tidak
biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengindap HIV hal tersebut dapat teradi
fatal (purwaningsih, wahyu.2010)
F. KOMPLIKASI
1. Tuberkulosis
Pada penderita HIV yang memiliki kuman TB, mereka berisiko sepuluh kali untuk terkena
penyakit TB, terutama pada penderita HIV/AIDS yang memiliki sel kekebalan tubuh CD4 di
bawah 200. Terlebih lagi, terlepas dari jumlah sel CD4, jika penderita HIV terinfeksi TB berarti
sudah pada tahap HIV/AIDS. Di dunia, TB merupakan penyebab utama kematian penderita HIV.
MAC adalah kuman bakteri yang berhubungan dengan TB. Kuman MAC sering berada pada
makanan, air dan tanah. Hampir semua orang memiliki kuman MAC pada tubuh mereka. Namun,
jika sistem kekebalan tubuh Anda kuat, MAC tidak akan memberikan masalah.
MAC biasanya menyebabkan penyakit infeksi serius ketika HIV/AIDS sudah mencapai angka
CD4 di bawah 50. Infeksi dapat menjadi serius seperti infeksi darah atau sepsis, hepatitis, dan
pneumonia.
3. Pneumocystis Pneumonia
4. CMV (Cytomegalovirus)
CMV adalah virus yang umum dan berhubungan dengan virus herpes yang memberikan penyakit
herpes oral (pada mulut). Pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik, tidak masalah
dengan virus ini. Hampir 8 dari 10 orang memiliki virus ini pada tubuh mereka saat berusia 40
tahun.
Pada penderita HIV/AIDS, CMV dapat menyebabkan infeksi serius terutama jika jumlah CD4 di
bawah 100. Penderita dapat terinfeksi CMV melalui mata, hidung, atau mulut setelah kontak
dengan air liur, sperma, cairan vagina, darah, urine, dan air susu ibu penderita. Penderita dapat
mengalami infeksi mata serius yang disebut retinitis dan berujung pada kebutaan.
Infeksi oportunistik adalah infeksi serius yang terjadi pada sistem kekebalan tubuh yang lemah,
seperti pada penderita HIV. Sebaliknya, infeksi ini tidak menimbulkan masalah pada orang
dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Biasanya infeksi oportunistik baru menyerang
penderita HIV ketika sudah menjadi HIV/AIDS atau sel CD4 di bawah 200.
6. Lipodistrofi
Lipodistrofi atau redistribusi lemak adalah masalah pada tubuh dalam membuat, menggunakan
dan menyimpan lemak. Hampir sepertiga hingga setengah penderita HIV mengalami lipodistrofi.
Angka kejadian makin meningkat akibat penggunaan obat HIV, yaitu ART (antiretroviral
therapy). Lipodistrofi pada penderita HIV lebih mungkin terjadi pada penderita HIV yang parah
dan sudah lama.
Pada pria, lebih sering terjadi kehilangan lemak (lipoartrofi) terutama pada tangan dan kaki,
wajah, dan bokong. Pada wanita, lebih sering terjadi penumpukan lemak (lipohipertofi)
khususnya pada perut, dada, serta belakang leher dan bahu. Penderita juga dapat mengalami
pertumbuhan lemak (tumor jinak) seperti lipoma.
7. Demensia
Penyakit HIV juga sering berhubungan dengan penurunan fungsi mental dan keahlian motorik,
terutama jika virus sudah menyerang sistem saraf. Akibatnya, terjadi kerusakan otak dan
menyebabkan HIV-associated neurocognitive disorders (HAND). Terdapat tiga kelas dari
HAND, yakni:
a) Asymptomatic neurocognitive impairment, ketika pada pemeriksaan terlihat adanya
penurunan kemampuan mental namun tidak memengaruhi kehidupan sehari-hari.
b) Mild neurocognitive disorder, ketika sudah memengaruhi kemampuan seseorang untuk
melakukan pekerjaan sehari-hari.
c) HIV-associated dementia, ketika sudah sangat membatasi kemampuan seseorang untuk
hidup secara normal. Pada tahap akhir, penderita dapat mengalami kejang, psikosis, dan
kehilangan kemampuan untuk mengendalikan kemampuan buang air kecil dan besar.
8. Kanker
KS adalah kanker dengan pembuluh darah kecil baru tumbuh di bawah kulit dan dalam membran
mulut, hidung, mata dan anus. Kanker ini dapat menyebar hingga ke paru-paru, hati, perut, usus,
dan kelenjar getah bening. Pria memiliki risiko delapan kali lebih besar untuk terkena kanker KS.
Sindrom wasting pada AIDS bukanlah suatu penyakit khusus. Sindrom wasting terjadi pada
penderita yang kehilangan bobot tubuhnya sebanyak 10%, terutama massa otot. Penderita juga
mengalami diare minimal selama 1 bulan, kelemahan yang ekstrem, serta demam yang tidak
berhubungan dengan infeksi.
Sindrom ini membuat penderita lebih mudah terkena infeksi oportunistik, demensia, dan bahkan
kematian. Bahkan kehilangan bobot tubuh hanya 5% sudah meningkatkan risiko sebanyak dua
kali lipat.
Terdapat banyak komplikasi dari penyakit HIV/AIDS. Lakukan pengobatan HIV secara teratur
dan sesuai saran dokter, agar terhindar dari komplikasinya yang berbahaya dan mematikan.
G. PENATALAKSANAAN
1. Penanganan infeksi yang berhubungan dengan HIV serta maliginasi, pengentian replikasi
HIV lewat preparat antivirus dan penguatan serta pemulihan system imun melaui
pengunaan preparat imnimodulator.
2. Terapi farmakologi
a. Obat primer di setujiu untuk terapi HIV yaitu azidodeoksimetidin (zidovudine,A2T
cretevir) berfungsi untuk memperlambat kematian dan menurunkan frekuensi serta
bertanya penyakit oportunistik.
b. Asitimidin terkendali pada wanita hamil mengurangi resiko transmisi HIV dari wanita
yang terinfeksi kejaninnya.
c. Perawatan suportif sangat penting karena infeksi HIV sangat menurunkan kedaan
imun pasien (mencankup, kelemahan, malnutris, imobilisasi, kerusakan kulit dan
perubahan status mental).
d. Memberikan perawatan kesehatan efektif dengan penuh kasih saying dan obyektif
pada semua individu (mencakup, malnutrisi, optimum, istirahat, latihan fisik, dan
reduksi stress) (purwaningsih, wahyu.2010).
H. PATOFLOW
ASUHAN KEPERAWATAN IBU HAMIL DENGAN HIV
a. Pengkajian
1. Aktifitas /istirahat :
Mudah lelah, berkurangnya tolerangsi terhdp aktifitas, kelelahan yang progresif
Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi terhdp aktifitas
2. Sirkulasi
Proses penyembuhan lika yang lambat, perdarahan lama bila cedera
takikardia, perubahan tekanan darah postural, volume nadi periver menurun,
pengisian kapiler memanjang
3. Integritas ego
Faktor stress yang berhubungan dgn kehilangan: dukungan keluarga, hubungan
dgn org lain, pengahsilan dan gaya hidup tertentu
Menguatirkan penampilan: alopesia, lesi , cacat, menurunnya berat badan
Merasa tdk berdaya, putus asa, rsa bersalah, kehilangan control diri, dan depresi
Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah, menangis, kontak mata
kurang
4. Eliminasi
Diare, nyeri pinggul, rasa terbakar saat berkemih
Faeces encer disertai mucus atau darah
Nyerio tekan abdominal, lesi pada rectal, perubahan dlm jumlah warna urin.
5. Makanan/cairan
Tidak ada nafsu makan, mual, muntah
Penurunan BB yang cepat
Bising usus yang hiperaktif
Turgor kulit jelek, lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna
mucosa mulut
Adanya gigi yang tanggal. Edema
6. Hygiene
Tidak dapat menyelesaikan ADL, memepeliahtkan penampilan yang tdk rapi.
7. Neurosensorik
Pusing,sakit kepala.
Perubahan status mental, kerusakan mental, kerusakan sensasi
Kelemahan otot, tremor, penurunan visus.
Bebal,kesemutan pada ekstrimitas.
Gayaberjalan ataksia.
8. Nyeri/kenyamanan
Nyeri umum/local, sakit, rasaterbakar pada kaki.
Sakit kepala, nyeri dada pleuritis.
Pembengkakan pada sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan ROM, pincang.
9. Pernapasan
Terjadi ISPA, napas pendek yang progresif, batuk produktif/non, sesak pada dada,
takipneu, bunyi napas tambahan, sputum kuning.
10. Keamanan
Riwayat jatuh, terbakar, pingsan, lauka lambat proses penyembuhan
Demam berulang
11. Seksualitas
Riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan kondom
yang tdk konsisten, lesi pd genitalia, keputihan.
12. Interaksi social
Isolasi, kesepian,, perubahan interaksi keluarga, aktifitas yang tdk terorganisir
A. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan depresi system imun, aktifitas yang tidak
terorganisir
2. Defisit volume cairan tubuh berhubungan dengan diare berat, status hipermetabolik.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hambatan asupan makanan
(muntah/mual), gangguan intestinal, hipermetabolik.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, melemahnya otot
pernafasan.
5. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang
dicintai
B. Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa 1: Resiko terjadinya infeksi b/d depresi system imun, aktifitas yang tdk
terorganisir
Tujuan : Klien akan menunjukkan tanpa adanya tanda-tanda infeksi (tdk ada
demam, sekresi tdk purulent)
Intervensi:
1) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dgn pasin
R/. Resiko cros infeksi dpt melalui prosedur yang dilakukan
2) Ciptakan lingkungan yang bersih dan ventilasi yang cukup
R/. Lingkungan yang kotor akan mneingkatkan pertumbuhan kuman pathogen
3) Informasikan perlunya tindakan isolasi
R/. Penurunan daya tahan tubuh memudahkan berkembangbiaknya kuman pathogen.
Tindakan isolasi sebagai upaya menjauhkan dari kontak langsung dgn kuman
pathogen
4) Kaji tanda-tanda vital termasuk suhu badan.
R/. Peningkatan suhu badan menunjukkan adanya infeksi sekunder.
5) Kaji frekwensi nafas, bunyi nafas, batuk dan karakterostik sputum. Observasi
kulit/membrane mucosa kemungkinan adanya lesi/perubahan warna, bersihkan kuku
setiap hari
R/ Luka akibat garukan memudahkan timbul infeksi luka
6) Perhatikan adanya tanda-tanda adanya inflamasi
R/ Panas kemerahan pembengkakan merupakan tanda adanya infeksi
7) Awasi penggunaan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan menggunakan
wadah tersendiri.
R/ Tindakan prosuder dapat menyebabkan perlukaan pada permukaan kulit.
2. Diagnosa 2 : Defisit volume cairan tubuh b/d diare berat, status hipermetabolik.
Tujuan : Klien akan mempertahankan tingkat hidrasi yang adekuat
Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda vital termasuk CVP bila terpasang.
R/ denyut nadi/HR meningkat, suhu tubuh menurun, TD menurun menunjukkan
adanya dehidrasi.
2) Catat peningkatan suhu dan lamanya, berikan kmpres hangat, pertahankan pakaian
tetap kering, kenyamanan suhu lingkungan.
R/ Suhu badan meningkat menunjukkan adanya hipermetabolisme.
3) Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa haus.
4) Timbang BB setiap hari
R/. penurunan BB menunjukkan pengurangan volume cairan tubuh.
5) Catat pemasukan cairan mll oral sedikitnya 2500 ml/hr.
R/ Mempertahankan keseimbangan, mengurangi rasa haus dan melembabkan
membrane mucosa.
6) Berikan maknan yang mudah dicerna dan tdk merangsang
R/ Peningkatan peristaltic menyebabkan penyerapan cairan pada dinding usus akan
kurang.
3. Diagnosa 3: Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hambatan asupan
makanan (muntah/mual), gangguan intestinal, hipermetabolik.
Tujuan: klien akan menunjukkan peningkatan BB ideal.
Intervensi:
1) Kaji kemampuan mengunyah, merasakan dan menelan.
R/ Lesi pada mulut, esophagus dpt menyebabkan disfagia
2) auskultasi bising usus
R/ Hipermetabolisme saluran gastrointestinal akan menurunkan tingkat penyerapan
usus.
3) Timbang BB setiap hari
R/ BB sebagai indicator kebutuhan nutrisi yang adekuat
4) hindari adanya stimulus leingkungan yang berlebihan.
5) berikan perawatan mulut, awasi tindakan pencegahan sekresi. Hindari obat kumur
yang mengandung alcohol.
R/ Pengeringan mucosa, lesi pd mulut dan bau mulut akan menurunkan nafsu makan.
6) Rencanakan makan bersama keluarga/orang terdekat. Berikan makan sesuai
keinginannya (bila tdk ada kontraindidkasi)
7) sajikan makanan yang hangat dan berikan dalam volume sedikit
8) dorong klien untuk duduk saat makan.
4. Diagnosa 4: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
melemahnya otot pernafasan.
Tujuan: klien akan mmempertahankan pola nafas yang efektif
Intervensi:
1) Auskultasi bunyi nafas tambahan
R/ bunyi nafas tambahan menunjukkan adanya infeksi jalan nafas/peningkatan
sekresi.
2) Catat kemungkinan adanya sianosis, perubahan frekwensi nafas dan penggunaan otot
asesoris.
3) Berikan posisi semi fowler
4) Lakukan suction bila terjadi retensi sekresi jalan nafas
5. Diagnosa 5: Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan
Tujuan: Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan
takikardi selama aktivitas
Intervensi:
1) Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
R/ Respon bervariasi dari hari ke hari
2) Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
R/ Mengurangi kebutuhan energi
3) Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.
R/ Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
6. Diagnosa 6: Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan
yang orang dicintai
Tujuan: Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan
adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan
keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif
Intervensi:
1. Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
R/ Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga
2. Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
R/ Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
3. Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
R/ Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana
C. Implementasi
Didasarkan pada diagnosa yang muncul baik secara aktual, resiko, atau potensial.
Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan NCP.
D. Evaluasi