Anda di halaman 1dari 26

WRAP UP SKENARIO 2

“Reaksi Alergi”

Disusun oleh:
B-12

Ketua:
Putri Azzahra Nur Azrina 1102016170

Sekertaris:
Tifany Lazuardian Amiga 1102016216

Anggota:
Much Hasyim Asyari 1102015142
Nurrahmi Ayu Rizki 1102016162
Rasyiqah Saratiana 1102016180
Regina Dian Fajriah Ameliani 1102015193
Rislamia Oktafiani 1102016189
Naufal Rizky Fadhi Hakim 1102016152
Putri Azzahra Nur Azrina 1102016170
Vonna Meutia 1102016222

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016/2017

[Type text] Page 1


Daftar Isi
SKENARIO 2 ......................................................................................................................................... 3
Kata-kata Sulit ........................................................................................................................................ 4
Pertanyaan ............................................................................................................................................... 5
Jawaban ................................................................................................................................................... 5
Hipotesis ................................................................................................................................................. 6
Sasaran Belajar........................................................................................................................................ 7
Pembahasan............................................................................................................................................. 8
Daftar Pustaka ....................................................................................................................................... 26

[Type text] Page 2


SKENARIO 2
Reaksi Alergi
Seorang perempuan berusia 20 tahun, datang ke dokter dengan keluhan gatal-gatal
serta bentol-bentol merah yang hampir merata di seluruh tubuh, timbul bengkak pada kelopak
mata dan bibir sesudah minum obat penurun panas (paracetamol) . Pada pemeriksaan fisik
didapatkan angioedema di mata dan bibir serta urtikaria di seluruh tubuh. Dokter menjelaskan
keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe cepat), sehingga ia
mendapatkan obat antihistamin dan kortikosteroid. Dokter memberikan saran agar selalu
berhati-hati dalam meminum obat serta berkonsultasi dulu dengan dokter.

[Type text] Page 3


Kata-kata Sulit
1. Angioedema :Reaksi vaskular pada dermis bagian dalam atau jaringan
subkutan atau submukosa yang disebabkan oleh dilatasi peningkan permeabilitas
kapiler. (Dorland)

2. Urtikaria :Pembengkakan dan kemerahan lokal yang bersifat sementara


pada kulit akibat kebocoran cairan dan protein plasma dari pembuluh darah –
pembuluh darah kecil kedalam kulit selama reaksi hipersensitivitas tipe cepat.
(Imunologi Abbas)

3. Hipersensitivitas :Keadaan berubahnya reaktivitas ditandai dengan reaksi tubuh


berupa respons imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap benda asing
.(Dorland)

4. Kortikosteroid :Setiap steroid yang dikeluarkan oleh korteks adrenal (tidak


termasuk hormon seks) atau setiap hormon sinetik yang setara dengan steroid
ini .(Dorland Ed 29)

5. Antihistamin :Agen yang melawan kerja histamin. (Dorland Ed 29)

[Type text] Page 4


Pertanyaan
1. Apa itu histamin?
2. Mengapa dapat terjadi angioedema dan urtikaria?
3. Mengapa dokter memberikan antihistamin dan kortikosteroid?
4. Mengapa dokter mengatakan pasien mengalami hipersensitivitas tipe cepat?
5. Mengapa angioedema muncul daerah mata dan bibir?
6. Mengapa timbul gatal dan bentol-bentol merah merata di seluruh tubuh?
7. Mengapa paracetamol tersebut menyebabkan alergi?
8. Mengapa reaksi aergi ada yang tipe cepat dan lambat?
9. Berapa lama reaksi alergi timbul setelah minum obat tersebut?
10. Bagaimana mekanisme hipersensitivitas?
11. Apakah dan diberikan obat lain selain antihistamin dan kortikosteroid?
12. Apa saja faktor yang dapat menyebabkan alergi?
13. Apa saja macam-macam tipe hipersensitivitas?

Jawaban
1. Histamin adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel mast yang berperan
dalam prosesn inflamasi
2. Terjadi angioedema karena cairan yang keluar dari vaskuler dan urtikaria terjadi
karena adanya vasodilatasi dan produksi histamin yang berlebihan
3. Karena antihistamin dapat menurunkan reaksi alrgi dan menurunkan produksi
histamin, sedangkan kortikosteroid dapat menekan respon imun, penggantian hormon,
dan agen inflamasi
4. Anamnesis (kapan timbuk gejala dan reaksi alergi)
Pemeriksaan fisik (terdapat gejala angioedema dan urtikaria)
Pemeriksaan penunjang (uji serologi dan skin test)
5. Karena angioedema menyerang jaringan mukosa dan submukosa yang merupakan
jaringan ikat longgar
6. Karena produksi histamin yang berlebihan
7. Karena paracetamol mengandung asetaminofen yang ada cincin Nitrogen dan di
dalam cincin Nitrogen tersebut dianggap sebagai alergen
8. Dikarenakan oleh durasi , tipe alergen , dan respon imun
9. Kemungkinan timbul beberapa saat setelah minum obat, dan hilang 2 jam untuk
hipersensitivitas tipe I
10. Tipe 1 : pajanan mengaktifkan Th 2 lalu merangsang sel B, terjadi ikatan silang IgE
dam sel mast yang meningkatkan permeabilitas , vasodikatasi, dan anafilaksis
11. Tergantung dari gejala yang timbul saat reaksi alergi terjadi
12. Stres, makanan, udara lingkungan, hereditas, obat-obatan
13. Hipersensitivitas Tipe I (cepat)
Hipersensitivitas Tipe II (sitotoksik)
Hipersensitivitas Tipe III (Kompleks imun)\
Hipersensitivitas Tipe IV (Lambat)

[Type text] Page 5


Hipotesis
Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan terhadap benda asing yang
terdiri dari Tipe I, Tipe II, Tipe III, dan Tipe IV. Pada skenario ini terjadi hipersensitivitas
Tipe I yang ditandai dengan adanya angioedema dan urtikaria disebabkan oleh produksi
histamin dan vasodilatasi yang berlebihan saat proses inflamasi. Untuk menegakkan
diagnosis dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tatalaksana
yang dapat dilakukan yaitu pemberian obat-obatan yang bersifat simptomatis dan kausatif
seperti antihistamin dan kortikosteroid.

[Type text] Page 6


Sasaran Belajar

LI. I Memahami dan Menjelaskan Hipersesnsitivitas


 L.O 1.1 Definisi
 L.O 1.2 Klasifikasi
 L.O 1.3 Etiologi
 L.O 1.4 Penegakkan Diagnosis
 L.O 1.5 Tatalaksana
LI II Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I
 L.O 2.1 Mediator
 L.O 2.2 Mekanisme
 L.O 2.3 Manifestasi Klinis
LI III Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
 L.O 3.1 Mekanisme
 L.O 3.2 Jenis-jenis Reaksi
LI IV Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
 L.O 4.1 Mekanisme
 L.O 4.2 Jenis-jenis Reaksi
LI V Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
 L.O 5.1 Mekanisme
 L.O 5.2 Jenis-jenis Reaksi
LI VI Memahami dan Menjelaskan tentang Pandangan Islam terhadap Alergi Obat

[Type text] Page 7


Pembahasan
LI. I Memahami dan Menjelaskan Hipersesnsitivitas
L.O 1.1 Definisi
Keadaan perubahan reaktivitas dimana tubuh bereaksi secara berlebihan terhadap
benda asing. (Dorland, W.A Newman (1996) Kamus Kedokteran Dorland Edisi 26. Jakarta,
EGC.)
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen
yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. ( Imunologi UI )
Hipersensitivitas adalah keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi tubuh
berupa respons imun yang berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap sebagai benda asing.
(Kamus Dorland, Edisi 29)
Hipersensitvitas adalah refleksi dari sistem imun yang berlebihan (Imunologi
Abbas,2016)
Hipersensitivitas adalah reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah
dipajankan atau dikenal sebelumnya. (Baratawidjaja & Rengganis, 2014)

L.O 1.2 Klasifikasi


Pembagian menurut waktu timbulnya reaksi:
a. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam . ikatan
silang antara allergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis
sistemik atau anafilaksis local.
b. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan
jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK / ADCC. Manifestasi
reaksi intermediet dapat berupa:
i. Reaksi transfuse darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun
ii. Reaksi arthus local dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrotis, glomerulonephritis, artritis rheumatoid dan LES
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrophil atau sel NK.
c. Reaksi lambat
reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. tuberculosis dan
reaksi penolakan tandur.

[Type text] Page 8


Pembagian menurut Gell & Coombs (1963)

Klasifikasi Gell dan Coombs yang dimodifikasi (Tipe I-IV)


Mekanisme Gejala Contoh
Anafilaksis, urtikaria, Penisilin dari 𝛽 laktam
angioedema, mengi, lain, enzim, antiserum,
Tipe I: IgE hipotensi, nausea, protamine, heparin
muntah, sakit abdomen, antibody monoclonal,
diare ekstrak allergen, insulin.
Agranulositosis Metamizol, fenotiazin
Anemia hemolitik Penisilin, sefalosparin,
𝛽 laktam, kinidin,
metildopa
Trombositopenia Karbamazepin,
Tipe II: Sitotoksik (IgG
fenotiazin, tiourasil,
dan IgM)
sulfonamide,
antikolvusan, kinin,
kinidin, parasetol,
sulfonamide, propil
tiourasil, preparat emas
Panas, urtikaria, 𝛽 laktam, sulfonamide,
atralgia, limfadenopati fenitoin, streptomisin
Tipe III: Kompleks
Serum sickness Serum xenogenik,
imun (IgG dan IgM)
penisilin, globulin anti-
timosit
Eksim (juga sistemik) Penisilin, anastetik
eritema, lepuh, pruritus local, antihistamin
topical, neomisin,
pengawet, eksipien
(lanolin, paraben),
Tipe IV: desinfektan
Hipersensitivitas selular Fotoalergi Salisilanilid
(halogenated), asam
nalidilik
Fixed drug eruption Barbiturate, kinin
Lesi makulopapular Penisilin, emas,
barbiturate, 𝛽 blocker
Tipe V: Reaksi Granuloma Ekstrak allergen,
granuloma kolagen larut
(LE yang diinduksi Hidralazin, prokainamis
Tipe VI:
obat?)
Hipersensitivitas
Resistensi insulin Antibody terhadap
stimulasi
insulin (IgG)

[Type text] Page 9


MENURUT WAKTU TIMBULNYA
- Reaksi cepat: terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2 jam
- Reaksi intermediet: terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam
- Reaksi lambat: terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan antigen
(Imunologi Ed 11,2014)

L.O 1.3 Etiologi


Hipersensitivitas Tipe I (tipe cepat)
Terjadi karena pembentukan ikatan silang IgE di membran basophil darah atau
sel mast jaringan oleh antigen. Pengikatan silang ini menyebabkan sel mengalami
degranulasi, membebaskan bahan-bahan seperti histamin, leukotrien, dan faktor
kemotaktik eosinophil, yang memicu anafilaksis, asma, hay fever, atau urtikaria
(biduran) pada orang yang terkena.

Hipersensitivitas Tipe II (sitotoksik atau sitolitik)


Hipersensitivitas tipe II terjadi karena pembentukan kompleks antigen-antibodi
antara antigen asing dan immunoglobulin IgM atau IgG. Hipersensitivitas tipe II
juga dapat dipicu oleh obat dan dapat terjadi selama pemberian penisilin (sebagai
contoh).

Hipersensitivitas Tipe III (tipe kompleks imun)


Hipersensitivitas Tipe III terjadi karena adanya peningkatan kadar kompleks
antigen-antibodi dalam darah yang akhirnya mengendap di membran basal di
jaringan dan pembuluh darah. Pengendapan kompleks imun mengaktifkan
komplemen untuk menghasilkan komponen-komponen dengan aktivitas
anafilatoksik dan kemotaktik yang meningkatkan permeabilitas vaskular dan
merekrut neutrophil ke tempat kompleks mengendap.

Hipersensitivitas Tipe IV (tipe lambat)


Hipersensitivitas Tipe IV diperantarai oleh sel, dan respons terjadi 2-3 hari
setelah pajanan ke antigen pemeka.

(Katzung dkk., 2012)

L.O 1.4 Penegakkan Diagnosis


Agar penanganan pasien alergi lebih cepat dan terarah , diperlukan diagnosis tepoat dan cepat
supaya komplikasi dapat dihindari. Bila seorang pasien yang datang dengan kecurigaan
menderita alergi, langkah pertama adalah harus ditentukan dulu apakah pasien menderita
alergi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan0pemeriksaan dalam rangka mencari alergen
penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala

[Type text] Page 10


Riwayat penyakit
Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-hal :
a) kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak atau berangsur. Menentukan
apakah kondisi tersebut diperantarai oleh IgE atau tidak .
b) Karakter, lama, frekuensi dan beratnya gejala. Urtikaria akut lebih mungkin
disebabkan oleh alergen dibandingkan urtikaria yang kronik. Frekuensi diperlukan
apakah pengobatan akan dilakukan terus-menerus atau saat timbul saja
c) Saat timbulnya gejala, keluhan yang paling hebat.
d) Pekerjaan dan hobi. Kelihan pasien dapat saja timbul saat di dalam rumah atau diluar.
e) Bagaimana perjalanan penyakit
f) Adakah jangka waktu paling lama tanpa serangan
g) Apakah timbul keluhan setelah mengeluarkan tenaga
h) Faktor yang mempengaruhi serangan penting ditanyakan dalam rangka penanganan
pasien
i) Dll
L.O 1.5 Tatalaksana
1. Pemeriksaan Fisis
 Kulit, harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik seperti
eksoriasi,bekas garukan terutama daerah pipi atau lipatan-lipatan kulit daerah
fleksor. Lihat apakah ada lesi urtikaria, angioedema, dermatitis dan
likenifikasi
 Mata, diperiksa terhadap hiperemia konjungtiva,edema,sekret mata yang
berlebihan dan katarak yang sering dibuhungkan dengan penyakit atopi, dan
kadang kala disebabkan pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka
lama.
 Telinga, tengah dapat merupakan penyulit penyakit alergi saluran napas, perlu
dilakukan pemeriksaan membran timpani untuk mencari otitis media
 Hidung, pada pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa
tanda yang sudah baku, walaupun tidak patognomonik.
 Mulut dan orofaring, pemeriksaan ditujukan untuk menilai eretmia, edema,
hipertrofi, tonsil, post nasal drip. Pada rinitis alergi ,sering terlihat muokosa
orofaring kemerahan.
 Dada, diperiksa secara inspeksi,palpasi, dan auskultasi baik terhadap organ
paru maupun jantung. Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa
hiperinflasi.

Pemeriksaan Laboratirium
1. Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Sel
Pada penyakit alergi jumlah leukosit normal, kecuali kalau disertai infeksi. Eosinofilia
sering dijumpai tetapi tidak spesifik,sehingga dapat dikatakan eosinofilia tidak identik
dengan alergi. Pada penyakit alergi eosinofilia berkisar antara 5-15% beberapa hari
setelah pajanan alergen,tetapi pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid dapat
timbul eosinopenia. Eosinofilia merupakan petanda hipersensitivitas dan beratnya
hipersensitivitas tersebut.

[Type text] Page 11


2. Sel eusinofil pada sekret Konjungtiva , Hidung ,dan Sputum
Semasa periode simtomatik sel eosinofil banyak dalam sekret, tetapi kalau ada
infeksi, sel neutrofil lebih dominan.

3. Serum IgE Total


Meningkatnya serum IgE total menyokong adanya penyakit alergi, hanya didapatkan
pada sekitar 60-80% pasien. Sebaliknya peningkatan kadar IgE total dotemukan pada
infeksi penyakit lain. Sehingga pemeriksaan serum IgE total mulai
ditinggalkan,kecuali pada a.ramalan alergi pada anak yang orang tuanya menderita
penyakit alergi, b. Ramalan alergi pada anak dengan bronkiolitis, c. Membedakan
asma dan rinitis alergik dan non alergik, d. Membedakan dermatits atopik dengan
dermatitis lainnya.

4. IgE spesifik
Dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in vitro dengam cara
RAST atau ELISA . keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dibandingkan dengan tes
kulit adalah risiko pada pasien tidak ada, hasilnya kuantitatif, tidak dipengaruhi obat
atau keadaan kulit alergen stabil . kerugiaannya adalah mahal , hasil tidak segera
dapat dibaca , kurang sensitif dibandingkan tes kulit. Untuk alergi makanan tes ini
kurang mendukung.

Tes Kulit
Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah dilakukan sejak lebih 100
tahun yang lalu, karena cara pelaksaannya cukup sederhana dan terbukti mempunyai kolerasi
yang baik dengan kadar IgE spesifik atau dengan tes provokasi. Tujuannya adalah untuk
menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien, yang secara tidak langsung
menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit hanya
dilakukan pada alergen yang dicurigai merupakan penyebab keluhan pasien. Cara-cara tes
kulit :
1. Tes Tusuk (Prick Test)
Mula-mula kulit bagian volar dari lengan bawah dibersihkan dengan alkohol ,
biarkan hingga kering . tempat penetesan alergen ditandai secara berbaris
dengan jarak 2-3 cm di atas kulit tersebut. Teteskan setetes alergen pada
tempat yang disediakan, juga kontrol positif dan kontrol negatif. Denga jarum
disposibel ukuran 26 dilakukan tusukan dangkal masing-masing ekstrak yang
telah diteteskan . tiap-tiap tusukan dijaga supaya alergen tidak tercampur.
Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter bentol
eretmia yang timbul. Hasil :
 Hasil negatif = sama dengan kontrol negatif
 Hasil +1 = 25% dari kontrol positif
 Hasil +2 = 50% dari kontrol positif
 Hasil +3 = 100% dari kontrol positif
 Hasil +4 = 200% dari kontrol positif
Harus diingatkan sebelum melakukan tes kulit, pasien diminta menghentikan
konsumsi beberapa obat.

[Type text] Page 12


2. Tes Tempel (patch Test)
Dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai penyebab
dermatitis alergi kontak. Jika pada penempelan bahan kulit menunjukkan reaksi,
mungkin pasien alergi terhadap bahan tersebut, ataupun bahan atau benda lain yang
mengandung unsur tersebut. Cara melakukan tes tempel yaitu bahan-bahan yang akan
dites ditaruh pada kertas saring, yang diletakkan diatas lembaran impermeabel.
Kemudian ditempelkan pada kulit dengan plester. Tempat pemasangan bisa di
punggung. Pembacaaan cilakukan setelah 48 jam . sesudah plester dilepas kemudian
pasien diminta menunggu selama 1/2-1 jam dan diulangi setelah 96 jam. Hasil :
 0 = tidak ada reaksi
 +/- = eretmia ringan, meragukan
 1+ = reaksi ringan (eretmia dengan edema ringan)
 2+ = reaksi kuat (papular eretmia dengan edema)
 3+ = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)

TES PROVOKASI
Tes provokasi merupakan tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada
pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan
ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya.
1. Tes Provokasi Nasal
Pada tes ini alergen diberika pada mukosa hidung baik dengan disempritkan
atau menghisap alergen yang keirng melalui satu lubang hidung sedan libang
hidung yang lain ditutup. Tes dianggap positif bila dalam beberapa menit
timbul bersin-bersin,pilek, hidung tersumbat, dan batuk.

2. Tes Provokasi Bronkial


Pasien asma umumnya mempunyai kepekaan yang berlebihan terhadap
berbagai rangsangan, baik bersifat alergen maupun non alergen. Banyak cara
untuk menimbulkan serangan asma, tetapi yang paling sering dipakai adalah
tes kegiatan jasmani, tes inhalasi antigen, dan tes inhalasi metakolin dan tes
inhalasi histamin.
(Ilmu Penyakit Dalam Ed VI,2014)

L.O 1.5 Tatalaksana


Antihistamine

Antihistamin atau antagonis histamin adalah zat yang mampu mencegah pelepasan
atau kerja histamin. Ada banyak golongan obat yang termasuk dalam antihistamin,
yaitu antergan, neontergan, difenhidramin, dan tripelenamin yang efektif untuk
mengobati edema, eritem, dan pruritus, dan yang baru ini ditemukan adalah
burinamid, metiamid, dan simetidin untuk menghambat sekresi asam lambung akibat

[Type text] Page 13


histamin. Ada 2 jenis antihistamin, yaitu Antagonis reseptor H1 (AH1) dan
Antagonis reseptor H2 (AH2).
1) Antagonis reseptor H1 (AH1)
a. Farmakodinamik :
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, bermacam
otot polos, selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin
endogen berlebihan.
b. Farmakokinetik :
Efek yang ditimbulkan dari antihistamin 15-30 menit setelah pemberian oral
dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 umumnya 4-6 jam. Kadar
tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot,
dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah
hati. AH1 disekresi melalui urin setelah 24 jam, terutama dalam bentuk
metabolitnya
a. Indikasi :
AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik berbagai penyakit alergi dan
mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
b. Efek samping :
Efek samping yang paling sering adalah sedasi. Efek samping yang
berhubungan dengan AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi,
penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, tremor, nafsu makan
berkurang, mual, muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau
diare,mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan
lemah pada tangan.
2) Antagonis reseptor H2 (AH2)
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Antagonis
reseptor H2 yang ada dewasa ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan
nizatidin.
1. Simetidin dan Ranitidin
a. Farmakodinamik :
Simetadin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Kerjanya menghambat sekresi asam lambung. Simetadin dan
ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung.
b. Farmakokinetik :
Absorpsi simetidin diperlambat oleh makan, sehingga simetidin diberikan
bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperanjang
efek pada periode pasca makan. Ranitidin mengalami metabolisme lintas
pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral.
Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya
melalui tinja.
c. Indikasi :
Efektif untuk mengtasi gejala akut tukak duodenum dan mempercepat
penyembuhannya. Selain itu, juga efektif untuk mengatasi gejala dan
mempercepat penyembuhan tukak lambung. Dapat pula untuk gangguan
refluks lambung-esofagus.
d. Efek samping :
Efek sampingnya rendah, yaitu penghambatan terhadap resptor H2, seperti
nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam, kulit,
pruritus, kehilangan libido dan impoten.

[Type text] Page 14


2. Famotidin
a. Farmakodinamik :
Famotidin merupakan AH2sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambung pada keadaan basal, malam, dan akibat distimulasi oleh
pentagastrin. Famotidin 3 kali lebih poten daripada ramitidin dan 20 kali
lebih poten daripada simetidin.
b. Farmakokinetik :
Famotidin mencapai kadarpuncak di plasma kira kira dalam 2 jam setelah
penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam. Metabolit utama
adalah famotidin-S-oksida. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh
eliminasi dapat melibihi20 jam.
c. Indikasi :
Efektifitas pbat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung, refluks
esofagitis, dan untuk pasiendengan sindrom Zollinger-Ellison.
d. Efek samping :
Efek samping ringan dan jarang terjadi, seperti sakit kepala, pusing,
konstipasi dan diare, dan tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
3. Nizatidin
a. Farmakodinamik :
Potensi nizatin daam menghambat sekresi asam lambung.
b. Farmakokinetik :
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam,
masa paruh plasma sekitar 1,5 jam dan lama kerja sampai dengn 10 jam,
disekresi melalui ginjal.
c. Indikasi :
Efektifitas untuk tukak duodenum diberikan satu atau dua kali sehari
selama 8 minggu, tukak lambung, refluks esofagitis, sindrom Zollinger-
Ellion.
d. Efek samping :
Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi, dan tidak memiliki efek
antiandrogenik

Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di kulit
kelenjar adrenal. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh,
misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan
pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit
darah, serta tingkah laku. Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan
sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara
difusi pasif.
a. Farmakodinamik :
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan
lemak.selain itu juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot
lurik, sistem saraf dan organ lain.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan besar
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid.
1. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek
anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit
kecil.

[Type text] Page 15


2. Efek pada mineralokortikoid ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit,
sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 3 golongan berdasarkan massa
kerjanya.
1. Sediaan kerja singkat mempunyai masa paruh biologis kurang dari 12 jam.
2. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh biologis antara 12-36 jam.
3. Sediaan kerja lama mempunyai masa paruh biologis lebih dari 36 jam.
b. Farmakokinetik :
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mulai
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor dan
ikatan protein.
Glukokortikoid dapat di absorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang
sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistematik, antara lain supresi korteks adrenal.
c. Indikasi :
Dari pengalaman klinis diajukan 6 prinsip yang harus diperhatikan sebelum obat
ini digunakan:
1) Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial dan error dan harus di evaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan
perubahan penyakit.
2) Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
3) Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
4) Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih dari hingga dosis
melebihi dosis substisusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah.
5) Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena
efek anti-inflamasinya.
6) Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai risiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat
mengancam jiwa pasien.
d. Kontraindikasi :
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan
yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi relatif dapat dilupakan, terutama
pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atu beberapa minggu,
kontraindikasi relatif yaitu diabetes melitustukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lainnya.
e. Efek samping :
1) Efek samping dapat timbul karena peenghentian pemberian secara tiba-tiba
atau pemberian terus-menerus terutama dengan dosis besar.
2) Pemberian kortikosteroid jangka lama yang dihentikan tiba-tiba dapat
menimbulkan insifisiensi adrenalm akut dengan gejala demam, malgia,
artralgia dan malaise.
3) Komplikasi yang timbul akibat pengobatan lama ialah gangguan cairan dan
elektrolit , hiperglikemia dan glikosuria, mudah mendapat infeksi terutama
tuberkulosis, pasien tukak peptik mungkin dapat mengalami pendarahan atau
perforasi, osteoporosis dll.

[Type text] Page 16


4) Alkalosis hipokalemik jarang terjadi pada pasien dengan pengobatan derivat
kortikosteroid sintetik.
5) Tukak peptik ialah komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada pengobatan
dengan kortikosteroid. Sebab itu bila bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melaakukan pemeriksaan radiologik terhadap saluran cerna bagian atas
sebelum obat diberikan.
( Farmakologi UI )

Klasifikasi Kortikosteroid Oral

LI II Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe I


L.O 2.1 Mediator

Mediator primer utama pada Hipersensitivitas Mediator sekunder utama pada


Tipe 1 Hipersensitivitas Tipe 1
Mediator Efek Mediator Efek
Peningkatan
Peningkatan permeabilitas kapiler, permebilitas kapiler,
Histamin vasodilatasi, kontraksi otot polos, Bradikinin vasodilatasi, kontraksi
sekresi mukosa gaster otot polos, stimulasi
ujung saraf nyeri
Kontrakso otot polos
ECF-A Kemotaksis eosinofil Prostaglandin D2 paru, vasodilatasi,
agregasi trombosit
Kontraksi otot polos,
peningkatan
NCF-A Kemotaksis neutrofil Leukotrien
permeabilitas,
kemotaksis
Sekresi mukus bronkial, degradasi Aktivasi berbagai sel
Protease membran basal pembuluh darah, Sitokin radang
pembentukan produk pemecah

[Type text] Page 17


komplemen

Agregasi dan degranulasi trombosit,


PAF
kontraksi otot polos paru
Hidrolase
Degradasi matriks ekstraseluler
asam
(Imunologi UI,2014)
Mediator Sel Mast yang Sudah Terbentuk

Mediator Kerja
Histamin ECF-A Meningkatkan permeabilitas
kapiler; kontraksi otot polos
Seretonin Meningkatkan permeabilitas
kapiler; kontraksi otot polos
HMW-NCF Perekrutan neutrofil
Protease (misal, triptase) Degredasi membran basal;
membelah protein komplemen

Mediator Sel Mast yang Baru Disentesis

Mediator Kerja
Leukotrien (C,D, dan E) Meningkatkan permeabilitas
kapiler; kontraksi otot polos
Platelet-activating factor (PAF) Agregasi trombosit;kontraksi
otot polos
Prostaglandin D2 Kontriksi otot polos bronkus
Sitokin (IL-4 ,-5,-6) Berbagai kerja yang berbeda

L.O 2.2 Mekanisme


Paparan pertama terhadap alergen

Aktivasi antigen sel Tfh dan sel Th2 dan rasangan perubahan kelas IgE pada sel B

Produksi IgE
Peningkatan IgE ke FceRI di sel mast
Paparan berulang pada alergen Amine vasoaktif ,mediator lipid
Aktivasi sel mast: pelepasan mediator Sitokin
Interaksi ikatan silang antara Fce-RI dan IgE pada permukaan sel mast memacu aktivasi Syk.
Sinyal dari Syk dengan cepat ditransduksi yang menimbulkan degranulasi,produksi LT dan

[Type text] Page 18


transkripsi gen sitokin/kemokin. Penglepasan mediator inflamasi tersebut berperan dalam
gejala akut dan kronis penyakit alergi
Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsangsel B berkembang menjadi
sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel
mast dan basofil (banyak molekul IgE dengan berbagai spesifisitas dapat diikat FceR1).
Pajanan kedua dengan alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat
sel mast,memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif ) dari sel mast dan
basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan
permeabilitas vaskular dan vasodilatasi , kerusakan jaringan dan anfilaksis.
(Imunologi Abbas, 2016)
Terdapat 3 fase :
1. Fase Senitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang
oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast/basofil
2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast/ basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Hal ini terjadi oleh ikatan silang dan IgE
3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/ basofil dengan aktivas farmakologik
(Imunologi UI Ed 11,2014)

L.O 2.3 Manifestasi Klinis


1. Reaksi lokal
Reaksi hipersensitifitas tipe 1 lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik
yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergan masuk.
Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe 1 adalah diturunkan dan disebut
atopi. Sedikitnya 20% populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE
seperti rinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. IgE yang biasanya dibentuk
dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada
pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat
pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke
dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata,
hidung dan saluran nafas.
2. Reaksi sistemik – anafilaksis
Anafilaksisi adalah reaksi Tipe 1 yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa
menit saja. Anafilaksis adalah reeaksi hipersensitifitas Gell dan Coombs Tipe 1
atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa.
Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator.
Reaksi dapat dipacu berbagai alergan seperti makanan (asal laut, kacang-
kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan
bahan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
3. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang
melibatkan pengelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.

[Type text] Page 19


Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Secara
klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme,
anafilaksis, pruritis, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi
klinisnya sering serupa, sehingga kulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi
anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dengan yodium,
AINS, etilenoksid, taksol, penisilin, dan pelemas otot.
4. Perbedaan Anafilaksis dan Anafilaktoid
Kriteria kasar untuk membedakan alergi dengan pseudoalergi
Alergi Pseudoalergi
Perlu sensitasi Tidak perlu sensitasi
Reaksi setelah pajanan berulang Reaksi pada pajanan pertama
Jarang (<5%) Sering (>5%)
Gejala klinis khas Gejala tidak khas
Dosis pemicu kecil Tergantung dosis (tergantung
kecepatan pemberian pada infus)
Ada kemungkinan riwayat keluarga Tidak ada riwayat keluarga (kecuali
defek enzim)
Pengaruh fisiologis sedang Pengaruh fisiologis kuat
(Imunologi UI Ed 11,2014)
LI III Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe II
L.O 3.1 Mekanisme
1.1. Mekanisme
Reaksi tipe II juga disebut reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian
sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen
yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau
molekul asesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan
juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan
melalui ADCC.
(Imunologi UI Ed 11,2014)

L.O 3.2 Manifestasi Klinis


• Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada eritrosit disandi oleh
berbagai gen. Reaksi transfusi terjadi apabila individu mendapat transfusi
darah dari golongan yang berbeda jenis dengan darahnya. Hal ini
menimbulkan kerusakan direk oleh hemolisis masif intravaskular.
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan
darah ABO yang dipacu IgM. Dalam beberapa jam, hemoglobin bebas dapat
ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan
hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada
kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil,

[Type text] Page 20


nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan
hemoglobinuria.
• Reaksi hemolitik bayi baru lahir
Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir ditimbulkan oleh
inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah
Rhesus negatif dan janin dengan Rhesus positif.
• Anemia hemolitik
Antibiotik tertentu seperti penisilin, sefalosporin dan streptomisin
dapat diabsorbsi nonspesifik pada protein membran eritrosit yang membentuk
kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa
penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat
pada eritrosit dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan
anemia progresif.
(Imunologi UI Ed 11,2014)
LI IV Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe III
L.O 4.1 Mekanisme
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati,limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati,limpa dan
paru tanpa bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah
dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut suliy utk
dimusnahkan . karena lebih lama dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit
merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut dimushakan.
1. Kompleks imun mengendap di pembuluh darah
Antigen berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria) , bahkan yang terhirup
(jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri. Infeksi
yang disebabkan oleh antigen dlam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons
antibodi yang efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirka kompleks
imu n sehingga makrofag dirangsang terus untuk melepas berbagai bahan yang dpat merusak
jarigan. Kompleks imun IgM atau IgG3 dapat juga IgA diendapkan di membran basal
vaskular dan membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas.
Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregrasi trombosit ,aktivasi makrofag ,
perubahan peremeabilitas vaskular dll.
Endapan kompleks imun dalam vaskular bed menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi
komplemen yang disusul oleh infiltrasi PMN. Faktor yang dilepas oleh PMN yang diaktifkan
menimbulkan kerusakan pada jaringan serta gambaran patologi kerusakan akibat komplemen
(MAC) atau memluli lisis oleh penglepasan granul sitotoksik
L.O 4.2 Jenis-jenis Reaksi
A. Reaksi Lokal atau Fenomena Arthus
Pada mulanya, Arthus menyuntikkan serum kuda ke kelinci secara berulang di
tempat yang sama. Dalam waktu 2-4 jam, terdapat eritema ringan dan edem
pada kelinci. Lalu setelah sekitar 5-6 suntikan, terdapat perdarahan dan nekrosis
di tempat suntikan. Hal tersebut adalah fenomena Arthus yang merupakan
bentuk reaksi kompleks imun. Antibodi yang ditemukan adalah presipitin.
Reaksi Arthus dalam kilinis dapat berupa vaskulitis dengan nekrosis.

[Type text] Page 21


Mekanisme pada reaksi arthus adalah sebaga berikut :
1. Neutrofil menempel pada endotel vaskular kemudian bermigrasi ke jaringan
tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul yaitu berupa
pengumpulan cairan di jaringan (edema) dan sel darah merah (eritema)
sampai nekrosis.
2. C3a dan C5a yag terbentuk saat aktivasi komplemen meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah sehingga memperparah edema. C3a dan C5a
juga bekerja sebagai faktor kemotaktik sehingga menarik neutrofil dan
trombosit ke tempat reaksi. Neutrofil dan trombosit ini kemudian
menimbulkan statis dan obstruksi total aliran darah.
3. Neutrofil akan memakan kompleks imun kemudian akan melepas bahan-
bahan seperti protease, kolagenase dan bahan-bahan vasoaktif bersama
trombosit sehingga akan menyebabkan perdarahan yang disertai nekrosis
jaringan setempat.
B. Reaksi Sistemik atau Serum Sickness
Antibodi yang berperan dalam reaksi ini adalah IgG atau IgM dengan
mekanisme sebagai berikut:
1. Komplemen yang telah teraktivasi melepaskan anafilatoksin (C3a dan C5a)
yang memacu sel mast dan basofil melepas histamin.
2. Kompleks imun lebih mudah diendapkan di daerah dengan tekanan darah
yang tinggi dengan putaran arus (contoh: kapiler glomerulus, bifurkasi
pembuluh darah, plexus koroid, dan korpus silier mata)
3. Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk
mkrotrombi kemudian melepas amin vasoaktif. Bahan-bahan vasoaktiv
tersebut mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan inflamasi.
4. Neutrofil deikerahkan untuk menghancurkan kompleks imun. Neutrofil
yang terperangkap di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks tetapi
akan tetap melepaskan granulnya (angry cell) sehingga menyebabkan lebih
banyak kerusakan jaringan.
5. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut juga meleaskan mediator-
mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan.

Dari mekanisme diatas, beberapa hari – minggu setelah pemberian serum asing
akan mulai terlihat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan
rasa sakit di beberapa bagian tubuh sendi dan kelenjar getah bening yang dapat
berupa vaskulitis sistemik (arteritis), glomerulonefritis, dan artiritis. Reaksi
tersebut dinamakan reaksi Pirquet dan Schick.
(Imunologi UI,2014)
LI V Memahami dan Menjelaskan Hipersensitivitas Tipe IV
L.O 5.1 Mekanisme
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV:
a. Fase sensitasi
Membutuhkan waktu 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen. Th
diaktifkan oleh APC melalui MHC-II. Berbagai APC (sel Langerhans/SD
pada kulit dan makrofag) menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar
limfoid regional untuk dipresentasikan ke sel T sehingga terjadi proliferasi
sel Th1 (umumnya).

[Type text] Page 22


b. Fase efektor
Pajanan ulang dapat menginduksi sel efektor sehingga mengaktifkan sel
Th1 dan melepas sitokin yang menyebabkan :
1) Aktifnya sistem kemotaksis dengan adanya zat kemokin (makrofag dan
sel inflamasi). Gejala biasanya muncul nampak 24 jam setelah kontak
kedua.
2) Menginduksi monosit menempel pada endotel vaskular, bermigrasi ke
jaringan sekitar.
3) Mengaktifkan makrofag yang berperan sebagai APC, sel efektor, dan
menginduksi sel Th1 untuk reaksi inflamasi dan menekan sel Th2.
Mekanisme kedua reaksi adalah sama, perbedaannya terletak pada sel T yang teraktivasi.
Pada Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV, sel Th1 yang teraktivasi dan pada T Cell
Mediated Cytolysis, sel Tc/CTL/ CD8+ yang teraktivasi.
(Imunologi UI,2014)
L.O 5.2 Jenis-jenis Reaksi
1.1. Jenis-Jenis Reaksi
Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Reaksi Tipe IV merupakan hipersensitivitas granulomatosis. Biasanya terjadi
terhadap bahan yang tidak dapat disingkirkan dari rongga tubuh seperti talcum
dalam rongga peritoneum dan kolagen sapi dari bawah kulit. Ada beberapa fase
pada respons Tipe IV yang dimulai dengan fase sensitasi yang membutuhkan 1-2
minggu setelah kontak primer dengan atigen. Dalam fase itu, Th diaktifkan oleh
APC melalui MHC-II. Reaksi khas DTH seperti respons imun lainnya
mempunyai 2 fase yaitu fase sensitasi dan fase efektor.
Berbagai APC seperti sel Langerhans (SD di kulit) dan makrofagyang
menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid regional untuk
dipresentasikan ke sel T. sel T yang diaktifkan pada umumnya adalah sel CD4+
terutama Th1, tetapi pada beberapa hal sel CD8+ dapat juga diaktifkan. Pajanan
ulang dengan antigen menginduksi sel efektor. Pada fase efektor, sel Th1 melepas
berbagai sitokin yang mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi
non spesifik lain. Gejala biasanya baru Nampak 24 jam sesudah kontak kedua
dengan antigen. makrofag merupakan efektor utama respon DTH. Sitokin yang
dilepas sel Th1 menginduksi monosit menempel ke endotel vaskular, bermigrasi
dari sirkulasi darah ke jaringan sekitar.
Influx makrofag yang diaktifkan berperan pada DTH terhadap parasite dan
bakteri intraseluler yang tidak dapat ditemukan oleh antibodi. Enzim litik yang
dilepas makrofag menimbulkan destruksi nonspesifik pathogen intraseluler yang
hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan pada beberapa hal, antigen tidak
mudah dibersihkan sehingga respon DTH memanjang dan dapat merusak jaringan
penjamu dan menimbulkan reaksi granuloma. Granuloma terbentuk bila
makrofag terus menerus diaktifkan dan menempel satu dengan lainnya yang
kadang berfusi membentuk sel datia multinuclear yang disebut sel datia. Sel datia
tersebut mendorong jaringan normal dari tempatnya, membentuk nodul yang
dapat diraba dan melepas sejumlah besar enzim litik yang merusak jaringan
sekitar. Pembuluh darah dapat dirusak dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Respon terhadapt M. tuberculosis merupakan respon DTH yang bermata dua.
Imunitas terhadap M. tuberculosis menimbulkan respon DTH yang mengaktifkan
makrofag untuk memasang batasan kuman dari paru, kuman diisolasi dalam lesi

[Type text] Page 23


granuloma yang disebut tuberkel. Enzim litik yang sering dilepas makrofag yang
diaktifkan dalam tuberkel merusak jaringan paru sehingga terjadi kerusakan
jaringan yang lebih besar dibanding keuntungan yang diperoleh dari DTH.
Granuloma terbentuk pada tuberculosis, lepra, skistosomiasis, lesmaniasis dan
sarkoidosis.

Sitokin yang berperan pada DTH


Di atantara sitokin yang diproduksi, sel Th1 berperan dalam menarik dan
mengaktifkan makrofag ke tempat infeksi. IL-3 dan GM-CSF menginduksi
hematopoiesis lokal dari sel garis granulosit-monosit. IFN-𝛾 dan TNF-𝛽beserta
sitokin asal makrofag (TNF-𝛼 dan IL-1) memacu sel endotel untuk menginduksi
sejumlah perubahan yang memudahkan ekstravasasi sel seperti monosit dan sel
nonspesifik lain. Neutrofil dan monosit dalam sirkulasi menempel pada molekul
adhesi sel endotel dan bergerak keluar dari vaskular menuju rongga jaringan.
Neutrophil Nampak dini pada reaksi memuncak pada 6 jam. Infiltrasi monosit
terjadi antara 24-48 jam setelah pajanan dengan antigen. Monosit yang masuk
jaringan menjadi makrofag yang ditarik ke tempat DTH oleh kemokin seperti
MCP-1/CCL2. MIF mencegah makrofag untuk bermigrasi keluar dari lokasi
reaksi DTH.

IFN-𝛾 dan TNF-𝛽 yang diproduksi sel CD4+ Th1 mengaktifkan makrofag
lebih aktif berperan sel efektor dan sebagai APC melepas IL-12. Yang akhir
menginduksi Th1 dan lebih efektif menginduksi IFN-𝛾 yang menekan aktifitas
sel Th2 dan mengaktifkan makrofag yang meginduksi inflamasi. Pada DTH,
kerusakan jaringan disebabkan oleh produksi makrofag yang diaktifkan seperti
enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat dan sitokin
proinflamasi. IL-18 adalh sitokin lain yang diproduksi makrofag yang bersama
IL-12 memacu Th1 untuk lebih banyak memproduksi IFN-𝛾. Respon yang sifat
proteksi yang menguntungkan dan respons yang merusak yang ditandai oleh
kerusakan jaringan.

(Imunologi UI,2014)
LI VI Memahami dan Menjelaskan tentang Pandangan Islam terhadap Alergi Obat
1. Maslahah
Kitab al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengemukakan penjelasan tentang al-maslahah
yaitu: “Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran untuk mengabil manfaat
atau menghindarkan kemudaratan, tapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab
meraih manfaat dan menghindarkan kemudaratan terseut bukanlah tujuan
kemasalahatan manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksud dengan
maslahah adalah memelihara tujuan syara. Ungkapan al-Ghazali ini memberikan
isyarat bahwa ada dua bentuk kemaslahatan, yaitu:
a) Kemasalahatan menurut manusia, dan
b) Kemaslahatan menurut syari‟at.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dikisahkan bahwa seorang Anshar
terluka di perang Uhud. Rasulullah pun memanggil dua orang dokter yang ada di kota

[Type text] Page 24


Madinah, lalu bersabda, “Obatilah dia.” Dalam riwayat lain ada seorang sahabat
bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah ada kebaikan dalam ilmu kedokteran?” Rasullah
menjawab, “Ya,”
Begitu pula yang diriwayatkan dari Hilal bin Yasaf bahwa seorang lelaki menderita
sakit di zaman Rasulullah. Mengetahui hal itu, beliau bersabda, “Panggilkan dokter.”
Lalu Hilal bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah dokter bisa melakukan sesuatu
untuknya?” “Ya,” jawab beliau. (HR Ahmad dalam Musnad: V/371 dan Ibnu Abi
Syaibah dalam Mushannaf: V/21)
Hilal meriwayatkan bahwa Rasulullah mnjenguk orang sakit lalu bersabda,
“Panggilkan dokter!” kemudian ada yang bertanya, “Bahkan engkau mengatakan hal
itu, wahai Rasulullah?” “Ya,” jawab beliau.
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bagaimana Rasulullah menganjurkan
kita untuk berobat dan berusaha menggunakan ilmu kedokteran yang diciptakan Allah
untuk kita. Kita juga ditekankan agar tidak menyerah pada penyakit karena Rasulullah
bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada
mukmin yang lemah.” (HR Muslim (34) dan Ahmad: II/380)
Di antaranya yang ada di Musnad Ahmad. Hadits Ziyadah bin Alaqah dari
Usamah bin Syuraik menuturkan,”Aku berada bersama Nabi lalu datanglah
sekelompok orang Badui dan bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah kita boleh
berobat?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, wahai hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya
Allah tidak menciptakan penyakit kecuali Allah menciptakan obatnya, kecuali satu
macam penyakit.’ Mereka bertanya,’Apa itu?’ Rasulullah menjawab,’Penyakit
tua’.”(HR Ahmad dalam Musnad : IV/278, Tirmidzi dalam Sunan (2038))
Nabi bersabda,”Setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat tepat pada
penyakitnya maka ia akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim: I/191)
Abu Hurairah meriwayatkan secara marfu’, “Tidaklah Allah menurunkan panyakit
kecuali menurunkan obatnya.”(HR Bukhari: VII/158)
Dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda, “Kesembuhan ada pada tiga hal, minum madu,
pisau bekam, dan sengatan api. Aku melarang umatku menyengatkan api.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Dari firman Allah disini dapat dipahami: bahwasanya agama islam di bagun untuk
kemaslahatan artinya : semua syari’at dalam perintah dan larangannya serta hukum-
hukumnya adalah untuk mashoolihi (manfaat-manfaat) dan makna masholihi adalah:
jamak dari maslahat artinya : manfaat dan kebaikan.

[Type text] Page 25


Daftar Pustaka

Abbas, Abul K., Andrew H. Lichtman, Shiv Pillai. (2016) Imunologi Dasar Abbas: Fungsi dan
Kelainan Sistem Imun, edisi Indonesia kelima. Elsevier.

Baratawidjaja,Karnen Garna, Iris Rengganis.2014. Imunologi Dasar. Jakarta : FKUI

Gunawan, S. G. (ed). ( 2012 ). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI

Katzung, Bertram G., Susan B. Masters, Anthony J, Trevor (2012) Farmakologi Dasar & Klinik, Ed.
12, Vol. 2. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Setiati Siti.Ilmu Penyakit Dalam.2014.Jakarta.Interna Publishing

[Type text] Page 26

Anda mungkin juga menyukai