Anda di halaman 1dari 47

TUGAS LAPSUS

OPEN DEGLOVING INJURY FEMUR SINISTRA DAN POST


OREFF FEMUR SINISTRA

OLEH :
Habiburrahman
H1A 011 026

SUPERVISOR:
dr. Badriyatud Dini, Sp.BP-RE

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya
dari lingkungan hidup manusia, juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Fungsi utama kulit adalah proteksi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh,
pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D dan keratinisasi. Kulit menjaga
bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis, misalnya gesekan atau
tarikan. Trauma mekanis ini yang menyebabkan terjadinya degloving.1
Degloving merupakan gangguan pada kulit sedikit sampai luas dengan
variasi kedalaman jaringan yang disebabkan trauma ditandai dengan rusaknya
struktur yang menghubungkan kulit dengan jaringan dibawahnya ,kadang masih
ada kulit yang melekat dan ada juga bagian

yang terpisah dari jaringan

dibawahnya. Degloving dapat juga berhubungan dengan permukaan pada jaringan


lunak, tulang, persarafan ataupun vaskuler. Jika trauma menyebabkan kehilangan
aliran darah pada kulit, maka dapat terjadi nekrosis. Trauma degloving ini
seringkali membutuhkan debridement untuk menghilangkan jaringan yang
nekrosis. Trauma degloving dalam jumlah besar disertai dengan jaringan yang
lebih profunda menyebabkan jaringan terkelupas atau berupa sayatan. 2
Degloving paling sering terjadi pada daerah lengan maupun tungkai. Hal
ini biasanya disebabkan oleh trauma mekanis, biasanya oleh karena trauma pada
kendaraan bermotor, trauma akibat kipas angin. Namun juga bisa akibat trauma
tumpul. 2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI KULIT
Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena
posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa 15 m 2 dengan
berat kira-kira 15% berat badan. Struktur kulit terdiri dari epidermis, dermis, dan
hipodermis.3

Gambar 1. Lapisan dan struktur kulit


a.

Lapisan Epidermis (kutikel) terdiri dari stratum korneum, stratum lusidum,


stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basalis.3

Gambar 2. Lapisan kulit epidermis


o

Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit paling luar


yang terdiri dari sel gepeng yang mati, tidak berinti, protoplasmanya
berubah menjadi keratin (zat tanduk).3
3

Stratum lusidum adalah lapisan yang terletak di bawah lapisan

korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti, protoplasmanya berubah menjadi


protein yang disebut eleidin. Lapisan ini lebih jelas tampak pada telapak
tangan dan kaki.3
Stratum granulosum (lapisan keratohialin) adalah 2 atau 3 lapis sel

gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya.


Butir kasar terdiri dari keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai
lapisan ini.3
Stratum spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer

(lapisan akanta) terdiri dari sel yang berbentuk poligonal, protoplasmanya


jernih karena banyak mengandung glikogen, selnya akan semakin gepeng
bila semakin dekat ke permukaan. Di antara stratum spinosum, terdapat
jembatan antar sel (intercellular bridges) yang terdiri dari protoplasma dan
tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan ini membentuk
penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel
spinosum juga terdapat pula sel Langerhans.3
Stratum basalis terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun

vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar


(palisade). Sel basal bermitosis dan berfungsi reproduktif.3

Sel kolumnar adalah protoplasma basofilik inti lonjong


besar, di hubungkan oleh jembatan antar sel.3

Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell adalah


sel berwarna muda, sitoplasma basofilik dan inti gelap, mengandung
pigmen (melanosomes).3

b.

Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin) terdiri dari lapisan elastik dan
fibrosa pada dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut.3

Gambar 3. Lapisan kulit dermis


o

Pars Papilare merupakan bagian yang menonjol ke epidermis,


berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.3

Pars Retikulare merupakan bagian bawah yang menonjol ke


subkutan. Terdiri dari serabut penunjang seperti kolagen, elastin, dan
retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri dari cairan kental asam
hialuronat dan kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas.
Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan
(bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen
muda bersifat elastin, seiring bertambahnya usia, menjadi kurang larut dan
makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya
bergelombang, berbentuk amorf, dan mudah mengembang serta lebih
elastis.3

c.

Lapisan Hipodermis (subkutis) adalah lapisan paling dalam, terdiri dari


jaringan ikat longgar berisi sel lemak yang bulat, besar, dengan inti mendesak
ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dan
dipisahkan oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut dengan
panikulus adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini
terdapat saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Lapisan lemak
berfungsi juga sebagai bantalan, ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di
kelopak mata dan penis lebih tipis, di perut lebih tebal (sampai 3 cm).3

Gambar 4. Lapisan kullit hipodermis


Vaskularisasi di kulit diatur pleksus superfisialis (terletak di bagian atas
dermis) dan pleksus profunda (terletak di subkutis).3

B. DEGLOVING INJURY
1. Definisi
Degloving merupakan gangguan pada kulit sedikit sampai luas dengan
variasi kedalaman jaringan yang disebabkan trauma ditandai dengan rusaknya
struktur yang menghubungkan kulit dengan jaringan dibawahnya, kadang
masih ada kulit yang melekat dan ada juga bagian yang terpisah dari jaringan
dibawahnya. Degloving dapat juga berhubungan dengan permukaan pada
jaringan lunak, tulang, persarafan ataupun vaskuler. Jika trauma menyebabkan
kehilangan aliran darah pada kulit, maka dapat terjadi nekrosis. Trauma
degloving ini seringkali membutuhkan debridement untuk menghilangkan
jaringan yang nekrosis. Trauma degloving dalam jumlah besar disertai dengan
jaringan yang lebih profunda menyebabkan jaringan terkelupas atau berupa
sayatan.4
Degloving paling sering terjadi pada daerah lengan maupun tungkai.
Hal ini biasanya disebabkan oleh trauma mekanis, biasanya oleh karena
trauma pada kendaraan bermotor, trauma akibat kipas angin. Namun juga bisa
akibat trauma tumpul.4
2. Etiologi

Trauma degloving dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain karena


kecelakaan lalu lintas seperti terlindas dari kendaraan atau kecelakaan akibat
dari olah raga seperti roleer blade, sepeda gunung, acrobat dan skate board.
Trauma degloving ini mengakibatkan penurunan supplai darah ke kulit, yang
pada akhirnya dapat terjadi kerusakan kulit. Degloving yang luas dan berat
biasanya diakibatkan oleh ikat pinggang dan ketika tungkai masuk ke roda
kendaraan. Adapun penyebab lainnya bisa berupa kecelakaan pada escalator
atau biasa juga disebabkan oleh trauma tumpul 4.
Degloving minimal biasa terjadi pada pasien yang sudah tua, misalnya
benturan terhadap meja. Selain pada extremitas, degloving juga biasa terjadi
pada mucosa mandibula, yang diakibatkan oleh high jump pada acrobat biking
atau kecelekaan lalu lintas 4.
3. Klasifikasi
Hidalgo membagi cedera degloving menjadi tiga kelompok utama yaitu :
1. Degloving Tertutup
Merupakan cedera degloving dengan permukaan kulit yang intak tanpa
adanya luka luar. Jaringan subkutan terlepas dari jaringan dibawahnya,
sedang permukaan luar tanpa luka. Terjadi jika ada kekuatan shear
dengan energi yang besar dalam waktu singkat 5.
Tanda yang dapat ditemukan yaitu mobilitas kulit dan fluktuasi di
subkutis, disertai jejas seperti ban mobil dan luka abrasi. Bila tidak diatasi
segera, jaringan yang terkena dapat terjadi nekrosis karena putusnya
suplai darah ke kulit. Penanganan dari degloving tertutup yaitu dengan
dilakukan insisi untuk dekompresi dan mengeluarkan hematom dari lokasi
degloving 6.
Trauma ini jarang terjadi tapi penting diperhatikan karena terjadi pada
pasien dengan multiple trauma, dimana jaringan subkutan terlepas dari
jaringan dibawahnya. Klinis awalnya dari jenis ini seringkali tampak
normal pada permukaan kulit, dapat disertai dengan echimosis. Dan jika
tidak dikoreksi, akan menyebabkan peningkatan dari morbiditas yaitu
jaringan yang terkena akan mengalami necrosis. Untuk itu dilakukan
drainase dengan membuat insisi kecil yang bertujuan untuk kompresi, karena
terdapat ruangan yang terisi oleh hematome dan cairan. Luka degloving
7

yang tertutup terjadi jika ada kekuatan shear dengan energi yang cukup
dalam waktu yang singkat sehingga kulit tidak terkelupas. Tapi
didalamnya kadang dapat terjadi pemisahan antara jaringan dengan
pembuluh darah, hal ini menyebabkan bagian yang atas dari jaringan
yang terpisah menjadi nekrosis karena tidak mendapat aliran darah.
Komplikasi dari traksi dapat mengakibatkan trauma degloving luka
tertutup pada kulit sehingga dapat menyebabkan terjadinya lesi pada
kulit. Hal ini mungkin disebabkan oleh usia lanjut dan kulit yang lemah.
Jadi pada trauma degloving tertutup jaringan subkutan terlepas dari
jaringan dibawahnya, sedang bagian luar atau permukaan kulit tanpa luka
atau ada luka dengan ukuran yang kecil 5,6.

2. Degloving Terbuka
Merupakan cedera degloving dengan jaringan kulit terpisah dari dasarnya
disertai terputusnya permukaan kulit. 80% kasus degloving terbuka
disertai dengan fraktur tulang di bawahnya. Tanda yang dapat ditemukan
yaitu terangkatnya kulit dari jaringan sekitar disertai dengan luka terbuka
5,6

Trauma degloving ini terjadi akibat trauma pada tubuh yang


menyebabkan jaringan terpisah. Gambarannya berupa terangkatnya kulit
dari jaringan dibawahnya disertai dengan

luka yang terbuka. Ini

merupakan trauma degloving dengan luka terbuka 5,6.


3. Degloving yang terjadi pada area spesifik seperti daerah plantar dan kulit
kepala. Replantasi dan revaskularisasi diperlukan pada cedera ini.
4. Patofisiologi
Cedera degloving merupakan terlepasnya kulit dan jaringan subkutan
dari fasia dan otot yang terletak di bawahnya. Dinamakan degloving karena
dianalogikan dengan proses melepas glove (sarung tangan). Cedera semacam
ini paling banyak melibatkan ekstermitas bawah dan torso, dan penyebab
tersering adalah kecelakaan industri dan lalu lintas (Gamabr 1). Cedera dapat
terjadi pada seluruh bagian ekstremitas bawah, bahkan dapat meluas hingga ke
bagian bawah torso. Cedera tersebut sering disertai dengan fraktur atau cedera
lain yang dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi mulai dari infeksi
hingga kematian. Apalagi jika pasien berusia lanjut, risiko terjadinya
komplikasi semakin meningkat 9,10.
Pada pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan terjadi
tergilasnya bagian tubuh oleh tekanan ban akan menyebkan terjadinya trauma
degloving. Berat dan kecepatan kendaraan serta ukuran ban akan
menyababkan trauma ini.

Cedera degloving terjadi akibat gaya tangensial yang mengenai


permukaan kulit dengan permukaan yang ireguler yang mencengkram kulit
sehingga tidak licin. Ketika gaya ini dilawan dengan gerakan yang
berlawanan, kulit tertarik dan terlepas dari jaringan di bawahnya 4. Biasanya,
luka yang terjadi bersifat terbuka. Namun, ada pula cedera degloving yang
bersifat tertutup, yang lebih jarang ditemukan. Jika lukanya bersifat terbuka,
setelah terjadi cedera harus segera dilakukan tindakan menutup area yang
mengalami degloving. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko
terjadinya infeksi 11.

10

Gambar 1. Degloving injury pada femur

Gambar 2. Degloving injury pada femur


5. Gambaran klinis
Terkelupasnya lapisan kutis dan subkutis dari jaringan dibawahnya,
dapat juga masih terdapat bagian dari kulit yang melekat, ini terjadi pada
trauma degloving terbuka. Gejala klinik yang lain dapat pula ditemukan
gambaran permukaan kulit yang normal atau dapat disertai dengan echimosis,
ini terjadi pada trauma degloving tertutup.4
6. Diagnosis

11

Pemeriksaaan fisik pada pasien dengan cedera Degloving terdiri dari


beberapa langkah berikut 4:
1.
2.
3.
4.

Pemeriksaaan kondisi umum


Pemeriksaan cedera yang mengancam jiwa
Pemeriksaaan cedera mayor
Pemeriksaan area degloving
Sejauh mana kulit yang hilang
Ekspos/ cedera struktur vital
Gerakan yang bisa dilakukan

7. Manajemen
Trauma degloving pada pelvis, torso dan ekstremitas merupakan
tantangan penanganan luka. Tata laksana saat ini ditujukan untuk menutup
luka dengan split thickness skin graft (STSG). Masalah muncul dalam
preparasi bed luka karena pasien tidak mobile, kontaminasi urine atau feses,
dan permasalahan sistemik seperti anemia,

hipoalbuminemia dan sepsis.

Selama perawatan pasca penutupan defek dengan STSG, muncul kesulitan


mempertahankan imobilisasi graft karena lokasi luka tersebut.
Tata laksana pasien degloving harus mencakup preparasi bed luka yang
adekuat dengan balutan yang meminimalisasi infeksi dan merangsang jaringan
granulasi, mempertahankan kondisi sistemik yang baik dengan memberikan
nutrisi adekuat, memperhatikan kadar albumin dan elektrolit, mencegah SIRS
dan sepsis. Setelah penutupan luka dengan STSG, harus diperhatikan cara
imobilisasi graft dan mempertahankan lingkungan ideal demi keberhasilan
graft.5
Penanganan degloving tertutup
Suvey primer (ABCDE)
Penilaian vitalitas jaringan (kulit yang degloving)
Jaringan non vital di eksisi
Bila jaringan vital :
1. Insisi kecil diatas daerah degloving
2. Evakuasi hematom dan jaringan lemak nekrotik
3. Irigasi luka
4. Pasang drain
5. Balut tekan
Bila terdapat devormitor kontur, luka dibuka lebar dan jaringan lemak
yang nekrotik di eksisi

12

Penanganan degloving terbuka


Survey Primer (ABCDE)
Debridement dan irigasi
Penilaian vitalitas kulit degloving
Vitalitas otot : warna, tugor, perdarahan, kontraktilitas, bila tidak vital
eksisi
Bila terjadi compartement syndrome : fasciotomi
Otot yang viabel dirotasi atau transposisi untuk menutup tulang yang
ekspose
Raw surface ditutup dengan STSG atau FTSG
Penutupan luka tanpa tegangan
Prinsip 4:
1.
2.
3.
4.
5.

Pertahankan struktur sebanyak mingkin


Penutupan kulit definitive sesegera mungkin
Penutup kulit berkualitas baik
Pengembalian fungsi segera
Kemungkinan pengerjaan prosedur sekunder
Pada pasien lanjut usia, perlu diperhatikan pula risiko terjadinya

hematoma yang dapat menyebabkan komplikasi pada infeksi, bahkan


berpotensi menjadi massa jaringan lunak. Pri, oses aging mempengaruhi
turgor

dan

menurunkan

resistensi

terhadap

cedera.

Penting

untuk

menginvestigasi penyebab cedera dan mencari kondisi medis yang menyertai,


seperti neuropati diabetik dan penyakit vaskular pada ekstremitas bawah.
Beberapa manajemen awal yang dapat dilakukan, antara lain10:

Manajemen nyeri
Manajemen nyeri pada degloving injury mungkin diperlukan karena
adanya laserasi pada tempat cedera dapat menyebabkan hipersensitfitas
pada ujung serabut-serabut saraf superfisialis. Analgesik oral, gas NO dan
oksigen direkomendasikan untuk menghilangkan rasa nyeri sebelum

dilakukannya prosedur seperti membersihkan luka.


Debridemen
13

Pedoman dari British Association of Plastic, Reconstructive and Aesthetic


Surgeons (BAPRAS) dan British Orthopaedic Association (BOA)
menjelaskan bahwa debridement sangat perlu dilakukan pada degloving

injury.
Irigasi
Irigasi harus tetap dilakukan pada semua luka traumatis yang
terkontaminasi baik oleh tanah ataupun bahan limbah. Irigasi dapat
dilakukan dengan menggunakan larutan garam. Namun pada saat irigasi
dilakukan, sebaiknya menghindari pemberian tekanan yang tinggi pada
luka karena dapat menyebabkan cedera jaringan dan dapat meghambat

penyembuhan luka.
Kontrol infeksi
Luka bisa menjadi salah satu media untuk masuknya mikroorganisme ke
dalam jaringan dan struktur yang lebih dalam yang dapat memudahkannya
untuk berkembang biak sehingga perlu diberikan pengobatan untuk
menghambat terjadinya infeksi tersebut. Pengobatan yang bisa diberikan
antara lain memberikan antibiotik spectrum luas seperti sefalosporin dan
penisilin serta memberikan anti tetanus. Pada luka yang kurang dari 24
jam maka harus diberikan 250 unit tetanus immunoglobulin, sedangkan
pada luka yang lebih dari 24 jam maka harus diberikan 500 unit tetanus

immunoglobulin sebagai profilaksis.


Pembalutan luka
Pembalutan luka dilakukan tergantung pada beberapa faktor. Pada luka
yang membutuhkan manajemen bedah segera, maka luka dibalut dengan
menggunakan balut sementara, sedangkan pada luka yang jarak antara
cedera dan dilakukannya operasi lebih dari 24 jam, maka dianjurkan
pembalutannya dengan antiseptik topikal. Pada luka yang sampai struktur
dalam seperti tendon dan otot, dianjurkan menggunakan balut non-

adhering untuk memungkinkan penyerapan eksudat.


Vacuum assisted closure (VAC)
VAC dapat diterapkan dalam berbagai jenis luka pada pasien
dengan berbagai usia. Namun luka tersebut harus memiliki kemampuan

14

untuk menyembuhkan. VAC tidak dianjurkan pada pasein dengan nutrisi


yang jelek, infeksi dan kematian jaringan7,8.
Vacuum Assisted Closure (VAC) saat ini digunakan secara luas
sebagai salah satu alternatif perawatan luka dengan defek kulit yang luas.
Beberapa teori mengatakan bahwa VAC menarik eksudat, menguragi
edema disekitar luka, meningkatkan perfusi jaringan, mempertahankan
kondisi moist, merangsang pembentukan granulasi sehingga bed luka
sembuh lebih cepat atau dapat segera siap untuk menerima skin graft 7,8.
VAC disebut juga sebagai Negative Pressure Wound Therapy
(NPWT) atau biasa disebut dengan TNP (Topical Negative Pressure)
merupakan

terapi

non

farmakologis

yang

digunakan

dalam

penatalaksanaan luka akut maupun kronik, meliputi pressure ulcer


(dekubitus), luka diabetik, maupun luka karena trauma. Menurut
Fleischmann cit Vikatmaa (2008) konsep penggunaan tekanan negatif ini
sebenarnya

sudah

dikenal

sejak

tahun

1940an.

Namun

mulai

dikembangkan secara intensif pada tahun 1990 di Jerman dan Amerika


Serikat. Perusahaan yang pertama kali mempatenkankan hasil penelitian
ini adalah KCI (Kinetic Cncept Inc.) dengan nama Vacuum Asissted
Closure (V.A.C) 7,8.
Penggunaan NPWT dilakukan dengan cara memberikan tekanan
negatif lokal di permukaan luka. Permukaan luka akan tertutup oleh air
tight film yang terhubung dengan suction tube (terhubung dengan control
unit) yang mempunyai tekanan negatif terhadap permukaan luka dengan
tekanan 50-175 mmHg. Biasanya yang sering digunakan adalah 125
mmHg. Cairan yang disuction akan dikumpulkan dalam sebuah container
pada control unit 7,8.

15

8. Pilihan Operasi
Replantasi-Revaskularisasi
Pilihan utama dan terbaik pada kasus degloving adalah dengan
replantasi dan revaskularisasi. Ketika kulit yang cedera sudah terangkat
secara total dari tubuh, kulit dapat dikembalikan dengan prosedur bedah
yang dinamakan replantasi 4.
Saat kulit secara fisiologis mengalami degloving tetapi masih
menempel pada tubuh, kulit dapat divaskularisasi dengan anastomosis
arteri-arteri, arteri-vena, maupun vena-vena. Prosedur ini disebut
revaskularisasi. Jadi, menggantikan kulit yang mengalami degloving dan
memvaskularisasinya dengan anastomosis mikrovaskuler mengembalikan
kulit dan jaringan lunak dalam kualitas dan kuantitas yang baik 4. Namun,
pilihan ini mungkin tidak biasa dilakukan pada pasien-pasien tertentu
dengan alasan:
16

1. Kulit yang mengalami degloving hancur, atau vaskularisasi kulit sulit


diselamatkan
2. Ada kegawatan lain yang lebih mengancam jiwa, yang membutuhkan
tindakan pembedahan mayor segera
3. Ada penyakit komorbid yang menyertai, seperti usia lanjut, penyakit
jantung, ataupun diabetes mellitus yang tidak terkontrol, sehingga
anestesi yang terlalu lama dapat merugikan.
Jika replantasi atau revaskularisasi tidak memungkinkan, terkadang
bisa dengan menggunakan kulit yang mengalami degloving sebagai full
thickness graft atau thick split skin graft. Kulit dipisahkan dari jaringan
lemak dan dipasangkan di daerah degloving. Cara ini mungkin memiliki
kelemahan, yaitu strukturnya yang rapuh, sehingga mempertahankan
kontak tetap baik menjadi penting agar proses penyambungan berjalan
baik. Untuk mencapai hal ini, tekanan negative dalam bentuk suction
digunakan di bawah graft dan tekanan positif diberikan bersama dengan
dressing dan kompresi. Cara ini dapat digunakan jika tidak terdapat
kerusakan struktur kulit yang mengalami degloving. Jika cara ini tidak
memungkinkan, pilihan selanjutnya adalah amputasi

. Berdasarkan

penelitian Bosse dkk tahun 2002, outcome pada 2 tahun yang didapat pada
pasien yang menjalani rekonstruksi dengan pasien yang mengalami
amputasi adalah sama.
Tujuan Rekonstruksi 4:
1. Membuat kulit yang tipis, lentur, dan sensitif untuk mencegah
kekakuan dan pengerutan
2. Membuat jaringan yang direkonstruksi cepat sembuh, agar segera
dapat dilakukan mobilisasi
3. Membuta kulit cukup bertahan lama untuk menghadapi prosedur
bedah sekunder
4. Membuat hasil yang secara kosmetik dapat diterima
Tangga rekonstruktif pada degloving injury

17

Ahli Bedah Plastik telah mengatur pemilihan penutupan luka ke dalam


tangga rekonstruktif. Pertama adalah yang paling sederhana dan membutuhkan
tidak banyak ketrampilan. Jika pilihan pertama tidak memungkinkan, lakukan
langkah di atasnya, langkah yang lebih kompleks tekniknya. Namun langkah
tersebut memerlukan keahlian 13.
Terapi degloving yang sekarang dipakai adalah Dermal Regeneration
Template (DRT), yaitu pembentukan neodermis dengan cara Graft Epidermal.
Adapun tekniknya berupa Full Thickness Skin Graft (FTSG), Split Thickness Skin
Graft (STSG) , Pedical Flap atau Mikrovascular Free Flap. Penggunaan DRT
merupakan

terapi

terbaik

untuk

trauma

degloving

dan

juga

dapat

dipertimbangkan sebagai terapi, jika terdapat kehilangan jaringan sekunder yang


bisa menyebabkan avulsi 2.

Skin graft
Skiin graft adalah tindakan memindahkan sebagian tebal kulit dari satu
tempat ke tempat yang lain, dimana jaringan tersebut bergantung pada
pertumbuhan pembuluh darah kapiler baru dari jaringan penerima untuk
menjamin kehidupannya. Bagian kulit yang diangkat meliputi epidermis dan
sebagian atau seluruh dermis, tergantung ketebalan kulit yang dibutuhkan.
Jenis 13:

Split Thickness Skin Graft (STSG) yaitu skin graft yang terdiri atas
epidermis dan sebagian dermis, dibagi lagi menjadi

o Thick

: epidermis + bagian lapisan dermis

o Medium

: epidermis + bagian lapisan dermis

o Thin

: epidermis + bagian lapisan dermis

Full Thickness Skin Graft (FTSG) yaitu skin graft yang terdiri atas
epidermis dan seluruh bagian tebal dermis.

Composite Graft, yaitu skin graft yang terdiri atas epidermis, dermis dan
lemak subkutan dan jaringan tulang rawan.

Flap

18

Flap merupakan segmen jaringan mobile sebagai hasil suatu tindakan


bedah, dimana jaringan tersebut tetap berhubungan dengan suplai pembuluh
darah asalnya melalui pedikel 14.
Definisi lainnya flap merupakan jaringan kulit dan subkutan yang
dipindahkan dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh lainnya dengan satu
sisinya dilepaskan dari landasan vascular, dan dari sisi lain tetap melekat
dengan landasan vascularnya dengan tujuan untuk memberi kehidupan flap
tersebut 14.
Pada degloving injury pemilihan flap apabila dengan skin graft tidak
dapat menutup luka dikarenakan kedalaman dan luas luka.

19

Pada gambar a tampak open degloving injury, dimana pada kasus


tersebut dilakukan penjahit dan beberapa hari setalah penjahitan tampak
neokrosis pada jaringan kulit. Sedangkan pada gambar b kondisi pasien
setelah dilakukan free flap.
C. Fraktur Femur
1. Definisi
Fraktur femur merupakan diskontinuitas tulang femur.
2. Klasifikasi Fraktur Femur
Faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan letak garis fraktur seperti
dibawah ini:
Fraktur Intertrokhanter Femur

20

Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering
terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki
risiko nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik.
Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan
fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita
yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe 1 adalah garis
fraktur satu level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2 adalah garis patah
berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter minor; 3) Tipe 3
adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter minor. Penatalaksanaannya
dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan tertutup dengan
pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu kemudian dilanjutkan
dengan hip gips selam tujuh minggu yang merupakan alternatif pada
pasien dengan usia muda.
Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara
klinis dibagi menjadi:
1. Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak,
risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa
debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun
ekternal;
2. Fraktur tertutup

dengan

penatalaksanaan

konservatif

berupa

pemasangan skin traksi serta operatif dengan pemasangan platescrew.


Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai
gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang
dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, castbracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus yang gagal
konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-phroc dare
screw.
21

Fraktur Kondiler Femur


Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada sumbu femur ke
atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4-6
minggu dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika
sampai union sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila
konservatif gagal.
3.

Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang
ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi).
Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi
dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti
pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terusmenerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu, kemudian
diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang
bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam
gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat,
misalnya fraktur femur.
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan
fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada
fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan
meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan pemasangan prosthesis
secara operatif pada kolum
femur. Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar
(OREF) dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana
digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian
pin baja disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar.
Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan
rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka),
dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi

22

infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di


sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak
terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera
multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat,
atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan
pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur femur,
tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa
berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat dengan
skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif
adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi
interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan pemasangan
gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.
Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di
reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan
cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur
dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck),
fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa
meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan
yang sulit (paraplegia, pasien geriatri).

23

BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama

: Tn. M

Usia

: 21 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Praya

Suku

: Sasak

Agama

: Islam

Status

: Belum Menikah

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Security

No. RM

: 583152

24

MRS

: 19 September 2016

Tanggal pemeriksaan

: 22 September 2016

II. SUBYEKTIF
Keluhan Utama: Luka pada paha kiri
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien masuk RSUP NTB melalui UGD dan rujukan dari RSUD Kota
Mataram dengan post OREF Femur sinsitra hari 10 post Kecelakaan lalu
lintas.
Sepuluh hari SMRS, saat pasien sedang mengendarai sepeda motor terlindas
oleh truk dari arah bersamaan. Riwayat pingsan (-). Setelah kejadian pasien
mengeluh nyeri dan luka terbuka di paha kiri. Oleh penolong pasien dibawa
ke RS Kota Mataram, diinfus, disuntik obat-obatan, di roentgen, dilakukan
debridement dan jahit, dan dilakukan fiksasi eksternal terhadap fraktur femur
pasien. Saat ini pasien mengeluhkan luka pada paha kiri semakin nyeri dan
berubah warna menjadi hitam dan berair.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.
Penyakit DM, hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru atau asma disangkal
oleh keluarga pasien.
Riwayat Pengobatan:
Pasien sebelumnya dirawat di RS kota mataram dan dilakukan jahit dan
fixasi external pada femur sinistra.
Terapi yang diberikan:

Transfuse PRC

IVFD D5%
25

Injeksi ceftriaxone 2x1

Injeksi gentamisin 2x80 mg

Injeksi ranitidine 3x1

Injeksi santagesik

Riwayat Pribadi dan Sosial:


Pasien adalah seorang security
Riwayat Alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat.

III. OBYEKTIF
Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran

: E4V5M6

Nadi

: 80 x/menit

Pernapasan

: 20 x/menit

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Suhu aksila

: 36,8 C

Status Lokalis
Kepala:
1. Inspeksi:
Bentuk dan ukuran : asimetris
Rambut

: normal

Edema

: (-)

Mata:
-

Simetris

Konjungtiva: anemis (-/-),

26

Sclera : icterus (-/-)

Pupil : refleks pupil (+/+)

Telinga:
-

Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan

Otorea (-)

Hidung:
-

Simetris, deviasi septum (-)

Napas cuping hidung (-)

Rinorrea (-)

Mulut:
-

Bibir : sianosis (-)

Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-)

Leher:
Simetris
Jejas (-)
Thoraks:
1. Inspeksi:
Bentuk dan ukuran: normal, simetris
Permukaan dada: ikterik (-), jejas (-), massa (-)
Iga dan sela iga: simetris, pelebaran ICS (-)
Tipe pernapasan: torakoabdominal
Ictus cordis : tidak tampak
2. Palpasi:
Posisi mediastinum: deviasi trakea (-)
Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-)
Pergerakan dinding dada simetris, gerakan tertinggal (-)
Fremitus vocal:
Normal

Normal

Normal

Normal

27

Normal

Normal

Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra, thrill (-).
3. Perkusi:
Densitas
Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Sonor

Batas paru-hepar:
-

Inspirasi

: ICS VI

Ekspirasi

: ICS IV

Batas paru-jantung:
-

Kanan

: ICS II linea parasternalis dekstra

Kiri : ICS V linea mid clavicula sinistra

4. Auskultasi:
Cor : S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo

Vesikuler (+/+)

Suara napas tambahan rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen:
1. Inspeksi:
Distensi (-), darm contour (-), darm steifung (-).
Umbilicus: masuk rata
Permukaan kulit: ikterik (-), jejas (-), vena collateral (-), massa (-), scar
(-)
2. Auskultasi:
Bising usus (+) normal, frekuensi 12 x/menit
Metallic sound (-)
Bising aorta (-)
3. Perkusi:
28

Orientasi: timpani (+)


Organomegali: hepatomegali (-), splenomegali (-)
Nyeri ketok (-)
Shifting dullness (-)
4. Palpasi:
Nyeri tekan (-), massa (-), defans muskular (-)
Hepar, ren dan lien tidak teraba
Tes undulasi (-)
Nyeri kontralateral (-), nyeri tekan lepas (-)
Ekstremitas:
- Akral hangat

+
+

- Deformitas

+
+
:

Fraktur

- Jejas

+
- -

Status lokalis
-

Vulnus

: Vulnus apertum femur sinistra dengan hecting, batas tegas,


tepi tidak rata , nekrotik (+), pus (+), open degloving injury

femur sinistra pada sisi anterior dan posterior.


Fungsiolesa : Ekstremitas inferior sinistra

IV. RESUME
Pasien laki-laki usia 21 tahun dirawat dengan keluhan luka di paha kiri.
Keluhan ini dialami pasien sejak 10 hari yang lalu setelah mengalami kecelakaan
lalu lintas.

29

Pada pemeriksaan fisik umum sedang, tanda vital: GCS E4V5M6,, TD


110/70 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit, Sax 36,8 C. Pada status lokalis di
ekstremitas inferior atas terlihat Vulnus apertum femur sinistra dengan hecting,
batas tegas, tepi tidak rata , nekrotik (+), pus (+), open degloving injury femur
sinistra pada sisi anterior dan posterior. Selain itu terdapat deformitas, fungsiolesa
di ekstremitas femur sinistra dan terdapat fixasi eksternal pada fraktur femur
sinistra.
V. ASSASMENT
Diagnosis Kerja
Open degloving injury femur sinistra dan post OREFF femur sinistra
VI. Planning
Diagnostik

Lab : DL, GDS, Albumin, Elektrolit

Terapi

IVFD KaEn3B 500cc/hari


Injeksi ceftriaxson 2x1 gr
Injeksi Ketorolac 3x1
Injeksi Ranititdin 3x 1
Diet TKTP ektra Telur
Susu 2x250 cc
Injeksi kalbamin 500cc/ hari
Pro debridement dan skin Graft

VII.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap 19/09/2016
Parameter
HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC

Hasil
10,8
3,80
32,1
84,5
28,4
33,6

Nilai Rujukan
13,0 18,0 g/dL
4,5 5,5 x 106 /L
40 50 %
82,0 92,0 fl
27,0 31,0 pg
32,0 37,0 g/dL

30

WBC
PLT

16,29
697

4,0 11,0 x 103 /L


150 400 x 103 /L

Kimia Klinik 10/09/2016


Parameter
GDS
SGOT
SGPT
Kreatinin
Ureum

Hasil
103
42
75
0,8
47

Nilai Rujukan
< 160 mgl/dl
< 40 mgl/dl
< 41 mgl/dl
0,9 - 1,3 mg/dl
10 15 mg/dl

Foto Rontgen

31

Rontgen :
Tampak Fraktur os femur 1/3 tengah dengan terpasang eksterna fixasi, displaced
(+), kedudukan tulang dan implant kurang , callus (-), belum union.
Trabekulasi tulang tampak baik
Celah dan permukaan sendi tampak baik.
Tak tampak erosi atau destruksi tulang.
Tak tampak soft tissue mass/swelling.

KESAN :
Fraktur os femur sinistra 1/3 tengah dengan terpasang fixasi eksterna , displaced
(+), kedudukan tulang dan implant kurang baik, callus (-), belum union
VIII. PROGNOSIS:

Quo ad vitam: dubia ad bonam

Quo ad fungtionam: dubia ad bonam

Quo ad sanationam: dubia ad bonam

32

IX. LAMPIRAN

33

Debridement

34

Skin Graft

Post Skin Graft hari ke 4


35

Follow up
36

Tangg
al
19/09/2
016 23/09/2
06

Luka pada paha Tampak jaringan


kiri post KLL 10 necrotic
hari SMRS
berwarna hitam
melingkar pada
paha
femur
sinistra dengan
jahitan.
Balutan (+)

24/09/2 Nyeri pada luka


016

A
Open
degloving
injury
femur
dextra dan
post
OREF
fraktur
femur
sinistra

P
Planning terapi :
Infus RL 20 tpm
Inj. Ranitidin 2 x 1 a
Inj. Ceftriaxone 2x1
gr
Inj. Ketorolac 3x1 gr
Diet TKTP extra
telur
Susu 2x250 cc
Kalbamin 500cc/hari
Kaen3B 500 cc/hari

Planning lab :
Cek DL
Dilakukan
Degloving Disinfeksi lapangan
Debridement di injur
operasi
dengan
IBS.
femur
povidone iodin +
Intra operasi : sinistra
savlon 1:30 dan
necrotic
pada dan post
persempit
dengan
kulit, degloving OREF
doek steril.
melingkar pada Femur
Necrotomy
dan
femur
sinistra Sinistra
debridement.
sisi anterior dan
Instruksi :
posterior.
Cek DL dan
albumin
24/10/2016 :
Inj.ceftriaxone
HB : 10,3
3x1 gr
HCT : 31,5
Injeksi ketorolac
PLT : 609
3% 3x1
Albumin : 3,5
Injeksi ranitidin
Na : 136
3x1 amp
K : 5,1

Diet TKTP
Cl : 106
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.

37

25/09/2 Nyeri pada luka


01627/09/2
016

Balutan (+)

28/09/2 Nyeri pada luka Balutan


(+),
016
(+)
jaringan
kulit
tampak
berwarna merah
dengan
vaskularisasi
baik.

30/09/2 Nyeri pada luka Balutan (+),


016 (+)
01/10/2
29/10/2016 :
016
HB : 8,7
HCT : 26,9
PLT : 419

Post
debrideme
nt
degloving
injury
femur
sinistra +
pos OREF
femur
sinistra.

Inj.ceftriaxone
3x1 gr
Injeksi ketorolac
3% 3x1
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.

Post
Rawat luka
debrideme Terapi
nt
Inj.ceftriaxone
degloving
3x1 gr
injury
Injeksi ketorolac
femur
3% 3x1
sinistra +
Injeksi ranitidin
pos OREF
3x1 amp
femur
Diet TKTP
sinistra.
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
Post
Terapi
debrideme
Inj.ceftriaxone
nt
3x1 gr (resisten)
degloving
ganti
dengan
injury
levofloxacin 750
femur
mg/hari.
sinistra +
Injeksi ketorolac
pos OREF
3% 3x1 ganti
femur
dengan duragesic
sinistra.
patch 25mg

38

02/10/2 Nyeri pada luka Balutan


(+),
016
(+)
jaringan
kulit
tampak
berwarna merah
dengan
vaskularisasi
baik.

03/10/2 Skin graft di IBS


016

2/10/2016
HB : 11,1
HCT : 33,0
WBC : 5,89
PLT : 376
Albumin : 3,6
GDS : 100
Kr : 1,0
Ur : 23
Intra operasi :
RS
8
%,
granulasi (+),
slough
minimal.
3/10/2016
HB : 11,5
HCT : 34,7
WBC : 8,48
PLT : 348
Albumin : 3,4

Post

debrideme
nt
degloving
injury
femur
sinistra +
pos OREF
femur
sinistra.

Post

debrideme
nt
degloving
injury
femur
sinistra +
pos OREF
femur

sinistra.

Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
Transfusi PRC 2
kolf
Cek DL dan
Albumin
Rawat luka
Terapi
Inj. levofloxacin
750 mg/hari.
Duragesic patch
25mg
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
Disinfeksi lapangan
operasi
dengan
povidone iodin +
savlon 1:30 dan
persempit
dengan
doek steril.
Debridement
dan
skin graft
Instruksi :
Cek DL dan
albumin
Inj. levofloxacin
750 mg/hari.
Duragesic patch
39

04/10/2 Luka
bekas
016operasi (+)
05/10/2
016

Balutan (+)

Post skin
graft
degloving
injury
femur
sinistra
dan post
OREF
femur
sinistra.

06/10/2 Nyeri
bekas
016
operasi (+)

Tampak kulit
skin graft pada
area
degloving,
tampak
vaskularisasi
baik.

Post skin
graft
degloving
injury
femur
sinistra
dan post
OREF
femur
sinistra.

07/09/2 Nyeri
bekas
016 operasi (+)

Balutan (+)

Post skin
graft

25mg
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
Rawat luka 4 hari
post operasi.
Inj. levofloxacin
750 mg/hari.
Duragesic patch
25mg
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
Rawat luka
Inj. levofloxacin
750 mg/hari.
Duragesic patch
25mg
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
Inj. levofloxacin
750 mg/hari.
40

09/10/2
016

10/10/2 Nyeri pada luka


016
bekas operasi (+)

degloving
injury
femur
sinistra
dan post
OREF
femur
sinistra

Tampak kulit
skin graft pada
area
degloving,
tampak
vaskularisasi
baik.

15/10/2 Skin graft II di Intra operasi :


016
IBS
RS 4 % ,
granulasi (+),
exudat
minimal

Duragesic patch
25mg
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
Post skin
Rawat luka
graft
Inj. levofloxacin
degloving
750 mg/hari.
injury
Duragesic patch
femur
25mg
sinistra
Injeksi ranitidin
dan post
3x1 amp
OREF
Inj. Omeprazol 1
femur
amp/12 jam
sinistra
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
BPL
Degloving Disinfeksi lapangan
femur
operasi
dengan
sinistra
povidone iodin +
dan Post
savlon 1:30 dan
OREF
persempit
dengan
Femur
doek steril.
sinistra
Debridement
dan
skin graft
Instruksi :
Cek DL dan
albumin
Inj. Ketorolac 3%
3x1 amp
Inj. levofloxacin
750 mg/hari.
Duragesic patch

41

16/10/2 Nyeri
bekas Balutan (+).
016operasi (+)
19/10/2
16/10/2016
016
HB : 10,8
HCT : 33,6
WBC : 9,97
PLT : 319
Albumin : 3,5
GDS : 100

Post skin
graft
degloving
injury
femur
sinistra
dan post
OREF
femur
sinistra

20/10/2 Nyeri berkurang


016

Post skin
graft
degloving
injury
femur
sinistra
dan post
OREF
femur
sinistra

Balutan (+)

25mg
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
RL 500cc/hari
Kalbamin
500
cc/hari.
Inj. Ketorolac 3%
3x1 amp
Inj. levofloxacin
750 mg/hari.
Duragesic patch
25mg
Injeksi ranitidin
3x1 amp
Inj. Omeprazol 1
amp/12 jam
Inj. Ondansentron
4 mg (k/p)
Diet TKTP
Susu 2x250 cc
Telur 6 butir
perhari.
RL 500cc/hari
Kalbamin 500
cc/hari.
BPL

42

Kasus II
Nama

: Tn M

Usia

: 20

Jenis Kelamin : Laki-laki


SUBYEKTIF
Keluhan Utama: Luka pada tungkai kanan bagian tengah.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien masuk RSUP NTB dengan post KLL, saat pasien sedang mengendarai
sepeda motor terlindas oleh mobil dari arah berlawanan. Riwayat pingsan (-).
Setelah kejadian pasien mengeluh nyeri dan luka terbuka tungkai kanan bagian
tengah.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa seperti pasien.
Penyakit DM, hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru atau asma disangkal
oleh keluarga pasien.
Riwayat Alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat.
ASSASMENT
Diagnosis Kerja
Open degloving injury ekstremitas inferior dextra 1/3 bagian tengah

43

44

BAB IV
KESIMPULAN
Degloving merupakan gangguan pada kulit sedikit sampai luas dengan
variasi kedalaman jaringan yang disebabkan trauma ditandai dengan rusaknya
struktur yang menghubungkan kulit dengan jaringan dibawahnya ,kadang masih
ada kulit yang melekat dan ada juga bagian

yang terpisah dari jaringan

dibawahnya. Degloving dapat juga berhubungan dengan permukaan pada jaringan


lunak, tulang, persarafan ataupun vaskuler. Jika trauma menyebabkan kehilangan
aliran darah pada kulit, maka dapat terjadi nekrosis. Trauma degloving ini
seringkali membutuhkan debridement untuk menghilangkan jaringan yang
nekrosis. Trauma degloving dalam jumlah besar disertai dengan jaringan yang
lebih profunda menyebabkan jaringan terkelupas.

45

DAFTAR PUSTAKA

1. Wasitaatmadja. SM. Anatomi Kulit . Ilmu Penyakit kulit dan kelamin ,


edisi ketiga , FKUI ,Jakarta , 2001, hal 3-8.
2. Sjamsuhidajat, Wim de jong , Buku ajar ilmu bedah , edisi 2 , Jakarta ,
EGC , 2004 ,hal 320-321 , 310-317.
3. Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Krisnamoorthy, R and Karthikeyan, G. 2011. Degloving Injuries of the
Hand.

Vol.

44,

No.2:

227-236.

[online].

Available

<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3193635/>

at:

[Accessed

on: September 20th 2016]


5. Pilanci, et al., 2013. Management of Soft Tissue Extremity Degloving
Injuries with Full-Thickness Graft Obtained from the Avulsed Flap.
Original

Article.

Vol.

19,

No.

6.

[online].

<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24347210>

Available
[Accessed

at:
on:

September 20th 2016]


6. Wojcicki, et al., 2011. Severe Lower Extremities Degloving InjuriesMedical Problems and Treatment Results. Polski Przeglad Chirurgiczny.
Vol.

83,

No.

5:

276-282.

[online].

<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22166481>

Available

at:

[Accessed

on:

September 20th 2016]


7. Ramaswamy J. 2001. Vacuum-assisted closure: an alternative strategy in
the management of degloving injuries of the foot. British Journal of plastic
surgery.

No.

54:

363-365.

[online].

Available

at:

<https://www.jprasurg.com/article/S0007-1226(00)93565-3/pdf>
[Accessed on: October 31th 2016]
8. Santy W. 2013. Negative pressure wound therapy (NPWT) for the
management of diabetic foot wound. Journal of health of sciences. Vol 6
no.1

[online].

Available

at:

<

http://journal.unusa.ac.id/index.php/jhs/article/download/24/25>
[Accessed on: october 31th 2016]
46

9. Dai, et al., 2016. Full-Thickness Degloved Skin Graft Provide Durable


Coverage of Above-Knee Amputations with Degloving Injury of Lower
Extremities. Vol. 9, No. 7: 14572-14575. [online]. Available at:
<http://www.ijcem.com/files/ijcem0028255.pdf>

[Accessed

on:

September 20th 2016]


10. Harold, B and Sadri, A. 2013. Good Practice in the Management of
Serious Degloving Injuries. Vol. 21, No. 4: 31-33. [online]. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23901871>

[Accessed

on:

September 20th 2016]


11. Fujiwara M, Fukamizu H. 2008. Delayed Wraparound Abdominal Flap
Reconstruction for a Totally Degloved Hand. Vol. 13: 115-119. [online].
Available

at:

<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19054845>

[Accessed on: September 20th 2016]


12. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Penerbit PT Yarsif
Watampone, Jakarta, 2009. Hal 82-85, 92-94, 355-361, 364
13. Sudjatmika G. Petunjuk praktis ilmu bedah plastic rekonstruksi. Edisi 1,
2007, Jakarta, hal 27-31.
.

47

Anda mungkin juga menyukai