Anda di halaman 1dari 7

JURNAL

Ketoasidosis diabetik euglikemia (maksudnya KAD, tapi kadar Gulanya normal2


aja) : Masalah keamanan SGLT2 inhibitor yang gampang di prediksi, terdeteksi,
dan gampang dicegah

Masalah saat ini

Baru2 ini, FDA nya amerika mengedarkan (kayak warning gitu, namanya Drug
Safety Communication, kalu gak salah DSC itu fungsinya ngehubungin consumer
sama praktisi biar bisa saling sharing tentang keamanan obat) yang isinya
memperingatkan meningkatkanya risiko DKA dengan kadar gula yang gak khas,
kadar gulanya cuma naik ringan ke sedang a.k.a euDKA. EuDKA ini katanya
berkaitan dengan penggunaan SGLT 2 inhibitor.
Hasil edarannya itu sebenarnya didapatkan FDA dari 20 kasus yang ada di RS bulan
maret sampai Juni 2014 (si FDA itu udah punya database namanya FDA adverse
event reporting system database, ya database itu isinya hal2 yang ganjil yang
ditemukan diklinis). Data2 yang aneh dan jarang itu menunjukkan bahwa
kebanyakan kasus DKA pada pasien DM tipe 2 (yang bisa pakai SGLT 2) tapi ada
juga pada pasien yang pakai insulin pada DM tipe 1.
FDA juga nemuin faktor yang berpotensi memicu KAD tadi seperti ; pasien yang
menderita penyakit yang banyak terjadi bareng2, mengurangi intake makan dan
cairan, suka nurun2in dosis insulin, dan ada riwayat pakai alcohol juga. Berapa bulan
kemudan EMA mengumumkan (12 Juni 2015) bahwa PRAC (komite gitu) telah
memulai meriview 3 jenis SGLT 2 yang tadinya udah diterima2 aja buat terapi
yaitu kanaglifozin, dapaglifozin, dan empagliflozin) untuk mengevalusai resiko DKA
pada DM tipe 2. Trus si EMA itu ngumumin bahwa sejak bulan mei 2015 , 101 kasus
diseluruh dunia udah terdeteksi (di database namanya eudravigilance ) pada pasien
dm tipe 2 yang diobatin pakai SGLT 2 inhibitor, yaa kalau di perkirain ya sama aja
kayak ngenai ½ juta orang pertahun. Ga ada penjelasan detil dari 101 kasus yang
dikumpulin sama mereka , ya paling dari 101 kasus itu cuma dikasih tau semua
kasusnya serius dan memerlukan rawat inap (maksudnya gak ada penjelasan klinis
keadaan 101 pasien yang kena itu keadaannya sebenarnya gimana).Meskipun DKA
biasanya kadar gulanya tinggi banget, dari beberapa laporan kasus itu ada juga
yang kadar gulanya naik sedang aja.
Dengan penjelasan diatas tadi, pas banget pada ISSUE ini jurnal Diabetes care
punya 2 artikel tentang materi ini. Yang pertama buatan si Erondu, kata erondu
dia ngelaporin kasus DKA pada DM tipe 2 untuk penelitian klinis skala gede gitu,
nah kalau si peter cuma buat diskusi kasus aja yang di observasi dari praktik klinis
pada pasien DM tipe 1 sama 2.
Masalah keamanan serius pada obat baru emang biasa terjadi, dan biasanya
berkaitan dengan obat baru yang gak terdeteksi bakalan sebabkan masalah
nantinya, pas dia lagi uji coba fase program pengembangan klinis yang sebentar,
dalam rangka bisa dapet approval dari regulator obat. Hal ini emang bener, kalau
masalah kemanan itu emang pada awalnya gak diharapin (sama si produsen obat,
produsennya aja gak nyadar kalau bakalan ada masalah) dan biasanya lagi obat itu
jadi masalah kalau udah tersebar luas malahan. Kalau masalah obat itu emang berat
banget, biar gak bahayain masyarakat, ya si regulator obat itu (kayak BPOM nya
Indonesia) mulai ngelabelin warning obat2an itu, bahkan bisa aja narik obat tsb
dari peredaran. DKA itu masalah yang udah jelas serius loh, bisa kelewat gak
terdeteksi kalau pas kita cek gulanya ternyata cuma naik sedikit atau sedeng
(padahal udah DKA sebenarnya si pasien), ya ini bisa terjadi karena pakai SGLT2
inhibitor tadi. SGLT2 inhibitor itu bisa mendelay dokter kalau mau diagnosis dan
tatalaksana pasien, parahnya lagi obat itu bisa makin mempercepat
mengacaubalaukan masalah metabolic yang udah ada sebelumnya. Yang menarik
lagi, dari 3 program pengembangan obat SGLT2i skala besar tadi , mencangkup >
40.000 pasien DM tipe 2 gak DKA.
Penelitian si Erondu tadi sebenarnya ngewakilin Janssen (pabrik obat
kanaglifozin), penelitian dia cuma ngelaporin sedikit kasus DKA yang terjadi
karena obatnya dia ( dari 15 kasus, 12 kasusnya pakai kanaglifozin, 3 kasus lagi di
tutup2in). DKA karena obatnya dia cuma sedikit terdeteksi dari analysis
restrospekstif dari 17596 pasien yang ikut serta di program dari bulan mei 2015.
Ya, kalau di kira2 angka insidensinya 0,5, 0,8, dan 0,2 per 1000 pasien dengan
pengobatan kanaglifozin 100 mg, 300 mg, dan pembandingnya. Malah bisa dua kali
lipatnya, ngecewain bgt. Dalam penyelidikan si penulis jurnal ini, 2 pabrik yang
boleh produksi SGLT 2inhib (Astrazeneca dan boehringer ingelheim) ngeluarin
hasil penelitian si pabrik itu yang biasanya mereka orang yang punya pabrik mau
sembunyiin, angkanya emang jauh lebih rendah dari perusahaan Jansesn tadi. Dari
18000 pasien yang pake dapaglifozin pada studi (jenis penelitian randomized)
angka DKA nya juga lebih kecil dari 0.1 %. Sama aja di perusahaan declare yang
ngecek 17.150 pasien yang di tes pakai dapaglifozin, sama yang cuma dikasih
placebo, hasilnya sama aja <0.1%.
Pada penelitian obat fase 2 dan 3, percobaan empaglifozin pada >13.000 pasien ,
ada 8 kasus yang DKA, jumlah nya yang dibandingin sama, pasien yang dikasih
empaglifozin (2 yang DKA), Empagli 25 mg (1 kasus), placebo (5). Trial EMPA-REG
juga menunjukkan angka DKA <0.1%.
Kalau penelitian erondu katanya angka DKA lebih tinggi, tapi…6 dari 12 pasien atau
kasusnya puya sakit diabetes autoimun laten (dewasa), DM tipe 1, atau antibody
GAD65 nya +, dan pastilagi ada kasus DM tipe 2 yang saah terdiagnosis juga. Meski
diagnosisnya benerpun…. Kebanyakan pasien lagi diobatin pakai insulin juga dan
ngikut CANVAS, hasil menunjukkan DM tipe2nya lebih parah, dan kegagalan sel b
nya signifikan.
Si FDA sebenernya udah tau kalau kasusnya juga ada pada DM tipe 1, dan mereka
udah banyak ngelabelin warning sama SGLT2 inhibitor, ya karena efek insuln
independent glucose lowering (ya kalau mau nurunin gula jadi mesti pakai insulin)
sama alasan penurunan berat badan. Emang sih studi sebelom2nya bilang kalau dm
tipe 1 jadi bisa ditangani gulanya, bb turunnya, dan dosis insulinnya bisa jadi lebih
rendah. Tapi sosmed udah nyebarin pengalaman pasien yang baik dengan
menggunakan obat itudan mungkiiin menyebabkan ekspektasi pada pasien pada
obat ini meningkat, jadinya banyak pasien DM tipe 1 jadi ngekonsulin sama
dokternya minta nambahin SGLT 2 pada obat mereka biar control diabetesnya
lebih baik. Emang, meski udah ada insulin analog dan perkembangan teknologi untuk
alat buat masukin insulin dan monitoring glukosa udah makin berkembang,tapi
tetep aja DM1 itu sakit yang bikin pasien jenuh dan menantang juga (buat
dokternya? wkwk), karena mesti ngatasin kadar glukosa yang mudah berubah2
drastisdan episode hipoglikemi yang bikin pasien, keluarga, dan klinisi frustasi.
Nggak ada contoh yang lebih baik dari pada penelitian percobaan yang dilakukan
DCCT(diabetes control and complications trial). Penelitiannya dilakukan selama 6
tahun (6 tahun pasiennya di visit mulu wkwk) oleh tim penanganan diabetes yang
mumpuni (kemampuannya outstanding) dengan sumberdaya yang tidak terbatas
untuk bisa mencapai Hba1c 7%, pasien DM tipe 1 di kelompok intervensi intesif
naik lagi HbA1c nya jadi 8% pada tahun setelah percobaan. Laporan baru-baru ini
oleh kantor pendaftaran pasien DM tipe 1 ( yang biasanya nyediain data terbaik
untuk penelitian cross sectional di US), kata mereka Hba1c hanya mendekati 8%
dan hanya 30 % yang bisa mencapai kadar hba1c <7%, hipoglikemia parah terjadi
pada 9-20% pasienper tahun bergantung dari usia dan lama menderita diabetes,
berat badan berlebih dan obesitas ada pada 68% pasien, dan menariknya lagi DKA
masih terjadi pada pasien yang usianya 13-26 tahun, jumlahnya 4-5% pertahun
pada pasien yang lebih tua. Ya emang gak ngagetin juga sih, DM1 emang penyakit
yang parah dan masalahnya gak bisa terselesaikan, sifat farmakologis SGLT 2 bikin
pengembangan penelitiannya makin pesat dan disegerakan, terutama untuk
ngelepas label warning (yg dibilang diatas td) bagi pasien DM1 (biar pasien DM1
bisa pakai juga).
Data yang ada di jurnal mas damas pakai ini sebenarnya mewakili pasien DM2 dan
untuk yang dm1 hasil penelitian peters et al, keduanya memberikan kesempatan
yang baik untuk mendiskusikan obat ini, terutama patofis gmn obat ini bisa bikin
DKA. Nah di bagian ini akan dibahas untuk menganalisis potensi masalah dari
euDKA yang berkaitan dengan SGLT2 inhibitor untuk menyediakan perspektif
yang lebih realistis dan praktis.
PATFIS
Ketosis adalah hasil dari restriksi hasil penggunaan karbohidrat dengan
mengingkatnya ketergantungan dari oksidasi lemak untuk menghasilkan energy.
Patogenesis DKA udah jelas. Singkatnya, kekurangan insulin absolut menyebabkan
berkurangnya penggunaan glukosa dan meningkatkan lipolysis, meningkatnya
penumpukkan FFA ke hepar berkali2 lipat dengan meningkatnya kadar glucagon
yang bikin oksidasi FFA dan produksi badan keton. Pada DM1 dan DM2, DKA itu
ditandai dengan hiperglikemia (>250 mg/dl, biasanya 350-800 mg/dl), glikosuria
yang profuse ( 2-4 mg/menit/kg), dan hyperketonemia (4.2-11 mmol/L). Ya
hiperglikemia pada DKA itu berkaitan dengan resistensi insulin yang parah,
bermanifestasi klinis dalam bentuk (>70%) penurunan pembuangan glukosa darah
dan peningkatan produksi glukosa endogen (udah gulanya gak dibuang, eh malah
ditambah dibikin lg yang baru dari dalam tubuh)
EuDKA sebenarnya jika kadar glukosa <300 dan terjadi pada pasien muda dgn DM1,
2/3 pasien adalah wanita. Sebab utamanya adalah kekurangan karbohidrat, bisa
jadi karena dosis insulin yang dikurangi. Kalo euDKA pada pasien DM2 yang pakai
SGLT2 itu sebabnya lain. SGLT2 full dose, memicu eksresi cepat glukosa urin (
harusnya 50-100 mg/ hari pada cewek cowok sama aja) dan bertahan lebih dari 24
jam. Pada pasien usia 60 tahun overweight DM2 (BMI 28) mengkonsumsi
karbohidrat 50% dari kebutuhan kalori harian, jumlah kehilangan glukosa 17-34%
dari intake karbohidratnya tadi (cowok), kalau cewek loss nya 22-44% . Sebagai
catetan, studi komparatif pada pasien DM2 eropa dan jepang yang pakai SGLT2i,
ekskresi glukosanya malah lebih besar dari pada biasanya (rerata 110/hari)
dibanding kelompok yang tadi (cuma 60/hari). Kelompok orang jepang (BMI 25)
kehilangan glukosa lewat urin sebesar 47% dari intake karbo harian (cowok), kalo
cewek 57%. Umumnyasih emang bergantung sama BB, GFR, dan derajat
hiperglikemia juga. SGLT2 emang beneran bikin kehilangan glukosa yang
substansial.
Studi pada pasien DM2 yang diobatin pake metformin atau dengan terapi kronis
dengan SGLT2i, kadar glukosanya menurun 20-25 mg/dl baik pada malem (puasa)
atau pas makan. Glukosa adlh sebagai stimulator dirilisnya insulin dalam keadaan
apapun, plasma insulin juga nge-drop (10 pmol pas puasa dan 60 pmol post makan),
kebalikannya plasma glucagon konsentrasinya meningkat signifikan karena
hambatan parakrin oleh insulin(cara ngeluarin hormone itu ada parakrin, endokrin,
autokrin, gilak ini pelajaran semester brp, wkwk) dan bisa juga karena menurunnya
transport glukosa lewat SGLT2 ke sel alfa. Akibatnya, rasio konstenrasi insulin
prehepatik dibanding glucagon turun dari 9 ke 7 mol saat puasa, 29-24 pas makan.
Perubahan kadar hormone itu bikin dihambatnya gluconeogenesis di liver, dan
produksi endogen glukosa aka EGP baik pada saat puasa dan makan. Sensitifitas
insulin, meningkat, juga ditunjukkan dengan penggunaan klem insulin euglikemik,
karena hasil dr kelemahan akibat keracunan glukosa
Perbedaan patfisnya ada digambar
Defisiensi insulin dan resistensi insulin lebih ringan (resistensi insulin sebenarnya
bisa diperbaiki) maka produksi glukosa berlebih dan penggunaan glukosa yang
kurang sebenarnya lebih sedikit dibanding pada saat DKA. Pentingnya lagi, klirens
glukosa ginjal (rasio glikosuria sbg tanda glikemia) 2 kalilipat pada euDKA
dibanding DKA. Kenyataannya dari studi terdahulu pasien mengaku dengan DKA
bisa dihitung Renal Glucose clearance nya, yaa kira1 0.3 ml/menit/kg kalo pakai
SGLT2i. Ya keseluruhan hasil penelitian itu menunjukkan perbedaan antar dua
keadaan metabolism. Perbedaan itu sebenarnya bisa menguatkan (hipotesis si
peneliti) kalo DKA biasanya lebih sering terjadi pada pasien dengan ggn fg ginjal
(makannya gak glukosuria banget), semetara SGLT2 kalo dipakai pada pasien
dengan hiperfiltrasi glomerulus (glikosuria parah).
Ketoasidosis diikuti dengan urutan kejadian yang sama baik di euDKA atau DKA.
Maka pasien DM2 yang di obatin paka SGLT2 maka rasio insulin banding
glukagonnya yang menstimulasi lipolysis lebih rendah (FFA yang beredar di darah
lebih tinggi saat makan 40%) dan oksidasi lipid meningkat (20% rerata) pada
oksidasi karbo malah turun s/d 60%. Dalam keadaaan konstentrasi substrat
glukosa yang lebih rendah, pembuangan glukosa non oksidatif (missal pada sintesis
glikogen dan pembentukan laktat)juga turun sampai 15%. FFA yang tertumpuk di
hepar akan memici ketogenesis (ditandai dengan beta hidroksibutiratnya naik
kadarnya) ( 2 kali lipat naikknya walau gak sampai 1 mmol), sebalinya kadar laktat
plasma nurun sampai 20%, menandakan menurunnya pengguanaan glukosa.
Defisiensi insulin lebih parah pada pasien DM1 dan ketersediaan
karbohidratnyajuga sangat terbatas, ketosis ringan bisa jadi berubah jadi KAD,
ditandai dengan menurunnya PH dan bikarbonat, dan meningkatnya anion gap.
KAlau dilihat lagi, studi yang melihat pemakaian insulin pada tahun 1951,
menemukan bahwa insulin menurunkan transport glukosa pada pasien DM, dari
semenjak itu orang mulai bikin terapi pakai insulin buatan (eksogen) yang
menyebabkan glikosuria. Ya penelitian ini gak dilanjutin lagi. Dan mekanisme efek
insulin gak diteliti lagi. Menarik penelitiannya, Karena insulin bisa sebabkan
glikosuria pada pasien yang pakai SGLT2i.
Secara keseluruhan eudKa patofisnya mirip DKA, kecuai yang keadaan SGLT2 yang
bikin glikosuria, yang secara buatan (bukan perjalanan alamiah penyakitnya) bikin
plasma glukosa turun dan bikin ketogenesis.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL DARI KLINIS


Bukti diatas menunjukkan bahwa risiko bonafide euDKA ( dan bukan cuma ketosis
biasa) pada pasien DM2 terkait penggunaan SGLT2i yang mungkin akan jadi
semakin rendah, dengan keseringan yang bisa diterima. EMang, dokter dan pasien
perlu dibuat sadar bahwa risiko kayak gitu bisa meningkat pada pasien dm2 yang
ada insuf sel beta atau ada dalam keadaan autoimun DM, orang dewasa yang dalam
perjalanan penyakit mau jadi dm1, orang yang kelaparan parah, orang yang lagi
operasi, atau yang menderita banyak penyakit bersamaan.
Pada DM1 risiko euDKA muncul lebih jelas karena patfisnya sendiri :
1. Pasien dm1 lebih cenderung hiperglikemia dibanding dm2
2. Pada mulanya GFR pasien dm1 meningkat
3. Insulin bisa meningktakan efek SGLT2 bikin glikosuria
4. Jarang ngerubah dosis insulin untuk nyesuain sama intake karbo/hari.

Makannya si penulis jurnal bilang kalau masalah yang ditimbulkan oleh SGLT2i itu
gampang di prediksi, deteksi, dan dicegah . Jadi keuntungan dan kerugian yang
didapatkan dari penggunaan SGLT2i itu bisa seimbang pada pasien DM1, yang
sangat butuh terapi tambahan. Bisa diprediksi Karena glikosuria presisten karena
SGLT2i memunculkan urutan perubahaan metabolic yang menyebabkan
berkurangnya glukosa dari glucose pool di badan (glucose pool kalo gak salah, ada
di hepar dll, coba di cari aja mas). Peningkatan ketogenesis yang sudah dilihat pada
pasien non diabetesyang pakai SGLT2i dan emang dia udah mempunyai peningkatan
kadar beta hidroksibutirat dari pasien dgn DM. dasar ketonemia itu asimptomatik
dan gak ada hubungannya pada pasien DM2, tapi pastinya lebih jadi perhatian pada
DM1yang lebih cenderung ketosis dalam keadaan dosis insulin mereka lagi
diturunin, stress, penyakit yang banyak, dan keadaan hipoglikemia, dan saat puasa
kelamaan atau kelaparan. Urutan tahapan klinis tsb emang bener2 bisa jadi DKA
karena penurunan dosis insulin yang tidak tepat ataupun faktor apaun seperti
stress, sakit, alcohol, bisa menyebabkan hyperketonemia.
Dalam keadaan ini, awalnya pasien merasakan lemas, dan tentu mual tanpa muntah.
Begitu merasakan hal seperti itu, biasanya pasien akan langsung memeriksa kadar
gulanya, karena glikosuria persisten, glikemia hanya akan sedikit naik, maka si
pasien itu cendering akan menurunkan atau gak pakai insulin, bahkan menghindari
makan. Manuver ini akan mempercepat produksi keton, dan dekompensasi
metabolic ke DKA. Gambaran metabolic akan berupa deplesi volume karena
glikosuria persisten dan muntah.
Kasus yang dilaporin peter, menunjukkan faktor2 yang memicu DKA : paling sering
adalah pengurangan penggunaan insulin, kalori rendah, dan intake cairan, penyakit
yang banyak, dan alcohol. Waktu terbuang karena diagnosis yang telat,, ini terjadi
karena kadar gula darah yang seolah2 normal bisa diterima. Peter memberikan
pengertian lebih jauh tentang clue yang dapat berkonstribusi ke deteksi dini dan
membantu meningkatkan kesadaran tentang potensi SGLT2 sebabkan EuDKA pada
DM1. Kita percaya kalau euDKA pada kenyataannya gampang didieteksi, dan tools
yang reliable yang baru2 ini tersedia untuk memonitor ketonuria dan ketonemia
dan harus direkomendasikan untuk digunakan kapan pun pasien yang pakai SGLT2
merasakan tidak nyaman karena kadar gulanya. Ini harus menjadi bagian dari
edukasi bagi pasien yang pakai obat itu. JIka terdeteksi, maka euDKA bisa di
cegah, karena dekti ketonuria yang signifikan dana tau ketonemia pada gejala
kapanpun sepertii mual muntah atau hanya cuma lemas, muncul terutama setelah
mium alcohol, atau setelah pemotongan dosis insulin, dapat disarankan pada pasien
untuk segera banyak minum untuk menjaga kadar cairan, dan disuruh juga
pasiennya untuk mengkonsumsi karbohidrat agar bisa kita terapi pakai insulin full
dose lagi sampai ketosisnya teratasi. Pasien itu harus menghentikan penggunaan
SGLT2 sementara, hubungi dokternya, dan masukin bolus insulin rapid bersama
cairan dan karbo. MEsti pasien gak mampu menyesuaikan dosis insulin, euDKA
dapat dimitigasi dengan minum dan makan se yang ditoleransi tanpa harus khawatir
jadi hiperglikemia, dan segera cari dokter untuk bisa dimasukan cairan secara
parenteral dan dapat terapi insulin. Dalam keadaan apapun, pasien DM1 yang pakai
obat ini harus menandatangani informed consent yang membuat mereka bener2
sadar tentang potensi euDKA, faktor yang mencetuskan, gejala dan tanda bahaya,
dan pencegahannya.
Kesimpulannya :
Studi yang sedang berjalan, saat ini akan menyediakan informasi penting tentang
keaman dan efisiensi SGLT2i pada pasien DM1 (begitupula yang DM2). Regulasi
obat ini akan mulai diseimbangkan dengan manfaat dari obat ini pada semua control
glikemik, variasi glikemik, dan management berat, untuk melawan risiko
hipoglikemia dan kemanan keseluruhannya, termasuk euDKA> Pengurangan dosis
insulin harus tidak di hargai sebagai hasil yang baik, dan sebenarnya harus
diturunin pelan2 untuk mencegah hipoglikemia dan euDKA. Harapannya, program
pengembangan klinis ini akan cepat menyebar jadi bisa pasien bisa pakai terapi
tambahan untuk mengatasi masalah perawatan DM dari hari kehari.

FINIIIISHED

Anda mungkin juga menyukai