Anda di halaman 1dari 28

UNIVERSITAS PEMBAGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

REFERAT

PENYAKIT HIV PADA ANAK

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Pembimbing:
dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

Disusun Oleh:
Abigale Christopher
1710211149

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
PERIODE AGUSTUS – OKTOBER 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
Penyakit HIV pada Anak

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:
Abigale Christopher
1710211100

Telah Disetujui Oleh Pembimbing

Pembimbing dr. Endang Prasetyowati, Sp.A


Tanggal : Agustus 2018

ii

2
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat Tuhan YME karena atas rahmat dan ridhoNya penulis dapat
menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul “Penyakit HIV pada Anak”.
Makalah ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi penilaian pada
kepaniteraan klinik di bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Terima
kasih penulis sampaikan kepada dr. Endang Prasetyowati, Sp.A
, selaku dokter pembimbing yang banyak memberikan masukan dan saran. Serta teman-teman
sejawat yang telah membantu dalam penyelesaian presentasi kasus ini.
Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik
dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan berikutnya. Akhir kata, semoga
presentasi kasus ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis maupun
pembaca.

Ambarawa, Agustus 2018

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN
1. PENDAHULUAN

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak Negara
di seluruh dunia. UNAIDS memperkirakan jumlah ODHA di seluruh dunia pada Desember 2004
adalah 35,9 – 44,3 juta orng. Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Kasus
pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari beberapa literature
sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950 dan
1960-an di Amerika Serikat. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh
Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Dan kini,
kasus HIV/AIDS ini kini semakin meluas dan menyerang berbagai lapisan dan strata sosial. (1)

Meski pada mulanya diperkirakan infeksi HIV (Human immunodeficiency virus) terjadi
pada laki-laki homoseksual, epidemi virus HIV terus mengenai populasi yang lebih luas. Pusat
kontrol penyakit (The Center for Disease Control = CDC) telah melaporkan 27.485 kasus AIDS
pada wanita Amerika Serikat dari tahun 1981 sampai 1992, tahun 1994-1995 hampir 7000 bayi
lahir dari wanita terinfeksi HIV tiap tahunnya di Amerika Serikat, sekitar 2000nya terinfeksi
HIV dan tahun 2000 total 33.600.000 dimana 14.800.000 adalah wanita dan 1.200.000 anak
dibawah 15 tahun.

Sekitar 95% pasien terinfeksi HIV tinggal di negara berkembang. Kurang lebih 12% pasien
terinfeksi HIV adalah wanita. Sekitar 10-30% wanita hamil di bagian tertentu di Afrika terinfeksi
HIV. Wanita dengan AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) 85% pada usia reproduktif
(15-44 tahun), 50% kulit hitam dan 20-25% hispanik . Hampir mencapai 20-30% HIV karier
asimtomatik diperkirakan terjadi untuk setiap kasus AIDS yang dilaporkan. Peningkatan pada
kedua jumlah dan persentase dari wanita AIDS yang dikenali sejajar dengan peningkatan infeksi
pada anak-anak. Kasus anak-anak terhitung 2% dari total laporan selama periode ini. Lebih dari
90% anak terinfeksi HIV dibawah 15 tahun mendapat infeksi dari ibu mereka selama kehamilan,
persalinan atau menyusui.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DEFINISI

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi
pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang
ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV.2
Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia
retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse
transcriptase, enzim yang dapat mensintesis kopi DNA dari genon RNA. Virus ini masuk
dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus
hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten,
mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal.2
II.2 ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency
Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai
sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga
disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai
pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum
banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu
dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenipathy-
associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus.3
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut.3

5
II.3 PATOFISIOLOGI
Ketika mukosa menjadi pintu masuk HIV, sel yang pertama terinfeksi adalah sel
dendritik. Sel ini merupakan sel yang bertanggung jawab dalam mengumpulkan dan mengolah
antigen dari luar dan mengirimnya ke jaringan lymphoid. Sebenarnya HIV tidak menginfeksi sel
dendritik, tetapi hanya mengikat molekul permukan DC-SIGN, yang memungkikan virus
bertahan sampai jaringan lymphatic. Dalam lymph node, HIV selektif hanya berikatan dengan
sel-sel yang mengekspesikan molekul CD4 pada permukaannya. Terutama T helper lymphocytes
(CD4 cells) dan sel turunan monocyte-macrophage. Sel-sel dengan CD4 lainnya seperti
microglia, astrocytes, oligodendroglia dan jaringan plasenta yang mengandung sel vili Hofbauer
bisa terkena infeksi HIV. Biasanya CD4 lymphocytes dikerahkan dalam merespon antigen virus,
kemudian berpindah ke nodes lymph dimana mereka manjadi aktif dan berproliferasi,
menjadikannya sangat rentan terhadap infeksi HIV. Migrasi HIV pada jaringan lymphoid dimana
terdapat akumulasi sel dengan CD4 menyebabkan lemfadenopati generalisata yang merupakan
karakteristik dari sindrom retroviral akut pada dewasa maupun remaja. HIV menginfeksi sel
khusus yang meresponnya (HIV-specific memory CD4 cells), yang menyebabkan hilangnya
progresifitas dalam pengendalian replikasi HIV. Ketika replikasi HIV mencapai puncaknya (3-6
minggu dari waktu infeksi), maka akan terjadi viremia. Viremia yang intens menimbulkan gejala
seperti flu (demam, ruam, limfadenopati dan arthralgia) pada 50-70% orang dewasa yang
terinfeksi. Dengan respon imun selular dan humoral dalam waktu 2-4 bulan, akumulasi virus
dalam darah akan berkurang dan pasien memasuki karakteristik dimana berkurangnya symptoms
dan sel CD4 hanya sedikit mengalami penurunan.3
Awal replikasi HIV-1 pada anak tidak memiliki manifestasi klinis yang jelas. Jika
dilakukan uji isolasi virus atau dengan PCR untuk melihat rantai nucleic acid, kurang dari 50%
dari bayi yang menunjukan terinfeksi saat lahir, namun hampir semua bayi yang terinfeksi HIV
akan terdeteksi HIV-1 pada darah perifer dalam usia 4 bulan.3
Pada orang dewasa, masa laten klinis yang panjang (8-12 tahun) tidak menunjukan
latensi virus. Faktanya ada peningkatan jumlah virus dan CD4 lymphocytes (> 1*109/hari), yang
secara perlahan menyebabkan kerusakan pada system imunitas tubuh, dibuktikan dengan
semakin menurunnya sel CD4. Sel-sel ini dapat dihancurkan dengan beberapa mekanisme :
membunuh sel tunggal HIV-mediated, membentuk giant cells multinucleat yang terinfeksi dan
tidak terinfeksi (syncytia formation), respon imun virus spesifik, aktivasi superantigen-mediated

6
sel T(beresiko lebih rentan terhadap infeksi HIV) dan kematian sel terprogram (apoptosis).
Beban virus pada organ lymphoid lebih besar daripada dalam darah perifer selama periode
asymptimatic. Virion HIV dan kompleks imun bermigrasi melalui lymph nodes, mereka terjebak
dalam folikel dendritik. Replikasi HIV dalam sel T bergantung pada aktivasi sel, maka aktivasi
dalam lingkup mikro dari lymph nodes itu berfungsi untuk menginfeksi sel CD4 yang baru dan
kemudian terjadilah replikasi pada sel tersebut. Replikasi virus pada monosit, dimana masih
produktif sulit dibunuh, menunjukan perannya sebagai reservoir HIV dan sebagai efektor
kerusakan jaringan pada organ seperti otak.3
Respon cell-mediated dan humoral terjadi pada awal infeksi. Sel-sel CD8 T memainkan
peran penting dalam mengendalikan infeksi. Limfosit T sitotoksik (CTLs) HIV-Specific
berkembang terhadap kedua struktur (missal; ENV, POL, GAG) dan regulasi (missal; tat) protein
virus. Sel-sel CTL muncul pada akhir infeksi retrovital akut dimana replikasi virus telah
dikendalikan. Sel-sel CTL mengontrol infeksi dengan membunuh sel yang terinfeksi HIV
sebelum virus baru diproduksi dan dengan sekresi faktor antivirus potent yang bersaing dengan
virus pada reseptornya (misalnya, CCR5). Kemudian antibody muncul pada masa infeksi untuk
menekan replikasi virus selama masa latensi klinis. Setidaknya ada dua kemungkinan mekanisme
untuk mengontrol akumulasi virus yang banyak selama masa laten klinis yang kronis.
Mekanisme yang pertama dengan membatasi jumlah CD4 yang aktif untuk mencegah replikasi.
Mekanisme lainnya dengan mengontrol imun, peningkatan respon imun yang aktif (jumlahnya
tergantung antigennya sendiri) membatasi replikasi virus pada jumlah yang banyak. Tidak ada
consensus tentang yang mana dari kedua mekanisme ini yang lebih penting. Mekanisme
pembatasan sel CD4 sebagai terapi antiretroviral, sedangkan mekanisme mengontrol imun
menekankan pada modulasi imun (misal; cytokines, vaccines) untuk meningkatkan efisiensi
respon kekebalan tubuh, pada akhirnya memperlambat perkembangan penyakit.3
Grup sitokin seperti tumor necrosis factor α (TNFα), TNFβ, interleukin 1 (IL-1), IL-3,
IL-6, interferon-γ, granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), dan
macrophage colony-stimulating factor, memainkan peran integral dalam pengaturan ekspresi
HIV dari keadaan infeksi inaktif menjadi replikasi virus aktif. Sitokin lain seperti interferon γ
(INFγ), INF-β, dan transforming growth factor D melakukan efek suppressive pada replikasi
HIV. Interaksi antara sitokin ini mempengaruhi konsentrasi partikel virus dalam jaringan. Jumlah
sitokin plasma tidak perlu ditingkatkan untuk meningkatkan efeknya, kareka mereka diproduksi

7
dan berefek local. Jadi meskipun dalam keadaan imunitas yang tenang, interaksi kompleks
sitokin menunjang tingkat ekspresi virus dalam keadaan konstan, terutama pada lymph nodes.3
Umumnya HIV fenotipik terisolasi selama periode laten klinis, tumbuh lambat dalam
kultur dan menghasilkan titer reverse transcriptase rendah. Keadaan ini disebut non-syncytium-
inducing (NSI) virus, yang menggunakan CCR5 sebagai co-reseptor. Pada tahap akhir laten
klinis, fenotip virus yang terisolasi berbeda. Tumbuh dengan cepat dalam kultur dan titernya
tinggi, dimana menggunakan CXCR4 sebagai co-reseptor. Peralihan dari NSI ke SI
meningkatkan kapasitas virus untuk mereplikasi, menginfeksi lebih luas sel target (CXCR4 lebih
banyak diekspresikan pada sel-sel kekebalan tubuh inaktif dan aktif), dan untuk membunuh sel-
sel T lebih cepat dan efisien. Akibatnya, tahap latency klinis berakhir dan berkembang menjadi
AIDS. Perkembangan penyakit berlajut secara fisik, bertahap dari struktur lymph node dan
degenerasi folikel dendritik, dimana sel nya kehilangan kemampuan untuk menangkap partikel
HIV. Keadaan ini membuat virus bebas terus beredar, meningkatkan viremia dan penurunan
derastis sel T CD4 pada tahap akhir dari penyakit.3
Sebelum HAART ada, ada tiga pola penyakit yang berbeda pada anak-anak. Sekitar 15-
25% bayi baru lahir terinfeksi HIV di negara maju hadir dengan perjalanan penyakit yang cepat,
dengan terjadinya AIDS dan gejala pada beberapa bulan pertama kehidupan, dan jika tidak
segera diobati waktu kelangsungan hidup rata-rata 6-9 bulan. Di negara-negara miskin >85%
bayi baru lahir yang terinfeksi HIV, perkembangan penyakitnya lebih cepat. Jika infeksi
intrauterine bertepatan dengan periode ekspansi yang cepat dari sel CD4 pada janin, secara
efektif dapat menginfeksi sebagian besar sel imunokompeten tubuh. Migrasi sel-sel ini ke
sumsum tulang, limpa dan timus akan menyebarkan HIV secara sistemik, system kekebalan
tubuh janin yang belum matang akan tak terkendali. Jadi infeksi terjadi sebelum pertumbuhan
ontogenic normal dari system kekebalan tubuh, menyebabkan penurunan system imunitas yang
lebih parah. Kebanyakan anak-anak dalam kelompok ini positif pada kultur HIV-1 dan atau virus
plasma (median 11.000 /mL) dalam 48 jam pertama kehidupan. Ini menunjukan bahwa bayi baru
lahir telah terinfeksi virus dari dalam kandungan. Pertumbuhan virus dengan cepat meningkat
dan mencapai puncaknya pada umur 2-3 bulan (median 750.000 /mL)
Dan secara perlahan akan menurun. Berbeda dengan pertumbuhan virus pada orang dewasa,
pada bayi pertumbuhan virusnya tetap tinggi setidaknya dalam 2 tahun pertama kehidupan.3

8
Kebanyakan bayi yang terinfeksi dalam kandungan (60-80%) mengikuti pola yang kedua,
dimana perkembangan penyakitnya lambat, dengan waktu kelangsungan hidup rata-rata 6 tahun.
Kebanyakan pasien ini jika dikultur atau PCR pada satu minggu pertama kehidupan hasilnya
negative, karna itu pola seperti ini dianggap infeksi intrapartum. Pada pasien yang khas,
pertumbuhan virus cepat meningkat pada umur 2-3 minggu (median 100.000 /mL) dan secara
perlahan menurun sampai umur 24 bulan. Penurunan yang lambat dari viral load ini berlawanan
dengan penurunan yang cepat setelah infeksi primer pada orang dewasa. Keadaan ini hanya
sebagian yang dapat dijelaskan berdasarkan ketidakmatangan system imunitas tubuh pada bayi
baru lahir dan bayi.3
Pola ketiga penyakit (bertahan lama) terjadi pada sebagian kecil (<5%) dari anak yang
terinfeksi dalam kandungan dengan perkembangan minimal dengan jumlah CD4 yang relative
normal dan viral load yang sangat rendah selama lebih dari 8 tahun.3
Anak yang terinfeksi HIV memiliki perubahan dalam system imunitas tubuhnya seperti
halnya pada orang dewasa yang terinfeksi HIV. Penurunan sel CD4 mungkin tidak terlalu drastic
karena biasanya bayi memiliki limfositosis relative. Oleh karena itu, jika pada anak < 1th nilai
CD4 1.500 /mm3 merupakan indikasi penurunan CD4 yang parah, sebanding dengan < 200 /mm3
pada orang dewasa. Limfopenia relative jarang terjadi pada anak yang terinfeksi dalam
kandungan dan biasanya hanya terlihat pada usia yang lebih tua atau pada stadium akhir
penyakit. Meskipun anergi kulit merupakan hal umum selama infeksi HIV, tapi terjadi juga pada
bayi sehat < 1th, maka interpretasinya sulit pada bayi yang terinfeksi.3
Aktivasi sel-B terjadi pada sebagian besar anak di awal infeksi, dibuktikan dengan
hipergammaglobulinemia (> 1.750 g/L) dengan tingkatan anti-HIV-1 yang tinggi. Ini mungkin
menggambarkan disregulasi penekanan sintesis sel-T dari sisntesis sel-B dan peningkatan CD4
aktif dari respon humoral limfosit-B. pada beberapa anak tidak ditemukan pembentukan antibody
spesifik dan pada orang dengan antibody yang adekuat tetap tidak memberikan perlindungan.
Karena hipergammaglobulinemia sering terjadi pada anak yang terinfeksi HIV, bisa berfungsi
sebagai penanda infeksi pada anak daripada PCR atau kultur yang mungkin tidak tersedia atau
harganya lebih mahal. Hypogammaglobulinemia sangat jarang (< 1%). Keterlibatan sistem saraf
pusat umumnya terjadi pada pasien anak daripada orang dewasa. Makrofag dan microglia
memainkan peran penting dalam neuropathogenesis HIV, dan ada data juga menunjukan bahwa
astrosit juga mungkin terlibat. Meskipun mekanisme khusus ensefalopati pada anak belum jelas,

9
perkembangan otak pada bayi, dengan myelinization tertunda, akan lebih rentan terhadap infeksi
HIV.3
II.4 TRANSMISI
Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu :
1. Kontak seksual: HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan ditularkan virus
ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual.
2. Tranfusi: HIV ditularkan melalui tranfusi darah balk itu tranfusi whole blood, plasma,
trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya.
3. Jarum yang terkontaminasi: transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang terinfeksi
atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan psikotropika.
4. Transmisi vertikal (perinatal): wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40% berkemungkinan
akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkannya melalui plasenta atau saat
proses persalinan atau melalui air susu ibu.4

Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi. Namun,
kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui
oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV.4
II.5 FAKTOR RISIKO PENULARAN
Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi :
1. Faktor ibu dan bayi
a. Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah
kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar
HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu
setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh
seseorang.
b. Faktor bayi
1) Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2) Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, Bayi yang
meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya

10
2. Faktor cara penularan
a. Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi,
b. Bayi menelan darah ataupun lendir ibu,
c. Persalinan yang berlangsung lama,
d. Ketuban pecah lebih dari 4 jam
e. Penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan
tindakan episiotomi
f. Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada ASI4

II.6 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan remaja. Pada kebanyakan
bayi pemeriksaan fisik biasanya normal. Gejala inisial dapat sangat sedikit, seperti
limfadenopati, hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik seperti kegagalan untuk tumbuh
diare rekuren atau kronis, pneumonia interstitial. Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan
paru-paru dan sistemik, sedangkan di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi.5

Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut enter for Disease
Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO).5

11
Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu status klinis dan
derajat gangguan imunologis, lihat tabel

KATEGORI IMUNOLOGIS

JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT


DEFINISI STATUS TERHADAP USIA
IMUNOLOGIS
0 – 1 tahun 1-5 tahun 6-12 tahun

µL % µL % µL %

1. Nonsuppressed ≥ 1500 ≥ 25 ≥ 1000 ≥ 25 ≥ 500 ≥ 25

2. Moderate suppression 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-24

3. Severe suppression <> <15 <> <15 <> <15

Tabel . Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah CD4 dan
Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia

Klasifikasi Secara Klinis

DEFINISI STATUS N : Tanpa A : Gejala B : Gejala C : Gejala


IMUNOLOGIS Gejala dan dan Tanda dan Tanda dan Tanda
Tanda Ringan Sedang Berat

1. Nonsuppressed N1 A1 B1 C1

2. Moderate suppression A2 C2 B2 C2

3. Severe suppression A3 C3 B3 C3

Tabel . Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara Klinis
Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun.

Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang


menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu bentuk kelainan
berdasarkan kategori A.

12
Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk kategori
B atau C :

 Lymphadenopathy (≥ 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang bilateral
dianggap sebagai satu kesatuan).
 Hepatomegali
 Splenomegali
 Dermatitis
 Parotitis
 URTI berulang atau persisten

Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak termasuk ke


dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-gejala yang terjadi merupakan
akibat dari terjadinya infeksi HIV

 Anemia (<8g/dl) neutropenia (< 1000/ul), trombositopenia (<100.000/ul)menetap > 30


hari
 Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).
 Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia enam
bulan atau kurang.
 Kardiomiopati.
 Infeksi CMV yang terjadi lebih dari satu bulan.
 Diare
 Hepatitis
 Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam satu tahun).
 Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi sebelum
usia satu bulan.
 Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom.
 Leiomyosarcoma
 Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal kompleks.
 Nefropati.
 Nocardiosis.
 Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih.
 Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan.
 Varicella diseminata atau dengan komplikasi.

Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada pasien
AIDS.

 Kandidiasis bronki, trakea, dan paru


 Kandidiasis esofagus
 Kanker leher rahim invasif
 Coccidiomycosis menyebar atau di paru

13
 Kriptokokus di luar paru
 Retinitis virus sitomegalo
 Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
 Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan
 Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia
 Histoplasmosis menyebar atau di luar paru
 Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan
 Sarkoma Kaposi
 Limfoma Burkitt
 Limfoma imunoblastik
 Limfoma primer di otak
 Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru
 M. Tuberculosis dimana saja
 Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru
 Pneumonia Pneumoncystitis carinii
 Pneumonia berulang
 Leukoensefalopati multifokal progresif
 Septikemia salmonella yang berulang
 Toksoplasmosis di otak

Sedangkan klasifikasi WHO pada anak ialah :

Stadium Klinis 1

 Tanpa gejala (asimtomatis)


 Limfadenopati generalisata persisten

Stadium Klinis 2

 Hepatosplenomegaly persisten tanpa alasani


 Erupsi papular pruritis
 Infeksi virus kutil yang luas
 Moluskum kontagiosum yang luas
 Infeksi jamur di kuku
 Ulkus mulut yang berulang
 Pembesaran parotid persisten tanpa alasan
 Eritema lineal gingival (LGE)
 Herpes zoster
 Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis,
atau tonsilitis)

14
Stadium Klinis 3

 Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku
 Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)
 Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5°C, sementara atau terus-menerus, lebih
dari 1 bulan)
 Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)
 Oral hairy leukoplakia (OHL)
 Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut
 Tuberkulosis pada kelenjar getah bening
 Tuberkulosis paru
 Pneumonia bakteri yang parah dan berulang
 Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala
 Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis
 Anemia (<8g/dl),>

Stadium Klinis 4ii

 Wasting yang parah, tidak bertumbuh atau malanutrisi yang parah tanpa alasan dan tidak
menanggapi terapi yang baku
 Pneumonia Pneumosistis (PCP)
 Infeksi bakteri yang parah dan berulang (mis. empiema, piomisotis, infeksi tulang atau
sendi, atau meningitis, tetapi tidak termasuk pneumonia)
 Infeksi herpes simpleks kronis (orolabial atau kutaneous lebih dari 1 bulan atau viskeral
pada tempat apa pun)
 Tuberkulosis di luar paru
 Sarkoma Kaposi
 Kandidiasis esofagus (atau kandidiasis pada trakea, bronkus atau paru)
 Infeksi sitomegalovirus: retinitis atau infeksi CMV yang mempengaruhi organ lain, yang
mulai pada usia lebih dari 1 bulan)
 Kriptokokosis di luar paru (termasuk meningitis)
 Mikosis diseminata endemis (histoplasmosis luar paru, kokidiomikosis)
 Kriptosporidiosis kronis
 Isosporiasis kronis
 Infeksi mikobakteri non-TB diseminata
 Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B
 Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
 Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

Catatan:
i ‘Tanpa alasan’ berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.
ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya
penisiliosis di Asia)5

15
II.7 DIAGNOSIS

Seperti penyakit lain, diagnosis HIV lain juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.3

Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV ialah :

1. Lahir dari ibu resiko tinggi atau terinfeksi HIV

Bayi-bayi yang terlahir dari ibu-ibu yang terinfeksi HIV akan tetap mempertahankan status
seropositif hingga usia 18 bulan oleh karena adanya respon antibodi ibu yang ditransfer secara
transplacental. Selama priode ini, hanya anak-anak yang terinfeksi HIV saja yang akan
mengalami respon serokonversi positif pada pemeriksaan dengan enzyme
immunoassays (EIA),immunofluorescent assays (IFA) atau HIV-1 antibody western blots (WB).

2. Lahir dari ibu pasangan resiko tinggi atau terinfeksi HIV

3. Penerima transfusi darah atau komponennya dan tanpa uji tapis HIV

4. Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)

5. Kebiasaan seksual yang keliru, homoseksual atau biseksual.3

Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian manifestasi klinis.
Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium.3

Tes untuk mendiagnosis virus harus dilakukan dalam 48 jam kehidupan pertama. Hampir
40% bayi dapat didiagnosis pada masa ini. Disebabkan karena banyak bayi yang terinfeksi HIV
mempunyai perkembangan penyakit yang cepat sehingga memerlukan terapi yang progresif pula.
Pada anak yang terpapar HIV dengan tes virologis yang negatif pada 2 hari pertama, beberapa
pendapat mengusulkan perlu untuk dilakukan pemeriksaan kembali pada hari ke-14 untuk
memaksimalkan deteksi dari virus ini.3

Terdapat beberapa tes HIV yang cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.
Kebanyakan dari tes-tes ini hanya membutuhkan satu step pengambilan sampel dan hasilnya
didapat lebih cepat (< style=""> pada 2 hari pertama kehidupan, dan > 90% pada usia > 2
minggu kehidupan. Uji RNA HIV plasma, yang mendeteksi replikasi virus lebih sensitif daripada
PCR DNA untuk diagnosis awal, namun data yang menyatakan seperti itu masih terbatas. Kultur
HIV mempunyai sensitivitas yang hampir sama dengan PCR HIV DNA, namun tekniknya lebih
sulit dan mahal, dan hasilnya sulit didapat pada beberapa minggu, dibandingkan dengan PCR
yang membutuhkan hanya 2-3 hari. Uji antigen p24 bersifat lebih spesifik dan mudah untuk
dilakukan namun kurang sensitif dibandingkan dengan uji virologis lainnya.3

Seorang bayi yang terpapar oleh virus HIV dapat dinyatakan positif terinfeksi HIV jika
pada pemeriksaan serologis dari 2 (dua) sampel darah yang berbeda pada bayi (tidak termasuk

16
darah yang berasal dari pusat, karena adanya risiko terkontaminasi oleh darah ibu); baik dua
kali hasil positif pada pemeriksaan kultur HIV darah perifer untuk sel-sel mononuklear
(peripheral blood mononuclear cell (PMBC)), dan/atau satu hasil positif untuk DNA atau
RNA polymerase chain reaction (PCR) assay dan satu hasil postif pada kultur PMBC HIV.
Pemeriksaan-pemeriksaan terebut harus dilakukan pada dua waktu yang berlainan pada bayi-bayi
yang belum pernah diberi ASI sebelumnya.3

Seorang bayi yang terlahir dari seorang ibu pengidap infeksi HIV dapat dinyatakan tidak
terinfeksi HIV jika tes-tes di atas tetap memberikan hasil negatif sampai usia bayi lebih dari
empat bulan dan bayi tidak mendapat ASI.3

DIAGNOSIS LABORATORIUM INFEKSI HIV

TES KETERANGAN

HIV DNA PCR Uji dilakukan untuk mendiagnosis infeksi


HIV 1 subtipe B pada bayi dan anak-anak
muda dari 18 bulan usia, sangat sensitif dan
spesifik dengan 2 minggu usia dan
TERSEDIA, dilakukan pada sel mononuklear
darah perifer. Negatif palsu dapat terjadi pada
non-B subtipe HIV-1 infeksi

HIV culture Mahal, tidak mudah tersedia, membutuhkan


hingga 4 minggu untuk melakukan tes, tidak
dianjurkan

HIV RNA PCR Kurang sensitif dibandingkan PCR DNA


untuk pengujian rutin bayi, karena hasil
negatif tidak dapat digunakan untuk
mengecualikan infeksi HIV definitif.
Beberapa tes disukai untuk mengidentifikasi
infeksi HIV-1 non-B subtipe.

17
II.8 PENATALAKSANAAN
Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua kondisi infeksi HIV dan
resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan tumbuh kembang,
imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).5
Pencegahan infeksi oportunistik
1. Pneumonia Pneumocystis carinii
Digunakan kotrimoksasol 4-5 mg/kg/hari dibagi 2, pemberian sebanyak 3 kali seminggu.
Yang terindikasi untuk mendapatkan kontrimoksasol profilaksis adalah bayi terpapar
umur <12 bulan yang statusnya belum diketahui, umur 1-5 tahun bila CD4 kurang dari
500 (<15%), umur 6-11 bila CD4 <200 (<15%), dan yang pernah didiagnosis terkena
pneumonia ini.
2. Tuberculosis
Secara aktif mencari kemungkinan kontak erat dengan penderita TB aktif, dan melakukan
uji tuberkulin bila terdapat kemungkinan, pemberian profilaksis INH masih
diperdebatkan untuk negara endemis TB.
3. Infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi
Bila kemungkinan (setelah pengobatan ARV mencapai 6 bulan, klinis baik dan hitung
CD4 >15%) dilakukan imunisasi untuk melengkapi jadwal yang belum terpenuhi. Tidak
dengan vaksin hidup, kecuali campak.5
Pemenuhan nutrisi dan pemantauan tumbuh kembang
Infeksi HIV meningkatkan enteropati, karenanya asupan makro dan mikronutrien perlu
diperhatikan. Tumbuh kembang pada anak terinfeksi HIV stadium lanjut juga memerlukan
stimulasi setelah penyakit primer dan infeksi oportunistik diatasi.5
Menilai kemungkinan pemberian ARV
1. Menilai kesiapan pasien dan orangtua/wali
2. Menghindari resiko resistensi obat
3. Memperhitungkan kemungkinan resiko interaksi obat-obat
4. Memperhitungkan kemungkinan resiko obat-makanan
5. Posolosi dan formulasi untuk obat anak
6. Memperhitungkan resiko pemberian obat pada koinfeksi TB, hepatitis5

18
Rekomendasi WHO untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak
Bayi dan anak yang diagnosis infeksi HIV sudah tegak harus segera diberi ARV bila:
 Bila dalam stadium 4 WHO atau kategori C CDC (tidak memperhatikan nilai CD4)
 Stadium 3 WHO atau kategori B CDC (tanpa memperhatikan nilai CD4 meskipun dapat
membantu
 Untuk anak >12 tahun dengan infeksi TB paru dan lymphocytic intertitial pneumonia
atau oral hairy leukoplakia atau trombositopenia, bila pemeriksaan CD4 memungkinkan,
pemberian ARV dapat ditunda bila nilai CD4 di atas ambang indikasi ARV (>15%)
 Stadium 2 WHO tau kategori A CDC dan CD4 ≤15%
 Satdium 1 WHO atau N/A CDC dan nilai CD4 pada ambang batas atau dibawahnya
Bayi dan anak umur <18 bulan dengan hasil tes antibodi positif dan mungkin dilakukan uji
virologik dan konfirmasi, harus diberi ARV bila secara klinis didiagnosis HIV yang berat.5
Rekomendasi rejimen Inisiasi (first time)
Anak usia ≤3 tahun:
 Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)
 Stavudin (D4T) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)
Anak usia ≥3 tahun dan berat ≥10 kg
 Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV)
 Stavudin (D4T) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV)
Rekomendasi rejimen line kedua
ABC + ddl + PI = LPV/r atau NFV atau SQV/r ( jika BB ≥ 25 kg )

Pemantauan
Setelah pemberian ARV, pasien diharapkan datang setiap 1-2 minggu untuk pemantauan
gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek samping, kepatuhan minum obat, dan kondisi
lain. Setelah 8 minggu, dilakukan pemantauan yang sama tetapi dilakukan 1 bulan sekali
Pemeriksaan laboratorium yang diulang adalah darah tepi, SGOT/SGPT, CD4 setiap 3
bulan, dapat lebih cepat bila dijumpai dengan kondisi yang mengindikasikan untuk dilakukan.5

19
ZDV (AZT) Pediatrik (rentang dosis 90 mg-180mg/m2
(Zidovudine, Retrovir*) LPB)
Oral 160 mg/m2 LPB tiap 12 jam 6-7
mg/kg/1xl
Adolesen 3x200 mg/200mg/ hari, atau 2x300
mg/hari
3TC Pediatrik 4 mg/kg, 2x sehari dosis terapi
(Lamivudine, Viracept*) Adolesen BB <50 kg: 2 mg/kg, 2x sehari
BB ≥50 kg: 2x150 mg/hari
NFV Pediatrik 20-30 mg/kg, dapat sampai 45
(Nevirapine, Viramune*) mg/kg, 3x sehari
Aldolesen 2x1250 mg/hari, 3x750 mg/hari
NVP Pediatrik
(Nevirapine, Viramune*) -14 hari pertama: inisial 5 mg/kg sekali sehari
(max.200 mg)
-14 hari kedua dosis 5 mg/kg/dosis 2 kali sehari
-selanjutnya dosis 7 mg/kg/dosis 2 kali sehari
untuk anak <8 tahun >8 tahun-aldolesen
-dosis inisial 1x200 mg sehari selama 14 hari
kemudian naikkan menjadi 2x200 mg bila tidak
terdapat rash atau reaksi simpang obat lain.
Stavudin (d4T/Stavir*) 1 mg/kg/dosis diberikan 2 kali sehari
Efavirenz (Sustiva*) Anak ≥3 tahun : 10-<15 kg:200mg; 15-,20
kg:250mg; 20-<25kg: 300mg; 25-32,5
kg:350mg, 32,5-<40kg:400 mg
TMP/SMX Profilaksis: 2,5 mg TMP/kg, 2x sehari, 3 kali
(Kotrimoksasol) untuk pneumocytis carinii seminggu
Pengobatan (setelah 5 mg zidovudin); 8-
10mg mg/kg/hari dalam 2 kali pemberian
setiap hari

20
Efek Samping ARV
Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI)

Obat Efek samping Komentar


Lamivudine 3TC Sakit kepala, nyeri Mudah ditoleransi
perut, pancreatitis
Stavudine D4T Sakit kepala, nyeri Suspense dalam
perut, neuropati jumlah besar, kapsul
dapat dibuka.
Zidovudine ZDV (AZT) Sakit kepala, anemia Jgn gunakan dgn
d4T (efek ART
antagonis)
Abacavir ABC Reaksi Tablet dapat digerus
hipersensitivitas
demam, mukositis,
ruam : hentikan
pengobatan
Didanosine Ddl Pancreatitis, Beri antacid pada
neuropati perifer, lambung yang
diare dan nyeri perut kosong

Protease Inhibitors (PI)


LPV/r Diare, mual Minum bersama
Lopinavir/ritonavir
makanan, rasa pahit

Minum bersama
NFV Diare, muntah, ruam makanan
Nelfinavir

Minum dalam
SQV Diare, rasa tidak waktu 2 jam setelah
Sequinavir
enak di perut makan

21
Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
EFV Mimpi aneh, Minum pada malam
Efavirens
mengantuk, ruam hari, hindari obat
dengan makanan
berlemak.
NVP Ruam, keracunan Pemberian
Nevirapine
hati bersamaan dengan
rifampisin,
tingkatkan dosis
NVP hingga 30%,
atau hindari.

Kriteria Klinis Kriteria CD4

 Tidak adanya atau penurunan  Kembalinya CD4% jika < 6 tahun (%


pertumbuhan pada anak dengan respon atau hitung CD4 jika umur ≥ 6 tahun)
pertumbuhan awal terhadap ARV pada atau dibawah data dasar sebelum
terapi, tanpa ada penyebab yang lain.
 Hilangnya neurodevelopmental
milestones atau mulainya gejala  CD4% turun ≥ 50% dari puncak jika < 6
ensefalopati tahun (% atau nilai absolute jika umur ≥
6 tahun), tanpa ada penyebab yang lain.
 Keadaan pada stadium klinis 4 yang
baru atau kambuh

22
ARV Untuk Koinfeksi Tuberkulosis
Semua ODHA dengan tbc aktif merupakan indikasi memulai terapi ARV berapapun jumlah
CD4. Terapi tb dooberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan terapi ARV sesegera
setelahnya (dalam delapan minggu pertama). EFV merupakan NNRTI pilihan pada pasien yang
akan memulai terpai ARV selama dalam terapi TB.

Lini Regimen Pilihan


Lini 2 NRTI + EFV Lanjutkan dengan 2 NNRTI + EFV
pertama 2 NRTI + NVP Ganti NVP ke EFV atau
Ganti ke regimen 3 NRTI atau
Lanjutkan dengan 2NNRTI + NVP
Lini 2 NRTI + PI Ganti kea tau lanjutkan (bila sudah mulai) regimen
kedua yang berisi LPV/r dengan dosis ganda.

Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu ke Bayi


Kapan ARV diberikan?
Sekitar 20 % dari bayi yang terinfeksi HIV di Negara berkembang akan menjadi AIDS
atau meninggal sebelum umur 12 bulan (dengan kontribusi nyata dari infeksi PCP pada bayi < 6
bulan yang tidak mendapat pengobatan dengan kotrimoksasol). Pengobatan secara dini
(walaupun dalam periode terbatas) pada masa infeksi primer pada bayi mungkin bisa
memperbaiki perjalanan penyakit. Di Negara berkembang, keuntungan pengobatan dini ARV
pada anak, diimbangi dengan masalah yang akan timbul seperti ketaatan berobat, resistensi dan
kesulitan diagnosis. Keuntungan klini yang nyata dibuktikan dengan uji klinis dibutuhkan
sebelum merekomendasikan pengobatan dini ART.
Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara
komprehensif dengan menggunakan empat prong (UNICEF), yaitu:
a) Prong 1 : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
b) Prong 2 : Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
c) Prong 3 : Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang
dikandungnya;
d) Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif
beserta bayi dan keluarganya.

23
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong 2.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua prong. Ke-
empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta dapat
dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.6
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi(preventing
mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi meningkatkan ketahanan hidup anak dan
kesehatan ibu, mengurangi risiko (mother-to-child transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih
rendah serta secara jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.7
Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa tindakan di berbagai
bidang. Anjuran kunci adalah:

 ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4 di bawah 350 atau penyakit
WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak menunda mulai pengobatan dengan tulang
punggung AZT dan 3TC atau tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.
 Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang HIV-positif yang
membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.
 Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima profilaksis nevirapine
selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine
atau AZT selama enam minggu apabila ibu tidak menyusui.
 Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung pemberian ART kepada ibu
atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran bahwa menyusui dan profilaksis harus
dilanjutkan hingga bayi berusia 12 bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak
diketahui.
 Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk paling sedikit dua tahun
hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.7

Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan
pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila
ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi
status HIV bayi.7
Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah.
Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1.000 agar bayi tidak
tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar

24
penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI.
Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.7

1. PMTCT dengan antiretroviral penuh


Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai terapi antiretroviral
penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan pada janin. Terapi antiretroviral
dapat diberikan walaupun tidak memenuhi kriteria untuk mulai terapi antiretroviral; setelah
melahirkan bisa berhenti lagi bila masih tidak dibutuhkan.

2. PMTCT – mulai dini


Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil. Mungkin ARV
tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai efavirenz pada triwulan
pertama, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek samping. Bila dia pakai terapi TB
(tuberculosis), diusulkan dihindari nevirapine, walaupun boleh tetap dipakai NNRTI (non
nucleoside reverse transcriptase inhibitor) ini bila tidak ada pilihan lain.

Tabel . Rezimen PMTC Dini

AZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya resistansi pada
nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu persalinan, tingkat nevirapine dapat
tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari, jadi serupa dengan monoterapi dengan nevirapine.
Hal yang serupa pada bayi dicegah dengan pemberian AZT setelah dosis tunggal nevirapine.

25
3. PMTCT – mulai lambat
Bila baru dapat mulai pengobatan waktu persalinan yang dapat dipaka sebagai berikut

Tabel . Rezimen PMTC Lambat


4. Makanan bayi
Sampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi jauh lebih sedikit
bila disusui secara eksklusif. Sebaliknya lebih dari 3% bayi di Indonesia meninggal akibat
infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh makanan atau botol yang tidak bersih. Ada juga
yang diberi pengganti ASI (PASI) dengan jumlah yang kurang sehingga bayi meninggal karena
malnutrisi.
A = Affordable (terjangkau)
F = Feasible (praktis)
A = Acceptable (diterima oleh lingkungan)
S = Safe (aman)
S = Sustainable (kesinambungan)
Itu berarti tidak boleh disusui sama sekali. Ada banyak masalah: mahalnya harga susu
formula, sehingga sering bayi tidak diberi cukup; kalau bayi menangis, ibu didesak untuk
menyusuinya; ibu yang tidak menyusui dianggap kurang memperhatikan bayi, atau melawan
dengan asas; air yang dipakai tidak bersih, atau campuran tidak disimpan secara aman; dan
apakah PASI dapat diberi terus-menerus.
ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan atau minuman
lain, termasuk air. ASI adalah sangat halus, mudah diserap oleh perut/usus. Makanan lain lebih
keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar diserap, membiarkan HIV dalam ASI
menembus dan masuk darah bayi. Jadi risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang
mengandung HIV, bersamaan dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum melahirkan
antara ibu, ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir, sebelum diberi

26
makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara mendadak (berhenti total
menyusui).7
II.9 PROGNOSIS
Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya cara yang
efektif untuk menangulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan progresif hingga
prognosisnya umumnya buruk.1

II.10 PENCEGAHAN

1. Dapatkah perempuan terinfeksi HIV hamil/memiliki anak


Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat
adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di
seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih
dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi
HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk
mempertimbangkan mendapatkan anak.
2. Penatalaksanaan selama kehamilan
Center for Disease Control and Prevention (1998) menganjurkan untuk menawarkan
terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi pada wanita hamil. Petunjuk ini diperbarui
oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group (2000,2001). Working Group
merekomendasikan pemeriksaan hitung CD4+ limfosit T dan kadar RNA HIV kurang
lebih tiap trimester, atau sekitar setiap 3 sampai 4 bulan. Hasil pemeriksaan ini dipakai
untuk mengambil keputusan untuk memulai terapi ARV, mengubah terapi, menentukan
rute pelahiran, atau memulai profilaksis untuk pneumonia Pneumocystis carinii.
3. Penatalaksanaan Persalinan
Seksio Sesarea
American College of Obstetricians and Gynecologists (2000) menyimpulkan bahwa
seksio sesarea terencana harus dianjurkan bagi wanita terinfeksi HIV dengan jumlah
RNA HIV-1 lebih dari 1000 salinan/ml. Hal ini dilakukan tanpa memandang apakah
pasien sedang atau belum mendapat terapi ARV. Persalinan terencana dapat dilakukan
sebelum 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan pecahnya selaput ketuban.7

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko


penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan
penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16.

2. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net;
2008. h.1-14

3. Kemenkes RI.2011.Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Ke


Bayi.Jakarta; 4-6

4. Panitia penyusun panduan pelayanan medis RSCM: panduan pelayanan medis


deparetemen ilmu penyakit anak RSCM. Jakarta: RSUP Nasional DR
Ciptomangunkusumo; 2007; 3-10

5. Prof. Subowo, dr. Msc.Phd. 2010.Imunologi Klinik.CV. SAGUNG SETO. P.177.Jakarta

6. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus.


Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 – 247.

7. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.

8. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak Di Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2008 Hal 4-9

9. Whittle H, Ariyoshi K, Rowland-Jones S. HIV-2 and T Cell Recognition. Current Op in


Immunol 1998; 10 : 383.

10. Suresh Rangarajan. Antiretroviral Therapy for the Prevention of Mother-to-Child


Transmission of HIV-1. UCSD Med-Peds. June 2008 p:13-14

28

Anda mungkin juga menyukai