BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering mengalami
pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia, kelenjar
prostat juga mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada tahap
usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang disertai gangguan
buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH). Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas
usia 50 tahun (50-79tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup
seseorang. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran
prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik
yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar
membesar) dan kemudian bermanifes dengan gejala klinik berkurang2.
Prostat hyperlasia (BPH) merupakan kelainan yang sering dijumpai di klinik
urologi di Indonesia. Di Jakarta prostat hipertrofi merupakan kelainan kedua
tersering setelah batu saluran kemih. Di Rumah sakit RSCM, sub-bagian urologi
setiap tahun ditemukan antara 200-300 penderita baru dengan prostat hipertrofi.
Berdasarkan data yang ada, sedikitnya gejala yang timbul pada BPH berhubungan
dengan umur, pada umur 55 tahun 25% gejala berkaitan dengan obtruksi yaitu
susah untuk buang air kecil. Pada umur 75 tahun, 50% laki- laki mengeluh
kekuatan dan pancaran urine berkurang. Penyakit ini merupakan salah satu dari
tiga penyakit terbanyak di bidang urologi2. Mengingat tingginya angka kejadian
BPH, maka dari itu penulis tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang
penyakit ini.
1.3 Tujuan
1. Tujuan umum
Mengetahui lebih mendalam tentang Benign Prostatic Hyperplasia.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui terminologi Benign Prostatic Hyperplasia
b. Mengetahui pathogenesis dari penyakit Benign Prostatic
Hyperplasia
c. Mengetahui tanda dan gejala dari penyakit Benign Prostatic
Hyperplasia
d. Mengetahui pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis
penyakit Benign Prostatic Hyperplasia
e. Mengetahui Penatalaksanaan dari Benign Prostatic Hyperplasia
1.4 Manfaat
Bagi Mahasiswa
- Meningkatkan kemampuan dalam penyusunan suatu makalah dari
beberapa sumber dan teknik penulisan.
- Menambah pengetahuan mengenai penyakit Benign Prostatic Hyperplasia
Bagi masyarakat
Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang
penyakit Benign Prostatic Hyperplasia
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Umur : 70 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Blitar
Pendidikan : SD
Agama : Islam
3
Status : Menikah
Tanggal masuk : 15 November 2012 jam 22.30 WIB
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Susah BAK
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan susah BAK sejak 3 hari ini, untuk memulai BAK
terkadang pasien harus mengedan dan menunggu lama, penisnya nyeri seperti
disogrok-sogrok dan berwarna agak merah saat BAK, pancaran semakin lama
dirasakan semakin melemah, dan kadang pasien mengalami kencing yang tiba-
tiba berhenti namun lancar kembali. Pasien menceritakan bahwa dirinya sering
berkali-kali ke kamar kecil dikarenakan adanya keinginan buang air kecil akan
tetapi saat di kamar kecil hanya keluar beberapa tetes saja dan merasa kurang
puas, selain itu pasien mengaku sering terganggu tidur malamnya dikarenakan ke
kamar mandi untuk buang air kecil, keluhan yang lain kadang pasien juga merasa
menetes pipisnya padahal pasien telah buang air kecil beberapa menit yang lalu.
Pasien tidak merasakan pusing, mual (+), muntah (+), BAB normal, kencing darah
(-), panas (-), pinggang terasa agak sakit. Setelah 1 hari MRS pasien terpasang
kateter karena mengeluhkan buang air kecil tidak kunjung keluar sejak tadi malam
dan perutnya terasa penuh. Urin hanya keluar sekitar 250 cc dan berwarna agak
kemerahan.
Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : tidak ada pembesaran jantung
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Suara tambahan jantung : (-)
Pulmo :
Inspeksi : bentuk normal, simetris
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
5
Pemeriksaan IPSS
Untuk pertanyaan no.1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut :
0 = tidak pernah 3 = kurang lebih separuh kejadian
1 = <1 dari 5 kejadian 4 = lebih dari separuh kejadian
2 = separuh kejadian 5 = hampir selalu
Dalam 1 bulan terakhir ini berapa seringkah anda :
1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing? Skor 5
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setengah jam yang lalu Anda
kencing? Skor 4
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan
hal ini dilakukan berkali-kali? Skor 5
4. Tidak dapat menahan keinginan untuk kencing? Skor 1
5. Merasakan pancaran urin yang lemah? Skor 5
6. Harus mengejan dalam memulai kencing? Skor 5
Untuk pertanyaan no.7, jawablah dengan skor seperti dibawah ini :
0 = tidak pernah 3 = 3 kali
1 = 1 kali 4 = 4 kali
2 = 2 kali 5 = 5 kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini berapa kali anda terbangun dari tidur
malam untuk kencing? Skor 5
Pertanyaan penilaian tentang kualitas hidup :
8. Bagaimana anda menikmati hidup? Tidak bahagia
S ,L ,Q ,R ,V
(S : skor, L: kualitas hidup, Q: pancaran urin ml/det, V:vol.prostat )
IPSS :
0-7 : Ringan (sedikit gangguan, seperti rendahnya sisa dan pancaran
volume urin)
8-9 : Sedang (beberapa gangguan seperti menurunnya pancaran dan
tingginya sisa volume urin tetapi tidak ada tanda-tanda komplikasi)
> 20 : Berat (komplikasi obstruksi)
Kesimpulan :
Total IPSS : 30 (tingkat keparahan gejala berat karena IPSS > 20 )
7
5. Rontgen Thorax :
Keterangan :
6. USG Abdomen :
9
2.5 Resume
Dari anamnesa ditemukan :
- Nyeri : Nyeri pada vesika (-), Nyeri prostat (+)
- Gejala Obstruksi : Hesitansi (+) , pancaran miksi lemah (+), intermitensi
(-), miksi tidak puas (+), menetes setelah miksi (+)
- Gejala Iritasi : Frekuensi (+/meningkat), Nokturi (+), Urgensi (-), Disuri
(+)
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan vital sign dalam batas normal.
Didapatkan tonus sfingter ani baik, terdapat benjolan pada arah jam 12 dengan
pembesaran dari arah jam 1 dan jam 11 , uninoduler, konsistensi prostat kenyal
padat, permukaan datar, sulkus mediana tidak teraba, ujung prostat masih dapat
tersentuh ujung jari. Total IPSS : 30 (tingkat keparahan gejala berat karena IPSS >
20).
Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dengan
Hb menurun, trombosit menurun, dan warna urin kuning tua keruh. Foto rongent
thorax didapatkan hasil thorax normal, USG abdomen dengan hasil prostat
membesar dengan ukuran 39,6 mm x 40,1 mm x 51,4 mm, echonormal disertai
massa yang menonjol kedalam cavum vesicae di bagian belakang ballon cath
sekitar 6 cm x 5 cm x 2,5 cm, curiga blood clot, echo rendah heterogen, dan
permukaan tak teratur.
Kesimpulan dari semua pemeriksaan membuktikan bahwa pada pasien ini
didapatkan adanya BPH Grade 2 dengan cystitis.
2.6 Diagnosa
Diagnosa Kerja : Retensi Urin
Diagnosa Primer : BPH Grade 2 dengan Cystitis
Diagnosa Sekunder : -
10
2.7 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
1. RL 20 tts/mnt
2. Transfusi PRC 2 kolf/hari s/d Hb>10 g/dl
3. Kalnex 3 x 500 mg
4. Inj. Ranitidin 2 x 1 amp
5. Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
6. Cefixime 2 x 100 mg
b. Non Medikamentosa :
- Observasi KU
- Cateter
- TURP
BAB III
PEMBAHASAN
3.2 Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan
dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah1.
3.3 Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran
13
yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam
ukuran, yang kontinu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5,
prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia1.
3.4 Etiologi
Belum diketahui secara pasti, saat ini terdapat beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat antara lain1:
Teori Hormonal
Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak
terjadi BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen
(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara
hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun
dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer
dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah
yang berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan
konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan
potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat.
Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis,
prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap
estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
Teori Growth Factor (Faktor pertumbuhan)
14
Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth
factor, transforming growth 1, transforming growth factor 2, dan epidermal
growth factor.
Teori Sel (Stem Cell Hypothesis)
Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar
testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem
sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat
bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal
sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel
kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
Teori Dihidro Testosteron (DHT)
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat
oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%
dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke
dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk
kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha
reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor
sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone receptor
complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang
masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan
transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma
pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular
budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona
preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang
terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan
15
3.6 Patofisiologi
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra
vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan
kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha
adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun
kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis,
yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik1.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra.
Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi
resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk
mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut
fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus1.
16
Hidronefrosis
Hidroureter
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya
kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal
laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati
20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 – 8
ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik.
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri
tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya
kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut
dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-
Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan
laju pancaran urin dapat diukur.
Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun
kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.
3.10 Diagnosis
Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui1:
1. Anamnesis : adanya gejala obstruktif dan gejala iritatif
2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba
sebagai prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata,
asimetri dan menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia
prostat batas atas semakin sulit untuk diraba.
3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya
komplikasi
3.12 Penatalaksanaan
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan
teknologi yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi
bedah minimal invasif yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat
keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan dibahas penatalaksanaan BPH berupa
watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal
invasif3.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor
IPSS <>3)
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam
agar mengurangi nokturia.
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.
4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air
kecil. Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk
diperiksa: skoring, uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa
22
3.13 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat
menimbulkan komplikasi sebagai berikut1
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
26
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal
3.14 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak
segera ditangani memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang
menjadi kanker prostat5.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat
bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel
kelenjar (jaringan dalam kelenjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini
terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatif. Prognosis BPH tidak dapat
diprediksi, tetapi dapat dikatakan buruk jika tidak segera ditangani karena dapat
berkembang menjadi kanker prostat. Penatalaksanaan BPH berupa watchful
waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, terapi minimal invasif dan
farmakoterapi.
27
4.2 Saran
Dilakukan penelitian tentang komplikasi dan penatalaksanaan pada penderita
Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
Mahasiswa diharapkan lebih mengenalkan kepada masyarakat tentang bahaya
Benign Prostate Hyperplasia (BPH).
DAFTAR PUSTAKA
6. Http://www.medicalook.com