Anda di halaman 1dari 37

BAB 1.

PENDAHULUAN

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARSCoV-2).
SARS-CoV-2 merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi
sebelumnya pada manusia. Gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala
gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Namun, saat ini
mulai banyak muncul kasus COVID-19 dengan gejala diluar gangguan pernapasan
akut (Kemenkes RI, 2020)
Pada tanggal 31 Desember 2019, Tiongkok melaporkan kasus pneumonia
misterius yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam 3 hari, pasien dengan kasus
tersebut berjumlah 44 pasien dan terus bertambah hingga saat ini berjumlah jutaan
kasus. Pada awalnya data epidemiologi menunjukkan 66% pasien berkaitan atau
terpajan dengan satu pasar
seafood atau live market di Wuhan, Provinsi Hubei Tiongkok. Sampel isolat dari
pasien diteliti dengan hasil menunjukkan adanya infeksi coronavirus, jenis
betacoronavirus tipe baru, diberi nama 2019 novel Coronavirus (2019-nCoV). Pada
tanggal 11 Februari 2020, World Health Organization memberi nama virus baru
tersebut SARS-CoV-2 dan nama penyakitnya sebagai Coronavirus Disease 2019
(COVID-19). Virus corona ini menjadi patogen penyebab utama outbreak penyakit
pernapasan. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal (single-stranded RNA) yang
dapat diisolasi dari beberapa jenis hewan, terakhir disinyalir virus ini berasal dari
kelelawar kemudian berpindah ke manusia. Pada mulanya transmisi virus ini belum
dapat ditentukan apakah dapat melalui antara manusia-manusia. Jumlah kasus terus
bertambah seiring dengan waktu. Akhirnya dikonfirmasi bahwa transmisi pneumonia
ini dapat menular dari manusia ke manusia. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO
mengumumkan bahwa COVID-19 menjadi pandemi di dunia.
Kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan pada tanggal 2 Maret
2020 atau sekitar 4 bulan setelah kasus pertama di Cina. Kasus pertama di Indonesia

1
pada bulan Maret 2020 sebanyak 2 kasus dan setelahnya pada tanggal 6 Maret
ditemukan kembali 2 kasus. Kasus COVID-19 hingga kini terus bertambah. Saat awal
penambahan kasus sebanyak ratusan dan hingga kini penambahan kasus menjadi
ribuan. Pada tanggal 31 Desember 2020 kasus terkonfirmasi 743.196 kasus,
meninggal 22.138 kasus, dan sembuh 611.097. Propinsi dengan kasus COVID-19
terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Untuk menentukan seseorang terjangkit COVID-19 dibutuhkan pemeriksaan
PCR swab, hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa sebagian kasus dapat
menunjukkan hasil positif persisten walaupun sudah tidak ada gejala. Penelitian di
Korea menunjukkan bahwa walaupun tidak ditemukan virus yang dapat bereplikasi 3
minggu setelah onset gejala pertama, SARS-CoV-2 RNA masih terdeteksi di
spesimen pemeriksaan RT-PCR hingga 12 minggu. Bagi penyintas COVID-19
penelitian terbaru juga menunjukkan ada kemungkinan untuk proses reinfeksi karena
antibodi COVID-19 dalam tubuh diperkirakan akan menghilang dalam 3 sampai
dengan 12 bulan. Pada April 2020 telah dilaporkan kasus reinfeksi SARS-CoV-2
terkonfirmasi pertama di Amerika. Oleh sebab itu walaupun sudah dinyatakan
sembuh dari COVID-19, tetap harus menjalankan protokol kesehatan.
Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia, kasus COVID-19 meningkat
jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga memerlukan perhatian. Pada prakteknya di
masa pandemi, tatalaksana COVID-19 diperlukan kerjasama semua profesi untuk
menanganinya. Diperlukan panduan tatalaksana yang sederhana dan mudah
dimengerti dan diterapkan oleh semua pihak di seluruh Indonesia. Kita menghadapi
virus dengan tabiat yang belum jelas, semua anjuran yang dituangkan dalam buku ini
masih punya peluang untuk selalu mengalami perubahan sesuai dengan
perkembangan yang ada sehingga perlu kehati-hatian bila digunakan untuk semua
kondisi pasien COVID-19.
Laporan kasus ini penting untuk dilaporkan dikarenakan COVID-19
merupakan penyakit infeksi yang masih banyak terjadi di Indonesia yang
membutuhkan penanganan tepat dan cepat, sehingga diharapkan dapat mengenal

2
tanda, gejala serta tatalaksana dari penyakit ini. Berikut ini akan dilaporkan sebuah
kasus COVID-19 pada wanita berusia 61 tahun yang datang dan
dirawatadiaRSDaKalisat Jember.

3
BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : Ny. D.
 Umur : 61 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Status : Menikah
 Alamat : Kalisat
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Suku : Madura
 Agama : Islam
 Pembayaran : Askes
 No. RM : 123698
 Tanggal MRS : 15 Desember 2020
 Pemeriksaan : 15 Desember 2020

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan heteroanamnesis dilakukan kepada pasien pada tanggal 15
Desember 2020 (H1MRS) di IGD RSD Kalisat.

2.2.1 Keluhan Utama


Sesak

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak, demam (+), batuk pilek sejak 2
minggu yang lalu. Batuk tidak berdahak, darah (-), riwayat perjalanan ke banyuwangi
2 minggu yang lalu. Nyeri tenggorok (-), anosmia (-), BAK normal, BAB normal,
mual (-) muntah (-) nafsu makan menurun

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi (-) DM (-) asma (+)

4
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang lain yang menderita keluhan yang sama.
2.2.5 Riwayat Pengobatan
-
2.2.6 Anamnesis Sistem
 Sistem serebrospinal
Nyeri kepala (-), penurunan kesadaran (-), kejang (-), demam (+)
 Sistem kardiovaskular
Berdebar-debar (-)
 Sistem pernapasan
Sesak (+), batuk (+)
 Sistem gastrointestinal
Mual (-), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (+), nyeri perut (-)
 Sistem urogenital
BAK lancar warna kuning
 Sistem integumentum
Pucat (-), lebam (-), turgor kulit normal, sianosis (-), ikterik (-), keringat dingin (-)
 Sistem musculoskeletal
Edema (-), atrofi (-), deformitas (-)
Kesan : terdapat gangguan sistem serebrospinal, system pernapasan, dan gastrointestinal

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan Umum (H1MRS)
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : compos mentis, GCS 4-5-6
Vital sign : TD : 118/73 mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 28 x/menit
Suhu Aksila: 37,0o C
SpO2 : 92% tanpa O2, 97-98% dengan O2 nasal 3lpm

2.3.2 Status Generalis

5
a. Kepala
- Bentuk : normal
- Rambut : hitam, lurus, pendek
- Mata : konjungtiva anemis : - /-
sklera ikterus : -/-
edema palpebra : -/-
refleks cahaya : +/+
- Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-)
- Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
- Mulut : sianosis (-), atrofi papil lidah (-),
b. Leher
- KGB : tidak ada pembesaran
- Tiroid : terdapat massa multinoduler
- JVP : tidak meningkat
c. Dada
1. Jantung:
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V AAL Sinistra
- Perkusi : redup di ICS IV PSL D s/d ICS VI MCL S
- Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, ekstrasistole (-), gallop (-), murmur (-)
2. Paru-paru
Ventral Dorsal
Inspeksi: Inspeksi:
 Simetris  Simetris
 Retraksi -/-  Retraksi -/-
 Ketertinggalan  Ketertinggalan gerak -/-
gerak -/-
Palpasi: P: Palpasi:
 Fremitus raba  Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N
6
Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
DS DS
V V V V
V V V V
V V V V

Rhonki Rhonki
- - - -
- - - -
- - - -

Wheezing Wheezing
- - - -
- - - -
- - - -

d. Perut
- Inspeksi : Flat
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-)
- Perkusi : Timpani

e. Ekstremitas
- Superior : akral hangat -/-, edema-/-
- Inferior : akral hangat -/-, edema -/-

7
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium (15-12-2020)
Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Normal

HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap (HLT)
Hemoglobin 13,7 12.0-16.0
Lekosit 6.200 4.5.0-11.0
Hematokrit 43% 36-46
Trombosit 230.000 150.000-450.000
FAAL GINJAL
Serum Kreatinin 0,8 0,7-1,3
BUN/urea 21 4,7-23,4

FAAL HATI
SGOT 55 0-37
SGPT 39 0-43

GDA 111 <200

Antibodi COVID
Ig G Reaktif Non Reaktif
Ig M Reaktif Non Reaktif

Hasil pemeriksaan foto Thorax (15-12-2020)

Hasil pemeriksaan EKG (15-12-2020)


8
2.5 Diagnosis
Pneumoni bilateral + probable COVID-19 dengan IgG dan IgM reaktif
2.6 Diagnosis banding
1. TB
2. SARS
2.7 Planning
2.7.1 Planning Monitoring
 Keluhan
 Keadaan umum
 Vital Sign
2.7.2 Planning diagnostik
 Swab
2.7.2 Planning Terapi
Inf. Pz 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1g/12 jam
Inj. Solvinex 1A/8 jam
Inj. Radin 1A/12 jam
Inj. Sancorbin 1A/24 jam
Inj. Mecobalamin 1A/12 jam

9
Inj. MP 62.5 mg/12 jam
Nebul Combivent Pulmicort/8 jam
Oral
L Bio 3x1

2.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Functionam : Dubia ad Malam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam

10
BAB 4. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Coronavirus adalah kelompok besar virus RNA yang dapat menyebabkan penyakit
di hewan dan manusia. Beberapa penyakit pada manusia yang ditimbulkan virus dari
keluarga coronavirus adalah selesma, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Severe
Acute Respiratory Syndrome (SARS), dan yang terbaru adalah penyakit yang dinyatakan
pandemi pada 11 Maret 2020 oleh WHO, Coronavirus Disease (COVID-19) (FKUI,
2020). Awalnya, penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru yaitu Coronavirus Disease
(COVID-19) pada 11 Februari 2020 (Susilo et al., 2020).
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV- 2). SARS-CoV-2
merupakan jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia
(Kemenkes RI, 2020)

2.2 Epidemiologi

Jumlah kasus COVID-19 secara global dari 216 negara yang dilaporkan kepada
WHO per tanggal 1 Agustus 2020 tercatat sebanyak 17.396.943 kasus terkonfirmasi.
Jumlah kematian akibat virus ini tercatat sebanyak 675.060 kematian dengan case fatality
rate sebesar 3.9% (WHO, 2020).

Gambar 2.1 Jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 secara global (WHO, 2020)

11
Outbreak pertama virus ini terjadi di China yang kemudian menyebar ke seluruh
dunia. Pada April 2020 dilaporkan bahwa Amerika Serikat memiliki jumlah kasus
COVID-19 terbanyak, yang kemudian diikuti oleh Spanyol, Italia, Jerman, Paris dan
China. Italia mengalami dampak terparah akibat virus ini dengan case fatality rate
sebesar 7.2% (Koichi et al., 2020).
Sebanyak 54.4% pasien terkonfirmasi COVID-19 yang dirawat adalah laki-laki
dan 74.4% diantaranya berusia lebih dari 50 tahun. Sedangkan lasus kematian terbanyak
tercatat terjadi pada pasien dengan usia di atas 80 tahun dengan presentase 49.7%. Orang
dengan penyakit komorbid memiliki resiko lebih tinggi untuk terinfeksi virus ini, dimana
sebanyak 89.3% kasus memiliki 1 atau lebih komorbid diantaranya hipertensi (49.7%),
obesitas (48.3%), penyakit paru kronis (34.6%), diabetes mellitus (28.3%) dan penyakit
jantung (27.8%). Selain itu petugas kesehatan juga memiliki resiko tiga kali lipat untuk
terinfeksi virus ini (Cennnimo, 2020)

Gambar 2.2 Jumlah kasus covid-19 di setiap regio WHO (WHO, 2020)

Kasus COVID-19 pertama dilaporkan di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020


sejumlah dua kasus. Data pada 31 Maret 2020 menunjukkan kasus yang terkonfirmasi
berjumlah 1.528 kasus dan 136 kasus kematian. Case-fatality rate COVID-19 di
Indonesia saat itu sebesar 8.9%, angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara
(Susilo et al., 2020).
Per tanggal 1 Agustus 2020, jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 yang
dilaporkan tercatat sebanyak 109.936 dengan jumlah kematian akibat virus ini sebanyak
5.193 kasus, case fatality rate 4.7%. Sedangkan dilaporkan sebanyak 67.919 orang telah
dinyatakan sembuh dari infeksi virus ini (Kemenkes RI, 2020).
12
Gambar 2.3 Statistik kasus COVID-19 di Indonesia (Kemenkes RI, 2020)

2.3 Etiologi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember 2019.
Kemudian pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan
bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi
nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal
dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun berasal dari
famili yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular dibandingkan dengan SARS-CoV
dan MERS-CoV (Kemenkes RI, 2020).
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N
(nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike), protein E
(selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae.
Coronavirus dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Sebelum COVID-
19, ada 6 jenis Coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E
(alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63 (alphacoronavirus),
HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus), dan MERS-CoV
(betacoronavirus) (Kemenkes RI, 2020).
Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus
betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan
berdiameter 60-140 nm (Kemenkes RI, 2020)
13
Gambar 2.4 Struktur coronavirus (Kemenkes RI, 2020)

Gambar 2.5 Struktur coronavirus 3D (Thomas, 2020)

2.4 Transmisi dan Patofisiologi


2.4.1 Transmisi
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Namun
hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui. Sekuens
SARS-CoV-2 memiliki kemiripan dengan coronavirus yang diisolasi pada kelelawar,
sehingga muncul hipotesis bahwa SARS-CoV-2 berasal dari kelelawar yang kemudian
bermutasi dan menginfeksi manusia (Susilo et al., 2020).
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber
transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Masa inkubasi COVID-19
antara 1 sampai 14 hari dengan rata-rata 5-6 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di
hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi.
Puncak kadar viral load di saluran pernapasan atas tampak pada saat onset gejala pertama
kali muncul, sedangkan viral shedding mulai tampak 2-3 hari sebelum gejala muncul.

14
Sehingga karier asymptomatic and presymptomatic dapat mentransmisikan SARS-CoV-2.
Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum
onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala. Sebuah
studi di Singapura melaporkan bahwa 48% sampai 62% menunjukkan penularan
presimptomatik (Wiersinga et al., 2020).
Transmisi asimptomatik berkisar antara 4%-32%, Namun hal tesebut belum dapat
menjelaskan apakah infeksi asimptomatik ditransmisikan oleh seseorang yang benar-
benar tidak menimbulkan gejala atau ditansmisikan oleh seseorang dengan yang gejala
ringan atau ditransmisikan oleh seseorang yang tidak bergejala namun secara bertahap
mulai menunjukkan gejala (presimptomatik) (Wiersinga et al., 2020).
Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa
COVID-19 utamanya ditularkan secara langsung dari orang yang bergejala (simptomatik)
ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel berisi
air dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang berada pada
jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan
(misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan
hidung) atau konjungtiva (mata). Penularan juga dapat terjadi secara tak langsung melalui
benda dan permukaan yang terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi
(Kemenkes RI, 2020).
Transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam keadaan khusus dimana
prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan aerosol yang dapat bertahan setidak
3 jam seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian pengobatan
nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap,
memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif noninvasif, trakeostomi, dan
resusitasi kardiopulmoner (Kemenkes RI, 2020).
Namun, di luar fasilitas medis, beberapa laporan wabah yang terkait dengan
crowded indoor spaces telah mempertimbangkan kemungkinan transmisi aerosol,
dikombinasikan dengan transmisi droplet, misalnya, selama latihan paduan suara, di
restoran, atau di tempat fitness. Dalam hal ini, transmisi shortrange aerosol tidak dapat
dikesampingkan, terutama di dalam ruangan tertutup yang ramai dan tidak memilki
ventilasi yang memadai selama periode waktu yang lama dengan orang yang terinfeksi
(WHO, 2020).
15
Beberapa penelitian melaporan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun,
transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat terjadi.
Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi vertikal tergolong kecil.
Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu pada ibu yang
positif COVID-19 ditemukan negatif (Chen et al., 2020).
SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil biopsi
pada sel epitel gaster, duodenum,dan rektum. Virus dapat terdeteksi di feses, bahkan pada
23% pasien dilaporkan virus tetap terdeteksi dalam feses walaupun sudah tak terdeteksi
pada sampel saluran pernapasan. Hal ini menguatkan dugaan kemungkinan transmisi
secara fekal-oral (Xiao et al., 2020).

2.4.2 Patofisiologi
Patogenesis SARS-CoV-2 masih belum banyak diketahui, tetapi diduga tidak jauh
berbeda dengan SARS-CoV yang sudah lebih banyak diketahui. Siklus hidup virus pada
host terdiri dari 5 tahapan yaitu: attachment, penetrasi, biosynthesis, maturasi and release
(Koichi et al., 2020). Pada manusia, SARSCoV-2 terutama menginfeksi sel-sel pada
saluran napas yang melapisi alveoli sesuai dengan port de entry virus.
Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) reseptor diidentifikasi sebagai reseptor
fungsional untuk SARS-CoV-2 berdasarkan analisis struktural dan fungsional. Ekspresi
ACE2 reseptor yang tinggi terdapat di paru, jantung, ileum, ginjal, dan kandung kemih.
Selain itu ekspresi ACE2 reseptor juga ditemukan pada jaringan lain, seperti saraf dan sel
endotel vaskular. Di paru, ACE2 banyak diekspresikan di sel-sel epitel paru.

16
Tabel 2.2 Distribusi reseptor ACE2 pada jaringan manusia (Ikawati, 2020)

Glikoprotein yang terdapat pada envelope spike virus (protein S) akan berikatan
dengan reseptor selular yang akan memicu fusi antara membran plasma dan virus.
Glikoprotein spike (protein S) terdiri dari dua subunit fungsional, yaitu Subunit S1 yang
bertanggung jawab untuk berikatan dengan reseptor sel inang, sedangkan Subunit S2
bertanggung jawab terhadap fusi antara membran sel inang dan virus (Koichi et al.,
2020). Di dalam sel, SARS-CoV-2 melakukan duplikasi materi genetik dan mensintesis
protein-protein yang dibutuhkan, kemudian membentuk virion baru yang muncul di
permukaan sel (Susilo et al., 2020).
Pada SARS-CoV-2 diduga setelah virus masuk ke dalam sel, genom RNA virus
akan dikeluarkan ke sitoplasma sel dan ditranslasikan menjadi dua poliprotein dan protein
struktural. Glikoprotein pada selubung virus yang baru terbentuk masuk ke dalam
membran retikulum endoplasma atau Golgi sel. Dan membentuk nukleokapsid yang
tersusun dari genom RNA dan protein nukleokapsid. Partikel virus akan tumbuh ke dalam
retikulum endoplasma dan Golgi sel. Pada tahap akhir, vesikel yang mengandung partikel
virus akan bergabung dengan membran plasma untuk melepaskan komponen virus yang
baru (Susilo et al., 2020).

17
Faktor virus dan pejamu memiliki peran dalam infeksi SARS-CoV-2. Efek
sitopatik virus dan kemampuannya mengalahkan respons imun menentukan keparahan
infeksi. Disregulasi sistem imun kemudian berperan dalam kerusakan jaringan pada
infeksi SARS-CoV-2. Respons imun yang tidak adekuat menyebabkan replikasi virus dan
kerusakan jaringan. Di sisi lain, respons imun yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Susilo et al., 2020).
Selain itu, jika kita melihat pada sistem renin-angiotensin-aldosterone, angiotensin
II (ANG II) mempunyai efek meningkatkan tekanan darah dan inflamasi, meningkatkan
kerusakan jaringan dan lapisan pembuluh darah. ACE2 berfungsi menghambat kerja
ANG II dengan cara mengubah ANG II menjadi molekul lain yang memberikan efek
berlawanan. Ketika SARS-CoV-2 berikatan dengan reseptor ACE2, hal ini menghambat
fungsi normal ACE2 dalam meregulasi ANG II, akibatnya ANG II akan tersedia bebas
untuk selanjutnya merusak jaringan (Ikawati, 2020).

Gambar 2.8 Patofisiologi COVID-19 (Gupta et al., 2020)

Respons imun yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 belum sepenuhnya dapat


dipahami, namun mekanisme yang ditemukan pada SARS-CoV dan MERSCoV dapat
membantu. Sel epitel, alveolar makrofag dan sel dendritik (DC) adalah tiga komponen
utama untuk kekebalan bawaan (innate immunity) di jalan nafas. DC dan makrofag
berfungsi sebagai sel imun bawaan untuk melawan virus sampai kekebalan adaptif
terbentuk (Sel T). Respons sel T dimulai oleh presentasi antigen melalui DC dan

18
makrofag. DC dan makrofag dapat memfagositosis sel yang terinfeksi oleh virus,
kemudian akan dipresentasikan oleh antigen presentation cells (APC). Presentasi antigen
virus terutama bergantung pada molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas
I. Namun, MHC kelas II juga turut berkontribusi. Presentasi antigen selanjutnya
menstimulasi respons imunitas humoral dan selular tubuh yang dimediasi oleh sel T dan
sel B yang spesifik terhadap virus. Sel T CD4 + mengaktifkan sel B untuk meningkatkan
produksi antibodi spesifik virus, sedangkan sel T CD8 + dapat membunuh sel yang
terinfeksi virus (Koichi et al., 2020).
Pada respon imun humoral terbentuk IgM dan IgG terhadap SARS-CoV-2. IgM
terhadap SAR-CoV-2 hilang pada akhir minggu ke-12 dan IgG dapat bertahan jangka
panjang (Susilo et al., 2020).

2.4 Manifestasi Klinis


COVID-19 menunjukkan gejala gangguan pernapasan akut yang mirip dengan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) tahun 2002-2003 dan Middle
East Respiratory Syndrome (MERS) tahun 2012. Saat ini manifestasi klinis COVID-19
tidak lagi memperlihatkan gejala klasik saja seperti demam, batuk, dan sesak napas, tapi
semakin beragam (Ikawati, 2020)
Manifestasi klinis yang timbul pada berbagai organ tersebut diperkirakan sejalan
dengan hasil banyak penelitian terkini yang menunjukkan ekspresi ACE2 di berbagai
organ seperti jantung, ginjal, kandung kemih, mata, dan sistem saraf termasuk otak. Hasil
ini mengindikasikan kemungkinan virus dapat menyebabkan kerusakan langsung pada
jaringan yang mengandung reseptor ACE2 (Ikawati, 2020)
2.5.1 Manifestasi klinis pada paru

Tabel 2.3 Profil klinis pasien COVID-19 (Susilo et al., 2020)

19
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari
tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis,
hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami
sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis (Susilo et al., 2020).
Manifestasi yang paling umum muncul pada pasien yang dirawat adalah demam
(>90%), batuk kering (60-86%), shortness of breath (53-80%), dan batuk berdahak
dengan produksi sputum (27%), fatigue (38%). Gejala lain yang mungkin timbul adalah
nyeri tenggorokan, pilek atau anosmia (Wiersinga et al., 2020).
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan,
sedang, berat dan kritis.
1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala
yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala
tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare, mual
dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum
onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised
gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang
nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
3. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 > 93%
dengan udara ruangan ATAU Anak-anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia tidak
berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak
ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat :
usia <2 bulan, ≥60x/menit;
usia 2–11 bulan, ≥50x/menit ;
usia 1–5 tahun, ≥40x/menit ;
usia >5 tahun, ≥30x/menit.

20
4. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres
pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan. ATAU Pada pasien anak :
pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah
setidaknya satu dari berikut ini:
 sianosis sentral atau SpO2<93% ;
 distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada yang
sangat berat);
 tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau
penurunan kesadaran, atau kejang.
 Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11
bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok
sepsis.

2.5.2 Manifestasi klinis ekstra paru


Manifestasi extra-respiratory dari infeksi SARS-CoV2 baru-baru ini dilaporkan
mengalami peningkatan jumlah kasus, sehingga COVID-19 saat ini dijuluki sebagai “The
thousand faces disease”. Manifestasi yang muncul dapat disebabkan secara langsung oleh
virus SARS-CoV-2, respon imun tubuh atau efek samping dari obat-obatan yang
digunakan dalam pengobatan COVID-19.

21
2.6 Diagnosis
Istilah-istilah yang penting diketahui dalam diagnosis kasus COVID-19 yaitu
1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah satu kriteria
epidemiologis:
Kriteria Klinis:
 Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam* dan batuk;
ATAU
 Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam/riwayat demam*,batuk,
kelelahan (fatigue), sakit kepala, myalgia, nyeri tenggorokan,coryza/ pilek/ hidung
tersumbat*, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah*,diare, penurunan kesadaran
DAN
Kriteria Epidemiologis:
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bekerja di tempat berisiko tinggi penularan**;
ATAU
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat tinggal atau
bepergian di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal***;
ATAU
 Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di fasilitas pelayanan
kesehatan, baik melakukan pelayanan medis, dan non-medis, serta petugas yang
melaksanakan kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak;
ATAU
b. Seseorang dengan ISPA Berat****, c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang
tidak memenuhi kriteria epidemiologis dengan hasil rapid antigen SARSCoV-2
positif****

2. Kasus Probable
22
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut
a. Seseorang yang memenuhi kriteria klinis DAN memiliki riwayat kontak erat
dengan kasus probable; ATAU terkonfirmasi; ATAU berkaitan dengan cluster
COVID- 19*****
b. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah COVID-19******
c. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan indra penciuman)
atau ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa) dengan tidak ada penyebab lain
yang dapat diidentifikasi
d. Orang dewasa yang meninggal dengan distres pernapasan
DAN memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable atau terkonfirmasi,
atau berkaitan dengan cluster COVID-19*****
3. Kasus Konfirmasi:
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 dengan kriteria
sebagai berikut:
a. Seseorang dengan hasil RT-PCR positif
b. Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif DAN memenuhi
kriteria definisi kasus probable ATAU kasus suspek (kriteria A atau B)
c. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2
positif DAN Memiliki riwayat kontak erat dengan kasus probable ATAU
terkonfirmasi.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
4. Kontak Erat:
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi
dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau
konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
23
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko
lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat

Catatan:
* Gejala/tanda yang dipisahkan dengan garis miring (/) dihitung sebagai satu gejala/tanda
** Risiko tinggi penularan: Kriteria yang dapat dipertimbangkan:
a. Ada indikasi penularan/tidak jelas ada atau tidaknya penularan pada tempat
tersebut.
b. berada dalam suatu tempat pada waktu tertentu dalam kondisi berdekatan secara
jarak (contohnya lapas, rutan, tempat pengungsian, dan lain-lain). Pertimbangan
ini dilakukan berdasarkan penilaian risiko lokal oleh dinas kesehatan setempat.
***Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang melaporkan adanya kasus
konfirmasi yang sumber penularannya berasal dari wilayah yang melaporkan kasus
tersebut. Negara transmisi lokal merupakan negara yang termasuk dalam klasifikasi kasus
klaster dan transmisi komunitas, dapat dilihat melalui situs
https://www.who.int/emergencies/diseases/ novel-coronavirus-2019 /situation-reports
Wilayah transmisi lokal di Indonesia dapat dilihat melalui situs
https://infeksiemerging.kemkes.go.id.
**** ISPA Berat yaitu Demam akut (≥ 380 C)/riwayat demam, dan batuk, dan tidak lebih
dari 10 hari sejak onset, dan membutuhkan perawatan rumah sakit.
**** Perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT-PCR. Rekomendasi WHO terkait
pemeriksaan rapid antigen SARS-CoV-2: (1) Memiliki sensitivitas > 80% dan spesifisitas
> 97% jika dibandingkan dengan RT-PCR; (2) Hanya digunakan dalam kondisi RT-PCR
tidak tersedia atau membutuhkan hasil diagnosis yang cepat berdasarkan pertimbangan
klinis; dan (3) hanya dilakukan oleh petugas terlatih dalam 5-7 hari pertama onset gejala.
***** Cluster COVID-19 didefinisikan sebagai sekumpulan individu bergejala
(memenuhi kriteria klinis A & B kasus suspek) dilihat dari aspek waktu, tempat, dan
paparan yang sama.
 Paparan terhadap minimal 1 orang yang terkonfirmasi positif dengan RT-PCR
 Paparan terhadap minimal 2 orang bergejala dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-
2 positif
****** Gambaran radiologis yang sugestif ke arah COVID-19:
24
 X-Ray toraks: hazy opacities yang terdistribusi di bagian basal dan perifer paru
 CT Scan toraks: opasitas ground glass multipel bilateral yang terdistribusi di bagian
basal dan perifer paru
 USG paru: penebalan pleural lines, B lines (multifocal, diskret, atau konfluens),
pola konsolidasi dengan atau tanpa air bronchograms

Diagnosis COVID-19 terutama didasarkan pada


1. Anamnesis meliputi: riwayat kontak, riwayat perjalanan dan manifestasi klinis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan hematologi, serologi, pemeriksaan
radiologis dan pemeriksaan RT-PCR. Pemeriksaan hematologi Abnormalitas
pemeriksaan hematologi yang mungkin ditemukan pada pasien COVID-19 antara
lain:
- Leukopenia (< 5000/mm3) atau leukositosis (> 10.000/ mm3)
- Limfositopenia (limfosit absolut < 1500/mm3)
- Neutrofil-Limfosit Ratio meningkat (NLR > 3,13)
- C-reactive protein (CRP) meningkat dengan Procalcitonin (PCT) normal -
Ureum/kreatinin meningkat (bukan pasien CKD)
- SGOT/SGPT meningkat (tanpa sebab yang jelas)
- Peningkatan d-dimer

Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan berbasis darah yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi apakah seseorang telah terpapar patogen tertentu, dengan melihat
kadar antibodi terhadap antigen tersebut. Pemeriksaan tersebut lebih dikenal dengan nama
Rapid test antibody.
Interpretasi yang akurat dari pemeriksaan serologi bergantung pada spesifisitas
antigen serta tipe antibodi yang terdeteksi. Antigen dapat berupa proteins, polisakarida
atau lipid. Antigen virus SARS-CoV-2 yang digunakan untuk mendeteksi antibodi antara
lain protein S, nukleocapsid, dan reseptor binding domain (RBD). Sedangkan antibodi
yang dapat dideteksi antara lain IgA, IgM, dan IgG (Hagen, 2020). IgM dan IgA
dilaporkan terdeteksi mulai hari 3-6 setelah onset gejala, sementara IgG mulai hari 10-18
25
setelah onset gejala. Namun, pemeriksaan jenis ini tidak direkomendasikan WHO sebagai
dasar diagnosis utama. Pasien negatif serologi masih perlu observasi dan diperiksa ulang
bila dianggap ada faktor risiko tertular (Susilo et al., 2020).
False positive dan false negative perlu dipertimbangkan untuk deteksi antibodi
karena validitas yang belum diketahui (sensitivitas dan spesifisitas diagnostik yang
bervariasi) sehingga menyulitkan interpretasi. Berbagai hal yang dapat menyebabkan
hasil false positive yaitu:
1. Kemungkinan cross reactive antibodi dengan berbagai virus lain (coronavirus,
dengue virus)
2. Infeksi lampau dengan coronavirus
Berbagai hal yang dapat menyebabkan hasil false negative adalah:
1. Belum terbentuk antibodi saat pengambilan sampel (masa inkubasi)
2. Pasien immunocompromised (gangguan pembentukan antibodi)

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka apabila menemukan hasil rapid test positif
maka harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan PCR. Apabila ditemukan hasil negatif,
harus dilakukan pengambilan sampel ulang 7 – 10 hari kemudian (PDS PatKLin, 2020).
Penggunaan Rapid Test tidak digunakan untuk diagnostik. Pada kondisi dengan
keterbatasan kapasitas pemeriksaan RT-PCR, Rapid Test dapat digunakan untuk skrining
pada populasi spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku perjalanan (termasuk
kedatangan Pekerja Migran Indonesia, terutama di wilayah Pos Lintas Batas Darat Negara
(PLBDN), serta untuk penguatan pelacakan kontak seperti di lapas, panti jompo, panti
rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan pada kelompokkelompok rentan. WHO
merekomendasikan penggunaan Rapid Test untuk tujuan penelitian epidemiologi atau
penelitian lain. Penggunaan Rapid Test selanjutnya dapat mengikuti perkembangan
teknologi terkini dan rekomendasi WHO (Kemenkes RI, 2020).
Kelebihan pemeriksaan rapid test antibody antara lain: dapat dikerjakan oleh
semua laboratorium (selama APD tersedia), hasil cepat, harga lebih murah. Sedangkan
kekurangan pemeriksaan ini adalah sensitivitas dan spesifisita bervariasi, perlu berhati-
hati dalam menginterpretasi, dan tidak digunakan untuk diagnostik (PDS PatKLin, 2020).

26
Gambar 2.14 Rapid test antibodi kit

Sampel yang digunakan dapat berupa serum atau wholeblood. Pengambilan


sampel dilakukan oleh petugas menggunakan spuit disposable 3ml atau 5 ml atau Sistem
Vacutainer. Anak-anak dan dewasa: dibutuhkan whole blood (3-5 mL) dan disentrifus
untuk mendapatkan serum sebanyak 1,5-3 mL. Sedangkan untuk bayi: Minimal 1 ml
whole blood diperlukan untuk pemeriksaan pasien bayi. Jika memungkinkan,
mengumpulkan 1 ml serum. (Kemenkes RI, 2020).

Pemeriksaan Virologi
a. Pemeriksaan Rapid Antigen
Pemeriksaan ini menilai ada tidaknya protein antigen permukaan dari virus SARS-
CoV-2. Sampel yang digunakan adalah swab nasofaring atau orofaring. Waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan rapida antigen yakni sekitar 30 menit.
Prinsip yang digunakan pada pemeriksaan rapid antigen sama dengan rapid antibody
yakni menggunakan prinsip immunokromatografi. False positive dapat terjadi pada
kemungkinan adanya cross reactive dengan antigen berbagai coronavirus lain selain
SARS-CoV-2. Sedangkan false negative dapat terjadi ketika jumlah antigen tidak
mencukupi untuk dapat terdeteksi.
b. Pemeriksaan RT-PCR
Saat ini WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien
yang termasuk dalam kategori suspek. Metode yang dianjurkan untuk deteksi virus adalah
amplifikasi asam nukleat dengan real-time reversetranscription polymerase chain
reaction (rRT-PCR) dan dengan sequencing. Sampel dikatakan positif (konfirmasi SARS-
CoV-2) bila rRT-PCR positif pada minimal dua target genom (N, E, S, atau RdRP) yang
27
spesifik SARSCoV-2; ATAU rRT-PCR positif betacoronavirus, ditunjang dengan hasil
sequencing sebagian atau seluruh genom virus yang sesuai dengan SARS-CoV-2.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat juga telah menyetujui
penggunaan tes cepat molekuler berbasis GenXpert® yang diberi nama Xpert® Xpress
SARS-CoV-2. Tes cepat molekuler lebih mudah dikerjakan dan lebih cepat karena
prosesnya otomatis sehingga sangat membantu mempercepat deteksi Kultur virus tidak
direkomendasikan untuk diagnosis rutin (Susilo et al., 2020).
WHO merekomendasikan pengambilan spesimen pada dua lokasi, yaitu dari
saluran napas atas (swab nasofaring atau orofaring) atau saluran napas bawah (sputum,
bronchoalveolar lavage (BAL), atau aspirat endotrakeal) (Susilo et al., 2020).
Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas kesehatan menggunakan APD Level 3.

Gambar 2.16 Pengemasan sampel ke dalam Viral Transport Medium (VTM) (Kemenkes, RI)

False positive pada pemeriksaan PCR dapat terjadi jika terdapat kontaminasi
maupun human error selama proses pengambilan sampel, transport serta analisis hasil
sampel. Sedangkan false negative dapat terjadi ketika terdapat kesalahan pada proses
pengambilan swab (lokasi pengambilan kurang tepat), terjadi kesalahan pada proses
transport dan penyimpanan sampel.

Kelebihan teknik pemeriksaan PCR yaitu, sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi
dibandingkan teknik lain, deteksi langsung asam nukleat virus, dapat deteksi fase akut
(sejak hari pertama terinfeksi). Sedangkan kekurangan teknik ini yaitu perlu pengambilan

28
sampel swab nasofaring/orofaring yang benar, perlu tenaga terlatih dalam pengambilan
swab, perlu ketrampilan untuk ekstraksi manual, perlu spesifikasi lab dan APD khusus,
harga cukup mahal dan hasil dapat diketahui cukup lama (1-2 hari) (PDS PatKLin, 2020).

Pemeriksaan radiologis
Walaupun kurang sensitif dibandingkan CT-Scan dada, Foto thorax merupakan
modalitas pencitraan lini pertama yang digunakan untuk pasien yang diduga COVID-19.
Foto thorax mungkin normal pada awal penyakit/gejala ringan. Dalam kasus COVID-19
yang membutuhkan rawat inap, 69% memiliki radiografi dada abnormal pada saat awal
masuk, dan 80% memiliki kelainan radiografi selama masa rawat inap. Temuan yang
paling sering adalah air space opacity, atau konsolidasi. Distribusi paling sering adalah
bilateral, periferal, dan lower zone. Berbeda dengan kelainan parenkim paru, efusi pleura
jarang terjadi (3%) (Bell et al., 2020).

Gambar 2.18 Hasil foto thorax pasien COVID-19 (Bell et al., 2020)

Chest computed tomography (CT) memainkan peran penting dalam evaluasi


pasien COVID-19, Bahkan, terkadang sebelum gejala klinis menjadi jelas. CT scan dada
menunjukkan 97% dan sensitivitas 75% untuk diagnosis spesimen positif dan negatif
secara berturut-turut, sedangkan spesifistas sebesar 25%. Gambaran paling sering
ditemukan adalah ground-glass opacities (GGO). Gambaran lain yang mungkin muncul
adalah crazy paving appearance (GGOs and inter-/intra-lobular septal thickening),
bronchovascular thickening, dan traction bronchiectasis (Sultan et al., 2020).

2.7 Tatalaksana

29
Manajemen kesehatan masyarakat merupakan serangkaian kegiatan kesehatan
masyarakat yang dilakukan terhadap kasus, dijelaskan sebagai berikut (Kemenkes RI,
2020)
1. TANPA GEJALA
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah.
 Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP)
 Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis
b. Non-farmakologis
Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet untuk dibawa ke rumah):
 Pasien :
- Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota
keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
- Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis)
- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum jam 9 pagi
dan setelah jam 3 sore).
- Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik / wadah
tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci
dan segera dimasukkan mesin cuci
- Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari) - Segera beri informasi
ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh >
38oC

 Lingkungan/kamar:
30
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Bila memungkinkan menggunakan APD saat membersihkan kamar (setidaknya
masker, dan bila memungkinkan sarung tangan dan goggle).
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
- Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya
 Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan pasien sebaiknya memeriksakan
diri ke FKTP/Rumah Sakit.
- Anggota keluarga senanitasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar sirkulasi udara tertukar
- Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh pasien misalnya gagang
pintu dll
c. Farmakologi
 Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap melanjutkan
pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat
antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor dan Angiotensin Reseptor
Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter
Spesialis Jantung
 Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ; - Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-
8 jam oral (untuk 14 hari) - Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30
hari) - Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30
hari), - Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C,B, E, Zink
 Vitamin D - Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup) - Obat:
1000 5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000
IU)

31
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli
Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk
diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
 Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.

3. DERAJAT RINGAN
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul
gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika gejala
lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan hingga gejala hilang ditambah dengan 3
hari bebas gejala. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas
publik yang dipersiapkan pemerintah.
 Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien.
 Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
b. Non Farmakologis
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan
edukasi tanpa gejala).
c. Farmakologis
 Vitamin C dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),
- Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C, B, E, zink
 Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah
5000 IU)
 Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari

32
 Antivirus :
- Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5- 7 hari (terutama bila diduga ada
infeksi influenza) ATAU
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1
dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
 Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli
Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan
namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

4. DERAJAT SEDANG
a. Isolasi dan Pemantauan
 Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-
19
 Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit Darurat COVID-
19
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi/terapi cairan,
oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan foto toraks
secara berkala.
c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan
secara drip Intravena (IV) selama perawatan
 Diberikan terapi farmakologis berikut: o Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral
(untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga
ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).

33
Ditambah o Salah satu antivirus berikut :
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau
 Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau
hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat halaman 66-75)
 Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

5. DERAJAT BERAT ATAU KRITIS


a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
 Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai Tabel 1.
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi (terapi cairan), dan
oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH,
D-dimer.
 Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
 Monitor tanda-tanda sebagai berikut; - Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min, - Saturasi
Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari), - PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg, -
Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada pencitraan thoraks
dalam 24-48 jam,
- Limfopenia progresif,
- Peningkatan CRP progresif,
- Asidosis laktat progresif.
 Monitor keadaan kritis
- Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik, syok atau gagal multiorgan yang
memerlukan perawatan ICU.

34
- Bila terjadi gagal napas disertai ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik
(alur gambar 1)
- 3 langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut
o Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation
(NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan
dibandingkan NIV. (alur gambar 1)
o Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru.
o Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position).
 Terapi oksigen:
- Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93% dengan udara bebas dengan mulai
dari nasal kanul sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai target SpO2 92 – 96%.
- Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC (High Flow Nasal
Cannula) jika tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi perburukan klinis.
- Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit, FiO2 40% sesuai dengan
kenyamanan pasien dan dapat mempertahankan target SpO2 92 - 96%
o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
o Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti peningkatan fraksi oksigen, jika
 Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)
 Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)
 Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea, otot bantu nafas aktif)
o Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama 2 jam 2 kali sehari dapat
memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS
ringan hingga sedang.
o Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam dengan menggunakan indeks ROX.
o Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks ROX
>4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak membutuhkan
ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk kebutuhan
intubasi.
o Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan terapi oksigen dengan
HFNC tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien, pertimbangkan
untuk menggunakan metode ventilasi invasif atau trial NIV.

35
o De-eskalasi bertahap pada penyapihan dengan perangkat HFNC, dimulai dengan
menurunkan FiO2 5-10%/1-2 jam hingga mencapai fraksi 30%, selanjutnya flow
secara bertahap 5-10 L/1- 2 jam) hingga mencapai 25 L.
o Pertimbangkan untuk menggunakan terapi oksigen konvensional ketika flow 25
L/menit dan FiO2 < 30%.
 Ventilasi Mekanik invasif (Ventilator)
o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR, N95).
o Menetapkan target volume tidal yang rendah (4-8 ml/kgBB), plateau pressure <30
cmH2O dan driving pressure <15 cmH2O. RR: 18 – 25 x/menit,
o Pada ARDS sedang – berat diterapkan protokol Higher PEEP, dengan pemantauan
terjadinya barotrauma pada penggunaan PEEP >10 cmH2O.
o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami hipoksemia refrakter (meski parameter
ventilasi optimal), dilakukan ventilasi pada posisi prone selama 12-16 jam per hari
o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami kondisi; dissinkroni antar pasien dan
ventilator yang persisten, plateau pressure yang tinggi secara persisten dan ventilasi
pada posisi prone yang membutuhkan sedasi yang dalam, pemberian pelumpuh otot
secara kontinyu selama 48 jam dapat dipertimbangkan.
o Penerapan strategi terapi cairan konservatif pada kondisi ARDS o Penggunaan
mode Airway Pressure Release Ventilation dapat dipertimbangkan pada pemakaian
ventilator. Khusus penggunaan mode APRV ini harus di bawah pengawasan
intensivis atau dokter spesialis anestesi.
c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam diberikan
secara drip Intravena (IV) selama perawatan
 Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
 Vitamin D - Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup) - Obat:
1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
 Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5- 7 hari) atau sebagai alternatif
Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam
per iv atau per oral (untuk 5-7 hari).

36
 Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi bakteri, pemilihan
antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada
pada pasien. Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur
sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut dipertimbangkan.
 Antivirus :
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1
dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau
 Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5
atau hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat halaman 66-75)
 Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang
setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus
berat dengan ventilator.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
 Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok yang
sudah ada (lihat hal. 55).
 Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
 Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan kondisi klinis pasien
dan ketersediaan di fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing apabila terapi standar
tidak memberikan respons perbaikan. Pemberian dengan pertimbangan hati-hati dan
melalui diskusi dengan tim COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6
(tocilizumab), plasma konvalesen, IVIG atau Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel
Punca, terapi plasma exchange (TPE) dan lain-lain.

37

Anda mungkin juga menyukai